111277151-epidemi-obesitas

26
EPIDEMI OBESITAS OBESITY EPIDEMIC ABSTRACT Obesity has become a serious public health problem throughout the world. The World Health Organization (2006) states that the global trends of obesity keep on getting higher. This phenomenon is occurred both in older age and younger age as well as in children. Childhood obesity becomes a more essential problem to be tackled since there are various health consequence of it in later life. There has been eating habit changes in big cities from consuming healthy food containing complex carbohydrate, and high fiber to junk food containing a lot of protein, fat, sugar, and salt but the fiber and lack of physical activities will increase obesity. PENDAHULUAN ebagaimana dengan Negara berkembang lainnya, pembangunan nasional yang dilaksanakan di Indonesia dalam semua aspek kehidupan telah meningkatkan taraf hidup dan umur harapan hidup. Keberhasilan pembangunan khususnya dalam bidang kesehatan dan gizi telah dapat menurunkan penyakit infeksi dan kekurangan gizi di beberapa daerah. Namun sebagai hasil samping dari keberhasilan pembangunan nasional. Indonesia mengalami era transisi masyarakat, salah satunya adalah transisi demografik yang berpengaruh terhadap terjadinya transisi epidemiologic dalam bidang kesehatan. Kondisi ini ditandai dengan jumlah penyakit menular yang mulai menurun di beberapa daerah dan penyakit tidak menular (jantung coroner, diabetes, kanker, hipertensi dan lain-lain) yang meningkat. Pola yang sama terjadi pada keadaan gizi, gejala gizi lebih mulai meningkat terutama di daerah-daerah perkotaan. Hal ini dapat dijelaskan dari laporan rumah sakit tahun 2000, tentang gambaran penyebab utama kematian penderita rawat inap di RS yang disebabkan penyakit tidak menular, seperti penyakit stroke 4,8%, gagal ginjal 3,7% penyakit jantung 3,7%, diabetes mellitus tak bergantung insulin 2,1% dan penyakit iskemik 2,1% dari seluruh kematian. Salah satu penyebab meningkatnya penyakit tidak menular adalah adanya peningkatan pendapatan yang menimbulkan pergeseran pola konsumsi. Melalui kemajuan ilmu pengethuan dan teknologi, masyarakat dalam waktu relative singkat telah diperkenalkan dengan selera makanan gaya fast food dan junk food. Pola makan masyarakat di perkotaan bergeser dari pola makan tradiosional yang mengandung banyak karbohidrat, serat, dan sayuran ke pola makan berat yang kompisisinya terlalu banyak mengandung protein, lemak, gula, garam tetapi kurang serat. Disamping itu perbaikan ekonomi juga menyebabkan berkurangnya aktifitas fisik masyarakat berakibat semakin banyaknya penduduk golongan tertentu mengalami masalah gizi lebih berupa kegemukan dan obesitas. Penelitian Monia (1994) yang dikutip dari Untoro (2003) menunjukkan bahwa hipertensi didapati pada 19,9% usila gemuk dan 29,8% pada usila dengan obesitas. Sedangkan di Negara maju kelompok masyarakat usia 20- 45 tahun dengan gizi lebih memiliki risiko relative sebesar 5,9 kali untuk hipertensi dan 2,9 kali untuk diabetes mellitus dibandingkan dengan kelompok gizi normal. S

Upload: miftahul-jannah

Post on 26-Oct-2015

125 views

Category:

Documents


0 download

DESCRIPTION

obesitas

TRANSCRIPT

Page 1: 111277151-EPIDEMI-OBESITAS

EPIDEMI OBESITAS

OBESITY EPIDEMIC

ABSTRACT

Obesity has become a serious public health problem throughout the world. The

World Health Organization (2006) states that the global trends of obesity keep on

getting higher. This phenomenon is occurred both in older age and younger age as well

as in children. Childhood obesity becomes a more essential problem to be tackled since

there are various health consequence of it in later life. There has been eating habit

changes in big cities from consuming healthy food containing complex carbohydrate,

and high fiber to junk food containing a lot of protein, fat, sugar, and salt but the fiber

and lack of physical activities will increase obesity.

PENDAHULUAN

ebagaimana dengan Negara berkembang lainnya, pembangunan nasional yang

dilaksanakan di Indonesia dalam semua aspek kehidupan telah meningkatkan taraf

hidup dan umur harapan hidup. Keberhasilan pembangunan khususnya dalam bidang

kesehatan dan gizi telah dapat menurunkan penyakit infeksi dan kekurangan gizi di

beberapa daerah. Namun sebagai hasil samping dari keberhasilan pembangunan

nasional. Indonesia mengalami era transisi masyarakat, salah satunya adalah transisi

demografik yang berpengaruh terhadap terjadinya transisi epidemiologic dalam bidang

kesehatan.

Kondisi ini ditandai dengan jumlah penyakit menular yang mulai menurun di

beberapa daerah dan penyakit tidak menular (jantung coroner, diabetes, kanker,

hipertensi dan lain-lain) yang meningkat. Pola yang sama terjadi pada keadaan gizi,

gejala gizi lebih mulai meningkat terutama di daerah-daerah perkotaan. Hal ini dapat

dijelaskan dari laporan rumah sakit tahun 2000, tentang gambaran penyebab utama

kematian penderita rawat inap di RS yang disebabkan penyakit tidak menular, seperti

penyakit stroke 4,8%, gagal ginjal 3,7% penyakit jantung 3,7%, diabetes mellitus tak

bergantung insulin 2,1% dan penyakit iskemik 2,1% dari seluruh kematian.

Salah satu penyebab meningkatnya penyakit tidak menular adalah adanya

peningkatan pendapatan yang menimbulkan pergeseran pola konsumsi. Melalui

kemajuan ilmu pengethuan dan teknologi, masyarakat dalam waktu relative singkat

telah diperkenalkan dengan selera makanan gaya fast food dan junk food. Pola makan

masyarakat di perkotaan bergeser dari pola makan tradiosional yang mengandung

banyak karbohidrat, serat, dan sayuran ke pola makan berat yang kompisisinya terlalu

banyak mengandung protein, lemak, gula, garam tetapi kurang serat. Disamping itu

perbaikan ekonomi juga menyebabkan berkurangnya aktifitas fisik masyarakat

berakibat semakin banyaknya penduduk golongan tertentu mengalami masalah gizi

lebih berupa kegemukan dan obesitas. Penelitian Monia (1994) yang dikutip dari Untoro

(2003) menunjukkan bahwa hipertensi didapati pada 19,9% usila gemuk dan 29,8%

pada usila dengan obesitas. Sedangkan di Negara maju kelompok masyarakat usia 20-

45 tahun dengan gizi lebih memiliki risiko relative sebesar 5,9 kali untuk hipertensi dan

2,9 kali untuk diabetes mellitus dibandingkan dengan kelompok gizi normal.

S

Page 2: 111277151-EPIDEMI-OBESITAS

WHAT IS OBESITY?

Obesity and overweight are defined as abnormal or excessive fat accumulation

that presents a risk to health. The body mass index (BMI) is the measurement of obesity

in crude population that is a person’s weight (in kilograms) divided by the square of his

or her height (in meters). A person with a BMI of 30 or more is commonly considered

obese while a person with a BMI equal to or more than 25 is considered overweight.

Table 1

Weight Classification Based On BMI

Category BMI (kg/m2)

Underweight < 18,5

Normal 18,5 – 24,9

Overweight 25,0 – 29,9

Class I Obesity 30,0 – 34,9

Class II Obesity 35,0 – 39,9

Class III Obesity > 40,0

National Institutes of Health (NIH) 1998

FREKUENSI OBESITAS

Sensus Kesehatan tahun 1989 menunjukkan prevalensi obesitas di daerah

perkotaan adalah 1,1 persen sedangkan di pedesaan adalah 0,7 persen, kata dokter gizi

Fiastuti Witjaksono MSC. SpGK di Jakarta, Rabu.Tenyata, lanjutnya, 10 tahun

kemudian, angka ini naik menjadi 5,3 persen di perkotaaan dan 4,3 persen di desa.

Pada tahun 2004, Himpunan Studi Obesitas Indonesia menemukan angka

obesitas pada pria telah naik menjadi 9,16 persen dan untuk wanita 11,2 persen. Dalam

lokakarya media bertemakan "Pola Makan Gizi Seimbang Untuk Atasi Kekurangan dan

Kelebihan Berat Badan" dokter Fiastuti mengatakan, terus naiknya tingkat obesitas baik

untuk kelompok pria maupun wanita di tanah air menunjukkan bahwa obesitas

merupakan persoalan serius karena jumlah penderitanya terus meningkat.

Awalnya obesitas hanya di temukan di antara orang usia dewasa di wilayah

urban, kemudian terus meningkat memasuki semi-urban dan pedesaan, dan menyerang

kelompok umur yang lebih muda. Menurut data Riskesdas 2007 di pulau Sulawesi. Data

yang diterima dan direcleaning hingga diperoleh sampel akhir sebesar 12.469

responden. Variabel dependen yaitu obesitas, dengan melihat dua indikator obesitas

(indikator IMT; obesitas umum dan indikator lingkar perut; obesitas sentral) terdapat

prevalensi obesitas umum sebesar 14,9 dan prevalensi obesitas sentral sebesar 11,8%.

Prevalensi obesitas ini bervariasi pada berbagai tingkatan umur, cenderung terjadi pada

perempuan, penddikan tertinggi tamat Perguruan Tinggi, bekerja sebagai ibu rumah

tangga, dan tinggal di perkotaan.

Page 3: 111277151-EPIDEMI-OBESITAS

DISTRIBUSI OBESITAS

Sejumlah ilmuwan meneliti berat badan warga negara di seluruh dunia untuk

mengetahui di mana saja kasus kelebihan berat badan dan obesitas banyak terjadi.

