bab v pak nur edited_9 juli

57
BAB V PARTISIPASI MASYARAKAT DALAM PENGELOLAAN SEKOLAH SWASTA Introduction In using the capability approach, we provides a useful language with which to articulate both the learning processes and social value of education, to evaluate educational advantages and equally to indentify disanvantaged, marginalization and exclusion, entails another perspective on public policy in education (Unterhalter, 2010). In this analysis, we try to look at: a. Conditions for free public discussion of the content and form of education for Muhammadiyah Scholl and Catholic School; b. Conditions for forms of governance regarding education at school level that have been freely agreed to by all adults. c. Conditions to implement, given a diversity of social settings, the recommendations of public discussions (adequate financial and skill resources to manage and evaluate the implementation, adequate time,legislation for education provision of a particular form enacted under fair conditions). d. Processes through which student can articulate the intrinsic value of education, drawing on a wide range of forms of expression—freedom of speech on a wide range of topics, access to resources for self-expression. e. Measurements of inequality, not just atthe level of income and wealth, but also of aspects of identity—race,ethnicity, 1

Upload: achmad-nurmandi

Post on 14-Apr-2017

386 views

Category:

Documents


1 download

TRANSCRIPT

Page 1: Bab v pak nur edited_9 juli

BAB V

PARTISIPASI MASYARAKAT DALAM PENGELOLAAN SEKOLAH SWASTA

Introduction

In using the capability approach, we provides a useful language with which to

articulate both the learning processes and social value of education, to evaluate educational

advantages and equally to indentify disanvantaged, marginalization and exclusion, entails

another perspective on public policy in education (Unterhalter, 2010). In this analysis, we try

to look at:

a. Conditions for free public discussion of the content and form of education for

Muhammadiyah Scholl and Catholic School;

b. Conditions for forms of governance regarding education at school level that have been

freely agreed to by all adults.

c. Conditions to implement, given a diversity of social settings, the recommendations of

public discussions (adequate financial and skill resources to manage and evaluate the

implementation, adequate time,legislation for education provision of a particular form

enacted under fair conditions).

d. Processes through which student can articulate the intrinsic value of education, drawing on

a wide range of forms of expression—freedom of speech on a wide range of topics, access

to resources for self-expression.

e. Measurements of inequality, not just atthe level of income and wealth, but also of aspects

of identity—race,ethnicity, gender, and their intersections—that might be relevant toforms

of inequality. These measures are at the national and locallevel, including schools

vi) The median income of teachers and the ratio of that figure to themedian income in the

country, plus noting the extent to whichteachers’ salaries vary by gender and between

teachers of children inhigher and lower socioeconomic status.

vii) Measures of school input andoutput drawing on a primary goodsmetric.

viii) Measures of resources necessary for adequate achievement ofacceptable output.

Kondisi-kondisi Partisipasi

Kondisi-kondisi partisipasi yang akan dibahas dalam bagian berikut adalah kondisi

yang mendorong partisipasi masyarakat dalam pendidikan pada isi dan bentuk sekolah, tata

kelola sekolah yang melibatkan masyarakat, kontribusi masyarakat pada sekolah dan proses

partisipasi.Studi yang dilakukan terhadap 55 sekolah dasar dan menengah Muhammadiyah

dan 37 sekolah dasar dan menengah sekolah Katholik selama 2 bulan dari November 2013

1

Page 2: Bab v pak nur edited_9 juli

sampai Januari 2014. Sesuai dengan sejarahnya, sekolah-sekolah Muhammadiyah didirikan

oleh jemaah atau pimpinan ranting atau pimpinan cabang Muhammadiyah setempat. SD

Muhammadiyah Noyokerten yang didirikan pada tahun 1987 oleh pengurus ranting

Muhammadiyah Sendangtirto Utara dengan memobilisasi bantuan masyarakat setempat

untuk mendirikan bangunan kelas sebanyak 4 kelas. Demikian juga sejarah pendidiran

sekolah-sekolah Katholik yang diawali oleh keinginan jemaah setempat untuk mendidik anak

agar memiliki pengetahuan agama yang baik.

Civil society participation in nation building periods. Pemahaman tentang civil

society participation memiliki konotasi yang sangat luas. Dari kacamata antropologi,

partisipasi masyarakat sipil ditandai dua ciri pokok, yaitu “advanced level of education and

sophistication of the middle classes” dan “their resources, their relative economic

independence” (Mulder, 2005, p. 5). Dengan demikian, agenda yang diusung dari civil

society participation biasanya ditandai dengan upaya untuk menciptakan human well-beings

(kemaslahatan manusia). Dilihat dari para pelakunya, agenda keterlibatan masyarakat sipil

diawali dari gerakan arus bawah, bukan semata-mata dari perintah otoritas tertentu. Tidak

terlalu berlebihan bila istilah yang mengiringi konsep seperti ini adalah voluntarism. Target

utama dari pembentukan sikap voluntarism atau voluntareering acts semacam ini diyakini

lebih karena adanya relational trust di antara orang-orang yang terlibat di dalamnya. Oleh

karena itu, penjelasan civil society participation, dari kacamata sosiologi, tidak bisa

dilepaskan dari pemahaman tentang social capital (Fukuyama, 2001). Diyakini bahwa

masyarakat modern yang diletakkan dalam masyarakat sipil demokratis pun sangat

membutuhkan tumbuh-kembangnya civil society movement macam ini (Putnam, Leonardi, &

Nanetti, 1994).

Yang jauh lebih penting sebenarnya adalah upaya untuk melihat secara lebih

mendalam, bagaimana sejarah keterlibatan civil society telah muncul dan berkontribusi pada

perkembangan sosial kemasyarakatan di Indonesia. Teorisasi sosial sebagai ilmu yang sejauh

ini terlalu menggantungkan diri ke Dunia Barat, ternyata mengalami paradigm shift

(Cummings & William, 2008). Potensi perkembangan ekonomi yang mengarah ke Selatan-

Selatan, keunikan yang tercipta dari masyarakat Asia yang sangat pluralistik, namun pada

waktu yang sama memiliki socio-psychological resilience tertentu, menjadikan praktek-

praktek baik di negara-negara Asia menjadi wilayah yang semakin menarik. Teorisasi sosial

dari Barat telah mengalami stagnasi, dan oleh karenanya identitas Asia dengan segala

keunikannya memang mau tidak mau dilihat sebagai untapped source of knowledge.

2

Page 3: Bab v pak nur edited_9 juli

Kuatnya paradigm shift yang berorientasi untuk memahami keunikan dari negara-

negara Asia ini pulalah yang menjadi pendorong utama bagi para peneliti dari Asia untuk

berperan serta dalam teorisasi civil society participation. Teorisasi partisipasi masyarakat

sipil di Indonesia tidak bisa dilepaskan dari pemahaman historis tentang nation-building di

Indonesia. Sebagai sebuah tanah jajahan, the Netherlands East Indies, diyakini telah memiliki

sistem tradisional di dalam proses sosialisasi dan pendidikan (tim BNSP, 2001,

Menyongsong Pendidikan Indonesia Abad XXI). Sebagai sebuah momentum, sejarah

pendidikan modern di Indonesia memang tidak bisa dilepaskan dari National Awakening, 2

Mei 1908. Kalau ditarik ke belakang, sejarah pendidikan modern – yang dalam ini dengan

mengikuti pola Eropa (berbentuk age-grouping), ini tidak bisa dilepaskan dari dinamika

politik sebagai konteks introduksi dan integrasi pendidikan Eropa ke dalam sistem Indonesia.

Pada era akhir 1800-an, sistem pendidikan yang ada (tradisional) diyakini merupakan

kelanjutan sistem yang telah berlangsung selama ratusan tahun. Sistem belajar dengan cara

magang (apprentice) dilanjutkan dan dikembangkan, tidak hanya untuk pelatihan teknis

semata, tetapi juga pada tingkat agama. Pengembangan pendidikan berbasis asrama seperti

pesantren dinilai juga merupakan kelanjutan dari tradisi nyantrik/magang semacam ini.

Secara politis, introduksi model pembelajaran dari Eropa berawal dari semakin

kuatnya gerakan untuk mengadopsi gagasan Politik Etis 1971 yang diusung oleh van de

Venter (Rosariyanto, 2008). Agenda yang diusung oleh perspektif ini adalah pengakuan dari

pihak the Netherlands authority atas kontribusi ekonomis yang telah banyak diambil dari the

Netherlands East Indies ini. Kesadaran ini akhirnya bermuara pada kesediaan dari pihak

pemerintah Belanda untuk membuka sekolah-sekolah bagi anak negeri (indigenous). Pada

waktu yang sama, Pemerintah Belanda juga memberi ruang bagi agen-agen sosial-keagamaan

lain untuk membuka sekolah di Indonesia.

Dengan dibukanya kran untuk sekolah-sekolah, baik negeri maupun swasta, maka ada

empat jenis sekolah yang mulai beroperasi pada era 1880-an, yang mencakup state-owned

schools, mission-based schools, nationalist-driven schools, and Islamic-based schools

(Budiraharjo, 2014). Dilihat dari keempat kelompok sekolah ini, hanya kelompok pertama

yang benar-benar didirikan oleh pihak pemerintah. Ketiga kelompok sekolah, yaitu mission-

based (milik Gereja Katholik), nationalist-driven (seperti Taman Siswa), dan Islamic-based

(madrasahs dan pesantren), benar-benar muncul dari partisipasi masyarakat.

Dilihat dari kacamata nation-building, kehadiran sekolah-sekolah ini mau tidak mau

menghadirkan bonus kesadaran patriotisme. Represi kolonial yang berlangsung cukup lama

telah membungkam warga pribumi semakin dirasakan sebagai realitas yang harus diubah.

3

Page 4: Bab v pak nur edited_9 juli

Tidak sampai tiga dekade kemudian, generasi muda yang telah tercerahkan dengan

penguasaan ilmu dan keterampilan teknis akhirnya berani mencetuskan impian untuk menjadi

sebuah negara yang merdeka. Bisa dikatakan bahwa gerakan untuk mengusung kemerdekaan

macam ini sebenarnya lebih merupakan gerakan dari civil society. Berbagai tinjauan historis

memiliki kesamaan analisis; gerakan mengusung kemerdekaan dengan penggunaan senjata di

Jawa berakhir pada era Diponegoro (1830), dan di Aceh (1904). Perjuangan sesudah 1908

ditandai dengan gerakan sosio-kultural-politis, bukan politis-militeristik. Munculnya

perubahan pada tataran cara macam ini sungguh merupakan cikal-bakal dari tumbuhnya civil

society participation.

Bagaimana kontribusi lembaga keagamaan dalam mendukung agenda civil society

participation ini? Dari sudut pandang Catholicism, sosok penting yang mendasari

terbentuknya pendidikan di Indonesia adalah Rev. van Lith. Jesuit dari Belanda ini tiba di

Indonesia pada tahun 1896. Sementara, keberadaan sekolah Katholik sendiri sebenarnya

sudah ada jauh sebelumnya. Sekolah yang dikelola suster-suster Ursulin didirkan di Indonesia

pertama kali pada tahun 1858. Namun, kehadiran Rev. van Lith memiliki tingkat significance

yang tinggi. Pertama, beliau membawa pendekatan sosial-antropologis yang tidak semata-

mata ditargetkan untuk pertobatan masuk ke iman Katholik. Kedua, beliau mendirikan dasar-

dasar pendidikan, mengingat Kolese Fransiskus Xaverius (sekarang SMA van Lith) yang

didirikan di Muntilan, di tanah Jawa, merupakan sekolah guru, yang mempersiapkan orang-

orang Jawa untuk menjadi pendidik di kalangan bangsanya sendiri (Subanar, 2003;

Rosariyanto, 2009).  Apa yang diusung oleh Rev. van Lith di dalam pendidikan sekolah guru

adalah upaya untuk membantu transformasi sosial-kultural-antropologis dari masyarakat

Jawa. Berbagai hal negatif, seperti contract-based marriage, dan kebiasaan untuk bersikap

opportunistic, menjadi contoh nyata atas perubahan-perubahan ontologis macam apa yang

mesti diubah, sesuai dengan hal yang secara universal-etis jauh bisa diterima (Rosariyanto,

2009).

