cartesian ontology argument about the existence of god

14
1 I. PENDAHULUAN Lahirnya sebuah pemikiran filosofis dalam sejarah filsafat, tentunya tidaklah begitu saja adanya. Ia merupakan serangkaian rentetan pemikiran yang saling berkait antara filosof satu dengan yang lainnya. Begitu halnya dengan filsafat Cartesian, ia lahir sebagai respon atas skeptisme yang digagas oleh Montaigne. Pada mulanya Montaigne maragukan kemampuan indera dalam sebagai alat untuk memperoleh pengetahuan, ia menunjukkan betapa indera menyesatkan. Ia menyontohkan bagaimana indera membohongi kita. Ketika kita berada di atas sebuah gedung bertingkat kemudian kita melihat benda-benda dari kejahuan maka nampak kecil, padahal sejatinya benda-benda yang dilihatnya besar. Dan ketika mata yang memiliki penyakit kuning akan melihat segala yang ada disekitarnya nampak kuning. Melihat menjamurnya skeptisme pada kala itu, dengan metode meragunya, Desacartes mencoba mencari sebuah epistemologi baru untuk meruntuhkan bangunan skeptisme. Berbeda dengan para kaum skeptis, Descartes menggunakan metode meragu untuk memperoleh sebuah kepastian. Metode meragu descartes menghasilkan res-cogitan (thinking being) dan res-extansa (objek dalam bentuk materi), yang nantinya melahirkan dualisme-cartesian. Namun usaha yang dilakukan Descartes dalam merobohkan skeptisme masihlah meninggalkan celah kritik bagi filosof selepasnya. Para filosof penerusnya melakukan tambal sulam atas filsafat Cartesianisme. Di antaranya terdapat para pengkritik dualisme-cartesian ialah Hobbes, Locke dan Leibniz, dll. Dalam makalah ini, mencoba memaparkan dualisme-cartesian dari berbagai cara pandang filosof (Hobbes, Locke, Leibniz) dan sudut pandang dari kelompok yang mempercayai Tuhan itu tidak ada. Langkah pertama, memaparkan apa itu dualisme-cartesian. Kemudian, bagaimana para filosof yang tadi disebut melihat dualisme-cartesian, meliputi argumentasi-argumentasi kenapaa mereka melakukan penolakan ataupun penerimaan kepada dualisme-cartesian.

Upload: kevlaurent23

Post on 06-Sep-2015

13 views

Category:

Documents


4 download

DESCRIPTION

Filsafat, Liberal Arts

TRANSCRIPT

  • 1

    I. PENDAHULUAN

    Lahirnya sebuah pemikiran filosofis dalam sejarah filsafat, tentunya tidaklah begitu

    saja adanya. Ia merupakan serangkaian rentetan pemikiran yang saling berkait antara

    filosof satu dengan yang lainnya. Begitu halnya dengan filsafat Cartesian, ia lahir sebagai

    respon atas skeptisme yang digagas oleh Montaigne. Pada mulanya Montaigne

    maragukan kemampuan indera dalam sebagai alat untuk memperoleh pengetahuan, ia

    menunjukkan betapa indera menyesatkan. Ia menyontohkan bagaimana indera

    membohongi kita. Ketika kita berada di atas sebuah gedung bertingkat kemudian kita

    melihat benda-benda dari kejahuan maka nampak kecil, padahal sejatinya benda-benda

    yang dilihatnya besar. Dan ketika mata yang memiliki penyakit kuning akan melihat

    segala yang ada disekitarnya nampak kuning. Melihat menjamurnya skeptisme pada kala

    itu, dengan metode meragunya, Desacartes mencoba mencari sebuah epistemologi baru

    untuk meruntuhkan bangunan skeptisme. Berbeda dengan para kaum skeptis, Descartes

    menggunakan metode meragu untuk memperoleh sebuah kepastian. Metode meragu

    descartes menghasilkan res-cogitan (thinking being) dan res-extansa (objek dalam bentuk

    materi), yang nantinya melahirkan dualisme-cartesian. Namun usaha yang dilakukan

    Descartes dalam merobohkan skeptisme masihlah meninggalkan celah kritik bagi filosof

    selepasnya. Para filosof penerusnya melakukan tambal sulam atas filsafat Cartesianisme.

    Di antaranya terdapat para pengkritik dualisme-cartesian ialah Hobbes, Locke dan

    Leibniz, dll.

    Dalam makalah ini, mencoba memaparkan dualisme-cartesian dari berbagai cara pandang

    filosof (Hobbes, Locke, Leibniz) dan sudut pandang dari kelompok yang mempercayai

    Tuhan itu tidak ada. Langkah pertama, memaparkan apa itu dualisme-cartesian.

