badan penelitian dan pengembangan pertanian indonesian
TRANSCRIPT
Badan Penelitian dan Pengembangan PertanianIndonesian Agency for Agricultural Research and Development
PUSAT PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN PERKEBUNAN
Indonesian Center for Estate Crops Research and DevelopmentBOGOR - INDONESIA
Jurnal Littri Vol. 22 No. 2 Hal. 53 - 106
Volume 22 No. 2, Juni 2016
Terakreditasi : Nomor 458/AU2/P2MI-LIPI/08/2012, Tanggal 7 Agustus 2012
ISSN 0853-8212
Bogor,Juni 2016 ISSN 0853-8212
Volume 22 No. 2, Juni 2016
ISSN 0853-8212
JURNAL PENELITIAN TANAMAN INDUSTRI, merupakan publikasi ilmiah primer yang memuat hasil
penelitian komoditas perkebunan yang belum dimuat pada media apapun, diterbitkan empat kali setahun oleh
Pusat Penelitian dan Pengembangan Perkebunan.
PELINDUNG : Kepala Pusat Penelitian dan Pengembangan Perkebunan
PENANGGUNG JAWAB : Kepala Bidang Kerja Sama dan Pendayagunaan Hasil Penelitian
PENYUNTING AHLI
Ketua merangkap Anggota : Prof. Dr. Elna Karmawati (Entomologi)
Anggota : Prof. Dr. Supriadi (Penyakit)
Prof. Dr. Nur Richana (Pascapanen)
Ir. Edi Wardiana, MS (Agronomi)
Dr. Ir. I Ketut Ardana (Sosial Ekonomi)
Dr. Ir. Nurliani Bermawie (Pemuliaan)
PENYUNTING PELAKSANA : Dr. Ir. Iwa Mara Trisawa
Ir. Elfrida Nadeak
Rohimatun, SP. MP
Evawati, B.Sc.
Bursatrianyo, S.Kom.
Alamat Penerbit :
Pusat Penelitian dan Pengembangan Perkebunan
Jalan Tentara Pelajar No. 1 Bogor 16111
Telp. 0251-8336194, 8313083, Faks 0251-8336194
E-mail : [email protected]
Untuk keperluan tukar menukar dan sebagainya, agar menghubungi alamat penerbit.
Biaya DIPA 2016 Pusat Penelitian dan Pengembangan Perkebunan.
Volume 22 No. 2, Juni 2016
ISSN 0853-8212
i
TerakreditasiNomor : 458/AU2/P2MI-LIPI/08/2012Tanggal: 7 Agustus 2012
KATA PENGANTAR
Dengan Rahmat Allah Yang Maha Kuasa, Jurnal Littri Volume 22 Nomor 2 tahun 2016 telah selesai dicetak. Sperti Jurnal Littri No. 1 tahun 2016, Jurnal ini memuat komoditas perkebunan, tapi 3 artikel merupakan tanaman tahunan dan 3 artikel merupakan tanaman semusim. Artikel pertama menyajikan tingkat kesuburan lahan dan faktor-faktor pembatas untuk pengembangan tebu di Kabupaten Rembang, Jawa Tengah. Ternyata kesuburan tanah di Kabupaten Rembang dapat dikategorikan menjadi kelas kesuburan tanah rendah dan sedang. Faktor pembatasnya adalah kandungan nitrogen, KTK, pH, P O tersedia, karbon organik dan K tersedia.2 5
Artikel kedua menyajikan korelasi antra sifat fisika-kimia tanah di Sulawesi Tenggara dan intensitas penyakit Busuk Pangkal Batang Lada. Kapasitas Tukar Kation (KTK), Kejenuhan Basa (KB), K&P tersedia serta lengas tanah berkorelasi negatif dengan intensitas serangan, sedangkan tingginya kandungan fraksi liat dan pasir, porositas, N total, C organik dan salinitas.
Artikel ketiga mempelajari pengaruh iradiasi sinar gamma terhadap pertumbuhan tanaman lada varietas Ciinten. Semakin tinggi dosis iradiasi yang diberikan semakin terhambat pertumbuhan daun dan ruas. LD 50 pada fase benih yaitu 68,15 Gy, sedang fase benih dengan radikula yaitu 30 Gy.
Artikel keempat menyajikan sifat fisik dan kimia produk bioindustri dari cangkang jambu mete. Proses pertama cangkang menghasilkan biofat. Residu cangkang hasil biofat diarangkan untuk menghasilkan Biochar dan Biosmoke. Biofat mengandung lamak kasar dan total fenol tinggi (94,43 g/100 g dan 46 g/100 g), sedang Biosmoke mengandung 7,2 mg/100 g dengan pH3.
Penelitian pada artikel kelima bertujuan untuk mengetahui pengaruh pupuk majemuk NPK Mg terhadap pertumbuhan dan produksi tembakau virginia di Lombok. Hasil penelitian menunjukkan bahwa peningkatan dosis pupuk sampai 100 kg N/ha meningkatkan produksi, mutu dan indeks tanaman tembakau Virginia yang diuji.
Pada artikel terakhir disajikan pertumbuhan dan produksi bibit tebu G3 hasil kultur jaringan pada perlakuan jarak tanam dan pupuk kandang. Jarak tanam dan pupuk kandang berinteraksi terhadap kandungan N dan P daun. Pemberian pupuk kandang 6 ton/ha pada jarak tanam 120 cm x 40 cm memberikan kandungan N dan P tertinggi.
Demikian informasi yang dapat kami sampaikan, semoga bermanfaat bagi yang membacanya.
Terima kasih
Ketua Dewan Penyunting Ahli,
Prof. Dr. Elna Karmawati
ii
UCAPAN TERIMA KASIH
Ucapan terima kasih dan penghargaan diberikan kepada para pakar yang telah bersedia menjadi penelaah Jurnal Penelitian Tanaman Industri. Berikut ini adalah nama pakar yang telah berpartisipasi :
Nama Instansi Disiplin Ilmu
Mitra Bes
Mitra Bestari Tidak Tetap :
tari Tetap :
Prof. Dr. H.M.H. Bintoro, M.Agr
Dr. Dyah Manohara
Prof. Dr. Ika Mariska
Prof. Dr. Didi Ardi
Dr. Susilowati Herman, M.Sc
Dr. Ir. Teguh Santoso, DEA
Dr. Ir. Sabran
Institut Pertanian Bogor,
Balai Penelitian Tanaman Rempah & ObatJalan Tentara Pelajar No. 3Cimanggu, Bogor 16111
Departemen Agronomi dan HortikulturaJalan Meranti No. 1, Bogor 16680
Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Bioteknologi dan Sumberdaya Genetik PertanianJalan Tentara Pelajar No. 3A, Bogor 16111
Balai Besar Penelitian danPengembangan Sumberdaya LahanPertanianJalan Tentara Pelajar No. 12Cimanggu - Bogor 16111
Asosiasi Peneliti Kesehatan Indonesia (APKESI)Jalan Percetakan Negara No. 29Jakarta 10560
Institut Pertanian Bogor, Departemen Proteksi Tanaman Fakultas PertanianJalan Kamper Bogor 16680
Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Bioteknologi dan Sumberdaya Genetik PertanianJalan Tentara Pelajar No. 3A, Bogor 16111
Agronomi dan
Penyakit
Hortikultura
Bioteknologi Pertanian
Kesuburan Tanah dan Biologi Tanah
Gizi
Hama dan Penyakit Tanaman
Pemuliaan dan Genetika Tanaman
ISSN 0853-8212
DAFTAR ISI
Halaman
Volume 22 No. 2, Juni 2016
Kata Pengantar ................................................................................................................................. i
Daftar Isi .......................................................................................................................................... iii
Evaluasi Kesuburan Tanah untuk Pertanaman Tebu di Kabupaten Rembang, Jawa TengahFitriningdyah Tri Kadarwati ............................................................................................................. 53 - 62
Korelasi Sifat Fisik dan Kimia Tanah dengan Intensitas Penyakit Busuk Pangkal Batang Tanaman LadaLa Ode Santiaji Bande, Bambang Hadisutrisno, Susamto Somowiyarjo, Bambang HendroSunarminto dan Abdul Wahab ......................................................................................................... 63 - 70
Respon Tanaman Lada (Piper nigrum L.) Varietas Ciinten terhadap Iradiasi Sinar GammaNur Laela Wahyuni Meilawati, Nurliani Bermawie, Agus Purwito dan Dyah Mahohara .............. 71 - 80
Karakteristik Fisik dan Kimia dari Produk Bioindustri Cangkang Jambu Mete (Anacardium occidentale)Andi Saenab, K.G. Wiryawan, Retnani Y. dan E. Wina .................................................................. 81 - 90
Pengaruh Pupuk Majemuk terhadap Produksi dan Mutu Tembakau VirginiaDjajadi, Sulis Nur Hidayati dan Roni Syaputra................................................................................ 91 - 98
Pertumbuhan dan Produksi Bibit Tebu G3 Kultur Jaringan Varietas PS 862 pada Perlakuan Jarak Tanam dan Pupuk KandangSumanto ........................................................................................................................................... 99 - 106
TerakreditasiNomor : 458/AU2/P2MI-LIPI/08/2012Tanggal: 7 Agustus 2012
iii
53
EVALUASI KESUBURAN TANAH UNTUK PERTANAMAN TEBU DI KABUPATEN REMBANG, JAWA TENGAH
Evaluation of Soil Fertility to Sugarcane at Rembang District, Central Java
FITRININGDYAH TRI KADARWATI
Balai Penelitian Tanaman Pemanis dan Serat Jalan Raya Karangploso Kotak Pos 199, Malang
65152
Email:
Diterima: 3-3-2016; Direvisi: 30-3-2016; Disetujui: 4-4-2016
ABSTRAK
Kabupaten Rembang merupakan daerah sentra produksi tebu Jawa Tengah yang memiliki karakteristik utama didominasi oleh lahan
kering.
Permasalahan lahan kering erat berkaitan dengan rendahnya ketersediaan air dan hara.
Hal ini menentukan kondisi kesuburan tanah wilayah tersebut.
Kesuburan tanah berpengaruh terhadap pertumbuhan, produksi, dan rendemen tebu.
Tujuan dari penelitian
ini adalah untuk memperoleh sebaran tingkat kesuburan lahan beserta faktor-faktor pembatasnya di Kabupaten Rembang.
Kajian kesuburan tanah dilakukan melalui metode evaluasi kesuburan tanah dengan
matching
data analisis kimia tanah dengan kriteria penilaian sifat kimia tanah.
Metode pengambilan sampel didasarkan pada pembuatan satuan peta lahan
(SPL).
Penilaian kesuburan tanah berdasarkan analisis sifat kimia tanah yang meliputi kapasitas tukar kation (metode ekstraksi NH4Oac), pH,
C-organik,
kejenuhan basa
(estimasi peta sebaran pH), P2O5
(metode Olsen dan Bray-1), dan K tersedia (flamephotometer). Kesuburan tanah di Kabupaten Rembang dapat dikategorikan menjadi kelas kesuburan tanah rendah dan sedang.
Faktor pembatas kesuburan tanah yang ditemukan antara lain terdiri dari kandungan nitrogen, kapasitas tukar kation, pH, P2O5
tersedia, karbon organik, dan K tersedia.
Kata kunci:
Saccharum officinarum,
kesuburan tanah, evaluasi
ABSTRACT
Rembang District is an area of Central Java
production center which has the main characteristics dominated by dry land. Dry land issues related to the low availability of water and nutrients. It determines the area of soil fertility conditions. Soil fertility affects the growth, production, and yield of sugarcane. Study of soil
fertility conducted through the soil fertility evaluation methods of chemical analysis of matching data criteria soil with soil chemical properties. The sampling method is based on the land unit mapping. Soil fertility assessment based on the analysis of soil chemical properties that include cation exchange capacity (NH4Oac extraction method), pH (pH meter), C-Organic (Walkey and Black method), base saturation (estimation of
pH mapping), P2O5
(Olsen and Bray-1
method), and available K (flamephotometer). Soil fertility in Rembang district classified
into low until moderate. The limiting factor in soil fertility were consists of nitrogen content, cation exchange capacity, pH, available P2O5, organic carbon, and available K.
Keywords:
Saccharum officinarum,
soil fertility, evaluation
PENDAHULUAN
Kabupaten Rembang merupakan daerah sentra produksi tebu di Jawa Tengah yang terletak dengan posisi lintang pada 111°,00' - 111°,30' BT dan 6°,30'- 7°,00' LS.
Produktivitas tanaman dan rendemen yang dihasilkan masih tergolong rendah (< 6%) sehingga hasil hablur yang diperoleh menjadi rendah. Oleh karena itu,
perlu dilakukan upaya untuk meningkatkan produktivitas dan rendemen pertanaman tebu yang ada di wilayah Rembang.
Bahan induk tanah-tanah wilayah pengembangan tebu
di
Rembang
berasal dari 12 formasi satuan geologi berupa bahan alluvium, batuan endapan, volkanik, dan batuan sedimen klastik dari beragam formasi dengan umur batuan quarter dan tersier.
Jenis tanah terdiri atas Entisol, Inceptisol, Alfisol, dan Vertisol
dengan didominasi oleh lahan kering.
Kondisi yang demikian menyebabkan keragaman tingkat kesuburan tanah. SUTANTO
(2005) menyebutkan bahwa kemampuan tanah sebagai habitat tanaman yang
menghasilkan bahan yang dapat dipanen sangat ditentukan oleh tingkat kesuburan atau sebagai alternatif kapasitas berproduksi atau produktivitas.Demikian pula menurut NYOMAN
(2013), kesuburan tanah merupakan kemampuan tanah untuk dapat menyediakan hara dalam jumlah yang cukup untuk pertumbuhan dan hasil tanaman.
Penggunaan lahan untuk pengembangan suatu komoditas sebaiknya didasarkan pada sifat tanaman dan karakteristik lahan seperti fisiografi, tanah, air permukaan dan air tanah dalam, vegetasi alami, penggunaan lahan yang ada dan kondisi sosial-ekonomi, tanpa mengganggu keseimbangan ekologi (SINGH, 2012).
Produktivitas tebu merupakan sinergi dari kemampuan suatu varietas dengan pengelolaan penggunaan lahan yang tepat. Oleh karena itu, tanaman tebu memerlukan kondisi tanah dengan kesuburan tinggi untuk mendukung hasil tinggi.
Peningkatan produktivitas dan rendemen tanaman tebu di wilayah pengembangan Kabupaten Rembang dapat dilakukan melalui perbaikan kesuburan lahan.
Perbaikan kesuburan lahan dapat dilakukan apabila telah diketahui tingkat kesuburan lahan di seluruh wilayah pengembangan Kabupaten Rembang beserta faktor-faktor pembatasnya. Oleh karena itu perlu dilakukan penelitian yang bertujuan untuk memperoleh sebaran tingkat kesuburan lahan beserta faktor-faktor pembatasnya di Kabupaten Rembang.
Jurnal Littri 22(2), Juni 2016. Hlm. 53 - 62 ISSN 0853-8212
JURNAL LITTRI VOL. 22 NO. 2, JUNI 2016: 53 - 62
54
BAHAN DAN METODE
Kegiatan penelitian dilaksanakan di sentra pengem-bangan tebu Kabupaten Rembang dengan menggunakan metode yang dilakukan oleh SISWANTO
(2006).
Tahap-
tahap penelitian meliputi: (a) inventarisasi data dan
pengambilan sampel tanah di
lapang, (b) analisis contoh tanah di laboratorium, (c) evaluasi kesuburan tanah, dan (d) penyusunan hasil.
Inventarisasi data dilakukan dengan mengumpulkan peta geologi, peta lereng dan peta jenis tanah. Penumpang-tindihan (overly) peta-peta tersebut dilakukan untuk menentukan titik-titik pengambilan contoh tanah sehingga didapatkan 15
titik satuan peta lapang (SPL) seperti tertera
pada Tabel 1.
Setiap SPL diambil 2 contoh tanah yaitu lapisan atas dan lapisan di bawahnya sampai ada perubahan tanah seperti tertera pada Tabel 1. Semua contoh tanah dikering-anginkan, dihaluskan hingga lolos ayakan 0,5 mm mesh
dan dianalisis di Laboratorium Kimia Tanah Universitas Brawijaya. Unsur kesuburan tanah yang dianalisis meliputi pH tanah (pH meter), C-organik (Metode Walkey dan Black), Kapasitas Tukar Kation atau KTK (Metode Ekstraksi dengan pereaksi NH4Oac pH 7), N-total (Metode Kjeldahl), P (Metode Olsen atau Bray 1), dan K (Metode Flame-photometer).
Hasil analisis tanah diinterpretasi menggunakan
kriteria penilaian sifat-sifat kimia tanah dari SISWANTO (2006) seperti tertera pada Tabel 2. Adapun penentuan
tingkat kesuburan tanah ditentukan melalui berbagai kombinasi sifat kimia tanah (KTK, KB, P2O5, C-Organik, dan K2O) seperti tertera pada Tabel 3 (MUTERT
et al.,
2000).
Tabel 1. Titik SPL lokasi pengambilan sampel tanah di Kabupaten Rembang
Table 1.
Soil sampling sites in Rembang
SPL/
Land Unit
Desa/Vilage
Kecamatan/
District
Geologi/Geology
Jenis Tanah/
Soil clasification
Lereng/
Slope
(%)
Kedalaman Contoh Tanah/
Soil depth
(cm)
1.
Kaliombo
Sulang
Formasi Mundu
Tmpm
Humic Dystrudepts
4
0 -
25
25 -
45
2.
Grawan
Sumber
Formasi Mundu
Tmpm
Humic Dystrudepts
3
0 -
27
27 -
41
3.
Tlogomojo
Rembang
Kawasan Aluvial
Qa
Typic Dystrudepts
3
0 -
23
23 -
43
4.
Kasreman
Rembang
Kawasan Aluvial
Qa
Mollic Endoaquepts
9
0 -
19
19 -
50
5.
Sendangagung
Pamotan
Kawasan Aluvial
Qa
Typic Dystrudepts
2
0 -
19
19 -
33
6.
Sidomulyo
Gunem
Formasi ledok
Tml
Typic Dystrudepts
15
0 -
12
12 -
40
7.
Trembes
Gunem
Formasi ledok
Tml
Typic Dystrudepts
9
0 -
18
18 -
43
8.
Mojosari
Sedan
Formasi Wonocolo
Tmw
Typic Dystrudepts
10
0 -
15
15 -
38
9.
Bogorejo
Sedan
Kawasan Aluvial
Qa
Aquic Hapludalfs
3
0 -
22
22 -
35
10.
Lodan Kulon
Sarang
Formasi Bulu
Tmb
Typic Dystrudepts
8
0 -
13
13 -
40
11.
Jambangan
Sarang
Kawasan Aluvial
Qa
Lithic Udorthents
4
0 -
16
16 -
35
12.
Lodan Wetan
Sarang
Formasi Wonocolo
Tmw
Typic Dystrudepts
7
0 -
25
25 -
45
13.
Sendangwaru
Kragan
Kawasan Aluvial
Qa
Typic Endoaquerts
3
0 -
13
13 -
40
14.
Karas
Sedan
Formasi Tuban
Tmtn
Typic Endoaqualfs
8
0 -
16
16 - 3715. Ngajaran Sale Formasi ledok Tml Typic Endoaqualfs 3 0 - 20
20 - 45
FITRININGDYAH TRI KADARWATI : Evaluasi Kesuburan Tanah untuk Pertanaman Tebu di Kabupaten Rembang, Jawa Tengah
55
Tabel 2. Kriteria penilaian sifat-sifat kimia tanah Table 2. The assessment criteria of soil chemistry values
Sifat Tanah
Soils
Caracteristic
Sangat Rendah
Very Low
Rendah
Low
Sedang
Moderate
Tinggi
High
Sangat TinggiVery
high
C (%)
< 1.00
1.00-2.00
2.01-3.00
3.01-5.00
> 05.00N (%)
< 0.10
0.10-0.20
0.21-0.50
0.51-0.75
>
00.75
C/N
<
5
5-10
11-15
16-25
>
25P2O5 Bray I (ppm)
<
10
10-15
16-25
26-35
>
35
P2O5 Olsen (ppm)
<
10
10-25
26-45
46-60
>
60KTK (mg/100 g)
<
5
5-16
17-24
25-40
>
40
Susunan Kation
K (me/100g)
<
0.1
0.1-0.2
0.3-0.5
0.6-1.0
>
01.0Na (me/100g)
<
0.1
0.1-0.3
0.4-0.7
0.8-1.0
>
01.0Mg (me/100g)
<
0.4
0.4-1.0
1.1-2.0
2.1-8.0
>
08.0Ca (me/100g)
<
2
2-5
6-10
11-20
>
20Kejenuhan Basa (%)
<
20
20-35
36-50
51-70
>
70Kejenuhan Al (%)
<
10
10-20
21-30
31-60
>
60pH H2O
S. Masam
Masam
A.Masam
Netral
A.Alkalis
Alkalis<
4.5
4.5-5.5
5.6-6.5
6.6-7.5
7.6-8.5
>
08.5
Sumber: SISWANTO
(2006)
Tabel 3.
Kombinasi beberapa sifat kimia tanah dan tingkat kesuburannya
Table 3.
The combination chemical properties of soil and fertility rates
No
(No)
KTK
(CEC)
KB
(BS)
P2O5, (C-Org), K2O
(Organic Carbon)
Tingkat Kesuburan(Soil fertility)
1
T
T
≥ 2 T tanpa R
Tinggi
2
T
T
≥ 2 T dengan R
Sedang
3
T
T
≥ 2 S tanpa R
Tinggi
4
T
T
≥ 2 S dengan R
Sedang
5
T
T
T S R
Sedang
6
T
T
≥ 2
R dengan R
Sedang
7
T
T
≥ 2 R dengan S
Rendah
8
T
S
≥ 2 T tanpa R
Tinggi
9
T
S
≥ 2 S dengan R
Sedang
10
T
S
≥ 2 S
Sedang
11
T
S
Kombinasi Lain
Rendah
12
T
R
≥ 2 T tanpa R
Sedang
13
T
R
≥ 2 T dengan R
Rendah
14
T
R
Kombinasi Lain
Rendah
15
S
T
≥ 2 T tanpa R
Sedang
16
S
T
≥ 2 S tanpa R
Sedang
17
S
T
Kombinasi Lain
Rendah
18
S
S
≥ 2 T tanpa R
Sedang
19
S
S
≥ 2 S tanpa R
Sedang
20
S
S
Kombinasi Lain
Rendah
21
S
R
3 T
Sedang
22
S
R
Kombinasi Lain
Rendah
23
R
T
≥ 2 T tanpa R
Sedang
24
R
T
≥ 2 T dengan R
Rendah
25
R
T
≥ 2 S tanpa R
Sedang
26
R
T
Kombinasi Lain
Rendah
27
R
S
≥ 2 T tanpa R
Sedang
28
R
S
Kombinasi Lain
Rendah29 R R Semua Kombinasi Rendah30 SR T Semua Kombinasi Sangat Rendah
Keterangan: T=Tinggi; S=Sedang; R=Rendah; SR=Sangat Rendah KTK= Kapasitas Tukar Kation; KB=Kejenuhan Basa; C-Org=C- OrganikNote: CEC = Cation Exchange Capacity; BS = Base Saturation
JURNAL LITTRI VOL. 22 NO. 2, JUNI 2016: 53 - 62
56
HASIL DAN PEMBAHASAN
Sifat Fisik dan Kimia Tanah
C-organik, N-total dan KTK Kandungan
C-organik dan N-total lahan pengem-
bangan tebu di Kabupaten Rembang bervariasi dari sangat rendah sampai rendah, sedangkan KTK bervariasi dari rendah sampai sangat tinggi
(Tabel 4).
Kandungan C-organik terendah berada pada jenis tanah Typic Dystrudepts dan tertinggi ditemukan pada jenis tanah Typic Endoaqualfs. Kandungan karbon organik dalam tanah umumnya mencirikan jumlah bahan organik dalam tanah. Konversi perhitungan secara tidak langsung dari C-organik menjadi BO adalah %
C-organik
dikalikan
1,724
yaitu
sekitar 0,58-2,22%. Nilai kisaran tersebut
menurut kriteria SUTANTO
(2005) tergolong rendah sampai tinggi.
GANA
(2008) menyatakan, BO mempunyai peranan penting sebagai bahan pemicu kesuburan tanah, baik sebagai pemasok hara bagi organisme authotrof (tanaman) maupun sebagai sumber energi bagi organisme heterotrof (fauna dan mikroorganisme tanah). Peningkatan aktivitas biologi tanah mendorong terjadinya perbaikan kesuburan tanah, baik kesuburan fisik, kimia maupun biologi tanah. Perbaikan sifat fisik, kimia
dan biologi tanah yang sesuai dengan kebutuhan tanaman (plant requirement) dapat memperbaiki pertumbuhan dan produksi tanaman.
Menurut ZULKARNAIN
et al.
(2013), BO adalah kunci keberhasilan dan keberlanjutan pertanian di daerah tropika basah. Adapun penyebab degradasi BO meliputi pemupukan, erosi, pembakaran sisa panen, dan pengolahan
tanah berlebih. Faktor-faktor penentu kesuburan tanah salah satunya adalah BO yang berfungsi untuk memperbaiki sifat fisik, kimia, dan biologi tanah. ABU ZAHRA dan TALBOUB
(2008) menyatakan bahwa faktor-faktor yang mem-pengaruhi jumlah BO dalam tanah antara lain iklim, vegetasi, kondisi drainase, budidaya tanaman dan tekstur tanah. GANA
(2008) menyatakan bahwa jumlah N dalam
tanah merupakan hasil kesetimbangan faktor-faktor iklim dan vegetasi, topografi, sifat fisik dan kimia tanah, kegiatan manusia dan waktu. Semakin tinggi kadar BO, maka semakin tinggi pula kandungan N total. Tanah di Kabupaten Rembang mempunyai kandungan N total 0,06-0,16%. Kadar BO tanah (0,58-2,22%) memiliki hubungan yang linier dengan kandungan N total (Gambar 1).
Dalam manajemen kesuburan tanah dengan faktor pembatas bahan organik, salah satu upaya yang dapat dilakukan adalah pemupukan berimbang (terutama pupuk N) serta penambahan bahan organik. DUAN
et al. (2007) menyatakan bahwa kebutuhan tanaman akan N lebih tinggi dibandingkan dengan unsur hara lainnya. Penambahan bahan organik dapat berupa pupuk kandang, pupuk hijau, dan pergiliran tanaman dengan legume yang dapat memfiksasi N melalui simbiosis dengan
Rhizobium sp. seperti kacang tunggak atau Mucuna sp.
DAMAETIE dan ABIY
(2009) menyebutkan bahwa N memiliki pengaruh yang dominan pada tebu dan kualitas larutannya.
Gambar 1. Hubungan BO (%) dan N (%)Figure 1. Interaction of OM (%) and N (%)
FITRININGDYAH TRI KADARWATI : Evaluasi Kesuburan Tanah untuk Pertanaman Tebu di Kabupaten Rembang, Jawa Tengah
57
Tabel 4. Kandungan C-organik, N-total dan KTK lahan pengembangan tebu di Kabupaten Rembang, Jawa Tengah Table 4. The content of organic C, N-total and exchangeable cation on cane land development in rembang, Central Java
SPL/
Land Unit
Desa/Vilage
Kecamatan/
District
Kedalaman contoh tanah/
Soil depth
(cm)
C-organik/ Organic Carbon
(%)
Kriteria/
Criteria
KTK/
CEC (me/100 g)
Kriteria/
Criteria
N-total/
Total N (%)
Kriteria/Criteria
1.
Kaliombo
Sulang
0 –
25
0,78
SR
54,20
ST
0,06
SR25 –
45
0,68
SR
58,00
ST
0,04
SR
2.
Grawan
Sumber
0 –
27
0,34
SR
31,11
TS
0,06
SR27 –
41
0,30
SR
30,61
TS
0,04
SR
3.
Tlogomojo
Rembang
0 –
23
0,59
SR
50,43
ST
0,06
SR23 –
43
0,40
SR
40,40
ST
0,04
SR
4.
Kasreman
Rembang
0
–
19
0,87
SR
42,49
ST
0,10
SR19 –
50
0,86
SR
40,01
ST
0,08
SR5.
Sendangagung
Pamotan
0 –
19
1,18
RS
43,00
ST
0,12
RS19 –
33
0,98
SR
39,08
TS
0,10
SR6.
Sidomulyo
Gunem
0 –
12
1,08
RS
64,48
ST
0,09
SR12 –
40
0,65
SR
46,55
ST
0,09
SR7.
Trembes
Gunem
0 –
18
0,45
SR
30,67
TS
0,09
SR18 –
43
0,30
SR
20,75
SS
0,07
SR8.
Mojosari
Sedan
0 –
15
1,16
RS
48,61
ST
0,08
SR15 –
38
0,91
SR
38,71
TS
0,05
SR9.
Bogorejo
Sedan
0 –
22
0,53
SR
52,89
ST
0,05
SR22 –
35
0,31
SR
50,01
ST
0,04
SR10.
Lodan Kulon
Sarang
0 –
13
1,28
RS
33,47
TS
0,15
RS13 –
40
1,12
RS
41,50
ST
0,10
SR11.
Jambangan
Sarang
0 –
16
0,57
SR
27,56
TS
0,05
SR16 –
35
0,48
SR
20,75
SS
0,03
SR12.
Lodan Wetan
Sarang
0 –
25
0,69
SR
37,89
ST
0,09
SR25 –
45
0,70
SR
32,90
ST
0,08
SR13.
Sendangwaru
Kragan
0 –
13
0,74
SR
41,69
ST
0,09
SR13 –
40
0,40
SR
22,79
SS
0,09
SR14.
Karas
Sedan
0 –
16
1,27
RS
38,05
ST
0,13
RS16 –
37
1,45
RS
39,07
ST
0,09
SR15.
Ngajaran
Sale
0 –
20
0,45
SR
17,53
SS
0,05
SR20 –
45
0,27
SR
12,00
RS
0,04
SR
Keterangan:
ST
= Sangat Tinggi;
T = Tinggi;
S
= Sedang; R = Rendah;
SR
= Sangat Rendah
Note:
VH = Very High ; H = Haigh; M = Moderate; L = Low; VL = Very Low
KTK tertinggi terdapat pada jenis tanah Vertisol dengan subgrup Typic Endoaquerts,
sedangkan terendah terdapat pada jenis tanah Inceptisol dengan subgrup Typic Dystrudepts.
SULASTRI
(2006) menyebutkan KTK secara umum dapat memberikan gambaran tentang banyaknya kation tanah (Ca2+, Mg2+, K+, Na+, NH4
+, H+, dan Al3+) dalam bentuk tersedia yang dapat dimanfaatkan oleh tanaman maupun mikroorganisme. Kation-kation tersebut merupakan unsur hara yang dibutuhkan tanaman.
Selanjutnya BABU
et al.
(2007) menyatakan bahwa KTK tergantung pada jumlah liat dan bahan organik serta komposisi mineraloginya. Semakin banyak jumlah liat dan bahan organik, maka KTK tanah akan meningkat. Persentase liat yang tinggi terdapat pada jenis tanah Alfisol yang juga memiliki kandungan bahan organik tinggi. Proses pembentukan tanah Alfisol karena proses iluviasi
(penimbunan) liat yang dicirikan oleh adanya horison Argilik yang memiliki kandungan liat tinggi. Sedangkan KTK tertinggi terdapat pada jenis tanah Vertisol disebabkan komposisi mineraloginya yang kaya mineral liat tipe 2:1.
Ketersediaan hara tanah merupakan faktor utama untuk mendukung pertumbuhan tanaman tebu (VIRDIA dan
PATEL, 2010). Hara tersedia dalam tanah diserap oleh akar tanaman melalui sistem pertukaran ion ataupun proses difusi. Hara tanah masuk ke jaringan tanaman dan melalui proses metabolisme,
hara-hara tersebut mendukung pertumbuhan tanaman. Tanpa dukungan keharaan tanah yang cukup, tanaman mengalami hambatan pertumbuhan. Nitrogen berfungsi mempercepat pertumbuhan tanaman, menjadikan daun tanaman menjadi lebih hijau segar danbanyak mengandung butir-butir hijau daun yang penting dalam proses fotosintesis serta berfungsi menambah kandungan protein dalam tanaman (HARJANTI
et al., 2004). Selain nitrogen, unsur fosfat merupakan salah satu nutrisi utama esensial bagi tanaman. Peranan fosfat yang terpenting bagi tanaman adalah memacu pertumbuhan akar dan pembentukan sistem perakaran serta memacu pertumbuhan generatif tanaman. Kalium juga mempunyai peran yang tidak kalah penting dengan unsur N dan P, kalium berperan
meningkatkan resistensi terhadap penyakit tertentu, dan meningkatkan pertumbuhan perakaran. Kalium cenderung menghalangi kerebahan tanaman dan melawan efek buruk akibat pemberian nitrogen yang berlebihan, dan berpengaruh mencegah kematangan yang
JURNAL LITTRI VOL. 22 NO. 2, JUNI 2016: 53 - 62
58
dipercepat oleh hara fosfor. Secara umum kalium berfungsi menjaga keseimbangan, baik pada nitrogen maupun pada fosfor (RIKARDO et al., 2015). Oleh karena itu penilaian status kesuburan tanah biasanya didasarkan kandungan N, P dan K, karena hara makro ini dibutuhkan dalam jumlah banyak
(SUPRIYADI, 2007).
Kandungan N di Kabupaten Rembang tergolong
sangat rendah sampai rendah. Hasil penelitian INOUE
et al. (2009) menyebutkan kandungan awal N tanah merupakan
faktor pembatas untuk produksi tebu.
Demikian pula hasil penelitian VIERA
et al.
(2010) menyimpulkan bahwa hara N
signifikan meningkatkan hasil tebu. Hara N dalam tanah bersifat mobil dan mudah
mengalami perubahan bentuk
(transformasi) sehingga tidak banyak tersedia bagi tanaman.
Di sisi lain, N lebih banyak
(79%) berasal dari atmosfer, oleh karena itu sebagian besar N di dalam tanah dapat disediakan melalui
penambahan pupuk.
Optimalisasi penyerapan N oleh tanaman dan penekanan
kehilangan N akibat
transformasi dapat dilakukan dengan
pemberian pupuk N dengan jumlah yang tepat
yang didasarkan pada hasil perhitungan
yang akurat.
Salah satu teknologi yang dikembangkan untuk
menghitung kebutuhan pupuk N bagi tanaman tebu adalah metode Nomograf.
Metode ini didasarkan pada nilai yang dihasilkan dalam analisis tanah atau uji tanah di
laboratorium pada
contoh tanah tiap pewakil SPL.
Hasil analisisnya menunjukkan bahwa pada tanah
dengan persentase N
dengan kategori rendah maka direkomen-dasikan
kebutuhan pupuk N sebesar
130-170 kg N/ha, sedangkan
untuk kategori sangat rendah direkomendasikan sebesar 60-120 kg N/ha. MOMOSE
et al. (2009)
menyebut-kan BNF (Biological Nitrogen Fixation) berpotensi tinggi untuk fiksasi nitrogen biologis dalam tebu.
Kontribusi BNF dalam penyediaan hara N untuk pertanaman tebu sebesar 10-40% N tergantung pada budidaya dan ketersediaan mineral N
dalam tanah.
Penggunaan BNF
dapat mengurangi pemupukan N anorganik.
Keasaman (pH), P-tersedia, dan K-tersedia
Keasaman atau pH tanah di Kabupaten Rembang terdiri dari sangat masam, netral, dan agak alkalis (Tabel 5).
Tingkat pelapukan bahan induk dapat mempengaruhi reaksi tanah yang terjadi.
Bahan induk quarter yang berasal dari formasi Wonocolo dapat
melapuk membentuk jenis tanah Inceptisol.
MUNIR
(1996) menyebutkan bahwa Inceptisol merupakan jenis tanah muda yang dalam profilnya memiliki horison yang pembentukannya agak lamban sebagai hasil alterasi bahan induk.
BABU
et al.
(2007) menyatakan bahwa pelapukan mengakibatkan ion hidrogen mendominasi kompleks jerapan tanah menggantikan basa-basa tanah. pH tanah dibawah 4,5 menunjukkan adanya Hdd
yang merupakan kemasaman potensial dalam tanah. Kemasaman ini berhubungan erat dengan Aldd. Inceptisol merupakan salah satu jenis tanah yang memiliki
kemasaman potensial yang terbawa dari karakteristik bahan induk Aluvium.
pH (potential of hidrogen) tanah merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi kelarutan unsur hara dalam tanah. Menurut SOEMARNO
(2013), ketersediaan unsur hara
makro dan mikro dalam tanah sangat dipengaruhi oleh pH tanah. Pada tanah agak masam hingga agak alkalis, ketersediaan unsur makro dan Mo meningkat (kecuali P), sedangkan hara P, Fe, Mn, Zn Cu, and Co menjadi tidak tersedia sehingga dapat mempengaruhi pertumbuhan tanaman. Pada tanah masam, hara mikro (kecuali Mo and Bo) mengalami penurunan.
SOOMRO
et al. (2012)
menyebutkan tanah yang memiliki pH tinggi dapat menimbulkan masalah fiksasi P sehingga mengurangi ketersediaan hara bagi tanaman.
Kriteria hara P2O5 tersedia di Kabupaten Rembang bervariasi dari sangat rendah, rendah, sampai sangat tinggi. Hara
P tersedia
yang tertinggi terdapat pada subgrup Humic Dystrudept dan terendah terdapat pada jenis tanah Entisol yang termasuk pada subgrup Lithic Udorthents (Tabel 5). Menurut BOUAJILA
dan SANAA
(2011),
ketersediaan Pdalam tanah salah satunya dipengaruhi oleh pH, dan ketersediaan P paling tinggi pada pH 6,8-7,2, sedangkan menurut ABU ZAHRA
dan TALBOUB
(2008)
pada
pH 5,0-7,2. Ketersediaan P memiliki kisaran yang rendah pada pH <4 dan >7,2. Adanya hubungan antara ketersediaan P
dengan pH dapat digunakan sebagai salah satu
strategi pengelolaan kesuburan tanah.
Hara P dalam tanaman berfungsi sebagai penyedia dan
penyimpan energi kimia untuk proses metabolisme dan katabolisme. Metabolisme karbohidrat pada daun dan pemindahan sukrosa dipengaruhi oleh P anorganik walaupun secara tidak langsung. Proses penyusunan sukrosa dan heksosa memerlukan fosfat energi tinggi, oleh karena itu P anorganik diperlukan dalam sel-sel daun waktu penyusunan karbohidrat (MCCRAY
et al., 2010). Pada tanaman tebu sumber dan takaran P berbeda dapat meningkatkan jumlah anakan, tinggi tanaman dan hasil tebu (TSADO
et al., 2013), serta signifikan mempengaruhi rendemen dan kemurnian tebu (ELAMIN
et al.,
2007).
