09e01722
TRANSCRIPT
-
8/18/2019 09E01722
1/90
HUBUNGAN ANTARA GAMBARAN TIMPANOMETRIDENGAN LETAK DAN STADIUM TUMOR PADA
PENDERITA KARSINOMA NASOFARING
DI DEPARTEMEN THT-KLRSUP H. ADAM MALIK MEDAN
TESIS
Diajukan untuk Melengkapi Tugas dan Memenuhi Salah SatuSyarat untuk Mencapai Spesialis dalam Bidang
Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok
Bedah Kepala Leher
Oleh :
Benny HidayatNIM : 17897
PROGRAM PENDIDIKAN DOKTER SPESIALIS BIDANG
ILMU KESEHATAN TELINGA HIDUNG TENGGOROKBEDAH KEPALA LEHER
FAKULTAS KEDOKTERANUNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN2009
Benny Hidayat : Hubungan Antara Gambaran Timpanometri Dengan Letak Dan Stadium Tumor Pada PenderitaKarsinoma Nasofaring Di Departemen THT-KL RSUP H. Adam Malik Medan, 2009USU Repository © 2008
-
8/18/2019 09E01722
2/90
KATA PENGANTAR
Dengan mengucapkan Alhamdulillahirabbil’alamin, puji syukur
kehadirat Allah SWT karena dengan rahmat dan karunia-Nya, saya dapat
menyelesaikan penelitian ini sebagai salah satu syarat untuk memperoleh
gelar Dokter Spesialis Bidang Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok,
Bedah Kepala Leher, Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara /
RSUP H. Adam Malik Medan.
Penelitian ini saya tulis dalam bentuk tesis dengan judul: Hubungan
antara Gambaran Timpanometri dengan Letak dan Stadium Tumor pada
Penderita Karsinoma Nasofaring di Departemen THT-KL RSUP H. Adam
Malik Medan. Rancangan penelitian ini menggunakan studi potong lintang
(cross sectional study) yang bersifat deskriptif analitik.
Saya menyadari bahwa tulisan ini masih jauh dari sempurna, baik isi
maupun bahasanya. Dengan semua keterbatasan tersebut, saya berharap
mendapat masukan yang berharga dan kritik yang bermanfaat dari para ahli
dan pembaca, demi kesempurnaan tulisan ini.
Dengan telah berakhirnya masa pendidikan saya, maka pada
kesempatan yang berbahagia ini, perkenankanlah saya menyampaikan
penghargaan dan ucapan rasa terima kasih yang sebesar-besarnya kepada:
Yang terhormat Bapak Rektor Universitas Sumatera Utara, Prof. dr.
Chairuddin Panusunan Lubis, Sp.A(K), DTM&H, yang telah memberikan
kesempatan kepada saya untuk mengikuti Program Pendidikan Dokter
Benny Hidayat : Hubungan Antara Gambaran Timpanometri Dengan Letak Dan Stadium Tumor Pada PenderitaKarsinoma Nasofaring Di Departemen THT-KL RSUP H. Adam Malik Medan, 2009USU Repository © 2008
-
8/18/2019 09E01722
3/90
Spesialis di Departemen THT-KL, Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera
Utara Medan.
Yang terhormat Bapak Dekan Fakultas Kedokteran Universitas
Sumatera Utara, Prof. dr. Gontar Alamsyah Siregar, Sp.PD-KGEH, yang telah
memberikan kesempatan kepada saya untuk mengikuti Program Pendidikan
Dokter Spesialis di Fakultas ini.
Yang terhormat Prof. dr. Abdul Rachman Saragih, Sp.THT-KL(K),
sebagai Kepala Departemen THT-KL FK-USU / RSUP H. Adam Malik Medan,
yang telah memberikan bimbingan, pengarahan, nasehat dan petunjuk
selama saya mengikuti pendidikan di Departemen THT-KL FK-USU / RSUP
H. Adam Malik Medan.
Yang terhormat Prof. dr. Askaroellah Aboet, Sp.THT-KL(K), sebagai
Ketua Program Studi Pendidikan Dokter Spesialis di Departemen THT-KL
FK-USU / RSUP H. Adam Malik Medan, yang telah memberikan petunjuk,
nasehat, bimbingan dan dorongan semangat kepada saya sehingga saya
dapat menyelesaikan program pendidikan ini.
Yang terhormat dr. Adlin Adnan, Sp.THT-KL, dr. Hafni, Sp.THT-KL(K),
dr. Harry A. Asroel, Sp.THT-KL sebagai pembimbing tesis saya dan yang
terhormat Prof. dr. Aznan Lelo, PhD, Sp.FK sebagai Konsultan Penelitian dan
Statistik, dr. Nety D. Lubis, Sp.Rad sebagai Konsultan Radiologi, saya
ucapkan terima kasih dan penghargaan yang setinggi-tingginya atas waktu,
bimbingan, motivasi, perhatian, koreksi, petunjuk yang berharga dan
Benny Hidayat : Hubungan Antara Gambaran Timpanometri Dengan Letak Dan Stadium Tumor Pada PenderitaKarsinoma Nasofaring Di Departemen THT-KL RSUP H. Adam Malik Medan, 2009USU Repository © 2008
-
8/18/2019 09E01722
4/90
kemudahan yang telah diberikan kepada saya, selama dalam penelitian dan
penulisan tesis ini.
Ucapan rasa terima kasih yang sebesar-besarnya saya tujukan
kepada semua guru-guru dijajaran THT-KL FK-USU / RSUP H. Adam Malik
Medan, yang terhormat: dr. Asroel Aboet, Sp.THT-KL(K), Prof. dr. Ramsi
Lutan, Sp.THT-KL(K), dr. Yuritna Haryono, Sp.THT-KL(K), Prof. dr.
Askaroellah Aboet, Sp.THT-KL(K), Prof. dr. Abdul Rachman Saragih,
Sp.THT-KL(K), dr. T. Sofia Hanum, Sp.THT-KL(K), dr. Ida Sjailandrawati H,
Sp.THT-KL, dr. Muzakkir Zamzam, Sp.THT-KL(K), dr. Mangain Hasibuan,
Sp.THT-KL, DR. dr. Delfitri Munir, Sp.THT-KL(K), dr. Linda Irwani Adenin,
Sp.THT-KL, dr. Hafni, Sp.THT-KL(K), dr. Adlin Adnan, Sp.THT-KL, dr.
Rizalina A. Asnir, Sp.THT-KL, dr. Siti Nursiah, Sp.THT-KL, Alm. dr. Ainul
Mardhiah, Sp.THT-KL, dr. Farhat, Sp.THT-KL, dr. Harry A. Asroel, Sp.THT-
KL, dr. Andrina Y.M. Rambe, Sp.THT-KL, dr. T. Siti Hajar Haryuna, Sp.THT-
KL dan dr. Ashri Yudhistira, Sp.THT-KL, yang telah banyak memberikan
bimbingan dan ilmu pengetahuan di bidang THT-KL kepada saya, baik
secara teoritis maupun ketrampilan lainnya yang kiranya sangat bermanfaat
bagi saya di kemudian hari.
Yang terhormat Kepala Departemen dan seluruh Staf Radiologi FK-
USU / RSUP H. Adam Malik Medan, Kepala Departemen dan Staf Patologi
Anatomi FK-USU / RSUP H. Adam Malik Medan, Kepala Departemen dan
Staf Anestesi FK-USU / RSUP H. Adam Malik Medan, yang telah
Benny Hidayat : Hubungan Antara Gambaran Timpanometri Dengan Letak Dan Stadium Tumor Pada PenderitaKarsinoma Nasofaring Di Departemen THT-KL RSUP H. Adam Malik Medan, 2009USU Repository © 2008
-
8/18/2019 09E01722
5/90
memberikan bimbingan kepada saya selama menjalani stase pendidikan di
Departemen tersebut.
Yang terhormat Direktur, Kepala SMF THT-KL dan seluruh staf THT-
KL di BAPELKES RSU Dr. Pirngadi Medan, Rumkit DAM I / Bukit Barisan
Medan, RSUD Lubuk Pakam, RS PTP II Tembakau Deli Medan, yang telah
memberikan kesempatan dan bimbingan kepada saya selama menjalani
stase pendidikan di keempat rumah sakit tersebut.
Yang Mulia Ayahanda dr. H. Azwar Nurdin, Sp.PK(K) dan Ibunda Hj.
Aslita Aboet, yang dengan segala daya upaya telah mengasuh,
membesarkan dan membimbing saya dengan penuh kasih sayang semenjak
kecil hingga saya dewasa, agar menjadi anak yang berbakti kepada orang
tua, agama, bangsa dan negara. Terima kasih juga saya tujukan kepada
kakak dan adik-adik saya, yang telah memberikan dorongan semangat
selama saya menjalani pendidikan ini.
Yang terhormat kedua Mertua saya, dr. H. Yunir, Sp.THT-KL dan Hj.
Erni Burhan, yang memberikan kasih sayang, dorongan semangat, saya
ucapkan terima kasih dan penghargaan yang setulus-tulusnya. Terima kasih
juga saya tujukan kepada adik-adik ipar saya, yang telah memberikan
dorongan semangat kepada saya sehingga pendidikan ini dapat selesai.
Kepada istri saya tercinta, Eka Adereni Yunir, ST, yang selalu
menyayangi serta dengan penuh cinta kasih mendampingi saya selama
mengikuti pendidikan ini. Tiada kata yang lebih indah yang dapat diucapkan,
selain ucapan terima kasih yang setulus-tulusnya atas bantuan,
Benny Hidayat : Hubungan Antara Gambaran Timpanometri Dengan Letak Dan Stadium Tumor Pada PenderitaKarsinoma Nasofaring Di Departemen THT-KL RSUP H. Adam Malik Medan, 2009USU Repository © 2008
-
8/18/2019 09E01722
6/90
pengorbanan, kesabaran, ketabahan dan dorongan semangat yang tiada
henti-hentinya, sehingga dengan ridho Allah SWT akhirnya kita sampai pada
saat yang berbahagia ini.
Ucapan terima kasih kepada teman-teman sejawat Program
Pendidikan Dokter Spesialis Bidang Ilmu Kesehatan THT-KL FK-USU Medan,
yang telah bersama-sama melewati masa pendidikan, baik suka maupun
duka, saling membantu dan mengingatkan sehingga terjalin rasa
persaudaraan yang erat diantara kita. Semoga Allah SWT selalu melindungi
dan memberkahi kita semua, Amin.
Saya juga mengucapkan terima kasih kepada seluruh paramedis dan
karyawan di Departemen THT-KL FK-USU / RSUP H. Adam Malik Medan,
yang telah membantu dan bekerja sama selama saya menjalani program
pendidikan ini.
Akhirnya izinkanlah saya memohon maaf yang setulus-tulusnya atas
kesalahan dan kekurangan selama mengikuti pendidikan ini, semoga segala
bantuan, dorongan, petunjuk yang diberikan kepada saya selama mengikuti
pendidikan ini, kiranya mendapatkan balasan yang berlipat ganda dari Allah
SWT, Yang Maha Pengasih, Maha Pemurah dan Maha Penyayang. Amin,
Amin Ya Rabbal’alamin.
Medan, Juli 2009
Penulis
dr. Benny Hidayat
Benny Hidayat : Hubungan Antara Gambaran Timpanometri Dengan Letak Dan Stadium Tumor Pada PenderitaKarsinoma Nasofaring Di Departemen THT-KL RSUP H. Adam Malik Medan, 2009USU Repository © 2008
-
8/18/2019 09E01722
7/90
HUBUNGAN ANTARA GAMBARAN TIMPANOMETRI DENGAN LETAK
DAN STADIUM TUMOR PADA PENDERITA KARSINOMA NASOFARING
DI DEPARTEMEN THT-KL RSUP H. ADAM MALIK MEDAN
ABSTRAK
Latar Belakang: Hubungan yang erat antara karsinoma nasofaring dan
gangguan pada telinga telah lama diketahui. Gangguan pada telinga
biasanya merupakan gejala yang timbul karena letak tumor nasofaring (fossa
Rosenmuller) dekat dengan muara tuba Eustachius. Gangguan pada tuba
Eustachius akan menyebabkan terganggunya fungsi telinga tengah.