    Kemudian, bagaimana para filosof yang tadi disebut melihat dualisme-cartesian, meliputi

    argumentasi-argumentasi kenapaa mereka melakukan penolakan ataupun penerimaan

    kepada dualisme-cartesian.

  • 2

    II. ISI MAKALAH

    A. Sejarah Asal Mula Cartesian

    Kata Cartesian sendiri diadopsi dari nama Latin filsuf terkenal

    dari Perancis yaitu Rene Descartes.

    Rene Descartes atau yang dikenal dalam bahasa latin sebagai

    Renatus Cartesius adalah seorang filsuf yang menganut paham

    rasionalis dan disebut-sebut sebagai bapak filsafat modern yang

    lahir di kota La Haye Totiraine, Perancis pada tanggal 31 Maret

    1596 dan meninggal pada tanggal 11 Februari 1650 di usianya ke

    54 tahun di Swedia. yang merupakan turunan kaum borjouis.

    Banyak warisan yang ditinggalkan dari pemikiran Descartes ini seperti ordinat-ordinat

    cartesius dalam ilmu matematika yang juga memberikan dasar bagi Newton dan Leibniz

    untuk dikembangkan sehingga yang kita kenal sebagai kalkulus. Pengertian akan Cartesian

    pun dikutip dari namanya dan digunakan dalam banyak bidang sebagai berikut: Cartesian

    anxiety, Cartesian circle, Cartesian dualism, Cartesian physics, dll.

    Dimasa mudanya ia pergi melancong ke berbagai negara seperti Belanda, Jerman,

    Hungaria, Swiss, Italia, hingga Swedia. Selama pelancongan nya ia menulis buku-bukunya

    yang termashyur dan mempengaruhi gerak zaman modern seperti Discours de la Methode

    (1637) dan Meditationes de Prima Philosophia (1641).

    Descartes berpendapat bahwa satu-satunya sumber pengetahuan adalah dari dalam diri

    manusia itu sendiri. Descartes mengatakan bahwa kemampuan berpikir manusia yang

    sekarang tidak lagi semurni dan sekokoh sebagaimana jika manusia menggunakan nalarnya

    sendiri sejak dilahirkan karena sejak kecil cara berpikir manusia sudah dipengaruhi oleh cara

    berpikir orang lain yang ditanamkan melalui pendidikan. Sehingga muncullah sebuah

    pemikiran yang revolusioner yaitu dari ungkapan yang menjadi pedoman Rene Descartes

    yaitu Cogito Ergo sum atau dalam bahasa perancis nya Je pense donc je suis.

    Ide cogito ergo sum, digagasnya untuk meruntuhkan tradisi filsafat Aristotelian,

    Skolastik, dan skeptisme yang menjadi tradisi pada abad pertengahan. Dalam cogito ergo

    sum, Descartes menawarkan sebuah metode baru untuk mendapatkan kepastian. Pada

    mulanya tidak jauh berbeda dengan para pengikut skeptis, Descartes meragukan indera yang

    dianggapnya kadang kala menipu, kemudian dia meragukan geometri dan juga segala

  • 3

    penalaran yang telah dibentuknya sebelumnya, kecuali diri yang melakukan berpikir dan

    Tuhan. Dengan meragukan semuanya, maka sampailah ia pada thesis cogito ergo sum. Ia

    beranggapan bahwasanya bangunan filsafatnya ini sangatlah kokoh, bahkan kaum skeptis

    pun, menurutnya, tidak akan mampu merobohkan bangunan filsafatnya. Dari sini pula lah,

    Descartes melakukan pembuktian keberadaan Tuhan sebagai yang maha sempurna dan yang

    memberi daya bagi jiwa.

    B. Konsep Tuhan menurut Rene Descartes

    Fokus dalam topik Discussion of God ini adalah 2 pendapat dari Descartes mengenai

    eksistensi Tuhan. Dua pendapat itu terbagi dalam dua kategori, yaitu cosmological dan

    ontological. Berikut isi dari keduanya yang dikutip dari buku Fifty Major Philosophers

    karangan Collinson & Plant : The first argument starts from his recognition of himself as

    a being who, in virtue of his doubts, is imperfect, yet who is able to entertain the idea of

    God as perfect being. This perfect idea, he maintains, can come only from the perfect

    being, therefore God must exist as it source.

