3. siti rohmawati

53
PENGETAHUAN KONTEKSTUAL, KONSEPTUAL DAN PROSEDURAL DALAM MENGAKTIFKAN KOMPETENSI MATEMATIKA (PISA) Di Adaptasi Dari Jurnal The Role Of Contextual, Conceptual and Procedural Knowledge In Activating Mathematical Competencies (PISA) Makalah Ini Diajukan Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Pengajaran Matematika Dosen Pembina: Prof. Dr. Mega Teguh Budiarto, M.Pd Oleh : Siti Rohmawati (147785003) UNIVERSITAS NEGERI SURABAYA FAKULTAS PASCA SARJANA PROGRAM STUDI PENDIDIKAN MATEMATIKA 2014

Upload: siro-ajah

Post on 17-Jan-2016

46 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: 3. Siti Rohmawati

ii

PENGETAHUAN KONTEKSTUAL, KONSEPTUAL DAN PROSEDURAL DALAM MENGAKTIFKAN KOMPETENSI

MATEMATIKA (PISA)

Di Adaptasi Dari Jurnal

The Role Of Contextual, Conceptual and Procedural Knowledge In

Activating Mathematical Competencies (PISA)

Makalah Ini Diajukan Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Pengajaran

Matematika

Dosen Pembina: Prof. Dr. Mega Teguh Budiarto, M.Pd

Oleh :

Siti Rohmawati

(147785003)

UNIVERSITAS NEGERI SURABAYA FAKULTAS PASCA SARJANA

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN MATEMATIKA 2014

Page 2: 3. Siti Rohmawati

ii

Daftar Isi

Halaman Judul .............................................................................................. i

Daftar Isi ....................................................................................................... ii

BAB I Pendahuluan ..................................................................................... 1

A. Latar Belakang Masalah ....................................................................... 1

B. Tujuan Penulisan .................................................................................. 6

C. Definisi Istilah ...................................................................................... 6

BAB II Kajian Pustaka ................................................................................ 8

A. PISA ...................................................................................................... 8

1. Literasi Matematika dan Tujuannya ................................................... 9

2. Kemampuan Matematis dalam PISA .................................................. 13

3. Konteks dalam PISA .......................................................................... 15

4. Konten PISA ...................................................................................... 17

5. Level dalam PISA .............................................................................. 19

B. Pengetahuan........................................................................................... 22

1. Pengertian Pengetahuan ..................................................................... 22

2. Tingkat Pengetahuan .......................................................................... 23

3. Pengukuran Pengetahuan ................................................................... 24

4. Cara Memperoleh Pengetahuan .......................................................... 24

C. Pengetahuan Kontekstual dalam Matematika ......................................... 25

D. Pengetahuan Konseptual dalam Matematika .......................................... 29

E. Pengetahuan Prosedural dalam Matematika ............................................ 35

F. Kompetensi ............................................................................................ 39

G. Hubungan Pengetahuan Kontekstual, Konseptual dan Prosedural dalam

Mengaktifkan Kompetensi Matematika .................................................. 43

BAB III Penutup .......................................................................................... 45

A. Kesimpulan .......................................................................................... 45

Daftar Pustaka .............................................................................................. 47

Page 3: 3. Siti Rohmawati

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Dalam kehidupan sehari-hari manusia tidak bisa terlepas dari masalah yang

selalu datang dan pergi setiap saat. Dibutuhkan suatu pemikiran untuk dapat

menyelesaikan setiap masalah yang ada. Perbedaan pengetahuan setiap individu

menjadi dasar bagaimana individu tersebut dapat menyelesaikan suatu masalah.

Perbedaan pengetahuan setiap individu tersebut menghasilkan suatu

pemahaman yang berbeda dalam menyelesaikan suatu masalah yang dihadapi.

Perbedaan pemahaman setiap individu tentu berdampak pada kemampuan

penyelesaian masalah. Siswa yang memiliki kemampuan pemahaman tinggi akan

memiliki kemampuan penyelesaian yang tinggi pula. Siswa yang memiliki

kemampuan pemahaman rendah akan memiliki kemampuan penyelesaian yang

rendah pula. Sedangkan siswa yang memiliki kemampuan pemahaman sedang

akan sulit didefinisikan. Hal ini karena siswa yang memiliki kemampuan

pemahaman sedang mempunyai kecenderungan apakah siswa tersebut memiliki

kemampuan pemahaman yang tinggi atau memiliki tingkat pemahaman yang

rendah.

PISA (Programme for International Student Assessment) adalah studi

internasional tentang prestasi literasi membaca, matematika, dan sains siswa

sekolah berusia 15 tahun. PISA merupakan salah satu program untuk mengukur

pengetahuan, keterampilan, serta sikap siswa yang terakumulasi melalui proses

Page 4: 3. Siti Rohmawati

2

pendidikan hampir mencapai 10 tahun sehingga dapat diketahui sejauh mana

mereka siap menghadapi tantangan di masa depan.

Indonesia merupakan satu dari beberapa negara yang berpartisipasi dalam

program PISA. Manfaat yang diperoleh siswa sebagai partisipan adalah untuk

mengaplikasikan konsep dari materi yang telah diterima di sekolah ke dalam

masalah kehidupan sehari-hari melalui soal-soal yang dirilis oleh PISA.

Berdasarkan survey Internasional PISA, posisi Indonesia dibandingkan negara-

negara lain sebagai berikut:

Tabel 1.1 Survey Internasional PISA

Tahun Studi

Mata Pelajaran Skor Rata-rata Indonesia

Skor Rata-rata Internasional

Peringkat Indonesia

Jumlah Negara Peserta Studi

2000 Matematika 367 500 39 41 2003 Matematika 360 500 38 40 2006 Matematika 391 500 50 57 2009 Matematika 371 500 61 65 2012 Matematika 375 494 64 65

(Sumber : Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan terbit pada 15 Agustus 2011 dan PISA 2012 Result in Focus)

Berdasarkan data di muka, dapat diketahui bahwa Indonesia selalu berada

pada urutan tujuh terbawah dibandingkan negara-negara lainnya. Hasil studi PISA

merupakan salah satu ukuran untuk melihat kemampuan pemecahan masalah

matematika. Sehingga dapat diketahui bahwa siswa di Indonesia masih lemah

dalam kemampuan pemecahan masalah matematika PISA. Wardhani (2011)

mengatakan bahwa penyebab dari lemahnya kemampuan siswa dalam

memecahkan masalah PISA adalah siswa kurang terbiasa melakukan proses

Page 5: 3. Siti Rohmawati

3

pemecahan masalah dengan benar, yaitu dengan tahapan memahami masalah,

merencanakan pemecahan masalah, melaksanakan pemecahan masalah dan

mengecek hasil pemecahan masalah. Selain itu siswa kurang terbiasa

menyelesaikan soal yang melatih munculnya kreativitas dalam rangka membuat

kesimpulan.

Sugiman (2009), mengatakan bahwa apabila soal yang dihadapi siswa

merupakan tipe soal yang sering ditemuinya sehingga ia hanya menggunakan

prosedur yang sering digunakan maka soal tersebut merupakan soal rutin dan

bukan merupakan masalah baginya. Namun, jika seorang siswa menghadapi tipe

soal yang belum pernah ia temui sebelumnya dan belum diketahui bagaimana

prosedur menyelesaikannya maka soal tersebut akan menjadi suatu masalah bagi

siswa.

Creemers dan Kyriakides (2006) secara kritis menganalisis kelemahan

penelitian dalam efektivitas pendidikan. Misalnya, mereka mengutip penelitian

Scriven (1994) yang melihat subjek pengetahuan guru sebagai faktor yang

mempengaruhi efektifitas guru. Mereka juga mengutip penelitian Darling-

Hammond (2000) yang menemukan pengetahuan ini jarang berkorelasi secara

signifikan dengan kinerja murid.

Creemers dan Kyriakides (2006) mengusulkan suatu model multilevel

dinamis dari efektivitas (sistem pendidikan, sekolah, ruang kelas). Hal ini

didasarkan pada asumsi bahwa hubungan beberapa faktor efektivitas dengan

kinerja siswa tidak harus linier (mungkin lengkung) dan bahwa setiap faktor

diukur dalam kaitannya dengan lima dimensi (umum untuk semua faktor). Pada

Page 6: 3. Siti Rohmawati

4

tingkat kelas, model dinamis mendefinisikan delapan faktor efektivitas yang

menggambarkan peran instruksional guru dan secara konsisten terkait dengan

kinerja murid. Beberapa dari mereka (misalnya orientasi dan pemodelan

mengajar) menitikberatkan pengajaran melalui pemahaman dan mempromosikan

pencapaian tujuan pendidikan baru seperti pengembangan keterampilan berpikir

dari suatu tatanan lebih tinggi, dan khususnya kemampuan memecahkan masalah,

di luar pengajaran berdasarkan transmisi pengetahuan.

Ponte dan Chapman (2006) mendiskusikan studi yang berfokus pada

pengetahuan guru matematika dan praktek dalam hal masalah, hasil dan

perspektif. Leikin dan Levav-Waynberg (2007) mengungkapkan hubungan yang

kompleks antara berbagai jenis pengetahuan guru untuk menjelaskan kesenjangan

antara teori berbasis rekomendasi dan praktek sekolah. Penelitian Efektivitas guru

telah menunjukkan bahwa guru yang efektif diharapkan untuk membantu siswa

untuk menggunakan strategi dan mengembangkan strategi mereka sendiri yang

dapat membantu mereka memecahkan berbagai jenis masalah (Kyriakides, 2002).

Menurut Sobel dan Maletsky dalam bukunya Mengajar Matematika

(2001:1-2) “banyak sekali guru matematika yang menggunakan waktu pelajaran

dengan kegiatan membahas tugas-tugas, lalu memberi pelajaran baru, memberi

tugas kepada siswa”. Pembelajaran seperti di atas yang rutin dilakukan hampir

tiap hari dapat dikategorikan sebagai 3M, yaitu membosankan, membahayakan

dan merusak seluruh minat siswa. Apabila pembelajaran seperti ini terus

dilaksanakan maka kompetensi dasar dan indikator pembelajaran tidak akan dapat

tercapai secara maksimal. Walaupun pembelajaran tersebut dapat meningkatkan

Page 7: 3. Siti Rohmawati

5

hasil belajar matematika siswa, namun konsep matematika yang diajarkan tersebut

terkadang tidak bertahan lama dalam memori siswa. Hal ini dapat diketahui baik

selama proses pembelajaran lanjutan materi tersebut maupun ketika dilaksanakan

evaluasi materi tersebut, para siswa juga tidak mampu menggunakan konsep

matematika yang telah dipelajarinya untuk menyelesaikan permasalahan sehari-

hari.

