dianggap memiliki pikiran - ugm

26
Jurnal Ilmu Sosial dan Ilmu Politik ISSN 't 470-4946 Volume 4, Nomor 2, Nopember 2000 (171,-1,96) MEDIA PERS DAN NEGARA: KELUAR DARI HEGEMONI Ashadi Siregar Abstract The hegemony of the New Order state was established through the abusive use of press and moreover leave the press in a political inertia. The attempt to dismantle the hegemony shall rely on an understanding of the importance of establishing reciprocal relationship between the state and the citizen. Freedom of the press is meaningful to the state for securing its legitimacSl and on the other hand opens up citizen participation in controlling the state. Kata-kata kunci: media pers, hegemoni negara, fungsi media, kebebasan pers, pengawasan media Pengantar Media massa kerap diibaratkan sebagai matahari, memberikan sinar yang menerangi dunia, atau menyampaikan pesan yang merasuk ke kalbu umat manusia hingga memberi pencerahan. Dengan begitu media massa seolah memiliki posisi di luar kehidupan masyarakat. Dia dianggap memiliki keunggulan yang menyebabkan mampu mempengaruhi alam pikiran khalayak yang selanjutnya akan mengubah masyarakat. Pandangan ini belum tentu kesimpulan empiris, Ashadi Siregar adalah staf pengajar pada Fakultas llmu Sosial dan Ilmu Politik, Universi- tas Gadjah Mada, Yogyakarta. t7t

Upload: others

Post on 16-Oct-2021

6 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: dianggap memiliki pikiran - UGM

Jurnal Ilmu Sosial dan Ilmu Politik ISSN 't 470-4946

Volume 4, Nomor 2, Nopember 2000 (171,-1,96)

MEDIA PERS DAN NEGARA: KELUARDARI HEGEMONI

Ashadi Siregar

Abstract

The hegemony of the New Order state was established throughthe abusive use of press and moreover leave the press in apolitical inertia. The attempt to dismantle the hegemony shallrely on an understanding of the importance of establishingreciprocal relationship between the state and the citizen.Freedom of the press is meaningful to the state for securing itslegitimacSl and on the other hand opens up citizen participationin controlling the state.

Kata-kata kunci: media pers, hegemoni negara, fungsi media,kebebasan pers, pengawasan media

Pengantar

Media massa kerap diibaratkan sebagai matahari, memberikansinar yang menerangi dunia, atau menyampaikan pesan yang merasukke kalbu umat manusia hingga memberi pencerahan. Dengan begitumedia massa seolah memiliki posisi di luar kehidupan masyarakat. Diadianggap memiliki keunggulan yang menyebabkan mampumempengaruhi alam pikiran khalayak yang selanjutnya akanmengubah masyarakat. Pandangan ini belum tentu kesimpulan empiris,

Ashadi Siregar adalah staf pengajar pada Fakultas llmu Sosial dan Ilmu Politik, Universi-tas Gadjah Mada, Yogyakarta.

t7t

Page 2: dianggap memiliki pikiran - UGM

Jurnal IImu Sosial & IImu Politik Vol. 4 No Z November 2000

karena terlalu bercampur dengan harapan. Kepercayaan semacam inikiranya yang menyebabkan penguasa di berbagai negara fasis ataukomunis met ,rr,tut terlalu berlebihan terhadap media massa, sekaligusakan sangat represif manakala media massa dianggap tidak segarisdengan kemauan penguasa negara. KonseP Pers atau jurnalismepembangunan, dan prinsip perijinan yang dijalankan Pemerintah,merupakan ikutan logis dari pandangan ini. Atau nusyarakat yangbegitu takut dengan muatan media massa yang dianggap dapatm"tnruk warga, sehingga menginginkan media massa menjadiperpaniangan mimbar khutbah.

Sebelum berharap terlalu banyak pada media massa, cobalah

bersikap realistis. Betul, bahwa institusi media massa sebagai faktoryang mempengaruhi khalayaknya. Akan tetapi dengan cara pandangiain juga bisa dilihat media massa sebagai cermin dari masyarakat, sebab

dia tidak berada di ruang hampa. Bahkan keberadaannnya ditentukanoleh kualitas masyarakat yang melingkupinya. Kualitas macam aPa

yang dapat mendukung media massa? Khusus untuk media Pers atau

media jurnalisme' tercetak sering dikaitkan dengan minat baca

masyarakat. Minat baca ini, jangan dilihat hanya sebatas doronganpsikotogis. Jika harus dibicarakan sedikit serius, dapat dikaji sebagai

kecenderungan sosiologis suafu masyarakat, dengan melihat kebiasaan

clan pola-pola penggunaan media massa, khususnya media jurnalisme'Dari sini keberadaan media massa dapat dilihat dalam perspektifkultural, yaitu dengan menempatkan ruang publik dengan norma-norma mendasarinya sebagai titik perhatian.

Garnbaran Konseptua! Fungsi Media Pers

Di iingkungan masyarakat manaPun adanya, media massa

merupakan yang paling rendah penggunaannya di antara jenis-ieniskomunikasi yang dijalankan anggota masyarakat. Meskipun cakupan

t Dul.- hrlisan ini digunakan secara berganti sebutan media massa, media pers dan mediajurnalisme, keseluruhannya dimaksudkan untuk menunjuk media komunikasi massa yangmengutamakan informasi faktual, baik media cetak (suratkabar dan majalah) mauPunelektronik (radio dan televisi) yang dikenal sebagai media berita. Media semacam inimerupakan hasil keria profesi iumalisme.

t72

Page 3: dianggap memiliki pikiran - UGM

Ashadi Sirega4 Media Pers dan Negara: Keluar dari Hegemoni

distribusinya lebih luas, frekuensi penggunaannya kalah banyakdibandingkan dengan komunikasi sosial seperti media kelompok/forum dan antar perorangan. Artinya proses komunikasi yangberlangsung dalam masyarakat sesungguhnya didominasi olehkomunikasi yang bidak menggunakan media massa. Setidaknya kalaudibuat peringkat proses komunikasi bagi seseorang berturut-turuta d alah komunikasi intra-priba di, antar-pribadi, intra-kelompok, antar-

kelompok, institusi, dan terakhir media massa. Media massa khususnyamedia jurnalisrne berfungsi bagi person pada tataran institusional, yaitumelayani warga masyarakat dalam keberadaannya sebagai bagian darisuatu institusi sosiai (politik, ekonomi dan kultural). Dari sini mediajumalisme dapat dibedakan dengan media hiburan ,yangmenjalankanfungsinyf; pada tataran Personal untuk mengisi ruang psikologiskhalayak.-

Pemilahan secara tajam media massa di antara media jurnalismedengan media hiburan ini menjadi landasan dalam melihat hubungankebebasan pers dan masyarakat. Kebebasan pers terkait dengan hakwarga masyarakat untuk memperoleh kebenaran atas fakta sosial, yangmenjadi mang hidup bagi media jurnalisme. Karenanya kata kuncidalam kebebasan pers adalah kebenaran(truth), suatu istilah yang sarat

makna dalam filsafat sosial. Kebebasan pers tidak mungkin terwujudjika orientasi kepada kebenaran faktual dari kehidupan sosial tidakmenjadi kebutuhan dasar dalam aktivitas institusional wargamasyarakat. Atas dasar kebebasan pers ini warga masyarakat dapatmembentuk sikap dan pendapatnya dalam ruang publik Qtublicattitude/opinion). Sementara media hiburan yang berfungsi untukmengisi ruang psikologis bersifat personal, tidak dimaksudkan untukdiperhadapkan dengan kebenaran faktual. Ukuran dalam mediahiluran det gan ,ur,iiri.,ya berbeda dari media jurnalisme. Duniahiburan dilihat dalam kerangka estetis, fungsinya bagi wargamasyarakat bukan untuk membentuk pendapat dalam ruang publik,tetapi memperluhur kehidupan kulturalnya.

