analisis substansi dan implementasi kebijakan … filepersoalan kemiskinan masyarakat desa hutan dan...
TRANSCRIPT
ANALISIS SUBSTANSI DAN IMPLEMENTASI KEBIJAKAN
PENGELOLAAN HUTAN DESA DI KABUPATEN
KUTAI BARAT DAN KUTAI TIMUR
Suprianto1, Mustofa Agung Sardjono
2 dan Soeyitno Soedirman
3 1GIZ Forclime Samarinda.
2Laboratorium Politik, Ekonomi dan Sosial Kehutanan Fahutan
Unmul, Samarinda. 3 Dewan Kehutanan Daerah Kaltim, Samarinda
ABSTRACT. Analysis of Substance and Implementation of Village
Forest Management Policy in West Kutai and East Kutai Districts. Village Forest was seen as a very appropriate approach to overcome the problem
of Community Based Forest Management (CBFM) with some reasons such as :
1) The institution involves many people/communities/villages; 2) A clear social
entities unlike customary claims; 3) Can be compensated as customary claims.
Therefore the opportunities and challenges need to be identified in the
implementation of Village Forest and technical synthesis in order to accelerate
the implementation legality of Village Forest scheme as the alternative solutions
and strategies to solve the problems so that any expectations of the Village
Forest existence can be realized. Slow development of the Village Forest
implementation was indicated not only from the lack realization of establishment
but also from the absence of implementation regulation both from local regulation
and the regulation from the Head of Province/District Office, from the
observation in East Kalimantan in two districts, West Kutai and East Kutai
District. Although at West Kutai District and East Kutai District were found some
initiatives of Village Forest, yet it was more into program/project base activities
that was not or has not received policy support (such as master plan or strategic
plan) moreover the local regulation so to speak, the future development of Village
Forest in district level remains.
Kata kunci: hutan desa, isu strategis, Kutai Barat, Kutai Timur
Orientasi sosial atau kemasyarakatan kebijakan kehutanan khususnya di luar
pulau Jawa sudah dimulai sejak dekade tahun 1991 dengan dikeluarkannya
kebijakan tentang Pembinaan Masyarakat Desa Hutan (PMDH). Pada awalnya
PMDH disebut sebagai Bina Desa Hutan berdasarkan SK Menteri Kehutanan No.
691/1991 sebagai upaya untuk membantu meningkatkan kesejahteraan masyarakat
yang berada di dalam dan di sekitar hutan yang diperbaiki melalui SK Menteri
Kehutanan no. 69/1995 jo SK Menhut No. 523/1997 (Sardjono, 2004a).
Bahkan tahun 1995 diterbitkan kebijakan mengenai Hutan
Kemasyarakatan/HKm (SK Menhut No. 622 Tahun 1995) yang juga dimaksudkan
untuk pemberdayaan masyarakat sesuai dengan fungsi pokok hutannya (Hutan
Lindung dan Hutan Produksi yang tidak dibebani hak). Kebijakan HKm ini hingga
sekarang masih diberlakukan, bahkan terus mengalami pembaruan-pembaruan
dalam pelaksanaannya. Tetapi banyak pihak menyepakati bahwa orientasi
kemasyarakatan semakin mewarnai kebijakan kehutanan sejak reformasi politik
tahun 1998 dan diterbitnya Undang-undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang
Kehutanan, karena sejak saat itu berbagai skema pengelolaan hutan berbasis
80
JURNAL KEHUTANAN TROPIKA HUMIDA 5 (1), APRIL 2012 81
masyarakat mulai dikembangkan atau diperkuat. Selain HKm, juga diterbitkan
tentang Hutan Tanaman Rakyat (HTR) dan Hutan Desa (HD), sementara hutan adat
yang juga diamanahkan dalam Undang-undang Kehutanan No. 41 Tahun 1999
meskipun sudah diwacanakan sejak tahun 2003 tetapi hingga saat ini kebijakan
definitifnya belum ada (Sardjono, 2004b; 2011; Sardjono dan Inoue, 2007; Silalahi
dan Santosa, 2011).
Saat ini dinamika community forestry kembali bangkit menggeliat dengan
terbitnya Peraturan Pemerintah No. 6 Tahun 2007 jo Peraturan Pemerintah No. 3
tahun 2008 tentang Tata Hutan dan Penyusunan Rencana Pengelolaan Serta
Pemanfaatan Hutan, salah satu skemanya adalah Hutan Desa yang kemudian secara
khusus tertuang dalam Permenhut P.49/Menhut-II/2008 jo P.14/Menhut-II/2010
tentang Hutan Desa yang diharapkan menjadi salah satu alternatif solusi terhadap
persoalan kemiskinan masyarakat desa hutan dan kerusakan sumberdaya hutan
(Anonim, 2008a). Berkaitan dengan Hutan Desa, meskipun kebijakan atau peraturan
baru dikeluarkan tahun 2008 dan kemudian direvisi tahun 2010. Tetapi banyak
inisiatif yang sudah dikembangkan di beberapa daerah, contohnya inisiatif yang
dikembangkan Yayasan Damar di Kulonprogo, Daerah Istimewa Yogyakarta,
dengan latar belakang minimnya pendapatan asli warga desa. Hutan Desa juga
dikembangkan oleh Perum Perhutani, bersamaan dengan digulirkannya program
PHBM (Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat), Perum Perhutani merumuskan
apa yang dinamakannya sebagai “wengkon”.
Hutan Desa dipandang sebagai pendekatan sangat jitu untuk mengatasi
persoalan Pengelolaan Hutan Berbasis Masyarakat (PHBM) dengan beberapa alasan
yaitu: 1) Bentuknya yang melibatkan banyak orang/komunitas/desa; 2) Entitas sosial
jelas dan tidak seperti klaim adat dan 3) Kemungkinan dapat digunakan sebagai
konpensasi klaim Hutan Adat. Oleh karenanya dalam konteks Kalimantan Timur
yang selama ini dikenal sebagai barometer kehutanan nasional perlu
mengidentifikasi peluang dan tantangan dalam implementasi Hutan Desa. Di
samping itu perlu dilakukan sintesis teknis dalam rangka mempercepat legalitas
implementasi skema Hutan Desa sehingga dapat memberikan alternatif solusi dan
strategi yang dapat tepat menjawab persoalan-persoalan yang ditemukan agar
harapan-harapan terhadap keberadaan Hutan Desa dapat terwujud. Dalam konteks
Hutan Desa di Kaltim, wilayah desanya masih banyak dipengaruhi adat/tradisi.
Terdapat banyak batas desa yang koordinatnya belum jelas dan dapat dikatakan
hampir seluruh kawasan hutan terbagi habis oleh IUPHHK-HA dan IUPHHK-HTI.
Di sisi lain juga ada ancaman dari ekspansi sektor pertambangan batu bara dan
perkebunan sawit, sehingga belum dirumuskan sintesis teknis dalam proses
percepatan perizinan berdasarkan potensi dan tanggapan masing-masing pemerintah
daerah (identifikasi komitmen percepatan dalam pemetaan lokasi, fasilitas
kelembagaan, fasilitas aturan dan proses perizinan dan pendampingan implementasi
kegiatan) (Wiyono dan Santoso, 2009).
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui dan menganalisis kesesuaian antara
substansi kebijakan Hutan Desa dan kondisi aktual lokal; mengidentifikasi aspek-
aspek internal dan eksternal masyarakat dalam rangka implementasi Hutan Desa dan
memformulasikan alternatif-alternatif strategi implementasi Hutan Desa.
82 Suprianto dkk. (2012). Analisis Substansi dan Implementasi Kebijakan
METODE PENELITIAN
Penelitian dilaksanakan di Kabupaten Kutai Barat dan Kabupaten Kutai Timur
Provinsi Kalimantan Timur. Penelitian memakan waktu selama 6 bulan dari bulan
April sampai dengan September 2011. Untuk kajian kebijakan dititikberatkan
kepada pengambilan data di salah satu desa pada masing-masing kabupaten tersebut.
