109-328-1-pb

14
JAL, Vol.3 No.2, Des 2012 15 Abdul Chalim LANSEKAP TROPIS AWAL KOTA SEMARANG Totok Roesmanto Jurusan Arsitektur – FT – Universitas Diponegoro [email protected] ABSTRAK Ancient tropical landscape of Semarang was not recognized. Tirang Amper as the embryo city was forgotten, and change the Kota Lama is regarded as the oldest district in this city. Caused the great sedimentation in Semarang at the Last Era of Demak Sultanate Ki Ageng Pandan Aran had moved his settlement from Tirang Amper to Bubakan district, and then move again to Kanjengan district at the Era of Pajang Sultanate. Traditional spatial pattern and landscape of Semarang was strongly influenced by the spatial pattern of the capital of Demak Sultanate, it which adopted the Trowulan spatial pattern of Majapahit Kingdom. To be able to know the ancient tropical landscape of Semarang had done research on the landscape pattern of Trowulan. This paper is the result of a preliminary study conducted ancient tropical landscape of Semarang in the base of toponyms, historical districts, and reading the text of the ancient manuscript of Nagarakretagama. Keywords : tropical landscape, spatial pattern, historical district, Nagarakretagama PENDAHULUAN Sebagaimana kota-kota lain di Jawa yang terletak dan dipengaruhi iklim tropis- lembab, kota Semarang juga telah kehilangan sebagian besar ruang terbuka hijaunya. Lansekap pada awal berdirinya kota Semarang yang tanggap pada klimat tropis-lebab menjadi tidak diketahui dan jarang diteliti. Untuk mengetahui lansekap awal kota Semarang dilakukan pendekatan toponim kawasan yang semula merupakan embrio kota; penelusuran kesejarahan Ki Ageng Pandan Aran dari Kesultanan Demak dan pembukaan lahan baru dekat pusat kota Semarang; penelusuran nama vegetasi yang tertulis di kakawin Nagarakretagama dari masa Majapahit; dan perkembangan tata ruang dan lansekap awal di kawasan Alun-Alun Semarang yang sudah hilang. LANSEKAP TIRANG AMPER Nama Semarang tidak tersebut dalam kakawin Nagarakretagama (1365), beda dengan D(e)mak yang telah dan lebih dahulu disebutkan pada Prasasti Trowulan /Piagam Panambangan (1358) merupakan wilayah dari Kerajaan Majapahit yang terletak di tepi perairan. Tirang Amper merupakan pulau kecil tempat menetap Ki Ageng Pandan Aran dan menyebarkan agama Islam, menurut Serat Kandha edisi Brandes sekitar tahun 1398 Saka/1476 M (Roesmanto, 2001:21).

Upload: felix-montgomery

Post on 11-Nov-2015

23 views

Category:

Documents


8 download

DESCRIPTION

jurnal

TRANSCRIPT

  • JAL, Vol.3 No.2, Des 2012 15 Abdul Chalim

    LANSEKAP TROPIS AWAL KOTA SEMARANG

    Totok Roesmanto Jurusan Arsitektur FT Universitas Diponegoro

    [email protected]

    ABSTRAK

    Ancient tropical landscape of Semarang was not recognized. Tirang Amper as the embryo city was forgotten, and change the Kota Lama is regarded as the oldest district in this city. Caused the great sedimentation in Semarang at the Last Era of Demak Sultanate Ki Ageng Pandan Aran had moved his settlement from Tirang Amper to Bubakan district, and then move again to Kanjengan district at the Era of Pajang Sultanate. Traditional spatial pattern and landscape of Semarang was strongly influenced by the spatial pattern of the capital of Demak Sultanate, it which adopted the Trowulan spatial pattern of Majapahit Kingdom. To be able to know the ancient tropical landscape of Semarang had done research on the landscape pattern of Trowulan. This paper is the result of a preliminary study conducted ancient tropical landscape of Semarang in the base of toponyms, historical districts, and reading the text of the ancient manuscript of Nagarakretagama.

    Keywords : tropical landscape, spatial pattern, historical district, Nagarakretagama PENDAHULUAN Sebagaimana kota-kota lain di Jawa

    yang terletak dan dipengaruhi iklim tropis-

    lembab, kota Semarang juga telah

    kehilangan sebagian besar ruang terbuka

    hijaunya. Lansekap pada awal berdirinya

    kota Semarang yang tanggap pada klimat

    tropis-lebab menjadi tidak diketahui dan

    jarang diteliti.

    Untuk mengetahui lansekap awal kota

    Semarang dilakukan pendekatan toponim

    kawasan yang semula merupakan embrio

    kota; penelusuran kesejarahan Ki Ageng

    Pandan Aran dari Kesultanan Demak dan

    pembukaan lahan baru dekat pusat kota

    Semarang; penelusuran nama vegetasi

    yang tertulis di kakawin Nagarakretagama

    dari masa Majapahit; dan perkembangan

    tata ruang dan lansekap awal di kawasan

    Alun-Alun Semarang yang sudah hilang.

    LANSEKAP TIRANG AMPER Nama Semarang tidak tersebut dalam

    kakawin Nagarakretagama (1365), beda

    dengan D(e)mak yang telah dan lebih

    dahulu disebutkan pada Prasasti

    Trowulan /Piagam Panambangan (1358)

    merupakan wilayah dari Kerajaan

    Majapahit yang terletak di tepi perairan.

    Tirang Amper merupakan pulau kecil

    tempat menetap Ki Ageng Pandan Aran

    dan menyebarkan agama Islam, menurut

    Serat Kandha edisi Brandes sekitar

    tahun

    1398 Saka/1476 M (Roesmanto,

    2001:21).

  • JAL, Vol.3 No.2, Des 2012 16 Abdul Chalim

    Dataran di puncak Bukit Mugas tempat

    keberadaan kompleks makam Ki Ageng

    Pandan Aran sangat mungkin merupakan

    bekas kediamannya di Pulau Tirang.

