dies natalis emas ke-51 perbanas institute seminar
TRANSCRIPT
No. Authors Title No. Abstract Klasifikasi Tema Paper
43Rizki Jodiansyah Ramadhan and
Markonah Markonah
PENGARUH KINERJA LINGKUNGAN DAN KEPEMILIKAN ASING TERHADAP KINERJA
KEUANGAN DENGAN PENGUNGKAPAN CSR SEBAGAI VARIABEL INTERVENING
(Studi Kasus pada Perusahaan Manufaktur Yang Terdaftar di Bursa Efek Indonesia)
SNAP_2019_Abstract_45Accounting, Finance &
Tax
44Mohamad Ridwan Soleh Ruslan Syafii
and Markonah Markonah
PENGARUH GAYA KEPEMIMPINAN, BUDAYA ORGANISASI, DAN LINGKUNGAN
KERJA TERHADAP KINERJA KARYAWAN (STUDI KASUS PADA PT. BANK MANDIRI
(PERSERO)TBK. CABANG JAKARTA MANGGA DUA)
SNAP_2019_Abstract_46 Human Capital
45Berna Ratna Sari, Muhammad Hasymi
and Nurul Inayati IriantiAnalisa Ketepatwaktuan Publikasi Laporan Keuangan di Bursa Efek Indonesia SNAP_2019_Abstract_47
Accounting, Finance &
Tax
46 Mahesa Rizki Perdana
PENGARUH STRUKTUR DEWAN DIREKSI DAN KOMITE AUDIT TERHADAP
PROFITABILITAS PERUSAHAAN FARMASI DENGAN WORKING CAPITAL
MANAGEMENT SEBAGAI VARIABEL INTERVENING – PERIODE 2014-2018
SNAP_2019_Abstract_48Accounting, Finance &
Tax
47 Hermawan BudiwibowoTHE INFLUENCE OF FINTECH ON BANKING AND FINANCIAL INCLUSIONS
DEVELOPMENT IN INDONESIASNAP_2019_Abstract_49
ECONIMICS
MANAGEMENT &
BANKING
48 Rara Aprilliani and Taufiq Akbar
Pengaruh Time Pressure, Prosedur Review , dan Turnover Intentions Terhadap
Penghentian Prematur Prosedur Audit Pada Kantor Akuntan Publik (Kap) Di DKI
Jakarta
SNAP_2019_Abstract_50Accounting, Finance &
Tax
49 Yulianto Syafiq Kamal and Diah Ernawati
PENGARUH PERSEPSI KEMUDAHAN, PERSEPSI KEGUNAAN, DAN KESIAPAN
TEKNOLOGI INFORMASI TERHADAP MINAT WAJIB PAJAK (WP) PRIBADI
MENGGUNAKAN E-FILING PADA KPP PRATAMA JAKARTA KEBAYORAN BARU TIGA
SNAP_2019_Abstract_51Accounting, Finance &
Tax
50 Saripudin SaripudinANALISA PENERIMAAN QRIS PAYMENT SEBAGAI STANDAR ALAT PEMBAYARAN
NON TUNAI DENGAN MODEL TECHNOLOGY ACCEPTANCE MODEL (TAM)SNAP_2019_Abstract_52 IT Innovation
51 Fadhilah Rahman and Deden Prayitno PENERAPAN BUSINESS INTELLIGENCE UNTUK PINJAMAN ONLINE PADA PT. XYZ SNAP_2019_Abstract_53 IT Innovation
52Reny Fitriana Kaban, Puji
Hadiyati and Wiwiek Prihandini
EFEKTIVITAS PELATIHAN E-COMMERCE TERHADAP PENINGKATAN WIRASUSAHA
SANTRISNAP_2019_Abstract_54 Other
53 Yuni Prihatiningsih and Imam WahyudiINTERAKSI BUDAYA ORGANISASI DAN SISTEM PENGENDALIAN MANAJEMEN –
STUDI KASUS PERBANAS INSTITUTE JAKARTASNAP_2019_Abstract_55
Accounting, Finance &
Tax
54 Stefanus Sadana and Firly AgustianiANALISIS KINERJA KARYAWAN DENGAN LEVERAGE MAJEMEN TALENTA: Studi
Kasus pada Bank Rakyat IndonesiaSNAP_2019_Abstract_56 Human Capital
55 Reny Fitriana Kaban and Selamet RiyadiSTRATEGI MENGATASI DEFISIT NERACA TRANSAKSI BERJALAN MELALUI
PROFESIONALISME PEKERJA MIGRAN INDONESIASNAP_2019_Abstract_57
ECONIMICS
MANAGEMENT &
BANKING
DIES NATALIS EMAS KE-51 PERBANAS INSTITUTE
SEMINAR NASIONAL PERBANAS INSTITUTE 2020 (SNAP 2020)
“Banking Industry Development through Innovation and Digitalization:
