59263329 jurnal tanah dan iklim
TRANSCRIPT
Jurnal ISSN 1410-7244
TANAH DAN IKLIM Indonesian Soil and Climate Journal
Nomor 27, Juli 2008
Departemen Pertanian Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian
BALAI BESAR PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN SUMBERDAYA LAHAN PERTANIAN
Validasi Model Pendugaan Evapotranspirasi : Upaya Melengkapi Sistem Database Iklim Nasional E. Runtunuwu, H. Syahbuddin, dan A. Pramudia
Penyusunan Model Prediksi Curah Hujan dengan Teknik Analisis Jaringan Syaraf (Neural Network Analysis) di Sentra Produksi Padi di Jawa Barat dan Banten A. Pramudia, Y. Koesmaryono, I. Las, T. June, I W. Astika, dan E. Runtunuwu
Karakterisasi dan Resiliensi Tanah Terdegradasi di Lahan Kering Kalimantan Tengah M.A. Firmansyah, Sudarsono, H. Pawitan, S. Djuniwati, dan G. Djajakirana
Pengaruh Pengeringan dan Pembasahan Terhadap Sifat Kimia Tanah Sulfat Masam Kalimantan M. Noor, A. Maas, dan T. Notohadikusomo
Kelarutan Fosfat Alam dan SP-36 dalam Gambut yang Diberi Bahan Amelioran Tanah Mineral W. Hartatik dan K. Idris
Karakteristik dan Teknik Rehabilitasi Lahan Pasca Penambangan Timah di Pulau Bangka dan Singkep Santun R.P. Sitorus, E. Kusumastuti, dan L. Nurbaiti Badri
Preservation of Organic Matter as Affected by Various Clay Contents in an Acid Soil : Beneficial Impact on Groundnut Yield M. Anda, E. Suryani, S. Widati, dan U. Kurnia
13/Akred-LIPI/P2MBI/9/2006
Jurnal Tanah dan Iklim
Indonesian Soil and Climate Journal Nomor 27, Juli 2008
Terakreditasi berdasarkan Keputusan Kepala Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia No. 1417/D/2006 Ketua pengarah :
Kepala Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Sumberdaya Lahan Pertanian Ketua penyunting :
Le Istiqlal Amien Anggota penyunting :
Abdurachman Adimihardja Diah Setyorini D. Subardja Kasdi Subagyono Kusumo Nugroho Santun R.P. Sitorus Sudarsono Penyunting pelaksana :
Karmini Gandasasmita Rizatus Shofiyati Yiyi Sulaeman Widhya Adhy Mitra bestari :
Supiandi Sabiham A.M. Fagi Suyamto Hardjosuwirjo Penerbit :
Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Sumberdaya Lahan Pertanian Alamat redaksi :
Jl. Ir. H.Juanda No. 98 Bogor 16123 Telp. (0251) 323012 Fax (0251) 311256 e-mail : [email protected] www.soil-climate.or.id Frekuensi terbit :
Setahun dua kali
ISSN 1410-7244
Dari Redaksi
Jurnal Tanah dan Iklim Edisi No. 27 tahun 2008 mengetengahkan 7 judul tulisan yang ditulis oleh peneliti dari bidang tanah dan iklim baik dari lembaga penelitian, pengkajian, dan perguruan tinggi. Dalam edisi ini, topik-topik yang diketengahkan yaitu mengenai: Validasi model pendugaan evapotranspirasi di stasiun iklim Cikarawang (Bogor) dan Ciledug (Tangerang); Penyusunan model prediksi curah hujan dengan teknik analisis jaringan syaraf (neural network analysis) di sentra produksi padi di Jawa Barat dan Banten; Karakterisasi dan resiliensi tanah terdegradasi di lahan kering Kalimantan Tengah; Pengaruh pengeringan dan pembasahan terhadap sifat kimia tanah sulfat masam Kalimantan; Kelarutan fosfat alam dan SP-36 dalam gambut yang diberi bahan amelioran tanah mineral; Karakteristik dan teknik rehabilitasi lahan pasca penambangan timah di Pulau Bangka dan Singkep; dan Preservation of organic matter as affected by various clay contents in an acid soil.
Untuk memperkaya khasanah keilmuan di bidang tanah dan iklim, Redaksi mengharapkan partisipasi para pembaca untuk memberikan kontribusi dengan mengirimkan tulisan, komentar, dan saran ke Jurnal Tanah dan Iklim. Sejak tahun 2007, Jurnal Tanah dan Iklim terbit dua kali dalam bulan Juli dan Desember. Redaksi juga mengajak pembaca sekalian untuk turut menyebarluaskan hasil penelitiannya melalui jurnal ini sebagai media komunikasi ilmiah dalam bidang ilmu tanah dan agroklimat. Semoga informasi yang kami sajikan pada jurnal ini dapat bermanfaat bagi peningkatan pemahaman kita tentang sumberdaya tanah dan iklim sehingga dapat dipergunakan dengan lestari.
Bogor, Juli 2008
Redaksi
Jurnal Tanah dan Iklim Indonesian Soil and Climate Journal
Nomor 27, Juli 2008
DAFTAR ISI Halaman
Validasi Model Pendugaan Evapotranspirasi : Upaya Melengkapi Sistem Database Iklim Nasional E. Runtunuwu, H. Syahbuddin, dan A. Pramudia ..................................... 1
Penyusunan Model Prediksi Curah Hujan dengan Teknik Analisis Jaringan Syaraf (Neural Network Analysis) di Sentra Produksi Padi di Jawa Barat dan Banten A. Pramudia, Y. Koesmaryono, I. Las, T. June, I W. Astika, dan E. Runtunuwu ........................................................................................ 11
Karakterisasi dan Resiliensi Tanah Terdegradasi di Lahan Kering Kalimantan Tengah M.A. Firmansyah, Sudarsono, H. Pawitan, S. Djuniwati, dan G. Djajakirana. 21
Pengaruh Pengeringan dan Pembasahan Terhadap Sifat Kimia Tanah Sulfat Masam Kalimantan M. Noor, A. Maas, dan T. Notohadikusomo ............................................ 33
Kelarutan Fosfat Alam dan SP-36 dalam Gambut yang Diberi Bahan Amelioran Tanah Mineral W. Hartatik dan K. Idris ....................................................................... 45
Karakteristik dan Teknik Rehabilitasi Lahan Pasca Penambangan Timah di Pulau Bangka dan Singkep Santun R.P. Sitorus, E. Kusumastuti, dan L. Nurbaiti Badri ....................... 57
Preservation of Organic Matter as Affected by Various Clay Contents in an Acid Soil : Beneficial Impact on Groundnut Yield M. Anda, E. Suryani, S. Widati, dan U. Kurnia ........................................ 75
1
Validasi Model Pendugaan Evapotranspirasi: Upaya Melengkapi Sistem Database Iklim Nasional
Validation of Evapotranspiration Prediction Model: An Effort to Complete the National Climate Database System
E. RUNTUNUWU1, H. SYAHBUDDIN2, DAN A. PRAMUDIA1
ABSTRAK
Untuk mengatasi masalah keterbatasan data evapotranspirasi, hingga saat ini banyak metode pendugaan evatpotranspirasi yang telah dikembangkan. Metode tersebut umumnya dikembangkan di daerah sub tropis yang kondisi iklimnya sangat berbeda dengan Indonesia sehingga metode tersebut tidak dapat langsung diaplikasikan. Validasi terhadap metode pendugaan evapotranspirasi yaitu Blaney Criddle, Radiasi, Penman, dan evaporasi Panci telah dilakukan di Stasiun iklim Cikarawang (Bogor) dan Ciledug (Tangerang). Angka koreksi dan koefisien korelasi (r) rata-rata yang diperoleh untuk setiap metode adalah: 1,83 untuk metode Blaney Criddle (r=0,97); 1,90 untuk metode Radiasi (r=0,97); 1,10 untuk metode Penman (r=0,96), dan 1,81 untuk metode evaporasi Panci (r=0,98). Dari keempat metode tersebut, Penman merupakan metode yang terbaik karena memiliki angka koreksi terkecil. Stasiun yang memiliki data iklim lengkap sebaiknya memilih pendekatan ini sedangkan yang tidak lengkap dapat memilih metode lain sesuai dengan ketersediaan datanya karena semua metode di atas memiliki koefisien korelasi lebih dari 0,95. Angka koreksi dari metode Penman dan evaporasi Panci selanjutnya digunakan untuk menghitung evapotranspirasi aktual di Bogor dari tahun 1995-2005. Hasil penelitian ini memberikan alternatif untuk stasiun yang tidak memiliki lisimeter dapat menggunakan salah satu metode tersebut dengan mempertimbangkan data iklim yang tersedia.
Kata kunci : Blaney Criddle, Evapotranspirasi, Penman,
Evaporasi panci, Radiasi, Validasi.
ABSTRACT
To cope with limited evapotranspiration data, recently, there are many evapotranspiration estimation methods have been developed. Those methods were generally developed in sub tropic region when climate is not similar with Indonesia and the methods may not be applied directly. Validation of several estimation methods including Blaney Criddle, Radiation, Penman, and Pan Evaporation have been done in Cikarawang (Bogor) and Ciledug (Tangerang). The average correction factor and correlation coefficient (r) were respectively 1.83 for Blaney Criddle method (r = 0.97); 1.90 for Radiation method (r=0.97); 1.10 for Penman method (r=0.96), and 1.81 for Pan Evaporation method (r=0.98). Penman is the best method with regard on the smallest correction factor especially for station with complete climatic data. Since all methods have correlation coefficient of more than 0.95, those methods can be used to estimate evapotranspiration based on the available climatic data. The present study used the Penman and Pan Evaporation methods to estimate evapotranspiration in Bogor for period of 1995-2005. The study provides insight into alternative to estimate the evapotranspiration for the area with no lysimeter. The method is selected by considering the available climatic data.
Keywords : Blaney Criddle, Evapotranspiration, Penman, Pan evaporation, Radiation, Validation.
PENDAHULUAN
Tiga istilah evaporasi yang sering digunakan di dalam studi agroklimatologi adalah (1) evaporasi (Epan), yang menggambarkan jumlah air menguap dari permukaan air langsung ke atmosfir (misalnya dari danau dan sungai), (2) evapotranspirasi aktual (ETa), yang menggambarkan jumlah air pada permukaan tanah yang berubah menjadi uap air pada kondisi normal, dan (3) evapotranspirasi potensial (ETp) adalah kehilangan air yang terjadi untuk memenuhi kebutuhan vegetasi yang terjadi pada saat kondisi air tanah jenuh (Xu and Chen, 2005).
Peubah iklim yang paling sering diamati di stasiun klimatologi adalah curah hujan. Balai Penelitian Agroklimat dan Hidrologi (Balitklimat) sejak tahun 2002 telah mengembangkan sistem basisdata iklim nasional (Runtunuwu et al., 2005, 2006). Sampai saat ini, ada 2679 stasiun curah hujan/iklim yang telah tercatat di sistem database (Runtunuwu et al., 2007; Runtunuwu dan Las, 2007). Namun, dari semua data tersebut, belum ada stasiun yang secara periodik mengukur evapotranspirasi potensial ataupun aktual, padahal peubah tersebut sangat penting di dalam agroklimatologi.
Lisimeter merupakan instrumen penting yang digunakan untuk mengukur real penggunaan air oleh tanaman. Namun demikian, alat tersebut sangat mahal sehingga tidak mungkin mengukur evapotranspirasi di setiap lahan pertanian, apalagi
1. Peneliti pada Balai Penelitian Agroklimat dan Hidrologi, Bogor.
2. Peneliti pada Pusat Penelitian dan Pengembangan Perkebunan, Bogor.
ISSN 1410 – 7244
JURNAL TANAH DAN IKLIM NO. 27/2008
2
dalam jangka waktu yang sangat panjang. Oleh karena itu, banyak metode pendugaan ETp yang dikembangkan berdasarkan peubah iklim lain yang relatif lebih mudah diamati setiap hari, seperti suhu, kecepatan angin, lama peyinaran, dan radiasi matahari. Hasil penentuan ETp ini selanjutnya dikalikan dengan koefisien tanaman (Kc) untuk memperoleh Eta:
ETa = Kc * Etp ..............................................(1)
Koefisien tanaman diperoleh baik secara empiris berdasarkan fase pertumbuhan, tanah, dan karakteristik iklim (Testi, et al. 2004; Williamsa and Ayarsb, 2005.) maupun dengan merujuk tabel Kc seperti yang telah dicatat oleh Doorenbos dan Pruit (1977) dan Allen et al. (1998).
Beberapa metode pendugaan ETp yang sering digunakan adalah metode Thornthwaite (1948, 1951), Priestly-Taylor (1972), Radiasi, Blaney Criddle, Penman, evaporasi Panci (Doorenbos and Pruitt, 1977), Brutsaert dan Stricker (1979), Morton (1983), dan Penman-Monteith (Allen et al., 1998). Kendala utama penggunaannya di negara kita adalah metode tersebut dirumuskan berdasarkan parameter iklim daerah sub tropis yang sangat berbeda dengan kondisi di Indonesia.
Kondoh (1994) dan Salazar dan Poveda (2006) telah mengaplikasikan beberapa model tersebut pada berbagai ekosistem. Xu dan Chen (2005) mengaplikasikan metode Thornthwaite di China dan memperoleh formula sebagai berikut:
Eo* = 1,04X + 0,92...................................... (2)
Dimana Eo* adalah evapotranspirasi yang sudah dikoreksi (mm), X adalah evapotranspirasi berdasarkan metode Thornthwaite (mm), 0,92 adalah titik potong dan 1,04 adalah angka koreksi.
Jensen et al. (1990) telah mengujicobakan dua puluh persamaan pendugaan ETp berdasarkan peubah iklim dan menyatakan bahwa metode
Penman-Monteith merupakan yang terbaik. Metode inipun belum dapat sepenuhnya diaplikasikan di Indonesia, karena hanya sedikit stasiun pengamatan cuaca di Indonesia yang mengamati peubah iklim secara lengkap dan kontinyu.
Sehubungan dengan masalah tersebut telah dilakukan validasi terhadap metode pendugaan evapotranspirasi, agar metode tersebut dapat diaplikasikan di daerah tropis, khususnya Indonesia. Tujuan penelitian ini adalah untuk: (a) mendapatkan angka koreksi formula pendugaan evapotranspirasi (metode Blaney Criddle, Radiasi, Penman, dan evaporasi Panci), (b) mengaplikasikan angka koreksi untuk perhitungan ETa tahun 1995-2005, sebagai upaya untuk melengkapi sistem basisdata yang dikembangkan Balitklimat. Dengan demikian, daerah yang belum memiliki lisimeter, dapat memiliki data ETa dengan menggunakan pendekatan di atas.
BAHAN DAN METODE
Tempat penelitian
Pengamatan cuaca dilakukan di dua stasiun klimatologi di Jawa Barat, yaitu Stasiun Klimatologi Cikarawang, Bogor (St. Cikarawang) pada posisi geografis 6,67º LS dan 106,75º BT dengan ketinggian 260 m dpl, dan Stasiun Klimatologi Ciledug, Tangerang (St. Ciledug) pada posisi geografis 6,219º LS dan 106,417º BT dengan ketinggian 190 m dpl.
Data yang digunakan
Data iklim yang digunakan merupakan data pengamatan lisimeter bulan Juni sampai dengan November 1996 dari St. Cikarawang dan bulan Juli sampai dengan Desember 1996 dari St. Ciledug dan data iklim periode 1995-2005. Selain data iklim iklim tersebut, penelitian ini juga menggunakan data pendukung dari Doorenbos dan Pruitt (1977).
E. RUNTUNUWU ET AL. : VALIDASI MODEL PENDUGAAN EVAPOTRANSPIRASI : UPAYA MELENGKAPI SISTEM DATABASE IKLIM NASIONAL
3
Metodologi
Penelitian dilakukan dalam empat tahap, yaitu (1) pengamatan cuaca dan evapotranspirasi, (2) analisis pendugaan evapotranspirasi, (3) validasi model, dan (4) aplikasi hasil analisis berdasarkan data iklim St. Cikarawang.
Pengamatan cuaca
Peubah iklim (Tabel 1) diamati setiap hari pada Pkl. 07.00, 12.00, dan 17.00 WIB. Peubah iklim curah hujan, suhu udara, kelembaban udara, radiasi, lama penyinaran, dan kecepatan angin diamati setiap hari secara kontinyu. Selama pengamatan berlangsung, alat lisimeter sempat mengalami kerusakan sehingga periode pengamatannya menjadi terbatas. Selain itu, panci klas A yang mengukur evaporasi hanya ada di St. Cikarawang.
Tabel 1. Peubah iklim yang diamati di stasiun Cikarawang dan stasiun Ciledug
Table 1. The observed climatic variable of Station Cikarawang and Station Ciledug
No. Peubah iklim Alat pengukur Satuan 1. Evapotranspirasi Lisimeter mm 2. Evaporasi Panci klas A mm 3. Curah hujan Ombrometer mm 4. Suhu udara Termometer °C 5. Kelembaban udara Hygrometer % 6. Radiasi Solarimeter cal cm-2 min-1
7. Lama penyinaran Cambell stokes % 8. Kecepatan angin Anenometer km jam-1
Analisis pendugaan evapotranspirasi
Data pengamatan lisimeter selanjutnya dibandingkan dengan data evapotranspirasi hasil perhitungan yang menggunakan keempat metode pendugaan yang dipublikasikan oleh Doorenbos dan Pruitt (1977). Analisis difokuskan untuk validasi keempat metode pendugaan evapotranspirasi tersebut.
a. Metode Blaney Criddle
Data utama yang diperlukan dalam metode ini adalah suhu udara. Persamaan umum yang digunakan:
ETa = c [ p ( 0,46 T + 8 )] mm hari-1................(3)
dimana:
ETa = Evapotranspirasi tanaman (mm hari-1) T = Suhu harian rata-rata per bulan (°C) p = Persentase harian rata-rata dari jumlah
panjang hari setahun, yang besarnya tergantung pada posisi lintang
c = Faktor koreksi yang tergantung pada kelembaban relatif minimum, panjang hari, dan kondisi angin pada siang hari
Selain data suhu udara, metode radiasi juga membutuhkan data pendukung berupa letak lintang, dan besaran angka koreksi (c).
b. Metode radiasi
Metode ini dipakai terutama untuk stasiun yang memiliki pengamatan suhu udara, panjang hari, dan keawanan atau radiasi. Persamaan umum yang digunakan adalah: ETa = c ( W. Rs) mm hari-1 .......................... (4)
dimana: ETa = Evapotranspirasi tanaman (mm hari-1) Rs = Radiasi gelombang pendek yang diterima
bumi, dalam satuan evaporasi ekuivalen (mm hari-1)
W = Faktor pembobot yang bergantung pada suhu udara dan ketinggian
C = Faktor koreksi yang bergantung pada kelembaban relatif dan kondisi angin pada siang hari
Penggunaan rumus Radiasi selain menggunakan data yang disebutkan di atas, juga membutuhkan posisi geografis dan faktor koreksi.
JURNAL TANAH DAN IKLIM NO. 27/2008
4
c. Metode Penman
Metode Penman membutuhkan data suhu, kelembaban, kecepatan angin, lama penyinaran dan intensitas radiasi. Selain itu juga membutuhkan data posisi geografis dan faktor koreksi (c). Bila dibandingkan dengan metode yang lain, metode Penman dianggap paling banyak membutuhkan input data. Bentuk persamaan yang dikembangkan:
ETa = c [W.Rn + (1-W).f(u).(ea-ed)] ................(5)
radiasi aerodinamik dimana: ETa = Evapotranspirasi tanaman (mm hari-1) W = Suhu udara yang dihubungkan dengan
faktor pembobot Rn = Radiasi neto yang disepadankan dengan
evaporasi (mm hari-1) f(u) = Fungsi angin (ea-ed) = Perbedaan antara tekanan uap air jenuh
pada suhu udara rata-rata dan tekanan uap air aktual di udara (mbar)
c = Faktor koreksi untuk mengimbangi pengaruh kondisi cuaca pada siang dan malam hari
d. Metode evaporasi Panci
Metode evaporasi Panci merupakan pengukuran yang melihat pengaruh radiasi, angin, suhu udara, dan kelembaban terhadap evaporasi di tempat terbuka. Evapotranspirasi tanaman dapat diperoleh dengan menggunakan rumus: ETa = Kp . Epan .............................................(6) dimana: Eta = Evapotranspirasi tanaman (mm hari-1) Kp = Koefisien panci
Validasi model
Validasi model dilakukan dengan meregresikan data evapotranspirasi hasil pengamatan dengan pendugaan melalui persamaan sederhana:
Y = mX + c .................................................(7)
dimana: Y = Mewakili ETa hasil pendugaan (mm bulan-1) X = ETa hasil pengamatan (mm bulan-1) m = Merupakan konstanta yang mewakili
gradien (slope) c = Titik potong (intercept) dari persamaan
regresi. Dalam kajian ini, titik potong c adalah nol, sehingga m menjadi angka koreksi antara data evapotranspirasi hasil pengamatan dengan pendugaan
Aplikasi
Metode Penman dan metode evaporasi Panci selanjutnya diaplikasikan untuk menghitung evapotranspirasi bulanan St. Cikarawang, Bogor, untuk periode 1995-2005. Hal ini merupakan salah satu upaya untuk melengkapi sistem database iklim nasional yang dikelola oleh Balitklimat.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Metode Blaney Criddle, Radiasi, Penman, dan Evaporasi Panci menggunakan rumput sebagai tanaman di dalam proses penyusunan formula (Doorenboss and Pruit, 1977 dan Allen et al. 1998). Demikian juga pengamatan lisimeter yang dilakukan di kedua lokasi. Oleh karena itu, evapotranspirasi yang diperoleh dari pengamatan lisimeter dan pendugaan merupakan evapotranspirasi aktual (ETa) sehingga dapat langsung dikorelasikan. Setiap metode di bawah ini membutuhkan tabel pendukung dari Doorenbos dan Pruitt (1977).
Perhitungan evapotranspirasi
a. Metode Blaney Criddle
Tabel 2 memuat hasil perhitungan ETa dengan menggunakan metode Blaney Criddle di St. Cikarawang maupun St. Ciledug.
E. RUNTUNUWU ET AL. : VALIDASI MODEL PENDUGAAN EVAPOTRANSPIRASI : UPAYA MELENGKAPI SISTEM DATABASE IKLIM NASIONAL
5
Metode Radiasi
Dengan menggunakan data hasil pengamatan di kedua lokasi, dilakukan perhitungan ETa berdasarkan metode Radiasi (Tabel 3).
Metode Penman
Hasil perhitungan ETa dengan metode ini dapat dilihat pada Tabel 4.
Metode evaporasi Panci
Hasil perhitungan ET dengan metode evaporasi Panci tertera pada Tabel 5.
Validasi model
Tabel 6 memuat rekapitulasi hasil pengamatan dan perhitungan evapotranspirasi dari semua metode yang digunakan. Data hasil pengamatan di Ciledug sempat terhenti pada bulan September karena kerusakan alat.
Data pengamatan dan hasil pendugaan evapotranspirasi yang tertera pada Tabel 6 selanjutnya diregresikan untuk mendapatkan angka koreksi. Koefisien korelasi dan angka koreksi masing-masing metode di kedua lokasi dicantumkan pada Tabel 7.
Tabel 2. Data input dan hasil perhitungan Eta dengan metode Blaney Criddle di stasiun Cikarawang dan stasiun Ciledug
Table 2. The input data and simulated Eta based on Blaney Criddle method at station Cikarawang and station Ciledug
St. Cikarawang St. Ciledug Peubah Jun Jul Agt Sep Okt Nov Jul Agt Sep Okt Nov Des
p 0,27 0,27 0,27 0,27 0,218 0,28 0,27 0,27 0,27 0,28 0,28 0,28 Rhmin 65 63 61 58 71 71 55 57 61 68 66 70 n N-1 0,73 0,43 0,88 0,83 0,42 0,56 0,69 0,72 0,65 0,42 0,44 0,37
U 1,5 1,6 1,7 1,8 1,5 1,6 2,6 2,6 21 1,7 2,2 2,1 T 26,9 26,8 26,8 27 26,18 26,6 27,7 27,4 27,3 26,7 26,9 26,1 F 5,5 5,5 5,5 5,5 5,7 5,66 5,6 5,6 5,55 5,7 5,68 4,4 C 0,7 0,75 0,75 0,8 0,8 0,83 0,5 0,75 0,8 0,8 0,83 0,83
ETa (mm hr-1) 2,2 2,30 3,40 3,60 2,80 2,60 3,50 3,50 3,70 2,60 3,20 3,20 ETa (mm bln-1) 66 71 105 108 84 78 108 108 115 81 96 99
Tabel 3. Data input dan hasil perhitungan Eta dengan metode Radiasi di stasiun Cikarawang dan stasiun Ciledug
Table 3. The input data and simulated ETa based on Radiation method at station Cikarawang and station Ciledug
St. Cikarawang St. Ciledug Peubah Jun Jul Agt Sep Okt Nop Jul Agt Sep Okt Nop Des
n 5,9 6,7 7 6,6 3,8 4,5 5,55 5,76 5,2 3,35 3,51 2,95 N 11,8 11,8 11,9 12 12,2 12,3 11,8 11,9 12 12,2 12,3 12,4
n/N 0,5 0,57 0,59 0,55 0,31 0,37 0,90 0,85 0,80 0,78 0,78 0,79 Ra 12,8 13,1 14 15 15,7 15,8 13,1 14 15 15,7 15,8 15,7
Rh rata-rata 85 84 82 83 87 88 76 77 77 84 82 85 U 1,5 1,6 1,7 1,8 1,5 1,6 2,6 2,6 2,1 1,7 2,2 4,4 T 26,9 26,8 26,8 27 26,8 26,6 27,7 27,4 27,3 26,7 26,9 26,7 Rs 6,4 6,97 7,62 7,88 6,37 6,84 6,35 6,86 6,98 6,04 6,24 5,81 W 0,77 0,77 0,77 0,77 0,77 0,77 0,77 0,76 0,76 0,76 0,76 0,75
Rs.W 4,9 5,3 5,8 6 4,9 5,23 4,89 5,21 5,30 4,59 4,74 4,36 c 0,7 0,75 0,75 0,8 0,8 0,83 0,75 0,75 0,8 0,8 0,83 0,83
Eta (mm hr-1) 2,50 2,70 3,10 3,6 2,80 3,20 2,90 3,0 3,3 2,5 2,7 2,6 ETa (mm bln-1) 75 84 96 108 87 96 90 93 99 78 81 81
JURNAL TANAH DAN IKLIM NO. 27/2008
6
Tabel 4. Data input dan hasil perhitungan Eta dengan metode Penman di stasiun Cikarawang dan stasiun Ciledug
Table 4. The input data and simulated ETa based on Penman method at station Cikarawang and station Ciledug
St. Cikarawang St. Ciledug Peubah Jun Jul Agt Sep Okt Nov Jul Agt Sep Okt Nov Des
Tmax 31,3 31,6 31,6 31,8 30,9 30,7 33,7 33,3 33,1 32,7 32,5 32 Tmin 22,4 21,9 21,8 22,1 22,6 22,5 23,4 23 23,8 23,2 22,2 23 T 26,9 26,8 26,8 27 26,8 26,6 27,7 27,4 33,1 26,7 26,9 26,1 Rhmax 96 95 95 94 95 95 88 89 87 89 89 91 Rhmin 65 63 61 61 71 71 55 57 61 68 66 70 Rh 85 84 82 83 87 88 76 77 77 84 82 85 U 130 138 147 156 130 138 225 225 181 147 190 380 n/N 0,5 0,57 0,59 0,55 0,31 0,37 0,47 0,48 0,43 0,27 0,29 0,24 Ea-ed 6,74 7,41 6,43 6,07 4,64 4,28 37,8 8,21 8,21 5,71 6,43 5,04 F(u) 0,62 0,64 0,67 0,69 0,62 0,64 0,88 0,88 0,76 0,67 0,78 1,30 1-W 0,23 0,23 0,23 0,23 0,23 0,23 0,23 0,24 0,24 0,24 0,24 0,25 Wf 0,76 0,77 0,77 0,77 0,77 0,77 0,77 0,76 0,76 0,76 0,76 0,75 Rn 4,99 4,72 4,66 4,88 4,14 4,54 5,11 5,45 5,50 4,58 4,80 4,48 c 0,95 1 1 1,10 1,10 1,15 1 1 1,10 1,10 1,15 1,15 ETo (mm hr-1) 4,07 4,71 4,58 5,19 4,22 6,81 5,03 5,15 5,43 4,30 4,98 5,21 ETo (mm bln-1) 122 146 142 156 131 204 156 160 163 133 149 162
Tabel 5. Data input dan hasil perhitungan ETa dengan metode Evaporasi panci di stasiun Cikarawang*
Table 5. The input data and simulated ETa based on Panci Evaporation method at station Cikarawang
Cikarawang Peubah Jun Jul Agt Sep Okt Nov
ET panci 3,3 3,8 4,1 4,6 4,80 3,2 c 0,85 0,85 0,85 0,85 0,85 0,85 ET (mm hr-1) 2,81 3,23 3,49 3,91 4,08 2,72 ET (mm bln-1) 84 100 108 117 126 82
* tidak ada data pengamatan evaporasi di stasiun Ciledug
Tabel 6. Evapotranspirasi hasil pengamatan dan pendugaan di stasiun Cikarawang (1) dan Ciledug (2)
Table 6. The observed and simulated Evapotranspiration at Cikarawang (1) and Ciledug (2) station
ETa pendugaan ETa pengamatan Blaney Radiasi Penman Evaporasi Bulan
1 2 1 2 1 2 1 2 1 …………………………………………… mm hr-1 ……………………………………………
Juni 4,7 -- 2,2 -- 2,5 -- 4,07 -- 2,81 Juli 5,5 3,6 2,3 3,5 2,7 2,9 4,71 5,03 3,23 Agt 7,6 4,4 3,4 3,5 3,1 3 4,58 5,15 3,49 Sep 8,4 -- 3,6 3,7 3,6 3,3 5,19 5,43 3,91 Okt 5,3 6,7 2,8 2,6 2,8 2,5 4,22 4,30 4,08 Nov 5,3 4,9 2,6 3,2 3,2 2,7 6,81 4,98 2,72 Des -- 3,5 -- 3,2 -- 2,6 -- 5,21 --
E. RUNTUNUWU ET AL. : VALIDASI MODEL PENDUGAAN EVAPOTRANSPIRASI : UPAYA MELENGKAPI SISTEM DATABASE IKLIM NASIONAL
7
Kisaran angka koreksi rata-rata yang diperoleh adalah 1,10 sampai dengan 1,90, sehingga metode yang terbaik adalah metode Penman, yang diikuti metode evaporasi Panci dan Blaney Criddle. Metode Penman dalam hal ini merupakan metode yang terbaik, tetapi konsekuensinya adalah data yang harus dilengkapi lebih banyak dibandingkan dengan metode lain. Koefisien korelasi keempat metode lebih besar dari 95%, sehingga semuanya pada dasarnya dapat digunakan tergantung pada data iklim yang tersedia.
Metode Penman-Monteith yang diunggulkan FAO (Allen et al., 1998) memiliki akurasi lebih tinggi tetapi menuntut data input yang lebih banyak. Kondisi ini memang agak sulit dipenuhi oleh instansi-
instansi pengelola stasiun iklim di Indonesia. Tetapi kerjasama antar instansi tersebut dapat meningkatkan kerapatan distribusi stasiun dan kelengkapan instrumen pengamatan peubah iklim. Adanya teknologi satelit cuaca juga merupakan salah satu cara untuk mendapatkan peubah iklim secara spasial dan temporal yang lebih detail.
Aplikasi penggunaan model
Angka koreksi untuk masing-masing metode selanjutnya dapat digunakan untuk menduga evapotranspirasi. Tabel 8 dan 9 secara berturut-turut menyajikan hasil pendugaan evapotranspirasi yang menggunakan metode Penman dan Metode
Tabel 7. Koefisien korelasi dan angka koreksi untuk setiap metode di stasiun Cikarawang dan Ciledug
Table 7. The correlation coefficient and correction factor of each method at Cikarawang and Ciledug station
Korelasi Angka koreksi No. Metode Lokasi Rata-rata Rata-rata
…….. % …….. Cikarawang 99,7 2,19 1. Blaney Criddle Ciledug 94,3 96,88 1,47 1,83
Cikarawang 99,0 2,07 2. Radiasi Ciledug 95,8 97,40 1,73 1,90
Cikarawang 96,2 1,21 3. Penman Ciledug 95,8 96,00 0,99 1,10
Cikarawang 98,3 1,81 4. Evaporasi panci Ciledug* -- 98,30 -- 1,81
* panci evaporasi tidak tersedia
Tabel 8. Hasil pendugaan evapotranspirasi periode 1995-2005 dengan menggunakan metode Penman
Table 8. The estimated evapotranspiration period of 1995-2005 based on Penman method
Tahun Jan Feb Mar Apr Mei Jun Jul Agt Sep Okt Nov Des Tahunan …………………………………………………. mm bulan-1 …………………………………………………. mm tahun-1
1995 131 134 160 173 185 161 195 234 203 201 162 156 2095 1996 138 125 180 186 196 173 190 212 217 177 177 148 2120 1997 137 143 210 155 191 204 203 233 245 265 217 211 2415 1998 203 163 188 181 190 154 144 172 208 176 152 170 2100 1999 160 132 164 181 184 187 185 226 240 202 179 149 2189 2000 138 145 168 170 180 160 192 222 233 203 169 213 2193 2001 160 129 179 190 180 156 192 225 218 190 179 202 2198 2002 150 127 209 183 182 169 184 236 226 246 197 188 2298 2003 204 136 191 183 187 199 213 231 225 226 203 164 2363 2004 192 135 191 202 179 182 192 235 227 258 208 165 2364 2005 152 162 201 192 184 168 189 219 218 220 208 162 2275
JURNAL TANAH DAN IKLIM NO. 27/2008
8
Evaporasi Panci yang diaplikasikan dengan menggunakan data iklim Stasiun Cikarawang, Bogor, Periode 1995-2005.
Pengembangan sistem database iklim nasional yang dikelola Balitklimat
Sistem database iklim nasional yang sedang dikembangkan Balitklimat, pada awalnya dibangun untuk menampilkan (a) data dan informasi iklim secara cepat berdasarkan jenis parameter, periode waktu, dan lokasi stasiun yang diinginkan, (b) distribusi stasiun pengamatan iklim/curah hujan, (c) hasil olahan data menurut satuan harian, dasarian, bulanan, tahunan, dan (d) tampilan olahan data dalam bentuk grafik, print out maupun file (Gambar 1) (Runtunuwu et al., 2005, 2006, 2007).
Dengan semakin meningkatnya kebutuhan informasi iklim dewasa ini, perlu dilakukan pengem-
bangan kualitas dan kuantitas data dan informasi iklim. Hasil penelitian ini sangat bermanfaat dalam
upaya melengkapi kebutuhan data evapotranspirasi.
Caranya adalah dengan memgintegrasikan metode-metode pendugaan evapotranspirasi lengkap dengan
angka koreksinya masing-masing ke dalam sistem
database iklim nasional. Pengguna nanti yang akan memilih metode yang akan dipakai berdasarkan
ketersediaan data iklim yang dimilikinya (Tabel 10).
Berdasarkan ketersediaan data iklim yang ada di sistem database Balitklimat, hanya ada 166 dari 2.679 stasiun yang menangani data iklim. Umumnya hanya data curah hujan dan suhu udara, sehingga walaupun metode Penman merupakan yang terbaik, metode Blaney Criddle akan lebih banyak dipilih karena hanya memerlukan data suhu udara yang relatif mudah didapatkan.
Tabel 9. Hasil pendugaan evapotranspirasi periode 1995-2005 dengan menggunakan metode evaporasi Panci
Table 9. Estimated evapotranspiration for period of 1995-2005 based on Pan evaporation method
Tahun Jan Feb Mar Apr Mei Jun Jul Agt Sep Okt Nov Des Tahunan ………………………………………………….. mm bulan-1 ………………………………………………….. mm tahun-1
1995 134 148 176 191 176 148 172 215 229 196 162 153 2099 1996 148 138 176 234 186 157 172 91 224 167 167 153 2013 1997 129 167 210 148 172 162 176 224 229 253 234 219 2323 1998 172 172 148 181 162 134 148 157 191 176 153 186 1979 1999 143 134 186 181 172 162 157 215 224 191 167 148 2079 2000 129 157 167 181 176 143 167 200 224 205 162 229 2141 2001 181 138 181 172 181 167 181 200 196 167 162 205 2132 2002 134 105 1913 167 176 162 148 200 243 234 191 176 3849 2003 215 138 181 181 181 167 176 219 205 210 200 162 2237 2004 200 157 205 224 191 167 167 205 224 224 200 167 2332 2005 143 181 200 196 172 167 172 196 210 224 210 157 2227
Tabel 10. Kebutuhan data iklim minimum yang dibutuhkan untuk pendugaan evapotranspirasi
Table 10. Minimum data requirement of evapotranspiration estimation
Data iklim No. Metode Suhu
udara Panjang
hari Lama
penyinaran Keawanan Radiasi Kelembaban
udara Kecepatan
angin Penguapan
panci 1. Blaney-Criddle √ 2. Radiasi √ √ √ √ 3. Penman √ √ √ √ √ √ 4. Evaporasi panci √
E. RUNTUNUWU ET AL. : VALIDASI MODEL PENDUGAAN EVAPOTRANSPIRASI : UPAYA MELENGKAPI SISTEM DATABASE IKLIM NASIONAL
9
KESIMPULAN
1. Angka koreksi dan koefisien korelasi (r) rata-rata yang diperoleh untuk setiap metode adalah: 1,83 untuk metode Blaney Criddle (r=0,97); 1,90 untuk metode Radiasi (r=0,97); 1,10 untuk metode Penman (r=0,96), dan 1,81 untuk metode evaporasi Panci (r=0,98). Karena angka koreksi ini diperoleh melalui perhitungan
data bulanan, maka hanya berlaku untuk perhitungan data bulanan.
2. Dari keempat metode tersebut, Penman merupakan metode yang terbaik karena memiliki angka koreksi terkecil. Stasiun yang memiliki data iklim lengkap sebaiknya memilih pendekatan ini sedangkan yang tidak lengkap dapat memilih metode lain karena semua metode tersebut memiliki koefisien korelasi lebih dari 0,95.
(a) (b)
(c)
(d)
Gambar 1. Sistem database iklim nasional yang dikelola Balitklimat : (a) distribusi stasiun secara spasial, (b) informasi nama dan lokasi stasiun, (c) tampilan data dalam bentuk grafik, dan (d) tampilan data dalam bentuk tabular
Figure 1. The national climatic database system of IAHRI :(a) spatial distribution of climatic station, (b) information of the name and location of the station, (c) graphical data, and (d) tabular data
JURNAL TANAH DAN IKLIM NO. 27/2008
10
3. Dengan mengintegrasikan formula pendugaan dan angka koreksi ke sistem database iklim nasional yang dikelola Balitklimat, data evapotranspirasi dapat dihitung berdasarkan data iklim yang tersedia.
DAFTAR PUSTAKA
Allen, R.G., L.S. Pereira, D. Raes, and M. Smith. 1998. Crop Evapotranspiration: Guidelines for computing crop water requirements. Irrigation and Drainage Paper 56, Food and Agriculture Organization of the United Nations, Rome, 300 p.
Brutsaert, W. and H. Stricker. 1979. An advection-aridity approach to estimate actual regional evapotranspiration. Water Resource 15: 443-450.
Doorenbos, J. and W.O. Pruitt. 1977. Guidelines for predicting crop water requirements. Irrigation and Drainage Paper 24 Rev. Rome. 156 p.
Jensen, M.E., R.D. Burman, and R.G. Allen. 1990. Evaporation and irrigation water requirement. ASCE Manual No. 70. American Society of Civil Engineers, New York. P. 332.
Kondoh, A. 1994. Comparison of the evapotrans-piration in Monsoon Asia estimated from different methods. J. of Japanese Assoc. Hydrol. Sci. 24:11-30.
Morton, F.I. 1983. Operational estimates of areal evapotranspiration and their significance to the science and practical hydrology. J. Hydrol 66:1-76.
Priestley, C.H.B. and R.J. Taylor. 1972. On the assessment of surface heat flux and evaporation using large-scale parameters. Monthly Weather Review 100(2):81-92.
Runtunuwu, E., E. Surmaini, W. Estiningtyas, dan Suciantini. 2005. Sistem Basis Data Sumberdaya Iklim dan Air. Hlm 39-54. dalam Buku Sistem Informasi Sumberdaya Iklim dan Air. Balai Penelitian Agroklimat dan Hidrologi. Bogor.
Runtunuwu, E., B Kartiwa, N. Pujilestari, Suciantini, dan K. Sari. 2006. Penyusunan Alat Bantu Pengambil Keputusan Pendayagunaan Sum-berdaya Iklim dan Air untuk Perencanaan Pertanian. Laporan akhir penelitian. Balai Penelitian Agroklimat dan Hidrologi. Bogor.
