dampak sosial kebijakan angkutan batubara di jalan negara ... · 2 focus volume 1, nomor 1, januari...

30
1 FOCUS Volume 1, Nomor 1, Januari - Juni 2011 Dampak Sosial Kebijakan Angkutan Batubara di Jalan Negara: Kasus di Kota Banjarbaru 1 Oleh Muhammad Noor HS 2 ABSTRACT ABSTRACT ABSTRACT ABSTRACT ABSTRACT Since 2000 in South Kalimantan coal mine exploitation activities occur, but the. activity was not followed by the observance of the rule of legisla- tion. (UU No. 11/ 1967). The regulation requires that the coal mining company to make its own. coal. haul roads. Regulation of the use of. public roads in South Kalimantan for the fleet of coal trucks shall be further regulated. by SK No. 027, 1998. of Governor of South. Kalimantan. and then set again in the SK No. 119,. 2000 of Governor of South Kalimantan. Focus of this study is to analyze the extent to which policy impacts the use of a public road for coal transportation routes. The re- spondents. were people who lived along the streets where truck trans- port of coal, which is as many as 60. people, was chosen deliberately. The results showed that the public really feel the. negative impact caused the truck transportation of coal to the stockpile at the port of. Banjarmasin. Banjarbaru citizen stend skeptical of regulations on trucking the coal is actually comforts of life even thoughthey disturbed. A. PENDAHULUAN A. 1. Latar Belakang Di Indonesia, deposit batubara diperkirakan sebesar 23.231,9 juta ton, yang terdiri dari antrasit, bituminous dan lignit. Di Kalimantan, terdapat 655.199.561 ton deposit batubara yang terukur, 357.333.646 ton yang diperkirakan, dan 641.843.918 ton yang ditentukan terdiri 1 Diringkas dari Tesis yang dibuat oleh Muhammad Noor HS di bawah bimbingan Prof Prof Prof Prof Prof Dr Suprijanto M.Ed Dr Suprijanto M.Ed Dr Suprijanto M.Ed Dr Suprijanto M.Ed Dr Suprijanto M.Ed dan Drs Mukhtar Sarman MSi Drs Mukhtar Sarman MSi Drs Mukhtar Sarman MSi Drs Mukhtar Sarman MSi Drs Mukhtar Sarman MSi. 2 Muhammad Noor HS Muhammad Noor HS Muhammad Noor HS Muhammad Noor HS Muhammad Noor HS adalah mahasiswa Program Magister Sains Administrasi Pembangunan Universitas Lambung Mangkurat (MSAP UNLAM) angkatan I, dan status pekerjaannya ketika itu adalah staf administrasi di Rumah Sakit Umum Daerah Kota Banjarbaru, Kalimantan Selatan.

Upload: tranquynh

Post on 06-Mar-2019

216 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

1FOCUS Volume 1, Nomor 1, Januari - Juni 2011

Dampak Sosial Kebijakan Angkutan Batubara

di Jalan Negara: Kasus di Kota Banjarbaru1

Oleh Muhammad Noor HS2

ABSTRACTABSTRACTABSTRACTABSTRACTABSTRACT

Since 2000 in South Kalimantan coal mine exploitation activities occur,but the. activity was not followed by the observance of the rule of legisla-tion. (UU No. 11/ 1967). The regulation requires that the coal miningcompany to make its own. coal. haul roads. Regulation of the use of.public roads in South Kalimantan for the fleet of coal trucks shall befurther regulated. by SK No. 027, 1998. of Governor of South. Kalimantan.and then set again in the SK No. 119,. 2000 of Governor of SouthKalimantan. Focus of this study is to analyze the extent to which policyimpacts the use of a public road for coal transportation routes. The re-spondents. were people who lived along the streets where truck trans-port of coal, which is as many as 60. people, was chosen deliberately.The results showed that the public really feel the. negative impact causedthe truck transportation of coal to the stockpile at the port of. Banjarmasin.Banjarbaru citizen stend skeptical of regulations on trucking the coal isactually comforts of life even thoughthey disturbed.

A. PENDAHULUANA. 1. Latar Belakang

Di Indonesia, deposit batubara diperkirakan sebesar 23.231,9 juta

ton, yang terdiri dari antrasit, bituminous dan lignit. Di Kalimantan,

terdapat 655.199.561 ton deposit batubara yang terukur, 357.333.646

ton yang diperkirakan, dan 641.843.918 ton yang ditentukan terdiri

1 Diringkas dari Tesis yang dibuat oleh Muhammad Noor HS di bawah bimbingan ProfProfProfProfProfDr Suprijanto M.EdDr Suprijanto M.EdDr Suprijanto M.EdDr Suprijanto M.EdDr Suprijanto M.Ed dan Drs Mukhtar Sarman MSiDrs Mukhtar Sarman MSiDrs Mukhtar Sarman MSiDrs Mukhtar Sarman MSiDrs Mukhtar Sarman MSi.

2 Muhammad Noor HSMuhammad Noor HSMuhammad Noor HSMuhammad Noor HSMuhammad Noor HS adalah mahasiswa Program Magister Sains AdministrasiPembangunan Universitas Lambung Mangkurat (MSAP UNLAM) angkatan I, danstatus pekerjaannya ketika itu adalah staf administrasi di Rumah Sakit Umum DaerahKota Banjarbaru, Kalimantan Selatan.

2 FOCUS Volume 1, Nomor 1, Januari - Juni 2011

dari bituminous, sub bituminous dan lignit; sedangkan potensi batubara

di wilayah Kalimantan Selatan sendiri diperkirakan mencapai 3.629

juta ton (Ahmad dan Sartopo (1991) dan Amboyo (1993) dalam Sarman,

2007).

Sejak tahun 1994, batubara merupakan primadona komoditas

ekspor Kalimantan Selatan. Selama enam tahun sejak 1994 hingga 2000,

diperkirakan deposit batubara yang ditambang dari bumi Kalimantan

Selatan mencapai 40 juta ton; dan sejak tahun 2001 terus meningkat

pesat jumlahnya sesuai kebutuhan pasar dunia. Uniknya, di luar

eksploitasi batubara yang dilakukan oleh perusahaan besar batubara

pemegang hak PKP2B seperti PT Adaro dan PT Arutmin, produksi

tambang batubara yang dihasilkan dari wilayah Kalimantan Selatan

itu ternyata juga berasal dari sejumlah perusahaan tambang rakyat

pemegang KP (Kuasa Pertambangan) yang izinnya dikeluarkan oleh

Bupati setempat dan bahkan tidak sedikit yang berasal dari perusahaan-

perusahaan tambang yang termasuk dalam klasifikasi “ilegal”.

Menurut data ASPERA (Asosiasi Penambang Rakyat) Kalimantan

Selatan, produksi PETI itu mencapai 10 juta metrik ton per tahun (2004),

dan wilayah yang paling besar memberikan sumbangannya adalah

kawasan sekitar tanah Bumbu, Kotabaru dan Tanah Laut. Tetapi angka

itu masih diragukan sejumlah pihak karena diduga jumlah riilnya jauh

lebih besar. Sebagai perbandingan, pada tahun 2004 PT Arutmin di

Tambang Satui (Tanah Bumbu) sebagai salah satu perusahaan besar

tambang hanya mampu menghasilkan 9 ribu metrik ton per hari,

sedangkan jumlah produksi PETI diperkirakan mencapai 40 ribu ton

per hari. Perkiraan angka itu dihitung dari jumlah truk yang keluar

dari kawasan tambang rakyat yang boleh jadi sebagian besar berstatus

ilegal dan masuk ke pelabuhan khusus batubara (Banjarmasin Post,

11/6/2004). Dengan demikian, diasumsikan terjadi kerugian yang amat

besar dipandang dari sudut seharusnya ada sejumlah pendapatan

untuk daerah yang bisa digali dar kegiatan eksploitasi batubara tersebut.

Dampak lainnya dari kegiatan eksploitasi pertambangan rakyat

itu adalah debu (dust) yang dihasilkan dari truk-truk pengangkut

batubara yang melintas di jalan raya dekat pemukiman penduduk.

Fenomena itu menjadi kasus unik di Kalimantan Selatan; dan terutama

3FOCUS Volume 1, Nomor 1, Januari - Juni 2011

terjadi di wilayah pertambangan rakyat yang tersebar di tujuh

kabupaten (Tabalong, Balangan, Hulu Sungai Selatan, Tapin, Banjar,

Tanah Bumbu, dan Kotabaru). Keunikan tersebut menjadi fenomenal

karena jalur transportasi angkutan batubara yang berasal dari kawasan

tambang rakyat itu justru diperbolehkan menggunakan jalan negara

yang untuk kawasan selatan menuju pelabuhan Trisakti di Banjarmasin

antara lain juga melintas ke jalan negara di tengah kota (seperti halnya.

di Martapura, Banjarbaru, dan Banjarmasin); sedangkan untuk

kawasan tenggara menuju pelabuhan Batulicin terutama menggunakan

jalan negara di Kabupaten Tanah Bumbu.

Dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1967 tentang

Pengelolaan dan Pengusahaan Batubara, sebenarnya telah diatur

kewajiban bagi pemilik Kuasa Pertambangan (KP) untuk membuat

jalan sendiri khusus untuk mengangkut hasil tambangnya selain syarat

prasyarat lainnya. Pada kasus di Provinsi Kalimantan Selatan, UU

Nomor 11 Tahun 1967 tersebut tampaknya tidak sepenuhnya

diindahkan ketika Gubernur atas nama Kepala Daerah menerbitkan

SK Gubernur Kdh Tingkat I Kalimantan Selatan Nomor 027 Tahun

1998 yang memberikan dispensasi kepada pengusaha tambang rakyat

untuk menggunakan jalan negara sebagai jalur transportasi angkutan

batubara menuju stockpile dipelabuhan. Substansi kebijakan Gubernur

kalsel Nomor 027/1998 itu adalah ingin mendukung pengembangan

ekonomi regional dari. potensi tambang yang dimiliki daerah. Kebijakan

tersebut sempat “dianulir” oleh Gubernur Hasan Aman ketika

mengeluarkan kebijakan yang dikenal sebagai Kebijakan 1 Januari 2000.

