1 hasan sitorus

28
VISI (2009) 17 (1) 1 - 17 PROFIL PERIKANAN DESTRUKTIF DI KABUPATEN NIAS SELATAN Hasan Sitorus dan Juli Ritha Tarigan ABSTRACT The aim of the research is to study the profile of destructive fishing at South Nias District. The study is focused on using bomb and poisons for fishing which have high impact on the fish habitate degradation and depletion aquatic resources. This information is very important for local government in arrange the policy to overcome illegal fishing in South Nias District. Based on the field research, composition of destructive fishing activities are 1) fish bombing 73.16 %, 2) fish poisoning 22.14 % , and 3) electrical fishing 4.70 % Fishing by using bomb and poison were dominated by out site fishermen, while fishing by electrical current all practiced by local fishermen. The bomb materials and poisons were bought from Sibolga and Medan through illegal market. Frequency of fish bombing three times in a week and it was usually happened in the afternoon, while fish poisoning almost every day in the morning at Pulau Pini and Pulau Marit. The destructive fishing had significant impact on the coral reef degradation in this region, because the life coral reef covering less than 30 %. ------------- Key words : destructive fishing, bomb, poison, coral reef, South Nias District. I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Menurut Dahuri (2005), salah satu faktor penyebab deplesi sumberdaya perikanan laut adalah kegiatan penangkapan ikan dengan menggunakan alat tangkap yang sifatnya destruktif. Penggunaan alat tangkap yang tidak ramah lingkungan ini pada dasarnya merupakan kegiatan penangkapan ikan yang tidak legal. Penggunaan bom, racun, pukat harimau, dan alat tangkap lainnya yang tidak selektif, menyebabkan terancamnya kelestarian sumberdaya hayati laut, akibat kerusakan habitat biota laut dan kematian sumberdaya ikan. _____________ ISSN 0853 - 0203 1

Upload: al-ismi-m-salanggon

Post on 29-Nov-2015

24 views

Category:

Documents


5 download

TRANSCRIPT

Page 1: 1 Hasan Sitorus

VISI (2009) 17 (1) 1 - 17

PROFIL PERIKANAN DESTRUKTIFDI KABUPATEN NIAS SELATAN

Hasan Sitorus dan Juli Ritha Tarigan

ABSTRACT

The aim of the research is to study the profile of destructive fishing at South Nias District. The study is focused on using bomb and poisons for fishing which have high impact on the fish habitate degradation and depletion aquatic resources. This information is very important for local government in arrange the policy to overcome illegal fishing in South Nias District. Based on the field research, composition of destructive fishing activities are 1) fish bombing 73.16 %, 2) fish poisoning 22.14 % , and 3) electrical fishing 4.70 % Fishing by using bomb and poison were dominated by out site fishermen, while fishing by electrical current all practiced by local fishermen. The bomb materials and poisons were bought from Sibolga and Medan through illegal market. Frequency of fish bombing three times in a week and it was usually happened in the afternoon, while fish poisoning almost every day in the morning at Pulau Pini and Pulau Marit. The destructive fishing had significant impact on the coral reef degradation in this region, because the life coral reef covering less than 30 %.-------------Key words : destructive fishing, bomb, poison, coral reef, South Nias District.

I. PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Menurut Dahuri (2005), salah satu faktor penyebab deplesi sumberdaya perikanan laut adalah kegiatan penangkapan ikan dengan menggunakan alat tangkap yang sifatnya destruktif. Penggunaan alat tangkap yang tidak ramah lingkungan ini pada dasarnya merupakan kegiatan penangkapan ikan yang tidak legal. Penggunaan bom, racun, pukat harimau, dan alat tangkap lainnya yang tidak selektif, menyebabkan terancamnya kelestarian sumberdaya hayati laut, akibat kerusakan habitat biota laut dan kematian sumberdaya ikan. Terumbu karang sebagai salah satu sumberdaya hayati laut memimiliki peranan penting dalam sistem ekologi perairan pesisir dan laut. Kerusakan terumbu karang menyebabkan terganggunya spawning ground, nursery ground dan feeding ground bagi berbagai jenis ikan dan udang yang bernilai ekonomis. Dewasa ini, sumberdaya terumbu karang yang ada di Kabupaten Nias Selatan telah mengalami kerusakan. Menurut CRITC (2006) terdapat 3.728 hektar terumbu karang di Kabupaten Nias Selatan dan sebagian besar berada di kawasan Pulau- Pulau Batu. Kerusakan terumbu karang ini telah mencapai 72 %, dan hanya sekitar 5 % yang masih dalam kondisi sangat baik. Penyebab utama kerusakan terumbu karang di Nias Selatan adalah akibat kegiatan perikanan yang tidak ramah lingkungan, seperti penggunaan bahan peledak, racun dan pukat harimau untuk penangkapan ikan (illegal fisihing). Selain itu, penambangan karang

_____________ISSN 0853 - 0203

1

Page 2: 1 Hasan Sitorus

VISI (2009) 17 (1) 1 - 17

sebagai bahan bangunan, pengambilan bunga karang sebagai souvenir, dan tektonik bumi merupakan faktor yang mempercepat degradasi terumbu karang. Untuk mencegah semakin buruknya kondisi terumbu karang di Kabupaten Nias Selatan dan untuk melindungi terumbu karang yang masih eksis, maka diperlukan suatu kebijakan dan strategi perlindungan terumbu karang. Agar kebijakan terarah dan efektif, maka sangat dibutuhkan data dasar (profil) perikanan destruktif di Kabupaten Nias Selatan. Profil perikanan destruktif ini mencakup jenis dan alat tangkap yang tidak ramah lingkungan yang merusak habitat dan sumberdaya hayati, wilayah operasi penangkapan ilegal (illegal fishing ground), pangkalan kapal penangkap ilegal, tempat-tempat pendaratan ikan hasil ilegal, proses hukum aktivitas perikanan destruktif dan sistem pengawasan dan pengendalian destruktif fishing di Kabupaten Nias Selatan.

1.2. Tujuan Tujuan dari studi ini adalah untuk menyusunan profil perikanan destruktif (destructive fishing) di Kabupaten Nias Selatan, khususnya penggunaan bom dan racun sianida.

1.3. Manfaat Informasi profil perikanan destruktif ini dapat digunakan sebagai dasar penetapan kebijakan bagi Pemerintah Daerah dalam upaya perlindungan sumberdaya hayati perairan laut, khususnya sumberdaya terumbu karang di Kabupaten Nias Selatan.