Yang perlu kita jelaskan lebih lanjut adalah kontribusi khas dari sistem pendidikan

Muhammadiyah.

Capability approach untuk memahami implementasi kurikulum. Gagasan capability

approach yang diusung oleh Amartya Sen (1993) merupakan kelanjutan dari pendekatan

humanisme.

4

Page 5: Bab v pak nur edited_9 juli

Kreasi Isi dan Bentuk Sekolah

Sebagai organisasi masyarakat sipil, Muhammadiyah dan Yayasan-yayasan Katholik

memiliki tradisi dan sejarah yang panjang di dalam pengelolaan sekolah-sekolah sebelum

Indonesia merdeka. In the eighteenth and nineteenth centuries a vast network of Qur'anic

schools spread across the archipelago (Hefner, 2000). The leaders of these schools were

suspicious of Europeans and their native allies, and they located their institutions at a safe

distance from state capitals (Hefner, 2000).

Pendirian sekolah-sekolah Muhammadiyah telah dimulai sejak sebelum kemerdekaan

dengan tujuan untuk memberikan kesempatan pendidikan kepada warga pribumi.

Muhammadiyah berusaha melakukan pembaharuan untuk memurnikan keyakinan agama dari

campuran sistem-sistem tradisional dengan melaksanakan gerakan pembaharuan untuk

membawa agama berjalan harmonis dengan pemikiran rasional modern dengan kembali pada

AlQur’an dan keyakinan Islam sesungguhnya. Muhammadiyah memilihnyalewat jalan

pendidikan.Melalui bidang pendidikan Muhammadiyah menerapkan cara belajar agama yang

mudah sehingga kalangan awamyang tidak pernah belajar di pondok pesantren menjadi

tertarik untuk belajar agama Islam. Pendidikan Muhammadiyah juga memberikan pelajaran

ilmu pengetahuan dan keterampilan sehingga terbuka jalan bagi terciptanya manusia muslim

yang cerdas dengan berilmu pengetahuan dan keterampilan yang berguna bagi masyarakat

(Ariyanti, 2011). K.H. Ahmad Dahlan pendiri Muhammadiyah menggabungkan antara

metode pendidikan model pesantren denganpendidikan model barat. Pelajaran yang diambil

dari pendidikan pesantren adalah mata pelajaran agama Islamnya, sedangkan yang diambil

dari sistem pendidikan barat adalah mata pelajaran umumnya serta sistem kelasnya (Ariyanti,

2011).

Secara normatif rumusan isi dan bentuk sekolah muhammadiyah dalam

konsep“SekolahMuhammadiyah Unggul” mampu (1) tertib ibadah; (2) mahir baca tulis al-

Qur’an; (3)berwawasan kebangsaan; (4) pengetahuan akademis tinggi; (5) mampu berbahasa

asing; (6)memiliki ketrampilan komputer (Suara Muhammadiyah 1-15 Oktober 2004). Dalam

perkembangan kontemporer, partisipasi masyarakat dalam pendidikan dasar, Muhammadiyah

mengembangkan bentuk Sekolah Model Baru ini yang dinamakan fullday school.

Padaumumnya dikelola oleh anak-anakmuda, memakai sistemfull dayschool(waktu

pembelajaran hinggasore hari), memakai metode-metodebaru dalam pembelajaran.

Hampirsemua SD model baru ini justrumuncul atau gedungnya itu berasaldari SD

Muhammadiyah yangsudah mati, tapi dengan manajemendan sistem pendidikan baru

dapattumbuh menjadi sekolah unggul, misal; di Jakarta ada SD Muhammadiyah 8 Plus yang

5

Page 6: Bab v pak nur edited_9 juli

berada diDuren Sawit, Sekolah Kreatif SDMuhammadiyah 16 Surabaya, SDMuhammadiyah

Alternatif diMagelang, SD MuhammadiyahCondong Catur di Yogyakarta, termasuk SD

Muhammadiyah Program Khusus Kotta-Barat Surakarta (Muhammad Ali dan Marpuji

Ali,2004).

Pendidikan di Indonesia pada orde Katolik mulai mengalami perkembangan yang

ditandai dengan didirikannya sekolah-sekolah formal oleh bangsa Spanyol dan Portugis.

Awalnya sekolah tersebut didirikan untuk tujuan peribadatan, yaitu mendidik calon imam

(pastor). Selajutnya, pada zaman penjajahan Hindia-Belanda pendidikan di bawah asuhan

Katolik mulai diperbolehkan membuka sekolah umum. Hingga banyak didirikan sekolah

Katolik di beberapa daerah di Indonesia.

Bangsa Spanyol dan Portugis pada abad ke 16 datang ke Indonesia untuk mencari

rempah-rempah atau kebutuhan hidup lainnya. Bangsa ini termasuk penganut agama Katolik

yang kuat imannya. Di mana mereka berada, di mana mereka bekerja dengan kesadaran iman

yang kuat itu mereka menjalankan ajaran agamanya. Hal itu dijalankan juga bagi bangsa itu

yang berada di Indonesia seperti tersebut di atas. Dengan demikian, mereka sering dikatakan

sambil berdagang bangsa Spanyol dan Portugis itu juga menyebarkan agama Katolik.

Untuk memenuhi ibadat mereka pada tahun 1536 mendirikan sekolah Seminari,

sekolah yang mendidik calon imam (pastor), di Ternate. Sekolah ini juga menerima anak-

anak pribumi. Tetapi karena sekolah ini sekolah agama dan penerimaan siswa pun terbatas

jumlahnya, maka sekolah ini tidak bisa berkembang dengan baik. Dan selain itu penduduk di

daerah Maluku belum mempunyai kesadaran dan pengertian tentang sekolah.

Kemudian tidak berapa lama datanglah bangsa Belanda yang arah pertamanya tidak

berbeda dengan bangsa Spanyol dan Portugis ini, yaitu berdagang mencari rempah-rempah

yang banyak dihasilkan di daerah Maluku. Bangsa Belanda ini berbeda keyakinan atau agama

dengan bangsa Spanyol dan Portugis. Bangsa Belanda semakin hari semakin kuat makin

besar pengaruhnya dan akhirnya dapat mendesak bangsa Spanyol dan Portugis itu.

Selanjutnya pada zaman penjajahan Hindia-Belanda pendidikan di bawah asuhan

Katolik mulai diperbolehkan membuka sekolah umum. Pada permulaan itu dibuka dua buah

sekolah putri di Jakarta, satu sekolah putra, dan satu sekolah putri di Surabaya. Sekolah-

sekolah itu didirikan oleh para Romo atau Bruder atau Suster. Sehingga kebanyakan sekolah

Katolik ini menganut sekolah nonkoedukasi, yaitu memisahkan antara murid putra atau murid

putri.Di luar Pulau Jawa sekolah Katolik terdapat di Larantuka (Pulau Flores) dan Pulau

Bangka. Yang ada di Larantuka cukup terkenal. Sekolah itu meskipun termasuk sekolah

6

Page 7: Bab v pak nur edited_9 juli

umum, tetapi memberikan pelajaran ketrampilan, seperti pertukangan besi, tembaga,

pertanian, dan juga kesehatan.

Pimpinan pertama sekolah ini ialah Bruder de Ruyeter S.Y. Sekolah ini dilengkapi

dengan asrama bagi siswa-siswanya. Dalam usaha pengabdiannya ke masyarakat sekolah ini

pada tahun 1870 mengadakan praktek lapangan (semacam KKN Mahasiswa sekarang)

dengan memberikan suntikan pencegahan penyakit cacar kepada penduduk Kupang (Timor).

Dalam kegiatan ini sangat dirasakan besar manfaatnya, lebih-lebih penduduk di sekitar

sekolah itu. Sehingga ketika terjadi wabah penyakit cacar yang menyerang hampir di seluruh

Flores atau Nusa Tenggara Timur, satu-satunya daerah yang terhindar dari penyakit itu ialah

daerah Larantuka.

Lalu pada tahun 1880 oleh suster-suster Santa Ursula di Jakarta didirikan sekolah

guru (normal cursus). Sekolah ini menerima siswa khusus putri.                  

Kebanyakan sekolah yang didirikan di Jawa memakai bahasa pengantar bahasa

Belanda; karena guru-gurunya sebagian besar para Pastor atau Bruder atau Suster yang belum

begitu fasih dengan bahasa Jawa/Indonesia. Tetapi di daerah luar Pulau Jawa telah digunakan

bahasa Melayu. Lalu pada tahun 1892 atas prakarsa Pastor W. Hellings S.Y. didirikan

sekolah-sekolah berbahasa Jawa di Muntilan, Mungkit, Tempuran, dan Salam (Jawa Tengah).

Dan pada waktu di bawah pimpinan Pastor Van Lith sekolah di Muntilan dan Pastor

Hoevevaars sekolah di Mendut, lebih diintensifkan sekolah dengan bahasa Jawa sebagai

bahasa pengantarnya. Lalu suster-suster Fransiskan membuka sekolah guru (Kweekschool) di

Mendut, pada tahun 1899.

Sekolah sekolah Katolik banyak menerima subsidi dari pemerintah. Sebagai gambaran

sekolah sekolah-sekolah yang mendapat subsidi (1938) antara lain :

1.         AMS (SMA)                                : 1 sekolah

2.         HBS (SMP raja/pejabat)              : 3 sekolah

3.         MULO                                         : 10 sekolah

4.         ELS                                              : 40 sekolah

5.         HCS                                             : 125 sekolah

6.         HIS                                              : 18 sekolah

7.         Schkel school                               : 3 sekolah

8.         Vervolg school                             : 71 sekolah

9.         Volk school                                  : 529 sekolah

10.     HIK                                              : 1 sekolah

11.     Normal school                              : 1 sekolah

7

Page 8: Bab v pak nur edited_9 juli

12.     Kursus guru desa                                     : 4 sekolah

13.     Ambactschool                              : 3 sekolah

14.     Sekolah Ketrampilan Putri           : 2 sekolah

Jumlah sekolah yang mendapat subsidi = 698 sekolah

Melihat jumlah sekolah yang semakin banyak itu maka dapat dikatakan sekolah-

sekolah swasta Katolik ini cukup pesat perkembangannya. Demikian juga pada zaman

kemerdekaan ini. Banyak sekolah yang mempunyai nama yang baik karena mutu sekolah itu

tidak kalah dengan sekolah lain, bahkan ada juga yang lebih menonjol. Adapun faktor-faktor

yang menyebabkan sekolah itu maju ialah :

1.      Sekolah telah banyak membantu daerah secara nyata dalam menangani pendidikan, dan

juga bidang lain.

2.      Sekolah memperhatikan anak-anak Bumi Putra yang cukup baik.

3.      Banyak pejabat di daerah atau pusat yang dulu dididik di sekolah Katolik.

4.      Sekolah itu mendidik siswanya dengan penuh disiplin, tekun, ulet, dan rajin.

5.      Dan yang tidak kalah pentingnya berkat ketekunan daripada pimpinan dan guru, yang

bekerja/mengajar dengan penuh dedikasi.

Tetapi di dalam perjalanannya, seiring juga mengalami hambatan kesulitan, antara

lain :

1.      Banyaknya siswa dari keturunan asing termasuk juga Belanda, China, dan bangsa Eropa

lainnya; sehingga sering disebut sebagai sekolah elite.

2.      Sekolah masih masih memakai bahasa pengantar bahasa Belanda.

3.      Terbatasnya dana sehingga banyak terjadi satu sekolah dipakai oleh beberapa sekolah.

4.      Pada zaman Jepang semua sekolah swasta termasuk termasuk sekolah Katolik ditutup. Hal

itu menyulitkan dalam merehabilitirnya.

