09e01722

Upload: laluviskas

Post on 07-Jul-2018

230 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

  • 8/18/2019 09E01722

    1/90

    HUBUNGAN ANTARA GAMBARAN TIMPANOMETRIDENGAN LETAK DAN STADIUM TUMOR PADA

    PENDERITA KARSINOMA NASOFARING

    DI DEPARTEMEN THT-KLRSUP H. ADAM MALIK MEDAN

    TESIS

    Diajukan untuk Melengkapi Tugas dan Memenuhi Salah SatuSyarat untuk Mencapai Spesialis dalam Bidang

    Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok

    Bedah Kepala Leher  

    Oleh :

    Benny HidayatNIM : 17897

    PROGRAM PENDIDIKAN DOKTER SPESIALIS BIDANG

    ILMU KESEHATAN TELINGA HIDUNG TENGGOROKBEDAH KEPALA LEHER

    FAKULTAS KEDOKTERANUNIVERSITAS SUMATERA UTARA

    MEDAN2009 

    Benny Hidayat : Hubungan Antara Gambaran Timpanometri Dengan Letak Dan Stadium Tumor Pada PenderitaKarsinoma Nasofaring Di Departemen THT-KL RSUP H. Adam Malik Medan, 2009USU Repository © 2008

  • 8/18/2019 09E01722

    2/90

    KATA PENGANTAR

    Dengan mengucapkan Alhamdulillahirabbil’alamin, puji syukur

    kehadirat Allah SWT karena dengan rahmat dan karunia-Nya, saya dapat

    menyelesaikan penelitian ini sebagai salah satu syarat untuk memperoleh

    gelar Dokter Spesialis Bidang Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok,

    Bedah Kepala Leher, Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara /

    RSUP H. Adam Malik Medan.

    Penelitian ini saya tulis dalam bentuk tesis dengan judul: Hubungan

    antara Gambaran Timpanometri dengan Letak dan Stadium Tumor pada

    Penderita Karsinoma Nasofaring di Departemen THT-KL RSUP H. Adam

    Malik Medan. Rancangan penelitian ini menggunakan studi potong lintang

    (cross sectional study) yang bersifat deskriptif analitik.

    Saya menyadari bahwa tulisan ini masih jauh dari sempurna, baik isi

    maupun bahasanya. Dengan semua keterbatasan tersebut, saya berharap

    mendapat masukan yang berharga dan kritik yang bermanfaat dari para ahli

    dan pembaca, demi kesempurnaan tulisan ini.

    Dengan telah berakhirnya masa pendidikan saya, maka pada

    kesempatan yang berbahagia ini, perkenankanlah saya menyampaikan

    penghargaan dan ucapan rasa terima kasih yang sebesar-besarnya kepada:

    Yang terhormat Bapak Rektor Universitas Sumatera Utara, Prof. dr.

    Chairuddin Panusunan Lubis, Sp.A(K), DTM&H, yang telah memberikan

    kesempatan kepada saya untuk mengikuti Program Pendidikan Dokter

    Benny Hidayat : Hubungan Antara Gambaran Timpanometri Dengan Letak Dan Stadium Tumor Pada PenderitaKarsinoma Nasofaring Di Departemen THT-KL RSUP H. Adam Malik Medan, 2009USU Repository © 2008

  • 8/18/2019 09E01722

    3/90

    Spesialis di Departemen THT-KL, Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera

    Utara Medan.

    Yang terhormat Bapak Dekan Fakultas Kedokteran Universitas

    Sumatera Utara, Prof. dr. Gontar Alamsyah Siregar, Sp.PD-KGEH, yang telah

    memberikan kesempatan kepada saya untuk mengikuti Program Pendidikan

    Dokter Spesialis di Fakultas ini.

    Yang terhormat Prof. dr. Abdul Rachman Saragih, Sp.THT-KL(K),

    sebagai Kepala Departemen THT-KL FK-USU / RSUP H. Adam Malik Medan,

    yang telah memberikan bimbingan, pengarahan, nasehat dan petunjuk

    selama saya mengikuti pendidikan di Departemen THT-KL FK-USU / RSUP

    H. Adam Malik Medan.

    Yang terhormat Prof. dr. Askaroellah Aboet, Sp.THT-KL(K), sebagai

    Ketua Program Studi Pendidikan Dokter Spesialis di Departemen THT-KL

    FK-USU / RSUP H. Adam Malik Medan, yang telah memberikan petunjuk,

    nasehat, bimbingan dan dorongan semangat kepada saya sehingga saya

    dapat menyelesaikan program pendidikan ini.

    Yang terhormat dr. Adlin Adnan, Sp.THT-KL, dr. Hafni, Sp.THT-KL(K),

    dr. Harry A. Asroel, Sp.THT-KL sebagai pembimbing tesis saya dan yang

    terhormat Prof. dr. Aznan Lelo, PhD, Sp.FK sebagai Konsultan Penelitian dan

    Statistik, dr. Nety D. Lubis, Sp.Rad sebagai Konsultan Radiologi, saya

    ucapkan terima kasih dan penghargaan yang setinggi-tingginya atas waktu,

    bimbingan, motivasi, perhatian, koreksi, petunjuk yang berharga dan

    Benny Hidayat : Hubungan Antara Gambaran Timpanometri Dengan Letak Dan Stadium Tumor Pada PenderitaKarsinoma Nasofaring Di Departemen THT-KL RSUP H. Adam Malik Medan, 2009USU Repository © 2008

  • 8/18/2019 09E01722

    4/90

    kemudahan yang telah diberikan kepada saya, selama dalam penelitian dan

    penulisan tesis ini.

    Ucapan rasa terima kasih yang sebesar-besarnya saya tujukan

    kepada semua guru-guru dijajaran THT-KL FK-USU / RSUP H. Adam Malik

    Medan, yang terhormat: dr. Asroel Aboet, Sp.THT-KL(K), Prof. dr. Ramsi

    Lutan, Sp.THT-KL(K), dr. Yuritna Haryono, Sp.THT-KL(K), Prof. dr.

     Askaroellah Aboet, Sp.THT-KL(K), Prof. dr. Abdul Rachman Saragih,

    Sp.THT-KL(K), dr. T. Sofia Hanum, Sp.THT-KL(K), dr. Ida Sjailandrawati H,

    Sp.THT-KL, dr. Muzakkir Zamzam, Sp.THT-KL(K), dr. Mangain Hasibuan,

    Sp.THT-KL, DR. dr. Delfitri Munir, Sp.THT-KL(K), dr. Linda Irwani Adenin,

    Sp.THT-KL, dr. Hafni, Sp.THT-KL(K), dr. Adlin Adnan, Sp.THT-KL, dr.

    Rizalina A. Asnir, Sp.THT-KL, dr. Siti Nursiah, Sp.THT-KL, Alm. dr. Ainul

    Mardhiah, Sp.THT-KL, dr. Farhat, Sp.THT-KL, dr. Harry A. Asroel, Sp.THT-

    KL, dr. Andrina Y.M. Rambe, Sp.THT-KL, dr. T. Siti Hajar Haryuna, Sp.THT-

    KL dan dr. Ashri Yudhistira, Sp.THT-KL, yang telah banyak memberikan

    bimbingan dan ilmu pengetahuan di bidang THT-KL kepada saya, baik

    secara teoritis maupun ketrampilan lainnya yang kiranya sangat bermanfaat

    bagi saya di kemudian hari.

    Yang terhormat Kepala Departemen dan seluruh Staf Radiologi FK-

    USU / RSUP H. Adam Malik Medan, Kepala Departemen dan Staf Patologi

     Anatomi FK-USU / RSUP H. Adam Malik Medan, Kepala Departemen dan

    Staf Anestesi FK-USU / RSUP H. Adam Malik Medan, yang telah

    Benny Hidayat : Hubungan Antara Gambaran Timpanometri Dengan Letak Dan Stadium Tumor Pada PenderitaKarsinoma Nasofaring Di Departemen THT-KL RSUP H. Adam Malik Medan, 2009USU Repository © 2008

  • 8/18/2019 09E01722

    5/90

    memberikan bimbingan kepada saya selama menjalani stase pendidikan di

    Departemen tersebut.

    Yang terhormat Direktur, Kepala SMF THT-KL dan seluruh staf THT-

    KL di BAPELKES RSU Dr. Pirngadi Medan, Rumkit DAM I / Bukit Barisan

    Medan, RSUD Lubuk Pakam, RS PTP II Tembakau Deli Medan, yang telah

    memberikan kesempatan dan bimbingan kepada saya selama menjalani

    stase pendidikan di keempat rumah sakit tersebut.

    Yang Mulia Ayahanda dr. H. Azwar Nurdin, Sp.PK(K) dan Ibunda Hj.

     Aslita Aboet, yang dengan segala daya upaya telah mengasuh,

    membesarkan dan membimbing saya dengan penuh kasih sayang semenjak

    kecil hingga saya dewasa, agar menjadi anak yang berbakti kepada orang

    tua, agama, bangsa dan negara. Terima kasih juga saya tujukan kepada

    kakak dan adik-adik saya, yang telah memberikan dorongan semangat

    selama saya menjalani pendidikan ini.

    Yang terhormat kedua Mertua saya, dr. H. Yunir, Sp.THT-KL dan Hj.

    Erni Burhan, yang memberikan kasih sayang, dorongan semangat, saya

    ucapkan terima kasih dan penghargaan yang setulus-tulusnya. Terima kasih

     juga saya tujukan kepada adik-adik ipar saya, yang telah memberikan

    dorongan semangat kepada saya sehingga pendidikan ini dapat selesai.

    Kepada istri saya tercinta, Eka Adereni Yunir, ST, yang selalu

    menyayangi serta dengan penuh cinta kasih mendampingi saya selama

    mengikuti pendidikan ini. Tiada kata yang lebih indah yang dapat diucapkan,

    selain ucapan terima kasih yang setulus-tulusnya atas bantuan,

    Benny Hidayat : Hubungan Antara Gambaran Timpanometri Dengan Letak Dan Stadium Tumor Pada PenderitaKarsinoma Nasofaring Di Departemen THT-KL RSUP H. Adam Malik Medan, 2009USU Repository © 2008

  • 8/18/2019 09E01722

    6/90

    pengorbanan, kesabaran, ketabahan dan dorongan semangat yang tiada

    henti-hentinya, sehingga dengan ridho Allah SWT akhirnya kita sampai pada

    saat yang berbahagia ini.

    Ucapan terima kasih kepada teman-teman sejawat Program

    Pendidikan Dokter Spesialis Bidang Ilmu Kesehatan THT-KL FK-USU Medan,

    yang telah bersama-sama melewati masa pendidikan, baik suka maupun

    duka, saling membantu dan mengingatkan sehingga terjalin rasa

    persaudaraan yang erat diantara kita. Semoga Allah SWT selalu melindungi

    dan memberkahi kita semua, Amin.

    Saya juga mengucapkan terima kasih kepada seluruh paramedis dan

    karyawan di Departemen THT-KL FK-USU / RSUP H. Adam Malik Medan,

    yang telah membantu dan bekerja sama selama saya menjalani program

    pendidikan ini.

     Akhirnya izinkanlah saya memohon maaf yang setulus-tulusnya atas

    kesalahan dan kekurangan selama mengikuti pendidikan ini, semoga segala

    bantuan, dorongan, petunjuk yang diberikan kepada saya selama mengikuti

    pendidikan ini, kiranya mendapatkan balasan yang berlipat ganda dari Allah

    SWT, Yang Maha Pengasih, Maha Pemurah dan Maha Penyayang. Amin,

     Amin Ya Rabbal’alamin.

    Medan, Juli 2009

    Penulis

    dr. Benny Hidayat

    Benny Hidayat : Hubungan Antara Gambaran Timpanometri Dengan Letak Dan Stadium Tumor Pada PenderitaKarsinoma Nasofaring Di Departemen THT-KL RSUP H. Adam Malik Medan, 2009USU Repository © 2008

  • 8/18/2019 09E01722

    7/90

    HUBUNGAN ANTARA GAMBARAN TIMPANOMETRI DENGAN LETAK

    DAN STADIUM TUMOR PADA PENDERITA KARSINOMA NASOFARING

    DI DEPARTEMEN THT-KL RSUP H. ADAM MALIK MEDAN

     ABSTRAK

    Latar Belakang: Hubungan yang erat antara karsinoma nasofaring dan

    gangguan pada telinga telah lama diketahui. Gangguan pada telinga

    biasanya merupakan gejala yang timbul karena letak tumor nasofaring (fossa

    Rosenmuller) dekat dengan muara tuba Eustachius. Gangguan pada tuba

    Eustachius akan menyebabkan terganggunya fungsi telinga tengah.