    Pernyataan pertama Descartes tersebut, kami menyimpulkan bahwa Descartes memulai

    pemikirannya dengan mengakui dirinya sebagai seseorang (dalam keragu-raguannya) bahwa

    ia tidak sempurna. Namun, ia dapat mengungkapkan ide tentang Allah yang sempurna. Ide

    tentang yang sempurna itu, ia anggap hanya dapat berasal dari yang empunya sempurna.

    Dengan demikian dapat dikatakan bahwa Allah pasti/harus ada sebagai sumber ide itu,

    pendapat ini termasuk dalam pendapat cosmological.

    Kesempurnaan itu merupakan sesuatu yang berasal dari yang lebih sempurna dari pada

    dia. Pemikiran ini juga yang diletakkan oleh yang sempurna itu di dalam dirinya oleh yang

    Maha Sempurna, yakni Allah. Dapat ditarik kesimpulan, eksistensi Allah adalah benar.

    Alasan mengapa Descartes berani mengemukakan bahwa Allah adalah sempurna adalah

    karena dia mengetahui beberapa kesempurnaan yang tidak dia miliki. Sebab ia mengetahui

    dan merasa bahwa ia tidak memiliki ciri-ciri yang sempurna yang hanya ada pada Allah,

    yakni maha tahu, abadi, tidak terbatas, tidak berubah, dan maha kuasa.

  • 4

    The second of Descartes arguments for the existence of God points out that the idea

    of a most perfect being is of a being containing every perfection and thus being entirely

    real. The idea of the most perfect being therefore contain the idea existence (Collinson &

    Plant, 2006).

    Pendapat Descartes yang kedua mengenai eksistensi Allah mengacu pada eksistensi dan

    esensi dari perfect being itu sendiri. Ia beranggapan bahwa ide dari yang paling sempurna

    adalah makhluk yang mengandung kesempurnaan itu sendiri. Melalui gagasan itu, akhirnya

    Descartes berpendapat bahwa oleh karena Tuhan itu sempurna, maka Ia tidak akan membawa

    seseorang ke dalam kesalahan, dan melalui kemampuan manusia kemudian dinyatakan

    menjadi pengetahuan. Di dalam bukunya The Last Meditation pada akhirnya ia berpendapat

    bahwa apa yang ia percayai sekarang dari benda-benda fisik (metafisik) adalah sesuatu yang

    benar yang bukan tipuan atau kesesatan, karena itu berasal dari Tuhan yang adalah perfect

    being yang tidak mungkin menipu.

    Terdapat dua versi argumen ontologis yang didebatkan, yaitu

    1. Argumen Langsung

    Pada arguman langsung kesimpulan langsung diberikan setelah premis tanpa ada

    asumsi tambahan. Versi ini dikenal dengan versi Cartesian yang diperkenalkan oleh

    Descartes. Ide dasar dari Cartesian ini sangat sederhana. Jika sesuatu itu Tuhan, Ianya

    mesti sempurna. Kesempurnaan itu meliputi maha kuasa, maha tahu dan secara moral

    sempurna. Jika keberadaan merupakan salah satu bukti dari kesempurnaan maka Tuhan

    pasti memiliki unsur keberadaan. Karena itu Tuhan pasti ada.

    2. Argumen Tidak Langsung

    Argumen tak langsung, atau lebih pas disebut argumen reductio ad absurdum. Pada

    versi ini kesimpulan diambil setelah menunjukkan bahwa argumen yang menolak

    kesimpulan ini salah. Versi ini dikenal dengan versi Anselmian yang diperkenalkan oleh

    St. Anselman.St. Anselman berpendapat bahwa sesuatu itu Tuhan jika dan hanya jika Ia

    adalah sesuatu yang paling dapat dipercaya. Tuhan adalah sesuatu yang tidak ada yang

    lebih besar darinya.

    Kaum Ateis setuju dengan pernyataan bahwa Tuhan itu pastilah lebih besar dari apapun.

    Namun, mereka berpendapat bahwa Tuhan itu hanya ada dalam pikiran, tidak dalam

    kenyataan. Karena itu Tuhan itu tidak ada.

  • 5

    Argumentasi ontologis yang dikeluarkan oleh Descartes adalah argumen ontologis

    langsung. Dalam argumentasinya, Descartes menunjukkan bahwa eksistensi Tuhan itu juga

    merupakan sesuatu yang necessary sebab tidak mungkin untuk memikirkan tentang Tuhan

    tanpa membuat eksistensi itu sebagai sebuah predikat dari Tuhan. Jika Tuhan itu adalah

    sebuah kesempurnaan, maka Tuhan juga harus memiliki eksistensi sebagai predikatnya.

