case forensik - sudden death
DESCRIPTION
Case Forensik - Sudden DeathTRANSCRIPT
Case Report Session
SUDDEN DEATH
Oleh:
Stephanie 07923047
Olga Elenska Adrin 0910312069
Cicim Marsal 0910312106
Milfa Sari 0910314184
Fido Arif S 1010312026
Annisa Alhamra 1110313099
Pembimbing :
dr.Rika Susanti Sp F
dr. Citra Manela Sp F
dr. Noverika Windasari
BAGIAN ILMU FORENSIK DAN MEDIKOLEGAL
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS ANDALAS
RSUP DR. M. DJAMIL PADANG
2015
DAFTAR ISI
HalamanKata Pengantar
Daftar Isi
Daftar Pustaka
BAB I : PENDAHULUAN 1
BAB II : TINJAUAN PUSTAKA 2
2.1 Sudden Death 2
2.1.1 Definisi Sudden Death 2
2.1.2 Epidemiologi 2
2.1.3 Etiologi Sudden Death 3
2.1.4 Trauma dan Keracunan 4
2.1.5 Aspek Medikolegal 8
2.2 Cedera Kepala (Trauma dan Lesi) 21
BAB III : LAPORAN KASUS 31
BAB IV : DISKUSI 35
BAB I
PENDAHULUAN
Kematian mendadak akibat penyakit seringkali mendatangkan kecurigaan baik bagi
penyidik, masyakat atau keluarga, khususnya bila yang meninggal adalah orang yang cukup
dikenal oleh masyarakat, orang yang meninggal di rumah tahanan dan ditempat-tempat umum
seperti : Hotel, cottege, terminal, cattage, motel, atau di dalam kendaraan. Kecurigaan adanya
unsur kriminal pada kasus kematian mendadak terutama disebabkan masalah TKP (tempat
kejadian perkara) yaitu bukan di rumah korban atau di rumah sakit melainkan di tempat umum
karena alasan tersebut kematian mendadak termasuk kasus forensik walaupun hasil otopsinya
menunjukan kematian diakibatkan oleh misalnya penyakit jantung koroner, perdarahan otak atau
pecahnya berry aneurisma.
Setiap kematian mendadak harus diperlakukan sebagai kematian yang tidak wajar
sebelum dapat dibuktikan bahwa tidak ada bukti yang mendukungnya. Maka dari itu, diperlukan
pemeriksaan pada kasus kematian mendadak dengan beberapa alasan diantaranya menentukan
adakah peran tindak kejahatan, klaim asuransi, menentukan apakah kematian tersebut akibat
penyakit, akibat industry atau merupakan kecelakaan belaka, apakah factor keracunan,
mendeteksi epidemiologi penyakit. Adapun dilakukannya autopsy tidak lain adalah untuk
mengetahui dan menjelakan sebab kematian dan untuk kepentingan umum, melindungi yang
dapat terhindar dari penyebab kematian yang sama.
Penentuan sebab kematian menjadi penting terkait dengan kepentingan hukum,
perubahan status almarhum dan keluarganya, serta hak dan kewajiban yang timbul dari
meninggalnya orang tersebut. Autopsi sebagai suatu jalan penentuan sebab kematian merupakan
pilihan saat berhadapan dengan suatu kasus kematian mendadak.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi Sudden Death
Definisi kematian mendadak menurut WHO, yaitu kematian dalam waktu 24 jam sejak
gejala timbul, namun pada kasus-kasus forensik sebagian besar kematian terjadi dalam hitungan
menit atau bahkan detik sejak gejala timbul. Kematian mendadak tidak selalu tidak terduga, dan
kematian yang tak terduga tidak selalu terjadi mendadak, namun amat sering keduanya terjadi
bersamaan pada satu kasus.1,2,4
Pengertian mati mendadak sebenarnya berasal dari sudden unexpected natural death yang
didalamnya terkandung kriteria penyebab yaitu natural (alamiah, wajar). Terminologi kematian
mendadak dibatasi pada suatu kematian alamiah yang terjadi tanpa diduga dan terjadi secara
mendadak, mensinonimkan kematian mendadak dengan terminologi “sudden natural unexpected
death”(Hakim, 2010). Sedangkan menurut Baradero (2008), mati mendadak mengandung
pengertian kematian yang tidak terduga, dalam kurun waktu kurang dari 1 jam atau dalam waktu
24 jam. Sering mati mendadak terjadi dalam beberapa menit, sehingga tidak ada yang
menyaksikan atau tidak sempat mendapat pertolongan sama sekali. 4
2.1.2 Epidemiologi
Kematian mendadak terjadi empat kali lebih sering pada laki-laki dibandingkan pada
perempuan. Penyakit pada jantung dan pembuluh darah menduduki urutan pertama dalam
penyebab kematian mendadak dan juga memiliki kecenderungan yang serupa yaitu lebih sering
menyerang laki-laki dibandingkan perempuan dengan perbandingan 7:1 sebelum menopause dan
menjadi 1:1 setelah perempuan menopause. Tahun 1997 -2003 di Jepang dilakukan penelitian
pada 1446 kematian pada kecelakaan lalu lintas dan dari autopsi pada korban kecelakaan lalu
lintas di Dokkyo University dikonfirmasikan bahwa 130 kasus dari 1446 kasus tadi penyebab
kematiannya digolongkan dalam kematian mendadak, bukan karena trauma akibat kecelakaan
lalu lintas. Di Indonesia seperti yang dilaporkan badan Litbang Departemen Kesehatan RI,
persentase kematian akibat penyakit ini meningkat dari 5,9% (1975) menjadi 9,1% (1981), 16,0
(1986), dan 19,0% (1995). 1,3,4
2.1.3. Etiologi Sudden Death
1. Natural Unexpected Death
Pengertian mati mendadak sebenarnya berasal dari sudden unexpected natural death yang
didalamnya terkandung kriteria penyebab yaitu natural (alamiah, wajar). Terminologi kematian
mendadak dibatasi pada suatu kematian alamiah yang terjadi tanpa diduga dan terjadi secara
mendadak, mensinonimkan kematian mendadak dengan terminologi “sudden natural unexpected
death”4. Sedangkan menurut Baradero, mati mendadak mengandung pengertian kematian yang
tidak terduga, dalam kurun waktu kurang dari satu jam atau dalam waktu dua puluh empat jam.
Sering mati mendadak terjadi dalam beberapa menit, sehingga tidak ada yang menyaksikan atau
tidak sempat mendapat pertolongan sama sekali.
Simpson dalam bukunya “Forensic Medicine” menulis dua alternatif definisi, yaitu:
1. Sudden death adalah kematian yang tidak terduga, non traumatis, non self inflicted
fatality, yang terjadi dalam 24 jam sejak onset gejala.
2. Definisi yang lebih tegas adalah kematian yang terjadi dalam satu jam sejak timbulnya
gejala.
Definisi dari mati mendadak adalah kematian terjadi tanpa diperkirakan sebelumnya,
tanpa gejala yang nyata sebelumnya atau gejalanya hanya dalam waktu yang singkat (menit atau
jam), nontraumatis, tidak mengandung unsur kesengajaan. Definisi Simpson tersebut
menyebutkan suatu keadaan yang tidak diperkirakan sebelumnya (unexpectedly). Suatu kematian
yang tidak diperkirakan sebelumnya, tentu tidak akan menjadi masalah dan tidak menimbulkan
kecurigaan, karena sudah diketahui akan menyebabkan kematian yang cepat. Misalnya, orang
yang dihukum gantung atau orang yang sedang dalam keadaan sakaratul maut (terminal stage).
Simpson juga menyebutkan adanya syarat bahwa gejala yang ada sebelumnya tidak nyata atau
gejala yang ada hanya dalam waktu pendek.2
Dari uraian tersebut maka mati mendadak mengandung pengertian kematian yang tidak
terduga, tidak ada unsur trauma dan keracunan, tidak ada tindakan yang dilakukan sendiri yang
dapat menyebabkan kematian dan kematian tersebut disebabkan oleh penyakit dengan gejala
yang tidak jelas atau gejalanya muncul dalam waktu yang mendadak kemudian korban mati.
Penyebab mati mendadak dapat diklasifikasikan menurut sistem tubuh, yaitu sistem
susunan saraf pusat, sistem kardiovaskular, sistem pernapasan, sistem gastrointestinal, sistem
haemopoietik dan sistem endokrin. Dari sistem-sistem tersebut, yang paling banyak menjadi
penyebab kematian adalah sistem kardiovaskular, dalam hal ini penyakit jantung.
2.1.4 Trauma dan Keracunan
Secara garis besar penyebab kematian mendadak, yaitu karena trauma, keracunan dan
penyakit. Insiden kematian mendadak akibat trauma dan keracunan lebih kurang sekitar 25-30%,
sementara penyakit merupakan penyebab tersering dari terjadinya kematian mendadak dengan
persentase mencapai 60-70%. Kematian mendadak terbanyak akibat dari penyakit pada sistem
jantung dan pembuluh darah.1,2,3
Berikut ini penyebab kematian mendadak secara garis besar, yaitu:
1. Trauma
Menurut dr.Roslan Yusni Hasan, Sp.BS, trauma pada otak dan leher dapat
menjadi kombinasi penyebab kematian yang fatal. Hal ini terjadi ketika terjadinya
benturan pada bagian kepala yang kemudian dibarengi leher yang tertolak ke belakang.
Akibatnya, tulang leher patah dan patahnya tulang ini dapat memicu kematian dalam
waktu singkat akibat tertutupnya jalan nafas. Tubuh seketika bisa kehilangan suplai
oksigen, akibatnya sel-sel mengalami kematian mendadak. Akan tetapi, trauma otak
ternyata sebenarnya tidak selalu menyebabkan kematian dalam waktu singkat, paling
tidak diperlukan waktu 1-2 jam sebelum terjadinya kematian.1,5,6
Trauma lain yang bisa menyebabkan kematian mendadak adalah cedera tulang
dada (thorax) dan panggul (pelvis). Cedera tulang dada dapat menyebabkan terjadinya
tamponade jantung atau suatu kondisi di mana jantung tertekan akibat benturan pada
dada. Hal ini menyebabkan darah menggenang di sekitar jantung di dalam tulang dada.