1.4. Keluaran (Output) Tersusunnya dokumen Profil Perikanan Destruktif di Kabupaten Nias Selatan berdasarkan hasil penelitian lapangan dan data sekunder dari berbagai instansi terkait.

II. METODOLOGI PENELITIAN

2.1. Lokasi dan Waktu Pelaksanaan Kegiatan Penyusunan Profil Perikanan Destruktif di Kabupaten Nias Selatan dilaksanakan di wilayah Coremap II yang meliputi 3 wilayah kecamatan, yakni Kecamatan Teluk Dalam, Kecamatan Pulau-Pulau Batu, dan Kecamatan Hibala. Kegiatan ini dilaksanakan mulai bulan Agustus – Nopember 2008.

2.2. Bahan dan Metode Pelaksanaan Bahan dan alat yang digunakan dalam kegiatan studi ini adalah : 1) ATK untuk pencatatan data, 2) Kuesioner untuk 3 kelompok sasaran (nelayan pelaku, nelayan pelaku tidak

langsung, nelayan informan),3) Peta laut, dan data statistik Nias Selatan4) Perahu untuk transportasi survey dan camera

_____________ISSN 0853 - 0203

2

Page 3: 1 Hasan Sitorus

VISI (2009) 17 (1) 1 - 17

Metode pelaksanaan kegiatan adalah sebagai berikut :1) Survey di enam desa untuk mengetahui kondisi umum aktivitas perikanan

laut oleh masyarakat lokal.2) Penyebaran kuesioner dan tanya jawab secara mendalam (depth

interview) dengan masyarakat lokal untuk mengetahui aktivitas perikanan destruktif dan faktor-faktor pendorong terjadinya perikanan destruktif (Metode PRA) khususnya penggunaan bom dan racun untuk penangkapan ikan.

3) Pengambilan data proses hukum di Pos Angkatan Laut, Polisi Perairan, Polsek Tello, dan Teluk Dalam.

4) Analisis data untuk penyusunan profil perikanan destruktif Kabupaten Nias Selatan.

2.3. Parameter yang Diamati Dalam studi Perikanan Destruktif di Kabupaten Nias Selatan, beberapa parameter yang diamati adalah :1) Jenis alat tangkap dan bahan2) Material dan sumber bahan3) Pelaku dan mata rantai pelaku4) Pasar dan jalur distribusi bahan dan produk ikan illegal5) Lokasi –lokasi terkait dengan kegiatan perikanan destruktif. 6) Organisme target7) Dampak kegiatan8) Intensitas dan frekuensi kegiatan9) Prosedur penangkapan dan proses hukum.

2.4. Materi Kuesioner Untuk mencapai sasaran studi, maka materi kuesioner di arahkan untuk aspek-aspek berikut ini : sumber bahan bom dan racun, ukuran kapal yang biasa digunakan, kemampuan jelajah, lokasi penangkapan ikan, biaya pembelian dan pengoperasian bom dan racun, jenis hasil tangkapan yang dominan, sistem pembagian hasil, jalur pemasaran ikan, dan penghasilan dari pelaku, serta dampak kerusakan yang ditimbulkan, 2.5. Responden Jumlah responden dalam studi ini sebanyak 30 orang setiap desa untuk nelayan bukan pelaku perikanan destruktif, dan pelaku atau mantan pelaku diupayakan minimal 2 orang setiap desa di lokasi Coremap II. Jumlah total responden 180 orang untuk 6 desa, dan pelaku atau mantan pelaku yang berhasil diwawancarai hanya 9 orang. Disamping itu, juga diambil data sekunder dari instansi terkait, seperti Polsek Tello, Polair Tello, Pos TNI AL Tello dan Teluk Dalam, untuk mengetahui proses justisi illegal fishing.

_____________ISSN 0853 - 0203

3

Page 4: 1 Hasan Sitorus

VISI (2009) 17 (1) 1 - 17

2.6. Tahapan Penyusunan Profil Destruktif Fishing Studi Profil Perikanan Destruktif (PD) di Kabupaten Nias Selatan ini diawali dengan penyusunan rencana studi (proposal teknis), yang meliputi aspek metodologi, tenaga ahli, dan tenaga lapangan. Kemudian dilanjutkan dengan penyusunan kuesioner oleh para tenaga ahli, briefing dengan surveyor dan enumerator, dan pengambilan data lapangan. Untuk melengkapi data dari nelayan local baik pelaku maupun bukan pelaku (informan), juga diambil data-data dari Polsek Pulau-Pulau Batu, Polair Tello, Dan Pos TNI AL Teluk Dalam dan Tello. Seluruh data yang diperoleh dikompilasi dan diverifikasi untuk menjamin agar data yang diperoleh memiliki validitas yang tinggi. Setelah dianalisis, dilanjutkan dengan penyusunan buku profil perikanan destruktif di Kabupaten Nias Selatan (lihat Gambar 1).

_____________ISSN 0853 - 0203

4

Page 5: 1 Hasan Sitorus

VISI (2009) 17 (1) 1 - 17

_____________ISSN 0853 - 0203

Perencaan StudiPerikanan Destruktif Nias

Selatan

Penyusunan Tenaga Ahli dan Enumerator

Penyusunan Kuesioner

Survey dan Pengumpulan Data

Lokasi dan Responden

Kompilasi Data

Verifikasi Data

TIDAK YA

Data Entry(Data Base)

Analisis dan Pelaporan

Buku Profil Perikanan Destruktif Kabupaten Nias

Selatan

Gambar 1. Bagan Alir Penyusunan Destruktif Fishing Kabupaten Nias Selatan

Instansi Terkait(Polair, TNI AL)

