counterterrorism atau counterinsurgency
TRANSCRIPT
7/30/2019 Counterterrorism Atau Counterinsurgency
http://slidepdf.com/reader/full/counterterrorism-atau-counterinsurgency 1/17
1
Counterterrorism atau Counterinsurgency :
Menghadapi Terorisme dan Pemberontakan
di Asia TenggaraYunizar Adiputera 11/326029/PSP/04251
Disusun untuk memenuhi tugas akhir mata kuliah Keamanan Internasional
Abstract
After the tragedy of 9/11, Global War on Terror (GWoT) was declared and
soon roamed through the entire world. Counter terrorism is the primary
strategy employed by most countries to deal with terrorists. However, evenwith massive commitment to such strategy, the impact to the actual decline of
terrorist activities remains dubious. While on the other hand, the strategy of
counter insurgency has been gaining traction within the defense community
and policy makers. This paper seeks to find the best strategy in dealing with
terrorism by examining both counter terrorism and counter insurgency. It
argues in favor of counter insurgency based on the analysis of the concept of
terrorism and insurgency. It finds that terrorism is nothing more than
transnational insurgent movements that seek to undermine the legitimacy of the
existing order. This paper uses the case of Jamaah Islamiyah (JI) and
insurgent movements in Southeast Asia to illuminate the merit of its arguments.
Pendahuluan
Global War on Terror (GWoT) yang dideklarasikan oleh George W. Bush sebagai reaksi atas
serangan teroris 11 September di Amerika Serikat membawa dampak besar terhadap studi
peperangan modern. Pada awalnya, konsep terorisme dan counterterrorism (CT) merupakan
kajian yang terpisah baik secara analitis maupun secara praktis dengan konsep pemberontakan
(insurgency)1
dan counterinsurgency (COIN). Aspek peperangan dengan gaya militeristik
tadinya tidak diasosiasikan dengan operasi CT, yang mana lebih banyak menerapkan operasiintelijen dan penegakan hukum untuk ‗memerangi‘ terorisme.
2Invasi yang dilakukan oleh Bush
ke Irak dan Afghanistan sebagai bagian dari agenda besar untuk membasmi Al Qaeda
1Istilah insurgency dalam tulisan ini diterjemahkan secara sederhana menjadi ‗pemberontakan‘ atau ‗perlawanan‘.
2 Michael J. Boyle, ―Do Counterterrorism and Counterinsurgency Go Together?,‖ International Affairs 86, no. 2
(2010): 342.
7/30/2019 Counterterrorism Atau Counterinsurgency
http://slidepdf.com/reader/full/counterterrorism-atau-counterinsurgency 2/17
2
memunculkan dimensi militeristik dari tindakan CT. Di sisi lain, invasi dan okupasi yang
dilakukan Amerika Serikat di kedua negara ini telah memunculkan apa yang disebut oleh
Kilcullen sebagai accidental guerilla,3
yakni Taliban di Afghanistan dan faksi-faksi Syiah dan
Sunni di Irak. Konsekuensinya, terjadi pencampuran tentang konsep terorisme dan
pemberontakan, serta CT dan COIN sebagai strategi menghadapinya.
Tanpa disertai pemahaman yang baik, pencampuran kedua konsep ini secara praktis akan
berpotensi melemahkan efektivitas keduanya. CT dan COIN memiliki basis pemahaman yang
berbeda tentang musuh, dalam hal ini teroris dan pemberontak. CT menekankan bahwa teroris
merupakan aktor yang jahat secara moral dan tidak mewakili siapa pun yang ada dalam
masyarakat, sehingga pemerintah tidak bernegosiasi dengan teroris. COIN di sisi lain melihat
musuhnya sebagai aktor yang, meskipun menggunakan cara-cara yang jahat, merefleksikan
adanya masalah mendasar yang ada dalam masyarakat, misalnya kemiskinan dan ketidakadilan,
sehingga untuk menghentikan pemberontakan tersebut diperlukan upaya dari pemerintah untuk
menyelesaikan permasalahan mendasar tersebut.4 Memenangkan ‗hearts and minds‘ masyarakat
merupakan tujuan penting dari operasi COIN. Upaya agresif CT disandingkan dengan upaya
komprehensif COIN untuk mendekati masyarakat jika tidak hati-hati dijalankan dapat saling
menggagalkan.
Meski demikian, memisahkan secara komplit kedua konsep ini tanpa berhasil menjelaskan
korelasi antara keduanya juga tidak tepat. CT dan COIN memang sifatnya berbeda, tetapi
perbedaan tersebut disebabkan oleh banyak pihak yang melihat keduanya dalam kerangka yang
berbeda pula. Jika terorisme dipahami sebagai suatu metode untuk mencapai suatu tujuan, maka
CT seharusnya dilihat sebagai suatu upaya untuk mencegah pihak-pihak tertentu menggunakan
cara-cara terorisme untuk mencapai tujuannya. Karena semua tindakan terorisme memiliki
tujuan tertentu yang ingin dicapai, dan tujuan tersebut hampir semuanya menggerogoti legitimasi
negara, maka CT harus dilihat sebagai bagian dari strategi besar untuk menghentikan gerakan
pemberontakan/perlawanan terhadap negara, dengan kata lain CT adalah bagian dari COIN.
Memahami CT sebagai bagian dari COIN akan sangat berbeda dengan memahami CT sebagai
konsep tersendiri.
3Lihat David Kilcullen, The Accidental Guerrilla: Fighting Small Wars in the Midst of a Big One, edisi pertama
(Oxford University Press, USA, 2009).4
David Kilcullen, Counterinsurgency (Oxford University Press, USA, 2010), 186 – 187.
7/30/2019 Counterterrorism Atau Counterinsurgency
http://slidepdf.com/reader/full/counterterrorism-atau-counterinsurgency 3/17
3
Dalam prakteknya di kawasan Asia Tenggara, di mana terorisme dan pemberontakan banyak
bermukim, strategi CT sangat dominan digunakan oleh negara-negara untuk membasmi baik
teroris maupun pemberontak. Khusus untuk pemberontakan, secara resmi memang strategi yang
digunakan adalah COIN, tetapi doktrin COIN yang digunakan tetap menitikberatkan pada
pendekatan militer dan kurang memperhatikan pendekatan politik yang seharusnya menjadi
bagian tidak terpisahkan dari COIN. Jika pun doktrin yang digunakan telah benar, konsistensi
dalam implementasi operasi COIN sering kali sangat lemah.