Sedangkan cedera pada tulang panggul menyebabkan tubuh mengalami kehilangan darah
dalam jumlah banyak.1,3,4
Salah satu masalah yang paling sulit dalam kedokteran forensik adalah jika
kematian terjadi pada seseorang yang mengalami kekerasan namun menderita juga
sedang penyakit atau dimana penyakit telah meningkatkan kerusakan setelah terjadinya
kekerasan. Pada keadaan seperti ini kontribusi penyakit dan kekerasan sebagai sebab
kematian dapat menjadi masalah medikolegal. Pada prakteknya, situasi yang paling
sering menyebabkan keadaan seperti ini adalah penyakit koroner, emboli pulmoner dan
perdarahan subarachnoid.7
2. Keracunan4,8
a. Definisi
Racun ialah zat yang bekerja pada tubuh secara kimiawi dan fisiologik yang
dalam dosis toksik akan menyebabkan gangguan berupa sakit atau kematian.
Intoksikasi merupakan suatu keadaaan dimana fungsi tubuh menjadi tidak normal
yang disebabakan oleh sesuatu jenis racun atau bahan toksik lain.
b. Jenis – jenis racun
Berdasarkan sumber racun dapat digolongkan menjadi:
Racun yang berasal dari tumbuh – tumbuhan yaitu opium, kokain, kurare,
aflatoksin
Racun yang berasal dari hewan seperti bisa atau toksin ular, laba-laba dan hewan
lauta
Racun yang berasal dari mineral seperti arsen, timah hitam dan lain-lain
Racun yang berasal dari sintetik seperti heroin
Berdasarkan tempat dimana racun berada, dapat dibagi menjadi:
Racun yang terdapat di alam bebas, misalnya gas – gas yang terdapat di alam
Racun yang terdapat dirumah tangga, misalanya detergen, insektisida, pembersih
(cleaners)
Racun yang digunakan dalam pertanian, misalnya insektisida, herbisida dan
pestisida
Racun yang digunakan dalam industry dan laboratorium, misalnya asap dan basa
kuat, logam berat
Racun yang terdapat dalam makanan, misalnya sianida dalam singkong,
botulinium (racun ikan), bahan pengawet, zat adiktif
Racun dalam bentuk obat, misalnya hipnotik, sedative
c. Cara kerja atau efek yang ditimbulkan
Lokal : pada tempat kontak akan timbul beberapa reaksi, misalnya perangsangan,
peradangan atau korosif. Contoh korosif : asam dan basa kuat
Sistemik : mempunyai afinitas terhadap salah satu system, misalnya barbiturate,
alcohol, morfin, mempunyai afinitas kuat terhadap SSP. Digitalis dan oksalat
terhadap jantung. CO terhadap darah.
Lokal dan sistemik : asam karbol menyebabkan erosi lambung, sedangkan
sebagian yang diabsorpsi akan menimbulkan depresi SSP
d. Faktor yang mempengaruhi keracunan
Cara masuk : mulai dari yang paling cepat sampai paling lambat berturut-turut
adalah inhalasi, intravena, intramuskuler, intraperitoneal, subkutan, peroral, kulit.
Umur : orang tua dan anak-anak lebih rentan
Kondisi tubuh : lebih rentan pada orang dengan daya tahan tubuh yang rendah
seperi pada orang dengan gizi kurang atau buruk, orang dengan penyakit ginjal
Kebiasaan : penting pada kasus keracunan alcohol dan morfin sebab terjadi
toleransi
Alergi : misal vitamin E, penicillin, streptomisin, dan prokain
Faktor racun sendiri : yaitu takaran, konsentrasi, bentuk dan kondisi fisik
lambung, struktur kimia, sinergisme dan adisi.
Waktu pemberian : sebelum atau sesudah makan. Pada racun peroral jika
diberikan sebelum makan absorpsi akan lebih baik dan efek lebih cepat.
e. Kriteria Diagnosis
1. Adanya tanda dan gejala yang sesuai dengan racun penyebab
2. Dengan analisis kimiawi dapat dibuktikan adanya racun pada barang bukti jika
sisanya masih ada
3. Dapat ditemukan racun atau sisa dalam tubuh/ cairan tubuh korban, jika racun
menjalar secara sistemik
4. Kelainan pada tubuh korban, makroskopik maupun mikroskopik sesuai dengan
racun penyebab
5. Riwayan penyakit, bahwa korban tersebut benar-benar kontak dengan racun
Butir 3 dan 4 mutlak perlu
Yang perlu diperhatikan untuk korban keracunan :
Keterangan tentang racun apa kira-kira yang menjadi penyebabnya
Harus sedikit sekali menggunakan air
Jangan menggunakan desinfektan
f. Pemeriksaan toksikologik.
Pemeriksaan toksikologik harus dilakukan pada :
Bila pada pemeriksaan setempat terdapat kecurigaan terhadap keracunan.
Bila pada otopsi ditemukan kelainan yang lazim ditemukan pada keracunan
dengan zat tertentu, misalnya lebam mayat yang tidak biasa (cherry red pada CO,
merah terah pada sianida, kecoklatan pada nitrit, nitrat, anilin, fenasitin dan kina);
loka bekas suntikan sepanjang vena, keluarnya buih dari mulut dan hidung
(keracunan morfin), bau amandel (keracunan sianida), bau kutu busuk (keracunan
malation).
Bila pada otopsi tidak ditemukan penyebab kematian.
Dalam menangani kasus kematian akibat keracunan perlu dilakukan
pemeriksaan penting yaitu :
Pemeriksaan ditempat kejadian (TKP)
Otopsi lengkap
Analisis toksikologik
2.1.5 Aspek Medikolegal
1. ASPEK MEDIKOLEGAL NATURAL SUDDEN DEATH
Pada tindak pidana pembunuhan, pelaku biasanya akan melakukan suatu tindakan/usaha
agar tindak kejahatan yang dilakukanya tidak diketahui baik oleh keluarga, masyarakat dan yang
pasti adalah pihak penyiidik (polisi) , salah satu modus operandus yang bisa dilakukan adalah
dengan cara membawa jenazah tersebut ke rumah sakit dengan alasan kecelakaan atau meninggal
di perjalanan ketika menuju kerumah sakit (Death On Arrival) dimana sebelumnya almarhum
mengalami serangan suatu penyakit ( natural sudden death).
Pada kondisi diatas, dokter sebagai seorang profesional yang mempunyai kewenangan untuk
memberikan surat keterangan kematian harus bersikap sangat hati-hati dalam mengeluarkan dan
menandatangani surat kematian pada kasus kematian mendadak (sudden death) karena
dikhawatirkan kematian tersebut setelah diselidiki oleh pihak penyidik merupakan kematian
yang terjadi akibat suatu tindak pidana. Kesalahan prosedur atau kecerobohan yang dokter
lakukan dapat mengakibatkan dokter yang membuat dan menandatangani surat kematian tersebut
dapat terkena sangsi hukuman pidana. Ada beberapa prinsip secara garis besar harus diketahui
oleh dokter berhubungan dengan kematian mendadak akibat penyakit yaitu:
1. Apakah pada pemeriksaan luar jenazah terdapat adanya tanda-tanda kekerasan yang
signifikan dan dapat diprediksi dapat menyebabkan kematian ?
2. Apakah pada pemeriksaan luar terdapat adanya tanda-tanda yang mengarah pada
keracunan ?
3. Apakah almarhum merupakan pasien (Contoh: Penyakit jantung koroner) yang rutin
datang berobat ke tempat praktek atau poliklinik di rumah sakit ?
4. Apakah almarhum mempunyai penyakit kronis tetapi bukan merupakan penyakit
tersering penyebab natural sudden death ?
Adanya kecurigaan atau kecenderungan pada kematian yang tidak wajar berdasarkan kriteria
tersebut, maka dokter yang bersangkutan harus melaporkan kematian tersebut kepada penyidik
(polisi) dan tidak mengeluarkan surat kematian.
2. AUTOPSI PADA KASUS KEMATIAN MENDADAK
Terdapat empat tahapan dalam menentukan sebab kematian mendadak:
a. Melakukan anamnesis terhadap riwayat dan tempat kejadian
b. Melakukan autopsy
Autopsi terdiri dari Pemeriksaan Luar dan Pemeriksaan Dalam:
1. Pemeriksaan Luar
a. Label Mayat
b. Tutup Mayat
c. Bungkus Mayat
d. Pakaian
e. Perhiasan
f. Benda Disamping Mayat
g. Tanda Kematian: Lebam mayat, kaku mayat, suhu tubuh mayat, pembusukan dan
lain-lain
h. Identifikasi umum
i. Identifikasi kusus
j. Pemeriksaan rambut
k. Pemeriksaan Mata
l. Pemeriksaan Daun Telinga dan Hidung
m. Pemeriksaan Terhadap mulut dan rongga mulut
n. Pemeriksaan alat kelamin dan Lubang Pelepasan
o. Pemeriksaan tanda-tanda Kekerasan dan Luka
p. Pemeriksaan terhadap patah tulang
2. Pemeriksaan Dalam
Pemeriksaan organ/ alat tubuh biasanya dimulai dari lidah oesofagus, trachea dan
seterusnya sampai meliputi seluruh alat tubuh. Otak biasanya diperiksa terakhir.
1. Lidah
Pada lidah, perhatikan permukaan lidah, adakah kelainan bekas gigitan, baik yang
baru maupun yang lama. Bekas gigitan yang berulang dapat ditemukan pada penderita
epilepsy. Bekas gigitan ini dapat pula terlihat pada penampang lidah. Pengirisan lidah
sebaiknya tidak sampai teriris putus, agar setelah selesai autopsy, mayat masih tampak
berlidah utuh.
2. Tonsil
Perhatikan permukaan maupun penampang tonsil, adakah selaput, gambaran infeksi,
nanah dan sebagainya.
3. Kelenjar gondok
Untuk melihat kelenjar gondok dengan baik, otot-otot leher terlebih dahulu
dilepaskan dari perlekatannya di sebelah belakang.Dengan pinset bergigi pada tangan
kiri, ujung bawah otot otot leher dijepit dan sedikit diangkat, dengan gunting pada
tangan kanan, otot leher dibebaskan dari bagian posterior.Setelah otot leher ini
terangkat, maka kelenjar gondok akan tampak jelas dan dapat dilepaskan dari
perlekatannya pada rawan gondok dan trachea.
