d0213058.doc  · web viewverbal communications that are accommodated by the volunteers include...

33
JURNAL POLA KOMUNIKASI VOLUNTEER KOMUNITAS GRIYA SCHIZOFREN SOLO (Studi Kasus Pola Komunikasi antara Volunteer Komunitas Griya Schizofren Solo dan Orang dengan Skizofrenia (ODS) di Griya PMI Peduli Surakarta dalam Meningkatkan Kerohanian Islam Tahun 2017) Disusun Oleh: Moh Luthfi Syamsudin D0213058 Diajukan Guna Memenuhi Persyaratan untuk Mencapai Gelar Sarjana Ilmu Komunikasi Program Studi Ilmu Komunikasi FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN POLITIK

Upload: others

Post on 06-Sep-2020

0 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: D0213058.doc  · Web viewVerbal communications that are accommodated by the volunteers include language, word choice and sentence structure, while non-verbal communications are accommodated

JURNAL

POLA KOMUNIKASI VOLUNTEER KOMUNITAS GRIYA

SCHIZOFREN SOLO

(Studi Kasus Pola Komunikasi antara Volunteer Komunitas Griya Schizofren

Solo dan Orang dengan Skizofrenia (ODS) di Griya PMI Peduli Surakarta

dalam Meningkatkan Kerohanian Islam Tahun 2017)

Disusun Oleh:

Moh Luthfi Syamsudin

D0213058

Diajukan Guna Memenuhi Persyaratan untuk Mencapai

Gelar Sarjana Ilmu Komunikasi

Program Studi Ilmu Komunikasi

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN POLITIK

UNIVERSITAS SEBELAS MARET

SURAKARTA

2017

Page 2: D0213058.doc  · Web viewVerbal communications that are accommodated by the volunteers include language, word choice and sentence structure, while non-verbal communications are accommodated

POLA KOMUNIKASI VOLUNTEER KOMUNITAS GRIYA

SCHIZOFREN SOLO

(Studi Kasus Pola Komunikasi antara Volunteer Komunitas Griya Schizofren

Solo dan Orang dengan Skizofrenia (ODS) di Griya PMI Peduli Surakarta

dalam Meningkatkan Kerohanian Islam Tahun 2017)

Moh Luthfi Syamsudin

Sri Hastjarjo

Program Studi Ilmu Komunikasi, Fakultas Ilmu Sosial dan PolitikUniversitas Sebelas Maret Surakarta

AbstractGriya Schizofren Solo community is a youth community in Solo City that

cares for people with schizophrenia (ODS). An activity of this community is Islamic spirituality therapy which accompany ODS to recite Iqro or the Qur'an and perform the prayer. Schizophrenia disorder experienced by ODS triggers the emergence of certain communication patterns performed by the volunteers when communicate to ODS, especially during the Islamic spirituality session. This research was a qualitative research using case study method. The sampling technique used purposive sampling technique with homogeneous samples. Data collection techniques of this study were observation, interview and documentation. This analytical technique of this research was pattern matching analysis technique. The results of this study indicate that the communication patterns of the volunteers of Griya Schizofren Solo community are related to accommodation of communication during the Islamic spirituality therapy. Verbal communications that are accommodated by the volunteers include language, word choice and sentence structure, while non-verbal communications are accommodated including dialect, vocal intensity, speech rate, eye contact, physical contact, applause, facial expression, nodding and hand movements. Volunteer communication resistance occurs when schizophrenia disorder of ODS were relapse. ODS were more difficult to coordinate due to lack of response and loss of self-awareness of ODS.

Keywords: Communication Patterns, Communication Accommodation, People with Schizophrenia

1

Page 3: D0213058.doc  · Web viewVerbal communications that are accommodated by the volunteers include language, word choice and sentence structure, while non-verbal communications are accommodated

Pendahuluan

Skizofrenia adalah kelainan mental kompleks yang dipengaruhi oleh

ketidakseimbangan biokimia dalam otak manusia. Orang dengan Skizofrenia

(ODS) akan mudah mengalami delusi dan halusinasi. Mereka juga akan kesulitan

dalam proses berpikir, berkomunikasi dan cenderung menarik diri dari lingkungan

sosialnya. Seseorang yang mengalami Skizofrenia sulit untuk membedakan

realitas dan halusinasi (Schizophrenia Society of Canada, 2003:14). Data hasil

Riset Kesehatan Dasar Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan,

Kementerian Kesehatan Republik Indonesia (Kemenkes RI) menunjukkan

prevalensi orang dengan gangguan jiwa berat, seperti Skizofrenia di Indonesia

mencapai 1,7 per 1000 pada tahun 2013. Prevalensi tersebut setara dengan

400.000 orang. Provinsi Jawa Tengah berada di urutan kelima dengan jumlah

prevalensi gangguan jiwa berat terbesar se-Indonesia (Litbang Kemenkes RI,

2013). Salah satu kota di Jawa Tengah yang banyak memiliki orang dengan

gangguan jiwa berat adalah Kota Surakarta. Pada tahun 2000, penderita gangguan

jiwa di Kota Surakarta mencapai prosentase 16% dari jumlah penduduk

(Tempo.co, 12 Mei 2005).

Prevalensi yang begitu tinggi tersebut tidak diimbangi dengan jumlah

psikiater yang memadai. Jumlah psikiater di Indonesia hingga tahun 2014 hanya

sekitar 800 orang (Kompas.com, 17 September 2014). Fakta tersebut seharusnya

memicu masyarakat Indonesia untuk memiliki rasa peduli dan kepekaan yang

tinggi terhadap ODGJ atau ODS. Akan tetapi, kasus diskriminasi dan stigmatisasi

terhadap ODS masih banyak ditemukan di Indonesia. Salah satu bentuk

diskriminasi yang dilakukan adalah memasung orang-orang pengidap Skizofrenia.

Proporsi rumah tangga yang memiliki anggota rumah tangga dengan gangguan

jiwa berat dan pernah dipasung adalah 14,3%. Proporsi untuk provinsi Jawa

Tengah sendiri adalah 7,3% (Litbang Kemenkes RI, 2013).