Runtunuwu, E., H. Syahbuddin, B. Kartiwa, dan K. Sari. 2007. Pemutakhiran dan Pendayaguna-an Sistem Informasi Sumberdaya Iklim dan Air Nasional untuk Perencanaan Pertanian. Laporan akhir penelitian. Balai Penelitian Agroklimat dan Hidrologi. Bogor.
Runtunuwu, E. dan I. Las. 2007. Penelitian Agroklimat dalam Mendukung Perencanaan Pertanian. Jurnal Sumberdaya Lahan Pertanian 1(3):33-42. Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Sumberdaya Lahan Pertanian, Bogor.
Salazar, L.F. and G. Poveda. 2006. Validation of Diverse Evapotranspiration Estimation Methods using the Long-term Water Balance in the Amazon River Basin. Pp. 815-820. In Proceedings of 8 ICSHMO, Foz do Iguaçu, Brazil, April 24-28, 2006, INPE.
Xu, C-Y. and D. Chen. 2005. Comparison of seven models for estimation of evapotranspiration and groundwater recharge using lysimeter measurement data in Germany. Hydrol. Processes. 19:3717-3734.
Testi, L., F.J. Villalobosa, and F. Orgaza. 2004. Evapotranspiration of a young irrigated olive orchard in southern Spain. Agricultural and Forest Meteorology 121(1-2):1-18.
Thornthwaite, C.W. 1948. An approach toward a rational classification of climate. Geographical Review 38:55-94.
Thornthwaite, C.W. 1951. The water balance in tropical climates. Bulletin American Meteorological Society 32(5):166-173.
Williamsa, L.E. and J.E. Ayarsb. 2005. Water use of thompson seedless grapevines as affected by the application of gibberellic acid (GA3) and trunk girdling-practices to increase berry size. Agricultural and Forest Meteorology 129(1-2):85-94.
11
Penyusunan Model Prediksi Curah Hujan dengan Teknik Analisis Jaringan Syaraf (Neural Network Analysis) di Sentra Produksi Padi di Jawa Barat dan Banten
Rainfall Prediction Modeling using Neural Network Analysis Technics at Paddy Production Centre Area in West Java and Banten
A. PRAMUDIA1, Y. KOESMARYONO2, I. LAS3, T. JUNE4, I W. ASTIKA5, DAN E. RUNTUNUWU1
ABSTRAK
Curah hujan memiliki sifat sangat berfluktuasi dan acak. Sehingga, seringkali dalam budidaya tanaman pangan, seperti padi, sulit menyesuaikan bahkan terlambat mengantisipasi perubahan curah hujan yang tiba-tiba dan ekstrim. Dengan demikian, diperlukan suatu sistem peringatan dini dalam sistem pertanaman padi. Dalam makalah ini disajikan penyusunan model prediksi curah hujan menggunakan teknik analisis jaringan syaraf di wilayah sentra produksi padi di Pantura Banten dan Pantura Jawa Barat. Data yang digunakan adalah data curah hujan stasiun Baros di Banten, serta stasiun Karawang, dan stasiun Kasomalang Subang di Jawa Barat. Keluaran model adalah nilai curah hujan tiga bulan ke depan (Y=CHt+3), sedangkan data masukan yang digunakan adalah nomor bulan (X1=t), curah hujan pada bulan sekarang (X2=CHt), curah hujan bulan depan (X3=CHt+1) dan curah hujan dua bulan berikutnya (X4=CHt+2), nilai indeks osilasi selatan pada bulan ini (X5=SOIt) dan nilai anomali suhu permukaan laut zone NINO-3,4 pada bulan ini (X6=AnoSSTt). Penyusunan model dilakukan menggunakan data tahun 1990-2002, sedangkan validasi model menggunakan data tahun 2003-2006. Model yang tervalidasi digunakan untuk prediksi curah hujan tahun 2007-2008. Model prediksi curah hujan yang disusun menggunakan teknik analisis jaringan syaraf mampu menjelaskan 88-91% keragaman data dengan maksimum kesalahan prediksi sebesar 4-8 mm bulan-1. Di Baros Serang, curah hujan tahun 2007-2008 diprediksi berada pada kondisi Normal hingga Atas Normal. Di Karawang dan Kasomalang Subang, curah hujan diprediksi akan tinggi pada akhir 2007 hingga awal 2008, kemudian rendah pada pertengahan 2008, dan meningkat lagi pada akhir 2008. Kata kunci : Model prediksi curah hujan, Analisis jaringan syaraf,
Prediksi curah hujan
ABSTRACT
Rainfall fluctuates with time and changes randomly, which unfavorable for most of the cropping, such as paddy. An early warning system is required to ensure a productive paddy cropping system. This paper describes the rainfall prediction modelling using a neural network analysis at paddy production centre area in the northern coast of Western Java and Banten. Rainfall data from Baros in the northern coast of Banten, Karawang, and Kasomalang Subang in the northern coast of West Java have been used for setting and validating the model. The model provides rainfall prediction for the next three months (Y=CHt+3), using the inputs data of the number of month (X1=t), the rainfall at the current month (X2=CHt), the rainfall at the following month (X3=CHt+1), the rainfall at the following two
months (X4=CHt+2), the southern ossilation index (SOI) at the current month (X5=SOIt) and the NINO-3,4 sea surface temperature anomaly at the current month (X6=AnoSSTt). Rainfall data recorded in the 1990-2002 period have been used for composing the model, and those in the 2003-2006 periods have been used for validating the model. The validated model has been used to predict rainfall in the 2007-2008. The best model are those that using a combination of those six input variables. These models are able to explain 88-91% of the data variability with 4-8 mm month-1 of the maximum prediction error. At Baros Serang, the predicted rainfall in the 2007-2008 periods will be varied from Normal to Above Normal. At Karawang and Kasomalang Subang, predicted rainfall will be high at the end of 2007 until early 2008, and then will be low in the middle of 2008 and increases at the end of 2008. Key words : Rainfall prediction model, Neural network analysis,
Rainfall prediction.
PENDAHULUAN
Curah hujan merupakan salah satu faktor yang menentukan keberhasilan pertumbuhan dan produksi tanaman padi, sehingga budidaya tanaman padi perlu disesuaikan terhadap fluktuasi curah hujan. Namun, karena curah hujan sangat berfluktuatif dan acak, budidaya tanaman padi seringkali sulit disesuaikan bahkan terlambat antisipasi perubahan yang tiba-tiba dan ekstrim. Sebagian tanaman padi mengalami puso karena kekeringan atau kebanjiran (Direktorat Perlindungan Tanaman Pangan (2006a,b). Untuk itu, suatu sistem peringatan dini sangat diperlukan dalam budidaya padi. Hal tersebut dapat
1. Peneliti pada Balai Penelitian Agroklimat dan Hidrologi, Bogor.
2. Guru Besar pada Departemen Geofisika dan Meteorologi, Fakultas MIPA, IPB, Bogor.
3. Peneliti pada Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Sumberdaya Lahan Pertanian, Bogor.
4. Pengajar pada Departemen Geofisika dan Meteorologi, Fakultas MIPA, IPB, Bogor.
5. Pengajar pada Departemen Keteknikan Pertanian, Fakultas Teknologi Pertanian, IPB, Bogor.
ISSN 1410 – 7244
JURNAL TANAH DAN IKLIM NO. 27/2008
12
diawali dengan membuat dan memanfaatkan model prediksi curah hujan, sehingga gambaran curah hujan beberapa periode ke depan dapat diperoleh dengan lebih awal.
Beberapa peneliti membuat model prediksi curah hujan dengan pendekatan analisis keterkaitan antar waktu maupun keterkaitan ruang antar stasiun, misalnya: regresi, ARIMA, analisis Fourier, dan analisis Kalman Filter (Askari dan Bey, 2000; Dupe, 1999; Estiningtyas dan Amien, 2006), serta pendekatan analisis keterkaitan ruang atau keterkaitan antara parameter, seperti hubungan antara curah hujan dengan anomali suhu muka laut di Nino-3,4 (Haryanto, 1999; Pramudia, 2002), dan lain sebagainya. Model-model yang disusun umumnya menggambarkan adanya ketidakseimbang-an antara aspek analisis ruang (spatial analysis) dengan analisis deret waktu (time series analysis). Model-model peramalan deret waktu umumnya cenderung tidak tajam dalam membahas aspek keterkaitan ruang. Sebaliknya pada model-model prediksi yang menggunakan analisis keterkaitan ruang antar stasiun atau analisis hubungan antar parameter umumnya diterapkan pada satu periode waktu tertentu dan mengabaikan keterkaitan deret waktu.
Metode Fourier, memiliki kemampuan yang hampir sempurna dalam memodelkan pola dari parameter terukur dalam satu periode tertentu. Metode ini menerapkan model yang sinusoidal, sehingga akan menghasilkan nilai prediksi yang sama untuk setiap waktu t pada periode mana pun. Pada kenyataannya, fluktuasi curah hujan sangat acak dan akan memiliki nilai yang berbeda dan acak meskipun pada waktu t yang sama pada periode yang berbeda. Sehingga teknik ini pun sangat berpotensi menghasilkan bias yang tidak kecil. Metode ARIMA merupakan pengembangan lebih lanjut dari model Autoregressive Moving Average (ARMA) yang berdasar pada konsep regresi linier dan keterkaitan antar waktu terhadap data yang berurutan. Kelemahan model autoregresif atau moving average seperti ini adalah tidak mampu memprediksi untuk periode yang jauh ke depan,
karena semakin jauh memprediksi hasilnya semakin konstan mendekati nilai tertentu, umumnya semakin mendekati nilai tengahnya. Filter Kalman adalah salah satu metode statistik yang merupakan pengembangan dari metode autoregresi. Teknik ini menggabungkan antara model deterministik dengan model stokastik yang digunakan untuk tujuan peramalan segera dan dapat diterapkan pada suatu sistem dinamik. Selain itu, Filter Kalman dapat diaplikasikan untuk masalah estimasi dalam sistem dinamik. Teknik ini pernah dimanfaatkan oleh Estiningtyas dan Amien (2006) untuk peramalan hujan yang diaplikasikan pada skenario massa tanam dengan menggunakan input data anomali suhu permukaan laut. Pemodelan tersebut masih dalam kerangka analisis hubungan antar parameter dan tidak terlihat ketajaman dalam analisis deret waktu secara simultan.
Dengan demikian, terbuka kesempatan untuk mengembangkan suatu model peramalan curah hujan yang menerapkan keterkaitan deret waktu dengan keterkaitan ruang antar stasiun atau keterkaitan dengan parameter iklim dan parameter fisik lainnya. Lee et al. (1998) serta Halide dan Ridd (2000) memanfaatkan teknik analisis jaringan syaraf (neural network analysis, NNA) pada bidang hidrologi. Teknik ini mampu menggabungkan aspek analisis waktu dan ruang secara simultan. Apriyanti (2005) menggambarkan bahwa teknik analisis jaringan syaraf memungkinkan diterapkan pada model prediksi curah hujan yang memfokuskan pada aspek skala waktu dan skala ruang secara bersamaan.
Tujuan dari penulisan makalah ini adalah untuk mengemukakan suatu penyusunan model prediksi curah hujan menggunakan teknik analisis jaringan syaraf yang memadukan aspek hubungan antar waktu (time series analysis) dan hubungan antar parameter (spatial analysis) secara simultan dalam analisisnya. Sebagai studi kasus, digunakan data curah hujan dari stasiun Baros yang mewakili sentra produksi padi di Pantura Banten, serta stasiun Karawang dan Kasomalang Subang yang mewakili sentra produksi padi di Pantura Jawa Barat.
A. PRAMUDIA ET AL. : PENYUSUNAN MODEL PREDIKSI CURAH HUJAN DENGAN TEKNIK ANALISIS JARINGAN SYARAF
13
METODOLOGI
Penyusunan model
Model prediksi curah hujan yang dikembangkan adalah model untuk memprediksi data curah hujan bulanan, disusun menggunakan teknik analisis jaringan syaraf (neural network analysis, NNA) propagasi balik. Keluaran model adalah nilai curah hujan tiga bulan ke depan (Y=Xt+3), sedangkan peubah masukan merupakan kombinasi dari (1) kode bulan (X1=t), (2) nilai-nilai curah hujan pada bulan ini (X2=Xt), (3) curah hujan bulan depan (X3=Xt+1), (4) curah hujan dua bulan berikutnya (X4=Xt+2), (5) nilai SOI pada bulan ini (X5=SOIt) dan (6) nilai Anomali SST pada bulan ini (X6=AnoSSTt). Data yang digunakan untuk pembentukan model (training set) adalah data hasil pengamatan tahun 1990-2002. Penyusunan model dilakukan melalui lima langkah, sebagai berikut:
Langkah 1
Normalisasi atau transformasi data masukan Xi dan nilai keluaran aktual Tk (=Yk) kedalam kisaran [0...1]. Curah hujan yang bernilai nol ditransformasi menjadi angka normal 0, curah hujan yang bernilai maksimum ditransformasi menjadi angka normal 1, sedangkan nilai-nilai curah hujan lainnya ditransformasi menjadi angka antara 0 dan 1 melalui intrapolasi linear.
Langkah 2
Penetapan nilai awal untuk semua pembobot wij untuk matriks X dan vjk untuk matrik H, yaitu suatu matrik antara yang tersembunyi. Nilai awal bersifat acak, namun untuk memudahkan kontrol nilai awal untuk semua pembobot dibuat sama dengan nilai antara 0 dan 1.
Langkah 3
Menghitung hj dan yk melalui persamaan berikut (Patterson, 1996):
Σwijxi = w0j + w1j * x1 + w2j * x2 + w3j * x3 + w4j * x4 + w5j * x5 + w6j * x6
Σvjkhk = v0k + v1k * h1 + v2k * h2 + v3k * h3 + v4k
* h4 + v5k * h5 + v6k * h6 + v7k * h7 + v8k * h8
Yk = Xt+3
dimana:
hj = elemen-elemen matriks H pada lapisan tersembunyi (hidden layer)
yk = elemen-elemen matriks Y pada lapisan keluaran (output layer)
xi = elemen-elemen matriks X pada lapisan masukan (input layer)
wij = pembobot untuk setiap elemen xi
vjk = pembobot untuk setiap elemen hk
Langkah 4
Penentuan nilai galat E per tahun, sebagai berikut:
∀E = Σp 0.5 ( tkp – ykp)2
dimana:
tkp = nilai target data ke-p dari training set node k
ykp = nilai dugaan data ke-p dari training set node k
Langkah 5
Proses learning atau training set untuk menentukan nilai bobot vjk dan wij melalui iterasi menggunakan modul solver pada Microsoft Excel. Target dari proses iterasi adalah menentukan nilai Y sedekat mungkin dengan nilai T sehingga menghasilkan galat yang mendekati nilai nol.
iij xwβje
hΣ−+
=1
1
jjk hvβke
yΣ−+
=1
1
JURNAL TANAH DAN IKLIM NO. 27/2008
14
Validasi model
Dari berbagai kombinasi antara jumlah peubah masukan dan berbagai nilai awal dari setiap pembobot, maka di masing-masing lokasi dipilih satu model yang memiliki galat terendah dan memiliki sensitivitas tertinggi sebagai model terbaik. Dalam proses validasi, model terbaik di setiap lokasi digunakan untuk memprediksi kondisi tahun 2003-2006. Hasil prediksi tersebut kemudian dibandingkan dengan data aktualnya.
Aplikasi model
Model yang sudah divalidasi kemudian digunakan untuk memprediksi kondisi curah hujan tahun 2007-2008. Hasil prediksi curah hujan akan dibandingkan dengan kondisi rata-rata di masing-masing lokasi. Interpretasi terhadap hasil prediksi akan memberikan gambaran apakah kondisi curah hujan tahun 2007-2008 akan meningkat hingga berada pada kondisi Atas Normal (>115% rata-rata), Normal (85-115% rata-rata) atau Bawah Normal (<85% rata-rata).
HASIL DAN PEMBAHASAN
Penyusunan model prediksi curah hujan
Proses trial and error yang melibatkan berbagai kombinasi peubah masukan X1, X2, X3, X4, X5 dan X6 menunjukkan bahwa, di ketiga stasiun curah
hujan, model yang paling baik adalah model yang mengkombinasikan keenam peubah masukan karena menghasilkan tingkat kesalahan yang paling kecil dan memiliki sensitivitas yang paling tinggi diantara kombinasi lainnya. Di stasiun Baros Serang, proses pembelajaran (training set) menghasilkan model yang memiliki sensitivitas prediksi pada kisaran 0,000-0,848 dan mampu menjelaskan 90% keragaman data dengan maksimum kesalahan prediksi sebesar 4 mm bulan-1. Di stasiun Karawang, model memiliki sensitivitas prediksi pada kisaran 0,010-0,348 dan mampu menjelaskan 91% keragaman data dengan maksimum kesalahan prediksi sebesar 5 mm bulan-1. Di stasiun Kasomalang Subang, model memiliki sensitivitas prediksi pada kisaran 0,000-0,835 dan mampu menjelaskan 88% keragaman data dengan maksimum kesalahan prediksi sebesar 8 mm bulan-1 (Tabel 1).
Gambar 1 menyajikan fluktuasi prediksi curah hujan hasil prediksi dalam proses penyusunan model (garis) dan perbandingannya terhadap data aktual (garis putus-putus). Terlihat bahwa teknik analisis jaringan syaraf memiliki kemampuan yang bagus dalam meniru atau mereplikasi fluktuasi curah hujan yang acak ke dalam bentuk persamaan atau model buatan yang memiliki fkluktuasi yang hampir sama. Namun demikian terdapat ketidakcocokan hasil prediksi dengan nilai aktual, terutama pada bulan- bulan pengamatan yang memiliki nilai ekstrim tinggi, dimana besaran curah hujan hasil prediksi terlihat umumnya lebih rendah dari data aktual, misalnya
Tabel 1. Hasil penyusunan model prediksi curah hujan menggunakan enam peubah masukan di Stasiun Baros Pantura Banten, Stasiun Karawang, dan Stasiun Kasomalang Subang Pantura Jabar
Table 1. Training set of rainfall prediction model using six input-variables at Station Baros, Northern of Banten, Station Karawang, and Station Kasomalang Subang, Northern of West Java
Data masukan*) No. Stasiun/
lokasi Rata-rata Simpangan baku
Jumlah iterasi
Sensitivitas model*) (data 1990-2002)
Cakupan keragaman
Kesalahan maksimum
MSE validitas (data 2003-2006)
% mm 1. Baros-Serang 0,309 0,210 934 0,000-0,848 90 4,1 0,091-0,116 2. Karawang 0,177 0,160 35 0,010-0,348 91 5,1 0,021-0,129 3. Kasomalang-
Subang 0,360 0,291 450 0,000-0,835 88 7,9 0,309-0,462
*) Dalam bentuk bilangan terstandarisasi dengan skala [0,1]
A. PRAMUDIA ET AL. : PENYUSUNAN MODEL PREDIKSI CURAH HUJAN DENGAN TEKNIK ANALISIS JARINGAN SYARAF
15
Gambar 1. Hasil penyusunan model prediksi curah hujan pada Stasiun Baros Pantura Banten, Stasiun Karawang, dan Stasiun Kasomalang Subang, Pantura Jawa Barat
Figure 1. Training set of rainfall prediction model at station Baros, northern of Banten, station Karawang, and station Kasomalang Subang, northern of West Java
Training set X 1 , X 2 , X 3 , X 4 , X 5 , X 6 - Karawang (1990-2002)
0.00
0.10
0.20
0.30
0.40
0.50
0.60
0.70
0.80
0.90
1.00
1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1
Nor
mal
ized
mon
thly
rain
fall
Prediksi Aktual
1990 1991 1992 1993 1994 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002
Training set X 1 , X 2 , X 3 , X 4 , X 5 , X 6 - Baros (1990-2002)
0.00
0.10
0.20
0.30
0.40
0.50
0.60
0.70
0.80
0.90
1.00
1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1
Nor
mal
ized
mon
thly
rain
fall
Prediksi Aktual
1990 1991 1992 1993 1994 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002
Training set X 1 , X 2 , X 3 , X 4 , X 5 , X 6 - Kasomalang (1990-2002)
0.00
0.10
0.20
0.30
0.40
0.50
0.60
0.70
0.80
0.90
1.00
1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1
Nor
mal
ized
mon
thly
rain
fall
Prediksi Aktual
1990 1991 1992 1993 1994 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002
JURNAL TANAH DAN IKLIM NO. 27/2008
16
terlihat jelas di stasiun Karawang. Hal ini menunjukkan bahwa model memiliki keterbatasan dalam memprediksi nilai ekstrim. Secara fisik, masih ada faktor lain yang belum mampu diperhitungkan dalam model buatan tersebut. Nilai-nilai curah hujan ekstrim umumnya terjadi pada bulan-bulan September, Oktober, Februari, dan Maret, dimana saat itu bertepatan dengan adanya lintasan matahari yang tepat berada di atas lokasi studi dan berkonotasi dengan pembentukan awan yang intensif dan menghasilkan banyak curah hujan (inter-tropical convergence zone, ITCZ). Kondisi tersebut tidak tergambarkan secara matematika dalam model jaringan syaraf yang menggunakan kombinasi resiprok (kebalikan) dan ordo negatif dari eksponen berbasis angka napier (e), diduga merupakan salah satu sebab yang menghasilkan prediksi yang berpola sigmoid dan memiliki nilai maksimum dan minimum (asymtoot) pada besaran tertentu.
Validasi data 2003-2006
Dalam proses validasi model terhadap data tahun 2003-2006 pada lokasi yang sama, didapatkan bahwa nilai galat rata-rata hasil validasi per tahun di stasiun Baros berkisar antara 0,091-0,116 atau setara dengan kesalahan prediksi 4-5 mm bulan-1, di stasiun Karawang didapatkan nilai galat rata-rata hasil validasi per tahun berkisar antara 0,021-0,129 atau setara dengan kesalahan prediksi 1-8 mm bulan-1, sedangkan di stasiun Kasomalang Subang didapatkan nilai galat rata-rata hasil validasi per tahun berkisar antara 0,309-0,462 atau setara dengan kesalahan prediksi 20-30 mm bulan-1 (Tabel 1). Hasil validasi yang kurang bagus di stasiun Kasomalang Subang diperkirakan akibat adanya pergeseran awal musim hujan 1-2 bulan lebih lambat dibandingkan pola fluktuasi periode 1990-2002 yang tergambarkan pada model (Gambar 2).
Prediksi curah hujan 2007-2008
Pada akhir 2007 hingga 2008 curah hujan di Baros Serang sepanjang tahun diprediksi akan berada di atas Normal. Curah hujan tertinggi terjadi
pada bulan Januari-Februari 2008 dengan intensitas kira-kira 302 mm (Atas Normal, 119% rata-rata) dan 350 mm (Atas Normal, 146% rata-rata), selanjutnya akan berfluktuasi lebih rendah dan mencapai titik terendah pada bulan Juli 2008 (106 mm, Atas Normal, 133% rata-rata). Di Karawang, curah hujan diprediksi akan semakin meningkat sejak akhir 2007 dan mencapai titik tertinggi pada bulan Maret 2008 (229 mm, Atas Normal, 138% rata-rata), selanjutnya akan menurun selama periode April hingga Juli 2008 umumnya Normal-Bawah Normal, kemudian meningkat kembali hingga bulan Desember 2008 (198 mm, Atas Normal, 134% rata-rata). Di Kasomalang Subang, curah hujan diprediksi akan berfluktuasi dalam intensitas yang tinggi selama periode Oktober 2007 hingga Januari 2008, dengan intensitas 331-651 mm (Normal-Atas Normal, 100-164% rata-rata). Selama periode Maret-Juli 2008 curah hujan menurun dan mencapai titik terendah (Bawah Normal). Selama periode Agustus-Desember 2008 curah hujan berfluktuasi dengan intensitas yang sangat tinggi berkisar antara 434-456 mm (Normal-Atas Normal, 100-600% rata-rata) (Tabel 2 dan Gambar 3).
Hasil prediksi tersebut memberikan gambaran bahwa curah hujan di Baros Banten diperkirakan akan tinggi sepanjang tahun 2008. Sementara di Karawang dan Subang curah hujan diperkirakan akan tinggi hingga Maret 2008, kemudian diperkirakan akan disambung dengan adanya periode kering pada periode April-Juli 2008, dan diperkirakan diikuti dengan periode basah basah lagi pada periode Agustus-Desember 2008. Angka-angka hasil prediksi tersebut menggambarkan bahwa musim kemarau 2008 akan lebih rendah dari rata-ratanya, serta diikui dengan awal musim hujan yang maju lebih cepat 1-2 bulan. Apabila prediksi curah hujan tersebut mewakili kondisi yang akan dihadapi tahun 2008 yang akan datang, maka hal tersebut sangat berimplikasi terhadap perilaku pertanian, khususnya tanaman padi, di lokasi penelitian. Musim tanam kedua (MK1) di lokasi studi akan lebih kering
A. PRAMUDIA ET AL. : PENYUSUNAN MODEL PREDIKSI CURAH HUJAN DENGAN TEKNIK ANALISIS JARINGAN SYARAF
17
Validasi - Karawang 2003-2006
0.00
0.10
0.20
0.30
0.40
0.50
0.60
0.70
0.80
0.90
1.00
1 1 1 1
Nor
mal
ized
mon
thly
rain
fall
Prediksi Aktual
2003 2004 2005 2006
Validasi - Baros 2003-2006
0.00
0.10
0.20
0.30
0.40
0.50
0.60
0.70
0.80
0.90
1.00
1 1 1 1
Nor
mal
yzed
mon
thly
rain
fall
Prediksi Aktual
2003 2004 2005 2006
Validasi - Kasomalang 2003-2006
0.00
0.10
0.20
0.30
0.40
0.50
0.60
0.70
0.80
0.90
1.00
1 1 1 1
Nor
mal
ized
mon
thly
rain
fall
Prediksi Aktual
2003 2004 2005 2006
Gambar 2. Validasi model terhadap data aktual periode 2003-2006 di Stasiun Baros Pantura Banten, Stasiun Karawang, dan Stasiun Kasomalang Subang, Pantura Jawa Barat
Figure 2. Validation of model to actual data of 2003-2006 periods at Station Baros, northern of Banten, Station Karawang, and Station Kasomalang Subang, northern of West Java
JURNAL TANAH DAN IKLIM NO. 27/2008
18
Prediksi Baros 2007-2008
0.00
0.10
0.20
0.30
0.40
0.50
0.60
0.70
0.80
0.90
1.00
10 11 12 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12
Nor
mal
yzed
mon
thly
rain
fall
2007 2008
Prediksi Kasomalang 2007-2008
0.00
0.10
0.20
0.30
0.40
0.50
0.60
0.70
0.80
0.90
1.00
10 11 12 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12
Nor
mal
yzed
mon
thly
rain
fall
2007 2008
Prediksi Karawang 2007-2008
0.00
0.10
0.20
0.30
0.40
0.50
0.60
10 11 12 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12
Nor
mal
yzed
mon
thly
rain
fall
2007 2008
Gambar 3. Prediksi curah hujan periode Oktober 2007 hingga Desember 2008 menggunakan model jaringan syaraf di stasiun Baros Pantura Banten, stasiun Karawang, dan stasiun Kasomalang Subang Pantura Jawa Barat
Figure 3. Rainfall prediction on the October 2007 to December 2008 by using neural network model at station Baros, Northern of Banten, station Karawang, and station Kasomalang Subang, Northern of West Java
A. PRAMUDIA ET AL. : PENYUSUNAN MODEL PREDIKSI CURAH HUJAN DENGAN TEKNIK ANALISIS JARINGAN SYARAF
19
sehingga pengelolaan air menjadi hal yang sangat penting dalam budidaya selama periode tersebut, atau bahkan di beberapa tempat perlu ada diversifikasi pangan dari tanaman padi sawah menjadi palawija. Musim tanam ketiga (MK2) tidak memungkinkan untuk dilakukan budidaya. Musim hujan yang akan datang lebih cepat sehingga diperkirakan akan terjadi pergeseran waktu tanam menjadi lebih cepat.
KESIMPULAN DAN REKOMENDASI
1. Proses penyusunan model (training set) menghasilkan model terbaik dengan meng-kombinasikan enam peubah penduga. Model terbaik memiliki sensitivitas 0,000-0,848 di Baros Serang, 0,010-0,348 di Karawang, dan 0,000-0,835 di Kasomalang Subang. Model mampu menjelaskan 88-91% keragaman data dengan maksimum kesalahan prediksi sebesar 4-8 mm bulan-1. Model jaringan syaraf yang disusun mampu mereplikasi fluktuasi acak curah hujan di ketiga lokasi, namun sensitivitas model terhadap nilai-nilai curah hujan yang ekstrim masih perlu ditingkatkan.
2. Nilai galat rata-rata (mean square error, MSE) validasi model terhadap data tahun 2003-2006 pada lokasi yang sama menunjukkan bahwa nilai galat rata-rata hasil validasi per tahun di stasiun Baros berkisar antara 0,091-0,116 atau setara dengan kesalahan prediksi 4-5 mm bulan-1, di stasiun Karawang berkisar antara 0,021-0,129 atau setara dengan kesalahan prediksi 1-8 mm bulan-1, sedangkan di stasiun Kasomalang Subang berkisar antara 0,309-0,462 atau setara dengan kesalahan prediksi 20-30 mm bulan-1. Nilai galat yang tinggi untuk stasiun Kasomalang Subang diduga akibat adanya perubahan atau pergeseran pola fluktuasi curah hujan pada periode 2003-2006 terhadap periode pembentukan model tahun 1990-2002.
3. Hasil prediksi tersebut memberikan gambaran bahwa curah hujan di Baros Banten diperkirakan akan tinggi sepanjang tahun 2008 (Normal-Atas Normal). Sementara di Karawang dan Subang curah hujan diperkirakan akan tinggi hingga Maret 2008 (Normal-Atas Normal), kemudian diperkirakan akan disambung dengan adanya periode kering pada periode April-Juli 2008 (Bawah Normal), dan diperkirakan diikuti dengan
Tabel 2. Prediksi curah hujan selama periode Oktober 2007 hingga Desember 2008 menggunakan model jeringan syaraf dan perbandingannya dengan kondisi rata-rata
Table 2. Rainfall prediction during the October 2007 to December 2008 by using neural network model and its comparing to average condition
No. Stasiun/ lokasi Parameter Oct-07
Nov-07
Dec-07
Jan-08
Feb-08
Mar-08
Apr-08
May-08
Jun-08
Jul-08
Aug-08
Sep-08
Oct-08
Nov-08
Dec-08
CH dugaan 161 202 247 302 350 160 116 141 113 106 132 147 172 212 256 CH rata-rata 107 155 184 254 240 143 122 129 80 80 69 72 107 155 184 Persentase 151 130 134 119 146 112 96 110 140 133 190 206 160 137 139
1. Baros-Serang
Status AN AN AN AN AN AN AN AN AN AN AN AN AN AN AN
CH dugaan 77 138 191 218 226 229 70 58 45 24 38 52 93 151 198 CH rata-rata 93 144 147 299 269 165 150 87 44 39 30 46 93 144 147 Persentase 83 95 130 73 84 138 47 66 103 63 129 112 100 105 134
2. Karawang
Status BN N AN BN BN AN BN BN N BN AN N N N AN
CH dugaan 331 512 447 651 225 141 0 0 0 0 437 456 456 434 446 CH rata-rata 202 424 446 495 389 482 464 251 134 68 58 76 202 424 446 Persentase 164 121 100 132 58 29 0 0 0 0 751 600 226 103 100
3. Kasomalang-Subang
Status AN AN N AN BN BN BN BN BN BN AN AN AN N N
Keterangan: AN = di Atas Normal N = Normal BN = di Bawah Normal
JURNAL TANAH DAN IKLIM NO. 27/2008
20
periode basah basah lagi pada periode Agustus-Desember 2008 (Normal-Atas Normal). Angka-angka hasil prediksi berimplikasi bahwa perilaku pertanian di lokasi penelitian bisa berubah atau bergeser akibat bergesernya periode ketersediaan air di lokasi studi.
4. Mengingat bahwa dampak implikasi kondisi prediksi curah hujan terhadap perilaku pertanian tanaman pangan sangat besar, maka disarankan bahwa prediksi curah hujan pada tahun 2008 dan seterusnya perlu dilakukan terus menerus secara simultan dengan memanfaatkan data masukan terbaru. Hal ini diperlukan untuk mengantisipasi risiko pertanian yang diduga akan muncul akibat menurunnya curah hujan atau bergesernya pola hujan.
DAFTAR PUSTAKA
Apriyanti, N. 2005. Optimasi Jaringan Syaraf Tiruan dengan Algoritma Genetika untuk Peramalan Curah Hujan. Skripsi. Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Institut Pertanian Bogor.
Askari, M. dan A. Bey. 2000. Analisis Deret Waktu (Analisis Data Iklim dengan Metode Box-Jenkins). Bahan Praktikum Metode Klimatologi pada Program Pencangkokan Agroklimatologi. Jurusan Geofisika dan Meteorologi, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Institut Pertanian Bogor.
Direktorat Perlindungan Tanaman Pangan. 2006a. Luas Banjir pada Tanaman Padi tahun 1998-2005. Direktorat Perlindungan Tanaman, Direktorat Jenderal Bina Produksi Tanaman Pangan. http://www.deptan.go.id/ditlin-tp/ basisdata/data_ba/banjir_kering_padi.html (12 Oktober 2007).
Direktorat Perlindungan Tanaman Pangan. 2006b. Luas Kekeringan pada Tanaman Padi tahun 1998-2004. Direktorat Perlindungan Tanam-
an, Direktorat Jenderal Bina Produksi Tanaman Pangan. http://www.deptan.go.id/ ditlin-tp/basisdata/data_ba/kering_padi.html (12 Oktober 2007).
Dupe Z.L. 1999. Prediction Nino-3.4 SST anomaly using simple harmonic model. Paper presented at the Second International Conference on Science and Technology for the Assessment of Global Climate Change and Its Impact on Indonesian Maritime Continent, 29 November-1 Desember 1999.
Estiningtyas, W. dan L.I. Amien. 2006. Pengembangan model prediksi hujan dengan metode filter kalman untuk menyusun skenario masa tanam. Jurnal Sumber Daya Lahan. Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Sumberdaya Lahan Pertanian. Bogor.
Halide, H. and P. Ridd. 2000. Modeling Inter-Annual Variation of Local Rainfall Data using a Fuzzy Logic Technique. International Forum on Climate Prediction, Agriculture and Development, James Cook Univ. 26-28 April 2000.
Haryanto, U. 1999. Response to climate change: simple rainfall prediction based on Southern Oscillation Index. Paper presented at the Second International Conference on Science and Technology for the Assessment of Global Climate Change and Its impact on Indonesian Maritime Continent, 29 November-1 December 1999.
Lee, S., S. Cho, and P.M. Wong. 1998. Rainfall prediction using artificial neural networks. J. of Geographic Information and Decision Analysis 2(2):233-242.
Patterson, D.W. 1996. Artificial Neural Network. Singapore. Prentice Hall.
Pramudia, A. 2002. Analisis Sensitivitas Tingkat Kerawanan Produksi Padi di Pantai Utara Jawa Barat terhadap Kekeringan dan El-Nino. Tesis. Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.
21
Karakterisasi dan Resiliensi Tanah Terdegradasi di Lahan Kering Kalimantan Tengah
Characterization and Resilience of Upland Degraded Soils of Central Kalimantan
M.A. FIRMANSYAH1, SUDARSONO2, H. PAWITAN3, S. DJUNIWATI4, DAN G. DJAJAKIRANA4
ABSTRAK
Degradasi tanah merupakan isu penting karena terkait dengan pengelolaan lahan dan kualitas lingkungan berkelanjutan. Pemulihan tanah degradasi lebih tepat dilakukan, jika diketahui karakteristik atau resiliensinya. Tujuan utama penelitian ini adalah karakterisasi dan klasifikasi tanah terdegradasi di lahan kering di Kalimantan Tengah berdasarkan kualitas lahan (LQ) yang menentukan kelas kesesuaian lahan pada tipe penggunaaan lahan (LUT). Kualitas lahan yang digunakan terdiri atas ketersediaan air (w), ketersediaan hara (n), toksisitas Al (t), ketahanan tanah terhadap erosi (e), dan deteriorasi tanah antropogenik (d). Tipe penggunaan lahan yang digunakan antara lain padi lokal, padi-padi-kedelai, karet, dan kelapa sawit pada tiga pola A, B, dan C. Tujuan lainnya adalah karakterisasi dan klasifikasi degradasi dan resiliensi tanah berdasarkan indeks lahan dan kelas kesesuaian lahan. Pengkelasan kesesuaian lahan secara parametrik didasarkan indeks lahan yang berasal dari pendugaan produksi komoditas masing-masing LUT berdasarkan kualitas lahan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa Alfisols memiliki daya dukung tertinggi ditunjukkan dengan indeks lahan yang lebih tinggi dari tanah lainnya pada LUT kelapa sawit. Indikator utama degradasi dan resiliensi tanah adalah LQ ketersediaan hara, ketersediaan air, dan toksisitas Al. Potensi tanah yang tinggi tidak menunjukkan kemampuan resiliensi, begitu pula sebaliknya bahwa potensi tanah yang rendah tidak menjamin rentan degradasi. Resistensi tanah di lokasi penelitian relatif tinggi. Lahan pertanian yang terdegradasi umumnya sulit untuk pulih kembali melalui masa revegetasi alami yang dikenal sebagai lahan tidur. Resiliensi alami maupun resiliensi antropogenik tidak banyak berbeda di tanah-tanah lahan kering Kalimantan Tengah. Taksa tanah tidak mampu menunjukkan perbedaan terjadinya degradasi dan resiliensi di lahan kering Kalimantan Tengah.
Kata kunci : Degradasi, Resiliensi, Lahan kering
ABSTRACT
In relation to land management and sustainable environment quality, soil degradation is considered as important issue. Soil degradation could be appropriately overcome when the characteristics of restoration or its resilience are recognized. The main purpose of this research is to characterize and classify upland degraded soils in Central Kalimantan based on land quality (LQ) that determine land suitability classification within land utilization type (LUT). The parameters of LQ involve water availability (w), nutrient availability (n), Al toxicity (t), soil resistance to erosion (e), and antropogenic soil deterioration (d). While, for LUT, there are several types i.e. rice; rice-rice-soybean; rubber; and oil palm within three patterns A, B, C. The other purpose is to characterize and classify degraded soils and soil resilience based on land index and land suitability classification. The parametric reffering to land index taken from production of
commodity estimation within each LUT based on land quality is used to classify land suitability. Research result shows that Alfisols has the highest soil capability. It is indicated by land index that is higher than the other soils. The main indicators of soil degradation and resilience involve LQ of nutrient availability, water availability, and Al toxicity. The high soil potency does not show the ability of resilience. On the other hand, the low soil potency cannot be able to keep sensitivity of degradation. The resistency of soils at study area is relatively high. Generally, degraded agricultural land region is difficult to be conserve through natural revegetation period known as bare land. Both natural and antropogenic resilience are not quite different at upland soils in Central Kalimantan. Soil taxa cannot reflect the difference of degradation process and resilience at upland soils in Central Kalimantan. Keywords : Degradation, Resilience, Upland
PENDAHULUAN
Konsep pengelolaan lahan berkelanjutan terkait dengan degradasi dan resiliensi tanah. Menurut FAO (1997), degradasi tanah merupakan proses penurunan kemampuan tanah untuk memproduksi barang dan jasa. Umumnya, untuk mengetahui tingkat degradasi tanah disusun klasifikasi degradasi tanah. Klasifikasi degradasi tanah di tingkat global (GLASOD) dan tingkat regional di Asia Selatan dan Asia Tenggara (ASSOD) lebih menekankan pada faktor eksternal erosi, serta faktor internal memburuknya sifat kimia dan fisik tanah akibat ulah manusia (Oldeman 1994; Lynden and Oldeman 1997), sedangkan klasifikasi degradasi tanah di Indonesia beragam. Menurut Suwardjo et al. (1996) klasifikasi degradasi tanah di sektor kehutanan
1. Peneliti pada Balai Pengkajian Teknologi Pertanian KalimantanTengah, Palangkaraya.
2. Guru Besar pada Departemen Ilmu Tanah dan Sumberdaya Lahan, Fakultas Pertanian, IPB, Bogor.
3. Guru Besar pada Departemen Geofisika dan Meteorologi, FMIPA, IPB, Bogor.
4. Pengajar pada Departemen Ilmu Tanah dan Sumberdaya Lahan, Fakultas Pertanian, IPB, Bogor.
ISSN 1410 – 7244
JURNAL TANAH DAN IKLIM NO. 27/2008
22
menekankan aspek hidrologi lahan, sektor transmigrasi melihatnya sebagai tanah marjinal, dan sektor pertanian mengartikannya sebagai tanah kritis; sedangkan PP No. 150/2000 menyebutnya sebagai tanah rusak.