Pemeriksaan timpanometri sensitif dalam menilai integritas membran timpani
dan fungsi telinga tengah. Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui
hubungan gambaran timpanometri dengan letak dan stadium tumor pada
penderita KNF.
Metode Penelitian: Penelitian dilakukan dengan studi potong lintang (cross
sectional study) di Departemen THT-KL FK-USU / RSUP H. Adam Malik
Medan, secara consecutive sampling mulai Oktober 2008. Terhadap
penderita KNF dilakukan pemeriksaan rutin THT, timpanometri,
nasofaringoskopi, biopsi tumor di nasofaring dan CT-Scan nasofaring,
kemudian dilakukan penilaian terhadap gambaran timpanogram, letak dan
stadium tumor pada penderita KNF. Data dianalisa dengan uji korelasi
Spearman dengan batas kebermaknaan p < 0,05.
Benny Hidayat : Hubungan Antara Gambaran Timpanometri Dengan Letak Dan Stadium Tumor Pada PenderitaKarsinoma Nasofaring Di Departemen THT-KL RSUP H. Adam Malik Medan, 2009USU Repository © 2008
-
8/18/2019 09E01722
8/90
Hasil Penelitian: Dari 55 sampel didapatkan 21 sampel (38,2%) dengan
timpanogram abnormal (tipe B / C) unilateral pada pada penderita KNF
dengan letak tumor di fossa Rosenmuller yang meluas ke atap / dinding
posterior nasofaring dan menutupi muara tuba Eustachius, sebanyak 16
sampel (29,1%) dengan timpanogram abnormal (tipe B / C) bilateral pada
pada penderita KNF dengan letak tumor di seluruh rongga nasofaring.
Uji korelasi Spearman (r) = 0,401, p = 0,002 (p < 0,05).
Gambaran timpanogram abnormal (tipe B / C) unilateral yang terbanyak
dijumpai pada stadium IV, yaitu pada 15 sampel (27,3%), sedangkan
timpanogram abnormal (tipe B / C) bilateral yang terbanyak dijumpai pada
stadium III, yaitu 17 sampel (30,9%). Uji korelasi Spearman (r) = 0,078,
p = 0,570 (p > 0,05).
Kesimpulan: Terdapat hubungan bermakna antara gambaran timpanometri
dengan letak tumor pada penderita KNF. Tidak terdapat hubungan bermakna
antara gambaran timpanometri dengan stadium tumor pada penderita KNF.
Kata Kunci: Karsinoma Nasofaring, Timpanometri, Tuba Eustachius, Letak
Tumor.
Benny Hidayat : Hubungan Antara Gambaran Timpanometri Dengan Letak Dan Stadium Tumor Pada PenderitaKarsinoma Nasofaring Di Departemen THT-KL RSUP H. Adam Malik Medan, 2009USU Repository © 2008
-
8/18/2019 09E01722
9/90
CORRELATION BETWEEN TYMPANOMETRY RESULT WITH THE SITE
AND STADIUM OF TUMOUR IN NASOPHARYNGEAL CARCINOMA
PATIENTS IN EAR NOSE AND THROATH - HEAD AND NECK SURGERY
DEPARTMENT H. ADAM MALIK GENERAL HOSPITAL MEDAN
ABSTRACT
Background: Close correlation between nasopharyngeal carcinoma and
disturbance of ear function has been known for long. The disturbance in ear
function usually is a symptom of the site of a tumour (fossa Rosenmuller) that
is close to tuba Eustachius end. Disturbance in tuba Eustachius would cause
disturbance of middle ear function. Tympanometry examination is sensitive to
evaluate the integrity of membrane tympany and the function of the middle
ear. The purpose of this research is to know the correlation between
tympanometry result with the site and stadium of tumour in nasopharyngeal
carcinoma patients.
Study Design and Methods: Research was done in cross sectional study in
Ear Nose and Throath-Head and Neck Surgery Department Medical Faculty
University of North Sumatera / H. Adam Malik General Hospital Medan, with
consecutive sampling method, start from October 2008. The nasopharyngeal
carcinoma patients was examined for a routine ENT examination,
tympanometry, nasopharyngoscopy, biopsy of tumour in nasopharyng and
nasopharyng CT-Scan, then tympanogram result, the site and stadium of
Benny Hidayat : Hubungan Antara Gambaran Timpanometri Dengan Letak Dan Stadium Tumor Pada PenderitaKarsinoma Nasofaring Di Departemen THT-KL RSUP H. Adam Malik Medan, 2009USU Repository © 2008
-
8/18/2019 09E01722
10/90
tumour in nasopharyngeal carcinoma patients was evaluated. Data was
analyzed using Spearman correlation test with p < 0,05.
Results: Twenty one (21) of 55 sampel was found to have abnormal
unilateral tympanogram (type B / C), that is nasopharyngeal carcinoma
patients with the site of tumour in fossa Rossenmuller that extend to the roof /
posterior wall of nasopharyng and covers the end of tuba Eustachius, 16
patients with abnormal bilateral tympanogram (29,1%), that is
nasopharyngeal carcinoma patients with the site of tumour in all part of
nasopharyng. Spearman correlation test, (r) = 0,401, p = 0,002 (p < 0,05).
Abnormal unilateral tympanogram result (type B / C) was most found in
stadium IV patients, 15 sample (27,3%). Whereas abnormal bilateral
tympanogram (type B / C) was most found in stadium III patients, 17 sample
(30,9%). Spearman correlation test, (r) = 0,078, p = 0,570 (p > 0,05).
Conclusions: There is a correlation between tympanometry result with the
site of tumour in nasopharyngeal carcinoma patients. There is not a
correlation between tympanometry result with the stadium of tumour in
nasopharyngeal carcinoma patients.
Keywords: Nasopharyngeal Carcinoma, Tympanometry, Tuba Eustachius,
The Site of Tumour.
Benny Hidayat : Hubungan Antara Gambaran Timpanometri Dengan Letak Dan Stadium Tumor Pada PenderitaKarsinoma Nasofaring Di Departemen THT-KL RSUP H. Adam Malik Medan, 2009USU Repository © 2008
-
8/18/2019 09E01722
11/90
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR .............................................................................. iv
ABSTRAK .............................................................................................. ix
ABSTRACT ............................................................................................ xi
DAFTAR ISI ........................................................................................... xiii
DAFTAR GAMBAR ................................................................................ xvi
DAFTAR TABEL .................................................................................... xvii
BAB 1. PENDAHULUAN ...................................................................... 1
1.1. Latar Belakang .............................................................................. 11.2. Rumusan Masalah ......................................................................... 4
1.3. Tujuan Penelitian ........................................................................... 5
1.4. Hipotesa Penelitian ........................................................................ 5
1.5. Manfaat Penelitian ......................................................................... 5
BAB 2. TINJAUAN KEPUSTAKAAN ................................................... 6
2.1. Karsinoma Nasofaring ................................................................... 6
2.1.1. Anatomi Nasofaring ............................................................ 6
2.1.2. Hubungan Nasofaring dengan Struktur di Sekitarnya ......... 6
2.1.3. Saluran Limfe dan Persyarafan Nasofaring ........................ 8
2.1.4. Pendarahan Nasofaring ...................................................... 9
2.1.5. Hubungan Struktur Anatomi dengan Jalan Penyebaran
Tumor ................................................................................. 9
2.2. Epidemologi ................................................................................... 11
2.3. Etiologi dan Faktor Predisposisi .................................................... 13
2.4. Gejala Klinis .................................................................................. 15
2.5. Diagnosis ....................................................................................... 18
2.5.1. Anamnesis .......................................................................... 18
2.5.2. Pemeriksaan Fisik ............................................................... 18
Benny Hidayat : Hubungan Antara Gambaran Timpanometri Dengan Letak Dan Stadium Tumor Pada PenderitaKarsinoma Nasofaring Di Departemen THT-KL RSUP H. Adam Malik Medan, 2009USU Repository © 2008
-
8/18/2019 09E01722
12/90
2.6. Histopatologi .................................................................................. 24
2.7. Stadium ......................................................................................... 25
2.8. Terapi ............................................................................................ 27
2.8.1. Radioterapi .......................................................................... 27
2.8.2. Kemoterapi .......................................................................... 28
2.8.3. Pembedahan ....................................................................... 31
2.9. Timpanometri ................................................................................ 31
2.9.1. Terminologi ......................................................................... 32
2.9.2. Peralatan ............................................................................. 33
2.9.3. Cara Kerja Impedans Meter ................................................ 34
BAB 3. KERANGKA KONSEP ............................................................ 41
BAB 4. METODE PENELITIAN ............................................................ 42
4.1. Rancangan Penelitian ................................................................... 42
4.2. Populasi, Sampel, Besar Sampel dan Teknik Pengambilan
Sampel .......................................................................................... 42
4.2.1. Populasi .............................................................................. 42
4.2.2. Sampel ................................................................................ 42
4.2.3. Besar Sampel ..................................................................... 43
4.2.4. Teknik Pengambilan Sampel .............................................. 44
4.3. Variabel Penelitian ......................................................................... 44
4.3.1. Klasifikasi Variabel Penelitian ............................................. 44
4.3.2. Definisi Operasional Variabel .............................................. 44
4.4. Alat Penelitian ............................................................................... 46
4.5. Pelaksanaan Penelitian ................................................................. 46
4.6. Lokasi dan Waktu Penelitian ......................................................... 47
4.6.1. Lokasi Penelitian ................................................................. 47
4.6.2. Waktu Penelitian ................................................................. 47
4.7. Kerangka Kerja .............................................................................. 48
Benny Hidayat : Hubungan Antara Gambaran Timpanometri Dengan Letak Dan Stadium Tumor Pada PenderitaKarsinoma Nasofaring Di Departemen THT-KL RSUP H. Adam Malik Medan, 2009USU Repository © 2008
-
8/18/2019 09E01722
13/90
4.8. Analisa Data .................................................................................. 48
BAB 5. HASIL PENELITIAN ................................................................ 49
BAB 6. PEMBAHASAN ........................................................................ 57
BAB 7. KESIMPULAN DAN SARAN .................................................... 69
7.1. Kesimpulan ..................................................................................... 69
7.2. Saran .............................................................................................. 69
DAFTAR PUSTAKA .............................................................................. 70
LAMPIRAN ............................................................................................ 76
Lampiran 1. Data Sampel Penelitian ...................................................... 76
Lampiran 2. Status Penelitian ................................................................ 79
Lampiran 3. Lembar Penjelasan Kepada Subyek Penelitian ................. 83
Lampiran 4. Lembar Persetujuan Setelah Penjelasan ........................... 85
Lampiran 5. Persetujuan Komite Etik Penelitian .................................... 86
RIWAYAT HIDUP .................................................................................. 87
Benny Hidayat : Hubungan Antara Gambaran Timpanometri Dengan Letak Dan Stadium Tumor Pada PenderitaKarsinoma Nasofaring Di Departemen THT-KL RSUP H. Adam Malik Medan, 2009USU Repository © 2008
-
8/18/2019 09E01722
14/90
DAFTAR GAMBAR
Gambar 2.1. Skema Alat yang Digunakan untuk Pemeriksaan
Timpanometri .................................................................... 34
Gambar 2.2. Timpanogram Normal ....................................................... 37
Gambar 2.3. Timpanogram Tipe B ........................................................ 38
Gambar 2.4. Timpanogram Tipe C ........................................................ 39
Gambar 2.5. Timpanogram Tipe As ............... ................ ................ ................ ................ ...... 39
Gambar 2.6. Timpanogram Tipe Ad ....................................................... 40
Benny Hidayat : Hubungan Antara Gambaran Timpanometri Dengan Letak Dan Stadium Tumor Pada PenderitaKarsinoma Nasofaring Di Departemen THT-KL RSUP H. Adam Malik Medan, 2009USU Repository © 2008
-
8/18/2019 09E01722
15/90
DAFTAR TABEL
Tabel 5.1. Distribusi Penderita KNF Berdasarkan Umur ...................... 49
Tabel 5.2. Distribusi Penderita KNF Berdasarkan Jenis Kelamin ........ 50
Tabel 5.3. Distribusi Penderita KNF Menurut Suku Bangsa ................ 50
Tabel 5.4. Distribusi Penderita KNF Berdasarkan Jenis Histopatologi
(WHO) ................................................................................. 51
Tabel 5.5. Distribusi Penderita KNF Berdasarkan Stadium Tumor ...... 51
Tabel 5.6. Distribusi Letak Tumor pada Penderita KNF ...................... 52
Tabel 5.7. Hubungan Gambaran Timpanogram dengan Letak Tumor
pada Penderita KNF ........................................................... 53Tabel 5.8. Gambaran Timpanogram Berdasarkan Letak Tumor pada
Penderita KNF .................................................................... 54
Tabel 5.9. Hubungan Gambaran Timpanogram dengan Stadium
Tumor pada Penderita KNF ................................................ 55
Tabel 5.10. Gambaran Timpanogram Berdasarkan Stadium Tumor pada
Penderita KNF .................................................................... 56
Benny Hidayat : Hubungan Antara Gambaran Timpanometri Dengan Letak Dan Stadium Tumor Pada PenderitaKarsinoma Nasofaring Di Departemen THT-KL RSUP H. Adam Malik Medan, 2009USU Repository © 2008
-
8/18/2019 09E01722
16/90
BAB 1
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Tumor ganas nasofaring di Indonesia menempati urutan ke-5 dari 10
besar tumor ganas di seluruh tubuh, sedangkan di bagian penyakit telinga,
hidung dan tenggorok, tumor ganas nasofaring menempati urutan pertama
(Punagi, 2007). Hampir 60% tumor ganas kepala dan leher merupakan tumor
ganas nasofaring (Adham & Roezin, 2007). Bentuk paling banyak yang
dijumpai pada tumor ganas nasofaring ialah yang berasal dari epitel
permukaan rongga nasofaring yang dikenal dengan istilah karsinoma
nasofaring / KNF (Punagi, 2007).