Jumlah ODS yang semakin meningkat, terbatasnya jumlah psikiater dan

meningkatnya kasus diskriminasi, memicu munculnya Komunitas Griya

Schizofren Solo. Griya Schizofren Solo adalah komunitas pemuda di Kota

Surakarta yang peduli dengan ODS. Salah satu kegiatan Komunitas Griya

2

Page 4: D0213058.doc  · Web viewVerbal communications that are accommodated by the volunteers include language, word choice and sentence structure, while non-verbal communications are accommodated

Schizofren Solo adalah melakukan terapi kerohanian Islam kepada ODS. Terapi

kerohanian Islam adalah terapi mendampingi ODS mengaji Iqro dan Alquran serta

melaksanakan salat.

Gangguan skizofrenia yang dimiliki oleh ODS menyebabkan terjadinya

hambatan komunikasi antara volunteer dan ODS. Hambatan komunikasi tersebut,

khususnya hambatan psikologis menyebabkan volunteer komunitas ini memiliki

pola komunikasi tertentu saat mendampingi ODS di sesi kerohanian Islam. Pola

komunikasi tersebut berhubungan dengan penyesuaian bentuk komunikasi verbal

dan non-verbal. Penyesuaian ini dilakukan agar pesan pendampingan mengaji dan

salat dalam rangka meningkatkan kerohanian Islam dapat tersampaikan dengan

baik pada ODS.

Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang di atas, maka didapatkan rumusan masalah

sebagai berikut:

1. Bagaimana pola komunikasi antara volunteer Komunitas Griya Schizofren

Solo dan Orang dengan Skizofrenia (ODS) di Griya PMI Peduli Surakarta

dalam meningkatkan kerohanian Islam tahun 2017?

2. Apa saja hambatan volunteer sebagai komunikator dalam berkomunikasi

dengan Orang dengan Skizofrenia (ODS)?

Landasan Teori

1. Komunikasi Interpersonal

Komunikasi interpersonal menjadi salah satu level komunikasi yang

penting dalam kehidupan manusia. Mayoritas interaksi sosial yang ada di

masyarakat dilakukan pada level komunikasi tersebut. Komunikasi

interpersonal tidak hanya sebatas berapa jumlah orang yang berkomunikasi

atau di mana mereka berkomunikasi, namun berkaitan erat dengan hubungan

(relationship) dan sesuatu yang dekat (intimate) yang terjalin antar individu

yang bersangkutan. Kedekatan antar individu dalam komunikasi interpersonal

memengaruhi bagaimana individu tersebut memandang dan menerima

3

Page 5: D0213058.doc  · Web viewVerbal communications that are accommodated by the volunteers include language, word choice and sentence structure, while non-verbal communications are accommodated

individu yang lain. Hal tersebut akan memengaruhi bagaimana mereka

berkomunikasi satu sama lain (Wood, 2016:12).

Wood (2016:14-19) juga menjelaskan tentang fitur/karakteristik

komunikasi interpersonal, yaitu sebagai berikut:

a. Selektif

Manusia tidak berkomunikasi secara ‘intimate’ pada semua orang yang

mereka temui, namun mereka hanya berkomunikasi secara

interpersonal dengan orang-orang tertentu.

b. Sistemik

Komunikasi interpersonal bersifat sistemik, artinya komunikasi yang

terjadi selalu memiliki konteks tertentu, menyesuaikan dengan

komunikan. Konteks dapat berkaitan dengan budaya, sosio-ekonomi,

hubungan personal dan lain sebagainya. Komunikasi interpersonal juga

memiliki sistem, termasuk di dalamnya noise atau hambatan.

Hambatan dalam komunikasi interpersonal secara umum dibagi

menjadi dua, yaitu hambatan fisik dan psikologis.

c. Proses

Komunikasi interpersonal adalah sebuah komunikasi yang memiliki

proses berkelanjutan. Semakin tinggi frekuensi dan intensitas

komunikasi yang dilakukan, maka hubungan yang terjalin pun akan

semakin dekat.

d. Pengetahuan personal

Komunikasi interpersonal berhubungan dengan bagaimana antar

peserta komunikasi dapat saling mengetahui dan memahami secara

personal tentang keunikan pikiran dan perasaan masing-masing.

e. Pembentukan makna

Inti dari komunikasi interpersonal adalah berbagi makna di antara

individu. Watzlawick, Beavin dan Jackson (dalam Wood, 2016:17)

membagi dua tingkat pemaknaan dalam komunikasi interpersonal,

yaitu makna konten (content meaning) dan makna hubungan

(relationship meaning)

4

Page 6: D0213058.doc  · Web viewVerbal communications that are accommodated by the volunteers include language, word choice and sentence structure, while non-verbal communications are accommodated

2. Hubungan Interpersonal

Hubungan interpersonal berkaitan dengan hubungan antar individu

yang terjalin karena adanya aktivitas komunikasi interpersonal (Devito,

2013:247). Dalam membangun sebuah hubungan interpersonal, diperlukan

komunikasi yang baik dari pihak-pihak yang terlibat. Semakin baik

komunikasi yang dilakukan, maka semakin intim hubungan yang akan terjalin

(Canary dkk dalam Devito, 2013:247). Untuk membangun sebuah hubungan

interpersonal yang baik, komunikator dan komunikan perlu memperhatikan

bagaimana mereka berkomunikasi. Cara mereka berkomunikasi akan

berdampak pada hubungan interpersonal mereka.

Hal-hal yang perlu diperhatikan saat berkomunikasi interpersonal

salah satunya adalah bersikap pro-sosial, seperti ramah, sopan dan tidak

mengkritik. Selain itu, kita juga harus menyeimbangkan topik pembicaraan

ringan dan serius, terbuka dalam mengungkapkan ide, saran, gagasan dan

perasaan, menghabiskan waktu bersama dan bersikap empati pada lawan

bicara saat berkomunikasi interpersonal (Devito, 2013:247-248).

