teori pemasaran
Post on 18-Jul-2015
378 Views
Preview:
TRANSCRIPT
Jurnal Kajian Bisnis, Vol 18, No. 2, Mei – Agustus 2010; halaman 991-999. Page 991
TEORI PEMASARAN : TRADITIONAL THEORY VS ANTY-THEORY Amin Wibowo
STIE Widya Wiwaha, e-mail: wibowo-amin@yahoo.com
Abstract Implementation of marketing concept needs reorientation and managerial philosophy. For many organizations, implementing the concept sometime meets the contradiction in philosophy that leads to problem in implementation. Marketing philosophy is usually actualized in one of several managerial philosophies. Among the philosophies compete to each other to obtain a clear status in organizations. In clear manner, marketing philosophy is focused on three issues : customers orientation, integrated organizational effort and profit direction. Critical theory rejects scientific and tend to use interpretative approach to human behavior that is always in context. Based on this perspective, critical theory is a normative theory that is about values with the focus “what it should be” and not “here and now”. Post-modernism focuses on the criticizing and questioning the reality of fenomena. This school of thought is known as “distruction” as the only construction tool. The implication to marketing theory is that process cannot be avoided to critical self-examination, and become a problem to marketing discipline. To respond this perspective, post-modernism uses as a drivers to modern marketing theory to re-examines on theoretical progress, to question epistimological assumptions, to evaluate appropriateness methodological procedures and to justify the sustainable existence.
Key words : marketing revolution, marketing philosophy, post modern marketing theory, Critical marketimg theory, marketing myopic, customers, satisfaction, complain behavior, compulsive buying, post purchase.
Pendahuluan
Perkembangan teori pemasaran telah melampaui beberapa tahap. Secara historis perkembangan
teori pemasaran dimulai dengan “The Marketing Revolution” yang di konsepkan Keith (1960)
dengan berdasar pada fenomena pemasaran pada saat itu, yaitu Pillsbury sebagai satu-satunya
perusahaan yang menjadi amatan Keith. Pada waktu yang hampir bersamaan teoritisi pemasaran
disibukan dengan lontaran pemikiran Levitt (1960) dengan “Marketing Myopia” yang mengungkap
kegagalan perusahaan dalam merespon perubahan atas persaratan customers. Selama itu para
praktisi pemasaran lebih memfokuskan pada produk yang dihasilkan dari pada pasar yang
dilayani, yaitu terkait dengan tendensi untuk mendifinsikan tujuan perusahaan dan customers
needs terlampau sempit : rail roads dari pada transportasi, movies versus entertaintment.
Jurnal Kajian Bisnis, Vol 18, No. 2, Mei – Agustus 2010; halaman 991-999. Page 992
Pada akhir tahun 1950-an dan awal tahun 1960-an, muncul perkembangan konsep pemasaran
modern. Ada dua issu penting yang ada di dalamnya : (1) marketing domain, area dimana konsep
dipertimbangkan untuk diperluas dengan karakter yang jelas dari konsep itu sendiri. (2) debat
tentang domain yang tepat telah di awali oleh Kotler dan Levy (1969) yang menyatakan bahwa
aktifitas marketing telah menembus penerapannya dalam bidang politik, universitas dan lembaga
charitas seperti halnya pada perusahaan dengan orientasi profit. Tahap perkembangan
selanjutnya teori pemasaran memasuki masa yang disebut oleh Kotler (1972) dengan
consciousness. Consciousness tahap 1, adalah pandangan tradisional tentang marketing sebagai
subject business. Consciousness 2, marketing dapat diterapkan pada semua organisasi sepenjang
mempunyai customers atau klien. Consiousness 3, marketing bukan saja relevan pada semua
organisasi tetapi untuk menghubungkan antara organisasi dengan seluruh publiknya.
Dalam perkembangan selanjutnya debat panjang tentang konsep marketing tidak dapat
terelakkan. Dalam pandangan Brown (1995) suatu masa dimana dalam teori pemasaran terjadi
debat panjang itulah teori pemasaran memasuki periode modifiksi. Debat panjang ini kemudian
mengharuskan para ahli pemasaran untuk mencermati kembali terhadap konsep dan filosofi
pemasaran. Ketidak puasan dan ketidak sempurnaan konsep dan teori pemasaran inilah yang
kemudian memunculkan critical marketing theory yang awalnya dipicu adanya keraguan mereka.
Dalam perkembangan berikitnya muncul upaya-upaya untuk memikirkan kembali konsep
pemasaran. Konsekuensi lanjutnya adalah munculnya gagasan-gagasan tentang paradigma baru
dalam marketing yaitu apa yang disebut dengan post-modern marketing (Brown, 1993).
