chapter 18 sleep apnea and sleep disorders

Upload: heckly

Post on 03-Apr-2018

229 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

  • 7/28/2019 Chapter 18 Sleep Apnea and Sleep Disorders

    1/33

    SLEEP APNEA AND SLEEP DISORDERS

    Ishman SL, Wakefield TL, Collop NA. Chapter 18. Sleep Apnea and Sleep Disorders

    Cummings Otolaryngology: Head and Neck Surgery

    Edisi ke-5. Volume 1. Hal. 275-291.

    Oleh:

    Kuepoyos Heckly

    Melisa E. Sumarauw

    Veronica J. Girsang

    Grays N. Pongmari

    Supervisor Pembimbing

    dr. O. C. P. Pelealu, SpTHT-KL

    BAGIAN ILMU KESEHATAN TELINGA DAN TENGGOROKAN

    RSUP. PROF. DR. R. D. KANDOU

    FAKULTAS KEDOKTERAN

    UNIVERSITAS SAMRATULANGI

    MANADO

    2013

  • 7/28/2019 Chapter 18 Sleep Apnea and Sleep Disorders

    2/33

    LEMBAR PENGESAHAN

    Telah dibacakan dan dikoreksi terjemahan dengan judul:

    SLEEP APNEA AND SLEEP DISORDERS

    Pada tanggal 4 Juni 2013

    Mengetahui

    Supervisor Pembimbing

    dr. O. C. P. Pelealu, SpTHT-KL

  • 7/28/2019 Chapter 18 Sleep Apnea and Sleep Disorders

    3/33

    APNEU DI SAAT TIDUR DAN GANGGUAN TIDUR LAINNYA

    Poin Penting:

    Mendengkur mempengaruhi setidaknya 40% pria dan 20% wanita, dan sering menyertai

    gangguan pernapasan saat tidur. Namun, hanya 2% dari wanita dan 4% pria yang berusia

    lebih dari 50 tahun memiliki gejala apneu di saat tidur yang obstruktif (OSA).

    OSA di definisikan dengan lima atau lebih gejala pernapasan (apneu, hipopneu, atau

    usaha pernapasan tambahan (RERAs) dalam hubungan dengan mengantuk berlebihan di

    siang hari, bangun dengan terengah-engah, tersedak, atau menahan napas, atau laporan

    adanya apneu, mendengkur keras, atau keduanya.

    Efek negatif kesehatan telah dikaitkan dengan OSA yang tidak di obati termasuk

    peningkatan mortalitas, peningkatan penyakit kardiovaskular, dan kesulitan

    neurokognitif. Selain itu, OSA yang tidak di obati telah terbukti menjadi faktor risiko

    independen untuk resistensi insulin, penyakit refluks gastroesofagus, kecelakaan

    kendaraan bermotor, dan penurunan perhatian, memori kerja, dan fungsi eksekutif.

    Gejala yang paling umum dari OSA yakni mendengkur keras, gelisah saat tidur, dan rasa

    mengantuk berlebihan di siang hari. Namun, polisomnografi (PSG) diperlukan untuk

    diagnosis dan dianggap sebagai standar baku emas untuk diagnosis dari OSA.

    Nasofaringoskopi fiberoptik merupakan alat penting untuk mengidentifikasi tingkat

    obstruksi daerah: hidung, retropalatum, retrolingual. Kebanyakan orang memiliki

    obstruksi di beberapa tingkatan.

    Uvulopalatolaringoplasti (UPPP) merupakan prosedur bedah yang paling umum

    dilakukan untuk OSA dan sering disalahgunakan sebagai lini pertama untuk terapi bedah

    pada OSA terlepas dari faktor koeksisten pasien seperti obesitas, retrognatia, dan adanya

    obstruksi di tempat lain. Akibatnya, sering terjadi kegagalan dalam pengobatan OSA

    pada pasien yang tidak selektif.

    Partial midline glosektomi (PMG), lingualplasti, dan ablasi dasar lidah dengan frekuensi

    radio merupakan prosedur yang telah dikembangkan untuk mengatasi jatuhnya bagian

    retrolingual atau penyempitan yang terjadi pada OSA.

  • 7/28/2019 Chapter 18 Sleep Apnea and Sleep Disorders

    4/33

    Pembedahan daerah hipofaring terdiri dari prosedur yang dirancang untuk mencegah

    jatuhnya lidah saat tidur sehingga menutupi jalan napas. Prosedur ini termasuk

    memajukan otot genioglosal (GA) dan miotomi hyoid (HM), dimana keduanya

    digunakan untuk melebarkan jalan napas di daerah retrolingual.

    Tiga puluh satu persen dari pasien yang di diagnosis OSA di sebuah pusat gangguan tidur

    ditemukan memiliki gangguan tidur yang koeksisten, dengan hal yang paling umum

    adalah kualitas tidur yang tidak adekuat (15%) dan gangguan gerakan ekstremitas yang

    periodik (8%).

    Insomnia di definisikan sebagai kesulitan dengan inisiasi tidur, pemeliharaan,

    konsolidasi, atau kualitas; dimana hal-hal tersebut terjadi berulang-ulang dan

    menyebabkan disfungsi pada siang hari meskipun memiliki kesempatan yang adekuat

    untuk tidur.

    Gangguan irama tidur sirkadian terjadi ketika pola bangun-tidur seseorang berubah

    menjadi tidak sesuai dengan waktu setempat, yang kemudian menetap dan terjadi

    berulang kali, yang menyebabkan rasa kantuk berlebihan di siang hari atau insomnia dan

    mengakibatkan gangguan fungsi.

    Parasomnia adalah gerakan yang tidak diinginkan atau fenomena subjektif yang terjadi,

    baik di saat mau tertidur, selama tertidur, ataupun di saat bangun.

    Selama beberapa dekade terakhir, minat penelitian dalam bidang tidur dan gangguan tidur telah

    meningkat secara substansial. Mayoritas dari minat baru dalam komunitas THT ini telah

    difokuskan pada tidur yang berhubungan dengan gangguan pernapasan OSA. Sebagaimana

    ukuran lingkar pinggang dari rata-rata penduduk Amerika telah meningkat, demikian juga

    dengan insidens OSA. Suatu studi yang berdasarkan populasi menunjukkan bahwa 2% wanita

    dan 4% pria yang berusia lebih dari 50 tahun memiliki gejala OSA. 1 Kemajuan juga telah dibuat

    dalam memahami patofisiologi OSA, metode diagnostic, dan pengobatan medis dan bedah.Pemahaman bahwa gangguan tidur memerlukan pendekatan multidisiplin telah mengarahkan ke

    penciptaan disiplin ilmu kedokteran yang baru yakni---ilmu kedokteran di bidang tidur---dengan

    tim terdiri dari dokter penyakit dalam, dokter penyakit paru, dokter penyakit THT, dokter

    penyakit saraf, dokter penyakit anak, psikiater, dokter bedah mulut /maksilofasial, dokter gigi,

    psikolog perilaku, dan dokter ahli gizi yang bekerja sama untuk merawat pasien dengan

  • 7/28/2019 Chapter 18 Sleep Apnea and Sleep Disorders

    5/33

    gangguan tidur. Kemajuan besar telah dibuat dalam diagnosis dan penanganan gangguan tidur,

    dan dokter ahli THT berada di lini depan dari bidang baru ini, memberikan kontribusi berupa

    teknik operasi tradisional dan baru untuk memfasilitasi pengobatan.

    Perspektif Sejarah

    Gagasan bahwa obesitas berkaitan erat dengan keadaan mengantuk di siang hari tampaknya telah

    di tulis pertama kali oleh Charles Dickens dalam makalahnya yang berjudul Posthumous of the

    Pickwick Club, yang awalnya diterbitkan pada tahun 1837. Dickens memberikan gambaran

    deskriptif tentang Joe, seorang anak laki-laki yang sangat obesitas sehingga kesulitas bernapas,

    dia terdengar seolah-olah mendengkur bahkan di saat tidak tidur, dan sering tertidur tertidur

    sambil berdiri. Selain itu, ada bukti yang menunjukkan bahwa beberapa dari pemimpin dan

    diktator terkenal menderita masalah ini. Presiden Amerika Serikat ke-20, William Howard Taft,

    memiliki indeks massa tubuh 42 kg/ m2 dan dilaporkan mendengkur saat di kantor, sering tertidur

    di siang hari,dan menderita hipertensi. 2 Chouard dkk menjelaskan beberapa alasan untuk

    mencurigai bahwa Napoleon I (1769-1821) menderita OSA dalam dekade terakhir

    kehidupannya: dia gemuk dan retrognatik, lehernya pendek dan tebal, hidungnya tersumbat, dia

    sering tertidur siang hari, dia mengeluh mengalami penurunan stamina dan kecerdasan, dan dia

    terlihat agak lelah dan kusut. 3 Pada tahun 1956, Drs. A. G. Bicklemann, C. S. Burwell, dkk

    mengambil deskripsi Dickens dalam laporan kasus mereka yang berjudul Obesitas Ekstrim

    Terkait dengan Hipoventilasi Alveolar: Sindrom Pickwickian. Makalah yang sering dikutip ini

    dijadikan sebagai deskripsi awal dari sindrom Pickwickian dalam jurnal akademik. 4 Apneu di

    saat tidur pertama kali dijelaskan sebagai entitas klinis pada tahun 1965, tapi tidak sampai tahun

    1970-an bahwa kelompok Elio Lugaresi yang memberikan deskripsi lengkap dari sindrom OSA

    dengan potensi efek samping kardiovaskular.

    Diagnosis baru di masa anak-anak, pilihan pengobatan terbatas pada trakeostomi atau penurunan

    berat badan. Hal ini berubah pada awal tahun 1980-an dengan adanya pengenalan teknik

    uvulopalatoplasti (UPPP) sebagaimana dijelaskan oleh Fujita dkk 5 dan Simmons dkk. 6 Tidak

    lama setelah pengenalan UPPP , meskipun intervensi bedah baru ini membantu pada banyak

    kasus, teknik ini meninggalkan setengah dari pasien dengan apneu di saat tidur dan bisa menjadi

    prosedur yang menyakitkan. Masih di periode waktu yang sama Colin Sullivan, seorang peneliti

  • 7/28/2019 Chapter 18 Sleep Apnea and Sleep Disorders

    6/33

    medis muda Australia, mengembangkan teknik tekanan positif jalan napas secara terus menerus

    (CPAP), dimana saat ini tetap menjadi lini pertama terapi OSA dewasa.

    Sebagaimana terapi OSA telah berkembang, demikian juga dengan terapi yang bertujuan untuk

    mengobati dengkuran. Pengembangan dari terapi bedah berbasis kantor, dan intervensi

    farmakologis telah meningkat dalam beberapa tahun terakhir.

