3738-9580-1-pb

Upload: setiawan-donnie

Post on 07-Jul-2018

214 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

  • 8/19/2019 3738-9580-1-PB

    1/23

     

    ANALISIS JURIDIS TERHADAP PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA

    PELAKU PERCOBAAN TINDAK PIDANA PERDAGANGAN ORANG 

    MENURUT UNDANG-UNDANG NOMOR 21 TAHUN 2007

    (Putusan Pengadilan Negeri Medan Nomor 1.642/Pid.B/2009/PN.Medan)

    JURNAL ILMIAH

    Diajukan Untuk Memenuhi Dan Melengkapi Syarat-Syarat Untuk

    Memperoleh Gelar Sarjana Hukum

    Oleh:

    DANIEL ANDREO

    NIM : 070200150

    DEPARTEMEN HUKUM PIDANA

    FAKULTAS HUKUM

    UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

    MEDAN

    2012

  • 8/19/2019 3738-9580-1-PB

    2/23

     

    ANALISIS JURIDIS TERHADAP PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA

    PELAKU PERCOBAAN TINDAK PIDANA PERDAGANGAN ORANG 

    MENURUT UNDANG-UNDANG NOMOR 21 TAHUN 2007

    JURNAL ILMIAH

    Diajukan Untuk Memenuhi Dan Melengkapi Syarat-Syarat Untuk

    Memperoleh Gelar Sarjana Hukum

    Oleh:

    DANIEL ANDREO

    NIM : 070200150

    DEPARTEMEN HUKUM PIDANA

    Diketahui/Disetujui Oleh:

    Ketua Departemen Hukum Pidana

    Liza Erwina SH, M.Hum 

    NIP : 19730220200212001

    Dosen Editor

    Dr. Mahmud Mulyadi, SH, M. Hum

    NIP : 197302202002121001

    FAKULTAS HUKUM

    UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

    MEDAN

    2012

  • 8/19/2019 3738-9580-1-PB

    3/23

     

    ABSTRAK

    Perdagangan orang adalah bentuk modern dari perbudakan manusia.Perdagangan orang juga merupakan salah satu bentuk perlakuan terburuk dari

     pelanggaran harkat dan martabat manusia. Makanya tindak pidana perdagangan diIndonesia telah menjadi perhatian khusus bagi aparat penegak hukum. Hal ini

    disebabkan perdagangan orang di Indonesia dilakukan dengan terorganisasi oleh pelakunya sehingga menyulitkan aparat penegak hukum untuk mengungkap

    tindak pidana perdagangan orang ini.

    Permasalahan yang diangkat dalam skripsi ini adalah mengenai pengaturantentang tindak pidana perdagangan orang dalam peraturan perundang-udangan.Peraturan tentang perdagangan orang menurut Undang-Undang Nomor 21 Tahun2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang, dan dijadikansebagai alat untuk menganalisis Putusan Pengadilan Negeri Medan Nomor1642/Pid.B/2009 PN.Mdn.

    Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang diatur dalam Undang-

    Undang No. 21 Tahun 2007 merupakan peraturan khusus ( Lex specialis) dari

    Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia. Perdagangan

    orang adalah salah satu bentuk dari pelanggaran Hak Asasi Manusia. Perdagangan

    Orang adalah tindakan perekrutan, pengangkutan, penampungan, pengiriman,

     pemindahan, dan penerimaan seseorang dengan ancaman kekerasan, penggunaan

    kekerasan, penculikan, penyekapan, pemalsuan, penipuan, penyalahgunaan

    kekerasan, atau posisi rentan, penjeratan utang atau memberi bayaran atau

    manfaat, sehingga memperoleh persetujuan dari orang yang memegang kendali

    atas orang lain tersebut, baik yang dilakukan di dalam negara maupun di luar

    negara, untuk tujuan eksploitasi atau mengakibatkan orang tereksploitasi

     Kata Kunci : Tindak Pidana Perdagangan Orang 

  • 8/19/2019 3738-9580-1-PB

    4/23

     

    1

     

    1 Sietske Altink, Stolen Lives: Trading Women Into Sex And Slavery, (New York: Harrington Park Press, 1995), hal.8. 

    dikututip dari buku Politik Perdagangan Perempuan karya Andy Yentriyani, (Yogyakarta: Galang Press, 2004), hal 18-19.

