counterterrorism atau counterinsurgency

17
1 Counterterrorism atau Counterinsurgency : Menghadapi Terorisme dan Pemberontakan di Asia Tenggara Yunizar Adiputera 11/326029/PSP/04251 Disusun untuk memenuhi tugas akhir mata kuliah Keamanan Internasional   Abstract  After the tragedy of 9/11, Global War on Terror (GWoT) was declared and soon roamed through the entire world. Counter terrorism is the primary strategy employed by most countries to deal with terrorists. However, even with massive commitment to such strategy, the impact to the actual decline of terrorist activities remains dubious. While on the other hand, the strategy of counter insurgency has been gaining traction within the defense community and policy makers. This paper seeks to find the best strategy in dealing with terrorism by examining both counter terrorism and counter insurgency. It argues in favor of counter insurgency based on the analysis of the concept of terrorism and insurgency. It finds that terrorism is nothing more than transnational insurgent movements that seek to undermine the legitimacy of the existing order. This paper uses the case of Jamaah Islamiyah (JI) and insurgent movements in Southeast Asia to illuminate the merit of its arguments. Pendahuluan Global War on Terror (GWoT) yang dideklarasikan oleh George W. Bush sebagai reaksi atas serangan teroris 11 September di Amerika Serikat membawa dampak besar terhadap studi peperangan modern. Pada awalnya, konsep terorisme dan counterterrorism (CT) merupakan kajian yang terpisah baik secara analitis maupun secara praktis dengan konsep pemberontakan (insurgency) 1 dan counterinsurgency (COIN). Aspek peperangan dengan gaya militeristik tadinya tidak diasosiasikan dengan operasi CT, yang mana lebih banyak menerapkan operasi intelijen dan penegakan hukum untuk memerangi‘ terorisme. 2 Invasi yang dilakukan oleh Bush ke Irak dan Afghanistan sebagai bagian dari agenda besar untuk membasmi Al Qaeda 1 Istilah insurgency dalam tulisan ini diterjemahkan secara sederhana menjadi pemberontakan‘ atau perlawanan‘.  2  Michael J. Boyle, Do Counterterrorism and Counterinsurgency Go Together?, International Affairs 86, no. 2 (2010): 342.

Upload: yunizar-adiputera

Post on 04-Apr-2018

227 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: Counterterrorism Atau Counterinsurgency

7/30/2019 Counterterrorism Atau Counterinsurgency

http://slidepdf.com/reader/full/counterterrorism-atau-counterinsurgency 1/17

1

Counterterrorism atau Counterinsurgency :

Menghadapi Terorisme dan Pemberontakan

di Asia TenggaraYunizar Adiputera 11/326029/PSP/04251

Disusun untuk memenuhi tugas akhir mata kuliah Keamanan Internasional 

 Abstract 

 After the tragedy of 9/11, Global War on Terror (GWoT) was declared and 

soon roamed through the entire world. Counter terrorism is the primary

strategy employed by most countries to deal with terrorists. However, evenwith massive commitment to such strategy, the impact to the actual decline of 

terrorist activities remains dubious. While on the other hand, the strategy of 

counter insurgency has been gaining traction within the defense community

and policy makers. This paper seeks to find the best strategy in dealing with

terrorism by examining both counter terrorism and counter insurgency. It 

argues in favor of counter insurgency based on the analysis of the concept of 

terrorism and insurgency. It finds that terrorism is nothing more than

transnational insurgent movements that seek to undermine the legitimacy of the

existing order. This paper uses the case of Jamaah Islamiyah (JI) and 

insurgent movements in Southeast Asia to illuminate the merit of its arguments.

Pendahuluan

Global War on Terror (GWoT) yang dideklarasikan oleh George W. Bush sebagai reaksi atas

serangan teroris 11 September di Amerika Serikat membawa dampak besar terhadap studi

peperangan modern. Pada awalnya, konsep terorisme dan counterterrorism (CT) merupakan

kajian yang terpisah baik secara analitis maupun secara praktis dengan konsep pemberontakan

(insurgency)1

dan counterinsurgency (COIN). Aspek peperangan dengan gaya militeristik 

tadinya tidak diasosiasikan dengan operasi CT, yang mana lebih banyak menerapkan operasiintelijen dan penegakan hukum untuk ‗memerangi‘ terorisme.

2Invasi yang dilakukan oleh Bush

ke Irak dan Afghanistan sebagai bagian dari agenda besar untuk membasmi Al Qaeda

1Istilah insurgency dalam tulisan ini diterjemahkan secara sederhana menjadi ‗pemberontakan‘ atau ‗perlawanan‘.  

2  Michael J. Boyle, ―Do Counterterrorism and Counterinsurgency Go Together?,‖  International Affairs 86, no. 2

(2010): 342.

Page 2: Counterterrorism Atau Counterinsurgency

7/30/2019 Counterterrorism Atau Counterinsurgency

http://slidepdf.com/reader/full/counterterrorism-atau-counterinsurgency 2/17

2

memunculkan dimensi militeristik dari tindakan CT. Di sisi lain, invasi dan okupasi yang

dilakukan Amerika Serikat di kedua negara ini telah memunculkan apa yang disebut oleh

Kilcullen sebagai accidental guerilla,3

yakni Taliban di Afghanistan dan faksi-faksi Syiah dan

Sunni di Irak. Konsekuensinya, terjadi pencampuran tentang konsep terorisme dan

pemberontakan, serta CT dan COIN sebagai strategi menghadapinya.

Tanpa disertai pemahaman yang baik, pencampuran kedua konsep ini secara praktis akan

berpotensi melemahkan efektivitas keduanya. CT dan COIN memiliki basis pemahaman yang

berbeda tentang musuh, dalam hal ini teroris dan pemberontak. CT menekankan bahwa teroris

merupakan aktor yang jahat secara moral dan tidak mewakili siapa pun yang ada dalam

masyarakat, sehingga pemerintah tidak bernegosiasi dengan teroris. COIN di sisi lain melihat

musuhnya sebagai aktor yang, meskipun menggunakan cara-cara yang jahat, merefleksikan

adanya masalah mendasar yang ada dalam masyarakat, misalnya kemiskinan dan ketidakadilan,

sehingga untuk menghentikan pemberontakan tersebut diperlukan upaya dari pemerintah untuk 

menyelesaikan permasalahan mendasar tersebut.4 Memenangkan ‗hearts and minds‘ masyarakat

merupakan tujuan penting dari operasi COIN. Upaya agresif CT disandingkan dengan upaya

komprehensif COIN untuk mendekati masyarakat jika tidak hati-hati dijalankan dapat saling

menggagalkan.