Sebagai lokasi penelitian di Kabupaten Kutai Barat dipilih Kampung Temula,
Kecamatan Nyuatan, sementara di Kabupaten Kutai Timur dipilih Desa Mekar Baru,
Kecamatan Busang, di mana masing-masing desa/kampung tersebut memiliki
karakteristik masing-masing. Metode penelitian bersifat eksploratif dengan
mengkombinasikan metode telaah dokumentasi dari berbagai sumber data sekunder
dan metode langsung yaitu pengumpulan data primer di lapangan dengan teknik
wawancara diskusi kelompok terfokus (FGD) dan observasi lapangan.
Untuk tujuan penelitian pertama dilakukan dengan kombinasi ’Analisis Isi’
(Content Analysis) terhadap substansi peraturan perundangan terkait Hutan Desa
dan ‘Analisis Kesenjangan’ (Gap Analysis) dengan identifikasi antara kondisi
seharusnya ‘das sollen’ (sesuai substansi kebijakan) dan kenyataan ‘das sein’ (realita
lapangan) dalam implementasi Hutan Desa. Untuk tujuan penelitian kedua dilakukan
dengan analisis deskriftif kualitatif dengan mengidentifikasi dan
menginterpretasikan data dan informasi dari informan serta pengamatan lapangan
dalam bentuk naratif. Untuk tujuan penelitian ketiga digunakan tahapan Analisis
Kekepan (Kekuatan = Strengths; Kelemahan = Weaknesses; Peluang =
Opportunities dan Ancaman = Threats/SWOT) yang bersifat kualitatif.
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Substansi Peraturan Kebijakan Hutan Dan Implikasi Para Pihak
Geliat dan kejelasan Hutan Desa semakin tampak ketika pemerintah
mengeluarkan PP No. 06/2007 Jo No. 03/2008. Dalam peraturan ini disebutkan
bahwa ada tiga skema pola pemberdayaan masyarakat sekitar yang dapat dilakukan,
yaitu Hutan Desa, Hutan Kemasyarakatan dan Pola Kemitraan. Mengacu pada PP
No. 06/2007, Hutan Desa ditafsirkan sebagai kawasan hutan negara yang belum
dibebani hak atau izin, dikelola oleh desa untuk kesejahteraan masyarakat desa.
Hutan Desa bisa diberikan pada semua kawasan kecuali Cagar Alam dan zona inti
Taman Nasional. Subjek memegang ijin pengelolaan selama kurun waktu tertentu.
Kini, PP No. 06/2007 diterjemahkan dalam format kebijakan berupa Permenhut
P.49/2008 tentang Hutan Desa (Wiyono dan Santoso, 2009). Walaupun demikian
dalam peraturan-peraturan berikutnya secara lebih jauh ditegaskan bahwa Hutan
Desa hanya dimungkinkan pada Hutan Produksi (yang tidak dibebani hak) dan
Hutan Lindung saja.
Beberapa kebijakan yang menjadi pedoman pelaksanaan Hutan Desa yaitu:
a. Permenhut No. P.49/Menhut–II/2008 Jo. No. P.14/Menhut–II/2010 tentang
Hutan Desa.
b. Perdirjen No. P.11/V-SET/2010 tentang Tata Cara Penyelenggaraan Hutan Desa
c. Perdirjen RLPS No. P.01/V-SET/2010 Tentang Pedoman Identifikasi dan
Inventarisasi Areal Kerja HKm/HD.
JURNAL KEHUTANAN TROPIKA HUMIDA 5 (1), APRIL 2012 83
d. Perdirjen Planologi Kehutanan No. P.05/VII-WP3H/2010 tanggal 30 November
2010 tentang Petunjuk Teknis Pemetaan Pencadangan Hutan Tanaman Rakyat,
Penetapan HKm dan Hutan Desa.
Permenhut No. P.49/Menhut–II/ 2008 Jo. No. P.14/Menhut – II/2010 tentang
Hutan Desa secara ringkas dapat disebutkan butir-butirnya sebagai berikut:
a. Hutan Desa ditetapkan oleh Menteri Kehutanan di Hutan Lindung atau Hutan
Produksi atas usulan Bupati/Walikota berdasarkan permohonan Kepala Desa
(Pasal 5, Pasal 6, Pasal 13 Ayat 1).
b. Hak Pengelolaan Hutan Desa diberikan kepada Lembaga Desa yang dibentuk
oleh masyarakat desa melalui Peraturan Desa (Pasal 12 Ayat 13).
c. Hak Pengelolaan Hutan Desa bukan merupakan hak kepemilikan atas kawasan
hutan, tidak mengubah status dan fungsi kawasan hutan serta dilarang
memindahtangankan atau mengagunkan (Pasal 11 Ayat 1).
d. Hak Pengelolaan Hutan Desa dilarang digunakan untuk kepentingan lain di luar
rencana pengelolaan hutan dan harus dikelola berdasarkan kaedah-kaedah
pengelolaan hutan lestari. (Pasal 11 Ayat 2).
e. Pengelolaan Hutan Desa meliputi kegiatan tata areal, penyusunan rencana
pengelolaan, pemanfaatan, rehabilitasi dan perlindungan hutan (Pasal 34 Ayat 1).
f. Pada Hutan Produksi, dapat dilakukan pemanfaatan kayu melalui Ijin Usaha
Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu yang diberikan oleh Menteri Kehutanan (Pasal
18 ayat 2, ayat 3, Pasal 21, Pasal 23 butir b) (Anonim, 2008b).
Sebagaimana dikemukakan terdahulu, Hutan Desa dapat diberikan pada Hutan
Lindung dan Hutan Produksi, utamanya pada areal yang belum dibebani hak
pengelolaan atau izin pemanfaatan. Hutan Desa diberikan pada wilayah administrasi
desa yang bersangkutan, dengan hak pengelolaan diberikan kepada lembaga desa
selama 35 tahun dan dapat diperpanjang berdasarkan evaluasi yang dilakukan paling
lama setiap 5 tahun sekali. Pemanfaatan Hutan Desa pada Hutan Lindung dan Hutan
Produksi tergambar dalam Tabel 1.
Tabel 1. Identifikasi Pemanfaatan Hutan Desa
Pada kawasan Hutan Lindung Pada kawasan Hutan Produksi
1. Pemanfaatan kawasan melalui kegiatan usaha:
a. budidaya tanaman obat
b. budidaya tanaman hias
c. budidaya jamur
d. budidaya lebah
e. penangkaran satwa liar atau
f. budidaya hijauan pakan ternak
1. Pemanfaatan kawasan melalui kegiatan usaha:
a. budidaya tanaman obat
b. budidaya tanaman hias
c. budidaya jamur
d. budidaya lebah
e. penangkaran satwa
f. budidaya sarang burung wallet; atau
g. budidaya ternak
2. Pemanfaatan jasa lingkungan melalui kegiatan
usaha:
a. pemanfaatan jasa aliran air
b. pemanfaatan air
c. wisata alam
d. perlindungan keanekaragaman hayati
e. penyelamatan dan perlindungan lingkungan atau
f. penyerapan dan/atau penyimpanan karbon
2. Pemanfaatan jasa lingkungan melalui kegiatan
usaha:
a. pemanfaatan jasa aliran air
b. pemanfaatan air
c. wisata alam
d. perlindungan keanekaragaman hayati
e. penyelamatan dan perlindungan lingkungan atau
f. penyerapan dan/atau penyimpanan karbon
84 Suprianto dkk. (2012). Analisis Substansi dan Implementasi Kebijakan
Tabel 1 (lanjutan)
Pada kawasan Hutan Lindung Pada kawasan Hutan Produksi
3. Pemungutan hasil hutan bukan kayu melalui
kegiatan usaha pemanfaatan rotan, madu, getah,
buah, gaharu, bambu, jamur, atau sarang wallet
3. Pemanfaatan hasil hutan bukan kayu berupa
pemanfaatan rotan, sagu, nipah, bambu, getah,
kulit kayu, daun, buah atau biji, gaharu
Sumber: P.49/2010
Sebagai contoh pengelolaan Hutan Desa di Desa Lubuk Beringin
dimanfaatkan untuk perlindungan sumber air. Air di desa tersebut antara lain
berfungsi utamanya untuk pengairan persawahan, sumber tenaga listrik
(penerangan), sumber protein (ikan); lain halnya pengelolaan Hutan Desa di Desa
Campaga, Labbo, Pattanateang Kabupaten Bantaeng adalah perlindungan sumber air
dan pemanfaatan Hasil Hutan Bukan Kayu/HHBK (tanaman obat, tanaman hias,
jamur dan lebah madu) (Anonim, 2011a). Ketentuan lain pemanfaatan Hutan Desa
sesui Anonim (2008b) adalah sebagai berikut:
a. Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu hanya dapat dilakukan pada Hutan Produksi
setelah mendapat Ijin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu dan dalam
pemanfaatannya mengikuti ketentuan peraturan perundang-undangan yang
mengatur tentang pemanfaatan hasil hutan pada hutan alam maupun hutan
tanaman (Pasal 31).
