3738-9580-1-pb
TRANSCRIPT
-
8/19/2019 3738-9580-1-PB
1/23
ANALISIS JURIDIS TERHADAP PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA
PELAKU PERCOBAAN TINDAK PIDANA PERDAGANGAN ORANG
MENURUT UNDANG-UNDANG NOMOR 21 TAHUN 2007
(Putusan Pengadilan Negeri Medan Nomor 1.642/Pid.B/2009/PN.Medan)
JURNAL ILMIAH
Diajukan Untuk Memenuhi Dan Melengkapi Syarat-Syarat Untuk
Memperoleh Gelar Sarjana Hukum
Oleh:
DANIEL ANDREO
NIM : 070200150
DEPARTEMEN HUKUM PIDANA
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
2012
-
8/19/2019 3738-9580-1-PB
2/23
ANALISIS JURIDIS TERHADAP PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA
PELAKU PERCOBAAN TINDAK PIDANA PERDAGANGAN ORANG
MENURUT UNDANG-UNDANG NOMOR 21 TAHUN 2007
JURNAL ILMIAH
Diajukan Untuk Memenuhi Dan Melengkapi Syarat-Syarat Untuk
Memperoleh Gelar Sarjana Hukum
Oleh:
DANIEL ANDREO
NIM : 070200150
DEPARTEMEN HUKUM PIDANA
Diketahui/Disetujui Oleh:
Ketua Departemen Hukum Pidana
Liza Erwina SH, M.Hum
NIP : 19730220200212001
Dosen Editor
Dr. Mahmud Mulyadi, SH, M. Hum
NIP : 197302202002121001
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
2012
-
8/19/2019 3738-9580-1-PB
3/23
ABSTRAK
Perdagangan orang adalah bentuk modern dari perbudakan manusia.Perdagangan orang juga merupakan salah satu bentuk perlakuan terburuk dari
pelanggaran harkat dan martabat manusia. Makanya tindak pidana perdagangan diIndonesia telah menjadi perhatian khusus bagi aparat penegak hukum. Hal ini
disebabkan perdagangan orang di Indonesia dilakukan dengan terorganisasi oleh pelakunya sehingga menyulitkan aparat penegak hukum untuk mengungkap
tindak pidana perdagangan orang ini.
Permasalahan yang diangkat dalam skripsi ini adalah mengenai pengaturantentang tindak pidana perdagangan orang dalam peraturan perundang-udangan.Peraturan tentang perdagangan orang menurut Undang-Undang Nomor 21 Tahun2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang, dan dijadikansebagai alat untuk menganalisis Putusan Pengadilan Negeri Medan Nomor1642/Pid.B/2009 PN.Mdn.
Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang diatur dalam Undang-
Undang No. 21 Tahun 2007 merupakan peraturan khusus ( Lex specialis) dari
Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia. Perdagangan
orang adalah salah satu bentuk dari pelanggaran Hak Asasi Manusia. Perdagangan
Orang adalah tindakan perekrutan, pengangkutan, penampungan, pengiriman,
pemindahan, dan penerimaan seseorang dengan ancaman kekerasan, penggunaan
kekerasan, penculikan, penyekapan, pemalsuan, penipuan, penyalahgunaan
kekerasan, atau posisi rentan, penjeratan utang atau memberi bayaran atau
manfaat, sehingga memperoleh persetujuan dari orang yang memegang kendali
atas orang lain tersebut, baik yang dilakukan di dalam negara maupun di luar
negara, untuk tujuan eksploitasi atau mengakibatkan orang tereksploitasi
Kata Kunci : Tindak Pidana Perdagangan Orang
-
8/19/2019 3738-9580-1-PB
4/23
1
1 Sietske Altink, Stolen Lives: Trading Women Into Sex And Slavery, (New York: Harrington Park Press, 1995), hal.8.
dikututip dari buku Politik Perdagangan Perempuan karya Andy Yentriyani, (Yogyakarta: Galang Press, 2004), hal 18-19.
2 Satjipto Rarjo, Membedah Hukuman Progresif, (Jakarta: Penerbit Buku Kompas, 2006). Hal. 122-12
A. PENDAHULUAN
Trafficking bukanlah hal yang baru. Kasus trafficking telah dikenal sejak
ribuan tahun yang lalu, yaitu pada masa kekaisaran Romawi yang dipimpin oleh
Justinian, tahun 527-565M1. Pada masa itu, Justinian menulis sebuah catatan
tentang adanya pihak yang ingin mengambil keuntungan lebih banyak dari
prostitusi. Pihak tersebut merayu para perempuan muda miskin dengan barang-
barang mahal. Setelah itu, mereka menyekap dan memaksa para perempuan itu
untuk terus bekerja dalam rumah bordil selama mucikari menghendakinya
Trafficking in person atau perdagangan manusia mungkin bagi banyak
kalangan merupakan hal yang sudah sering atau biasa untuk didengar oleh karena
tingkat terjadinya trafficking yang tidak dipungkiri sering terjadi di Indonesia
sendiri. Fenomena ini memang adalah hal yang sering menjadi pusat perhatian
berbagai kalangan. Sebagaimana yang diketahui bahwa trafficking terhadap
manusia adalah suatu bentuk praktek kejahatan kejam yang melanggar martabat
manusia, serta merupakan pelanggaran terhadap hak asasi manusia paling konkrit
yang sering memangsa mereka yang lemah secara ekonomi, sosial, politik,
kultural, dan biologis. Banyak kalangan menyebut trafficking terhadap manusia,
yang saat ini digunakan secara resmi di dalam Undang-Undang No.21 tahun 2007
dengan sebutan Perdangangan Orang sebagai “the form of modern day slavery”.