Meski demikian, memisahkan secara komplit kedua konsep ini tanpa berhasil menjelaskan

korelasi antara keduanya juga tidak tepat. CT dan COIN memang sifatnya berbeda, tetapi

perbedaan tersebut disebabkan oleh banyak pihak yang melihat keduanya dalam kerangka yang

berbeda pula. Jika terorisme dipahami sebagai suatu metode untuk mencapai suatu tujuan, maka

CT seharusnya dilihat sebagai suatu upaya untuk mencegah pihak-pihak tertentu menggunakan

cara-cara terorisme untuk mencapai tujuannya. Karena semua tindakan terorisme memiliki

tujuan tertentu yang ingin dicapai, dan tujuan tersebut hampir semuanya menggerogoti legitimasi

negara, maka CT harus dilihat sebagai bagian dari strategi besar untuk menghentikan gerakan

pemberontakan/perlawanan terhadap negara, dengan kata lain CT adalah bagian dari COIN.

Memahami CT sebagai bagian dari COIN akan sangat berbeda dengan memahami CT sebagai

konsep tersendiri.

3Lihat David Kilcullen, The Accidental Guerrilla: Fighting Small Wars in the Midst of a Big One, edisi pertama

(Oxford University Press, USA, 2009).4

David Kilcullen, Counterinsurgency (Oxford University Press, USA, 2010), 186 – 187.

Page 3: Counterterrorism Atau Counterinsurgency

7/30/2019 Counterterrorism Atau Counterinsurgency

http://slidepdf.com/reader/full/counterterrorism-atau-counterinsurgency 3/17

3

Dalam prakteknya di kawasan Asia Tenggara, di mana terorisme dan pemberontakan banyak 

bermukim, strategi CT sangat dominan digunakan oleh negara-negara untuk membasmi baik 

teroris maupun pemberontak. Khusus untuk pemberontakan, secara resmi memang strategi yang

digunakan adalah COIN, tetapi doktrin COIN yang digunakan tetap menitikberatkan pada

pendekatan militer dan kurang memperhatikan pendekatan politik yang seharusnya menjadi

bagian tidak terpisahkan dari COIN. Jika pun doktrin yang digunakan telah benar, konsistensi

dalam implementasi operasi COIN sering kali sangat lemah.

Hal yang perlui dicatat, banyak ditemukan indikasi keterkaitan tidak langsung antara gerakan

terorisme transnasional dengan gerakan pemberontakan di Asia Tenggara, terutama yang

memiliki basis identitas yang sama dalam hal ini agama Islam.5

Terlepas benar tidaknya indikasi

ini, satu hal yang tidak dapat dibantah adalah perlakuan pemerintah terhadap gerakan

pemberontakan Islam di kawasan ini dapat berpengaruh terhadap aktivitas terorisme

transnasional seperti Jamaah Islamiyah  berupa kesempatan untuk melakukan ‗infeksi dan

manipulasi‘ keadaan.6

Keterkaitan antara terorisme dan pemberontakan di level praktis ini

memunculkan kebutuhan akan suatu strategi yang komprehensif. COIN yang menggunakan

kombinasi pendekatan politik dan militer merupakan strategi yang paling tepat untuk 

menghadapi terorisme dan pemberontakan, khususnya di kawasan Asia Tenggara. Keberhasilan

pemerintah Indonesia dalam melakukan operasi COIN di Aceh dapat menjadi rujukan tentang

efektivitas strategi ini.

Pertanyaan yang akan dikupas dalam tulisan ini adalah mengapa COIN merupakan

pendekatan dan strategi yang lebih tepat dibandingkan CT dalam menghadapi ancaman terorisme

dan pemberontakan di Asia Tenggara? Paper ini berargumen bahwa gerakan terorisme regional

maupun global tidak lain adalah suatu bentuk pemberontakan (insurgency), sama seperti

pemberontakan yang terjadi di Aceh, Filipina Selatan maupun Thailand Selatan. Bedanya,

gerakan terorisme ini beroperasi dengan tidak mengindahkan batas-batas negara (transnasional)

dan targetnya bukan hanya menjatuhkan legitimasi negara tetapi juga menjatuhkan legitimasi

sistem internasional saat ini yang didominasi oleh paham liberalisme, modernisasi dan Amerika

Serikat. Untuk membangun argumen tersebut, tulisan ini akan dibagi menjadi tiga bagian.

Bagian pertama akan memetakan posisi konsep terorisme dan pemberontakan secara jelas dan

5Lihat Bruce Vaughn, Terrorism in Southeast Asia (Congressional Research Service, 2010).

6Kilcullen, The Accidental Guerrilla, 218.

Page 4: Counterterrorism Atau Counterinsurgency

7/30/2019 Counterterrorism Atau Counterinsurgency

http://slidepdf.com/reader/full/counterterrorism-atau-counterinsurgency 4/17

4

membuktikan bahwa terorisme sebenarnya hanya merupakan bagian dari konsep besar

pemberontakan. Bagian kedua akan menganalisa gerakan terorisme dan pemberontakan di Asia

Tenggara dan membuktikan bahwa gerakan Jamaah Islamiyah di Asia Tenggara memiliki

kesamaan sifat dengan gerakan pemberontakan lain yang ada di kawasan. Bagian akhir akan

menjelaskan tentang COIN sebagai strategi yang lebih efektif dalam menghadapi ancaman

terorisme dan pemberontakan di kawasan.

Paradigma terorisme dan pemberontakan

Ada dua kecenderungan yang terjadi dalam praktek maupun studi tentang terorisme dan

pemberontakan. Kecenderungan pertama adalah mencampuradukkan kedua konsep tersebut dan

menganggap bahwa keduanya merupakan gerakan yang sama. Hal ini ditunjukkan oleh Amerika

Serikat terutama dalam kepemimpinan George W. Bush, di mana penggunaan istilah terorisme

dan perlawanan/pemberontakan digunakan secara acak untuk mengacu pada hal yang sama.7 

Bush juga secara implisit, meskipun tidak secara formal, menganggap bahwa gerakan seperti

 pemberontak Chechnya di Rusia dan MILF di Filipina sebagai ‗teroris‘ pemberontak.8 

Pencampuran kedua konsep ini sebenarnya pada tataran wacana tidak terlalu berpengaruh, tetapi

menjadi masalah ketika sudah masuk ke ranah strategic decision. Ketika pencampuran konsep

terorisme dan pemberontakan menghasilkan rekomendasi kebijakan untuk menggunakan strategi

CT, maka hal tersebut dapat membawa dampak strategis yang buruk seperti yang nanti akan

dijelaskan di bagian kedua tulisan ini.

