calep finaleditnew - sim.ihdn.ac.idsim.ihdn.ac.id › app-assets › repo ›...

152
150 | Calep : catatan lepas kebudayaan | yoga segara .........................................................................................

Upload: others

Post on 30-May-2020

5 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: calep finaleditnew - sim.ihdn.ac.idsim.ihdn.ac.id › app-assets › repo › repo-dosen-032004021651-13.pdf · analisis sosio antropologisnya dia ingin melihat suatu perubahan yang

150 | Calep : catatan lepas kebudayaan | yoga segara

.........................................................................................

Page 2: calep finaleditnew - sim.ihdn.ac.idsim.ihdn.ac.id › app-assets › repo › repo-dosen-032004021651-13.pdf · analisis sosio antropologisnya dia ingin melihat suatu perubahan yang

Calep : catatan lepas kebudayaan | yoga segara | 1

.......................................................................

calepcatatan lepaskebudayaan

Page 3: calep finaleditnew - sim.ihdn.ac.idsim.ihdn.ac.id › app-assets › repo › repo-dosen-032004021651-13.pdf · analisis sosio antropologisnya dia ingin melihat suatu perubahan yang

2 | Calep : catatan lepas kebudayaan | yoga segara

.........................................................................................

Page 4: calep finaleditnew - sim.ihdn.ac.idsim.ihdn.ac.id › app-assets › repo › repo-dosen-032004021651-13.pdf · analisis sosio antropologisnya dia ingin melihat suatu perubahan yang

Calep : catatan lepas kebudayaan | yoga segara | 3

.......................................................................

calepcatatan lepas kebudayaan

I Nyoman Yoga Segara

wartam plus

.............................................................................

Page 5: calep finaleditnew - sim.ihdn.ac.idsim.ihdn.ac.id › app-assets › repo › repo-dosen-032004021651-13.pdf · analisis sosio antropologisnya dia ingin melihat suatu perubahan yang

4 | Calep : catatan lepas kebudayaan | yoga segara

.........................................................................................

Calepcatatan lepas kebudayaanI Nyoman Yoga Segara

Cover Design : Agusita PendetiaLay Out : M Setia, N Bakti

Cetakan 1, April 2019Hak Cipta dilindungi Undang-Undang

Penerbit WartamplusJln. Nangka Selatan 29 A Denpasar BaliEmail : [email protected]

ISBN. 978- 602-6740-23-6

Isi diluar tanggung jawab Perc. Mabhakti

Page 6: calep finaleditnew - sim.ihdn.ac.idsim.ihdn.ac.id › app-assets › repo › repo-dosen-032004021651-13.pdf · analisis sosio antropologisnya dia ingin melihat suatu perubahan yang

Calep : catatan lepas kebudayaan | yoga segara | 5

.......................................................................

Memang sudah banyak penulis memberi komentar sambilmengkritisi alam Bali dari konteks maupun kontennya.Keindahannya, adat istiadat, agama, budaya, hingga halhal spiritual,bahkan dunia maya-maya-dunia tan hana. Dari Island of Bali,Miguel Covarrubias, Revoult in Paradise, Ketut Tantri, jugaSeni Lukis Bali dalam tiga generasi, G.M Sudarta, Kompas.Hampir semua mencatat, ‘Bali, magical Island’. Kendati pulau‘magic’ ini, kini sedang terpeleset ditengah kutub-kutubberlawanan. Modernisasi, tradisi, komersialisi, kapitalisi,komodifikasi hingga gengsi. Namun hal ini malah menjadi magnetberikutnya.

Kalau magnet itu membuat seorang Yoga Segara, AntropologBali, melakukan otokritik tentang Bali, lewat catatan lepas (Calep),buat penerbit itulah yang unik dan menarik. Ibarat seorangpengemudi memandang ke depan dengan kaca spion kecil di ataskemudi. Menjadikan catatan lepas sebagai rekaman realita apaadanya namun membawa pesan yang sangat istimewa. Pesan-pesan unik dengan makna istimewa itulah yang membuat bukuini harus diterbitkan, paling tidak untuk memperkaya rasa, bahwaBali memang Bali, dan akan tetap Bali. Selamat membaca!(wp-esbe)

Pengantar Penerbit

Page 7: calep finaleditnew - sim.ihdn.ac.idsim.ihdn.ac.id › app-assets › repo › repo-dosen-032004021651-13.pdf · analisis sosio antropologisnya dia ingin melihat suatu perubahan yang

6 | Calep : catatan lepas kebudayaan | yoga segara

.........................................................................................

M ungkin sudah sangat banyak berbagai tulisan yangmengungkapkan tentang keindahan alam, tradisi, adat istiadatdan kemegahan budaya Bali sebagai sebuah kawasan yang paling“istimewa” dilanda industri pariwisata di republik tercinta ini. Bagisaya pribadi, ada kalanya terasa jenuh melihat suatu realita gerakperubahan, pergeseran nilai dan norma yang terjadi dibeberapadekade belakangan ini. Sepertinya Bali ini mau dibawa kemanasih? Tapi, apa mau dikata, itulah Bali, dengan kedinamisankehidupan sosial dan budayanya.

Setelah membaca naskah buku karya I Nyoman YogaSegara ini, sebagai seorang putra Bali yang bisa dibilang sudahsepanjang hidupnya mengamati dan menghayati budaya Bali, sayasecara pribadi terkesan juga. Ada hal yang tidak biasa dalamkarya tulisnya, dalam arti dia melihat dari sudut pandang “lain”dalam mengkritisi hidup keseharian orang Bali. Kegundahanseorang “native anthropologist” dalam memandang fenomenasosial-budaya yang mengalami perubahan di sekitarnya. Misalnya,dalam “rasa beragama” orang Bali yang baginya mempunyaiwajah ganda, mempesona sekaligus menyeramkan. Bagisebagian orang dijalani biasa saja dengan penuh ikhlas. Namunbagi sebagian lagi dilakukan berlebihan dengan kepatuhan yangmembabi buta yang akan menghasilkan pandangan sempit di luar

Dr. Purwadi SoeriadiredjaAntropolog Universitas Udayana

Kata Pengantar

Page 8: calep finaleditnew - sim.ihdn.ac.idsim.ihdn.ac.id › app-assets › repo › repo-dosen-032004021651-13.pdf · analisis sosio antropologisnya dia ingin melihat suatu perubahan yang

Calep : catatan lepas kebudayaan | yoga segara | 7

.......................................................................

nalar akal sehat. Tak heran karenanya emosi keagamaan bisadikapitalisasi untuk meraih dominasi. Apakah memang demikian?Bukankah wajah ganda itu dari “zaman kapan tahu” sudahmelekat, mendarah daging dalam kehidupan manusia? Hitam-putih, atas-bawah, kiri-kanan, laki-perempuan, gelap-terang,susah-senang, baik-buruk, dan sebagainya menurut kategoribinary opposition di alam semesta ini. Seperti dikemukakanoleh penulis, bahwa dualitas antara yang sakral dan profan akanmenyatu lalu berpisah, dan menyatu lagi. Begitu seterusnya,seperti siklus.

Memang tidak sesederhana itu. Hidup keseharian manusiapenuh dengan dinamika. Setiap gerak budaya manusiamempunyai strateginya sendiri dalam berkontestasi danbernegosiasi menghadapi berbagai permasalahan. Tidak ada yangabadi dalam kehidupan manusia di dunia ini. Selalu ada tarik ulurdalam merajut benang-benang kehidupan itu. Demikian pulakeberlangsungan hubungan antarwarga Bali dalam kurun waktuyang lama telah mengalami pasang surut. Seperti diketahui setiapwarga atau kelompok dalam suatu masyarakat akan mempunyaikepentingan-kepentingan yang harus dipenuhi. Dalam pemenuhankepentingan itu mungkin harus mengorbankan kepentingan wargamasyarakat lainnya. Suatu hal yang tadinya dianggap “sakral”oleh sebagian warga masyarakat, kini menjadi “profan” atau “agakprofan” dikomodifikasi untuk kepentingan industri pariwisata.Apakah hal itu salah? Mungkin masyarakat Bali “zaman now”sudah lebih pragmatis, dalam arti lebih realistis menghadapikehidupan. Adanya berbagai kemewahan semu, kemegahanabstrak, komodifikasi upacara dengan berbagai ikutannya, sudahmenjadi hidup keseharian orang Bali.

Di dalam kegundahannya, Yoga Segara bukan orang yanganti perubahan, bukan yang tradisional-tradisional amat, dengan

Page 9: calep finaleditnew - sim.ihdn.ac.idsim.ihdn.ac.id › app-assets › repo › repo-dosen-032004021651-13.pdf · analisis sosio antropologisnya dia ingin melihat suatu perubahan yang

8 | Calep : catatan lepas kebudayaan | yoga segara

.........................................................................................

analisis sosio antropologisnya dia ingin melihat suatu perubahanyang wajar dan berakar pada norma dan nilai-nilai yang berlakupada budayanya. Baginya, orang Bali tak bisa hidup invidual dalamarti yang sebenarnya. Di manapun, kapan pun, mereka akanmencari kelompoknya. Entah berdasarkan desa asalnya maupunsoroh atau klennya. Bahkan di luar Bali sekalipun, mereka akanmembangun pura umum dengan padmasana, membuat tempek,banjar dan pasraman. Identitas desa asal maupun soroh terasakental sekali. Bali tetap Bali, dengan berbagai masalah yangdihadapinya. Proses pembentukan identitas merupakan suatu halyang kompleks. Dalam mengkaji dinamika pembentukan identitasbudaya orang Bali tidak dapat hanya difokuskan pada kehidupanmereka sebagai individu atau kelompok saja. Pada kenyataannyaada hal-hal lain yang juga mempengaruhi sehingga prosespembentukan identitasnya menjadi lebih kompleks lagi.Tampaknya dengan adanya perubahan atau modernisasi justrumemperjelas posisi identitas tersebut. Identitas budaya orang Balibisa dipahami sebagai bagian dari proses sosial dan sejarah, yaitusesuatu yang dikonstruksikan dan ditransformasikan sebagai hasildari interaksi. Dapat dikatakan bahwa identitas terkontruksisecara sosial yang terbentuk dari interaksi antara hidup keseharianyang dialami oleh masyarakat bersangkutan dengan “dunia luar”,yang pada gilirannya membentuk compromised identity merekayang baru.

Terlepas dari kelebihan dan kekurangannya, buku inimenarik untuk dibaca, selain mengandung banyak informasiterbarukan tentang ke-Bali-an, juga berguna bagi mereka yangingin tahu lebih dalam tentang masyarakat dan kebudayaan Balimasa kini yang sedang mengalami perubahan.

Denpasar, 16 Desember 2018.

Page 10: calep finaleditnew - sim.ihdn.ac.idsim.ihdn.ac.id › app-assets › repo › repo-dosen-032004021651-13.pdf · analisis sosio antropologisnya dia ingin melihat suatu perubahan yang

Calep : catatan lepas kebudayaan | yoga segara | 9

.......................................................................

Ucapan Terima Kasih

Dengan terbitnya buku ini, saya mengucapkan terimakasihkepada, terutama (alm) Iwan Tjitradjaja, Ph.D., dan (alm) Prof.Achmad Fedyani Saifuddin, Ph.D., dua dari semua guru terbaiksaya saat belajar antropologi di UI. Dari keduanya saya belajartentang manusia dan kebudayaan. Buku ringan ini sayadedikasikan untuk keduanya yang telah tiada. Ucapanterimakasih juga saya ucapkan kepada Dr. Purwadi Soeriadiredja,sahabat dan antropolog Universitas Udayana yang telahberkenan memberikan Kata Pengantar buku ini, kartunis Gungun,Penerbit Wartam Plus, dan komunitas “Diskusi Kamisan”. Taklupa, terima kasih saya haturkan kepada kedua orang tua, I MadeJaya dan Ni Wayan Suni. Ketiga saudara perempuan saya, NiWayan Sudiani, Ni Made Sugandi dan Ni Ketut Asih Suryati.Istri saya, Dian Karina-Segara dan kedua lanangku, I GdeAmartya Sattvika Segara dan I Kadek Chaka Sababathi Segara.Terakhir, tapi bukan yang terakhir, puji syukur ke hadapan Tuhan,Sanghyang Paramatma.

Page 11: calep finaleditnew - sim.ihdn.ac.idsim.ihdn.ac.id › app-assets › repo › repo-dosen-032004021651-13.pdf · analisis sosio antropologisnya dia ingin melihat suatu perubahan yang

10 | Calep : catatan lepas kebudayaan | yoga segara

.........................................................................................

Prawacana

Buku ini sebenarnya tidak pernah direncanakan kapan akanselesai. Sebab jika terus ditulis, tiap hari selalu saja ada isukebudayaan yang menarik. Seperti mozaik, selalu saja ada ritmik,tak pernah pasif, terlebih karakteristik kebudayaan Bali yangtak pernah benar-benar memuncak klimaks. Dalam buku ini, sayamencukupkan hanya mengulik 60 tema saja. Dan apa yang sayanukil ini mungkin juga seperti remah-remah rengginang. Alhasil,tiap tema ditulis tidak berpanjang kalam yang melelahkan mata.Buku ini tak ubahnya seperti bergumam saja, itu pun dalamtarikan nafas tiga paragraf dengan judul yang sengaja dibuatsedikit nakal.

Tak soal apakah hasil gumaman ini diamini atau ditolak.Sebagai sebuah karya ia selalu terbuka untuk didiskusikan lagi.Yang paling serius, menjadi kajian lanjutan. Anggap saja ragamtema dalam buku ini adalah pelenting lahirnya buku serupalainnya. Dus, 60 tema ini mungkin saja biasa-biasa saja, sebagianlainnya bisa juga tak disadari banyak orang. Beberapa diantaranya malah jarang dituliskan, apalagi menjadi buku.Beberapa intelektual ada yang menuliskannya, tetapi jumlahnyamasih minor. Kecuali malah antropolog asing yang banyakmenerbitkan penelitiannya tentang Bali. Saya termasuk yang

Page 12: calep finaleditnew - sim.ihdn.ac.idsim.ihdn.ac.id › app-assets › repo › repo-dosen-032004021651-13.pdf · analisis sosio antropologisnya dia ingin melihat suatu perubahan yang

Calep : catatan lepas kebudayaan | yoga segara | 11

.......................................................................

terinspirasi membukukannya dari sedikit penulis Bali yangmenulis Bali.

Dan dalam buku ini, pembaca tidak akan diajak berenangdi lautan yang beriak penuh teori kritis, apalagi analisis yangnjelimet. Sebaliknya, buku ini mengajak pembaca untukmerefleksikan sendiri sebagai bahan renungan. Berbagai temaitu juga hanya didekati dengan sedikit kepekaan yang didapatdari hasil belajar antropologi. Buku ini adalah cara sederhanasaya mengabarkan bahwa masih banyak ceruk kebudayaan disekitar kita yang menyimpan implicit meaning untuk diungkap.Tantangan rumit bagi peneliti kualitatif—apalagi berasal darikebudayaan yang diteliti—karena pekerjaan ini seringmembuatnya tidak sensitif, juga tidak objektif. Ini menunjukkankebudayaan bukanlah landscape yang homogen, tapi heterogen.Juga tak akan pernah stabil sejak pertama kali membacanya,menemukenali, bahkan setelah lama menyelaminya [*]

Page 13: calep finaleditnew - sim.ihdn.ac.idsim.ihdn.ac.id › app-assets › repo › repo-dosen-032004021651-13.pdf · analisis sosio antropologisnya dia ingin melihat suatu perubahan yang

12 | Calep : catatan lepas kebudayaan | yoga segara

.........................................................................................

Senerai Isi

Pengantar Penerbit ................................................... 5Kata Pengantar ............................................................ 6Ucapan Terimakasih .................................................... 9Prawacana ...................................................................... 10

Dualitas, Identitas, Ideologi ...................................... 15Melis dan bikini sexy, kok bisa? .............................. 16Bolak balik rasa dan rasio ........................................ 17Tak ada yang plin -plan dalam “rasa” agama ....... 19Mengatur rasa di rak lemari ..................................... 21Ngalih soroh, apa ngalih rasa nyaman saja? ......... 22Ajeg Bali, apa kabarmu kini? .................................... 23Syak wasangka dibalik simbol Hindu ........................ 26“Warung 100% Haram”, taktik atau siasat? ............ 28Orang Bali masih transmigrasi, salah siapa? ............ 30Ormas di Bali kok makin berotot? ........................... 32KB ala Bali, kebanggaan atau penyesatan? ............. 34

Komodifikasi, Kolektivitas, Pertunjukan ................ 37Pancoran suci: wisata rohani atau bisnis baru? ........ 38Komodifikasi banten: kebutuhan atau keinginan? ... 40Menyederhanakan, bukan menghilangkan,gitu aja kok repot? ................................................. 42Kemegahan mekudus dengan “Kori Kardus” ......... 44“Penjor Lebay” untuk ego yang alay ....................... 46

Page 14: calep finaleditnew - sim.ihdn.ac.idsim.ihdn.ac.id › app-assets › repo › repo-dosen-032004021651-13.pdf · analisis sosio antropologisnya dia ingin melihat suatu perubahan yang

Calep : catatan lepas kebudayaan | yoga segara | 13

.......................................................................

Mendulang gengsi di atas dulang ............................ 48Gebogan atau “mini market” berjalan? ................... 50Upakara online : tak semudah memesannya ......... 52Swalayan upakara, bukan masalah murahnya ....... 54Seikhlas Ekalawya, bisa? .......................................... 56Apa gen dadi di Bali ................................................ 58Bade beroda: efisiensi atau ngekoh? ...................... 60Karena dunia makin “mengkerut” ............................ 62Kesinoman digital, mungkinkah? .............................. 64Ritus, untuk apa? ...................................................... 66Hidup kolektif atau karena tak bisa menyendiri? ..... 68Ruh wisata Bali, ya budaya dong! ........................... 70Bali tak butuh festival! .............................................. 72

Perempuan, Kekerabatan, Hirarki ........................... 75Perempuan Bali, siapa menindas siapa? .................. 76Saat Nateng Dirah geram, berhati-hatilah! .............. 78Perempuan Bali: mana tubuhmu, mana jiwamu? ..... 80Kisah klasik, perempuan Bali di simpang jalan! ....... 82Astika, penebus dosa yang tak normal ..................... 84Suputra itu bukan hanya anak laki lho! .................... 86Perempuan Hindu itu “sakti”, masih tak percaya? ... 88Dilema akut perempuan tri wangsa ........................ 90“Kepanesan”, mitos atau fakta? ............................... 92“Melawan mitos” malah dengan mepayas agung .. 94

Delusi, Primordialisme, Dialektika .......................... 97Menjadi Jero itu panggilan hati, gaya hidup, atau menghindari masalah? ............................................. 98

Page 15: calep finaleditnew - sim.ihdn.ac.idsim.ihdn.ac.id › app-assets › repo › repo-dosen-032004021651-13.pdf · analisis sosio antropologisnya dia ingin melihat suatu perubahan yang

14 | Calep : catatan lepas kebudayaan | yoga segara

.........................................................................................

Speaker Tri Sandhya itu bukan alarm! .................. 100Budaya bersih di pura, kok sulit amat? ................... 102Karang Suwung, kok makin suwung? ................... 104Sigug itu memuji atau menghina sih? ...................... 106Mimikri: meniru atau mengejek? .............................. 108Ngewalek lebih dari sekadar ngorta ....................... 110Multifungsi pura di tanah rantau ............................... 112Harga mahal sebuah kenyamanan di pura ............... 114Di Jakarta, ida bhatara “saling mengunjungi” ........ 116Balada Nyepi di tengah kebisingan ........................... 118Ongkos mahal merantau: negen duang banjar ..... 120

Pembinaan, Penyadaran, Pendidikan ........................ 123“Membangun logika dengan logistic”,mengapa tidak? ......................................................... 124Penyuluh, nyuluhin siapa? ....................................... 126UDG rasa “Bali”, itu berita lawas bung! ................ 128Katanya desa-kala-patra, tapi kok saklek? .......... 130“Pendidikan hati”, pergilah ke alam! ........................ 132Agar mendidik tak gersang, mesatualah! ................ 134Mengukur kompetensi jangan kepadaI Belogdong! ............................................................ 136Orang kampus alergi diskusi, gak asyik ah! ............. 138Penelitian kampus, dunia abu-abu? ........................... 140

Purnawacana ................................................................. 142Senerasi Bacaan ........................................................... 144Tentang Penulis ........................................................... 148

Page 16: calep finaleditnew - sim.ihdn.ac.idsim.ihdn.ac.id › app-assets › repo › repo-dosen-032004021651-13.pdf · analisis sosio antropologisnya dia ingin melihat suatu perubahan yang

Calep : catatan lepas kebudayaan | yoga segara | 15

.......................................................................

1Dualitas,Identitas,Ideologi

Page 17: calep finaleditnew - sim.ihdn.ac.idsim.ihdn.ac.id › app-assets › repo › repo-dosen-032004021651-13.pdf · analisis sosio antropologisnya dia ingin melihat suatu perubahan yang

16 | Calep : catatan lepas kebudayaan | yoga segara

.........................................................................................

Melis dan bikini sexy,kok bisa?

Pantai Kuta itu tak indah-indah amat, sebenarnya. Apalagikini, sampah dan polah pengunjung yang tak sadar lingkungansering ikut merusak pemandangan. Pasirnya juga tak putih danbersih. Ombaknya tak cukup memberikan sensasi hebat untukmanuver surfing, kalah jauh dari tetangganya, Canggu. Janganjuga bandingkan dengan ombak Mentawai sana. Tapi tunggu dulu.Saya sudah mampir ke beberapa pantai di Indonesia yang jauhlebih indah dari Kuta. Tapi Kuta selalu sesak, sangat sesak hinggamembuat jalanan menujunya seperti jalur “neraka”. Tapi orang-orang selalu senang ke sana. Berdesakan dan bersesakan, taksoal. Yang penting pernah ke Kuta.

Selain karena faktor Balinya, Kuta juga menjadi pertemuandua dunia. Penikmat pasir pantai, matahari terbenam, dan riakombak, larut di pantai legenda ini. Dan saat turis-turismemandikan kulitnya dengan panas matahari, tiba-tibapelawatan dan pralingga dari desa pakraman di sekitar Kutadatang dengan gamelan bertalu-talu, mereka girang. Ada yanghanya menggunakan bikini, ada juga yang lupa menutup dada.Mereka segera merapat, mengambil foto atau sekadar menonton.Para pengayah yang melis ke segara itu sama sekali tak terusik.Sungsungan itu dunia sakral, turis berbikini itu dunia profan,bertemu dalam satu dunia, dunia dualitas.

Page 18: calep finaleditnew - sim.ihdn.ac.idsim.ihdn.ac.id › app-assets › repo › repo-dosen-032004021651-13.pdf · analisis sosio antropologisnya dia ingin melihat suatu perubahan yang

Calep : catatan lepas kebudayaan | yoga segara | 17

.......................................................................

Pada waktu tertentu, pemandangan seperti itu biasa, tapidi tempat (daerah) lain akan menjadi sangat tak biasa. Mungkinjuga akan ditolak keras. Apakah pantai harus steril daripengunjung atau penyungsung, di Kuta dan pantai-pantai lainnyadi Bali akan dibiarkan begitu saja. Paling banter Satpam hotelyang “mengusir” pengunjung jika dianggap memasuki zoneterlarang. Dualitas antara yang sakral dan profan akan menyatulalu berpisah, dan menyatu lagi. Begitu seterusnya, seperti siklus.Karena itulah, Kuta akan selalu ramai, dan membikin kangen:melihat turis berbikini sekaligus menonton upacara melasti yangsakral. Siapa takut!

Page 19: calep finaleditnew - sim.ihdn.ac.idsim.ihdn.ac.id › app-assets › repo › repo-dosen-032004021651-13.pdf · analisis sosio antropologisnya dia ingin melihat suatu perubahan yang

18 | Calep : catatan lepas kebudayaan | yoga segara

.........................................................................................

Bolak balik rasadan rasio

Orang Bali kalau nyulubin sesuatu yang dianggap kotor,misalnya jemuran, apalagi jemuran pakaian dalam, ia akan merasatak enak pikiran, bahkan pusing-pusing. Obat sakit kepala dijamintak akan mempan menyembuhkannya. Biasanya mandi dankeramas akan membuatnya nyaman kembali. Entahlah apa namapenyakit ini. Tak salah, jika sepulang dari setra juga harusmembasuh kepala. Dulu dengan mengambil air dari dapur karenaorang-orang biasanya menyimpan air di gebeh. Rasa tak nyamanjuga dirasakan jika sehabis sembahyang tak dilanjutkan dengannunas tirtha dan bija, terasa ada yang kurang, sembahyangseperti belum sempurna.

Pada masyarakat tradisional, keadaan seperti itu dialamibegitu saja. Mereka menjalankan agama dengan rasa yang takdapat dijelaskan, sekalipun oleh dirinya sendiri. Yang menyebutdiri rasional, paling akan mengatakan, “ah lebay, itu kan hanyapikiran saja”. Ya sudah. Namun anehnya untuk menemukan,tepatnya mungkin memperjuangkan rasa yang akanmembahagiakan pikirannya itu, mereka takkan menghindarisesuatu yang dianggap kotor. Saya menyaksikan sendiri ketikaikut program tirthayatra ke Thailand, Nepal dan India pada 2009.Salah satu agendanya mandi di sungai Yamuna.

Page 20: calep finaleditnew - sim.ihdn.ac.idsim.ihdn.ac.id › app-assets › repo › repo-dosen-032004021651-13.pdf · analisis sosio antropologisnya dia ingin melihat suatu perubahan yang

Calep : catatan lepas kebudayaan | yoga segara | 19

.......................................................................

Menyusuri jalan yang becek dan kumuh, perasaan sayasebenarnya sudah tak karuan. Belum lagi melewati sungai yangairnya kusam dan penuh sampah. Dengan perahu kecil, kamiharus berhenti di tengah sungai yang dianggap pusat kesucian,lalu mandi dan menyelam. Air bercampur lumpur tak jadi halangan.Kata tour guide kami, Yamuna ini salah satu sungai suci yangbisa membebaskan manusia dari segala dosa. Begitulah “agamarasa”, tak perlu ada perdebatan. Jika pun dipersoalkan, tak jelaskesimpulannya. Remang-remang, tapi nyata.

Page 21: calep finaleditnew - sim.ihdn.ac.idsim.ihdn.ac.id › app-assets › repo › repo-dosen-032004021651-13.pdf · analisis sosio antropologisnya dia ingin melihat suatu perubahan yang

20 | Calep : catatan lepas kebudayaan | yoga segara

.........................................................................................