Penulisan paper ini dilakukan dengan tujuan untuk merunut pekembangan critical theory dan
post modernism. Penjelasan diawali dengan uraian tentang dampak buruk dari penerapan kosep
dan praktik pemasaran khususnya pada konsumen. Bagian kedua menjelaskan konsep filosofi dan
fungsi pemasaran. Paparan ini diharapkan dapat memberikan benang merah munculnya berbagai
dampak buruk dari praktik pemasaran. Bagian ketiga akan menjelaskan perkembangan teori
pemasaran dan paradigma penelitian. Bagian ini akan mengungkap tentang arti penting paradigm
diluar positivism khususnya untuk merunut berbagai praktik buruk tentang penerapan konsep
pemasaran melalui paradigma penelitian. Bagian akhir akan menjelaskan critical theory dan post-
moderism yang kemunculannya juga tidak bisa dilepaskan dengan berbagai dampak penerapan
teori dan konsep pemasaran. Literatur-lliteratur yang menjadi referensi adalah bahan-bahan
bacaan yang sudah tersedia dalam kuliah teori pemasaran untuk pertemuan ke 6.
Berbagai dampak buruk praktik pemasaran
Para pakar pemasaran awalnya menyatakan bahwa marketing sebagai proses pertukaran. Aspek
modern marketing dapat ditemukan dalam praktik-praktik perdagangan. Modern marketing
muncul di awal abad 20. Dalam perkembangan selanjutnya kemajuan pemasaran ditunjukkan
empat tahap yang dicermintakan dengan pendekatan yang di adopsi : pendekatan komoditi,
Jurnal Kajian Bisnis, Vol 18, No. 2, Mei – Agustus 2010; halaman 991-999. Page 993
pendekatan institusi, pendekatan managerial dan pendekatan keperilakukan (Nataraajan, 1999).
Drucker menyatakan bahwa marketing sebagai mesin ekonomi masayarakat. Abad 20 meski
hanya beberapa tingkatan, momentum besar telah ditunjukan oleh marketing sebagai mesin
ekonomi : large-scale retailing, chain-store, internet marketing, global market dan sebagainya.
Bidang marketing sendiri telah berkembang secara spektakuler, yaitu dengan diperkenalkannya
konsep empat P (Product, Price, Promotion dan Place) oleh McCarthy.
Cara untuk menjelaskan strategi dan taktik yang diadopsi oleh marketer dan para pakar
pemasaran ada bermacam-macam. Kotler menganalogikan bahwa marketing adalah sebuah arena
peperangan, sehingga didalamnya terdapat geurilla attact, flank attack, encirclement dan flanking
defense. Para marketer secara terus menerus menambah terminology untuk menjelaskan variasi
yang luas dalam fenomena pemasaran. Dua decade terakhir dalam abad 20 ini pemasaran jasa
menerima perhatian khusus dari para pemasar.
Gerakan konsumerisme yang dimulai di awal tahun 1960 merupakan jalan tertutup atas issu-issu
public policy dalam domain consumers-marketplace : public safety, public education, dampak
marketing pada anak-anak dan lingkungan. Gerakan ini nyatanya memberikan bukti-bukti kuat
bahwa fase post purchase lebih penting dari pada fase pre-purchase dan telah dibuktikan melalui
riset-riset semisal customers satisfaction-dissatisfaction, complain behavior, compulsive buying.
Disamping itu, issu-issu terkait hak-hak konsumen telah merambah kepada segmen sosial
responsibility yang dipicu dan diperjelas dengan adanya penyalah gunaan credit card yang
dibawa oleh marketer kepada perilaku konsumsi yang menyimpang.
Marketing : Konsep, Filosofi dan Fungsi
Marketing concept memberikan preskripsi tunggal dalam menjalankan bisnis. Consumers harus
menjadi titik sentral bagi semua aktifitas bisnis (Dixon dan Deihn sebgaimana dikutip Robert
1996). Pemahaman tentang customers needs dan wants seharusnya menjadi titik awal dari semua
keputusan bisnis yang penting. Marketing konsep dimaksudkan untuk membantu marketer
dalam memanage dan mengkoordinasi pikirannya terkait dengan pertanyaan-pertanyaan spesifik
tentang marketing. Teknik-teknik spesifik ditujukan untuk mengidentifikasi dan memuaskan
customers needs. Konsep pemasaran meliputi apa yang disebut marketing mix dan marketing
tools yang biasanya digunakan manager secara kombinatif untuk menghadapi situasi marketing
secara spesifik. Dalam praktik, definisi adalah sangat penting bagi manager. Dengan definisi
manager mampu mengartikulasikan esensi marketing dalam setting organisasional. Menurut
Robert (1999) marketing consep adalah preskripsi managerial terkait dengan pencapaian entity’s
goals. Marketing konsep menyatakan bahwa entitas perusahaan mencapai tujuan-tujuan yang
telah ditetapkan dengan cara yang paling efisien melalui pemahaman partner pertukaran
potensialnya, meliputi pemenuhan kebutuhan dan keinginan mereka dengan cara memahami
biaya terkait dengan pemuasan keinginan dan kebutuhan customers. Atas dasar identifikasi itu
Jurnal Kajian Bisnis, Vol 18, No. 2, Mei – Agustus 2010; halaman 991-999. Page 994
kemudian manager mendesain, menghasilkan dan menawarkan produk berdasar pemahaman
konsumen.