Insiden KNF tertinggi di dunia didapatkan di Cina bagian selatan,
terutama di propinsi Guang Dong, Guang Xi dan di daerah yang banyak
ditempati oleh imigran Cina, seperti di Asia Tenggara, California, Hong Kong
dan Taiwan (Aziza et al, 2005). Bangsa yang mempunyai resiko agak tinggi
adalah Eskimo, Tunisia, Filipina, Malaysia, Algeria dan juga Indonesia. KNF
jarang ditemukan pada orang kulit putih, India dan Jepang tapi banyak
ditemukan di Asia pada ras Mongoloid (Punagi, 2007).
Karsinoma nasofaring sering tidak terdiagnosis secara dini karena
banyaknya variasi gejala dan tanda serta sulitnya pemeriksaan rongga
nasofaring yang merupakan lokasi tumor primer, terutama pada fossa
Rosenmuller. Akibatnya angka kematian menjadi tinggi karena pada
Benny Hidayat : Hubungan Antara Gambaran Timpanometri Dengan Letak Dan Stadium Tumor Pada PenderitaKarsinoma Nasofaring Di Departemen THT-KL RSUP H. Adam Malik Medan, 2009USU Repository © 2008
-
8/18/2019 09E01722
17/90
umumnya pasien datang berobat pada stadium III ke atas dengan angka
harapan hidup selama 10 tahun berkisar 10% (Punagi, 2007).
Hubungan yang erat antara karsinoma nasofaring dan telinga telah
lama diketahui. Pada penelitian Jackson (1901) didapat gejala telinga tidak
kurang dari 43% dari seluruh kasus karsinoma nasofaring. Keluhan telinga
yang paling sering pada stadium awal adalah ketulian, biasanya ringan dan
unilateral, seringkali disertai tinitus. Menurut Trotter (1911) yang
memfokuskan penelitiannya pada “tipe tuba Eustachius” sebagai gejala
pertama dari karsinoma nasofaring. Pernyataan Trotter ini menggarisbawahi
bahwa pentingnya pemeriksaan nasofaring pada semua kasus ketulian
konduktif pada orang dewasa (Gibb & Hasselt, 1999).
Gangguan pada telinga biasanya merupakan gejala dini yang timbul
karena asal tumor nasofaring (fossa Rosenmuller) dekat dengan muara tuba
Eustachius (Roezin, 1995; Ahmad, 2002). Keluhan pada telinga yang paling
sering adalah keluhan gangguan pendengaran yang unilateral dan bersifat
konduktif, karena itu diperlukan pemeriksaan timpanometri dan audiometri
untuk menilai gangguan pendengaran pada penderita karsinoma nasofaring
(Soetjipto, 1993).
Karya dkk di Makasar (2007) menemukan hubungan yang bermakna
antara letak dan ukuran tumor dengan gambaran timpanometri pada 40
penderita yang baru didiagnosa sebagai KNF (Karya et al, 2007). Fong dan
Low di Singapura (1996) menemukan efusi telinga tengah pada lebih kurang
40% pasien penderita KNF. Efusi berhubungan dengan penyebaran tumor ke
Benny Hidayat : Hubungan Antara Gambaran Timpanometri Dengan Letak Dan Stadium Tumor Pada PenderitaKarsinoma Nasofaring Di Departemen THT-KL RSUP H. Adam Malik Medan, 2009USU Repository © 2008
-
8/18/2019 09E01722
18/90
ruang parafaring dan ditemukan pada 95% kasus. Honjo di Tokyo (1988)
menemukan adanya hubungan langsung antara efusi, ukuran dan perluasan
tumor yang dikonfirmasikan melalui pemeriksaan Magnetic Resonance
Imaging (MRI) dan Computed Tomography Scanning (CT-Scan) (Gibb &
Hasselt, 1999).
Bila secara klinis dicurigai menderita KNF dan tumor tidak terlihat pada
pemeriksaan endoskopi, harus dilakukan pencitraan dengan potongan lintang
(CT-Scan atau MRI) (Wei & Sham, 2005). Pemeriksaan CT-Scan mempunyai
keuntungan, antara lain kemampuan untuk dapat membedakan berbagai
densitas di daerah nasofaring, baik jaringan lunak maupun perubahan pada
tulang, selain itu dapat menilai perluasan tumor ke jaringan sekitar, adanya
destruksi tulang dan penyebaran ke intrakranial (Aziza et al, 2005).
Pemeriksaan timpanometri merupakan salah satu dari rangkaian
pemeriksaan fungsi telinga tengah secara objektif. Penilaian objektif fungsi
telinga tengah dapat dilakukan dengan mengukur beberapa parameter dari
isyarat akustik yang direfleksikan oleh membran timpani yang utuh. Keadaan
tekanan udara pada telinga tengah, integritas membran timpani serta
mobilitas tulang pendengaran dapat dievaluasi dengan pemeriksaan ini. Hasil
pemeriksaan timpanometri digambarkan dalam bentuk grafik / timpanogram
(Asroel, 2003).
Bila terjadi sumbatan pada tuba Eustachius oleh tumor di nasofaring
akan menyebabkan tekanan udara dalam rongga telinga tengah menjadi
negatif sehingga terjadi retraksi membran timpani dan akibatnya didapatkan
Benny Hidayat : Hubungan Antara Gambaran Timpanometri Dengan Letak Dan Stadium Tumor Pada PenderitaKarsinoma Nasofaring Di Departemen THT-KL RSUP H. Adam Malik Medan, 2009USU Repository © 2008
-
8/18/2019 09E01722
19/90
timpanogram tipe C. Timpanogram tipe B didapatkan bila mobilitas tulang-
tulang pendengaran menurun sedemikian rupa, oleh adanya cairan efusi
dalam rongga telinga tengah yang mengakibatkan puncak timpanogram
menjadi landai (Karya et al, 2007).
Letak dan ukuran tumor pada nasofaring erat kaitannya dengan
gangguan fungsi tuba Eustachius. Gangguan fungsi tuba Eustachius dapat
menimbulkan gangguan pendengaran. Pemeriksaan timpanometri
bermanfaat dalam menilai fungsi telinga tengah dan tuba Eustachius.
Berdasarkan penelitian Karya dkk di Makasar (2007) yang menemukan
hubungan yang bermakna antara letak dan ukuran tumor dengan gambaran
timpanometri pada penderita KNF, maka peneliti tertarik untuk meneliti
pemeriksaan timpanometri pada penderita KNF di Departemen THT-KL FK-
USU / RSUP H. Adam Malik Medan.
1.2. Rumusan Masalah
Berdasarkan pengamatan yang diuraikan dalam latar belakang di atas,
dapat dirumuskan masalah penelitian, yaitu bagaimana hubungan antara
gambaran timpanometri dengan letak dan stadium tumor penderita KNF di
Departemen THT-KL FK-USU / RSUP H. Adam Malik Medan.
Benny Hidayat : Hubungan Antara Gambaran Timpanometri Dengan Letak Dan Stadium Tumor Pada PenderitaKarsinoma Nasofaring Di Departemen THT-KL RSUP H. Adam Malik Medan, 2009USU Repository © 2008
-
8/18/2019 09E01722
20/90
1.3. Tujuan Penelit ian
1. Mengetahui hubungan antara gambaran timpanometri dengan letak tumor
berdasarkan pemeriksaan CT-Scan Nasofaring dan pemeriksaan
nasofaringoskopi pada penderita KNF.
2. Mengetahui hubungan antara gambaran timpanometri dengan stadium
tumor berdasarkan pemeriksaan CT-Scan Nasofaring dan pemeriksaan
nasofaringoskopi pada penderita KNF.
1.4. Hipotesa Penelit ian
Ada hubungan antara letak dan stadium tumor dengan gambaran
timpanometri pada penderita KNF.
1.5. Manfaat Penelit ian
1. Dapat menjadi bahan pertimbangan dan pendugaan karsinoma
nasofaring.
2. Sebagai data dasar gambaran timpanometri pada penderita karsinoma
nasofaring.
Benny Hidayat : Hubungan Antara Gambaran Timpanometri Dengan Letak Dan Stadium Tumor Pada PenderitaKarsinoma Nasofaring Di Departemen THT-KL RSUP H. Adam Malik Medan, 2009USU Repository © 2008
-
8/18/2019 09E01722
21/90
BAB 2
TINJAUAN KEPUSTAKAAN
2.1. Karsinoma Nasofaring
2.1.1. Anatomi Nasofaring
Nasofaring merupakan ruang yang terletak dibelakang rongga hidung,
berbentuk trapezoid, dengan ukuran tinggi 4 cm, lebar 4 cm dan dimensi
anteroposterior 3 cm. Mukosa nasofaring dilapisi oleh pseudostratified
columnar respiratory-type epithelium dan non-keratinizing stratified squamous
epithelium Dinding anterior nasofaring dibentuk oleh koana dan ujung
posterior septum nasi. Lantai nasofaring dibentuk oleh permukaan atas
palatum mole. Bagian atap dan dinding posterior nasofaring dibentuk oleh
daerah yang menyatu berupa permukaan melandai yang dibatasi oleh badan
sfenoid, dasar oksiput dan vertebra cervical I dan II sampai ke batas palatum
mole. Di dinding lateral nasofaring terdapat muara tuba Eustachius (Chew,
1997; Cottrill & Nutting, 2003; Wei, 2006).
2.1.2. Hubungan Nasofaring dengan Struktur di Sekitarnya
a. Atap dan Dinding Posterior Nasofaring
Bagian atap yang melandai menyatu dengan dinding posterior. Kedua
struktur ini dibentuk oleh lantai sinus sfenoid di sisi medial dan fibrokartilago
dari foramen laserum di sisi lateral. Sinus kavernosus dengan arteri karotis
interna dan syaraf kranial III, IV, V dan VI terletak di atas foramen laserum
Benny Hidayat : Hubungan Antara Gambaran Timpanometri Dengan Letak Dan Stadium Tumor Pada PenderitaKarsinoma Nasofaring Di Departemen THT-KL RSUP H. Adam Malik Medan, 2009USU Repository © 2008
-
8/18/2019 09E01722
22/90
pada kedua sisi. Dinding posterior nasofaring menutupi bagian basilar tulang
oksipital dan arkus anterior atlas di inferior. Di bagian atas dinding posterior
nasofaring, melekat jaringan limfoid pada membran mukosa (tonsil nasofaring
atau adenoid). Fasia prevertebra dan otot memisahkan adenoid dengan
tulang vertebra (Chew, 1997; Cottrill & Nutting, 2003).
b. Dinding Lateral Nasofaring
Tuba Eustachius bermuara ke nasofaring melalui dinding lateral. Tuba
dibentuk oleh fasia faringobasilar yang diperkuat oleh otot konstriktor superior
di bagian inferiornya. Dilihat dari kavum nasi, bagian anterior dan posterior
orifisium tuba Eustachius ditandai dengan elevasi kartilago tuba, dimana di
belakangnya terletak fossa Rosenmuller. Di sebelah dalam dinding lateral
terdapat ruang parafaring yang berisikan arteri karotis interna, syaraf kranial
IX, X, XI dan XII, vena jugularis interna dan kelenjar limfe retrofaring (Chew,
1997; Cottrill & Nutting, 2003).