Namun kemudian pada masa kepemimpinan Gubernur Sjachriel

Darham (2000-2005), “Kebijakan 1 Januari 2000” itu dianulir kembali

dengan dikeluarkannya SK Gubernur Nomor 119 Tahun 2000,

meskipun tetap mengacu pada SK Nomor 027 Tahun 1998; dan

kebijakan dispensasi tersebut ternyata terus dilanjutkan oleh Gubernur

Rudy Arifin (2005-2010) yang notabenenya merupakan “Gubernur

pilihan rakyat” karena dipilih melalui proses Pilkada Tahun 2005.

Kebijakan Gubernur yang memberikan izin armada angkutan

Batubara melintas di jalan umum Provinsi dan jalan Kabupaten atau

jalan Kota jelas bukan tanpa masalah. Sejak tahun 2005 telah menjadi

4 FOCUS Volume 1, Nomor 1, Januari - Juni 2011

pemandangan rutin terjadinya kemacetan yang luar biasa di jalur jalan

negara sejak KM-71 di Kecamatan Simpang Empat (Kabupaten Banjar)

hingga memasuki kota Martapura karena menumpuknya armada truk

batubara yang melimpah masuk dari arah kabupaten Tapin dan

kabupaten Banjar sebelum masuk wilayah Kota Banjarbaru menuju

jalur jalan lingkar utara menuju pelabuhan Trisakti di Kota

Banjarmasin. Menurut pengamatan WALHI Kalimantan Selatan

(2006), kepadatan angkutan batubara dari wilayah Kabupaten Tapin

menuju pelabuhan Trisakti di Banjarmasin mencapai 1.473 unit per

hari. Pada tahun 2008 tampaknya terjadi peningkatan karena

diperkirakan ada 2000 lebih ritasi truk batubara setiap malamnya

melewati wilayah Kota Banjarbaru (Satlantas Banjarbaru)

Secara fisik, dampak langsung digunakannya jalan negara untuk

jalur transportasi angkutan batubara itu antara lain berupa kerusakan

badan jalan, kemacetan pada lokasi-lokasi tertentu dan dampak lainnya

berupa debu dan kebisingan yang luar biasa. Dilihat dari sisi pengguna

jalan lainnya keberadaan armada truk batubara ini juga dinilai sudah

sangat mengkhawatirkan. Penelitian Radam (2001) menemukan fakta

bahwa rasio perbandingan antara sepeda motor, mobil, bus, dan armada

truk batubara dalam penggunaan jalan negara adalah 1:1:0.06:1. Hal ini

menunjukkan bahwa angka kompetisi armada truk batubara dan jenis

kendaraan lain sebagai angkutan umum sangat tinggi dan dapat

mengakibatkan tersisihnya kepentingan pengguna jalan lain.

Pada sisi lain, digunakannya jalan umum untuk armada truk

batubara diyakini juga memberikan mudarat berupa debu bagi

panduduk di sekitarnya. Pengaruh debu batubara juga pernah

dilaporkan dari hasil penelitian Tim Analisis Dampak Kesehatan

Lingkungan (ADKL) Kanwil Departemen Kesehatan Propinsi

Kalimantan Selatan yang dilakukan pada bulan April tahun 1999 pada

pemukiman penduduk yang berada di sekitar jalur transportasi

batubara di Kota Banjarmasin. Hasil pengukuran menunjukkan rata-

rata konsentrasi debu total sebesar 656 µg/m3 di atas rata-rata yang

dipersyaratkan yaitu sebsar 230 µg/m3. Dari 208 contoh balita yang

didata, terbanyak berusia 12-22 bulan dan keluhan kesehatan yang

dirasakan adalah ISPA 19,23% dan tenggorokan terasa sakit bila menelan

5FOCUS Volume 1, Nomor 1, Januari - Juni 2011

2,88%. Warga masyarakat yang mengaku merasakan gangguan debu

batubara sebanyak 61,06%. Dibandingkan kasus tahun 1998 yang

mencatat kejadian ISPA sebanyak 1.207 kasus, ternyata pada tahun 1999

terjadi peningkatan hampir sebesar 3 kali lipat karena kejadiannya

menjadi 3.250 kasus (ADKL, 1999). Pada tahun 2002 penelitian serupa

juga dilakukan di jalur transportasi batubara di kawasan sekitar

kecamatan Matraman (Kabupaten Banjar). Hasil penelitian menunjukkan

bukti bahwa bayi dan balita yang tinggal di jalur transportasi di daerah

sekitar Matraman tersebut ternyata mengalami gangguan pernapasan

sebanyak 42,2%. Hal itu terjadi karena meningkatnya kadar debu PM10

ambien dan meningkatkan kontribusi terhadap kadar debu PM10

di dalam

rumah pada pemukiman di jalur transportasi batubara dengan kekuatan

hubungan sebesar 0.538. Meskipun tidak semua faktor rumah terbukti

berperan dalam peningkatan kadar PM10

rumah dan terjadinya gangguan

pernapasan pada bayi dan balita; namun berdasarkan hasil penelitian

itu disarankan untuk mengupayakan angkutan batubara beroperasinya

pada malam hari (ADKL, 2002).

Kota Banjarbaru sebagai salah satu wilayah yang harus

mengakomodir SK Gubernur Nomor 119 Tahun 2000 bukanlah

pengecualian. Dalam usaha untuk mengatasi permasalahan yang

berhubungan dengan armada truk batubara tersebut Pemerintah Kota

Banjarbaru memang telah membuat kebijakan pengalihan arus lalu

lintas angkutan barang (khususnya untuk truk batubara) dari jalan negara

A. Yani (pusat Kota Banjarbaru ) ke jalur Lingkar Selatan (jalan Trikora).

Namun kebijakan tersebut pada dasarnya tetap saja harus melewati dua

buah kelurahan yang padat pemukiman penduduk yakni Kelurahan

Sungai Besar dan Kelurahan Guntung Manggis; dan dampak negatifnya

tetap dikeluhkan oleh warga masyarakat, minimal dalam bentuk terpaan

debu (Radar Banjarmasin, 6 Mei 2009) . Oleh karena itu diduga kebijakan

pemberian izin penggunaan jalan umum untuk angkutan batubara itu

tetap saja berpotensi merugikan komunitas warga masyarakat yang

tinggal di sekitar jalur jalan tersebut. Asumsi itu didasarkan pada

pemikiran Conyers (1984) bahwa setiap kebijakan yang berkaitan dengan

penggunaan fasilitas umum seperti jalan raya niscaya akan memberikan

dampak pada “kebaikan sosial” (social good) atau sebaliknya. Dengan

6 FOCUS Volume 1, Nomor 1, Januari - Juni 2011

kata lain, apakah ada keuntungan sosial (social benefit) atau tidak dari

sebuah kebijakan; dan isu itu menjadi hal yang urgen manakala dikaitkan

dengan asumsi lain bahwa sesungguhnya setiap komunitas itu

seyogyanya. memiliki suatu hak sosial (social right) untuk mendapatkan

kehidupan sosial (socially entitled) yang lebih baik.

A. 2. Pokok Permasalahan

Dari sekian banyak masalah yang berkaitan dengan dampak

penggunaan jalan umum sebagai jalur transportasi armada batubara,

isu utama. yang dijadikan fokus perhatian untuk penelitian ini adalah

akibat-akibat buruk apa saja yang harus diterima oleh warga masyarakat

(komunitas tertentu) yang berkaitan dengan untung rugi ekonomi,

kenyamanan, kesehatan, dan rasa aman. Secara konsepsional, fokus

perhatian itulah disebut “dampak sosial”.

A. 3. Perumusan Masalah

Berdasarkan pokok permasalahan dan dengan mengambil kasus

di kota Banjarbaru, maka perumusan masalah yang diajukan untuk

penelitian ini adalah: sampai sejauh mana dampak kebijakan

penggunaan jalan umum untuk jalur angkutan batubara dirasakan

merugikan dan mengganggu kenyamanan warga kota Banjarbaru.

A. 4. Tujuan Penelitian

Tujuan umum dari penelitian ini adalah untuk menggambarkan

persepsi kelompok masyarakat tentang implikasi kebijakan Gubernur

Kalsel Nomor 119 tahun 2000. Secara khusus tujuan penelitian ini

adalah ingin mengetahui dampak sosial yang dirasakan oleh penduduk

sekitar jalur angkutan khusus truk batubara di kota Banjarbaru

B. METODOLOGIB. 1. Kerangka Konseptual.

Keputusan Gubernur Kalsel Nomor 027 Tahun 1998 (yang menjadi

dasar rujukan SK Nomor 119 Tahun 2000) adalah sebuah kebijakan

politik yang berorientasi pada upaya memfasilitasi pembangunan re-

gional didaerah. Menurut Anderson sebagaimana yang dikutip Islamy

7FOCUS Volume 1, Nomor 1, Januari - Juni 2011

(1992:19), kebijakan publik adalah kebijakan-kebijakan yang

dikembangkan oleh badan-badan dan pejabat-pejabat pemerintah.