    2 Satjipto Rarjo, Membedah Hukuman Progresif, (Jakarta: Penerbit Buku Kompas, 2006). Hal. 122-12 

    A. PENDAHULUAN

    Trafficking bukanlah hal yang baru. Kasus trafficking telah dikenal sejak

    ribuan tahun yang lalu, yaitu pada masa kekaisaran Romawi yang dipimpin oleh

    Justinian, tahun 527-565M1. Pada masa itu, Justinian menulis sebuah catatan

    tentang adanya pihak yang ingin mengambil keuntungan lebih banyak dari

     prostitusi. Pihak tersebut merayu para perempuan muda miskin dengan barang-

     barang mahal. Setelah itu, mereka menyekap dan memaksa para perempuan itu

    untuk terus bekerja dalam rumah bordil selama mucikari menghendakinya

    Trafficking in person atau perdagangan manusia mungkin bagi banyak 

    kalangan merupakan hal yang sudah sering atau biasa untuk didengar oleh karena

    tingkat terjadinya trafficking yang tidak dipungkiri sering terjadi di Indonesia

    sendiri. Fenomena ini memang adalah hal yang sering menjadi pusat perhatian

     berbagai kalangan. Sebagaimana yang diketahui bahwa trafficking terhadap

    manusia adalah suatu bentuk praktek kejahatan kejam yang melanggar martabat

    manusia, serta merupakan pelanggaran terhadap hak asasi manusia paling konkrit

    yang sering memangsa mereka yang lemah secara ekonomi, sosial, politik,

    kultural, dan biologis. Banyak kalangan menyebut trafficking terhadap manusia,

    yang saat ini digunakan secara resmi di dalam Undang-Undang No.21 tahun 2007

    dengan sebutan Perdangangan Orang sebagai “the form of modern day slavery”. 

    Sebutan tersebut sangat tepat karena sesungguhnya ia adalah bentuk dari

     perbudakan manusia di zaman modern ini. Ia juga merupakan salah satu bentuk

     perlakuan kejam terburuk yang melanggar harkat dan martabat manusia.

    Penegakan hukum dewasa ini dapat dikatakan belum memenuhi harapan.,

     bukan hanya karena masalah profesionalisme aparat penegak hukum yang

    dipertanyakan tetapi juga masalah peraturan perundang-undangan serta masalah

    ketersediaan sarana dan prasarana pendukungnya2. Proses penegakan hukum tidak

    akan pernah terlepas dari upaya kebijakan politik kriminal, karena kebijakan

    kriminal atau upaya penanggulangan kejahatan itu merupakan bagian integral dari

  • 8/19/2019 3738-9580-1-PB

    5/23

     

    2

     

    3 Satjipto Rahardjo, Membedah Hukum Progresif, (Jakarta: Penerbit Buku Kompas, 2006), hal. 122-124

    4 Barda Nawai Arief, Kebijakan Hukum Pidana, Perkembangan Penyusunan Konsep KUHP Baru, (Jakarta: Kencana, 2008), hal.2 

    upaya perlindungan masyarakat (social defence) dan upaya  pencapaian

    kesejahteraan masyarakat (social welfare)3.

    Upaya penegakan hukum terkait dangan tindak pidana perdagangan orang

    ini, maka pada tanggal 19 April 2007, Lembaran Negara No. 58, Pemerintah

    Indonesia telah mengesahkan Undang-Undang tentang Pemerantasa Tindak

    Pidana Perdagangan Orang (UU PTPPO) No. 21 Tahun 2007 oleh Presiden Susilo

    Bambang Yudhoyono. Pada tanggal 19 April 2007, lahirlah Undang-Undang

    Tindak Pidana Perdagangan Orang, terbitnya undang-undang ini merupakan suatu

     prestasi, karena dianggap sangat komprehensif dan mencerminkan ketentuan yang

    diatur dalam Protokol PBB.

    Perdagangan orang (trafficking) adalah pelanggaran HAM yang paling

    kejam karena merupakan bentuk baru dari perbudakan dan tidak mengindahkan

    derajat dan martabat manusia. Di Indonesia, trafficking merupakan salah satu

    masalah kriminal yang sulit dicegah dan ditangkap pelakunya. Contoh kasus

    fenomenal yang berhasil ditangkap adalah kasus 600 anak perempuan dari

    Sumatera Utara yang dijual untuk dilacurkan ke Dumai, Kepulauan Riau.

    Sementara itu, Badan Reserse dan Kriminal Markas Besar Kepolisan Republik

    Indonesia mencatat, tahun 1999 hinggal Desember 2007 terdapat 514 kasus

    Trafficking . Meskipun Pemerintah telah menetapkan Undang-Undang No. 21 tahun

    2007 tentang pemberantasan Tindak Perdagangan Orang, masih banyak pelaku

    yang belum tertangkap. Kejahatan trafficking seringkali tak hanya berlokasi di

    negeri sendiri (Indonesia), tetapi juga melibatkan pihak asing yang bertempat di

    luar negeri (negara lain) sehingga sulit untuk diberantas. Oleh karena itu, harus

    ada kerja sama yang kuat antar negara untuk memberantas trafficking. 

  • 8/19/2019 3738-9580-1-PB

    6/23

     

    3

     

    5 Sunaryati Hartono, Penelitian Hukum di Indonesia Pada Akhir Abad ke-20, (Bandung: Rineka Cipta, 1994), hal. 105. 

    Trafficking manusia juga dikienal diseluruh dunia sebagai satu-satunya

    tindakan atau perbuatan pidana yang telah secara signifikan menjerumuskan

     jutaan korban ke dalam perbudakan dan memungkinkan jaringan kejahatan

    terorganisir untuk mengalihkan dana yang besar ke berbagai upaya

    mengoperasikan kejahatan terkait lainnya, seperti perdagangan narkotika,

     pencucian uang dan lain sebagainya yang dapat berpotensi melumpuhkan sendi-

    sendi perekonomian negara dan sistem penegak hukum. Hal ini juga yang

    menyebabkan tindak pidana perdagangan orang ini masuk kedalam kejahatan

    lintas negara.

    B. PERMASALAHAN

    1. Bagaimanakah yang dimaksud dengan konsep pertanggungjawaban pidana

    menurut perundang-undangan hukum pidana?

