biomarker stres psikologis
DESCRIPTION
stresTRANSCRIPT
Review Artikel
The Open Biomarker Journal, 2008, halaman 7-19
Biomarker Stress Psikologis pada Penelitian Disparitas Kesehatan
Zora Djuric*,a, Chloe E. Birdb, Alice Furumoto-Dawsonc, Garth H. Rauscherd, Mack T. Ruffin IVa, Raymond P. Stowee, Katherine L. Tuckerf and Christopher M. Masic
aUniversitas Michigans; bRand Corporation, CA; cUniversitas Chicago; dUniversitas Illinois; eLaboratorium Microgen, fUniversitas Tufts
Abstrak: Stress psikologis dapat berkontribusi terhadap disparitas kesehatan pada populasi yang dihadapkan pada stress berulang di dalam kehidupan sehari-hari. Sejumlah biomarker telah terbukti dipengaruhi oleh stress psikologis. Biomarker ini meliputi beban allostatik, yang merupakan kumpulan dari beban biologis kumulatif berulang untuk beradaptasi terhadap stress sehari-hari. Beban allostatik memberikan efek pada kelenjar hipotalamus-hipofisis, sistem saraf simpatik dan sistem kardiovaskular. Hal ini mempengaruhi sistem kekebalan tubuh melalui jalur sinyal dua arah. Dari bukti yang berkembang bahwa stress psikologis dapat meningkatkan tingkat stress oksidatif dan kerusakan DNA. Hubungan penyebab antar etnis, tipe gen, ekspresi gen dan kemampuan untuk mengurangi respon stress mulai menjadi perhatian. Kebutuhan untuk melakukan studi ini pada tingkat populasi membutuhkan metode untuk mengatasi potensi hambatan logistik. Biomarker dapat membantu mengkarakterisasi dan mengukur dampak penyebab biologis stress psikologis pada populasi dengan disparitas tingkat kesehatan.
Kata kunci: Stress psikososial, disparitas kesehatan, beban allostatik, stress oksidatif
PENDAHULUAN
Disparitas kesehatan didefinisikan sebagai perbedaan dalam kejadian, mortalitas
dan beban penyakit dan kondisi kesehatan yang buruk yang ada di antara kelompok
penduduk tertentu di Amerika Serikat.1 Penyebab disparitas kesehatan beragam dan
kompleks. Sementara beberapa faktor seperti akses perawatan jelas dapat mempengaruhi
output tingkat kesehatan, namun kontribusi stress psikologis terhadap kesehatan dan
disparitas kesehatan mungkin belum jelas. Stress psikologis dapat berasal dari faktor-faktor
ditingkat individu, seperti kemampuan untuk mengatasi tantangan dan pada tingkat sosial,
seperti yang berasal dari berbagai aspek lingkungan atau tetangga dan keadaan sosial.2
Ulasan ini membahas tentang penyebab disparitas kesehatan dan parameter yang dapat
diukur melalui cairan biologis untuk menilai efek stress psikologis pada subjek populasi
dengan disparitas kesehatan.
DISPARITAS KESEHATAN
Disparitas kesehatan dapat diartikan harapan hidup lebih rendah, penurunan kualitas
hidup, penurunan produktivitas, peningkatan biaya perawatan kesehatan dan melebarnya
kesenjangan sosial. Jika disparitas berlanjut,besarnya masalah akan tumbuh sesuai kondisi
ras dan etnis minoritas yang diperkirakan hampir 50% dari populasi Amerika Serikat pada
tahun 2050.3 Sebuah penelitian baru menunjukkan bahwa antara tahun 1991dan 2000, lima
kali lebih banyak nyawa yang bisa diselamatkan dengan menyelesaikan disparitas
kesehatan daripada dibantu oleh inovasi teknologi kesehatan pada waktu yang sama.4
Ada banyak contoh disparitas kesehatan di Amerika, penyakit diabetes dua kali lipat
terjadi di penduduk Indian (Amerika) dan penduduk asli (Alaska) dibandingkan populasi
umum, tetapi kelompok-kelompok ini mengalami kematian akibat kanker lebih rendah
daripada populasi umum Amerika untuk semua kanker kecuali kanker lambung dan kanker
hati.5 Tingkat kematian akibat penyakit kardiovaskuler yang tertinggi pada orang kulit
hitam, diikuti oleh kulit putih dan Hispanik dengan tingkat terendah yang diamati diAsia
atau Kepulauan Pasifik, Indian (Amerika) dan penduduk asli (Alaska).6 Angka kejadian
kematian lebih besar pada orang kulit hitam non-Hispanik dibandingkan kulit putih untuk
penyakit Human Immunodeficiency Virus (HIV), tuberkulosis, pembunuhan, stroke,
penyakit perinatal dan diabetes.7,8 Orang-orang Hispanik juga mengalami kejadian kematian
lebih banyak akibat penyakit dibandingkan dengan kulit putih non-Hispanik untuk infeksi
HIV, pembunuhan, penyakit hati, diabetes dan stroke.9 Obesitas, yang merupakan penyebab
terbanyak dari risiko kesehatan, tampak lebih menonjol pada kelompok ras atau etnis
tertentu.10,11 Baru-baru ini, sepuluh besar disparitas kesehatan telah dipublikasikan untuk
kelompok etnis utama di Amerika Serikat, dan besarnya perbedaan dalam kejadian penyakit
dengan etnis atau ras sangatlah menakjubkan, terutama untuk sifilis, uretrithis gonorhoe
dan Acquired Immunodeficiency Syndrome (AIDS) pada orang kulit hitam dibandingkan
kulit putih.12
Terkait dengan kanker, data dari National Cancer Institute’s Surveillance,
Epidemiology and End Results (SEER) pada tahun 1996-2000 menunjukkan bahwa
kematian akibat kanker lebih tinggi dan kelangsungan hidup penderita kanker lebih rendah
pada penduduk daerah berpenghasilan rendah.13 Namun, setelah kemiskinan dapat
dituntaskan, kedua insiden kanker dan kematian berbeda di seluruh kelompok ras dan etnis.
Mortalitas dari kanker koloretum, paru, bronkus, leher rahim dan prostat lebih tinggi di
Amerika dan Afrika daripada di kelompok ras atau etnis lain. Kejadian kanker payudara
tertinggi pada orang kulit putih, tapi angka kematian terbesar di Afrika Amerika.