Sebutan tersebut sangat tepat karena sesungguhnya ia adalah bentuk dari
perbudakan manusia di zaman modern ini. Ia juga merupakan salah satu bentuk
perlakuan kejam terburuk yang melanggar harkat dan martabat manusia.
Penegakan hukum dewasa ini dapat dikatakan belum memenuhi harapan.,
bukan hanya karena masalah profesionalisme aparat penegak hukum yang
dipertanyakan tetapi juga masalah peraturan perundang-undangan serta masalah
ketersediaan sarana dan prasarana pendukungnya2. Proses penegakan hukum tidak
akan pernah terlepas dari upaya kebijakan politik kriminal, karena kebijakan
kriminal atau upaya penanggulangan kejahatan itu merupakan bagian integral dari
-
8/19/2019 3738-9580-1-PB
5/23
2
3 Satjipto Rahardjo, Membedah Hukum Progresif, (Jakarta: Penerbit Buku Kompas, 2006), hal. 122-124
4 Barda Nawai Arief, Kebijakan Hukum Pidana, Perkembangan Penyusunan Konsep KUHP Baru, (Jakarta: Kencana, 2008), hal.2
upaya perlindungan masyarakat (social defence) dan upaya pencapaian
kesejahteraan masyarakat (social welfare)3.
Upaya penegakan hukum terkait dangan tindak pidana perdagangan orang
ini, maka pada tanggal 19 April 2007, Lembaran Negara No. 58, Pemerintah
Indonesia telah mengesahkan Undang-Undang tentang Pemerantasa Tindak
Pidana Perdagangan Orang (UU PTPPO) No. 21 Tahun 2007 oleh Presiden Susilo
Bambang Yudhoyono. Pada tanggal 19 April 2007, lahirlah Undang-Undang
Tindak Pidana Perdagangan Orang, terbitnya undang-undang ini merupakan suatu
prestasi, karena dianggap sangat komprehensif dan mencerminkan ketentuan yang
diatur dalam Protokol PBB.
Perdagangan orang (trafficking) adalah pelanggaran HAM yang paling
kejam karena merupakan bentuk baru dari perbudakan dan tidak mengindahkan
derajat dan martabat manusia. Di Indonesia, trafficking merupakan salah satu
masalah kriminal yang sulit dicegah dan ditangkap pelakunya. Contoh kasus
fenomenal yang berhasil ditangkap adalah kasus 600 anak perempuan dari
Sumatera Utara yang dijual untuk dilacurkan ke Dumai, Kepulauan Riau.
Sementara itu, Badan Reserse dan Kriminal Markas Besar Kepolisan Republik
Indonesia mencatat, tahun 1999 hinggal Desember 2007 terdapat 514 kasus
Trafficking . Meskipun Pemerintah telah menetapkan Undang-Undang No. 21 tahun
2007 tentang pemberantasan Tindak Perdagangan Orang, masih banyak pelaku
yang belum tertangkap. Kejahatan trafficking seringkali tak hanya berlokasi di
negeri sendiri (Indonesia), tetapi juga melibatkan pihak asing yang bertempat di
luar negeri (negara lain) sehingga sulit untuk diberantas. Oleh karena itu, harus
ada kerja sama yang kuat antar negara untuk memberantas trafficking.
-
8/19/2019 3738-9580-1-PB
6/23
3
5 Sunaryati Hartono, Penelitian Hukum di Indonesia Pada Akhir Abad ke-20, (Bandung: Rineka Cipta, 1994), hal. 105.
Trafficking manusia juga dikienal diseluruh dunia sebagai satu-satunya
tindakan atau perbuatan pidana yang telah secara signifikan menjerumuskan
jutaan korban ke dalam perbudakan dan memungkinkan jaringan kejahatan
terorganisir untuk mengalihkan dana yang besar ke berbagai upaya
mengoperasikan kejahatan terkait lainnya, seperti perdagangan narkotika,
pencucian uang dan lain sebagainya yang dapat berpotensi melumpuhkan sendi-
sendi perekonomian negara dan sistem penegak hukum. Hal ini juga yang
menyebabkan tindak pidana perdagangan orang ini masuk kedalam kejahatan
lintas negara.
B. PERMASALAHAN
1. Bagaimanakah yang dimaksud dengan konsep pertanggungjawaban pidana
menurut perundang-undangan hukum pidana?
2. Bagaimanakah yang dimaksud dengan tindak pidana perdagangan orang
menurut Undang-Undang No.21 Tahun 2007?