Media pers hadir sebagai institusi sosial, menjalankan fungsioyuunfuk menyediakan informasi bagi person-person yangberada dalam

' Lihut McQuail (1987) h. 6

t73

Page 4: dianggap memiliki pikiran - UGM

/umal llmu Sosial & Ilmu Politil<, Vol. 4 No Z November 2000

berbagai institusi sosial. Begitulah dia dilekati dengan fungsi yang harusdijalankannya dalam sistem sosial. Keberadaan dalam sistem sosial inimenjadikan pengelola media sebagai aktor sosial yang harusmenjalankan fungsinya sesuai dengan harapan (expectation) darimasyarakat. Harapan inilah yang menjadi pendorong dalammenformat fungsi yang harus dijalankan oleh media massa sebagaiinstitusi sosial. Ia dapat berupa dorongan psikologs, tetapi yang takkalah pentingnya adalah dorongan sosiologis. Jika dorongan pertamamembawa seseorang ke dunia-dalam (inner world) yang bersifatsubyektif, maka dorongan kedua membawa seseorang ke dunia-luar(outer world) yang bersifat empiris obyektif. Media massa akanmensuplai masyarakatnya untuk dapat memasuki dunia yangdipilihnya. Materi informasi fiksional semacam musik akan membawapenggunanya ke dunia subyektif, sedang materi faktual sepe{i berita(news) digunakan sebagai dasar memasuki dunia sosial empiris.-

Dari sini bisa dipahami fungsi utama media pers, yaitu untukmenyediakan informasi bagi person-person yang secara aktual beradadalam berbagai institusi sosial. Pilihan seseorang akan informasiditentukan oleh posisinya dalam struktur sosial. Adapun informasiselamanya merniliki fungsi pragmatis bagi penggunanya. Seseorangyang memiliki peran dalam struktur sosial, secara hipotetis dapatdibayangkan akan lebih memerlukan materi informasi faktual. Karenadengan informasi faktual ini dia menempatkan dirinya dalam interaksisosial. Sebaliknya, semakin tidak berperan seseorang dalam kehidupansosial, dengan sendirinya secara relatif dia tidak memerlukan informasifaktual. hri kiranya dapat menjelaskan mengapa informasi hiburan lebihbanyak peminabrya di tengah struktur rnasyarakat yang bersifat elitis,karena terbatasnya jumlah warga yang memiliki peran sosial. Dengankata lain, terbatasnya pengguna informasi fakrual dapat dijadilanindikator atas terbatasnya peran warga dalam kehidupan publik.Dengan begitu skala lingkup kehidupan sosial dengan peran warga di

' Rurr-qut-ga\"l""Tional melihat fungsi imperatif media pers atas d.asar hubungan sosiologismedia danthalayaknya,lihat McQuail, ibid, h. 51 -57. Dengan pandangan kriti", disebutk-anfungsi media persdapat menjadi instrumen dalam kontekJekonomi-p6litik bagi kekuasaannegara, lihat Herman dan Chomsky (1988) h. 1-2

t74

Page 5: dianggap memiliki pikiran - UGM

Ashadi Siregar, Media Pers dan Negara: Keluar dart lfegemoni

dalamnya, akan menentukan tipe informasi yang relevan baginya.Selain itu dorongan seseorang akan informasi bisa i,tga karena

pembias aan (conditioning) dari dinamika sosial di luar dirinya. |ikabertahun-tahun hanya memperoleh tipe informasi tertentu, makakebutuhannya akan informasi akan terformat, sehingga informasi yangrelevan hanyalah seperti yang biasa diterimanya. Atau pembiasaanperan sosial seseorang untuk dapat dijalankan tanpa landasan duniaempiris obyektif. Kekuasaan yang hegemonik misahyu, pada dasarnya

menyebabkan seseorang tidak memerlukan informasi faktual, sebab

keputusan dan tindakan sosialnya dapat dijalankan secara instruksionalbersifat paksaan (coercion).

Media Pers di Era Orde Baru

Situasi yang dihadapi media pers selama rezim Orde Baru pada

dasarnya adalah dalam melayani tarik menarik antara negara dan

*utyuiukat, dengan dominasi negara yang semakin mengeras dalam

seluruh dimerui kehidupan. Untuk itu struktur negara Orde Baru dapat

dilihat dengan memilah secara tajam dimensi kehidupan melaluiberbagai institusi (kelembagaan) sosial, yaitu institusi politik, ekonomidan kultural, bagaimana dan sejauh mana digerakkan oleh budayanegara dan budaya masyarakat. Dua orientasi budaya ini idealnya

menggerakkan instistusi negara dan institusi masyarakat dalam asas

keselmbangan. Sementara permasalahan mendasar adalahterganggunya kehidupan sosial karena institusi negara dijalankandengan orientasi budaya negara yang sama sekali tidak mentoleransiadanya sffuktur alternatif yang bersifat oposisional. Dengan begitu

institusi negara tidak memilik i" counterpart" yungmemaksanya untukmenjalankan prinsip akuntabilitas.

Lebih jauh, dalam berbagai aspek kehidupan politik, ekonomi

dan kultural, negara mencampuri dan mendominasi institusi sosial yang

seharusnya digerakkan oleh budaya masyarakat. Institusi politikmasyarakat (partai politik) kehilangan fungsi dalam konteks kehidupanwarga. Institusi ekonomi swasta "diobok-obok" agar dapat meniadi

lahan bup kolusi, korupsi dan nepotisme dari pejabat institusi negara.

Institusi budaya semacam organisasi keagamaan Huria Kristen Batak

Protestan (HKBP) dalam penentuan pimpinannya, diintervensi oleh

175

Page 6: dianggap memiliki pikiran - UGM

funal llmu Sosial & IImu Politik, Vol. 4 No Z November2000

pejabat militer aktif maupun pensiunan. Stmktur negara yang bersifatmonolitik dan masif ini membawa implikasi antara lain, ke dalammenyebabkan institusi negara yang tidak berdasarkan akuntabilitas,dan ke luar menyebabkan lumpuhnya dinamika institusi masyarakat.

Rezim Orde Baru digerakkan oleh budaya negara berdasarkannorma militerisme dan f atau fasisme dengan menjalankan prinsipmonoPoli mulai dari pengendalian secara fisik, sampai penguasaanalam pikiran warga. Pengendalian fisik dilakukan antara lain dengantindakan-tindakan uniformitas, sementara penguasaan alam pikirandilakukan dengan monopoli wacana melalui penguasaan alat-alatkomunikasi dalam masyarakat. Begitu pentingnya penguasaankekuasaan negara atas media massa, sehingga tindakan represif dapatdilakukan bahkan kalau perlu mengabaikan tekanan internasional."

Militerisme dan fasisme dapat berjalan bersamaan, tetapi dapatingu berjalan terpisah. Militerisme pada dasarnya secara sederhanadapat diartikan sebagai tindakan dengan menggunakan metode militerdalam kehidupan sipil. Ini perlu dibedakan dari tindakan militer padamasa Perang. Metode militer atau dalam bahasa sehari-hari disebutsebagai operasi militer, yang dijalankan dalam kehidupan perangmerupakan bentuk politik yang paling akhir, setelah seluruh langkahpolitik gagal dijalankan. Itulah sebabnya metode militer hanya bolehdijalankan dalam ranah perang yang dinyatakan terlebih dahulu secarahukum. Sementara di luar zona perang, hanya boleh dijalankantindakan polisional. Untuk menjadikan suatu wilayah danmasyarakatnya berada dalam zona perang, harus ada dekrit hukumImg disahkan oleh parlemen. Dekrit hukum inipun masih perlu dinilaidalam konteks hukum internasional, apakah memang memiliki dasaryang kuat berdasarkan kriteria-kriteria yang diakui dalam hukummaupun konvensi internasional.

Metode militer yang digerakkan dengan norma fasisme dapatmenjadi sangat eksesif jika budaya negara ini digerakkan oleh pimpinannegara yang memiliki kecenderungan psikopatologis. Kehidupan pada

t tni dimaksudkan untuk menjadikan media pers sebagai aparatur hegemoni (hegemonicapparatus) sehingga makna publik (public meaning) dapat dimonoptli oleh kefuasaannegara. Lihah Gramsci (1991), h. 80

176

Page 7: dianggap memiliki pikiran - UGM

Ashadi Siregar Media Pers dan Negara: Keluar dari Hegemoni

era Hitler di Jerman dapat menjadi studi mengenai pola fasisme yangdibangun atas dasar penyakit sosial kolektif iu.g sengaja diciptakanoleh rezim. Erich Fromm mencatat bahwa berlumbuhnya pahamNazisme yang menjadi dasar negara fasisme Jerman, bersumber darikecenderungan psikologi pimpinan dan massanya." Kecenderunganpemimpin yang mengidap psikopatologis, berkombinasi denganpengikut yang fanatik, menjadi faktor pendukung bagi negara fasis.

Dengan kecenderungan-kecenderungan psikologis semacam inidijelaskan mengapa warga masyarakat lebih suka berada di bawahkungkungan, tidak berani mengambil kebebasannya. Penguasa rezimfasis selalu menvebutkan kondisi ini terjadi karena warga masvarakattidak atau belum siap untuk berdemokrasi. Ketidak-siapan untukmengambil jalan demokrasi ini biasanya dikaitkan dengan kondisiwarga yang kurang terdidik, atau tingkat kemiskinan, dan sebagainyayang berkaitan dengan variabei sosial lainnya.