    Dalam hal ini, Descartes memahami eksistensi sebagai sebuah predikat kualitas. Disini lah

    yang menjadi bahan acuan dalam pembahasan kali ini.

    Jadi bagi Descartes, memang ada perbedaan Tuhan sebagai ide (ada dalam pikiran)

    dengan Tuhan yang ada secara riil (tidak kelihatan tetapi ada). Karena Tuhan Maha-

    sempurna, tidak mungkin Tuhan yang ada dalam ide atau kesadaran tidak ada secara riil.

    Karena itu bagi Descartes, jika Tuhan ada dalam ide saja berarti Tuhan itu tidak sempurna.

    Tuhan yang sempurna adalah Tuhan yang bereksistensi pada ide dan pada kenyataan. Dengn

    demikian, ide kesempurnaan yang ada dalam kesadaran manusia justru menjadi jaminan bagi

    eksistensi Tuhan itu. Dengan kata lain, dapat dikatakan bahwa Tuhan bereksistensi secara

    nyata dan Dialah yang merupakan kebenaran yang Maha-Sempurna.

    Decrates mendeskripsikan Tuhan sebagai makhluk sempurna yang tak terhingga. Gagasan

    tersebut tidak mungkin muncul begitu saja dari hasil pikiran dan pengalaman manusia karena

    kedua hal tersebut merupakan sesuatu yang tidak sempurna dan bisa diragukan dan tidak

    memenuhi sebab lebih sempurna dari akibat. Gagasan tentang Tuhan itu muncul karena ada

    yang menaruh pikiran itu ke dalam pikiran manusia, yaitu Tuhan tersebut.

    Setelah membuktikan keberadaan Tuhan, Descartes mencoba membuktikan benda

    material itu ada. Ia menyatakan bahwa Tuhan menciptakan manusia dengan ketidakmampuan

    untuk membuktikan bahwa benda material itu sejatinya tidak ada, bahkan Tuhan menciptakan

    manusia untuk memiliki kecenderungan bahwa benda material itu ada. Jika pemahaman

    bahwa benda material itu ada hanya sebuah matrik kompleks yang menipu pikiran manusia,

    hal itu menunjukkan bahwa Tuhan adalah penipu dan bagi Descrates penipu adalah

    ketidaksempurnaan sedangkan Tuhan adalah makhluk sempurna sehingga Tuhan tidak

    mungkin menipu dan benda material itu ada.

  • 6

    C. Rasionalisme

    Jika kita ingin mengerti pemikiran Descartes mengenai Tuhan, maka kita harus mengerti

    terlebih dahulu pola pemikiran yang dianutnya. Dan dalam melakukan pemikiran nya selama

    ini, Descartes menggunakan paham rasionalis.

    Kata rasionalisme secara berasal dari kata rasio yang memiliki arti masuk akal, akal budi.

    Rasional memiliki beberapa pengertian, yaitu:

    1. Secara umum, rasional menunjukkan modus atau cara pengetahuan diskursif,

    konseptual yang khas manusiawi.

    2. Secara khusus, raisonal memiliki makna konklusif, logis, metodik. Ilmu pengetahuan

    rasional merupakan ilmuyang bersifat deduktif atau reduktif.

    3. Rasional juga menunjukkan sesuatu yang mempunyai atau mengandung rasio atau

    dicirikan oleh rasio, dapat dipahami, cocok dengan rasio, dapat dimengerti/ditangkap.

    Bentukan kata lain dari kata rasio adalah rasionalisasi yg memiliki dua makna umum, yaitu:

    1. Makna positif, yaitu membuat rasional (masuk akal) atau membuat sesuatu dengan

    akal budi atau menjadi masuk akal.

    2. Arti negatif, yaitu pembenaran berdasarkan motif-motif tersembunyi.

    Adapun rasionalisme adalah prinsip bahwa akal harus diberi peranan utama dalam

    menjelaskan sesuatu. Secara umum kata rasionalisme menunjuk pada pendekatan filosofis

    yang menekankan akal budi (rasio) sebagai sumber utama pengetahuan. Rasionalisme

    menjadi aliran baru dalam filsafat sejak Descartes mengemukakan hasil filosofinya dengan

    menggunakan pikiran dan rasionya untuk menguji kebenaran pengetahuan. Dasar-dasar dari

    aliran ini dilandaskan pada pemikiran filsafat Descartes yang kemudian dikenal sebagai

    Rasionalisme Kontinental.