Resiliensi merupakan hal yang relatif baru dan relevan di bidang ilmu tanah yang diadopsi dari ekologi (Seybold et al., 1999). Resiliensi (resilience) yaitu kemampuan ekosistem untuk pulih, setelah gangguan hilang (Tengberg and Stocking 2001; Szabolcs 1994). Umumnya saat resiliensi ditandai dengan pemulihan vegetasi alami antara 4-15 tahun (Lahjie 1989; Elliot and Lynch 1994; Uexkull 1996; Islam and Weil 2000). Kendala waktu penelitian resiliensi yang cukup lama di penelitian ini dicoba diatasi melalui penggunaan lahan tidur. Pengetahuan tentang resiliensi tanah umumnya berupa konsep dan hipotesis. Eswaran (1994) mengungkapkan hipotesis bahwa setiap jenis tanah berbeda kemampuannya dalam resiliensi dan degradasi. Daya resiliensi beberapa jenis tanah dari yang terkuat hingga terlemah adalah Mollisols > Vertisols > Alfisols > Oxisols. Sedangkan untuk degradasi terjadi kebalikannya yaitu pada tingkat ringan dimulai Mollisols dan semakin berat pada Oxisols yaitu Mollisols < Vertisols < Alfisols < Oxisols.
Sifat lahan (Land characteristic = LC) umum digunakan untuk kajian degradasi, resiliensi dan evaluasi lahan di Indonesia, namun kualitas lahan (Land quality = LQ) relatif belum digunakan. Pengertian LC yaitu atribut lahan yang mempengaruhi LUT secara tidak langsung, sedangkan LQ adalah atribut lahan kompleks dan terkait langsung dengan LUT. Akibatnya indikator LC sulit menjelaskan tingkat produksi atau manfaat dari LUT. Sebaliknya menurut Sys et al. (1991) keuntungan penggunaan LQ antara lain: LQ terkait langsung dengan kebutuhan spesifik LUT, LQ mampu menghitung interaksi antar faktor lingkungan, dan jumlah LQ lebih sedikit dari LC.
Di Provinsi Kalimantan Tengah tahun 1999/ 2000 degradasi tanah mencapai 1,76 juta ha (Badan Pusat Statistik, 2001). Sebaliknya menurut Puslittanak (1997) degradasi terjadi di lahan kering sekitar 4,78 juta ha atau 31% luas Kalimantan Tengah. Penggunaan lahan umumnya tanaman pangan dan perkebunan.
Tujuan penelitian ini adalah untuk mengkarakterisasi dan mengklasifikasikan degradasi tanah di lahan kering Kalimantan Tengah berdasarkan LQ yang menentukan kelas kesesuaian lahan (KKL) pada LUT berbasis padi lokal, padi-padi-kedelai, karet, dan kelapa sawit, pada tiga pola yaitu A, B, dan C yang didasarkan atas asumsi tingkat produksi dan pemupukan. Pola A didasarkan pada asumsi tingkat produksi lokal dan tanpa pemupukan, pola B pada tingkat produksi nasional dan pemupukan sesuai anjuran, serta pola C pada tingkat produksi nasional dengan pemupukan secara preskripsi. Tujuan lainnya adalah mencari indikator utama mengenal degradasi dan resiliensi tanah.
BAHAN DAN METODE
Waktu dan tempat penelitian
Waktu penelitian dimulai Maret 2004- September 2006, di lahan kering Kalimantan Tengah pada berbagai jenis tanah didasarkan atas dugaan perbedaan kepekaan terhadap degradasi dan resiliensi, antara lain: Alfisols (Alf) di Barito Selatan, Ultisols (Ult) di Barito Utara, Oxisols (Ox) di Kotawaringin Barat, dan Spodosols (Od) di Gunung Mas.
Bahan penelitian dan pengambilan contoh tanah
Bahan penelitian berupa peta tanah, vegetasi dan penggunaan lahan, dan rekomendasi penggunaan lahan. Contoh tanah diambil pada berbagai unit lahan, yaitu: lahan hutan (LH) sebagai awal kondisi
M.A. FIRMANSYAH ET AL. : KARAKTERISASI DAN RESILIENSI TANAH TERDEGRADASI DI LAHAN KERING KALIMANTAN TENGAH
23
tanah, lahan pertanian (LP) untuk mengetahui apakah pengelolaan lahan oleh petani menyebabkan degradasi, dan lahan tidur (LT) atau terdegradasi pada berbagai jangka waktu (5, 10, 15, dan 20 tahun) untuk menunjukkan waktu pencapaian resiliensi. Penentuan LH dan LT di lapangan dipandu petani setempat.
Contoh tanah utuh dan komposit diambil per horison tanah hingga kedalaman 100 cm kecuali ada lapisan keras. Analisis tanah, yaitu: tekstur, struktur, BD, permeabilitas, kadar air (pressure plate), pH H2O, Ca dan Mg-dd (AAS), K dan Na-dd (flamephoto-meter), KTK, KB, C organik, Al-dd, N total, P (Bray-1), mineral pasir (line counting). Selain itu dilakukan analisis mineral fraksi pasir untuk mengetahui kondisi cadangan hara di tanah-tanah lokasi penelitian, menggunakan teknik microscope- line counting.
Pengambilan contoh tanah untuk penilaian degradasi dan resiliensi tanah dilakukan secara in situ, yaitu berdasarkan titik profil tanah bukan poligon, dan tidak pada titik yang sama.
Tahapan penelitian
Penentuan LUT (tipe penggunaan lahan)
Pemilihan LUT berdasarkan pola tanam, dan atribut tingkat produksi serta pemupukan, sehingga
terdapat 12 LUT (Tabel 1). LUT terbagi tiga pola, yaitu pola A digunakan produksi tingkat lokal tanpa pupuk, pola B dan C memiliki tingkat nasional dan masing-masing dengan pupuk anjuran dan preskripsi. Asumsi produksi digunakan asumsi tingkat lokal dan nasional, untuk melihat kemampuan tanah secara spesifik lokasi. Asumsi pemupukan diterapkan teknologi pemupukan tradisional (tanpa pupuk), anjuran (Tabel 2), ataupun preskriptif (Tabel 3), dengan tujuan untuk melihat kemampuan tanah dalam menghasilkan produksi berdasarkan model-model yang telah ditetapkan.
Tabel 2. Takaran pemupukan anjuran masing-masing komoditas LUT
Table 2. Dosage of fertilizer recomendation in each commodity of LUT
Pupuk anjuran Komoditas LUT N P2O5 K2O MgO
……………… kg ha-1 ……………… Padi Kedelai Karet Kelapa sawit
100 35 60 167
90 54 75 107
30 60 68 178
- - -
57
Keterangan: Pupuk anjuran padi berdasarkan Bastari (1987), kedelai (Arsyad dalam Hilman 2004), karet (Adiwiganda et al. dalam Adiwiganda, 1994), kelapa sawit (Winarna et al., 2000). * Populasi 375 pohon per ha (Adiwiganda dan
Sihotang, 1992 dalam Adiwiganda, 1994). ** Populasi 132 pohon per ha (Sukarji et al., 2000). - = tidak digunakan.
Tabel 1. Tipe penggunaan lahan berdasarkan komoditas dan atribut LUT
Table 1. Land utilization type, based on comodity and LUT attribute
Pola A Pola B Pola C LUT
Produksi Pupuk Produksi Pupuk Produksi Pupuk t ha-1 t ha-1 % t ha-1 Padi lokal Padi-padi-kedelai Karet Kelapa sawit
1,5 1,5-1,5-0,8
1,0c 18
- - - -
2,5 2,5-2,5-1,2
1,8d 24
100a 100 100 100
2,5 2,5-2,5-1,2
1,8d 24
Preskripsib Preskripsi Preskripsi Preskripsi
Keterangan: a Penggunaan hara pupuk didasarkan takaran anjuran Tabel 2, dan preskripsi Tabel 3 b Pupuk preskripsi = hara pupuk yang ditambahkan untuk mencukupi kebutuhan tanaman
mencapai produksi tertentu, c 113 hr sd th-1
d 183 hr sd th-1 KK = Karet kering; TBS = Tandan buah segar; - = tidak digunakan
JURNAL TANAH DAN IKLIM NO. 27/2008
24
Hara pupuk anjuran belum diperhitungkan efisiensi pupuk 40% N, 20% P2O5, 60% K2O, untuk tanah berpasir (Spodosols) digunakan 22% N, 13% P2O5, 33% K2O, dan 19% MgO.
Tabel 3. Takaran pemupukan preskripsi masing-masing komoditas LUT
Table 3. Dosage of prescription fertilizer to each commodity of LUT
Pupuk preskripsi Jenis tanah dan lokasi
Komoditas LUT N P2O5 K2O MgO
…………… kg ha-1 …………… Alf, Barsel Padi
Kedelai Karet Kelapa sawit
130,1 101,3
4,7 88,6
51,4 26,9 9,6
31,2
52,9 - - -
- - - -
Ult, Barut Padi Kedelai Karet Kelapa sawit
131,0 102,2 13,7 97,7
50,8 26,2 4,9
26,5
128,0 - -
15,7
- - -
47,7
Od, Gumas Padi Kedelai Karet Kelapa sawit
139,8 111,0 32,3
116,2
46,3 21,7 5,8
27,4
166,7 17,6 -
159,7
- - -
54,4
Ept, Kobar Padi Kedelai Karet Kelapa sawit
118,4 89,6 12,8 96,8
43,1 18,5 1,0
22,6
122,8 - -
45,3
- - -
40,5
Keterangan: Alf = Alfisols, Ult = Ultisols, Od = Spodosols, Ept = Inceptisosl, Barsel = Barito Selatan, Barut = Barito Utara, Gumas = Gunung Mas, Kobar = Kotawaringin Barat, - = tidak digunakan.
Penentuan kualitas lahan (LQ)
LQ ketersediaan air (LQw)
Penggunaan air tersedia profil dari neraca air untuk memenuhi ETc (Evapotranspirasi) mengacu kepada Doorenbos dan Pruitt (1977). Tanaman menggunakan 40, 30, 20, dan 10% air tersedia profil pada seperempat lapisan pertama, kedua, ketiga, dan keempat. Tebal lapisan tanah untuk tanaman pangan 30 cm dan untuk tanaman perkebunan 60 cm. Penentuan data curah hujan (CH) berdasarkan CH P>75% dan GH Efektif 50%. Pendugaan produksi masing-masing komoditas yaitu
padi, kedelai karet, dan kelapa sawit berturut-turut menggunakan data Sudjito (1986), Mar’ah (1996), Thomas et al. (1994), dan Calliman (1992). Persamaan pertama hingga keempat berturut-turut untuk padi, kedelai, karet, dan kelapa sawit adalah sebagai berikut:
y = 1,2058Ln(x) - 2,318; R2 = 0,97 .............. (1)
y = 0,4688Ln(x) – 0,5079; R2 = 0,99 ............ (2)
y = 0,09x + 13,87; R2 = 0,76 ..................... (3)
y = -0,0277x + 24; R2 = 0,86 ..................... (4)
Untuk komoditas padi dan kedelai digunakan x = ketersediaan air rata-rata bulanan dari air tersedia profil (mm), dan y = t ha-1; untuk karet digunakan x = ketersediaan air rata-rata bulanan untuk ETc (mm) dan air tersedia profil (mm), dan y = g sd-1 ph-1 KK; untuk kelapa sawit digunakan x = total defisit air pada air tersedia profil (mm), dan y = t ha-1 th-1 TBS.
LQ ketersediaan hara (LQn)
Jumlah hara tersedia dari pupuk (Tabel 2) dan tanah mempengaruhi produksi berdasarkan model pendugaan komoditas LUT pada LQ ketersediaan hara (Tabel 4). Penetapan indeks LQ ketersediaan hara berdasarkan produksi komoditas terendah akibat ketersediaan jenis unsur hara tertentu sesuai hukum Liebig, yaitu kondisi hara terburuk lebih mempengaruhi produksi.
LQ ketahanan tanah terhadap erosi (LQe)
Jumlah tanah tererosi diduga dengan metode USLE (Wischmeir and Smith 1978). Pendugaan penurunan produktivitas akibat erosi tanah sesuai penelitian Shah (1982), masing-masing dibedakan untuk tingkat agak peka yaitu Alfisols (persamaan 5) dan sangat peka terhadap penurunan produktivitas yaitu: Ultisols, Inceptisols, dan Spodosols (persamaan 6), berturut-turut:
M.A. FIRMANSYAH ET AL. : KARAKTERISASI DAN RESILIENSI TANAH TERDEGRADASI DI LAHAN KERING KALIMANTAN TENGAH
25
y = 104,43 [1– exp(-0,018676x)]; R2 = 88,1 .. (5)
y = 100,25 [1– exp(-0,025622x)]; R2 = 80,3 .. (6)
dimana: y = kehilangan produktivitas (%) x = kehilangan tanah (cm) LQ toksisitas Al (LQt)
Penggunaaan LQt hanya untuk tanaman pangan, karena tanaman perkebunan toleran terhadap toksisitas Al. Persamaan pendugaan produksi padi dan kedelai akibat toksisitas Al digunakan hasil penelitian Sudjadi et al. (1988), untuk padi (persamaan 7) dan untuk kedelai (persamaan 8), berturut-turut:
y = -0,0289x + 4,2817; R2 = 0,94 ............... (7)
y = -0,0153x + 1,3246; R2 = 0,70 ............... (8)
dimana: y = produksi (t ha-1) x = kejenuhan aluminium (%)
LQ deteriorasi antropogenik (LQd)
Kualitas lahan deteriorasi tanah antropogenik (LQd) adalah penurunan kondisi fisik tanah yang
terjadi secara permanen, hanya menguntungkan untuk jangka pendek namun merugikan untuk penggunaan jangka panjang dan berkelanjutan. Contohnya adalah pembentukan orstein (padasan yang keras dari horison spodik yang berkembang lanjut) akibat pengelolaan petani.
Penetapan indeks LQ , indeks lahan, dan klasifikasi kesesuaian lahan
Indeks LQ dihitung dengan Square Root Land Index Method (Khidir 1986 dalam Sys et al., 1991) dapat dilihat pada persamaan 9:
Indeks lahan = Rmin [(A/100)(B/100)(C/100)(D/100)]1/2
dimana: Rmin = indeks LQ minimum A, B, C, D = indeks LQ lainnya
Penetapan kelas kesesuaian lahan (KKL) menggunakan metode parametrik (Sys, 1985; Sys et al., 1991). Klasifikasi kesesuaian lahan berdasarkan indeks lahan, yaitu: indeks lahan 75-100 termasuk S1 (sangat sesuai), 50-75 termasuk S2 (agak sesuai), 25-50 termasuk S3 (sesuai marjinal), dan 0-25 termasuk N (tidak sesuai).
Tabel 4. Persamaan regresi pendugaan produksi komoditas LUT pada LQn
Table 4. Model of estimate regression to LUT commodity product on LQn
Komoditas Hara Persamaan regresi Sumber data
N y = 0,4824Ln(x) - 0,5207 R2= 0,80 Gupta (1983 dalam Gupta dan O’toole, 1986) P2O5 y = 0,4258Ln(x) - 0,1402 R2 = 0,95 Suwardjo dan Prawirasumantri (1987)
Padi
K2O y = 2,1093Ln(x) - 5,9543 R2 = 0,62 Jumberi et al. (1994)
Kedelai N y = 0,5733Ln(x) - 1,602 R2 = 0,76 Pasaribu dan Suprapto (1985) P2O5 y = -0,000001(x)2 + 0,0412x - 0,1752; R2 = 0,96 Ballitan (1986) K2O y = 0,23572Ln(x) - 0,2429; R2 = 0,94 Suwono (1986)
N y = 2,8842Ln(x) + 15,605; R2 = 0,84 Tambunan et al. (1987) Karet* P2O5 y = 4,4938Ln (x) + 0,4039; R2 = 0,99 Angkapradipta (1976)
K2O y = 3,0848Ln(x) + 10,159; R2 = 0,94 Tambunan et al. (1987)
K. Sawit N y = 11,38Ln(x) - 35,139; R2 = 0,83 Sukarji et al. (2000) P2O5 y = 11,433Ln(x) - 28,597; R2 = 0,89 Sukarji et al. (2000) K2O y = 8,3351Ln(x) - 27,898; R2 = 0,91 Sukarji et al (2000)
MgO y = 6,2227Ln(x) - 10,563; R2 = 0,84 Sukarji et al. (2000)
Keterangan: y = t ha-1; x = kg ha-1 * y = g ph-1 sd-1; x = kg ha-1.
JURNAL TANAH DAN IKLIM NO. 27/2008
26
Klasifikasi resiliensi dan degradasi tanah diusulkan menggunakan indeks lahan dan KKL berdasarkan LQ. Hal ini disebabkan masing-masing kelas kesesuaian lahan memiliki tingkat faktor pembatas, produktivitas atau input yang berbeda. Penetapan tingkat resiliensi tanah terbagi dalam tiga kelas: resiliensi kuat, jika peningkatan KKL lebih satu kelas (R3); resiliensi sedang, jika peningkatan KKL satu kelas (R2); resiliensi lemah, jika hanya ada peningkatan indeks lahan (R1). Jika terjadi penurunan KKL dan indeks lahan, maka masuk ke tanah terdegradasi. Tingkat degradasi tanah terbagi tiga kelas, yaitu: degradasi berat, jika ada penurunan KKL lebih satu kelas (D3); degradasi sedang, jika penurunan KKL satu kelas (D2); degradasi ringan, jika hanya penurunan indeks lahan (D1).
HASIL DAN PEMBAHASAN
Kondisi iklim dan lahan
Rata-rata curah hujan (1994-2003) lokasi Barito Utara- Barito Selatan sebesar 2.961 mm th-1 adalah tertinggi diikuti Kotawaringin Barat sebesar 2.917 mm th-1, dan terendah di Gunung Mas (1996-2003) sebesar 2.507 mm th-1. Suhu udara tertinggi terjadi di Gunung Mas, disusul Barito Utara-Barito Selatan dan Kotawaringin Barat, masing-masing 27,0; 26,7; dan 26,4oC.
Mineral tanah umumnya didominasi mineral sukar lapuk (kuarsa, magnetit, konkresi besi) dan sedikit mineral mudah lapuk (hiperstein, amphibol, hornblende, dan augit). Hal itu berarti tanah di lokasi penelitian memiliki cadangan hara sangat rendah.
Indeks lahan dan kelas kesesuaian lahan
Indeks lahan pada jenis tanah dan unit lahan yang sama ternyata memiliki nilai berbeda pada LUT yang berbeda (Tabel 5). Hal ini menunjukkan bahwa setiap LUT memiliki persyaratan penggunaan yang berbeda. FAO (1976) menyatakan bahwa setiap LUT merupakan kumpulan yang mempertimbangkan spesifikasi kondisi fisik, selain ekonomi dan sosial.
Besarnya indeks lahan umumnya terjadi peningkatan dari pola A ke pola B maupun pola C,
hal ini menunjukkan bahwa atribut LUT yang
berperan langsung dalam penghitungan indeks lahan yaitu ketersediaan hara dan produksi. Namun hal itu
berbeda dengan pola tanam karet, sebab pola A
umumnya memiliki nilai indeks lahan lebih tinggi dibandingkan pola B dan C, hal ini menunjukkan
bahwa atribut produksi tingkat lokal (pola A) 0,7 t ha-1 th-1 meskipun tanpa pemupukan lebih sesuai
dengan daya dukung lahannya, sedangkan pola B
dan C karena menggunakan atribut produksi tingkat nasional 1,8 t ha-1 th-1 meskipun dengan pemupukan
anjuran dan preskripsi terlihat kurang sesuai jika
digunakan di Kalimantan Tengah, selain itu tanaman karet tidak banyak mengalami peningkatan LQn
meskipun digunakan pemupukan anjuran atau preskripsi. Sugiyanto et al. (1997) menduga bahwa
ketidakrakusan tanaman karet terhadap hara karena
lateks sebagai produksi yang diambil bukanlah hasil dari metabolisme primer.
Berdasarkan indeks lahan ternyata kelas kesesuaian lahan pada LUT berbasis tanaman
perkebunan lebih tinggi dibandingkan tanaman pangan yaitu S2 hingga S1 (Tabel 6). Jika di LUT
berbasis tanaman pangan pola A dan B umumnya di
bawah 50, maka di tanaman perkebunan pada pola yang sama memiliki nilai di atas 50 hingga di atas
75. Perkecualian pada tanah Spodosols pada
berbagai pola LUT dan pola tanam di luar LH yaitu LT10, LT5, dan LP menunjukkan nilai indeks lahan
0, hal ini disebabkan adanya penghambat LQd yaitu terbentuknya padas orstein pada horizon spodik
yang berkembang lanjut. Menurut Adiwiganda et al. (1993) Spodosols di kebun Sungai Buatan dan di Sikijang terdapat horizon albik pucat (horizon E),
tersusun atas fraksi pasir, dan terdapat horizon Spodik (Bh atau Bhs) yang sangat keras dengan
kekerasan melebihi 4,5 kg cm-2.
Kondisi tersebut menunjukkan bahwa tanah-tanah di lahan kering (Alfisols, Ultisols, Inceptisols) di
M.A. FIRMANSYAH ET AL. : KARAKTERISASI DAN RESILIENSI TANAH TERDEGRADASI DI LAHAN KERING KALIMANTAN TENGAH
27
Kalimantan Tengah kecuali Spodosols, memiliki
potensi yang lebih tinggi dalam mendukung
pengembangan tanaman perkebunan (karet dan
kelapa sawit) dibandingkan tanaman pangan (padi
lokal dan padi-padi-kedelai). Hal tersebut disebabkan
karena tanaman perkebunan umumnya termasuk
tanaman non-exigence crop yaitu tanaman yang
membutuhkan hara dalam jumlah relatif lebih rendah
karena diambil bertahap dan dalam periode yang
panjang atau tanaman yang tidak banyak
memerlukan persyaratan khusus, sedangkan
tanaman pangan termasuk exigence crops yaitu
tanaman yang membutuhkan pemenuhan hara
sekaligus dalam periode singkat atau tanaman yang
memerlukan banyak persyaratan khusus.
Karakterisasi degradasi dan resiliensi tanah
Degradasi tanah
Kondisi LP ternyata tidak seluruhnya mengalami degradasi, bahkan pada Ultisols, Alfisols dan Inceptisols pada semua LUT yang dikaji berpola A tidak mengalami degradasi. Sebaliknya pada LUT yang dikaji dengan pola B dan C mengalami degradasi secara menyeluruh.
Tabel 5. Indeks lahan pada berbagai pola, unit lahan, jenis tanah, dan lokasi di Kalimantan Tengah
Table 5. Land index to pattern, land unit, soil taxa, and location in Central Kalimantan
Pola A Pola B Pola C Unit lahan
Alf Ult Od Ept
Alf Ult Od Ept
Alf Ult Od Ept
Padi lokal LH LT20 LT15 LT10 LT5 LP
42 41 46 50 51 46
35 -
30 45 42 43
67 - - 0 0 0
40 39 40 57 48 59
49 48 43 48 48 48
46 -
40 40 40 46
49 - - 0 0 0
43 34 24 41 28 39
63 63 56 62 62 63
60 -
53 52 52 59
63 - - 0 0 0
55 38 27 45 30 43
Padi-padi-kedelai LH LT20 LT15 LT10 LT5 LP
28 29 39 43 45 37
26 -
22 36 33 35
63 - - 0 0 0
31 33 41 49 47 54
44 45 38 44 46 44
41 -
35 34 34 40
49 - - 0 0 0
39 33 31 39 32 40
63 64 53 62 63 61
58 -
40 45 39 54
60 - - 0 0 0
52 41 34 46 35 45
Karet LH LT20 LT15 LT10 LT5 LP
69 70 73 76 70 76
70 -
74 81 79 76
87 - - 0 0 0
70 78 90 90 85 92
58 58 57 59 59 60
59 -
59 61 59 59
61 - - 0 0 0
52 56 60 61 58 61
54 54 54 56 55 57
50 -
51 55 52 51
57 - - 0 0 0
43 47 54 54 50 54
Kelapa sawit LH LT20 LT15 LT10 LT5 LP
92 94 100 100 94 100
93 -
45 99 56 99
99 - - 0 0 0
87 99 89 99 99 99
96 96 98 100 96 100
96 -
91 99 92 99
71 - - 0 0 0
96 99 97 99 99 99
93 100 100 100 100 100
99 -
99 99 93 92
99 - - 0 0 0
93 99 94 99 99 99
Keterangan: Alf = Alfisols, Ult = Ultisols, Od = Spodosols, Ept = Inceptisols, LH = Lahan hutan, LT = Lahan tidur, LP = Lahan pertanian, 20-5 = lamanya lahan tidur/tidak digunakan, - = tidak dijumpai
JURNAL TANAH DAN IKLIM NO. 27/2008
28
Kondisi tanah LP yang tidak mengalami degradasi (ND) pada LUT tertentu menujukkan bahwa tanah-tanah tersebut memiliki resistensi tinggi terhadap perubahan berbagai penggunaan lahan.
Degradasi tanah pada LP umumnya tingkat ringan (D1), kecuali pada Spodosols yang umumnya mengalami degradasi berat (D3) pada seluruh LUT yang digunakan. Hal ini menunjukkan bahwa tanah Spodosols memiliki resistensi rendah atau sensitivitas tinggi, artinya adalah Spodosols sangat tidak mampu mempertahankan kualitas lahannya dan cenderung makin memburuk jika lahan alaminya
(lahan hutan) dikonversi untuk penggunaan pertanian ataupun perkebunan.
Resistensi tanah ternyata berbeda-beda tergantung pada jenis tanah dan LUT yang
digunakan. Jenis tanah yang berbeda menunjukkan perbedaan tingkat degradasi, dan perbedaan LUT
juga mempengaruhi terjadinya tingkat degradasi.
Resiliensi tanah
Resiliensi tanah terdegradasi dalam bahasan ini dibagi ke dalam dua bagian, yaitu resiliensi alami dan
Tabel 6. Kelas kesesuaian lahan pada berbagai pola, unit lahan, jenis tanah, dan lokasi di Kalimantan Tengah
Table 6. Land suitability class to pattern, land unit, soils taxa, and location in Central Kalimantan
Pola A Pola B Pola C Unit lahan Alf Ult Od Ept
Alf Ult Od Ept
Alf Ult Od Ept
Padi lokal LH LT20 LT15 LT10 LT5 LP
S3n S3n S2n S3n S3n S3n
S3n -
S3n S3n S3n S3n
S2n - -
Nd Nd Nd
S3n S3n S3n S2n S3n S2n
S3n S3n S3n S3n S3n S3n
S3n -
S3n S3n S3n S3n
S2n - -
Nd Nd Nd
S3n S3nw Nw
S3nw S3w S3nw
S2n S2n S2n S2n S2n S2n
S2n -
S2n S2n S2n S2n
S2n - -
Nd Nd Nd
S2n S3w S3w S3w S3w S3w
Padi-padi-kedelai LH LT20 LT15 LT10 LT5 LP
S3n S3n S3n S3n S3n S3n
S3n -
Nn S3n S3n S3n
S2n - -
Nd Nd Nd
S3n S3n S3n S3n S3n S2n
S3n S3n S3n S3n S3n S3n
S3n -
S3n S3n S3n S3n
S3n - -
Nd Nd Nd
S3n S3nw S3wn S3n
S3wn S3nw
S2n S2n S2n S2n S2n S2n
S2n -
S3t S3nt S3nt S2n
S2n - -
Nd Nd Nd
S2n S3w S3w S3wn S3w S3w
Karet LH LT20 LT15 LT10 LT5 LP
S2n S2n S2n S1n S2n S1n
S2n -
S2n S1n S1n S2n
S1n - -
Nd Nd Nd
S2n S1n S1ne S1ne S1n S1ne
S2n S2n S2n S2n S2n S2n
S2n -
S2n S2n S2n S2n
S2n - -
Nd Nd Nd
S2n S2n S2n S2n S2n S2n
S2n S2n S2n S2n S2n S2n
S3n -
S2n S2n S2n S2n
S2n - -
Nd Nd Nd
S3n S3n S2n S2n S3n S2n
Kelapa sawit LH LT20 LT15 LT10 LT5 LP
S1n S1n S1 S1 S1n S1
S1n -
S3n S1 S2n S1
S1 - -
Nd Nd Nd
S1n S1 S1n S1 S1 S1
S1 S1 S1 S1 S1 S1
S1 -
S1n S1 S1n S1
S2n - -
Nd Nd Nd
S1 S1 S1n S1 S1 S1
S1n S1 S1 S1 S1 S1
S1 -
S1 S1 S1n S1n
S1e - -
Nd Nd Nd
S1n S1 S1n S1 S1 S1
Keterangan: Alf = Alfisols, Ult = Ultisols, Od = Spodosols, Ept = Inceptisols, LH = Lahan hutan, LT Lahan tidur, LP = Lahan pertanian, 20-5 = lamanya lahan tidur/tidak digunakan, - = tidak dijumpai
M.A. FIRMANSYAH ET AL. : KARAKTERISASI DAN RESILIENSI TANAH TERDEGRADASI DI LAHAN KERING KALIMANTAN TENGAH
29
resiliensi antropogenik. Resiliensi alami (Rm) adalah klasifikasi resiliensi tanpa memperhitungkan LQn (ketersediaan hara), sedangkan resiliensi antropogenik (Rt) mengikutsertakan LQ ketersediaan hara yang dipengaruhi oleh LUT pemupukan. Hal ini ditujukan agar diketahui apakah penerapan atribut LUT pemupukan mampu mempercepat resiliensi yang terjadi.
Resiliensi yang terjadi pada tanah Ultisols tergolong cepat (R3) khususnya untuk LUT berbasis tanaman perkebunan, dan termasuk resiliensi lambat jika digunakan untuk LUT berbasis tanaman pangan. Pada tanah Spodosols terlihat bahwa resiliensi yang terjadi pada lahan pertanian yang terdegradasi berat (D3) termasuk dalam resiliensi lambat (R1). Artinya bahwa tanah Spodosols cenderung mengalami degradasi berat jika dilakukan perubahan penggunaan dari lahan alaminya, dan tanah Spodosols yang rusak berat akan lama untuk pulih kembali.
Perbandingan kecepatan resiliensi alami dan antropogenik relatif tidak banyak perbedaan, hanya pada tanah Alfisols pada LUT padi-padi-kedelai terlihat bahwa atribut pemupukan mampu mempercepat tercapainya resiliensi dari lambat (R1 = > 10 tahun) menjadi resiliensi cepat (R3 = 5 tahun), begitu pula di Ultisols pada LUT karet menunjukkan bahwa atribut pemupukan mampu mempercepat resiliensi dari resiliensi sedang (R2) menjadi resiliensi cepat (R3).
Hipotesis Eswaran (1994) bahwa tanah tertentu memiliki ketahanan terhadap degradasi dan kemampuan resiliensi lebih baik dari jenis tanah lainnya ternyata tidak berlaku di tanah-tanah lahan kering Kalimantan Tengah. Hal ini disebabkan perbedaan antara taksa (ordo) tanah di lahan kering Kalimantan Tengah umumnya tidak ekstrim, berbeda halnya dengan tanah-tanah di Amerika serikat dimana Eswaran mengajukan hipotesisnya.
Tabel 7. Tingkat degradasi, resiliensi alami (Rm), dan resiliensi antropogenik (Rt) melalui periode lahan tidur pada berbagai LUT, jenis tanah, dan lokasi di Kalimantan Tengah
Table 7. Level of degradation, nature resilience, and antropogenic resilience by bare land periode on various of LUT, soils taxa, and location in Central Kalimantan
Alfisols Barsel Ultisols Barut Spodosols Gumas Inceptisols Kobar Unit lahan
D Rm Rt D Rm Rt D Rm Rt D Rm Rt
Pola A PL P-P-K Karet KSw
ND ND ND ND
- - - -
- - - -
ND ND ND ND
- - - -
- - - -
D3 D3 D3 D3
R1 R1 R1 R1
R1 R1 R1 R1
ND ND ND ND
- - - -
- - - -
Pola B PL P-P-K Karet KSw
D1 D1 ND ND
R1 R1 - -
R1 R3 - -
D1 D1 D1 ND
R1 R1 R2 -
R1 R1 R3 -
D2 D2 D3 D3
R1 R1 R1 R1
R1 R1 R1 R1
D1 ND ND ND
R1 - - -
R1 - - -
Pola C PL P-P-K Karet KSw
D1 D1 ND ND
R1 R1 - -
R1 R1 - -
D1 D1 ND D1
R1 R1 -
R3
R1 R1 -
R3
D3 D3 D3 D3
R1 R1 R1 R1
R1 R1 R1 R1
D2 D2 ND ND
R2 R2 - -
R2 R2 - -
Keterangan: PL = Padi lokal, P-P-K = Padi-padi-kedelai, KSw = Kelapa sawit, Barsel = Barito Selatan, Barut = Barito Utara, Gumas = Gunung Mas, Kobar = Kotawaringin Barat, D = Tingkat degradasi, ND = Non degradasi, D1 = Degradasi ringan, D2 = Degradasi sedang, D3 = Degradasi berat, Rm = Resiliensi alami, Rt = Resiliensi antropogenik, R1 = Resiliensi lambat, R2 = Resiliensi sedang, R3 = Resiliensi cepat, - = tidak berlaku.
JURNAL TANAH DAN IKLIM NO. 27/2008
30
Rekomendasi LUT
Berdasarkan tingkat degradasi dan resiliensi maka disusun rekomendasi penggunaan tanah terbagi tiga macam: 1) direkomendasikan, artinya jenis tanah tertentu tidak mengalami degradasi apabila diterapkan LUT tertentu; 2) direkomendasikan bersyarat, artinya akan terjadi degradasi tingkat sedang namun memiliki resiliensi sedang hingga cepat jika tanah tersebut digunakan untuk LUT tertentu; 3) tidak direkomendasikan, artinya penggunaan tanah tersebut akan menyebabkan degradasi berat atau sedang, namun resiliensi yang akan terjadi tergolong lambat.
Jenis rekomendasi LUT pada jenis tanah di Kalimantan Tengah yang termasuk direkomendasikan antara lain: 1) tanah Ultisols untuk LUT PL pola A, PPK pola A, Karet pola A dan C, kelapa sawit pola A dan B; 2) tanah Alfisols untuk LUT PL pola A, PPK pola A, karet pola A dan C, kelapa sawit pola A, B, dan C; 3) tanah Inceptisols untuk LUT PL pola A, PPK pola A dan B, karet pola A, B, dan C, kelapa sawit pola A, B, dan C. Jenis LUT yang direkomendasikan bersyarat antara lain: 1) tanah Ultisols pada LUT PL pola B, PPK pola B dan C, karet pola B, kelapa sawit pola C, 2) tanah Alfisols pada LUT PL pola B dan C, PPK pola B dan C; 3) tanah Inceptisols pada LUT PL pola B dan C, PPK pola C. Seluruh LUT yang digunakan tidak direkomendasikan pada tanah Spodosols.
KESIMPULAN
1. Potensi tanah di lokasi penelitian lebih baik dalam mendukung LUT berbasis tanaman perkebunan dibandingkan tanaman pangan.
2. Faktor utama degradasi dan resiliensi tanah-tanah di lahan kering Kalimantan Tengah adalah LQ ketersediaan hara, kecuali pada Spodosols dijumpai LQ deteriorasi tanah antropogenik.
3. Spodosols memiliki sifat mudah terdegradasi berat dan lambat untuk pulih kembali jika
digunakan untuk budidaya, sehingga perlu dipertahankan kondisi alaminya.
4. Taksa tanah tidak mampu menunjukkan bahwa tanah tertentu di lahan kering Kalimantan Tengah lebih tahan terhadap degradasi atau lebih cepat mengalami resiliensi.
SARAN
Pengelolaan wilayah untuk kawasan budidaya hendaknya menggunakan tanah yang dimungkinkan tidak mengalami deteriorasi tanah antropogenik yaitu Spodosols. Selain itu, upaya resiliensi adalah memperbaiki faktor pembatas, dan tidak hanya menyandarkan kepada proses alami namun juga diupayakan melalui rehabilitasi.
DAFTAR PUSTAKA
Adiwiganda, R., A.S. Koendadiri, dan Z. Poeloengan. 1993. Karakteristik tanah Spodosols pada formasi geologi Minas (Qpmi). Bulletin PPKS 1(2):163-173.
____________. 1994. Tinjauan pemupukan tanaman karet. Warta Perkaretan. 13(2):14-18.
Angkapradipta, P. 1976. Hasil sementara percobaan pemupukan optimum NPK dengan tanaman produktif klon GT 1 pada tanah Latosol. Menara Perkebunan 44(5):227-233.
Bastari, T. 1987. Penetapan anjuran teknologi untuk meningkatkan efisiensi penggunaan pupuk. Hlm. 7-35. Dalam Prosiding Lokakarya Nasional Efisiensi Pupuk. Cipayung, 16-17 November 1987. Puslittanak.
Badan Pusat Statistik. 2001. Statistik Indonesia 2001. Badan Pusat Statistik. Jakarta.
Balittan. 1986. Laporan Tahunan 1984/1985. Bogor.
Caliman, J.P. 1992. Kelapa sawit dan defisit air. Lokakarya Kiat Menghadapi Kemarau Panjang. Bandung, 19-20 Februari 1992. AP3I-Perhimpi-BMG. Hlm 22.
Doorenbos, J. and W.O. Pruitt. 1977. Guidelines for predicting crop water requirements. FAO. Rome. 144 p.
M.A. FIRMANSYAH ET AL. : KARAKTERISASI DAN RESILIENSI TANAH TERDEGRADASI DI LAHAN KERING KALIMANTAN TENGAH
31
Elliott, L.F., and J.M. Lynch. 1994. Biodiversity and soil resilience. CAB International. Pp 353-364.
Eswaran, H. 1994. Soil resilience and sustainable land management in the context of AGENDA 21. CAB International. Pp 21-40.
FAO. 1997. A framework for land evaluation. Soil Bulletin 32. Rome. 72 p.
Gupta, P.C. and C.J. O’toole. 1986. Upland rice a global perspective. IRRI. 360 p.
Hilman, Y. 2004. Inovasi teknologi pengembangan kedelai lahan kering masam. Hlm 10-22. Dalam Prosiding Lokakarya Pengembangan Kedelai Lahan Kering. Palembang, 9 Desember 2004. PPSE.
Islam, K.R. and R.R. Weil. 2000. Land use effects on soil quality in a tropical forest ecosystem of Bangladesh. Agric. Ecosys. Environ. 79:9-16.
Jumberi, A., M. Imberan M, dan Nurita. 1994. Pemupukan kalium padi gogo di lahan kering beriklim basah Kalimantan Selatan. Buletin Penelitian Kindai 5(1):23-30.
Lahjie, A.M. 1989. Praktek perladangan penduduk asli dan pendatang di Kaltim. Pp 163-178. In Proceeding of the Pusrehut Seminar on Reforestration. Mulawarman University.
Lynden, van G.W.J. and L.R. Oldeman. 1997. The assessment of the status of human-induced soil degradation in South and Southeast Asia. UNEP-FAO-ISRIC. 35 p.
Mar’ah, M. 1996. Pengaruh Tingkat Air Tersedia dan Tingkat Pemberian Pupuk K terhadap Pertumbuhan dan Hasil Tanaman. Skripsi. FMIPA. IPB. Hlm 87.
Oldeman, LR. 1994. An international methodology for an assessment of soil degradation land georeferenced soils and terrain database. Bangkok, 25-29 October 1994. FAO. Pp 35-68.
Pasaribu, D. dan S. Suprapto. 1985. Pemupukan NPK pada kedelai. Puslitbangtan. Hlm 159-169.
Puslittanak. 1997. Statistik Sumberdaya Lahan/ Tanah Indonesia. Hlm 301.
Seybold, C.A., J.E. Herrick, and J.J. Brejda. 1999. Soil resilience. Soil Sci. 164(4):224-234.
Shah, M.M. 1982. Economic aspects of soil erosion and conservation. CSR-FAO. Bogor. 19 p.
Sudjadi, M., J.S. Adiningsih, dan I P.G. Widjaja-Adhi. 1988. Pengelolaan lahan masam untuk tanaman pangan. Hlm 387-399. Dalam Risalah Simposium II Penelitian Tanaman Pangan. Buku 2. Ciloto, 21-23 Maret 1988. Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman Pangan.
Sudjito, D. 1986. Pengaruh Status Air Tanah terhadap Evapotranspirasi, Koefisien Tanaman, dan Pertumbuhan Empat Varietas (Galur) Padi Gogo. Skripsi. Jurusan Geofisika dan Meteorologi. FMIPA. IPB.
Sugiyanto, Y., M.Z. Nasution, dan H. Munthe. 1997. Peluang dan strategi peningkatan efisiensi pemupukan tanaman karet. Hlm 19-32. Dalam Prosiding Apresiasi Teknologi peningkatan Produktivitas Lahan Perkebunan Karet. Medan, 30-31 Juli 1997.