Dengan cuti lain ketidaksiapan suatu kelompok atau bangsamengambil kebebasan sebenarnya perlu dijelaskan dari kecenderunganpsikologis yang bersifat kolektif. Kecenderungan psikologis ini lebihjauh perlu dicari akar penyebabnya, yaitu dari struktur yang menekan,represi yang berlangsung secara intens dan jangka panjang sampaimerasuk ke dalam ruang psikologis secara kolektif. Represi secara fisikmuncul melalui penghukuman dengan cara yang sangat keras atassetiap hindakan yang cligolongkan sebagai keiuar dari sistem negara(shukrur resmi). Atau represi lebih keras lagi melalui shuktur gelapberupa intimidasi terhaclap warga masyarakat, baik fisik maupun sosial,yang semuanya mengarah kepada tekanan psikologrs yang bersifat terusmenerus

Struktur negara orde Baru tidak memberi tempat kepadaslruktur alternatif atau oposisi karena digerakkan oleh budaya negaradengan norma militerisme dan fasisme. Dengan norma semacam ini,biasanya terbentuk pula struktur gelap atau bayang an (hiddenstructure) yang berasal dari dalam struktur resmi negara. Struktur gelap

' M"ngenai kecenderungan psikopatologis pimpinan dan massa ini, Erich Fromm mencatat:"...bahwa Nazisme hanya dapat dijelaskan dalam pengertian psikologi, atau lebih khususlagi psikopatologi. Hitler dilihat sebagai orang gila atau orang "neurosis", para pengikutnyajuga sama gilanya dan tidak seimbang secara mental..." Fromm (1,997), h. 21.4

t77

Page 8: dianggap memiliki pikiran - UGM

/umal llmu Sosial & Ilmu Politik VoI 4, No 2, November 2000

ini digunakan unhrk menjalankan tindakan secara fisik dan metodelainnya di luar hukum oleh penguasa negara untuk mematikan setiaptindakan yang dianggap sebagai oposisi. Teror terhadaP warga,penculikan dan penahanan tanpa prosedur hukum, bahkan sampaipenembakan misterius (petrus) yung disebut sebagai tindakan " shocktherapJ'dapatmenjadi contoh tindakan dari struktur gelap rczimOrdeBaru." Selain itu pola-pola militerisme di lingkungan kehidupanmasyarakat j u ga diperkembangkan. Kelompok-kelom p ok para - mi I i ta ryyaitu orang sipil yang menggunakan atribut dan metode militer dalamkegiatannya, disadari atau tidak oleh organisasi pelakunya, merupakanciri dari struktur gelap yang dilegalisasi oleh negara.

Demikianlah era Orde Baru ditandai oleh struktur sosial dengankekuasaan negara bersifat hegemonik dan korporatis ala fasisme.Seluruh hubungan institusional secara vertikal berdasarkan pola pusatdan periferi, dengan pelumpuhan secara sistematik dan menyeluruhdava dari periferi. Dalam politik misalnya dijalankan prinsip massamengambang, sehingga peran politik dijalankan secara elitis, dan elitpolitik dikendalikan secara sentralistis dan bersifat top-down Di satupihak informasi bagi elit sosial disediakan secara tertutup dalaminstitusi masing-masing yang sudah terkooptasi dalam sistem negarakorporatis. Pada pihak lain, informasi faktual media massa disaringunfuk kepentingan penguasa negara. Dengan begitu fungsi pragmatismedia massa bagi elit ini sesungguhnya tidak dirasakan perlunl'a, sebabdalam menjalankan peran sosialnya, cukup menunggu instruksi dariatasan masing-masing.

Era Orde Baru merupakan laboratorium yang sangat menarikuntuk mengkaji keberadaaan media pefs di tengah masyarakat dannegara. Biasanya para pengkaji melihat aspek-aspek politik darihubungan negara dan media jurnalisme.' Akan tetapi dengan cara

Lihat: Smith ('1969), Surjomihardjo (1980), Dhakidae (i991) dan Hill (7994)Pembunuhan gelap ini disebutkan oleh pimpinan militer sebagai perang antar geng kriminal,sedang Presiden Soeharto menyebut sebagai suatu "shock therapy" untuk mengatasitingginya kriminalitas. Terlepas dari keberhasilan atau kegagalan dalam mengatasi tingkatkriminalitas, tindakan eksekusi di luar lembaga yudisial terhadap person yang dicurigaisebagai kriminal, diakui oleh Presiden Soeharto dilakukan oleh aparat negara. Wacanapembunuhan tanpa melalui lembaga yudisial ini dibicarakan oleh Soeharto sec.ua datardan enteng, dengan logika yang khas mencampuradukkan dengan vonis hukuman matimelalui Mahkamah Agung. Lihat: Soeharto (tt), h.364 - 367.

178

Page 9: dianggap memiliki pikiran - UGM

Ashadi Siregar, Media Pers dan Negara: Keluar dari Hegemoni

lain, dari sisi kultural dapat diperjelas keberadaan media massa, yaitudengan melihat kecenderungan negara dalam mengendalikan mediamassa dan warga masyarakat. Lebih jauh, pengendalian wargamasyarakat adalah kata kunci dalam struktur negara fasis danmiliteristis yang bersifat totalitarian.

Selain adanya tindakan-tindakan yang berlangsung melaluistruktur negara (resmi dan gelap), penguasaan alam pikiran wargamasyarakat dilakukan dengan mengendalikan media massa. Mediamassa dijadikan oleh penguasa negara sebagai sarana pengendalianwarga masyarakat. Dalam norma otoritarianisme umulnnya danfasisme khususnya media massa pada dasarnya hanya menjadi alatbagi kekuasaan, bukan sebagai sarana masyarakat untuk mendapatfakta dan mengekspresikan dirinya.-

Begitulah, pengendalian media massa oleh Penguasa negarabukan semata-rnata untuk menguasai media tersebu! tetapi lebih jauhadalah untuk menguasai alam pikiran warga masyarakat, untukkemudian dalam pengendalian alam pikiran ini struktur negara yangbersifat monopolistis dapat berjalan. Dengan kata lain, baik mekanismemelalui struktur gelap, maupun pengendalian media massa,dimaksudkan pada ujungnya adalah untuk mengendalikan wargamasvarakat.

Apu sebenarnya yang diharapkan dari terkuasainya alampikiran warga masyarakat? Pada tahap awal mungkin dengan alasanpragmatisme pembangunan, yaitu perlu ada keseragaman pemikiran,sehingga akan mengefisienkan langkah-langkah dalam mobilisasipembangunan. Pembangunan disini dimaksudkan untuk mengejarketertinggalan yang dialami dalam kondisi ekonomi akibat masa lalu.Kisah di Jerman pada masa Hitler, misaheya, adalah untuk bangkitsetelah negara Prusia porak-poranda akibat Perang Dunia Pertama. Diberbagai negara yang baru lepas dari penjajahan, diperlukan usahauntuk meningkatkan kondisi negara secara cepat. Jargon yang lazim

lstilah ini dipopulerkan oleh Ali Murtopo, perwira tinggi TNI yang bertugas sebagai asistenpribadi (Aspri) Presiden Soeharto, yang kemudian menjabat sebagai Menteri PeneranganRI. Pada dasarnya akselerasi pembangunan yang dijalankan melalui DepartemenPenerangan adalah strategi coercion dalam politik.McQuail (7987), h. 112

179

Page 10: dianggap memiliki pikiran - UGM

/umal llmu Sosial & Ilmu Politik Vol. 4, No 2, November 2000

terdengar adalah akselerasi atau percepatan pembangunan.e Unfukitu digunakan metode politik, melalui rekayasa berbagai komponenmasyarakat. Percepatan pembangunan yang dijalankan berbeda dengankonsep yang diterapkan dalam dunia komunikasi, yang dikenal sebagaidifusi inovasi.^" Di Indonesia dimaksudkan untuk pemulihan kondig_iekonomi setelah porak-poranda akibat orientasi potitit Orde Larna.ttUntuk percepatan pembangunan ini struktur negara sama sekali tidakboleh diganggu dengan orientasi dan alternatif pemikiran lainnya.

Namun dalam praktek politik, sulit membedakan antaramobilisasi warga untuk tujuan pembangunan dengan tindakan represiyang bertujuan melumpuhkan masyarakat dengan jalanmenghilangkan dayakritisnya. Karena dalam kelumpuhan masyarakat,rezim semacam ini yang kemudian bersifat korup dapat menjalankankekuasaan tanpa adanya kontrol dari masyarakat. Penyalahgunaankekuasaan untuk kepentingan pribadi elit kekuasaan dapat berlangsungdengan lancar, karena berada dalam lingkungan warga yang penuhketakutan ataupun sebaliknya, sepenuhnya menganggap tindakan-tindakan penguasa negara memang benar adanya.