Perhatikan ukuran dan beratnya, periksa apakah permukaannya rata, catat warnanya,
adakah perdarahan berbintik atau resapan darah .lalukan pengirisan di bagian lateral
pada kedua baga kelenjar gondok dan catat perangai penampang kelenjar ini.
4. Kerongkongan (oesophagus)
Oesophagus dibuka dengan jalan menggunting sepanjang dinding belakang.
Perhatikan adanya benda-benda asing, keadaan selaput lender serta kelainan yang
mungkin ditemukan ( misalnya striktura, varices).
5. Batang tenggorok( trachea)
Pemeriksaan dimulai pada mulut atas batang tenggorok, dimulai pada
epiglotis.Perhatikan adakah edema, benda asing, perdarahan dan kelainan lain,
perhatikan pula pita suara dan dan kotak suara. Pembukaan trachea dilakukan dengan
melakurkan pengguntingan dinding belakang (bagian jaringan ikat pada cincin trachea)
sampai mencapai cabang bronchus kanan dan kiri. Perhatikan adanya benda asing, busa,
darah serta keadaan selaput lainnya.
6. Tulang lidah (os hyoid), rawan gondok (cartilage thyroidea) dan rawan cincin
(cartilage cricoidea).
Tulang lidah kadang-kadang ditemukan patah unilateral pada kasus pencekikan.
Tulang lidah terlebih dahulu dilepaskan dari jaringan sekitarnya dengan menggunakan
pinset dan gunting. Perhatikan adanya patah tulang, resapan darah. Rawan gondok dan
rawan cincin seringkali juga menunjukkan resapan darah pada kasus dengan kekerasan
pada daerah leher (pencekikan, penjeratan, gantung).
7. Arteria carotis interna
Arteria carotis communis dan interna biasanya tertinggal melekat pada permukaan
depan ruas tulang leher. Perhatikan adanya tanda kekerasan pada sekitar arteria ini.
Buka pula arteria ini dengan menggunting dinding depannya dan perhatikan keadaan
intima. Bila kekerasan pada daerah leher mengenai arteria ini. Kadang kadang dapat
ditemukan kerusakan pada intima di samping terdapatnyaresapan darah.Pada sekitar
arteria pada dinding depannya dan perhatikan keadaan intima. Bila kekerasan pada
daerah leher mengenai arteria ini kadang kadang dapat ditemukan kerusakan pada intima
di samping terdapatnya resapan darah.
8. Kelenjar Kacangan (Thymus)
Kelenjar kacangan biasanya telah berganti menjadi thymic fat body pada orang
dewasa, namun kadang kadang masih dapat ditemukan (pada status
thymicolymphaticus). Kelenjar kacangan terdapat melekat di sebelah atas kandung
jantung. Pada permukaannya adanya perdarahan berbintik serta kemungkinan adanya
kelainan lain.
9. Paru –paru
Kedua paru masing-masing diperiksa tersendiri.Tentukan permukaan paru-paru.Pada
paru yang mengalami emphysema, dapat ditentukan cekungan bekas penekanan iga.
Perhatikan warnanya, serta bintik perdarahan, bercak perdarahan akibat aspirasi darah ke
dalam alveoli (tampak pada permukaan paru sebagai bercak berwarna merah-hitam
dengan batas tegas) resapan darah, luka, bula dan sebagainya.
Perabaan paru yang normal terasa seperti meraba spons/karet busa. Pada paru
dengan proses peradangan, perabaan dapat menjadi padat atau keras
Penampang paru diperiksa setelah melakukan pengirisan paru yang dimulai dari
apex sampai ke basal, dengan tangan kiri memegang paru pada daerah hilus. Pada
penampang paru ditentukan warnanya serta dicatat kelainan yang mungkin ditemukan.
10. Jantung
Jantung dilepaskan dari pembuluh darah besar yang keluar / masuk ke jantung
dengan memegang apex jantung dan mengangkatnya serta menggunting pembuluh tadi
sejauh mungkin dari jantung. Perhatikan besarnya jantung, bandingkan dengan kepalan
tinju kanan mayat. Perhatikan akan adanya resapan darah, luka atau bintik-bintik
perdarahan. Pada autopsi jantung, ikuti sistematika pemotongan dinding jantung yang
dilakukan dengan ‘mengikuti’ aliran darah di dalam jantung.
Pertama-tama jantung diletakkan dengan permukaan ventral menghadap ke
atas.Posisi ini dipertahankan terus sampai autopsi jantung selesai.Vena kava superior
dan inferior dibuka dengan jalan menggunting dinding belakang vena-vena
tersebut.Dengan gunting buka pula aurikel kanan. Perhatikan akan adanya kelainan baik
pada aurikel kanan maupun atrium kanan.
Dengan pisau panjang, masuki bilik jantung kanan sampai ujung pisau menembus
apeks di sisi kanan septum dengan mata pisau mengarah ke lateral, lakukan irisan
menembus tebal otot dinding sebelah kanan.Dengan demikian, rongga bilik jantung
sebelah kanan dapat terlihat. Lakukan pengukuran lingkaran katup trikuspidal serta
memeriksa keadaan katup, apakah terdapat penebalan, benjolan atau kelaman lain. Tebal
dinding bilik kanan diukur dengan terlebih dahulu membuat irisan tegak lurus pada
dinding belakang bilik kanan ini, 1 sentimeter di bawah katup.
Irisan pada dinding depan bilik kanan dilakukan menggunakan gunting, mulai dari
apeks, menyusuri septum pada jarak setengah sentimeter, ke arah atas menggunting
dinding depan arteria pulmonalis dan memotong katup semilunaris pulmonal. Katup
diukur lingkarannya dan keadaan daun katupnya dinilai.
Pembukaan serambi dan bilik kiri dimulai dengan pengguntingan dinding belakang
vv. pulmonales, yang disusul dengan pembukaan aurikel kiri. Dengan pisau panjang,
apeks jantung sebelah kiri dari septum ditusuk, lalu diiris ke arah lateral sehingga bilik
kiri terbuka. Lakukan pengukuran lingkaran katup mitral serta perulaian terhadap
keadaan katup.Tebal otot jantung sebelah kiri diukur pada irisan tegak yang dibuat 1
sentimeter di sebelah bawah katup pada dinding belakang. Dengan gunting, dinding
depan bilik kiri dipotong menyusun septum pada jarak ½ sentimeter, terus ke arah atas,
membuka juga dinding depan aorta dan memotong katup semilunaris aorta. Lingkaran
katup diukur dan daun katup dinilai.
Pada daerah katup semilunaris aorta dapat ditemukan dua muara a. koronaria, kiri
dan kanan. Untuk memeriksa keadaan a. koronaria sama sekali tidak boleh
menggunakan sonde, karena ini akan dapat mendorong trombus yang mungkin terdapat.
Pemeriksaan nadi jantung ini dilakukan dengan membuat irisan melintang sepanjang
jalannya pembuluh darah. A. koronaria kiri berjalan di sisi depan septum, dan
a.koronaria kanan ke luar dari dinding pangkal aorta ke arah belakang. Pada penampang
irisan diperhatikan tebal dinding arteri, keadaan lumen serta kemungkinan terdapatnya
trombus. Septum jantung dibelah untuk melihat kelainan otot, baik merupakan kelainan
yaug bersifat degeneratif maupun kelainan bawaan.
Nilai pengukuran pada jantung normal orang dewasa adalah sebagai berikut: ukuran
jantung sebesar kepalan tangan kanan mayat, berat sebesar 300 gram, ukuran lingkaran
katup serambi bilik kanan sekitar 11 cm, yang kiri sekitar 9,5 cm, lingkaran katup
pulmonal sekitar 7 cm dan aorta sekitar 6,5 cm. Tebal otot bilik kanan 3-5 mm
sedangkan yang kiri sekitar 14 mm.
11. Aorta Torakalis
Pengguntingan pada dinding belakang aorta torakalis dapat memperlihatkan
permukaan dalam aorta.Perhatikan kemungkinan terdapatnya deposit kapur, ateroma
atau pembentukan aneurisma. Kadang-kadang pada aorta dapat ditemukan tanda
kekerasan merupakan resapan darah atau luka.Pada kasus kematian bunuh diri dengan
jalan menjatuhkan diri dari tempat yang tinggi, bila korban mendarat dengan kedua kaki
terlebih dahulu, seringkali ditemukan robekan melintang pada aorta torakalis.
12. Aorta Abdominalis
Bloc organ perut dan panggul diletakkan di atas meja potong dengan permukaan
belakang menghadap ke atas.Aorta abdominalis digunting dinding belakangnya mulai
dari tempat percabangan a. iliaka komunis kanan dan kiri.Perhatikan dinding aorta
terhadap adanya penimbunan perkapuran atau ateroma.
Perhatikan pula muara dari pembuluh nadi yang keluar dari aorta abdominalis ini,
terutama muara a. renalis kanan dan kiri.Mulai pada muaranya, a. renalis kanan dan kiri
dibuka sampai memasuki ginjal.Perhatikan apakah terdapat kelainan penyempitan
dinding pembuluh darah yang mungkin merupakan dasar dideritanya hipertensi renal
oleh yang bersangkutan.
13. Anak Ginjal (Kelenjar Suprarenalis)
Kedua anak ginjal harus dicari terlebih dahulu sebelum dilakukan pemeriksaan lanjut
pada bloc alat rongga perut dan panggul.Hal ini perlu mendapat perhatian, karena bila
telah dilakukan pemeriksaan atau telah dilakukan pemisahan alat rongga perut dan
panggul, anak ginjal sukar ditemukan. Anak ginjal kanan terletak di bagian mediokranial
dari kutub atas ginjal kanan, tertutup oleh jaringan lemak, berada antara permukaan
belakang hati dan permukaan bawah diafragma. Untuk menemukan anak ginjal sebelah
kanan ini, pertama-tama digunting otot diafragma sebelah kanan. Pada tempat yang
disebutkan di atas, lepaskan dengan pinset dan gunting jaringan lemak yang terdapat dan
akan tampak anak ginjal yang berwarna kuning kecoklat-coklatan, berbentuk trapesium
dan tipis. Anak ginjal kemudian dibebaskan dari jaringan sekitamya dan diperiksa
terhadap kemungkinan terdapatnya kelainan ukuran, resapan darah dan sebagainya.