Tak ada yang plin-plandalam “rasa” agama

Pada Ngusaba Desa Pakraman Serangan 2018 baru-baruini, saya memperhatikan beberapa pengayah yang sepertinyabekerja tak kenal lelah. Tiap hari, dan 24 jam mereka selalu siaga.Bahkan tak diminta pun, mereka siap memberikan pelayanansosial. Tak ada honor layaknya pegawai kantoran, apalagi tandajasa. Sebagian mungkin ada yang ngayah karena motif tertentu.Itu biasalah. Dengan nunas ajengan, ngopi, dan baju seragam,sudah cukup membuat pengayah itu senang. Tak ada keruwetanuntuk memahami apa yang harus dikerjakan, yang penting bisangaturang ayah, rejeki usai ngusaba bisa dicari. Seperti parapengayah itu, beberapa pemangku bahkan ada yang tak sempatmengganti baju demi melayani umat. Lusuh, tapi ngayah bagipara bhakta seperti ini adalah kesenangan yang tak bisa dijelaskan.Seperti Hanuman melayani Rama. Atmanastuti.

Namun karena “rasa” juga, sebagian orang berlebihandalam beragama. Tiap hari kerjanya sembahyang dan ke pura.Tempatnya juga harus yang jauh. Kurang afdol kalau hanya didesa atau sekitar Bali. Stok baju putih juga banyak, tak lupa genitriharus dikalungkan biar kelihatan dari jauh. Sikap religius sepertiini pasti tak keliru, bahkan dianjurkan. Sayang, waktu

Page 22: calep finaleditnew - sim.ihdn.ac.idsim.ihdn.ac.id › app-assets › repo › repo-dosen-032004021651-13.pdf · analisis sosio antropologisnya dia ingin melihat suatu perubahan yang

Calep : catatan lepas kebudayaan | yoga segara | 21

.......................................................................

menyamabraya jadi berkurang, pisaga kiri kanan tak dikenal,anak-anak pergaulannya rusak, bahkan ada yang putus sekolahatau kawin muda karena hamil duluan. “Rasa” beragama yangketerlaluan hanya akan mementingkan akhirat, namun berantakandi dunia.

“Rasa” beragama selalu menghasilkan dua sisi, mempesonadan menyeramkan. Bahkan kepatuhan yang membabi buta hanyaakan menghasilkan sempit pandangan dan dangkal akal sehat.Karena dua dampak ini, banyak orang pikirannya bisadikendalikan. Ketika dalam kerumunan massa, untuk unjuk rasamisalnya, status sosial sudah tak penting lagi. Terlebih bangsa inisering mengalami “amok”, suka mengamuk. Contohnya, dalampertandingan bola, menang saja rusuh apalagi kalah. Tak aneh,emosi keagamaan bisa dikapitalisasi untuk meraih dominasi.Perhatikanlah, ada ormas yang sukses karena menjual sentimenetnis, ada juga parpol yang berhasil karena memperdagangkansentimen agama. Siapa yang bisa mengkapitalisasi “rasa”beragama seperti ini akan sukses besar memengaruhi opini publik,meski kadang tak ada jaminan akan terus menang. Tergantungmomentumnya juga.

Page 23: calep finaleditnew - sim.ihdn.ac.idsim.ihdn.ac.id › app-assets › repo › repo-dosen-032004021651-13.pdf · analisis sosio antropologisnya dia ingin melihat suatu perubahan yang

22 | Calep : catatan lepas kebudayaan | yoga segara

.........................................................................................

Mengatur “rasa”di rak lemari

“Agama rasa” orang Bali juga ada di lemari pakaiannya.Pikiran mereka distruktur oleh isi laci. Pakaian seperti kaus kakiatau celana dalam bisa dipastikan ditaruh di laci paling bawah.Laci di atasnya biasanya celana dan baju. Jika di atasnya masihada laci, biasanya pakaian ke pura. Laci paling atas sekali adalahudeng, topi dan sesuatu yang diletakkan di kepala. Tak terbayangjika celana dalam akan bercampur dengan udeng begitu sajadalam satu laci. “Kiamat kecil” itu.

Struktur pikiran pula membuat mereka juga punya banyakember. Masing-masing ember memiliki fungsi yang berbeda.Ember untuk mencuci beras dan sayur akan dipisahkan denganember untuk mencuci pakaian. Untuk mencuci pakaian atas,seperti udeng juga berbeda dengan ember lainnya. Iklan 3 in 1atau satu ember untuk segala fungsi tak berlaku di Bali.

Kesucian itu diletakkan berbeda atau dibedakan. Hirarkidan struktur juga ditentukan oleh yang suci, dan biasanya kesuciandianggap mengalir dari atas. Konsep hulu yang suci, dan tebenyang kotor bahkan dipraktikkan sejak dari dalam kamar tidur,pekarangan rumah, desa pakraman hingga pengider jagat.Mungkin itu sebabnya sebagian orang Bali tak pernah berhentimengejar yang suci, karena kesucian itu akan membuatnya selalutampak berbeda. Ngalih soroh misalnya.

Page 24: calep finaleditnew - sim.ihdn.ac.idsim.ihdn.ac.id › app-assets › repo › repo-dosen-032004021651-13.pdf · analisis sosio antropologisnya dia ingin melihat suatu perubahan yang

Calep : catatan lepas kebudayaan | yoga segara | 23

.......................................................................

“Ngalih soroh”apa ngalihrasa nyaman saja?

Dulu, dulu sekali, saat raja menjadi pusat kehidupan orangBali, semua serba ditata. Tempat tinggal, pakaian, hingga namaorang diatur sesuai hukum kerajaan. Perintah raja adalah titahdewa. Tak boleh dilawan, tak bisa dilanggar, karena ia adalahdewa raja. Bahkan hanya raja yang boleh mengawini saudarasekandungnya. Konon, jika ada anak-anak kembar buncing lahirdi lingkungan puri tak dihukum. Tak seperti kembar buncinganak jaba, mereka bahkan diasingkan untuk jangka waktutertentu. Seluruh keistimewaan hanya milik raja, keluarga danketurunannya kelak.

Di luar (jaba) puri adalah kotor, di dalam (jero) adalahsuci. Batas raja dan panjak adalah kesucian. Saat kerajaan diBali mengalami kemunduran, bahkan terpecah-pecah karenapeperangan, bukan saja antarkerajaan tetapi juga Belanda.Akibatnya, untuk menyelamatkan diri dan tidak dikenali, beberapadi antaranya nyineb wangsa, menjadi rakyat biasa, menjadipanjak. saja dulu disineb lelulurnya. Tak apa, malah baik karenamenunjukkan ketaatan pada kawitan, agar tak kepetengan. Yang

Page 25: calep finaleditnew - sim.ihdn.ac.idsim.ihdn.ac.id › app-assets › repo › repo-dosen-032004021651-13.pdf · analisis sosio antropologisnya dia ingin melihat suatu perubahan yang

24 | Calep : catatan lepas kebudayaan | yoga segara

.........................................................................................

keliru, jika soroh baru dengan nama baru, lalu sengaja tampilbeda di masyarakat, apalagi dibuat-buat. Disapa tak menoleh,ditanya tak menyahut. Nama baru yang suci bukan ukurankualitas manusia, tetapi tindakan-tindakannya. Jadi biarkan sajakehidupan menguji kualitas manusia.

Page 26: calep finaleditnew - sim.ihdn.ac.idsim.ihdn.ac.id › app-assets › repo › repo-dosen-032004021651-13.pdf · analisis sosio antropologisnya dia ingin melihat suatu perubahan yang

Calep : catatan lepas kebudayaan | yoga segara | 25

.......................................................................

Ajeg Bali,apa kabarmu kini?

Soal isu ini, tentang Ajeg Bali, sudah banyak dibahas.Bahkan sudah ada bukunya. Menyoal kembali, sepertinya akanterasa basi. Tapi masalahnya isu ini terus “hidup”, kadang-kadangmengganggu juga jika sedikit-sedikit Bali merasa terancam, AjegBali seolah menjadi pembenarannya. Bahkan bertindak sedikitkeras akan dimaafkan jika atas nama Ajeg Bali. Padahal eraeforianya sudah lama berlalu. Ada pro dan kontra mengiringiperjalanannya. Maksud gerakan ini pasti sangat baik, tentu saja.Tak terbantahkan.

Lalu siapa yang ajeg atau semakin ajeg dari gerakan AjegBali? Abstrak. Jika yang dimaksud pemilik media tertentumendapatkan keajegan dari gerakan ini, mungkin iya. Tapi kerjamedia memang begitu. Hidup dari iklan, advertorial, mengejarrating. Ini adalah lapangan empuk bagi media saat Ajeg Balidilemparkan ke publik. Saat emosi keagamaan dimainkan denganmenyisipkan fanatisme primordial, wacana itu makin membesar.Kapitalisasinya bisa dengan ragam cara, salah satu yang mengaisuntung besar, ya oleh media, entah cetak, elektronik, massamaupun online.

Sayangnya kini tak ada yang peduli dari ampas-ampaseforia Ajeg Bali itu. Koperasi Simakrama Bali entah bagaimananasibnya kini. Tak sedikit pedagang Bali gulung tikar saat menjual

Page 27: calep finaleditnew - sim.ihdn.ac.idsim.ihdn.ac.id › app-assets › repo › repo-dosen-032004021651-13.pdf · analisis sosio antropologisnya dia ingin melihat suatu perubahan yang

26 | Calep : catatan lepas kebudayaan | yoga segara

.........................................................................................

bakso ayam dan babi, yang sengaja “diciptakan” hanya untukmengerem pesatnya kaum urban yang menguasai perbaksoan.Agar rasional, perlu penyedap emosional, misalnya orang Hindutak makan bakso sapi. Meski kini ditempelkan juga emosikeagamaan dengan tagline yang lebih serius, ajengan sukla,tetap saja warung-warung itu sunyi. Belum lagi masyarakat yangterbiasa dengan budaya lokalnya “dipaksa” menjual “makananasing”. Misalnya, orang Klungkung yang terbiasa mengolahserombotan, lalu harus menjual soto mie, mie ayam dansejenisnya. Tak nyambung, dan mereka babak belur. Orang Baliitu budaya makanannya lawar, babi guling, ares, serombotan,sate languan, jukut gonda, dlsb. Jangan demi dan untuk AjegBali, gen kebudayaannya dipaksa berubah. Artinya, jangan apa-apa, atau sedikit-sedikit karena Ajeg Bali. Tapi dampak yangpaling serius dari wacana ini adalah ketika menyusup ke alampikir yang tak mudah hilang. Ini soal ingatan kolektif, yang jikadisosialisasikan terus menerus akan mengeras dalam jiwa, lalugampang sensitif dan tersulut.

Page 28: calep finaleditnew - sim.ihdn.ac.idsim.ihdn.ac.id › app-assets › repo › repo-dosen-032004021651-13.pdf · analisis sosio antropologisnya dia ingin melihat suatu perubahan yang

Calep : catatan lepas kebudayaan | yoga segara | 27

.......................................................................

Syak wasangkadibalik simbol Hindu

Dulu, Iwan Fals, penyanyi balada terkenal Indonesiatersandung masalah. Gara-gara menggunakan gambar burunggaruda di sampul kasetnya, ia dianggap menista umat Hindu.Novelis terkenal, Dewi Lestari juga mengalami masalah serupa.Perkaranya, ia dianggap melecehkan umat Hindu denganmenempatkan Omkara di sampul novelnya. Burung Garuda danOmkara adalah simbol suci dalam agama Hindu. Keduanya harusdihormati, disucikan. Tak ada pembenaran selain menganggapnyasuci. Titik!

Iwan Fals seorang Islam, dan Dewi Lestari, Kristen yangkemudian menganut Buddha. Keduanya kena protes, mungkinkarena mereka “orang lain” yang berani menggunakan simbolsuci dalam Hindu. Dikhawatirkan, jika digunakan “orang lain”simbol-simbol sakral itu akan ternoda. Tak terbayangkan olehpara pemrotes itu jika kaset dan novel itu akan dibeli oleh orangnon Hindu. Bisa saja barang-barang itu diletakkan ditempat yangtak sepantasnya, atau jika sudah bosan ditaruh ditempat yangtak semestinya. Jika rusak malah dibuang di bak sampah yangkotor. Nista. Kira-kira begitu pikiran para pendemo kedua seleb ini.

Namun reaksi keras malah tak diberikan kepada orangHindu sendiri jika menggunakan simbol-simbol suci itu. BurungGaruda dan Omkara, dan masih banyak lagi simbol lainnya biasa

Page 29: calep finaleditnew - sim.ihdn.ac.idsim.ihdn.ac.id › app-assets › repo › repo-dosen-032004021651-13.pdf · analisis sosio antropologisnya dia ingin melihat suatu perubahan yang

28 | Calep : catatan lepas kebudayaan | yoga segara

.........................................................................................

disablon pada baju atau kaos, apalagi jika ada sebuah karya agungyang membutuhkan pakaian seragam. Bahkan ada pula orangHindu yang menggunakan tattoo Burung Garuda Wisnu danOmkara di tubuhnya. Tak terbayangkan pula jika kaos itu dicucidi tempat jorok atau bercampur baur dengan celana dalam, atauorang Hindu yang bertatto Omkara melakukan tindakan asusila.Bukankah orang Hindu sendiri akhirnya menodai simbol sucinya,dan ini dosanya harus berlipat-lipat. Lebih nista, bukan?

Page 30: calep finaleditnew - sim.ihdn.ac.idsim.ihdn.ac.id › app-assets › repo › repo-dosen-032004021651-13.pdf · analisis sosio antropologisnya dia ingin melihat suatu perubahan yang

Calep : catatan lepas kebudayaan | yoga segara | 29

.......................................................................

Warung “100% Haram”,taktik atau siasat?

Jika jalan-jalan di seputaran Denpasar, bahkan mungkin didesa-desa, sering terbaca papan nama warung dengan menyebutmakanan yang dijualnya haram. Misalnya, warung nasi babiguling “100% haram”, bakso babi “100% haram”. Hal yang samapada warung soto babi atau sate babi. Fenomena ini bukan tentangkeberanian semata, tetapi juga keterbukaan informasi. Mungkinterkesan ekstrim karena seolah melawan wacana mainstreamhalal. Sayangnya memang tidak ada “sertifikat haram” untukmelegitimasi wacana ini.

Ampas reformasi di awal 2000an telah melapangkan jalankebebasan, keterbukaan dan kesetaraan, ditambah gerakan AjegBali, serta menghangatnya gejala politik identitas, menjadipenyumbang besar fenomena itu di Bali. Melalui jargon “100%haram”, orang Bali ingin meneguhkan kembali identitaskebaliannya. Asal tak kebablasan, misalnya dengan jargon itu,orang Bali lalu dengan saklek berdasarkan primordialismenyalalu membuat jarak “aku” dan “kamu”, “kami” dan “kalian” yangmengarah diskriminasi SARA. Misalnya, Bali hanya bolehdikuasai pedagang beragama Hindu, karena seperti kabar yangberedar, ada satu kelompok gerakan di Bali yang seolah“mengharamkan” beli makanan di warung yang penjualnya bukanumat Hindu. Duh!

Page 31: calep finaleditnew - sim.ihdn.ac.idsim.ihdn.ac.id › app-assets › repo › repo-dosen-032004021651-13.pdf · analisis sosio antropologisnya dia ingin melihat suatu perubahan yang

30 | Calep : catatan lepas kebudayaan | yoga segara

.........................................................................................

Mungkin saja warung “100% haram” adalah strategi kontramainstream dalam perebutan sumber daya. Mereka menjadikanwarung sebagai alat bernegosiasi untuk meraih pelanggan dengansegmen yang eksklusif, bahkan bila perlu pembelinya adalah turisasing, sehingga nilai jualnya juga tinggi dan mahal. Dengan strategiitu mereka juga harus kerjasama dengan travel dan agenperjalanan. Warung “100% haram” bisa juga menjadi cara jitumeledek wacana mainstrem karena yang unik itu selalu menarikperhatian. Jika yang membaca tersenyum, mereka sebetulnyasudah berhasil memengaruhi alam pikir pembacanya. Atau jargonini juga bagus untuk mengatakan bahwa makanan di warung iniharam sehingga mereka yang punya keyakinan berbeda tidakharus memasukinya. Ada keterbukaan informasi sehingga tidakmenjebak ketika masuk warung dan suasana menjadi tak enakantara pembeli dan pedagang. Berdasarkan pengalaman, merekayang berkeyakinan dengan makanan halal ketika ingin berkunjungatau mengadakan kegiatan di Bali, soal kuliner menjadipertimbangan khusus. Sebab menawarkan makanan tanpa unsurbabi sekalipun berupa lawar, jukut ares, tum, serombotan dlsbtetap akan menjadi masalah. Ini soal selera dan kebiasaan di lidahyang tak bisa dijelaskan dengan kata.

Page 32: calep finaleditnew - sim.ihdn.ac.idsim.ihdn.ac.id › app-assets › repo › repo-dosen-032004021651-13.pdf · analisis sosio antropologisnya dia ingin melihat suatu perubahan yang

Calep : catatan lepas kebudayaan | yoga segara | 31

.......................................................................

Orang Balimasih transmigrasi,salah siapa?

Sebuah koran lokal di medio 2018 mewartakan ada puluhankepala keluarga di Bali ditransmigrasikan ke pulau Sulawesi.Sontak kabar itu bikin resah. Ada yang tak percaya, kok orangBali yang hidupnya sudah nyaman mau transmigrasi. Yang lainmulai berprasangka buruk dengan bilang kok orang Bali mausaja “dikeluarin” sedangkan pendatang dibiarkan masuk Balidengan bebas. Bahkan pemilik tanah, villa, dagang, usaha dlsbkatanya banyak dimiliki orang luar Bali dan orang asing. Akibatnyabanyak yang berasumsi suatu saat orang Bali akan menjadipenonton saja di tanah dewata.

Transmigrasi adalah program nasional. Di samping untukmenggarap tanah-tanah produktif yang penduduk di wilayah itumasih terbatas, juga untuk membuat pemerataan pembangunan.Harus diakui, sisi politis program ini agar tidak terjadi disparitasantardaerah, begitu juga soal persebaran penduduk agar tidaksporadis dan jomplang di satu daerah. Nah, penduduk Bali sudahlama juga mengikuti program ini, terlebih di masa lalu saat adabencana seperti letusan Gunung Agung atau gempa dahsyat di

Page 33: calep finaleditnew - sim.ihdn.ac.idsim.ihdn.ac.id › app-assets › repo › repo-dosen-032004021651-13.pdf · analisis sosio antropologisnya dia ingin melihat suatu perubahan yang

32 | Calep : catatan lepas kebudayaan | yoga segara

.........................................................................................

Buleleng. Tak salah, banyak penduduk terutama dari Karangasemdan Buleleng mendiami beberapa daerah di Indonesia, danmereka ada yang berhasil, ada juga yang gagal karena medanyang harus “ditaklukkan” juga berat. Belum lagi bersaing denganwarga lokal di daerah transmigrasi.

Keriuhan menanggapi kabar orang Bali yang transmigrasibermula karena mereka itu tinggal di daerah yang dekat dengangemerincing dolar pariwisata. Masalahnya adalah tanah-tanahmereka sudah lama terjual habis, menjadi petani sudah bukanprofesi menjanjikan, dan gengsi bagi anak-anak muda dipedesaan. Mereka tidak siap dan tidak membekali diri sejak awaldengan ketrampilan untuk bekerja disektor jasa dan pariwisata.Perubahan drastis seolah datang tiba-tiba, dan tak ada pilihanlebih sulit lagi selain meninggalkan daerah leluhurnya. Jadi, bukankesalahan mereka semata, apalagi kita yang hanya menontondan tidak sanggup menyelamatkan masa depan mereka.Bagaimana dengan peran pemerintah daerah selama ini? Marijuga tanyakan itu.

Page 34: calep finaleditnew - sim.ihdn.ac.idsim.ihdn.ac.id › app-assets › repo › repo-dosen-032004021651-13.pdf · analisis sosio antropologisnya dia ingin melihat suatu perubahan yang

Calep : catatan lepas kebudayaan | yoga segara | 33

.......................................................................

Ormas di Bali, kokmakin berotot?

Siang menjelang sore itu saya terjebak macet di seputaranjalan Teuku Umar-Imam Bonjol-Sunset Road. Banyak orang dijalanan berteriak-teriak. Yang lainnya sambil berlari-lari kecil.Ada yang menonton, ada pula yang menghindari kerumunan itu.Esoknya dalam berita ternyata kejadian kemarin itu konflik antarormas. Memang, sejak reformasi, ormas di Bali juga tumbuhsubur, melanjutkan ormas-ormas sejenis yang sejak 1980an jugatelah terkenal. Lalu momentum politik 1998 yang ditandaimoncernya nama pecalang, kran lahirnya ormas di Bali derasmeluber.

Meski saya tak pernah tahu visi dan misinya, ormas di Balimakin menguat baik secara politik, dan terutama secara ekonomi.Beberapa di antaranya malah seperti berhadap-hadapan dalampenguasaan sumber daya ekonomi. Riak-riak konflik takterhindarkan. Belum lagi ketika ormas-ormas ini harus bersaingdengan pendatang yang entah bagaimana kisahnya juga bisasama-sama eksis. Kabar tak sedap, ormas-ormas ini juga adabekingnya. Entahlah. Mungkin saja ada ormas Bali yangbertujuan memberdayakan dan melestarikan nilai dan budaya,tapi itu pasti jumlahnya minor. Persepsi publik sudah kadungterbentuk bahwa ormas-ormas itu cenderung tidak lunak.

Page 35: calep finaleditnew - sim.ihdn.ac.idsim.ihdn.ac.id › app-assets › repo › repo-dosen-032004021651-13.pdf · analisis sosio antropologisnya dia ingin melihat suatu perubahan yang

34 | Calep : catatan lepas kebudayaan | yoga segara

.........................................................................................

Kini, ormas makin keras, tidak saja kepada orang Balisendiri, tetapi juga orang luar. Meski faktor penguasaan sumberdaya lebih dominan, tetapi gerakan ormas juga menyasar ke soaletnis, suku dan agama. “Umpan matang” dengan dalih sebagaiorang Bali yang tak boleh terasing di rumahnya sendiri ini jugaakhirnya digoreng sekelompok orang, misalnya ada oknum yangingin populer lalu mengkapitalisasi isu itu sehingga terkesaneksklusif. Karena itu tak heran, misalnya di media sosial munculpostingan bernada hegemonik dan ingin mendominasi. Danpenyukanya bisa ribuan karena emosi primordialnya dikulik.Orang luar tak boleh “berkuasa”, tapi sayangnya orang dalamtak ditingkatkan kualitasnya. Kalau sudah begini, politik identitasseolah sah dibangun dengan cara kekerasan budaya, kekerasansimbolik, hingga kekerasan fisik.

Page 36: calep finaleditnew - sim.ihdn.ac.idsim.ihdn.ac.id › app-assets › repo › repo-dosen-032004021651-13.pdf · analisis sosio antropologisnya dia ingin melihat suatu perubahan yang

Calep : catatan lepas kebudayaan | yoga segara | 35

.......................................................................

KB ala Bali,kebanggaanatau penyesatan?

Tak ada hujan, tak ada halilintar, tiba-tiba muncul wacanaumat Hindu, khususnya di Bali kalau bisa ber-KB dengan empatanak atau lebih. Isu ini langsung viral, terlebih yang mengucapkan-nya adalah petinggi daerah ini. Ada yang mendukung, tak sedikityang menolak. Soal isu KB ini tensinya naik turun, tergantungkonteksnya, bahkan sudah menjadi isu lawas. Timbul tenggelammenunggu momentum saja. Misalnya, saat membicarakan jumlahumat Hindu di Indonesia, KB dengan tagline: “dua anak cukup,laki dan perempuan sama saja”, langsung menjadi tertuduh salah.Bahkan obrolan di pinggir trotoar sering nyaring terdengar: “umatHindu sih mau saja dikibuli dan belog ajum ketika dipuji berhasilmenjalankan program nasional, sedangkan umat lain berlomba-lomba punya anak banyak. Makanya umat Hindu terusberkurang”.

Saat saya mencoba membuat pertanyaan kecil denganmemanfaatkan googleform pada tanggal 1-10 Desember 2018,dari 92 responden yang mengisi, 78 orang menyatakan setujuatau 84,78%, 13 orang tidak setuju (14,13%) dan hanya 1 orangtidak menjawab (1,09%). Sebagai data mentah yang bisaditeruskan menjadi kajian lanjutan, jawaban spontan itu boleh

Page 37: calep finaleditnew - sim.ihdn.ac.idsim.ihdn.ac.id › app-assets › repo › repo-dosen-032004021651-13.pdf · analisis sosio antropologisnya dia ingin melihat suatu perubahan yang

36 | Calep : catatan lepas kebudayaan | yoga segara

.........................................................................................

jadi gambarandari pikiran umat Hindu di Bali. Masalahnyamemang, isu KB ala Bali itu kembali menguat saat, pertama,diucapkan oleh seorang gubernur dan biasanya karena hirarkistruktur akan diikuti jajarannya. Kedua, politik identitas yang masihup to date untuk dimainkan. Dua alasan ini berkelindan untukmenggiring opini publik dan dikapitalisasi dengan memanfaatkanemosi keagamaan. Dan sejak Pilpres 2014, lalu mencapaipuncaknya pada Pilkada DKI Jakarta 2017, emosi keagamaanmenghasilkan gerakan politik identitas yang sarat pragmatisme.

Di Bali, emosi keagamaan dalam rangka menyokong politikidentitas itu dirasionalisasikan dengan mengulik sisi primordialismeumat sehingga lahir kebanggaan semu. Misalnya, dengan punyaanak banyak, maka nama Nyoman dan Ketut tidak akan punah.Atau umat Hindu jangan sampai berkurang dan terus menjadiminoritas. Tiba-tiba banyak orang merasa harus membela wacanaini, meski dalam hati kelas menengah ke bawah juga bingungjika punya banyak anak siapa yang menanggung masa depannyadan bagaimana kualitas hidupnya kelak. Isu KB itu menjadi utopiadi tengah banyak keluarga Hindu tidak punya anak, atau hanyapunya anak tunggal. Selain faktor gaya hidup, juga kebutuhanyang kompleks, terlebih bagi generasi milenial yang bahkanmenjomblo di usia matang. Bagi mereka, memiliki hubungan sosialyang intim jauh lebih penting tinimbang lembaga perkawinan.Dan bukankan beragama tidak seperti berpartai, yang haruspunya sebanyak-banyaknya konstituen?

Page 38: calep finaleditnew - sim.ihdn.ac.idsim.ihdn.ac.id › app-assets › repo › repo-dosen-032004021651-13.pdf · analisis sosio antropologisnya dia ingin melihat suatu perubahan yang

Calep : catatan lepas kebudayaan | yoga segara | 37

.......................................................................