Strategy to cope with Global Economic Slow Down and Domestic Economic Risks
DAFTAR ABSTRAK CALL FOR PAPER RABU, 11 MARET 2020
SNAP CONFERENCE – PERBANAS INSTITUTE JAKARTA 2020
INTERAKSI BUDAYA ORGANISASI, KEKUASAAN DAN SISTEM
PENGENDALIAN MANAJEMEN – STUDI KASUS PERBANAS
INSTITUTE JAKARTA
Yuni Prihatiningsih
Asian Banking-Finance & Informatics Institute of Perbanas Jakarta
Imam Wahyudi
Asian Banking-Finance & Informatics Institute of Perbanas Jakarta
ABSTRAK
Penelitian ini bertujuan untuk memahami dan menganalisis sistem pengendalian manajemen yang diterapkan di sebuah organisasi yang tidak-berorientasi laba (not-for-
profit organization) yaitu sebuah institusi pendidikan dengan fokus analisis pada interaksi antara kekuasaan, budaya, dan perbedaan perspektif antar anggota organisasi dengan system pengendalian manajemen. Penelitian ini adalah penelitian kualitatif eksplanatoris dengan pendekatan etnografi yang memberikan penjelasan secara rinci
mengenai fenomena yang ada pada kasus yang diteliti. Studi kasus ini diselenggarakan di ABFI Institute Perbanas Jakarta pada tahun 2009. Data penelitian sebagian besar berasal dari keterlibatan peneliti dengan subyek penelitian dan wawancara untuk mengkonfirmasi pemahaman subyektif peneliti serta data sekunder berupa dokumen-
dokumen administrative internal. Hasil penelitian ini mengindikasikan bahwa sistem pengendalian manajemen yang ada tidak berjalan efektif karena anggota organisasi termasuk pimpinan tidak menjalankan sistem pengendalian tersebut. Pengendalian output – anggaran – berfungsi sebagai simbol rasionalitas tindakan daripada sebagai alat
perencanaan dan pengendalian keuangan. Budaya paternalistik dan distribusi kekuasaan di dalam organisasi nampaknya membuat anggota organisasi tidak taat untuk menjalankan sistem pengendalian yang ada ketika pimpinan organisasi sendiri ternyata tidak mampu memberikan contoh untuk taat pada sistem tersebut.
Kata kunci: Budaya Organisasi, Kekuasaan, Sistem Pengendalian Manajemen, Organisasi Not-For-Profit, Perbanas
Pendahuluan
Sistem pengendalian di dalam manajemen organisasi tidak dapat dilepaskan dari
konteks perilaku dan budaya (Flamholtz, 1983; Ansari dan Bell, 1991; Hauriasi dan
Davey, 2009; Agbejule, 2011; Zhang et al, 2015; ) karena hal itu merupakan cerminan
budaya dari organisasi (Hoftstede, 1981). Nilai dan norma-norma yang tertanam dalam
budaya dari sebuah organisasi atau masyarakat akan mempengaruhi praktik-praktik
akuntansi dan pengendalian manajemen (Ansari dan Bell, 1994).
Perguruan tinggi sebagai institusi tempat berinteraksinya pelajar dan intelektual
yang menyelenggarakan tridharma perguruan tinggi yaitu pendidikan dan pengajaran,
penelitian, serta pengabdian kepada masyarakat tidak lepas dari masalah tersebut.
Beberapa kasus perselisihan dan pertikaian antara manajemen Perguruan Tinggi Swasta
(PTS) dengan pihak Yayasan sebagai pemilik formal PTS pada umumnya bermuara
kepada masalah pengendalian manajemen dan keuangan.