Mereka menggunakan data Body Mass Indexes (BMI) dan tinggi badan orang dari

berbagai negara yang tercatat pada 2005. Dari data tersebut ilmuwan meneliti rata-rata

berat tubuh orang dewasa. Mereka mengelompokkan BMI sesuai ambang batas, yakni

25 untuk orang kelebihan berat badan dan 30 untuk orang yang mengalami obesitas.

berat badan kolektif orang dewasa penderita obesitas di seluruh dunia pada 2005

adalah 3,9 juta ton, sementara rata-rata berat satu orang dewasa adalah 62 kilogram.

Saat ini, 1,6 miliar orang dewasa di seluruh dunia mengalami berat badan berlebih

(overweight), dan sekurang-kurangnya 400 juta diantaranya mengalami obesitas. Pada

tahun 2015, diperkirakan 2,3 miliar orang dewasa akan mengalami overweight dan 700

juta di antaranya obesitas.

Peneliti juga mengelompokkan negara mana saja yang memiliki kasus obesitas

terbanyak. Berikut daftar negara-negara tersebut seperti dilansirLivescience, Minggu

(17/6) waktu setempat.

10 Negara terberat (untuk Negara

penduduk lebih dari 100.000 orang)

- Amerika Serikat

- Kuwait

- Kroasia

- Qatar

- Mesir

- Uni Emirat Arab

- Trinidad dan Tobago

- Argentina

- Yunani

- Bahrain

10 Negara dengan jumlah teringan

- Korea utara

- Kamboja

- Burundi

- Nepal

- DR. Congo

- Bangladesh

- Sri lanka

- Ethiopia

- Vietnam

- Eritrea

Laporan Statistik Kesehatan Dunia 2012 dari WHO menyebutkan secara global

kawasan Amerika merupakan penyumbang angka terbesar jumlah penderita obesitas

atau kegemukan.

“Di setiap kawasan di dunia, obesitas meningkat dua kali lipat antara 1980–

2008. Saat ini, setengah miliar orang atau sekitar 12 persen orang tergolong menderita

obesitas,” kata Ties Boerma, Direktur Departemen Statistik Kesehatan dan Sistem

Informasi WHO. Tingkat obesitas terbesar ditemukan di kawasan Amerika, di mana 26

% dari orang dewasanya menderita kegemukan. Tingkat obesitas terendah terdapat di

kawasan Asia Tenggara (3 %).

Penelitian itu juga menunjukkan bahwa di seluruh kawasan di dunia, wanita

penderita obesitas lebih banyak dari pria. Obesitas dinilai sebagai penyakit berbahaya

karena meningkatkan risiko menderita diabetes, penyakit kardiovaskular dan beberapa

jenis kanker.

Penyakit tidak menular saat ini menyumbang dua pertiga angka kematian di

seluruh dunia. Hal itu membuat WHO memberikan perhatian khusus antara lain dengan

menyelenggarakan pertemuan tingkat tinggi untuk membahas peningkatan angka

kematian akibat penyakit hati dan jantung, diabetes serta kanker diseluruh dunia.

Page 4: 111277151-EPIDEMI-OBESITAS

Pertemuan “The World Health Assembly” yang digelar di Jenewa, Swiss pada 21-26

Mei juga akan melakukan evaluasi perkembangan dari setiap negara serta

membicarakan langkah selanjutnya.

Menurut WHO, sekitar 80 persen kasus baru penyakit kanker, diabetes, dan

kardiovaskular di dunia sekarang ini bukan tercatat di negara Barat yang kaya. Justru

penyakit tidak menular itu meningkat pesat di negara-negara miskin yang di satu sisi

menghadapi kelaparan, tetapi di sisi lain juga masalah obesitas.

”Ledakan obesitas itu sebagai konsekuensi impor gaya hidup negara-negara

Barat,” kata Francis Collins, Pemimpin Institut Nasional Kesehatan Amerika Serikat,

dalam acara World Health Summit di Berlin, Jerman, pertengahan Oktober ini.

THE DETERMINANT FACTORS OF OBESITY

Fundamental cause of obesity and overweight is an energy imbalance between

calories consumed on one hand, and calories expended on the other hand. Societal

trends and “obesogenic” environments which promote the consumption of excess

calories and physical inactivity are considered as part of the reason of global trends of

obesity within the community found at home, work, school and community as well as

promote overeating and in the meantime, individual eat too many calories whereas not

getting enough physical activity. Policy and environmental change initiatives that make

healthy choices in nutrition and physical activity accessible, inexpensive and easy will

likely bear out most effective in addressing obesity.

Meanwhile, some clinical aspects can increase the risk for childhood obesity as

well such as maternal nutritional deprivation and smoking; infants born to women with

insulin dependent diabetes; maternal smoking during pregnancy; rapid weight gain

during the first year of life and fewer hours of sleep during infancy the susceptibility to

overweight is influenced by genetic (heredity) and determine how the body burn

calories for energy and fat storage, appetite and satiety as well.

Furthermore, according to WHO (2006), global increases in overweight and

obesity are attributable to several factors including energy intake due to a global shift in

diet towards increased intake of energy-dense foods that are high in fat and sugars but

low in vitamins, minerals and other micronutrients as well as a drift towards decreased

physical activity due to the increasing sedentary nature of many forms of work,

changing modes of transportation and rising urbanization.

Obesity and social appetite

The recent explosive increase in prevalence of obesity reflects a complex

interplay among: changes in individual behavior, changes in community structure,

lifestyle and the built environment and possible exposures to certain synthetic

chemicals. The access to resources such as money to purchase food, grocery stores, land

to plant food or transportation to the stores can be a structure factors that can influence

the condition of family feeding practice. Constraints may occur when resources are

lacking for example when a person’s capacity for choosing and preparing food is

restricted in relation to family members whose food preferences are unfeasible to

please. Conversely, food choice conditions may be enabled when adequate money,

transportation and food retail outlets are easily accessible and time to attain food does

not contend with other activities (e.g. employment).

Page 5: 111277151-EPIDEMI-OBESITAS

Social appetite is a term applied by Williams and Germov to refer to the social

patterns of food production, distribution and consumption. The social factors that

influence why we eat the way we do are considered noteworthy to be taking into

account. While we all have individual food likes and dislikes, many of our food choices

reflect our social appetite that is the social, cultural, political, religious and economic

factors that affect what we eat.

Food production

Firstly, foods were used to be prepared and consumed in the home, however

nowadays, there has been a shift away towards food being prepared outside the home.

As a consequence, recently, fast cars/fast foods concept is being popular within the

community. Freund and Martin state that fast cars/fast foods based on application of

mass production techniques to food is related with a particular socio material landscape

and motorized urban sprawl that both endorse hyper consumption. Moreover, by a range

of managerial and technological means, food production is standardized so that more

and more food products are uniform, cheap, and readily available. In Indonesia, there

were only 29 fast foods outlet from overseas and 6 local fast foods in 1992 yet this

number increased sharply in 2005 that reached 237 and 129 respectively.

The reality that more people are moving to the city compounds the problem. In

1900, just 10 percent of the world population settled cities. Today, that figure is nearly

50 percent. Obesity is consider more prevalent in the city since urban areas have more

changing in many sectors compare to rural areas. A greater range of food choices is

being provided in the city with lower prices and urban activities often need less physical

action than rural work as well. In addition, as more and more women work away from

home, they may be too busy to shop for, prepare and cook healthy meals at home. There

has been dual effect of female work-force possessing food-preparation skills, whilst

taking away the time obtainable for women to complete these skills in their own homes.

Moreover, according to a study findings regarding maternal employment and

early childhood overweight from the UK Millennium Cohort Study, young children's

access to healthy foods and physical activity may be hindered by long hours of maternal

employment rather than lack of money. Policies supporting work-life balance may assist

parents diminish potential barriers. Linn and Novosat (2008) argue that parents can no

longer keep pace either with innovations in advertising or increased spending,

suggesting the need for more rigid government regulations on food marketing to

children.

Food distribution

The social structure can influence some conditions in the community. According

to FAO (2009), the less advantage people have less food choices and more limited

access to nutrition education whereas the rich can select to adopt a healthy lifestyle.

Among lower socio-economic and socially disadvantaged people, excess weight gain is

more widespread. The most important contributer to the problem in this group of people

is food security issue that is defined as “the ability of individuals, households and

communities to acquire appropriate and nutritious food on a regular and reliable basis,

and using socially acceptable means”.

Furthermore, it is considered that some industrialized countries selling the high-

fat remainders such as cuts of skin, fat and little meat to other countries yet they

producing leaner cuts of meat for their own people. Meanwhile, other dietary changes

Page 6: 111277151-EPIDEMI-OBESITAS

has been happened without influences from outside. For instance, in China, the

consumption of high-fat foods soared as soon as per capita income grew fourfold after

the economic reforms of the late 1970s, and while incomes grew, the income needed to

purchase a fatty diet decreased.

Affordability and food availability of healthful food are essential, mainly for less

advantaged people in low income neighborhoods. Certain foods such as whole grain

products and fruits and vegetables are not as available in fast food outlets, school

canteen, workplace cafeterias or other places convenient to people out of home

activities as are more highly processed food items and they often cost more. A study by

Galvez et al (2008) found that inequalities in food store availability exist by

race/ethnicity in New York has implications for racial/ethnic differences in dietary

quality, obesity and obesity-related disorders.

Food consumption

The preparation and consumption of food is an inherently social activity;

whether over the family dinner table or eating-out with friends at a café. Food can also

be used as a means of social differentiation between groups of people and as a social

marker of identity. For example, people of different social classes tend to choose

different foods. People’s food habits are an effect of their social environment or the

consequence of personal choice. Milburn et al study on adolescent eating practice

showed that from parent and adolescent perspectives, eating practice are intensely

rooted in the contexts of home and school and relationships with parents and peers.

Eating pattern was resulted from the group’s practiced with foods, and this experience

was transmitted through the culture.

Some foods are of concern for its nutritional composition, for instance, fast food.