    Klasifikasi dari Obstruksi di saat Tidur yang Berhubungan dengan Gangguan Pernapasan

    Gangguan pernapasan terkait tidur berkisar dari kolapsnya sebagian jalan napas dan peningkatan

    resistensi saluran napas atas sampai ke episode hipopneu atau kolapsnya jalan napas lengkap

    dengan apneu di saat tidur (Kotak 18-1). Selain itu, sejumlah indeks telah digunakan untuk

    menggambarkan gangguan pernapasan di saat tidur (Kotak 18-2)

    Kotak 18-1

    Definisi dan Tipe Gejala Pernapasan

    Gejala Pernapasan Definisi

    Apneu Penghentian aliran udara setidaknya 10 detik

    Hipopneu Penurunan aliran udara (30%) setidaknya 10

    detik dengan desaturasi oxyhemoglobin 4%

    ATAU penurunan aliran udara (50%)

    setidaknya 10 detik dengan desaturasi

    oxyhemoglobin 3% atau arousal

    elektroensefalogram (EEG)

    RERA Sekuensi pernapasan setidaknya 10 detik

    dengan peningkatan upaya pernapasan atau

    pendataran dari gelombang tekanan yang

    menyebabkan arousal dari tidur ketika sekuensi

    pernapasan tidak memenuhi kriteria untuk

    apneu atau hipopneu

    Obstruksi Upaya pernapasan thorako-abdominal lanjutan

    sebagai kompensasi adanya penghentian aliran

    udara sebagian atau lengkap

    Sentral Kurangnya upaya pernapasan thorako-

  • 7/28/2019 Chapter 18 Sleep Apnea and Sleep Disorders

    7/33

    abdominal sebagai kompensasi adanya

    penghentian aliran udara sebagian atau lengkap

    Campuran Gejala pernapasan dengan gejala obstruksi dan

    gejala sentral. Gejala campuran umumnya

    dimulai dengan gejala sentral dan diakhiri

    dengan upaya pernapasan thorako-abdominal

    tanpa aliran udara.

    Kotak 18-2

    Indeks dari Gangguan Pernapasan di saat Tidur

    Indeks Definisi

    Indeks Apneu Jumlah apneu per jam dari total waktu tidur

    Indeks Hipopneu Jumlah hipopneu per jam dari total waktu tidur Indeks Apneu-Hipopneu Jumlah apneu dan hipopneu per jam dari total

    waktu tidur

    Indeks RERAs Jumlah RERAs per jam dari total waktu tidur

    Indeks Gangguan Pernapasan Jumlah apneu, hipopneu, dan RERAs per jam

    dari total waktu tidur

    Indeks Apneu Sentral Jumlah apneu sentral per jam dari total waktu

    tidur

    Indeks Apneu Campuran Jumlah apneu campuran per jam dari total

    waktu tidur

    Dengkuran

    Dengkuran adalah suara yang dihasilkan oleh getaran jaringan lunak faring. Hal ini sering lebih

    keras saat inspirasi daripada ekspirasi. Ini mempengaruhi setidaknya 40% pria dan 20% wanita

    dan sering menyertai gangguan pernapasan di saat tidur (SDB). 7Namun, ini dapat terjadi dalam

    isolasi dan menurut definisi tidak terkait dengan gejala mengantuk berlebihan di siang hari atau

    insomnia. Dengkuran, dengan tidak adanya OSA, didokumentasikan ketika kebiasaan dengkuran

    yang terdengar terjadi dengan indeks indeks hipopneu apneu (AHI) kurang dari 5 kejadian per

    jam tanpa gejala di siang hari. Polisomnografi (PSG) tidak diperlukan untuk diagnosis, tetapi

    ketika dilakukan dapat mengungkapkan sinyal mikrofon yang terdengar dengan desaturasi,

    keterbatasan aliran udara, atau aritmia. 8

  • 7/28/2019 Chapter 18 Sleep Apnea and Sleep Disorders

    8/33

    Sindrom Resistensi Jalan Napas Atas

    Istilah sindrom resistensi jalan napas atas (UARS) pertama kali digunakan untuk

    menggambarkan pasien yang tidak memenuhi kriteria untuk sindrom OSA tetapi kepada yang

    merasa mengantuk berlebihan di siang hari dan keluhan kelemahan somatik lainnya. 9 UARS

    ditandai dengan upaya pernapasan yang berlebihan (RERAs). RERAs didefinisikan sebagai

    sekuensi pernapasan selama setidaknya 10 detik yang berakhir dengan upaya peningkatan

    pernapasan tambahan. 10 RERAs terdeteksi dengan menggunakan tekanan manometer esophagus,

    yang mengungkapkan pola peningkatan progresif tekanan negatif esophagus yang diikuti dengan

    kelelahan. 10,11 PSG mengungkapkan bahwa seringnya terjadi upaya pernapasan tambahan terkait

    dengan mendengkur, tekanan negatif intratorakal yang abnormal, atau peningkatan aktivitas

    elektromiogram diafragma. 9 Klasifikasi Internasional dari Gangguan Tidur saat ini tidak

    mempertimbangkan UARS menjadi gangguan tidur terpisah, tetapi merekomendasikan bahwa itu

    tercakup di bawah definisi dari OSA karena patofisiologinya yang sama.

    Kotak 18-3

    Gejala dari Gangguan Pernapasan di saat Tidur

    Gelisah saat tidur

    Mendengkur keras

    Apneu terobservasi, tersedak, atau episode terengah-engah

    Rasa menganruk di siang hari yang berlebihan (EDS)Kelelahan di pagi hari dan iritabilitas

    Kehilangan ingatan

    Penurunan fungsi kognitif

    Depresi

    Perubahan kepribadian dan mood

    Penurunan libido dan impotensi

    Nyeri kepala pada pagi dan malam hari

    Berkeringat di malam hari

    Enuresis di malam hari

    Sindrom Apneu di saat tidur yang Obstruktif

    OSA didefinisikan dengan lima atau lebih gejala pernapasan (apneu, hipopneu, atau RERAs)

    dalam hubungan dengan rasa mengantuk berlebihan di siang hari, bangun dengan terengah-

    engah, tersedak, atau menahan napas, atau dengan adanya keluhan apneu, mendengkur keras,

    atau keduanya. Setiap episode dari apneu atau hipopneu harus bertahan minimal 10 detik,

  • 7/28/2019 Chapter 18 Sleep Apnea and Sleep Disorders

    9/33

    biasanya disertai dengan penurunan saturasi oksigen darah minimal 3% sampai 4%, dan biasanya

    diakhiri dengan singkat, oleh upaya pernapasan tambahan di saat tidur. Dengkuran di antara

    apneu adalah keluhan yang sering dari teman tidur seseorang dan sering merupakan gejala yang

    mendorong pasien untuk mencari bantuan medis; meskipun, rasa mengantuk di siang hari

    merupakan keluhan umum. Kecelakaan mobil dan peningkatan morbiditas dan mortalitas

    penyakit kardiovaskuler merupakan komplikasi tersering jika OSA tidak diobati. Banyak

    penderita OSA mengeluh terbangun dari tidur dengan rasa sakit kepala, sakit tenggorokan, dan

    kelelahan atau perasaan tidak segar terlepas dari lamanya tidur (Kotak 18-3). OSA diperburuk

    oleh konsumsi alkohol, obat penenang, dan peningkatan berat badan.

    Patofisiologi

    Obstruksi yang terjadi pada OSA merupakan hasil dari kolapsnya saluran napas faring selama

    tidur. Etiologi dan mekanisme kolapsnya terjadi oleh kaerna banyak faktor tetapi sebagian besar

    disebabkan oleh interaksi dari saluran napas bagian atas yang mudah kolaps dengan relaksasi

    dari otot dilator faring, yang terjadi di saat tidur. Obesitas, hipertrofi jaringan lunak, dan

    karakteristik kraniofasial seperti retrognatia menambah kecenderungan kolapsnya dengan

    meningkatkan tekanan jaringan ekstraluminal di sekitar saluran napas bagian atas. Namun,

    kelemahan struktural saluran napas saja tidak cukup untuk menyebabkan OSA. Khususnya,

    pasien tanpa kelainan anatomis mungkin juga menderita OSA. Hal ini dapat terjadi karena jalur

    refleks yang kompleks dari sistem saraf pusat ke faring, yang mengendalikan bagian motorik otot

    dilator faring, mungkin gagal untuk memepertahankan patensi faring. Tiga daerah utama yang

    mengalami obstruksi adalah hidung, langit-langit, dan hipofaring, meskipun apneu di saat tidur

    yang obstruktif berhubungan dengan obstruksi laring dari paralisis laring bilateral,

    laringomalasia, dan lesi obstruksi laring juga telah dilaporkan.

    Fujita mengklasifikasikan pola obstruksi berdasarkan lokasi anatomi dengan cara sebagai

    berikut: tipe I, kolaps hanya terjadi di wilayah retropalatum saja; tipe II, kolaps terjadi baik di

    daerah retropalatum dan retrolingual; tipe III, kolaps terjadi di wilayah retrolingual saja. 12

    Penelitian selanjutnya telah mengevaluasi prevalensi dari obstruksi retropalatum dibandingkan

    retrolingual pada pasien dengan OSA dan mendengkur dan menemukan bahwa kedua obstruksi

    retrolingual (77% dan 40%) dan retropalatum (100% dan 70%) menunjukkan peningkatan pada

  • 7/28/2019 Chapter 18 Sleep Apnea and Sleep Disorders

    10/33

    pasien OSA, yang di konfirmasi dengan pemeriksaan PSG, dibandingkan dengan pasien yang

    mendengkur. 13

    Obstruksi hidung berkontribusi terhadap peningkatan resistensi saluran napas dan dapat

    memperburuk OSA, tetapi jarang menjadi satu-satunya penyebab. Obstruksi hidung mungkin

    berkontribusi terhadap pernapasan melalui mulut sewaktu tidur, yang meningkatkan

    kolapsibilitas saluran napas bagian atas dan dapat menurunkan efikasi dari otot dilator. 14

    Mendengkur sering merupakan gejala OSA dan dapat disebabkan oleh obstruksi hidung.

    Prosedur bedah bertujuan untuk meningkatkan pernapasan lewat hidung telah menunjukkan

    perbaikan secara subjektif dalam mendengkur setelah koreksi obstruksi hidung. 15 Meskipun

    terapi isolasi dari saluran napas hidung jarang untuk menyembuhkan OSA, terapi tersebut

    memungkinkan untuk tingkat CPAP yang akan digunakan untuk terapi selanjutnya. 16 Obstruksi

    hidung dapat disebabkan oleh deformitas tulang dan tulang rawan atau dari perubahan jaringan

    lunak. Karena banyaknya penyebab obstruksi hidung, maka semuanya harus diperiksa ketika

    mengevaluasi seorang pasien dengan OSA.

    Obesitas merupakan faktor risiko utama untuk OSA. Peningkatan penumpukan lemak di sekitar

    leher dan rongga parafaring ini menekan dan mempersempit saluran napas bagian atas dan dapat

    mengimbangi efek otot dilator yang menjaga patensi jalan napas. 17 Obesitas juga diduga

    berkontribusi terhadap terjadinya OSA melalui efek mengganggu terhadap metabolisme,

    ventilasi, dan volume paru-paru, sehingga ketidaksesuaian antara ventilasi alveolar (V) dan

    perfusi pulmonal (Q). Obesitas dapat secara signifikan mengurangi volume paru-paru, yang

    menghasilkan penurunan fungsi kapasitas residual. Telah diamati bahwa perubahan dari volume

    paru-paru secara signifikan mengurangi ukuran saluran napas bagian atas faring melalui efek

    mekanik trakea dan traksi torakal, yang disebut sebagai tarikan trakea, meeningkatkan risiko

    kolapsnya saluran napas. 18

    Hipertrofi adenotonsiler adalah penyebab utama dari apneu di saat tidur yang obstruktif pada

    anak-anak. Pada orang dewasa ada beberapa karakteristik struktural yang terkait dengan OSA.