Media massa hanyalah "korban" karena berada dalam ruangpublik yang tidak menghormati kebenaran dari kenyataan sosial.Sementara kebenaran hanya boleh datang dari kekuasaan negara.

"' Lihut' Rogers (1983)Orientasi politik Orde Lama yang terpenting dan merusak perekonomian negara danmasyarakat, bersumber dari rvacana permusuhan terhadap kapitalisme dan imperialismenegara Barat 1'ang dirujuk oleh rezim dari pidatg-piclato Presic-len Soc'kamo. Wacana iniclirvujudkan dalam Garis Besar Haluan Negara (GBHN) yang berasal dari pidato Soekarno.Permusuhan ini pada puncaknya berupa konfrontasi militer Indonesia ciengan Inggeris diMalavsia.t= Pancasila sering clisebut sebagai ideologi negara. Ini merupakan manipulasi yang dilakukanoleh rezim Orde Baru, sebagai pen'rbelokan dari makna Pancasila yang seharusnya secarakonstitusional, yaitu sebagai dasar negara. Ada perbedaan esensial antara idelologi negaradan dasar negara. Entitas-entitas dalam masyarakat dapat memiliki ideologi yang berbeda-beda. Setiap ideologi memiliki kebenaran intrinsik dan otonom, karenanya tidak ada suatuideologi yang dapat mengatasi kebenaran ideologi lainnya (supra-ideologi). Suatu entitashanya dapat berkoeksistensi dengan entitas ideologi lainnya, bukan sebagJhegemoni pusatterhadap periferi. Dengan begitu saat berada dalam lingkup entitas bangsa Negara Indone-sia, semua entitas ideologi akan berada dalam dataran yang sama yaitu PanCasila. DisiniPancasila sebagai dasar negara, yang berfungsi sebagai acuan bersama (common refercnce)dalam ko-eksistensi, bukan sebagai supra-ideologi.

180

Page 11: dianggap memiliki pikiran - UGM

Ashadi Siregar, Media Pers dan Negara: Keluar dari Hegemoni

Sumber kebenaran adalah dari ideologi negara.lt S".uru normatif,sesungguhnya negara tidak punya atau tidak boleh memiliki suatuideologi. Karenanya ideologi negara ini hanya ada secara praksis, bukannormatif, mewujud melalui tindakan-tindakan penguasa negara daristruktur resmi, dan tindakan-tindakan person yang menggerakkanstruktur gelap. Pada lingkup informasi, ideologi negara mewujudmelalui jargon-jargon negara yang biasa dinyatakan oleh Penguasanegara. Dalam pengertian yang umum, jargon adalah istilah yangmengandung makna teknis yangdigunakan oleh sekelompok orang.

Setiap kelompok yang bekerja dalam kaidah-kaidah teknis yangkhas memiliki jargon yang khas pula, yang digunakan untuklingkungan sendiri. Akan tetapi dalam lingkup struktur negara yangberdasarkan fasisme, jargon digunakan untuk tujuan lebih jauh, yaituuntuk menampung gagasan yang bersifat monoPolistis.

Jargon negara menamPung gagasan-gagasan yang berasal daristruktur negara. Disini media massa khususnya media jurnalisme yangberada dalam pengendalian negara, menjadikan penguasa sebagaisumber utama informasi media. Dengan sendirinya media harusmenggunakan jargon ini, sehin gga dalam Proses terus-menerus, setiapjargon negara dijadikan sebagai makna publik Qtublic meaning).Adapun makna publik adalah hal-hal yang dianggap atau diterimasebagai sesuatu yang benar oleh warga masyarakat. Dengan demikianterjadi monopoli kebenaran yang bersumber dari penguasa negara.

Bahasa dan media massa menjadi titik sentral dalam budayanegara bersifat hegemonik. Bilamana Penguasa negara menggunakanbahasa sebagai alat dalam menguasai rakyatnya, maka media massa

secara luas dan represif lebih dulu dikendalikan. Sistem perijinan,pengendalian asosiasi profesi pekerja media, dijalankan secara intensi.f.

Disini titik rawan dalam hal kebebasan pefs. Sekali sistem perijinan(sekaligus pembredelan) dapat "dipaharrli't' oleh elit sosial t-ermasuk

anggota parlemen, begitu pula sistem korporartisme yang diterimasebagai hal yang wajar bagi asosiasi profesi jurnalis, kebebasan Perssudah hilang, karena dibunuh oleh masyarakat. Dengan kata lain,kebebasan pers bukan hanya urusan media Pers dan penguasa negara,

13 Kata ini dapat dilihat pula berkonotasi sebagai "disetujui" atau "didukung".

181

Page 12: dianggap memiliki pikiran - UGM

/urnal llmu Sosial & Ilmu Politik, Vol. 4, No 2, November 2000

tetapi sangat ditentukan oleh ruang hidupnya di tengah masyarakat.Adapun gangguan atas kebebasan pers dalam arti luas adalah

dari struktur yang menekan masyarakat, sehingga warga masyarakatberada dalam situasi monopoli makna publik hasil rekayasa negara.Penyakit struktural semacam ini tentulah berada di luar ranah media

Pers. Masalah struktural ini menjadikan masyarakat tidak lagimemerlukan kebenaran yang berasal dari fakta sosial. Pemaksaanmakna publik yang dimonopoli oleh penguasa negara, merupakanfaktor yang meniadakan kebebasan pers.

Slogan-slogan dari kekuasaan neg;ua merupakan piranti dalampenguasaan alam pikiran warga masyarakat. Produksi slogandimaksudkan untuk memonopoli kebenaran dalam makna publikQtublic meaning). Lri dilakukan melalui "bahasa baru" versi kekuasaannegara yang digunakan secara intensip, mulai dari akronim,penggunaan istilah dari bahasa Sansekerta atau pun Jawa Kuno unfukmenampung kebenaran dari kekuasaan negara. Melalui bahasa ini kata-kata yang dapat menampung gagasan atau pemikiran yffigtidak sesuaidengan f""g.r"ta, dihap,ls Jtir.r aikacaukair, atau diganti"muk ,ar',yu.t*Dengan begitu pengendalian alam pikiran menjadikan wargamasyarakat sebagai otomaton, sepenuhnya dupat dan harusdikendalikan oleh penguasa.

tt S"bug^i ilusbasi, istilah da rniliter "diamankan" bukan bermakna dibuat neniadi arr1at7,

tetapi diterima secara luas untuk mengganti ishilah ditangkap/dipenjarakan; "litsus" alias"penelitian khusus" diterima sebagai proses politik yang normal padahal merupakantindakan penyaringan oleh pihak militer siapa yangboleh dan tidak boleh di antara wargasipil untuk menjadi elit publik, seperti pejabat birokrasi sipil, anggota DPR, organisasi sosial,

,i bahkan pengajar dan pimpinan di perguruaan tit ggr.'- Orwell menuangkan dalam novelnya 1984 (Nineteen Eighty Four), dengan sebutanNewspeak antara lain: Ifre purpose of Newspeak was nof only fo provide a medium of

for the world-view and mental habits proper to devotees of Ingsoc, but to makeall other modes of thought impossible. It was intended that when IVewspeak had beenadopted once and for all and Oldspeak forggoten, a heretical thought - that is, a thoughtdiverging from the principles of Ingsoc- should be literally unthinkablq at least so far asthought is depenclent on word. Its vocabulary was so constructed as to give exact and oftenvery subtle expression to every meaning that a Party member could properly wish to ex-Press, while excluding all other meanings and also the possibility of aniving at them byindirect methods. This was done partly by the invention of new words, but chiefly by elimi-nating undesirable words and by stripping such words as remained of unortodox mean-ings, and so .far as possible of all secondary meanings wha tever. . . Orwelt (L949), h. 227

182

Page 13: dianggap memiliki pikiran - UGM

Ashadi Siregar, Media Pers dan Negara: Keluar dari Hegemoni

Menuju Kebebasan Pers

Manakala penguasa negara menggunakan bahasa sebagai alatdalam menguasai rakyahyu, maka merupakan implikasi logis bahwamedia massa secara luas dan represif lebih dulu dikendalikan.Karenanya pengelola media pers atau jurnalis yang terkooptasi olehkekuasaan negara, ikut sebagai pihak yang menghambat kebebasan

pers. Ucapan populer: "dapat memahami tindakan yang diambilpemerintah," kendati tindakan itu berupa pembredelan penerbitan pers/

merupakan implikasi dari ketakberdayaan dalam represi monopolikebenaran. Hambatan terhadap kebebasan pers pada satu sisi tentulahdari struktur yang menekan seluruh warga,sehingga warga masyarakatberada pada situasi monopoli makna publik. Warga masyarakat tidakmemiliki peluang untuk mencari informasi publik secara bebas, dan

lebih jauh tidak dapat membentuk pendapatnya secara bebas pula.Permasalahan struktural semacam inilah menjadi latar bagi tiadanyakebebasan pers.