    Serat Kandhaning Ringgit Purwo dari

    Naskah KBG No.7 memberitakan telah

    ada beberapa peng-ajar ajaran pra-Islam

    yang bermukim di desa Wotgalih, Pragota

    (kemudian disebut Bergota), Brintik (atau

    Gunung Brintik terletak di sebelah barat

    Bergota), Tinjomoyo, Lebuapi, Guwasela,

    Gajahmungkur, Jurang Suru, Sejanila,

    dan Derana kemudian disebut Gisik

    Derana (gisik = dataran tepi pantai).

    Karena letak Derana tersebut, maka

    desa-desa lainnya juga merupakan desa

    pantai di/atau pulau kecil. Pulau Tirang

    Amper telah menjadi Kampung (Bukit)

    Mugas di sebelah timur Bukit Pragota dan

    dipadati bangunan.

    Sampai tahun 1981 masih terdapat

    dua cungkup berbentuk piramida dan

    beberapa pohon aren (Arenga Pinnata) di

    puncak Bukit Mugas yang tidak

    berhubungan kesejarahan dengan Ki

    Ageng Pandan Aran dan masyarakatnya.

    Keberadaan pohon aren bukan

    sebagai elemen lansekap yang terencana

    di Pulau Tirang Amper. Meskipun

    konfigurasinya dengan kedua bangunan

    piramida pernah menjadi point of interest

    dan eye catcher koridor Jalan Thamrin

    karena posisinya di T-Junction dengan

    Jalan Pandanaran.

    Toponim dari pandanaran atau pandan

    aran(g) dapat berarti pandan yang

    tumbuh

    Jarang atau arang. Tetapi bisa diartikan

    aran dari pandan atau anak seseorang

    bernama Pandan kependekan dari Made

    Pandan.

    Meskipun ada yang mempersamakan

    Ki Ageng Pandan Aran dengan Made

    Pandan, tetapi jirat makam Made Pandan

    di dalam ruang cungkup makam Sultan

    Trenggono menegaskan posisinya

    sebagai pejabat teras di Kesultanan

    Demak serta keluarga dekat Sultan

    Demak. Bangunan cungkup makam

    tersebut merupakan satu satu bangunan

    kuno di kompleks makam para penguasa

    Kesultanan Demak yang terletak di

    sebelah barat/belakang Masjid Demak.

    Makam Ki Ageng Pandan Aran berada di

    Bukit Mugas, maka dipastikan Made

    Pandan adalah tokoh historis dan tidak

    bisa dipersamakan dengan Ki Ageng

    Pandan Aran. Sehingga Ki Ageng Pandan

    Aran adalah anak dari Made Pandan.

    Made Pandan ditugaskan Raden

    Patah menyebarkan agama Islam ke

    wilayah di arah barat dari kota-kraton

    Bintoro Demak

    maka nama pandan disandang sejak

    lahir, atau dapat saja ketika menetap di

    Pulau Tirang Amper bertanaman pandan.

    Dari toponim amper atau ampir (Bahasa

    Jawa) yang berarti mampir atau singgah,

    dapat dikaitkan dengan penugasan Made

    Pandan yang bersifat sementara untuk

  • JAL, Vol.3 No.2, Des 2012 17 Abdul Chalim

    berdakwah, karena kemudian kembali ke

    kota Bintoro

    Dalam budaya pemberian nama

    pada

    anggota keluarga (Hindu) Bali kata

    made

    diterapkan sebagai kata depan nama

    anak tengah. Bisa jadi, Made Pandan

    adalah nama samaran dari keluarga

    dekat Sultan Patah yang ditugasi

    mengajarkan agama Islam kepada

    masyarakat Hindu di Pulau Tirang Amper

    dan sekitarnya dalam kurun waktu

    sementara atau se-amper-an.

    Sebagai pejabat penting di Kesultanan

    Demak, Made Pandan tentu sangat

    paham tentang tata ruang kota-kraton

    yang lansekapnya ditandai keberadaan

    alun-alun sebagai ruang terbuka hijau

    untuk publik. Tetapi di Tirang Amper pola

    lansekap ber-alun-alun tidak bisa

    diaplikasikan karena keterbatasan lahan,

    atau ber-tata krama untuk tidak

    menduplikasi pola tata ruang kota-kraton

    Bintoro. Kalaupun ada, ruang terbuka

    berukuran agak di Tirang Amper

    merupakan ruang transisi di kaki Bukit

    Mugas yang menghubungkan tepi

    perairan Laut Jawa dengan pelataran

    tempat Made Pandan bermukim. Ruang

    terbuka tersebut terletak di sisi sebelah

    timur Bukit Mugas.

    Setelah Made Pandan ditarik kembali

    ke kota-kraton Bintoro Demak kegiatan

    menyebarkan agama Islam dilanjutkan Ki

    Ageng Pandan (I).

    Karena terjadi proses sedimentasi

    yang berlangsung secara cepat dan

    besar-besaran telah menyebabkan

    perairan Laut Jawa bergeser jauh

    menjorok ke utara. Pelabuhan alam di

    kaki Bukit Bergota dan dekat Bukit Mugas

    menjadi lumpuh, dan pemukiman Tirang

    Amper menjadi sangat jauh dari Laut

    Jawa yang menjadi media transportasi air

    menuju Bintoro Demak. Ki Ageng Pandan

    Aran memindahkan permukiman

    masyarakatnya ke Bubakan (di sebelah

    timur Pasar Johar) di tepi muara Kali

    Semarang yang lebih dekat ke kota-

    kraton Bintoro Demak. Perpindahan dari

    Tirang Amper ke Bubakan dapat

    dipastikan melalui Kali Semarang yang

    mengalir di sebelah barat Bukit Brintik.