Kepulauan Asia-Pasifik memiliki insiden dan kematian tertinggi untuk terjadinya kanker
abdomen dan hati. Namun pada penduduk asli Amerika, Asia atau Kepulauan Pasifik dan
Hispanik memiliki insiden dan mortalitas kanker yang lebih rendah daripada orang
Amerika Afrika atau kulit putih non-Hispanik.13
Terdapat beberapa penyebab potensial dari disparitas kesehatan seperti ditunjukkan
pada Gambar. 1. Penelitian McGinnis dkk. telah meninjau penyebab kematian dini yang
kemudian diklasifikasikan ke dalam lima domain yaitu genetik dan kongenital, keadaan
sosial, kondisi lingkungan, pilihan perilaku, dan kekurangan dalam perawatan medis.14
Pada model ini peneliti menambahkan stress psikologis yang memiliki efek yang kuat
terhadap kesehatan baik yang positif dan negatif.14 Sebagai contoh pasien kanker payudara
yang tidak dapat ditangani dikaitkan dengan kematian lebih tinggi secara keseluruhan
dalam penelitian kohort prospektif kecil pada orang Afrika Amerika dan perempuan
berkulit putih.15 Dalam penelitian kohort yang sama, kekuatan dukungan emosional yang
dirasakan menunjukkan hubungan yang signifikan dengan peningkatan waktu
keberlangsungan hidup.16 Dalam sebuah penelitian kesehatan perempuan berkulit hitam,
wanita yang melaporkan diskriminasi rasial terdapat peningkatan risiko terjadinya kanker
payudara.17 Banyak penelitian memberikan bukti bahwa persepsi mengenai tantangan sosial
dan kesulitannya (seperti rasisme, aktivitas kehidupan, interaksi keluarga) terkait dengan
perubahan fisiologis yang merugikan pada orang Afrika Amerika.18-23 Selain itu, situasi
yang dapat merusak kesejahteraan dalam masyarakat tidak hanya oleh ras atau etnis tetapi
juga oleh status sosial-ekonomi dan jenis kelamin kelamin.24-26
RasEtnisJenis KelaminLingkungan FisikPendapatanPendidikan
Sifat WarisanStress PsikologisGaya HidupDietKesehatan
Efek Biologis Penyakit
STRESS Psikologis
Gambar. 1. Penyebab Disparitas Kesehatan: Beberapa faktor yang dapat bertindak secara independen serta interaktif untuk mewujudkan status kesehatan yang berbeda dalam berbagai kelompok populasi
EFEK FISIOLOGIS PADA STRESS PSIKOLOGIS
Homeostasis merupakan istilah yang diciptakan oleh Cannon untuk
menggambarkan stabilitas sistem fisiologis dalam organisme hidup.27 Sebuah istilah yang
terkait yaitu allostasis yang mengacu pada kemampuan organisme untuk merespon tuntutan
fisik dan psikologis melalui aktivasi berbagai proses fisiologis.28 Respon tersebut dapat
membantu hidup dalam mempersiapkan tubuh untuk melakukan aktivitas fisik sehari-hari
seperti lari atau berkelahi. Aktivasi sistem allostatis yang berulang bagaimanapun dapat
memiliki pengaruh fisiologis dan dapat meningkatan risiko terjadinya penyakit kronis
seperti hipertensi, obesitas, aterosklerosis, dan penurunan kognitif, yang pada akhirnya
dapat meningkatkan morbiditas dan mortalitas.29-30
Beban allostatis adalah beban biologis kumulatif yang dituntut pada tubuh melalui
adaptasi setiap hari pada stressfisik dan emosional.31 Sebuah ukuran ringkasan beban ini
telah dikembangkan pada MacArthur Aging Studies, yang berdasarkan pada biomarker
fungsi biologis termasuk aksis Hipotalamus-Pituitari-Adrenal (HPA)
(dehydroepiandrosterone sulfate serum (DHEA-S), antagonis fungsional kortisol,32 dan
kortisol urin), sistem saraf simpatik (norepinefrin dan epinefrin urin), sistem kardiovaskular
(tekanan darah sistolik dan diastolik, serum High-Density Lipoprotein (HDL) dan
konsentrasi kolesterol total), proses metabolisme (hemoglobin glikosilasi plasma, alat ukur
kadar glukosa dari waktu ke waktu), dan rasio pinggang / pinggul (yang berkaitan dengan
keseimbangan hormonal dan metabolisme lemak). Setiap parameter diberi skor biner
dengan nilai-nilai negatif diberikan skor yang lebih tinggi, dan nilai individu dijumlahkan
InfeksiPenyakit kardiovaskularKomplikasi obesitas & diabetesKankerKognitif penurunan pada lanjut usia
Beban allostatis
Kerusakan oksidatif
Peradangan kronis
STRESS psikologisHormon STRESSs
Fungsi kekebalan
Dissregulasi metabolik
Nutrisi buruk
untuk memberikan keseluruhan skor beban allostatis. Geronimus dkk. menemukan bahwa
terdapat perbedaan dalam skor beban allostatis antara kulit hitam dan kulit putih di Amerka
Serikat yang tidak terkait dengan kemiskinan, yang mendukung gagasan bahwa kemiskinan
berkontribusi terhadap disparitas kesehatan.33
Salah satu faktor yang sering diabaikan dalam studi beban allostatis adalah nutrisi .34
Dalam kondisi stress yang tinggi, individu secara signifikan mengkonsumsi lemak lebih
tinggi dan sedikit mikronutrien.35 Konsumsi makanan dengan indeks glukosa tinggi dapat
meningkatkan risiko terjadinya obesitas, diabetes tipe 2 dan penyakit jantung.36 Nutrisi juga
dapat berinteraksi dengan stress dalam berkontribusi terhadap penurunan kognitif pada
orang tua.34 Sebaliknya, vitamin dan antioksidan dapat membantu memperbaiki beban
allostatic. Hasil dari penelitian Dietary Approaches to Stop Hypertension (DASH)
menunjukkan bahwa kadar vitamin C plasma berkorelasi terbalik dengan tekanan darah
diastolik, dan hal tersebut menyebabkan perubahan tekanan darah dalam waktu 30 hari.37-39
Berkaitan dengan artherogenesis, antioksidan dapat memberi efek manfaatnya dengan
menghambat oksidasi low-density lipoprotein (LDL) dan reaksi radikal bebas lainnya.40-42
Sedangkan stress dapat mempengaruhi kebiasaan diet, dan beban allostatis dapat
memberikan tambahan pengaruh terhadap status gizi melalui oksidasi atau kerusakan gizi,
hal ini mengakibatkan imunosupresi lanjut dan gangguan sistem regulasi sehingga
memberikan kontribusi untuk beban penyakit yang lebih besar .
Gambar. 2. Mediator Fisiologis pada Stress Psikososial.
HORMON STRESS
Anatomi dan Fisiologi Respon STRESS
Stress psikologis mengarah ke kaskade kejadian fisiologis termasuk aktivasi sistem
saraf simpatik dan aksis HPA. Sistem ini beroperasi dalam koordinasi pada situasi yang
memprovokasi ketakutan atau kecemasan yang dihadapi. Hipotalamus melepaskan
Corticotropin Releasing Hormone (CRH) jika dirangsang. CRH kemudian mencapai
glandula hipofisis anterior melalui sirkulasi portal hipofisis dan lokus ceruleus melalui
proyeksi dari hipotalamus.43 Lokus ceruleus merupakan salah satu dari beberapa inti di
batang otak yang berfungsi sebagai pusat aktivitas simpatik. Aktivasi pusat-pusat tersebut
menghasilkan stimulasi pada organ target melalui persarafan simpatis langsung maupun
melalui sirkulasi katekolamin (epinefrin dan norepinefrin) yang dilepaskan dari medula
adrenal.