    Variasi kraniofasial yang telah dikaitkan dengan OSA meliputi peningkatan jarak tulang hyoid

    dari mandibula, penurunan mandibula dan proyeksi maksila, rotasi posterior dan kaudal dari

  • 7/28/2019 Chapter 18 Sleep Apnea and Sleep Disorders

    11/33

    mandibula dan pertumbuhan maksila, peningkatan vertical panjang wajah, peningkatan panjang

    vertikal dari saluran napas posterior, dan peningkatan angulasi servikal. 19

    Kontraksi neuromuskuler berperan terhadap patensi dari saluran napas bagian atas. Selama tidur,

    kontraksi ini mengalami penurunan dan saluran napas cenderung kolaps. Otot genioglosus

    dianggap menjadi otot yang paling penting dalam mempertahankan patensi saluran napas pada

    OSA. Peningkatan aktivitas dari otot genioglosus dan otot tensor palatini telah diamati pada

    pasien OSA yang terjaga dibandingkan dengan subjek normal yang terjaga yang memiliki

    aktivitas dengan tingkatan lebih rendah. Hal ini menunjukkan bahwa saat pasien sedang terjaga ,

    aktivitas otot dilator saluran napas mengkompensasi kelemahan anatomis pada pasien OSA. 17

    Penelitian sedang berlanjut untuk menentukan luas dan pentingnya kontraksi neuromuskuler

    dalam menjaga patensi saluran napas selama tidur.

    Konsekuensi dari Apneu Obstruktif di saat tidur yang tidak diobati

    Sejumlah efek negatif kesehatan telah dikaitkan dengan OSA yang tidak diobati termasuk

    peningkatan mortalitas, peningkatan penyakit kardiovaskuler, dan kelemahan neurokognitif.

    Dalam sebuah studi retrospektif, He dkk menemukan bahwa pasien OSA yang tidak diobati

    dengan indeks apneu (AI) lebih dari 20 memiliki peningkatan signifikan dalam mortalitas

    dibandingkan dengan pasien yang memiliki indeks apneu kurang dari 20. 20 Dia juga menemukan

    bahwa pasien yang tidak diobati dengan AI lebih dari 20 memiliki kemungkinan sebesar 63%

    untuk tetap hidup dalam waktu 8 tahun dibandingkan dengan 96% yang memiliki AI kurang dari

    20. 20 Selain itu, pasien OSA yang tidak diobati dilaporkan memiliki risiko 2.5 lebih besar dalam

    kecelakaan kendaraan bermotor. 21 Proporsi signifikan dari morbiditas dan mortalitas terkait

    dengan OSA terjadi melalui efeknya pada system kardiovaskuler, termasuk hipertensi, penyakit

    arteri koroner, gagal jantung kongestif, aritmia, kematian mendadak, hipertensi pulmonal, dan

    stroke. OSA sedang dan berat yang tidak diobati telah dilaporkan untuk menghasilkan

    peningkatan risiko tiga kali lebih besar pada terjadinya penyakit kardiovaskuler, bila

    dibandingkan dengan kedua pria sehat tanpa OSA dan pria dengan OSA yang di terapi dengan

    CPAP. 22 Terapi OSA dengan CPAP juga telah dilaporkan dapat menurunkan tekanan darah

    sebesar 10 mm Hg. 23

  • 7/28/2019 Chapter 18 Sleep Apnea and Sleep Disorders

    12/33

    OSA yang tidak diobati telah dibuktikan dapat menjadi faktor risiko independen dari resistensi

    insulin. 24 Baru-baru ini, telah dibuktikan bahwa OSA memiliki peranan terhadap perkembangan

    diabetes dan sindrom metabolik, suatu istilah yang digunakan untuk menggambarkan kondisi

    umum dari obesitas, resistensi insulin, hipertensi, dan dislipidemia. Namun, penelitian lebih

    lanjut diperlukan untuk menentukan apakah ada hubungan independen antara OSA dengan

    kelainan metabolik.

    Prevalensi penyakit refluks gastroesofagus (GERD) pada pasien OSA secara signifikan lebih

    tinggi dari populasi umum. 25-27 Bahkan meskipun gangguan ini sering terjadi bersama-sama,

    tidak secara temporal ataupun hubungan sebab-akibat pernah ditunjukkan di antara keduanya.

    Hal ini mungkin mencerminkan fakta bahwa mereka berbagi faktor risiko yang sama. Terapi

    OSA dengan CPAP telah ditunjukkan dapat mengurangi terjadinya GERD. 28

    Selain dari efek fisik yang jelas dari OSA, seperti rasa mengantuk yang berlebihan di siang hari

    dan gangguan mood, defisit neurokognitif juga memiliki hubungan dengan OSA. OSA yang

    tidak diobati telah didokumentasikan dapat menyebabkan masalah dengan perhatian, memori

    kerja, dan fungsi eksekutif, yang semuanya ditingkatkan dengan terapi CPAP. 29 Ketidakpuasan

    mitra tidur juga merupakan keluhan umum di antara pasien OSA dan terapi telah terbukti dapat

    meningkatkan kualitas hidup kedua individu termasuk dengan mitra tidurnya. 30 Demikian

    manfaatnya dari pengobatan OSA adalah substansial dan telah didokumentasikan dengan baik.

    Contoh 18-1 Skala Kantuk Epworth

    Skala Kantuk Epworth

    Jawablah pertanyaan berikut ini berdasarkan skala ini:

    0 Tidak akan pernah tertidur

    1 Kemungkinan kecil untuk tertidur

    2 Kemungkinan sedang untuk tertidur

    3 Kemungkinan besar untuk tertidur

    Situasi Kesempatan Tertidur

  • 7/28/2019 Chapter 18 Sleep Apnea and Sleep Disorders

    13/33

    Membaca

    Menonton TV

    Duduk di tempat umum (misalnya teater dan ruang rapat)

    Mengendarai motor, berhenti di lampu lalu-lintas

    Sebagai penumpang dalam sebuah mobil selama satu jam tanpa istirahat

    Selama waktu luang setelah makan siang tanpa mengkonsumsi alcohol

    Berbaring untuk beristirahat apabila keadaan memungkinkan

    Jumlah Skor

    Skor Epworth < 10 = Normal

    Kotak 18-4

    Kondisi Medis yang Membuat Lelah

    Anemia berat

    Disfungsi endokrin, termasuk hipotiroid dan penyakit Addison

    Sindrom kelelahan kronik

    Penyakit paru-paru, termasuk asma, emfisema, dan sindrom Pickwickian

    Penyakit kardiovaskuler, termasuk gagal jantung kongestif dan gagal jantung kiri

    Neoplasma, termasuk lesi system saraf pusat dan diseminata

    Kemoterapi antikanker

    Penyakit vaskuler kolagen

    Infeksi kronik, termasuk mononucleosis, hepatitis, dan influenza

    Depresi dan gangguan psikiatri lainMalnutrisi

    Gangguan neurologi, termasuk penyakit Parkinson dan sklerosis multipel

    Efek samping medikasi

    Diagnosis

    Gejala yang paling umum dari OSA adalah mendengkur keras, gelisah saat tidur, dan rasa

    mengantuk yang berlebihan pada siang hari. Namun, berbagai tanda dan gejala telah dilaporkan

    terjadi pada OSA (lihat Kotak 18-3). Obesitas merupakan temuan umum pada pasien OSA

    dengan data bahwa 70% dari pasien OSA dewasa mengalami obesitas. 31 Skrining, termasuk

    riwayat tidur rinci dan pemeriksaan fisik, direkomendasikan untuk semua pasien obesitas. Skala

    Kantuk Epworth (ESS) telah banyak digunakan sebagai alat untuk menilai rasa mengantuk di

    siang hari. (Gambar. 18-1). OSA dapat dicurigai pada pasien dengan ESS lebih besar dari 10. 32

    Kelelahan dan rasa mengantuk mungkin juga dapat dipicu oleh sejumlah kondisi medis lainnya

  • 7/28/2019 Chapter 18 Sleep Apnea and Sleep Disorders

    14/33

    yang seharusnya dipertimbangkan ketika mengevaluasi pasien yang kemungkinan menderita

    OSA (Kotak 18-4). Selain itu, adanya gangguan tidur tambahan harus dipertimbangkan.

    Sehubungan dengan peningkatan prevalensi OSA pada pasien dengan hipertensi, penyakit arteri

    koroner, gagal jantung kongestif, trauma serebrovaskuler, dan diabetes mellitus, populasi ini

    harus lebih waspada terhadap tanda dan gejala OSA. 33 Hal ini juga baru disadari bahwa OSA

    mungkin sulit terdeteksi pada wanita karena kecurigaan yang rendah di antara para dokter atau

    tidak dilaporkannya gejala klasik OSA pada pasien wanita. Wanita dengan OSA biasanya

    mengeluhkan gejala insomnia, palpitasi, dan edema pergelangan kaki. 34

    Meskipun adanya gejala rasa mengantuk di siang hari dan mendengkur keras sering merupakan

    tanda-tanda yang membuat penderita OSA untuk segera mencari bantuan medis, temuan dari

    pemeriksaan fisiklah yang memperkuat kemungkinan diagnosis. Perhitungan indeks massa

    tubuh, tekanan darah, dan lingkar leher merupakan parameter penilaian umum yang penting.

    Selain itu, habitus tubuh, ukuran dan posisi mandibula dan maksila, dan karakteristik wajah

    harus diperhatikan. Penaksiran hidung harus mencakup evaluasi dari setiap deformitas eksternal,

    adekuatnya valvula hidung, posisi septum, ukuran konka, mukosa hidung, dan ada tidaknya

    polip, nanah, dan rhinore. Pada rongga mulut, penilaian dari ukuran dan posisi lidah,

    pemanjangan palatum dan uvula, ukuran tonsil, skor Mallampati yang dimodifikasi, gigi, dan

    orofaring. Pada leher, ukuran leher, posisi hyoid, dan posisi rahang, termasuk retrognatia, harus

    dievaluasi (Kotak 18-5).

    Nasofaringoskopi fiberoptik adalah teknik penting untuk evaluasi saluran napas. Pemeriksaan

    ini dapat dilakukan dalam beberapa posisi pada keadaan bangun maupun tidur dan merupakan

    alat penting untuk mengidentifikasi tingkatan obstruksi: hidung, retropalatum, atau retolingual

    (Gambar 18-2 dan 18-3). Sejumlah penelitian telah menggambarkan manfaat dan keterbatasan

    dari penambahan manuver Muller untuk pemeriksaan ini untuk prediksi preoperatif efektivitas

    intervensi bedah. 35,36 Manuver Muller dilakukan pada pasien sadar yang menghasilkan tekanan

    negatif dengan cara menghirup udara dengan hidung dan mulut tertutup di saat glotis tertutup,

    yang memicu kolapsnya saluran napas (Gambar 18-4 dan 18-5). Sher dkk melakukan

    pemeriksaan baik dalam posisi duduk maupun terlentang dengan menggunakan manuver Muller

  • 7/28/2019 Chapter 18 Sleep Apnea and Sleep Disorders

    15/33

    pada pasien OSA, memilih pasien dengan kolaps palatum, dan menemukan bahwa 73% dari

    pasien memiliki penurunan sebesar 50% pada indeks gangguan pernapasan (RDI) setelah UPPP.

    36 Aboussouan menemukan bahwa menggunakan manuver Muller untuk memandu keputusan

    UPPP mengakibatkan pengurangan AHI sebesar 50% pada 78% pasien yang telah mengalami

    kolaps velopalatal, dibandingkan dengan 36% untuk obstruksi bertingkat. 35 Jadi, meskipun

    manuver Muller dapat membantu keputusan bedah ketika daerah yang kolaps adalah murni

    retropalatal, tampaknya menjadi kurang bermanfaat pada pasien dengan obstruksi bertingkat.