    Toponim bubakan berarti tempat yang

    dihasilkan dari kegiatan pem-bubak-an

    atau perabasan hutan. Kisah serupa

    terjadi sebelumnya ketika Raden Patah

    merabas hutan Glagahwangi dan

    mendirikan desa pesantren yang

    kemudian menjadi kota

    kraton Bintoro Demak.

    Pandan (Pandanus Amaryllifolius) bila

    merupakan tanaman khas di Pulau Tirang

    Amper mungkin ada warga masyarakat Ki

    Ageng Pandan Aran yang membawa dan

    menanamnya kembali di Bubakan, karena

    biasa ditradisikan sebagai pewangi nasi.

    Demak dikenal sebagai penghasil beras

    sehingga peran daun pandan sudah pasti

    memegang peran penting di masyarakat

  • JAL, Vol.3 No.2, Des 2012 18 Abdul Chalim

    Jawa. Tetapi bila pandan laut (Pandanus

    Odoratissimus) mungkin ditinggalkan saja

    LANSEKAP GUWASELA Wang Jing Hong / Ong King Hong

    nakoda kepercayaan Cheng Ho pada misi

    pelayaran muhibah keliling dunia tahun

    1432 bersama beberapa Cina Muslim

    awak kapalnya mendarat dan kemudian

    menetap di Guwasela. Dalam Ying-yai

    sheng-lan (1433) karya Ma Huan nama

    Semarang juga tidak disebut-sebut,

    berarti Cheng Ho tidak pernah mendarat

    di Guwa Sela. Berbeda dengan

    kebanyakan orang Cina yang tinggal di

    Semarang dan kota lainnya yang percaya

    Cheng Ho pernah singgah di Guwasela

    (kini Gedong Batu).

    Wang Jing Hong meninggal setelah 40

    tahun bermukim, di sekitar tahun 1472.

    berarti sebelum kedatangan Made

    Pandan di Pulau Tirang Amper.

    Masyarakat Cina Muslim kemudian

    menambahkan patung untuk

    menghormati Cheng Ho dan Wang Jing

    Hong di masjid Guwasela. Sangat

    mungkin Made Pandan berperan penting

    membantu Raden Patah pada tahun 1477

    mengislamkan kembali masyarakat Cina

    Muslim di Guwasela.

    Masyarakat Cina Muslim di Guwasela

    kemudian dipekerjakan sebagai tenaga

    ahli yang handal dalam pembuatan kapal

    untuk ekspedisi Kesultanan Demak untuk

    membebaskan Malaka dari kekuasaan

    Portugis yang dipimpin Pangeran

    Sabrang Lor / Adi-Pati Unus pada tahun

    1512/1513 (Moentadhim,2010:65).

    Sedimentasi yang berlangsung dahsyat

    dan menyebabkan Ki Ageng Pandan Aran

    meninggalkan Tirang Amper

    kemungkinan terjadi di sekitar perempat

    akhir abad ke-15 sampai sekitar perempat

    awal abad ke-16. Ketika Ratu Kalinyamat

    sebagai penguasa Kadipaten Jepara

    menyerang kembali Malaka pada tahun

    1550 dan 1574 galangan kapalnya masih

    tetap berada di Semarang.

    Sisa-sisa permukiman masyarakat

    Cina Muslim di Guwasela sampai kini

    belum pernah ditemukan, hanya

    potongan cadik perahu nelayan, maka

    lansekap tropis kuno nya tidak dapat

    diperkirakan.

    Sampai tahun 1970an daerah di

    sekitar Gedong Batu banyak tumbuh liar

    pohon mangga (Mangifera Indica) jenis

    talijiwo, dan di arah selatannya lagi

    terdapat Desa Sadeng yang banyak

    ditumbuhi pohon sadeng (Lavistonia

    Rutondifolia) sejenis aren dan jamblang

    sejenis duwet, serta Desa Wringin Telu

    tempat menyeberangi Kali Garang

    menuju ke Gunungpati yang dikenal

    sebagai sentra buah-buahan di

    Semarang.

    Guwasela sangat mungkin merupakan

    gua di komplek Klenteng Sam Poo Kong

    yang selalu mengalirkan air tawar, dan

    dipercaya bertuah. Versi lain

    menganggap gua kuno yang dimaksud

  • JAL, Vol.3 No.2, Des 2012 19 Abdul Chalim

    telah musnah ketika tebing di

    belakangnya runtuh.

    Dahulu di komplek Klenteng Sam Poo

    Kong terdapat sebuah kolam besar

    bersegi delapan yang dibangun pada

    tahun 1951 dan taman air yang

    memanjang sepanjang depan bangunan

    anjungan (Roesmanto & Supriya,

    2001:65).

    Pada tanggal 29 Juli 2011 ketika

    naskah ini mulai ditulis, patung Cheng Ho

    tertinggi di Asia (setinggi 10,70 meter) di

    komplek Klenteng Agung Sam Poo Kong

    diresmikan. Taman air dan ruang terbuka

    hijau yang sangat luas yang pernah ada

    telah berganti pelataran paving. Beberapa

    bangunan kunonya yang khas juga telah

    berganti bangunan baru yang lebih

    megah. Perenovasian komplek pernah

    dilakukan setelah terbenam sedalam

    lebih dari satu meter dalam tragedi banjir

    bandang tahun 1992. Beberapa

    bangunan hasil renovasi dibangun di atas

    pelataran yang posisinya lebih

    ditinggikan, ataupun digeser, dan

    sebagian lagi berbeda bentuk-wujudnya.

    Perubahan fisik di kompleks Klenteng

    Sam Poo Kong disertai hilangnya tradisi

    Kejawen, pagelaran wayang kulit setiap

    Malem Selasa Kliwon dan Jumat Kliwon,

    kegiatan shalat di mushola, menyusutnya

    arak-arakan Jaran Sampo dari Klenteng

    Tay Kak Sie di Gang Lombok. Hilangnya

    taman air di komplek Klenteng Sam Poo

    Kong disertai semua tanaman teratai

    meskipun stilasi bunganya diadopsi untuk

    elemen dekoratif dinding tembok.

