cervical root syndrome
DESCRIPTION
referatTRANSCRIPT
CERVICAL ROOT SYNDROME
A. Anatomi vertebra cervikalis
Anatomi vertebrae Cervical berbeda dengan vertebrae thoracal dan juga
lumbal. Ini semua berkaitan dengan fungsinya yang memang berbeda. Vertebrae
cervical relatif lebih kecil bila dibandingkan dengan vertebrae lumbal, begitu juga
dengan discus intervertebralenya yang memiliki ukuran lebih kecil. Vertebra
Cervical yang pertama dan kedua (C1 dan C2) memilki susunan anatomi yang
berbeda dengan yang lainnya.1
Leher merupakan bagian spina/tulang belakang yang paling bergerak
(mobile), mempunyai tiga fungsi utama, yaitu:1,2
1. menopang dan memberi stabilitas pada kepala;
2. memungkinkan kepala bergerak di semua bidang gerak;
3. melindungi struktur yang melewati spina, terutama medula spinalis, akar saraf,
dan arteri vertebra.
Spina servikal menopang kepala, memungkinkan gerakan dan posisi yang
tepat. Semua pusat saraf vital berada di kepala memungkinkan pengendalian
penglihatan (vision), keseimbangan vestibular, arahan pendengaran (auditory) dan
saraf penciuman; secara esensial mengendalikan semua fungsi neuromuskular
yang sadar. Untuk itu maka kepala harus ditopang oleh spina servikal pada posisi
yang tepat agar memungkinkan gerakan spesifik untuk menyelesaikan semua
fungsi tersebut.
Kolumna servikal dibentuk oleh tujuh tulang vertebra. Spina servikal, C1-
C7, terlihat dari lateral membentuk lengkung lordosis dan kepala pada tingkat
oksipitoservikal membentuk sudut yang tajam agar kepala berada di bidang
horizontal. Apabila dilihat dari anteroposterior maka spina servikal sedikit
mengangkat (tilt) kepala ke satu sisi. Hal tersebut dapat dijelaskan oleh faset pada
oksiput, atlas (C1) dan aksis (C2) yang sedikit asimetrik.
Spina servikal merupakan persatuan unit fungsional yang saling tumpang-
tindih (superimposed), masing-masing terdiri atas 2 badan, yang dipisahkan oleh
diskus intervertebra mulai di bawah aksis (C2). Unit fungsional spina servikal
1
dibagi atas dua kolumna, yaitu kolumna anterior yang terdiri atas vertebra,
ligamen longitudinal dan diskus di antaranya, serta kolumna posterior yang
meliputi kanal oseus neural, ligamen posterior, sendi zygapophyseal, dan otot
erektor spina. Secara anatomis, foramen intervertebralis terletak di antara kedua
kolumna tersebut. Sebenarnya, otot servikal bagian anterior yaitu fleksor
merupakan bagian dari kolumna anterior. Untuk mengevaluasi secara fungsional
maka spina servikal dibagi menjadi segmen servikal atas (diatas C3) dan segmen
servikal bawah (C3-C7). Setiap segmen itu berfungsi berbeda.
Gambar 1. Gerakan Leher/Cervival
Gambar 2. Vertebra, pandangan lateral dan posterior
1. Vertebra cervical 1 (Atlas) :
a) Tidak mempunyai corpus, hanya berupa arcus anterior.
b) Processus transversus tanpa foramina dan tidak ada processus spinosus.
c) Di sisi atas mempunyai 2 facet konkaf untuk menopang condylus occipitalis
2
Gambar 3. Vertebra servikalis 1 (tulang atlas)
2. Vertebra cervical 2 (Axis) :
a) Mempunyai processus odontoid atau dens yang menonjol ke atas dari
corpusnya, bersendi dengan arcus dari atlas anterior dan diikat kuat oleh
ligament.
b) Di bawah C2 terdapat discus di antara tiap vertebrae.
Gambar 4. Vertebra servikalis 2 (axis/epistropheus)
3. Vertebra Cervical 3, 4, 5. :
Mempunyai processus spinosus yang bercabang.
Gambar 5. Vertebra servikalis 3-6 (vertebra servikalis tipikal)
3
4. Vertebra Cervical 6 dan 7 :
a) Processus spinosus tidak bercabang dan lebih panjang.
b) Merupakan transisional vertebra, mirip dengan vertebrae thoracal.
c) Permukaan superior konkaf, terdapat processus uncinatus pada tiap sisi,
sendinya disebut uncovertebral von Luschka.