Di sekolah-sekolah dasar Muhammadiyah di Kabupaten Klaten dan Sleman, jam

belajar berlangsung sampai pukul 15.30 sore setelah sholat asyar. Tujuan dari fullday school

ini adalah untuk meningkatkan pengetahuan dan pengamalan Agama Islam dan

Kemuhammadiyaan (wawancara, dengan kepala sekolah).

Tabel 5.1. Konten dan Bentuk Sekolah Swasta

Sekolah Katholik Sekolah Muhammadiyah

Konten Mapel agama Katholik dan

Kemarsudirian

Mapel Al Islam dan

Kemuhammadiyaan

Bentuk Fullday School Fullday School

Sumber: Hasil Olah Data.

8

Page 9: Bab v pak nur edited_9 juli

N

o

ALASAN

MASUK

SEKOLAH

SD

KATHOLI

K

%

SD

MUHAMMADIY

AH

%

1 Biaya 0 9 30,00%

2 Jarak 1 1,39% 6 20,00%

3 Keagamaan 10 41,67% 6 20,00%

4 Kualitas 11 45,83% 4 13,33%

5 Fasilitas 1 1,39% 4 13,33%

6Lain-

lainnya 1 1,39% 1 3,33%

Jumlah 24 100,00% 30

100,00

%

N

o

ALASAN

MASUK

SEKOLA

H

SMP

KATH

OLIK

%

SMP

MUHAM

MADIYA

H

%

1 Biaya 0 0,00% 9 30,00%

2 Jarak 0 0,00% 2 6,67%

3Keagama

an7

53,85

% 9 30,00%

4Kualitas

538,46

% 3 10,00%

5 Fasilitas 0 0,00% 1 3,33%

6Lain-

lainnya1

7,69% 1 3,33%

Jumlah 13

100,00

% 25 83,33%

Sumber: Hasil olah data

Memperhatikan data yang ada diatas, dapat dikatakan bahwa sebagain besar alasan

para orang tua menyekolahkan anaknya di sekolah Muhammadiyah karena biayanya

9

Page 10: Bab v pak nur edited_9 juli

terjangkau (murah), selain karena alasan keagamaan (Islam berafiliasi Muhammadiyah),

sehingga dalam pandangan orang tua siswa Muhammadiyah akan tetap berkembang setelah

para siswa nanti menyelesaikan sekolah di lembaga pendidikan Muhammadiyah. Ini juga

dapat dikatan sebagai alasan ideologis, yakni keyakinan keagamaan dan

Kemuhammadiyahan, selain karena asalan kualuitas sekolahanya yang dianggap baik. Hal

seperti ini sedikit berbeda dengan motiv orang tua di Kota Ende, Nusa Tenggara Timur

(NTT) yang menyekolahkan anak-anak di sekolah Muhammadiyah bukan karena alasan

keagamaan, tetapi alasan kualitas sekolah Muhammadiyah yang jauh lebih baik disbanding

sekolah Kristen dan Katolik, sebab di Ende sebagian besar (mencapai 67 %) siswanya

beragama Katolik. (Abdul Mu’thi, 2010)

Perilaku Agensi Sekolah Katholik dan Sekolah Muhammadiyah

Agency is related to other approaches that stress self-determination, authentic self

direction, autonomy, self-reliance, empowerment, voice and so on (Alkire and Denaulin,

2010). In this sense, private school try to exist self-reliance and to autonomy their

management. Implikasi kebijakan wajib belajar terhadap lembaga pendidikan swasta menarik

untuk dikaji. Apakah bantuan operasional sekolah dapat mencukupi pembiayaan di sekolah-

sekolah swasta? Sebagaiman yang dijelaskan didepan bahwa masing-masing siswa di sekolah

swasta menerima bantuan keuangan setahun rata-rata untuk tingkat Sekolah Dasar sebesar

Rp. 90.000/semester, sheingga setahun siswa SD rata-rata mendapatkan dana sumbangan

pemerintah sebesar Rp. 180.000.Sedangkan untuk tingkat SMP, dari semua SMP yang diteliti

semuanya tidak ada yang dari pemerintah, baik Provinsi, kabupaten maupun nasional. Dari

tabel berikut ditehui bahwa proporsi pendapatan yang berasal dari bantuan operasional

sekolah berdasarkan kebijakan pendidikan wajar hanya 37% dari pendapatan sekolah secara

keseluruhan. Sumbangan siswa bagi sekolah swasta masih memberikan kontribusi sebesar

17,54%. Sumbangan pihak ketiga baik dari Pemerintah, Yayasan dan pihak ketiga mencapai

hampir sepertiga dari pendapatan sekolah. Dengan kata lain bantuan operasional sekolah

tidak mencukupi untuk membiayai biaya operasional dan pembangunan sekolah-sekolah

swasta.

10

Page 11: Bab v pak nur edited_9 juli

Tabel 5.1. Pendapatan Sekolah SD Swasta di Jawa Tengah dan DIY

NURAIAN

PENDAPATAN

PERSE

NTASE

1 Uang Sekolah (SPP) 17,54%

2 Sumbangan Gedung 8,23%

3Sumbangan Gedung

Yayasan12,46%

4Sumbangan

Pemerintah13,51%

5Sumbangan Pihak

Ketiga10,36%

6 BOSNAS 31,04%

7 BOSPROV 3,04%

8 BOSKAB 3,82%

Sumber: hasil olah data

Salah satu pembiayaan yang besar adalah pembangunan sarana dan prasarana, terutama

gedung dan segala perlengkapannya. Berbeda dengan sekolah-sekolah negeri yang dibiayai

oleh Anggaran Pendapatan Belanja Daerah (APBD) dan Anggaran Belaja Pendapatan Negara

(APBN), maka sekolah-sekolah swasta mengandalkan berbagai sumbangan untuk

membangun gedung dan memenuhi perlengkapannya.

Memperhatikan data diatas juga kita dapat melihat bahwa pihak sekolah swasta, para

siswanya yang mendapatkan sumbangan BOSDA/Bosnas hanya pada tingkatan SD,

sementara untuk tingkatan SMP swasta baik Katolik maupun Muhammadiyah ternyata tidak

mendapatkan. Oleh sebab itu dapat dikatakan juga bahwa beban pembayaran sekolah untuk

siswa-siswa tingkat SMP swasta seluruhnya dibebankan pada masyarakat yang

menyekolahkan anaknya di sekolah-sekolah SMP Swasta. Sedangkan di tingkat SD, baik SD

Muhammadiyah maupun SD Katolik masih mendapatkan sumbangan dari BOSNAS dan

BOSDA sehingga para orang tua tetap terbantu sekalipun sebagian sekolah dasar (SD)

Swasta dikategorikan mahal pembiayaannya.

Dari Sumber Dana Pembangunan Prasarana di Sekolah (gedung dll) dapat

diperoleh gambaran bahwa persentase sumber dana pembangunan prasarana di SD Katolik

adalah berturut-turut pos Dana Alokasi Khusus (22.22%),Networking sekolah (22.22%),

Bantuan dari Pihak Lain (19.44%), Bantuan Pemerintah Kabupaten/Kota (13.89%), dan

11

Page 12: Bab v pak nur edited_9 juli

Bantuan Pemerintah Propinsi (12.50%). Kemampuan sekolah untuk membangun prasarana

fisik secara mandiri (Sumbangan SPP) relatif kecil, yaitu hanya sebesar 9.72%, yang dapat

diartikan bahwa SD Katolik mengandalkan terutama bantuan dana dari pemerintah berupa

DAK, dan bantuan dana dari networking dan pihak lain yang mungkin sekali dikoordinasi

oleh Yayasan atau peran serta masyarakat. Here, those schools have strong desire as agency

suggest that development should foster participation, and democratic practice (Alkire and

Denaulin, 2010).

Sementara itu untuk sekolah-sekolah Muhammadiyah, baik SD maupun SMP, dana

untuk sekolah di dapatkan dari sumbangan orang tua (sebagai sumbangan tidak mengikat)

sebagai jariyah orang tua, atau sumbangan pihak ketiga, sumbangan pemerintah, dan dana

asli sekolah dari pembayaran SPP (Sumbangan Penyelenggaraan Pendidikan) yang cangat

variatif tergantung pada kemampuan masing-masing orang tua siswa membayarnya dan

kemampuan sekolah mendapatkan dana bantuan untuk sekolah. Detail dana pendapatan

sekolah SD dan SMP Swasta Muhammadiyah dan Katolik di DIY dan Jateng adalah sebagai

berikut dibawah ini:

Sumber Dana Sekolah Swasta Muhammadiyah dan Katolik DIY dan Jateng.

No Uraian Sumber DanaSD

Katolik

SD

Muhammadiya

h

Persentas

e

1

Membangun Sendiri

(Sumbangan SPP) 7 9,72% 9 30,00%

2

Dana Alokasi Khusus

(DAK) 16 22,22% 5 16,67%

3

Bantuan dari Pemerintah

Kabupaten/Kota 10 13,89% 3 10,00%

4

Bantuan dari Pemerintah

Provinsi 9 12,50% 5 16,67%

5

Bantuan dari Pihak

Lainnya 14 19,44% 4 13,33%

6 Networking 16 22,22% 4 13,33%

Jumlah 72

100,00

% 30 100,00%

12

Page 13: Bab v pak nur edited_9 juli

Sebaliknya, 30% SD Muhammadiyah memperoleh dana yang bersumber dari

Sumbangan SPP, Bantuan Pemerintah Propinsi (16.67%) dan Dana Alokasi Khusus

(16.67%), sementara hanya 13.33% SD Muhammadiyah memperoleh dana pembangunan

dari Pihak lain dan Networking (13.33%). Persentase terkecil adalah sumber dana dari

pemerintah Kabupaten/Kota yang hanya diterima oleh 10% dari total jumlah SD

Muhammadiyah dalam survei ini.Perbedaan urutan sumber dana pembangunan prasarana SD

Katolik dan SD Muhammadiyah berdasarkan persentase terutama yang berasal dari

Pemerintah Kabupaten/Kota sebagai makro sistem terdekat dengan sekolah dapat menjadi

temuan yang menarik karena dapat mencerminkan keharmonisan hubungan sekolah dengan

Dinas Pendidikan terdekat.

Untuk presentase Sumber Dana Pembangunan Prasarana di SMP Katolik, urutan

yang mirip dengan urutan presentase untuk SD Katolik terjadi, yaitu persentase tiga terbesar

adalah Bantuan Lain ( 26.83%), Networking (21.95%), Dana Alokasi Khusus ( 19.51%)

begitu juga Bantuan dari Propinsi ( 19.51%). Sumber dana yang berasal dari SPP hanya

4.88%. Urutan persentase ini dapat memperlihatkan adanya keterlibatan dari jejaring

sekolah (yayasan) dan pihak lain untuk meningkatkan prasarana sekolah.

Untuk SMP Muhammadiyah, presentase terbesar sumber dana adalah SPP siswa dan

Bantuan Pemerintah Kota/Kabupaten yang masing-masing besarnya adalah 20%, sementara

presentase terkecil adalah Bantuan dari Pemerintah Propinsi (12%). Bantuan provinsi yang

kecil berkaitan dengan dalam otonomi daerah pengelolaan pendidikan dasar menjadi

kewenangan kabupaten dan kota, sehingga jika APBD Kabupaten/Kota rendah maka dana

sumbangan yang diberikan kepada sekolah swasta semakin rendah, tetapi jika APBD tingga

maka kemungkinan dana BOSDSA juga dapat meningkat atau tinggi, lebih dari 100 juta

pertahun.