    Sangat disayangkan penelitian tentang

    permukiman Cina Muslim di Simongan

    nyaris tidak pernah ada meskipun

    toponim

    mengarah pada nama tokoh Cina

    setempat

    LANSEKAP BUBAKAN Kisah adipati Semarang yang pernah

    diislamkan kembali oleh Sunan Kalijaga

    karena kesombongannya sangat mungkin

    adalah Ki Ageng Pandanaran(g) II, yang

    kemudian memilih untuk berdakwah ke

    arah selatan, menanggalkan

    kekuasaannya dan meninggalkan kota

    Semarang. Ki Ageng Pandanaran(g) II

    setelah menetap di Tembayat terkenal

    sebagai Sunan Tembayat. Sedangkan

    Sunan Pandan Aran yang sejak tahun

    1478 termasuk dalam Walisanga

    Angkatan VI (Simon, 2004: 64), adalah Ki

    Ageng Pandan Aran I.

    Permukiman Ki Ageng Pandan Aran I

    di Pulau Tirang Amper berlansekap tropis

    tepi pantai dengan tanaman jenis palmae

    seperti aren, dan pandan.

    Permukimannya di Bubakan

    kemungkinan sudah ditandai dengan

    pohon-pohon asam yang tumbuh jarang.

    Lansekap permukiman Bubakan

    mendasari penamaan Semarang dari kata

    asem yang arang.

    Kota Demak pernah terkenal sebagai

    penghasil buah belimbing, yang banyak

  • JAL, Vol.3 No.2, Des 2012 20 Abdul Chalim

    ditanam di Desa Betokan. Keberadaan

    belimbing ditegaskan pada teks lagu

    Jawa Ilir-ilir karya Sunan Kalijaga yang

    sarat ajaran agama Islam. Penggalan

    lagu Ilir-ilir: ...penekna belimbing kuwi

    (panjat dan ambilkan buah belimbing

    itu)... mengandung maksud agar (orang-

    orang) mempelajari ajaran pokok agama

    Islam yang disimboliskan dengan geligir

    pada buah belimbing yang berjumlah

    lima.

    Penggunaan belimbing dalam

    gubahan lagu Sunan Kalijaga

    menginformasikan di kota-kraton Bintoro

    khususnya perdikan

    Desa Kadilangu (tempat kediaman Sunan

    Kalijaga) pada masa Kesultanan Demak

    telah banyak ditanam pohon belimbing.

    Bisa jadi, di setiap halaman depan rumah

    di kota-kraton Bintoro terdapat paling

    tidak sebuah pohon belimbing.

    Sunan Kalijaga berperan penting di

    Kesultanan Demak setelah merancang

    dan menyelesaikan pembangunan Masjid

    Sang Cipta Rasa di Cirebon. Berarti

    pohon belimbing terkuno di kota kraton

    Bintoro ditanam setelah tahun 1479.

    Ki Ageng Pandan Aran I kemungkinan

    menganjurkan masyarakatnya di Bubakan

    untuk menanam pohon belimbing seperti

    di kota-kraton Bintoro.

    Bubakan lebih besar dibanding Pulau

    Tirang Amper, maka ruang terbuka

    seperti alun-alun yang berukuran kecil

    mungkin telah melengkapi permukiman

    komunitas Ki Ageng Pandanaran, dan

    terletak di tepi timur Kali Semarang.

    Dalam Suma Oriental yang ditulis

    berdasar kisah perjalanan Tome Pires (ke

    Jawa tahun 1513) kota Semarang disebut

    dengan nama Camaram (Cortesao,

    1990).

    Menurut Pires, Semarang

    berpenduduk 3.000 orang, sedangkan

    Demaa / Demak telah dipadati 8.000

    sampai 10.000 hunian (Cortesao,

    1990:166-198). Apabila setiap keluarga

    memiliki lima orang anak (Putu, Nyoman,

    Made, Wayan, Ketut), maka jumlah

    penduduk kota-kraton Demak mencapai

    sekitar 56.000-70.000 orang.

    Lansekap kota-kraton Bintoro Demak

    ditandai keberadaan Alun-alun Demak

    yang ukurannya lebih luas dari alun-alun

    yang ada sekarang (lebarnya ke timur

    diperkirakan sampai tepi barat Sungai

    Tuntang), tetapi belum diketahui vegetasi

    pendukung lansekap-nya.

    Toponim gelagahwangi sebagai nama

    hutan yang dirabas Raden Patah beserta

    pengikutnya mengindikasikan banyaknya

    semak gelagah (Saccharum Officinarum)

    yang berbau wangi dari sejenis ilalang

    (Imperata Cylindrica). Tanaman semak

    tersebut kemungkinan dipertahankan

    tetap tumbuh di beberapa wilayah kota-

    kraton Bintoro. Lambang Kasultanan

    Demak yang dibentuk suluran

    penampang bulat (berbeda dengan Surya

    Majapahit) dapat diartikan mirip lonjoran

    rotan atau batang bunga gelagah.

  • JAL, Vol.3 No.2, Des 2012 21 Abdul Chalim

    Kadipaten Semarang sering

    disebutkan sebagai bagian dari wilayah

    Kesultanan Pajang, berarti pada saat

    Tome Pires mengisahkan kota Camaram

    berpenduduk 3000 orang kemungkinan

    yang dimaksud adalah komunitas Sunan

    Pandan Aran I setelah bermukim di

    Bubakan.

    Kegiatan Ki Ageng Pandan Aran I

    beserta masyarakatnya merabas hutan di

    Bubakan tidak disertai informasi tentang

    jenis vegetasi yang ada. Maka pohon

    asam yang keberadaannya jarang dan

    mewarnai lansekap permukiman Bubakan

    mungkin telah lebih dahulu ada dan

    dilestarikan, atau sengaja ditanam

    sebagai pohon pembatas dan peneduh

    bagian tepi alun alun kecil yang kemudian

    dibuat.