Gambar 6. Vertebra servikalis 7 (vertebra prominens)
B. Diskus intervertebralis
1) Pada vertebrae cervical lebih kecil.
2) Terdiri dari nucleus pulposus, annulus fibrosus, dan 2 cartilaginous end
plate.
3) Lebih tertutup tulang bila dibandingkan dengan vertebra yang lain.
C. Articulatio
Persendian antara kepala dan vertebra Cervical atas :
1) Articulatio atlantooccipitalis
2) Articulatio atlantoepistrphica
Persendian tiap vertebra Cervical, mempunyai 5 buah facies articularis :
1) Satu articulation corpus vertebra yang dipisahkan oelh discus
intervertebralis.
2) Dua sendi uncovertebralis von Luschka yang bersiga sendi palsu dan tidak
dibatasi membrana synovia.
3) Dua articulation facet yang terletak di belakang corpus
Oleh karena bentuk persendian pada cervical seperti Sadel sehingga terjadi
gerakan yaitu : fleksi-ekstensi, lateral-bending, dan rotasi.
4
D. Persarafan
Saraf yang keluar dari vertebrae Cervical berjumlah 8, dimulai dari C1
sampai dengan C8. Pada daerah cervical sendiri terdapat dua plexus yakni plexus
cervicalis (C1-C4) dan plexus brachialis (C4-T1).
E. Biomekanik leher
Vertebrae cervical mempunyai fungsi sebagai penopang kepala dan
mempertahankan posisi kepala dan untuk stabilitas dan mobilitas. Gerakan fleksi
ekstensi terjadi pada articulatio atlantooccipitalis, juga bisa terjadi di antara C1
dan C2. Semua itu dikendalikan oleh otot-otot suboccipital dan ligamentum
atlantooccipital. Gerakan fleksi-ekstensi dan pembatasan lateral fleksi disebabkan
oleh uncovertebral. Bentuk dari corpus yang lebih lebar pada arah lateral
memungkinkan pergerakan fleksi-ekstensi dibanding dengan lateral-fleksi.
Pergerakan rotasi pada persendian atlantoaxial seperti fenomena kursi
putar, dengan stabilisasi dan kontrol oleh ligamentum yan g membentuk kapsul
persendian atlantoaxial yang bersifat diarthrosis. Bentuk corpus dari C3-C7 yang
seperti pelana memungkinkan untuk gerakan miring dan rotasi. Posisi dari
persendian posterior hampir tegak lurus pada bidang sagittal sehingga
memungkinkan rotasi pada bidang horizontal dan lateral bending. Pada spatium
intervertebral C5-C6 terjadi range of motion yang besar pada gerak fleksi-ekstensi
dan kemungkinan menjadi faktor penyebab dalam terjadinya spondylosis pada
bagian ini.
Range of Motion (R.O.M.) adalah luas gerak yang bisa dilakukan oleh
suatu sendi dengan seluruh kekuatan. Tiap sendi memiliki R.O.M. yang berbeda-
beda yang diukur menggunakan goniometer. Pada bagian cervical R.O.M normal
pada fleksi adalah 70°. Pada ekstensi 40°. Pada lateral bending 60°. Dan pada
rotasi 90°.
5
F. Definisi
Kumpulan gejala dan tanda yang disebabkan oleh iritasi atau penekanan akar saraf
servikal.1
H. Gejala2
- Nyeri leher yang menyebar ke bahu, lengan atas atau lengan bawah.
Timbulnya nyeri terjadi secara perlahan-lahan terkadang juga bisa
mendadak. Nyeri bersifat kronik.
Nyeri yang berasal dari akar serviks keempat (C4) terlokalisir di leher dan
daerah supraskapular. Nyeri dari akar serviks kelima (C5) menjalar ke
lengan bawah, sedangkan nyeri dari akar keenam dan ketujuh (C6 dan C7)
meluas ke leher, lengan bahu, dan tangan. Nyeri juga bisa menjalar ke
daerah cervical atas yang menimbulkan nyeri occipital.
Gambar 7. Gambaran nyeri radikuler
- Kaku leher (stiffness)
Kaku leher dimulai pada pagi hari dan makin bertambah dengan adanya
aktivitas, gerakan leher terbatas dan terkadang disertai dengan krepitasi
dan nyeri.
- Paresthesia
Tergantung pada radiks saraf yang terkena oleh spur atau iritasi saraf dan
biasanya bersifat unilateral.
- Kelemahan atau spasme otot
6
Parese terjadi bila adanya penekanan hebat pada radiks saraf.
