badan penelitian dan pengembangan pertanian indonesian

62
Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian Indonesian Agency for Agricultural Research and Development PUSAT PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN PERKEBUNAN Indonesian Center for Estate Crops Research and Development BOGOR - INDONESIA Jurnal Littri Vol. 22 No. 2 Hal. 53 - 106 Volume 22 No. 2, Juni 2016 Terakreditasi : Nomor 458/AU2/P2MI-LIPI/08/2012, Tanggal 7 Agustus 2012 ISSN 0853-8212 Bogor, Juni 2016 ISSN 0853-8212

Upload: others

Post on 03-Nov-2021

6 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian Indonesian

Badan Penelitian dan Pengembangan PertanianIndonesian Agency for Agricultural Research and Development

PUSAT PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN PERKEBUNAN

Indonesian Center for Estate Crops Research and DevelopmentBOGOR - INDONESIA

Jurnal Littri Vol. 22 No. 2 Hal. 53 - 106

Volume 22 No. 2, Juni 2016

Terakreditasi : Nomor 458/AU2/P2MI-LIPI/08/2012, Tanggal 7 Agustus 2012

ISSN 0853-8212

Bogor,Juni 2016 ISSN 0853-8212

Page 2: Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian Indonesian

Volume 22 No. 2, Juni 2016

ISSN 0853-8212

JURNAL PENELITIAN TANAMAN INDUSTRI, merupakan publikasi ilmiah primer yang memuat hasil

penelitian komoditas perkebunan yang belum dimuat pada media apapun, diterbitkan empat kali setahun oleh

Pusat Penelitian dan Pengembangan Perkebunan.

PELINDUNG : Kepala Pusat Penelitian dan Pengembangan Perkebunan

PENANGGUNG JAWAB : Kepala Bidang Kerja Sama dan Pendayagunaan Hasil Penelitian

PENYUNTING AHLI

Ketua merangkap Anggota : Prof. Dr. Elna Karmawati (Entomologi)

Anggota : Prof. Dr. Supriadi (Penyakit)

Prof. Dr. Nur Richana (Pascapanen)

Ir. Edi Wardiana, MS (Agronomi)

Dr. Ir. I Ketut Ardana (Sosial Ekonomi)

Dr. Ir. Nurliani Bermawie (Pemuliaan)

PENYUNTING PELAKSANA : Dr. Ir. Iwa Mara Trisawa

Ir. Elfrida Nadeak

Rohimatun, SP. MP

Evawati, B.Sc.

Bursatrianyo, S.Kom.

Alamat Penerbit :

Pusat Penelitian dan Pengembangan Perkebunan

Jalan Tentara Pelajar No. 1 Bogor 16111

Telp. 0251-8336194, 8313083, Faks 0251-8336194

E-mail : [email protected]

Untuk keperluan tukar menukar dan sebagainya, agar menghubungi alamat penerbit.

Biaya DIPA 2016 Pusat Penelitian dan Pengembangan Perkebunan.

Page 3: Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian Indonesian

Volume 22 No. 2, Juni 2016

ISSN 0853-8212

i

TerakreditasiNomor : 458/AU2/P2MI-LIPI/08/2012Tanggal: 7 Agustus 2012

KATA PENGANTAR

Dengan Rahmat Allah Yang Maha Kuasa, Jurnal Littri Volume 22 Nomor 2 tahun 2016 telah selesai dicetak. Sperti Jurnal Littri No. 1 tahun 2016, Jurnal ini memuat komoditas perkebunan, tapi 3 artikel merupakan tanaman tahunan dan 3 artikel merupakan tanaman semusim. Artikel pertama menyajikan tingkat kesuburan lahan dan faktor-faktor pembatas untuk pengembangan tebu di Kabupaten Rembang, Jawa Tengah. Ternyata kesuburan tanah di Kabupaten Rembang dapat dikategorikan menjadi kelas kesuburan tanah rendah dan sedang. Faktor pembatasnya adalah kandungan nitrogen, KTK, pH, P O tersedia, karbon organik dan K tersedia.2 5

Artikel kedua menyajikan korelasi antra sifat fisika-kimia tanah di Sulawesi Tenggara dan intensitas penyakit Busuk Pangkal Batang Lada. Kapasitas Tukar Kation (KTK), Kejenuhan Basa (KB), K&P tersedia serta lengas tanah berkorelasi negatif dengan intensitas serangan, sedangkan tingginya kandungan fraksi liat dan pasir, porositas, N total, C organik dan salinitas.

Artikel ketiga mempelajari pengaruh iradiasi sinar gamma terhadap pertumbuhan tanaman lada varietas Ciinten. Semakin tinggi dosis iradiasi yang diberikan semakin terhambat pertumbuhan daun dan ruas. LD 50 pada fase benih yaitu 68,15 Gy, sedang fase benih dengan radikula yaitu 30 Gy.

Artikel keempat menyajikan sifat fisik dan kimia produk bioindustri dari cangkang jambu mete. Proses pertama cangkang menghasilkan biofat. Residu cangkang hasil biofat diarangkan untuk menghasilkan Biochar dan Biosmoke. Biofat mengandung lamak kasar dan total fenol tinggi (94,43 g/100 g dan 46 g/100 g), sedang Biosmoke mengandung 7,2 mg/100 g dengan pH3.

Penelitian pada artikel kelima bertujuan untuk mengetahui pengaruh pupuk majemuk NPK Mg terhadap pertumbuhan dan produksi tembakau virginia di Lombok. Hasil penelitian menunjukkan bahwa peningkatan dosis pupuk sampai 100 kg N/ha meningkatkan produksi, mutu dan indeks tanaman tembakau Virginia yang diuji.

Pada artikel terakhir disajikan pertumbuhan dan produksi bibit tebu G3 hasil kultur jaringan pada perlakuan jarak tanam dan pupuk kandang. Jarak tanam dan pupuk kandang berinteraksi terhadap kandungan N dan P daun. Pemberian pupuk kandang 6 ton/ha pada jarak tanam 120 cm x 40 cm memberikan kandungan N dan P tertinggi.

Demikian informasi yang dapat kami sampaikan, semoga bermanfaat bagi yang membacanya.

Terima kasih

Ketua Dewan Penyunting Ahli,

Prof. Dr. Elna Karmawati

Page 4: Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian Indonesian

ii

UCAPAN TERIMA KASIH

Ucapan terima kasih dan penghargaan diberikan kepada para pakar yang telah bersedia menjadi penelaah Jurnal Penelitian Tanaman Industri. Berikut ini adalah nama pakar yang telah berpartisipasi :

Nama Instansi Disiplin Ilmu

Mitra Bes

Mitra Bestari Tidak Tetap :

tari Tetap :

Prof. Dr. H.M.H. Bintoro, M.Agr

Dr. Dyah Manohara

Prof. Dr. Ika Mariska

Prof. Dr. Didi Ardi

Dr. Susilowati Herman, M.Sc

Dr. Ir. Teguh Santoso, DEA

Dr. Ir. Sabran

Institut Pertanian Bogor,

Balai Penelitian Tanaman Rempah & ObatJalan Tentara Pelajar No. 3Cimanggu, Bogor 16111

Departemen Agronomi dan HortikulturaJalan Meranti No. 1, Bogor 16680

Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Bioteknologi dan Sumberdaya Genetik PertanianJalan Tentara Pelajar No. 3A, Bogor 16111

Balai Besar Penelitian danPengembangan Sumberdaya LahanPertanianJalan Tentara Pelajar No. 12Cimanggu - Bogor 16111

Asosiasi Peneliti Kesehatan Indonesia (APKESI)Jalan Percetakan Negara No. 29Jakarta 10560

Institut Pertanian Bogor, Departemen Proteksi Tanaman Fakultas PertanianJalan Kamper Bogor 16680

Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Bioteknologi dan Sumberdaya Genetik PertanianJalan Tentara Pelajar No. 3A, Bogor 16111

Agronomi dan

Penyakit

Hortikultura

Bioteknologi Pertanian

Kesuburan Tanah dan Biologi Tanah

Gizi

Hama dan Penyakit Tanaman

Pemuliaan dan Genetika Tanaman

Page 5: Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian Indonesian

ISSN 0853-8212

DAFTAR ISI

Halaman

Volume 22 No. 2, Juni 2016

Kata Pengantar ................................................................................................................................. i

Daftar Isi .......................................................................................................................................... iii

Evaluasi Kesuburan Tanah untuk Pertanaman Tebu di Kabupaten Rembang, Jawa TengahFitriningdyah Tri Kadarwati ............................................................................................................. 53 - 62

Korelasi Sifat Fisik dan Kimia Tanah dengan Intensitas Penyakit Busuk Pangkal Batang Tanaman LadaLa Ode Santiaji Bande, Bambang Hadisutrisno, Susamto Somowiyarjo, Bambang HendroSunarminto dan Abdul Wahab ......................................................................................................... 63 - 70

Respon Tanaman Lada (Piper nigrum L.) Varietas Ciinten terhadap Iradiasi Sinar GammaNur Laela Wahyuni Meilawati, Nurliani Bermawie, Agus Purwito dan Dyah Mahohara .............. 71 - 80

Karakteristik Fisik dan Kimia dari Produk Bioindustri Cangkang Jambu Mete (Anacardium occidentale)Andi Saenab, K.G. Wiryawan, Retnani Y. dan E. Wina .................................................................. 81 - 90

Pengaruh Pupuk Majemuk terhadap Produksi dan Mutu Tembakau VirginiaDjajadi, Sulis Nur Hidayati dan Roni Syaputra................................................................................ 91 - 98

Pertumbuhan dan Produksi Bibit Tebu G3 Kultur Jaringan Varietas PS 862 pada Perlakuan Jarak Tanam dan Pupuk KandangSumanto ........................................................................................................................................... 99 - 106

TerakreditasiNomor : 458/AU2/P2MI-LIPI/08/2012Tanggal: 7 Agustus 2012

iii

Page 6: Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian Indonesian

53

EVALUASI KESUBURAN TANAH UNTUK PERTANAMAN TEBU DI KABUPATEN REMBANG, JAWA TENGAH

Evaluation of Soil Fertility to Sugarcane at Rembang District, Central Java

FITRININGDYAH TRI KADARWATI

Balai Penelitian Tanaman Pemanis dan Serat Jalan Raya Karangploso Kotak Pos 199, Malang

65152

Email:

[email protected]

Diterima: 3-3-2016; Direvisi: 30-3-2016; Disetujui: 4-4-2016

ABSTRAK

Kabupaten Rembang merupakan daerah sentra produksi tebu Jawa Tengah yang memiliki karakteristik utama didominasi oleh lahan

kering.

Permasalahan lahan kering erat berkaitan dengan rendahnya ketersediaan air dan hara.

Hal ini menentukan kondisi kesuburan tanah wilayah tersebut.

Kesuburan tanah berpengaruh terhadap pertumbuhan, produksi, dan rendemen tebu.

Tujuan dari penelitian

ini adalah untuk memperoleh sebaran tingkat kesuburan lahan beserta faktor-faktor pembatasnya di Kabupaten Rembang.

Kajian kesuburan tanah dilakukan melalui metode evaluasi kesuburan tanah dengan

matching

data analisis kimia tanah dengan kriteria penilaian sifat kimia tanah.

Metode pengambilan sampel didasarkan pada pembuatan satuan peta lahan

(SPL).

Penilaian kesuburan tanah berdasarkan analisis sifat kimia tanah yang meliputi kapasitas tukar kation (metode ekstraksi NH4Oac), pH,

C-organik,

kejenuhan basa

(estimasi peta sebaran pH), P2O5

(metode Olsen dan Bray-1), dan K tersedia (flamephotometer). Kesuburan tanah di Kabupaten Rembang dapat dikategorikan menjadi kelas kesuburan tanah rendah dan sedang.

Faktor pembatas kesuburan tanah yang ditemukan antara lain terdiri dari kandungan nitrogen, kapasitas tukar kation, pH, P2O5

tersedia, karbon organik, dan K tersedia.

Kata kunci:

Saccharum officinarum,

kesuburan tanah, evaluasi

ABSTRACT

Rembang District is an area of Central Java

production center which has the main characteristics dominated by dry land. Dry land issues related to the low availability of water and nutrients. It determines the area of soil fertility conditions. Soil fertility affects the growth, production, and yield of sugarcane. Study of soil

fertility conducted through the soil fertility evaluation methods of chemical analysis of matching data criteria soil with soil chemical properties. The sampling method is based on the land unit mapping. Soil fertility assessment based on the analysis of soil chemical properties that include cation exchange capacity (NH4Oac extraction method), pH (pH meter), C-Organic (Walkey and Black method), base saturation (estimation of

pH mapping), P2O5

(Olsen and Bray-1

method), and available K (flamephotometer). Soil fertility in Rembang district classified

into low until moderate. The limiting factor in soil fertility were consists of nitrogen content, cation exchange capacity, pH, available P2O5, organic carbon, and available K.

Keywords:

Saccharum officinarum,

soil fertility, evaluation

PENDAHULUAN

Kabupaten Rembang merupakan daerah sentra produksi tebu di Jawa Tengah yang terletak dengan posisi lintang pada 111°,00' - 111°,30' BT dan 6°,30'- 7°,00' LS.

Produktivitas tanaman dan rendemen yang dihasilkan masih tergolong rendah (< 6%) sehingga hasil hablur yang diperoleh menjadi rendah. Oleh karena itu,

perlu dilakukan upaya untuk meningkatkan produktivitas dan rendemen pertanaman tebu yang ada di wilayah Rembang.

Bahan induk tanah-tanah wilayah pengembangan tebu

di

Rembang

berasal dari 12 formasi satuan geologi berupa bahan alluvium, batuan endapan, volkanik, dan batuan sedimen klastik dari beragam formasi dengan umur batuan quarter dan tersier.

Jenis tanah terdiri atas Entisol, Inceptisol, Alfisol, dan Vertisol

dengan didominasi oleh lahan kering.

Kondisi yang demikian menyebabkan keragaman tingkat kesuburan tanah. SUTANTO

(2005) menyebutkan bahwa kemampuan tanah sebagai habitat tanaman yang

menghasilkan bahan yang dapat dipanen sangat ditentukan oleh tingkat kesuburan atau sebagai alternatif kapasitas berproduksi atau produktivitas.Demikian pula menurut NYOMAN

(2013), kesuburan tanah merupakan kemampuan tanah untuk dapat menyediakan hara dalam jumlah yang cukup untuk pertumbuhan dan hasil tanaman.

Penggunaan lahan untuk pengembangan suatu komoditas sebaiknya didasarkan pada sifat tanaman dan karakteristik lahan seperti fisiografi, tanah, air permukaan dan air tanah dalam, vegetasi alami, penggunaan lahan yang ada dan kondisi sosial-ekonomi, tanpa mengganggu keseimbangan ekologi (SINGH, 2012).

Produktivitas tebu merupakan sinergi dari kemampuan suatu varietas dengan pengelolaan penggunaan lahan yang tepat. Oleh karena itu, tanaman tebu memerlukan kondisi tanah dengan kesuburan tinggi untuk mendukung hasil tinggi.

Peningkatan produktivitas dan rendemen tanaman tebu di wilayah pengembangan Kabupaten Rembang dapat dilakukan melalui perbaikan kesuburan lahan.

Perbaikan kesuburan lahan dapat dilakukan apabila telah diketahui tingkat kesuburan lahan di seluruh wilayah pengembangan Kabupaten Rembang beserta faktor-faktor pembatasnya. Oleh karena itu perlu dilakukan penelitian yang bertujuan untuk memperoleh sebaran tingkat kesuburan lahan beserta faktor-faktor pembatasnya di Kabupaten Rembang.

Jurnal Littri 22(2), Juni 2016. Hlm. 53 - 62 ISSN 0853-8212

Page 7: Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian Indonesian

JURNAL LITTRI VOL. 22 NO. 2, JUNI 2016: 53 - 62

54

BAHAN DAN METODE

Kegiatan penelitian dilaksanakan di sentra pengem-bangan tebu Kabupaten Rembang dengan menggunakan metode yang dilakukan oleh SISWANTO

(2006).

Tahap-

tahap penelitian meliputi: (a) inventarisasi data dan

pengambilan sampel tanah di

lapang, (b) analisis contoh tanah di laboratorium, (c) evaluasi kesuburan tanah, dan (d) penyusunan hasil.

Inventarisasi data dilakukan dengan mengumpulkan peta geologi, peta lereng dan peta jenis tanah. Penumpang-tindihan (overly) peta-peta tersebut dilakukan untuk menentukan titik-titik pengambilan contoh tanah sehingga didapatkan 15

titik satuan peta lapang (SPL) seperti tertera

pada Tabel 1.

Setiap SPL diambil 2 contoh tanah yaitu lapisan atas dan lapisan di bawahnya sampai ada perubahan tanah seperti tertera pada Tabel 1. Semua contoh tanah dikering-anginkan, dihaluskan hingga lolos ayakan 0,5 mm mesh

dan dianalisis di Laboratorium Kimia Tanah Universitas Brawijaya. Unsur kesuburan tanah yang dianalisis meliputi pH tanah (pH meter), C-organik (Metode Walkey dan Black), Kapasitas Tukar Kation atau KTK (Metode Ekstraksi dengan pereaksi NH4Oac pH 7), N-total (Metode Kjeldahl), P (Metode Olsen atau Bray 1), dan K (Metode Flame-photometer).

Hasil analisis tanah diinterpretasi menggunakan

kriteria penilaian sifat-sifat kimia tanah dari SISWANTO (2006) seperti tertera pada Tabel 2. Adapun penentuan

tingkat kesuburan tanah ditentukan melalui berbagai kombinasi sifat kimia tanah (KTK, KB, P2O5, C-Organik, dan K2O) seperti tertera pada Tabel 3 (MUTERT

et al.,

2000).

Tabel 1. Titik SPL lokasi pengambilan sampel tanah di Kabupaten Rembang

Table 1.

Soil sampling sites in Rembang

SPL/

Land Unit

Desa/Vilage

Kecamatan/

District

Geologi/Geology

Jenis Tanah/

Soil clasification

Lereng/

Slope

(%)

Kedalaman Contoh Tanah/

Soil depth

(cm)

1.

Kaliombo

Sulang

Formasi Mundu

Tmpm

Humic Dystrudepts

4

0 -

25

25 -

45

2.

Grawan

Sumber

Formasi Mundu

Tmpm

Humic Dystrudepts

3

0 -

27

27 -

41

3.

Tlogomojo

Rembang

Kawasan Aluvial

Qa

Typic Dystrudepts

3

0 -

23

23 -

43

4.

Kasreman

Rembang

Kawasan Aluvial

Qa

Mollic Endoaquepts

9

0 -

19

19 -

50

5.

Sendangagung

Pamotan

Kawasan Aluvial

Qa

Typic Dystrudepts

2

0 -

19

19 -

33

6.

Sidomulyo

Gunem

Formasi ledok

Tml

Typic Dystrudepts

15

0 -

12

12 -

40

7.

Trembes

Gunem

Formasi ledok

Tml

Typic Dystrudepts

9

0 -

18

18 -

43

8.

Mojosari

Sedan

Formasi Wonocolo

Tmw

Typic Dystrudepts

10

0 -

15

15 -

38

9.

Bogorejo

Sedan

Kawasan Aluvial

Qa

Aquic Hapludalfs

3

0 -

22

22 -

35

10.

Lodan Kulon

Sarang

Formasi Bulu

Tmb

Typic Dystrudepts

8

0 -

13

13 -

40

11.

Jambangan

Sarang

Kawasan Aluvial

Qa

Lithic Udorthents

4

0 -

16

16 -

35

12.

Lodan Wetan

Sarang

Formasi Wonocolo

Tmw

Typic Dystrudepts

7

0 -

25

25 -

45

13.

Sendangwaru

Kragan

Kawasan Aluvial

Qa

Typic Endoaquerts

3

0 -

13

13 -

40

14.

Karas

Sedan

Formasi Tuban

Tmtn

Typic Endoaqualfs

8

0 -

16

16 - 3715. Ngajaran Sale Formasi ledok Tml Typic Endoaqualfs 3 0 - 20

20 - 45

Page 8: Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian Indonesian

FITRININGDYAH TRI KADARWATI : Evaluasi Kesuburan Tanah untuk Pertanaman Tebu di Kabupaten Rembang, Jawa Tengah

55

Tabel 2. Kriteria penilaian sifat-sifat kimia tanah Table 2. The assessment criteria of soil chemistry values

Sifat Tanah

Soils

Caracteristic

Sangat Rendah

Very Low

Rendah

Low

Sedang

Moderate

Tinggi

High

Sangat TinggiVery

high

C (%)

< 1.00

1.00-2.00

2.01-3.00

3.01-5.00

> 05.00N (%)

< 0.10

0.10-0.20

0.21-0.50

0.51-0.75

>

00.75

C/N

<

5

5-10

11-15

16-25

>

25P2O5 Bray I (ppm)

<

10

10-15

16-25

26-35

>

35

P2O5 Olsen (ppm)

<

10

10-25

26-45

46-60

>

60KTK (mg/100 g)

<

5

5-16

17-24

25-40

>

40

Susunan Kation

K (me/100g)

<

0.1

0.1-0.2

0.3-0.5

0.6-1.0

>

01.0Na (me/100g)

<

0.1

0.1-0.3

0.4-0.7

0.8-1.0

>

01.0Mg (me/100g)

<

0.4

0.4-1.0

1.1-2.0

2.1-8.0

>

08.0Ca (me/100g)

<

2

2-5

6-10

11-20

>

20Kejenuhan Basa (%)

<

20

20-35

36-50

51-70

>

70Kejenuhan Al (%)

<

10

10-20

21-30

31-60

>

60pH H2O

S. Masam

Masam

A.Masam

Netral

A.Alkalis

Alkalis<

4.5

4.5-5.5

5.6-6.5

6.6-7.5

7.6-8.5

>

08.5

Sumber: SISWANTO

(2006)

Tabel 3.

Kombinasi beberapa sifat kimia tanah dan tingkat kesuburannya

Table 3.

The combination chemical properties of soil and fertility rates

No

(No)

KTK

(CEC)

KB

(BS)

P2O5, (C-Org), K2O

(Organic Carbon)

Tingkat Kesuburan(Soil fertility)

1

T

T

≥ 2 T tanpa R

Tinggi

2

T

T

≥ 2 T dengan R

Sedang

3

T

T

≥ 2 S tanpa R

Tinggi

4

T

T

≥ 2 S dengan R

Sedang

5

T

T

T S R

Sedang

6

T

T

≥ 2

R dengan R

Sedang

7

T

T

≥ 2 R dengan S

Rendah

8

T

S

≥ 2 T tanpa R

Tinggi

9

T

S

≥ 2 S dengan R

Sedang

10

T

S

≥ 2 S

Sedang

11

T

S

Kombinasi Lain

Rendah

12

T

R

≥ 2 T tanpa R

Sedang

13

T

R

≥ 2 T dengan R

Rendah

14

T

R

Kombinasi Lain

Rendah

15

S

T

≥ 2 T tanpa R

Sedang

16

S

T

≥ 2 S tanpa R

Sedang

17

S

T

Kombinasi Lain

Rendah

18

S

S

≥ 2 T tanpa R

Sedang

19

S

S

≥ 2 S tanpa R

Sedang

20

S

S

Kombinasi Lain

Rendah

21

S

R

3 T

Sedang

22

S

R

Kombinasi Lain

Rendah

23

R

T

≥ 2 T tanpa R

Sedang

24

R

T

≥ 2 T dengan R

Rendah

25

R

T

≥ 2 S tanpa R

Sedang

26

R

T

Kombinasi Lain

Rendah

27

R

S

≥ 2 T tanpa R

Sedang

28

R

S

Kombinasi Lain

Rendah29 R R Semua Kombinasi Rendah30 SR T Semua Kombinasi Sangat Rendah

Keterangan: T=Tinggi; S=Sedang; R=Rendah; SR=Sangat Rendah KTK= Kapasitas Tukar Kation; KB=Kejenuhan Basa; C-Org=C- OrganikNote: CEC = Cation Exchange Capacity; BS = Base Saturation

Page 9: Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian Indonesian

JURNAL LITTRI VOL. 22 NO. 2, JUNI 2016: 53 - 62

56

HASIL DAN PEMBAHASAN

Sifat Fisik dan Kimia Tanah

C-organik, N-total dan KTK Kandungan

C-organik dan N-total lahan pengem-

bangan tebu di Kabupaten Rembang bervariasi dari sangat rendah sampai rendah, sedangkan KTK bervariasi dari rendah sampai sangat tinggi

(Tabel 4).

Kandungan C-organik terendah berada pada jenis tanah Typic Dystrudepts dan tertinggi ditemukan pada jenis tanah Typic Endoaqualfs. Kandungan karbon organik dalam tanah umumnya mencirikan jumlah bahan organik dalam tanah. Konversi perhitungan secara tidak langsung dari C-organik menjadi BO adalah %

C-organik

dikalikan

1,724

yaitu

sekitar 0,58-2,22%. Nilai kisaran tersebut

menurut kriteria SUTANTO

(2005) tergolong rendah sampai tinggi.

GANA

(2008) menyatakan, BO mempunyai peranan penting sebagai bahan pemicu kesuburan tanah, baik sebagai pemasok hara bagi organisme authotrof (tanaman) maupun sebagai sumber energi bagi organisme heterotrof (fauna dan mikroorganisme tanah). Peningkatan aktivitas biologi tanah mendorong terjadinya perbaikan kesuburan tanah, baik kesuburan fisik, kimia maupun biologi tanah. Perbaikan sifat fisik, kimia

dan biologi tanah yang sesuai dengan kebutuhan tanaman (plant requirement) dapat memperbaiki pertumbuhan dan produksi tanaman.

Menurut ZULKARNAIN

et al.

(2013), BO adalah kunci keberhasilan dan keberlanjutan pertanian di daerah tropika basah. Adapun penyebab degradasi BO meliputi pemupukan, erosi, pembakaran sisa panen, dan pengolahan

tanah berlebih. Faktor-faktor penentu kesuburan tanah salah satunya adalah BO yang berfungsi untuk memperbaiki sifat fisik, kimia, dan biologi tanah. ABU ZAHRA dan TALBOUB

(2008) menyatakan bahwa faktor-faktor yang mem-pengaruhi jumlah BO dalam tanah antara lain iklim, vegetasi, kondisi drainase, budidaya tanaman dan tekstur tanah. GANA

(2008) menyatakan bahwa jumlah N dalam

tanah merupakan hasil kesetimbangan faktor-faktor iklim dan vegetasi, topografi, sifat fisik dan kimia tanah, kegiatan manusia dan waktu. Semakin tinggi kadar BO, maka semakin tinggi pula kandungan N total. Tanah di Kabupaten Rembang mempunyai kandungan N total 0,06-0,16%. Kadar BO tanah (0,58-2,22%) memiliki hubungan yang linier dengan kandungan N total (Gambar 1).

Dalam manajemen kesuburan tanah dengan faktor pembatas bahan organik, salah satu upaya yang dapat dilakukan adalah pemupukan berimbang (terutama pupuk N) serta penambahan bahan organik. DUAN

et al. (2007) menyatakan bahwa kebutuhan tanaman akan N lebih tinggi dibandingkan dengan unsur hara lainnya. Penambahan bahan organik dapat berupa pupuk kandang, pupuk hijau, dan pergiliran tanaman dengan legume yang dapat memfiksasi N melalui simbiosis dengan

Rhizobium sp. seperti kacang tunggak atau Mucuna sp.

DAMAETIE dan ABIY

(2009) menyebutkan bahwa N memiliki pengaruh yang dominan pada tebu dan kualitas larutannya.

Gambar 1. Hubungan BO (%) dan N (%)Figure 1. Interaction of OM (%) and N (%)

Page 10: Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian Indonesian

FITRININGDYAH TRI KADARWATI : Evaluasi Kesuburan Tanah untuk Pertanaman Tebu di Kabupaten Rembang, Jawa Tengah

57

Tabel 4. Kandungan C-organik, N-total dan KTK lahan pengembangan tebu di Kabupaten Rembang, Jawa Tengah Table 4. The content of organic C, N-total and exchangeable cation on cane land development in rembang, Central Java

SPL/

Land Unit

Desa/Vilage

Kecamatan/

District

Kedalaman contoh tanah/

Soil depth

(cm)

C-organik/ Organic Carbon

(%)

Kriteria/

Criteria

KTK/

CEC (me/100 g)

Kriteria/

Criteria

N-total/

Total N (%)

Kriteria/Criteria

1.

Kaliombo

Sulang

0 –

25

0,78

SR

54,20

ST

0,06

SR25 –

45

0,68

SR

58,00

ST

0,04

SR

2.

Grawan

Sumber

0 –

27

0,34

SR

31,11

TS

0,06

SR27 –

41

0,30

SR

30,61

TS

0,04

SR

3.

Tlogomojo

Rembang

0 –

23

0,59

SR

50,43

ST

0,06

SR23 –

43

0,40

SR

40,40

ST

0,04

SR

4.

Kasreman

Rembang

0

19

0,87

SR

42,49

ST

0,10

SR19 –

50

0,86

SR

40,01

ST

0,08

SR5.

Sendangagung

Pamotan

0 –

19

1,18

RS

43,00

ST

0,12

RS19 –

33

0,98

SR

39,08

TS

0,10

SR6.

Sidomulyo

Gunem

0 –

12

1,08

RS

64,48

ST

0,09

SR12 –

40

0,65

SR

46,55

ST

0,09

SR7.

Trembes

Gunem

0 –

18

0,45

SR

30,67

TS

0,09

SR18 –

43

0,30

SR

20,75

SS

0,07

SR8.

Mojosari

Sedan

0 –

15

1,16

RS

48,61

ST

0,08

SR15 –

38

0,91

SR

38,71

TS

0,05

SR9.

Bogorejo

Sedan

0 –

22

0,53

SR

52,89

ST

0,05

SR22 –

35

0,31

SR

50,01

ST

0,04

SR10.

Lodan Kulon

Sarang

0 –

13

1,28

RS

33,47

TS

0,15

RS13 –

40

1,12

RS

41,50

ST

0,10

SR11.

Jambangan

Sarang

0 –

16

0,57

SR

27,56

TS

0,05

SR16 –

35

0,48

SR

20,75

SS

0,03

SR12.

Lodan Wetan

Sarang

0 –

25

0,69

SR

37,89

ST

0,09

SR25 –

45

0,70

SR

32,90

ST

0,08

SR13.

Sendangwaru

Kragan

0 –

13

0,74

SR

41,69

ST

0,09

SR13 –

40

0,40

SR

22,79

SS

0,09

SR14.

Karas

Sedan

0 –

16

1,27

RS

38,05

ST

0,13

RS16 –

37

1,45

RS

39,07

ST

0,09

SR15.

Ngajaran

Sale

0 –

20

0,45

SR

17,53

SS

0,05

SR20 –

45

0,27

SR

12,00

RS

0,04

SR

Keterangan:

ST

= Sangat Tinggi;

T = Tinggi;

S

= Sedang; R = Rendah;

SR

= Sangat Rendah

Note:

VH = Very High ; H = Haigh; M = Moderate; L = Low; VL = Very Low

KTK tertinggi terdapat pada jenis tanah Vertisol dengan subgrup Typic Endoaquerts,

sedangkan terendah terdapat pada jenis tanah Inceptisol dengan subgrup Typic Dystrudepts.

SULASTRI

(2006) menyebutkan KTK secara umum dapat memberikan gambaran tentang banyaknya kation tanah (Ca2+, Mg2+, K+, Na+, NH4

+, H+, dan Al3+) dalam bentuk tersedia yang dapat dimanfaatkan oleh tanaman maupun mikroorganisme. Kation-kation tersebut merupakan unsur hara yang dibutuhkan tanaman.

Selanjutnya BABU

et al.

(2007) menyatakan bahwa KTK tergantung pada jumlah liat dan bahan organik serta komposisi mineraloginya. Semakin banyak jumlah liat dan bahan organik, maka KTK tanah akan meningkat. Persentase liat yang tinggi terdapat pada jenis tanah Alfisol yang juga memiliki kandungan bahan organik tinggi. Proses pembentukan tanah Alfisol karena proses iluviasi

(penimbunan) liat yang dicirikan oleh adanya horison Argilik yang memiliki kandungan liat tinggi. Sedangkan KTK tertinggi terdapat pada jenis tanah Vertisol disebabkan komposisi mineraloginya yang kaya mineral liat tipe 2:1.

Ketersediaan hara tanah merupakan faktor utama untuk mendukung pertumbuhan tanaman tebu (VIRDIA dan

PATEL, 2010). Hara tersedia dalam tanah diserap oleh akar tanaman melalui sistem pertukaran ion ataupun proses difusi. Hara tanah masuk ke jaringan tanaman dan melalui proses metabolisme,

hara-hara tersebut mendukung pertumbuhan tanaman. Tanpa dukungan keharaan tanah yang cukup, tanaman mengalami hambatan pertumbuhan. Nitrogen berfungsi mempercepat pertumbuhan tanaman, menjadikan daun tanaman menjadi lebih hijau segar danbanyak mengandung butir-butir hijau daun yang penting dalam proses fotosintesis serta berfungsi menambah kandungan protein dalam tanaman (HARJANTI

et al., 2004). Selain nitrogen, unsur fosfat merupakan salah satu nutrisi utama esensial bagi tanaman. Peranan fosfat yang terpenting bagi tanaman adalah memacu pertumbuhan akar dan pembentukan sistem perakaran serta memacu pertumbuhan generatif tanaman. Kalium juga mempunyai peran yang tidak kalah penting dengan unsur N dan P, kalium berperan

meningkatkan resistensi terhadap penyakit tertentu, dan meningkatkan pertumbuhan perakaran. Kalium cenderung menghalangi kerebahan tanaman dan melawan efek buruk akibat pemberian nitrogen yang berlebihan, dan berpengaruh mencegah kematangan yang

Page 11: Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian Indonesian

JURNAL LITTRI VOL. 22 NO. 2, JUNI 2016: 53 - 62

58

dipercepat oleh hara fosfor. Secara umum kalium berfungsi menjaga keseimbangan, baik pada nitrogen maupun pada fosfor (RIKARDO et al., 2015). Oleh karena itu penilaian status kesuburan tanah biasanya didasarkan kandungan N, P dan K, karena hara makro ini dibutuhkan dalam jumlah banyak

(SUPRIYADI, 2007).

Kandungan N di Kabupaten Rembang tergolong

sangat rendah sampai rendah. Hasil penelitian INOUE

et al. (2009) menyebutkan kandungan awal N tanah merupakan

faktor pembatas untuk produksi tebu.

Demikian pula hasil penelitian VIERA

et al.

(2010) menyimpulkan bahwa hara N

signifikan meningkatkan hasil tebu. Hara N dalam tanah bersifat mobil dan mudah

mengalami perubahan bentuk

(transformasi) sehingga tidak banyak tersedia bagi tanaman.

Di sisi lain, N lebih banyak

(79%) berasal dari atmosfer, oleh karena itu sebagian besar N di dalam tanah dapat disediakan melalui

penambahan pupuk.

Optimalisasi penyerapan N oleh tanaman dan penekanan

kehilangan N akibat

transformasi dapat dilakukan dengan

pemberian pupuk N dengan jumlah yang tepat

yang didasarkan pada hasil perhitungan

yang akurat.

Salah satu teknologi yang dikembangkan untuk

menghitung kebutuhan pupuk N bagi tanaman tebu adalah metode Nomograf.

Metode ini didasarkan pada nilai yang dihasilkan dalam analisis tanah atau uji tanah di

laboratorium pada

contoh tanah tiap pewakil SPL.

Hasil analisisnya menunjukkan bahwa pada tanah

dengan persentase N

dengan kategori rendah maka direkomen-dasikan

kebutuhan pupuk N sebesar

130-170 kg N/ha, sedangkan

untuk kategori sangat rendah direkomendasikan sebesar 60-120 kg N/ha. MOMOSE

et al. (2009)

menyebut-kan BNF (Biological Nitrogen Fixation) berpotensi tinggi untuk fiksasi nitrogen biologis dalam tebu.

Kontribusi BNF dalam penyediaan hara N untuk pertanaman tebu sebesar 10-40% N tergantung pada budidaya dan ketersediaan mineral N

dalam tanah.

Penggunaan BNF

dapat mengurangi pemupukan N anorganik.

Keasaman (pH), P-tersedia, dan K-tersedia

Keasaman atau pH tanah di Kabupaten Rembang terdiri dari sangat masam, netral, dan agak alkalis (Tabel 5).

Tingkat pelapukan bahan induk dapat mempengaruhi reaksi tanah yang terjadi.

Bahan induk quarter yang berasal dari formasi Wonocolo dapat

melapuk membentuk jenis tanah Inceptisol.

MUNIR

(1996) menyebutkan bahwa Inceptisol merupakan jenis tanah muda yang dalam profilnya memiliki horison yang pembentukannya agak lamban sebagai hasil alterasi bahan induk.

BABU

et al.

(2007) menyatakan bahwa pelapukan mengakibatkan ion hidrogen mendominasi kompleks jerapan tanah menggantikan basa-basa tanah. pH tanah dibawah 4,5 menunjukkan adanya Hdd

yang merupakan kemasaman potensial dalam tanah. Kemasaman ini berhubungan erat dengan Aldd. Inceptisol merupakan salah satu jenis tanah yang memiliki

kemasaman potensial yang terbawa dari karakteristik bahan induk Aluvium.

pH (potential of hidrogen) tanah merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi kelarutan unsur hara dalam tanah. Menurut SOEMARNO

(2013), ketersediaan unsur hara

makro dan mikro dalam tanah sangat dipengaruhi oleh pH tanah. Pada tanah agak masam hingga agak alkalis, ketersediaan unsur makro dan Mo meningkat (kecuali P), sedangkan hara P, Fe, Mn, Zn Cu, and Co menjadi tidak tersedia sehingga dapat mempengaruhi pertumbuhan tanaman. Pada tanah masam, hara mikro (kecuali Mo and Bo) mengalami penurunan.

SOOMRO

et al. (2012)

menyebutkan tanah yang memiliki pH tinggi dapat menimbulkan masalah fiksasi P sehingga mengurangi ketersediaan hara bagi tanaman.

Kriteria hara P2O5 tersedia di Kabupaten Rembang bervariasi dari sangat rendah, rendah, sampai sangat tinggi. Hara

P tersedia

yang tertinggi terdapat pada subgrup Humic Dystrudept dan terendah terdapat pada jenis tanah Entisol yang termasuk pada subgrup Lithic Udorthents (Tabel 5). Menurut BOUAJILA

dan SANAA

(2011),

ketersediaan Pdalam tanah salah satunya dipengaruhi oleh pH, dan ketersediaan P paling tinggi pada pH 6,8-7,2, sedangkan menurut ABU ZAHRA

dan TALBOUB

(2008)

pada

pH 5,0-7,2. Ketersediaan P memiliki kisaran yang rendah pada pH <4 dan >7,2. Adanya hubungan antara ketersediaan P

dengan pH dapat digunakan sebagai salah satu

strategi pengelolaan kesuburan tanah.