Sukarji, R., Sugiyono, dan W. Darmosarkoro. 2000. Pemupukan N, P, K, Ca, dan Mg pada kelapa sawit pada Typic Distropepts di Sumut. Jurnal Penelitian Kelapa Sawit 8(1):23-37.
Suwardjo, H., Rb. Sunyoto, Wahyunto, dan A. Dariah. 1996. Penyebaran lahan kiritis dan teknologi penanggulangannya di Kawasan Timur Indonesia. Hlm 275-295. Dalam Prosiding Temu Konsultasi Sumberdaya Lahan untuk Pembangunan Kawasan Timur Indonesia. Palu, 17-20 Januari 1994. Puslittanak.
Suwardjo, H. dan J. Prawirasumantri. 1987. Status report kelompok kerja efisiensi pupuk pada lahan kering. Hlm 141-160. Dalam Prosiding Lokakarya Nasional Efisiensi Pupuk. Cipayung, 16-17 November 1987.
Suwono. 1986. Pegaruh pemupukan kalium terhadap hasil dan pertumbuhan kedelai di lokasi “gejala kuning” di Ponorogo. Penelitian Palawija 4(2):142-148.
Sys, C. 1985. Land Evaluation Part I, II, III. State University of Ghent. 352 p.
Sys, C., Ranst vans E. and J. Debaveye. 1991. Land evaluation part I: principles in land evaluation and crop production calculations. Agricultural Publications No. 7. Brussels. 274 p.
JURNAL TANAH DAN IKLIM NO. 27/2008
32
Szabolcs, I. 1994. The concept of soil resilience. Pp 33-39. In. Greenland and Szabolcs (Ed.). Soil resilience and use sustainable land. CAB International. Wallingford.
Tambunan, D., H. Sihombing, dan R. Arianto. 1987. Hasil sementara percobaan pemupukan optimum NPK karet menghasilkan GT1 pada PMK. Buletin Perkaretan Rakyat 3(2):17-23.
Tengberg, A. and M. Stocking. 2001. Land degra-dation, food security, and agrobiodiversity-examining an old problem in a new way. Science Publishers, Inc. Pp 171-185.
Thomas, M., Lasminingsih, U. Junaidi, G. Wibawa, K. Amylupy, dan H. Sihombing. 1994. Pengaruh kekeringan dan usaha mengatasinya pada karet. Warta Perkaretan 13(2):1-7.
Uexkull von H. 1996. Constraints to agricultural pro-duction and food security in Asia. IMPHOS-AARD/CSAR. Bali, December 9-12, 1996. Pp 1-28.
Winarna, W. Darmosarkoro, dan E.S. Sutarta. 2000. Teknologi Pemupukan Tanaman Kelapa Sawit. PPKS. Medan. Hlm 113-134.
Wischmeier, W.H. and D.D. Smith. 1978. Predicting rainfall erosion losses: a guide to conservation planning. USDA. Agriculture Handbook No. 537. 58 p.
33
Pengaruh Pengeringan dan Pembasahan Terhadap Sifat Kimia Tanah Sulfat Masam Kalimantan
The Effects of Drying and Wetting on the Soil Chemical Properties of Acid Sulphate Soils of Kalimantan
M. NOOR1, A. MAAS2, DAN T. NOTOHADIKUSOMO2
ABSTRAK
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh pengeringan dan pembasahan terhadap perubahan sifat-sifat kimia tanah sulfat masam, Kalimantan. Penelitian dirancang menurut Acak Lengkap dengan dua ulangan. Perlakuan terdiri atas dua faktor. Faktor I terdiri atas empat tingkat reaktivitas tanah, yaitu reaktivitas lemah (R1), sedang (R2), agak kuat (R3) dan kuat (R4). Faktor II terdiri atas pengeringan, pembasahan dan pengenceran, yaitu (1) pengeringan langsung setelah pembasahan (W1), (2) pembasahan terus-menerus (W2), (3) pengeringan setelah pembasahan dan pengenceran (W3); dan (4) pembasahan dan pengenceran (W4). Hasil penelitian menunjukkan bahwa pengeringan langsung setelah pembasahan (W1) dan pengeringan setelah pembasahan dan pengenceran (W3) atau pembasahan terus-menerus (W2) menunjukkan pH lebih rendah dibandingkan dengan pembasahan dan pengenceran (W4). Pengeringan pada tanah reaktivitas kuat (R4) tidak sampai menurunkan pH secara nyata. Pengeringan langsung setelah pembasahan (W1) mempunyai nilai DHL tanah lebih tinggi dibandingkan dengan pembasahan terus-menerus (W2) dan pembasahan disertai pengenceran (W4) atau pengeringan setelah pembasahan dan pengenceran (W3). Pembasahan terus-menerus (W2) dan pengeringan setelah pembasahan (W1) mempunyai kemasaman total tertukar masing-masing 63,30 dan 61,71 cmolc kg-1 lebih tinggi dibandingkan pembasahan yang disertai pengenceran (W3, W4) masing-masing mempunyai kemasaman tertukar 54,03 dan 51,95 cmolc kg-1. Pengaruh pengeringan, pembasahan, dan pengenceran terhadap kemasaman total tertukar atau Al3+ tertukar dan H+ tertukar sangat nyata pada tanah reaktivitas kuat. Semua kation-kation basa (Ca, Mg, K, Na) pada perlakuan pengeringan setelah pembasahan (W1) lebih rendah dibandingkan pembasahan terus-menerus (W2) dan pengeringan/pembasahan dengan pengenceran (W3, W4). Pengeringan setelah pembasahan (W1) dan yang disertai dengan pengenceran (W3, W4) jauh menurunkan Mg tertukar khususnya pada tanah reaktivitas kuat (R4), tetapi sebaliknya pada tanah reaktivitas lemah (R1). Pengeringan setelah pembasahan (W1) meningkatkan Na tertukar, khususnya pada tanah reaktivitas lemah (R1), tetapi pembasahan yang disertai pengenceran (W3, W4) menurunkan Na tertukar.
Kata kunci : Reklamasi, Dinamika kimia tanah, Sulfat masam
ABSTRACT
This reseach aimed to study the effects of land reclamation (drying, wetting, flushing, and leaching) on the change of soil chemical properties of acid sulphate soils from Kalimantan. Randomized Complete Design (RCD) by two factors treatments with two replications is used in this research. Factor I was soil reactiveness that is define as (a) low reactive= R1; (b) moderate reactive =R2; (c) strong reactive= R3, and (d) very strong reactive= R4 respectively. Factor II was drying, wetting,
and diluting that is define as (1) drying continuously after wetting = W1, (2) wetting continuously = W2; (3) drying after weeting and diluting =W3; and (4) wetting and diluting. The result of experiments show that continuous drying after wetting (W1) and drying after wetting and diluting (W3) or continuous weeting (W2) gave soils pH lower than the weeting and diluting (W4). Dried on the strong reactive soils (R4) not decrease soil pH significantly. The continouos drying after wetting (W1) can increase EC (electrical conductivity) higher than the continous wetting (W2) and wetting that followed diluting (W4) or drying after wetting and diluting (W3). The continouos wetting (W2) and the continouos drying after wetting (W1) has given the total soluble acidity of 63,30 dan 61,71 cmolc kg-1 respectively, higher than drying after wetting and diluting (W3) and wetting that followed diluting (W4) that given total soluble acidity of 54,03 and 51,95 cmolc kg-1 respectively. The effects of drying, wetting, flushing, and leaching on the total soluble acidity, Soluble Al and soluble H, especially on the strong reactive soils are very significant. All of the exchangeble bases (Ca, Mg, K, Na) on the continouos drying after wetting (W1) are lower than the continous wetting (W2) and wetting that followed diluting (W4) or drying after wetting and diluting (W3) respectively. The continouos drying after wetting (W1), the continous wetting (W2) and wetting that follow diluting (W4) or drying after wetting and diluting (W3) decrease exchangable Mg, especially on strong reactive soils (R4), but contradictive to low reactive soils (R1). The continouos drying after wetting (W1) increase exchangable Na, especially on low reactive soils (R1), but the wetting that followed diluting (W3, W4) decreases exchangable Na.
Keywords : Reclamation, Soil chemical dynamic, Acid sulphate
soils
PENDAHULUAN
Tanah sulfat masam mempunyai sifat mudah berubah (fragile). Pemanfaatan tanah sufat masam untuk pengembangan pertanian sudah sejak lama dilakukan karena terbatasnya tanah-tanah yang subur. Perluasan areal pertanian ke tanah-tanah piasan (marginal) seperti tanah sulfat masam ini juga didorong oleh perkembangan pertambahan penduduk yang cepat dan penyebarannya yang tidak merata.
Pemanfaatan tanah sulfat masam untuk
1. Peneliti pada Balai Penelitian Pertanian Lahan Rawa, Banjarbaru.
2. Guru Besar pada Fakultas Pertanian, UGM, Yogyakarta.
ISSN 1410 – 7244
JURNAL TANAH DAN IKLIM NO. 27/2008
34
pengembangan pertanian dihadapkan pada sifat-sifat kimia tanahnya yang kurang mendukung antara lain pH yang rendah; kadar Al, Fe, Mn, dan SO4 yang tinggi; salintas yang tinggi, kahat hara P, Cu, Zn, dan B. Permasalahan utama pada tanah sulfat masam akibat adanya lapisan pirit (FeS2). Lapisan pirit ini sejatinya dibiarkan di lapisan bawah yang reduktif, tetapi dalam reklamasi lahan dan pengolahan tanah, pirit dapat tersingkap bahkan sebagian muncul di permukaan tanah (Pons, 1973; Dent, 1986). Pirit bersifat labil dalam suasana aerob dan mudah teroksidasi yang memunculkan kemasaman tanah sampai mencapai pH 2-3 sehingga hampir semua tanaman budidaya tidak dapat tumbuh sehat (Rorison, 1973; Mensvoort et al., 1985; Bloomfield and Coulter, 1973). Oksidasi pirit merupakan proses fisiko-kimia, dan mikrobiologi. Oksidasi utama oleh oksigen secara perlahan menghasilkan Fe2+, SO4
2-, dan H+. Proses oksidasi ini dikatalisir oleh bakteri autotroph pada pH mendekati netral. Waktu paruh dari reaksi oksidasi oleh oksigen ini antara 20-1.000 menit (Stumm and Morgan dalam Dent, 1986). Oksidasi pirit juga terjadi oleh Fe3+ sebagai oksidator. Proses oksidasi ini berlangsung sangat cepat bahkan lebih cepat dari reaksi oksidasi Fe2+ sendiri untuk menjadi Fe3+.
Rumus berikut menggambarkan peristiwa oksidasi pirit yang menghasilkan Fe3+, SO4
2-, dan H+:
• Seluruh besi dioksidasi dan tertinggal dalam larutan sebagai bentuk Fe3+ FeS2 + 15/4O2 + ½H2O → Fe3+ + 2SO4
2- + H+
• Besi dibebas sebagai Fe2+ FeS2 + 7/2O2 + H2O → Fe2+ + 2SO4
2- + 2H+
• Seluruh besi diendapkan dan dihidrolisis menjadi besi (III) hidroksida FeS2 + 15/4O2 + 7/2H2O → Fe(OH)3 + 2SO4
2- + 4H+
• Terbentuknya jarosit FeS2 + 15/4O2 + 5/2H2O + 1/3K+ → 1/3 KFe3(SO4)2 (OH)6 + 4/3SO4
2- + 3H+
• Oksidasi oleh Fe3+
FeS2 + 14Fe3+ + 8H2O → 15Fe2+ + 2SO42- +
16H+
Besi ferro (Fe2+) kembali masuk ke dalam sistem untuk dioksidasi oleh bakteri Thiobacilus ferrooxidans menurut persamaam reaksi berikut:
Fe2+ + ¼O2 + H+ → Fe3+ + ½H2O
Laju reaksi dikendalikan oleh luas permukaan pirit dan laju transfer oksidan (O2 dan Fe3+) dalam sistem tanah.
Pada kondisi lapangan, proses oksidasi tidak dapat dihindarkan. Oksidasi berjalan sangat kompleks, masuknya oksigen melalui pori-pori atau retakan tanah, bekas akar tanaman, bahkan melalui aliran air yang masuk baik oleh oksigen maupun oleh Fe3+ (Breemen, 1979). Reklamasi lahan atau pengatusan secara berlebihan dari sistem jaringan tata air yang dimaksudkan untuk menurunkan genangan air musim hujan dapat berubah menjadi penyebab pengeringan hebat di musim kemarau. Kondisi lingkungan rawa yang dipengaruhi oleh pasang dan surutnya air laut/sungai cukup memberi kontribusi terhadap perubahan terhadap sifat-sifat kimia dan hara tanah.
Penelitian ini dimaksudkan untuk mengetahui pengaruh pengeringan, pembasahan, dan kombinasi-nya dengan pengenceran terhadap sifat-sifat kimia tanah sulfat masam (Typic Sulfaquents dan Typic Sulfaquepts) dari Kalimantan.
BAHAN DAN METODE
Bahan dan deskripsi tanah penelitian
Tanah sulfat masam (Typic Sulfaquents dan Typic Sulfaquepts) yang digunakan dalam penelitian ini terdiri atas empat tingkat reaktivitas berdasarkan pada perlakuan dengan larutan peroksida (H2O2) 30% dengan memperhatikan gejala yang muncul antara lain: intensitas buih, waktu reaksi, warna buih, pH buih, warna endapan, warna larutan, dan pH larutan setelah pengenceran (Notohadiprawiro, 1985; Jansen et al., 1900; Sri-Nuryani et al.,
M. NOOR ET AL. : PENGARUH PENGERINGAN DAN PEMBASAHAN TERHADAP SIFAT KIMIA TANAH SULFAT MASAM KALIMANTAN
35
2000). Reaktivitas dipilah dalam empat kategori yang terdiri atas reaktivitas lemah (R1), reaktivitas sedang (R2), reaktivitas agak kuat (R3), dan reaktivitas kuat (R4).
Tanah sulfat masam diambil dari lokasi UPT (Unit Pemukiman Transmigrasi) Tabunganen, Kalsel, UPT Palingkau, Kalteng, UPT Sungai Puntik, Kalsel, dan UPT Basarang, Kalteng berturutan mempunyai reaktivitas lemah (R1), sedang (R2), agak kuat (R3), dan kuat (R4). Dua contoh tanah pertama (R1, R2) diambil dari lapisan atas tanah sawah, sedangkan dua terakhir (R3, R4) diambil dari lapisan atas tanah surjan. Keempat lokasi contoh tanah merupakan lahan usaha tani bagi transmigrasi yang dibuka antara tahun 1969-1995. Tabel 1 menunjukkan deskripsi umum dan karakteristik tanah dengan selidik cepat di lapangan.
Metode dan rancangan penelitian
Keempat jenis tanah di atas (Tabel 1) dikeringanginkan (lolos ayakan 0,50 cm) dan ditimbang 100 g sebelum diperlakukan. Perlakuan terdiri atas dua faktor disusun dengan rancangan
acak lengkap dengan dua ulangan.
Faktor I terdiri atas jenis reaktivitas tanah, yaitu (a) reaktivitas lemah = R1; (b) sedang = R2; (3) agak kuat = R3; dan (4) kuat = R4). Faktor II terdiri atas pengeringan, pembasahan, dan pengen-ceran, yaitu (1) pengeringan langsung setelah pembasahan = W1; (2) pembasahan terus-menerus = W2; (3) pengeringan setelah pembasahan dan pengenceran = W3; dan (4) pembasahan dan pengenceran = W4. Jadi keseluruhan perlakuan berjumlah 4 x 4 x 2 = 32 unit.
Pembasahan menggunakan air suling (aquadest) dan pengocokan menggunakan mesin pengocok dengan kecepatan 180 RPM selama empat jam kemudian dibiarkan 1-2 x 24 jam agar pengedapan sempurna. Pembasahan (pemberian air) disesuaikan dengan kehilangan air selama pengeringan (W1, W3). Pengenceran sekaligus karena adanya pengambilan contoh air lindian untuk dianalisis di laboratorium (W3, W4). Pengeringan menggunakan pemanas (oven) listrik yang dipertahankan pada suhu 60oC sampai dicapai berat tanah semula (pada keadaan kering udara) yang memerlukan waktu rata-rata 2-3 x 24 jam. Pembasahan dan pengeringan dilakukan sebanyak 5
Tabel 1. Deskripsi dan karakteristik contoh tanah penelitian
Table 1. Description and characteristics of soil samples used in this research
Tingkat reaktivitas Karakteristik
Lemah (R1) Sedang (R2) Agak kuat (R3) Kuat (R4)
Warna 10 YR 6/2-2,5 Y 6/2 10 YR 6/2-10 YR 3/2 10 YR 3/1 10 YR 4/2
Bercak Tanpa 7,5 YR 5/8 Tanpa 5 Y 6/1
Tekstur Lempung Lempung Lempung debuan Lempung debuan
Kematangan Hampir mentah Setengah matang Hampir matang Hampir matang
pH-H20 (inkubasi) 5,99 4,36 3,83 3,11
Reaksi dengan peroksida • Intensitas buih Lemah Lemah Sedang Sangat kuat
• Waktu tunggu berbuih > 3 menit > 3 menit > 3 menit < 3 menit
• Warna buih 10 YR 5/3 10 YR 3/1-3/2 10 YR 3/1 5 Y 6/2
• pH buih 4,00 4,00 3,41 1,00
Setelah pengenceran
• Warna larutan Kuning bening Kuning bening Kuning teh Kuning teh
• Warna endapan 5 Y 6/1 5 Y 6/1 5 Y 6/1
• pH larutan 3,83 2,96 2,82 1,96
Lokasi contoh tanah Tabunganen Palingkau Sei Puntik Basarang
JURNAL TANAH DAN IKLIM NO. 27/2008
36
kali setiap sepuluh hari dan terakhir (ke-6) dilakukan setelah 30 hari sehingga waktu yang digunakan untuk pengamatan mencapai 80 hari (sekitar 3 bulan).
Sifat-sifat kimia tanah yang diamati meliputi pH, daya hantar listrik (DHL), Al3+, H+, SO4
2-, Fe2+, Ca2+, Mg2+, K+, dan Na+ tertukar pada keadaan awal dan akhir pembasahan dan pengeringan. Selain itu juga diamati sifat kimia tanah lainnya seperti N-total, C-organik, P-tersedia, S-terlarut, S-total, S-pirit, dan Fe-tertukar pada keadaan awal.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Sifat kimia tanah awal
Kemasaman tanah beragam dari agak masam sampai sangat masam antara pH 5,15 (R2) sampai 2,52 (R4). Semakin reaktivitas sifat reaksi tanah semakin masam. Reaktivitas tanah yang kuat menunjukan kadar pirit yang tinggi. DHL beragam antara 0,13 dS m-1 (R2) sampai 3,37 dS m-1 (R4). DHL atau tingkat kegaraman pada tanah reaktivitas lemah (R1) cukup tinggi 2,12 dS m-1 akibat pengaruh lingkungan marin dan susupan air laut sesuai dengan lokasi (Tabunganen) yang dekat dengan pesisir pantai/laut. Kadar bahan organik tanah cukup tinggi berkisar antara 7-30%. Kadar bahan organik tanah reaktivitas agak kuat (R3) paling tinggi karena berasosiasi dengan tanah gambut. Basa tertukar dalam bentuk Ca tertukar dan Mg tertukar pada tanah reaktivitas kuat (R4) tergolong tinggi dimungkinkan karena kondisi lahan pernah diberikan kapur dolomit secara terbatas sebelumnya, tetapi tidak menunjukkan pengaruh terhadap kemasaman tanah. Tingkat kemasaman total dan aluminium tertukar tergolong rendah pada tanah reaktivitas lemah (R1) sebesar 4,49 cmolc kg-1 dan reaktivitas sedang sebesar (R2) 2,49 cmolc kg-1, tetapi tergolong tinggi pada tanah reaktivitas agak kuat (R3) dan reaktivitas kuat (R4) masing-masing mencapai 11,68 dan 29,10 cmolc kg-1. Kadar pirit sebagai sumber kemasaman menunjukkan perbedaan jelas antara tanah reaktivitas lemah, sedang dan
kuat. Kadar pirit pada tanah reaktivitas kuat (R4) mencapai 5,60%, menyusul reaktivitas agak kuat (R3), sedang (R2), dan lemah (R1) masing-masing 2,43; 1,51; dan 1,35%. Deskripsi dan karakteristik tanah lapangan antara lain pH inkubasi, reaksi atau intensitas buih, dan pH larutan menunjukkan hubungan yang baik dengan kadar pirit (Tabel 1). Dengan kata lain, uji lapangan menggunakan larutan H2O2 30% menunjukkan dapat memberikan gambaran kondisi kemasaman dan kadar pirit dari tanah sulfat masam. Tabel 2 menyajikan sifat-sifat kimia tanah keadaan awal sebelum pembasahan dan pengeringan.
Sifat kimia tanah setelah pengeringan dan pembasahan
Kemasaman atau pH tanah
Pengeringan langsung setelah pembasahan (W1) dan pengeringan setelah pembasahan dan pengenceran (W3) atau pembasahan terus-menerus (W2) menunjukkan pH lebih rendah dibandingkan dengan pembasahan dan pengenceran (W4). Pembasahan dan pengenceran (W4) memberikan nilai pH tanah lebih tinggi (pH > 4), kecuali pada tanah reaktivitas kuat (R4) pH tanah relatif tetap (pH < 3) (Gambar 1). Pembasahan dapat menurunkan redoks potensial (Eh) sehingga meningkatkan nilai pH, sedangkan pengenceran jelas berhubungan dengan menurunnya kadar ion yang berada dalam larutan termasuk jumlah ion hidrogen sehingga menaikkan nilai pH dengan turunnya kadar ion H+. Menurut Ponnamperuma (1977) penggenangan pada tanah sulfat masam dapat meningkatkan pH tanah, tetapi setelah 2 minggu penggenangan pH relatif tetap. Pengeringan sejatinya menurunkan pH tanah, karena pengeringan dapat menimbulkan oksidasi terhadap pirit yang melepaskan ion-ion sulfat dan hidrogen pada pH 2-3 (Pons, 1973, Notohadikusumo, 2000), tetapi khususnya pada tanah reaktivitas kuat (R4) pengeringan tidak sampai menurunkan pH secara nyata. Gejala ini menunjukkan bahwa pH
M. NOOR ET AL. : PENGARUH PENGERINGAN DAN PEMBASAHAN TERHADAP SIFAT KIMIA TANAH SULFAT MASAM KALIMANTAN
37
Tabel 2. Sifat kimia tanah keadaan awal
Table 2. Soil chemical properties before treatments
Tingkat reaktivitas Sifat kimia tanah
Lemah (R1) Sedang (R2) Agak kuat (R3) Kuat (R4)
pH-H2O (1:2,5) 4,80 5,15 3,75 2,52 pH KCl (1:2,5) 4,00 4,02 3,17 2,30 DHL (dS/m) 2,120 0,139 0,198 3,370 N-total (%) 0,21 0,26 0,54 0,20 Bahan organik (%) 7,81 7,93 29,60 8,84 P-Bray II (ppm) 1,88 6,97 30,16 0,31
KTK (cmolc kg-1) 21,73 (S)* 21,21 (S)* 19,81 (S)* 25,34 (T)* Ca-exch (cmolc kg-1) 10,02 (S) 6,75 (S) 9,78 (S) 18,36 (T) Mg-exch (cmolc kg-1) 2,67 (T) 1,08 (R) 0,78 (R) 3,21 (T) K-exch (cmolc kg-1) 0,83 (T) 0,15 (R) 0,11 (R) 0,07 (SR) Na-exch (cmolc kg-1) 0,71 (S) 0,19 (R) 0,23 (R) 0,05 (SR)
Al-tertukar (cmolc kg-1) 0,00 0,00 1,32 9,45 H-tertukar (cmolc kg-1) 4,48 2,49 10,36 14,65 Fe-tertukar (cmolc kg-1) 0,06 0,05 0,04 0,11 S-terlarut (%) 0,04 0,04 0,04 4,17 S-total (%) 1,40 1,60 2,47 9,77 S-pirit (%) 1,36 1,56 2,43 5,60
Keterangan: * (SR) = Sangat rendah; (R) = Rendah; (S) = Sedang; (T) = Tinggi
0,0
1,0
2,0
3,0
4,0
5,0
6,0
7,0
W1 W2 W3 W4Pengeringan dan Pembasahan
pH-H
2O (1
:2,5
)
R1- Reaktif Lemah
R2-Reaktif Sedang
R3-Reaktif Agak Kuat
R4-Reaktif Kuat
Keterangan: W1 = Pengeringan langsung setelah pembasahan W2 = Pembasahan terus-menerus W3 = Pengeringan setelah pembasahan dan pengenceran W4 = Pembasahan dan pengenceran
Gambar 1. Pengaruh pengeringan, pembasahan, dan pengenceran terhadap pH-tanah
Figure 1. The effect of drying, wetting, flushing, and diluting on soil pH
pH-H
2O
(1:2
,5)
7,0
6,0
5,0
4,0
3,0
2,0
1,0
0,0 W1 W2 W3 W4 Pengeringan dan pembasahan
JURNAL TANAH DAN IKLIM NO. 27/2008
38
2,8 pada tanah reaktivitas kuat (R4) merupakan batas minimal kemampuan (buffer capacity) tanah, sedangkan pada tanah-tanah yang mempunyai bahan organik yang tinggi dan aerasi yang jelek, oksidasi dapat terhambat yang dicirikan dengan tidak terbentuknya jarosit (Breemen, 1976; Mensvoort and Tri, 1988; Sutrisno, 1990) sehingga pengeringan tidak berpengaruh besar terhadap perubahan pH seperti pada tanah reaktivitas kuat (R3) dan sangat kuat (R4).
Daya hantar listrik (DHL)
Pembasahan terus-menerus (W2) dan pembasahan yang disertai pengenceran (W4) dan atau pengeringan langsung setelah pembasahan (W1) dan pengeringan setelah pembasahan dan pengenceran (W3) rata-rata meningkatkan DHL dari keadaan awal. Masing-masing tanah reaktivitas lemah (R1), sedang (R2), agak kuat (R3) dan kuat (R4) pada keadaan awal mempunyai DHL berturut-
turut 2,12; 0,13; 0,20; dan 3,37 dS m-1 (Tabel 2). Pengeringan langsung setelah pembasahan (W1) mempunyai nilai DHL tanah lebih tinggi dibandingkan dengan pembasahan terus-menerus (W2) dan pembasahan disertai pengenceran (W4) atau pengeringan setelah pembasahan dan pengenceran (W3). Hal ini terjadi dengan beberapa sebab antara lain sebagian ion ikut hilang bersamaan dengan (1) pengeringan, dan atau (2) pengenceran. Dengan kata lain, pengeringan setelah pembasahan (W3) atau pengenceran terus-menerus (W4) secara sinambung menurunkan kadar ion-ion dalam tanah. Ion-ion yang hilang akibat pengeringan atau pemanasan antara lain SO2, NO2, hidrokarbon dan karbonmonoksida (CO). Pengaruh pembasahan dan pengenceran tampak sangat jauh menurunkan DHL pada tanah reaktivitas lemah (R1) dan tanah reaktivitas kuat (R4) seperti disajikan pada Gambar 2. Keadaan ini menunjukkan bahwa garam-garam pada tanah-tanah
0,0
2,0
4,0
6,0
8,0
W1 W2 W3 W4
Pengeringan dan Pembasahan
DA
L (d
S.m
-1)
R1-Reaktif Lemah
R2-Reaktif Sedang
R3-Reaktif Agak Kuat
R4-Reaktif Kuat
W1 W2 W3 W4 Pengeringan dan pembasahan
8,0
6,0
4,0
2,0
0,0
DH
L (d
S m
-1)
Keterangan: W1 = Pengeringan langsung setelah pembasahan W2 = Pembasahan terus-menerus W3 = Pengeringan setelah pembasahan dan pengenceran W4 = Pembasahan dan pengenceran
Gambar 2. Pengaruh pengeringan, pembasahan, dan pengenceran terhadap DHL tanah
Figure 2. The effect of drying, wetting, flushing, and diluting on soil electrical conductivity
M. NOOR ET AL. : PENGARUH PENGERINGAN DAN PEMBASAHAN TERHADAP SIFAT KIMIA TANAH SULFAT MASAM KALIMANTAN
39
yang dipengaruhi pasang atau intrusi air laut mudah digelontor atau dilindi, sedangkan pada tanah reaktivitas kuat (R4) akibat kemasaman yang tinggi disertai dengan pengeringan dapat memacu kation tertukar seperti Al3+, H+ untuk terlarut agar selanjutnya mudah dilindi.
Kemasaman total tertukar
Kemasaman total tertukar (jumlah aluminium dan hidrogen tertukar) dari tanah reaktivitas lemah (R1) menurun dari keadaan awal, tetapi untuk tanah reaktivitas sedang (R2), agak kuat (R3) dan kuat (R4) meningkat. Berturutan dari tanah reaktivitas lemah sampai kuat mempunyai kemasaman total tertukar rata-rata sebesar 4,49 (R1); 2,49 (R2); 11,68 (R3); dan 24,10 cmolc kg-1 (R4) menurun menjadi 2,91 cmolc kg-1 (untuk R1); dan meningkat
menjadi 40,88 (R2); 50,18 (R2) dan 136,37 (R3) cmolc kg-1. Pembasahan terus-menerus (W2) dan pengeringan setelah pembasahan (W1) memberikan kemasaman total tertukar masing-masing 63,30 dan 61,71 cmolc kg-1 lebih tinggi dibandingkan pembasahan yang disertai pengenceran (W3) atau pengeringan setelah pembasahan dan pengenceran (W4) masing-masing mempunyai kemasaman tertukar 54,03 dan 51,95 cmolc kg-1. Pengaruh pengeringan, pembasahan, dan pengenceran terhadap kemasaman total tertukar atau Al3+ tertukar dan H+ tertukar sangat nyata pada tanah reaktivitas kuat (Gambar 3, 4, dan 5). Pengeringan (W1) meningkatkan kemasaman total tertukar, Al3+ atau H+ tertukar secara tajam jauh lebih tinggi dibandingkan dengan pembasahan terus-menerus (W2) atau pengeringan setelah pembasahan dan pengenceran (W3).
4 6 0 1
41 3543 45
54 5039
59
204
162
9486
0
50
100
150
200
250
W1 W2 W3 W4
Pengeringan dan Pembasahan
Kem
asam
an to
tal t
ertu
kar (
cmol
(+).k
g-1)
R1- Reaktif Lemah
R2-Reaktif Sedang
R3-Reaktif Agak Kuat
R4-Reaktif Kuat
250
200
150
100
50
0
Kem
asam
an t
otal
ter
tuka
r (c
mol
c kg
-1)
W1 W2 W3 W4 Pengeringan dan pembasahan
Keterangan: W1 = Pengeringan langsung setelah pembasahan W2 = Pembasahan terus-menerus W3 = Pengeringan setelah pembasahan dan pengenceran W4 = Pembasahan dan pengenceran
Gambar 3. Pengaruh pengeringan, pembasahan, dan pengenceran terhadap kemasaman total tertukar
Figure 3. The effect of drying, wetting, flushing, and diluting on total exchangable acidity
JURNAL TANAH DAN IKLIM NO. 27/2008
40
0 0 0 0
2621
29 2933
28 25
39
105
66
48 47
0
20
40
60
80
100
120
W1 W2 W3 W4
Pengeringan dan Pembasahan
Al t
ertu
kar (
cmol
(+).k
g-1) R1- Reaktif Lemah
R2-Reaktif Sedang
R3-Reaktif Agak Kuat
R4-Reaktif Kuat
Gambar 4. Pengaruh pengeringan, pembasahan, dan pengenceran terhadap aluminium tertukar
Figure 4. The effect of drying, wetting, flushing, and diluting on exchangable aluminium
Pengeringan dan pembasahan
Al t
ertu
kar
(cm
olc kg
-1)
120
100
80
60
40
20
0
4 60 1
16 14 14 1621 21
1420
99 96
4739
0
20
40
60
80
100
120
W1 W2 W3 W4
Pengeringan dan Pembasahan
H+ te
rtuka
r (cm
ol (+
).kg-1
) R1- Reaktif Lemah
R2-Reaktif Sedang
R3-Reaktif Agak Kuat
R4-Reaktif Kuat
Pengeringan dan pembasahan
H+ t
ertu
kar
(cm
olc kg
-1)
120
100
80
60
40
20
0
Keterangan: W1 = Pengeringan langsung setelah pembasahan W2 = Pembasahan terus-menerus W3 = Pengeringan setelah pembasahan dan pengenceran W4 = Pembasahan dan pengenceran
Gambar 5. Pengaruh pengeringan, pembasahan, dan pengenceran terhadap hidrogen tertukar
Figure 5. The effect of drying, wetting, flushing, and diluting on exchangable hidrogen
M. NOOR ET AL. : PENGARUH PENGERINGAN DAN PEMBASAHAN TERHADAP SIFAT KIMIA TANAH SULFAT MASAM KALIMANTAN
41
Kapasitas tukar kation
Kapasitas tukar kation (KTK) dari masing-masing tanah rata-rata mengalami penurunan, kecuali pada tanah reaktivitas agak kuat (R3) meningkat. Hal ini karena pada tanah reaktivitas agak kuat (R3) kadar bahan organik sangat tinggi sehingga mempunyai daya sangga lebih besar. Pembasahan terus-menerus (W2) memberikan KTK lebih tinggi dibandingkan dengan pembasahan yang disertai pengenceran (W1) atau yang dilanjutkan dengan pengeringan (W3, W4) (Gambar 6). Keadaan ini menunjukkan bahwa sebagian besar kation hilang akibat pengeringan dan pengenceran yang merupakan konsekuensi dari upaya reklamasi - pengatusan dan pelindian (Maas et al., 2000).
Kation-kation basa tertukar
Semua kation-kation basa (Ca, Mg, K, Na) pada perlakukan pengeringan setelah pembasahan
(W1) lebih rendah dibandingkan pembasahan terus-menerus (W2) dan pengeringan/pembasahan dengan pengenceran (W3, W4). Kation-kation utama yang merajai setelah pengeringan dan pembasahan adalah Mg dan Na. Menurut Maas et al. (2000), munculnya dominasi kation Mg dan Na pada tanah sulfat masam, terutama setelah reklamasi lahan merupakan watak dari kondisi ekosistem marin yang menyimpan bekas sisa kehidupan laut (koral). Pengeringan setelah pembasahan (W2) dan yang disertai dengan pengenceran (W3, W4) jauh menurunkan Mg tertukar khususnya pada tanah reaktivitas kuat (R4), tetapi sebaliknya pada tanah reaktivitas lemah (R1). Hal ini diduga karena cadangan Mg pada tanah reaktivitas lemah (R1) cukup besar dan dengan selang selingnya pengeringan dan pembasahan/pengenceran maka proses pelapukan meningkat yang mendorong meningkatnya Mg tertukar. Pengeringan setelah
2021
19
17
21
16
2019
22
24 23 23
19
21 21
23
10
15
20
25
30
W1 W2 W3 W4
Pengeringan dan Pembasahan
KP
K (c
mol
(+).k
g-1)
R1- Reaktif Lemah
R2-Reaktif Sedang
R3-Reaktif Agak Kuat
R4-Reaktif Kuat
Pengeringan dan pembasahan
30
25
20
15
10
KTK
(cm
olc kg
-1)
Keterangan: W1 = Pengeringan langsung setelah pembasahan W2 = Pembasahan terus-menerus W3 = Pengeringan setelah pembasahan dan pengenceran W4 = Pembasahan dan pengenceran
Gambar 6. Pengaruh pengeringan, pembasahan, dan pengenceran terhadap kapasitas tukar kation (KTK)
Figure 6. The effect of drying, wetting, flushing, and diluting on capacity exchangable cations
JURNAL TANAH DAN IKLIM NO. 27/2008
42
pembasahan (W2) meningkatkan Na tertukar, khususnya pada tanah reaktivitas lemah (R1), tetapi pembasahan yang disertai pengenceran (W3, W4) menurunkan Na tertukar dari semula tergolong sedang pada kadar 0,71 cmolc kg-1 (Tabel 2). Hal ini karena Na mudah terlindi sehingga pengenceran mendorong menurunkan Na tertukar (Gambar 7). Hasil ini sejalan dengan yang digambarkan nilai DHL di atas yang menunjukkan bahwa pengenceran (W3, W4) diikuti penurunan DHL. Pola susunan kation-kation di tanah reaktivitas lemah (R1): Mg > Na > Ca> K; tanah reaktivitas sedang (R2): Mg > Na = K > Ca; tanah reaktivitas agak kuat (R3) dan kuat (R4) masing-masing: Mg > Na > K > Ca. Pola susunan ini merupakan ciri umum dari tanah atau lingkungan marin (Maas et al., 2000).
KESIMPULAN DAN SARAN
1. Pengeringan langsung setelah pembasahan (W1) dan pengeringan setelah pembasahan dan pengenceran (W3) atau pembasahan terus-menerus (W2) menunjukkan pH lebih rendah dibandingkan dengan pembasahan dan pengenceran (W4).
2. Pengeringan langsung setelah pembasahan (W1) menpunyai nilai DHL tanah lebih tinggi dibandingkan dengan pembasahan terus-menerus (W2) dan pembasahan disertai pengenceran (W4) atau pengeringan setelah pembasahan dan pengenceran (W3).
3. Pembasahan terus-menerus (W2) dan penge-ringan setelah pembasahan (W1) mempunyai kemasaman total tertukar masing-masing 63,30
0,0
1,0
2,0
3,0
4,0
5,0
6,0
7,0
8,0
9,0
Perlakuan
Katio
n Ba
saTe
rtuka
r (cm
ol (+
)kg-
1)
R1-Reaktif Lemah 4,44 5,12 7,61 8,14 7,12 8,19 0,34 0,77
R2-Reaktif Sedang 0,37 0,19 0,21 0,25 0,22 0,13 0,03 0,03
R3-Reaktif Agak Kuat 0,15 0,05 0,52 0,50 0,55 0,28 0,02 0,04
R4-Reaktif Kuat 5,19 2,81 1,55 1,35 0,01 0,13 0,01 0,06
W1 W2 W3 W4 W1 W2 W3 W4
Mg Na
Kat
ion
basa
ter
tuka
r (c
mol
c kg
-1)
Perlakuan Keterangan: W1 = Pengeringan langsung setelah pembasahan W2 = Pembasahan terus-menerus W3 = Pengeringan setelah pembasahan dan pengenceran W4 = Pembasahan dan pengenceran
Gambar 7. Pengaruh pengeringan, pembasahan, dan pengenceran terhadap kation-kation basa tertukar (Mg dan Na)
Figure 7. The effect of drying, wetting, flushing, and diluting on exchangable cations Mg and Na
M. NOOR ET AL. : PENGARUH PENGERINGAN DAN PEMBASAHAN TERHADAP SIFAT KIMIA TANAH SULFAT MASAM KALIMANTAN
43
dan 61,71 cmolc kg-1 lebih tinggi dibandingkan pembasahan yang disertai pengenceran (W3, W4) masing-masing mempunyai kemasaman tertukar 54,03 dan 51,95 cmolc kg-1. Pengaruh pengeringan, pembasahan, dan pengenceran terhadap kemasaman total tertukar atau Al3+ tertukar dan H+ tertukar sangat nyata pada tanah reaktivitas kuat.
4. Pengeringan setelah pembasahan (W2) dan yang disertai dengan pengenceran (W3, W4) menurunkan Mg tertukar, khususnya pada tanah reaktivitas kuat (R4), tetapi sebaliknya meningkat pada tanah reaktivitas lemah (R1). Pengeringan setelah pembasahan (W2) meningkatkan Na tertukar, khususnya pada tanah reaktivitas lemah (R1), tetapi pembasahan yang disertai pengenceran (W3, W4) menurunkan Na tertukar.
5. Penghawaan (aerasi) terganggu dalam pengeringan dengan oven (tertutup) dan tanah sangat padat setelah berulang dikocok dan dikeringkan maka oksidasi tidak terjadi sepenuhnya. Disarankan untuk pengeringan dilakukan di ruang udara terbuka dan tanah diaduk rata setiap kali pembasahan dan pengeringan.
PENGHARGAAN
Terima kasih diucapkan atas terlaksananya penelitian ini yang dibiayai dari dana bantuan Proyek Pengkajian Teknologi Pertanian Partisipatif (PAATP)-Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Terima kasih pula, kepada Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Yogyakarta yang telah menyediakan fasilitas dan staf teknis laboratorium dalam membantu terlaksananya penelitian di atas.
DAFTAR PUSTAKA
Bloomfield, C. and J.K. Coulter. 1973. Genesis and management of acid sulfate soils. In N.C. Brady (Ed.) Adv. Agron 25:265-324. ACAD Press Inc.
Breemen, N.V. 1976. Genesis and Solution Chemistry Of Acid Sulphate Soils in Thailand. Thesis. Centre Agric. Publ. Duc. Wageningen. 283 p.
Dent, D. 1986. Acid Sulphate Soils: A Baseline for Research and Development. ILRI Publ. No. 39. Wageningen. 204 p.