5

Page 6: 1 Hasan Sitorus

VISI (2009) 17 (1) 1 - 17

III. PROFIL PESISIR NIAS SELATAN

3.1. Kondisi Geografis Kabupaten Nias Selatan yang beribukota di Teluk Dalam merupakan kabupaten baru hasil pemekaran dari Kabupaten Nias, berdasarkan UU No.9 Tahun 2003. Status otonom diperoleh pada 25 Februari 2003. Sebagian besar Pulau Nias dengan beberapa pulau kecil di sekitarnya masuk ke dalam Kabupaten Nias, sedangkan sebagian kecil pulau Nias di bagian selatan beserta pulau-pulau di sekitarnya masuk ke dalam wilayah Kabupaten Nias Selatan. Kabupaten Nias Selatan secara geografis berada di wilayah Pantai Barat Sumatera pada posisi 0.94o LU - 0,86o LS dan 97,06o BT - 99,03o BT dengan ketinggian 0 – 800 m di atas permukaan laut. Daerah ini di sebelah Utara berbatasan dengan Kabupaten Nias, sebelah Selatan dengan Pulau-Pulau Mentawai Propinsi Sumatera Barat, sebelah Timur dengan Kabupaten Mandailing Natal dan Pulau-Pulau Mursala Kabupaten Tapanuli Tengah, dan sebelah Barat berbatasan dengan Samudera Indonesia. Luas wilayah kabupaten ini mencapai 1.825,2 km2, terdiri dari 104 buah pulau dan yang dihuni 21 pulau. Dari seluruh gugusan pulau itu, ada empat pulau besar, yakni Pulau Tanah Bala (39,67 km2), Pulau Tanah Masa (32,16 km2), Pulau Tello (18 km2), dan Pulau Pini (24,36 km2). Berdasarkan wilayah administratif, daerah ini terdiri dari 9 kecamatan, yakni Kecamatan Pulau-Pulau Batu, Kecamatan Pulau-Pulau Batu Timur, Kecamatan Hibala, Kecamatan Teluk Dalam, Kecamatan Amandraya, Kecamatan Lahusa, Kecamatan Gomo, Kecamatan Lolomatua dan Kecamatan Lolowa’u dan memiliki 212 desa. Dari seluruh kecamatan yang ada, ada 2 kecamatan yang tidak memiliki wilayah pesisir, yakni Kecamatan Gomo dan Kecamatan Lolomatua. Dari 7 kecamatan yang memiliki wilayah pesisir, 3 kecamatan ditetapkan menjadi lokasi kegiatan COREMAP II, yakni : Kecamatan Hibala (Desa Duru dan Tuwaso), Kecamatan Pulau-Pulau Batu (Desa Sifitu Ewali, Hayo dan Luaha Idano Pono) dan Kecamatan Teluk Dalam (Desa Botohilitano).

3.2. Kondisi Iklim Dari segi iklim, daerah ini termasuk iklim tropis basah yakni daerah yang memiliki curah hujan tinggi (3.077,1 mm/tahun) dan dipengaruhi Samudera Indonesia. Musim hujan sangat dipengaruhi angin Mounson Timur dan angin Mounson Barat. Musim kemarau umunya terjadi pada bulan Juni sampai Agustus, sedangkan musim hujan terjadi pada bulan September sampai Maret yang sering disertai badai besar di laut. 3.3. Kondisi Biofisik Pesisir

a. Kondisi Oseanografis Perairan laut di Kabupaten Nias Selatan merupakan Samudera Indonesia, yang dicirikan dengan gelombang laut yang besar, perairan dalam, dan dasar curam, kecepatan arus lambat sampai sedang, dan kisaran pasang surut yang relatif

_____________ISSN 0853 - 0203

6

Page 7: 1 Hasan Sitorus

VISI (2009) 17 (1) 1 - 17

rendah. Namun di sekitar pesisir pulau-pulau kecil seperti di Kecamatan Pulau-Pulau Batu dan Kecamatan Hibala, juga ditemukan dasar pantai yang landai, dan perairan dangkal dan jernih.

b. Kualitas Perairan Laut Secara umum, kualitas perairan laut di 3 wilayah kecamatan (Pulau-Pulau Batu, Hibala dan Teluk dalam) masih cukup baik dan mendukung sistem kehidupan akuatik. Salinitas berkisar antara 29 – 33 ppt, kecerahan 10 - 15 m, kadar nitrat sedang (0,62 ppm) kecuali di sekitar pemukiman di pulau-pulau kecil, dan oksigen terlarut berkisar antara 6,4 – 7,6 ppm.

c. Terumbu Karang Ekosistem terumbu karang di Kabupaten Nias Selatan dengan luas 3.728 hektar, sebagian besar tersebar di kawasan Kecamatan Pulau-Pulau Batu. Kawasan terumbu karang tersebut menjadi lokasi utama penangkapan ikan ekonomis bagi masyarakat nelayan. Akibat lemahnya pengawasan, di daerah ini banyak terjadi kegiatan penangka-pan ikan yang tidak ramah lingkungan, baik oleh nelayan lokal maupun nelayan asing. Penggunaan bom, racun dan pukat harimau telah menyebabkan kerusakan terumbu karang sampai pada tahap yang mengkhawatirkan. Berdasarkan hasil foto bawah air, kerusakan terumbu karang di Kecamatan Hibala telah mencapai 73 %, di Kecamatan Pulau-Pulau Batu 76 % dan Kecamatan Teluk Dalam 84 %. Terumbu karang yang masih baik hanya terdapat pada kawasan perairan pada kedalaman lebih dari 15 meter. Kerusakan terumbu karang ini secara nyata telah berdampak terhadap penurunan hasil tangkapan nelayan dalam beberapa tahun terakhir ini. Implikasi dari keadaan ini, terumbu karang semakin banyak mengalami tekanan oleh masyarakat lokal dengan cara-cara yang tidak bijaksana untuk memenuhi kebutuhan hidup. Oleh sebab itu, untuk mengurangi kerusakan yang lebih parah, perlu segera ditetapkan daerah konservasi laut (marine management area), yang didukung peraturan desa dan daerah, dan pengembangan mata pencaharian alternatif. Pantai di Pulau-Pulau Batu danHibala umumnya berpasir putih bersih, sedang di Teluk Dalam berpasir putih agak kecoklatan. Walaupun pada beberapa lokasi di P. P. Batu yang dekat dengan pemukiman penduduk ataupun yang pantainya ditumbuhi semak belukar atau mangrove perairannya sedikit agak keruh, tapi kondisinya relatif masih lebih jernih dibandingkan dengan dengan perairan yang berada di sekitar Teluk Dalam. Berdasarkan pengamatan di lapangan, tingkat sedimentasi yang agak tinggi dijumpai pada stasiun-stasiun yang berada di Teluk Dalam. Rataan terumbu bagian atas (reef flat/reef top) umumnya landai dan mendatar antara 50-150 m dari daratan. Dasar perairannya dipenuhi oleh karang mati yang telah ditumbuhi alga (DCA=Dead Coral with algae), pecahan karang mati (R=Rubble), ataupun pasir (S=Sand). Walaupun tidak banyak dijumpai