Fasia faring dan jaringan ikat foramen laserum rentan terhadap invasi
langsung tumor ganas nasofaring. Hal ini dan seringnya keterlibatan kelenjar
limfe retrofaring menjelaskan seringnya keterlibatan syaraf kranial (Cottrill &
Nutting, 2003).
c. Dasar Nasofaring
Dasar nasofaring dibentuk oleh permukaan superior palatum molle,
yang berhubungan dengan spingter palatofaring yang berperan untuk
Benny Hidayat : Hubungan Antara Gambaran Timpanometri Dengan Letak Dan Stadium Tumor Pada PenderitaKarsinoma Nasofaring Di Departemen THT-KL RSUP H. Adam Malik Medan, 2009USU Repository © 2008
-
8/18/2019 09E01722
23/90
menutup ismus faring saat menelan, memisahkan nasofaring dengan
orofaring di bawahnya (Chew, 1997; Cottrill & Nutting, 2003).
2.1.3. Saluran Limfe dan Persyarafan Nasofaring
Mukosa terbentuk dari beberapa lipatan otot dibawahnya dan
mengandung berbagai kumpulan jaringan limfoid. Jaringan limfoid yang
paling menonjol, terutama pada anak-anak adalah tonsil faringeal (adenoid)
yang terletak di garis tengah dan menonjol ke depan dari pertemuan atap dan
dinding posterior. Lokasi aliran limfe kelompok pertama adalah kelenjar
retrofaring yang terletak di ruang antara dinding nasofaring posterior, fasia
faringobasilar dan fasia prevertebra. Kelompok kelenjar Rouviere (node of
Rouviere) membentuk kelompok kelenjar lateral utama. Kelenjar tersebut
terletak di anterior sebelah lateral atlas di batas lateral m. capitis longus,
sebelah anteromedial arteri karotis interna. Pembuluh eferen mengalir ke
rantai jugular interna dalam pada bagian paling atas di dasar tengkorak di
ruang kompartemen parafaring retrostiloid di sebelah dalam ujung atas otot
sternomastoid. Kelenjar ini kemudian mengalir ke bawah di posterior dari
kelompok syaraf aksesorius dan di anterior kelompok jugulodigastrik (Chew,
1997; Cottrill & Nutting, 2003).
Daerah nasofaring dipersarafi oleh pleksus faringeal di atas otot
konstriktor faringeal media. Pleksus faringeal terdiri atas serabut sensoris
saraf glossofaringeal (IX), serabut motoris saraf vagus (X) dan serabut saraf
ganglion servikalis simpatikus. Sebagian besar saraf sensoris nasofaring
Benny Hidayat : Hubungan Antara Gambaran Timpanometri Dengan Letak Dan Stadium Tumor Pada PenderitaKarsinoma Nasofaring Di Departemen THT-KL RSUP H. Adam Malik Medan, 2009USU Repository © 2008
-
8/18/2019 09E01722
24/90
berasal dari saraf glossofaringeal, hanya daerah superior nasofaring dan
anterior orifisium tuba yang mendapat persarafan sensoris dari cabang
faringeal ganglion sfenopalatina yang berasal dari cabang maksila saraf
trigemius (V1) (Armiyanto, 1993).
2.1.4. Pendarahan Nasofaring
Pendarahan nasofaring berasal dari cabang-cabang arteri karotis
eksterna, yaitu arteri faringeal asenden, arteri palatina asenden dan
descenden serta cabang faringeal arteri sfenopalatina.
Pleksus vena terletak di bawah selaput lendir nasofaring dan
berhubungan dengan pleksus pterigoid di atas dan vena jugularis interna di
bawah (Armiyanto, 1993).
2.1.5. Hubungan Struktur Anatomi dengan Jalan Penyebaran Tumor
Walaupun penyebaran tumor sering ditentukan oleh jalan yang secara
anatomis telah terbentuk namun tidak selalu penyebaran tumor ganas
mengikuti jalan alamiah tersebut karena tumor ganas mempunyai
kemampuan untuk menginvasi dan merusak sistem barier yang ada. Kadang-
kadang sulit ditentukan arah penyebaran karena tergantung juga dari besar
dan asal lesi primer. Tumor yang tumbuh di garis tengah nasofaring dapat
menyebar ke salah satu sisi atau sering bilateral. Selain itu tumor yang
tumbuh pada salah satu dinding lateral nasofaring sering melewati garis
tengah dan menyebar ke sisi yang lain.
Benny Hidayat : Hubungan Antara Gambaran Timpanometri Dengan Letak Dan Stadium Tumor Pada PenderitaKarsinoma Nasofaring Di Departemen THT-KL RSUP H. Adam Malik Medan, 2009USU Repository © 2008
-
8/18/2019 09E01722
25/90
Jalan yang paling sering dilalui oleh penyebaran tumor, yaitu:
1) Ke dalam lumen / ruang nasofaring.
Jalan ini sering terjadi pada tumor yang sangat besar dan akan masuk
dalam orofaring atau kavum nasi. Kadang-kadang dapat masuk ke sinus
maksila atau orbita tetapi sangat jarang masuk ke tuba Eustachius.
2) Ke dalam ruang retrofaring.
Walaupun sering melalui jalan anatomis (retroparotidian), kadang-kadang
tumor dapat langsung masuk ke ruang retrofaring dengan mengadakan
kompresi atau infiltrasi ke ruang retrostiloid atau merusak bagian lateral
vertebra servikalis pertama (vertebra atlas).
3) Ke dalam ruang parafaring.
a). Ruang kecil prestiloid, tumor yang tumbuh di dinding lateral atau di
daerah fosa Rosenmuller dapat menjalar ke ruang kecil ini yang
terletak di atasnya dan akan mengenai serabut motorik dan sensorik
saraf trigeminus (V). Tumor dapat menginvasi otot pterigoid dan
menyebabkan trismus atau menginfiltrasi otot levator sehingga
menyebabkan asimetri palatum mole. Tumor juga dapat mengenai
palatum durum, kelenjar parotis, fisura pterigomaksila dan ke fosa
infratemporal. Pada tumor yang sangat besar mungkin dapat
menginvasi sinus maksila dan frontalis.
b). Ruang kecil retrostiloid. Ruang kecil ini berisi selubung karotis dan
isinya, kelenjar limfe servikal dalam atas, saraf-saraf kranial terakhir
(IX, X, XI, XII) dan cabang saraf simpatis servikalis. Ruang ini disebut
Benny Hidayat : Hubungan Antara Gambaran Timpanometri Dengan Letak Dan Stadium Tumor Pada PenderitaKarsinoma Nasofaring Di Departemen THT-KL RSUP H. Adam Malik Medan, 2009USU Repository © 2008
-
8/18/2019 09E01722
26/90
juga ruang retroparotidian yang selain dapat terinvasi melalui jalan
anatomis (melalui aliran limfe / retroparotidian), dapat juga akibat
lanjutan invasi langsung yang lebih dalam ruang parafaring. Dari ruang
ini pula, tumor dapat menyebabkan erosi dasar tengkorak.
4) Ke intrakranial.
Perluasan tumor ke intrakranial biasanya melalui foramen laserum dan
ovale atau melalui sinus kavernosus dan ganglion gaseri, mengenai saraf
kranial otot bolamata (III, IV, VI) (penyebaran secara petrosfenoid) tetapi
dapat juga melalui erosi dasar kanalis karotis dan melalui arteri karotis
interna masuk ke dalam sinus kavernosus. Perluasan ke ekstradural
selain dari sinus kavernosus juga dapat akibat tumor mendestruksi sinus
sfenoid.
5) Tumor dapat langsung menyebar ke sinus etmoid, selanjutnya
mengenai sinus frontalis, maksila dan rongga orbita.
6) Metastasis jauh, dapat melalui aliran darah atau sistem limfatik dan
mengenai hati, tulang atau paru.
(Armiyanto, 1993).
2.2. Epidemologi
Tumor ganas nasofaring di Indonesia menempati urutan ke-5 dari 10
besar tumor ganas di seluruh tubuh, sedangkan di bagian penyakit telinga,
hidung dan tenggorok, tumor ganas nasofaring menempati urutan pertama.
Hampir 60% tumor ganas kepala dan leher merupakan tumor ganas
Benny Hidayat : Hubungan Antara Gambaran Timpanometri Dengan Letak Dan Stadium Tumor Pada PenderitaKarsinoma Nasofaring Di Departemen THT-KL RSUP H. Adam Malik Medan, 2009USU Repository © 2008
-
8/18/2019 09E01722
27/90
nasofaring. Data Departemen Kesehatan tahun 1980 menunjukkan
prevalensi 4,7 per 100.000 penduduk atau diperkirakan 7.000-8.000 kasus
per tahun (Punagi, 2007).
Dari sejumlah 2.007 kasus keganasan di bidang telinga hidung
tenggorok yang dikumpulkan antara tahun 1990-2001 di Bagian THT-KL FK-
UI RSCM Jakarta, tercatat karsinoma nasofaring sebanyak 1.247 (62,13%)
penderita (Munir, 2007). Penelitian Fachiroh di Yogyakarta menyatakan
insiden penderita KNF 3,9 orang per 100.000 penduduk (Fachiroh et al,
2004). Dari data laporan profil karsinoma nasofaring di Rumah Sakit
Pendidikan Fakultas Kedokteran Universitas Hasanuddin Makassar, periode
Januari 2000 sampai dengan Juni 2007, didapatkan 33% dari keganasan di
telinga, hidung dan tenggorok. Di RSUP H. Adam Malik Medan pada tahun
2002-2007, ditemukan 684 penderita karsinoma nasofaring.
Penduduk RRC di propinsi Guang Dong mempunyai insiden tertinggi
di dunia, yaitu 40-50 per 100.000 penduduk per tahun (Punagi, 2007). Pada
daerah Barat (Amerika dan Eropa) kejadian KNF jarang dengan insiden
sekitar 0,5/100.000 dengan angka 1-2% dari seluruh kanker kepala dan leher.
Di Amerika Utara terdapat keratinizing squamous cell carcinoma pada 60%
kasus, sementara di Timur Tengah lebih 95% merupakan WHO tipe 2-3.
Insidensi WHO tipe 3 juga tinggi di Eskimo, Alaska dan juga meningkat di
Malaysia, Afrika Utara dan Eropa Selatan (Cottrill & Nutting, 2003). KNF
jarang ditemukan pada orang kulit putih, India dan Jepang tapi banyak
ditemukan di Asia pada ras Mongoloid (Punagi, 2007).
Benny Hidayat : Hubungan Antara Gambaran Timpanometri Dengan Letak Dan Stadium Tumor Pada PenderitaKarsinoma Nasofaring Di Departemen THT-KL RSUP H. Adam Malik Medan, 2009USU Repository © 2008
-
8/18/2019 09E01722
28/90
Pada daerah endemik insiden meningkat sejak usia 20 tahun dan
mencapai puncak pada dekade IV dan V. Pada daerah resiko rendah usia
terbanyak pada dekade V dan VI tapi masih terdapat insidensi yang
signifikan pada usia di bawah 30 tahun sehingga didapati distribusi usia
bimodal dengan puncak awalnya antara usia 15-25 tahun. KNF lebih sering
dijumpai pada pria, dengan perbandingan pria dan wanita 3 : 1 (Chew, 1997;
Cottrill & Nutting, 2003).