3. Bagaimanakah pertanggungjawaban pidana pelaku percobaan tindak
pidana perdagangan orang menurut Undang-Undang No.21 Tahun 2007
(Putusan Pengadilan Negeri Medan No.1.642/Pid.B/2009/PN.Mdn)?
C. METODE PENELITIAN
Metode penelitian digunakan dalam suatu penelitian ilmiah. Penelitian
ilmiah ialah penalaran yang mengikuti suatu alur berpikir atau logika yang
tertentu dan yang menggabungkan metode induksi (empiris), karena penelitian
ilmiah selalu menuntut pengujian dan pembuktian empiris dan hipotesis-hipotesis
atau teori yang disusun secara deduktif 5. Metode yang digunakan dalam penelitan
ini adalah yuridis normatif. Metode penelitian yuridis normatif disebut juga
sebagai penelitian doktrinal (doctrinal research) yaitu suatu penelitian yang
-
8/19/2019 3738-9580-1-PB
7/23
4
6 Amiruddin dan Zainal Asikin, Pengantar Metode Penilitian Hukum, (Jakarta: Grafitti Press, 2006), hal 118.
7 Johnny Ibrahim, Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif , (Bandung: Citra Aditya Bakti, 2007), hal. 57.
menganalisis hukum baik yang tertulis di dalam buku (law as it is written in the
book ), maupun hukum yang diputuskan oleh hakim melalui proses pengadilan
(law is decided by the judge through judical process)6. Penelitian hukum normatif
berdasarkan data sekunder dan menekankan pada langkah-langkah spekulatif-
teoritis dan analisis normatif-kualitatif.
Adapun data yang digunakan dalam menyusun penulisan ini diperoleh dari
penelitian kepustakaan (library research), sebagai suatu tekni pengumpulan data
dengan memanfaatkan berbagai literatur berupa peraturan perundang-undagan,
buku-buku, karaya-karya ilmiah, bahan kuliah, putusan pengadilan, serta sumber
data sekunder lain yang dibahasa oleh penulis. Digunakan pendekatan yuridis
normatif karena masalah yang diteliti berkisar mengenai keterkaitan peraturan
yang satu dengan yang lainnya.
Metode yang digunakan adalah metode penelitian normatif yang merupankan
prosedur penelitian ilmiah untuk menemukan kebenaran berdasarkan logika
keilmuan hukum dari sisi normatifnya7. Logika keilmuan yang juga dalam
penelitian hukum normatif dibagun berdasarkan disiplin ilmiah dan cara-cara
kerja ilmu hukum normatif, yaitu ilmu hukum yang objeknya hukum itu sendiri.
Penelitian hukum ini dikatakan juga penelitian yang ingin menelaah sinkronisasi
suatu peraturan perundang-undangan, yang dilakukan secara vertikal dan
horizontal. Ditelaah secara vertikal berarti dilihat bagaimana hirarkisnya,
sedangkan secara horizontal adalah sejauh mana peraturan perundang-undangan
yang mengatur pelbagai bidang itu mempunyai hubugan fungsional secara
konsisten.
-
8/19/2019 3738-9580-1-PB
8/23
5
8 Sudarto, Hukum Pidana I, Cetakan Kedua (Semarang: Yayasan Sudarto d/s Fakultas Hukum Universitas Diponegoro), 19hal. 165.
D. HASIL PENELITIAN
1. Konsep pertanggungjawaban pidana dalam perundang-undangan hukum
pidana
a. Kemampuan Bertanggung Jawab
Untuk adanya pertanggungjawaban pidana diperlukan syarat bahwa
pembuat mampu bertanggungjawab. Tidaklah mungkin seorang dapat
dipertanggungjawabakan apabila ia tidak mampu bertanggung jawab.
Pertanyaan yang muncul adalah, bilamanakah seseorang itu dikatan
mampu bertanggung jawab? Apakah ukurannya untuk menyatakan adanya
kemampuan bertanggung jawab itu?
Dalam KUHP tidak ada ketentuan tentang arti kemampuan
bertanggung jawab, yang berhubungan denga itu Pasal 44:
“Barang siapa melakukan perbuatan yang tidak dapat
dipertanggung-jawabkan kepadanya, karena jiwanya cacat dalam tubuhnya
atau jiwa yang terganggu karena penyakit tindak di pidana.”