Pengertian tentang konsep pemasaran seperti telah di jelaskan menuai beberapa kritik. Dalam
tengarai Robert (1996) terdapat empat kelemahan penerapan konsep pemasaran : (1) secara
historis fakta menunjukan marketing telah ditempatkan pada perspektif manajemen yang paling
penting dalam perusahaan (2) banyak contoh implementasi dengan hasil yang buruk, lebih-lebih
untuk konsumen. Hal demikian menunjukan bahwa ada pemisahan antara retorika konsep
pemasaran dan realitas praktik pemasaran (3) marketing konsep tidak cukup mengenali tanggung
jawab organisasi terhadap masyarakat, consumers dan human resources dalam perusahaan dan
(4) penekanan yang berlebih-lebihan pada marketing konsep dalam organisasi telah dijadikan
alasan bagi turunnya produktifitas , kompetitiveness dan kemampuan inovasi secara sukses.
Meskipun ada berbagai definisi marketing konsep, namun jelas ada sesuatu yang saling
berhubungan : producers dan consumers. Lebih jauh terdapat kecenderungan hubungan
pertukaran yang merupakan hal penting dalam memahami dasar konsep pemasaran.
Konsekuensinya adalah ada aksiom yang jelas tentang marketing yang memusatkan pada
pertukaran nilai antara producers dan consumers untuk tujuan memuaskan human needs dan
wants.
Implementasi marketing konsep dalam organisasi memerlukan perbaikan orientasi dan filosofi
managerial. Lebih-lebih di kebanyakan organisasi menunjukan pertentangan filosofi yang
memunculkan masalah dalam implementasi konsep. Filosofi pemasaran biasanya ditunjukan
sebagai satu diantara sejumlah filosofi managerial yang secara terus menerus bersaing untuk
kejelasannya di dalam organisasi. Filosofi pemasaran biasanya secara langsung difokuskan pada
tiga issu kunci : customers orientation, integrated organizational effort dan profit direction.
Customers orientation diturunkan dari pengetahuan yang dihasilkan dari customers melalui
pemahaman market wants and needs, kemudian mengambil langkah penting untuk merespon
permintaan terhadap demand target custoners. Integrated organizational effort adalah total
organizational unity dalam upayanya untuk mencapai tujuan-tujuan marketing secara sukses.
Profit direction adalah upaya untuk memfokuskan perhatian dari organisasi pada pencapaian
profit dari pada sekedar volume penjualan. Filosofi societal marketing diperlukan guna
menyeimbangkan antara ketiga pertimbangan : company profit, consumers wants satisfaction dan
public interest. Ketersediaan ketiga policy ini berarti menemukan kesimbangan-equilibrium,
sehingga organisasi dikatakan telah mengadopsi dan mengimplementasikan konsep pemasaran
sosial. Meski priskripsi normarif dari filososfi pemasaran menjadi subjek kritik, namun
kebanyakan kontroversi sekitar marketing ditujukan pada praktik nyata dari pada terjadinya
“mal-praktik” dalam marketing.
Robert (1996) menyatakan bahwa marketing adalah fungsi organisasional. Implementasi konsep
pemasaran tergantung pada “host variables” seperti struktur organisasi dan demand operasi
Jurnal Kajian Bisnis, Vol 18, No. 2, Mei – Agustus 2010; halaman 991-999. Page 995
internal. Berdasarkan penelitian marketing konsep telah diadopsi dan dalam beberapa hal
tanggung jawab marketing meluas sesuai dengan posisi status yang dikenali dalam organisasi.
Marketing tidak mempunyai teori untuk pertahanan pada basis konsistensi logika, kekuatan
experimental dan kecukupan philosophical grounding. Pengembangan teori sangat terbatas
sehingga Bartell mengatakan tidak ada krisis dalam marketing. Dua dekade terakhir telah
menjadi saksi dari sejumlah konstribusi dalam bidang pemasaran dimana sekarang membentuk
basis teori marketing kontemporer.