    2. Bagaimanakah yang dimaksud dengan tindak pidana perdagangan orang

    menurut Undang-Undang No.21 Tahun 2007?

    3. Bagaimanakah pertanggungjawaban pidana pelaku percobaan tindak 

     pidana perdagangan orang menurut Undang-Undang No.21 Tahun 2007

    (Putusan Pengadilan Negeri Medan No.1.642/Pid.B/2009/PN.Mdn)?

    C. METODE PENELITIAN

    Metode penelitian digunakan dalam suatu penelitian ilmiah. Penelitian

    ilmiah ialah penalaran yang mengikuti suatu alur berpikir atau logika yang

    tertentu dan yang menggabungkan metode induksi (empiris), karena penelitian

    ilmiah selalu menuntut pengujian dan pembuktian empiris dan hipotesis-hipotesis

    atau teori yang disusun secara deduktif 5. Metode yang digunakan dalam penelitan

    ini adalah  yuridis normatif. Metode penelitian yuridis normatif disebut juga

    sebagai penelitian doktrinal (doctrinal research) yaitu suatu penelitian yang

  • 8/19/2019 3738-9580-1-PB

    7/23

     

    4

     

    6 Amiruddin dan Zainal Asikin, Pengantar Metode Penilitian Hukum, (Jakarta: Grafitti Press, 2006), hal 118.

    7 Johnny Ibrahim, Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif , (Bandung: Citra Aditya Bakti, 2007), hal. 57. 

    menganalisis hukum baik yang tertulis di dalam buku (law as it is written in the 

    book ), maupun hukum yang diputuskan oleh hakim melalui proses pengadilan

    (law is decided by the judge through judical process)6. Penelitian hukum normatif

     berdasarkan data sekunder dan menekankan pada langkah-langkah spekulatif-

    teoritis dan analisis normatif-kualitatif.

    Adapun data yang digunakan dalam menyusun penulisan ini diperoleh dari

     penelitian kepustakaan (library research), sebagai suatu tekni pengumpulan data

    dengan memanfaatkan berbagai literatur berupa peraturan perundang-undagan,

     buku-buku, karaya-karya ilmiah, bahan kuliah, putusan pengadilan, serta sumber

    data sekunder lain yang dibahasa oleh penulis. Digunakan pendekatan yuridis

    normatif karena masalah yang diteliti berkisar mengenai keterkaitan peraturan

    yang satu dengan yang lainnya.

    Metode yang digunakan adalah metode penelitian normatif yang merupankan

     prosedur penelitian ilmiah untuk menemukan kebenaran berdasarkan logika

    keilmuan hukum dari sisi normatifnya7. Logika keilmuan yang juga dalam

     penelitian hukum normatif dibagun berdasarkan disiplin ilmiah dan cara-cara

    kerja ilmu hukum normatif, yaitu ilmu hukum yang objeknya hukum itu sendiri.

    Penelitian hukum ini dikatakan juga penelitian yang ingin menelaah sinkronisasi

    suatu peraturan perundang-undangan, yang dilakukan secara vertikal dan

    horizontal. Ditelaah secara vertikal  berarti dilihat bagaimana hirarkisnya,

    sedangkan secara horizontal adalah sejauh mana peraturan perundang-undangan

    yang mengatur pelbagai bidang itu mempunyai hubugan fungsional secara

    konsisten.

  • 8/19/2019 3738-9580-1-PB

    8/23

     

    5

     

    8 Sudarto, Hukum Pidana I, Cetakan Kedua (Semarang: Yayasan Sudarto d/s Fakultas Hukum Universitas Diponegoro), 19hal. 165.

     

    D. HASIL PENELITIAN

    1. Konsep pertanggungjawaban pidana dalam perundang-undangan hukum

     pidana

    a.  Kemampuan Bertanggung Jawab

    Untuk adanya pertanggungjawaban pidana diperlukan syarat bahwa

     pembuat mampu bertanggungjawab. Tidaklah mungkin seorang dapat

    dipertanggungjawabakan apabila ia tidak mampu bertanggung jawab.

    Pertanyaan yang muncul adalah, bilamanakah seseorang itu dikatan

    mampu bertanggung jawab? Apakah ukurannya untuk menyatakan adanya

    kemampuan bertanggung jawab itu?

    Dalam KUHP tidak ada ketentuan tentang arti kemampuan

     bertanggung jawab, yang berhubungan denga itu Pasal 44:

    “Barang siapa melakukan perbuatan yang tidak dapat

    dipertanggung-jawabkan kepadanya, karena jiwanya cacat dalam tubuhnya

    atau jiwa yang terganggu karena penyakit tindak di pidana.”