Meskipun demikian, tidak banyak penelitian tentang informasi akuntansi dan
pengendalian manajemen dalam lingkungan perguruan tinggi. Beberapa diantaranya
adalah Covaleski & Dirsmith (1988); Umashankar & Dutta (2007) dan Wahyudi (2009;
2010). Penelitian Wahyudi (2009) misalnya, menemukan bahwa sistem pengendalian
manajemen lebih menekankan pada keberhasilan fisik daripada keuangan. Proses
penyusunan dan pencairan anggaran bukan lagi menjadi alat sistem pengendalian
manajemen tetapi menjadi sarana pimpinan perguruan tinnggi untuk membangun
loyalitas anak buah pada atasan. Anggaran berubah fungsi menjadi sebuah simbol
rasionalitas dan mitos.
Penelitian ini bermaksud untuk melakukan kajian sistem pengendalian yang
berlaku di ABFI Institute Perbanas Jakarta. Penelitian difokuskan pada aspek distribusi
kekuasaan yang berbasis pada negosiasi politik dan budaya di dalam organisasi yang
ternyata mempengaruhi sistem pengendalian yang berlaku di organisasi tersebut.
Sistem Pengendalian Manajemen
Sistem informasi akuntansi merupakan satu bentuk pengendalian (Abernethy dan
Vagnoni, 2004). Fokus organisasi pada masalah pengendalian meningkat karena adanya
ketidaksesuaian antara tujuan dengan bagaimana cara mereka mencapai tujuan
organisasi (Flamholtz, 1983). Organisasi merupakan kumpulan individu sehingga
organisasi dapat dilihat sebagai entitas, dimana individu atau kelompok mempunyai
pandangan dan kepentingan yang berbeda sehingga organisasi dapat dilihat sebagai
tempat aktivitas politik individu di dalamnya (Christiansen dan Skaerbaek, 1997).
Pengendalian mengacu pada semua perencanaan organisasi baik formal maupun
informal yang dirancang untuk mencapai tujuan organisasi (Ansari dan Bell, 1991). Di
dalam prosesnya, Reed (2001) menekankan pengendalian sebagai “a co-ordinating
mechanism based on asymmetric relations of power and domination in which conflicting
instrumental interests and demands are the overriding contextual considerations”.
Proses politik, dengan demikian, memegang peranan yang penting karena system
pengendalian manajemen merupakan suatu mekanisme tempat berbagai kepentingan
dinegosiasikan yang melibatkan proses politik (Burchell et al., 1980; Covaleski dan
Dirsmith, 1988, Wahyudi, 2004).
Perilaku pimpinan organisasi dan budaya organisasi dan masyarakat (Flamholtz,
1983; Ansari dan Bell, 1991) akan menentukan sistem pengendalian organisasi itu
(Hoftstede, 1981) Nilai-nilai dan norma-norma yang tertanam dalam budaya sebuah
organisasi dan/atau masyarakat akan mempengaruhi praktik-praktik akuntansi dan
sistem pengendalian.
Budaya Organisasi
Mempelajari budaya melibatkan suatu studi tentang makna yang diciptakan,
dipelihara dan ditransmisikan oleh manusia (Ott, 1989). Hofstede menyatakan bahwa
budaya harus dilihat sebagai fenomena kolektif yang “at least partly shared with people
who live or lived within the same social environment, which is where it was learned ”
(1997, p. 5; lihat juga Shate,1983). Hal itu yang membedakan anggota dari suatu
kelompok atau organisasi dari kelompok atau organisasi lainnya (Robbins,1992).
Lingkungan budaya, dengan demikian, akan mempengaruhi perilaku manusia di
sekitarnya. Proses adaptasi tersebut menciptakan cara bertindak yang disepakati bersama
yang kadang-kadang semata-mata bersifat ritual (Grandlund and Lukka, 1998, p.188).
Sebagai contoh, dalam rangka menyesuaikan dengan lingkungan budaya, suatu
organisasi secara simbolik mengadopsi sistem tertentu – sistem informasi akuntansi –
dengan tujuan untuk mendapatkan legitimasi (lihat, sebagai contoh: Covaleski et al,
1993; Carpenter and Feroz, 1992 and 2001).
Melalui penentuan norma perilaku dan kinerja baik/buruk (Dent, 1991, p. 706),
penyemaian symbol (mitos misalnya) yang dilengkapi dengan ritual (Martin et al, 1983),
sebuah budaya dibangun di dalam organisasi. Hal ini sesuai dengan konsep budaya
organisasi yang digunakan oleh Deshpande and Webster (1989, p. 14) yang merujuk
kepada “unwritten, the formally decreed, and what actually takes place; it is the pattern
of shared values and beliefs that helps individuals understand the functioning of the firm
and thus provides the norms for behaviour in the firm”. Fokusnya dengan demikian
adalah pada kekuatan-kekuatan informal di dalam organisasi yang secara luar biasa
mempengaruhi perilaku manusia dibandingkan sistem formal.