Kecenderungan kedua adalah melihat kedua konsep tersebut berbeda, tetapi simetris. Artinya,

teroris dan pemberontak merupakan dua gerakan yang memiliki sifat-sifat mendasar yang

berbeda, tetapi berada pada tataran yang sama.9 Pendapat ini menekankan pembedaan antara Al

Qaeda dan Taliban, atau JI dan MILF. Kilcullen melihat bahwa perbedaan paradigma tentang

terorisme dan pemberontakan sebenarnya tidak lebih dari sekadar stereotype umum yang dianut

masyarakat, tanpa memiliki dasar analisis yang jelas. Tabel di bawah merangkum pandangan

umum tentang perbedaan antara terorisme dan pemberontakan.

7Haviland Smith, ―Defining Terrorism: It Shouldn‘t Be Confused with Insurgency,‖  American Diplomacy,

Desember 2008, http://www.unc.edu/depts/diplomat/item/2008/1012/comm/smith_defining.html.8

Vaughn, Terrorism in Southeast Asia, 17.9

Lihat John Antal, ―Counter -terrorism or Counterinsurgency?,‖  Military Technology 33, no. 12 (December 2009):

46 – 49; atau Smith, ―Defining Terrorism: It Shouldn‘t Be Confused with Insurgency.‖ 

Page 5: Counterterrorism Atau Counterinsurgency

7/30/2019 Counterterrorism Atau Counterinsurgency

http://slidepdf.com/reader/full/counterterrorism-atau-counterinsurgency 5/17

5

Tabel 1. Perbedaan paradigma terorisme dan pemberontakan.10

 

Kedua kecenderungan di atas tidak banyak membantu dalam upaya memahami kedua konsep

tersebut. Menentukan kesamaan atau ketidaksamaan kedua konsep tersebut tidak lebih penting

dari pada menentukan bagaimana hubungan antara kedua konsep tersebut. Penulis melihat bahwa

terorisme secara analitis berbeda dengan pemberontakan, tetapi posisi keduanya tidak simetris.

Terorisme harus dilihat sebagai suatu strategi atau metode dalam melakukan perlawanan.

Untuk dapat memahami posisi terorisme relatif terhadap pemberontakan, perlu untuk melihat

definisi masing-masing. Terorisme sebagai sebuah konsep memiliki definisi yang sangat

beragam dan belum ada kesepakatan tentang definisi yang berlaku secara universal. Untuk 

keperluan tulisan ini, penulis merasa definisi yang diberikan oleh Schmid dan Jongman tepat

untuk menangkap arti dari terorisme. Mereka mendefinisikan terorisme sebagai:

“Terrorism is an anxiety-inspiring method of repeated violent action, employed 

by (semi-) clandestine individual, group, or state actors, for idiosyncratic,

criminal, or political reasons, whereby — in contrast to assassination — the direct 

targets of violence are not the main targets.”11 (penekanan oleh penulis)

Definisi pemberontakan, di sisi lain, menurut Field Manual 3-24 yang disusun oleh Gen.

David Petreaus adalah:

“ Insurgency is an organized, protracted politico-military struggle designed to

weaken the control and legitimacy of an established government, occupying

10Kilcullen, Counterinsurgency, 188.

11Alex Peter Schmid dan A. J. Jongman, Political Terrorism: A New Guide to Actors, Authors, Concepts, Data

 Bases, Theories, & Literature (Transaction Publishers, 2005), 28.

Page 6: Counterterrorism Atau Counterinsurgency

7/30/2019 Counterterrorism Atau Counterinsurgency

http://slidepdf.com/reader/full/counterterrorism-atau-counterinsurgency 6/17

6

 power, or other political authority while increasing insurgent control.”12 

(penekanan oleh penulis)

Dapat dilihat bahwa kedua konsep tersebut, berdasarkan definisinya, tidak berada di level

yang sama. Terorisme merupakan suatu metode atau cara, sedangkan pemberontakan merupakan

perjuangan yang memiliki suatu tujuan politik tertentu. Dari sini dapat ditarik benang merah

antara terorisme dan pemberontakan, yakni hubungan antara instrumen dan tujuan. Perlu dicatat

bahwa tidak semua pemberontakan menggunakan metode terorisme untuk mencapai tujuannya.

Terorisme hanya lah salah satu metode kekerasan yang dapat dipilih oleh pemberontak diantara

pilihan-pilihan lainnya, misalnya perang gerilya dan operasi intelijen klasik cloak and dagger .

Dengan paradigma yang seperti ini, maka operasi CT tidak dapat dipandang sebagai operasi

independen yang dapat dijalankan terpisah dengan operasi COIN. CT harus dijalankan sebagai

suatu bagian dari sistem kerja yang lebih besar untuk menumpas pemberontakan. Jika operasi CTdijalankan tidak di dalam kerangka COIN, maka fokus dari operasi tersebut hanya pada

menangkap atau membunuh teroris. Operasi CT yang dijalankan dalam kerangka COIN akan

mengkaji lebih jauh apakah operasi penggerebekan teroris di suatu daerah akan membawa

dampak strategis pada pemenangan hati dan pikiran masyarakat. Jika ternyata penggerebekan

teroris di suatu daerah justru mengalienasi masyarakat, maka operasi tersebut memiliki nilai

strategis yang minus dan harus dipertimbangkan kembali kontribusinya terhadap tujuan utama

operasi. Gambar di bawah merupakan skema hubungan antara konsep pemberontakan dan

terorisme.

Gambar 1. Skema hubungan antara konsep pemberontakan dan terorisme.

12D. H Petraeus dan J. F Amos, US Army US Marine Corps Counterinsurgency Field Manual (Signalman

Publishing, 2009), 1 – 1.

Pemberontakan

Masalah/tujuan politik

Kekerasan/Militer

TerorismePerangGerilya

OperasiIntelijen

Dan lain-lain

NonKekerasan

Diplomasi/dukungan

asing

Mencaridukungan

masyarakatNegosiasi

Dan lain-lain

Page 7: Counterterrorism Atau Counterinsurgency

7/30/2019 Counterterrorism Atau Counterinsurgency

http://slidepdf.com/reader/full/counterterrorism-atau-counterinsurgency 7/17

7

Dengan skema di atas, maka dapat dipahami bahwa operasi CT yang bertujuan untuk 

menghancurkan terorisme tidak akan dapat menyelesaikan keseluruhan permasalahan

pemberontakan karena tidak menjawab permasalahan mendasar. Untuk membuktikan kebenaran

dari konsep dan skema yang sudah disusun di atas, maka diperlukan aplikasi dalam kasus nyata

yakni gerakan terorisme dan pemberontakan di Asia Tenggara.