Status hara K-tersedia di kabupaten Rembang tergolong sangat rendah hingga tinggi (Tabel 5). Jenis tanah yang memiliki K-tersedia tertinggi adalah Mollic Endoaquepts
sedangkan terendah terdapat pada Typic Dystrudepts. Sifat dan perilaku Kalium yang penting diketahui adalah bentuk Kalium tersedia bagi tanaman adalah ion K+. Kalium terfiksasi jika K+
larut atau
tersedia berinteraksi dengan tanah (mineral liat) yang diakibatkan oleh jumlah ektraksi yang menurun.
ISMAIL
(2007) menyebutkan bahwa kebutuhan Na tebu dapat menghambat akumulasi K dalam tebu. Pada tanah mengandung banyak mineral liat Illit, bila kondisi kekurangan seringkali tampak gejala defisiensi K pada tanaman, akan tetapi gejala tersebut segera pulih setelah
FITRININGDYAH TRI KADARWATI : Evaluasi Kesuburan Tanah untuk Pertanaman Tebu di Kabupaten Rembang, Jawa Tengah
59
musim hujan. Menurut SUPARMANTO (2009), mineral Illit (hidrous mika) tergolong mineral liat tipe 2:1 dan umumnya terbentuk langsung dari mika melalui proses alterasi bahan induk.
Mineral liat tipe 2:1 umumnya banyak dijumpai pada jenis tanah Vertisol. Jenis tanah Vertisol di kabupaten
Rembang adalah termasuk subgrup Typic Endoaquertsyang memiliki K Tersedia sebesar 0,547, yang tergolong sedang. Kandungan K tersedia memiliki pola yang hampir sama dengan Kandungan Air Tersedia (KAT) pada berbagai SPL disajikan dalam Gambar 2.
Tabel 5. Kandungan P-tersedia, K-tersedia
dan pH tanah
lahan pengembangan tebu di Kabupaten Rembang, Jawa Tengah
Table 5. The content of P-available, K-available and soil pH on sugarcane development in Rembang,
Central Jav a
SPL/
Land Unit
Desa/Village
Kecamatan/ District
Kedalaman contoh tanah/
Soil Depth
(cm)
pH
Kriteria/ Citeria
P-tersedia/ Available P
(mg/kg)
Kriteria/ Citeria
K-tersedia/ Available
K
(me/100 g)
Kriteria/Citeria
1.
Kaliombo
Sulang
0 –
25
7,5
Netral
24,59
R
0,22
R25 –
45
7,4
Netral
20,70
R
0,28
R2.
Grawan
Sumber
0 –
27
7,5
Netral
19,59
R
0,10
R27 –
41
7,5
Netral
20,10
R
0,17
R3.
Tlogomojo
Rembang
0 -
23
7,6
A.Alkalis
1,36
SR
0,43
S23 –
43
7,6
A.Alkalis
2,00
SR
0,41
S4.
Kasreman
Rembang
0 –
19
7,4
Netral
21,99
R
0,22
R19 –
50
7,2
Netral
20,00
R
0,24
R5.
Sendangagung
Pamotan
0 –
19
7,5
Netral
23,88
R
0,33
S19 –
33
7,5
Netral
20,89
R
0,29
R6.
Sidomulyo
Gunem
0 –
12
7,6
A.Alkalis
11,55
R
0,40
S12 –
40
7,1
Netral
10,11
R
0,24
R7.
Trembes
Gunem
0 –
18
6,5
A.Masam
12,07
R
0,14
ST18 –
43
12,00
R
0,10
T8.
Mojosari
Sedan
0 –
15
7,5
Netral
7,01
R
0,32
S15 –
38
7,5
Netral
11,70
R
0,33
S9.
Bogorejo
Sedan
0 –
22
7,5
Netral
0,54
SR
0,38
S22 –
35
7,4
Netral
0,71
SR
0,40
S10.
Lodan Kulon
Sarang
0 –
13
7,2
Netral
7,53
SR
0,75
T13 –
40
7,1
Netral
7,50
SR
0,65
T11.
Jambangan
Sarang
0 –
16
7,2
Netral
4,01
SR
0,16
R16 –
35
7,0
Netral
4,66
SR
0,20
R12.
Lodan Wetan
Sarang
0 –
25
7,5
Netral
14,01
R
0,20
R25 –
45
7,5
Netral
12,00
R
0,21
R13.
Sendangwaru
Kragan
0 –
13
6,7
Netral
1,32
SR
0,27
R13 –
40
7,3
Netral
1,31
SR
0,32
S14.
Karas
Sedan
0 –
16
6,8
Netral
131,64
ST
0,91
T16 –
37
7,0
Netral 120,60 ST 0,99 T15.
Ngajaran
Sale
0 –
20
7,4
Netral 3,21 SR 0,10 T20 –
45
7,0
Netral 2,20 SR 0,09 T
Keterangan: ST: Sangat Tinggi; T : Tinggi; S: Sedang; R : Rendah dan SR; Sangat RendahNote: VH = Very High; H = Haigh; M = Moderate; L = Low; VL = Very Low
Gambar 2. Hubungan K tersedia dan KATFigure 2. Interaction of available K and water
JURNAL LITTRI VOL. 22 NO. 2, JUNI 2016: 53 - 62
60
KAT yang tinggi dapat diimbangi dengan peningkatan K tersedia dalam tanah, sehingga dalam manajemen kesuburan tanah dengan faktor pembatas rendahnya K tersedia dapat dilakukan dengan pemupukan K pada tanah dengan bahan induk yang rendah dan pengaturan air irigasi pada penggunaan lahan kering seperti di Kabupaten Rembang. Hasil penelitian FLORES
et al.
(2014) menyebut-
kan bahwa aplikasi mulsa di permukaan tanah setelah panen tebu meningkatkan siklus hara, terutama K, yang dapat menurunkan rekomendasi pemupukan K untuk tebu.
Hasil penelitian KHAN
et al.
(2005) memperlihatkan
perlakuan NPK berpengaruh secara signifikan terhadap hasil tebu.
Hasil penelitian OTTO
et al. (2010) juga
menunjukkan bahwa pemupukan kalium secara signifikan mempengaruhi hasil tebu.
Evaluasi Kesuburan Tanah
Kesuburan tanah di Kabupaten Rembang
dapat dikategorikan menjadi kelas kesuburan tanah rendah dan sedang
(Tabel 6).
Informasi kesuburan tanah ini dapat menjadi salah satu rekomendasi pengelolaan sifat-sifat tanah yang menentukan kesuburan seperti kapasitas tukar
kation, kejenuhan basa, kandungan P2O5, dan K2O tersedia di Kabupaten Rembang.
Tingkat kesuburan tanah di Kabupaten Rembang yang termasuk ke dalam kriteria kelas sedang ditemukan pada jenis tanah Inceptisol dengan subgrup tanah Mollic Andoaquepts, sedangkan jenis tanah lain yang ditemukan meliputi Inceptisol, Alfisol, dan Vertisol memiliki tingkat kesuburan tanah rendah. Faktor pembatas kesuburan tanah yang ditemukan antara lain terdiri dari kandungan N, KTK, reaksi tanah (pH), P tersedia, karbon organik, dan K tersedia. Berdasarkan hasil evaluasi kesuburan tanah diKabupaten Rembang,
maka dapat diketahui daerah yang
menjadi prioritas dalam peningkatan kesuburan tanah.Usaha perbaikan kesuburan tanah yang dapat
dilakukan di Kabupaten Rembang antara lain manajemen pemupukan berimbang sesuai kebutuhan tanaman, penambahan bahan organik (pupuk kandang, pupuk hijau, atau penanaman legume) pada tahapan pengolahan tanah, manajemen pH tanah yang sesuai untuk ketersediaan unsur dengan pengapuran (menaikkan pH),
dan pengaturan air irigasi yang tepat.
Tabel 6. Hasil analisis kimia dan evaluasi kesuburan tanah
Table 6. The result of chemical analysis and soil fertility evaluation
PL
Subgrup/Subgroup
KTK
(mg/ 100 g)
pH H2O
P2O5
(ppm)
C-Organik
(%)
K
(me/ 100g)
Kombinasi/Combination
Keterangan/Note
Tingkat kesuburan/Fertility level
1
Humic Dystrudepts
54,20
7,5
24.59
0,78
0,216
TS ≥ 3 R
ST
S
R
SR
R
Rendah
2
Humic Dystrudepts
27,78
7,1
68.90
0,68
0,159
TS T dengan ≥ 2 R
T
S
ST
SR
R
Rendah
3
Typic Dystrudepts
25,38
3,5
7.5
0,67
0,068
T ≥ 4 R
T
SR
SR
SR
SR
Rendah
4
Mollic Endoaquepts
38,05
6,8
131.64
1,27
0,911
TS ≥ T dengan R
T
S
ST
R
T
Sedang
5
Typic Dystrudepts
27,56
7,2
4.01
0,57
0,162
TS ≥ 3 R
T
S
SR
SR
R
Rendah
6
Typic Dystrudepts
31,11
7,5
19.59
0,34
0,103
TS ≥ 3 R
T
S
R
SR
R
Rendah
7
Typic Dystrudepts
43,00
7,5
23.88
1,18
0,326
TS ≥ 2 R
ST
S
R
R
S
Rendah
8
Typic Dystrudepts
48,61
7,5
7.01
1,16
0,322
TS ≥ 2 R
ST
S
SR
R
S
Rendah
9
Aquic Hapludalfs
52,89
7,5
0.54
0,53
0,380
TS ≥ 2 R
ST
S
SR
SR
S
Rendah
10
Typic Dystrudepts
17,53
7,4
3.21
0,45
0,099
SS ≥ 3 R
S
S
SR
SR
SR
Rendah
11
Lithic Udorthents
64,48
7,6
0.28
1,08
0,396
TT ≥ 2 R dengan S
ST
T
SR
R
S
Rendah
12
Typic Dystrudepts
41,69
6,7
1.32
0,74
0,269
TS ≥ 3 R
13
Typic Endoaquerts
68,06
7,4
9.02
1,15
0,547
TS S dengan ≥ 2 R
ST
S
SR
SR
S
Rendah
14
Typic Endoaqualfs
33,47
7,2
7.53 1,28 0,747 TS ≥ 2 R dengan TT S SR R T Rendah
15
Typic Dystrudepts40,75 7,4 0.54 1,23 0,376 TS ≥ 2 R
ST S SR R S Rendah
Keterangan: ST=Sangat Tinggi; T=Tinggi; S=Sedang; R=Rendah; SR=Sangat Rendah
Olsen Bray
FITRININGDYAH TRI KADARWATI : Evaluasi Kesuburan Tanah untuk Pertanaman Tebu di Kabupaten Rembang, Jawa Tengah
61
KESIMPULAN
Wilayah pengembangan tebu di Kabupaten Rembang memiliki kandungan C-organik dan N-total sangat rendah sampai rendah, P-tersedia sangat rendah sampai sangat tinggi, K-tersedia sangat rendah sampai tinggi, bahan organik rendah sampai tinggi, pH sangat masam sampai agak alkalis, dan KTK sedang sampai sangat tinggi. Tingkat kesuburan tanah bervariasi dari rendah hingga sedang dengan kendala utama antara lain kandungan N, pH, P-tersedia, C-organik, dan K-tersedia.
UCAPAN TERIMA KASIH
Penulis mengucapkan terima kasih kepada Sdr. Winda
Wira Risma, SP. Mahasiswa magang di Balai Penelitian Tanaman Pemanis dan Serat yang telah membantu pelaksanaan kegiatan ini mulai dari lapang sampai analisis tanah di laboratorium.
DAFTAR PUSTAKA
ABU ZAHRA, T.R. and A.B. TALBOUB. 2008. Effect of organic matter source on chemical properties of the soil and yield of strawberry under organic farming conditions. World Applied Sciences Journal.
5(3): 383-388.
BABU, M.V.S., C.M. REDDY, A. SUBRAMANYAM,
and D.
BALAGURAVAIAH . 2007. Effect of integrated use of organic and inorganic fertilizers on soil properties and yield of sugarcane. Journal of the Indian Society of Soil Science.
55(2): 161-166.
BOUAJILA, K. and M. SANAA. 2011. Effect of organic amendments on soil physico-chemical and biological properties. Journal of Material & Environmental Science.
2: 485-490.
DAMAETIE, A.
and F. ABIY. 2009.
Determination of optimum nitrogen rate for sugarcane at Wonji-Shoa sugarcane plantation.
Proceeding Compilation.
Ethiopian Sugar Development Agency Research Directorate. Page 105-115.
DUAN, Y.H., Y.L. ZANG, L.Y. Ye, Y.R. FAN, G.H. XU
and
Q.R.
SHEN. 2007. Responses of Rices Cultivars with Different Nitrogen Use Efficiency to Partial Nitrate Nutrition. Ann Bot. 99: 1153-1160.
ELAMIN, E.A., M.A. EL-TILIB., and M.H.
ELNASIKH. 2007. The Influence of phosporus and potassium fertilization on the quality of sugar of two sugarcane varieties grown
on three soil series of sudan.
Journal
of Applied Sciences. 7(16): 2345-2350.
FLORES, R.A., M.P. RENATO, J.A. HILARIO, A.P. MARCIO, R.M.
LEANDRO, and L.R. CARLOS. 2014. Potassium nutrition in sugarcane ratoons grown in Oxisols by a conservationist system. American-Eurasian J. Agric.and Environ. Sci. 14(7): 652-659.
GANA, A.K. 2008. Effects of organic and inorganic fertilizers on sugarcane production. Afr. J. General Agric. 4(1): 55-59.
HARJANTI, R., TOHARI, dan S. UTAMI. 2004. Pengaruh takaran pupuk nitrogen dan silika terhadap pertumbuhan awal (Saccharum officinarum L.) pada Inceptisol. Vegetalika.
3(2): 35-44.
INOUE, K., I. YAMANE,
and
T. KAJI. 2009. Effect of nitrogen
topdressing and number of tillers at maximum tilleringstage on the field and extract quality of ratoon sugarcane cultivar Ni17. Jpn. J. Soil Sci. and Plant Nutr. 80(1): 1-6.
ISMAIL, I. 2007. Application of Na and partial substitution of K-Na in different varieties of sugarcane planted on inceptisol soil. Sugar tech journal 9(4).
KHAN, I.A., K. ABDULLAH, M. GHULAM., A.S. MUHAMMAD, R.
SABOOHI,
and
A.D.
NAZIR. 2005. Effect of NPK fertilizers on the growth of sugarcane clone AEC 86-347 developed at Nia, Tando
Jam, Pakistan Journal of Botany.
37(2): 355-360.
MCCRAY, J.M., R.W. RICE, Y.G. LUO, and S.N. JI. 2010. Sugarcane response to phosporus fertilizer on everglades Histosols. Agronomy Journal.
102(1): 1468-1477.
MOMOSE, A., O. NORIKUNI, S. KUNI, S. TAKASHI, N. YASUHIRO,
A. SHOICHIRO, and O. TAKUJI. 2009. Nitrogen fixation and translocation in young sugarcane (Saccharum officinarum L.) plants associated with endophytic nitrogen-fixing bacteria. Microbes Environment Journal. 24(3): 224-230.
MUNIR, M. 1996. Tanah-Tanah Utama Indonesia. Pustaka
Jaya: Jakarta.
MUTERT, E.,T. DIEROLF, and FAIRHURST. 2000. Soil fertility
kit: a
toolkit for acid upland soil fertility management in Southeast Asia. PPI: Singapore.
NYOMAN, I. 2013. Bahan Kuliah Kesuburan Tanah dan Pemupukan. www.fp.unud.ac.id.
[diunduh
Tgl.10 Desember 2013].
OTTO, R., G.C. VITTI, and P.H. DE
CERQUIERA-LUIS. 2010. Potassium fertilizer management for sugarcane. Revista Brasileira de Ciencia do Solo.
34(4): 1137-1145.
RIKARDO, R.S. EZRA, and
F. MEIRIANI. 2015. Respons Pertumbuhan bibit bud chips tebu (Saccharum officinarum L.) terhadap dosis dan frekuensi pemberian pupuk N, P dan K pada wadah pembibitan yang berbeda.
Jurnal Online Agro-ekoteknologi. 3(3): 1089-1098.
SINGH, S. 2012. Land Suitability evaluation and landuse planning using remote sensing data and geographic information system techniques. International Journal of Geology, Earth and Environmental Sciences.
2(1).SISWANTO. 2006. Evaluasi Sumber Daya Lahan. Penerbit
UPN Press: Surabaya.SOEMARNO. 2013. Bahan Ajar Matakuliah Dasar Ilmu
Tanah: Reaksi Tanah (pH). www.marno. lecture.ub.ac.id. [diunduh Tgl.10 Desember 2013].
JURNAL LITTRI VOL. 22 NO. 2, JUNI 2016: 53 - 62
62
SOOMRO, A.F., T. SHAMSUDDIN, and C.O. FATEH. 2012. Effect of supplemental inorganic NPK and residual organic nutrients on sugarcane ratoon crop. International journal of Scientific & Engineering Research. 3(10).
SULASTRI, E. 2006. Perubahan Kapasitas Tukar Kation dan Kadar Fosfat Tanah Akibat Perlakuan Pupuk Organik Dalam Sistem Budi Daya Sayuran Organik. Skripsi.
Institut Pertanian Bogor.
SUPARMANTO, A. 2009.
Kesuburan Alami dan Homogenitas
Bahan Induk Tanah-tanah di Daerah Karangsambung, Kebumen, Jawa Tengah.
Skripsi.
Institut Pertanian
Bogor. SUPRIYADI, S. 2007. Kesuburan Tanah di Lahan Kering
Madura. Jurnal Embryo Fakultas Pertanian Trunojoyo. 4(2).
SUTANTO, R. 2005. Dasar-Dasar Ilmu Tanah.
Penerbit
Kanisius: Yogyakarta.
TSADO, P.A., B.A. LAWAL, C.A. IGWE, M.K.A. ADEBOYE, A.J.
ODOFIN, and A.A. ADEKAMBI. 2013. Effect of sources and levels of phosphorus on yield and quality of sugarcane in southern guinea savanna zone of Nigeria.TI journal. 2(3): 25-27.
VIEIRA, M.X., P.C.O. TRIVELIN, H.C.J. FRANCO, R. OTTO, and C.E. FARONI. 2010. Ammonium chloride as nitrogen source in sugarcane harvested without burning. Revista Brasileira de Ciencia do Solo.
34: 1165-1174.
VIRDIA,
H.M. and C.L. PATEL. 2010. Integrated nutrient management for sugarcane plant-ratoon system. Indian Journal of
Agronomy.
55(2): 147-151.
ZULKARNAIN, M., B. PRASETYA
dan SOEMARNO. 2013.
Pengaruh kompos, pupuk kandang, dan custom-bio terhadap sifat tanah, pertumbuhan dan hasil tebu (Saccharum officinarum
L.) Kebun Ngrangkah-
Pawon, Kediri. Indonesia Green Technology Journal.2(1): 45-52.
63
KORELASI SIFAT FISIK DAN KIMIA TANAH DENGAN INTENSITAS PENYAKIT BUSUK PANGKAL BATANG TANAMAN LADA
Correlation of Physical and Chemical Soil Characteristics with Intensity of Foot Rot
Disease of Black Pepper LA ODE SANTIAJI BANDE1), BAMBANG HADISUTRISNO2), SUSAMTO SOMOWIYARJO2),
BAMBANG HENDRO SUNARMINTO2), DAN ABDUL WAHAB 3),
1)Jurusan Agroteknologi Fakultas Pertanian Universitas Halu Oleo Kampus Hijau Bumi Tridharma, Jl. H.E.A. Mokodompit, Kendari 93231
2)Fakultas Pertanian Universitas Gadjah Mada Jl. Flora. Bulaksumur, Yogyakarta 55281
3)Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Sulawesi Tenggara, Badan Litbang Pertanian Jl. Prof. Muh. Yamin No. 89 Kendari 93114
e-mail: [email protected]
Diterima: 26-2-2016; Direvisi: 14-3-2016; Disetujui: 4-4-2016
ABSTRAK
Intensitas penyakit busuk pangkal batang lada yang disebabkan oleh Phytophthora
capsici di
Sulawesi Tenggara mencapai
61,2%, dan sulit dikendalikan karena patogennya terbawa tanah serta perkembangannya sangat dipengaruhi oleh kondisi lingkungan. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui korelasi sifat fisika dan kimia tanah pada pertanaman lada dengan intensitas
penyakit busuk pangkal batang. Intensitas penyakit diukur dari
setiap
subpetak berukuran 15 m x 15 m yang terdiri dari 36–40 tanaman. Sampel tanah berasal dari rizosfir tanaman lada pada setiap subpetak kemudian dicampur dan diambil secara komposit.
Analisis sifat fisika dan kimia tanah dilakukan di Laboratorium
Fisika dan Kimia Tanah Fakultas Pertanian, Universitas Gadjah Mada. Korelasi antara data inten-sitas penyakit dengan sifat fisik serta kimia tanah diolah menggunakan analisis lintas. Hasil penelitian menunjukkan bahwa tingkat kesuburan tanah pada pertanaman lada di lokasi penelitian termasuk rendah. Sifat fisika dan kimia tanah yang
berpengaruh langsung
terhadap rendahnya intensitas penyakit busuk pangkal batang lada adalah tingginya kapasitas tukar kation (KTK), kejenuhan basa (KB), K dan
P tersedia,
serta lengas tanah pada kapasitas lapang.
Sedangkan yang mendukung perkembangan penyakit adalah tingginya kandungan fraksi liat dan pasir, porositas, N total,
C-organik, dan salinitas. Strategi pengendalian penyakit busuk pangkal batang di daerah Sulawesi Tenggara dapat dilakukan dengan meningkatkan KTK, KB, K dan P tersedia, serta perbaikan tekstur tanah yang mampu menurunkan tingginya fraksi liat, pasir dan porositas tanah.
Kata kunci:
lada, tanah, penyakit busuk pangkal batang, strategi pengen-dalian.
ABSTRACT
Foot rot disease of black pepper caused by Phytophthora capsici
is the most destructive disease in Southeast Sulawesi. The disease intensity is 61.2%. This disease is difficult to control because the pathogen is soil borne and influenced by various complex environmental conditions. The study aimed to determine the correlation
of physical and chemical soil characteristics with disease intensity of foot rot of black pepper. Disease intensity was assessed from the subplots of black pepper plantation of 15x15 m2 consisting of 36-40 plants. Soil samples were randomly taken from the rhizosphere of the plants in each sub plot, mixed and taken as a composite. The physical and chemical analyses were conducted in the laboratory of Physics and Chemistry of the Faculty of Agriculture, Gajah
Mada University. Disease intensity and soil characteristics were analyzed its correlation using a path analysis. The results showed that soil fertility in the study area was low. The path analyses indicated that physical and chemical properties that correlated with low disease intensity were high cation exchange capacity (CEC), base saturation (BS), potassium and phosphor available as well as moisture at field capacity, whereas those induced disease development were high content of clay fraction, sand fraction, porosity, total N, C-organic and salinity.
The control strategy for foot rot disease in Southeast Sulawesi was possibly by increasing CEC, BS, potassium and phosphor available, as well as
by improvement of soil texture that can lower high fraction of clay, sand and soil porosity.
Keywords: black pepper, soil,
foot
rot disease, control strategy.
PENDAHULUAN
Penyakit busuk pangkal batang lada merupakan penyakit yang merugikan bagi petani lada di berbagai sentra produksi lada, termasuk Sulawesi Tenggara. Perkiraan kehilangan hasil
akibat penyakit ini pada tahun 2010
sebesar Rp. 16 miliar (DIREKTORAT PERLINDUNGAN
PERKEBUNAN, 2011). Intensitas penyakit
busuk pangkalbatang lada di Sulawesi Tenggara pada tahun 2011 mencapai
61,2% (BANDE
et al., 2014a). Tingginya intensitas penyakit sangat meresahkan petani lada
karena telah merugikan secara ekonomi. Penyakit busuk pangkal batang lada
yang disebabkan oleh Phytophthora capsicimerupakan patogen terbawa tanah (BANDE
et al., 2011) dan mempunyai keragaman genetik yang tinggi
(CHAERANI et al., 2013). Tanaman lada yang terinfeksi P. capsicimenyebabkan pembusukan
pada pangkal batangnya sehingga suplai air dan hara menjadi terhambat, tanaman menjadi layu dan mati.
Patogen terbawa tanah merupakan organisme yang sebagian siklus hidupnya berada di dalam tanah dan perkembangannya dipengaruhi oleh kondisi lingkungan
Jurnal Littri 22(2), Juni 2016. Hlm. 63 - 70 ISSN 0853-8212
JURNAL LITTRI VOL. 22 NO. 2, JUNI 2016: 63 - 70
64
dalam tanah. Sifat-sifat tanah berpengaruh terhadap populasi, reproduksi, daya tahan, penyebaran, dan kemampuan patogen untuk menginfeksi dan menyebabkan penyakit pada tanaman (NURHAYATI, 2013). Inokulum dari P. capsici berupa oospora dapat bertahan dalam tanah selama 36 bulan (BABADOOST
dan PAVON, 2013). Inokulum
P.capsici pada kelembaban >80% dan suhu antara 20–28
oC dapat bertahan beberapa tahun dalam tanah tanpa tanaman inang (NGUYEN, 2015).
Kondisi lingkungan tanah
yang kompleks menentukan perkembangan penyakit terbawa tanah.
Pemahaman ekologi tanah yang mempengaruhi
kehidupan patogen dan tanaman merupakan landasan untuk mengembangkan strategi pengendalian penyakit busuk pangkal batang lada.
Sifat-sifat
tanah,
seperti
kandungan
nutrisi,
sangat berpengaruh baik langsung maupun tidak langsung terhadap intensitas
penyakit
busuk pangkal batang lada. Perlakuan tanah dapat mengurangi intensitas penyakit busuk pangkal batang lada (NGUYEN, 2015)
dan inokulum P.
capsici
menjadi berkurang (SANG
et al., 2010; KUMAR
et al., 2012). Kandungan kalium
(K), fosfor (P) dan C-organik
dalam tanah berpengaruh terhadap perkembangan kejadian penyakit tanaman (RAHMAWANTO
et al., 2015).
Secara tidak langsung,
sifat fisika dan kimia tanah dapat
juga
menciptakan kondisi tanaman yang rentan terhadap infeksi patogen.
Setiap lokasi budidaya pertanian mempunyai sifat
fisika
dan kimia tanah yang berbeda sehingga pengaruhnya terhadap intensitas penyakit akan berbeda pula. Variasi jenis tanah mempengaruhi laju infeksi penyakit busuk pangkal batang lada (BANDE
et al., 2015). Kondisi
lokasi yang bervariasi menyebabkan strategi pengendalian penyakit busuk pangkal batang lada akan berbeda sesuai dengan karakteristik lokasinya. Oleh karena itu,
analisis sifat-sifat tanah yang mempengaruhi intensitas penyakit busuk pangkal batang lada di Provinsi Sulawesi Tenggara sangat penting untuk dilakukan. Pemahaman pengaruh sifat fisik dan kimia tanah terhadap peningkatan penyakit secara
baik akan berimplikasi pada
penyusunan strategi pengendalian
penyakit busuk pangkal batang lada
yang efektif.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui korelasi antara sifat
fisika
dan kimia tanah dengan
intensitas penyakit busuk pangkal batang
lada.
BAHAN DAN METODE
Lokasi dan Waktu Penelitian
Penelitian dilaksanakan di Provinsi Sulawesi Tenggara dan Laboratorium Fisika dan Kimia Tanah, Jurusan Ilmu Tanah, Fakultas Pertanian, Universitas Gadjah Mada. Penelitian ini berlangsung mulai bulan Januari sampai Juni 2011.
Metode Penarikan Sampel
Penelitian diawali dengan melakukan survei pada pertanaman lada untuk mengamati intensitas penyakit dan
mengambil sampel tanah. Lokasi penelitian ditentukan menggunakan metode purposif dengan kriteria merupakan sentra pertanaman lada dengan varietas lokal telah terserangpenyakit busuk pangkal batang minimal dalam dua tahun terakhir (endemik), budidayanya menggunakan tajar hidup (gamal), dan umur tanaman 6–8 tahun.
Kabupaten terpilih yaitu Kabupaten Konawe Selatan,
Kabupaten Konawe, dan
Kabupaten Kolaka Timur. Tiap kabupaten dipilih 2 kecamatan dan setiap kecamatan dipilih 2 desa/kelurahan sebagai lokasi penarikan sampel per-tanaman lada. Teknik penarikan sampel untuk pengamatan intensitas penyakit dilakukan secara sistematik dengan sampel utama adalah unit kebun petani. Apabila dalam satu desa/kelurahan hanya mempunyai satu hamparan kebunmaka sampelnya hanya satu unit,
apabila lebih dari satu
hamparan kebun yang terpisah maka diambil 2 unit sampel sehingga keseluruhannya
diperoleh 15 unit sampel/lokasi. Pada setiap unit hamparan kebun dibuat sub petak pengamatan sebanyak 5 sub petak yang masing-masing berukuran
15 m x 15 m dengan
populasi tanaman sebanyak 36–40 tanaman. Data intensitas penyakit pada masing-masing sub petak kemudian
dirata-rata. Sampel tanah rizosfer diambil pada masing-masing sub petak selanjutnya dicampur rata menjadi satu sampel tanah komposit. Tanah yang diperoleh selanjutnya dianalisis sifat fisika dan kimianya di Laboratorium Fisika dan Kimia Tanah, Fakultas Pertanian, Universitas Gadjah Mada.
Parameter Pengamatan dan Analisis Data
Variabel yang diamati adalah intensitas penyakit
busuk pangkal batang lada, sifat fisika dan kimia tanah, dan status kesuburan tanah. Intensitas penyakit ditentukan berdasarkan rumus:
Ʃa
IP = x 100%
Ʃb
IP
:
Intensitas penyakit (%)
Ʃa
:
Jumlah tanaman yang layu
Ʃb
:
Jumlah total tanaman sampel yang diamati
(BANDE et al., 2014a)
Parameter sifat fisika dan kimia tanah yang diamati, yaitu tekstur, porositas total, kadar lengas pF 2,54 (kapasitas lapangan), pH, C-organik, N-total, P tersedia, K tersedia, Kapasitas Tukar Kation (KTK), Kejenuhan Basa (KB), dan salinitas. Analisis karakteristik tanah meng-gunakan krietria dari BALAI PENELITIAN TANAH
(2009). Kriteria penentuan status kesuburan tanah berdasarkan pada kombinasi dari lima karakteristik tanah yaitu
KTK, KB, C-organik, kadar P2O5
dan K2O (PUSAT PENELITIAN TANAH , 1983).
Keeratan hubungan antar variabel (intensitas penyakit dan sifat fisika-kimia tanah) dianalisis menggunakan analisis korelasi. Besarnya pengaruh masing-masing variabel bebas terhadap variabel tak bebas (terpengaruh) dan hubungan antar variabel diolah dengan menggunakan
LA ODE SANTIAJI BANDE et al.: Korelasi Sifat Fisik dan Kimia Tanah dengan Intensitas Penyakit Busuk Pangkal Batang Tanaman Lada
65
analisis lintas (path analysis). Variabel tak bebas (Y) dalam analisis ini yaitu intensitas penyakit, sedangkan variabel bebasnya (X) adalah sifat fisika dan kimia tanah meliputi tekstur, porositas total, kadar lengas pF 2,4 (kapasitas lapangan), pH, C-organik, N-total, P tersedia, K tersedia, KTK (kapasitas tukar kation), KB (kejenuhan basa), dan salinitas. Melalui analisis lintas dapat diketahui pengaruh langsung dan tidak langsung sifat fisika dan kimia terhadap intensitas penyakit. Pengaruh langsung yaitu pengaruh suatu peubah bebas (sifat-sifat tanah) terhadap peubah tidak bebas (intensitas penyakit) secara langsung tanpa dipengaruhi oleh peubah bebas yang lainnya, sedangkan
pengaruh tidak langsung yaitu pengaruh bebas terhadap peubah tidak bebas yang masih dipengaruhi oleh peubah bebas lainnya.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Tingkat
Kesuburan Tanah
dan Intensitas Penyakit
Busuk Pangkal Batang
Data hasil analisis laboratorium sifat-sifat
tanah dan
intensitas penyakit busuk pangkal batang pada tanaman lada
disajikan pada Tabel 1.
Tanah di lokasi penelitian mempunyai pH yang tergolong sangat masam
sampai agak masam
(3,85 –
5,78), C-organik sangat rendah
sampai rendah
(0,79 –
1,94%), N total sangat rendah
sampai rendah
(0,09 –
0,17%), P tersedia sangat rendah
sampai rendah
(0,96 –
5,92 ppm), K tersedia sangat rendah
(0,08
–
0,27 mg/100g), salinitas sangat rendah
(0,01 –
0,04 (dS/m), KTK rendah
(6,78 –
12,63 me/100 g), dan KB sangat
rendah sampai sangat tinggi (15,48 – 82,08%). Sifat-sifattanah yang dibutuhkan lada supaya tumbuh dan berproduksi baik adalah tanah gembur, pH berkisar antara 5–6,5, dan tidak tergenang bila musim hujan. Kandungan unsur hara yang optimal adalah
N: 0,27%, P2O5: 0,29%, K2O: 0,40%,
MgO: 0,18%,
CaO: 0,50%, dan bahan organik: >2%(KEMENTERIAN PERTANIAN , 2013).
Hasil penilaian status kesuburan tanah berdasarkan gabungan nilai KTK, KB, C-organik, kadar P2O5
dan K2O,
menunjukkan status
kesuburan tanah di lokasi penelitian termasuk tingkat kesuburan rendah. Hal yang sama dilaporkan oleh ALAM
et al. (2012a),
menyatakan status
kesuburan tanah di Provinsi Sulawesi Tenggara termasuk rendah.
Tanah di Provinsi Sulawesi Tenggara
didominasi
oleh jenis Inceptisol dan Ultisol
(ALAM
et al., 2012b) dan
jenis tanah tersebut mempunyai tingkat kesuburan tanah yang relatif rendah (RUHNAYAT,
2011).
Status kesuburan tanah yang rendah di lokasi penelitian sangat mempengaruhi vigor tanaman lada sehingga menjadi rentan terhadap infeksi patogen. Intensitas penyakit akan meningkat pada tanah yang kekurangan unsur hara Kalium (RAHMAWANTO
et al., 2015). Intensitas penyakit busuk pangkal batang lada di lokasi penelitian bervariasi dari kategori ringan sampai sangat berat. Kategori yang digunakan dalam menentukan berat ringannya intensitas penyakit yaitu sehat (intensitas penyakit 0), ringan (intensitas penyakit antara 1 < 25%), sedang (intensitas penyakit > 25% –
<
50%), berat (intensitas penyakit > 50% –
<
75%), dan sangat berat (intensitas penyakit > 75%) (TOMBE
et al., 2012).
Tabel 1.
Hasil analisis tanah dan intensitas penyakit busuk pangkal batang lada di Sulawesi Tenggara
Table 1.
The result of soil analysis and intensity of foot rot disease in black pepper
in Southeast Sulawesi
No.
pH
C-organik (%)
C-organic (%)
N total (%)
Total N
(%)
P tersedia (ppm)
Available P (ppm)
K tersedia
(mg/100gr)
Available
K (mg/100gr)
Salinitas (dS/m)
Salinity (dS/m)
KTK
(me/100g)
CEC
(me/100g)
Kejenuhan Basa (%)
Base Saturation
(%)
Porositas
(%)
Porosity (%)
Lengas pF
2,54(%)
Moisture (%)
Liat (%)
Clay (%)
Pasir (%)
Sand (%)
IP (%)DI (%)
1
4,46
SM*
0,95
SR*
0,09
SR*
3,13
SR*
0,10
SR*
0,02
SR*
7,11
R*
21,94
R*
45,86
27,65
17,20
49,68 89,82
3,95
SM
1,44
R
0,11
R
3,16
SR
0,09
SR
0,01
SR
9,05
R
24,97
R
45,31
25,33
18,43
42,91 68,63
5,05
M
1,12
R
0,09
SR
5,92
R
0,08
SR
0,01
SR
6,78
R
20,50
R
44,58
28,17
16,59
32,53 36,54
4,54
M
1,45
R
0,13
R
3,19
SR
0,21
SR
0,01
SR
11,11
R
41,40
S
47,26
32,93
29,44
26,03 24,85
4,56
M
1,49
R
0,15
R
2,69
SR
0,27
SR
0,02
SR
12,63
R
32,46
R
51,27
39,98
32,75
17,49 20,56
4,45
SM
1,29
R
0,12
R
2,61
SR
0,22
SR
0,04
SR
9,50
R
60,95
T
51,12
32,17
19,65
35,63 27,87
5,78
AM
1,44
R
0,14
R
4,77
SR
0,16
SR
0,03
SR
9,24
R
74,89
T
48,15
33,18
23,17
26,24 21,68
4,84
M
1,45
R
0,12
R
2,61
SR
0,15
SR
0,02
SR
10,62
R
38,61
R
53,24
35,06
20,51
26,08 42,09
5,34
M
1,90
R
0,15
R
3,62
SR
0,20
SR
0,03
SR
8,76
R
82,08
ST
50,81
26,37
18,80
44,72 59,010
4,63
M
0,79
SR
0,11
R
0,96
SR
0,15
SR
0,02
SR
6,89
R
67,20
T
50,51
21,32
15,20
55,65 87,811
3,86
SM
1,11
R
0,12
R
4,20
SR
0,13
SR
0,01
SR
10,04
R
17,83
SR
51,59
31,98
20,19
31,55 41,312
3,97
SM
1,75
R
0,13
R
5,92
R
0,20
SR
0,01
SR
9,82
R
16,60
SR
51,16
36,36
21,23
28,05 19,613
3,86
SM
1,94
R
0,17
R
2,61
SR
0,26
SR
0,02
SR
11,05
R
15,48
SR 49,06
34,84
26,13
24,88 71,614
3,85
SM
1,27
R
0,11
R
1,55
SR
0,12
SR
0,02
SR
9,56
R
19,35
SR
47,94
28,04
22,75
33,12 94,415
4,56
M
1,91
R
0,11
R
2,59
SR
0,26
SR
0,02
SR
12,10
R
22,48
R
50,71
33,57
26,45
14,69 22,0
Keterangan: IP = Intensitas Penyakit; *SM = Sangat Masam; M = Masam; AM = Agak Masam; SR = Sangat Rendah; R = Rendah; S = Sedang; T = Tinggi;ST = Sangat Tinggi
Note: DI = Disease Intensity; VA = Very Acid; A = Acid; RA = Rather Acid; VL = Very Low; L = Low; m = Moderate; H = High; H = Very High
JURNAL LITTRI VOL. 22 NO. 2, JUNI 2016: 63 - 70
66
Koefisien Korelasi dan Koefisien Lintas Sifat-Sifat Tanah dengan Intensitas Penyakit Busuk Pangkal Batang
Analisis korelasi dapat memberikan informasi tentang adanya sifat-sifat tanah yang memiliki hubungan dengan intensitas penyakit busuk pangkal batang, baik hubungan positif maupun negatif (Tabel 2). Sifat-sifat tanah yang berhubungan
positif nyata dengan intensitas penyakit
adalah fraksi pasir, sedangkan yang berhubungan negatif
nyata adalah P tersedia, KTK, dan lengas tanah pF 2,54. Sifat fisik dan kimia lainnya tidak berhubungan
secara
nyata dengan intensitas penyakit. Hasil analisis ini mem-berikan informasi bahwa tingginya
fraksi pasir ber-
hubungan dengan tingginya intensitas penyakit,
sedangkan peningkatan P tersedia, KTK, dan lengas tanah pF 2,54 menurunkan intensitas penyakit.