  • 7

    Descartes mengemukakan empat prinsip rasionalisme yang dapat digunakan untuk

    mendapatkan pengetahuan yang benar-benar benar dan tidak dapat diragukan atau

    disangsikan lagi, yaitu :

    a. Tidak pernah menerima apapun sebagai benar kecuali jika saya mengetahuinya

    secara jelas bahwa hal itu memang benar, artinya menghindari secara hati-hati

    penyimpulan yang terlalu cepat dan praduga, dan tidak memasukkan apapun dalam

    pikiran saya kecuali apa yang tampil sedemikian jelas dan gamblang di dalam nalar

    saya, sehingga tidak akan ada kesempatan untuk meragukannya.

    b. Memilah satu per satu kesulitan yang akan saya telaah menjadi bagian-bagian kecil

    sebanyak mungkin atau sejumlah yang diperlukan, untuk memudahkan

    penyelesaiannya.

    c. Berpikir secara runtut dengan mulai dari objek-objek yang paling sederhana dan

    paling mudah dikenali, lalu meningkat sedikit demi sedikit sampai ke masalah yang

    paling rumit, dan bahkan dengan menata dalam urutan objek-objek yang secara alami

    tidak beraturan.

    d. Membuat perincian yang selengkap mungkin dan pemeriksaan yang demikian

    menyeluruh sampai saya yakin bahwa tidak ada yang terlupakan.

    D. Dualisme Cartesian

    Descartes memandang manusia sebagai makhluk dualitas. Manusia terdiri dari dua

    substansi yaitu jiwa dan tubuh. Jiwa adalah pemikiran dan tubuh adalah keluasan.

    Sebenarnya, tubuh tidak lain dari suatu mesin yang dijalankan oleh jiwa. Karena setiap

    substansi yang satu sama sekali terpisah dari substansi yang lain, sudah nyata bahwa

    Descartes menganut suatu dualisme tentang manusia. Itulah sebabnya, Descartes

    mempunyai banyak kesulitan untuk mengartikan pengaruh tubuh atas jiwa dan

    sebaliknya, pengaruh jiwa atas tubuh. Satu kali ia mengatakan bahwa kontak antara tubuh

    dan jiwa berlangsung dalam grandula pinealis (sebuah kelenjar kecil yang letaknya di

    bawah otak kecil). Akan tetapi, akhirnya pemecahn ini tidak memadai bagi Descartes

    sendiri.

  • 8

    Selanjutnya, Descartes menjelaskan bahwasannya manusia terdiri dari dua dimensi

    yang berbeda yakni jiwa dan tubuh, dan sifatnya sebagai komposisi dan membentuk

    sebagai sebuah kesatuan yang sangat erat (intimate union). Bagaimana yang immateri

    dengan yang materi dapat bersatu dengan kata lain bagaimana dua subtansi dapat

    menyatu dalam satu entitas? Dari berbagai buku yang pernah penulis baca, tidak penulis

    temukan argumentasi Descartes bagaimana dua subtansi ini dapat menyatu selain itu

    karena kekuasaan Tuhan yang maha sempurna. Mengenai letak jiwa, ia berargumentasi

    dengan kinerja sebuah indera (ia mencontohkan dengan mata) yang melihat objek, dari

    indera kemudian cairan-cairan kelenjar dari mata membawa informasi ke otak. Dari sini

    ia berkesimpulan bahwasannya jiwa terletak di sela-sela kelenjar otak. Ia berfungsi untuk

    memfungsikan organ tubuh, disinilah pandangan mekanisme Desacartes di dalam

    dualismenya.

    Kalau kita perhatikan, cara Descartes berargumentasi lebih mirip dengan kinerja otak

    sebagai motorik bagi tubuh. Yang menarik bagi saya, Desacartes memosisikan bahwa

    bayang yang ada di otak adalah bayangan yang ada di jiwa. Lantas, apa yang

    membedakan antara tubuh dengan jiwa? Dia berargumentasi bahwasannya kita memiliki

    sepasang mata lain yang berada di dalam otak yang terletak beberapa sentimeter di

    belakang mata.

    Bagaimana cara jiwa dalam menggerakkan tubuh? .Dengan cara yang sama, otak

    menyebarkan jiwa yang sehat itu ke dalam otot-otot agar anggota badan melakukan

    berbagai gerakan, sesuai dengan tampilannya berbagai obejek pada indera,

  • 9

    dan sejalan dengan cita-rasa yang berada di dalamnya, sehingga anggota badan kita

    dapat bergerak tanpa dikendalikan kehendak. Manusia tak ubahnya seperti robot yang

    digerakkan oleh jiwa sebagai motoriknya. Jika jiwanya tidak ada, maka ia akan mati.