- Gejala lain
Nyeri kepala, vertigo dan tinnitus.
I.Faktor predisposisi2
1. Umur
Proses degenerasi pada vertebrae dan diskus intervertebral. Spondilosis
cervicalis biasanya mulai ditemukan setelah usia 40 tahun dan sering
didapatkan pada penderita yang berusia lebih dari 55 tahun.
2. Trauma
Trauma akibatt kecelakaan, proses “wear and tear”, yaitu proses
penggunaan sendi terus menerus yang akan menyebabkan degenerasi
sendi.
3. Pekerjaan (postur tubuh)
Pekerjaan dengan postur tubuh yang kurang baik seringkali menyebabkan
peningkatan beban tubuh ke bagian cervical. Sebagai contohnya,
mengangkat beban berat pada kuli, gerakan berlebihan pada penari
profesional, menggunakan komputer atau menjahit pakaian dalam waktu
yang cukup lama.
J. Penyebab
Cervical root syndrome sendiri bisa diakibatkan oleh beberapa sebab, antara lain:
1. Spondilosis cervicalis/Spondiloarthrosis cervical2,3
Ini merupakan proses degeneratif pada vertebra cervical yang
sering terjadi pada orang berusia lebih dari 55 tahun. Perubahan degeneraif
mula-mula pada diskus intervertebralis, dan kemudian pada sendi
intervertebral posterior (facet) dan bisa terjadi pada uncovertebral joint of
von Luschka, penyempitan diskus intervertebralis dan pembentukan spur
(osteofit) pada tepi persendian. Pada diskus intervertebralis akan terjadi
destruksi dan menipisnya kartilago vertebra. Sklerosis dan rusaknya
lapisan tulang dibawah kartilago menyebabkan ruang intervertebralis
7
menyempit. Selain itu akan terjadi reaksi pada pinggir persendian yang
mengakibatkan pembentukan osteofit (spur). Karena kombinasi antara
mobilitas pada weight bearing dan adanya ketidakstabilan, maka sering
didapatkan strain pada daerah ini. Sehingga proses degenerasi pada daerah
cervical tidak dapat dihindari akibat proses “wear and tear”. Pada daerah
cervical, yang sering terjadi adalah pada tiga bagian terbawah, dengan C5
dan C6 yang memiliki insidensi tertinggi.
Terdapat dua pendapat mengenai pembentukan osteofit, dimana
menurut Collins osteofit terbentuk karena tekanan internal discus yang
menyebabkan lig. longitudinal longgar. Tekanan ini akan mengakibatkan
material discus keluar mengisi ruang diantara corpus vertebra dan lig.
longitudinal dan terjadi ossifikasi. Studi lebih lanjut tidak mendukung teori
ini karena secara mikroskopis tidak terdapat pembentukan tulang sub
periosteal yang baru. Menurut Vernon-Robert dan Pirie terjadi penulangan
endochordal dengan annulus dimana annulus fibrosus melekat pada
cartilaginous endplate. Karena adanya uncovertebral joint of von Luschka
maka osteofitosis sering terjadi pada bagian cervical bila dibandingkan
dengan lumbal. Oleh karena uncovertebral joint adalah pseudojoint yang
tidak memiliki kartilago di antaranya, maka sering terjadi osteoarthritis
oleh karena pergeseran, penekanan dan gesekan antar sendi.
Osteofit biasanya menonjol pada foramina intervertebral sehingga
mengurangi ruangan di mana dilewati n.cervicalis. Bila ruangan
menyempit dan ditambah adanya oedema traumatik dari jaringan lunak
maka manifestasi penekanan saraf akan terjadi. Pada vertebrae Cervical
bawah memiliki foramen kecil dan serabut saraf besar, maka pada bagian
cervical bawah biasanya terjadi penekanan yang bermanifestasi pada
gejala radikuler. Keadaan yang jarang terjadi adalah adalah konstriksi
canalis spinalis akibat penonjolan osteofit yang mengakibatkan penekanan
medulla spinalis yang bisa menyebabkan myelopati.2
Diskus intervertebralis kehilangan hidrasi dan elastisitas saat
menua, sehingga retak dan fisura. Selanjutnya diskus kolaps karena
8
inkompetensi biomekanik, menyebabkan annulus menonjol keluar.
