collaboration approach in environmental management

29

Click here to load reader

Upload: ucun24

Post on 15-Jan-2015

876 views

Category:

Entertainment & Humor


0 download

DESCRIPTION

 

TRANSCRIPT

Page 1: Collaboration approach in environmental management

perencanaan wilayah dan kota

Collaboration Approach in Environmental Management

Analisis Sumber Daya dan Lingkungan

Uzza Hayuning Dewanti (115060600111069)

Rayinta Putri K. (115060600111035)

Dzulfikar Hendra F. (115060607111002)

Dosen:

Mustika Anggraeni, ST., MSi

UNIVERSITAS BRAWIJAYA MALANG

Page 2: Collaboration approach in environmental management

BAB I

PENDAHULUAN

Kegiatan pembangunan tidak hanya menyentuh persoalan ekonomi dan teknologi,

tetapi lebih dari itu adalah persoalan harkat dan martabat manusia. Dalam konteks inilah,

kegiatan membangun masyarakat kemudian terkait erat dengan memberdayakan masyarakat

karena di samping memerangi kemiskinan dan kesenjangan, juga mendorong masyarakat

menjadi lebih aktif dan penuh inisiatif. Sudah banyak bukti yang memperlihatkan bahwa

ketika inisiatif itu hanya dilakukan oleh pemerintah dan tidak pernah diletakkan pada

masyarakat, perjalanan pembangunan diwarnai oleh berbagai bentuk monopoli dan

manipulasi.

Penyelesaian berbagai konflik seperti tersebut di atas bermacam-macam. Biasanya

untuk kasus konflik horisontal diselesaikan lewat musyawarah antar warga masyarakat,

sedangkan konflik vertikal diselesaikan lewat jalur hukum dan politik. Bahkan, kerap kali

dijumpai penggunaan tindakan represif dan kekerasan untuk menyelesaikan konflik vertikal.

Hasilnya dapat ditebak bahwa masyarakat sebagai pihak yang lemah banyak menjadi korban

akibat tindakan represif ini.

Oleh sebab itu perlu diterapkannya pola kolaborasi pengelolaan karena ada peluang

besar untuk menyelesaiakan berbagai konflik tersebut melalui jalur musyawarah antar pihak.

Bahwa dipandang penting untuk membuat forum multipihak sebagai wadah para stakeholders

untuk berkomukasi, berkoordinasi dan bermusyawarah menyelesaiakan berbagai

permasalahan yang dihadapi bersama. Mengatasi konflik pengelolaan sumberdaya alam

adalah dengan menghormati dan membangun jembatan dialog perbedaan persepsi antar setiap

pelaku tentang pengelolaan sumberdaya alam. sehingga setiap pelaku (stakeholder) yang

berkonflik memperoleh “ruang kesamaan” yang lebih lebar. Resolusi dapat dibangun melalui

penerapan manajemen kolaboratif.

1

Page 3: Collaboration approach in environmental management

BAB II

PEMBAHASAN

A. Pendekatan Partisipatif

Konsep partisipasi dalam environmental governance system di Indonesia diharapkan

akan memperbesar ruang bagi civil society untuk ikut terlibat dan secara pro-aktif

berinisiatif dalam pembangunan lingkungan. Ruang “manuver” politik yang lebih besar

dibanding apa yang dimilikinya di masa lalu, memungkinkan mereka lebih leluasa untuk

mendefinisikan secara reflektif (sesuai dengan ukuran-ukuran lokal) solusi-solusi masalah

lingkungan yang paling tepat untuk kondisi mereka. Pada sisi lain, adanya perubahan sifat

dan skala pemerintahan (changing nature and scale of goverment) yang makin

mengurangi dominasi kekuasaan, serta makin diyakininya prinsip kolaborasi (pelibatan

multipihak) dalam pengelolaan sumberdaya alam dan lingkungan, merupakan momentum

penting penyusunan konstruksi kebijakan lingkungan partisipatif (construction of

participatory environmental policy) di masa depan. Hal ini akan memungkinkan makin

tingginya derajat penerimaan sosial (degree of social acceptability) masyarakat lokal atas

segala kebijakan atau keputusan yang diambil (Dharmawan, 2006).

B. Pendekatan Kolaboratif

Pendekatan Kolaborasi memiliki tiga unsur utama, yaitu:

1. Bersanding

Bersanding mempunyai maksud semua pihak berdampingan dan memiliki satu tujuan

yang sama yaitu untuk melestarikian sumberdaya alam.

2. Bersaing

Bersaing maksudnya dari berbagai pihak yang ada telah memiliki pendapat yang

berbeda dalam solusinya untuk penyelesaian konfliknya saling bersaing mencari jalan

yang paling tepat.

3. Pendekatan Multipihak (Koeksistensi)

Koeksistensi disini memiliki arti bahwa dari semua pihak yang telah memiliki

masing-masing solusi tadi saling melakukan pendekatan ke semua pihak untuk

mencari solusi yang paling tepat.

Penerapan pendekatan kolaboratif dalam pengelolaan sumberdaya alam ini diharapkan

akan memberikan beberapa dampak positif berikut ini, yaitu:

2

Page 4: Collaboration approach in environmental management

1. Program pengelolaan SDA lebih aplikatif sesuai deengan kondisi fisik, konteks sosial,

ekonomi dan budaya masyarakat setempat, sehingga memenuhi fungsi kelestarian

SDA dan pemenuhan kebutuhan masyarakat.