Konsep. kebijakan tersebut membawa implikasi berupa serangkaian

tindakan yang mempunyai tujuan tertentu diikuti dan dilaksanakan

oleh seorang pelaku atau kelompok pelaku guna memecahkan masalah

tertentu. Untuk keberhasilan pelaksanaan suatu kebijakan, semestinya

tidak saja kebijakan dirumuskan dengan baik akan tetapi juga

memerlukan cara dan teknik tertentu serta dukungan, baik dari pihak

perumus maupun para pelaksana kebijakan. Konsekuensinya para

pejabat administrasi tidak hanya harus membuat keputusan yang lebih

banyak, tetapi juga memecahkan masalah yang harus mereka atasi

atau diharapkan dapat mereka atasi,. yang dalam mempraktekan

kebijakan mereka juga harus banyak. mengalami kesulitan, bahkan

kadang-kadang begitu sulit (Nigro dan Nigro dalam Tjokroamidjojo,

1994:81).

Merujuk pada konsepsi Easton sebagaimana yang dikutip Islamy

(1992:19) kebijakan yang berkaitan kepentingan publik adalah

pengalokasian nilai-nilai secara paksa kepada seluruh anggota

masyarakat. Konsepsi ini menunjukkan bahwa pemerintah sajalah yang

secara sah dapat berbuat sesuatu kepada masyarakat atas kekuasaan

dalam sistem politik. Namun demikian perlu digarisbawahi bahwa

meskipun dalam kenyataannya lebih banyak karena adanya tuntutan

umum, kebijakan tidak muncul begitu saja. Abdul Wahab menyebutkan

bahwa tuntutan-tuntutan itu dapat bervariasi, mulai dari desakan

umum agar pemerintah berbuat sesuatu hingga usulan mengambil

tindakan konkrit tertentu terhadap sesuatu masalah yang terjadi

(Wahab, 1997).

Kebijakan publik mempunyai tujuan untuk memenuhi tuntutan

aktor kebijakan. Hanya saja, karena dimensi politiknya, tujuan kebijakan

sering dibuat untuk mencapai maksud dan kepentingan yang berbeda

dengan yang dirumuskan. Jika sebuah kebijakan merupakan upaya

memenuhi tuntutan atau kebutuhan sekelompok aktor atau pelaku,

maka boleh jadi di pihak lain akan ada aktor yang tidak dapat dipenuhi

aspirasinya. Bahkan seringkali terjadi sekelompok aktor yang lain tersebut

akan menjadi korban dalam arti yang sesungguhnya, karena mereka

8 FOCUS Volume 1, Nomor 1, Januari - Juni 2011

mengeluarkan sumberdaya tertentu untuk melaksanakan sebuah

kebijakan namun tidak mendapatkan manfaat apapun darinya.

Dalam upaya meraih tujuan, sebuah kebijakan biasanya

menghendaki adanya pengerahan sumberdaya. Untuk itu sebuah

kebijakan lalu juga mengatur perilaku para aktor yang mesti terlibat

dalam implementasinya. Hal yang terakhir sering memaksa pemerintah

untuk mengubah tata nilai para individu atau aktor kebijakan melalui

berbagai cara. Dengan demikian kebijakan yang dibuat oleh pemerintah

selalu menyentuh ketiga aspek ini. Jika suatu kebijakan baru. menyentuh

aspek perilaku, maka pemerintah pasti akan merumuskan kebijakan

lain guna mengatur pengerahan sumberdaya maupun menyiapkan tata

nilai guna mengatur pengerahan sumberdaya maupun menyiapkan

tata nilai yang memungkinkan pelaku yang diatur oleh kebijakan itu

mematuhi kebijaksanaan, dan sebaliknya.

Kebijakan yang mengatur perilaku masyarakat itu biasanya dikenal

sebagai regulasi atau peraturan yang sifatnya spesifik, seperti misalnya

regulasi yang berkaitan dengan tertib lalu lintas. Sebagai negara hukum,

sebuah peraturan atau kebijakan regulatif yang dibuat oleh seorang

Kepala daerah seyogyanya harus selalu mengacu pada Undang-

Undang di atasnya sebagai payung hukum. Untuk kasus pengangkutan

hasil tambang, khususnya tambang batubara, aturan perundangan

yang berlaku adalah UU nomor 11 Tahun 1967 tentang Ketentuan

Pokok Pertambangan (yang kemudian diubah dengan UU Nomor 4

Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara). Undang-

Undang tersebut secara spesifik (les specialis) menegaskan kewajiban

kepada setiap penguasah pertambangan batubara untuk membangun

jalan khusus angkutan batubara apabila ingin mengeksploitasinya

sebagai kegiatan ekonomi. Manakala regulasi itu berkaitan dengan

penggunaan jalan umum, maka rujukannya adalah Undang-Undang

tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan (UU Nomor 14 Tahun 1992).

Guna menjalankan kebijakan regulatif, pemerintah tidak

mengerahkan sumberdaya tertentu selain pegawai negeri dan atau

mesin birokrasinya untuk menekan kelompok sasaran agar mematuhi

regulasi. Namun demikian, dalam praktiknya seringkali terjadi bahwa

sekalipun tindakan kebijakan dirancang sedemikian rupa untuk

mencapai tujuan-tujuannya, tidak selalu tindakan tersebut dapat

9FOCUS Volume 1, Nomor 1, Januari - Juni 2011

mewujudkan semua kehendak kebijakan. Kecuali disebabkan oleh

lemahnya daya-antisipasi para pembuat kebijakan maupun desain

program dan proyek, terganggunya implementasi yang menjadikan

tidak tercapainya tujuan kebijakan mungkin juga karena pengaruh

dari berbagai kondisi lingkungan yang tidak teramalkan sebelumnya.

Oleh karena itu pemerintah selaku pembuat kebijakan senantiasa

berupaya agar tujuan kebijakannya tercapai.

Masalahnya adalah, sebuah kebijakan yang dibuat oleh seorang

kepala daerah juga mesti memperhatikan sebesar-besarnya kepentingan

rakyat (lihat UU nomor 32 tahun 2004) sehingga secara teoritis

perumusan kebijakan seyogyanya memperhatikan apa yang disebut

Dunn (1996) sebagai “agenda setting”. Dalam analisis “agenda set-

ting” mestinya telah terlacak dan diakomodir segala hal yang urgen

sebagai faktor dominan sehingga sebuah kebijakan harus dibuat. Dari

perspektif paradigma administrasi pembangunan faktor dominan yang

bersifat urgen tidak boleh terlepas dari isu pokok bahwa ia harus untuk

kepentingan rakyat. Dengan kata lain, dalam kaitan kebijakan

penggunaan jalan umum untuk jalur armada truk batubara itu pihak

penguasa mestinya mempertimbangkan aspek dampak sosial (juga),

selain alasan ekonominya.

Dari perspektif analisis dampak sosial, aspek yang perlu dinilai

minimal harus menyangkut tiga hal, yaitu: (1) secara vertikal

memetakan jenis-jenis dampak yang mungkin terjadi, (2) secara hori-

zontal melihat maupun memprediksi kecenderungan reaksi yang

diberikan oleh subyek yang terkena dampak tersebut, dan (3) secara

komprehensif merumuskan penyesuaian kebijakan yang harus

dilakukan oleh policy maker. Sebelum mengerjakan ini semua, analisis

harus membatasi alternatif kebijakan yang akan dievaluasinya. Sebab,

suatu kebijakan bisa memiliki alternatif yang tidak terbatas, yang tidak

mungkin dianalisis semuanya. Oleh karena itu, dalam analisis dampak

sosial perlu secara konseptual ditentukan alternatif kebijakan yang pal-

ing potensial untuk diimplementasikan.

Dalam sebuah proses pembuatan kebijakan ada sebuah tahap yang

sangat penting, yakni peramalan atau forecasting. Karena kebijakan

dimaksudkan untuk menciptakan kondisi tertentu di masa depan, dan

10 FOCUS Volume 1, Nomor 1, Januari - Juni 2011

usaha penciptaan itu akan terkait erat dengan perkembangan

lingkungannya (baik sebagai sasaran perubahan kondisi maupun

sekaligus sebagai penyedia sumber daya), maka peramalan merupakan

tahapan yang cukup krusial. Peramalan atau forecasting tersebut dapat

kita pandang sebagai suatu bentuk evaluasi, yakni evaluasi yang

dilakukan sebelum kebijakan ditetapkan atau dijalankan. Istilah lain

dari evaluasi semacam ini adalah estimating, assessment, prediksi atau

prakiraan. Evaluasi pada tahap pra-kebijakan ini dapat berupa prediksi

tentang out put kebijakan maupun dampaknya. Analisis dampak sosial

sebagai kerja intelektual harus bersifat empiris, tidak bias, rasional,

handal dan sahih. Analisis dampak sosial haruslah dilakukan secara

logika – empiris (Effendi, 1989).

Analisis mestilah bersifat empirik dalam arti bahwa penilaian yang

kita lakukan tidak boleh hanya bersifat spekulatif-hipotetik atau asumtif-

teoritik, melainkan mesti diuji atau dikuatkan dengan data atau

setidaknya hasil penelitian yang pernah dilakukan. Karena sebuah

analisis itu dilakukan terhadap alternatif-alternatif yang tersedia yang

hasilnya nanti adalah sejumlah pilihan alternatif yang paling tepat atau

baik, maka pengambil kebijakan dituntut harus bersikap untuk

memihak atau bias terhadap salah satu alternatif. Hal itu

dimungkinkan terjadi karena setiap orang yang berperan sebagai

pengambil keputusan hampir selalu tergoda untuk bersikap subyektif,

padahal sejatinya mereka tidak menentukan atau memilih alternatif

mana yang dianggap baik menurut dirinya sendiri saja.