Hal yang perlui dicatat, banyak ditemukan indikasi keterkaitan tidak langsung antara gerakan
terorisme transnasional dengan gerakan pemberontakan di Asia Tenggara, terutama yang
memiliki basis identitas yang sama dalam hal ini agama Islam.5
Terlepas benar tidaknya indikasi
ini, satu hal yang tidak dapat dibantah adalah perlakuan pemerintah terhadap gerakan
pemberontakan Islam di kawasan ini dapat berpengaruh terhadap aktivitas terorisme
transnasional seperti Jamaah Islamiyah berupa kesempatan untuk melakukan ‗infeksi dan
manipulasi‘ keadaan.6
Keterkaitan antara terorisme dan pemberontakan di level praktis ini
memunculkan kebutuhan akan suatu strategi yang komprehensif. COIN yang menggunakan
kombinasi pendekatan politik dan militer merupakan strategi yang paling tepat untuk
menghadapi terorisme dan pemberontakan, khususnya di kawasan Asia Tenggara. Keberhasilan
pemerintah Indonesia dalam melakukan operasi COIN di Aceh dapat menjadi rujukan tentang
efektivitas strategi ini.
Pertanyaan yang akan dikupas dalam tulisan ini adalah mengapa COIN merupakan
pendekatan dan strategi yang lebih tepat dibandingkan CT dalam menghadapi ancaman terorisme
dan pemberontakan di Asia Tenggara? Paper ini berargumen bahwa gerakan terorisme regional
maupun global tidak lain adalah suatu bentuk pemberontakan (insurgency), sama seperti
pemberontakan yang terjadi di Aceh, Filipina Selatan maupun Thailand Selatan. Bedanya,
gerakan terorisme ini beroperasi dengan tidak mengindahkan batas-batas negara (transnasional)
dan targetnya bukan hanya menjatuhkan legitimasi negara tetapi juga menjatuhkan legitimasi
sistem internasional saat ini yang didominasi oleh paham liberalisme, modernisasi dan Amerika
Serikat. Untuk membangun argumen tersebut, tulisan ini akan dibagi menjadi tiga bagian.
Bagian pertama akan memetakan posisi konsep terorisme dan pemberontakan secara jelas dan
5Lihat Bruce Vaughn, Terrorism in Southeast Asia (Congressional Research Service, 2010).
6Kilcullen, The Accidental Guerrilla, 218.
7/30/2019 Counterterrorism Atau Counterinsurgency
http://slidepdf.com/reader/full/counterterrorism-atau-counterinsurgency 4/17
4
membuktikan bahwa terorisme sebenarnya hanya merupakan bagian dari konsep besar
pemberontakan. Bagian kedua akan menganalisa gerakan terorisme dan pemberontakan di Asia
Tenggara dan membuktikan bahwa gerakan Jamaah Islamiyah di Asia Tenggara memiliki
kesamaan sifat dengan gerakan pemberontakan lain yang ada di kawasan. Bagian akhir akan
menjelaskan tentang COIN sebagai strategi yang lebih efektif dalam menghadapi ancaman
terorisme dan pemberontakan di kawasan.
Paradigma terorisme dan pemberontakan
Ada dua kecenderungan yang terjadi dalam praktek maupun studi tentang terorisme dan
pemberontakan. Kecenderungan pertama adalah mencampuradukkan kedua konsep tersebut dan
menganggap bahwa keduanya merupakan gerakan yang sama. Hal ini ditunjukkan oleh Amerika
Serikat terutama dalam kepemimpinan George W. Bush, di mana penggunaan istilah terorisme
dan perlawanan/pemberontakan digunakan secara acak untuk mengacu pada hal yang sama.7
Bush juga secara implisit, meskipun tidak secara formal, menganggap bahwa gerakan seperti
pemberontak Chechnya di Rusia dan MILF di Filipina sebagai ‗teroris‘ pemberontak.8
Pencampuran kedua konsep ini sebenarnya pada tataran wacana tidak terlalu berpengaruh, tetapi
menjadi masalah ketika sudah masuk ke ranah strategic decision. Ketika pencampuran konsep
terorisme dan pemberontakan menghasilkan rekomendasi kebijakan untuk menggunakan strategi
CT, maka hal tersebut dapat membawa dampak strategis yang buruk seperti yang nanti akan
dijelaskan di bagian kedua tulisan ini.
Kecenderungan kedua adalah melihat kedua konsep tersebut berbeda, tetapi simetris. Artinya,
teroris dan pemberontak merupakan dua gerakan yang memiliki sifat-sifat mendasar yang
berbeda, tetapi berada pada tataran yang sama.9 Pendapat ini menekankan pembedaan antara Al
Qaeda dan Taliban, atau JI dan MILF. Kilcullen melihat bahwa perbedaan paradigma tentang
terorisme dan pemberontakan sebenarnya tidak lebih dari sekadar stereotype umum yang dianut
masyarakat, tanpa memiliki dasar analisis yang jelas. Tabel di bawah merangkum pandangan
umum tentang perbedaan antara terorisme dan pemberontakan.
7Haviland Smith, ―Defining Terrorism: It Shouldn‘t Be Confused with Insurgency,‖ American Diplomacy,
Desember 2008, http://www.unc.edu/depts/diplomat/item/2008/1012/comm/smith_defining.html.8
Vaughn, Terrorism in Southeast Asia, 17.9
Lihat John Antal, ―Counter -terrorism or Counterinsurgency?,‖ Military Technology 33, no. 12 (December 2009):
46 – 49; atau Smith, ―Defining Terrorism: It Shouldn‘t Be Confused with Insurgency.‖
7/30/2019 Counterterrorism Atau Counterinsurgency
http://slidepdf.com/reader/full/counterterrorism-atau-counterinsurgency 5/17
5
Tabel 1. Perbedaan paradigma terorisme dan pemberontakan.10
Kedua kecenderungan di atas tidak banyak membantu dalam upaya memahami kedua konsep
tersebut. Menentukan kesamaan atau ketidaksamaan kedua konsep tersebut tidak lebih penting
dari pada menentukan bagaimana hubungan antara kedua konsep tersebut. Penulis melihat bahwa
terorisme secara analitis berbeda dengan pemberontakan, tetapi posisi keduanya tidak simetris.
