repository.usu.ac.id › bitstream › handle › 123456789 › 50459 › chapter...
TRANSCRIPT
5
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Perkembangan Kota Medan
Dalam riwayat Hamparan Perak, tercatat Guru Patimpus, tokoh
masyarakat Karo, sebagai orang yang pertama kali membuka’desa’ yang diberi
nama Medan. Patimpus adalah anak Tuan Si Raja Hita, pemimpin Karo yang
tinggal di kampung Pekan. Selanjutnya Guru Patimpus menikah dengan adik
Tarigan, pemimpin daerah yang sekarang bernama Pulau Brayan dan membuka
Desa Medan yang terletak di antara Sungai Babura dan Sungai Deli. Dia pun lalu
memimpin desa tersebut. Oleh karna itu, nama Guru Patimpus saat ini diabadikan
sebagai nama salah satu jalan utama di Kota Medan.
Kota Medan berdiri pada tahun 1590 sebagai kota pelabuhan, dalam buku
Sejarah Medan Tempo Doeloe (Tengku Luckman Sinar, 1991), dituliskan bahwa
menurut “Hikayat Aceh”, Medan telah ada pada tahun 1590, dan sempat
dihancurkan selama serangan Sultan Aceh Alauddin Saidi Mukammil kepada
Raja Haru yang berkuasa di situ. Serangan serupa dilakukan Sultan Iskandar
Muda tahun 1613, terhadap Kesultanan Deli.
Dalam Syahrum (2004), Belanda tercatat pertama kali masuk di Deli tahun
1641, ketika sebuah kapal yang dipimpin Arent Patter merapat untuk mengambil
budak. Selanjutnya, hubungan Deli dengan Belanda semakin mulus. Begitulah
awal cerita, yang berlanjut dengan masuknya ribuan tenaga kerja Cina, India, dan
akhirnya Jawa untuk menggarap perkebunan-perkebunan Belanda. Menurut
bahasa Melayu, Medan berarti tempat berkumpul, karena sejak zaman kuno disitu
Universitas Sumatera Utara
6
sudah merupakan tempat bertemunya masyarakat dari Hamparan Perak,
Sukapiring, dan lainnya untuk berdagang, berjudi, dan sebagainya. Desa Medan
dikelilingi berbagai desa lain seperti Kesawan, Binuang, Tebing Tinggi, dan
Merbau. Medan sebagai embrio sebuah kota secara kronologis berawal dari
peristiwa penting tahun 1918, yaitu saat Medan menjadi Gemeente (Kota
Administratif), tetapi tanpa memiliki wali kota sehingga wilayah tersebut tetap di
bawah kewenangan penguasa Hindia Belanda. Maka, tanggal 1 April 1909 ini
sempat dijadikan tanggal lahir Kota Medan sampai dengan tahun 1975.Pimpinan
Medan Municipal Board saat didirikan tanggal 1 April 1909 (Stblt 1909 No 180)
adalah Mr EP Th Maier, yang menjabat sebagai pembantu Residen Deli Serdang.
Namun, sejak 26 Maret 1975, lewat Keputusan DPRD No 4/DPRD/1975 yang
didasari banyak pertimbangan, ditetapkan bahwa hari lahir Kota Medan adalah 1
Juli 1950.
Setelah Indonesia Merdeka pada tahun 1945 Kota Medan ditetapkan
sebagai Ibukota Propoinsi Sumatera Utara, dan wilayahnya diperluas dari 1.583
hektar menjadi 5.130 hektar, yang terdiri dari 4 (empat) daerah kecamatan yaitu
kecamatan Medan Deli, kecamatan Medan Sunggal, kecamatan Medan Timur,
dan Kemacamatn Medan Barat. Pada tahun 1986 kota Medan berkembang lagi
menjadi 21 kecamatan dengan 144 Kelurahan dan luas keseluruhan adalah 26.500
Km2.
Sejak tahun 1990 penduduk Kota Medan mengalami kenaikan yang cukup
nyata hingga ke tahun 2001 yaitu berdasarkan Sensus Penduduk dari 1.730.725
jiwa pada tahun 1990 menjadi 1.926.520 jiwa di tahun 2001.
Universitas Sumatera Utara
7
Gambar 2.1. Skala perkembangan kota Medan tahun 1862-1972Sumber: Bapeda Pemprop Sumatera Utara
2.2. Sejarah Perkembangan Kawasan Kesultanana Deli
2.2.1. Terbentuknya Bangunan Peninggalan Kesultanan Deli
Dalam Syahrum (2004), pada periode 1873 sampai dengan 1900
merupakan periode perkembangan dari penanaman tembakau oleh perkebunan-
perkebunan asing di Deli, terutama dibawah pimpinan J.T.Cremer. Tembakau
yang ditanam di daerah Deli adalah tembakau terbaik yang laku terjual dengan
harga pasaran tertinggi di Eropa sebagai pasar tembakau terbesar di dunia. Dari
hasil pembayaran atas konsesi perkebunan (CIJNS), kerajaan Deli mengalami
masa kemakmurannya.
Tuanku Sultan Makmun Alrasyid Perkasa Alamsyah naik tahta kerajaan
Deli menggantikan ayahanda Baginda Sultan Mahmud yang mangkat pada tahun
1873, saat itu Sultan Makmun masih berusia 16 tahun. Setelah berusia 18 tahun,
yaitu pada tahun 1875, beliau berangkat ke ibukota Sumatera Timur, Bengkalis.
Di Istana Siak beliau meminta Sultan Siak melakukan upacara sehingga beliau
menerima cap dari Siak. Berdasarkan akte van erkening (akte pengakuan) yang
Universitas Sumatera Utara
8
dibuat oleh Sultan Mahmud Deli kepada Residen Riau, E.Neicher, tahun 1862,
Deli dianggap tunduk kepada Belanda (Tengku Luckman Sinar, 2004). Maka
sebagai kompromi secara adat Melayu, Sultan Siak dianggap pangkatnya sedikit
lebih tinggi dalam upacara penerimaan akte van verband yang ditanda tangani
pada tanggal 26 Juli 1876. Sultan Makmun menjunjung sembah kepada Sultan
Siak dalam upacara adat Melayu.
Sebagai Sultan Deli Sultan Makmun Alrasyid pada tanggal 8 Djulhijjah
1306 H (1888) melakukan peletakan batu pertama Istana Agung Kota Maimun di
atas tanah pertapakan kota Maksun, bekas konsesi Mabar-Deli Tua yang
dikembalikan oleh Deli Mijn kepada Sultan Deli. Pembangunan Istana yang
memakan biaya FI. 1.000.000 yang dananya diambil dari Royalti sewa tanah
perkebunan ini menggantikan Istana Kampong Bahari di daerah Labuhan deli
sebagai Istana Kesultanan Deli.
Gambar 2.2. Istana Maimun pada tahun 1890-1905Sumber: en.wikipedia.org/wiki/Maimun_Palace
Universitas Sumatera Utara
9
Istana Agung Kota Maimun resmi ditempati oleh Sultan Deli pada tanggal
9 Syawal 1308 H (1891) dengan ditandai kepindahan Sultan dari Istana Kampung
Bahari ke Istana Kota Maimun. Sebagai pelengkap di lingkungan kota Maimun
maka pada hari Sabtu, 16 Mei 1903, dibangun Mahmakah Kantor Kerapatan
Besar Kerajaan Deli di jalan Mahkamah. Menuyusul pada tanggal 1 Rajab 1324 H
(1906) dimulai pembangunan Masjid Raya Al Mashun. Sebagai arsitek Istana
Agong Kota Maimun dan Masjid Raya Al Mahsun adalah seorang arsitek tentara
KNIL dari eni KNIL Batavia yang bernama Kapiten TH. Van Erp.