Gerakan terorisme dan pemberontakan di Asia tenggara

Setelah memahami kerangka berpikir tentang terorisme dan pemberontakan di atas, maka

selanjutnya diperlukan penyelidikan untuk melihat apakah Jamaah Islamiyah (JI) yang selama ini

dicap sebagai gerakan teroris sebenarnya adalah suatu gerakan pemberontakan. Asumsinya

sederhana, jika suatu gerakan menggunakan cara-cara kekerasan ataupun non-kekerasan untuk 

mencapai suatu tujuan yang jelas bersifat politis dan dalam prosesnya menjatuhkan legitimasi

otoritas yang ada (baik negara maupun sistem internasional), maka gerakan tersebut dapat

dikategorikan sebagai pemberontakan. Cakupan area operasinya, baik dalam negara maupun

transnasional, bukan merupakan parameter yang penting dan relevan.

JI didirikan secara resmi oleh Abu Bakar Baasyir dan Abdullah Sungkar pada awal 1990an,

tepatnya sekitar 1993-1994. JI disebut-sebut sebagai keturunan dari gerakan Darul Islam yang

memberontak terhadap pemerintah Republik Indonesia di masa-masa awal kemerdekaan.13 

Tuntutan gerakan Darul Islam adalah menjadikan Indonesia sebagai negara Islam yang berdasar

pada syariat, yang juga tercermin sebagai tujuan dari JI. JI sendiri secara organisasi merupakan

gerakan yang rapi dan terstruktur dengan baik. JI dipimpin oleh lima orang Dewan Penasihat

Regional yang dibantu oleh penasihat spiritual.14 Di bawahnya terdapat empat mantiqi, atau

komite, yang menjalankan fungsi-fungsi pengumpulan dana, indoktrinasi, pelatihan militer dan

pengadaan persenjataan. Masing-masing mantiqi ini kemudian dibagi lagi ke dalam unit-unit

kecil berupa batalion, peleton dan regu.15 

Dari segi metode dan taktik yang digunakan, JI terpecah ke dalam dua faksi. Pada tahun-tahun

awal pembentukannya, JI sebenarnya mendukung penggunaan jalan damai dalam mencapai

13Peter Symonds, The Political Origins of Jemaah Islamiyah (Global Research, 2005),

http://www.globalresearch.ca/index.php?context=va&aid=1030.14

Pada tahun 2000-2001 pemimpin Dewan Penasihat Regional adalah Hambali, sedangkan penasihat spiritual

adalah Baasyir dan Sungkar.15

Vaughn, Terrorism in Southeast Asia, 6.

Page 8: Counterterrorism Atau Counterinsurgency

7/30/2019 Counterterrorism Atau Counterinsurgency

http://slidepdf.com/reader/full/counterterrorism-atau-counterinsurgency 8/17

8

tujuannya untuk membentuk negara Islam. Namun, di tengah perjalanan kelompok ini mulai

mengambil jalan-jalan kekerasan dalam bentuk perang suci sebagai taktiknya. Hal ini disebabkan

oleh kontak antara tokoh-tokoh JI dan anggota Al Qaeda yang berada di Afghanistan ketika itu.16

 

Kelompok yang menggunakan cara-cara teror ini dipimpin oleh Nordin Mohammad Top.

Giatnya operasi CT yang dijalankan oleh pemerintah-pemerintah di Asia Tenggara, termasuk 

Indonesia, membuat pergerakan faksi JI ini menjadi sangat terbatas dan tokoh-tokohnya

ditangkap dan terbunuh. Namun, melemahnya faksi ini tidak membuat faksi lainnya menjadi

dorman. Faksi pengkhotbah, atau biasa disebut sebagai faksi birokrat di tubuh JI, tetap rajin

melakukan doktrinasi di dalam masyarakat untuk mendapatkan cukup basis massa agar suatu

hari dapat melakukan revolusi dan mendirikan negara Islam.

Dari penjelasan singkat di atas, dapat dilihat dengan jelas bahwa JI sebagai suatu organisasi

yang terstruktur baik, memiliki tujuan politik yang jelas, yakni menggantikan sistem negara

bangsa yang ada sekarang dengan negara berbasis agama Islam, paling tidak untuk wilayah Asia

Tenggara. Baik faksi yang memilih jalan teror/kekerasan maupun faksi yang memilih jalan-jalan

dakwah dan doktrinasi, secara praktek keduanya berupaya melemahkan legitimasi dari negara-

negara di Asia Tenggara.

Hal lain yang perlu dicatat dari gerakan JI adalah hubungan gerakan-gerakan ini dengan

masyarakat. Di negara-negara Asia Tenggara seperti Indonesia, Malaysia, Thailand Selatan dan

Filipina Selatan, JI memiliki ruang untuk melakukan konsolidasi karena adanya akses yang

diberikan oleh masyarakat terhadap gerakan ini. Masyarakat muslim yang taat memiliki tingkat

toleransi yang lebih besar pada kelompok-kelompok ini, karena alasan perjuangan mereka yang

didasari oleh ketidakadilan juga dirasakan oleh sebagian besar umat muslim. Radikalisasi

masyarakat muslim yang akhir-akhir ini terjadi sama sekali tidak membantu upaya-upaya untuk 

memberantas JI karena dekatnya radikalisme dan terorisme.17 Kemungkinan lain leluasanya

gerakan JI di Asia Tenggara adalah ketidaktahuan masyarakat tentang organisasi ini, terbukti

dengan banyak kasus penggerebekan di Indonesia yang banyak terjadi di wilayah padat

pemukiman. Masyarakat sekitar sering kali menunjukkan keterkejutan mereka atas operasi ini

16 ―Profil Jamaah Islamiyah,‖ BBC Indonesia, 22 September 2010,

http://www.bbc.co.uk/indonesia/berita_indonesia/2010/09/100922_jamaahislamiyah.shtml.17

Lihat Muhadi Sugiono, Terrorism, Radicalism and Violence: Preliminary Research and Conceptual Development  

(Semarang: Center for Law Enforcement Cooperation, 2011).

Page 9: Counterterrorism Atau Counterinsurgency

7/30/2019 Counterterrorism Atau Counterinsurgency

http://slidepdf.com/reader/full/counterterrorism-atau-counterinsurgency 9/17

9

karena mereka sama sekali tidak menaruh curiga pada anggota-anggota JI yang bermukim di

wilayah mereka.

Pelemahan legitimasi negara oleh kelompok-kelompok ini serupa dengan upaya-upaya yang

dilakukan oleh kelompok-kelompok pemberontak lain yang ada di Asia Tenggara. Gerakan Aceh

Merdeka ketika masih aktif memperjuangkan separatisme berupaya menggoyang legitimasi

pemerintah Indonesia dengan berbagai cara, termasuk di dalamnya melakukan aksi-aksi teror.