2. Menciptakan rasa memiliki dan tanggung jawab diantara semua pihak terkait dalam

merencanakan dan melaksanakan program, sehingga pelaksanaan program

pemngelolaan hutan bisa berjalan efektif dan berkesinambungan.

3. Adanya peran bagi semua stakeholders untuk terlibat dalam proses pengelolaan

sumberdaya alam, khususnya dalam hal pengambilan dan pertanggungan jawab

keputusan sehingga semua stakeholders sumberdaya terberdayakan.

4. Pelaksanaan program menjadi lebih obyektif dan fleksibel berdasarkan keadaan

setempat.

5. Adanya transparansi dan keterbukaan akibat penyebaran informasi dan wewenang

yang jelas.

6. Pelaksanaan program lebih terfokus pada pemenuhan kebutuhan masyarakat dan

kelestarian sumber daya alam.

Keenam dampak positif diterapkannya pendekatan kolaboratif dalam pengelolaan

sumberdaya alam tersebut hanya akan terjadi jika pada pelaksanaannya para stakeholders

senantiasa menjunjung tinggi dan mengamalkan prinsip-prinsip kolaborasi. Prinsip-

prinsip kolaborasi yang perlu diamalkan dalam pengelolaan SDA adalah sebagai berikut :

1. Keterlibatan stakeholders. Adanya keterlibatan semua pihak, baik individu maupun

kelompok masyarakat yang berkepentingan dalam pengelolaan SDA.

2. Kesetaraan dan Kemitraan (Equal Partnership). Pada dasarnya semua pihak

mempunyai ketrampilan, kemampuan dan prakarsa serta mempunyai hak untuk

menggunakan prakarsa tersebut terlibat dalam setiap proses guna membangun dialog

tanpa memperhitungkan jenjang dan struktur masing-masing pihak.

3. Transparansi (Transparency). Semua pihak harus dapat menumbuh-kembangkan

komunikasi dan iklim berkomunikasi terbuka dan kondusif sehingga menimbulkan

dialog yang produktif.

4. Kesetaraan Kewenangan (Sharing Power / Equal Powership). Berbagai pihak yang

terlibat harus dapat menyeimbangkan distribusi kewenangan dan kekuasaan untuk

menghindari terjadinya dominasi dalam pengelolaan SDA.

5. Kesetaraan Tanggung Jawab (Sharing Responsibility). Berbagai pihak mempunyai

tanggung jawab yang jelas dalam setiap proses karena adanya kesetaraan kewenangan

3

Page 5: Collaboration approach in environmental management

(sharing power) dan keterlibatannya dalam proses pengambilan keputusan dan

langkah-langkah selanjutnya.

6. Pemberdayaan (Empowerment). Keterlibatan berbagai pihak tidak lepas dari segala

kekuatan dan kelemahan yang dimiliki oleh setiap pihak, sehingga melalui

keterlibatan aktif dalam setiap proses kegiatan, terjadi suatu proses saling belajar dan

saling memberdayakan satu sama lain .

7. Kerjasama (Cooperation). Diperlukan adanya kerjasama berbagai pihak yang terlibat

untuk saling berbagi kelebihan guna mengurangi berbagai kelemahan yang ada,

khususnya yang berkaitan dengan kemampuan sumberdaya manusia dan sumber daya

modal.

C. Manajemen Kolaboratif

Manajemen kolaboratif merupakan salah satu pilihan pendekatan dalam membangun

hubungan dengan para pihak dalam pengelolaan sumber daya alam lestari. Pengelolaan

kolaboratif bertujuan agar kegiatan pengelolaan sumberdaya alam sebagai hak dan

kewajiban masyarakat menjadi gerakan “masyarakat dalam arti luas.” Artinya,

manajemen kolaboratif adalah gerakan terpadu antara program pemerintah dengan

gerakan masyarakat.

Belajar dari kasus Implementasi Manajemen Kolaboratif Dalam Pengelolaan

Ekowisata Berbasis Masyarakat di Kabupaten Sukabumi, Jawa Barat. Pihak yang terlibat

dalam pengembangan ekowisata di kawasan ini tidak hanya pihak taman nasional dan

masyarakat setempat. Pihak lain yang banyak memberikan kontribusi dalam

pengembangan ekowisata ini adalah keberadaan Yayasan Ekowisata Halimun (YEH) dan

berbagai travel agent. Kerjasama multi pihak ini dikenal juga dengan istilah menajemen

kolaboratif. Melalui manajemen kolaboratif ini diharapkan dapat mewujudkan

pengelolaan TNGHS yang lebih baik sehingga bermanfaat optimal bagi kepentingan

ekologis, sosial dan ekonomi sesuai dengan karakteristik taman nasional.

Mengatasi konflik pengelolaan sumberdaya alam adalah dengan menghormati dan

membangun jembatan dialog perbedaan persepsi antar setiap pelaku tentang pengelolaan

sumberdaya alam. sehingga setiap pelaku (stakeholder) yang berkonflik memperoleh

“ruang kesamaan” yang lebih lebar. Resolusi dapat dibangun melalui penerapan

manajemen kolaboratif.