2Komodifikasi,Kolektivitas,Pertunjukan

Page 39: calep finaleditnew - sim.ihdn.ac.idsim.ihdn.ac.id › app-assets › repo › repo-dosen-032004021651-13.pdf · analisis sosio antropologisnya dia ingin melihat suatu perubahan yang

38 | Calep : catatan lepas kebudayaan | yoga segara

.........................................................................................

Pancoran suci:wisata rohaniatau bisnis baru?

Saat ini, sudah tak perlu sembunyi-sembunyi untuk pergike tempat suci, salah satunya ke pancoran. Iklan di media sudahbanyak mengabarkan. Papan nama di kiri kanan jalan juga sudahramai. Beberapa di antaranya sudah dilabel sebagai wisatabudaya, wisata rohani, wisata religi. Destinasi ini untukmengakomodir kebutuhan sebagian orang Bali yang menyukaitren melukat atau sekadar mandi. Tak salah “pancoran suci”akan terus bertambah, terutama di daerah-daerah yang belumterjamah banyak pengunjung. Atau mungkin sengaja“disembunyikan” dulu sebelum menjadi ramai. Mungkin.

Namun pancoran atau pancuran yang awalnya sebagai beji,campuhan, tempat nunas tirtha, kini sudah banyakbertransformasi. Agar menarik, pancoran seperti itu perludilegitimasi dengan mitos-mitos tertentu, cerita mistik dan gaib,atau cerita karangan seorang tokoh di negeri ini pernah mandilalu mendapat pawisik. Benar saja, sebulan kemudian ia suksesmenjadi pejabat penting. Lama-lama pancoran itu juga jadi sakral.Bila perlu, lubang-lubang air di pancoran itu sengaja dibuat sesuaiketekan Bali, jadilah pancoran telu, panca, pitu, sanga, solas.Akibat komodifikasi seperti ini, pancoran jadi bisnis baru. Semua

Page 40: calep finaleditnew - sim.ihdn.ac.idsim.ihdn.ac.id › app-assets › repo › repo-dosen-032004021651-13.pdf · analisis sosio antropologisnya dia ingin melihat suatu perubahan yang

Calep : catatan lepas kebudayaan | yoga segara | 39

.......................................................................

jadi berbiaya. Dari pintu masuk, penyewaan selendang dankamen, parkir, wc hingga tak boleh membawa makanan danminuman karena di dalam area pancoran sudah tersedia warungdan restoran.

Lepas dari soal di atas, sebuah pancoran haruslah mem-berikan nilai bagi masyarakat sekitarnya dan umat yangmengunjunginya. Sifat air yang mengalir adalah simbol DewaWisnu sebagai pemelihara dan pengayom. Karena itu masyarakatjangan sampai merusak lingkungan, mengotori alamnya, tetapisebaliknya, menjaga kebersihan airnya. Tujuannya agar menjaditempat untuk menemukan keheningan batin dan jiwa karena iapancoran suci. Pancoran sejatinya membuat hening karena airnyabening. Karena itu, bagi masyarakat tradisional, mereka barumerasa benar-benar mandi jika seluruh tubuhnya dicocor air. Takaneh, dulu di kamar mandi dibuat pancoran. Kini, air dari showersudah tak cukup menggantikannya.

Page 41: calep finaleditnew - sim.ihdn.ac.idsim.ihdn.ac.id › app-assets › repo › repo-dosen-032004021651-13.pdf · analisis sosio antropologisnya dia ingin melihat suatu perubahan yang

40 | Calep : catatan lepas kebudayaan | yoga segara

.........................................................................................

Komodifikasi banten:kebutuhanatau keinginan?

Kini, komodifikasi sudah terlalu dalam merasuki ceruk-ceruk kebudayaan. Pintu agama pun tak kuasa menolak rembesan“bisnis” yang merambah upakara yadnya. Lahan basah ini laludimanfaatkan sepenuh-penuhnya pelaku pasar. Seniman tentuikut terlibat. Tak apa. Dengan ini, umat dapat terlibat menikmatimanisnya perputaran ekonomi. Semua mendapat kesempatan daritetesan rejeki hukum pasar: supply and demand. Kok bisa?

Penjual upakara membeli bahan dasar dengan hargamahal, apalagi material itu didatangkan dari luar Bali. Karenapermintaan dan kebutuhan yang makin tinggi, bunga, daun danbuah sudah tidak bisa diproduksi masyarakat Bali sendiri. Dayadukung pun mulai melemah, apalagi sawah dan kebun sudahbanyak berubah fungsi. Membuat upakara juga butuh tenagadan waktu. Tidak seperti dulu bisa dibuat keroyokan, denganngayah. Kondisi ini menyebabkan high cost yang harusdimaklumi. Terlebih saat ini sudah tak banyak perempuan Baliyang bisa membuat upakara.

Selain karena memang tidak bisa, mereka kebanyakanperempuan karir yang waktunya sudah habis untuk pekerjaan di

Page 42: calep finaleditnew - sim.ihdn.ac.idsim.ihdn.ac.id › app-assets › repo › repo-dosen-032004021651-13.pdf · analisis sosio antropologisnya dia ingin melihat suatu perubahan yang

Calep : catatan lepas kebudayaan | yoga segara | 41

.......................................................................

kantor. Tak ada waktu untuk belajar, atau memang sudah tidakada pembelajaran di dalam keluarga. Sabtu dan Minggu jugadigunakan untuk menyalurkan hobby lain atau sekadar jalan-jalan. Belum lagi, suami yang beristrikan perempuan yangsebelumnya non Hindu. Jadi, membeli dengan harga mahalsekalipun, kini sudah tak jadi soal. Pembeli tak merasa kecewa,penjual tersenyum. Sama-sama menguntungkan. Jika kiniupakara mulai mahal, harus dilihat dengan cara yang taksederhana. Complicated.

Page 43: calep finaleditnew - sim.ihdn.ac.idsim.ihdn.ac.id › app-assets › repo › repo-dosen-032004021651-13.pdf · analisis sosio antropologisnya dia ingin melihat suatu perubahan yang

42 | Calep : catatan lepas kebudayaan | yoga segara

.........................................................................................

Menyederhanakan,bukan menghilangkan,gitu aja kok repot?

Gebogan “mini market” berbiaya tidak murah. Tentu.Bahkan bisa sangat mahal. Jika beberapa di antaranya dibeli disupermarket, bisa lebih mahal tinimbang dengan tawar menawardi pinggir jalan atau di pasar tradisional. Sedikit ngotot tak apa.Itu watak orang berbelanja, apalagi semua kebutuhan hidup naikturun tergantung ekonomi makro, juga politik. Belum lagimenjelang hari raya besar keagamaan tertentu. Juga menjelangakhir tahun, padahal saat yang sama “Sale” dengan diskon gede-gede terpampang di mal. Bahan upakara juga bernasib sama.

Upakara menjadi mahal bukan saja tergantung musimnya,tetapi juga sirkulasi barang. Hampir semua bahan upakara didatangkan dari luar Bali. Biaya perjalanan hingga ngangkut kepasar-pasar, semua berbiaya. Tak ada yang gratis. Mahal darihulu ke hilir, dari pemasok hingga ke penjual di jalan trotoar.Kebutuhan makin tinggi dan banyak, penyedia tak seimbang.Harga diserahkan di pasar. Di Bali sendiri, sudah tak banyaktersedia bahan baku. Lahan menanam buah dan bunga sudahjauh berkurang. Di pekarangan rumah, tak juga ada tanamanbunga, tapi sudah di paping atau “batu sikat”. Tidak seperti dulu.

Page 44: calep finaleditnew - sim.ihdn.ac.idsim.ihdn.ac.id › app-assets › repo › repo-dosen-032004021651-13.pdf · analisis sosio antropologisnya dia ingin melihat suatu perubahan yang

Calep : catatan lepas kebudayaan | yoga segara | 43

.......................................................................

Di pinggiran sanggah kemulan, masih ada mitir atau pacahtumbuh dan dipetik saat sembahyang. Lumayan untut berhemat.

Hari raya besar dan kecil di Bali tiap hari dilaksanakan.Semuanya membutuhkan sarana. Saat harga melambung dandaya dukung lokal tak cukup, semua menjerit. Namun untuk danatas nama yadnya, hati dipaksa tenang. Tapi gengsi tak dapatditukar dengan kesederhanaan. Belum lagi tetangga sebelah kirikanan berani jor-joran, padahal semua tahu, mereka bisa sajajuga punya banyak hutang dan kreditan. Akhirnya, banten tetapberbahan impor yang mahal, padahal mungkin, kualitas bahanlokal tak jauh beda. Apel malang, biyu susu, juwuk bali, jajauli masih bisa menggantikan buah impor, kue donut dan pizza.Ini bukan tentang menghilangkan, mengurangi apalagi menghapussarana upakara yang dihaturkan itu, tetapi hanya menyeder-hanakannya. Bukankah manusia menghaturkan hatinya yang tulusdan mewakilkannya pada banten? Tapi, lagi-lagi, ini soal gengsidan budaya pop. “Uang-uang saya, kalau saya bisa meyadnyamewah dan besar, kenapa situ yang sibuk urusin”, katatetangga saya yang sering sigug jika sudah bicara gengsi.

Page 45: calep finaleditnew - sim.ihdn.ac.idsim.ihdn.ac.id › app-assets › repo › repo-dosen-032004021651-13.pdf · analisis sosio antropologisnya dia ingin melihat suatu perubahan yang

44 | Calep : catatan lepas kebudayaan | yoga segara

.........................................................................................

Kemegahan mekudusdengan“Kori Kardus”

Jika ada upacara perkawinan, yang tampak megah di jalanadalah “kori kardus” berukir, meprada dan warna-warni kainyang senada. Kori itu bisa dibongkar pasang. Sewanya jugaharian. Jika di kota, seperti Denpasar dan Badung bisa dikisaran500 ribu hingga jutaan. Menjadi makin mahal tergantung ukurandan tingkat kerumitan ukirannya. Tergantung selera dan gengsipenyewanya karena tersedia berbagai pilihan, termasuk ornamenyang menunjukkan kelas sosial tertentu. Jika tak rusak, kori itubisa di-recycle, disewakan kembali.

Jika “musim kawin” tiba, “macet musiman” juga datang.“Kori kardus” itu kadang mengambil ruang lebih lebar baik kesamping maupun terutama ke depan halaman rumah. Belum lagitenda knock down yang dipasang di badan jalan, lengkap dengankursi-kurisnya. Bahkan satu jalanan bisa digunakan, sehinggasering ada pengalihan jalan. Semuanya sewa, tak ada yang gratis.Akibatnya, semua property ini adalah bisnis besar yangmenggiurkan di Bali. Harga sebuah perkawinan tersedot lebihbanyak ke sektor jasa ini, sedangkan harga bantennya mungkinhanya 30% saja dari catering, kori, prewedding, tenda, kursi,pakaian, tukang hias, MC, dll. Semuanya bisa disediakan olehsatu event organizer (EO) atau kongsian berbagai usaha sejenis,seperti halnya EO sebuah festival.

Page 46: calep finaleditnew - sim.ihdn.ac.idsim.ihdn.ac.id › app-assets › repo › repo-dosen-032004021651-13.pdf · analisis sosio antropologisnya dia ingin melihat suatu perubahan yang

Calep : catatan lepas kebudayaan | yoga segara | 45

.......................................................................

“Kori kardus” itu biasanya ditempelkan pada kori atau pintumasuk rumah yang bersangkutan. Jika masuk gang, di mulut gangkori itu dipasang. Secara artificial, upacara akan tampak meriah,meski yang bersangkutan menurut tetangga dan orang-orang didaerah itu, mungkin biasa-biasa saja. Tapi keinginan merayakanperistiwa sakral sekali seumur hidup tentu harus dimaklumi. Begitujuga membuat peristiwa ini menjadi megah, saat ini bukan halyang sulit-sulit amat. Asal bisa sewa, semua beres. Harga akanmenjadi relatif. Yang salah mungkin jika terlalu nuutin indriya.Apalagi meseselan setelah upacara, itu sudah tak berguna.Akhirnya, yadnya yang seharusnya suci, ternodai oleh adu gengsidengan tetangga atau tak memahami tattwa sebuah yadnya.

Page 47: calep finaleditnew - sim.ihdn.ac.idsim.ihdn.ac.id › app-assets › repo › repo-dosen-032004021651-13.pdf · analisis sosio antropologisnya dia ingin melihat suatu perubahan yang

46 | Calep : catatan lepas kebudayaan | yoga segara

.........................................................................................

“Penjor Lebay”untuk ego yang alay

Saat Galungan, kecuali mungkin di beberapa daerah di BaliUtara, jalanan akan semarak karena disetiap pintu atau koriterpasang penjor. Pemandangan yang indah tentu saja. Semuabahan upakara berasal dari alam. Bambu, daun, pala gantung,pala wija, janur dan ambu, dll dirangkai menjadi satu, menjadikarya seni yang artistik. Begitulah perayaan hari suci di Bali.Ajaran agama terejawantahkan secara nyata melalui strukturbudaya, seni lalu dikuatkan, dan dilegitimasi oleh adat istiadat.Bentuknya bisa sangat berbeda-beda. Jangankan antara satukabupaten dengan kabupaten yang lain, satu desa dengan desapakraman bisa saja ada perbedaan. Itu karena loka dresta dandesa mawacara membuatnya lentur. Terpenting esensinya sama.

Saat bahan yang dibutuhkan berlimpah, dan waktu luangtersedia, orang bisa membuatnya dengan mudah. Bahan-bahannya pun alamiah, tak ada imitasi. Bahkan beberapa bahan,salah satunya plawa bisa diambil dari pohon yang ditanam dipekarangan. Kini bentuk penjor dari waktu ke waktu jugamengalami perubahan, terutama bentuknya. Bahan-bahannyajuga terbuat dari daun lontar yang tahan lama dan disteples.Semuanya tinggal dipasang, tak ada yang dibuat lagi. Jika mau,pembeli menambah ongkos untuk sekalian diantar dan dipasang.

Page 48: calep finaleditnew - sim.ihdn.ac.idsim.ihdn.ac.id › app-assets › repo › repo-dosen-032004021651-13.pdf · analisis sosio antropologisnya dia ingin melihat suatu perubahan yang

Calep : catatan lepas kebudayaan | yoga segara | 47

.......................................................................

Kini membeli penjor sudah tak sulit. Ukuran bambunyamakin besar dan panjang, lengkungannya pun makin menukik.Tambah megah karena dilapisi kain. Jika mau lebih mahal lagi,bisa menggunakan kain beludru. Warnanya bisa dipilih, biasanyamerah, putih atau hitam, warna yang melambangkan kebesaran.Mungkin juga simbol status sosial. Sampian dan hiasan yangmenggantung di penjor juga sama mewahnya. Sanggah cucukdi depan penjor juga tak lagi sederhana, tapi besar, megah, danmewah. Penjor yang wah ini oleh seorang pemerhati budayadiistilahkan “penjor lebay” yang merujuk penjor ini terlaluberlebihan karena sudah sangat jauh berbeda dari penjor biasa.Bukan saja berlebihan dalam pernak perniknya, tetapi juga ukurandan harganya. Bagi yang berego alay, kemegahan seperti ini takmasalah, sayangnya kesalehan sosial kita sering tak sebandingdengan uang yang dikeluarkan. Jika tetangga kiri kanan terkenamusibah, kita bisa abai, tetapi untuk yadnya bermewah-mewahan,kita pongah menjual warisan leluhur.

Page 49: calep finaleditnew - sim.ihdn.ac.idsim.ihdn.ac.id › app-assets › repo › repo-dosen-032004021651-13.pdf · analisis sosio antropologisnya dia ingin melihat suatu perubahan yang

48 | Calep : catatan lepas kebudayaan | yoga segara

.........................................................................................

Mendulang gengsidi atas dulang

Ibu setengah baya itu menangis tersedu-sedu. Saatditenangkan, ia malah meronta sejadi-jadinya. Ia pun menjadipusat perhatian karena saat itu sedang banyak orang menujupura. Maklum ada odalan nadi. Usut punya usut, ibu itu tidakmenyesali hilangnya kesempatan untuk beryadnya, tapimenangisi dulangnya yang jatuh. Sebenarnya tak rusak parahkarena hanya sedikit pinggiran dulang itu gepeh. Perkaranya,dulang itu meprada dan berharga mahal. Dengan terisak iamengaku belum melunasi cicilan dulang itu dari tetangganya.Mimih dewa ratu.

Ibu itu, dan mungkin masih banyak lagi ibu lainnya akanmerasakan hal yang sama. Orang kini lebih merasa rugi jikaproperti ke puranya rusak, apalagi hilang. Tak salah karena kiniproperti seperti dulang sudah menjadi barang mahal. Dulang,keben yang kini juga meprada mahal, kebaya, kamen, sanggul,dan perhiasan lain yang menempel di kuping, leher dan jemari,bagi sebagian hedonis adalah simbol keberhasilan, tanda sebuahkesuksesan. Ia harus diperlihatkan di ruang publik, seperti sosialitadengan beragam tas, jam tangan, dan pakaian branded lainnya.

Tak salah memang. Pergi ke pura harus dinikmati sebagaiperjalanan yang menyenangkan. Diharapkan hati akan menjaditenang dan mendamaikan. Itu salah satu tujuan bersembahyang,

Page 50: calep finaleditnew - sim.ihdn.ac.idsim.ihdn.ac.id › app-assets › repo › repo-dosen-032004021651-13.pdf · analisis sosio antropologisnya dia ingin melihat suatu perubahan yang

Calep : catatan lepas kebudayaan | yoga segara | 49

.......................................................................

bukan sebaliknya membuat jiwa menjadi kering karena minderdan dipenuhi jengah berkompetisi. Membawa properti yang saatini tak ada yang murah, sekali lagi tak salah. Yang keliru adalahniatnya hanya pamer dan mempertontonkannya dengan perasaanpenuh kompetisi. Bentuk upacara boleh semakin megah, apalagidilakukan dengan keikhlasan, tetapi mengisi jiwa dan batin dengankebaikan dan kemuliaan juga sangat penting.

Page 51: calep finaleditnew - sim.ihdn.ac.idsim.ihdn.ac.id › app-assets › repo › repo-dosen-032004021651-13.pdf · analisis sosio antropologisnya dia ingin melihat suatu perubahan yang

50 | Calep : catatan lepas kebudayaan | yoga segara

.........................................................................................

Gebogan atau“mini market”berjalan?

Saat odalan, terutama yang nadi, atau pada upacarakeagamaan yang berskala besar, orang Bali akan membuatgebogan. Ada yang disusun bertingkat-tingkat, ada juga denganmenggunakan keben saja. Keduanya sama. Bahkan jika dihitungkembali, baik jumlah kue, buah, dan harganya boleh jadi tak jauhberbeda. Secara esensial, juga sama dalam agama. Tak harusdibeda-bedakan. Hanya wadah dan bentuknya saja yangberbeda. Soal perbedaan ini bisa saja karena selera semata, ataumungkin juga karena gengsi?

Begini. Seorang ibu di belakang saya berbisik pelan, namungumaman sinisnya jelas terdengar. Perkaranya sederhana. Iaiba melihat istri saya membawa keben, bukan karena kami taksanggup membuat banten atau gebogan bertingkat dengandulang. Istri saya memang belum bisa menjinjingnya. Tinimbangjatuh, tentu merepotkan. Jadi banten dengan keben menjadipilihan masuk akal. Memang kebennya juga tidak meprada,sehingga aneh dilihat di antara dulang-dulang meprada yangmenjulang. Belum lagi isi banten keben istri, tak semeriahgebogan bertingkat itu yang dihiasi aneka “barang-barang” yangada di mini market.

Page 52: calep finaleditnew - sim.ihdn.ac.idsim.ihdn.ac.id › app-assets › repo › repo-dosen-032004021651-13.pdf · analisis sosio antropologisnya dia ingin melihat suatu perubahan yang

Calep : catatan lepas kebudayaan | yoga segara | 51

.......................................................................

Memang perubahan waktu tak bisa ditolak. Kini sedangtren gebogan menggunakan beragam merk minuman soda,larutan penyegar, dan sejenisnya. Tak salah karena dewa dalampandangan orang Bali juga berkarakter manusia (personal God).Suka minum, laiknya manusia. Kuenya juga beragam. Tak adalagi jaja uli, satuh, iwel tapi sudah diganti donut dan pizza.Hebatnya, masih terbungkus plastik, mungkin takut saat dilungsurkena polusi dan debu, tidak seperti di masa lalu udara yang relatifmasih bersih. Jangan harap juga ada biyu kayu, juwuk Bali,karena hampir semua buah diimpor. Gebogan “mini market”yang indah dan mahal ini sudah menjadi lambang gengsi bagipenjinjingnya. Namun sayang, sesari canang di atas geboganmahal itu hanya diisi 1000-2000 perak saja.

Page 53: calep finaleditnew - sim.ihdn.ac.idsim.ihdn.ac.id › app-assets › repo › repo-dosen-032004021651-13.pdf · analisis sosio antropologisnya dia ingin melihat suatu perubahan yang

52 | Calep : catatan lepas kebudayaan | yoga segara

.........................................................................................

Upakara online:tak semudahmemesannya

Dulu, ibu-ibu dan anaknya, biasanya yang perempuan, sibukmempersiapkan banten bersama-sama. Bapak dan anak laki-lakinya juga ikut. Kini tak banyak orang punya waktumempersiapkan banten. Dunia kerja, entah yang bergerak disektor jasa, industri hingga PNS sama sibuknya. Belum lagi ketempat kerja juga semakin macet. Pergi subuh, pulang larut.Habis waktu di jalanan. Sabtu-Minggu juga kadang membawapekerjaan kantor ke rumah. Tentu tak seperti dulu. Tapi waktuterus akan berubah.

Tak banyak waktu untuk berkumpul, apalagi bersama dalamwaktu yang lama. Jika pun bisa bertemu, orang-orang sudah sibukdengan diri sendiri, terutama karena kehadiran benda ajaib yangmakin canggih: android. Mau bikin banten, sudah banyakdiganggu chat WhatsApp, membalas komentar Istagram,memberi like Facebook, atau sekadar berkicau di Twitter. Belumlagi kalau punya aplikasi yang lain. Karena lebih sibuk online,banten pun kini bisa dipesan via aplikasi. Jadilah sibuk “membeli”banten di online, tinimbang membuatnya bersama suami, istri,apalagi dengan anak-anak milenial yang juga masing-masingpegang gadget.

Page 54: calep finaleditnew - sim.ihdn.ac.idsim.ihdn.ac.id › app-assets › repo › repo-dosen-032004021651-13.pdf · analisis sosio antropologisnya dia ingin melihat suatu perubahan yang

Calep : catatan lepas kebudayaan | yoga segara | 53

.......................................................................

Seorang ahli manajemen, Rheinald Kasali bilang, fenomenadi atas disebutnya shifting, sesuatu yang tak dapat dihindariapalagi ditolak. Dunia nyata telah berpindah ke dunia online.Apa yang ada atau bahkan tak ditemukan di dunia nyata, sudahtersedia di online. Dunia sudah mengalami begitu banyakperubahan. Ahli ini juga menyebutnya sebagai disruption.Masalah muncul manakala kesucian upakara yang dijual disitusonline mulai diperkarakan. Apa jaminan bahan upakaranyabersih secara niskala, apakah yang membuatnya, apalagi nonHindu, paham makna upakara, dan pertanyaan klasik lainnya.Wajar, tentu saja. Kekhawatiran yang sama juga sempatmenjangkiti saat kemunculan beragam aplikasi online yangmenawarkan kemudahan hidup, entah transportasi maupunmakanan. Kini kita malah sangat menikmati layanan itu. Ketikapukul 23.00 lapar, tinggal minta diantarkan nasi jinggo ke rumah.Suatu saat, wanita-wanita karir yang tidak punya waktu dan takbisa membuat banten akan menikmati untuk membeli bantensecara online. Mungkin, dan siapa yang tahu.

Page 55: calep finaleditnew - sim.ihdn.ac.idsim.ihdn.ac.id › app-assets › repo › repo-dosen-032004021651-13.pdf · analisis sosio antropologisnya dia ingin melihat suatu perubahan yang

54 | Calep : catatan lepas kebudayaan | yoga segara

.........................................................................................

Swalayan upakara,bukan masalahmurahnya

Baru-baru ini, di laman berbagai medsos beredar promoyadnya murah. Seperti biasa, ada pro dan kontra. Tawarannyacukup menggiurkan. Biaya upakara ngaben cuma tiga juta.Upakara lain yang tidak sebesar ngaben selama ini, biayanyalebih murah lagi. Pokoknya membalik mindset banyak orang.Semua banten murah ini bisa dipesan secara online lengkapdengan nomor teleponnya. Jika pemesannya masih di Bali bisadiantar ke lokasi, tinggal ditambah ongkos kirimnya.

Apa yang ditawarkan dalam promo itu tentu sesuatu yangunik, seperti tak mungkin. Yang menarik adalah caption setiappromosinya yang intinya jangan sampai membuat umat Hindusulit, menjadi miskin, apalagi sampai membeli banten denganberhutang. Soal umat Hindu di Bali boros, sudah lama diteliti.Pada 2010 disinyalir tiap tahun umat Hindu di Bali menghabiskanuang 1,3 triliun. Belum lagi sampah upakara dan pelaksanaannyayang dikesankan ribet. Upakara swalayan menawarkan carabaru untuk membuat umat Hindu melaksanakan yadnya denganmurah dan mudah. Kira-kira begitu.

Tapi promosi itu sepertinya ditanggapi biasa-biasa saja.Seperti situs upakara online, upakara swalayan juga tidak

Page 56: calep finaleditnew - sim.ihdn.ac.idsim.ihdn.ac.id › app-assets › repo › repo-dosen-032004021651-13.pdf · analisis sosio antropologisnya dia ingin melihat suatu perubahan yang

Calep : catatan lepas kebudayaan | yoga segara | 55

.......................................................................

lantas booming. Apa yang kurang? Murah dan mudah, kata kuncimembuat orang seharusnya antusias. Begitulah orang Bali. Adasisi lain dalam karakteristiknya yang tak mudah “ditaklukkan”.Bagi mereka, meyadnya itu rame-rame dan megah. Tak peduliakan nyicil hutang berapa, atau tak risau lagi tanah warisankeluarga dijual. Apalagi kini, dan biasanya pada musim kampanyepolitik, mengundang hadir seorang tokoh berpengaruh atau pejabatpublik adalah sebuah keistimewaan. Bahkan seorang bupati bisahadir di upacara telubulanan seorang warga. Di matamasyarakat, jika sanggup mengundang tamu, dia akan dibilang“mampuh”, dan berharap status sosialnya terangkat. Jikakemudian yadnya yang mereka laksanakan terasa memberatkan,paling hanya megrenggengan dan mekrimikan saja. Semudahitu untuk membuat hatinya kembali nyaman.

Page 57: calep finaleditnew - sim.ihdn.ac.idsim.ihdn.ac.id › app-assets › repo › repo-dosen-032004021651-13.pdf · analisis sosio antropologisnya dia ingin melihat suatu perubahan yang

56 | Calep : catatan lepas kebudayaan | yoga segara

.........................................................................................