Masjid yang bergaya arsitektur tradisional Melayu yang dikombinasikan
dengan arsitektur India Islam (Moghul) dan Eropa diresmikan pada hari Jumat 25
Sya’ban 1327 H (1909) yang ditandai dengan shalat Jumat yang dihadiri oleh
Sultan Deli, Sultan Serdang, Sultan Langkat, dan pembesar lainnya.
Gambar 2.3. Masjid Raya Al Mahsun tahun 1931Sumber: commons.wikimedia.org
Universitas Sumatera Utara
10
Berdasarkan akte Notaris No.97 tanggal 30 November 1918 tanah kerajaan
Deli dirubah statusnya menjadi gementee (kota praja Medan) oleh Walikota
pertama Medan Daniel Baron Mackay tetapi Istana Maimun dan Masjid Raya Al
Mahsun beserta kompleksnya tidak termasuk dalam tanah gementee. Selanjutnya
pada tahun 1924 setelah mangkatnya Sultan Makmun Perkasa Alam oleh
anaknya, Sultan Amaluddin Sani Perkasa Alam, dibangun sebuah Taman yang
diberi nama seperti nama isterinya yaitu Taman Tengku Chadijah. Taman Tengku
Chadijah dibangun untuk tempat Keluarga Sultan menunggu saat shalat maghrib
yang berlokasi di seberang Masjid Raya Al Mahsun. Setelah revolusi sosial tahun
1946 dan berakhirnya dinasti Sultan deli Taman Tengku Chadijah berganti nama
menjadi Taman Sri Deli.
Gambar 2.4. Taman Sri DeliSumber: archive.kaskus.co.id
Kompleks Istana Maimun dibangun sebagai titik sentra kerajaan Deli. Bila
dilihat dari pola-pola letak istana seperti halnya keraton di Jawa. Halaman depan
istana adalah sebuah alun-alun dan Masjid Raya adalah masjid istana. Disekitar
istana dibangun rumah-rumah pangeran dan pejabat istana.
Universitas Sumatera Utara
11
Tetapi bila ditinjau dari sudut pandang arsitektur, gaya arsitektur eropa
terlihat sangat dominan baik pada langgam arsitektur Istana Maimun, Masjid
Raya maupun rumah-rumah pejabat istana.
Gambar 2.5. Puri Kesultanan Melayu DeliSumber: puakmelayu.blogspot.com
Gambar 2.6. Istana Putra MahkotaSumber: puakmelayu.blogspot.com
Universitas Sumatera Utara
12
Gambar 2.7. Denah Lokasi Gedung-gedung Kawasan Istana MaimunSumber : Badan Warisan Sumatera
2.2.2. Perkembangan kawasan Kesultanan Deli pada masa Pemerintahan
kolonial
Pada tahun 1918 wilayah Kota Medan masih meliputi dua kecamatan yaitu
kecamatan Medan Maimun dan Medan Polonia. Kawasan Medan Maimun adalah
kawasan Istana yang dikuasai oleh pemerintahan kerajaan Deli, walaupun secara
Undang-undang kolonial dibawah Residen Sumatera Timur. Sedangkan kawasan
Medan Polonia adalah kawasan yang dikuasai oleh Belanda. Kawasan Maimun
pada masa kolonial adalah daerah pusat administrasi kesultanan dimana terdapat
bangunan-bangunan yang berfungsi sebagai kantor-kantor pelayanan kesultanan
Deli. Syahrum (2004)
Sebagai penguasa daerah Sumatera Timur keresidenan Sumatera Timur
mendirikan wilayah kepemerintahannya sendiri sekaligus sebagai usaha untuk
mengaburkan kekuasaan dan wibawa dari kesultanan deli. Sebagai Walikota
Medan pertama, Daniel Baron Mackay pada tahun 1908 membangun Balaikota
Universitas Sumatera Utara
13
Medan sebagai kantor pusat administrasi di kawasan Lapangan Merdeka sebelah
timur kawasan Istana Maimun.
Gambar 2.8. Lapangan Merdeka tahun 1900Sumber : commons.wikimedia.org
Untuk menegaskan Balaikota sebagai pusat pemerintahan maka di depan
Balaikota dibuat alun-alun tandingan yang besarnya lebih luas dari tanah lapang
(alun-alun) di depan Istana Maimun. Alun-alun ini meniru konsep alun-alun di
Jawa dengan penanaman pohon beringin di sekitar alun-alun. Sebagai pelengkkap
dari kegiatan administrasi, pemerintah kota Medan membangun Kantor Pos Pusat
pada tahun 1909 di kawasan tersebut. Kemudian di kawasan tersebut dibangun
pula sebuah hotel yang bernama Hotel de Boer dimana pengusaha-pengusaha
tembakau dan karet dari Eropa menginap. Seiring dengan dibangunnya jalur
kereta api deli dari Medan menuju Rantau Prapat oleh DSM (Deli Spoorweig
Maatschapaij) pada tahun 1911 di bangun Stasiun Besar Kereta Api Medan
diseberang Balaikota.
Universitas Sumatera Utara
14
Disebelah barat kawasan Istana Maimun dibangun Kantor Pusat
Perkebunan yang dikenal dengan nama Gedung Avros (Algemeene Vereeging
Van Rubber Planter Ookust Van Sumatra, 1919). Setelah itu dibangun jalan poros
antara Gedung Risva dengan kawasan Balaikota yang memotong kawasan Istana
Gambar 2.9.Peta Medan Tahun 1936
(atas)Gambar 2.10.
Kawasan Istana Maimun(kanan)
Sumber: Syahrum
Universitas Sumatera Utara
15
Maimun sehingga tepat di depan Istana Maimun terdapat jalan poros antara pusat
pemerintahan Belanda dengan kantor pusat perkebunan, sehingga di sebelah timur
kawasan Maimun berkembang menjadi pusat perdagangan yang membentang
sepanjang jalan poros seperti Gedung Mega Eltra, yang dibangun oleh sebuah
perusahaan perkebunan Belanda yang berfungsi sebagai Kantor Pusat
perdagangan tembakau wilayah Timur Jauh, dan juga kawasan Kesawan sebagai
pusat pelayanan dan jasa bagi orang-orang asing di Medan.
Sebagai kerajaan yang diakui kedaulatannya oleh pemerintahan kolonial
Belanda, Kesultanan Deli diberi hak istimewa untuk mengatur wilayah istana dan
sekitarnya, termasuk tepian sungai Deli yang membatasi kawasan Istana Maimun
dengan kawasan Polonia. Kawasan Maimun pada masa pemerintahan kolonial
Belanda sampai awal kemerdekaan masih berkembang sebagai kawasan urban
space bagi penduduk pribumi. Perbedaan antara public space dengan private
space sudah jelas dengan dibangunnya jalan poros yang melintas didepan istana
dan jalan penghubung yang menghubungkan Masjid Raya Al Mashun dengan
kawasan Istana. Persimpangan antara jalan poros dengan jalan penghubung
menunjukkan secara tegas pola aksis dari arah masjid menuju istana.
Dibangunnya jalan penghubung yang tegak lurus dengan jalan poros,
memperlihatkan kesan visual yang tegas karena jalan penghubung berada tepat di
tengah Istana Maimun yang berbentuk simetris.
Taman Sri Deli walaupun berfungsi sebagai open space tetapi
peruntukkannya masih bersifat private karena hanya dapat digunakan oleh
keluarga kerjaan. Dalam peta lay out Istana Maimun yang menghadap kepada
Universitas Sumatera Utara
16
open space, lapangan di depan Istana, Taman Sri Deli, dan Mesjid Raya
berbentuk segitiga, sedangkan public spacenya adalah jalur pejalan kaki dipinggir
jalan poros maupun di jalan penghubung. Walaupun secara konsep ajaran Islam
Masjid adalah public space, tetapi sampai pada akhir masa dinasti kesultanan deli
rakyat kebanyakan enggan untuk menggunakan Masjid Raya sebagai tempat
ibadah kecuali pada hari raya Idul Adha dan Idul Fitri atau atas undangan Sultan,
selebihnya hanya digunakan oleh lingkungan kesultanan, kerabat dan tamu dari
kerajaan lain.