Jansen J.A.M., B.H. Prasetyo, and Alkasuma. 1990. Acid sulphate soils: field charateristics and mapping. Pp. 51-61. In AARD-LAWOO. Paper Workshop on Acid Sulphate Soils in the Humid Tropics, 20-22 November, 1990. AARD-LAWOO. Bogor/Jakarta.
Maas, A., R. Sutanto, dan T. Purwadi. 2000. Pengaruh air laut terhadap laju oksidasi pirit dan tahanan hara tanah sulfat masam. Jurnal Ilmu Tanah dan Lingkungan 2(2):41-46. Fakultas Pertanian. UGM. Yogyakarta
Mensvoort, M.E.F. and Le Quang Tri 1988. Morphology and genesis of acid sulphate soils without jarosit in the Ha Tien Plain, Mekong delta, Vietnam. Pp.11-15. In H. Dost (Ed.). Selected paper of the Dakar Symp. on Acid Sulphate Soils. ILRI Publ. No. 44 Wageningen.
Mensvoort, M.E.F., R.S. Lantin, R. Brinkman, and N.V. Breemen. 1985. Toxicities of wetland soils. Pp. 123-138. In IRRI. Wetland Soils: Characterization, Classification, and Utilization. Philippines.
Notohadiprawiro, T. 1985. Selidik Cepat Ciri Tanah di Lapangan. Ghalia Indonesia. Jakarta. Hlm 94.
Notohadikusumo, T. 2000. Benang merah tulisan-tulisan yang pernah disusun. Dalam Buku Panduan Seminar Nasional Pengembangan Ilmu Tanah Bervisi Lingkungan. Jurusan Ilmu Tanah Fakultas Pertanian UGM, Yogyakarta.
Ponnamperuma, F.N. 1977. Physicochemical properties of submergen soils in relation to fertility. IRRI Res. Paper Series No. 5. IRRI. Philippines. 32 p.
Pons, L.J. 1973. Outline of the genesis, charactristics, classification and improvement of acid sulphate soils. Pp 1-27. In Dost (Ed). Acid Sulphate Soils. I. Introduction Paper and
JURNAL TANAH DAN IKLIM NO. 27/2008
44
Bibliography. Proc. Int. Symp. Publ. No. 18 Vol. I. ILRI Publ. Wageningen.
Rorison, I.H. 1973. The effect of extreme soil acidity on the nutrient uptake and physiology of plant. Pp 223-254. In Dost (Ed). Acid Sulphate Soils. I. Introduction Paper and Bibliography. Proc. Int. Symp. Publ. No. 18 Vol. I. ILRI Publ. Wageningen.
Sri-Nuryani, U., A. Maas, A. Haerani, dan C. Anwar. 2000. Uji Cepat Kualitas Air dan Tanah di Lahan Rawa. Laporan Hasil Penelitian LP-UGM bekerjasama dengan PAATP-Badan Litbang Pertanian. Hlm 30.
Sutrisno. 1990. Genesis, Klasifikasi Tanah Sulfat Masam Delta Pulau Petak, Kalimantan Selatan/Tengah. Tesis. Program Pascasarjana IPB. Bogor.
45
Kelarutan Fosfat Alam dan SP-36 dalam Gambut yang Diberi Bahan Amelioran Tanah Mineral
Solubility of Rock Phosphate and SP-36 in Peat Soils Amended with Mineral Soil
W. HARTATIK1 DAN K. IDRIS2
ABSTRAK
Pemupukan fosfat alam pada gambut mempunyai prospek yang baik karena mudah larut dalam kondisi masam. Namun penelitian penggunaan fosfat alam pada tanah gambut, masih sangat terbatas. Tujuan penelitian ini adalah untuk mempelajari kelarutan fosfat alam dan SP-36 dalam gambut yang diberi bahan amelioran tanah mineral. Penelitian dilaksanakan di laboratorium Balai Penelitian Tanah Bogor. Penelitian terdiri atas dua kegiatan: 1) Kelarutan fosfat alam pada gambut. Bahan tanah gambut oligotropik dari Air Sugihan, Sumatera Selatan setara 100 g bobot kering oven 105oC diinkubasi selama 12 minggu dengan fosfat alam dari Maroko, Christmas, dan Ciamis. Perlakuan berupa 11 tingkat takaran fosfat alam, yaitu 0, 10, 20, 30, 40, 50, 60, 75, 100, 125, dan 150 ppm P. Analisis P larut dengan metode biru molibdat dilaksanakan pada 2, 4, 8 dan 12 minggu setelah inkubasi. Kegiatan 2) Pemberian beberapa jenis fosfat alam atau SP-36 pada tanah gambut yang diberi bahan amelioran tanah mineral. Takaran P yang dicoba sebanyak 4 taraf (25, 50, 75, dan 100% erapan P) ditambah perlakuan kontrol parsial dan kontrol lengkap, diulang dua kali. Bahan tanah gambut yang digunakan setara 200 g bobot kering oven 105oC kemudian diberi bahan amelioran tanah mineral dengan takaran 7,5% erapan maksimum Fe, diinkubasi 12 minggu. P larut diukur dengan metode biru molibdat pada 1, 2, 4, 6, 8, 10, dan 12 minggu. Hasil percobaan menunjukkan bahwa dalam gambut, kelarutan fosfat alam Maroko lebih tinggi dari fosfat alam Ciamis, sementara kelarutan yang terendah ditunjukkan oleh fosfat alam Christmas. Kelarutan sumber P dalam tanah gambut yang telah diberi perlakuan bahan amelioran tanah mineral memberikan hasil yang sejalan dengan kelarutan fosfat alam dalam gambut, yaitu: SP-36 > fosfat alam Maroko > fosfat alam Ciamis > fosfat alam Christmas. Kelarutan P meningkat sampai minggu ke-8 dan selanjutnya menurun. Konsentrasi P larut akibat perlakuan pemberian fosfat alam atau SP-36 pada pengamatan 12 minggu setelah inkubasi berkisar 15,7-34,2 ppm P. Fosfat alam yang mempunyai reaktivitas tinggi memberikan kelarutan yang cukup tinggi dalam gambut, sehingga dapat digunakan sebagai sumber P pada tanah gambut. Kata kunci : Gambut, Ameliorasi, Pemupukan P, Kelarutan P
ABSTRACT
Rock phosphates application on peat soil has a good prospect because of its high solubility in acid condition. However, the study of the solubility of rock phosphate in peat soils is still limited. This study aimed to quantify the solubility of rock phosphate and the effects of some sources of rock phosphates and SP-36 in the peat soils, taken from South Sumatera amended with mineral soil. The study was conducted in the laboratory of Indonesian Soil Research Institute, in Bogor. The study consisted of two activities: 1) study on the solubility of some rock
phosphates (Marocco, Christmas, and Ciamis) in peat soils. For this study a 100 g of oven dried (105oC) peat soil for each treatment was used for this study. The treatments were eleven levels of P i.e. 0, 10, 20, 30, 40, 50, 60, 75, 100, 125, and 150 ppm P applied to dried peat soils. The treated peat soils were then incubated for 2 weeks before analyses of soluble P was conducted. The molybdat blue method was used to analyze the samples at 2, 4, 8, and 12 weeks after the incubation. 2) The second study i.e. the application of some rock phosphates or SP-36 on the peat soils amended with mineral soils, four levels of P (25, 50, 74, and 100% of P sorption) plus partial and complete control treatments have been replicated twice. Two hundred grams of oven dried peat soils (105oC) amended with mineral soils at 7,5% maximum Fe sorption, incubated for four weeks, and then soluble P was analyzed using molybdat blue at 1, 2, 4, 6, 8, 10, and 12 weeks after incubation. The results showed that the order of rock phosphates solubility in peat soils was Marocco> Ciamis>Christmas. The solubility of P in peat soils amended with mineral soil and rock phosphates gave similar results as rock phosphate was in the order of SP-36>Marocco>Ciamis> Christmas. Soluble P increased up to 8 weeks of incubation, and then decreased. The effect of soil mineral ameliorant and some rock phosphates application of soluble P at 12 weeks after the incubation around 15.7-34.2 ppm P. Rock phosphates that has high reactivity gave a high P solubility on peat soils so it that can be used as P sources in the peat soil.
Keywords : Peat, Amelioration, P fertilization, Solubility of P
PENDAHULUAN
Tanah gambut digolongkan ke dalam tanah marginal yang dicirikan oleh reaksi tanah yang masam hingga sangat masam, ketersediaan hara dan kejenuhan basa yang rendah serta kandungan asam-asam organik yang tinggi, terutama derivat asam fenolat yang bersifat racun bagi tanaman (Tadano et al., 1990; Rachim, 1995; Prasetyo, 1996; Salampak, 1999).
Prospek penggunaan fosfat alam sebagai sumber P pada tanah gambut diharapkan cukup baik, karena fosfat alam mudah larut dalam kondisi masam serta dapat melepaskan fosfat secara lambat
1. Peneliti pada Balai Penelitian Tanah, Bogor.
2. Pengajar pada Departemen Ilmu Tanah, Fakultas Pertanian, IPB, Bogor.
ISSN 1410 – 7244
JURNAL TANAH DAN IKLIM NO. 27/2008
46
(slow release), namun informasi penggunaan fosfat alam dan kelarutannya pada tanah gambut masih sangat terbatas.
Efektivitas pupuk fosfat alam yang digunakan dipengaruhi secara langsung oleh sifat fisik dan kimia pupuk, faktor tanah dan lingkungan serta faktor tanaman (Rajan et al., 1996). Sifat kimia dan fisik pupuk yang penting adalah reaktivitas, kelarutan, dan ukuran butir pupuk. Khasawneh dan Doll (1978) mengemukakan bahwa peningkatan kelarutan fosfat alam akibat kehalusan butir pupuk hanya berlaku untuk fosfat alam yang reaktivitasnya tinggi dan tidak berlaku bagi fosfat alam yang tidak reaktif. Peningkatan kelarutan fosfat alam sudah tidak nyata bila ukuran butir < 100 mesh. Ciri-ciri tanah yang harus diperhatikan bila menggunakan pupuk fosfat alam, yaitu: kadar air tanah, kemasaman tanah, konsentrasi dan status Ca+2 dan P serta kadar bahan organik tanah.
Untuk penggunaan langsung fosfat alam dari batuan sedimen kualitasnya lebih baik daripada fosfat alam dari batuan metamorfosa dan batuan beku (Lehr and McLean, 1972). Kelarutan fosfat alam dalam gambut sangat menentukan efektivitas penggunaan fosfat alam dalam gambut. Efektivitas penggunaan fosfat alam sangat ditentukan oleh reaktivitas kimia, ukuran butir, sifat-sifat tanah, waktu dan cara aplikasi, takaran fosfat alam, jenis tanaman, dan pola tanam (Lehr and McClellan, 1972; Chien, 1995; Rajan et al.,1996).
Penambahan bahan amelioran yang mengandung besi tinggi perlu dilakukan untuk meningkatkan ikatan P pada tanah gambut. Kation besi dari bahan amelioran tanah mineral dapat menimbulkan tapak erapan baru pada gambut sehingga ikatan fosfat menjadi lebih kuat dan tidak mudah lepas. Kation besi berperan sebagai jembatan pengikat fosfat pada tapak erapan reaktif bahan gambut.
Berdasarkan sifat fosfat alam yang mudah larut dalam kondisi masam dan lambat tersedia, serta kemampuan kation Fe yang terkandung dalam bahan amelioran tanah mineral dalam menurunkan reaktivitas asam-asam fenolat dan sebagai jembatan pengikat fosfat maka dilakukan penelitian ini yang
bertujuan mempelajari kelarutan beberapa jenis fosfat alam dan SP-36 dalam gambut yang diberi bahan amelioran tanah mineral.
BAHAN DAN METODE
Bahan
Bahan tanah gambut (Terric Sulfihemist) diambil dari Desa Sumber Mulyo, Air Sugihan Kiri, Sumatera Selatan yang merupakan gambut oligotropik dengan tingkat dekomposisi hemik dengan kadar air 450%, bobot volume berkisar 0,16 sampai 0,21 g cc-1 dan ketebalan gambut 100 sampai 120 cm. Bahan tanah mineral (Typic Hapludox), diambil dari Desa Dwijaya, Kecamatan Tugumulyo, Sumatera Selatan. Fosfat yang digunakan adalah fosfat alam dari Maroko, Christmas, Ciamis, dan SP-36.
Metode
Penelitian ini terdiri atas dua percobaan. Percobaan pertama, dilakukan untuk mempelajari kelarutan beberapa jenis fosfat alam dalam tanah gambut (tanpa bahan amelioran), dan percobaan kedua dilakukan untuk mempelajari penggunaan beberapa jenis fosfat alam dan SP-36 pada tanah gambut yang diberi bahan amelioran tanah mineral terhadap P larut.
Kelarutan beberapa jenis fosfat alam pada tanah gambut
Percobaan kelarutan beberapa jenis fosfat alam dalam tanah gambut dilakukan dengan mencampur bahan tanah gambut dengan fosfat alam. Bahan tanah gambut yang digunakan setara 100 g bobot kering oven 105oC, sedangkan fosfat alam berasal dari Maroko, Christmas, dan Ciamis. Perlakuan terdiri atas 11 tingkat takaran fosfat alam yaitu 0, 10, 20, 30, 40, 50, 60, 75, 100, 125, dan 150 ppm P. Bahan tanah gambut dan masing-masing fosfat alam dengan takaran sesuai perlakuan dicampur/diaduk hingga merata, diinkubasi dua minggu dalam keadaan tergenang, dengan tinggi genangan 5 cm dari permukaan tanah. Setelah
W. HARTATIK DAN K. IDRIS : KELARUTAN FOSFAT ALAM DAN SP-36 DALAM GAMBUT YANG DIBERI BAHAN AMELIORAN TANAH MINERAL
47
inkubasi dilakukan pengambilan larutan tanah dengan alat injeksi, untuk analisa P larut dengan metode biru molibdat pada 2, 4, 8, dan 12 minggu.
Penggunaan beberapa jenis fosfat alam atau SP-36 pada tanah gambut yang diberi bahan amelioran tanah mineral
Perlakuan terdiri atas empat sumber pupuk P yaitu fosfat alam Maroko, Christmas, Ciamis, dan SP-36 dengan 4 taraf takaran pupuk P yaitu 25, 50, 75, dan 100% erapan P, ditambah perlakuan kontrol-tanah mineral (kontrol parsial) dan kontrol + tanah mineral (kontrol lengkap), diulang dua kali. Takaran fosfat alam berdasarkan erapan P untuk mencapai P dalam larutan tanah 0,2 ppm P yaitu sebesar 81,33 ppm P (100% erapan P). Untuk takaran 100% erapan P fosfat alam Maroko, Christmas, Ciamis, dan SP-36 masing-masing sebesar 133 mg pot-1 (280 kg ha-1), 123 mg pot-1 (260 kg ha-1), 108 mg pot-1 (230 kg ha-1), dan 104 mg pot-1 (217 kg ha-1).
Bahan tanah gambut setara 200 g bobot kering oven 105oC diberi bahan amelioran tanah mineral dengan takaran 7,5% erapan maksimum Fe yaitu 10,4 g pot-1 atau setara 21,8 t ha-1 (perhitungan ini berdasarkan kandungan Fe total bahan amelioran 6,1% dan kelarutan Fe sebesar 13%). Erapan maksimum Fe ditetapkan berdasar metode Fox dan Kamprath yang dimodifikasi oleh Widjaja-Adhi, Silva, dan Fox (1990). Dalam penentuan ini digunakan FeCl3.6H2O sebagai sumber Fe. Nilai erapan diperoleh dengan menginkubasi bahan tanah gambut selama 6 hari dengan larutan yang mengandung kation Fe+3, mulai dari konsentrasi terendah hingga tertinggi (0-1.600 ppm). Kelarutan Fe dihitung berdasarkan fraksionasi bentuk-bentuk Fe (Mathur dan Lavesque, 1983). Bahan tanah gambut setelah diberi bahan amelioran dan perlakuan pupuk diinkubasi empat minggu dalam keadaan tergenang dengan tinggi genangan lima cm dari permukaan tanah. Setelah inkubasi dilakukan pengambilan larutan tanah dengan alat injeksi, kemudian diukur P larutan dengan metode biru molibdat pada 1, 2, 4, 6, 8, 10, dan 12 minggu.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Ciri kimia tanah gambut
Hasil analisis pendahuluan terhadap ciri-ciri
kimia bahan tanah gambut disajikan pada Tabel 1.
Nilai pH H2O berdasarkan kriteria yang diajukan oleh IPB (1983) tergolong sangat masam. Reaksi tanah
gambut berkaitan erat dengan kandungan asam-asam organiknya (Salampak, 1999). Kadar abu
3,6% bahan tanah gambut tergolong rendah dan
kehilangan pijar 96,4%. Hal ini menunjukkan bahwa gambut tersebut tergolong gambut murni (true peat) karena mempunyai rata-rata kehilangan pijar lebih dari 90% (Andriesse, 1974). Kadar abu gambut
sangat dipengaruhi oleh bahan mineral di bawahnya,
selain itu juga dipengaruhi oleh limpasan pasang air sungai dan laut yang banyak membawa bahan
mineral. Menurut kriteria penggolongan tingkat
kesuburan tanah gambut yang dikemukakan oleh Polak (1949), kadar hara P, K dan Ca serta kadar
abu gambut tersebut tergolong ke dalam tingkat kesuburan oligotropik.
Berdasarkan kriteria IPB (1983) kandungan nitrogen total (N-total) dan C-organik tergolong tinggi. Kandungan N total yang tinggi tidak diikuti oleh tingginya ketersediaan N bagi tanaman yang tercermin dari nisbah C/N yang tinggi yaitu 38,5. Kandungan fosfor ekstrak Bray I tergolong sedang. Gambut dari Air Sugihan Kiri telah lama diusahakan sebagai lahan pertanian. Rachim (1995) mengemukakan lamanya pengusahaan dapat meningkatkan P terekstrak dengan Bray I, peningkatan ini berkaitan dengan dekomposisi dan mineralisasi bahan organik, sehingga unsur P menjadi terlepas. Mineralisasi P dipengaruhi oleh beberapa faktor diantaranya nisbah C-organik dan P. Pada nisbah 200 : 1 mineralisasi P dapat terjadi, sedangkan pada nisbah 300 : 1 immobilisasi berlangsung (Tisdale et al., 1985).
JURNAL TANAH DAN IKLIM NO. 27/2008
48
Kapasitas tukar kation gambut tergolong
sangat tinggi. Basa-basa dapat ditukar yaitu Cadd
dan Mgdd tergolong tinggi, Kdd sangat rendah, dan
Nadd sedang. Tingginya Cadd dan Mgdd diduga berasal
dari residu pemberian dolomit pada musim tanam
sebelumnya, Namun kejenuhan basa tergolong
rendah. Kejenuhan basa mempunyai hubungan yang
erat dengan kadar abu. Kadar abu dari gambut Air
Sugihan Kiri rendah, sehingga kejenuhan basa juga
rendah.
Kandungan Aldd yaitu sebesar 1,4 cmolc kg-1
tanah, sedangkan kandungan Fe-total sebesar
0,17%. Secara umum kadar Cu, Zn, Mn, dan Fe yang
yang diekstrak dengan DTPA tergolong rendah. Rendahnya kation polivalen ini berkaitan dengan terbentuknya ikatan yang kuat antara kation (terutama Cu) dengan senyawa organik dari tanah gambut.
Pemberian bahan amelioran tanah mineral dapat menurunkan asam-asam fenolat agar tidak toksik melalui pembentukan senyawa kompleks logam organik. Selain itu, kation Fe berfungsi sebagai jembatan kation bagi P, sehingga P tidak mudah tercuci dalam tanah gambut. Hasil penelitian Saragih (1996) menunjukkan bahwa kation Fe mempunyai reaktivitas yang sangat tinggi terhadap asam ferulat.
Tabel 1. Ciri kimia bahan tanah gambut dan bahan amelioran tanah mineral
Table 1. Chemical properties of peat and mineral soil ameliorant material
Ciri tanah Tanah gambut Bahan amelioran tanah mineral
Tekstur Pasir (%) Debu (%) Liat (%)
pH H2O KCl
Bahan I C (%) N (%) C/N
P- Bray I (ppm) Kapasitas tukar kation (cmolc kg-1 tanah)
Kation dapat dipertukarkan Ca (cmolc kg-1 tanah) Mg (cmolc kg-1 tanah) K (cmolc kg-1 tanah) Na (cmolc kg-1 tanah)
Kejenuhan basa (%) KCl 1N
Aldd (cmolc kg-1 tanah) Hdd (cmolc kg-1 tanah)
Unsur mikro ekstrak DTPA Fe (ppm) Mn (ppm) Cu (ppm) Zn (ppm)
Fe-total (%) Fe2O3 ekstrak ditionit sitrat bikarbonat (%) Mineral besi dominan Kadar abu (%)
- - -
3,8 2,9
58,76 1,54 38,5 18,5
119,66
17,61 5,38 0,22 0,71 20
1,4 3,15
726 9,42 3,58 9,20 0,17
3,6
5 12 83
4,5 3,9
0,85 0,09
9 2,88 9,11
0,55 0,22 0,10 0,14 11
4,35 0,09
0,06 0,10 0,08 0,33 6,1 0,79 goetit
W. HARTATIK DAN K. IDRIS : KELARUTAN FOSFAT ALAM DAN SP-36 DALAM GAMBUT YANG DIBERI BAHAN AMELIORAN TANAH MINERAL
49
Ciri kimia Oxisol Tugumulyo Sumatera Selatan sebagai bahan amelioran
Hasil analisis ciri-ciri kimia bahan amelioran tanah mineral disajikan pada Tabel 1. Bahan amelioran tanah mineral berasal dari Tugumulyo Sumatera Selatan dalam klasifikasi Taxonomi tanah termasuk sub group Typic Hapludox, sangat halus, kaolinitik, isohipertemik. Tanah mineral ini bertekstur liat. Berdasarkan analisis mineral liat dengan XRD menunjukkan mineral liat dominan adalah kaolinit dengan sedikit vermikulit.
Berdasarkan kriteria Pusat Penelitian Tanah (1998) reaksi tanah tergolong masam. Kadar C-organik dan N-total sangat rendah dengan nisbah C/N rendah. Fosfor ekstrak HCl, maupun ekstrak Bray I tergolong sangat rendah. Demikian juga Kalium ekstrak HCl tergolong sangat rendah. Basa-basa dapat ditukar (Ca, Mg, K dan Na) tergolong sangat rendah sampai rendah. Kapasitas tukar kation tergolong rendah. Kejenuhan basa tergolong sangat rendah. Secara umum ketersediaan unsur mikro (Fe, Cu, Mn, dan Zn) tergolong rendah.
Berdasarkan ciri-ciri kimianya tanah mineral tersebut merupakan tanah marginal dengan kesuburan rendah. Di sisi lain tanah mineral tersebut mengandung Fe total 6,1% dan Aldd 4,35 cmolc kg-1 tanah yang sangat diperlukan oleh tanah gambut sebagai sumber kation untuk meningkatkan retensi P melalui pembentukan senyawa kompleks kation logam organik.
Ciri kimia fosfat alam yang digunakan
Hasil analisis fosfat alam disajikan pada Tabel 2. Kadar P2O5 total pupuk fosfat alam Maroko lebih rendah dari Christmas dan Ciamis. Sedangkan untuk kadar P2O5 dengan pengekstrak asam sitrat 2% fosfat alam Ciamis paling tinggi diikuti Maroko dan terendah Christmas. Fosfat alam Ciamis mempunyai kadar P2O5 total paling tinggi dan kadar P2O5 dengan pengekstrak asam sitrat 2% dua kali lebih tinggi dari fosfat alam Maroko dan Christmas (Tabel 2).
Penggunaan pengekstrak asam lemah seperti asam sitrat 2% dapat digunakan sebagai indikator P tersedia bagi tanaman. Nilai yang dihasilkan dari metode ekstraksi tersebut mempunyai korelasi yang
Tabel 2. Ciri kimia beberapa jenis fosfat alam yang digunakan dalam penelitian
Table 2. Chemical properties of some rock phosphates used in the experiment
Hasil analisis No. Ciri kimia Satuan Maroko Christmas Ciamis
1. Kadar unsur hara fosfor sebagai P2O5 Total (asam mineral) % b/b 28,04 30,22 34,38 Larut dalam asam sitrat 2% % b/b 14,32 12,00 28,24
2. Kadar Ca setara CaO % b/b 46,70 26,15 45,65 3. Kadar Mg setara MgO % b/b 1,20 0,47 0,13 4. Kadar seskuioksida (R2O3) Al2O3 % b/b 0,29 14,77 1,43 Fe2O3 % b/b 0,15 6,30 0,39
5. Kadar air % b/b 1,09 1,65 2,88 5. Kehalusan lolos 80 mesh tyler % b/b 60 80 80 6. Kandungan logam Mangan (Mn) ppm 5 619 1680 Seng (Zn) ppm 651 414 4746 Tembaga (Cu) ppm 28 76 558
7. Cemaran logam berat Cadmium (Cd) ppm 59 25 12 Chrom (Cr) ppm 375 322 22 Timbal (Pb) ppm tu tu tu
Keterangan : Semua analisis atas dasar bahan kering tu = tidak terukur
JURNAL TANAH DAN IKLIM NO. 27/2008
50
tinggi dengan tanggap tanaman (efektivitas agronomi relatif) (Sediyarso, 1999). Persen kelarutan P2O5 dalam asam sitrat 2% terhadap P2O5 total untuk fosfat alam Maroko, Christmas, dan Ciamis berturut-turut sebesar 51, 40 dan 82%. Kelarutan P2O5 dalam asam sitrat 2% terhadap P2O5 total, fosfat alam Ciamis lebih tinggi dari Maroko dan yang terendah Christmas.
Fosfat alam Maroko merupakan deposit fosfat batuan sedimen (marine phosphorite deposite) yang terjadi pada lingkungan yang kaya Ca (McClellan, 1978), dengan kandungan seskuioksida rendah, sedangkan fosfat alam Ciamis merupakan deposit guano dengan kandungan seskuioksida sedikit lebih tinggi. Kadar Ca setara CaO fosfat alam Maroko dan Ciamis cukup tinggi sehingga secara kimia dikelompokkan karbonat kalsium-fosfat (francolit). Fosfat alam Christmas merupakan batuan terfosfatisasi dari guano yang dalam pembentukannya terjadi akumulasi Al dan Fe fosfat (Chien and Van Kauwenberg, 1992), dengan kandungan seskuioksida tinggi Fe2O3 6,3% dan Al2O3 14,77%, dan kadar Ca setara CaO sebesar 26,15%. Fosfat alam Christmas walaupun mengandung Fe dan Al tinggi, namun kadar kalsium cukup tinggi sehingga secara kimia dikelompokkan karbonat kalsium-(Al,Fe)-fosfat. Kandungan seskuioksida yang lebih tinggi pada fosfat alam Christmas diharapkan memberikan kontribusi dalam pengikatan P dalam gambut.
Kandungan Ca yang tinggi pada fosfat alam ini sangat bermanfaat untuk meningkatkan kejenuhan basa dan menambah hara Ca untuk tanaman. Fosfat alam Maroko memberikan kadar Mg yang lebih tinggi dari fosfat alam Ciamis dan Christmas. Kehalusan lolos 80 mesh tyler fosfat alam Christmas dan Ciamis yaitu 80%, sedangkan Maroko 60%. Ukuran butir fosfat alam Ciamis dan Christmas cukup halus, sedangkan fosfat alam Maroko sedikit lebih kasar. Peningkatan kelarutan fosfat alam akibat kehalusan butir pupuk hanya berlaku untuk fosfat alam yang reaktivitasnya tinggi (Khasawneh and Doll, 1978).
Kadar Mn, Cu, dan Zn fosfat alam Ciamis lebih tinggi dari fosfat alam Christmas dan Maroko. Sediyarso (1999) dan Rachim (1995) melaporkan bahwa fosfat alam dari Indonesia mempunyai kadar Cu dan Zn lebih tinggi. Adanya kadar Mn, Cu, dan Zn yang lebih tinggi pada fosfat alam Ciamis menguntungkan untuk memenuhi kebutuhan unsur mikro tanaman dan dapat berfungsi sebagai kation polivalen dalam pembentukan senyawa kompleks untuk menurunkan derivat asam-asam fenolat. Berdasarkan syarat mutu pupuk fosfat alam (SNI 02-3776-2005), fosfat alam Maroko, Ciamis, dan Christmas tergolong fosfat alam mutu (kualitas) A.
Cemaran logam berat Cd dan Cr fosfat alam Christmas dan Maroko lebih tinggi dari fosfat alam Ciamis. Alloway (1990) mengemukakan bahwa kandungan Cd dalam fosfat alam dijumpai dalam kisaran 1,94-113 mg kg-1 pupuk dan secara umum bahan baku batuan fosfat untuk pupuk P mengandung Cd < 500 mg kg-1. Menurut batasan Uni Eropa (1994) dalam Laegreid et al. (1999) kandungan Cd dalam fosfat alam yang digunakan secara langsung tidak boleh lebih dari 90 mg Cd kg-1 P2O5 atau 210 mg Cd kg-1 P. Berdasarkan batasan di atas maka cemaran logam Cd dalam fosfat alam yang digunakan masih di bawah ambang batas yang diperbolehkan. Sedangkan cemaran logam Cr dan Pb rendah. Laegreid et al. (1999) mengemukakan bahwa rataan Cr dalam batuan fosfat yaitu 770 mg kg-1 P.
Kelarutan beberapa jenis fosfat alam dalam gambut
Secara umum keragaan P larutan fosfat alam Maroko, Ciamis dan Christmas dalam gambut menurun pada pengamatan 4 minggu, kemudian meningkat kembali pada 8 minggu, selanjutnya pada pengamatan 12 minggu terjadi penurunan kembali (Gambar 1).
Pola P larutan yang menurun pada 4 minggu berkaitan erat dengan pH tanah yang meningkat, peningkatan pH ini menyebabkan semakin meningkat erapan gambut terhadap fosfat melalui jembatan
W. HARTATIK DAN K. IDRIS : KELARUTAN FOSFAT ALAM DAN SP-36 DALAM GAMBUT YANG DIBERI BAHAN AMELIORAN TANAH MINERAL
51
kation besi. Sedangkan keragaan P larutan fosfat alam Ciamis meningkat sampai takaran 60 ppm P, penambahan takaran selanjutnya menurunkan P larutan dan sebaliknya pada pengamatan 8 minggu
sampai takaran 50 ppm P terjadi penurunan dan penambahan takaran selanjutnya meningkatkan P larutan. Secara umum pada pengamatan 8 minggu terjadi peningkatan kembali P larutan, hal ini diduga
Maroko
0
2
4
6
8
10
12
14
16
2 4 8 12Waktu inkubasi (minggu)
P la
rut (
ppm
P)
0 ppm P
20 ppm P
40 ppm P
60 ppm P
100 ppm P
125 ppm P
Ciamis
0
2
4
6
8
10
12
2 4 8 12Waktu inkubasi (minggu)
P la
rut (
ppm
P)
0 ppm P
20 ppm P
40 ppm P
60 ppm P
100 ppm P
125 ppm P
Gambar 1. Pola kelarutan fosfat alam Maroko, Christmas, dan Ciamis dalam gambut
Figure 1. Trend of solubility rock phoaphates Marocco, Christmas, andCiamis on peat soil
Chrismas
0
2
4
6
8
10
12
2 4 8 12Waktu inkubasi (minggu)
P la
rut (
ppm
P)
0 ppm P
20 ppm P
40 ppm P
60 ppm P
100 ppm P
125 ppm P
Christmas
P la
ruta
n (p
pm P
) P
laru
tan
(ppm
P)
P la
ruta
n (p
pm P
)
JURNAL TANAH DAN IKLIM NO. 27/2008
52
berkaitan erat dengan sifat lambat tersedia dari fosfat alam, selain itu kelarutan fosfat alam dipengaruhi oleh suplai H+ untuk melemahkan ikatan kimia kristal fosfat alam. Pada tanah gambut sumber H+ berasal dari disosiasi asam-asam organik, dimana derajat ionisasi asam-asam organik rendah (Tan, 1993).
Pada pengamatan 12 minggu terjadi penurunan P larutan untuk semua takaran P. Hal ini diduga adanya pengikatan oleh kation Ca dan Mg dalam bahan tanah gambut yang cukup tinggi. Kation Ca dan Mg sebagai jembatan kation antara tapak reaktif gambut dengan P. Secara umum konsentrasi P larutan dalam gambut fosfat alam Maroko paling tinggi, kemudian diikuti dengan fosfat alam Ciamis dan Christmas.
Kelarutan fosfat alam dalam gambut menunjukkan bahwa fosfat alam Maroko memberikan kelarutan yang lebih tinggi kemudian diikuti fosfat alam Ciamis dan Christmas (Tabel 3 dan 4). Hal ini ditunjukkan dari konsentrasi P larutan dalam tanah gambut fosfat alam Maroko paling tinggi, kemudian diikuti fosfat alam Ciamis dan Christmas. Fosfat alam Maroko merupakan karbonat fluorapatit (francolit) dari batuan sedimen yang mempunyai substitusi CO3
-2 yang lebih tinggi dari fosfat alam Ciamis dan Christmas (Muljadi,1997). Kelarutan fosfat alam meningkat dengan meningkatnya substitusi CO3
-2 untuk PO4-3 dalam
struktur francolit. Besarnya CO3-2 yang
mensubstitusi PO4-3 berpengaruh besar terhadap
reaktivitas atau kelarutan francolit. Makin besar substitusi PO4
-3 oleh CO3-2 makin tinggi reaktivitas
pupuk fosfat alam. Pengaruh tersebut karena terjadinya perpendekan sumbu a dari mineral hexagonal francolit (Lehr and McClean, 1972). Fosfat alam Maroko mempunyai panjang sumbu a sebesar 9,342 Ao dan Christmas sebesar 9,389 Ao
(International Fertilizer Development Center,1975; Chien and Van Kauwenberg, 1992).
Walaupun ciri kimia kelarutan fosfat alam Ciamis dalam asam sitrat lebih tinggi, namun kelarutan dalam tanah gambut ternyata lebih rendah
dari fosfat alam Maroko. Fenomena ini perlu dikaji lebih lanjut untuk mendapatkan sampai sejauh mana hubungan kelarutan fosfat alam dalam asam sitrat dan dalam gambut. Walaupun ukuran butir fosfat alam Maroko lebih kasar ternyata lebih larut dibandingkan dengan fosfat alam Ciamis dan Christmas, hal ini karena fosfat alam Maroko mempunyai reaktivitas kimia yang lebih tinggi dari fosfat alam Ciamis dan Christmas, sehingga peningkatan kelarutan fosfat alam akibat kehalusan butir pupuk tidak terlihat.
Proses pelarutan fosfat alam di dalam tanah dapat digambarkan dengan reaksi :
Ca10-a-hNaaMgb(PO4)6-xF2+0.4x +12 H+ 10 Ca2++ (6-x)H2PO4
- + xCO2 + (2+0.4x)F +xH2O
Reaksi di atas menunjukkan bahwa ketersediaan H+ (proton) dan penurunan kadar hasil reaksi berupa Ca+2 serta H2PO4
- sangat diperlukan agar proses pelarutan fosfat alam dapat berjalan optimal. Chien (1979) menyatakan bahwa dalam proses kimia di atas, H+ berperan untuk melemahkan ikatan kimia pada permukaan kristal fracolit, oleh karena itu fosfat alam mempunyai kelarutan yang tinggi hanya dalam tanah bereaksi masam.
Pengaruh pemberian bahan amelioran tanah mineral dan beberapa jenis fosfat alam/SP-36
terhadap kelarutan P
Perlakuan pemberian bahan amelioran tanah mineral memberikan fosfat larut yang lebih rendah dibandingkan tanpa pemberian bahan amelioran. Hal ini karena penggunaan bahan amelioran tanah mineral yang mengandung kation polivalen seperti Fe, Al dan Cu mampu meningkatkan erapan P pada tanah gambut melalui pembentukan senyawa kompleks kation logam-organik, sehingga dapat mengurangi pencucian fosfat. Salampak (1999) melaporkan bahwa pemberian bahan amelioran tanah mineral mengurangi pencucian fosfat, kadar P dalam kolom tanah terakumulasi pada lapisan atas.
W. HARTATIK DAN K. IDRIS : KELARUTAN FOSFAT ALAM DAN SP-36 DALAM GAMBUT YANG DIBERI BAHAN AMELIORAN TANAH MINERAL
53
Pemberian bahan amelioran menyebabkan kadar P dalam kolom tanah terakumulasi pada lapisan atas, dan P dalam air cucian menurun (Hartatik, 2004).
Keragaan fosfat larut yang diberi perlakuan bahan amelioran tanah mineral dan fosfat alam Maroko, Christmas, Ciamis, dan SP-36 sejalan dengan keragaan kelarutan fosfat alam tanpa bahan amelioran tanah mineral. Pada awal pengamatan terjadi pelarutan fosfat secara bertahap. Fosfat larut
meningkat dengan bertambahnya waktu pengamatan delapan minggu, kemudian menurun pada pengamatan 10 minggu, selanjutnya meningkat kembali pada pengamatan 12 minggu (Gambar 2).
Kelarutan fosfat alam dalam gambut dengan pemberian bahan amelioran tanah mineral terjadi peningkatan kelarutan P sampai 8 minggu, hal ini diduga berkaitan erat dengan sifat lambat tersedia dari fosfat alam, selain itu kelarutan fosfat alam
Tabel 3. Konsentrasi P larutan beberapa jenis fosfat alam dalam gambut
Table 3. Consentration of P soluble some rock phosphate on peat soil
Konsentrasi P larutan Maroko Christmas Ciamis
Waktu pengamatan (minggu) Takaran P
2 4 8 12 2 4 8 12 2 4 8 12 …………………….………………………………………. ppm ………………………………………….…………………. 0 0,85 1,20 1,57 0,47 1,10 0,30 0,93 0,63 0,69 0,94 1,31 0,63 10 2,28 1,72 3,14 0,93 1,21 0,34 0,21 0,79 0,77 1,72 2,58 0,43 20 3,29 1,89 3,22 1,13 1,10 0,39 1,14 0,88 0,95 2,53 1,25 1,06 30 3,78 2,66 3,25 1,40 3,43 0,77 0,37 0,90 1,08 4,03 1,51 0,99 40 4,70 2,75 3,70 1,62 3,40 1,16 2,00 1,31 1,25 3,51 1,63 1,33 50 4,77 3,35 4,82 1,78 3,63 1,29 4,00 1,56 2,02 4,12 1,85 1,40 60 5,37 4,08 3,33 1,78 3,63 1,63 2,43 1,71 2,36 3,63 6,09 1,47 75 6,69 5,33 2,22 1,78 3,31 1,68 5,18 1,60 3,53 3,31 6,34 1,76 100 11,37 5,50 10,54 1,80 3,40 1,93 2,04 1,94 4,00 3,40 7,12 1,62 125 13,07 5,63 10,37 1,87 3,43 2,24 2,90 2,03 5,16 3,43 8,11 1,92 150 15,38 6,15 8,66 2,12 2,73 2,41 2,34 2,48 5,89 2,73 10,08 2,05
Tabel 4. Persentase kelarutan fosfat alam dalam gambut
Table 4. Solubility percentage of rock phosphates on peat soil
Persentase kelarutan fosfat alam Maroko Christmas Ciamis
Waktu pengamatan (minggu) Takaran P
2 4 8 12 2 4 8 12 2 4 8 12 ppm …………………………………………………………. % …………………………………………………………. 10 14,33 5,16 15,70 4,51 1,09 0,43 -7,66 1,58 0,86 7,83 12,71 -2,03 20 12,20 3,44 8,235 3,27 0,00 0,43 0,84 1,24 1,29 7,95 -0,28 2,14 30 9,77 4,73 5,61 3,08 7,76 1,58 -1,99 0,90 1,29 10,30 0,69 1,20 40 9,63 3,87 5,33 2,88 5,76 2,15 2,57 1,69 1,40 6,44 0,79 1,75 50 7,83 4,30 6,51 2,62 5,06 1,98 6,06 1,85 2,67 6,36 1,08 1,53 60 7,54 4,80 2,93 2,18 4,22 2,22 2,43 1,80 2,79 4,48 7,98 1,39 75 7,79 5,50 0,87 1,74 2,96 1,83 5,61 1,29 3,78 3,16 6,70 1,50 100 10,52 4,30 8,97 1,33 2,31 1,63 1,07 1,31 3,31 2,46 5,81 0,99 125 9,78 3,54 7,04 1,12 1,86 1,55 1,54 1,12 3,58 1,99 5,44 1,03 150 9,69 3,30 4,72 1,10 1,09 1,40 0,91 1,23 3,47 1,19 5,85 0,95
Rataan 9,91 4,29 6,59 2,38 3,21 1,52 1,14 1,40 2,44 5,22 4,68 1,05
JURNAL TANAH DAN IKLIM NO. 27/2008
54
dipengaruhi oleh suplai H+. Sedangkan penurunan kelarutan P berkaitan erat dengan pH tanah yang meningkat, peningkatan pH ini menyebabkan semakin meningkat erapan gambut terhadap fosfat melalui jembatan kation besi. Pola kelarutan fosfat alam ini berimplikasi terhadap ketersediaan P dan pemanfaatan oleh tanaman.