Seikhlas Ekalawya,bisa?

Dulu, waktu jaman belum berubah, selepas rerahinan, ipekak akan menanam bunga mitir atau pacah di halamansanggah. Belum lagi plawa dan bunga-bunga lainnya sengajaditanamnya dipinggir pagar atau tembok penyengker. Tak banyakmemang, tapi lebih dari cukup untuk keperluan sehari-hari. I bapebiasanya juga memelihara ayam. Karena halaman cukup luas,kadang juga memelihara bebek dan babi di teba kauh. Laku initentu sekarang tak cukup untuk rumah BTN yang bahkan taksampai 1 are. Tapi ini soal niat dan kemauan, soal menjagakeberlangsungan alam. Mungkin pelihara bebek apalagi babi takmungkin lagi, tapi bunga dan plawa rasanya bisa, sangat bisa.

I pekak dulu juga kalau menebang pohon, apalagi pohonbesar, salah satu pucuk atau ranting pohon itu dipotongnya lalu“ditanam” di tengah kayu bekas pohon yang tertebang itu. Sayatahu ranting itu tak akan tumbuh. Tapi mungkin itu caranyamenghormati pohon yang telah ditebangnya. Atau ia inginmengajarkan jika kita potong satu pohon, tanam juga satu pohonpenggantinya. Kearifan lokal yang entah kini rimbanya di mana lagi.

Laku orang-orang tua di masa lalu itu sungguh menyejukkan.Mereka menanam pohon bunga, dedaunan dan binatangpeliharaan bukan untuk dijual. Tetapi dipersembahkan saatrerahinan, odalan atau upacara besar lainnya, yang paling

Page 58: calep finaleditnew - sim.ihdn.ac.idsim.ihdn.ac.id › app-assets › repo › repo-dosen-032004021651-13.pdf · analisis sosio antropologisnya dia ingin melihat suatu perubahan yang

Calep : catatan lepas kebudayaan | yoga segara | 57

.......................................................................

sering saat Galungan. Mereka menghidupi ritus dengan carasederhana namun bermakna. Dengan laku ini pula, merekamempersembahkan apa yang paling mereka sayangi dan cintai,bukan mengimitasi niat yang diwakili benda-benda (bahanupakara) yang bisa dibeli mahal. Sayangnya benda-benda ituakhirnya hanya pajangan untuk mewakili gengsi kita di mata sosial.Ekalawya dikenang abadi sebagai manusia paling lascarya saatmempersembahkan ibu jari kanannya, bagian paling istimewaseorang pemanah, sebagai daksina kepada Bhagawan Drona.Tapi karena ini bagian dari tipu muslihat Drona, ia tetap dianggaplebih hebat dari Arjuna. Jika ingin belajar ikhlas, belajarlah kepadaEkalawya. Bisa?

Page 59: calep finaleditnew - sim.ihdn.ac.idsim.ihdn.ac.id › app-assets › repo › repo-dosen-032004021651-13.pdf · analisis sosio antropologisnya dia ingin melihat suatu perubahan yang

58 | Calep : catatan lepas kebudayaan | yoga segara

.........................................................................................

Apa gen dadidi Bali

Tren dalam budaya Bali, dan juga agama Hindu, silihberganti. Datang dan pergi sesukanya, seperti budaya pop. Adayang bertahan lama, ada juga yang hanya sekejap. Baju ke pura,baik perempuan maupun laki-laki juga begitu. Kebayamenerawang sexy, berlengan pendek, lalu kain atau kamen ketatdengan menampakkan lekukan tubuh. Bahkan seorang pemangkuistri sempat viral menggunakannya. Kini, kembali ke model jadul:kain putih kuning. Dibeberapa desa pakraman bahkan kinimemasang baliho pakaian sembahyang, lengkap dengan simbolcentang hijau sebagai pakaian sopan, dan silang merah tandapakaian yang dilarang masuk pura.

Pakaian laki-laki juga idem. Saput sempat kuning, laluberagam corak, sempat pula poleng. Bajunya pernah berwarna-warni, baju koko, kini kaos oblong saja cukup. Dulu bawa dompetkecil, kini bawa kompek. Isinya: charger, dompet, hp, tablet,powerbank, dlsb. Dulu udengnya kain lepas, kini udeng jadi,lengkap dengan nomor ukuran kepala, seperti teman muslimmembeli kopiah.

Sampai kapan tren itu akan bertahan, waktu yang biasanyamenguji. Tapi salah satu karakter budaya Bali adalah

Page 60: calep finaleditnew - sim.ihdn.ac.idsim.ihdn.ac.id › app-assets › repo › repo-dosen-032004021651-13.pdf · analisis sosio antropologisnya dia ingin melihat suatu perubahan yang

Calep : catatan lepas kebudayaan | yoga segara | 59

.......................................................................

kemampuannya mengubah dari dalam (internal conversion).Semua anasir asing biasanya akan ditangkap dan direspon. Diujidengan ragam percobaan dalam realitas. Jika kehidupan tidakmenghendaki, anasir itu akan dibuang tak terpakai. Jika disepakatibersama, akan diteruskan untuk menunggu digantikan yang lain.Asal tidak merusak dan mengubah struktur kebudayaannya,anasir asing itu akan diterima. Misalnya, ada yang ingin supayakurban binatang saat caru menggunakan gambar saja agar takmembunuh-bunuh (himsakarma). Ada juga ide nakal. Saat karyaagung, pemangku makin sedikit, tetapi pemedek makinmembludak. Saat ngetisin tirta, pengayah kewalahan. Kalaubegitu, pakai selang air saja supaya damuh semua dapat nunastirtha. Dua ide ini, tentu saja gagal total diterima. Keduanyaseolah mendekonstruksi dan melawan consensus bersama.Padahal beragama itu juga soal kesepakatan bersama.

Page 61: calep finaleditnew - sim.ihdn.ac.idsim.ihdn.ac.id › app-assets › repo › repo-dosen-032004021651-13.pdf · analisis sosio antropologisnya dia ingin melihat suatu perubahan yang

60 | Calep : catatan lepas kebudayaan | yoga segara

.........................................................................................

Bade beroda:efisiensiatau ngekoh?

Di catuspata desa, bade itu diputar tiga kali. Tapi tak adateriakan riuh rendah dari orang-orang yang menggotongnya.Sorakan itu kalah dengan suara gamelan baleganjur danangklung yang masih setia mengiringi perjalanan bade ke setra.Tak seperti dulu. Para pemuda dan beberapa orang tua yangberbadan kuat seolah balapan ingin menggotong bade. Merekabersuka cita. Sangat ramai. Itu sebabnya, perjalanan bade adalahsebuah parade, sebuah pertunjukan.

Kini, bade itu sudah memiliki roda dan sanan bambu dibuathanya untuk menopangnya agar tak jatuh dari alas roda. Badeitu hanya didorong beberapa orang, tak lebih 10 orang. Bahkantuas di depan bade bisa ditarik satu orang saja. Anak-anak mudadan para orang tua hanya mengikuti dari belakang. Bahkanbeberapa warga desa dan krama banjar yang kebetulanberprofesi karyawan ada juga yang tidak ikut. Beberapa diantaranya malah langsung menuju setra. Setelah pengabenan,mereka pulang mendahului dan kembali ke kantor masing-masing.

Pekerjaan di dunia industri dan jasa telah membuat wargadesa dan krama banjar tak bisa lagi ketog semprong tedun kesetra. Waktu bekerja yang menggunakan sistem shif, tak

Page 62: calep finaleditnew - sim.ihdn.ac.idsim.ihdn.ac.id › app-assets › repo › repo-dosen-032004021651-13.pdf · analisis sosio antropologisnya dia ingin melihat suatu perubahan yang

Calep : catatan lepas kebudayaan | yoga segara | 61

.......................................................................

menentu, juga tak bisa lagi minta ijin begitu saja. Apalagi jikacuti sudah habis. Situasi ini mulai dapat dimaklumi, akhirnya.Mekanisme adat juga mulai berubah mengikuti gerak jaman.Kini banyak orang juga tak terbiasa memikul bade karenaterbiasa disopirin atau justru nyopirin. Bahkan ada kasus kramatangannya keseleo atau patah tulang saat memikul bade. Orang-orang juga banyak yang tak mampu jalan jauh diterik matahari.Jalanan juga sudah mulai licin di hotmix hingga ke kampung-kampung sehingga tidak sulit lagi dilalui. Bade beroda jugasudah tidak memacetkan jalan. Mengatasi kompleksitaskehidupan itu, bade seperti ini menjadi jawabannya. Bahkankini sudah mulai ada bade di atas mobil bak terbuka. Terpentingseluruh tahapan ngaben memenuhi syarat agama dan yadnya.Begitulah Hindu.

Page 63: calep finaleditnew - sim.ihdn.ac.idsim.ihdn.ac.id › app-assets › repo › repo-dosen-032004021651-13.pdf · analisis sosio antropologisnya dia ingin melihat suatu perubahan yang

62 | Calep : catatan lepas kebudayaan | yoga segara

.........................................................................................

Karena dunia makin“mengkerut”

Siapa sangka 10 atau 20 tahun lalu dunia tak sepertisekarang. Dulu, dulu sekali, orang berkirim surat dengan burungmerpati, lalu lewat pos, faximile, email, kini dengan aplikasiandroid. Mengirim satu berita yang sama, dalam waktu yangsama, ke banyak orang kini menjadi niscaya. Dunia telahberpindah ke layar handphone begitu cepat. Transformasi dihampir semua aspek dalam teknologi informasi komunikasi begitucanggih. Ya, teknologi menawarkan perubahan besar-besaran,memudahkan, memurahkan, dan mempercepat.

Dulu, berita penemuan benua Amerika oleh pelayarChristopher Columbus baru diketahui raja Spanyol enam bulankemudian. Kini, semua peristiwa di belahan dunia mana saja,yang kejadiannya dalam waktu bersamaan sudah dapatdiketahui. Media cetak yang dahulu beritanya ditunggukeesokan harinya, sudah banyak yang gulung tikar. Pun gerai-gerai ritel yang mengais untung saban akhir pekan, atau hariraya melalui diskonnya, sudah banyak merumahkanpegawainya. Semuanya telah digantikan oleh “pegawai” takterlihat. Tinggal pencet-pencet aplikasi, barang sudah sampaidi depan rumah.

Page 64: calep finaleditnew - sim.ihdn.ac.idsim.ihdn.ac.id › app-assets › repo › repo-dosen-032004021651-13.pdf · analisis sosio antropologisnya dia ingin melihat suatu perubahan yang

Calep : catatan lepas kebudayaan | yoga segara | 63

.......................................................................

Memang tak semua akhirnya berdampak baik, tapi ini soalbagaimana melakoni perubahan. Kini makin banyak orang lamadi kamar mandi, karena sambil jongkok baca berita. Masakanibu-ibu sering gosong karena keasyikan streaming hot gossippara artis. Janjian dengan teman sudah mulai tak menyenangkankarena setelah kumpul, masing-masing memegang gadgetnya.Sibuk sendiri-sendiri. Baru bangun pagi dan akan tidur malam,melihat handphone adalah ritual yang tak boleh diabaikan.Kadang mengalahkan ritual sembahyang. Dunia kini sudah benar-benar mengecil. Jangan-jangan nanti ida pedanda nguncarangweda melalui teleconference dengan umat Hindu yang ada dipedalaman atau perbatasan wilayah. Entahlah, tapi semoga itubelum terjadi.

Page 65: calep finaleditnew - sim.ihdn.ac.idsim.ihdn.ac.id › app-assets › repo › repo-dosen-032004021651-13.pdf · analisis sosio antropologisnya dia ingin melihat suatu perubahan yang

64 | Calep : catatan lepas kebudayaan | yoga segara

.........................................................................................

Kesinoman digital,mungkinkah?

Dunia yang mengecil akibat kemutakhiran teknologi takpandang bulu merembesi kantor modern hingga warungtradisional. Dari orang-orang tua ke anak-anak. Bayi pun kinisudah bermain-main dengan handphone. Jendela linimasamedsos tak pernah sepi. Komunikasi via aplikasi adalah nafaskehidupan. Jaringan pribadi hingga publik tersambung tiap saat,dengan orang yang dikenal bahkan yang sama sekali takdiketahui, hanya karena “berteman” di aplikasi medsos.

Group percakapan menjadi tren. Anak-anak SD jugamemilikinya, belum lagi ibu-ibu orang tua murid. Grouppercakapan karena urusan kantor, teman karib, alumni, ikatanprofesi, perkumpulan spiritual, aliansi etnis, hingga banjar adat,dusun dan tempekan bukan hal baru. Seorang teman bahkanpunya lebih dari 25 group percakapan dalam satu aplikasi. Belumlagi aplikasi yang lain.

Kesinoman di beberapa daerah di Bali juga mulai terinspi-rasi. Mengingat pekerjaan yang makin kompleks, saat akan ngarah,mereka kadang menemukan rumah anggota banjar masih kosongkarena suami istri pulang kantor hingga malam. Belum lagi kinianggota banjar tinggal tidak dalam satu komplek atau lingkungan

Page 66: calep finaleditnew - sim.ihdn.ac.idsim.ihdn.ac.id › app-assets › repo › repo-dosen-032004021651-13.pdf · analisis sosio antropologisnya dia ingin melihat suatu perubahan yang

Calep : catatan lepas kebudayaan | yoga segara | 65

.......................................................................

yang sama. Ngarah melalui pesan online sudah semakin diterima.Jika kini e-meeting semakin menjadi pilihan, jangan-jangan danmungkin belum, akan ada e-sangkep. Jika ngarah sudah massifmelalui online, jangan-jangan pula akan ada aplikasi bunyi kulkulmenandakan sangkep atau acara adat akan dimulai. Semua demidan atas nama efisiensi dan efektivitas. Sebuah konsekuensimodernitas, meski hari ini kita anggap sesuatu yang tak mungkin.

Page 67: calep finaleditnew - sim.ihdn.ac.idsim.ihdn.ac.id › app-assets › repo › repo-dosen-032004021651-13.pdf · analisis sosio antropologisnya dia ingin melihat suatu perubahan yang

66 | Calep : catatan lepas kebudayaan | yoga segara

.........................................................................................

Ritus, untuk apa?

Para antropolog menempatkan agama sebagai intikebudayaan, yang dengannya itu orang-orang dipanduberdasarkan ide, gagasan, dan nilai untuk hidup bersama.Representasi kolektif bersumber dari laku budaya, salah satunyaritual. Tak salah, tahapan sebuah upacara akan menghasilkankesadaran kolektif. Ngayah menjadi sangat penting, meski ituakan membuat sebuah ritus menjadi mahal. Bagaimana tidak.Jika ngayahnya satu minggu, saat puncak upacara, biayabantennya tak lebih dari harga sehari orang ngaturang ayah.

Ritual di Bali sering dituduh mahal dan boros. Seperti buang-buang uang saja. Kapan orang Bali bisa menabung, apalagiberinvestasi. Tapi begitulah di Bali. Tak perlu didebat, percumasaja, karena yang penting ramai, dan bisa menyamabraya. Bagiorang Bali, kenikmatan yang tak bisa dibayar lunas adalahkebersamaan saat merayakan upacara. Itu sebabnya, sebuahritual seolah bisa “memaksa” orang untuk ke luar rumah agarterlibat dalam ritual.

Bahkan pergi ke pura saat odalan misalnya, boleh jadibukan semata untuk sembahyang. Tetapi juga untuk sekadar keluar dari rumah, karena banyak mata sosial akan mencatat rajinmalasnya kita ke pura. Atau sekadar ketemu sanak saudara,atau mungkin janjian dengan teman. Ke pura juga artinya

Page 68: calep finaleditnew - sim.ihdn.ac.idsim.ihdn.ac.id › app-assets › repo › repo-dosen-032004021651-13.pdf · analisis sosio antropologisnya dia ingin melihat suatu perubahan yang

Calep : catatan lepas kebudayaan | yoga segara | 67

.......................................................................

memperhatikan siapa saja yang payasannya mentereng ke pura,menonton ilen-ilen, bahkan bukan saja untuk melihat permainanbola adil, tetapi ikut bermain di dalam arena. Karena jika untukmemuja Tuhan, dan memohon agar seluruh doa dikabulkan, bisadilakukan di rumah saja. Tapi itu tak cukup. Sebagai orang yangstruktur kebudayaannya bersifat komunal, orang Bali seolahdipanggil untuk selalu hidup dalam kolektivitas itu. Karena itutirthayatra misalnya, selain untuk tujuan sembahyang juga berartiplesir, sehingga harus beramai-ramai.

Page 69: calep finaleditnew - sim.ihdn.ac.idsim.ihdn.ac.id › app-assets › repo › repo-dosen-032004021651-13.pdf · analisis sosio antropologisnya dia ingin melihat suatu perubahan yang

68 | Calep : catatan lepas kebudayaan | yoga segara

.........................................................................................

Hidup kolektifatau karena tak bisamenyendiri?

Orang Bali tak bisa hidup invidual dalam arti yangsebenarnya. Di manapun, kapan pun, mereka akan mencarikelompoknya. Entah berdasarkan desa asalnya maupun sorohatau klennya. Bahkan di luar Bali sekalipun, mereka akan selainmembangun pura umum dengan padmasana, juga membuattempek, banjar dan pasraman. Identitas desa asal maupunsoroh terasa kental sekali. Di Pura Tirtha Bhuana Bekasi, tempatsaya dulu sebagai pengempon, dan pura lainnya di Jakartamisalnya, umat Hindu diikat oleh sistem kekerabatan seperti itu.

Kesadaran kolektif melalui identitas desa atau daerah asaljuga sangat kuat di wilayah transmigrasi di mana orang Balitinggal. Tak salah tentu saja. Tetapi kadang juga kebablasan.Dalam melaksanakan upacara yadnya, seringkali fanatismeidentitas seperti ini menjadi benih konflik. Misalnya, adasekelompok orang yang ingin menggunakan adat daerahnyasendiri, lalu mendapat resisten oleh mereka yang berasal daridaerah Bali lainnya. Mungkin terkesan ironi karena fenomena

Page 70: calep finaleditnew - sim.ihdn.ac.idsim.ihdn.ac.id › app-assets › repo › repo-dosen-032004021651-13.pdf · analisis sosio antropologisnya dia ingin melihat suatu perubahan yang

Calep : catatan lepas kebudayaan | yoga segara | 69

.......................................................................

ini terjadi di Jakarta, tempat di mana persoalan identitas lokal takperlu menjadi soal, tapi itulah faktanya.

Tak ada yang salah dari kebiasaan seperti itu. Gen kebu-dayaan Bali yang disokong kehidupan agraris memungkinkanhidup kolektif bisa dilakoni di mana saja, termasuk di luar Bali.Bahkan di Bali sendiri, kolektivitas itu dibangun di atas sekaa,baik yang permanen seperti sekaa teruna, sekaa kidung, sekaagamelan, tetapi bisa melalui sekaa yang bersifat temporer, yangsekali dibuat lalu bubar. Ketika kebun para petani diganggu babi-babi hutan, mereka sepakat membuat sekaa meboros. Setelahbabi-babi itu terusir, sekaa meboros hilang. Begitu juga saat pohonkelapa diganggu semal, mereka akan membuat sekaa semal.Jadi, sepanjang hidup kolektif itu mendatangkan manfaat,persaingan antarkelompok masih bisa ditoleransi.

Page 71: calep finaleditnew - sim.ihdn.ac.idsim.ihdn.ac.id › app-assets › repo › repo-dosen-032004021651-13.pdf · analisis sosio antropologisnya dia ingin melihat suatu perubahan yang

70 | Calep : catatan lepas kebudayaan | yoga segara

.........................................................................................

Ruh wisata Bali,ya budaya dong!

Tak usah jauh ke luar negeri mencari pemandangan indah.Di Indonesia banyak. Dari Sabang, di Aceh ujung Barat, hinggaMerauke (ujung Timur). Juga Talaud (ujung Utara) dan Rote(ujung Selatan). Daratan, gunung dan bukit banyak yang indah.Laut dan pantai banyak yang mempesona. Ini yang dinamakanzamrud katulistiwa. Koes Plus Band, bahkan secara hiperbolikbilang, “tongkat saja di tanam bisa tumbuh”. Elok di atas tanahdan di bawah laut, yang memanjakan mata, bukan hanya mataorang asing tapi juga domestik. Dan wisata Indonesia bukanhanya tentang Bali, sebenarnya.

Untuk mendukung pariwisata Indonesia makin menduniadan massif, Kemenpar bahkan harus membuat “10 Bali Baru”.Apa maksudnya? Yang paling sederhana, program ini dapatdibaca agar pariwisata tidak berpusat di Bali; terdapatpemerataan kesempatan setiap daerah untuk “menjual” potensiwisatanya; dan keadilan bagi daerah yang ingin berkembangsehingga tidak ada disparitas yang terlalu jauh. Program ini tentudan pasti sangat baik. Jika perlu semua daerah didorong untuktampil di beranda depan.

Page 72: calep finaleditnew - sim.ihdn.ac.idsim.ihdn.ac.id › app-assets › repo › repo-dosen-032004021651-13.pdf · analisis sosio antropologisnya dia ingin melihat suatu perubahan yang

Calep : catatan lepas kebudayaan | yoga segara | 71

.......................................................................

Sampai saat ini belum ada rilis apakah “10 Bali Baru” itusukses besar. Jika melihat kesepuluh daerah itu, yang sebetulnyasudah familiar, salah satunya Borobudur, tampaknya akan sukses.Mungkin tidak dalam hitungan tahun tapi bisa puluhan tahunmendatang. Masalahnya, apakah Bali bisa di copypaste untukkesepuluh destinasi itu? Bisa iya, dapat juga gagal. Menjadiinspirasi, mungkin saja. Sebagai role model, iya. Tapimengimitasinya, rasanya muskil. Soal keindahan, Bali mungkinkalah, tapi yang belum dipunyai daerah lainnya adalah kesiapanSDM, manajemen kepariwisataan, tradisi panjang, komodifikasikreatif, dan otentisitasnya. Terakhir, masalah budaya yangmemperantarai agama dan adat sebagai satu kesatuan: denganbudaya, agama menemukan bentuknya, dan dengan agama,budaya mendapatkan maknanya. Seperti puzzle, seperti mozaik.Bagaimana kesiapan daerah di luar Bali menerima turis berbikinijalan-jalan di pusat keramaian, seperti mereka bebasmelakukannya di Kuta, Ubud, Sanur, dll? Layak ditunggu

Page 73: calep finaleditnew - sim.ihdn.ac.idsim.ihdn.ac.id › app-assets › repo › repo-dosen-032004021651-13.pdf · analisis sosio antropologisnya dia ingin melihat suatu perubahan yang

72 | Calep : catatan lepas kebudayaan | yoga segara

.........................................................................................

Bali tak butuhfestival!

Dalam sebuah diskusi, tersiar kabar, beberapa kepaladaerah di Indonesia merasa sedikit kesal. Gelontoran APBDuntuk mengadakan ragam karnaval dan festival berbau budayatak penuhi target untuk mendatangkan wisatawan. Dalamsetahun, beberapa daerah itu bisa adakan festival 10-15 kali.Tentu cukup menyibukkan tiap bulannya. Dan anggarannya jugatak sedikit.

Beritanya pasti menggema, promosinya juga pastimenggaung. Sayangnya tak cukup menarik untuk dikunjungi,apalagi dengan maksud “menguras” kantong turis, danmenggelembungkan PAD. Apa yang salah? Tak ada yang keliru.Manajemen bagus, apalagi kini banyak EO professional. Tak sulitmeng-hire mereka. Keindahan alam menjanjikan, apalagi belumterjamah banyak manusia. Masih otentik dan genuine, sepertikebanyakan destinasi wisata di Indonesia. Hutan lebat, bukitranum, garis pantai memesona, budaya lokal tersebar, semuanyatersedia.

Dari aspek itu, Bali sebagai episentrum wisata dunia bisakalah. Tapi Bali punya pengalaman sangat panjang, bahkaneksotismenya sudah dieskploitasi dalam majalah “BALI” yangterbit dan booming di Eropa pada awal 1900an. Akses yangmudah dari satu lokasi ke lokasi wisata lainnya juga dapat dicapai

Page 74: calep finaleditnew - sim.ihdn.ac.idsim.ihdn.ac.id › app-assets › repo › repo-dosen-032004021651-13.pdf · analisis sosio antropologisnya dia ingin melihat suatu perubahan yang

Calep : catatan lepas kebudayaan | yoga segara | 73

.......................................................................

dengan cepat. Di Bali, untuk menikmati kesejukan gunung, sejamkemudian berjemur di pantai bukan hal yang ribet. Baru-barusaja, terutama Bali Selatan agak macet, tapi itu tidak tiap harikarena kemacetan sepertinya “mengerti” dengan liburan orangbule pada musim-musim tertentu. Bali punya sikap terbukaterhadap orang luar. Yang tak mengerti menyebutnya permisif.Bali memiliki budaya dan tradisi yang memungkinkan festival itubisa dirayakan tiap hari. Di depan rumah, di depan pintu hotel,depan jalan masuk café yang hingar bingar, orang Bali memulaifestival kebudayaan melalui banten saiban, jotan, segehan dancanang. Lengkap dengan dupa yang terus mekudus. Bali,sesungguhnya tak memerlukan festival-festival mahal itu.

Page 75: calep finaleditnew - sim.ihdn.ac.idsim.ihdn.ac.id › app-assets › repo › repo-dosen-032004021651-13.pdf · analisis sosio antropologisnya dia ingin melihat suatu perubahan yang

74 | Calep : catatan lepas kebudayaan | yoga segara

.........................................................................................

Page 76: calep finaleditnew - sim.ihdn.ac.idsim.ihdn.ac.id › app-assets › repo › repo-dosen-032004021651-13.pdf · analisis sosio antropologisnya dia ingin melihat suatu perubahan yang

Calep : catatan lepas kebudayaan | yoga segara | 75

.......................................................................

3Perempuan,Kekerabatan,

Hirarki

Page 77: calep finaleditnew - sim.ihdn.ac.idsim.ihdn.ac.id › app-assets › repo › repo-dosen-032004021651-13.pdf · analisis sosio antropologisnya dia ingin melihat suatu perubahan yang

76 | Calep : catatan lepas kebudayaan | yoga segara

.........................................................................................

Perempuan Bali,siapa menindassiapa?

Perbincangan tentang perempuan Hindu Bali seperti tak adahabisnya. Sudah banyak yang memperhatikannya. Mulai daripenelitian serius, hingga sekadar orta di bale banjar. Ada jugabuku-buku serius yang membicarakan kemuliaannya, tak sedikitnovel atau cerpen mengabarkan marginalisasi yang dialaminya.Dua kutub ini seperti tak pernah ketemu. Perempuan Hindu Balidipuji sekaligus pada saat bersamaan dihina. Kira-kira begitu.