Seringkali Analisis Dampak Sosial membawa konsekuensi pada

diubahnya kebijakan yang dianalisis, meskipun tidak tertutup

kemungkinan untuk menguatkannya. Di Indonesia Analisis Dampak

Sosial (ADS) belum banyak dilakukan secara terbuka sehingga diketahui

oleh publik. Dalam kasus kebijakan penggunaan jalan umum untuk

jalur transportasi batubara sangat boleh jadi tidak ada analisis dampak

sosialnya. Padahal cara termudah untuk mempersempit alternatif

kebijakan dalam konteks analisis dampak sosial adalah dengan

menjawab pertanyaan “Aspek apa dan yang mengenai kelompok sosial

mana yang perlu dikaji?”. Di pihak lain dampak yang perlu dikaji perlu

diseleksi. Hal itu perlu digaris bawahi karena sebagaimana alternatif

11FOCUS Volume 1, Nomor 1, Januari - Juni 2011

kebijakan jumlah dampak juga bisa tak terbatas terutama dampak sosial

yang tidak langsung. Oleh karena itu analisis perlu memilih beberapa

dampak saja yang penting bagi tindakan pemerintah. Namun demikian,

sebuah analisis yang komprehensif perlu mengetahui sebanyak mungkin

dampak yang dapat terjadi, karena di masa mendatang dampak yang

tidak dicermatinya mungkin akan muncul.

Beberapa kriteria yang dapat dipakai untuk memilih dampak yang

dijadikan fokus analisis adalah sebagai berikut (Finster Busch and Motz,

1980:94):

(1)peluang terjadinya dampak.

(2)jumlah orang yang terkena dampak.

(3)untung rugi yang diderita subyek dampak.

(4)ketersediaan data untuk melakukan analisis.

(5)relevansi terhadap kebijakan.

(6)Perhatian publik terhadap dampak tersebut.

Dalam hal ini dilihat teknologi apa yang dipakai dalam kebijakan

atau program tersebut dan bagaimana langkah-langkah

implementasinya. Dengan demikian, kajian terhadap isi kebijakan

tersebut selain dilakukan terhadap aspek teknologinya juga terhadap

aspek manajemen programnya. Setelah itu baru kemudian dianalisis

apa dampak fisik ekonomi yang secara teoretik (normatif) dapat terjadi.

Selain dampak fisik dan ekonomi juga perlu dianalisis dampak

lingkungan pada umumnya.

Langkah kedua adalah pendeskripsian dampak sosial dari

kebijakan tersebut. Jika pada langkah pertama telah dianalisis dampak

fisik dan ekonomi secara agak umum, maka dalam langkah kedua ini

secara spesifik dan rinci dianalisis dampak sosialnya. Dalam hal ini

ada dua kategori yang harus dianalisis, yakni unit terdampak (dalam

arti unit sosial yang terkena dampak) dan jenis atau aspek dampak

(dalam arti bidang kehidupan yang terkena dampak). Unit dampak

bisa terdiri dari individu dan keluarga, masyarakat (seluas RT, RW,

desa, kecamatan atau kota), organisasi dan kelompok sosial, serta

lembaga dan sistem sosial pada umumnya. Sementara itu aspek dampak

meliputi ekonomi, politik, dan sosial (dalam pengertian lingkungan

kehidupan sebuah komunitas).

12 FOCUS Volume 1, Nomor 1, Januari - Juni 2011

Langkah ketiga adalah menentukan respon individu maupun

kelompok yang menjadi unit dampak. Sikap mereka terhadap program

atau kebijakan secara keseluruhan dianalisis pada tahap ketiga ini.

Selain sikap unit terdampak, perlu dikaji pula sikap dari kelompok

pengguna atau pemanfaat program pada umumnya, dan juga sikap

pegawai dan pejabat pemerintah. Hal yang terakhir itu perlu dilakukan

karena bagaimanapun juga sikap dan pandangan mereka sebagai

pelaksana kebijakan seringkali tidak homogen. Setelah melihat sikap

kelompok-kelompok tersebut terhadap kebijakan, analisis perlu melihat

adaptasi mereka terhadap kebijakan dan usaha yang harus dilakukan.

Informasi dari ketiga langkah tersebut di atas kemudian

dimanfaatkan untuk merumuskan beberapa tindakan penyesuaian

kebijakan (policy adjusments) yang dipandang perlu. Penyesuaian

kebijakan juga dimaksudkan untuk lebih merinci kebijakan seperti

bantuan terhadap terdampak (korban), menyediakan saluran kontrol

sosial, dan menambah fasilitas lain. Dari langkah keempat. ini dapat

memberikan umpan balik dan diakhiri dengan langkah kelima, yakni

membuat kesimpulan dan rekomendasi. Disini diberikan penjelasan

tentang kelebihan dan kekurangan beberapa alternatif kebijakan,

setelah itu diajukan saran-saran tentang penyempurnaan kebijakan.

Akhirnya, penyesuaian kebijakan bisa mengambil tiga buah

bentuk. Pertama, modifikasi kebijakan. Dalam hal ini pemerintah

disarankan untuk mengubah isi kebijakannya, antara lain yang

menyangkut aspek-aspek kegiatan program, syarat pelaksanaan,

prosedur dan jadwal implementasi, kelompok sasaran maupun

beneficiares, cara penguatan (enforcement) dan pertanggungjawaban

program. Kedua, spesifikasi kebijakan, dalam arti menjelaskan secra

lebih rinci berbagai aspek tersebut. Bentuk penyesuian yang ketiga

adalah suplementasi atau penambahan. Pemerintah disarankan untuk

memberikan fasilitas dan pelayanan tambahan agar kebijakannya lebih

sempurna.

Oleh karena itu pengamatan terhadap dampak kebijakan selain

harus dilakukan dengan kerangka berpikir kausalitas yang kritis dan

wawasan yang komprehensif juga harus dilakukan secara cermat.

Ketiga keharusan ini tidak dapat dipisahkan satu sama lain. Secara

umum paling tidak harus diperhatikan empat dimensi dampak yang

13FOCUS Volume 1, Nomor 1, Januari - Juni 2011

tak boleh diabaikan, yaitu (1) waktu, (2) selisih antara dampak aktual

dan diharapkan, (3) tingkat agregasi dampak dan, (4) jenis dampak

(Wibawa, 1993:26).

Suatu kebijakan dapat menimbulkan dampak segera maupun

dampak jangka panjang. Seorang analis kebijakan atau evaluator harus

menyadari hal ini, terurama untuk analisis yang dilakukan setelah suatu

kebijakan berjalan. Studi dimensi dampak seharusnya tidak dilakukan

lama setelah dampak terjadi karena ada kemungkinan dampak yang

yang dikira akan muncul pada jangka panjang ternyata muncul segera

setelah program berjalan. Jika penelitian terlambat dilakukan, maka

peneliti dampak akan kesulitan mencari data dan menelisik pengaruh

program yang diamatinya. Oleh karena itu analisis dampak tidak saja

dianjurkan untuk melihat efektivitas program atau suatu kebijakan yang

berkaitan dengan kepentingan publik, melainkan juga perlu melihat

berbagai dampak yang tidak diinginkan, dampak yang hanya sebagian

saja yang diinginkan dan dampak yang sama sekali bertentangan

dengan dampak yang diinginkan. Dampak juga bersifat agregatif,

dalam arti dampak yang dirasakan secara individual boleh jadi akan

merembes pada perubahan penilaian warga masyarakat lainnya di suatu

tempat.

Selain dimensi umum tersebut, menurut Weiss (dalam Wibawa,

1993) setiap peneliti dampak sebuah kebijakan juga harus

memperhatikan tiga persoalan lain. PertamaPertamaPertamaPertamaPertama, wilayah (scope) pro-

gram: apakah program berlingkup nasional, propinsi, kota, kecamatan

atau desa. KeduaKeduaKeduaKeduaKedua, ukuran program: berapa jumlah individu yang

dilayani untuk setiap satuan wilayah program. KetigaKetigaKetigaKetigaKetiga, kebaruan pro-

gram: apakah dampak yang diharapkan oleh program itu dianggap.

baru. Program yang menghendaki perubahan radikal biasanya disebut

program yang baru. Ketiga hal ini dapat mempengaruhi penampilan

suatu kebijakan.

B. 2. Metode PenelitanSecara konseptual, pendekatan yang digunakan dalam penelitian

ini merujuk pada prinsip-prisip penelitian deskriptif analisis studi kasus,

akan tetapi dalam teknis pelaksanaannya penelitian ini di maksudkan

14 FOCUS Volume 1, Nomor 1, Januari - Juni 2011

sebagai upaya untuk memahami sebuah gejala tanpa bermaksud untuk

membangun atau menguji sebuah teori. Dimaksud dengan gejala di

sini adalah indikasi-indikasi dari bentuk dampak sosial karena angkutan

truk batubara diizinkan menggunakan jalan umum yang kebetulan

berdekatan dengan lokasi mukim penduduk; dan secara khusus dalam

hal ini penduduk di wilayah Kota Banjarbaru yang terdampak.

Dari persepektif penelitian deskriptif, model analisisnya memang

dimaksudkan untuk menggambarkan adanya hubungan antar variabel

atau faktor-faktor yang dominan dapat mempengaruhi kebijakan,

dalam hal ini adalah dampak sosial yang diterima warga masyarakat

yang dirugikan atas kebijakan selama ini. Namun demikian deskripsi

penelitian ini tidak sampai pada taraf menguji kesahihan hubungan

antar variabel.