_____________ISSN 0853 - 0203

7

Page 8: 1 Hasan Sitorus

VISI (2009) 17 (1) 1 - 17

lamun (seagrass), pada beberapa lokasi seperti di Pulau Balogia, Pulau Sipika, dan Pulau Pono, lamun dari marga Enhalus dijumpai di rataan terumbu bagian atas. Pada bagian lereng terumbu (reef slope), sudut kemiringan semakin bertambah walaupun kemiringannya tidak terlalu curam, yaitu sekitar 10-30o. Dasar perairannya juga banyak dijumpai pecahan karang mati, pasir ataupun bongkahan karang mati yang telah ditumbuhi oleh alga. Karang tumbuh dalam ukuran kecil dan umumnya tidak mengelompok dalam satu tempat, melainkan terpisah–pisah. Karang Acropora relative jarang dijumpai, dan kalau pun dijumpai umumnya berukuran kecil, diameternya kurang dari 20 cm. Pada beberapa lokasi, karang kelompok Non-Acropora dari marga Hydrophora terlihat agak dominan dibanding marga lainnya walaupun persentase tutupannya juga tidak besar. Berdasarkan pengamatan visual di lapangan, di Pulau-Pulau Batu dan Hibala banyak dijumpai kerusakan karang yang mungkin disebabkan oleh penangkapan ikan menggunakan bom dan racun (potas) , selain karena faktor alami. Hasil pengamatan terumbu karang yang dilakukan dengan menggunakan metode transek memperlihatkan bahwa persentase tutupan karang hidup seluruhnya di bawah 50 %. Di Pulau-Pulau Batu, rata-rata tutupan karang 23,42 %, Hibala 25, 16 dan Teluk Dalam 8,24 % untuk Acropora dan non Acropora. d. Mangrove Di Kabupaten Nias Selatan, hutan mangrove hanya ditemukan pada beberapa pulau saja, dan luasnya sekitar 600 hektar. Di Kecamatan Pulau-Pulau Batu, mangrove ditemukan di sekitar Pulau Tello, Pulau Pono dan Pulau Tanah Masa,, di Kecamatan Hibala di sekitar Teluk Duru dan pantai Pulau Hibala dekat alur muara sungai dengan luas sekitar 103 hektar, dan di Kecamatan Teluk Dalam sekitar 180 hektar.

3.4. Kondisi Sosial Ekonomi

a. Kependudukan Jumlah penduduk Kabupaten Nias Selatan berdasarkan BPS (2006) mencapai 275.500 jiwa (61.276 Kepala Keluarga), dengan tingkat kepadatan penduduk rata-rata sebesar 151 jiwa/km2. Laju pertambahan penduduk mencapai 1,5 %/tahun. Kepadatan penduduk tertinggi terdapat di Kecamatan Gomo (317 jiwa/km2), dan terendah di Kecamatan Lahusa (88 jiwa/km2). Jumlah penduduk di tiga kecamatan yang menjadi wilayah pengelolaan Coremap II, yakni Kecamatan Hibala mencapai 9.374 jiwa (1.875 Kepala Keluarga) dengan tingkat kepadatan 173 jiwa/km2, Kecamatan Pulau-Pulau Batu sebanyak 17.465 jiwa (4.366 Kepala Keluarga) dengan tingkat kepadatan 144 jiwa/km2, dan Kecamatan Teluk Dalam 76.750 jiwa dengan tingkat kepadatan 157 jiwa/km2. Sedangkan jumlah penduduk di desa-desa lokasi COREMAP II adalah : Desa Duru 504 jiwa, Tuwaso 623 jiwa, Sifitu Ewali 801 jiwa, Hayo 284 jiwa, Luaha Idano Pono 253 jiwa, dan Desa Botohilitano 3.226 jiwa.

_____________ISSN 0853 - 0203

8

Page 9: 1 Hasan Sitorus

VISI (2009) 17 (1) 1 - 17

b. Pendidikan Tingkat pendidikan masyarakat pesisir di Kabupaten Nias Selatan masih relatif rendah, karena 64,67 % dari populasi yang ada hanya tamat SD dan SLTP. Berdasarkan observasi lapangan di wilayah pesisir, banyak gedung sekolah dasar yang tidak layak fisik, jumlah guru yang tidak memadai, dan sarana proses belajar mengajar yang minim. Berdasarkan data BPS (2006), jumlah SD Negeri dan Inpres di daerah ini telah mencapai 203 buah, SD Swasta 14 buah, dengan jumlah guru sebanyak 1.197 orang. Di Kecamatan Hibala, jumlah SD sebanyak 10 buah, Kecamatan Pulau-Pulau Batu 27 buah, dan Kecamatan Teluk Dalam 53 buah. Yang menjadi masalah adalah tidak tercapainya standar rasio jumlah unit SD dengan jumlah penduduk usia sekolah, dan rasio jumlah guru dengan murid di suatu desa, sehingga mutu pendidikan relatif rendah. Bahkan di desa tertentu tidak terdapat guru PNS, sehingga tenaga pengajar yang ada hanya berstatus guru bantu.

c. Mata Pencaharian Sebagian besar penduduk Kabupaten Nias Selatan bekerja di sektor pertanian (usaha tani, perkebunan, perikanan, peternakan), sedangkan yang lainnya bekerja di sektor industri, pariwisata, dan jasa lainnya. Khusus bagi masyarakat pesisir yang ada di enam kecamatan yang memiliki perairan pesisir dan laut, umumnya kehidupan mereka tergantung dari hasil laut. Penangkapan ikan umumnya menggunakan teknologi tradisional, seperti ukuran kapal yang kecil, sehingga daerah penangkapan ikan hanya berkisar di perairan pantai. Menurut BPS (2006), jumlah nelayan yang menggunakan kapal motor di Kecamatan Hibala hanya 68 orang, pada hal jumlah nelayan mencapai 809 orang, di Kecamatan Pulau-Pulau Batu sebanyak 93 orang dengan jumlah nelayan 1.663 orang, dan di Kecamatan Teluk Dalam 28 orang dengan jumlah nelayan 673 orang. Dari data tersebut tergambar, sangat banyak nelayan yang hanya menggunakan alat tangkap perahu tanpa motor (sampan), sehingga produksi ikan relatif rendah. Produksi perikanan laut dari Kecamatan Hibala hanya mencapai 3.679,8 ton, Pulau-Pulau Batu 6.239,2 ton, dan Kecamatan Teluk Dalam 691,5 ton pada tahun 2006. Berdasarkan survey lapangan (September, 2008), rata-rata tingkat pendapatan nelayan berkisar antara Rp 300.000 – Rp 500.000/bulan. Dengan tingkat pendapatan yang demikian, menyebabkan masyarakat pesisir kekurangan modal untuk pengembangan usaha, tidak memiliki kemampuan untuk menyediakan biaya pendidikan ke tingkat yang lebih tinggi, dan timbulnya dorongan untuk memanfaatkan sumberdaya pesisir secara tidak bijaksana akibat tekanan ekonomi atau kebutuhan hidup. Oleh sebab itu, rusaknya terumbu karang di daerah ini sangat erat kaitannya dengan masalah ekonomi keluarga. Dengan demikian, diperlukan upaya pengembangan mata pencaharian alternatif bagi masyarakat nelayan, yang sekaligus sebagai upaya untuk mengurangi tekanan terhadap sumberdaya terumbu karang.