2.2.3. Perkembangan Kawasan Kesultanan Deli di Masa Sekarang
Istana Maimun, Masjid Raya Al Mahsun dan Taman Sri Deli menjadi
bangunan bersejarah di kawasan ini. Gabungan antara ketiga bangunan tersebut
dapat dijadikan landmark bagi kota Medan. Syahrum (2004).
Istana Maimun sekarang ini tidak dipergunakan lagi sebagai pusat
pemerintahahn kesultanan Deli, melainkan hanya sebagai tempat tinggal
keturunan Sultan deli, dan sebagai salah satu tujuan wisata di Medan. Walaupun
Pemda Kotamadya Medan telah menetapkan Istana Maimun sebagai bangunan
konservasi dengan dasar Undang-undang Monumenten Ordonantic 238/1981,
kenyataannya istana ini masih dimiliki oleh keluarga Kesultanan Deli.
Universitas Sumatera Utara
17
Gambar 2.11. Istana Maimun (2015)Sumber : warrockclothing.wordpress.com
Pada kawasan Istana Maimun ini juga terdapat bangunan Masjid Raya Al
Mashun yang masih berfungsi sampai saat ini. Walaupun kepemilikan tanahnya
masih dikuasai oleh Kesultanan Deli, pemanfaatannya telah diserahkan kepada
masyarakat umum melalui sebuah Badan Kemakmuran Masjid.
Gambar 2.12. Masjid Raya Al Mashun sekarangSumber: Pribadi (2015)
Pada kawasan ini terdapat juga Taman Sri Deli yang telah banyak
mengalami perubahan baik fungsi maupun fisik. Taman Sri Deli sejak awal
kemerdekaan telah menjadi public space dan pernah dikelola oleh pohak swasta
Universitas Sumatera Utara
18
sebagai pusat penjualan makanan. Saat ini pada kawasan Taman Sri Deli hanya
tersisa kolam dan jalur pejalan kaki yang mengelilingi kolan dan dilengkapi
dengan pergola. Taman ini sudah ditutup untuk umum dan dalam proses
revitalisasi.
Gambar 2.13. Taman Sri Deli sekarangSumber : Pribadi (2015)
Pada masa sekarang akibat perkembangan kebutuhan dan aktivitas
dibangun gedung-gedung atau bangunan baru yang mempengaruhi visual
kawasan, yaitu bangunan Perpustakaan Daerah yang fasadnya tidak sesuai dengan
fasad istana. Disamping itu juga dibangun ruko-ruko berlantai tiga di depan istana
yang mempengaruhi visual istana dan terlihat tidak berintegrasi dengan istana.
Disekitar komplek Istana tumbuh rumah-rumah semi permanen dan ruko-
ruko yang dihuni oleh penduduk pendatang dan kaum keturunan yang
menyebabkan pola masa bangunan menjadi tidak teratur.
Universitas Sumatera Utara
19
2.3. Tinjauan Arsitektur Masjid
2.3.1. Pengertian Masjid
Secara Etimologi, kata “masjid” berasal dari sebuah kata pokok dalam
bahasa Arab, sajada (tempat sujud). Kata sajada ini lalu mendapatkan awalan ma,
sehingga terbentuklah kata masjid. Dalam lafal orang Indonesia, kata masjid ini
kebanyakan diucapkan menjadi “mesjid”. Barangkali hal tersebut dikarenakan
pengaruh pemakain awalan me pada kebanyakan bahasa Indonesia. Dengan
demikian kata masjid tidak selalu menunjukkan sebuah gedung/tempat ibadah
khusus umat Islam. Dan hal ini telah dicontohkan oleh Nabi Muhammad SAW. Ia
biasa melakukan shalat berjamaah dirumah sahabatnya di bukit Safa, Arqom,
ketika awal syiar Islam ditentang dan dihadang dengan kekerasan oleh kafir
Quraisy. Demikian pula pada peristiwa hijrah, sesampainya di Madinah yang
mula-mula dikerjakannya sesudah datang waktu Dzuhur ialah meletakkan dahinya
ke bumi, sebagai rasa syukur ke hadirat Ilahirabbi. Kemudian di suatu lapangan
terbuka dekat tasik (danau), beliau pun mengerjakan shalat Jum’at berjamaah
dengan golongan Anshor dan Muhajirin, kira-kira sebanyak seratus orang.
Pada masa awal perjuangan Nabi Muhammad SAW, sebetulnya pengertian
masjid secara materi berupa sebuah bangunan tempat ibadah sudah dikenal,
karena sudah terdapat Masjidil Haram di Mekkah meskipun bangunannya belum
megah seperti sekarang. Masjid ini sangat terkenal, sebab selain arsitekturnya
yang monumental, juga diyakini sebagai salah satu tempat yang disinggahi Nabi
Muhammad SAW dalam peristiwa Isra Mi’raj.
Universitas Sumatera Utara
20
Pengertian kata masjid, seiring dengan perjalanan waktu, akhirnya
mengalami perubahan. Saat ini masjid lebih sering diartikan sebagai bangunan
yang dipergunakan sebagai tempat ibadah shalat.Menurut fungsi dan bentuknya,
masjid mempunyai beberapa nama pula. Masjid Jami adalah masjid yang biasa
dipakai untuk shalat Jumat yaitu shalat berjamaah yang wajib dilakukan pada hari
Jum’at menggantikan shalat Dzuhur.
2.3.2. Fungsi Masjid
Membahas fungsi masjid tidak bisa terlepas dari pengertian masjid itu
sendiri serta konteks tradisi Islam yang bersumber dari sejarah dan hadist Nabi
Muhammad SAW, yang masih dapat kita temui sampai saat ini. Fungsi masjid
adalah sebagai tempat shalat. Masjid dipakai untuk shalat berjamaah sehari-hari,
shalat Jum’at, shalat jenazah maupun aktivitas lainnya.
Masjid berfungsi juga sebagai tempat bermusyawarah dan memutuskan
berbagai permasalahan, baik yang bersifat aqidah maupun muamalah
(kemasyarakatan). Fungsi lain dari masjid adalah tempat pendidikan agama atau
madrasah.
Masjid diramaikan oleh berbagai kegiatan ibadah seperti kegiatan
pesantren kilat, maulid, isra’ mi’raj, maupun pengajian. Aktivitas ibadah yang
lain bersifat sosial dipusatkan di masjid seperti pembayaran zakat mal dan zakat
fitrah, tempat bagi para musafir (orang yang sedang dalam perjalanan) untuk
digunakan sebagai tempat menginap atau beristirahat sementara. Pelaksanaan
akad nikah pun sering dilakukan di masjid. Masjid juga menjadi pusat
kebudayaan karena menjadi pusat kegiatan umat Islam baik yang bersifat spiritual
Universitas Sumatera Utara
21
maupun material, sehingga keberadaannya sangat penting dan berpengaruh
terhadap kehidupan masyarakat.
2.3.3. Arsitektur Masjid di Indonesia
Arsitektur masjid di Indonesia banyak dipengaruhi oleh tradisi dan budaya
serta arsitek yang merancangnya. Hal ini berpengaruh terhadap karakteristik
perwujudan arsitektur masjid di Indonesia.