Kelas Sosial Siswa

Sekolah-sekolah swasta, termasuk sekolah Katholik dan sekolah Muhammadiyah

sangat tergantung kepada jumlah siswa yang masuk untuk menjaga eksistensinya. Dari

wawancara dengan kepala sekolah diketahui bahwa sekolah-sekolah negeri merupakan

kompetitor yang kuat didalam memperoleh siswa. Pada prakteknya di lapangan sekolah-

sekolah negeri menambah jumlah rombongan belajar (dengan jumlah 35 orang

siswa/rombongan belajar), sehingga mengurangi jumlah siswa yang masuk ke sekolah

swasta. Ada dua alasan pokok yang menyebabkan penambahan jumlah rombongan belajar di

13

Page 14: Bab v pak nur edited_9 juli

sekolah negeri, yaitu penambahan prasarana kelas melalui APBD dan pemenuhan jumlah jam

mengajar bagi guru sekolah negeri sertifikasi (24 jam mengajar). Dengan demikian,

persaingan yang kurang fair ini menyebabkan banyak sekolah siswa yang menerima calon

siswa sisa dari sekolah-sekolah negeri. Calon-calon siswa sisa ini pada umumnya berasal dari

keluarga yang kurang mampu atau kemampuan akademiknya kurang.1Di Kabupaten Klaten,

persaingan mencari siswa di tingkat SMP semakin ketat. SMP Muhammadiyah Jogonalan

harus menghapi dua sekolah negeri, yaitu SMP 1 dan 2 negeri Jogonalan. Dua sekolah

tersebut menambah rombongan belajar. Aturan mainnya: masing2 rombel 32-36, dan pada

kenyataannya, justru malah 40, dan itu dibiarkan oleh Dinas Pendidikan setempat.2

Walaupun demikian,Rata-rata Jumlah Siswa di SD Katolik dan SMP Katolik

memperlihatkan jumlah siswa yang stabil, artinya tidak ada penambahan jumlah siswa yang

cukup signifikan di tingkat SMP. Sementara di SMP Muhammadiyah, ada kenaikan jumlah

siswa sebesar lebih dari 200% dari jumlah siswa di tingkat sekolah dasar. Data yang

ditampilkan di tabel ini menjadi menarik utnuk dicermati dengan membandingkan data

dengan alasan masuk Sekolah, yaitu siswa SD Katolik adalah secara berurutan sebagai

berikut: Kualitas (55%), alasan terkait Keagamaan (50%), dan biaya sebagai alasan paling

kecil persentasenya ( 5%). Sementara di SD Muhammadiyah persentase alasan masuk

sekolah terbesar adalah biaya (30%) dan alasan keagamaan serta jarak yang masing-masing

adalah 20%. Data seperti itu seperti juga terjadi ketika para orang tua menyekolahkan para

anaknya di sekolah Muhammadiyah di Ende, seperti telah disinggung diatas, yakni karena

alasan kualitas sekolah Muhammadiyah lebih baik ketimbang kualitas sekolah Katolik atau

pun Protestan di Ende. (Mu’thi, 2010)

Di tingkat SMP, alasan terbanyak untuk siswa memilih SMP Katolik adalah tetap

Keagamaan ( 53.85%) dan Kualitas (38.46%), sementara untuk SMP Muhamadiyah biaya

tetap menjadi pertimbangan terbesar ketika siswa memilih sekolah ( 30%) sama dengan

alasan keagamaan (30%) dan kualitas dipilih oleh hanya 10% responden. Dari perbandingan

tabel alasan tersebut, nampaknya ada konsistensi alasan memilih sekolah katolik bagi

orangtua putra-putrinya tanpa memperhitungkan alasan biaya sebagai pertimbangan utama.

Sedangkan untuk orang tua dan siswa yang memilih sekolah Muhammadiyah, biaya selalu

menjadi alasan penting, kemudian alasan keagamaan dan kualitas. Perbandingan alasan ini

dapat memperlihatkan secara umum kemampuan finasial para siswa yang memilih sekolah

Katolik ataupun sekolah Muhammdiyah. Data ini sedikit berbeda dengan yang terjadi di

1Wawancara dengan nara sumber pada tanggal 12 November 2013.2Wawancara dengan Kepala Sekolah SMP Muhammadiyah Jogonalan, 6 November 2013.

14

Page 15: Bab v pak nur edited_9 juli

Ende, sebab di Ende alasan ideologis (keagamaan) kurang mendapatkan porsi yang dominan.

Baik level SD maupun SMP jika merujuk sekolah di Ende, maka alasan kualitas menempati

urutan teratas, tidak ada alasan keagamaan yang kuat sebab sebagian besar siswa di SD, SMP

dan SMA di Ende adalah Bergama non Islam. (Mu’thi, 2010)

Dari 95 sekolah yang diteliti, 60% sekolah memberikan beasiswa kepada siswa yang

kurang mampu, alias kaum miskin, atau kelas bawah dengan krieteria yang telah ditentukan

oleh siswa, misalnya siswanya miskin tetapi anaknya pintar dalam hal mata pelajaran, orang

tua siswa kurang mampu dalam hal kehidupan sehari-hari, siswa memiliki semangat belajar

yang kuat, sekalipun jauh dari fasilitas pendidikan yang ada, serta berakhlak (kepribadian)

yang baik, tidak nakal atau tidak suka membuat kekacauan yang dapat merusak hubungan

baik antar sesama (siswa dengan siswa) serta siswa dengan para guru dan masyarakat.

Memperhatikan kecenderungan seperti itu, dapat dikatakan bahwa sekolah-sekolah

swasta baik Sekolah Muhammadiyah maupun sekolah Katolik memberikan perhatian pada

kelangsungan pendidikan dikalangan kurang mampu. Hal ini yang tampaknya menjadi spirit

sekolah-sekolah swasta (Muhammadiyah dan Katolik) dalam menyelenggarakan pendidikan.

Sekalipun sebagian kecil sekolah Muhammadiyah dan Katolik mengalami penurunan tetapi

mereka tetap memberikan perhatian pada masyarakat miskin untuk dapat menyekolahkan

anaknya di sekolah swasta. Hal ini juga sejalan semangat “melayani”yang dilakukan oleh

organisasi-organisasi social keagamaan seperti Muhammadiyah dan Katolik dalam melayani

masyarakat yang kekurangan. Seperti di Amerika sejak pemerintahan George Bush, Bill

Clinton dan Walker Bush, ketika mengintrodusir soal pelayanan kesehatan pada masyarakat

dimana agama juga menginisiasikan tentang kesalehan pada masyarakat sebagai pilihan

pelayanan. Apa yang dilakukan oleh agama untuk menyediakan makanan, lapangan

pekerjaan dan pelajaran membaca pada masyarakat menjadi persoalan ketika Negara juga

melakukan hal yang sama. Pertarungan antara institusi keagamaan dan Negara menjadi

kentara ketika keduanya berbut pada wilayah public. (Bartskowski 2003: 4-5, Ilchman, 2010)

Dalam kaitannya dengan pemberian bantuan dari pihak negara kepada sekolah swasta

Muhammadiyah dan katolik, agaknya ada dampak kebijakan pemerintah terhadap sekolah-

sekolah Katholik. Dapat dilaihat dibawah ini bagaimana sekolah Swasta Katolik dan

Muhammadiyah menghadapi kebijakan negara tersebut.

1. 61% SDK menjumpai kebijakan pemerintah baik.

2. 39% SMP menjumpai kebijakan pemerintah baik.

15

Page 16: Bab v pak nur edited_9 juli

Artinya, bagi SDK bantuan dana BOS dinilai lebih menguntungkan dibandingkan dengan apa

yang dirasakan oleh SMPK. Temuan-temuan di lapangan memang menunjukkan gejala

seperti ini. Data-data kualitatif menunjukkan bahwa pihak birokrasi cenderung lebih

menunjukkan kepedulian pada tingkat SD

Analisis konseptual dari temuan-temuan di lapangan

Mengapa sekolah-sekolah swasta cenderung memiliki tingkat keberterimaan yang cukup

tinggi dan masih bisa bertahan sejauh ini?

Tatakelola Sekolah

Tatakelola sekolah Katholik dan Muhammadiyah sangat dipengaruhi oleh sejarah dan

misi organisasi yang bersangkutan. Walaupun pemerintah memberikan pedoman tentang tata

kelola sekolah dengan Keputusan Menteri Pendidikan Nasional Republik Indonesia nomor

044/u/2002 tentang Dewan Pendidikan dan Komite Sekolah dijelaskan bahwa Komite

Sekolah adalah badan mandiri yang mewadahi peran serta masyarakat dalam rangka

meningkatkan mutu, pemerataan, dan efisiensi pengelolaan pendidikan di satuan pendidikan,

baik pada pendidikan pra sekolah, jalur pendidikan sekolah maupun jalur pendidikan luar

sekolah. Sedangkan Nama badan disesuaikan dengan kondisi dan kebutuhan daerah masing-

masing satuan pendidikan, seperti Komite Sekolah, Komite Pendidikan, Komite Pendidikan

Luar Sekolah, Dewan sekolah, Majelis Sekolah, Majelis Madrasah, Komite TK, atau nama

lain yang disepakati.

Di sekolah-sekolah Muhammadiyah, secara umum susunan kepengurusan komite

sekolah terdiri dari wakil orang tua, tokoh masyarakat, wakil dari pengurus Muhammadiyah

dan alumni.

16

Pengurus Dikdasmen Pimpinan Cabang

Kepala

Sekolah

Komite

Sekolah

GuruKelas GuruKelas GuruKelasGuruKelas Guru Kelas

MASYARAKAT SEKITAR

Page 17: Bab v pak nur edited_9 juli

Di sekolah-sekolah swasta Katolik, secara umum susunan kepengurusan komite

sekolah terdiri dari wakil orang tua, tokoh masyarakat, wakil dari pengurus Yayasan dan

alumni.

Pertama, tidak semata-mata karena loyalitas ideologis, tetapi sekolah yang dipercaya

karena memiliki kapasitas untuk tetap mempertahankan kapasitas dan konsistensi dalam

memperjuangkan nilai-nilai relevan dan kultur lokal. Pemahaman kurikulum dimaknai secara

luas, yaitu bukan pada apa yang diungkapkan pada tataran dokumentasi saja. Ada beberapa

indikasi lain yang menunjukkan kapasitas yang baik. Misalnya, dicarinya mekanisme untuk

memperkuat pengalaman belajar yang lebih holistic. Contohnya meliputi: (a) dilibatkannya

para siswa dengan kegiatan untuk pelayanan, baik itu dalam hal keagamaan maupun sosial

(kultum). Ini merujuk pada upaya untuk menjaga relevansi pendidikan pada tingkat

17

Page 18: Bab v pak nur edited_9 juli

masyarakat. (b) dikembangkannya kegiatan ekstrakurikuler yang mencerminkan kebutuhan

nyata sesuai dengan konteks sosial ekonomi kemasyarakatan. Misalnya, di SMP PL Bayat

diajarkan pelatihan menjahit (konveksi). Mengapa harus bidang ini? Karena masyarakat

Klaten merupakan sentra konveksi sebagai industri rumah tangga. (c) pelibatan orang tua dan

masyarakat dalam agenda untuk menjaga school sustainability. Bentuknya bisa sangat

beragam. Koin 100 dikembangkan oleh Pak Klidiatmoko di SDK Wirobrajan. Pengumpulan

dana alumni dilakukan di berbagai tempat, misalnya Bayat, Kaliduren, SDK Wirobrajan.

Membangun kerja sama dengan masyarakat lokal, yaitu dengan menggerakkan atau

memobilisasi original stakeholders. Dana guru di GAnjuran menjadi contoh nyata. bagaimana

tempat ziarah di Ganjuran memungkinkan para guru di SDK Ganjuran mendapatkan

sokongan dana sampai 500 ribu/bulan.

Berbagai temuan di lapangan menunjukkan bahwa keberhasilan untuk mempertahankan

eksistensi memang sangat dipengaruhi oleh berbagai macam hal, termasuk di dalamnya

adalah kuatnya pengakuan secara kultural tentang peran-peran yang telah dimainkan oleh

sejumlah sekolah swasta. Sekolah-sekolah pionir yang mendapatkan pengakuan dan

kehadirannya telah dirasakan oleh beberapa generasi, dan ditambah dengan kualitas guru,

ketersediaan fasilitas yang tetap baik, akan tetap mendapatkan peluang untuk bertahan.