Sedang kebebasan pers yang berkaitan langsung dengan mediaadalah kekuasaan bersifat struktural yang berinteraksi dengan jurnalis,yang menyebabkan jurnalis terganggu dalam memproses fakta menjadiinformasi. Terhalangnya pekerja media jurnalisme dalam mendapatkanfakta sosial untuk dijadikan informasi media, membawa akibat lebihjauh terhadap masyarakat, yaitu masyarakat tidak memiliki landasandalam mencari dan menguji kebenaran.

Adapun ruang kebebasan pers tidak dapat dilepaskan darikualitas masyarakatnya, sejauh mana kehidupan sosialt yu memangmemerlukan kebenaran dari fakta sosial? Jila warga masyarakat merasa"adem ayem" dengan jargon-jargon negara, seterusnya dapat menjalanikehidupan publik tanpa memerlukan kebenaran fakta sosial, tindakanpenguasa negara yang mengendalikan alam pikiran masyarakatsekaligus media massa dengan sendirinya diterima sebagai hal yangwajar (taken for grante4. Sukses besar rezim Orde Baru kiranya dapatdicatat melalui penciptaan penyakit kultural semacam ini.

Dengan demikian kekuasaan otoriter dan fasis dapat diterimasecara luas, merasuk ke berbagai sendi dan urat nadi kehidupanmasyarakat. Akan tetapi secara normatif atau mungkin pada tataran

subversi, sebenarnya tetap terpelihara norma kultural yang memelihara

183

Page 14: dianggap memiliki pikiran - UGM

Jurnal IImu Sosial & IImu Politik Vol. 4, No 2, November 2000

akal sehat, rasionalitas, dan kebebasan berpikir: ini semua merupakandimensi-dimensi yang menjadi landasan bagi kebebasan pers. Betapa

Pun keras tindakan kekuasaan negara dalam menghancurkan normakultural ini, tetap bertumbuh upaya untuk menghadirkan pers bebasyang berada dalam platform kebebasan pers. Kendati sangat tidakpop,rl"t di kalangun P"rrutuan Wartawan Lrdonesia (PWI;tt dii.rbagaikantong-kantong komunitas media, tetap b,erkembang pandangandengan perspektif hak asasi manusia (HAM)." Bahwa pers dihadirkanbukan untuk jurnalis, jtgu bukan untuk kekuasaan kekuatan modal(internal dan eksternal) yang menghidupi perusahaan pers, atau jrgubukan untuk kekuasaan (negara dan kekuatan politik) yangmelingkupinya. Maka kebebasan pers Qtress freedom) dihayati bukansebagai hak pengelola media pers dan jurnalis, dan jr'tgu bukan hakpenguasa (ekonomi dan politik) untuk menjadikannya sebagai alatuntuk menguasai alam pikiran masyarakat.

Kebebasan pers merupakan salah satu dimensi hak asasimanusia (HAM), yaitu hak manusia untuk membentuk pendapatnyasecara bebas. HAM sebagai "ideologi" dunia yang dieksptisitkan pascaPerang Dunia Kedua, merayap secara luas ke antero kehidupan dalamProses globalisasi. Proses globalisasi sering dilihat sebagai wacanaberwajah ganda, di satu sisi sebagai hegemoni dari kekuatan kapitalismedunia yang berkolaborasi dengan kekuasaan negara nasional, tetapisembari itu di sisi lainnva berlangsung pula proses pembentukan normakulbural yang berlandaskan kepada hak asasi manusia. Kedua wajahwacana ini tidak terelakkan, mewujud melalui dinamika ekonomi-politik di satu pihak, dan di pihak lain dinamika kultural. Pada tatarankekuasaan negara, kekuatan kapitalisrne dunia ini merasuki kehidupankebangsaan. Sebaliknya pada tataran masyarakat, dalam simbiosis daridinamika global dengan kehidupan kebangsa€rn, bertumbuh "ideolog"HAM.

t" Oryt merupakan asosiasi jurnalis satu-satunya yang d.iakui pemerintah sebagai bagian dari

," pola korporatisme negara yang dijalankan oleh rezim Orde Baru" Komunitas media ini semakin meluas terutama setelah pembredelan tiga media pers (TbmpoDetik dan Editor) pada bulan Juni'1,994, dengan bertumbuhnya p"rs alternatif yingmenialankan fungsi oposisi terhadap kekuasaan negara. Lihat: Mohamad (199) dan Siiegui(1ees ).

184

Page 15: dianggap memiliki pikiran - UGM

Ashadi Siregar Media Pers dan Negara: Keluar dari Hegenoni

Moral sosial HAM kiranya menjadi acuan bagi moral profesi.Dengan begitu acuan moral profesi jurnalisme adalah penghargaan atashak asasi manusia.'- Fungsi imperatif dari profesi jurnalisme adalahuntuk memenuhi moral sosial ini. Dengan kata lain, hak yang dipunyaij urnalis sesun gguhoyu ridaklah berupa I i c en ti a y ango tonom, melainkanuntuk memenuhi hak yang bersifat asasi dari manusia. Karenanyadalam peradaban modern, fungsi imperatif profesi jurnalisme bertolakdari dorongan filosofis yan$ bersifat fundamental ini.

Oleh karena itu kebebasan pers hanya bermakna jika berkaitdengan salah satu dimensi hak asasi manusia, yaitu hak manusia untukmembentuk pendapafrrya secara bebas. Untuk itu basis dari keberadaanprofesi jurnalisme dan kebebasan pers, tidak dapat dipisahkan sebagaibagian dari norma kehidupan umat manusia pada abad 20 ini. Bertolakdari norma inilah peradaban dunia dibangun, setelah berakhir PerangDunia II yang telah memporak-porandakan kehidupan umat manusiadi satu pihak, tetapi sekaligus memberi peluang bagi kebebasansejumlah bangsa yang diperbudak oleh negara asing. Abad 21 akandimasuki dengan fundamen norma sosial yang berasal dari akhir PD IItersebut.

Istilah kebebasan pers sebenarnya nama generik untuk seluruhhak bersifat asasi warga masyarakat, berupa hak untuk memperolehinformasi (right to know) yang diperlukan dalam membentuk danmembangun secara bebas pemikiran clan pendapat^ya di satu pihak,dan hak untuk menyatakan pikiran dan pendapat di pihak lain (rightto expression). Dari kedua makna ini berkaitan dengan tersedianyainformasi secara bebas, baik informasi publik maupun estetis di tengahmasyarakat. Kegiatan ini menjadi pertyangga bagi terbangun danterpeliharanya peradaban manusia. Media pers dan jurnalis hanva salahsatu di antara sekian banyak pelaksana bagi kedua hak asasi ini.

Gangguan terhadap kebebasan pers, pada dasarnya harusmenjadi urusan setiap pihak, yaitu manakala right to know dan rightto expression di lingkungan masyarakatnya terhalang akibat tekanankekuasaan. Dari sini dapat diterima pandangan bahwa yang perlu

t* Lihut' Deklarasi [Jniversa] HakAsasi Manusia pasal 19, dan Kovenan Hak-hak Sipil ctanPolitik pasal19.

185

Page 16: dianggap memiliki pikiran - UGM

/umal IImu Sosial & Ilmu Politik Vol. 4, No 2, November 2000

dijaga dan didukung bukanlah semata-mata keberadaan media persbebas dan jurnalisnya, melainkan kebebasan pers. Soalnya, pers danjurnalis dapat terjerumus menjadi bagian dari "kejahatan" kekuasaan.Sedangkan gangguan terhadap kebebasan pers ini kerusakannya tidakhanya dilihat pada lingkungan suatu masyarakat, tetapi lebih juth dapatmerugikan pada tataran peradaban.

Dari sini dapat dibayangkan pentingnya upaya menjugukebebasan pers. "Musuh" yung mengancam kebebasan pers, pertamabersifat internal yaitu jurnalis dan pengelola media pers, berupapenyalahgunaan media p ers demi kep entingan-kep en lin gan p ra gma tispengelola media pers sendiri. Kedua bersifat eksternal yaitu darikekuasaan (negara dan modal) yang berpretensi menggunakan mediapers untuk kepentingannya, sehingga media pers bukan sebagai forumbebas bagi kebenaran, tetapi hanya menjadi alat untuk merekayasamasyarakat.