Menurut Tadjudin (2000), manajemen kolaboratif merupakan siklus tahapan

perencanaan, pengorganisasian, pelaksanaan, dan pengendalian. Pada setiap siklus dibuka

4

Page 6: Collaboration approach in environmental management

kesempatan untuk melakukan penilaian ulang, yang akan menghasilkan umpan balik, baik

dari masyarakat itu sendiri maupun dari luar (pemerintah, LSM, maupun perguruan

tinggi). Dalam pengelolaan sumberdaya hutan sebagai suatu properti masyarakat,

manajemen kolaboratif merupakan wahana untuk menginternalisasikan hal-hal yang

bersifat eksternal dan dengan demikian dapat dikatakan sebagai manajemen untuk

meresolusi konflik.

Beberapa contoh isu yang seringkali menjadi persoalan dan diharapkan akan bisa

diselesaikan melalui Pengelolaan kolaborasi antara lain: tumpang tindih batas, perbedaan

kepentingan para pihak dan perbedaan persepsi dalam melihat nilai penting sebuah

kawasan hutan. Secara detil, beberapa hal yang seringkali ‘disentuh’ dalam sebuah

konsep pengelolaan kolaboratif adalah (Tajjudin, 2000):

1. Batas dan teritori sebuah kawasan SDA.

2. Batasan fungsi dan keberlanjutan penggunaan.

3. Identifikasi para pihak yang terlibat.

4. Fungsi dan tanggungjawab para pihak sebagaimana yang diasumsikan oleh masing-

masing pihak.

5. Keuntungan dan hak yang diperoleh oleh masing-masing pihak.

6. Kesepakatan terhadap prioritas dan rencana pengelolaan kawasan.

7. Prosedur untuk menghadapi konflik dan melakukan negosiasi yang menghasilkan

keputusan bersama mengenai hal tersebut diatas.

8. Prosedur untuk mendorong implementasi keputusan tersebut.

9. Memperjelas aturan untuk monitoring, evaluasi dan peninjauan kesepakatan

kerjasama dan rencana pengelolaan jika dibutuhkan.

Pengelolaan kolaboratif didefinisikannya sebagai sebuah bentuk resoolusi konflik

yang mengakomodasikan sikap bekerjasama (cooperative) dan assertive yang tinggi

dengan tujuan mencapai sebuah ‘win-win solution’. Dalam kaitannya dengan pengelolaan

sumber daya alam, pengelolaan kolaboratif dapat dikatakan sebagai sebuah situasi dimana

beberapa atau semua pihak pada sebuah kawasan terlibat dalam aktivitas pengelolaan

SDA-nya (Wiyono, 2008).

Hambatan-hambatan yang kerap ditemui pada pengelolaan kolaboratif antara lain:

1. Hambatan perilaku. Secara psikologis, aparatur pemerintah seringkali merasa bahwa

aparat lebih terhormat dan tinggi statusnya dibandingkan dengan masyarakat desa

sekitar. Demikian juga secara psikologis masyarakat merasa bahwa mereka lebih

rendah dan kurang pengetahuannya dibandingkan dengan aparat pemerintah.

5

Page 7: Collaboration approach in environmental management

2. Hambatan kebijakan. Aparatur pemerintahan sudah terbiasa bekerja dengan

memakai pedoman aturan yang baku yang bersifat instruktif dan top down. Cara-cara

lama dalam pengambilan kebijakan tersebut tercermin dalam bentuk Surat Keputusan,

Petunjuk Pelaksanaan dan Petunjuk Teknis yang terlalu rigid sehingga memandulkan

kreatifitas pelaksana di lapangan.

3. Hambatan sistem manajemen. Diakui ataupun tidak, sampai saat ini sistem

manajemen pengelolaan masih mengikuti model perencanaan konvensional yang

bersifat top-down dan sentralistik dan menegasikan konteks dan local specific.

Biasanya pimpinan perusahaan di tingkat pusat menyiapkan "cetak biru" untuk

dilaksanakan oleh petugas lapangan. Ditambah lagi, masih banyak keputusan,

panduan pelaksanaan dan petunjuk teknis yang mempersempit ruang gerak staf

operasional di lapangan untuk bisa fleksibel dan berpartisipasi.

4. Hambatan sumber daya manusia. Konsep pembangunan yang berfokus pada

masyarakat merupakan konsep baru bagi aparat pemerintah, sehingga butuh waktu

untuk sekadar memperkenalkan agar konsep ini bisa dipahami dan diterima ditengah-

tengah mereka. Oleh karena itu diperlukan pelatihan untuk membekali mereka dengan

pemahaman dan keahlian baru yang akan berguna dalam pelaksanaan program

pembangunan.

Untuk menanggulangi hambatan-hambatan tersebut maka diperlukan tindakan bersama

oleh semua stakeholder :

1. Masyarakat. Anggota masyarakat perlu diberdayakan dengan memegang tanggung

jawab lebih besar dalam pengelolaan SDA ketimbang hanya menunggu apa yang

disediakan pemerintah dan pemegang ijin hak. Masyarakat bukan lagi berperan

sebagai obyek pembangunan melainkan menjadi subyek.