Pola kelarutan fosfat alam ini agak berbeda dengan pola kelarutan fosfat alam North Carolina pada tanah mineral, kelarutan P meningkat sampai pengamatan satu minggu, dengan bertambahnya waktu peningkatannya semakin rendah (Kanabo and Gilkes, 1988). Purnomo (2002) melaporkan bahwa kelarutan fosfat alam Ciamis pada Typic Hapludox Sitiung menunjukkan kelarutan yang cepat pada awal inkubasi sampai satu minggu mencapai 90%.
Konsentrasi fosfat larut paling tinggi pada perlakuan pemberian bahan amelioran dan SP-36, kemudian fosfat alam Maroko, Ciamis dan terendah Christmas. Konsentrasi fosfat larut berkaitan erat dengan kelarutan fosfat alam/SP-36. Pupuk SP-36 merupakan sumber P yang mudah larut, selanjutnya diikuti fosfat alam Maroko, Ciamis, dan Christmas. Fosfat alam Christmas memberikan fosfat larut yang lebih rendah, hal ini sejalan dengan kelarutan P2O5 dalam asam sitrat 2% yang paling rendah dari Ciamis dan Maroko, serta fosfat alam Christmas kurang reaktif yang ditunjukkan adanya substitusi CO3
-2 untuk PO4-3 yang lebih rendah dan sumbu a
yang lebih panjang (Chien and Van Kauwenberg, 1992).
Peningkatan takaran fosfat alam Maroko, Ciamis, Christmas, dan SP-36 sampai 100% erapan
Gambar 2. Pola P larutan akibat pemberian bahan amelioran tanah mineral (TM) dan fosfat alam Maroko, Christmas, Ciamis, dan SP-36, setelah inkubasi empat minggu pada tanah gambut
Figure 2. Trend of P soluble treated by ameliorant material mineral soil and Marocco, Christmas, Ciamis rock phosphate, and SP-36, after four weeks incubation on peat soil
0
5
10
15
20
25
30
35
1 2 4 6 8 10 12
P la
ruta
n (p
pm P
)
kontrol tanpa TM
kontrol + TM
Maroko 25% P
Maroko 50% P
Maroko 75% P
Maroko 100% P
Waktu (minggu)
0
5
10
15
20
25
30
35
1 2 4 6 8 10 12Waktu (minggu)
P la
ruta
n (p
pm P
) kontrol tanpa TMkontrol + TMCiamis 25% PCiamis 50% PCiamis 75% PCiamis 100% P
5
10
15
20
25
30
35
1 2 4 6 8 10 12 Waktu (minggu)
P la
ruta
n (p
pm P
)
kontrol tanpa TMkontrol + TM Christmas 25% P Christmas 50% P Christmas 75% P Christmas 100% P
0
05
101520253035404550
1 2 4 6 8 10 12
Waktu (minggu)
P-la
rut (
ppm
P)
kontrol tanpa TM
kontrol + TM
SP-36 25% P
SP-36 50% P
SP-36 75% P
SP-36 100% PP la
ruta
n (p
pm P
)
Waktu (minggu)
kontrol tanpa TMkontrol + TMSP-36 25% PSP-36 50% PSP-36 75% PSP-36 100% P
W. HARTATIK DAN K. IDRIS : KELARUTAN FOSFAT ALAM DAN SP-36 DALAM GAMBUT YANG DIBERI BAHAN AMELIORAN TANAH MINERAL
55
maksimum P meningkatkan fosfat larut. Peningkatan fosfat larut ini berkaitan erat dengan peningkatan takaran fosfat dari 25 sampai 100% erapan maksimum P. Peningkatan takaran fosfat menyebabkan jumlah fosfat yang terlarut lebih banyak.
KESIMPULAN
1. Kelarutan fosfat alam dalam gambut menunjukkan bahwa fosfat alam Maroko lebih tinggi dari Ciamis dan kelarutan terendah Christmas.
2. Kelarutan pupuk P dalam tanah gambut yang diberi perlakuan bahan amelioran tanah mineral memberikan hasil yang sejalan dengan kelarutan fosfat alam tanpa bahan amelioran dalam gambut yaitu SP-36 > fosfat alam Maroko > Ciamis > Christmas.
3. Umumnya P larut meningkat sampai pengamatan delapan minggu, selanjutnya terjadi penurunan kembali. Konsentrasi P larutan akibat perlakuan pemberian fosfat alam atau SP-36 pada pengamatan 12 minggu setelah inkubasi berkisar 15,7-34,2 ppm P.
4. Fosfat alam yang mempunyai reaktivitas tinggi memberikan kelarutan yang cukup tinggi sehingga dapat digunakan sebagai sumber P pada tanah gambut.
DAFTAR PUSTAKA
Alloway, B.J. 1990. Heavy Metals in Soil. Blackie Academic and Professional. London.
Andriesse, J.P. 1974. Tropical peats in South East Asia. Dept. of Agric. Res of the Royal Trop. Inst. Comm. 63. Amsterdam. 63p.
Chien, S.H. 1979. Dissolution of phosphate rocks in solutions and soils. In Seminar on Phosphate Rock for Direct Application. International Fertilizer Development Center. Muscle Shoals, Alabama U.S.A.
__________. 1995. Seminar on the Use of Reactive Phosphate Rock for Direct Application.
International Fertilizer Development Center. Muscle Shoals, Alabama U.S.A.
Chien, S.H and S.J. Van Kauwenberg. 1992. Chemical and mineralogical characteristic of phosphate rocks for direct application. Pp 3-31. In First National Seminar on phosphate Rock in Agriculture. Serie Carilance No. 29, Institude de Investigaciones Agropecuarios, Temueo, Chile.
Hartatik, W., K. Idris, S. Sabiham, S. Djunawati, dan J.S. Adiningsih. 2004. Peningkatan ikatan P dalam kolom tanah gambut yang diberi bahan amelioran tanah mineral dan beberapa jenis fosfat alam. Jurnal Tanah dan Lingkungan 6(1):22-30.
International Fertilizer Development Center. 1975. Fertilizer Manual. IFDC, Muscle Shoals, Alabama, USA.
Institut Pertanian Bogor. 1983. Kriteria Penilaian Kandungan Unsur dan Kemasaman Tanah Daerah Pasang Surut. IPB. Bogor.
Kanabo, I. and R.J. Gilkes. 1988. The effect of particle size of North Carolina phosphate rock on its dissolution in soil and on levels of bicarbonate-soluble phosphorus. Fert. Res 15:137-145.
Khasawneh, F.E. and E.C. Doll. 1978. The use of rock phosphate for direct application to soils. Adv. In Agron. 30:59-206.
Laegreid, M., O.C. Bockman, and O. Kaarstad. 1999. Agriculture, Fertilizers and the Environment. CABI Publishing, Norsk Hydro ASA.
Lehr, J.R. and G.H. McClellan. 1972. A revised laboratory reactivity scale for evaluating phosphate rock for direct application. Bull. 4-43. TVA. Alabama. U.S.A.
Mathur, S.P. and M.P. Lavesque. 1983. The effect of using copper for mitigating Histosol subsidence on: 2. The distribution of Cu, Mn, Zn and Fe in an organik soil, mineral sublayers and their mixtures in the context of setting a treshold of phytotocix soil copper. J. Soil Sci. 135(3):166-176.
McClellan, G.H. 1978. Mineralogy and reactivity of phosphate rock. Seminar on Phosphate Rock for Direct Application. Haifa, Israel, March 20-23:57-81.
JURNAL TANAH DAN IKLIM NO. 27/2008
56
Muljadi, D. 1997. Sifat khusus pupuk P alam bermutu untuk aplikasi langsung pada tanah masam di daerah Tropika. Lokakarya Penggunaan Pupuk Fosfat Alam Berkualitas Tinggi untuk Mendorong Peningkatan Produksi Tanaman Pangan dan Perkebunan pada Tanah Masam. Banjarmasin, 19 September 1997.
Polak, B. 1949. The Rawa Lakbok (South Priangan, Java). Investigation into the composition of an eutrophic topogenous Bog. Cont. Gen. Agr. Res. Sta. No. 8, Bogor, Indonesia.
Purnomo, J. 2002. Pengaruh Fosfat Alam dan Bahan Organik terhadap Kelarutan Pupuk, Ciri Kimia Tanah, dan Efisiensi Pemupukan P pada Typic Hapludox Sitiung Sumatera Barat. Tesis Program Pasca Sarjana. Institut Pertanian Bogor.
Pusat Penelitian Tanah. 1998. Kriteria Penilaian Angka-Angka Hasil Analisis. Pusat Penelitian Tanah, Bogor.
Prasetyo, T.B. 1996. Perilaku Asam-asam Organik Meracun pada Tanah Gambut yang Diberi Garam Na dan Beberapa Unsur Mikro dalam Kaitannya dengan Hasil Padi. Disertasi. Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.
Rachim, A. 1995. Penggunaan Kation-kation Polivalen dalam Kaitannya dengan Ketersediaan Fosfat untuk Meningkatkan Produksi Jagung pada Tanah Gambut. Disertasi. Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.
Rajan, S.S.S., J.H. Watkinson, and A.G. Sinclair. 1996. Phosphate rock for direct application to soils. Adv. In Agron. 57:77-159.
Salampak, 1999. Peningkatan Produktivitas Tanah Gambut yang Disawahkan dengan Pemberian Bahan Amelioran Tanah Mineral Berkadar Besi Tinggi. Disertasi. Program Pascasarjana, IPB Bogor.
Saragih, E.S. 1996. Pengendalian Asam-asam Organik Meracun dengan Penambahan Fe (III) pada Tanah Gambut Jambi, Sumatera. Thesis. Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.
Sediyarso, M. 1999. Fosfat Alam sebagai Bahan Baku dan Pupuk Fosfat. Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat. Bogor.
Tadano, T., K.B. Ambak, K. Yonebayashi, T. Hara, P. Vijarnsorn, C. Nilnond, and S. Kawaguchi. 1990. Nutritional factors limiting crop growth in tropical peat soils. In Soil Constraints on Sustainable Plant Production in the Tropics. Proc. 24th Inter. Symp. Tropical Agric. Res. Kyoto.
Tan. 1993. Principles of Soil Chemistry. Marcel Dekker, Inc. New York. 362p.
Tisdale, S.L., W.L. Nelson, and J.D. Beaton. 1985. Soil Fertility and Fertilizers. 4Th ed. The Macmillan Publ. Co. New York. 694p.
Widjaja-Adhi, I P.G., J.A. Silva, and R.L. Fox. 1990. Assesment of external P requirement of maize on Paleudults and Eutrustox. Pemberitaan Penelitian Tanah dan Pupuk 9: 14-20.
57
Karakteristik dan Teknik Rehabilitasi Lahan Pasca Penambangan Timah di Pulau Bangka dan Singkep
Post-mining Land Characteristics and Rehabilitation Technique in Bangka and Singkep Islands
SANTUN R.P. SITORUS1, E. KUSUMASTUTI2, DAN L. NURBAITI BADRI3
ABSTRAK
Lahan pasca penambangan umumnya mempunyai sifat fisik dan kimia yang kurang baik sebagai media tumbuh untuk tanaman. Tujuan penelitian ini adalah: (1) mempelajari karakteristik dan perubahan alami sifat fisik dan kimia tanah serta vegetasi alami pada empat tingkat umur tailing setelah penambangan; (2) mempelajari teknik rehabilitasi lahan pasca tambang timah untuk tanaman kehutanan, (3) mempelajari pengaruh pemberian amelioran terhadap sifat fisik, kimia, dan kadar logam berat tanah pada empat tingkat umur tailing setelah penambangan. Analisis sifat tailing dan vegetasi alami di lapangan dilakukan pada empat tingkat umur tailing (1, 6, 16, 25 tahun) serta dua percobaan Rumah Kaca dilaksanakan yaitu (1) tailing dari Sungai Liat Bangka, dengan pemberian amelioran bahan organik dan bahan tanah mineral dengan tanaman jati (Tectona grandis), dan (2) tailing dari Dabo Singkep, dengan rekayasa media tanam berupa tailing + kompos 9:1, tailing + pupuk kandang 9:1 dan tailing sebagai kontrol, pemberian inokulan Cendawan Mikoriza arsbuskula (CMA) dengan tanaman kehutanan akasia (Acacia auriculiformis), gamal (Gliricidia maculata), lamtoro (Leucaena leucocephala), dan sengon atau jeungjing (Paraserianthes falcataria). Hasil penelitian menunjukkan penambangan timah secara umum menurunkan kualitas tanah dan jumlah jenis vegetasi alami. Tailing pasca penambangan timah di Sungai Liat Bangka mempunyai sifat fisik dan kimia tanah yang buruk, dan cenderung membaik seiring dengan bertambah lamanya waktu setelah penambangan. Jumlah jenis vegetasi alami meningkat dengan bertambahnya umur tailing setelah penambangan. Hasil penelitian rumah kaca pertama menunjukkan tanggap tanaman jati terbaik pada jenis amelioran campuran bahan organik-tanah mineral sedangkan faktor proporsi amelioran yang diberikan tidak memberikan pengaruh yang nyata pada ketiga taraf. Kadar dan serapan logam berat tanaman jati dipengaruhi oleh jenis dan proporsi amelioran. Hasil penelitian rumah kaca kedua menunjukkan perlakuan yang diberikan berpengaruh nyata terhadap diameter tajuk, lebar daun, panjang akar dan lingkar batang tanaman. Teknik rehabilitasi terbaik adalah kombinasi antara pemberian pupuk kandang, inokulan mikoriza dan tanaman lamtoro (L. leucocephala). Sifat tanah dan kadar logam berat tanah dipengaruhi secara nyata oleh pemberian amelioran dan tingkat umur tailing. Kadar pasir dan liat dipengaruhi secara nyata oleh tingkat umur tailing. Sifat kimia tanah dipengaruhi secara nyata oleh umur tailing, jenis dan proporsi amelioran. Kadar Fe, Mn, Cu, Pb, dan Sn tanah nyata dipengaruhi oleh umur tailing dengan kadar tertinggi pada tailing umur 6 tahun.
Kata kunci : Lahan pasca tambang timah, Karakteristik,
Rehabilitasi, Amelioran, Tanaman kehutanan, Inokulan cendawan Mikoriza arsbuskula
ABSTRACT
Post-mining land has generally unfavourable characteristics for a growing media for crops. The objectives of the present study were: (1) to study natural changing of soil physical and chemical properties and natural vegetation of four different ages of tailing, (2) to study rehabilitation technique of post mining tailing for forest crops, and (3) to study effects of ameliorant on soil physical and chemical properties, and heavy metal content on four different ages of tailing. Analysis of tailing characteristics, in situ natural vegetation analysis and two sets of green house experiments had been done. The two greenhouse experiments comprise: (1) tailing from Sungai Liat Bangka with two factors, those are three level applications of organic matter and mineral soil with teak as an indicator plant and (2) tailing from Dabo Singkep with treatments: tailing + compost 9:1, tailing + animal manure 9:1 and tailing as control, CMA inoculant and forest trees akasia (Acacia auriculiformis), gamal (Gliricidia maculata), lamtoro (Leucaena leucocephala) and sengon or jeungjing (Paraserianthes falcataria). The result showed that: generally, tin mining reduce soil quality and number of natural vegetation. The soil characteristics and number of vegetation are generally increase (getting better) with time. The first greenhouse experiment showed that the best response of teak plant was under combination of organic mater and soil mineral whereas ameliorant proportion factor is not significantly different. The second greenhouse experiment showed that the treatments were significantly influencing canopy diameter, leaf number, root length and tree trunk circle, respectively. The best rehabillitation technique was combination of animal manure, mycorrhizal inoculants treatments and lamtoro (L. leucocephala). Soil characteristics and heavy metal contents were significantly influenced by ameliorant and tailing ages. Soil chemical properties were significantly influenced by tailing age, types and proportions of ameliorant. The Fe, Mn, Cu, Pb, and Sn of soil were significantly influenced by tailing ages and the highest was on the six years tailing.
Keywords : Tin post-mining land, Characteristic, Rehabilitation,
Ameliorant, Forest vegetation, CMA inoculant
1 Guru Besar Fakultas Pertanian dan Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor, Bogor.
2 Staf pada Direktorat Teknologi Pengembangan Sumberdaya Mineral, Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT), Jakarta.
3 Staf pada Dinas Kebersihan dan Lingkungan Hidup, Pemda Kota Depok.
ISSN 1410 – 7244
JURNAL TANAH DAN IKLIM NO. 27/2008
58
PENDAHULUAN
Kegiatan pertambangan timah pada umumnya menggunakan lahan yang luas, memanfaatkan sumberdaya tak terbarukan, menghasilkan banyak limbah dan menciptakan lahan terdegradasi sehingga lahan menjadi tidak produktif (Barrow, 1991; Sitorus, 2002). Penambangan timah di Sungai Liat Bangka dan Dabo Singkep umumnya dilakukan secara terbuka (open mining) dengan cara tambang semprot serta penggalian dan pemindahan lapisan atas tanah dengan menggunakan alat-alat berat. Kegiatan ini berdampak buruk terhadap kualitas lingkungan, mempengaruhi sifat fisik dan kimia tanah, menurunkan kesuburan tanah, meningkatkan erosi, merubah iklim mikro, mencemari perairan dengan adanya logam berat dan tanah menjadi terdegradasi dalam jangka panjang (PT. Tambang Timah, 1991; Ripley et al., 1996; Latifah, 2000).
Rehabilitasi lahan diperlukan untuk memperbaiki lingkungan lahan pasca penambangan dengan penghijauan/regreening dengan tanaman non konsumtif terutama bila terdapat logam berat yang relatif tinggi dan berbahaya untuk kesehatan manusia. Pemilihan tanaman diutamakan jenis yang mampu tumbuh dalam kondisi buruk dan cepat tumbuh (Tala’ohu et al., 1998).
Sifat fisik dan kimia tanah pada lahan pasca penambangan umumnya kurang baik, sehingga dalam rehabilitasi perlu upaya mengatasi kendala tersebut (PT. Tambang Timah, 1991). Kendala fisik misalnya struktur tanah rusak, tekstur kasar (dominan pasir), peka terhadap erosi, dan kemampuan memegang air rendah. Kendala kimia misalnya rendahnya pH dan kapasitas tukar kation, kejenuhan aluminium (Al), kadar besi (Fe) dan mangan (Mn) yang tinggi, miskin unsur hara dan bahan organik serta adanya kandungan logam berat yang relatif tinggi (Tim Pusat Penelitian Tanah, 1987; Amriwansyah, 1990). Sifat-sifat ini pada umumnya membaik dengan meningkatnya umur tailing setelah penambangan (Saptaningrum, 2001).
Perbaikan sifat fisik dan kimia dapat dilakukan dengan penambahan amelioran tanah seperti bahan organik, bahan tanah mineral, kapur atau fosfat
alam, pupuk kandang, abu bakaran dan inokulasi mikoriza (PT. Tambang Timah, 1991; Tala’ohu et al., 1998; Sitorus, 2007).
Tujuan penelitian adalah: (1) mempelajari karakteristik dan perbedaan alami sifat fisik dan kimia tanah serta vegetasi alami pada empat tingkat umur tailing setelah penambangan; (2) mempelajari teknik rehabilitasi lahan pasca tambang timah untuk tanaman kehutanan, (3) mempelajari pengaruh pemberian amelioran terhadap sifat fisik, kimia dan kadar logam berat tanah pada empat tingkat umur tailing setelah penambangan.
BAHAN DAN METODE
Tempat dan waktu
Penelitian dilakukan di empat lokasi pasca penambangan timah di Sungai Liat Kabupaten Bangka Induk Provinsi Bangka Belitung dan tailing dari Bukit Setajam, Kecamatan Dabo Singkep Kabupaten Kepulauan Riau, Provinsi Riau.
Penelitian dilakukan dari bulan Juni 2002 hingga September 2003. Analisis tanah dilakukan di Laboratorium Tanah Departemen Ilmu Tanah dan Sumberdaya Lahan, IPB, Balai Besar Litbang Sumberdaya Lahan Pertanian, Bogor dan Balai Besar Hasil Industri Pertanian (Balai Besar Agro, Deperindag), Bogor. Analisis Mikoriza dilakukan di Laboratorium Bioteknologi Kehutanan dan Lingkungan Pusat Riset IPB. Identifikasi nama botani vegetasi alami dilakukan di Laboratorium “Herbarium Bogoriense”, LIPI Bogor. Penanaman dilakukan di Rumah Kaca Departemen Ilmu Tanah dan Sumberdaya Lahan, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor (Percobaan I) dan Rumah Kaca Balai Pengembangan dan Penelitian Hutan dan Konservasi Alam, Bogor (Percobaan II).
Bahan penelitian
Penelitian menggunakan tailing penambangan timah dari dua lokasi, yaitu (1) Sungai Liat, Kabupaten Bangka Induk dari empat tingkat umur
SANTUN R.P. SITORUS ET AL. : KARAKTERISTIK DAN TEKNIK REHABILITASI LAHAN PASCA PENAMBANGAN TIMAH DI PULAU BANGKA DAN SINGKEP
59
setelah penambangan yaitu 1, 6, 16, dan 25 tahun (T1, T6, T16, dan T25) dari lokasi Wilayah Pengawasan Produksi I PT. Timah (Wasprod I) Sungai Liat, dan (2) Bukit Setajam, Kecamatan Dabo Singkep, Kabupaten Kepulauan Riau, Provinsi Riau dengan umur tailing 13 tahun setelah penambangan. Bahan organik berupa kotoran ayam berasal dari peternakan ayam petelur di Rumpin, Bogor; bahan tanah mineral dari Desa Pemali, Sungai Liat, Bangka; fosfat alam dari Cileungsi, Bogor sebagai pupuk dasar; bibit jati (kultur jaringan) dengan nama komersial Jati Emas dari BIOTROP Bogor; Inokulum Mikoriza dan bibit akasia, gamal, lamtoro, sengon dari Laboratorium Bioteknologi Kehutanan dan Lingkungan, Pusat Riset IPB; fungisida dan insektisida, contoh tanah komposit, dan jaringan tanaman untuk analisis laboratorium.
Metode penelitian
Metode yang digunakan adalah Metode Analisis Vegetasi, yaitu menghitung jumlah jenis vegetasi alami yang ada pada tiap lokasi pengambilan tailing dan tanah asli. Pada setiap lokasi dilakukan sampling dengan membuat petakan berukuran 1 x 1 m2 sepanjang jalur 10 meter. Pengulangan sebanyak lima kali untuk tiap lokasi. Vegetasi yang tidak diketahui namanya diambil sampel untuk diidentifikasi di Laboatorium “Herbarium Bogoriense”. Selanjutnya dilakukan tabulasi dan penghitungan jumlah jenis vegetasi alami.
Teknik rehabilitasi dilakukan dengan percobaan rumah kaca
Percobaan rumah kaca I
Percobaan rumah kaca I menggunakan tailing dari Sungai Liat Bangka menggunakan Rancangan Acak Kelompok dengan dua faktor. Faktor pertama adalah jenis amelioran: bahan organik/kotoran ayam, tanah mineral dan campurannya (A) dengan tiga takaran (A1, A2, A3), dan faktor kedua adalah perbandingan/proporsi amelioran dan tailing dengan tiga takaran (B1, B2, B3). Sebagai kelompok adalah
umur tailing yaitu 1, 6, 16, dan 25 tahun setelah penambangan (T1, T6, T16, dan T25) (Tabel 1). Masing-masing diulang sebanyak dua ulangan. T0 merupakan kontrol tanah asli yang belum mengalami penambangan dan B0 adalah kontrol kelompok umur tanpa pemberian amelioran. Dengan demikian terdapat 3 x 3 x 4 x 2 ulangan = 72 unit percobaan, ditambah 1 x 2 ulangan tanah asli = 2, dan 4 umur tailing x 2 ulangan = 8 sebagai kontrol. Jumlah keseluruhan unit percobaan adalah 82. Media tumbuh (tanah, tailing, dan campurannya) dimasukkan kedalam kantong polibag setara dengan 5 kg berat kering mutlak (BKM). Tanaman indikator adalah bibit jati (Tectona grandis) hasil kultur jaringan.
Tabel 1. Perlakuan pada percobaan rumah kaca I
Table 1. Treatment for greenhouse experiment I Kode perlakuan Kode perlakuan A1 = Amelioran bahan organik
/kotoran ayam saja A2 = Amelioran tanah mineral
saja A3 = Amelioran bahan organik
+ tanah mineral
B1 = Perbandingan amelioran:tailing = 1:4
B2 = Perbandingan amelioran:tailing = 2:3
B3 = Perbandingan amelioran:tailing = 3:2
T1 = Tailing umur ± 1 tahun setelah penambangan
T6 = Tailing umur ± 6 tahun setelah penambangan
T16 = Tailing umur ± 16 tahun setelah penambangan
T25 = Tailing umur > 25 tahun setelah penambangan
T0 = Tanah asli sebagai kontrol
B0 = Perbandingan amelioran:tailing = 0:5 (sebagai kontrol umur tailing)
Tailing untuk media tumbuh disiapkan dengan mencampur kotoran ayam dan bahan tanah mineral sesuai perlakuan, kemudian ditambahkan pupuk dasar fosfat alam dan diinkubasi 14 hari selama bibit jati diaklimatisasi. Bibit jati diaklimatisasi pada waktu ± 1 bulan sebelum penanaman di polibag. Campuran amelioran (kotoran ayam, tanah mineral) dan tailing diberikan pada tiap polibag dengan takaran sesuai perlakuan, dengan cara mencampur hingga merata kemudian dimasukkan ke polibag seberat setara 5 kg BKM sesuai perlakuan. Ukuran polibag yang digunakan adalah 40 x 40 cm berjumlah 82 buah.
JURNAL TANAH DAN IKLIM NO. 27/2008
60
Tanaman indikator adalah satu tanaman jati emas per polibag yang dipindahkan setelah berumur ± 30 hari setelah aklimatisasi. Pemeliharaan tanaman meliputi: penyulaman, penyiraman, pemupukan, penyiangan gulma, penyemprotan dengan insektisida dan fungisida.
Parameter sifat tanah yang dianalisis adalah tekstur tanah (kadar pasir, debu dan liat), C-Organik, kapasitas tukar kation (KTK), kation dapat ditukar (Ca, Mg, K, Na), pH tanah, dan logam berat Fe, Mn, Cu, Pb, dan Sn. Pengamatan terhadap tanaman setiap dua minggu, meliputi tinggi tanaman dan diameter batang. Analisis jaringan tanaman menggunakan seluruh tanaman (tajuk dan akar) secara komposit untuk tiap perlakuan, untuk melihat kadar dan serapan logam berat Fe, Mn, Cu, Pb, dan Sn tanaman.
Analisis data dengan menggunakan Analisis Sidik Ragam (ANOVA) untuk mengetahui pengaruh perlakuan dilanjutkan dengan Uji Nilai Tengah Duncan terhadap perlakuan yang mempunyai pengaruh nyata.
Percobaan rumah kaca II
Percobaan rumah kaca II menggunakan tanah/ tailing pasca tambang dari Dabo Singkep dengan umur 13 tahun. Adapun perlakuan yang diberikan adalah : (1) tiga jenis media tanam (tailing sebagai kontrol, tailing dengan pupuk kompos 9:1, dan tailing dengan pupuk kandang 9:1); (2) menggunakan inokulan mikoriza CMA dan tidak menggunakan inokulan mikoriza CMA; (3) empat jenis tanaman kehutanan yaitu akasia (Acacia auriculiformis), gamal (Gliricidia maculata), lamtoro (Leucaena leucocephala), dan sengon atau jeungjing (Paraserianthes falcataria).
Rancangan percobaan yang digunakan adalah Rancangan Acak Lengkap (RAL). Percobaan dilakukan dengan menggunakan lima ulangan, sehingga terdapat 3 x 2 x 4 x 5 = 120 unit percobaan. Parameter pertumbuhan tanaman yang diukur adalah: tinggi tanaman (cm), diameter tajuk (cm), jumlah daun, panjang akar (cm), lingkar batang
(cm), dan berat kering total (g). Pengukuran dimulai pada saat tanaman berumur dua minggu setelah tanam (MST) dan dilakukan secara berkala setiap dua minggu selama tiga bulan, kecuali pengukuran tinggi tanaman dimulai pada 0 MST.
Analisis data dilakukan dengan Analisis Sidik Ragam (ANOVA) untuk mengetahui pengaruh perlakuan dilanjutkan dengan Uji Nilai Tengah Duncan terhadap perlakuan yang mempunyai pengaruh nyata.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Karakteristik dan perbedaan vegetasi alami dan sifat tanah pada empat tingkat umur tailing
Proses penambangan menurunkan jumlah jenis vegetasi alami di lokasi penambangan dibandingkan dengan jumlah jenis vegetasi alami pada tanah asli (17 jenis). Semakin lama umur tailing, jumlah jenis vegetasi alami semakin meningkat hingga mencapai 76,47% dari vegetasi tanah asli pada tailing umur 25 tahun. Nama dan jumlah vegetasi alami pada tiap lokasi pengambilan sampel tailing tertera pada Lampiran 1.
Karakteristik sifat fisik, kimia, dan kadar logam berat tanah serta vegetasi alami pada empat tingkat umur tailing dan tanah asli disajikan pada Tabel 2 dan Lampiran 1.
Tanah asli/T0 mempunyai tekstur liat dengan kadar pasir 21%, debu 28%, dan liat 71%, sedangkan tailing timah pada semua tingkat umur mempunyai tekstur pasir dengan kadar pasir diatas 90%. Kadar pasir tertinggi dijumpai pada tailing T1 dan terendah pada T6. Kadar pasir pada semua tingkat umur tailing sangat tinggi tetapi tidak menunjukkan pola perubahan tertentu. Berbeda dengan kadar pasir, kadar debu dan kadar liat tailing sangat rendah dibandingkan tanah asli. Hasil ini sejalan dengan penelitian PT. Tambang Timah (1991) yang menunjukkan bahwa tailing hingga berumur lebih dari 40 tahun sifat fisiknya masih belum dapat menyamai tanah asli. Tekstur tanah tidak berubah
SANTUN R.P. SITORUS ET AL. : KARAKTERISTIK DAN TEKNIK REHABILITASI LAHAN PASCA PENAMBANGAN TIMAH DI PULAU BANGKA DAN SINGKEP
61
dengan waktu karena sifatnya yang sulit berubah secara alami. Selain itu, tanah di Sungai Liat Bangka umumnya terbentuk dari hasil pelapukan granit yang menghasilkan tanah bertekstur kasar (PT. Tambang Timah, 1991). Penambangan timah membuat tanah menjadi hamparan tailing bertekstur kasar dari tanah asli bertekstur halus.
pH tailing pada T1 mengalami penurunan dibandingkan tanah asli, tetapi dengan waktu,
mengalami peningkatan dan pH tailing umur 25 tahun (T25) lebih tinggi dari tanah asli. Tailing umur 1 dan 6 tahun mempunyai pH sangat masam, kemudian mengalami peningkatan hingga nilai pH menjadi masam (4,7) hingga umur tailing 25 tahun.
Dari Tabel 2 terlihat bahwa KTK tanah asli termasuk rendah yaitu sebesar 5,61 dan menurun pada seluruh tingkat umur setelah penambangan. Secara keseluruhan tailing mempunyai nilai KTK
Tabel 2. Karakteristik sifat fisik, kimia, dan kadar logam berat tanah serta vegetasi alami pada empat tingkat umur tailing, tanah asli, dan kotoran ayam
Table 2. Chemical and physical characteristics, heavy metal content, and natural vegetation of the four different ages of tailing, original soils, and poultry manure
Tingkat umur tailing * Kelompok Parameter T0 T1 T6 T16 T25 Kotoran ayam
a. Vegetasi alami
Jumlah jenis ** 17 0 9 10 13
b. Sifat fisik
Kadar pasir (%) 21 96 92 93 94 Kadar debu (%) 8 0 2 1 2 Kadar liat (%) 71 4 6 6 4 Kelas tekstur Liat Pasir Pasir Pasir Pasir
c. Sifat kimia
pH 4,4 3,6 4,2 4,6 4,7 KTK (me 100g-1) 5,61 0,23 0,19 0,19 0,19 Total Basa-basa (me 100g-1) 0,86 0,47 0,49 0,43 0,46 Kadar N total (%) 0,13 0,02 0,02 0,02 0,01 1,01 Kadar C- Organik (%) 1,79 0,17 0,16 0,26 0,10 30,22 P tersedia (Bray I) (ppm) 1,4 2,8 3,4 3,9 2,3 K tersedia (Morgan)(ppm) 24,2 4,9 19,1 9,6 19,5 Cadd NH4-Ac (me 100g-1) 0,42 0,25 0,10 0,25 0,20 Mgdd NH4-Ac (me 100g-1) 0,20 0,14 0,16 0,16 0,16 Kdd NH4-Ac (me 100g-1) 0,05 0,01 0,04 0,02 0,04 Nadd NH4-Ac (me 100g-1) 0,19 0,07 0,19 0,00 0,06 P2O5 total (%) 4,51 Ca total (%) 3,22 Mg total (%) 0,48 Kadar logam berat …………………………………………… ppm ……………………………………………
Besi (Fe) 46.191 3.040 159 650 2960 Mangan (Mn) 83,3 15,8 2,7 4,8 34,8 Tembaga (Cu) 19,9 1,9 0,6 1,2 4,2 Timbal (Pb) 23,78 6,29 2,77 2,19 4,95 Timah putih (Sn) 0,25 0,25 0,52 0,22 0,32
Keterangan : * T0 = Tanah asli/belum ditambang
T1 = Tailing umur 1 tahun setelah penambangan T6 = Tailing umur 6 tahun setelah penambangan T16 = Tailing umur 16 tahun setelah penambangan T25 = Tailing umur 25 tahun setelah penambangan
** Data jumlah jenis vegetasi alami didapat dari pengamatan di lapangan (lihat Lampiran 1)
JURNAL TANAH DAN IKLIM NO. 27/2008
62
yang sangat rendah (kurang dari 5,0 me 100g-1) yaitu berkisar dari 0,19 hingga 0,23 me 100g-1. Tailing umur 6 hingga 25 tahun KTK-nya lebih rendah dari tailing umur 1 tahun.
Kapasitas tukar kation yang sangat rendah ini sejalan dengan berbagai hasil penelitian yang telah dilakukan pada tanah Bangka (Tim PPT, 1987; Amriwansyah, 1990; Saptaningrum, 2001) karena KTK dari awalnya (tanah asli) memang sangat rendah (0,43-0,86 me 100g-1). KTK menurun setelah penambangan hingga tailing berumur 25 tahun. Dengan demikian KTK relatif sulit untuk kembali ke keadaan seperti semula. Bahkan setelah lebih dari 40 tahun, KTK hanya mencapai nilai rata-rata 3,9 me 100g-1 dari keadaan KTK tanah awal 6,9 hingga 11,3 me 100g-1 (PT. Tambang Timah, 1991).
Kadar C-organik tanah asli tergolong rendah, tetapi tertinggi dibandingkan dengan tailing pada semua tingkat umur. Rendahnya kadar C-organik tailing diduga karena proses penambangan menyebabkan terkikis dan tercucinya bahan organik serta kehilangan kandungan liat dan bahan penyemen lain yang berfungsi sebagai pengikat bahan organik dengan butir-butir tanah lainnya. Kadar logam berat tailing mengalami penurunan setelah penambangan dan secara berangsur-angsur meningkat dengan lamanya umur tailing.
Percobaan rumah kaca I
Tanggap tanaman jati (Tectona grandis) terhadap pemberian jenis dan proporsi amelioran
Tinggi tanaman dan diameter batang jati umur 14 MST
Pengaruh pemberian jenis amelioran (bahan organik saja, tanah mineral saja serta campuran bahan organik dan tanah mineral) dan proporsi tailing :amelioran (1:4, 2:3 dan 3:2) diamati pada parameter pertumbuhan tanaman jati yaitu tinggi tanaman dan diameter batang pada pengamatan 14 MST (Gambar 1). Tailing pada tingkat umur 6 tahun (T6) mempunyai tinggi tanaman yang tertinggi
terutama pada perlakuan jenis amelioran campuran bahan organik-tanah mineral (A3) dan amelioran bahan organik saja (A1), sedangkan pada perlakuan jenis amelioran tanah mineral saja (A2) tailing T25 dan T16 yang mempunyai pengaruh terbaik terhadap tinggi tanaman.
Semua kelompok umur setelah penambangan cenderung memiliki pola yang sama yaitu pada perlakuan jenis amelioran campuran bahan organik-tanah mineral (A3) mempunyai nilai rataan tertinggi (27,56 cm) diikuti bahan organik (A1) dengan rataan 18,98 cm dan terendah pada jenis amelioran tanah mineral (A2) setinggi 12,31 cm. Nilai tengah jenis amelioran campuran bahan organik-tanah mineral (A3) lebih tinggi dan berbeda secara nyata pada taraf 1% dengan jenis amelioran yang lain. Apabila dilihat dari pengaruh faktor jenis ameliorannya saja, pengaruh terbaik pada tinggi tanaman terdapat pada perlakuan A3 untuk semua tingkat umur disusul A1 dan terendah pada A2. Jenis amelioran A3 merupakan amelioran campuran yang mempunyai pengaruh lebih baik terhadap tanah, sifat fisik dan kimia. Adanya tanah mineral akan meningkatkan kadar liat pada tailing, sedangkan bahan organik menyumbangkan unsur hara yang dapat memperbaiki sifat kimia tailing dan sebagai bahan pengikat partikel dan agregat mikro yang memperbaiki struktur tanah sehingga pertumbuhan tanaman menjadi lebih baik. Hasil pengujian berpasangan jenis amelioran terhadap nilai tengah tinggi tanaman dengan uji Duncan disajikan pada Gambar 2.
Hasil pengujian nilai tengah menunjukkan bahwa tinggi tanaman pada 14 MST, ketiga jenis amelioran saling berbeda nyata dengan nilai tengah terendah pada A2 kemudian A1 dan tertinggi pada A3, sedangkan pada perlakuan proporsi amelioran ketiga taraf tidak berbeda nyata. Nilai rataan tertinggi dijumpai pada proporsi amelioran:tailing = 2:3 (B2) sebesar 19,88 cm, diikuti dengan proporsi 1:4 (B1) sebesar 19,14 cm dan terendah pada proporsi 3:2 (B3) sebesar 18,55 cm.
SANTUN R.P. SITORUS ET AL. : KARAKTERISTIK DAN TEKNIK REHABILITASI LAHAN PASCA PENAMBANGAN TIMAH DI PULAU BANGKA DAN SINGKEP
63
TM
C
BO TM
Keterangan : BO = Bahan organik (A1) TM = Tanah mineral (A2) CO = Campuran BO-TM (A3)
Gambar 2. Hasil pengujian berpasangan jenis amelioran untuk tinggi tanaman 14 MST
Figure 2. Pair test result of ameliorant types for crop height 14 weeks after planting
Taraf pada proporsi amelioran tidak secara nyata meningkatkan rataan tinggi tanaman karena terbukti tinggi tanaman pada B3 dengan tiga bagian amelioran mempunyai nilai paling kecil. Untuk parameter tinggi tanaman terbaik adalah proporsi tailing:amelioran dengan perbandingan dua bagian amelioran dengan tiga bagian tailing, meskipun secara statistik perbedaannya tidak nyata.
Gambar 3 menyajikan rataan diameter tanaman pada pengamatan 14 MST. Pola yang sama cenderung terjadi untuk semua tingkat umur setelah
a. Seluruh perlakuan
b. Jenis amelioran c. Proporsi amelioran
Gambar 1. Pengaruh pemberian jenis amelioran dan proporsi amelioran terhadap tinggi tanaman 14 MST pada empat tingkat umur tailing dan tanah asli
Figure 1. Influence of type and proportion of ameliorant on 14 weeks after planting crop height at the four ages of tailing and original soils
0369
12 15 18 21 24 27 30 33 36 39
Ting
gi ta
nam
an ja
ti 14
MS
T(cm
)
T0
T1
T6
T16
T25
Kon
trol
A1B
1
A1B
2
A1B
3
A2B
1
A2B
2
A2B
3
A3B
1
A3B
2
A3B
3
Perlakuan
Pengaruh jenis amelioran terhadap tinggi tanaman 14 MST
0
5
10
15
20
25
30
35
Kontrol A1 A2 A3 Jenis amelioran
Ting
gi ta
nam
an (c
m)
T1T6T16T25
0
5
10
15
20
25
30
B1 B2 B3
Ting
gi ta
nam
an (c
m)
T1
T6
T16
T25
Pengaruh proporsi amelioran terhadap tinggi tanaman 14 MST
Proporsi amelioran
JURNAL TANAH DAN IKLIM NO. 27/2008
64
penambangan yaitu pada perlakuan jenis amelioran campuran bahan organik-tanah mineral (A3) mempunyai nilai rataan diameter batang tertinggi (8,76 mm) diikuti bahan organik (A1) dengan rataan 6,91 mm dan terendah pada jenis amelioran tanah mineral (A2) sebesar 3,33 mm. Diameter batang jenis amelioran campuran bahan organik-tanah mineral (A3) lebih tinggi dan berbeda sangat nyata (dengan taraf kepercayaan 1%) dengan jenis amelioran yang lain.