Rico (2006) menjelaskan bahwa PISA tidak terkait dengan kurikulum

tradisional dari program studi, tetapi merupakan bagian dari struktur kurikulum

yang tepat dan koheren. Dia mendefinisikan model pembelajaran matematika

fungsional berdasarkan tiga elemen:

1. Tugas dikontekstualisasikan: Ini menciptakan situasi di mana masalah

berada. Mereka mewakili pendekatan model PISA terhadap fenomenologi

didactical struktur matematika (Freudenthal, 1983).

2. Alat-alat Konseptual: Ini adalah konten matematika yang diperlukan untuk

memecahkan masalah, diatur sesuai dengan struktur konseptual dan

prosedur.

3. Sebuah subjek kognitif: subjek harus mengaktifkan kompetensi kognitif

tertentu atau proses untuk menghubungkan dunia nyata di mana masalah

yang dihasilkan dengan matematika dibutuhkan untuk memecahkan

masalah-masalah tersebut.

Dalam menghadapi kompleksitas permasalahan hidup yang semakin berat,

para siswa juga tidak memiliki kemampuan untuk menghadapinya. Hal ini terkait

dengan kebiasaan siswa yang tidak terbina untuk berpikir pada tingkat yang lebih

Page 8: 3. Siti Rohmawati

6

tinggi, kritis, kreatif dan pemecahan masalah, serta tidak mampu melakukan

pengaitan penerapan konsep dan prosedural yang dipelajari dengan permasalahan

di masyarakat dalam kehidupan sehari-hari atau kontekstual yang menggunakan

matematika sebagai alat pemecahan masalah.

Menurut Rittle-Johnson dan Koedinger (2005), pengetahuan terstruktur benar

membutuhkan orang untuk mengintegrasikan kontekstual mereka, pengetahuan

konseptual dan prosedural dalam sebuah domain. Dalam hal ini, penulis

mengusulkan bahwa informasi pada tiga jenis pengetahuan akan menawarkan

kunci untuk memahami proses mengaktifkan kompetensi mata pelajaran

matematika.

Berdasarkan uraian di atas, maka pada kesempatan ini penulis tertarik menulis

makalah dengan judul “Pengetahuan kontekstual, konseptual dan prosedural

dalam mengaktifkan kompetensi matematika (PISA)”

B. Tujuan Penulisan

Adapun yang menjadi tujuan dalam makalah ini adalah untuk mengetahui

peran pengetahuan kontekstual, konseptual dan prosedural dalam kompetensi

matematika.

C. Definisi Istilah

1. Programme for International Student Assessment (PISA) adalah studi

internasional tentang prestasi literasi membaca, matematika, dan sains

siswa sekolah berusia 15 tahun.

2. Pengetahuan ialah merupakan hasil “tahu” dan ini terjadi setelah orang

melakukan penginderaan terhadap suatu obyek tertentu.

Page 9: 3. Siti Rohmawati

7

3. Pengetahuan kontekstual merupakan pengetahuan matematika yang

dikaitkan dengan kehidupan siswa sehari-hari.

4. Pengetahuan konseptual merupakan pengetahuan yang memiliki banyak

keterhubungan antara obyek-obyek matematika (seperti fakta, skill, konsep

atau prinsip) yang dapat dipandang sebagai suatu jaringan pengetahuan

yang memuat keterkaitan antara satu dengan lainnya.

5. Pengetahuan prosedural merupakan pengetahuan tentang urutan kaidah-

kaidah, prosedur-prosedur yang digunakan untuk menyelesaikan soal-soal

matematika.

6. Kompetensi adalah proses kognitif yang harus diaktifkan untuk

menghubungkan dunia nyata di mana masalah muncul dengan matematika

dan untuk memecahkan masalah yang diajukan.

7. Mengaktifkan kompetensi diartikan sebagai menjadikan siswa mampu

menghubungkan dunia nyata di mana masalah muncul dengan matematika

dan untuk memecahkan masalah yang diajukan.

Page 10: 3. Siti Rohmawati

8

BAB II

KAJIAN PUSTAKA

A. PISA

Programme for International Student Assessment (PISA) adalah studi

internasional tentang prestasi literasi membaca, matematika, dan sains siswa

sekolah berusia 15 tahun. PISA sendiri merupakan proyek dari Organization for

Economic Co-operation and Development (OECD) yang pertama kali

diselenggarakan pada tahun 2000. Ide utama dari PISA adalah hasil dari sistem

pendidikan harus diukur dengan kompetensi yang dimiliki oleh siswa dan konsep

utamanya adalah literasi (Neubrand, 2005).

PISA dilaksanakan setiap tiga tahun sekali, yaitu pada tahun 2000, 2003,

2006, 2009, dan seterusnya. Sejak tahun 2000 Indonesia mulai sepenuhnya

berpartisipasi pada PISA. Pada tahun 2000 sebanyak 41 negara berpartisipasi

sebagai peserta sedangkan pada tahun 2003 menurun menjadi 40 negara dan pada

tahun 2006 melonjak menjadi 57 negara. Jumlah negara yang berpartisipasi pada

studi ini meningkat pada tahun 2009 yaitu sebanyak 65 negara. PISA terakhir

diadakan pada tahun 2012, dan jumlah negara yang berpartisipasi pada studi ini

sama pada tahun 2009 yaitu sebanyak 65 negara.

Dalam melakukan studi ini, setiap negara harus mengikuti prosedur operasi

standar yang telah ditetapkan, seperti pelaksanaan uji coba dan survei,

penggunaan tes dan angket, penentuan populasi dan sampel, pengelolaan dan

analisis data, dan pengendalian mutu. Desain dan implementasi studi berada

dalam tanggung jawab konsorsium internasional yang beranggotakan the

8

Page 11: 3. Siti Rohmawati

9

Australian Council for Educational Research (ACER), the Netherlands National

Institute for Educational Measurement (Citogroep), the National Institute for

Educational Policy Research in Japan (NIER), dan WESTAT United States.

1. Literasi Matematika dan Tujuannya

Salah satu tujuan dari PISA adalah untuk menilai pengetahuan matematika

siswa dalam menyelesaikan permasalahan dalam kehidupan sehari-hari. Itulah

mengapa digunakan istilah literasi metematika karena dalam PISA matematika

tidak hanya dipandang sebagai suatu disiplin ilmu pengetahuan, akan tetapi

bagaimana siswa dapat mengplikasikan suatu pengetahuan dalam masalah dunia

nyata (real world) atau kehidupan sehari-hari. Sehingga pengetahuan tersebut

dapat dirasa lebih kebermanfaatan secara langsung oleh siswa. Pada PISA

matematika, dengan memiliki kemampuan literasi matematika maka akan dapat

menyiapkan siswa dalam pergaulan di masyarakat modern (OECD, 2010).

Meningkatnya permasalahan yang akan dihadapi oleh siswa dikehidupannya

membutuhkan kepahaman akan matematika, penalaran matematika, peralatan

matematika, dll sebelum mereka benar-benar menjalankan dan melewati

permasalahan nyata itu.

Dari definisi matematika literasi di atas dapat dikatakan bahwa literasi

matematika merupakan kapasitas masing-masing individu untuk

memformulasikan, menggunakan dan menginterpretasikan matematika di banyak

situasi konteks. Kepahaman individu meliputi membuat penalaran matematika dan

menggunakan konsep, prosedur, fakta, dan alat untuk mendeskrepsikan,

menjelaskan dan memprediksi sebuah kejadian. Hal itu membantu individu untuk

Page 12: 3. Siti Rohmawati

10

memahami aturan yang menjadikan matematika sebagai acuan pada kenyataan

dan untuk membuat pertimbangan serta keputusan yang dibutuhkan dengan

mengkonstruksi, menggunakan dan merefleksikan diri sebagai warganegara.

Seseorang dikatakan memiliki tingkat literasi matematika baik apabila ia

mampu menganalisis, bernalar, dan mengkomunikasikan pengetahuan dan

keterampilan matematikanya secara efektif, serta mampu memecahkan dan

menginterpretasikan penyelesaian matematika. Dengan demikian, pengetahuan

dan pemahaman tentang literasi matematika sangat penting dalam kehidupan

sehari-hari siswa.

Kemampuan literasi matematika dapat dilakukan penilaian. PISA menyajikan

teknik penilaian literasi matematika yang didasarkan pada konten, konteks dan

kelompok kompetensi. PISA menilai level dan tipe matematika yang sesuai

dengan anak usia 15 tahun dalam mengikuti alur (trajectory) untuk menjadi warga

yang konstruktif, reflektif dan dapat memberikan keputusan dan pendapat yang

baik (OECD, 2010).

Matematika literasi yang dimiliki siswa dilihat bagaimana cara siswa dalam

menggunakan kemampuan dan keahlian matematika untuk menyelesaikan

permasalahan. Permasalahan mungkin terjadi di berbagai macam situasi atau

konteks yang berhubungan dengan tiap individu. Untuk menyelesaikan

permasalahan maka dibutuhkan mathematical content yang diorganisasikan oleh

overaching ideas. Mathematical competencies harus diaktifkan untuk

menyambungkan ke realita kehidupan dimana permasalahan muncul dengan

matematika dan untuk menyelesaikan permasalahan tersebut.

Page 13: 3. Siti Rohmawati

11

Setiap proses literasi matematika memiliki aktivitas-aktivitas yang bisa

diketahui seperti tabel berikut:

Tabel 2.1 : Proses literasi dan aktivitas siswa

Proses literasi Aktivitas

Memformulasikan

situasi secara

matematika

Mengidentifikasi aspek-aspek matematika dalam

permasalahan yang terdapat pada situasi konteks nyata

serta mengidentifikasi variabel yang penting.

Memahami struktur matematika dalam permasalahan

atau situasi.

Menyederhanakan situasi atau masalah untuk

menjadikannya mudah diterima dengan analisis

matematika.

Mengidentifikasi hambatan dan asumsi dibalik model

matematika dan menyederhanakannya.

Merepresentasikan situasi secara matematika dengan

menggunakan variabel, simbol diagram dan model

dasar yang sesuai.