Nilai korelasi ini belum dapat memberikan gambaran kejadian sebenarnya di alam tentang pengaruh sifat-sifat tanah terhadap intensitas
penyakit,
karena
korelasi tidak dapat menunjukkan adanya hubungan sebab akibat antara sifat-sifat tanah (sebagai variabel bebas) dengan intensitas penyakit busuk pangkal batang (sebagai variabel tak bebas). Sebagai contoh, nilai koefisien korelasi porositas tanah (X9) adalah negatif dan tidak nyata
(Tabel 2), tetapi nilai koefisien pengaruh langsungnya pada analisis lintas adalah positif besar
(Tabel 3). Nilai korelasi ini perlu ditelusuri
lebih lanjut dengan menggunakan analisis lintas untuk mengetahui pengaruh langsung dan tidak langsung suatu variabel bebas terhadap variabel tak bebas (YUNIANTI et al., 2010).
Hasil analisis lintas menunjukkan terjadi perubahan nilai koefisien dari beberapa sifat fisika dan kimia tanah. Perubahan koefisien dari negatif pada analisis korelasi menjadi positif pada pengaruh langsungnya terjadi pada variabel C-organik, N total, porositas dan fraksi liat (Tabel 3). Perubahan nilai keofisien tersebut memberikan informasi bahwa variabel-variabel tersebut secara langsung meningkatkan intensitas penyakit, tetapi karena adanya pengaruh variabel lain (pengaruh tidak langsungnya) menyebabkan pengaruh totalnya (koefisien korelasi) menjadi negatif. Penerapannya untuk mengurangi intensitas penyakit adalah memperhatikan pengaruh tidak langsungya yang berkontribusi terhadap penurunan intensitas penyakit. Sebagai contoh, fraksi liat (X11) secara langsung meningkatkan intensitas penyakit, tetapi secara tidak langsung melalui variabel K, KTK, lengas tanah, dan fraksi pasir menurunkan intensitas penyakit. Oleh karena itu, untuk menurunkan intensitas penyakit pada tanah-tanah yang kandungan liatnya tinggi harus diikuti dengan peningkatan K tersedia, KTK, dan tetap mempertahankan lengas tanah pada kapasitas lapang.
Tabel 2.
Matriks korelasi
sifat fisika dan kimia tanah dengan intensitas penyakit busuk pangkal batang lada
di SulawesiTenggara
Table 2.
Correlation matrix between
physical and chemical soil characteristic and
intensity of foot rot disease in blackpepper
in Southeast Sulawesi
X1
X2
X3 X4 X5 X6 X7 X8 X9 X10 X11 X12
X1 1
X2 0,01 1
X3
0,06
0,67**
1
X 0,24 0,16 0,03 1
X5 -0,01 0,67 0,72 -0,20 1
X 0,45 0,11 0,27 0,32 0,34 1
X7 -0,23 0,64 0,57 -0,17 0,76 -0,01 1
X8 0,73 -0,04 0,25 -0,15 0,13 0,68 -0,23 1
X9 -0,02 0,28 0,42 -0,23 0,56 0,33 0,49 0,24 1
X10
-0,07
0,51
0,51
0,26
0,64
0,00
0,80
-0,28 0,44
1
X11 -0,09 0,51
0,58* 0,12 0,73**
-0,04 0,89**
-0,18 0,20 0,76**
1
X12 0,02 -0,58* -0,39 -0,21 -0,59* 0,10 -0,84** 0,34 -0,28 -0,87** -0,80** 1
Y
-0,32
-0,38
-0,24
-0,53*
-0,47
-0,02 -0,52*
-0,08 -0,32
-0,71**
-0,48
0,71**
Keterangan: *dan ** masing-masing nyata pada taraf 0,05 dan 0,01; X1 = pH; X2 = C; X3 = N; X4 = P, X5 = K; X6 = salinitas; X7 = KTK CEC; X8 =KB BS;X9 = porositas; X10 = lengas pF 2,54; X11 = liat; X12 = pasir; Y = intensitas penyakit
Note: * and ** significant at 0,05 and 0,01 levels respectively; X1 = pH; X2 = C; X3 = N; X4 = P, X5 = K; X6 = salinity; X7 = CEC; X8 = BS; X9 = porosity; X10 = moisture pF 2,54; X11 = clay; X12 = sand; Y = disease intensity
LA ODE SANTIAJI BANDE et al.: Korelasi Sifat Fisik dan Kimia Tanah dengan Intensitas Penyakit Busuk Pangkal Batang Tanaman Lada
67
Tabel 3. Matriks koefisien lintas pengaruh langsung dan tidak langsung sifat fisika dan kimia tanah terhadap intensitas penyakit busuk pangkal batang lada di Sulawesi Tenggara
Table 3. Path coefficient matrix of direct and indirect effect of physical and chemical characteristics of soil on the intensity of foot rot disease in black pepper in Southeast Sulawesi
Variabel Variable
Pengaruh langsung Direct
effect
Pengaruh tidak langsung melalui variabel Indirect effect through variable
Pengaruh TotalTotal effect
Z1
Z2
Z3
Z4
Z5
Z6
Z7
Z8
Z9 Z10
Z11
Z12
Z1
0,15
-
0,00
0,02
-0,14
0,01
0,13
0,22
-0,65
-0,01
0,02
-0,07
0,01
-0,32
Z2
0,39
0,00
-
0,27
-0,10
-0,45
0,03
-0,63
0,04
0,10
-0,19
0,41
-0,26
-0,38
Z3
0,41
0,01
0,26
-
0,02
-0,48
0,08
-0,56
-0,23
0,15
-0,19
0,46
-0,17
-0,24
Z4
-0,59
0,04
0,06
-0,01
-
0,14
-0,09
0,16
0,14
-0,08
-0,10
-0,10
-0,09
-0,53
Z5
-0,67
-0,00
0,26
0,29
0,12
-
0,10
-0,74
-0,11
0,20
-0,24
0,59
-0,26
-0,47
Z6
0,28
0,06
0,04
0,11
0,19
-0,23
-
0,01
-0,61
0,12
-0,00
-0,04
0,04
-0,02Z7
-0,98
-0,03
0,25
0,23
0,10
-0,51
-0,00
-
0,21
0,18
-0,30
0,71
-0,38
-0,52Z8
-0,89
0,11
-0,02
0,10
0,09
-0,08
0,19
0,22
-
0,09
0,11
-0,15
0,15
-0,08Z9
0,36
-0,00
0,11
0,17
0,14
-0,38
0,09
-0,48
-0,21
-
-0,16
0,16
-0,13
-0,32Z10
-0,37
-0,01
0,20
0,21
-0,15
-0,43
0,00
-0,78
0,25
0,16
-
0,61
-0,39
-0,71Z11
0,81
-0,01
0,20
0,24
0,07
-0,49
-0,01
-0,87
0,16
0,07
-0,28
-
-0,36
-0,48Z12
0,45
0,00
-0,23
-0,16
0,12
0,40
0,03
0,82
-0,30
-0,10
0,32
-0,64
-
0,71R2 = 0,99
Keterangan:
Z1
=
pH;
Z2
=
C-organik;
Z3
=
N;
Z4
=
P;
Z5
=
K;
Z6
=;
Z7
=
KTK;
Z8
=
KB;
Z9
=
Porositas;
Z10
=
Lengas
pF 2,54;
Z11
=
Liat;
Z12
=
Pasir
Note:
Z1 = pH; Z 2
= C-organic ; Z3 = N; Z4 = P ; Z5 = K; Z6
= salinity; Z7 = CEC;
Z8 = BS; Z9 = porosity; Z10 = moisture
pF 2,54; Z11 =; Z12 = sand
Sifat-sifat tanah yang nilai koefisien korelasinya
negatif nyata dan tetap sejalan dengan nilai koefisien pengaruh langsung pada analisis lintas adalah P tersedia (X4), K (X5), KTK (X7), KB (X8) dan lengas tanah pF 2,54 (X10), sedangkan yang nilai
koefisien korelasinya positif nyata dan tetap sejalan dengan nilai koefisien pengaruh langsung pada analisis lintas adalah fraksi pasir (X12). Apabila nilai korelasi antar sifat-sifat tanah
dengan
intensitas penyakit sama dengan nilai pengaruh lang-sungnya, maka nilai korelasi tersebut menunjukkan hubungan yang
sesungguhnya
sehingga pengaruh tidak langsungnya dapat diabaikan.
Peran
Sifat-Sifat Tanah Terhadap Peningkatan Intensitas Penyakit Busuk Pangkal Batang
Sifat fisika dan kimia tanah yang mempunyai
pengaruh langsung positif terhadap intensitas penyakit adalah pH (0,145), C-organik (0,388), N (0,410), salinitas (0,283), porositas (0,364), fraksi liat (0,805) dan fraksi pasir (0,447)
(Tabel 3). Pengaruh langsung positif merupakan
pengaruh dari suatu variabel bebas terhadap peningkatan intensitas penyakit secara langsung tanpa dipengaruhi oleh variabel bebas lainnya.
Peningkatan pH tanah secara langsung mem-pengaruhi peningkatan intensitas penyakit busuk pangkal batang lada.
Peningkatan intensitas penyakit ini disebabkan oleh jumlah populasi patogen yang menginfeksi tanaman semakin meningkat. Phytophthora sp. mampu berkembang pada berbagai kisaran pH tanah (HIDAYAH
dan DJAJADI, 2009).
Patogen
P. capsici
berkembang dengan baik pada kisaran pH antara 4,5–7 dan populasinya semakin meningkat seiring dengan peningkatan pH (BHAI et al., 2010). Pengaruh langsung pH terhadap peningkatan intensitas penyakit dapat dikurangi dengan mengoptimalkan pengaruh tidak langsungnya yakni peningkatan KB
C-organik dalam penelitian ini
secara langsungmeningkatkan intensitas penyakit tetapi pengaruh tidak langsungnya
melalui variabel K, KTK, lengas,
dan fraksi pasir mampu
menurunkan
intensitas penyakit.
Peran langsung C-organik terhadap
peningkatkan intensitas penyakit berhubungan
dengan berkurangnya mikroba antagonis yang menghambat P. capsici, sehingga mikroba yang banyak berkembang di rhizosfer
tanaman lada adalah mikroba patogen (P. capsici).
Berkurangnya mikroba agens antagonis disebabkan
penggunaan herbisida yang tidak terkontrol
di lokasi penelitian. BANDE
et al.
(2014a) melaporkan penggunaan herbisida di pertanaman lada di Sulawesi Tenggara sangat tinggi dan tidak terkendali. Penggunaan herbisida Parakuat yang tinggi pada tanah Ultisol menyebabkan penurunan populasi agensia hayatiTrichoderma
sp. dan Gliocladium
sp. (BANDE
dan RAHMAN, 2007). Peran langsung C-organik ini dapat dikurangimelalui optimalisasi
pengaruh tidak langsungnya yaitu melalui
peningkatan K dan KTK.
Peningkatan N total menyebabkan peningkatan intensitas penyakit,
karena nilai koefisien lintas dari pengaruh langsungnya yang besar dan positif (0,41) serta koefisien korelasinya kecil dan negatif
(-0,24). Peran hara N total dalam peningkatkan intensitas penyakit didukung oleh pengaruh tidak langsungnya melalui variabel C-organik (X2) dan fraksi liat (X11). Interaksi antara N totaldengan
C-organik
dan
fraksi liat
meningkatkan intensitaspenyakit, tetapi
interaksinya
dengan
K tersedia, KTK, dan fraksi pasir menurunkan intensitas penyakit. Oleh karena itu, pengaruh langsung N dalam meningkatkan intensitas penyakit dapat dikurangi dengan peningkatan K tersedia dan perbaikan KTK. FAHMI et al. (2010) dan RUHNAYAT
(2011) mengemukakan bahwa pasokan N yang terlalu tinggi pada tanaman dapat menyebabkan meningkatnyaukuran sel sehingga daun dan batang tanaman menjadi
JURNAL LITTRI VOL. 22 NO. 2, JUNI 2016: 63 - 70
68
sukulen dan kurang keras. Kondisi yang demikian menurut KOIKE et al. (2011) dapat mengakibatkan tanaman rentan terhadap infeksi patogen.
Peran salinitas berdasarkan hasil analisis korelasi sangat rendah dan bahkan dapat diabaikan, tetapi hasil analisis lintas perannya secara langsung menjadi positif terhadap peningkatan intensitas penyakit busuk pangkal batang lada. Salinitas tanah yang tinggi menyebabkan tanaman mengalami predisposisi terhadap infeksi patogen. Peningkatan salinitas menyebabkan peningkatan kejadian penyakit (SOULI
et al., 2014).
Nilai koefisien pengaruh langsung porositas tanah (X9) hasil analisis lintas adalah positif besar yang menunjukkan bahwa peningkatan porositas tanah secara langsung meningkatkan intensitas penyakit. Peran porositas tanah dalam meningkatkan intensitas penyakit berkaitan
dengan
proses
kehilangan hara yang tinggi akibat pencucian sehingga tanahnya menjadi miskin hara. Tanah-tanah yang relatif miskin unsur hara cenderung memiliki
kejadian penyakit yang besar (SUSANTO
et al., 2013). Porositas tanah yang tinggi dapat meningkatkan intensitas penyakit busuk pangkal batang, juga disebabkan faktor akar tanaman yang lebih cepat bergerak ke sumber inokulum atau sebaliknya. Peran porositas tanah dalam meningkatkan intensitas penyakit menjadi berkurang setelah berinteraksi dengan K tersedia, KTK, KB, dan lengas tanah pF 2,54 (pengaruh tidak
langsungnya). Oleh karena itu, pengaruh porositas tanah terhadap peningkatan penyakit dapat dikurangi dengan peningkatan K tersedia, KTK, KB, dan lengas tanah pF 2,54.
Fraksi liat (X11)
mempunyai
koefisien pengaruh
langsung yang positif besar terhadap intensitas penyakit busuk pangkal batang lada. Besarnya pengaruh langsung dalam meningkatkan intensitas penyakit disebabkan kemampuan fraksi liat dalam mengikat air tanah. Menurut INTARA
et al.
(2011), liat mempunyai permukaan yang luas dan bermuatan
listrik sehingga makin banyak air yang diikat pada partikel tanah.
Dampak pengaruh langsung yang besar ini dapat dieliminir oleh pengaruh tidak langsungnya melalui variabel K tersedia, KTK, lengas, dan fraksi pasir sehingga pengaruh totalnya menjadi kecil dan negatif. Faktor lain yang menyebabkan peningkatan intensitas penyakit pada kandungan liat yang tinggi berkaitan dengan defisiensi K. Unsur hara pada tanah yang bertekstur liat banyak terserap di dalam tanah sehingga menjadi tidak tersedia bagi tanaman (RUHNAYAT, 2011).
Tanah yang mempunyai kandungan kalium yang tinggi memiliki kejadian penyakit layu bakteri yang rendah (RAHMAWANTO
et al., 2015)
Fraksi pasir (X12) memberikan pengaruh langsung positif besar terhadap
intensitas penyakit,
dan hal ini sejalan dengan nilai koefisien korelasinya
yang juga positif, artinya fraksi pasir yang tinggi akan meningkatkan intensitas penyakit. Pasir mempunyai ukuran pori yang besar sehingga memudahkan pergerakan patogen dalam tanah. SUSANTO et al. (2013) melaporkan bahwa kejadian penyakit dan laju infeksi penyakit busuk pangkal batang pada kelapa
sawit di tanah bertekstur pasir ternyata lebih tinggi dibandingkan dengan tekstur tanah lainnya. Untuk mengurangi intensitas penyakit busuk pangkal batang lada pada tanah pasir yang tinggi dapat dilakukan dengan mengoptimalkan pengaruh tidak langsungnya melalui perbaikan variabel C-organik, N, total, KB, lengas, dan liat.
Peran Sifat-Sifat Tanah Terhadap Penurunan Intensitas Penyakit Busuk Pangkal Batang
Lada
Hasil analisis lintas pada Tabel 3, menunjukkan
bahwa variabel yang mempunyai pengaruh langsung negatif terhadap intensitas penyakit adalah
P tersedia
(-0,594), K (-0,674), KTK (-0,978), KB (-0,893), dan lengas tanah pF 2,54 (-0,371). Variabel KTK, KB, K tersedia, dan P tersedia
mempunyai nilai koefisien lintas
yang besar dan negatif. Hal ini berarti peningkatan nilai variabel-variabel tersebut secara langsung akan menurun-kan intensitas penyakit busuk pangkal
batang. Penerapan-nya dalam pengelolaan penyakit busuk pangkal batang pada tanaman lada
adalah
merekayasa lingkungan tanah agar terjadi peningkatan nilai
KTK,
KB,
K dan P
serta memper-tahankan agar lengas tanah tetap pada kapasitas lapangsehingga tanaman lada tumbuh lebih sehat.
Peningkatan unsur
P dan K tersedia akan dapat menurunkan
intensitas penyakit busuk pangkal batang. Unsur hara P dalam tanaman berperan penting dalam menunjang proses fotosintesis, sedangkan unsur K dalam penyusunan komponen tanaman, seperti selulosa. Kan-dungan P dan K yang seimbang akan meningkatkan vigor tanaman lada sehingga lebih tahan terhadap infeksi P. capsici,
terutama saat musim hujan. Pemberian nutrisi P dan K yang seimbang meningkatan ketahanan tanaman terhadap infeksi patogen Phytophthora
sp. (SCOTT
et al., 2015). RAHMAWANTO
et al. (2015), melaporkan bahwa unsur K yang tinggi dapat menurunkan intensitas penyakit.
Peningkatan nilai KTK dan KB akan dapat meningkatkan penyediaan unsur hara yang dibutuhkan tanaman
sehingga tanaman tumbuh dengan optimal. Unsur hara yang mudah diserap oleh tanaman menyebabkan vigor tanaman meningkat sehingga
relatif lebih tahan terhadap infeksi patogen. Peningkatan nilai KTK dan KB secara langsung menurunkan intensitas penyakit (Tabel 3).
Kation-kation basa umumnya merupakan unsur hara yang diperlukan tanaman
(SUDARYONO, 2009). Peranan kation-kation basa secara langsung mampu menurunkan intensitas penyakit busuk pangkal batang pada tanaman lada (BANDE
et al., 2014b).
Lengas tanah pF 2,54 (X10) secara langsung mempunyai koefisien lintas negatif dan sejalan dengan koefisien korelasinya. Lengas tanah pF 2,54 merupakan air tersedia yang diserap langsung tanaman sehingga kebutuhan air bagi tanaman terpenuhi. Lengas tanah yang baik menyebabkan kelarutan unsur hara menjadi optimal dan mudah diserap oleh akar tanaman (TRIANA
et
al., 2013). Penyerapan unsur hara yang baik dan optimal menyebabkan vigor tanaman menjadi lebih baik, sehingga dapat mening-katkan ketahanan tanaman terhadap infeksi patogen.
LA ODE SANTIAJI BANDE et al.: Korelasi Sifat Fisik dan Kimia Tanah dengan Intensitas Penyakit Busuk Pangkal Batang Tanaman Lada
69
Hasil analisis dari penelitian ini (korelasi dan analisis lintas) lebih bersifat spesifik lokasi karena sangat dipengaruhi oleh perbedaan faktor lingkungan, sehingga penelitian ini memiliki keterbatasan dalam validitas eksternalnya. BANDE et al. (2015) melaporkan bahwa perubahan jenis tanah menyebabkan perbedaan
intensitas
penyakit busuk pangkal batang lada. Kemampuan P. capsici
dalam menginfeksi tanaman sangat dipengaruhi
oleh kondisi lingkungan (LAMOUR
et al., 2011). Implikasi untuk strategi penerapan
dari hasil penelitian ini akan lebih
efektif pada
pertanaman lada di daerah Sulawesi Tenggara,
dan di
daerah lain
kemungkinan tidak efektif lagi. Oleh
karena itu, setiap daerah sentra produksi lada akan memiliki strategi pengendalian yang berbeda pula
sesuai dengan
karakteristik daerahnya
(spesifik lokasi).
KESIMPULAN
Tingkat kesuburan tanah pada pertanaman lada di daerah Sulawesi Tenggara termasuk rendah. Sifat fisika dan kimia tanah yang berpengaruh langsung terhadap rendahnya intensitas penyakit busuk pangkal batang lada adalah tingginya kapasitas tukar kation (KTK), kejenuhan basa (KB), K dan
P tersedia,
serta lengas tanah pada kapasitas lapang.
Sedangkan yang mendukung perkem-bangan penyakit adalah tingginya kandungan fraksi liat dan pasir, porositas, N total,
C-organik, dan salinitas.
Strategi pengendalian penyakit busuk pangkal batang pada pertanaman lada di daerah Sulawesi Tenggara dapat dilakukan dengan meningkatkan KTK, KB, K dan
P tersedia, serta
perbaikan tekstur tanah yang mampu menurunkan tingginya fraksi liat, pasir dan porositas tanah.
UCAPAN TERIMA KASIH
Penulis
mengucapkan
terima kasih kepada Asis, S.P., dan
Muhammad, S.P. atas bantuannya dalam pengumpulan data dan pengambilan sampel tanah di lapangan, serta
kepada semua pihak yang telah membantu dalam penelitian ini.
DAFTAR PUSTAKA
ALAM, S., B.H. SUNARMINTO,
dan S.A. SIRADZ.
2012a.
Karakteristik kesuburan tanah pada kondisi iklim berbeda di Sulawesi Tenggara. Majalah Ilmiah Agriplus. 22(01): 77-84.
ALAM, S., B.H. SUNARMINTO, dan S.A. SIRADZ. 2012b. Karakteristik bahan induk tanah dari formasi geologi kompleks
ultramafik di Sulawesi Tenggara. Jurnal Agroteknos. 2(2): 112-120.
BABADOOST, M. and C. PAVON. 2013. Survival of oospores of Phytophthora capsici in soil. Plant Disease. 97(11): 1478-1483.
BALAI PENELITIAN TANAH. 2009. Petunjuk Teknis Analisis Kimia Tanah, Tanaman, Air, dan Pupuk. Balai Besar Sumber Daya Lahan Pertanian. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Departemen Pertanian. Bogor. 234 hlm.
BANDE, L.O.S. dan
A. RAHMAN.
2007. Pengaruh herbisida parakuat terhadap jamur agensia hayati dan keparahan penyakit busuk pangkal batang lada. Jurnal Agrivita. 29(3): 278-283.
BANDE, L.O.S., B. HADISUTRISNO, S. SOMOWIYARJO, dan B.H.
SUNARMINTO.
2011. Karakteristik Phytophthora capsici
isolat Provinsi Sulawesi Tenggara.
Majalah
IlmiahAgriplus. 21(01): 75-82. BANDE, L.O.S., B. HADISUTRISNO, S. SOMOWIYARJO, dan B.H.
SUNARMINTO.
2014a. Pola agihan dan intensitas
penyakit busuk pangkal batang lada di Provinsi Sulawesi Tenggara.
Jurnal Agroteknos. 4(1): 58-65.BANDE, L.O.S., T. WIJAYANTO, and GUSNAWATY HS . 2014b.
The role of soil chemical properties (C/N ratio, exchangeable bases, and redox potential) toward disease incidence of foot rot disease in black pepper. Proceeding Celebes International Conference on Earth Sciences. Kendari. p. 418-423.
BANDE, L.O.S., B. HADISUTRISNO, S. SOMOWIYARJO, dan B.H.
SUNARMINTO. 2015. Epidemi penyakit busuk pangkal batang lada pada kondisi lingkungan yang bervariasi. Jurnal Hama dan Penyakit Tumbuhan Tropika. 15(1): 95-103.
BHAI, R.S, S. RAJ
and A. KUMAR. 2010. Influence of soil pH and moisture on the biocontrol potential of Trichoderma harzianum
on Phytophthora capsici-black pepper system. Journal of Biological Control. 24(2): 153-157.
CHAERANI, S. KOERNIATI, dan D. MANOHARA. 2013. Analisis keragaman genetik Phytophthora capsici
Leonian asal lada (Piper nigrum
L.) menggunakan penanda molekuler. Jurnal Littri. 19(1): 23-32.
DIREKTORAT PERLINDUNGAN PERKEBUNAN. 2011. Rekapitulasi data Organisme Pengganggu Tanaman (OPT) tahun 2010. Direktorat Jenderal Perkebunan. Departemen Pertanian. Jakarta.
54 hlm.
FAHMI, A., SYAMSUDIN, S.N.H. UTAMI
dan B. RADJAGUKGUK. 2010. Pengaruh interaksi hara Nitrogen dan Fosfor terhadap pertumbuhan tanaman jagung (Zea mays L.) pada tanah Regosol dan Latosol. Berita Biologi. 10(3): 297-304.
HIDAYAH, N. dan
DJAJADI.
2009. Sifat-sifat tanah yang mempengaruhi perkembangan patogen tular tanah pada tanaman tembakau. Perspektif 8(2): 74-83.
INTARA, Y.S., A. SAPEI, ERIZAL, N. SEMBIRING
dan M.H.B.
DJOEFRIE. 2011. Pengaruh pemberian bahan organik pada tanah liat dan lempung berliat terhadap kemampuan mengikat air. Jurnal Ilmu Pertanian Indonesia. 16(2): 130-135.
KEMENTERIAN PERTANIAN . 2013. Peraturan Menteri Pertanian Republik Indonesia Nomor 10/PERMENTAN/OT.140/1/2013 tentang Pedoman
JURNAL LITTRI VOL. 22 NO. 2, JUNI 2016: 63 - 70
70
Teknis Pembangunan Kebun Induk Lada. Berita Negara Republik Indonesia No. 132. Jakarta. 39 hlm.
KOIKE, S.T., K.V. SUBBARAU, R.M. DAVIS, and T.A. TURUNI. 2011. Vegetable Disease caused by Soilborn Pathogen . ANR Publication 8099. http://anrcatalog.ucdavis.edu/pdf/8099.pdf. [diunduh tanggal 6 Februari 2011].
KUMAR, N.R., K.R. KUMAR, and K. SESHAKIRAN. 2012.
Management of Phytophthora
foot rot disease in black pepper. Green Farming. 3(5): 583-585.
LAMOUR, K.H., R. STAM, J. JUPE
and E. HUITEMA. 2011. The oomycete broad-host-range pathogen Phytophthora capsici. Molecular Plant Pathology. 13: 329-337.
NGUYEN, V.L. 2015. Spread of Phytophthora capsici
in black pepper (Piper nigrum) in Vietnam. Enggineering. 7: 506-513.
NURHAYATI. 2013. Tanah dan perkembangan patogen tular tanah. Prosiding Seminar Nasional VII. Masyarakat Konservasi Tanah Indonesia. Meningkatkan Ketahanan Pangan dan Mencegah Kekeringan dan Kelangkaan Air. Palembang. hlm. 326-330.
PUSAT PENELITIAN TANAH . 1983. Lampiran Tor of
Reference
Klasifikasi Kesesuaian Lahan. No.59b/
1983. P3MT Balitbang Departemen Pertanian. Bogor. 23 hlm.
RAHMAWANTO, D.G., A. MUHIBUDDIN, dan L.Q. AINI. 2015.
Pengaruh faktor abiotik kimia tanah terhadap supressifitas tanah dalam mengendalikan penyakit layu bakteri (Ralstonia solanacearum ) pada tanaman tomat (Lycopersicon esclentum
Mill). Jurnal Hama dan Penyakit Tumbuhan. 3(2): 1-8.
RUHNAYAT, A.
2011. Respon tanaman lada perdu terhadap pemupukan NPK pada jenis tanah Inceptisols dan Ultisols. Buletin Littro. 22(1): 23-32.
SANG, M.K., J.G KIM, and K.D. KIM. 2010. Biocontrol activity and induction of systemic resistance in pepper by compost water extracts against Phytophthora capsici . Phytopathology. 100: 774-783.
SCOTT, P.M., P.A. BARBER and G.E.S.J. HARDY. 2015. Novel phosphite and nutrient application to control Phytophthora cinnamommi
disease. Australasian Plant
Pathology. 44:
431-436. SOULI, M., P. ABAD-CAMPUS, A. PEREZ-SIERRA, S. FATTOUCH, J.
ARMENGOL, and N. BOUGHALLEB-M’HAMDI. 2014. Etiology of apple tree dieback in Tunisia and abiotic factors associated with the disease. African Journal of Microbiology Reseacrch. 8(23): 2272-2281.
SUDARYONO. 2009. Tingkat
kesuburan tanah ultisol pada lahan pertambangan batubara Sangatta Kalimantan Timur. Jurnal Teknologi Lingkungan. 10(3): 337-346.
SUSANTO, A., A.E. PRASETYO, dan S. WENING. 2013. Laju infkesi Ganoderma
pada empat kelas tekstur tanah. Jurnal Fitopatologi Indonesia. 9(2): 39-46.
TOMBE, M., D. PANGERAN, dan T.S. HARYANI. 2012. Keefektifan formula minyak cengkeh dan
serai wangi terhadap Fusarium oxysporum
f.sp. vanillae
penyebab busuk batang vanila. Jurnal Littri. 18(4): 143-150.
TRIANA, A.N, H. AGUSTINA, dan S.A. AGUSTINA. 2013. Irigasi genangan untuk pertumbuhan tanaman cabai merah (Capsicum annum
L.) Prosiding Seminar Nasional VII. Masyarakat Konservasi Tanah Indonesia. Meningkatkan Ketahanan Pangan dan Mencegah Kekeringan dan Kelangkaan Air. Palembang. hlm. 165-173.
YUNIANTI, R., S. SASTROSUMARJO, S. SUJIPRIHATI, M.
SURAHMAN, dan S.H. HIDAYAT. 2010. Kriteria seleksi untuk perakitan varietas cabai tahan Phytophthora capsici Leonian. Jurnal Agronomi Indonesia. 38(2): 122-129.
71
RESPON TANAMAN LADA (PIPER NIGRUM L.) VARIETAS CIINTEN TERHADAP IRADIASI SINAR GAMMA
Respons of Gamma Irradiation on Black Pepper (Piper nigrum L.)
Ciinten Variety NUR LAELA
WAHYUNI MEILAWATI
1, , NURLIANI BERMAWIE1
AGUS PURWITO2, DYAH MANOHARA1
1
Balai Penelitian Tanaman Rempah dan Obat, Jalan
Tentara Pelajar No. 3
Cimanggu, Bogor 16111 2
Departemen Agronomi dan Hortikultura, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor , Jalan
Meranti, Kampus
IPB Darmaga 16680
email: [email protected]
Diterima: 1-3-2016; Direvisi: 14-3-2016; Disetujui: 4-4-2016
ABSTRAK
Lada merupakan tanaman introduksi dan selalu diperbanyak secara vegetatif,
sehingga keragaman genetiknya sempit. Keragaman genetik
yang tinggi penting untuk menghasilkan varietas baru, khususnya untuk pemuliaan ketahanan terhadap penyakit busuk pangkal batang (BPB).
Salah satu cara untuk meningkatkan keragaman genetik adalah melalui iradiasi sinar gamma. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui
respon lada varietas Ciinten pada fase benih dan fase benih dengan radikula
terhadap iradiasi sinar gamma.
Penelitian dilakukan di PAIR BATAN dan rumah kaca Balittro
mulai bulan Juni 2014 sampai bulan April 2015.
Bahan tanaman yang digunakan adalah biji lada lokal Ciinten pada fase benih dan fase benih dengan radikula. Rancangan percobaan menggunakan Rancangan Acak Lengkap (RAL) dengan satu faktor yaitu dosis iradiasi
dengan tujuh
taraf yaitu (0, 25, 50, 75, 100, 125, 150)
Gy. Masing-masing perlakuan terdiri dari tiga
ulangan, setiap ulangan terdiri dari 60 benih. Kedua fase menghasilkan keragaan pada karakter tinggi tanaman, panjang daun, jumlah daun dan jumlah ruas yang menunjukkan perbedaan secara signifikan antar dosis. Radiosensitivitas lada pada fase benih dengan radikula
lebih tinggi dibandingkan dengan fase benih ditunjukkan oleh nilai LD50
(Lethal Dose
50). LD50
pada lada fase benih yaitu 68.15 Gy, sedangkan LD50 fase benih dengan radikula
yaitu 30 Gy. Semakin tinggi dosis
iradiasi
yang diberikan
pada kedua fase perlakuan mengakibatkan
tinggi tanaman, panjang daun semakin terhambat pertumbuhannya
sehingga jumlah daun dan jumlah
ruas semakin sedikit. Dosis iradiasi 25 dan 50 Gy pada fase benih dan 25 Gy pada fase benih dengan radikula
nyata meningkatkan keragaman genetik berdasarkan karakter morfologi kuantitatif, morfologi kualitatif dan anatomi serta
ketahanan
daun
terhadap
infeksi
P.
capsici.
Delapan belas mutan putatif tahan terhadap infeksi P.
capsici. Kedelapan belas mutan putatif lada varietas Ciinten ini diharapkan menjadi varietas unggul dengan penelitian lebih lanjut di rumah kaca dan di lapang untuk mengetahui potensi produksi dan mutunya.
Kata kunci: respon pertumbuhan, iradiasi, lada, radikula, benih
ABSTRACT
Pepper is an introduced species
and has always
been
propagated vegetatively, so it has narrow genetic
base. High genetic diversity is necessary to produce new varieties,
especially for breeding of resistance to foot rot disease. Increasing genetic diversity can be done through gamma ray irradiation. This research aims to evaluate response of black pepper Ciinten variety at seed and radicle emergence phases to gamma ray irradiation. The research was conducted in PAIR BATAN and greenhous e IMACRI from June 2014 to April 2015. The plant material was Ciinten variety at the seed and radicle emergence phases. The experimental design
used
was
completely randomized design (CRD) with one factor
which is dose
of irradiation with seven levels
(0, 25, 50, 75, 100, 125, 150) Gy. Each treatment consisted of three replications, each replication consisted of 60 seeds. Both phases showed significant differences in perfomances between dose
in plant height, leaf length, number of leave,
number of internode. Radiosensitivity of
pepper on radicle emergence phase was higher than the seed phase
indicated by
LD50 (Lethal
Dose
50). LD50 at seed phase was
68.15 Gy, whereas LD50 of the radicle emergence phase was 30 Gy. The higher irradiation dose
that
given to
both
treatment phasescaused reduction in plant height, leaf length, while the number of leaves and
nodes
decreasing.
Irradiation dose
25 dan 50 Gy in seed phase and 25 Gy in radicle emergence phase significantly
increase genetic diversity baseon quantitative, qualitative
characters, anatomy and leaf resistence to P.capsici
infection.
Eighteen putative mutants resistant to infection P.capsici. Eighteen mutant putative Ciinten pepper varieties were expected to be high yielding varieties with more research in the greenhouse and in the field to determine the production and quality potential.
Keywords: growth respons, iradiation, pepper, radicle, seed
PENDAHULUAN
Lada (Piper nigrum
L.) merupakan tanaman yang buahnya berfungsi sebagai bumbu masakan, obat
herbal, anti bakteri dan anti oksidan.
Kebutuhan lada dunia mencapai 350 ribu ton/tahun. Kontribusi Indonesia sebagai pengekspor lada mencapai 29% dari kebutuhan dunia, terbesar kedua setelah Vietnam
(IPC, 2013). Produksi ladanasional
tahun 2014 mencapai 91.941 ton (DIREKTORAT
JENDERAL PERKEBUNAN,
2014).
Salah satu kendala dalam budidaya lada
adalahpenyakit busuk pangkal batang (BPB) yang disebabkan oleh Phytophthora capsici
(WAHYUNO et al.,
2010).Serangan pada daun akan menimbulkan bercak yangmeluas keseluruh permukaan daun, sedangkan serangan pada pangkal batang dan akar dapat menyebabkan tanamanmati (MANOHARA
et al.,
2005). Tingkat serangan cendawan P. capsici pada tanaman lada sangat dipengaruhi oleh tingkat ketahanan tanaman, virulensi cendawan tersebut dan faktor lingkungan. Kehilangan hasil lada akibat penyakit
Jurnal Littri 22(2), Juni 2016. Hlm. 71 - 80 ISSN 0853-8212
JURNAL LITTRI VOL. 22 NO. 2, JUNI 2016: 71 - 80
72
BPB pada triwulan ketiga tahun 2010 sebesar 16 milyar rupiah.
Upaya mengatasi penyakit BPB telah dilakukan antara lain dengan perbaikan kultur teknis yaitu pemberian nutrisi untuk meningkatkan ketahanan tanaman (MANOHARA et al., 2005)
dan pengendalian secara kimia
atau agens hayati
maupun terpadu (WAHYUNO
et al.,
2007),
namun
hasilnya
belum signifikan dan
pengendalian penyakit secara kimiawi berdampak negatif terhadap lingkungan. Salah satu alternatif untuk mengatasi masalah penyakit pada tanaman lada adalah dengan menggunakan bibit yang berasal dari varietas lada yang tahan. Perakitan
varietas tahan merupa-
kan pendekatan yang paling efektif, ekonomis dan ramah lingkungan.
Ciinten adalah salah satu varietas unggul lada yang telah dilepas
Balittro
(BERMAWIE
et al., 2015b),
mempunyai
produksi lebih tinggi dibanding
lada varietas Petaling-1
(BERMAWIE
et al.,
2013). Varietas Petaling-1 merupakan varietas yang peka terhadap penyakit busuk pangkal batang
yang disebabkan oleh P. capsici. Hasil pengujian
daun
secara in vitro
varietas Ciinten ini ternyata moderat tahan terhadap infeksi P. capsici
sehingga diperlukan metode pemuliaan untuk meningkatkan karakter ketahanannya.