    Dari Pasal 44 tersebut dan dari beberapa pendapat sarjana hukum,

    Moeljatno menyimpulkan bahwa untuk adanya kemampuan bertanggung

     jawab harus ada:

    1) Kemampuan untuk membeda-bedakan antara perbuatan yang baik dan

    yang buruk; sesuai dengan hukum dan yang melawan hukum;

    2) Kemampuan untuk menentukan kehendaknya menurut keinsyafan

    tentang baik dan buruknya perbuatan tadi8, yang pertama adalah faktor

  • 8/19/2019 3738-9580-1-PB

    9/23

     

    6

     

    9 Ibid  

    akal, yaitu dapat membedakan atara perbuatan yang diperbolehkan dan

    yang tidak. Yang kedua adalah faktor perasaan atau kehendak, yaitu

    dapat menyusaikan tingkah lakunya dengan keinsafan atas nama yang

    diperbolehkan dan yang tidak. Sebagai konsekuensinya, tentunya

    orang yang tidak mampu menentukan kehendaknya menurut keinsafan

    tentan baik dan buruknya perbuatan tadi, dia tidak mempunyai

    kesalahan. Orang yang demikian itu tidak dapat

    dipertanggungjawabkan. Menurut Pasal 44, ketidakmampuan tersebut

    harus disebabkan alat batinya cacat atau sakit dalam tubuhnya9.

    b. Kesengajaan 

    Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (Criminiel

    Wetboek ) tahun 1809 dicantumkan :”sengaja ialah kemauan untuk

    melakukan atau tidak melakukan perbuatan-perbuatan yang dilarang

    atau diperintahkan oleh undang-XQGDQJ´_  Dalam Memorie  Van

    Toelichting (MVT) Menteri Kehakiman sewaktu pengajuan Criminiel 

    Wetboek tahun 1881 (yang menjadi Kitab Undang-Undang Hukum

    Pidana Indonesia tahun 1915), di jelaskan: “sengaja diartikan: “dengan

    Sadar dari kehendak melakukan suatu kejahatan tertentu”. Beberapa

    sarjana merumuskan de will sebagai keinginan, kemauan, kehendak,

    dan perbuatan merupakan pelaksanaan dari kehendak.  De will

    (kehendak) dapat ditujukan terhadap perbuatan yang dilarang dan

    akibat yang dilarang. Ada dua teori yang berkaitan dengan pengertian

  • 8/19/2019 3738-9580-1-PB

    10/23

     

    7

     

    10 Moeljatno, Asas-asas Hukum Pidana, Cetakan Kedua, (Jakarta: Bina Akasara, 1984), hal. 171-176.

    11 Ibid , 172-173 

    “sengaja”, yaitu teori kehendak dan teori pengetahuan atau

    Membayangkan10.

    Menurut teorei kehendak, sengaja adalah kehendak untuk 

    mewujudkan unsur-unsur delik dalam rumusan undang-undang.

    Sebagai contoh, A mengarahkan pistol kepada B dan A menembak

    Mati B; A adalah “sengaja” apbila A benar-benar menghendaki

    kematian B. Menurut teori pengetahuan atau teori membayangkan,

    manusia tidak mungkin dapat menghendaki suatu akibat karena

    manusia hanya dapat mengingiinkan, mengharapkan atau

    membayangkan adanya suatu akibat. Adalah “sengaja”apabila suatu

    akibat yang ditimbulkan karena suatu tindakan dibayangkan sebagai

    maksud tindakan itu dan karena itu tindakan yang bersangkutan

    dilakukan sesuai dengan bayangan yang terlebih dahulu telah dibuat.

    Teori ini menitik beratkan pada apa yang diketehui atau dibayangkan

    si pembuat, ialah apa yang akan terjadi pada waktu ia berbuat.

    Dari kedua teori tersebut, Moeljatno lebih cenderung kepada

    teori pengetahuan atau membayangkan. Alasannya adalah:11 Karena

    dalam kehendak dengan sendirinya diliputi pengetahuan. Sebab untuk

    menghendaki sesuatu, orang lebih dahulu sudah harus mempunyai

     pengetahuan (gambaran) tentang sesuatu itu. Tapi apa yang diketahui

    seseorang belum tentu saja dikehendaki olehnya.

  • 8/19/2019 3738-9580-1-PB

    11/23

     

    8

     

    12 Ibid , hal. 174-175. 

    Lagi pula kehendak merupakan arah, maksud atau tujuan, hal

    mana berhubungan dengan motif (alasan pendorong untuk berbuat)

    dan tujuan perbuatannya.

    Konsekuensinya ialah, bahwa ia menentukan sesuatu perbuatan

    yang dikehendaki oleh terdakwa, maka (1) harus dibuktikan bahwa

     perbuatan itu sesuai dengan motifnya untuk berbuat dan tujuan yang

    hendak dicapai; (2) antara motif, perbuatan dan tujuan harus ada

    hubungan kausal dalam batin terdakwa.

    Dari uraian tersebut, pembuktian terhadap teori kehendak itu

    tidak mudah dan memakan banyak waktu dan tenaga. Lain halnya

    kalau kesengajaan diterima sebagai pengetahuan. Dalam hal ini

     pembuktian lebih singkat karena hanya berhubungan dengan unsur-

    unsur perbuatan yang dilakukannya saja. Tidak ada hubungan kausal

    antara motif dengan perbuatan. Hanya berhubungan dengan

     pertanyaan, apakah terdakwa mengetahui, menginsafi, atau mengerti

     perbuatannya, baik kelakuan yang dilakukan maupun akibat dan

    keadaan-keadaan yang menyertainya.

    Dalam perkembangannya kemudian, secara teoritis bentuk 

    kesalahan berupa kesengajaan itu dibedakan menjadi tiga corak, yaitu

    kesengajaan sebagai maksud, kesengajaan dengan sadar kepastian dan,

    kesengajaan dengan sadar kemungkinan (dolus eventualis)12.