    Pemeriksaan timpanometri sensitif dalam menilai integritas membran timpani

    dan fungsi telinga tengah. Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui

    hubungan gambaran timpanometri dengan letak dan stadium tumor pada

    penderita KNF.

    Metode Penelitian: Penelitian dilakukan dengan studi potong lintang (cross

    sectional study) di Departemen THT-KL FK-USU / RSUP H. Adam Malik

    Medan, secara consecutive sampling  mulai Oktober 2008. Terhadap

    penderita KNF dilakukan pemeriksaan rutin THT, timpanometri,

    nasofaringoskopi, biopsi tumor di nasofaring dan CT-Scan nasofaring,

    kemudian dilakukan penilaian terhadap gambaran timpanogram, letak dan

    stadium tumor pada penderita KNF. Data dianalisa dengan uji korelasi

    Spearman dengan batas kebermaknaan p < 0,05.

    Benny Hidayat : Hubungan Antara Gambaran Timpanometri Dengan Letak Dan Stadium Tumor Pada PenderitaKarsinoma Nasofaring Di Departemen THT-KL RSUP H. Adam Malik Medan, 2009USU Repository © 2008

  • 8/18/2019 09E01722

    8/90

    Hasil Penelitian: Dari 55 sampel didapatkan 21 sampel (38,2%) dengan

    timpanogram abnormal (tipe B / C) unilateral pada pada penderita KNF

    dengan letak tumor di fossa Rosenmuller yang meluas ke atap / dinding

    posterior nasofaring dan menutupi muara tuba Eustachius, sebanyak 16

    sampel (29,1%) dengan timpanogram abnormal (tipe B / C) bilateral pada

    pada penderita KNF dengan letak tumor di seluruh rongga nasofaring.

    Uji korelasi Spearman (r) = 0,401, p = 0,002 (p < 0,05).

    Gambaran timpanogram abnormal (tipe B / C) unilateral yang terbanyak

    dijumpai pada stadium IV, yaitu pada 15 sampel (27,3%), sedangkan

    timpanogram abnormal (tipe B / C) bilateral yang terbanyak dijumpai pada

    stadium III, yaitu 17 sampel (30,9%). Uji korelasi Spearman (r) = 0,078,

    p = 0,570 (p > 0,05).

    Kesimpulan: Terdapat hubungan bermakna antara gambaran timpanometri

    dengan letak tumor pada penderita KNF. Tidak terdapat hubungan bermakna

    antara gambaran timpanometri dengan stadium tumor pada penderita KNF.

    Kata Kunci:  Karsinoma Nasofaring, Timpanometri, Tuba Eustachius, Letak

    Tumor.

    Benny Hidayat : Hubungan Antara Gambaran Timpanometri Dengan Letak Dan Stadium Tumor Pada PenderitaKarsinoma Nasofaring Di Departemen THT-KL RSUP H. Adam Malik Medan, 2009USU Repository © 2008

  • 8/18/2019 09E01722

    9/90

    CORRELATION BETWEEN TYMPANOMETRY RESULT WITH THE SITE

     AND STADIUM OF TUMOUR IN NASOPHARYNGEAL CARCINOMA

    PATIENTS IN EAR NOSE AND THROATH - HEAD AND NECK SURGERY

    DEPARTMENT H. ADAM MALIK GENERAL HOSPITAL MEDAN

     ABSTRACT

    Background:  Close correlation between nasopharyngeal carcinoma and

    disturbance of ear function has been known for long. The disturbance in ear

    function usually is a symptom of the site of a tumour (fossa Rosenmuller) that

    is close to tuba Eustachius end. Disturbance in tuba Eustachius would cause

    disturbance of middle ear function. Tympanometry examination is sensitive to

    evaluate the integrity of membrane tympany and the function of the middle

    ear. The purpose of this research is to know the correlation between

    tympanometry result with the site and stadium of tumour in nasopharyngeal

    carcinoma patients.

    Study Design and Methods: Research was done in cross sectional study in

    Ear Nose and Throath-Head and Neck Surgery Department Medical Faculty

    University of North Sumatera / H. Adam Malik General Hospital Medan, with

    consecutive sampling method, start from October 2008. The nasopharyngeal

    carcinoma patients was examined for a routine ENT examination,

    tympanometry, nasopharyngoscopy, biopsy of tumour in nasopharyng and

    nasopharyng CT-Scan, then tympanogram result, the site and stadium of

    Benny Hidayat : Hubungan Antara Gambaran Timpanometri Dengan Letak Dan Stadium Tumor Pada PenderitaKarsinoma Nasofaring Di Departemen THT-KL RSUP H. Adam Malik Medan, 2009USU Repository © 2008

  • 8/18/2019 09E01722

    10/90

    tumour in nasopharyngeal carcinoma patients was evaluated. Data was

    analyzed using Spearman correlation test with p < 0,05.

    Results: Twenty one (21) of 55 sampel was found to have abnormal

    unilateral tympanogram (type B / C), that is nasopharyngeal carcinoma

    patients with the site of tumour in fossa Rossenmuller that extend to the roof /

    posterior wall of nasopharyng and covers the end of tuba Eustachius, 16

    patients with abnormal bilateral tympanogram (29,1%), that is

    nasopharyngeal carcinoma patients with the site of tumour in all part of

    nasopharyng. Spearman correlation test, (r) = 0,401, p = 0,002 (p < 0,05).

     Abnormal unilateral tympanogram result (type B / C) was most found in

    stadium IV patients, 15 sample (27,3%). Whereas abnormal bilateral

    tympanogram (type B / C) was most found in stadium III patients, 17 sample

    (30,9%). Spearman correlation test, (r) = 0,078, p = 0,570 (p > 0,05).

    Conclusions:  There is a correlation between tympanometry result with the

    site of tumour in nasopharyngeal carcinoma patients. There is not a

    correlation between tympanometry result with the stadium of tumour in

    nasopharyngeal carcinoma patients.

    Keywords:  Nasopharyngeal Carcinoma, Tympanometry, Tuba Eustachius,

    The Site of Tumour.

    Benny Hidayat : Hubungan Antara Gambaran Timpanometri Dengan Letak Dan Stadium Tumor Pada PenderitaKarsinoma Nasofaring Di Departemen THT-KL RSUP H. Adam Malik Medan, 2009USU Repository © 2008

  • 8/18/2019 09E01722

    11/90

    DAFTAR ISI

    KATA PENGANTAR .............................................................................. iv

     ABSTRAK .............................................................................................. ix

     ABSTRACT ............................................................................................ xi

    DAFTAR ISI ........................................................................................... xiii

    DAFTAR GAMBAR ................................................................................ xvi

    DAFTAR TABEL .................................................................................... xvii

    BAB 1. PENDAHULUAN ...................................................................... 1

    1.1. Latar Belakang .............................................................................. 11.2. Rumusan Masalah ......................................................................... 4

    1.3. Tujuan Penelitian ........................................................................... 5

    1.4. Hipotesa Penelitian ........................................................................ 5

    1.5. Manfaat Penelitian ......................................................................... 5

    BAB 2. TINJAUAN KEPUSTAKAAN  ................................................... 6

    2.1. Karsinoma Nasofaring ................................................................... 6

    2.1.1. Anatomi Nasofaring ............................................................ 6

    2.1.2. Hubungan Nasofaring dengan Struktur di Sekitarnya ......... 6

    2.1.3. Saluran Limfe dan Persyarafan Nasofaring ........................ 8

    2.1.4. Pendarahan Nasofaring ...................................................... 9

    2.1.5. Hubungan Struktur Anatomi dengan Jalan Penyebaran

    Tumor ................................................................................. 9

    2.2. Epidemologi ................................................................................... 11

    2.3. Etiologi dan Faktor Predisposisi .................................................... 13

    2.4. Gejala Klinis .................................................................................. 15

    2.5. Diagnosis ....................................................................................... 18

    2.5.1. Anamnesis .......................................................................... 18

    2.5.2. Pemeriksaan Fisik ............................................................... 18

    Benny Hidayat : Hubungan Antara Gambaran Timpanometri Dengan Letak Dan Stadium Tumor Pada PenderitaKarsinoma Nasofaring Di Departemen THT-KL RSUP H. Adam Malik Medan, 2009USU Repository © 2008

  • 8/18/2019 09E01722

    12/90

    2.6. Histopatologi .................................................................................. 24

    2.7. Stadium ......................................................................................... 25

    2.8. Terapi ............................................................................................ 27

    2.8.1. Radioterapi .......................................................................... 27

    2.8.2. Kemoterapi .......................................................................... 28

    2.8.3. Pembedahan ....................................................................... 31

    2.9. Timpanometri ................................................................................ 31

    2.9.1. Terminologi ......................................................................... 32

    2.9.2. Peralatan ............................................................................. 33

    2.9.3. Cara Kerja Impedans Meter ................................................ 34

    BAB 3. KERANGKA KONSEP ............................................................ 41

    BAB 4. METODE PENELITIAN ............................................................ 42

    4.1. Rancangan Penelitian ................................................................... 42

    4.2. Populasi, Sampel, Besar Sampel dan Teknik Pengambilan

    Sampel .......................................................................................... 42

    4.2.1. Populasi .............................................................................. 42

    4.2.2. Sampel ................................................................................ 42

    4.2.3. Besar Sampel ..................................................................... 43

    4.2.4. Teknik Pengambilan Sampel .............................................. 44

    4.3. Variabel Penelitian ......................................................................... 44

    4.3.1. Klasifikasi Variabel Penelitian ............................................. 44

    4.3.2. Definisi Operasional Variabel .............................................. 44

    4.4. Alat Penelitian ............................................................................... 46

    4.5. Pelaksanaan Penelitian ................................................................. 46

    4.6. Lokasi dan Waktu Penelitian ......................................................... 47

    4.6.1. Lokasi Penelitian ................................................................. 47

    4.6.2. Waktu Penelitian ................................................................. 47

    4.7. Kerangka Kerja .............................................................................. 48

    Benny Hidayat : Hubungan Antara Gambaran Timpanometri Dengan Letak Dan Stadium Tumor Pada PenderitaKarsinoma Nasofaring Di Departemen THT-KL RSUP H. Adam Malik Medan, 2009USU Repository © 2008

  • 8/18/2019 09E01722

    13/90

    4.8. Analisa Data .................................................................................. 48

    BAB 5. HASIL PENELITIAN  ................................................................ 49

    BAB 6. PEMBAHASAN ........................................................................ 57

    BAB 7. KESIMPULAN DAN SARAN .................................................... 69

    7.1. Kesimpulan ..................................................................................... 69

    7.2. Saran .............................................................................................. 69

    DAFTAR PUSTAKA  .............................................................................. 70

    LAMPIRAN  ............................................................................................ 76

    Lampiran 1. Data Sampel Penelitian ...................................................... 76

    Lampiran 2. Status Penelitian ................................................................ 79

    Lampiran 3. Lembar Penjelasan Kepada Subyek Penelitian ................. 83

    Lampiran 4. Lembar Persetujuan Setelah Penjelasan ........................... 85

    Lampiran 5. Persetujuan Komite Etik Penelitian .................................... 86

    RIWAYAT HIDUP  .................................................................................. 87

    Benny Hidayat : Hubungan Antara Gambaran Timpanometri Dengan Letak Dan Stadium Tumor Pada PenderitaKarsinoma Nasofaring Di Departemen THT-KL RSUP H. Adam Malik Medan, 2009USU Repository © 2008

  • 8/18/2019 09E01722

    14/90

    DAFTAR GAMBAR

    Gambar 2.1. Skema Alat yang Digunakan untuk Pemeriksaan

    Timpanometri .................................................................... 34

    Gambar 2.2. Timpanogram Normal ....................................................... 37

    Gambar 2.3. Timpanogram Tipe B ........................................................ 38

    Gambar 2.4. Timpanogram Tipe C ........................................................ 39

    Gambar 2.5. Timpanogram Tipe As ............... ................ ................ ................ ................ ...... 39

    Gambar 2.6. Timpanogram Tipe Ad  ....................................................... 40

    Benny Hidayat : Hubungan Antara Gambaran Timpanometri Dengan Letak Dan Stadium Tumor Pada PenderitaKarsinoma Nasofaring Di Departemen THT-KL RSUP H. Adam Malik Medan, 2009USU Repository © 2008