Aksi-aksi teror ini berguna untuk menunjukkan pada masyarakat bahwa pemerintah Indonesia

tidak berdaya untuk memberikan salah satu hak fundamental masyarakat, yakni rasa aman.

Selain cara-cara teror, GAM juga aktif mencari dukungan dari masyarakat akar rumput agar

dapat terus beroperasi. Pajak Nanggroe yang dibayarkan masyarakat pada pemerintahan

bayangan GAM, serta perlindungan yang diberikan oleh masyarakat di beberapa desa pada

anggota GAM menunjukkan bahwa salah satu sumber penghidupan dari GAM adalah adanya

dukungan dari masyarakat yang mereka klaim mereka wakili. Cara lain yang digunakan oleh

GAM untuk menjatuhkan legitimasi pemerintah adalah dengan aktivitas politik pemimpin-

pemimpin GAM di diaspora untuk melakukan internasionalisasi isu Aceh.

Kasus pemberontakan Bangsamoro di Filipina Selatan oleh MILF terhadap pemerintah

Filipina memiliki karakter yang mirip dengan GAM. Keduanya sama-sama melakukan

pemberontakan atas dasar nasionalisme etnik yang menjadikan unsur agama sebagai bagian

penting dari pergerakan. Pemberontakan MILF ini lebih populer di kalangan masyarakat

Bangsamoro yang mereka wakili dibandingkan dengan GAM dan masyarakat Aceh. Hanya saja

masalahnya adalah kebijakan transmigrasi yang dilakukan oleh pemerintah Filipina selama

berdekade-dekade belakangan ini telah membuat Bangsamoro di Filipina Selatan menjadi

minoritas dibandingkan dengan masyarakat Katolik yang datang ke sana.18 Hal ini membuat

ruang gerak MILF menjadi cukup terbatas sehingga basis operasinya juga hanya terpusat di

beberapa tempat saja.

Pemberontakan di Thailand Selatan memiliki cerita yang kurang lebih sama dengan kedua

kasus pemberontakan lainnya. Etnis Melayu muslim yang ada di wilayah selatan Thailand

merasa diperlakukan dengan tidak adil oleh mayoritas masyarakat penganut Buddha yang ada di

18Ahmad- Norma Permata, ―Muslim Insurgencies in Southeast Asia: Intractability, Security Dilemma, and the‗

Islamic Factor‘,‖ Global & Strotegis 1, no. 2 (2007): 7.

Page 10: Counterterrorism Atau Counterinsurgency

7/30/2019 Counterterrorism Atau Counterinsurgency

http://slidepdf.com/reader/full/counterterrorism-atau-counterinsurgency 10/17

10

Thailand.19

Bedanya dengan daerah lain, pemberontakan di Thailand Selatan lebih tidak 

terstruktur dengan baik dibandingkan dengan pemberontak lain yang terstruktur di bawah GAM

dan MILF. Namun demikian, basis operasi mereka tetap sama, yakni menggunakan dukungan

masyarakat yang mereka klaim mereka wakili untuk mencapai tujuan separatis mereka.

Ketiga contoh gerakan pemberontakan separatis di atas dilihat dari karakternya memiliki

kesamaan dengan gerakan terorisme JI. Semuanya menginginkan untuk mengubah tatanan yang

sudah ada dengan menjatuhkan legitimasi pemerintah. Cara-cara yang digunakan untuk 

mencapai tujuan ini beragam, baik dengan kekerasan maupun non-kekerasan. Semua gerakan ini

 juga mendapat oksigen dari dukungan masyarakat, atau paling tidak dari kealpaan masyarakat

dalam memerangi mereka. Melihat kesamaan karakter ini, maka menjadi cukup mengherankan

ketika pemerintah masih menggunakan strategi CT dalam menghadapi gerakan-gerakan ini.

COIN sebagai strategi

Dalam menanggulangi gerakan terorisme di Indonesia, pemerintah masih menggunakan CT

sebagai pendekatan utama. Tujuan utama dari CT adalah penegakan hukum, sehingga

pendekatan yang digunakan adalah bagaimana caranya agar polisi dapat secara efektif 

menangkap atau membunuh anggota jaringan terorisme. Doyle memberikan gambaran mengenai

upaya CT sebagai suatu bentuk militerisasi dalam pemberantasan teroris yang didesain untuk 

terus menerus menekan anggota-anggota teroris, sering kali melalui serangan ‗kinetik‘ yang

‗terarah‘ terhadap anggota, jaringan dan sumber daya kelompok teroris tersebut.20 Jika

dianalogikan dalam kasus CT yang dilakukan oleh Amerika Serikat, Gen. McChrystal meyakini

bahwa gerakan teroris menyerupai Hydra berkepala banyak yang tidak bisa dibunuh kecuali

dengan menghentikan dukungan dari masyarakat terhadapnya.21 Upaya untuk memberantas

terorisme dengan CT kerap kali sangat bergantung pada surgical strike untuk menciptakan efek 

‗shock and awe‘ yang dilakukan oleh pasukan khusus dalam jumlah yang kecil tetapi mobile. 

Upaya untuk menghancurkan jaringan terorisme dan menangkap anggota-anggotanya oleh

pemerintah negara-negara Asia Tenggara sebenarnya cukup efektif. Pemerintah melalui Densus

88 berhasil menangkap atau menewaskan tokoh-tokoh penting seperti Nordin M. Top, Doktor

19Lihat Kilcullen, The Accidental Guerrilla Bab 4.

20 Boyle, ―Do Counterterrorism and Counterinsurgency Go Together?,‖ 343. 

21 Antal, ―Counter -terrorism or Counterinsurgency?,‖ 48. 

Page 11: Counterterrorism Atau Counterinsurgency

7/30/2019 Counterterrorism Atau Counterinsurgency

http://slidepdf.com/reader/full/counterterrorism-atau-counterinsurgency 11/17

11

Azahari, Abu Bakar Baasyir, dll. Namun demikian, penangkapan-penangkapan yang dilakukan

tidak pernah secara efektif menghilangkan gerakan teroris ini dari Indonesia. Bahkan,

penangkapan Abu Bakar Baasyir yang notabene sangat populer di kalangan santri-santri bisa jadi

merupakan suatu tindakan yang tidak strategis untuk pemberantasan terorisme. Santri-santri yang

tidak puas ini akan mudah sekali untuk terjerumus ke dalam gerakan terorisme selanjutnya.