b. Pemungutan Hasil Hutan Kayu pada hutan produksi untuk kebutuhan subsisten
(masyarakat) dan tidak untuk dijual-belikan dibatasi paling banyak 50 m3 per
lembaga desa per tahun (Pasal 32).
c. Pemungutan hasil hutan bukan kayu pada hutan produksi kebutuhan subsisten
(masyarakat) dan tidak untuk dijual-belikan dibatasi paling banyak 20 ton untuk
setiap lembaga desa per tahun. Pemungutan hasil hutan bukan kayu pada hutan
produksi dapat berupa pemungutan rotan, madu, getah, buah atau biji, daun,
gaharu, kulit kayu, tanaman obat dan umbi-umbian (Pasal 33).
Mengacu pada Tabel 2 berikut ini, bila dipersentasekan dari tahapan
implementasi Hutan Desa maka dapat dikemukan ketidak-seimbangan akselerasi
antara verifikasi, proses penetapan, penetapan dan pengeluaran izin/hak kelola
Hutan Desa. Namun demikian kondisi tersebut tidak dapat digunakan untuk
menggeneralisasi semua proses yang ada atau hanya di beberapa desa dari beberapa
provinsi di Indonesia saja.
Tabel 2. Analisis Gap Capaian Hutan Desa di Indonesia
Target
(hingga 2014)
500.000 ha
Masuk verifikasi
(hingga 2011)
177.310,17 ha
Terverifikasi
(hingga 2011)
148.888 ha
Ditetapkan (hingga
2011) 28.422,00 ha
Penetapan HPHD
(hingga 2011)
10.310 ha
500.000 ha 35% 30% 6% 2%
- 177.310, 17 ha 84% 16% 5%
- - 148.888 ha 19% 6,9%
- - - 28.422,00 ha 36%
JURNAL KEHUTANAN TROPIKA HUMIDA 5 (1), APRIL 2012 85
Hasil analisis menunjukkan, bahwa sebagian besar luas yang diusulkan hingga penetapan mengalami penyusutan luas yang signifikan hingga penetapannya, bila menilik target luas hingga penetapan areal kerja hanya 2% saja, hal ini jauh dari harapan yang sudah ditargetkan. Hal tersebut dapat diartikan pula bahwa areal clear and clean sebagai syarat utama dalam implementasi Hutan Desa ternyata sulit diperoleh. Berdasarkan hasil penelitian, konflik lahan dan sumberdaya memang sangat kompleks, ada di kawasan hutan, khususnya di luar Jawa (Wulan dkk., 2004).
B. Kebijakan Pemerintah Provinsi Kalimantan Timur Terkait Hutan Desa
Istilah Hutan Desa cukup baru dalam dunia kehutanan terlebih dalam implementasinya. Secara teknis, di Kalimantan Timur pun demikian. Hingga akhir 2010 sejak dua tahun P.49 tahun 2008 lahir, tidak satu pun ada areal Hutan Desa yang telah ditetapkan. Namun demikian, ada contoh Hutan Desa yang sudah mendapat areal kerja misalnya di Bali dan Jambi. Di Provinsi Bali, Hutan Desa berhasil karena memiliki aspek yang memperkuat dan mempercepat implementasi di antaranya aspek agama dan adat/budaya yang kuat. Sementara itu di Jambi proses pendampingan yang sudah dilakukan sejak lama yang dimulai tahun 1999 serta kepemimpinan dan tokoh sentral yang kuat di masyarakat yang mampu mengorganisir dan menggerakkan masyarakat merupakan modal keberhasilan yang penting (Mansoer, 2011).
Provinsi Kalimantan Timur dengan luas mencapai 198.441,17 km2 terdiri dari
14 kabupaten/kota dengan daratan seluas 19.695.875 ha dan laut 4 – 12 mil (2.102.721 ha). Berdasarkan SK Menteri Kehutanan Nomor 79/Kpts-II/2001 tanggal 15 Maret 2001 luas hutan Kaltim 14.651.553 ha yang terbagi atas Kawasan Konservasi seluas 2.165.198 ha (Hutan Cagar Alam 173.272 ha, Hutan Taman Nasional 1.930.076 ha, Hutan Wisata Alam 61.850 ha), Hutan Lindung seluas 2.751.702 ha dan Hutan Produksi Terbatas seluas 4.612.965 ha dan Hutan Produksi Tetap seluas 5.121.688 ha.
Pada Tabel 3 terlihat sebaran desa-desa potensial dan potensi Hutan Desa berdasarkan luas Indikatif Areal Kerja Hutan Desa di Provinsi Kalimantan Timur ada 112.650 ha yang mengambarkan sebaran luas di beberapa kabupaten/kota di Kalimantan Timur, namun belum teridentikasi di mana lokasinya berada dan kondisi real di lapangan, sehingga luas tersebut masih perlu diverifikasi pada tingkat lapangan.
Tabel 3. Target Hutan Desa di Kalimantan Timur (Anonim, 2011c)
No Kabupaten/kota Luas (ha)
1 Balikpapan (Kota) 228 2 Berau 7.051 3 Bulungan 4.729 4 Kutai 12.489 5 Kutai Barat 13.412 6 Kutai Timur 12.576 7 Malinau 16.143 8 Nunukan 19.007 9 Pasir 24.216
10 Penajam Paser Utara 2.800
Jumlah 112.651
86 Suprianto dkk. (2012). Analisis Substansi dan Implementasi Kebijakan
Target pencadangan areal Hutan Desa di Kalimantan Timur hingga tahun 2011
adalah 20.000 ha (BPDAS Mahakam-Berau), dari sisi luas, hal ini sangat
memungkinkan karena dari data Kementerian Kehutanan peluang pengembangan
Hutan Desa Kalimantan Timur sangat besar yaitu terdapat 285 desa di kawasan
hutan lindung dan 628 desa di kawasan Hutan Produksi (Anonim, 2011d). Faktanya
hingga akhir 2011 belum ada satupun yang ditetapkan sebagai Hutan Desa. Tentu
hal ini menjadi tanda tanya, ada sesuatu yang menjadi penghambat sehingga dengan
potensi yang demikian besar namun dengan capaian penetapan areal kerja hutan
desa 0%.
Salah satu alasan yang dimungkinkan, bahwa dengan target capaian Hutan Desa
tersebut tidak dibarengi pendanaan secara khusus untuk upaya percepatan
implementasi Hutan Desa di Kalimantan Timur oleh Dinas Kehutanan Provinsi
Kaltim (sebagai leading sector dalam mendorong kegiatan-kegiatan sektor
kehutanan). Hal ini tampak dalam usulan kegiatan Rencana Kerja (Renja) tahun
2012 dengan total usulan Rp63,57 milyar dari APBD Provinsi Kaltim tidak terlihat
program yang berkaitan dengan Hutan Desa. Situasi yang ada ini merefleksikan
bahwa dalam implementasi Hutan Desa baik dalam proses pengajuan maupun
setelah usulan Hutan Desa ditetapkan yang terkait institusi penanggungjawab,
pendanaan, pendampingan dan kebijakan yang proaktif di Kaltim tidak cukup siap
atau kuat (Anonim, 2011b). Sebagai contoh perbandingan di Jambi yang sudah
memperoleh areal kerja Hutan Desa, proses pendampingan yang sudah dilakukan
sejak lama yang dimulai tahun 1999 dengan membangun karakter leadership dan
tokoh sentral yang kuat di masyarakat yang mampu mengorganisir dan
menggerakkan masyarakat merupakan modal keberhasilan yang penting (Warsi,
2011).