Penelitian dilakukan dengan mengambil kasus di wilayah Kota

Banjarbaru yang menjadi jalur angkutan truk batubara di jalan umum,

yaitu sepanjang Jalan A. Yani sejak Batas Kota Banjarbaru sampai

Bundaran Simpang Empat, sepanjang Jalan Mistar Cokrokusumo hingga

pertigaan Jalan Trikora, dan sepanjang Jalan Trikora hingga Liang

Anggang; yang total jaraknya mencapai sekitar 15 km. Pengamatan

lapangan secara intensif dilakukan sejak awal tahun 2009, sedangkan

untuk pelaksanaan survai dan wawancara kepada kelompok

terdampak dilakukan pada bulan Juni-Juli 2009.

Instrumen yang digunakan dalam penelitian ini adalah observasi

terhadap kondisi jalan negara yang dilintasi armada truk batubara dan

kondisi pemukiman penduduk di sekitar lokasi jalan dimaksud.

Sedangkan wawancara dilakukan terhadap sejumlah penduduk sekitar

jalan yang diposisikan sebagai responden dalam penelitian ini.

Pemilihan responden dilakukan secara purposive melibatkan 68 warga

yang dengan kriteria rumah tinggalnya paling jauh 50 meter dari jalan

negara yang dilewati truk batubara. Meskipun secara teknis oknum

responden dipilih secara acak, namun karena pola acuannya kepada

sampel puposive, sebaran respondennya pun cenderung agak merata

mengikuti representasi jumlah rumah yang ada di pinggir jalan raya.

Meskipun responden yang dijadikan subyek penelitian adalah

individu, namun sebagai unit analisis ditetapkan bahwa yang

15FOCUS Volume 1, Nomor 1, Januari - Juni 2011

bersangkutan adalah harus kepala rumah tangga dan atau oknum

anggota rumah tangga yang patut dinilai layak mewakilinya. Itulah

sebabnya, dalam penelitian ini profil responden dikaitkan dengan sta-

tus maritalnya, meskipun kemudian diperoleh data bahwa sebanyak

22% responden justru belum menikah karena yang bersangkutan

merupakan anak tertua yang mewakili orangtuanya. Sedangkan

informasi yang berkaitan dengan pemilikan anak, mayoritas responden

memiliki anak usia balita dan bahkan 12 orang (17,6%) di antaranya

mengaku memiliki anak lebih dari dua orang. Pertanyaan yang

berkaitan dengan pemilikan anak itu dianggap penting karena

diasumsikan salah satu dampak truk angkutan batubara adalah

paparan debu yang berkaitan dengan penyakit ISPA yang biasanya

rentan diderita anak-anak dan balita.

Karena penelitian ini berkaitan dengan pendapat personal yang

didasarkan pada persepsi untuk menilai sebuah kebijakan, maka

dianggap penting latar belakang pendidikan formal dari responden

yang bersangkutan. Pada penelitian ini kemudian diperoleh data bahwa

latar pendidikan responden umumnya cukup memadai untuk dapat

menilai sebuah kebijakan karena mayoritas responden pendidikannya

minimal SLTA (57%). Bahkan 35% di antaranya mengaku lulusan

Perguruan Tinggi. Hal itu tampaknya relevan dengan informasi tentang

latar pekerjaan responden yang mayoritas bekerja di sektor formal.

Secara teknis wawancara dilakukan dengan merujuk pada daftar

pertanyaan (kuesioneri yang ditafsirkan) yang telah dibuat sebelumnya.

Dalam rangka memahami aspek sosial ekonomi yang lebih komprehensif

dari kebijakan digunakannya akses jalan umum sebagai jalur transfortasi

batubara itu, juga dilakukan wawancara secara terbatas kepada pengusaha

dan sopir truk batubara yang berkepentingan atas kebijakan tersebut;

dan kepada sejumlah pelaku ekonomi rakyat yang mengambil peluang

manfaat dari aktivitas sopir truk batubara.

Secara logika, Keputusan Gubernur Kalsel Nomor 119 Tahun 2000

diasumsikan sebagai titik mula munculnya dampak. Masalah tersebut

secara fisik bisa berupa kondisi lingkungan pemukiman penduduk yang

terimbas secara tidak langsung dari kasus lalu lalang armada truk

batubara; dan juga bisa berupa kondisi badan jalan yang menerima

16 FOCUS Volume 1, Nomor 1, Januari - Juni 2011

dampak langsung dari besarnya beban yang diberikan oleh ribuan truk

batubara yang melintas di atasnya. Perubahan lingkungan fisik itu bisa

diamati, misalnya berupa kerusakan badan jalan dan berapa kali

setahun pihak Pemerintah terpaksa harus memperbaiki badan jalan

yang rusak tersebut. Namun bagaimana tanggapan pihak terdampak

dan para pedampak sendiri hanya bisa dilakukan dengan wawancara;

dan items pertanyaan dalam kuesioner dianggap cukup memadai untuk

mengungkap fakta lapangan.

Dalam rangka mendeskripsikan secara cukup baik temuan

informasi di lapangan, data hasil penelitian yang berkaitan dengan

persepsi dan pendapat responden dianalisis secara kualitatif. Tetapi

ketika informasinya berkaitan dengan data kuantitatif, terutama untuk

variabel-variabel tertentu yang dianggap penting diketahui korelasinya,

maka deskripsinya merujuk pada hasil perhitungan statistik metode

tabulasi silang Chi-Kuadrat (X2) dalam bentuk Tabel Kontingensi untuk

mengetahui hubungan independensinya. Pilihan atas uji independensi

dengan metode Chi-Kuadrat ini didasarkan pada asumsi bahwa data

lapangan yang diperoleh cenderung berskala nominal dan frekuensinya

patut dikelompokkan dalam kategori yang diskrit (Siegel, 1986 dan

Dajan, 1986).

Sesuai dengan model studi kasus, deskripsi dari hasil pengamatan

menjadi dasar bahan wawancara kepada subyek tertentu, khususnya

pedampak, dan hasil wawancara itu dikonfirmasikan lebih lanjut

dengan data sekunder yang relevan. Untuk kelompok pedampak, dalam

penelitian ini yang diwawancarai adalah mereka yang bekerja sebagai

pengusaha yang bergerak dalam kegiatan eksploitasi tambang batubara

dan pengusaha truk angkutan batubara.

C. HASIL PENELITIANC. 1. Dampak Umum Angkutan Batubara

Secara umum, dampak negatif truk batubara yang melintas di jalan

umum di wilayah Kota Banjarbaru tidak berbeda dengan kasus di

daerah lain. Tetapi dalam hal dampak langsung yang menyebabkan

kerugian material dan jiwa manusia, secara khusus Kota Banjarbaru

cukup mengkhawatirkan. Seperti terlukis pada Tabel 1, data Kepolisian

17FOCUS Volume 1, Nomor 1, Januari - Juni 2011

Resort Kota Banjarbaru menunjukkan bahwa kecelakaan lalu lintas

selama tahun 2008 saja mencapai 24 kasus dengan jumlah korban

meninggal dunia 27 orang, luka berat 2 orang, luka ringan 32 orang

dan kerugian material Rp. 210.000.000. Sedangkan pada tahun 2009,

hingga bulan Juli 2009 jumlah kecelakaan lalu lintas sudah mencapai

19 kasus, dengan jumlah korban meninggal dunia 20 orang, luka ringan

ringan 11 orang dan kerugian materi sekitar Rp 28 juta.

Tabel 1. Kasus kecelakaan lalu lintas karena truk batubaraTabel 1. Kasus kecelakaan lalu lintas karena truk batubaraTabel 1. Kasus kecelakaan lalu lintas karena truk batubaraTabel 1. Kasus kecelakaan lalu lintas karena truk batubaraTabel 1. Kasus kecelakaan lalu lintas karena truk batubara

di Kota Banjarbarudi Kota Banjarbarudi Kota Banjarbarudi Kota Banjarbarudi Kota Banjarbaru

Sumber: Polresta Banjarbaru, 2009.

Rendahnya nilai kerugian material itu karena datanya berdasarkan

aturan normatif denda yang dikenakan oleh pihak kepolisian. Kerugian

material dimaksud tidak termasuk kasus “jalan damai” yang ditempuh

antara korban dengan pelaku yang lumrah dilakukan dalam kultur

masyarakat di Kalimantan Selatan.

Dari hasil pengamatan di lapangan dan dikonfirmasikan dengan

petugas kepolisian Kota Banjarbaru, rata-rata terjadi 2,3 kasus

kecelakaan di wilayah hukum kepolisian Kota Banjarbaru per bulan

yang terjadi karena berbagai sebab seperti misalnya pecah ban, truk

terbalik, truk tabrakan antar truk dan jenis mobil lainnya, atau karena

truk batubara menabrak pengendara sepeda motor. Namun demikian,

18 FOCUS Volume 1, Nomor 1, Januari - Juni 2011

responden yang terlibat dalam penelitian ini ternyata tidak pernah

mengalami kasus sampai menjadi korban dari sejumlah kecelakaan

lalu lintas yang disebabkan armada truk batubara.

C. 2. Dampak Sosial Menurut Responden

Dampak sosial yang ingin dilacak dalam penelitian ini terutama

yang berkaitan dengan definisi operasional yang digunakan, yakni

ketidaknyamanan yang diterima oleh warga masyarakat (komunitas

tertentu) yang berkaitan dengan untung rugi ekonomi, kenyamanan,

kesehatan, dan rasa aman. Untuk aspek untung rugi ukurannya tidak

bisa dispesifikasikan karena tergantung pada tafsir yang digunakan

oleh subyek; seperti misalnya ketika yang bersangkutan merasa

dirugikan karena pernah melakukan perbaikan dinding rumahnya yang

retak karena diduga sebagai imbas getaran truk-truk batubara dan nilai

yang disampaikannya tentu saja tidak bisa dijadikan ukuran standar

untuk orang lainnya. Penilaian subyektif semacam itu juga diduga

dipengaruhi oleh bagaimana kondisi sosial lokasi mukim responden,

seperti tergambar pada Tabel 2.