Wawancara dengan kepala sekolah menunjukkan bahwa pihak otoritas memiliki kepedulian

untuk menjaga keberadaan sekolah swasta di suatu lokasi tertentu. Pihak yang berwenang,

seperti Dinas Pendidikan, dan bahkan pemerintah daerah Kecamatan, dan Desa, memiliki

penghargaan terhadap kontribusi sekolah. Berbagai gesture positif, bisa berupa kunjungan

dan bantuan lain, yang ditampilkan oleh otoritas pemerintahan macam ini dirasakan sebagai

bentuk perhatian dan kepedulian. Sekolah-sekolah yang berhasil menavigasikan diri dalam

relasinya dengan pihak-pihak berwenang, mencoba tetap membuka diri, melakukan kerja

sama dengan agenda pemerintah, menunjukkan dukungan aktif terhadap program-program

yang diusung oleh pemerintah, menjadi indikasi awal bagi keberterimaan sekolah tersebut

pada tataran birokrasi. Bisa dikatakan bahwa kemampuan dan keterampilan kepemimpinan

dari pihak sekolah dalam menjalin relasi dengan berbagai pihak macam ini sangat

berpengaruh kuat dalam menjamin keberlangsungan dan eksistensi kultural di dalam

masyarakat.

Sekolah-sekolah Muhammadiyah dan Katolik yang dijadikan subjek kajian

menunjukkan bahwa mereka tetap bisa bertahan dalam peruabahn-perubahan kebijakan yang

sering dilakukan oleh negara, termasuk kebijakan pendirian sekolah-sekolah kjuruan dan

negeri yang berada di dekat sekolah swasta. Sekolah swasta Muhammadiyah dan Katolik

18

Page 19: Bab v pak nur edited_9 juli

tetap bisa bertahan karena semangat mereka secara keagamaan sebagai bagian dari semangat

pelayanan social atau sebagai bentuk kesalehan social dalam melayani masyarakat. Hal

seperti itu terjadin seperti di negara-negara Amerika Latin dan Balkan. Sebagai sebuah

kegiatan yang bersifat social, hostility-kedermawanan yang bersumber pada etika agama,

menjadi pilihan institusi keagamaan sebagai sebuah gagasan yang semula merupakan ajaran

reformasi keagamaan, karena sebagian paham keagamaan lebih menekankan pada ibadah

yang dinamakan sebagai kebajikan formal. Kebajikan formal yang dimaksudkan adalah

kebajikan yang berupa doa-doa (praying), ritual perjalanan (haji dalam Isalam), ziarah kubur

(wisata ziarah ke Yerusalem) dan seterusnya pada agama Yahudi dan Kristen. Kemudian

reformasi keagamaan memberikan tekanan pada kebajikan social yang dinamakan dengan

sedekah, wakaf atau charity atau hostility sebagai hal yang sangat penting dikerjakan oleh

kaum agama sebab kesalehan tidak hanya kesalehan individual (ritual simbolik) tetapi yang

bersifat pelayanan umum (public services). (Bartskowski, 2003: 5)

Prinsip Akuntabilitas

Dari temuan di lapangan jelas kelihatan bahwa sejumlah sekolah memiliki daya

kelenturan tersendiri dalam persaingan yang serba kompleks, terlebih karena mereka

menjalani prinsip-prinsip akuntabilitas di dalam pola relasi mereka baik secara internal

maupun eksternal. Akuntabilitas publik merujuk pada diberlakukannya sistem terbuka,

transparan, dan terukur. Ketersediaan dana dari pihak pemerintah untuk membantu fasilitas

sarana dan prasarana di sekolah-sekolah swasta sangat sedikit dan bisa dipastikan tidak

pernah mencukupi. Sekolah-sekolah swasta dituntut untuk berusaha sendiri dan berjuang

untuk menemukan berbagai sumber daya yang dapat dimanfaatkan untuk pengembangan

sarana dan prasarana, seperti gedung, meja kursi, dan alat-alat teknologi informasi lain.

Kepedulian terhadap agenda dan misi yang diusung oleh sekolah melalui berbagai kegiatan

layanan pendidikan sangat ditentukan oleh seberapa lincah kepala sekolah dan timnya untuk

memformulasikan strategi komunikasi dengan pihak-pihak penyandang dana. Seperti terjadi

di sekolah Muhammadiyah seperti disampaikan Oleh wakil kepala sekolah SD

Muhammadiyah Sapen bahwa pihak sekolah memiliki hubungan yang baik dengan para

donator, komite sekolah, dan wali murid. Salah satu metode agar tetap dekat dengan para

donator, wali murid dan komite sekolah dengan cara silaturahim, seperti pengajian rutin

bulanan, datang ke rumah-rumah dan menirimkan laporan kegiatan sekolah dan pengeluaran

serta pendapatan sekolah. (wawancara dengan Sofyan, 14/maret, 2014)

19

Page 20: Bab v pak nur edited_9 juli

Berbagai sekolah menggunakan relasi yang baik dengan komite sekolah, orang tua,

dan para alumni untuk menggali dana dari masyarakat macam ini. SMP PL Bayat

mengumpulkan dana dari para alumninya yang tersebar di berbagai wilayah Indonesia, dan

terutama Jakarta. Dana yang terkumpul dari para alumni, atau rekanan lain yang dibangun

oleh para alumni mereka, bisa digunakan untuk pembangunan gedung dan sarana-prasarana

musik dan alat-alat bantu pembelajaran. Kesediaan dari para alumni dan rekanan lain untuk

mempercayakan uang mereka kepada sekolah ditentukan oleh sejumlah faktor. Sosok kepala

sekolah memainkan peran utama. Di satu sisi, kepala sekolah sebagai negosiator utama

dituntut untuk benar-benar mampu menunjukkan komitmen tinggi untuk membantu sesama,

bukan demi kepentingannya sendiri. Di lain pihak, kepala sekolah juga dituntut untuk bisa

mengelola uang dengan cara yang terbuka, transparan, dan terukur melalui berbagai cara.

Para penyandang dana bagi sekolah-sekolah swasta tergerak untuk menginvestasikan uang

mereka dalam rupa dana sosial untuk pendidikan sejauh ada serangkaian bukti empiris yang

ditunjukkan oleh sekolah terkait dengan efektivitas dan efisiensi pengelolaan keuangan dari

pihak sekolah. Adanya bukti-bukti nyata bahwa uang yang telah terkumpul memang telah

tepat sasaran, misalnya berupa dibangunnya suatu fasilitas tertentu, terdistribusinya dana

beasiswa untuk sejumlah siswa yang berkekurangan, menjadi sarana untuk menjamin

akuntabilitas publik.

Data lapangan memberikan petunjuk bahwa sekolah-sekolah swasta dipercaya oleh

public (masyarakat) yang menyekolahkan anaknya di sekolah swasta Muhammadiyah dan

Katolik disebabkan karena prinsip akuntabilitas terjaga dengan baik. Hal yang dilakukan oleh

sekolah Muhammadiyah, SD Muhammadiyah Sapen, Noyokerten dan Nitikan misalnya

selalu melaporkan kepada para orang tua dan komite sekolah pendapatan sekolah selama satu

tahun dan pengeluaran setiap kegiatan. Dari sana masyarakat mengetahuai berapa jumlah

dana yang didapatkan dan dipergunakan untuk kegiatan apa saja semuanya terpampang jelas

di hadapan para orang tua dan komite sekolah. Bahkan khusus untuk sekolah Muhammadiyah

seluruh kegiatan yang berhubungan dengan keuangan dilaporkan kepada Majlis Pendidikan

Dasar dan Menengah (Dikdasmen) PDM dan PCM serta PWM setempat. (wawancara

dengan Saijan dan Sofyan, 14/maret/ 2014)

Ideologi Sekolah Islam-Katholik

Ada satu temuan terkait dengn perbedaan mendasar yang tampaknya berakar pada

keyakinan ideologis antara SD/SMP katholik dan Muhammadiyah. SD/SMP Muhamadiyah

cenderung berdiri sendiri secara independen. Pengelolaan cenderung terdesentralisasi. Lain

halnya dengan sekolah-sekolah Katholik. Dari kelompok ini, mereka cenderung lebih bersatu,

20

Page 21: Bab v pak nur edited_9 juli

dengan berbagai yayasan yang menaunginya. Masing-masing Yayasan cenderung memiliki

cirri khas sendiri-sendiri. Ada yang terbuka, siap untuk bekerja sama dan berbagi. Namunada

juga yang cenderung self-protective. Most established schools cenderung merasa diri self-

sufficient. Terkesan lebih arogan, dan enggan untuk berbagi. Namun terlepas dari variasi

macam ini, sekolah-sekolah Katholik cenderung lebih unified. Terlepas dari charisma

spiritual yang diikuti.

Kasus sekolah Muhammadiyah misalnya dalam hal ideology sangat jelas

mengembangkan ideology Islam yang rahmatan lil alamin, islam yang berkemajuan, dan

islam yang moderat, sebagaimana yang diamanatkan oleh majlis pendidikan dasar dan

menengah Muhammadiyah agar menjadikan pendidikan Muhammadiyah mengembangkan

prinsip islam yang moderat, Islam berkemajuan dan menjunjung tinggi islam rahmatan lil

alamin bukan islam yang ekslusif dalam menemukan perbedaan. Hanya saja di lapangan

karena kemampuan para guru dan pengelola sekolah serta yayasan beragam seringkali

memahami visi dan misi sekolah muhammadiyah dengan sangat beragam juga. Ada sekolah

Muhammadiyah yang tampak “eksklusif” terhadap ideology lain, tetapi ada juga yang sangat

inklusif sehingga dengan mudah menerima perubahan dan perkembangan yang terjadi.

(Muhammad Ali, 2012)

Berbagai friksi ideologis memang ditemukan di lapangan. Friksi dirasakan sangat

kuat untuk kantong-kantong wilayah tetentu, terutama untuk daerah yang dinilai strategis.

Misalnya, daerah Purworejo merupakan sebuah battlefield, di mana suatu lokasi wilayah

yang relative sempit, namun disitu disesaki oleh berbagai sekolah, baik itu negeri maupun

swasta katholik dan islam. SMP Bruderan Purworejo berada di antara beberapa sekolah lain

dengan jarak yang sangat pendek. Jadi, menarik untuk dikaji lebih jauh dalam kaitannya

dengan persoalan pemberian ijin pembukaan sekolah. Sepertinya, pemberian ijin pembukaan

sekolah tidak mengantisipasi potensi konflik dan friksi yang bisa muncul dalam situasi seperti

itu. Friksi bisa terjadi begitu mencekik: dan bisa jadi sangat politis. Di Temanggung,

supervise dari dinas dipakai untuk mengecek apakah sekolah-sekolah swasta tertentu telah

menerapkan ajaran agama sesuai dengan UU atau peraturan yan berlaku atau tidak.

Friksi keagamaan antar berbagai sekolah memang menjadi isu yang menarik untuk

dikaji. Kita tidak bisa meninggalkan adanya gesekan yang terjadi di berbagai tempat. Namun,

gesekan ini tidak semata-mata ideologis, atau pertikaian antar agama. Acapkali, gesekan yang

terjadi justru sebagai akibat dari kebijakan pemerintah di masa lalu. Misalnya, persoalan

terkait dengan kecilnya ruang lingkup dan cakupan yang bisa dinikmati oleh suatu sekolah

bisa jadi merupakan permainan politik yang melibatkan kebijakan tata ruang. Fakta bahwa di

21

Page 22: Bab v pak nur edited_9 juli

suatu tempat tertentu dengan radius jarak yang tidak terlalu luas, namun di dalamnya terdapat

beberapa sekolah, selain melanggar prinsip aksesabilitas, juga menghadirkan dugaan

permainan politik dari sekelompok orang tertentu. SMP PL Bayat menghadapi persaingan

dengan dua sekolah negeri yang berjarak tidak sampai satu km jauhnya. Untuk daerah rural,

jarak seperti itu sudah dengan sendirinya menjadi persoalan tersendiri.