Namun demikian, hal yang menarik bahwa sebenarnya di Kalimantan Timur
terdapat sejumlah inisiatif pengelolaan hutan oleh masyarakat tradisional yang telah
dilakukan jauh sebelum kebijakan teknis yang mengatur tata cara penyelenggaran
Hutan Desa keluar. Ada pola-pola pengelolaan yang dilakukan oleh masyarakat
secara tradisional seperti tana’ ulen, lembo, simpunqk dan lain-lain. Misalnya tana’
ulen sebagai bentuk pengelolaan hutan alam yang sengaja dicadangkan, dilindungi
dan dikelola oleh masyarakat suku Dayak Kenyah. Secara histori praktik
pengelolaan tana’ ulen itu sendiri sudah diterapkan oleh masyarakat Kenyah selama
ratusan tahun dari generasi ke generasi. Meski pada perkembangannya banyak
mengalami perubahan dan kelonggaran dalam aturan pengelolaannya, namun hingga
kini secara defacto tana’ ulen masih dipertahankan oleh masyarakat Suku Dayak
Kenyah (Wijaya dan Aminuddin, 2001). Sangat disayangkan praktik tradisional
seperti ini meskipun banyak tetapi tidak bisa diakui sebagai Hutan Desa oleh
Pemerintah.
a) Kebijakan Pemerintah Kabupaten Kutai Barat
Kabupaten Kutai Barat dibentuk atas dasar Undang-undang Nomor 47 tahun
1999, dengan luas wilayah 3.162.870 ha, terdiri dari kawasan budidaya kehutanan
(KBK) seluas 2.194.785 ha dan Kawasan Budidaya Non Kehutanan (KBNK)
seluas 968.085 ha. Kabupaten ini merupakan daerah hulu dari DAS Mahakam yang
JURNAL KEHUTANAN TROPIKA HUMIDA 5 (1), APRIL 2012 87
terbagi menjadi 21 kecamatan dan 223 kampung dengan jumlah penduduk
167.106 jiwa atau 45.023 KK dengan kepadatan 5,30 jiwa/km2.
Mengulas perkembangan Hutan Desa di Kutai Barat, saat ini baru pada tahap
inisiasi, sejauh ini Dinas Kehutanan Kabupaten Kutai Barat baru melakukan
verifikasi peta indikatif Hutan Desa yang menggambarkan areal-areal yang potensial
untuk pencadangan Hutan Desa. Namun demikian telah ada upaya-upaya serupa
sebelumnya yang berkaitan dengan pengelolaan hutan berbasis
masyarakat/pemberdayaan masyarakat misalnya Kebijakan Hutan Kemasyarakatan
yang berada di areal Kawasan Budidaya Non Kehutanan.
Fakta menunjukkan, bahwa sebagian besar masyarakat Kutai Barat, hidup di
dalam dan di sekitar kawasan hutan dan memiliki keterikatan yang kuat secara
kultural, sosial dan ekonomi dengan sumberdaya hutan sehingga masyarakat
memiliki kearifan lokal sendiri dalam pengelolaan hutan dengan pola-pola yang
telah teruji lestari dan telah berlangsung lama serta diwariskan secara turun-temurun
dari generasi ke generasi.
Selain itu, selama ini masyarakat termarginalkan oleh kebijakan-kebijakan
pengelolaan sumberdaya hutan dan keinginan yang kuat untuk memberikan peran
yang lebih intensif kepada masyarakat dalam mengelola asset sumberdaya di
lingkungan hidupnya maka Hutan Desa merupakan salah satu pilihan yang tepat
dalam pengelolaan hutan di Kabupaten Kutai Barat.
Menengok ke belakang, konsep dasar pengelolaan hutan di Kabupaten Kutai
Barat sebelumnya sudah diarahkan untuk terselenggaranya program Kehutanan
Masyarakat (Community Forestry) dengan sasaran antara lain i) legalitas dan
pengakuan terhadap wilayah kelola masyarakat adat; ii) pemberian akses dan
kesempatan yang lebih besar kepada masyarakat dalam pemanfaatan, perlindungan
dan pelestarian hutan; iii) peningkatan kualitas hidup dan kesejahteraan masyarakat;
iv) mengeleminir terjadinya konflik-konflik sosial yang berhubungan dengan
penguasaan lahan.
Dengan semangat tersebut pemerintah Kabupaten Kutai Barat telah
mengeluarkan kebijakan atau produk hukum terkait kehutanan masyarakat, di
antaranya dengan tersusunnya peraturan-peraturan tentang pengelolaan hutan,
seperti berikut:
a. Perda Kabupaten Kutai Barat Nomor 02 Tahun 2001 tentang Kewenangan
Kabupaten.
b. Perda Kabupaten Kutai Barat Nomor 18 Tahun 2002 tentang Kehutanan Daerah.
c. Perda Kabupaten Kutai Barat Nomor 12 Tahun 2003 tentang Penyelenggaraan
Kehutanan Masyarakat.
d. Keputusan Bupati Kutai Barat Nomor 26 Tahun 2003 tentang Pedoman dan Tata
cara Penyelenggaraan Kehutanan Masyarakat.
e. Keputusan Kepala Dinas Kehutanan Kabupaten Kutai Barat Nomor
521.21/130/DK-I/2004 tentang Petunjuk Teknis Permohonan dan Pelaksanaan
Pengukuhan serta Ijin Usaha Kehutanan Masyarakat (IUKhM).
f. Keputusan Kepala Dinas Kehutanan Kabupaten Kutai Barat Nomor
521.21/292/DK-I/2004 tentang Alur Proses, Pengecekan Proposal dan Orientasi
Lapangan Kelayakan Lokasi Penyelenggaraan Kehutanan Masyarakat.
88 Suprianto dkk. (2012). Analisis Substansi dan Implementasi Kebijakan
Aspek hukum tersebut berkaitan dengan implementasi program Kehutanan
Masyarakat, di antaranya kewenangan bupati dalam penerbitan perijinan
pemanfaatan Hasil Hutan Kayu di luar kawasan hutan (di dalam wilayah kabupaten)
diatur oleh Kepmenhut No. 382 Tahun 2004 tentang Ijin Pemanfaatan Kayu (IPK).
Izin Usaha Kehutanan Masyarakat tersebut, pada prinsipnya merupakan fasilitasi
legalisasi kawasan kelola masyarakat yang dalam pemanfaatannya setelah ditata-
guna tetap mengikuti koridor hukum formal baik nasional maupun lokal
(kabupaten).
Berdasarkan kebijakan daerah tersebut, di Kabupaten Kutai Barat melalui
Keputusan Bupati telah diterbitkan 11 ijin dan pada areal tersebut tidak akan
diterbitkan ijin-ijin baru yang saling bertolak belakang dan meniadakan. Total luas
dari 11 Ijin Kawasan Kelola Kehutanan Masyarakat (KhM) adalah 64.949 ha,
seluruhnya di areal Kawasan Budidaya Non Kehutanan (KBNK/APL), hingga
peraturan ini dicabut yang sedang melakukan kegiatan operasional sebanyak 6 ijin,
total yang pernah mendapatkan ijin IPK sebanyak 9 ijin. Dalam perjalanannya
permasalahan implementasi dari produk hukum ini dalam Kawasan Budidaya
Kehutanan (HP/HPT) belum bisa dilaksanakan karena tidak tersedianya lahan bebas
perijinan dan keterbatasan kewenangan kabupaten dalam penerbitan ijin dalam
kawasan hutan. Selain itu eksistensi KhM di KBNK/APL punya potensi terganggu
oleh sebab legalitas lahan (HGU, SHM, dll) dan perubahan minat masyarakat untuk
memanfaatkan lahan di luar kegiatan kehutanan (perkebunan, pertambangan, dll).