3. Teori Akomodasi Komunikasi

Teori ini menjelaskan bahwa manusia dapat mengubah atau

menyesuaikan pola komunikasinya saat berkomunikasi dengan orang lain,

yang memiliki perbedaan sosial, budaya ataupun psikologis. Bahasa verbal

dan nonverbal yang digunakan dapat berubah tergantung kepada siapa

manusia berkomunikasi. Manusia dapat mengubah dialek, kata-kata, identitas

sosial dan kepribadian mereka sementara waktu untuk menyesuaikan kondisi

sosio-psikologis dari lawan bicaranya saat berkomunikasi interpersonal (Giles

& Powesland dalam Budyatna, 2015:160).

Secara umum, teori akomodasi komunikasi terbagi menjadi dua, yaitu

konvergensi dan divergensi. Dalam konvergensi, pihak komunikator

cenderung menyamakan dialek, bahasa, gesture dan cara berkomunikasi dari

pihak komunikannya. Dalam konvergensi, komunikator akan menyesuaikan

kecepatan bicara (speech rate), susunan kalimat (utterance length), frekuensi

jeda, gesture, postur, keterbukaan, volume suara (vocal intensity), lelucon,

5

Page 7: D0213058.doc  · Web viewVerbal communications that are accommodated by the volunteers include language, word choice and sentence structure, while non-verbal communications are accommodated

anggukan kepala, densitas informasi dan kecepatan merespon (response

latency). Sedangkan dalam divergensi, komunikator cenderung menambah

jarak (gap) perbedaan sosio-psikologisnya dengan komunikan. (Giles,

Coupland dan Coupland, 1991:8).

Penyesuaian tersebut dilakukan dengan alasan bahwa seseorang akan

merasa lebih suka dan nyaman, jika berkomunikasi dengan orang yang

memiliki banyak kesamaan dengannya, terutama kesamaan dalam hal bahasa,

dialek, gesture dan sosio-psikologis. Konvergensi dalam komunikasi

interpersonal juga mendorong komunikan untuk menerima komunikator dan

mempersepsikan positif komunikator. Komunikator lebih mudah diterima

secara sosial oleh komunikan, jika memiliki banyak kesamaan dengannya

(Giles, Coupland dan Coupland, 1991:18-19).

4. Atraksi Komunikasi Interpersonal

Komunikasi interpersonal tidak terjadi begitu saja tanpa adanya

ketertarikan dari kedua belah pihak untuk berkomunikasi. Manusia biasanya

menjalin hubungan dengan manusia lainnya karena dasar ketertarikan. Dalam

teori atraksi dijelaskan bahwa seseorang dapat berkomunikasi dengan orang

lain karena faktor-faktor tertentu, antara lain: kesamaan (similarity) dalam

kewarganegaraan, ras, kemampuan, karakteristik fisik, kecerdasan ataupun

perilaku (Pomptakpan dalam Devito, 2013:239); Kedekatan (proximity)

secara fisik; Reinforcement yang berkaitan dengan kecenderungan

ketertarikan dengan orang lain yang memberi penghargaan (rewards) kepada

kita dan sebaliknya; Ketertarikan fisik dan kepribadian (Monin dalam Devito,

2013:240); Status pendidikan dan sosio-ekonomi; dan Reciprocity of liking

yang berkaitan dengan kecenderungan ketertarikan pada orang yang dianggap

menyukainya (Devito, 2013:240).

5. Skizofrenia

Skizofrenia adalah kelainan mental kompleks yang penyebabnya

dipengaruhi oleh ketidakseimbangan biokimia dalam otak manusia. Manusia

yang mengalami Skizofrenia akan mudah mengalami delusi dan halusinasi.

Mereka juga akan kesulitan dalam proses berpikir, berkomunikasi dan

6

Page 8: D0213058.doc  · Web viewVerbal communications that are accommodated by the volunteers include language, word choice and sentence structure, while non-verbal communications are accommodated

cenderung menarik diri dari lingkungan sosialnya. Seseorang yang

mengalami Skizofrenia biasanya sulit untuk membedakan realitas dan

halusinasi (Schizophrenia Society of Canada, 2003:14).

Secara umum, ODS mengalami dua gejala, yaitu gejala positif dan

gejala negatif. Gejala positif berkaitan dengan kelainan otak yang

berhubungan dengan gangguan berbicara atau menulis, memiliki keyakinan

yang salah terhadap realita (delusi), mengalami halusinasi seperti melihat atau

mendengar sesuatu yang sebenarnya tidak ada, berkurangnya intensitas atau

variasi respon emosional dan mengalami gangguan pada sikap motorik

(Barbato, 1998:2). Sedangkan, gejala negatif berkaitan dengan berkurangnya

perasaan senang dalam menjalani kehidupan, kesulitan memulai dan

melakukan aktivitas rutin dan berkurangnya aktivitas komunikasi dengan

orang lain (National Institute of Mental Health, 2015:4).

Gejala gangguan sistem komunikasi pada ODS dapat dibagi menjadi

dua, yaitu gangguan semantik dan pragmatik. Gangguan semantik berdampak

pada kurangnya pengetahuan ODS terhadap makna dari kata, frase atau

kalimat. Selain itu, ODS juga sulit memahami konsep, label, dan kategori

bahasa (Zissis, 2015:8). Sedangkan, gangguan pragmatik berkaitan dengan

hubungan antara bahasa dan konteks. ODS sering memberikan respon yang

tidak sesuai dengan topik pembicaraan (Covington dkk., 2005:92).

Metodologi

Penelitian ini merupakan jenis penelitian kualitatif yang menggunakan

metode studi kasus. Teknik pengambilan sampel pada penelitian ini menggunakan

teknik purposive sampling dengan metode homogeneous samples, yaitu memilih

lima volunteer Komunitas Griya Schizofren Solo yang memiliki kesamaan dalam

hal karakteristik dan pengalaman mendampingi ODS mengaji dan salat. Teknik

pengumpulan data menggunakan observasi, wawancara dan dokumentasi. Teknik

analisis yang digunakan adalah teknik analisis penjodohan pola.