Dari Pasal 44 tersebut dan dari beberapa pendapat sarjana hukum,
Moeljatno menyimpulkan bahwa untuk adanya kemampuan bertanggung
jawab harus ada:
1) Kemampuan untuk membeda-bedakan antara perbuatan yang baik dan
yang buruk; sesuai dengan hukum dan yang melawan hukum;
2) Kemampuan untuk menentukan kehendaknya menurut keinsyafan
tentang baik dan buruknya perbuatan tadi8, yang pertama adalah faktor
-
8/19/2019 3738-9580-1-PB
9/23
6
9 Ibid
akal, yaitu dapat membedakan atara perbuatan yang diperbolehkan dan
yang tidak. Yang kedua adalah faktor perasaan atau kehendak, yaitu
dapat menyusaikan tingkah lakunya dengan keinsafan atas nama yang
diperbolehkan dan yang tidak. Sebagai konsekuensinya, tentunya
orang yang tidak mampu menentukan kehendaknya menurut keinsafan
tentan baik dan buruknya perbuatan tadi, dia tidak mempunyai
kesalahan. Orang yang demikian itu tidak dapat
dipertanggungjawabkan. Menurut Pasal 44, ketidakmampuan tersebut
harus disebabkan alat batinya cacat atau sakit dalam tubuhnya9.
b. Kesengajaan
Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (Criminiel
Wetboek ) tahun 1809 dicantumkan :”sengaja ialah kemauan untuk
melakukan atau tidak melakukan perbuatan-perbuatan yang dilarang
atau diperintahkan oleh undang-XQGDQJ´_ Dalam Memorie Van
Toelichting (MVT) Menteri Kehakiman sewaktu pengajuan Criminiel
Wetboek tahun 1881 (yang menjadi Kitab Undang-Undang Hukum
Pidana Indonesia tahun 1915), di jelaskan: “sengaja diartikan: “dengan
Sadar dari kehendak melakukan suatu kejahatan tertentu”. Beberapa
sarjana merumuskan de will sebagai keinginan, kemauan, kehendak,
dan perbuatan merupakan pelaksanaan dari kehendak. De will
(kehendak) dapat ditujukan terhadap perbuatan yang dilarang dan
akibat yang dilarang. Ada dua teori yang berkaitan dengan pengertian
-
8/19/2019 3738-9580-1-PB
10/23
7
10 Moeljatno, Asas-asas Hukum Pidana, Cetakan Kedua, (Jakarta: Bina Akasara, 1984), hal. 171-176.
11 Ibid , 172-173
“sengaja”, yaitu teori kehendak dan teori pengetahuan atau
Membayangkan10.
Menurut teorei kehendak, sengaja adalah kehendak untuk
mewujudkan unsur-unsur delik dalam rumusan undang-undang.
Sebagai contoh, A mengarahkan pistol kepada B dan A menembak
Mati B; A adalah “sengaja” apbila A benar-benar menghendaki
kematian B. Menurut teori pengetahuan atau teori membayangkan,
manusia tidak mungkin dapat menghendaki suatu akibat karena
manusia hanya dapat mengingiinkan, mengharapkan atau
membayangkan adanya suatu akibat. Adalah “sengaja”apabila suatu
akibat yang ditimbulkan karena suatu tindakan dibayangkan sebagai
maksud tindakan itu dan karena itu tindakan yang bersangkutan
dilakukan sesuai dengan bayangan yang terlebih dahulu telah dibuat.
Teori ini menitik beratkan pada apa yang diketehui atau dibayangkan
si pembuat, ialah apa yang akan terjadi pada waktu ia berbuat.
Dari kedua teori tersebut, Moeljatno lebih cenderung kepada
teori pengetahuan atau membayangkan. Alasannya adalah:11 Karena
dalam kehendak dengan sendirinya diliputi pengetahuan. Sebab untuk
menghendaki sesuatu, orang lebih dahulu sudah harus mempunyai
pengetahuan (gambaran) tentang sesuatu itu. Tapi apa yang diketahui
seseorang belum tentu saja dikehendaki olehnya.
-
8/19/2019 3738-9580-1-PB
11/23
8
12 Ibid , hal. 174-175.
Lagi pula kehendak merupakan arah, maksud atau tujuan, hal
mana berhubungan dengan motif (alasan pendorong untuk berbuat)
dan tujuan perbuatannya.
Konsekuensinya ialah, bahwa ia menentukan sesuatu perbuatan
yang dikehendaki oleh terdakwa, maka (1) harus dibuktikan bahwa
perbuatan itu sesuai dengan motifnya untuk berbuat dan tujuan yang
hendak dicapai; (2) antara motif, perbuatan dan tujuan harus ada
hubungan kausal dalam batin terdakwa.
Dari uraian tersebut, pembuktian terhadap teori kehendak itu
tidak mudah dan memakan banyak waktu dan tenaga. Lain halnya
kalau kesengajaan diterima sebagai pengetahuan. Dalam hal ini
pembuktian lebih singkat karena hanya berhubungan dengan unsur-
unsur perbuatan yang dilakukannya saja. Tidak ada hubungan kausal
antara motif dengan perbuatan. Hanya berhubungan dengan
pertanyaan, apakah terdakwa mengetahui, menginsafi, atau mengerti
perbuatannya, baik kelakuan yang dilakukan maupun akibat dan
keadaan-keadaan yang menyertainya.
Dalam perkembangannya kemudian, secara teoritis bentuk
kesalahan berupa kesengajaan itu dibedakan menjadi tiga corak, yaitu
kesengajaan sebagai maksud, kesengajaan dengan sadar kepastian dan,
kesengajaan dengan sadar kemungkinan (dolus eventualis)12.