    Kesimpulannya, Rene Descartes mengemukakan ide tentang soul-body, melahirkan

    Cartesian dualism yang sangat populer dan digunakan oleh para filsuf lainnya juga :

    Soul (dinyatakan dalam mind): sebuah entitas yang berbeda dan terpisah dari body,

    lebih mudah dipahami oleh manusia karena ada proses self-reflection/self-awareness yang

    diasumsikan inherent pada manusia.

    Body : entitas fisik pada manusia yang tunduk pada prinsip mekanisme fisiologis, sama

    seperti yang terjadi pada hewan. Namun pada manusia, aktivitas fisik tunduk pada

    perintah mind

    E. Kritik mengenai Argumen Ontologis Cartesian

    Argumen ontologis menjelaskan bahwa Jika sesuatu itu Tuhan, Ianya mesti sempurna.

    Kesempurnaan itu meliputi maha kuasa, maha tahu dan secara moral sempurna. Jika

    keberadaan merupakan salah satu bukti dari kesempurnaan maka Tuhan pasti memiliki

    unsur keberadaan. Karena itu Tuhan pasti ada.Bagi kaum Ateis argumen ini sangat lemah.

    Bagaimana mungkin atribut kesempurnaan merupakan bukti bahwa Tuhan itu ada?

    Bukankan argumen yang dikemukakan tersebut semua hanya ada dalam konsep, dalam

    pengertian? Memang tidak dapat dimungkiri bahwa sesuatu disebut Tuhan jika ia lebih

    segala-galanya dari makhluk apapun. Namun, tidak ada hal seperti ini yang dapat kita

    temukan dalam kenyataan. Kita hanya menemukan hal seperti ini dalam pengertian.

    Adapula kritik-kritik lainnya dari berbagai pandangan, seperti:

    1. Kritik dari Kant

    Argumentasi ontologis semacam ini dikritisi oleh Immanuel Kant. Ia terutama

    mengkritisi pemahaman yang dilontarkan oleh Descartes. Menurut Kant, terdapat

    ketidaktepatan dalam meletakkan eksistensi sebagai sebuah predikat. Ia menilai

    bahwa eksistensi bukan merupakan sebuah predikat. Jika kata eksis ditambahkan

    kepada suatu substansi, ia tidak menambahkan predikat apapun kepada nature dari

    benda tersebut.

  • 10

    Menurut Kant, eksistensi adalah sebuah pernyataan sintetik yang kebenarannya

    harus dapat dibuktikan terlebih dahulu baik melalui sebuah observasi ataupun

    pengalaman. Jadi, dalam analogi segitiga yang terkenal, Kant menilai bahwa memang

    benar segitiga harus memiliki tiga sisi. Namun harus dipastikan terlebih dahulu bahwa

    segitiga itu ada disana.

    Oleh karena itu, bagi Kant, tidak bisa kata eksistensi mengikuti kata Tuhan sebab eksis

    bukanlah sebuah pernyataan analisis yang sudah mengandung kebenaran di dalamnya.

    Lebih jauh, harus dipastikan bahwa Tuhan memang ada di sana dan manusia baru bisa

    memberikan predikat tentang Tuhan tanpa harus membubuhi kata eksis di dalamnya

    2. Kritik dari kaum penolak keberadaan Tuhan

    Kritik terhadap argumen logika keberadaan kejahatan Salah satu argumen yang

    digunakan oleh kaum Ateis untuk menolak keberadaan Tuhan adalah dengan

    menyatakan bahwa: "Jika Tuhan itu ada dan secara moral sempurna, maka Ia tidak

    akan mengijinkan adanya kejahatan yang Ia ketahui dan dapat mencegahnya".

    Argumen ini bukanlah kebenaran yang sesungguhnya, dan kemungkinan

    salah. Sebagai sesuatu yang secara moral sempurna, Tuhan pastilah membiarkankan

    terjadinya kejahatan diatas bumi. Tujuannya adalah untuk menciptakan dunia yang

    memiliki kebebasan bagi manusia untuk memilih dan menentukan sendiri apa yang

    akan dilakukannya.Dunia yang memiliki penduduknya yang mempunya tanggung

    jawab moral adalah dunia yang lebih baik secara moral daripada dunia yang tidak

    memiliki tanggung jawab moral. Keadaan ini memerlukan penduduk yang memiliki

    kebebasan memilih. Jika seseorang tidak memiliki kebebasan maka ia tidak dapat

    disalahkan atau dipuji atas apa yang dilakukan. Karena itu sesuatu yang secara moral

    sempurna, yaitu Tuhan, tentunya mempunyai maksud untuk menciptakan dunia yang

    memiliki tanggung jawab moral, dan memberikan kebebasan kepada ciptaannya. Jika

    ciptaannya memiliki kebebasan yang sesungguhnya, maka kepada mereka mesti

    diberi kebebesan untuk memilih kejahatan atau kebaikan.