Stress psikologis merupakan stimulator poten dari produksi epinefrin ketika
pengeluaran norepinephrine lebih erat terkait dengan aktivitas fisik dan postur tubuh.44 Efek
dari katekolamin yang beredar di organ target sama dengan stimulasi saraf simpatis
langsung (pelebaran pupil, peningkatan denyut jantung, peningkatan aliran darah ke otot
rangka, dan lain-lain) tetapi efeknya berlangsung 5 sampai 10 kali lebih lama karena
sirkulasi epinefrin dan norepinefrin dikeluarkan dari darah selama beberapa menit. Selain
itu, beredar epinefrin dan norepinefrin dari medula adrenal meningkatkan metabolisme
pada semua sel dalam tubuh, yang sebagian besar tidak dipersarafi oleh serabut simpatis.45
CRH di hipofisis anterior menyebabkan keluarnya Adrenocorticotropin Hormone
(ACTH) ke sirkulasi sistemik. Setelah mencapai kelenjar adrenal, ACTH merangsang
produksi glukokortikoid (misalnya kortisol) serta aldosteron dan androgen adrenal. Pada
respon stress, kortisol memiliki beberapa efek yaitu umpan balik negatif pada CRH dan
ACTH, pemeliharaan glukosa darah, dan peningkatan aktivitas katekolamin pada jaringan
target.46-48 Korteks adrenal mensekresi kortisol dalam pola diurnal yang membantu
mengontrol beberapa proses biologis yaitu tekanan darah sistemik, metabolisme
karbohidrat, protein, dan lemak, homeostasis garam dan air, dan metabolisme tulang dan
kalsium.48-49 Kortisol dapat meningkatkan respon kekebalan ketika kebanyakan efek dari
glukokortikoid dan katekolamin lainnya bersifat imunosupresif. Hal ini telah menyebabkan
hipotesis bahwa hormon stress membantu mengontrol respon imun dengan mencegah
respon berlebihan terhadap antigen.46, 50, 51
Perubahan Terkait dengan Stress Kronis
Peningkatan produksi kortisol dan katekolamin memungkinkan manusia untuk
merespon ancaman yang dirasakan dan nyata, tetapi aktivasi berlebihan dari SAM dan aksis
HPA telah dikaitkan dengan efek biologis negatif. Misalnya, kortisol merangsang timbunan
lemak visceral atau perut52 dan stress kronis merupakan faktor risiko terjadinya obesitas.53
Kelebihan glukokortikoid memberikan pengaruh buruk terhadap otot dan kulit yaitu
menyebabkan atrofi dan produksi kolagen yang berkurang.54 dan juga menyebabkan
osteoporosis melalui penghambatan osteoblas.55 Efek kelebihan glukokortikoid pada sistem
saraf pusat yaitu kematian neuronal di hippocampus,56 depresi, apatis, dan penurunan
kognitif.48 Reseptor glukokortikoid terdapat di seluruh tubuh, terdapat banyak efek mediasi
yaitu induksi enzim hati yang terlibat dalam metabolisme energi, regulasi sel imun dan
produksi sitokin, dan pembentukan memori terkait dengan ketakutan.31,57
Ketika aktivasi berulang pada respon stress normal, elevasi hormon stress berulang
mengakibatkan gangguan pada proses fisiologis dan sistem organ. Gangguan atau beban
allostatis ini dianggap sebagai faktor risiko dari beberapa penyakit yaitu aterosklerosis,
penyakit jantung koroner, obesitas, diabetes, depresi, gangguan kognitif, inflamasi dan
gangguan autoimun.29 Misalnya, stress berat berulang di awal masa kanak-kanak dapat
menyebabkan perubahan seluler dan fisiologis yang bertahan hingga dewasa. Heim dkk.
menemukan bahwa wanita dengan riwayat masa kecil mengalami kekerasan fisik dan / atau
seksual menunjukkan peningkatan kadar ACTH puncak dibandingkan dengan kelompok
kontrol dalam menanggapi stress psikososial.58 Dalam studi lain, orang dewasa dengan
status sosial ekonomi (SES) rendah pada masa kanak-kanak memiliki tingkat iskemia yang
lebih tinggi pada latihan tes STRESS dibandingkan dengan orang dewasa dengan SES
tinggi pada masa kanak-kanak, setelah mengontrol arus SES, riwayat merokok, dan rasio
HDL dan LDL kolesterol.59 Stress ringan kronis menyebabkan peningkatan kadar kortisol
plasma sedangkan stress berat kronis menyebabkan peningkatan pada ACTH plasma dan
kortisol.60
Peningkatan kadar katekolamin kronis dianggap berkontribusi dalam menyebabkan
terjadinya hipertensi, aterosklerosis, penyakit arteri koroner, serta gangguan yang berkaitan
dengan pembekuan darah, seperti stroke iskemik dan infark miokard.44 Peningkatan
epinefrin plasma dikaitkan dengan kematian dan penurunan fungsional yang berfungsi
tinggi pada usia lanjut,61 serta kelangsungan hidup pada pasien dengan tingkat ekonomi
rendah dengan riwayat infark miokard sebelumnya.62 Sedangkan peningkatan norepinefrin
plasma dikaitkan dengan kematian pada orang dewasa yang sehat,63 gagal jantung
kongestif,64 dan riwayat infark miokard sebelumnya.62
Pengukuran Kadar Hormon Saat Stress
Pengaturan pusat hormon kortisol dan katekolamin memiliki respon stress dan
memiliki hubungan terhadap penyakit disebabkan oleh stress, sehingga tidak mengejutkan
apabila penelitian mengenai stress dan kesehatan seringkali memasukan pengukuran kedua
hormon tersebut. Sekali tersekresi dari korteks adrenal, kortisol akan secepatnya berikatan
ke globulin pengikat kortikosteroid (CBG), albumin, dan eritrosit. Hasilnya, hanya 2 – 15%
kortisol bebas tanpa berikatan. Fraksi inilah yang diduga memediasi efek multipel kortisol
pada jaringan perifer dan otak. Keduanya, yang terikat dan bebas, dapat diukur dalam
darah, namun hanya kortisol bebas yang dapat terukur di dalam saliva.65 Kortisol plasma
dan saliva bisa mencerminkan kadar kortisol yang beredar sesuai keadaannya
sesungguhnya, sedangkan kortisol dalam urin merupakan jumlah kortisol yang disekresikan
tiap waktu. Untuk memperoleh sampel saliva, para parisipan penelitian menampung
salivanya ke dalam wadah kecil atau karet kunyah pada sebuah pengusap (salivette)
kemudian menaruhnya ke dalam wadah kecil. Pengumpulan saliva seperti ini dapat
disimpan dalam suhu ruangan paling cepat 4 minggu sebelum kadar kortisolnya menurun
secara signifikan. Kebanyakan laboratotium mengecek kadar hormon tersebut yang ada di
dalam saliva menggunakan immunoassay radioaktif atau penanda lainnya. Kortisol dalam
saliva secara akurat mencerminkan kadar kortisol bebas dalam darah dan bisa digunakan
sebagai biomarker yang kurang invasif.65-66