Perkembangan Teori Pemasaran dan paradigm penelitian
Peran ilmu adalah untuk mengubah apa yang dipercaya menjadi benar (doxa) ke dalam apa yang
diketahui menjadi benar (episteme). Pandangan filosofi kotemporer cenderung menganggap
bahwa pengetahuan (knowledge) adalah tidak infallible (tidak mungkin salah), tetapi cenderung
menjadi kondisional. Pendekatan dalam pengembangan teori (theory building) dapat dijelaskan
melalui proses pemodelan secara teoritikal. Robert (1996) mengungkap bahwa model teoritikal
dimulai dengan (1) unit yang mempunyai interaksi menetapkan perhatian pada subject matter,
model kemudian menjelaskan cara dimana unit-unit ini saling berinterksi sebagi (2) hukum
interaksi. Sepanjang model teoritikal secara general dibatasi porsi-porsi keduniaan, dibatasi
sebagai (3) batasan-batasan yang harus ditetapkan dalam mana teori diperkirakan menjadi
pegangan. Kebanyakan model teoritikal diasumsikan dapat merepresentasikan porsi yang
kompleks tentang dunia nyata. Bagian dari kompleksitas dibuka melalui fakta (4) system
menjelaskan setiap unit yang berinteraksi dengan unit lain dengan cara yang berbeda. Teoritisi
kemudian pada posisi untuk membuat konklusi menunjukan logika dan deduksi senyatanya
tentang model dalam sebuah operasi atau (5) proposisi dari model. Setiap term dalam proposisi
harus diuji dikonversikan kedalam (6) indicator empiric yang pada alur selanjutnya
mengkonversikan indicator empiris kedalam statemen proposisi untuk menghasilkan testable (7)
hypothesis.
Theory building dapat dipertimbangkan menjadi sebuah disiplin, systematic approach dan
rigorous approach untuk memformulasikan dan mpengujian model pengetahuan. Tujuh tahap
sebagaimana dijelaskan diatas dipercaya menjadi generic framework dalam theory building yang
berlaku bukan hanya pada disiplin ilmu sosial.
Hunt (1991) menyatakan bahwa fungsi teori adalah secara sistematik dihubungkan sejumlah
statement, termasuk bebeberapa law like generalization dan empirical testability. Tujuan teori
adalah untuk meningkatkan pemahaman ilmiah melalui struktur sistematis yang mampu
menjelaskan dan memprediksi fenomena. Marketing theory mempunyai tiga komponen yang
“systematically related theme, law like generalization dan empirical testability.”
Jurnal Kajian Bisnis, Vol 18, No. 2, Mei – Agustus 2010; halaman 991-999. Page 996
Apa yang dikemukakan Robert (1996) maupun Hunt (1991) tentang bulding theory
keberlakukannya bukan saja untuk ilmu-ilmu sosial. Dalam disiplin lain model teory building juga
sangat dimungkinkan. Paradigma demikian lebih banyak dikenal dalam paradigm positivism, yang
secara nyata telah mendominasi proses pengembangan theory dalam kurun waktu yang sangat
panjang, bahkan sampai sekarang. Terlepas dari berbagai kritikan, paradigma ini nyatanya telah
memberikan kemajuan-kemajuan dalam bidang teori pemasaran, termasuk penelitian-penelitian
dalam perilaku konsumen dan dampak-dampak yang ditimbulkan dari praktik pemasaran.
Dalam perkembangan berikutnya sebagian para pakar pemasaran menyatakan pengembangan
teori pemasaran telah gagal karena terlalu memenuhi perspektif positivism (Anderson dalam
Brown, 1996). Sebagai gantinya relativism dianggap sebagai pendekatan yang tepat. Dalam
relativism tidak ada standart untuk menilai knowledge claim, komunitas yang berbeda akan
meng-konstruk-kan pandangan dunia secara berbeda. Science adalah proses sosial dimana
consensus akan menjembatani knowledge claim. Namun dalam perjalanannya, meskipun
pengembangan teori secara kualitataif sebagaimana yang di klaim relativisme akan lebih banyak
memberikan kontribusi dalam pengembangan teori pemasaran, namun seiring berjalannya waktu
masih banyak pakar pemasaran yang mengadopsi paradigma positivism ini.