_____________ISSN 0853 - 0203

9

Page 10: 1 Hasan Sitorus

VISI (2009) 17 (1) 1 - 17

d. Perhubungan Wilayah Kabupaten Nias Selatan yang berada di daratan Pulau Nias, sebagian besar dapat dijangkau dengan sarana perhubungan darat. Artinya, pasarana angkutan darat telah cukup memadai di daerah ini, baik antar kota kecamatan, antara ibukota kecamatan dengan kabupaten, dan antar ibukota kabupaten (Nisel dan Nias). Sedangkan perhubungan laut, terutama digunakan untuk wilayah Kecamatan Hibala dan Pulau-Pulau Batu dengan menggunakan sarana kapal penumpang dan kapal barang antar pulau (Kapal Perintis) menuju ibukota kecamatan, ibukota kabupaten (Teluk Dalam), Sibolga dan Padang secara reguler. Demikian halnya sarana transportasi udara, sudah ada di daerah ini, yakni Bandara Lasonde di Kecamatan Pulau-Pulau Batu. Pemanfaatan sarana perhubungan udara ini masih belum optimal, karena jadual penerbangan hanya dua kali per minggu. Diharapkan bandara ini dapat dikembangkan, sehingga mampu berfungsi untuk pengangkutan barang (cargo) untuk produk perikanan secara cepat ke negara tetangga, sehingga Kabupaten Nias Selatan dapat dibangun berbasis sumberdaya perikanan dan kelautan. Di sisi lain, desa-desa yang letaknya di daerah terisolir, masalah transportasi sangat berperan penting dalam pengembangan desa-desa pesisir tersebut. Kesulitan sarana transportasi untuk pengangkutan faktor produksi dan hasil produksi masyarakat nelayan dari pulau terisolir seperti Pulau Tanah Bala di Kecamatan Hibala, Pulau Pini di Kecamatan Pulau-Pulau Batu Timur, Pulau Simuk di Kecamatan Pulau-Pulau Batu, menyebabkan kehidupan ekonomi mereka lambat berkembang, sehingga banyak nelayan berada dalam kemiskinan

IV. PROFIL PERIKANAN DESTRUKTIF

4.1. Jenis Alat Tangkap dan Bahan Berdasarkan hasil survey di lokasi Coremap II Kabupaten Nias Selatan dan daerah-daerah lain yang terkait dengan kegiatan perikanan destruktif seperti Pulau Pini dan Pulau Marit, diperoleh informasi dari responden bahwa alat tangkap dan bahan yang digunakan dalam kegiatan perikanan destruktif di Nias Selatan adalah 73,16 % menggunakan bom, 22,14 % menggunakan racun (potas), dan 4,70 % menggunakan strum ACCU untuk menangkap lobster dan timun laut. Dari wawancara dengan masyarakat nelayan di desa-desa lokasi Coremap II, nelayan pemakai bom sebagaian besar (84,28%) berasal dari luar Nias Selatan, dan hanya 15,72 % dilakukan oleh nelayan lokal, yang umumnya berpangkalan di Pulau Pini, Kecamatan Pulau-Pulau Batu Timur, dan Pulau Marit Kecamatan Pulau-Pulau Batu. Sedangkan pengguna racun (potas) 64,18 % dilakukan nelayan luar, dan 36,82 % dilakukan oleh nelayan lokal. Di seluruh desa-desa lokasi Coremap II Kabupaten Nias Selatan, kegiatan destruktif fishing ini tidak ada lagi dilakukan nelayan desa tersebut setelah dibentuknya Pokmas Konservasi dan dibelakukannya Perdes untuk perlindungan terumbu karang khususnya di lokasi DPL dan perairan sekitar desa. Nelayan lokal

_____________ISSN 0853 - 0203

10

Page 11: 1 Hasan Sitorus

VISI (2009) 17 (1) 1 - 17

yang masih sering menggunakan bom adalah nelayan yang berasal dari Pulau Pini dan Pulau Marit, di luar lokasi program Coremap II.