Perkembangan pemikiran dalam teori itu ternyata juga diikuti dalam
praktik pengadilan pemikiran dalam teori itu ternyata juga diikuti
-
8/19/2019 3738-9580-1-PB
12/23
9
13 Ibid , hal 198.
dalam praktik pengadilan di Indonesia. Di dalam beberapa putusannya,
hakim menjatuhkan putusan tidak semata-mata kesengajaan sebagai
kepastian, tetapi juga mengikuti corak-corak yang lain. Praktek
peradilan semacam itu sangat mendekati nilai keadilan karena hakim
menjatuhkan putusan seusai dengan tingkat kesalahan terdakwa.
c. Kealpaan
Kealpaan adalah terdakwa tidak bermaksud melanggar
larangan udangn-undang, tetapi ia tidak mengidahkan larangan itu. Ia
alpa, lalai, teledor dalam melakukan perbuatan tersebtu. Jadi, dalam
kealpaan terdakwa kurang mengindahkan larangan sehingga tidak
berhati-hati dalam melakukan sesuatu perbuatan yang obejktif kausal
menimbulkan keadaan yang dilarang.
Mengenai kealpaan itu, Moeljatno mengutip dari Smidt yang
merupakan keterangan resmi dari pihak pembentuk WvS sebagai
berikut:13
Pada umumnnya bagi kejahatan-kejatahan wet mengharuskan
bahwa kehendak terdakwa ditujukan pada perbuatan yang dilarang dan
diancam pidana. Kecuali itu keadaan yang dilarang itu mungkin
sebagian besar berbahaya terhadap keamanan umum mengenai orang
atau barang dan jika terjadi menimbulkan banyak kerugian, sehigga
wet harus bertindak pula terhadap mereka yang tidak berhati-hati,
yang teledor.
-
8/19/2019 3738-9580-1-PB
13/23
10
14 Ibid
15 Ibid, hal. 201
Dengan pendek, yang menimbulkan keadaan yang dilarang itu
bukanlah menentang larangan tersebut. Dia tidak menghendaki atau
menyetujui timbulnya hal yang dilarang, tetapi kasalahannya,
kekeliruannya dalam batin sewaktu ia berbuat sehingga menimbulkan
hal yang dilarang, ialah ia kurang mengindahkan larangan itu.
Dari apa yang diutarakan di atas, Moeljatno berkesimpulan
bahwawa kesengajaan adalah yang berlainan jenis dari kealpaan. Akan
tetapi, dasarnya sama, yaitu adanya perbuatan yang dilarang dan
diancam dengan pidana, adanya kemampuan bertanggungjawab, dan
tidak adanya alasan pemaaf, tetapi bentuknya lain. Dalam kesengajaan,
sikap batin orang menentang larangan. Dalam kealpaan, kurang
mengindahkan larangan sehingga tidak berhati-hati dalam melakukan
sesuatu yang objektif kausal menimbulkan keadaan yang dilarang14.
Selanjutnya, dengan mengutip Van Hamel, Moeljatno
mengatakan kealpaan itu mengandung dua syarat, yaitu tidak
mengadakan penduga-penduga sebagaimana diharuskan oleh hukum
dan tidak mengadakan pengahati-hati sebagaimana diharuskan hukum15.
d. Alasan Penghapusan Pidana
Pembicaraan mengenai alasan penghapus pidana di dalam
KUHP dimuat dalam Buku I Bab III Tentang hal-hal yang
menghapuskan, mengurangkan atau memberatkan pengenaan pidana.
Pembahasan selanjutnya yaitu mengenai alasan penghapus pidana,
-
8/19/2019 3738-9580-1-PB
14/23
yaitu alasan-alasan yang memungkinkan orang yang melakukan
perbuatan yang memenuhi rumusan delik tindak pidana.
Memorie van Toelichting (M.v.T) mengemukakan apa yang
Disebut “alasan-alasan tidak dapat dipertanggungjawabkan seseorang
atau alasan-alasan tidak dapat dipidananya seseorang” M.v.T´
menyebut 2 (dua) alasan:
1) Alasan tidak dapat dipertanggungjawabkannya seseorang yang
terletak pada diri orang itu, dan
2) Alasan tidak dapat dipertanggungjawabkannya seseorang yang
terletak di luar orang itu.
Disamping perbedaan yang dikemukakan dalam M.v.T, ilmu
pengetahuan hukum pidana juga mengadakan pembedaan sendiri
terhadap alasan penghapus pidana, yaitu:
1) Alasan penghapus pidana yang umum, yaitu yang berlaku umum
untuk tiap-tiap delik, hal ini diatur dalam Pasal 44, 48 s/d 51
KUHP.