The food is typically energy dense (that is contains a high amount of kilojoules or

calories for each gram of the product), being high in fat, which is a concentrated form of

energy. The foods are high in salt and sugar as well. The more fat, sugar, and salt we

consume, the more our taste preferences shift toward foods with high concentration of

these ingredients. Foods such as fruits and vegetables that low in fat, sugar and salt but

high in nutrients are more likely to taste plain in comparison. When children’s palates

become familiarized to foods high in fat, sugar and salt, this will become difficult since

an extensive body of research shows that food preferences are formed in childhood.

The fast food industry as well as the broader food industry has altered the food supply

towards products that are high in energy (that is more fattening) as a result of the change

in taste preferences. This trend has also increased the amount of kilojoules available for

consumption and is one of the structural factors contributing to an environment

favorable to obesity in western countries. A study conducted by Hadi in 2004 in

Yogyakarta show that obese adolescents are more likely to consume fast food 2-3 times

than non obese adolescents. Meanwhile low consumption of fruits and vegetables and

increased consumption of sweetened beverages are associated with the high of waist

circumference and overweight among female. Children who consumed three or more

restaurant meals in the three days of recall consumed, on average, 2004 kJ (479 kcal)

more energy daily than children consuming no restaurant meals and had higher intakes

of fat, saturated fat, calcium and soda.

Page 7: 111277151-EPIDEMI-OBESITAS

DETERMINAN OBESITAS LAINNYA

Faktor genetik

Obesitas cenderung diturunkan, sehingga ia diduga memiliki penyebab genetik.

Tetapi anggota keluarga tidak hanya berbagi gen melainkan juga makanan dan gaya

hidup, yang bisa mendorong terjadinya obesitas. Sering kali sulit memisahkan faktor

gaya hidup dengan faktor genetik. Hasil penelitian terbaru menunjukkan bahwa rata-rata

faktor genetik memberikan pengaruh 30% terhadap berat badan seseorang.

Faktor genetik berperan penting untuk memicu timbulnya obesitas. Bila salah

satu orang tua mengalami obesitas maka anaknya memiliki kecenderungan mengalami

obesitas sebesar 40 %. Bila kedua orang tua mengalami obesitas maka kecenderungan

anaknya untuk menjadi obesitas sebesar 80 %.

Faktor lingkungan dan gaya hidup

Gen merupakan faktor yang penting dalam berbagai kasus obesitas, tetapi

lingkungan juga memegang peranan yang cukup berarti. Lingkungan ini termasuk

perilaku/ pola gaya hidup, misal jenis makanannya, frekuensi makan dan jenis aktivitas.

Seseorang tentu saja tidak dapat mengubah pola genetiknya tetapi ia bisa mengubah

pola makan dan aktivitasnya.

Pola makan ini ditentukan oleh jenis makanan sehari-hari dan tingkat kesibukan

remaja. Konsumsi fast-food dan soft-drink yang cenderung dipilih oleh remaja yang

memiliki banyak kesibukan turut menyumbang risiko peningkatan berat badan.

Pergaulan remaja juga salah satu faktor lingkungan yang mempengaruhi. Remaja

cenderung mengonsumsi fast-food dan soft-drink untuk menciptakan citra diri yang

modern dalam komunitasnya.

Remaja cenderung meninggalkan makan sederhana dan sehat seperti tempe, tahu

dan sayuran. Selain pola makan dan pergaulan, kurangnya aktivitas fisik juga turut

menjadi penyebab timbulnya obesitas. Remaja masa kini lebih banyak menghabiskan

waktunya untuk menonton televisi, browsing internet dan bermain video game dimana

kegiatan ini akan mengurangi pembakaran kalori dan meningkatkan penimbunan lemak

dalam tubuh.

Terlebih bila kegiatan ini dibarengi dengan acara ngemil (makan makanan

kecil). Dari ukuran mungkin makanan kecil memang berukuran kecil seperti sanck,

biskuit dan krupuk, tapi jika dimakan beberpa kantong plastik sama saja dengan makan

porsi besar bila dilihat dari jumlah kalorinya. Namun demikian masih banyak yang

belum sadar akan pentingnya aktivitas fisik seperti olah raga untuk menjaga kesehatan.

Faktor psikis (phikologis)

Sebab-sebab psikologis terjadinya kegemukan, ialah bagaimana gambaran

kondisi emosional yang tidak stabil (unstabil emotional) yang menyebabkan individu

cenderung untuk melakukan pelarian diri (self-mechanism defence) dengan cara banyak

makan-makanan yang mengandung kalori atau kolesterol tinggi. Kondisi emosi ini

biasanya bersifat ekstrim, artinya menimbulkan gejolak emosional yang sangat dahsyat

dan traumatis.

Emosi bisa mempengaruhi kebiasaan makan seseorang. Ia dapat bereaksi

terhadap emosinya dengan cara makan. Salah satu bentuk gangguan emosi adalah

persepsi diri yang negatif. Ini merupakan masalah serius yang banyak menimpa wanita

muda yang menderita obesitas. Hal ini yang membuat mereka paling banyak mencari

Page 8: 111277151-EPIDEMI-OBESITAS

cara mengurangi berat badan. Ada pula pola makan abnormal yang menjadi penyebab

obesitas, yaitu binge (makan dalam jumlah sangat banyak) dan sindrom makan

malam.Kedua pola ini biasanya dipicu oleh stress dan kekecewaan.

Meski banyak pendapat yang mengatakan bahwa orang gemuk biasanya tidak

bahagia, namun sebenarnya ketidakbahagiaan atau tekanan batinnya lebih diakibatkan

sebagai hasil dari kegemukannya. Hal tersebut karena dalam suatu masyarakat

seringkali tubuh kurus disamakan dengan kecantikan, sehingga orang gemuk cenderung

malu dengan penampilannya dan kesulitannya mengendalikan diri terutama dalam hal

yang berhubungan dengan perilaku makan.

Orang gemuk seringkali mengatakan bahwa mereka cenderung makan lebih

banyak apa bila mereka tegang atau cemas, dan eksperimen membuktikan

kebenarannya. Orang gemuk makan lebih banyak dalam suatu situasi yang sangat

mencekam; orang dengan berat badan yang normal makan dalam situasi yang kurang

mencekam (McKenna,1999). Dalam suatu studi yang dilakukan White (1977) pada

kelompok orang dengan berat badan berlebih dan kelompok orang dengan berat badan

yang kurang, dengan menyajikan kripik (makanan ringan) setelah mereka menyaksikan

empat jenis film yang mengundang emosi yang berbeda, yaitu film yang tegang, ceria,

merangsang gairah seksual dan sebuah ceramah yang membosankan. Pada orang gemuk

didapatkan bahwa mereka lebih banyak menghabiskan kripik setelah menyaksikan film

yang tegang dibanding setelah menonton film yang membosannkan. Sedangkan pada

orang dengan berat badan kurang selera makan kripik tetap sama setelah menonton film

yang tegang maupun film yang membosankan.

Obesitas juga dapat disebabkan oleh emosi. Orang mungkin makan berlebihan

ketika depresi, merasa putus asa, marah, bosan, dan berbagai sebab lain yang

sebenarnya tidak butuh makan. Ini umum terjadi pada wanita muda. Perasaan mereka

berpengaruh terhadap kebiasaan makanya.

Faktor kesehatan Ada beberapa penyakit yang bisa menyebabkan obesitas, diantaranya

hipotiroidisme (menurunnya kadar hormon tiroid dibawah normal yang berpengaruh

pada perkembangan dan kecerdasan) , sindrom cushing (kelenjar adrenalin

memproduksi hormon kartisol berlebihan yang bisa mengakibatkan bertambahnya berat

badan) dan sindrom Prader-Willi (gangguan genetik sangat langka yang berpengaruh

pada kecerdasan).

Beberapa penyakit bisa menyebabkan obesitas, diantaranya:

- Hipotiroidisme

Hipotiroid atau kadar tiroid yang rendah. Kadar tiroid yang rendah juga

dapat menjadi pemicu berat badan seseorang mudah naik, yang umumnya

banyak dialami oleh kaum wanita. Seseorang yang kekurangan cairan tiroid

dalam tubuhnya menyebabkan lemak yang menumpuk dalam darah, susah

dicairkan dan laju metabolisme tubuh berjalan lamban.

- Sindroma Cushing

Sindrom Cushing adalah kondisi ketka terjadinya produksi hormon

kortisol yang berlebihan sehingga mneyebabkan akumulasi lemak terutama pada

bagian wajah, perut dan pundak bertambah lebar, kecuali tangan dan kaki tetap

langsing. Keadaan seperti inilah yang bertanggung jawab dengan tingkat kortisol

yang semakin meningkatnya kenaikan berat badan terutama pada bagian perut.

Page 9: 111277151-EPIDEMI-OBESITAS

- Sindroma Prader-Willi

- Beberapa kelainan saraf yang bisa menyebabkan seseorang banyak makan.

Obat-obatan dan pengobatan Obat-obatan tertentu (misalnya steroid dan beberapa obat anti depresi ) bisa

menyebabkan bertambahnya berat badan.

Jika seorang wanita yang sedang menjalani program KB dengan Pil KB,

biasanya mempengaruhi siklus menstruasi menjadi tidak beraturan. Obat pil KB sangat

berpengaruh pada peningkatan nafsu, obat-obat steroid, anti peradangan, anti depresan

dan obat diabetes juga menjadi pemicu kenaikan berat badan wanita yang kadang tidak

dapat dijelaskan.

Faktor perkembangan pada masa kanak-kanak

Penambahan ukuran atau jumlah sel-sel lemak menyebabkan bertambahnya

jumlah lemak yang disimpan dalam tubuh. Penderita obesitas, terutama yang menjadi

gemuk pada masa kanak-kanak, bisa memiliki sel lemak sampai 5 kali lebih banyak

dibandingkan dengan orang yang berat badannya normal. Jumlah sel-sel lemak tidak

dapat dikurangi. Sehingga cara mengurangi berat badan hanya bisa dilakukan dengan

cara mengurangi jumlah lemak dalam setiap sel.