Terkait dengan sedikitnya pengembangan teori pemasaran secara kualitatif Hunt (1994)
memberikan justifikasi dengan menyajikan argument yang dinggap benar bagi para penganut
aliran relativism kualitatif. (1) semua disiplin mempunyai paradigma, karena pardigma adalah
incommensurable, objective choice antar paradigm adalah tidak mungkin. Tentang asumsi ini
Hunt menyatakan filsafat ilmu adalah paradigm yang berisi : a knowldege contents (teori dan
konsep), methodology (prosedur bagaimana knowledge dihasilkan) dan epistimologi (sejumlah
criteria untuk mengevalusai knowledge claim). Ketiganya merupakan kesatuan dan
interdependen, sehingga tidak ada interpretasi paradigm adalah incommensurable. Paradigma
yang mempunyai klaim bertentangan tidak dapat dijadikan objective ground (2) hanya ada satu
paradigm dominan dalam marketing. Sejarah ilmu ditandai / dicirikan dengan ko-eksisten dari
sejumlah paradigm yang bersaing dengan tidak ada menguasai bidang dengan cara yang persisten
dan terus menerus dimana asumsi-asumsi dasar dari setiap paradigma dibantah oleh masarakat
ilmiah. Marketing secara historis adalah disiplin yang terbuka dalam meminjam metode, teori dan
konsep dari berbagai sumber. Dengan demikian dasar anggapan ini adalah salah. (3) paradigm
dominan dalam marketing adalah positivism. Positivism bukan berarti metode kuantitaif.
Positivism bukan berarti scientific realism. Positivism bukan berarti mengasumsikan teori harus
deterministic. Yang tepat adalah positivism adalah formal logic sebagaimana metodologi untuk
mempelajari iImu, menolak pandangan scientific realism yang menyatakan bahwa konsep yang
unobservable dapat menjadi riil, percaya bahwa science menghindari konsep metafisik dan
mengandalkan secara eksklusif observable, memandang “cause” adalah observable dan
mempercayai bahwa sepanjang science ,membatasi diri knowledge with certainty, inductive
reasoning tidak diperkenankan. Dengan demikian dasar anggapan ketiga ini dipandang salah. (4)
Jurnal Kajian Bisnis, Vol 18, No. 2, Mei – Agustus 2010; halaman 991-999. Page 997
dominasi paradigma dalam marketing didiskreditkan. Dalam hal ini Levin sebagai mana dikutip
Hunt mengungkapkan bahwa logical positivism adalah “the most self-critical movement” dalam
sejarah ilmu. Setiap keberatan dalam positivism diusulkan oleh positivism atau terkait dengan
pekerjaan atau problem yang ditetapkan positivism, semua dalam semangat ilmiah yaitu mencari
kebenaran. Dengan demikian dasar anggapan ini adalah misleading. (5) dengan kejatuhan
positivism dalam filsafat ilmu berkembang relativism, constructiuonism dan subvjectivism. Dalam
argumennya Hunt menyatakan relativism adalah art of philosophy. Semua bentuk asli relativism
mempunyai dua theses : (i) relativity theses dimana sesuatu adalah relatif terhadap yang lain (ii)
non-evaluation theses, bahwa tidak ada objektifitas standar untuk mengevalusi berbagai macam
“something else”. Relativism dapat terjadi dalam lima bentuk : relativism budaya, relativism etnik,
relativism rationalitas, relativism conceptual framework dan constructionism.
Dengan alasan-alasan yang ditunjukkan, Hunt (1994) memberikan jawab mengapa realitivism
kurang diminati, karena relativism tidak memberikan pendirian (stance) kritis terhadap
knowledge claim bahwa terdapat kesalahan (fallible). Relativism mensiratkan nihilism –percaya
bahwa tidak ada knowledge yang asli tentang sesuatu. Relativism percaya bahwa “know that no
one else can ever know anything”. Relativism tidak mempunyai toleran terhadap ide-ide dari luar
dan budaya yang lain berarti tidak ada perbedaan terhadapma toleransi, tidak sensitive terhadap
etika. Akhirnya subjectivism tidak menghalangi ilmu untuk bekerja dengan meminimalkan bias.
Critical marketing theory
Brownlie dan Saren (1994) menyatakan bahwa marketing knowledge harus selalu mempunyai
outcome untuk manager sehingga teori dan praktik pemasaran dapat dikembangkan tanpa
menjadi sensitive secara konteks (sosial, historis dan politik) sehingga masalah-masalah
pengembangan profesi dapat dipahami tanpa referensi kerangka institusional yang lebih luas.
Pengetahuan dibangun, dan klaim pengetahuan dilegimasi sehingga teknologi pemasaran dapat
dimanfaatkan melalui proses yang melibatkan rasionalitas secara ilmiah. Penerapan pengetahuan
secara efisien dan secara politis netral, dengan logika positivism secara terus menerus berlanjut
dalam menginformasikan empirical work sehingga disiplin aplikasi memfokuskan pada
pengukuran dan fakta secara terus menerus dibakukan melalui heavy toolkits teknologi
pemasaran yang canggih. Lebih lanjut Brownlie dan Saren (1994) menyatakan bahwa meluaskan
range masalah yang memungkinkan diterapkan metodologi pluralism yang toleran dalam
marketing riset sehingga terdapat kecenderungan merefleksikan basis marketing knowledge dan
interaksi sosial untuk mencari pemahaman akan adanya keraguan potologi metodologi akan
memberikan dasar kritik dalam marketing.