    Perkembangan pemikiran dalam teori itu ternyata juga diikuti dalam

     praktik pengadilan pemikiran dalam teori itu ternyata juga diikuti

  • 8/19/2019 3738-9580-1-PB

    12/23

     

    9

     

    13 Ibid , hal 198. 

    dalam praktik pengadilan di Indonesia. Di dalam beberapa putusannya,

    hakim menjatuhkan putusan tidak semata-mata kesengajaan sebagai

    kepastian, tetapi juga mengikuti corak-corak yang lain. Praktek

     peradilan semacam itu sangat mendekati nilai keadilan karena hakim

    menjatuhkan putusan seusai dengan tingkat kesalahan terdakwa.

    c.  Kealpaan

    Kealpaan adalah terdakwa tidak bermaksud melanggar

    larangan udangn-undang, tetapi ia tidak mengidahkan larangan itu. Ia

    alpa, lalai, teledor dalam melakukan perbuatan tersebtu. Jadi, dalam

    kealpaan terdakwa kurang mengindahkan larangan sehingga tidak

     berhati-hati dalam melakukan sesuatu perbuatan yang obejktif kausal

    menimbulkan keadaan yang dilarang.

    Mengenai kealpaan itu, Moeljatno mengutip dari Smidt yang

    merupakan keterangan resmi dari pihak pembentuk WvS sebagai

     berikut:13

     Pada umumnnya bagi kejahatan-kejatahan wet mengharuskan

     bahwa kehendak terdakwa ditujukan pada perbuatan yang dilarang dan

    diancam pidana. Kecuali itu keadaan yang dilarang itu mungkin

    sebagian besar berbahaya terhadap keamanan umum mengenai orang

    atau barang dan jika terjadi menimbulkan banyak kerugian, sehigga

    wet harus bertindak pula terhadap mereka yang tidak berhati-hati,

    yang teledor.

  • 8/19/2019 3738-9580-1-PB

    13/23

     

    10

     

    14 Ibid

    15 Ibid, hal. 201 

    Dengan pendek, yang menimbulkan keadaan yang dilarang itu

     bukanlah menentang larangan tersebut. Dia tidak menghendaki atau

    menyetujui timbulnya hal yang dilarang, tetapi kasalahannya,

    kekeliruannya dalam batin sewaktu ia berbuat sehingga menimbulkan

    hal yang dilarang, ialah ia kurang mengindahkan larangan itu.

    Dari apa yang diutarakan di atas, Moeljatno berkesimpulan

     bahwawa kesengajaan adalah yang berlainan jenis dari kealpaan. Akan

    tetapi, dasarnya sama, yaitu adanya perbuatan yang dilarang dan

    diancam dengan pidana, adanya kemampuan bertanggungjawab, dan

    tidak adanya alasan pemaaf, tetapi bentuknya lain. Dalam kesengajaan,

    sikap batin orang menentang larangan. Dalam kealpaan, kurang

    mengindahkan larangan sehingga tidak berhati-hati dalam melakukan

    sesuatu yang objektif kausal menimbulkan keadaan yang dilarang14.

    Selanjutnya, dengan mengutip Van Hamel, Moeljatno

    mengatakan kealpaan itu mengandung dua syarat, yaitu tidak 

    mengadakan penduga-penduga sebagaimana diharuskan oleh hukum

    dan tidak mengadakan pengahati-hati sebagaimana diharuskan hukum15.

    d. Alasan Penghapusan Pidana

    Pembicaraan mengenai alasan penghapus pidana di dalam

    KUHP dimuat dalam Buku I Bab III Tentang hal-hal yang

    menghapuskan, mengurangkan atau memberatkan pengenaan pidana.

    Pembahasan selanjutnya yaitu mengenai alasan penghapus pidana,

  • 8/19/2019 3738-9580-1-PB

    14/23

     

    yaitu alasan-alasan yang memungkinkan orang yang melakukan

     perbuatan yang memenuhi rumusan delik tindak pidana.

    Memorie van Toelichting (M.v.T) mengemukakan apa yang

    Disebut “alasan-alasan tidak dapat dipertanggungjawabkan seseorang

    atau alasan-alasan tidak dapat dipidananya seseorang” M.v.T´

    menyebut 2 (dua) alasan:

    1) Alasan tidak dapat dipertanggungjawabkannya seseorang yang

    terletak pada diri orang itu, dan

    2) Alasan tidak dapat dipertanggungjawabkannya seseorang yang

    terletak di luar orang itu.

    Disamping perbedaan yang dikemukakan dalam M.v.T, ilmu

     pengetahuan hukum pidana juga mengadakan pembedaan sendiri

    terhadap alasan penghapus pidana, yaitu:

    1) Alasan penghapus pidana yang umum, yaitu yang berlaku umum

    untuk tiap-tiap delik, hal ini diatur dalam Pasal 44, 48 s/d 51

    KUHP.