Aktivitas fisik Aktivitas fisik yang minim atau kurang merupakan salah satu penyebab utama

obesitas. Seseorang yang tidak aktif memerlukan lebih sedikit kalori. Sehingga bila ia

mengkonsumsi makanan kaya lemak dan tidak melakukan aktivitas fisik yang

seimbang, ia akan mengalami obesitas.

Tabel 2

Distribusi Responden menurut karakteristik Varieabel, Riskesdas 2007

Karekteristik Variabel Jumlah (n= 484 278)

N %

Aktifitas Fisik Kurang 288

239

60,57

Cukup 196

546

39,43

Wilayah Perkotaan 186

168

45,44

Perdesaan 298

617

54,56

Umur (tahun) 18-30 163

477

32,32

31-65 321

308

67,68

Jenis Kelamin Perempuan 251

267

52,40

Laki – laki 233

518

47,60

Status Kawin Kawin 404

411

84,22

Belum kawin 80 374 15,78

Page 10: 111277151-EPIDEMI-OBESITAS

Pendidikan ≤ SD

SMP

247

005

88 694

52,14

17,58

SMA + 149

086

30,28

Pekerjaan Petani/buruh/nelayan 178

272

34,27

Pelayan

jasa/pedagang

116

522

26,91

TNI/PNS/BUMN 27 491 4,73

Tidak bekerja 162

500

34,09

Kebiasaan Merokok Tidak merokok 313

021

64,83

Merokok 171

764

35,17

Kebiasaan Makan sayuran dan buah Kurang 247

014

47,87

Cukup 237

771

52,13

Kebiasaan makan makanan berlemak 7x/minggu 65 020 16,43

< 7x/minggu 419

765

83,57

Tabel 2 menunjukkan persentase aktivitas fisik responden menurut variabel

kovariat. Persentase aktivitas fisik kurang di perkotaan (68,42%) lebih banyak

dibandingkan dengan di perdesaan (54,03%). Dari variabel umur diketahui bahwa

persentase aktivitas kurang lebih banyak pada kelompok umur 18-30 tahun (64,74%)

dibandingkan dengan kelompok umur 31-65 tahun (58,58%). Menurut jenis kelamin

tampak bahwa persentase aktivitas fisik kurang pada perempuan lebih banyak (62,47%)

dibandingkan dengan laki-laki (58,48%). Persentase aktivitas fisik kurang pada

responden yang belum kawin (68,13%) lebih banyak daripada responden yang sudah

kawin/janda/duda (59,15%). Sementara persentase aktivitas fisik kurang pada responden

dengan pendidikan SMA ke atas (70,98%) lebih tinggi dibandingkan dengan responden

dengan pendidikan ≤ SD (53,90%) dan SMP (62,39%).

Menurut jenis pekerjaan responden diketahui bahwa persentase aktivitas fisik

kurang tertinggi terdapat pada responden yang bekerja sebagai TNI/PNS/BUMN, yaitu

sebesar 72,84 persen, sedangkan persentase aktivitas fisik kurang yang terendah

terdapat pada responden yang bekerja sebagai petani/buruh/nelayan, yaitu sebesar 45,38

persen. Selanjutnya dilihat dari kebiasaan merokok tampak bahwa persentase aktivitas

fisik kurang lebih tinggi pada responden yang tidak merokok (63,17%) daripada

responden yang merokok (55,77%).

Dari kebiasaan makan responden menunjukkan bahwa persentase aktivitas fisik

kurang lebih tinggi pada responden yang kurang mengonsumsi sayuran dan buah

(63,35%).

Page 11: 111277151-EPIDEMI-OBESITAS

Pola makan abnormal

Ada dua pola makan abnormal yang bisa menjadi penyebab obesitas yaitu

makan dalam jumlah sangat banyak (binge) dan makan di malam hari (sindroma makan

pada malam hari). Kedua pola makan ini biasanya dipicu oleh stres dan kekecewaan.

Binge mirip dengan bulimia nervosa, dimana seseorang makan dalam jumlah sangat

banyak, bedanya pada binge hal ini tidak diikuti dengan memuntahkan kembali apa

yang telah dimakan. Sebagai akibatnya kalori yang dikonsumsi sangat banyak. Pada

sindroma makan pada malam hari, adalah berkurangnya nafsu makan di pagi hari dan

diikuti dengan makan yang berlebihan, agitasi dan insomnia pada malam hari.

Pola makan berlebih pada orang yang kegemukan lebih responsif dibanding

dengan orang berberat badan normal terhadap isyarat lapar eksternal, seperti rasa dan

bau makanan, atau saatnya waktu makan. Orang yang gemuk cenderung makan bila ia

merasa ingin makan, bukan makan pada saat ia lapar. Pola makan berlebih inilah yang

menyebabkan mereka sulit untuk keluar dari kegemukan jika sang individu tidak

memiliki kontrol diri dan motivasi yang kuat untuk mengurangi berat badan.

Faktor perkembangan

Penambahan ukuran atau jumlah sel-sel lemak (atau keduanya) menyebabkan

bertambahnya jumlah lemak yang disimpan dalam tubuh. Penderita obesitas, terutama

yang menjadi gemuk pada masa kanak-kanak, bisa memiliki sel lemak sampai 5 kali

lebih banyak dibandingkan dengan orang yang berat badannya normal. Jumlah sel-sel

lemak tidak dapat dikurangi, karena itu penurunan berat badan hanya dapat dilakukan

dengan cara mengurangi jumlah lemak di dalam setiap sel.

Kekurangan asam lemak esensial

Jika wanita kekurangan asam lemak esensial ( lemak baik bagi tubuh ) yang

dapat membantu menghasilkan dan mempertambah hormon serta mempertahankan

metabolisme tubuh pada wanita berkurang maka akan membuat seorang wanita

mengalami nafsu makan yang meningkat untuk menambah lemak dalam tubuhnya.

Terkadang seseorang salah dalam memenuhi kebutuhan lemak tubuh sehingga

mengakibatkan lemak yang tidak diperlukan tubuh tertimbun dalam darah dan berat

badan menjadi naik.

Menopause

Jika seorang wanita memasuki masa menopause atau sudah menopause akan

mengalami penurunan dan perubahan hormon, selama masa menopasuse secara tiba –

tiba nafsu makan akan meningkat drastis. Menopause juga memperlambat metabolisme

yang mengakibatkan lemak sulit terbakar yang mengakibatkan kenaikan berat badan.

Ditambah lagi jika pada masa menopause, kebanyakan wanita tidak di imbangi dengan

olahraga.

Ketidak seimbangan gula darah

Makanan dengan banyak kandungan gula sering kita temui dan konsumsi, sebut

saja nasi, cokelat, minuman dan makanan yang banyak mengandung karbohidrat.

Memang pada dasarnya tubuh membutuhkan karbohidrat yang akan dibakar dalam

pencernaan tubuh menjagi glukosa, Glukosa itulah yang menjadi sumber energi serta

hormon insulin yang bertugas menyimpan gula dengan benar. Tetapi makanan yang

Page 12: 111277151-EPIDEMI-OBESITAS

banyak mengandung gula sering membuat seseorang ketagihan, sehingga hormon

insulin sulit mengatur kadar gula dalam darah. Alhasil berat tubuh bertambah.

Penyakit serius

Pada umumnya bila seseorang memiliki riwayat penyakit diabetes mellitus,

ginjal, penyakit liver/hati memiliki nafsu makan yang cukup drastic sehingga

menyebabkan tubuh menyimpan banyak cairan lalu timbul efek seperti bengkak pada

mata dan pergelangan kaki. Penyakit kista ovarium dan getah bening juga bisa

menyebabkan kenaikan berat badan yang tidak dapat dijelaskan.

Faktor fisiologis

Faktor-faktor fisiologis dapat bersifat herediter maupun non herediter. Variabel

yang bersifat herediter (internal faktor) merupakan variabel yang berasal dari faktor

keturunan. Sedangkan variabel non herediter (eksternal faktor) yakni faktor yang

berasal dari luar individu, seperti jenis makanan yang dikonsumsi dan taraf kegiatan

yang dilakukan individu.

Faktor kecelakaan atau cidera otak

Salah satu penyebab terjadinya kegemukan adalah karena faktor kecelakaan

yang menimbulkan kerusakan otak terutama pada pusat rasa lapar. Kerusakan syaraf

otak ini menyebabkan individu tidak pernah merasa kenyang, walaupun telah makan

makanan yang banyak, dan akibatnya badan individu menjadi gemuk.

EPIDEMI OBESITAS PADA BEBERAPA KELOMPOK USIA

OBESITAS PADA KELOMPOK USIA BALITA

Frekuensi dandistribusiobesitas

Obesitas pada anak balita makin meningkat. Peningkatan terutama terjadi di

perkotaan. Hal itu terungkap dalam jumpa pers terkait penyelenggaraan ”Asia

Postgraduate Workshop” yang diselenggarakan The European Society for Paediatric

Gastroenterology, Hepatology and Nutrition (ESPGHAN),

Berdasarkan Riset Kesehatan Dasar pada tahun 2010, prevalensi kegemukan

pada anak balita secara nasional 14 persen. Terjadi peningkatan disbanding hasil riset

serupa tahun 2007, yakni 12,2 persen.Prevalensi itu berdasarkan berat dan tinggi badan.

Prevalensi balita gemuk paling tinggi terjadi di Kota Jakarta. Provinsi lain yang tinggi

prevalensi balita gemuknya tinggi antara lain Sumatera Utara, Sulawesi Tenggara, Bali,

Jawa Timur, Sumatera Selatan, Lampung, Aceh, Riau, Bengkulu, Papua Barat, dan

Jawa Barat. Dengan rincian prevalensi 14,9 persen dari keluarga kaya dan 12,4 persen dari

keluarga miskin. Jumlah anak balita kegemukan meningkat karena survei serupa tahun 2007

menunjukkan, prevalensi balita gemuk baru 12,2 persen.