Ligamen sekitar juga kehilangan sifat elastis dan membentuk spur akibat
tarikan. Pembentukan spur uncovertebral terjadi akibat proses degeneratif
di mana sendi faset kehilangan tulang rawan menjadi sklerotik dan
membentuk osteofit. Stenosis servikal didapat (acquired) lebih sering
akibat perubahan degeneratif seperti pembentukan osteofit, protrusion
diskus, hipertrofi ligamen atau hipertrofi sendi faset. Sekuele neurologik
akibat stenosis kanalis sentralis terjadi apabila diameter kanal kurang dari
12 mm pada bidang sagital dan stenosis absolut dinyatakan apabila
diameter kanal kurang dari 10 mm. Stenosis spinal dengan gejala
mielopati dapat mencakup disfungsi kandung kemih dan bowel
neurogenik, gangguan pola jalan (gait), impotensi, dan perubahan fungsi
seksual. Kelemahan tungkai dan spastisitas juga dapat terjadi.
Pemeriksaan fisik secara khas menunjukkan penurunan ROM spina
servikal, terutama ekstensi leher. Tes diagnostik termasuk pencitraan polos
untuk melihat sendi uncovertebral, sendi faset, foramen dan sela diskus
intervertebra. MRI mengevaluasi kanalis spinalis dan foramen dalam
hubungannya dengan medulla spinalis, thecal sac, dan akar saraf. Respons
sensory evoked potential (SEP) terlambat atau beramplitudo rendah
dengan adanya mielopati, dan dapat dilakukan berkala untuk mengevaluasi
status perkembangan mielopati. EMG jarum dapat mengkonfirmasi
keterlibatan akar saraf pada gejala radikuler. CT scan dan mielografi
merupakan pencitraan pilihan untuk mendokumentasi stenosis spinal dan
foramen.
Tatalaksana nyeri spondilosis servikal dengan atau tanpa gejala
radikuler dimulai dengan pemberian NSAID. Modalitas terapi fisik dapat
dicoba pemberian traksi dengan hati-hati. Terapi panas yang dalam seperti
ultrasound diathermy dapat menurunkan nyeri dan selanjutnya gerak sendi
dapat ditingkatkan. TENS dan massage bermanfaat mengurangi nyeri dan
spasme otot daerah servikal. Mobilisasi seperti teknik energi otot juga
bermanfaat, akan tetapi harus diawasi dengan ketat karena mobilisasi
9
berlebihan dapat menyebabkan mielopati. Program latihan termasuk
fleksibilitas, penguatan, stabilisasi dan kondisi aerobik. Rujukan bedah
dilakukan segera apabila evaluasi klinis dan tes neurodiagnostik positif
untuk mielopati.
Gambar 8.Perbandingan vertebra servikalis antara yang normal
dengan spondilosis servikalis
K. Diagnosis
1. Anamnesa1
Anamnesa adalah hal-hal yang menjadi sejarah kasus pasien, juga
berguna untuk menentukan diagnosa, karena misalnya dengan pendekatan
psikiatri terhadap depresinya yang kadang merupakan faktor dasar nyeri
bahu ini.
Gejala-gejala yang mungkin nampak pada inspeksi dan palpasi, misalnya :
a. Nyeri kaku pada leher
b. Rasa nyeri dan tebal dirambatkan ke ibu jari dan sisi radial tangan
c. Dijumpai kelemahan pada biceps atau triceps
d. Berkurangnya reflex biceps
10
e. Dijumpai nyeri menjalar (referred pain) di bahu yang samar, dimana
“nyeri bahu” hanya dirasa bertahan di daerah deltoideus bagian lateral dan
infrascapula atas.
2. Pemeriksaan fisik2
Pemeriksaan fisik yang dapat dilakukan untuk penegakan diagnosis antara
lain :
a. Terdapat tenderness pada daerah cervical, pada beberapa keadaan akan
terlokalisir pada sebelah lateral sendi yang mengalami peradangan.
b. Spasme pada otot-otot leher.
c. Pemeriksaan R.O.M leher terbatas dan nyeri terutama pada gerakan s
lateral bending dan rotasi.
d. Pada extremitas atas bisa menunjukkan defisit sensoris dan hiporeflexia.
Parese dan atrofi otot merupakan kondisi lanjutan yang jarang ditemukan.
e. Leher tampak agak kyphotic sehingga postur terlihat kepala jatuh ke
depan yang menyebabkan center of gravity jatuh ke depan. Leher akan
bertambah lordosis sebagai usaha mempertahankan keseimbangan dan
akan mempersempit foramen intervertebrale dan menambah tekanan ke
sendi zygapophyseal.
f. Pemeriksaan darah normal, penyempitan celah sendi karena degradasi
kartilago artikuler dan memungkinkan permukaan tulang mendekat satu
sama lain dan terdapat osteofit marginalis.