Keberhasilan pembentukan varietas tahan
ditentukan oleh tersedianya plasma nutfah dengan keragaman genetik yang tinggi. Salah satu cara
untuk
meningkatkannya adalah dengan induksi mutasi (SUWARNO
dan SILITONGA,
1996). Mutagen fisik dengan sinar gamma lebih banyak digunakan karena
memiliki energi dan daya tembus tinggi, memiliki frekuensi dan spektrum iradiasi dan tergantung pada dosis dan laju dosis yang digunakan. Pengaruh iradiasi fisik ini sangat efisien menyebabkan perubahan materi genetik (MEDINA
et.al., 2005)
seperti
anyelir
(AISYAH
et al.,
2009)
kalus nilam (KADIR
et.al.,
2007), kalus tebu (SUHESTI, 2015), rimpang jahe (BERMAWIE
et.al., 2015a).
Respon tanaman terhadap efek iradiasi sinar gamma dipengaruhi oleh
faktor genetik
(genus, spesies, genotipe, varietas), bagian tanaman, umur fisiologis tanaman dan laju dosis radiasi yang digunakan
(SHU
et al., 2012). Untuk mengetahui bagian tanaman yang paling respon terhadap dosis iradiasi (radiosensitivitas) diperlukan fase pertum-buhan yang optimal dalam menangkap efek iradiasi. Penelitian ini bertujuan
untuk
mengetahui respon lada varietas Ciinten pada fase benih dan fase benih dengan radikula
terhadap iradiasi sinar gamma.
BAHAN DAN METODE
Waktu dan Tempat
Penelitian ini dilaksanakan dari bulan Juni 2014 sampai bulan April 2015. di Pusat Aplikasi Isotop dan Radiasi (PAIR) BATAN, Jakarta Selatan, Rumah Kaca dan Laboratorium Genetika dan Molekuler, Balittro. Pengamat-an morfologi dilakukan di rumah kaca Balittro
serta
Laboratorium Mikroteknik IPB, Darmaga.
Metode
Bahan tanaman yang digunakan adalah biji lada varietas Ciinten pada fase benih dan fase benih dengan radikula. Fase benih yaitu biji lada yang berwarna merahdipisahkan antara kulit dan benihnya, sedangkan fase benih dengan radikula
yaitu benih lada yang sudah terpisah dari
kulitnya diletakkan
pada cawan petri kemudian diseleksi pada hari ke-12 hingga hari ke-15, untuk mendapatkan radikula lada dengan ukuran sekitar 0.1-1 cm, kemudiankeduanya
diberi perlakuan iradiasi sinar gamma. Penelitian
menggunakan Rancangan Acak Lengkap (RAL) dengan satu faktor yaitu dosis iradiasi
dengan tujuh
taraf yaitu (0,
25, 50, 75, 100, 125, 150) Gy. Masing-masing perlakuan terdiri dari tiga ulangan, setiap ulangan terdiri dari 60 benih. Benih hasil iradiasi
sinar gamma pada kedua fase
masing-masing ditanam pada bak persemaian yang berisi pasir, setelah mencapai 3-4 daun tanaman lada dipindah ke dalam polibag yang berisi tanah dan pupuk kandang (2:1) untuk
memaksimalkan
pertumbuhan tanaman.
Radiosensitivitas Lada terhadap Iradiasi Sinar Gamma
Radiosensitivitas
yaitu sensitivitas suatu materi genetik terhadap radiasi. Ini dapat diukur berdasarkan nilai LD (Lethal Dose)
yaitu dosis yang menyebabkan kematian dari populasi tanaman yang diiradiasi. Dosis yang rendah dapat menyebabkan “diplontic selection” sehingga me-mungkinkan mutan dapat kembali lagi ke asalnya, sedangkan dosis yang tinggi dapat menyebabkan steril atau bahkan mengalami kematian. Dosis optimum yang dapat menghasilkan mutan terbanyak umumnya diperoleh disekitar dosis lethal (DATTA , 2001). Radiosensitivitas dihitung berdasarkan persentase tanaman yang hidup 50%(LD50) dengan menggunakan program curve fit analysis.
Respon Karakter Morfologi
terhadap Iradiasi Sinar Gamma
Respon tanaman terhadap dosis iradiasi diamati pada
karakter morfologi kuantitatif
dan kualitatif. Karakter kuantitatif
meliputi tinggi tanaman (cm), panjang daun (cm), jumlah daun dan jumlah ruas
saat
tanaman umur 8BST (Bulan Setelah Tanam). Pengamatan dilakukan pada seluruh tanaman lada yang hidup setelah diberi perlakuan iradiasi pada masing-masing dosis. Data
dianalisis uji F pada taraf nyata 5% dengan menggunakan program SAS, bila hasilnya berbeda nyata maka akan diuji lanjut dengan uji Duncan (Duncan’s Multiple Range Test -DMRT). Karakter
kualitatif yang diamati yaitu bentuk daun, bentuk pangkal daun, tepi daun diamati berdasarkan IPGRI (1995) dan warna daun yang diamati dengan menggunakan Colour Chart Royal Horticultural Society (RHS, 2007).
Respon Karakter Anatomi (Stomata)
terhadap Iradiasi Sinar Gamma
Stomata diamati pada masing-masing dosis dengan 10 sampel individu pada daun ketiga dan keempat. Sampel
NUR LAELA WAHYUNI MEILAWATI et al.: Respon Tanaman Lada (Piper nigrum L.) Varietas Ciinten terhadap Iradiasi Sinar Gamma
73
stomata menggunakan metode preparat awetan. Permukaan bawah daun diolesi dengan cat kuku setelah mengering dilekatkan pada selotip bening lalu dikelupas dan diletak-kan di atas gelas objek. Pengamatan dengan mikroskop pada bidang pandang perbesaran 40x. Pengamatan meliputi banyaknya stomata, panjang dan lebar stomata, kerapatan stomata serta indeks stomata.
Setiap sampel preparat
diamati tiga bidang pandang.
Kerapatan stomata =
Indeks stomata =
Respon karakter anatomi terhadap dosis iradiasi dianalisis ragam dengan uji
F pada taraf nyata 5% dengan menggunakan program SAS, bila hasilnya berbeda nyata maka akan diuji lanjut dengan uji Duncan (Duncan’s Multiple Range Test-DMRT).
Respon Karakter
Ketahanan Daun terhadap Infeksi Phytophthora capsici Hasil Iradiasi Sinar Gamma
Penelitian ini dilakukan dengan metode observasi. Sampel tanaman yang digunakan adalah seluruh tanaman yang hidup. Masing-masing tanaman dengan tiga ulangan dan diamati tiga daun, yaitu daun ketiga, keempat dan kelima pada umur 10 BST. Inokulasi daun dilakukan menggunakan potongan biakan P. capsici dengan diameter 0,5 cm diletakkan pada permukaan bawah daun. Daun daun tersebut
disimpan pada wadah
yang lembab
dan
diinkubasi selama 2-4 hari
pada kondisi suhu ruang, pengamatan dilakukan terhadap luas bercak daun
yang terjadi
pada tiap daun dengan menggunakan leaf area
meter.
Isolat cendawan P. capsici yang digunakan yaitu isolat K2 yang memiliki agresivitas tinggi dan merupakan koleksi Balittro (CHAERANI
dan MANOHARA, 2012). Isolat K2
dibiakkan
pada media agar V8 dan diinkubasi selama 4-6 hari dengan pencahayaan terang 24
jam. Hasil persentase bercak daun dianalisis ragam dengan uji F pada taraf nyata 5% dengan menggunakan program SAS, bila hasilnya berbeda nyata maka akan diuji lanjut dengan uji Dunnet.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Radiosensitivitas Lada terhadap Iradiasi Sinar Gamma
Perlakuan dosis iradiasi menunjukkan bahwa semakin tinggi dosis yang diberikan mengakibatkan persentase hidup tanaman lada semakin rendah pada fase benih
maupun fase benih dengan radikula (Tabel 1). Persentase hidup pada 4 MST (Minggu Setelah Tanam) tanaman lada yang diberi perlakuan dosis 25 Gy pada fase benih sebesar 85%, sedangkan dosis 50 Gy sebesar 70% dan menurun hingga dosis 100 Gy sebesar 1,7%. Persentase hidup fase benih dengan radikula
dosis 25 Gy sebesar 80,2%, dan
menurun tajam
hingga 3,1%
pada dosis 50 dan 75 Gy. Diduga
dosis 125-150
Gy telah mengakibatkan terjadinya
kerusakan DNA pada benih lada yang menyebabkan kematian.
Hasil penelitian KRISTINA
dan
ARLIANTI
(2013) benih lada varietas Petaling1 dengan perlakuan dosis iradiasi 100 Gy menghasilkan persentase hidup 34%, sedangkan dosis 150 Gy adalah 6,9%. Penelitian
HADIPOENTYANTI
(2007)
perlakuan iradiasi sinar gamma pada lada varietas Natar 1 dengan dosis 0-5 krad dengan pertumbuhan biji pada kontrol 95,6% dan mengalami penurunan pada pemberian sinar gamma 3 krad dengan tingkat perkecambahan 17%.
Perlakuan dosis iradiasi dianalisis
dengan mengguna-kan rumus best fitting curve, menghasilkan rumus persama-an kurva Quadratic Fit yaitu y = a+bx+cx2
(y = 59,346 + 0,136 x –
0,00040 x2) dengan kisaran LD50 untuk fase benih yaitu 68,15 Gy, sedangkan untuk fase benih dengan radikula rumus yang diperoleh adalah persamaan Quadratic Fit y = a+bx+cx2
(y = 59,462 + 0,924 x –
0,0034x2) memiliki nilai LD50 yaitu 30 Gy. Huruf Y merupakan persentase tumbuh, sedangkan X merupakan dosis iradiasi sinar gamma yang diberikan. anggap pertumbuhan tanaman terhadap dosis iradiasi diperlukan untuk menentukan dosis mematikan (LD) karena pada dosis ini menjadi perimbang antara keragaman genetik dan kerusakan fisiologi (IAEA, 1977). Hasil ini menunjukkan bahwa radiosensitivitas lada fase benih dengan radikula lebih tinggi dibandingkan dengan fase benih. Perbedaan radiosensitivitas disebabkan pada fase benih dengan radikula memiliki kadar air lebih tinggi
karena terjadi imbibisi saat ditanam dalam media kertas saring dalam cawan petri, dibandingkan kadar air pada fase benih. Pada penelitian CHAN (2009b) pada benih pepaya yang diimbibisi jauh lebih sensitif terhadap iradiasi (LD50
= 50 -
87 Gy ) dibandingkan benih papaya kering (LD50 belum tercapai sampai 300 Gy). Hasil penelitian ZANZIBAR
dan WITJAKSONO
(2011)
menunjukkan bahwa radiosensitivitas tertinggi diperoleh pada benih suren (Toona sureni Blume Merr)
segar yaitu 70 Gy, sedangkan benih yang mengalami penuaan 4 hari yaitu sebesar 95 Gy. Radiosensitivitas dipengaruhi kondisi morfologi dan biologis benih. Kondisi biologis benih yang mempengaruhi yaitu faktor genetik dan lingkungan seperti oksigen, kadar air dan suhu. Semakin banyak kadar oksigen dan molekul air dalam materi maka semakin banyak radikal bebas yang terbentuk sehingga menjadi semakin sensitif.
)( 2mmpandangLuasbidang
stomataå
%100xisselepidermstomata
stomata
å åå
+
JURNAL LITTRI VOL. 22 NO. 2, JUNI 2016: 71 - 80
74
Tabel 1. Persentase hidup tanaman lada hasil iradiasi fase benih dan fase benih dengan radikula pada 4 MST Table 1. Live percentage of irradia ted piper in seed and radicle emergence phase on 4 week after plant
Dosis (Gy)/ Doses (Gy)
Persentase hidup (%)/ Live percentage (%) Fase Benih/ Seed phase
Fase benih dengan radikula/ Radicle emergence phase
0
100
100 25
85,0
80,2
50
70,0
3,1 75
31,7
3,1
100
27,3
- 125
1,7
-
150
1,7
- Keterangan:
-
tanaman tidak tumbuh
Note:
-
unable to grow
S = 36.13094926
r = 0.64877475
Dosis (Gray)
Pe
rs
en
tas
e p
ert
um
bu
ha
n (
%)
0.0 20.0 40.0 60.0 80.0 100.0 120.0 140.0 160.00.00
20.00
40.00
60.00
80.00
100.00
120.00
Gambar 1.
Kurva respon persentase hidup lada fase benih pada beberapa dosis iradiasi
Figure 1. Response curve live
percentage in seed phase following irradiation dose
S = 38.26451117
r = 0.62880004
Dosis (Gray)
Pe
rs
en
tas
e t
um
bu
h (
%)
0.0 20.0 40.0 60.0 80.0 100.0 120.0 140.0 160.00.00
20.00
40.00
60.00
80.00
100.00
120.00
Gambar 2.
Kurva respon persentase hidup lada fase benih dengan radikula
pada beberapa dosis iradiasi
Figure 2.
Response curve growth percentage in radicle emergence phase following
irradiation doses
Respon Karakter Morfologi
terhadap Iradiasi Sinar Gamma
Respon tanaman terhadap dosis iradiasi diukur pada karakter morfologi
kuantitatif
pada umur 8 bulan.
Hasil analisis ragam
menunjukkan pada fase benih,
dosis 25 Gy memiliki tinggi tanaman
terbaik,
berbeda nyata
dengan kontrol dan perlakuan dosis 50-100 Gy, tinggi tanaman pada fase benih dengan radikula, pemberian
dosis
25 Gy berbeda nyata dengan kontrol dan pemberian dosis lebih
dari 25Gy tanaman tidak tumbuh.
Perlakuan 25 dan 50 Gy fase benih menghasilkan panjang daun yang tidak
berbeda nyata dengan kontrol tetapi berbeda nyata dengan dosis (75-100) Gy. Fase benih dengan radikula panjang daun pada dosis 25 Gy berbeda nyata dengan kontrol.
Jumlah daun tanaman lada fase benih diberi perlakuan iradiasi 25 Gy tidak berbeda nyata dengan kontrol tetapi berbeda nyata dengan perlakuan lainnya. Perlakuan kontrol pada fase benih dengan radikula menghasilkan daun dengan jumlah yang lebih banyak dan berbeda nyata dengan perlakuan
LD50= 68.2 Gy
LD50= 30 Gy
NUR LAELA WAHYUNI MEILAWATI et al.: Respon Tanaman Lada (Piper nigrum L.) Varietas Ciinten terhadap Iradiasi Sinar Gamma
75
lainnya. Benih lada yang diberi perlakuan iradiasi meng-hasilkan 25 dan 50 Gy memiliki jumlah ruas yang tidak berbeda nyata dengan kontrol (0 Gy), sedangkan fase benih dengan radikula saat 8 BST jumlah ruas pada kontrol lebih tinggi dibandingkan dengan tanaman yang diberikan perlakuan iradiasi.
Hal ini dikarenakan perlakuan iradiasi dengan dosis
yang tinggi dapat menyebabkan terhambat pertumbuhan tinggi tanaman, panjang dan jumlah
daun serta jumlah tunas
yang lebih sedikit pada fase benih dan
fase
benih dengan
radikula
(Tabel 2). Sejalan dengan hasil penelitian
(ZANZIBAR
dan WITJAKSONO, 2011)
pada benih
suren segar
yang diberi perlakuan dosis 5 Gy
menunjukkan tinggi
tanaman terbaik, peningkatan dosis yaitu 90
Gy mengakibatkan tanaman
tidak tumbuh. Penelitian
PURNAMANINGSIH
et. al.
(2011) galur-galur mutan yang dihasilkan beragam pada karakter tinggi tanaman, bentuk daun dan umur berbunga. Demikian juga penelitian SUHESTI
(2015) pada kalus tebu menunjukkan semakin tinggi
dosis iradiasi yang diberikan berdampak pada
penurunan kemampuan tumbuh/ viabilitas tanaman tebu, tinggi tanaman dan jumlah daun.
Penelitian TAHERI
et al.
(2014) pada Curcuma alismatifolia
menunjukkan pem-
berian iradiasi dengan dosis 20 Gy menurunkan secara signifikan jumlah daun semua varietas dibandingkan kontrol.
Warna daun yang diamati dengan menggunakan Colour Chart (RHS, 2007) menunjukkan kelompok warna Green Group 144 dominan untuk menggambarkan warna daun tua pada fase benih dan fase benih dengan radikulayang diberi perlakuan iradiasi. Warna daun muda didominasi
dengan kelompok Yellow Green Group 144,
sedangkan warna batang didominasi oleh kelompok warna Yellow Green Group 139. Bentuk daun, tepi daun dan pangkal daun pada lada yang diberi perlakuan iradiasi pada kedua fase menjadi beragam. Bentuk daun terdiri dari Ovate, Ovate-elliptic, Ovate-lanceolate, Elliptic-lanceolate, Cordate. Tepi daun lada terdiri dari lurus dan ber-gelombang, sedangkan pangkal daun terdiri dari Round, Coradate, Acute, Obligate (IPGRI, 1995). Bentuk daun, tepi daun dan pangkal daun pada lada yang diberi perlakuan iradiasi pada kedua fase menjadi beragam. Bentuk daun terdiri dari Ovate, Ovate-elliptic, Ovate-lanceolate, Elliptic-lanceolate, Cordate. Tepi daun lada terdiri dari lurus dan bergelombang, sedangkan pangkal daun terdiri dari Round, Coradate, Acute, Obligate (IPGRI, 1995).
Tabel 2.
Respon iradiasi pada karakter morfologi kuantitatif varietas Ciinten fase benih dan fase benih dengan radikula umur 8 bulan akibat
perlakuan iradiasi
sinar gamma
Table 2.
Irradiation response on quantitative morphological characters
of
Ciinten variety in
seed phase
and
radicleemergence
phase at 8
months
following
gamma
irradiation
treatment
Fase/Phase
Dosis/Doses
Tinggi Tanaman/ Plant height (cm)
Panjang daun/
Leaf length (cm)
Jumlah daun/ Number of
leaf
Jumlah ruas/ Number of internode
Fase benih/Seed phase
0
13,23
b
8,51
a
8,84
ab
8,51
a
25
17,06
a
9,30
a
9,77
a
9,30
a
50
14,73
b
8,43
a
8,57
b
8,43
a
75
10,57
c
6,56
b
6,98
c
6,56
b
100
5,96
d
5,50
c
6,20
c
5,50
c
%KK
13,05
9,17
9,32
12,29
Fase benih dengan radikula/Radicle mergence phase
0
20,26
a
9,36
a
10,8
a
8,85
a
25
12,28
b
7,76
b
9,05
b
6,73
b
%KK
20,28
13,04
16,91 14,72
Keterangan: Angka-angka yang diikuti oleh huruf yang sama pada masing-masing kolom, tidak berbeda nyata pada taraf 5% DMRTNote: Numbers followed by the same letters on each column are not significantly different at 5 % (DMRT)
Gambar 3. Tanaman hasil iradiasi pada benih ladaFigure 3. Plant variability following iradiation at seed phase
0 Gy
25Gy
50 Gy
75 Gy
100 Gy
JURNAL LITTRI VOL. 22 NO. 2, JUNI 2016: 71 - 80
76
Gambar 4.
Tanaman lada hasil iradiasi
menggunakan benih fase benih dengan radikula Figure
4.
Plant variability following
iradiation on seed at
radicle emergence phase
Bentuk daun lada yang telah diiradiasi hanya seperti nomor 1, 2, 3 dan 5 (Gambar 7), tidak ada yang berbentuk seperti nomor (4)
Elliptic-lanceolate
(Gambar 6). Bentuk daun (1)
ovate pada
dosis 25 hingga 75 Gy
lebih tinggi
dibandingkan bentuk daun lainnya, sedangkan bentuk daun kontrol (3)
ovate-lanceolate lebih tinggi dibandingkan bentuk daun lainnya
pada fase benih dan fase benih dengan radikula (Tabel 3).
Tabel 3.
Pengaruh radiasi terhadap persentase bentuk daun, bentuk dasar daun, tepi
daun
Table 3.
Effect of irradiation on the percentage of leaf lamina shape, leaf base shape and leaf margin
Fase/Phase
Dosis/Dosses (Gy)
% Bentuk daun/
% Leaf lamina shape
% Bentuk pangkal daun/
% Leaf base shape
% Tepi daun/% Leaf margin
1
2
3
4
5
1
2
3
4
1
2
Benih/Seed
0
23
28
39
0
9
35
64
2
0
65
35
25
40
23
25
0
12
36
64
0
0
64
36
50
38
23
31
0
8
25
73
2
0
73
27
75
44
19
29
0
7
26
74
0
0
88
12
100
21
40
15
0
24
45
55
0
0
81
19
Benih dengan radikula/Radicle emergence
0
23
28
39
0
9
35
64
2
0
65
3525
48
18
32
0
3
54
44
2
0
77
23
Keterangan:
Bentuk daun terdiri dari (1)
Ovate, (2)
Ovate-elliptic, (3)
Ovate-lanceolate,
(4)
Elliptic-lanceolate, (5) Cordate; pangkal daun terdiri dari (1)Round, (2) Coradate, (3) Acute, (4)
Obligate; Bentuk tepi daun (1) lurus dan (2) bergelombang.Note: ……………………………..????
Gambar 5. Bentuk tepi daun (1) lurus dan (2) bergelombang.Figure 5. Margin leaf shape (1) even and (2) wavy
25 Gy
0 Gy
1
2
NUR LAELA WAHYUNI MEILAWATI et al.: Respon Tanaman Lada (Piper nigrum L.) Varietas Ciinten terhadap Iradiasi Sinar Gamma
77
Gambar 6.
Bentuk daun berdasarkan IPGRI, 1995
(1) Ovate, (2) Ovate-elliptic, (3) Ovate-lanceolate, (4) Elliptic-lanceolate
(5) Cordate Figure 6.
Leaf lamina shape based on IPGRI, 1995(1) Ovate, (2)
Ovate-elliptic, (3) Ovate-lanceolate, (4) Elliptic-lanceolate
Gambar 7.
Bentuk daun (1) ovate, (2)
Ovate-elliptic, (3) Ovate-lanceolate, (5) Cordate
pada fase
benih dan fase
benih dengan radikula
Figure
7.
Leaf lamina shape (1) Ovate, (2) Ovate-elliptic, (3) Ovate lanceolate, (4) Elliptic-lanceolate, (5) Cordate
in seed and radicle emergence phase
Persentase bentuk pangkal daun lada hasil iradiasi
fase benih
pada bentuk (2)
Coradate
dosis 25 Gy hingga 100 Gy lebih tinggi dibandingkan bentuk pangkal daun lainnya, sama halnya dengan kontrol, sedangkan pada fase
benih dengan radikula bentuk pangkal (1)
Round lebih tinggi dibanding bentuk pangkal (2)
coradate pada kontrol. Persentase tepi daun (1)
lurus pada dosis 25-100 Gy dan kontrol lebih tinggi dibandingkan dengan tepi daun (2)
bergelombang
pada kedua fase.
Perlakuan iradiasi meng-akibatkan adanya variasi fenotipik pada tanaman lada. KADIR
et al. (2007) menyatakan pemberian dosis iradiasi sinar gamma 20 Gy dapat menginduksi peningkatan frekuensi keragaman fenotipik. Terhambatnya pertumbuhan disebabkan iradiasi
merusak sel tanaman. Sama halnya dengan penelitian SETIAWAN
et al.
(2015)
pada tanaman gandum, semakin tinggi dosis iradiasi yang diberikan menyebabkan diameter dan bobot kalus embriogenik gandum semakin rendah, warna kalus menjadi kecoklatan hingga menghitam.
Respon Karakter Anatomi (Stomata)
terhadap Iradiasi Sinar Gamma
Hasil analisis menunjukkan bahwa jumlah stomata dan kerapatan stomata fase benih pada dosis (25, 50 dan 75)Gy tidak berbeda nyata dengan kontrol, tetapi berbeda nyata dengan dosis 100 Gy. Pada fase benih dengan radikula dosis 25 Gy tidak berbeda nyata dengan kontrol,
tetapi
berbeda nyata dengan perlakuan lainnya. Indeks stomata fase benih pada dosis 50 Gy berbeda nyata
dengan kontrol dan perlakuan dosis lainnya, sedangkan fase benih dengan radikula
dosis 25 Gy tidak berbeda nyata dengan kontrol. Perlakuan mutasi untuk tujuan pemuliaan diharap-kan dapat menimbulkan perubahan fisiologis rendah namun perubahan genetik tinggi (EL SHERIF
et al., 2011).
Stomata dan jaringan sklerenkim tersebar pada lapisan epidermis daun lada. Berdasarkan SURADINATA
(1998) tipe stomata lada masuk ke
dalam tipe parasitik yaitu sel penutup diiringi sebuah sel tetangga atau lebih, dengan sumbu sel tetangga sejajar dengan sebuah sel tetangga atau lebih. Hasil mutasi tidak menyebabkan perubahan bentuk pada stomata, hanya jumlah stomata, kerapatan stomata menunjukkan perbedaan yang signifikan antara kontrol dan tanaman yang diiradiasi dengan sinar gamma pada fase benih dosis 100 Gy.
Respon Karakter
Ketahanan Daun terhadap Infeksi Phytophthora capsici Hasil Iradiasi Sinar Gamma
Gejala berupa bercak pada daun yaitu titik hitam yang semakin lama semakin melebar. Hal ini dapat menyebabkan tanaman terganggu dan semakin lama tanaman mengalami kematian. Bercak mulai tampak pada saat 24 jam setelah inokulasi. Gejala penyakit bercak daun diamati setelah 72 jam setelah inokulasi seperti pada Gambar 7.
JURNAL LITTRI VOL. 22 NO. 2, JUNI 2016: 71 - 80
78
Tabel 4. Respon stomata varietas lada Ciinten umur 8 bulan fase benih dan fase benih dengan radikula terhadap perlakuan dosis iradiasi
Table 4 . Responses of stomata on Ciinten pepper at 8 month in seed phase and radicle emergence phase to gamma radiation
Fase/Phase
Dosis/Dose
(Gy)
Jumlah stomata/ Number of stomata
Kerapatan stomata/
Density of stomata
Indeks stomata/
Index of stomata
(%)
Benih/Seed
0
8,2ab
9,32ab
0,05b
25
9,1a
10,03a
0,05b 50
8,6a
9,79a
0,10a
75
8,8a
9,97a
0,05b 100
7,1b
8,05b
0,05b
%KK
7.36
7.37
0.01
Benih dengan radikula/Radicle emergence
0
8,2a
9,32a
0,05a 25
7,9a
9,05a
0,05a
%KK
11.79
11.76
0.01
Keterangan:
Angka-angka yang diikuti oleh huruf yang sama tidak berbeda nyata pada taraf 5% DMRT
Note:
Numbers followed by the same letters on each characteristic column are not significantly different at 5 % (DMRT)
Gambar 7.
Respon daun lada Ciinten hasil iradiasi sinar gamma (a) kontrol, (b) 25Gy, (c) 50Gy, (d) 75Gy, (e) 100Gy, (f) 25Gy terhadap
infeksi
P.
capsici
pada
(b)(c)(d)(e)
fase benih dan
(f)
fase benih dengan radikula
inkubasi 72 jamFigure
7.
Respon of black pepper leave Ciinten
variety
following gamma ray irradiation
(a) kontrol, (b) 25Gy, (c) 50Gy, (d) 75Gy, (e) 100Gy, (f) 25Gy to P.
capsici
in (b)(c)(d)(e)
seed phase and (f)
radicle emergence phase in 72 hour incubation
Tabel 5.
Luas
bercak pada mutan putatif Ciinten hasil iradiasi sinar gamma dan satu tetua lada varietas Ciinten
Table 5 .
Wide
of leave necrose in black pepper Ciinten variety following gamma irradiation
No
Genotipe
Luas bercak daun (mm)
Uji Mutan terhadap tetua
(-)
No
Genotipe
Luas bercak daun (mm)
Uji Mutan terhadap tetua
(-)
1
MP1(I.D1.3)
2.28
15
MP15(I.50.10)
2.41
2
MP2(I.D1.4)
6.34
***
16
MP16(I.50.13)
0.41
***
3
MP3(I.D1.5)
2.84
17
MP17(I.50.16)
0.59
***
4
MP4(I.D1.13)
0.85
***
18
MP18(I.50.17)
0.35
***
5
MP5(II.D1.3)
1.36
19
MP19(I.50.18)
0.24
***
6
MP6(II.D1.5)
1.03
***
20
MP20(II.25.1)
0.51
***
7
MP7(II.D1.11)
4.34
21
MP21(II.25.2)
1.05
***
8
MP8(III.D1.8)
1.62
22
MP22(II.25.6)
0.99
***
9
MP9(III.D1.12)
2.47
23
MP23(II.25.26)
0.44
***
10
MP10(I.25.14)
0.95
***
24
MP24(III.25.6)
0.93
***
11
MP11(I.25.16)
0.42
***
25
MP25(III.25.9)
0.34
***
12
MP12(I.50.1)
1.63 26 MP26(III.25.17) 0.17 ***13
MP13(I.50.2)
2.77 27 MP27(III.25.28) 0.95 ***
14 MP14(I.50.7) 1.03 *** 28 Kontrol 3.08
Keterangan: Mutan Putatif Ciinten yang diberi tanda * menunjukkan perbedaan yang nyata dengan kontrol negatif berdasarkan uji dunnet pada taraf 5%.(D1= 25 Gy pada fase benih dengan radikula)
Note: …………………….???
a
b
c
d
f
e
NUR LAELA WAHYUNI MEILAWATI et al.: Respon Tanaman Lada (Piper nigrum L.) Varietas Ciinten terhadap Iradiasi Sinar Gamma
79
Terdapat perbedaan pada respon ketahanan daun terhadap infeksi Phytophthora capsici akibat iradiasi sinar gamma pada pengujian di daun. Hasil pengamatan menunjukkan 18 mutan yang memiliki luas bercak daun yang berbeda nyata dengan kontrol. Tujuh belas mutan putatif lada memiliki luas bercak daun lebih rendah dibandingkan kontrol pada kisaran 0.41-1.05 yaitu MP4,
MP10, MP11, MP14, MP16, MP17, MP18, MP19, MP20, MP21, MP22, MP23, MP24, MP25, MP26 dan MP27, sedangkan satu mutan putatif lada memiliki nilai persentase lebih tinggi dibandingkan kontrol dengan nilai bercak daun 6.34 yaitu MP2.
Mutan putatif lada yang tahan terhadap
infeksi P.capsici diduga memiliki ketebalan daun yang
tinggi, sehingga cendawan lebih sulit untuk menginfeksi daun. Ketahanan suatu aksesi cenderung bersifat fisiologis dari dalam tanaman lada lebih dominan dari pada faktor fisik yang ada (WAHYUNO
et al., 2009).
Berdasarkan penelitian MANOHARA dan
MACHMUD
(1986) menyatakan bahwa penetrasi cendawan di dalam jaringan daun melalui dua cara yaitu cara langsung menembus epidermis dan cara tidak langsung melalui stomata, ternyata sebagian besar penetrasi cendawan melalui epidermis, tidak melalui stomata.
Mutan lebih dominan berasal dari perlakuan iradiasi
sinar gamma 25 dan 50 Gy pada fase benih. Dosis ini merupakan dosis yang berada disekitar dosis LD20
dan LD50. Hal ini menunjukkan bahwa mutasi melalui iradiasi sinar gamma terutama disekitar LD20
dan LD50
akan memberi peluang mutasi pada sifat yang diinginkan dengan perubahan yang minimal pada karakter yang tidak diinginkan. Hasil ini sesuai dengan penelitian tebu (SUHESTI, 2015), mutan yang berada pada LD20
dan LD50
memberikan peluang diperolehnya mutan putatif yang mempunyai toleransi kekeringan lebih baik dibanding tetua asalnya. Perlakuan iradiasi sinar gamma juga telah dikembangkan
pada tanaman pisang untuk menghasilkan pisang resisten penyakit layu Fusarium (SMITH
et al., 2006), tanaman pepaya (Carica papaya L.) resisten penyakit ring spot virus (CHAN, 2009b), untuk mendapatkan tanaman mangga (Mangifera indica L.) resisten Antracnose (LITZ, 2009).
Kedelapan belas mutan putatif lada varietas Ciinten ini diharapkan menjadi varietas unggul dengan penelitian lebih lanjut di rumah kaca dan di lapang untuk mengetahui potensi produksi dan mutunya.
KESIMPULAN
Radiosensitivitas lada
pada fase benih dan fase benih dengan radikula
berbeda. Radiosensitivitas pada fase benih dengan radikula
lebih tinggi dibandingkan fase benih yang ditunjukkan oleh nilai LD50
(Lethal Dose 50) pada fase benih lada yaitu 68,15 Gy, sedangkan pada fase benih dengan radikula yaitu 30,00 Gy. Semakin tinggi dosis iradiasi diberikan pada fase benih dan fase benih dengan radikula maka pertumbuhan tinggi tanaman, panjang daun, jumlah daun dan jumlah ruas semakin terhambat. Iradiasi
juga berpengaruh terhadap variasi bentuk daun, warna daun, kerapatan stomata, indeks stomata dan ketahanandaun terhadap infeksi P. capsici. Dosis iradiasi 25 dan 50 Gy pada fase benih dan 25 Gy pada fase benih dengan radikula
nyata meningkatkan keragaman genetik berdasar-
kan karakter morfologi kuantitatif, morfologi kualitatif dan anatomi
serta
ketahanan
terhadap P.
capsici.
Delapan belas
mutan putatif tahan terhadap infeksi P.capsici .
UCAPAN TERIMAKASIH
Ucapan terimakasih disampaikan kepada Badan
Litbang Pertanian, Kementerian Pertanian RI yang telah mendanai penelitian ini melalui APBN T.A. 2015. Penghargaan yang tinggi disampaikan kepada Dra. Natalini Nova, Dr. Dono Wahyuno, Susi Purwiyanti, MSi, atas saran dan masukannya dan Suryatna serta
Ramdhan Arismaya yang telah membantu
pelaksanaan penelitian.
DAFTAR PUSTAKA
AISYAH, S.I., H. ASWIDINNOOR, A. SAEFUDDIN, B. MARWOTO
dan S. SASTROSUMARJO. 2009. Induksi mutasi pada stek pucuk anyelir (Dianthus caryophyllus Linn.) melalui iradiasi sinar gamma. J. Agron. Indonesia 37 (1): 62-70.
BERMAWIE,
N., S. WAHYUNI, R. HERYANTO, R.T. SETIYONO, L.
UDARNO.. 2013. Observasi hasil dan mutu lada lokal di dua agroekologi. Buletin Littro, Volume 24, No. 2 : 64-72.
BERMAWIE,
N.,
N.L.W.
MEILAWATI, S. PURWIYANTI, MELATI . 2015a. Pengaruh iradiasi sinar gamma (60Co) terhadap pertumbuhan dan produksi jahe putih kecil (Zingiber officinale
var. amarum). Jurnal Littri. Volume 21, No.2: 47-56.
BERMAWIE, N., dkk. 2015b. Naskah Pelepasan Varietas Lada Lokal Ciinten. Balai Penelitian Tanaman Rempah dan Obat.
CHAN, Y.K. 2009a. Induced Mutation in Tropical Fruit Tree. IAEA Tecdoc 1615.
International Atomic EnergyAgency, May 2009.( Http://mvgs.iaea.org/pdf/ TECDOC1615.pdf).
DATTA S.K . 2001. Mutation studies on garden chrysanthemum: A review. Sci. Hort. 7:
159-209.DIREKTORAT JENDERAL PERKEBUNAN. 2014. Statistik
Perkebunan Indonesisa Komoditas Lada 2013-2015.Direktorat Jenderal Perkebunan, Kementrian Pertanian. 47 halaman.
Jakarta.
DIREKTORAT PERLINDUNGAN PERKEBUNAN. 2011. Rekapitulasi data Organisme Pengganggu Tanaman (OPT) Tahun 2010. Direktorat Jenderal Perkebunan, Departemen Pertanian. Jakarta.
EL SHERIF, F., S. KHATTAB, E. GHONAME, N. SALEM, and K.
RADWAN. 2011. Effect of gamma irradiation on enhancement of some economic traits and molecular
JURNAL LITTRI VOL. 22 NO. 2, JUNI 2016: 71 - 80
80
changes in Hibiscus sabdariffa L. Life Science Journal. 8(3): 220-229.
HADIPOENTYANTI, E. 2007. Karakteristik Lada mutan hasil iradiasi. Prosiding Seminar Rempah. Badan Litbang Pertanian. Pusat Penelitian dan Perkembangan Tanaman Perkebunan. Hal.
67-70.
IAEA. 1977. Technical reports series No. 119. Second
edition. Join FAO/IAEA devision. Vienna.
IPC (INTERNATIONAL PEPPER COMMUNITY). 2013. Report 41th
pepper exporters meeting. 15th
November 2013,
Sarawak, Malaysia. (IPGRI) INTERNATIONAL PLANT GENETIC RESOURCES
INSTITUT. 1995. Descriptors for Black Pepper (Piper nigrum
L.). International Plant Genetic Resources
Institut. Rome, Italy. 39 page.
KADIR, A., S.H. SUTJAHJO, G.A. WATTIMENA, I. MARISKA . 2007. Pengaruh iradiasi sinar gamma pada pertumbuhan kalus dan keragaman planlet tanaman nilam. Jurnal Agro Biogen 3(1):
24-31.
KRISTINA, N.N., T. ARLISANTI. 2013. Variasi mutan futatif tanaman lada (Piper nigrum
L.) hasil iradiasi sinar gamma. Warta Balittro. No.60: 1-3.
LITZ, R.E. 2009. Recovery of mango plants with antrachnose
resistance following mutation induction and selection in vitro with the culture filtrate of Colletotrichum
gloesporoides
Penz. In: IAEA, editor. Induced Mutation in Tropical Fruits Trees.
Vienna,
IAEA. Hlm.
7-13.
MANOHARA, D., M. MAHMUD. 1986. Mekanisme infeksi
Phytophthora palmivora
(Butl.) pada daun lada. Pembr. Littri vol XI, No.3-4.
MANOHARA, D. WAHYUNO, D. NOVERIZA R . 2005. Penyakit
busuk pangkal batang lada dan strategi pengendaliannya. Edsus Balittro. 17:
41-51.
MEDINA FIS, AMANO E, TANO S. 2005. Mutations Breeding Manual. Japan. Forum for Nuclear Cooperation in Asia (FNCA).
PURNAMANINGSIH, R., E.G. LESTARI, M. SYUKUR, R. YUNITA . 2011. Evaluasi keragaman galur mutan artemisia hasil iradiasi gamma. Jurnal Ilmiah Aplikasi Isotop dan Radiasi. vol.6, no.2. Hal.
139-146.
RHS (ROYAL HORTICULTURA SOCIETY ). 2007. Colour Chart, fifth edition.