Mahasiswa saya melalui karya skripsinya pernah dengansangat yakin membilang bahwa Sarasamuscaya adalah kitabyang melecehkan perempuan. Menurutnya ada 19 sloka yangmenceritakan aib perempuan. Lalu ia menyitir kitab lain, dandengan keyakinan yang sama, ia katakan perempuan itu sangatmulia. Bahkan upacara tidak akan berhasil jika perempuan tidakdihormati. Kitab lain yang dikutipnya bahkan lebih dahsyat lagi.Laki-laki tak akan pernah bisa memasuki surga jika tak didampingiperempuan sebagai istrinya. Nah, begitulah gambaran nyatabanyak orang tentang perempuan Hindu Bali.

Sejak dulu sekali, wacana seperti ini terus menjadi topikhangat. Tak pernah berhenti dan berakhir. Munculnya gerakan

Page 78: calep finaleditnew - sim.ihdn.ac.idsim.ihdn.ac.id › app-assets › repo › repo-dosen-032004021651-13.pdf · analisis sosio antropologisnya dia ingin melihat suatu perubahan yang

Calep : catatan lepas kebudayaan | yoga segara | 77

.......................................................................

feniminisme dan kesetaraan gender masih belum mampumembuat keadaan menjadi seimbang, apalagi perempuandipososisikan lebih tinggi dari lak-laki. Khusus untuk kasus Bali,struktur kebudayaan patrilineal/patriarki dianggap sebagaipemantik masalah ini menjadi problematik. Bahkan ketika merekadiangkat dan dikukuhkan sebagai sentana, posisi sosialnya jugabelum ajeg. Pengakuan dan legalitasnya hanya dalam hukum adatBali, tetapi tidak di dunia nyata yang sebenar-benarnya. Siapamenindas siapa akhirnya menjadi tak jelas. Karena itu, isukesetaraan akan terus hidup. Mbulet.

Page 79: calep finaleditnew - sim.ihdn.ac.idsim.ihdn.ac.id › app-assets › repo › repo-dosen-032004021651-13.pdf · analisis sosio antropologisnya dia ingin melihat suatu perubahan yang

78 | Calep : catatan lepas kebudayaan | yoga segara

.........................................................................................

Saat Nateng Dirahgeram, berhati-hatilah!

Pada masa kerajaan Daha di Kediri, ada sosok perempuanyang dianggap menakutkan, penebar bencana. Teluh desti danpengeleakan ia kuasai. Ia pun mampu membuat desa danwarganya kalang kabut seorang diri. Sosok itu adalah NatengDirah. Karena ia seorang janda tua, ia juga disebut Rangda.Nateng Dirah sering membuat banyak orang sakit dan meninggal.Bahkan petani tak bisa panen karena hama yang dibuatnya.Menyeramkan. Itulah legenda Calonarang yang klasik di tanahJawa sejak abad XII.

Kegeraman Nateng Dirah sebenarnya juga sangat sepele.Anaknya yang rupawan, Ratna Manggali dijauhi para pemuda desakarena dianggap mewarisi ilmu hitam darinya. Bahkan RatnaManggali juga distigma bisa ngeleak seperti ibunya. Ratna Manggaliakhirnya menjadi perawan tua dan diolok-olok sebagai anakpenjahat. Nateng Dirah tidak terima, dan bilang ini tidak adil.Masyarakat telah salah memperlakukannya sebagai seorang ibu danperempuan. Telah terjadi diskriminasi gender dengan stereotypebahwa apa yang dilakukannya sebagai seorang ibu serta merta akanbermutasi kepada

Page 80: calep finaleditnew - sim.ihdn.ac.idsim.ihdn.ac.id › app-assets › repo › repo-dosen-032004021651-13.pdf · analisis sosio antropologisnya dia ingin melihat suatu perubahan yang

Calep : catatan lepas kebudayaan | yoga segara | 79

.......................................................................

Bukankah seorang anak memiliki dunianya sendiri, danketika terlahir akan menjadi milik kehidupan? Batinnya. Maka iaharus melawan ketidakadilan dan diskriminasi gender ini.Sayangnya memang dengan cara yang salah. Tetapi hanya ituyang bisa diperbuatnya untuk melindungi anak perempuankesayangannya.

Atas sepak terjangnya yang merugikan itu, raja Airlanggaketika itu meminta Mpu Bradah, penasehatnya untuk menghentikansi Rangda tua. Maka diutuslah muridnya, Bahula. Atas saran MpuBradah, Bahula diminta mengawini Ratna Manggali sekaligusmengambil pustaka rahasia yang membuat Nateng Dirah saktimandraguna. Epilog legenda ini sudah dapat ditebak. Nateng Dirahdapat dikalahkan Mpu Bradah. Bahula pun memperistri RatnaManggali dan hidup bahagia. Tapi masalah diskriminasi gender,Nateng Dirah sudah lama menolak, ia geram tak ketulungan. Jadi,ini bukan isu yang anyar.

Page 81: calep finaleditnew - sim.ihdn.ac.idsim.ihdn.ac.id › app-assets › repo › repo-dosen-032004021651-13.pdf · analisis sosio antropologisnya dia ingin melihat suatu perubahan yang

80 | Calep : catatan lepas kebudayaan | yoga segara

.........................................................................................

Perempuan Bali:mana tubuhmu,mana jiwamu?

Bagi orang luar Bali, perempuan Hindu Bali itu tangguh,sangat perkasa. Mereka dilihat pekerja keras. Laki-laki HinduBali dituduh pemalas, doyan sabung ayam. Mungkin adabenarnya, tapi kini sudah mulai banyak berubah. Laki-laki HinduBali sudah mulai meninggalkan stigma itu, meski tak sepenuhnyajuga, terutama di pelosok desa dan perkampungan. Meski begitu,tetap saja perempuan Hindu Bali dipandang inferior. Pandanganminor yang sama juga berlaku di lingkungan luarnya. Misalnya,pemberian kuota 30% bagi perempuan di legislatif adalah jugabentuk lain dari pengingkaran bahwa laki dan perempuan itu setaralahir batin. Tapi masalahnya banyak juga perempuan yang tidakmemahami persoalan yang dihadapinya sendiri.

Terminologi cantik itu putih dan langsing misalnya, ternyatatidak saja dihembuskan oleh laki-laki, tetapi juga perempuansendiri. Akibatnya laki-laki berjuang mendapatkan perempuanidaman yang dikonstruknya sendiri dan perempuan bersusahpayah memenuhi harapan laki-laki dan dirinya sendiri. Bagi yang

Page 82: calep finaleditnew - sim.ihdn.ac.idsim.ihdn.ac.id › app-assets › repo › repo-dosen-032004021651-13.pdf · analisis sosio antropologisnya dia ingin melihat suatu perubahan yang

Calep : catatan lepas kebudayaan | yoga segara | 81

.......................................................................

percaya hasil instan, mereka akan berlomba-lomba untukmelakukan apa saja, sekadar memenuhi hasrat biologis. Akhirnyaobat kecantikan, krim pemutih kulit, dan kapsul pelangsing tubuhmenjadi asupan tak berguna. Tak sedikit yang merana karenatak mendapatkan hasil seperti dipromosikan foto model dalamiklan. Bagi mereka, lebih penting tubuh daripada jiwa.

Sejak lama sekali, para filosof juga “berkelahi” mana lebihutama, jiwa atau tubuh? Ada ahli menyebut, tubuh itu penjarabagi jiwa. Yang lain menganggap jiwa lebih penting karena iaabadi, sedangkan tubuh bisa rusak. Agama-agama besar semitikjuga belum sanggup memberikan penerangan atas dualisme ini.Hindu memberikan jalan tengah dengan menyebut jiwa sebagaiyang kekal tetapi tak akan berarti apa-apa jika tak ada tubuhyang memadai untuknya. Melalui tubuh, jiwa bekerjamenghasilkan karma baik. Kualitas hidup ditentukan dari karma-karma baik itu. Karena itu, laki-laki dan perempuan,kembalikanlah badan yang sehat untuk didiami jiwa yang sehatpula. Dengan badan dan jiwa yang sehat, kita bisa berkarya danberprestasi.

Page 83: calep finaleditnew - sim.ihdn.ac.idsim.ihdn.ac.id › app-assets › repo › repo-dosen-032004021651-13.pdf · analisis sosio antropologisnya dia ingin melihat suatu perubahan yang

82 | Calep : catatan lepas kebudayaan | yoga segara

.........................................................................................

Kisah klasik,perempuan Balidi simpang jalan!

Perempuan Hindu Bali adalah makhluk yang mulia.Beberapa kitab suci mengakuinya dengan tegas. Namun beberapakitab suci lainnya menyatakan sebaliknya. Bagi mereka yangsudah hopeless, agama seolah dijalankan dengan sangat “laki-laki”, ajaran agama juga sangat “laki-laki”, dan Tuhan punsepertinya berjenis kelamin “laki-laki”. Meskipun soal yangterakhir ini sudah dibantah dengan menyebut Tuhan sebagaiardhanareswari. Bukan laki-laki, tidak perempuan. BahkanTuhan neti neti, tidak ini tidak itu. Tetapi tetap saja perempuantak bisa melepaskan dirinya dari cangkang pujian sekaligushujatan itu.

Saat perempuan tidak bisa hamil atau mandul, ia harusmerelakan suaminya akan mengadopsi anak laki-laki. Atau yangpaling celaka, dimadu. Bahkan dahulu kala, jika perempuan takbisa melahirkan keturunan ia dijuluki Men Bekung, sebuah istilahyang meruyak hati. Panggilan bekung adalah siksaan karena iamerasa tak bisa membahagiakan suami dan mertuanya sendiri.Belum lagi pertanggung jawabannya di ruang sosial: kepada

Page 84: calep finaleditnew - sim.ihdn.ac.idsim.ihdn.ac.id › app-assets › repo › repo-dosen-032004021651-13.pdf · analisis sosio antropologisnya dia ingin melihat suatu perubahan yang

Calep : catatan lepas kebudayaan | yoga segara | 83

.......................................................................

saudara, teman, dan orang lain yang mengenalnya. Femonemasing beling sing nganten yang saat ini menjangkiti anak muda,tidak saja di kota tetapi juga di sudut-sudut kampung terembesioleh pikiran sempit ini. Namun, saat ia mampu melahirkan banyakanak, ia juga dijuluki Men Brayut, istilah yang merujuk sosokseorang ibu yang dikerubuti bayi dan anak-anaknya yang masihkecil. Sebuah gambaran tak mampu merawat banyak anak.Nama Men Brayut itu sama menyakitkan dengan Men Bekung.

Saat ini, perempuan Hindu Bali sudah banyak bekerja,beberapa di antaranya mungkin “mengalahkan” karir suaminya.Tentu pujian sebagai perempuan yang seolah mendobrak tradisisering dialamatkan kepada sosok-sosok progresif ini. Namunsayang ketika memasuki struktur kebudayaan patrilinealnya,mereka itu kembali menjadi pesakitan. Misalnya, cita rasa danstandar yang dibuat bersama antara laki-laki dan perempuansendiri adalah bisa majejahitan, mampu bikin banten sendiri,dan sanggup melaksanakan seluruh pekerjaan domestik lainnya.Kemunculan upakara online dan upakara swalayan seolahmenjadi pembenar dari ketidakmampuan generasi perempuan(baik dari anak-anak hingga ibu-ibu) untuk belajar membuatbanten.

Page 85: calep finaleditnew - sim.ihdn.ac.idsim.ihdn.ac.id › app-assets › repo › repo-dosen-032004021651-13.pdf · analisis sosio antropologisnya dia ingin melihat suatu perubahan yang

84 | Calep : catatan lepas kebudayaan | yoga segara

.........................................................................................

Astika, penebus dosayang tak normal

Jaratkaru, seorang brahmacari, “jalan-jalan” ke surga danneraka. Pada suatu tempat yang mengerikan ia menemukansepasang orang tua menggelantung. Kepalanya di bawah, kakinyaterikat di atas, di antara pohon-pohon bambu yang di bawahnyabanyak tikus mengerat. Pelan tapi pasti pangkal bambu-bambuitu akan terpotong. Dan kedua arwah orang tua akan jatuh kejurang yang penuh duri, keris, dan beling-beling. Jaratkaru kagettak kepalang karena keduanya adalah orang tuanya sendiri.Arwah kedua orang tuanya lalu bercerita. Mereka akan terbebasdari derita ini jika Jaratkaru, anak lelaki semata wayangnya yanglebih memilih sukla brahmacari, mau kawin dan memilikianak laki-laki.

Jaratkaru sedih. Jika ia kawin maka ia melanggarsasananing kawikuannya. Jika ia tak kawin, ia melihat sendiriorang tuanya tak akan bebas dari penderitaan. Lalu ia bersumpahakan kawin tetapi dengan satu syarat, mengawini orang yangbernama sama dengan dirinya. Sumpah yang terasa janggal.

Lama ia mengembara, naik gunung, masuk hutan danmenyeberangi sungai. Bertahun-tahun. Hingga suatu saat iamenjumpai Nagini Jaratkaru Dewi. Ia adalah putri cantik rajapara naga, Basuki. Upacara perkawinan segera dilangsungkan.

Page 86: calep finaleditnew - sim.ihdn.ac.idsim.ihdn.ac.id › app-assets › repo › repo-dosen-032004021651-13.pdf · analisis sosio antropologisnya dia ingin melihat suatu perubahan yang

Calep : catatan lepas kebudayaan | yoga segara | 85

.......................................................................

Setahun kemudian lahir Sang Astika, seorang putra yang akhirnyamembebaskan orang tua ayahnya. Jaratkaru pun kembalimenjalankan kewajiban bhiksukanya setelah mengawiniperwujudan karakter seorang putri, bukan seekor naga yangkasat mata. Dan Astika adalah seorang suputra, penebus dengancara yang tidak normal. Kadang, keadaan seperti Astika menjadipengecualian yang niscaya, seperti Erawan yang lahir dariperkawinan Arjuna dengan Dewi Ulupi, putri raja ular. AtauGatotkaca yang lahir dari Bhima dengan perempuan raksasa,Dewi Hadimbi. Nagini Jaratkaru Dewi, Dewi Ulupi, DewiHadimbi adalah perwujudan-perwujudan karakter, dan darimereka lahir para suputra: Sang Astika, Sang Erawan dan SangGatotkaca.

Page 87: calep finaleditnew - sim.ihdn.ac.idsim.ihdn.ac.id › app-assets › repo › repo-dosen-032004021651-13.pdf · analisis sosio antropologisnya dia ingin melihat suatu perubahan yang

86 | Calep : catatan lepas kebudayaan | yoga segara

.........................................................................................

Suputra itu bukanhanya anak laki lho!

Sebuah keluarga Hindu di Bali yang baru kawin akanbersemangat memiliki anak laki-laki. Bagi mereka, jika anakpertama lahir laki-laki, dunia sudah terasa damai. Tetapi jika tidak,mereka akan sekuat tenaga memilikinya. Akibatnya, ada keluargayang sampai punya anak lebih dari empat hanya untuk memilikianak laki-laki. Jika tak kesampaian, mereka akan menebusnyadengan meras sentana, biasanya anak laki-laki saudara dekatnya.Ini adalah salah satu mekanisme adat untuk menyelamatkan statuspurusha sebuah keluarga Hindu.

Memiliki seorang anak laki-laki bagi keluarga Hindu adalahpencapaian besar. Bahkan anak laki-laki itu kelak menentukanstatus dan keberhasilan orang tuanya. Semakin anak laki-lakinyasukses, orang tuanya merasa mendapatkan dampak yang sama.Mereka oleh lingkungan sosialnya juga akan dianggap berhasil.Di masa lalu, status laki-laki akan ditentukan oleh kedudukannyadi bale banjar. Makin bisa duduk di bagian depan saat sangkep,seorang laki-laki akan dianggap memiliki status sosial yang tinggi.Ini adalah satu standar bersama. Dan istilah suputra hanyadisematkan pada pundak laki-laki, akhirnya.

Page 88: calep finaleditnew - sim.ihdn.ac.idsim.ihdn.ac.id › app-assets › repo › repo-dosen-032004021651-13.pdf · analisis sosio antropologisnya dia ingin melihat suatu perubahan yang

Calep : catatan lepas kebudayaan | yoga segara | 87

.......................................................................

Karena anak laki-laki menjadi tujuan melanjutkan keturunan,maka bagi keluarga Hindu yang tidak memiliki anak laki-laki selainmemeras sentana, juga meminta salah satu anak perempuan,biasanya yang bungsu, untuk tinggal di rumah. Anak perempuansecara adat akan dijadikan purusha dan mendapat warisanseperti anak laki-laki lain kelak saat orang tuanya meninggal.Dengan cara ini, lembaga perceraian tidak akan diambil hanyakarena tidak memiliki keturunan. Masalahnya adalah apakahsuputra itu harus laki-laki atau perempuan? Kitab suciManawadharmasastra dengan tegas mengatakan tujuanperkawinan adalah melahirkan seorang anak yang akanmeneruskan tradisi leluhurnya. Tak disebutkan anak itu haruslaki-laki, karena anak perempuan pun bisa menjadi suputra.Semua anak haruslah dididik agar menjadi suputra.

Page 89: calep finaleditnew - sim.ihdn.ac.idsim.ihdn.ac.id › app-assets › repo › repo-dosen-032004021651-13.pdf · analisis sosio antropologisnya dia ingin melihat suatu perubahan yang

88 | Calep : catatan lepas kebudayaan | yoga segara

.........................................................................................

Perempuan Hinduitu “sakti”,masih tak percaya?

Tak perlu ada penyesalan atas struktur patrilineal yangsepertinya sudah given. Seorang teman dekat, novelis hebat,Oka Rusmini menyarankan perempuan Hindu Bali harusmempersiapkan diri dengan baik melalui ekonomi dan pendidikan.Dengan ini, ia akan siap menghadapi berbagai kemungkinan dariresiko sistem patrilineal ala Bali. Stigmatisasi atas perempuanbukanlah alamat buruk bagi perempuan untuk terus bertumbuh.Karena pesaing perempuan bukanlah laki-laki saja, tetapi kaumnyadan dirinya sendiri. Sayangnya banyak perempuan dalam sebuahpemilihan anggota organisasi misalnya, malah menawarkan dirimenjadi seksi konsumsi saja, paling tinggi bendahara. Jarang,sangat jarang yang mau mengajukan peran sebagai ketua.Padahal di masa lalu, banyak perempuan Hindu pernah membuatkarya agung.

Dalam tradisi orthodoks Hindu, seperti dijelaskanSarvanukramanika, setidaknya terdapat 20 wanita yang dianggapmemiliki intuisi tajam sebagai Maha Rsi yang ikut berperan dalammenyusun Rgveda. Beberapa yang menonjol, antara lainLopamudra, Visvavara, Sikata Nivavari dan Gosha. Mereka ini

Page 90: calep finaleditnew - sim.ihdn.ac.idsim.ihdn.ac.id › app-assets › repo › repo-dosen-032004021651-13.pdf · analisis sosio antropologisnya dia ingin melihat suatu perubahan yang

Calep : catatan lepas kebudayaan | yoga segara | 89

.......................................................................

diyakini sebagai perempuan hebat yang benar-benar hidup padamasa itu. Penyusun kitab suci Rgveda X.145 dan 159 juga diyakiniseorang perempuan, meskipun namanya diragukan apakah diabernama Indrani atau Sachi. Bahkan perempuan bernama Gargidan Maitreya juga pernah disebut-sebut berdialog dengan RsiYajnavalkya dalam usahanya menemukan kebenaran yangabsolut. Kumpulan dialog antara mereka ini terhimpun dalamMaitri Upanisad. Tokoh perempuan, seperti Sulabha Maitreyi,Vadava Prathiteyi dan Gargi Vachaknavi sampai saat ini jugamasih mendapat penghormatan agung dari para penulis dansarjana yang berpandangan tajam yang selalu ingat akankewajibannya untuk berdoa saat brahmayajna.

Esok, bagaimana postur perempuan Hindu akan sangattergantung pada dirinya sendiri, dan kesempatan-kesempatanyang dikelolanya menjadi peluang untuk berprestasi. Padaakhirnya, masa depan yang cemerlang akan ditentukanditangannya sendiri. Sehingga tak perlu ia berkelahi dengan laki-laki, yang jangankan diminta lebih rendah posisinya dariperempuan, setara pun laki-laki akan tetap ogah.

Page 91: calep finaleditnew - sim.ihdn.ac.idsim.ihdn.ac.id › app-assets › repo › repo-dosen-032004021651-13.pdf · analisis sosio antropologisnya dia ingin melihat suatu perubahan yang

90 | Calep : catatan lepas kebudayaan | yoga segara

.........................................................................................

Dilema akutperempuan tri wangsa

Di satu daerah di Bali timur yang pernah saya observasi,terdapat banyak perempuan setengah baya dalam sebuah griya.Mereka duduk-duduk di teras, bersendagurau dengan saudaraperempuannya yang lain. Ada juga yang sambil mencari kutu dirambut. Tampak mereka sangat menikmati kehidupannya itu.Namun bisik-bisik penjaga warung kecil di depan griya itu,perempuan-perempuan itu belum menikah. Dan pemandanganitu saya temukan lebih di satu griya. Ironis, tentu. Tapi taksemudah hanya menontonnya. Kompleks. Dan pemandangan itu,lagi-lagi soal struktur sosial: perkawinan.

Perkawinan di Bali sangat berbeda dengan sistemperkawinan yang dianut daerah lain, terlebih di dunia Barat, yangsiapa kawin dengan siapa adalah soal biasa dan ringan. Di Bali,perkawinan itu perlu direncanakan matang, termasuk memikirkanlelintihan dan soroh calon pengantinnya. Tak bisa seorang laki-laki jaba mengawini begitu saja perempuan tri wangsa.Sebaliknya, laki-laki brahmana bisa bebas memilih perempuanyang dicintai untuk dikawininya. Namun perempuan brahmanatidak bisa memilih laki-laki yang diidamkannya kecuali sesamawangsa. Bahkan ketika dikawini laki-laki ksatria dan wesyayang sebenarnya masuk golongan tri wangsa juga tetap dianggap

Page 92: calep finaleditnew - sim.ihdn.ac.idsim.ihdn.ac.id › app-assets › repo › repo-dosen-032004021651-13.pdf · analisis sosio antropologisnya dia ingin melihat suatu perubahan yang

Calep : catatan lepas kebudayaan | yoga segara | 91

.......................................................................

leteh sehingga disebut nyerod.Karena itu, tak terbayangkan jikaperempuan brahmana, ksatria dan wesya dikawini laki-lakijaba. Lebih menyakitkan.

Jika kemudian banyak ditemukan perempuan, terutamabrahmana memilih menjadi perawan tua, itu pilihan paling sulit.Ada dilema yang sangat pelik. Meski larangan perkawinan bedawangsa tidak diatur dalam peraturan dan perundang-undangan,tetap saja ingatan kolektif masyarakat tentang ancaman danhukuman perkawinan ini masih membekas. Hasil penelitian sayamenunjukkan betapa ada kegelisahan dalam batin perempuanyang berani nyerod. Mereka tak pernah bisa menyembunyikanrasa sakit meskipun hidup berkecukupan, bahkan mapan denganlaki-laki yang tidak sewangsa dengannya. Tampak bahagia, tapidi batin terdalamnya, siapa yang bisa menduga.

Page 93: calep finaleditnew - sim.ihdn.ac.idsim.ihdn.ac.id › app-assets › repo › repo-dosen-032004021651-13.pdf · analisis sosio antropologisnya dia ingin melihat suatu perubahan yang

92 | Calep : catatan lepas kebudayaan | yoga segara

.........................................................................................

“Kepanesan”,mitos atau fakta?

Dalam penelitian yang pernah saya lakukan, seorangpegawai Dukcapil yang baru saja pindah ke Bali heran. Dia dariJawa Barat, sebut saja namanya Nina. Beberapa orang datangdengan nama yang berbeda dari akte kelahirannya. Tapi takapalah karena dia memang tidak tahu. Ada banyak nama jero,ada juga nama yang seperti “diturunkan” derajatnya dari namaaslinya, padahal nama-nama baru itu tak mengubah nama asli diakte. Yang berubah mungkin perasaan saja. Jika dinaikkanrasanya lebih terhormat, diturunkan seperti hinaan. Tapibenarkah?

Perkawinan di Bali memang unik, agak sama jugasebenarnya dengan Jawa yang harus memperhitungkan bibit,bebet dan bobot. Kalau di Bali, asal usul kelahiran berdasarkanlelintihan perlu dipertimbangkan. Karena itu, ada kehati-hatianjuga dalam memilih pasangan hidup. Sayup terdengar, perempuandari klan pande jika dinikahi laki-laki bukan pande, jugadimitoskan akan “kepanesan”. Bahkan saya yang mengawiniperempuan China juga sempat dilarang keluarga karena bisamembikin keluarga “panes”. Kata mereka, raja Bali telah bertitahagar krama Bali tidak mengawini perempuan China. Merekatakut tulah. Begitulah di Bali.

Page 94: calep finaleditnew - sim.ihdn.ac.idsim.ihdn.ac.id › app-assets › repo › repo-dosen-032004021651-13.pdf · analisis sosio antropologisnya dia ingin melihat suatu perubahan yang

Calep : catatan lepas kebudayaan | yoga segara | 93

.......................................................................

Karena itu, seorang perempuan jaba jika dikawini laki-laki tri wangsa akan diberikan nama baru yang kurang lebihbermakna harum dan wangi, dengan tambahan jero di depannamanya. Ada kesepakatan bahasa, kata jero yang berarti didalam itu wangi dan harum. Utama mandala juga sering disebutjeroan karena diyakini paling suci, hening dan sunya. Yang diluar jero atau jaba adalah tempat biasa. Orang jaba adalahorang biasa yang ada di luar jero. Kata jaba juga sama artinyadengan jawa, yang juga berarti luar. Sehingga di Bali, setiap orangluar Bali sering disebut nak jawa, meskipun ia berasal dariMakassar atau Lombok. Nah, perempuan diberi nama jerocempaka, jero sandat, jero sekar, jero wangi, dlsb untukmenaikkan status sosial itu, bukan mengubah nama aslinya. Begitujuga perubahan nama perempuan dari tri wangsa yang kawinnyerod diturunkan menjadi sama dengan nama suami. Tak adayang berubah, kecuali perasaan saja, sebenarnya

Page 95: calep finaleditnew - sim.ihdn.ac.idsim.ihdn.ac.id › app-assets › repo › repo-dosen-032004021651-13.pdf · analisis sosio antropologisnya dia ingin melihat suatu perubahan yang

94 | Calep : catatan lepas kebudayaan | yoga segara

.........................................................................................