Kortisol dalam urin jarang diperiksa dari sampel urin dalam 24 jam atau bagian dari
protokol sampling malam hari. Sampel urin dalam 24 jam lebih berat dibandingkan
sampling malam hari, tetapi hasil yang didapatkan tidak terpengaruh oleh siklus sirkadian
dan waktu awal pengambilan sampel karena perbedaan individu dalam status hidrasi dan
produksi urin, konsentrasi urin harus ditentukan sejak penghitungan kadar hormon dalam
urin tersebut. Metode penghitungan paling umum guna menentukan kadar urin adalah
membagi kadar hormon dengan kreatinin dalam urin tersebut.67 Oleh karena penghitungan
kadar kreatinin urin ditentukan oleh massa otot dan suku atau etnik,68 pendekatan ini dapat
memberikan kadar lebih rendah palsu pada beberapa kelompok, termasuk laki-laki dan
orang Afrika Amerika.69
Pengukuran kadar katekolamin bisa dilakukan dengan memeriksa plasma, urin, atau
saliva. Hubungan yang saling terkaitan telah diketahui antara perubahan kadar katekolamin
dalam plasma dengan dalam urin sebagai respon terhadap stress.44 Sebaliknya tidak ada
hubungan antara kadarnya dalam saliva dan plasma.70 Karena kadar katekolamin
dipengaruhi oleh postur, akitivitas fisik, terdapat sebuah pertanyaan mengenai validitas dan
realibilitas biomarker dari katekolamin plasma.62-71 Di lain pihak sampel urin guna
mengukur kadar katekolamin tidak nyeri dan tidak dipengaruhi oleh kebiasaan sehari-hari
dan lingkungan pemeriksaan. Assay terhadap urin memberikan pengukuran akurat produksi
epinefrin dan norepinefrin setiap waktu. Selama stress ringan seperti stress harian di tempat
kerja yang wajar, produksi epinefrin dapat meningkat 50 – 100% di atas produksi basalnya.
stress psikologi lebih berat lagi dapat meningkatkan kadar epinefrin sebanyak 8 – 10 kali
dari kadar basalnya.44
Katekolamin dalam urin biasanya didapatkan dari pengukuran total selama 24 jam
yang dihitung dengan mengalikan kadar hormonnya dengan volume urin 24 jam. Setelah
sampel urin diperoleh, pH urin disesuaikan dan dibuat menjadi 3,0 dengan pemberian
larutan asam untuk mencegah degradasi katekolamin. Pengasaman sampel urin ini harus
disimpan beku sampai dianalisis. Metode paling menggunakan kromatografi cairan kualitas
tinggi dengan deteksi kimia elektro.44 Penyesuaian terhadap postur dan aktivitas harian
harus dilakukan sebelum pengukuran kadar katekolamin dengan metode ini. Yang termasuk
dalam penyesuaian ini adalah adanya konsumsi kafein, alkohol, nikotin, dan obat-obatan
(β-bloceker dan diuretik).
SISTEM IMUN
Perubahan Imunitas pada Kondisi Stress
Terdapat hubungan dua arah antara sistem saraf pusat dan imun yang
mempengaruhi hormon peptida dan reseptor regulasi respon imunitas melalui mekanisme
umpan balik.72-74 Hipotalamus mempunyai peran penting sebagai koordinator pusat
endokrin, otonomik, dan respon perilaku terhadap stress.72-74 Hasil akhir stimulasi HPA
adalah glukokortikoid seperti yang diteliti oleh Smith dkk.75 Penelitian tersebut menunjukan
bahwa ACTH merangsang sekresi kortisol dari korteks adrenal. Hormon glukokortikoid
mempengaruhi sistem imun dengan cara mengubah pegerakan dan leukosit dan migrasi
berbagai tipe sel ke daerah yang mengalami inflamasi dan juga menghambat fungsi seluler
secara individual. Adanya kortikosteroid ini akan menginduksi netrofili atau produksi
berlebihan dari netrofil.76-77 Jumlah limfosit darah perifer berkurang akibat retensi dari
limfosit yang beredar sepanjang sumsum tulang, limpa, dan nodus limfatikus.76-77 Pegeseran
subpopulasi leukosit ini menunjukan mekanisme penghindaran efek merugikan dari stress
atau dengan kata lain menyiapkan sistem imun dalam menghadapi antigen dan patogen.78
Hormon glukokortikoid merupakan antiinflamasi utama yang menghambat produksi
Interleukin-12 (IL-12) dan meningkatkan IL-10 oleh monosit.79-82 Hal ini akan menginduksi
kerja respon imun melalui sitokin oleh Th-2 (dicirikan dengan produksi IL-4, IL-5, dan IL-
10 yang mengaktifkan imunitas humoral) dan menghambat sitokin Th-1 (dicirikan dengan
produksi IL-2, IL-12, dan IFN-α yang mengaktifkan imunitas seluler). Mekanisme ini dapat
dimediasi oleh NF-kB sebagai faktor transkripsi.83-85
Katekolamin juga mempengaruhi status imunitas dan menginisiasi proliferasi
limfosit CD3+, CD4+, dan CD8+ dengan stimulasi β-adenergik di mana stimulasi ini
(melalui siklase adenilat intraseluler) menghambat proliferasi limfosit.86-88 Pemberian
injeksi epinefrin menyebabkan penurunan persentase sel NK dan hasil yang variabel dari
limfosit CD8+; tidak ada perubahan yang teramati dari monosit atau limfosit B.89 Epinefrin
menghasilkan efek nyata pada jumlah netrofil yang bersirkulasi dengan menimbulkan
demarginasi neutrofil yang menempel ke endotelium vaskuler. Kortisol dapat memberikan
efek tersebut dengan cara melepaskan neutrofil dari sumsum tulang yang berlawanan dan
meningkatkan angka paruh hidupnya.90 Norepinefrin juga telah diketahui memblok total
aktivasi IFN-α makrofag peritoneal.91
Efek keseluruhan dari stress kronik pada modulasi berbagai macam imunitas dan
termasuk penurunan fungsi sel NK, down regulation dari respon sel T dan sel B,
ketidakseimbangan produksi sitokin (misalkan pegeseran Th1 Th2), perlambatan
penyembuhan luka, dan kelainan respon antibodi setelah vaksinasi.92 Stress juga mungkin
berhubungan dengan induksi sitokin proinflamasi seperti IL-6. Kiecolt-Glaser dkk.93
menemukan peningkatan kadar IL-6 plasma pada usia yang membutuhkan perawatan
dibandingkan usia yang butuh perawatan yang sebagian menjelaskan insiden yang lebih
besar lagi terhadap mortalitas berbagai penyebab di antara kedua kelompok tersebut.94
Kadar IL-6 juga meningkat pada individu dengan kebiasaan sehat yang buruk, seperti
merokok, diet yang tidak baik, jarang beraktivitas fisik, dan BMI tinggi.95-97 IL-6 diketahui
menginduksi protein C-reaktif (CRP) hati. IL-6 bersama CRP berperan penting dalam
proses perkembangan penyakit kardiovaskuler.98-103 Sesuai dengan konsep beban
alostatik,inflamasi bisa menjadi lebih kronik ketika berhadapan dengan stressor yang sama.