    Karena itu adanya kejahatan diatas dunia bukanlah karena Tuhan tidak ada.

    Argumen yang menyatakan bahwa kejahatan terjadi karena tidak ada Tuhan adalah

    argumen yang benar, karena itu harus ditolak.Kritik terhadap argumen kejahatan

    sebagai bukti ketiadaan Tuhan Argumen lain dalam menolak keberadaan Tuhan

    adalah dengan menunjukkan bahwa adanya kejahatan di alam semesta adalah bukti

  • 11

    dari tidak adanya Tuhan. Bagaimana mungkin Tuhan yang katanya maha esa, maha

    kuasa, maha tahu dan secara moral sempurna mau berdampingan dengan kejahatan.

    3. Kritik dari Hobbes

    Hobbes mengembangkan suatu model dunia yang murni materialis dan

    mekanistisdunia yang semata-mata merupakan materi yang sedang bergerak.

    Yang menarik dari materialisme Hobbes, bahwa gerak hanya dapat kita temukan

    dalam bentuk materi. Dan pengertian materi menurut Hobbes ialah segala sesuatu

    yang dapat diukur, dan yang dapat diukur adalah segala sesuatu yang dapat kita lihat.

    Lebih ekstrimnya, menurut Hobbes, jika pun Tuhan ada maka Ia dalam bentuk materi.

    Dari serangkaian pandangan Hobbes mengenai materi, yang penulis dapati

    mengenai materialisme hobbes; bahwa materi ialah segala sesuatu yang dapat kita

    inderai dan melakukan gerak. Bagaimana dengan jiwa yang ada dalam pembahasan

    dualisme-cartesian? Menurut Hobbes, jiwa adalah materi karena ia berada di dalam

    badan.

    Selain persamaan di antara kedua tokoh yang penulis sampaikan di atas, terdapat pula

    titik seteru yang sangat menonjol di antara keduanya. Descartes berpendapat bahwa

    manusia terdiri atas jiwa dan tubuh yang saling terpisah, sedangkan Hobbes

    berpendapat bahwa tidak ada dualitas antara jiwa dengan tubuh, menurutnya, jiwa dan

    tubuh adalah sebuah satu-kesatuan.

    Tidak jauh berbeda dengan Descartes, dalam mengafirmasi filsafat

    Aristotelian tentang pembedaan antara manusia dengan hewan. Hobbes dan Descartes

    mempercayai adanya sebuah kinerja mekanistik pada manusia. Dalam hal ini

    keduanya sepakat bahwa; manusia tidak ubahnya sebuah robot. Namun menurut

    Descartes jiwa sebagai penggerak bagi gerakan tubuhdengan kata lain jiwa sebagai

    motorik. Sedangkan Hobbes yang memiliki padangan materialistik, ia berargumentasi

    dengan berangkat dari gerak. Di atas tadi sudah penulis sebutkan bahwa dalam

    pandangan Hobbes, segala yang melakukan gerak adalah materi, dan yang dapat

    disebut materi baginya ialah segala hal yang dapat diukur, dan jiwa berintegrasi

    dengan tubuh manusia dan menjadi materi (sehingga, jiwa=tubuh), menurut Hobbes

    bukanlah seperti yang dikatakan Descartes, tubuh lah yang melakukan gerak bukan

    jiwa. Robot itu (manusia) akan mati jika jiwa telah meninggalkannya. Sedangkan

    menurut Hobbes, manusia dikatakan telah mati jika ia sudah tidak melakukan gerak.

  • 12

    4. Kritik dari John Locke

    Locke berbicara tentang bagaimana manusia memperoleh ilmu pengetahuan.

    Ia setuju dengan pandangan dualisme-cartesian, bahwasannya manusia terdiri dari

    jiwa dan tubuh (mind and body). Namun, di dalam ide yang sama dengan Descartes

    itu, dia juga agak memiliki pandangan yang lain. Dia menolak ide Descartes bahwa

    manusia memperoleh ilmu pengetahuan dari pikirannya (innate ideas) bersifat a

    priori.