4.2. Material dan Sumber Material Nelayan pelaku yang berhasil diwawancarai di Kecamatan Pulau-Pulau Batu dan Kecamatan Hibala, tidak dapat menjelaskan bahan-bahan pembuatan bom ikan dan biayanya secara detail. Dijelaskan bahwa nelayan hanya sebagai karyawan suatu unit usaha penangkapan ikan dari Sibolga dan tidak ikut merakit bom. Mereka hanya sebagai pelaku di lapangan, dan hanya mengetahui bahwa bahan utama pembuatan bom itu dari fosfor, pupuk kalium klorida dan urea, dan menggunakan tali sumbu pada botol. Bahan-bahan itu diperoleh di Sibolga dan sudah ada rantai niaga dengan pedagang bahan kimia di Medan secara gelap. Melihat fakta yang demikian, berarti sudah ada jalur khusus pedagang di Sibolga dan Medan, yang sulit dideteksi oleh aparat kepolisian. Walaupun izin penjualan bahan-bahan kimia di Sibolga dan Medan sudah cukup ketat oleh instansi terkait, namun bahan-bahan ini selalu saja dapat diperoleh pelaku illegal fishing. Oleh sebab itu ada kecurigaan sebagian pihak, kegiatan ini dibacking oleh pihak tertentu yang memperoleh keuntungan dari kegiatan illegal tersebut. Demikian halnya dengan penggunaan racun untuk pembiusan ikan, jenis bahan kimia itu tidak mereka ketahui namanya, hanya mereka tahu namanya Potas. Nelayan pelaku/pengguna potas ini ada yang berstatus sebagai karyawan suatu usaha perikanan di Sibolga, dan ada juga sebagai nelayan lokal di Nias Selatan. Dari informan nelayan lokal, bahan potas ini diperoleh dari nelayan Sibolga dan dibeli di tengah laut seharga Rp 150.000 per botol (500 ml), dan mereka siap membeli hasil tangkapan ikan nelayan lokal. Ikan yang kena racun ini mempunyai ciri warna tubuh memucat dan mata merah. Berbeda halnya dengan penggunaan setrum listrik ACCU untuk menangkap udang karang dan timun laut, seluruhnya dilakukan oleh nelayan lokal. Penggunaan listrik ini bertujuan menyentak agar lobster dan timun laut keluar dari sarangnya, serta melemah-kannya, sehingga mudah ditangkap. Penggunaan listrik ini diperkirakan dapat memati-kan larva ikan dan anemone laut di sekitar terumbu karang. 4.3. Pelaku dan Mata Rantai Pelaku Dari wawancara dengan nelayan di desa-desa pesisir di Nias Selatan, pelaku umumnya tidak dikenal berjumlah 3 – 5 orang, ukuran kapal > 5 GT, dan biasanya beraksi sekitar sore hari antara pukul 16 – 17 ketika angin mulai kencang dan ombak mulai besar. Dalam kondisi seperti itu, nelayan tradisional sudah pulang ke rumah masing-masing dan kondisi laut sepi, sehingga pelaku lebih leluasa melakukan pemboman. Walaupun sudah ombak besar, karena kapal yang digunakan umumnya lebih dari 5 GT maka kondisi laut tersebut tidak menghalangi mereka untuk melakukan aksi pengeboman. Dan kapal-kapal ini memiliki kapal induk (80 – 120 GT) yang bermanuver di tengah laut, dan memiliki peralatan komunikasi yang modern. Oleh sebab itu, usaha perikanan destruktif ini dimiliki

_____________ISSN 0853 - 0203

11

Page 12: 1 Hasan Sitorus

VISI (2009) 17 (1) 1 - 17

pemodal besar atau pengusaha perikanan dengan armada penangkapan ikan yang mampu menjelajahi perairan oseanis pantai barat Sumatera. Hal yang menarik, ternyata pelaku dari luar daerah tersebut mempunyai hubungan dengan pelaku lokal, karena sering kapal mereka bersandar di Pulau Pini dan Pulau Marit untuk membeli ikan dari nelayan tradisional. Dengan cara seperti itu, mereka tersamar sebagai penangkap ikan legal. Selain itu, nelayan illegal ini juga pergi ke daerah Pulau Banyak (Aceh Singkil), sebelah utara Pulau Nias untuk melakukan kegiatan yang sama.

Gambar 2. Mata Rantai Pelaku Perikanan Destruktif di Kabupaten Nias Selatan

4.4. Pasar dan Jalur Pemasaran Hasil tangkapan ikan oleh nelayan lokal pengguna bom, umumnya dijual di tengah laut kepada nelayan luar tersebut, dan mereka tidak pernah menjualnya di Kota Tello atau Hibala. Berdasarkan hasil pengamatan di pasar penjualan ikan di Pulau Tello, Hibala dan Teluk Dalam, tidak ada dijumpai ikan-ikan dengan ciri-ciri hasil pemboman. Oleh sebab itu, dapat dipastikan ikan-ikan hasil tangkapan melalui pemboman dijual di tengah laut dan kemudian diangkut ke pangkalan pendaratan ikan luar Nias Selatan. Menurut nelayan lokal yang dulu pernah terlibat kegiatan illegal ini, harga ikan yang mereka jual di tengah laut mempunyai harga yang lebih rendah dibandingkan hasil tangkapan legal dengan jenis ikan yang sama, karena tubuh ikan sebagian sudah rusak. Ada dugaan, bahwa ikan-ikan tersebut sebagian menjadi bahan baku pabrik tepung ikan, dan sebagian lagi dijual

_____________ISSN 0853 - 0203

12

Pengusaha PerikananSibolga

Kapal Ikan Besar (80 – 120 GT)

Kapal Kecil dan Nelayan Pelaku

Nelayan Lokal PD(Pulau Pini dan

Pulau Marit)Fishing Ground

Nias SelatanNelayan

Tradisional(legal)

Pasar Ikan Tello/Hibala/Teluk Dalam

Di tengah laut

Page 13: 1 Hasan Sitorus

VISI (2009) 17 (1) 1 - 17

ke daerah-daerah yang jauh dari wilayah pesisir. Oleh sebab itu, dapat dinyatakan bahwa rantai tata niaga ikan hasil destruktif fishing ini relatif pendek. Di Nias Selatan, tidak ada dijumpai pedagang pengumpul ikan hasil kegiatan destruktif fishing, dan nelayan lokal pelaku kegiatan ini langsung berhubungan dengan nelayan luar di tengah laut, dan biasanya tranksi ini dilakukan di wilayah perairan Pulau Pini dan Pulau Marit, dengan jarak sekitar 30 – 40 mil laut dari Pulau Tello. Umumnya nelayan lokal dan nelayan luar dapat dengan mudah berkomunikasi dengan menggunan telepon seluler. Berdasarkan informasi yang diperoleh dari beberapa kepala desa di Pulau-Pulau Batu dan Hibala, sebelum ada kegiatan COREMAP, ikan-ikan hasil pemboman dengan ciri perut atau mata pecah masih ada dijual di pasar Tello, dan Pasar Hibala. Tetapi setelah program COREMAP masuk di Nias Selatan, tidak pernah lagi ditemukan ikan seperti itu di pasar ikan lokal. Diduga hal ini disebabkan adanya kegiatan penyadaran masyarakat, sosialisasi undang-undang perikanan, peningkatan MCS oleh aparat keamanan laut, dan implementasi Peraturan Desa . 4.5. Lokasi-Lokasi Terkait Kelanggengan aktivitas Perikanan Destruktif (PD) di Nias Selatan terkait dengan 2 lokasi utama di daerah ini, yakni Pulau Pini dan Pulau Marit. Dapat dipastikan ada komponen dalam yang mendukung atau terlibat di dalamnya, baik secara langsung maupun tidak langsung. Dari hasil wawancara mendalam dengan nelayan lokal, diperoleh informasi tentang proses terbentuknya hubungan nelayan luar dan nelayan lokal pelaku PD. Dijelaskan ada beberapa orang nelayan asal Nias Selatan yang menjadi karyawan pengusaha perikanan tangkap di Sibolga. Melalui mereka inilah terbentuk jalur dan hubungan PD dengan nelayan lokal di beberapa desa di Pulau Marit dan Pulau Pini. Nelayan ini direkrut di Sibolga menjadi karyawan suatu perusahaan dengan gaji bulanan. Umumnya pekerjaan mereka sebelumnya sebagai tukang becak di Sibolga, dan sebagai nelayan tradisional di tempat asalnya Nias Selatan. Mereka hijrah dari Nias Selatan ke Sibolga untuk mencari pekerjaaan yang lebih baik. Dari segi posisi geografis, Pulau Pini sebagai salah satu pulau terbesar di Nias Selatan merupakan pintu masuk dan keluar kapal dari Sibolga ke Pulau-Pulau Batu (Tello). Selain itu, pulau ini cukup jauh dari pusat pemerintahan kecamatan di Tello (waktu tempuh 4 jam) sehingga Pulau Pini menjadi tempat yang cocok bagi persinggahan kapal-kapal ikan PD, dan menjalankan kegiatan PD baik jenis pemboman maupun penggunaan racun. Setelah dimekarkannya Kecamatan Pulau-Pulau Batu menjadi 2 kecamatan, yakni Kecamatan Pulau-Pulau Batu Timur dengan ibukota Pini, diharapkan kegiatan DF ini semakin berkurang. Demikian halnya dengan Pulau Marit, lokasi yang cukup jauh dari Tello, penduduk relatif sedikit, pendapatan sangat rendah (< Rp 300.000/bulan), dan tingkat pendidikan sangat rendah (< SD 92,16 %) sangat mendukung berkembangnya PD ini. Masyarakat yang demikian mudah dipengaruhi pihak lain