  • 8/18/2019 09E01722

    15/90

    DAFTAR TABEL

    Tabel 5.1. Distribusi Penderita KNF Berdasarkan Umur ...................... 49

    Tabel 5.2. Distribusi Penderita KNF Berdasarkan Jenis Kelamin ........ 50

    Tabel 5.3. Distribusi Penderita KNF Menurut Suku Bangsa ................ 50

    Tabel 5.4. Distribusi Penderita KNF Berdasarkan Jenis Histopatologi

    (WHO) ................................................................................. 51

    Tabel 5.5. Distribusi Penderita KNF Berdasarkan Stadium Tumor ...... 51

    Tabel 5.6. Distribusi Letak Tumor pada Penderita KNF ...................... 52

    Tabel 5.7. Hubungan Gambaran Timpanogram dengan Letak Tumor

    pada Penderita KNF ........................................................... 53Tabel 5.8. Gambaran Timpanogram Berdasarkan Letak Tumor pada

    Penderita KNF .................................................................... 54

    Tabel 5.9. Hubungan Gambaran Timpanogram dengan Stadium

    Tumor pada Penderita KNF ................................................ 55

    Tabel 5.10. Gambaran Timpanogram Berdasarkan Stadium Tumor pada

    Penderita KNF .................................................................... 56

    Benny Hidayat : Hubungan Antara Gambaran Timpanometri Dengan Letak Dan Stadium Tumor Pada PenderitaKarsinoma Nasofaring Di Departemen THT-KL RSUP H. Adam Malik Medan, 2009USU Repository © 2008

  • 8/18/2019 09E01722

    16/90

     

    BAB 1

    PENDAHULUAN

    1.1. Latar Belakang

    Tumor ganas nasofaring di Indonesia menempati urutan ke-5 dari 10

    besar tumor ganas di seluruh tubuh, sedangkan di bagian penyakit telinga,

    hidung dan tenggorok, tumor ganas nasofaring menempati urutan pertama

    (Punagi, 2007). Hampir 60% tumor ganas kepala dan leher merupakan tumor

    ganas nasofaring (Adham & Roezin, 2007). Bentuk paling banyak yang

    dijumpai pada tumor ganas nasofaring ialah yang berasal dari epitel

    permukaan rongga nasofaring yang dikenal dengan istilah karsinoma

    nasofaring / KNF (Punagi, 2007).

    Insiden KNF tertinggi di dunia didapatkan di Cina bagian selatan,

    terutama di propinsi Guang Dong, Guang Xi dan di daerah yang banyak

    ditempati oleh imigran Cina, seperti di Asia Tenggara, California, Hong Kong

    dan Taiwan (Aziza et al, 2005). Bangsa yang mempunyai resiko agak tinggi

    adalah Eskimo, Tunisia, Filipina, Malaysia, Algeria dan juga Indonesia. KNF

     jarang ditemukan pada orang kulit putih, India dan Jepang tapi banyak

    ditemukan di Asia pada ras Mongoloid (Punagi, 2007).

    Karsinoma nasofaring sering tidak terdiagnosis secara dini karena

    banyaknya variasi gejala dan tanda serta sulitnya pemeriksaan rongga

    nasofaring yang merupakan lokasi tumor primer, terutama pada fossa

    Rosenmuller. Akibatnya angka kematian menjadi tinggi karena pada

    Benny Hidayat : Hubungan Antara Gambaran Timpanometri Dengan Letak Dan Stadium Tumor Pada PenderitaKarsinoma Nasofaring Di Departemen THT-KL RSUP H. Adam Malik Medan, 2009USU Repository © 2008

  • 8/18/2019 09E01722

    17/90

    umumnya pasien datang berobat pada stadium III ke atas dengan angka

    harapan hidup selama 10 tahun berkisar 10% (Punagi, 2007).

    Hubungan yang erat antara karsinoma nasofaring dan telinga telah

    lama diketahui. Pada penelitian Jackson (1901) didapat gejala telinga tidak

    kurang dari 43% dari seluruh kasus karsinoma nasofaring. Keluhan telinga

    yang paling sering pada stadium awal adalah ketulian, biasanya ringan dan

    unilateral, seringkali disertai tinitus. Menurut Trotter (1911) yang

    memfokuskan penelitiannya pada “tipe tuba Eustachius” sebagai gejala

    pertama dari karsinoma nasofaring. Pernyataan Trotter ini menggarisbawahi

    bahwa pentingnya pemeriksaan nasofaring pada semua kasus ketulian

    konduktif pada orang dewasa (Gibb & Hasselt, 1999).

    Gangguan pada telinga biasanya merupakan gejala dini yang timbul

    karena asal tumor nasofaring (fossa Rosenmuller) dekat dengan muara tuba

    Eustachius (Roezin, 1995; Ahmad, 2002). Keluhan pada telinga yang paling

    sering adalah keluhan gangguan pendengaran yang unilateral dan bersifat

    konduktif, karena itu diperlukan pemeriksaan timpanometri dan audiometri

    untuk menilai gangguan pendengaran pada penderita karsinoma nasofaring

    (Soetjipto, 1993).

    Karya dkk di Makasar (2007) menemukan hubungan yang bermakna

    antara letak dan ukuran tumor dengan gambaran timpanometri pada 40

    penderita yang baru didiagnosa sebagai KNF (Karya et al, 2007). Fong dan

    Low di Singapura (1996) menemukan efusi telinga tengah pada lebih kurang

    40% pasien penderita KNF. Efusi berhubungan dengan penyebaran tumor ke

    Benny Hidayat : Hubungan Antara Gambaran Timpanometri Dengan Letak Dan Stadium Tumor Pada PenderitaKarsinoma Nasofaring Di Departemen THT-KL RSUP H. Adam Malik Medan, 2009USU Repository © 2008

  • 8/18/2019 09E01722

    18/90

    ruang parafaring dan ditemukan pada 95% kasus. Honjo di Tokyo (1988)

    menemukan adanya hubungan langsung antara efusi, ukuran dan perluasan

    tumor yang dikonfirmasikan melalui pemeriksaan Magnetic Resonance

    Imaging  (MRI) dan Computed Tomography Scanning  (CT-Scan) (Gibb &

    Hasselt, 1999).

    Bila secara klinis dicurigai menderita KNF dan tumor tidak terlihat pada

    pemeriksaan endoskopi, harus dilakukan pencitraan dengan potongan lintang

    (CT-Scan atau MRI) (Wei & Sham, 2005). Pemeriksaan CT-Scan mempunyai

    keuntungan, antara lain kemampuan untuk dapat membedakan berbagai

    densitas di daerah nasofaring, baik jaringan lunak maupun perubahan pada

    tulang, selain itu dapat menilai perluasan tumor ke jaringan sekitar, adanya

    destruksi tulang dan penyebaran ke intrakranial (Aziza et al, 2005).

    Pemeriksaan timpanometri merupakan salah satu dari rangkaian

    pemeriksaan fungsi telinga tengah secara objektif. Penilaian objektif fungsi

    telinga tengah dapat dilakukan dengan mengukur beberapa parameter dari

    isyarat akustik yang direfleksikan oleh membran timpani yang utuh. Keadaan

    tekanan udara pada telinga tengah, integritas membran timpani serta

    mobilitas tulang pendengaran dapat dievaluasi dengan pemeriksaan ini. Hasil

    pemeriksaan timpanometri digambarkan dalam bentuk grafik / timpanogram

    (Asroel, 2003).

    Bila terjadi sumbatan pada tuba Eustachius oleh tumor di nasofaring

    akan menyebabkan tekanan udara dalam rongga telinga tengah menjadi

    negatif sehingga terjadi retraksi membran timpani dan akibatnya didapatkan

    Benny Hidayat : Hubungan Antara Gambaran Timpanometri Dengan Letak Dan Stadium Tumor Pada PenderitaKarsinoma Nasofaring Di Departemen THT-KL RSUP H. Adam Malik Medan, 2009USU Repository © 2008

  • 8/18/2019 09E01722

    19/90

    timpanogram tipe C. Timpanogram tipe B didapatkan bila mobilitas tulang-

    tulang pendengaran menurun sedemikian rupa, oleh adanya cairan efusi

    dalam rongga telinga tengah yang mengakibatkan puncak timpanogram

    menjadi landai (Karya et al, 2007).

    Letak dan ukuran tumor pada nasofaring erat kaitannya dengan

    gangguan fungsi tuba Eustachius. Gangguan fungsi tuba Eustachius dapat

    menimbulkan gangguan pendengaran. Pemeriksaan timpanometri

    bermanfaat dalam menilai fungsi telinga tengah dan tuba Eustachius.

    Berdasarkan penelitian Karya dkk di Makasar (2007) yang menemukan

    hubungan yang bermakna antara letak dan ukuran tumor dengan gambaran

    timpanometri pada penderita KNF, maka peneliti tertarik untuk meneliti

    pemeriksaan timpanometri pada penderita KNF di Departemen THT-KL FK-

    USU / RSUP H. Adam Malik Medan.

    1.2. Rumusan Masalah

    Berdasarkan pengamatan yang diuraikan dalam latar belakang di atas,

    dapat dirumuskan masalah penelitian, yaitu bagaimana hubungan antara

    gambaran timpanometri dengan letak dan stadium tumor penderita KNF di

    Departemen THT-KL FK-USU / RSUP H. Adam Malik Medan.

    Benny Hidayat : Hubungan Antara Gambaran Timpanometri Dengan Letak Dan Stadium Tumor Pada PenderitaKarsinoma Nasofaring Di Departemen THT-KL RSUP H. Adam Malik Medan, 2009USU Repository © 2008

  • 8/18/2019 09E01722

    20/90

    1.3. Tujuan Penelit ian

    1. Mengetahui hubungan antara gambaran timpanometri dengan letak tumor

    berdasarkan pemeriksaan CT-Scan Nasofaring dan pemeriksaan

    nasofaringoskopi pada penderita KNF.

    2. Mengetahui hubungan antara gambaran timpanometri dengan stadium

    tumor berdasarkan pemeriksaan CT-Scan Nasofaring dan pemeriksaan

    nasofaringoskopi pada penderita KNF.

    1.4. Hipotesa Penelit ian

     Ada hubungan antara letak dan stadium tumor dengan gambaran

    timpanometri pada penderita KNF.

    1.5. Manfaat Penelit ian

    1. Dapat menjadi bahan pertimbangan dan pendugaan karsinoma

    nasofaring.

    2. Sebagai data dasar gambaran timpanometri pada penderita karsinoma

    nasofaring.

    Benny Hidayat : Hubungan Antara Gambaran Timpanometri Dengan Letak Dan Stadium Tumor Pada PenderitaKarsinoma Nasofaring Di Departemen THT-KL RSUP H. Adam Malik Medan, 2009USU Repository © 2008

  • 8/18/2019 09E01722

    21/90

    BAB 2

    TINJAUAN KEPUSTAKAAN

    2.1. Karsinoma Nasofaring

    2.1.1. Anatomi Nasofaring

    Nasofaring merupakan ruang yang terletak dibelakang rongga hidung,

    berbentuk trapezoid, dengan ukuran tinggi 4 cm, lebar 4 cm dan dimensi

    anteroposterior 3 cm. Mukosa nasofaring dilapisi oleh pseudostratified

    columnar respiratory-type epithelium dan non-keratinizing stratified squamous 

    epithelium Dinding anterior nasofaring dibentuk oleh koana dan ujung

    posterior septum nasi. Lantai nasofaring dibentuk oleh permukaan atas

    palatum mole. Bagian atap dan dinding posterior nasofaring dibentuk oleh

    daerah yang menyatu berupa permukaan melandai yang dibatasi oleh badan

    sfenoid, dasar oksiput dan vertebra cervical I dan II sampai ke batas palatum

    mole. Di dinding lateral nasofaring terdapat muara tuba Eustachius (Chew,

    1997; Cottrill & Nutting, 2003; Wei, 2006).