    2) Alasan penghapus pidana yang khusus, yaitu yang hanya berlaku

    untuk delik-delik tertentu saja, misal Pasal 221 ayat (2) KUHP:

    “menyimpan orang yang melakukan kejahatan dan sebagainya.” Di

    sini iat tidak dituntut jika ia hendak menghindarkan penuntutan dari

    isteri, suami dan sebagainya orang-orang yang masih adal Ilmu

     pengetahuan hukum pidana juga mengadakan pembedaan lain

    terhadap alasan penghapus pidana sejalan dengan pembeedaan

  • 8/19/2019 3738-9580-1-PB

    15/23

     

    antara dapat dipidananya perbuatan dan dapat dipidananya

     pembuat. Penghapusan pidana dapat menyangkut perbuatan atau

     pembuatnya, maka dibedakan 2 (2) jenis alasan penghapus pidana

    yaitu:

    a) Alasan pembenar, dan

     b) Alasan pemaaf atau alasan penghapus kesalahan

    i. Alasan pembenar menghapuskan sifat melawan hukumnya

     perbuatan, meskipun perbuatan ini telah memenuhi

    rumusan delik dalam undang-undang. Kalau perbuatannya

    tidak bersifat melawan hukum maka tidak mungkin ada

     pemindanaan

    ii. Alasan pemaaf menyangkut pribadi si pembuat, dalam arti

     bahwa orang tidak dapat dicela atau ia tidak bersalah atau

    tidak dapat dipertanggungjawabkan, meskipun

     perbuatannya bersifat melawan hukum. Di sisi lain ada

    alasan yang menghapuskan kesalahan si pembuat,

    sehingga tidak dipidana.

    2. Tindak Pidana Perdagangan Orang Menurut Undang-Undang Nomor 21

    Tahun 2007

    Pasal 1 ayat (1) UU PTPPO berbunyi: Perdagangan orang adalah tindakan

     perekrutan, pengangkutan, penampungan, pengiriman, pemindahan, atau

     penerimaan seseorang dengan ancaman kekerasan, penggunaan kekerasan,

     penculikan, penyekapan, pemalsuan, penipuan, penyalahgunaan kekuasaan

  • 8/19/2019 3738-9580-1-PB

    16/23

     

    atau posisi rentan, penjeratan utang atau memberi bayaran atau menfaat

    sehingga memperoleh persetujuan dari orang yang memegang kendali atas

    orang lain tersebut, baik yang dilakukan di dalam negara maupun antar 

    negara, untuk tujuan eksploitasi atau mengakibatkan orang tersebtu

    terekploitasi.

    Penjelasan umum dari undang-undang ini menyebutkan bahwa perdangan

    orang adalah bentuk modern dari perbudakan manusia. Perdagangan orang

     juga merupakan salah satu bentuk perlakuan terburuk dari pelanggaran harkat

    dan martabat manusia.

    Kemajuan teknologi informasi, komunikasi dan transportasi ini

    dimanfaatkan oleh orang atau sekelompok orang utnk melakukan atau

    mengembangkan kejahatannya. Salah satu bentuk kejahatan yang berkembang

    itu adalah perbudakan atau perhambaan dalam bentuk yang baru yaitu

     perdagangan orang (trafficking), yang beroperasi secara tertutup dan

    terorganisasi dan disertai dengan semakin canggihnya peralatan dan modus

    operandinya

    3. Pertanggungjawaban Pidana Pelaku Percobaan Tindak Pidana

    Perdagangan Orang Menurut Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007

    Dikaitkan Dengan Putusan Pengadilan Negeri Medan Nomor 

    1.642/Pid.B/2009/PN.Medan

    Menganalisis Putusan Pengadilan Negeri Medan

     No. 1.642/Pid.B/2009/PN.Mdn di atas, dari sisi pelaksanaan pidana, tidak

  • 8/19/2019 3738-9580-1-PB

    17/23

     

    akan terlepas dari substansi UU, SDM aparat penegak hukum, sarana dan

     prasarana pendukung, kelompok kepentingan dalam masyarakat, dan budaya

    hukum masyarakat. Karena itu dalam mengadili dan menjatuhkan vonis,

    hakim tidak hanya berpedoman pada hukum tertulis saja (corong undang-

    undang), tapi harus memperhatikan nilai-nilai yang ada dalam hidup

    masyarakat.

    Atas dasar itu, penegakan hukum harus berpedoman pada cara-cara

     penyelesaian konflik berdasarkan aturan hukum, baik hukum tertulis (UU)

    ataupun hukum tidak tertulis (nilai-nilai yang berupa hukum adat). Tugas dari

    aparat penegak hukum sebaiknya tidak hanya sebagi penjaga ketertiban

    (social order ) yang berfungsi sebagai mulut/corong undang-undang, tetapi

    harus didasarkan pada kekuatan ratio manusia dan nilai-nilai dalam

    masyarakat, yang merupakan pengakuan atas hak asasi manusia.

    Dilihat dari segi hukum HAM, putusan terhadap pelaku harus

    memenuhi rasa keadialan masyarakat, dan nilai-nilaii yang hidup dalam

    masyarakat. Namun rasa keadilan masyarakat tidak dapat terpenuhi

    sepenuhnya, karena tindak pidana perdangangan orang yang sangat

    meresahkan dan menganggu tatanan dalam masyarakat, dalam realita juga

    didukung oleh masyarakat tertentu karena masih dianggap menguntungkan

    dari segi ekonomi (bagi pihak pelaku), tatapi secara umum TPPO harus

    diberantas.