Hasil pengujian berpasangan jenis amelioran terhadap nilai tengah diameter tanaman dengan uji Duncan menunjukkan bahwa diameter tanaman pada
14 MST, ketiga jenis amelioran ini saling berbeda nyata dengan nilai tengah terendah pada A2 (tanah mineral) kemudian A1 (bahan organik) dan tertinggi pada A3 (amelioran campuran bahan organik-tanah mineral).
Pada perlakuan proporsi amelioran, ketiga faktor/taraf tidak berbeda nyata dengan nilai rataan diameter tertinggi pada proporsi amelioran:tailing = 2:3 (B3) sebesar 6,45 mm, diikuti dengan proporsi 1:4 (B1) sebesar 6,11 mm, dan terendah pada proporsi 2:3 (B2) sebesar 5,82 mm. Taraf pada proporsi tidak secara nyata meningkatkan rataan diameter tanaman meskipun diameter tanaman pada B3 bernilai paling besar.
a. Seluruh perlakuan
b. Jenis amelioran c. Proporsi amelioran
Gambar 3. Pengaruh pemberian jenis amelioran dan proporsi amelioran terhadap diameter batang tanaman umur 14 MST pada empat tingkat umur tailing dan kontrol tanah asli
Figure 3. Influence of types and proportion of ameliorant for trunk diameter 14 weeks after planting at four ages of tailing and original soil
0123456789
1011
Kon
trol
A1B
1
A1B
2
A1B
3
A2B
1
A2B
2
A2B
3
A3B
1
A3B
2
A3B
3
Perlakuan
T0T1T6T16T25
Dia
met
er b
atan
g 14
MS
T (m
m)
0123456789
10
Kontrol A1 A2 A3
T1T6T16T25
Pengaruh jenis amelioran terhadap diameter batang 14 MST
Dia
met
er (m
m)
Jenis amelioran
0
1
2
3
4
5
6
7
8
B1 B2 B3
Dia
met
er (m
m)
T1 T6 T16 T25
Pengaruh proporsi amelioran terhadap diameter batang 14 MST
Proporsi amelioran
SANTUN R.P. SITORUS ET AL. : KARAKTERISTIK DAN TEKNIK REHABILITASI LAHAN PASCA PENAMBANGAN TIMAH DI PULAU BANGKA DAN SINGKEP
65
Kadar Fe, Mn, Cu, Pb, dan Sn tanaman jati
Kadar Fe, Mn, Cu, Pb, dan Sn tanaman jati pada empat tingkat umur tailing dengan perlakuan jenis dan proporsi amelioran tertera pada Gambar 4. Besi merupakan unsur hara mikro esensial bagi tanaman. Selang kecukupan pada tanaman adalah 50-500 ppm (mg kg-1) berat kering tanaman (Pais and Jones, 1997). Hasil pengukuran kadar Fe tanaman jati berkisar antara 60-3387,50 ppm. Nilai ini lebih rendah dibandingkan dengan kadar Fe tanaman pada tanah asli sebesar 6046,61 ppm (Gambar 4).
Tailing umur 1 tahun setelah penambangan (T1) mempunyai kadar Fe tanaman berkisar dari 140 ppm (A1B1) hingga 2.123,33 ppm. Apabila dibandingkan dengan kadar pada tanaman referensi menurut Markert (1994a) dalam Pais dan Jones (1997) seperti tertera pada Tabel 2, maka hanya perlakuan A1B1 yang berada dibawah standar. Pada T6 kadar Fe tanaman berkisar antara 167,50 (A3B3) hingga 775,00 ppm (A2B2), sehingga semua perlakuan pada T6 mempunyai kadar Fe tanaman lebih tinggi dari standar. Tailing T16 mempunyai kadar Fe tanaman berkisar dari 102,50 (A2B2) hingga 910,00 ppm (A1B3). Pada kelompok umur ini hanya tanaman dengan perlakuan A2B2 dan A3B3 yang mempunyai kadar Fe berada di bawah kadar yang dapat ditoleransi pada tanaman referensi. Pada T25 kadar Fe tanaman berkisar dari 170,00 (A2B2) hingga 1051,25 ppm (A3B3), sehingga semua berada di atas standar normal.
Unsur Mn merupakan unsur hara mikro esensial untuk tanaman. Kadar kecukupannya untuk tanaman sangat bervariasi, antara 10 - 500 mg kg-1 berat kering (Pais dan Jones, 1997). Kadar Mn pada tanaman referensi adalah 200 mg kg-1 (Tabel 3). Kadar Mn tanaman untuk seluruh perlakuan berkisar antara 22,50 - 552,50 ppm, dengan kadar Mn tanaman pada tanah asli sebesar 307,50 ppm. Pada T1 kadar Mn terendah 50,00 (A3B1) dan tertinggi 347,50 ppm (A1B3), hanya pada seluruh perlakuan A1 yang kadar Mn tanaman melebihi kadar normal.Kadar Mn tanaman pada tailing T6 berkisar dari 66,25 (A3B1) hingga 406,25 ppm (A1B3),
seperti pada T1 maka semua perlakuan A1 berada diatas standar normal, sedangkan T16 mempunyai selang kadar Mn tanaman berkisar dari 35,00 (A2B3) hingga 332,50 ppm (A1B3), dan hanya A1B2 dan A1B3 yang melebihi batas normal. Pada tailing T25 didapatkan kadar Mn tanaman berkisar antara 38,75 (A2B2) hingga 332,50 ppm (A1B1) dengan A1B1 dan A1B2 saja yang melebihi batas normal. Secara keseluruhan terdapat kesamaan bahwa pada semua tingkat umur tailing yang mempunyai kadar Mn tanaman tertinggi pada tanaman jati adalah perlakuan jenis amelioran A1 (bahan organik saja) seperti terlihat pada Gambar 4.
Tabel 3. Kadar logam berat yang dapat ditoleransi pada tanaman referensi (reference plant)*
Table 3. Heavy metal content tolerable for reference plant
No. Unsur mg kg-1
1. Besi (Fe) 150 2. Mangan (Mn) 200 3. Tembaga (Cu) 10 4. Timbal (Pb) 1,0 5. Timah Putih (Sn) 0,2
* Sumber : Markert (1994a) dalam Pais dan Jones (1997)
Seperti halnya Fe dan Mn maka Cu juga termasuk unsur hara mikro esensial bagi tanaman. Cu diperlukan tanaman hanya dalam jumlah yang sedikit dan akan bersifat meracuni jika kadar Cu dalam tanaman melebihi 20-30 mg kg-1 (Pais and Jones, 1997). Hasil analisis jaringan tanaman jati menunjukkan kadar Cu tanaman berkisar antara 2,50 - 192,50 ppm dan kadar Cu tanaman pada tanah asli sebesar 77,50 ppm (melebihi kadar normal). Rataan kadar Cu tanaman untuk semua tingkat umur tailing disajikan pada Gambar 4 dengan kadar tertinggi 147,86 ppm (A3B2 pada T6). Untuk semua tingkat umur tailing, nilai Cu tanaman melebihi standar normal sebesar 10 ppm (Tabel 2) terlihat dari kadar Cu tanaman pada T1 (33,75 - 57,50 ppm), T6 (23,75 - 147,50 ppm), T16 (21,25 - 73,75 ppm) dan pada T25 (13,75 - 72,50 ppm).
JURNAL TANAH DAN IKLIM NO. 27/2008
66
Kadar Sn jaringan tanaman jati
0102030405060708090
100 110 120
Kon
trol
A1B
1
A1B
2
A1B
3
A2B
1
A2B
2
A2B
3
A3B
1
A3B
2
A3B
3
Perlakuan
ppm
Kadar Pb jaringan tanaman jati
02468
101214161820
Kon
trol
A1B
1
A1B
2
A1B
3
A2B
1
A2B
2
A2B
3
A3B
1
A3B
2
A3B
3
Perlakuan
ppmKadar Cu jaringan tanaman jati
0 20
40
60
80
100 120 140 160
Kon
trol
A1B
1
A1B
2
A1B
3
A2B
1
A2B
2
A2B
3
A3B
1
A3B
2
A3B
3
Perlakuan
ppm
Kadar Mn jaringan tanaman jati
050
100
150200250300
350400450
Kon
trol
A1B
1
A1B
2
A1B
3
A2B
1
A2B
2
A2B
3
A3B
1
A3B
2
A3B
3
Perlakuan
ppmKadar Fe jaringan tanaman jati
0 500
1.0001.5002.0002.5003.0003.5004.0004.5005.0005.5006.0006.500
Kon
trol
A1B
1
A1B
2
A1B
3
A2B
1
A2B
2
A2B
3
A3B
1
A3B
2
A3B
3
ppm
Perlakuan
Gambar 4. Kadar logam berat Fe, Mn, Cu, Pb, dan Sn tanaman jati pada empat tingkat umur tailing dengan perlakuan jenis dan proporsi amelioran serta pada tanah asli (T0)
Figure 4. Heavy metals contents of jati crop at four ages of tailing with type and ameliorant portion treatments and original soil
Keterangan :
T0 = Tanah asli
T1 = Tailing 1 tahun
T6 = Tailing 6 tahun
T16 = Tailing 16 tahun
T25 = Tailing 25 tahun
SANTUN R.P. SITORUS ET AL. : KARAKTERISTIK DAN TEKNIK REHABILITASI LAHAN PASCA PENAMBANGAN TIMAH DI PULAU BANGKA DAN SINGKEP
67
Timbal (Pb) merupakan unsur logam berat yang tidak esensial bagi tanaman dan hewan. Pb dikenal sebagai logam berat yang toksik dan merupakan polutan utama yang diintroduksi ke atmosfer dari penggunaan bahan bakar minyak/ bensin. Kadar normal bagi tanaman menurut Markert (1994a) dalam Pais dan Jones (1997) hanyalah sebesar 1,0 ppm. Hasil percobaan menunjukkan kadar Pb tanaman berkisar antara 0,0 - 27,75 ppm. Kadar Pb tanaman pada tanah asli adalah 17,75 ppm. Hanya terdapat sebelas (11) perlakuan yang kadar Pb tanamannya dapat terukur. Kadar Pb tanaman tertinggi pada tailing T1 yaitu A2B2 (11,50 ppm), T6 pada A2B3 (13,88 ppm), T16 pada A2B2 (13,74 ppm), dan pada T25 yaitu perlakuan A3B3 (12,75 ppm). Secara keseluruhan terlihat bahwa perlakuan A2 (jenis amelioran tanah mineral) menunjukkan kadar Pb tanaman tertinggi. Hal ini karena tanah mineral yang digunakan adalah sama dengan tanah asli dengan kadar Pb tanaman cukup tinggi (17,75 ppm). Kadar Pb 30 mg l-1 pada larutan tanah akan bersifat beracun/toksik bagi tanaman, kadar 10 mg l-1 pertumbuhan tanaman akan melambat dan 100 mg l-1 menjadi mematikan (lethal). Pada beberapa tipe tanaman, timbal dapat ditemukan hingga 350 mg l-1 tanpa membahayakan/ merusak secara visual (Pais and Jones, 1997).
Timah putih (Sn) bukan merupakan unsur hara yang esensial bagi tanaman maupun hewan. Timah putih dapat dengan mudah diambil tanaman dari larutan hara dan terakumulasi terutama di akar tanaman. Unsur Sn ini tidak dengan mudah ditranslokasikan ke bagian atas tanaman. Kadar Sn tanaman mempunyai selang yang sangat lebar dari < 1,0 - 300 mg kg-1, dengan selang normal antara 5-10 mg kg-1 (Pais and Jones, 1997). Menurut Markert (1994a) dalam Pais dan Jones (1997) kadar normal pada tanaman referensi hanyalah sebesar 0,2 mg kg-1 (Tabel 3 terdahulu). Kadar Sn tanaman pada tanah asli sebesar 94,75 ppm. Nilai ini besar karena memang belum dilakukan penambangan timah pada tanah asli, sehingga kadar Sn dalam tanah masih tinggi. Kadar Sn tanaman dari seluruh unit percobaan berkisar dari 0,0 hingga 227,25 ppm. Nilai rataan Sn tanaman tiap perlakuan untuk
T1 adalah 18,88 ppm (A1B1) hingga 113,63 ppm (A2B3), pada tailing T6 berkisar antara 0,0 - 47,38 ppm (A1B1), tailing T16 (0,0 - 94,63 ppm pada A3B3) serta tailing T25 antara 0,0 hingga 28,38 ppm (A2B2) seperti disajikan pada Gambar 4. Apabila dibandingkan dengan standar pada Tabel 3 maka pada T1 semua kadar Sn dalam tanaman melebihi standar normal tanaman referensi. Sebagian besar kadar Sn pada T6 melebihi batas normal, kecuali perlakuan A1B2 dan A3B1 yang bernilai nol. Pada T16, semua perlakuan A1, A2B1 dan A2B2 serta A3B3 melebihi batas normal. Tailing T25 mempunyai 4 perlakuan yang melebihi batas kadar Sn yang normal yaitu A1B2, A2B1, A2B2, dan A3B2.
Pengaruh jenis amelioran dan proporsi amelioran terhadap sifat fisik tanah setelah panen
Jenis amelioran hanya berpengaruh nyata pada kadar pasir dan debu (Tabel 4).
Tabel 4. Hasil analisis sidik ragam sifat fisik tanah setelah panen
Table 4. Analysis of variance result of soil physical properties after harvesting
Sumber keragaman db F hit P
Persen pasir Tingkat umur Jenis amelioran Proporsi amelioran Jenis*proporsi Galat
3 2 2 4
24
16,31 4,17
113,10
0,41
0.0001** 0.0280* 0.0001** 0.7963 tn
Total 35
Persen debu Tingkat umur Jenis amelioran Proporsi amelioran Jenis*proporsi Galat
3 2 2 4
24
16,82 3,41
55,25 1,96
0,0001** 0,0498* 0,0001** 0,1337tn
Total 35
Persen liat Tingkat umur Jenis amelioran Proporsi amelioran Jenis*proporsi Galat
3 2 2 4
24
8,21 2,94
34,97 1,08
0,0006** 0,0723tn 0,0001** 0,3871 tn
Total 35
*) : nyata pada taraf 5% tn : tidak nyata **): sangat nyata pada taraf 1%
JURNAL TANAH DAN IKLIM NO. 27/2008
68
Pada kadar pasir ditemukan bahwa jenis amelioran A3 yaitu pemberian campuran bahan organik-tanah mineral mempunyai nilai rataan tertinggi (67,13%) dan berbeda nyata dibandingkan dengan kedua jenis amelioran yang lain. Rataan kadar pasir pada jenis amelioran A2 (tanah mineral) lebih tinggi dari A1 (bahan organik-tanah) meskipun tidak berbeda nyata (Gambar 5a). Kadar debu tertinggi terdapat pada rataan perlakuan dengan jenis amelioran tanah mineral (A2) dan hanya berbeda secara nyata dengan A3 (campuran bahan organik dan tanah mineral).
TM
C
BO TM
TM
C
BO TM
a. Persen pasir b. Persen debu
Keterangan : BO = Bahan organik (A1) TM = Tanah mineral (A2) CO = Campuran BO-TM (A3)
Gambar 5. Hasil pengujian berpasangan jenis amelioran untuk kadar pasir dan debu setelah panen akibat perlakuan pemberian amelioran pada empat tingkat umur tailing
Figure 5. Pair test comparison result of sand and silt contents after harvesting as a result of ameliorant treatment at four ages of tailing
Faktor proporsi amelioran:tailing memberikan peningkatan yang sangat nyata terhadap kadar pasir, debu dan liat (Tabel 4, Gambar 6). Semakin tinggi proporsi amelioran yang diberikan, semakin tinggi kadar debu dan liat. Pada parameter kadar pasir terjadi fenomena sebaliknya yaitu dengan semakin tinggi proporsi amelioran maka kadar pasir semakin menurun. Tanah mineral dan pupuk kotoran ayam yang digunakan memberikan sumbangan terhadap meningkatnya fraksi halus tanah sehingga kadar pasir menurun. Kadar liat tanah mineral tersebut mencapai 71%, dan tergolong kelas tekstur liat.
Pengaruh jenis amelioran dan proporsi amelioran terhadap sifat kimia tanah setelah panen
Perlakuan jenis amelioran memberikan perbedaan yang sangat nyata terhadap semua parameter sifat kimia (Tabel 5).
Jenis amelioran bahan organik saja (A1) memberikan nilai rataan sifat kimia tertinggi dan berbeda nyata dengan ketiga umur tailing yang lain, kecuali pada parameter pH tanah. Nilai terendah sifat kimia ini (KTK, total basa, N-total, serta C-organik) dijumpai pada perlakuan jenis amelioran A2. Jenis amelioran A2 (tanah mineral) memberikan nilai pH yang tertinggi baru diikuti A3 dan pH terendah pada A1 (bahan organik).
2:3
3:2
1:4 2:3
2:3
3:2
1:4 2:3
2:3
3:2
1:4 2:3
a. Persen pasir b. Persen debu c. Persen liat
Keterangan : BO = Bahan organik (A1) TM = Tanah mineral (A2) CO = Campuran BO-TM (A3)
Gambar 6. Hasil pengujian berpasangan proporsi amelioran terhadap kadar pasir, debu, dan liat setelah panen akibat perlakuan pemberian amelioran pada empat tingkat umur tailing
Figure 6. Pair test comparison result of ameliorant proportion to sand, silt, and clay contents after harvesting as a result of ameliorant treatment at four ages of tailing
SANTUN R.P. SITORUS ET AL. : KARAKTERISTIK DAN TEKNIK REHABILITASI LAHAN PASCA PENAMBANGAN TIMAH DI PULAU BANGKA DAN SINGKEP
69
Tabel 5. Hasil analisis sidik ragam sifat kimia tanah setelah panen akibat pemberian jenis amelioran dan proporsi amelioran pada empat tingkat umur tailing
Table 5. Analysis of variance result of soil chemical characteristics after harvesting as a result of kind and proportion of ameliorant treatments at four ages of tailing
Sumber keragaman db F hit P
pH Tingkat umur Jenis amelioran Proporsi amelioran Jenis*proporsi Galat
3 2 2 4
60
11,77 363,29 35,30 0,85
0,0001 ** 0,0001 ** 0,0001 ** 0,4991 tn
Total 71
KTK Tingkat umur Jenis amelioran Proporsi amelioran Jenis*proporsi Galat
3 2 2 4
60
7,11 98,55 86,71 9,39
0,0004 ** 0,0001 ** 0,0001 ** 0,0001 **
Total 71
Total basa-basa Tingkat umur Jenis amelioran Proporsi amelioran Jenis*proporsi Galat
3 2 2 4
60
41,99 140,17 91,23 20,35
0,0001 ** 0,0001 ** 0,0001 ** 0,0001 **
Total 71
N Total Tingkat umur Jenis amelioran Proporsi amelioran Jenis*proporsi Galat
3 2 2 4
60
28,78 225,41 152,72 23,66
0,0001 ** 0,0001 ** 0,0001 ** 0,0001 **
Total 71
C-organik Tingkat umur Jenis amelioran Proporsi amelioran Jenis*proporsi Galat
3 2 2 4
60
19,34 205,38 127,46 27,98
0,0001 ** 0,0001 ** 0,0001 ** 0,0001 **
Total 71
**) : sangat nyata pada taraf 1% tn : tidak nyata
Faktor proporsi amelioran:tailing memberikan
peningkatan yang sangat nyata terhadap semua parameter sifat kimia tanah setelah panen (Tabel 5). Semakin tinggi proporsi amelioran yang diberikan akan memberikan peningkatan secara nyata terhadap nilai sifat kimia tanah. Dengan demikian proporsi amelioran terbukti dapat meningkatkan
kualitas tanah dari segi sifat kimianya terutama bila dibandingkan dengan tanah asli. Dengan semakin membaiknya sifat kimia tailing dari semua kelompok umur diharapkan dapat mendukung pertumbuhan tanaman.
Pengaruh jenis amelioran dan proporsi amelioran terhadap kadar Fe, Mn, Cu, Pb, dan Sn tanah setelah panen
Perlakuan jenis amelioran berpengaruh sangat nyata terhadap kadar Fe, Mn, Cu, dan Pb tanah setelah panen dan tidak berpengaruh nyata hanya terhadap kadar Sn (Tabel 6). Pada kadar Mn dan Cu, jenis amelioran bahan organik saja (A1) memberikan nilai rataan tertinggi dan saling berbeda nyata dengan dua amelioran yang lain dengan nilai terendah pada A2 (tanah mineral saja), sedangkan kadar Fe tertinggi pada jenis amelioran campuran bahan organik-tanah mineral (A3), disusul jenis amelioran bahan organik saja (A1) dan terendah pada A2 (hanya tanah mineral). Penyebabnya diduga dari sumbangan kadar Mn dan Cu yang terdapat pada kotoran ayam yang digunakan, karena pada analisis awal tidak dianalisis kadar Mn dan Cu pada bahan organik tersebut.
Sementara kadar Fe pada bahan amelioran termasuk sangat tinggi (5690 ppm pada bahan organik dan 46191 ppm pada tanah mineral) dan telah melebihi batas normal kadar Fe tanah tidak tercemar. Menurut Pais dan Jones (1997), kadar Fe total di tanah dapat mencapai 38 g kg-1 (38 000 ppm) dengan kadar Fe total dalam tanah : 50 µg l-1.
Menurut Adimihardja et al. (2000) dalam Setyorini dan Hartatik (2003), kandungan Mn dan Cu pada pupuk kandang ayam lebih tinggi dibandingkan sapi maupun kambing. Kandungan Mn dapat mencapai 45% dan kandungan Cu = 56%, sedangkan kotoran sapi dan kambing masing-masing hanya 13 dan 37,8% Mn serta 38 dan 13,5% Cu.
Jenis amelioran tanah mineral (A2) memberikan pengaruh tertinggi terhadap kadar Pb saja. Tanah mineral (tanah asli yang belum ditambang) selain mempunyai kandungan Pb tertinggi pada analisis awal ternyata juga peranannya dominan pada semua unit percobaan.
JURNAL TANAH DAN IKLIM NO. 27/2008
70
Tabel 6. Hasil analisis sidik ragam kadar logam berat tanah setelah panen akibat pemberian jenis amelioran dan proporsi amelioran pada empat tingkat umur tailing
Table 6. Analysis of variance result of soil heavy metal content after harvesting as a result of kind and proportion of ameliorant treatments at four ages of tailing
Sumber keragaman db F hit P
Besi (Fe) Tingkat umur Jenis amelioran Proporsi amelioran Jenis*proporsi Galat
3 2 2 4
60
11,07 95,22 23,46 3,47
0,0001 ** 0,0001 ** 0,0001 **
0,0130 *
Total 71
Mangan (Mn) Tingkat umur Jenis amelioran Proporsi amelioran Jenis*proporsi Galat
3 2 2 4
60
6,76 189,52 66,92 27,93
0,0005 ** 0,0001 ** 0,0001 ** 0,0001 **
Total 71
Tembaga (Cu) Tingkat umur Jenis amelioran Proporsi amelioran Jenis*proporsi Galat
3 2 2 4
60
6,76 189,52 66,92 27,93
0,0005 ** 0,0001 ** 0,0001 ** 0,0001 **
Total 71
Timbal (Pb) Tingkat umur Jenis amelioran Proporsi amelioran Jenis*proporsi Galat
3 2 2 4
60
39,44 40,55
132,77 1,48
0,0001 ** 0,0001 ** 0,0001 ** 0,2193 tn
Total 71
Timah putih (Sn) Tingkat umur Jenis amelioran Proporsi amelioran Jenis*proporsi Galat
3 2 2 4
60
3,57 0,46 0,08 0,46
0,0190 * 0,6345 tn 0,9256 tn 0,7620 tn
Total 71 *) : nyata pada taraf 5% tn : tidak nyata **): sangat nyata pada taraf 1%
Proporsi amelioran dari ketiga jenis yang digunakan dibandingkan tailing (dalam berat) mempunyai pengaruh yang sangat nyata terhadap kadar Fe, Mn, Cu, dan Pb, tetapi tidak nyata pada kadar Sn tanah (Tabel 6).
Hasil uji berpasangan nilai tengah menunjukkan terdapat kesamaan pola dari keempat logam berat (Fe, Mn, Cu, dan Pb) yaitu ketiga proporsi saling berbeda nyata. Peningkatan proporsi amelioran yang diberikan meningkatkan secara nyata kadar logam berat dalam tailing pada berbagai tingkat umur. Hal ini perlu mendapat perhatian khusus dalam memanfaatkan tailing timah dalam rehabilitasi lahan pasca tambang. Meskipun peningkatan proporsi amelioran meningkatkan dan memperbaiki sifat kimia/kesuburan tanah tetapi ternyata memberikan peningkatan juga pada kandungan logam berat tanah, sehingga perlu diperhatikan pemberian dosis atau proporsi amelioran dengan tailing yang akan memberikan hasil terbaik dalam peningkatan kualitas tanah secara fisik dan kimia tetapi tidak berbahaya dari segi kandungan logam berat.
Meskipun nilai kadar logam berat ini sangat kecil dibandingkan dengan standar yang diperbolehkan, tetapi efek akumulasi (dari rantai makanan) dapat membahayakan manusia sebagai konsumen terakhir, terutama apabila reklamasi ditujukan untuk keperluan budidaya tanaman pangan ataupun hijauan pakan ternak. Kusnoputranto (1995) menyebutkan bahwa logam berat tidak pernah terurai atau terdegradasi seperti polutan organik yang dapat terurai oleh sinar matahari atau panas. Logam tersebut dapat ditimbun (dalam landfill) dan tercuci ke dalam sedimen, tetapi tidak pernah menghilang seluruhnya dan selalu mengancam di masa mendatang.
Percobaan rumah kaca II
Hasil analisis sidik ragam pengaruh perlakuan media tanam yang digunakan dan inokulan mikoriza menunjukkan perlakuan media tanam dan inokulan mikoriza tidak berpengaruh nyata terhadap tinggi tanaman. Tinggi tanaman dipengaruhi sangat nyata oleh jenis tanaman. Gambar 7a menunjukkan hasil uji berpasangan rata-rata tinggi semai A. auriculiformis, G. maculata, L. leucocephala, dan P.
SANTUN R.P. SITORUS ET AL. : KARAKTERISTIK DAN TEKNIK REHABILITASI LAHAN PASCA PENAMBANGAN TIMAH DI PULAU BANGKA DAN SINGKEP
71
falcataria pada minggu ke-10 setelah masa tanam (MST-10). Nampak bahwa tinggi tanaman berbeda nyata antara satu jenis dengan jenis yang lainnya. Adapun urutan tinggi tanaman dari keempat jenis tanaman yang digunakan dari yang tertinggi sampai yang terendah adalah L. leucocephala > P. falcataria > G. maculata > A. auriculiformis.
Hasil analisis sidik ragam diameter tajuk tanaman menunjukkan media tanam dan jenis tanaman yang digunakan berpengaruh nyata terhadap diameter tajuk tanaman. Hasil uji berpasangan diameter tajuk tanaman pada Gambar 7b menunjukkan penggunaan media tanam pupuk kandang satu sama lain berbeda nyata kecuali
antara tanaman P. falcataria dengan G. maculata tidak berbeda nyata. Urutan diameter tajuk tanaman dari keempat jenis tanaman dari yang tertinggi sampai terendah adalah L. leucocephala > G. maculata > P. falcataria > A. auriculiformis.
Hasil analisis sidik ragam menunjukkan bahwa perlakuan inokulan mikoriza berpengaruh nyata terhadap jumlah daun tanaman, sedangkan media tanam tidak berpengaruh nyata terhadap jumlah daun tanaman. Hasil uji berpasangan jumlah daun pada Gambar 7c menunjukkan bahwa pemberian inokulan mikoriza pada tanaman berbeda nyata terhadap tanaman yang tidak diberikan inokulan mikoriza. Jumlah daun L. leucocephala berbeda
Berbeda nyata pada taraf nyata α = 0,05 Tidak berbeda nyata
Gm Ll Pf K Kt Pk I1 I0
Aa Gm LI Pf K Kt PK I1 (a) Tinggi tanaman
Gm Ll Pf K Kt Pk I1 I0
Aa Gm LI Pf K Kt PK I1 (b) Diameter tajuk
Gm Ll Pf K Kt Pk I1 I0 Aa Gm LI Pf K Kt PK I1
(c) Jumlah daun
Gm Ll Pf K Kt Pk I1 I0
Aa Gm LI Pf K Kt PK I1 (d) Panjang akar
Gm Ll Pf K Kt Pk I1 I0
Aa Gm LI Pf K Kt PK I1 (e) Lingkar batang
Keterangan :
Jenis tanaman : Gm = Gamal Media tanam : K = Kompos Inokulan : I0 = Tanpa inokulan LI = Lamtoro Pk = Pupuk kandang I1 = Dengan inokulan Aa = Akasia Kt = Kontrol Pf = Sengon
Gambar 7. Hasil uji berpasangan pengaruh media tanam, inokulan mikoriza, dan jenis tanaman terhadap lima parameter pertumbuhan tanaman kehutanan
Figure 7. Pair test comparison result of growth media, micorrhiza inoculant, and types of crops for five growth parameters of forestry crops
JURNAL TANAH DAN IKLIM NO. 27/2008
72
nyata dengan A. auriculiformis, G. maculata, dan P. falcataria, sedangkan antara 3 jenis tanaman yang terakhir tidak berbeda nyata. Urutan jumlah daun tertinggi sampai terendah adalah: L. leucocephala > P. falcataria > A. auriculiformis > G. maculata.
Hasil analisis sidik ragam panjang akar tanaman menunjukkan inokulan dan jenis tanaman berpengaruh nyata terhadap panjang akar tanaman, sedangkan media tanam tidak berpengaruh nyata. Uji berpasangan pada Gambar 7d menunjukkan bahwa pemberian inokulan mikoriza berbeda nyata terhadap tanaman yang tidak diberi inokulan mikoriza, sedangkan untuk perlakuan yang lainnya tidak berbeda nyata. Uji berpasangan panjang akar tanaman berdasarkan jenis tanaman yang digunakan menunjukkan semua pasangan jenis tanaman berbeda nyata kecuali antara L. leucocephala dengan P. falcataria tidak berbeda nyata.
Hasil analisis sidik ragam menunjukkan media tanam dan jenis tanaman berpengaruh nyata terhadap lingkar batang tanaman, sedangkan pemberian inokulan mikoriza tidak berpengaruh nyata. Hasil uji berpasangan pada Gambar 7e menunjukkan bahwa lingkar batang tanaman pada tanaman kontrol berbeda nyata dengan pupuk kandang dan kompos. Urutan lingkar batang tanaman dari yang tertinggi sampai yang terendah adalah G. maculate > L. leucocephala > P. falcataria > A. auriculiformis.
KESIMPULAN
1. Penambangan timah menyebabkan penurunan kualitas tanah dan jumlah jenis vegetasi alami. Jumlah jenis vegetasi alami meningkat dengan bertambahnya umur tailing setelah penambangan. Kadar pasir lebih banyak tetapi kadar debu dan liat lebih sedikit pada keempat tingkat umur tailing (1, 6, 16, dan 25 tahun). Tingkat umur tailing nyata mempengaruhi pH, KTK, N-total, dan C-organik tanah serta semua logam berat yang dianalisis.
2. Tailing pasca penambangan timah di Sungai Liat Bangka pada empat tingkat umur tailing mempunyai sifat fisik dan kimia tanah yang buruk. Kemasaman tanah berkisar dari sangat masam hingga masam. KTK, basa-basa dapat ditukar, C-organik, dan N-total sangat rendah hingga rendah. Tanah asli yang digunakan sebagai bahan amelioran mempunyai sifat fisik yang lebih baik dari tailing dengan kadar liat yang tinggi.
3. Teknik rehabilitasi lahan dengan menggunakan 4 jenis tanaman kehutanan menunjukkan respon tanaman yang berbeda-beda terhadap perlakuan yang diberikan. Teknik rehabilitasi lahan dengan menggunakan kombinasi antara media tanam pupuk kandang, inokulan cendawan mikoriza arbuskula dan lamtoro (Leucaena lecocephala) merupakan teknik yang terbaik dalam merehabilitasi lahan pasca tambang timah.
4. Pemberian amelioran mempengaruhi sifat fisik, kimia dan kadar logam tailing. Jenis amelioran campuran bahan organik-tanah mineral memberikan kadar pasir tertinggi. Kadar debu dipengaruhi secara nyata oleh jenis amelioran tanah mineral. Proporsi amelioran nyata meningkatkan kadar debu dan liat serta menurunkan kadar pasir. Tingkat umur tailing setelah penambangan, jenis dan proporsi amelioran nyata mempengaruhi sifat kimia tanah setelah panen. Nilai pH tanah setelah panen tertinggi dijumpai pada tailing umur 25 tahun sedangkan sifat kimia yang lain tertinggi pada tailing umur 6 tahun. pH tanah dipengaruhi oleh jenis amelioran sedangkan sifat kimia yang lain dipengaruhi oleh jenis amelioran bahan organik.
5. Pemberian jenis amelioran bahan organik nyata meningkatkan kadar Fe, Mn, dan Cu. Kadar Pb dipengaruhi oleh jenis amelioran tanah mineral sedangkan kadar Sn tidak dipengaruhi oleh jenis amelioran. Semua kadar logam berat tanah setelah panen dipengaruhi secara nyata oleh meningkatnya proporsi amelioran.
SANTUN R.P. SITORUS ET AL. : KARAKTERISTIK DAN TEKNIK REHABILITASI LAHAN PASCA PENAMBANGAN TIMAH DI PULAU BANGKA DAN SINGKEP
73
DAFTAR PUSTAKA
Achmad, Y.N., S.R. Untung, dan A. Hakim. 2000. environmental management at the Selogiri gold mine. Indonesian Mining Journal 6(1):53-61.
Amriwansyah. 1990. Evaluasi dan Deskripsi Beberapa Sifat Fisik dan Kimia Tanah Sebelum (Kondisi Tanah Alami) dan Setelah (Kondisi Tanah Kolong) Proses Aktivitas Penambangan Timah di Tiga Lokasi Unit Penambangan Timah Bangka (Tambang 25, 23, dan 45). Wilayah Produksi Pulau Bangka-Sumatera Selatan. Skripsi. Jurusan Tanah, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Bogor.
Barrow, C.J. 1991. Land Degradation. Cambridge University Press. Cambridge.
Kurniawansyah, A.M., Nurchaerijah, Sukristiyo-nubowo, dan Subowo. 1999. Korelasi Sifat Tanah dengan Kandungan Logam Berat Pb dan Cd-tersedia dalam Tanah. Dalam Prosiding Seminar Nasional Sumber Daya Tanah, Iklim, dan Pupuk. Buku II. Lido-Bogor, 6-8 Desember 1999. Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat. Bogor
Kusnoputranto, H. 1995. Pengantar Toksikologi Lingkungan. Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi, Depdikbud. Jakarta
Latifah, S. 2000. Keragaan Pertumbuhan Acacia mangium Wild. pada Lahan Pasca Tambang Timah (Studi Kasus di Areal Kerja PT. Timah Tbk). Tesis. Program Studi Pengetahuan Kehutanan, Program Pasca Sarjana, Institut Pertanian Bogor. Bogor.
Mulyani, A., M. Soekardi, J.S. Adiningsih, dan L.R. Widowati. 1996 Perbandingan campuran tanah merah dan Blue Clay untuk dasar reklamasi lahan di PT. BA Tanjung Enim dengan indikator Tanaman Jagung. Dalam Prosiding Pertemuan Pembahasan dan Komunikasi Hasil Pertanian dan Agroklimat. Buku II, Bidang Potensi Sumberdaya Lahan. Bogor 26-28 September 1995.
Nurdin. 2001. Kontribusi Mikorhiza pada Proses Biogeokimia di Tanah Galian Tambang Emas dan Serapan Haranya untuk Pertumbuhan Semai Paraserianthes falcataria (L.) Nielsen dan Acacia mangium Wild. Skripsi. Jurusan Manajemen Hutan, Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian Bogor. Bogor.
Pais, I. and J.B. Jones Jr. 1997. The Handbook of Trace Element. St. Lucie Press. Boca Raton, Florida
PT. Tambang Timah. 1991. Studi Evaluasi Lingkungan (SEL) Unit Penambangan dan Unit Peleburan Timah Pulau Bangka. Ringkasan Eksekutif, Vol. 1- 4. PT. Tambang Timah. Pangkal Pinang.
Ripley, E.A., R.E. Redmann, and A.A. Crowder. 1996. Environmental Effects of Mining. St. Lucie Press Delray Beach, Florida. Pp 356.
Ruchiat, Y. 1999. Pengaruh Top Soil, Pupuk dan Bionature terhadap Pertumbuhan Casuarina equisetifolia Forst & Forst di Lahan Pasca Tambang PT. International Nickel Indonesia (INCO) Soroako, Sulawesi Selatan. Skripsi. Jurusan Manajemen Hutan, Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian Bogor. Bogor
Saptaningrum, H. 2001. Karakterisasi dan Perubahan Sifat Fisik dan Kimia Tanah Bekas Galian Tambang (Tailing) dan Dampaknya terhadap Pertumbuhan Vegetasi. Skripsi. Jurusan Ilmu Tanah, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Bogor.
Sitorus, S.R.P. 2002. Pemberdayaan lahan pasca tambang. Makalah disampaikan pada Seminar Pengelolaan Lingkungan Pasca Tambang. BPPT Jakarta, 25 September 2002.
______________. 2007. Kualitas, Degradasi, dan Rehabilitasi Lahan. Program Pasca Sarjana Institut Pertanian Bogor. Bogor
Tala’ohu, S.H., S. Moersidi, Sukristiyonubowo, J. Purnomo, dan G. Syamsidi. 1998. Penggunaan Amelioran untuk Perbaikan Sifat Fisik dan Kimia Tanah serta Pertumbuhan Tanaman Penutup Tanah pada Areal Timbunan Sisa Galian Penambangan Batubara di Tanjung Enim. Hlm. 23-41. Dalam Prosiding Pertemuan Pembahasan dan Komunikasi Hasil Penelitian Tanah dan Agroklimat. Buku IV. Bidang Fisika dan Konservasi Tanah dan Air serta Agroklimat dan Hidrologi. Bogor, 10-12 Februari 1998. Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat. Bogor.
Tim Pusat Penelitian Tanah. 1987. Laporan Survei dan Penelitian Tanah Pulau Bangka. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Pusat Penelitian Tanah. Bogor.
74
JU
RN
AL T
AN
AH
DAN
IKLIM
NO. 2
7/2
008
Lampiran 1. Vegetasi alami di tiap lokasi pengambilan sampel tailing di Sungai Liat Bangka
Annex 1. Natural vegetation at each of the tailing sampling locations in Sungai Liat Bangka
No. Pemali (T0) Air Jangkang (T1) Air Jeliti (T6) Air Limo Selatan (T16) Sambung Giri (T25)
1. Kedebi * (Rhodomyrtus tomentosus) Tidak ada vegetasi Kedebi Kedebi Kedebi
2. Keramunting (Melastoma affine) Keramunting Keramunting Keramunting
3. Seru (Schima wallichii Korth.) Rumput Kalamento (Ischaemum muticum L.)
Ilalang Gelam (Melaleuca leucadendron)
4. Leben (Vitex pubescens Jack.) Ilalang (Imperata cylindrical) Rumput SG 1 (Eriachne pallescens R.Br.)
Seru
5. Kedemang (Eugenia sp.) Banit (Xylopia caudata) Simpur (Dillenia suffruticosa)
Rumput SG 1
6. Pepari (Clerodendrum fragrans (Vent.) Willd)
Bebayu- *** Kerak ayam (Selaginella frondosa Warb)
Rumput SG 2 (Cymbogon sp.)
7. Nasi-nasi (Eugenia lineate) Sayat-sayat/Serendai (Scleria levis Retz.)
Pelangas Syzygium lineatum (DC.) Merr. & Perry.