    2.1.2. Hubungan Nasofaring dengan Struktur di Sekitarnya

    a. Atap dan Dinding Posterior Nasofaring

    Bagian atap yang melandai menyatu dengan dinding posterior. Kedua

    struktur ini dibentuk oleh lantai sinus sfenoid di sisi medial dan fibrokartilago

    dari foramen laserum di sisi lateral. Sinus kavernosus dengan arteri karotis

    interna dan syaraf kranial III, IV, V dan VI terletak di atas foramen laserum

    Benny Hidayat : Hubungan Antara Gambaran Timpanometri Dengan Letak Dan Stadium Tumor Pada PenderitaKarsinoma Nasofaring Di Departemen THT-KL RSUP H. Adam Malik Medan, 2009USU Repository © 2008

  • 8/18/2019 09E01722

    22/90

    pada kedua sisi. Dinding posterior nasofaring menutupi bagian basilar tulang

    oksipital dan arkus anterior atlas di inferior. Di bagian atas dinding posterior

    nasofaring, melekat jaringan limfoid pada membran mukosa (tonsil nasofaring

    atau adenoid). Fasia prevertebra dan otot memisahkan adenoid dengan

    tulang vertebra (Chew, 1997; Cottrill & Nutting, 2003).

    b. Dinding Lateral Nasofaring

    Tuba Eustachius bermuara ke nasofaring melalui dinding lateral. Tuba

    dibentuk oleh fasia faringobasilar yang diperkuat oleh otot konstriktor superior

    di bagian inferiornya. Dilihat dari kavum nasi, bagian anterior dan posterior

    orifisium tuba Eustachius ditandai dengan elevasi kartilago tuba, dimana di

    belakangnya terletak fossa Rosenmuller. Di sebelah dalam dinding lateral

    terdapat ruang parafaring yang berisikan arteri karotis interna, syaraf kranial

    IX, X, XI dan XII, vena jugularis interna dan kelenjar limfe retrofaring (Chew,

    1997; Cottrill & Nutting, 2003).

    Fasia faring dan jaringan ikat foramen laserum rentan terhadap invasi

    langsung tumor ganas nasofaring. Hal ini dan seringnya keterlibatan kelenjar

    limfe retrofaring menjelaskan seringnya keterlibatan syaraf kranial (Cottrill &

    Nutting, 2003).

    c. Dasar Nasofaring

    Dasar nasofaring dibentuk oleh permukaan superior palatum molle,

    yang berhubungan dengan spingter palatofaring yang berperan untuk

    Benny Hidayat : Hubungan Antara Gambaran Timpanometri Dengan Letak Dan Stadium Tumor Pada PenderitaKarsinoma Nasofaring Di Departemen THT-KL RSUP H. Adam Malik Medan, 2009USU Repository © 2008

  • 8/18/2019 09E01722

    23/90

    menutup ismus faring saat menelan, memisahkan nasofaring dengan

    orofaring di bawahnya (Chew, 1997; Cottrill & Nutting, 2003).

    2.1.3. Saluran Limfe dan Persyarafan Nasofaring

    Mukosa terbentuk dari beberapa lipatan otot dibawahnya dan

    mengandung berbagai kumpulan jaringan limfoid. Jaringan limfoid yang

    paling menonjol, terutama pada anak-anak adalah tonsil faringeal (adenoid)

    yang terletak di garis tengah dan menonjol ke depan dari pertemuan atap dan

    dinding posterior. Lokasi aliran limfe kelompok pertama adalah kelenjar

    retrofaring yang terletak di ruang antara dinding nasofaring posterior, fasia

    faringobasilar dan fasia prevertebra. Kelompok kelenjar Rouviere (node of

    Rouviere)  membentuk kelompok kelenjar lateral utama. Kelenjar tersebut

    terletak di anterior sebelah lateral atlas di batas lateral m. capitis longus,

    sebelah anteromedial arteri karotis interna. Pembuluh eferen mengalir ke

    rantai jugular interna dalam pada bagian paling atas di dasar tengkorak di

    ruang kompartemen parafaring retrostiloid di sebelah dalam ujung atas otot

    sternomastoid. Kelenjar ini kemudian mengalir ke bawah di posterior dari

    kelompok syaraf aksesorius dan di anterior kelompok jugulodigastrik (Chew,

    1997; Cottrill & Nutting, 2003).

    Daerah nasofaring dipersarafi oleh pleksus faringeal di atas otot

    konstriktor faringeal media. Pleksus faringeal terdiri atas serabut sensoris

    saraf glossofaringeal (IX), serabut motoris saraf vagus (X) dan serabut saraf

    ganglion servikalis simpatikus. Sebagian besar saraf sensoris nasofaring

    Benny Hidayat : Hubungan Antara Gambaran Timpanometri Dengan Letak Dan Stadium Tumor Pada PenderitaKarsinoma Nasofaring Di Departemen THT-KL RSUP H. Adam Malik Medan, 2009USU Repository © 2008

  • 8/18/2019 09E01722

    24/90

    berasal dari saraf glossofaringeal, hanya daerah superior nasofaring dan

    anterior orifisium tuba yang mendapat persarafan sensoris dari cabang

    faringeal ganglion sfenopalatina yang berasal dari cabang maksila saraf

    trigemius (V1) (Armiyanto, 1993).

    2.1.4. Pendarahan Nasofaring

    Pendarahan nasofaring berasal dari cabang-cabang arteri karotis

    eksterna, yaitu arteri faringeal asenden, arteri palatina asenden dan

    descenden serta cabang faringeal arteri sfenopalatina.

    Pleksus vena terletak di bawah selaput lendir nasofaring dan

    berhubungan dengan pleksus pterigoid di atas dan vena jugularis interna di

    bawah (Armiyanto, 1993).

    2.1.5. Hubungan Struktur Anatomi dengan Jalan Penyebaran Tumor

    Walaupun penyebaran tumor sering ditentukan oleh jalan yang secara

    anatomis telah terbentuk namun tidak selalu penyebaran tumor ganas

    mengikuti jalan alamiah tersebut karena tumor ganas mempunyai

    kemampuan untuk menginvasi dan merusak sistem barier yang ada. Kadang-

    kadang sulit ditentukan arah penyebaran karena tergantung juga dari besar

    dan asal lesi primer. Tumor yang tumbuh di garis tengah nasofaring dapat

    menyebar ke salah satu sisi atau sering bilateral. Selain itu tumor yang

    tumbuh pada salah satu dinding lateral nasofaring sering melewati garis

    tengah dan menyebar ke sisi yang lain.

    Benny Hidayat : Hubungan Antara Gambaran Timpanometri Dengan Letak Dan Stadium Tumor Pada PenderitaKarsinoma Nasofaring Di Departemen THT-KL RSUP H. Adam Malik Medan, 2009USU Repository © 2008

  • 8/18/2019 09E01722

    25/90

    Jalan yang paling sering dilalui oleh penyebaran tumor, yaitu:

    1) Ke dalam lumen / ruang nasofaring. 

    Jalan ini sering terjadi pada tumor yang sangat besar dan akan masuk

    dalam orofaring atau kavum nasi. Kadang-kadang dapat masuk ke sinus

    maksila atau orbita tetapi sangat jarang masuk ke tuba Eustachius.

    2) Ke dalam ruang retrofaring. 

    Walaupun sering melalui jalan anatomis (retroparotidian), kadang-kadang

    tumor dapat langsung masuk ke ruang retrofaring dengan mengadakan

    kompresi atau infiltrasi ke ruang retrostiloid atau merusak bagian lateral

    vertebra servikalis pertama (vertebra atlas).

    3) Ke dalam ruang parafaring. 

    a). Ruang kecil prestiloid, tumor yang tumbuh di dinding lateral atau di

    daerah fosa Rosenmuller dapat menjalar ke ruang kecil ini yang

    terletak di atasnya dan akan mengenai serabut motorik dan sensorik

    saraf trigeminus (V). Tumor dapat menginvasi otot pterigoid dan

    menyebabkan trismus atau menginfiltrasi otot levator sehingga

    menyebabkan asimetri palatum mole. Tumor juga dapat mengenai

    palatum durum, kelenjar parotis, fisura pterigomaksila dan ke fosa

    infratemporal. Pada tumor yang sangat besar mungkin dapat

    menginvasi sinus maksila dan frontalis.

    b). Ruang kecil retrostiloid. Ruang kecil ini berisi selubung karotis dan

    isinya, kelenjar limfe servikal dalam atas, saraf-saraf kranial terakhir

    (IX, X, XI, XII) dan cabang saraf simpatis servikalis. Ruang ini disebut

    Benny Hidayat : Hubungan Antara Gambaran Timpanometri Dengan Letak Dan Stadium Tumor Pada PenderitaKarsinoma Nasofaring Di Departemen THT-KL RSUP H. Adam Malik Medan, 2009USU Repository © 2008

  • 8/18/2019 09E01722

    26/90

     juga ruang retroparotidian yang selain dapat terinvasi melalui jalan

    anatomis (melalui aliran limfe / retroparotidian), dapat juga akibat

    lanjutan invasi langsung yang lebih dalam ruang parafaring. Dari ruang

    ini pula, tumor dapat menyebabkan erosi dasar tengkorak.

    4) Ke intrakranial. 

    Perluasan tumor ke intrakranial biasanya melalui foramen laserum dan

    ovale atau melalui sinus kavernosus dan ganglion gaseri, mengenai saraf

    kranial otot bolamata (III, IV, VI) (penyebaran secara petrosfenoid) tetapi

    dapat juga melalui erosi dasar kanalis karotis dan melalui arteri karotis

    interna masuk ke dalam sinus kavernosus. Perluasan ke ekstradural

    selain dari sinus kavernosus juga dapat akibat tumor mendestruksi sinus

    sfenoid.

    5) Tumor dapat langsung menyebar ke sinus etmoid,  selanjutnya

    mengenai sinus frontalis, maksila dan rongga orbita.

    6) Metastasis jauh, dapat melalui aliran darah atau sistem limfatik dan

    mengenai hati, tulang atau paru.

    (Armiyanto, 1993).

    2.2. Epidemologi

    Tumor ganas nasofaring di Indonesia menempati urutan ke-5 dari 10

    besar tumor ganas di seluruh tubuh, sedangkan di bagian penyakit telinga,

    hidung dan tenggorok, tumor ganas nasofaring menempati urutan pertama.

    Hampir 60% tumor ganas kepala dan leher merupakan tumor ganas

    Benny Hidayat : Hubungan Antara Gambaran Timpanometri Dengan Letak Dan Stadium Tumor Pada PenderitaKarsinoma Nasofaring Di Departemen THT-KL RSUP H. Adam Malik Medan, 2009USU Repository © 2008

  • 8/18/2019 09E01722

    27/90

    nasofaring. Data Departemen Kesehatan tahun 1980 menunjukkan

    prevalensi 4,7 per 100.000 penduduk atau diperkirakan 7.000-8.000 kasus

    per tahun (Punagi, 2007).

    Dari sejumlah 2.007 kasus keganasan di bidang telinga hidung

    tenggorok yang dikumpulkan antara tahun 1990-2001 di Bagian THT-KL FK-

    UI RSCM Jakarta, tercatat karsinoma nasofaring sebanyak 1.247 (62,13%)

    penderita (Munir, 2007). Penelitian Fachiroh di Yogyakarta menyatakan

    insiden penderita KNF 3,9 orang per 100.000 penduduk (Fachiroh et al,

    2004). Dari data laporan profil karsinoma nasofaring di Rumah Sakit

    Pendidikan Fakultas Kedokteran Universitas Hasanuddin Makassar, periode

    Januari 2000 sampai dengan Juni 2007, didapatkan 33% dari keganasan di

    telinga, hidung dan tenggorok. Di RSUP H. Adam Malik Medan pada tahun

    2002-2007, ditemukan 684 penderita karsinoma nasofaring.

    Penduduk RRC di propinsi Guang Dong mempunyai insiden tertinggi

    di dunia, yaitu 40-50 per 100.000 penduduk per tahun (Punagi, 2007). Pada

    daerah Barat (Amerika dan Eropa) kejadian KNF jarang dengan insiden

    sekitar 0,5/100.000 dengan angka 1-2% dari seluruh kanker kepala dan leher.

    Di Amerika Utara terdapat keratinizing squamous cell carcinoma  pada 60%

    kasus, sementara di Timur Tengah lebih 95% merupakan WHO tipe 2-3.

    Insidensi WHO tipe 3 juga tinggi di Eskimo, Alaska dan juga meningkat di

    Malaysia, Afrika Utara dan Eropa Selatan (Cottrill & Nutting, 2003). KNF

     jarang ditemukan pada orang kulit putih, India dan Jepang tapi banyak

    ditemukan di Asia pada ras Mongoloid (Punagi, 2007).

    Benny Hidayat : Hubungan Antara Gambaran Timpanometri Dengan Letak Dan Stadium Tumor Pada PenderitaKarsinoma Nasofaring Di Departemen THT-KL RSUP H. Adam Malik Medan, 2009USU Repository © 2008

  • 8/18/2019 09E01722

    28/90

    Pada daerah endemik insiden meningkat sejak usia 20 tahun dan

    mencapai puncak pada dekade IV dan V. Pada daerah resiko rendah usia

    terbanyak pada dekade V dan VI tapi masih terdapat insidensi yang

    signifikan pada usia di bawah 30 tahun sehingga didapati distribusi usia

    bimodal dengan puncak awalnya antara usia 15-25 tahun. KNF lebih sering

    dijumpai pada pria, dengan perbandingan pria dan wanita 3 : 1 (Chew, 1997;

    Cottrill & Nutting, 2003).