Hara P dalam tanaman berfungsi sebagai penyedia dan

penyimpan energi kimia untuk proses metabolisme dan katabolisme. Metabolisme karbohidrat pada daun dan pemindahan sukrosa dipengaruhi oleh P anorganik walaupun secara tidak langsung. Proses penyusunan sukrosa dan heksosa memerlukan fosfat energi tinggi, oleh karena itu P anorganik diperlukan dalam sel-sel daun waktu penyusunan karbohidrat (MCCRAY

et al., 2010). Pada tanaman tebu sumber dan takaran P berbeda dapat meningkatkan jumlah anakan, tinggi tanaman dan hasil tebu (TSADO

et al., 2013), serta signifikan mempengaruhi rendemen dan kemurnian tebu (ELAMIN

et al.,

2007).

Status hara K-tersedia di kabupaten Rembang tergolong sangat rendah hingga tinggi (Tabel 5). Jenis tanah yang memiliki K-tersedia tertinggi adalah Mollic Endoaquepts

sedangkan terendah terdapat pada Typic Dystrudepts. Sifat dan perilaku Kalium yang penting diketahui adalah bentuk Kalium tersedia bagi tanaman adalah ion K+. Kalium terfiksasi jika K+

larut atau

tersedia berinteraksi dengan tanah (mineral liat) yang diakibatkan oleh jumlah ektraksi yang menurun.

ISMAIL

(2007) menyebutkan bahwa kebutuhan Na tebu dapat menghambat akumulasi K dalam tebu. Pada tanah mengandung banyak mineral liat Illit, bila kondisi kekurangan seringkali tampak gejala defisiensi K pada tanaman, akan tetapi gejala tersebut segera pulih setelah

Page 12: Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian Indonesian

FITRININGDYAH TRI KADARWATI : Evaluasi Kesuburan Tanah untuk Pertanaman Tebu di Kabupaten Rembang, Jawa Tengah

59

musim hujan. Menurut SUPARMANTO (2009), mineral Illit (hidrous mika) tergolong mineral liat tipe 2:1 dan umumnya terbentuk langsung dari mika melalui proses alterasi bahan induk.

Mineral liat tipe 2:1 umumnya banyak dijumpai pada jenis tanah Vertisol. Jenis tanah Vertisol di kabupaten

Rembang adalah termasuk subgrup Typic Endoaquertsyang memiliki K Tersedia sebesar 0,547, yang tergolong sedang. Kandungan K tersedia memiliki pola yang hampir sama dengan Kandungan Air Tersedia (KAT) pada berbagai SPL disajikan dalam Gambar 2.

Tabel 5. Kandungan P-tersedia, K-tersedia

dan pH tanah

lahan pengembangan tebu di Kabupaten Rembang, Jawa Tengah

Table 5. The content of P-available, K-available and soil pH on sugarcane development in Rembang,

Central Jav a

SPL/

Land Unit

Desa/Village

Kecamatan/ District

Kedalaman contoh tanah/

Soil Depth

(cm)

pH

Kriteria/ Citeria

P-tersedia/ Available P

(mg/kg)

Kriteria/ Citeria

K-tersedia/ Available

K

(me/100 g)

Kriteria/Citeria

1.

Kaliombo

Sulang

0 –

25

7,5

Netral

24,59

R

0,22

R25 –

45

7,4

Netral

20,70

R

0,28

R2.

Grawan

Sumber

0 –

27

7,5

Netral

19,59

R

0,10

R27 –

41

7,5

Netral

20,10

R

0,17

R3.

Tlogomojo

Rembang

0 -

23

7,6

A.Alkalis

1,36

SR

0,43

S23 –

43

7,6

A.Alkalis

2,00

SR

0,41

S4.

Kasreman

Rembang

0 –

19

7,4

Netral

21,99

R

0,22

R19 –

50

7,2

Netral

20,00

R

0,24

R5.

Sendangagung

Pamotan

0 –

19

7,5

Netral

23,88

R

0,33

S19 –

33

7,5

Netral

20,89

R

0,29

R6.

Sidomulyo

Gunem

0 –

12

7,6

A.Alkalis

11,55

R

0,40

S12 –

40

7,1

Netral

10,11

R

0,24

R7.

Trembes

Gunem

0 –

18

6,5

A.Masam

12,07

R

0,14

ST18 –

43

12,00

R

0,10

T8.

Mojosari

Sedan

0 –

15

7,5

Netral

7,01

R

0,32

S15 –

38

7,5

Netral

11,70

R

0,33

S9.

Bogorejo

Sedan

0 –

22

7,5

Netral

0,54

SR

0,38

S22 –

35

7,4

Netral

0,71

SR

0,40

S10.

Lodan Kulon

Sarang

0 –

13

7,2

Netral

7,53

SR

0,75

T13 –

40

7,1

Netral

7,50

SR

0,65

T11.

Jambangan

Sarang

0 –

16

7,2

Netral

4,01

SR

0,16

R16 –

35

7,0

Netral

4,66

SR

0,20

R12.

Lodan Wetan

Sarang

0 –

25

7,5

Netral

14,01

R

0,20

R25 –

45

7,5

Netral

12,00

R

0,21

R13.

Sendangwaru

Kragan

0 –

13

6,7

Netral

1,32

SR

0,27

R13 –

40

7,3

Netral

1,31

SR

0,32

S14.

Karas

Sedan

0 –

16

6,8

Netral

131,64

ST

0,91

T16 –

37

7,0

Netral 120,60 ST 0,99 T15.

Ngajaran

Sale

0 –

20

7,4

Netral 3,21 SR 0,10 T20 –

45

7,0

Netral 2,20 SR 0,09 T

Keterangan: ST: Sangat Tinggi; T : Tinggi; S: Sedang; R : Rendah dan SR; Sangat RendahNote: VH = Very High; H = Haigh; M = Moderate; L = Low; VL = Very Low

Gambar 2. Hubungan K tersedia dan KATFigure 2. Interaction of available K and water

Page 13: Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian Indonesian

JURNAL LITTRI VOL. 22 NO. 2, JUNI 2016: 53 - 62

60

KAT yang tinggi dapat diimbangi dengan peningkatan K tersedia dalam tanah, sehingga dalam manajemen kesuburan tanah dengan faktor pembatas rendahnya K tersedia dapat dilakukan dengan pemupukan K pada tanah dengan bahan induk yang rendah dan pengaturan air irigasi pada penggunaan lahan kering seperti di Kabupaten Rembang. Hasil penelitian FLORES

et al.

(2014) menyebut-

kan bahwa aplikasi mulsa di permukaan tanah setelah panen tebu meningkatkan siklus hara, terutama K, yang dapat menurunkan rekomendasi pemupukan K untuk tebu.

Hasil penelitian KHAN

et al.

(2005) memperlihatkan

perlakuan NPK berpengaruh secara signifikan terhadap hasil tebu.

Hasil penelitian OTTO

et al. (2010) juga

menunjukkan bahwa pemupukan kalium secara signifikan mempengaruhi hasil tebu.

Evaluasi Kesuburan Tanah

Kesuburan tanah di Kabupaten Rembang

dapat dikategorikan menjadi kelas kesuburan tanah rendah dan sedang

(Tabel 6).

Informasi kesuburan tanah ini dapat menjadi salah satu rekomendasi pengelolaan sifat-sifat tanah yang menentukan kesuburan seperti kapasitas tukar

kation, kejenuhan basa, kandungan P2O5, dan K2O tersedia di Kabupaten Rembang.

Tingkat kesuburan tanah di Kabupaten Rembang yang termasuk ke dalam kriteria kelas sedang ditemukan pada jenis tanah Inceptisol dengan subgrup tanah Mollic Andoaquepts, sedangkan jenis tanah lain yang ditemukan meliputi Inceptisol, Alfisol, dan Vertisol memiliki tingkat kesuburan tanah rendah. Faktor pembatas kesuburan tanah yang ditemukan antara lain terdiri dari kandungan N, KTK, reaksi tanah (pH), P tersedia, karbon organik, dan K tersedia. Berdasarkan hasil evaluasi kesuburan tanah diKabupaten Rembang,

maka dapat diketahui daerah yang

menjadi prioritas dalam peningkatan kesuburan tanah.Usaha perbaikan kesuburan tanah yang dapat

dilakukan di Kabupaten Rembang antara lain manajemen pemupukan berimbang sesuai kebutuhan tanaman, penambahan bahan organik (pupuk kandang, pupuk hijau, atau penanaman legume) pada tahapan pengolahan tanah, manajemen pH tanah yang sesuai untuk ketersediaan unsur dengan pengapuran (menaikkan pH),

dan pengaturan air irigasi yang tepat.

Tabel 6. Hasil analisis kimia dan evaluasi kesuburan tanah

Table 6. The result of chemical analysis and soil fertility evaluation

PL

Subgrup/Subgroup

KTK

(mg/ 100 g)

pH H2O

P2O5

(ppm)

C-Organik

(%)

K

(me/ 100g)

Kombinasi/Combination

Keterangan/Note

Tingkat kesuburan/Fertility level

1

Humic Dystrudepts

54,20

7,5

24.59

0,78

0,216

TS ≥ 3 R

ST

S

R

SR

R

Rendah

2

Humic Dystrudepts

27,78

7,1

68.90

0,68

0,159

TS T dengan ≥ 2 R

T

S

ST

SR

R

Rendah

3

Typic Dystrudepts

25,38

3,5

7.5

0,67

0,068

T ≥ 4 R

T

SR

SR

SR

SR

Rendah

4

Mollic Endoaquepts

38,05

6,8

131.64

1,27

0,911

TS ≥ T dengan R

T

S

ST

R

T

Sedang

5

Typic Dystrudepts

27,56

7,2

4.01

0,57

0,162

TS ≥ 3 R

T

S

SR

SR

R

Rendah

6

Typic Dystrudepts

31,11

7,5

19.59

0,34

0,103

TS ≥ 3 R

T

S

R

SR

R

Rendah

7

Typic Dystrudepts

43,00

7,5

23.88

1,18

0,326

TS ≥ 2 R

ST

S

R

R

S

Rendah

8

Typic Dystrudepts

48,61

7,5

7.01

1,16

0,322

TS ≥ 2 R

ST

S

SR

R

S

Rendah

9

Aquic Hapludalfs

52,89

7,5

0.54

0,53

0,380

TS ≥ 2 R

ST

S

SR

SR

S

Rendah

10

Typic Dystrudepts

17,53

7,4

3.21

0,45

0,099

SS ≥ 3 R

S

S

SR

SR

SR

Rendah

11

Lithic Udorthents

64,48

7,6

0.28

1,08

0,396

TT ≥ 2 R dengan S

ST

T

SR

R

S

Rendah

12

Typic Dystrudepts

41,69

6,7

1.32

0,74

0,269

TS ≥ 3 R

13

Typic Endoaquerts

68,06

7,4

9.02

1,15

0,547

TS S dengan ≥ 2 R

ST

S

SR

SR

S

Rendah

14

Typic Endoaqualfs

33,47

7,2

7.53 1,28 0,747 TS ≥ 2 R dengan TT S SR R T Rendah

15

Typic Dystrudepts40,75 7,4 0.54 1,23 0,376 TS ≥ 2 R

ST S SR R S Rendah

Keterangan: ST=Sangat Tinggi; T=Tinggi; S=Sedang; R=Rendah; SR=Sangat Rendah

Olsen Bray

Page 14: Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian Indonesian

FITRININGDYAH TRI KADARWATI : Evaluasi Kesuburan Tanah untuk Pertanaman Tebu di Kabupaten Rembang, Jawa Tengah

61

KESIMPULAN

Wilayah pengembangan tebu di Kabupaten Rembang memiliki kandungan C-organik dan N-total sangat rendah sampai rendah, P-tersedia sangat rendah sampai sangat tinggi, K-tersedia sangat rendah sampai tinggi, bahan organik rendah sampai tinggi, pH sangat masam sampai agak alkalis, dan KTK sedang sampai sangat tinggi. Tingkat kesuburan tanah bervariasi dari rendah hingga sedang dengan kendala utama antara lain kandungan N, pH, P-tersedia, C-organik, dan K-tersedia.

UCAPAN TERIMA KASIH

Penulis mengucapkan terima kasih kepada Sdr. Winda

Wira Risma, SP. Mahasiswa magang di Balai Penelitian Tanaman Pemanis dan Serat yang telah membantu pelaksanaan kegiatan ini mulai dari lapang sampai analisis tanah di laboratorium.

DAFTAR PUSTAKA

ABU ZAHRA, T.R. and A.B. TALBOUB. 2008. Effect of organic matter source on chemical properties of the soil and yield of strawberry under organic farming conditions. World Applied Sciences Journal.

5(3): 383-388.

BABU, M.V.S., C.M. REDDY, A. SUBRAMANYAM,

and D.

BALAGURAVAIAH . 2007. Effect of integrated use of organic and inorganic fertilizers on soil properties and yield of sugarcane. Journal of the Indian Society of Soil Science.

55(2): 161-166.

BOUAJILA, K. and M. SANAA. 2011. Effect of organic amendments on soil physico-chemical and biological properties. Journal of Material & Environmental Science.

2: 485-490.

DAMAETIE, A.

and F. ABIY. 2009.

Determination of optimum nitrogen rate for sugarcane at Wonji-Shoa sugarcane plantation.

Proceeding Compilation.

Ethiopian Sugar Development Agency Research Directorate. Page 105-115.

DUAN, Y.H., Y.L. ZANG, L.Y. Ye, Y.R. FAN, G.H. XU

and

Q.R.

SHEN. 2007. Responses of Rices Cultivars with Different Nitrogen Use Efficiency to Partial Nitrate Nutrition. Ann Bot. 99: 1153-1160.

ELAMIN, E.A., M.A. EL-TILIB., and M.H.

ELNASIKH. 2007. The Influence of phosporus and potassium fertilization on the quality of sugar of two sugarcane varieties grown

on three soil series of sudan.

Journal

of Applied Sciences. 7(16): 2345-2350.

FLORES, R.A., M.P. RENATO, J.A. HILARIO, A.P. MARCIO, R.M.

LEANDRO, and L.R. CARLOS. 2014. Potassium nutrition in sugarcane ratoons grown in Oxisols by a conservationist system. American-Eurasian J. Agric.and Environ. Sci. 14(7): 652-659.

GANA, A.K. 2008. Effects of organic and inorganic fertilizers on sugarcane production. Afr. J. General Agric. 4(1): 55-59.

HARJANTI, R., TOHARI, dan S. UTAMI. 2004. Pengaruh takaran pupuk nitrogen dan silika terhadap pertumbuhan awal (Saccharum officinarum L.) pada Inceptisol. Vegetalika.

3(2): 35-44.

INOUE, K., I. YAMANE,

and

T. KAJI. 2009. Effect of nitrogen

topdressing and number of tillers at maximum tilleringstage on the field and extract quality of ratoon sugarcane cultivar Ni17. Jpn. J. Soil Sci. and Plant Nutr. 80(1): 1-6.

ISMAIL, I. 2007. Application of Na and partial substitution of K-Na in different varieties of sugarcane planted on inceptisol soil. Sugar tech journal 9(4).

KHAN, I.A., K. ABDULLAH, M. GHULAM., A.S. MUHAMMAD, R.

SABOOHI,

and

A.D.

NAZIR. 2005. Effect of NPK fertilizers on the growth of sugarcane clone AEC 86-347 developed at Nia, Tando

Jam, Pakistan Journal of Botany.

37(2): 355-360.

MCCRAY, J.M., R.W. RICE, Y.G. LUO, and S.N. JI. 2010. Sugarcane response to phosporus fertilizer on everglades Histosols. Agronomy Journal.

102(1): 1468-1477.

MOMOSE, A., O. NORIKUNI, S. KUNI, S. TAKASHI, N. YASUHIRO,

A. SHOICHIRO, and O. TAKUJI. 2009. Nitrogen fixation and translocation in young sugarcane (Saccharum officinarum L.) plants associated with endophytic nitrogen-fixing bacteria. Microbes Environment Journal. 24(3): 224-230.

MUNIR, M. 1996. Tanah-Tanah Utama Indonesia. Pustaka

Jaya: Jakarta.

MUTERT, E.,T. DIEROLF, and FAIRHURST. 2000. Soil fertility

kit: a

toolkit for acid upland soil fertility management in Southeast Asia. PPI: Singapore.

NYOMAN, I. 2013. Bahan Kuliah Kesuburan Tanah dan Pemupukan. www.fp.unud.ac.id.

[diunduh

Tgl.10 Desember 2013].

OTTO, R., G.C. VITTI, and P.H. DE

CERQUIERA-LUIS. 2010. Potassium fertilizer management for sugarcane. Revista Brasileira de Ciencia do Solo.

34(4): 1137-1145.

RIKARDO, R.S. EZRA, and

F. MEIRIANI. 2015. Respons Pertumbuhan bibit bud chips tebu (Saccharum officinarum L.) terhadap dosis dan frekuensi pemberian pupuk N, P dan K pada wadah pembibitan yang berbeda.

Jurnal Online Agro-ekoteknologi. 3(3): 1089-1098.

SINGH, S. 2012. Land Suitability evaluation and landuse planning using remote sensing data and geographic information system techniques. International Journal of Geology, Earth and Environmental Sciences.

2(1).SISWANTO. 2006. Evaluasi Sumber Daya Lahan. Penerbit

UPN Press: Surabaya.SOEMARNO. 2013. Bahan Ajar Matakuliah Dasar Ilmu

Tanah: Reaksi Tanah (pH). www.marno. lecture.ub.ac.id. [diunduh Tgl.10 Desember 2013].

Page 15: Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian Indonesian

JURNAL LITTRI VOL. 22 NO. 2, JUNI 2016: 53 - 62

62

SOOMRO, A.F., T. SHAMSUDDIN, and C.O. FATEH. 2012. Effect of supplemental inorganic NPK and residual organic nutrients on sugarcane ratoon crop. International journal of Scientific & Engineering Research. 3(10).

SULASTRI, E. 2006. Perubahan Kapasitas Tukar Kation dan Kadar Fosfat Tanah Akibat Perlakuan Pupuk Organik Dalam Sistem Budi Daya Sayuran Organik. Skripsi.

Institut Pertanian Bogor.

SUPARMANTO, A. 2009.

Kesuburan Alami dan Homogenitas

Bahan Induk Tanah-tanah di Daerah Karangsambung, Kebumen, Jawa Tengah.

Skripsi.

Institut Pertanian

Bogor. SUPRIYADI, S. 2007. Kesuburan Tanah di Lahan Kering

Madura. Jurnal Embryo Fakultas Pertanian Trunojoyo. 4(2).

SUTANTO, R. 2005. Dasar-Dasar Ilmu Tanah.

Penerbit

Kanisius: Yogyakarta.

TSADO, P.A., B.A. LAWAL, C.A. IGWE, M.K.A. ADEBOYE, A.J.

ODOFIN, and A.A. ADEKAMBI. 2013. Effect of sources and levels of phosphorus on yield and quality of sugarcane in southern guinea savanna zone of Nigeria.TI journal. 2(3): 25-27.

VIEIRA, M.X., P.C.O. TRIVELIN, H.C.J. FRANCO, R. OTTO, and C.E. FARONI. 2010. Ammonium chloride as nitrogen source in sugarcane harvested without burning. Revista Brasileira de Ciencia do Solo.

34: 1165-1174.

VIRDIA,

H.M. and C.L. PATEL. 2010. Integrated nutrient management for sugarcane plant-ratoon system. Indian Journal of

Agronomy.

55(2): 147-151.

ZULKARNAIN, M., B. PRASETYA

dan SOEMARNO. 2013.

Pengaruh kompos, pupuk kandang, dan custom-bio terhadap sifat tanah, pertumbuhan dan hasil tebu (Saccharum officinarum

L.) Kebun Ngrangkah-

Pawon, Kediri. Indonesia Green Technology Journal.2(1): 45-52.

Page 16: Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian Indonesian

63

KORELASI SIFAT FISIK DAN KIMIA TANAH DENGAN INTENSITAS PENYAKIT BUSUK PANGKAL BATANG TANAMAN LADA

Correlation of Physical and Chemical Soil Characteristics with Intensity of Foot Rot

Disease of Black Pepper LA ODE SANTIAJI BANDE1), BAMBANG HADISUTRISNO2), SUSAMTO SOMOWIYARJO2),

BAMBANG HENDRO SUNARMINTO2), DAN ABDUL WAHAB 3),

1)Jurusan Agroteknologi Fakultas Pertanian Universitas Halu Oleo Kampus Hijau Bumi Tridharma, Jl. H.E.A. Mokodompit, Kendari 93231

2)Fakultas Pertanian Universitas Gadjah Mada Jl. Flora. Bulaksumur, Yogyakarta 55281

3)Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Sulawesi Tenggara, Badan Litbang Pertanian Jl. Prof. Muh. Yamin No. 89 Kendari 93114

e-mail: [email protected]

Diterima: 26-2-2016; Direvisi: 14-3-2016; Disetujui: 4-4-2016

ABSTRAK

Intensitas penyakit busuk pangkal batang lada yang disebabkan oleh Phytophthora

capsici di

Sulawesi Tenggara mencapai

61,2%, dan sulit dikendalikan karena patogennya terbawa tanah serta perkembangannya sangat dipengaruhi oleh kondisi lingkungan. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui korelasi sifat fisika dan kimia tanah pada pertanaman lada dengan intensitas

penyakit busuk pangkal batang. Intensitas penyakit diukur dari

setiap

subpetak berukuran 15 m x 15 m yang terdiri dari 36–40 tanaman. Sampel tanah berasal dari rizosfir tanaman lada pada setiap subpetak kemudian dicampur dan diambil secara komposit.

Analisis sifat fisika dan kimia tanah dilakukan di Laboratorium

Fisika dan Kimia Tanah Fakultas Pertanian, Universitas Gadjah Mada. Korelasi antara data inten-sitas penyakit dengan sifat fisik serta kimia tanah diolah menggunakan analisis lintas. Hasil penelitian menunjukkan bahwa tingkat kesuburan tanah pada pertanaman lada di lokasi penelitian termasuk rendah. Sifat fisika dan kimia tanah yang

berpengaruh langsung

terhadap rendahnya intensitas penyakit busuk pangkal batang lada adalah tingginya kapasitas tukar kation (KTK), kejenuhan basa (KB), K dan

P tersedia,

serta lengas tanah pada kapasitas lapang.

Sedangkan yang mendukung perkembangan penyakit adalah tingginya kandungan fraksi liat dan pasir, porositas, N total,

C-organik, dan salinitas. Strategi pengendalian penyakit busuk pangkal batang di daerah Sulawesi Tenggara dapat dilakukan dengan meningkatkan KTK, KB, K dan P tersedia, serta perbaikan tekstur tanah yang mampu menurunkan tingginya fraksi liat, pasir dan porositas tanah.

Kata kunci:

lada, tanah, penyakit busuk pangkal batang, strategi pengen-dalian.

ABSTRACT

Foot rot disease of black pepper caused by Phytophthora capsici

is the most destructive disease in Southeast Sulawesi. The disease intensity is 61.2%. This disease is difficult to control because the pathogen is soil borne and influenced by various complex environmental conditions. The study aimed to determine the correlation

of physical and chemical soil characteristics with disease intensity of foot rot of black pepper. Disease intensity was assessed from the subplots of black pepper plantation of 15x15 m2 consisting of 36-40 plants. Soil samples were randomly taken from the rhizosphere of the plants in each sub plot, mixed and taken as a composite. The physical and chemical analyses were conducted in the laboratory of Physics and Chemistry of the Faculty of Agriculture, Gajah

Mada University. Disease intensity and soil characteristics were analyzed its correlation using a path analysis. The results showed that soil fertility in the study area was low. The path analyses indicated that physical and chemical properties that correlated with low disease intensity were high cation exchange capacity (CEC), base saturation (BS), potassium and phosphor available as well as moisture at field capacity, whereas those induced disease development were high content of clay fraction, sand fraction, porosity, total N, C-organic and salinity.

The control strategy for foot rot disease in Southeast Sulawesi was possibly by increasing CEC, BS, potassium and phosphor available, as well as

by improvement of soil texture that can lower high fraction of clay, sand and soil porosity.

Keywords: black pepper, soil,

foot

rot disease, control strategy.

PENDAHULUAN

Penyakit busuk pangkal batang lada merupakan penyakit yang merugikan bagi petani lada di berbagai sentra produksi lada, termasuk Sulawesi Tenggara. Perkiraan kehilangan hasil

akibat penyakit ini pada tahun 2010

sebesar Rp. 16 miliar (DIREKTORAT PERLINDUNGAN

PERKEBUNAN, 2011). Intensitas penyakit

busuk pangkalbatang lada di Sulawesi Tenggara pada tahun 2011 mencapai

61,2% (BANDE

et al., 2014a). Tingginya intensitas penyakit sangat meresahkan petani lada

karena telah merugikan secara ekonomi. Penyakit busuk pangkal batang lada

yang disebabkan oleh Phytophthora capsicimerupakan patogen terbawa tanah (BANDE

et al., 2011) dan mempunyai keragaman genetik yang tinggi

(CHAERANI et al., 2013). Tanaman lada yang terinfeksi P. capsicimenyebabkan pembusukan

pada pangkal batangnya sehingga suplai air dan hara menjadi terhambat, tanaman menjadi layu dan mati.

Patogen terbawa tanah merupakan organisme yang sebagian siklus hidupnya berada di dalam tanah dan perkembangannya dipengaruhi oleh kondisi lingkungan

Jurnal Littri 22(2), Juni 2016. Hlm. 63 - 70 ISSN 0853-8212

Page 17: Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian Indonesian

JURNAL LITTRI VOL. 22 NO. 2, JUNI 2016: 63 - 70

64

dalam tanah. Sifat-sifat tanah berpengaruh terhadap populasi, reproduksi, daya tahan, penyebaran, dan kemampuan patogen untuk menginfeksi dan menyebabkan penyakit pada tanaman (NURHAYATI, 2013). Inokulum dari P. capsici berupa oospora dapat bertahan dalam tanah selama 36 bulan (BABADOOST

dan PAVON, 2013). Inokulum

P.capsici pada kelembaban >80% dan suhu antara 20–28

oC dapat bertahan beberapa tahun dalam tanah tanpa tanaman inang (NGUYEN, 2015).

Kondisi lingkungan tanah

yang kompleks menentukan perkembangan penyakit terbawa tanah.

Pemahaman ekologi tanah yang mempengaruhi

kehidupan patogen dan tanaman merupakan landasan untuk mengembangkan strategi pengendalian penyakit busuk pangkal batang lada.

Sifat-sifat

tanah,

seperti

kandungan

nutrisi,

sangat berpengaruh baik langsung maupun tidak langsung terhadap intensitas

penyakit

busuk pangkal batang lada. Perlakuan tanah dapat mengurangi intensitas penyakit busuk pangkal batang lada (NGUYEN, 2015)

dan inokulum P.

capsici

menjadi berkurang (SANG

et al., 2010; KUMAR

et al., 2012). Kandungan kalium

(K), fosfor (P) dan C-organik

dalam tanah berpengaruh terhadap perkembangan kejadian penyakit tanaman (RAHMAWANTO

et al., 2015).

Secara tidak langsung,

sifat fisika dan kimia tanah dapat

juga

menciptakan kondisi tanaman yang rentan terhadap infeksi patogen.

Setiap lokasi budidaya pertanian mempunyai sifat

fisika

dan kimia tanah yang berbeda sehingga pengaruhnya terhadap intensitas penyakit akan berbeda pula. Variasi jenis tanah mempengaruhi laju infeksi penyakit busuk pangkal batang lada (BANDE

et al., 2015). Kondisi

lokasi yang bervariasi menyebabkan strategi pengendalian penyakit busuk pangkal batang lada akan berbeda sesuai dengan karakteristik lokasinya. Oleh karena itu,

analisis sifat-sifat tanah yang mempengaruhi intensitas penyakit busuk pangkal batang lada di Provinsi Sulawesi Tenggara sangat penting untuk dilakukan. Pemahaman pengaruh sifat fisik dan kimia tanah terhadap peningkatan penyakit secara

baik akan berimplikasi pada

penyusunan strategi pengendalian

penyakit busuk pangkal batang lada

yang efektif.

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui korelasi antara sifat

fisika

dan kimia tanah dengan

intensitas penyakit busuk pangkal batang

lada.

BAHAN DAN METODE

Lokasi dan Waktu Penelitian

Penelitian dilaksanakan di Provinsi Sulawesi Tenggara dan Laboratorium Fisika dan Kimia Tanah, Jurusan Ilmu Tanah, Fakultas Pertanian, Universitas Gadjah Mada. Penelitian ini berlangsung mulai bulan Januari sampai Juni 2011.

Metode Penarikan Sampel

Penelitian diawali dengan melakukan survei pada pertanaman lada untuk mengamati intensitas penyakit dan

mengambil sampel tanah. Lokasi penelitian ditentukan menggunakan metode purposif dengan kriteria merupakan sentra pertanaman lada dengan varietas lokal telah terserangpenyakit busuk pangkal batang minimal dalam dua tahun terakhir (endemik), budidayanya menggunakan tajar hidup (gamal), dan umur tanaman 6–8 tahun.

Kabupaten terpilih yaitu Kabupaten Konawe Selatan,

Kabupaten Konawe, dan

Kabupaten Kolaka Timur. Tiap kabupaten dipilih 2 kecamatan dan setiap kecamatan dipilih 2 desa/kelurahan sebagai lokasi penarikan sampel per-tanaman lada. Teknik penarikan sampel untuk pengamatan intensitas penyakit dilakukan secara sistematik dengan sampel utama adalah unit kebun petani. Apabila dalam satu desa/kelurahan hanya mempunyai satu hamparan kebunmaka sampelnya hanya satu unit,

apabila lebih dari satu

hamparan kebun yang terpisah maka diambil 2 unit sampel sehingga keseluruhannya

diperoleh 15 unit sampel/lokasi. Pada setiap unit hamparan kebun dibuat sub petak pengamatan sebanyak 5 sub petak yang masing-masing berukuran

15 m x 15 m dengan

populasi tanaman sebanyak 36–40 tanaman. Data intensitas penyakit pada masing-masing sub petak kemudian

dirata-rata. Sampel tanah rizosfer diambil pada masing-masing sub petak selanjutnya dicampur rata menjadi satu sampel tanah komposit. Tanah yang diperoleh selanjutnya dianalisis sifat fisika dan kimianya di Laboratorium Fisika dan Kimia Tanah, Fakultas Pertanian, Universitas Gadjah Mada.

Parameter Pengamatan dan Analisis Data

Variabel yang diamati adalah intensitas penyakit

busuk pangkal batang lada, sifat fisika dan kimia tanah, dan status kesuburan tanah. Intensitas penyakit ditentukan berdasarkan rumus:

Ʃa

IP = x 100%

Ʃb

IP

:

Intensitas penyakit (%)

Ʃa

:

Jumlah tanaman yang layu

Ʃb

:

Jumlah total tanaman sampel yang diamati

(BANDE et al., 2014a)

Parameter sifat fisika dan kimia tanah yang diamati, yaitu tekstur, porositas total, kadar lengas pF 2,54 (kapasitas lapangan), pH, C-organik, N-total, P tersedia, K tersedia, Kapasitas Tukar Kation (KTK), Kejenuhan Basa (KB), dan salinitas. Analisis karakteristik tanah meng-gunakan krietria dari BALAI PENELITIAN TANAH

(2009). Kriteria penentuan status kesuburan tanah berdasarkan pada kombinasi dari lima karakteristik tanah yaitu

KTK, KB, C-organik, kadar P2O5

dan K2O (PUSAT PENELITIAN TANAH , 1983).

Keeratan hubungan antar variabel (intensitas penyakit dan sifat fisika-kimia tanah) dianalisis menggunakan analisis korelasi. Besarnya pengaruh masing-masing variabel bebas terhadap variabel tak bebas (terpengaruh) dan hubungan antar variabel diolah dengan menggunakan

Page 18: Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian Indonesian

LA ODE SANTIAJI BANDE et al.: Korelasi Sifat Fisik dan Kimia Tanah dengan Intensitas Penyakit Busuk Pangkal Batang Tanaman Lada

65

analisis lintas (path analysis). Variabel tak bebas (Y) dalam analisis ini yaitu intensitas penyakit, sedangkan variabel bebasnya (X) adalah sifat fisika dan kimia tanah meliputi tekstur, porositas total, kadar lengas pF 2,4 (kapasitas lapangan), pH, C-organik, N-total, P tersedia, K tersedia, KTK (kapasitas tukar kation), KB (kejenuhan basa), dan salinitas. Melalui analisis lintas dapat diketahui pengaruh langsung dan tidak langsung sifat fisika dan kimia terhadap intensitas penyakit. Pengaruh langsung yaitu pengaruh suatu peubah bebas (sifat-sifat tanah) terhadap peubah tidak bebas (intensitas penyakit) secara langsung tanpa dipengaruhi oleh peubah bebas yang lainnya, sedangkan

pengaruh tidak langsung yaitu pengaruh bebas terhadap peubah tidak bebas yang masih dipengaruhi oleh peubah bebas lainnya.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Tingkat

Kesuburan Tanah

dan Intensitas Penyakit

Busuk Pangkal Batang

Data hasil analisis laboratorium sifat-sifat

tanah dan

intensitas penyakit busuk pangkal batang pada tanaman lada

disajikan pada Tabel 1.

Tanah di lokasi penelitian mempunyai pH yang tergolong sangat masam

sampai agak masam

(3,85 –

5,78), C-organik sangat rendah

sampai rendah

(0,79 –

1,94%), N total sangat rendah

sampai rendah

(0,09 –

0,17%), P tersedia sangat rendah

sampai rendah

(0,96 –

5,92 ppm), K tersedia sangat rendah

(0,08

0,27 mg/100g), salinitas sangat rendah

(0,01 –

0,04 (dS/m), KTK rendah

(6,78 –

12,63 me/100 g), dan KB sangat

rendah sampai sangat tinggi (15,48 – 82,08%). Sifat-sifattanah yang dibutuhkan lada supaya tumbuh dan berproduksi baik adalah tanah gembur, pH berkisar antara 5–6,5, dan tidak tergenang bila musim hujan. Kandungan unsur hara yang optimal adalah

N: 0,27%, P2O5: 0,29%, K2O: 0,40%,

MgO: 0,18%,

CaO: 0,50%, dan bahan organik: >2%(KEMENTERIAN PERTANIAN , 2013).

Hasil penilaian status kesuburan tanah berdasarkan gabungan nilai KTK, KB, C-organik, kadar P2O5

dan K2O,

menunjukkan status

kesuburan tanah di lokasi penelitian termasuk tingkat kesuburan rendah. Hal yang sama dilaporkan oleh ALAM

et al. (2012a),

menyatakan status

kesuburan tanah di Provinsi Sulawesi Tenggara termasuk rendah.

Tanah di Provinsi Sulawesi Tenggara

didominasi

oleh jenis Inceptisol dan Ultisol

(ALAM

et al., 2012b) dan

jenis tanah tersebut mempunyai tingkat kesuburan tanah yang relatif rendah (RUHNAYAT,

2011).

Status kesuburan tanah yang rendah di lokasi penelitian sangat mempengaruhi vigor tanaman lada sehingga menjadi rentan terhadap infeksi patogen. Intensitas penyakit akan meningkat pada tanah yang kekurangan unsur hara Kalium (RAHMAWANTO

et al., 2015). Intensitas penyakit busuk pangkal batang lada di lokasi penelitian bervariasi dari kategori ringan sampai sangat berat. Kategori yang digunakan dalam menentukan berat ringannya intensitas penyakit yaitu sehat (intensitas penyakit 0), ringan (intensitas penyakit antara 1 < 25%), sedang (intensitas penyakit > 25% –

<

50%), berat (intensitas penyakit > 50% –

<

75%), dan sangat berat (intensitas penyakit > 75%) (TOMBE

et al., 2012).

Tabel 1.

Hasil analisis tanah dan intensitas penyakit busuk pangkal batang lada di Sulawesi Tenggara

Table 1.

The result of soil analysis and intensity of foot rot disease in black pepper

in Southeast Sulawesi

No.

pH

C-organik (%)

C-organic (%)

N total (%)

Total N

(%)

P tersedia (ppm)

Available P (ppm)

K tersedia

(mg/100gr)

Available

K (mg/100gr)

Salinitas (dS/m)

Salinity (dS/m)

KTK

(me/100g)

CEC

(me/100g)

Kejenuhan Basa (%)

Base Saturation

(%)

Porositas

(%)

Porosity (%)

Lengas pF

2,54(%)

Moisture (%)

Liat (%)

Clay (%)

Pasir (%)

Sand (%)

IP (%)DI (%)

1

4,46

SM*

0,95

SR*

0,09

SR*

3,13

SR*

0,10

SR*

0,02

SR*

7,11

R*

21,94

R*

45,86

27,65

17,20

49,68 89,82

3,95

SM

1,44

R

0,11

R

3,16

SR

0,09

SR

0,01

SR

9,05

R

24,97

R

45,31

25,33

18,43

42,91 68,63

5,05

M

1,12

R

0,09

SR

5,92

R

0,08

SR

0,01

SR

6,78

R

20,50

R

44,58

28,17

16,59

32,53 36,54

4,54

M

1,45

R

0,13

R

3,19

SR

0,21

SR

0,01

SR

11,11

R

41,40

S

47,26

32,93

29,44

26,03 24,85

4,56

M

1,49

R

0,15

R

2,69

SR

0,27

SR

0,02

SR

12,63

R

32,46

R

51,27

39,98

32,75

17,49 20,56

4,45

SM

1,29

R

0,12

R

2,61

SR

0,22

SR

0,04

SR

9,50

R

60,95

T

51,12

32,17

19,65

35,63 27,87

5,78

AM

1,44

R

0,14

R

4,77

SR

0,16

SR

0,03

SR

9,24

R

74,89

T

48,15

33,18

23,17

26,24 21,68

4,84

M

1,45

R

0,12

R

2,61

SR

0,15

SR

0,02

SR

10,62

R

38,61

R

53,24

35,06

20,51

26,08 42,09

5,34

M

1,90

R

0,15

R

3,62

SR

0,20

SR

0,03

SR

8,76

R

82,08

ST

50,81

26,37

18,80

44,72 59,010

4,63

M

0,79

SR

0,11

R

0,96

SR

0,15

SR

0,02

SR

6,89

R

67,20

T

50,51

21,32

15,20

55,65 87,811

3,86

SM

1,11

R

0,12

R

4,20

SR

0,13

SR

0,01

SR

10,04

R

17,83

SR

51,59

31,98

20,19

31,55 41,312

3,97

SM

1,75

R

0,13

R

5,92

R

0,20

SR

0,01

SR

9,82

R

16,60

SR

51,16

36,36

21,23

28,05 19,613

3,86

SM

1,94

R

0,17

R

2,61

SR

0,26

SR

0,02

SR

11,05

R

15,48

SR 49,06

34,84

26,13

24,88 71,614

3,85

SM

1,27

R

0,11

R

1,55

SR

0,12

SR

0,02

SR

9,56

R

19,35

SR

47,94

28,04

22,75

33,12 94,415

4,56

M

1,91

R

0,11

R

2,59

SR

0,26

SR

0,02

SR

12,10

R

22,48

R

50,71

33,57

26,45

14,69 22,0

Keterangan: IP = Intensitas Penyakit; *SM = Sangat Masam; M = Masam; AM = Agak Masam; SR = Sangat Rendah; R = Rendah; S = Sedang; T = Tinggi;ST = Sangat Tinggi

Note: DI = Disease Intensity; VA = Very Acid; A = Acid; RA = Rather Acid; VL = Very Low; L = Low; m = Moderate; H = High; H = Very High

Page 19: Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian Indonesian

JURNAL LITTRI VOL. 22 NO. 2, JUNI 2016: 63 - 70

66

Koefisien Korelasi dan Koefisien Lintas Sifat-Sifat Tanah dengan Intensitas Penyakit Busuk Pangkal Batang

Analisis korelasi dapat memberikan informasi tentang adanya sifat-sifat tanah yang memiliki hubungan dengan intensitas penyakit busuk pangkal batang, baik hubungan positif maupun negatif (Tabel 2). Sifat-sifat tanah yang berhubungan

positif nyata dengan intensitas penyakit

adalah fraksi pasir, sedangkan yang berhubungan negatif

nyata adalah P tersedia, KTK, dan lengas tanah pF 2,54. Sifat fisik dan kimia lainnya tidak berhubungan

secara

nyata dengan intensitas penyakit. Hasil analisis ini mem-berikan informasi bahwa tingginya

fraksi pasir ber-

hubungan dengan tingginya intensitas penyakit,

sedangkan peningkatan P tersedia, KTK, dan lengas tanah pF 2,54 menurunkan intensitas penyakit.