Terorisme harus dilihat sebagai suatu strategi atau metode dalam melakukan perlawanan.
Untuk dapat memahami posisi terorisme relatif terhadap pemberontakan, perlu untuk melihat
definisi masing-masing. Terorisme sebagai sebuah konsep memiliki definisi yang sangat
beragam dan belum ada kesepakatan tentang definisi yang berlaku secara universal. Untuk
keperluan tulisan ini, penulis merasa definisi yang diberikan oleh Schmid dan Jongman tepat
untuk menangkap arti dari terorisme. Mereka mendefinisikan terorisme sebagai:
“Terrorism is an anxiety-inspiring method of repeated violent action, employed
by (semi-) clandestine individual, group, or state actors, for idiosyncratic,
criminal, or political reasons, whereby — in contrast to assassination — the direct
targets of violence are not the main targets.”11 (penekanan oleh penulis)
Definisi pemberontakan, di sisi lain, menurut Field Manual 3-24 yang disusun oleh Gen.
David Petreaus adalah:
“ Insurgency is an organized, protracted politico-military struggle designed to
weaken the control and legitimacy of an established government, occupying
10Kilcullen, Counterinsurgency, 188.
11Alex Peter Schmid dan A. J. Jongman, Political Terrorism: A New Guide to Actors, Authors, Concepts, Data
Bases, Theories, & Literature (Transaction Publishers, 2005), 28.
7/30/2019 Counterterrorism Atau Counterinsurgency
http://slidepdf.com/reader/full/counterterrorism-atau-counterinsurgency 6/17
6
power, or other political authority while increasing insurgent control.”12
(penekanan oleh penulis)
Dapat dilihat bahwa kedua konsep tersebut, berdasarkan definisinya, tidak berada di level
yang sama. Terorisme merupakan suatu metode atau cara, sedangkan pemberontakan merupakan
perjuangan yang memiliki suatu tujuan politik tertentu. Dari sini dapat ditarik benang merah
antara terorisme dan pemberontakan, yakni hubungan antara instrumen dan tujuan. Perlu dicatat
bahwa tidak semua pemberontakan menggunakan metode terorisme untuk mencapai tujuannya.
Terorisme hanya lah salah satu metode kekerasan yang dapat dipilih oleh pemberontak diantara
pilihan-pilihan lainnya, misalnya perang gerilya dan operasi intelijen klasik cloak and dagger .
Dengan paradigma yang seperti ini, maka operasi CT tidak dapat dipandang sebagai operasi
independen yang dapat dijalankan terpisah dengan operasi COIN. CT harus dijalankan sebagai
suatu bagian dari sistem kerja yang lebih besar untuk menumpas pemberontakan. Jika operasi CTdijalankan tidak di dalam kerangka COIN, maka fokus dari operasi tersebut hanya pada
menangkap atau membunuh teroris. Operasi CT yang dijalankan dalam kerangka COIN akan
mengkaji lebih jauh apakah operasi penggerebekan teroris di suatu daerah akan membawa
dampak strategis pada pemenangan hati dan pikiran masyarakat. Jika ternyata penggerebekan
teroris di suatu daerah justru mengalienasi masyarakat, maka operasi tersebut memiliki nilai
strategis yang minus dan harus dipertimbangkan kembali kontribusinya terhadap tujuan utama
operasi. Gambar di bawah merupakan skema hubungan antara konsep pemberontakan dan
terorisme.
Gambar 1. Skema hubungan antara konsep pemberontakan dan terorisme.
12D. H Petraeus dan J. F Amos, US Army US Marine Corps Counterinsurgency Field Manual (Signalman
Publishing, 2009), 1 – 1.
Pemberontakan
Masalah/tujuan politik
Kekerasan/Militer
TerorismePerangGerilya
OperasiIntelijen
Dan lain-lain
NonKekerasan
Diplomasi/dukungan
asing
Mencaridukungan
masyarakatNegosiasi
Dan lain-lain
7/30/2019 Counterterrorism Atau Counterinsurgency
http://slidepdf.com/reader/full/counterterrorism-atau-counterinsurgency 7/17
7
Dengan skema di atas, maka dapat dipahami bahwa operasi CT yang bertujuan untuk
menghancurkan terorisme tidak akan dapat menyelesaikan keseluruhan permasalahan
pemberontakan karena tidak menjawab permasalahan mendasar. Untuk membuktikan kebenaran
dari konsep dan skema yang sudah disusun di atas, maka diperlukan aplikasi dalam kasus nyata
yakni gerakan terorisme dan pemberontakan di Asia Tenggara.
Gerakan terorisme dan pemberontakan di Asia tenggara
Setelah memahami kerangka berpikir tentang terorisme dan pemberontakan di atas, maka
selanjutnya diperlukan penyelidikan untuk melihat apakah Jamaah Islamiyah (JI) yang selama ini
dicap sebagai gerakan teroris sebenarnya adalah suatu gerakan pemberontakan. Asumsinya
sederhana, jika suatu gerakan menggunakan cara-cara kekerasan ataupun non-kekerasan untuk
mencapai suatu tujuan yang jelas bersifat politis dan dalam prosesnya menjatuhkan legitimasi
otoritas yang ada (baik negara maupun sistem internasional), maka gerakan tersebut dapat
dikategorikan sebagai pemberontakan. Cakupan area operasinya, baik dalam negara maupun
transnasional, bukan merupakan parameter yang penting dan relevan.