Brownlie dan Saren (1994) menyebutkan bahwa beberapa kenyataan yang menyebabkan
keraguan dalam pemikiran pemasaran adalah (1) beberapa akademisi marketing terlalu sibuk
melakukan dan terlibat dalam empirical work dengan tujuan agar menjadi lebih dekat dengan
Jurnal Kajian Bisnis, Vol 18, No. 2, Mei – Agustus 2010; halaman 991-999. Page 998
komunitas managerial yang secara teoritikal subur bagi ide-ide baru menjadi tidak menerima lagi
ide-ide baru. (2) kesuburannya menjadi semakin menipis dan meluas ke seluruh range aplikasi
tanpa banyak apresiasi bagi keterbatasan ide-ide pemasaran dan tools pada konteks dimana
mereka tidak memahami asal muasalnya (3) dengan menunjukan hasil empirical work dalam
bentuk kuantitatif editorial policy, journal marketing terkemuka menerapkan sejumlah norma
kepada akademisi marketing yang sebenarnya berbahaya bagi kualitas openness, toleransi dan
kritik yang sebenarnya memfasilitasi inovasi dan cara berfikir baru (a new way of thingking).
Retorika marketing secara luas digunakan untuk meligitimasi perubahan organisasional utama
dalam konteks kekinian.
Burton (2001) mengungkapkan bahwa pengembangan critical theory tahun 1970-an adalah
respon kritik marketing dari individu luar displin. Selama tahun 1980-an - 1990-an minat pada
critical theory terjadi sebagai respon terhadap perbedaan keadaan khususnya fakta dimana
ilmuan sosial diluar disiplin terlibat peminatannya pada konsumsi, pasar dan issu-issu budaya
konsumen. Basis yang luas dari literatur-literatur ilmu sosial yang bersifat teoritis dan kritis dan
pengembangan sejumlah arah yang berbeda termasuk konsumsi kolektif, konsumsi individu
terkait dengan post-modernnism dan kelompok sosial berbasis konsumsi. Sejumlah kecil
akademisi marketing juga mulai memikirkan kembali tentang penggunaan kerangka teori ilmu
sosial dalam marketing. Selama tahun 1980-an Amerikanisasi pemikiran marketing mulai
dipertanyakan oleh kelompok US critical theorist. Dholakia sebagaimana dikutip oleh Burton
(2001) menyatakan dominasi teori pemasaran oleh Amerika memunculkan sejumlah efek yang
kurang menguntungkan seperti konsep pemasaran adalah produk dari konteks system industry di
Amerika. Hasilnya validitas konsep pemasaran menjadi terbatas dalam perspektif waktu dan
tempat.
Tahun 1990-an, akademisi Amerika Serikat mulai mengadakan dialog tentang bagaimana critical
theory mulai di terima di sekolah bisnis Amerika Serikat. Meanstream budaya Amerika
mempromosikan etos riset management yang berfokus pada “science of administration” dan
tujuan pengajaran management adalah melatih manager masa depan dan bukan untuk mengkritik
sistem dan tata nilai yang ada saat ini (Burton, 2001).
Pengembangan teori pemasaran seharusnya ditempatkan pada konteks historis sehingga dapat
menunjukan bahwa concern tentang pengambangan teori dalam marketing telah menjadi issu
diantara para akademisi selama lebih dari setengah abad. Semakin kuat penekanan pada teknik
dan konsep yang diperlukan dalam situasi-situasi praktis, semakin memarjinalkan pentingnya
teori.
Atas berbagai kecenderungan yang diungkap, Brownlie dan Saren (1994) memberikan anjuran-
anjuran : (1) perlu mengadakan more in-depth ethnographic studies dalam apa yang diantara para
marketer berbeda konteks dengan yang senyatanya terkait dengan perhatian dan pemahaman
para manager terhadap marketing actions yang perlu diambil (2) perlu dipertimbangkan
Jurnal Kajian Bisnis, Vol 18, No. 2, Mei – Agustus 2010; halaman 991-999. Page 999
marketing pada lebih banyak perspektif comparatif terkait dengan disiplin dan profesi lain, di
negara-negara lain dan dalam kurun waktu yang berbeda-beda. (3) perlu mengajak dan
mengembangkan dengan cara lebih reflektif, interdisipliner dan pluralistic work dalam
pemasaran.