“Melawan mitos”malah denganmepayas agung

Dulu, payas agung itu hanya boleh digunakan parabangsawan atau tri wangsa. Tak boleh orang biasa (jaba)menggunakannya karena akan dianggap menyama-nyamakan diridengan mereka yang berdarah suci. Tak boleh, karena akandisebut amada-mada ratu. Jika dilanggar, bisa dihukum berat.Paling tidak akan kepongor. Kepanesan bagi yang beranimemakai pakaian kebesaran itu. Mirip di masa lalu yang tidakboleh menunjuk-nunjuk tri wangsa dengan jari telunjuk ataurumah orang jaba terpaksa minggir agar tak berhadap-hadapanlangsung dengan griya sebagai representasi surya (matahari).

Kini, payas agung atau pakaian adat yang sakral danberharga mahal itu sudah banyak disewakan dan dijual. Bahkan,para turis dan wisatawan juga sering menggunakannya untuksesi foto, baik di studio maupun outdoor. Bisa juga untukpreweding. Intinya digunakan tidak lagi seperti di masa lalu, tetapilebih sebagai bagian dari hiburan dan untuk bersenang-senang.Ada saatnya payas agung itu untuk upacara sakral dan dihormati,apalagi tiap daerah punya nilai hostoris lengkap dengan mitosnya.

Page 96: calep finaleditnew - sim.ihdn.ac.idsim.ihdn.ac.id › app-assets › repo › repo-dosen-032004021651-13.pdf · analisis sosio antropologisnya dia ingin melihat suatu perubahan yang

Calep : catatan lepas kebudayaan | yoga segara | 95

.......................................................................

Masalahnya, lagi-lagi komodifikasi. Payas agung menjadilumrah karena ada permintaan, tak peduli status kewangsaannyalagi, yang penting ada modal berupa uang untuk membeli atauhanya menyewa. Bahkan saat ini tempat penyewaan busana adatBali lebih banyak dimiliki oleh kalangan tri wangsa sendiri.Dengan posisi jaba yang makin kuat secara ekonomi, danpengaruh gaya hidup yang begitu kencang, memungkinkankomodifikasi ini berjalan mulus. Meskipun dalam pikiran kolektiforang Bali, payas agung dalam perkawinan tetap adalah simbolyang menjadi “milik sah” tri wangsa. Ketika standar atas statussosial bersama telah ditentukan, terlebih hanya dengan properti,yang karena kemapanan ekonomi bisa diraih oleh siapa saja, makamepayas agung untuk sekadar menunjukkan simbol status sosialtinggi menjadi lumrah pada akhirnya. Tak mengherankan, orangkampung yang baru jual tanah warisan bisa jor-joranmenggunakan sesuatu yang kadang tak dimengertinya. Sepanjangsemesta menyetujui, apapun bisa terjadi.

Page 97: calep finaleditnew - sim.ihdn.ac.idsim.ihdn.ac.id › app-assets › repo › repo-dosen-032004021651-13.pdf · analisis sosio antropologisnya dia ingin melihat suatu perubahan yang

96 | Calep : catatan lepas kebudayaan | yoga segara

.........................................................................................

Page 98: calep finaleditnew - sim.ihdn.ac.idsim.ihdn.ac.id › app-assets › repo › repo-dosen-032004021651-13.pdf · analisis sosio antropologisnya dia ingin melihat suatu perubahan yang

Calep : catatan lepas kebudayaan | yoga segara | 97

.......................................................................

4Delusi,

Primordialisme,Dialektika

Page 99: calep finaleditnew - sim.ihdn.ac.idsim.ihdn.ac.id › app-assets › repo › repo-dosen-032004021651-13.pdf · analisis sosio antropologisnya dia ingin melihat suatu perubahan yang

98 | Calep : catatan lepas kebudayaan | yoga segara

.........................................................................................

Menjadi Jeroitu panggilan hati,gaya hidup,atau menghindarimasalah?

Kata jero di Bali sudah sangat populer. Saat saya pulangkampung, juga langsung diledek, bukan saja oleh teman-temandi Bali, tapi juga teman-teman di Jakarta, yang notabene jauhdari urusan ini. “Pulang kampung mau jadi jero ya”, begiturata-rata ledekan mereka. Memang, pulang kampung di usiayang sangat produktif adalah anomali dengan meninggalkan karirdi ibukota. Saya harus pulang untuk menjemput takdir sebagaianak laki-laki tunggal dan meneruskan tradisi orang Bali: tinggaldi rumah tua.

Saya mungkin tak sampai gegar budaya ketika melihatbegitu bersemangatnya banyak orang menampilkan diri sebagaijero, entah jero mangku, jero balian, dan jero lain yangberhubungan dengan dunia supranatural. Berbeda dengan sebutanjero karena kedudukan tertentu, seperti jero bendesa, jerokelihan, dlsb atau karena panggilan sopan dan hormat.

Page 100: calep finaleditnew - sim.ihdn.ac.idsim.ihdn.ac.id › app-assets › repo › repo-dosen-032004021651-13.pdf · analisis sosio antropologisnya dia ingin melihat suatu perubahan yang

Calep : catatan lepas kebudayaan | yoga segara | 99

.......................................................................

Tampaknya ada eforia, ada gairah yang begitu besar. Mungkinbisa menjadi satu indikator tingkat religius dan spiritual orangBali sedang tinggi. Mungkin, tapi entahlah. Menjadi jero adalahhak siapa saja. Tak boleh dilarang. Karena ada juga orang yangsudah kesudi menjadi pemangku bahkan sejak dalam kandungan,mendapatkan pawisik langsung dari Tuhan yang dapatdipertanggungjawabkan, faktor keturunan, usaha yang sungguh-sungguh dengan belajar khusus, atau sebab-sebab lain yang dapatditerima baik sekala maupun niskala.

Namun ada juga yang menduga menjadi jero karena ikut-ikutan. Misalnya, karena standar nilai yang seolah “disepakati”bersama bahwa religiusitas ditentukan oleh pakaian putih-putih,sering tirthayatra, kedewan-dewan, sedikit-sedikit kerauhandan kesurupan. Lalu dilegitimasi dengan sengaja menggunakanberbagai properti yang dikesankan tenget. Akhirnya, menjadi jerokarena panggilan gaya hidup saja. Tak jarang tren ini diikuti anak-anak muda dan mereka yang belum siap mental. Ketika tersiarada perselingkuhan di kalangan jero, menjadi penyuka sesamajenis, atau jero anak muda yang kerjanya selfie dan bikin statusnyeleneh di medsos, mungkin itu semua adalah dampak yangtak dapat dihindari. Menjadi jero hanya untuk menghindarimasalah juga ada, dan itu banyak.

Page 101: calep finaleditnew - sim.ihdn.ac.idsim.ihdn.ac.id › app-assets › repo › repo-dosen-032004021651-13.pdf · analisis sosio antropologisnya dia ingin melihat suatu perubahan yang

100 | Calep : catatan lepas kebudayaan | yoga segara

.........................................................................................

Speaker Tri Sandhyaitu bukan alarm!

Bagi kaum urban yang tinggal diperantauan luar Bali,sembahyang adalah satu masalah tersendiri. Tak seperti umatlainnya yang bisa sembahyang di satu tempat ibadah. Merekatak bisa sembahyang paling banter karena perbedaan mashabsaja, selebihnya relatif tak masalah, tak serumit umat Hindu. DiJakarta dan daerah lainnya, biasanya ada pura umum berupapadmasana. Itu pun tak banyak, hanya di ibukota propinsi ataukabupaten. Tak ayal, pura itu akan penuh oleh umat Hindu daripelosok daerah. Tentu berbeda, sangat berbeda dengan di Bali.Karena itu, kami biasanya akan menyempatkan sembahyang dirumah. Biasanya pagi atau malam sepulang kerja dan bersama-sama dengan seluruh anggota keluarga. Tri Sandhya dankramaning sembah rutin dilakukan setiap hari di rumah.

Sejak diperantauan, saya selalu mengajarkan anak-anakbahwa di Bali mereka akan melihat orang-orang bersembahyangsetiap saat. Selalu ada momen, bahkan tiap hari, umat Hindu diBali melaksanakan persembahyangan. Kalau tidak di pura, ya dirumah masing-masing. Ya, setiap hari! Pesan saya kepada anak-anak agar ketika pulang dan tinggal menetap di Bali, merekaharus siap dan ikut seperti saudara, teman dan orang sekitarnya.

Page 102: calep finaleditnew - sim.ihdn.ac.idsim.ihdn.ac.id › app-assets › repo › repo-dosen-032004021651-13.pdf · analisis sosio antropologisnya dia ingin melihat suatu perubahan yang

Calep : catatan lepas kebudayaan | yoga segara | 101

.......................................................................

Saatnya kami hidup menetap di Bali. Setiap sore, kami punterus menjalankan rutinitas sembahyang bersama. Tri Sandhya,lalu kramaning sembah. Setelah sebulan, anak lelaki sulungkubertanya: “Kata ayah, orang Bali tiap hari tiga kalisembahyang. Kok hanya terdengar bunyi speaker yangmengumandangkan Tri Sandhya, tapi orangnya gak adasatupun yang sembahyang”. Ini pertanyaan mudah tapi susahmemberikan jawaban detil untuk anak berusia 10 tahun. Saat itu,2016 ia baru Kelas 7 SMP. Entah kini, saat ia akan sembahyangbersama di sekolah dan sorenya di rumah bersama kami. Yangjelas, saya tidak menjawab pertanyaan anakku bahwa speakeryang terpasang disetiap bale agung pura desa itu bukan sebuahalat pengingat waktu atau alarm yang berbunyi tepat waktu padapukul 06.00 pagi, 12.00 siang dan 18.00 sore.

Page 103: calep finaleditnew - sim.ihdn.ac.idsim.ihdn.ac.id › app-assets › repo › repo-dosen-032004021651-13.pdf · analisis sosio antropologisnya dia ingin melihat suatu perubahan yang

102 | Calep : catatan lepas kebudayaan | yoga segara

.........................................................................................

Budaya bersihdi pura, kok sulitamat?

Suatu hari, saya dan keluarga sembahyang ke pura kawitandi luar Denpasar. Karena di kampung juga ada odalan, kamitangkil di hari terakhir. Sekalian untuk menghindari kepadatanpemedek yang biasanya berdesakan. Padahal yang saya dengar,segala macam jurus sudah dilakukan panitia untuk memperlancarodalan, termasuk dengan kartu. Tetap saja crowded. Tiap tahunjumlah pemedek selalu bertambah. Bahkan banyak yang datangdari luar Bali. Saya menemui salah seorang pemedek yangtangkil dari Nusa Penida, bahkan dari Lombok dan Kendari,Sulawesi Tenggara. Soal sekalian mereka sebenarnya pulangkampung, itu urusan lain.

Membludaknya pemedek tentu merepotkan panitiapiodalan. Belum lagi urusan lain yang tak kalah menyibukkan.Ya parkir, pedagang, hingga arena judi macam bola adil hinggatajen. Di Bali pemandangan seperti ini sudah satu paket. Takaneh ketika kami sembahyang, tumpukan canang saat itumencapai 30 cm. Menjadi bau karena saat itu musim hujan, kadangsiangnya terik sehingga bau makin anyir menyengat. Karena ada

Page 104: calep finaleditnew - sim.ihdn.ac.idsim.ihdn.ac.id › app-assets › repo › repo-dosen-032004021651-13.pdf · analisis sosio antropologisnya dia ingin melihat suatu perubahan yang

Calep : catatan lepas kebudayaan | yoga segara | 103

.......................................................................

pembusukan, lalat pun mulai berseliweran. Tantangan, sekaligusujian untuk memusatkan diri memuja Tuhan.

Bagi sang wikan, kondisi itu tentu tak soal. Baginya semuamaya, bukan? Tapi sang wikan itu jumlahnya minoritas, masihsangat banyak umat awam yang jika sembahyang mendambakanlingkungan pura yang asri. Bagi mereka, pura itu tempat yangmenyenangkan. Namun lingkungan pura yang indah terasa kurangjika tak dimulai dengan budaya bersih dimulai dari pemedeksendiri. Misalnya, secara refleks mereka akan membawa sendirisampah bekas sembahyang atau tidak kencing sembarangan dilingkungan pura. Budaya bersih ini hanya akan bisa dilakukanjika di pura tersedia kamar mandi atau WC, tempat sampah,tempat membersihkan tangan dan kaki sebelum ngaturangbhakti. Sebuah kebahagiaan, jika tak bisa dibuat dari dalam jiwa,bukankah ia bisa datang dari luar tubuh. Mari budayakanhidup bersih dan sehat tidak saja di rumah, tapi juga tempat-tempat suci.

Page 105: calep finaleditnew - sim.ihdn.ac.idsim.ihdn.ac.id › app-assets › repo › repo-dosen-032004021651-13.pdf · analisis sosio antropologisnya dia ingin melihat suatu perubahan yang

104 | Calep : catatan lepas kebudayaan | yoga segara

.........................................................................................

Karang Suwung,kok makin suwung?

Bali dijaga dari segala penjuru arah mata angin. Para dewadan pura, baik Sad Kahyangan maupun Dang Kahyangan ada dimana-mana. Tak ada sejengkal tanah yang tak suci. Karena itu,orang Bali sangat berhati-hati dengan tanah, apalagi mencurinya.Bahkan dalam membangun rumah letaknya ditata sedemikianrupa agar nganutin lontar dan menggunakan sikut denganmenyisakan adepa tanah pekarangan. Ini agar ada ruang hampadi tembok penyengker. Kini, terutama di komplek-komplekperumahan, tembok pagar dengan bangunan sudah menyatu, takada lagi sisa. Halaman rumah juga sudah dipaping atau dibeton.Tanaman dan bunga hias terkurung dalam pot. Jika musimkemarau, hawa rumah makin panas, saat musim hujan air menjadirob karena tak ada resapan.

Dulu, anak-anak dibiarkan bermain di tanah, bahkan karenatak tahu mereka terbiasa mengisap debu. Orang tua akanmenyebutnya ngisep sarin buk ibu perthiwi. Anak-anak itutidak sakit, malah diyakini makin kuat karena bertemu dengantanah. Begitu juga ketika hujan-hujanan, mereka tidak sakit. Kinipemandangan itu menjadi masalah besar dan serius. Saking takmau bertemu ibu perthiwi, di dalam rumah pun, turun dari tempat

Page 106: calep finaleditnew - sim.ihdn.ac.idsim.ihdn.ac.id › app-assets › repo › repo-dosen-032004021651-13.pdf · analisis sosio antropologisnya dia ingin melihat suatu perubahan yang

Calep : catatan lepas kebudayaan | yoga segara | 105

.......................................................................

tidur sudah menggunakan sendal tipis khusus. Selain karena polusialam, kini orang rentan sakit mungkin juga karena cara hidup,pola makan, dan bagaimana memandang dirinya di alam.

Suasana di rumah juga menjalar di ruang sosial, di areapublik. Dulu hampir di semua desa adat masih tersedia karangsuwung yang sengaja dikosongkan warga. Kalau tidakdiperempatan ada lahan yang luas, di teben desa ada saja karangsuwung. Entah sebagai kebun kosong, tempat bermain dan olahraga atau sekadar bertemu pulang kerja. Kini karang suwungitu sudah banyak beralih fungsi. Selain dimanfaatkan desa agarproduktif, misalnya dijadikan pasar dan parkir tapi juga sudahbanyak dibeli untuk perumahan atau kluster-kluster perumahankecil. Tiba-tiba saja daerah yang dalam sejarahnya tak pernahbanjir, kini dengan hujan deras sebentar saja sudah banyakgenangan, padahal Bali itu kecil dan dikelilingi pantai. Juga banyakaliran sungai. Tampaknya untuk beberapa daerah tertentu, Baliharus kembali punya karang suwung-karang suwung, meskipuntak seluas masa lalu.

Page 107: calep finaleditnew - sim.ihdn.ac.idsim.ihdn.ac.id › app-assets › repo › repo-dosen-032004021651-13.pdf · analisis sosio antropologisnya dia ingin melihat suatu perubahan yang

106 | Calep : catatan lepas kebudayaan | yoga segara

.........................................................................................

Sigug itu memujiatau menghina sih?

Pagi menjelang siang, kira-kira pukul 9, saya mendengartetangga sedikit berisik. Hari itu libur, saya sedikit bermalas-malasan di rumah. Dan “pertengkaran” tetangga itu lama-lamacukup mengganggu. Sudah mulai terdengar saling ejek. Sayasedikit kaget, lalu hanya ikut nguping, karena sepertinya merekatidak membutuhkan penengah. Ternyata masalahnya sepele saja.

Alkisah. Lampu depan tetangga di kiri rumah saya biasanyamenyala hingga siang. Sepertinya tangan mereka tak begiturefleks untuk memencet saklar. Mereka sering lupa mematikanlampu. Dan kejadian ini sudah lama berlangsung. Bukan baru-baru ini saja. Saya pun kalau lewat depan rumahnya seringmekaukan untuk mengingatkan. Entah angin apa, tiba-tibatetangga di kanan rumah saya hari itu agak gundah. Lalumenumpahkan kata-kata yang sepertinya lama ia pendam: “Mihkali jani lampun timpale nu ngendih. Mirib sing kuangantai apa lebihan pipise kal anggo mayah listrik”. Seketikaorang di dalam rumah, menyahut pedas: “Adi awake repot san.Pis-pis icange, nyak kenken ja de awake milu-milu nah.Ipidan awake nyujukang penjor aeng gati, icang sing jengugul, apa buin tawang penjore to kayang jani ondenmebayah”. Sahut-sahutan ini dapat diduga kelanjutannya, sepertiapa drama telenovela di pagi hari.

Page 108: calep finaleditnew - sim.ihdn.ac.idsim.ihdn.ac.id › app-assets › repo › repo-dosen-032004021651-13.pdf · analisis sosio antropologisnya dia ingin melihat suatu perubahan yang

Calep : catatan lepas kebudayaan | yoga segara | 107

.......................................................................

Begitulah bahasa orang Bali. Jika tak hati-hati danmemahami struktur bahasanya, kadang hati bisa panas dingin.Antara memuji dan menghina itu sangat tipis bedanya. Bahasasigug itu antara memberikan pujian yang sebenarnya, atau adasisipan untuk menghina. Atau juga menghina tetapi dengan caramemuji. Karena sigug, dan juga ngewalek, Pan Balang Tamak,si tokoh legendaris yang selalu luput dari sanksi adat sanggupmemanfaatkan situasi terjepitnya dengan sangat baik. Ia bisaberdalih, bahkan dengan cara yang sigug.

Page 109: calep finaleditnew - sim.ihdn.ac.idsim.ihdn.ac.id › app-assets › repo › repo-dosen-032004021651-13.pdf · analisis sosio antropologisnya dia ingin melihat suatu perubahan yang

108 | Calep : catatan lepas kebudayaan | yoga segara

.........................................................................................

Mimikri:meniru ataumengejek?

Dalam sebuah pengalaman meneliti, saya terhenti sejenakuntuk memperhatikan sebuah kori agung, lengkap dengan propertirumah yang tak biasa bagi seorang jaba. Sejurus kemudian, adapenjaga rumah yang mengusir saya agar tak memotret. Tapi takdisangkanya, saya malah sedang mewawancarainya karena ia terlalubanyak bicara. Katanya, rumah itu milik pengusaha minyak yangsukses, kebetulan dia orang jaba dari Denpasar. Saya diminta untuktidak mempublikasikan model rumah agar tak ditiru orang lain.Penjaga itu juga bercerita, sang tuan rumah ingin menunjukkanbahwa dia adalah keturunan langsung bangsawan Jawa yang “lari”ke Bali. Tentu sejarah tentang ini sudah banyak yang tahu. Tapibagaimana si empunya rumah mempresentasikan dirinya sebagaibagian dari bangsawan Jawa, meskipun kini sebagai jaba, itu jauhlebih menarik. Mungkin fakta seperti ini hanya akan diklaim jabayang sukses.

Pada kesempatan lain, saya dibuat terkaget-kaget denganbeberapa teman jaba, meski dengan nada bercanda minta dipanggilRah Tu, yang lainnya minta disebut Gung De dan Gus Mang. Katamereka, panggilan ini untuk ngewalekin mereka (entah jaba

Page 110: calep finaleditnew - sim.ihdn.ac.idsim.ihdn.ac.id › app-assets › repo › repo-dosen-032004021651-13.pdf · analisis sosio antropologisnya dia ingin melihat suatu perubahan yang

Calep : catatan lepas kebudayaan | yoga segara | 109

.......................................................................

maupun tri wangsa) yang di jaman android ini masih saling berebutsoal status kewangsaan. Saling memanggil dengan panggilan halusitu, bagi mereka bukan untuk gagah-gagahan karena disela-selaobrolan, bahasa-bahasa kasar ala kaum kebanyakan juga terusterselip. Bagi mereka, sudahlah. Soal yang satu ini tak akan pernahhilang di muka bumi Bali. Biarkan saja, tak perlu sampai dicari-carisampai hilang akal, tak penting dipertahankan sampai rasio tumpul.

Memang dulu sempat beredar kabar, Gubernur Bali inginmenertibkan masalah ini, meski akhirnya menguap juga, yaitu nama-nama puri dan griya sebagai tempat tinggal hanya untuk kalangantri wangsa saja. Tapi daya tahan itu jebol juga. Kini, hampir disetiap sudut tanah strategis, bahkan yang dulunya kawasan hijautelah berubah fungsi menjadi komplek perumahan dengan namaGriya Harapan, Puri Residence, dlsb yang penghuninya kebanyakanorang jaba. Bahkan juga, jaba yang punya uang berlimpah, belisebidang tanah, bikin kluster dengan enam rumah saja, jadilah PuriPermata. Mereka melakukan memikri dengan maksud meniru agarsetara dengan standar yang diciptakan bersama, tapi saat bersamaanjuga untuk mengejek meskipun tetap merasa tak pantas.

Page 111: calep finaleditnew - sim.ihdn.ac.idsim.ihdn.ac.id › app-assets › repo › repo-dosen-032004021651-13.pdf · analisis sosio antropologisnya dia ingin melihat suatu perubahan yang

110 | Calep : catatan lepas kebudayaan | yoga segara

.........................................................................................

Ngewalek lebihdari sekadar ngorta

Pekerjaan orang kini beragam. Tak seperti dulu. Orangbisa pergi kerja bareng, pulang juga bersama-sama. Jenispekerjaannya juga sama. Sebagian besar sebagai petani,pedagang atau nelayan. Homogen. Bahkan sepulang kerja mampirdulu ke warung, sekadar ngopi atau bertemu dulu sebelum kerumah. Petani sehabis bekerja di sawah, lalu mandi di aliran sungaiatau telabah, kadang nyampur laki-perempuan, selepassandikala mereka bisa pergi bersama-sama untuk metuakan.

Kini tentu pemandangan itu sudah jauh berbeda. Bahkantetangga sebelah rumah kita sudah tidak tahu bekerja di mana,sebagai apa, dan waktu bekerjanya kapan. Seminggu bisa tidakbertemu. Tempat duduk-duduk di depan kori atau angkul-angkul sudah jarang diduduki, apalagi hanya untuk ngorta. Balebanjar juga sama saja, tak seramai dulu. Daripada tidak produktif,banyak bale banjar disewakan untuk berdagang, parkir mobilatau tempat berolahraga.

Namun tidak di warung tradisional yang menjual nasicampur, kopi hingga tuak dan arak. Warung seperti ini di Balibukan sekadar warung. Ia bisa menjadi tempat untukmempertemukan tubuh-tubuh yang lelah, sekaligusmempertemukan berbagai ideologi. Di warung tradisional banyak

Page 112: calep finaleditnew - sim.ihdn.ac.idsim.ihdn.ac.id › app-assets › repo › repo-dosen-032004021651-13.pdf · analisis sosio antropologisnya dia ingin melihat suatu perubahan yang

Calep : catatan lepas kebudayaan | yoga segara | 111

.......................................................................

hal dari yang remeh hingga masalah bangsa dibicarakan. Takcukup dibaca di koran atau ditonton di tv dan didengar di radio.Informasi itu sepertinya harus diomongkan. Makan nasi campurjadi tak penting. Ngopi atau ngarak juga tak istimewa. Warungmenjadi tempat untuk saling meledek, ngewalek. Dan orang-orangtak saling marah. Emosi bisa saja, itu pun kalau sudah minum lebihdari dua seloki, takaran normal penghangat tubuh. Ngewalek jauhlebih penting dari pertemuan itu sendiri. Saling walekin adalahtingkatan tertinggi dalam menerima kenyataan, karena tak banyakorang sanggup dengan tenang menertawakan dirinya sendiri. Palingmudang memang menertawakan orang lain.

Page 113: calep finaleditnew - sim.ihdn.ac.idsim.ihdn.ac.id › app-assets › repo › repo-dosen-032004021651-13.pdf · analisis sosio antropologisnya dia ingin melihat suatu perubahan yang

112 | Calep : catatan lepas kebudayaan | yoga segara

.........................................................................................

Multifungsi puradi tanah rantau

Manusia Bali adalah makhluk kolektif dan komunal. Nyaristak bisa hidup dengan satu kakinya secara individual, lalumengabaikan perannya sebagai makhluk sosial. Merekaumumnya hidup di atas kolektivitas. Mungkin karena bertipemasyarakat agraris, sebagaimana kebanyakan masyarakatrumpun Melayu seperti Indonesia. Saat merantau jauh sekalipun,orang Bali seolah wajib mendirikan bale banjar, pura,pasraman, dlsb.

Tempat-tempat itu adalah episentrum berbagai aktivitas,sosial budaya hingga politik. Namun yang membedakannya,tempat-tempat itu memiliki fungsi lain, bahkan multifungsi.Misalnya, pura di Jakarta bukan saja tempat sembahyang tetapijuga sebagai ruang publik. Tak heran, setiap Sabtu dan Minggu,pura di Jakarta selalu penuh oleh umat. Hanya dengan cara itu,mereka bisa bertemu, beranjangsana, dan mengakrabkan diri,terlebih jika mereka satu daerah, apalagi satu lelintihan.Bagaimanapun, tempat global seperti ibukota negara tidakmenggerus adab lokal mereka. Wajar, karena itu penandaidentitas. Banyak budaya lain juga mengalaminya. Orang Padang

Page 114: calep finaleditnew - sim.ihdn.ac.idsim.ihdn.ac.id › app-assets › repo › repo-dosen-032004021651-13.pdf · analisis sosio antropologisnya dia ingin melihat suatu perubahan yang

Calep : catatan lepas kebudayaan | yoga segara | 113

.......................................................................

di USA juga akan merindukan rendang, orang Lombok di Jermanakan menginginkan ayam taliwang.