2. Pemegang Ijin Hak (IUPHHK,HTI,ISL). Pemegang ijin hak harus berperan sebagai

fasilitator, menciptakan suasana positif agar semua pihak terkait bisa memberikan

konstribusi dalam pengembangan dan pelaksanaan program. Mereka semestinya

bertindak sebagai 'pemungkin' (enabler) yang mendorong masyarakat untuk mencari

dan menemukan solusi terhadap masalah-masalah yang muncul, dan bukannya

menyediakan jawaban atas semua masalah yang ada. Mereka selayaknya

mempertimbangkan perspesktif sosial dan hal-hal teknis serta menghindari dominasi

atas berjalannya proses partisipasi dalam pembangunan.

3. Pemerintah Daerah. Lembaga pemerintah di tingkat kabupaten perlu membuat

mekanisme penyusunan manajemen, monitoring serta evaluasi untuk mempromosikan

6

Page 8: Collaboration approach in environmental management

penerapan pendekatan partisipatif di tingkat lapangan dan lembaga-lembaga terkait.

Staf pemerintah memerlukan keahlian baru guna penerapan pendekatan ini, sehingga

mesti ada mekanisme penyebaran informasi dan menjalin hubungan koordinasi

dengan pemegang ijin hak, masyarakat, serta instansi lain terkait. Lebih jauh,

pemerintah daerah hendaknya juga menyediakan anggaran dana khusus untuk

mendorong partisipasi masyarakat dalam pengelolaan SDA.

4. Pihak lain terkait. Pihak lain yang dimaksud misalnya LSM, lembaga donor,

perguruan tinggi, kalangan pers, dan lain-lain. Pihak-pihak tersebut harus senantiasa

mendorong terwujudnya partisipasi dan pemberdayaan masyarakat dalam pengelolaan

SDA. Peran mereka bisa sebagai fasilitator, penyedia jasa pelatihan, penyebaran

informasi dan mediator bagi pihak-pihak yang berkepentingan.

7

Page 9: Collaboration approach in environmental management

BAB III

REVIEW JURNAL

A. Review Jurnal Nasional

Implementasi Manajemen Kolaboratif Dalam Pengelolaan Ekowisata Berbasis

Masyarakat

(Studi Kasus : Kampung Citalahab Sentral – Cikaniki, Taman Nasional Gunung

Halimun Salak, Kabupaten Sukabumi, Jawa Barat)

Oleh : Wulandari

Review:

Ekowisata merupakan alternatif sytem pemanfaatan sumberdaya alam yang mampu

menjamin kelestarian sumbedaya alam dan peningkatan kesejahteraan masyarakat. Karena

ekowisata hanya memanfaatkan jasa-jasa lingkungan yang disediakan oleh sumberdaya alam

dan menempatan masyarakat sebagai pelaku penting. Oleh karena itu salah satu usaha yang

dilakkukan oleh Taman Nasional Gunung Halimun Salak (TNGHS) adalah dengan

mengembangkan ekowisata berbasis masyarakat dimana tidak hanya menjaga kelestarian

lingkungan dan budaya tetapi dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat setempat.

Pihak yang terlibat dalam pengembangan ekowisata di kawasan ini tidak hanya pihak

taman nasional dan masyarakat setempat. Pihak lain yang banyak memberikan kontribusi

dalam pengembangan ekowisata ini adalah keberadaan Yayasan Ekowisata Halimun (YEH)

dan berbagai travel agent. Kerjasama multi pihak ini dikenal juga dengan istilah menajemen

kolaboratif. Melalui manajemen kolaboratif ini diharapkan dapat mewujudkan pengelolaan

TNGHS yang lebih baik sehingga bermanfaat optimal bagi kepentingan ekologis, sosial dan

ekonomi sesuai dengan karakteristik taman nasional.

Manfaat pengelolaan kolaboratif ekowisata berbasis masyarakat di Kampung

Citalahab meliputi manfaat ekonomi sosial dan manfaat ekologis. Manfaat ekonomi yang

dirasakan yaitu adanya penyerapan tenaga kerja lokal sebgai penyedia home stay, pemandu

lokal, porter dan juru masak. Selain itu juga membuka peluang usaha bagi masyarakat lain

untuk membuka warung di sekitar tempat wisata. Manfaat sosial yaitu mencakup

meningkatnya pengetahuan dan kemampuan masyarakat tentang ekowisata, pelestarian

budaya lokal khususnya budaya sunda dan terjadi pula transfer informasi antara masyarakat

dan para wisatwan. Kemudian manfaat ekologis dari kegiatan ekowisata yaitu masyarakat

ikut membantu taman nasional untuk menjaga sumberdaya alam yang ada dalam kawasan.

8

Page 10: Collaboration approach in environmental management

Terdapat beberapa pemasalahan yang muncul dari kolaborasi antara pihak BTNGHS

dan KSM selaku organisasi warga sekitar taman nasional. Permalahan yang ada antara lain

adalah kurangnya perhatian dari pemenrintah terutama pemerintah daerah untuk membantu

pengembangan ekowisata di daerah ini. Masalah kedua adalah kurangnya fasilitas untuk

berkomunikasi melalui telepon selular. Hal ini karena di kampung ini hanya dapat

berkomunikasi dengan menggunakan operator dari Telkomsel. Masalah ketiga adalah jumlah

pengunjung yang tidak menentu dan hanya ramai pada saat tertentu juga menjadi penghambat

bagi pengembangan ekowisata di daerah ini.