Kontradiksi kebijakan pun masih sering terjadi, hal ini yang menyebabkan produk
hukum ini tidak berjalan lama, akhirnya produk hukum ini dicabut. Terlepas dari hal
tersebut, pengalaman tersebut merupakan modal besar dalam pengembangan hutan
yang berbasis masyarakat di Kabupaten Kutai Barat.
Sementara itu perkembangan pemberdayaan masyarakat sekitar hutan melalui
skema Hutan Tanaman Rakyat (HTR) sudah lebih dulu direspon karena memang
perangkat kebijakannya sudah lahir terlebih dulu, dari skema HTR tersebut sudah
lebih dulu melakukan verifikasi peta indikatif areal cadangan yang dikeluarkan oleh
Kementerian Kehutanan, yaitu memetakan hutan produksi yang tidak dibebani hak
atau ”clear and clean” (Anonim, 2011d). Oleh karena itu ada peluang juga
memanfaatkan areal cadangan ini untuk diusulkan sebagai Hutan Desa, karena
kawasan peruntukannya sama yaitu di Hutan Produksi. Namun dalam
perkembangannya masih banyak terdapat hambatan, salah satunya belum ada
petunjuk teknis berkaitan dengan skema HTR sehingga program-program yang
sudah ada payung hukum dan petunjuk teknis yang menjadi pilihan utama di
Kabupaten Kutai Barat. Ada kekwatiran bila melakukan “kreasi” terhadap
kebijakan-kebijakan yang belum jelas juklak/juknis-nya terjerat dalam kasus hukum.
Berdasarkan Permenhut No. 14 tahun 2010 tentang Hutan Desa dan arahan peta
indikatif lokasi Hutan Desa dari BP-DAS, Dinas Kehutanan Kabupaten Kutai Barat
baru akan mengajukan pertimbangan teknis rencana penetapan areal kerja Hutan
Desa seluas 50.164,25 ha kepada bupati yang tersebar di 14 kecamatan dan 43
kampung. Dinas Kehutanan Kutai Barat saat ini baru melakukan verifikasi peta
arahan indikatif lokasi Hutan Desa tersebut dan sampai akhir April 2010 belum ada
satu pun usulan Hutan Desa dari lembaga desa di Kabupaten Kutai Barat. Namun
upaya sosialisasi kepada masyarakat terus dilakukan, bekerja sama dengan WWF
JURNAL KEHUTANAN TROPIKA HUMIDA 5 (1), APRIL 2012 89
Indonesia mencoba mengenalkan Hutan Desa kepada masyarakat khususnya
masyarakat 5 desa di Kecamatan Long Pahangai dalam acara-acara pertemuan
seperti workshop dan lain-lain, hal tersebut dilakukan sebagai upaya peningkatan
kapasitas sumberdaya masyarakat setempat.
Dari beberapa pertemuan dengan stakeholder yang terkait dengan
perkembangan Hutan Desa khususnya Dinas Kehutanan Kutai Barat, teridentifikasi
tantangan dan hambatan sebagai berikut:
a. Implementasi Program Hutan Desa merupakan proses panjang karena
menyangkut pengaturan administrasi, persetujuan/ijin secara hukum maupun
kelayakan usaha dan pengelolaan. Diperlukan adanya upaya yang terus menerus
untuk memberikan dukungan kepada kelompok-kelompok masyarakat, demi
kelancaran pelaksanaan program dan dengan demikian tentu saja memerlukan
kesabaran dari pihak penyelenggara.
b. Selalu ada kelompok masyarakat yang belum terbiasa memanfaatkan informasi
tertulis seperti protokol dan panduan yang telah disiapkan untuk penyelenggaraan
program Hutan Desa. Penjelasan langsung melalui kunjungan lapangan dan
pertemuan di tingkat kampung masih dianggap lebih baik dan masih tetap
dibutuhkan.
c. Belum intensifnya pembinaan pengelolaan dan pemanfaatan kawasan kelola
Hutan Desa, mengingat kawasan kelola tersebut sangat potensial untuk
dikembangkan sebagai areal Hutan Rakyat dengan jenis fast growing.
Dari hasil identifikasi masalah yang ada di Kabupaten Kutai Barat beberapa
rekomendasi yang disampaikan kepada pemerintah pusat dalam hal ini Kementerian
Kehutanan serta pemerintah daerah, rekomendasi tersebut adalah sebagai berikut:
a. Berdasarkan pembagiannya, kabupaten dalam hal ini sebagai fasilitator, maka
harapannya ada aturan pemerintah yang bisa mengatur penggunaan Dana Bagi
Hasil (DBH) untuk kegiatan inisiasi Hutan Desa atau pembangunan kehutanan
lainnya; alokasi DBH-SDA DR tahun 2001 sampai 2010 Kabupaten Kutai Barat
yang masuk ke kas daerah Kabupaten Kutai Barat, dari Dana Alokasi Khusus
(DAK) 2001 hingga 2010 sejumlah Rp283.134.260.325 dan jumlah dana DBH
yang terpakai untuk kegiatan RHL 2001-2010 sejumlah Rp 37.260.566.145 serta
jumlah dana DBH yang harus tercatat dalam kas daerah Kabupaten Kutai Barat
dari 2001 hingga 2010 sejumlah Rp145.873.694.180.
b. Kutai Barat masih banyak terdapat konflik batas kampung sehingga perlu adanya
mekanisme penyelesaian konflik.
c. Perlu adanya pengertian atau batasan tersendiri tentang hutan adat, sama atau
tidak.
d. Perlu adanya inventarisasi ulang mengenai HPH non aktif (seperti PT Roda Mas
Keninggir) dan Kawasan Hutan Lindung (HL Gunung Meratus), yang mana tidak
sesuai dengan penempatannya seperti Gunung Meratus tidak termasuk dalam
kawasan hutan lindung.
e. Perlu adanya keberanian pemerintah daerah untuk merangkul kawasan adat
setiap kampung yang sudah dituangkan dalam Peraturan Kampung (perkam), di
mana legal formalnya akan disahkan oleh Bupati.
90 Suprianto dkk. (2012). Analisis Substansi dan Implementasi Kebijakan
b) Kebijakan Hutan Desa di Kabupaten Kutai Timur
Kabupaten Kutai Timur dibentuk atas dasar Undang-Undang Nomor 47 tahun
1999 dengan luas wilayah 3.574.700 ha, terdiri dari Kawasan Budidaya Kehutanan
(KBK) seluas 2.207.994 ha dan Kawasan Budidaya Non Kehutanan (KBNK)
seluas 977.288 ha serta terbagi menjadi 15 kecamatan dan 214 desa dengan jumlah
penduduk 157.163 jiwa dengan kepadatan 4,13 jiwa/km2.
Menilik perkembangan Hutan Desa di Kabupaten Kutai Timur, saat ini lebih
maju dibandingkan kabupaten/kota lain di Kalimantan Timur dan melalui Dinas
Kehutanan Kabupaten Kutai Timur menargetkan pencadangan areal kerja Hutan
Desa sampai tahun 2010 seluas 20 ribu ha, dari sisi proses sudah berjalan cukup jauh
namun belum ada satu pun areal yang dicadangkan tersebut ditetapkan sebagai areal
kerja Hutan Desa.
Program pengembangan Hutan Desa yang difasilitasi Kawal Borneo
Community Foundation (KBCF) di tiga provinsi di Kalimantan, termasuk
Kalimantan Timur yang dimulai sejak tahun 2008 telah menghasilkan 3 usulan
HKm seluas 13.531 ha dan usulan Hutan Desa dari 14 desa dengan luas sekitar
56.535,23 ha. Terdapat tiga usulan Hutan Desa, di antaranya berada di Kabupaten
Kutai Timur. Namun sayangnya, semua usulan masyarakat masih tertahan di
kabupaten.