Tidak berbeda jauh dengan sekolah Katolik, yang terjadi sekolah Muhammadiyah

juga demikian adanya. Beberapa sekolah Muhammadiyah di Bantul, Banguntapan,

disebabkan beberapa sekolah negeri berdiri dengan mengratiskan biaya sekolah, maka

sebagian orang tua di sekitar sekolah Muhammadiyah kemudian menyekolahkan anak-

anaknya pada sekolah negeri yang tidak dipungut bayaran. Sekalipun sebagian orang tua

siswa tetap menyekolahkan anaknya ke sekolah Muhammadiyah dengan alasan agar anaknya

tetap mendapatkan pendidikan agama dan kemuhammaidyahan yang mencukupi. Kondisi

sekolah swasta dan sekolah negari saling berkompetisi dalam mendapatkan siswa. Agak

sedikit berbeda dengan sekolah sekolah swasta yang tergolong atau dikategorikan dengan

sekolah “favorit” selalu menolak calon siswa karena jumlahnya melebihi kapasitas ruangan.

(wawancara dengan Saijan dan Sofyan, 12 Maret 2014)

Namun, friksi akibat kebijakan pemerintah yang memecah belah itu sendiri bisa jadi

dimentahkan oleh keterampilan dan kepemimpinan dari tokoh-tokoh kunci. Agenda

radikalisasi telah menguat paska hancurnya rejim orde baru. Namun, Peraturan 3 menteri

memasuki tahun 2000 lalu sebenarnya mendapat “semacam cushioning” karena pihak-pihak

yang memiliki kelincahan dan akses terhadap birokrasi sebenarnya memainkan peran untuk

meredam impact dari peraturan yang terlalu mengikat ini. inti dari surat edaran berupa SKB

tiga menteri itu mempersyaratkan bahwa sekolah-sekolah memiliki kewajiban untuk

menyediakan guru agama sesuai dengan agama yang dianut oleh siswanya. Minimal ada 5

pemeluk agama tertentu, sekolah diwajibkan untuk menyediakan guru agama sesuai dengan

agama itu. Bagi sekolah-sekolah swasta Katholik, jelas aturan ini dirasakan terlalu

memberatkan. Agenda di balik ini adalah menguatnya radikalisasi agama yang masuk ke

ranah pendidikan formal.

Sikap dasar dari kepemimpinan dari sejumlah tokoh kunci tersebut ternyata memiliki

dampak ikutan yang sangat luas. Pihak sekolah swasta tidak memiliki cukup pendanaan

untuk rekrut guru agama tertentu. Selain itu, fondasi pokok dari sekolah swasta, yang

didalamnya para siswa sudah bersepakat untuk mengikuti pelajaran agama sebagaimana yang

ditawarkan di sekolah, digoncangkan oleh isu disharmonisasi yang dilandasi radikalisasi

agama macam ini. berbagai isu yang menyerang, seperti agenda Kristenisasi melalui

22

Page 23: Bab v pak nur edited_9 juli

pendidikan formal, telah membawa disruptions terhadap tatanan sosio-kultural yang ada.

Dalam hal ini, sekolah-sekolah Katholik dan swasta minoritas lain beraliansi untuk

mengambil sikap. Data-data dari lapangan menunjukkan bahwa kepemimpinan sekolah yang

kuat oleh seorang kepala sekolah memungkinkan sekolah tersebut secara kreatif

menyesuaikan diri dengan berbagai tekanan dari masyarakat luas. Secara bersama-sama,

tokoh-tokoh kunci yang menjadi pelaku dari sekolah-sekolah swasta minoritas ini bertemu

dan mendiskusikan strategi yang baik untuk mengatasi tekanan radikalisasi macam ini. SKB

tiga menteri tersebut memang menyurut setelah sekitar 6 tahun menjadi momok yang

menakutkan bagi sekolah-sekolah swasta minoritas. Namun, koordinasi dengan berbagai

pihak bisa meredam pengaruh buruk dari agenda radikalisasi agama itu. Data tentang

radikalisasi pendidikan agama tampak juga di sekolah sekolah di tanah air, seperti dilaporkan

Lakip (2013).

Persoalan kaum muda yang radikal semakin membuat kita prihatin karena

berdasarkan laporan survey LAKIP (Lembaga Kajian Islam dan Perdamaian) memberikan

gaqmbaran yang memperkuat dugaan radikalisasi dikalangan kaum muda (youth) terutama

siswa SMP dan SMA di kawasan Jabotabek (Jakarta, Bogor, Tangerang dan Bekasi)

memberikan indikasi tentang aksi-aksi radikal yang mereka dukung dan berani lakukan

sebagai bagian dari jihad. Mereke tampaknya mendapatkan dukungan yang cukup luas dari

kalangan anak muda di sekolah sekolah tingkat SMP dan SMA.

Ketika ditanyakan kepada mereka kepada 100 sekolah di Jabotabek, dengan 590 guru,

tentang apakah bersedia terlibat dalam aksi kekerasan, sebanyak 48,9 % bersedia mendukung.

Ketika ditanyakan apakah yang dilakukan Nordin M Top, itu dapat dibenarka, sebanyak 14, 2

siswa menyatakan dapat membenarkan. Sementara ketika ditanyakan apakah setuju dengan

pemberlakuan syariat Islam sebanyak 84, 8 (85%) menjawab setuju. Sementara ketika

ditanyakan apakah Pancasila masih relevan sebagai dasar Negara sebanyak 25,8 atau 26%

menjawab tidak relevan. (LAKIP, 2011)

Menjaga Eksistensi di tengah Kebijakan Wajib Belajar

Sebagaimana diungkapkan sebelum bahwa kebijakan wajib belajar bagi sekolah swasta

yang dikelola oleh masyarakat sipil bertahan. Analisis berikut didasarkan pada bagaimana

kemampuan adaptasi sekolah-sekolah tersebut.Adaption was defined as stage ability to secure

needed by the organization from the outside. It is was measured by the whether or not the

program paper needed to obtain government funds. Integration was defined as teh number of

linkages developed with other government services, local group and voluntary organization.

23

Page 24: Bab v pak nur edited_9 juli

Latency was defined as the degree to which local directors ware satisfied with various aspects

of their position on the assumption that the more gratifying the role, the more managed the

system’s tension. Goal attainment was defined as the extend to which the official goals are

accomplished.

Adaptasi

Kemampuan adaptasi sekolah swasta dalam merespon kebijakan tidak boleh memungut

sumbangan penyelenggaraan pendidikan (SPP). Berdasarkan Undang-Undang tersebut

sejak Juli 2005 Pemerintah menyelenggarakan suatu Program yang dinamai Program

Bantuan Operasional Sekolah (BOS). Pendanaan BOS berdasarkan Buku Panduan

Bantuan Operasional Sekolah Departemen Pendidikan Nasional dan Departemen

Pendidikan Agama berasal dari relokasi dana subsidi BBM di bidang pendidikan.

Bantuan Operasional Sekolah didasarkan pada jumlah murid yang ada.BOS juga

menghadirkan persoalan bagi sekolah swasta yang memiliki jumlahrombongan belajar kecil.

Jika mengandalkan BOS, tentu tidak mencukupikebutuhan menggaji tenaga pendidik dan

tenaga kependidikan. Belum lagidana operasional sekolah yang secara berkala harus

dikeluarkan. Faktaitu jelas menunjukkan problem riil yang dihadapi sekolah swasta

ketikaberhadapan dengan kampanye pendidikan gratis.Pertama, selama ini pemerintah telah

memberikan bantuan sarana,fasilitas, dan manajemen kepada sekolah swasta; namun

jumlahnya belumsebanding dengan sekolah negeri. Sistem pemberian bantuan tersebut

sebaiknya diperbaiki sebagaimana Bantuan Operasional Sekolah (BOS) yangdiberikan

berdasarkan jumlah kepala (Supriyoko, 2009). Ketua Badan Musyawarah Perguruan Swasta

(BMPS) Jawa Barat Achlan Husen, menegaskan, larangan pungutan biaya pendidikan

sekolah dasar (SD) dan sekolah menengah pertama (SMP) yang diatur Kementerian

Pendidikan dan Kebudayaan (Kemdikbud), tidak berdasar dan harus ditangguhkan untuk

sekolah swasta. Tantangan lainnya, sekolah swasta harus bersusah payah mencari calon siswa

karena bersaing dengan SMK (Sekolah Menengah Kejuruan).SMP dan SD sekolah swasta

kan harus bayar guru dan operasional. Dana BOS itu kalau mau dikejar tidak cukup. Berbeda

dengan sekolah negeri. Mereka selain dapat dana BOS, dapat gaji juga walaupun ada yang

berebut, (Pikiran Rakyat, 9 Juli 2012).

Ada beberapa fakta menarik untuk dikaji setelah diberlakukan program BOS di

sekolah-sekoalh swasta.

Dana Bos Tidak Cukup

24

Page 25: Bab v pak nur edited_9 juli

Grafik dibawah menunjukkan untuk Proporsi Pendapatan Sekolah bahwa SD dan SM P

Muhammadiyah lebih rendah dari SD dan SMP Kristen. Perbedaan tersebut di asumsikan

bahwa suply dana dalam bentuk pendapatan SD Kristen lebih dominan. Beberapa hal yang

dapat menjadi alasan mengapa sekolah swasta lebih dominan mendapatkan pendapatan lebih

tinggi dari pada SD Muhammadiyah. Seperti, Kualitas dan Kuantitas Sekolah.

Adanya Supply dana relative tinggi di SD Katholik karena beberapa faktor.

Pertama, sekolah-sekolah Katholik terafiliasi dengan komunitas religius dan/atau paroki

tertentu. Data-data dari lapangan menunjukkan bahwa sejumlah besar paroki menganggarkan

dana sosial sebagai bantuan untuk sekolah-sekolah Katholik di lokasi terdekat. Bantuan yang

disalurkan pun memiliki beberapa bentuk, mulai dari penyediaan dana beasiswa bagi para

siswa yang kurang mampu, tambahan honorarium guru, sampai pembangunan sarana dan

prasarana untuk sekolah.

Kedua, sekolah-sekolah Katholik ditandai dengan kuatnya sistem subsidi silang yang

berlaku secara berkelanjutan dan sistematis di antara sekolah-sekolah dalam pengelolaan

suatu yayasan tertentu. Sistem penggajian para guru yang tergabung dalam Yayasan Kanisius

dilakukan secara terpusat (berdasarkan regio masing-masing yang dikelompokkan ke dalam

Yogyakarta, Solo-Klaten, Kedu, dan Semarang). Setiap sekolah Kanisius ditugasi untuk

mengumpulkan sejumlah dana tertentu, sesuai dengan kapasitas dan kapabilitas masing-

masing sekolah ke Yayasan di regio yang bersangkutan setiap bulannya. Dana reguler berupa

gaji guru dan karyawan akan dikembalikan ke sekolah masing-masing. Dana operasional

sekolah lain, yang tidak tercover dalam BOS, akan didistribusikan oleh Yayasan. Dari data

yang diperoleh, hanya tiga SD Kanisius saja yang memiliki surplus. Sementara SD-SD

Kanisius yang lain cenderung mengalami kekurangan dana. Sistem dan mekanisme dana

yang dikelola dengan cara seperti ini sejauh ini dirasakan telah berhasil mempertahankan

kehidupan sekolah-sekolah Kanisius yang secara finansial sangat kekurangan. Sekolah-

sekolah yang terpencil biasanya sangat tergantung pada mekanisme Yayasan Kanisius seperti

ini.

Perhatikan table berikut terkait pendapat sekolah sekolah swasta di Yogyakarta dan

jawa Tengah antara sekolah Muhammadiyah dan Sekolah Katolik.