Sedangkan faktor yang jadi penghambat kolaborasi adalah belum adanya kepastian

hukum dalam kesepakatan yang dibuat oleh masyarakat dan pihak BTNGHS sehingga

apabila terjadi pelanggaran, kurangnta sumberdaya manusia yang dimiliki oleh BTNGS

sehingga mengakibatkan kurang fokus dalam menangani masalah yang ada. Faktor lainnya

adalah belum terlibatnya semua pihak yang memiliki kepentingan terhadap kegiatan

ekowisata berbasis masyarakat di Kampung Citalahab dalam pelaksanaan kolaborasi dan

faktor yang terakhir adalah lemahnya kelembagaan yang dimiliki oleh KSM yang disebabkan

oleh beberapa hal seperti rendahnya mutu sumberdaya manusia anggota KSM, sulitnya untuk

melakukan koordinasi dengan sesama anggota karena leahnya keinginan untuk berorganisai

sehingga sulit untuk melakukan musyawarah, terjadinya kecemburuan di antara sesama

anggota KSM karena adanya perbedaan pendapatan dari kegiatan ekowisata, masih adanya

hubungan kekeluargaan di antara sesam anggota KSM sehingga sulit untuk menerapkan

aturan-aturan organisasi yang formal dan yang terakhir adalah karena dilema kepemilikan

lahan karena tingga dan mengembangakan kegiatan ekowisata di lahan pemerintah yang

bukan milik mereka

9

Page 11: Collaboration approach in environmental management

B. Review Jurnal Internasional

Journal of Environmental Planning and Management,

Vol. 47, No. 1, 59–82, January 2004

The Role of Collaboration in Environmental

Management: An Evaluation of Land and Resource

Planning in British Columbia

TANIS M. FRAME, THOMAS GUNTON & J. C. DAY

School of Resource and Environmental Management, Simon Fraser University, Burnaby,

British Columbia, Canada

Review:

Literatur terbaru tentang perencanaan penggunaan lahan mengusulkan penggunaan

model inovatif kolaboratif perencanaan (collaborative planning/ CP) untuk menyelesaikan

sengketa perencanaan.Makalah ini menggunakan peserta survei berdasarkan 25 kriteria

evaluatif untuk mengevaluasi penerapan CP terhadap perencanaan penggunaan lahan di

British Columbia, Kanada. Hasil menunjukkan bahwa CP merupakan cara yang efektif untuk

menyelesaikan konflik lingkungan dan menghasilkan manfaat tambahan yang signifikan,

seperti memperbaiki stakeholder, keterampilan, dan pengetahuan. Evaluasi studi kasus juga

mengidentifikasi kunci sukses manajemen CP termasuk faktor yang berhubungan dengan

proses desain dan kondisi eksternal.

Collaborative Planning

Keistimewaan dari CP adalah menggunakan tingkat yang lebih tinggi dari kolaborasi

dan keterlibatan stakeholder dibandingkan pendekatan perencanaan lainnya (Duffy et al,

1996.;Carr et al, 1998;. Susskind et al, 2000;.Wondolleck & Yaffee 2000; Gunton &

Day,2003). Dalam CP, kewenangan untuk mengembangkan rencana yang didelegasikan

kepada para pemangku kepentingan yang bekerja bersama-sama dalam tatap muka negosiasi

untuk mencapai kesepakatan konsensus. Biasanya CP menggunakan fasilitator, mencari

konsensus, memastikan bahwa semua peserta mendengar, dan memastikan bahwa diskusi

didasarkan pada kepentingan, dan tidak ditentukan posisi.

Manfaat utama dari CP adalah untuk menyelesaikan konflik di antara stakeholder

yang bersaingkarena lebih mengidentifikasi solusi untuk kepentingan bersama dari semua

pihak (Bacow & Wheeler, 1984; Susskind & Cruikshank 1987, Fisher et al, 1991;.Gunton &

Flynn, 1992; Harter, 1997, Innes & Booher, 1999; Wondolleck & Yaffee, 2000; Gunton &

Day, 2003).Kualitas kesepakatan yang dihasilkan lebih tinggi karena mereka menggabungkan

beberapapengalaman unik dan pengetahuan yang luas sehingga menghasilkan ide-ide inovatif

10

Page 12: Collaboration approach in environmental management

dan menguntungkan masyarakat luas (Susskind & Cruikshank, 1987; Innes & Booher, 1999;

Gunton & Day, 2003).Beberapa hambatan yang mempengaruhi keefektivitasan CP yaitu:

Perbedaan dasar ideologi antar stakeholder

Lembaga kebudayaan menolak perubahan

Kurangmya fleksibilitas

Kurangnya kepercayaan antara stakeholder

Ketidakseimbangan kekuatan yang signifikan antara stakeholder

Ketidakseimbangan kemampuan negosiasi antara peserta

Ada beberapa inti dari hambatan-hambatan diatas yaitu pertama, terdapat isu dari

ketidak-seimbangan kekuatan yang menyebabkan stakeholder yang lebih kuat mencapai

tujuannya tanpa melalui proses CP. Kedua adalah akuntabilitas proses CP terhadap minat

masyarakat

Case Study: Land-use Planning in British Columbia

Studi kasus di British Columbia memiliki populasi 4,1 juta dan wilayah seluas 95 juta

hektar. Pemerintah British Columbia memiliki 94% dari tanah dasar provinsi (Gunton &

Fletcher, 1992).Sekitar 85% dari tanah dasar diklasifikasikan sebagai hutan provinsi yang

digunakan untuk beberapa penggunaan kehutanan.