Laporan penelitian terbaru menyebutkan bahwa pengukuran inflamasi berkontrubusi dalam
menentukan risiko kesehatan.105-106
Stress kronik juga dapat mempengaruhi sistem imun dengan mengubah panjang
telomer dan aktivitas telomerase (dua penanda penuaan). Epel dkk.107 menemukan bahwa
seorang ibu yang merawat anaknya yang sakit memiliki telomer lebih pendek dan lebih
sedikit kerja dari telomerase pada sel mononuklear darah perifer daripada seorang ibu yang
merawat anaknya yang sehat. Stress kronik dalam kelompok ini berhubungan dengan
aktivitas STRESS oksidatif yang lebih tinggi daripada kadar F2-isoprostan. Terdapat
literatur yang menyebutkan kerusakan oksidatif DNA berhubungan dengan pemendekan
telomer.108 Data ini dan peningkatan kadar IL-6 akibat stress dapat memberikan
pengetahuan akan mekanisme stress kronik dapat secara prematur mengaktifkan sistem
imun dan dapat meningkatkan risiko terkena penyakit, terutama penyakit yang
berhubungan dengan umur.
Dampak Stress Kronik pada Infeksi Virus
Dari penelitian mengenai kelainan respon terhadap vaksin, diketahui bahwa stress
akan mempermudah proses infeksi virus respirasi pada umumnya.109 Insidensi terjadinya
infeksi lebih besar pada individu yang mengalami lebih banyak kejadian hidup sehari-hari
yang membuatnya stress atau yang mengalami stress berulang selama berbulan-bulan atau
lebih.110-111 Tingkat status ekonomi-sosial (SES) yang lebih rendah berhubungan dengan
tingkat insidensi penyakit infeksi virus yang lebih besar selama masa dewasanya. Hal
tersebut menunjukan adanya peran langsung lingkungan penuh stressor terhadap perbedaan
tingkat kesehatan yang dialami seseorang.112 Penelitian belakangan ini menunjukan
penyebab utam terjadinya perbedaan tingkat kesehatan pada suku Afika-Amerika,
Hispanik, dan Asia di AS adalah gonorea, sifilis, AIDS, dan tuberkulosis.12
HIV/ AIDS secara sepihak berefek pada suku dan etnik minoritas di AS. Dean, dkk.113
meneliti hal ini dan mendapati diagnosis AIDS lebih sering dialamatkan pada orang kulit
hitam non-hispanik daripada suku dan etnik lainnya. Stress juga meningkatkan laju progresi
penyakit AIDS pada pria. Pada penelitian longitudinal terhadap pria yang terinfeksi HIV
asimtomatik, progresi penyakit lebih cepat berhubungan dengan kejadian sehari-hari yang
lebih membuatnya Stress dan sosial atau dukungan interpersonal yang lebih sedikit.114
AIDS akan berkembang lebih cepat pada pria positif HIV yang berhenti menjadi
homoseksual daripada yang tidak.115 Virus laten seperti virus herpes tidak dapat dicegah
tubuh penjamu setelah menginfeksi dan tetap laten setelahnya. Reaktivasi virus laten ini
dapat dijadikan marker biologis atas stress dan disregulasi imun.
STRESS OKSIDATIF
Stress oksidatif mempengaruhi sistem imun dengan berbagai cara. Salah satu fungsi
sel inflamasi adalah memproduksi sejenis molekul oksigen reaktif sebagai suatu respon
integrasi melawan infeksi dan cidera. Sejenis molekul oksigen reaktif ini akan menarik
lebih banyak lagi sel inflamasi. Sejenis molekul oksigen reaktif tersebut dan produk
oksidasi lemak akan beperan sebagai pembawa pesan intraseluller dan interseluller.116
Sebagai respon akut tambahan kondisi peningkatan inflamasi dan stress oksidatif; atau
ketidakseimbangan antara produk oksidan dan detoksikasi oksidan dapat menjadi kondisi
kronik. Sebagai contoh : sebuah kondisi inflamasi kronik derajat ringan (misal ; penyakit
inflamasi pencernaan, diabetes) dan pengaruh stress oksidatif dapat mempengaruhi risiko
timbulnya berbagai macam kanker.117-119 Pengukuran CRP, sebuah marker inflamasi
berguna dalam menentukan risiko timbulnya penyakit jantung pada individu sehat.120
Stress oksidatif telah diketahui beperan penting dalam sebagian besar penyakit
kronik sekarang. Sehubungan dengan penyakit kardiovaskuler, jumlah oksidan berlebih
yang ada dapat mempengaruhi aktivitas perioksidatif lemak. Hal ini berhubungan dengan
pembentukan plak, ketidakseimbangan tonus vaskuler akibat oksidasi nitit oksida, dan
secara langsung merusak vaskular.121-125 Stress oksidasi juga berperan dalam menimbulkan
komplikasi pada penyakit diabetes, termasuk retinopati, penyakit ginjal, dan cidera
vaskuler. Sehubungan dengan risiko terjadinya kanker oksidan dapat merusak
makromolekul seluler penting, termasuk DNA. Kerusakan DNA akibat oksidasi yang tidak
dapat diperbaiki akan menciptakan mutasi dan transformasi sel yang memicukanker, seperti
yang tergambarkan di Gambar 3.129
Hubungan Ras dan Etnik pada Stress Oksidatif
Stress oksidasf merupakan faktor penting dalam patogenesis penyakit
kardiovaskuler yang lebih sering terjadi oada Afrika-Amerika.125-130 Stress oksidatif beperan
dalam disfungsi endotelial melalui destruksi nitrit oksida (NO), sebuah vasodilator poten.124
Tingkat stressoksidatif tidak tampak lebih tinggi pada orang Afrika-Amerika daripada
orang kulit putih.131 Akan tetapi, regulasi NO tampaknya terganggu karena kelebihan kadar
golongan O2- dan ONOO-.132 Sel endotelial vena umbilikus manusia kulit hitam
menciptakan kondisi nitrit oksida/ oksidan yang lebih seimbang daripada orang kulit putih
dalam hal kelainan fungsi endotelial. Hal ini diikuti dengan penurunan relatif pelepasan
nitrit oksida dan peningkatan pelepasan superoksida dan perioksinitrit pada orang kulit
hitam.133 Pada orang kulit hitam, tapi tidak pada orang kulit putih, perioksidasi lemak
memediasi hubungan indeks massa tubuh, kadar aldosteron, dan tekanan darah sistolik.134
Kadar rerata marker plasma peroksidasi lemak 15-F2t-isoprostane tidak berbeda antara
Afrika-Amerika dan Amerika kulit putih. Peningkatan 15-F2t-isoprotane saat berespon
terhadap hiperlipidemia akut sangat tinggi pada orang Afrika Amerika.135 Pada wanita
kadar 15-F2t-isoprostane tidak berbeda menurut rasnya, tetapi terapi hormon menginduksi
pelepasan NO pada kaukasian, tapi tidak pada Afrika Amerika.136
Insidensi dan survival rate kanker juga berbeda menurut ras. Sebagai contoh: pada