Tes-tes khusus yang dapat dilakukan, antara lain:
a. Tes Provokasi1
Tes Spurling atau tes Kompresi Foraminal, dilakukan dengan cara
posisi leher diekstensikan dan kepala dirotasikan ke salah satu sisi,
kemudian berikan tekanan ke bawah pada puncak kepala. Hasil positif bila
terdapat nyeri radikuler ke arah ekstremitas ipsilateral sesuai arah rotasi
kepala. Pemeriksaan ini sangat spesifik namun tidak sensitif guna
mendeteksi adanya radikulopati servikal. Pada pasien yang datang ketika
dalam keadaan nyeri, dapat dilakukan distraksi servikal secara manual
11
dengan cara pasien dalam posisi supinasi kemudian dilakukan distraksi
leher secara perlahan. Hasil dinyatakan positif apabila nyeri servikal
berkurang.
b. Tes distraksi kepala1
Distraksi kepala akan menghilangkan nyeri yang diakibatkan oleh
kompresi terhadap radiks syaraf. Hal ini dapat diperlihatkan bila
kecurigaan iritasi radiks syaraf lebih memberikan gejala dengan tes
kompresi kepala walaupun penyebab lain belum dapat disingkirkan.
c. Tes valsava1
Dengan tes ini tekanan intratekal dinaikkan, bila terdapat proses
desak ruang di kanalis vertebralis bagian cervical, maka dengan di
naikkannya tekanan intratekal akan membangkitkan nyeri radikuler. Nyeri
12
syaraf ini sesuai dengan tingkat proses patologis dikanalis vertebralis
bagian cervical. Cara meningkatkan tekanan intratekal menurut Valsava
ini adalah pasien disuruh mengejan sewaktu ia menahan nafasnya. Hasil
positif bila timbul nyeri radikuler yang berpangkal di leher menjalar ke
lengan.
3. Pemeriksaan Penunjang2
Pemeriksaan radiologis masih menjadi standar yang paling baik
untuk penegakan diagnosis sampai sekarang. Pada foto rontgen akan
didapatkan :
1) Pembentukan osteofit dan sklerosis pada sendi-sendi apofiseal
intervertebrae.
2) Penyempitan pada discus intervertebralis akibat erosi kartilago.
3) Pembentukan tulang baru (spurring) antar vertebra yang berdekatan dan
dapat menyebabkan kompresi akar saraf.
13
Gambar .Foto rontgen AP spondilosis servikalis
Selain menggunakan foto rontgen, dapat juga digunakan MRI dan
CT (Computerized Tomography) untuk penegakan diagnosis.
L. Penatalaksanaan
a. Medikamentosa1,2
Pemberian obat AINS (Anti Inflamasi Non Steroid) dan muscle
relaxant untuk menghilangkan rasa nyeri. Obat penghilang nyeri atau
relaksan otot dapat diberikan pada fase akut. Obat-obatan ini biasanya
diberikan selama 7-10 hari. Bila terdapat gejala radikuler bisa disertai
dengan pemberian kortikosteroid oral. Bila nyeri dirasa sangat
mengganggu bisa ditambahkan opioid dengan beberapa ketentuan.
b. Fisioterapi1
Tujuan utama penatalaksanaan adalah reduksi dan resolusi nyeri,
perbaikan atau resolusi defisit neurologis dan mencegah komplikasi atau
keterlibatan medulla spinalis lebih lanjut.
1. Traksi
Tindakan ini dilakukan apabila dengan istirahat keluhan nyeri tidak
berkurang atau pada pasien dengan gejala yang berat dan mencerminkan
adanya kompresi radiks saraf. Traksi dapat dilakukan secara terus-menerus
atau intermiten.
14
2. Cervical collar
Pemakaian cervical collar lebih ditujukan untuk proses imobilisasi
serta mengurangi kompresi pada radiks saraf, walaupun belum terdapat
satu jenis collar yang benar-benar mencegah mobilisasi leher. Salah satu
jenis collar yang banyak digunakan adalah SOMI Brace (Sternal Occipital
Mandibular Immobilizer).