    LANSEKAP KANJENGAN Peta kuna PAAN van het Fort in omleg

    gende Cituatie van Samarangh tentang

    situasi kota Semarang di sekitar tahun

    1719 (Roesmanto & Supriya, 2001:129)

    memperlihatkan keberadaan permukiman

    yang polanya sudah teratur di sebelah

    timur Kali Semarang dan berseberangan

    dengan komplek Kadipaten Semarang di

    Kanjengan. Dengan rentang masa sangat

    panjang (1478-1719), maka tata ruang

    komplek permukiman tersebut tidak dapat

    dijadikan patokan untuk menggambarkan

    perkembangan lansekap tropis di pusat

    kota Samarang.

    VOC memindahkan koloni dagangnya

    dari Jepara ke Semarang setelah

    mendapat konsesi dari Sultan Mataram.

    Pola tata ruang tradisional pusat kota

    Jepara dan pola tata ruang pada kota-

    kraton Mataram yang seharusnya menjadi

    patron tata ruang, ternyata berbeda.

    Tata ruang kota Jepara menempatkan

    kompleks Kadipaten Jepara di timur Alun-

    Alun Jepara searah sumbu imajiner Laut

    Jawa-Gunung Muria. Masjid Jepara

    terletak di selatan Alun-Alun Jepara

    searah sumbu imajiner yang tegak lurus

    sumbu tersebut.

    Dari peta kuna PAAN van het Fort in

    omleg gende Cituatie van Samarangh

    juga dapat diketahui Masjid Semarang

    berada di sebelah utara dari Dalem

    Kadipaten Semarang.

    Pasebaan atau alun-alun tradisional

    berada di sebelah timur Dalem Kadipaten

    Semarang pada tepi barat Kali Semarang,

    berbentuk trapesium yang mengecil ke

    arah utara. Pada bagian tepi utara serta

    selatannya berderet tiga buah pohon

    yang berperan sebagai elemen pengarah

    menuju Dalem Kadipaten. Di tengah

    Pasebaan tidak terdapat sepasang pohon

    beringin seperti umumnya lansekap Alun-

    alun Lor dan Alun-alun Kidul di Kraton

    Surakarta dan Kraton Yogyakarta.

    Situasi di sekitar komplek Kadipaten

    Semarang menggambarkan adanya jalan

    tradisional yang merupakan perpanjangan

    batas sisi selatan Pasebaan Semarang.

    Tiga pohon kelapa terdapat di sisi selatan

  • JAL, Vol.3 No.2, Des 2012 22 Abdul Chalim

    Pasebaan Semarang, dan tiga pohon

    kelapa lainnya berada di sisi selatan dari

    jalan tradisional tersebut. Berderet di

    sepanjang sisi selatan dari bagian Kali

    Semarang yang alirannya berkelok arah

    Timur-Barat terdapat 14 pohon kelapa.

    Dalam kakawin Nagarakretagama

    pada Pupuh 60/1/4 disebutkan bahwa

    pohon asam (Tamarindus Indica) telah

    banyak ditanam di bagian luar dari kota-

    kraton Trowulan. Apabila pohon asam

    telah mewarnai lansekap permukiman

    Bubakan berarti tanaman yang berderet

    tiga pada sisi selatan dan utara Pasebaan

    Semarang adalah pohon asam.

    Komplek Kadipaten Semarang terletak

    di bagian sebelah barat Kali Semarang

    berseberangan dengan Bubakan. Kali

    Semarang sangat mungkin difungsikan

    sebagai benteng alami, dan batas wilayah

    kekuasaan. Jika dugaan tersebut benar,

    maka perpindahan pusat pemerintahan Ki

    Ageng Pandanaran(g) II dari Bubakan ke

    Kanjengan paling cepat terjadi pada awal

    Kesultanan Pajang sekitar tahun 1550.

    Sultan Hadiwijaya atau Joko Tingkir

    sebagai Sultan Pajang memutuskan tetap

    berkedudukan di kota-kadipaten Pajang

    yang dikembangkan statusnya menjadi

    kota-kraton. Kota-kraton Bintoro tidak

    digunakan sebagai pusat

    pemerintahannya karena telah

    mengalami kerusakan akibat

    penyerangan Arya Penangsang.

    Meskipun demikian Alun-alun Demak dan

    Masjid Demak tidak berubah meskipun

    secara fisik kota Demak mengalami

    degradasi kualitas dan statusnya berubah

    menjadi kota-kadipaten.

    Dengan keberadaan Alun-alun Bintoro

    di sebelah barat Sungai Tuntang maka

    apabila terdapat dua pohon beringin

    (ringin kulon dan ringin wetan) di bagian

    tengahnya maka secara fisik tidak dapat

    berfungsi menyimboliskan gerbang dari

    vegetasi yang menyambut kedatangan

    tamu kota Bintoro Demak dari arah

    sungai tersebut.

    Kondisi lansekap serupa di Alun-Alun

    Demak juga ada di Pasebaan Semarang

    yang tengah-tengahnya tidak dilengkapi

    sepasang pohon beringin. Bandingkan

    dengan kondisi lansekap Candi Wringin

    Lawang yang dipercaya sebagai gerbang

    bentar yang dilewati Gajah Mada ketika

    meninggalkan kediamannya dalam

    proses menuju moksa. Candi Wringin

    Lawang dilengkapi keberadaan sepasang

    waringin (Ficus Benjamina) yang

    membingkai jalan menuju gerbang bentar

    yang berfungsi sebagai pintu atau

    lawang.