Gambar 2.14. Masjid Raya Sumatera BaratSumber: googleimage.com
Tempat ibadah agama Islam tertua di Indonesia terdapat di Pulau Jawa
dan berpengaruh ke bagian lain Indonesia. Pengaruh ini berkembang melalui
perdagangan dan penyebaran ulama di wilayah Nusantara. Semua masjid yang
dibangun pertama kali di Indonesia terbuat dari bahan kayu, bukan dari batu dan
bata.
Sebagian besar masjid di Indonesia selain dipengaruhi tradisi Jawa, juga
dipengaruhi oleh arsitektur Timur Tengah, yaitu bentuk kubah dengan lengkungan
panjang. Bagian dalam arsitektur masjid selalu menggunakan media keramik
untuk mendesain bagian dalam masjid. Lalu ditambah pula kolam air yang
terletak di dekat masjid.
Universitas Sumatera Utara
22
Selama abad 19, arsitektur masjid di Indonesia mulai dipengaruhi oleh
bangsa Arab. Menara masjid mulai mengikuti bentuk umum menara daerah
Hadramaut, di bagian selatan Saudi Arabia. Menara Hadramaut, biasanya
berbentuk bulat, tetapi kadang-kadang juga persegi, makin keatas semakin kecil,
dan puncaknya tumpul. Pada umumnya menara itu dicat putih. Batang tubuhnya
tanpa perhiasan. Persamaan ini hanya dibedakan di dekat puncaknya dengan
adanya jendela yang kadang-kadang diisi dengan terali kecil. Bentuk menara
seperti ini terdapat di kampung Pekojan Jakarta dan di Surabaya pada masjid
Ampel yang bertanggalkan sebelum tahun 1862.
Gambar 2.15. Masjid Ampel di SurabayaSumber : googleimage.com
Menurut Anom (1999), umumnya bentuk arsitektur masjid-masjid kuno di
Indonesia kontruksinya dari bahan kayu atau bambu, berdenah persegi empat dan
memiliki atap yang bertingkat-tingkat dari rumbia atau ijuk. Atapnya ditopang
oleh beberapa tiang kayu, empat tiang besar terletak di tengah-tengah ruangan
untuk menopang atap, sampai atap yang tertinggi. Dindingnya ada pula yang
terbuka dan menggunakan bahan dari papan atau tembok. Terdapat mihrab dan
Universitas Sumatera Utara
23
mimbar pada ruangan utama. Pintu dan jendelanya sempit-sempit sehingga udara
serta cahaya yang masuk sangat terbatas.
2.4. Masjid Raya Al-Mashun
Bangunan masjid berdiri diatas sebidang tanah yang cukup luas meliputi
13.200 m2. Masjid Raya Al-Mashun Medan yang dimiliki dan dikelola oleh
keluarga Kerajaam Sultan Deli ini didirikan pada tanggal 21 Agustus 1906,
sedangkan pembangunannya dimulai dari tahun 1906 dan pembangunan masjid
selesai dalam tiga tahun. Bangunan Masjid Raya Al-Mashun ini dirancang dengan
bantuan seorang arsitek yang berasal dari tentara KNIL yang bernama TH. Van
Erp. Setelah pembangunan masjid mulai selesai, diberilah nama Masjid Raya Al-
Mashun yang mempunyai arti masjid yang mendapat pemeliharaan dari Allah
SWT. Peresmian pemakaiannya bertepatan dengan hari Jum’at tanggal 10
September 1909. Dalam rangka peresmiannya itu dilaksanakan shalat jum’at yang
dihadiri oleh pembesar-pembesar Kerajan termasuk Sri Paduka Alumarsyun,
Tuanku Sultan Aziz, Abdul Jalal Rakhmadsyah dari Langkat dan Sultan Sulaiman
Alamsyah dari Negeri Serdang. Pada masa lalu masjid ini merupakan tempat
shalat Jum’at satu-satunya di wilayah Kesultan Deli. Hal ini menunjukkan Masjid
Raya Al-Ma’shun Medan merupakan masjid Kesultanan tetapi tidak terdapat
tempat sembahyang khusus untuk Sultan (maksurah) seperti pada umumnya
masjid-masjid Kesultanan.
Masjid ini dibangun atas perintah sultan yang berkuasa saat itu guna
memperoleh wujud yang representatif dari masjid negara, dan melalui
perencanaan seorang arsitek Belanda.
Universitas Sumatera Utara
24
Gambar 2.16. Denah Masjid Raya Al MashunSumber : Amin (2004)
Pengaruh gaya arsitekur Timur Tengah tampak pada kubah-kubahnya yang
tampak dominan, sehingga menjadi corak utama dari masjid tersebut sebagai
masjid berkubah. Kubah-kubah pada masjid tersebut diperkuat dengan bentuk-
bentuk lengkung dari elemen-elemen seperti pintu dan jendela, dan sebagai
kelengkapannya adalah menara yang berbentuk bulat yang juga beratapkan kubah.
Gambar 2.17. Perspektif Masjid Raya Al-MashunSumber : skyscanner.co.id
Karakter yang diperlihatkannya adalah masjid sebagai bangunan suci
sebagaimana layaknya sebuah gedung formal lambang dari negara dan sultannya.
Penampilan ini lebih terdukung lagi dengan kemewahan dekorasinya yang berupa
ornamen-ornamen megah dan meriah. Gaya dekoratif ini memang serupa dengan
Universitas Sumatera Utara
25
penampilan masjid-masjid di Timur-Tengah yang juga kebanyakan berfungsi
sebagai lambang kekuasaan Sultan.
Ornamen yang menghiasi bangunan masjid tersebut hampir terdapat di
seluruh bagian bangunan, termasuk alat perlengkapannya yang dipergunakan di
dalam ruangan masjid itu, misalnya lampu penerangan yang berbentuk lampu
gantung.
Pada tahun 1970 M dilakukan pengecatan oleh Direktorat Jenderal
Pariwisata pada bagian luar dengan menyesuaikan warna aslinya. Tahun 1991
dilaksanakan perbaikan yang meliputi perbaikan jalan, taman, pekarangan,
halaman, dan pergantian bola-bola lampu yang rusak. Perbaikan ini dilakukan
oleh Proyek rehabilitasi, Dinas Bangunan Kotamadia Daerah Tingkat II Medan.
2.5. Identitas Kota
Lynch (1960) mengatakan bahwa identitas kota adalah citra mental yang
terbentuk dari ritme biologis tempat dan ruang tertentu yang mencerminkan
waktu, yang ditumbuhkan dari dalam secara mengakar oleh aktivitas sosial-
ekonomi-budaya masyarakat kota itu sendiri.
Identitas adalah suatu kondisi saat seseorangmampu mengenali atau
membedakan suatu tempat dengan tempat lain karena memiliki karakter dan
keunikan. Lynch (1960)
Menurut Lynch terdapat tiga komponen yang sangat mempengaruhi
gambaran mental terhadap suatu kawasan (kota) yaitu :
Universitas Sumatera Utara
26
1. Identitas, artinya orang dapat memahami gambaran perkotaan
melaluiidentifikasi obyek, perbedaan antara obyek dan hal-hal yang diketahui
tentang
obyek tersebut.
2. Struktur, artinya orang dapat memelihara pola perkotaan melalui
hubunganantar obyek-subyek melalui pola yang dapat dilihat.
3. Makna, artinya orang dapat mengalami ruang perkotaan dengan
segalaperkembangan fisik, sosial maupun rohani subyeknya sehingga
mendapatkanrasa yang dapat dialami.