Anak ginjal kiri terletak di bagian mediokranial kiri kutub atas ginjal kiri, juga
tertutup dalam jaringan lemak, terletak antara ekor kelenjar liur perut (pankreas) dan
diafragma. Dengan cara yang sama seperti pada pengeluaran anak ginjal kanan, anak
ginjal kiri yang berbentuk bulan sabit tipis dapat dilepaskan untuk dilakukan
pemeriksaan dengan seksama. Pada anak ginjal yang normal, pengguntingan anak ginjal
akan memberikan penampang dengan bagian korteks dan medula yang tampak jelas.
14. Ginjal, Ureter, dan Kandung Kencing
Kedua ginjal masing diliputi olehjaringan lemak yang dikenal sebagai kapsula
adiposa renal.Adanya trauma yang mengenai daerah ginjal seringkali menyebabkan
resapan darah pada kapsul ini.Dengan melakukan pengirisan di bagian lateral kapsula,
ginjal dapat dibebaskan.
Untuk pemeriksaan lebih lanjut, ginjal digenggam pada tangan kiri dengan pelvis
ginjal dan ureter terletak antara telunjuk dan jari tengah. Irisan pada ginjal dibuat dari
arah lateral ke medial, diusahakan tepat di bidang tengah sehingga penampang akan
melewati pelvis ginjal. Pada tepi insan, dengan menggunakan pinset bergigi, simpai
ginjal dapat di”cubit” dan kemudian dikupas secara tumpul. Pada ginjal yang normal,
hal ini dapat dilakukan dengan mudah. Pada ginjal yang mengalami peradangan, simpai
ginjal mungkin akan melekat erat dan sulit dilepaskan. Setelah simpai ginjal dilepaskan,
lakukan terlebih dahulu pemeriksaan terhadap permukaan ginjal. Adakah kelainan
berupa resapan darah, luka-luka ataupun kista-kista retensi.
Pada penampang ginjal, perhatikan gambaran korteks dan medula ginjal. Juga
perhatikan pelvis ginjal akan kemungkinan terdapatnya batu ginjal, tanda peradangan,
nanah dan sebagainya. Ureter dibuka dengan meneruskan pembukaan pada pelvis ginjal,
terus mencapai vesika urinaria. Perhatikan kemungkinan terdapatnya batu, ukuran
penampang, isi saluran serta keadaan mukosa. Kandung kencing dibuka dengan jalan
menggunting dinding depannya mengikuti bentuk huruf T. Perhatikan isi serta selaput
lendirnya.
15. Hati dan Kandung Empedu
Pemeriksaan dilakukan terhadap permukaan hati, yang pada keadan biasa
menunjukkan permukaan yang rata dan licin, berwarna merah-coklat. Kadangkala pada
permukaan hati dapat ditemukan kelainan berupa jaringan ikat, kista kecil, permukaan
yang berbenjolbenjol, bahkan abses.
Pada perabaan, hati normal memberikan perabaan yang kenyal. Tepi hati biasanya
tajam. Untuk memeriksa penampang, buatlah 2 atau 3 irisan yang melintang pada
punggung hati sehingga dapat terlihat sekaligus baik bagian kanan maupun kiri. Hati
yang normal menunjukkan penampang yang jelas gambaran hatinya. Pada hati yang
telah lama mengalami perbendungan dapat ditemukan gambaran hati pala.
Pada kandung empedu diperiksa ukurannya serta diraba akan kemungkinan
terdapatnya batu empedu. Untuk mengetahui ada tidaknya sumbatan pada saluran
empedu, dapat dilakukan pemeriksaan dengan jalan menekan kandung empedu ini
sambil memperhatikan muaranya pada duodenum (papilla Vateri). Bila tampak cairan
coklat hijau keluar dari muara tersebut, ini menandakan saluran empedu tidak tersumbat.
Kandung empedu kemudian dibuka dengan gunting untuk memperlihatkan selaput
lendirnya yang seperti beludru berwarna hijau-kuning.
16. Limpa dan Kelenjar Getah Bening
Limpa dilepaskan dari sekitarnya. Limpa yang normal menunjukkan permukaan
yang berkeriput, berwama ungu dengan perabaan lunak kenyal. Buatlah irisan
penampang limpa, limpa normal mempunyai gambaran limpa yang jelas, berwama
coklat-merah dan bila dikikis dengan punggung pisau, akan ikut jaringan limpa. Jangan
lupa mencatat ukuran dan berat limpa. Catat pula bila ditemukan kelenjar getah bening
regional yang membesar.
17. Lambung, Usus Halus, dan Usus Besar
Lambung dibuka dengan gunting pada kurvatura mayor. Perhatikan isi lambung dan
simpan dalam botol atau kantong plastik bersih bila isi lambung ini diperlukan untuk
pemeriksaan toksikologi atau pemeriksaan laboratorium lainnya. Selaput lendir lambung
disiram dan diperiksa terhadap kemungkinan adanya erosi, ulserasi, perdarahan/resapan
darah. Usus diperiksa akan kemungkinan terdapat darah dalam lumen serta
kemungkinan terdapatnya kelainan bersifat ulseratif, polip dan lain-lain.
18. Kelenjar Liur Perut (Pancreas)
Pertama-tama lepaskan lebih dahulu kelenjar liur perut ini dari sekitarnya. Kelenjar
liur perut yang normal mempunyai warna kelabu agak kekuningan dengan permukaan
yang berbelah-belah dan perabaan yang kenyal. Perhatikan ukuran serta beratnya.Catat
bila ada kelainan.
19. Otak Besar, Otak Kecil, dan Batang Otak
Perhatikan permukaan luar otak dan catat kelainan yang ditemukan. Adakah
perdarahan subdural, perdarahan subaraknoid, kontusio jaringan otak atau laserasi.
Pada edema serebri, girus otak akan tampak mendatar dan sulkus tampak
menyempit. Perhatikan pula akan kemungkinan terdapatnya tanda penekanan yang
menyebabkan sebagian permukaan otak menjadi datar.
Pada daerah ventral otak, perhatikan keadaan sirkulus Willisi. Nilai keadaan
pembuluh darah pada sirkulus, adakah penebalan dinding akibat kelainan ateroma,
adakah penipisan dinding akibat aneurisma, adakah perdarahan.Bila terdapat perdarahan
hebat, usahakan agar dapat ditemukan sumber perdarahan tersebut.Perhatikan pula
bentuk serebelum.Pada keadaan peningkatan tekanan intrakranial akibat edema serebri
misalnya, dapat terjadi herniasi serebelum ke arah foramen magnum, sehingga bagian
bawah serebelum tampak menonjol.
Otak besar diletakkan dengan bagian ventral menghadap pemeriksa.Lakukan
pemotongan otak besar secara koronal/melintang, perhatikan penampang irisan.Tempat
pemotongan haruslah sedemikian rupa agar struktur penting dalam otak besar dapat
diperiksa dengan teliti. Kelainan yang dapat ditemukan pada penampang otak besar
antara lain adalah: perdarahan pada korteks akibat kontusio serebri, perdarahan berbintik
pada substansi putih akibat emboli, keracunan barbiturat serta keadaan lain yang
menimbulkan hipoksia jaringan otak, infark jaringan otak, baik yang bilateral maupun
unilateral akibat gangguan pendarahan oleh arteri, abses otak, perdarahan intraserebral
akibat pecahnya a. lenticulostriata dan sebagainya. Otak kecil diperiksa penampangnya
dengan membuat suatu irisan melintang, catat kelainan perdarahan, perlunakan dan
sebagainya yang mungkin ditemukan. Batang otak diiris melintang mulai daerah pons,
medula oblongata sampai ke bagian proksimal medula spinalis.Perhatikan kemungkinan
terdapatnya perdarahan. Adanya perdarahan di daerah batang otak biasanya mematikan.
20. Alat Kelamin Dalam (Genitalia Interna)
Pada mayat laki-laki, testis dapat dikeluarkan dari skrotum melalui rongga perut.
Jadi tidak dibuat irisan baru pada skrotum Perhatikan ukuran, konsistensi serta
kemungkinan terdapatnya resapan darah.Perhatikan pula bentuk dan ukuran dari
epididimis.Kelenjar prostat perhatikan ukuran serta konsistensinya.
Pada mayat wanita, perhatikan bentuk serta ukuran kedua indung telur, saluran telur
dan uterus sendiri.Pada uterus diperhatikan kemungkinan terdapatnya perdarahan,
resapan darah ataupun luka akibat tindakan abortus provokatus. Uterus dibuka dengan
membuat irisan berbentuk huruf T pada dinding depan, melalui saluran serviks serta
muara kedua saluran telur pada fundus uteri. Perhatikan keadaan selaput lendir uterus,
tebal dinding, isi rongga rahim serta kemungkinan terdapatnya kelainan lain.
21. Timbang dan catatlah berat masing-masing alat/organ.
Sebelum mengembalikan organ-organ (yang telah diperiksa secara makroskopik)
kembali ke dalam tubuh mayat, pertimbangkan terlebih dahulu kemungkinan
diperlukannya potongan jaringan guna pemeriksaan histopatologik atau diperlukannya
organ guna pemeriksaan toksikologik.
Potongan jaringan untuk pemeriksaan histopatologik diambil dengan tebal maksimal
5 mm. Potongan yang terlampau tebal akan mengakibatkan cairan fiksasi tidak dapat
masuk ke dalam potongan tersebut dengan sempurna. Usahakan mengambil bagian
organ di daerah perbatasan antara bagian yang normal dan yang mengalami kelainan.
Jumlah potongan yang diambil dari setiap organ agar disesuaikan dengan kebutuhan
masing-masing kasus. Potongan ini kemudian dimasukkan ke dalam botol yang berisi
cairan fiksasi yang dapat merupakan larutan formalin 10% (= larutan formaldehid 4%)
atau alkohol 90-96%, dengan jumlah cairan fiksasi sekitar 20-30 kali volume potongan
jaringan yang diambil.
Jumlah organ yang perlu diambil untuk pemeriksaan toksikologi disesuaikan dengan
kasus yang dihadapi serta ketentuan laboratorium pemeriksa. Bahan yang diambil untuk
pemeriksaan toksikologi umumnya adalah urin, darah, isi lambung, dan organ-organ lain
seperti hati, ginjal, dan sebagainya tergantung dari jenis dugaan racunnya. Sedapat
mungkin setiap jenis organ ditaruh dalam botol tersendiri.Bila diperlukan pengawetan,
agar digunakan alkohol 90%.Pada pengiriman bahan untuk pemeriksaan toksikologik,
contoh bahan pengawet agar juga turut dikirimkan di samping keterangan klinik dan
hasil sementara.