Nilai korelasi ini belum dapat memberikan gambaran kejadian sebenarnya di alam tentang pengaruh sifat-sifat tanah terhadap intensitas

penyakit,

karena

korelasi tidak dapat menunjukkan adanya hubungan sebab akibat antara sifat-sifat tanah (sebagai variabel bebas) dengan intensitas penyakit busuk pangkal batang (sebagai variabel tak bebas). Sebagai contoh, nilai koefisien korelasi porositas tanah (X9) adalah negatif dan tidak nyata

(Tabel 2), tetapi nilai koefisien pengaruh langsungnya pada analisis lintas adalah positif besar

(Tabel 3). Nilai korelasi ini perlu ditelusuri

lebih lanjut dengan menggunakan analisis lintas untuk mengetahui pengaruh langsung dan tidak langsung suatu variabel bebas terhadap variabel tak bebas (YUNIANTI et al., 2010).

Hasil analisis lintas menunjukkan terjadi perubahan nilai koefisien dari beberapa sifat fisika dan kimia tanah. Perubahan koefisien dari negatif pada analisis korelasi menjadi positif pada pengaruh langsungnya terjadi pada variabel C-organik, N total, porositas dan fraksi liat (Tabel 3). Perubahan nilai keofisien tersebut memberikan informasi bahwa variabel-variabel tersebut secara langsung meningkatkan intensitas penyakit, tetapi karena adanya pengaruh variabel lain (pengaruh tidak langsungnya) menyebabkan pengaruh totalnya (koefisien korelasi) menjadi negatif. Penerapannya untuk mengurangi intensitas penyakit adalah memperhatikan pengaruh tidak langsungya yang berkontribusi terhadap penurunan intensitas penyakit. Sebagai contoh, fraksi liat (X11) secara langsung meningkatkan intensitas penyakit, tetapi secara tidak langsung melalui variabel K, KTK, lengas tanah, dan fraksi pasir menurunkan intensitas penyakit. Oleh karena itu, untuk menurunkan intensitas penyakit pada tanah-tanah yang kandungan liatnya tinggi harus diikuti dengan peningkatan K tersedia, KTK, dan tetap mempertahankan lengas tanah pada kapasitas lapang.

Tabel 2.

Matriks korelasi

sifat fisika dan kimia tanah dengan intensitas penyakit busuk pangkal batang lada

di SulawesiTenggara

Table 2.

Correlation matrix between

physical and chemical soil characteristic and

intensity of foot rot disease in blackpepper

in Southeast Sulawesi

X1

X2

X3 X4 X5 X6 X7 X8 X9 X10 X11 X12

X1 1

X2 0,01 1

X3

0,06

0,67**

1

X 0,24 0,16 0,03 1

X5 -0,01 0,67 0,72 -0,20 1

X 0,45 0,11 0,27 0,32 0,34 1

X7 -0,23 0,64 0,57 -0,17 0,76 -0,01 1

X8 0,73 -0,04 0,25 -0,15 0,13 0,68 -0,23 1

X9 -0,02 0,28 0,42 -0,23 0,56 0,33 0,49 0,24 1

X10

-0,07

0,51

0,51

0,26

0,64

0,00

0,80

-0,28 0,44

1

X11 -0,09 0,51

0,58* 0,12 0,73**

-0,04 0,89**

-0,18 0,20 0,76**

1

X12 0,02 -0,58* -0,39 -0,21 -0,59* 0,10 -0,84** 0,34 -0,28 -0,87** -0,80** 1

Y

-0,32

-0,38

-0,24

-0,53*

-0,47

-0,02 -0,52*

-0,08 -0,32

-0,71**

-0,48

0,71**

Keterangan: *dan ** masing-masing nyata pada taraf 0,05 dan 0,01; X1 = pH; X2 = C; X3 = N; X4 = P, X5 = K; X6 = salinitas; X7 = KTK CEC; X8 =KB BS;X9 = porositas; X10 = lengas pF 2,54; X11 = liat; X12 = pasir; Y = intensitas penyakit

Note: * and ** significant at 0,05 and 0,01 levels respectively; X1 = pH; X2 = C; X3 = N; X4 = P, X5 = K; X6 = salinity; X7 = CEC; X8 = BS; X9 = porosity; X10 = moisture pF 2,54; X11 = clay; X12 = sand; Y = disease intensity

Page 20: Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian Indonesian

LA ODE SANTIAJI BANDE et al.: Korelasi Sifat Fisik dan Kimia Tanah dengan Intensitas Penyakit Busuk Pangkal Batang Tanaman Lada

67

Tabel 3. Matriks koefisien lintas pengaruh langsung dan tidak langsung sifat fisika dan kimia tanah terhadap intensitas penyakit busuk pangkal batang lada di Sulawesi Tenggara

Table 3. Path coefficient matrix of direct and indirect effect of physical and chemical characteristics of soil on the intensity of foot rot disease in black pepper in Southeast Sulawesi

Variabel Variable

Pengaruh langsung Direct

effect

Pengaruh tidak langsung melalui variabel Indirect effect through variable

Pengaruh TotalTotal effect

Z1

Z2

Z3

Z4

Z5

Z6

Z7

Z8

Z9 Z10

Z11

Z12

Z1

0,15

-

0,00

0,02

-0,14

0,01

0,13

0,22

-0,65

-0,01

0,02

-0,07

0,01

-0,32

Z2

0,39

0,00

-

0,27

-0,10

-0,45

0,03

-0,63

0,04

0,10

-0,19

0,41

-0,26

-0,38

Z3

0,41

0,01

0,26

-

0,02

-0,48

0,08

-0,56

-0,23

0,15

-0,19

0,46

-0,17

-0,24

Z4

-0,59

0,04

0,06

-0,01

-

0,14

-0,09

0,16

0,14

-0,08

-0,10

-0,10

-0,09

-0,53

Z5

-0,67

-0,00

0,26

0,29

0,12

-

0,10

-0,74

-0,11

0,20

-0,24

0,59

-0,26

-0,47

Z6

0,28

0,06

0,04

0,11

0,19

-0,23

-

0,01

-0,61

0,12

-0,00

-0,04

0,04

-0,02Z7

-0,98

-0,03

0,25

0,23

0,10

-0,51

-0,00

-

0,21

0,18

-0,30

0,71

-0,38

-0,52Z8

-0,89

0,11

-0,02

0,10

0,09

-0,08

0,19

0,22

-

0,09

0,11

-0,15

0,15

-0,08Z9

0,36

-0,00

0,11

0,17

0,14

-0,38

0,09

-0,48

-0,21

-

-0,16

0,16

-0,13

-0,32Z10

-0,37

-0,01

0,20

0,21

-0,15

-0,43

0,00

-0,78

0,25

0,16

-

0,61

-0,39

-0,71Z11

0,81

-0,01

0,20

0,24

0,07

-0,49

-0,01

-0,87

0,16

0,07

-0,28

-

-0,36

-0,48Z12

0,45

0,00

-0,23

-0,16

0,12

0,40

0,03

0,82

-0,30

-0,10

0,32

-0,64

-

0,71R2 = 0,99

Keterangan:

Z1

=

pH;

Z2

=

C-organik;

Z3

=

N;

Z4

=

P;

Z5

=

K;

Z6

=;

Z7

=

KTK;

Z8

=

KB;

Z9

=

Porositas;

Z10

=

Lengas

pF 2,54;

Z11

=

Liat;

Z12

=

Pasir

Note:

Z1 = pH; Z 2

= C-organic ; Z3 = N; Z4 = P ; Z5 = K; Z6

= salinity; Z7 = CEC;

Z8 = BS; Z9 = porosity; Z10 = moisture

pF 2,54; Z11 =; Z12 = sand

Sifat-sifat tanah yang nilai koefisien korelasinya

negatif nyata dan tetap sejalan dengan nilai koefisien pengaruh langsung pada analisis lintas adalah P tersedia (X4), K (X5), KTK (X7), KB (X8) dan lengas tanah pF 2,54 (X10), sedangkan yang nilai

koefisien korelasinya positif nyata dan tetap sejalan dengan nilai koefisien pengaruh langsung pada analisis lintas adalah fraksi pasir (X12). Apabila nilai korelasi antar sifat-sifat tanah

dengan

intensitas penyakit sama dengan nilai pengaruh lang-sungnya, maka nilai korelasi tersebut menunjukkan hubungan yang

sesungguhnya

sehingga pengaruh tidak langsungnya dapat diabaikan.

Peran

Sifat-Sifat Tanah Terhadap Peningkatan Intensitas Penyakit Busuk Pangkal Batang

Sifat fisika dan kimia tanah yang mempunyai

pengaruh langsung positif terhadap intensitas penyakit adalah pH (0,145), C-organik (0,388), N (0,410), salinitas (0,283), porositas (0,364), fraksi liat (0,805) dan fraksi pasir (0,447)

(Tabel 3). Pengaruh langsung positif merupakan

pengaruh dari suatu variabel bebas terhadap peningkatan intensitas penyakit secara langsung tanpa dipengaruhi oleh variabel bebas lainnya.

Peningkatan pH tanah secara langsung mem-pengaruhi peningkatan intensitas penyakit busuk pangkal batang lada.

Peningkatan intensitas penyakit ini disebabkan oleh jumlah populasi patogen yang menginfeksi tanaman semakin meningkat. Phytophthora sp. mampu berkembang pada berbagai kisaran pH tanah (HIDAYAH

dan DJAJADI, 2009).

Patogen

P. capsici

berkembang dengan baik pada kisaran pH antara 4,5–7 dan populasinya semakin meningkat seiring dengan peningkatan pH (BHAI et al., 2010). Pengaruh langsung pH terhadap peningkatan intensitas penyakit dapat dikurangi dengan mengoptimalkan pengaruh tidak langsungnya yakni peningkatan KB

C-organik dalam penelitian ini

secara langsungmeningkatkan intensitas penyakit tetapi pengaruh tidak langsungnya

melalui variabel K, KTK, lengas,

dan fraksi pasir mampu

menurunkan

intensitas penyakit.

Peran langsung C-organik terhadap

peningkatkan intensitas penyakit berhubungan

dengan berkurangnya mikroba antagonis yang menghambat P. capsici, sehingga mikroba yang banyak berkembang di rhizosfer

tanaman lada adalah mikroba patogen (P. capsici).

Berkurangnya mikroba agens antagonis disebabkan

penggunaan herbisida yang tidak terkontrol

di lokasi penelitian. BANDE

et al.

(2014a) melaporkan penggunaan herbisida di pertanaman lada di Sulawesi Tenggara sangat tinggi dan tidak terkendali. Penggunaan herbisida Parakuat yang tinggi pada tanah Ultisol menyebabkan penurunan populasi agensia hayatiTrichoderma

sp. dan Gliocladium

sp. (BANDE

dan RAHMAN, 2007). Peran langsung C-organik ini dapat dikurangimelalui optimalisasi

pengaruh tidak langsungnya yaitu melalui

peningkatan K dan KTK.

Peningkatan N total menyebabkan peningkatan intensitas penyakit,

karena nilai koefisien lintas dari pengaruh langsungnya yang besar dan positif (0,41) serta koefisien korelasinya kecil dan negatif

(-0,24). Peran hara N total dalam peningkatkan intensitas penyakit didukung oleh pengaruh tidak langsungnya melalui variabel C-organik (X2) dan fraksi liat (X11). Interaksi antara N totaldengan

C-organik

dan

fraksi liat

meningkatkan intensitaspenyakit, tetapi

interaksinya

dengan

K tersedia, KTK, dan fraksi pasir menurunkan intensitas penyakit. Oleh karena itu, pengaruh langsung N dalam meningkatkan intensitas penyakit dapat dikurangi dengan peningkatan K tersedia dan perbaikan KTK. FAHMI et al. (2010) dan RUHNAYAT

(2011) mengemukakan bahwa pasokan N yang terlalu tinggi pada tanaman dapat menyebabkan meningkatnyaukuran sel sehingga daun dan batang tanaman menjadi

Page 21: Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian Indonesian

JURNAL LITTRI VOL. 22 NO. 2, JUNI 2016: 63 - 70

68

sukulen dan kurang keras. Kondisi yang demikian menurut KOIKE et al. (2011) dapat mengakibatkan tanaman rentan terhadap infeksi patogen.

Peran salinitas berdasarkan hasil analisis korelasi sangat rendah dan bahkan dapat diabaikan, tetapi hasil analisis lintas perannya secara langsung menjadi positif terhadap peningkatan intensitas penyakit busuk pangkal batang lada. Salinitas tanah yang tinggi menyebabkan tanaman mengalami predisposisi terhadap infeksi patogen. Peningkatan salinitas menyebabkan peningkatan kejadian penyakit (SOULI

et al., 2014).

Nilai koefisien pengaruh langsung porositas tanah (X9) hasil analisis lintas adalah positif besar yang menunjukkan bahwa peningkatan porositas tanah secara langsung meningkatkan intensitas penyakit. Peran porositas tanah dalam meningkatkan intensitas penyakit berkaitan

dengan

proses

kehilangan hara yang tinggi akibat pencucian sehingga tanahnya menjadi miskin hara. Tanah-tanah yang relatif miskin unsur hara cenderung memiliki

kejadian penyakit yang besar (SUSANTO

et al., 2013). Porositas tanah yang tinggi dapat meningkatkan intensitas penyakit busuk pangkal batang, juga disebabkan faktor akar tanaman yang lebih cepat bergerak ke sumber inokulum atau sebaliknya. Peran porositas tanah dalam meningkatkan intensitas penyakit menjadi berkurang setelah berinteraksi dengan K tersedia, KTK, KB, dan lengas tanah pF 2,54 (pengaruh tidak

langsungnya). Oleh karena itu, pengaruh porositas tanah terhadap peningkatan penyakit dapat dikurangi dengan peningkatan K tersedia, KTK, KB, dan lengas tanah pF 2,54.

Fraksi liat (X11)

mempunyai

koefisien pengaruh

langsung yang positif besar terhadap intensitas penyakit busuk pangkal batang lada. Besarnya pengaruh langsung dalam meningkatkan intensitas penyakit disebabkan kemampuan fraksi liat dalam mengikat air tanah. Menurut INTARA

et al.

(2011), liat mempunyai permukaan yang luas dan bermuatan

listrik sehingga makin banyak air yang diikat pada partikel tanah.

Dampak pengaruh langsung yang besar ini dapat dieliminir oleh pengaruh tidak langsungnya melalui variabel K tersedia, KTK, lengas, dan fraksi pasir sehingga pengaruh totalnya menjadi kecil dan negatif. Faktor lain yang menyebabkan peningkatan intensitas penyakit pada kandungan liat yang tinggi berkaitan dengan defisiensi K. Unsur hara pada tanah yang bertekstur liat banyak terserap di dalam tanah sehingga menjadi tidak tersedia bagi tanaman (RUHNAYAT, 2011).

Tanah yang mempunyai kandungan kalium yang tinggi memiliki kejadian penyakit layu bakteri yang rendah (RAHMAWANTO

et al., 2015)

Fraksi pasir (X12) memberikan pengaruh langsung positif besar terhadap

intensitas penyakit,

dan hal ini sejalan dengan nilai koefisien korelasinya

yang juga positif, artinya fraksi pasir yang tinggi akan meningkatkan intensitas penyakit. Pasir mempunyai ukuran pori yang besar sehingga memudahkan pergerakan patogen dalam tanah. SUSANTO et al. (2013) melaporkan bahwa kejadian penyakit dan laju infeksi penyakit busuk pangkal batang pada kelapa

sawit di tanah bertekstur pasir ternyata lebih tinggi dibandingkan dengan tekstur tanah lainnya. Untuk mengurangi intensitas penyakit busuk pangkal batang lada pada tanah pasir yang tinggi dapat dilakukan dengan mengoptimalkan pengaruh tidak langsungnya melalui perbaikan variabel C-organik, N, total, KB, lengas, dan liat.

Peran Sifat-Sifat Tanah Terhadap Penurunan Intensitas Penyakit Busuk Pangkal Batang

Lada

Hasil analisis lintas pada Tabel 3, menunjukkan

bahwa variabel yang mempunyai pengaruh langsung negatif terhadap intensitas penyakit adalah

P tersedia

(-0,594), K (-0,674), KTK (-0,978), KB (-0,893), dan lengas tanah pF 2,54 (-0,371). Variabel KTK, KB, K tersedia, dan P tersedia

mempunyai nilai koefisien lintas

yang besar dan negatif. Hal ini berarti peningkatan nilai variabel-variabel tersebut secara langsung akan menurun-kan intensitas penyakit busuk pangkal

batang. Penerapan-nya dalam pengelolaan penyakit busuk pangkal batang pada tanaman lada

adalah

merekayasa lingkungan tanah agar terjadi peningkatan nilai

KTK,

KB,

K dan P

serta memper-tahankan agar lengas tanah tetap pada kapasitas lapangsehingga tanaman lada tumbuh lebih sehat.

Peningkatan unsur

P dan K tersedia akan dapat menurunkan

intensitas penyakit busuk pangkal batang. Unsur hara P dalam tanaman berperan penting dalam menunjang proses fotosintesis, sedangkan unsur K dalam penyusunan komponen tanaman, seperti selulosa. Kan-dungan P dan K yang seimbang akan meningkatkan vigor tanaman lada sehingga lebih tahan terhadap infeksi P. capsici,

terutama saat musim hujan. Pemberian nutrisi P dan K yang seimbang meningkatan ketahanan tanaman terhadap infeksi patogen Phytophthora

sp. (SCOTT

et al., 2015). RAHMAWANTO

et al. (2015), melaporkan bahwa unsur K yang tinggi dapat menurunkan intensitas penyakit.

Peningkatan nilai KTK dan KB akan dapat meningkatkan penyediaan unsur hara yang dibutuhkan tanaman

sehingga tanaman tumbuh dengan optimal. Unsur hara yang mudah diserap oleh tanaman menyebabkan vigor tanaman meningkat sehingga

relatif lebih tahan terhadap infeksi patogen. Peningkatan nilai KTK dan KB secara langsung menurunkan intensitas penyakit (Tabel 3).

Kation-kation basa umumnya merupakan unsur hara yang diperlukan tanaman

(SUDARYONO, 2009). Peranan kation-kation basa secara langsung mampu menurunkan intensitas penyakit busuk pangkal batang pada tanaman lada (BANDE

et al., 2014b).

Lengas tanah pF 2,54 (X10) secara langsung mempunyai koefisien lintas negatif dan sejalan dengan koefisien korelasinya. Lengas tanah pF 2,54 merupakan air tersedia yang diserap langsung tanaman sehingga kebutuhan air bagi tanaman terpenuhi. Lengas tanah yang baik menyebabkan kelarutan unsur hara menjadi optimal dan mudah diserap oleh akar tanaman (TRIANA

et

al., 2013). Penyerapan unsur hara yang baik dan optimal menyebabkan vigor tanaman menjadi lebih baik, sehingga dapat mening-katkan ketahanan tanaman terhadap infeksi patogen.

Page 22: Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian Indonesian

LA ODE SANTIAJI BANDE et al.: Korelasi Sifat Fisik dan Kimia Tanah dengan Intensitas Penyakit Busuk Pangkal Batang Tanaman Lada

69

Hasil analisis dari penelitian ini (korelasi dan analisis lintas) lebih bersifat spesifik lokasi karena sangat dipengaruhi oleh perbedaan faktor lingkungan, sehingga penelitian ini memiliki keterbatasan dalam validitas eksternalnya. BANDE et al. (2015) melaporkan bahwa perubahan jenis tanah menyebabkan perbedaan

intensitas

penyakit busuk pangkal batang lada. Kemampuan P. capsici

dalam menginfeksi tanaman sangat dipengaruhi

oleh kondisi lingkungan (LAMOUR

et al., 2011). Implikasi untuk strategi penerapan

dari hasil penelitian ini akan lebih

efektif pada

pertanaman lada di daerah Sulawesi Tenggara,

dan di

daerah lain

kemungkinan tidak efektif lagi. Oleh

karena itu, setiap daerah sentra produksi lada akan memiliki strategi pengendalian yang berbeda pula

sesuai dengan

karakteristik daerahnya

(spesifik lokasi).

KESIMPULAN

Tingkat kesuburan tanah pada pertanaman lada di daerah Sulawesi Tenggara termasuk rendah. Sifat fisika dan kimia tanah yang berpengaruh langsung terhadap rendahnya intensitas penyakit busuk pangkal batang lada adalah tingginya kapasitas tukar kation (KTK), kejenuhan basa (KB), K dan

P tersedia,

serta lengas tanah pada kapasitas lapang.

Sedangkan yang mendukung perkem-bangan penyakit adalah tingginya kandungan fraksi liat dan pasir, porositas, N total,

C-organik, dan salinitas.

Strategi pengendalian penyakit busuk pangkal batang pada pertanaman lada di daerah Sulawesi Tenggara dapat dilakukan dengan meningkatkan KTK, KB, K dan

P tersedia, serta

perbaikan tekstur tanah yang mampu menurunkan tingginya fraksi liat, pasir dan porositas tanah.

UCAPAN TERIMA KASIH

Penulis

mengucapkan

terima kasih kepada Asis, S.P., dan

Muhammad, S.P. atas bantuannya dalam pengumpulan data dan pengambilan sampel tanah di lapangan, serta

kepada semua pihak yang telah membantu dalam penelitian ini.

DAFTAR PUSTAKA

ALAM, S., B.H. SUNARMINTO,

dan S.A. SIRADZ.

2012a.

Karakteristik kesuburan tanah pada kondisi iklim berbeda di Sulawesi Tenggara. Majalah Ilmiah Agriplus. 22(01): 77-84.

ALAM, S., B.H. SUNARMINTO, dan S.A. SIRADZ. 2012b. Karakteristik bahan induk tanah dari formasi geologi kompleks

ultramafik di Sulawesi Tenggara. Jurnal Agroteknos. 2(2): 112-120.

BABADOOST, M. and C. PAVON. 2013. Survival of oospores of Phytophthora capsici in soil. Plant Disease. 97(11): 1478-1483.

BALAI PENELITIAN TANAH. 2009. Petunjuk Teknis Analisis Kimia Tanah, Tanaman, Air, dan Pupuk. Balai Besar Sumber Daya Lahan Pertanian. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Departemen Pertanian. Bogor. 234 hlm.

BANDE, L.O.S. dan

A. RAHMAN.

2007. Pengaruh herbisida parakuat terhadap jamur agensia hayati dan keparahan penyakit busuk pangkal batang lada. Jurnal Agrivita. 29(3): 278-283.

BANDE, L.O.S., B. HADISUTRISNO, S. SOMOWIYARJO, dan B.H.

SUNARMINTO.

2011. Karakteristik Phytophthora capsici

isolat Provinsi Sulawesi Tenggara.

Majalah

IlmiahAgriplus. 21(01): 75-82. BANDE, L.O.S., B. HADISUTRISNO, S. SOMOWIYARJO, dan B.H.

SUNARMINTO.

2014a. Pola agihan dan intensitas

penyakit busuk pangkal batang lada di Provinsi Sulawesi Tenggara.

Jurnal Agroteknos. 4(1): 58-65.BANDE, L.O.S., T. WIJAYANTO, and GUSNAWATY HS . 2014b.

The role of soil chemical properties (C/N ratio, exchangeable bases, and redox potential) toward disease incidence of foot rot disease in black pepper. Proceeding Celebes International Conference on Earth Sciences. Kendari. p. 418-423.

BANDE, L.O.S., B. HADISUTRISNO, S. SOMOWIYARJO, dan B.H.

SUNARMINTO. 2015. Epidemi penyakit busuk pangkal batang lada pada kondisi lingkungan yang bervariasi. Jurnal Hama dan Penyakit Tumbuhan Tropika. 15(1): 95-103.

BHAI, R.S, S. RAJ

and A. KUMAR. 2010. Influence of soil pH and moisture on the biocontrol potential of Trichoderma harzianum

on Phytophthora capsici-black pepper system. Journal of Biological Control. 24(2): 153-157.

CHAERANI, S. KOERNIATI, dan D. MANOHARA. 2013. Analisis keragaman genetik Phytophthora capsici

Leonian asal lada (Piper nigrum

L.) menggunakan penanda molekuler. Jurnal Littri. 19(1): 23-32.

DIREKTORAT PERLINDUNGAN PERKEBUNAN. 2011. Rekapitulasi data Organisme Pengganggu Tanaman (OPT) tahun 2010. Direktorat Jenderal Perkebunan. Departemen Pertanian. Jakarta.

54 hlm.

FAHMI, A., SYAMSUDIN, S.N.H. UTAMI

dan B. RADJAGUKGUK. 2010. Pengaruh interaksi hara Nitrogen dan Fosfor terhadap pertumbuhan tanaman jagung (Zea mays L.) pada tanah Regosol dan Latosol. Berita Biologi. 10(3): 297-304.

HIDAYAH, N. dan

DJAJADI.

2009. Sifat-sifat tanah yang mempengaruhi perkembangan patogen tular tanah pada tanaman tembakau. Perspektif 8(2): 74-83.

INTARA, Y.S., A. SAPEI, ERIZAL, N. SEMBIRING

dan M.H.B.

DJOEFRIE. 2011. Pengaruh pemberian bahan organik pada tanah liat dan lempung berliat terhadap kemampuan mengikat air. Jurnal Ilmu Pertanian Indonesia. 16(2): 130-135.

KEMENTERIAN PERTANIAN . 2013. Peraturan Menteri Pertanian Republik Indonesia Nomor 10/PERMENTAN/OT.140/1/2013 tentang Pedoman

Page 23: Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian Indonesian

JURNAL LITTRI VOL. 22 NO. 2, JUNI 2016: 63 - 70

70

Teknis Pembangunan Kebun Induk Lada. Berita Negara Republik Indonesia No. 132. Jakarta. 39 hlm.

KOIKE, S.T., K.V. SUBBARAU, R.M. DAVIS, and T.A. TURUNI. 2011. Vegetable Disease caused by Soilborn Pathogen . ANR Publication 8099. http://anrcatalog.ucdavis.edu/pdf/8099.pdf. [diunduh tanggal 6 Februari 2011].

KUMAR, N.R., K.R. KUMAR, and K. SESHAKIRAN. 2012.

Management of Phytophthora

foot rot disease in black pepper. Green Farming. 3(5): 583-585.

LAMOUR, K.H., R. STAM, J. JUPE

and E. HUITEMA. 2011. The oomycete broad-host-range pathogen Phytophthora capsici. Molecular Plant Pathology. 13: 329-337.

NGUYEN, V.L. 2015. Spread of Phytophthora capsici

in black pepper (Piper nigrum) in Vietnam. Enggineering. 7: 506-513.

NURHAYATI. 2013. Tanah dan perkembangan patogen tular tanah. Prosiding Seminar Nasional VII. Masyarakat Konservasi Tanah Indonesia. Meningkatkan Ketahanan Pangan dan Mencegah Kekeringan dan Kelangkaan Air. Palembang. hlm. 326-330.

PUSAT PENELITIAN TANAH . 1983. Lampiran Tor of

Reference

Klasifikasi Kesesuaian Lahan. No.59b/

1983. P3MT Balitbang Departemen Pertanian. Bogor. 23 hlm.

RAHMAWANTO, D.G., A. MUHIBUDDIN, dan L.Q. AINI. 2015.

Pengaruh faktor abiotik kimia tanah terhadap supressifitas tanah dalam mengendalikan penyakit layu bakteri (Ralstonia solanacearum ) pada tanaman tomat (Lycopersicon esclentum

Mill). Jurnal Hama dan Penyakit Tumbuhan. 3(2): 1-8.

RUHNAYAT, A.

2011. Respon tanaman lada perdu terhadap pemupukan NPK pada jenis tanah Inceptisols dan Ultisols. Buletin Littro. 22(1): 23-32.

SANG, M.K., J.G KIM, and K.D. KIM. 2010. Biocontrol activity and induction of systemic resistance in pepper by compost water extracts against Phytophthora capsici . Phytopathology. 100: 774-783.

SCOTT, P.M., P.A. BARBER and G.E.S.J. HARDY. 2015. Novel phosphite and nutrient application to control Phytophthora cinnamommi

disease. Australasian Plant

Pathology. 44:

431-436. SOULI, M., P. ABAD-CAMPUS, A. PEREZ-SIERRA, S. FATTOUCH, J.

ARMENGOL, and N. BOUGHALLEB-M’HAMDI. 2014. Etiology of apple tree dieback in Tunisia and abiotic factors associated with the disease. African Journal of Microbiology Reseacrch. 8(23): 2272-2281.

SUDARYONO. 2009. Tingkat

kesuburan tanah ultisol pada lahan pertambangan batubara Sangatta Kalimantan Timur. Jurnal Teknologi Lingkungan. 10(3): 337-346.

SUSANTO, A., A.E. PRASETYO, dan S. WENING. 2013. Laju infkesi Ganoderma

pada empat kelas tekstur tanah. Jurnal Fitopatologi Indonesia. 9(2): 39-46.

TOMBE, M., D. PANGERAN, dan T.S. HARYANI. 2012. Keefektifan formula minyak cengkeh dan

serai wangi terhadap Fusarium oxysporum

f.sp. vanillae

penyebab busuk batang vanila. Jurnal Littri. 18(4): 143-150.

TRIANA, A.N, H. AGUSTINA, dan S.A. AGUSTINA. 2013. Irigasi genangan untuk pertumbuhan tanaman cabai merah (Capsicum annum

L.) Prosiding Seminar Nasional VII. Masyarakat Konservasi Tanah Indonesia. Meningkatkan Ketahanan Pangan dan Mencegah Kekeringan dan Kelangkaan Air. Palembang. hlm. 165-173.

YUNIANTI, R., S. SASTROSUMARJO, S. SUJIPRIHATI, M.

SURAHMAN, dan S.H. HIDAYAT. 2010. Kriteria seleksi untuk perakitan varietas cabai tahan Phytophthora capsici Leonian. Jurnal Agronomi Indonesia. 38(2): 122-129.

Page 24: Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian Indonesian

71

RESPON TANAMAN LADA (PIPER NIGRUM L.) VARIETAS CIINTEN TERHADAP IRADIASI SINAR GAMMA

Respons of Gamma Irradiation on Black Pepper (Piper nigrum L.)

Ciinten Variety NUR LAELA

WAHYUNI MEILAWATI

1, , NURLIANI BERMAWIE1

AGUS PURWITO2, DYAH MANOHARA1

1

Balai Penelitian Tanaman Rempah dan Obat, Jalan

Tentara Pelajar No. 3

Cimanggu, Bogor 16111 2

Departemen Agronomi dan Hortikultura, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor , Jalan

Meranti, Kampus

IPB Darmaga 16680

email: [email protected]

Diterima: 1-3-2016; Direvisi: 14-3-2016; Disetujui: 4-4-2016

ABSTRAK

Lada merupakan tanaman introduksi dan selalu diperbanyak secara vegetatif,

sehingga keragaman genetiknya sempit. Keragaman genetik

yang tinggi penting untuk menghasilkan varietas baru, khususnya untuk pemuliaan ketahanan terhadap penyakit busuk pangkal batang (BPB).

Salah satu cara untuk meningkatkan keragaman genetik adalah melalui iradiasi sinar gamma. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui

respon lada varietas Ciinten pada fase benih dan fase benih dengan radikula

terhadap iradiasi sinar gamma.

Penelitian dilakukan di PAIR BATAN dan rumah kaca Balittro

mulai bulan Juni 2014 sampai bulan April 2015.

Bahan tanaman yang digunakan adalah biji lada lokal Ciinten pada fase benih dan fase benih dengan radikula. Rancangan percobaan menggunakan Rancangan Acak Lengkap (RAL) dengan satu faktor yaitu dosis iradiasi

dengan tujuh

taraf yaitu (0, 25, 50, 75, 100, 125, 150)

Gy. Masing-masing perlakuan terdiri dari tiga

ulangan, setiap ulangan terdiri dari 60 benih. Kedua fase menghasilkan keragaan pada karakter tinggi tanaman, panjang daun, jumlah daun dan jumlah ruas yang menunjukkan perbedaan secara signifikan antar dosis. Radiosensitivitas lada pada fase benih dengan radikula

lebih tinggi dibandingkan dengan fase benih ditunjukkan oleh nilai LD50

(Lethal Dose

50). LD50

pada lada fase benih yaitu 68.15 Gy, sedangkan LD50 fase benih dengan radikula

yaitu 30 Gy. Semakin tinggi dosis

iradiasi

yang diberikan

pada kedua fase perlakuan mengakibatkan

tinggi tanaman, panjang daun semakin terhambat pertumbuhannya

sehingga jumlah daun dan jumlah

ruas semakin sedikit. Dosis iradiasi 25 dan 50 Gy pada fase benih dan 25 Gy pada fase benih dengan radikula

nyata meningkatkan keragaman genetik berdasarkan karakter morfologi kuantitatif, morfologi kualitatif dan anatomi serta

ketahanan

daun

terhadap

infeksi

P.

capsici.

Delapan belas mutan putatif tahan terhadap infeksi P.

capsici. Kedelapan belas mutan putatif lada varietas Ciinten ini diharapkan menjadi varietas unggul dengan penelitian lebih lanjut di rumah kaca dan di lapang untuk mengetahui potensi produksi dan mutunya.

Kata kunci: respon pertumbuhan, iradiasi, lada, radikula, benih

ABSTRACT

Pepper is an introduced species

and has always

been

propagated vegetatively, so it has narrow genetic

base. High genetic diversity is necessary to produce new varieties,

especially for breeding of resistance to foot rot disease. Increasing genetic diversity can be done through gamma ray irradiation. This research aims to evaluate response of black pepper Ciinten variety at seed and radicle emergence phases to gamma ray irradiation. The research was conducted in PAIR BATAN and greenhous e IMACRI from June 2014 to April 2015. The plant material was Ciinten variety at the seed and radicle emergence phases. The experimental design

used

was

completely randomized design (CRD) with one factor

which is dose

of irradiation with seven levels

(0, 25, 50, 75, 100, 125, 150) Gy. Each treatment consisted of three replications, each replication consisted of 60 seeds. Both phases showed significant differences in perfomances between dose

in plant height, leaf length, number of leave,

number of internode. Radiosensitivity of

pepper on radicle emergence phase was higher than the seed phase

indicated by

LD50 (Lethal

Dose

50). LD50 at seed phase was

68.15 Gy, whereas LD50 of the radicle emergence phase was 30 Gy. The higher irradiation dose

that

given to

both

treatment phasescaused reduction in plant height, leaf length, while the number of leaves and

nodes

decreasing.

Irradiation dose

25 dan 50 Gy in seed phase and 25 Gy in radicle emergence phase significantly

increase genetic diversity baseon quantitative, qualitative

characters, anatomy and leaf resistence to P.capsici

infection.

Eighteen putative mutants resistant to infection P.capsici. Eighteen mutant putative Ciinten pepper varieties were expected to be high yielding varieties with more research in the greenhouse and in the field to determine the production and quality potential.

Keywords: growth respons, iradiation, pepper, radicle, seed

PENDAHULUAN

Lada (Piper nigrum

L.) merupakan tanaman yang buahnya berfungsi sebagai bumbu masakan, obat

herbal, anti bakteri dan anti oksidan.

Kebutuhan lada dunia mencapai 350 ribu ton/tahun. Kontribusi Indonesia sebagai pengekspor lada mencapai 29% dari kebutuhan dunia, terbesar kedua setelah Vietnam

(IPC, 2013). Produksi ladanasional

tahun 2014 mencapai 91.941 ton (DIREKTORAT

JENDERAL PERKEBUNAN,

2014).

Salah satu kendala dalam budidaya lada

adalahpenyakit busuk pangkal batang (BPB) yang disebabkan oleh Phytophthora capsici

(WAHYUNO et al.,

2010).Serangan pada daun akan menimbulkan bercak yangmeluas keseluruh permukaan daun, sedangkan serangan pada pangkal batang dan akar dapat menyebabkan tanamanmati (MANOHARA

et al.,

2005). Tingkat serangan cendawan P. capsici pada tanaman lada sangat dipengaruhi oleh tingkat ketahanan tanaman, virulensi cendawan tersebut dan faktor lingkungan. Kehilangan hasil lada akibat penyakit

Jurnal Littri 22(2), Juni 2016. Hlm. 71 - 80 ISSN 0853-8212

Page 25: Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian Indonesian

JURNAL LITTRI VOL. 22 NO. 2, JUNI 2016: 71 - 80

72

BPB pada triwulan ketiga tahun 2010 sebesar 16 milyar rupiah.

Upaya mengatasi penyakit BPB telah dilakukan antara lain dengan perbaikan kultur teknis yaitu pemberian nutrisi untuk meningkatkan ketahanan tanaman (MANOHARA et al., 2005)

dan pengendalian secara kimia

atau agens hayati

maupun terpadu (WAHYUNO

et al.,

2007),

namun

hasilnya

belum signifikan dan

pengendalian penyakit secara kimiawi berdampak negatif terhadap lingkungan. Salah satu alternatif untuk mengatasi masalah penyakit pada tanaman lada adalah dengan menggunakan bibit yang berasal dari varietas lada yang tahan. Perakitan

varietas tahan merupa-

kan pendekatan yang paling efektif, ekonomis dan ramah lingkungan.

Ciinten adalah salah satu varietas unggul lada yang telah dilepas

Balittro

(BERMAWIE

et al., 2015b),

mempunyai

produksi lebih tinggi dibanding

lada varietas Petaling-1

(BERMAWIE

et al.,

2013). Varietas Petaling-1 merupakan varietas yang peka terhadap penyakit busuk pangkal batang

yang disebabkan oleh P. capsici. Hasil pengujian

daun

secara in vitro

varietas Ciinten ini ternyata moderat tahan terhadap infeksi P. capsici

sehingga diperlukan metode pemuliaan untuk meningkatkan karakter ketahanannya.