SETIAWAN, R.B., N. KHUMAIDA, D. DINARTI . 2015. Induksi mutasi kalus embriogenik gandum (Triticum aestivum L.) melalui iradiasi sinar gamma untuk toleransi suhu tinggi . J. Agron. Indonesia 43(1): 36-44.
SHU, Q.Y., P. BRIAN, H. FORSTER, H. NAKAGAWA . 2012. Plant Mutation Breeding and Biotechnology. CABI 608 p.
SMITH, M.K., S.D. HAMILL, P.W. LANGDON, J.E. GILES, W.J.
DOOGAN, K.G. PEGG. 2006. Towards the development of a Cavendish banana resistant to race 4 of Fusarium wilt: gamma irradiation of micropopagated Dwarf Parlitt (Musa spp, AAA group, Cavendish subgroup). Aust J ExpAgric 46:
107-113.
SUHESTI, S. 2015. Induksi Mutasi dan Seleksi In Vitro Tebu (Saccharum officinarum
L.) untuk Toleransi terhadap
Kekeringan. [Disertasi]. Bogor: Institut Pertanian Bogor.
SUWARNO, T.S. SILITONGA. 1996. Koleksi dan konservasi benih plasma nutfah dalam pengembangan bank gen. Makalah disajikan pada seminar sehari penyusunan konsep pelestarian ex-situ plasma nutfah pertanian di Bogor.18 Des. 16 hal.
SURADINATA, T.S. 1998. Struktur Tumbuhan. Bandung: Angkasa. Susantidiana,
TAHERI
S, T.L. ABDULLAH, Z. AHMAD, and N.A.P. ABDULLAH.2014. Effect of Acute Gamma Irradiation on
Curcuma alismatifolia Varieties and Detection of DNA Polymorphism through SSR Marker.
Hindawi Publishing Corporation BioMed Research International Volume 2014, Article ID 631813, 18 pages.
WAHYUNO, D., D. MANOHARA,
K. MULYA. 2007. Penyebaran dan usaha pengendalian penyakit busuk pangkal batang lada di Bangka. Prosiding Seminar
Nasional Rempah.
WAHYUNO D.,
D. MANOHARA, D.N. SUSILOWATI.
2010. Virulensi Phytophthora capsici
asal lada terhadap Piper
spp. Buletin Plasma Nutfah Vol .
16. No.2.WAHYUNO D.,
D. MANOHARA, R. T. SETIYONO. 2009. Ketahanan beberapa lada hasil persilangan terhadap P. capsici
asal lada. Jurnal Littri. 15(2): 77-83.
ZANZIBAR M, WITJAKSONO. 2011. Pengaruh penuaan dan iradiasi benih dengan sinar gamma (60Co) terhadap pertumbuhan bibit suren (Blume merr). Jurnal Penelitian Hutan Tanaman. Vol.8. No.2: 89-96.
81
KARAKTERISTIK FISIK DAN KIMIA DARI PRODUK BIOINDUSTRI CANGKANG JAMBU METE (Anacardium occidentale)
Physical and Chemical Characteristics of Bioindustry Products of
Cashewnuts Shell (Anacardium occidentale)
ANDI SAENAB1), K.G.
WIRYAWAN 2), RETNANI Y.2)
dan
E. WINA3)
1) Balai Pengkajian Teknologi Pertanian
Jalan Ragunan 30 Jakarta Kode Pos 12520 2)
Fakultas Peternakan
Institut Pertanian Bogor
Jalan
Agatis Dramaga Bogor 3)
Balai
Penelitian Ternak
Jalan Veteran III Ciawi, Bogor
Email : [email protected]
Diterima: 29-2-2016; Direvisi: 8-3-2016; Disetujui: 4-4-2016
ABSTRAK
Cangkang jambu mete merupakan limbah industri yang mempunyai potensi menghasilkan produk bioindustri yaitu biofat, biochar dan biosmoke. Penelitian bertujuan menghasilkan ketiga produk bioindustri, mengamati karakteristik fisika dan kimianya. Cangkang diproses menjadi ukuran partikel 1
cm dan ukuran 2
mm,
diekstrak dengan heksan dan
hasil ekstraksi dievaporasi untuk mendapatkan Biofat.
Residu cangkang setelah ekstrak biofat
diarangkan untuk menghasilkan Biochar
dan
Biosmoke.
Analisis proksimat dilakukan pada
cangkang segar,
biofat,
biochar dan biosmoke. Hasilnya
rendemen biofat meningkat 3 kali lipat bila ukuran cangkang diperkecil 2 mm (17.81 g/100g BK), sedangkan biochar dan biosmoke meningkat 2 kali lipat ketika ukuran cangkang diperbesar 1 cm (30.82 g/100g BK dan 5.13 g/100g BK). Biofat mengandung lemak kasar dan total fenol tinggi (94.43 g/100g biofat,
46 mg/100g biofat) dan biosmoke mengandung total fenol cukup tinggi
(7.2 mg/100g biosmoke) pada ukuran partikel besar. Hasil analisis GC-MS menunjukkan biofat dan biosmoke mengandung asam anakardat tinggi (74%) dan biochar mengandung mineral tinggi terutama kandungan abu (6.56%), Ca (0.69%), dan P (0.23%) meningkat 2 kali lipat pada ukuran partikel cangkang kecil dibandingkan besar. Karakteristik biosmoke memiliki kandungan asam tinggi (pH 3). Produk bioindustri cangkang jambu mete memiliki karakteristik fisik dan kimia spesifik untuk dimanfaatkan dalam berbagai bidang termasuk peternakan, pertanian atau pangan.
Kata kunci:
Anacardium
occidentale, bioindustri, cangkang, jambu mete, karakteristik fisika, kimia
ABSTRACT
The shell of the cashew nut industry waste has the potential to produce a product that is biofat bioindustry, biochar and biosmoke. The research aims to produce three products bioindustry, observe the physical and chemical characteristics. Eggshell processed into a particle size of 1 cm and 2 mm size, extracted with hexane and extraction evaporated to obtain Biofat. The residue biofat charred shell after the extract to produce Biochar and Biosmoke. Proximate analysis performed on fresh shells, biofat, biochar and biosmoke. The result biofat yield increased three-fold when the size of the shell is reduced to 2 mm (17.81 g/100g BK), while
biochar and biosmoke increased two-fold when the size of the shell is enlarged 1 cm (30.82 g/100g BK and 5:13 g/100g BK). Biofat containing coarse fat and high total phenol (94.43 g/100g biofat, 46 mg/100g biofat) and total phenol containing biosmoke quite high (7.2 mg/100g biosmoke)
on a large particle size. The results of GC-MS analysis showed biofat and biosmoke acidic anacardic high (74%) and biochar contains minerals especially high ash content (6:56%), Ca (0.69%), and P (12:23%) 2-fold increase in the particle size of the shell smaller than the large. Mineral Fe (695 mg/kg) more contained shells of large particles, whereas the characteristic biosmoke have a high acid content (pH 3). Cashew nut shell bioindustry products have specific physical and chemical characteristics to be used in various fields including livestock, agriculture or food.
Keywords:
Anacardium
occidentale, Bioindustry, cashewnut shell, chemical characteristic
PENDAHULUAN
Tanaman jambu mete (Anacardium occidentale) merupakan tanaman yang dapat tumbuh dengan baik di Indonesia yang beriklim tropis. Produknya yaitu kacang mete merupakan produk ekspor yang potensial. Pengem-bangan tanaman jambu mete di Indonesia pada tahun 2014mencapai ± 577.168
ha, yang tersebar di 21 provinsi (BPS,2014).
Perkebunan jambu mete sebagian besar (± 98%) merupakan
perkebunan rakyat dengan
sentra pengem-bangan jambu mete adalah Jawa, NTT, Bali, dan Sulawesi. Adapun luas lahan terbesar di Nusa Tenggara dan Bali (45.18%), Sulawesi (34.68%) dan Jawa (16.5%). Produksi jambu mete dari tahun ke tahun mengalami peningkatan, dan pada tahun 2014
mencapai 118.174
ton gelondong(BPS, 2015). Sejak Tahun 2010, Direktorat Jenderal Bina Produksi Perkebunan
telah melaksanakan berbagai program untuk memacu perluasan dan peningkatan produksi jambu mete, khususnya di Kawasan Timur Indonesia. Tanaman jambu mete memiliki keunggulan karena dapat dikembang-kan pada daerah yang memiliki kondisi agroekologi mar-ginal dan beriklim kering, sehingga merupakan komoditas andalan di Kawasan Timur Indonesia.
Jurnal Littri 22(2), Juni 2016. Hlm. 81 - 90 ISSN 0853-8212
JURNAL LITTRI VOL. 22 NO. 2, JUNI 2016: 81 - 90
82
Produk utama tanaman jambu mete adalah kacang mete, sedangkan limbahnya adalah buah semu dan cangkang jambu mete. Sampai saat ini, baik buah semu maupun cangkang mete belum dimanfaatkan secara maksimal. Potensi limbah cangkang jambu mete di Indonesia cukup besar, bila diekstrak akan diperoleh cairan (minyak) yang disebut Cashew Nut Shell Liquid
(CNSL).
Menurut MULJOHARDJO
(1991), persentase cangkang jambu mete di dalam gelondong sekitar 45-50%,
sehingga
bila
produksi gelondong mete pada tahun 2013 sebesar 117.537 ton, maka diperoleh cangkang jambu mete sekitar 52.891-58.767 ton.
Produk bioindustri adalah produk yang berasal dari limbah yang mengalami proses, sehingga dapat diman-faatkan lagi dan bersifat ramah lingkungan (zero waste).
Cangkang jambu mete memiliki potensi untuk menghasil-kan tiga produk bioindustri. Saat ini yang baru dikenal oleh masyarakat adalah
produk biofat (CNSL), tetapi produk biosmoke dan biochar dari cangkang jambu mete belum ada yang mengerjakannya atau mengeksplorasinya, sehingga menjadi limbah dari pabrik industri pengolahan jambu mete. Salah satu teknologi alternatif yang dapat menjadi solusi bagi penanganan permasalahan limbah cangkang jambu mete ialah dengan teknik pirolisis. Menurut BRIDGWATER
(2004) pirolisis didefinisikan sebagai proses dekomposisi suatu bahan oleh panas tanpa menggunakan oksigen yang diawali oleh pembakaran dan gasifikasi, serta diikuti oksidasi total atau parsial dari produk utama. Selanjutnya, DEMIRBAS
(2005) menyatakan proses pirolisis
mendegradasi suatu biomassa menjadi arang, tar dan gas.
Keberhasilan proses pirolisis untuk mendapatkan
kualitas produk yang dapat dimanfaatkan peternak ditentukan oleh ukuran bahan. Semakin kecil ukuran bahan maka semakin mudah diserap dan dicerna oleh
ternak
(WINA, 2011). Oleh sebab itu, sebelum dilakukan pirolisis perlu dilakukan perubahan ukuran
bahan.
Kemudian dilakukan proses ekstraksi dengan pelarut kimia
non polar
untuk mendapatkan ketiga produk tersebut. Biofat
dihasilkan dari proses ekstraksi,
kemudian sisa ekstraksi di proses secara pirolisis untuk mendapatkan biochar dan biosmoke. Produk bioindustri biofat (minyak), biochar (arang) dan biosmoke (asap cair) perlu diketahui sifat kimianya. Informasi yang diuraikan akan sangat berarti untuk pemanfaatan produk jambu mete bioindustri di bidang peternakan maupun pertanian ataupun industri lainnya.
Penelitian bertujuan untuk menghasilkan ketiga produk bioindustri tersebut dan karakteristik fisika dan kimianya.
BAHAN DAN METODE
Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Januari-Desember 2014, di Laboratorium Balai Penelitian Ternak, Laboratorium Kimia Terpadu Institut Pertanian Bogor, Laboratorium Balai Penelitian Residu dan Agrokimia Bogor, Laboratorium Kesehatan Daerah DKI Jakarta dan
Laboratorium Kimia Puslitbang Kehutanan. Materi penelitian berupa cangkang biji jambu mete yang diperoleh dari petani di Kabupaten Pati, Provinsi Jawa Tengah.
Preparasi Cangkang Biji Jambu Mete dalam Dua Ukuran Partikel
Cangkang biji jambu mete dengan ukuran utuh yang
telah dikeluarkan bijinya kemudian dijemur di
bawah sinar matahari. Cangkang kering tersebut dipecah-pecah dengan ujung mortar menjadi sampel yang lewat saringan berukuran 1 cm sebagai partikel ukuran besar. Sebagian cangkang biji jambu mete tersebut digiling (di blender) dan disaring lewat saringan dengan ukuran 2 mm, untuk mendapatkan partikel ukuran kecil.
Kemudian kedua
partikel tersebut mengalami proses selanjutnya yang sama untuk mendapat 3 (tiga) produk bioindustri yaitu minyak (Biofat), arang (Biochar) dan asap cair (Biosmoke).
Preparasi Produk Biofat
Preparasi produk biofat menggunakan metode SIMPEN
(2008) yang telah di modifikasi.
Cangkang biji jambu mete yang telah dipreparasi ditimbang sebanyak 100 g dan dimasukkan ke
dalam erlenmeyer yang bertutup dan ditambahkan 400 ml
pelarut heksana. Setelah terendam, campuran (sampel dan pelarut) dikocok-kocok agar tercampur rata lalu didiamkan selama 24 jam.
Pelarut atau filtrat kemudian dipisahkan dan ditambahkan pelarut heksana yang baru sebanyak 200 ml. Untuk setiap proses ekstraksi, larutan ekstrak dipisahkan dari ampasnya dengan penyaringan, filtratnya dicampur jadi satu. Selanjutnya, hasil ekstraksi dievaporasi dengan rotary evaporator pada suhu 40oC untuk menguapkan pelarutnya hingga semua heksana menguap dan yang tersisa adalah minyak yang kental berwarna coklat tua dan disebut Biofat.
Preparasi Produk Biochar dan Biosmoke
Preparasi produk biochar dan biosmoke dilakukan
menurut metode SUDRAJAT
dan SALIM
(1994). Residu cangkang setelah ekstrak biofat dibiarkan di udara terbuka untuk dikering
anginkan. Residu tersebut lalu dimasukkan ke dalam tangki aktivasi (pirolisis) dan
ditutup
rapat. Kemudian tungku pirolisis mulai dinyalakan. Reaksi pirolisis berlangsung
pada
reaktor
pirolisator yang bekerjapada
suhu 600oC selama 8 jam. Tangki pirolisis dihubung-kan dengan kondensor yang berupa
koil
melingkar. Fraksi yang menguap selama pirolisis akan terkondensasi dan ditampung dalam botol berupa larutan berwarna coklat dan disebut biosmoke. Setelah 8 jam pembakaran tungku dimatikan dan dibiarkan dingin. Dalam tungku akan diperoleh residu yang berwarna hitam yang disebut arang atau biochar.
Parameter yang Diukur
Untuk menghitung rendeman, biofat yang berupa minyak kental, biochar yang berupa padatan berwarna
ANDI SAENAB et al.: Karakteristik Fisik dan Kimia dari Produk Bioindustri Cangkang Jambu Mete (Anacardium occidentale)
83
hitam dan biosmoke yang berupa cairan berwarna coklat ditimbang beratnya.
Parameter yang diukur yaitu (1) Untuk cangkang biji jambu mete segar adalah analisis proksimat (AOAC, 2005) yang terdiri atas kadar bahan kering, lemak, serat kasar, abu, dan kandungan mineral, (2) Untuk biofat adalah analisis
kadar lemak dan abu, serta kandungan mineral;
analisis asam lemak yang dilakukan dengan Gas Chromatography (AOAC, 2005), kadar total fenol (MAKKAR, 2003) dan
identifikasi senyawa bioaktif dengan kroma-
tografi gas-spektrometer massa (GC-MS), (3) Untuk
biochar adalah analisis kadar abu (AOAC, 2005) dan kandungan mineral (AOAC, 2005) serta analisis mengguna-kan Scanning Elektron Mikroskope (SEM) (SEM 5I5, Philips) (4) Untuk biosmoke adalah analisis kadar lemak (AOAC, 2005), kadar total fenol
(MAKKAR, 2003), pH dan identifikasi senyawa bioaktif (GC-MS).
HASIL DAN PEMBAHASAN
Rendemen Produk Bioindustri dari Cangkang Biji Jambu Mete
Hasil rendemen ketiga produk bioindustri yang diperoleh dari cangkang biji jambu mete (Tabel 1) menunjukkan adanya perbedaan, karena ukuran partikel sampel yang berbeda.
Tabel 1.
Jumlah rendemen produk bioindustri dari cangkang biji jambu mete dengan 2 macam ukuran
partikel
Table 1.
Yield of bioindustry products of cashew nut shell with 2 particle sizes
Produk bioindustri
Bioindustry Product*)
Ukuran partikel
Particle Size
Besar/Big
(1cm)
Kecil/Small
(2mm)
Biofat (g/100g BK)
5.98
17.81
Biochar (g/100g BK)
30.82
16.59
Biosmoke (g/100g BK)
05.13
03.78
*)
Laboratorium Balitnak, Ciawi dan Laboratorium Residu dan Agroklimat Bogor
*)
Balitnak Laboratory, Ciawi and Residue and Agroclimate Laboratory Bogor
Hasil ekstrak dengan heksana menghasilkan produk biofat yang dikenal dengan nama CNSL (Cashew Nut Shell Liquid) meningkat 3 kali lipat bila ukuran cangkang diperkecil sampai 2 mm. Hasil penelitian di
atas, rendemen dari biofat yang dihasilkan oleh cangkang memiliki ukuran partikel kecil lebih tinggi dibanding dengan ukuran partikel besar. Hal ini disebabkan partikel berukuran kecil memiliki luas permukaan yang besar sehingga kandungan lemak yang terekstrak lebih banyak bila dibandingkan dengan ukuran partikel yang besar.
Hasil yang diperoleh SIMPEN (2008) sebesar 44,38%mendapatkan rendeman yang jauh lebih tinggi karena menggunakan campuran pelarut heksana-etanol per-
bandingan 3:1. Dalam penelitian ini, digunakan heksana tanpa campuran dengan pelarut lain menghasilkan rendeman lebih kecil. Penggunaan heksana tanpa campuran dengan pelarut lain membuat proses ini menjadi lebih murah dan efisien karena heksana yang dihasilkan saat evaporasi dapat dimanfaatkan kembali untuk mengekstrak cangkang biji mete yang baru.
Biofat atau CNSL sudah
banyak dimanfaatkan untuk industri farmasi, kosmetik, perekat, insektisida, pembasmi nyamuk (RISFAHERI, 2011) dan
akhir-akhir ini digunakan sebagai pakan aditif untuk
ternak ruminansia untuk menekan gas metana.
Gas metana merupakan salah satu gas yang merusak lapisan ozon dan kekuatannya 23 kali lebih besar dari
pada gas karbon-
dioksida. Dengan menekan produksi gas metana di dalam rumen, biofat menjadi produk yang sangat bermanfaat untuk menciptakan kondisi peternakan yang ramah ling-kungan
(MITSUMORI
et al.,
2014).
Hasil rendemen dari biochar (Tabel 1) menunjukkan bahwa partikel dengan ukuran kecil menghasilkan rendemen lebih sedikit dibanding ukuran besar. Biochar yang dihasilkan meningkat 2 kali lipat ketika ukuran cangkang diperbesar sampai 1cm. Hal ini sesuai dengan yang dilaporkan oleh DEMIRBAS
(2005) pada tempurung kelapa bahwa semakin besar ukuran partikel sampel maka semakin besar pula rendemen biochar yang dihasilkan. Hasil rendemen biochar pada cangkang jambu mete hampir sama dengan hasil yang dilaporkan oleh MUHADI
(2013) pada tempurung kelapa yaitu 31.58% berat kering, sedangkan SUKARTONO
et al. (2011) melaporkan bahwa rendemen biochar dari tempurung kelapa tertinggi adalah 65.82%. SUKIRAN
et al. (2011) melaporkan bahwa rendemen tertinggi biochar
tandan kosong kelapa sawit (TKKS)
sebesar 41.56% pada suhu optimum pirolisis 300°C. Rendemen biochar TKKS yang rendah disebabkan karena tidak memungkinkannya pembuatan biochar dalam drum. Sehingga pembuatan biochar dilakukan pada udara terbuka dan banyak dihasilkan abu.
Hasil rendemen dari biosmoke menunjukkan bahwa partikel dengan ukuran besar menghasilkan rendemensedikit lebih tinggi dibanding partikel ukuran kecil. GANI
(2007) menyatakan jumlah rendemen asap cair (biosmoke) yang dihasilkan pada proses pirolisis sangat bergantung pada alat yang digunakan, kondisi proses (suhu pirolisis dan sistem kondensasi)
dan jenis bahan baku yang digunakan. Persentase rendemen yang diperoleh juga sangat ber-gantung pada alat yang dipakai. GONZÁLEZ
et al.
(2005) menunjukkan
bahwa proses
pirolisis pada temperatur 600oC dapat menghasilkan cairan sebanyak 44.3% pada cangkang biji kenari. Hasil tersebut diperoleh lebih banyak dibanding hasil penelitian ini. Hal ini disebabkan alat tungku yang digunakan saat penelitian masih sederhana sehingga asap yang keluar belum tertampung secara sempurna dan bahan baku cangkang yang sudah terekstrak.
Pemanfaatan biochar sekarang ini masih terbatas sebagai pupuk tanaman dan biosmoke sebagai pengawet makanan. Biochar dan biosmoke yang banyak dilaporkan dan sudah dimanfaatkan berasal dari tempurung kelapa,
JURNAL LITTRI VOL. 22 NO. 2, JUNI 2016: 81 - 90
84
namun biochar dan biosmoke dari cangkang jambu mete belum ada yang melaporkan dan memanfaatkannya. Selain sebagai pupuk tanaman, dilaporkan pemanfaatan biochar dari sekam padi pada ternak sapi (LENG, 2010) dan dapat meningkatkan berat badan sapi dan sekaligus dapat menekan gas metana yang dihasilkan oleh ternak sapi. Ini menunjukkan biochar juga merupakan produk bioindustri yang bermanfaat untuk meningkatkan produktivitas ternak.
Biosmoke (asap cair) dilaporkan banyak mengandung
senyawa fenolik (NAIM et al., 2012). Biosmoke dari
bamboo dilaporkan dapat menekan kasus diare pada anak babi (CHOI
et al., 2009) sehingga dapat bermanfaat untuk
meningkatkan produktivitas ternak. Jadi ketiga produk bioindustri dalam penelitian ini mempunyai potensi sebagai pakan aditif untuk meningkatkan produktivitas ternak.
Karakterisasi Produk Biofat
Hasil analisis kandungan lemak kasar, asam lemak dan total fenol dari biofat disajikan pada Tabel 2.
Tabel 2.
Kadar lemak kasar, asam lemak dan total fenol dari produk cangkang jambu mete dengan ukuran besar dan kecil
Table 2.
Crude fat, fatty acid and total phenol contents of
biofat from cashew nut shell with 2 different particle size
Parameter/
Parameters
Ukuran partikel/
Particle
Size
Besar/Big
(1cm)
Kecil/Small
(2
mm)
Lemak kasar (g/100g biofat)
85.69
94.43
Asam lemak (g/100g biofat)
02.86
01.66
Total fenol (mg/100g biofat)
460.
0
420.
0
*)
Laboratorium Balitnak, Ciawi dan Laboratorium Kimia Terpadu Institut Pertanian Bogor
*)
Laboratory Balitnak, Ciawi and Residue Laboratory and Agroclimate Bogor
*)
Data dihasilkan dari 2 kali ulangan
Hasil penelitian di
atas menunjukkan bahwa produk biofat memiliki kandungan lemak yang sangat tinggi, karena memang merupakan hasil ekstraksi dengan heksana. Heksana adalah pelarut non polar yang mengekstrak fraksi lemak.
Kandungan lemak dari produk biofat yang tinggi pada cangkang yang memiliki ukuran partikel kecil berkorelasi positif dengan jumlah rendemen yang dihasil-kan (Tabel 1). Adapun asam lemak yang dikandung dalam produk biofat adalah kemungkinan asam lemak yang masih terikat dengan gliserol membentuk lemak sehingga kadar asam lemak bebas yang dikandungnya sedikit.
Hal ini terlihat pada Tabel 2 bahwa kadar asam lemak bebas sangat rendah baik untuk partikel ukuran besar maupun kecil. Hal tersebut merupakan keuntungan bagi produk tersebut sebab produk biofat tidak cepat mengalami oksidasi dan menjadi tengik. Menurut ZULKIFLI dan ESTIASIH (2014) Asam lemak bebas (ALB) merupakan asam lemak dalam keadaan bebas dan tidak berikatan lagi dengan gliserol.
Asam lemak bebas
terbentuk karena terjadinya reaksi hidrolisis terhadap minyak yang mengalami ketengikan.
Kandungan total fenol hampir sama pada partikel ukuran besar maupun kecil. Senyawa fenol alami yang terkandung dalam cangkang jambu mete telah dilaporkan sebelumnya mempunyai sifat yang khas yaitu sebagai anti bakteri (HIMEJIMA, 1991).
Analisis dengan spektroskopi massa menggunakan GC-
MS GCD HP 1800 C (Gambar 1) pada produk biofat
menghasilkan pola-pola fragmentasi dengan ion molekul pada nilai m/z sebesar 380, ini menunjukkan bahwa senyawa terisolasi mempunyai berat molekul sebesar 380. Fragmentasi yang keluar adalah: 326, 302, 281, 257, 230, 206, 175, 121, 147, 108, 79,55 dan 41. Hasil tersebut sama dengan yang dilaporkan SILVA et al.,
(2008) dengan
fragmentasi yang keluar adalah: 329, 285, 259, 229, 201, 121, 175, 148, 105, 91,79,55 dan 41, serta mempunyai berat molekul m/z 374 (M+). Kromatogram hasil analisis GC-MS menunjukkan bahwa ada sturuktur kimia senyawa fenolik yang terikat dengan asam anakardat yaitu C15 dan hasil tersebut menunjukkan beberapa senyawa yang terkandung dalam produk biofat. Senyawa-senyawa tersebut disajikan dalam Tabel 3 di bawah ini.
Tabel 3. Kandungan Kimia Produk Biofat
Tabel 3. Content of Chemical Products Biofat
No. Puncak
Peak
Waktu Retensi (menit)
Retensi Time (menit)
Dugaan Senyawa
Alleged Compounds
Konsentrasi (%)Concentration(%)
5
35.147
Asam Anakardat
78.167
37.015
kardol
13.188
37.388
kardanol
4.666
36.305
2-methil-kardol
3.56
*)
Data dihasilkan dari 2 kali ulangan
Hasil analisis GC-MS dari produk biofat (Tabel 3) menunjukkan bahwa cangkang jambu mete yang telah diekstraksi untuk menghasilkan produk biofat mengandung beberapa senyawa-senyawa bioaktif. Hasil tersebut hampir sama dengan hasil yang diperoleh SUHARTONO
et al. (2010) yaitu 74.27% asam anakardat, 17,3% kardol, 3,73% kardanol dan 4,7%
metil kardol. Kandungan kimia tertinggi dalam biofat adalah senyawa asam anakardat. Senyawa tersebut keluar pada RT 35.147 menit merupakan senyawa dengan peak yang tertinggi dengan konsentrasi 78.16% dari cangkang biji mete.
BUDIATI
dan ERVINA
(2008) serta KUBO
et al.(2003) menyatakan asam anakardat
mempunyai aktivitas anti-bakteri terhadap bakteri gram positif Staphylococcus aureus, dimana cara kerja anti bakterinya berlaku sebagai surfaktan dengan merusak dinding sel, sedangkan mekanisme biokimianya berdasarkan kemampuannya menghambat enzim sulfihidril. Selanjutnya BUDIATI et al. (2004) dari hasil penelitiannya menunjukkan bahwa turunan asam anakardat
yaitu metil esteranakardat dan turunan dimetil dari asam anakardat mempunyai efek
ANDI SAENAB et al.: Karakteristik Fisik dan Kimia dari Produk Bioindustri Cangkang Jambu Mete (Anacardium occidentale)
85
menghambat yang lebih besar dibandingkan asam anakardat terhadap aktivitas enzim sulfihidril. BUDIWATI dan SOEDIGDO (1997) dalam penelitiannya menunjukkan bahwa asam anakardat dapat menghambat aktivitas enzim GPT (Glutamat Piruvat Transaminase), suatu enzim yang dilepaskan hati saat terjadi kerusakan sel hati. Oleh karena itu, asam anakardat mempunyai prospek yang bagus sebagai obat kerusakan hati/hepatitis. Dikemukakan bahwa asam anakardat dapat berkhasiat sebagai obat cacing, dimana larutan asam anakardat dalam larutan fisiologis dengan konsentrasi 0,5-5% terbukti dapat membunuh cacing gelang Ascaris lumbricoides (BUDIWATI
dan
SOEDIGDO, 1997). Analisis dengan spektroskopi massa menggunakan
GC-
MS GCD HP 1800 C (Gambar
1) pada produk biofat
menghasilkan pola-pola fragmentasi dengan ion molekul pada nilai m/z sebesar 380, ini menunjukkan bahwa senyawa terisolasi mempunyai berat molekul sebesar 380. Fragmentasi yang keluar adalah: 326, 302, 281, 257, 230, 206, 175, 121, 147, 108, 79,55 dan 41. Hasil tersebut sama dengan yang dilaporkan SILVA et al.
(2008) dengan fragmentasi yang keluar adalah: 329, 285, 259, 229, 201, 121, 175, 148, 105, 91,79,55 dan 41, serta mempunyai berat molekul m/z 374 (M+). Kromatogram hasil analisis GC-MS menunjukkan bahwa ada sturuktur kimia senyawa fenolik yang terikat dengan asam anakardat yaitu C15 dan hasil tersebut menunjukkan beberapa senyawa yang terkandung
dalam produk biofat. Senyawa-senyawa tersebut disajikan dalam Tabel 3 di bawah ini.
Tabel 3. Kandungan kimia produk biofat Tabel 3. Content of chemical products biofat
No. Puncak/
Peak
Waktu retensi (menit)/
Retensi Time (menit)
Dugaan senyawa/ Alleged compounds
Konsentrasi (%)/Concentration (%)
5
35.147
Asam Anakardat
78.167
37.015
kardol
13.18
8
37.388
kardanol
04.66
6
36.305
2-methil-kardol
03.56
*) Data dihasilkan dari 2 kali ulangan
Hasil analisis GC-MS dari produk biofat (Tabel 3) menunjukkan bahwa cangkang jambu mete yang telah diekstraksi untuk menghasilkan produk biofat mengandung beberapa senyawa-senyawa bioaktif. Hasil tersebut hampir sama dengan hasil yang diperoleh SUHARTONO
et al. (2010) yaitu 74.27% asam anakardat,
17,3% kardol,
3,73% kardanol dan 4,7% metil kardol. Kandungan kimia tertinggi dalam biofat adalah senyawa asam anakardat. Senyawa tersebut keluar pada RT 35.147 menit merupakan senyawa dengan peak yang tertinggi dengan konsentrasi 78.16% dari cangkang biji mete.
Keterangan: (1) Asam anakardat, (2) Kardol, (3) Kardanol dan (4) 2-metil kardolDescription: (1) Anacardic Acid, (2) Cardol, (3) Cardanol and (4) 2-methyl cardol
Gambar 1. Kromatogram Biofat menggunakan GC-MSFigure 1. Chromatogram of Biofat analysed by GC-MS
JURNAL LITTRI VOL. 22 NO. 2, JUNI 2016: 81 - 90
86
BUDIATI dan ERVINA (2008) serta KUBO et al. (2003) menyatakan asam anakardat mempunyai aktivitas anti-bakteri terhadap bakteri gram positif Staphylococcus aureus, yaitu cara kerja anti bakterinya berlaku sebagai surfaktan dengan merusak dinding sel, sedangkan mekanisme
biokimianya berdasarkan kemampuannya
menghambat enzim sulfihidril. Selanjutnya BUDIATI
et al. (2004) dari hasil penelitiannya menunjukkan bahwa turunan asam anakardat yaitu metil esteranakardat dan turunan dimetil dari asam anakardat mempunyai efek menghambat yang lebih besar
dibandingkan asam
anakardat terhadap aktivitas enzim sulfihidril. BUDIWATI
dan SOEDIGDO
(1997) dalam penelitiannya menunjukkan
bahwa asam anakardat dapat menghambat aktivitas enzim GPT (Glutamat Piruvat Transaminase), suatu enzim yang dilepaskan hati saat terjadi kerusakan sel hati. Oleh
karena itu, asam anakardat mempunyai prospek yang bagus sebagai obat kerusakan hati/hepatitis.
Dikemukakan bahwa asam anakardat dapat berkhasiat sebagai obat cacing, dimana
larutan asam anakardat dalam larutan
fisiologis dengan konsentrasi 0,5-5% terbukti dapat
membunuh cacing gelang Ascaris lumbricoides (BUDIWATI
dan SOEDIGDO, 1997).
Karakterisasi Produk Biochar
Hasil analisis proksimat dan foto SEM dari produk biochar
disajikan pada Tabel 4 dan Gambar 2 di
bawah ini.
Tabel 4.
Analisa proksimat biochar yang berasal dari cangkang biji jambu mete dengan ukuran besar dan kecil
Table 4.
Proximate analysis of biochar derived from cashewnut shell with 2 different particle size
Parameter
Parameters
Ukuran Partikel
Particle
Size
Besar/Big
(1cm)
Kecil/Small
(2mm)
Abu %**)
003.45
006.56
Ca %*)
000.23
000.69
P %*)
000.13
000.23
Mg %*)
000.21
000.26
K (mg/kg) *)
092
525
Fe (mg/kg) *)
695
305
Zn (mg/kg) *)
29.80
450
Cu (mg/kg) *)
02.55
056
*)
Laboratorium Balitnak, Ciawi dan **)Laboratorium PAU IPB
*)
Balitnak Laboratory, Ciawi and
**)PAU Laboratory, Bogor Agricultural University
*)
Data dihasilkan dari 2 kali ulangan
Dari Tabel 4
terlihat bahwa kandungan abu, Ca, dan P lebih tinggi 2 kali lipat pada ukuran partikel cangkang kecil dibandingkan yang besar. Hal ini disebabkan cangkang jambu mete ukuran besar lebih keras teksturnya
sehingga abu yang dihasilkan pada proses pembakaran sangat kecil dan pembakaran pada suhu tinggi (600oC) akan cepat menghancurkan partikel yang lebih kecil. Hasil analisa kadar abu dari arang cangkang jambu mete lebih kecil bila dibandingkan dengan kadar abu pada arang tempurung
kelapa adalah 13.08% (BUDI et al., 2006). Karena cangkang jambu mete telah diekstraksi terlebih dahulu sehingga hasil yang diperoleh lebih kecil. Demikian pula kandungan Mg, K, Zn dan Cu lebih tinggi pada ukuran partikel cangkang kecil dibandingkan yang besar. Namun sebaliknya, kandungan mineral Fe lebih tinggi
pada cangkang yang
berukuran partikel besar. Pemanfaatan biochar dari cangkang jambu mete
sebagai pupuk pada tanaman dimungkinkan sebab biochar memiliki kadar fosfor dan kalium yang tinggi. Ketersediaan unsur hara makro esensial (seperti fosfor dan kalium) di dalam tanah sangatlah terbatas, padahal kedua unsur tersebut sangat dibutuhkan oleh tanaman agar dapat memberikan hasil yang tinggi. Biochar mempunyai potensi untuk dikembangkan sebagai penyerap dan pelepas unsur hara (pupuk) dalam bidang kesuburan tanah karena memiliki luas permukaan yang besar dan kurang lebih sama dengan koloid tanah. Biochar memiliki lubang pori yang dapat menyerap logam-logam berat yang ada pada tanah. Menurut BURKE
et al.
(2014) bahwa biochar dari campuran kayu dapat meningkatkan pertumbuhan tanaman kapas dengan hasil yang sangat signifikan. Hal tersebut dapat dilihat dengan meningkatnya pertumbuhan tinggi tanaman, luas daun dan panjang daun. Penelitian terbaru telah menunjukkan bahwa penerapan biochar dalam tanah (sawah) dapat menurunkan pelepasan metana (LIU et al., 2011).
Hasil SEM memperlihatkan bahwa porositas pada
biochar cangkang jambu mete yang ukuran partikel kecil lebih tinggi dan seragam dibandingkan dengan ukuran besar pada cangkang jambu mete. Pada serat-serat penyusun arang cangkang tampak porositas yang merata dan banyak. Hasil tersebut sama dengan porositas tempurung kelapa. Menurut ARI
et al. (2000) hasil pengamatan SEM memperlihatkan bahwa porositas arang tempurung kelapa lebih tinggi dibanding arang kayu. Semakin tinggi porositas arang maka semakin mudah menyerap logam berat yang ada di
dalam tanah. Dari Gambar 2. tampak diameter lubang pori berukuran 40 µm untuk gambar A dan untuk gambar B adalah < 20 µm. Hal ini menunjukkan bahwa semakin kecil ukuran partikel maka semakin kecil pula ukuran diameter pori yang dihasilkan. Bila dibandingkan dengan hasil SEM pada cangkang kelapa sawit (2-5µm), maka hasil tersebut lebih besar. Sehingga memungkinkan untuk menyerap logam-logam berat yang ada dalam tanah (SANTI
dan GOENADI, 2012).
Karakterisasi Produk Biosmoke
Biosmoke (asap cair) diperoleh dari hasil kondensasi asap pada proses pirolisis dari fraksi serat yang polimer yaitu selulosa, hemiselulosa, dan lignin menjadi senyawa-senyawa monomer. Kelompok senyawa kimia yang dihasilkan dalam pengasapan adalah fenol, kabonil, asam, furan, alkohol, ester, lakton, dan hidrokarbon polisiklik aromatik (HPA).
ANDI SAENAB et al.: Karakteristik Fisik dan Kimia dari Produk Bioindustri Cangkang Jambu Mete (Anacardium occidentale)
87
Gambar 2. Foto SEM dari biochar cangkang biji jambu mete dengan ukuran besar (A) dan ukuran kecil (B)
Figure 2. SEM photos biochar of cashewnut shell withLarge size (A) and small size (B)
Tabel 5.
Kadar lemak, pH, total fenol dari produk biosmoke
dari cangkang biji jambu mete ukuran besar dan kecil
Table 5.