Collar digunakan selama 1 minggu secara terus-menerus siang dan
malam dan diubah secara intermiten pada minggu II atau bila mengendarai
kendaraan. Harus diingat bahwa tujuan imobilisasi ini bersifat sementara
dan harus dihindari akibatnya yaitu diantaranya berupa atrofi otot serta
kontraktur. Jangka waktu 1-2 minggu ini biasanya cukup untuk mengatasi
nyeri pada nyeri servikal non spesifik. Apabila disertai dengan iritasi
radiks saraf, adakalanya diperlukan waktu 2-3 bulan. Hilangnya nyeri,
hilangnya tanda spurling dan perbaikan defisit motorik dapat dijadikan
indikasi pelepasan collar.
3.Thermoterapi
Thermoterapi dapat juga digunakan untuk membantu
menghilangkan nyeri. Modalitas terapi ini dapat digunakan sebelum atau
15
pada saat traksi servikal untuk relaksasi otot. Kompres dingin dapat
diberikan sebanyak 1-4 kali sehari selama 15-30 menit, atau kompres
panas/pemanasan selama 30 menit 2-3 kali sehari jika dengan kompres
dingin tidak dicapai hasil yang memuaskan. Pilihan antara modalitas panas
atau dingin sangatlah pragmatik tergantung persepsi pasien terhadap
pengurangan nyeri.
4. Latihan1
Berbagai modalitas dapat diberikan pada penanganan nyeri leher.
Latihan bisa dimulai pada akhir minggu I. Latihan mobilisasi leher kearah
anterior, latihan mengangkat bahu atau penguatan otot banyak membantu
proses penyembuhan nyeri. Hindari gerakan ekstensi maupun flexi.
Pengurangan nyeri dapat diakibatkan oleh spasme otot dapat ditanggulangi
dengan melakukan pijatan.
c. Terapi Latihan2
Pada penderita Cervical Root Syndrome akan didapatkan nyeri,
kekakuan dan keterbatasan ruang sendi akibat dari penekanan radix saraf.
Hal ini bisa menyebabkan terjadinya kelemahan otot yang berujung pada
postur yang buruk. Postur yang buruk akan memperberat perjalanan
penyakit ini.
Terapi latihan bertujuan untuk :
16
a. Mengurangi rasa nyeri
b. Mengurangi lordosis cervical
c. Memperbaiki kekuatan otot
d. Meningkatkan postur pada ADL
e. Mempertahankan fleksibilitas atau rentang sendi (R.O.M)
Terapi Latihan juga akan membantu proses pengurangan rasa nyeri
selain fungsinya yang mengembalikan keadaan pasien ke kondisi
normalnya. Pada keadaan nyeri, pasien akan cenderung untuk tidak
menggerakan kepala. Hal ini bisa menyebabkan spasme otot leher yang
lama-kelamaan akan menyebabkan atrofi otot. Atrofi otot akan menambah
rasa nyeri pada pasien karena otot leher akan mengalami penurunan
fungsinya dalam mempertahankan posisi kepala.
Terapi Latihan dapat berupa :
a) Latihan penguatan otot leher
Latihan penguatan otot dilakukan secara isotmetrik, yakni melawan
tahanan yang tidak bergerak atau dengan mempertahankan leher pada
posisi statik. Latihan isometrik cervical ini dilakukan secara self resistance
pada posisi duduk.
(1) Fleksi
Pasien meletakkan ke dua tangan dan menekan dahi dengan telapak
tangan, kemudian kepala melakukan gerakan fleksi (mengangguk)
tetapi ditahan dengan tangan agar tidak terjadi gerakan.
(2) Lateral Bending
Pasien menekan dengan tangan pada sisi lateral kepala dan mencoba
untuk lateral fleksi kepala, tahanan diberikan pada telinga dan bahu,
di usahakan tidak terjadi gerakan.
(3) Ekstensi axial
Pasien menekan belakang kepala dengan kedua tangan dimana
tahanan diberikan pada belakang kepala dekat puncak kepala.
17
(4) Rotasi
Pasien menekan dengan satu tangan menahan pada daerah atas dan
lateral dari mata dan mencoba memutar kepala (rotasi) tetapi tetap ditahan
agar tidak terjadi gerakan.
Preskripsi untuk latihan kekuatan sebagai berikut
a) Intensitas (beban) : 100% dari kontraksi maksimum
b) Durasi : 5 detik tiap kontraksi
c) Repetisi : 5-10 kontraksi
d) Frekuensi : 5 hari tiap minggu
e) Lama program : 4 minggu atau lebih
Kerugian latihan ini adalah terjadinya peningkatan tekanan darah,
disebabkan peningkatan denyut jantung tanpa perubahan perifer umum.