Pada era tahun 1980,konflik antara ekstraksi sumber daya dan pelestarian intensif

yang dikenal sebagai 'perang hutan', ditandai dengan blokade dan protes atas pengambilan

murni daerah pertumbuhan tua (Williams et al, 1998;. BC CORE, 1995).Perencanaan

penggunaan lahan selama periode ini dikelola oleh Departemen Kehutanan dengan konsultasi

publik terbatas (Gunton, 1991; SM CORE, 1995).Dalam menanggapi konflik, provinsi

bereksperimen dengan alternatif perencanaan seperti komite penasehat, gugus tugas,

danmeningkatkan konsultasi dengan publik untuk mencoba menyelesaikan penggunaan lahan

dan konflik lingkungan. Meskipun pendekatan ini tidak berhasil dalam

menyelesaikankonflik, mereka menekankan perlunya pendekatan baru untuk perencanaan

penggunaan lahan(Williams et al, 1998;.BC CORE, 1995; Cashore et al, 2001.).

Evaluating Collaborative Planning Processes

Metodologi peneltian yang digunakan untuk mengevaluasi CP adalah sebagai

berikut.Pertama adalah mereview program evaluasi dan literatur pada CP. Berdasarkan

penelaahan ini, kerangka dikembangkan untuk mengevaluasi studi kasus British Columbia

berdasarkan pada integrasi dari beberapa kerangka kerja yang diusulkan dalam literature yang

terdiri dari 14 kriteria proses yang menjelaskan fitur yang diinginkan dari proses desain dan

11 kriteria akhir yang menjelaskan tujuan yang diinginkan. Dua ratus enam puluh respon

11

Page 13: Collaboration approach in environmental management

telah diterima dan membentuk dasar dari Analisis ini (response rate 35%). Interval

kepercayaan untuk hasil penelitian ini adalah _ / - 2,98%, 95% pada saat itu. Dari mereka

yang menjawab, 71% terlibat untuk 75% atau lebih dari proses, dan 54% untuk 90% atau

lebih dari proses.

Outcomes Evaluation

Kriteria dan deskripsi dari hasil:

1. Agreement: proses mencapai kesepakatan dan diterima oleh seluruh pihak.

2. Perceived as Successful: Proses dan hasil dianggap sukses oleh pemangku

kepentingan.

3. Conflict Reduced: Proses dapat mengurangi konflik yang terjadi.

4. Superior to Other Methods: Proses dianggap lebih unggul sebagai pendekata

alternatif.

5. Innovation and Creativity: Proses menghasilkan hasil dan ide-ide yang kreatif dan

inovatif.

6. Knowledge, Understanding and Skills: Stakeholder memperoleh pengetahuan,

pemahaman dan keterampilan dengan berpartisipasi dalam proses.

7. Relationships and Social Capital:Proses menciptakan hubungan pribadi dan

hubungan kerja baru diatara partisipan.

8. Information: Proses menghasilkan data, informasi, dan analisis yang lebih baik

9. Second-order Effects: Proses memiliki efek lain yaitu termasuk perubahan sikap dan

tindakan, kemitraan, aktivitas kolaboratif, praktek baru atau lembaga baru. Partisipan

bekerjasama dalam isu-isu proyek diluar proses.

10. Public Interest: Hasil dianggap adil dan melayani kepentingan bersama atau

masyarakat umum, bukan hanya partisipan dari proses.

11. Understanding and Support of CP: Proses ini menghasilkan peningkatan pemahaman

dan dukungan partisipan untuk penggunaan pendekatan Collaborative Planning di

masa mendatang.

Process Evaluation

12

Page 14: Collaboration approach in environmental management

Kriteria dan deskripsi proses:

1. Purpose and Incentives: Proses ini didorong oleh tujuan bersama dan menyediakan

insentif untukberpartisipasi dan bekerja menuju konsensus dalam proses.

2. Inclusive Representation: Semua pihak dengan minat yang signifikan dengan isu-isu

dan hasil terkait terlibat dalam proses.

3. Voluntary Participation and Commitment: Pihak-pihak yang berminat untuk

perpartisipasi secara sukarela dan berkomitmen pada proses.

4. Self-design: Pihak-pihak bekerjasama untuk mendesain prosesnya sesuai dengan

kebutuhan masing-masing.

5. Clear Ground Rules: Sebagaimana proses telah dijalankan, prosedur kerangka kerja

yang komprehensif terbentuk termasuk ketentuan referensi dan operasional prosedur.

6. Equal Opportunity and Resources: Proses ini menyediakan kesempatan yang adil bagi

partisipan.

7. Principled Negotiation and Respect: Proses ini beroperasi sesuai dengan kondisi dari

prinsip bernegosiasi yaitu saling menghormati, percaya, dan pengertian.

8. Accountability: Proses ini beserta partisipannya bertanggung jawab pada masyarakat

luas, untuk konstitusi, dan untuk proses itu sendiri.

9. Flexible, Adaptive, and Creative: Fleksibilitas dirancang dalam proses untuk

memungkinkan kreativitas dalam suatu pemecahan masalah.