    2.3. Etiologi dan Faktor Predisposisi

    Etiologi pasti dari KNF belum diketahui, namun penelitian secara

    epidemiologi dan laboratorik menunjukkan bahwa penyebab keganasan ini

    bersifat multi faktor, yaitu:

    1. Infeksi virus Epstein Barr.

    Virus ini pertama kali ditemukan oleh Epstein, Barr dan Achong pada

    tahun 1964 dalam biakan sel limfoblas dari penderita limfoma Burkitt.

    Virus ini telah diyakini sebagai agen penyebab beberapa penyakit, yaitu

    mononukleosis infeksiosa, limfoma-Burkitt dan KNF (Armiyanto, 1993).

    Virus Epstein Barr yang diduga sebagai penyebab terjadinya KNF

    merupakan virus DNA dari kelompok herpes dimana tubuh manusia akan

    membentuk reaksi imunologik akibat antigen dari virus yang masuk ke

    dalam tubuh (Aziza et al, 2005). Terdapat peningkatan antibodi IgA

    terhadap viral capsid antigen (VCA) dan early antigen compleks (EA) dan

    ditemukannya genom virus pada sel tumor (McDermott et al, 2001; 

    Benny Hidayat : Hubungan Antara Gambaran Timpanometri Dengan Letak Dan Stadium Tumor Pada PenderitaKarsinoma Nasofaring Di Departemen THT-KL RSUP H. Adam Malik Medan, 2009USU Repository © 2008

  • 8/18/2019 09E01722

    29/90

     Ahmad, 2002; Cottrill & Nutting; 2003; Lutzky et al, 2008). Terdeteksinya

    bentuk tunggal DNA viral menyarankan bahwa tumor merupakan

    proliferasi klonal dari sel tunggal yang pada awalnya terinfeksi VEB. Gen-

    gen laten spesifik VEB secara konsisten diekspresikan pada karsinoma

    nasofaring pada lesi awal dan lesi displastik. Protein viral laten (latent

    membrane protein 1 dan 2) memiliki efek yang substansial pada ekspresi

    gen selular dan pertumbuhan selular, menghasilkan pertumbuhan yang

    sangat invasif serta pertumbuhan yang ganas dari karsinoma

    (McDermott et al,  2001; Cottrill & Nutting, 2003; Wei & Sham, 2005;

    Lutzky et al, 2008).

    2. Faktor genetik.

    Diduganya faktor genetik berperan pada KNF berdasarkan atas resiko

    tinggi yang terdapat pada orang Cina, baik yang tinggal di negaranya

    sendiri maupun yang telah berpindah ke negara lain atau terdapat pada

    orang keturunan Cina yang menikah dengan non-Cina. Hubungan Human

    Leucocyte Antigen  (HLA) ditemukan pada penderita KNF yang telah

    berimigrasi ke negara lain, seperti Malaysia, Singapura, Hongkong dan

    keturunan Cina di California. Penelitian di Medan menemukan alel gen

    paling tinggi pada penderita KNF suku Batak adalah gen HLA-DRB1*12

    dan HLA-DQB*0301 di mana alel gen yang potensial sebagai penyebab

    kerentanan timbulnya KNF pada suku Batak adalah alel gen HLA-

    DRB1*08 (Delfitri, 2007).

    Benny Hidayat : Hubungan Antara Gambaran Timpanometri Dengan Letak Dan Stadium Tumor Pada PenderitaKarsinoma Nasofaring Di Departemen THT-KL RSUP H. Adam Malik Medan, 2009USU Repository © 2008

  • 8/18/2019 09E01722

    30/90

    3. Faktor lingkungan dan kebiasaan hidup.

    Faktor lingkungan dan kebiasaan hidup, yaitu sering memakan ikan asin

    yang mengandung nitrosamin, yang merupakan suatu zat karsinogenik,

    adanya asap sejenis kayu tertentu yang digunakan untuk memasak, asap

    dupa dan seringnya kontak dengan zat karsinogen, seperti Benzopyrene,

    gas kimia, asap industri, asap obat nyamuk dan asap rokok, merupakan

    hal-hal yang diduga berperan penting dalam terjadinya KNF (Aziza et al,

    2005).

    Beberapa penelitian epidemiologik dan laboratorium menyokong hipotesa

    yang menyebutkan bahwa konsumsi dini ikan asin menyebabkan KNF di

    Cina Selatan dan Hongkong. Suatu studi kasus kontrol menunjukkan

    bahwa hanya konsumsi ikan asin yang sering sebelum usia 10 tahun yang

    berhubungan dengan peningkatan resiko terjadinya KNF (Ahmad, 2002;

    Cottrill & Nutting, 2003; Ganguly et al, 2003; Wei, 2006).

    2.4. Gejala Klinis

    Rongga nasofaring sulit dilihat dan karsinoma yang tumbuh sering

    hanya sedikit memberikan gejala untuk waktu yang lama. Dapat pula

    ditemukan mukosa nasofaring berpenampakan normal dalam waktu yang

    lama walaupun telah terjadi penyebaran tumor ke kelenjar getah bening

    regional atau bahkan sudah menjalar ke intrakranial. Gejala dan tanda yang

    terjadi sebagai akibat adanya obstruksi oleh tumor, invasi ke rongga

    tengkorak atau orbita dan metastasis tumor ke kelenjar getah bening

    Benny Hidayat : Hubungan Antara Gambaran Timpanometri Dengan Letak Dan Stadium Tumor Pada PenderitaKarsinoma Nasofaring Di Departemen THT-KL RSUP H. Adam Malik Medan, 2009USU Repository © 2008

  • 8/18/2019 09E01722

    31/90

    (Aziza et al, 2005). Gejala yang sering ditemukan, yaitu:

    1. Gejala telinga.

    Gangguan pada telinga biasanya merupakan gejala dini yang timbul

    karena asal tumor nasofaring dekat dengan muara tuba Eustachius

    (Roezin, 1995). Penyumbatan tuba Eustachius oleh massa tumor

    menimbulkan gejala, berupa tinitus, rasa tidak nyaman di telinga, rasa

    tersumbat, berkurangnya pendengaran dan sering berlanjut menjadi otitis

    media efusi (Roezin, 1995).

    Otitis media serosa dijumpai pada 41% pasien dari 237 pasien KNF yang

    didiagnosa dini. Jika seorang Cina dewasa datang dengan keluhan ini,

    seorang ahli THT harus mempertimbangkan kemungkinan KNF (Chew,

    1997; Ahmad, 2002; Wei, 2006).

    2. Gejala hidung.

    Gejala hidung berupa epistaksis ringan dan obstruksi hidung. Perdarahan

    dapat timbul berulang-ulang, jumlah sedikit, bercampur ingus. Epistaksis

    biasanya dijumpai pada KNF stadium lanjut. Gejala obstruksi hidung

    biasanya menetap dan bertambah berat akibat massa tumor yang

    menutupi koana (Chew, 1997; Ahmad, 2002; Cottrill & Nutting, 2003;

     Aziza et al, 2005).

    3. Pembesaran kelenjar getah bening leher.

    Gejala lanjut yang paling sering penyebab penderita datang berobat

    adalah pembesaran kelenjar getah bening leher karena penyebaran

    limfogen. Lokasi khas penyebaran KNF ke kelenjar getah bening leher

    Benny Hidayat : Hubungan Antara Gambaran Timpanometri Dengan Letak Dan Stadium Tumor Pada PenderitaKarsinoma Nasofaring Di Departemen THT-KL RSUP H. Adam Malik Medan, 2009USU Repository © 2008

  • 8/18/2019 09E01722

    32/90

    adalah daerah yang terletak di bawah angulus mandibula di dalam otot

    sternokleidomastoideus, perabaannya keras, tidak nyeri bila ditekan dan

    tidak mudah digerakkan jika sel tumor telah menembus kelenjar dan

    mengenai jaringan otot di bawahnya (Aziza et al, 2005).

    4. Gejala neurologis.

    Gejala lebih lanjut yang sering ditemukan adalah gejala saraf yang terjadi

    akibat penjalaran melalui foramen laserum (saraf kranial III, IV, V, VI) dan

    foramen ovale (IX, X, XI, XII) sepanjang fossa kranii media yang disebut

    penjalaran petrosfenoid dan mengenai saraf otak anterior. Keluhan saraf

    yang paling sering ditemukan adalah paresis saraf abdusen (N.VI) dengan

    keluhan diplopia dan paresis saraf trigeminus (N.V) dengan keluhan baal

    di pipi dan wajah yang biasanya unilateral. Tumor juga dapat menjalar ke

    belakang secara ekstrakranial yang disebut penjalaran secara

    retroparotidian, mengenai saraf VII sampai XII dan cabang saraf

    simpatikus servikalis yang menimbulkan gejala sindrom Horner. Sakit

    kepala hebat merupakan gejala paling berat pada penderita KNF dan

    biasanya merupakan stadium terminal. Hal ini karena tumor mengerosi

    dasar tengkorak dan menekan struktur di sekitarnya (Aziza et al, 2005).

    5. Gejala akibat metastasis jauh.

    Sel-sel kanker dapat menjalar bersama aliran darah (hematogen) ataupun

    bersama aliran limfe (limfogen), mengenai organ tubuh yang letaknya

     jauh. Organ yang sering dikenai adalah tulang, paru dan hati. Gejala yang

    timbul sesuai dengan kerusakan organ tersebut.

    Benny Hidayat : Hubungan Antara Gambaran Timpanometri Dengan Letak Dan Stadium Tumor Pada PenderitaKarsinoma Nasofaring Di Departemen THT-KL RSUP H. Adam Malik Medan, 2009USU Repository © 2008

  • 8/18/2019 09E01722

    33/90

    2.5. Diagnosis

    2.5.1. Anamnesis

     Anamnesis dilakukan berdasarkan keluhan penderita KNF.

    Limfadenopati servikal pada leher bagian atas merupakan keluhan yang

    paling sering yang menyebabkan penderita KNF berobat. Gejala hidung,

    telinga, gangguan neurologi juga sering dikeluhkan penderita KNF (Soetjipto,

    1993; Ahmad, 2002).

    2.5.2. Pemeriksaan Fisik

    1. Endoskopi.

    Pada kasus yang dicurigai ke arah KNF, perlu dilakukan pemeriksaan

    menyeluruh daerah kepala dan leher, terutama di nasofaring.

    Pemeriksaan menggunakan nasofaringoskop kaku atau fleksibel, lebih

    dianjurkan agar dapat melakukan inspeksi langsung sehingga tumor kecil

    dapat tampak lebih jelas (Soetjipto, 1993).

    a) Nasofaringoskopi kaku (Rigid nasopharyngoscopy).

     Alat yang digunakan terdiri dari teleskop dengan sudut bervariasi, yaitu

    sudut 0, 30 dan 70 derajat dan forsep biopsi. Nasofaringoskopi dapat

    dilakukan dengan cara:

    •  Transnasal, teleskop dimasukkan melalui hidung.

    •  Transoral, teleskop dimasukkan melalui rongga mulut.

    (Wei, 2006).

    Benny Hidayat : Hubungan Antara Gambaran Timpanometri Dengan Letak Dan Stadium Tumor Pada PenderitaKarsinoma Nasofaring Di Departemen THT-KL RSUP H. Adam Malik Medan, 2009USU Repository © 2008

  • 8/18/2019 09E01722

    34/90

    b) Nasofaringoskopi lentur (Flexible nasopharyngoscopy).

     Alat ini bersifat lentur dengan ujungnya dilengkapi alat biopsi.

    Endoskopi fleksibel memungkinkan pemeriksaan yang lebih

    menyeluruh terhadap nasofaring meskipun masuknya hanya melalui

    satu sisi kavum nasi. Ujungnya dapat melakukan manuver di belakang

    septum hingga mencapai sisi yang berlawanan. Biopsi massa tumor

    dapat dilakukan dengan melihat langsung sasaran. Alat endoskop

    fleksibel ini memiliki saluran khusus untuk suction dimana forsep biopsi

    dapat dimasukkan melaluinya sehingga biopsi tetap dapat dilakukan

    dengan pandangan langsung. Namun meskipun memiliki banyak

    keunggulan, kualitas gambar yang didapat dengan endoskopi fleksibel

    masih di bawah kualitas gambar endoskopi kaku, begitu juga ukuran

    biopsi yang dilakukan dengan endoskopi fleksibel jaringan biopsi yang

    didapat lebih kecil dan lebih superfisial dibandingkan endoskopi kaku

    (Wei, 2006).