    Untuk lebih mengidentifikasi daerah obstruksi pada pasien dengan OSA, efek obat tidur

    vidoendoskopi telah digunakan untuk membantu efektivitas intervensi bedah. Tidur yang di

    induksi melalui farmakologis dan nasofaringoskopi fiberoptik dilakukan untuk mengevaluasi

    lokasi kolapsnya saluran napas. Endoskopi dengan posisi tidur dapat membantu identifikasi area

    obstruksi dan mencerminkan apa yang terjadi didalam jalan nafas selama tidur, dan mungkin

    berguna mengarahkan intervensi bedah. Sejumlah teknik radiologi telah digunakan untuk

    membantu identifikasi lokasi dan keparahan obstruksi jalan nafas atau OSA. Karena sebagian

    besar teknik radiologi untuk evaluasi OSA dilakukan saat pasien terjaga, maka teknik ini

    memiliki keterbatasan untuk mengevaluasi obstruksi saat tidur. Modalitas pencitraan yang paling

    sering digunakan adalah cefalometri radiografi. Cefalometri merepresentasikan dua dimensi dari

    saluran nafas, dan merupakan sistem evaluasi standar dan memiliki biaya yang murah dan

    terjangkau. Hasil film cefalometri dapat menunjukkan kerangka tulang beserta jaringan

    lunaknya. Beberapa studi yang menggunakan cefalometri pada pasien OSA menunjukkan adanya

    pergeseran hyoid, daerah ruang nafas posterior yang lebih sempit daripada psien non OSA.

    Meskipun demikian perbedaan antara pasien OSA dan non OSA yang tergambar dalam hasil

    cefalometri bulum cukup signifikan, dan dianjurkan untuk menggunakan cefalogram lateralis

    sebagai alat untuk membedakannya. Diagnosis menggunakan CT scan dapat menunjukkan detail

    anatomi dan jaringan lunak. Seperti cefalogram, penggunaan metode ini juga masih memiliki

    kekurangan dalam hal sensitifitas untuk mendiagnosis OSA, namun beberapa studi telahmenyebutkan bahwa CT scan merupakan modalitas yang lebih baik untuk menggambarkan

    perubahan anatomi pasca operasi yang berkorelasi dengan peningkatan parameter PSG. MRI

    dapat menunjukkan gambaran jaringan lunak dengan sangat baik dan tidak menggunakan

    paparan radiasi. Namun pemeriksaan ini sulit ditoleransi oleh pasien karena biaya yang mahal,

    kurang terjangkau dan bersifat berisik, yang mungkin akan mempengaruhi evaluasi dalam

  • 7/28/2019 Chapter 18 Sleep Apnea and Sleep Disorders

    16/33

    keadaan tidur. Sama seperti CT scan dan cefalometri, MRI juga belum cukup berguna untuk

    membedakan pasien OSA dan non-OSA. Fluoroskopi telah digunakan sebagai pemeriksaan

    saluran pernafasn dinamis untuk langsung mengevaluasi situs obstruksi. Somnofluoroskopi

    dilakukan pada saat pasien dalam keadaan tertidur, dan telah terbukti meningkatkan keberhasilan

    tindakan uvulopalatofaringoplasti ketika daerah obstruksi dapat diidentifikasi. (67% dan 42%) ,

    namun studi ini mengekspos pasien dengan paparan radiasi yang membatasi utilitas mereka.

    PSG nokturnal merupakan standar baku diagnosis OSA. Pemeriksaan yang dilakukan pada

    malam hari merupakan instrumen yang diaggap paling akurat untuk mengukur keberadaan dan

    tingkat keparahan OSA. Parameter yang dipantau selama pemeriksaan PSG ini adalah termasuk

    EEG, elektro-okulogram, elektromiogram submental, EKG, aliran udara, pernafasan

    torakoabdominal dan juga oksimetri. Data yang diperoleh dari semua pemeriksaan ini dianalisis

    oleh ahli polisomnogram yang terlatih dan ditafsirkan oleh dokter. Klasifikasi gangguan

    pernafasan yang direkam selama pemeriksaan PSG telah dibakukan untuk pedoman praktek

    (Gambar 18-8)

    Pengobatan

    Untuk memberikan pengobatan yang efektif pada pasien OSA, dokter harus mempertimbangkan

    secara seksama, ketersediaan terapi medis dan bedah, serta resiko dan komplikasi dari intervensi

    bedah pada pasien. Efek buruk dari OSA yang tidak diobati antara lain efek pada kardiovaskular

    dan kesehatan neurokognitif, namun dalam mengobati pasien dokter harus memiliki pengetahuan

    tentang semua intervensi medis yang tersedia, tingkat keberhasilan, resiko komplikasi dan

    perlunya untuk tindakan operasi lebih lanjut, saat menguraikan rencana pengobatan pada pasien.

    Pengobatan

    Pendekatan pengobatan umumnya dimulai secara bertahap dan dimulai dengan tindakan medis

    konservatif. Penurunan berat badan harus diedukasikan pada pasien OSA dengan kelebihan beratbadan. Namung terkadang penurunan berat badan akan sulit dilakukan dan pasien seringkali

    kembali menjadi gemuk. Oleh karena itu intervensi lain juga sering dianjurkan. Konsultasi

    dengan dokter bedah bariatrik dapat dipertimbangkan ketika merawat pasien yang gemuk tidak

    sehat. Bukti terbaru menunjukkan pembedahan untuk penurunan berat badan secara signifikan

    meningkatkan parameter kualitas tidur pasien OSA terkait dengan obesitas, dan perbaikan ini

  • 7/28/2019 Chapter 18 Sleep Apnea and Sleep Disorders

    17/33

    dapat terjadi dalam waktu 1 bulan pasca operasi. Continous Positive Airway Preasure(CPAP)

    telah dianggap merupakan standar baku untuk pengobatan OSA dari sedang hingga berat. Studi

    menunjukkan efektifitas CPAP dalam mengurangi indeks apnea-hypoapnea serta gejala subjektif

    dan meningkatkan kualitas tidur, namun, kepatuhan pasien dalam metode pengobatan ini

    masihkurang. CPAP mencegah penyempitan saluran nafas bagian atas dengan menimbulkan

    tekanan intraluminal positif selama proses inspirasi dan ekspirasi. Banyak efek dari pengobatan

    CPAP telah dijelaskan, efek pada kepala, diantaranya adalah terjadinya pengurangan AHI,

    penurunan gejala objektif dan subjektif kantuk, peningkatan kualitas hidup secara keseluruhan,

    penurunan resiko terjadinya penyakit kardiovaskular dan juga berdampak pada pengurangan

    pada resiko kecelakaan kendaraan. Penelitian terbaru menunjukkan efek menguntungkan dari

    CPAP untuk kesehatan jantung akibat penurunan kadar penanda inflamasi protein C-reaktif dan

    interleukin-6, meningkatkan fungsi endotel, dan mengurangi aktivitas aliran nafas positif

    simpatik. Pengobatan menggunakan Tekanan bilevel (BiPAP) dan autoadjusting positif airway

    preasure (APAP) telah dikembangkan untuk meningkatkan tekanan titrasi dan mengobati pasien

    dengan gangguan neuromuskuler dan penyakit ventilasi. BiPAP diberikan secara terpisah

    disesuaikan dengan tekanan positif aliran udara ekspirasi yang lebih rendah dan tekanan positif

    aliran udara inspirasi. Pengobatan BiPAP menunjukkan adanya kepatuhan yang lebih tinggi pada

    populasi pasien, hal ini mungkin dikarenakan metode pembuatan tekanan aliran udara positif

    pada pengobatan ini. Respon perubahan tekanan bervariasi tegantung pada besarnya aliran udara,

    aliran udara yang terbatas, mendengkur atau kesulitan dalam benafas. Peralatan oral telah

    digunakan dengan sukses pada pasien OSA ringan, moderat dan beberapa kasus berat, serta

    meningkatkan aliran nafas orofaringeal posterior. Ferguson dan rekan melakukan studi

    membandingkan terapi alat oral dan terapi CPAP hidung dan menyimpulkan bahwa peralatan

    oral efektif pada beberapa pasien dengan OSA ringan sampai sedang dan memiliki tingkat

    keberhasilan yang lebih besar dari CPAP. Tingkat kepatuhan terapi alat oral telah dilaporkan

    sebesar 77%. Komplikasi yang paling sering dilaporkan pada terapi alat oral adalah nyeri gigi

    dan otot rahang, kesulitan menguyah dipagi hari, dan produksi air liur yang berlebihan.

    Meskipun terapi alat oral memiliki biaya yang lebih efektif dan memiliki tingkat kepatuhan

    pasien yang lebih tinggi, CPAP telah terbukti lebih efektif dalam mengurangi AHI. Oleh karena

    itu intervensi ini harus direkomendasikan secara berhati-hati karena pengobatan ini merupakan

    lini pertama terapi OSA mederat, tetapi dapat berfungsi sebagai pengobatan yang efektif untuk

  • 7/28/2019 Chapter 18 Sleep Apnea and Sleep Disorders

    18/33

    pasien OSA dengan gejala ringan. Terapi farmakologis telah diusulkan sebagai pengobatan

    alternatif pada pasien yang tidak toleran pada CPAP, namun belum ada bukti yang cukup untuk

    merekomendasikan penggunaan terapi obat sebagai terapi primer untuk pengobatan OSA.

    Banyak mekanisme obat yang telah dijelaskan dalam mengurangi keparahan OSA termasuk

    meningkatkan dilatasi otot saluran pernafasan bagian atas, peningkatan ventilasi, dan

    meningkatkan tonus kolinergik saat tidur dibandingkan mengurangi proporsi REM saat tidur,

    mengurangi resistensi saluran nafas, dan mengurangi tegangan permukaan saluran nafas bagian

    atas. Beberapa obat telah diteliti sebagai pengobatan OSA. Flutikason telah menunjukkan

    keberhasilan dalam mengobati pasien OSA dengan rhinitis. Kiely dan rekan melaporkan kejadian

    AHI lebih sedikit pada pasien yang diberi flutikason intranasal dibandingkan dengan mereka

    yang diberikan plasebo. Brouillette dan rekannya memberikan flutikason intranasal selama 6

    minggu pada anak-anak dengan OSA dan hipertrofi adenotonsilar dan didapatkan hasil

    penurunan frekwensi apnea obstruksi dan hipoapnea. Melihat manfaat yang ada dengan

    pengoabatan flutikason intranasal, membutuhkan penelitian lebih lanjut. Antagonis reseptor

    montelukast leukotrien juga bermanfaat dalam mengurangi ukuran adenoid dan gangguan tidur

    pada anak-anak terkait dengan OSA. Belum ada penelitian pada orang dewasa yang telah

    dipublikasikan dan penelitian lebih lanjut diperlukan untuk menguatkan bukti-bukti ini.