Keberhasilan pembentukan varietas tahan

ditentukan oleh tersedianya plasma nutfah dengan keragaman genetik yang tinggi. Salah satu cara

untuk

meningkatkannya adalah dengan induksi mutasi (SUWARNO

dan SILITONGA,

1996). Mutagen fisik dengan sinar gamma lebih banyak digunakan karena

memiliki energi dan daya tembus tinggi, memiliki frekuensi dan spektrum iradiasi dan tergantung pada dosis dan laju dosis yang digunakan. Pengaruh iradiasi fisik ini sangat efisien menyebabkan perubahan materi genetik (MEDINA

et.al., 2005)

seperti

anyelir

(AISYAH

et al.,

2009)

kalus nilam (KADIR

et.al.,

2007), kalus tebu (SUHESTI, 2015), rimpang jahe (BERMAWIE

et.al., 2015a).

Respon tanaman terhadap efek iradiasi sinar gamma dipengaruhi oleh

faktor genetik

(genus, spesies, genotipe, varietas), bagian tanaman, umur fisiologis tanaman dan laju dosis radiasi yang digunakan

(SHU

et al., 2012). Untuk mengetahui bagian tanaman yang paling respon terhadap dosis iradiasi (radiosensitivitas) diperlukan fase pertum-buhan yang optimal dalam menangkap efek iradiasi. Penelitian ini bertujuan

untuk

mengetahui respon lada varietas Ciinten pada fase benih dan fase benih dengan radikula

terhadap iradiasi sinar gamma.

BAHAN DAN METODE

Waktu dan Tempat

Penelitian ini dilaksanakan dari bulan Juni 2014 sampai bulan April 2015. di Pusat Aplikasi Isotop dan Radiasi (PAIR) BATAN, Jakarta Selatan, Rumah Kaca dan Laboratorium Genetika dan Molekuler, Balittro. Pengamat-an morfologi dilakukan di rumah kaca Balittro

serta

Laboratorium Mikroteknik IPB, Darmaga.

Metode

Bahan tanaman yang digunakan adalah biji lada varietas Ciinten pada fase benih dan fase benih dengan radikula. Fase benih yaitu biji lada yang berwarna merahdipisahkan antara kulit dan benihnya, sedangkan fase benih dengan radikula

yaitu benih lada yang sudah terpisah dari

kulitnya diletakkan

pada cawan petri kemudian diseleksi pada hari ke-12 hingga hari ke-15, untuk mendapatkan radikula lada dengan ukuran sekitar 0.1-1 cm, kemudiankeduanya

diberi perlakuan iradiasi sinar gamma. Penelitian

menggunakan Rancangan Acak Lengkap (RAL) dengan satu faktor yaitu dosis iradiasi

dengan tujuh

taraf yaitu (0,

25, 50, 75, 100, 125, 150) Gy. Masing-masing perlakuan terdiri dari tiga ulangan, setiap ulangan terdiri dari 60 benih. Benih hasil iradiasi

sinar gamma pada kedua fase

masing-masing ditanam pada bak persemaian yang berisi pasir, setelah mencapai 3-4 daun tanaman lada dipindah ke dalam polibag yang berisi tanah dan pupuk kandang (2:1) untuk

memaksimalkan

pertumbuhan tanaman.

Radiosensitivitas Lada terhadap Iradiasi Sinar Gamma

Radiosensitivitas

yaitu sensitivitas suatu materi genetik terhadap radiasi. Ini dapat diukur berdasarkan nilai LD (Lethal Dose)

yaitu dosis yang menyebabkan kematian dari populasi tanaman yang diiradiasi. Dosis yang rendah dapat menyebabkan “diplontic selection” sehingga me-mungkinkan mutan dapat kembali lagi ke asalnya, sedangkan dosis yang tinggi dapat menyebabkan steril atau bahkan mengalami kematian. Dosis optimum yang dapat menghasilkan mutan terbanyak umumnya diperoleh disekitar dosis lethal (DATTA , 2001). Radiosensitivitas dihitung berdasarkan persentase tanaman yang hidup 50%(LD50) dengan menggunakan program curve fit analysis.

Respon Karakter Morfologi

terhadap Iradiasi Sinar Gamma

Respon tanaman terhadap dosis iradiasi diamati pada

karakter morfologi kuantitatif

dan kualitatif. Karakter kuantitatif

meliputi tinggi tanaman (cm), panjang daun (cm), jumlah daun dan jumlah ruas

saat

tanaman umur 8BST (Bulan Setelah Tanam). Pengamatan dilakukan pada seluruh tanaman lada yang hidup setelah diberi perlakuan iradiasi pada masing-masing dosis. Data

dianalisis uji F pada taraf nyata 5% dengan menggunakan program SAS, bila hasilnya berbeda nyata maka akan diuji lanjut dengan uji Duncan (Duncan’s Multiple Range Test -DMRT). Karakter

kualitatif yang diamati yaitu bentuk daun, bentuk pangkal daun, tepi daun diamati berdasarkan IPGRI (1995) dan warna daun yang diamati dengan menggunakan Colour Chart Royal Horticultural Society (RHS, 2007).

Respon Karakter Anatomi (Stomata)

terhadap Iradiasi Sinar Gamma

Stomata diamati pada masing-masing dosis dengan 10 sampel individu pada daun ketiga dan keempat. Sampel

Page 26: Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian Indonesian

NUR LAELA WAHYUNI MEILAWATI et al.: Respon Tanaman Lada (Piper nigrum L.) Varietas Ciinten terhadap Iradiasi Sinar Gamma

73

stomata menggunakan metode preparat awetan. Permukaan bawah daun diolesi dengan cat kuku setelah mengering dilekatkan pada selotip bening lalu dikelupas dan diletak-kan di atas gelas objek. Pengamatan dengan mikroskop pada bidang pandang perbesaran 40x. Pengamatan meliputi banyaknya stomata, panjang dan lebar stomata, kerapatan stomata serta indeks stomata.

Setiap sampel preparat

diamati tiga bidang pandang.

Kerapatan stomata =

Indeks stomata =

Respon karakter anatomi terhadap dosis iradiasi dianalisis ragam dengan uji

F pada taraf nyata 5% dengan menggunakan program SAS, bila hasilnya berbeda nyata maka akan diuji lanjut dengan uji Duncan (Duncan’s Multiple Range Test-DMRT).

Respon Karakter

Ketahanan Daun terhadap Infeksi Phytophthora capsici Hasil Iradiasi Sinar Gamma

Penelitian ini dilakukan dengan metode observasi. Sampel tanaman yang digunakan adalah seluruh tanaman yang hidup. Masing-masing tanaman dengan tiga ulangan dan diamati tiga daun, yaitu daun ketiga, keempat dan kelima pada umur 10 BST. Inokulasi daun dilakukan menggunakan potongan biakan P. capsici dengan diameter 0,5 cm diletakkan pada permukaan bawah daun. Daun daun tersebut

disimpan pada wadah

yang lembab

dan

diinkubasi selama 2-4 hari

pada kondisi suhu ruang, pengamatan dilakukan terhadap luas bercak daun

yang terjadi

pada tiap daun dengan menggunakan leaf area

meter.

Isolat cendawan P. capsici yang digunakan yaitu isolat K2 yang memiliki agresivitas tinggi dan merupakan koleksi Balittro (CHAERANI

dan MANOHARA, 2012). Isolat K2

dibiakkan

pada media agar V8 dan diinkubasi selama 4-6 hari dengan pencahayaan terang 24

jam. Hasil persentase bercak daun dianalisis ragam dengan uji F pada taraf nyata 5% dengan menggunakan program SAS, bila hasilnya berbeda nyata maka akan diuji lanjut dengan uji Dunnet.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Radiosensitivitas Lada terhadap Iradiasi Sinar Gamma

Perlakuan dosis iradiasi menunjukkan bahwa semakin tinggi dosis yang diberikan mengakibatkan persentase hidup tanaman lada semakin rendah pada fase benih

maupun fase benih dengan radikula (Tabel 1). Persentase hidup pada 4 MST (Minggu Setelah Tanam) tanaman lada yang diberi perlakuan dosis 25 Gy pada fase benih sebesar 85%, sedangkan dosis 50 Gy sebesar 70% dan menurun hingga dosis 100 Gy sebesar 1,7%. Persentase hidup fase benih dengan radikula

dosis 25 Gy sebesar 80,2%, dan

menurun tajam

hingga 3,1%

pada dosis 50 dan 75 Gy. Diduga

dosis 125-150

Gy telah mengakibatkan terjadinya

kerusakan DNA pada benih lada yang menyebabkan kematian.

Hasil penelitian KRISTINA

dan

ARLIANTI

(2013) benih lada varietas Petaling1 dengan perlakuan dosis iradiasi 100 Gy menghasilkan persentase hidup 34%, sedangkan dosis 150 Gy adalah 6,9%. Penelitian

HADIPOENTYANTI

(2007)

perlakuan iradiasi sinar gamma pada lada varietas Natar 1 dengan dosis 0-5 krad dengan pertumbuhan biji pada kontrol 95,6% dan mengalami penurunan pada pemberian sinar gamma 3 krad dengan tingkat perkecambahan 17%.

Perlakuan dosis iradiasi dianalisis

dengan mengguna-kan rumus best fitting curve, menghasilkan rumus persama-an kurva Quadratic Fit yaitu y = a+bx+cx2

(y = 59,346 + 0,136 x –

0,00040 x2) dengan kisaran LD50 untuk fase benih yaitu 68,15 Gy, sedangkan untuk fase benih dengan radikula rumus yang diperoleh adalah persamaan Quadratic Fit y = a+bx+cx2

(y = 59,462 + 0,924 x –

0,0034x2) memiliki nilai LD50 yaitu 30 Gy. Huruf Y merupakan persentase tumbuh, sedangkan X merupakan dosis iradiasi sinar gamma yang diberikan. anggap pertumbuhan tanaman terhadap dosis iradiasi diperlukan untuk menentukan dosis mematikan (LD) karena pada dosis ini menjadi perimbang antara keragaman genetik dan kerusakan fisiologi (IAEA, 1977). Hasil ini menunjukkan bahwa radiosensitivitas lada fase benih dengan radikula lebih tinggi dibandingkan dengan fase benih. Perbedaan radiosensitivitas disebabkan pada fase benih dengan radikula memiliki kadar air lebih tinggi

karena terjadi imbibisi saat ditanam dalam media kertas saring dalam cawan petri, dibandingkan kadar air pada fase benih. Pada penelitian CHAN (2009b) pada benih pepaya yang diimbibisi jauh lebih sensitif terhadap iradiasi (LD50

= 50 -

87 Gy ) dibandingkan benih papaya kering (LD50 belum tercapai sampai 300 Gy). Hasil penelitian ZANZIBAR

dan WITJAKSONO

(2011)

menunjukkan bahwa radiosensitivitas tertinggi diperoleh pada benih suren (Toona sureni Blume Merr)

segar yaitu 70 Gy, sedangkan benih yang mengalami penuaan 4 hari yaitu sebesar 95 Gy. Radiosensitivitas dipengaruhi kondisi morfologi dan biologis benih. Kondisi biologis benih yang mempengaruhi yaitu faktor genetik dan lingkungan seperti oksigen, kadar air dan suhu. Semakin banyak kadar oksigen dan molekul air dalam materi maka semakin banyak radikal bebas yang terbentuk sehingga menjadi semakin sensitif.

)( 2mmpandangLuasbidang

stomataå

%100xisselepidermstomata

stomata

å åå

+

Page 27: Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian Indonesian

JURNAL LITTRI VOL. 22 NO. 2, JUNI 2016: 71 - 80

74

Tabel 1. Persentase hidup tanaman lada hasil iradiasi fase benih dan fase benih dengan radikula pada 4 MST Table 1. Live percentage of irradia ted piper in seed and radicle emergence phase on 4 week after plant

Dosis (Gy)/ Doses (Gy)

Persentase hidup (%)/ Live percentage (%) Fase Benih/ Seed phase

Fase benih dengan radikula/ Radicle emergence phase

0

100

100 25

85,0

80,2

50

70,0

3,1 75

31,7

3,1

100

27,3

- 125

1,7

-

150

1,7

- Keterangan:

-

tanaman tidak tumbuh

Note:

-

unable to grow

S = 36.13094926

r = 0.64877475

Dosis (Gray)

Pe

rs

en

tas

e p

ert

um

bu

ha

n (

%)

0.0 20.0 40.0 60.0 80.0 100.0 120.0 140.0 160.00.00

20.00

40.00

60.00

80.00

100.00

120.00

Gambar 1.

Kurva respon persentase hidup lada fase benih pada beberapa dosis iradiasi

Figure 1. Response curve live

percentage in seed phase following irradiation dose

S = 38.26451117

r = 0.62880004

Dosis (Gray)

Pe

rs

en

tas

e t

um

bu

h (

%)

0.0 20.0 40.0 60.0 80.0 100.0 120.0 140.0 160.00.00

20.00

40.00

60.00

80.00

100.00

120.00

Gambar 2.

Kurva respon persentase hidup lada fase benih dengan radikula

pada beberapa dosis iradiasi

Figure 2.

Response curve growth percentage in radicle emergence phase following

irradiation doses

Respon Karakter Morfologi

terhadap Iradiasi Sinar Gamma

Respon tanaman terhadap dosis iradiasi diukur pada karakter morfologi

kuantitatif

pada umur 8 bulan.

Hasil analisis ragam

menunjukkan pada fase benih,

dosis 25 Gy memiliki tinggi tanaman

terbaik,

berbeda nyata

dengan kontrol dan perlakuan dosis 50-100 Gy, tinggi tanaman pada fase benih dengan radikula, pemberian

dosis

25 Gy berbeda nyata dengan kontrol dan pemberian dosis lebih

dari 25Gy tanaman tidak tumbuh.

Perlakuan 25 dan 50 Gy fase benih menghasilkan panjang daun yang tidak

berbeda nyata dengan kontrol tetapi berbeda nyata dengan dosis (75-100) Gy. Fase benih dengan radikula panjang daun pada dosis 25 Gy berbeda nyata dengan kontrol.

Jumlah daun tanaman lada fase benih diberi perlakuan iradiasi 25 Gy tidak berbeda nyata dengan kontrol tetapi berbeda nyata dengan perlakuan lainnya. Perlakuan kontrol pada fase benih dengan radikula menghasilkan daun dengan jumlah yang lebih banyak dan berbeda nyata dengan perlakuan

LD50= 68.2 Gy

LD50= 30 Gy

Page 28: Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian Indonesian

NUR LAELA WAHYUNI MEILAWATI et al.: Respon Tanaman Lada (Piper nigrum L.) Varietas Ciinten terhadap Iradiasi Sinar Gamma

75

lainnya. Benih lada yang diberi perlakuan iradiasi meng-hasilkan 25 dan 50 Gy memiliki jumlah ruas yang tidak berbeda nyata dengan kontrol (0 Gy), sedangkan fase benih dengan radikula saat 8 BST jumlah ruas pada kontrol lebih tinggi dibandingkan dengan tanaman yang diberikan perlakuan iradiasi.

Hal ini dikarenakan perlakuan iradiasi dengan dosis

yang tinggi dapat menyebabkan terhambat pertumbuhan tinggi tanaman, panjang dan jumlah

daun serta jumlah tunas

yang lebih sedikit pada fase benih dan

fase

benih dengan

radikula

(Tabel 2). Sejalan dengan hasil penelitian

(ZANZIBAR

dan WITJAKSONO, 2011)

pada benih

suren segar

yang diberi perlakuan dosis 5 Gy

menunjukkan tinggi

tanaman terbaik, peningkatan dosis yaitu 90

Gy mengakibatkan tanaman

tidak tumbuh. Penelitian

PURNAMANINGSIH

et. al.

(2011) galur-galur mutan yang dihasilkan beragam pada karakter tinggi tanaman, bentuk daun dan umur berbunga. Demikian juga penelitian SUHESTI

(2015) pada kalus tebu menunjukkan semakin tinggi

dosis iradiasi yang diberikan berdampak pada

penurunan kemampuan tumbuh/ viabilitas tanaman tebu, tinggi tanaman dan jumlah daun.

Penelitian TAHERI

et al.

(2014) pada Curcuma alismatifolia

menunjukkan pem-

berian iradiasi dengan dosis 20 Gy menurunkan secara signifikan jumlah daun semua varietas dibandingkan kontrol.

Warna daun yang diamati dengan menggunakan Colour Chart (RHS, 2007) menunjukkan kelompok warna Green Group 144 dominan untuk menggambarkan warna daun tua pada fase benih dan fase benih dengan radikulayang diberi perlakuan iradiasi. Warna daun muda didominasi

dengan kelompok Yellow Green Group 144,

sedangkan warna batang didominasi oleh kelompok warna Yellow Green Group 139. Bentuk daun, tepi daun dan pangkal daun pada lada yang diberi perlakuan iradiasi pada kedua fase menjadi beragam. Bentuk daun terdiri dari Ovate, Ovate-elliptic, Ovate-lanceolate, Elliptic-lanceolate, Cordate. Tepi daun lada terdiri dari lurus dan ber-gelombang, sedangkan pangkal daun terdiri dari Round, Coradate, Acute, Obligate (IPGRI, 1995). Bentuk daun, tepi daun dan pangkal daun pada lada yang diberi perlakuan iradiasi pada kedua fase menjadi beragam. Bentuk daun terdiri dari Ovate, Ovate-elliptic, Ovate-lanceolate, Elliptic-lanceolate, Cordate. Tepi daun lada terdiri dari lurus dan bergelombang, sedangkan pangkal daun terdiri dari Round, Coradate, Acute, Obligate (IPGRI, 1995).

Tabel 2.

Respon iradiasi pada karakter morfologi kuantitatif varietas Ciinten fase benih dan fase benih dengan radikula umur 8 bulan akibat

perlakuan iradiasi

sinar gamma

Table 2.

Irradiation response on quantitative morphological characters

of

Ciinten variety in

seed phase

and

radicleemergence

phase at 8

months

following

gamma

irradiation

treatment

Fase/Phase

Dosis/Doses

Tinggi Tanaman/ Plant height (cm)

Panjang daun/

Leaf length (cm)

Jumlah daun/ Number of

leaf

Jumlah ruas/ Number of internode

Fase benih/Seed phase

0

13,23

b

8,51

a

8,84

ab

8,51

a

25

17,06

a

9,30

a

9,77

a

9,30

a

50

14,73

b

8,43

a

8,57

b

8,43

a

75

10,57

c

6,56

b

6,98

c

6,56

b

100

5,96

d

5,50

c

6,20

c

5,50

c

%KK

13,05

9,17

9,32

12,29

Fase benih dengan radikula/Radicle mergence phase

0

20,26

a

9,36

a

10,8

a

8,85

a

25

12,28

b

7,76

b

9,05

b

6,73

b

%KK

20,28

13,04

16,91 14,72

Keterangan: Angka-angka yang diikuti oleh huruf yang sama pada masing-masing kolom, tidak berbeda nyata pada taraf 5% DMRTNote: Numbers followed by the same letters on each column are not significantly different at 5 % (DMRT)

Gambar 3. Tanaman hasil iradiasi pada benih ladaFigure 3. Plant variability following iradiation at seed phase

0 Gy

25Gy

50 Gy

75 Gy

100 Gy

Page 29: Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian Indonesian

JURNAL LITTRI VOL. 22 NO. 2, JUNI 2016: 71 - 80

76

Gambar 4.

Tanaman lada hasil iradiasi

menggunakan benih fase benih dengan radikula Figure

4.

Plant variability following

iradiation on seed at

radicle emergence phase

Bentuk daun lada yang telah diiradiasi hanya seperti nomor 1, 2, 3 dan 5 (Gambar 7), tidak ada yang berbentuk seperti nomor (4)

Elliptic-lanceolate

(Gambar 6). Bentuk daun (1)

ovate pada

dosis 25 hingga 75 Gy

lebih tinggi

dibandingkan bentuk daun lainnya, sedangkan bentuk daun kontrol (3)

ovate-lanceolate lebih tinggi dibandingkan bentuk daun lainnya

pada fase benih dan fase benih dengan radikula (Tabel 3).

Tabel 3.

Pengaruh radiasi terhadap persentase bentuk daun, bentuk dasar daun, tepi

daun

Table 3.

Effect of irradiation on the percentage of leaf lamina shape, leaf base shape and leaf margin

Fase/Phase

Dosis/Dosses (Gy)

% Bentuk daun/

% Leaf lamina shape

% Bentuk pangkal daun/

% Leaf base shape

% Tepi daun/% Leaf margin

1

2

3

4

5

1

2

3

4

1

2

Benih/Seed

0

23

28

39

0

9

35

64

2

0

65

35

25

40

23

25

0

12

36

64

0

0

64

36

50

38

23

31

0

8

25

73

2

0

73

27

75

44

19

29

0

7

26

74

0

0

88

12

100

21

40

15

0

24

45

55

0

0

81

19

Benih dengan radikula/Radicle emergence

0

23

28

39

0

9

35

64

2

0

65

3525

48

18

32

0

3

54

44

2

0

77

23

Keterangan:

Bentuk daun terdiri dari (1)

Ovate, (2)

Ovate-elliptic, (3)

Ovate-lanceolate,

(4)

Elliptic-lanceolate, (5) Cordate; pangkal daun terdiri dari (1)Round, (2) Coradate, (3) Acute, (4)

Obligate; Bentuk tepi daun (1) lurus dan (2) bergelombang.Note: ……………………………..????

Gambar 5. Bentuk tepi daun (1) lurus dan (2) bergelombang.Figure 5. Margin leaf shape (1) even and (2) wavy

25 Gy

0 Gy

1

2

Page 30: Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian Indonesian

NUR LAELA WAHYUNI MEILAWATI et al.: Respon Tanaman Lada (Piper nigrum L.) Varietas Ciinten terhadap Iradiasi Sinar Gamma

77

Gambar 6.

Bentuk daun berdasarkan IPGRI, 1995

(1) Ovate, (2) Ovate-elliptic, (3) Ovate-lanceolate, (4) Elliptic-lanceolate

(5) Cordate Figure 6.

Leaf lamina shape based on IPGRI, 1995(1) Ovate, (2)

Ovate-elliptic, (3) Ovate-lanceolate, (4) Elliptic-lanceolate

Gambar 7.

Bentuk daun (1) ovate, (2)

Ovate-elliptic, (3) Ovate-lanceolate, (5) Cordate

pada fase

benih dan fase

benih dengan radikula

Figure

7.

Leaf lamina shape (1) Ovate, (2) Ovate-elliptic, (3) Ovate lanceolate, (4) Elliptic-lanceolate, (5) Cordate

in seed and radicle emergence phase

Persentase bentuk pangkal daun lada hasil iradiasi

fase benih

pada bentuk (2)

Coradate

dosis 25 Gy hingga 100 Gy lebih tinggi dibandingkan bentuk pangkal daun lainnya, sama halnya dengan kontrol, sedangkan pada fase

benih dengan radikula bentuk pangkal (1)

Round lebih tinggi dibanding bentuk pangkal (2)

coradate pada kontrol. Persentase tepi daun (1)

lurus pada dosis 25-100 Gy dan kontrol lebih tinggi dibandingkan dengan tepi daun (2)

bergelombang

pada kedua fase.

Perlakuan iradiasi meng-akibatkan adanya variasi fenotipik pada tanaman lada. KADIR

et al. (2007) menyatakan pemberian dosis iradiasi sinar gamma 20 Gy dapat menginduksi peningkatan frekuensi keragaman fenotipik. Terhambatnya pertumbuhan disebabkan iradiasi

merusak sel tanaman. Sama halnya dengan penelitian SETIAWAN

et al.

(2015)

pada tanaman gandum, semakin tinggi dosis iradiasi yang diberikan menyebabkan diameter dan bobot kalus embriogenik gandum semakin rendah, warna kalus menjadi kecoklatan hingga menghitam.

Respon Karakter Anatomi (Stomata)

terhadap Iradiasi Sinar Gamma

Hasil analisis menunjukkan bahwa jumlah stomata dan kerapatan stomata fase benih pada dosis (25, 50 dan 75)Gy tidak berbeda nyata dengan kontrol, tetapi berbeda nyata dengan dosis 100 Gy. Pada fase benih dengan radikula dosis 25 Gy tidak berbeda nyata dengan kontrol,

tetapi

berbeda nyata dengan perlakuan lainnya. Indeks stomata fase benih pada dosis 50 Gy berbeda nyata

dengan kontrol dan perlakuan dosis lainnya, sedangkan fase benih dengan radikula

dosis 25 Gy tidak berbeda nyata dengan kontrol. Perlakuan mutasi untuk tujuan pemuliaan diharap-kan dapat menimbulkan perubahan fisiologis rendah namun perubahan genetik tinggi (EL SHERIF

et al., 2011).

Stomata dan jaringan sklerenkim tersebar pada lapisan epidermis daun lada. Berdasarkan SURADINATA

(1998) tipe stomata lada masuk ke

dalam tipe parasitik yaitu sel penutup diiringi sebuah sel tetangga atau lebih, dengan sumbu sel tetangga sejajar dengan sebuah sel tetangga atau lebih. Hasil mutasi tidak menyebabkan perubahan bentuk pada stomata, hanya jumlah stomata, kerapatan stomata menunjukkan perbedaan yang signifikan antara kontrol dan tanaman yang diiradiasi dengan sinar gamma pada fase benih dosis 100 Gy.

Respon Karakter

Ketahanan Daun terhadap Infeksi Phytophthora capsici Hasil Iradiasi Sinar Gamma

Gejala berupa bercak pada daun yaitu titik hitam yang semakin lama semakin melebar. Hal ini dapat menyebabkan tanaman terganggu dan semakin lama tanaman mengalami kematian. Bercak mulai tampak pada saat 24 jam setelah inokulasi. Gejala penyakit bercak daun diamati setelah 72 jam setelah inokulasi seperti pada Gambar 7.

Page 31: Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian Indonesian

JURNAL LITTRI VOL. 22 NO. 2, JUNI 2016: 71 - 80

78

Tabel 4. Respon stomata varietas lada Ciinten umur 8 bulan fase benih dan fase benih dengan radikula terhadap perlakuan dosis iradiasi

Table 4 . Responses of stomata on Ciinten pepper at 8 month in seed phase and radicle emergence phase to gamma radiation

Fase/Phase

Dosis/Dose

(Gy)

Jumlah stomata/ Number of stomata

Kerapatan stomata/

Density of stomata

Indeks stomata/

Index of stomata

(%)

Benih/Seed

0

8,2ab

9,32ab

0,05b

25

9,1a

10,03a

0,05b 50

8,6a

9,79a

0,10a

75

8,8a

9,97a

0,05b 100

7,1b

8,05b

0,05b

%KK

7.36

7.37

0.01

Benih dengan radikula/Radicle emergence

0

8,2a

9,32a

0,05a 25

7,9a

9,05a

0,05a

%KK

11.79

11.76

0.01

Keterangan:

Angka-angka yang diikuti oleh huruf yang sama tidak berbeda nyata pada taraf 5% DMRT

Note:

Numbers followed by the same letters on each characteristic column are not significantly different at 5 % (DMRT)

Gambar 7.

Respon daun lada Ciinten hasil iradiasi sinar gamma (a) kontrol, (b) 25Gy, (c) 50Gy, (d) 75Gy, (e) 100Gy, (f) 25Gy terhadap

infeksi

P.

capsici

pada

(b)(c)(d)(e)

fase benih dan

(f)

fase benih dengan radikula

inkubasi 72 jamFigure

7.

Respon of black pepper leave Ciinten

variety

following gamma ray irradiation

(a) kontrol, (b) 25Gy, (c) 50Gy, (d) 75Gy, (e) 100Gy, (f) 25Gy to P.

capsici

in (b)(c)(d)(e)

seed phase and (f)

radicle emergence phase in 72 hour incubation

Tabel 5.

Luas

bercak pada mutan putatif Ciinten hasil iradiasi sinar gamma dan satu tetua lada varietas Ciinten

Table 5 .

Wide

of leave necrose in black pepper Ciinten variety following gamma irradiation

No

Genotipe

Luas bercak daun (mm)

Uji Mutan terhadap tetua

(-)

No

Genotipe

Luas bercak daun (mm)

Uji Mutan terhadap tetua

(-)

1

MP1(I.D1.3)

2.28

15

MP15(I.50.10)

2.41

2

MP2(I.D1.4)

6.34

***

16

MP16(I.50.13)

0.41

***

3

MP3(I.D1.5)

2.84

17

MP17(I.50.16)

0.59

***

4

MP4(I.D1.13)

0.85

***

18

MP18(I.50.17)

0.35

***

5

MP5(II.D1.3)

1.36

19

MP19(I.50.18)

0.24

***

6

MP6(II.D1.5)

1.03

***

20

MP20(II.25.1)

0.51

***

7

MP7(II.D1.11)

4.34

21

MP21(II.25.2)

1.05

***

8

MP8(III.D1.8)

1.62

22

MP22(II.25.6)

0.99

***

9

MP9(III.D1.12)

2.47

23

MP23(II.25.26)

0.44

***

10

MP10(I.25.14)

0.95

***

24

MP24(III.25.6)

0.93

***

11

MP11(I.25.16)

0.42

***

25

MP25(III.25.9)

0.34

***

12

MP12(I.50.1)

1.63 26 MP26(III.25.17) 0.17 ***13

MP13(I.50.2)

2.77 27 MP27(III.25.28) 0.95 ***

14 MP14(I.50.7) 1.03 *** 28 Kontrol 3.08

Keterangan: Mutan Putatif Ciinten yang diberi tanda * menunjukkan perbedaan yang nyata dengan kontrol negatif berdasarkan uji dunnet pada taraf 5%.(D1= 25 Gy pada fase benih dengan radikula)

Note: …………………….???

a

b

c

d

f

e

Page 32: Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian Indonesian

NUR LAELA WAHYUNI MEILAWATI et al.: Respon Tanaman Lada (Piper nigrum L.) Varietas Ciinten terhadap Iradiasi Sinar Gamma

79

Terdapat perbedaan pada respon ketahanan daun terhadap infeksi Phytophthora capsici akibat iradiasi sinar gamma pada pengujian di daun. Hasil pengamatan menunjukkan 18 mutan yang memiliki luas bercak daun yang berbeda nyata dengan kontrol. Tujuh belas mutan putatif lada memiliki luas bercak daun lebih rendah dibandingkan kontrol pada kisaran 0.41-1.05 yaitu MP4,

MP10, MP11, MP14, MP16, MP17, MP18, MP19, MP20, MP21, MP22, MP23, MP24, MP25, MP26 dan MP27, sedangkan satu mutan putatif lada memiliki nilai persentase lebih tinggi dibandingkan kontrol dengan nilai bercak daun 6.34 yaitu MP2.

Mutan putatif lada yang tahan terhadap

infeksi P.capsici diduga memiliki ketebalan daun yang

tinggi, sehingga cendawan lebih sulit untuk menginfeksi daun. Ketahanan suatu aksesi cenderung bersifat fisiologis dari dalam tanaman lada lebih dominan dari pada faktor fisik yang ada (WAHYUNO

et al., 2009).

Berdasarkan penelitian MANOHARA dan

MACHMUD

(1986) menyatakan bahwa penetrasi cendawan di dalam jaringan daun melalui dua cara yaitu cara langsung menembus epidermis dan cara tidak langsung melalui stomata, ternyata sebagian besar penetrasi cendawan melalui epidermis, tidak melalui stomata.

Mutan lebih dominan berasal dari perlakuan iradiasi

sinar gamma 25 dan 50 Gy pada fase benih. Dosis ini merupakan dosis yang berada disekitar dosis LD20

dan LD50. Hal ini menunjukkan bahwa mutasi melalui iradiasi sinar gamma terutama disekitar LD20

dan LD50

akan memberi peluang mutasi pada sifat yang diinginkan dengan perubahan yang minimal pada karakter yang tidak diinginkan. Hasil ini sesuai dengan penelitian tebu (SUHESTI, 2015), mutan yang berada pada LD20

dan LD50

memberikan peluang diperolehnya mutan putatif yang mempunyai toleransi kekeringan lebih baik dibanding tetua asalnya. Perlakuan iradiasi sinar gamma juga telah dikembangkan

pada tanaman pisang untuk menghasilkan pisang resisten penyakit layu Fusarium (SMITH

et al., 2006), tanaman pepaya (Carica papaya L.) resisten penyakit ring spot virus (CHAN, 2009b), untuk mendapatkan tanaman mangga (Mangifera indica L.) resisten Antracnose (LITZ, 2009).

Kedelapan belas mutan putatif lada varietas Ciinten ini diharapkan menjadi varietas unggul dengan penelitian lebih lanjut di rumah kaca dan di lapang untuk mengetahui potensi produksi dan mutunya.

KESIMPULAN

Radiosensitivitas lada

pada fase benih dan fase benih dengan radikula

berbeda. Radiosensitivitas pada fase benih dengan radikula

lebih tinggi dibandingkan fase benih yang ditunjukkan oleh nilai LD50

(Lethal Dose 50) pada fase benih lada yaitu 68,15 Gy, sedangkan pada fase benih dengan radikula yaitu 30,00 Gy. Semakin tinggi dosis iradiasi diberikan pada fase benih dan fase benih dengan radikula maka pertumbuhan tinggi tanaman, panjang daun, jumlah daun dan jumlah ruas semakin terhambat. Iradiasi

juga berpengaruh terhadap variasi bentuk daun, warna daun, kerapatan stomata, indeks stomata dan ketahanandaun terhadap infeksi P. capsici. Dosis iradiasi 25 dan 50 Gy pada fase benih dan 25 Gy pada fase benih dengan radikula

nyata meningkatkan keragaman genetik berdasar-

kan karakter morfologi kuantitatif, morfologi kualitatif dan anatomi

serta

ketahanan

terhadap P.

capsici.

Delapan belas

mutan putatif tahan terhadap infeksi P.capsici .

UCAPAN TERIMAKASIH

Ucapan terimakasih disampaikan kepada Badan

Litbang Pertanian, Kementerian Pertanian RI yang telah mendanai penelitian ini melalui APBN T.A. 2015. Penghargaan yang tinggi disampaikan kepada Dra. Natalini Nova, Dr. Dono Wahyuno, Susi Purwiyanti, MSi, atas saran dan masukannya dan Suryatna serta

Ramdhan Arismaya yang telah membantu

pelaksanaan penelitian.

DAFTAR PUSTAKA

AISYAH, S.I., H. ASWIDINNOOR, A. SAEFUDDIN, B. MARWOTO

dan S. SASTROSUMARJO. 2009. Induksi mutasi pada stek pucuk anyelir (Dianthus caryophyllus Linn.) melalui iradiasi sinar gamma. J. Agron. Indonesia 37 (1): 62-70.

BERMAWIE,

N., S. WAHYUNI, R. HERYANTO, R.T. SETIYONO, L.

UDARNO.. 2013. Observasi hasil dan mutu lada lokal di dua agroekologi. Buletin Littro, Volume 24, No. 2 : 64-72.

BERMAWIE,

N.,

N.L.W.

MEILAWATI, S. PURWIYANTI, MELATI . 2015a. Pengaruh iradiasi sinar gamma (60Co) terhadap pertumbuhan dan produksi jahe putih kecil (Zingiber officinale

var. amarum). Jurnal Littri. Volume 21, No.2: 47-56.

BERMAWIE, N., dkk. 2015b. Naskah Pelepasan Varietas Lada Lokal Ciinten. Balai Penelitian Tanaman Rempah dan Obat.

CHAN, Y.K. 2009a. Induced Mutation in Tropical Fruit Tree. IAEA Tecdoc 1615.

International Atomic EnergyAgency, May 2009.( Http://mvgs.iaea.org/pdf/ TECDOC1615.pdf).

DATTA S.K . 2001. Mutation studies on garden chrysanthemum: A review. Sci. Hort. 7:

159-209.DIREKTORAT JENDERAL PERKEBUNAN. 2014. Statistik

Perkebunan Indonesisa Komoditas Lada 2013-2015.Direktorat Jenderal Perkebunan, Kementrian Pertanian. 47 halaman.

Jakarta.

DIREKTORAT PERLINDUNGAN PERKEBUNAN. 2011. Rekapitulasi data Organisme Pengganggu Tanaman (OPT) Tahun 2010. Direktorat Jenderal Perkebunan, Departemen Pertanian. Jakarta.

EL SHERIF, F., S. KHATTAB, E. GHONAME, N. SALEM, and K.

RADWAN. 2011. Effect of gamma irradiation on enhancement of some economic traits and molecular

Page 33: Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian Indonesian

JURNAL LITTRI VOL. 22 NO. 2, JUNI 2016: 71 - 80

80

changes in Hibiscus sabdariffa L. Life Science Journal. 8(3): 220-229.

HADIPOENTYANTI, E. 2007. Karakteristik Lada mutan hasil iradiasi. Prosiding Seminar Rempah. Badan Litbang Pertanian. Pusat Penelitian dan Perkembangan Tanaman Perkebunan. Hal.

67-70.

IAEA. 1977. Technical reports series No. 119. Second

edition. Join FAO/IAEA devision. Vienna.

IPC (INTERNATIONAL PEPPER COMMUNITY). 2013. Report 41th

pepper exporters meeting. 15th

November 2013,

Sarawak, Malaysia. (IPGRI) INTERNATIONAL PLANT GENETIC RESOURCES

INSTITUT. 1995. Descriptors for Black Pepper (Piper nigrum

L.). International Plant Genetic Resources

Institut. Rome, Italy. 39 page.

KADIR, A., S.H. SUTJAHJO, G.A. WATTIMENA, I. MARISKA . 2007. Pengaruh iradiasi sinar gamma pada pertumbuhan kalus dan keragaman planlet tanaman nilam. Jurnal Agro Biogen 3(1):

24-31.

KRISTINA, N.N., T. ARLISANTI. 2013. Variasi mutan futatif tanaman lada (Piper nigrum

L.) hasil iradiasi sinar gamma. Warta Balittro. No.60: 1-3.

LITZ, R.E. 2009. Recovery of mango plants with antrachnose

resistance following mutation induction and selection in vitro with the culture filtrate of Colletotrichum

gloesporoides

Penz. In: IAEA, editor. Induced Mutation in Tropical Fruits Trees.

Vienna,

IAEA. Hlm.

7-13.

MANOHARA, D., M. MAHMUD. 1986. Mekanisme infeksi

Phytophthora palmivora

(Butl.) pada daun lada. Pembr. Littri vol XI, No.3-4.

MANOHARA, D. WAHYUNO, D. NOVERIZA R . 2005. Penyakit

busuk pangkal batang lada dan strategi pengendaliannya. Edsus Balittro. 17:

41-51.

MEDINA FIS, AMANO E, TANO S. 2005. Mutations Breeding Manual. Japan. Forum for Nuclear Cooperation in Asia (FNCA).