Era Reformasi dibicarakan dengan napas penuh harapan, yaituakan lahirnya kondisi yang terbebas dari struktur bersifat hegemonik,serta pola negara korporatis pun sudah hilang, digantikan denganstruktur demokratis. fika demokrasi mengandung makna independensidan otonomi dari berbagai institusi sosial dalam kehidupan publik,maka negara disangga oleh berbagai institusi yang memiliki tingkatkebebasan dan otonomi yang memiliki saling ketergantungan satu samalain. Setiap ketergantungan antar institusi ini hanya dapat berjalan jikadilandasi oleh proses negosiasi sosial. Sementara institusi masyarakatdalam kehidupan negara pada dasarnya digerakkan oleh wargamasyarakat yang memiliki peran publik. Demikianlah peran publikseseorang dapat dilihat dalam prosed negosiasi untuk mencapaikonsensus yang menjadi landasan setiap kerjasama.

Sebagai ilustrasi, kehidupan negara dalam prinsip otonomidaerah misalnya ditandai dengan negosiasi elit yang menjalankaninstitusi negara pada tingkat pusat, dengan elit dari institusi-institusipada tingkat daerah. Hasil dari daerah misalnya, tidak dapat secarasepihak dan sewenang-wenang disedot ke pusat oleh BAPPENAS dandepartemen kabinet rezim negara yang bercokol di pusat. Dari sini puladorongan bagi prinsip akuntabilitas (accountability) publik dalamkehidupan negara, dimana setiap orang yang memiliki peran publikdiuji terus-menerus oleh warga masyarakat. Dengan begitu negosiasi

186

Page 17: dianggap memiliki pikiran - UGM

Ashadi siregar, Media pers dan Negara: Keluar dari Hegemoni

hanya dapat berlangsung dalam kondisi saling mempercayar, sehinggafaktor kredibilitas personal menjadi prasyarat bagi setiap elit yangterlibat dalam proses sosial kehidupan publik.

Jika diringkas, seluruh proses sosial dalam tataran demokratisadalah negosiasi sosial, akuntabilitas setiap institusi negara, dankredibilitas personal setiap elit sosial dalam kehidupan negara. Dalamlatar semacam inilah kehadiran media pers (media jurnalisme)merupakan conditio sine qua non Seluruh proses sosial dalamkehidupan negara hanya akan dapat berjalan jika disangga olehkehadiran media jurnalisme yang menyediakan informasi faktual yangrelevan dalam kehidupan sosial. Akan tetapi tentunya hanya mediapers bebas dan memiliki otonomi kiranya yang dapat berfungsi dalarnkondisi ini. Pers Pembangunan ala Orde Baru yang bersifat top-downdengan sendirinya tidak punya tempat lagi,bahkan akan mengganggudalam proses negosiasi sosial. Pers dituntut untuk mampumenyampaikan fakta sosial secara obyektif, sehingga harus dapatdibedakan dengan tegas antara media pers sebagai institusi sosialdengan media pers yang menjalankan fungsi partisan. Informasisepihak pada dasarnya bersifat instruksional, tidak dapat membukakankemampuan personal dalam menilai fakta sosial. Informasi faktualmenjadi bahan baku bagi setiap elit sosial dalam menentukan posisidalam proses negosiasi sosial.

Era Reformasi diharapkan akan mengubah konfigurasimasyarakat sekaligus kualitas personal elit sosial. Secara makro,otonomi daerah akan menggerakkan berbagai insLitusi sosial yang adadi suatu wilayah. Tumbuh clan berkembangnya institusi sosial yangmemiliki independensi dan otonomi eikan memunculkan elit sosialdalam peran institusionalnya masing-masing. Lingkup dan skalaperannva akan menentukan tingkat negosiasi sosial yang harusdijalankannya. Pada situasi ini dia akan memerlukan informasi faktualyang relevan dan obyektif.

Di satu pihak kehidupan demokrasi menuntut kredibilitas elityang memiliki peran sosial. Pada pihak lain, menjadi tuntutan yangmutlak adanya media pers/jurnalisme yang punya kredibilitas. Tanpakredibilitas dari elit sosial dan media pers, seluruh proses sosial akanterganggu. Dengan demikian, media pers perlu "mengintai" trackrecord setiap elit untuk menilai kredibilitasnya. Transparansi dari

187

Page 18: dianggap memiliki pikiran - UGM

/umal llmu Sosial & tlmu Politik, Vol. 4, No Z November 2000

kehidupan publik dan moralitas elit menjadi bagian tidak terpisahkandalam penilaian atas kredibititas. Hal yang sama j,rgu berlaku dalammenilai keberadaan media jurnalisme. Pengawasan media (mediawatch) merupakan kegiatan yang tidak terpisahkan untuk menilaikredibilitas media jurnalisme.

Adapun paradigma keberadaan media pers dalam settingdemokrasi tidak lain untuk memenuhi fungsi imperatif y*g bersumberdari hak asasi warga masyarakat dalam memperoleh informasi bebasdi satu pihak, dan menyatakan pendapat secara bebas di pihak lain.Fungsi media massa adalah bersifat imperatif, yaitu muncul sebagaiimplikasi dari tatanan (ordefi masyarakat dan negara. Fungsi mediayang bersumber dari norma otoritarianisme dan/atau fasisme denganpengutamaan kepentingan elit penguasa, akan menjadikan mediajurnalisme menjalankan fungsi yang bersifat top-donzn untukkepentingan penguasa negara. Sebaliknya tatanan denganpengutamaan hak warga sebagaimana dikenal sebagai normademokrasi, media pers menjalankan fungsi imperatif untuk memenuhikepentingan warga masyarakat. Dengan demikian keberadaan mecliaiurnalisme perlu dilihat dari pilihan satu di antara perspektif dengan" state centered' atau " civi] centered". Perspekttf " civil centered' yingmenjadi landasan bagi tatanan masyarakat sipil atau masyaiakatkewarga an (civil society) kiranya sudah merupakan pilihan konseptualyang sesuai dengan dinamika tuntutan internal unluk kehidupandemokratis di satu pihak, dan penyesuaian diri secara eksternal denganarus global di pihak lain.

Lebih jauh pemikiran tentang media pers pada dasarnya adalahuntuk menjadikannya sebagai institusi kemasyarakatan, yangmenjalankan fungsi imperatif dari kepentingan warga dalam perspektifmasyarakat kewargaan (civil societfi.tJntuk itu basis keberadaan mediamassa adalah dari konsep kebebasan pers Qtress freedom) sebagaibagian dari norma untuk tatanan dalam kehidupan masyarakat dannegara. Kebebasan pers adalah sebutan populer untuk hak warga dalammembentuk dan menyatakan pendapat baik dalam konteks hasalahpublik maupun estetis.

Kebebasan pers tidak dapat berdiri sendiri, sebab hanyameruPakan salah satu dari norma-norma lainnya yang menjadi dasarbagi tatanan masyarakat kewargaan. Berbagai normi yang menjadi

188

Page 19: dianggap memiliki pikiran - UGM

Ashadi Siregar, Media Pers dan Negara: Keluar dari Hegemoni

basis bagi penyelenggaraan kelembagaan masyarakat dan negaradituntut memiliki kesamaan substansial, yaitu menghargai Hak AsasiManusia, suatu norma yang bersifat " civil Centered', sekaligusmelindunginya dari ancaman tindakan penguas ayangbersumber darinorma otoritarianisme baik kekuasaan politik berdasarkan komunisme

yang mengambil jalan ekonomi negara, mauPun kekuasaan politikfasisme yang mengambil jalan ekonomi Pasar.

Kebebasan pers dapat dilihat sebagai norma kultural yang

menjamin salah satu dimensi hak asasi manusia, yaitu hak manusia

untuk membentuk pendapatnya secara bebas. Dari sini munculpandangan, harus ada jaminan bahwa warga akan memPeroleh media

p"tr yaig diselenggarakan secara bebas.Untuk itu dapat dilihat pada

iatu pihik: tingginya tingkat kebebasan warga masyarakat untukrt

"-p"roleh informasi dan memiliki/menyatakan pendapaU kemudian

pada pihak lain: rendahnya tingkat pengendalian kekuasaan (negara

dut *odal) terhadap arus informasi yang sampai ke masyarakatsehingga dapat dihilangkan penghambat bagi warga masyarakat untukmemperoleh informasi dan memiliki/ menyatakan pendapat. Dengan

cara pandang ini keberadaan dan fungsi media pers dilihat dariperannya dalam memenuhi Hak Asasi Manusia (HAM) dan Hak Sipildan Politik (HSP) warga masyarakat, bukan dari fungsi yang berasal

dari kepentingan jurnalis atau pengelola media, atau dari kepentinganpihak lain yang mengendalikan media.