7

Page 9: D0213058.doc  · Web viewVerbal communications that are accommodated by the volunteers include language, word choice and sentence structure, while non-verbal communications are accommodated

Sajian dan Analisis Data

Komunikasi antara volunteer Komunitas Griya Schizofren Solo dengan

ODS dapat terjadi karena pola komunikasi tertentu. Pola komunikasi tersebut

berkaitan dengan akomodasi komunikasi yang dilakukan oleh volunteer. Dalam

kasus ini, volunteer melakukan konvergensi akomodasi komunikasi karena

volunteer mengurangi kesenjangan kondisi sosio-psikologis antara volunteer

dengan ODS dan berusaha untuk memahami bagaimana ODS mempersepsikan

perkataan orang lain. Menurut Giles, Coupland dan Coupland (1991:18-19),

akodomasi komunikasi dilakukan untuk mempermudah komunikasi interpersonal

karena semakin volunteer memiliki banyak kesamaan dengan ODS, semakin

mudah ODS menerima volunteer secara sosial.

Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan, terdapat dua bentuk

akomodasi komunikasi yang dilakukan oleh volunteer Komunitas Griya

Schizofren Solo saat berkomunikasi dengan ODS, yaitu komunikasi verbal dan

komunikasi non-verbal.

1. Pola Komunikasi

a. Komunikasi Verbal

Volunteer Komunitas Griya Schizofren Solo sering menggunakan

Bahasa Jawa saat berkomunikasi dengan ODS di sesi kerohanian Islam

karena mayoritas ODS berasal dari Jawa. Akan tetapi, terkadang volunteer

juga terlihat menggunakan Bahasa Indonesia. Hal tersebut seperti yang

diungkapkan oleh Nimas, salah seorang volunteer.

“.....karena ada beberapa pasien yang dia itu orang Jawa, jadi kayak aku harus menyesuaikan bahasanya.... Cuman kalau dilihat keseluruhan, mereka banyak yang bisa berkomunikasi secara biasa (Bahasa Indonesia)” (wawancara dengan Nimas pada Selasa, 13 Juni 2017).

Bahasa Jawa yang digunakan adalah Bahasa Jawa Krama Alus.

Menurutnya, Bahasa Jawa Krama Alus lebih pantas diucapkan dengan

ODS, khususnya ODS yang telah lanjut usia. Arum menyatakan

penggunaan Bahasa Jawa Krama Alus saat berkomunikasi dengan ODS

8

Page 10: D0213058.doc  · Web viewVerbal communications that are accommodated by the volunteers include language, word choice and sentence structure, while non-verbal communications are accommodated

membuat ODS merasa lebih dihargai. Dalam kaidah penuturan Bahasa

Jawa, Bahasa Krama Alus atau Krama Inggil memang bermakna

menyatakan nilai hormat pada lawan bicara (Ekowardono dkk, 1993:8).

“Kalau aku ngerasanya, kalau misal orang Jawa, terus apalagi dia udah sepuh, itu beliau lebih enak diajak ngomong Krama karena beliau merasa dihargai gitu. Jadi kayak ngajeni, “oh ya, oh iya,” kayak gitu. Lebih ke situ aja sih, makanya” (wawancara dengan Arum pada Jumat, 18 Agustus 2017)

Tidak hanya bahasa, volunteer komunitas ini juga mengkomodasi

pilihan kata. Memilih kata yang sesuai saat berkomunikasi dengan orang

lain sangatlah penting karena pemahaman kosakata tiap individu berbeda-

beda. Ada individu yang sangat terbatas kosakatanya, ada juga individu

yang sangat “kaya” kosakatanya (Keraf, 2007:23). Pilihan kata yang

digunakan volunteer saat mendampingi ODS adalah pilihan kata

percakapan sehari-hari. Volunteer biasanya menganggap ODS seperti

teman lama yang sudah akrab, sehingga pilihan kata yang digunakan

tergolong kata-kata santai.

“Anggaplah kita itu sok kenal sama mereka dan kita udah deket sama mereka. Kalau aku gitu sih biasanya. ‘Ayo pak ndang shalat, ayo bu...nganu...shalat! Piye ora gelem shalat wong wis maghrib?,’ kayak gitu biasanya” (wawancara dengan Arum pada Jumat, 18 Agustus 2017).

Kata-kata ajakan seperti “ayo,” “yuk,” dan “hayo” juga digunakan

volunteer saat berkomunikasi dengan ODS di sesi kerohanian Islam. Salah

satu volunteer, Arum terlihat sering menggunakan kata “ayo” selama sesi

kerohanian Islam. Dalam sebuah sesi kerohanian Islam, Arum terlihat

mengucapkan kata-kata “ayo bu ngaji!” “Ih, ikutan ngaji ayo bu!” (hasil

observasi pada Kamis, 5 Oktober 2017). Terlihat bahwa kata ajakan “ayo”

digunakan Arum untuk menarik simpati dan ketertarikan ODS mengikuti

kegiatan mengaji.

9

Page 11: D0213058.doc  · Web viewVerbal communications that are accommodated by the volunteers include language, word choice and sentence structure, while non-verbal communications are accommodated

Volunteer Komunitas Griya Schizofren Solo juga menghindari

penggunaan kata-kata larangan yang bermakna negatif. Volunteer

mengganti kata-kata larangan dengan kata-kata bermakna positif. Gilar,

salah satu volunteer yang terlibat dalam kerohanian Islam menyatakan

bahwa ia sering mengganti kalimat larangan dengan kalimat positif.

“Contoh, ini waktunya shalat ya, cuman ada yang memang belum shalat. Kamu harusnya bukan ‘kamu harusnya shalat,’ atau ‘kamu kenapa tidak shalat?’ Cuman kita sampaikan bahwasannya, ‘yuk kita udah waktunya shalat nih’ ” (wawancara dengan Gilar pada Sabtu, 12 Agustus 2017).