2.3. Etiologi dan Faktor Predisposisi
Etiologi pasti dari KNF belum diketahui, namun penelitian secara
epidemiologi dan laboratorik menunjukkan bahwa penyebab keganasan ini
bersifat multi faktor, yaitu:
1. Infeksi virus Epstein Barr.
Virus ini pertama kali ditemukan oleh Epstein, Barr dan Achong pada
tahun 1964 dalam biakan sel limfoblas dari penderita limfoma Burkitt.
Virus ini telah diyakini sebagai agen penyebab beberapa penyakit, yaitu
mononukleosis infeksiosa, limfoma-Burkitt dan KNF (Armiyanto, 1993).
Virus Epstein Barr yang diduga sebagai penyebab terjadinya KNF
merupakan virus DNA dari kelompok herpes dimana tubuh manusia akan
membentuk reaksi imunologik akibat antigen dari virus yang masuk ke
dalam tubuh (Aziza et al, 2005). Terdapat peningkatan antibodi IgA
terhadap viral capsid antigen (VCA) dan early antigen compleks (EA) dan
ditemukannya genom virus pada sel tumor (McDermott et al, 2001;
Benny Hidayat : Hubungan Antara Gambaran Timpanometri Dengan Letak Dan Stadium Tumor Pada PenderitaKarsinoma Nasofaring Di Departemen THT-KL RSUP H. Adam Malik Medan, 2009USU Repository © 2008
-
8/18/2019 09E01722
29/90
Ahmad, 2002; Cottrill & Nutting; 2003; Lutzky et al, 2008). Terdeteksinya
bentuk tunggal DNA viral menyarankan bahwa tumor merupakan
proliferasi klonal dari sel tunggal yang pada awalnya terinfeksi VEB. Gen-
gen laten spesifik VEB secara konsisten diekspresikan pada karsinoma
nasofaring pada lesi awal dan lesi displastik. Protein viral laten (latent
membrane protein 1 dan 2) memiliki efek yang substansial pada ekspresi
gen selular dan pertumbuhan selular, menghasilkan pertumbuhan yang
sangat invasif serta pertumbuhan yang ganas dari karsinoma
(McDermott et al, 2001; Cottrill & Nutting, 2003; Wei & Sham, 2005;
Lutzky et al, 2008).
2. Faktor genetik.
Diduganya faktor genetik berperan pada KNF berdasarkan atas resiko
tinggi yang terdapat pada orang Cina, baik yang tinggal di negaranya
sendiri maupun yang telah berpindah ke negara lain atau terdapat pada
orang keturunan Cina yang menikah dengan non-Cina. Hubungan Human
Leucocyte Antigen (HLA) ditemukan pada penderita KNF yang telah
berimigrasi ke negara lain, seperti Malaysia, Singapura, Hongkong dan
keturunan Cina di California. Penelitian di Medan menemukan alel gen
paling tinggi pada penderita KNF suku Batak adalah gen HLA-DRB1*12
dan HLA-DQB*0301 di mana alel gen yang potensial sebagai penyebab
kerentanan timbulnya KNF pada suku Batak adalah alel gen HLA-
DRB1*08 (Delfitri, 2007).
Benny Hidayat : Hubungan Antara Gambaran Timpanometri Dengan Letak Dan Stadium Tumor Pada PenderitaKarsinoma Nasofaring Di Departemen THT-KL RSUP H. Adam Malik Medan, 2009USU Repository © 2008
-
8/18/2019 09E01722
30/90
3. Faktor lingkungan dan kebiasaan hidup.
Faktor lingkungan dan kebiasaan hidup, yaitu sering memakan ikan asin
yang mengandung nitrosamin, yang merupakan suatu zat karsinogenik,
adanya asap sejenis kayu tertentu yang digunakan untuk memasak, asap
dupa dan seringnya kontak dengan zat karsinogen, seperti Benzopyrene,
gas kimia, asap industri, asap obat nyamuk dan asap rokok, merupakan
hal-hal yang diduga berperan penting dalam terjadinya KNF (Aziza et al,
2005).
Beberapa penelitian epidemiologik dan laboratorium menyokong hipotesa
yang menyebutkan bahwa konsumsi dini ikan asin menyebabkan KNF di
Cina Selatan dan Hongkong. Suatu studi kasus kontrol menunjukkan
bahwa hanya konsumsi ikan asin yang sering sebelum usia 10 tahun yang
berhubungan dengan peningkatan resiko terjadinya KNF (Ahmad, 2002;
Cottrill & Nutting, 2003; Ganguly et al, 2003; Wei, 2006).
2.4. Gejala Klinis
Rongga nasofaring sulit dilihat dan karsinoma yang tumbuh sering
hanya sedikit memberikan gejala untuk waktu yang lama. Dapat pula
ditemukan mukosa nasofaring berpenampakan normal dalam waktu yang
lama walaupun telah terjadi penyebaran tumor ke kelenjar getah bening
regional atau bahkan sudah menjalar ke intrakranial. Gejala dan tanda yang
terjadi sebagai akibat adanya obstruksi oleh tumor, invasi ke rongga
tengkorak atau orbita dan metastasis tumor ke kelenjar getah bening
Benny Hidayat : Hubungan Antara Gambaran Timpanometri Dengan Letak Dan Stadium Tumor Pada PenderitaKarsinoma Nasofaring Di Departemen THT-KL RSUP H. Adam Malik Medan, 2009USU Repository © 2008
-
8/18/2019 09E01722
31/90
(Aziza et al, 2005). Gejala yang sering ditemukan, yaitu:
1. Gejala telinga.
Gangguan pada telinga biasanya merupakan gejala dini yang timbul
karena asal tumor nasofaring dekat dengan muara tuba Eustachius
(Roezin, 1995). Penyumbatan tuba Eustachius oleh massa tumor
menimbulkan gejala, berupa tinitus, rasa tidak nyaman di telinga, rasa
tersumbat, berkurangnya pendengaran dan sering berlanjut menjadi otitis
media efusi (Roezin, 1995).
Otitis media serosa dijumpai pada 41% pasien dari 237 pasien KNF yang
didiagnosa dini. Jika seorang Cina dewasa datang dengan keluhan ini,
seorang ahli THT harus mempertimbangkan kemungkinan KNF (Chew,
1997; Ahmad, 2002; Wei, 2006).
2. Gejala hidung.
Gejala hidung berupa epistaksis ringan dan obstruksi hidung. Perdarahan
dapat timbul berulang-ulang, jumlah sedikit, bercampur ingus. Epistaksis
biasanya dijumpai pada KNF stadium lanjut. Gejala obstruksi hidung
biasanya menetap dan bertambah berat akibat massa tumor yang
menutupi koana (Chew, 1997; Ahmad, 2002; Cottrill & Nutting, 2003;
Aziza et al, 2005).
3. Pembesaran kelenjar getah bening leher.
Gejala lanjut yang paling sering penyebab penderita datang berobat
adalah pembesaran kelenjar getah bening leher karena penyebaran
limfogen. Lokasi khas penyebaran KNF ke kelenjar getah bening leher
Benny Hidayat : Hubungan Antara Gambaran Timpanometri Dengan Letak Dan Stadium Tumor Pada PenderitaKarsinoma Nasofaring Di Departemen THT-KL RSUP H. Adam Malik Medan, 2009USU Repository © 2008
-
8/18/2019 09E01722
32/90
adalah daerah yang terletak di bawah angulus mandibula di dalam otot
sternokleidomastoideus, perabaannya keras, tidak nyeri bila ditekan dan
tidak mudah digerakkan jika sel tumor telah menembus kelenjar dan
mengenai jaringan otot di bawahnya (Aziza et al, 2005).
4. Gejala neurologis.
Gejala lebih lanjut yang sering ditemukan adalah gejala saraf yang terjadi
akibat penjalaran melalui foramen laserum (saraf kranial III, IV, V, VI) dan
foramen ovale (IX, X, XI, XII) sepanjang fossa kranii media yang disebut
penjalaran petrosfenoid dan mengenai saraf otak anterior. Keluhan saraf
yang paling sering ditemukan adalah paresis saraf abdusen (N.VI) dengan
keluhan diplopia dan paresis saraf trigeminus (N.V) dengan keluhan baal
di pipi dan wajah yang biasanya unilateral. Tumor juga dapat menjalar ke
belakang secara ekstrakranial yang disebut penjalaran secara
retroparotidian, mengenai saraf VII sampai XII dan cabang saraf
simpatikus servikalis yang menimbulkan gejala sindrom Horner. Sakit
kepala hebat merupakan gejala paling berat pada penderita KNF dan
biasanya merupakan stadium terminal. Hal ini karena tumor mengerosi
dasar tengkorak dan menekan struktur di sekitarnya (Aziza et al, 2005).
5. Gejala akibat metastasis jauh.
Sel-sel kanker dapat menjalar bersama aliran darah (hematogen) ataupun
bersama aliran limfe (limfogen), mengenai organ tubuh yang letaknya
jauh. Organ yang sering dikenai adalah tulang, paru dan hati. Gejala yang
timbul sesuai dengan kerusakan organ tersebut.
Benny Hidayat : Hubungan Antara Gambaran Timpanometri Dengan Letak Dan Stadium Tumor Pada PenderitaKarsinoma Nasofaring Di Departemen THT-KL RSUP H. Adam Malik Medan, 2009USU Repository © 2008
-
8/18/2019 09E01722
33/90
2.5. Diagnosis
2.5.1. Anamnesis
Anamnesis dilakukan berdasarkan keluhan penderita KNF.
Limfadenopati servikal pada leher bagian atas merupakan keluhan yang
paling sering yang menyebabkan penderita KNF berobat. Gejala hidung,
telinga, gangguan neurologi juga sering dikeluhkan penderita KNF (Soetjipto,
1993; Ahmad, 2002).
2.5.2. Pemeriksaan Fisik
1. Endoskopi.
Pada kasus yang dicurigai ke arah KNF, perlu dilakukan pemeriksaan
menyeluruh daerah kepala dan leher, terutama di nasofaring.
Pemeriksaan menggunakan nasofaringoskop kaku atau fleksibel, lebih
dianjurkan agar dapat melakukan inspeksi langsung sehingga tumor kecil
dapat tampak lebih jelas (Soetjipto, 1993).
a) Nasofaringoskopi kaku (Rigid nasopharyngoscopy).
Alat yang digunakan terdiri dari teleskop dengan sudut bervariasi, yaitu
sudut 0, 30 dan 70 derajat dan forsep biopsi. Nasofaringoskopi dapat
dilakukan dengan cara:
• Transnasal, teleskop dimasukkan melalui hidung.
• Transoral, teleskop dimasukkan melalui rongga mulut.
(Wei, 2006).
Benny Hidayat : Hubungan Antara Gambaran Timpanometri Dengan Letak Dan Stadium Tumor Pada PenderitaKarsinoma Nasofaring Di Departemen THT-KL RSUP H. Adam Malik Medan, 2009USU Repository © 2008
-
8/18/2019 09E01722
34/90
b) Nasofaringoskopi lentur (Flexible nasopharyngoscopy).
Alat ini bersifat lentur dengan ujungnya dilengkapi alat biopsi.
Endoskopi fleksibel memungkinkan pemeriksaan yang lebih
menyeluruh terhadap nasofaring meskipun masuknya hanya melalui
satu sisi kavum nasi. Ujungnya dapat melakukan manuver di belakang
septum hingga mencapai sisi yang berlawanan. Biopsi massa tumor
dapat dilakukan dengan melihat langsung sasaran. Alat endoskop
fleksibel ini memiliki saluran khusus untuk suction dimana forsep biopsi
dapat dimasukkan melaluinya sehingga biopsi tetap dapat dilakukan
dengan pandangan langsung. Namun meskipun memiliki banyak
keunggulan, kualitas gambar yang didapat dengan endoskopi fleksibel
masih di bawah kualitas gambar endoskopi kaku, begitu juga ukuran
biopsi yang dilakukan dengan endoskopi fleksibel jaringan biopsi yang
didapat lebih kecil dan lebih superfisial dibandingkan endoskopi kaku
(Wei, 2006).