Utomo (2005) berpendapat bahwa kota memerlukan identitas, baik dalam
skala lingkungan maupun skala kota. Ciri atau identitas yang mudah diamati
adalah bentukan-bentukan fisik kota. Kesan visual suatu benda atau bangunan
mudah dicerna atau diserap oleh ingatan manusia. Ciri-ciri spesifik dari elemen-
fisik pembentuk kota, diperkuat dengan struktur yang memisahkannya dengan
elemen-elemen di sekitarnya. Oleh karena itu, elemen-elemen fisik tersebut
mampu menanamkan citra pada setiap pengamatnya, serta dapat menambah
makna bagi keberadaannya. Pemahaman suatu makna identitas berguna terhadap
penanaman citra bagi pengamatnya, sehingga pesan yang disampaikan dapat
dengan mudah diserap oleh ingatannya.
Elemen-elemen fisik yang tercipta dapat menjadi karakter bagi lingkungan
di sekitarnya. Hal ini lebih banyak ditentukan oleh perwujudan rancangan maupun
perletakan yang dikaitkan dengan hubungan antara elemen fisik yang satu dengan
lainnya. Sebuah kota mempunyai kesan yang tidak sama dengan kota lainnya bagi
Universitas Sumatera Utara
27
orang yang berada didalamnya. Kesan ini timbul dari adanya persepsi manusia
terhadap apa yang dilihatnya didalam tersebut. Pesan yang disampaikan oleh
suatu lingkungan maupun kota melalui komunikasi visual, menyebabkan
seseorang mempunyai kesan yang spesifik terhadap kota dan lingkungan tersebut.
Oleh karena itu, keberadaan sebuah kota sering diwujudkan dalam bentuk
kekhasan yang dimasukkan dalam elemen-elemen fisik pembentuknya.
Arsitektur juga dapat menjadi salah satu bagian penanda suatu tempat,
misalnya membuat landmarkbagi sebuah kawasan yang dapat menunjang identitas
suatu kota. Arsitektur diintisarikan agar dapat merepresentasikan keberadaan
identitas kota dapat dilestarikan sebagai benda cagar budaya. Jadi dapat
disimpulkan bahwa identitas dari sebuah kota berawal dari nilai budaya yang
meliputi nilai historis perjuangan dan perkembangan di bidang politik, ekonomi
dan sosial, arstitektur, struktur masyarakat, tata kota serta karakteristik khusus
kotanya.
Sedangkan identitas psikis kota, masih perlu upaya penggalian dan
pengenalan jati diri yang lebih mendalam. Mengingat identitas psikis merupakan
identitas kehidupan masyarakat kota secara psikis yang mempengaruhi wajah kota
tersebut, berupa ritme kehidupan masyarakatnya maupun spirit yang dimiliki
masyarakat sehingga memberikan identitas kota atau budaya yang hidup dalam
keselarasan kota yang menjadi simbol suatu kehidupan kota membentuk identitas
kota itu sendiri.
Identitas merupakan pengenalan bentuk ruang dan kuantitas yang paling
sederhana, pengertian tersebut disebut pula “A Sense of Place”. Pemahaman
Universitas Sumatera Utara
28
tentang nilai dari tempat, merupakan pemahaman tentang keunikan dari suatu
tempat secara khusus, bila dibandingkan dengan tempat lain.. Identitas dapat juga
berupa peristiwa-peristiwa, yang disebut “Sense of Occasion”, yakni tempat dan
peristiwa akan saling menguatkan satu dengan yang lain dan menciptakan suatu
keberadaan. Purwanto (2001).
Unsur-unsur pembentuk lingkungan binaan yang perlu mendapat perhatian
dalam usaha membangun identitas suatu kawasan adalah bentuk, massa serta
fungsi bangunan, dan ruang luar kawasan yang terbentuk. Dari unsur-unsur
pembentuk kawasan tersebut, makna kawasan (image) manusia tentang suatu
kawasan dapat terbentuk, kesan suatu kawasan adalah hasil dari proses dua arah
antara manusia dengan lingkungannya. Suatu kawasan menyediakan objek-objek
tertentu dan manusia mengorganisasikannya di dalam otak dan memberikan
pengertian khusus.
Keragaman budaya menuntut karya arsitektur harus dirancang semakin
serius agar kawasan terhindar dari polusi visual yang kacau, untuk itu rancangan
arsitektur yang kontekstual akan memberikan kemungkinan tampilan kawasan
yang lebih harmonis secara visual, baik melalui rancangan bangunan maupun
perkotaan. Kontinuitas visual kawasan dapat dijaga dengan memperhatikan
elemen tampilan seperti bentuk dasar yang sama, namun tampak berbeda,
pemakaian bahan, warna, tekstur, serta ornamentasi bangunan.
Pemahaman lain yaitu Shirvani (1985) membedakan antara identitas dan
sense, dimana sense adalah makna yang ditangkap oleh manusia yang ada di
Universitas Sumatera Utara
29
dalam lingkungan tersebut, terkait dengan makna kultural dan budaya masyarakat,
sedangkan identitas dapat diwujudkan melalui bentuk arsitektur, elemen estetik
dan nilai yang membuat sebuah kota dapat dipahami secara visual.
Ayu Diya (2001) menyimpulkan bahwa identitas kawasan adalah dimana
sebuah ruang mampu mewakili lingkungan, budaya masyarakat dan kegiatan di
dalamnya yang sifatnya tidak terukur, yang ketiganya kemudian membentuk
seting lingkungan. Seting lingkungan tersebut kemudian ditangkap oleh pengamat
untuk selanjutnya diolah dalam pikiran dan diberi pemaknaan, dan pemaknaan
yang ditangkap oleh rata rata masyarakat tersebutlah yang kemudian disebut
identitas kawasan. Oleh karena itu agar identitas yang sifatnya tidak terukur
tersebut dapat ditangkap oleh pengamat secara visual adalah dengan
mengaplikasikan nilai budaya, ciri lingkungan ke dalam elemen-elemen fisik kota.
Gambar 2.18. Sense of place dan elemen fisik yang ditangkap oleh pengamat.Sumber: Jurnal Ayu Ditya, dkk
Hamid Shirvani (1985) menentukan elemen urban desain dalam delapan
kategori sebagai berikut:
1. Tata guna Lahan (Land Use)
Land use adalah pengaturan penggunaan lahan untuk menentukan pilihan
yang terbaik dalam mengalokasikan fungsi tertentu, sehingga secara
Universitas Sumatera Utara
30
umum dapat memberikan gambaran keseluruhan bagaimana daerah-daerah
pada suatu kawasan tersebut seharusnya berfungsi.
2. Bentuk dan Massa Bangunan (Building Form and Massing)
Dalam bentuk dan massa bangunan, seharusnya diperhatikan berbagai
aspek, meliputi:
a. Ketinggian Bangunan
Ketinggian bangunan berkaitan dengan jarak pandang pemerhati, baik
yang berada dalam bangunan maupun yang berada pada jalur pejalan
kaki. Ketinggian bangunan pada suatu kawasan membentuk skyline.
Skyline dalam skala kota mempunyai makna:
Sebagai simbol kota
Sebagai indeks sosial
Sebagai alat orientasi
Sebagai perangkat estetis
Sebagai perangkat ritual
Spreiregen (1965), bila tinggi muka bangunan sama dengan jarak dari
tempat kita berdiri ke bangunan, maka sudut yang terjadi antara garis
puncak muka bangunan dan garis horizontal pandangan adalah 45°.
Jika jarak orang ke bangunan = tinggi bangunan atau pandangan
membentuk sudut 45°, merupakan pandangan normal manusia, pada
jarak tersebut pengamat dapat memperhatikan keseluruhan muka
Universitas Sumatera Utara
31
obyek/bangunan. Demikian pula menurut Panero (2003), sudut
pandang yang nyaman adalah sebesar 45 derajat. Jika bangunan lebih
tinggi daripada batas atas daerah pandangan kita kedepan, maka kita
akan merasa tertutup.
b. Kepejalan Bangunan (Bulky)
Arti dari kepejalan adalah tebal, besar, dan gemuk. Dalam hal ini yang
dibicarakan adalah penampakan gedung dalam konteks kota.