    Penggunaan modafinil stimulan sentral postsinaptik alpha1-adrenergik, harus dipertimbangkan

    secara hati-hati. Penelitian terbaru berhasil digunakan untuk mengurangi sisa kantuk pada pasien

    dengan OSA yang mendapatkan pengobatab CPAP tetapi masih mengalami rasa kantuk siang

    hari yang berlebihan. Namun modafinil tidak boleh digunakan tanpa adanya pengobatan yang

    yang mendasari OSA. Penggunaan strip dilator hidung dan dekongestan topical telah dianjurkan

    pada pasien dengan OSA yang disertai sumbatan hidung yang berat. Mclean dan rekan

    menemukan bahwa pengobatan sumbatan hidung dengan 0.4 mL oxymetazoline 0.05% bersama

    dengan strip dilator hidung mengurangi pernafasan mulut pada saat tidur dan mengurangi

    keparahan apnea tidur, tetapi tidak efektif mengurangi apnea obstruktif. Strip silatator hidung

    terbukti secara signifikan mengurangi gejala mendengkur, pernafasan mulut dan kantuk pada

    pasien yang tidak menderita OSA.

    Pengobatan Bedah

  • 7/28/2019 Chapter 18 Sleep Apnea and Sleep Disorders

    19/33

    Faktor penting dalam membuat keputusan untuk mengobati OSA melalui pembedahan termasuk

    adalah keinginan pasien, toleransi terhadap CPAP, keparahan gejala, tingkat keparahan penyakit,

    komorbiditas pasien, lokasi dan keparahan penyumbatan saluran nafas bagian atas. Seperti yang

    disebutkan sebelumnya OSA sering terjadi pada pasien dengan kelebihan berat badan, hipertensi,

    dan memiliki factor resiko jantung. Pasien-pasien ini harus secara hati-hati disaring dengan

    pemeriksaan kesehatan yang komprehensif sebelum mempertimbangkan operasi untuk

    pengobatan OSA. Perencanaan tindakan bedah untuk pasien dengan OSA harus mencakup

    diskusi dengan tim anastesi dan ahli bedah mengenai rencana menejemen saluran pernafasan.

    Sebuah algoritma yang sering digunakan termasuk pernafasan orofaringeal untuk mencegah

    obstruksi jalan nafas oleh lidah, menghindari penggunaan agen yang melumpuhkan otot

    pernafasan sampai ventilasi pernafasan membaik, dan menyiapkan metode ventilasi alternative

    pada kasus intubasi yang tidak berhasil. Para ahli bedah juga harus berdiskusi terbuka dengan

    pasien tentang kemungkinan trakeostomi. Evaluasi sebelum operasi yang dilakukan dokter atau

    tim anastesi sangat penting termasuk didalamnya evaluasi untuk penyakit kardiovaskuler.

    Pasien dengan OSA biasanya dikelola menggunakan protocol bedah yang bertahap. Situs

    obstruksi harus ditentukan pada setiap pasien untuk menentukan jenis dan tingkat intervensi

    bedah. Umumnya pasien dengan obstruksi palatal menjalani operasi palatum, dan pasien yang

    mengalami obstruksi pada dasar lidah dapat menjalani prosedur yang ditujukan untuk mengobati

    daerah ini. Kebanyakan pasien yang bergejala, karena memiliki sumbatan pada palatal dan

    pangkal lidah. Pemeriksaan endoskopi dilakukan untuk menentukan lokasi obstruksi. Sebelum

    terapi dimulai, pasien harus diberikan konseling tentang kemungkinan perlunya beberapa

    prosedur bedah untuk mencapai kesembuhan gejala. Evaluasi endoskopi dalam keadaan tidur

    mungkin menjadi metode yang optimal dalam evaluasi jalan nafas pada kasus ini. Pasien dengan

    ostruksi laring harus diobati dengan tepat untuk mengurangi obstruksi dan dipertimbangkan

    untuk dilakukan trakeostomi jika perbaikan tidak tercapai dengan operasi atau dengan CPAP.

    Merupakan hal yang penting untuk identifikasi situs atau situs dari obstruksi sebelumpengambilan keputusan ini (dalam hal ini trakeostomi). Beberapa penelitian menggunakan

    endoskopi telah menunjukkan prevalensi obstruksi retropalatal dan retroglossal pada pasien

    dengan OSA. Pada tahun 200, Steinhart dan rekannya mengevaluasi 117 pasien OSA dan

    menemukan bahwa 100% pasien mengalami obstruksi retropalatal dan 77% mengalami obstruksi

    retroglossal, sehingga menggambarkan mayoritas pasien mengalami kombinasi dari dua jenis

  • 7/28/2019 Chapter 18 Sleep Apnea and Sleep Disorders

    20/33

    obstruksi ini. Pada tahun 2005, Herder dan rekannya mengevaluasi 127 pasien yang menjalani

    metode evaluasi yang sama dan menemukan bahwa 88% dari pasien mengalami obstruksi

    retropalatal sedangkan 49% lainnya mengalami obstruksi retroglossal. Dalam studi ini, 51%

    pasien hanya mengalami obstruksi palatal sedangkan 12% lainnya mengalami obstruksi pada

    pangkal lidah.

    Bedah Hidung

    Sumbatan pada hidung telah dikaitkan dengan gejala kualitas tidur yang buruk,dan mendengkur

    pada OSA. Septoplasti, pemotongan konka, operasi katup hidung dan operasi sinus merupakan

    prosedur yang telah digunakan untuk mengobati sumbatan hidung yang terkait dengan OSA, dan

    prosedur pemulihan terkait patologi hidung. Meskipun prosedur bedah hidung dapat secara

    signifikan mengobati OSA, namun penggunaan CPAP nasal pada pasien dapat membantu

    memulihkan pernafasan fisiologis. Pertimbangan harus dilakukan dengan mengatasi sumbatan

    hidung sebagai langkah awal manajemen terapi OSA, sehingga nantinya akan memudahkan

    kepatuhan dalam pengobatan CPAP yang lebih baik.

    Bedah Palatum

    Pada tahun 1981, Fujita dan rekannya telah menjelaskan prosedur bedah palatum pertama dalam

    pengobatan OSA. UPPP dengan tonsilektomi dikembangkan untuk menghilangkan obstruksi

    palatum dengan reseksi palatum dan jaringan faring yang berlebihan. Ini merupakan prosedur

    bedah yang paling sering digunakan dalam pengobatan OSA dan sering disalahgunakan sebagai

    terapi bedah lini pertama untuk OSA terlepas dari factor resiko pasien seperti obesitas,

    retrognathia,dan adanya obstruksi pada saluran pernafasan lainnya. Sebagai hasilnya, sering

    terjadi kegagalan dalam terapi OSA. Besarnya penyempitan faring menentukan keberhasilan dari

    prosedur UPPP. Dalam sebuah penelitian metaanalisis, terdapat 37 laporan diterbitkan tentang

    hasil dari UPPP, tingkat keberhasilan yang terbaik 50% dan tergantung pada tingkat keparahan

    OSA. Kberhasilan prosedur dalam hal ini didefinisikan sebagai indeks gangguan pernafasan

    (RDI) yang kurang dari 20 atau nilai AHI kurang atau sama dengan 10, dengan setidaknya

    peningkatan 50% dalam nilai RDI. Friedman dan rekannya menunjukkan prediksi keberhasilan

    UPPP pada pasien OSA berdasarkan posisi palatum, ukuran tonsil dan indeks massa tubuh

    (BMI). Posisi palatum, ukuran tonsil dan BMI digunakan dalam klasifikasi pasien. Pasien

  • 7/28/2019 Chapter 18 Sleep Apnea and Sleep Disorders

    21/33

    Stadium I memiliki tingkat keberhasilan 80%, pasien stadium II memiliki tingkat keberhasilan

    40% dan stadium II hanya memiliki tingkat keberhasilan 8%. Hasil ini menunjukkan bahwa

    stadium klinis jelas meningkatkan tingkat keberhasilan secara keseluruhan dan sangatlah penting

    untuk mengidentifikasi pasien yang mungkin mendapatkan keuntungan dari prosedur UPPP.

    Komplikasi yang terkait dengan UPPP termasuk didalamnya refluks hidung sementara pada 12-

    15% pasien, perdarahan pasca operasi pada 1-5% pasien,dan infeksi pada 2% pasien. Untuk

    memperbaiki prosedur UPPP, teknik lain telah diusulkan untuk mengatasi obstruksi retropalatal.

    Woodson dan rekannya memperkenalkan faringoplasti transpalatal, yang bertujuan untuk

    mengurangi obstruksi retropalatal dengan mengubah tulang palatum serta jaringan lunak pada

    maksila posterior. Pada prosedur ini, 1 cm dari palatum keras dipotong dan palatum lunak

    dimajukan dan dijahit medial dan lateral pada aponeurosis tensor, yang akan memperbesar

    wilayah retropalatal. Woodson dan rekannya telah melaporkan keberhasilan prosedur ini bila

    digunakan pada pasien yang mengalami obstruksi retropalatal persisten setelah dilakukan

    prosedur UPPP dan pasien dengan OSA yang memiliki uvula yang kecil tanpa karakteristik

    palatum lunak yang panjang dan tebal. Prosedur lainnya adalah, Z-palatoplasti yang

    diperkenalkan oleh Friedman untuk prosedur revisi primer palatum pada pasien tertentu. Untuk

    mengurangi rasa sakit, biaya, dan morbiditas yang dihasilkan oleh UPPP, teknik yang bersifat

    kurang invasive telah dikembangkan. Implan palatum ini dirancang untuk mengurangi

    penyempitan dan obstruksi saluran nafas akibat palatum lunak melalui tiga penempatan implant

    pada palatum. Porositas dari implant juga mendorong pembentukan kapsul fibrosis yang akan

    menghubungkan ketiga implant tersebut. Nordgard dan rekannya melaporkan penurunan yang

    signifikan dalam AHI, rasa mengantuk di siang hari, serta gejala mendengkur dengan

    penggunaan implant palatum pada pasien OSA ringan sampai sedang asalkan indeks massa

    tubuh pasien dapat dikontrol. Komplikasi yang paling sering terjadi dalam prosedur ini adalah

    ekstrusi implant parsial. Keuntungan dari prosedur ini antara lain, bahwa prosedur ini dapat

    dilakukan hanya dalam satu kali kunjungan pasien, memiliki morbiditas yang minimal, dan telah

    tercatat secara signifikan mengurangi gejala mendengkur. Karena morbiditas yang rendah,

    prosedur implant palatum umumnya digunakan untuk mengobati gejala mendengkur dan berguna

    pada pasien dengan OSA ringan.

    Prosedur bedah Pangkal Lidah

  • 7/28/2019 Chapter 18 Sleep Apnea and Sleep Disorders

    22/33

    Glossektomi garis tengah parsial (PMG), lingualplasti, dan Radiofrequency ablation (RFA)

    pangkal lidah telah dikembangkan untuk mengatasi sumbatan retrolingual atau penyempitan

    yang terjadi pada OSA. Tonsilektomi juga dapat membantu pada pasien dengan hipertrofi tonsil

    lingual. Prosedur PMG menciptakan saluran nafas retrolingual yang lebih besar dengan

    memotong garis tengah dari setengah bagian belakang lidah. Pada pasien tertentu, tonsilektomi,

    pemotongan lipatan aryepiglotik dan epiglotektomi parsial juga dapat dilakukan. Dengan

    lingualplasti, tambahan jaringan pada lidah akan dipotong kearah posterior dan lateral bagian

    tersebut dengan menggunakan teknik PMG. Woodson dan rekannya melaporkan bahwa

    lingualplasti menghasilkan tingkat respon sebesar 79% pada pasien yang sebelumnya telah gagal

    dalam prosedur UPPP. Karena pembengkakan lidah sering terjadi setelah prosedur ini, maka

    prosedur ini sering dikombinasikan dengan trakeostomi untuk melindungi jalan nafas.