Pilihan kata lainnya yang digunakan adalah kata-kata lelucon atau

humor. Lelucon dapat menjadi terapi untuk menghilangkan stres lawan

bicara (Ristica, 2015:90). Beberapa volunteer menyisipkan lelucon saat

mendampingi ODS mengaji. ODS terkadang menanggapi lelucon

volunteer dengan memberikan umpan balik (feedback) berupa kalimat

yang sama seperti yang diucapkan oleh volunteer. Arum adalah salah satu

volunteer yang terlihat sering menyisipkan kata-kata lelucon pada ODS

(hasil observasi pada Kamis, 5 Oktober 2017).

“Terus kadang aku yang dibalikin. ‘Hi... kowe rung adus yo mbak?” kayak gitu. Jadi kadang nimpalin mereka itu, gitu...kalau udah sering-sering diajakin” (wawancara dengan Arum pada Jumat, 18 Agustus 2017).

Dari segi susunan kalimat, volunteer komunitas ini terlihat

menggunakan kalimat yang pendek, tunggal dan jelas. Kalimat yang

diucapkan volunteer terbatas pada pola kalimat dasar S-P-O dan S-P-O-K.

Saat ODS salah membaca ayat-ayat di Iqro atau Alquran, volunteer secara

langsung membenarkan bacaan ODS dengan mencontohkan cara membaca

yang benar.

“...ketika dia salah melafalkan ‘miu wara ihim’ terus dia salah ‘mim bak di,’ langsung aja kita sambung ‘miuuu waraaa ihiiiim,’ seperti itu. ......kalau untuk benar atau tidaknya, setidaknya mereka

10

Page 12: D0213058.doc  · Web viewVerbal communications that are accommodated by the volunteers include language, word choice and sentence structure, while non-verbal communications are accommodated

itu lebih paham ketika dicontohkan ya, bukan ini bener atau salah karena mereka pun terkadang juga nggak ngerti ini tuh bener atau salah, gitu” (wawancara dengan Gilar pada Sabtu, 12 Agustus 2017).

Susunan kalimat yang diucapkan volunteer saat sesi kerohanian

Islam hanya sebatas satu kalimat per percakapan dan satu kalimat itu

hanya terdiri dari dua hingga lima kata. Menurut Sofi, salah satu volunteer,

ODS perlu distimulus untuk mengucapkan kalimat yang lebih panjang

dengan memulai percakapan yang terdiri dari satu atau dua kata terlebih

dahulu. Kemampuan volunteer untuk beradaptasi dengan pesan-pesan

yang disampaikan ODS dengan memperhitungkan karakteristik ODS

terbukti dapat menjadi terapi kesehatan bagi pasien dalam pelayanan

kesehatan (Kline dan Ceropski dalam Giles, Coupland & Coupland,

1991:3).

“Mungkin kita lihat juga ODS-nya, sih. Kalau kan memang ada yang satu kata dua kata baru mereka bisa nyaut gitu. Ada yang...ada beberapa yang tiga bahkan lima, bahkan udah satu kalimat full itu bisa mereka serap gitu. Tapi kalau aku pribadi biasanya aku tiga (kata)” (wawancara dengan Sofi pada Senin, 21 Agustus 2017).

b. Komunikasi Non-verbal

Selain komunikasi verbal, volunteer Komunitas Griya Schizofren

Solo juga menggunakan bentuk komunikasi non-verbal saat sesi

kerohanian Islam. Salah satu akomodasi komunikasi non-verbal yang

dilakukan adalah akomodasi dialek. Menurut Giles, Coupland dan

Coupland (1991:6), akomodasi komunikasi memang tidak hanya

memperhatikan bahasa yang digunakan, namun juga dialek. Semakin sama

atau mirip bahasa dan dialek yang digunakan oleh komunikator, maka

akan semakin besar kemungkinan diterima secara sosial oleh

komunikannya.

Saat mendampingi ODS mengaji dan shalat dalam sesi kerohanian

Islam, volunteer komunitas ini terdengar menggunakan dialek Solo. Dialek 11

Page 13: D0213058.doc  · Web viewVerbal communications that are accommodated by the volunteers include language, word choice and sentence structure, while non-verbal communications are accommodated

ini terdengar diucapkan oleh volunteer, misalnya Arum saat mendampingi

ODS mengaji. Terdengar beberapa kata khas Solo yang diucapkan oleh

Arum, seperti “de’e,” dan “tak ajari” (hasil observasi pada Kamis, 5

Oktober 2017).

“Kalau untuk dialek dalam komunikasi yang saya sampaikan, itu saya gunakan dialek Solo ya karena memang saya asli di sini dan in sya Allah itu mudah dipahami oleh ODS-ODS” (wawancara dengan Gilar pada Sabtu, 12 Agustus 2017).

Dari segi volume suara, volunteer komunitas ini menggunakan

volume suara rendah saat mendampingi satu ODS dengan jarak dekat dan

menggunakan volume suara tinggi saat mendampingi lebih dari satu ODS

dengan jarak yang jauh. Jika mengacu pada konsep zona prosemik dari

Hall (dalam West dan Turner, 2008:155-157), volunteer menggunakan

volume suara rendah saat mendampingi satu ODS pada jarak antara jarak

intim (0-46 cm) dan jarak personal (46 cm-1,2 m). Sedangkan, volunteer

menggunakan volume suara tinggi saat mendampingi lebih dari satu ODS

pada jarak antara jarak sosial (1,2-3,6 m) dan jarak publik (lebih dari 3,7

m).

“Kalau saya nih sama ODS-nya duduknya itu deketan, saya nggak perlu dengan suara yang tinggi.....” (wawancara dengan Sofi pada Senin, 21 Agustus 2017).

“Mungkin lebih ke ini kali ya, nadanya harus keras, lebih ke cheerful, lebih ke ceria karena kita pengen ngebangkitin atau ngebawa suasana ceria tuh nular ke mereka kayak gitu” (wawancara dengan Nimas pada Selasa, 13 Juni 2017).