Merepresentasikan permasalahan dengan cara yang

berbeda

Memahami dan menjelaskan hubungan antara bahasa,

simbol dan konteks sehingga dapat disajikan secara

matematika

Mengubah permasalahan menjadi bahasa matematika

Page 14: 3. Siti Rohmawati

12

atau model matematika

Memahami aspek-aspek permasalahan yang

berhubungan dengan masalah yang telah diketahui,

konsep matematika, fakta atau prosedur

Menggunakan teknologi untuk menggambarkan

hubungan matematika sebagai bagian dari masalah

konteks.

Menerapkan konsep,

fakta, prosedur dan

penalaran matematika

Merancang dan mengimplementasikan strategi untuk

menemukan solusi matematika

Menggunakan alat dan teknologi matematika untuk

membatu mendapatkan solusi yang tepat

Menerapkan fakta, aturan, algoritma dan struktur

matematika ketika mencari solusi

Memanipulasi bilangan, grafik, data statistik, bentuk

aljabar, informasi, persamaan, dan bentuk geometri.

Membuat diagram matematika, grafik, dan

mengkonstruksi serta mengekstraksi informasi

matematika.

Menggunakan dan menggantika berbagai macam

situasi dalam proses menemukan solusi

Membuat generalisasi berdasarkan pada prosedur dan

hasil matematika untuk mencari solusi

Merefleksikan pendapat matematika dan menjelaskan

Page 15: 3. Siti Rohmawati

13

serta memberikan penguatan hasil matematika

Mengiterpretasikan, menggunakan dan mengevaluasi

hasil matematika.

Menginterpretasikan kembali hasil matematika ke

dalam masalah nyata.

Mengevaluasi alasan-alasan yang reasonable dari

solusi matematika ke dalam masalah nyata

Memahami bagaimana realita memberikan dampak

terhadap hasil dan perhitungan dari prosedur atau

model matematika dan bagaimana penerapan dari

solusi yang didapatkan apakah sesuai dengan

konteks perrmasalahan

Menjelaskan mengapa hasil matematika dapat atau

tidak dapat sesuai dengan permasalahan konteks yang

diberikan

Memahami perluasan dan batasan dari konsep dan

solusi matematika

Mengkritik dan mengidentifikasi batasan dari

model yang digunakan untuk menyelesaikan masalah.

(OECD, 2010)

2. Kemampuan Matematis dalam PISA

Adapun kemampuan matematis yang digunakan dalam penilaian proses

matematika dalam PISA adalah (OECD, 2010):

Page 16: 3. Siti Rohmawati

14

a. Komunikasi (Communication)

Siswa merasakan adanya beberapa tantangan dan dirangsang untuk

mengenali dan memahami masalah. Membaca, mengkode dan

menginterpretasikan pernyataan, pertanyaan, tugas atau benda yang

memungkinkan siswa untuk membentuk mental dari model situasi yang

merupakan langkah penting dalam memahami, menjelaskan, dan merumuskan

masalah. Selama proses penyelesaian masalah, perlu diringkas dan disajikan.

Kemudian setelah solusi ditemukan, maka pemecah masalah perlu untuk

mempresentasikan solusi yang didapatkan, dan melakukan justifikasi terhadap

solusinya.

b. Matematisasi (Mathematizing)

Istilah matematisasi digunakan untuk menggambarkan kegiatan

matematika dasar yang terlibat dalam bentuk mentransformasi masalah yang

didefinisikan dalam kehidupan sehari-hari ke dalam bentuk matematis (yang

mencakup struktur, konsep, membuat asumsi, dan atau merumuskan model),

atau menafsirkan, mengevaluasi hasil matematika atau model matematika

dalam hubungannya dengan masalah kontekstual.

c. Representasi (Representation)

Pada kemampuan representasi ini, siswa merepresentasikan hasilnya baik

dalam bentuk grafik, tabel, diagram, gambar, persamaan, rumus, deskripsi

tekstual, dan materi yang konkrit.

Page 17: 3. Siti Rohmawati

15

d. Penalaran dan Argumen (Reasoning and Argument)

Kemampuan ini melibatkan kemampuan siswa untuk bernalar secara logis

untuk mengeksplorasi dan menghubungkan masalah sehingga mereka

membuat kesimpulan mereka sendiri, memberikan pembenaran terhadap

solusi mereka.

e. Merumuskan strategi untuk memecahkan masalah (Devising Strategies for

Solving Problems)

Kemampuan ini melibatkan siswa untuk mengenali, merumuskan, dan

memecahkan masalah. Hal ini ditandai dengan kemampuan dalam

merencanakan strategi yang akan digunakan untuk memecahkan masalah

secara matematis.

f. Menggunakan bahasa simbolik, formal, dan teknik, serta operasi (Using

symbolic, formal, and technical language, and operations)

Hal ini melibatkan kemampuan siswa untuk memahami,

menginterpretasikan, memanipulasi, dan menggunakan simbol-simbol

matematika dalam pemecahan masalah.

g. Menggunakan alat-alat matematika (Using Mathematical Tools)

Hal ini melibatkan kemampuan siswa dalam menggunakan alat-alat

matematika seperti alat ukur, kalkulator, komputer, dan lain sebagainya.

3. Konteks dalam PISA

Salah satu aspek penting dari kemampuan literasi matematika adalah

keterlibatan matematika dalam pemecahan masalah di berbagai konteks. Konteks

yang dimaksud adalah situasi yang padanya dapat dilekatkan suatu permasalahan

Page 18: 3. Siti Rohmawati

16

dan pada situasi tersebut terdapat informasi-informasi yang dapat dijadikan solusi

terhadap permasalahan tersebut (van den Heuvel-Panhuizen, 1996). Konteks yang

digunakan adalah konteks yang dekat dan diketahui dalam kehidupan sehari-hari

siswa.

Adapun konteks matematika dalam PISA dapat dikategorikan menjadi empat

konteks (OECD, 2010) yaitu:

a. Konteks pribadi (Personal)

Konteks pribadi yang berhubungan langsung dengan kegiatan pribadi

siswa sehari-hari, baik kegiatan diri sendiri, kegiatan dengan keluarga, maupun

kegiatan dengan teman sebayanya. Jenis konteks pribadi tidak terbatas pada

persiapan makanan, belanja, bermain, kesehatan pribadi, transportasi pribadi,

olahraga, traveling, jadwal pribadi, dan keuangan pribadi. Matematika

diharapkan dapat berperan dan menginterpretasikan permasalahan dan

kemudian memecahkannya.

b. Konteks pekerjaan (Occupational)

Konteks pekerjaan yang berkaitan dengan kehidupan siswa di sekolah dan

atau tempat lingkungan siswa bekerja. Konteks pekerjaan tidak terbatas pada

hal-hal seperti mengukur, biaya dan pemesanan bahan bangunan, menghitung

gaji, pengendalian mutu, penjadwalan, arsitektur, dan pekerjaan yang

berhubungan dengan pengambilan keputusan. Konteks pekerjaan berhubungan

dengan setiap tingkat tenaga kerja, dari tingkatan terendah sampai tingkatan

yang tertinggi yang dikenal oleh siswa. Matematika diharapkan dapat

Page 19: 3. Siti Rohmawati

17

membantu untuk merumuskan, melakukan klasifikasi masalah, dan

memecahkan masalah tersebut.

c. Konteks umum (Societal)

Konteks umum berkaitan dengan penggunaan pengetahuan matematika

dalam kehidupan bermasyarakat baik lokal, nasional, maupun global dalam

kehidupan sehari-hari. Konteks umum dapat berupa masalah sistem voting,

angkutan umum, pemerintah, kebijakan publik, demografi, iklan, statistik

nasional, masalah ekonomi, dan lain sebagainya. Siswa diharapkan dapat

menyumbangkan pemahaman mereka tentang pengetahuan dan konsep

matematikanya untuk mengevaluasi berbagai keadaan yang relevan dalam

kehidupan di masyarakat.

d. Konteks keilmuan (scientific)

Kegiatan keilmuan yang secara khusus berkaitan dengan kegiatan ilmiah

yang lebih bersifat abstrak dan menuntut pemahaman dan penguasaan teori

dalam melakukan pemecahan matematika. Konteks keilmuan juga berkaitan

dengan penerapan matematika di alam, isu-isu dan topik-topik yang berkaitan

dengan ilmu pengetahuan dan teknologi, seperti cuaca atau iklim, ekologi,

kedokteran, ilmu ruang, genetika, pengukuran, dan dunia matematika itu

sendiri.

4. Konten PISA

Konten matematika dalam PISA ditentukan berdasarkan hasil studi yang

mendalam serta berdasarkan konsensus di antara negara-negara OECD agar

pencapaian siswa itu dapat dibandingkan secara internasional dengan

Page 20: 3. Siti Rohmawati

18

memperhatikan keragaman masing-masing negara peserta (Hayat dan Yusuf,

2010). Disamping itu, OECD (2010) juga menyebutkan bahwa konten matematika

dalam PISA diusulkan berdasarkan fenomena matematika yang mendasari dari

beberapa masalah dan yang telah memotivasi dalam pengembangan konsep

matematika dan prosedur tertentu. Adapun konten matematika dalam PISA dibagi

menjadi empat konten (OECD, 2010), yaitu:

a. Change and Relationships (Perubahan dan Hubungan)

Perubahan dan hubungan berkaitan dengan pokok pelajaran aljabar.

Hubungan matematika sering dinyatakan dengan persamaan atau hubungan

yang bersifat umum, seperti penambahan, pengurangan, dan pembagian.

Hubungan ini juga dinyatakan dalam berbagai simbol aljabar, grafik, bentuk

geometris, dan tabel. Oleh karena setiap representasi simbol itu memiliki

tujuan dan sifatnya masing-masing, proses penerjemahannya sering menjadi

sangat penting dan menentukan sesuai dengan situasi dan tugas yang harus

dikerjakan.

b. Space and Shape (Ruang dan Bentuk)

Ruang dan bentuk berkaitan dengan pelajaran geometri. Soal tentang

ruang dan bentuk ini menguji kemampuan siswa mengenali bentuk, mencari

persamaan dan perbedaan dalam berbagai dimensi dan representasi bentuk,

serta mengenali ciri-ciri suatu benda dalam hubungannya dengan posisi benda

tersebut. Wijaya (2012) menyebutkan bahwa, untuk memahami konsep space

and shape dibutuhkan kemampuan untuk mengidentifikasi persamaan dan

Page 21: 3. Siti Rohmawati

19

perbedaan objek berbeda, menganalisis komponen-komponen dari suatu objek,

dan mengenali suatu bentuk dalam dimensi dan representasi yang berbeda.

c. Quantity (Bilangan)

Bilangan berkaitan dengan hubungan bilangan dan pola bilangan, antara

lain kemampuan untuk memahami ukuran, pola bilangan, dan segala sesuatu

yang berhubungan dengan bilangan dalam kehidupan sehari-hari, seperti

menghitung dan mengukur benda tertentu. Termasuk dalam konten bilangan ini

adalah kemampuan bernalar secara kuantitatif, merepresentasikan sesuatu

dalam angka, memahami langkah-langkah matematika, berhitung di luar

kepala, dan melakukan penaksiran.

d. Uncertainty and Data (Probabilitas/Ketidakpastian dan Data)

Probabilitas/ketidakpastian dan data berhubungan dengan statistik dan

peluang yang sering digunakan dalam masyarakat informasi. Penyajian dan

interpretasi data adalah konsep kunci dalam konten ini.