    Radiofrequency ablation (RFA) pada pangkal lidah menurunkan penyempitan jalan nafas dengan

    menurunkan volume jaringan pada pangkal lidah melalui pembentukan jaringan parut. Prosedur

    ini menggunakan energy frekwensi radio sebesar 465 KHz dan dikenakan pada beberapa daerah

    pada pangkal lidah sehingga menghasilkan koagulasi nekrosis dan penyembuhan dengan bekas

    luka. Prosedur ini sering dilakukan dalam penanganan rawat jalan dengan anastesi lokal dan

    prosedur ini mungkin memerlukan jenis penanganan yang lainnya untuk mecapai hasil yang

    diinginkan. Sebuah tinjauan dari 11 seri penelitian menunjukkan bahwa keberhasilan dari

    prosedur RFA dari 20 sampai 83%, dan menyimpulkan bahwa prosedur ini tidak memadai

    sebagai prosedur tunggal, terutama bila mengingat bahwa kebanyakan pasien memerlukan

    beberapa sesi untuk mencapai hasil yang diinginkan.

    Prosedur bedah Hipofaringeal

    Pengobatan daerah hipofaringeal terdiri dari prosedur yang dirancang untuk mencegah runtuhnya

    lidah kedalam saluran nafas selama tidur. Advanced Genioglossal (GA) dan miotomi hyioid

    (HM) merupakan prosedur untuk memperbesar saluran nafas retrolingual. Pada prosedur

    GA,tuberkulum genial dari mandibula yang merupakan bagian dari oto genioglossus anterior

    dilakukan osteotomi. Pada 4 penelitian kasus, GA dilakukan sebagai prosedur tunggal dan telah

    terbukti memiliki tingkat keberhasilan dari 39% hingga 78% pada pasien dengan OSA berat

    (rata-rata nilai RDI pra operasi 53-59). Prosedur HM dilakukan dengan cara melakukan miotomi

    rendah pada daerah anterior dan inferior yang berikatan dengan tulang rawan tiroid. Tingkat

  • 7/28/2019 Chapter 18 Sleep Apnea and Sleep Disorders

    23/33

    keberhasilan untuk HM yang dilakukan bersama UPPP berkisar dari 52% sampai 78% dalam

    tiga seri penelitian pada pasien dengan BMI rata-rata kurang dari 30.83. Namun, dalam satu seri

    penelitian pasien dengan BMI rata-rata 34.1 tingkat keberhasilannya adalah 17% (5 dari 29

    pasien). Hasil pembesaran jalan nafas retrolingual diperoleh dengan menempatkan dilator pada

    jalan nafas tanpa mengubah oklusi gigi. Komplikasi yang terkait dengan GA dan HM antara lain,

    mati rasa permanen sebanyak 6%, infeksi sebanyak 2-5%, dan seroma pada 2% pasien. Selain itu

    terdapat resiko yang kurang dari 1% untuk terjadinya fraktur mandibula, aspirasi dan kematian.

    Prosedur reposisi lidah kearah depan dapat dilakukan untuk mencegah runtuhnya lidah kedalam

    saluran nafas. Melalui sayatan intraoral yang dibuat dari frenulum, skrup titanium ditempatkan

    pada korteks lidah di geniotuberkel pada mandibula, dan jahitan permanen dilakukan melalui

    paramedian otot-otot lidah disepanjang lidah, melalui dasar lidah dan kemudian kembali melalui

    otot-otot sepanjang lidah. Jahitan ini berakhir pada skrup titanium yang tadi ditempatkan. Ketika

    prosedur ini dilakukan bersama dengan UPPP, dilaporkan tingkat keberhasilan berkisar 20

    hingga 57%, dan satu studi menunjukkan keberhasilan hingga 78% dalam 3 tahun pada pasien

    yang menolak pengobatan menggunakan prosedur UPPP. Prosedur memajukan tulang

    maksilomandibula (MMA) dapat meningkatkan saluran nafas retropalatal dan retrolingual.

    Rahang atas dan bawah dimajukan dengan cara dilakukan osteotomi potongan sagital pada

    rahang atas dan bawah yang sejajar dengan Le Fort I. Prosedur ini biasanya dilakukan setelah

    intervensi bedah lainnya gagal. Komplikasi dari prosedur ini termasuk maloklusi, kekambuhan,

    parastesia saraf, nonunion atau malunion, masalah persendian temporomandibular, infeksi,

    perdarahan dan kebutuhan akan perawatan gigi lebih lanjut. Tingkat keberhasilan prosedur ini

    mendekati 90%.

    Trakeostomi

    Trakeostomi merupakan standar emas manajemen bedah pada pasien OSA. Prosedur ini

    mngurangi gejala OSA dengan cara membuat saluran nafas melewati jalan nafas yang seringtersumbat selama tidur. Namun masalah psikososial, ketidaknyamanan yang dirasakan dan

    morbiditas membuat trakeotomi jarang menjadi pilihan intervensi bedah. Prosedur ini

    dipertimbangkan jika semua penanganan OSA lainnya telah gagal, dan terancamnya hidup

    pasien akibat OSA dan pasien yang tidak mentoleransi prosedur CPAP atau terdapat

    keterlambatan perkembangan otak. Prosedur ini juga mungkin merupakan pilihan terbaik untuk

  • 7/28/2019 Chapter 18 Sleep Apnea and Sleep Disorders

    24/33

    pasien yang gemuk tidak sehat atau sebagai langkah sementara untuk pasien yang menjalani

    operasi pangkat lidah.

    Manajemen Pasca Operasi

    Dengan kecenderungan pengobatan bedah pada OSA, mungkin akan terdapat peningkatan

    obstruksi jalan nafas pasca operasi karena edema yang dihasilkan pada beberapa daerah di

    saluran nafas bagian atas. Selain itu, sedasi post anastesi dapat menyebabkan proses respirasi

    sekunder serta obat-obatan anti nyeri narkotik yang bersifat adiktif pada pasien telah dapat

    perbaikan pernafasan. Pada penelitian retrospektif dari 135 pasien yang menjalani operasi OSA,

    Esclamando dan koleganya mengidentifikasi terdapat komplikasi pada 13% dari pasien : 14

    pasien mendapatkan masalah saluran nafas seperti kegagalan intubasi dan obstruksi jalan nafas

    setelah ekstubasi (dapat mengakibatkan kematian), 3 pasien mengalami perdarahan, dan 1 pasien

    dengan aritmia. Pasien dengan masalah intubasi lebih cenderung mengalami komplikasi yang

    lebih berat, sedangkan pasien dengan masalah ekstubasi dapat diatasi dengan obat anti nyeri

    narkotik selama prosedur. Resiko komplikasi perioperatif tidak berhubungan dengan usia, gejala

    pra operasi, dan masalah medis lain yang menyertai atau hasil dari septoplasti atau tonsilektomi.

    Pada tahun 1990, Fairbanks melakukan survei nasional apad 72 daerah yang telah menjalani

    prosedur UPPP dan menemukan bahwa pada lebih dari 9 tahun pasca prosedur terdapat 16

    kematian dengan 46 kasus stenosis nasofaring dan 42 kasus ketidakmampuan palatum.

    Komplikasi tambahan lain yang dilaporkan termasuk perdarahan dan luka. Karena peningkatan

    resiko saluran nafas setelah operasi, algoritma perawatan pasien telah dikembangkan untuk

    meminimalkan morbiditas pasien dan mortalitas. Rawat inap direkomendasikan untuk sebagian

    besar pasien yang menjalani operasi saluran nafas dan memasukkan pasien ke unit perawatan

    intensif juga harus dipertimbangkan. Pada evaluasi pasien dengan OSA berat menunjukkan

    bahwa prosedur CPAP hidung pada malam pertama pasca operasi, efektif dalam menjaga

    saturasi oksigen diatas 90% meskipun tingkat saturasi oksigen pra operasi adalah 51.5%.

    Berdasarkan temuan ini, pasien dengan OSA berat direkomendasikan untuk menggunakan

    prosedur CPAP untuk 2 minggu pertama setelah operasi. Selain itu juga dianjurkan dilakukan

    polisomnogram selama 3 sampai 4 bulan untuk megevaluasi hasil operasi.

    Gangguan Tidur

  • 7/28/2019 Chapter 18 Sleep Apnea and Sleep Disorders

    25/33

    Ahli THT umumnya memusatkan perhatian pada diagnosis dan pengobatan OSA dan hanya

    sedikit memberikan perhatian pada adanya gangguan tidur pada pasien yang diduga menderita

    OSA. Sebuah studi retrospektif pada tahun 2005 dari 643 pasien yang didiagnosis OSA

    ditemukan bahwa 31% memiliki gangguan tidur. Pada populasi ini, 19 pasien didiagnosis

    menderita gangguan tidur yang bersamaan dengan OSA, yang paling sering menjadi penyebab

    adalah keberrsihan tidur yang tidak memadai (15%) dan gangguan gerakan ekstremitas (8%).

    Oleh karena itu skrining untuk adanya gangguan tidur yang bersamaan dengan penyakit sangat

    penting dilakukan setelah perawatan medis atau bedah.

    Klasifikasi gangguan tidur

    Edisi kedua dari klasifikasi gangguan tidur (ICSD-2) memasukkan klasifikasi gangguan tidur

    menjadi gangguan tidur intristik dan ekstrinsik dan dibagi kedalam 6 kategori penyakit utama

    dan 2 kondisi lainnya. Kategori penyakit ini antara lain termasuk insomnia, gangguan pernafasan

    terkait tidur, hipersomnia sentra, gangguan irama sikardian, parasomnia, gangguan gerak yang

    berhubungan dengan tidur, dan gejala gangguan tidur lainnya. Pada OSA, gangguan tidur yang

    paling sering diobati oleh ahli THT tercakup dalam kategori gangguan tidur yang berhubungan

    dengan gangguan nafas. Tidur dibagi menjadi tahapRapid Eye Movement(REM) dan non-Rapid

    Eye Movement (NREM). Sekitar 80% malam dihabiskan dalam keadaan NREM, yang dibagi

    menjadi 3 tahap yang ditandai pada pola spesifik pada ensefalografi. Tahap N1, sebelumnya

    dikenal dengan tahap 1, merupakan tahap transisi antara tidur dan bangun dimana terdapat pola

    campuran tegangan dengan 3 sampai 7 siklus gelombang perdetik (cps). Orang mungkin akan

    merasa berada dalam keadaan terjaga pada tahap ini. Tahap N2, sebelumnya dikenal dengan

    tahap 2, adalah hadirnya spindle dan kompleks K dan mungkin merupakan tahap pertama dalam

    tahap tidur yang benar. Tahap N3, sebelumnya dikenal dengan tahap 3 dan 4, juga disebut

    sebagai gelombang tidur lambat dan dibedakan dengan gelombang delta, yang memiliki

    amplitudo yang tinggi (hingga 2 cps) dan merupakan 20% dari periode 30 detik. Tahap R, atau

    REM ditandai dengan gerakan mata yang cepat dan amplitudo gelombang campuran dengan

    frekwensi yang rendah. REM biasanya berganti dengan periode NREM pada 90 menit siklus

    REM dan dapat terus meningkat sepanjang malam.