Di dalam perkembangannya, hal ini tidak terlepas juga dari upaya dari
Kelompok Kerja Hutan Desa (KKHD) Kabupaten Kutai Timur yang di-SK-an pada
25 Februari 2010 oleh Bupati Kutai Timur, dalam mendorong dan fasilitasi dengan
keanggotaan multi-stakeholder dengan tugas pokok fungsi diantaranya melakukan
inventarisasi dan identifikasi potensi hutan yang berada di wilayah Kabupaten Kutai
timur yang dapat dijadikan Hutan Desa; melaksanakan sosialisasi Hutan Desa yang
merupakan pengelolaan hutan yang berbasiskan masyarakat; memfasilitasi desa-
desa yang berada di wilayah Kabupaten Kutai Timur untuk mendapatkan Hak
Pengelolaan Hutan Desa; mewujudkan pengelolaan hutan lestari sebagai sarana
pemberdayaan ekonomi masyarakat dan pelestarian lingkungan;
Sejak awal tahun 2010 hingga saat ini terdapat tiga usulan Hutan Desa yang
sudah diusulkan dan sampai ke Bupati melalui Dinas Kehutanan Kutai Timur namun
hingga saat ini belum satu pun dari areal Hutan Desa yang diusulkan tersebut
ditetapkan sebagai Areal Kerja Hutan Desa oleh Kementerian Kehutanan.
Dari hasil diskusi dan pertemuan yang membahas mengenai upaya percepatan
implementasi Hutan Desa di Kabupaten Kutai Timur terdapat beberapa point
penting dari hambatan dan tantangan implementasi Hutan Desa di Kabupaten Kutai
Timur, di antaranya adalah:
a. Kurangnya pemahaman tentang kebijakan dan proses pengusulan Hutan Desa.
b. Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten belum selesai.
c. Semua wilayah Hutan Produksi di Kutim telah dibagi-bagi untuk konsesi
IUPHHK.
d. Batas desa belum ada dan belum jelas.
e. Desakan investasi untuk sektor perkebunan dan pertambangan yang begitu besar.
f. Rendahnya keberpihakan sebagian aparat pemerintah pada masyarakat.
JURNAL KEHUTANAN TROPIKA HUMIDA 5 (1), APRIL 2012 91
Langkah yang harus segera diambil dan menjadi prioritas yang diambil adalah
sebagai berikut:
1. Menyusun peta indikatif HKM dan Hutan Desa di Kutai Timur.
2. Menyusun rencana kerja Dishut Kutai Timur dan SKPD.
3. Desa Juk Ayak menjadi usulan prioritas yang menjadi fokus kinerja dan capaian
target penetapan areal kerja Hutan Desa tahun 2011.
4. Komunikasi yang konprehensip perkembangan usulan Hutan Desa di Kutai
Timur, salah satunya upaya menyampaikan informasi ke bupati fakta-fakta apa
adanya, mencari alasan kuat untuk pengusulan Hutan Desa.
Hasil pertemuan KKHD pada tanggal 12 Maret 2011 menghasilkan matrik
perkembangan Hutan Desa yang telah diusulkan dan opsi rencana tindak lanjut
seperti tertera dalam Tabel 4.
Tabel 4. Kondisi Terakhir Perkembangan Implementasi Hutan Desa, Kendala dan Opsi Rencana
Tindak Lanjut di Kabupaten Kutai Timur
No Usulan
Luas
(kurang lebih
dalam hektar)
Kendala Kondisi terakhir
Opsi
Recana Tindak
Lanjut (RTL)
1 Long Bentuk 11.648, 90 Diusulkan APL
tunggu RTRWP
Rekomendasi Timdu tata
ruang tetap KBK
(dipertahankan)
Ada surat persetujuan
(SP1) untuk HTI RAPP
menyampaikan ke
bupati fakta-fakta
apa adanya, mencari
alasan kuat untuk
pengusulan HD
2 Juk Ayak 1.067,07 Masuk Kiani
Lestari
Konsesi berakhir 24
desember 2011
Prioritas untuk
diusulkan
3 Kong Beng
(Nehes Liah
Bing)
1052,27
Kejelasan tata
batas (bicara
wilayah
admistratif
namun wilayah
adat yang
digunakan)
Masuk konsesi
PT Kiani Lestari
Konsensi berakhir 24 des
2011
Ada rencana HTI
Ada surat persetujuan
(SP-1) untuk HTI PT
Akasia Andalan Utama
(Sinar Mas Group)
Ada 4 desa yang terkait
dengan Gn. Kongbeng
Hutan DesaHKm
Mengumpulkan 4
desa untuk
mendorong
program-program
peningkatan
ekonomi
Sumber: Anonim (2011c)
Dari Tabel 4 dapat dijelaskan bahwa perkembangan Hutan Desa di Kutai Timur
masih pada tahap upaya memperoleh rekomendasi dari bupati untuk diusulkan
kepada Kementerian Kehutanan, upaya memperoleh rekomendasi dari bupati ini
ternyata bukanlah perkara yang mudah, perlu pendekatan yang tepat untuk
menjelaskan maksud dan tujuan dari Hutan Desa bila diimplementasikan.
Tabel 5 berikut ini menggambarkan proses berbagai peran di Kabupaten Kutai
Timur sebagai Rencana Tindak Lanjut percepatan Hutan Desa di Kutim dengan
target pencadangan Hutan Desa di Kabupaten Kutim Tahun 2010 seluas 20 ribu ha.
92 Suprianto dkk. (2012). Analisis Substansi dan Implementasi Kebijakan
Tabel 5. Berbagi Peran di Kabupaten Kutai Timur sebagai Rencana Tindak Lanjut Percepatan
Hutan Desa di Kabupaten Kutai Timur
No Aktivitas (apa) Siapa
1 Komunikasi dengan perusahaan KKHD
2 Mengawal proses pengajuan ijin ke Menhut pasca IUPHK
berakhir Oktober 2010
KKHD, BPDAS MB,BPKH,
WGP
3 Usulan penentapan areal kerja Hutan Desa dari Bupati untuk
pengajuan ke menteri kehutanan seluas 20 ribu ha di Kutim
BP DAS Mahakam Berau,
KKHD
4 Sosialisasi ke desa prioritas KKHD
5 Pertemuan dengan 15 desa di Kec. Sangkulirang KKHD, Dishut, BP DAS,
KBCF
6 Perlu penyusunan Rencana Umum Pembangunan HD BPKH, KKHD, BPDAS
Mahakam-Berau
7 Mengembangkan infrastruktur HD di Kutim KKHD, BP DAS Mahakam-
Berau, BPKH, WGP
Sumber: Anonim (2011c)
Keterangan: WGP (Working Group Pemberdayaan); KBCF (Kawal Borneo Community Foundation);
BPKH (Balai Pemantapan Kawasan Hutan)
Pada Tabel 5 tergambar adanya pembagian peran yang didesain hingga
Desember 2011, pembagian peran tersebut sudah cukup bagus, dengan harapan
dapat mempercepat implementasi Hutan Desa, namun demikian pembagian peran
tersebut tidak semua berjalan, ada beberapa yang jalan namun tidak sesuai dengan
jadwal yang sudah direncana, tidak berjalan tepat sesuai waktu yang telah direncana,
salah satunya dikarenakan jadwal individu yang bertanggung jawab dalam
mengawal proses tersebut sering tidak match.