Prevalensi kegemukan tertinggi ditemukan di Jakarta, yaitu 19,6 persen. Namun,

penelitian oleh Unit Riset Kedokteran FKUI di empat taman kanak-kanak dan pendidikan anak

usia dini di Jakarta tahun 2011 menunjukkan, prevalensi kegemukan anak usia 3-6 tahun lebih

dari 20 persen. Jumlah ini diperkirakan meningkat dua kali lipat saat balita mencapai usia

remaja. Hal ini sangat menyedihkan mengingat pada tahun 1990 tingkat obesitas hanya 4

persen.

Page 13: 111277151-EPIDEMI-OBESITAS

Determinan obesitas

Pertumbuhan balita yang tidak seiring antara tinggi badan (TB) dan berat badan

(BB), dimana percepatan peningkatan TB lebih rendah dari BB mengakibatkan

terjadinya gizi lebih ataupun obesitas saat berusia sekolah. Oleh karena itu, perlu

diungkapkan karakteristik status gizi balita saat ini. Untuk mengetahui karakteristik

status gizi pada balita sehingga dapat disusun suatu program pencegahan dan

penanggulangan masalah gizi balita.

Selain itu terdapat pula determinan lain yaitu pola aktivitas fisik yang berubah. Kini

anak lebih banyak menonton televise dan bermain games di computer dari pada

berkegiatan fisik bersama teman-temannya.

Di kawasan Asia yang kesenjangan antara masyarakat ekonomi kuat dan lemah

masih tinggi, masalah obesitas berdampingan dengan persoalan gizikurang. Hal itu

terkait tidak meratanya distribusi kekayaan, fasilitas kesehatan, dan tenaga kesehatan

serta ketimpangan tingkat pengetahuan.

- Faktorgenetik

Gen gemuk yang terdapat pada orang tua juga bias atau dapat turun pada

anaknya. Jadi jika kedua orang tua mengalami obesitas maka kemungkinan

besar anaknya terkena obesitas juga.

- Factor makanan cepatsaji

Anak-anak terkadang lebih suka dengan makanan cepatsaji di mana selain

instant makanan tersebut juga mempunyai rasa yang enak. Dan hal tersebut

membuat beberapa anak yang senang mengkonsumsinya mengalami

kegemukan.

- Makanan ringan atau jajanan

Makanan ini lebih sering di konsumsi dengan mereka pada saat jam istirahat,

dan Karena kurang terkontrol ha ltersebut dapat menyebabkan anak terlalu bebas

dalam mengkonsumsi jajanan yang tidak tau apa manfat makanan tersebut selain

memberikan rasa kenyang. Lebih baik mempersiapkan mereka bekal darirumah

karena sanitasinya terjamin sehatdan bergizi.

- Konsumsi soft drink

Soft drink yang memiliki rasa segar serta nikmat terkadang menggoda anak-anak

untuk mengkonsumsinya. Padahal mereka tidak tau kalau minuman tersebut

mengandung gula yang cukup banyak.

- Kurangnya aktifitas fisik

Dahulu permainan tradisional sering dilakukan oleh anak-anak di luar rumah dan

hal tersebu tmembuat mereka melakukan aktifitasfisik yang cukup baik. Kini

anak-anak lebih sering bermain di rumah bersama dengan gadgetnya seperti play

station, internet, I-Pad dan lain-lain.

Page 14: 111277151-EPIDEMI-OBESITAS

- Kurangnya perhatian pada saat bayi.

Hal ini terkadang di anggap sepele seperti memberikan susu formula kepada

bayi padahal hal tersebut akan menyebabakn bayi tersebut menjadi obesitas

karena gula tambahan yang terdapat pada susu formula.

- Polamakan yang buruk

OBESITAS PADA KELOMPOK USIA ANAK-ANAK

Dunia mulai menaruh perhatian pada obesitas karena kondisi itu juga mewabah

di kalangan anak-anak. Peningkatan wabah ini merefleksikan perubahan yang serius di

masyarakat dan pola-pola tingkah laku masyarakat dalam dekade ini. Persoalan global

dengan cepat memengaruhi negara-negara berpendapatan rendah dan menengah.

Prevalensinya meningkat hingga ke tingkat yang mesti diwaspadai.

Secara global, pada 2010, jumlah anak-anak di bawah lima tahun yang

overweight diperkirakan lebih dari 42 juta. Hampir 35 juta tinggal di negara-negara

berkembang. Overweight dan obesitas yang dimulai pada usia anak-anak berpotensi

tetap terjadi ketika dewasa. Bahkan, kemungkinan berkembang menjadi penyakit tidak

menular, seperti diabetes dan kardiovaskular di usia yang lebih muda. Overweight dan

obesitas yang dicegah sejak dini dapat mencegah munculnya penyakit-penyakit kronis

yang memperpendek usia seseorang. Karena itu, pencegahan pada anak-anak perlu

prioritas tinggi.

Ancaman obesitas di kalangan anak-anak juga melanda Indonesia. Berdasarkan

data Kementerian Kesehatan tahun 2007, prevalensi obesitas pada anak-anak usia 6 dan

14 tahun mencapai 9,5 persen untuk pria, sedangkan pada perempuan mencapai 6,4

persen. Kondisi ini meningkat dari tahun 1990-an yang berkisar 4 persen. Apalagi

tingkat kebugaran para siswa tingkat dasar dan menengah di Indonesia ternyata amat

memprihatinkan. Hal ini disebabkan kurangnya pemahaman masyarakat tentang

kesehatan yang berdampak tidak terbentuknya budaya hidup sehat dan bugar di

kalangan generasi muda.

Hasil tes kebugaran jasmani yang dilakukan Pusat Pengembangan Kualitas

Jasmani, Departemen Pendidikan Nasional, tahun 2004 pada 4.481 siswa SD, SMP, dan

SMA di delapan provinsi memperlihatkan, hanya empat siswa yang termasuk kategori

baik sekali. Siswa dengan tingkat kebugaran jasmani baik hanya 7 persen di setiap

tingkatan sekolah.

Oleh karena itu, orangtua mesti membantu anak-anak mereka untuk mengontrol

berat badan dalam level yang sehat. Ibu yang memberikan air susu ibu (ASI) dan

menunda pemberian makanan padat kepada bayinya dapat mencegah terjadinya kondisi

obesitas. Anak-anak balita seharusnya diberikan makanan ringan yang sehat, rendah

lemak, dan dilibatkan pada aktivitas fisik bertenaga setiap hari. Waktu menonton

televisi perlu dibatasi tidak lebih dari tujuh jam seminggu, sudah termasuk main game

dan internet.

Di usia selanjutnya, anak-anak dapat diajar memilih makanan sehat dan

mengembangkan kebiasaan berolahraga secara teratur. Ketika menonton televisi harus

dihindari mengunyah makanan ringan atau makanan berat. (AFP/WHO)

Berdasarkan penelitian DR.dr.Damayanti Rusli Sjarif,Sp.A(K) dari

FKUI/RSCM bersama koleganya pada tahun 2002 di 10 kota besar di Indonesia yaitu

Medan, Padang, Palembang, Jakarta, Semarang, Solo, Yogyakarta, Surabaya, Denpasar,

dan Manado dengan subjek siswa sekolah dasar menunjukkan angka yang cukup besar.

Page 15: 111277151-EPIDEMI-OBESITAS

Prevalensi obesitas pada anak di Medan sebesar 17,75%, Padang 7,1%, Palembang

13,2%, Jakarta 25%, Semarang 24,3%, Solo 2,3%, Yogyakarta 4%, Surabaya 11,4%,

Denpasar 11,7%, dan Manado 5,3%. Paradoks sekali negeri ini. Disaat pemerintah

sedang berjibaku menangani masalah kekurangan gizi pada anak di negeri tropis

bercitrakan agraris ini, di sisi lain ternyata juga banyak anak-anak Indonesia yang justru

sangat berlebihan gizinya

Berdasarkan Survey yang dilakukan di Desa Langensari kecamatan ungaran

barat kabupaten semarang pada bulan Februari tahun 2011, dijumpai 20% dari 10 anak

mengalami obesitas. Salah satu faktor yang diduga menjadi penyebab masalah obesitas

adalah pergeseran pola makan dan gaya hidup yang serba modern pada anak.

Berdasarkan Riset Kesehatan Dasar (RISKESDAS) pada tahun 2010, menunjukkan

bahwa prevalensi obesitas dikalangan anak terus meningkat. Prevalensi obesitas pada

anak mengalami kenaikan 12,2% pada tahun 2007 menjadi 14% pada tahun 2010.

Angka obesitas usia dini dalam kurun waktu 10 tahun terakhir meningkat dua

kali lipat. Data kementrian kesehatan 2007 mencatat obesitas pada rentan usia 6-14

tahun : Anak laki-laki 9.5 persen, anak perempuan 6.4 persen.

OBESITAS PADA KELOMPOK USIA REMAJA

Frekuensi, distribusidandeterminan

Obesitasdua kali lebih sering terjadi pada remaja semenjak 30 tahun yang lalu.

Meskipun kebanyakan komplikasi pada obesitas terjadi pada masa dewasa, remaja yang

kegemukan lebih mungkin dibandingkan dengan remaja lainnya memiliki tekanan darah

tinggi dan diabetes tipe 2. Meskipun lebih sedikit dibandingkan sepertiga orang dewasa

gemuk yang obesitas adalah remaja, kebanyakan remaja yang kegemukan tetap

kegemukan ketika dewasa.