Jurnalisme pada hakekatnya menjadi landasan kerja dalammemproses fakta sosial untuk menjadi informasi yang disampaikankepada khalayak. Dengan orientasi semacam ini sumber kebenaranbersifat empiris, yaitu dari fakta sosial. Dengan demikian sumberkebenaran yang bersumber dari ideologi atau proses mental, menyalahiprinsip dalam dunia jurnalisme. Pengujian kebenaran hanyalah atas

' adanya fakta sosial. Dari sini muncul paradigma yang mendasarikeberadaan institusi pers yaitu segitiga f.akta/realitas publik -kebenaran - pers. Kalau pada era Orde Baru digembar-gemborkaninteraksi segitiga: pers - pemerintah - masyarakat, sebenarnya dapatdiartikan sebagai segitiga: kekuasaan negara - pers - masyarakat.Dengan dernikian sumber kebenaran adalah kekuasaan negara.

Fakta publik, kebenaran dan Pers merupakan bagian tidakterpisahkan dari kehidupan demokrasi. Lewat ketiga aspek ini warga

189

Page 20: dianggap memiliki pikiran - UGM

/umal llmu Sosial & IImu politik Vot. 4, No Z November2000

masyarakat dapat menghadirkan diri secara rasional dalam kehidupanP"91tk Logikanya sederhana saja, yaitu dengan informasi tentang fittapublik yang benar disampaikan oleh media jurnalisme secara obyektif,maka warga masyarakat dapat memproses diri secara rasional dalammembentuk pendapat tentang masalah publik Qtubtic opinion).Akumulasi diri ptot.t pembenlukan pendapat secara rasional inilahyang menjadi landasan bagi kehidupan publik warga masyarakat.

Masyarakat kewargaan (civil society) dapat dijelaskan dari sisidunia media jurnalisme ini, yaitu saat pendapat warga masyarakattentang masalah publik berproses secara rasional, dan lebih jauhkeputusan-keputusan dalam kehidupan publik diambil atas dasar akalsehat yang dibangun melalui dialektika dari berbagai pendapatkhalayak. Dengan demikian norma kebebasan pers merupakanprasyarat bagi seluruh proses demokratis dalam masyarakat negara@otith.

Pers bebas bukan berarti pekerja jurnalisme dan media persboleh bertindak semaunya. Untuk itu ada baiknya diingat hakLkatkebebasan yang memiliki dua dimensi, yaifu "bebas dari"_dan "bebasuntuk", dua hal yang pada hakekatntyatidaklah identik.tt

"Kebebasan dari" secara sederhana biasa ditempatkan dalamberhubungan dengan kekuasaan. Bagi institusi pers, kekuasaan dapatdigolongkan dua macam, eksternal dan internal. Kekuasaan bersifateksternal adalah yang ada di luar institusi pers, dapat berupa kekuasaannegara, ekonomi, dan sosial. Kekuasaan negara mewujud melaluibirokrasi negara sipil dan militer, kekuasaan ekonomi melalui duniausaha, sedang kekuasaan sosial melalui komunalisme komunitas dalammasyarakat. Berbagai kekuasaan memiliki kecenderunganmendominasi institusi pers.

Dalam berbagai kepustakaan masalah kebebasan pers selaludikaitkan dengan apa yang dapat dan harus diperoleh oleh jurnalis

ltuy pengelola media pers. Ini sebenamya berkaitan dengan pers bebas.Pada sisi lain sebenarnya perlu dilihat raison d'etre bagi kebebasanpers itu yang tidak hanya dikaitkan dengan eksistensi pers "bebasuntuk" bertindak , tetapi tebih jauh kepada hak masyarakat. Media pers

'' Fro** (1g7n,h.24

r90

Page 21: dianggap memiliki pikiran - UGM

Ashadi Siregar, Media Pers dan Negara: Keluar dari Hegemoni

sebagai institusi masyarakat dengan sendirinya bergerak atas dasarmelayani kepentingan masyarakat untuk mendapatkan informasipublik yang benar dan obyektif. Disinilah kelembagaan yang berfungsiuntuk mengawasi keberadaan media massa merupakan bagian tidakterpisahkan dalam norma kebebasan pers.

Fungsi Imperatif: Masyarakat-Media Pers

Pengawasan atas medra (media watch) perlu dilakukan denganmengingat tujuan akhir adalah untuk menjamin hak warga masyarakatuntuk tahu dan bereskspresi. Dengan demikian kegiatan ini merupakansisi lain dari kebutuhan dalam menegakkan dan menjaga kebebasanpers. Pengawasan media pada dasarnya untuk mengawasi agar mediamassa tidak menjadi saluran kekuasaan di satu pihak, dalam arti adanyapihak yang menggunakan kekuasaan media yang merugikan hakwarga masyaraka t. Pengawasan media dimaksudkan untukmemelihara jati diri media pers agar tetap sebagai institusi masyarakatdalam mewujudkan hak untuk tahu dan ekspresi.

Kegiatan pengawasan media biasanya dilakukan dalam tigatingkat, yaitu pertama oleh dan dari media sendiri, kedua dilakukanoleh lembaga profesi, dan ketiga oleh masyarakat. Pengawasan olehmedia sendiri biasanya dilakukan di lingkungan suatu organisasi/perusahaan media pers, dengan mengadakan kelembagaanombudsman yang bekerja secara independen menjalankan fungsimeneliti setiap penyimpangan yang dilakukan oleh pekerja profesionaldi media yang bersangkutan. Anggota ombudsman ini adalah personyang memiliki kredibilitas dan reputa$i sosial tinggi, yang dimintasecara khusus oleh media untuk memeriksa hasil kerya dan sekaligusprosedur ker;a dari pekerya profesional, jika teryadi keluhan atau protesdari warga masyarakat mengenai isi/muatan media.

Yang kedua, instansi yang melakukan pengawasan dariasosiasi/ organisasi profesi dimana pekerja profesional bergabung. Jugamelakukan pengujian atas hasil kerja dan prosedur kerja darianggotanya yang menjadi pekerja profesional di suatu perusahaanmedia, atas permintaan suatu perusahaan bersangkutan manakala adakeluhan atau protes warga masyarakat atas hasil kerja dari pekerjajurnalismenya. Dengan kata lain, perusahaan media meminta asosiasi

l9l

Page 22: dianggap memiliki pikiran - UGM

/umal llmu Sosial & Ilmu politik Vol. 4, No Z November 2000

profesi memeriksa anggotanya yang menjadi pekerja perusahaan mediamanakala dianggap telah merugikan warga masyarakat.

Yang ketiga, ditakukan oleh lembaga/institusi dalammasyarakat yang melakukan pengamatan terus menerus atas isi muatanmedia untuk menjaga hak warga masyarakat. Pengamatan ini dilakukanterus-menerus, ada atau tiaat ada keluhan atau protes masyarakat.Berbeda dengan ombudsmanbagrperusahaan media ataupun asosiasiprofesi, kelembagaan pengawasan media dari masyarakat dalamkerjanya tidak perlu meneliti standar prosedur kerja dari pekerjaprofesional. Pengawasan dapat dilakukan dengan konsentrasisepenuhnya atas irrformasi yang muncul di media, sehingga fungsinyalebih bersifat akademik untuk mengkritisi informasi media jurnalisme.Sementara pemeriksaan atas standar prosedur kerja pekerja jurnalismetidak perlu dijalankan, karena kelembagaan media watchmasyarakattidak mengeluarkan sanksi. Keberadaan lembaga media watchmasyarakat berbeda halnya dengan ombudsman suatu perusahaanmedia dan asosiasi profesi yang dalam setiap pengawasannya akanmengeluarkan rekomendasi berupa sanksi atas, atau pembebasan darikesalahan. Lembaga ombudsman perusahaan media dan asosiasiprofesi dijalankan secara terbuka, karenanya setiap rekomendasinyaharus diumumkan kepada masyarakat. Dari rekomendasi kerekomendasi yang dikeluarkan oleh lembaga ombudsmanyangpunyakredibilitas inilah "yurispredensi" norma kebebasan pers ditegakkandalam masyarakat.

sementara keberadaan institusi pengawasan media padadasarnya merupakan sebagian jawaban atas fungsi sosiologis dariimplementasi kebebasan pers. Sebagaimana diketahui, kebebasan persdi satu pihak dijawab melalui prinsip pers bebas, dan prinsipketerbukaan masyarakat serta akuntablitas pubtik. Dari dua sisi bersifatprinsipil ini, masyarakat memerlukan adanya institusi lainnya yangmenjalankan fungsi bagi terjaganya kebebasan pers. Dengan demikiankebebasan pers akan disangga oleh pers independen, sumber informasipublik terpercaya, dan kelembagaan masyarakat yang melakukanPengawasan atas independensi dan keterpercayaan sumber informasipublik. Dengan begitu kata kunci dari seluruh kelembagaan yangmendukung kebebasan pers adalah independensi dan kredibilitas-.Setiap komponen yang terkait dalam dimensi-dimensi kebebasan pers

192

Page 23: dianggap memiliki pikiran - UGM

Ashadi siregar, Media pers dan Negara: Keluar dari Hegemont

bergerak atas dasar independensi kelembagaan dalam bangunan sosial,dan lebih jauh kehadirannya sangat ditentukan oleh treaiUititasnyabagiwarga masyarakat.