_____________ISSN 0853 - 0203

13

Page 14: 1 Hasan Sitorus

VISI (2009) 17 (1) 1 - 17

untuk memperoleh uang dengan cepat dengan jalan pintas yang merusak sumberdaya alam dan lingkungan.

Keterangan : = lokasi pemboman dan peracunan

Gambar 3. Peta Lokasi Perikanan Destruktif di Kabupaten Nias Selatan

4.6. Organisme Target Kegiatan destruktif fishing (pemboman dan pembiusan) di Nias Selatan umumnya ditujukan untuk ikan-ikan pelagis yang memiliki nilai ekonomis penting, dan ikan-ikan karang yang harganya mahal seperti kerapu dan ekor kuning. Jenis-jenis ikan yang menjadi sasaran PD adalah yang sifatnya bergerombol (schooling) seperti ikan tongkol (Euthynnus sp), kembung (Rastrelliger sp), layang (Decapterus sp), dan ikan karang (coral fish) yang mempunyai ukuran komersial. Ikan-ikan kecil yang tidak bernilai ekonomis dibuang ke laut, sehingga sangat merusak sumberdaya. Karena kegiatan DF ditujukan pada ikan yang bergerombol, maka sekali melakukan pemboman dapat diperoleh hasil tangkapan 0,5 - 1,2 ton ikan, sedangkan pembiusan kurang dari 0,4 ton. Oleh sebab itu, dari segi bisnis perikanan, kegiatan DF ini akan efisien, karena dipastikan memperoleh ikan dalam volume besar dan waktu relatif singkat.

4.7. Intensitas Kegiatan

_____________ISSN 0853 - 0203

14

Page 15: 1 Hasan Sitorus

VISI (2009) 17 (1) 1 - 17

Frekuensi penggunaan bom untuk penangkapan ikan di Nias Selatan rata-rata 3 kali dalam 1 minggu, yang berarti fishing tripnya sekitar 2 hari sekali melaut. Waktu pengeboman biasanya sore hari antara pukul 15 – 17 WIB. Waktu sore hari merupakan waktu yang cocok bagi pengguna bom, karena biasanya sore hari laut sudah sepi karena nelayan tradisional sudah kembali ke desa, akibat angin dan ombak sudah besar. Sedangkan penggunaan racun khusunya di wilayah perairan Pulau Pini dan Pulau Marit terjadi setiap hari dengan waktu antara jam 8 – 10 pagi. Penggunaan racun di pagi hari lebih efektif, karena ikan sedang mencari makanan atau kondisi lapar, sehingga lebih mudah terbius. Nelayan pengguna racun ini selalu memperhatikan kekuatan dan arah arus laut, karena racun diharapkan cepat menyebar pada media air tempat ikan pelagis bergerombol. Bila perairan dangkal seperti di daerah karang, ikan-ikan demersalpun juga ikut terbius racun tersebut, dan mematikan terumbu karang.

4.8. Dampak Destruktif Fishing Berdasarkan hasil survey lapangan, dan data-data penelitian LIPI serta CRITC daerah, kegiatan pemboman ini sudah menghancurkan terumbu karang di Nias Selatan. Berdasarkan data yang diperoleh dari CRITC (2007), tutupan karang hidup di Nias Selatan rata-rata < 30 %, yang berarti tingkat kerusakan terumbu karang sudah mencapai level tinggi. Karang yang rusak karena pemboman ikan ditandai dengan pecahan karang yang kecil-kecil dan tersebar di dasar perairan. Penggunaan racun dalam penangkapan ikan juga merusak karang, dengan cirri-ciri warna karang menjadi memutih. Dari hasil wawancara dengan nelayan di Pulau Pini, penggunaan racun sebanyak 3 kali di lokasi yang sama dipastikan akan mematikan karang dan sudah terlihat jelas perubahan warna karang setelah 3 minggu. Kematian karang akibat racun banyak ditemukan di sekitar perairan Pulau Pini, Pulau Marit, dan di beberapa pulau di Kecamatan Hibala. Berdasarkan konsep stabilitas ekosistem, Mann (2000) menyatakan kerusakan terumbu karang ini akan berdampak negatif terhadap perkembangan berbagai jenis ikan, karena habitat terumbu karang merupakan tempat memijah (spawning ground), tempat pembersaran larva ikan (nursery ground), dan tempat mencari makan (feeding ground) berbagai jenis ikan dan udang di perairan laut. Ada dugaan, penurunan hasil tangkapan nelayan untuk jenis ikan-ikan karang dari tahun ke tahun di Nias Selatan, diduga kuat berkaitan dengan kerusakan ekosistem terumbu karang di daerah ini. Namun hal ini perlu penelitian lebih dalam dengan analisis kuantitatif.