wanita Amerika kulit hitam dan putih memiliki tingkat yang lebih tinggi terkena kanker
payudara daripada orang Hispanik, Amerika Indian, dan wanita Asia Amerika.137 Sekalinya
kanker telah menyerang, prognosis lebih mengarah perburukan pada orang Afrika Amerika
daripada orang Eropa Amerika untuk kanker prostat, payudara, paru, dan kolon. Kanker-
kanker tersebut merupakan kanker yang sering menyerang masyarakat AS sekarang.138-142
Mekanisme parallel yang berbeda menyebabkan risiko dan survival kanker yang berbeda
pula, tetapi stress oksidatif menjadi faktor penting yang harus diperhatikan. Data dalam
jumlah besar menyokong hubungan antara kerusakan oksidasi pada gen dan peningkatan
risiko kanker.129
Efek Stress Psikologis Terhadap Tingkat Stress Oksidatif
Kedua faktor kelas individual dan sosial berkontribusi dalam tingkat stress oksidatif
seseorang. Faktor imunologis dan hormonal telah dapat dijelaskan berperan dalam
perkembangan stress oksidatif. Akan tetapi, terdapat beberapa literatur yang beredar bahwa
stress psikososial dapat mempengaruhi tingkat stress oksidatif. Stress psikososial
meningkatkan Stress oksidatif melalui aktivasi NK-κB, mediator inflamasi.143 Pada
penelitian cross sectional Stress psikologis berhubungan dengan peningkatan CRP dan
kadar homosistein. Homosistein ini akan meningkatkan produksi sejenis molekul oksigen
reaktif.144-145 Homosistein juga meningkat saat terjadi pengalaman dan supresi marah.145
Hewan uji tikus yang terpapar stress sosial mengalami peningkatan kadar kortikosteron dan
ekskresi biopirin, metabolit bilirubin yang teroksidasi melalui urin.146 Mahasiswa yang akan
menghadapi ujian mengalami peningkatan kerusakan DNA oksidatif, penurunan kadar
antioksidan, dan peningkatan sensitivitas terhadap oksidasi lemak di dalam limfosit pada
hari ujiannya.147 Ketakutan juga berperan di dalamnya. Pengondisian tikus uji terhadap
stimulasi nyeri menghasilkan peningkatan kadar oksidasi deoksiguanosin (dengan
konfigurasi 8-okso-2’-deoksiguanosin) di inti DNA ginjal. Hal ini tidak terjadi saat tidak
ada stimulus nyeri.148
Gangguan psikologis yang berasal dari stress kronis juga berhubungan dengan
kerusakan oksidasi. Pada wanita, skor depresi berhubungan dengan kadar 8-OhdG pada
leukosit.149-150 Hasil ini juga didapatkan pada penelitian cross sectional lainnya pada kadar
lemak peroksida serum wanita yang berhubungan langsung dengan skor depresi CES-D.151
Hal ini menunjukan signifikansi pada penelitian mengenai perbedaan tingkat kesehatan
karena depresi dan kelainan psikologis lainnya berbeda pada kelompok populasi tertentu
menurut rasa tau etnik atau SES.153-159
Faktor sosial seperti isolasi, kekerasan, kebisingan, diskriminasi, dan rasis juga
dapat berkontribusi pada stress oksidatif. Beberapa penelitian mengenai hal ini telah
dilkukan dengan model hewan. Pada tikus stress kronik dalam bentuk isolasi sosial jangka
panjang mengaktifkan enzim antioksidan (superoksida dismutase dan katalase) di
hipokampus dan berefek pada respon subsekuen stress akut.160 Pada penelitian tersebut
pembentukan oksidan tidak diukur, tetapi induksi enzim antioksidan sepertinya berasal dari
peningkatan beban oksidasi. Stress psikologis dan kebisingan pada tikus meningkatkan
kadar perioksidasi lemak.161-162 Satu dari hasil penelitian pertama di lingkungan peneliti
menggunakan communication box dan menunjukan kadar 8-oxodG lebih tinggi di inti DNA
hati tikus setelah terpapar stress psikologis.163 Pada manusia kedekatan orang tua dan
anaknya berhubungan terbalik dengan kadar 8-oxodG saat dewasanya. Kadar 8-oxodG
sedikit lebih tinggi pada orang yang memiliki pengalaman tentang kematian anggota
keluarga terdekat paling dekat 3 tahun belakangan ini.164
Pada sebuah penelitian di Mexico orang tua-orang tua yang tinggal di perkotaan
memiliki stress oksidatif lebih tinggi (juga risiko ketidakseimbangan kognitif lebih tinggi)
daripada yang tinggal di pedesaan yang memiliki tingkat kesehatan dan pembebanan
latihan fisik.165 Pada penelitian tersebut tingkat stress oksidatif diukur dengan menghitung
Plasma Antioxidant Ability (ABTS), kadar superoksida dismutase pada eritrosit, glutatione
perioksidase, dan plasma lipid peroxides (TBARS). TBARS lebih tinggi pada orang tua
yang memiliki ketidakseimbangan kognitif dengan perbandingan desa/ kota tetap (yang
tinggal di kota memiliki TBARS lebih tinggi daripada yang di desa). Hal ini hampir 5 kali
lipat lebih tinggi berisiko terjadinya ketidakseimbangan kognitif di perkotaan.166
Efek stress dari lingkungan kerja hanya diteliti beberapa penelitian. Pada wanita
Jepang sehat penerimaan beban kerja, penerimaan stress, ketidakmampuan meringankan
stress, dan coping buruk terhadap STRESS berhubungan dengan peningkatan 8 –hidroksi –
2’ –deoksiguanosin di leukositnya secara signifikan. Kenaikan yang berhubungan dengan
pekerjaan ternyata berhubungan dengan peningkatan Tumor Necrosis Factor-Alpha (TNF-
α) dan Glycosylated Hemoglobin-A (HbA1c) yang merupakan indikasi adanya stress
oksidatif. Jam kerja yang lebih lama pada seorang masinis berhubungan dengan
peningkatan frekuensi terjadinya gejala kesehatan, tetapi hal ini hanya tampak nyata pada
orang yang tidak memiliki dukungan sosial.170
Stress psikologis dan Stress oksidatif
Kerusakan basa DNA oleh oksidatif
Kapasitas Detoksifikasi
Radikal bebas bawaan
Kemampuan perbaikan DNA
Variasi genetik individu, keluarga, dan golongan
Mutasi/Perubahan Gen
Kanker
Gambar 3. Bagan Mekanisme Kerusakan DNA dan Faktor Risiko Kanker: Perbedaan
genetik berperan dalam kerusakan DNA oleh oksidatif dan menyebabkan disparitas
penyakit saat level stress yang ekuivalen
Peran perbaikan DNA sesuai tingkat kerusakan oksidatif
Kerusakan DNA yang tidak diperbaiki secara efisien mungkin menjadi mekanisme
kunci perbedaan tingkat kesehatan pada risiko terjadinya kanker (Gambar 3). Sejenis
molekul oksigen reaktif bereaksi dengan kerusakan basa DNA memproduksi oksidatif dan
sebagian besar kerusakan ini diperbaiki dengan mekanisme jalur perbaikan eksisi basa.