Yang cukup unik, bale banjar bukan saja untuk sangkepatau rapat arisan tempekan, pura sebagai tempat sembahyang,pasraman sebagai tempat pendidikan agama, tetapi tempat-tempat itu juga ajang mencari jodoh atau saling menjodohkananak. Mereka, para orang tua itu, ingin putra-putrinya tetap kukuhdengan budaya leluhurnya, melanjutkan jati dirinya sebagai orangBali dan umat Hindu, serta ingin anak perempuannya tidak pindahagama dan anak laki-lakinya tidak paid bangkung. Bahkanmereka punya jargon yang menggetarkan: “lahir sebagai Hindu,matipun tetap sebagai Hindu!”.

Page 115: calep finaleditnew - sim.ihdn.ac.idsim.ihdn.ac.id › app-assets › repo › repo-dosen-032004021651-13.pdf · analisis sosio antropologisnya dia ingin melihat suatu perubahan yang

114 | Calep : catatan lepas kebudayaan | yoga segara

.........................................................................................

Harga mahalsebuah kenyamanandi pura

Hampir semua pura di Jakarta, mungkin juga di daerahlain luar Bali, memiliki fasilitas yang cukup banyak, sesuatu yangmalah sedikit ditemukan di Bali. Misalnya, WC atau kamar mandiselalu tersedia. Di Jakarta, tempat ini bukan saja untuk buanghajat tetapi lebih banyak untuk mesalin pakaian. Umat Hindu diJakarta, kecuali yang memiliki kendaraan pribadi, tidak mungkinmenggunakan pakaian adat dengan naik motor, seperti denganbebas dilakukan di Bali, tak pakai helm pula, apalagi numpangmetromini. Bisa-bisa dianggap aneh dan penghayat aliran sesat.Habis sembahyang, bija di dahi dan bunga di kuping saja kadangharus segera ditanggalkan karena alasan-alasan itu. Karena itulah,WC punya fungsi lain.

Sebelum masuk pura, di depan candi bentar di jaba sisibiasanya ada pancuran yang digunakan untuk membersihkantangan dan kaki. Air pancuran dari kran itu bukan wudhusebagaimana umat Islam melakukannya sebelum sholat. Air ituuntuk membersihkan dan atau menyucikan badan jasmani dari

Page 116: calep finaleditnew - sim.ihdn.ac.idsim.ihdn.ac.id › app-assets › repo › repo-dosen-032004021651-13.pdf · analisis sosio antropologisnya dia ingin melihat suatu perubahan yang

Calep : catatan lepas kebudayaan | yoga segara | 115

.......................................................................

kekotoran. Datang dari jauh menuju pura biasanya badan, danjuga pikiran, terpapar polusi udara dan debu. Setelahmembersihkan diri, tersedia pula tirtha yang dipercikkan sebelummelangkah ke jaba tengah atau jeroan jika pura tersebut hanyamemiliki dwi mandala.

Masuk ke jaba tengah, tersedia pula selendang, dupa danbunga bagi umat yang tidak berpakaian adat dan tidak membawasarana persembahyangan. Selanjutnya, semua alas kaki harusdilepas dan diletakkan di tempat yang disediakan, biasanya berupaalas bertingkat. Semua tertata rapih. Sembahyang di jeroan akanselalu diawali dengan puja Tri Sandhya, pada pukul berapapunmereka tangkil. Jika odalan, persembahyangan akan diisi terlebihdahulu dengan dharmawacana. Usai nunas tirtha dan bija,semua bekas sarana sembahyang dibawa sendiri untuk dibuangke tempat sampah yang telah tersedia, dan dupa ditancapkanpada tempat yang juga sudah disediakan sehingga kepulan asapdupa akan terus mengalun sepanjang persembahyangan. Di Bali,pura sering dibiarkan lumutan, mungkin agar terlihat tenget,metaksu, dan baru dibersihkan saat odalan atau rerahinan, tapipura di luar Bali selalu tampak rapi dan asri lengkap denganfasilitas yang memanjakan umatnya.

Page 117: calep finaleditnew - sim.ihdn.ac.idsim.ihdn.ac.id › app-assets › repo › repo-dosen-032004021651-13.pdf · analisis sosio antropologisnya dia ingin melihat suatu perubahan yang

116 | Calep : catatan lepas kebudayaan | yoga segara

.........................................................................................

Di Jakarta,ida bhatara“saling mengunjungi”

Menjadi minoritas selalu tak mengenakkan, meskipunHindu di Jakarta tak pernah mengalami diskriminasi. Bahkanbeberapa pura berdempetan posisinya dengan tempat ibadahlainnya. Pura Aditya Jaya Rawamangun Jakarta bersebelahandengan masjid besar. Pura Tirtha Bhuana Bekasi malah satutembok dengan sebuah gereja. Bahkan di Bekasi itu, setiap enambulan sekali saat piodalan, halaman rumah-rumah pendudukdisekitar pura direlakan jadi “parkir musiman”. Ketersediaanlahan yang terbatas tak berbanding lurus dengan pemedek yangsetiap tahun makin banyak.

Situasi itu disebabkan salah satunya aktivitas unik berupangiring pakuluh. Jika satu pura melaksanakan odalan, makaida bhatara di pura yang lain akan tangkil bersama parapengempon, pemangku dan umat Hindu. Dapat dibayangkan,di Jabodetabek kini ada lebih 15 pura, maka secara bersamaanpula pemedek akan terkonsentrasi di satu pura. Jadi, tak adapura di Jabodetabek yang sepi, karena ida bhatara sepertinya“saling kunjung mengunjungi”.

Page 118: calep finaleditnew - sim.ihdn.ac.idsim.ihdn.ac.id › app-assets › repo › repo-dosen-032004021651-13.pdf · analisis sosio antropologisnya dia ingin melihat suatu perubahan yang

Calep : catatan lepas kebudayaan | yoga segara | 117

.......................................................................

Bagi umat Hindu di luar Bali, pemandangan kolosal inipenting maknanya. Selain menumbuhkan bhakti, juga bisamenjadi pertunjukan bahwa “Hindu itu ada” di ibukota. Meskiminoritas, ramainya setiap piodalan menjadi penanda kesadarankolektif umat Hindu yang sanggup digerakkan oleh agamanya.Karena itu, saat tawur agung kesanga, sehari sebelum Nyepiyang sempat dilaksanakan di pusat ruang publik, seperti kawasanSenayan dan Monas, umat Hindu begitu bergairah untukmenunjukkan ekspresi keagamaannya. Umat Hindu se-Jabodetabek juga tumpah ruah. Tak peduli jika ogoh-ogoh yangdiusung tiap banjar oleh umat lain menjadi tontonan dan hiburan,yang penting “Hindu itu ada”. Jargon penyemangat yang selalumembuat rasa bangga bercampur jengah. Sayang, momenseperti itu telah dihapuskan.

Page 119: calep finaleditnew - sim.ihdn.ac.idsim.ihdn.ac.id › app-assets › repo › repo-dosen-032004021651-13.pdf · analisis sosio antropologisnya dia ingin melihat suatu perubahan yang

118 | Calep : catatan lepas kebudayaan | yoga segara

.........................................................................................

Balada Nyepidi tengah kebisingan

Jika di Bali, catur brata penyepian bisa dilakukan dengantotal, dan bahkan menjadi daya tarik wisata. Di luar Bali takmungkin melakukannya. Pernah suatu saat saya mencoba amatigni. Esok harinya, hampir semua tetangga menanyakan kenaparumahmu gelap gulita. Bahkan ada yang iseng, apakah listrikbelum dibayar? Ah, dia pasti bercanda.

Kebetulan saya tinggal di sebuah komplek perumahan, dansatu-satunya Hindu. Beberapa tetangga ada yang Kristen. Persisdepan rumah ada musholla, di sebelahnya lagi ada tempat jemaahLDII. Kami hidup selayaknya penghuni perumahan dengan ragamprofesi. Sama sekali tak ada masalah dengan agama. Tapi soalhari raya Hindu memang tak ada yang tahu. Bahkan ketika Nyepisebagai libur nasional. Saya juga tak mungkin menjelaskan kepadasemua tetangga kalau saya akan merayakan Nyepi danmematikan lampu, apalagi pasang pengumuman depan rumah.Belajar dari pengalaman itu, akhirnya kami hanya mematikanlampu di depan saja, hanya sebagai penanda bahwa kami sedangmenjalankan Nyepi. Tampaknya balada ini juga dialami olehperantau Hindu di kota-kota besar. Mungkin di daerah, seperti

Page 120: calep finaleditnew - sim.ihdn.ac.idsim.ihdn.ac.id › app-assets › repo › repo-dosen-032004021651-13.pdf · analisis sosio antropologisnya dia ingin melihat suatu perubahan yang

Calep : catatan lepas kebudayaan | yoga segara | 119

.......................................................................

Lampung, Palu, Bolang Mongondow yang satu desa, bahkan satukecamatan beragama Hindu, Nyepi total bisa dilakukan.

Namun yang menarik selalu saja ada mekanisme dalambudaya untuk tak mengecilkan makna sebuah perayaan agama.Jika aspek ritualnya terasa kering, di luar Bali kami malah bisamendalami tattwa atau filsafat agama melalui kontemplasi didalam pura. Jadi, umat Hindu, terutama saat Nyepi dan SiwaRatri pagi-pagi akan ke pura dan esok paginya baru pulang.Sedangkan saat Saraswati, khususnya anak-anak muda sudahmeramaikan pura sejak sore hari, dan pulang esok hari setelahbanyu pinaruh. Semua malam di hari raya itu diisi denganpembacaan dan pendalaman kitab suci. Di dalam pura itu pula,umat Hindu ada yang melakukan tapa brata yoga semadi,bahkan ada juga yang sanggup melaksanakan upawasa danmonabratha, sesuatu yang sangat jarang bisa dilakukan di Bali.Umat Hindu, apalagi pemuda pemudinya malah hanyameramaikan pantai atau lapangan. Sedikit sekali yangmelakukannya di pura, dan mungkin tak perlu belajar agama lagikarena merasa lahir dan besar di mana Hindu menjadi mayoritasdi Bali. Mungkin juga karena seng ada lawan!

Page 121: calep finaleditnew - sim.ihdn.ac.idsim.ihdn.ac.id › app-assets › repo › repo-dosen-032004021651-13.pdf · analisis sosio antropologisnya dia ingin melihat suatu perubahan yang

120 | Calep : catatan lepas kebudayaan | yoga segara

.........................................................................................

Ongkos mahalmerantau:negen duang banjar

Gen kebudayaan akan terus mengikuti ke mana orang Balimerantau. Tentu tak persis sama karena sudah dibaluri budayabaru. Adaptasi untuk bertahan “memaksa” mereka untukmelakukan peniruan, dan bahkan pemantasan diri. Hampir semuaberhasil, apalagi saat bertumbuh itu berada dalam komunitas yangsama. Tapi tak jarang ada yang gagal, pulang kampung atauberpindah keyakinan. Tak soal, karena itu sudah menjadi urusanpribadi. Di kota besar seperti Jakarta, hanya mereka yangprofesional bisa diterima oleh kerasnya kehidupan, tentu jugayang akan bisa bertahan.

Jangan bayangkan kami semua pekerja kantoran, birokratatau eksekutif berdasi. Ada banyak perantau yang sukses hanyamenjadi penabuh, pelatih tari hingga tukang ukir. Karena langka,profesi ini malah mahal harganya. Mengerjakannyapun diperumahan-perumahan elit, macam Pondok Indah atau BSD.Intinya, untuk bisa bertahan mereka harus professional. Yangtak memiliki passion, mereka gagal. Berprofesi apa saja taksoal, yang penting professional dan berintegritas. Kira-kira begitukalimat sakti para perantau. Tak heran, penduduk lokal sering

Page 122: calep finaleditnew - sim.ihdn.ac.idsim.ihdn.ac.id › app-assets › repo › repo-dosen-032004021651-13.pdf · analisis sosio antropologisnya dia ingin melihat suatu perubahan yang

Calep : catatan lepas kebudayaan | yoga segara | 121

.......................................................................

minggir, kalah bersaing dengan perantau dari segala penjurunusantara.

Namun sehebat apapun profesi yang digeluti, Sabtu danMinggu, di pura kami adalah orang Bali. Tak ada lagi jarak.Memang, saat ngorta akan lebih asyik dengan yang seprofesi,tapi selebihnya kembali menjadi “orang Bali”. Di puramemungkinkan identitas itu kembali ke titik semula. Be guling,betutu, jukut ares tersedia. Tipat cantok, serombotan juga ada.Berbahasa Bali juga tak masalah. Bahkan tiap bulan arisan baikdi pura maupun di rumah salah satu warga itu sudah menjadikewajiban moral. Bayar urunan di tempekan dan banjar, sukaduka, dlsb adalah cara kami kembali menjadi “orang Bali”.Sedangkan di Bali, kami juga rata-rata masih ikut me-banjaradat dan me-suka duka. Ketidakhadiran fisik sudah dimaafkan.Negen duang banjar di tengah pekerjaan yang menuntutprofesionalisme bukan sesuatu yang menyulitkan. Yangmenyedihkan malah sering dituduh mulai meninggalkan adat Balidan ongkang-ongkang saja diperantauan. Padahal dengannegen duang banjar juga mahal ongkosnya. Adat Bali itudisulitkan akan menjadi sulit, dimudahkan akan menjadi mudah.

Page 123: calep finaleditnew - sim.ihdn.ac.idsim.ihdn.ac.id › app-assets › repo › repo-dosen-032004021651-13.pdf · analisis sosio antropologisnya dia ingin melihat suatu perubahan yang

122 | Calep : catatan lepas kebudayaan | yoga segara

.........................................................................................

Page 124: calep finaleditnew - sim.ihdn.ac.idsim.ihdn.ac.id › app-assets › repo › repo-dosen-032004021651-13.pdf · analisis sosio antropologisnya dia ingin melihat suatu perubahan yang

Calep : catatan lepas kebudayaan | yoga segara | 123

.......................................................................

5Pembinaan,Penyadaran,Pendidikan

Page 125: calep finaleditnew - sim.ihdn.ac.idsim.ihdn.ac.id › app-assets › repo › repo-dosen-032004021651-13.pdf · analisis sosio antropologisnya dia ingin melihat suatu perubahan yang

124 | Calep : catatan lepas kebudayaan | yoga segara

.........................................................................................

“Membangun logikadengan logistic”,mengapa tidak?

Saat ada berita pejabat pusat akan berkunjung, aparat didaerah akan segera menyebarkan informasi agar umat datang.Sebagai perpanjangan tangan pemerintahan pusat, tentu ia takmau menanggung malu kalau acara tersebut kosong melompong.Dengan segala daya, umat Hindu akhirnya ketog semprong.Umat Hindu di luar Bali sangat butuh perhatian. Didatangi sajamereka merasa sangat bangga dan merasa dianggap sebagaibagian dari umat Hindu di Indonesia. Bagaimanapun kondisi umatHindu di luar Bali, kecuali daerah transmigrasi yang sudahberkembang pesat seperti Lampung, Palembang, Palu, BolangMongondow, umumnya masih memprihatinkan. Tak usah jauh.Di Jawa sendiri, poros kejayaan Hindu, kondisi umat masih belummembaik, terlebih mereka menghadapi tantangan berat dari umatlainnya. Bahkan di Bali timur, seperti Karangasem, juga sebagianKlungkung, Bangli, Jembrana dan Buleleng, beberapa umat Hindumasih tak senyenyak tidurnya dengan mereka yang ada di Badungdan Denpasar. Jadi, pejabat di pusat sering-seringlah turun kedaerah, hirup keringat umat, rasakan suka dukanya karenakelangsungan hidup umat Hindu di daerah tak bisa diteropongdari pusat-pusat kekuasaan itu.

Namun menyambangi umat Hindu juga perlu klop dengankebutuhan mereka. Tak bisa hanya memberikan ceramah dan

Page 126: calep finaleditnew - sim.ihdn.ac.idsim.ihdn.ac.id › app-assets › repo › repo-dosen-032004021651-13.pdf · analisis sosio antropologisnya dia ingin melihat suatu perubahan yang

Calep : catatan lepas kebudayaan | yoga segara | 125

.......................................................................

membagikan buku, apalagi bukunya tebal dan berbahasa sulit.Terlebih ada slogan satire: “jangankan beli, dikasi gratis danmurah saja umat kita tak mau baca!” Dapat dibayangkan.Umat Hindu yang berduyun dari berbagai pelosok, bahkan adayang berjam-jam naik turun bukit, atau seharian melewati sungaidan hutan. Setiba di pusat kota, hanya mendengarkan petuah.Usai kegiatan, mungkin ada yang harus menginap karenaperjalanan yang jauh. Tenaga, pikiran dan waktu mereka tersita.Belum lagi stress saat berangkat anaknya ada yang sakit atauada tagihan hutang.

Ceramah, dharmawacana atau dharmatula itu perlu,sangat perlu karena itu telah menjadi metode pembinaan yangdisepakati bersama. Namun jaman sudah mulai banyak berubah.Karena itu metode pembinaan perlu juga dimodifikasi. Misalnya,saat era birokrasi melayani, kenapa tidak langsung bertemu umat,merasakan hidup mereka. Bukan sebaliknya, mereka “dipaksa”hadir. Atau jika tak perlu repot, dibuatkan saja media pembinaanberupa CD, film, animasi, dlsb. Berikutnya, perlu memperbanyakprogram pemberdayaan ekonomi keumatan. Jadi, ke daerahsambil ceramah dan bagi buku, juga membagikan benih ikan untukditernakkan, kambing atau godel untuk dikembangbiakkan, pohonproduktif untuk ditumbuhkembangkan atau mendirikanperpustakaan mini di pura umum untuk dibaca-baca sepulangbertani. Dengan memberikan insentif seperti itu, kelangsunganhidup mereka akan terus terjaga. Saat kebutuhan perut mulaiterpenuhi, mencerdaskan otak dengan dharmawacana akan jauhlebih gampang.

Page 127: calep finaleditnew - sim.ihdn.ac.idsim.ihdn.ac.id › app-assets › repo › repo-dosen-032004021651-13.pdf · analisis sosio antropologisnya dia ingin melihat suatu perubahan yang

126 | Calep : catatan lepas kebudayaan | yoga segara

.........................................................................................

Penyuluh,nyuluhin siapa?

Umat Islam memiliki banyak pendakwah andal. Beberapadi antaranya bahkan berlabel selebriti. Mereka dielu-elukan. Syiaragamanya didengarkan seksama. Meski ada mazhab yang kadangmembedakannya, intinya penceramah Islam menjadi panutan.Hal yang sama berlaku dalam umat Kristen dan Katolik yangmenjadikan kutbah Mingguan sebagai bagian dari ibadah. Parabhiksu dalam Buddha juga hampir sama. Di sekolah Buddhis,peran bhiksu sangat besar. Agak berbeda dengan Hindu.

Dharmawacana, terutama dalam persembahyanganbersama tidak menjadi rujukan penting. Selain diberikan saat umatsudah nunas tirtha dan bija, yang biasanya membuat suasanasudah tak khidmat lagi, juga materi yang dibawakan kadang takbegitu menarik. Masih ada juga sebagian umat Hindu tidakopenminded dan seolah mereka merasa digurui olehpendharmawacana. Umat suka sekali melihat dan mencari tahusiapa yang bicara, mencari latar belakang pendharmawacana,dan sedikit yang mau mendengarkan apa yang diwedarkan.

Selain pembiasaan, yang akhirnya menjadi pembudayaan,memberikan porsi kepada yang berhak untuk memberikan nasehatitu penting dalam ceruk pembinaan umat. Mungkin proses

Page 128: calep finaleditnew - sim.ihdn.ac.idsim.ihdn.ac.id › app-assets › repo › repo-dosen-032004021651-13.pdf · analisis sosio antropologisnya dia ingin melihat suatu perubahan yang

Calep : catatan lepas kebudayaan | yoga segara | 127

.......................................................................

seseorang menjadi pendharmawacana perlu ditata ulang, misalnyatingkat pengetahuan dan pemahamannya, juga integritas danperilakunya. Sering jadi lelucon, “dia yang memberikandharmawaca, dia juga yang melakukan dosa, mungkinkarena dia sudah tahu doa-doa bertobat”. Memang menjadipendharmawacana itu berat, baik sekala dan niskala. Itusebabnya, untuk menjadi pastor perlu sekolah yang ketat diseminari, atau tak pernah mudah menjadi bhiksu. Mungkin adaadab lain yang seolah menjadi karakter orang Hindu bahwa merekaberkembang sejak jaman Weda tidak berdasarkan figur sentral,sebagaimana umat Islam menjadikan Nabi Muhammad sebagaiteladan agung atau Yesus Kristus sebagai panutan umat Nasrani.Figur besar yang memengaruhi alam pikir dan tindakan umat Hindunyaris tidak ada, mungkin juga tidak diperlukan. Karena itu, tugaspenyuluh akan makin berat untuk nyuluhin umat.

Page 129: calep finaleditnew - sim.ihdn.ac.idsim.ihdn.ac.id › app-assets › repo › repo-dosen-032004021651-13.pdf · analisis sosio antropologisnya dia ingin melihat suatu perubahan yang

128 | Calep : catatan lepas kebudayaan | yoga segara

.........................................................................................

UDG rasa “Bali”,itu berita lawas bung!

Dalam sebuah sarasehan, beberapa peserta UDGmenumpahkan kekecewaannya. Perkaranya bukan karena tak jadijuara. Beberapa official kontingen malah bilang kecele. Kegiatannasional yang harusnya mempersatukan umat Hindu malah jadi ajang“permusuhan” dan penuh kompetisi. Beberapa propinsi yang khususmendatangkan pelatih dari Bali juga tak banyak memberikanpengaruh signifikan. Ujung-ujungnya yang juara tetap kontingenBali. Begitu kesan yang tertangkap, baik di ruang publik maupunsenyap di meja makan saat break kegiatan.

Semangat UDG dan kegiatan sejenis yang berlevel nasional,tentu harus didukung. Dengan itu sisi emosi keagamaan kita hendakdibangkitkan. Secara politis pun kita merasa bangga, meskipunhampir semua kegiatan akbar itu mengikuti program dari agamaIslam sebagai pioneer. Dan agama lainnya mengikuti saja pola itu.Mungkin juga untuk memenuhi keseragaman dalam programpembangunan nasional. Masalahnya, apakah formulasi UDG tidakboleh berubah? Sangat bisa. Ini soal keberanian, soal good will.Mari kita kembali pada filosofi UDG, yang adalah upaya pelestariannilai agama melalui nyanyian, dengan gegitan; membangunsolidaritas dan representasi kolektif umat Hindu; dan memancarkanhakika ajaran yang terkandung di dalamnya. Tujuan lain tentu masihbanyak yang bisa dielaborasi lagi.

Page 130: calep finaleditnew - sim.ihdn.ac.idsim.ihdn.ac.id › app-assets › repo › repo-dosen-032004021651-13.pdf · analisis sosio antropologisnya dia ingin melihat suatu perubahan yang

Calep : catatan lepas kebudayaan | yoga segara | 129

.......................................................................

Mengingat UDG dilaksanakan dengan format kompetisi, makaada prestasi yang harus dihargai melalui peringkat. Nah, masalahdimulai dari soal ini yang kemudian mengaburkan tujuan utamaUDG di atas. Akhirnya tiap propinsi hanya mengejar rangking,selayaknya ajang perlombaan. Padahal, UDG bisa saja hanya sebuahfestival atau karnaval kebudayaan tanpa “saling sikut” antarpropinsi.

Agar tercermin bahwa pembinaan agama telah ber-langsung,peserta terbaik dari UDG Tingkat Propinsi bisa ditampilkan melaluiformat eksibisi nasional. Darimana peserta terbaik itu? UDG TingkatPropinsi harus dilakukan namun dengan kriteria yangmengakomodasi lokalitas. Misalnya, UDG Jawa Tengahmenggunakan langgam Jawa. Orang Bali yang ada di Jawa Tengah,dengan konsep desa-kala-patra, mengikutinya. Begitu juga dengandaerah lainnya. Kalaupun di UDG Lampung menggunakan langgamBali yang karena orang Bali dominan di daerah itu, tetap harusmemberikan ruang gegitaan ala orang Bali di Lampung. Masalahnya,standar penilaian hanya menggunakan langgam Bali, dan orang nonBali juga harus menggunakan langgam Bali. Dengan format UDGtingkat propinsi seperti itu, pemda akan ikut merasakan manfaatnyadan mendukung kegiatan ini untuk dimasukkan dalam APBD,political will yang sampai hari ini belum terjadi, kecuali lagi-lagi,hanya untuk UDG Tingkat Propinsi Bali, tok. Dan terpenting, parajuara di UDG Tingkat Propinsi diberdayakan menjadi dharmadutadi daerahnya masing-masing, bukan “habis sepah manis dibuang”.

Page 131: calep finaleditnew - sim.ihdn.ac.idsim.ihdn.ac.id › app-assets › repo › repo-dosen-032004021651-13.pdf · analisis sosio antropologisnya dia ingin melihat suatu perubahan yang

130 | Calep : catatan lepas kebudayaan | yoga segara

.........................................................................................

Katanyadesa-kala-patra,tapi kok saklek?

Jika jalan-jalan ke Jawa, banyak sekali ada pura, padahaldi daerah itu umat Hindu dari Bali minoritas. Beberapa candiyang merupakan tempat suci umat Hindu Jawa sudah banyakyang berubah. Padahal mungkin mereka jauh lebih nyamansembahyang di depan candi dan menggunakan pakaian adat Jawa,lengkap dengan blangkon dan doa-doa berbahasa Jawa. Merekamungkin tak berdaya karena Hindu Jawa itu distigma minoritastinimbang umat Hindu Bali. Ada semacam dominasi dan hegemoniinternal juga. Bahkan di Semeru, Jawa Timur ada yang proteskalau banten, pemangku dan panditanya seperti “diimpor”semua dari Bali. Umat Hindu lokal hanya menonton, paling banterikut ngayah bersih-bersih. Berbeda kasus dengan umat HinduBali di daerah transmigrasi yang diisi mayoritas, bahkansemuanya dari Bali.

Padahal, salah satu yang membuat Hindu sampai saat inibisa bertahan adalah kearifan desa-kala-patra. Mereka lenturbisa hidup di mana saja mengikuti adab dan budaya lokal. Karenaitu menjadi aneh jika umat Hindu di luar Bali malah memaksakanadab Bali-nya. Mereka mendominasi dan menghegemoni dengan

Page 132: calep finaleditnew - sim.ihdn.ac.idsim.ihdn.ac.id › app-assets › repo › repo-dosen-032004021651-13.pdf · analisis sosio antropologisnya dia ingin melihat suatu perubahan yang

Calep : catatan lepas kebudayaan | yoga segara | 131

.......................................................................

standar bersama yang diciptakan. Jika cita rasa itu tak sesuaidengan standar Bali, maka dianggap salah.