Penyebab kematian mendadak biasanya menyangkut kelainan/penyakit pada sistem
kardiovaskular, sistem pernafasan atau susunan saraf pusat.
Kelainan sistem kardiovaskular dapat meliputi infark miokard yang baru maupun infark
baru yang disertai dengan kelainan infark yang lama, penyakit jantung sistemik, sumbatan
mendadak pada pembuluh koroner ataupun pecahnya aneurisma pada aorta. Miokarditis akibat
virus kadangkala juga ditemukan.
Kelainan pada sistem pernafasan biasanya merupakan kelainan pada paru akibat
perdarahan kaverne atau kelainan akibat peradangan.
Kelainan pada sistem susunan saraf pusat pada umumnya adalah perdarahan akibat
pecahnya a. lentikulostriata atau perdarahan akibat rupture aneurisma pada circulus willisi.
Kelainan degenerative lain tidak pula jarang ditemukan. Kadang ditemukan pula malaria serebral
sebagai penyebab kematian.
Pemastian diagnosis kematian mendadak seringkali memerlukan pemeriksaan
histopatologik yang meliputi berbagai organ tubuh. Pengambilan potongan jaringan hendaknya
disesuaikan dengan kebutuhan masing-masing kasus.
c. Melakukan Uji laboratorium
Pada pemeriksaan korban kematian mendadak, selalu harus diingat kemungkinan
terjadinya kematian akibat keracunan. Pada kasus demikian sebaiknya dilakukan
persiapan pengambilan bahan guna pemeriksaan toksikologik, yang setelah jelas
diketahui penyebab kematiannya adalah penyakit, pemeriksaaan toksikologik tidak perlu
dilanjutkan. Spesimen yang yang dapat digunakan dalam analisis toxikologi adalah darah
utuh, serum, viteus humour, cairan lambung, cairan empedu, miokardium dan ginjal.
Kepentingan Autopsi Forensik
Mati mendadak sampai saat ini mungkin masih dianggap sebagai peristiwa yang wajar,
baik oleh masyarakat maupun pihak penyidik atau kepolisian. Sehingga kasus mati medadak
tidak dimintakan autopsi. Kondisi tersebut sangat merugikan, mengingat kemungkinan kematian
mendadak tersebut terdapat unsur kriminalnya, atau kematian tersebut berhubungan dengan
kelalaian perbuatan orang lain.
Kasus mati mendadak yang tidak terduga sering menimbulkan pertanyaan. Kecurigaan
adanya ketidakwajaran sering muncul dalam pikiran orang. Berbagai pertanyaan muncul dalam
benak masingmasing orang tentang korban yang mati mendadak tersebut. Pada kasus kematian
mendadak, sangat perlu mendapat perhatian keadaan korban sebelum kematian. Apakah korban
baru menjalankan aktivitas, atau sewaktu istirahat sehabis melakukan aktivitas. Keadaan
lingkungan tempat kejadian perkara juga harus diperhatikan. Hal-hal yang perlu diperhatikan :
1. Kematian terjadi pada saat seseorang melakukan aktivitas fisik maupun emosional dan
disaksikan oleh orang lain, misalnya sedang berolahraga, melakukan ujian, dan lain
sebagainya.
2. Jenazah dalam keadaan mencurigakan, misalnya korban tanpa kelainan apa-apa dengan
dengan pakaian rapi ditemukan meninggal, atau meninggal di tempat tidur sendirian.
Autopsi adalah pemeriksaan terhadap tubuh mayat, yang meliputi pemeriksaan terhadap
bagian luar maupun dalam, dengan tujuan menemukan proses penyakit dan atau adanya cedera,
melakukan interpretasi atas penemuan-penemuan tersebut, menerangkan penyebab kematian
serta mencari hubungan sebab akibat antara kelainan-kelainan yang ditemukan dengan penyebab
kematian.
Pada penelitian mengutip pernyataan Gonzales yang menyebutkan beberapa kondisi yang
mendukung untuk dilakukannya autopsi pada kasus mati mendadak, yaitu:
1. Jika jenazah ditemukan dalam keadaaan yang mencurigakan, seperti ditemukan adanya
tanda kekerasan. Kadang kematian mendadak yang disebabkan penyakit dapat dipacu
oleh adanya kekerasan yang disengaja tanpa meninggalkan tanda pada tubuh korban.
Umur korban juga memegang peranan penting dalam menentukan, apakah korban perlu
dilakukan autopsi atau tidak. Mati mendadak jarang terjadi pada usia muda, jadi
kecurigaan adanya unsur kriminal perlu lebih diperhatikan dibanding pada orang tua.
2. Autopsi dilakukan atas permintaan keluarga, yang ingin mengetahui sebab kematian
korban.
3. Autopsi dilakukan untuk kepentingan asuransi.
Kematian mendadak yang tidak mendatangkan kecurigaan pada prinsipnya tidak perlu
dilakukan autopsi. Baru jika penyidik merasa ada kecurigaan atau tidak mampu untuk
menentukan adanya kecurigaan mati tidak wajar, maka dokter sebetulnya mutlak untuk
melakukan pemeriksaan di tempat kejadian yang sebenarnya. Pada autopsi kasus yang diduga
kematian mendadak, hampir selalu pemeriksaan toksikologi harus dilakukan. Tanpa pemeriksaan
toksikologi, penegakan sebab mati menjadi kurang tajam.
2.2 Cedera Kepala
1. Definisi Cedera Kepala
Cedera kepala adalah trauma mekanik pada kepala yang terjadi baik secara
langsung atau tidak langsung yang kemudian dapat berakibat pada gangguan fungsi
neurologis, fungsi fisik, kognitif, psikososial, yang dapat bersifat temporer ataupun
permanen. Menurut Brain Injury Assosiation of America, cedera kepala adalah suatu
kerusakan pada kepala, bukan bersifat kongenital maupun degeneratif, tetapi disebabkan
oleh serangan atau bernturan fisik dari luar, yang dapat mengurangi atau mengubah
kesadaran, sehingga menimbulkan kerusakan kemampuan kognitif dan fungsi fisik
(japardi, 2004)
2. Aspek Fisiologis Cedera Kepala
a. Tekanan Intrakranial
Berbagai proses patologi pada otak dapat meningkatkan tekanan intrakranial yang
selanjutnya dapat mengganggu fungsi otak yang akhirnya berdampak buruk terhadap
penderita. Tekanan intrakranial yang tinggi dapat menimbulkan konsekuensi yang
mengganggu fungsi otak. TIK Normal kira-kira 10 mmHG. Tik lebih tinggi dari 20
mmHg dianggap tidak normal. Semakin tinggi TIK setelah cedera kepala, semakin
buruk prognosisnya (American College Of Surgeon, 1997)
b. Hukum Monroe-Kellie
Konsep utama volume intrakranial adalah selalu konstan karena sifat dasar dari tulang
tengkorak yang tidak elastik. Volume intrakranial (Vic) adalah sama dengan jumlah
total volume jaringan otak (V br), volume cairan serebrospinal ( V csf), dan volume
darah (Vbl).
Vic = Vbr + V csf + V bl
c. Tekanan perfusi otak
Tekanan perfusi otak merupakan selisih antara tekanan arteri rata-rata (mean arterial
pressure) dengan tekanan intrakranial. Apabila nilai TPO kurang dari 70 mmHg akan
memberikan prognosa yang buruk bagi penderita.
d. Aliran darah otak (ADO)
ADO normal kira-kira 50 ml/ 100 gr jaringan otak per menit. Bila ADO menurun
sampai 20-25 ml/100 gr/menit maka sel-sel otak akan mengalami kematian dan
kerusakan yang menetap.
3. Klasifikasi Cedera Kepala
Cedera kepala diklasifikasikan dalam berbagai aspek. Secara praktis dikenal 3
deskripsi klasifikasi yaitu berdasarkan mekanisme, beratnya cedera kepala, dan
morfologinya.
a. Mekanisme cedera kepala
Berdasarkan mekanismenya cedera kepala dibagi atas cedera kepala tumpul dan
cedera kepala tembus. Cedera kepala tumpul biasanya berkaitan dengan kecelakaan
mobil atau motor, jatuh atau terkenal pukulan benda tumpul. Sedang cedera kepala
tembus disebabkan oleh peluru atau tusukan. (bernath, 09)
b. Beratnya Cedera
Cedera kepala dilasifikasikan berdasarkan nilai Glasgow Coma Scale adalah sebagai
berikut :
1) GCS sama atau kurang dari 8 di definisikan sebagai cedera kepala berat.
2) GCS 9 – 13 di definisikan sebagai cedera kepala sedang.
3) GCS 14-15 didefinisikan sebagai cedera kepala ringan.
c. Morfologi Cedera
Secara morfologis cedera kepala dapat dibagi atas fraktur cranium dan lesi
intrakranial.
1) Fraktur Kranium
Fraktur kranium dapat terjadi pada atap atau dasar tengkorak, dan dapat berbentuk
garis atau bintang dana dapat pula terbuka atau tertutup. Frakturdasar tengkorak
biasanya memerlukan pemeriksaan CT Scan dengan teknik bone window untuk
memperjelas garis frakturnya. Adanya tanda-tanda klinis fraktur dasar tengkorak
menjadikan petunjuk kecurigaan untuk dilakukannya pemeriksaan lebih rinci.