Kepejalan suatu gedung ditentukan oleh tinggi, luas, lebar panjang,
olahan massanya, dan variasi penggunaan material.
c. Koefisien Lantai Bangunan
Koefisien lantai bangunan adalah jumlah luas lantai bangunan dibagi
dengan luas tapak. Koefisien lantai bangunan dipengaruhi oleh daya
dukung tanah, daya dukung lingkungan, nilai harga tanah dan faktor-
faktor khusus tertentu sesuai dengan peraturan atau kepercayaan
daerah setempat.
d. Koefisien Dasar Bangunan (Building Coverage)
Koefisien dasar bangunan adalah luas tapak yang tertutup
dibandingkan dengan luas tapak keseluruhan. Koefisien dasar
bangunan dimaksudkan untuk menyediakan area terbuka yang cukup
di kawasan perkotaan agar tidak keseluruhan tapak diisi dengan
bangunan sehingga daur lingkungan menjadi terhambat.
e. Garis Sempadan Bangunan
Universitas Sumatera Utara
32
Garis Sempadan Bangunan merupakan jarak bangunan terhadap as
jalan. Garis ini sangat peting dalam mengatur keteraturan bangunan di
tepi jalan kota.
f. Langgam
Langgam atau gaya dapat diartikan sebagai suatu kumpulan
karakteristik bangunan dimanastuktur, kesatuan dan ekspresi
digabungkan di dalam satu periode atau wilayah tertentu. Peran dari
langgam ini dalam skala urban jika direncanakan dengan baik dapat
menjadi guideline yang mempunyai kekuatan untuk menyatukan
fragment-fragment kota.
g. Skala
Rasa akan skala dan perubahan-perubahan dalam ketinggian ruang
atau bangunan dapat memainkan peranan dalam menciptakan kontras
visual yang dapat membangkitkan daya hidup dan kedinamisan
h. Material
Peran material berkenaan dengan komposisi visual dalam perancangan.
Komposisi yang dimaksud diwujudkan oleh hubungan antar elemn
visual.
i. Tekstur
Universitas Sumatera Utara
33
Dalam sebuah komposisi yang lebih besar (skala urban) sesuatu yang
dilihat dari jarak tertentu maka elemen yang lebih besar dapat
menimbulkan efek-efek tekstur.
j. Warna
Dengan adanya warna (kepadatan warna, kejernihan warna), dapat
memperluas kemungkinan ragam komposisi yang dihasilkan.
3. Sirkulasi dan Parkir (Circulation and Parking)
a. Sirkulasi
Elemen sirkulasi adalah satu aspek yang kuat dalam membentuk
struktur lingkungan perkotaan. Sirkulasi dapat berupa bentuk,
hubungan atau satu pola bagi yang dapat mengontrol aktivitas kawasan
seperti aktivitas jalan raya, jalur pejalan kaki, dan pusat-pusat kegiatan
yang bergerak.
b. Tempat Parkir
Unsur yang sangat penting dapat sirkulasi kota adalah tempat parkir
kendaraan. Keberadaan tempat parkir sangat menentukan hidup
tidaknya suatu kawasan komersial.
4. Ruang Terbuka (Open Space)
Ruang terbuka bisa menyangkut semua lansekap : elemen keras
(hardscape, yang meliputi jalan, trotoar dan sebagainya), taman dan ruang
rekreasi di kawasan kota.
Universitas Sumatera Utara
34
Elemen-elemen ruang terbuka juga menyangkut lapangan hijau, ruang
hijau kota, pepohonan, pagar, tanaman, air, penerangan, paving, kios-kios,
tempat sampah, air minum, sculpture, jam dan sebagainya. Secara
keseluruhan, elemen-elemen tersebut harus dipertimbangkan untuk
mencapai kenyamanan dalam perancangan kota. Dan ruang terbuka
merupakan elemen yang sangat esensial dalam perancangan kota. Desain
ruang terbuka harus dipertimbangkan secara terintegral terhadap bagian
dari perancangan kota.
Rustam Hakim (1987) membagi ruang terbuka berdasarkan kegiatan yang
terjadi sebagai berikut:
a. Ruang terbuka aktif, yaitu ruang terbuka yang mengundang unsur-
unsur kegiatan di dalamnya, misalnya plaza, tempat bermain.
b. Ruang terbuka pasif, yaitu ruang terbuka yang di dalamnya tidak
mengandung kegiatan manusia
5. Area Pedestrian (Pedestrian Area)
Pedestrian merupakan elemen penting dalam perancangan kota, karena
tidak lagi hanya berorientasi pada keindahan semata, akan tetapi juga
masalah kenyamanan dengan didukung oleh kegiatan pedagang eceran
yang dapat memperkuat kehidupan ruang kota yang ada. Sistem pedestrian
yang baik akan mengurangi keterkaitan terhadap kendaraan di kawasan
pusat kota, meningkatkan penggunaan pejalan kaki, mempertinggi kualitas
lingkungan melalui sistem perancangan yang manusiawi, menciptakan
kegiatan pedagang kali lima yang lebih banyak dan akhirnya akan
Universitas Sumatera Utara
35
membantu dalam meningkatkan interaksi antara dasar-dasar elemen
perancangan kota dalam suatu kawasan hunian dengan berbagai bentuk
kegiatan pendukungnya.
6. Penanda (Signage)
Tanda adalah suatu tulisan (huruf, angka, atau gambar), gambar (ilustrasi
atau dekorasi), lambang (simbol atau merek dagang), bendera, atau sesuatu
gambar yang:
a. Ditempelkan atau digambar pada suatu bangunan atau struktur lain
b. Digunakan sebagai pemberitahuan, penarik perhatian, iklan
c. Terlihat di luar bangunan
Papan reklame merupakan elemen visual yang semakin penting artinya
dalam perancangan kota. Perkembangan papan-papan reklame terutama,
mengalami persaingan yang berlebihan baik dalam penempatan titik-
titiknya, dimensi atau ukuran billboardnya, kecocokan bentuk, dan
pengaruh visual terhadap lingkungan kota.
Pedoman teknis mengenai signages menurut Richardson (2003), meliputi
hal-hal sebagai berikut:
a. Penggunaan tanda-tanda harus merefleksikan karakter kawasan
tersebut.
b. Jarak dan ukuran tanda-tanda harus memadai dan diatur sedemikian
rupa agar menjamin jarak penglihatan dan menghindari kepadatan
signage.
Universitas Sumatera Utara
36
c. Penggunaan penanda harus harmonis dengan bangunanarsitektur di
sekitar lokasi tersebut.
d. Pembatasan penanda dengan lampu hias, kecuali penggunaan khusus
seperti theater dan tempat pertunjukan.
7. Kegiatan Pendukung (Activity Support)
Pendukung kegiatan adalah semua fungsi bangunan dan kegiatan-kegiatan
yang mendukung ruang-ruang publik suatu kawasan kota. Antara
kegiatan-kegiatan dan ruang-ruang fisik selalu memiliki keterkaitan satu
sama lain. Bentuk, lokasi dan karakter suatu kawasan yang memiliki ciri
khusus akan berpengaruh pula terhadap fungsi peggunaan lahan dan
kegiatan-kegiatannya. Sebaiknya kegiatan yang memperhatikan lokasi
tapak yang layak dan baik tergantung seberapa besar aktivitas penggunaan
lahan tersebut.