Karakteristik Critical Theory
Kesulitan dalam mendifiniskan critical theory disebabkan oleh banyaknya fakta yang tidak saja
berada dalam kesatuan teori tunggal (single unified theory). Elemen-elemen penting dalam critical
theory berisi tiga inter-related elemen : penjelasan basis idiologi dari relasi sosial,
mempertanyakan metodologi positivism apakah berada pada relasi dan sifat alami dari sebuah
realitas, knowledge dan eksplanasi; dan pentingnya refleksi diri para investigator akan
representasi basis linguistic. Critical theory menolak scientific, pendekatan-pendekatan
fundasional pada human nature, dan lebih menyukai pendekatan interpretive terhadap human
behavior yang perlu dikontektualkan. Dalam irama ini maka critical theory adalah teori
normative, teori tentang nilai dan focus pada apa yang seharusnya dari pada menekankan secara
eksklusif pada “here and now”. Calhoun sebagaimana di kutip Burton (2001) menyatakan bahwa
critical theory menghasilkan kritik dalam empat bentuk : (1) keterlibatan kritik dengan theorist
contemporary social world, mengenali bahwa state of affair tidak hilang di semua kemungkinan
dan menawarkan implikasi positif pada social actions (2) memperhitungkan kritik berdasar
kondisi historis dan cultural (sosial dan personal) dimana teoritisi mempunyai aktivitas
intelektual (3) pengujian secara terus menerus pada kritiknya dengan kategori konstruktif dan
kerangka konseptual dari pemahaman teoritisi termasuk konstruksi historical dari kerangka
tersebut. (4) meng-konfrontasikan kritik dengan pekerjaan lain dari penjelasan sosial yang tidak
hanya mantap pada poin “good and bad” tetapi menunjukan alasan dibalik kekosongan dan
kesalah pahaman serta menunjukan kapasitas pendalamannya pada fondasi yang lebih kuat.
Sepanjang hanya terdapat kecil minat terhadap critical theory dari para akademisi marketing
maka tidak mengejutkan bahwa hanya terdapat beberapa operasionaliosasi konsep dalam
konteks pemasaran. Gerakan dari traditional marketing theory ke anti-marketing theory (critical
theory) atau ke anti-marketing theory (post-modernism) memungkinkan kita secara kuat
menggantikan para pengantar yang salah atas dalil positivism dasar dan logical empiricism though.
Critical theorist mempromosikan kekuatan pro-marketing theory tetapi teori tidak cukup
merefleksikan konteks sosial, historis dan politik dimana marketing discourse dan praktik terjadi
(Burton, 2001)
Post-modernism dalam marketing
Perspektif post-modernism dalam teori pemasaran bukan hanya menghindar dari evolusi
konseptualisasi, tetapi juga mempertanyakan sejumlah generalisasi. Sikap penghindaran ini
Jurnal Kajian Bisnis, Vol 18, No. 2, Mei – Agustus 2010; halaman 991-999. Page 9910
merupakan bentuk ketidak percayaan terhadap metanarative, sehingga memunculkan keraguan.
Maka keraguan atas sejumlah teori pemasaran adalah kecenderungan reaksi dari post-modernist
atas capaian dalam pengembangan teori-teori pemasaran. Namun tidak setiap capaian konsep
yang telah diterima masyarakat ilmiah dihapuskan begitu saja oleh post-modrnism. Nyatanya
model-model berdasar siklis seperti product life cycle, wheel of retailing, fashion cycle , inovasi
difusi dan adopsi adalah konsep yang terbebas dari perhatian post-modernity. Atas konsep-
konsep itu, post modernism hanya menegaskan akan adanya keterbatasan-keterbatasan dalam
model dan teori marketing. Meskipun post modernism memberikan kelonggaran, namun juga
menjadi pengingat dan perhatian bagi konsep-konsep yang akan datang akan keterbatasan-
keterbatasannyan. Semuanya masih akan dilihat apakah itu sebuah revolusi post modern
marketing ataukah pergeseran paradigma yang bakal terjadi. Pikiran post-modern cenderung
mengkritik segala sesuatu dan hampir tidak ada yang dipropose. Mengkritik dan mempertanyakan
adalah pekerjaan dari aliran pemikiran post-modern, dan distruction adalah satu-satunya
konstruksi yang dikenalinya. Hal demikian sangat berat untuk disebarkan dan dapat diterima
secara lebih luas. Implikasi yang paling fundamental dari kondisi postmodern adalah proses yang
tidak dapat dihindarkan dari critical self-examination (pengujian diri secara kritis) yang menjadi
beban bagi disiplin marketing. Suka atau tidak postmodern memerlukan jawaban atas
pertanyaan-pertanyaan terkait : jika para filosof modernist marketing adalah kuat dan aman,
mengapa aliran pemikiran marketing terfragmentasi atau terpecah-pecah. Mengapa terlalu
banyak marketing panachea di sebarkan. Mengapa konsep marketing tidak dipertanyakan dimana
kesuksesan praktik marketing diteriakan sebagai contoh dari prinsip-prinsip dan nyatanya
menimbulkan bencana pasar karena gagal sebagai sebuah pendekatan yang tepat. Jika diperlukan
marketing science adalah segala-galanya, bagaimana ilmu sosial yang lebih tua berada dalam
ketidak pastian dalam fundasi epistimologis. Apakah marketing knowledge lebih baik dan lebih
aman. Dalam kata akhirnya Brown (1993) menyatakan post-modernism memaksa modern
marketing melakukan pengujian ulang atas capaian-capaian teoritikalnya, mempertanyakan
asumsi-asumsi epistiomologisnya, mengevaluasi ketepatan prosedur-prosedur metodologikalnya
dan yang paling penting adalah menjustifikasi keberlanjutan eksistensinya.