JI didirikan secara resmi oleh Abu Bakar Baasyir dan Abdullah Sungkar pada awal 1990an,
tepatnya sekitar 1993-1994. JI disebut-sebut sebagai keturunan dari gerakan Darul Islam yang
memberontak terhadap pemerintah Republik Indonesia di masa-masa awal kemerdekaan.13
Tuntutan gerakan Darul Islam adalah menjadikan Indonesia sebagai negara Islam yang berdasar
pada syariat, yang juga tercermin sebagai tujuan dari JI. JI sendiri secara organisasi merupakan
gerakan yang rapi dan terstruktur dengan baik. JI dipimpin oleh lima orang Dewan Penasihat
Regional yang dibantu oleh penasihat spiritual.14 Di bawahnya terdapat empat mantiqi, atau
komite, yang menjalankan fungsi-fungsi pengumpulan dana, indoktrinasi, pelatihan militer dan
pengadaan persenjataan. Masing-masing mantiqi ini kemudian dibagi lagi ke dalam unit-unit
kecil berupa batalion, peleton dan regu.15
Dari segi metode dan taktik yang digunakan, JI terpecah ke dalam dua faksi. Pada tahun-tahun
awal pembentukannya, JI sebenarnya mendukung penggunaan jalan damai dalam mencapai
13Peter Symonds, The Political Origins of Jemaah Islamiyah (Global Research, 2005),
http://www.globalresearch.ca/index.php?context=va&aid=1030.14
Pada tahun 2000-2001 pemimpin Dewan Penasihat Regional adalah Hambali, sedangkan penasihat spiritual
adalah Baasyir dan Sungkar.15
Vaughn, Terrorism in Southeast Asia, 6.
7/30/2019 Counterterrorism Atau Counterinsurgency
http://slidepdf.com/reader/full/counterterrorism-atau-counterinsurgency 8/17
8
tujuannya untuk membentuk negara Islam. Namun, di tengah perjalanan kelompok ini mulai
mengambil jalan-jalan kekerasan dalam bentuk perang suci sebagai taktiknya. Hal ini disebabkan
oleh kontak antara tokoh-tokoh JI dan anggota Al Qaeda yang berada di Afghanistan ketika itu.16
Kelompok yang menggunakan cara-cara teror ini dipimpin oleh Nordin Mohammad Top.
Giatnya operasi CT yang dijalankan oleh pemerintah-pemerintah di Asia Tenggara, termasuk
Indonesia, membuat pergerakan faksi JI ini menjadi sangat terbatas dan tokoh-tokohnya
ditangkap dan terbunuh. Namun, melemahnya faksi ini tidak membuat faksi lainnya menjadi
dorman. Faksi pengkhotbah, atau biasa disebut sebagai faksi birokrat di tubuh JI, tetap rajin
melakukan doktrinasi di dalam masyarakat untuk mendapatkan cukup basis massa agar suatu
hari dapat melakukan revolusi dan mendirikan negara Islam.
Dari penjelasan singkat di atas, dapat dilihat dengan jelas bahwa JI sebagai suatu organisasi
yang terstruktur baik, memiliki tujuan politik yang jelas, yakni menggantikan sistem negara
bangsa yang ada sekarang dengan negara berbasis agama Islam, paling tidak untuk wilayah Asia
Tenggara. Baik faksi yang memilih jalan teror/kekerasan maupun faksi yang memilih jalan-jalan
dakwah dan doktrinasi, secara praktek keduanya berupaya melemahkan legitimasi dari negara-
negara di Asia Tenggara.
Hal lain yang perlu dicatat dari gerakan JI adalah hubungan gerakan-gerakan ini dengan
masyarakat. Di negara-negara Asia Tenggara seperti Indonesia, Malaysia, Thailand Selatan dan
Filipina Selatan, JI memiliki ruang untuk melakukan konsolidasi karena adanya akses yang
diberikan oleh masyarakat terhadap gerakan ini. Masyarakat muslim yang taat memiliki tingkat
toleransi yang lebih besar pada kelompok-kelompok ini, karena alasan perjuangan mereka yang
didasari oleh ketidakadilan juga dirasakan oleh sebagian besar umat muslim. Radikalisasi
masyarakat muslim yang akhir-akhir ini terjadi sama sekali tidak membantu upaya-upaya untuk
memberantas JI karena dekatnya radikalisme dan terorisme.17 Kemungkinan lain leluasanya
gerakan JI di Asia Tenggara adalah ketidaktahuan masyarakat tentang organisasi ini, terbukti
dengan banyak kasus penggerebekan di Indonesia yang banyak terjadi di wilayah padat
pemukiman. Masyarakat sekitar sering kali menunjukkan keterkejutan mereka atas operasi ini
16 ―Profil Jamaah Islamiyah,‖ BBC Indonesia, 22 September 2010,
http://www.bbc.co.uk/indonesia/berita_indonesia/2010/09/100922_jamaahislamiyah.shtml.17
Lihat Muhadi Sugiono, Terrorism, Radicalism and Violence: Preliminary Research and Conceptual Development
(Semarang: Center for Law Enforcement Cooperation, 2011).
7/30/2019 Counterterrorism Atau Counterinsurgency
http://slidepdf.com/reader/full/counterterrorism-atau-counterinsurgency 9/17
9
karena mereka sama sekali tidak menaruh curiga pada anggota-anggota JI yang bermukim di
wilayah mereka.
Pelemahan legitimasi negara oleh kelompok-kelompok ini serupa dengan upaya-upaya yang
dilakukan oleh kelompok-kelompok pemberontak lain yang ada di Asia Tenggara. Gerakan Aceh
Merdeka ketika masih aktif memperjuangkan separatisme berupaya menggoyang legitimasi
pemerintah Indonesia dengan berbagai cara, termasuk di dalamnya melakukan aksi-aksi teror.
Aksi-aksi teror ini berguna untuk menunjukkan pada masyarakat bahwa pemerintah Indonesia
tidak berdaya untuk memberikan salah satu hak fundamental masyarakat, yakni rasa aman.
Selain cara-cara teror, GAM juga aktif mencari dukungan dari masyarakat akar rumput agar
dapat terus beroperasi. Pajak Nanggroe yang dibayarkan masyarakat pada pemerintahan
bayangan GAM, serta perlindungan yang diberikan oleh masyarakat di beberapa desa pada
anggota GAM menunjukkan bahwa salah satu sumber penghidupan dari GAM adalah adanya
dukungan dari masyarakat yang mereka klaim mereka wakili. Cara lain yang digunakan oleh
GAM untuk menjatuhkan legitimasi pemerintah adalah dengan aktivitas politik pemimpin-
pemimpin GAM di diaspora untuk melakukan internasionalisasi isu Aceh.