Satu hal pasti yang diakomodasi volunteer adalah intonasi

perkacapan. Saat menggunakan volume suara rendah atau tinggi, volunteer

tetap menggunakan intonasi ceria. Dengan meninggikan volume suara di

akhir kalimat membuat ucapan terdengar lebih ceria, sehingga kegiatan

mengaji yang sebenarnya merupakan kegiatan yang serius dapat menjadi

kegiatan yang menyenangkan. Di bawah ini adalah salah satu contoh 12

Page 14: D0213058.doc  · Web viewVerbal communications that are accommodated by the volunteers include language, word choice and sentence structure, while non-verbal communications are accommodated

kalimat berintonasi ceria yang diucapkan oleh volunteer. Tanda

menjelaskan intonasi yang datar, sedangkan tanda menjelaskan

intonasi yang tinggi.

“Halo ibu-ibu? Ini udah makan atau belum? Eh tadi siapa yang siang minum obat? Angkat tangan!” (wawancara dengan Nimas pada Selasa, 13 Juni 2017).

Menyesuaikan kecepatan bicara juga dilakukan oleh volunteer

komunitas ini. Dengan mengakomodasi kecepatan bicara, komunikator

dapat memancing persetujuan dari komunikannya untuk mencapai

efisiensi komunikasi (Giles dkk. dalam West dan Turner, 2008: 217).

Volunteer menyesuaikan kecepatan bicara yang mampu dipahami oleh

ODS. Dalam hal ini, ODS lebih memahami kecepatan bicara yang lambat

dengan memberi jeda setiap kalimat yang diucapkan.

“....ketika dihadapkan dengan ODS, itu saya sebisa mungkin ngomong dengan lambat agar kemudian ODS bisa menangkap apa yang saya sampaikan karena memang rata-rata daya tangkap mereka itu kurang begitu cepatlah untuk menangkap kata-kata yang cepet....saya ubah cara komunikasi saya menjadi yang agak diberi jeda” (wawancara dengan Gilar pada Sabtu, 12 Agustus 2017).

Volunteer Komunitas Griya Schizofren Solo juga menjaga kontak

mata saat berkomunikasi dengan ODS. Kontak mata dilakukan agar ODS

lebih tertarik untuk berkomunikasi dengan volunteer. Bertambahnya

ketertarikan tersebut mempermudah jalannya komunikasi antara volunteer

dan ODS saat sesi kerohanian Islam. Kontak mata adalah isyarat yang

dapat berkaitan erat dengan sifat empati manusia (Junaini, 2011:34).

Kontak mata juga menunjukan bahwa komunikator menaruh perhatian

kepada komunikannya (Rustan dan Hakki, 2017:91).

“......kita ngobrolnya sambil ngapain itu mereka nanti malah nggak interest kayak gitu. Jadi kalau gesture tertentu nggak ada, cuma sebisa mungkin kontak kita, entah itu kontak mata.....biar mereka

13

Page 15: D0213058.doc  · Web viewVerbal communications that are accommodated by the volunteers include language, word choice and sentence structure, while non-verbal communications are accommodated

juga mau diajak interaksi” (wawancara dengan Nimaswari pada Selasa, 13 Juni 2017).Selain kontak mata, volunteer Komunitas Schizofren Solo juga

melakukan kontak fisik. Kontak fisik ini memiliki makna untuk

meningkatkan kedekatan hubungan interpersonal dan meningkatkan

perasaan nyaman bagi ODS. Semakin dekat jarak antara dua pihak yang

berkomunikasi adalah salah satu tanda bahwa kedua pihak tersebut

memiliki hubungan yang sangat dekat atau intim (West dan Turner,

2008:155-157).

Kontak fisik yang dilakukan berupa salaman. Salaman biasanya

dilakukan oleh volunteer saat awal bertemu dengan ODS di Griya PMI

Peduli Surakarta. Pada ODS yang sudah lansia, volunteer melakukan

kontak fisik yang berbeda dengan mencium tangan ODS.

“Mungkin ini kali ya, diawal kalau pas lagi kita ketemu itu salaman kan. Itu kan ketika kita salaman, itu mereka berarti sedikit menaruh kepercayaan sama kita....Ada yang karena udah tua jadi kita yang cium tangan” (wawancara dengan Nimas pada Selasa, 13 Juni 2017).

Masih terdapat beberapa contoh kontak fisik lainnya yang

dilakukan volunteer saat berkomunikasi dengan ODS, namun bentuk

kontak fisik tersebut hanya cocok untuk beberapa pasien. Kontak fisik

yang dilakukan adalah mencium pipi kanan dan kiri serta memeluk ODS.

Nimas menyatakan sering mencium pipi kanan dan kiri serta memeluk

salah satu pasien yang bernama Iin.

“Dia (Mbak Iin) kalau udah deket sama volunteer pasti bakal dipeluk terus. Dan itu tanda dia trust, dia percaya, dia kenal sama kita” (wawancara dengan Nimas pada Selasa, 13 Juni 2017).

Bentuk komunikasi non-verbal selanjutnya yang dilakukan

volunteer adalah tepuk tangan. Volunteer komunitas ini, khususnya Nimas

sering mengajak ODS bertepuk tangan. Menurut Nimas, ODS sangat suka

14

Page 16: D0213058.doc  · Web viewVerbal communications that are accommodated by the volunteers include language, word choice and sentence structure, while non-verbal communications are accommodated

jika diajak tepuk tangan. Nimas biasanya meminta ODS untuk bertepuk

tangan saat ODS dapat membaca Iqro atau Alquran dengan benar.

“Ayo tepuk tangan...! Mereka seneng banget kalau disuruh tepuk tangan” (wawancara dengan Nimas pada Selasa, 13 Juni 2017).

Lebih lanjut, Nimas menyatakan tepuk tangan yang dimaksud

seperti layaknya mengajak anak kecil berkomunikasi. Nimas meminta

ODS untuk bertepuk tangan dengan intonasi yang ceria. Nimas biasanya

mengajak semua ODS untuk bertepuk tangan saat mereka benar dalam

melafalkan surat-surat pendek dalam sesi kerohanian Islam.