Pada penderita penyakit jantung, latihan isometrik dapat menyebabkan
timbulnya disaritmia ventrikel.
b) Latihan fleksibilitas / stretching otot leher
Bila terdapat rasa tidak enak akibat postur yang buruk atau adanya
spasme otot, maka R.O.M aktif akan membantu menghilangkan stress
pada struktur leher, memperbaiki sirkulasi. Tujuan dari latihan stretching
pada otot leher adalah menambah fleksibilitas dalam fleksi, ekstensi, rotasi
dan lateral fleksi secara aktif. Semua gerakan dilakukan perlahan sampai
full R.O.M dan dilakukan beberapa kali. Posisi pasien duduk dengan leher
tergantung secara rileks pada kursi atau berdiri rileks. Setelah itu pasien di
minta untuk :
(1) Menekuk leher ke depan dan belakang (gerakan ekstensi tidak boleh
dilakukan bila terdapat penekanan saraf).
(2) Menekuk kepala ke lateral kanan dan kiri, merotasikan kepala pada
masing-masing sisi.
(3) Putar bahu, elevasi, retraksi, kemudian relaks dari scapula.
(4) Putar secara melingkar lengan mengelilingi bahu. Dikerjakan dengan
siku fleksi dan ekstensi, menggunkan gerakan sirkuler yang luas maupun
kecil. Posisi lengan ke depan atau agak menyamping. Gerakan searah
18
maupun berlawanan jarum jam harus digerakkan karena membantu dalam
latihan postur yang benar. Sendi harus digerakkan secara penuh setidaknya
2-3 kali sehari.
c) Latihan postur
Postur yang buruk akan menambah lordosis cervical dan
penambahan beban yang berlebih pada leher. Postur yang dimaksud salah
satunya adalah forward-head posture. Postur yang tidak tepat ini juga
berpengaruh pada penekanan annulus fibrosus dan menyebabkan
penyempitan foramen intervertebrale sehingga terjadi iritasi pada saraf
bagian cervical.
Latihan postur sangat membutuhkan kesadaran dalam melakukan
latihan yang teratur. Yang dilakukan adalah melakukan teknik relaksasi
otot dan stretching untuk mengembalikan ROM normal. Pada ADL juga
harus dievaluasi untuk mencegah posisi yang memperburuk kondisi
cervical serta dilakukan edukasi :
(1) Cara mengangkat barang dengan lutut fleksi.
(2) Hindari hiperekstensi leher dan forward-head posture yang terlalu
lama dan berlebihan.
(3) Perbaiki lingkungan pekerjaan penderita seperti kursi dan meja yang
kurang sesuai ukuran tingginya, lingkungan tidur seperti bantal yang
sesuai tingginya dan matras untuk membantu relaksasi otot.
d. Terapi Modalitas2
Terapi modalitas adalah terapi yang melibatkan perlakuan terhadap
fisik pasien, seperti pemberian elektroterapi, kemoterapi, krioterapi dan
tindakan pembedahan. Terapi modalitas digunakan untuk mengurangi rasa
nyeri, memperbaiki vaskularisasi dan meningkatkan metabolisme jaringan.
Terapi modalitas sebaiknya tidak diberikan tersendiri pada suatu
penatalaksanaan penyakit, dan sebaiknya diberikan tambahan terapi baik
dalam bentuk terapi latihan maupun intervensi farmakologis.
Terapi modalitas yang banyak digunakan pada penderita antara lain
:
19
a. SWD (Short Wave Diathermy)
SWD (Short Wave Diathermy) adalah elektroterapi yang menaikan
temperatur pada jaringan dengan pemberian gelombang frekuensi tinggi.
Frekuensinya 27,12 MHz dan panjang gelombangnya 11 meter. SWD
memiliki beberapa fungsi antara lain meningkatkan metabolisme,
meningkatkan sirkulasi darah, menurunkan kontraksi otot. SWD juga akan
menurunkan rasa nyeri, meningkatkan elastisitas dan oksigenasi jaringan.
Terdapat dua macam SWD dimana yang pertama adalah tipe kontinu
dimana akan didapatkan pemberian panas secara terus menerus dari alat,
dan kedua yakni pulsed mode yang memberikan jeda dalam tiap
pemanasan. Cara yang kedua akan meningkatkan efek non-thermal.
Pemberian SWD akan mengembalikan potensial membran ke tingkat
semula, dimana pada inflamasi potensial membran suatu sel akan turun
sehingga fungsinya terganggu. Selain itu juga SWD akan mengembalikan
keseimbangan dan transpor ion di membran sel. Terdapat dua teori
mekanisme pemberian SWD, yang pertama adalah mekanisme transpor
ion secara langsung atau aktivasi dari pompa natrium dan kalium.