Kasus pemberontakan Bangsamoro di Filipina Selatan oleh MILF terhadap pemerintah
Filipina memiliki karakter yang mirip dengan GAM. Keduanya sama-sama melakukan
pemberontakan atas dasar nasionalisme etnik yang menjadikan unsur agama sebagai bagian
penting dari pergerakan. Pemberontakan MILF ini lebih populer di kalangan masyarakat
Bangsamoro yang mereka wakili dibandingkan dengan GAM dan masyarakat Aceh. Hanya saja
masalahnya adalah kebijakan transmigrasi yang dilakukan oleh pemerintah Filipina selama
berdekade-dekade belakangan ini telah membuat Bangsamoro di Filipina Selatan menjadi
minoritas dibandingkan dengan masyarakat Katolik yang datang ke sana.18 Hal ini membuat
ruang gerak MILF menjadi cukup terbatas sehingga basis operasinya juga hanya terpusat di
beberapa tempat saja.
Pemberontakan di Thailand Selatan memiliki cerita yang kurang lebih sama dengan kedua
kasus pemberontakan lainnya. Etnis Melayu muslim yang ada di wilayah selatan Thailand
merasa diperlakukan dengan tidak adil oleh mayoritas masyarakat penganut Buddha yang ada di
18Ahmad- Norma Permata, ―Muslim Insurgencies in Southeast Asia: Intractability, Security Dilemma, and the‗
Islamic Factor‘,‖ Global & Strotegis 1, no. 2 (2007): 7.
7/30/2019 Counterterrorism Atau Counterinsurgency
http://slidepdf.com/reader/full/counterterrorism-atau-counterinsurgency 10/17
10
Thailand.19
Bedanya dengan daerah lain, pemberontakan di Thailand Selatan lebih tidak
terstruktur dengan baik dibandingkan dengan pemberontak lain yang terstruktur di bawah GAM
dan MILF. Namun demikian, basis operasi mereka tetap sama, yakni menggunakan dukungan
masyarakat yang mereka klaim mereka wakili untuk mencapai tujuan separatis mereka.
Ketiga contoh gerakan pemberontakan separatis di atas dilihat dari karakternya memiliki
kesamaan dengan gerakan terorisme JI. Semuanya menginginkan untuk mengubah tatanan yang
sudah ada dengan menjatuhkan legitimasi pemerintah. Cara-cara yang digunakan untuk
mencapai tujuan ini beragam, baik dengan kekerasan maupun non-kekerasan. Semua gerakan ini
juga mendapat oksigen dari dukungan masyarakat, atau paling tidak dari kealpaan masyarakat
dalam memerangi mereka. Melihat kesamaan karakter ini, maka menjadi cukup mengherankan
ketika pemerintah masih menggunakan strategi CT dalam menghadapi gerakan-gerakan ini.
COIN sebagai strategi
Dalam menanggulangi gerakan terorisme di Indonesia, pemerintah masih menggunakan CT
sebagai pendekatan utama. Tujuan utama dari CT adalah penegakan hukum, sehingga
pendekatan yang digunakan adalah bagaimana caranya agar polisi dapat secara efektif
menangkap atau membunuh anggota jaringan terorisme. Doyle memberikan gambaran mengenai
upaya CT sebagai suatu bentuk militerisasi dalam pemberantasan teroris yang didesain untuk
terus menerus menekan anggota-anggota teroris, sering kali melalui serangan ‗kinetik‘ yang
‗terarah‘ terhadap anggota, jaringan dan sumber daya kelompok teroris tersebut.20 Jika
dianalogikan dalam kasus CT yang dilakukan oleh Amerika Serikat, Gen. McChrystal meyakini
bahwa gerakan teroris menyerupai Hydra berkepala banyak yang tidak bisa dibunuh kecuali
dengan menghentikan dukungan dari masyarakat terhadapnya.21 Upaya untuk memberantas
terorisme dengan CT kerap kali sangat bergantung pada surgical strike untuk menciptakan efek
‗shock and awe‘ yang dilakukan oleh pasukan khusus dalam jumlah yang kecil tetapi mobile.
Upaya untuk menghancurkan jaringan terorisme dan menangkap anggota-anggotanya oleh
pemerintah negara-negara Asia Tenggara sebenarnya cukup efektif. Pemerintah melalui Densus
88 berhasil menangkap atau menewaskan tokoh-tokoh penting seperti Nordin M. Top, Doktor
19Lihat Kilcullen, The Accidental Guerrilla Bab 4.
20 Boyle, ―Do Counterterrorism and Counterinsurgency Go Together?,‖ 343.
21 Antal, ―Counter -terrorism or Counterinsurgency?,‖ 48.
7/30/2019 Counterterrorism Atau Counterinsurgency
http://slidepdf.com/reader/full/counterterrorism-atau-counterinsurgency 11/17
11
Azahari, Abu Bakar Baasyir, dll. Namun demikian, penangkapan-penangkapan yang dilakukan
tidak pernah secara efektif menghilangkan gerakan teroris ini dari Indonesia. Bahkan,
penangkapan Abu Bakar Baasyir yang notabene sangat populer di kalangan santri-santri bisa jadi
merupakan suatu tindakan yang tidak strategis untuk pemberantasan terorisme. Santri-santri yang
tidak puas ini akan mudah sekali untuk terjerumus ke dalam gerakan terorisme selanjutnya.
Dalam upaya memberantas pemberontakan pun, pemerintah kerap kali tidak memperhatikan
konteks dari pemberontakan tersebut dan fokus pada upaya untuk menangkap dan melemahkan
gerakan pemberontakan. Pemerintah Thailand, misalnya, cenderung tetap menggunakan
pendekatan yang ‗hardline‘ untuk memadamkan pemberontakan di selatan. Bahkan, pemerintah
Thailand mengambil langkah yang sangat tidak strategis dengan menerapkan hukum darurat di
kawasan Thailand Selatan. Konsekuensi dari penerapan strategi ini adalah pembunuhan besar-
besaran yang dilakukan oleh militer terhadap korban yang sebagian besar adalah warga muslim,
setelah terjadinya insiden Tai Bak. Cerita tentang aksi brutal dari polisi dan militer Thailand ini
kemudian menjadi alat yang sangat efektif untuk rekrutmen pemberontak.22
Di Filipina, langkah
pemerintah untuk melibatkan Amerika Serikat untuk memburu teroris dan memadamkan
pemberontakan lagi-lagi bukan merupakan langkah yang strategis untuk memenangkan hati dan
pikiran masyarakat lokal.23
Amerika Serikat sangat tidak populer di kalangan masyarakat
muslim, sehingga pelibatan mereka hanya akan menciptakan rasa permusuhan yang semakin
besar dari masyarakat Bangsamoro.