5. Level dalam PISA

Aktivitas yang dilakukan siswa

a. Siswa dapat melakukan konseptualisasi, generalisasi dan menggunakan

informasi berdasarkan pada investegasi dan modeling pada situasi

permasalahan yang kompleks.

b. Siswa dapat menghubungkan sumber informasi berbeda dengan fleksibel

dan menerjemahkannya.

c. Siswa mampu berpikir dan bernalar secara matematika.

Page 22: 3. Siti Rohmawati

20

d. Siswa dapat menerapkan pemahamannya secara mendalam disertai

dengan penguasaan teknis operasi matematika, mengembangkan strategi

dan pendekatan baru dalam menghadapi situasi yang baru.

e. Siswa dapat merumuskan dan mengkomunikasikan dengan tepat

tindakannya dan merefleksikan dengan mempertimbangkan temuannya,

interpretasinya, pendapatnya, dan ketepatan pada situasi yang nyata.

Level 6( ≥ 669,3)

a. Siswa dapat mengembangkan dan bekerja dengan model pada situasi yang

komplek, mengidentifikasi kendala dan menjelaskan dengan tepat

dugaan-dugaan.

b. Siswa memilih, membandingkan dan mengevaluasi strategi penyelesaian

masalah yang sesuai ketika berhadapan dengan situasi yang rumit yang

berhubungan dengan model tersebut.

c. Siswa bekerja dengan menggunakan pemikiran dan penalaran yang luas,

serta secara tepat menghubungkan pengetahuan dan ketrampilan

matematikanya dengan situasi yang dihadapi.

d. Siswa dapat melakukan refleksi dari apa yang mereka kerjakan dan

mengkomunikasikan interpretasi dan penelarannya.

Level 5 ( ≥ 607,0)

a. Siswa dapat bekerja secara efektif dengan model yang tersirat dalam

situasi yang konkret tetapi komplek yang terdapat hambatan-hambatan

atau membuat asumsi-asumsi.

Page 23: 3. Siti Rohmawati

21

b. Siswa dapat memilih dan mengabungkan representasi yang berbeda

termasuk menyimbolkannya dan menghubungkannya dengan situasi

nyata.

c. Siswa dapat menggunakan perkembangan ketrampilan yang baik dan

mengemukakan alasan dan pandangan yang fleksibel sesuai dengan

konteks.

d. Siswa dapat membangun dan mengkomunikasikan penjelasan dan

pendapatnya berdasarkan pada interpretasi, hasil dan tindakan.

Level 4( ≥ 544,7)

a. Siswa dapat melaksanakan prosedur dengan baik, termasuk prosedur

yang memerlukan keputusan secara berurutan.

b. Siswa dapat memilih dan menerapkan strategi memecahkan masalah

yang sederhana.

c. Siswa dapat menginterpretasikan dan menggunakan representasi

berdasarkan pada sumber informasi yang berbeda dan mengemukakan

alasannya secara langsung dari yang didapat.

d. Siswa dapat mengembangkan komunikasi sederhana melalui hasil,

interpretasi dan penalaran mereka.

Level 3( ≥ 482,7)

a. Siswa dapat menginterpretasikan dan mengenali situasi dalam konteks

yang memerlukan penarikan kesimpulan secara langsung.

b. Siswa dapat memilah informasi yang relevan dari sumber tunggal dan

menggunakan penarikan kesimpulan yang tunggal.

Page 24: 3. Siti Rohmawati

22

c. Siswa dapat menerapkan algoritma dasar, memformulasikan,

menggunakan, melaksanakan prosedur atau ketentuanketentuan yang

dasar.

d. Siswa dapat memberikan alasan secara langsung dan melakukan

penafsiran secara harfiah dari hasil.

Level 2 ( ≥ 420,1)

a. Siswa dapat menjawab pertanyaan yang konteknya umum dimana

informasi yang relevan telah tersedia dan pertanyaan telah diberikan

dengan jelas.

b. Siswa dapat mengidentifikasikan informasi dan menyelesaikan prosedur

rutin menurut instruksi langsung pada situasi yang eksplisit.

c. Siswa dapat melakukan tindakan secara mudah sesuai dengan stimulus

yang diberikan.

Level 1 ( ≥ 357,8)

(OECD, 2010)

B. Pengetahuan

1. Pengertian Pengetahuan

Pengetahuan ialah merupakan hasil “tahu” dan ini terjadi setelah orang

melakukan penginderaan terhadap suatu obyek tertentu. Penginderaan terjadi

melalui panca indera manusia yaitu : indera penglihatan, pendengaran,

penciuman, rasa dan raba. Sebagian besar pengetahuan manusia diperoleh

melalui mata dan telinga (Soekidjo, Notoadmodjo 2003).

Page 25: 3. Siti Rohmawati

23

Pengetahuan adalah segala sesuatu yang diketahui, segala sesuatu yang

diketahui berkenaan dengan hal (mata pelajaran) (Tim penyusun Kamus Besar

Bahasa Indonesia, 2002).

2. Tingkat Pengetahuan

Benjamin Bloom (1956), seorang ahli pendidikan, membuat klasifikasi

(taxonomy) pertanyaan-pertanyaan yang dapat dipakai untuk merangsang proses

berfikir pada manusia. Menurut Bloom kecakapan berfikir pada manusia dapat

dibagi dalam 6 kategori yaitu :

a. Pengetahuan (knowledge)

Mencakup ketrampilan mengingat kembali faktor-faktor yang pernah

dipelajari.

b. Pemahaman (comprehension)

Meliputi pemahaman terhadap informasi yang ada.

c. Penerapan (application)

Mencakup ketrampilan menerapkan informasi atau pengetahuan yang telah

dipelajari ke dalam situasi yang baru.

d. Analisis (analysis)

Meliputi pemilahan informasi menjadi bagian-bagian atau meneliti dan

mencoba memahami struktur informasi.

e. Sintesis (synthesis)

Mencakup menerapkan pengetahuan dan ketrampilan yang sudah ada untuk

menggabungkan elemen-elemen menjadi suatu pola yang tidak ada

sebelumnya.

Page 26: 3. Siti Rohmawati

24

f. Evaluasi (evaluation)

Meliputi pengambilan keputusan atau menyimpulkan berdasarkan kriteria-

kriteria yang ada biasanya pertanyaan memakai kata: pertimbangkanlah,

bagaimana kesimpulannya.

3. Pengukuran Pengetahuan

Menurut Soekidjo (2003) pengukuran pengetahuan dapat dilakukan dengan

wawancara atau angket yang menanyakan tentang isi materi yang ingin diukur

dari subyek penelitian atau responden.

4. Cara Memperoleh Pengetahuan

Menurut Soekidjo (2005) cara untuk memperoleh pengetahuan ada 2 yaitu : Cara

Tradisional atau Non Ilmiah

a. Cara coba salah (Trial and error)

Cara ini telah dipakai orang sebelum adanya kebudayaan bahkan mungkin

sebelum adanya peradaban. Pada waktu itu seseorang apabila menghadapi

persoalan atau masalah, upaya pemecahannya dilakukan dengan coba-coba

saja. Bahkan sampai sekarang pun metode ini masih sering dipergunakan,

terutama oleh mereka yang belum atau tidak mengetahui suatu cara tertentu

dalam memecahkan masalah yang dihadapi.

b. Cara kekuasaan atau otoritas

Para pemegang otoritas, baik pemimpin pemerintahan, tokoh agama maupun

ahli ilmu pengetahuan pada prinsipnya mempunyai mekanisme yang sama di

dalam penemuan pengetahuan. Prinsip ini adalah orang lain menerima

pendapat yang dikemukakan oleh orang mempunyai otoritas, tanpa terlebih

Page 27: 3. Siti Rohmawati

25

dahulu menguji atau membuktikan kebenarannya baik berdasarkan fakta

empiris ataupun berdasarkan penalaran sendiri. Hal ini disebabkan karena

orang yang menerima pendapat tersebut menganggap bahwa apa yang

ditemukannya adalah sudah benar.

c. Berdasarkan pengalaman pribadi

Hal ini dilakukan dengan cara mengulang kembali pengalaman yang

diperoleh dalam memecahkan permasalahan yang dihadapi pada masa yang

lalu.

d. Melalui jalan pikiran

Sejalan dengan perkembangan kebudayaan umat manusia, cara pikir manusia

pun ikut berkembang. Dari sini manusia telah mempu menggunakan

penalarannya dalam memperoleh pengetahuannya. Dengan kata lain, dalam

memperoleh kebenaran pengetahuan manusia telah menggunakan jalan

pikirannya

C. Pengetahuan Kontekstual dalam Matematika

Konteks adalah situasi yang padanya dapat dilekatkan suatu permasalahan

dan pada situasi tersebut terdapat informasi-informasi yang dapat dijadikan solusi

terhadap permasalahan tersebut (van den Heuvel-Panhuizen, 1996). Konteks yang

digunakan dalam makalah ini adalah konteks yang dekat dan diketahui dalam

kehidupan sehari-hari siswa.

Berdasarkan definisi konteks maka pengetahuan kontekstual yang digunakan

dalam makalah ini berkaitan dengan masalah kehidupan sehari-hari di dunia

nyata. Dalam situasi sekolah pengetahuan kontekstual didapat melalui presentasi

Page 28: 3. Siti Rohmawati

26

dari masalah dalam konteks dengan cerita tersendiri. Pengetahuan kontekstual

tidak muncul ketika masalah disajikan hanya menggunakan simbol matematika

dengan nomor, operator dan variabel. Rittle-Johnson dan Koedinger (2005)

menunjukkan bahwa tidak ada kesepakatan dalam komunitas ilmiah, apakah

menyajikan masalah aritmatika dalam konteks cerita akan membuat mereka lebih

mudah atau lebih sulit untuk memecahkan masalah yang ada.