8. Pelangas (Drypetes sp.) Leben Sayat-sayat Ilalang
9. Pelempang (Adinandra dumosa) Akasia mangium (Acacia mangium)
Resam (Dicranopteris linearis)
Cengkok manis hutan (Breynia racemosa Muell.Arg)
10. AN 1 PML- *** Akasia mangium (Acacia mangium)
Pelawan
11. Pules (Rourea minor (Gaerth) Leenh) Pelangas
12. Pakis (Neprolepis biserrata (Swartz) Schott)
Riang-riang
13. Mempari (Macaranga gigantea Muell.) Mempari
14. Riang-riang- ***
15. Pelawan (Tristania obovata)
16. Karet (Hevea brasilienses)
17. AN 2 PML (Eurya nitida Korth.) Jumlah
** 17 0 9 10 13
Keterangan : * Kedebi = kera duduk ** Jumlah jenis vegetasi tiap kelompok umur tailing setelah penambangan *** Nama botani (nama ilmiah) tidak teridentifikasi
75
Preservation of Organic Matter as Affected by Various Clay Contents in an Acid Soil : Beneficial Impact on Groundnut Yield
Kestabilan Bahan Organik Tanah yang Diakibatkan oleh Berbagai Kandungan Liat pada Tanah Masam : Dampak Menguntungkan pada Hasil Kacang Tanah
M. ANDA1, E. SURYANI1 AND U. KURNIA2
ABSTRACT
Systematic study on the effect of various clay contents on organic C dynamic and groundnut yield (Arachis hypogea) in upland acid soils has not received any attention. The objectives of the study were: (i) to assess the capability of various soil clay contents to preserve organic C, (ii) and to relate the effects of soil clay fraction and organic C on groundnut yield of an acid soil (Ultisol). The soil clay content was artificially adjusted to 15, 30, 45, 60 and 75%. Each soil clay percentage was thoroughly mixed with finely ground rice straw at the rate equals to 0.5, 1, 2, 3, 4, and 5% of organic C. The soil was then transferred into a pot and planted with corn (Zea mays) for the first 6 months and followed by groundnut for further 6 months. The experiment was arranged in a split plot design with three replications under glasshouse conditions. Results for the first 6 months have been published elsewhere. Hence, results for the last 6 months were presented here. Soil clay was the major factor responsible for the preservation of organic C as indicated by (i) the increased soil organic C with increasing clay fraction, and (ii) the low mineralization rate as shown by CO2-C: total C ratio from low to high 75<60<45<30<15% soil clay. It is observed that every 15% clay increment could preserve another 0.3% organic C for the period of 12 months. The increased soil organic C could linearly increase groundnut yield for 15 and 30% clay and quadratic yield for 45 and 60% clay. The maximum grain yield was 25.7-27.6 g pot-1 (equals to 2.9-3.1 t ha-1), which was obtained at 30-45 % clay containing 1.8-1.9% soil organic C. Keywords : Acid soil, Organic C preservation, C-clay
association, Groundnut yield
ABSTRAK
Studi secara sistematis mengenai pengaruh berbagai kandungan liat pada dinamika C organik dan hasil kacang tanah (Arachis hypogea) pada lahan kering masam belum dilakukan. Tujuan penelitian ini adalah mengkaji kemampuan berbagai kandungan liat untuk mengawetkan C organik, dan pengaruh kandungan liat dan C organik pada hasil kacang tanah pada tanah masam (Ultisol). Kandungan liat tanah diatur secara buatan pada taraf 15, 30, 45, 60 dan 75% dengan menggantikan tanah secara proporsional dengan pasir. Tiap persentase liat dicampur secara merata dengan jerami padi yang telah digiling halus pada takaran setara 0.5, 1, 2, 3, 4 and 5% C organik. Tanah kemudian dipindahkan ke dalam pot dan ditanami jagung pada 6 bulan pertama kemudian diikuti dengan kacang tanah pada 6 bulan berikutnya. Percobaan disusun menurut rancangan petak terpisah dengan tiga ulangan dalam rumah kaca. Hasil penelitian pada 6 bulan pertama telah dipublikasikan sehingga dalam tulisan ini disajikan hasil penelitian pada 6 bulan terakhir. Faktor yang berperan utama dalam pengawetan C organik adalah besarnya kandungan liat seperti yang ditunjukkan oleh (i) total C organik
yang meningkat secara linear dengan peningkatan persentase liat, dan (ii) tingkat mineralisasi C yang rendah seperti terlihat pada nisbah CO2-C: total C yang meningkat dari 75 < 60 < 45 <30 < 15% liat. Setiap peningkatan liat 15% mampu mengawetkan tambahan 0,3% C organik dalam waktu 12 bulan. Peningkatan C organik tanah secara linear meningkatkan hasil kacang tanah pada 15 dan 30% liat, dan secara kwadratik pada 45 and 60% liat. Hasil kacang tanah maksimum adalah 25,7-27,6 g pot-1 (setara 2,9-3,1 t ha-1), yang diperoleh pada kandungan liat 30-45% dan C organik 1,8 -1,9%. Kata kunci : Tanah masam, Pengawetan C organik, Asosiasi C
organik-liat, Kacang tanah
INTRODUCTION
Clay and organic matter colloids are two soil constituents that control major chemical, physical and biological processes and their interaction may result in a longer benefit impact on soil properties and crop yields. The interaction between these two soil components refers to the inter-molecular interactions between organic and inorganic substances that alter the rate of degradation of those organic or synthesis of new organic compounds (Sollins et al.,1996).
Generally, there is a positive correlation between organic C and clay content (Parton et al., 1987; Hassink and whitmore, 1997). Stevenson (1994), using data from various soils, showed that about 52 to 98% of the C in the soils examined was associated with clay. This evidence confirms that the clay fraction of soils has the high capacity to preserve organic C. The effect of mineral fraction on quantity and quality of organic matter (OM) in soils
1. Peneliti pada Balai Besar Litbang Sumberdaya Lahan Pertanian, Bogor.
2. Peneliti pada Balai Penelitian Tanah, Bogor.
ISSN 1410 – 7244
JURNAL TANAH DAN IKLIM NO. 27/2008
76
is due partly to adsorption on clay surfaces by which a large part of the OM is protected from microbial decomposition (Oades, 1988) and another part to physical inaccessibility of OM within pore of microaggregates (Tisdall and Oades, 1982; Sollins et al., 1996). Accessibility refers to the location of organic substances as it influences their access by microbes and enzymes (Sollins, 1996). Recently, Anda et al. (2008b) measured surface area, pore sizes and mineral composition (shown by XRD, DTA and SEM) of three Oxisols and reported that Stabilization of SOM in soil occurred through physical protection in the mesopores and cation bridging between OM and mineral surfaces. They also reported the less crystalline and smaller clay size particles play an important role in SOM stabilization.
The mechanism underlying stabilization of soil organic matter (SOM) is not entirely understood. Christensen (1996) reviewed organomineral complexes and reported that mechanisms responsible for stabilization of SOM include chemical recalcitrance, chemical stabilization and physical protection. Similarly, Sollins et al. (1996) concluded from their review on mechanisms and factors control stabilization and destabilisation of SOM that the stability of the organic C is the results of three factors: recalcitrance, interactions and accessibility.
Skjemstad et al. (1996), using 13C NMR with CP/MAS to study chemistry and nature of protected C in Argixeroll, Hapludoll, Kandiustox and Pellustert at 0-10 cm depth, reported that the mechanism of long-term protection of SOM against microbial decomposition is physical incorporation into microaggregates that are able to withstand physically disruptive forces. In addition, Mayer (1994) reported that stabilisation of organic matter occurred through adsorption into small pores (<8-nm width) where slower condensation reactions can occur because of exclusion of faster, competitive biological reactions (hydrolytic enzymes).
Carbon mineralisation as measured by CO2 evolution decreased with increasing clay content in whole soil, suggesting that the potential turnover
time of SOM was greater in coarse textured soils than in fine textured soils (Hassink et al., 1993; Franzluebbers and Arshad, 1997). Turnover time for C in clay, silt and sand is 59, 6 and 4 years, respectively (Christensen, 1996). The turnover time also depends on organic matter pool in soils. The minimum turnover times of active pool, slow pool and passive pool are 0.5, 10, and 500 years, respectively (Parton and Rasmussen, 1994).
Under natural condition, upland acid soils can generally contain clay fraction (< 2 µm) ranged from 30 to 85% (Feller et al., 1992; Anda et al., 2008a). At present, however, no attempt has been made to systematically assess to what extent the capability of acid soils at different clay contents to preserve organic C at a similar C application rate and to relate the effect of soil mineral and organic C interactions on crop yields. The objectives of the study were (i) to assess the capability of various soil clay contents to preserve organic C, (ii) and to relate the effects of soil clay fraction and organic C on groundnut yield of an acid soil (Ultisols).
MATERIALS AND METHODS
Soil preparation
The acid soil used in this study was an Ultisols taken from Jambi, Sumatera, where Ultisols are the major soils and are mainly used for plantation and food crops. The bulk soil was taken at 0-20 cm depth, dried, ground and passed through a 2 mm sieve. Total clay in an initial soil was calculated using percentage of clay content obtained from particle size analysis (75% clay; Anda et al., 2005). The sand was taken from the river with the assumption that all organic C has been washed out, hence it would not introduce any addition of organic C when it was used to adjust soil clay content. The soil of 8 kg pot-1 was used and the clay fraction was adjusted into 5 levels (15, 30, 45, 60, and 75%) by substituting a portion of the initial soil with sand. The amount of sand to be added to a given
M. ANDA ET AL. : PRESERVATION OF ORGANIC MATTER AS AFFECTED BY VARIOUS CLAY CONTENTS IN AN ACID SOIL
77
treatment was determined on a weight basis.
The rice straw was collected from a rice field, dried, chopped (2 cm) and then finely ground in order to obtain a homogenous material. The rates of organic C-derived rice straw treatments were 0.5, 1.0, 2.0, 3.0, 4.0, and 5.0%. The amount of rice straw added to adjust soil organic C to a given application rate was calculated as the amount of organic C needed to achieve a given rate of soil organic C and then subtracted by the initial organic C in adjusted clay percentage.
Glasshouse experiment
The soil clay fractions at 15, 30, 45, 60 and 75% of 8 kg soil prepared as described previously were thoroughly mixed with finely ground rice straw according to a given organic C treatment. Organic C rates consisted of 0.5, 1.0, 2.0, 3.0, 4.0, and 5.0% and designated as O0, O1, O2, O3, O4, and O5, respectively. The exceptions were clay at 75, 60, and 45%. The rice straw was not added at O0 - O2 rates for 75% clay, O0 - O1 for 60% clay and O0 for 45% clay. This is due to the initial organic C content was already similar to the rates of C treatments, even slightly higher for the 75% clay. All other organic C rates were well adjusted according to a given treatment in each clay percentage. After mixing of given rice straw treatment within each clay percentage, the soil was transferred into a black plastic pot and the water content was brought up to 80% water holding capacity. The basal treatments were 150 kg urea, 100 KCl, 150 kg SP-36 ha-1 ,and the amount of lime was 1.5 times exchangeable Al. The experiment was arranged in a split plot design where 5 clay percentages as main plots and 6 organic C rates as subplots with three replications. During the first six months, the pot was grown with maize of pioner cultivar and the results have been reported by Anda et al. (2005). For the next six months, the pot was
grown with groundnut, singa cultivar, of 2 seeds
pot-1. Thinning was performed after two weeks and left one seedling pot-1 behind. After harvesting, the
groundnut yield was oven dried at 105oC for 24 h
and then weighed. Duncan multiple range test (DMRT) was used to determine the difference between treatments. We reported the preservation of organic C derived rice straw for a period of 12 months.
Soil analyses
Soil was sampled after groundnut harvesting. Total organic C analysis was performed using a wet Walkley and Black method (Nelson and Sommer, 1982) and total N using Kjeldhal method (Bremner and Mulvaney, 1982). CO2 measurement was performed as described by Van De Werf and Verstraete (1987).
RESULTS AND DISCUSSION
Effect of clay percentage and organic C-rice straw on soil organic C
The results of the experiment on organic C changes and corn yield for the first six months have been reported by Anda et al. (2005); and we present here the results on organic C changes after 12 months and its effect on groundnut yield. The effect of different amounts of clay percentages in preserving soil organic C during a period of 12 month experiment is given in Figure 1. There was a consistent and significant increase in total soil organic C as clay content increased, which is revealed by a positive linear correlation, Y = 0.02x +0.82 (r2 = 0.98), between soil organic C and amount of soil clay. This suggests that the clay fraction was a major factor responsible for preservation of organic matter (OM) in the soil. The regression equation indicated that every 15% soil clay increment could preserve another 0.3% organic C.
1 5
1.7
1.9
2.1
2.3
gani
c C
(%)
y = 0.02x + 0.82 r 2 = 0.98
LSD0.05 = 0.37
JURNAL TANAH DAN IKLIM NO. 27/2008
78
The capability of each soil clay to preserve organic C was also assessed using the ratio of organic C in different soil clay percentages (Table 1). The ratio consistently decreased from the high soil clay fraction to the low ones. For example, the values of ratios between 75, 60, 45, and 30% against 15% clay are 2.2, 1.6, 1.4, and 1.2, respectively at a corresponding 3% C-rice straw application rate. This indicates that the amount of organic C substrate physically protected by soil matrices was regularly decrease from the higher to lower clay contents due to reduction of microbial accessibility in the former. The clay fraction as fine particles could fill soil pores, resulting number and size of soil pores to decrease, thereby limited a pathway of various microbes.
Furthermore, the ratio between total organic C
within different clay percentages indicated that the ratio was much higher at the lower rate C application compared to the higher rate, suggesting that most of the C at the lower application rate was adsorbed into mineral surfaces since the sites for adsorption were still available. At the high C organic application rate, adsorption sites may adsorb more organic C and at the same time some organic C was less protected and exposed to microbial decomposers. Mikutta et al. (2004) who prepared synthetic hydrous Al oxide, gibbsite and coated with dissolved organic matter (DOM) and polygalacturonic acid (PGA) under laboratory conditions found that organic matter occurred in micropores and small mesopores. Similar results have been reported by other workers (Kahle et al., 2002; Mayer et al., 2004).
The effect of organic C application rates on total soil organic C after 12 months in different clay percentages is given in Figure 2. The increased rate of C-rice straw applications significantly increased total soil organic C in all soil clay percentages. This can be seen from a positive linear correlation between rates of C treatments and total soil organic C, where determination coefficient is mostly more than 94%.
Generally, total soil organic C significantly increased at an O3 application rate for 15, 30 and 45% clay and at an O4 C application rate for 60 and 75% clay compared to O0, O1, and O2 application rates. The organic C content in soil at
Table 1. Ratio of soil organic C within different soil clay percentages
Organic C ratio in different soil clay pecentages C-rice straw treatment 75:15 60:15 45:15 30:15 75:30 60:30 45:30 75:45 60:45 75:60
O0 5.6 4.0 2.6 1.6 3.5 2.5 1.6 2.2 1.5 1.4 O1 2.9 2.0 1.3 1.0 2.8 1.9 1.3 2.2 1.5 1.5 O2 2.8 1.7 1.5 1.1 2.5 1.6 1.4 1.8 1.2 1.6 O3 2.2 1.6 1.4 1.2 1.9 1.4 1.2 1.6 1.2 1.4 O4 1.8 1.6 1.2 1.0 1.7 1.5 1.2 1.4 1.3 1.1 O5 1.9 1.6 1.4 1.2 1.5 1.3 1.2 1.3 1.1 1.1
M. ANDA ET AL. : PRESERVATION OF ORGANIC MATTER AS AFFECTED BY VARIOUS CLAY CONTENTS IN AN ACID SOIL
79
O0, O,1 and O2 treatments for 75% clay should be maximum, i.e., 0.5, 1.0, and 2.0%, respectively with respect to organic C rate treatments. However, it is not the case, instead the total soil organic C contents were higher than organic C treatments (O0-O2 rates). A similar case occurred for O0 and O1 rates at 60% clay and at O0 for 45% clay. As described in an experiment method, the higher organic C contents in all those clay fractions than the rate of C treatments were due to the fact that the initial soil organic C was high.
In this study, the existing clay content (75% clay) is already similar to the highest clay percentage treatment rate, hence no sand substitution was made. For 60% clay treatment rate, the addition of sand to lower a clay fraction from 75 to 60% was still insufficient to lower the organic C of initial soil to the desired levels: 0.5% for O0, 1%C for O1 and 2% for O2 rates. Other C treatment rates within 45, 60 and 75% clay fractions are all well adjusted according to a desired organic C rate. The ideal effect of organic C treatment rates on total soil organic C was clearly shown by soil clay contents at 15 and 30%, where
all rates of organic C treatments were well adjusted according to a desired rate. A rice straw treatment at O2 significantly increased total soil organic C compared to O0 and O1 rates.
Effect of soil clay and organic C applications on CO2 evolution
The rate of organic C decomposition was determined from each soil clay percentage at the time of groundnut harvesting. Evolution of CO2 as an indication of microbial activity to decompose organic matter was significantly higher at 75% clay compared to 15% clay (Table 2). However, CO2 evolution from 30, 45 and 60% soil clay were all statistically similar and were not significantly different compared to 75 and 15% clay. The higher CO2 evolution from 75% clay compared to 15% clay does not mean that organic C decomposition rate is faster in the former than the latter, but it is mainly due to a higher substrate (organic C) in 75% clay than 15% clay.
The rate of CO2 evolution from each of soil clay percentage indicated a positive linear correlation with total soil organic C (Figure 3). This suggests
0.0
0.5
1.0
1.5
2.0
2.5
3.0
Tota
l soi
l org
anic
C (%
)
0 1 2 3 4 5 6
Rate of C-rice straw treatment (%)
5. y = 0.15x + 2.08 r 2 = 0.94
4. y = 0.25x + 1.23 r 2 = 0.833. y = 0.28x + 0.77 r 2 = 0.982. y = 0.28x + 0.46 r 2 = 0.98
1. y = 0.25x + 0.38 r 2 = 0.95
5. Clay 75 %
4. Clay 60 %
3. Clay 45 %
2. Clay 30 %
1. Clay 15 %
Figure 2. Relationship between total soil organic C and rate of C-rice straw application at different soil clay fractions
JURNAL TANAH DAN IKLIM NO. 27/2008
80
that amount of organic matter decomposition not only controlled by the amount of clay fractions as mentioned previously, but also by the amount of substrate availability in the soils. As the availability of substrate (organic C in organic matter) increases the mineralization rate increases, even at the highest soil clay content. Interestingly, determination coefficient of all regression equations indicated that 84 to 99 percent of the variation of CO2 evolution was accounted for by total soil organic C.
The comparison of organic C decomposition rates between clay percentages can not be interpreted directly from CO2 measurement at the end of the experiment because the total soil organic C content was different between clay percentages at any corresponding C treatment rate. As shown previously, the magnitude of CO2 evolution was not only controlled by clay fraction, but also by the amount of organic C in soils. As the CO2 measurement was carried out only at the end of
0.5
1.0
1.5
2.0
2.5
3.0
3.5
4.0
4.5
5.0
5.5
Soi
l res
pira
tion,
CO
2-C
(mg/
100g
/day
)
0.0 0.5 1.0 1.5 2.0 2.5 3.0
Total soil organic C (%)
5. y = 4.2x - 6.81 r 2 = 0.844. y = 2.6x - 2.13 r 2 = 0.893. y = 3.0x - 1.5 r 2 = 0.992. y = 2.6x - 0.2 r 2 = 0.951. y = 1.9x + 0.3 r 2 = 0.91
5. Clay 75%
4.Clay 60%
3. Clay 45%
2. Clay 30%
1. Clay 15%
Figure 3. Relationship between CO2-C evolution and total soil
organic C at different soil clay percentages
Soi
l res
pira
tion
, CO
2-C
(mg
100g
-1 d
ay-1
)
Table 2. The effect of soil clay fractions on soil CO2-C evolution at different C-rice straw application rates
Soil clay (%) C-rice straw treatment 15 30 45 60 75
…………………………… mg 100g-1 day-1 …………………………… O0 0.96 d 1.43 d 1.48 c 1.71 b 2.91 b O1 1.59 cd 1.44 d 1.52 c 2.19 b 2.69 b O2 2.16 bc 2.57 c 1.90 c 1.95 b 2.71 b O3 2.66 ab 2.97 bc 3.13 b 2.31 b 2.86 b O4 2.74 ab 3.65 b 4.19 a 4.10 a 4.96 a O5 3.45 a 4.72 a 4.92 a 4.54 a 5.28 a
Mean 2.26 A 2.80 AB 2.86 AB 2.80 AB 3.57 B
In a column, means followed by a similar small letter are not significantly different at 5% level by Duncan multiple range test (DMRT). Means in a row followed a similar capital letter are not significantly different at 5% level by LSD (0.89).
M. ANDA ET AL. : PRESERVATION OF ORGANIC MATTER AS AFFECTED BY VARIOUS CLAY CONTENTS IN AN ACID SOIL
81
experiment, the interpretation of CO2-C: C total ratios would only valid for the last situation of experiment. However the ratios, at least, gave the idea of the high clay content to slowdown OM decomposition. The higher the ratio, the more is organic C decomposed to produce CO2 and the lesser is organic C preserved.
The CO2-C: C total ratios at different soil clay percentages, receiving a similar rate of C-rice straw were in the order of magnitude 15>30>45> 60>75% clay (Table 3). This indicates that amount of CO2 evolution decreased as the clay content increased. Although the substrate C is highly physically protected from microbial decomposers at a high amount of clay fractions in soils, the data also do not rule out that the high decomposition rate occurs as the high organic C substrate available, i.e, when a high rate of organic C applied. This is due to soil matrices, especially a clay fraction, have a limit of maximum potential capability to protect organic
C. Once most sites at soil matrices for substrate binding have been saturated, through coating with organic matter, a further increase of organic matter addition could not all be accommodated but some will remain be exposed and subjected to microbial decomposition to produce more CO2. In this study, visual evidence of high organic matter content may be referred to soil color. With increasing rice straw application, the soil color became darker. For example, the soil color was dark brown (10 YR 3/3) at 3 to 5% organic C treatment rates compared to dark yellowish brown (10 YR 4/4) at 2% C rate, as measured by Munsell Soil Color Chart.
Effect of clay percentage and organic C-rice straw on soil organic N
The effect of rice straw rates on total soil N content in different soil clay percentages is given in Table 4. The total soil N is significantly higher at
Table 4. The effect of soil clay content and C-rice straw application rate on total soil N content
Soil clay (%) C-rice straw treatment 15 30 45 60 75
……………………………………. % ……………………………………. O0 0.04 d 0.07 c 0.14 d 0.17 c 0.24 bc O1 0.08 cd 0.07 c 0.15 cd 0.18 c 0.24 bc O2 0.09 bc 0.08 c 0.16 bcd 0.19 c 0.24 bc O3 0.10 abc 0.12 b 0.18 bc 0.20 bc 0.27 abc O4 0.12 ab 0.15 ab 0.19 ab 0.23 ab 0.28 ab O5 0.13 a 0.18 a 0.22 a 0.24 a 0.30 a
Mean 0.09 C 0.11 C 0.17 B 0.20 B 0.26 A
In a column, means followed a similar small letter are not significantly different at 5% level by Duncan multiple range test (DMRT). Means in a row followed a similar capital letter are not significantly different at 5% level by LSD (0.04)
Table 3. The effect of C-rice straw application rate on soil CO2-C: total C ratio within different soil clay percentages
Soil clay (%) C-rice straw treatment 15 30 45 60 75
O0 2.46 x 10-3 2.27 x 10-3 1.47 x 10-3 1.10 x 10-3 1.33 x 10-3 O1 2.06 x 10-3 1.80 x 10-3 1.50 x 10-3 1.45 x 10-3 1.19 x 10-3 O2 2.63 x 10-3 2.86 x 10-3 1.53 x 10-3 1.36 x 10-3 1.18 x 10-3 O3 2.38 x 10-3 2.30 x 10-3 1.99 x 10-3 1.28 x 10-3 1.17 x 10-3 O4 1.86 x 10-3 2.35 x 10-3 2.27 x 10-3 1.72 x 10-3 1.89 x 10-3 O5 2.23 x 10-3 2.50 x 10-3 2.21 x 10-3 1.78 x 10-3 1.83 x 10-3
JURNAL TANAH DAN IKLIM NO. 27/2008
82
75% clay compared to all other clay percentages. The comparison between 45 and 60% soil clay showed that the total soil N was not significantly different, but they have significantly higher total N compared to 15 and 30% clay. The higher total N for soils with a high clay percentage compared to soil with low clay can not solely be explained by the differences in amount of clay percentage, but also and more importantly by the differences of total N to be mineralized although they receive a similar rate of organic C for each clay fraction. These differences are due to the changes in total soil N as a consequence of adjustment of soil clay fractions using sand. Those differences can not be compensated by rice straw, since the rate of rice straw application was based on soil organic C content and not on N.
The interaction between soil N and clay fractions indicated total N significantly increased with increasing rate of rice straw applications for each soil clay fraction. The rate of rice straw significantly increased soil N at the O2 rate for 15% clay and at the O3 for 30 and 45% clay fractions compared to a control treatment (O).
Groundnut yield
The effect of clay percentages and C-rice straw treatments on groundnut yield is shown in
Table 5. There were no significant differences in yields obtained at 30, 45, 60 and 75% soil clay but those soil clay have significantly higher yields compared to a 15%. It appears that the suitable soil clay content for growing and production of groundnut is ≥ 30%. Groundnut yield at 15% soil clay was 13.8 g pot-1, which was equal to 1.5 t ha-1. The yields at 30, 45, 60, and 70% soil clay range from 20.6-21.7 g pot-1, equivalent to 2.3-2.4 t ha-1. The effect of C-rice straw treatments within each soil clay percentage indicated that groundnut yields significantly increase at all organic C rates compared to a control treatment (O0) for 75% soil clay. For soil clay fractions at 30 and 45%, rice straw treatment at O3, O4, and O5 rates showed the groundnut yields were not significantly different but they were significantly higher compared to O0, O1, and O2 rates. The maximum yields could be achieved at O5 rate within 15 and 30% clay and at O4 rate for 45, 60, and 75% clay fractions.
In order to observe in more detail of the effect of organic C on groundnut yields, the correlation was made between yields and total soil organic C. This correlation is different to effect of rates of C-rice straw treatments on groundnut yield (Table 5). The former would provide direct relationship between yield and amount of organic C content in soils, whereas the latter can provide the effect of C application rates after 12 months.
Table 5. Effect of soil clay contents and C-rice straw application rates on groundnut yield
Soil clay (%) C-rice straw treatment 15 30 45 60 75
………………………..……. g pot-1 ………..……………………. O0 8.17 c 12.50 c 16.58 b 19.36 cd 15.99 c O1 10.84 bc 15.63 bc 19.22 b 16.82 d 20.71 b O2 10.28 bc 18.20 b 19.15 b 17.86 cd 20.13 b O3 13.20 b 24.43 a 24.44 a 21.58 bc 22.08 ab O4 18.13 a 25.07 a 25.65 a 26.05 ab 25.55 a O5 22.17 a 27.60 a 25.14 a 25.17 a 23.86 ab
Mean 13.80 B 20.57 A 21.70 A 21.14 A 21.39 A
In a column, means followed a similar small letter are not significantly different at 5% level by Duncan multiple range test (DMRT). Means in a row followed a similar capital letter are not significantly different at 5% level by LSD (4.0)
M. ANDA ET AL. : PRESERVATION OF ORGANIC MATTER AS AFFECTED BY VARIOUS CLAY CONTENTS IN AN ACID SOIL
83
The relationship between groundnut yields and total soil organic C is given in Figure 4. The relationships are linear for 15 and 30% clay, and quadratic for 45 and 60% soil clay. This indicates that the maximum yields due to the increase of soil organic C content have been achieved for 45 and 60% clay, whereas the maximum yields at 15 and 30% soil clay have not yet achieved. The highest yield in this study was 27.6 g pot-1, equivalent to 3.1 t ha-1, which was obtained at 1.9% C and 30% soil clay. This was followed by 25.7 g pot-1 or 2.9 t ha-1 obtained at 1.8% C and 45% soil clay.
Since the groundnut yield has achieved maximum value at 45 and 60%, it is reasonable to point out that a good condition for groundnut production is soil having clay content of 30-45% with at least 1.5% C (optimum yield for 45% clay) or clay content may be higher than 45% but soil organic C content should at least 2.0% (optimum yield for 60% clay). The lower organic C level needed at 30-45% clay than the 60% clay is due to less surface sites to adsorb organic C and that 1.5% C may be sufficient for aggregate formation to promote a friable soil condition that allows
groundnut pods to develop well. On the other hand, the higher organic C level needed at high soil clay content due to large surface sites, adsorbing organic C to promote soil friable properties needed by pods for maximum development.
The relationship between groundnut yield and total soil N content indicated a similar pattern to relationship between groundnut yield and soil organic C, where the linear correlation was obtained for 15 and 30% clay and quadratic relationship for 45 and 60% clay (Figure 5). The maximum yield of 27.6 g pot-1 was obtained at 0.17% N content at 30% clay, followed by about 26.0 g pot-1 at 0.20% N which is obtained at about 45 and 60% clay. It seems that the 0.2% soil N is sufficient to support optimum yield of groundnut in this study.
CONCLUSIONS
1. The proportion of soil clay content is the major factor responsible for the preservation of organic C as indicated by (i) total soil organic C linearly increased with increasing clay fraction, (ii) the
Figure 4. Relationship between total soil organic C and groundnut yield at different soil clay fractions
5
10
15
20
25
30
Gro
und
nut y
ield
(g/p
ot)
0.0 0.5 1.0 1.5 2.0 2.5 3.0
Total soil organic C (%)
4. y = -4.4x 2 + 25.2x - 9.7 r 2 = 0.913. y = -7.4x 2 + 30.3x - 5.6 r 2 = 0.912. y = 11.9 x + 6.5 r 2 = 0.931. y = 11.3 x + 2.2 r 2 = 0.91
4. clay 60 %
3. clay 45 %
2. clay 30 %
1. clay 15 %
Gro
undn
ut y
ield
(g p
ot-1
)
JURNAL TANAH DAN IKLIM NO. 27/2008
84
higher ratio of total C in 75 against 15% clay fraction compared to C ratio in 30 against15%, (iii) and the low ratio of C: total C of higher soil clay fractions than the lower soil clay. Regression equation indicates that every 15% clay increment could protect another 0.3% organic C.
2. The increased rate of organic C applications significantly increased total soil organic C in all clay fractions. The increased rates of soil organic C significantly increased groundnut yield within each soil clay fraction. The highest grain yield was 3.1 t ha-1, which was achieved at 30% clay having 1.9% organic C, followed by 2.9 t ha-1 at 45% clay with 1.8% organic C.
3. The implications of the study are the high groundnut yield could be achieved by building up soil organic C and that organic matter could be applied once with high rate per year for soils having finer texture since organic matter could be preserved, whereas for soils having a coarser texture (<30% clay) it should be applied periodically with lower rate to minimize C loss.
Acknowledgement
We wish to thank Dra. Sri Widati and Mr. Marzuki for their assistance in CO2 measurement and glasshouse experiment.
REFERENCES
Anda, M., S. Widati, E. Suryani, and U. Kurnia. 2005. The effect of various clay contents and organic matter in controlling alterations of soil carbon, CO2 evolution and maize growth. Jurnal Tanah Tropika 10:91-102.
Anda, M., J. Shamshuddin, C.I. Fauziah, and S.R. Syed Omar. 2008a. Mineralogy and factors controlling charge development of three Oxisols developed from different parent materials. Geoderma 143:153-167.
__________________. 2008b. Pore space and specific surface area of heavy clay Oxisols as affected by their mineralogy and organic matter. Soil Sci. 173(8):560-574.
Bremner, J.M. and C.S. Mulvaney. 1982. Nitrogen total. Pp. 595-624. In A.L. Page., R.H. Miller, and D.R. Keeney (Eds.) Methods of Soil Analysis, Part 2, Chemical and Microbiological
5
10
15
20
25
30
Gro
und
nut y
ield
(g/p
ot)
0.00 0.05 0.10 0.15 0.20 0.25 0.30
Total organic N (%)
4. y = -951.5x 2 + 516.2x - 43.7 r 2 = 0.893. y = -584.0x 2 + 311.4x - 14.4 r 2 = 0.852. y = 119.2 x + 7.5 r 2 = 0.921. y = 154.3x + 0.18 r 2 = 0.92
4. clay 60 %
3. clay 45 %
2. clay 30 %
1. clay 15 %
Figure 5. Relationship between groundnut yield and total soil N at
different soil clay percentages
Gro
undn
ut y
ield
(g p
ot-1
)
M. ANDA ET AL. : PRESERVATION OF ORGANIC MATTER AS AFFECTED BY VARIOUS CLAY CONTENTS IN AN ACID SOIL
85
properties. 2nd ed. American Society of Agronomy, Inc, Madison, WI, USA.
Christensen, B.T. 1996. Carbon in primary and secondary organo mineral complexes. Pp. 97-165. In M.R. Carter and B.A. Stewart (Eds.) Structure and Organic Matter Storage in Agricultural Soils. Adv. Soil Sci. CRC Press, Boca Raton.
Franzluebbers, A.J. and M.A. Arshad. 1997. Soil microbial biomass and mineralizable carbon of water-stable aggregates. Soil Sci. Soc. Am. J. 61:1090-1097.
Feller, C., E. Schouler, F. Thomas, J. Rouiller, and A.J. Herbillon. 1992. N2-BET specific surface areas of some low activity clay soils and their relationship with secondary constituents and organic matter contents. Soil Sci. 153:293-299.
Hassink, J. and A.P. Whitmore, 1997. A model of physical protection of organic matter in soils. Soil Sci. Soc. Am. J. 61:131-139.
Hassink, J., L.A. Bouwman, K.B. Zwart, J. Bloem, and L. Brussaard. 1993. Relationships between soil texture and physical protection organic matter. Geoderma 57:105-128.
Kahle, M., M. Kleber, and R. Jahn. 2002. Predicting carbon content in illitic clay fractions from surface area, cation exchange capacity and dithionite-extractable iron. Eur. J. Soil Sci. 53:639-644.
Mayer, L.M. 1994. Relationships between mineral surfaces and organic carbon concentrations in soils and sediments. Chemical Geology 144:347-363.
Mayer, L.M., L.L. Shick, K.R. Hardy, R. Wagai, and J.F. McCharthy. 2004. Organic matter content of small mesopores in sediments and soils. Geochim. Cosmochim. Acta. 68:3863-3872.
Mikutta, C., F. Lang, and M. Kaupenjohann. 2004. Soil organic matter clogs mineral pores: evidence from 1H-NMR and N2 adsorption. Soil Sci. Soc. Am. J. 68:1853-1862.
Nelson, D.W. and L.E. Sommers. 1982. Total carbon, organic carbon, and organic matter. Pp. 539-779. In A.L. Page, R.H. Miller and
D.R. Keeney (Eds.) Methods of Soil Analysis, Part 2, Chemical and Microbiological Properties. 2nd ed. American Society of Agronomy, Inc, Madison, WI, USA.
Oades, J.M. 1988. The retention of organic matter in soils. Biogeochemistry 5:35-70.
Oades, J.M. 1995a. An overview of processes affecting the cycling of organic carbon in soils. Pp. 293-303. In R.G. Zepp and C.H. Sonntag (Eds.) Role of Nonliving Organic Matter in the Earth's Carbon Cycle. John Wiley & Sons Ltd.
Oades, J.M. 1995b. Recent advances in organomineral interactions: Implications for carbon cycling and soil structure. Pp. 119-133. In P.M. Huang, J. Berthelin, J.M. Bollag, W.B. McGill, and A.L. Page (Eds.) Environmental Impact of Soil Component Interactions: Natural and anthropogenic organics. Lewis Publishers. London.
Parton, W.J. and P.E. Rasmussen. 1994. Log-term effects of crop management in wheat-fallow: II. CENTURY model simulations. Soil Sci. Soc. Am. J. 58:530-536.
Parton, W.J., D.S. Schimel, C.V. Cole, and D.S. Ojima. 1987. Analysis of factors controlling soil organic matter levels in great plains grassland. Soil Sci. Soc. Am. J. 51:1173-1179.
Skjemstad, J.O., P. Clark, J.A. Taylor, J.M. Oades, and S.G. McClure. 1996. The chemistry and nature of protected carbon in soil. Aust. J. Soil Res. 34:251-271.
Sollins, P., P. Homann, and B.A. Caldwell. 1996. Stabilization and destabilisation of soil organic matter: mechanisms and controls. Geoderma 74:65-105.
Stevenson, F.J. 1994. Humus Chemistry: Genesis, Composition, Reactions. John Wiley and Sons, Inc, 2nd ed, New York.
Tisdall, J.M. and J.M. Oades. 1982. Organic matter and water stable aggregates in soils. J. Soil Sci. 33:141-163.
Van de Werf, H. and W. Verstraete. 1987. Estimation of active soil microbial biomass by mathematical analysis of respiration curves : Development and verification of the model. Soil. Biol. Biochem 19:253-260.
PETUNJUK PENULISAN ARTIKEL UNTUK JURNAL TANAH DAN IKLIM
Jurnal Tanah dan Iklim terbit dua kali dalam setahun dan memuat hasil-hasil penelitian dalam bidang tanah dan iklim. Artikel di dalam Jurnal Tanah dan Iklim tersusun atas bagian-bagian Judul, Abstrak, Pendahuluan, Bahan dan Metode, Hasil dan Pembahasan, Kesimpulan, dan Daftar Pustaka.
Judul : Judul harus singkat (maksimum 15 kata), tetapi cukup memberikan identitas subyek,
indikasi tujuan dan memuat kata-kata kunci, ditulis dalam bahasa Indonesia dan Inggris.
Abstrak : Abstrak mewakili seluruh materi tulisan dan implikasinya, ditulis secara singkat (sekitar
200 kata) dalam bahasa Indonesia dan Inggris dengan isi yang sama, dan tidak ada singkatan.
Pendahuluan : Menyajikan alasan diadakannya penelitian atau hipotesis yang mendasari, ringkasan
tinjauan pustaka yang berhubungan dengan masalah yang diteliti, dan pendekatan yang digunakan.
Bahan dan Metode : Memuat penjelasan mengenai bahan-bahan penelitian, lokasi, dan waktu pelaksanaan.
Metode yang digunakan ditulis dengan jelas dan sistematis, sehingga peneliti lain yang akan meneliti ulang dapat melakukan dengan cara yang sama.
Hasil dan Pembahasan : Hasil yang disajikan secara singkat dapat dibantu dengan tabel, grafik, ilustrasi, dan
foto-foto. Masing-masing data disajikan satu kali pada naskah, tabel, atau grafik. Judul tabel dan gambar, serta keterangannya, ditulis dalam bahasa Indonesia dan Inggris. Pembahasan merupakan tinjauan terhadap hasil penelitian secara singkat tetapi cukup luas. Pustaka yang diacu diutamakan publikasi primer.
Kesimpulan : Menyajikan hasil penelitian yang dianggap penting untuk pengembangan ilmu
pengetahuan dan teknologi.
Daftar Pustaka : Mencantumkan semua pustaka yang digunakan dengan menyebutkan nama penulis,
tahun penerbitan, judul, penerbit, kota, volume, nomor, dan halamannya, serta pustaka dari website. Penulisan daftar pustaka sesuai dengan cara yang ada di dalam jurnal ini.
Keterangan : 1. Nama (-nama) penulis disertai catatan kaki tentang profesi dan instansi tempat bekerja. 2. Kata-kata kunci sesuai dengan isi artikel, berpedoman pada Agrovoc, dan ditulis setelah
abstrak. 3. Setiap nama organisme yang disebut pertama kali dalam abstrak atau tulisan pokok
disertai nama ilmiahnya. 4. Makalah dapat ditulis dalam bahasa Indonesia maupun bahasa Inggris. 5. Nama kimiawi yang disebut untuk pertama kali dalam abstrak atau tulisan pokok supaya
ditulis penuh, tidak boleh menyebutkan nama dagang (merk). 6. Angka desimal dalam bahasa Indonesia ditandai dengan koma dan dalam bahasa Inggris
ditandai dengan titik. 7. Naskah diketik dua spasi kurang lebih 20 halaman kuarto, dalam format Microsoft
Word. 8. Gambar, grafik, dan foto hitam putih harus kontras dan jelas. 9. Tabel tanpa garis pemisah vertikal.
10. Makalah dalam bentuk soft copy dan 2 hard copy, diserahkan/dikirimkan kepada Redaksi Pelaksana Jurnal Tanah dan Iklim.
Jurnal Tanah dan Iklim adalah penerbitan berkala yang memuat hasil-hasil penelitian dalam bidang tanah dan iklim dari para peneliti baik di dalam maupun di luar Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Sumberdaya Lahan Pertanian. Redaksi dapat menyesuaikan istilah atau mengubah kalimat dalam naskah yang akan diterbitkan tanpa mengubah isi naskah. Penerbitan ini juga memuat berita singkat yang berisi tulisan mengenai teknik dan peralatan baru, serta hasil sementara penelitian tanah dan iklim. Surat pembaca dapat dimuat setelah disetujui Dewan Redaksi. Dewan Redaksi tidak dapat me-nerima makalah yang telah dipublikasikan atau dalam waktu yang sama dimuat dalam publikasi lain. Pembaca yang berminat untuk berlangganan atau pertukaran publi-kasi harap berhubungan dengan Redaksi Pelaksana Jurnal Tanah dan Iklim.