Bentuk kerusakan DNA yang sering adalah kerusakan basa guanin pada bentuk 8 –
oksoguanin (8oxoG) ataupun 8 –hidroksi –2’ –deoksiguanosin (8oxodG).171-172 Keduanya
merupakan molekul metagenik. Kerusakan basa timin oleh stress oksidatif paling terlihat
pada formasi timin, lesi DNA lainya yang sering terjadi dan sangat mutagenik.173 Akibat
dari tingkat stress oksidatif yang terjadi bergantung pada kapasitas sistem untuk
menanggulangi kerusakan oksidatif.
Perbaikan eksisi basa dimulai dengan pemutusan basa yang rusak oleh salah satu
dari beberapa jenis glikosilase spesifik kerusakan.174 Glikosilase nicks untaian DNA 3’ dari
lesi sehingga muncul daerah abasik (AP). APE1 endonuklease apurinik/ apirimidinik
menginisasi perbaikan daerah abasik (AP) dengan menghidrolisis backbone fosfodiester 5’
secepatnya dari AP.175 DNA polimerase beta; serta ligan DNA I dan III beperan dalam
proses perbaikan eksisi basa tahap lanjut (mengisi basa yang hilang dan mengunci untaian
DNA tersebut). Protein S-ray repair cross complementing 1 (XRCC1) berinteraksi dengan
beberapa protein perbaikan eksisi basa lainnya selama proses perbaikan eksisi basa
oksidatif ini.176
Variasi polimorfisme pada gen XRCC1 dan APE1 secara signifikan berhubungan
dengan kejadian kanker prostat pada kulit putih tetapi tidak pada kulit hitam.177 Diantara
perempuan ras Afrika Amerika, hubungan antara kanker payudara dan merokok terkuat
pada perempuan dengan kombinasi spesifik perbaikan genotype ketika tidak ada interaksi
dengan rokok yang diperlihatkan oleh perempuan berkulit putih.178 Gen-gen lain yang juga
ditemukan secara berturut-turut antara lain NTHL1, PNKP, NEIL1, NEIL3, APE2, OGG2,
BRCA1 2) dan memainkan peran dalam perbaikan dengan pemotongan gen pada kondisi
oksidatif.
Polimorfisme nukleotida tunggal teridentifikasi pada region dari mayoritas gen-gen
tersebut, umumnya dengan pengaruh yang belum diketahui pada struktur dan pengikatan
enzim-enzim. Penelitian invitro, variasi polimorfisme nukleotida tunggal berimplikasi pada
peningkatan kerusakan DNA akibat oksidatf. 179-180 Data epidemiologi masih sangat jarang,
tetapi ditemukan ada 326 varian gen yang berpengaruh pada peningkatan risiko kanker.180-
183 XRCC1 telah secara luas dipelajari, terdiri dari 3 prevalent, dengan polimorfisme
nukleotida tunggal pada kodon 194 (Arg ke Trp), 280 (Arg ke Trp) dan 399 (Arg ke
Gln).184 Beberapa studi yang dipublikasikan menemukan bahwa belum diketahui secara
pasti dari ketiga polimorfisme tersebut yang meningkatkan risiko kanker payudara. 185-189
Gen APE yang memiliki satu prevalent mempunyai polimorfisme nukleotida tunggal pada
kodon 148 (Asp ke Glu) yang mana berhubungan dengan penundaan siklus sel, sensitivitas
terhadapt radiasi ionik, dan risiko kanker paru.191 PARP1 memiliki satu prevalent yang
memiliki polimorfisme nukleotida tunggal pada kodon 762 (Val ke Al).192 XPG memiliki
dua prevalent dan memiliki polimorfisme nukleotida tunggal pada kodon 529 (Cys to Ser)
dan kodon 1104 (Asp to His). Keduanya telah diobservasi pada orang Afrika-Amerika. 184
Sebuah studi mengestimasi bahwa peningkatan risiko kanker payudara sebesar 50%
berhubungan dengan variasi polimorfisme nukleotida tunggal pada kodon 1104.193
Selain itu terkait perbaikan DNA, gen-gen yang mengkode yang membantu radikal
bebas juga memainkan peran pada perbedaan ras terhadap kerentana oada kerusakan
oksidatif. Beberapa enzim seperti gluthathione-S-trasferase dan golongan dismutase
superoksidase, membantu radikal bebas dan memindahkan mereka dari pool agen agen
yang berpotensi merusak DNA. MnSOD adalah satu dari tiga enzim yang berfungsi sebagai
lini pertama dari detoksifikasi superoksidase. Substitusi Valine ke Alanine pada posisi 9
memiliki meningkatkan risiko kanker. Meskipun begitu, beberapa studi epidemiologi
mengestimasi bahwa tidak ada kaitan positif maupun negative pada Alanine allele, sebagai
contoh. Pada orang-orang Hispanik, substitusi Alanine lebih sering terjadi pada orang-
orang kulit putih dan berkaitan dengan peningktan kanker kolon onset dini.197
Bukan suatu kejutan bahwanya studi epidemiologi pada risiko kanker pada
polimorfisme individu telah tercampur. Keterkaitan mungkin lebih mudah jika dideteksi
dari pendekatan berdasarkan jalur pathway penyakit dan angka kumulatif dari varian
polimorfisme pada gen-gen yang berkaita dengan jalur stress oksidatif atau berdasarkan
spesifisitas, dan interaksi gen-gen secara biologi.189, 198-200 Melihat dari jumlah gen dan
polimorfisme nukleotida tunggal yang terlibat, pengukuran gabungan dibutuhkan untuk
mengetahui kapasitas atau kemampuan individu untuk membentuk dan memperbaiki
kerusakan DNA oleh karena oksidatif.
LOGISTIK DAN KELAYAKAN PENGAMBILAN SAMPEL BIOMARKER pada
POPULASI DENGAN PERBEDAAN TINGKAT KESEHATAN
Seperti yang telah dibahas sebelumnya terdapat beberapa marker biologi atas stress
psikologi yang dapat dipakai dalam memahami perbedaan tingkat kesehatan. Populasi yang
memiliki tingkat morbiditas dan mortalitas lebih tinggi biasanya kurang memiliki sumber
daya komunitas yang membantu mengumpulkan sampel biologi. Masalah logistik berupa
persiapan partisipan penelitian sebelum pengumpulan sampel, kebutuhan pengiriman, dan
penyimpanan sampel itu sendiri penting untuk memperoleh hasil realibel dan valid. Akan
tetapi, dalam pemenuhan tersebut terkadang menjadi sebuah problem tersendiri di
komunitas terpencil atau secara ekonomi rendah. Strategi umum yang dipakai dalam
memecahkan masalah logistik ini adalah mengajak partisipan penelitian mengunjungi
tempat klinik atau tempat penelitian yang dipakai. Pendekatan ini memunculkan
perlindungan baru bagi partisipasi penelitian dan pengambilan sampel. Untuk beberapa
biomarker, metode pengumpulan sampel yang lebih sederhana telah berhasil
dikembangkan.