Pengetahuan kontekstual akan mempermudah siswa dalam memahami

materi matematika yang diberikan guru, sehingga sebelum diberikan materi yang

akan dilambangkan dengan simbol atau variabel sebaiknya materi tersebut

dikaitkan dengan kehidupan siswa sehari-hari. Hal ini sesuai dengan pendapat Sri

Wardhani (2004:11) ciri pertama dari pembelajaran matematika yang kontekstual

adalah adanya permasalahan kontekstual pada awal pembelajaran yang harus di

selesaikan oleh siswa.

Matematika merupakan ilmu dasar (sehingga bukan merupakan ilmu

terapan) maka tidak banyak dan cukup sulit dari mencari contoh-contoh

permasalahan kontekstual yang bersifat aktual atau kasat mata untuk dikaitkan

dengan topik-topik matematika yang akan dipelajari siswa. Padahal, permasalahan

kontekstual adalah permasalahan yang isinya atau materinya terkait dengan

kehidupan siswa sehari-hari, baik yang aktual maupun yang tidak aktual, namun

dapat dibayangkan oleh siswa karena pernah dialami olehnya.

Heuvel-panhuinze (dalam Nur M:2000) mengemukakan bahwa dalam

pembelajaran matematika yang kontekstual, proses pengembangan konsep-konsep

dan gagasan-gagasan matematika bermula dari dunia nyata. Dunia nyata tidak

Page 29: 3. Siti Rohmawati

27

hanya berarti konkret secara fisik atau kasat mata, namun juga termasuk hal-hal

yang dapat dibayangkan oleh alam pikiran siswa sesuai dengan pengalamannya.

Ini berarti masalah-masalah yang digunakan pada awal pembelajaran matematika

kontekstual dapat berupa masalah-masalah yang actual bagi siswa dalam arti

secara fisik sungguh-sungguh ada dalam kenyataan kehidupan siswa atau

masalah-masalah yang dapat dibayangkan sebagai masalah nyata oleh siswa

karena terkait dengan pengalaman lalunya.

Ciri-ciri pembelajaran matematika yang kontekstual mengacu pada tujuh

komponen utama dari pembelajaran kontekstual dan karakteristik. Tujuh

komponen tersebut adalah kontruktivisme, menemukan, bertanya, komunitas

belajar, pemodelan, refleksi dan penilaian autentik. Adapun uraian dari ketujuh

komponen tersebut adalah:

1. Kontruktivisme

Kontruktivisme yaitu suatu kegiatan dimana siswa membangun pengetahuan

sedikit demi sedikit dari pengetahuan yang dimiliki siswa, diharapkan siswa

belajar bukan hanya menghafal tetapi melalui mengalami sehingga akan

bermakna. Kontruktivisme adalah proses membangun atau menyusun

pengetahuan dalam struktur kognitif siswa berdasarkan pengalaman (Sanjaya).

2. Bertanya

Bertanya yaitu kegiatan bertanya dalam pembelajaran, bisa guru dengan siswa,

siswa dengan guru, siswa dengan siswa bahkan siswa dengan orang lain (nara

sumber) sebagai upaya guru dalam membimbing siswa, menggali informasi

dan menilai sejauh mana kemampuan yang telah diperoleh siswa.

Page 30: 3. Siti Rohmawati

28

3. Menemukan

Menemukan yaitu suatu kegiatan dimana siswa berusaha menemukan sendiri

pengetahuan bukan hasil mengingat-ingat fakta-fakta.

4. Masyarakat Belajar

Masyarakat belajar yaitu suatu kegiatan dimana siswa memperoleh hasil

belajar dari hasil belajar bekerja sama atau tukar pendapat dengan orang lain.

5. Pemodelan

Pemodelan bisa diartikan suatu contoh nyata yang ditunjukkan guru atau

orang lain bisa asli atau tiruan dan bisa berbentuk demonstrasi, pemberian

contoh tentang konsep-konsep,

6. Refleksi

Refleksi yaitu berpikir kembali apa yang telah dilakukan dan apa yang akan

diperoleh siswa dalam kegiatan pembelajaran.

7. Penilaian Otentik

Penilaian yaitu suatu kegiatan pengumpulan data dari berbagai sumber yang

bisa memberikan gambaran perkembangan belajar siswa. Penilaian otentik

adalah proses pengumpulan informasi oleh guru tentang perkembangan dan

pencapaian pembelajran yang dilakukan anak didik melalui berbagai teknik

yang mampu mengungkapkan, membuktikan atau menunjukkan secara tepat

bahwa tujuan pembelajaran dan kemampuan (kompetensi) telah benar-benar

dikuasai dan dicapai. Majid, Abdul (2007)

Ketujuh komponen tersebut bisa dimasukkan ke dalam pembelajaran

sesuai dengan materi yang dibahas. Selain ketujuh komponen tersebut, agar siswa

Page 31: 3. Siti Rohmawati

29

lebih mudah dalam memahami matematika berdasarkan pengertahuan kontekstual

perlu diperhatikan prinsip penerapan pembelajaran kontekstual.

Prinsip penerapan pembelajaran kontekstual yang perlu dipegang guru

adalah sebagai berikut:

1. merencanakan pembelajaran sesuai dengan kewajaran mental sosial,

2. membentuk kelompok yang saling bergantung,

3. menyediakan lingkungan yang mendukung pembelajaran yang mandiri,

4. mempertimbangkan keragaman siswa,

5. mempertimbangkan multi intelegensi siswa,

6. menggunakan teknik-teknik bertanya untuk meningkatkan pembelajaran

siswa, perkembangan masalah, dan ketrampilan berpikir tingkat tinggi,

7. menerapkan penilaian autentik.

Nurhadi, dkk, (2006).

Prinsip penerapan pembelajaran kontekstual yang berbasis kontekstual

agar tercapai tujuan pembelajaran yang optimal dan bermakna bagi siswa perlu

memperhatikan mulai dari merencanakan pembelajaran, melaksanakan

pembelajaran, mempertimbangkan karakteristik dan perbedaan masing-masing

peserta didik sampai melakukan sesuatu penilaian.

D. Pengetahuan Konseptual dalam Matematika

Kata konseptual berasal dari kata concept (konsep) yang berarti gambaran

mental dari suatu objek, proses atau apapun yang ada di luar bahasa, yang

digunakan oleh akal budi untuk memahami hal-hal lain (Kamus Besar Bahasa

Indonesia, 2003:588). Konsep adalah seperangkat objek tertentu, simbol, atau

Page 32: 3. Siti Rohmawati

30

peristiwa yang dikelompokkan bersama-sama atas dasar karakteristik-karakteristik

bersama dan yang dapat disesuaikan oleh sebuah nama atau simbol tertentu.

(Merrill & Tennyson, 1977:3). Menurut Zaenal Arifin (2009:21) konsep adalah

suatu objek dasar, baik dapat di definisikan atau tidak, dinyatakan dalam ide

abstrak yang memungkinkan kita dapat membedakan sesuatu termasuk dalam

contoh objek tersebut atau bukan. Konsep adalah suatu rencana atau pola yang

digunakan untuk mendesain materi pembelajaran dengan langkah-langkah

kegiatan mengajar belajar seperti yang dikemukakan oleh Bruce Joyce dan

Marsha Weil.

Konsep merupakan dasar bagi proses-proses untuk memecahkan suatu

masalah. Konsep dalam matematika biasanya dijelaskan melalui definisi atau

contoh-contoh. Definisi yang menjelaskan suatu konsep dalam matematika

merupakan rumusan kata-kata yang digunakan untuk menjelaskan konsep

tersebut. Rumusan kata-kata itu dapat berbeda-beda bergantung pada cara dan

pendekatan yang digunakan dalam menjelaskan konsep itu. Ada suatu konsep

yang dinyatakan dengan simbol-simbol atau istilah-istilah matematika, ada pula

yang dinyatakan dalam kalimat atau kata-kata sehari-hari yang maksudnya sudah

jelas dan ada pula penjelasan suatu konsep yang dinyatakan dengan gabungan dari

kedua cara tersebut.

Tidak selamanya seseorang (siswa) dapat belajar konsep langsung dari

yang ada pada definisi, misalnya bagi mereka yang masih berada di bawah taraf

berpikir formal. Oleh karena itu, kita memerlukan contoh-contoh dalam rangka

memahami suatu konsep yang ada pada definisi. Menurut Skemp (1977), konsep-

Page 33: 3. Siti Rohmawati

31

konsep yang berorde lebih tinggi dari konsep yang dimiliki seseorang tidak selalu

dapat dikomunikasikan dengan baik kepada orang tersebut melalui suatu definisi,

tetapi perlu terlebih dahulu memberikan kepadanya sekumpulan contoh-contoh

konsep tersebut.

Ausubel (dalam Dahar, 1988) mengemukakan, bahwa konsep dapat

diperoleh dengan dua cara, yaitu pembentukan konsep dan asimilasi konsep.

Pembentukan konsep dapat dipandang sebagai belajar konsep-konsep konkret

menurut Gagne (dalam Dahar, 1988; dalam Hudojo, 1990), sedangkan asimilasi

konsep relevan dengan belajar konsep-konsep abstrak.

Pembentukan konsep merupakan proses induktif. Dalam proses ini

seseorang mengabstraksikan atribut-atribut tertentu yang sama dari berbagai

stimulus yang diberikan. Stimulus-stimulus tersebut dapat berupa pemberian

contoh-contoh dari sesuatu yang dikonsepkan. Sedangkan asimilasi konsep

bersifat deduktif. Dalam proses ini seseorang belajar konsep berpangkal pada

pengenalan istilah atau nama dari konsep tersebut beserta atribut-atributnya.

Menurut Hudojo (1990), seorang yang belajar konsep secara deduktif telah berada

pada tahap simbolisasi atau tahap formalisasi. Pada tahap simbolisasi seseorang

sudah dapat merumuskan representasi setiap konsep yang dipelajarinya dengan

menggunakan simbol matematika atau perumusan verbal yang sesuai. Sedangkan

pada tahap formalisasi, seseorang bukan hanya dapat merumuskan konsep

tersebut, tetapi juga dapat menentukan berbagai sifat yang diperoleh dari konsep-

konsep yang telah dipelajarinya, kemudian merumuskan sifat-sifat baru yang

berbentuk teorema.