2) Alasan penghapus pidana yang khusus, yaitu yang hanya berlaku
untuk delik-delik tertentu saja, misal Pasal 221 ayat (2) KUHP:
“menyimpan orang yang melakukan kejahatan dan sebagainya.” Di
sini iat tidak dituntut jika ia hendak menghindarkan penuntutan dari
isteri, suami dan sebagainya orang-orang yang masih adal Ilmu
pengetahuan hukum pidana juga mengadakan pembedaan lain
terhadap alasan penghapus pidana sejalan dengan pembeedaan
-
8/19/2019 3738-9580-1-PB
15/23
antara dapat dipidananya perbuatan dan dapat dipidananya
pembuat. Penghapusan pidana dapat menyangkut perbuatan atau
pembuatnya, maka dibedakan 2 (2) jenis alasan penghapus pidana
yaitu:
a) Alasan pembenar, dan
b) Alasan pemaaf atau alasan penghapus kesalahan
i. Alasan pembenar menghapuskan sifat melawan hukumnya
perbuatan, meskipun perbuatan ini telah memenuhi
rumusan delik dalam undang-undang. Kalau perbuatannya
tidak bersifat melawan hukum maka tidak mungkin ada
pemindanaan
ii. Alasan pemaaf menyangkut pribadi si pembuat, dalam arti
bahwa orang tidak dapat dicela atau ia tidak bersalah atau
tidak dapat dipertanggungjawabkan, meskipun
perbuatannya bersifat melawan hukum. Di sisi lain ada
alasan yang menghapuskan kesalahan si pembuat,
sehingga tidak dipidana.
2. Tindak Pidana Perdagangan Orang Menurut Undang-Undang Nomor 21
Tahun 2007
Pasal 1 ayat (1) UU PTPPO berbunyi: Perdagangan orang adalah tindakan
perekrutan, pengangkutan, penampungan, pengiriman, pemindahan, atau
penerimaan seseorang dengan ancaman kekerasan, penggunaan kekerasan,
penculikan, penyekapan, pemalsuan, penipuan, penyalahgunaan kekuasaan
-
8/19/2019 3738-9580-1-PB
16/23
atau posisi rentan, penjeratan utang atau memberi bayaran atau menfaat
sehingga memperoleh persetujuan dari orang yang memegang kendali atas
orang lain tersebut, baik yang dilakukan di dalam negara maupun antar
negara, untuk tujuan eksploitasi atau mengakibatkan orang tersebtu
terekploitasi.
Penjelasan umum dari undang-undang ini menyebutkan bahwa perdangan
orang adalah bentuk modern dari perbudakan manusia. Perdagangan orang
juga merupakan salah satu bentuk perlakuan terburuk dari pelanggaran harkat
dan martabat manusia.
Kemajuan teknologi informasi, komunikasi dan transportasi ini
dimanfaatkan oleh orang atau sekelompok orang utnk melakukan atau
mengembangkan kejahatannya. Salah satu bentuk kejahatan yang berkembang
itu adalah perbudakan atau perhambaan dalam bentuk yang baru yaitu
perdagangan orang (trafficking), yang beroperasi secara tertutup dan
terorganisasi dan disertai dengan semakin canggihnya peralatan dan modus
operandinya
3. Pertanggungjawaban Pidana Pelaku Percobaan Tindak Pidana
Perdagangan Orang Menurut Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007
Dikaitkan Dengan Putusan Pengadilan Negeri Medan Nomor
1.642/Pid.B/2009/PN.Medan
Menganalisis Putusan Pengadilan Negeri Medan
No. 1.642/Pid.B/2009/PN.Mdn di atas, dari sisi pelaksanaan pidana, tidak
-
8/19/2019 3738-9580-1-PB
17/23
akan terlepas dari substansi UU, SDM aparat penegak hukum, sarana dan
prasarana pendukung, kelompok kepentingan dalam masyarakat, dan budaya
hukum masyarakat. Karena itu dalam mengadili dan menjatuhkan vonis,
hakim tidak hanya berpedoman pada hukum tertulis saja (corong undang-
undang), tapi harus memperhatikan nilai-nilai yang ada dalam hidup
masyarakat.
Atas dasar itu, penegakan hukum harus berpedoman pada cara-cara
penyelesaian konflik berdasarkan aturan hukum, baik hukum tertulis (UU)
ataupun hukum tidak tertulis (nilai-nilai yang berupa hukum adat). Tugas dari
aparat penegak hukum sebaiknya tidak hanya sebagi penjaga ketertiban
(social order ) yang berfungsi sebagai mulut/corong undang-undang, tetapi
harus didasarkan pada kekuatan ratio manusia dan nilai-nilai dalam
masyarakat, yang merupakan pengakuan atas hak asasi manusia.
Dilihat dari segi hukum HAM, putusan terhadap pelaku harus
memenuhi rasa keadialan masyarakat, dan nilai-nilaii yang hidup dalam
masyarakat. Namun rasa keadilan masyarakat tidak dapat terpenuhi
sepenuhnya, karena tindak pidana perdangangan orang yang sangat
meresahkan dan menganggu tatanan dalam masyarakat, dalam realita juga
didukung oleh masyarakat tertentu karena masih dianggap menguntungkan
dari segi ekonomi (bagi pihak pelaku), tatapi secara umum TPPO harus
diberantas.
Karena itu, apabila putusan hakim dirasakan kurang adil dan tidak
memenuhi rasa keadilan masyarakat, maka akan menimbulkan
-
8/19/2019 3738-9580-1-PB
18/23
ketidakpercayaan masyarakat terhadap hukum, dan pada akhirnya akan
menimbulkan kekacauan dan ketidakpastiaan, bahkan tidak menutupi
kemungkinan akan terjadi peradilan jalanan.