8. Konservasi (Conservation)
Konservasi suatu bangunan individual harus dikaitkan secara keseluruhan
kota, agar meyakinkan bahwa konservasi akan harmonis dengan
lingkungan sekitarnya. Konsep tentang konservasi kota memperhatikan
beberapa aspek yakni: bangunan-bangunan tunggal, struktur dan gaya
arsitektur, hal-hal yang berkaitan dengan kegunaan, umur bangunan atau
kelayakan bangunan.
Identitas merupakan aspek yang sifatnya tidak terukur dan tergantung dari
persepsi pengamat terhadap setting lingkungannya. Dalam upaya membentuk
identitas pada sebuah kawasan, dapat dilakukan dengan pendekatan terhadap
Universitas Sumatera Utara
37
elemen-elemen fisik kota, karena melalui elemen fisik inilah sebuah pemahaman
akan ditangkap oleh pengamat secara visual untuk kemudian diolah dalam pikiran
dan diberi pemaknaan, aspek-aspek fisik tersebut (land use, ruang luar dan
bangunan) dalam konteks kawasan Kesultanan Deli.
Lynch (1960) melihat landmark sebagai sebuah konstruksi fisik yang
dapat menyatakan suatu identitas wilayah atau lingkungan karena landmark
memiliki entitas bentuk fisik yang berbeda dan terpisah dengan sekitarnya.
Landmark dapat berperan menjadi identitas karena ia berperan sebagai basis atau
dasar dalam mengenal suatu lingkungan. Ketika landmark dapat menyatakan
identitas suatu wilayah, landmark kemudian juga membawa karekter, atmosfir,
dan ambience keberadaannya terhadap manusia yang merasaknnya. Landmark
yang dapat menyatakan identitas dan karakter suatu wilayah kemudian tidak lagi
hanya dipandang sebagai suatu elemen fisik secara visual saja. Narita (2010)
Untuk menetapkan elemen-elemen yang akan digunakan dalam upaya
pembentukan identitas sebuah kawasan adalah dengan melihat elemen apa saja
yang menonjol dan dapat dijadikan potensi untuk membentuk identitas kawasan,
tentunya yang sesuai dengan tema (estetika ataupun budaya), yang dalam konteks
penelitian ini adalah elemen-elemen fisik yang terdapat pada bangunan Masjid
Raya.
2.6. Citra Kota
Menurut Pocock (1978), citra adalah merupakan hasil dari adaptasi
kognitif terhadap kondisi yang potensial mengenai stimulus pada bagian kota
Universitas Sumatera Utara
38
yang telah dikenal dan dapat dipahami melalui suatu proses berupa reduksi dan
simplifikasi.
Lynch berpendapat bahwa citra merupakan suatu senyawa dari atribut-
atirbut dan pengertian fisik, tetapi secara sengaja memilih untuk berkonsentrasi
pada fungsi bentuk, dengan mengembangkan hipotesis bahwa pengetahuan
manusia mengenai kota merupakan fungsi dari imageabilitasnya. Citra kota
ditentukan oleh pola dan struktur lingkungan fisik yang dalam perkembangannya
dipengaruhi oleh faktor: sosial, ekonomi, budaya,kelembagaan, adat isitiadat serta
politik yangpada akhirnya akan berpengaruh pula dalampenampilan fisiknya.
Menurut Budihardjo (1991), terdapat enam tolok ukur yang sepantasnya
digunakan dalam penggalian, pelestarian dan pengembangan citra kota, sebagai
berikut:
1.Nilai kesejarahan; baik dalam arti sejarah perjuangan nasional (Gedung
Proklamasi, Tugu Pahlawan) maupun sejarah perkembangan kota (Kota Lama
di Semarang, Kawasan Malioboro di Yogyakarta)
2. Nilai arsitektur lokal/tradisional; (terdapat keraton, rumah pangeran)
3. Nilai arkeologis; (candi-candi, benteng)
4. Nilai religiositas; (masjid besar, tempat ibadah lain)
5.Nilai kekhasan dan keunikan setempat; baik dalam kegiatan sosial ekonomi
maupun sosial budaya; dan
6. Nilai keselarasan antara lingkungan buatan dengan potensi alam yang dimiliki.
Kualitas fisik yang diberikan oleh suatu kota dapat menimbulkan suatu
image yang cukup kuat dari seorang pengamat. Kualitas ini disebut dengan
Universitas Sumatera Utara
39
imageability (imagibilitas) atau kemampuan mendatangkan kesan. Imagibilitas
mempunyai hubungan yang sangat erat dengan legibility (legibilitas), atau
kemudahan untuk dapat dipamahi/dikenali dan dapat diorganisir menjadi satu pola
yang koheren.
Kota akan lebih tepat bila dipandang sebagai suatu loka (loci, place,
tempat). Kota dapat dikatakan menyediakan ruang untuk kegiatan, untuk orientasi,
disamping mempunyai karakter untuk identifikasi. Purwanto(2001). Karakter
yang spesifik dapat membentuk suatu identitas, yang merupakan suatu pengenalan
bentuk dan kualitas ruang sebuah daerah perkotaan, yang secara umum disebut a
sense of place. Dalam gambar berikut dijelaskan hubungan antara citra kota,
karakter kota dan identitas kota.
Gambar 2.19. Hubungan antara Citra, Identitas dan Karakter KotaSumber: Purwanto (2001)
2.7.Landmark
Dalammemahami elemen-elemen fisik pembentuk kota dan
yangmembantu pengamat dalam menangkap gambaran tentang sebuahkota (image
content), secara fisik terdapat sebuah pandanganoleh Kevin Lynch, yaitu dalam
melihat elemen-elemensebuah kota, Kevin Lynch membagi dalam lima elemen
yaitu Paths, Edges, Districts, Nodes, dan Landmark.
Universitas Sumatera Utara
40
Lynch (1960), mengatakan bahwa landmarkmerupakan simbol yang
menarik secara visual dengan sifat penempatan yang menarik perhatian. Biasanya
Landmark mempunyai bentuk yang unik serta terdapat perbedaan skala dalam
lingkungannya. Beberapa Landmark hanya mempunyai arti di daerah kecil dan
hanya dapat dilihat di daerah itu, sedangkan Landmark lain mempunyai arti untuk
keseluruhan kota dan bisa di lihat dari mana-mana. Landmarkadalah elemen
penting dari bentuk kota karena membantu orang mengenali suatu daerah. Selain
itu Landmark bisa juga merupakan titik yang menjadi ciri dari suatu kawasan.
Gambar 2.20. LandmarkSumber: google image
Menurut Lynch (1960), dalam bukunya The Image of the City,3 unsur
penting dalam Landmark, yaitu:
1. Tanda fisik
Landmark merupakan obyek fisik yang dapat ditangkap dengan indera
penglihatan secara mudah.
2. Informasi
Universitas Sumatera Utara
41
Landmark merupakan gambran dengan cepat dan pasti tentang suatu
tempat kepada pengamat sehingga membentuk image fisik dan non fisik
lokasi Landmark dan sekitarnya.
3. Jarak
Landmark harus dapat dikenali dari suatu jarak, dimana pengamat berada
diluar lingkup proyek.
Proses pembentukan suatu obyek yang mempunyai potensi sebagai
landmark dapat diwujudkan dengan 2 cara dalam hal posisi, yaitu:
a. Memperluas arah pandang
Dengan cara menjadikan obyek dapat terlihat dari arah yang lebih banyak
atau luas sehingga arah pandang menjadi lebih terbuka dan medan
pengenalan visual lebih luas.
b. Tampilan Obyek
Dengan cara membentuk obyek menjadi kontras dalam komposisi bersama
elemen-elemen fisik di sekitarnya, misal menciptakan variasi setback.