Tanda-tanda tersebut antara lain ekimosis periorbital ( raccoon eye sign),
ekimosis retroaurikular (battle sign), kebocoran CSS ( rhinorrhea, otorrhea), dan
paresis nervus fasialis.
a) Fraktur Basis Cranii
Berdasarkan epidemiologi fraktur basis cranii merupakan salah satu
fraktur terseing pada area kepala dan leher sekitar 20-24 % dari semua kasus
cedera kepala, yang sulit untuk dievaluasi dan diobati. Fraktur ini didefinisikan
sebagai fraktur linear dasar tengkorak dan biasanya frakturnya banyak pada
wajah dan meluas ke dasar tengkorak. Sinus sphenoid, foramen magnum, os
temporal dan spenoid adalah daerah yang paling umum terjadi patahan. Pasien
dengan fraktur pertrous os temporal dijumpai dengan otorrhea dan mematr
pada mastoid ( battle sign). Presentasi fraktur basis Cranii fossa anterior adalah
dengan rhinorrhea dan memar di sekitar orbita (raccoon eyes).
d. pendarahan subarachnoid
1. Definisi
Perdarahan subaraknoid adalah perdarahan tiba-tiba ke dalam rongga diantara
otak dan selaput otak (rongga subaraknoid). diantara lapisan dalam (pia mater) dan
lapisan tengah (arachnoid mater) para jaringan yang melindungan otak
(meninges).Subarachnoid hemorrhage adalah gangguan yang mengancam nyawa yang
bisa cepat menghasilkan cacat permanen yang serius. Hal ini adalah satu-satunya jenis
stroke yang lebih umum diantara wanita.
2. Anatomi
Otak dibungkus oleh selubung mesodermal, meninges. Lapisan luarnya adalah
pachymeninx atau duramater dan lapisan dalamnya, leptomeninx, dibagi menjadi
arachnoidea dan piamater.
- Duramater
Dura kranialis atau pachymeninx adalah suatu struktur fibrosa yang kuat dengan
suatu lapisan dalam (meningeal) dan lapisan luar (periostal). Kedua lapisan dural yang
melapisi otak umumnya bersatu, kecuali di tempat di tempat dimana keduanya
berpisah untuk menyediakan ruang bagi sinus venosus (sebagian besar sinus venosus
terletak di antara lapisan-lapisan dural), dan di tempat dimana lapisan dalam
membentuk sekat di antara bagian-bagian otak.
- Arachnoid
Membrana arachnoidea melekat erat pada permukaan dalam dura dan hanya terpisah
dengannya oleh suatu ruang potensial, yaitu spatium subdural. Ia menutupi spatium
subarachnoideum yang menjadi liquor cerebrospinalis, cavum subarachnoidalis dan
dihubungkan ke piamater oleh trabekulae dan septa-septa yang membentuk suatu
anyaman padat yang menjadi system rongga-rongga yang saling berhubungan.
Cavum subaracnoidea adalah rongga di antara arachnoid dan piamater yang secara
relative sempit dan terletak di atas permukaan hemisfer cerebrum, namun rongga
tersebut menjadi jauh bertambah lebar di daerah-daerah pada dasar otak. Pelebaran
rongga ini disebut cisterna arachnoidea, seringkali diberi nama menurut struktur otak
yang berdekatan. Cisterna ini berhubungan secara bebas dengan cisterna yang
berbatasan dengan rongga sub arachnoid umum.
- Piamater
Piamater merupakan selaput jaringan penyambung yang tipis yang menutupi
permukaan otak dan membentang ke dalam sulcus,fissure dan sekitar pembuluh darah
di seluruh otak. Piamater juga membentang ke dalam fissure transversalis di abwah
corpus callosum. Di tempat ini pia membentuk tela choroidea dari ventrikel tertius dan
lateralis, dan bergabung dengan ependim dan pembuluh-pembuluh darah choroideus
untuk membentuk pleksus choroideus dari ventrikel-ventrikel ini. Pia dan ependim
berjalan di atas atap dari ventrikel keempat dan membentuk tela choroidea di tempat
itu.
3. Etiologi
Perdarahan subarachnoid secara spontan sering berkaitan dengan pecahnya aneurisma
(85%), kerusakan dinding arteri pada otak. Dalam banyak kasus PSA merupakan
kaitan dari pendarahan aneurisma. Penelitian membuktikan aneurisma yang lebih
besar kemungkinannya bisa pecah. Selanjunya 10% kasus dikaitkan dengan non
aneurisma perimesencephalic hemoragik, dimana darah dibatasi pada daerah otak
tengah. Aneurisma tidak ditemukan secara umum. 5% berikutnya berkaitan dengan
kerusakan rongga arteri, gangguan lain yang mempengaruhi vessels, gangguan
pembuluh darah pada sum-sum tulang belakang dan perdarahan berbagai jenis tumor.
PSA primer dapat muncul dari ruptur tipe kesatuan patologis berikut ini (2 yang
pertama adalah yang tersering):
Aneurisma sakular
MAV
Ruptur aneurisma mikotik
Angioma
Neoplasma
Trombosis kortikal
PSA dapat mencerminkan diseksi sekunder darah dari hematom intraparenkim
(misal perdarahan dari hipertensi atau neoplasma)
2/3 kasus PSA non-traumatik disebabkan ruptur aneurisma sakular
Penyebab kongenital mungkin bertanggung jawab untuk PSA
Hubungan aneurisma dengan penyakit sistemik tertentu termasuk sindroma Ehlers-
Danlos, sindroma Marfan, coarctatio aorta, dan penyakit ginjal polikistik. Faktor
lingkungan yang dihubungkan dengan defek dinding pembuluh darah dapatan
termasuk usia, hipertensi, merokok dan artrosklerosis.
4. Patofisiologi
Aneurisma merupakan luka yang yang disebabkan karena tekanan hemodinamic pada
dinding arteri percabangan dan perlekukan. Saccular atau biji aneurisma
dispesifikasikan untuk arteri intracranial karena dindingnya kehilangan suatu selaput
tipis bagian luar dan mengandung faktor adventitia yang membantu pembentukan
aneurisma. Suatu bagian tambahan yang tidak didukung dalam ruang subarachnoid.
Aneurisma kebanyakan dihasilkan dari terminal pembagi dalam arteri karotid bagian
dalam dan dari cabang utama bagian anterior pembagi dari lingkaran wilis. Selama 25
tahun John Hopkins mempelajari otopsi terhadap 125 pasien bahwa pecah atau
tidaknya aneurisma dihubungkan dengan hipertensi, cerebral atheroclerosis, bentuk
saluran pada lingkaran wilis, sakit kepala, hipertensi pada kehamilan, kebiasaan
menggunakan obat pereda nyeri, dan riwayat stroke dalam keluarga yang semua
memiliki hubungan dengan bentuk aneurisma sakular.
5. Gejala
Sebelum pecah aneurysm biasanya tidak menyebabkan gejala-gejala sampai menekan
saraf atau bocornya darah dalam jumlah sedikit, biasanya sebelum pecahnya besar
(yang menyebabkan sakit kepala). Kemudian menghasilkan tanda bahaya, seperti
berikut di bawah ini :
Sakit kapala, yang bisa tiba-tiba tidak seperti biasanya dan berat (kadangkala
disebut sakit kepala thunderclap).
Nyeri muka atau mata.
Penglihatan ganda.
Kehilangan penglihatan sekelilingnya.
Tanda bahaya bisa terjadi hitungan menit sampai mingguan sebelum pecah. Orang
harus melaporkan segala sakit kepala yang tidak biasa kepada dokter dengan segera.
Pecahnya bisa terjadi karena hal yang tiba-tiba, sakit kepala hebat yang memuncak
dalam hitungan detik. Hal ini seringkali diikuti dengan kehilangan kesadaran yang
singkat. Hampir separuh orang yang terkena meninggal sebelum sampai di rumah
sakit. Beberapa orang tetap dalam koma atau tidak sadar. Yang lainnya tersadar,
merasa pusing dan mengantuk. Mereka bisa merasa gelisah. Dalam hitungan jam atau
bahkan menit, orang bisa kembali menjadi mengantuk dan bingung. Mereka bisa
menjadi tidak bereaksi dan sulit untuk bangun. Dalam waktu 24 jam, darah dan cairan
cerebrospinal disekitar otak melukai lapisan pada jaringan yang melindungi otak
(meninges), menyebabkan leher kaku sama seperti sakit kepala berkelanjutan, sering
muntah, pusing, dan rasa sakit di punggung bawah. Frekwensi naik turun pada detak
jantung dan bernafas seringkali terjadi, kadangkala disertai kejang.
Sekitar 25% orang mengalami gejala-gejala yang mengindikasikan kerusakan pada
bagian spesifik pada otak, seperti berikut di bawah ini :
Kelelahan atau lumpuh pada salah satu bagian tubuh (paling sering terjadi).
Kehilangan perasa pada salah satu bagian tubuh.
Kesulitan memahami dan menggunakan bahasa (aphasia).
Gangguan hebat bisa terjadi dan menjadi permanen dalam hitungan menit atau jam.
Demam adalah hal yang biasa selama 5 sampai 10 hari pertama.
Mekanisme Kematian
MCOD (multiple cause of death) dengan menggunakan pendekatan proximus mortis
adalah gagal pernapasan. Dari kasus yang ada terjadinya kematian pada korban
disebabkan terjadinya gagal pernapasan akibat penekanan pusat pernapasan pada
batang otak.hal ini disebabkan karena adanya cidera kepala akibat venda tumpul yang
mengakibatkan perdarahan subarachnoid.perdarahan ini menyebabkan oedema dan
meningkatkan tekan intra cranial sehingga terjadi herniasi batang otak .herniasi ini
menyebabkan tertekannya pusat pernapasan yang berada di batang otak, sehingga
pasien meninggal akibat asfiksia yang disebabkan oleh gagal pernapasan
Dari kasus yang adanya hematom oculi , perdarahan pada hidung dan telinga
diakibatkan karena trauma pada basis crania fossa anterior dan media
MCOD
Ia: gagal pernapasan
Ib: herniasi batang otak
Ic : perdarahan subarachnoid
Id: trauma tumpul
Tanda Temuan;
- Hematom Kacamata, Pendarahan pada Telinga dan Hidung.
Hematoma kacamata pada pasien ini disebabkan adanya fraktur basis kranii yang menyebabkan
pecahnya arteri oftalmika yang menyebabkan darah masuk kedalam kedua rongga orbita melalui
fisura orbita. Akibatnya darah tidak dapat menjalar lanjut karena dibatasi septum orbita kelopak
maka terbentuk gambaran hitam kemerahan pada kelopak seperti seseorang yang memakai
kacamata. Karena pada kedua mata terjadi pembengkakan palpebra superior dan inferior mata
menjadi berat dan susah untuk dibuka (ptosis). Konjungtiva palpebra merupakan membrane
mukosa yang transparan dan tipis yang membungkus permuksaan posterior kelopak mata.