    Kota-kadipaten Semarang mirip kota

    kadipaten Bintoro, berada di sisi barat

    dari meander sungai. Lansekap keduanya

    pasti lebih bernuansa kebaharian

    dibandingkan kota-kraton Pajang yang

    berada jauh di pedalaman. Maka dapat

    dibayangkan kota kadipaten Semarang

    merupakan sebuah traditional riverfront

    town dengan deretan rumah-rumah

    panggung di sepanjang tepi timur Kali

  • JAL, Vol.3 No.2, Des 2012 23 Abdul Chalim

    Semarang yang berhadapan

    berseberangan dengan komplek

    Kadipaten Semarang. Itulah sebabnya

    kenapa Tome Pires juga tertarik untuk

    mengamati kota Camaram.

    Setelah kota-kraton Bintoro rusak dan

    ditinggalkan Sultan Hadiwijaya maka

    kota-kadipaten Jepara dan pelabuhannya

    berkembang pesat di bawah

    pemerintahan Ratu Kalinyamat.

    Sangat mungkin proses sedimentasi,

    yang telah menyebabkan Ki Ageng Panda

    Aran I bermigrasi dari Tirang Amper ke

    Bubakan, terus berlangsung

    menyebabkan kompleks Kadipaten

    Semarang tidak lagi berada di tepi Laut

    Semarang, dan di sebelah utaranya

    tumbuh daratan baru. Daratan di bagian

    barat Kali Semarang ini nantinya

    berkembang lagi menjadi area

    permukiman masyarakat Melayu. Lahan

    rawa di seberang timur perkampungan

    Melayu yang dianggap tidak potensial

    oleh penguasa lokal dipilih VOC untuk

    lokasi mendirikan bentengnya.

    Peta kuna PAAN van het Fort in omleg

    gende Cituatie van Samarangh dibuat

    VOC menjelang loji-nya dipindahkan dari

    Jepara. Loji VOC di Jepara didirikan

    tahun 1613, dan ditinggalkan pada tahun

    1618 karena serangan pasukan Mataram.

    VOC bertahan di bekas benteng Portugis

    yang sudah ada, kemungkinan di Keling-

    Kelet yang letaknya tidak jauh dari Pulau

    Mandalika.

    Gambar kuno buatan VOC yang

    melukiskan kedatangan perahu-perahu

    VOC berukuran besar di pantai Jepara

    memperlihatkan bangunan Masjid Jepara

    masih beratap tumpang-lima (kemudian

    berubah menjadi ber-tumpang telu

    setelah tersambar petir), dan lansekap

    daerah pesisiran yang didominasi pohon

    kelapa.

    Gambar kuno lain menggambarkan di

    depan Masjid Jepara ber-tumpang lima

    terdapat ruang terbuka yang sangat luas

    yang dapat dipastikan adalah Pasebaan

    Jepara tetapi tidak menampakkan adanya

    pohon beringin. Pola lansekap demikian

    sangat mungkin sesuai dengan lansekap

    kota-kraton Kerta Mataram di masa awal

    pemerintahan Sultan Agung. Tidak jelas,

    apakah pada saat Sultan Agung memulai

    penyerangan ke Batavia pada tahun 1628

    Pasebaan Jepara telah dilengkapi sebuah

    pohon beringin, ataukah masih

    merupakan pelataran terbuka yang

    lapang.

    Sultan Agung melengkapi Alun-alun

    Lor di kota-kraton Kerta dengan sebuah

    pohon beringin mengadopsi pola

    lansekap kota-kraton Cirebon.

    Sebelumnya telah tertanam sebuah

    pohon randu alas atau Bombaxma

    Labaricum (Adrisijanti, 2000: 162 dalam

    Roesmanto, 2010). Alun-alun Kidul kota-

    kraton Kerta belum ada karena Sultan

    Agung memfokuskan perhatiannya

    mengusir VOC dari Jawa.

  • JAL, Vol.3 No.2, Des 2012 24 Abdul Chalim

    Tajuk pohon beringin melebihi pohon

    randu alas menghadirkan bayangan yang

    luas di hamparan pasir permukaan Alun-

    alun Lor, dan mengatur iklim mikro di

    komplek kraton.

    Permukaan hamparan pasir yang

    terkena sinar matahari langsung akan

    menghadirkan pemandangan seperti alun

    di samudera luas. Samudera

    disimboliskan sebagai tempat melebur

    segala niat buruk.

    Hamparan pasir pada Pasebaan

    Semarang sangat mungkin diambil dari

    bagian hulu Kali Semarang.

    PATRON LANSEKAP MAJAPAHIT Tidak ada manuskrip berbentuk babad

    ataupun serat yang menjelaskan pola tata

    ruang kota-kraton Bintoro, Pajang, Kota

    Gede, Kerta, Plered, Kartasura,

    Surakarta, dan Yogyakarta menerapkan

    pola tata ruang kota-kraton Trowulan

    Majapahit.

    Dari dimensi kawasannya, kota-kraton

    Trowulan jauh lebih luas dari kota-kraton

    penerusnya. Membandingkan tafsir teks

    Nagarakretagama tentang pola tata

    ruang kota-kraton Trowulan versi

    Stutterheim, Maclaine Pont, Pigeaud,

    dengan peta-peta kuno kota-kraton Kerta,

    Plered, dan tata ruang kota-kraton

    Kasunanan Surakarta, terdapat

    kesamaan dalam menempatkan Alun-

    alun yaitu di sebelah utara dari dalem /

    kediaman raja.

    Pola tata ruang Kota Gede hasil dari

    perabasan Hutan Mentaok menempatkan

    pasebaan di sebelah timur dari kediaman

    Ki Ageng Pamanahan (sebelum berubah

    menjadi Masjid Kota Gede). Di pelataran

    komplek Pasarean Mataram dan Masjid

    Kota Gede inilah dapat dijumpai banyak

    pohon nagasari yang namanya beberapa

    kali dituliskan di Nagarakretagama.

    Keberadaan Pasebaan Semarang di

    sebelah timur dari komplek Kadipaten

    Semarang, dan letak Pasebaan Jepara di

    sebelah barat komplek Kadipaten Jepara

    memiliki kekhasan karena tidak sesuai

    dengan tata ruang kota-kraton Mataram

    pada masa Sultan Agung yang

    meletakkan Alun-alun Lor di sebelah

    utara komplek kediaman raja.