Page 16: 111277151-EPIDEMI-OBESITAS

Faktor yang mempengaruhi obesitas pada remaja adalah sama seperti pada orang

dewasa. Orang tua seringkali memperhatikan bahwa obesitas adalah hasil dari jenis

penyakit endokrin, sepertijipertiroid, tetapi beberapa gangguan jarang menja

dipenyebab. Anak remaja dengan pertambahan beratba dan yang disebabkan oleh

gangguan endokrin biasanya berperawakan pendek dan memiliki tanda lain pada

kondisi yang mendasarinya. Kebanyakan remaja yang obesitas hanya karena makan

terlalu banyak dan sedikit berolahraga. Karena stigma masyarakat melawan obesitas,

banyak remaja obesitas memiliki gambar diri kurang dan menjadi tambah pendiam dan

terisolasi secara sosial.

Intervensi untuk remaja yang obesitas harus memfokuskan pada pembentukan

makanan kesehatan dan kebiasaan berolahraga dibandingkan menghilangkan berat

badan dalam jumlah tertentu. Asupan kalori dikurangi dengan mempertahankan

makanan seimbang pada makanan hari-hari, membuat perubahan tetap pada kebiasaan

makan, dan meningkatkan aktifitas fisik. Camp musim panas untuk remaja obesitas di

Amerika biasanya membantu mereka menghilangkan jumlah berat badan yang

signifikan, namun tanpa usaha melanjutkan, berat badan biasanya kembali lagi.

Konseling membantu remaja menghadapi masalah mereka, termasuk kurang

mengagumi diri sendiri, bias membantu.

Obat-obatan yang mengurangi berat badan biasanya tidak digunakan selama

remaja karena memperhatikan mengenai keselamatan dan kemungkinan

penyalahgunaan. Salah satu pengecualian untuk remaja obesitas dengan sejarah

kesehatan keluarga yang kuat pada diabetes jenis 2; mereka yang beresiko tinggi terkena

diabetes. Obat metformin, yang digunakan untuk mengobati diabetes, bias membantu

mereka menghilangkan berat badandan juga memperkecil resiko menjadi diabetes.

OBESITAS PADA KELOMPOK USIA DEWASA

Frekuensi dan distribusi obesitas

Menurut data penetilian sekunder Riskesdas 2007/2008. Persentase status gizi

obesitas pada orang dewasa di lima provinsi (Sumatera Utara, DKI Jakarta, Kalimantan

Timur, Gorontalo, dan Maluku Utara dengan IMT>27,0) ditemukan sebesar 12,4

persen. Persentase status gizi obesitas di perkotaan sebesar 15,6 persen lebih tinggi

dibandingkan persentase status gizi obesitas di perdesaan (9,3%).

Tabel 3

Karakteristik Sampel Usia Dewasa, SKRT 2004

Karakteristik Sampel Jumlah Sampel

Tertimbang

Persen

Daerah

Perkotaan

Perdesaan

8.741

11.396

43,4

56,6

Jenis Kelamin

Laki-laki

Perempuan

9.390

10.747

46,6

53,4

Umur (tahun)

< 25

25 – 29

3.329

2.356

16,5

11,7

Page 17: 111277151-EPIDEMI-OBESITAS

30 – 34

35 – 39

40 – 44

45 – 49

50 – 54

55 – 59

60 – 64

>= 65

2.634

2.557

2.173

1.829

1.542

983

998

1.737

13,1

12,7

10,8

9,1

7,7

4,9

5,0

8,6

Total 20.137 100

Tabel 3 menunjukkan bahwa rata-rata IMT sampel di perkotaan (22,58) lebih

tinggi daripada di perdesaan (21,57). Namun demikian menurut Azwar (2004)

menyatakan bahwa masalah kegemukan di perdesaan cenderung mengalami

peningkatan walaupun prevalensinya masih lebih rendah daripada perkotaan. Perubahan

gaya hidup yang berkaitan dengan pola makan dan aktivitas olah raga baik pada

masyarakat perkotaan maupun perdesaan diduga menjadi faktor pemicu terjadinya gizi

lebih dan obesitas.

Dari jenis kelamin diketahui bahwa rata-rata IMT perempuan tampak lebih

tinggi daripada laki-laki. Pada penelitian Ernawati, dkk (2003) juga mendapatkan bahwa

rata-rata IMT perempuan lebih tinggi daripada laki-laki. Bicep responden perempuan di

perkotaan lebih besar daripada di perdesaan, namun perempuan di perdesaan

mempunyai rasio subscapula dan suprailiaca dengan bisep dan trisep lebih besar

daripada perempuan di perkotaan. IMT mencerminkan kegemukan general sedangkan

bicep mencerminkan kegemukan di perifer, kemudian bicep dan tricep mencerminkan

kegemukan di bagian tengah.

Tabel 4

Rata-rata IMT Sampel Penduduk Dewasa Menurut Karakteristik, SKRT 2004

Karakteristik Sampel Jumlah Sampel

Tertimbang

IMT (Kg/M2)

Rata-rata SE

Daerah

Perkotaan

Perdesaan

8.741

11.397

22,58

21,57

0,04

0,03

Jenis Kelamin

Laki-laki

Perempuan

9.390

10.747

21,42

22,51

0,03

0,04

Umur (tahun)

< 25

25 – 29

30 – 34

35 – 39

40 – 44

45 – 49

50 – 54

55 – 59

60 – 64

>= 65

3.329

2.356

2.634

2.557

2.173

1.829

1.542

983

998

1.737

20,64

21,83

22,61

22,94

22,96

22,82

22,49

21,93

21,26

20,55

0,05

0,07

0,07

0,07

0,08

0,09

0,10

0,12

0,11

0,08

Page 18: 111277151-EPIDEMI-OBESITAS

Sedangkan menurut kelompok umur terlihat kecenderungan IMT semakin tinggi

dengan bertambahnya umur sampel. Kondisi ini mulai tampak dari kelompok umur

sampel < 25 tahun sampai dengan kelompok umur sampel 40-44 tahun. Hal ini sesuai

dengan penelitian Budiman (1997) terhadap 167 laki-laki dan 174 perempuan di

perkampungan kumuh Jakarta yang mendapatkan bahwa prevalensi gizi lebih

meningkat dengan bertambahnya umur baik pada laki-laki maupun perempuan.

Penurunan rata-rata IMT mulai terjadi pada umur 55 tahun atau lebih.

Tabel 5

Prevalensi BB Lebih dan Obesitas pada Penduduk Dewasa di Indonesia

Menurut Umur dan Daerah, SKRT 2004

Umur (tahun)

Perkotaan Perdesaan

N

tertimbang

Gizi

Lebih

Obese N

tertimbang

Gizi

Lebih

Obese

Umur (tahun)

< 25

25 – 29

30 – 34

35 – 39

40 – 44

45 – 49

50 – 54

55 – 59

60 – 64

>= 65

1.616

1.063

1.214

1.122

960

790

615

397

341

623

4,0

8,9

11,7

15,1

14,2

14,2

14,1

11,8

11,4

7,9

4,4

8,8

12,7

17,6

17,7

21,0

18,2

16,1

12,0

7,5

1.712

1.293

1.421

1.434

1.211

1.040

928

587

658

1.114

3,2

7,6

8,8

10,5

9,4

10,7

9,1

6,5

5,6

3,8

2,2

7,3

9,6

9,6

10,4

8,4

8,6

4,4

5,6

3,9

Total 8.741 10,8 12,8 11.396 7,5 7,1

Tabel 5 menunjukkan bahwa prevalensi gizi lebih dan obesitas di perkotaan,

yaitu sebesar 10,8% dan 12,8% lebih tinggi daripada sampel di perdesaan (7,5% dan

7,1%) tidak jauh berbeda dengan SKRT tahun 2001 yang mendapatkan bahwa

prevalensi responden dengan gizi lebih (IMT≥25,0) di daerah perkotaan lebih tinggi

dibandingkan daerah pedesaan (Surkesnas, 2001).

Selanjutnya pada semua kelompok umur sampel diketahui bahwa prevalensi gizi

lebih dan obesitas di perkotaan cenderung lebih tinggi daripada di perdesaan. Prevalensi

gizi lebih tertinggi di perkotaan ditemukan sebesar 15,1% pada kelompok umur 35-39

tahun dan prevalensi obesitas tertinggi sebesar 21% pada kelompok umur 45-49 tahun.

Sedangkan di perdesaan prevalensi gizi lebih tertinggi ditemukan sebesar 10,7% pada

kelompok umur 45-49 tahun dan prevalensi obesitas tertinggi sebesar 10,4% pada

kelompok umur 40-44 tahun. Pada penelitian Kodyat, dkk. (1996) persentase status gizi

obesitas tertinggi terdapat pada kelompok umur 41-55 tahun baik pada laki-laki maupun

perempuan. Rata-rata IMT tertinggi, yaitu 24,0 terdapat pada kelompok perempuan.

Page 19: 111277151-EPIDEMI-OBESITAS

Tabel 6

Prevalensi BB Lebih dan Obesitas pada Penduduk Dewasa di Indonesia

Menurut Umur dan Jenis Kelamin, SKRT 2004

Umur (tahun)

Laki-laki Perempuan

N

tertimbang

Gizi

Lebih

Obese N

tertimbang

Gizi

Lebih

Obese

Umur (tahun)

< 25

25 – 29

30 – 34

35 – 39

40 – 44

45 – 49

50 – 54

55 – 59

60 – 64

>= 65

1.494

1.026

1.194

1.192

1.043

889

790

488

450

826

2,1

6,8

7,0

10,5

9,3

10,1

10,0

7,4

4,9

4,5

2,2

2,8

4,6

6,1

9,4

8,7

7,0

6,6

3,6

3,4

1.836

1.329

1.438

1.365

1.130

940

754

496

547

912

4,7

9,2

12,7

14,2

13,5

14,0

12,2

9,9

9,9

5,9

4,1

12,0

16,3

19,2

17,6

18,8

18,2

11,7

11,2

7,0

Total 9.392 7,2 5,3 10747 10,4 13,3

Tabel 6 menunjukkan bahwa prevalensi gizi lebih dan obesitas pada perempuan,

yaitu sebesar 10,4% dan 13,3%, lebih tinggi daripada sampel laki-laki (7,2% dan 5,3%).