Konklusi
Implementasi marketing konsep memerlukan perbaikan orientasi dan filosofi managerial. Pada
banyak organisasi penerapan konsep menunjukan adanya pertentangan filosofi sehingga
memunculkan masalah dalam implementasi konsep. Filosofi pemasaran biasanya diekspresikan
dalam satu diantara sejumlah filosofi managerial dan secara terus menerus bersaing mendapatkan
kejelasannya di dalam organisasi. Dengan jelas dan lugas filosofi pemasaran difokuskan pada tiga
issu kunci : customers orientation, integrated organizational effort dan profit direction.
Jurnal Kajian Bisnis, Vol 18, No. 2, Mei – Agustus 2010; halaman 991-999. Page 9911
Critical theory menolak scientific dan lebih kuat kecenderungannya pada pendekatan interpretive
terhadap human behavior yang selalu sesuai dengan konteksnya. Dalam perspektif ini maka
critical theory adalah teori normative, teori tentang nilai dengan focus pada apa yang seharusnya
dari pada menekankan pada “here and now”.
Aliran post-modernism menekankan pada kritik dan mempertanyakan realitas sebuah fenomena
pada tataran praktik, sehingga aliran pemikiran post-modern ini hanya mengenal “distruction”
sebagai satu-satunya konstruksi yang dikenali. Implikasinya pada teori pemasaran yang paling
fundamental adalah proses tidak dapat dihindarkan dari critical self-examination (pengujian diri
secara kritis) menjadi beban bagi bidang pemasaran. Mensikapi hal demikian, post-modernism
dapat dijadikan pemicu dalam modern marketing theory untuk selalu melakukan pengujian ulang
atas capaian-capaian teoritikalnya, mempertanyakan asumsi-asumsi epistiomologisnya,
mengevaluasi ketepatan prosedur-prosedur metodologikalnya dan yang paling penting adalah
menjustifikasi keberlanjutan eksistensinya.
REFERENSI
Brownlie, D., Saren, M., Whittington, R. and Wensley, R., (1994) ”The New Marketing Myopia: Critical Perspectives on Theory and Research in Marketing”, European Journal of Marketing Special Issue, 28, 3.
Hunt, Shelby D. (1994), “On Rethinking Marketing: Our Discipline, Our Practice, Our Methods”, European Journal of Marketing Special Issue, 28, 3.
Brown, S., (1993), “Postmodern Marketing?”, European Journal of Marketing, 27 (4): 1 - 34
Morgan, Robert E. (1996), “Conceptual Foundations of Marketing and Marketing Theory”, Management Decision, 34 (10).
Nataraajan, R. and Bagozzi, R. P. (1999), “The Year 2000: Looking Back”, Psychology & Marketing 16 (8)
Grant, Colin (1999), “Theodore Levitt”s Marketing Myopia”, Journal of Business Ethics, 18 (4)
Burton, Dawn (2001), “Critical Marketing Theory: The Blueprint”, European Journal of Marketing, 35, 5/6.
Brown, Stephen (2002), “Vote, Vote, Vote for Philip Kotler”, European Journal of Marketing Special, 36, 3.
Brown, Stephen (1995), “Life Begins at 40? Further thoughts on marketing’s “mid-life crisis”, Marketing Intelligence & Planning, 13 (1).
Steiner, Robert L. (1976), “The Prejudice against Marketing”, Journal of Marketing, 40 (July).
Jurnal Kajian Bisnis, Vol 18, No. 2, Mei – Agustus 2010; halaman 991-999. Page 9912
top related