10. High-Quality Information: Proses ini menggabungkan informasi berkualitas tinggi ke

dalam pengambilan keputusan.

11. Time Limits: Tonggak dan tenggat waktu yang realistis ditetapkan dan dikelola

melalui proses.

12. Commitment to Implementation and Monitoring:Proses dan keputusan akhir

melibatkan komitmen dalam implementasi dan monitoring.

13. Effective Process Management: Proses ini dikoordinasikan dan dikelola secara efektif

dan dalam sikap netral.

14. Independent Facilitation: Proses menggunakan fasilitator yang terlatih untuk

memandu jalannya proses.

Designing an Effective Collaborative Planning Process

13

Page 15: Collaboration approach in environmental management

Hasil dari evaluasi menunjukkan bahwa proses LRMP berhasil dalam mencapai

konsensus atau rencana penggunaan lahan. Mengingat intensitas konflik berbasis nilai di

antara para stakeholder, pencapaian konsensus rencana penggunaan lahan untuk sebagian

besar dari dasar penggunaan lahan provinsi adalah hasil yang luar biasa yang

menggambarkan manfaat relatif CP untuk proses sebelumnya yang telah gagal untuk

menyelesaikan rencana. Proses LRMP juga menghasilkan manfaat tambahan yang penting

termasuk peningkatan keterampilan, peningkatan pengetahuan dan hubungan pemangku

kepentingan ditingkatkan.

Proses LRMP menggambarkan beberapa tantangan dan peringatan yang harus diingat

ketika mengelola proses CP. Pertama, lingkungan eksternal harus kondusif untuk CP.

Tekanan eksternal merupakan faktor penting untuk mendorong mereka untuk berpartisipasi

dalam proses LRMP. Kedua, meskipun penting untuk memungkinkan pemangku kepentingan

merancang self-design, hasil survei menunjukkan bahwa keseimbangan antara pra-desain

oleh manajer proses dan self-design oleh stakeholder harus mendukung proses pra-desain.

Ketiga, proses tersebut harus dikelola dengan jadwal yang jelas dan realistis.Dari penelitian

Leach pada tahun 2002, menunjukkan bahwa dibutuhkan sekitar empat tahun untuk

menyelesaikan proses CP dan proses yang tergesa-gesa dapat mengakibatkan kegagalan.

Keempat, sangat penting untuk mengatasi masalah kesetaraan di antara stakeholder dengan

menyediakan dana, pelatihan, dukungan dan fasilitasi netral untuk membantu semua

perwakilan berpartisipasi secara efektif.Kelima, hasil survei menunjukkan bahwa

akuntabilitas proses kepada masyarakat luas harus ditangani dengan mengkomunikasikan dan

melibatkan masyarakat umum dalam proses melalui mekanisme seperti newsletter, open

house dan lokakarya. Hal ini meningkatkan kemungkinan bahwa masyarakat yang lebih luas

memahami bagaimana keputusan diambil, dan bahwa kepentingan publik yang lebih luas

termasuk dalam pengambilan keputusan dan rekomendasi rencana akhir. Dan yang terakhir,

kesepakatan tentang rencana tidak harus diartikan sebagai kepuasan penuh dengan rencana

atau proses. Hasil survei menunjukkan bahwa rencana yang disepakati, 44% dari para

pemangku kepentingan tidak puas dengan hasilnya.Strategi untuk mengelola perselisihan

diperlukan untuk mencapai keberhasilan pelaksanaan.

Kesimpulan

14

Page 16: Collaboration approach in environmental management

Secara keseluruhan, percobaan dengan proses perencanaan kolaboratif (Collaborative

Planning) dalam perencanaan penggunaan lahan di British Columbia merupakan sukses yang

luar biasa dalam mempromosikan kesepakatan di antara stakeholder yang selama era tahun

1980 telah menjadi konflik. CP memungkinkan pemangku kepentingan untuk berpindah dari

konflik intens menuju negosiasi hormat, ketika proses sebelumnya yang menggunakan teknik

yang lebih tradisional seperti konsultasi publik telah gagal. Hasilnya telah disepakati, yaitu

lahan dan rencana pengelolaan sumberdaya bagi sebagian besar pedesaan British

Columbia.CP juga menghasilkan manfaat tambahan yang penting, termasuk memperbaiki

hubungan, pemahaman meningkat dan jaringan antara para pemangku kepentingan yang

beragam. Peserta mengembangkan keterampilan dan pemahaman tentang alat kolaborasi

untuk pengambilan keputusan di masa depan. Singkatnya, evaluasi studi kasus menegaskan

bahwa penggunaan CP adalah layak dan diinginkan bahkan dalam kasus seperti British

Columbia, yang ditandai dengan konflik nilai fundamental.

Studi kasus juga mengidentifikasi beberapa kunci untuk manajemen CP yang sukses.