Menurut kelompok umur sampel diketahui bahwa prevalensi gizi lebih dan obesitas

pada perempuan cenderung lebih tinggi daripada laki-laki. Prevalensi gizi lebih tertinggi

pada perempuan ditemukan sebesar 14,2% pada kelompok umur 35-39 tahun dan

prevalensi obesitas tertinggi sebesar 19,2% pada kelompok umur yang sama. Sedangkan

pada laki-laki prevalensi gizi lebih tertinggi ditemukan sebesar 10,5% pada kelompok

umur 35-39 tahun dan prevalensi obesitas tertinggi sebesar 9,4% pada kelompok umur

40-44 tahun. Beberapa penelitian menyimpulkan adanya hubungan antara jenis kelamin

dengan gizi lebih dan obesitas. Budiman (1997) menyatakan bahwa gizi lebih dan

obesitas lebih banyak ditemukan pada perempuan daripada laki-laki, yakni 29,1% dan

5,1% pada perempuan, sedangkan pada laki-laki sebesar 19,5% dan 1,7%. Hal yang

sama juga terdapat pada penelitian Kodyat, dkk. (1996) yang mendapatkan bahwa

prevalensi obesitas pada kelompok perempuan hampir dua kali lipat dibandingkan

kelompok laki-laki (14,7% pada wanita dan 7,4% pada laki-laki).

Gizi lebih dan obesitas merupakan faktor risiko terjadinya penyakit jantung

koroner disamping faktor risiko lainnya, seperti hipertensi, diabetes melitus, merokok,

stres, dan kurang olahraga. Penelitian Manson dkk. (1990) dalam Suyono (1994)

terhadap 115.886 wanita berumur 30-55 tahun, setelah diikuti selama 8 tahun, ternyata

risiko relatif (RR) penderita gizi lebih berkisar antara 1,0 sampai 3,3 kali, sedangkan

pada indeks massa tubuh (IMT) lebih dari 29 risiko relatif 3,3 kali terjadinya penyakit

jantung koroner.

Pada saat ini pengukuran gizi lebih dan obesitas sedang memikirkan membuat

klasifikasi IMT yang disesuaikan dengan keadaan setempat. Hasil studi di Singapura

menunjukkan bahwa penduduknya dengan IMT 27-28 mempunyai lemak tubuh yang

sama dengan orang kulit putih dengan IMT 30. Dengan demikian lapisan lemak IMT

dapat berbeda untuk penduduk yang berbeda. Cut-off IMT yang digunakan WHO untuk

overweight adalah > 25, sama dengan batasan untuk gizi lebih di Indonesia.

Page 20: 111277151-EPIDEMI-OBESITAS

Tetapi International Obesity Task Force (IOTF) seperti yang dikutip oleh

Harahap (2005) menggunakan cut-off > 23. Apabila cut-off ini yang digunakan maka

prevalensi gizi lebih dan obesitas yang ditemukan di Indonesia akan lebih tinggi. Hasil

penelitian Harahap, dkk (2005) menunjukkan bahwa prevalensi hipertensi,

hiperkolesterol, dan diabetes mellitus (kencing manis) cenderung semakin meningkat

dengan semakin meningkatnya IMT. Dengan batas cut-off IMT 23, prevalensi ketiga

penyakit di atas masing-masing adalah 40,1%, 11,4% dan 0,6%, lebih tinggi dibanding

IMT normal < 23, dengan odd ratio masing-masing sebesar 2.10 (95% CI 1,93-2,28),

1,93 (95% CI 1,25-3,00), dan 1,37 (95% CI 1,21-1,56). Hal ini menunjukkan bahwa

dengan cut-off 23 sudah terjadi peningkatan risiko terhadap penyakit hipertensi,

hiperkolesterol dan diabetes mellitus.

Determinan obesitas

Faktor determinan status gizi obesitas orang dewasa di perdesaan meliputi:

status kawin, konsumsi buah, jenis kelarnin, pekerjaan, dan kelompok umur. Risiko

status gizi obesitas di perdesaan lebih tinggi pada orang dewasa dengan status kawin,

konsumsi buah 7 kali per minggu, jenis kelamin perempuan, pekerjaan ibu

rumahtangga, dan kelompok umur ≤ 40 tahun dengan nilai odd ratio antara 1,237 -

2,846.

Faktor determinan status gizi obesitas orang dewasa di perkotaan meliputi: status

kawin, jenis kelamin, kelompok umur, konsumsi buah, dan pekerjaan. Risiko status gizi

obesitas di perkotaan lebih tinggi pada orang dewasa dengan status kawin, jenis kelamin

perempuan, kelompok umur ≤ 40 tahun, konsumsi buah 7 kali per minggu, pekerjaan

ibu rumahtangga, dengan nilai odd ratio antara 1,258 - 2,846.

Beberapa faktor yang mungkin berkaitan dengan tingginya persentase obesitas pada

responden perempuan, antara lain adalah: (1) Konsumsi makanan berlemak yang

mungkin lebih sering dibandingkan dengan laki-laki; (2) Aktivitas olahraga yang jarang

dilakukan; (3) Status perkawinan, dimana perempuan yang sudah menikah cenderung

mengalami pertambahan berat badan di kemudian hari (4) Pemakaian alat kontasepsi

hormonal seperti: susuk, pil, dan suntikan dapat menimbulkan efek samping

bertambahnya berat badan. Penggunaan alat kontrasepsi hormonal mempunyai resiko

2,05 kali lebih besar untuk menjadi obesitas dibandingkan alat kontasepsi non hormonal

Baraas (1993) mengemukakan bahwa kadar trigliserida dan kolesterol total

dalam darah akan cenderung makin tinggi akibat diet yang tidak terkendali dan aktivitas

fisik yang semakin berkurang. Pada wanita ditemukan kadar trigliserida umumnya lebih

rendah daripada pria, sedangkan untuk kadar kolesterol total pada laki-laki dan

perempuan tidak terlalu jauh berbeda. Namun pada waktu menopause, kadar trigliserida

dan kolesterol total wanita cenderung meningkat disertai dengan insiden koroner yang

meningkat pula.

Hasil analisis regresi logistik multivariat variable lingkungan terhadap obesitas

menujukkan bahwa tingkat pekerjaan ringan memiliki pengaruh paling kuat terhadap

obesitas umum (OR=2,038) dan obesitas sentral (OR=4,595). Analisis variabel perilaku

terhadap obesitas umum menunjukkan bahwa konsumsi makanan berlemak ≥ setiap hari

memiliki pengaruh paling kuat OR=I,642), kemudian kurang aktivitas fisik (OR=I,247)

dan konsumsi makanan manis ≥ setiap hari (OR=I,158). Analisis variable perilaku

terhadap obesitas sentral menunjukkan bahwa kurang aktivitas fisik memiliki pengaruh

paling kuat (OR=2,267), kemudian konsumsi makanan berlemak (OR=I,312) dan

makanan manis (OR=I,184) ≥ setiap hari.

Page 21: 111277151-EPIDEMI-OBESITAS

TATA LAKSANA TERHADAP ANAK DAN REMAJA OBESITAS

Tujuan utama tata laksana obesitas pada anak dan remaja adalah menyadarkan

tentang pola makan yang berlebihan dan aktivitas yang kurang serta memberikan

motivasi untuk memodifikasi perilaku anak dan orang tua. Tujuan jangka panjang

adalah perubahan gaya hidup yang menetap.

Pengaturanmakan

a. Pada bayi.

- Sebaiknya diberikan ASI eksklusif, bila menggunakan susu formula perhatikan

takaran dan volume pemberian susu.

- makanan padat tidak boleh diberikan kurang dari 4 bulan; bayi mulai

diperkenalkan minum dengan cangkir umur 7 -8 bulan, botol mulai dihilangkan

umur 1 tahun.

- Pemberian sayur dan buah jangan sampai terputus.

b. Anak usia pra sekolah (1 - 3 th).

- Hindari makan gorengan (krupuk, keripik, dll) dan penambahan lemak untuk

memasak. (mi sal : santan, minyak, margarine)

- Pilih daging yang tidak berlemak.

- Lebih baik gunakan margarine, keju yang rendah lemak

- Hindari penambahan gula pada makanan dan minuman, pemanis buatan (mis :

aspartame) bisa digunakan bila perlu.

- Hindari coklat, permen, cake, biskuit, kue kue dan makanan lain sejenis.

- Berikan sayuran setiap makan dan buah untuk makanan selingan.

- Gunakan susu rendah lemak atau tanpa lemak.

Pada usia ini (0 - 3 th) tidak perlu diberikan pengurangan kalori dari kebutuhannya,

bayi/anak akan mengalami penurunan BB secara spontan sesuai dengan

pertumbuhannnya. Pengurangan kalori dibawah kebutuhan jika tidak dirancang

dengan baik dapat menimbulkan defisiensi zat gizi yang mungkin dapat

menghambat tumbuh kembang anak yang masih pesat terutama tumbuh kembang

otak.

c. Anak usia sekolah (4 - 6 th).

Hal hal yang dianjurkan sama dengan anak usia pra sekolah. Energi diberikan sesuai

kebutuhan. Dalam keadaan yang terpaksa, misal pernafasan terganggu, susah

bergerak diberikan pengurangan kalori dengan pengawasan yang ketat.

d. Anak usia remaja.

Target penurunan berat badan dapat direncanakan setiap kunjungan, biasanya 1 - 2

kg/ bulan. Penurunan asupan kalori diberikan bertahap sekitar 300 - 500 Kalori dari

asupan makanan sehari-hari .

Penurunan berat badan tidak perlu menghilangkan seluruh kelebihan berat abdan

karena pertumbuhan linier masih berlangsung, penurunan berat badan cukup sampai

berat badan berada 20 % diatas berat badan ideal.