Jika merunut kembali masuknya Hindu ke nusantara yangdengan elok mempermulia budaya lokal, itu adalah penandakearifan desa-kala-patra telah bekerja dengan baik. Jikamemaksakan adab Bali di luar Bali apalagi umat Hindu lokal,menjadi kontradiktif dengan ruh kearifan itu. Seharusnya, Hindutetap dan terus mempermulia budaya-budaya lokal di manamereka tumbuh. Esensi dan tattwa dari setiap fitur keagamaanitu yang harus terus selaras dengan kitab suci. Umat Hindu harusdibiarkan tumbuh bersama budaya Aceh hingga Papua. Agarbisa terus enak hidup di tanah orang. Artinya, Hindu juga harusikut menggarami tanah-tanah yang hambar itu.

Page 133: calep finaleditnew - sim.ihdn.ac.idsim.ihdn.ac.id › app-assets › repo › repo-dosen-032004021651-13.pdf · analisis sosio antropologisnya dia ingin melihat suatu perubahan yang

132 | Calep : catatan lepas kebudayaan | yoga segara

.........................................................................................

“Pendidikan hati”,pergilah ke alam!

Seorang teman sepulang dari Jepang bercerita, kalau anakSD hingga kelas 2 tidak dipaksa belajar berhitung apalagimenghafal. Saya mempercayainya setelah membaca beberapareferensi termasuk rekam jejak karakter negeri Samurai ini.Dalam tiap sesi belajar, mereka sering dibuatkan group yangberbeda-beda, dengan tematik yang juga berbeda. Obyekbelajarnya alam dan lingkungan. Hebatnya, karena berkelompok,semua orang akhirnya punya pengalaman yang sama. Misalnya,saat belajar binatang, masing-masing orang diminta mencari satubinatang yang ditemukan di sawah. Selepas itu mereka harusmenceritakan kepada temannya di depan kelas. Siswa yang tidakmendapat tugas mencari cacing akan tahu dari cerita temannya.Begitu juga yang tidak mendapat tugas mencari kodok, capung,belut, dlsb.

Apa pelajarannya? Pertama, mereka belajar untuk hidupbersama, saling mengenal dalam kelompok, sehingga tidak menjadimanusia asosial. Kedua, saling mendapatkan pengalaman danpengetahuan baru dari masing- masing tugas yang berbeda. Satusesi belajar bisa menghasilkan beragam sumber. Ketiga, belajarpada hal yang nyata, melihat dan merasakan langsung realitas

Page 134: calep finaleditnew - sim.ihdn.ac.idsim.ihdn.ac.id › app-assets › repo › repo-dosen-032004021651-13.pdf · analisis sosio antropologisnya dia ingin melihat suatu perubahan yang

Calep : catatan lepas kebudayaan | yoga segara | 133

.......................................................................

yang dipelajari. Keempat, semua orang menjadi pendengar dansekaligus pembicara yang baik. Kelima, menumbuhkankepercayaan diri, karakter kuat dan etos sejak usia dini.

Metode belajar ini sebenarnya mirip-mirip BhagawanDomya menerapkannya kepada tiga murid terpilihnya: SangUtamanyu, Sang Weda dan Sang Arunika. Mereka belajar dialam, dan menceritakan kembali kepada sang bhagawan. Adarefleksi di dalamnya. Kini, nuansa seperti ini mulai memudar.Anak-anak kita lebih banyak mendapatkan teori, konsep danajaran yang abstrak. Misalnya, saat menceritakan sapi, merekaselalu diberikan informasi kalau sapi itu binatang bertanduk,berkaki empat dan bau. Begitu berulang-ulang tanpa pernahdiajak melihat langsung sapi itu seperti apa. Tak heran, jika melihatkambing, biri-biri, atau rusa, anak-anak ini membilang itu sapihanya karena di memorinya tergambar sapi adalah binatangberkaki empat, bertanduk dan bau. Saat jalan-jalan, beberapapegawai kebun binatang menggunakan tanduk-tandukan danberjalan sedikit membungkuk-bungkuk, juga akan dipanggil sapi.

Page 135: calep finaleditnew - sim.ihdn.ac.idsim.ihdn.ac.id › app-assets › repo › repo-dosen-032004021651-13.pdf · analisis sosio antropologisnya dia ingin melihat suatu perubahan yang

134 | Calep : catatan lepas kebudayaan | yoga segara

.........................................................................................

Agar mendidik takgersang, mesatualah!

Story telling adalah salah satu metode belajar. Tak kalahbagus dengan ceramah, bermain peran, simulasi, dlsb. Karenaitu, metode story telling sangat penting apalagi untuk anak-anak.Bahkan belajar agama, terlebih bagi yang awam, perlumemulainya dengan cerita, epos, Itihasa, atau Purana. Gambaransebuah peristiwa imajinatif bisa seolah hidup dalam kenyataan.Tentu memindahkan yang abstrak menjadi konkret bukan perkaramudah, sesulit membuat buku sederhana bagi mereka yangawam. Biasanya mudah membuat buku yang sulit, apalagi hanyadimengerti oleh penulisnya sendiri.

Dalam Hindu, luar biasa banyak satua yang bisa dijadikansumber belajar. Sayangnya tradisi ini tak banyak dieksplorasi parapendidik. Mereka terlalu asyik dengan buku teks, lalu merasaberdosa jika satu bab materi tak diajarkan kepada siswa.Kemampuan lain yang tak banyak dimiliki para pendidik itu adalahmengkontekstualisasikan isi satua pada kehidupan masa kini.Tak hanya menawarkan romantisme masa lalu, apalagibernostalgia saja.

Satua itu adalah folklore yang hidup di tengah masyarakat.Satua juga adalah cerita tentang kehidupan, yang isinya bisa sajalawas meski panggungnya anyar. Katakanlah Mahabharata yang

Page 136: calep finaleditnew - sim.ihdn.ac.idsim.ihdn.ac.id › app-assets › repo › repo-dosen-032004021651-13.pdf · analisis sosio antropologisnya dia ingin melihat suatu perubahan yang

Calep : catatan lepas kebudayaan | yoga segara | 135

.......................................................................

berhasil menggambarkan lakon kehidupan yang dari dulu hinggakini sama, tentang kebaikan melawan kejahatan. Dari dulu adaSengkuni, kini pun banyak Sengkuni di sekitar kita. Belajar darisatua bukan sekadar teks-teksnya yang bisa saja mati, tapikonteksnya akan terus hidup. Sebagaimana Walmiki menyebutroman Rama dan Sinta akan abadi sepanjang gunung berdiri tegakdan air sungai mengalir. Namun bukan berarti teks tak diperlukan.Dialektika antara teks dan konteks itulah pendidik harus hadiruntuk menyampaikan pesan sebuah cerita. Misalnya, teks tentangLubdaka memang mengisahkan dia berburu ke hutan, begadangdan memetik daun bilwa, tapi konteksnya bisa saja siapa yangsadar dalam keadaan yang tepat, disiplin dan bekerja keras, diaakan digaransi memperoleh pengharapan terakhirnya, sepertiLubdaka mendapatkan surga.

Page 137: calep finaleditnew - sim.ihdn.ac.idsim.ihdn.ac.id › app-assets › repo › repo-dosen-032004021651-13.pdf · analisis sosio antropologisnya dia ingin melihat suatu perubahan yang

136 | Calep : catatan lepas kebudayaan | yoga segara

.........................................................................................

Mengukur kompetensijangan kepadaI Belog dong!

Kata kompetensi sudah mengakrabi kita cukup lama,terlebih saat KBK diterapkan awal 2000an. Sayangnya rumusankata ini banyak yang tak dipahami para pendidik. Jika pelajaranatau matakuliah usai, mereka merasa kompetensi mahasiswaakan meningkat. Bahkan ukurannya kadang terlalu positivistikketika mereka mampu menjawab soal-soal yang tagihannya lebihbanyak pada aspek kognitif. Padahal kini kemampuan manusiasudah memasuki era yang kompleks. Multi-kecerdasasan sajasudah diperbaharui dengan menambahkan kecerdasannaturalistik.

Secara sederhana, kompetensi itu seperti kemampuanpenting dalam diri yang bisa digunakan untuk menghadapi danmenyelesaikan masalah. Bukan seperti satua I Belog yang tidakmemiliki kemampuan untuk memilah, memilih, dan menentukan.Sehingga ketika pesan ibunya untuk membeli bebek yang berat,ia lalu timbang di sungai dengan asumsi jika bebek itu berat tentuakan tenggelam. Yang terjadi sebaliknya, uang dan bebek raib.Memang I Belog adalah sosok polos dan naif. Tak selamanya

Page 138: calep finaleditnew - sim.ihdn.ac.idsim.ihdn.ac.id › app-assets › repo › repo-dosen-032004021651-13.pdf · analisis sosio antropologisnya dia ingin melihat suatu perubahan yang

Calep : catatan lepas kebudayaan | yoga segara | 137

.......................................................................

jelek tentu saja, karena Bhima juga naif ketika mau saja pergi ketengah samudera, padahal itu tipu muslihat Bhagawan Dronauntuk menenggelamnnya. Dengan keluguannya, Bhima malahbertemu Dewa Ruci dan mendapatkan anugrah tirtha kamandalu.

Contoh lain untuk menyederhanakan istilah kompetensiadalah ketika seorang pemancing mendapat be julit yangpanjangnya 1 meter. Ia girang tak kepalang, lalu mengabarkanke semua orang di kampungnya dan minta dipinjamkanpenggorengan yang lebarnya 1 meter. Permintaannya sia-siakarena tak satupun warga memiliki penggorengan berdiameter1 meter. Nah, jika pemancing ini punya kompetensi, ia akanmemotong be julit itu sesuai keinginannya, dan akan memasakapa. Sesekali murid perlu diajak pergi ke Padmasana untukmelihat dan menceritakan pemutaran gunung Mandara Girikarena terdapat garuda, naga, bedawang nala, dlsb. Ajaklahmereka menikmati proses belajarnya dengan gembira, bukandengan tekanan dan beban. Kompetensi akan muncul dari prosesbukan hasil semata. “The end of education is character”,bukankah ini kalimat sakti para pendidik

Page 139: calep finaleditnew - sim.ihdn.ac.idsim.ihdn.ac.id › app-assets › repo › repo-dosen-032004021651-13.pdf · analisis sosio antropologisnya dia ingin melihat suatu perubahan yang

138 | Calep : catatan lepas kebudayaan | yoga segara

.........................................................................................

Orang kampusalergi diskusi,gak asyik ah!

Eksistensialisme dalam filsafat, amat digandrungi kalanganeksistensialis—dan makin populer ketika “dituduh” menginspirasikelahiran komunisme—adalah salah satu konsep besar yangditemukan filsuf Paul Sartre di jalanan kota Paris, Perancis. Iabersama beberapa karibnya kerap nongkrong dari satu café kecafé lainnya. Ternyata, banyak teori besar juga ditemukan dengancara sederhana dan remeh seperti ini. Sebut saja hukumArchimedes, hukum Newton tentang gravitasi, dan bahkanbeberapa temuan besar dihasilkan dengan tak disengaja.

Memang dalam arus besar intelektual dunia, ada jugalingkar studi yang sangat serius, misalnya di Jerman ada MazhabFrankfurt yang memproduksi teori kritis atau jauh sebelumnyaada Viena Circle di Swiss yang salah satunya menghasilkan teorifalsifikasi. Meski berbeda cara, esensinya tetap sama: ada energibesar untuk membuka ruang dialog, diskusi, debat dan silangpendapat.

Page 140: calep finaleditnew - sim.ihdn.ac.idsim.ihdn.ac.id › app-assets › repo › repo-dosen-032004021651-13.pdf · analisis sosio antropologisnya dia ingin melihat suatu perubahan yang

Calep : catatan lepas kebudayaan | yoga segara | 139

.......................................................................

Dalam Hindu juga dikenal Tarkawada. Para rsi di masalalu menggunakan metode ini untuk menghasilkan kebenaran sejatidengan cara dialog hingga debat. Upanishad dan kitab-kitab.Darsana lahir dengan cara ini. Sayangnya tradisi ini tidak lantasmenjadi satu metode yang familiar dikalangan akademisi Hindu.Padahal dengan diskusi, kita akan bisa, pertama, mendapatkanbanyak asupan materi pada otak. Kedua, mendapat pengalamanbaru, dan sensitif dengan isu-isu aktual. Ketiga, belajar menerimapendapat dari orang yang berbeda sekalipun. Keempat, belajarmendengar, mengendalikan emosi, dan mematangkan penga-laman. Akademisi Hindu saat ini masih ada yang alergi dengandialog, sedangkan para rsi di masa lalu malah sudah seriusberdebat. Ironi, dan gak asyik.

Page 141: calep finaleditnew - sim.ihdn.ac.idsim.ihdn.ac.id › app-assets › repo › repo-dosen-032004021651-13.pdf · analisis sosio antropologisnya dia ingin melihat suatu perubahan yang

140 | Calep : catatan lepas kebudayaan | yoga segara

.........................................................................................

Penelitian kampus,dunia abu-abu?

Dalam beberapa kesempatan diskusi maupun seminarmasalah penelitian, saya selalu bilang bahwa setiap penelitianharus dipublikasikan. Kok? Sekurangnya ada lima alasan,pertama, pemerintah sedang giat membangkitkan literasi danpublikasi ilmiah yang dirasakan masih rendah, kalah jauh darinegara tetangga, salah duanya Malaysia dan Singapura, padahaljumlah dosen kita jauh lebih banyak. Soal ini bisa dicek mudah.Kedua, dunia akademis sedang memasuki perubahan besar, daricetak ke digital, online, elektronik. Harusnya kini makin mudah.Ketiga, jika penelitian dosen adalah hibah dari APBN, rakyatberhak tahu apakah anggaran yang berasal dari pajak rakyat itusudah digunakan dengan baik, dan terutama apakah adakeluarannya. Keempat, sebagai tanggungjawab ilmiah dan etikaakademik, publikasi diperlukan untuk menjawab masalah yangditemukan. Kelima, untuk menunjukkan kualitas penelitian.

Mungkin ada benarnya, penelitian dunia kampus ada yangtidak memberikan solusi, apalagi menyelesaikan masalah dimasyarakat. Dengan kritik ini, lagi-lagi, membenarkan duniakampus terlalu berjarak dengan kenyataan, dengan masyarakat.

Bagaimana tidak. Jangankan dipublikasikan dalam bentukberbagai media, seperti buku, monograf, prosiding atau jurnal,

Page 142: calep finaleditnew - sim.ihdn.ac.idsim.ihdn.ac.id › app-assets › repo › repo-dosen-032004021651-13.pdf · analisis sosio antropologisnya dia ingin melihat suatu perubahan yang

Calep : catatan lepas kebudayaan | yoga segara | 141

.......................................................................

banyak juga laporan penelitian tidak disimpan di perpustakaan,atau sudah tersimpan tetapi banyak yang rusak karena dimakanrayap dan debuan. Jarang yang membaca, alih-alih dijadikanrujukan. Masalahnya, APBN untuk hibah penelitian itu besar,dan makin besar di masa mendatang seiring bergairahnya dunialiterasi kita. Bagaimana dengan minimal lima alasan di atas?Absurd.

Page 143: calep finaleditnew - sim.ihdn.ac.idsim.ihdn.ac.id › app-assets › repo › repo-dosen-032004021651-13.pdf · analisis sosio antropologisnya dia ingin melihat suatu perubahan yang

142 | Calep : catatan lepas kebudayaan | yoga segara

.........................................................................................

Purnawacana

Bali adalah tempat di mana yang rasional dan irasionalbisa saling bertukar, bermutasi. Tentu bisa juga menyatu dalamsatu tungku. Berbeda sekaligus sama, di dalam sekaligus di luar.Standar bersama diciptakan melalui konsensus, bukan segeramengabadikan, tetapi mengujinya dengan tuas pragmatisme.Dengan itu, Bali akan selalu terbuka menerima anasir asing, yangtak paham menyebutnya permisif. Padahal dalam keber-terimaannya itu sekaligus terdapat mekanisme uji internal, jikalaik diteruskan, jika gagal memenuhi standar bersama, akanditinggalkan. Sesederhana itu, sebenarnya. Tak aneh, jika trendalam budaya pop sekalipun juga tetap dijabat tangan, bahkandalam rangka memenuhi urusan ritual sakral.

Dan sebagai masyarakat berciri agraris, budaya komunalterasa kental. Karena itu, di manapun orang Bali berdiam, hidupkolektif akan menjadi pilihan, bukan eksklusif karena kesepekangakan menanti. Pergi ke pura saat odalan juga demi dan untukkolektivitas itu. Jangan kaget, di luar Bali hingga ke luar negeri,kekerabatan menebal betul, meskipun celah rapuh jugamenganga, misalnya karena soal primordial. Tak apalah, denganitu juga karaktertistik budaya Bali tetap lestari. Tak salah, purajuga multifungsi, misalnya untuk mencari jodoh, setidaknya jangansampai paid bangkung.

Page 144: calep finaleditnew - sim.ihdn.ac.idsim.ihdn.ac.id › app-assets › repo › repo-dosen-032004021651-13.pdf · analisis sosio antropologisnya dia ingin melihat suatu perubahan yang

Calep : catatan lepas kebudayaan | yoga segara | 143

.......................................................................

Sayangnya memang, Bali kini mulai banyak berubah, yangbeberapa di antaranya malah kontraproduktif. Pariwisatamisalnya, meskipun isu ini bukan barang baru, tetap saja adakegagalan, terutama membenahi mentalitas “orang dalam”. Dialam demokrasi, dengan diberlakukannya otonomi daerah, kitatetap tak boleh mengumpat apalagi mengusir pendatang, karenayang harus juga dilakukan adalah otokritik. Mengapa masih adaorang Bali yang miskin dan bodoh? Dus, bagaimana positioningkita terhadap sergapan shifting dan disruption, yang mau takmau, harus dilakoni. Padahal efek Foucauldian juga sedangmenjangkiti kehidupan post-modern kita, ketika kekuasaan sudahmenyebar dan tidak ada kuasa tunggal, semua sudah mulai terbagi.Klaim pribumi dan urban juga mulai tak laku lagi. Bahkan selerahidup kini sudah dikendalikan android, yang siapa pengendalinya,tetap tak jelas. Tapi yang tak berubah, kita di Bali tetap dapatmenikmati dua dunia sekaligus: sekala-niskala, modern-tradisional. Mengapa, karena kebudayaan

Page 145: calep finaleditnew - sim.ihdn.ac.idsim.ihdn.ac.id › app-assets › repo › repo-dosen-032004021651-13.pdf · analisis sosio antropologisnya dia ingin melihat suatu perubahan yang

144 | Calep : catatan lepas kebudayaan | yoga segara

.........................................................................................

Senerai Bacaan

Arsana, I Gusti Ketut Gde., dkk. 1986. Dampak ModernisasiTerhadap Hubungan Kekerabatan di Daerah Bali.Jakarta: Depdikbud, Direktorat Sejarah dan NilaiTradisional Proyek Inventarisasi dan DokumentasiKebudayaan Daerah Bali.

Artadi, I Ketut. 1993. Manusia Bali. Denpasar: Bali Post. Atmaja,Jiwa. 2008. Bias Gender Perkawinan TerlarangPada Masyarakat Bali. Denpasar: Udayana UniversityPress.

Bagus, I Gusti Ngurah. 2004. Mengkritisi Peradaban Hegemonik.Denpasar: Kajian Budaya Books. Bateson, Gregory.1972. Steps to an Ecology of Mind, Balinese

Ethos. Collected Essay in Anthropology, Psychiatry andEpistemology. University of Chicago Press.

Belo, Jean. 1970. Traditional Balinese Culture. New York, London:Columbia University Press.

Boon, James A. 1977. Anthropological Romance of Bali 1597-1972, Dynamic in Marriage and Caste Politics andReligion. Cambridge: Cambridge University Press.

Page 146: calep finaleditnew - sim.ihdn.ac.idsim.ihdn.ac.id › app-assets › repo › repo-dosen-032004021651-13.pdf · analisis sosio antropologisnya dia ingin melihat suatu perubahan yang

Calep : catatan lepas kebudayaan | yoga segara | 145

.......................................................................

Bruner, Edward. 1986. Experience and Its Expressions dalam Bruner(ed) The Anthropology of Experience. Chicago:University of Illinois.

Covarrubias, M. 1937. Island of Bali. New York: A. Knoff Inc.Dharma Putra, I Nyoman. 2007. Wanita Bali TempoDoeloe, Perspektif Masa Kini. Denpasar: PustakaLarasan. Durkheim, Emile. 1976 (1912). TheElementary Forms of The Religious Life. George Allen& Unwin Ltd.

Eiseman, Jr., Fred B. 1989. Bali Sekala & Niskala. Berkeley,California. Frederich, R. 1959 (1849). TheCivilization and Culture of Bali.

Calcuta: Susil Gupta Private Ltd.Geertz, Clifford. 1973. The Interpretation of Cultures: Selected

Essays. London, Hutchinson & CO Publisher LTD(The Thick Description: Toward an InterpretiveTheory of Culture [1973a]; Religion as a CulturalSystem in Interpretation of Cultures [1973b]; Person,Time and Conduct in Bali in Inter-pretation ofCultures [1973c]).

Hobart, Ramseyer & Leeman. 1996. The People of Bali.

Blackwell Publisher, UK. Hofstede, Geert.

Howe, Leo. 1995. Status Mobility In Contemporary Bali:Continuities and Change. Jakarta: Center For South-East Asian Studies.

Page 147: calep finaleditnew - sim.ihdn.ac.idsim.ihdn.ac.id › app-assets › repo › repo-dosen-032004021651-13.pdf · analisis sosio antropologisnya dia ingin melihat suatu perubahan yang

146 | Calep : catatan lepas kebudayaan | yoga segara

.........................................................................................

Koentjaraningrat (ed). 2007. Manusia dan Kebudayaan diIndonesia. Jakarta: Djambatan.

Lansing, J. Stephen. 1983. The Three Worlds of Bali. Praeger,New York.

Lansing, J. Stephen. 2006. Perfect Order: Recognizing Complexityin Bali. Princeton University Press.

Mantra, IB. 1990. Bali Masalah Sosial Budaya dan Modernisasi.Denpasar: Upada Sastra.

Mantra, IB. 1996. Landasan Kebudayaan Bali. Denpasar:

Yayasan Dharma Sastra.

Naradha, Satria ABG. 2004. Ajeg Bali Sebuah Cita-Cita.

Denpasar: Bali Post.

Notiasa, I Wayan. 2005. Pemunculan Sistem Soroh danImplikasinya Terhadap Kehidupan Masyarakat DesaBali Aga (Studi Kasus di Desa Pakraman Sidatapa,Banjar, Buleleng, Bali). Tesis. Denpasar: ProgramPascasarjana Univ. Hindu Indonesia.

Peursen, C. A. van. 1992. Strategi Kebudayaan. Yogyakarta:Kanisius.

Picard, Michel. 2006. Bali Pariwisata Budaya dan BudayaPariwisata. Terjm. Jean Couteau dan Warih Wisatsanadari Bali: Tourism Culturel et culture tourisque, 1992.Jakarta: Forum Jakarta-Paris.

Page 148: calep finaleditnew - sim.ihdn.ac.idsim.ihdn.ac.id › app-assets › repo › repo-dosen-032004021651-13.pdf · analisis sosio antropologisnya dia ingin melihat suatu perubahan yang

Calep : catatan lepas kebudayaan | yoga segara | 147

.......................................................................

Robinson, Geoffrey. 2006. Sisi Gelap Pulau Dewata: SejarahKekerasan Politik

Terjm. Arif B. Prasetyo dari The Dark Side of Paradise; PoliticalViolence in Bali. Yogyakarta: LKiS

Soethama, Gde Aryantha. 2003. Bali is Bali. Denpasar: ArtiFoundation

Soethama, Gde Aryantha. 2004. Basa Basi Bali. Denpasar: ArtiFoundation

Soethama, Gde Aryantha. 2006. Bolak Balik Bali. Denpasar: ArtiFoundation

Sudharta, Tjok Rai. 2006. Manusia Hindu: Dari KandunganSampai Perkawinan. Denpasar: Yayasan DharmaNaradha.

Suryani, Luh Ketut, 2003. Perempuan Bali Kini. Denpasar:Penerbit BP.

Wiana, I Ketut. 2004. Mengapa Bali disebut Bali? Surabaya:Paramita.

Yuga, Ibed Surgana. 2008. Bali Tanpa Bali. Denpasar:Panakom.

W. van Hoeve. Bali, Studies in Life, Thought and Ritual.

Selected Studies on Indonesia, Vol. 5. The Hague & Bandung,1960. 368 hlm.

Page 149: calep finaleditnew - sim.ihdn.ac.idsim.ihdn.ac.id › app-assets › repo › repo-dosen-032004021651-13.pdf · analisis sosio antropologisnya dia ingin melihat suatu perubahan yang

148 | Calep : catatan lepas kebudayaan | yoga segara

.........................................................................................

Tentang Penulis

Nyoman Yoga Segara, lahir di Serangan, Denpasar.Menyelesaikan S1 Sastra dan Filsafat Agama, Universitas HinduIndonesia (1998); S2 Ilmu Filsafat, Universitas Indonesia (2004);S3 Antropologi, Universitas Indonesia (2011), dan Post-Doctoraldi Leiden University, Netherland (2012). Mengawali karir PNSdi Kementerian Agama RI sejak 1999. Selain sempat menjadiWakil Ketua I (2007-2016) dan Dosen Tetap Yayasan di SekolahTinggi Agama Hindu Dharma Nusantara (STAHDN) Jakarta(2000-2015), juga mengajar di Universitas Atmajaya (2006-2010),Binus University (2006-2010), dan Universitas Mercu Buana(2007-2010). Pernah menjadi Widyaiswara di Pusdiklat TenagaAdministrasi dan Peneliti di Puslitbang Kehidupan Keagamaan,Badan Litbang dan Diklat (2006-2015). Sejak 2016 menjadi Dosendi Institut Hindu Dharma Negeri (IHDN) Denpasar dengankonsentrasi Antropologi Budaya. Kini bermukim di PulauSerangan dengan kontak e-mail: [email protected]

Page 150: calep finaleditnew - sim.ihdn.ac.idsim.ihdn.ac.id › app-assets › repo › repo-dosen-032004021651-13.pdf · analisis sosio antropologisnya dia ingin melihat suatu perubahan yang

Calep : catatan lepas kebudayaan | yoga segara | 149

.......................................................................

Page 151: calep finaleditnew - sim.ihdn.ac.idsim.ihdn.ac.id › app-assets › repo › repo-dosen-032004021651-13.pdf · analisis sosio antropologisnya dia ingin melihat suatu perubahan yang

150 | Calep : catatan lepas kebudayaan | yoga segara

.........................................................................................

Page 152: calep finaleditnew - sim.ihdn.ac.idsim.ihdn.ac.id › app-assets › repo › repo-dosen-032004021651-13.pdf · analisis sosio antropologisnya dia ingin melihat suatu perubahan yang

Calep : catatan lepas kebudayaan | yoga segara | 151

.......................................................................