Fat, pH, total phenol contents of biosmoke from cashew
nut shell with 2 different particle
Size
Parameter/
Parameters
Ukuran Partikel/
Particle
Size
Besar/Big
(1
cm)
Kecil/Small
(2
mm)
pH
3.12
3.69
Lemak Kasar (g/100g biosmoke)
0.22
0.15
Total Fenol (mg/100g biosmoke)
2.7
7.20
*)
Labotorium Balitnak, Bogor dan Laboratorium Kimia Terpadu IPB
*)
Balitnak Laboratories, and the Laboratory Chemical Ciawi IPB
*)
Data dihasilkan dari 2 kali ulangan
Dari Tabel 5 terlihat bahwa produk biosmoke memiliki pH yang asam. Hal ini berdampak baik sebab dengan pH asam dan fenol maka produk tersebut memiliki sifat
anti
bakteri. Sejalan dengan pendapat DARMADJI
(2002) bahwa asap cair tempurung
kelapa mempunyai aktivitas antibakteri yang tinggi karena senyawa asam dan fenol mempunyai peranan dalam proses penghambatan bakteri dan bermanfaat dalam industri pengolahan dan pengawetan daging. Bila produk biosmoke ini dimanfaat-kan pada ternak,
maka produk tersebut berguna untuk membunuh bakteri patogen dalam usus karena pH asam.
Hasil penelitian MIRANDA
et al.
(2012) menghasilkan asap cair dengan pH 3 pada cangkang kulit kemiri.
Kandungan lemak pada biosmoke hanya sedikit sekali banyak pada ukuran besar dibanding ukuran kecil. Hal tersebut disebabkan hampir semua fraksi lemak sudah terekstrak dalam heksana.
Kandungan total fenolnya sangat tinggi dan 3 kali lebih tinggi pada ukuran kecil dibanding partikel ukuran besar. Bila dibandingkan dengan biofat, maka kandungan total fenol yang ada pada biosmoke lebih kecil. Hal ini menunjukkan bahwa senyawa fenol yang paling banyak ada di dalam fraksi lemak. Dua senyawa
dominan yang berperan sebagai bakteriostatik adalah fenol dan asam-asam organik yang mampu mengontrol pertumbuhan bakteri. Fenol diperoleh dari hasil pirolisis lignin, sedangkan asam-asam organik dari hasil pirolisis selulosa dan hemiselulosa (KARTIKA, 2009). Total fenol yang diperoleh dari biosmoke cangkang jambu mete (0.72%) lebih tinggi dari tandan kelapa sawit (0.44%) (KARIMA, 2014).
Hasil analisis GC-MS (Gambar 3) pada produk
biosmoke dapat dilihat dari pola-pola fragmentasi dengan ion molekul pada nilai m/z sebesar 210. Ini menunjukkan bahwa senyawa terisolasi mempunyai berat molekul sebesar 210. Fragmentasi yang keluar adalah 207, 133, 119, 109,94, 79,66, 55 dan 44. Kromatogram hasil analisis GC-MS menunjukkan bahwa banyaknya senyawa –senyawa monomer dari hasil degradasi lignin dan selulosa yang keluar sampai pada waktu retensi di
bawah menit ke 12. Senyawa-senyawa tersebut dapat dilihat pada Tabel 6, dimana senyawa fenol mempunyai konsentrasi yang tinggi. Analisis kandungan kimia produk biosmoke disajikan pada Tabel 6.
Tabel 6. Kandungan kimia dari produk biosmoke
Tabel 6. Chemical content of biosmoke
products
No.
Puncak/
Peak
Waktu retensi (menit)/
Retensi Time (menit)
Dugaan senyawa/
Alleged Compounds
Konsentrasi(%)/
Concentration(%)
1
2.787
asam propionat
9.822
2.925
2-Hexene
2.203
3.276
3,5-dimethyl-pyrazole
15.755
3.552
2-propanone,1-scetyloxy
7.617
4.131
1-2-furyl-ethanone
2.818
4.235
Dihydro -Furanone,
5.0512
5.097
3-methy-2-cyclopenten
2.3913
5.269
Phenol, carbosilacid acid
19.0615
6.303
2-cyclopenten-1-one 3.3917 6.951 0-cresol- phenol 2.7118 7.538 Benzenemethanol 7.5219 7.869 2-methoxy-phenol 5.56
*) Data dihasilkan dari 2 kali ulangan
JURNAL LITTRI VOL. 22 NO. 2, JUNI 2016: 81 - 90
88
Gambar 3. Kromatogram biosmoke menggunakan GC-MS
Figure 3. Chromatogram of biosmoke analysed by GC-MS
Dari Tabel 6 menunjukkan bahwa biosmoke mengandung senyawa fenol, asam
karbolat
dan benzenol
yang tinggi dengan waktu retensi yaitu 5.269, area konsentrasi 19.60%. MIRANDA
et al.
(2012) melaporkan bahwa kandungan senyawa pada biosmoke cangkang kulit kemiri terlihat pada waktu retensi tertinggi yaitu 21.08 (Phenol,2,6-dimethoxy-4-(2-propenyl)). Dilaporkan oleh GANI
(2013) bahwa komponen senyawa tertinggi yang menyusun biosmoke adalah fenol dan asam. Kedua senyawa yang terkandung dalam biosmoke (fenol dan asam) bermanfaat sebagai bahan pengawet pada bahan makanan seperti tahu,
daging dan ikan,
serta dapat digunakan sebagai pengawet bahan pakan seperti dedak dan jagung. Biosmoke
(asap cair) dapat dimanfaatkan untuk berbagai keperluan, yaitu sebagai pengawet ikan dan antioksidan (NURHAYATI, 2000; DARMADJI
dan TRUYUDIANA,
2006).
Ketiga produk bioindustri cangkang jambu mete (biofat, biochar dan biosmoke) dapat diaplikasi dalam berbagai bidang industri, pertanian dan peternakan. Dengan pemanfaatan produk limbah tersebut maka salah satu masalah lingkungan dapat diatasi dengan baik dan membuka peluang industri baru yang berasal dari limbah jambu mete.
KESIMPULAN
Produk bioindustri cangkang jambu mete (biofat, biochar dan biosmoke) adalah produk yang memiliki karakteristik fisika dan kimia yang spesifik. Jumlah
rendemen pada biofat dengan ukuran partikel kecil lebih banyak yaitu 17.81 (g/100g biofat), sedang pada biochar dan biosmoke jumlah rendemen yang
tinggi diperoleh pada ukuran besar yaitu 30.82 (g/100g biofat) dan 5.13 (g/100g biofat). Produk biofat mengandung kadar lemak dan total fenol yang tinggi. Sifat fisik dari produk biochar adalah memiliki lubang pori yang seragam dan sifat kimia nya mengandung beberapa mineral (abu, Ca, P, Mg, K, Zn dan Cu) yang tinggi pada cangkang yang berukuran kecil, sehingga dapat digunakan sebagai
pupuk alami juga dapat digunakan sebagai feed aditif dapat pakan ternak. Sifat kimia
dari produk biosmoke memiliki pH diatas 3
(asam) dan senyawa fenolik yang tinggi yang bermanfaat sebagai antibakteri dan pengawet makanan dan pakan.
UCAPAN TERIMA KASIH
Terima kasih kami ucapkan kepada Badan Litbang Pertanian yang telah memberikan dana melalui KKP3N 2015.
DAFTAR PUSTAKA
AOAC.
2005. Official methods of analysis. Ed ke-16. Washington: AOAC International.
ARI H., WILDAN, L. dan SARYATI SUTISNA . 2000. Analisis strukturmikro dan komposisi kimia arang tempurung dan arang kayu sebagai adsorber dengan SEM-Edax. Jurnal Mikroskopi dan Mikroanalisis. 3(2): 20-25.
ANDI SAENAB et al.: Karakteristik Fisik dan Kimia dari Produk Bioindustri Cangkang Jambu Mete (Anacardium occidentale)
89
BPS (BADAN PUSAT STATISTIK) . 2001. Statistik perdagangan luar negeri indonesia. Ekspor. Jilid II. Badan Pusat Statistik. Jakarta.
BPS (BADAN PUSAT STATISTIK) . 2015. Statistik Perkebunan. Jakarta.
BRIDGWATER, A.V . 2004. Biomass fast pyrolysis. Thermal Science, 8(2), 21-49.
BURKE, J.M., D.E. LONGER, D.M. OOSTERHUIS, E.M.
KAWAKAMI . and
D.A. LOKA. 2014.The effect of biochar source on cotton seedling growth and development and association with conventional fertilizers. International Journal of Plant & Soil Science.
3(8):
995-1008. BUDI, E., HADI N., SETIA B., ERFAN H., PUJI, RANGGI S., dan
SUNARYO. 2011. Kajian pembentukan karbon aktif
berbahan arang tempurung kelapa. Jurnal Penelitian Sains FMIPA UNSRI. 4(14): 14406-14415.
BUDIATI, T., N.C. ZAINI
dan
S. SOEDIGDO. 2004.
Sintesis metil anakardat dan uji aktivitasnyasebagai inhibitor enzim sulfihidril. JBP 6(2): 47-51.
BUDIATI, dan M. ERVINA. 2008. Hubungan
antara struktur asam anakardat dan
aktivitas antibakteri terhadap Staphylococcusaureus. Jurnal Obat Bahan Alami 7(1): 108-114.
BUDIWATI, T.A. dan
H.P. SOEDIGDO. 1997.
Pengaruh asam anakardat terhadap aktifitas
enzim glutamat piruvat transaminase.Buletin IPT 3(1): 44-48.
CHOI, J.M, SHINDE, I., K. KWON, Y.H. SONG
and
B.J. CHAE1. 2009. Effect of wood vinegar on the performance, nutrient digestibility and intestinal microflora in weanling pigs. Asian-Aust. J. Anim. Sci. 22(2): 267-274.
DIRJEN PERKEBUNAN. 2010. Statistik perkebunan indonesia
tahun 2005-2010. Kementerian Pertanian. Jakarta.
DARMADJI, P. 2002. Optimasi pemurnian asap cair dengan metode redistilasi. jurnal teknologi dan industri pangan.
Jurnal Agritech 8(3):
267-171.
DARMADJI, P.
dan TRUYUDIANA, H. 2006. Proses pemurniaan asap cair dan stimulasi akumulasi kadar benzopyrene pada proses perendaman ikan. Jurnal Agritech. 26(2): 75-83.
DEMIRBAS, A. 2005. Pyrolysis of ground wood in irregular heating rate conditions. Journal Analytical and Applied Pyrolysis, 73, 39-43.
LUTHRIA D.L., Kirk N., and DUTT VINJAMOORI.
2004. Impact of sample preparation on the determination of crude fat content in corn. JAOCS Press, Champaign. 23(3): 999-1004.
GANI. 2013. Komponen kimia asap cair hasil pirolisis limbah padat kelapa sawit. Jurnal Rekayasa Kimia dan Lingkungan. 9(3):
109-116.
GONZÁLEZ J.F., RAMIRO A., GONZÁLEZ C.M., GAÑAN J.,
ENCINAR J.M., SABIO E. and
RUBIALES J. 2005. Pyrolysis of almond shells. energy applications of fractions. Industrial and Engineering Chemical Research, 44(9): 3003-3012.
HADI R. 2011. Sosialisasi teknik pembuatan arang tempurung kelapa dengan pembakaran sistem suplai udara terkendali. Buletin Teknik Pertanian. 16: 77-80.
HIMEJIMA, M. dan KUBO,
I. 1991. Antibacterial agent from the cashew Anacardium occidentale L (Anacar-diaceae) nut shell oil, J. Agriculture Food Chemistry.39:
418-421.
KARTIKA, O.P. 2009. Imperegnasi kayu kelapa sawit dengan
menggunakan asap cair tempurung kelapa stirena dan toluena diisosianat (TDI). Tesis. Sekolah Pasca Sarjana Universitas Sumatra Utara, Medan.
KARIMA, R. 2014. Karakterisasi sifat fisika dan kimia cuka kayu dari Tandan kosong kelapa sawit. Jurnal Riset Industri asil Hutan. (6)1: 35-40.
KHUMAR, PHANI P., R. PARAMASHIVAPPA, R.J. VITHAYATHIL,
P.V. SUBBA RAO, dan A. SRINIVASA RAO. 2002. Process for isolation of cardanol from technical cashew (Anacardium occientale L.) nut shell liquid. J Agric Food Chem 50:
4705-4708.
KUBO, I., OCHI M., VIEIRA P.C. and
KOMATSU S.
1993.Antitumor agents from the Cashew (Anacardium occidentale) apple juice. JournalAgric. Food Chem. 41: 1012-1015.
LENG, R.A., INTHAPANYA S., dan PRESTON T.R. 2012.
Methane production is reduced in an in vitro incubation when the rumen fluid is taken from cattle that previously received biochar in their diet. livestock research for rural development. Volume 11 . http://www.lrrd.org/lrrd23/4/soph23071.htm
LENG,
R.A., PRESTON T.R., dan INTHAPANYA S.
2012. Biochar reduces enteric methane and improves growth and feed conversion in local “Yellow” cattle fed cassava root chips and fresh cassava foliage. Livestock Research for Rural Development. Volume 11. http://www.lrrd.org/lrrd23/4/soph23071.htm
LIU, Y.X., YANG M., W.U.
Y.M., WANG H.L., CHEN Y.X.
and WU
W.X. 2011.
Reducing CH4 and CO2 emissions from waterlogged paddy soil with biochar. Journal of Soils and Sediments. 11: 930-939.
MAKKAR, H.P.S. 2003. Quantification of tannin in tree an shrub foliage. A laboratory manual. kluwer academic publisher, Dordrecht, The Netherlands, 102 pp.
MULYOHARDJO, M. 1991. Jambu mente dan teknologi pengolahannya (Anacardium occidentale L). Liberty, Yogyakarta.
MITSUMORI M.,
ENISHI O.,
SHINKAI T.,
HIGUCHI K.,KOBAYASHI Y.,
TAKENAKA A.,
NAGASHIMA K.,
MOCHIZUKI M.,
and KOBAYASHI Y. 2014.
Effect of cashew nut shell liquid on metabolic hydrogen flow on bovine rumen fermentation. Jurnal Animal Science.85(3):
227-232.
MIRANDA R., CÉSAR S., DIANA B.,
EILEEN C.
and
MARÍA R. 2012. Characterization of pyrolysis productsobtained during the preparationof bio-oil and activated carbon. lignocellulosic precursors used in the synthesis of activated carbon.
MUHADI, S. 2013. Pengaruh jenis, ukuran, dan konsentrasi arang sebagai penurun gas metana pada fermentasi
JURNAL LITTRI VOL. 22 NO. 2, JUNI 2016: 81 - 90
90
pakan ternak secara in vitro. Tesis. Departemen Kimia. Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam. Institut Pertanian Bogor.
NAIM M., ALEXANDRA C. M. OLIVEIRA,
BRIAN H. HIMELBLOO,
MARY BETH LEIGH and CHARLES A. CRAPO. 2012. Chemical characterization of commercial liquid smoke products. Food Science and
Nutrition 1 (1):
102-115.
NURHAYATI, T., RIDWAN A.
PASARIBU, dan DIDA MULYADI.
2006. Produksi dan pemanfaatan arang dan cuka kayu dari serbuk gergaji kayu campuran. Jurnal Hasi Hutan. Bogor.
RISFAHERI, T., T. IRAWADI, M.A. NUR
dan I. SAILAH. 2004.
Pemisahan kardanol dari minyak cangkang biji mete dengan metode mestilasi vakum. Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Pascapanen Pertanian. Jurnal Pascapanen 1(1): 1-11.
SANTI L.P.
dan GOENADI D.A. 2012. Pemanfaatan biochar asal cangkang tempurung kelapa sawit sebagai bahan pembewa mikrobapemantap agregat. Buana Sains. 12(1):
7-14.
SILVA M.S., S.G. DE LIMA, E.H. OLIVEIRA,
J.A.D. LOPES, M.H.
CHAVES, F.A.M. REIS
and A.M.G.L. CITÓ. 2008.
Anacardic acid derivatives from brazilian propolisand their antibacterial activity.
Ecl. Quím São Paulo. 33(3): 53-58, 2008.
SIMPEN IN. 2008. Isolasi cashew nut shell liquid dari
cangkangl biji jambu mete (Anacardium Occidentale
L) dan kajian beberapa sifat fisiko-kimianya. Jurnal Kimia 2 (2): 71-76.
SIREGAR, S. 2005. Analisa kadar keasaman, kadar senyawa turunan fenol dan indeks pencoklatan dalam pembuatan asap cair dari cangkang kelapa sawit. Skripsi, FMIPA Kimia, Universitas Sumatra Utara, Medan.
SUDRAJAT, R. dan SALIM. 1994. Petunjuk teknis pembuatan
arang aktif. Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan. Bogor.
SUHATONO, J., CARLINA N., DUPRIKA P.S. dan DANI TRIYANA. 2010. Pengambilan minyak laka dari kulit biji mete dan peningkatan kandungan kardanol dalamminyak laka.
Seminar Rekayasa Kimia Dan Proses, 4-5
Agustus.C-15: 1-4. SUKARTONO, UTOMO W.H., NUGROHO W.H ., and KUSUMA Z.
2011. Simple biochar production generated from cattle dung and coconut shell. J. Basic. Appl. Sci. Res. 1(10): 1680-1685.
SUKIRAN M.A., KHEANG L.S., BAKAR N.A., and MAY C.Y. 2011. Production and characterization of biochar from the pyrolysis of empty fruit bunches. Am. J. Applied Sci8(10): 984-988.
ZULKIFLI, M.
dan T. ESTIASIH. 2014. Sabun Dari Distilat Asam Lemak Minyak Sawit : Kajian Pustaka. Jurnal Pangan dan Agroindustri. 2(4): 170-177.
91
PENGARUH PUPUK MAJEMUK TERHADAP PRODUKSI DAN MUTU TEMBAKAU VIRGINIA
Effect of Compound Fertilizer on Yield and Quality of Virginia Tobacco
DJAJADI, SULIS
NUR
HIDAYATI
dan
RONI
SYAPUTRA
Balai Penelitian Tanaman Pemanis dan Serat Jalan Raya Karangploso Km
4, Malang 65152
Email: [email protected]
Diterima: 2-3-2016; Direvisi: 15-3-2016; Disetujui: 4-4-2016
ABSTRAK
Pada umumnya petani tembakau di Lombok menggunakan pupuk tunggal ZA atau Urea (sebagai sumber N) dan SP 36 (sumber unsur P), tanpa menambahkan pupuk K atau Mg.
Pupuk tunggal tersebut diberikan lebih dari dua kali dengan dosis yang belum tepat. Penggunaan pupuk majemuk NPKMg diharapkan dapat
meningkatkan produksi dan mutu tembakau Virginia di Kabupaten Lombok Tengah, Propinsi Nusa Tenggara Barat, karena mengandung unsur makro NPK yang sangat dibutuhkan tanaman tembakau. Penelitian yang diadakan di Desa Kopang Rembiga, Kecamatan Kopang pada tahun 2014 bertujuan untuk mengetahui pengaruh pupuk majemuk NPKMg terhadap pertumbuhaan, produksi, dan mutu tembakau Virginia di Lombok. Rancangan Petak Terbagi dengan tiga ulangan digunakan untuk menguji respon tiga varietas (Coker 176, Coker 319 dan NC 297) sebagai petak utama dan tiga dosis pupuk NPKMg (60, 80 dan 100 kg N/ha) dan dosis 107 kg N/ha pupuk NPK+KNO3, yang diatur sebagai anak petak. Pupuk majemuk diberikan dua kali, yaitu pada umur 7 dan 25 hari, masing-masing 1/3 dan 2/3 dosis, pada petak perlakuan yang berisi 120 tanaman. Hasil penelitian menunjukkan bahwa peningkatan dosis pupuk NPKMg sampai 100 kg N/ha meningkatkan pertumbuhan, produksi, mutu dan indeks tanaman tembakau Virginia yang diuji. Aplikasi dosis 100 kg N/ha pupuk NPKMg (100 kg N+ 60 kg P2O5
+ 133 kg K2O + 13,34 kg MgO per hektar) menghasilkan nilai indeks mutu dan indeks tanaman tertinggi pada semua varietas yang diuji,
sehingga pupuk tersebut dapat digunakan sebagai pupuk alternatif untuk tembakau Virginia di Lombok.
Kata kunci:
pupuk majemuk, tembakau Virginia, produksi, indeks mutu, indeks tanaman
ABSTRACT
Tobacco Generally farmers in Lombok apply single fertilizer of ZA or Urea (as a source of N), and SP36 (as source of P), without combining with K and Mg fertilizers. The fertilizers are added more than twice with unappropriates doses. Application of compound fertilizer might increase growth, yield and quality of Virginia fc tobacco at
Central Lombok,
West Nusa Tenggara Province,
because
the fertilizer consists of NPK macro nutrients which have important role for tobacco. The experiment was
carried out at Kopang Rembiga village,
Kopang District in 2014. The objective to was identify the effect of NPKMg compound fertilizer on growth, yield and quality of Virginia tobacco. Split Plot Design with three replicates was used to arrange treatments. Three varieties of Virginia tobacco (Coker 176, Coker 319 and NC 297) were set as main plots, and three rates of NPKMg fertilizer (60, 80 and 100 kg N/ha) were arranged as sub plots. Results showed that increasing of NPKMg fertilizer up
to 100 kg N/ha increased growth, yield and quality of three varieties of Virginia tobacco. Addition of 100 kg N/ha NPKMg (100 kg N+ 60 kg P2O5
+ 133 kg K2O + 13.34 kg MgO per hectare) gave
the highest values of grade index and crop index of three varieties, thus the fertilizer could be recommended for Virginia tobacco in Lombok.
Keywords: compound fertilizer, Virginia tobacco, yield, grade index, crop index
PENDAHULUAN
Salah satu sentra tembakau Virginia di Indonesia yaitu
di Lombok,
Nusa Tenggara Barat.
Tembakau di Nusa Tenggara Barat pada tahun
2011
dan 2012 berturut-turut seluas 29.434 Ha dan 29.066 Ha, serta pada tahun 2013 diperkirakan seluas 28.702 Ha dengan total produksi selama tiga tahun tersebut sebesar 40.583 kg (DIREKTORAT
JENDERAL PERKEBUNAN, 2012). Varietas tembakau Virginia yang dibudidayakan di Lombok cukup banyak, antara lain yaitu
PVH 03, NC 297, Coker
176 dan Coker
319. Dengan beragamnya varietas yang dibudidayakan tersebut, juga akan menyebabkan dosis dan jenis pupuk yang sesuai untuksetiap varietas juga berbeda, karena respon varietasterhadap pemupukan juga berbeda.
Unsur N yaitu
unsur yang paling penting dalam mempengaruhi produksi dan mutu tembakau (MARCHETTI
et al., 2006). Serapan unsur N oleh tembakau terjadi dengan proses yang
lambat pada 3 minggu di awal pertumbuhannya, setelah itu berlangsung cepat dan meningkat selama 3 –
8 minggu setelah tanam, sehingga sekitar 80% N total diserap tembakau selama 8 minggu setelah tanam (HAWKS
dan COLLINS, 1983).
Selain unsur N, tembakau juga membutuhkan unsur K dalam jumlah besar. Serapan tanaman tembakau terhadap unsur K selama masa pertumbuhannya paling tinggi dibandingkan unsur lainnya (HAWKS
dan COLLINS, 1983). Beberapa peneliti melaporkan peranan penting unsur N bersama dengan unsur K dalam perbaikan produksi dan mutu tembakau (LU
et al., 2005; FARROKH
et al., 2011; HAGHIGHI
et al. 2011).
Unsur P diperlukan tanaman tembakau dalam proses pemasakan daun. RIDEOUT
dan GOODEN
(2000) melaporkan bahwa pemberian pupuk P pada satu minggu setelah transplanting dapat meningkatkan pertumbuhan awal tanaman, meningkatkan serapan hara dan mempercepat pembungaan. HE NIANZU
dan SIN JIWEI
(1991) juga melaporkan bahwa pemberian pupuk majemuk yang mengandung P dan K dapat meningkatkan hasil dan mutu tembakau Virginia flue cured dengan kadar Cl kurang dari 2%. Meningkatnya serapan unsur P akibat perlakuan
Jurnal Littri 22(2), Juni 2016. Hlm. 91 - 98 ISSN 0853-8212
JURNAL LITTRI VOL. 22 NO. 2, JUNI 2016: 91 - 98
92
pengapuran juga telah dilaporkan dapat meningkatkan hasil tembakau Virginia di Yunani (KARAIVAZOGLOU et al., 2007).
Dalam hal pemupukan, sebagian besar petani tembakau masih menggunakan pupuk tunggal yang berfokus pada sumber N (ZA dan urea) dan sumber P (SP36). Besarnya penggunaan pupuk tunggal tersebut mencapai 686 kg/ha dengan nilai sekitar Rp 3 juta/ha (FAKULTAS EKONOMI UNAIR, 2013).
Penggunaan pupuk tunggal selain akan menambah
biaya pemupukan juga ternyata dapat menyebabkan gejala keracunan. Contohnya pemberian pupuk tunggal sumber N amonium dapat menyebabkan keracunan pada beberapa tanaman (BRITTO
dan KRONZUCKER, 2002).
Pengaruh
negatif
N amonium
tersebut yaitu
dapat meningkatkan
tekanan konduksi
stomata (HØGH-JENSEN
dan SCHJOERRING, 1997)
dan meningkatkan transpirasi tanaman (LUGERT
et al., 2001), sehingga proses fotosintesis juga menurun.
Penggunaan pupuk majemuk NPK akan berpeluang
meningkatkan
produksi dan mutu tembakau, karena mengandung unsur makro NPK yang sangat dibutuhkan tanaman tembakau. Untuk tembakau Virginia di Kabupaten Lombok Tengah, pupuk
majemuk yang banyak digunakan yaitu
pupuk NPK dan ditambah pupuk KNO3.
Salah satu pupuk majemuk yang diformulasikan untuk
tanaman tembakau yaitu
pupuk NPKMg (15-9-29-2). Efektivitas pupuk majemuk tersebut terhadap produksi dan tembakau Virginia di Lombok belum diketahui. Tujuan kegiatan ini yaitu
untuk mengetahui pengaruh pupuk majemuk NPKMg terhadap pertumbuhan, produksi, mutu, nilai jual, serapan N dan K,
kadar
nikotin, gula dan
Cl tembakau Virginia di Lombok.
BAHAN DAN METODE
Penelitian pengujian efektivitas pupuk majemuk NPKMg
terhadap tembakau dilakukan di Desa Kopang Rembiga, Kecamatan Kopang,
Kabupaten Lombok
Tengah, NTB mulai bulan Maret sampai dengan Desember 2014. Lokasi penelitian merupakan salah satu sentra penanaman tembakau Virginia di Lombok Tengah,
dan hasil analisis
tanah dasar dari lahan tersebut disajikan pada Tabel 1.
Analisis tanah dilakukan di Laboratorium Jurusan Tanah, Fakultas Pertanian, Universitas Brawijaya, Malang.
Pupuk majemuk NPKMg (15-9-20-2) diuji pada tiga varietas tembakau Virginia yang biasa dibudidayakan di Kabupaten Lombok, yaitu Coker 176, Coker 319 dan NC 297. Perlakuan pemupukan meliputi dosis pupuk berbasis unsur N, yang akan dikombinasikan dengan tiga jenis verietas. Dosis yang diuji terdiri atas tiga level, yaitu 60, 80, 100 kg N/ha, dan dosis paket pupuk rekomendasi untuk petani yang bermitra dengan PT. Djarum (Tabel 2). Dengan demikian terdapat 12 kombinasi perlakuan yang disusun menggunakan Rancangan Petak Terbagi dengan tiga ulangan. Sebagai petak utama varietas, dan sebagai anak petak dosis pupuk.
Tabel 1. Hasil analisis tanah pada lahan penelitian Table 1. Soil analysis of experimental site
Sifat tanah Soil
characteristics
Kandungan Content
KategoriCategory
pH 1:1 H2O pH 1:1 KCl 1 N
05,5 04,9
Asam Asam C organik (%)
01,06
Rendah
N Total (%)
00,15
RendahC/N
07
Rendah
P Bray 1 (mg/kg)
21,08
SedangK NH4OAC1N pH:7 (me/100 g)
00,76
Tinggi
Na NH4OAC1N pH:7 (me/100 g)
02,23
Sangat tinggiCa NH4OAC1N pH:7 (me/100 g)
08,75
Sedang
Mg NH4OAC1N pH:7 (me/100 g)
00,79
RendahKTK NH4OAC1N pH:7 (me/100 g)
29,99
Tinggi
KB (%)
42
SedangPasir (%)
36
Debu (%)
40
Liat (%)
24
Tekstur
-
Lempung
Setiap varietas tembakau ditanam dengan jarak tanam 115 cm x 55 cm pada ukuran plot 75,9 m2, sehingga setiap plot berisi 120 tanaman atau setara dengan 14.800 tanaman per hektar. Pembuatan plot atau petak perlakuan dilakukan setelah
lahan selesai diolah.
Bibit tembakau ditanam di lahan setelah berumur 45
hari di pembibitan. Pupuk diberikan dengan dosis yang menyesuaikan dengan perlakuan, yang diberikan pada umur 7 dan 25 hari, masing-masing 1/3 dan 2/3 dosis. Dosis dan sumber pupuk perlakuan yang diuji disajikan pada Tabel 2.
Tabel 2. Perlakuan pupuk yang diuji
Table 2. Treatments of fertilizer
No
Dosis (kg/ha)
Rate of fertilizer
Sumber Pupuk
(kg/ha)Source of fertilizer
N
P2O5
K2O
MgO
1.
60
36
80
8
400 kg pupuk majemuk NPKMg (15:9:20:2)
2.
80
48
81
10,60
533 kg pupuk majemuk NPKMg (15:9:20:2)
3.
100
60
133
13,34
667 kg pupuk majemuk NPKMg (15:9:20:2)
4.
81
83
195
14
550 kg pupuk majemuk NPKMg (10:15:19:2,55)+200 kg KNO3
(13 N:45 K2O) (Pupuk rekomendasi)
Parameter yang diamati yaitu
tinggi tanaman dan jumlah daun, panjang dan lebar daun bawah, tengah dan atas (sebelum tanaman tembakau dipangkas), produksi daun basah, produksi krosok kering, indeks mutu, indeks tanaman, kadar nikotin, kadar gula, serapan N, dan K serta kadar Cl. Pengamatan tinggi tanaman, jumlah daun dan ukuran daun dilakukan pada 10 tanaman sampel yang dipilih secara acak di setiap perlakuan. Analisis
kadar nikotin, gula dan Cl dilakukan pada tembakau krosok yang berasal dari panen dengan tembakau mutu tertinggi,dan dilakukan di Laboratorium Pasca Panen, Balittas. Penilaian mutu dilakukan oleh PT Djarum Perwakilan Lombok. Data
DJAJADI et al.: Pengaruh Pupuk Majemuk terhadap Produksi dan Mutu Tembakau Virginia
93
semua parameter dianalisis secara statistik dan pengaruh perlakuan dibandingkan dengan nilai beda nyata terkecil (BNT) taraf 5%.
Mutu tembakau Virginia dinilai berdasarkan warna, aroma dan pegangan krosok pada tembakau yang dihasilkan setiap kali panen. Pada proses pengovenan daun tembakau yang dipanen pada setiap perlakuan dihasilkan mutu tembakau yang berbeda,
sehingga nilai mutu diekspresikan
dengan parameter nilai indeks mutu yang dihitung berdasarkan kompilasi perkalian antara nilai indeks harga dengan banyaknya masing-masing mutu yang dihasilkan per total produksi. Rumus perhitungannya yaitu
sebagai
berikut:
IM =
i
∑ IH x Bi
n=1
I
∑Bi
Keterangan:
IH
= Indeks Harga (Price
Index)
Bi
= Berat krosok per mutu (Cured
leaf
yield of each grade) (kg)
IH adalah nilai harga per mutu yang dihitung berdasarkan harga mutu termahal (yang diberi nilai indeks 100)
Nilai indeks tanaman menggambarkan nilai jual dari tembakau yang dihasilkan, sehingga dihitung dengan rumus:
IT =
IM x B per hektar
1.000
Keterangan:
IT
= Indeks Tanaman (Crop
Index)
B
= Produksi per hektar (Yield) (kg/ha)
1.000
= koefisien
HASIL DAN PEMBAHASAN
Dari hasil analisis
statistik
diketahui bahwa interaksi perlakuan antara varietas dan dosis pupuk berpengaruh
nyata
terhadap parameter serapan unsur N dan K, pertumbuhan
(tinggi tanaman, jumlah daun, dan ukuran daun),
produksi
(produksi daun basah dan krosok),
mutu (indeks mutu) dan nilai jual tanaman
(indeks tanaman), kadar nikotin, gula dan Cl krosok tembakau Virginia.
Selanjutnya dari uji pembeda pengaruh perlakuan diketahui bahwa setiap varietas menunjukkan respon yang berbeda dengan adanya perbedaan
dosis pupuk.
Serapan Unsur N dan K
Pengaruh peningkatan dosis pupuk NPKMg
terhadap serapan unsur hara N dan K pada setiap varietas yang diuji disajikan pada Tabel 3, yang menunjukkan bahwa serapan unsur N dan K pada tembakau Virginia akan meningkat bila
dosis pupuk NPK yang diberikan juga ditingkatkan. Meningkatnya serapan unsur N tersebut karena kadar N tanah penelitian tergolong rendah (Tabel 1), sehingga
peningkatan dosis pemupukan N berpengaruh terhadappeningkatan serapan N. Namun demikian setiap varietas yang diuji mempunyai respon tingkat serapan N dan K tertinggi yang berbeda pada dosis NPK yang sama.
Tembakau Virginia Coker 176 merupakan varietas yang paling respon dibandingkan Coker 319 dan NC 297 dalam menyerap unsur N dan K dengan adanya peningkatan dosis pupuk. Peningkatan dosis pupuk majemuk NPKMg dari 60 kg N/ha sampai dosis tertinggi (100 kg
N/ha) menyebabkan tembakau tersebut menyerap
sebanyak-banyaknya unsur N, yaitu
sebesar
9,35% atau meningkat 78%.
Hasil ini juga dilaporkan oleh Lu et al.
(2005) yang meningkatkan pemupukan dosis N diikuti dengan peningkatan kadar N daun tembakau Virginia varietas K 326.
Tembakau Coker 176 juga mengandung unsur K tertinggi (12,76%) bila diberi pupuk yang kandungan K nya juga yang paling tinggi (pupuk rekomendasi yang berkadar 194 kg K2O/ha).
Hal ini juga menunjukkan bahwa tidak terjadi hambatan serapan dan translokasi unsur K dari akar ke seluruh bagian tanaman oleh adanya peningkatan dosis pupuk N,
baik pada pupuk majemuk NPKMg
maupunpupuk rekomendasi.
Penurunan serapan dan translokasi unsur K akan terjadi apabila
terdapat peningkatan dosis N amonium (SKOGLEY
and MCCANTS, 1963). Sedangkan pupuk majemuk introduksi yang diuji dalam penelitian ini mengandung ratio amonium : nitrat sebesar 1 : 1,2 sedang-kan pupuk rekomendasi mengandung ratio amonium : nitrat sebesar 1 : 1,3.
Pada tembakau Virginia Coker 319, peningkatan dosis
NPK dari 60 kg N/ha menjadi 80 dan 81 kg N/ha relatif tidak berpengaruh terhadap serapan unsur N. Bila dosis pupuk ditingkatkan sampai 100 kg N/ha terjadi penurunan serapan unsur N dari 6,80 menjadi 6,18%. Namun demikian serapan unsur K pada tembakau Coker 319 ini mengikuti peningkatan dosis pupuk majemuk NPKMg, sehingga serapan K tertinggi (11,38%) terdapat pada tembakau yang dipupuk dengan dosis NPKMg tertinggi (100 N + 60 P2O5
+ 133 K2O), sedangkan pupuk rekomendasi yang mengandung K tertinggi (194 K2O/ha) hanya menghasilkan serapan K yang lebih rendah, yaitu sebesar 11,10%.
Tembakau NC 297 mempunyai pola serapan unsur N dan K yang
juga berbeda dengan Coker 176 dan Coker 319. Serapan N tertinggi tembakau NC 297 (6,76% N) dihasilkan tembakau NC 297 dengan pemupukan introduksi dosis 80 kg N + 48 P2O5
+ 81 kg K2O, dan bila dosis pupuk NPK tersebut ditingkatkan akan terjadi penurunan serapan unsur N, sedangkan serapan unsur K tertinggi (13,36%) terdapat pada tembakau varietas NC 297 yang dipupuk rekomendasi yang mempunyai dosis K tertinggi (194 kg K2O/ha).
Perbedaan respon varietas dalam menyerap dan mengakumulasi unsur N dan K mungkin disebabkan karena perbedaan dalam pertumbuhan dan perkembangan akar dari ketiga varietas tersebut, yang dalam penelitian ini lebih banyak ditentukan oleh faktor genetiknya. Dalam penelitian
JURNAL LITTRI VOL. 22 NO. 2, JUNI 2016: 91 - 98
94
Tabel 3. Pengaruh varietas dan dosis pupuk terhadap serapan N dan K pada tembakau Virginia di Lombok Tengah, Nusa Tenggara Barat
Table 3. Effect of tobacco variety and fertilizer rates on N and K absorption of Virginia tobacco at Central Lombok, West Nusa Tenggara
Varietas
tembakau Tobacco
variety
N
P2O5
K2O
Serapan N (g/tan)
N absorption (g/plant)
Serapan K (g/tan)
K absorption (g/plant)
Coker 176
60
36
80
5,25 b
10,38 c 80
48
81
6,86 g
11,22 d
100
60
133
9,35 i
12,45 g
81
82
194
7.49 h
12,76 h
Cooker 319
60
36
80
6,80 fg
07,19 a
80
48
81
6,84 g
10,27 c
100
60
133
6,18 c
11,38 e
81
82
194
6,85 g
11,10 d
NC 297
60
36
80
4,22 a
08,09 b
80
48
81
6,76 f
12,96 i
100
60
133
6,56 d
12,23 f
81
82
194
6,68 e
13,36 j
BNT 5%
0,07
0,17
*)
Angka-angka yang didampingi huruf yang sama pada kolom yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata pada taraf p 5%.
*)
Numbers in the same column followed by the same letters are not significant different at 5% LSD test
ini parameter biomasa akar yang mengekspresikan pertumbuhan dan perkembangan akar tidak diamati. Pada level dosis yang sama (60 kg N/ha), kadar N total tembakau varietas NC 297 paling rendah dibanding dua varietas yang lain, sehingga varietas tersebut juga mempunyai tinggi tanaman, luas daun bawah dan tengah yang paling rendah juga (Tabel 4
dan 5).
Tembakau yang
paling banyak mengakumulasi unsur K yaitu
tembakau varietas NC 297. Oleh karena itu kadar K yang paling tinggi dijumpai pada tembakau varietas NC 297 yang dipupuk dengan pupuk rekomendasi yang berkadar K tertinggi (194 kg K2O/ha).