    Karena itu, apabila putusan hakim dirasakan kurang adil dan tidak

    memenuhi rasa keadilan masyarakat, maka akan menimbulkan

  • 8/19/2019 3738-9580-1-PB

    18/23

     

    ketidakpercayaan masyarakat terhadap hukum, dan pada akhirnya akan

    menimbulkan kekacauan dan ketidakpastiaan, bahkan tidak menutupi

    kemungkinan akan terjadi peradilan jalanan.

    Selain itu prosess penegakan dan pelaksanaan hukum pidana yang

    telah dilaksanakan sebagaimana di atas, maka peranan hukum pidana tidak

    hanya berperan sebagai sarana mengatur ketertiban masyarakat (social order )

    dalam rangka menciptakan kebijakan sosial (social defence), dana baik secara

    reventif maupun refresif , maka putusan hakim akan sesuai dengan tujuan

    kebijakan hukum pidana, yaitu kesejahteraan masyarakat.

    E. PENUTUP

    1.  Kesimpulan 

    Kesimpulan yang dapat ditarik berdasarkan uraian tersebut di atas adalah:

    1. Tentang pertanggungjawaban pidana menurut perundang-undangan

    Hukum Pidana yakni untuk adanya pertanggungjawaban pidana

    diperlukan syarat bahwa pembuat mampu bertanggung jawab.

    Tidaklah mungkin seseorang dapat dipertanggungjawabkan apabila ia

    tidak mampu bertanggung jawab. Kemampuan bertanggung jawab ini

    dapat berupa kemampuan untuk membeda-bedakan antara perbuatan

    yang baik dan yang buruk; sesuai dengan hukum dan yang melawan

    hukum dan kemampuan untuk menentukan kehendaknya menurut

    keinsyafan tentang baik dan buruknya perbuatan tadi

    2. Tindak pidana perdagangan orang dalam Undang-Undang No. 21

    Tahun 2007 menurut Undang-Undang No. 21 Tahun 2007 tentang

  • 8/19/2019 3738-9580-1-PB

    19/23

     

    Tindak Pidana Perdagangan Orang adalah yang dapat dikategorikan

    sebagai pelaku tidak hanya orang namun juga dapat berupa instansi.

    Dalam aspek tindakan, yang dimaksud dengan tindak pidana

     perdagangan orang adalah seluruh atau sebagian, langsung maupun

    tidak langsung yang berhubungan dengan ketentuan perbuatan yang

    diatur dalam Pasal 2 UU No. 21 Tahun 2007 tentang Tindak Pidana

    Perdagangan Orang. Dalam aspek sanksi, terdapat dua jenis sanksi

     pokok yakni sanksi pidana penjara dan sanksi pidana denda. Selain itu

    terdapat juga sanksi tambahan dan pemberat

    3. Tentang pertanggungjawaban Pidana Pelaku percobaan dalam Putusan

     No. 1642/Pid B/2009/PN Mdn vonis selama 3 (tiga) tahun dan dendan

    Rp. 120.000.000,- (seratus dua puluh juta rupiah) terhadap terdakwa

    menurut penulis sudah sesuai dengan ketentuan dari Undang-Undang

     Nomor 21 Tahun 2007 dan tujuan dari pemidanaan, mengingat tidak

    selalu tuntutan pidana dari JPU harus dipenuhi, karena Hakim

    mempunyai dasar pertimbangan-pertimbangan dalam memutus dan

    menjatuhkan pidana kepada terdakwa, tetapi juga terhadap pengenaan

    saksi dendan sudah sesuai dengan tuntutan dan ancaman dari Pasal

    yang didakwakan. Pengenaan sanksi sebesar Rp. 120.000.000,-

    (seratus dua puluh juta) dirasakan akan menimbulkan efek jera bagi

     para perekrut/penghubung/calo/Trafickker, mengingat dendan minimal

    dari Pasal yang didakwakan adalah sama dengan yang diputuskan oleh

    hakim.

  • 8/19/2019 3738-9580-1-PB

    20/23

     

    2.  Saran

    1. Dalam menentukan kemampuan bertanggungjawab atas diri tersangka,

    aparat penegak hukum harus memperitmbangkan segala aspek baik 

     penilaian baik fisik maupun psikis yang melekat pada diri terdakwa

    sebab tidak jarang ditemukan kasus dimana terdakwa yang notabene

    masuk dalam golongan yang tidak memiliki kemampuan bertanggung

     jawab dikategorikan sebaliknya dalam proses penegakan hukum.

    2. Perlu dilakukan sosialisasi secara lebih luas atas Undang-Undang No.

    21 Tahun 2007 terhadap masyarakat, sebab berlakunya undang-undang

    ini secara kasat mata tidak memberikan perubahan yang signifikan atas

    identitas penurunan tindak pidana perdagangan orang di Indonesia.

    Hakim dalam memutus suatu perkara tindak pidana perdagangan

    orang harus benar-benar memahami maksud dan tujuan diberikannya

    hukuman dan menerapkan makna tersebut secara komprehensif tanpa

    adanya intervensi maupun kecenderungan dari pihak manapun dan dalam

    kondisi apapun.

    F. DAFTAR PUSTAKA

    Achie Sudiarti Luhilima , “Bahan Ajar Tentang Hak Perempuan”’ (Jakarta:Yayasan Obor Indonesia, 2007), hal. 38-39.