Pendapatan Sekolah Swasta di Jawa Tengah dan DIY

NURAIAN

PENDAPATAN

PERSE

NTASE

1 Uang Sekolah (SPP) 17,54%

25

Page 26: Bab v pak nur edited_9 juli

2 Sumbangan Gedung 8,23%

3Sumbangan Gedung

Yayasan12,46%

4Sumbangan

Pemerintah13,51%

5Sumbangan Pihak

Ketiga10,36%

6 BOSNAS 31,04%

7 BOSPROV 3,04%

8 BOSKAB 3,82%

Uang Sekolah (SPP)

Sumbangan Gedung

Sumbangan Gedung Yayasan

Sumbangan Pemerintah

Sumbangan Pihak Ketiga

BOSNAS

BOSPROV

BOSKAB

17.54%

8.23%

12.46%

13.51%

10.36%

31.04%

3.04%

3.82%

Dari data itu tampak bahwa: Pertama, total kontribusi pemerintah dalam

penyelenggaraan pendidikan di pendidikan dasar berkisar di angka 50%. Angka ini diperoleh

dari seluruh dana BOS (pusat, propinsi, dan kabupaten) dan dana bantuan pemerintah. Ini

artinya bahwa kontribusi masyarakat dalam pendanaan pendidikan dasar di sekolah-sekolah

swasta (ditanggung oleh orang tua, yayasan, dan penyandang dana lainnya) sebenarnya masih

sangat tinggi. Agenda untuk memberikan akses yang lebih besar kepada masyarakat terkait

dengan pengenalan mekanisme BOS sejak tahun 2005 ternyata sejauh ini belum secara

signifikan berdampak pada menurunnya kontribusi masyarakat. Janji pemerintah untuk

mengusung agenda semakin terbukanya akses pendidikan dasar masih jauh dari harapan.

Kedua, jumlah dana yang dikontribusikan oleh orang tua dalam penyelenggaraan

pendidikan mencapai hampir 26% dari jumlah total dana yang dibutuhkan untuk

operasionalisasi sekolah. Dengan asumsi bahwa pemerintah menanggung kurang lebih 50%

26

Page 27: Bab v pak nur edited_9 juli

dari keseluruhan dana operasionalisasi sekolah, pihak pengelola sekolah (dalam hal ini

yayasan dan pelaku kepemimpinan sekolah) mau tidak mau harus menanggung sampai 24%

dana. Kekurangan dana sebesar 24% ini tentu menimbulkan persoalan yang tidak mudah bagi

para pengelola pendidikan swasta. Jumlah kekurangan sebesar itu diyakini akan berdampak

pada kurang leluasanya pihak sekolah untuk mengembangkan sekolah, mengenalkan

program-program baru yang inovatif, menyediakan sarana dan prasarana yang lebih tepat,

dan minimnya program pengembangan bagi para guru dan karyawan.

Data empiris ini menunjukkan betapa pihak pemerintah dituntut untuk mengembangkan

skema bantuan yang lebih tepat guna dan tepat sasaran, dengan jumlah yang lebih bisa

dipertanggungjawabkan. Dana berlimpah sebesar 20% dari APBN yang disalurkan untuk

wilayah pendidikan mesti ditempatkan pada kerangka untuk memberi bantuan bagi

kelompok-kelompok terpinggirkan seperti anak-anak yang bersekolah di SD swasta macam

ini. Bukan untuk lubrikasi mekanisme pengembangan profesionalisme guru.

Memperhatikan data dibawah terkait dana yang didapatkan sekolah swasta

Muhammadiyah dan Katolik, dapat dikatakan bahwa pendapatan paling besar sebenarnya

datang dari sekolah dan masyrakat sendiri yakni dari uang spp dan dana sumbangan

masyarakat yang tidak mengikat sebagai sumbangan-sumbangan independen dengan berbagai

jenis penamaannya.

KONTRIBUSI MASING-MASING UNSUR PENDAPATAN PADA SD

KRISTEN

NOURAIAN

PENDAPATANPERSENTASE

1Uang Sekolah

(SPP)28,08%

2Sumbangan

Gedung3,13%

3Sumbangan

Gedung Yayasan22,93%

4Sumbangan

Pemerintah9,08%

5Sumbangan Pihak

Ketiga9,80%

6 BOSNAS 22,07%

27

Page 28: Bab v pak nur edited_9 juli

7 BOSPROV 2,76%

8 BOSKAB 2,14%

Uang Sekolah (SPP)

Sumbangan Gedung

Sumbangan Gedung Yayasan

Sumbangan Pemerintah

Sumbangan Pihak Ketiga

BOSNAS

BOSPROV

BOSKAB

28.08%

3.13%

22.93%

9.08%

9.80%

22.07%

2.76%

2.14%

KONTRIBUSI MASING-MASING UNSUR PENDAPATAN PADA SD

MUHAMMADIYAH

NOURAIAN

PENDAPATAN

PERSENTAS

E

1Uang Sekolah

(SPP)5,63%

2Sumbangan

Gedung13,99%

3Sumbangan

Gedung Yayasan0,61%

4Sumbangan

Pemerintah18,51%

5Sumbangan Pihak

Ketiga10,99%

6 BOSNAS 41,18%

7 BOSPROV 3,36%

8 BOSKAB 5,73%

28

Page 29: Bab v pak nur edited_9 juli

Uang Sekolah (SPP)

Sumbangan Gedung

Sumbangan Gedung Yayasan

Sumbangan Pemerintah

Sumbangan Pihak Ketiga

BOSNAS

BOSPROV

BOSKAB

5.63%

13.99%

0.61%

18.51%

10.99%

41.18%

3.36%

5.73%

PERBANDINGAN UNSUR-UNSUR PENDAPATAN ANTARA SD KRISTEN

DENGAN SD MUHAMMADIYAH

NOURAIAN

PENDAPATAN

SD

KRISTEN

SD

MUHAMMADIYAH

1 Uang Sekolah (SPP) 84,94% 15,06%

2 Sumbangan Gedung 20,19% 79,81%

3Sumbangan Gedung

Yayasan97,69% 2,31%

4 Sumbangan Pemerintah 35,67% 64,33%

5Sumbangan Pihak

Ketiga50,22% 49,78%

6 BOSNAS 37,73% 62,27%

7 BOSPROV 48,20% 51,80%

8 BOSKAB 29,67% 70,33%

29

Page 30: Bab v pak nur edited_9 juli

Uang Sekolah (SPP)

Sumbangan Gedung

Sumbangan Gedung Yayasan

Sumbangan Pemerintah

Sumbangan Pihak Ketiga

BOSNAS

BOSPROV

BOSKAB

84.94%

20.19%

97.69%

35.67%

50.22%

37.73%

48.20%

29.67%

15.06%

79.81%

2.31%

64.33%

49.78%

62.27%

51.80%

70.33%

SD MUHAMMADIYAH SD KRISTEN

Data keuangan yang diterima oleh dua kelompok sekolah swasta menghadirkan

gambaran yang menarik. Pertama, sekolah-sekolah Muhammadiyah mendapatkan bantuan

dari pemerintahdalam jumlah yang lebih tinggi daripada sekolah-sekolah Katholik. Rata-rata

jumlah komponen pembiayaan SD Muhammadiyah yang ditanggung oleh pemerintah

mencapai 62,18%. Jumlah ini jauh mengatasi bantuan dari pemerintah yang diterima oleh

sekolah-sekolah Katholik. Rata-rata jumlah komponen pembiayaan SD Katholik yang

ditanggung oleh pemerintah mencapai 37,82%. Dengan demikian besaran dana dari

pemerintah yang dikucurkan ke SD Muhammadiyah mencapai 24,37% lebih tinggi

dibandingkan dengan dana yang dikucurkan oleh Dinas Pendidikan ke SD Katholik.

Kedua, dilihat dari besaran jumlah biaya yang dikeluarkan oleh orang tua, yayasan dan

masyarakat umum, juga diperoleh distribusi angka dalam jumlah yang kurang lebih sama.

Rata-rata komponen biaya sekolah yang ditanggung oleh orang tua, yayasan, dan masyarakat

untuk anak-anak yang belajar di SD Katholik mencapai 63.26%. Sementara rata-rata

komponen biaya sekolah yang ditanggung oleh orang tua, yayasan dan masyarakat untuk

anak-anak yang belajar di SD Muhammadiyah mencapai 36.74%. Dengan demikian, masing-

masing anak didik yang bersekolah di SD Katholik harus membayar 26,52% lebih tinggi

dibandingkan dengan anak-anak yang bersekolah di SD Muhammadiyah.

Dapat disimpulkan bahwa jumlah dana yang harus ditanggung oleh masyarakat bagi

mereka yang mengirim anak-anak ke SD Katholik jauh lebih besar dibandingkan dengan

jumlah daya yang harus ditanggung oleh mereka yang menyekolahkan anak-anak mereka di

SD Muhammadiyah. Dalam hal ini, Dinas Pendidikan telah secara sistematis mengucurkan

dana jauh lebih besar untuk mendukung operasionalisasi SD Muhammadiyah. Di satu sisi, hal

30

Page 31: Bab v pak nur edited_9 juli

ini bisa dimaknai bahwa SD Katholik memiliki kemampuan pendanaan yang lebih kuat

dibandingkan dengan SD Muhammadiyah. Untuk bisa beroperasi, SD Katholik rata-rata

mendapatkan kucuran dana yang jauh lebih rendah. Di lain pihak, kondisi seperti ini pun

sebenarnya bisa disebut sebagai sebuah bentuk ketidakadilan. Pihak Dinas Pendidikan bisa

disebut telah berbuat tidak adil, karena jumlah kucuran dana untuk sekolah-sekolah swasta

ternyata tidak sama. SD Muhammadiyah mendapat hak istimewa lebih dari SD Katholik.

Memperhatikan secara keseluruhan data terkait dana yang dimiliki, dikelola dan

pengeluaran yang ada di sekolah-sekolah swasta Muhammadiyah dan Katolik dapat

dikatakan bahwa selama ini sekolah-sekolah Muhammadiyah dan Katolik dapat terus

bertahan hidup karena menggunakn prinsip subsidi silang, side supply atas sekolah-sekolah

yang kurang mampu. Jika terjadi system subsidi silang dapat dipastikan sebagian besar

sekolah swasta Muhammadiyah dan Katolik mengalami colaps sehingga sekolah masing-

masing bubar karena tidak memiliki sumber dana untuk membayar aktivitas sekolah selama

setiap sebulan. Sekolah swasta Muhammadiyah dan Katolik memang benar mendapatkan

sumbangan tetapi tidak sebanding dengan beban yang harus dibayarkan. Dengan demikian

dapat dikatakan hidup dan matinya sekolah swasta Muhammadiyah dan Katolik adalah

berdasarkan pada kuat dan tidaknya sekolah mendapatkan dan mengelola dana yang masuk

sekolah sehingga dapat menghidupkan aktivitas belajar mengajar.

Selain itu, hidup dan matinya sekolah-sekolah swasta dapat dengan tegas dikatakan

karena spirit pelayanan kepada public, sebagai bentuk dari adanya kesalehan social

(hospitality) yang datang dari spirit keagamaan baik yang datang dari spirit Katolik maupun

spirit Islam. Semangat “melayani” pada public tampak jelas pada sekolah sekolah yang

memberikan beasiswa pada siswa-siswa miskin dan jauh dari fasilitas pendidikan. Hal ini

yang mendorong sekolah-sekolah Muhammadiyah dan Katolik terus bisa bertahan di tengah

gempuran liberalisasi pendidikan dan kebijakan negara yang sering berubah dengan cepat.