    Insomnia

  • 7/28/2019 Chapter 18 Sleep Apnea and Sleep Disorders

    26/33

    Insomnia didefinisikan sebagai kesulitan berulang untuk inisiasi tidur, pemeliharaan tidur,

    konsolidasi atau kualitas tidur. Insomnia dapat menyebabkan disfungsi di siang hari meskipun

    terdapat kesempatan yang memadai untuk tidur. Hal ini juga termasuk untuk tidur dengan

    kualitas yang buruk. Dengan menggunakan definisi ini, Konferensi sains NIH memperkirakan

    insomnia terjadi pada 10% orang dewasa. Anak-anak juga dapat menderita insomnia yang telah

    dilaporkan terjadi pada 20% sampai 30% bayi, balita , anak prasekolah dan 12-30% pada remaja.

    Pada anak, seorang pengasuh anak dapat melaporkan bahwa seorang anak memiliki kesulitan

    untuk inisiasi tidur, ketika terlihat keengganan anak untuk pergi ketempat tidur atau adanya

    ketidakmampuan anak untuk tidur mandiri. Gejala siang hari harus menyertakan setidaknya salah

    satu dari gejala berikut : kelelahan atau malaise, gangguan kognitif (perhatian konsentrasi atau

    memori), kesulitan sosial atau kinerja disekolah yang buruk, gangguan suasana hati atau mudah

    marah, kantuk disiang hari, kurangnya motivasi atau energi, kecenderungan untuk terjadinya

    kecelakaan, atau gejala fisik seperti sakit kepala, ketegangan otot, gejala gastrointestinal atau

    masalah tentang tidur itu sendiri. Ada beberapa tipe insomnia (tabel18-10). Insomnia

    psikofisiologikal dikaitkan dengan kecemasan sebelum tidur dan kesulitan untuk merencanakan

    tidur. Seringkali perilaku belajar, mencegah timbulnya tidur pada pasien ini. Hal ini mungkin

    terjadi pada 2% populasi umum. Insomnia yang paradoksal, meskipun jarang terjadi, tetapi juga

    terkait dengan difungsi pasien pada siang hari, tetapi terkadang sulit didapatkan dalam keluhan

    pasien. Pasien dengan insomnia paradoks dapat mepaorkan tidur yang sedikit atau tidak dapat

    tidur, tetapi sering ada ketidaksesuaian antara waktu tidur yang dirasakan pasien dengan waktu

    yang dicatat pemeriksa pada saat pemeriksaan. Insomnia idiopatik sering dimulai saat masa kecil

    atau anak-anak, dapat terjadi seumur hidup dan tidak diketahui penyebab pastinya. Perilaku

    insomnia pada anak-anak dikaitkan dengan pengaturan atau onset pola perilaku yang mencegah

    anak dari tidur. Hal ini sering dikaitkan dengan perilaku pengasuh anak atau ritual khusus yang

    sering dilakukan dalam memperpanjang proses jatuhnya anak kedalam tidur. Kebersihan tidur

    yang tidak memadai dapat dicurigai ketika insomnia berlangsung selama minimal 1 bulan dan

    mencakup setidaknya salah satu dari berikut : Penjadwalan tidur yang tidak tepat termasuk tidur

    di siang hari ; variabel tidur atau waktu bangun atau jumlah waktu yang berlebihan ditempat

    tidur, penggunaan narkotika, kafein atau alkohol terutama sebelum tidur, rangsangan aktifitas

    mental dan fisik yang dekat dengan waktu tidur, seringnya menggunakan tempat tidur untuk

    kegiatan lain seperti menonton televisi atau membaca atau kegagalan untuk mempertahankan

  • 7/28/2019 Chapter 18 Sleep Apnea and Sleep Disorders

    27/33

    tidur yang nyaman (termasuk suhu, pencahayaan dan seprei). Kebersihan tidur biasanya bukan

    merupakan penyebab primer insomnia dan sering menyebabkan kesulitan untuk ditangani. Selain

    itu, kebersihan tidur yang tidak memadai yang sering dihubungkan dengan gangguan tidur juga

    dapat didiagnosis sebagai gangguan tidur sekunder. Insomnia pada anak yang sangat muda

    sering berhubungan dengan ketidakcocokan antara harapan pengasuh dengan perkembangan usia

    anak. Perilaku insomnia anak harus dipertimbangkan pada anak remaja. Insomnia pada populasi

    anak dapat ditangani dengan kebersihan tidur yang tepat, pengaturan anak atau terapi prilaku

    anak. Selain itu metode yang masuk akal lainnya adalah seperti menurunkan asupan cairan dan

    pemberian obat stimulan sebelum tidur, seperti yang digunakan pada pengobatan penyakit

    gangguan perhatian dan hiperaktif, sebelum mempertimbangkan intervensi fakmakologis.

    Terjadinya gangguan tidur akibat tertundanya ritme sikardian juga harus dievaluasi pada anak

    dan remaja. Selain itu, populasi khusus seperti anak-anak dengan sindro autisme atau Asperger

    telah terbukti memiliki peningkatan kejadian insomnia. Gangguan tidur yang terkait dengan

    kondisi pernafasan termasuk dalam bagian ini namun dibedakan dengan gangguan bernafas

    selama tidur, baik itu yang bersifat obstruktif atau sentral. Termasuk didalamnya sindrom apnea

    saat tidur obstruktif bersama dengan gangguan yang berhubungan dengan hipoventilasi atau

    hipoksemia. Apnea tidur sentral ditandai dengan tidak adanya usaha pernafasan yang

    mengakibatkan tidak adanya aliran udara. Hipoapnea tengah yang dikategorikan pada apnea

    sentral, ditandai dengan penurunan aliran udara karena kelainan sistem atau disfungsi

    kardiopulmonal, seperti penyakit paru kronik obstruktif atau penyakit jangtung kongestif. Pasien

    dengan apnea sentral sering datang dengan gejala yang mirip dengan penderita OSA seperti

    kantuk yang berlebihan sisiang hari, mendengkur, adanya hilangnya upaya pernafasan, serta

    sesak saat bangun tidur. Mirip dengan OSA, apnea sentral pada orang dewasa didefinisikan

    sebagai terjadinya lima atau lebih hilangnya usaha pernafasan per jam saat tidur. Bayi dapat

    mengatasi apnea sentral saat tidur ini karena umur mereka. Sindrom Hipoventilasi atau

    hipoksemia terkait dengan proses tidur dikategorikan sebagai kelainan bawaan, idiopatik atau

    karena kondisi medis lain seperti penyakit parenkim paru, penyakit pembuluh darah, penyakit

    neomuskular atau gangguan dinding dada. Hipoventilasi adalah kondisi fisiologi yang ditandai

    dengan hiperkapnea dengan komposisi ketegangan karbondioksida arteri lebih besar dari 45

    mmHg pada analisa gas darah arteri. Elevasi ini dipicu oleh ketidakseimbangan antara eliminasi

  • 7/28/2019 Chapter 18 Sleep Apnea and Sleep Disorders

    28/33

    dan produksi CO2 yang berlangsung kronis. Ventilasi biasanya tercukupi saat pasien terjaga, dan

    hipoventilasi terjadi melalui pernafasan yang dangkal dan penurunan volume tidal saat tidur.

    Hipersomnia Sentral

    Gangguan hipersomnia sentral bukan diakibatkan oleh gangguan ritme sikardian, gangguan tidur

    terkait pernafasan atau penyebab lain gengguan tidur malam. Gangguan ini terutama ditandai

    dengan kantuk berlebihan disiang hari setelah gangguan-gangguan tidur yang telah disebutkan

    sebelumnya tadi. Bagian ini termasuk narkolepsi, hipersomnia berulang dan hipersomnia

    idiopatik. Kantuk disiang hari ditandai dengan kesulitan untuk tetap terjaga atau waspada, yang

    menghasilkan kantuk yang tidak disengaja atau tidur disiang hari. Rasa kantuk ini dapat diukur

    menggunakan tes latensi beberapa proses tidur (MSLT) setelah dilakukan pemeriksaan dengan

    hasil tidak adanya gangguan tidur terkait pernafasan. ESS juga dapat digunakan untuk mengukur

    rasa kantuk pada populasi. MSLT merupakan uji kecenderungan untuk jatuh tertidur di saat

    gelap atau situasi tenang disiang hari. Ini merupakan tes yang utama dalam menilai rasa kantuk

    di siang hari, dan hasilnya dianggap sah apabila setidaknya dilakukan 6 jam pemeriksaan

    menggunakan polisomnograf dengan hasil adanya tidur sebelum inisiasi dan 2 jam antara

    peluang tidur disiang hari. Waktu untuk tidur dan terjadinya onset periode REM saat tidur

    (SOREMPs) dicatat untuk 4 atau lima tidur selama sehari. Narkolepsi diduga kuat jika terdapat

    dua atau lebih SOREMPs dan onset rata-rata tidur siang kurang dari 8 menit. Hal ini ditandai

    dengan kelumpuhan saat tidur, ketidakmampuan untuk bergerak saat bangun pada 24% kasus,

    halusinasi, sensasi bermimpi saat terjaga pada 30% kasus dan katapleksi, hilangnya tonus otot

    tiba-tiba dalam menanggapi emosi pada 70% kasus. Narkolepsi dibagi menjadi pasien dengan

    katapleksi dan pasien tanpa katapleksi. Selain itu, cairan serebrospinal hipokretin-1 yang berada

    pada tingkat kurang dari 110 pg/mL sangat khusus terdapat pada narkolepsi dengan katapleksi.

    Narkolepsi jarang terjadi sebelum umur 4 tahun dan hanya 6% dari pasien dengan umur lebih

    muda dari 10 tahun. Onset terutama terjadi pada 15 sampai 30 tahun dan prevalensinya sama

    pada pria dan wanita. Hipersomnia idiopatik yang ditandai dengan rasa kantuk berlebihan yang

    berat pada siang hari terjadi baik pada waktu tidur yang normal (6 sampai 10 jam) atau waktu

    tidur yang berkepanjangan ( lebih dari 10 jam) dan juga dapat terjadi pada psien dengan

    kesulitan bangun baik dari tidur malam atau siang hari. Hal ini juga menghasilkan onset rata-rata

  • 7/28/2019 Chapter 18 Sleep Apnea and Sleep Disorders

    29/33

    tidur siang kurang dari 8 menit pada pemeriksaan MSLT tetapi dengan hanysa sedikit

    ditemukannya SOREMPs (bahkan sering tidak ada) dan juga tidak menunjukkan adanya intrusi

    REM atau narkolepsi. Gangguan ini biasanya memiliki onset awal pada umur 25 tahun dan

    memiliki sifat yang berbahaya.