2. Biopsi nasofaring.
a) Dengan anestesi lokal.
Dengan adanya alat endoskop, biopsi dilakukan dengan tuntunan
endoskop. Caranya sebagai berikut; pasien duduk atau setengah
duduk, diberi anestesi lokal kemudian endoskop dimasukkan kedalam
kavum nasi sisi yang berlawanan dengan perkiraan sisi tumor. Setelah
tampak tumor atau tampak daerah yang mencurigakan, cunam biopsi
Benny Hidayat : Hubungan Antara Gambaran Timpanometri Dengan Letak Dan Stadium Tumor Pada PenderitaKarsinoma Nasofaring Di Departemen THT-KL RSUP H. Adam Malik Medan, 2009USU Repository © 2008
-
8/18/2019 09E01722
35/90
yang agak besar dimasukkan melalui kavum nasi sisi lainnya dan
dibawah tuntunan endoskop, cunam mengambil jaringan biopsi yang
cukup besar dan representatif pada tumor atau daerah yang
mencurigakan (Soetjipto, 1993).
b) Eksplorasi nasofaring dengan anestesi umum.
Cara ini dapat dilakukan pada hal-hal tertentu, yaitu:
• Jika biopsi dengan anestesi lokal tidak mendapatkan hasil yang
positif sedangkan gejala dan tanda yang ditemukan menunjukkan
ciri KNF.
• Keadaan umum penderita kurang baik, tidak kooperatif atau
faringnya terlalu sensitif, trismus dan anak-anak.
3. Pemeriksaan radiologi.
Pemeriksaan ini bertujuan untuk memperkuat kecurigaan adanya tumor di
daerah nasofaring, menentukan lokasi tumor yang dapat membantu
dalam melakukan biopsi yang tepat dan menentukan luas penyebaran
tumor ke jaringan sekitarnya (Her, 2001). Pemeriksaan radiologi yang
dapat dilakukan antara lain:
a) Foto polos nasofaring dan dasar tengkorak dengan posisi lateral,
submentovertikal, oksipitosubmental, oksipitomental, oksipitofrontal.
b) Foto toraks Posterior-Anterior untuk menilai adanya metastasis paru
(Wei & Sham, 2005).
Benny Hidayat : Hubungan Antara Gambaran Timpanometri Dengan Letak Dan Stadium Tumor Pada PenderitaKarsinoma Nasofaring Di Departemen THT-KL RSUP H. Adam Malik Medan, 2009USU Repository © 2008
-
8/18/2019 09E01722
36/90
c) CT-Scan Nasofaring mempunyai nilai diagnostik tinggi. Tumor dini di
fossa Rosenmuller akan tampak sebagai penebalan otot levator veli
palatini dan obliterasi atau penumpulan sudut resesus setempat
sehingga tampak gambaran yang asimetri dalam rongga nasofaring
(Soetjipto, 1993).
Pemeriksaan CT-Scan Nasofaring dapat pula mengetahui penyebaran
tumor ke jaringan sekitarnya yang belum terlalu luas dan juga dapat
mendeteksi erosi basis kranii dan penjalaran perineural melalui
foramen ovale sebagai jalur utama perluasan ke intrakranial. CT-Scan
dilakukan tanpa zat kontras atau bila diperlukan dapat digunakan zat
kontras bila terdapat kesulitan dalam menentukan batas tumor atau
untuk menilai kelenjar limfe dan pembuluh darah. Selain itu dapat pula
menilai kekambuhan tumor setelah pengobatan, adanya metastasis
dan juga akibat komplikasi paska radioterapi, seperti nekrosis lobus
temporal dan atropi kelenjar hipofise (Wei & Sham, 2005).
Pada umumnya peranan CT-Scan dalam pemeriksaan KNF adalah:
o Membantu diagnosis, terutama dalam menentukan suatu proses
dini di nasofaring.
o Menentukan penyebaran tumor ke jaringan sekitar.
o Menentukan stadium tumor.
o Membantu tindakan radioterapi.
o Menilai hasil pengobatan dan menentukan kekambuhan dini.
(Soetjipto, 1993).
Benny Hidayat : Hubungan Antara Gambaran Timpanometri Dengan Letak Dan Stadium Tumor Pada PenderitaKarsinoma Nasofaring Di Departemen THT-KL RSUP H. Adam Malik Medan, 2009USU Repository © 2008
-
8/18/2019 09E01722
37/90
d) Magnetic Resonance Imaging merupakan sarana pemeriksaan
diagnostik terbaru dengan menggunakan medan magnet dan
gelombang radio untuk menghasilkan gambar. Berbeda dengan CT-
Scan, MRI lebih baik dalam memperlihatkan jaringan lunak nasofaring
baik yang superfisial maupun profunda dan membedakan tumor dari
jaringan lunak di sekitarnya. MRI juga lebih sensitif untuk menilai
metastasis ke daerah retrofaring, kelenjar getah bening leher yang
profunda dan ke sumsum tulang (Wei & Sham, 2005).
e) USG hepar, jika dicurigai metastasis ke hati (Her, 2001).
4. Pemeriksaan patologi anatomi yang dilakukan berupa:
a) Sitologi.
Sediaan sitologi eksfoliatif dari nasofaring didapat dengan beberapa
cara seperti kerokan (scrapping), sikatan (brushing), usapan (swab)
atau dengan menggunakan alat khusus yang dihubungkan dengan
penghisap. Cara ini sangat mudah, murah dan tidak menimbulkan rasa
sakit, akan tetapi hasilnya sering meragukan sehingga pemeriksaan
sitologi ini belum dapat diterima untuk mendiagnosis KNF.
b) Biopsi Aspirasi Jarum Halus.
Sebagian besar KNF ditemukan pembesaran kelenjar getah bening di
leher. Untuk membuktikannya merupakan metastasis KNF dilakukan
pemeriksaan biopsi aspirasi. Pemeriksaan ini juga dapat dilakukan
pada massa tumor di nasofaring (Wei & Sham, 2005).
Benny Hidayat : Hubungan Antara Gambaran Timpanometri Dengan Letak Dan Stadium Tumor Pada PenderitaKarsinoma Nasofaring Di Departemen THT-KL RSUP H. Adam Malik Medan, 2009USU Repository © 2008
-
8/18/2019 09E01722
38/90
c) Histopatologi.
Biopsi nasofaring mutlak dilakukan, tujuannya untuk konfirmasi dalam
menentukan sub tipe histopalotogi.
d) Pemeriksaan Imunohistokimia.
Merupakan teknik deteksi antigen dalam jaringan yang melibatkan
deteksi substansi spesifik dalam jaringan dengan menggunakan
derivat antibodi terhadap substans. Antibodi digunakan terhadap
potongan jaringan dan dibiarkan berikatan dengan antigen yang
sesuai. Sistem deteksi digunakan untuk identifikasi lokasi antibodi
menggunakan penanda molekuler yang dapat dilihat. Deteksi antibodi
ini dihubungkan dengan molekul penanda seperti zat fluoresens atau
suatu enzim yang mengkatalis reaksi lebih lanjut membentuk produk
berwarna yang dapat dilihat (Sudiana, 2005).
e) Pemeriksaan Serologi.
Adanya dugaan kuat virus Epstein Barr sebagai salah satu faktor yang
berperan dalam timbulnya KNF menjadi dasar dari pemeriksaan
serologi ini. Antibodi terhadap VEB baik Ig A penderita KNF meningkat
sampai 8-10 kali lebih tinggi dibandingkan penderita tumor lain atau
orang yang sehat (Notopuro et al, 2005). Titer immunoglobin A (IgA)
terhadap virus Epstein Barr spesifik untuk kapsul virus (viral capsid
antigen / VCA) dan antigen awal (early antigen / EA) sangat sensitif
untuk KNF tetapi tingkat spesifitasnya kurang, terutama pada titer yang
rendah sedangkan IgA VEB anti EA sangat spesifik untuk KNF tetapi
Benny Hidayat : Hubungan Antara Gambaran Timpanometri Dengan Letak Dan Stadium Tumor Pada PenderitaKarsinoma Nasofaring Di Departemen THT-KL RSUP H. Adam Malik Medan, 2009USU Repository © 2008
-
8/18/2019 09E01722
39/90
kurang sensitif dan titernya akan menurun mendekati normal pada
KNF stadium lanjut dan titer yang tinggi dapat merupakan indikator
KNF. Pemeriksaan ini juga berguna untuk tindak lanjut penderita
paska pengobatan untuk mengetahui kemungkinan residif (Ahmad,
2002).
f) Polimerase Chain Reaction (PCR).
Digunakan untuk menyalin rantai DNA spesifik dalam jumlah besar
sehingga dapat menunjukkan ada atau tidaknya sebuah gen,
mendeteksi adanya mutasi, amplifikasi, rekayasa genetika dan untuk
mendeteksi DNA virus atau bakteri (Zachreni, 1999).
2.6. Histopatologi
Klasifikasi secara histopatologi dari WHO mengkategorikan KNF ke
dalam 3 tipe besar sesuai dengan pola dominan yang terlihat secara
mikroskopik, yaitu:
Tipe 1. Karsinoma sel skuamosa berkeratin, ditandai dengan:
1) Adanya bentuk kromatin di dalam mutiara skuamosa atau sebagian sel
mengalami keratinisasi (diskeratosis).
2) Adanya stratifikasi dari sel, terutama pada sel yang terletak di
permukaan atau suatu rongga kistik.
3) Adanya jembatan intersel (intercellular bridges). Jembatan intersel ini
mungkin disebabkan karena sel mengalami pengerutan akibat
dehidrasi pada waktu membuat sediaan.
Benny Hidayat : Hubungan Antara Gambaran Timpanometri Dengan Letak Dan Stadium Tumor Pada PenderitaKarsinoma Nasofaring Di Departemen THT-KL RSUP H. Adam Malik Medan, 2009USU Repository © 2008
-
8/18/2019 09E01722
40/90
Tipe 2. Karsinoma sel skuamosa tidak berkeratin, ditandai dengan:
1) Masing-masing sel tumor mempunyai batas yang jelas dan terlihat
tersusun teratur / berjajar.
2) Sering terlihat bentuk pleksiform yang mungkin terlihat sebagai sel
tumor yang jernih / terang yang disebabkan adanya glikogen dalam
sitoplasma sel.
3) Tak terdapat musin atau diferensiasi dari kelenjar.
Tipe 3. Karsinoma tidak berdiferensiasi, ditandai dengan:
1) Susunan sel tumor berbentuk sinsitial.
2) Batas sel satu dengan yang lain sulit dibedakan.
3) Sel tumor berbentuk spindel dan beberapa sel mempunyai nukleous /
inti yang hiperkromatik dan sel ini sering bersifat dominan.
4) Sel tumor tidak memproduksi musin.
(Armiyanto, 1993; Lin, 2006).
2.7. Stadium
Terdapat berbagai klasifikasi untuk KNF, yang paling sering digunakan
adalah menurut UICC ( 2002):
Tumor Primer (T)
Tx : Tumor primer tidak dapat ditentukan.
T0 : Tidak ditemukan adanya tumor primer.
T1 : Tumor terbatas pada daerah nasofaring saja (lateral /
Benny Hidayat : Hubungan Antara Gambaran Timpanometri Dengan Letak Dan Stadium Tumor Pada PenderitaKarsinoma Nasofaring Di Departemen THT-KL RSUP H. Adam Malik Medan, 2009USU Repository © 2008
-
8/18/2019 09E01722
41/90
posterosuperior / atap).
T2 : Tumor meluas sampai pada jaringan lunak.
T2a : Tumor meluas sampai daerah orofaring dan atau rongga
nasal tanpa penyebaran sampai daerah parafaringeal.
T2b : Tumor meluas sampai daerah parafaringeal.
T3 : Tumor menyerang struktur tulang dan atau sinus paranasal.
T4 : Tumor mengenai sampai daerah intrakranial dan atau penyebaran
tumor di saraf kranial, fossa infratemporal, hipofaring, orbita atau
ruangan mastikator.
Pembesaran kelenjar getah bening (KGB) regional: N
Nx : Pembesaran KGB regional tidak dapat ditentukan.