31

Page 32: Bab v pak nur edited_9 juli

LAMPIRAN

TABULASI SEKOLAH DASAR

N

NoUraian

Pendapatan

Kristen PersentaseMuhammadiy

ahPersentase Jumlah

Persenta

se

1 Uang

Sekolah

(SPP)

136.973.50

0

28,08

%

84,94

%

24.288.938 5,63% 15,06

%

161.262.4

38

17,54%

2 Sumbangan

Gedung

15.270.000 3,13% 20,19

%

60.359.825 13,99

%

79,81

%

75.629.82

5

8,23%

3 Sumbangan

Gedung

Yayasan

111.854.44

3

22,93

%

97,69

%

2.640.000 0,61% 2,31% 114.494.4

43

12,46%

4 Sumbangan

Pemerintah

44.287.655 9,08% 35,67

%

79.875.000 18,51

%

64,33

%

124.162.6

55

13,51%

5 Sumbangan

Pihak Ketiga

47.812.083 9,80% 50,22

%

47.402.575 10,99

%

49,78

%

95.214.65

8

10,36%

6 BOSNAS 107.671.87

5

22,07

%

37,73

%

177.670.021 41,18

%

62,27

%

285.341.8

96

31,04%

7 BOSPROV 13.485.360 2,76% 48,20

%

14.490.778 3,36% 51,80

%

27.976.13

8

3,04%

8 BOSK

AB

10.426.770 2,14% 29,67

%

24.716.088 5,73% 70,33

%

35.142.85

8

3,82%

Jumlah 487.781.68

7

100,00

%

53,06

%

431.443.224 100,00

%

46,94

%

919.224.9

11

100,00%

Persentase 53,06

%

46,94%

Pengelolaan dana pendidikan di antara sekolah-sekolah swasta Katholik dan

Muhammadiyah mencerminkan trend yang berbeda. Pertama, jumlah uang SPP yang

dikontribusikan masyakarat/orang tua berbeda secara signifikan antara kedua jenis sekolah

ini. Para orang tua di sekolah-sekolah Katholik berkontribusi jauh lebih tinggi, yaitu hampir

80% lebih banyak dibandingkan dengan para orang tua yang menyekolahkan anak-anak

mereka ke SD Muhammadiyah. Besaran kontribusi orang tua dalam hal SPP dari sekolah-

32

Page 33: Bab v pak nur edited_9 juli

sekolah swasta Katholik dengan sendirinya mendorong asumsi bahwa sekolah-sekolah swasta

Katholik lebih mahal dibandingkan dengan sekolah-sekolah swasta Muhammadiyah. Selain

itu, besaran yang sangat signifikan ini juga mendorong adanya asumsi bahwa latar belakang

ekonomi-sosial dari keluarga-keluarga yang menyekolahkan di sekolah-sekolah swasta

katholik kemungkinan lebih tinggi dibandingkan dengan their counterparts. Namun, data-data

yang kami peroleh tidak mendukung untuk sampai pada kesimpulan sejauh itu.

Kedua, kontribusi masyarakat dalam bentuk sumbangan gedung di sekolah-sekolah

Muhammadiyah jauh lebih tinggi, yaitu mencapai 77.7%. Namun, data tersebut juga

menjelaskan bahwa kecilnya kontribusi sumbangan gedung yang diberikan oleh orang tua

siswa di sekolah-sekolah Katholik terkompensasi dengan peran yayasan yang jauh lebih aktif.

Besaran dana yang disalurkan oleh yayasan dalam pengelolaan sarana dan prasarana oleh

yayasan-yayasan di sekolah-sekolah Katholik mencapai 97%. Temuan ini menjelaskan

besarnya peran-peran yayasan di sekolah-sekolah swasta Katholik dalam pengelolaan.

Dengan kata lain, yayasan-yayasan yang menaungi sekolah-sekolah swasta Katholik lebih

solid dalam hal membangun dukungan bagi sekolah-sekolah yang dikelolanya. Peran yayasan

di sekolah-sekolah swasta Muhammadiyah tidak sekuat dengan peran yang yang dimainkan

oleh sekolah-sekolah swasta katholik.

Pencairan BOS Terlambat

Double-minority syndrome (miskin, tidak cukup akademis)

Data tentang subsidi silang yang diperoleh menjelaskan tentang fenomena double-minority

yang menjadi cirri khas dari mereka yang masuk ke sekolah-sekolah swasta. Dikatakan

sebagai kelompok double minority, karena di satu sisi mereka memiliki kelemahan akademis

– yang menjadi entry point seseorang untuk masuk ke sekolah negeri, dan di lain pihak

mereka juga memiliki keterbatasan untuk meningkatkan kapasitas akademis.

Fakta bahwa jumlah kontribusi masyarakat untuk sekolah-sekolah muhammadiyah

dalam bentuk benda (sumbangan untuk gedung) relative lebih tinggi dibandingkan dengan

sekolah-sekolah katholik bisa dipahami sebagai perbedaan dinamika. Namun, memang tidak

ada data yang bisa menjelaskan fenomena ini.

Partisipasi masyarakat di Nigeria cukup tinggi. Ada berbagai perwakilan dari

masyarakat. Caranya dengan menyediakan logistic support. Lingkungan diciptakan agar

terjadi kondusif. Pengelolaan dan pe

33

Page 34: Bab v pak nur edited_9 juli

Mundy, K., & Menashy, F. (2012). The World Bank, the international finance corporation,

and private sector participation in basic education: Examining the Education Sector Strategy

2020. International Perspectives on Education and Society, 16, 113-131.

34

Page 35: Bab v pak nur edited_9 juli

Kompleksitas tantangan sekolah-sekolah swasta

Kita tidak menutup mata bahwa dengan diberlakukannya dukungan finansial berupa

pembebasan SPP untuk para siswa yang bersekolah di sekolah-sekolah negeri memberi lebih

banyak akses terhadap anak-anak yang berkekurangan. Namun, fakta di lapangan

menunjukkan bahwa kebijakan berupa pemberian bantuan dana operasional sekolah untuk

semua sekolah menghadirkan berbagai macam persoalan, bukan hanya bagi pengelola

sekolah swasta saja, tetapi juga pada tataran siswa yang dilayani. Pertama, temuan lapangan

menunjukkan bahwa telah terjadi ketidakadilan bagi para siswa yang memang benar-benar

miskin dan termarginalisasi. Mengapa ini terjadi? Sekolah-sekolah negeri memiliki lebih

banyak peluang untuk dipilih karena memang ada kesempatan untuk mendapatkan

keringanan pendidikan di sana. Namun, untuk bisa masuk ke sekolah-sekolah negeri, terjadi

sistem kontrol yang lebih mencerminkan ajaran Darwinisme sosial. Mengingat bahwa rata-

rata keluarga miskin tidak memiliki akses sosio-kultural dan finansial, mereka tidak memiliki

peluang untuk secara khusus mempersiapkan anak-anak mereka untuk berkompetisi dalam

tes masuk di sekolah negeri. Anak-anak dari keluarga miskin cenderung menunjukkan

performa yang lebih rendah dibandingkan dengan rekan-rekan dari keluarga beruntung yang

lain, sehingga mereka dengan sendirinya tereliminasi oleh sistem tes masuk yang

mengharuskan mereka berkompetisi dengan anak-anak lain dari keluarga lain yang lebih

beruntung. Kedua, ini membawa dampak ketidakadilan. Anak-anak miskin dan yang

berperforma lebih rendah dalam tataran akademis, mau tidak mau akhirnya tersingkir dan

diterima oleh sekolah-sekolah swasta. Ketidakadilan secara sistematis telah terjadi di ini.

Anak-anak dari keluarga kurang beruntung tidak memiliki banyak pilihan kecuali masuk

sekolah-sekolah swasta. Mengingat bahwa sekolah-sekolah swasta mengandalkan SPP

sebagai sumber pemasukan (sekalipun sudah mendapatkan dana BOS), beban ekonomi yang

harus ditanggung oleh keluarga dari anak-anak kurang beruntung ini jelas menjadi semakin

berat. Kebijakan yang ada, yaitu berupa distribusi dana BOS, dengan sendirinya tidak

memberikan peluang pengentasan dan emansipasi bagi kelompok terpinggir-tersingkirkan.

Dengan demikian, kebijakan distribusi dana BOS sebenarnya tidak dengan sendirinya

mencapai tujuan awal sebagaimana dimaksudkan. Temuan empiris ini menambah

pemahaman yang lebih luas tentang kompleksitas atas dampak dari the provision of BOS

funds bagi sekolah-sekolah swasta (cf. Rosser & Joshi, 2013).

Salah satu gagasan yang harus diangkat berdasarkan temuan di lapangan adalah

adanya fenomena eksistensi sekolah-sekolah swasta yang tetap bertahan sekalipun berada

dalam kondisi yang seringkali tidak menguntungkan. Sekalipun sekolah-sekolah swasta

35

Page 36: Bab v pak nur edited_9 juli

menghadapi berbagai tekanan dan kesulitan, mengapa tetap ada peluang dan kesempatan bagi

sekolah-sekolah macam ini untuk tetap eksis. Temuan-temuan di lapangan menunjukkan

berbagai faktor yang bisa diidentifikasi. Faktor-faktor yang ada tidak bisa dengan sendirinya

menjelaskan hubungan kausalitas-prediktif, namun lebih merupakan sarana untuk memetakan

realitas yang secara objektif ditargetkan untuk menyingkap realitas empiris di balik fenomena

keberadaan sekolah-sekolah swasta macam ini. Saya berpikir untuk mendiskusikan mengapa

sekolah-sekolah swasta memiliki kemampuan untuk bertahan, atau bahkan memiliki

kecenderungan untuk tetap bersaing dengan pihak-pihak sekolah lain. Ada sejumlah faktor

yang bisa kita analisis. Yang pertama, tentu saja, ada kekuatan ideologis yang menjadikan

mereka mempertahankan dalam kesulitan. faktor ideologis ini yang memberikan dasar nilai-

nilai moral yang mereka acu. Para guru mendapatkan gaji yang relatif rendah, namun

mengapa mereka tetap bertahan? Bisa jadi mereka bertahan hanya karena tidak mendapatkan

pekerjaan lain. Namun, berbagai literatur menunjukkan dari sekian banyak alasan yang paling

banyak diakui tentang motivasi menjadi guru adalah besarnya cita-cita moral (moral

purposes) yang memang menjadi alasan (e.g. Fullan, 1993).

Harmonisasi sosio-kultural-ideologis

Keberadaan sekolah-sekolah swasta yang berbasis keagamaan secara historis telah

menjadi bagian tak terpisahkan dalam transformasi sosio-kultural di dalam masyarakat

Indonesia. Pihak swasta dari berbagai aliran telah berkontribusi secara nyata untuk

menawarkan pendidikan dan pelatihan. Secara sosio-kultural-historis, keberadaan sekolah-

sekolah swasta yang berbasiskan latar belakang ideologi yang berbeda bukan berarti tidak

memunculkan friksi di masyarakat. Namun, di antara berbagai penulis sepertinya ada

konsensus yang menyatakan bahwa konsep dasar harmonisasi kultural di masyarakat Jawa

pada umumnya, memberi ruang dan peluang bagi sekolah-sekolah berbasis ideologis yang

bermacam-macam ini untuk berkembang. Ini berarti bahwa ajaran ideologis yang

diterjemahkan dalam bentuk lembaga-lembaga pendidikan swasta tetap mengedepankan

keterkaitan kultural dan relasional dengan masyarakat. Temuan empiris di lapangan merujuk

kuatnya agenda untuk mengusung harmonisasi sosio-kultural. Ditemukan di lapangan bahwa

realitas sosio-kultural-ideologis macam ini menunjukkan kompleksitas yang tarik-menarik.

Di satu sisi ditemukan adanya fakta bahwa pelajaran agama yang diajarkan di sekolah-

sekolah swasta terbatas pada jenis agama macam apa yang menaungi sekolah tersebut.

Secara lebih jelasnya, pelajaran agama di sekolah-sekolah Katholik hanya mengajarkan

pembelajaran agama Katholik. Namun, di lain pihak, tidak bisa dipungkiri bahwa keberadaan

sekolah-sekolah swasta dari pihak minoritas (yaitu Katholik) memberi kontribusi yang besar

36

Page 37: Bab v pak nur edited_9 juli

terhadap masyarakat dari kelompok agama lain (yang dalam hal ini adalah mayoritas Islam).

Melihat akar sejarahnya, keberadaan sekolah-sekolah misi yang melayani berbagai macam

kalangan dengan beragam latar belakang keagamaan tidak membawa dampak linearitas

berupa conversion to Catholicism. Historiography tentang kontribusi van Lith yang

mengenalkan modernisasi pendidikan Eropa di tanah Jawa menjelaskan komitmen

37