PURNAMANINGSIH, R., E.G. LESTARI, M. SYUKUR, R. YUNITA . 2011. Evaluasi keragaman galur mutan artemisia hasil iradiasi gamma. Jurnal Ilmiah Aplikasi Isotop dan Radiasi. vol.6, no.2. Hal.

139-146.

RHS (ROYAL HORTICULTURA SOCIETY ). 2007. Colour Chart, fifth edition.

SETIAWAN, R.B., N. KHUMAIDA, D. DINARTI . 2015. Induksi mutasi kalus embriogenik gandum (Triticum aestivum L.) melalui iradiasi sinar gamma untuk toleransi suhu tinggi . J. Agron. Indonesia 43(1): 36-44.

SHU, Q.Y., P. BRIAN, H. FORSTER, H. NAKAGAWA . 2012. Plant Mutation Breeding and Biotechnology. CABI 608 p.

SMITH, M.K., S.D. HAMILL, P.W. LANGDON, J.E. GILES, W.J.

DOOGAN, K.G. PEGG. 2006. Towards the development of a Cavendish banana resistant to race 4 of Fusarium wilt: gamma irradiation of micropopagated Dwarf Parlitt (Musa spp, AAA group, Cavendish subgroup). Aust J ExpAgric 46:

107-113.

SUHESTI, S. 2015. Induksi Mutasi dan Seleksi In Vitro Tebu (Saccharum officinarum

L.) untuk Toleransi terhadap

Kekeringan. [Disertasi]. Bogor: Institut Pertanian Bogor.

SUWARNO, T.S. SILITONGA. 1996. Koleksi dan konservasi benih plasma nutfah dalam pengembangan bank gen. Makalah disajikan pada seminar sehari penyusunan konsep pelestarian ex-situ plasma nutfah pertanian di Bogor.18 Des. 16 hal.

SURADINATA, T.S. 1998. Struktur Tumbuhan. Bandung: Angkasa. Susantidiana,

TAHERI

S, T.L. ABDULLAH, Z. AHMAD, and N.A.P. ABDULLAH.2014. Effect of Acute Gamma Irradiation on

Curcuma alismatifolia Varieties and Detection of DNA Polymorphism through SSR Marker.

Hindawi Publishing Corporation BioMed Research International Volume 2014, Article ID 631813, 18 pages.

WAHYUNO, D., D. MANOHARA,

K. MULYA. 2007. Penyebaran dan usaha pengendalian penyakit busuk pangkal batang lada di Bangka. Prosiding Seminar

Nasional Rempah.

WAHYUNO D.,

D. MANOHARA, D.N. SUSILOWATI.

2010. Virulensi Phytophthora capsici

asal lada terhadap Piper

spp. Buletin Plasma Nutfah Vol .

16. No.2.WAHYUNO D.,

D. MANOHARA, R. T. SETIYONO. 2009. Ketahanan beberapa lada hasil persilangan terhadap P. capsici

asal lada. Jurnal Littri. 15(2): 77-83.

ZANZIBAR M, WITJAKSONO. 2011. Pengaruh penuaan dan iradiasi benih dengan sinar gamma (60Co) terhadap pertumbuhan bibit suren (Blume merr). Jurnal Penelitian Hutan Tanaman. Vol.8. No.2: 89-96.

Page 34: Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian Indonesian

81

KARAKTERISTIK FISIK DAN KIMIA DARI PRODUK BIOINDUSTRI CANGKANG JAMBU METE (Anacardium occidentale)

Physical and Chemical Characteristics of Bioindustry Products of

Cashewnuts Shell (Anacardium occidentale)

ANDI SAENAB1), K.G.

WIRYAWAN 2), RETNANI Y.2)

dan

E. WINA3)

1) Balai Pengkajian Teknologi Pertanian

Jalan Ragunan 30 Jakarta Kode Pos 12520 2)

Fakultas Peternakan

Institut Pertanian Bogor

Jalan

Agatis Dramaga Bogor 3)

Balai

Penelitian Ternak

Jalan Veteran III Ciawi, Bogor

Email : [email protected]

Diterima: 29-2-2016; Direvisi: 8-3-2016; Disetujui: 4-4-2016

ABSTRAK

Cangkang jambu mete merupakan limbah industri yang mempunyai potensi menghasilkan produk bioindustri yaitu biofat, biochar dan biosmoke. Penelitian bertujuan menghasilkan ketiga produk bioindustri, mengamati karakteristik fisika dan kimianya. Cangkang diproses menjadi ukuran partikel 1

cm dan ukuran 2

mm,

diekstrak dengan heksan dan

hasil ekstraksi dievaporasi untuk mendapatkan Biofat.

Residu cangkang setelah ekstrak biofat

diarangkan untuk menghasilkan Biochar

dan

Biosmoke.

Analisis proksimat dilakukan pada

cangkang segar,

biofat,

biochar dan biosmoke. Hasilnya

rendemen biofat meningkat 3 kali lipat bila ukuran cangkang diperkecil 2 mm (17.81 g/100g BK), sedangkan biochar dan biosmoke meningkat 2 kali lipat ketika ukuran cangkang diperbesar 1 cm (30.82 g/100g BK dan 5.13 g/100g BK). Biofat mengandung lemak kasar dan total fenol tinggi (94.43 g/100g biofat,

46 mg/100g biofat) dan biosmoke mengandung total fenol cukup tinggi

(7.2 mg/100g biosmoke) pada ukuran partikel besar. Hasil analisis GC-MS menunjukkan biofat dan biosmoke mengandung asam anakardat tinggi (74%) dan biochar mengandung mineral tinggi terutama kandungan abu (6.56%), Ca (0.69%), dan P (0.23%) meningkat 2 kali lipat pada ukuran partikel cangkang kecil dibandingkan besar. Karakteristik biosmoke memiliki kandungan asam tinggi (pH 3). Produk bioindustri cangkang jambu mete memiliki karakteristik fisik dan kimia spesifik untuk dimanfaatkan dalam berbagai bidang termasuk peternakan, pertanian atau pangan.

Kata kunci:

Anacardium

occidentale, bioindustri, cangkang, jambu mete, karakteristik fisika, kimia

ABSTRACT

The shell of the cashew nut industry waste has the potential to produce a product that is biofat bioindustry, biochar and biosmoke. The research aims to produce three products bioindustry, observe the physical and chemical characteristics. Eggshell processed into a particle size of 1 cm and 2 mm size, extracted with hexane and extraction evaporated to obtain Biofat. The residue biofat charred shell after the extract to produce Biochar and Biosmoke. Proximate analysis performed on fresh shells, biofat, biochar and biosmoke. The result biofat yield increased three-fold when the size of the shell is reduced to 2 mm (17.81 g/100g BK), while

biochar and biosmoke increased two-fold when the size of the shell is enlarged 1 cm (30.82 g/100g BK and 5:13 g/100g BK). Biofat containing coarse fat and high total phenol (94.43 g/100g biofat, 46 mg/100g biofat) and total phenol containing biosmoke quite high (7.2 mg/100g biosmoke)

on a large particle size. The results of GC-MS analysis showed biofat and biosmoke acidic anacardic high (74%) and biochar contains minerals especially high ash content (6:56%), Ca (0.69%), and P (12:23%) 2-fold increase in the particle size of the shell smaller than the large. Mineral Fe (695 mg/kg) more contained shells of large particles, whereas the characteristic biosmoke have a high acid content (pH 3). Cashew nut shell bioindustry products have specific physical and chemical characteristics to be used in various fields including livestock, agriculture or food.

Keywords:

Anacardium

occidentale, Bioindustry, cashewnut shell, chemical characteristic

PENDAHULUAN

Tanaman jambu mete (Anacardium occidentale) merupakan tanaman yang dapat tumbuh dengan baik di Indonesia yang beriklim tropis. Produknya yaitu kacang mete merupakan produk ekspor yang potensial. Pengem-bangan tanaman jambu mete di Indonesia pada tahun 2014mencapai ± 577.168

ha, yang tersebar di 21 provinsi (BPS,2014).

Perkebunan jambu mete sebagian besar (± 98%) merupakan

perkebunan rakyat dengan

sentra pengem-bangan jambu mete adalah Jawa, NTT, Bali, dan Sulawesi. Adapun luas lahan terbesar di Nusa Tenggara dan Bali (45.18%), Sulawesi (34.68%) dan Jawa (16.5%). Produksi jambu mete dari tahun ke tahun mengalami peningkatan, dan pada tahun 2014

mencapai 118.174

ton gelondong(BPS, 2015). Sejak Tahun 2010, Direktorat Jenderal Bina Produksi Perkebunan

telah melaksanakan berbagai program untuk memacu perluasan dan peningkatan produksi jambu mete, khususnya di Kawasan Timur Indonesia. Tanaman jambu mete memiliki keunggulan karena dapat dikembang-kan pada daerah yang memiliki kondisi agroekologi mar-ginal dan beriklim kering, sehingga merupakan komoditas andalan di Kawasan Timur Indonesia.

Jurnal Littri 22(2), Juni 2016. Hlm. 81 - 90 ISSN 0853-8212

Page 35: Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian Indonesian

JURNAL LITTRI VOL. 22 NO. 2, JUNI 2016: 81 - 90

82

Produk utama tanaman jambu mete adalah kacang mete, sedangkan limbahnya adalah buah semu dan cangkang jambu mete. Sampai saat ini, baik buah semu maupun cangkang mete belum dimanfaatkan secara maksimal. Potensi limbah cangkang jambu mete di Indonesia cukup besar, bila diekstrak akan diperoleh cairan (minyak) yang disebut Cashew Nut Shell Liquid

(CNSL).

Menurut MULJOHARDJO

(1991), persentase cangkang jambu mete di dalam gelondong sekitar 45-50%,

sehingga

bila

produksi gelondong mete pada tahun 2013 sebesar 117.537 ton, maka diperoleh cangkang jambu mete sekitar 52.891-58.767 ton.

Produk bioindustri adalah produk yang berasal dari limbah yang mengalami proses, sehingga dapat diman-faatkan lagi dan bersifat ramah lingkungan (zero waste).

Cangkang jambu mete memiliki potensi untuk menghasil-kan tiga produk bioindustri. Saat ini yang baru dikenal oleh masyarakat adalah

produk biofat (CNSL), tetapi produk biosmoke dan biochar dari cangkang jambu mete belum ada yang mengerjakannya atau mengeksplorasinya, sehingga menjadi limbah dari pabrik industri pengolahan jambu mete. Salah satu teknologi alternatif yang dapat menjadi solusi bagi penanganan permasalahan limbah cangkang jambu mete ialah dengan teknik pirolisis. Menurut BRIDGWATER

(2004) pirolisis didefinisikan sebagai proses dekomposisi suatu bahan oleh panas tanpa menggunakan oksigen yang diawali oleh pembakaran dan gasifikasi, serta diikuti oksidasi total atau parsial dari produk utama. Selanjutnya, DEMIRBAS

(2005) menyatakan proses pirolisis

mendegradasi suatu biomassa menjadi arang, tar dan gas.

Keberhasilan proses pirolisis untuk mendapatkan

kualitas produk yang dapat dimanfaatkan peternak ditentukan oleh ukuran bahan. Semakin kecil ukuran bahan maka semakin mudah diserap dan dicerna oleh

ternak

(WINA, 2011). Oleh sebab itu, sebelum dilakukan pirolisis perlu dilakukan perubahan ukuran

bahan.

Kemudian dilakukan proses ekstraksi dengan pelarut kimia

non polar

untuk mendapatkan ketiga produk tersebut. Biofat

dihasilkan dari proses ekstraksi,

kemudian sisa ekstraksi di proses secara pirolisis untuk mendapatkan biochar dan biosmoke. Produk bioindustri biofat (minyak), biochar (arang) dan biosmoke (asap cair) perlu diketahui sifat kimianya. Informasi yang diuraikan akan sangat berarti untuk pemanfaatan produk jambu mete bioindustri di bidang peternakan maupun pertanian ataupun industri lainnya.

Penelitian bertujuan untuk menghasilkan ketiga produk bioindustri tersebut dan karakteristik fisika dan kimianya.

BAHAN DAN METODE

Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Januari-Desember 2014, di Laboratorium Balai Penelitian Ternak, Laboratorium Kimia Terpadu Institut Pertanian Bogor, Laboratorium Balai Penelitian Residu dan Agrokimia Bogor, Laboratorium Kesehatan Daerah DKI Jakarta dan

Laboratorium Kimia Puslitbang Kehutanan. Materi penelitian berupa cangkang biji jambu mete yang diperoleh dari petani di Kabupaten Pati, Provinsi Jawa Tengah.

Preparasi Cangkang Biji Jambu Mete dalam Dua Ukuran Partikel

Cangkang biji jambu mete dengan ukuran utuh yang

telah dikeluarkan bijinya kemudian dijemur di

bawah sinar matahari. Cangkang kering tersebut dipecah-pecah dengan ujung mortar menjadi sampel yang lewat saringan berukuran 1 cm sebagai partikel ukuran besar. Sebagian cangkang biji jambu mete tersebut digiling (di blender) dan disaring lewat saringan dengan ukuran 2 mm, untuk mendapatkan partikel ukuran kecil.

Kemudian kedua

partikel tersebut mengalami proses selanjutnya yang sama untuk mendapat 3 (tiga) produk bioindustri yaitu minyak (Biofat), arang (Biochar) dan asap cair (Biosmoke).

Preparasi Produk Biofat

Preparasi produk biofat menggunakan metode SIMPEN

(2008) yang telah di modifikasi.

Cangkang biji jambu mete yang telah dipreparasi ditimbang sebanyak 100 g dan dimasukkan ke

dalam erlenmeyer yang bertutup dan ditambahkan 400 ml

pelarut heksana. Setelah terendam, campuran (sampel dan pelarut) dikocok-kocok agar tercampur rata lalu didiamkan selama 24 jam.

Pelarut atau filtrat kemudian dipisahkan dan ditambahkan pelarut heksana yang baru sebanyak 200 ml. Untuk setiap proses ekstraksi, larutan ekstrak dipisahkan dari ampasnya dengan penyaringan, filtratnya dicampur jadi satu. Selanjutnya, hasil ekstraksi dievaporasi dengan rotary evaporator pada suhu 40oC untuk menguapkan pelarutnya hingga semua heksana menguap dan yang tersisa adalah minyak yang kental berwarna coklat tua dan disebut Biofat.

Preparasi Produk Biochar dan Biosmoke

Preparasi produk biochar dan biosmoke dilakukan

menurut metode SUDRAJAT

dan SALIM

(1994). Residu cangkang setelah ekstrak biofat dibiarkan di udara terbuka untuk dikering

anginkan. Residu tersebut lalu dimasukkan ke dalam tangki aktivasi (pirolisis) dan

ditutup

rapat. Kemudian tungku pirolisis mulai dinyalakan. Reaksi pirolisis berlangsung

pada

reaktor

pirolisator yang bekerjapada

suhu 600oC selama 8 jam. Tangki pirolisis dihubung-kan dengan kondensor yang berupa

koil

melingkar. Fraksi yang menguap selama pirolisis akan terkondensasi dan ditampung dalam botol berupa larutan berwarna coklat dan disebut biosmoke. Setelah 8 jam pembakaran tungku dimatikan dan dibiarkan dingin. Dalam tungku akan diperoleh residu yang berwarna hitam yang disebut arang atau biochar.

Parameter yang Diukur

Untuk menghitung rendeman, biofat yang berupa minyak kental, biochar yang berupa padatan berwarna

Page 36: Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian Indonesian

ANDI SAENAB et al.: Karakteristik Fisik dan Kimia dari Produk Bioindustri Cangkang Jambu Mete (Anacardium occidentale)

83

hitam dan biosmoke yang berupa cairan berwarna coklat ditimbang beratnya.

Parameter yang diukur yaitu (1) Untuk cangkang biji jambu mete segar adalah analisis proksimat (AOAC, 2005) yang terdiri atas kadar bahan kering, lemak, serat kasar, abu, dan kandungan mineral, (2) Untuk biofat adalah analisis

kadar lemak dan abu, serta kandungan mineral;

analisis asam lemak yang dilakukan dengan Gas Chromatography (AOAC, 2005), kadar total fenol (MAKKAR, 2003) dan

identifikasi senyawa bioaktif dengan kroma-

tografi gas-spektrometer massa (GC-MS), (3) Untuk

biochar adalah analisis kadar abu (AOAC, 2005) dan kandungan mineral (AOAC, 2005) serta analisis mengguna-kan Scanning Elektron Mikroskope (SEM) (SEM 5I5, Philips) (4) Untuk biosmoke adalah analisis kadar lemak (AOAC, 2005), kadar total fenol

(MAKKAR, 2003), pH dan identifikasi senyawa bioaktif (GC-MS).

HASIL DAN PEMBAHASAN

Rendemen Produk Bioindustri dari Cangkang Biji Jambu Mete

Hasil rendemen ketiga produk bioindustri yang diperoleh dari cangkang biji jambu mete (Tabel 1) menunjukkan adanya perbedaan, karena ukuran partikel sampel yang berbeda.

Tabel 1.

Jumlah rendemen produk bioindustri dari cangkang biji jambu mete dengan 2 macam ukuran

partikel

Table 1.

Yield of bioindustry products of cashew nut shell with 2 particle sizes

Produk bioindustri

Bioindustry Product*)

Ukuran partikel

Particle Size

Besar/Big

(1cm)

Kecil/Small

(2mm)

Biofat (g/100g BK)

5.98

17.81

Biochar (g/100g BK)

30.82

16.59

Biosmoke (g/100g BK)

05.13

03.78

*)

Laboratorium Balitnak, Ciawi dan Laboratorium Residu dan Agroklimat Bogor

*)

Balitnak Laboratory, Ciawi and Residue and Agroclimate Laboratory Bogor

Hasil ekstrak dengan heksana menghasilkan produk biofat yang dikenal dengan nama CNSL (Cashew Nut Shell Liquid) meningkat 3 kali lipat bila ukuran cangkang diperkecil sampai 2 mm. Hasil penelitian di

atas, rendemen dari biofat yang dihasilkan oleh cangkang memiliki ukuran partikel kecil lebih tinggi dibanding dengan ukuran partikel besar. Hal ini disebabkan partikel berukuran kecil memiliki luas permukaan yang besar sehingga kandungan lemak yang terekstrak lebih banyak bila dibandingkan dengan ukuran partikel yang besar.

Hasil yang diperoleh SIMPEN (2008) sebesar 44,38%mendapatkan rendeman yang jauh lebih tinggi karena menggunakan campuran pelarut heksana-etanol per-

bandingan 3:1. Dalam penelitian ini, digunakan heksana tanpa campuran dengan pelarut lain menghasilkan rendeman lebih kecil. Penggunaan heksana tanpa campuran dengan pelarut lain membuat proses ini menjadi lebih murah dan efisien karena heksana yang dihasilkan saat evaporasi dapat dimanfaatkan kembali untuk mengekstrak cangkang biji mete yang baru.

Biofat atau CNSL sudah

banyak dimanfaatkan untuk industri farmasi, kosmetik, perekat, insektisida, pembasmi nyamuk (RISFAHERI, 2011) dan

akhir-akhir ini digunakan sebagai pakan aditif untuk

ternak ruminansia untuk menekan gas metana.

Gas metana merupakan salah satu gas yang merusak lapisan ozon dan kekuatannya 23 kali lebih besar dari

pada gas karbon-

dioksida. Dengan menekan produksi gas metana di dalam rumen, biofat menjadi produk yang sangat bermanfaat untuk menciptakan kondisi peternakan yang ramah ling-kungan

(MITSUMORI

et al.,

2014).

Hasil rendemen dari biochar (Tabel 1) menunjukkan bahwa partikel dengan ukuran kecil menghasilkan rendemen lebih sedikit dibanding ukuran besar. Biochar yang dihasilkan meningkat 2 kali lipat ketika ukuran cangkang diperbesar sampai 1cm. Hal ini sesuai dengan yang dilaporkan oleh DEMIRBAS

(2005) pada tempurung kelapa bahwa semakin besar ukuran partikel sampel maka semakin besar pula rendemen biochar yang dihasilkan. Hasil rendemen biochar pada cangkang jambu mete hampir sama dengan hasil yang dilaporkan oleh MUHADI

(2013) pada tempurung kelapa yaitu 31.58% berat kering, sedangkan SUKARTONO

et al. (2011) melaporkan bahwa rendemen biochar dari tempurung kelapa tertinggi adalah 65.82%. SUKIRAN

et al. (2011) melaporkan bahwa rendemen tertinggi biochar

tandan kosong kelapa sawit (TKKS)

sebesar 41.56% pada suhu optimum pirolisis 300°C. Rendemen biochar TKKS yang rendah disebabkan karena tidak memungkinkannya pembuatan biochar dalam drum. Sehingga pembuatan biochar dilakukan pada udara terbuka dan banyak dihasilkan abu.

Hasil rendemen dari biosmoke menunjukkan bahwa partikel dengan ukuran besar menghasilkan rendemensedikit lebih tinggi dibanding partikel ukuran kecil. GANI

(2007) menyatakan jumlah rendemen asap cair (biosmoke) yang dihasilkan pada proses pirolisis sangat bergantung pada alat yang digunakan, kondisi proses (suhu pirolisis dan sistem kondensasi)

dan jenis bahan baku yang digunakan. Persentase rendemen yang diperoleh juga sangat ber-gantung pada alat yang dipakai. GONZÁLEZ

et al.

(2005) menunjukkan

bahwa proses

pirolisis pada temperatur 600oC dapat menghasilkan cairan sebanyak 44.3% pada cangkang biji kenari. Hasil tersebut diperoleh lebih banyak dibanding hasil penelitian ini. Hal ini disebabkan alat tungku yang digunakan saat penelitian masih sederhana sehingga asap yang keluar belum tertampung secara sempurna dan bahan baku cangkang yang sudah terekstrak.

Pemanfaatan biochar sekarang ini masih terbatas sebagai pupuk tanaman dan biosmoke sebagai pengawet makanan. Biochar dan biosmoke yang banyak dilaporkan dan sudah dimanfaatkan berasal dari tempurung kelapa,

Page 37: Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian Indonesian

JURNAL LITTRI VOL. 22 NO. 2, JUNI 2016: 81 - 90

84

namun biochar dan biosmoke dari cangkang jambu mete belum ada yang melaporkan dan memanfaatkannya. Selain sebagai pupuk tanaman, dilaporkan pemanfaatan biochar dari sekam padi pada ternak sapi (LENG, 2010) dan dapat meningkatkan berat badan sapi dan sekaligus dapat menekan gas metana yang dihasilkan oleh ternak sapi. Ini menunjukkan biochar juga merupakan produk bioindustri yang bermanfaat untuk meningkatkan produktivitas ternak.

Biosmoke (asap cair) dilaporkan banyak mengandung

senyawa fenolik (NAIM et al., 2012). Biosmoke dari

bamboo dilaporkan dapat menekan kasus diare pada anak babi (CHOI

et al., 2009) sehingga dapat bermanfaat untuk

meningkatkan produktivitas ternak. Jadi ketiga produk bioindustri dalam penelitian ini mempunyai potensi sebagai pakan aditif untuk meningkatkan produktivitas ternak.

Karakterisasi Produk Biofat

Hasil analisis kandungan lemak kasar, asam lemak dan total fenol dari biofat disajikan pada Tabel 2.

Tabel 2.

Kadar lemak kasar, asam lemak dan total fenol dari produk cangkang jambu mete dengan ukuran besar dan kecil

Table 2.

Crude fat, fatty acid and total phenol contents of

biofat from cashew nut shell with 2 different particle size

Parameter/

Parameters

Ukuran partikel/

Particle

Size

Besar/Big

(1cm)

Kecil/Small

(2

mm)

Lemak kasar (g/100g biofat)

85.69

94.43

Asam lemak (g/100g biofat)

02.86

01.66

Total fenol (mg/100g biofat)

460.

0

420.

0

*)

Laboratorium Balitnak, Ciawi dan Laboratorium Kimia Terpadu Institut Pertanian Bogor

*)

Laboratory Balitnak, Ciawi and Residue Laboratory and Agroclimate Bogor

*)

Data dihasilkan dari 2 kali ulangan

Hasil penelitian di

atas menunjukkan bahwa produk biofat memiliki kandungan lemak yang sangat tinggi, karena memang merupakan hasil ekstraksi dengan heksana. Heksana adalah pelarut non polar yang mengekstrak fraksi lemak.

Kandungan lemak dari produk biofat yang tinggi pada cangkang yang memiliki ukuran partikel kecil berkorelasi positif dengan jumlah rendemen yang dihasil-kan (Tabel 1). Adapun asam lemak yang dikandung dalam produk biofat adalah kemungkinan asam lemak yang masih terikat dengan gliserol membentuk lemak sehingga kadar asam lemak bebas yang dikandungnya sedikit.

Hal ini terlihat pada Tabel 2 bahwa kadar asam lemak bebas sangat rendah baik untuk partikel ukuran besar maupun kecil. Hal tersebut merupakan keuntungan bagi produk tersebut sebab produk biofat tidak cepat mengalami oksidasi dan menjadi tengik. Menurut ZULKIFLI dan ESTIASIH (2014) Asam lemak bebas (ALB) merupakan asam lemak dalam keadaan bebas dan tidak berikatan lagi dengan gliserol.

Asam lemak bebas

terbentuk karena terjadinya reaksi hidrolisis terhadap minyak yang mengalami ketengikan.

Kandungan total fenol hampir sama pada partikel ukuran besar maupun kecil. Senyawa fenol alami yang terkandung dalam cangkang jambu mete telah dilaporkan sebelumnya mempunyai sifat yang khas yaitu sebagai anti bakteri (HIMEJIMA, 1991).

Analisis dengan spektroskopi massa menggunakan GC-

MS GCD HP 1800 C (Gambar 1) pada produk biofat

menghasilkan pola-pola fragmentasi dengan ion molekul pada nilai m/z sebesar 380, ini menunjukkan bahwa senyawa terisolasi mempunyai berat molekul sebesar 380. Fragmentasi yang keluar adalah: 326, 302, 281, 257, 230, 206, 175, 121, 147, 108, 79,55 dan 41. Hasil tersebut sama dengan yang dilaporkan SILVA et al.,

(2008) dengan

fragmentasi yang keluar adalah: 329, 285, 259, 229, 201, 121, 175, 148, 105, 91,79,55 dan 41, serta mempunyai berat molekul m/z 374 (M+). Kromatogram hasil analisis GC-MS menunjukkan bahwa ada sturuktur kimia senyawa fenolik yang terikat dengan asam anakardat yaitu C15 dan hasil tersebut menunjukkan beberapa senyawa yang terkandung dalam produk biofat. Senyawa-senyawa tersebut disajikan dalam Tabel 3 di bawah ini.

Tabel 3. Kandungan Kimia Produk Biofat

Tabel 3. Content of Chemical Products Biofat

No. Puncak

Peak

Waktu Retensi (menit)

Retensi Time (menit)

Dugaan Senyawa

Alleged Compounds

Konsentrasi (%)Concentration(%)

5

35.147

Asam Anakardat

78.167

37.015

kardol

13.188

37.388

kardanol

4.666

36.305

2-methil-kardol

3.56

*)

Data dihasilkan dari 2 kali ulangan

Hasil analisis GC-MS dari produk biofat (Tabel 3) menunjukkan bahwa cangkang jambu mete yang telah diekstraksi untuk menghasilkan produk biofat mengandung beberapa senyawa-senyawa bioaktif. Hasil tersebut hampir sama dengan hasil yang diperoleh SUHARTONO

et al. (2010) yaitu 74.27% asam anakardat, 17,3% kardol, 3,73% kardanol dan 4,7%

metil kardol. Kandungan kimia tertinggi dalam biofat adalah senyawa asam anakardat. Senyawa tersebut keluar pada RT 35.147 menit merupakan senyawa dengan peak yang tertinggi dengan konsentrasi 78.16% dari cangkang biji mete.

BUDIATI

dan ERVINA

(2008) serta KUBO

et al.(2003) menyatakan asam anakardat

mempunyai aktivitas anti-bakteri terhadap bakteri gram positif Staphylococcus aureus, dimana cara kerja anti bakterinya berlaku sebagai surfaktan dengan merusak dinding sel, sedangkan mekanisme biokimianya berdasarkan kemampuannya menghambat enzim sulfihidril. Selanjutnya BUDIATI et al. (2004) dari hasil penelitiannya menunjukkan bahwa turunan asam anakardat

yaitu metil esteranakardat dan turunan dimetil dari asam anakardat mempunyai efek

Page 38: Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian Indonesian

ANDI SAENAB et al.: Karakteristik Fisik dan Kimia dari Produk Bioindustri Cangkang Jambu Mete (Anacardium occidentale)

85

menghambat yang lebih besar dibandingkan asam anakardat terhadap aktivitas enzim sulfihidril. BUDIWATI dan SOEDIGDO (1997) dalam penelitiannya menunjukkan bahwa asam anakardat dapat menghambat aktivitas enzim GPT (Glutamat Piruvat Transaminase), suatu enzim yang dilepaskan hati saat terjadi kerusakan sel hati. Oleh karena itu, asam anakardat mempunyai prospek yang bagus sebagai obat kerusakan hati/hepatitis. Dikemukakan bahwa asam anakardat dapat berkhasiat sebagai obat cacing, dimana larutan asam anakardat dalam larutan fisiologis dengan konsentrasi 0,5-5% terbukti dapat membunuh cacing gelang Ascaris lumbricoides (BUDIWATI

dan

SOEDIGDO, 1997). Analisis dengan spektroskopi massa menggunakan

GC-

MS GCD HP 1800 C (Gambar

1) pada produk biofat

menghasilkan pola-pola fragmentasi dengan ion molekul pada nilai m/z sebesar 380, ini menunjukkan bahwa senyawa terisolasi mempunyai berat molekul sebesar 380. Fragmentasi yang keluar adalah: 326, 302, 281, 257, 230, 206, 175, 121, 147, 108, 79,55 dan 41. Hasil tersebut sama dengan yang dilaporkan SILVA et al.

(2008) dengan fragmentasi yang keluar adalah: 329, 285, 259, 229, 201, 121, 175, 148, 105, 91,79,55 dan 41, serta mempunyai berat molekul m/z 374 (M+). Kromatogram hasil analisis GC-MS menunjukkan bahwa ada sturuktur kimia senyawa fenolik yang terikat dengan asam anakardat yaitu C15 dan hasil tersebut menunjukkan beberapa senyawa yang terkandung

dalam produk biofat. Senyawa-senyawa tersebut disajikan dalam Tabel 3 di bawah ini.

Tabel 3. Kandungan kimia produk biofat Tabel 3. Content of chemical products biofat

No. Puncak/

Peak

Waktu retensi (menit)/

Retensi Time (menit)

Dugaan senyawa/ Alleged compounds

Konsentrasi (%)/Concentration (%)

5

35.147

Asam Anakardat

78.167

37.015

kardol

13.18

8

37.388

kardanol

04.66

6

36.305

2-methil-kardol

03.56

*) Data dihasilkan dari 2 kali ulangan

Hasil analisis GC-MS dari produk biofat (Tabel 3) menunjukkan bahwa cangkang jambu mete yang telah diekstraksi untuk menghasilkan produk biofat mengandung beberapa senyawa-senyawa bioaktif. Hasil tersebut hampir sama dengan hasil yang diperoleh SUHARTONO

et al. (2010) yaitu 74.27% asam anakardat,

17,3% kardol,

3,73% kardanol dan 4,7% metil kardol. Kandungan kimia tertinggi dalam biofat adalah senyawa asam anakardat. Senyawa tersebut keluar pada RT 35.147 menit merupakan senyawa dengan peak yang tertinggi dengan konsentrasi 78.16% dari cangkang biji mete.

Keterangan: (1) Asam anakardat, (2) Kardol, (3) Kardanol dan (4) 2-metil kardolDescription: (1) Anacardic Acid, (2) Cardol, (3) Cardanol and (4) 2-methyl cardol

Gambar 1. Kromatogram Biofat menggunakan GC-MSFigure 1. Chromatogram of Biofat analysed by GC-MS

Page 39: Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian Indonesian

JURNAL LITTRI VOL. 22 NO. 2, JUNI 2016: 81 - 90

86

BUDIATI dan ERVINA (2008) serta KUBO et al. (2003) menyatakan asam anakardat mempunyai aktivitas anti-bakteri terhadap bakteri gram positif Staphylococcus aureus, yaitu cara kerja anti bakterinya berlaku sebagai surfaktan dengan merusak dinding sel, sedangkan mekanisme

biokimianya berdasarkan kemampuannya

menghambat enzim sulfihidril. Selanjutnya BUDIATI

et al. (2004) dari hasil penelitiannya menunjukkan bahwa turunan asam anakardat yaitu metil esteranakardat dan turunan dimetil dari asam anakardat mempunyai efek menghambat yang lebih besar

dibandingkan asam

anakardat terhadap aktivitas enzim sulfihidril. BUDIWATI

dan SOEDIGDO

(1997) dalam penelitiannya menunjukkan

bahwa asam anakardat dapat menghambat aktivitas enzim GPT (Glutamat Piruvat Transaminase), suatu enzim yang dilepaskan hati saat terjadi kerusakan sel hati. Oleh

karena itu, asam anakardat mempunyai prospek yang bagus sebagai obat kerusakan hati/hepatitis.

Dikemukakan bahwa asam anakardat dapat berkhasiat sebagai obat cacing, dimana

larutan asam anakardat dalam larutan

fisiologis dengan konsentrasi 0,5-5% terbukti dapat

membunuh cacing gelang Ascaris lumbricoides (BUDIWATI

dan SOEDIGDO, 1997).

Karakterisasi Produk Biochar

Hasil analisis proksimat dan foto SEM dari produk biochar

disajikan pada Tabel 4 dan Gambar 2 di

bawah ini.

Tabel 4.

Analisa proksimat biochar yang berasal dari cangkang biji jambu mete dengan ukuran besar dan kecil

Table 4.

Proximate analysis of biochar derived from cashewnut shell with 2 different particle size

Parameter

Parameters

Ukuran Partikel

Particle

Size

Besar/Big

(1cm)

Kecil/Small

(2mm)

Abu %**)

003.45

006.56

Ca %*)

000.23

000.69

P %*)

000.13

000.23

Mg %*)

000.21

000.26

K (mg/kg) *)

092

525

Fe (mg/kg) *)

695

305

Zn (mg/kg) *)

29.80

450

Cu (mg/kg) *)

02.55

056

*)

Laboratorium Balitnak, Ciawi dan **)Laboratorium PAU IPB

*)

Balitnak Laboratory, Ciawi and

**)PAU Laboratory, Bogor Agricultural University

*)

Data dihasilkan dari 2 kali ulangan

Dari Tabel 4

terlihat bahwa kandungan abu, Ca, dan P lebih tinggi 2 kali lipat pada ukuran partikel cangkang kecil dibandingkan yang besar. Hal ini disebabkan cangkang jambu mete ukuran besar lebih keras teksturnya

sehingga abu yang dihasilkan pada proses pembakaran sangat kecil dan pembakaran pada suhu tinggi (600oC) akan cepat menghancurkan partikel yang lebih kecil. Hasil analisa kadar abu dari arang cangkang jambu mete lebih kecil bila dibandingkan dengan kadar abu pada arang tempurung

kelapa adalah 13.08% (BUDI et al., 2006). Karena cangkang jambu mete telah diekstraksi terlebih dahulu sehingga hasil yang diperoleh lebih kecil. Demikian pula kandungan Mg, K, Zn dan Cu lebih tinggi pada ukuran partikel cangkang kecil dibandingkan yang besar. Namun sebaliknya, kandungan mineral Fe lebih tinggi

pada cangkang yang

berukuran partikel besar. Pemanfaatan biochar dari cangkang jambu mete

sebagai pupuk pada tanaman dimungkinkan sebab biochar memiliki kadar fosfor dan kalium yang tinggi. Ketersediaan unsur hara makro esensial (seperti fosfor dan kalium) di dalam tanah sangatlah terbatas, padahal kedua unsur tersebut sangat dibutuhkan oleh tanaman agar dapat memberikan hasil yang tinggi. Biochar mempunyai potensi untuk dikembangkan sebagai penyerap dan pelepas unsur hara (pupuk) dalam bidang kesuburan tanah karena memiliki luas permukaan yang besar dan kurang lebih sama dengan koloid tanah. Biochar memiliki lubang pori yang dapat menyerap logam-logam berat yang ada pada tanah. Menurut BURKE

et al.

(2014) bahwa biochar dari campuran kayu dapat meningkatkan pertumbuhan tanaman kapas dengan hasil yang sangat signifikan. Hal tersebut dapat dilihat dengan meningkatnya pertumbuhan tinggi tanaman, luas daun dan panjang daun. Penelitian terbaru telah menunjukkan bahwa penerapan biochar dalam tanah (sawah) dapat menurunkan pelepasan metana (LIU et al., 2011).

Hasil SEM memperlihatkan bahwa porositas pada

biochar cangkang jambu mete yang ukuran partikel kecil lebih tinggi dan seragam dibandingkan dengan ukuran besar pada cangkang jambu mete. Pada serat-serat penyusun arang cangkang tampak porositas yang merata dan banyak. Hasil tersebut sama dengan porositas tempurung kelapa. Menurut ARI

et al. (2000) hasil pengamatan SEM memperlihatkan bahwa porositas arang tempurung kelapa lebih tinggi dibanding arang kayu. Semakin tinggi porositas arang maka semakin mudah menyerap logam berat yang ada di

dalam tanah. Dari Gambar 2. tampak diameter lubang pori berukuran 40 µm untuk gambar A dan untuk gambar B adalah < 20 µm. Hal ini menunjukkan bahwa semakin kecil ukuran partikel maka semakin kecil pula ukuran diameter pori yang dihasilkan. Bila dibandingkan dengan hasil SEM pada cangkang kelapa sawit (2-5µm), maka hasil tersebut lebih besar. Sehingga memungkinkan untuk menyerap logam-logam berat yang ada dalam tanah (SANTI

dan GOENADI, 2012).

Karakterisasi Produk Biosmoke

Biosmoke (asap cair) diperoleh dari hasil kondensasi asap pada proses pirolisis dari fraksi serat yang polimer yaitu selulosa, hemiselulosa, dan lignin menjadi senyawa-senyawa monomer. Kelompok senyawa kimia yang dihasilkan dalam pengasapan adalah fenol, kabonil, asam, furan, alkohol, ester, lakton, dan hidrokarbon polisiklik aromatik (HPA).

Page 40: Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian Indonesian

ANDI SAENAB et al.: Karakteristik Fisik dan Kimia dari Produk Bioindustri Cangkang Jambu Mete (Anacardium occidentale)

87

Gambar 2. Foto SEM dari biochar cangkang biji jambu mete dengan ukuran besar (A) dan ukuran kecil (B)

Figure 2. SEM photos biochar of cashewnut shell withLarge size (A) and small size (B)

Tabel 5.

Kadar lemak, pH, total fenol dari produk biosmoke

dari cangkang biji jambu mete ukuran besar dan kecil

Table 5.