Selain itu prosess penegakan dan pelaksanaan hukum pidana yang
telah dilaksanakan sebagaimana di atas, maka peranan hukum pidana tidak
hanya berperan sebagai sarana mengatur ketertiban masyarakat (social order )
dalam rangka menciptakan kebijakan sosial (social defence), dana baik secara
reventif maupun refresif , maka putusan hakim akan sesuai dengan tujuan
kebijakan hukum pidana, yaitu kesejahteraan masyarakat.
E. PENUTUP
1. Kesimpulan
Kesimpulan yang dapat ditarik berdasarkan uraian tersebut di atas adalah:
1. Tentang pertanggungjawaban pidana menurut perundang-undangan
Hukum Pidana yakni untuk adanya pertanggungjawaban pidana
diperlukan syarat bahwa pembuat mampu bertanggung jawab.
Tidaklah mungkin seseorang dapat dipertanggungjawabkan apabila ia
tidak mampu bertanggung jawab. Kemampuan bertanggung jawab ini
dapat berupa kemampuan untuk membeda-bedakan antara perbuatan
yang baik dan yang buruk; sesuai dengan hukum dan yang melawan
hukum dan kemampuan untuk menentukan kehendaknya menurut
keinsyafan tentang baik dan buruknya perbuatan tadi
2. Tindak pidana perdagangan orang dalam Undang-Undang No. 21
Tahun 2007 menurut Undang-Undang No. 21 Tahun 2007 tentang
-
8/19/2019 3738-9580-1-PB
19/23
Tindak Pidana Perdagangan Orang adalah yang dapat dikategorikan
sebagai pelaku tidak hanya orang namun juga dapat berupa instansi.
Dalam aspek tindakan, yang dimaksud dengan tindak pidana
perdagangan orang adalah seluruh atau sebagian, langsung maupun
tidak langsung yang berhubungan dengan ketentuan perbuatan yang
diatur dalam Pasal 2 UU No. 21 Tahun 2007 tentang Tindak Pidana
Perdagangan Orang. Dalam aspek sanksi, terdapat dua jenis sanksi
pokok yakni sanksi pidana penjara dan sanksi pidana denda. Selain itu
terdapat juga sanksi tambahan dan pemberat
3. Tentang pertanggungjawaban Pidana Pelaku percobaan dalam Putusan
No. 1642/Pid B/2009/PN Mdn vonis selama 3 (tiga) tahun dan dendan
Rp. 120.000.000,- (seratus dua puluh juta rupiah) terhadap terdakwa
menurut penulis sudah sesuai dengan ketentuan dari Undang-Undang
Nomor 21 Tahun 2007 dan tujuan dari pemidanaan, mengingat tidak
selalu tuntutan pidana dari JPU harus dipenuhi, karena Hakim
mempunyai dasar pertimbangan-pertimbangan dalam memutus dan
menjatuhkan pidana kepada terdakwa, tetapi juga terhadap pengenaan
saksi dendan sudah sesuai dengan tuntutan dan ancaman dari Pasal
yang didakwakan. Pengenaan sanksi sebesar Rp. 120.000.000,-
(seratus dua puluh juta) dirasakan akan menimbulkan efek jera bagi
para perekrut/penghubung/calo/Trafickker, mengingat dendan minimal
dari Pasal yang didakwakan adalah sama dengan yang diputuskan oleh
hakim.
-
8/19/2019 3738-9580-1-PB
20/23
2. Saran
1. Dalam menentukan kemampuan bertanggungjawab atas diri tersangka,
aparat penegak hukum harus memperitmbangkan segala aspek baik
penilaian baik fisik maupun psikis yang melekat pada diri terdakwa
sebab tidak jarang ditemukan kasus dimana terdakwa yang notabene
masuk dalam golongan yang tidak memiliki kemampuan bertanggung
jawab dikategorikan sebaliknya dalam proses penegakan hukum.
2. Perlu dilakukan sosialisasi secara lebih luas atas Undang-Undang No.
21 Tahun 2007 terhadap masyarakat, sebab berlakunya undang-undang
ini secara kasat mata tidak memberikan perubahan yang signifikan atas
identitas penurunan tindak pidana perdagangan orang di Indonesia.
Hakim dalam memutus suatu perkara tindak pidana perdagangan
orang harus benar-benar memahami maksud dan tujuan diberikannya
hukuman dan menerapkan makna tersebut secara komprehensif tanpa
adanya intervensi maupun kecenderungan dari pihak manapun dan dalam
kondisi apapun.
F. DAFTAR PUSTAKA
Achie Sudiarti Luhilima , “Bahan Ajar Tentang Hak Perempuan”’ (Jakarta:Yayasan Obor Indonesia, 2007), hal. 38-39.