Kebutuhan perawatan untuk akurasi determinasi oleh biomarker telah berhasil
ditentukan untuk berbagai permasalahan klinis saat bekerja di lapangan; baik di pedesaaan
ataupun klinik komunitas dengan sumber daya terbatas. Walaupun banyak penelitian
dilakukan dalam skala besar di pusat medis universitas, partisipan penelitian potensial
masih enggan mengunjungi tempat penelitian yang dipakai karena adanya pengalaman
perawatan kesehatan yang tidak mengenakan, kesulitan mencari transportasinya, dan
ketidakpercayaan terhadap pusat penelitian. Klinik komunitas dapat dipakai untuk
mengumpulkan sampel biologis. Klinik-klinik ini mungkin saja kekurangan sumber daya
dalam mengolah, menyimpan, dan mengirim sampel. Para peneliti harus mengantisipasi hal
tersebut dengan membeli tempat pendingin kecil untuk penyimpanan sampel atau membeli
sentifugasi ember berayun untuk memperoleh sampel sel putih. Staf peneliti juga harus
hadir di klinik tersebut guna meningkatkan kualitas pengolahan sampel yang sesuai.
Kurangnya bahan dry ice menjadi permasalahan tersendiri dalam pengiriman sampel yang
sesuai di pedesaan yang terpencil. Oleh sebab itu, perlu diubah protokol penelitiannya
supaya hanya biomarker stabil yang digunakan di dalam design penelitiannya. Di daerah
perkotaan pengumpulan sampel mobile mudah didapatkan, tetapi lagi-lagi pengolahan
sampel bisa menjadi permasalahan tersendiri.
Untuk memperoleh sampel DNA dalam determinasi genotipe, setetes darah utuh
beku dalam jumlah besar yang disimpan dalam kartu FTA dari Whatman (Clifton, NJ)
dapat digunakan. Setelah setetes darah tersebut diletakkan di kertas saring dan dikeringkan,
DNA diekstrak melalui lingkaran standard berukuran kecil sekali. Membran sel dan
organelanya dilisis dan asam nuklekat yang terlepas disimpan dalam kartu fiber. Asam
nukleat ini akan tetap tidak begerak dan stabil selama pengiriman, pengolahan secepatnya,
atau penyimpanan dalam suhu ruangan jangka panjang. Karena asam nukleat yang
terperangkap tersebut tetap stabil, kartu FTA membantu pengumpulan sampel di daerah
terpencil dan mempermudah pengiriman sampel. Analisis metode lain juga menggunakan
sampel darah yang disimpan dalam kartu kertas saring. Sebagai contoh : protein C reaktif
dianalisis menggunakan darah di dalam kertas saring terstandardisasi (filter #903, Scleicher
and Schuell, Keene, NH). Staf penelitian juga diajarkan cara meneteskan darah dengan
benar. Sekalinya darah tersebut dikeringkan, darah ini dapat disimpan dalam suhu ambient
selama 1-2 minggu, tergantung assay yang digunakan. Assay yang digunakan berupa kertas
saring berlubang sangat kecil guna memperoleh volum assay yang konsisten untuk tiap-tiap
sampel.201
KESIMPULAN
Biomarker telah diketahui berhubungan dengan perbedaan tingkat kesehatan yang
terjadi di suatu kelompok populasi yang didefinisikan sebagai SES, etnik, dan atau ras.
Salah satu etiologi perbedaan tingkat kesehatan ini adalah stress psikologis. Stress
psikologis dapat bermanifestasi ke jumlah biomarker. Suatu pengukuran biologis kumulatif
dari stress yang terpendam disebut sebagai beban allostatik. Beban allostatik ini termasuk
aksis HPA, sistem saraf simpatis, dan sistem kardiovaskuler. Stress akibat beban allostatik
akan mempengaruhi sistem imun melalui jalur penanda arah. Keduanya berkontribusi
dalam peningkatan risiko terjadinya berbagai penyakit dan kerentanan terhadap infeksi
virus seperti AIDS. Stress psikologis juga dapat meningkatkan Stress oksidatif dan
kerusakan DNA. Hal ini akan mempengaruhi gen dalam memodulasi risiko terkena kanker.
Dalam penilaian biomarker ini, pengumpulan sampel menjadi hal penting dan sumber daya
fisik untuk penelitian sejenis ini seringkali terbatas di lapangan. Biomarker stress oksidatif
ini cukup berguna dalam memperdalam pemahaman etiologi penyakit perbedaan tingkat
kesehatan di populasi tertentu.
Tipe Sampel Contoh biomarker Keterangan Proses Penyimpanan
Urine Eponefrin, Norepronefin,
Katekolamin, Kortisol
Menggunakan urin 24 jam
Dibekukan dalam dua jam untuk
pemeriksaan assay seperti katekolamin
Mesin pendingin pada suhu
-70°Catau -20°C
Whole blood Glycosylated hemoglobin
oxidative
Membutuhkan pengambilan
sampel saat puasa, dibutihkan sentrifugasi
Untuk pemeriksaan stress oksidatif butuh
didinginkanUntuk glycosylated
hemoglobin, pemeriksaan
menggunakan strip
Mesin pendingin
Whole blood dikeringkan diatas
kertas filter
CRP
Kortisol
Interleukins
DHEAS
Glycosylated hemoglobin
Menggunakan teknik proper
spotting
Minimal Durasi pendek dalam suhu kamar lalu dimasukkan ke dalam suhu dingin
Plasma atau serum
Kolesterol
Lipid
CRP
Interleukin
ACTH
Membutuhkan pengambilan
sampel saat puasa, dibutuhkan sentrifugasi
Didinginkan Mesin pendingin pada suhu
-70°Catau -20°C
White Blood Interleukin
Hitung limfosit
Ekspresi gen
Proses segera setelah
pengambilan sampel untuk
mencegah degradasi RNA
Sentrifugasi 2-3jam Didinginkan
Sel Bukal Genotipe Bisa dikerjakan dengan alat
minimal di rumah
Tidak ada Didinginkan
Saliva Kortisol
Interleukin
Didinginkan untuk mencegah
pertumbuhan bakteri
Tidak ada Didinginkan dalam durasi <1jam
Biopsies Kerusakan oksidatif
Penanda inflamasi Ekspresi
gen
Membutuhkan tenaga yang terlatih
Didinginkan atau langsung dikerjakan dengan antioksidan
Dibekukan dalam suhu -70°C
LAMPIRAN 1.