Fat, pH, total phenol contents of biosmoke from cashew

nut shell with 2 different particle

Size

Parameter/

Parameters

Ukuran Partikel/

Particle

Size

Besar/Big

(1

cm)

Kecil/Small

(2

mm)

pH

3.12

3.69

Lemak Kasar (g/100g biosmoke)

0.22

0.15

Total Fenol (mg/100g biosmoke)

2.7

7.20

*)

Labotorium Balitnak, Bogor dan Laboratorium Kimia Terpadu IPB

*)

Balitnak Laboratories, and the Laboratory Chemical Ciawi IPB

*)

Data dihasilkan dari 2 kali ulangan

Dari Tabel 5 terlihat bahwa produk biosmoke memiliki pH yang asam. Hal ini berdampak baik sebab dengan pH asam dan fenol maka produk tersebut memiliki sifat

anti

bakteri. Sejalan dengan pendapat DARMADJI

(2002) bahwa asap cair tempurung

kelapa mempunyai aktivitas antibakteri yang tinggi karena senyawa asam dan fenol mempunyai peranan dalam proses penghambatan bakteri dan bermanfaat dalam industri pengolahan dan pengawetan daging. Bila produk biosmoke ini dimanfaat-kan pada ternak,

maka produk tersebut berguna untuk membunuh bakteri patogen dalam usus karena pH asam.

Hasil penelitian MIRANDA

et al.

(2012) menghasilkan asap cair dengan pH 3 pada cangkang kulit kemiri.

Kandungan lemak pada biosmoke hanya sedikit sekali banyak pada ukuran besar dibanding ukuran kecil. Hal tersebut disebabkan hampir semua fraksi lemak sudah terekstrak dalam heksana.

Kandungan total fenolnya sangat tinggi dan 3 kali lebih tinggi pada ukuran kecil dibanding partikel ukuran besar. Bila dibandingkan dengan biofat, maka kandungan total fenol yang ada pada biosmoke lebih kecil. Hal ini menunjukkan bahwa senyawa fenol yang paling banyak ada di dalam fraksi lemak. Dua senyawa

dominan yang berperan sebagai bakteriostatik adalah fenol dan asam-asam organik yang mampu mengontrol pertumbuhan bakteri. Fenol diperoleh dari hasil pirolisis lignin, sedangkan asam-asam organik dari hasil pirolisis selulosa dan hemiselulosa (KARTIKA, 2009). Total fenol yang diperoleh dari biosmoke cangkang jambu mete (0.72%) lebih tinggi dari tandan kelapa sawit (0.44%) (KARIMA, 2014).

Hasil analisis GC-MS (Gambar 3) pada produk

biosmoke dapat dilihat dari pola-pola fragmentasi dengan ion molekul pada nilai m/z sebesar 210. Ini menunjukkan bahwa senyawa terisolasi mempunyai berat molekul sebesar 210. Fragmentasi yang keluar adalah 207, 133, 119, 109,94, 79,66, 55 dan 44. Kromatogram hasil analisis GC-MS menunjukkan bahwa banyaknya senyawa –senyawa monomer dari hasil degradasi lignin dan selulosa yang keluar sampai pada waktu retensi di

bawah menit ke 12. Senyawa-senyawa tersebut dapat dilihat pada Tabel 6, dimana senyawa fenol mempunyai konsentrasi yang tinggi. Analisis kandungan kimia produk biosmoke disajikan pada Tabel 6.

Tabel 6. Kandungan kimia dari produk biosmoke

Tabel 6. Chemical content of biosmoke

products

No.

Puncak/

Peak

Waktu retensi (menit)/

Retensi Time (menit)

Dugaan senyawa/

Alleged Compounds

Konsentrasi(%)/

Concentration(%)

1

2.787

asam propionat

9.822

2.925

2-Hexene

2.203

3.276

3,5-dimethyl-pyrazole

15.755

3.552

2-propanone,1-scetyloxy

7.617

4.131

1-2-furyl-ethanone

2.818

4.235

Dihydro -Furanone,

5.0512

5.097

3-methy-2-cyclopenten

2.3913

5.269

Phenol, carbosilacid acid

19.0615

6.303

2-cyclopenten-1-one 3.3917 6.951 0-cresol- phenol 2.7118 7.538 Benzenemethanol 7.5219 7.869 2-methoxy-phenol 5.56

*) Data dihasilkan dari 2 kali ulangan

Page 41: Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian Indonesian

JURNAL LITTRI VOL. 22 NO. 2, JUNI 2016: 81 - 90

88

Gambar 3. Kromatogram biosmoke menggunakan GC-MS

Figure 3. Chromatogram of biosmoke analysed by GC-MS

Dari Tabel 6 menunjukkan bahwa biosmoke mengandung senyawa fenol, asam

karbolat

dan benzenol

yang tinggi dengan waktu retensi yaitu 5.269, area konsentrasi 19.60%. MIRANDA

et al.

(2012) melaporkan bahwa kandungan senyawa pada biosmoke cangkang kulit kemiri terlihat pada waktu retensi tertinggi yaitu 21.08 (Phenol,2,6-dimethoxy-4-(2-propenyl)). Dilaporkan oleh GANI

(2013) bahwa komponen senyawa tertinggi yang menyusun biosmoke adalah fenol dan asam. Kedua senyawa yang terkandung dalam biosmoke (fenol dan asam) bermanfaat sebagai bahan pengawet pada bahan makanan seperti tahu,

daging dan ikan,

serta dapat digunakan sebagai pengawet bahan pakan seperti dedak dan jagung. Biosmoke

(asap cair) dapat dimanfaatkan untuk berbagai keperluan, yaitu sebagai pengawet ikan dan antioksidan (NURHAYATI, 2000; DARMADJI

dan TRUYUDIANA,

2006).

Ketiga produk bioindustri cangkang jambu mete (biofat, biochar dan biosmoke) dapat diaplikasi dalam berbagai bidang industri, pertanian dan peternakan. Dengan pemanfaatan produk limbah tersebut maka salah satu masalah lingkungan dapat diatasi dengan baik dan membuka peluang industri baru yang berasal dari limbah jambu mete.

KESIMPULAN

Produk bioindustri cangkang jambu mete (biofat, biochar dan biosmoke) adalah produk yang memiliki karakteristik fisika dan kimia yang spesifik. Jumlah

rendemen pada biofat dengan ukuran partikel kecil lebih banyak yaitu 17.81 (g/100g biofat), sedang pada biochar dan biosmoke jumlah rendemen yang

tinggi diperoleh pada ukuran besar yaitu 30.82 (g/100g biofat) dan 5.13 (g/100g biofat). Produk biofat mengandung kadar lemak dan total fenol yang tinggi. Sifat fisik dari produk biochar adalah memiliki lubang pori yang seragam dan sifat kimia nya mengandung beberapa mineral (abu, Ca, P, Mg, K, Zn dan Cu) yang tinggi pada cangkang yang berukuran kecil, sehingga dapat digunakan sebagai

pupuk alami juga dapat digunakan sebagai feed aditif dapat pakan ternak. Sifat kimia

dari produk biosmoke memiliki pH diatas 3

(asam) dan senyawa fenolik yang tinggi yang bermanfaat sebagai antibakteri dan pengawet makanan dan pakan.

UCAPAN TERIMA KASIH

Terima kasih kami ucapkan kepada Badan Litbang Pertanian yang telah memberikan dana melalui KKP3N 2015.

DAFTAR PUSTAKA

AOAC.

2005. Official methods of analysis. Ed ke-16. Washington: AOAC International.

ARI H., WILDAN, L. dan SARYATI SUTISNA . 2000. Analisis strukturmikro dan komposisi kimia arang tempurung dan arang kayu sebagai adsorber dengan SEM-Edax. Jurnal Mikroskopi dan Mikroanalisis. 3(2): 20-25.

Page 42: Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian Indonesian

ANDI SAENAB et al.: Karakteristik Fisik dan Kimia dari Produk Bioindustri Cangkang Jambu Mete (Anacardium occidentale)

89

BPS (BADAN PUSAT STATISTIK) . 2001. Statistik perdagangan luar negeri indonesia. Ekspor. Jilid II. Badan Pusat Statistik. Jakarta.

BPS (BADAN PUSAT STATISTIK) . 2015. Statistik Perkebunan. Jakarta.

BRIDGWATER, A.V . 2004. Biomass fast pyrolysis. Thermal Science, 8(2), 21-49.

BURKE, J.M., D.E. LONGER, D.M. OOSTERHUIS, E.M.

KAWAKAMI . and

D.A. LOKA. 2014.The effect of biochar source on cotton seedling growth and development and association with conventional fertilizers. International Journal of Plant & Soil Science.

3(8):

995-1008. BUDI, E., HADI N., SETIA B., ERFAN H., PUJI, RANGGI S., dan

SUNARYO. 2011. Kajian pembentukan karbon aktif

berbahan arang tempurung kelapa. Jurnal Penelitian Sains FMIPA UNSRI. 4(14): 14406-14415.

BUDIATI, T., N.C. ZAINI

dan

S. SOEDIGDO. 2004.

Sintesis metil anakardat dan uji aktivitasnyasebagai inhibitor enzim sulfihidril. JBP 6(2): 47-51.

BUDIATI, dan M. ERVINA. 2008. Hubungan

antara struktur asam anakardat dan

aktivitas antibakteri terhadap Staphylococcusaureus. Jurnal Obat Bahan Alami 7(1): 108-114.

BUDIWATI, T.A. dan

H.P. SOEDIGDO. 1997.

Pengaruh asam anakardat terhadap aktifitas

enzim glutamat piruvat transaminase.Buletin IPT 3(1): 44-48.

CHOI, J.M, SHINDE, I., K. KWON, Y.H. SONG

and

B.J. CHAE1. 2009. Effect of wood vinegar on the performance, nutrient digestibility and intestinal microflora in weanling pigs. Asian-Aust. J. Anim. Sci. 22(2): 267-274.

DIRJEN PERKEBUNAN. 2010. Statistik perkebunan indonesia

tahun 2005-2010. Kementerian Pertanian. Jakarta.

DARMADJI, P. 2002. Optimasi pemurnian asap cair dengan metode redistilasi. jurnal teknologi dan industri pangan.

Jurnal Agritech 8(3):

267-171.

DARMADJI, P.

dan TRUYUDIANA, H. 2006. Proses pemurniaan asap cair dan stimulasi akumulasi kadar benzopyrene pada proses perendaman ikan. Jurnal Agritech. 26(2): 75-83.

DEMIRBAS, A. 2005. Pyrolysis of ground wood in irregular heating rate conditions. Journal Analytical and Applied Pyrolysis, 73, 39-43.

LUTHRIA D.L., Kirk N., and DUTT VINJAMOORI.

2004. Impact of sample preparation on the determination of crude fat content in corn. JAOCS Press, Champaign. 23(3): 999-1004.

GANI. 2013. Komponen kimia asap cair hasil pirolisis limbah padat kelapa sawit. Jurnal Rekayasa Kimia dan Lingkungan. 9(3):

109-116.

GONZÁLEZ J.F., RAMIRO A., GONZÁLEZ C.M., GAÑAN J.,

ENCINAR J.M., SABIO E. and

RUBIALES J. 2005. Pyrolysis of almond shells. energy applications of fractions. Industrial and Engineering Chemical Research, 44(9): 3003-3012.

HADI R. 2011. Sosialisasi teknik pembuatan arang tempurung kelapa dengan pembakaran sistem suplai udara terkendali. Buletin Teknik Pertanian. 16: 77-80.

HIMEJIMA, M. dan KUBO,

I. 1991. Antibacterial agent from the cashew Anacardium occidentale L (Anacar-diaceae) nut shell oil, J. Agriculture Food Chemistry.39:

418-421.

KARTIKA, O.P. 2009. Imperegnasi kayu kelapa sawit dengan

menggunakan asap cair tempurung kelapa stirena dan toluena diisosianat (TDI). Tesis. Sekolah Pasca Sarjana Universitas Sumatra Utara, Medan.

KARIMA, R. 2014. Karakterisasi sifat fisika dan kimia cuka kayu dari Tandan kosong kelapa sawit. Jurnal Riset Industri asil Hutan. (6)1: 35-40.

KHUMAR, PHANI P., R. PARAMASHIVAPPA, R.J. VITHAYATHIL,

P.V. SUBBA RAO, dan A. SRINIVASA RAO. 2002. Process for isolation of cardanol from technical cashew (Anacardium occientale L.) nut shell liquid. J Agric Food Chem 50:

4705-4708.

KUBO, I., OCHI M., VIEIRA P.C. and

KOMATSU S.

1993.Antitumor agents from the Cashew (Anacardium occidentale) apple juice. JournalAgric. Food Chem. 41: 1012-1015.

LENG, R.A., INTHAPANYA S., dan PRESTON T.R. 2012.

Methane production is reduced in an in vitro incubation when the rumen fluid is taken from cattle that previously received biochar in their diet. livestock research for rural development. Volume 11 . http://www.lrrd.org/lrrd23/4/soph23071.htm

LENG,

R.A., PRESTON T.R., dan INTHAPANYA S.

2012. Biochar reduces enteric methane and improves growth and feed conversion in local “Yellow” cattle fed cassava root chips and fresh cassava foliage. Livestock Research for Rural Development. Volume 11. http://www.lrrd.org/lrrd23/4/soph23071.htm

LIU, Y.X., YANG M., W.U.

Y.M., WANG H.L., CHEN Y.X.

and WU

W.X. 2011.

Reducing CH4 and CO2 emissions from waterlogged paddy soil with biochar. Journal of Soils and Sediments. 11: 930-939.

MAKKAR, H.P.S. 2003. Quantification of tannin in tree an shrub foliage. A laboratory manual. kluwer academic publisher, Dordrecht, The Netherlands, 102 pp.

MULYOHARDJO, M. 1991. Jambu mente dan teknologi pengolahannya (Anacardium occidentale L). Liberty, Yogyakarta.

MITSUMORI M.,

ENISHI O.,

SHINKAI T.,

HIGUCHI K.,KOBAYASHI Y.,

TAKENAKA A.,

NAGASHIMA K.,

MOCHIZUKI M.,

and KOBAYASHI Y. 2014.

Effect of cashew nut shell liquid on metabolic hydrogen flow on bovine rumen fermentation. Jurnal Animal Science.85(3):

227-232.

MIRANDA R., CÉSAR S., DIANA B.,

EILEEN C.

and

MARÍA R. 2012. Characterization of pyrolysis productsobtained during the preparationof bio-oil and activated carbon. lignocellulosic precursors used in the synthesis of activated carbon.

MUHADI, S. 2013. Pengaruh jenis, ukuran, dan konsentrasi arang sebagai penurun gas metana pada fermentasi

Page 43: Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian Indonesian

JURNAL LITTRI VOL. 22 NO. 2, JUNI 2016: 81 - 90

90

pakan ternak secara in vitro. Tesis. Departemen Kimia. Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam. Institut Pertanian Bogor.

NAIM M., ALEXANDRA C. M. OLIVEIRA,

BRIAN H. HIMELBLOO,

MARY BETH LEIGH and CHARLES A. CRAPO. 2012. Chemical characterization of commercial liquid smoke products. Food Science and

Nutrition 1 (1):

102-115.

NURHAYATI, T., RIDWAN A.

PASARIBU, dan DIDA MULYADI.

2006. Produksi dan pemanfaatan arang dan cuka kayu dari serbuk gergaji kayu campuran. Jurnal Hasi Hutan. Bogor.

RISFAHERI, T., T. IRAWADI, M.A. NUR

dan I. SAILAH. 2004.

Pemisahan kardanol dari minyak cangkang biji mete dengan metode mestilasi vakum. Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Pascapanen Pertanian. Jurnal Pascapanen 1(1): 1-11.

SANTI L.P.

dan GOENADI D.A. 2012. Pemanfaatan biochar asal cangkang tempurung kelapa sawit sebagai bahan pembewa mikrobapemantap agregat. Buana Sains. 12(1):

7-14.

SILVA M.S., S.G. DE LIMA, E.H. OLIVEIRA,

J.A.D. LOPES, M.H.

CHAVES, F.A.M. REIS

and A.M.G.L. CITÓ. 2008.

Anacardic acid derivatives from brazilian propolisand their antibacterial activity.

Ecl. Quím São Paulo. 33(3): 53-58, 2008.

SIMPEN IN. 2008. Isolasi cashew nut shell liquid dari

cangkangl biji jambu mete (Anacardium Occidentale

L) dan kajian beberapa sifat fisiko-kimianya. Jurnal Kimia 2 (2): 71-76.

SIREGAR, S. 2005. Analisa kadar keasaman, kadar senyawa turunan fenol dan indeks pencoklatan dalam pembuatan asap cair dari cangkang kelapa sawit. Skripsi, FMIPA Kimia, Universitas Sumatra Utara, Medan.

SUDRAJAT, R. dan SALIM. 1994. Petunjuk teknis pembuatan

arang aktif. Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan. Bogor.

SUHATONO, J., CARLINA N., DUPRIKA P.S. dan DANI TRIYANA. 2010. Pengambilan minyak laka dari kulit biji mete dan peningkatan kandungan kardanol dalamminyak laka.

Seminar Rekayasa Kimia Dan Proses, 4-5

Agustus.C-15: 1-4. SUKARTONO, UTOMO W.H., NUGROHO W.H ., and KUSUMA Z.

2011. Simple biochar production generated from cattle dung and coconut shell. J. Basic. Appl. Sci. Res. 1(10): 1680-1685.

SUKIRAN M.A., KHEANG L.S., BAKAR N.A., and MAY C.Y. 2011. Production and characterization of biochar from the pyrolysis of empty fruit bunches. Am. J. Applied Sci8(10): 984-988.

ZULKIFLI, M.

dan T. ESTIASIH. 2014. Sabun Dari Distilat Asam Lemak Minyak Sawit : Kajian Pustaka. Jurnal Pangan dan Agroindustri. 2(4): 170-177.

Page 44: Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian Indonesian

91

PENGARUH PUPUK MAJEMUK TERHADAP PRODUKSI DAN MUTU TEMBAKAU VIRGINIA

Effect of Compound Fertilizer on Yield and Quality of Virginia Tobacco

DJAJADI, SULIS

NUR

HIDAYATI

dan

RONI

SYAPUTRA

Balai Penelitian Tanaman Pemanis dan Serat Jalan Raya Karangploso Km

4, Malang 65152

Email: [email protected]

Diterima: 2-3-2016; Direvisi: 15-3-2016; Disetujui: 4-4-2016

ABSTRAK

Pada umumnya petani tembakau di Lombok menggunakan pupuk tunggal ZA atau Urea (sebagai sumber N) dan SP 36 (sumber unsur P), tanpa menambahkan pupuk K atau Mg.

Pupuk tunggal tersebut diberikan lebih dari dua kali dengan dosis yang belum tepat. Penggunaan pupuk majemuk NPKMg diharapkan dapat

meningkatkan produksi dan mutu tembakau Virginia di Kabupaten Lombok Tengah, Propinsi Nusa Tenggara Barat, karena mengandung unsur makro NPK yang sangat dibutuhkan tanaman tembakau. Penelitian yang diadakan di Desa Kopang Rembiga, Kecamatan Kopang pada tahun 2014 bertujuan untuk mengetahui pengaruh pupuk majemuk NPKMg terhadap pertumbuhaan, produksi, dan mutu tembakau Virginia di Lombok. Rancangan Petak Terbagi dengan tiga ulangan digunakan untuk menguji respon tiga varietas (Coker 176, Coker 319 dan NC 297) sebagai petak utama dan tiga dosis pupuk NPKMg (60, 80 dan 100 kg N/ha) dan dosis 107 kg N/ha pupuk NPK+KNO3, yang diatur sebagai anak petak. Pupuk majemuk diberikan dua kali, yaitu pada umur 7 dan 25 hari, masing-masing 1/3 dan 2/3 dosis, pada petak perlakuan yang berisi 120 tanaman. Hasil penelitian menunjukkan bahwa peningkatan dosis pupuk NPKMg sampai 100 kg N/ha meningkatkan pertumbuhan, produksi, mutu dan indeks tanaman tembakau Virginia yang diuji. Aplikasi dosis 100 kg N/ha pupuk NPKMg (100 kg N+ 60 kg P2O5

+ 133 kg K2O + 13,34 kg MgO per hektar) menghasilkan nilai indeks mutu dan indeks tanaman tertinggi pada semua varietas yang diuji,

sehingga pupuk tersebut dapat digunakan sebagai pupuk alternatif untuk tembakau Virginia di Lombok.

Kata kunci:

pupuk majemuk, tembakau Virginia, produksi, indeks mutu, indeks tanaman

ABSTRACT

Tobacco Generally farmers in Lombok apply single fertilizer of ZA or Urea (as a source of N), and SP36 (as source of P), without combining with K and Mg fertilizers. The fertilizers are added more than twice with unappropriates doses. Application of compound fertilizer might increase growth, yield and quality of Virginia fc tobacco at

Central Lombok,

West Nusa Tenggara Province,

because

the fertilizer consists of NPK macro nutrients which have important role for tobacco. The experiment was

carried out at Kopang Rembiga village,

Kopang District in 2014. The objective to was identify the effect of NPKMg compound fertilizer on growth, yield and quality of Virginia tobacco. Split Plot Design with three replicates was used to arrange treatments. Three varieties of Virginia tobacco (Coker 176, Coker 319 and NC 297) were set as main plots, and three rates of NPKMg fertilizer (60, 80 and 100 kg N/ha) were arranged as sub plots. Results showed that increasing of NPKMg fertilizer up

to 100 kg N/ha increased growth, yield and quality of three varieties of Virginia tobacco. Addition of 100 kg N/ha NPKMg (100 kg N+ 60 kg P2O5

+ 133 kg K2O + 13.34 kg MgO per hectare) gave

the highest values of grade index and crop index of three varieties, thus the fertilizer could be recommended for Virginia tobacco in Lombok.

Keywords: compound fertilizer, Virginia tobacco, yield, grade index, crop index

PENDAHULUAN

Salah satu sentra tembakau Virginia di Indonesia yaitu

di Lombok,

Nusa Tenggara Barat.

Tembakau di Nusa Tenggara Barat pada tahun

2011

dan 2012 berturut-turut seluas 29.434 Ha dan 29.066 Ha, serta pada tahun 2013 diperkirakan seluas 28.702 Ha dengan total produksi selama tiga tahun tersebut sebesar 40.583 kg (DIREKTORAT

JENDERAL PERKEBUNAN, 2012). Varietas tembakau Virginia yang dibudidayakan di Lombok cukup banyak, antara lain yaitu

PVH 03, NC 297, Coker

176 dan Coker

319. Dengan beragamnya varietas yang dibudidayakan tersebut, juga akan menyebabkan dosis dan jenis pupuk yang sesuai untuksetiap varietas juga berbeda, karena respon varietasterhadap pemupukan juga berbeda.

Unsur N yaitu

unsur yang paling penting dalam mempengaruhi produksi dan mutu tembakau (MARCHETTI

et al., 2006). Serapan unsur N oleh tembakau terjadi dengan proses yang

lambat pada 3 minggu di awal pertumbuhannya, setelah itu berlangsung cepat dan meningkat selama 3 –

8 minggu setelah tanam, sehingga sekitar 80% N total diserap tembakau selama 8 minggu setelah tanam (HAWKS

dan COLLINS, 1983).

Selain unsur N, tembakau juga membutuhkan unsur K dalam jumlah besar. Serapan tanaman tembakau terhadap unsur K selama masa pertumbuhannya paling tinggi dibandingkan unsur lainnya (HAWKS

dan COLLINS, 1983). Beberapa peneliti melaporkan peranan penting unsur N bersama dengan unsur K dalam perbaikan produksi dan mutu tembakau (LU

et al., 2005; FARROKH

et al., 2011; HAGHIGHI

et al. 2011).

Unsur P diperlukan tanaman tembakau dalam proses pemasakan daun. RIDEOUT

dan GOODEN

(2000) melaporkan bahwa pemberian pupuk P pada satu minggu setelah transplanting dapat meningkatkan pertumbuhan awal tanaman, meningkatkan serapan hara dan mempercepat pembungaan. HE NIANZU

dan SIN JIWEI

(1991) juga melaporkan bahwa pemberian pupuk majemuk yang mengandung P dan K dapat meningkatkan hasil dan mutu tembakau Virginia flue cured dengan kadar Cl kurang dari 2%. Meningkatnya serapan unsur P akibat perlakuan

Jurnal Littri 22(2), Juni 2016. Hlm. 91 - 98 ISSN 0853-8212

Page 45: Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian Indonesian

JURNAL LITTRI VOL. 22 NO. 2, JUNI 2016: 91 - 98

92

pengapuran juga telah dilaporkan dapat meningkatkan hasil tembakau Virginia di Yunani (KARAIVAZOGLOU et al., 2007).

Dalam hal pemupukan, sebagian besar petani tembakau masih menggunakan pupuk tunggal yang berfokus pada sumber N (ZA dan urea) dan sumber P (SP36). Besarnya penggunaan pupuk tunggal tersebut mencapai 686 kg/ha dengan nilai sekitar Rp 3 juta/ha (FAKULTAS EKONOMI UNAIR, 2013).

Penggunaan pupuk tunggal selain akan menambah

biaya pemupukan juga ternyata dapat menyebabkan gejala keracunan. Contohnya pemberian pupuk tunggal sumber N amonium dapat menyebabkan keracunan pada beberapa tanaman (BRITTO

dan KRONZUCKER, 2002).

Pengaruh

negatif

N amonium

tersebut yaitu

dapat meningkatkan

tekanan konduksi

stomata (HØGH-JENSEN

dan SCHJOERRING, 1997)

dan meningkatkan transpirasi tanaman (LUGERT

et al., 2001), sehingga proses fotosintesis juga menurun.

Penggunaan pupuk majemuk NPK akan berpeluang

meningkatkan

produksi dan mutu tembakau, karena mengandung unsur makro NPK yang sangat dibutuhkan tanaman tembakau. Untuk tembakau Virginia di Kabupaten Lombok Tengah, pupuk

majemuk yang banyak digunakan yaitu

pupuk NPK dan ditambah pupuk KNO3.

Salah satu pupuk majemuk yang diformulasikan untuk

tanaman tembakau yaitu

pupuk NPKMg (15-9-29-2). Efektivitas pupuk majemuk tersebut terhadap produksi dan tembakau Virginia di Lombok belum diketahui. Tujuan kegiatan ini yaitu

untuk mengetahui pengaruh pupuk majemuk NPKMg terhadap pertumbuhan, produksi, mutu, nilai jual, serapan N dan K,

kadar

nikotin, gula dan

Cl tembakau Virginia di Lombok.

BAHAN DAN METODE

Penelitian pengujian efektivitas pupuk majemuk NPKMg

terhadap tembakau dilakukan di Desa Kopang Rembiga, Kecamatan Kopang,

Kabupaten Lombok

Tengah, NTB mulai bulan Maret sampai dengan Desember 2014. Lokasi penelitian merupakan salah satu sentra penanaman tembakau Virginia di Lombok Tengah,

dan hasil analisis

tanah dasar dari lahan tersebut disajikan pada Tabel 1.

Analisis tanah dilakukan di Laboratorium Jurusan Tanah, Fakultas Pertanian, Universitas Brawijaya, Malang.

Pupuk majemuk NPKMg (15-9-20-2) diuji pada tiga varietas tembakau Virginia yang biasa dibudidayakan di Kabupaten Lombok, yaitu Coker 176, Coker 319 dan NC 297. Perlakuan pemupukan meliputi dosis pupuk berbasis unsur N, yang akan dikombinasikan dengan tiga jenis verietas. Dosis yang diuji terdiri atas tiga level, yaitu 60, 80, 100 kg N/ha, dan dosis paket pupuk rekomendasi untuk petani yang bermitra dengan PT. Djarum (Tabel 2). Dengan demikian terdapat 12 kombinasi perlakuan yang disusun menggunakan Rancangan Petak Terbagi dengan tiga ulangan. Sebagai petak utama varietas, dan sebagai anak petak dosis pupuk.

Tabel 1. Hasil analisis tanah pada lahan penelitian Table 1. Soil analysis of experimental site

Sifat tanah Soil

characteristics

Kandungan Content

KategoriCategory

pH 1:1 H2O pH 1:1 KCl 1 N

05,5 04,9

Asam Asam C organik (%)

01,06

Rendah

N Total (%)

00,15

RendahC/N

07

Rendah

P Bray 1 (mg/kg)

21,08

SedangK NH4OAC1N pH:7 (me/100 g)

00,76

Tinggi

Na NH4OAC1N pH:7 (me/100 g)

02,23

Sangat tinggiCa NH4OAC1N pH:7 (me/100 g)

08,75

Sedang

Mg NH4OAC1N pH:7 (me/100 g)

00,79

RendahKTK NH4OAC1N pH:7 (me/100 g)

29,99

Tinggi

KB (%)

42

SedangPasir (%)

36

Debu (%)

40

Liat (%)

24

Tekstur

-

Lempung

Setiap varietas tembakau ditanam dengan jarak tanam 115 cm x 55 cm pada ukuran plot 75,9 m2, sehingga setiap plot berisi 120 tanaman atau setara dengan 14.800 tanaman per hektar. Pembuatan plot atau petak perlakuan dilakukan setelah

lahan selesai diolah.

Bibit tembakau ditanam di lahan setelah berumur 45

hari di pembibitan. Pupuk diberikan dengan dosis yang menyesuaikan dengan perlakuan, yang diberikan pada umur 7 dan 25 hari, masing-masing 1/3 dan 2/3 dosis. Dosis dan sumber pupuk perlakuan yang diuji disajikan pada Tabel 2.

Tabel 2. Perlakuan pupuk yang diuji

Table 2. Treatments of fertilizer

No

Dosis (kg/ha)

Rate of fertilizer

Sumber Pupuk

(kg/ha)Source of fertilizer

N

P2O5

K2O

MgO

1.

60

36

80

8

400 kg pupuk majemuk NPKMg (15:9:20:2)

2.

80

48

81

10,60

533 kg pupuk majemuk NPKMg (15:9:20:2)

3.

100

60

133

13,34

667 kg pupuk majemuk NPKMg (15:9:20:2)

4.

81

83

195

14

550 kg pupuk majemuk NPKMg (10:15:19:2,55)+200 kg KNO3

(13 N:45 K2O) (Pupuk rekomendasi)

Parameter yang diamati yaitu

tinggi tanaman dan jumlah daun, panjang dan lebar daun bawah, tengah dan atas (sebelum tanaman tembakau dipangkas), produksi daun basah, produksi krosok kering, indeks mutu, indeks tanaman, kadar nikotin, kadar gula, serapan N, dan K serta kadar Cl. Pengamatan tinggi tanaman, jumlah daun dan ukuran daun dilakukan pada 10 tanaman sampel yang dipilih secara acak di setiap perlakuan. Analisis

kadar nikotin, gula dan Cl dilakukan pada tembakau krosok yang berasal dari panen dengan tembakau mutu tertinggi,dan dilakukan di Laboratorium Pasca Panen, Balittas. Penilaian mutu dilakukan oleh PT Djarum Perwakilan Lombok. Data

Page 46: Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian Indonesian

DJAJADI et al.: Pengaruh Pupuk Majemuk terhadap Produksi dan Mutu Tembakau Virginia

93

semua parameter dianalisis secara statistik dan pengaruh perlakuan dibandingkan dengan nilai beda nyata terkecil (BNT) taraf 5%.

Mutu tembakau Virginia dinilai berdasarkan warna, aroma dan pegangan krosok pada tembakau yang dihasilkan setiap kali panen. Pada proses pengovenan daun tembakau yang dipanen pada setiap perlakuan dihasilkan mutu tembakau yang berbeda,

sehingga nilai mutu diekspresikan

dengan parameter nilai indeks mutu yang dihitung berdasarkan kompilasi perkalian antara nilai indeks harga dengan banyaknya masing-masing mutu yang dihasilkan per total produksi. Rumus perhitungannya yaitu

sebagai

berikut:

IM =

i

∑ IH x Bi

n=1

I

∑Bi

Keterangan:

IH

= Indeks Harga (Price

Index)

Bi

= Berat krosok per mutu (Cured

leaf

yield of each grade) (kg)

IH adalah nilai harga per mutu yang dihitung berdasarkan harga mutu termahal (yang diberi nilai indeks 100)

Nilai indeks tanaman menggambarkan nilai jual dari tembakau yang dihasilkan, sehingga dihitung dengan rumus:

IT =

IM x B per hektar

1.000

Keterangan:

IT

= Indeks Tanaman (Crop

Index)

B

= Produksi per hektar (Yield) (kg/ha)

1.000

= koefisien

HASIL DAN PEMBAHASAN

Dari hasil analisis

statistik

diketahui bahwa interaksi perlakuan antara varietas dan dosis pupuk berpengaruh

nyata

terhadap parameter serapan unsur N dan K, pertumbuhan

(tinggi tanaman, jumlah daun, dan ukuran daun),

produksi

(produksi daun basah dan krosok),

mutu (indeks mutu) dan nilai jual tanaman

(indeks tanaman), kadar nikotin, gula dan Cl krosok tembakau Virginia.

Selanjutnya dari uji pembeda pengaruh perlakuan diketahui bahwa setiap varietas menunjukkan respon yang berbeda dengan adanya perbedaan

dosis pupuk.

Serapan Unsur N dan K

Pengaruh peningkatan dosis pupuk NPKMg

terhadap serapan unsur hara N dan K pada setiap varietas yang diuji disajikan pada Tabel 3, yang menunjukkan bahwa serapan unsur N dan K pada tembakau Virginia akan meningkat bila

dosis pupuk NPK yang diberikan juga ditingkatkan. Meningkatnya serapan unsur N tersebut karena kadar N tanah penelitian tergolong rendah (Tabel 1), sehingga

peningkatan dosis pemupukan N berpengaruh terhadappeningkatan serapan N. Namun demikian setiap varietas yang diuji mempunyai respon tingkat serapan N dan K tertinggi yang berbeda pada dosis NPK yang sama.

Tembakau Virginia Coker 176 merupakan varietas yang paling respon dibandingkan Coker 319 dan NC 297 dalam menyerap unsur N dan K dengan adanya peningkatan dosis pupuk. Peningkatan dosis pupuk majemuk NPKMg dari 60 kg N/ha sampai dosis tertinggi (100 kg

N/ha) menyebabkan tembakau tersebut menyerap

sebanyak-banyaknya unsur N, yaitu

sebesar

9,35% atau meningkat 78%.

Hasil ini juga dilaporkan oleh Lu et al.

(2005) yang meningkatkan pemupukan dosis N diikuti dengan peningkatan kadar N daun tembakau Virginia varietas K 326.

Tembakau Coker 176 juga mengandung unsur K tertinggi (12,76%) bila diberi pupuk yang kandungan K nya juga yang paling tinggi (pupuk rekomendasi yang berkadar 194 kg K2O/ha).

Hal ini juga menunjukkan bahwa tidak terjadi hambatan serapan dan translokasi unsur K dari akar ke seluruh bagian tanaman oleh adanya peningkatan dosis pupuk N,

baik pada pupuk majemuk NPKMg

maupunpupuk rekomendasi.

Penurunan serapan dan translokasi unsur K akan terjadi apabila

terdapat peningkatan dosis N amonium (SKOGLEY

and MCCANTS, 1963). Sedangkan pupuk majemuk introduksi yang diuji dalam penelitian ini mengandung ratio amonium : nitrat sebesar 1 : 1,2 sedang-kan pupuk rekomendasi mengandung ratio amonium : nitrat sebesar 1 : 1,3.

Pada tembakau Virginia Coker 319, peningkatan dosis

NPK dari 60 kg N/ha menjadi 80 dan 81 kg N/ha relatif tidak berpengaruh terhadap serapan unsur N. Bila dosis pupuk ditingkatkan sampai 100 kg N/ha terjadi penurunan serapan unsur N dari 6,80 menjadi 6,18%. Namun demikian serapan unsur K pada tembakau Coker 319 ini mengikuti peningkatan dosis pupuk majemuk NPKMg, sehingga serapan K tertinggi (11,38%) terdapat pada tembakau yang dipupuk dengan dosis NPKMg tertinggi (100 N + 60 P2O5

+ 133 K2O), sedangkan pupuk rekomendasi yang mengandung K tertinggi (194 K2O/ha) hanya menghasilkan serapan K yang lebih rendah, yaitu sebesar 11,10%.

Tembakau NC 297 mempunyai pola serapan unsur N dan K yang

juga berbeda dengan Coker 176 dan Coker 319. Serapan N tertinggi tembakau NC 297 (6,76% N) dihasilkan tembakau NC 297 dengan pemupukan introduksi dosis 80 kg N + 48 P2O5

+ 81 kg K2O, dan bila dosis pupuk NPK tersebut ditingkatkan akan terjadi penurunan serapan unsur N, sedangkan serapan unsur K tertinggi (13,36%) terdapat pada tembakau varietas NC 297 yang dipupuk rekomendasi yang mempunyai dosis K tertinggi (194 kg K2O/ha).

Perbedaan respon varietas dalam menyerap dan mengakumulasi unsur N dan K mungkin disebabkan karena perbedaan dalam pertumbuhan dan perkembangan akar dari ketiga varietas tersebut, yang dalam penelitian ini lebih banyak ditentukan oleh faktor genetiknya. Dalam penelitian

Page 47: Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian Indonesian

JURNAL LITTRI VOL. 22 NO. 2, JUNI 2016: 91 - 98

94

Tabel 3. Pengaruh varietas dan dosis pupuk terhadap serapan N dan K pada tembakau Virginia di Lombok Tengah, Nusa Tenggara Barat

Table 3. Effect of tobacco variety and fertilizer rates on N and K absorption of Virginia tobacco at Central Lombok, West Nusa Tenggara

Varietas

tembakau Tobacco

variety

N

P2O5

K2O

Serapan N (g/tan)

N absorption (g/plant)

Serapan K (g/tan)

K absorption (g/plant)

Coker 176

60

36

80

5,25 b

10,38 c 80

48

81

6,86 g

11,22 d

100

60

133

9,35 i

12,45 g

81

82

194

7.49 h

12,76 h

Cooker 319

60

36

80

6,80 fg

07,19 a

80

48

81

6,84 g

10,27 c

100

60

133

6,18 c

11,38 e

81

82

194

6,85 g

11,10 d

NC 297

60

36

80

4,22 a

08,09 b

80

48

81

6,76 f

12,96 i

100

60

133

6,56 d

12,23 f

81

82

194

6,68 e

13,36 j

BNT 5%

0,07

0,17

*)

Angka-angka yang didampingi huruf yang sama pada kolom yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata pada taraf p 5%.

*)

Numbers in the same column followed by the same letters are not significant different at 5% LSD test

ini parameter biomasa akar yang mengekspresikan pertumbuhan dan perkembangan akar tidak diamati. Pada level dosis yang sama (60 kg N/ha), kadar N total tembakau varietas NC 297 paling rendah dibanding dua varietas yang lain, sehingga varietas tersebut juga mempunyai tinggi tanaman, luas daun bawah dan tengah yang paling rendah juga (Tabel 4

dan 5).