    2. Biopsi nasofaring.

    a) Dengan anestesi lokal.

    Dengan adanya alat endoskop, biopsi dilakukan dengan tuntunan

    endoskop. Caranya sebagai berikut; pasien duduk atau setengah

    duduk, diberi anestesi lokal kemudian endoskop dimasukkan kedalam

    kavum nasi sisi yang berlawanan dengan perkiraan sisi tumor. Setelah

    tampak tumor atau tampak daerah yang mencurigakan, cunam biopsi

    Benny Hidayat : Hubungan Antara Gambaran Timpanometri Dengan Letak Dan Stadium Tumor Pada PenderitaKarsinoma Nasofaring Di Departemen THT-KL RSUP H. Adam Malik Medan, 2009USU Repository © 2008

  • 8/18/2019 09E01722

    35/90

    yang agak besar dimasukkan melalui kavum nasi sisi lainnya dan

    dibawah tuntunan endoskop, cunam mengambil jaringan biopsi yang

    cukup besar dan representatif pada tumor atau daerah yang

    mencurigakan (Soetjipto, 1993).

    b) Eksplorasi nasofaring dengan anestesi umum.

    Cara ini dapat dilakukan pada hal-hal tertentu, yaitu:

    •  Jika biopsi dengan anestesi lokal tidak mendapatkan hasil yang

    positif sedangkan gejala dan tanda yang ditemukan menunjukkan

    ciri KNF.

    •  Keadaan umum penderita kurang baik, tidak kooperatif atau

    faringnya terlalu sensitif, trismus dan anak-anak.

    3. Pemeriksaan radiologi.

    Pemeriksaan ini bertujuan untuk memperkuat kecurigaan adanya tumor di

    daerah nasofaring, menentukan lokasi tumor yang dapat membantu

    dalam melakukan biopsi yang tepat dan menentukan luas penyebaran

    tumor ke jaringan sekitarnya (Her, 2001). Pemeriksaan radiologi yang

    dapat dilakukan antara lain:

    a) Foto polos nasofaring dan dasar tengkorak dengan posisi lateral,

    submentovertikal, oksipitosubmental, oksipitomental, oksipitofrontal.

    b) Foto toraks Posterior-Anterior untuk menilai adanya metastasis paru

    (Wei & Sham, 2005).

    Benny Hidayat : Hubungan Antara Gambaran Timpanometri Dengan Letak Dan Stadium Tumor Pada PenderitaKarsinoma Nasofaring Di Departemen THT-KL RSUP H. Adam Malik Medan, 2009USU Repository © 2008

  • 8/18/2019 09E01722

    36/90

    c) CT-Scan Nasofaring mempunyai nilai diagnostik tinggi. Tumor dini di

    fossa Rosenmuller akan tampak sebagai penebalan otot levator veli

    palatini dan obliterasi atau penumpulan sudut resesus setempat

    sehingga tampak gambaran yang asimetri dalam rongga nasofaring

    (Soetjipto, 1993).

    Pemeriksaan CT-Scan Nasofaring dapat pula mengetahui penyebaran

    tumor ke jaringan sekitarnya yang belum terlalu luas dan juga dapat

    mendeteksi erosi basis kranii dan penjalaran perineural melalui

    foramen ovale sebagai jalur utama perluasan ke intrakranial. CT-Scan

    dilakukan tanpa zat kontras atau bila diperlukan dapat digunakan zat

    kontras bila terdapat kesulitan dalam menentukan batas tumor atau

    untuk menilai kelenjar limfe dan pembuluh darah. Selain itu dapat pula

    menilai kekambuhan tumor setelah pengobatan, adanya metastasis

    dan juga akibat komplikasi paska radioterapi, seperti nekrosis lobus

    temporal dan atropi kelenjar hipofise (Wei & Sham, 2005).

    Pada umumnya peranan CT-Scan dalam pemeriksaan KNF adalah:

    o  Membantu diagnosis, terutama dalam menentukan suatu proses

    dini di nasofaring.

    o  Menentukan penyebaran tumor ke jaringan sekitar.

    o  Menentukan stadium tumor.

    o  Membantu tindakan radioterapi.

    o  Menilai hasil pengobatan dan menentukan kekambuhan dini.

    (Soetjipto, 1993).

    Benny Hidayat : Hubungan Antara Gambaran Timpanometri Dengan Letak Dan Stadium Tumor Pada PenderitaKarsinoma Nasofaring Di Departemen THT-KL RSUP H. Adam Malik Medan, 2009USU Repository © 2008

  • 8/18/2019 09E01722

    37/90

    d) Magnetic Resonance Imaging  merupakan sarana pemeriksaan

    diagnostik terbaru dengan menggunakan medan magnet dan

    gelombang radio untuk menghasilkan gambar. Berbeda dengan CT-

    Scan, MRI lebih baik dalam memperlihatkan jaringan lunak nasofaring

    baik yang superfisial maupun profunda dan membedakan tumor dari

     jaringan lunak di sekitarnya. MRI juga lebih sensitif untuk menilai

    metastasis ke daerah retrofaring, kelenjar getah bening leher yang

    profunda dan ke sumsum tulang (Wei & Sham, 2005).

    e) USG hepar, jika dicurigai metastasis ke hati (Her, 2001).

    4. Pemeriksaan patologi anatomi yang dilakukan berupa:

    a) Sitologi.

    Sediaan sitologi eksfoliatif dari nasofaring didapat dengan beberapa

    cara seperti kerokan (scrapping), sikatan (brushing), usapan (swab)

    atau dengan menggunakan alat khusus yang dihubungkan dengan

    penghisap. Cara ini sangat mudah, murah dan tidak menimbulkan rasa

    sakit, akan tetapi hasilnya sering meragukan sehingga pemeriksaan

    sitologi ini belum dapat diterima untuk mendiagnosis KNF.

    b) Biopsi Aspirasi Jarum Halus.

    Sebagian besar KNF ditemukan pembesaran kelenjar getah bening di

    leher. Untuk membuktikannya merupakan metastasis KNF dilakukan

    pemeriksaan biopsi aspirasi. Pemeriksaan ini juga dapat dilakukan

    pada massa tumor di nasofaring (Wei & Sham, 2005).

    Benny Hidayat : Hubungan Antara Gambaran Timpanometri Dengan Letak Dan Stadium Tumor Pada PenderitaKarsinoma Nasofaring Di Departemen THT-KL RSUP H. Adam Malik Medan, 2009USU Repository © 2008

  • 8/18/2019 09E01722

    38/90

    c) Histopatologi.

    Biopsi nasofaring mutlak dilakukan, tujuannya untuk konfirmasi dalam

    menentukan sub tipe histopalotogi.

    d) Pemeriksaan Imunohistokimia.

    Merupakan teknik deteksi antigen dalam jaringan yang melibatkan

    deteksi substansi spesifik dalam jaringan dengan menggunakan

    derivat antibodi terhadap substans. Antibodi digunakan terhadap

    potongan jaringan dan dibiarkan berikatan dengan antigen yang

    sesuai. Sistem deteksi digunakan untuk identifikasi lokasi antibodi

    menggunakan penanda molekuler yang dapat dilihat. Deteksi antibodi

    ini dihubungkan dengan molekul penanda seperti zat fluoresens atau

    suatu enzim yang mengkatalis reaksi lebih lanjut membentuk produk

    berwarna yang dapat dilihat (Sudiana, 2005).

    e) Pemeriksaan Serologi.

     Adanya dugaan kuat virus Epstein Barr sebagai salah satu faktor yang

    berperan dalam timbulnya KNF menjadi dasar dari pemeriksaan

    serologi ini. Antibodi terhadap VEB baik Ig A penderita KNF meningkat

    sampai 8-10 kali lebih tinggi dibandingkan penderita tumor lain atau

    orang yang sehat (Notopuro et al, 2005). Titer immunoglobin A (IgA)

    terhadap virus Epstein Barr spesifik untuk kapsul virus (viral capsid

    antigen  / VCA) dan antigen awal (early antigen  / EA) sangat sensitif

    untuk KNF tetapi tingkat spesifitasnya kurang, terutama pada titer yang

    rendah sedangkan IgA VEB anti EA sangat spesifik untuk KNF tetapi

    Benny Hidayat : Hubungan Antara Gambaran Timpanometri Dengan Letak Dan Stadium Tumor Pada PenderitaKarsinoma Nasofaring Di Departemen THT-KL RSUP H. Adam Malik Medan, 2009USU Repository © 2008

  • 8/18/2019 09E01722

    39/90

    kurang sensitif dan titernya akan menurun mendekati normal pada

    KNF stadium lanjut dan titer yang tinggi dapat merupakan indikator

    KNF. Pemeriksaan ini juga berguna untuk tindak lanjut penderita

    paska pengobatan untuk mengetahui kemungkinan residif (Ahmad,

    2002).

    f) Polimerase Chain Reaction (PCR).

    Digunakan untuk menyalin rantai DNA spesifik dalam jumlah besar

    sehingga dapat menunjukkan ada atau tidaknya sebuah gen,

    mendeteksi adanya mutasi, amplifikasi, rekayasa genetika dan untuk

    mendeteksi DNA virus atau bakteri (Zachreni, 1999).

    2.6. Histopatologi

    Klasifikasi secara histopatologi dari WHO mengkategorikan KNF ke

    dalam 3 tipe besar sesuai dengan pola dominan yang terlihat secara

    mikroskopik, yaitu:

    Tipe 1. Karsinoma sel skuamosa berkeratin, ditandai dengan:

    1) Adanya bentuk kromatin di dalam mutiara skuamosa atau sebagian sel

    mengalami keratinisasi (diskeratosis).

    2) Adanya stratifikasi dari sel, terutama pada sel yang terletak di

    permukaan atau suatu rongga kistik.

    3) Adanya jembatan intersel (intercellular bridges). Jembatan intersel ini

    mungkin disebabkan karena sel mengalami pengerutan akibat

    dehidrasi pada waktu membuat sediaan.

    Benny Hidayat : Hubungan Antara Gambaran Timpanometri Dengan Letak Dan Stadium Tumor Pada PenderitaKarsinoma Nasofaring Di Departemen THT-KL RSUP H. Adam Malik Medan, 2009USU Repository © 2008

  • 8/18/2019 09E01722

    40/90

    Tipe 2. Karsinoma sel skuamosa tidak berkeratin, ditandai dengan:

    1) Masing-masing sel tumor mempunyai batas yang jelas dan terlihat

    tersusun teratur / berjajar.

    2) Sering terlihat bentuk pleksiform  yang mungkin terlihat sebagai sel

    tumor yang jernih / terang yang disebabkan adanya glikogen dalam

    sitoplasma sel.

    3) Tak terdapat musin atau diferensiasi dari kelenjar.

    Tipe 3. Karsinoma tidak berdiferensiasi, ditandai dengan:

    1) Susunan sel tumor berbentuk sinsitial.

    2) Batas sel satu dengan yang lain sulit dibedakan.

    3) Sel tumor berbentuk spindel dan beberapa sel mempunyai nukleous /

    inti yang hiperkromatik dan sel ini sering bersifat dominan.

    4) Sel tumor tidak memproduksi musin.

    (Armiyanto, 1993; Lin, 2006).

    2.7. Stadium

    Terdapat berbagai klasifikasi untuk KNF, yang paling sering digunakan

    adalah menurut UICC ( 2002):

    Tumor Primer (T)

    Tx : Tumor primer tidak dapat ditentukan.

    T0 : Tidak ditemukan adanya tumor primer.

    T1 : Tumor terbatas pada daerah nasofaring saja (lateral /

    Benny Hidayat : Hubungan Antara Gambaran Timpanometri Dengan Letak Dan Stadium Tumor Pada PenderitaKarsinoma Nasofaring Di Departemen THT-KL RSUP H. Adam Malik Medan, 2009USU Repository © 2008

  • 8/18/2019 09E01722

    41/90

    posterosuperior / atap).

    T2 : Tumor meluas sampai pada jaringan lunak.

      T2a : Tumor meluas sampai daerah orofaring dan atau rongga

    nasal tanpa penyebaran sampai daerah parafaringeal.

      T2b : Tumor meluas sampai daerah parafaringeal.

    T3 : Tumor menyerang struktur tulang dan atau sinus paranasal.

    T4 : Tumor mengenai sampai daerah intrakranial dan atau penyebaran

    tumor di saraf kranial, fossa infratemporal, hipofaring, orbita atau

    ruangan mastikator.

    Pembesaran kelenjar getah bening (KGB) regional: N

    Nx : Pembesaran KGB regional tidak dapat ditentukan.