    Menurutnya, pikiran (jiwa) manusia ketika baru lahir tak ubahnya seperti

    lembaran kertas (tabula rasa), lalu pengalaman akan menulis di dalamnya, dan apa

    yang ditulis oleh pengalaman inilah yang bisa diketahui oleh akaldengan kata lain

    manusia memperoleh pengetahuan paling awal berdasarkan pengalaman empiris.

    Pendapat ini juga meruntuhkan paradigma cartesian-circleTuhan menjamin

    kejernihan ide rasional manusia, dan keberadaan Tuhan dijamin oleh kejernihan

    rasional manusia.

    Locke juga mengambil ide subjektivisme Descartes, pandangan bahwa apa yang

    paling aku ketahui adalah akalku sendiri dan ide yang ada di dalamnya. Jurang

    pemisah antara akal pikiran bersama ide yang ada di dalamnya dengan objek

    jasmaniah dan manusia dimana ide pikiranku merujuk diluar diriku. Locke setuju

    adanya dualisme-cartesian, namun dia melakukan modifikasi bahwasannya manusia

    memperoleh pengetahuan berdasarkan pengalaman yang didapat, dan inilah yang

    menjadi cikal bakal dari berdirinya mendapat pengetahuan berdasarkan empirisme.

    5. Kritik dari Gottfried Wilheim von Leibniz

    Mengenai bagaimana manusia mendapatkan ilmu pengetahuan, Leibniz

    menawarkan empat tahap bagaimana manusia dalam memperoleh ilmu pengetahuan.

    Pertama; pertama kita lahir kita tahu kita ada dan ada orang tua kita. Kedua, ia

    menolak metode deduksi Descartes dan setuju dengan metode induksi Locke. Ketiga;

    dengan melakukan pembandingan antara esensi suatu benda dengan benda lainnya,

    maka kita mendapatkan sebuah pengetahuan. Matahari yang kita lihat tidaklah sebesar

    matahari yang sebenarnya. Dan terakhir adalah pengetahuan yang didapat dari

    keapaan suatu benda, seperti pengetahuan lingkaran geometri.

  • 13

    Dalam hubungan jiwa dengan tubuh, Leibniz berpendapat bahwa tubuh

    berhubungan erat dengan jiwa. Tidak seperti pandangan Descartes yang menganggap

    tubuh hanya merupakan teman tidur (bersifat pasif), Leibniz memandang bahwa

    tubuh tidak terus-terusan terdiri dari ukuran, bentuk, dan gerakan, melainkan kita

    harus mengenali sesuatu yang terdapat dalam tubuh yang menghubungkan dengan

    jiwa, Leibniz menyebutnya dengan subtansiLeibniz menyebut subtansi dengan

    monad. Ia menyebutkan bahwa di dalam manusia terdapat sesuatu yang menyerupai

    jiwa, Leibniz menyebutnya dengan subtansi (monad), yang memberi daya kepada

    tubuh untuk melakukan aktivitas.

    III. PENUTUP

    Kesimpulan

    Lewat argumen-argumen pembuktian yang dikemukakan Descartes, kita dapat

    memahami bahwa pembuktian eksistensi Tuhan yang ditelusurinya ini amat bersifat

    rasional. Sikap rasional yang diterapkan dalam usaha penelusurannya untuk membuktikan

    eksistensi Tuhan ini hanya didasarkan pada analisis-analisis cogito yang dimiliki

    manusia. Dengan cogito ergo sum yang dijadikannya sebagai landasan yang kokoh,

    Descartes berani berusaha mengungkapkan keberadaan Tuhan entah di dalam pikiran atau

    pun di dalam kenyataan sebagai Yang Maha-Sempurna. Derngan demikian, Tuhan

    adalah Dia yang bereksistensi secara Sempurna.

  • 14

    DAFTAR PUSTAKA

    http://www.kompasiana.com/nicholausprasetya/eksistensi-tuhan-dan-argumentasi-

    ontologis_550b4507a33311226a2e4181

    http://achillesmuda.blogspot.com/2010/05/filsafat-ilmu.html

    Scruton, Roger, A Short History of Modern Philosophy: From Descartes to Wittgenstein

    (Canada: Routledge, 1996)

    Hardiman, F. Budi, Pemikiran-Pemikiran yang Membentuk Dunia Modern, Erlangga, 2011.

    Descartes, Rene. Risalah tentang Metode. Terj. I. Husein dan R.S Hidayat. Jakarata:

    Gramedia Pustaka utama, 1995.

    Smith, Linda dan Wiliam Raeper, Ide-Ide: Filsafat dan Agama.Dulu dan Sekarang.

    Yokyakarta: Kanisius, 2000.