Penutup

Demikianlah kebebasan kebebasan pers merupakan normakultural yang mendasari seluruh dimensi kehidu pan polity. Pertanyaanmendasar yang selalu mengikuti kebebasan pers akan bersifat multidimensi: apakah tersedia ruang sosial yang bersifat terbuka danberdasarkan prinsip akuntabilitas publik; apakah sikap dan pendapatwarga masyarakat diperhitungkan dalam proses pengambilankeputusan publik; apakah warga masyarakat dapat membentukpendapatnya secara rasional atas dasar kebenaran faktual; apakahwatga masyarakat memperoleh informasi bebas sebagai dasarpembentukan pendapafryu; apakah media jurnalisme menjalankanfungsinya secara bebas dan obyektif dalam melayani wargamasyarakat?

Pertanyaan-pertanyaan di atas hanya dapat dijawab olehseluruh pihak daiam kehidup an polity,bukan hanya oleh pekerla pers.Masalahnya, diperlukan norma kultural dalam politik yang mendasarikehidupan publik. Kiranya masih panjang jalan yang harus ditempuh.Di antaran)'a mendefinisikan dalam kehidupan publik sejumtah konsepyang menjadi landasan kebebasan pers. Norma budaya politik dari sisihukum misalnva, bukan hanya mengatur kehidupan media pers, tetapilebih jauh, diperlukan undang-undang yang mengatur dan menjaminaspek-aspek kehidupan publik antara lain:

Pertama, aspek yang berkaitan dengan proses fakta publikmenjadi informasi media massa. Disini perlu dilihat pada satu sisi sejauhmana pelaku profesi media massa terjamin dalam menjalankankewajibannya dalam mencari fakta-fakta bersifat publik yang dapatdijadikan informasi media massa; dan pada sisi lainnya sejauh *i.rupula pelaku/ aktor yang memiliki peran publik berkewajiban untukmemberikan fakta dibawah kewenangannya kepada pelaku profesimedia massa untuk dijadikan informasi media massa.

Kedua, menyangkut aspek proses informasi media massakepada masyarakat: yaitu sejauh mana warga masyarakat terjamin

t93

Page 24: dianggap memiliki pikiran - UGM

/umal IImu Sosial & Ilmu Politik Vol. 4, No Z November 2000

haknya mendapat informasi publik bersifat obyektif yang tidakdirekayasa oleh kepentingan pihak yang berkuasa (negara, modal,komunal, dan pengelola media massa), melalui diversitas media massa;dan pada sisi lain sejauh mana pihak yang berkuasa berkewajiban untukmenyampaikan informasi publik bersifat obyektif melalui diversitasmedia massa.

Ketiga, aspek-aspek menyangkut proses menyatakan pendapatmasyarakat: pada satu sisi sejauh mana warga masyarakat terjaminhaknya untuk menyatakan pendapabrya, baik dalam bentuk informasipublik maupun estetik, melalui diversitas media massa; dan pada sisilainnya sejauh mana pengelola media massa berkewajiban untukmenampung pendapat warga masyarakat.

Seluruh aspek pada dasarnya bersifat resiprokal, antara mediamassa dengan sumber informasi publik, antara warga masyarakat dansumber informasi publik, dan antara media massa dan wargamasyarakat. Untuk ketiga aspek ini dibayangkan adanya undang-undang yang mengahrr dan menjamin kebebasan pers. Dengan normahukum yang menjadi landasan dalam norma kultural dalam kehidupanpublik, diharapkan terwujud pers bebas, akuntabilitas publik, danketerbukaan masyarakat.

Pekerja media jurnalisme hanya dapat menjawab sebagian,berkaitan dengan upaya menjalankan pers bebas. Media pers dianggapdapat memberi pencerahan, yaitu saat warga masyarakat dapatmemiliki pendapat yang dibentuk secara rasional, dan diaktualisasikanpula secara rasional. Alam rasionalitas ini merupakan landasan darikehidup an polity, dan disinilah media pers mengambil tempat yangsangat vital, sejauh mana mampu memberi pencerahan pada wargamasyarakat yang akan memasuki era keterbukaan dan demokrasi, yang

20 Diversitas (keberagaman) media massa merupakan prasyarat yang mendukungkeberagaman dalam masyarakat demokratis. Demokrasi ditandai dengan keberagamandan ko-eksistensi berbagai entitas atas dasar rasionalitas, dan untuk ini diperlukan normakultural yang menghargai perbedaan dalam keberagaman. Ini dimulai dari diversitas dalammasyarakat, sekaligus peniadaan monopoli yang bersumber dari kekuasaan negara, modal,komunitas komr:nal, termasuk juga monopoli melalui media massa.

194

Page 25: dianggap memiliki pikiran - UGM

Ashadi Siregat Media Pers dan Negara: Keluar dari Hegemoni

menjadi c:rt civil society. Akan tetapi untuk itu memang pekerjajurnalisme itu sendiri masih perlu dipertanyakan, apakah dia sejak awalsudah tercerahkan sebagai bagian dalam alam rasionalitas yang menjadidataran bagi kebebasan pers? Disini standar profesional pekerjajurnalisme perlu dipertanyakan, apakah hanya bergerak dalam aspekteknis (technicalities) yang berguna dalam lingkup manajemen yangdiorientasikan kepada pasar (marketing oriente{, ataukahmenempatkan operasi tugasnya dalam dataran kultural sehinggamenjadi suatu kerya intelektual. ***

Daftar Pustaka

Dhakidae, Daniel, (7997), The State, the Rise of Capital and the Fall ofPolitical /ournalism, Political Economy of Indonesian NewsIndustry, Cornell Universiry, Ithaca (disertasi PhD).

Fromm, Erich, (7977), Lari dari Kebebasan, terlemahan Kamdani,Penerbit Pustaka Pelajar, Yogyakarta.

Gramsci, Antonio (1991), Selections from Prison Notebooks, Lawrenceand Wishart, New York.

Herman, Edward S., dan Chomsky, Noam (1988) Manufacturing Con-sent: The Political Economy of the Mass Media, PantheonBooks, New York.

Hill, David T., (1994) ThePress in New Order Indonesia, University ofWesteren Australia Press - Asia Research Center on Social,Political and Economic Change Murdoch University, Perth.

McQuail, Denis, (7989), Teori Komunikasi Massa, (edisi kedua)terjemahan Dharma dan Ram, Penerbit Erlangga, Jakarta.

Mohamad, Goenawan (7995), 'Pengantar' dalam Bambang Bujono, PutuSetia, dan Toriq Hadad, (eds). Mengapa Kami Menggugat,Yayasan Alumni Tempo, Jakarta

Orwell, George, (7949), 1984 (Nineteen Eighty Four), A Signet Book,New York

195

Page 26: dianggap memiliki pikiran - UGM

/umal IImu Sosial & IImu Politik, Vol. d No 2, November 2000

Rogers, Everett M., (L983), Diffusion of Innovations, (third edition) TheFree Press, New York

Siregar, Ashadi, (7995),'Pers, Negara, dan PTUN,' dalam Bambang' Bujono, Putu Setia, dan Toriq Hadad, (eds.) Mengapa KamiMenggugaf, Yayasan Alumni Tempo, Jakarta

Smith, Edward C. (1983), Sejarah Pembreidelan Pers di Indonesia,terjemahan Atmakusumah, Penerbit Grafiti Pers, Jakarta

Soeharto (tt), Pikiran, ucapan dan tindakan saya, otobiografi sepertidipaparkan kepada G. Dwipayana dan Ramadhan KH,Penerbit PT Citra Lamtorogung Persada, jakarta

Surjomihardjo, Abdurahman, ed., (L980) Beberapa Segi PerkembanganSejarah Pers di Indonesia, DEPPEN RI dan LEKNA$LIPI,]akarta

t96