Akumulasi unsur K dalam
jaringan tanaman dimulai saat
awal pertumbuhan sampai tembakau setelah dipangkas terutama sebagai akibat pertumbuhan akar (ZHENXIONG
et al., 2010). Oleh karena itu, pemberian dosis K tertinggi dalam penelitian ini juga menyebabkan tembakau varietas NC 297 mengakumulasi unsur K yang terbanyak, yaitu sebesar 13,36%.
Pertumbuhan
Pengaruh interaksi perlakuan antara varietas dan dosis pupuk terhadap tinggi tanaman dan jumlah daun disajikan pada Tabel 4.
Secara umum dari Tabel 4
dapat diketahui bahwa semakin ditingkatkan dosis pupuk NPK, maka tinggi tanaman dan jumlah daun juga semakin meningkat. Namun demikian setiap varietas menunjukkan respon yang berbeda terhadap peningkatan dosis pupuk NPK tersebut.
Pada tembakau Virginia varietas Coker 176, pem-berian pupuk NPKMg yang ditingkatkan berdasar dosis
unsur N dari 60 menjadi 100 kg N/ha, maka akan meningkatkan tinggi tanaman sebesar 11% dan jumlah daun sebesar 6%. Tinggi tanaman dan jumlah daun tersebut lebih tinggi daripada tinggi tanaman dan jumlah daun tembakau Virginia Coker 176 yang diberi pupuk rekomendasi NPK Fertila dan KNO3.
Tabel 4.
Pengaruh varietas dan dosis pupuk terhadap tinggi tanaman dan jumlah daun tembakau Virginia di Lombok Tengah, Nusa Tenggara Barat
Table 4.
Effect of tobacco variety and fertilizer rates on plant height and lef number of Virginia tobacco at Central Lombok, West Nusa Tenggara
Varietas
Variety
N
P2O5
K2O
MgO
Tinggi tanaman
Plant height
(cm)
Jumlah daunLeaf
number
Coker
176
60
36
80
8
81,90 b*)
19,25 b80
48
81
10,6
111,81
b
19,69 c100
60
133
13,34
119,99 c
20,47 e81
82
194
14
103,31 a
19,53 c
Coker
319
60
36
80
8
120,79 c
18,25 a80
48
81
10,6
135,20 e
19,73 d100
60
133
13,34
138,12 e
19,63 c81
82
194
14
142,43 f
19,73 d
NC 297
60
36
80
8
101,63 a
19,76 d80
48
81
10,6
109,65 b
19,96 d100
60
133
13,34
125,63 d
19,73 d81
82
194
14
99,86 a
20,47 e
BNT 5%
4,14
0,16
*)
Angka-angka yang didampingi huruf yang sama pada kolom yang sama menunjukkan tidak berbeda
nyata pada taraf p 5%.
*)
Numbers in the same column followed by the same letters are not significant different at 5% LSD test
Pada tembakau Virginia varietas Coker 319, peningkatan dosis pupuk majemuk dari 60 kg N menjadi 100
kg N/ha
meningkatkan tinggi tanaman dan jumlah daun.
Namun demikian
tanaman tembakau tertinggi dan yang mempunyai jumlah daun terbanyak yaitu
tembakau Virginia Coker 319 yang dipupuk majemuk NPKMgdengan dosis 80 kg N/ha yang tidak berbeda pengaruhnya dengan pengaruh dosis pupuk rekomendasi NPK dan KNO3
yang berkadar 81
kg N + 82 kg P2O5
+ 194 kg K2O per hektar.
Dibandingkan dosis 60 kg N/Ha peningkatan tinggi tanaman dan jumlah daun berturut-turut masing-masing sebesar 18% dan 8%.
Pada varietas NC 297, tinggi tanaman lebih dipengaruhi oleh peningkatan dosis pupuk majemuk introduksi NPKMg
dari 60 ke 100 kg N/ha, sedangkan jumlah daun lebih dipengaruhi oleh pemberian pupuk majemuk rekomendasi NPK dan KNO3
dosis 81
kg N/ha.Dibandingkan dosis 60 kg N/ha, dosis 100 kg N/ha pupuk majemuk introduksi meningkatkan tinggi tanaman sebesar 26%.
Sedangkan pupuk majemuk NPK dan KNO3
meningkatkan jumlah daun sebesar 3%.Pengaruh interaksi perlakuan jenis varietas dan pupuk
majemuk terhadap ukuran daun disajikan pada Tabel 5.
DJAJADI et al.: Pengaruh Pupuk Majemuk terhadap Produksi dan Mutu Tembakau Virginia
95
Tabel 5. Pengaruh varietas dan dosis pupuk terhadap ukuran daun bawah, tengah dan atas tembakau Virginia di Lombok Tengah, Nusa Tenggara Barat
Table 5. Effect of tobacco variety and fertilizer rates on leaf size of Virginia tobacco at Central Lombok, West Nusa Tenggara
Varietas Variety
N
P2O5 K2O
MgO
Panjang x Lebar
Daun (cm2) Length x wide of leaf
Bawah Bottom
leaf
Tengah Middle
leaf
Atas Top leaf
Coker 176
60
36
80
8
2167 a*)
749 ab
759 b
80
48
81
10,6
2244 a
1043 c
939 bcd
100
60
133
13,34
2262 a
1461 e
1582 e
81
82
194
14
2548 c
855 b
962 bcd
Coker 319
60
36
80
8
2376 b
1403 de
1082 d
80
48
81
10,6
2282 a
1449 e
1131
d
100
60
133
13,34
2336 b
1460 e
1022 cd
81
82
194
14
2300 a
1410 de
1083 d
NC 297
60
36
80
8
2183 a
828 ab
450 a
80
48
81
10,6
2280 a
1272 d
796 bc
100
60
133
13,34
2260 a
1359 de
734 b
81
82
194
14
2201 a
701 a
394 a
BNT 5%
139
149
244
*)
Angka-angka yang didampingi huruf yang sama pada kolom yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata pada taraf p 5%.
*)
Numbers in the same column followed by the same letters are not significant different at 5% LSD test
Dari tabel
tersebut diketahui bahwa perbedaan pemberian dosis pupuk majemuk lebih kelihatan pengaruhnya terhadap ukuran daun tengah dan atas.
Pada ukuran luas daun bawah, pengaruh peningkatan dosis pupuk N terlihat nyata pada tembakau Virginia varietas Coker 176. Pada varietas tersebut, ukuran daun terluas terdapat pada tembakau yang dipupuk dengan 81
kg N/ha dari sumber pupuk majemuk NPK dan KNO3,
yaitu seluas 2.548 cm2.
Pada ukuran daun tengah dan atas, pemberian pupuk majemuk NPKMg dosis tertinggi (100 kg N/ha) meningkatkan
ukuran daun terluas, masing-masing sebesar 1.461 cm2
dan 1.582 cm2.
Namun demikian masing-masing varietas menunjukkan respon yang berbeda dengan peningkatan dosis pupuk majemuk.
Pada varietas tembakau Coker 176, ukuran daun tengah dan atas ditingkatkan dengan pemupukan NPKMg dosis tertinggi yaitu sebesar 100 kg N/ha, yang meng-hasilkan ukuran daun tengah dan atas terluas, masing-masing sebesar 1.461 cm2
dan 1.582 cm2.
Dibanding dengan dosis NPKMg dosis 60 kg N/ha, peningkatan ukuran daun tengah dan atas tersebut masing-masing
sebesar 95% dan 108%. Selain itu dosis 100 kg
N/ha pupuk NPKMg tersebut menghasilkan tembakau yang mempunyai ukuran daun tengah dan atas yang lebih besar daripada ukuran tembakau yang dipupuk 81
kg/ha pupuk NPK dan KNO3.
Pada varietas tembakau Virginia Coker 319, pening -katan dosis pupuk NPKMg dari 60 sampai 100 kg N/ha relatif tidak berpengaruh terhadap ukuran daun tengah dan atas. Demikian juga dengan tembakau yang dipupuk dengan 81 kg N/ha pupuk majemuk NPK dan KNO3, yang
menunjukkan ukuran daun tengah dan atas yang relative tidak berbeda dengan pupuk majemuk NPKMg. Tidak responnya peningkatan dosis pupuk majemuk terhadap ukuran daun Coker 319 disebabkan ukuran daun tembakau varietas tersebut lebih kecil daripada Coker 176 dan NC 297, sehingga membutuhkan pasokan unsur
hara yang
relative lebih sedikit dan dosis pupuk NPKMg 60 kg N/ha sudah cukup untuk menyediakan kebutuhan unsur hara tembakau jenis tersebut.
Pada varietas NC 297, ukuran daun tengah dan atas terluas dihasilkan oleh tembakau yang dipupuk dengan dosis N tertinggi 100 kg N/ha dari sumber pupuk majemuk NPKMg. Peningkatan dosis pupuk NPKMg sampai 100 kg N/ha tersebut meningkatkan ukuran daun tengah sebesar 64% dan luas daun atas sebesar 63%. Ukuran daun tersebut ternyata relatif
lebih besar daripada tembakau NC 297 yang dipupuk dengan 81
kg N/ha pupuk NPK dan KNO3.
Pengaruh peningkatan pupuk tersebut
sejalan dengan hasil penelitian HAGHIGHI
et. al.
(2011) yang melaporkan bahwa pemupukan N dengan dosis 150 kg/ha meningkatkan pertumbuhan, produksi krosok, dan kadar nikotin tembakau Virginia Coker 347, serta menghasilkan nilai pendapatan tembakau tertinggi.
Produksi
Interaksi perlakuan antara jenis varietas dan dosis
pupuk berpengaruh nyata terhadap produksi daun basah dan krosok tembakau kering.
Secara umum dari hasil penelitian ini diketahui bahwa peningkatan dosis pupuk majemuk NPKMg dan pemberian pupuk rekomendasi NPK + KNO3
berpengaruh terhadap peningkatan produksi
(Tabel 6). Namun demikian produksi dari masing-masing varietas menunjukkan respon yang berbeda terhadap peningkatan dosis pupuk.
Pada varietas Coker 176, peningkatan dosis pupuk NPKMg dari 60 menjadi 100 kg N/ha meningkatkan produksi daun basah sebesar 4,34 ton/ha atau 26%, dan produksi krosok kering sebesar 407 kg/ha atau 24%. Besarnya produksi daun basah tembakau Coker 176 tersebut relatif sama dengan produksi daun basah tembakau yang dipupuk dengan 81 kg N/ha pupuk NPK+KNO3, sedangkan terhadap produksi krosok kering, pupuk 81 kg N/ha pupuk NPK+KNO3
menghasilkan krosok tertinggi yaitu sebanyak 2.530 kg/ha atau lebih tinggi 50% dibanding tembakau Coker 176 yang hanya dipupuk NPKMg sebanyak 60 kg N/ha.
Pada varietas Coker 319, peningkatan dosis pupuk NPKMg relatif tidak berpengaruh terhadap daun basah, tetapi berpengaruh terhadap peningkatan produksi krosok kering. Pupuk NPKMg sebanyak 100 kg N/ha meningkatkan produksi krosok kering sampai 209 kg/ha atau 16% lebih tinggi daripada krosok tembakau yang dipupuk dengan 60 kg N/ha NPKMg. Hasil krosok tembakau yang dipupuk dengan 100 kg N/ha NPKMg tersebut relatif sama dengan krosok tembakau yang dipupuk 81 kg N/ha NPK+KNO3.
JURNAL LITTRI VOL. 22 NO. 2, JUNI 2016: 91 - 98
96
Tabel 6. Pengaruh varietas dan dosis pupuk terhadap produksi daun basah dan krosok tembakau Virginia di Lombok Tengah, Nusa Tenggara Barat
Table 6. Effect of tobacco variety and fertilizer rates on fresh yield and cured yield of Virginia tobacco at Central Lombok, West Nusa Tenggara
Varietas Variety
N
P2O5
K2O
MgO
Produksi daun basah
Fresh yield (kg/ha)
Krosok Cured yield
(kg/ha)
Coker
176
60
36
80 8
16.422 c*)
1686 d
80
48
81
10,6
17.568 c
1709 d
100
60
133
13,34
20.760 d
2093 e
81
82
194
14
21.213 d
2530 f
Coker
319
60
36
80
8
12.867 a
1162 a
80
48
81
10,6
12.666 a
1279 b
100
60
133
13,34
14.121 ab
1352 c
81
82
194
14
13.938 ab
1371 c
NC 297
60
36
80
8
15.765 bc
1336 c
80
48
81
10,6
19.857 d
2037 e
100
60
133
13,34
20.226 d
2050 e
81
82
194
14
21.216 d
2606 g
BNT 5%
2022
8.8
*)
Angka-angka yang didampingi huruf yang sama pada kolom yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata pada taraf p 5%.
*)
Numbers in the same column followed by the same letters are not significant different at p<0.05
Pada tembakau NC 297, peningkatan dosis pupuk
NPKMg dari 60 menjadi 100 kg N/ha juga meningkatkan produksi daun basah dan krosok kering.
Peningkatan daun basah yang terjadi mencapai 4.461 kg/ha atau 28% lebih banyak dari produksi daun basah tembakau
yang dipupuk 60 kgN/ha NPKMg, sedangkan produksi krosok kering dengan pemupukan 100 kg
N/ha pupuk NPKMg mencapai 714 kg/ha atau 54% lebih banyak. Namun demikian produksi krosok tertinggi dari tembakau NC 297 tersebut
diperoleh apabila dipupuk dengan 81
kg N/ha pupuk NPK+KNO3
yang peningkatannya mencapai 1.270 kg/ha atau 95% lebih banyak dari kosok yang dihasilkan tembakau NC 297 yang hanya dipupuk 60 kgN/ha dengan pupuk NPKMg.
Peningkatan produksi tembakau dengan pupuk rekomendasi yang mengandung unsur K tertinggi (194 kg K2O/ha) disebabkan terjadinya peningkatan dalam proses fotosintesis,
sehingga meningkatkan pembetukan bahan kering tanaman, termasuk sel-sel jaringan daun (TSO,1990). Selain itu hasil
daun basah dan krosok tertinggi dari tembakau varietas NC 297 yang diberi pupuk
majemuk rekomendasi tersebut dapat terjadi karena
adanya
peningkatan bobot
daun yang dihasilkan sebagai akibat daripada minimalnya perkembangan ukuran daun tembakau tersebut (Tabel 4). Sebaliknya apabila dosis pupuk N ditingkatkan maka akan berpengaruh terhadap perkem-bangan ukuran daun yang disertai dengan penurunan berat daun sebagai akibat dari semakin tipisnya daun (TSO, 1990).
Kadar Nikotin, Gula, dan Chlor
Pengaruh perlakuan jenis pupuk majemuk NPKMg terhadap kadar nikotin, gula dan Cl pada tiga varietas
tembakau Virginia yang diuji disajikan pada Tabel 7. Secara umum dari Tabel 7 diketahui bahwa semakin dosis pupuk majemuk ditingkatkan pada level tertentu akan diikuti dengan peningkatan kadar nikotin, gula dan Cl daun kering tembakau; meskipun demikian besarnya peningkatan kadar gula pada setiap varietas terdapat perbedaan. Kadar nikotin tertinggi (4,76%) dijumpai pada tembakau virginia Coker 176 yang diberi pupuk introduksi dosis tertinggi (100 kg N + 60 P2O5
+ 133 K2O). Nikotin merupakan senyawa
alkaloid tembakau yang disintesis di akar dengan penyusun utama unsur N, yang kemudian ditranslokasi ke seluruh bagian tanaman (TSO, 1990). Kadar nikotin ditentukan antara lain oleh banyaknya unsur N yang diserap tembakau (GOENAGA
et al., 1989). Hasil yang sama juga diperoleh
BILALIS
et al.
(2009) yang melaporkan bahwa meningkat-
nya kadar N dalam pupuk hijau meningkatkan kadar nikotin tembakau Virginia varietas NC71. Dalam penelitian ini diketahui bahwa tembakau varietas Virginia Coker 176 dapat menyerap unsur N terbanyak (Tabel 2), sehingga dapat mengakumulasi
nikotin dalam daun dalam jumlah yang terbesar (Tabel 7).
Tabel
7.
Pengaruh varietas dan dosis pupuk terhadap kadar nikotin dan gula pada tembakau Virginia di Lombok Tengah, Nusa Tenggara Barat
Table 7.
Effect of tobacco variety and fertilizer rates on nicotine sugar and Cl content of Virginia tobacco at Central Lombok, West Nusa Tenggara
Varietas
Variety
N
P2O5
K2O
Kadar Nikotin
Nicotine
(%)
Kadar Gula
Sugar
(%)
Kadar ChlorChlor(%)
Cooker 176
60
36
80
4,07 f
11,19 c
0,13 b80
48
81
4,52 gh
11,75 f
0,15 b100
60
133
4,76
h
9,51 a
0,22 c81
82
194
4,41 g
11,70 ef
0,23 c
Cooker 319
60
36
80
3,17 b
10,82 b
0,13 b80
48
81
3,35 bc
14,38 h
0,21 c100
60
133
4,00 f
11,98 g
0,14 b81
82
194
3,52 cde
18,00 j
0,11 ab
NC 297
60
36
80
2,66 a
11,62 e
0,08 a80
48
81
3,40 bcd
13,58 h
0,13 b100
60
133
3,68 e
11,49 d
0,15 b81
82
194
3,65 de
14,40 i
0,12 ab
BNT 5%
0,27
0,12
0,04*)
Angka-angka yang didampingi huruf yang sama pada kolom yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata pada taraf p 5%.
*)
Numbers in the same column followed by the same letters are not significant different at p<0.05
Pada ketiga varietas tembakau yang diuji
terdapat peningkatan kadar gula daun kering tembakau apabila dosis pupuk majemuk ditingkatkan sampai dosis 81 kg N/ha. Apabila dosis ditingkatkan menjadi 100 kg N/ha akan terjadi penurunan kadar gula. Hasil ini sesuai dengan hasil penelitian WOLTZ
et al.
(1948) yang melaporkan bahwa peningkatan kadar N dalam jaringan tanaman akan berkorelasi positip dengan kadar nikotin dan berkorelasi negatif dengan kadar gula. Hal ini terlihat jelas pada tembakau Virginia Coker 176 yang diberi pupuk introduksi dengan dosis 100 kg/ha yang menghasilkan tanaman
DJAJADI et al.: Pengaruh Pupuk Majemuk terhadap Produksi dan Mutu Tembakau Virginia
97
dengan serapan N dan kadar nikotin tertinggi, tetapi mem-punyai kadar gula yang paling rendah. Selain itu kadar gula dalam daun tembakau dipengaruhi oleh pemupukan P, sehingga peningkatan pemberian P akan meningkatkan kadar gula (TSO et al., 1990). Oleh karena itu dalam penelitian ini, pada peningkatan dosis P dalam pupuk majemuk dari 36 sampai 82 kg P2O5
diikuti dengan pening-
katan kadar gula. Kadar gula tertinggi (18%) terdapat pada tembakau Virginia Coker 319 yang dipupuk dengan pupuk rekomendasi yang mengandung 82 kg P2O5
/ha.
Pada penelitian ini diketahui bahwa ketiga varietas tembakau yang diuji mengandung
Cl krosok di
bawah batas
ambang kadar Cl (1%) dengan semua tingkat dosis pupuk majemuk perlakuan. Seperti diketahui bahwa bila daun kering tembakau mengandung lebih dari 1% akan mengalami penurunan daya bakar dan daya simpan, karena ion Cl
yang terkandung dalam daun bersifat higroskopis yang mudah menyerap uap
air dari udara (TSO,
1990). Namun demikian perubahan kadar Cl sebagai akibat peningkatan dosis pupuk majemuk mempunyai pola yang berbeda pada setiap varietas tembakau yang diuji.
Pada varietas Coker 176, peningkatan dosis pupuk majemuk dari 60 kg N/ha sampai dosis tertinggi 100 kg N/ha meningkatkan kadar Cl krosok sampai kadar tertinggi sebesar 0,23%. Namun demikian pada tembakau Virginia varietas Coker 319 dan NC 297,
peningkatan dosis pupuk majemuk sampai dosis tertinggi tidak berpengaruh terhadap kadar Cl krosok.
Mutu dan Nilai Jual Tembakau
Mutu tembakau yang diekspresikan dengan parameter
nilai indeks mutu dan nilai jual yang diindikasikan dengan parameter nilai indeks tanaman dipengaruhi oleh interaksi perlakuan varietas dan dosis pupuk.
Secara umum indeks mutu dan indeks tanaman dari tembakau Virginia varietas Coker 319 lebih rendah daripada tembakau varietas Coker 176 dan NC 297 pada perlakuan pupuk yang sama
(Tabel 8).
Dengan demikian respon mutu dan nilai jual menunjukkan perbedaan dengan adanya
peningkatan
dosis pupuk majemuk, baik pupuk NPKMg maupun NPK+KNO3.
Pada varietas Coker 176, peningkatan dosis pupuk NPKMg dari 60 kg N/ha menjadi 100 kg N/ha mening-katkan nilai indeks mutu dan nilai jual tembakau, masing-masing sebesar 8,25% dan 21%. Mutu tembakau Coker 176 yang dipupuk dengan 100 kg N/ha NPKMg lebih tinggi daripada mutu tembakau yang dipupuk 81 kg N/ha NPK+NO3.
Indeks mutu dan indeks tanaman tembakau
Coker 319 meningkat dengan peningkatan dosis pupuk NPKMg dari 60 menjadi 100 kg N/ha. Dengan dosis pupuk tersebut, indeks mutu varietas Coker dapat ditingkatkan sebesar 12% dan indeks tanaman meningkat sebesar 21%.
Pada tembakau varietas NC 297, dosis 100 kg N/ha pupuk NPKMg meningkatkan nilai indeks mutu dan indeks tanaman tertinggi, yaitu masing-masing sebesar 81,37 dan 1724. Nilai indeks mutu tersebut meningkat sebesar 11% dan nilai indeks tanaman meningkat lebih dari 19%
dibanding indeks mutu dan indeks tanaman tembakau NC 297 yang dipupuk hanya 60 kg N/ha.
Tabel 8. Pengaruh varietas dan dosis pupuk terhadap
indeks mutu dan indeks tanaman tembakau Virginia di Lombok Tengah, Nusa Tenggara Barat
Table 8.
Effect of tobacco variety and fertilizer rates on grade indx and crop index of Virginia tobacco at Central Lombok, West Nusa Tenggara
Varietas Variety
N
P2O5
K2O
MgO
Indeks Mutu
Grade Index
Indeks tanaman
Crop Index
Coker 176
60
36
80
8
73,66 d*)
1266 c80
48
81
10,6
75,64 e
1238 c100
60
133
13,34
79,74 g
1532 e81
82
194
14
76,04 ef
1521 e
Coker 319
60
36
80
8
65,96 a
760 a80
48
81
10,6
67,81
b
902 b100
60
133
13,34
73,66 d
923 b81
82
194
14
68,77 b
967 b
NC 297
60
36
80
8
73,36 cd
1396 d80
48
81
10,6
77,58 f
1627 f100
60
133
13,34
81,37 h
1724 g81
82
194
14
72,30 c
1398 d
BNT 5%
109
90
*)
Angka-angka yang didampingi huruf yang sama pada kolom yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata pada taraf p 5%.
*)
Numbers in the same column followed by the same letters are not significant different at p<0.05
KESIMPULAN
Interaksi antara varietas dan pemupukan berpengaruh terhadap pertumbuhan, produksi, mutu dan nilai jual tembakau Virginia. Varietas tembakau Coker 176, Coker 319 dan NC 297 mempunyai respon yang berbeda terhadap peningkatan dosis pupuk majemuk NPKMg. Pada tembakau varietas Coker 176, pemupukan dengan pupuk NPKMg (100 kg N+ 60 kg P2O5
+ 133 kg K2O + 13,34 kg MgO per hektar)
menghasilkan indeks mutu dan indeks tanaman tertinggi. Produksi krosok tertinggi Coker 176 (2.530 kg/ha) dihasilkan pada aplikasi pupuk NPK+KNO3
(81
kg N + 82 kg P2O5
+ 284 kg K2O per hektar).
Pada varietas Coker 319, pemberian pupuk NPKMg (100 kg N+ 60 kg P2O5
+ 133 kg K2O + 13,34 kg MgO per hektar) menghasilkan produksi kering dan nilai indeks tanaman yang relatif sama dengan pupuk NPK+KNO3 (81kg N + 82 kg P2O5
+ 284 kg K2O per hektar).
Pada tembakau varietas NC 297, produksi kering tertinggi (2.606 kg/ha) dihasilkan oleh tanaman yang dipupuk dengan NPK+KNO3
(81
kg N + 82 kg P2O5 + 284 kg K2O
per hektar). Namun demikian nilai indeks mutu dan indeks tanaman tertinggi dihasilkan oleh tembakau varietas NC 297 yang dipupuk dengan NPKMg (100 kg N+ 60 kg P2O5 + 133 kg K2O + 13,34 kg MgO per hektar). Berdasarkan nilai indeks mutu dan nilai indeks tanaman, maka pupuk NPKMg dengan dosis100 kg N+ 60 kg P2O5 +
JURNAL LITTRI VOL. 22 NO. 2, JUNI 2016: 91 - 98
98
133 kg K2O + 13,34 kg MgO per hektar dapat digunakan sebagai alternatif pemupukan tembakau Virginia varietas Coker 176, Coker 319 dan NC 297.
UCAPAN TERIMA KASIH
Penelitian ini dapat berlangsung berkat kerjasama antara Balittas, PT. Pijar Nusa
Pasifik, dan PT Djarum.
Ucapan terima kasih disampaikan kepada Direktur PT.
Pijar Nusa
Pasifik
sebagai penyandang dana, dan Manajer
Produksi PT. Djarum di Lombok
beserta staf yang telah
membantu kelancaran pelaksanaan penelitian ini.
DAFTAR PUSTAKA
BILALIS D., A.
KARKANIS, EFTHIMIADOU, AR.
KONSTANTAS , and V.
TRIANTAFYLLIDIS.
2009. Effect of irrigation system and green manure on yield and nicotine content of Virginia
(flue-cured) organic tobacco (Nicotiana tabacum), under Medirranean conditions. Industrials Crops and Products. 29: 388-394.
BRITTO D.T., and H.J. KRONZUCKER.
2002. NH4+ toxicity in higher plants: a critical review. Journal of Plant Physiology 159: 567-584.
DIREKTORAT JENDERAL PERKEBUNAN. 2012. Komoditas
Tembakau di Indonesia 2011-2013. Sekretariat Ditjen Perkebunan. Direktorat Jenderal Perkebunan Kemen-terian Pertanian. Jakarta 32 pp.
FAKULTAS EKONOMI UNA IR. 2013. Usahatani Tembakau di
Empat Kabupaten Sentra, Laporan Hasil Penelitian. Universitas Airlangga. Surabaya. (tidak dipublikasi-kan).
FARROKH A.R., I.
AZIZOV, FARROKH, A.,
ESFAHANI, M.,
RANJBAR CHOUBEH, M., and KAVOOSI, M. 2011. The Effect of nitrogen and potassium fertilizers on the wet and dry weights of flue cured tobacco components, cultivar Coker 347. International Journal of Agri Science Vol. 1(5): 275 -282.
GOENAGA, R.J., R.C. LONG, and R.J. VOLK.
1989. Uptake of nitrogen by flue-cured tobacco during maturation and
senescence. I. Partitioning of nitrogen derived from soil and fertilizer sources. Plant and Soil. 120: 133-139.
HAGHIGHI, H., S.D.
MORTEZA, HAMID, and A.A. MOOSAVI.
2011. Effect of Different Nitrogen and Potassium Fertilizer Levels on Quality and Quantity Yield of Flue-Cured Tobacco Coker 347.
HE NIANZU
dan SIN JIWEI. 1991. Effect of P-K-fertilizer with a low Cl content on the yield and quality of aromatic and sun-cured tobacco. Fertilizer Research 29: 289-294.
HAWKS, S.N. dan W.K. COLLINS. 1983. Principles of Flue-cured Tobacco Production. North Carolina State University Publication, 358 pp.
HE NIANZU and SUN JIWEI. 1991. Effect of P-K-fertilier with a low Cl content on the yield and quality of aromatic and sun-cured tobacco. Fertilizer Research 29: 289-294.
HØGH-JENSEN H., and J.K. SCHJOERRING.
1997. Effects of drought and inorganic form on nitrogen fixation and carbon isotope discrimination inTrifolium repens. Plant Physiology and Biochemistry 35: 55-62.
KARAIVAZOGLOU, N.A.,
N.C. TSOTSOLIS,
and
C.D. TSADILAS. 2007. Influence of liming and form of nitrogen fertilizer on nutrient uptake, growth, yield, and quality of Virginia (flue -cured) tobacco. Field Crops Research 100: 52-60.
LUGERT I., J., GERENDAS,
H.
BRUECH, and B. SATTELMACHER.
2001. Influence of N form on growth and water status of tomato plants. In: Horst WJ, Schenk MK, Buerkert A, et al., eds. Food security and sustainability of agroecosystems through basic and applied research. Dordrecht: Kluwer, 306-307.
LU, Y.X, LI, C.J. and F.S. ZHANG.
2005. Transpiration, potassium uptake and flow in tobacco as affected by nitrogen forms and nutrient levels
Annals of Botany 95: 991-998, 2005. Annals of Botany 95: 991-998.
MARCHETTI, R., CASTELLI, F. and CONTILLO, R. 2006. Nitrogen requirements for flue-cured tobacco. Agronomy Journal. 98: 666-674.
MERKER, J. 1959. Studies on the effects of fertilization with
phosphates upon development yield and quality of tobacco. International Tabak. Dressden 6(1): 5-45.
RIDEOUT, J.W. and D.T. GOODEN. 2000. Effects of starter fertilizer, granular phosphorus fertilizer, time of fertilization,
and seedling phosphorus concentration on flue-cured tobacco growth and nutrition. Tobacco Science 44:
19-26.
SKOGLEY, E.O.
and
C.B. McCANTS. 1963. Ammonium influences on rubidium absorption and distribution by tobacco seedlings. Soil Science Society of America Proceeding. 27:
549-552.
TSO, T.C. 1990. Production, Physiology and Biochemistry of Tobacco Plant. Ideals, Inc, Maryland, USA.
TSO, T.C., J.E. MCMURTREY, JR. and T. SOROKIN. 1960. Mineral deficiencyand organic constituents in tobacco plants. I. Alkaloids, sugars, and organic acids. Plant Physiology. 35: 860-864.
WALCH-LIU, P., G. NEUMANN,
F. BANGERTH, and C. ENGELS. 2000. Rapid effects of nitrogen form on leaf morphogenesis in tobacco. Journal of experimental Botany. 51 (343): 227-237.
WOLTZ, W.G., W.A. REID, and W.E. COLELL. 1948. Sugar and nicotine content in cured bright tobacco as related to mineral element composition. Proceeding Soil Science Society of America. 13: 385-387.
ZHENGXIONG, Z., L.
CHUNJIAN, Y. YUHONG, and Z. FUSUO.
2010. Why does potassium concentration in flue-cured tobacco leaves decrease after apex excision? Field Crops Research 116 (2010) 86-91 Field Crops Research 116: 86-91.
99
PERTUMBUHAN DAN PRODUKSI BIBIT TEBU G3 KULTUR JARINGAN VARIETAS PS 862 PADA PERLAKUAN JARAK TANAM DAN PUPUK KANDANG
The Production of Tissue Culture Cane Seed G3 PS862 Variety on Plant Spacing and
Cow Manure Application SUMANTO
Pusat Penelitian dan Pengembangan Perkebunan Jalan Tentara Pelajar No. 1 Bogor 16111
e-mail: [email protected]
Diterima: 1-3-2016; Direvisi: 14-3-2016; Disetujui: 4-4-2016
ABSTRAK
Berbagai cara dilakukan untuk meningkatkan penyediaan bibit tebu, di
antaranya
penggunaan
hormon tumbuh, pemupukan, pengaturan jarak tanam, jenis bibit, penggunaan pupuk organik, dan kultur jaringan. Pengaturan jarak tanam untuk mendapatkan pertumbuhan dan produksi yang optimal. Pupuk organik dapat meningkatkan kesuburan dan bahan organik tanah,
dan efisiensi pupuk kimia.
Penelitian dilaksanakan pada tanah Latosol di Kebun Percobaan Sukamulya,
Kabupaten Sukabumi, bertujuan mempelajari pengaruh jarak tanam dan pupuk kandang sapi terhadap pertumbuhan dan produksi bibit tebu
G3 kultur jaringan. Rancangan yang digunakan adalah Rancangan
Acak Kelompok dua faktor, faktor pertama yaitu jarak tanam terdiri atas lima taraf
jarak tanam Faktor kedua yaitu dosis pupuk kandang sapi terdiri atas 4 taraf.
Parameter yang diamati meliputi
jumlah batang, jumlah daun,
bobot segar bibit, diameter batang,
jumlah mata dan jumlah mata aktif per rumpun.
Produksi bibit tebu dipengaruhi oleh jarak tanam. Hasil tertinggi jumlah batang
(4,20 batang/rumpun), jumlah mata (57,60 mata/rumpun)
dan jumlah mata aktif
(39,71 mata/rumpun)
diperoleh pada perlakuan jarak tanam 110 cm x 40 cm. Demikian juga pemberian pupuk kandang berpengaruh nyata terhadap produksi bibit tebu, pemberian sebanyak 9 ton/ha memberikan jumlah mata aktif tertinggi 41,34 mata/rumpun berbeda nyata dibanding perlakuan yang lain.
Jarak tanam dan pupuk kandang berinteraksi nyata terhadap kandungan N dan P daun. Pemberian pupuk
kandang
6 ton/ha pada jarak tanam 120
cm x
40 cm memberikan kandungan N dan P tertinggi pada daun, masing-masing 1,47% dan 0,16%. Kandungan K
tertinggi pada perlakuan jarak tanam 100 cm x 40 cm dengan dosis pupuk kandang 6 ton/ha.
Kata kunci:
bibit tebu, pertumbuhan, produksi, pupuk kandang sapi, jarak tanam
ABTRACT
Methods for
increasing cane seed stock
i.e by using hormones, tissue culture, fertilization, plant
spacing, seed types,
and
organic fertilizer
were used. Plant spacing is one factor to obtain optimal growth and plant production. Organic fertilizer can increase soil
fertility, chemical fertilizer efficiency, and soil organic matter. Research conducted at the Experimental Station Sukamulya, Sukabumi, on Latosol.
The aims of the experiment were to study the influence of plant spacing and manure on production G3
cane seed from tissue culture.
Randomized
complete
block design
were used, consisted of
two factors, first factor
was plant spacing, consisted of five levels. The second factor was manure doses, consistedof four levels. The parameters observed were number of stalks, number of leaves, stalk weight and diameter, number of bud and sprouted bud per clump. Production cane seed are affected by plant spacing. The highest number of stalks (4,2 stalks/clump), number of bud (57,60 buds/clum), and
number of sprouted bud/clump (39,71 buds/clump) obtained by plant spacing of 110 cm x 40 cm. As well as manure application significantly affected production of seed cane, application of 9 tonnes/ha provides the highest number of sprouted bud/clump (41,34 sprouted buds/clump) gave significantly from the other treatments. Plant spacing and
manure provide significantly interaction the content of N and P content in leaves. Application of manure 6 tonnes/ha at plant spacing of 120 cm x 40 cm provides the highest content of N and P in leaves, 1.47% and 0.16% respectively. The highest K content obtained at plant spacing of 100 cm x 40 cm by application of manure 6 tonnes/ha.
Keywords: cane seed, growth, production, plant spacing, cow manure
PENDAHULUAN
Tebu (Saccharum officinarum
L) termasuk famili Poaceae, merupakan tanaman komersial penghasil glukosa atau sukrosa.
Sentra produksi
tebu
adalah Australia, Brazil, Cina, Kuba, India, Indonesia, Filipina, Thailand, Amerika Serikat dan Sudan (GUPTA
et al., 2004). Namun produksi gula dalam negeri masih rendah belum mampu mencukupi untuk konsumsi, sehingga masih impor. Salah satu penyebab rendahnya produksi gula adalah
proses penyiapan bibit dan kualitas bibit tebu
yang dihasilkan (ISLAMI
et al.,2013;
PUTRI
et al.,
2013).
Penyediaan bibit yang selama ini diterapkan adalah melalui beberapa
tahapan yaitu KBP
(Kebun Bibit Pokok), KBN
(Kebun Bibit Nenek), KBI (Kebun Bibit Induk), dan KBD
(Kebun Bibit Datar) masing-masing dengan waktu 6-7 bulan.
Sistem tersebut memiliki waktu pembibitan lebih lama, kesehatan dan kemurnian bibit juga kurang terjamin, membutuhkan lahan yang luas, kebutuhan bahan tanam banyak, dan pertumbuhan bibit kurang serempak (ROYYANI
dan LESTARI, 2009).
Dalam budidaya tanaman tebu, bibit merupakan salah satu investasi yang menentukan produktivitas tebu giling beserta potensi hasil gulanya. Oleh karena itu penggunaan bibit unggul bermutu merupakan faktor produksi yang mutlak harus dipenuhi. Untuk memperoleh bibit yang tumbuh serempak dan kemurniannya terjamin, salah satunya adalah digunakan bibit tebu kultur jaringan,
Jurnal Littri 22(2), Juni 2016. Hlm. 99 - 106 ISSN 0853-8212
JURNAL LITTRI VOL. 22 NO. 2, JUNI 2016: 99 - 106
100
sehingga akan diperoleh tanaman yang mempunyai daya tumbuh, jumlah anakan, produktivitas dan kualitas nira lebih baik dibanding dengan tanaman dari konvensional (JALAJA et al., 2008).
Berbagai cara untuk memacu pertumbuhan dalam penyediaan bibit tebu
di antaranya adalah dengan peng-
gunaan zat pengatur tumbuh,
kultur jaringan, pemupukan,
pengaturan jarak tanam, jenis bibit, penggunaan pupuk organik
dan lainnya.
Pengaturan jarak tanam merupakan
salah satu faktor untuk mendapatkan pertumbuhan dan produksi yang optimal
yaitu
meningkatkan densitas dengan
mempersempit jarak antar barisan (JINTAKANON
et al.,
2002). Perbedaan jarak tanam akan mempengaruhi tingkat persaingan antar tanaman dalam pemanfaatan lahan, sinar
matahari, air,
dan unsur hara sehingga pada akhirnya
akan
mempengaruhi terhadap
pertumbuhan dan
hasil.
Persaingan
antar tanaman dalam hal pemanfaatan
unsur hara dapat
dikurangi
yaitu salah satunya dengan
penggunaan pupuk organik
seperti pupuk kandang.