Page 34: 3. Siti Rohmawati

32

Pengetahuan konseptual dalam matematika merupakan pengetahuan dasar

yang menghubungkan antara potongan-potongan informasi yang berupa fakta,

skill (keterampilan), konsep, atau prinsip (Hiebert dan Wearne, 1986). Owen dan

Super (1993) menambahkan, bahwa suatu potongan informasi menjadi

pengetahuan konseptual hanya jika pengetahuan itu terintegrasi ke dalam jaringan

pengetahuan yang lebih luas dalam pikiran seseorang. Jadi pengetahuan

konseptual merupakan pengetahuan yang memiliki banyak keterhubungan antara

obyek-obyek matematika (seperti fakta, skill, konsep atau prinsip) yang dapat

dipandang sebagai suatu jaringan pengetahuan yang memuat keterkaitan antara

satu dengan lainnya.

Pengetahuan konseptual menuntut siswa untuk aktif berpikir

mengenai hubungan-hubungan dan membuat koneksi serta membuat

pembenaran untuk mengakomodasi pengetahuan baru menempati struktur

mental yang lebih lengkap.

Hiebert & Carpenter (1992) mengemukakan bahwa memahami konsep

(pengetahuan konseptual) harus datang lebih dulu sebelum penguasaan

keterampilan (pengetahuan prosedural).

Definisi pengetahuan konseptual dan prosedural banyak diperbincangkan

dalam kajian-kajian lepas (Rittle-Johnson & Siegler 1998; Rittle-Johnson &

Alibali 1999; Star 2000; Rittle-Johnson, Siegler & Alibali 2001; Rittle-Johnson &

Star 2007, 2009; Matthews & Rittle-Johnson 2008; Rittle-Johnson, Star & durkin

2009) dengan menggunakan definisi yang diberikan oleh Hiebert dan Lefevre

Page 35: 3. Siti Rohmawati

33

(1986) sebagai asas utama. Mereka mendefinisikan pengetahuan konseptual

sebagai

Knowledge that is rich in relationships. It can be thought of as a connected web of knowledge, a network in which the linking realtionships are as prominent as the discrete pieces of information. Relationships pervade the individual facts and propositions so that all pieces of information are linked to some network. (Hiebert dan Lefevre, 1986, 3-4)

Dari petikan itu dapat disimpulkan, pengetahuan konseptual adalah satu

pengetahuan yang mempunyai rangkaian berkaitan atau berhubungan dengan

berbagai informasi. Perhubungan antara fakta dan beberapa informasi itu juga

telah membentuk satu jaringan. Selari dengan apa yang dinyatakan oleh Effandi,

Norazah dan Sabri (2007), pengetahuan konseptual menjadi dasar struktur sesuatu

perkara yang dikaitkan dengan rangkaian ide pengetahuan yang mampu

menerangkan dan memberi makna kepada prosedur yang digunakan. Seterusnya

merujuk kepada pengetahuan yang menjadi dasar struktur matematik yang mana

bertindak sebagai pengetahuan asas serta dapat menghubungkan ide-ide

matematik.

Dalam matematika sering disajikan pengertian suatu objek matematika ,

seperti segitiga, bilangan, persegi kubus dan sejenisnya. Obyek-obyek tersebut

dalam pembelajaran matematika, umumnya disampaikan terlebih dahulu

dibandingkan dengan obyek-obyek lain. Apabila siswa benar-benar telah

memahami pengetahuan tentang obyek tersebut, maka ia mampu membedakan

obyek-obyek mana yang merupakan contoh dan obyek-obyek mana yang bukan

contoh dari yang dimaksudkan. Siswa telah memahami pengertian dari segitiga,

maka ia akan mampu membedakan mana yang segitiga dan mana yang bukan

Page 36: 3. Siti Rohmawati

34

Fenomena

konsep

Sifat-sifat khusus Implikasi konsep

Perampatan

Abtraksi

segitiga. Demikian pula akan berlaku untuk obyek bilangan, persegi, kubus dan

yang sejenisnya. Obyek-obyek kajian tersebut dikelompokkan dalam kategori

konsep.

Setiap konsep kita dapat mencari atau mendapatkan implikasi-

implikasinya yang bisa menimbulkan suatu fenomena baru lagi. Dari fenomena

yang baru ini, kita dapat melakukan proses pengkajian yang serupa dengan di

uraikan di atas. Secara skema, proses pengembangan konsep dapat di ilustrasikan

seperti gambar berikut:

Gambar 1

Gambar di atas menunjukkan bahwa fenomena diamati, dicermati, dan

diperoleh sifat-sifat khusus melalui proses abstraksi. Sifat-sifat khusus yang

diamati dengan penalaran yang matematis menghasilkan suatu konsep baru

melalui proses perampatan. Tentu, konsep yang ditemukan perlu di uji secara

formal untuk diterima sebagai konsep yang baru. Selanjutnya, konsep baru

tersebut memberikan implikasi yang menjadi fenomena baru yang perlu diamati

dan dicermati lagi.

Berdasarkan kajian teori di atas, pengetahuan konseptual sangat berperan

dalam mengembangkan materi pelajaran matematika. Siswa akan mengalami

kesulitan pada pemahaman konsep B jika konsep A belum dipahami. Misalnya

Page 37: 3. Siti Rohmawati

35

pada materi pecahan, siswa akan mengalami kesulitan dalam menyelesaikan

operasi pecahan jika siswa belum bisa memahami operasi perkalian dan

menentukan KPK.

E. Pengetahuan Prosedural dalam Matematika

Pengetahuan prosedural adalah jenis pengetahuan yang berarti langkah demi

langkah tindakan dan belajar simultan dari semua komponen atau langkah-

langkah dari apa yang mungkin menjadi prosedur kompleks. Prosedur sering di

defenisikan secara tegas semua langkah-langkah yang dilibatkan dan setiap

langkah jelas. Istilah lain prosedural adalah algoritma. Banyak prosedur yang

berupa algoritma, misalnya operasi-operasi matematika adalah algoritma.

Prosedur untuk mengurangkan dengan “meminjam” adalah sebuah algoritma:

langkah-langkah dalam prosedur biasanya tidak berfariasi.

Hiebert dan Lefevre (dalam White dan Mitchelmore, 1996)

menggambarkan pengetahuan prosedural sebagai pengetahuan tentang prosedur

baku yang dapat diaplikasikan jika beberapa isyarat tertentu disajikan. Suatu kata

kunci untuk prosedur-prosedur yang seperti itu adalah kata "sesudah" dalam

pengertian "sesudah langkah ini diikuti dengan langkah berikutnya".

Pengetahuan prosedural lebih cenderung pada penguasaan komputasional

dan pengetahuan tentang langkah-langkah untuk mengidentifikasi obyek-obyek

matematika, algoritma, dan definisi. Langkah-langkah tersebut mencakup

bagaimana mengidentifikasi masalah dan menyelesaikan masalah. Secara khusus

pengetahuan prosedural terdiri dari dua bagian yaitu, pengetahuan mengenai

Page 38: 3. Siti Rohmawati

36

format dan kalimat dari satu sistem representasi simbol, dan pengetahuan tentang

aturan-aturan algoritma yang dapat digunakan untuk menyelesaikan masalah.

Hiebert dan Wearne (1986), membedakan dua jenis pengetahuan prosedural, yaitu

(1) pengetahuan mengenai simbol tanpa mengikutkan apa makna simbol tersebut,

dan (2) sekumpulan aturan-aturan atau langkah-langkah yang membentuk suatu

algoritma atau prosedur.

Pengetahuan prosedural juga didefinisikan oleh Hiebert dan Lefevre sebagai:

One kind of procedural knowledge is a familiarity with the individual symbols of the system and with the syntactic convention for acceptable configurations of symbols. The second kind of procedural knowledge consists of rules or procedures for solving mathematical problems. Many of the procedures that studens possess probably are chains of prescriptions for manipulating symbols. (Hiebert dan Lefevre, 1986, 7-8)

Penyataan mengenai pengetahuan prosedural ini juga mendefinisikan

prosedural sebagai satu pengetahuan yang banyak melibatkan penggunaan simbol

dan ia juga satu pengetahuan yang melibatkan peraturan dan langkah-langkah

penyelesaian masalah matematik. Pengetahuan prosedural ini banyak melibatkan

manipulasi simbol. Seperti yang didefinisikan juga oleh Rittle-Johnson. (2001)

yang menyatakan pengetahuan prosedural ini adalah upaya melakukan turutan

kerja penyusunan objek, pengiraan aritmetik serta susunan langkah-langkah demi

langkah dalam mencapai sesuatu penyelesaian.

Dalam pengetahuan prosedural, siswa harus belajar untuk mengenali

situasi yang memerlukan prosedur tertentu, lengkap dengan langkah-langkah,

mengingat kembali langkah-langkah dalam prosedur, dan menentukan apakah

prosedur telah diterapkan dengan benar. Selain itu, jika prosedur rumit, pelajar

harus belajar untuk membuat keputusan dalam prosedur oleh mengklasifikasi

Page 39: 3. Siti Rohmawati

37

situasi dan untuk membuat keputusan dalam prosedur oleh mengklasifikasikan

situasi dan memilih cabang-cabang itu tergantung pada keputusan yang dibuat.

Meskipun urutan instruksional terjadi dalam urutan sebagai berikut,

1. Pembelajaran untuk menjelaskan jika prosedur telah dipersyaratkan.

Informasi pertama yang harus diperoleh adalah konteks atau situasi di mana

prosedur dapat diterapkan. Ini adalah prasyarat “pengenalan pola” atau konsep

pembelajaran yang harus dipelajari dan dipraktekkan dalam pelajaran pertama.

Sebuah strategi untuk mengajarkan konsep-konsep akan layak untuk fase ini,

pelajar harus melihat contoh dari berbagai situasi yang membuat mareka cocok

untuk penerapan prosedur.

2. Pembelajaran untuk melengkapkan langkah-langkah dalam prosedur.

Fase ini menyajikan informasi dan pengolahan berbeda, tergantung pada

apakah prosedur adalah prosedur sederhana atau prosedur komplek. Prosedur

sederhana mungkin bisa dipelajari dalam setiap langkah individu dapat diajarkan

dalam sebuah instruksi, di mana pelajar bergerak melalui peristiwa berkali-kali

dengan semakin lengkap pengalaman.

3. Pembelajaran untuk mendaftar langkah-langkah dalam prosedur.

Setelah siswa melihat langkah-langkah yang ditunjukkan dan dipraktekkan,

mareka harus belajar untuk menggabungkan langkah-langkah keseluruhannya.

Misalnya prosedur, sebuah ingatan tentang urutan langkah-langkah dan setiap

langkah yang memerlukan mungkin mudah. Prosedur komplek akan sulit untuk

mengingat karena jumlah langkah dan kemungkinan bercabang.