SWD diberikan pada inflamasi kronik, dan biasanya mulai
diberikan terapi maksimal satu minggu setelah mulainya proses
peradangan. Indikasi diberikannya SWD adalah inflamasi dan juga proses
degenarasi, baik pada spondylosis cervical, osteoarthritis lutut, sprain
ligament pada tumit, dan juga pada sinusitis. Kontraindikasi SWD seperti
tumor ganas, inflamasi akut, penggunaan pacu jantung, perdarahan dan
demam tinggi. Lama pemberian SWD 5-30 menit tergantung derajat
penyakitnya.
b. TENS (Transcutaneous Electrical Nerve Stimulation)
TENS (Transcutaneous Electrical Nerve Stimulation) adalah terapi
modalitas yang tidak invasif dan tidak adiktif. TENS adalah salah satu
elektroterapi yang paling sering digunakan sebagai analgesia atau
penghilang rasa sakit. Metode yang dilakukan pada TENS adalah
pemberian arus listrik ke saraf dan menghasilkan panas untuk mengurangi
20
kekakuan, meningkatkan mobilitas dan menghilangkan nyeri. Peralatan
TENS terdiri dari stimulator yang bertenagakan baterai dan elektroda yang
ditempelkan pada bagian yang akan diberikan terapi. Selain itu TENS bisa
dikombinasikan dengan steroid topikal untuk pengobatan rasa nyeri yang
dinamakan dengan Iontoforesis.
Mekanisme kerja dari TENS adalah dengan pengaturan
neuromodulasi seperti penghambatan pre sinaps pada medulla spinalis,
pelepasan endorfin yang merupakan analgesia alami dalam tubuh dan
penghambatan langsung pada saraf yang terangsang secara abnormal.
Mekanisme analgesia TENS adalah stimulasi elektrik akan mengurangi
nyeri dengan penghambatan nosiseptif pada pre sinaps. Stimulasi elektrik
akan mengaktifkan serabut saraf bermyelin yang akan menahan
perambatan nosisepsi pada serabut C tak bermyelin ke sel T yang berada
di substansia gelatinosa pada cornu posterior yang akan diteruskan ke
cortex cerebri dan talamus. Pada pemberian TENS juga akan terjadi
peningkatan beta endorphin dan met-enkephalin yang memperlihatkan
efek antinosiseptif. Indikasi dilakukan TENS adalah rasa nyeri tidak berat,
dismenore dan inkontinensia. Kontraindikasinya antara lain pasien
penggunan pacu jantung, defisit neurologis dan pada pasien yang
mengandung.
M. Edukasi1
Untuk mencapai kondisi pemulihan pasien sehingga bisa secepatnya
kembali bekerja adalah kesadaran tentang pentingnya kesehatan dan lingkungan
kerja yang baik. Untuk mencegah terjadinya nyeri tengkuk ada beberapa nasehat
yang bermanfaat:
- Sikap tubuh yang baik dimana tubuh tegak, dada terangkat, bahu santai,
dagu masuk, leher merasa kuat, longgar dan santai.
- Tidur dengan bantal.
- Memelihara sendi otot yang fleksibel dan kuat dengan latihan yang benar.
21
- Pencegahan nyeri cervical ulangan yaitu dengan memperhatikan posisi
saat duduk, mengendarai kendaraan, dan posisi leher yang berkaitan
dengan berbagai pekerjaan atau aktivitas sehari-hari.
- Menghindari bekerja dengan kepala terlalu turun atau satu posisi dalam
waktu yang lama, pegangan dan posisi yang sering berulang.
22
DAFTAR PUSTAKA
1. Sanjaya P. Cervical Root Syndrome. Bagian Penyakit Saraf RSU Unit
Swadana Pare-Kediri. 2012.
2. Susilo WA. Pengaruh terapi modalitas dan terapi latihan terhadap
penurunan rasa nyeri pada pasien cervical root syndrome di RSUD. DR.
Moewardi Surakarta. Skripsi. FK Universitas Sebelas Maret. Surakarta.
2010.
3. Tulaar AB. Nyeri Leher dan Punggung. Studi Tinjauan Pustaka.
Departemen Kedoktteran Fisik dan Rehabilitasi. Majalah Kedokteran
Indonesia. 5 (5); Mei. 2008.
23