Dalam upaya memberantas pemberontakan pun, pemerintah kerap kali tidak memperhatikan

konteks dari pemberontakan tersebut dan fokus pada upaya untuk menangkap dan melemahkan

gerakan pemberontakan. Pemerintah Thailand, misalnya, cenderung tetap menggunakan

 pendekatan yang ‗hardline‘ untuk memadamkan pemberontakan di selatan. Bahkan, pemerintah

Thailand mengambil langkah yang sangat tidak strategis dengan menerapkan hukum darurat di

kawasan Thailand Selatan. Konsekuensi dari penerapan strategi ini adalah pembunuhan besar-

besaran yang dilakukan oleh militer terhadap korban yang sebagian besar adalah warga muslim,

setelah terjadinya insiden Tai Bak. Cerita tentang aksi brutal dari polisi dan militer Thailand ini

kemudian menjadi alat yang sangat efektif untuk rekrutmen pemberontak.22

Di Filipina, langkah

pemerintah untuk melibatkan Amerika Serikat untuk memburu teroris dan memadamkan

pemberontakan lagi-lagi bukan merupakan langkah yang strategis untuk memenangkan hati dan

pikiran masyarakat lokal.23

Amerika Serikat sangat tidak populer di kalangan masyarakat

muslim, sehingga pelibatan mereka hanya akan menciptakan rasa permusuhan yang semakin

besar dari masyarakat Bangsamoro.

Penggunaan strategi CT yang dilakukan oleh pemerintah negara-negara Asia Tenggara seperti

digambarkan di atas jelas tidak dapat mengimbangi kompleksitas gerakan pemberontakan yang

ada sekarang, baik oleh JI maupun separatis lokal. Untuk itu, diperlukan suatu strategi yang

komprehensif yang dapat mengimbangi kompleksitas tersebut. COIN memang dirancang secara

spesifik untuk menghadapi pemberontakan dan bertujuan jangkan panjang.

Untuk memahami bagaimana COIN bekerja, Army Field Manual yang ditulis oleh Gen.

David Petreaus dapat menjadi titik awal analisis. Paling tidak ada delapan aspek yang harus

dipenuhi dalam operasi COIN. Aspek pertama adalah menempatkan legitimasi pemerintah

sebagai basis utama dari COIN. Asumsi yang digunakan adalah pemerintah yang memiliki

22Lihat Recruiting Militants in Southern Thailand , Asia Report (International Crisis Group, 22 Juni 2009).

23Raymond Bonner dan Carlos H. Conde, ―U.S. and Philippines Join Forces to Pursue Terrorist Leader,‖ The New

York Times, 23 Juli 2005, bag. International / Asia Pacific,

http://www.nytimes.com/2005/07/23/international/asia/23philippines.html.

Page 12: Counterterrorism Atau Counterinsurgency

7/30/2019 Counterterrorism Atau Counterinsurgency

http://slidepdf.com/reader/full/counterterrorism-atau-counterinsurgency 12/17

12

legitimasi dan mendapat dukungan dari masyarakat luas cenderung lebih stabil daripada

pemerintah yang tingkat legitimasinya rendah. Legitimasi yang buruk ini kemudian menjadi akar

permasalahan dari pemberontakan dan merupakan sumber permasalahan strategis dalam

menghadapi pemberontakan tersebut. Paling tidak ada enam parameter yang digunakan untuk 

mengukur legitmasi pemerintah, yakni:

1.  Kemampuan untuk melindungi rakyat.

2.  Adanya pemilu yang bebas dan rutin.

3.  Partisipasi yang tinggi dalam proses politik.

4.  Rendahnya level korupsi.

5.  Pembangunan ekonomi politik dan sosial yang baik.

6.  Besarnya dukungan terhadap rejim dari institusi-institusi sosial.24

 

Dalam kasus di Asia Tenggara, negara-negara yang memiliki permasalahan besar dari

pemberontakan, baik oleh JI maupun separatis, adalah negara-negara yang cenderung memiliki

masalah dengan legitimasi. Indonesia memiliki masalah dengan tingkat korupsi yang sangat

besar, Filipina bermasalah dengan pembangunan yang sangat timpang dan lambat, sedangkan

Thailand sering dilanda prahara politik dan besarnya pengaruh angkatan bersenjata dalam proses

politik. Selain itu, pemerintah juga sering kali menggunakan isu-isu pemberontakan dan

terorisme sebagai komoditas politik dalam negeri, misalnya untuk menimbulkan kesan tegas dan

kuat. Hal ini terlihat dalam kasus penerjunan pasukan besar-besaran oleh Joseph Estrada pada

tahun 2000 untuk membebaskan sandera dan ‗memusnahkan‘ gerilyawan Abu Sayyaf di Jolo

Filipina Selatan. Tindakan ini tidak proporsional dan tidak memiliki basis legitimasi yang kuat

serta justru akan menimbulkan masalah dengan komunitas Muslim yang ada di selatan.25

 

Aspek kedua dari operasi COIN yang esensial adalah kesatuan usaha,26

artinya setiap upaya

untuk menghadapi pemberontakan harus dikoordinasikan dengan baik antar sektor. Seperti

dijelaskan sebelumnya, melawan pemberontak tidak dapat dilakukan hanya dengan

mengedepankan pendekatan militer atau penegakan hukum semata. Operasi lain, semisal operasi

kemanusiaan, pembangunan, deradikalisasi, pendidikan dan lain-lain harus juga mendapat porsi

24Petraeus dan Amos, US Army US Marine Corps Counterinsurgency Field Manual, 1 – 21.

25 ―Estrada‘s Risky Strategy,‖ The Economist , 21 September 2000, http://www.economist.com/node/374306.

26Petraeus dan Amos, US Army US Marine Corps Counterinsurgency Field Manual, 1 – 22.

Page 13: Counterterrorism Atau Counterinsurgency

7/30/2019 Counterterrorism Atau Counterinsurgency

http://slidepdf.com/reader/full/counterterrorism-atau-counterinsurgency 13/17

13

perhatian yang besar dari pemerintah. Untuk itu, setiap upaya-upaya di masing-masing sektor itu

harus dapat dikoordinasikan dengan baik agar dapat menghindari kontradiksi satu sama lain.

Pemerintah di Asia Tenggara sudah mulai menyadari pentingnya koordinasi dengan semua

aktor yang terlibat dalam menanggulangi permasalahan teror dan pemberontakan. Dalam kasus

JI, pemerintah Indonesia sangat rajin menjalankan proses deradikalisasi di kalangan pesantren

dengan melibatkan banyak pihak, seperti ulama dan organisasi masyarakat.27 Upaya yang

terintegrasi seperti ini merupakan bagian penting dari operasi COIN. Permasalahan dari

koordinasi ini kerap muncul dari keengganan organisasi-organisasi non-pemerintah untuk 

bekerja sama dengan pemerintah demi menjaga netralitas mereka, terutama dalam kasus

pemberontakan. Hal ini dapat dimengerti mengingat kesuksesan program yang mereka jalankan

sangat bergantung dari reputasi mereka yang netral dan tidak berpihak di dalam konflik. Namun

demikian, tetap harus dipahami bahwa koordinasi tetap merupakan bagian yang integral dari

penyelesaian pemberontakan, sehingga pemerintah harus dapat secara efektif untuk mendapatkan

kepercayaan dari organisasi-organisasi tersebut.