Alternatif Strategi Implementasi Hutan Desa di Kalimantan Timur
Dalam melakukan analisis untuk menentukan strategi dan program Hutan Desa
ke depan (sampai 2015) digunakan telaah SWOT. Telaah ini menganalisis faktor-
faktor kekuatan, kelemahan, peluang dan tantangan; Strategi dibuat secara
sequential yang memperlihatkan mana yang perlu dilakukan terlebih dahulu dan
mana yang mengikuti setelahnya. Dengan memperhatikan pelajaran/pengalaman
dari upaya pelaksanaan kegiatan pemberdayaan masyarakat di masa lalu, maka
strategi ini perlu dikelompokan dalam tiga tahap berikut:
1. Strategi Pemenuhan Kondisi Pemungkin (enabling condition), yaitu:
a) Kawasan atau areal yang diproyeksikan sebagai lokasi Hutan Desa betul-betul
clear and clean dari segi tenurial. Di antaranya seperti menguatkan data dan
informasi spasial dan non spasial sumberdaya hutan dan lahan dengan
mengintensifkan proses identifikasi dan inventarisasi penggalian potensi areal
kerja Hutan Desa melalui koordinasi para pihak di daerah; memperjelas batas-
batas antar status hutan dan lahan sesuai dengan tata cara yang telah diatur
dalam peraturan perundang-undangan (batas desa, batas antar desa, batas desa
dengan IUPHHK atau hutan lindung).
b) Berjalannya kelembagaan multi pihak dengan komitmen yang tinggi dari para
pihak yang ditunjukkan dengan dukungan kongkrit dan pembagian peran,
terutama masyarakat setempat. Untuk itu, konsep Hutan Desa harus
JURNAL KEHUTANAN TROPIKA HUMIDA 5 (1), APRIL 2012 93
menunjang kesejahteraan masyarakat setempat. Di antaranya dengan
mengembangkan kemitraan usaha antara pemerintah, swasta dan masyarakat;
pembenahan kelembagaan desa sebagai basis pemberdayaan dan
pengembangan ekonomi lokal serta mendorong partisipasi; meningkatkan
link and macth antara pasar dan produksi masyarakat; pembinaan jaringan
kerja dan pembelajaran antara kelompok masyarakat; Koordinasi internal
antar eselon I dalam rangka percepatan penetapan dan perijinan sesuai dengan
prinsip good governance; mendorong dibangunnya skema pelayanan
penetapan dan perijinan di daerah atau adanya desk pelayanan (diinisiasi oleh
WGP).
c) Tersedia input sumberdaya yang memadai (SDM, pendanaan, peralatan,
waktu, teknologi dll), dengan meningkatkan koordinasi dengan pusat dalam
perencanaan, pelaksanaan program nasional di daerah; membuka peluang
pendanaan Hutan Desa di daerah melalui Dana Dekon, DAK/Perimbangan.
2. Strategi Pembangunan Infrastruktur Hutan Desa, yaitu:
a) Pembangunan kelembagaan Hutan Desa, yang meliputi SDM dalam jumlah
dan kualitas memadai, organisasi yang memperhatikan aspek keterwakilan
para pihak, kewenangan yang cukup untuk mengkoordinasikan para pihak
dalam pelaksanaan pengelolaan Hutan Desa dan tata hubungan antara unit
kerja yang mantap, di antaranya dengan cara: meningkatkan jaringan kerja
dengan para pihak di lingkup nasional dan internasional (LSM, Donor,
Perguruan Tinggi, lembaga penelitian dan sebagainya) untuk peningkatan
kapasitas dalam pelaksanaan Hutan Desa; pengembangan kelembagaan Hutan
Desa multi-instansi dan multi pihak; inisiasi MoU dengan dengan
Kementerian Dalam Negeri untuk mendorong penguatan kelembagaan di
tingkat desa.
b) Penyusunan pengalaman-pengalaman praktis terkait implementasi Hutan
Desa, sehingga dijadikan proses pembelajaran bagi daerah lain. Di antaranya
dengan cara: membangun kebijakan dan rencana Hutan Desa yang
memadukan tujuan pemulihan lingkungan dan peningkatan ekonomi lokal
secara partisipatif; review kebijakan yang kurang mendukung dalam
percepatan penetapan dan perijinan Hutan Desa; menggencarkan bimbingan
teknis pengelolaan hutan berbasis masyarakat dalam program rehabilitasi
lahan kritis; melakukan promosi Hutan Desa dalam sebuah acara nasional
bersama para pihak dan disusun sebuah grand strategi atau roadmap Hutan
Desa.
c) Penyusunan metoda monitoring dan evaluasi yang transparan, terukur, dapat
dilaporkan dan dapat diverifikasi rencana monitoring dan evaluasi.
d) Pembangunan sistem insentif dan disinsentif dengan mengembangkan sistem
insentif kepada masyarakat yang aktif atau berhasil melakukan pengelolaan
Hutan Desa.
3. Strategi Pelaksanaan Hutan Desa
a) Perencanaan dilakukan secara akurat sesuai dengan situasi dan kondisi
setempat dan bertumpu pada sumberdaya lokal: dengan menyusun rencana
pengelolaan yang rasional, logis, dan komprehensif; mensinergikan
pembangunan Hutan Desa ini dengan konsep kelembagaan pada KPH;
94 Suprianto dkk. (2012). Analisis Substansi dan Implementasi Kebijakan
Integrasi program atau kegiatan dengan K/L lainnya seperti program KAT,
PNPM, RPJMD dan sebagainya.
b) Pelaksanaan Hutan Desa konsisten dengan fungsi hutan dan lahan atau secara
utuh konsisten terhadap rancangan kegiatan yang telah disusun. Di antaranya
menjalankan aturan bidang kehutanan secara konsisten dalam pemanfaatan
kawasan hutan sesuai fungsinya.
c) Pengelolaan Hutan Desa aman dari gangguan perambahan dengan
peningkatan pengawasan dan pengendalian terhadap kegiatan pemanfaatan
hutan dan lahan serta penegakan hukum secara tegas; pendidikan kesadaran
lingkungan dan masyarakat sadar hukum (pembinaan generasi muda untuk
cinta lingkungan dan menjadi motor dalam pelaksanaan pemberdayaan
masyarakat hutan).
Pilihan-pilihan strategi tersebut diatas merupakan “titik refleksi” atas persoalan
yang menghambat percepatan implemetasi hutan desa yang diharapkan memberikan
efek domino yang positif apabila diberikan tindakan positif, persoalan terkait
lambannya implementasi hutan desa bukanlah persoalan kovergen yang dapat
diselesaikan dengan satu strategi pemecahan saja, namun banyak hal yang perlu
dilakukan pembenahan.
Selain hal yang sudah disebutkan sebelumnya, perlu pula dipersiapkan
serangkaian prakondisi dalam upaya percepatan Hutan Desa yaitu hal yang berkaitan
tenurial, kelembagaan, pendampingan dan pendanaan yang harus diperkuat.
KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan
Peraturan perundangan yang dapat dirujuk untuk implementasi Hutan Desa di
Indonesia sudah tersedia dengan cukup memadai. Prosedur, tata cara dan bahkan
pengaturan kewenangan serta tanggung jawab setiap tingkat pemerintahan (dari
pusat hingga daerah, baik provinsi maupun kabupaten/kota) juga telah tercantum
dengan jelas. Meskipun dari aspek yuridis dipertimbangkan sudah cukup untuk
melaksanakan Hutan Desa, tetapi justru pada tatanan implementasi tidak berjalan
dengan baik.
Perkembangan yang lambat dari implemntasi Hutan Desa diindikasikan bukan
hanya dari minimnya realisasi pembentukannya, tetapi juga relatif tidak adanya
peraturan-peraturan pelaksanaannya (baik Peraturan Daerah maupun Peraturan
Kepala Dinas Provinsi/Kabupaten) dari kasus yang diamati di Kalimantan Timur
dari dua kabupaten, yaitu Kabupaten Kutai Barat dan Kabupaten Kutai Timur.
Meskipun di tingkat Kabupaten Kutai Barat dan Kabupaten Kutai Timur
dijumpai inisiatif-inisiatif Hutan Desa, tetapi hal tersebut lebih bersifat
program/proyek yang tidak atau belum mendapat dukungan kebijakan (misalnya
Masterplan atau Rencana Strategis), apalagi Peraturan Daerah/Bupati sehingga
keberlanjutan perkembangan Hutan Desa ke depan di daerah tetap menjadi tanda
tanya.