Tabel 2. Lokasi Mukim RespondenTabel 2. Lokasi Mukim RespondenTabel 2. Lokasi Mukim RespondenTabel 2. Lokasi Mukim RespondenTabel 2. Lokasi Mukim Responden

Sumber : Data Survai. Penelitian

Data pada Tabel 2 menunjukkan bahwa sebagian besar responden

dalam penelitian ini berada di rumah mandiri pinggir jalan. Responden

yang berada di rumah mandiri pinggir jalan yang menjadi jumlah

terbanyak dalam penelitian ini berada di sepanjang jalan Trikora.

Sedangkan responden yang bermukim di komplek perumahan antara

lain terdapat di Komplek Ratu Elok Banjarbaru. Adapun responden

yang bermukim di perkampungan tradisonal berada di kawasan

Kemuning Seberang, Guntung Manggis. Gambaran tentang lokasi

mukim responden tersebut memberikan prakondisi dari dampak sosial

19FOCUS Volume 1, Nomor 1, Januari - Juni 2011

yang dikeluhkannya, karena semakin dekat dengan jalan raya semakin

banyak keluhannya.

Bahkan untuk keluhan yang berkaitan dengan kerusakan

bangunan rumah akibat getaran armada truk batubara juga agak masuk

akal. Seperti terlukis pada Tabel 3, kelompok terbesar responden

bangunan rumahnya memang berupa tembok. Meskipun tak bisa diuji

kebenarannya, dugaan kerusakan tembok bangunan (retak) karena

getaran truk batubara yang bertonase besar dan jumlahnya ribuan yang

lalu lalang setiap hari selama sekian tahun sangat boleh jadi ada

benarnya juga.

Tabel 3. Jenis Rumah Tinggal Responden.Tabel 3. Jenis Rumah Tinggal Responden.Tabel 3. Jenis Rumah Tinggal Responden.Tabel 3. Jenis Rumah Tinggal Responden.Tabel 3. Jenis Rumah Tinggal Responden.

Sumber: Data Survai Penelitian

Jarak bangunan rumah tinggal responden dari bahu jalan raya

yang jadi perlintasan truk batubara juga merupakan faktor penting

yang mempengaruhi keluhan responden. Data pada Tabel 4

menunjukkan bahwa jarak antara bangunan rumah tinggal responden

dari jalan raya perlintasan truk batu bara sebagian besar berada di

bawah jarak 50 meter dan karena itu sangat logis apabila merasakan

betul dampak keberadaan armada. truk batu bara.

Tabel Tabel Tabel Tabel Tabel 44444. Jarak Rumah Tinggal Responden dari Jalan Raya. Jarak Rumah Tinggal Responden dari Jalan Raya. Jarak Rumah Tinggal Responden dari Jalan Raya. Jarak Rumah Tinggal Responden dari Jalan Raya. Jarak Rumah Tinggal Responden dari Jalan Raya

Sumber : Data Survai Penelitian

20 FOCUS Volume 1, Nomor 1, Januari - Juni 2011

Apakah jarak bangunan rumah responden dengan badan jalan

tempat perlintasan truk batubara menentukan dampak yang dirasakan

oleh warga masyarakat penghuni rumah pinggir jalan? Jawabannya

nyaris sama, YA. Tetapi untuk diketahui, tidak semua jalur jalan

memberikan dampak langsung berkaitan dengan kualitas badan jalan,

apakah seluruhnya beraspal atau sebagian masih berupa jalan tanah.

Di wilayah Kota Banjarbaru, jalan umum yang cukup lebar dan

lumayan baik kualitas badan jalannya adalah sepanjang Jalan A. Yani

(Batas Kota) dan Jalan Mistar Cokrokusumo; sehingga secara obyektif

responden pun tidak mengeluhkan paparan debu batubara, tetapi lebih

mengeluhkan kesulitan menyeberang karena arus lalu lintas menjadi

sangat padat. Sementara untuk penduduk sekitar Trikora dan Kemuning

amat merasakan dampak debu tersebut karena sebagian badan jalan

memang masih berupa tanah. Bagaimana korelasi antara lokasi

pemukiman dengan dampak langsung yang dirasakan dapat

digambarkan sebagaimana terlukis pada Tabel 5, dan dari perhitungan

analisis Chi-kuadrat diperoleh nilai korelasi Pearson sebesar 17,735 dan

pada tingkat kepercayaan 5% diperkirakan 91,4% frekuensi observasi

memiliki hubungan independensi.

Tabel 5. Posisi mukim dan dampak yang dirasakan respondenTabel 5. Posisi mukim dan dampak yang dirasakan respondenTabel 5. Posisi mukim dan dampak yang dirasakan respondenTabel 5. Posisi mukim dan dampak yang dirasakan respondenTabel 5. Posisi mukim dan dampak yang dirasakan responden

Chi-Square Test:

Pearson Chi-Square: 17,735. Df=24, Signifikansi = 0,816.

21FOCUS Volume 1, Nomor 1, Januari - Juni 2011

Dari hasil wawancara dengan responden diperoleh informasi

yang berkaitan dengan keluhan yang sifatnya kualitatif bahwa

keberadaan armada truk batubara itu terutama menyebabkan rumah

mereka terpapar debu (91,7%) dan sisanya menduga paparan debu

batubara itu juga menjadi sebab penyakit ISPA yang pernah diderita

anggota keluarganya. Di luar kasus yang berkaitan dengan

ketidaknyamanan tersebut, keluhan umum dan nyaris sama adalah

adanya ketidaknyamanan dalam hal menyeberang jalan dikala armada

truk batubara sudah dalam formasi konvoi. Hal itu menjadi keluhan

berat karena acapkali mereka terkendala untuk mengantar anaknya

ke sekolah. Itulah sebabnya, rata-rata responden sangat setuju dengan

perberlakuan jam masuk kota untuk truk batubara hanya boleh mulai

pukul 17.00 WITA. Dan karena alasan seperti itu pula rata-rata

responden setuju apabila armada truk batubara itu dilarang saja

melewati jalan umum.

Apakah pendapat atau penilaian responden itu berkaitan dengan

latar belakang tingkat pendidikan dan status pekerjaan yang

dimilikinya? Hasil analisis Chi-kuadrat memberikan gambaran bahwa

hubungan antara penilaian atas dampak langsung dari armada truk

batubara dengan tingkat pendidikan ternyata tidak signfikan (0,326) dan

hanya bernilai 13,621 dengan peluang independensi 75%. Memang

betul responden menilai buruknya dampak yang diterima oleh warga

masyarakat dari diberlakukannya regulasi untuk mengijinkan armada

truk batubara menggunakan jalan umum, namun tidak ada perbedaan

yang signifikan antara responden yang berpendidikan tinggi dengan

responden yang berpendidikan rendah. Demikian pula halnya dengan

analisis Chi-kuadrat untuk faktor latar belakang pekerjaan dengan

penilaian atas dampak negatif armada truk batubara, latar belakang

pekerjaan juga tidak signifikan (0,438) dan hanya bernilai 24,416 dengan

peluang independensi 85,7%.

Namun demikian, perlu dicatat bahwa tingkat ketidakpedulian

warga masyarakat yang diwakili oleh responden tampaknya cukup

rendah dalam memperjuangkan aspirasi yang berkaitan dengan isu

pentingnya mengkritisi kebijakan pemberian ijin bagi armada truk

batubara untuk menggunakan jalan umum (dan bukan jalan khusus

sebagaimana disyaratkan dalam Undang-Undang). Hal itu dibuktikan

22 FOCUS Volume 1, Nomor 1, Januari - Juni 2011

dari minimnya keterlibatan responden dalam memberikan masukan

kepada Pemerintah Daerah dan atau aparaturnya. Hanya 20%

responden yang pernah berinisiatif melakukan hal itu, selebihnya tidak.

Sedangkan alasan mengapa tidak melakukan inisiatif untuk

memberikan kritik atau saran itu beragam, sebagaimana terlukis pada

Tabel 6. Apapun alasannya, sesungguhnya memang tidak bisa

dipaksanakan munculnya partisipasi masyarakat dalam kegiatan

pengawasan kebijakan publik. Bahkan ketika warga masyarakat

tersebut misalnya tidak merasakan dampak negatif dari sebuah

kebijakan; dan dalam kasus ini ada responden yang merasa bukan

masalah apabila kebetulan ada ban truk batubara meledak pecah karena

kelebihan beban (over loaded).

Tabel 6. Alasan Responden tidak memberikan Kritik dan SaranTabel 6. Alasan Responden tidak memberikan Kritik dan SaranTabel 6. Alasan Responden tidak memberikan Kritik dan SaranTabel 6. Alasan Responden tidak memberikan Kritik dan SaranTabel 6. Alasan Responden tidak memberikan Kritik dan Saran

Sumber: Data Survai Penelitian

Masalahnya, bagi mereka yang telah melakukan inisiasi untuk

memberikan kritik dan saran itu ternyata hanya 15% di antaranya yang

merasa sarannya ditanggapi, dan itupun tanggapan informal dari

aparatur yang kebetulan telah dikenalnya. Sedangkan kritik dan sa-

ran yang disampaikan melalui media massa (surat kabar) tidak jelas

efektivitasnya. Bahkan ketika saran atau kritik itu disampaikan secara

lisan kepada anggota DPRD juga serupa. Sementara itu pengharapan

bahwa LSM bisa berperan aktif ternyata juga agak diragukan oleh

mayoritas responden, karena LSM di Kalimantan Selatan, dan

khususnya di Kota Banjarbaru, tidak terbukti kuat peranannya untuk

memberi pressure kepada Pemerintah Daerah yang memiliki otoritas

mengatur ijin penggunaan jalan umum untuk apa saja.