“Jadi kayak ngajakin anak kecil berkomunikasi lagi. ‘Terus, ayo tepuk tangan semuanya! Tepuk tangan!’ gitu (wawancara dengan Nimas pada Selasa, 13 Juni 2017).

Kelima volunteer yang terlibat dalam kegiatan kerohanian Islam

terlihat dan menyatakan lebih sering menampilkan mimik wajah ceria

selama mendampingi ODS mengaji. Mereka menyatakan lebih sering

menampilkan mimik wajah tersenyum daripada mimik wajah serius.

Terlihat ODS yang didampingi mampu melafalkan huruf hijaiyah seperti

yang dicontohkan Sofi (hasil observasi pada Kamis, 5 Oktober 2017).

Dengan menampilkan senyuman, lawan bicara mendapatkan kesan positif

dari komunikator dan mempengaruhi lawan bicara untuk untuk terus

berkomunikasi dengan komunikator (Vrugt dalam Junaini, 2011:45).

“Waduh, sesi kerohanian saya biasanya lebih banyak tersenyum ya” (wawancara dengan Gilar pada Sabtu, 12 Agustus 2017).

“Kalau saya lebih ke yang senyum terus sih karena kalau serius saya juga nggak bisa. Saya begini aja, mukanya senyum-senyum aja udah” (wawancara dengan Haekal pada Senin, 14 Agustus 2017).

15

Page 17: D0213058.doc  · Web viewVerbal communications that are accommodated by the volunteers include language, word choice and sentence structure, while non-verbal communications are accommodated

Volunteer komunitas ini juga terlihat menganggukan kepala saat

mendampingi ODS di sesi kerohanian Islam. Volunteer menganggukan

kepala pada saat menyuruh ODS untuk memulai membaca Iqro atau

Alquran. Anggukan kepala juga ditampilkan volunteer saat ODS telah

membaca Iqro dengan benar. Anggukan kepala merupakan tanda afirmatif

yang ditunjukan seseorang yang sependapat dengan argumen orang lain,

mengerti atau setuju terhadap suatu hal (Liliweri, 2007:201).

“...kayak lebih ke mengiyakan, ‘iya bu, yang ini’ gitu. Jadi lebih ke kayak gitu sih” (wawancara dengan Sofi pada Senin, 21 Agustus 2017).

Gerakan tangan terlihat digunakan juga oleh volunteer saat

mendampingi ODS mengaji dan shalat. Saat ODS salah dalam melakukan

gerakan shalat, volunteer komunitas ini menggunakan gerakan tangan

untuk mencontohkan pada ODS gerakan shalat yang benar. Gerakan

tangan memiliki banyak fungsi bagi komunikator selama komunikasi

berlangsung, misalnya menegaskan atau menjelaskan sesuatu, memberi

penekanan dan mengilustrasikan apa yang sedang dikatakan (Daryanto,

2014:177).

“Iya, kadang pernah langsung diginiin (dibetulkan gerakannya). ‘Bu, gini,’ kayak gitu atau kadang kita juga nyontohin, ‘bu gini lho bu, tuh dengerin yang imamnya,’ kayak gitu” (wawancara dengan Arum pada Jumat, 18 Agustus 2017).

2. Hambatan Komunikasi

Hambatan berkomunikasi dengan ODS saat kegiatan kerohanian Islam

berkaitan dengan sulitnya koordinasi dengan ODS. Keterbatasan psikologis

yang dimiliki ODS mengharuskan volunteer untuk mendikte satu per satu hal

yang harus dilakukan oleh ODS selama kegiatan berlangsung. ODS minim

melakukan sesuatu secara mandiri tanpa perintah atau instruksi dari volunteer.

Hal tersebut membuat volunteer harus ekstra aktif saat berkomunikasi dengan

ODS.

16

Page 18: D0213058.doc  · Web viewVerbal communications that are accommodated by the volunteers include language, word choice and sentence structure, while non-verbal communications are accommodated

“Sulit dikoordinasi. Jadi ‘bu, ayo kita shalat, ayo bu ke sana ke sana’. Terus udah ngumpul di tempat, mereka belum pada duduk. Nah kayak gitu. Terus baru juga udah wudhu, udah masuk, terus diem di tempat gitu. Jadi, ‘ini bu dipakai mukenanya, ini pak dipakai sarungnya,’ kayak gitu. Habis itu udah dipakai, ya udah. Udah gitu aja. Jadi kayak...aduh harus kayak satu-satu bener-bener didikte gitu” (wawancara dengan Sofi pada Senin, 21 Agustus 2017).

ODS yang menjadi lawan bicara volunteer memiliki kondisi

psikologis yang berbeda, sehingga dapat menghambat proses komunikasi

yang berlangsung. Hambatan psikologis yang dimaksud adalah hambatan

komunikasi yang disebabkan oleh gangguan mental komunikator atau

komunikan yang memiliki pemikiran tertutup, penuh prasangka atau pikiran

yang melayang (Devito, 2013:14).

Berdasarkan konsep hambatan psikologis Devito di atas, dapat

dijelaskan bahwa hambatan komunikasi saat sesi kerohanian Islam

disebabkan oleh pikiran ODS yang melayang. Pikiran melayang ini adalah

efek dari gangguan psikologis yang diderita oleh ODS. Pikiran melayang

menyebabkan ODS tidak fokus mengikuti kegiatan kerohanian Islam dan

cenderung ingin melakukan kegiatan lainnya. Pikiran yang melayang ODS

menjadi semakin parah jika ODS kambuh hingga terlihat berhalusinasi atau

berdelusi. ODS melantur dan tidak sadar dengan apa yang dikatakan dan

dilakukannya. Kondisi seperti itu adalah kondisi yang tidak mudah bagi

volunteer untuk menyadarkan halusinasi ODS karena gangguan skizofrenia

ODS sedang kambuh.

Kesimpulan

Berdasarkan analisis yang telah dilakukan, dapat diambil kesimpulan

sebagai berikut:

1. Pola komunikasi antara volunteer Komunitas Griya Schizofren Solo dan

Orang dengan Skizofrenia (ODS) dalam meningkatkan kerohanian Islam

berkaitan dengan aktivitas akomodasi komunikasi volunteer pada ODS.