System vascular dari konjungtiva palpebra berasal dari arteri palpebralis yang apabila pada
palpebra mengalami trauma pada mata, pembuluh darah dapat pecah kemudian terjadi edema
konjungtiva (kemosis konjungtiva). Selain itu arteri palpebralis juga merupakan salah satu
cabang arteri oftalmika, yang apabila terjadi fraktur basis kranii dapat pula pecah dan menjadi
edema konjungtiva (kemosis konjungtiva). Bila edema ini besar atau banyak menyebabkan mata
tidak bisa tertutup (lagoftalmus) dan konjungtiva dapat terpapar dengan udara luar yang bisa
menimbulkan infeksi. Gejala yang timbul tergantung pada letak atau fossa mana yang terkena.
Fraktur pada fossa anterior menimbulkan gejala:
Hematom kacamata tanpa disertai subkonjungtival bleeding
Epistaksis
Rhinorrhoe
Fraktur pada fossa media menimbulkan gejala:
Hematom retroaurikuler, Ottorhoe
Perdarahan dari telinga
Diagnosa ditegakkan berdasarkan gejala klinik dan X-foto basis kranii.
Komplikasi :
Gangguan pendengaran
Parese N.VII perifer
Meningitis purulenta akibat robeknya duramater
2 .LESI INTRAKRANIAL
Lesi yang dapat menyebabkan kematian alamiah yang mendadak secara garis besar terdiri dari 3
golongan :2
1. Grup terbesar adalah lesi yang diakibatkan oleh proses penyakit yang berjalan perlahan
atau insidental berulang yang merusak organ vital tanpa menimbulkan suatu gejala
renjatan akut sampai terjadi suatu penghentian fungsi organ vital yang tiba-tiba. Salah
satu contoh yang paling baik untuk golongan ini adalah kematian mendadak akibat
penyakit jantung koroner.
2. Terjadinya ruptur pembuluh darah yang mendadak dan tak terduga, yang diikuti dengan
perdarahan yang berakibat fatal. Contoh golongan ini adalah pecahnya aneurisma aorta
dengan perdarahan ke dalam pericardial sac atau pecahnya aneurisma pada sirkulus
Willisi yang menyebabkan perdarahan subdural.
3. Golongan ketiga mencakup infeksi latent atau infeksi hebat yang perjalanan penyakitnya
berkembang tanpa menunjukkan gejala yang nyata atau bermakna sampai terjadi
kematian. Contohnya adalah endokarditis bakterial atau obstruksi mendadak usus karena
volvulus.
Pengenalan sebab kematian pada kasus kematian mendadak secara mendasar adalah proses
interpretasi yang mencakup deteksi perubahan patologis yang ditemukan secara anatomis,
patologi anatomi, bakteriologis dan kimiawi serta seleksi lesi yang ditemukan yang dianggap
mematikan bagi korban.
BAB III
LAPORAN KASUS
PRO JUSTITIA Padang, 26 Februari 2015
VISUM ET REPERTUM
No._______________
Yang bertanda tangan di bawah ini, dr.Rika Susanti, Dokter Spesialis Forensik pada Rumah
Sakit Umum Pusat Dr. M. Djamil Padang, berdasarkan permintaan dari kepolisian Resor Kota
Padang dengan surat nomor tertanggal dua puluh enamFebruari dua ribu lima belas, maka
dengan ini menerangkan bahwa pada tanggal dua puluh enamFebruari dua ribu lima belas, pukul
tiga belas nol nol Waktu Indonesia Bagian Barat, bertempat di bagian forensik Rumah Sakit
Umum Pusat Dr. M. Djamil Padang, telah dilakukan pemeriksaan luar atas jenazah, yang
menurut surat permintaan Visum et Repertum tersebut adalah : ------------------------------------
Nama : M. F---------------------------------------------------------------------------------------
Umur : 25 tahun----------------------------------------------------------------------------------
Jenis kelamin : Laki-laki---------------------------------------------------------------------------------
Alamat :Jl. Khatib Sulaiman Padang------------------------------------------------------------
HASIL PEMERIKSAAN --------------------------------------------------------------------------------
PEMERIKSAAN LUAR :--------------------------------------------------------------------------------
1. Label yang terikat : tidak ada.------------------------------------------------------------------------
2. Tutup/alas mayat:---------------------------------------------------------------------------------------
a. Satu helai plastic bening, satu helai tikar pandan, dan tiga helai kain berwarna putih yang
diikat dengan tiga tali berbahan kain warna putih--------------------------------------
b. Seluruh tubuh dibungkus kapas berwarna putih dan diikat dengan lima tali berbahan kain
warna putih. Pada bagian kepala tampak bercak berwarna kemerahan--------------
3. Perhiasan mayat : tidak ada----------------------------------------------------------------------------
4. Pakaian mayat : tidak ada------------------------------------------------------------------------------
5. Benda di samping mayat : tidak ada-----------------------------------------------------------------
6. Kaku mayat :terdapat pada seluruh tubuh, sukar dilawan-----------------------------------------
Lebam mayat:terdapat pada punggung berwarna merah keunguan, tidak hilang pada
penekanan----------------------------------------------------------------------------------------------------
7. Mayat adalah mayat seorang laki-laki,ras mongoloid, berumur lebih kurang dua puluh lima
tahun, kulit sawo matang, gizi baik, panjang tubuh seratus enam puluh enamsentimeter,
berat badan tidak ditimbang, zakar disunat.------------------------------------------------------
8. Identifikasi khusus : ---------------------------------------------------------------------------------
a. Pada tungkai atas kanan sisi belakang, dua belas sentimeter di atas lipat lutut terdapat
tahi lalat berwarna cokelat dengan diameter nol koma empat sentimeter--------------------
b. Pada kepala bagian belakang sisi kanan, enam sentimeter dari garis pertengahan depan, empat
belas sentimeter dari atas batas tumbuh rambut, terdapat jaringan parut berwarna putih
dengan ukuran nol koma lima kali satu sentimeter---------------------------
c. Pada punggung kanan, delapan belas sentimeter dari garis pertengahan belakang, empat
belas koma lima sentimeter dari puncak bahu, terdapat jaringan parut sewarna kulit
berukuran satu koma lima kali satu koma lima sentimeter-------------------------------
9. Rambut kepala berwarna hitam, tumbuh lurus, panjang nol koma lima sentimeter. Alis
mata berwarna hitam tumbuhnya sedang.Bulu mata berwarna hitam tumbuhnya lurus
panjang nol koma lima sentimeter. Kumis tercukur rata.---------------------------------------
10. Mata kanan tertutup, mata kiri tertutup, selaput bening mata kiri jernih, teleng mata kiri
berwarna hitam, diameter nol koma tiga sentimeter, warna tirai mata kiri coklat, selaput bola
mata kiri putih, tampak pelebaran pembuluh darah, selaput kelopak mata kiri putih, tampak
pelebaran pembuluh darah selaput bening mata kanan jernih, teleng mata kanan berwarna
hitam, diameter nol koma tiga sentimeter, warna tirai mata kanan coklat, selaput bola mata
kiri putih, tampak pelebaran pembuluh darah, selaput kelopak mata kiri putih, tampak
pelebaran pembuluh darah.--------------------------------------------------------------------------
11.Hidung sedang-----------------------------------------------------------------------------------------
Telinga berbentuk oval-------------------------------------------------------------------------------
Mulut tertutup.-----------------------------------------------------------------------------------------
Lidah tidak terjulur dan tidak tergigit---------------------------------------------------------------
12. Gigi geligi : jumlah seluruh gigi geligi tiga puluhbuah.-----------------------------------------
Jumlah gigi pada rahang atas sebelah kanan delapan buah (lengkap).-------------------------
Jumlah gigi pada rahang atas sebelah kiri tujuh buah (gigi ke delapan tidak ada)----------------
Jumlah gigi pada rahang bawah sebelah kanan tujuh buah (gigi ke delapan tidak ada)---------
Jumlah gigi pada rahang bawah sebelah kiri delapan buah (lengkap)------------------------------
13. Dari lubang mulutkeluar darah. --------------------------------------------------------------------
Dari lubang hidung keluar darah dan busa warna putih.-----------------------------------------
Dari lubang telinga kiri tidak keluar apa-apa.-----------------------------------------------------
Dari lubang telinga kanan tidak keluar apa-apa---------------------------------------------------
Dari lubang kemaluan tidak keluar apa-apa.------------------------------------------------------
Dari lubang pelepasan tidak keluar apa-apa.------------------------------------------------------
14. Pada tubuh terdapat luka-luka sebagai berikut :--------------------------------------------------
a. Tepat pada lutut kiri, terdapat memar berwarna merah keunguan berukuran tiga kali dua
koma lima sentimeter------------------------------------------------------------------------
15. Patah tulang : tidak tampak dan tidak teraba patah tulang---------------------------------------
16. Lain-lain :-----------------------------------------------------------------------------------------------
a. Pada wajah dan dada bagian atas tampak lebih gelap dari daerah sekitar-------------------
b. Pada lengan atas kanan sisi dalam terdapat bercak (pteki)------------------------------------
c. Pada jaringan bawah kuku jari tangan berwarna kebiruan-------------------------------------
d. Pada dada bagian atas dan punggung terdapat bercak (pteki)---------------------------------
e. Pada punggung tangan kanan, tujuh sentimeter dari pergelangan tangan terdapat luka
berbentuk titik dikelilingi memar warna biru kehijauan dengan ukuran empat kali tiga sentimeter
(bekas perawatan).----------------------------------------------------------------------------
KESIMPULAN :-------------------------------------------------------------------------------------------
Telah diperiksa mayat seorang laki-laki dalam keadaan segar yang berumur kurang lebih dua
puluh lima tahun. Pada pemeriksaan luar ditemukan luka memar tepat pada lutut kiriakibat
kekerasan tumpul.Sebab kematian tidak dapat ditentukan kearena tidak dilakuan pemeriksaan
dalam (Autopsi). Perkiraan waktu kematian saat pemeriksaan luar antara 12 - 24 jam.----------
Demikianlah Visum et Repertum ini saya buat dengan sesungguhnya berdasarkan keilmuan saya
dan dengan mengingat sumpah sesuai dengan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana.--
Padang, 26Februari 2015
a.n. DIRUT RSUP Dr. M. Djamil Padang
Dokter yang memeriksa,
Dr. Rika Susanti,Sp.F
NIP 197607312002122002
BAB VI
DISKUSI
Kematian yang terjadi tiba-tiba dengan cara yang terkadang tampak tidak wajar, sehingga
penyidik maupun keluarga membawa mayat untuk diperiksa secara kedokteran
forensik.Penentuan sebab kematian menjadi penting terkait dengan kepentingan hukum yang
diminta oleh penyidik dan kepentingan keluarga terkait keadilan, perubahan status almarhum,
urusan asuransi, serta hak dan kewajiban yang timbul dari meninggalnya orang tersebut.Autopsi
merupakan suatu cara untuk menentukan sebab kematian terutama yang berhubungan dengan
kematian mendadak yang penyebabnya tidak jelas.