Penggunaan strategi CT yang dilakukan oleh pemerintah negara-negara Asia Tenggara seperti
digambarkan di atas jelas tidak dapat mengimbangi kompleksitas gerakan pemberontakan yang
ada sekarang, baik oleh JI maupun separatis lokal. Untuk itu, diperlukan suatu strategi yang
komprehensif yang dapat mengimbangi kompleksitas tersebut. COIN memang dirancang secara
spesifik untuk menghadapi pemberontakan dan bertujuan jangkan panjang.
Untuk memahami bagaimana COIN bekerja, Army Field Manual yang ditulis oleh Gen.
David Petreaus dapat menjadi titik awal analisis. Paling tidak ada delapan aspek yang harus
dipenuhi dalam operasi COIN. Aspek pertama adalah menempatkan legitimasi pemerintah
sebagai basis utama dari COIN. Asumsi yang digunakan adalah pemerintah yang memiliki
22Lihat Recruiting Militants in Southern Thailand , Asia Report (International Crisis Group, 22 Juni 2009).
23Raymond Bonner dan Carlos H. Conde, ―U.S. and Philippines Join Forces to Pursue Terrorist Leader,‖ The New
York Times, 23 Juli 2005, bag. International / Asia Pacific,
http://www.nytimes.com/2005/07/23/international/asia/23philippines.html.
7/30/2019 Counterterrorism Atau Counterinsurgency
http://slidepdf.com/reader/full/counterterrorism-atau-counterinsurgency 12/17
12
legitimasi dan mendapat dukungan dari masyarakat luas cenderung lebih stabil daripada
pemerintah yang tingkat legitimasinya rendah. Legitimasi yang buruk ini kemudian menjadi akar
permasalahan dari pemberontakan dan merupakan sumber permasalahan strategis dalam
menghadapi pemberontakan tersebut. Paling tidak ada enam parameter yang digunakan untuk
mengukur legitmasi pemerintah, yakni:
1. Kemampuan untuk melindungi rakyat.
2. Adanya pemilu yang bebas dan rutin.
3. Partisipasi yang tinggi dalam proses politik.
4. Rendahnya level korupsi.
5. Pembangunan ekonomi politik dan sosial yang baik.
6. Besarnya dukungan terhadap rejim dari institusi-institusi sosial.24
Dalam kasus di Asia Tenggara, negara-negara yang memiliki permasalahan besar dari
pemberontakan, baik oleh JI maupun separatis, adalah negara-negara yang cenderung memiliki
masalah dengan legitimasi. Indonesia memiliki masalah dengan tingkat korupsi yang sangat
besar, Filipina bermasalah dengan pembangunan yang sangat timpang dan lambat, sedangkan
Thailand sering dilanda prahara politik dan besarnya pengaruh angkatan bersenjata dalam proses
politik. Selain itu, pemerintah juga sering kali menggunakan isu-isu pemberontakan dan
terorisme sebagai komoditas politik dalam negeri, misalnya untuk menimbulkan kesan tegas dan
kuat. Hal ini terlihat dalam kasus penerjunan pasukan besar-besaran oleh Joseph Estrada pada
tahun 2000 untuk membebaskan sandera dan ‗memusnahkan‘ gerilyawan Abu Sayyaf di Jolo
Filipina Selatan. Tindakan ini tidak proporsional dan tidak memiliki basis legitimasi yang kuat
serta justru akan menimbulkan masalah dengan komunitas Muslim yang ada di selatan.25
Aspek kedua dari operasi COIN yang esensial adalah kesatuan usaha,26
artinya setiap upaya
untuk menghadapi pemberontakan harus dikoordinasikan dengan baik antar sektor. Seperti
dijelaskan sebelumnya, melawan pemberontak tidak dapat dilakukan hanya dengan
mengedepankan pendekatan militer atau penegakan hukum semata. Operasi lain, semisal operasi
kemanusiaan, pembangunan, deradikalisasi, pendidikan dan lain-lain harus juga mendapat porsi
24Petraeus dan Amos, US Army US Marine Corps Counterinsurgency Field Manual, 1 – 21.
25 ―Estrada‘s Risky Strategy,‖ The Economist , 21 September 2000, http://www.economist.com/node/374306.
26Petraeus dan Amos, US Army US Marine Corps Counterinsurgency Field Manual, 1 – 22.
7/30/2019 Counterterrorism Atau Counterinsurgency
http://slidepdf.com/reader/full/counterterrorism-atau-counterinsurgency 13/17
13
perhatian yang besar dari pemerintah. Untuk itu, setiap upaya-upaya di masing-masing sektor itu
harus dapat dikoordinasikan dengan baik agar dapat menghindari kontradiksi satu sama lain.
Pemerintah di Asia Tenggara sudah mulai menyadari pentingnya koordinasi dengan semua
aktor yang terlibat dalam menanggulangi permasalahan teror dan pemberontakan. Dalam kasus
JI, pemerintah Indonesia sangat rajin menjalankan proses deradikalisasi di kalangan pesantren
dengan melibatkan banyak pihak, seperti ulama dan organisasi masyarakat.27 Upaya yang
terintegrasi seperti ini merupakan bagian penting dari operasi COIN. Permasalahan dari
koordinasi ini kerap muncul dari keengganan organisasi-organisasi non-pemerintah untuk
bekerja sama dengan pemerintah demi menjaga netralitas mereka, terutama dalam kasus
pemberontakan. Hal ini dapat dimengerti mengingat kesuksesan program yang mereka jalankan
sangat bergantung dari reputasi mereka yang netral dan tidak berpihak di dalam konflik. Namun
demikian, tetap harus dipahami bahwa koordinasi tetap merupakan bagian yang integral dari
penyelesaian pemberontakan, sehingga pemerintah harus dapat secara efektif untuk mendapatkan
kepercayaan dari organisasi-organisasi tersebut.