Aspek berikutnya yang menjadi basis COIN adalah politik sebagai faktor utama ( primacy of 

 politics). Dalam peperangan revolusioner faktor politik mendapat porsi 80 persen sedangkan

militer hanya 20 persen. Untuk itu, pendekatan COIN juga harus secara simetris menggunakan

prinsip keutamaan politik ini. Seperti telah dibahas sebelumnya, politik sangat penting dalam

COIN untuk mengarahkan operasi militer yang dijalankan. Komandan operasi militer harus

memastikan setiap operasi yang dilakukan tidak berkontribusi negatif terhadap upaya penguatan

legitimasi pemerintah dan tujuan jangka panjang. Operasi militer yang besar-besaran yang tidak 

proporsional di Thailand selatan dan Mindanao dapat menjadi bumerang ketika ketidakpuasan

masyarakat di daerah-daerah tersebut dimanfaatkan pemberontak atau JI untuk melakukan

rekrutmen.

Kemampuan tentara dan polisi dalam memahami lingkungan yang mereka hadapi berperan

sangat krusial dalam operasi COIN. Untuk mewujudkan operasi yang memiliki legitimasi, tidak 

hanya penting untuk melakukannya berdasarkan alasan yang benar, tetapi juga penting untuk 

melakukannya dengan cara yang benar. Pemerintah dari level atas sampai level operasional harus

memahami latar belakang sejarah, budaya, demografi dan ideologi dari masyarakat di mana

27  ―News Focus: Fighting Terrorism Through Deradicalization Program Goes On,‖  Antara News, 22 September

2009, edisi online, http://www.antaranews.com/en/news/1253615413/news-focus-fighting-terrorism-through-

deradicalization-program-goes-on.

Page 14: Counterterrorism Atau Counterinsurgency

7/30/2019 Counterterrorism Atau Counterinsurgency

http://slidepdf.com/reader/full/counterterrorism-atau-counterinsurgency 14/17

14

pemberontak bermukim. Kecenderungan yang terjadi adalah pemerintah, demi menegakkan

hukum, tidak peduli dengan sensitivitas masyarakat. Kasus penangkapan Abu Bakar Baasyir di

depan para santrinya merupakan contoh ketidakhati-hatian pemerintah dalam menjalankan

operasi penegakan hukum.28

Untuk mencegah terjadinya hal ini, diperlukan analisis terhadap

situasi secara komprehensif sebelum melakukan operasi. Di sini aspek selanjutnya dari COIN

menjadi penting, yakni data intelijen sebagai penggerak operasi. Di sini COIN mengadopsi

pendekatan intelijen yang dipakai oleh CT dan memodifikasinya dengan memberikan penekanan

pada aspek strategi politik-militer.

Aspek lain yang juga dipinjam dari operasi CT adalah penegakan hukum. Tentu saja tidak 

dapat dipungkiri bahwa penegakan hukum harus selalu ada di dalam setiap operasi yang

bertujuan melindungi masyarakat. Penegakan hukum yang dilakukan harus dalam kerangka

memperkuat legitimasi pemerintah, karenanya tidak boleh dipahami secara kaku dan statis.

Penegakan hukum harus diimbangi dengan kesediaan mendengarkan grievance yang mereka

rasakan. Hal yang sering kali menghambat adalah asumsi yang berkembang di kalangan

pengambil kebijakan dan sebagian masyarakat bahwa teroris merupakan aktor yang irasional

yang tidak dapat diajak berunding sehingga satu-satunya cara untuk menghentikan mereka

adalah mengurung mereka di penjara atau menghukum mati mereka. Pemikiran yang demikian

tentu saja perlu dibuang jauh-jauh. Sama halnya ketika masyarakat biasa dapat dicuci otaknya

untuk menjadi teroris, teroris juga seharusnya bisa dibujuk kembali dengan pendekatan yang

tepat. Apalagi ketika kita berbicara jaringan yang luas di mana tidak semua orang memiliki

tingkat ekstremisme yang sama.

Aspek selanjutnya dari COIN adalah pemisahan antara pemberontak dengan akar dan

dukungan perjuangan mereka.29 Pemisahan pemberontak dari akar penyebab perjuangan mereka

yakni dengan menjawab grievance yang mereka teriakkan, sehingga mereka menjadi kehilangan

basis pendukung yang menyuarakan hal yang sama. Pemisahan selanjutnya adalah secara fisik,

yakni berupa kontrol wilayah yang komprehensif. Dalam kasus separatisme yang memiliki batas-

batas wilayah yang kasat mata memang lebih mudah untuk dilakukan pemisahan, tetapi tidak 

sama halnya dengan kasus pemberontakan transnasional yang dilakukan oleh JI. Cakupannya

28  ―Santri Ngruki Demo Mendukung Abu Bakar Ba‘asyir,‖ Tempo Interaktif , 19 Oktober 2002, edisi online,

http://www.tempo.co/share/?act=TmV3cw==&type=UHJpbnQ=&media=bmV3cw==&y=JEdMT0JBTFNbeV0=&

m=JEdMT0JBTFNbbV0=&d=JEdMT0JBTFNbZF0=&id=MzExMjI=.29

Petraeus dan Amos, US Army US Marine Corps Counterinsurgency Field Manual, 1 – 23.

Page 15: Counterterrorism Atau Counterinsurgency

7/30/2019 Counterterrorism Atau Counterinsurgency

http://slidepdf.com/reader/full/counterterrorism-atau-counterinsurgency 15/17

15

yang luas membuat mereka dapat berada di mana saja dan sangat berbaur dengan masyarakat.

Namun demikian, pemisahan dapat dilakukan secara psikologis, yakni menjauhkan masyarakat

dari ideologi ekstrim yang dibawa oleh kelompok ini.

Aspek terakhir yang penting juga disadari dalam operasi COIN adalah bahwa untuk 

memadamkan pemberontakan memerlukan komitmen yang panjang dan melelahkan.30

 

Kecenderungan pembuat kebijakan untuk menyelesaikan masalah terorisme dan separatisme

dalam jangka pendek merupakan suatu kesalahan besar. Pemberontakan atau terorisme

merupakan perang ide, dan untuk mematikan suatu ide diperlukan waktu yang sangat lama (atau

bahkan tidak mungkin). Kecenderungan ini terjadi karena sifat dari sistem politik yang

membatasi rentang kerja pemimpin. Baik karena alasan altruistik ingin menorehkan sejarah atau

alasan pragmatis memenangkan pemilu selanjutnya, pemimpin memiliki insentif untuk mencoba

menyelesaikan konflik dengan cara yang instan.