    N0 : Tidak ada pembesaran KGB regional.

    N1 : Metastasis unilateral KGB dengan ukuran < 6 cm merupakan ukuran

    terbesar, terletak di atas fossa supraklavikular.

    N2 : Metastasis bilateral KGB dengan ukuran < 6 cm merupakan terbesar

    terletak di atas fossa supraklavikular.

    N3 : Metastasis pada KGB.

      N3a : Ukuran KGB > 6 cm.

      N3b : KGB terletak pada daerah fossa supraklavikular.

    Metastasis jauh (M)

    Mx : Adanya metastasis jauh tidak dapat ditentukan.

    Benny Hidayat : Hubungan Antara Gambaran Timpanometri Dengan Letak Dan Stadium Tumor Pada PenderitaKarsinoma Nasofaring Di Departemen THT-KL RSUP H. Adam Malik Medan, 2009USU Repository © 2008

  • 8/18/2019 09E01722

    42/90

    M0 : Tidak ada metastasis jauh.

    M1 : Terdapat metastasis jauh.

    Stadium

    Stadium 0 : Tis-N0-M0.

    Stadium I : T1-N0-M0.

    Stadium IIA : T2a-N0-M0.

    Stadium IIB : T1-N1-M0.

    T2b-N0, N1, M0.

    Stadium III : T1-N2-M0.

    T2a, T2b-N2-M0.

    T3, N0,1,2-M0.

    Stadium IVA : T4-N0,1,2-M0.

    Stadium IVB : Semua T-N3-M0.

    Stadium IVC : Semua T-Semua N-M1.

    (Aziza et al, 2005; Adham & Roezin, 2007).

    2.8. Terapi

    2.8.1. Radioterapi

    Radioterapi masih tetap merupakan modalitas terapi primer untuk KNF

    dan kelenjar regional yang membesar (Cottrill & Nutting, 2003; Wei & Sham,

    2005). KNF memiliki sensitivitas tinggi terhadap radiasi dibandingkan kanker

    kepala dan leher lainnya (Wei, 2006; Guigay et al, 2006; Lin, 2006).

    Benny Hidayat : Hubungan Antara Gambaran Timpanometri Dengan Letak Dan Stadium Tumor Pada PenderitaKarsinoma Nasofaring Di Departemen THT-KL RSUP H. Adam Malik Medan, 2009USU Repository © 2008

  • 8/18/2019 09E01722

    43/90

    Pada pasien KNF stadium dini (stadium I dan II), terapi pilihan adalah

    radioterapi definitif. Pada KNF stadium lanjut (stadium III dan IV) pemberian

    kemoterapi dikombinasikan dengan radioterapi merupakan pilihan, walau

    masih kontroversial sebab masih didapati perbedaan-perbedaan dalam

    laporan studi di literatur (Licitra et al, 2003; Lin, 2006).

    Dosis radiasi untuk tumor primer biasanya diberikan 65-75 Gray (Gy)

    dan pada kelenjar leher 65-70 Gy. Dosis untuk terapi profilaktik pada leher

    dengan kelenjar negatif adalah 50-60 Gy (Wei & Sham, 2005). Dosis radiasi

    perfraksi yang diberikan adalah 200 cGy DT (dosis tumor) diberikan 5 kali

    seminggu untuk tumor primer maupun kelenjar. Setelah itu radiasi dilanjutkan

    untuk tumor primer sehingga dosis total adalah 6000-7000 cGy pada tumor

    (Marzaini, 2002; Mould & Tai, 2002; Licitra et al, 2003).

    Dengan pemberian radioterapi saja telah berhasil mengontrol tumor T1

    dan T2 pada 75-90% kasus dan tumor T3 dan T4 pada 50-75% kasus.

    Kontrol kelenjar leher mencapai 90% pada kasus N0 dan N1, tapi tingkat

    kontrol berkurang menjadi 70% pada kasus N2 dan N3 (Lee, 2003; Licitra

    et al, 2003; Wei, 2006).

    2.8.2. Kemoterapi

    Pemberian kemoterapi pada KNF diindikasikan pada kasus

    penyebaran ke kelenjar getah bening leher, metastasis jauh dan kasus-kasus

    residif. Pemberian kemoterapi terutama diberikan pada KNF dengan penyakit

    lokoregional tingkat lanjut dikombinasikan dengan radioterapi. Kemoterapi

    Benny Hidayat : Hubungan Antara Gambaran Timpanometri Dengan Letak Dan Stadium Tumor Pada PenderitaKarsinoma Nasofaring Di Departemen THT-KL RSUP H. Adam Malik Medan, 2009USU Repository © 2008

  • 8/18/2019 09E01722

    44/90

    dapat diberikan sebelum (neoadjuvant), selama (concurrent) atau setelah

    (adjuvant) pemberian radioterapi. Regimen kemoterapi aktif, antara lain:

    cisplatin, 5-fluorouracil (5-FU), doxorubicin, epirubicin, bleomycin,

    mitoxantron, methotrexate dan alkaloid vinca (Zakifman, 2002; Cottrill &

    Nutting, 2003; Lin, 2006).

    Sebanyak 70% pasien yang baru terdiagnosa KNF datang pada

    stadium III dan IV, dengan penyakit lokal lanjut tanpa metastase. Standar

    pengobatan adalah radioterapi dikombinasikan dengan kemoterapi. Akan

    tetapi, waktu pemberian, dosis, durasi dan regimen obat kemoterapi yang

    optimal masih tetap kontroversial sebab masih didapati perbedaan-

    perbedaan dalam laporan studi di literatur (Agulnik & Siu, 2005; Lin, 2006).

    Dasar pemberian kemoterapi neoadjuvant / induksi kemoterapi dengan

    radioterapi ada dua, yaitu:

    1. Reduksi sitotoksik tumor primer dan kelenjar dapat meningkatkan kontrol

    lokoregional.

    2. Eradikasi mikrometastase sistemik pada stadium dini dapat mengurangi

    relaps metastase jauh.

    Pemberian kemoterapi saat siklus radioterapi (concomitant)

    menawarkan potensi sensitisasi tumor terhadap radiasi dan juga

    kemungkinan eradikasi mikrometastase tetapi juga menawarkan peningkatan

    resiko toksisitas. Tujuan kemoterapi adjuvant  yang diberikan setelah

    radioterapi adalah untuk mengurangi tingginya tingkat kegagalan terhadap

    Benny Hidayat : Hubungan Antara Gambaran Timpanometri Dengan Letak Dan Stadium Tumor Pada PenderitaKarsinoma Nasofaring Di Departemen THT-KL RSUP H. Adam Malik Medan, 2009USU Repository © 2008

  • 8/18/2019 09E01722

    45/90

    metastase jauh. Tetapi hal ini tidak berperan secara signifikan terhadap

    kontrol lokoregional (Mould & Tai, 2002; Cottrill & Nutting, 2003).

    Berdasarkan berbagai uji random yang telah dipublikasikan dengan

    tujuan menilai penambahan kemoterapi pada radioterapi pada KNF lokal

    stadium lanjut, telah diambil persetujuan umum bahwa kemoradioterapi

    concurrent  sangat berguna, secara konsisten menghasilkan keuntungan

    survival  dibandingkan pemberian radioterapi saja, mencapai tingkat overall

    survival (OS) 5 tahun sebesar 70% (Agulnik & Siu, 2005; Guigay et al, 2006;

    Wei, 2006).

    Pemberian kemoterapi lanjutan terhadap kemoradioterapi concurrent,

    baik sebagai neoadjuvant  ataupun adjuvant, diperkirakan akan memperkuat

    kontrol penyakit. Berdasarkan laporan-laporan terakhir, dipertimbangkan

    kombinasi kemoterapi induksi / neoadjuvant  diikuti terapi concurrent.

    Penggabungan bahan-bahan anti kanker terbaru yang kurang toksik dan

    lebih efektif seperti gemcitabine, taxane dan bahan-bahan target molekular

    sebagai kombinasi regimen modalitas memerlukan eksplorasi lebih lanjut

    dalam terapi KNF lokal stadium lanjut (Agulnik & Siu, 2005).

    Sampai sekarang, regimen dengan dasar platinum merupakan standar

    kemoterapi pada pasien KNF dengan metastase dan terapi lini pertama yang

    paling banyak digunakan adalah kombinasi cisplatin dan 5-FU, yang

    mencapai ratio respon 66%-76% (Guigay et al, 2006; Wei, 2006). Kombinasi

    platinum dengan bahan baru, seperti gemcitabine atau paclitaxel telah

    menunjukkan respon yang baik (Guigay et al, 2006).

    Benny Hidayat : Hubungan Antara Gambaran Timpanometri Dengan Letak Dan Stadium Tumor Pada PenderitaKarsinoma Nasofaring Di Departemen THT-KL RSUP H. Adam Malik Medan, 2009USU Repository © 2008

  • 8/18/2019 09E01722

    46/90

    2.8.3. Pembedahan

    Pembedahan hanya sedikit berperan dalam penatalaksanaan KNF.

    Terbatas pada diseksi leher radikal untuk mengontrol kelenjar yang

    radioresisten dan metastase leher setelah radioterapi, pada pasien tertentu

    pembedahan penyelamatan (salvage treatment) dilakukan pada kasus

    rekurensi di nasofaring atau kelenjar leher tanpa metastase jauh (Chew,

    1997; Wei, 2006; Lutzky et al, 2008).

    2.9. Timpanometri

    Pada tahun 1946, Otto Metz secara sistematis mengevaluasi akustik

    imitans dari telinga normal dan abnormal. Metz menerangkan dengan jelas

    perubahan-perubahan akustik imitans yang dihubungkan dengan gangguan-

    gangguan di telinga tengah (Katz, 1994; Asroel, 2003). Pengembangan alat

    elektroakustik sederhana oleh Terkildsen dan Scott-Nielson pada tahun 1960

    telah memberikan banyak kemajuan, sehingga alat pengukur ini dapat

    digunakan dengan mudah di klinik (O’Connor, 1997; Asroel, 2003).

    Selanjutnya pada awal 1970, pengukuran imitans mulai dimasukkan ke dalam

    rangkaian tes audiometri rutin (Katz, 1994; Asroel, 2003).

    Pemeriksaan timpanometri merupakan salah satu dari rangkaian

    pemeriksaan fungsi telinga tengah secara objektif. Penilaian objektif fungsi

    telinga dapat dilakukan dengan mengukur beberapa parameter dari isyarat

    akustik yang direfleksikan oleh membran timpani yang utuh (Ballenger, 1997;

     Asroel, 2003). Keadaan tekanan pada telinga tengah, integritas membran

    Benny Hidayat : Hubungan Antara Gambaran Timpanometri Dengan Letak Dan Stadium Tumor Pada PenderitaKarsinoma Nasofaring Di Departemen THT-KL RSUP H. Adam Malik Medan, 2009USU Repository © 2008

  • 8/18/2019 09E01722

    47/90

    timpani serta mobilitas tulang pendengaran dapat dievaluasi dengan

    pemeriksaan ini (Ballenger, 1997; Sjarifuddin, Bashiruddin & Purba, 2001;

     Asroel, 2003).

    Menurut definisinya, timpanometri adalah tehnik pemeriksaan yang

    objektif untuk menilai aliran energi bunyi dalam liang telinga dan telinga

    tengah, tekanan bervariasi pada telinga tengah serta digambarkan dalam

    bentuk grafik (timpanogram) (Asroel, 2003). Timpanometri merupakan alat

    pengukur tak langsung dari compliance  (kelenturan) membran timpani dan

    sistem osikular dalam berbagai kondisi tekanan positif, normal atau negatif.

    Timpanogram merupakan suatu penyajian berbentuk grafik dari kelenturan

    relatif sistem timpano-osikular. Kelenturan maksimal diperoleh pada tekanan

    udara normal dan berkurang jika tekanan udara ditingkatkan atau diturunkan.

    Individu dengan pendengaran normal akan memperlihatkan sistem timpano-

    osikular yang normal juga (Greenfield et al, 1996).

    2.9.1. Terminologi

    Beberapa terminologi atau istilah yang harus diketahui adalah:

    1. Imitans : Istilah umum yang menunjukkan penggabungan akustik

    impedans dan admitans.

    2. Impedans: Suatu ukuran, dimana sebuah sistem dapat menahan aliran

    energi yang melaluinya (tahanan).