23FOCUS Volume 1, Nomor 1, Januari - Juni 2011

C. 3. Dampak Ekonomi dari Implementasi Kebijakan

Selain dampak negatif dari dipergunakannya jalan umum di Kota

Banjarbaru, juga berdampak positif bagi masyarakat. Dari pengamatan

di lapangan, penelitian ini juga menyasar beberapa indikator dampak

positif dari truk batubara tersebut; yang antara lain meliputi

terkondisinya kesibukan lalu lintas di jalur transportasi batubara dan

hal itu justru memberikan tambahan remunerasi (penghasilan) bagi

warga yang membuka warung pinggir jalan atau usaha jasa lainnya

seperti tambal ban dan perbengkelan,. terutama di jalan Trikora yang

menjadi jalan poros utama angkutan batubara di wilayah Kota

Banjarbaru. Sebagaimana tergambar pada Tabel 7, jumlah mereka yang

“ikut mengenyam” manfaat keberadaan armada truk batubara

melewati jalan umum cukup besar dan distribusinya menumpuk pada

pelaku ekonomi dengan status membuka usaha warung minum; yang

ketika diberlakukan pelarangan armada truk batubara menggunakan

jalan umum (sebagai implementasi Perda Nomor 3 Tahun 2008)

akhirnya terpaksa tutup karena kehilangan pelanggan.

Tabel 7. Pelaku Ekonomi yang tergantung pada sopir trukTabel 7. Pelaku Ekonomi yang tergantung pada sopir trukTabel 7. Pelaku Ekonomi yang tergantung pada sopir trukTabel 7. Pelaku Ekonomi yang tergantung pada sopir trukTabel 7. Pelaku Ekonomi yang tergantung pada sopir truk

batubarabatubarabatubarabatubarabatubara

Sumber: Hasil Survai Penelitian

Catatan: A = warung minum

B = kios rokok serba ada

C = tambal ban

D = bengkel

E = kios ganti olie

Namun demikian, sebagian besar (75%) dari respoden yang tinggal

di sepanjang jalur jalan perlintasan truk batubara cukup yakin ketika

memberikan pendapat bahwa mereka tidak setuju, apabila dampak

24 FOCUS Volume 1, Nomor 1, Januari - Juni 2011

positif dari angkutan batubara di jalan umum itu menguntungkan.

Memang benar bahwa keberadaan angkutan armada truk batubara di

jalan umum tersebut membuat suasana menjadi ramai oleh deru mesin

truk batubara, namun di sisi lain hal itu justru berakibat pada

menurunnya kenyamanan bagi warga untuk beristirahat. Itulah

sebabnya responden yang menyatakan setuju dengan indikator dampak

positif tersebut cukup kecil jumlahnya (19,00%); sedangkan yang

menyatakan tidak tahu sebanyak 17,00%

Diijinkannya armada truk batubara menggunakan jalan umum

memang memungkinkan dapat dipungutnya retribusi yang menjadi

sumber pendapatan asli daerah. Dalam skema itu, retirubusi dimaksud

dimasukkan dalam kelompok sumbangan pihak ketiga karena telah

menggunakan jalan umum yang dibangun pihak swasta; dan untuk Kota

Banjarbaru “jalan swasta” dimaksud dikelola oleh PT Sama Sentral

Swasembada yang berdasarkan perjanjian kerja sama antara Pemko

Banjarbaru dengan PT Sama Sentral Swasembada bernomor 05/XII/

KUM/2006 tentang pembangunan dan pemeliharaan Jalan Trikora

diberi otoritas untuk mengambil keuntungan dari pembangunan jalur

jalan Trikora sepanjang 6,800 kilometer dan pemeliharaan jalan

sepanjang 10,500 kilometer yang sudah hingga Landasan Ulin. Namun

hingga bulan juni 2009, Pemerintah Kota Banjarbaru ternyata tidak

menerima dana kontribusi truk angkutan batubara yang melewati jalan

Trikora itu selama empat tahun (sejak tahun 2004), yang diperkirakan

mencapai Rp 17.003.337.500. Rupanya sesuai perjanjian kerja sama

(yang berlaku Januari 2007-2013) antara Pemko Banjarbaru dengan

PT Sama Sentral Swasembada bernomor 05/XII/KUM/2006 pasal 1

ayat (4), PT Sama Sentral Swassembada selaku pihak investor diberi

kewenangan untuk memungut retribusi sebesar Rp 12.500,- per truk

angkutan batubara namun retribusi dimaksud dikompensasikan

menjadi kepemilikan jalur jalan yang dibangun oleh pihak investor

tersebut untuk akhirnya nanti menjadi milik Pemerintah Daerah.

Dampak negatif masuknya armada truk batubara ke dalam Kota

Banjarbaru praktis dirasakan semua orang dan pihak Pemda pun

berupaya mengakomodir aspirasi masyarakat. Salah satu kebijakan yang

kemudian dibuat oleh Pemerintah Kota Banjarbaru adalah dengan

25FOCUS Volume 1, Nomor 1, Januari - Juni 2011

dikeluarkan Surat Edaran dari Kepala Dinas Perhubungan Kota

Banjarbaru selaku Ketua Tim Penertiban Angkutan Khusus Batubara

pada tanggal 31 Januari 2003 yang ditujukan kepada pengusaha

Batubara, Semua Pemilik Angkutan Kendaraan bermotor Truck dan

Semua Pengemudi/Sopir Angkutan Khusus Batu bara adalah hasil

koordinasi antara Tim Penertiban Angkutan Barang/Batubara dengan

para pengusaha penambang batubara, yaitu PT. Baramulti Sugih

Sentosa,. PT. Sumber kurnia Buana, PT. Antang Gunung Meratus, PT

Bangkit Adhi Sentosa, PT Kadya Caraka Mulya, PT Dasa Eka Pratama,

serta perusahaan kontraktor Jl. Lingkar Selatan PT. SSS, maka terhitung

mulai tanggal 6 Pebruari 2003 truk angkutan khusus batubara dilarang

melintasi Kota Banjarbaru lewat jalan A.Yani ( dalam kota ) dan sebagai

alternatif solusinya lintasan angkutan truk batubara dialihkan ke Jalan

Soekarno-Hatta tembus samping kanan kantor harian Radar Banjarmasin.

Adapun regulasi yang berkaitan dengan syarat-syarat melintasi

jalan Soekarno-Hatta (jalan Trikora) terlebih dahulu yang harus

diperhatikan adalah:

1. Jenis angkutan berupa dum truk standar.

2. Batas tonase angkutan maksimal 5 ton dan tertutup terpal, diikat

kuat tidak sobek/bocor.

3. Iring-iringan (konvoi) dibatasai paling banyak 5 kendaraan dan

interval iringan minimal 5 menit.

4. Kecepatan maksimum adalam keadaan berisi 40 km/jam,

kecapatan maksimum dalam keadaan kosong 60 km/jam

5. Masa uji kendaraan yang dioperasikan masih berlaku

6. Jam pemberlakuan operasional adalah dari jam 16.00 wita sampai

06.00 wita pagi.

7. Tempat parkir kendaraan truk batubara sepanjang jalan

Soekarno-Hatta sampai batas akhir di pertigaan Jl. RO. Ulin,

sedangkan pemberangkatan dimulai pukul 18.00 wita menuju

jalan A.Yani ( samping kanan kantor harian Radar Banjarmasin).

Tetapi dari hasil pengamatan di lapangan ternyata syarat-syarat

yang diatur dalam regulasi tersebut di atas acapkali diabaikan oleh

para sopir truk batubara tanpa ada sanksi yang jelas dari pihak aparat

yang bertugas menegakkan aturan. Itulah sebabnya, sebagian besar

26 FOCUS Volume 1, Nomor 1, Januari - Juni 2011

responden (75%) agak pesimis ketika ditanyakan bagaimana

pendapatnya berkaitan dengan efektivitas diberlakukannya PERDA

N0 3 tahun 2008 yang substansinya melarang penggunaan jalan umum

untuk armada truk batubara.

Walaupun masyarakat berpendapat bahwa rencana Gubernur

memberlakukan PERDA No 3 tahun 2008 terbilang sudah terlambat,

namun warga masyarakat umum justru menunjukkan persepsi positif

bahwa Perda No 3 Tahun 2008 Provinsi Kalimantan Selatan akan efektif

untuk mengatasi dampak negatif akibat penggunaan jalan raya untuk

angkutan truk batu bara (Tabloid URBANA, Nomor VIII edisi 03-10

Agustus 2009). Contohnya adalah pendapat anggota DPRD Kalsel,

Anang Rosadi, “Tidak ada alasan untuk tidak memberlakukan Perda

Kalsel 3/2008 yang memuat larangan bagi angkutan hasil tambang,

termasuk tambang batu bara, menggunakan jalan umum kecuali harus

lewat jalan khusus” (Banjarmasin Post, 28 Februari 2009). 28 Februari 2009). 28 Februari 2009). 28 Februari 2009). 28 Februari 2009). Menurut

Wakil Rakyat yang dikenal sebagai pecinta lingkungan hidup itu, Perda.

Nomor 3 tahun 2008 tidak bertentangan dengan isi UU Nomor 4 Tahun

2009 tentang Mineral dan Batubara (Minerba). Untuk itu, larangan

angkutan hasil tambang harus tetap diberlakukan mulai Juli 2009,

sebagaimana dimaksud Perda 3/2008.