Page 40: 3. Siti Rohmawati

38

4. Pembelajaran untuk memeriksa ketepatan prosedur yang sudah selesai

Bagian dari prosedur belajar adalah belajar untuk menentukan apakah telah

diterapkan dengan benar. Keterampilan ini tergantung pada pembelajaran, apakah

bisa meninjau prosedural mental dan memastikan bahwa setiap langkah dan

keputusan telah tepat.

Dalam pembelajaran matematika sering dijumpai cara pengajaran,

langkah-langkah, algoritma, atau prosedur penyelesaian permasalahan. Langkah-

langkah pengajaran termasuk dalam kategori operasi, skill atau prosedur.

Perhatikan contoh soal dan langkah-langkah penyelesaian, berikut ini.

Tentukan nilai x, jika 2x2+7 = 25 !, maka penyelesaiannya.

Langkah ke-1 2x2+7 = 25

Langkah ke-2 2x2 = 25 -7

Langkah ke-3 2x2 = 18

Langkah ke-4 x2 =

Langkah ke-5 x2 = 9

Langkah ke-6 x =√9

Langkah ke-7 x = ± 3

Kesimpulan: jadi nilai x adalah 3 atau -3

Langkah tersebut termasuk dalam kategori prosedur, operasi, skill. Langkah-

langkah tersebut merupakan pengetahuan matematika yang juga harus diajarkan

kepada siswa. Dalam praktek pembelajaran, pada umumnya siswa tidak

menyadari bahwa sebenarnya dia sedang diajarkan menerapkan skill atau

prosedur. Demikan pula, guru sering tidak menyadari bahwa dalam mengajarkan

Page 41: 3. Siti Rohmawati

39

matematika ia telah mengajarkan suatu pengetahuan yang disebut pengetahuan

prosedural.

Dari pernyataan di atas dapat dikatakan bahwa pengetahuan prosedural

merupakan pengetahuan tentang urutan kaidah-kaidah, prosedur-prosedur yang

digunakan untuk menyelesaikan soal-soal matematika. Prosedur ini dilakukan

secara bertahap dari pernyataan yang ada pada soal menuju pada tahap

selesaiannya. Salah satu ciri pengetahuan prosedural adalah adanya urutan

langkah yang akan ditempuh "sesudah suatu langkah akan diikuti langkah

berikutnya".

F. Mengaktifkan Kompetensi

Kompetensi adalah proses kognitif yang harus diaktifkan untuk

menghubungkan dunia nyata di mana masalah muncul dengan matematika dan

untuk memecahkan masalah yang diajukan. Kompetensi mewakili dimensi ketiga

dari model PISA fungsional. Untuk menilai tingkat kompetensi secara keseluruhan

dari siswa pada PISA didasarkan pada tujuh kompetensi tertentu, yang dijelaskan

di bawah ini bersama-sama dengan beberapa indikator (OECD 2003):

1. Berpikir dan penalaran.

Hal ini melibatkan mengajukan pertanyaan karakteristik matematika ("Berapa

banyak… yang ada?" "Bagaimana kita menemukan ...?"), mengetahui jenis-

jenis jawaban yang matematika tawarkan untuk beberapa pertanyaan,

membedakan antara berbagai jenis pernyataan (definisi, teorema, dugaan ,

hipotesis, contoh, pernyataan dikondisikan), pemahaman, penanganan luas dan

batas-batas konsep-konsep matematis yang diberikan.

Page 42: 3. Siti Rohmawati

40

2. Argumentasi.

Hal ini melibatkan mengetahui apa bukti-bukti matematika dan bagaimana

mereka berbeda dari jenis lain dari penalaran matematika, mengikuti dan

menilai rantai argumen matematis dari jenis yang berbeda, mengembangkan

proses intuitif dan menciptakan dan mengekspresikan argumen matematika.

3. Komunikasi.

Hal ini melibatkan mengekspresikan diri, dalam berbagai cara, tentang hal-hal

dengan kandungan matematika, secara lisan maupun dalam bentuk tertulis,

dan pemahaman tulisan orang lain atau keterangan lisan tentang hal-hal seperti

itu.

4. Pemodelan.

Hal ini melibatkan penataan situasi untuk dimodelkan; menerjemahkan

"realitas" ke dalam struktur matematika, bekerja dengan model matematika;

memvalidasi model; mencerminkan, menganalisis dan menawarkan kritik

terhadap model dan hasil-hasilnya; berkomunikasi secara efektif tentang

model dan hasil nya ( termasuk keterbatasan hasil tersebut) dan pemantauan

dan pengendalian proses pemodelan.

5. Berpose dan pemecahan masalah.

Ini melibatkan berpose, merumuskan dan mendefinisikan berbagai jenis

masalah matematika dan memecahkan berbagai jenis masalah dalam berbagai

cara.

Page 43: 3. Siti Rohmawati

41

6. Representasi.

Ini melibatkan decoding dan encoding, menerjemahkan, menafsirkan dan

membedakan antara berbagai bentuk representasi objek matematika dan

situasi dan keterkaitan antara berbagai representasi; memilih dan beralih di

antara berbagai bentuk representasi, sesuai dengan situasi dan tujuan.

7. Menggunakan simbolis, bahasa formal dan teknis dan operasi.

Ini melibatkan decoding dan menafsirkan bahasa simbolik dan formal dan

pemahaman hubungannya dengan bahasa alami; menerjemahkan dari bahasa

alami ke bahasa simbolis / formal; laporan penanganan dan ekspresi yang

mengandung simbol-simbol dan rumus, menggunakan variabel, memecahkan

persamaan dan perhitungan usaha.

Dijelaskan dalam cara ini, kompetensi bukanlah variable tugas tetapi variabel

subjek, dan untuk alasan ini, bukanlah apriori yang tidak mungkin untuk

menetapkan proses yang akan mengaktifkan siswa untuk menjawab pertanyaan

yang diajukan. Secara umum, akan mungkin untuk menghubungkan tugas dengan

berbagai proses kognitif mengingat bahwa subyek yang menyelesaikan tugas-

tugas tersebut dapat melakukannya dengan cara yang berbeda. Untuk alasan ini,

strategi diikutkan dalam desain tugas PISA melibatkan variabel tugas baru yang

mengukur kompleksitas tugas. Variabel ini mempertimbangkan tiga tingkat

kompleksitas tugas berkenaan dengan kompetensi yang dibutuhkan untuk

menyelesaikannya. OECD (2003) menggambarkan tiga tingkat dengan indikator

masing-masing sebagai berikut:

Page 44: 3. Siti Rohmawati

42

1. Reproduksi: Familiar konteks, pengetahuan yang telah digunakan, penerapan

algoritma standar, melakukan operasi sederhana, menggunakan rumus unsur.

2. Koneksi: konteks kurang akrab, menafsirkan dan menjelaskan, penanganan

dan sistem yang berbeda yang berkaitan representasi, memilih dan

menggunakan strategi untuk memecahkan masalah non-standar.

3. Refleksi: Tugas yang memerlukan pemahaman, refleksi, kreativitas,

pengetahuan yang berkaitan untuk menyelesaikan masalah yang kompleks,

generalisasi dan justifikasi hasil yang diperoleh.

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) kata aktif memiliki banyak

definisi yaitu giat (bekerja, berusaha), lebih banyak penerimaan daripada

pengeluaran, dinamis atau bertenaga (sebagai lawan statis atau lembam, mampu

beraksi dan bereaksi, mempunyai kecenderungan menyebar atau berkembang biak

(tentang penyakit, sel, dsb). Dalam konten pendidikan makna yang sesuai dengan

yang diharapkan adalah giat berusaha. Sedangkan dalam KBBI mengaktifkan

memiliki arti menjadikan aktif atau menggiatkan. Dari pengertian tersebut dapat

disimpulkan tentang arti mengaktifkan kaitannya dengan dunia pendidikan adalah

menjadikan siswa giat. Giat dalam hal ini bisa diartikan giat berusaha memahami

pelajaran yang disampaikan oleh pendidik.

Dalam makalah ini, mengaktifkan adalah menjadikan siswa giat berusaha

dalam sebuah proses tertentu.

Berdasarkan definisi yang terpapar mengaktifkan kompetensi diartikan

sebagai menjadikan siswa mampu menghubungkan dunia nyata di mana masalah

muncul dengan matematika dan untuk memecahkan masalah yang diajukan.

Page 45: 3. Siti Rohmawati

43

G. Hubungan Pengetahuan Kontektual, Konseptual dan Prosedural dalam

Mengaktifkan Kompetensi Matematika

Berdasarkan uraian di atas, bahwa pengetahuan kontekstual merupakan

pengetahuan matematika yang dikaitkan dengan kehidupan siswa sehari-hari.

Seorang siswa akan lebih mudah menerima suatu konsep matematika jika guru

dalam menjelaskan materinya itu dapat mengaitkan dalam kehidupan nyata,

dengan demikian siswa dapat menemukan konsep sendiri. Ausobel membedakan

belajar menemukan dengan belajar menerima. Pada belajar menerima, siswa

hanya menerima begitu saja pengetahuan dari gurunya, selanjutnya tinggal

menghafalkannya, tetapi pada belajar menemukan, konsep-konsep ditemukan oleh

siswa (Russefendi:1991). Jadi siswa tidak menerima langsung suatu konsep yang

dipelajarinya.

Ada perbedaan penting antara belajar bermakna dengan belajar hafalan.

Pada belajar hafalan, siswa menghafal materi yang telah dipelajarinya, tanpa

mengaitkan dengan pengetahuan relevan yang di miliki sebelumnya. Sedangkan

belajar bermaka, pengetahuan yang di miliki siswa selalu dikaitkan dengan

pengetahuan relevan yang sudah dimilikinya, sehingga materi tersebut lebih

bermakna bagi siswa.

Setelah siswa benar-benar mengetahui tentang suatu konsep pada

matematika, masalah-masalah yang diberikan oleh guru akan mudah untuk di

selesaikan dengan adanya pengetahuan prosedural. Pengetahuan prosedural

merupakan pengetahuan bagaimana melakukan sesuatu. Seperti pengetahuan

keterampilan, algoritma, teknik-teknik, dan metode-metode yang secara

Page 46: 3. Siti Rohmawati

44

keseluruhan dikenal sebagai prosedur. Ataupun dapat digambarkan sebagai

rangkaian langkah-langkah. Pengetahuan prosedural/ algoritma digunakan pada

latihan matematika. Prosedur perkalian dalam aritmetika, ketika diterapkan, hasil

umumnya adalah jawaban yang sulit ketika adanya kesalahan dalam

penghitungan. Walaupun hal ini dikerjakan dalam pengetahuan prosedural, hasil

dari pengetahuan prosedural ini seringkali menjadi pengetahuan faktual atau

konseptual. Algoritma untuk penjumlahan seluruh bilangan yang sering kita

gunakan untuk menambahkan 2 dan 2 adalah pengetahuan prosedural,

jawabannya 4 semudah pengetahuan faktual. Sekali lagi, penekanan disini adalah

berdasarkan pada pemahaman siswa dalam memahami dan menyelesaikannya

sendiri.