4.9. Proses Hukum Destruktif Fishing Berdasarkan data yang diperoleh di Polsek Kecamatan Pulau-Pulau Batu, nelayan yang tertangkap aparat karena membawa bom mengalami penurunan sejak tahun 2004 sampai sekarang, sedangkan nelayan pengguna racun belum pernah ada yang ditangkap. Pada tahun 2004 ada 4 kasus, tahun 2005 sebanyak 3 kasus, tahun 2006 sebanyak 3 kasus, dan tahun 2007 hanya 1 kasus, dengan pelaku/tersangka

_____________ISSN 0853 - 0203

15

Page 16: 1 Hasan Sitorus

VISI (2009) 17 (1) 1 - 17

nelayan luar dan nelayan lokal. Sangat disayangkan, semua kasus ini lenyap tanpa penyelesaian hukum yang jelas, dan pelaku dibebaskan.

V. KESIMPULAN Berdasarkan hasil studi destruktif fishing di Kabupaten Nias Selatan, diperoleh beberapa kesimpulan, yakni :1) Kegiatan perikanan destruktif terdiri dari 73,16 % melakukan pemboman,

22,14 % menggunakan racun (potas), dan 4,70 % menggunakan strum ACCU untuk menangkap lobster dan timun laut.

2) Nelayan pemakai bom 84,28% berasal dari luar Nias Selatan, dan hanya 15,72 % dilakukan oleh nelayan lokal yang berlokasi di Pulau Pini dan Pulau Marit.

3) Penggunaan racun (potas) cukup banyak dilakukan nelayan lokal yang mencapai 36,82 %, dan oleh nelayan luar 64,18 %.

4) Bahan dan material untuk pembuatan bom dan racun ikan diperoleh dari Sibolga dengan memiliki jaringan dengan pedagang di Medan.

5) Organisme target perikanan destruktif adalah jenis-jenis ikan pelagis dan ikan karang yang mempunyai nilai ekonomis tinggi.

6) Intensitas pemboman sebanyak 2 kali dalam 1 minggu, sedangkan penggunaan racun setiap hari di daerah Pulau Pini dan Pulau Marit.

7) Dampak negatif destruktif fishing di Nias Selatan sangat signifikan terhadap kerusakan terumbu karang, karena persentase tutupan karang hidup di daerah ini kurang dari 30 %.

8) Proses justisi pengguna bom ikan mengalami penurunan sejak tahun 2004 hingga sekarang, dan tidak diketahui apakah penurunan kasus tersebut sebagai dampak positif kegiatan MCS oleh aparat penegak hukum di laut.

9) Kegiatan perikanan destruktif di desa-desa lokasi Coremap II mulai tahun 2007 tidak ada lagi, yang berkaitan erat dengan peningkatan kesadaran masyarakat, sosialisasi undang-undang perikanan dan sanksi illegal fishing, pembentukan lembaga pengawas tingkat desa, dan implementasi peraturan desa.

DAFTAR PUSTAKA

Bengen, D.G. 2002. Analisis Ekosistem Pesisir, PKSPL IPB, Bogor.

BPS Kabupaten Nias Selatan. 2006. Kecamatan Pulau-Pulau Batu Dalam Angka.

Cesar, J.H. 1977. Population Ecology of Coral Reef. Academic Press, New York.

CRITC. 2007. Montoring Kesehatan Terumbu Karang. Dinas Perikanan dan Kelautan Kabupaten Nias Selatan, Teluk Dalam.

Dahuri, R., J. Rais, S.P. Ginting, M.J. Sitepu. 1996. Pengelolaan Sumberdaya Wilayah Pesisir dan Lautan Secara Terpadu. Pradnya Paramita, Jakarta.

_____________ISSN 0853 - 0203

16

Page 17: 1 Hasan Sitorus

VISI (2009) 17 (1) 1 - 17

Hodgson, J. 1998. Degradation of Coral Reef Communities. Elsevier Scientific Publishing Company, Amsterdam.

Mann, K.H. 2000. Ecology of Coastal Waters. Blackwell Scientific, Inc., Massachusetts

Pusat Kajian Sumberdaya Pesisir dan Lautan. 1998. Penyusunan Konsep Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Lautan yang Berakar pada Masyarakat. Kerjasama Direktorat Jenderal Pembangunan daerah Departemen Dalam Negeri dengan Pusat Kajian Sumberdaya Pesisir dan Lautan Institut Pertanian Bogor.

Sitorus, H. 2005. Pengelolaan Terumbu Karang Berbasis Masyarakat. Makalah Dalam Pelatihan Pengelolaan Terumbu Karang Bagi Petugas Teknis Lapangan. Dinas Perikanan dan Kelautan, Propinsi Sumatera Utara.

Supriharyono. 2002. Pelestarian dan Pengelolaan Sumberdaya Alam di Wilayah Pesisir Tropis. PT. Gramedia, Jakarta.

_____________ISSN 0853 - 0203

17

Page 18: 1 Hasan Sitorus

VISI (2009) 17 (1) 1 - 17

BIODATA PENULIS

Penulis dilahirkan di Laepanginuman-Dairi, tanggal 26 Maret 1964. Setelah tamat dari SMA Negeri Sidikalang, tahun 1982 penulis melanjutkan pendidikan di IPB Bogor dan tamat 1986. Tahun 1989 lulus dari Program Pascasarjana IPB bidang keahlian Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan, dan tahun 2005 memperoleh gelar Doktor dari SPS IPB bidang keahlian Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Lautan. Tahun 1987 menjadi dosen tetap di UHN, tahun 1990 – 1994 sebagai Sekretaris merangkap Kepala Pusat Penelitian Sumberdaya Alam dan Lingkungan UHN. Tahun 2006 – 2008 menjadi Regional Advisor of Coral Reef Rehabilitation and Management Program (COREMAP-ADB) di Kabupaten Nias Selatan, dan tahun 2008 menjadi Ketua Lembaga Penelitian UHN. Selama menjadi staf pengajar di UHN, menulis buku Dasar-Dasar Ilmu Lingkungan, Ilmu Alamiah Dasar, dan Pedoman Penulisan Skripsi. Aktif menulis di berbagai media massa, dan sebagai narasumber dalam berbagai kegiatan seminar dan lokakarya.

_____________ISSN 0853 - 0203

18