Pada kesempatan terpisah, Kepala Dinas Pertambangan dan

Energi Kalsel, mewakili sikap Pemerintah Provinsi, berkeyakinan bahwa

Perda Nomor 3 Tahun 2008 tidak akan dibatalkan Pemerintah Pusat.

Perda tersebut adalah merupakan lex specialis (aturan yang bersifat

khusus) sehingga dapat mengesampingkan aturan yang bersifat umum

atau lex generalis. “Yang diizinkan oleh UU Minerba adalah jika angkutan

tambang yang melewati jalan umum itu sesuai standarnya dari segi

muatan,” ujarnya (Barito Post, edisi Sabtu, 28 Februari 2009). edisi Sabtu, 28 Februari 2009). edisi Sabtu, 28 Februari 2009). edisi Sabtu, 28 Februari 2009). edisi Sabtu, 28 Februari 2009). Sedangkan

jalan di Kalsel masih berstandar kelas III sehingga hanya muatan

maksimal 8 ton saja yang diperbolehkan. Sedangkan angkutan hasil

tambang dan perkebunan yang melewati jalan di Kalsel umumnya

membawa muatan lebih dari 8 ton.

Pada Perda No.3/2008 pasal 3 ayat (1) dinyatakan bahwa, setiap

angkutan hasil tambang dan perkebunan dilarang melewati jalan

umum. Sedangkan pada ayat (2) dinyatakan bahwa, setiap hasil

tambang dan hasil perkebunan harus diangkut melalui jalan khusus.

27FOCUS Volume 1, Nomor 1, Januari - Juni 2011

Pada pasal 9 ayat (1) dinyatakan bahwa, setiap orang yang

mengangkut hasil tambang dan perkebunan menggunakan jalan umum

diancam pidana kurungan paling lama 6 (enam) bulan atau denda

paling banyak Rp 50.000.000. Namun demikian perlu dicatat bahwa

mereka yang menolak pemberlakuan larangan ini boleh jadi akan

mencari berbagai pembenaran yang diantaranya adalah perlindungan

dibalik pasal 91 UU Minerba (UU No 4 Tahun 2009) yang berbunyi

“Pemegang IUP (Ijinkan Usaha Pertambangan) dan IUPK (Ijinkan

Usaha Pertambangan Khusus) dapat memanfaatkan prasarana dan

sarana umum untuk keperluan pertambangan setelah memenuhi

ketentuan peraturan perundang-undangan” dan beberapa argumen

terkait dengan kemungkinan hilangnya berbagai kesempatan kerja yang

tercipta dari pengangkutan batubara lewat jalan umum.

D. KESIMPULANBerdasarkan hasil penelitian ini dapat disimpulkan beberapa hal

sebagai berikut:

1. Dengan diizinkannya penggunaan Jalan Umum sebagai jalur

transportasi armada truk batubara (berdasarkan Surat Keputusan

Gubernur Kalsel No. 119/2000) secara sosial terbukti berdampak

negatif bagi warga masyarakat yang tinggal bermukim di sekitar

jalan umum tersebut; dan patut dinilai sebagai sebuah kebijakan

yang “merugikan sekali” bagi kenyamanan hidup warga

masyarakat. Hal yang paling dirasakan secara langsung oleh

warga masyarakat adalah ketidaknyamanan berlalulintas di jalan

umum karena cenderung dikuasai oleh truk batubara dengan

segala dampaknya, seperti: terpapar debu (debu jalanan dan debu

batubara), risiko terserempet, dan kesulitan mengakses jalan

(terutama ketika harus menyeberang jalan). Padahal tidak ada

kompensasi apapun yang diterima oleh mereka yang terdampak,

baik dari pihak Pemerintah Daerah maupun pihak pengusaha

batubara (sebagai bentuk Corporate Social Responsibility

misalnya).

2. Kerugian sosial yang diderita oleh penduduk sekitar jalur truk

batubara, terutama warga masyarakat penghuni rumah yang

28 FOCUS Volume 1, Nomor 1, Januari - Juni 2011

sangat dekat dengan jalan raya (kurang dari 25 meter) adalah

kebisingan dan kadangkala ada kasus pecah ban mobil truk yang

bisa membuat stres, ketidaknyamanan karena teras rumah

mereka terpapar debu jalan, dan kendati tidak terbukti signifikan

dalam penelitian ditengarai menjadi salah satu sebab sejumlah

penyakit ISPA yang dirasakan oleh responden.

3. Untuk dampak sosial yang secara ekonomi merugikan, dalam

penelitian ini tidak ada informasi yang cukup akurat. disampaikan

oleh warga masyarakat yang kebetulan terlibat sebagai responden

penelitian; namun dalam beberapa kasus terbatas ada warga

masyarakat yang mengaku dinding beton rumahnya cenderung

cepat retak dan diduga sebagai imbas dari getaran mobil truk

bertonase besar yang lalu lalang di depan rumahnya.

4. Kebijakan pemberian izin penggunaan jalan umum untuk jalur

transportasi batubara terbukti menguntungkan dalam pengertian

memberikan imbas yang amat signifikan terhadap dinamika

perekonomian rakyat di sepanjang jalur jalan angkutan batubara,

namun hal itu praktis hanya diakui oleh sopir truk batubara dan

sejumlah warga yang memanfaatkan situasi untuk membuka

usaha ekonomi berupa warung minum, jasa perbengkelan dan

jasa tambal ban.

5. Dengan dasar penilaian empirik atas dampak negatif armada

truk batubara di jalan umum, seratus persen warga masyarakat

yang jadi responden mendukung diberlakukannya Perda Kalsel

Nomor 3 Tahun 2008 (yang melarang penggunaan jalan umum

sebagai jalour angkutan truk batubara). Meskipun agak terlambat,

penerapan Perda nomor 3 tahun 2008 per tanggal 23 Juli 2009

oleh mayoritas respoden patut dinilai sebagai solusi atas

munculnya dampak negatif dari penggunaan jalan umum untuk

jalur transportasi truk batubara.

6. Pihak lain yang cenderung menolak diberlakukannya Perda

Nomor 3 Tahun 2008 adalah mereka yang merasa dirugikan

secara ekonomi, yakni: para pengusaha batubara, sopir truk, dan

pelaku ekonomi rakyat di sepanjang jalur jalan umum yang

digunakan untuk jalur angkutan.

29FOCUS Volume 1, Nomor 1, Januari - Juni 2011

DAFTAR. RUJUKAN

Ahmad, Ismet, 2008. Ekonomi Regional: Sebuah Pengantar. Program

Magister Sains Administrasi Pembangunan Universitas Lambung

Mangkurat, Banjarbaru.

__________, 2008. Politik Pembangunan Ekonomi: Konsepsi, Evolusi

dan Pengalaman Indonesia. Program Magister Sains

Administrasi Pembangunan Universitas Lambung Mangkurat,

Banjarbaru.

Budimanta, Arief dkk, 2008. Corporate Social Responsibility: Alternatif

Bagi Pembangunan Indonesia. ISCD, Jakarta.

Conyers, Diana, 1991. Perencanaan Sosial di Dunia Ketiga: Suatu

Pengantar. Gadjah Mada University Press, Yogyakarta.

Dajan, Anto, 1986. Pengantar Metode Statistik (Jilid II). LP3ES, Jakarta.

Dye, R. Thomas, 1978. Understanding Public Policy. Englewood Cliffs,

Prentice Hall. New Jersey.

Hadi, Sudharta P., 1997. Aspek Sosial Amdal. Gadjah Mada Univer-

sity Press, Yogyakarta.

Islamy, M. Irfan, 1994. Prinsip-Prinsip Perumusan Kebijakan Negara.

Bumi Aksara, Jakarta

Mansour Fakih, 2008. Runtuhnya Teori Pembangunan dan Globalisasi.

Pustaka Pelajar, Yogyakarta.

Pamudji, 1995. Kepemimpinan Pemerintahan di Indonesia. PT Bumi

Aksara, Jakarta.

Von Benda-Beckmann, et.al. (ed), 2001. Sumberdaya Alam dan Jaminan

Sosial. Pustaka Pelajar, Yogyakarta.

Riyadi, Soeprapto, 2000. Evaluasi Kebijakan Publik: Suatu Pendekatan.....

Universitas Negeri Malang, Malang,

Sarman, Mukhtar, 2004. Pengantar Metodologi Penelitian Sosial.

Pustaka Fisip Unlam, Banjarmasin.

______________, 2007. Pemetaan Masalah Sosial Ekonomi Masyarakat

Sekitar Tambang Batubara di Kalimantan Selatan.

Balitbangkessos, Banjarmasin.

30 FOCUS Volume 1, Nomor 1, Januari - Juni 2011

Selingson, M.A & JT Passe-Smith, 1993. Development and Underde-

velopment: The Political Economy of Inequality. Lynne Rienner

Publishers, London.

Siegel, Sidney, 1986. Statistik Nonparametrik untuk Ilmu-Ilmu Sosial.

Penerbit PT Gramedia, Jakarta.

Solihin, Ismail, 2008. Corporate Social Responsibility: from Charity to

Sustainability. Penerbit Empat Salemba, Jakarta.

Suharto, Edi, 2008. Kebijakan Sosial Sebagai Kebijakan Publik, Alfabeta,

Bandung.

Wahab, Abdul Solichin, 1990. Analisis Kebijaksanaan dari Formulasi

ke Implementasi Kebijaksanaan Negara. PT Bumi Aksara,

Jakarta.

Wibawa, Samodra, dkk. 1994. Evaluasi Kebijakan Publik. PT Raja

Grafindo, Jakarta.

Winarno, Budi 2002. Teori dan Proses Kebijakan Publik. Media

Pressindo, Yogyakarta.