    Menurut kakawin Nagarakretagama

    Pupuh 8/1/4. (Slametmulyana, 1979:277)

    di kota-kraton Trowulan terdapat tempat

    tunggu para tanda yang bertugas

    meronda dan menjaga Paseban. Pada

    Pupuh 8/1/3 disebutkan bahwa para

    tanda menunggu di bawah pohon

    brahmastana berkaki bodi yang ditanam

    berjajar-panjang dan rapi serta bentuknya

    beraneka ragam di lapangan luas yang

    dikelilingi parit dan terletak di sebelah

    barat dari pintu barat pura (dalem /

    cepuri) yang bernama Pura Waktra.

    Brahmasthana dapat diartikan sebagai

    sthana atau tempat persemayaman Dewa

    Brahma (Sang Pencipta) dalam agama

    Hindu. Bodi atau bodhi erat kaitannya

    dengan agama Budha. Perpaduan antara

  • JAL, Vol.3 No.2, Des 2012 25 Abdul Chalim

    brahmastana dan bodi menegaskan

    agama kesatuan yang dianut di Majapahit

    yaitu Hindu-Budha.

    Pada gambar rekonstruksi kota kraton

    Trowulan versi Maclaine Pont posisi

    Brahmasthana berada di tengah-tengah

    ruang terbuka yang menyerupai Alun-alun

    Selatan. Perletakannya dikaitkan dengan

    arah ke puncak gunung-gunung di selatan

    kota-kraton Trowulan yang disimboliskan

    sebagai tempat persemayaman leluhur

    raja-raja Majapahit. Tetapi dari bentuk

    brahmasthana yang beraneka ragam

    yang dimaksud adalah pohon kalpataru

    ataupun waringin.

    Berbagai jenis tanaman di kota-kraton

    Trowulan juga disebut di dalam kakawin

    Nagarakretagama. Pohon-pohon tersebut

    adalah 1). tanjung (Mimusops Elengi) di

    Pupuh 8/5/2, 11/2/4, 12/1/3, dan 37/1/4;

    2).kesara (Messua Ferrea / Dewadaru) di

    Pupuh 11/2/4; juga 3).cempaka (Michelia

    Alba) di Pupuh 11/2/4; 4). maja (Aegle

    Marmelos) terdapat di Pupuh 18/4/1; 5).

    nagakusuma di Pupuh 32/5/2 disebut juga

    nagasari atau Dewadaru di Pupuh 37/1/

    4; dan 6). salaga (Slametmulyana, 1979).

    Tanaman yang terdapat di luar kota-

    kraton Trowulan antara lain 1). penaka di

    Pupuh 17/3/4; 2). teratai (Neliumbium

    Nucifera) di Pupuh 17/1/3, dan 88/1/3; 3).

    andung / andong (Cordyline Fruticosa) di

    Pupuh 32/5/2; juga 4). karawira di Pupuh

    32/5/2; 5). kayu mas / kayu jati mas (?) /

    (Tectona Grandis) di Pupuh 32/5/2; 6).

    menur (Melati Jawa / Jasminium Sambac)

    di Pupuh 32/5/2; 7). kayu puring / puring

    (?) ataukah kaca piring (Gardenia

    Augusta Merr) (?) di Pupuh 32/5/2; 8).

    kelapa gading (Cocos Capitata) di Pupuh

    32/5/3, dan 59/6/3); juga 9). gelagah

    (Saccharum Officinarum) ataukah ilalang

    (Imperata Cylindrica) di Pupuh 50/1/4;

    10). lada di Pupuh 60/1/3); 11). kesumba

    (Bixa Orellana L) di Pupuh 60/1/3; 12).

    kapas (Gossypium Hirsutum) di Pupuh

    60/1/3; 13). pinang (Areca Catechu) di

    Pupuh 60/1/4; 14). asam (Tamarindus

    Indica) di Pupuh 60/1/4, dan 68/4/1 atau

    cempaluk di Pupuh 60/3/2&4; 15). wijen

    (Sesamum Indicum) di Pupuh 60/1/4; 16).

    kecubung (Datura Fatuosal) di Pupuh

    60/3/2; 17). rebung dapat diartikan bambu

    atau bambu apus (Gigantochloa Apus)

    dapat juga bambu betung

    (Dendrocalamus Asper) atau bambu

    wulung (Phyllostachys Puberuka), tetapi

    biasanya jenis bambu yang dapat

    dimakan (untuk bahan utama lumpia)

    adalah jenis bambu kuning (Phyllostachys

    Sulphurea) disebutkan di Pupuh 60/3/2;

    terdapat juga 18). seludang

    (Bougainvillea) di Pupuh 60/3/2; 19).

    tunjung merah atau tanjung /(Mimusops

    Elengi) di Pupuh 83/1/3; 20). kamala

    benarkah kelor (?) (Moringa Oleifera Lam)

    di Pupuh 95/3/3; dan 21). asana atau

    angsana (Pterocarpus Indica) di Pupuh

    95/3/3.

    Terdapat desa-desa dengan tanaman

    yang khas seperti di desa perdikan

    Kasogatan terdapat tanaman 1). jarak (

  • JAL, Vol.3 No.2, Des 2012 26 Abdul Chalim

    Jatropha Curcas ataukah Jatropha

    Multifida) disebutkan di Pupuh 76/3/2); di

    desa Kebudaan Bajradara terdapat 2).

    pohaji atau mangga (Mangifera Indica)

    pada Pupuh 77/3/3; di desa-desa

    perdikan Siwa: terdapat tanaman 3).

    kunci (Kaempferia Angustifolia), 4). kuti

    jati, 5). nilakusuma atau nila (Indigofera

    Hendecaphyli) dan 6).sadeng (Lavistonia

    Rutondifolia) pada Pupuh 76/1/1-3

    ataukah aren (Arenga Pinnata ataukah

    Duschesnea Indica) yang daunnya

    digunakan untuk media penulisan yang

    disebut lontar / rontal.