17

Page 19: D0213058.doc  · Web viewVerbal communications that are accommodated by the volunteers include language, word choice and sentence structure, while non-verbal communications are accommodated

Akomodasi komunikasi yang dilakukan mencakup akomodasi komunikasi

verbal dan non-verbal.

a. Akomodasi komunikasi verbal yang dilakukan antara lain:

menyesuaikan bahasa komunikasi, yaitu menggunakan Bahasa Jawa,

baik Ngoko atau Krama Alus; menggunakan pilihan kata percakapan

sehari-hari dengan memperbanyak kata-kata ajakan, seperti “ayo,”

“yuk,” dan “hayo” dan mengganti kata-kata bermakna negatif atau

larangan dengan kata-kata bermakna positif serta menyisipkan humor;

memperpendek susunan kalimat yang diucapkan dengan langsung

mencontohkan bunyi huruf hijaiyah atau mengucapkan dua hingga lima

kata dalam satu ucapan.

b. Akomodasi komunikasi non-verbal yang dilakukan antara lain:

menggunakan dialek Solo; menggunakan volume suara rendah saat

mendampingi satu ODS dengan jarak dekat dan menggunakan volume

suara keras saat mendampingi lebih dari satu ODS dengan jarak yang

jauh serta berintonasi ceria; kecepatan bicara lambat dengan jeda setiap

kalimat; menjaga kontak mata dengan ODS; memperbanyak kontak fisik

pada ODS berupa salaman, mencium tangan, menyentuh tangan,

mencolek hidung, tos tangan dan mencium pipi serta berpelukan untuk

beberapa ODS; melakukan tepuk tangan; menampilkan mimik wajah

bahagia dan sering tersenyum; menampilkan anggukan kepala; dan

melakukan akomodasi gerakan tangan.

2. Hambatan komunikasi volunteer pada ODS adalah saat ODS sudah tidak

fokus, mereka sulit untuk diatur dan dikoordinasi. Kondisi tersebut

mengharuskan volunteer untuk aktif dan mendikte satu per satu hal yang harus

dilakukan ODS, mulai dari berwudhu, memakai mukena atau sarung,

membaca Iqro dan lain-lain.

Daftar Pustaka

Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. (2013). Penyajian Pokok-Pokok Hasil Riset Kesehatan Dasar 2013. Diakses pada 17 April 2016, dari

18

Page 20: D0213058.doc  · Web viewVerbal communications that are accommodated by the volunteers include language, word choice and sentence structure, while non-verbal communications are accommodated

http://www.depkes.go.id/resources/download/general/pokok2%20hasil%20riskesdas%202013.pdf.

Barbato, Angelo. (1998). Schizophrenia and Public Health. Geneva:Nations for Mental Health WHO.

Budyatna, Muhammad. (2015). Teori-teori Mengenai Komunikasi Antarpribadi. Jakarta: Kencana.

Covington, Michael dkk. (2005). Schizophrenia and the Structure of Language: The Linguist’s View. Schizophrenia Research. Vol. 77, hal. 85– 98.

Daryanto. (2014). Teori Komunikasi. Malang: Gunung Samudera.Devito, J. A. (2013). The Interpersonal Communication Book (13th Edition). New

Jersey: Pearson Education.Ekowardono dkk. (1993). Kaidah Penggunaan Ragam Krama Bahasa Jawa.

Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.

Giles, H., Coupland, N., & Coupland, J. (1991). Accomodation Theory: Communication, Context, and Consequence. In Giles, H., Coupland, N. & Coupland, J. (Ed.), Contexts of Accomodation: Developments in Applied Sociolinguistics. Cambridge, UK: Cambridge University Press.

Junaini, Syahrul N. (2011). Seni Bahasa Badan. Batu Caves: PTS Professional.Keraf, Gorys. (2007). Diksi dan Gaya Bahasa. Jakarta: Gramedia.Kompas.com. (17 September 2014). Indonesia Masih Kekurangan Psikiater.

Diakses pada 17 April 2016, dari http://health.kompas.com/read/2014/09/17/063506323/Indonesia.Masih.Kekurangan.Psikiater.

Liliweri, Alo. (2002). Makna Budaya dalam Komunikasi Antarbudaya. Yogyakarta: LkiS.

National Institute of Mental Health. (2015). Schizophrenia. Bethesda, MD: NIH Publication.

Ristica, Octa D. (2015). Cara Mudah Menjadi Bidan yang Komunikatif. Yogyakarta: Deepublish.

Rustan, Ahmad S. dan Hakki, Nurhakki. (2017). Pengantar Ilmu Komunikasi. Yogyakarta: Deepublish.

Schizophrenia Society of Canada. (2003). Learning About Schizophrenia: Rays of Hope, A Reference Manual for Families & Caregivers (3rd ed.). Markham, Ont: Pfizer Canada.

Tempo.co. (12 Mei 2015). 16 Persen Penduduk Solo Alami Gangguan Jiwa. Diakses pada 17 April 2016, dari http://nasional.tempo.co/read/news/2005/05/12/05860942/16-persen-penduduk-solo-alami-gangguan-jiwa.

West, Richard dan Turner, Lynn H. (2008). Pengantar Teori Komunikasi, Edisi 3: Analisis dan Aplikasi. (Maria Natalia D. M., Penerj.) Jakarta: Salemba.

Wood, J. T. (2016). Interpersonal Communication (8th ed.). Boston, MA: Cengage Learning.

Zissis, Lindsay. (2015). The Communicative Breakdown of Schizophrenia: Speech and Language Impairments through a Multidimensional Approach. Journal for a Changing World. Issue 1, hal. 1-23. Diakses dari

19

Page 21: D0213058.doc  · Web viewVerbal communications that are accommodated by the volunteers include language, word choice and sentence structure, while non-verbal communications are accommodated

http://lgs.adelphi.edu/news-and-publications/undergraduate-research-journal/issue-1-fall-2015, pada 10 April 2017 pukul 14.50 WIB.

20