    Gangguan tidur ritme sikardian

    Jam internal tubuh terletak pada nucleus suprakiasmatik. Sistem endogen ini, bersama dengan

    paparan cahaya eksternal dan isyarat-isyarat social, mengatur manusia selama 24 jam. Gangguan

    tidur ritme Sikardian terjadi ketika pola bagun dan tidur mengalami ketidaksesuaian dengan jam

    social secara persisten atau berulang, sehingga mengakibatkan rasa kantuk disiang hari yang

    berlebihan atau insomnia dan akhirnya mengakibatkan gangguan fungsi tidur. Terdapat sejumlah

    gangguan dalam kategori ini, tetapi disfungsi yang digarisbawahi adalah, mereka yang tidak bisa

    tidur ketika mereka menginginkan atau membutuhkan tidur. Gangguan ritme sikardian yang

    paling sering terjadi adalah jenis tertundanya fase tidur. Hal ini terutama terjadi pada kalangan

    remaja dan dewasa muda. Pada gangguan ini, onset tidur yang tertunda, biasanya lebih dari 2

    jam, dan sering lebih lama dari yang diinginkan. Durasi dan kualitas tidur biasanya normal,

    tetapi waktu bangun alami akan tertunda , dan hal ini mengakibatkan pasien akan mengalami

    kesulitan tidur pada waktu tidur konvensional dan bengun terlambat setelah durasi tidur yang

    tepat. Fase tidur yang terlalu dini juga sering menyebabkan gangguan ritme, tetapi hal ini sering

    terjadi pada orang dewasa tua. Pasien memiliki kesulitan untuk tetap terjaga dan biasanya terjaga

    lebih awal dari waktu bangun yang mereka inginkan. Pasien ini biasanya tidak mencari

    penanganan secara medic karena kurangnya masalah social yang diakibatkan oleh bangun yang

    terlalu pagi. Pasien ini juga memiliki durasi dan kualitas tidur yang normal sesuai usia, tetapi

    onset tidur yang mereka alami bergeser dari waktu yang mereka inginkan. Pergeseran ritme

    sikardian dapat mempengaruhi pekerjaan pada 32% pekerja shift malam dan 26% pada pekerja

    harian. Telah diperkirakan 18% dari penduduk AS bekerja diluar jam siang hari yaitu dari jam 6

    sore sampai 6 pagi. Hal ini mengakibatkan insomnia atau rasa kantuk yang berlebihan pada siang

    hari yang berhubungan dengan tumpang tindihnya jadwal pekerjaan dengan waktu tidur yang

    normal dan dapat berlansung setidaknya 1 bulan. Hal ini cenderung dapat pulih kembali jika

    waktu tidur diatur kedalam onset tidur yang normal. Jenis yang terakhir adalah gangguan ritme

    sikardian jenis jet lag, yaitu kondisi sementara yang berhubungan dengan perjalanan pada

  • 7/28/2019 Chapter 18 Sleep Apnea and Sleep Disorders

    30/33

    setidaknya dua zona waktu, dapat ,menyebabkan insomnia atau rasa kantuk disiang hari yang

    berlebihan. Onset biasanya terjadi pada 1 sampai 2 hari setelah perjalanan dan resolusinya

    tergantung jumlah perbedaan zona waktu yang dilewati dan arah perjalanan, arah perjalanan

    ketimur akan lebih sulit menyesuaikan waktu tidur ketimbang perjalanan kearah barat.

    Parasomnia

    Parasomnia adalah gerakan yang tdiak diinginkan atau fenomena subjektif yang terjadi selam

    tidur, saat tertidur, sementara terbangun atau selama tidur itu sendiri. Fenomena ini meliputi

    aktivasi system saraf otonom dan gerakan abnormal, mimpi, emosi dan prilaku. Parasomnia

    biasanya cenderung terjadi pada awal masa kanak-kanak dan sering memiliki transformasi stabil

    dan bertahap dengan resolusi gejala yang menunjukkan bahwa etiologi juga dapat berkembang.

    Remisi spontan seiring bertambahnya usia sering terjadi dan biasanya tidak terdapat kelainan

    klinis yang jelas saat terjaga. Beberapa proses patofisiologi telah diidentifikasi untuk

    menjelaskan parasomnia. Parasomnia dikelompokkan menjadi gangguan saat terjadinya

    keinginan tidur (periode NREM), parasomnia terkait dengan REM saat tidur dan parasomnia

    lainnya. Teror tidur, tidur sambil berjalan, dan kebingungan saat timbulnya keinginan tidur yang

    merupakan gangguan gairah tidur yang biasanya terjadi pada sepertiga dari malam, mendominasi

    pada masa kesil dan umumnya mengalami penurunan frekwensi seiring bertambahnya usia. Hal

    ini dapat diobati dengan peningkatan kebersihan sebelum tidur. Intervensi farmakologis jarang

    diperlukan. Parasomnia terkait REM saat tidur adalah termasuk gangguan perilaku tidur,

    perasaan lumpuh saat tidur yang berulang, dan gangguan mimpi buruk. Gangguan perilaku REM

    saat tidur (RBD) merupakan hasil dari aktifitas otot selama REM dan menghasilkan gerakan

    yang merugikan sementara, selama fase REM. Hal ini sering dikaitkan dengan onset gangguan

    yang terdahulu, gangguan neurologis seperti penyakit Parkinson dan Demensia Tubuh-Lewy.

    Pemeriksaan PSG dianjurkan pada pasien ini karena pasien OSA mungkin akan mengalami

    gerakan gerakan yang tidak diinginkan selama REM yang dapat mirip dengan RBD. Gangguan

    mimpi buruk ditandai dengan episode berulang terbangun dari tidur dan teringatnya mimpi

    dengan intensitas yang mengganggu. Yang biasanya disertai dengan gangguan emosi seperti

    ketakutan, kecemasan kemarahan dan kewaspadaan penuh saat terbangun. Hal ini sering terjadi

    pada masa kanak-kanak dan dewasa dan biasanya berhubungan dengan peritiwa stress akut atau

    gangguan stress pasca trauma. Pengobatan dapat termasuk terapi kognitif dan prilaku atau

  • 7/28/2019 Chapter 18 Sleep Apnea and Sleep Disorders

    31/33

    intervensi farmakologis. Beberapa parasomnia secara khusus dikaitkan dengan OSA atau

    pengobatan OSA. Hal ini termasuk gangguan dari REM saat tidur yang terjadi pada pasien OSA

    yang dapat mirip dengan RBD yang diakibatkan oleh kompleks atau perilaku kekerasan terkait

    dengan mimpi. Tipe kedua terjadi setelah gangguan pada NREM saat tidur dengan kompleks

    atau perilaku kekerasan yang sama sering membuat sulit dibedakan dengan ganggua gairah tidur.

    Gangguan gairah tidur terkait OSA pada saat NREM tidur juga dapat menyebabkan gangguan

    makan, yang dengan sendirinya akan memperburuk keadaan klinik OSA. Parasomnia lain yang

    terkait dengan keadaan anoksia otak terkait OSA dapat berupa serangan atau kejang nocturnal

    juga dapat bermanifestasi dengan jenis parasomnia komplek atau perilaku kekerasan.

    Penggunaan CPAP hidung untuk OSA menyebabkan peningkatan yang signifikan pada REM

    dan dapat mengakibatkan kebingungan gairah tidur, tidur sambil berjalan atau terror tidur.

    Kecuali bila diduga RBD, pemeriksaan PSG jarang diperlukan pada pasien ini kecuali jika

    terdapat adanya kecurigaan terhadap komorbiditas apnea saat tidur. Pada pasien dengan perilaku

    kekerasan yang terkait dengan gangguan tidur, rasa kantuk yang berlebih saat siang hari sering

    terjadi pada onset usia yang tidak biasa dengan gambaran klinis yang tidak biasa, pemeriksaan

    PSG mungkin diperlukan. Gangguan gerakan tidur terkait dengan SRMDs ditandai dengan

    gerakan berulang yang terjadi selama tidur dan menyebabkan gangguan tidur. Yang paling sering

    terjadi adalah sindrom kaki gelisah (RLS) dan gangguan gerakan tungkai periodic (PLMD). RLS

    didefinisikan sebagai sensasi tidak nyaman di kaki yang menyebabkan dorongan untuk

    memindahakan mereka. Ketidaknyamanan ini terjadi lebih sering pada sore atau malam hari, dan

    biasanya pasien merasa lega dengan gerakan. Pada anak-anak, riwayat keluarga menderita RLS

    dapat membantu diagnosis atau dokumentasi dari pemeriksaan polisomnografi yang bernilai

    lebih dari lima kali gerakan tungkai per jam. Penelitian saat ini menyelidiki tentang patofisiologi

    RLS dengan terlibatnya kadar zat besi dan system dopaminergik nigrostriatal yang rendah.

    Untuk alasan ini, evaluasi harus mencakup pemeriksaan kadar feritin dan tingkat kejenuhan

    transferin. Kekurangan zat besi berkisar pada kadar feritin dibawah 18 g/L atau sturasi transferin

    dibawah 16%. PLMD ditandai dengan gerakan kaki stereotip berulang yang terjadi saat tidur dan

    menyebabkan gangguan tidur atau kelelahan disiang hari. Seperti halnya RLS, dimana gejala di

    siang hari terjadi, pasien biasanya tidak menyadari gerakan kaki atau adanya gangguan tidur.

    Prevalensi PLMD diperkirakan antara 4% dan 11% pada orang berusia 15 hingga 100 tahun dan

    telah terbukti seiring dengan bertambahnya umur. Karena gangguan ini juga terkait dengan

  • 7/28/2019 Chapter 18 Sleep Apnea and Sleep Disorders

    32/33

    perubahan dalam system dopaminergik bigrostriatal, hipotesis bahwa onset PLMD mungkin

    merupakan sinyal penurunan fungsi dopaminergik. Sejumlah penelitian telah menunjukkan

    beberapa pengurangan PLMD dengan penggunaan terapi Clonazepam dan agonis dopamine.

    Gejala yang tersembunyi, Varian yang tampak Normal dan Masalah-masalah yang belum

    terselesaikan

    Kondisi yang disorot pada kelompok ini adalah pada anggapan terjadinya sebuah kontinuitas

    antara tidur normal dan abnormal. Hal ini termasuk tidur yang lama, yang umumnya lebih dari

    10 jam sehari, dan tidur yang pendek, biasanya tidur 5 jam sehari atau kuran, definisi waktu tidur

    disesuaikan dengan usia. Sejumlah kondisi yang berhubungan dengan keadaan mioklonus atau

    tersentak saat tidur juga termasuk dalam bagian ini, seperti halnya juga mendengkur.

    Mendengkur didiagnosis ketika suara mendengkur dicatat oleh pemeriksa dan tidak

    ditemukannya gejala kantuk disiang hari, insomnia atau gangguan tidur. Hasil jajak pendapat

    National Sleep Foundation 2005 menemukan bahwa 59% dari 1.500 orang dewasa melaporkan

    adanya mendengkur saat tidur. Pada tahun 1993 penelitian kohorWinconsin melaporkan bahwa

    mendengkur terjadi pada 28% wanita dewasa dan 44% laki-laki dewasa. Prevalensi kebiasaan

    mendengkur pada populasi anak-anak dilaporkan lebih rendah yaitu sebesar 7% sampai 13%

    pada anak usia 4 tahun, dab 10% terjadi pada anak pada tingkat sekolah menegah dan tinggi.

    Pengobatan untuk mendengkur difokuskan pada mengurangi kekhawatiran social, data terakhir

    menunjukkan bahwa pasien dengan kebiasaan mendengkur memiliki hasil neurokognitif yang

    lebih rendah (termasuk penurunan perhatian, memori dan skor kecerdasan) dan meningkatnya

    perilaku hiperaktif ketimbang dengan mereka yang tidak mendengkur.

    Kesimpulan

    Mayoritas pasien yang dirujuk ke ahli THT biasanya memiliki gangguan tidur terkait dengan

    pernafasan, juga mungkin juga menderita gangguan tidur lainnya termasuk kebersihan tidur yang

    tidak memadai, insomnia, gangguan ritme sikardian dan gangguan gerakan anggota gerak tubuh.

    Diagnosis gangguan tidur dengan menggunakan EDS mungkin sangat penting dalam

    mengevaluasi pasien dengan penyakit persisten setelah pengobatan medis dan bedah.

  • 7/28/2019 Chapter 18 Sleep Apnea and Sleep Disorders

    33/33