N0 : Tidak ada pembesaran KGB regional.
N1 : Metastasis unilateral KGB dengan ukuran < 6 cm merupakan ukuran
terbesar, terletak di atas fossa supraklavikular.
N2 : Metastasis bilateral KGB dengan ukuran < 6 cm merupakan terbesar
terletak di atas fossa supraklavikular.
N3 : Metastasis pada KGB.
N3a : Ukuran KGB > 6 cm.
N3b : KGB terletak pada daerah fossa supraklavikular.
Metastasis jauh (M)
Mx : Adanya metastasis jauh tidak dapat ditentukan.
Benny Hidayat : Hubungan Antara Gambaran Timpanometri Dengan Letak Dan Stadium Tumor Pada PenderitaKarsinoma Nasofaring Di Departemen THT-KL RSUP H. Adam Malik Medan, 2009USU Repository © 2008
-
8/18/2019 09E01722
42/90
M0 : Tidak ada metastasis jauh.
M1 : Terdapat metastasis jauh.
Stadium
Stadium 0 : Tis-N0-M0.
Stadium I : T1-N0-M0.
Stadium IIA : T2a-N0-M0.
Stadium IIB : T1-N1-M0.
T2b-N0, N1, M0.
Stadium III : T1-N2-M0.
T2a, T2b-N2-M0.
T3, N0,1,2-M0.
Stadium IVA : T4-N0,1,2-M0.
Stadium IVB : Semua T-N3-M0.
Stadium IVC : Semua T-Semua N-M1.
(Aziza et al, 2005; Adham & Roezin, 2007).
2.8. Terapi
2.8.1. Radioterapi
Radioterapi masih tetap merupakan modalitas terapi primer untuk KNF
dan kelenjar regional yang membesar (Cottrill & Nutting, 2003; Wei & Sham,
2005). KNF memiliki sensitivitas tinggi terhadap radiasi dibandingkan kanker
kepala dan leher lainnya (Wei, 2006; Guigay et al, 2006; Lin, 2006).
Benny Hidayat : Hubungan Antara Gambaran Timpanometri Dengan Letak Dan Stadium Tumor Pada PenderitaKarsinoma Nasofaring Di Departemen THT-KL RSUP H. Adam Malik Medan, 2009USU Repository © 2008
-
8/18/2019 09E01722
43/90
Pada pasien KNF stadium dini (stadium I dan II), terapi pilihan adalah
radioterapi definitif. Pada KNF stadium lanjut (stadium III dan IV) pemberian
kemoterapi dikombinasikan dengan radioterapi merupakan pilihan, walau
masih kontroversial sebab masih didapati perbedaan-perbedaan dalam
laporan studi di literatur (Licitra et al, 2003; Lin, 2006).
Dosis radiasi untuk tumor primer biasanya diberikan 65-75 Gray (Gy)
dan pada kelenjar leher 65-70 Gy. Dosis untuk terapi profilaktik pada leher
dengan kelenjar negatif adalah 50-60 Gy (Wei & Sham, 2005). Dosis radiasi
perfraksi yang diberikan adalah 200 cGy DT (dosis tumor) diberikan 5 kali
seminggu untuk tumor primer maupun kelenjar. Setelah itu radiasi dilanjutkan
untuk tumor primer sehingga dosis total adalah 6000-7000 cGy pada tumor
(Marzaini, 2002; Mould & Tai, 2002; Licitra et al, 2003).
Dengan pemberian radioterapi saja telah berhasil mengontrol tumor T1
dan T2 pada 75-90% kasus dan tumor T3 dan T4 pada 50-75% kasus.
Kontrol kelenjar leher mencapai 90% pada kasus N0 dan N1, tapi tingkat
kontrol berkurang menjadi 70% pada kasus N2 dan N3 (Lee, 2003; Licitra
et al, 2003; Wei, 2006).
2.8.2. Kemoterapi
Pemberian kemoterapi pada KNF diindikasikan pada kasus
penyebaran ke kelenjar getah bening leher, metastasis jauh dan kasus-kasus
residif. Pemberian kemoterapi terutama diberikan pada KNF dengan penyakit
lokoregional tingkat lanjut dikombinasikan dengan radioterapi. Kemoterapi
Benny Hidayat : Hubungan Antara Gambaran Timpanometri Dengan Letak Dan Stadium Tumor Pada PenderitaKarsinoma Nasofaring Di Departemen THT-KL RSUP H. Adam Malik Medan, 2009USU Repository © 2008
-
8/18/2019 09E01722
44/90
dapat diberikan sebelum (neoadjuvant), selama (concurrent) atau setelah
(adjuvant) pemberian radioterapi. Regimen kemoterapi aktif, antara lain:
cisplatin, 5-fluorouracil (5-FU), doxorubicin, epirubicin, bleomycin,
mitoxantron, methotrexate dan alkaloid vinca (Zakifman, 2002; Cottrill &
Nutting, 2003; Lin, 2006).
Sebanyak 70% pasien yang baru terdiagnosa KNF datang pada
stadium III dan IV, dengan penyakit lokal lanjut tanpa metastase. Standar
pengobatan adalah radioterapi dikombinasikan dengan kemoterapi. Akan
tetapi, waktu pemberian, dosis, durasi dan regimen obat kemoterapi yang
optimal masih tetap kontroversial sebab masih didapati perbedaan-
perbedaan dalam laporan studi di literatur (Agulnik & Siu, 2005; Lin, 2006).
Dasar pemberian kemoterapi neoadjuvant / induksi kemoterapi dengan
radioterapi ada dua, yaitu:
1. Reduksi sitotoksik tumor primer dan kelenjar dapat meningkatkan kontrol
lokoregional.
2. Eradikasi mikrometastase sistemik pada stadium dini dapat mengurangi
relaps metastase jauh.
Pemberian kemoterapi saat siklus radioterapi (concomitant)
menawarkan potensi sensitisasi tumor terhadap radiasi dan juga
kemungkinan eradikasi mikrometastase tetapi juga menawarkan peningkatan
resiko toksisitas. Tujuan kemoterapi adjuvant yang diberikan setelah
radioterapi adalah untuk mengurangi tingginya tingkat kegagalan terhadap
Benny Hidayat : Hubungan Antara Gambaran Timpanometri Dengan Letak Dan Stadium Tumor Pada PenderitaKarsinoma Nasofaring Di Departemen THT-KL RSUP H. Adam Malik Medan, 2009USU Repository © 2008
-
8/18/2019 09E01722
45/90
metastase jauh. Tetapi hal ini tidak berperan secara signifikan terhadap
kontrol lokoregional (Mould & Tai, 2002; Cottrill & Nutting, 2003).
Berdasarkan berbagai uji random yang telah dipublikasikan dengan
tujuan menilai penambahan kemoterapi pada radioterapi pada KNF lokal
stadium lanjut, telah diambil persetujuan umum bahwa kemoradioterapi
concurrent sangat berguna, secara konsisten menghasilkan keuntungan
survival dibandingkan pemberian radioterapi saja, mencapai tingkat overall
survival (OS) 5 tahun sebesar 70% (Agulnik & Siu, 2005; Guigay et al, 2006;
Wei, 2006).
Pemberian kemoterapi lanjutan terhadap kemoradioterapi concurrent,
baik sebagai neoadjuvant ataupun adjuvant, diperkirakan akan memperkuat
kontrol penyakit. Berdasarkan laporan-laporan terakhir, dipertimbangkan
kombinasi kemoterapi induksi / neoadjuvant diikuti terapi concurrent.
Penggabungan bahan-bahan anti kanker terbaru yang kurang toksik dan
lebih efektif seperti gemcitabine, taxane dan bahan-bahan target molekular
sebagai kombinasi regimen modalitas memerlukan eksplorasi lebih lanjut
dalam terapi KNF lokal stadium lanjut (Agulnik & Siu, 2005).
Sampai sekarang, regimen dengan dasar platinum merupakan standar
kemoterapi pada pasien KNF dengan metastase dan terapi lini pertama yang
paling banyak digunakan adalah kombinasi cisplatin dan 5-FU, yang
mencapai ratio respon 66%-76% (Guigay et al, 2006; Wei, 2006). Kombinasi
platinum dengan bahan baru, seperti gemcitabine atau paclitaxel telah
menunjukkan respon yang baik (Guigay et al, 2006).
Benny Hidayat : Hubungan Antara Gambaran Timpanometri Dengan Letak Dan Stadium Tumor Pada PenderitaKarsinoma Nasofaring Di Departemen THT-KL RSUP H. Adam Malik Medan, 2009USU Repository © 2008
-
8/18/2019 09E01722
46/90
2.8.3. Pembedahan
Pembedahan hanya sedikit berperan dalam penatalaksanaan KNF.
Terbatas pada diseksi leher radikal untuk mengontrol kelenjar yang
radioresisten dan metastase leher setelah radioterapi, pada pasien tertentu
pembedahan penyelamatan (salvage treatment) dilakukan pada kasus
rekurensi di nasofaring atau kelenjar leher tanpa metastase jauh (Chew,
1997; Wei, 2006; Lutzky et al, 2008).
2.9. Timpanometri
Pada tahun 1946, Otto Metz secara sistematis mengevaluasi akustik
imitans dari telinga normal dan abnormal. Metz menerangkan dengan jelas
perubahan-perubahan akustik imitans yang dihubungkan dengan gangguan-
gangguan di telinga tengah (Katz, 1994; Asroel, 2003). Pengembangan alat
elektroakustik sederhana oleh Terkildsen dan Scott-Nielson pada tahun 1960
telah memberikan banyak kemajuan, sehingga alat pengukur ini dapat
digunakan dengan mudah di klinik (O’Connor, 1997; Asroel, 2003).
Selanjutnya pada awal 1970, pengukuran imitans mulai dimasukkan ke dalam
rangkaian tes audiometri rutin (Katz, 1994; Asroel, 2003).
Pemeriksaan timpanometri merupakan salah satu dari rangkaian
pemeriksaan fungsi telinga tengah secara objektif. Penilaian objektif fungsi
telinga dapat dilakukan dengan mengukur beberapa parameter dari isyarat
akustik yang direfleksikan oleh membran timpani yang utuh (Ballenger, 1997;
Asroel, 2003). Keadaan tekanan pada telinga tengah, integritas membran
Benny Hidayat : Hubungan Antara Gambaran Timpanometri Dengan Letak Dan Stadium Tumor Pada PenderitaKarsinoma Nasofaring Di Departemen THT-KL RSUP H. Adam Malik Medan, 2009USU Repository © 2008
-
8/18/2019 09E01722
47/90
timpani serta mobilitas tulang pendengaran dapat dievaluasi dengan
pemeriksaan ini (Ballenger, 1997; Sjarifuddin, Bashiruddin & Purba, 2001;
Asroel, 2003).
Menurut definisinya, timpanometri adalah tehnik pemeriksaan yang
objektif untuk menilai aliran energi bunyi dalam liang telinga dan telinga
tengah, tekanan bervariasi pada telinga tengah serta digambarkan dalam
bentuk grafik (timpanogram) (Asroel, 2003). Timpanometri merupakan alat
pengukur tak langsung dari compliance (kelenturan) membran timpani dan
sistem osikular dalam berbagai kondisi tekanan positif, normal atau negatif.
Timpanogram merupakan suatu penyajian berbentuk grafik dari kelenturan
relatif sistem timpano-osikular. Kelenturan maksimal diperoleh pada tekanan
udara normal dan berkurang jika tekanan udara ditingkatkan atau diturunkan.
Individu dengan pendengaran normal akan memperlihatkan sistem timpano-
osikular yang normal juga (Greenfield et al, 1996).
2.9.1. Terminologi
Beberapa terminologi atau istilah yang harus diketahui adalah:
1. Imitans : Istilah umum yang menunjukkan penggabungan akustik
impedans dan admitans.
2. Impedans: Suatu ukuran, dimana sebuah sistem dapat menahan aliran
energi yang melaluinya (tahanan).