    LANSEKAP TROPIS PRODUK VOC Lansekap Alun-alun Semarang produk

    VOC yang berbentuk layang-layang tidak

    ditandai dengan deretan pohon beringin

    di sepanjang tepinya sebagaimana

    lansekap Pasebaan Semarang, tetapi

    ditanami pohon johar (Johar

    Disambiguasi ataukah Cassia Siamena).

    Lansekap pusat kota kadipaten

    Semarang ditandai keberadaan dua alun-

    alun (Alun-alun Tradisional Jawa dan

    Alun-alun VOC) dengan vegetasi yang

    jenis pohonnya berbeda dengan yang

    banyak ditanam di kota-kraton Trowulan

    seperti pohon tanjung, dewadaru,

    cempaka, maja, dan salaga.

    Alun-alun VOC kemungkinan sudah

    berupa ruang terbuka hijau dari hamparan

    rumput, karena difungsikan sebagai

    tempat pasukan kompeni berparade.

    Hamparan pasir pada Pasebaan

    Semarang bisa jadi juga sudah berubah

    menjadi padang rumput.

    Toponim beberapa perkampungan di

    sekitar Kali Semarang seperti Pedamaran

    mengindikasikan pernah ada pohon

    damar atau tempat pengumpulan getah

    dan kayu damar di kampung tersebut;

    Karang Bidara menandakan suatu tempat

    yang banyak pohon bidara atau widara-

    nya.

    Kampung Sekayu (memiliki Masjid

    Sekayu yang dipercaya lebih muda dari

    Masjid Demak) yang terletak di arah barat

    jalan tradisional di bagian sebelah selatan

    komplek Kadipaten Semarang, sangat

    mungkin memiliki banyak pohon yang

    kayunya untuk material bangunan masjid.

    Pada masa Hindia Belanda deretan

    pohon johar di sekeliling Alun-alun VOC

    dimanfaatkan sebagai tempat berteduh

    orang-orang yang akan tilik saudaranya

    dipenjara di gevangenis (penjara, bui).

    Gemeente Semarang memiliki

    gevangenis yang terdapat di sebelah

    timur dan selatan Alun-alun VOC. Ketika

    di atas sebagian Alun-alun Semarang

    didirikan bangunan pasar sentral yang

    dirancang Thomas Karsten (1933), maka

    namanya pun lebih terkenal dengan

    sebutan Pasar Djohar.

    Lansekap Alun-alun VOC yang tersisa

    kemudian ditandai deretan pohon asam

    yang membingkai koridor Jalan Alun-Alun

    Utara dan Jalan Alun-Alun Timur.

    Kemungkinan banyak pohon johar yang

  • JAL, Vol.3 No.2, Des 2012 27 Abdul Chalim

    ditebang pada proses pembangunan

    Pasar Djohar dan bangunan kuno lainnya.

    KESIMPULAN Lansekap tropis kota Semarang pada

    awal berdirinya, ketika masih di Pulau

    Tirang Amper, ditandai beberapa pohon

    aren dan pandan.

    Lansekap tropis permukiman Bubakan

    telah memiliki alun-alun berukuran kecil

    dan diwarnai keberadaan pohon asam

    yang tumbuh jarang.

    Lansekap kota-kadipaten Semarang di

    masa pemerintahan Kesultanan Pajang

    ditandai keberadaan pasebaan berbentuk

    trapesium berupa pelataran terbuka dari

    hamparan pasir dengan deretan tiga

    pohon asam di sepanjang sisi selatan dan

    utara. Pasebaan (Alun-Alun) berupa

    hamparan pasir kemudian diganti

    pelataran rumput, tetapi tidak pernah

    dilengkapi dengan pohon beringin di

    bagian tengahnya.

    Lansekap tropis di awal kota

    Semarang selalu berdekatan dengan

    unsur air dalam wujudnya sebagai Laut

    Jawa di Pulau Tirang dan Kali Semarang.

    Di daerah sekitar kompleks Kadipaten

    Semarang terdapat pohon kelapa yang

    menandai lansekap tropis pesisiran.

    Lansekap kota-kadipaten Semarang di

    masa pemerintahan Kerajaan Mataram

    ditandai keberadaan pasebaan (Alun-alun

    Tradisional Jawa) yang dilestarikan, dan

    Alun-alun VOC berbentuk layang-layang

    dan berukuran lebih luas yang dikitari

    deretan pohon johar.

    DAFTAR PUSTAKA Adrisijanti, Inajati, 2000, Arkeologi Perko

    taan Mataram Islam, Jendela, Yogya

    karta.

    Cortesao, Armando, (ed), 1990, The

    Suma Oriental of Tome Pires and

    the Book of Francisco Rodrigues,

    Asian Educational Services, New

    Delhi-Madras.

    Moentadhim, Martin, 2010, Pajang.Pergo

    lakan Spiritual Politik & Budaya, Gen

    ta, Jakarta.

    Roesmanto,Totok, Supriya Priyanto, 2001

    Gedongbatu . Purifikasi Arsitektural

    atau Transformasi Kultural, Laborato

    rium Konservasi Sejarah Teori Arsitek

    tur Jurusan Arsitektur Fakultas Teknik

    Undip & Laboratorium Budaya Fakul

    tas Sastra Undip, Semarang.

    Simon, Hasanu, 2004, Misteri Syekh Siti

    Jenar. Peran Wali Songo dalam Meng

    islamkan Tanah Jawa, Pustaka

    Pelajar Yogyakarta.

    Slametmulyana, 1979,

    Nagarakretagama dan Tafsir

    Sejarahnya, Bhratara Karya Aksara,

    Jakarta.

  • JAL, Vol.3 No.2, Des 2012 28 Abdul Chalim