Jika dilihat dari berbagai aspek COIN ini, jelas sudah bahwa ini merupakan strategi yang

paling tepat untuk menghadapi pemberontakan, baik yang sifatnya domestik maupun

transnasional. COIN merupakan solusi yang tepat karena aspek-aspeknya inheren dengan sifat-

sifat pemberontakan yang sedang dihadapi. Selain itu, pendekatan COIN lebih komprehensif dan

melibatkan lebih banyak partisipasi, sehingga legitimasinya dapat lebih tinggi. Selain itu,

tingginya partisipasi masyarakat dalam COIN berguna untuk mencegah pemberontakan-

pemberontakan baru di masa mendatang

Kesimpulan

Terorisme adalah bidang kajian yang sangat populer, terutama sejak deklarasi Global War on

Terror  (GWOT) oleh Bush. Salah satu kajian yang menarik dari studi tentang terorisme adalah

mengenai definisi dan cara menghadapinya. Terorisme hingga kini belum memiliki definisi yang

tetap dan diakui secara luas. Kebanyakan definisi yang diberikan bersifat politis dan tidak 

mencerminkan karakternya secara objektif. Dalam upaya memahami terorisme, tulisan ini

menemukan bahwa sebenarnya terorisme tidak lain hanya lah suatu metode yang digunakan oleh

suatu gerakan pemberontakan. Oleh karenanya Al Qaeda dan Jamaah Islamiyah sebenarnya

memiliki kesamaan karakter dengan gerakan pemberontakan lain seperti MILF di Mindanao dan

30Ibid., 1 – 24.

Page 16: Counterterrorism Atau Counterinsurgency

7/30/2019 Counterterrorism Atau Counterinsurgency

http://slidepdf.com/reader/full/counterterrorism-atau-counterinsurgency 16/17

16

pemberontak Thailand selatan. Hanya saja, jaringan Al Qaeda dan JI memiliki cakupan yang

lebih luas dibandingkan pemberontakan lainnya.

Kesamaan karakter yang dimiliki oleh JI dan gerakan pemberontakan merupakan fokus dari

tulisan ini dan penulis menyimpulkan bahwa kesamaan tersebut memiliki konsekuensi berupa

kesamaan solusi. COIN sebagai strategi yang digunakan untuk melawan pemberontakan

merupakan senjata yang paling cocok untuk menghadapi gerakan seperti JI, terutama jika

dibandingkan dengan CT. Tulisan ini menemukan ketidaksesuaian yang sangat besar dalam

strategi pemerintah yang menggunakan CT dan gerakan terorisme yang pada dasarnya memiliki

karakter pemberontakan.

Tulisan ini dapat dijadikan titik awal untuk meneliti lebih jauh tentang strategi COIN,

terutama di level implementasi. Tulisan ini hanya memaparkan di tingkat prinsip mengapa secara

konseptual COIN lebih tepat untuk menangkal terorisme, tetapi belum lebih jauh mengevaluasi

kendala-kendala penerapannya di lapangan. Penelitian lanjutan diperlukan untuk menjawab

pertanyaan ini.

Daftar Pustaka

Antal, John. ―Counter -terrorism or Counterinsurgency?‖  Military Technology 33, no. 12

(Desember 2009): 46 – 49.

Bonner, Raymond, dan Carlos H. Conde. ―U.S. and Philippines Join Forces to Pursue Terrorist

Leader.‖ The New York Times, 23 Juli 2005, bag. International / Asia Pacific.http://www.nytimes.com/2005/07/23/international/asia/23philippines.html.

Boyle, Michael J. ―Do Counterterrorism and Counterinsurgency Go Together?‖  International

 Affairs 86, no. 2 (2010): 333 – 353.

―Estrada‘s Risky Strategy.‖ The Economist , 21 September 2000.

http://www.economist.com/node/374306.Kilcullen, David. Counterinsurgency. Oxford University Press, USA, 2010.

 ——— . The Accidental Guerrilla: Fighting Small Wars in the Midst of a Big One. edisi pertama.

Oxford University Press, USA, 2009.

―News Focus: Fighting Terrorism Through Deradicalization Program Goes On.‖  Antara News,

22 September 2009, edisi online.

http://www.antaranews.com/en/news/1253615413/news-focus-fighting-terrorism-through-deradicalization-program-goes-on.

Permata, Ahmad- Norma. ―Muslim Insurgencies in Southeast Asia: Intractability, Security

Dilemma, and the‗ Islamic Factor‘.‖ Global & Strotegis 1, no. 2 (2007): 62 – 82.

Petraeus, D. H, and J. F Amos. US Army US Marine Corps Counterinsurgency Field Manual.

Signalman Publishing, 2009.

Page 17: Counterterrorism Atau Counterinsurgency

7/30/2019 Counterterrorism Atau Counterinsurgency

http://slidepdf.com/reader/full/counterterrorism-atau-counterinsurgency 17/17

17

―Profil Jamaah Islamiyah.‖  BBC Indonesia, 22 September 2010.

http://www.bbc.co.uk/indonesia/berita_indonesia/2010/09/100922_jamaahislamiyah.shtml.

 Recruiting Militants in Southern Thailand . Asia Report. International Crisis Group, 22 Juni

2009.

―Santri Ngruki Demo Mendukung Abu Bakar Ba‘asyir.‖ Tempo Interaktif , 19 Oktober 2002,edisi online.

http://www.tempo.co/share/?act=TmV3cw==&type=UHJpbnQ=&media=bmV3cw==&y

=JEdMT0JBTFNbeV0=&m=JEdMT0JBTFNbbV0=&d=JEdMT0JBTFNbZF0=&id=MzExMjI=.

Schmid, Alex Peter, and A. J. Jongman. Political Terrorism: A New Guide to Actors, Authors,

Concepts, Data Bases, Theories, & Literature. Transaction Publishers, 2005.

Smith, Haviland. ―Defining Terrorism: It Shouldn‘t Be Confused with Insurgency.‖  American

 Diplomacy, Desember 2008.

http://www.unc.edu/depts/diplomat/item/2008/1012/comm/smith_defining.html.

Sugiono, Muhadi. Terrorism, Radicalism and Violence: Preliminary Research and Conceptual

 Development . Semarang: Center for Law Enforcement Cooperation, 2011.Symonds, Peter. The Political Origins of Jemaah Islamiyah. Global Research, 2005.

http://www.globalresearch.ca/index.php?context=va&aid=1030.Vaughn, Bruce. Terrorism in Southeast Asia. Congressional Research Service, 2010.