3. Admitans: Total aliran energi yang melalui sebuah sistem (masukan).
Benny Hidayat : Hubungan Antara Gambaran Timpanometri Dengan Letak Dan Stadium Tumor Pada PenderitaKarsinoma Nasofaring Di Departemen THT-KL RSUP H. Adam Malik Medan, 2009USU Repository © 2008
-
8/18/2019 09E01722
48/90
4. Static Acoustic Admittance / SAA (Compliance Peak): Titik pada sumbu Y
dalam timpanogram, dimana kurva mencapai maksimum. Pada dasarnya
merupakan titik dari kurva, nilai normal anak-anak adalah 0,2-0,9 mmh0;
mean: 0,5 (ASHA) dan dewasa adalah 0,3-1,4 mmh0; mean: 0,8.
5. Tympanometric Peak Pressure (TPP): Titik pada sumbu X dalam
timpanogram, dimana compliance peak berada. Nilai normalnya adalah
-150 s.d +100 decaPascals (daPa).
6. Ear Canal Volume (ECV): Nilai normalnya 0,3-1,0 cm3 (anak-anak) dan
0,65-1,75 cm3 (dewasa). Volume pada ♀ < ♂.
7. DecaPascals (daPa): Satuan unit pengukuran tekanan udara, dimana 1
daPa = 10 Pascals.
8. Millim0 (mmh0): Satuan unit pengukuran imitans, dimana 1 mh0 = 1.000
mmh0.
(Katz, 1994; Stach, 1998; Asroel, 2003).
2.9.2. Peralatan
Pada dasarnya alat pengukur impedans terdiri dari 4 bagian yang
semuanya dihubungkan ke liang telinga tengah oleh sebuah alat kedap
suara, sebagai berikut:
1) Sebuah alat yang memproduksi nada bolak-balik (oscillator ) dengan
frekwensi yang tetap (biasanya 220 Hz).
2) Sebuah mikrofon dan meter pencatat sound pressure level dalam liang
telinga.
Benny Hidayat : Hubungan Antara Gambaran Timpanometri Dengan Letak Dan Stadium Tumor Pada PenderitaKarsinoma Nasofaring Di Departemen THT-KL RSUP H. Adam Malik Medan, 2009USU Repository © 2008
-
8/18/2019 09E01722
49/90
3) Sebuah pompa udara dan manometer yang dikalibrasi dalam milimeter air
(-600 mmH2O s.d +1.200 mmH2O). Suatu mekanisme untuk mengubah
dan mengukur tekanan udara dalam liang telinga.
(Jerger, 1976; Katz, 1994; Asroel, 2003).
Gambar 2.1. Skema Alat yang Digunakan untuk Pemeriksaan Timpanometri
(Dikutip dari Jerger, 1976).
2.9.3. Cara Kerja Impedans Meter
Timpanometri merupakan salah satu dari 3 pengukuran imitans yang
banyak digunakan dalam menilai fungsi telinga tengah secara klinis,
disamping imitans statik dan ambang refleks akustik (Stach, 1998; Asroel,
2003).
Cara kerja timpanometri adalah alat pemeriksaan (probe) yang
dimasukkan ke dalam liang telinga memancarkan sebuah nada dengan
Benny Hidayat : Hubungan Antara Gambaran Timpanometri Dengan Letak Dan Stadium Tumor Pada PenderitaKarsinoma Nasofaring Di Departemen THT-KL RSUP H. Adam Malik Medan, 2009USU Repository © 2008
-
8/18/2019 09E01722
50/90
frekwensi 220 Hz. Alat lainnya mendeteksi respon dari membran timpani
terhadap nada tersebut.
Secara bersamaan, probe yang menutupi liang telinga menghadirkan
berbagai jenis tekanan udara. Pertama positif, kemudian negatif ke dalam
liang telinga. Jumlah energi yang dipancarkan berhubungan langsung dengan
compliance. Compliance menunjukkan jumlah mobilitas di telinga tengah.
Sebagai contoh, lebih banyak energi yang kembali ke alat pemeriksaan, lebih
sedikit energi yang diterima oleh membran timpani. Hal ini menggambarkan
suatu compliance yang rendah. Compliance yang rendah menunjukkan
kekakuan atau obstruksi pada telinga tengah. Data-data yang didapat
membentuk sebuah gambar 2 dimensi pengukuran mobilitas membran
timpani. Pada telinga normal, kurva yang timbul menyerupai gambaran
lonceng.
Penghantaran bunyi melalui telinga tengah akan maksimal bila
tekanan udara sama pada kedua sisi membran timpani. Pada telinga yang
normal, penghantaran maksimum terjadi pada atau mendekati tekanan
atmosfir. Itulah sebabnya ketika tekanan udara di dalam liang telinga sama
dengan tekanan udara di dalam kavum timpani, imitans dari sistem getaran
telinga tengah yang normal akan berada pada puncak optimal dan aliran
energi yang melalui sistem ini akan maksimal. Tekanan telinga tengah dinilai
dengan bermacam-macam tekanan pada liang telinga yang ditutup probe
sampai sound pressure level (SPL) berada pada titik minimum. Hal ini
menggambarkan penghantaran bunyi yang maksimum melalui telinga tengah.
Benny Hidayat : Hubungan Antara Gambaran Timpanometri Dengan Letak Dan Stadium Tumor Pada PenderitaKarsinoma Nasofaring Di Departemen THT-KL RSUP H. Adam Malik Medan, 2009USU Repository © 2008
-
8/18/2019 09E01722
51/90
Tetapi bila tekanan udara dalam salah satu liang telinga lebih dari (tekanan
positif) atau kurang dari (tekanan negatif) tekanan dalam kavum timpani,
imitans sistem akan berubah dan aliran energi berkurang. Dalam sistem yang
normal, begitu tekanan udara berubah sedikit di bawah atau di atas dari
tekanan udara yang memproduksi imitans maksimum, aliran energi akan
menurun dengan cepat sampai nilai minimum.
Pada tekanan yang bervariasi di atas atau di bawah titik maksimum,
SPL nada pemeriksaan di dalam liang telinga bertambah, menggambarkan
sebuah penurunan dalam penghantaran bunyi yang melalui telinga tengah
(Stach, 1998; Asroel, 2003).
Hasselt dkk di Hongkong (1999) mengemukakan bahwa pemeriksaan
timpanometri paling sensitif (96%) dalam mendiagnosis adanya efusi di
telinga tengah pada penderita KNF yang belum mendapatkan radioterapi
(Hasselt, 1999). Fong dan Low di Singapura (1996) melakukan penelitian
tentang gangguan pendengaran pada penderita KNF sebelum mendapatkan
radioterapi. Mereka melakukan pemeriksaan adanya efusi pada telinga
tengah secara klinis dan dibuktikan dengan pemeriksaan timpanometri
(Fong & Low, 1996). Dengan pemeriksaan timpanometri, Low di Singapura
(1994) melakukan pengukuran tekanan telinga tengah pada penderita KNF di
Rumah Sakit Singapura. Low mendapatkan rata-rata tekanan telinga tengah
pada penderita KNF sebesar -55,2 mmH2O (Low, 1995).
Bila terjadi sumbatan pada tuba Eustachius oleh tumor di nasofaring
akan menyebabkan tekanan udara dalam rongga telinga tengah menjadi
Benny Hidayat : Hubungan Antara Gambaran Timpanometri Dengan Letak Dan Stadium Tumor Pada PenderitaKarsinoma Nasofaring Di Departemen THT-KL RSUP H. Adam Malik Medan, 2009USU Repository © 2008
-
8/18/2019 09E01722
52/90
negatif, sehingga terjadi retraksi membran timpani dan akibatnya didapatkan
timpanogram tipe C. Timpanogram tipe B didapatkan bila mobilitas tulang-
tulang pendengaran menurun sedemikian rupa oleh adanya cairan efusi
dalam rongga telinga tengah yang mengakibatkan puncak timpanogram
menjadi landai (Asroel, 2003; Karya et al, 2007).
Ada beberapa tipe timpanogram konvensional, sebagai berikut:
1. Tipe A:
• Terdapat pada fungsi telinga tengah yang normal.
• Mempunyai bentuk khas, dimana puncak imitans berada pada titik 0
daPa dan penurunan imitans yang tajam dari titik 0 ke arah negatif
atau positif.
Gambar 2.2. Timpanogram Normal (Dikutip dari Asroel, 2003).
Benny Hidayat : Hubungan Antara Gambaran Timpanometri Dengan Letak Dan Stadium Tumor Pada PenderitaKarsinoma Nasofaring Di Departemen THT-KL RSUP H. Adam Malik Medan, 2009USU Repository © 2008
-
8/18/2019 09E01722
53/90
2. Tipe B:
• Terdapat pada kavum timpani yang berisi cairan, misalnya pada otitis
media efusi.
• Timpanogram tidak memiliki puncak dan cenderung mendatar atau
sedikit membulat. ECV dalam batas normal, terdapat sedikit atau tidak
ada mobilitas pada telinga tengah. Bila tidak ada puncak tetapi ECV >
normal, ini menunjukkan adanya perforasi pada membran timpani.
Gambar 2.3. Timpanogram Tipe B (Dikutip dari Asroel, 2003).
3. Tipe C:
• Terdapat pada keadaan membran timpani yang retraksi dan malfungsi
dari tuba Eustachius.
• Tekanan telinga tengah negatif, titik puncak berada pada titik > -150
daPa.
Benny Hidayat : Hubungan Antara Gambaran Timpanometri Dengan Letak Dan Stadium Tumor Pada PenderitaKarsinoma Nasofaring Di Departemen THT-KL RSUP H. Adam Malik Medan, 2009USU Repository © 2008
-
8/18/2019 09E01722
54/90
Gambar 2.4. Timpanogram Tipe C (Dikutip dari Asroel, 2003).
4. Tipe As:
• Terdapat pada otosklerosis dan keadaan membran timpani yang
berparut.
• Timpanogram kelihatan seperti tipe A (normal), dimana puncak berada
atau dekat titik 0 daPa, tapi dengan ketinggian puncak yang secara
signifikan berkurang. Huruf s di belakang A berarti stiffness atau
shallowness.
Gambar 2.5. Timpanogram Tipe As (Dikutip dari Asroel, 2003).
Benny Hidayat : Hubungan Antara Gambaran Timpanometri Dengan Letak Dan Stadium Tumor Pada PenderitaKarsinoma Nasofaring Di Departemen THT-KL RSUP H. Adam Malik Medan, 2009USU Repository © 2008
-
8/18/2019 09E01722
55/90
5. Tipe Ad:
• Terdapat pada keadaan membran timpani yang flaksid atau
diskontinuitas (kadang-kadang sebagian) dari tulang-tulang
pendengaran.
• Timpanogram kelihatan seperti tipe A (normal), tetapi dengan puncak
lebih tinggi secara signifikan dibandingkan normal. Huruf d di belakang
A berarti deep atau discontinuity.
(Jerger, 1976; Stach, 1998; Asroel, 2003).
Gambar 2.6. Timpanogram Tipe Ad (Dikutip dari Asroel, 2003).
Benny Hidayat : Hubungan Antara Gambaran Timpanometri Dengan Letak Dan Stadium Tumor Pada PenderitaKarsinoma Nasofaring Di Departemen THT-KL RSUP H. Adam Malik Medan, 2009USU Repository © 2008
-
8/18/2019 09E01722
56/90
BAB 3
KERANGKA KONSEP
Gangguan fungsituba Eustachius
Timpanogram abnormal
Gangguan pendengaran
KNF Stadium dan letak tumor
Histopatologi
Benny Hidayat : Hubungan Antara Gambaran Timpanometri Dengan Letak Dan Stadium Tumor Pada PenderitaKarsinoma Nasofaring Di Departemen THT-KL RSUP H. Adam Malik Medan, 2009USU Repository © 2008
-
8/18/2019 09E01722
57/90
BAB 4
METODE PENELITIAN
4.1. Rancangan Penelit ian
Penelitian dilakukan dengan menggunakan studi potong lintang (cross
sectional study) yang bersifat deskriptif analitik.
4.2. Populasi, Sampel, Besar Sampel dan Teknik Pengambilan Sampel
4.2.1. Populasi
Populasi pada penelitian ini adalah seluruh penderita dengan
sangkaan suatu KNF berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan THT yang
berobat ke RSUP H. Adam Malik Medan.