Pemanfaatan pupuk organik dapat meningkatkan daya dukung tanah,
efisiensi pupuk kimia, dan kandungan bahan organik di dalam tanah (GUNADI
dan LAKSMITA, 2006), dapat mempertahankan kualitas fisika tanah melalui pembentukan pori tanah dan kemantapan agregat tanah melalui fungsi sebagai buffer
(penyangga) dan penahan lengas tanah,
memberikan nutrisi, memperbaiki struktur tanah,
dan menahan kapasitas air
(ABIVEN
et al., 2009), serta dapat memperbaiki sifat kimia dan kesuburan biologi tanah
(SCOTTI
et al.,
2013). Penggunaan pupuk organik
per
tanaman bibit tebu dapat memperbaiki
sifat fisik, kimia, dan biologi tanah
(ISNAINI, 2006). ESSIEN
(2011) menunjukkan bahwa aplikasi pupuk kandang kambing dan pupuk kandang ayam hingga 70 ton/ha meningkatkan laju infiltrasi dan porositas tanah-tanah lempung berpasir.
Pupuk organik bersifat slow release
(terurai secara lambat), unsur hara akan dilepas secara perlahan-lahan dan terus menerus dalam jangka lebih lama, sehingga memperkecil kehilangan unsur hara (WIYANA, 2008).
Penelitian ini bertujuan untuk mempelajari pengaruh jarak tanam dan pupuk kandang terhadap pertumbuhan dan produksi bibit tebu G3
varietas PS862 asal kultur jaringan.
BAHAN DAN METODE
Penelitian dilakukan di Kebun Percobaan (KP) Sukamulya,
Sukabumi,
dengan jenis tanah Latosol pada bulan Mei 2014
sampai Januari 2015.
Bahan tanaman berupa benih G2 varietas PS862 dengan budset yang sebelumnya dideder di KP Cibinong. Percobaan disusun dalam
rancangan acak kelompok
faktorial dua
faktor dengan
tiga ulangan,
dengan luas 6 m x 4 m
per unit percobaan.
Sebagai faktor pertama adalah
jarak tanam
yang
terdiri atas 5 taraf:
J1 (80 cm x 40 cm), J2 (90 cm x 40 cm), J3 (100 cm x 40 cm), J4 (110 cm x 40 cm), dan J5 (120 cm x 40 cm). Faktor kedua adalah dosis pupuk organik(pupuk kandang sapi) yang terdiri atas 4 taraf: K0 (tanpa
pupuk organik), K1 (3 ton/ha), K2 (6 ton/ha), dan K3 (9ton/ha). Perlakuan pupuk organik diaplikasikan pada lubang tanam pada saat tanam, sedangkan pupuk anorganik (400 kg/ha ZA dan 600 kg/ha phonska) diberikan dua kali, masing-masing sebanyak setengah dosis pada umur 1 dan 2 bulan setelah tanam (BST).
Pengamatan dilakukan terhadap jumlah batang,
jumlah daun, bobot batang, diameter batang, jumlah mata dan jumlah mata aktif. Pengamatan tersebut
dilakukan pada
saat tanaman tebu berumur 6 BST
dengan jumlah sampel sebanyak 10 tanaman per unit percobaan. Analisis data dilakukan dengan anova
yang dilanjutkan dengan
uji jarak
berganda Duncan pada taraf 5%.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Karakteristik Tanah
Lokasi Percobaan
Percobaan dilakukan
di Sukabumi dengan sistem irigasi tadah hujan,
pada Kebun Percobaan Balittro di Sukamulya menunjukkan bertekstur liat, pH masam, kandungan bahan
organik tanah (BOT)
nya rendah, dan kandungan N-total sedang, P tersedia rendah dan kejenuhan basa termasuk sedang (Tabel 1).
Tabel 1.
Karakteristik tanah latosol Sukabumi
Table 1. Soil propertie s characteristics of latosol Sukabumi
No.
Sifat-sifat tanah/
(Soil characteristics)
Nilai/Value
1.
Tekstur:
Pasir (%)
18,32
Debu (%)
13,01
Liat (%)
68,672.
pH: H2O
4,81
KCl
4,073.
C-organik (%)
1,71
N-total (%)
0,22
C/N
7,774.
P-potensial (HCl 25%)
P-tersedia (Olsen) (ppm)
-
7,125.
K-Morgan (ppm)
-
6.
Nilai tukar kation:
Ca (Cmol/kg)
2,26
Mg (Cmol/kg)
0,81
K (Cmol/kg)
0,42
Na (Cmol/kg)
0,387.
KTK (Cmol/kg)
17,918.
KB (%)
21,619.
Aldd (ppm)
2,22
Sifat kimia tanah yang cocok untuk tanaman tebu adalah pH (5,5-7,3), C (0,32-1,7), N (0,07-2,5), P2O5
(2,88-24,72 ppm), Kdd (0,41-1,12) cmol/kg. Na (0,77-2,5) cmol/kg, Ca (4,09-8,7) cmol/kg, Mg (0,32-1,96), KTK (16,79-30,58), kejenuhan basa (25-50%) (WIBOWO
et al.,2002). Tanaman tebu termasuk tanaman yang toleran pada kisaran pH 5-8. Jika pH tanah kurang dari 4,5 maka kemasaman tanah menjadi faktor pembatas pertumbuhan tanaman, yang dalam beberapa kasus disebabkan oleh pengaruh toksik unsur alumunium (Al) bebas (UNIVERSITAS
ANDALAS, 2010).
SUMANTO: Pertumbuhan dan Produksi Bibit Tebu G3 Kultur Jaringan Varietas PS 862 pada Perlakuan Jarak Tanam dan Pupuk Kandang
101
Dari hasil analisis tanah tersebut menunjukkan bahwa kadar C, N, P2O5 tersedia, Ca, Mg, KTK sudah memadai untuk pertumbuhan tanaman tebu, namun demikian kandungan Na, pH tanah dan kejenuhan basanya masih kurang mencukupi, dengan penambahan bahan organik pupuk kandang sapi diharapkan dapat meningkatkan ketersediaan
unsur hara Na dan pH yang masih kurang.
Kandungan
Hara Pupuk Organik
Hasil analisis pupuk organik (Tabel 2) memberikan
pH 6,50, karbon total, nitrogen, ketersediaan fosfor adalah 23,50%, 2,21%, 1,41%. Nilai C/N
pupuk organik sebesar
10,63 menunjukkan bahwa
pupuk organik tersebut sudah
matang, bahan-bahan organik yang memiliki C/N ratio
kurang dari 20 akan terjadi
pelepasan
nitrogen
mineral
setelah
aplikasi
pupuk organik. Menurut Permentan no. 70/2011 bahwa persyaratan minimal sebagai pupuk organik
apabila telah memiliki
C/N
rasio
kurang dari
25 (DEPARTEMEN PERTANIAN, 2011),
Konsentrasi
nitrogen
dalam
pupuk organik
antara
1,5
dan
1,7% cukup untuk
meminimalkan
imobilisasi
nitrogen tanah
(ZELEKE
et al, 2013), sedangkan total
nitrogen
dalam pupuk organik adalah
2,21%.
Kebutuhan N untuk tanaman merupakan unsur utama
yang dibutuhkan tebu yang mempengaruhi hasil dan kualitas tebu, terutama pada fase vegetatif yaitu untuk pembentukan tunas, pembentukan daun, pertumbuhan batang, dan pertumbuhan akar. Dengan adanya nitrogen yang cukup, maka proses dekomposisi yang melibatkan mikroba
tanah, tidak akan terjadi persaingan dengan
tanaman tebu.
Kandungan hara Na dalam pupuk organik sebesar 0,52
cmol/kg diharapkan dapat menambah kekurangan Na. Selain itu dengan pH pupuk organik
sebesar 6,5 maka aplikasinya diharapkan dapat mendukung pertumbuhan dan produksi bibit tanaman tebu, menurut WIBOWO
et al. (2001)
pertumbuhan optimal tebu pada pH antara 5,5 –
7,3.
Tabel 2.
Kandungan hara dalam pupuk kandang sapi.
Table 2.
Nutrient content of cow manure
Nomor
Sifat pupuk organik
Properties of cow manure
Nilai
Value
1.
pH (H2O)
6,50
2.
C (%)
23,50
3.
N (%)
2,21
4.
C/N
10,62
5.
P (%)
1,41
6.
S
(%)
0,40
7.
Ca (cmol/kg)
4,46
8.
Mg (cmol/kg)
0,90
9.
K (cmol/kg)
0,23
10.
Na (cmol/kg)
0,52
Secara umum,
dalam setiap satu ton pupuk kandang mengandung 5 kg N, 3 kg P2O5 dan 5 kg K2O serta unsur-unsur hara esensial lain dalam jumlah yang relatif kecil(HARDJOWIGENO, 2003). Dari hasil analisis pupuk kandang sapi yang digunakan diperoleh kandungan N sebesar 22,1
kg; P2O5 sebesar 14,1 kg per ton. Hal ini menunjukkan bahwa kandungan hara pupuk kandang dalam jumlah sedikit, walaupun demikian, pupuk kandang dapat memper-baiki struktur tanah dan sifat-sifat fisik tanah serta men-dorong kehidupan jasad renik. Menurut HARDJOWIGENO
(2003), pupuk kandang dapat memperbaiki sifat tanah seperti permeabilitas tanah, porositas tanah, daya menahan/memegang
air,
dan kapasitas tukar kation.
ISNAINI
(2006)
menyatakan bahwa penggunaan pupuk
organik pada per-tanaman bibit tebu merupakan salah satu upaya untuk meningkatkan mutu dan produksi bibit tebu melalui perbaikan sifat fisik, kimia dan biologi tanah.
Jumlah Batang dan Daun
Tidak terlihat interaksi nyata antara pemberian pupuk kandang sapi dan
berbagai jarak tanam terhadap jumlah batang dan jumlah daun
tebu. Perlakuan pupuk kandang sapi
dosis
3-9
t/ha menunjukkan peningkatan nyata terhadap jumlah batang tebu, makin tinggi dosis pupuk kandang sapi makin tinggi pula jumlah batang maupun jumlah daun. Peningkatan jumlah daun secara nyata pada dosis pupuk organik sebesar 6 dan 9 t/ha. Namun pengaruh antar dosis aplikasi pemberian pupuk kandang sapai (3-9 t/ha) tidak berbeda nyata
terhadap jumlah batang. Demikian juga pengaruhnya terhadap jumlah daun, maka makin tinggi dosis pupuk organik juga makin tinggi pula jumlah daun. Jumlah daun
pada
dosis 3 t/ha tidak berbeda nyata dengan control, peningkatan jumlah daun secara nyata pada dosis pupuk organik sebesar 6 dan 9 t/ha (Tabel 3). Pemberian pupuk organik akan memperbaiki kesuburan tanah, hara menjadi mudah tersedia sehingga mudah dimanfaatkan oleh tanaman untuk pertumbuhannya. Semakin banyak unsur hara yang dapat diserap oleh tanaman tebu maka proses fotosintesis akan lebih aktif sehingga akan mempercepat pertumbuhan,
maka jumlah batang dan jumlah daun tebuakan lebih banyak.
SHUKLA
et al.
(2008), melaporkan pemberian bahan organik pada tanaman tebu mampu meningkatkan hasil batang dan gula tebu sebesar 70,2 t/ha dan 7,93 t/ha dibandingkan kontrol (62,3 t/ha dan 7,06 t/ha). SETYORINI
et al.
(2006) menyatakan bahwa aktifitas berbagai mikro-organisme di dalam kotoran ternak (pupuk kandang) menghasilkan zat pengatur tumbuh (auksin, giberellin, dan sitokinin) yang memacu pertumbuhan batang, cabang, dan perkembangan akar-akar rambut sehingga daerah bidang serapan lebih luas.
Penerapan pupuk organik dikombinasi-kan dengan pupuk kimia
meningkatkan penyerapan N, P dan K pada daun tebu dan ratoon tanaman, dibandingkan dengan pupuk kimia saja (BOKHTIAR
dan SAKURAI, 2005), berpengaruh positif terhadap meningkatkan C dan kesu-buran tanah (SRIVASTA
et al., 2009).
Jumlah batang dan daun tebu pada perlakuan jarak tanam yang lebih lebar (90 cm x 40 cm hingga 120 cm x 40 cm) memberikan jumlah batang dan daun lebih besar. Hal ini disebabkan oleh terjadinya persaingan pada jarak tanam lebih lebar semakin rendah sehingga fotosintesa semakin optimal dibandingkan pada jarak tanam rapat (80 cm x 40
JURNAL LITTRI VOL. 22 NO. 2, JUNI 2016: 99 - 106
102
cm) fotosintesa tidak optimal. Hal ini sejalan dengan pernyataan VERMA (2004), bahwa tanaman dengan kepadat-an tinggi akan mengurangi jumlah anakan yang diproduksi per setiap tanaman karena saling menaungi dan persaingan untuk cahaya, nutrisi, dan air. Di sisi lain, terjadi kehilang-an hasil karena penggunaan ruang tanah yang tidak efisien (AZHAR
et al., 2007).
Tabel 3.
Jumlah batang per rumpun dan jumlah daun per batang
pada berbagai dosis pupuk kandang sapi
dan jarak tanam Table 3.
The number of stalks and leaves per clump on various doses cow manure and plant spacing
Perlakuan
Treatment
Jumlah batang/rumpun
number of stalks/clump
Jumlah daun/batang
number of leaves/stalk
Jarak tanam
J1 (80 cm x 40 cm)
3,13 a
8,41 a
J2 (90 cm x 40 cm)
3,98 b
9,12 b
J3 (100 cm x 40 cm)
4,10 b
9,28 bc
J4 (110 cm x 40 cm)
4,20 b
9,39 bc
J5 (120 cm x 40 cm)
4,00 b
9,85 c
Pupuk Organik
K0 (tanpa PO)
2,82 a
8,70 a
K1 (3 t/ha)
3,85 b
9,17 ab
K2 (6 t/ha)
4,00 b
9,56 b
K3 (9 t/ha)
4,33 b
9,50 b
KK CV (%)
17,72
4,9
Keterangan:
Angka-angka di dalam kolom yang sama dan ditunjukkan oleh huruf yang sama menunjukkan tidak ada perbedayaan nyata 5% DMRT
Note:
The numbers in rows and columns were represented by the same letters showed no significant different of 5% DMRT
Bobot dan Diameter Batang
Kombinasi perlakuan pupuk kandang sapi dan jarak
tanam tidak memberikan interaksi nyata terhadap bobot dan diameter batang tebu (Tabel 4). Pupuk kandang
memberi-kan pengaruh nyata terhadap bobot batang per rumpun, namun tidak memberikan
pengaruh nyata terhadap diameter batang. Sebaliknya jarak tanam tidak berpengaruh nyata pada bobot batang per rumpun, namun berpengaruh nyata terhadap diameter batang. Dosis pupuk organik yang memberikan bobot batang tertinggi adalah 9
t/ha, yaitu 5,797 kg/rumpun
dan tidak berbeda nyata dengan dosis pupuk kandang sebesar 6
t/ha.
Diameter
batang tertinggi diperoleh pada jarak tanam 120
cm x 40 cm
sebesar 23,31 mm
(Tabel 4). Hasil penelitian GANA
(2009), aplikasi pupuk kandang sapi 10 ton/ha dengan pemupukan sebesar 120 kg N/ha, 26 kg P/ha,
37 kg K/ha pada tanah berpasir lahan kering mampu meningkatkan hasil tebu dari sekitar 60 ton/ha menjadi 70,63 - 76.23 ton/ha. Hal ini menunjuk-kan bahwa pupuk organik sangat penting untuk meningkat-kan hasil tebu.
Tabel 4. Bobot dan diameter batang (mm) pada berbagai jarak tanam dan dosis pupuk kandang sapi
Table 4. The weight and diameter of stalk on various plant spacing and doses cow manure
Perlakuan
Bobot
segar
batang (kg/rumpun)
Fresh stalk weight (kg/clump)
Diameter batang(mm)
Stalk diameter(mm)
Jarak tanam J1 (80 cm x 40 cm)
4,715 a
18,88 a
J2 (90 cm x 40 cm)
5,317 a
21,02 abJ3 (100 cm x 40 cm)
4,950 a
21, 03 ab
J4 (110 cm x 40 cm)
5,460 a
22,62 bc
J5 (120 cm x 40 cm)
5,090 a
23,31 c
Pupuk Organik
K0 (tanpa PO)
4,040 a
20,59 a
K1 (3 t/ha)
5,135 a
22,48 a
K2 (6 t/ha)
5,642 ab
21,56 a
K3 (9 t/ha)
5.797 b
21,16 a
KK CV (%)
22,13
8,02
Keterangan:
Angka-angka di dalam kolom yang sama dan ditunjukkan oleh huuf yang sama menunjukkan tidak ada perbedayaan nyata 5% DMRT
Description:
The numbers in rows and columns were represented by the same letters showed no significant different of 5% DMRT
Jumlah Mata dan Jumlah Mata Aktif per Rumpun
Produksi benih tebu diukur oleh banyaknya jumlah mata dan jumlah mata aktif yang dihasilkan, perlakuan pupuk organik dan jarak tanam tidak menunjukkan interaksi nyata. Pemberian pupuk organik 9
t/ha memberikan jumlah mata dan jumlah mata aktif terbanyak. Jumlah mata terbanyak adalah 60,25 mata/rumpun, sedangkan jumlah mata aktif terbanyak adalah
41,34 mata/rumpun
(Tabel 5).Jumlah mata aktif dengan pemberian pupuk yang lebih banyak akan meningkat, pada perlakuan tanpa pupukkandang jumlah mata tunas aktif sebesar 20,01
mata/rumpun,
perlakuan pupuk kandang 3
t/ha), 6
t/ha
dan 9 t/hamemberikan
jumlah mata tunas aktif masing-masing sebesar
34,74; 37,53; dan 41,34 mata/rumpun.
Hal ini sesuai dengan pendapat ISNAINI
(2006),
bahwa penggunaan pupuk organik/kompos pada pertanaman bibit tebu merupakan salah satu upaya untuk meningkatkan mutu dan produksi bibit tebu melalui perbaikan sifat fisik, kimia dan biologi tanah. Akar tanaman dapat tumbuh dengan baik,kebutuhan unsur hara terpenuhi sehingga tanaman dapat tumbuh dengan baik dan mempercepat pertumbuhan dan perkembangannya (SUWANDI
dan ROSLIANI, 2004).
Jarak tanam 110 cm x 40 cm
memberikan jumlah mata dan jumlah mata aktif tertinggi, jumlah mata tertinggi sebesar 57,60
mata/rumpun
berbeda nyata dengan perlakuan 100 cm x 40 cm. Sedang jumlah mata aktif tertinggi sebesar 39,71 mata/rumpun dijumpai pada jarak tanam 110 cm x 40 cm berbeda nyata dengan perlakuan jarak tanam 80 cm x 40 cm
dan
100 cm x 40 cm masing-masing 28,73
dan
26,36 mata
aktif per rumpun
(Tabel 5). Hal ini sejalan dengan perlakuan dengan jarak tanam yang sama memberikan jumlah batang per rumpun terbanyak. Semakin lebar jarak tanam maka makin banyak sinar matahari yang diterima oleh bibit tebu sehingga fotosintat
SUMANTO: Pertumbuhan dan Produksi Bibit Tebu G3 Kultur Jaringan Varietas PS 862 pada Perlakuan Jarak Tanam dan Pupuk Kandang
103
yang dihasilkan akan lebih tinggi dan menyebabkan terbentuknya jumlah mata dan mata aktif lebih tinggi. Selain itu fenomena dimana kualitas dan intensitas sinar matahari membatasi, penurunan hasil timbul karena pengalihan fotosintat dari batang utama (NAYAMUTH dan
KOONKAH S. 2003). Di
samping itu secara alami tebu
memiliki kapasitas untuk mengimbangi kepadatan populasi tanaman dan menjaga potensi produksi dengan jarak tanam yang berbeda
(AYELE
et al.,
2014).
Tabel 5.
Jumlah mata dan jumlah mata aktif per rumpun rumpun
Table 5. The number of bud and sprouted buds per clump
Perlakuan/Treatments
Jumlah mata/
rumpun
Number of budset/clump
Jumlah mata aktif/
rumpun
Number of sprouted budset/clump
Jarak tanam
J1 (80 cm x 40 cm)
45,80 ab
28,73 a
J2 (90 cm x 40 cm)
54,85 b
36,36 bc
J3 (100 cm x 40 cm)
35,90 a
26,68 a
J4 (110 cm x 40 cm)
57,60 b
39,71 c
J5 (120 cm x 40 cm)
48,15 b
30,73 ab
Pupuk Organik
K0 (tanpa PO)
30,30 a
20,01 a
K1 (3 t/ha)
52,20 b
34,74 b
K2 (6 t/ha)
56,27 b
37,53 b
K3 (9 t/ha)
60,25 b
41,34 c
KK CV
(%)
21,12
19,60
Keterangan:
Angka-angka di dalam kolom yang sama dan ditunjukkan oleh huruf yang sama menunjukkan tidak ada perbedayaan nyata 5% DMRT
Note:
The numbers in rows and columns were repres ented by the same letters showed no significant different of 5% DMRT
Kandungan hara dalam daun tanaman tebu Nitrogen (N)
Kebutuhan N untuk tanaman merupakan unsur utama yang dibutuhkan tebu karena mempengaruhi hasil dan kualitas tebu, terutama pada fase vegetative. N digunakan untuk pembentukan tunas, pembentukan daun, pertum-buhan batang, dan pertumbuhan akar.
Pemberian pupuk
kandang pada jarak tanam 90 cm x 40 cm tertinggi diperoleh pada pemberian pupuk kandang 9 ton/ha. Sedang pada jarak tanam 110 cm x 40 cm dan 120 cm
x 40 cm
tertinggi diperoleh dengan dosis pupuk 6 ton/ha masing-masing sebesar 1,46 dan 1,47%
(Tabel 6).
Menurut ZELEKE
et al.
(2013) konsentrasi
nitrogen
dalam
pupuk organikantara
1,5
dan
1,7% cukup untuk
meminimalkan
imobilisasi
nitrogen tanah, sedangkan total
nitrogen
dalam pupuk organik adalah
2,21%, sehingga mengurangi defisiensi N.Meskipun pupuk organik tidak mengandung unsur hara dalam jumlah yang besar namun penambahan bahan organik ke
dalam tanah dapat
berpengaruh positif terhadap defisiensi nitrogen pada tanaman.
Dengan berkurangnya defisiensi nitrogen, maka serapan nitrogen akan lebih efektif,
sehingga kebutuhan nitrogen
pada fase vegetatifakan tercukupi dan hasil tanaman akan meningkat (BARBARICK, 2006).
Tabel 6.
Kandungan hara N, P, dan K pada daun tebu
Table
6.
Nutrient content of N, P dan K in cane leaves
Jarak tanam (cm
x
cm)
Plant spacings (cm x cm)
Dosis pupuk kandang sapi (t/ha)
Cow manure doses (t/ha)
N (%)
N
(%)
P (%)
P (%)
K (%)
K (%)
J1 (80 x 40)
K0 (0 t/ha)
1,34 b
0,15 b
1,73 b
K1 (3 t/ha)
1,35 b
0,16 b
2,18 cd
K2 (6 t/ha)
1,25 a
0,15 b
2,14 c
K3 (9 t/ha)
1,29 ab
0,15 b
1,97 c
J2 (90 x 40)
K0 (0 t/ha)
1,40 c
0,15 b
1,78 b
K1 (3 t/ha)
1,29 ab
0,15 b
1,99 c
K2 (6 t/ha)
1,39 bc
0,13 a
1,69 a
K3 (9
t/ha)
1,47 c
0,13 a
1,59 a
J3 (100 x 40)
K0 (0 t/ha)
1,33 b
0,15 b
1,78 b
K1 (3 t/ha)
1,34 b
0,14 ab
1,62 a
K2 (6 t/ha)
1,26 a
0,15 b
2,22 d
K3 (9 t/ha)
1,26 a
0,15 b
1,78 b
J4 (110 x 40)
K0 (0 t/ha)
1,33 b
0,13 a
1,63 a
K1 (3 t/ha)
1,22 a
0,15
b
1,92 bc
K2 (6 t/ha)
1,46 c
0,16 b
1,66 a
K3 (9 t/ha)
1,33 b
0,13 a
1,48 a
J5 (120 x 40)
K0 (0 t/ha)
1,23 a
0,14 ab
1,96 c
K1 (3 t/ha)
1,40 bc
0,14 ab
1,71 ab
K2 (6 t/ha)
1,47 c
0,16 b
1,66 aK3 (9 t/ha)
1,38 b
0,14 ab
1,44 a
KK CV (%)
Keterangan: Angka-angka di dalam kolom yang sama dan ditunjukkan oleh huruf yang sama menunjukkan tidak ada perbedayaan nyata 5% DMRTNote: The numbers in rows and columns were represented by the same letters showed no significant diff erent of 5% DMRT
JURNAL LITTRI VOL. 22 NO. 2, JUNI 2016: 99 - 106
104
Fosfor (P)
Perlakuan pemberian pupuk organik dan jarak tanam memberikan efek interaksi nyata terhadap kandungan P dalam daun. Kandungan P pada jarak tanam 110 cm x 40 cm dan 120 cm x 40 cm tertinggi diperoleh dengan dosis pupuk 6 ton/ha masing-masing sebesar 0,16%
(Tabel 6).
Pupuk organik meningkatkan C organik, kapasitas tukar kation (KTK), serta kelarutan fosfor meningkat (ZACCARDELI, 2013;
SCOTTI
et al., 2015)
sehingga akan
meningkatkan kandungan fosfor tanaman.
Asam humat meningkatkan bioavailabilitas pupuk P di tanah asam (HUA
et al., 2008).
Namun demikian pemberian pupuk kandang sapi hingga 6 t/ha pada berbagai jarak tanam tidak memberikan pengaruh nyata dibandingkan tanpa pemberian pupuk kandang sapi. Hal ini dikarenakan kandungan P tersedia dalam tanah sudah mencukupi untuk tanaman tebu, menurut WIBOWO
et al.
(2003), sifat kimia P2O5
(2,88-24,72
ppm)
sudah mencukupi untuk tanaman tebu, sedangkan kandungan P2O5
pada tanah latosol Sukabumi sebesar 7,12 ppm (Tabel 1).
Pada pengaturan jarak tanam yang
lebih lebar, maka jumlah pupuk organik yang diberikan pada barisan tanaman tebu akan lebih banyak dibandingkan pada tanaman tebu dengan jarak tanam yang lebih sempit, jumlah hara yang dapat tersedia bagi tanaman tebu yang berasal dari bahan organik lebih tinggi pada jarak tanam yang lebih lebar, karena populasi tanaman lebih rendah. Pada per-lakuan
jarak tanam 90 cm x 40 cm, peningkatan pemberian pupuk kandang sapi (6
–
9
t/ha), kandungan hara P dalam daun menurun. Meskipun kandungan P dalam daun tidak meningkat pada pemberian bahan organik, namun dari hasil pengamatan jumlah batang, jumlah daun
meningkat.
Peningkatan pertumbuhan vegetatif tanaman juga tidak lepas dari peranan unsur fosfor, menurut HARDJOWIGENO
(2003), fosfor berfungsi untuk meningkatkan panjang akar, kehalusan dan kerapatannya.
Kalium (K)
Aplikasi pupuk kandang dengan berbagai jarak tanam
memberikan interaksi nyata terhadap kandungan K pada daun tebu.
Pada jarak tanam 80 cm x 40 cm
dan 90 cm x 40 cm, aplikasi pupuk kandang yang memberikan kandungan hara K daun tebu tertinggi adalah 3
t/ha, masing-masing yaitu 2,18% dan 1,99%.
Pada jarak tanam 100 cm x 40 cm
kandungan hara K pada daun tertinggi dengan pemberian pupuk kandang sapi sebesar
6 t/ha, sedangkan pada jarak tanam 120 cm x 40 cm
K tertinggi pada pemberian pupuk kandang 9 t/ha
(Tabel 6).
Menurut HANAFIAH
(2005) fungsi kalium berkaitan dalam metabolisme karbohidrat, pengaturan membuka dan menutupnya stomata dan pengaturan penggunaan air, hal tersebut tampak pada hasil jumlah batang dan jumlah daun, bobot batang, diameter batang, jumlah mata aktif yang lebih tinggi pada pemberian pupuk kandang sapi. Peranan kalium tersebut dapat lebih meningkatkan proses foto-sintesis sehingga terjadi peningkatan produksi.
KESIMPULAN
Produksi bibit tebu dipengaruhi oleh jarak tanam. Jumlah batang, jumlah mata dan jumlah mata aktif tertinggi diperoleh pada perlakuan jarak tanam 110 cm x 40 cm masing-masing sebesar 4,20 batang/rumpun 57,60 mata/rumpun dan
39,71 mata/rumpun. Demikian juga pemberian
pupuk kandang
berpengaruh
nyata terhadap produksi bibittebu.
Pemupukan dengan dosis 9 ton/ha memberikan
jumlah mata aktif tertinggi 41,34 mata/rumpun
berbeda nyata dibanding perlakuan yang lain. Pemupukan dengan dosis 9 ton/ha memberikan jumlah batang dan bobot batangtertinggi masing-masing 4,33 batang/rumpun dan 5,797 kg/rumpun berbeda nyata dibanding
tanpa pemupukan.
Jarak tanam dan pupuk kandang
berinteraksi nyata terhadap kandungan N dan P daun. Pemupukan sebanyak 6 ton/ha pada jarak tanam 120x40 cm memberikan kandungan unsurN dan P tertinggi pada daun,
masing-masing 1,47% dan 0,16%. Sedangkan kandungan unsure kalium tertinggi pada perlakuan jarak tanam 100 cm dengan pupuk 6 ton/ha.
UCAPAN TERIMA KASIH
Ucapan terima kasih disampaikan kepada Unang Mansyur Kepala Kebun
Percobaan Sukamulya beserta teknisi, atas bantuan dan sarannya sehingga penelitian dan penulisan ini
dapat terlaksana.
DAFTAR PUSTAKA
ABIVEN S., S. MENASSERO, C.
CHENU. 2009. The effect of organic inputs over time on soil aggregate stability: a literature analysis. Soil Biol. Biochem. 41, 1-12.
AGBENIN J.O., S.O. IGBOKWE.
2006. Effect of soil–dung manure incubation on the solubility and retention of applied phosphate by a weathered tropical semi-arid soil. Geoderma. 133, 191-203.
AYELE N., G. ABIY, N.
TADESSE . 2014. Influence of Intra-row Row Setts Spacing on Yield and Yield Compo nents of Some Sugarcane Varieties at Finchaa Sugar Estate. ARPN Journal of Science and Technology. VOL. 4, NO. 1, January 2014.
AZHAR M., M. ISHFAQ, J.
IQBAL, and
NM.
SHAFI.
2007. Agronomic Performance and Juice Quality of Autumn Planted Sugarcane (Saccharum officinarum
L.) as affected by flat, ditch and pit planting under different spatial arrangements. Int. J. Agri. Biol., 9(1): 167-169.
BARBARICK, K.A. 2006. Organic Materials As NitrogenFertilizers. Colorado State University. Colorado.
BOKHTIAR, S.M. and K. SAKURAI. 2005. Integrated use of organic
manure and chemical fertilizer on growth, yield and quality of sugarcane in high Ganges river flood plain soils of Bangladesh. Commun. Soil Sci. Plant Anal., 36: 1823-1837.
SUMANTO: Pertumbuhan dan Produksi Bibit Tebu G3 Kultur Jaringan Varietas PS 862 pada Perlakuan Jarak Tanam dan Pupuk Kandang
105
DEPARTEMEN PERTANIAN . 2011. Peraturan Menteri Pertanian No. 70/Permentan/SR.140/10/2011. Tentang Pupuk Organik, Pupuk Hayati dan Pembenah Tanah.
ESSIEN,
O.E. 2011. Effect of varying rates of organic amendments on porosity and infiltration rate of sandy loam soil. The
Journal of Agriculture and
Environment Vol 12, Jun. 2011.
GANA, A.K. 2009. Evaluation of the Residual Effect of Cattle Manure Combinations with Inorganic Fertilizer and Chemical Weed Control on the Sustainability of Chewing Sugarcane Production at Badeggi Southern Guinea Savanna of Nigeria. Middle-East Journal of Scientific Research 4 (4): 282-287, 2009.
GICHANGI E.M, P.N.S. MNKENI.
2009. Effects of goat manure and lime addition on phosphate sorption by two soils from the Transkei Region, South Africa. Commun. Soil Sci. Plan. Anal. 40(21-22): 3335-3347.
GUNADI D.H. dan
P.S. LAKSMITA.
2006. Aplikasi Bioaktivator Super
Dec dalam Pengelolaan Limbah Padat Organik
Tebu. Bul. Agron 34(3):
173-180.
GUPTA
R., R.
KUMAR, and S.K. TRIPATHI.
2004. Study on agro-climatic condition and productivity pattern of sugarcane in India. Sugar Tech., 6(3):
141-149.
HANAFIAH, K.A. 2005. Dasar-Dasar Ilmu Tanah. Jakarta:
PT. Raja Grafindo Persada.
HARDJOWIGENO
S. 2003. Ilmu Tanah. Akademika Pressindo. Jakarta. 286 hal.
HUA Q, J. LI, J. ZHOU.
2008. Enhancement of phosphorus solubility by humic substances in Ferrosols. Pedosphere. 18(4):
533-538.
ISNAINI, M. 2006. Pertanian Organik Untuk Keuntungan
Ekonomi dan Kelestarian Bumi. Kreasi Wacana. Jakarta.
JALAJA, N.C.
D., NEELMATHI, and
T.V. SREENIVASAN, 2008. Micropropogation for quality seed production
in sugarcane in Asia and the Pacific Food and Agriculture
Organization (FAO) and Asia Pacific. Consortium on Agricultural Bioteknology (APCoAB) Asia Pacific Association of Agricultural Research Institution (APAARI) p. 46.
JINTAKANON, S., P. JINTAKANON,
and
S. KINHOUN.
2002. Increasing yield and quality of sugarcane by
adjusting row spacing and fertilizer rates on season planting. Tahi Jurnal of Cane and Sugar, (91, 1):
16-30.
KARAMI, A., M.
HOMAEE, S.
AFZALINIA, H.
RUHIPOUR, S. BASIRAT. 2012. Organic resource management: impacts on soil aggregate stability and other soil physico-chemical properties. Agric. Ecosyst. Environ. 148, 22-8.
NAYAMUTH, ARH. and
S. KOONKAH.
2003. Harvesting more solaradiation for higher
cane productivity, In Agronomy workshop: Opportunities in sugarcane agronomy to confront the new realities emerging in the 21 st century, 21-25 July 2013, MISRI. Mauritius: Program and Abstracts Reduit. ISSCT and MauritiusSugar Industry Research Institute, P. 18.
OMOTO G., E.O. AUMA and R.M. MUASYA. 2013. Effect of row spacing on seed cane yield and yield components in Western Kenya. Proc S Afr Teknol Ass (2013). 86. 149-155.
PUTRI A.D, SUDIARSO and T. ISLAMI. 2013. Pengaruh Komposisi Media Tanam pada Teknik Bud
chip Tiga
Varietas Tebu (Saccharum officinarumL.).
Universitas Brawijaya.
Jurnal Produksi Tanaman. 1(1):
16-23.
ROYYANI M.F.
dan V.B. LESTARI.
2009. Peran Indonesia dalam Penciptaan Peradaban Dunia:
Perspektif Botani.
Herbarium Bogoriense, Puslit biologi, LIPI. SCOTTI R., P. CONTE, A.E.
BERNS, G. ALONZO, M.A. RAO. 2013.
Effect of organic amendments on the evolution of soil organic matter in soils stressed by intensive agricultural practices. Curr. Org. Chem. 17, 2998-3005.
SCOTTI
R., D. ASCOLI, G. BONANOMI, M.G., CACERES, S. SULTANA, L. COZZOLINO, R. SCELZA, A. ZOINA, M.A.
RAO. 2015.
Combined use of compost and wood scraps to increase carbon stock and improve soil quality in intensive farming systems. Eur. J. Soil Sci. doi: 10.1111/ejss.12248.
SETYORINI D., R. SARASWATI ,
E.K.
ANWAR. 2006. Pupuk Organik dan Pupuk Hayati: Kompas. Balit-tanah.litbang.
Deptan.
SRIVASTA T.K., M. LAL, K.P. SINGH, A. SUMAN,
and P. KUMAR. 2009. Enhancing sol health and sugarcane productivity in a plant-ratoon system through organic nutrition modules in subtropics. Indian J. Agricultural
Sciences,79(5): 346-350.
SUWANDI
dan R. ROSLIANI.
2004. Pengaruh Gliokompos, Pupuk Nitrogen, Dan Kalium Pada Cabai Yang Ditanam Tumpanggilir Dengan Bawang Merah. Balai Penelitian Tanaman Sayuran, Lembang.
SHUKLA
S.K., R.L. YADAV, A. SUMAN,
and P.N. SINGH. 2008. Improving rhizospheric environment and sugarcane ratoon yield through bioagents amended farm yard manure in udic ustochrept soil. Soil & Tillage Research 99: 158-168.
UNIVERSITAS ANDALAS. 2010. Pengaruh Pemberian Beberapa Jenis Pupuk Kompos Hasil Dekomposisi Trichoderma harzianum
Terhadap Pertumbuhan Tanaman Kakao). tp://repository.unand.ac.id/6108/25 November
2010. Akses pada tanggal 11 Maret 2013.WIBOWO
B, SUMARNO, dan SUDARTO. 2003. Studi karakteristik tanah dalam evaluasi kesesuaian lahan tebu di areal perkebunan tebu (Saccharum officinarum) Gondanglegi Kabupeten Malang. Agrivita. Publikasi Jurnal. Fakultas
Pertanian Unibra. Vol 23 No.2 Juni 2002
-
September 2002.
WIYANA.
2008. Studi Pengaruh Penambahan Lindi dalam Pembuatan Pupuk Organik Granuler terhadap Ketercucian N, P,dan K. MST UGM. Yogyakarta .
VERMA, RS. 2004. Sugarcane Projection Technology in India . International Book Distributing Co. Lucknow. India.
JURNAL LITTRI VOL. 22 NO. 2, JUNI 2016: 99 - 106
106
ZACCARDELLI M., D. VILLECCO, G. CELANO, and R. SCOTTI. 2013. Soil amendment with seed meals: Short term effects on soil respiration and biochemical properties. Appl. Soil Ecol. 72, 225-231.
ZELEKE T., A. GIRMA, F. ABIY. 2013. Evaluation of composting materials at Metahara Sugar Estate: Advisory note. In: Zeleke Teshome, Abiy Getaneh, Yohannes Zekarias and Fikru W/Mariam (eds). Research and Training Miscellanea. Wonji, Ethiopia.