    3. Admitans: Total aliran energi yang melalui sebuah sistem (masukan).

    Benny Hidayat : Hubungan Antara Gambaran Timpanometri Dengan Letak Dan Stadium Tumor Pada PenderitaKarsinoma Nasofaring Di Departemen THT-KL RSUP H. Adam Malik Medan, 2009USU Repository © 2008

  • 8/18/2019 09E01722

    48/90

    4. Static Acoustic Admittance / SAA (Compliance Peak): Titik pada sumbu Y

    dalam timpanogram, dimana kurva mencapai maksimum. Pada dasarnya

    merupakan titik dari kurva, nilai normal anak-anak adalah 0,2-0,9 mmh0;

    mean: 0,5 (ASHA) dan dewasa adalah 0,3-1,4 mmh0; mean: 0,8.

    5. Tympanometric Peak Pressure (TPP):  Titik pada sumbu X dalam

    timpanogram, dimana compliance peak  berada. Nilai normalnya adalah

    -150 s.d +100 decaPascals (daPa).

    6. Ear Canal Volume (ECV): Nilai normalnya 0,3-1,0 cm3  (anak-anak) dan

    0,65-1,75 cm3 (dewasa). Volume pada ♀ < ♂.

    7. DecaPascals (daPa): Satuan unit pengukuran tekanan udara, dimana 1

    daPa = 10 Pascals.

    8. Millim0 (mmh0): Satuan unit pengukuran imitans, dimana 1 mh0 = 1.000

    mmh0.

    (Katz, 1994; Stach, 1998; Asroel, 2003).

    2.9.2. Peralatan

    Pada dasarnya alat pengukur impedans terdiri dari 4 bagian yang

    semuanya dihubungkan ke liang telinga tengah oleh sebuah alat kedap

    suara, sebagai berikut:

    1) Sebuah alat yang memproduksi nada bolak-balik (oscillator ) dengan

    frekwensi yang tetap (biasanya 220 Hz).

    2) Sebuah mikrofon dan meter pencatat sound pressure level  dalam liang

    telinga.

    Benny Hidayat : Hubungan Antara Gambaran Timpanometri Dengan Letak Dan Stadium Tumor Pada PenderitaKarsinoma Nasofaring Di Departemen THT-KL RSUP H. Adam Malik Medan, 2009USU Repository © 2008

  • 8/18/2019 09E01722

    49/90

    3) Sebuah pompa udara dan manometer yang dikalibrasi dalam milimeter air

    (-600 mmH2O s.d +1.200 mmH2O). Suatu mekanisme untuk mengubah

    dan mengukur tekanan udara dalam liang telinga.

    (Jerger, 1976; Katz, 1994; Asroel, 2003).

    Gambar 2.1. Skema Alat yang Digunakan untuk Pemeriksaan Timpanometri

    (Dikutip dari Jerger, 1976).

    2.9.3. Cara Kerja Impedans Meter

    Timpanometri merupakan salah satu dari 3 pengukuran imitans yang

    banyak digunakan dalam menilai fungsi telinga tengah secara klinis,

    disamping imitans  statik dan ambang refleks akustik (Stach, 1998; Asroel,

    2003).

    Cara kerja timpanometri adalah alat pemeriksaan (probe) yang

    dimasukkan ke dalam liang telinga memancarkan sebuah nada dengan

    Benny Hidayat : Hubungan Antara Gambaran Timpanometri Dengan Letak Dan Stadium Tumor Pada PenderitaKarsinoma Nasofaring Di Departemen THT-KL RSUP H. Adam Malik Medan, 2009USU Repository © 2008

  • 8/18/2019 09E01722

    50/90

    frekwensi 220 Hz. Alat lainnya mendeteksi respon dari membran timpani

    terhadap nada tersebut.

    Secara bersamaan, probe  yang menutupi liang telinga menghadirkan

    berbagai jenis tekanan udara. Pertama positif, kemudian negatif ke dalam

    liang telinga. Jumlah energi yang dipancarkan berhubungan langsung dengan

    compliance. Compliance  menunjukkan jumlah mobilitas di telinga tengah.

    Sebagai contoh, lebih banyak energi yang kembali ke alat pemeriksaan, lebih

    sedikit energi yang diterima oleh membran timpani. Hal ini menggambarkan

    suatu compliance  yang rendah. Compliance  yang rendah menunjukkan

    kekakuan atau obstruksi pada telinga tengah. Data-data yang didapat

    membentuk sebuah gambar 2 dimensi pengukuran mobilitas membran

    timpani. Pada telinga normal, kurva yang timbul menyerupai gambaran

    lonceng.

    Penghantaran bunyi melalui telinga tengah akan maksimal bila

    tekanan udara sama pada kedua sisi membran timpani. Pada telinga yang

    normal, penghantaran maksimum terjadi pada atau mendekati tekanan

    atmosfir. Itulah sebabnya ketika tekanan udara di dalam liang telinga sama

    dengan tekanan udara di dalam kavum timpani, imitans dari sistem getaran

    telinga tengah yang normal akan berada pada puncak optimal dan aliran

    energi yang melalui sistem ini akan maksimal. Tekanan telinga tengah dinilai

    dengan bermacam-macam tekanan pada liang telinga yang ditutup probe 

    sampai sound pressure level  (SPL) berada pada titik minimum. Hal ini

    menggambarkan penghantaran bunyi yang maksimum melalui telinga tengah.

    Benny Hidayat : Hubungan Antara Gambaran Timpanometri Dengan Letak Dan Stadium Tumor Pada PenderitaKarsinoma Nasofaring Di Departemen THT-KL RSUP H. Adam Malik Medan, 2009USU Repository © 2008

  • 8/18/2019 09E01722

    51/90

    Tetapi bila tekanan udara dalam salah satu liang telinga lebih dari (tekanan

    positif) atau kurang dari (tekanan negatif) tekanan dalam kavum timpani,

    imitans sistem akan berubah dan aliran energi berkurang. Dalam sistem yang

    normal, begitu tekanan udara berubah sedikit di bawah atau di atas dari

    tekanan udara yang memproduksi imitans maksimum, aliran energi akan

    menurun dengan cepat sampai nilai minimum.

    Pada tekanan yang bervariasi di atas atau di bawah titik maksimum,

    SPL nada pemeriksaan di dalam liang telinga bertambah, menggambarkan

    sebuah penurunan dalam penghantaran bunyi yang melalui telinga tengah

    (Stach, 1998; Asroel, 2003).

    Hasselt dkk di Hongkong (1999) mengemukakan bahwa pemeriksaan

    timpanometri paling sensitif (96%) dalam mendiagnosis adanya efusi di

    telinga tengah pada penderita KNF yang belum mendapatkan radioterapi

    (Hasselt, 1999). Fong dan Low di Singapura (1996) melakukan penelitian

    tentang gangguan pendengaran pada penderita KNF sebelum mendapatkan

    radioterapi. Mereka melakukan pemeriksaan adanya efusi pada telinga

    tengah secara klinis dan dibuktikan dengan pemeriksaan timpanometri

    (Fong & Low, 1996). Dengan pemeriksaan timpanometri, Low di Singapura

    (1994) melakukan pengukuran tekanan telinga tengah pada penderita KNF di

    Rumah Sakit Singapura. Low mendapatkan rata-rata tekanan telinga tengah

    pada penderita KNF sebesar -55,2 mmH2O (Low, 1995).

    Bila terjadi sumbatan pada tuba Eustachius oleh tumor di nasofaring

    akan menyebabkan tekanan udara dalam rongga telinga tengah menjadi

    Benny Hidayat : Hubungan Antara Gambaran Timpanometri Dengan Letak Dan Stadium Tumor Pada PenderitaKarsinoma Nasofaring Di Departemen THT-KL RSUP H. Adam Malik Medan, 2009USU Repository © 2008

  • 8/18/2019 09E01722

    52/90

    negatif, sehingga terjadi retraksi membran timpani dan akibatnya didapatkan

    timpanogram tipe C. Timpanogram tipe B didapatkan bila mobilitas tulang-

    tulang pendengaran menurun sedemikian rupa oleh adanya cairan efusi

    dalam rongga telinga tengah yang mengakibatkan puncak timpanogram

    menjadi landai (Asroel, 2003; Karya et al, 2007).

     Ada beberapa tipe timpanogram konvensional, sebagai berikut:

    1. Tipe A:

    •  Terdapat pada fungsi telinga tengah yang normal.

    •  Mempunyai bentuk khas, dimana puncak imitans berada pada titik 0

    daPa dan penurunan imitans yang tajam dari titik 0 ke arah negatif

    atau positif.

    Gambar 2.2. Timpanogram Normal (Dikutip dari Asroel, 2003).

    Benny Hidayat : Hubungan Antara Gambaran Timpanometri Dengan Letak Dan Stadium Tumor Pada PenderitaKarsinoma Nasofaring Di Departemen THT-KL RSUP H. Adam Malik Medan, 2009USU Repository © 2008

  • 8/18/2019 09E01722

    53/90

    2. Tipe B:

    •  Terdapat pada kavum timpani yang berisi cairan, misalnya pada otitis

    media efusi.

    •  Timpanogram tidak memiliki puncak dan cenderung mendatar atau

    sedikit membulat. ECV dalam batas normal, terdapat sedikit atau tidak

    ada mobilitas pada telinga tengah. Bila tidak ada puncak tetapi ECV >

    normal, ini menunjukkan adanya perforasi pada membran timpani.

    Gambar 2.3. Timpanogram Tipe B (Dikutip dari Asroel, 2003).

    3. Tipe C:

    •  Terdapat pada keadaan membran timpani yang retraksi dan malfungsi

    dari tuba Eustachius.

    •  Tekanan telinga tengah negatif, titik puncak berada pada titik > -150

    daPa.

    Benny Hidayat : Hubungan Antara Gambaran Timpanometri Dengan Letak Dan Stadium Tumor Pada PenderitaKarsinoma Nasofaring Di Departemen THT-KL RSUP H. Adam Malik Medan, 2009USU Repository © 2008

  • 8/18/2019 09E01722

    54/90

     

    Gambar 2.4. Timpanogram Tipe C (Dikutip dari Asroel, 2003).

    4. Tipe As:

    •  Terdapat pada otosklerosis dan keadaan membran timpani yang

    berparut.

    •  Timpanogram kelihatan seperti tipe A (normal), dimana puncak berada

    atau dekat titik 0 daPa, tapi dengan ketinggian puncak yang secara

    signifikan berkurang. Huruf s  di belakang A berarti stiffness  atau

    shallowness.

    Gambar 2.5. Timpanogram Tipe As (Dikutip dari Asroel, 2003).

    Benny Hidayat : Hubungan Antara Gambaran Timpanometri Dengan Letak Dan Stadium Tumor Pada PenderitaKarsinoma Nasofaring Di Departemen THT-KL RSUP H. Adam Malik Medan, 2009USU Repository © 2008

  • 8/18/2019 09E01722

    55/90

    5. Tipe Ad:

    •  Terdapat pada keadaan membran timpani yang flaksid atau

    diskontinuitas (kadang-kadang sebagian) dari tulang-tulang

    pendengaran.

    •  Timpanogram kelihatan seperti tipe A (normal), tetapi dengan puncak

    lebih tinggi secara signifikan dibandingkan normal. Huruf d di belakang

     A berarti deep atau discontinuity.

    (Jerger, 1976; Stach, 1998; Asroel, 2003).

    Gambar 2.6. Timpanogram Tipe Ad (Dikutip dari Asroel, 2003).

    Benny Hidayat : Hubungan Antara Gambaran Timpanometri Dengan Letak Dan Stadium Tumor Pada PenderitaKarsinoma Nasofaring Di Departemen THT-KL RSUP H. Adam Malik Medan, 2009USU Repository © 2008

  • 8/18/2019 09E01722

    56/90

    BAB 3

    KERANGKA KONSEP

    Gangguan fungsituba Eustachius

    Timpanogram abnormal

    Gangguan pendengaran

    KNF Stadium dan letak tumor

    Histopatologi

    Benny Hidayat : Hubungan Antara Gambaran Timpanometri Dengan Letak Dan Stadium Tumor Pada PenderitaKarsinoma Nasofaring Di Departemen THT-KL RSUP H. Adam Malik Medan, 2009USU Repository © 2008

  • 8/18/2019 09E01722

    57/90

    BAB 4

    METODE PENELITIAN

    4.1. Rancangan Penelit ian

    Penelitian dilakukan dengan menggunakan studi potong lintang (cross

    sectional study) yang bersifat deskriptif analitik.

    4.2. Populasi, Sampel, Besar Sampel dan Teknik Pengambilan Sampel

    4.2.1. Populasi

    Populasi pada penelitian ini adalah seluruh penderita dengan

    sangkaan suatu KNF berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan THT yang

    berobat ke RSUP H. Adam Malik Medan.