Telah dilaporkan seorang korban yang meninggal mendadak dengan perkiraan waktu
kematian saat pemeriksaan antara 12 – 24 jam dengan kaku mayat yang sukar dilawan dan lebam
mayat di punggung yang berwarna merah keunguan tidak menghilang saat penekanan.
Hasil pemeriksaan luar ditemukan luka memar tepat pada lutut kiri akibat kekerasan
tumpul.Pada wajah dan dada bagian atas tampak lebih gelap dari daerah sekitar yang mirip
dengan tanda-tanda asfiksia.Pada jaringan bawah kuku jari tangan berwarna kebiruan yang mirip
tanda hipoksia.Pada lengan atas kanan sisi dalam, dada bagian atas dan punggung terdapat
bercak-bercak atau ptekie yang mirip dengan tanda asfiksia.Pada mulut keluar terdapat busa
warna keputihan yang biasanya sering ditemukan pada korban asfiksia.
Petekie konjunctiva atau Tardieu’s spot (Petechial hemorrages) merupakan salah satu
tanda Kardinal (tanda klasik) Asfiksia. Asfiksia adalah kumpulan dari pelbagai keadaan dimana
terjadi gangguan dalam pertukaran udara pernapasan yang normal. Gangguan tersebut dapat
disebabkan karena adanya obstruksi pada saluran pernapasan dan gangguan yang diakibatkan
karena terhentinya sirkulasi. Kedua gangguan tersebut akan menimbulkan suatu keadaan dimana
oksigen dalam darah berkurang yang disertai dengan peningkatan kadar karbon-dioksida. Pada
orang yang mengalami asfiksia akan timbul gejala yang dapat dibedakan dalam 4 fase, yaitu:
1. Fase dispnea. Penurunan kadar oksigen sel darah merah dan penimbunan CO2 dalam
plasma akan merangsang pusat pernapasan di medulla oblongata, sehingga amplitude dan
frekuensi pernapasan akan meningkat, nadi cepat, tekanan darah meninggi dan mulai
tampak tanda-tanda sianosis terutama pada muka dan tangan.
2. Fase konvulsi. Akibat kadar CO2 yang naik maka akan timbul rangsangan terhadap
susunan saraf pusat sehingga terjadi konvulsi (kejang), yang mula-mula berupa kejang
klonik tetapi kemudian menjadi kejang tonik, dan akhirnya timbul spasme opistotonik.
Pupil mengalami dilatasi, denyut jantung menurun, tekanan darah juga menurun. Efek ini
berkaitan dengan paralisis pusat yang lebih tinggi dalam otak, akibat kekurangan O2.
3. Fase apnea. Depresi pusat pernapasan menjadi lebih hebat, pernapasan melemah dan
dapat berhenti. Kesadaran menurun dan akibat relaksasi sfingter dapat terjadi
pengeluaran cairan sperma, urin dan tinja.
4. Fase akhir. Terjadi paralisis pusat pernapasan yang lengkap. Pernapasan berhenti setelah
kontraksi otomatis otot pernapasan kecil pada leher. Jantung masih berdenyut beberapa
saat setelah pernapasan berhenti.
Selama beberapa tahun dilakukan autopsi untuk mendiagnosis kematian akibat asfiksia,
telah ditetapkan beberapa tanda klasik yaitu:
a. Tardieu’s spot (Petechial hemorrages)
Tardieu’s spot terjadi karena peningkatan tekanan vena secara akut yang menyebabkan
overdistensi dan rupturnya dinding perifer vena, terutama pada jaringan longgar, seperti kelopak
mata, dibawah kulit dahi, kulit dibagian belakang telinga, circumoral skin, konjungtiva dan
sklera mata. Selain itu juga bisa terdapat dipermukaan jantung, paru dan otak. Bisa juga
terdapat pada lapisan viseral dari pleura, perikardium, peritoneum, timus, mukosa laring dan
faring, jarang pada mesentrium dan intestinum.
b. Kongesti dan Oedema
Ini merupakan tanda yang lebih tidak spesifik dibandingkan dengan ptekie. Kongesti adalah
terbendungnya pembuluh darah, sehingga terjadi akumulasi darah dalam organ yang diakibatkan
adanya gangguan sirkulasi npada pembuluh darah. Pada kondisi vena yang terbendung, terjadi
peningkatan tekanan hidrostatik intravaskular (tekanan yang mendorong darah mengalir di
dalam vaskular oleh kerja pompa jantung) menimbulkan perembesan cairan plasma ke dalam
ruang interstitium. Cairan plasma ini akan mengisi pada sela-sela jaringan ikat longgar dan
rongga badan (terjadi oedema).
c. Sianosis
Merupakan warna kebiru-biruan yang terdapat pada kulit dan selaput lendir yang terjadi akibat
peningkatan jumlah absolut Hb tereduksi (Hb yang tidak berikatan dengan O2). Ini tidak dapat
dinyatakan sebagai anemia, harus ada minimal 5 gram hemoglobin per 100 ml darah yang
berkurang sebelum sianosis menjadi bukti, terlepas dari jumlah total hemoglobin. Pada
kebanyakan kasus forensik dengan konstriksi leher, sianosis hampir selalu diikuti dengan
kongesti pada wajah, seperti darah vena yang kandungan hemoglobinnya berkurang setelah
perfusi kepala dan leher dibendung kembali dan menjadi lebih biru karena akumulasi darah.
d. Tetap cairnya darah
Terjadi karena peningkatan fibrinolisin paska kematian. Gambaran tentang tetap cairnya darah
yang dapat terlihat pada saat autopsi pada kematian akibat asfiksia adalah bagian dari mitologi
forensik. Pembekuan yang terdapat pada jantung dan sistem vena setelah kematian adalah
sebuah proses yang tidak pasti, seperti akhirnya pencairan bekuan tersebut diakibatkan oleh
enzim fibrinolitik. Hal ini tidak relevan dalam diagnosis asfiksia.
Pada lubang hidung keluar darah.Keluarnya darah bisa diakibatkan trauma.Tepat pada
lutut kiri, terdapat memar berwarna merah keunguan. Pada korban tidak ditemukan luka-luka
atau tanda-tanda penganiayaan dan tanda-tanda kekerasan yang dapat menimbulkan kematian.
Pemeriksaan CT scan kepala dapat melihat adanya tanda-tanda perdarahan. Pada korban tidak
dilakukan pemeriksaan CT scan. Trauma kepala seperti trauma basis kranii dapat dilihat
perdarahan di bawah sekitar mata yang juga disebut Racoon Eye dan dibelakang telinga disebut
Batle’s sign, namun pada korban ini tidak ditemukan tanda-tanda Racoon Eyes dan Batle’s sign
sehingga trauma basis kranii dapat disingkirkan. Perdarahan intra cranial seperti subdural
hematoma, epidural hematoma, pecahnya pembuluh darah di subarracnoic atau anuerisme otak
yang menyebabkan perdarahan massif juga dapat menyebabkan kematian.Ini dapat dibuktikan
dengan pemeriksaan dalam dengan ditemukan adanya pecah pembuluh darah di otak.
Kematian mendadak dalam aspek forensik selalu dianggap tidak wajar sampai dibuktikan
wajar dengan dilakukan pemeriksaan dalam atau autopsi.Sebab kematian pasti tidak dapat
ditentukan karena tidak dilakukan autopsi.
DAFTAR PUSTAKA
1. Kristanto, Erwin, Tjahjanegara Winardi.Kematian Mendadak (Sudden Natural Unexpected Death).
http://www.freewebs.com/erwin_k/kematianmendadak.htm. Diakses tanggal 28 Februari 2015
2. Mun’im Idris, Abdul. 1997. Mati Mendadak Akibat Penyakit. Jakarta: Bina Rupa Aksara, hal: 209-
14.
3. Wahyuni, Ningrum. Sudden Death. http://ningrumwahyuni.wordpress.com/2011/08/04 sudden-
death/ , Diakses tanggal 28 Februari 2015
4. Fahmi, Arif Hakim. Sudden Death. http:// Arif Hakim Fahmi.wordpress.com/2011/11/17
/sudden-death/. Diakses tanggal 28 Februari 2015
5. Anonim. Sudden Death Due to Intracranial Lession.
http://www.scribd.com/doc/25785441/Sudden-Death-Due-to-Intracranial-Lesion.Diakses tanggal 27
Februari 2015
6. Motozawa Y, Yokoyama T, Hitosugi M, et all. Analysis of sudden natural deaths while driving with
forensic autopsy findings. Available from : http: www-nrd.nhtsa.dot.gov/pdf/nrd-01/esv/esv19/05-
0112-W.pdf.,Diakses tanggal 1 Maret 2015
7. Budiyanto. A, Widiatmika.W,. 1997. Ilmu Kedokteran Forensik. Jakarta. Bagian Kedokteran
Forensik Universitas Indonesia.
8. Gonzales TA, Vance M, Helpern M, Umberger CJ. Legal Medicine. Pathology and toxicology. 2nd
edition. New York : Appleton century croft. 1954 :102 – 51.
9. Di Maio Vincent J.M, Dana Suzanna E. Natural Disease. Dalam : Handbook of Forensic Pathology.
Austin : Landes Bioscience; 1998. Hal : 35-64
10. Knight B. Forensic Pathology. Second Edition. New York : Oxford University Press. 1996 : 487 –
516.
11. Dahlan, Sofwan. 2008. Ilmu Kedokteran Kehakiman. Badan Penerbit Universitas
Diponegoro.Semarang.
12. American College of Surgeons. 1997. Advance Trauma Life Suport. USA : First Impression,
13. Bernath David. 2009. Head Injury. www.e-medicine.com
14. Nadeau K. Neurologic Injury in Jones and Barlett learning.com. 2004