Aspek berikutnya yang menjadi basis COIN adalah politik sebagai faktor utama ( primacy of
politics). Dalam peperangan revolusioner faktor politik mendapat porsi 80 persen sedangkan
militer hanya 20 persen. Untuk itu, pendekatan COIN juga harus secara simetris menggunakan
prinsip keutamaan politik ini. Seperti telah dibahas sebelumnya, politik sangat penting dalam
COIN untuk mengarahkan operasi militer yang dijalankan. Komandan operasi militer harus
memastikan setiap operasi yang dilakukan tidak berkontribusi negatif terhadap upaya penguatan
legitimasi pemerintah dan tujuan jangka panjang. Operasi militer yang besar-besaran yang tidak
proporsional di Thailand selatan dan Mindanao dapat menjadi bumerang ketika ketidakpuasan
masyarakat di daerah-daerah tersebut dimanfaatkan pemberontak atau JI untuk melakukan
rekrutmen.
Kemampuan tentara dan polisi dalam memahami lingkungan yang mereka hadapi berperan
sangat krusial dalam operasi COIN. Untuk mewujudkan operasi yang memiliki legitimasi, tidak
hanya penting untuk melakukannya berdasarkan alasan yang benar, tetapi juga penting untuk
melakukannya dengan cara yang benar. Pemerintah dari level atas sampai level operasional harus
memahami latar belakang sejarah, budaya, demografi dan ideologi dari masyarakat di mana
27 ―News Focus: Fighting Terrorism Through Deradicalization Program Goes On,‖ Antara News, 22 September
2009, edisi online, http://www.antaranews.com/en/news/1253615413/news-focus-fighting-terrorism-through-
deradicalization-program-goes-on.
7/30/2019 Counterterrorism Atau Counterinsurgency
http://slidepdf.com/reader/full/counterterrorism-atau-counterinsurgency 14/17
14
pemberontak bermukim. Kecenderungan yang terjadi adalah pemerintah, demi menegakkan
hukum, tidak peduli dengan sensitivitas masyarakat. Kasus penangkapan Abu Bakar Baasyir di
depan para santrinya merupakan contoh ketidakhati-hatian pemerintah dalam menjalankan
operasi penegakan hukum.28
Untuk mencegah terjadinya hal ini, diperlukan analisis terhadap
situasi secara komprehensif sebelum melakukan operasi. Di sini aspek selanjutnya dari COIN
menjadi penting, yakni data intelijen sebagai penggerak operasi. Di sini COIN mengadopsi
pendekatan intelijen yang dipakai oleh CT dan memodifikasinya dengan memberikan penekanan
pada aspek strategi politik-militer.
Aspek lain yang juga dipinjam dari operasi CT adalah penegakan hukum. Tentu saja tidak
dapat dipungkiri bahwa penegakan hukum harus selalu ada di dalam setiap operasi yang
bertujuan melindungi masyarakat. Penegakan hukum yang dilakukan harus dalam kerangka
memperkuat legitimasi pemerintah, karenanya tidak boleh dipahami secara kaku dan statis.
Penegakan hukum harus diimbangi dengan kesediaan mendengarkan grievance yang mereka
rasakan. Hal yang sering kali menghambat adalah asumsi yang berkembang di kalangan
pengambil kebijakan dan sebagian masyarakat bahwa teroris merupakan aktor yang irasional
yang tidak dapat diajak berunding sehingga satu-satunya cara untuk menghentikan mereka
adalah mengurung mereka di penjara atau menghukum mati mereka. Pemikiran yang demikian
tentu saja perlu dibuang jauh-jauh. Sama halnya ketika masyarakat biasa dapat dicuci otaknya
untuk menjadi teroris, teroris juga seharusnya bisa dibujuk kembali dengan pendekatan yang
tepat. Apalagi ketika kita berbicara jaringan yang luas di mana tidak semua orang memiliki
tingkat ekstremisme yang sama.
Aspek selanjutnya dari COIN adalah pemisahan antara pemberontak dengan akar dan
dukungan perjuangan mereka.29 Pemisahan pemberontak dari akar penyebab perjuangan mereka
yakni dengan menjawab grievance yang mereka teriakkan, sehingga mereka menjadi kehilangan
basis pendukung yang menyuarakan hal yang sama. Pemisahan selanjutnya adalah secara fisik,
yakni berupa kontrol wilayah yang komprehensif. Dalam kasus separatisme yang memiliki batas-
batas wilayah yang kasat mata memang lebih mudah untuk dilakukan pemisahan, tetapi tidak
sama halnya dengan kasus pemberontakan transnasional yang dilakukan oleh JI. Cakupannya
28 ―Santri Ngruki Demo Mendukung Abu Bakar Ba‘asyir,‖ Tempo Interaktif , 19 Oktober 2002, edisi online,
http://www.tempo.co/share/?act=TmV3cw==&type=UHJpbnQ=&media=bmV3cw==&y=JEdMT0JBTFNbeV0=&
m=JEdMT0JBTFNbbV0=&d=JEdMT0JBTFNbZF0=&id=MzExMjI=.29
Petraeus dan Amos, US Army US Marine Corps Counterinsurgency Field Manual, 1 – 23.
7/30/2019 Counterterrorism Atau Counterinsurgency
http://slidepdf.com/reader/full/counterterrorism-atau-counterinsurgency 15/17
15
yang luas membuat mereka dapat berada di mana saja dan sangat berbaur dengan masyarakat.
Namun demikian, pemisahan dapat dilakukan secara psikologis, yakni menjauhkan masyarakat
dari ideologi ekstrim yang dibawa oleh kelompok ini.
Aspek terakhir yang penting juga disadari dalam operasi COIN adalah bahwa untuk
memadamkan pemberontakan memerlukan komitmen yang panjang dan melelahkan.30
Kecenderungan pembuat kebijakan untuk menyelesaikan masalah terorisme dan separatisme
dalam jangka pendek merupakan suatu kesalahan besar. Pemberontakan atau terorisme
merupakan perang ide, dan untuk mematikan suatu ide diperlukan waktu yang sangat lama (atau
bahkan tidak mungkin). Kecenderungan ini terjadi karena sifat dari sistem politik yang
membatasi rentang kerja pemimpin. Baik karena alasan altruistik ingin menorehkan sejarah atau
alasan pragmatis memenangkan pemilu selanjutnya, pemimpin memiliki insentif untuk mencoba
menyelesaikan konflik dengan cara yang instan.