Standar proses pengambilan keputusan sangat penting untuk memotivasi peserta untuk

mencapai kesepakatan di meja perundingan. Sebuah proses CP efektif memerlukan tujuan

yang jelas, struktur yang jelas, jadwal yang realistis dari sekitar empat tahun, dan staf yang

memadai dan sumber daya informasi. Proses ini membutuhkan partisipasi pemangku

kepentingan yang luas dan langkah-langkah seperti pelatihan dan bantuan keuanganuntuk

mengurangi kesenjangan antara kelompok-kelompok pemangku kepentingan. Proses harus

bertanggung jawab kepada publik yang lebih luas melalui proses partisipasi masyarakat yang

saling melengkapi dan retensi pengambilan keputusan akhir oleh badan demokratis yang

akuntabel

BAB IV

15

Page 17: Collaboration approach in environmental management

KESIMPULAN

Dua prioritas menyangkut hak dasar atas sumberdaya alam dan pengelolaan

diusulkan sebagai bagian tak-terpisahkan dari proses rasionalisasi kawasan SDA.

Memprioritaskan tindakan ke arah pengakuan atau pemberian hak-hak pengelolaan, atau

jika memungkinkan, kepemilikan kepada masyarakat setempat (baik secara kolektif

maupun perseorangan) atas tanah di dalam Kawasan Hutan.

Hak-hak atas sumberdaya memprioritaskan pengelolaan berkelanjutan terhadap

hutan yang secara aktual masih ada, sebagaimana didefinisikan oleh Undang-undang

Kehutanan Tahun 1999 (UU 41 tahun 1999 tentang Kehutanan). Wilayah tersebut adalah

hutan produksi dan hutan lindung yang tersisa. Tindakan tersebut mungkin akan

mengarah kepada penguasaan hutan yang lebih masuk akal dan diterima luas. Hasilnya

seharusnya diakui oleh masyarakat setempat dan seharusnya diarahkan untuk sebuah

pengelolaan-bersama (co-management) sumberdaya hutan (bukan tanahnya) antara

masyarakat setempat dengan pemerintah.

Upaya mengoptimalkan peranan dan sumbangan sektor kehutanan pada

pembangunan berarti evaluasi dari kebjakan yang ada sekarang dan menyempurnakan

aspek-aspek yang tidak mendorong pengelolaan SDA yang berkelanjutan. Kejayaan SDA

yang selalu didengungkan sebagai sumber daya alam yang berlimpah dan tak terkirakan

nilainya tampaknya hanya akan tinggal kenangan apabila tidak ada upaya nyata dan

sungguh-sungguh serta menyeluruh dari semua pihak yang berkepentingan untuk

melestarikannya dengan baik.

DAFTAR PUSTAKA

16

Page 18: Collaboration approach in environmental management

Anonim. 2006.Pengelolaan Sumberdaya Hutan Lestari Secara Partisipatif Dan Terintegrasi

Di Kabupaten Wonosobo. Pemerintah Daerah Wonosobo. www.arupa.or.id.

Diakses pada tanggal 25 Januari 2009.

Awang, San Afri, 2003, Politik Kehutanan Masyarakat, Kreasi Wacana, Yogyakarta.

De Foresta et al. 2000. Ketika Kebun berupa hutan: Sebuah Sumbangan masyarakat, ICRAF

Bogor;, Pustaka Hutan Rakyat Vol IV, no 3, Yogyakarta.

Fisher, Simon, Jawed Ludin, Steve Williams, Dekha Ibrahim Abdi, Richard Smith dan Sue

Williams, 2000, Mengelola Konflik, Ketrampilan dan Strategi untuk Bertindak,

The British Council, Indonesia, Jakarta.

Frame, Tanis M. et al, 2004.The Role of Collaboration in Environmental Management: An

Evaluation of Land and Resource Planning in British Columbia. Journal of

Environmental Planning and Management Vol. 47, No. 1, 59–82.Carfax

Pupblishing, Canada [http://www.rri.wvu.edu/pdffiles/wp9423.pdf] diakses pada

tanggal 11 Desember 2012

Iskandar U, 1999, Dialog Kehutanan dalam Wacana Global, cet. 1, Bigraf Publishing :

Yogyakarta.

Miall, Hugh, Oliver Ramsbothan, dan Tom Woodhouse, 2002, Resolusi Damai Konflik

Kontemporer, Menyelesaikan, Mencegah, Mengelola dan Mengubah Konflik

Bersumber Politik, Sosial, Agama dan Ras, Raja Grafindo Persada, Jakarta.

Mangunwijaya, F.M., 2006, Hidup Harmonis dengan Alam, edisi 1, Yayasan Obor Indonesia,

Jakarta.

Prakoso M., 1996, Renjana Kebijakan Kehutanan, Aditya Media, Yogyakarta.

Sardjono, Mustofa Agung, 2004, Mosaik Sosiologis Kehutanan: Masyarakat Lokal, Politik,

dan Kelestarian Sumberdaya, Debut Press, Yogyakarta.

Tajjudin, D, 2000, Manajemen Kolaborasi, Pustaka LATIN. Bogor.

Usman, Sunyoto, 2004, Jalan Terjal Perubahan Sosial, CIRed dan Jejak Pena, Yogyakarta.

Wiyono T Putro, 2008, Pentingnya Partisipasi dan Penguatan Kelembagaan Masyarakat

dalam Pengelolaan Hutan Jawa, Makalah Kursus Pengelolaan Hutan, DERAS

Training Centre, Yogyakarta.

Wulandari, 2011. Implementasi Manajemen Kolaboratif dalam Pengelolaan Ekowisata

Berbasis Masyarakat, IPB: Bogor

17