Tembakau yang

paling banyak mengakumulasi unsur K yaitu

tembakau varietas NC 297. Oleh karena itu kadar K yang paling tinggi dijumpai pada tembakau varietas NC 297 yang dipupuk dengan pupuk rekomendasi yang berkadar K tertinggi (194 kg K2O/ha).

Akumulasi unsur K dalam

jaringan tanaman dimulai saat

awal pertumbuhan sampai tembakau setelah dipangkas terutama sebagai akibat pertumbuhan akar (ZHENXIONG

et al., 2010). Oleh karena itu, pemberian dosis K tertinggi dalam penelitian ini juga menyebabkan tembakau varietas NC 297 mengakumulasi unsur K yang terbanyak, yaitu sebesar 13,36%.

Pertumbuhan

Pengaruh interaksi perlakuan antara varietas dan dosis pupuk terhadap tinggi tanaman dan jumlah daun disajikan pada Tabel 4.

Secara umum dari Tabel 4

dapat diketahui bahwa semakin ditingkatkan dosis pupuk NPK, maka tinggi tanaman dan jumlah daun juga semakin meningkat. Namun demikian setiap varietas menunjukkan respon yang berbeda terhadap peningkatan dosis pupuk NPK tersebut.

Pada tembakau Virginia varietas Coker 176, pem-berian pupuk NPKMg yang ditingkatkan berdasar dosis

unsur N dari 60 menjadi 100 kg N/ha, maka akan meningkatkan tinggi tanaman sebesar 11% dan jumlah daun sebesar 6%. Tinggi tanaman dan jumlah daun tersebut lebih tinggi daripada tinggi tanaman dan jumlah daun tembakau Virginia Coker 176 yang diberi pupuk rekomendasi NPK Fertila dan KNO3.

Tabel 4.

Pengaruh varietas dan dosis pupuk terhadap tinggi tanaman dan jumlah daun tembakau Virginia di Lombok Tengah, Nusa Tenggara Barat

Table 4.

Effect of tobacco variety and fertilizer rates on plant height and lef number of Virginia tobacco at Central Lombok, West Nusa Tenggara

Varietas

Variety

N

P2O5

K2O

MgO

Tinggi tanaman

Plant height

(cm)

Jumlah daunLeaf

number

Coker

176

60

36

80

8

81,90 b*)

19,25 b80

48

81

10,6

111,81

b

19,69 c100

60

133

13,34

119,99 c

20,47 e81

82

194

14

103,31 a

19,53 c

Coker

319

60

36

80

8

120,79 c

18,25 a80

48

81

10,6

135,20 e

19,73 d100

60

133

13,34

138,12 e

19,63 c81

82

194

14

142,43 f

19,73 d

NC 297

60

36

80

8

101,63 a

19,76 d80

48

81

10,6

109,65 b

19,96 d100

60

133

13,34

125,63 d

19,73 d81

82

194

14

99,86 a

20,47 e

BNT 5%

4,14

0,16

*)

Angka-angka yang didampingi huruf yang sama pada kolom yang sama menunjukkan tidak berbeda

nyata pada taraf p 5%.

*)

Numbers in the same column followed by the same letters are not significant different at 5% LSD test

Pada tembakau Virginia varietas Coker 319, peningkatan dosis pupuk majemuk dari 60 kg N menjadi 100

kg N/ha

meningkatkan tinggi tanaman dan jumlah daun.

Namun demikian

tanaman tembakau tertinggi dan yang mempunyai jumlah daun terbanyak yaitu

tembakau Virginia Coker 319 yang dipupuk majemuk NPKMgdengan dosis 80 kg N/ha yang tidak berbeda pengaruhnya dengan pengaruh dosis pupuk rekomendasi NPK dan KNO3

yang berkadar 81

kg N + 82 kg P2O5

+ 194 kg K2O per hektar.

Dibandingkan dosis 60 kg N/Ha peningkatan tinggi tanaman dan jumlah daun berturut-turut masing-masing sebesar 18% dan 8%.

Pada varietas NC 297, tinggi tanaman lebih dipengaruhi oleh peningkatan dosis pupuk majemuk introduksi NPKMg

dari 60 ke 100 kg N/ha, sedangkan jumlah daun lebih dipengaruhi oleh pemberian pupuk majemuk rekomendasi NPK dan KNO3

dosis 81

kg N/ha.Dibandingkan dosis 60 kg N/ha, dosis 100 kg N/ha pupuk majemuk introduksi meningkatkan tinggi tanaman sebesar 26%.

Sedangkan pupuk majemuk NPK dan KNO3

meningkatkan jumlah daun sebesar 3%.Pengaruh interaksi perlakuan jenis varietas dan pupuk

majemuk terhadap ukuran daun disajikan pada Tabel 5.

Page 48: Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian Indonesian

DJAJADI et al.: Pengaruh Pupuk Majemuk terhadap Produksi dan Mutu Tembakau Virginia

95

Tabel 5. Pengaruh varietas dan dosis pupuk terhadap ukuran daun bawah, tengah dan atas tembakau Virginia di Lombok Tengah, Nusa Tenggara Barat

Table 5. Effect of tobacco variety and fertilizer rates on leaf size of Virginia tobacco at Central Lombok, West Nusa Tenggara

Varietas Variety

N

P2O5 K2O

MgO

Panjang x Lebar

Daun (cm2) Length x wide of leaf

Bawah Bottom

leaf

Tengah Middle

leaf

Atas Top leaf

Coker 176

60

36

80

8

2167 a*)

749 ab

759 b

80

48

81

10,6

2244 a

1043 c

939 bcd

100

60

133

13,34

2262 a

1461 e

1582 e

81

82

194

14

2548 c

855 b

962 bcd

Coker 319

60

36

80

8

2376 b

1403 de

1082 d

80

48

81

10,6

2282 a

1449 e

1131

d

100

60

133

13,34

2336 b

1460 e

1022 cd

81

82

194

14

2300 a

1410 de

1083 d

NC 297

60

36

80

8

2183 a

828 ab

450 a

80

48

81

10,6

2280 a

1272 d

796 bc

100

60

133

13,34

2260 a

1359 de

734 b

81

82

194

14

2201 a

701 a

394 a

BNT 5%

139

149

244

*)

Angka-angka yang didampingi huruf yang sama pada kolom yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata pada taraf p 5%.

*)

Numbers in the same column followed by the same letters are not significant different at 5% LSD test

Dari tabel

tersebut diketahui bahwa perbedaan pemberian dosis pupuk majemuk lebih kelihatan pengaruhnya terhadap ukuran daun tengah dan atas.

Pada ukuran luas daun bawah, pengaruh peningkatan dosis pupuk N terlihat nyata pada tembakau Virginia varietas Coker 176. Pada varietas tersebut, ukuran daun terluas terdapat pada tembakau yang dipupuk dengan 81

kg N/ha dari sumber pupuk majemuk NPK dan KNO3,

yaitu seluas 2.548 cm2.

Pada ukuran daun tengah dan atas, pemberian pupuk majemuk NPKMg dosis tertinggi (100 kg N/ha) meningkatkan

ukuran daun terluas, masing-masing sebesar 1.461 cm2

dan 1.582 cm2.

Namun demikian masing-masing varietas menunjukkan respon yang berbeda dengan peningkatan dosis pupuk majemuk.

Pada varietas tembakau Coker 176, ukuran daun tengah dan atas ditingkatkan dengan pemupukan NPKMg dosis tertinggi yaitu sebesar 100 kg N/ha, yang meng-hasilkan ukuran daun tengah dan atas terluas, masing-masing sebesar 1.461 cm2

dan 1.582 cm2.

Dibanding dengan dosis NPKMg dosis 60 kg N/ha, peningkatan ukuran daun tengah dan atas tersebut masing-masing

sebesar 95% dan 108%. Selain itu dosis 100 kg

N/ha pupuk NPKMg tersebut menghasilkan tembakau yang mempunyai ukuran daun tengah dan atas yang lebih besar daripada ukuran tembakau yang dipupuk 81

kg/ha pupuk NPK dan KNO3.

Pada varietas tembakau Virginia Coker 319, pening -katan dosis pupuk NPKMg dari 60 sampai 100 kg N/ha relatif tidak berpengaruh terhadap ukuran daun tengah dan atas. Demikian juga dengan tembakau yang dipupuk dengan 81 kg N/ha pupuk majemuk NPK dan KNO3, yang

menunjukkan ukuran daun tengah dan atas yang relative tidak berbeda dengan pupuk majemuk NPKMg. Tidak responnya peningkatan dosis pupuk majemuk terhadap ukuran daun Coker 319 disebabkan ukuran daun tembakau varietas tersebut lebih kecil daripada Coker 176 dan NC 297, sehingga membutuhkan pasokan unsur

hara yang

relative lebih sedikit dan dosis pupuk NPKMg 60 kg N/ha sudah cukup untuk menyediakan kebutuhan unsur hara tembakau jenis tersebut.

Pada varietas NC 297, ukuran daun tengah dan atas terluas dihasilkan oleh tembakau yang dipupuk dengan dosis N tertinggi 100 kg N/ha dari sumber pupuk majemuk NPKMg. Peningkatan dosis pupuk NPKMg sampai 100 kg N/ha tersebut meningkatkan ukuran daun tengah sebesar 64% dan luas daun atas sebesar 63%. Ukuran daun tersebut ternyata relatif

lebih besar daripada tembakau NC 297 yang dipupuk dengan 81

kg N/ha pupuk NPK dan KNO3.

Pengaruh peningkatan pupuk tersebut

sejalan dengan hasil penelitian HAGHIGHI

et. al.

(2011) yang melaporkan bahwa pemupukan N dengan dosis 150 kg/ha meningkatkan pertumbuhan, produksi krosok, dan kadar nikotin tembakau Virginia Coker 347, serta menghasilkan nilai pendapatan tembakau tertinggi.

Produksi

Interaksi perlakuan antara jenis varietas dan dosis

pupuk berpengaruh nyata terhadap produksi daun basah dan krosok tembakau kering.

Secara umum dari hasil penelitian ini diketahui bahwa peningkatan dosis pupuk majemuk NPKMg dan pemberian pupuk rekomendasi NPK + KNO3

berpengaruh terhadap peningkatan produksi

(Tabel 6). Namun demikian produksi dari masing-masing varietas menunjukkan respon yang berbeda terhadap peningkatan dosis pupuk.

Pada varietas Coker 176, peningkatan dosis pupuk NPKMg dari 60 menjadi 100 kg N/ha meningkatkan produksi daun basah sebesar 4,34 ton/ha atau 26%, dan produksi krosok kering sebesar 407 kg/ha atau 24%. Besarnya produksi daun basah tembakau Coker 176 tersebut relatif sama dengan produksi daun basah tembakau yang dipupuk dengan 81 kg N/ha pupuk NPK+KNO3, sedangkan terhadap produksi krosok kering, pupuk 81 kg N/ha pupuk NPK+KNO3

menghasilkan krosok tertinggi yaitu sebanyak 2.530 kg/ha atau lebih tinggi 50% dibanding tembakau Coker 176 yang hanya dipupuk NPKMg sebanyak 60 kg N/ha.

Pada varietas Coker 319, peningkatan dosis pupuk NPKMg relatif tidak berpengaruh terhadap daun basah, tetapi berpengaruh terhadap peningkatan produksi krosok kering. Pupuk NPKMg sebanyak 100 kg N/ha meningkatkan produksi krosok kering sampai 209 kg/ha atau 16% lebih tinggi daripada krosok tembakau yang dipupuk dengan 60 kg N/ha NPKMg. Hasil krosok tembakau yang dipupuk dengan 100 kg N/ha NPKMg tersebut relatif sama dengan krosok tembakau yang dipupuk 81 kg N/ha NPK+KNO3.

Page 49: Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian Indonesian

JURNAL LITTRI VOL. 22 NO. 2, JUNI 2016: 91 - 98

96

Tabel 6. Pengaruh varietas dan dosis pupuk terhadap produksi daun basah dan krosok tembakau Virginia di Lombok Tengah, Nusa Tenggara Barat

Table 6. Effect of tobacco variety and fertilizer rates on fresh yield and cured yield of Virginia tobacco at Central Lombok, West Nusa Tenggara

Varietas Variety

N

P2O5

K2O

MgO

Produksi daun basah

Fresh yield (kg/ha)

Krosok Cured yield

(kg/ha)

Coker

176

60

36

80 8

16.422 c*)

1686 d

80

48

81

10,6

17.568 c

1709 d

100

60

133

13,34

20.760 d

2093 e

81

82

194

14

21.213 d

2530 f

Coker

319

60

36

80

8

12.867 a

1162 a

80

48

81

10,6

12.666 a

1279 b

100

60

133

13,34

14.121 ab

1352 c

81

82

194

14

13.938 ab

1371 c

NC 297

60

36

80

8

15.765 bc

1336 c

80

48

81

10,6

19.857 d

2037 e

100

60

133

13,34

20.226 d

2050 e

81

82

194

14

21.216 d

2606 g

BNT 5%

2022

8.8

*)

Angka-angka yang didampingi huruf yang sama pada kolom yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata pada taraf p 5%.

*)

Numbers in the same column followed by the same letters are not significant different at p<0.05

Pada tembakau NC 297, peningkatan dosis pupuk

NPKMg dari 60 menjadi 100 kg N/ha juga meningkatkan produksi daun basah dan krosok kering.

Peningkatan daun basah yang terjadi mencapai 4.461 kg/ha atau 28% lebih banyak dari produksi daun basah tembakau

yang dipupuk 60 kgN/ha NPKMg, sedangkan produksi krosok kering dengan pemupukan 100 kg

N/ha pupuk NPKMg mencapai 714 kg/ha atau 54% lebih banyak. Namun demikian produksi krosok tertinggi dari tembakau NC 297 tersebut

diperoleh apabila dipupuk dengan 81

kg N/ha pupuk NPK+KNO3

yang peningkatannya mencapai 1.270 kg/ha atau 95% lebih banyak dari kosok yang dihasilkan tembakau NC 297 yang hanya dipupuk 60 kgN/ha dengan pupuk NPKMg.

Peningkatan produksi tembakau dengan pupuk rekomendasi yang mengandung unsur K tertinggi (194 kg K2O/ha) disebabkan terjadinya peningkatan dalam proses fotosintesis,

sehingga meningkatkan pembetukan bahan kering tanaman, termasuk sel-sel jaringan daun (TSO,1990). Selain itu hasil

daun basah dan krosok tertinggi dari tembakau varietas NC 297 yang diberi pupuk

majemuk rekomendasi tersebut dapat terjadi karena

adanya

peningkatan bobot

daun yang dihasilkan sebagai akibat daripada minimalnya perkembangan ukuran daun tembakau tersebut (Tabel 4). Sebaliknya apabila dosis pupuk N ditingkatkan maka akan berpengaruh terhadap perkem-bangan ukuran daun yang disertai dengan penurunan berat daun sebagai akibat dari semakin tipisnya daun (TSO, 1990).

Kadar Nikotin, Gula, dan Chlor

Pengaruh perlakuan jenis pupuk majemuk NPKMg terhadap kadar nikotin, gula dan Cl pada tiga varietas

tembakau Virginia yang diuji disajikan pada Tabel 7. Secara umum dari Tabel 7 diketahui bahwa semakin dosis pupuk majemuk ditingkatkan pada level tertentu akan diikuti dengan peningkatan kadar nikotin, gula dan Cl daun kering tembakau; meskipun demikian besarnya peningkatan kadar gula pada setiap varietas terdapat perbedaan. Kadar nikotin tertinggi (4,76%) dijumpai pada tembakau virginia Coker 176 yang diberi pupuk introduksi dosis tertinggi (100 kg N + 60 P2O5

+ 133 K2O). Nikotin merupakan senyawa

alkaloid tembakau yang disintesis di akar dengan penyusun utama unsur N, yang kemudian ditranslokasi ke seluruh bagian tanaman (TSO, 1990). Kadar nikotin ditentukan antara lain oleh banyaknya unsur N yang diserap tembakau (GOENAGA

et al., 1989). Hasil yang sama juga diperoleh

BILALIS

et al.

(2009) yang melaporkan bahwa meningkat-

nya kadar N dalam pupuk hijau meningkatkan kadar nikotin tembakau Virginia varietas NC71. Dalam penelitian ini diketahui bahwa tembakau varietas Virginia Coker 176 dapat menyerap unsur N terbanyak (Tabel 2), sehingga dapat mengakumulasi

nikotin dalam daun dalam jumlah yang terbesar (Tabel 7).

Tabel

7.

Pengaruh varietas dan dosis pupuk terhadap kadar nikotin dan gula pada tembakau Virginia di Lombok Tengah, Nusa Tenggara Barat

Table 7.

Effect of tobacco variety and fertilizer rates on nicotine sugar and Cl content of Virginia tobacco at Central Lombok, West Nusa Tenggara

Varietas

Variety

N

P2O5

K2O

Kadar Nikotin

Nicotine

(%)

Kadar Gula

Sugar

(%)

Kadar ChlorChlor(%)

Cooker 176

60

36

80

4,07 f

11,19 c

0,13 b80

48

81

4,52 gh

11,75 f

0,15 b100

60

133

4,76

h

9,51 a

0,22 c81

82

194

4,41 g

11,70 ef

0,23 c

Cooker 319

60

36

80

3,17 b

10,82 b

0,13 b80

48

81

3,35 bc

14,38 h

0,21 c100

60

133

4,00 f

11,98 g

0,14 b81

82

194

3,52 cde

18,00 j

0,11 ab

NC 297

60

36

80

2,66 a

11,62 e

0,08 a80

48

81

3,40 bcd

13,58 h

0,13 b100

60

133

3,68 e

11,49 d

0,15 b81

82

194

3,65 de

14,40 i

0,12 ab

BNT 5%

0,27

0,12

0,04*)

Angka-angka yang didampingi huruf yang sama pada kolom yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata pada taraf p 5%.

*)

Numbers in the same column followed by the same letters are not significant different at p<0.05

Pada ketiga varietas tembakau yang diuji

terdapat peningkatan kadar gula daun kering tembakau apabila dosis pupuk majemuk ditingkatkan sampai dosis 81 kg N/ha. Apabila dosis ditingkatkan menjadi 100 kg N/ha akan terjadi penurunan kadar gula. Hasil ini sesuai dengan hasil penelitian WOLTZ

et al.

(1948) yang melaporkan bahwa peningkatan kadar N dalam jaringan tanaman akan berkorelasi positip dengan kadar nikotin dan berkorelasi negatif dengan kadar gula. Hal ini terlihat jelas pada tembakau Virginia Coker 176 yang diberi pupuk introduksi dengan dosis 100 kg/ha yang menghasilkan tanaman

Page 50: Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian Indonesian

DJAJADI et al.: Pengaruh Pupuk Majemuk terhadap Produksi dan Mutu Tembakau Virginia

97

dengan serapan N dan kadar nikotin tertinggi, tetapi mem-punyai kadar gula yang paling rendah. Selain itu kadar gula dalam daun tembakau dipengaruhi oleh pemupukan P, sehingga peningkatan pemberian P akan meningkatkan kadar gula (TSO et al., 1990). Oleh karena itu dalam penelitian ini, pada peningkatan dosis P dalam pupuk majemuk dari 36 sampai 82 kg P2O5

diikuti dengan pening-

katan kadar gula. Kadar gula tertinggi (18%) terdapat pada tembakau Virginia Coker 319 yang dipupuk dengan pupuk rekomendasi yang mengandung 82 kg P2O5

/ha.

Pada penelitian ini diketahui bahwa ketiga varietas tembakau yang diuji mengandung

Cl krosok di

bawah batas

ambang kadar Cl (1%) dengan semua tingkat dosis pupuk majemuk perlakuan. Seperti diketahui bahwa bila daun kering tembakau mengandung lebih dari 1% akan mengalami penurunan daya bakar dan daya simpan, karena ion Cl

yang terkandung dalam daun bersifat higroskopis yang mudah menyerap uap

air dari udara (TSO,

1990). Namun demikian perubahan kadar Cl sebagai akibat peningkatan dosis pupuk majemuk mempunyai pola yang berbeda pada setiap varietas tembakau yang diuji.

Pada varietas Coker 176, peningkatan dosis pupuk majemuk dari 60 kg N/ha sampai dosis tertinggi 100 kg N/ha meningkatkan kadar Cl krosok sampai kadar tertinggi sebesar 0,23%. Namun demikian pada tembakau Virginia varietas Coker 319 dan NC 297,

peningkatan dosis pupuk majemuk sampai dosis tertinggi tidak berpengaruh terhadap kadar Cl krosok.

Mutu dan Nilai Jual Tembakau

Mutu tembakau yang diekspresikan dengan parameter

nilai indeks mutu dan nilai jual yang diindikasikan dengan parameter nilai indeks tanaman dipengaruhi oleh interaksi perlakuan varietas dan dosis pupuk.

Secara umum indeks mutu dan indeks tanaman dari tembakau Virginia varietas Coker 319 lebih rendah daripada tembakau varietas Coker 176 dan NC 297 pada perlakuan pupuk yang sama

(Tabel 8).

Dengan demikian respon mutu dan nilai jual menunjukkan perbedaan dengan adanya

peningkatan

dosis pupuk majemuk, baik pupuk NPKMg maupun NPK+KNO3.

Pada varietas Coker 176, peningkatan dosis pupuk NPKMg dari 60 kg N/ha menjadi 100 kg N/ha mening-katkan nilai indeks mutu dan nilai jual tembakau, masing-masing sebesar 8,25% dan 21%. Mutu tembakau Coker 176 yang dipupuk dengan 100 kg N/ha NPKMg lebih tinggi daripada mutu tembakau yang dipupuk 81 kg N/ha NPK+NO3.

Indeks mutu dan indeks tanaman tembakau

Coker 319 meningkat dengan peningkatan dosis pupuk NPKMg dari 60 menjadi 100 kg N/ha. Dengan dosis pupuk tersebut, indeks mutu varietas Coker dapat ditingkatkan sebesar 12% dan indeks tanaman meningkat sebesar 21%.

Pada tembakau varietas NC 297, dosis 100 kg N/ha pupuk NPKMg meningkatkan nilai indeks mutu dan indeks tanaman tertinggi, yaitu masing-masing sebesar 81,37 dan 1724. Nilai indeks mutu tersebut meningkat sebesar 11% dan nilai indeks tanaman meningkat lebih dari 19%

dibanding indeks mutu dan indeks tanaman tembakau NC 297 yang dipupuk hanya 60 kg N/ha.

Tabel 8. Pengaruh varietas dan dosis pupuk terhadap

indeks mutu dan indeks tanaman tembakau Virginia di Lombok Tengah, Nusa Tenggara Barat

Table 8.

Effect of tobacco variety and fertilizer rates on grade indx and crop index of Virginia tobacco at Central Lombok, West Nusa Tenggara

Varietas Variety

N

P2O5

K2O

MgO

Indeks Mutu

Grade Index

Indeks tanaman

Crop Index

Coker 176

60

36

80

8

73,66 d*)

1266 c80

48

81

10,6

75,64 e

1238 c100

60

133

13,34

79,74 g

1532 e81

82

194

14

76,04 ef

1521 e

Coker 319

60

36

80

8

65,96 a

760 a80

48

81

10,6

67,81

b

902 b100

60

133

13,34

73,66 d

923 b81

82

194

14

68,77 b

967 b

NC 297

60

36

80

8

73,36 cd

1396 d80

48

81

10,6

77,58 f

1627 f100

60

133

13,34

81,37 h

1724 g81

82

194

14

72,30 c

1398 d

BNT 5%

109

90

*)

Angka-angka yang didampingi huruf yang sama pada kolom yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata pada taraf p 5%.

*)

Numbers in the same column followed by the same letters are not significant different at p<0.05

KESIMPULAN

Interaksi antara varietas dan pemupukan berpengaruh terhadap pertumbuhan, produksi, mutu dan nilai jual tembakau Virginia. Varietas tembakau Coker 176, Coker 319 dan NC 297 mempunyai respon yang berbeda terhadap peningkatan dosis pupuk majemuk NPKMg. Pada tembakau varietas Coker 176, pemupukan dengan pupuk NPKMg (100 kg N+ 60 kg P2O5

+ 133 kg K2O + 13,34 kg MgO per hektar)

menghasilkan indeks mutu dan indeks tanaman tertinggi. Produksi krosok tertinggi Coker 176 (2.530 kg/ha) dihasilkan pada aplikasi pupuk NPK+KNO3

(81

kg N + 82 kg P2O5

+ 284 kg K2O per hektar).

Pada varietas Coker 319, pemberian pupuk NPKMg (100 kg N+ 60 kg P2O5

+ 133 kg K2O + 13,34 kg MgO per hektar) menghasilkan produksi kering dan nilai indeks tanaman yang relatif sama dengan pupuk NPK+KNO3 (81kg N + 82 kg P2O5

+ 284 kg K2O per hektar).

Pada tembakau varietas NC 297, produksi kering tertinggi (2.606 kg/ha) dihasilkan oleh tanaman yang dipupuk dengan NPK+KNO3

(81

kg N + 82 kg P2O5 + 284 kg K2O

per hektar). Namun demikian nilai indeks mutu dan indeks tanaman tertinggi dihasilkan oleh tembakau varietas NC 297 yang dipupuk dengan NPKMg (100 kg N+ 60 kg P2O5 + 133 kg K2O + 13,34 kg MgO per hektar). Berdasarkan nilai indeks mutu dan nilai indeks tanaman, maka pupuk NPKMg dengan dosis100 kg N+ 60 kg P2O5 +

Page 51: Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian Indonesian

JURNAL LITTRI VOL. 22 NO. 2, JUNI 2016: 91 - 98

98

133 kg K2O + 13,34 kg MgO per hektar dapat digunakan sebagai alternatif pemupukan tembakau Virginia varietas Coker 176, Coker 319 dan NC 297.

UCAPAN TERIMA KASIH

Penelitian ini dapat berlangsung berkat kerjasama antara Balittas, PT. Pijar Nusa

Pasifik, dan PT Djarum.

Ucapan terima kasih disampaikan kepada Direktur PT.

Pijar Nusa

Pasifik

sebagai penyandang dana, dan Manajer

Produksi PT. Djarum di Lombok

beserta staf yang telah

membantu kelancaran pelaksanaan penelitian ini.

DAFTAR PUSTAKA

BILALIS D., A.

KARKANIS, EFTHIMIADOU, AR.

KONSTANTAS , and V.

TRIANTAFYLLIDIS.

2009. Effect of irrigation system and green manure on yield and nicotine content of Virginia

(flue-cured) organic tobacco (Nicotiana tabacum), under Medirranean conditions. Industrials Crops and Products. 29: 388-394.

BRITTO D.T., and H.J. KRONZUCKER.

2002. NH4+ toxicity in higher plants: a critical review. Journal of Plant Physiology 159: 567-584.

DIREKTORAT JENDERAL PERKEBUNAN. 2012. Komoditas

Tembakau di Indonesia 2011-2013. Sekretariat Ditjen Perkebunan. Direktorat Jenderal Perkebunan Kemen-terian Pertanian. Jakarta 32 pp.

FAKULTAS EKONOMI UNA IR. 2013. Usahatani Tembakau di

Empat Kabupaten Sentra, Laporan Hasil Penelitian. Universitas Airlangga. Surabaya. (tidak dipublikasi-kan).

FARROKH A.R., I.

AZIZOV, FARROKH, A.,

ESFAHANI, M.,

RANJBAR CHOUBEH, M., and KAVOOSI, M. 2011. The Effect of nitrogen and potassium fertilizers on the wet and dry weights of flue cured tobacco components, cultivar Coker 347. International Journal of Agri Science Vol. 1(5): 275 -282.

GOENAGA, R.J., R.C. LONG, and R.J. VOLK.

1989. Uptake of nitrogen by flue-cured tobacco during maturation and

senescence. I. Partitioning of nitrogen derived from soil and fertilizer sources. Plant and Soil. 120: 133-139.

HAGHIGHI, H., S.D.

MORTEZA, HAMID, and A.A. MOOSAVI.

2011. Effect of Different Nitrogen and Potassium Fertilizer Levels on Quality and Quantity Yield of Flue-Cured Tobacco Coker 347.

HE NIANZU

dan SIN JIWEI. 1991. Effect of P-K-fertilizer with a low Cl content on the yield and quality of aromatic and sun-cured tobacco. Fertilizer Research 29: 289-294.

HAWKS, S.N. dan W.K. COLLINS. 1983. Principles of Flue-cured Tobacco Production. North Carolina State University Publication, 358 pp.

HE NIANZU and SUN JIWEI. 1991. Effect of P-K-fertilier with a low Cl content on the yield and quality of aromatic and sun-cured tobacco. Fertilizer Research 29: 289-294.

HØGH-JENSEN H., and J.K. SCHJOERRING.

1997. Effects of drought and inorganic form on nitrogen fixation and carbon isotope discrimination inTrifolium repens. Plant Physiology and Biochemistry 35: 55-62.

KARAIVAZOGLOU, N.A.,

N.C. TSOTSOLIS,

and

C.D. TSADILAS. 2007. Influence of liming and form of nitrogen fertilizer on nutrient uptake, growth, yield, and quality of Virginia (flue -cured) tobacco. Field Crops Research 100: 52-60.

LUGERT I., J., GERENDAS,

H.

BRUECH, and B. SATTELMACHER.

2001. Influence of N form on growth and water status of tomato plants. In: Horst WJ, Schenk MK, Buerkert A, et al., eds. Food security and sustainability of agroecosystems through basic and applied research. Dordrecht: Kluwer, 306-307.

LU, Y.X, LI, C.J. and F.S. ZHANG.

2005. Transpiration, potassium uptake and flow in tobacco as affected by nitrogen forms and nutrient levels

Annals of Botany 95: 991-998, 2005. Annals of Botany 95: 991-998.

MARCHETTI, R., CASTELLI, F. and CONTILLO, R. 2006. Nitrogen requirements for flue-cured tobacco. Agronomy Journal. 98: 666-674.

MERKER, J. 1959. Studies on the effects of fertilization with

phosphates upon development yield and quality of tobacco. International Tabak. Dressden 6(1): 5-45.

RIDEOUT, J.W. and D.T. GOODEN. 2000. Effects of starter fertilizer, granular phosphorus fertilizer, time of fertilization,

and seedling phosphorus concentration on flue-cured tobacco growth and nutrition. Tobacco Science 44:

19-26.

SKOGLEY, E.O.

and

C.B. McCANTS. 1963. Ammonium influences on rubidium absorption and distribution by tobacco seedlings. Soil Science Society of America Proceeding. 27:

549-552.

TSO, T.C. 1990. Production, Physiology and Biochemistry of Tobacco Plant. Ideals, Inc, Maryland, USA.

TSO, T.C., J.E. MCMURTREY, JR. and T. SOROKIN. 1960. Mineral deficiencyand organic constituents in tobacco plants. I. Alkaloids, sugars, and organic acids. Plant Physiology. 35: 860-864.

WALCH-LIU, P., G. NEUMANN,

F. BANGERTH, and C. ENGELS. 2000. Rapid effects of nitrogen form on leaf morphogenesis in tobacco. Journal of experimental Botany. 51 (343): 227-237.

WOLTZ, W.G., W.A. REID, and W.E. COLELL. 1948. Sugar and nicotine content in cured bright tobacco as related to mineral element composition. Proceeding Soil Science Society of America. 13: 385-387.

ZHENGXIONG, Z., L.

CHUNJIAN, Y. YUHONG, and Z. FUSUO.

2010. Why does potassium concentration in flue-cured tobacco leaves decrease after apex excision? Field Crops Research 116 (2010) 86-91 Field Crops Research 116: 86-91.

Page 52: Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian Indonesian

99

PERTUMBUHAN DAN PRODUKSI BIBIT TEBU G3 KULTUR JARINGAN VARIETAS PS 862 PADA PERLAKUAN JARAK TANAM DAN PUPUK KANDANG

The Production of Tissue Culture Cane Seed G3 PS862 Variety on Plant Spacing and

Cow Manure Application SUMANTO

Pusat Penelitian dan Pengembangan Perkebunan Jalan Tentara Pelajar No. 1 Bogor 16111

e-mail: [email protected]

Diterima: 1-3-2016; Direvisi: 14-3-2016; Disetujui: 4-4-2016

ABSTRAK

Berbagai cara dilakukan untuk meningkatkan penyediaan bibit tebu, di

antaranya

penggunaan

hormon tumbuh, pemupukan, pengaturan jarak tanam, jenis bibit, penggunaan pupuk organik, dan kultur jaringan. Pengaturan jarak tanam untuk mendapatkan pertumbuhan dan produksi yang optimal. Pupuk organik dapat meningkatkan kesuburan dan bahan organik tanah,

dan efisiensi pupuk kimia.

Penelitian dilaksanakan pada tanah Latosol di Kebun Percobaan Sukamulya,

Kabupaten Sukabumi, bertujuan mempelajari pengaruh jarak tanam dan pupuk kandang sapi terhadap pertumbuhan dan produksi bibit tebu

G3 kultur jaringan. Rancangan yang digunakan adalah Rancangan

Acak Kelompok dua faktor, faktor pertama yaitu jarak tanam terdiri atas lima taraf

jarak tanam Faktor kedua yaitu dosis pupuk kandang sapi terdiri atas 4 taraf.

Parameter yang diamati meliputi

jumlah batang, jumlah daun,

bobot segar bibit, diameter batang,

jumlah mata dan jumlah mata aktif per rumpun.

Produksi bibit tebu dipengaruhi oleh jarak tanam. Hasil tertinggi jumlah batang

(4,20 batang/rumpun), jumlah mata (57,60 mata/rumpun)

dan jumlah mata aktif

(39,71 mata/rumpun)

diperoleh pada perlakuan jarak tanam 110 cm x 40 cm. Demikian juga pemberian pupuk kandang berpengaruh nyata terhadap produksi bibit tebu, pemberian sebanyak 9 ton/ha memberikan jumlah mata aktif tertinggi 41,34 mata/rumpun berbeda nyata dibanding perlakuan yang lain.

Jarak tanam dan pupuk kandang berinteraksi nyata terhadap kandungan N dan P daun. Pemberian pupuk

kandang

6 ton/ha pada jarak tanam 120

cm x

40 cm memberikan kandungan N dan P tertinggi pada daun, masing-masing 1,47% dan 0,16%. Kandungan K

tertinggi pada perlakuan jarak tanam 100 cm x 40 cm dengan dosis pupuk kandang 6 ton/ha.

Kata kunci:

bibit tebu, pertumbuhan, produksi, pupuk kandang sapi, jarak tanam

ABTRACT

Methods for

increasing cane seed stock

i.e by using hormones, tissue culture, fertilization, plant

spacing, seed types,

and

organic fertilizer

were used. Plant spacing is one factor to obtain optimal growth and plant production. Organic fertilizer can increase soil

fertility, chemical fertilizer efficiency, and soil organic matter. Research conducted at the Experimental Station Sukamulya, Sukabumi, on Latosol.

The aims of the experiment were to study the influence of plant spacing and manure on production G3

cane seed from tissue culture.

Randomized

complete

block design

were used, consisted of

two factors, first factor

was plant spacing, consisted of five levels. The second factor was manure doses, consistedof four levels. The parameters observed were number of stalks, number of leaves, stalk weight and diameter, number of bud and sprouted bud per clump. Production cane seed are affected by plant spacing. The highest number of stalks (4,2 stalks/clump), number of bud (57,60 buds/clum), and

number of sprouted bud/clump (39,71 buds/clump) obtained by plant spacing of 110 cm x 40 cm. As well as manure application significantly affected production of seed cane, application of 9 tonnes/ha provides the highest number of sprouted bud/clump (41,34 sprouted buds/clump) gave significantly from the other treatments. Plant spacing and

manure provide significantly interaction the content of N and P content in leaves. Application of manure 6 tonnes/ha at plant spacing of 120 cm x 40 cm provides the highest content of N and P in leaves, 1.47% and 0.16% respectively. The highest K content obtained at plant spacing of 100 cm x 40 cm by application of manure 6 tonnes/ha.

Keywords: cane seed, growth, production, plant spacing, cow manure

PENDAHULUAN

Tebu (Saccharum officinarum

L) termasuk famili Poaceae, merupakan tanaman komersial penghasil glukosa atau sukrosa.

Sentra produksi

tebu

adalah Australia, Brazil, Cina, Kuba, India, Indonesia, Filipina, Thailand, Amerika Serikat dan Sudan (GUPTA

et al., 2004). Namun produksi gula dalam negeri masih rendah belum mampu mencukupi untuk konsumsi, sehingga masih impor. Salah satu penyebab rendahnya produksi gula adalah

proses penyiapan bibit dan kualitas bibit tebu

yang dihasilkan (ISLAMI

et al.,2013;

PUTRI

et al.,

2013).

Penyediaan bibit yang selama ini diterapkan adalah melalui beberapa

tahapan yaitu KBP

(Kebun Bibit Pokok), KBN

(Kebun Bibit Nenek), KBI (Kebun Bibit Induk), dan KBD

(Kebun Bibit Datar) masing-masing dengan waktu 6-7 bulan.

Sistem tersebut memiliki waktu pembibitan lebih lama, kesehatan dan kemurnian bibit juga kurang terjamin, membutuhkan lahan yang luas, kebutuhan bahan tanam banyak, dan pertumbuhan bibit kurang serempak (ROYYANI

dan LESTARI, 2009).

Dalam budidaya tanaman tebu, bibit merupakan salah satu investasi yang menentukan produktivitas tebu giling beserta potensi hasil gulanya. Oleh karena itu penggunaan bibit unggul bermutu merupakan faktor produksi yang mutlak harus dipenuhi. Untuk memperoleh bibit yang tumbuh serempak dan kemurniannya terjamin, salah satunya adalah digunakan bibit tebu kultur jaringan,

Jurnal Littri 22(2), Juni 2016. Hlm. 99 - 106 ISSN 0853-8212

Page 53: Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian Indonesian

JURNAL LITTRI VOL. 22 NO. 2, JUNI 2016: 99 - 106

100

sehingga akan diperoleh tanaman yang mempunyai daya tumbuh, jumlah anakan, produktivitas dan kualitas nira lebih baik dibanding dengan tanaman dari konvensional (JALAJA et al., 2008).

Berbagai cara untuk memacu pertumbuhan dalam penyediaan bibit tebu

di antaranya adalah dengan peng-

gunaan zat pengatur tumbuh,

kultur jaringan, pemupukan,

pengaturan jarak tanam, jenis bibit, penggunaan pupuk organik

dan lainnya.

Pengaturan jarak tanam merupakan

salah satu faktor untuk mendapatkan pertumbuhan dan produksi yang optimal

yaitu

meningkatkan densitas dengan

mempersempit jarak antar barisan (JINTAKANON

et al.,

2002). Perbedaan jarak tanam akan mempengaruhi tingkat persaingan antar tanaman dalam pemanfaatan lahan, sinar

matahari, air,

dan unsur hara sehingga pada akhirnya

akan

mempengaruhi terhadap

pertumbuhan dan

hasil.

Persaingan

antar tanaman dalam hal pemanfaatan

unsur hara dapat

dikurangi

yaitu salah satunya dengan

penggunaan pupuk organik

seperti pupuk kandang.