Jika dilihat dari berbagai aspek COIN ini, jelas sudah bahwa ini merupakan strategi yang
paling tepat untuk menghadapi pemberontakan, baik yang sifatnya domestik maupun
transnasional. COIN merupakan solusi yang tepat karena aspek-aspeknya inheren dengan sifat-
sifat pemberontakan yang sedang dihadapi. Selain itu, pendekatan COIN lebih komprehensif dan
melibatkan lebih banyak partisipasi, sehingga legitimasinya dapat lebih tinggi. Selain itu,
tingginya partisipasi masyarakat dalam COIN berguna untuk mencegah pemberontakan-
pemberontakan baru di masa mendatang
Kesimpulan
Terorisme adalah bidang kajian yang sangat populer, terutama sejak deklarasi Global War on
Terror (GWOT) oleh Bush. Salah satu kajian yang menarik dari studi tentang terorisme adalah
mengenai definisi dan cara menghadapinya. Terorisme hingga kini belum memiliki definisi yang
tetap dan diakui secara luas. Kebanyakan definisi yang diberikan bersifat politis dan tidak
mencerminkan karakternya secara objektif. Dalam upaya memahami terorisme, tulisan ini
menemukan bahwa sebenarnya terorisme tidak lain hanya lah suatu metode yang digunakan oleh
suatu gerakan pemberontakan. Oleh karenanya Al Qaeda dan Jamaah Islamiyah sebenarnya
memiliki kesamaan karakter dengan gerakan pemberontakan lain seperti MILF di Mindanao dan
30Ibid., 1 – 24.
7/30/2019 Counterterrorism Atau Counterinsurgency
http://slidepdf.com/reader/full/counterterrorism-atau-counterinsurgency 16/17
16
pemberontak Thailand selatan. Hanya saja, jaringan Al Qaeda dan JI memiliki cakupan yang
lebih luas dibandingkan pemberontakan lainnya.
Kesamaan karakter yang dimiliki oleh JI dan gerakan pemberontakan merupakan fokus dari
tulisan ini dan penulis menyimpulkan bahwa kesamaan tersebut memiliki konsekuensi berupa
kesamaan solusi. COIN sebagai strategi yang digunakan untuk melawan pemberontakan
merupakan senjata yang paling cocok untuk menghadapi gerakan seperti JI, terutama jika
dibandingkan dengan CT. Tulisan ini menemukan ketidaksesuaian yang sangat besar dalam
strategi pemerintah yang menggunakan CT dan gerakan terorisme yang pada dasarnya memiliki
karakter pemberontakan.
Tulisan ini dapat dijadikan titik awal untuk meneliti lebih jauh tentang strategi COIN,
terutama di level implementasi. Tulisan ini hanya memaparkan di tingkat prinsip mengapa secara
konseptual COIN lebih tepat untuk menangkal terorisme, tetapi belum lebih jauh mengevaluasi
kendala-kendala penerapannya di lapangan. Penelitian lanjutan diperlukan untuk menjawab
pertanyaan ini.
Daftar Pustaka
Antal, John. ―Counter -terrorism or Counterinsurgency?‖ Military Technology 33, no. 12
(Desember 2009): 46 – 49.
Bonner, Raymond, dan Carlos H. Conde. ―U.S. and Philippines Join Forces to Pursue Terrorist
Leader.‖ The New York Times, 23 Juli 2005, bag. International / Asia Pacific.http://www.nytimes.com/2005/07/23/international/asia/23philippines.html.
Boyle, Michael J. ―Do Counterterrorism and Counterinsurgency Go Together?‖ International
Affairs 86, no. 2 (2010): 333 – 353.
―Estrada‘s Risky Strategy.‖ The Economist , 21 September 2000.
http://www.economist.com/node/374306.Kilcullen, David. Counterinsurgency. Oxford University Press, USA, 2010.
——— . The Accidental Guerrilla: Fighting Small Wars in the Midst of a Big One. edisi pertama.
Oxford University Press, USA, 2009.
―News Focus: Fighting Terrorism Through Deradicalization Program Goes On.‖ Antara News,
22 September 2009, edisi online.
http://www.antaranews.com/en/news/1253615413/news-focus-fighting-terrorism-through-deradicalization-program-goes-on.
Permata, Ahmad- Norma. ―Muslim Insurgencies in Southeast Asia: Intractability, Security
Dilemma, and the‗ Islamic Factor‘.‖ Global & Strotegis 1, no. 2 (2007): 62 – 82.
Petraeus, D. H, and J. F Amos. US Army US Marine Corps Counterinsurgency Field Manual.
Signalman Publishing, 2009.
7/30/2019 Counterterrorism Atau Counterinsurgency
http://slidepdf.com/reader/full/counterterrorism-atau-counterinsurgency 17/17
17
―Profil Jamaah Islamiyah.‖ BBC Indonesia, 22 September 2010.
http://www.bbc.co.uk/indonesia/berita_indonesia/2010/09/100922_jamaahislamiyah.shtml.
Recruiting Militants in Southern Thailand . Asia Report. International Crisis Group, 22 Juni
2009.
―Santri Ngruki Demo Mendukung Abu Bakar Ba‘asyir.‖ Tempo Interaktif , 19 Oktober 2002,edisi online.
http://www.tempo.co/share/?act=TmV3cw==&type=UHJpbnQ=&media=bmV3cw==&y
=JEdMT0JBTFNbeV0=&m=JEdMT0JBTFNbbV0=&d=JEdMT0JBTFNbZF0=&id=MzExMjI=.
Schmid, Alex Peter, and A. J. Jongman. Political Terrorism: A New Guide to Actors, Authors,
Concepts, Data Bases, Theories, & Literature. Transaction Publishers, 2005.
Smith, Haviland. ―Defining Terrorism: It Shouldn‘t Be Confused with Insurgency.‖ American
Diplomacy, Desember 2008.
http://www.unc.edu/depts/diplomat/item/2008/1012/comm/smith_defining.html.
Sugiono, Muhadi. Terrorism, Radicalism and Violence: Preliminary Research and Conceptual
Development . Semarang: Center for Law Enforcement Cooperation, 2011.Symonds, Peter. The Political Origins of Jemaah Islamiyah. Global Research, 2005.
http://www.globalresearch.ca/index.php?context=va&aid=1030.Vaughn, Bruce. Terrorism in Southeast Asia. Congressional Research Service, 2010.