Menurut Lynch (1960), ditinjau dari aspek jarak, Landmark dapat
dikelompokkan menjadi 2 bagian, yaitu:
DistantLandmark
Merupakan obyek landmark yang dapat dilihat dari banyak arah atau
posisi dengan suatu jarak yang relatif jauh. “Some landmarks are distant ones,
typically seen from many angles and distances, over the tops of smaller elements,
Universitas Sumatera Utara
42
and used as radial references”. Lynch (1960). Pengamat dapat melihat distant
landmark tidak hanya pada saat ia berada di dalam ruang kota tetapi juga ketika ia
berada di luar kota. Contohnya seperti menara, monumen, gunung, bangunan, dan
lain-lain. Penggunaan distant landmark sebagai pusat orientasi lebih cenderung
untuk manusia yang tidak famiiar terhadap lingkungan. “People who used distant
landmarks did so only for very general directional orientation, or, more
frequently, in symbolic ways.”
Gambar 2.21. The Duomo, Florence sebagai distant landmarkSumber: www.paradoxplace.com
Distant Landmark dengan bentuk fisik yang dapat dilihat dari jauh juga
dapt berperan menjadi simbol yang mewakili suatu wilayah. Seperti yang
dicontohkan oleh Lynch, Duomo of Flourence, sebagai salah satu distant
landmark yang memiliki bentuk fisik sebagai simbol juga identitas yang
mencirikan wilayah kota Florence. Suatu bentuk fisik yang tidak dapat
dihilangkan. Distant Landmark memiliki potensi untuk dimaknai sebagai sesuatu
yang dapat mewakili identitas suatu wilayah tertentu.
LocalLandmark
Universitas Sumatera Utara
43
Merupakan obyek fisik yang penampilan fisiknya terlihat istimewa apabila
terlihat dari arah, jarak atau jangkauan yang terbatas. Kehadirannya sebagai
landmark di dalam suatu lingkungan sangat dipengaruhi oleh seberapa pengamat
mengenal lingkungannya. “The number of local elements that become landmarks
appears to depend as much upon how familiar the observer is with his
surroundings as upon the elements themselves” Lynch (1960). Semakin tinggi
tingkat familiritas seseorang terhadap lingkungannya, maka akan semakin banyak
pula elemen dalam lingkungan yang dapat berperan sebagai local landmark.
Contoh dari local landmark adalah seperi tampak depan toko, papan iklan, dan
detil-detil kecil lainnya dalam suatu wilayah. Pada contoh diatas, The “Little Gray
Lady” sebuah toko yang berada di Los Angeles meski tidak dapat dilihat dari
kejauhan sekalipun namun ia tetap berperan sebagai landmark karena karakter
ruang intim yang ada di halaman depan toko tersebut.
Gambar 2.22. The Little Gray Lady, Los Angeles sebagai Local LandmarkSumber: Narita (2010)
Kehadiran local landmark seringkali lebih diingat dalam bentuk rangkaian
atau kelompok beberapa titik landmark, dimana satu elemen local landmark
dengan elemen lainnya saling membentuk rangkaian yang kemudian dapat
Universitas Sumatera Utara
44
memudahkan proses identifikasi lingkungan. “More often, local points were
remembered as cluster, in which they reinforced each othe by repietition, and
were recognizable partly by context” Lynch (1960). Sebuah wilayah atau sebuah
tempat kemudian dapat memiliki lebih dari satu landmark, terutama pada jenis
locallandmark yang dipengaruhi oleh tingkat familiaritas seseorang.
Menurut Lynch (1960), fungsi Landmark dalam perancangan dan
pembentukan lingkungan fisik urban adalah:
a. Landmark sebagai sarana informasi
Sarana informasi langsung mapun tidak langsung dalam jarak dekat
maupun jarak jauh, baik fisik maupun non fisik dimana Landmark berada
DistantLandmark memberikan informasi secara langsung dari jarak
jauh mengenai aspek fisik berupa bangunan Landmark, maupun
non fisik berupa kegiatan di sekitar Landmark
LocalLandmark memberi informasi secara langsung maupun tidak
langsung dari jarak dekat mengenai aspek fisik dan non fisik
b. Landmark sebagai orientasi lingkungan
Landmark dapat dijadikan patokan arah apabila dikaitkan dengan elemen
atau proses alam yang berlangsung secara kontinyu. Orientasi arah dapat
dibentuk dari kombinasi Landmark dengan suatu jalan atau jalur menuju
atau mendekati Landmark.
Universitas Sumatera Utara
45
Menurut Lynch (1960), Pengendalian keberadaan Landmark dalam
perancangan dan pembentukan lingkungan fisik urban dibedakan menjadi 2
kelompok, yaitu:
a. Berdasarkan bentuk
Distant Landmark pada proses pengendalian dalam perancangan dan
pembentukan lingkungan urban berkaitan dengan skala kota, meliputi
konfigurasi bangunan, sky line bangunan dan penataan fungsi lahan
kota
Local Landmark pada proses pengendalian ini berpengaruh dalam
radius tertentu; seperti komposisi fasade bangunan, arah pandang, dan
arah capai
b. Berdasarkan waktu keberadaannya
Ditinjau berdasarkan waktu maka Landmark dibedakan menjadi 2 bagian,
yaitu:
Bangunan Landmark lama (old building), yaitu obyek Landmark yang
lebih dahulu ada dari proses perancangan kota.
Bangunan Landmark baru (new building), yaitu obyek Landmark
yang keberdaaanya bersamaan atau sesudah proses perancangan kota.
Menurut Lynch (1960), terdapat beberapa kriteria untuk menjadikan suatu
obyek sebagai Landmark:
Mempunyai karakter fisik lain dari obyek fisik di sekitarnya, mempunyai
unsur unik dan mudah diingat.
Universitas Sumatera Utara
46
Mudah diidentifikasikan, hal ini berkaitan dengan tuntutan bahwa
Landmark harus mudah dikenali pengamat.
Mempunyai bentuk yang jelas dalam luasan atau benteng yang relatif
besar. Hal ini dapat dicapai dengan membentuk kontras antara obyek
Landmark dengan latar belakangnya.
Mempunyai nilai lebih dalam suatu lingkup atau luasan tempat berupa
nilai historis atau nilai estetis.
Nilai historis menyangkut proses terbentuknya obyek tersebut dan
kaitannya dengan lingkup tempat dimana Landmark berada.
Nilai estetis dapat pula nilai historis menyangkut kurun waktu
terbentuknya bangunan, karena nilai estetik tiap kurun waktu dapat
berlainan.
Tabel 2.1. Citra Kawasan menurut teori Citra Kota dari penelitian Syahrum
(2004)
Elemen kota
menurut teori
Citra Kevin
Lynch
Periode sebelum
Kemerdekaan
1896-1945
Periode setelah
Kemerdekaan 1945-2002
Periode saat ini
2003-2004
Landmark Istana Maimun
sebagai Landmark
dari Kerajaan
Deli saat itu
Istana Maimun sebagai
Landmark dari kota
Medan mulai berkurang,
juga pengaruh politik
Pemerintahan daerah
mulai mencoba
untuk menjadikan
Istana Maimun
Universitas Sumatera Utara
47
sangat tegas,
selain sebagai
pusat
pemerintahan
juga merupakan
bangunan terbesar
dan termegah di
Medan pada saat
itu
saat itu yang mengangkat
Balaikota Lama sebagai
Landmark Kota Medan
karena keberpihakan
Kerajaan deli kepada
pemerintahan kolonial
pada saat yang lalu
menyebabkaan istana
maimun menjadi simbol
kolonialisme dan
imperialisme masa lalu
sebagai Landmark
Kota Medan, karena
dianggap sebagai
warisan budaya
Melayu yang identik
dengan kebudayaan
lokal. Kebijakan
Politik Pemerintahan
Kerajaan Deli pada
masa lalu mulai
dilupakan
masyarakat
Universitas Sumatera Utara