Peluang yang teridentifikasi dari implementasi Hutan Desa di Kabupaten Kutai
Barat dan Kutai Timur adalah adanya areal yang memungkinkan untuk skema Hutan
JURNAL KEHUTANAN TROPIKA HUMIDA 5 (1), APRIL 2012 95
Desa baik di Hutan Lindung dan Hutan Produksi serta sudah ada upaya fasilitasi dari
kelompok Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) sebelumnya, meskipun demikian
teridentifikasi pula adanya ancaman, utamanya adalah areal untuk Hutan Desa yang
harus clean and clear masih sulit diidentifikasi karena begitu banyak interest
terhadap pemanfaatan kawasan tersebut di luar penggunaan untuk pemberdayaan
masyarakat seperti ekspansi sektor pertambangan batu bara dan perkebunan sawit
Berdasarkan hal tersebut di atas strategis-strategi prioritas yang dapat dilakukan
ke depan di Kabupaten Kutai Barat dan Kutai Timur, antara lain terpenting adalah
menyusun peta indikatif Hutan Desa di Kalimatan Timur sebagai acuan dasar dalam
melihat peluang percepatan implementasi Hutan Desa serta melakukan sosialisasi
kepada pemerintah daerah, masyarakat desa, NGO’s, perguruan tinggi dan juga pada
lembaga legislatif mengenai Hutan Desa.
Saran
Pemerintah provinsi bekerja sama dengan UPT Pusat (BP-DAS, BPKH) dan
pemerintah kabupaten/kota menyusun peta indikatif Hutan Desa di Kalimatan Timur
sebagai acuan dasar dalam melihat peluang implementasi Hutan Desa.
Perlu dilakukan sosialisasi dengan tujuan meluruskan persepsi yang bias
terhadap tujuan Hutan Desa karena masih terdapat beda penafsiran dalam substansi
dan implementasi Hutan Desa oleh para pihak. Tidak hanya pemerintah, pemerintah
daerah, masyarakat desa, NGO, perguruan tinggi, namun juga pada lembaga
legislatif.
Harus ada pihak yang berinisiatif melakukan mediasi persoalan lintas desa
(diharapkan Dinas Kehutanan Provinsi), dalam melakukan upaya-upaya
penyelesaian konflik tata batas antar kawasan yang terdapat antar desa dan dalam
implementasi Hutan Desa sebaiknya kegiatan para pihak bersinergi dengan kegiatan
dan pembiayaan, sebagai sinergi dengan RPJMD dan PNPM serta perlu peningkatan
peran pemerintah sesuai wewenangnya, dalam mendukung implementasi Hutan
Desa seperti: pembinaan lembaga desa, membuat pedoman monev dan verifikasi,
fasilitasi dan pembentukan tim verifikasi, menentukan areal kerja, menerbitkan ijin
IUPHKHD, fasilitasi para pihak (pemerintah, akademi, NGO), membentuk forum
kerja Hutan Desa.
DAFTAR PUSTAKA
Anonim. 2008a. Peraturan Menteri Kehutanan No. 49 tentang Hutan Desa. Lembaran Negara
RI Tahun 2008. Sekretariat Negara, Jakarta.
Anonim. 2008b. Peraturan Menteri Kehutanan No. 5 tentang Perubahan Peraturan Menteri
Kehutanan No. 23 tahun 2007 Tentang Tata Cara Permohonan Izin Usaha Pemanfaatan
Hasil Hutan Kayu Pada Hutan Tanaman Rakyat dalam Hutan Tanaman. Lembaran
Negara RI Tahun 2008. Sekretariat Negara, Jakarta.
Anonim. 2011a. Buku Saku Hutan Desa. Draft. Dewan Kehutanan Daerah Kaltim, Samarinda
Anonim. 2011b. Laporan Lesson Learned Workshop Dinamika Persoalan dan Tantangan
Inisiasi Pengembangan Hutan Desa di Region Kalimantan Samarinda 13–14 April 2010.
Dewan Kehutanan Daerah Kaltim/GIZ/WWF, Samarinda.
Anonim. 2011c. Hasil Pertemuan Kelompok Kerja Hutan Desa Kabupaten Kutai Timur,
Sanggata. KBCF.
96 Suprianto dkk. (2012). Analisis Substansi dan Implementasi Kebijakan
Anonim. 2011d. Implementasi Kebijakan Hutan Desa Regulasi, Praktik dan Konsep
Pengembangan Ke Depan. Disampaikan Dalam Lesson Learned Workshop
Kementerian Kehutanan RI. Dinamika Persoalan dan Tantangan Inisiasi Pengembangan
Hutan Desa di Region Kalimantan pada tanggal 13–14 April 2011, Samarinda
Mansoer. 2011. CBFM, Pilihan Bijak Menuju Pemberdayaan Masyarakat dan Pengelolaan
Sumberdaya Hutan yang Berkeadilan dan Berkelanjutan. Materi disampaikan dalam
Lesson Learned Workshop Dinamika Persoalan dan Tantangan Inisiasi Pengembangan
Hutan Desa di Region Kalimantan, Samarinda 13–14 April 2010. Dinas Kehutanan
Provinsi Jambi, Jambi.
Sardjono, M.A. 2004a. Mosaik Sosiologi Kehutanan: Masyarakat Lokal, Politik dan
Kelestarian Sumberdaya. Debut Press, Jogjakarta.
Sardjono, M.A. 2004b. Role and Responsibility of Local Communities Term of Factor Politic
in Indonesia. Paper Presented in Workshop at Tokyo University, Japan. December
2004. Center for Social Forestry, Samarinda.
Sardjono, M.A. and M. Inoue. 2007. Local Community Participation in The Management of
Forest Resource in Indonesia: Concept, Policy and Implementation. Paper Presented at
The Workshop on Networking of Social Forestry Practicionairies in Borneo an
Kalimantan, 28 July 2007. Center for Social Forestry, Samarinda.
Sardjono, M.A. 2011. Tantangan Perubahan Sosial dalam Kehutanan Masyarakat di
Indonesia. Materi disampaikan pada Pertemuan Nasional FKKM, Bogor 6–8 September
2011. Center for Social Forestry, Samarinda.
Silalahi, M. dan A. Santosa. 2011. Kajian Kebijakan Kehutanan Masyarakat dan Kesiapan
dalam REDD+. Materi disampaikan dalam Pertemuan Nasional FKKM, Bogor 6–8
September 2011. Forum Komunikasi Kehutanan Masyarakat, Bogor.
Warsi, 2011. CBFM: Pilihan Bijak Menuju Pemberdayaan Masyarakat dan Pengelolaan
Sumberdaya Hutan yang Berkeadilan dan Berkelanjutan. Presentasi disampaikan dalam
Lesson Learned Workshop. Dinamika Persoalan dan Tantangan Inisiasi Pengembangan
Hutan Desa di Region Kalimantan pada tanggal 13–14 April 2011, Samarinda.
Wijaya, A. dan Aminuddin. 2001. Tana Ulen, Konservasi Tradisonal Suku Dayak Kenyah
Kajian Alternatif Pengelolaan dan Pengembangannya dalam Era Desentralisasi di
Kaltim. Makalah disampaikan pada Forum Keanekaragaman Hayati Indonesia 2001
pada tanggal 10–12 Juli 2001, Jakarta.
Wiyono, E.B. dan H. Santoso. 2009. Hutan Desa: Kebijakan dan Mekanisme Kelembagaan
(seri Panduan Praktis Pemberdayaan Masyarakat Sekitar Hutan). Working Group
Pemberdayaan Departemen Kehutanan Republik Indonesia, Jakarta
Wulan, Y.E.; Y. Yasmi; C. Purba dan E. Wollenbug. 2004. Analisis Konflik Sektor
Kehutanan di Indonesia 1997–2003. Center for International Forestry Research (Cifor),
Bogor.