Seseorang yang memiliki pengetahuan prosedural mungkin didukung atau

mungkin juga tidak didukung oleh pengetahuan konseptual. Seseorang yang

memiliki pengetahuan prosedural yang tidak didukung oleh pengetahuan

konseptual digambarkan oleh Skemp (dalam White dan Mitchelmore, 1996)

sebagai mengetahui aturan-aturannya tanpa mengetahui mengapa aturan-aturan itu

bisa bekerja.

Pengetahuan kontekstual sangat berperan dalam pembentukan suatu

konsep matematika, hal ini berpengaruh pada pengetahuan konseptual yang

membawa siswa mudah menyelasaikan masalah matematika. Dengan demikian

ketiga pengetahuan tersebut (pengetahuan kontekstual, pengetahuan konseptual

dan pengetahuan procedural) saling berhubungan dalam mengaktifkan kompetensi

matematika.

Page 47: 3. Siti Rohmawati

45

BAB III

PENUTUP

A. KESIMPULAN

Penilaian kompetensi matematika (dalam hal PISA) meliputi penilaian

terhadap sejauh mana mereka memiliki pengetahuan matematika sekolah

(kontekstual, konseptual dan prosedural) yang secara produktif dapat diterapkan

dalam situasi masalah apapun (pribadi, bekerja, umum, ilmiah, dll).

Pengetahuan kontekstual, konseptual dan prosedural sangat berperan dalam

mengaktifkan kompetensi matematika. Melalui pengetahuan kontekstual, siswa

akan lebih mudah dalam menemukan suatu konsep dalam matematika.

Pengetahuan konsep dalam matematika memiliki peran penting dalam

menyelesaikan suatu pemecahan masalah yang penyelesaiannya berdasarkan

pengetahuan prosedural atau algoritma. Kesalahan konsep dalam pembelajaran

matematika mengakibatkan siswa mengalami kesulitan dalam mempelajari

materi-materi yang berkelanjutan. Dalam hal ini peran pengetahuan konsep dalam

mengaktifkan kompetensi matematika sangat dibutuhkan. Dalam menanamkan

pengetahuan konsep kepada seseorang bisa ditempuh dengan dua cara. Pertama,

kita langsung menyampaikan pengetahuan tersebut ke pada orang bersangkutan,

kedua, kita kondisikan orang itu dapat menemukan konsep dengan cara sendiri

melalui bantuan kita.

Setelah siswa dapat mengenal konsep dengan baik, maka siswa akan

mudah memahami pengetahuan prosedural melalui konsep tersebut, dengan kata

lain hubungan pengetahuan konseptual dan pengetahuan prosedural sangat erat.

45

Page 48: 3. Siti Rohmawati

46

Namun, pada kenyataannya siswa sering mengalami kesulitan dalam

menyelesaikan permasalahan dalam matematika, jika kita kaitkan permasalahan

dalam kehidupan sehari-hari. Hal ini disebabkan siswa belum benar-benar

memahami suatu konsep dalam matematika, selain siswanya, guru juga sangat

berperan dalam membentuk pemahaman terhadap suatu konsep dalam matematika

yang nantinya akan berpengaruh pada materi selanjutnya.

Page 49: 3. Siti Rohmawati

47

DAFTAR PUSTAKA

Aini, Rahmawati N dan Siswono, Tatag Y.E. (2014). “Analisis Pemahaman Siswa

SMP Dalam Menyelesaikan Masalah Aljabar Pada PISA”. MATHEdunesa

Jurnal Ilmiah Pendidikan Matematika. Volume 3 No 2 Tahun 2014. pp.

158-164.

Creemers, B. P. M., & Kyriakides, L. (2006). “A critical analysis of the current

approaches to modeling educational effectiveness: the importance of

establishing a dynamic model”. School Effectiveness and School

Improvement, 17(3), 347–366. doi:10.1080/09243450600697242.

Dahar, R. W.. (1988). Teori-teori Belajar. Jakarta: Depdikbud.

Darling-Hammond, L. (2000). “Teacher quality and student achievement: a

review of state policy evidence”. Education Policy Analysis Archives,

8(1).

Dhany, Ahmad. (2013). “PISA (Programme Internationale for Student

Assesment)”. (online)(http://dhanymatika.wordpress.com/2013/09/02/pisa-

programme-internationale-for-student-assesment/. diakses 8 oktober 2014)

Effandi, Zakaria. Norazah, Mohd Nordin dan Sabri, Ahmad. (2007). Trend

pengajaran dan pembelajaran matematik. Kuala Lumpur : Utusan

Publications & Distributors SDN BHD.

Freudenthal, H.(1983). Didactical phenomenology of mathematical structures.

Dordrecht: Reidel.

47

Page 50: 3. Siti Rohmawati

48

Hiebert, J. (1986). Conceptual and Procedural : The case of mathematics.

Hillsdale: Lawrence Erlbaum Associates.

Hudojo, H. (1990). Strategi Mengajar Belajar Matematika. Malang: IKIP

Malang.

Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. (2011). Survei Internasional PISA.

(online) (http://litbang.kemdikbud.go.id/index.php/survei-internasional-

pisa. diakses 23 September 2013).

Kyriakides, L., Campbell, R. J., & Christofidou, E. (2002). “Generating criteria

for measuring teacher effectiveness through a self-evaluation approach: a

complementary way of measuring teacher effectiveness”. School

Effectiveness and School Improvement, 11, 501–529. doi:10.1076/

sesi.11.4.501.3560.

Leikin, R., & Levav-Waynberg, A. (2007). “Exploring mathematics teacher

knowledge to explain the gap between theory-based recommendations and

school practice in the use of connecting task”. Educational Studies in

Mathematics, 66, 349–371. doi:10.1007/s10649-006-9071-z.

Matthews, P. & Rittle-Johnson, B. (2008). “In pursuit of knowledge: Comparing

self-explanations, concepts and procedures as pedagogical tools”. Journal

of Experimental Child Psychology.

Noralhuda ,Nik. Mohamed, Nik. Hasnida, Ghazali, Nor Che Md. (2014).

“Pengetahuan Konseptual dan Prosedural Dalam Pendidikan Matematik

Page 51: 3. Siti Rohmawati

49

(Conceptual and Procedural Knowledge In Mathematics Education)”.

Fakulti Pendidikan: Universiti Kebangsaan Malaysia.

OECD (2010). Pathways to Success: How knowledge and skills at age 15 shape

future lives in Canada. Paris: OECD Publications.

OECD. (2013). PISA 2012 Results in Focus. Paris: OECD Publications.

Ponte, J. P., & Chapman, O. (2006). ”Mathematics teachers’ knowledge and

practices. In A. Gutierrez & P. Boero (Eds.)”, Handbook of research on

the psychology of mathematics education. past, present and future (pp.

461–494). Rotterdam: Sense.

Rico, L. (2006). “Marco teórico de evaluación en PISA sobre matemáticas y

resolución de problemas”. Revista de Educación, extraordinario 2006, pp.

275–294.

Rittle-Johnson, B. & Alibali. (1999). “Conceptual and procedural knowledge of

mathematics: Does one lead to the other”. Journal of Educational

Psychology 91(1), 175-189.

Rittle-Johnson, B., Siegler, R.S. & Alibali. (2001). “Developing conceptual

understanding and procedural skill in mathematics: An iterative process”.

Journal of Educational Psychology 93(2), 346-362.

Rittle-Johnson, B., & Koedinger, K. R. (2005). “Designing knowledge scaffolds

to support mathematical problem solving”. Cognition and Instruction,

23(3), 313–349. doi:10.1207/s1532690xci2303_1.

Page 52: 3. Siti Rohmawati

50

Rittle-Johnson, B., & Star, J. R. (2007). “Does comparing solution methods

facilitate conceptual and procedural knowledge? An experimental study on

learning to solve equations”. Journal of Educational Psychology 99(3),

561–574.

Rittle-Johnson, B., & Star, J. R. (2009). “Compared to what? The effects of

different comparisons on conceptual knowledge and procedural flexibility

for equation solving”. Journal of Educational Psychology 101(3), 529–

544.

Rittle-Johnson, B., Star, J. R. & Durkin K. (2009). “ The important of prior

knowledge when comparing examples : Influences on conceptual and

procedural knowledge of equation solving”. Journal of Educational

Psychology 101(4), 836–852.

Sáenz, César . (2009). “The role of contextual, conceptual and procedural

knowledge in activating mathematical competencies (PISA)”. Educ Stud

Math 71:123–143 DOI 10.1007/s10649-008-9167-8.

Scriven, M. (1994). “Duties of the teacher”. Journal of Personnel Evaluation in

Education, 8, 151–184. doi:10.1007/BF00972261.

Skemp, R. (1977). The Psychologi of Learning Mathematics. Great Britain:

Penguin Books.

Star, J. R. (2000). “On the relationship between knowing and doing in procedural

learning. In B.Fishman & S. O'Connor-Divelbiss (Eds.)”. Proceedings of

Page 53: 3. Siti Rohmawati

51

the Fourth International Conference of the Learning Sciences (pp. 80-86).

Mahwah, NJ:Lawrence Erlbaum.

Sugiman, Kusumah, Y.S & Sabandar, J. (2009). “Mathematica Problem

Solving in Mathematics Realistic”. Jurnal Pendidikan Matematika

PARADIKMA, 2009 (1): 179-190.

Wardhani, Sri dan Rumiyati. (2004). “Permasalahan Kontekstual Mengenalkan

Bentuk Aljabar di SMP”. Yogyakarta : Pusat Pengembangan dan

Pemberdayaan Pendidik dan Tenaga Kependidikan (PPPPTK).

Wardhani, Sri dan Rumiyati. (2011). “Instrumen Penilaian Hasil Belajar

Matematika SMP: Belajar dari PISA dan TIMSS”. Yogyakarta :

Pusat Pengembangan dan Pemberdayaan Pendidik dan Tenaga

Kependidikan (PPPPTK) Matematika..