-
8/19/2019 3738-9580-1-PB
21/23
Ahmad Sofian, Misran Lubis, dan Rustam, Menggagas Model Penanganan Perdagangan Anak: Kasus Sumatera Utara, (Yogyakarta: Pusat StudiKependudukan dan Kebijakan UGM, 2004). Kasus ini diberitakan dalam
harian Kompas tanggal 26 Maret 2000.
Amiruddin dan Zainal Asikin, Pengantar Metode Penelitian Hukum, (Jakarta:Grafiti Press, 2006), hal. 118
Andi Zaenal Abidin, Hukum Pidana I, Jakarta:Sinar Grafika, 1983, hal 260
Barda Nawawi Arief, Kebijakan Hukum Pidana, Perkembangan Penyusunan Konsep KUHP Baru, (Jakarta: Kencana, 2008), hal. 2
Djoko Prakoso, SH. Pembaharuan Hukum Pidana Di Indonesia. Yogyakarta:Liberty, 1987. Hal 75
Farhana, Aspek Hukum Perdagangan Orang di Indonesia, (Jakarta: Sinar Grafika,201), hal. 1,
Hamzah Hatrik, SH. MH. Asas Pertanggungjawaban Korporasi Dalam HukumPidana Indonesia, Jakarta:Raja Grafindo, 1996, hal 11
Harkristuti Harkriswono, Laporan Perdagangan Indonesia, (Jakarta: Sentra HAM
UI, 2003) hal. 60.
Johnny Ibrahim, Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif, (Bandung:Citra Aditya Bakti, 2007), Hal. 57.
Karen E. Bravo, “ Human Trafficking: Global and Nation Responeses To TheCries for Freedom, Article, (Westlaw: University of St. Thomas LawJournal, 2009), hal. 2
Kathleen K. Hogan, Comment Slavery in The 21st Century and in New York:
What Has The State Legislature Done?” Westlaw: Albany Law School,2008), hal. 2.
Koentjaraningrat, Metode-metode Penelitan Masyarakat, (Jakarta: Prenada Media,
1997), hal. 42.
Lamintang. Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia. 1997. Bandung : CitraAditya.Bakti. Hlm. 536
Loebby Loqman. 1996. Percobaan,Penyertaan Dan Gabungan Tindak Pidana.
-
8/19/2019 3738-9580-1-PB
22/23
Moeljatno, Asas-asas Hukum Pidana, Cetakan Kedua, (Jakarta: Bina Aksara,
1984), hal.171-173
Monsignor Franklyn M, “ International Trafficking in Persons: Suggested
́Responses to a scourge of Humankid”,, (Westlaw: Intercultural Human
Rights Law Review, 2008), hal. 1.
Petter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, (Jakarta: Pradnya Paramitha, 2005),hal 141
Poerwodarminto dalam buku Adami Chazawi. 2002. Pelajaran Hukum Pidana
Bagian 3 Percobaan dan Penyertaan. Jakarta : Raja Grafindo Persada
Hlm. 1
Riduan, Metode dan Teknik Menyusun Tesis, (Bandung: Bina Cipta, 2004), hal.97.
5 XGKL 3UDVHW\D_ ³Perkembangan Korporasi dalam Proses Modernisasi, MakalahSeminar Nasional Hukum Pidana, Semarang: Fakultas Hukum UniversitasDiponegoro. Tanggal 12-24 November 1989, hal. 12.
Roeslan Saleh, Perbuatan Pidana dan Pertanggungjawaban Pidana, CetakanPertama, (Jakarta: Ghali Indonesia, 1982), hal. 98.
Romli Atmasasmita, Asas-asas Perbandingan Hukum Pidana, Cetakan PertamaJakarta: Yayasan LBH, 1989, hal 79
Satjipto Rahardjo, Membedah Hukum Progresif, (Jakarta: Penerbit Buku Kompas,
2006), hal. 122-124
Sietske, Altink, Stolen Lives: Trading Women Into Sex and Slavery, (New York:Harrington Park Press 1995), hal. 8. Dikutip dari buku Politik Perdagangan Perempuan karya Andy Yentriyani, (Yogayakarta: GalangPress, 2004), hal. 18-19
Soerjono Soekanto dan Sri Mamudi, Penelitian Hukum Normatif, Suatu Tinjauan
Singkat, (Jakarta: Grafitti Press, 1990), hal. 14.
Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, (Jakarta: Grafindo, 2006), hal.225.
Solidaritas Perempuan ( Lembaga Advokasi Buruh Migran Indonesia). HAMdalam Praktik Paduan Melawan Perdagangan Perempuan dan Anak, hal 5
-
8/19/2019 3738-9580-1-PB
23/23
Sudarto, Hukum Pidana I, Cetakan Kedua (Semarang: Yayasan Sudarto d/s
Fakultas Hukum Universitas Diponegoro), 1990, hal 165.
Sunaryati Hartono, Penelitian Hukum di Indonesia Pada Akhir Abad ke-20, (Bandung: Rineka Cipta, 1994), hal 105.
United Nation Office on Drugs and Crime, Human Trafficking, New York, 2008
Widya Susanty, Skirpsi, Fenomena Kekerasan Seksual Korban Trafficking, 2002,
hal 25-26