Pemanfaatan pupuk organik dapat meningkatkan daya dukung tanah,

efisiensi pupuk kimia, dan kandungan bahan organik di dalam tanah (GUNADI

dan LAKSMITA, 2006), dapat mempertahankan kualitas fisika tanah melalui pembentukan pori tanah dan kemantapan agregat tanah melalui fungsi sebagai buffer

(penyangga) dan penahan lengas tanah,

memberikan nutrisi, memperbaiki struktur tanah,

dan menahan kapasitas air

(ABIVEN

et al., 2009), serta dapat memperbaiki sifat kimia dan kesuburan biologi tanah

(SCOTTI

et al.,

2013). Penggunaan pupuk organik

per

tanaman bibit tebu dapat memperbaiki

sifat fisik, kimia, dan biologi tanah

(ISNAINI, 2006). ESSIEN

(2011) menunjukkan bahwa aplikasi pupuk kandang kambing dan pupuk kandang ayam hingga 70 ton/ha meningkatkan laju infiltrasi dan porositas tanah-tanah lempung berpasir.

Pupuk organik bersifat slow release

(terurai secara lambat), unsur hara akan dilepas secara perlahan-lahan dan terus menerus dalam jangka lebih lama, sehingga memperkecil kehilangan unsur hara (WIYANA, 2008).

Penelitian ini bertujuan untuk mempelajari pengaruh jarak tanam dan pupuk kandang terhadap pertumbuhan dan produksi bibit tebu G3

varietas PS862 asal kultur jaringan.

BAHAN DAN METODE

Penelitian dilakukan di Kebun Percobaan (KP) Sukamulya,

Sukabumi,

dengan jenis tanah Latosol pada bulan Mei 2014

sampai Januari 2015.

Bahan tanaman berupa benih G2 varietas PS862 dengan budset yang sebelumnya dideder di KP Cibinong. Percobaan disusun dalam

rancangan acak kelompok

faktorial dua

faktor dengan

tiga ulangan,

dengan luas 6 m x 4 m

per unit percobaan.

Sebagai faktor pertama adalah

jarak tanam

yang

terdiri atas 5 taraf:

J1 (80 cm x 40 cm), J2 (90 cm x 40 cm), J3 (100 cm x 40 cm), J4 (110 cm x 40 cm), dan J5 (120 cm x 40 cm). Faktor kedua adalah dosis pupuk organik(pupuk kandang sapi) yang terdiri atas 4 taraf: K0 (tanpa

pupuk organik), K1 (3 ton/ha), K2 (6 ton/ha), dan K3 (9ton/ha). Perlakuan pupuk organik diaplikasikan pada lubang tanam pada saat tanam, sedangkan pupuk anorganik (400 kg/ha ZA dan 600 kg/ha phonska) diberikan dua kali, masing-masing sebanyak setengah dosis pada umur 1 dan 2 bulan setelah tanam (BST).

Pengamatan dilakukan terhadap jumlah batang,

jumlah daun, bobot batang, diameter batang, jumlah mata dan jumlah mata aktif. Pengamatan tersebut

dilakukan pada

saat tanaman tebu berumur 6 BST

dengan jumlah sampel sebanyak 10 tanaman per unit percobaan. Analisis data dilakukan dengan anova

yang dilanjutkan dengan

uji jarak

berganda Duncan pada taraf 5%.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Karakteristik Tanah

Lokasi Percobaan

Percobaan dilakukan

di Sukabumi dengan sistem irigasi tadah hujan,

pada Kebun Percobaan Balittro di Sukamulya menunjukkan bertekstur liat, pH masam, kandungan bahan

organik tanah (BOT)

nya rendah, dan kandungan N-total sedang, P tersedia rendah dan kejenuhan basa termasuk sedang (Tabel 1).

Tabel 1.

Karakteristik tanah latosol Sukabumi

Table 1. Soil propertie s characteristics of latosol Sukabumi

No.

Sifat-sifat tanah/

(Soil characteristics)

Nilai/Value

1.

Tekstur:

Pasir (%)

18,32

Debu (%)

13,01

Liat (%)

68,672.

pH: H2O

4,81

KCl

4,073.

C-organik (%)

1,71

N-total (%)

0,22

C/N

7,774.

P-potensial (HCl 25%)

P-tersedia (Olsen) (ppm)

-

7,125.

K-Morgan (ppm)

-

6.

Nilai tukar kation:

Ca (Cmol/kg)

2,26

Mg (Cmol/kg)

0,81

K (Cmol/kg)

0,42

Na (Cmol/kg)

0,387.

KTK (Cmol/kg)

17,918.

KB (%)

21,619.

Aldd (ppm)

2,22

Sifat kimia tanah yang cocok untuk tanaman tebu adalah pH (5,5-7,3), C (0,32-1,7), N (0,07-2,5), P2O5

(2,88-24,72 ppm), Kdd (0,41-1,12) cmol/kg. Na (0,77-2,5) cmol/kg, Ca (4,09-8,7) cmol/kg, Mg (0,32-1,96), KTK (16,79-30,58), kejenuhan basa (25-50%) (WIBOWO

et al.,2002). Tanaman tebu termasuk tanaman yang toleran pada kisaran pH 5-8. Jika pH tanah kurang dari 4,5 maka kemasaman tanah menjadi faktor pembatas pertumbuhan tanaman, yang dalam beberapa kasus disebabkan oleh pengaruh toksik unsur alumunium (Al) bebas (UNIVERSITAS

ANDALAS, 2010).

Page 54: Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian Indonesian

SUMANTO: Pertumbuhan dan Produksi Bibit Tebu G3 Kultur Jaringan Varietas PS 862 pada Perlakuan Jarak Tanam dan Pupuk Kandang

101

Dari hasil analisis tanah tersebut menunjukkan bahwa kadar C, N, P2O5 tersedia, Ca, Mg, KTK sudah memadai untuk pertumbuhan tanaman tebu, namun demikian kandungan Na, pH tanah dan kejenuhan basanya masih kurang mencukupi, dengan penambahan bahan organik pupuk kandang sapi diharapkan dapat meningkatkan ketersediaan

unsur hara Na dan pH yang masih kurang.

Kandungan

Hara Pupuk Organik

Hasil analisis pupuk organik (Tabel 2) memberikan

pH 6,50, karbon total, nitrogen, ketersediaan fosfor adalah 23,50%, 2,21%, 1,41%. Nilai C/N

pupuk organik sebesar

10,63 menunjukkan bahwa

pupuk organik tersebut sudah

matang, bahan-bahan organik yang memiliki C/N ratio

kurang dari 20 akan terjadi

pelepasan

nitrogen

mineral

setelah

aplikasi

pupuk organik. Menurut Permentan no. 70/2011 bahwa persyaratan minimal sebagai pupuk organik

apabila telah memiliki

C/N

rasio

kurang dari

25 (DEPARTEMEN PERTANIAN, 2011),

Konsentrasi

nitrogen

dalam

pupuk organik

antara

1,5

dan

1,7% cukup untuk

meminimalkan

imobilisasi

nitrogen tanah

(ZELEKE

et al, 2013), sedangkan total

nitrogen

dalam pupuk organik adalah

2,21%.

Kebutuhan N untuk tanaman merupakan unsur utama

yang dibutuhkan tebu yang mempengaruhi hasil dan kualitas tebu, terutama pada fase vegetatif yaitu untuk pembentukan tunas, pembentukan daun, pertumbuhan batang, dan pertumbuhan akar. Dengan adanya nitrogen yang cukup, maka proses dekomposisi yang melibatkan mikroba

tanah, tidak akan terjadi persaingan dengan

tanaman tebu.

Kandungan hara Na dalam pupuk organik sebesar 0,52

cmol/kg diharapkan dapat menambah kekurangan Na. Selain itu dengan pH pupuk organik

sebesar 6,5 maka aplikasinya diharapkan dapat mendukung pertumbuhan dan produksi bibit tanaman tebu, menurut WIBOWO

et al. (2001)

pertumbuhan optimal tebu pada pH antara 5,5 –

7,3.

Tabel 2.

Kandungan hara dalam pupuk kandang sapi.

Table 2.

Nutrient content of cow manure

Nomor

Sifat pupuk organik

Properties of cow manure

Nilai

Value

1.

pH (H2O)

6,50

2.

C (%)

23,50

3.

N (%)

2,21

4.

C/N

10,62

5.

P (%)

1,41

6.

S

(%)

0,40

7.

Ca (cmol/kg)

4,46

8.

Mg (cmol/kg)

0,90

9.

K (cmol/kg)

0,23

10.

Na (cmol/kg)

0,52

Secara umum,

dalam setiap satu ton pupuk kandang mengandung 5 kg N, 3 kg P2O5 dan 5 kg K2O serta unsur-unsur hara esensial lain dalam jumlah yang relatif kecil(HARDJOWIGENO, 2003). Dari hasil analisis pupuk kandang sapi yang digunakan diperoleh kandungan N sebesar 22,1

kg; P2O5 sebesar 14,1 kg per ton. Hal ini menunjukkan bahwa kandungan hara pupuk kandang dalam jumlah sedikit, walaupun demikian, pupuk kandang dapat memper-baiki struktur tanah dan sifat-sifat fisik tanah serta men-dorong kehidupan jasad renik. Menurut HARDJOWIGENO

(2003), pupuk kandang dapat memperbaiki sifat tanah seperti permeabilitas tanah, porositas tanah, daya menahan/memegang

air,

dan kapasitas tukar kation.

ISNAINI

(2006)

menyatakan bahwa penggunaan pupuk

organik pada per-tanaman bibit tebu merupakan salah satu upaya untuk meningkatkan mutu dan produksi bibit tebu melalui perbaikan sifat fisik, kimia dan biologi tanah.

Jumlah Batang dan Daun

Tidak terlihat interaksi nyata antara pemberian pupuk kandang sapi dan

berbagai jarak tanam terhadap jumlah batang dan jumlah daun

tebu. Perlakuan pupuk kandang sapi

dosis

3-9

t/ha menunjukkan peningkatan nyata terhadap jumlah batang tebu, makin tinggi dosis pupuk kandang sapi makin tinggi pula jumlah batang maupun jumlah daun. Peningkatan jumlah daun secara nyata pada dosis pupuk organik sebesar 6 dan 9 t/ha. Namun pengaruh antar dosis aplikasi pemberian pupuk kandang sapai (3-9 t/ha) tidak berbeda nyata

terhadap jumlah batang. Demikian juga pengaruhnya terhadap jumlah daun, maka makin tinggi dosis pupuk organik juga makin tinggi pula jumlah daun. Jumlah daun

pada

dosis 3 t/ha tidak berbeda nyata dengan control, peningkatan jumlah daun secara nyata pada dosis pupuk organik sebesar 6 dan 9 t/ha (Tabel 3). Pemberian pupuk organik akan memperbaiki kesuburan tanah, hara menjadi mudah tersedia sehingga mudah dimanfaatkan oleh tanaman untuk pertumbuhannya. Semakin banyak unsur hara yang dapat diserap oleh tanaman tebu maka proses fotosintesis akan lebih aktif sehingga akan mempercepat pertumbuhan,

maka jumlah batang dan jumlah daun tebuakan lebih banyak.

SHUKLA

et al.

(2008), melaporkan pemberian bahan organik pada tanaman tebu mampu meningkatkan hasil batang dan gula tebu sebesar 70,2 t/ha dan 7,93 t/ha dibandingkan kontrol (62,3 t/ha dan 7,06 t/ha). SETYORINI

et al.

(2006) menyatakan bahwa aktifitas berbagai mikro-organisme di dalam kotoran ternak (pupuk kandang) menghasilkan zat pengatur tumbuh (auksin, giberellin, dan sitokinin) yang memacu pertumbuhan batang, cabang, dan perkembangan akar-akar rambut sehingga daerah bidang serapan lebih luas.

Penerapan pupuk organik dikombinasi-kan dengan pupuk kimia

meningkatkan penyerapan N, P dan K pada daun tebu dan ratoon tanaman, dibandingkan dengan pupuk kimia saja (BOKHTIAR

dan SAKURAI, 2005), berpengaruh positif terhadap meningkatkan C dan kesu-buran tanah (SRIVASTA

et al., 2009).

Jumlah batang dan daun tebu pada perlakuan jarak tanam yang lebih lebar (90 cm x 40 cm hingga 120 cm x 40 cm) memberikan jumlah batang dan daun lebih besar. Hal ini disebabkan oleh terjadinya persaingan pada jarak tanam lebih lebar semakin rendah sehingga fotosintesa semakin optimal dibandingkan pada jarak tanam rapat (80 cm x 40

Page 55: Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian Indonesian

JURNAL LITTRI VOL. 22 NO. 2, JUNI 2016: 99 - 106

102

cm) fotosintesa tidak optimal. Hal ini sejalan dengan pernyataan VERMA (2004), bahwa tanaman dengan kepadat-an tinggi akan mengurangi jumlah anakan yang diproduksi per setiap tanaman karena saling menaungi dan persaingan untuk cahaya, nutrisi, dan air. Di sisi lain, terjadi kehilang-an hasil karena penggunaan ruang tanah yang tidak efisien (AZHAR

et al., 2007).

Tabel 3.

Jumlah batang per rumpun dan jumlah daun per batang

pada berbagai dosis pupuk kandang sapi

dan jarak tanam Table 3.

The number of stalks and leaves per clump on various doses cow manure and plant spacing

Perlakuan

Treatment

Jumlah batang/rumpun

number of stalks/clump

Jumlah daun/batang

number of leaves/stalk

Jarak tanam

J1 (80 cm x 40 cm)

3,13 a

8,41 a

J2 (90 cm x 40 cm)

3,98 b

9,12 b

J3 (100 cm x 40 cm)

4,10 b

9,28 bc

J4 (110 cm x 40 cm)

4,20 b

9,39 bc

J5 (120 cm x 40 cm)

4,00 b

9,85 c

Pupuk Organik

K0 (tanpa PO)

2,82 a

8,70 a

K1 (3 t/ha)

3,85 b

9,17 ab

K2 (6 t/ha)

4,00 b

9,56 b

K3 (9 t/ha)

4,33 b

9,50 b

KK CV (%)

17,72

4,9

Keterangan:

Angka-angka di dalam kolom yang sama dan ditunjukkan oleh huruf yang sama menunjukkan tidak ada perbedayaan nyata 5% DMRT

Note:

The numbers in rows and columns were represented by the same letters showed no significant different of 5% DMRT

Bobot dan Diameter Batang

Kombinasi perlakuan pupuk kandang sapi dan jarak

tanam tidak memberikan interaksi nyata terhadap bobot dan diameter batang tebu (Tabel 4). Pupuk kandang

memberi-kan pengaruh nyata terhadap bobot batang per rumpun, namun tidak memberikan

pengaruh nyata terhadap diameter batang. Sebaliknya jarak tanam tidak berpengaruh nyata pada bobot batang per rumpun, namun berpengaruh nyata terhadap diameter batang. Dosis pupuk organik yang memberikan bobot batang tertinggi adalah 9

t/ha, yaitu 5,797 kg/rumpun

dan tidak berbeda nyata dengan dosis pupuk kandang sebesar 6

t/ha.

Diameter

batang tertinggi diperoleh pada jarak tanam 120

cm x 40 cm

sebesar 23,31 mm

(Tabel 4). Hasil penelitian GANA

(2009), aplikasi pupuk kandang sapi 10 ton/ha dengan pemupukan sebesar 120 kg N/ha, 26 kg P/ha,

37 kg K/ha pada tanah berpasir lahan kering mampu meningkatkan hasil tebu dari sekitar 60 ton/ha menjadi 70,63 - 76.23 ton/ha. Hal ini menunjuk-kan bahwa pupuk organik sangat penting untuk meningkat-kan hasil tebu.

Tabel 4. Bobot dan diameter batang (mm) pada berbagai jarak tanam dan dosis pupuk kandang sapi

Table 4. The weight and diameter of stalk on various plant spacing and doses cow manure

Perlakuan

Bobot

segar

batang (kg/rumpun)

Fresh stalk weight (kg/clump)

Diameter batang(mm)

Stalk diameter(mm)

Jarak tanam J1 (80 cm x 40 cm)

4,715 a

18,88 a

J2 (90 cm x 40 cm)

5,317 a

21,02 abJ3 (100 cm x 40 cm)

4,950 a

21, 03 ab

J4 (110 cm x 40 cm)

5,460 a

22,62 bc

J5 (120 cm x 40 cm)

5,090 a

23,31 c

Pupuk Organik

K0 (tanpa PO)

4,040 a

20,59 a

K1 (3 t/ha)

5,135 a

22,48 a

K2 (6 t/ha)

5,642 ab

21,56 a

K3 (9 t/ha)

5.797 b

21,16 a

KK CV (%)

22,13

8,02

Keterangan:

Angka-angka di dalam kolom yang sama dan ditunjukkan oleh huuf yang sama menunjukkan tidak ada perbedayaan nyata 5% DMRT

Description:

The numbers in rows and columns were represented by the same letters showed no significant different of 5% DMRT

Jumlah Mata dan Jumlah Mata Aktif per Rumpun

Produksi benih tebu diukur oleh banyaknya jumlah mata dan jumlah mata aktif yang dihasilkan, perlakuan pupuk organik dan jarak tanam tidak menunjukkan interaksi nyata. Pemberian pupuk organik 9

t/ha memberikan jumlah mata dan jumlah mata aktif terbanyak. Jumlah mata terbanyak adalah 60,25 mata/rumpun, sedangkan jumlah mata aktif terbanyak adalah

41,34 mata/rumpun

(Tabel 5).Jumlah mata aktif dengan pemberian pupuk yang lebih banyak akan meningkat, pada perlakuan tanpa pupukkandang jumlah mata tunas aktif sebesar 20,01

mata/rumpun,

perlakuan pupuk kandang 3

t/ha), 6

t/ha

dan 9 t/hamemberikan

jumlah mata tunas aktif masing-masing sebesar

34,74; 37,53; dan 41,34 mata/rumpun.

Hal ini sesuai dengan pendapat ISNAINI

(2006),

bahwa penggunaan pupuk organik/kompos pada pertanaman bibit tebu merupakan salah satu upaya untuk meningkatkan mutu dan produksi bibit tebu melalui perbaikan sifat fisik, kimia dan biologi tanah. Akar tanaman dapat tumbuh dengan baik,kebutuhan unsur hara terpenuhi sehingga tanaman dapat tumbuh dengan baik dan mempercepat pertumbuhan dan perkembangannya (SUWANDI

dan ROSLIANI, 2004).

Jarak tanam 110 cm x 40 cm

memberikan jumlah mata dan jumlah mata aktif tertinggi, jumlah mata tertinggi sebesar 57,60

mata/rumpun

berbeda nyata dengan perlakuan 100 cm x 40 cm. Sedang jumlah mata aktif tertinggi sebesar 39,71 mata/rumpun dijumpai pada jarak tanam 110 cm x 40 cm berbeda nyata dengan perlakuan jarak tanam 80 cm x 40 cm

dan

100 cm x 40 cm masing-masing 28,73

dan

26,36 mata

aktif per rumpun

(Tabel 5). Hal ini sejalan dengan perlakuan dengan jarak tanam yang sama memberikan jumlah batang per rumpun terbanyak. Semakin lebar jarak tanam maka makin banyak sinar matahari yang diterima oleh bibit tebu sehingga fotosintat

Page 56: Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian Indonesian

SUMANTO: Pertumbuhan dan Produksi Bibit Tebu G3 Kultur Jaringan Varietas PS 862 pada Perlakuan Jarak Tanam dan Pupuk Kandang

103

yang dihasilkan akan lebih tinggi dan menyebabkan terbentuknya jumlah mata dan mata aktif lebih tinggi. Selain itu fenomena dimana kualitas dan intensitas sinar matahari membatasi, penurunan hasil timbul karena pengalihan fotosintat dari batang utama (NAYAMUTH dan

KOONKAH S. 2003). Di

samping itu secara alami tebu

memiliki kapasitas untuk mengimbangi kepadatan populasi tanaman dan menjaga potensi produksi dengan jarak tanam yang berbeda

(AYELE

et al.,

2014).

Tabel 5.

Jumlah mata dan jumlah mata aktif per rumpun rumpun

Table 5. The number of bud and sprouted buds per clump

Perlakuan/Treatments

Jumlah mata/

rumpun

Number of budset/clump

Jumlah mata aktif/

rumpun

Number of sprouted budset/clump

Jarak tanam

J1 (80 cm x 40 cm)

45,80 ab

28,73 a

J2 (90 cm x 40 cm)

54,85 b

36,36 bc

J3 (100 cm x 40 cm)

35,90 a

26,68 a

J4 (110 cm x 40 cm)

57,60 b

39,71 c

J5 (120 cm x 40 cm)

48,15 b

30,73 ab

Pupuk Organik

K0 (tanpa PO)

30,30 a

20,01 a

K1 (3 t/ha)

52,20 b

34,74 b

K2 (6 t/ha)

56,27 b

37,53 b

K3 (9 t/ha)

60,25 b

41,34 c

KK CV

(%)

21,12

19,60

Keterangan:

Angka-angka di dalam kolom yang sama dan ditunjukkan oleh huruf yang sama menunjukkan tidak ada perbedayaan nyata 5% DMRT

Note:

The numbers in rows and columns were repres ented by the same letters showed no significant different of 5% DMRT

Kandungan hara dalam daun tanaman tebu Nitrogen (N)

Kebutuhan N untuk tanaman merupakan unsur utama yang dibutuhkan tebu karena mempengaruhi hasil dan kualitas tebu, terutama pada fase vegetative. N digunakan untuk pembentukan tunas, pembentukan daun, pertum-buhan batang, dan pertumbuhan akar.

Pemberian pupuk

kandang pada jarak tanam 90 cm x 40 cm tertinggi diperoleh pada pemberian pupuk kandang 9 ton/ha. Sedang pada jarak tanam 110 cm x 40 cm dan 120 cm

x 40 cm

tertinggi diperoleh dengan dosis pupuk 6 ton/ha masing-masing sebesar 1,46 dan 1,47%

(Tabel 6).

Menurut ZELEKE

et al.

(2013) konsentrasi

nitrogen

dalam

pupuk organikantara

1,5

dan

1,7% cukup untuk

meminimalkan

imobilisasi

nitrogen tanah, sedangkan total

nitrogen

dalam pupuk organik adalah

2,21%, sehingga mengurangi defisiensi N.Meskipun pupuk organik tidak mengandung unsur hara dalam jumlah yang besar namun penambahan bahan organik ke

dalam tanah dapat

berpengaruh positif terhadap defisiensi nitrogen pada tanaman.

Dengan berkurangnya defisiensi nitrogen, maka serapan nitrogen akan lebih efektif,

sehingga kebutuhan nitrogen

pada fase vegetatifakan tercukupi dan hasil tanaman akan meningkat (BARBARICK, 2006).

Tabel 6.

Kandungan hara N, P, dan K pada daun tebu

Table

6.

Nutrient content of N, P dan K in cane leaves

Jarak tanam (cm

x

cm)

Plant spacings (cm x cm)

Dosis pupuk kandang sapi (t/ha)

Cow manure doses (t/ha)

N (%)

N

(%)

P (%)

P (%)

K (%)

K (%)

J1 (80 x 40)

K0 (0 t/ha)

1,34 b

0,15 b

1,73 b

K1 (3 t/ha)

1,35 b

0,16 b

2,18 cd

K2 (6 t/ha)

1,25 a

0,15 b

2,14 c

K3 (9 t/ha)

1,29 ab

0,15 b

1,97 c

J2 (90 x 40)

K0 (0 t/ha)

1,40 c

0,15 b

1,78 b

K1 (3 t/ha)

1,29 ab

0,15 b

1,99 c

K2 (6 t/ha)

1,39 bc

0,13 a

1,69 a

K3 (9

t/ha)

1,47 c

0,13 a

1,59 a

J3 (100 x 40)

K0 (0 t/ha)

1,33 b

0,15 b

1,78 b

K1 (3 t/ha)

1,34 b

0,14 ab

1,62 a

K2 (6 t/ha)

1,26 a

0,15 b

2,22 d

K3 (9 t/ha)

1,26 a

0,15 b

1,78 b

J4 (110 x 40)

K0 (0 t/ha)

1,33 b

0,13 a

1,63 a

K1 (3 t/ha)

1,22 a

0,15

b

1,92 bc

K2 (6 t/ha)

1,46 c

0,16 b

1,66 a

K3 (9 t/ha)

1,33 b

0,13 a

1,48 a

J5 (120 x 40)

K0 (0 t/ha)

1,23 a

0,14 ab

1,96 c

K1 (3 t/ha)

1,40 bc

0,14 ab

1,71 ab

K2 (6 t/ha)

1,47 c

0,16 b

1,66 aK3 (9 t/ha)

1,38 b

0,14 ab

1,44 a

KK CV (%)

Keterangan: Angka-angka di dalam kolom yang sama dan ditunjukkan oleh huruf yang sama menunjukkan tidak ada perbedayaan nyata 5% DMRTNote: The numbers in rows and columns were represented by the same letters showed no significant diff erent of 5% DMRT

Page 57: Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian Indonesian

JURNAL LITTRI VOL. 22 NO. 2, JUNI 2016: 99 - 106

104

Fosfor (P)

Perlakuan pemberian pupuk organik dan jarak tanam memberikan efek interaksi nyata terhadap kandungan P dalam daun. Kandungan P pada jarak tanam 110 cm x 40 cm dan 120 cm x 40 cm tertinggi diperoleh dengan dosis pupuk 6 ton/ha masing-masing sebesar 0,16%

(Tabel 6).

Pupuk organik meningkatkan C organik, kapasitas tukar kation (KTK), serta kelarutan fosfor meningkat (ZACCARDELI, 2013;

SCOTTI

et al., 2015)

sehingga akan

meningkatkan kandungan fosfor tanaman.

Asam humat meningkatkan bioavailabilitas pupuk P di tanah asam (HUA

et al., 2008).

Namun demikian pemberian pupuk kandang sapi hingga 6 t/ha pada berbagai jarak tanam tidak memberikan pengaruh nyata dibandingkan tanpa pemberian pupuk kandang sapi. Hal ini dikarenakan kandungan P tersedia dalam tanah sudah mencukupi untuk tanaman tebu, menurut WIBOWO

et al.

(2003), sifat kimia P2O5

(2,88-24,72

ppm)

sudah mencukupi untuk tanaman tebu, sedangkan kandungan P2O5

pada tanah latosol Sukabumi sebesar 7,12 ppm (Tabel 1).

Pada pengaturan jarak tanam yang

lebih lebar, maka jumlah pupuk organik yang diberikan pada barisan tanaman tebu akan lebih banyak dibandingkan pada tanaman tebu dengan jarak tanam yang lebih sempit, jumlah hara yang dapat tersedia bagi tanaman tebu yang berasal dari bahan organik lebih tinggi pada jarak tanam yang lebih lebar, karena populasi tanaman lebih rendah. Pada per-lakuan

jarak tanam 90 cm x 40 cm, peningkatan pemberian pupuk kandang sapi (6

9

t/ha), kandungan hara P dalam daun menurun. Meskipun kandungan P dalam daun tidak meningkat pada pemberian bahan organik, namun dari hasil pengamatan jumlah batang, jumlah daun

meningkat.

Peningkatan pertumbuhan vegetatif tanaman juga tidak lepas dari peranan unsur fosfor, menurut HARDJOWIGENO

(2003), fosfor berfungsi untuk meningkatkan panjang akar, kehalusan dan kerapatannya.

Kalium (K)

Aplikasi pupuk kandang dengan berbagai jarak tanam

memberikan interaksi nyata terhadap kandungan K pada daun tebu.

Pada jarak tanam 80 cm x 40 cm

dan 90 cm x 40 cm, aplikasi pupuk kandang yang memberikan kandungan hara K daun tebu tertinggi adalah 3

t/ha, masing-masing yaitu 2,18% dan 1,99%.

Pada jarak tanam 100 cm x 40 cm

kandungan hara K pada daun tertinggi dengan pemberian pupuk kandang sapi sebesar

6 t/ha, sedangkan pada jarak tanam 120 cm x 40 cm

K tertinggi pada pemberian pupuk kandang 9 t/ha

(Tabel 6).

Menurut HANAFIAH

(2005) fungsi kalium berkaitan dalam metabolisme karbohidrat, pengaturan membuka dan menutupnya stomata dan pengaturan penggunaan air, hal tersebut tampak pada hasil jumlah batang dan jumlah daun, bobot batang, diameter batang, jumlah mata aktif yang lebih tinggi pada pemberian pupuk kandang sapi. Peranan kalium tersebut dapat lebih meningkatkan proses foto-sintesis sehingga terjadi peningkatan produksi.

KESIMPULAN

Produksi bibit tebu dipengaruhi oleh jarak tanam. Jumlah batang, jumlah mata dan jumlah mata aktif tertinggi diperoleh pada perlakuan jarak tanam 110 cm x 40 cm masing-masing sebesar 4,20 batang/rumpun 57,60 mata/rumpun dan

39,71 mata/rumpun. Demikian juga pemberian

pupuk kandang

berpengaruh

nyata terhadap produksi bibittebu.

Pemupukan dengan dosis 9 ton/ha memberikan

jumlah mata aktif tertinggi 41,34 mata/rumpun

berbeda nyata dibanding perlakuan yang lain. Pemupukan dengan dosis 9 ton/ha memberikan jumlah batang dan bobot batangtertinggi masing-masing 4,33 batang/rumpun dan 5,797 kg/rumpun berbeda nyata dibanding

tanpa pemupukan.

Jarak tanam dan pupuk kandang

berinteraksi nyata terhadap kandungan N dan P daun. Pemupukan sebanyak 6 ton/ha pada jarak tanam 120x40 cm memberikan kandungan unsurN dan P tertinggi pada daun,

masing-masing 1,47% dan 0,16%. Sedangkan kandungan unsure kalium tertinggi pada perlakuan jarak tanam 100 cm dengan pupuk 6 ton/ha.

UCAPAN TERIMA KASIH

Ucapan terima kasih disampaikan kepada Unang Mansyur Kepala Kebun

Percobaan Sukamulya beserta teknisi, atas bantuan dan sarannya sehingga penelitian dan penulisan ini

dapat terlaksana.

DAFTAR PUSTAKA

ABIVEN S., S. MENASSERO, C.

CHENU. 2009. The effect of organic inputs over time on soil aggregate stability: a literature analysis. Soil Biol. Biochem. 41, 1-12.

AGBENIN J.O., S.O. IGBOKWE.

2006. Effect of soil–dung manure incubation on the solubility and retention of applied phosphate by a weathered tropical semi-arid soil. Geoderma. 133, 191-203.

AYELE N., G. ABIY, N.

TADESSE . 2014. Influence of Intra-row Row Setts Spacing on Yield and Yield Compo nents of Some Sugarcane Varieties at Finchaa Sugar Estate. ARPN Journal of Science and Technology. VOL. 4, NO. 1, January 2014.

AZHAR M., M. ISHFAQ, J.

IQBAL, and

NM.

SHAFI.

2007. Agronomic Performance and Juice Quality of Autumn Planted Sugarcane (Saccharum officinarum

L.) as affected by flat, ditch and pit planting under different spatial arrangements. Int. J. Agri. Biol., 9(1): 167-169.

BARBARICK, K.A. 2006. Organic Materials As NitrogenFertilizers. Colorado State University. Colorado.

BOKHTIAR, S.M. and K. SAKURAI. 2005. Integrated use of organic

manure and chemical fertilizer on growth, yield and quality of sugarcane in high Ganges river flood plain soils of Bangladesh. Commun. Soil Sci. Plant Anal., 36: 1823-1837.

Page 58: Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian Indonesian

SUMANTO: Pertumbuhan dan Produksi Bibit Tebu G3 Kultur Jaringan Varietas PS 862 pada Perlakuan Jarak Tanam dan Pupuk Kandang

105

DEPARTEMEN PERTANIAN . 2011. Peraturan Menteri Pertanian No. 70/Permentan/SR.140/10/2011. Tentang Pupuk Organik, Pupuk Hayati dan Pembenah Tanah.

ESSIEN,

O.E. 2011. Effect of varying rates of organic amendments on porosity and infiltration rate of sandy loam soil. The

Journal of Agriculture and

Environment Vol 12, Jun. 2011.

GANA, A.K. 2009. Evaluation of the Residual Effect of Cattle Manure Combinations with Inorganic Fertilizer and Chemical Weed Control on the Sustainability of Chewing Sugarcane Production at Badeggi Southern Guinea Savanna of Nigeria. Middle-East Journal of Scientific Research 4 (4): 282-287, 2009.

GICHANGI E.M, P.N.S. MNKENI.

2009. Effects of goat manure and lime addition on phosphate sorption by two soils from the Transkei Region, South Africa. Commun. Soil Sci. Plan. Anal. 40(21-22): 3335-3347.

GUNADI D.H. dan

P.S. LAKSMITA.

2006. Aplikasi Bioaktivator Super

Dec dalam Pengelolaan Limbah Padat Organik

Tebu. Bul. Agron 34(3):

173-180.

GUPTA

R., R.

KUMAR, and S.K. TRIPATHI.

2004. Study on agro-climatic condition and productivity pattern of sugarcane in India. Sugar Tech., 6(3):

141-149.

HANAFIAH, K.A. 2005. Dasar-Dasar Ilmu Tanah. Jakarta:

PT. Raja Grafindo Persada.

HARDJOWIGENO

S. 2003. Ilmu Tanah. Akademika Pressindo. Jakarta. 286 hal.

HUA Q, J. LI, J. ZHOU.

2008. Enhancement of phosphorus solubility by humic substances in Ferrosols. Pedosphere. 18(4):

533-538.

ISNAINI, M. 2006. Pertanian Organik Untuk Keuntungan

Ekonomi dan Kelestarian Bumi. Kreasi Wacana. Jakarta.

JALAJA, N.C.

D., NEELMATHI, and

T.V. SREENIVASAN, 2008. Micropropogation for quality seed production

in sugarcane in Asia and the Pacific Food and Agriculture

Organization (FAO) and Asia Pacific. Consortium on Agricultural Bioteknology (APCoAB) Asia Pacific Association of Agricultural Research Institution (APAARI) p. 46.

JINTAKANON, S., P. JINTAKANON,

and

S. KINHOUN.

2002. Increasing yield and quality of sugarcane by

adjusting row spacing and fertilizer rates on season planting. Tahi Jurnal of Cane and Sugar, (91, 1):

16-30.

KARAMI, A., M.

HOMAEE, S.

AFZALINIA, H.

RUHIPOUR, S. BASIRAT. 2012. Organic resource management: impacts on soil aggregate stability and other soil physico-chemical properties. Agric. Ecosyst. Environ. 148, 22-8.

NAYAMUTH, ARH. and

S. KOONKAH.

2003. Harvesting more solaradiation for higher

cane productivity, In Agronomy workshop: Opportunities in sugarcane agronomy to confront the new realities emerging in the 21 st century, 21-25 July 2013, MISRI. Mauritius: Program and Abstracts Reduit. ISSCT and MauritiusSugar Industry Research Institute, P. 18.

OMOTO G., E.O. AUMA and R.M. MUASYA. 2013. Effect of row spacing on seed cane yield and yield components in Western Kenya. Proc S Afr Teknol Ass (2013). 86. 149-155.

PUTRI A.D, SUDIARSO and T. ISLAMI. 2013. Pengaruh Komposisi Media Tanam pada Teknik Bud

chip Tiga

Varietas Tebu (Saccharum officinarumL.).

Universitas Brawijaya.

Jurnal Produksi Tanaman. 1(1):

16-23.

ROYYANI M.F.

dan V.B. LESTARI.

2009. Peran Indonesia dalam Penciptaan Peradaban Dunia:

Perspektif Botani.

Herbarium Bogoriense, Puslit biologi, LIPI. SCOTTI R., P. CONTE, A.E.

BERNS, G. ALONZO, M.A. RAO. 2013.

Effect of organic amendments on the evolution of soil organic matter in soils stressed by intensive agricultural practices. Curr. Org. Chem. 17, 2998-3005.

SCOTTI

R., D. ASCOLI, G. BONANOMI, M.G., CACERES, S. SULTANA, L. COZZOLINO, R. SCELZA, A. ZOINA, M.A.

RAO. 2015.

Combined use of compost and wood scraps to increase carbon stock and improve soil quality in intensive farming systems. Eur. J. Soil Sci. doi: 10.1111/ejss.12248.

SETYORINI D., R. SARASWATI ,

E.K.

ANWAR. 2006. Pupuk Organik dan Pupuk Hayati: Kompas. Balit-tanah.litbang.

Deptan.

SRIVASTA T.K., M. LAL, K.P. SINGH, A. SUMAN,

and P. KUMAR. 2009. Enhancing sol health and sugarcane productivity in a plant-ratoon system through organic nutrition modules in subtropics. Indian J. Agricultural

Sciences,79(5): 346-350.

SUWANDI

dan R. ROSLIANI.

2004. Pengaruh Gliokompos, Pupuk Nitrogen, Dan Kalium Pada Cabai Yang Ditanam Tumpanggilir Dengan Bawang Merah. Balai Penelitian Tanaman Sayuran, Lembang.

SHUKLA

S.K., R.L. YADAV, A. SUMAN,

and P.N. SINGH. 2008. Improving rhizospheric environment and sugarcane ratoon yield through bioagents amended farm yard manure in udic ustochrept soil. Soil & Tillage Research 99: 158-168.

UNIVERSITAS ANDALAS. 2010. Pengaruh Pemberian Beberapa Jenis Pupuk Kompos Hasil Dekomposisi Trichoderma harzianum

Terhadap Pertumbuhan Tanaman Kakao). tp://repository.unand.ac.id/6108/25 November

2010. Akses pada tanggal 11 Maret 2013.WIBOWO

B, SUMARNO, dan SUDARTO. 2003. Studi karakteristik tanah dalam evaluasi kesesuaian lahan tebu di areal perkebunan tebu (Saccharum officinarum) Gondanglegi Kabupeten Malang. Agrivita. Publikasi Jurnal. Fakultas

Pertanian Unibra. Vol 23 No.2 Juni 2002

-

September 2002.

WIYANA.

2008. Studi Pengaruh Penambahan Lindi dalam Pembuatan Pupuk Organik Granuler terhadap Ketercucian N, P,dan K. MST UGM. Yogyakarta .

VERMA, RS. 2004. Sugarcane Projection Technology in India . International Book Distributing Co. Lucknow. India.

Page 59: Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian Indonesian

JURNAL LITTRI VOL. 22 NO. 2, JUNI 2016: 99 - 106

106

ZACCARDELLI M., D. VILLECCO, G. CELANO, and R. SCOTTI. 2013. Soil amendment with seed meals: Short term effects on soil respiration and biochemical properties. Appl. Soil Ecol. 72, 225-231.

ZELEKE T., A. GIRMA, F. ABIY. 2013. Evaluation of composting materials at Metahara Sugar Estate: Advisory note. In: Zeleke Teshome, Abiy Getaneh, Yohannes Zekarias and Fikru W/Mariam (eds). Research and Training Miscellanea. Wonji, Ethiopia.

Page 60: Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian Indonesian
Page 61: Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian Indonesian
Page 62: Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian Indonesian