  • 8/19/2019 3738-9580-1-PB

    21/23

     

    Ahmad Sofian, Misran Lubis, dan Rustam,  Menggagas Model Penanganan Perdagangan Anak: Kasus Sumatera Utara, (Yogyakarta: Pusat StudiKependudukan dan Kebijakan UGM, 2004). Kasus ini diberitakan dalam

    harian Kompas tanggal 26 Maret 2000.

    Amiruddin dan Zainal Asikin, Pengantar Metode Penelitian Hukum, (Jakarta:Grafiti Press, 2006), hal. 118

    Andi Zaenal Abidin, Hukum Pidana I, Jakarta:Sinar Grafika, 1983, hal 260

    Barda Nawawi Arief, Kebijakan Hukum Pidana, Perkembangan Penyusunan Konsep KUHP Baru, (Jakarta: Kencana, 2008), hal. 2

    Djoko Prakoso, SH. Pembaharuan Hukum Pidana Di Indonesia. Yogyakarta:Liberty, 1987. Hal 75

    Farhana, Aspek Hukum Perdagangan Orang di Indonesia, (Jakarta: Sinar Grafika,201), hal. 1,

    Hamzah Hatrik, SH. MH. Asas Pertanggungjawaban Korporasi Dalam HukumPidana Indonesia, Jakarta:Raja Grafindo, 1996, hal 11

    Harkristuti Harkriswono, Laporan Perdagangan Indonesia, (Jakarta: Sentra HAM

    UI, 2003) hal. 60.

    Johnny Ibrahim, Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif, (Bandung:Citra Aditya Bakti, 2007), Hal. 57.

    Karen E. Bravo, “ Human Trafficking: Global and Nation Responeses To TheCries for Freedom, Article, (Westlaw: University of St. Thomas LawJournal, 2009), hal. 2

    Kathleen K. Hogan, Comment Slavery in The 21st Century and in New York:

    What Has The State Legislature Done?” Westlaw: Albany Law School,2008), hal. 2.

    Koentjaraningrat, Metode-metode Penelitan Masyarakat, (Jakarta: Prenada Media,

    1997), hal. 42.

    Lamintang. Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia. 1997. Bandung : CitraAditya.Bakti. Hlm. 536

    Loebby Loqman. 1996. Percobaan,Penyertaan Dan Gabungan Tindak Pidana.

  • 8/19/2019 3738-9580-1-PB

    22/23

     

    Moeljatno,  Asas-asas Hukum Pidana, Cetakan Kedua, (Jakarta: Bina Aksara,

    1984), hal.171-173

    Monsignor Franklyn M, “ International Trafficking in Persons: Suggested

     ́Responses to a scourge of Humankid”,, (Westlaw: Intercultural Human

    Rights Law Review, 2008), hal. 1.

    Petter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, (Jakarta: Pradnya Paramitha, 2005),hal 141

    Poerwodarminto dalam buku Adami Chazawi. 2002. Pelajaran Hukum Pidana 

     Bagian 3 Percobaan dan Penyertaan. Jakarta : Raja Grafindo Persada

    Hlm. 1

    Riduan, Metode dan Teknik Menyusun Tesis, (Bandung: Bina Cipta, 2004), hal.97.

    5 XGKL 3UDVHW\D_ ³Perkembangan Korporasi dalam Proses Modernisasi, MakalahSeminar Nasional Hukum Pidana, Semarang: Fakultas Hukum UniversitasDiponegoro. Tanggal 12-24 November 1989, hal. 12.

    Roeslan Saleh, Perbuatan Pidana dan Pertanggungjawaban Pidana, CetakanPertama, (Jakarta: Ghali Indonesia, 1982), hal. 98.

    Romli Atmasasmita, Asas-asas Perbandingan Hukum Pidana, Cetakan PertamaJakarta: Yayasan LBH, 1989, hal 79

    Satjipto Rahardjo, Membedah Hukum Progresif, (Jakarta: Penerbit Buku Kompas,

    2006), hal. 122-124

    Sietske, Altink, Stolen Lives: Trading Women Into Sex and Slavery, (New York:Harrington Park Press 1995), hal. 8. Dikutip dari buku Politik  Perdagangan Perempuan karya Andy Yentriyani, (Yogayakarta: GalangPress, 2004), hal. 18-19

    Soerjono Soekanto dan Sri Mamudi, Penelitian Hukum Normatif, Suatu Tinjauan 

    Singkat, (Jakarta: Grafitti Press, 1990), hal. 14.

    Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, (Jakarta: Grafindo, 2006), hal.225.

    Solidaritas Perempuan ( Lembaga Advokasi Buruh Migran Indonesia). HAMdalam Praktik Paduan Melawan Perdagangan Perempuan dan Anak, hal 5

  • 8/19/2019 3738-9580-1-PB

    23/23

     

    Sudarto,  Hukum Pidana I, Cetakan Kedua (Semarang: Yayasan Sudarto d/s

    Fakultas Hukum Universitas Diponegoro), 1990, hal 165.

    Sunaryati Hartono, Penelitian Hukum di Indonesia Pada Akhir Abad ke-20, (Bandung: Rineka Cipta, 1994), hal 105.

    United Nation Office on Drugs and Crime, Human Trafficking, New York, 2008

    Widya Susanty, Skirpsi, Fenomena Kekerasan Seksual Korban Trafficking, 2002,

    hal 25-26