Page 22: 111277151-EPIDEMI-OBESITAS

Modifikasiperilaku a. Monitor diri sendiri, anak dilatih untuk memonitor asupan makan dan aktivitas

fisik, hal ini bertujuan untuk meningkatkan kesadaran anak dan keluarga terhadap

gizi dan kegiatan fisik

b. Stimulus kontrol, bermacam macam kejadian yang memicu keinginan makan atau

makan berlebihan, contoh : makan sambil menonton TV, Makanan dihidangkan di

meja. Strategi: TV tidak dipasang di kamar makan, makanan disimpan di lemari

untuk meminimalkan penglihatan terhadap makanan.

c. Perubahan perilaku, contoh: kebiasaan makan cepat dirubah perlahan lahan,

mengontrol besar porsi sehingga merasa puas dengan besar porsi sedang dan

meminimalkan snack.

d. Memberikan imbalan apabila anak berhasil menurunkan berat badan.

e. Tehnik perilaku kognitif, yaitu mengembangkan teknik pemecahan masalah, seperti

merencanakan untuk situasi dengan resiko tinggi, misal pada waktu liburan, atau

pesta/ pertemuan untuk menekankan agar tidak makan berlebihan.

Partisipasi orang tua Orang tua adalah contoh yang terbaik bagi anak. Sekurang kurangnya salah satu

orang tua ikut secara intesif dalam program perawatan anak. Penelitian menapatkan

bahwa kelompok anak yang orang tua ikut berpartisipasi, berat badannya turun lebih

banyak dan tetap stabil.

Penutup Penanggulangan obesitas pada anak lebih sulit dibandingkan obesitas dewasa,

karena penyebab obesitas yang multifaktorial dan anak yang masih dalam taraf tumbuh

kembang. Penurunan berat badan bukanlah tujuan yang utama dalam penanganan

obesitas anak. Perubahan pola makan dan peri laku hidup sehat lebih diutamakan untuk

mendapatkan hasil yang menetap. Penanggulangan obesitas anak sebaiknya dilakukan

secara terapadu antara dokter anak, dietisien, psikolog dan petugas kesehatan lain. Peran

serta orang tua memegang peranan penting dalam penangan anak obesitas. Pencegahan

sebaiknya dilakukan sebelum anak menjadi obesitas karena pencegahan lebih mudah

daripada pengobatan. Pencegahan harus dimulai sejak dini dengan menerapkan pola

hidup sehat dalam keluarga.

Page 23: 111277151-EPIDEMI-OBESITAS
Page 24: 111277151-EPIDEMI-OBESITAS

SUMBER

Almatsier, Sunita. Prinsip Dasar Ilmu Gizi. Jakarta, Gramedia Pustaka Utama. 2001.

Badan Litbang Kesehatan. Data Susenas 2004 Substansi Kesehatan: Status Kesehatan,

Pelayanan Kesehatan, Perilaku Hidup Sehat dan Kesehatan Lingkungan.

Jakarta, Badan Litbang Kesehatan. 2005.

Baraas, Faisal. Mencegah Serangan Jantung Dengan Menekan Kolesterol, Jakarta,

Gramedia. 1993.

Budiman, Hendra dan Surjadi, Charles. Penelitian Obesitas pada Orang Dewasa di

Perkampungan Kumuh Jakarta. Jurnal Epidemiologi Indonesia. Vol.I Edisi 1.

1997

Departemen Kesehatan RI. Petunjuk Teknis Pemantauan Status Gizi Orang Dewasa

dengan Indeks Massa Tubuh (IMT), Jakarta. 2003.

Departemen Kesehatan RI. Survei Kesehatan Ibu dan Anak. 2001.

Ernawati, Fitrah, dkk. Profil Distribusi Lemak Tubuh dan Lemak Darah serta

Aktivitas Fisik Orang Dewasa dengan IMT 25 di Pedesaan dan Perkotaan,

Laporan Penelitian, Puslitbang Gizi dan Makanan Bogor. 2003.

Harahap, H; Yekti Widodo dan Ria Sukarno. Penggunaan Berbagai Cut-off Indeks

Massa Tubuh sebagai Indikator Obesitas Terkait Penyakit Degeneratif. Jakarta,

Badan Litbangkes. 2005

Hendriyani, Heni. Obesity and Social Appetittie In Community. Jurusan Gizi Poltekes

Depkes Bandung. 2010.

Hidayani,Healthy. Obesitas Pada Kelompok Ekonomi Rendah di Sulawesi.

Universitas Hasanudin. 2009.

Kodyat, dkk., “Survei Indek Massa Tubuh (IMT) di 12 Kotamadya, Indonesia”. Gizi

Indonesia. 21: 52-61. 1996.

Lumbantorum, Melyana. Karakteristik Obesitas Balita Berdasarkan Kombinasi

Pengukuran Antropometri BB/U dan TB/U. Puslitbang Bio Medis dn Farmasi.

2009.

Manuaba, Ida Bagus Gde. Memahami Kesehatan Reproduksi Wanita. Jakarta. Arcan.

1999.

Sandjaja dan Sudikno. Prevalensi Gizi Lebih Dan Obesitas Penduduk Dewasa Di

Indonesia. Pusat Penelitian dan Pengembangan Gizi dan Makanan: Bogor. 2005

Sudikno, dkk. Hubungan Aktivitas Fisik Dengan Kejadian Obesitas Pada Orang

Dewasa Di Indonesia. Puslitbang Gizi dan Makanan: Bogor. Departemen

Biostatistik Fakultas Kesehatan Masyarakat UI: Depok. 2010

Page 25: 111277151-EPIDEMI-OBESITAS

Sudikno. Faktor Determinan Status Gizi Obesitas Orang Dewasa di Pedesaan dan

Perkotaan. Puslitbang Gizi dan Makanan: Bogor. 2009.

Sugiharti, Sri. Penggunaan Kontrasepsi Hormonal sebagai Faktor Resiko Kejadian

Obesitas pada Akseptor KB di Kabupaten Kulon Progo (Studi Kasus Kontrol).

Tesis. Program Pasca Sarjana UGM. Jogjakarta. 2002

Supari, Fadillah. Penyakit Jantung Koroner dan Pencegahannya. Seminar Gizi dan

Kesehatan Populer, Bogor. 12 Juni 2003.

Suyono, Slamet dan Djauzi S. Penyakit Degeneratif dan Gizi Lebih. Risalah WKNPG

V, LIPI, Jakarta. 1994.

WHO. “Physical Status: The Use and Interpretation of Antropometry”. WHO

Technical Report Series 854. Geneva: 312-340. 1995.

Departemen Kesehatan RI. Profil Kesehatan Indonesia Tahun 2007, Jakarta: Depkes,

2008.

Suyono S. Diabetes Melitus di Indonesia: Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Edisi ke-4

Jilid III. Jakarta: FKUI, 2006.

Bowman A. Barbara, Russel M Robert. Present Knowledge in Nutrition. 8th

Edition.

Wasingthon DC: ILSI, 2001.

Soegondo S. Obesitas: Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Edisi ke-4 Jilid III. Jakarta:

FKUI, 2006.

WHO. Physical Status: The Use and Interpretation of Anthropometry. Report of a

WHO Expert Committe. Geneva: WHO, 1995.

Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Departemen Kesehatan RI. Riset

Kesehatan Dasar 2007. Jakarta: Balitbangkes Depkes RI, 2008.

Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Departemen Kesehatan RI. Survei

Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) 2004. Status Kesehatan Indonesia. Jakarta:

Balitbangkes Depkes RI, 2004.

Schienkiewitz A. et al. Body mass index history and risk of type 2 diabetes: results

from the European Prospective Investigation into Cancer and Nutrition (EPIC)-

Potsdam Study. Am J Clin Nutr. 2006

L-Y Chien, Y-M Liou, J-J Chen. Association between indices of obesity and fasting

hyperglycemia in Taiwan, Institute of Community Health Nursing, National

Yang-Ming University, Published online 16 March 2004, Taiwan.

Anderson, W James. Diabetes Mellitus: Medical Nutrition Therapy. In: Modern

Nutrition in Health and Disease. 10th

Edition. Philadelphia: 2006.

Page 26: 111277151-EPIDEMI-OBESITAS

WHO. Diet, Nutrition and Prevention of Chronic Disease. Report of WHO /FAO

Expert Consultation. Geneva: WHO, 2003.

Roberts DE, Meakem TD, Dalton CE, Haverstick DM & Lynch-III C. Prevalence of

Hyperglycemia in a Pre-Surgical Population. The Internet Journal of

Anesthesiology2007; 12(1).

Caballero B et al. Pathways: A school-based, randomized controlled trial for the

prevention of obesity in American Indiana schoolchildren. Am J Clin Nutr 2003.

Willi Carole et al. Active smoking and the risk of type 2 diabetes: a systematic review

and meta-analysis. JAMA 2007;298(22):2654-664.

Miller-Brand Janette. Carbohydrate, glycemic index and human. Am J Clin Nutr

2002.

Foster-Powell Kaye, Holt HA Susanna, Brand-Miller Janette. International table of

glycemic index and glycemic load values. Am J Clin Nutr 2002.

Stevenson Emma J et al. Influence of high carbohydrate mixed meals with different

glycemic indexes on substrate utilization during subsequent exercise in women.

Am J Clin Nutr 2006;84:354-60.

Jiaqiong Xu et al. Macronutrient intake and glycemic control in population-based

sampel of American Indians with diabetes: the Strong Heart Study. Am J Clin

Nutr 2007:86:480-7.

Rodwell W. Victor 2003. Konversi Asam Amino Menjadi Produk Khusus. Dalam:

Biokimia Harper. Edisi 25. Jakarta: EGC, 2003.

Manders Ralph JF et al. Co-ingestion of a protein hydrolysate and amino acid mixture

with carbohydrate improves plasma glucose disposal in patient with type 2

diabetes. Am J Clin Nutr 2005.