Sistem formal yang ada di dalam organisasi sering tidak semata-mata persoalan
teknik-rasional karena individu di dalam organisasi memiliki bahasa komunikasi yang
tertanam di dalam “a cultural system of ideas (beliefs, knowledge) and sentiments
(values), in which actions and artifacts are vested with symbolic quality of meaning”
(Dent, 1991, p. 706). Praktek akuntansi, sebagai contoh, di dalam sistem pengendalian
organisasi (Meyer and Rowan, 1977) sering digunakan sebagai a symbolic rationality
dan mitos (lihat, sebagai contoh: Berry et al, 1985; Covaleski and Dirsmith, 1988;
1993).
Budaya, dengan demikian, adalah sistem berbagi pemahaman yang berkembang
melalui interaksi sosial dan terlihat pada penggunaan bahasa dan simbol-simbol lainnya
yang dianggap sebagai nilai dan pola yang diterima anggota organisasi sehingga akan
mengarahkan perilaku mereka. Maka, budaya dapat dilihat sebagai faktor kontijensi
dalam perancangan organisasi dan yang membedakan satu organisasi dari organisasi
lainnya.
Budaya organisasi merupakan poin awal dari rancangan sistem pengendalian
organisasi, karena budaya menentukan sifat dari komponen lainnya. Budaya yang
berdasarkan nilai dan norma yang diterima dari setiap individu akan mempengaruhi
struktur organisasi dan akan mempengaruhi peran dari setiap anggota organisasi dan
SOP (standar operasi dan prosedur). Budaya dan struktur organisasi selanjutnya akan
mempengaruhi sistem pengukuran (measurement system) organisasi (Flamholtz, 1983).
Robbins (1992:257) mengemukakan bahwa “the founders of an organization
traditionally have a major impact on that organization’s early culture, because they
have a vision of what the organization should be”. Hal tersebut menyebabkan, “once
established, culture rarely fades away”. Budaya tidak mudah berubah disebabkan
adanya upaya untuk mempertahankan keberadaannya lewat proses seleksi karyawan,
tindakan manajemen puncak membangun norma organisasi dan sosialisasi
Kekuasaan/Kewenangan (Power)
Kekuasaan memiliki konotasi yang berbeda (Lukes, 1974; Clegg, 1989 dalam
Christiansen dan Skaerback, 1997). Menurut Encarta Encyclopedia, “power is authority
and control over other people and their actions”, “a dependence relationship” (Robbins
(1992:155), “control or influence over the actions of others to promote one’s goals
without their consent, against their will or without their knowledge or understanding ”
(Buckley, 1967 dalam Grimes, 1978).
Christiansen dan Skaerback (1997) mendeskripsikan kekuasaan sebagai “…the
capability of one actor or group of social actors to control resources (e.g. other actors),
and that power is reflected in the ability to overcome resistance in achieving a desired
objective or result”. Dengan demikian, aspek utama kekuasaan adalah ketergantungan
(dependence) sehingga seseorang dapat mengendalikan orang lain untuk dapat
melakukan keinginan pemilik kekuasaan tersebut. Dengan demikian, kekuasaan
mengacu pada “the ability of an individual to influence organization decisions and
activities in ways that are not sanctioned by the formal authority of the system”
(Alexander dan Morlock, 2000; Kotter, 1985 dalam Abernethy dan Vagnoni, 2004).
Mengutip beberapa sumber, Covaleski dan Dirsmith (1988) menjelaskan bahwa
kekuasan secara umum mengandung dua hal penting yaitu: (1) kekuasaan untuk
menentukan dasar pemikiran – norma-norma dan standar-standar untuk membentuk dan
mengarahkan perilaku; dan (2) kekuasaan untuk membatasi struktur birokrasi yang
memadai agar kebijakan yang dibuat tidak dipertanyakan.
Kekuasan dengan demikian saling berkaitan dengan dan kepemimpinan meskipun
keduanya berbeda (Robbins, 1992). Pemimpin menggunakan kekuasaan untuk mencapai
tujuan organisasi. Para pemimpin bertindak untuk mencapai tujuan, dan kekuasaaan
merupakan alat untuk memfasilitasi pencapaian tujuan tersebut. Kekuasaan bukan
ditujukan untuk mencapai tujuan, namun lebih dekat pada ketergantungan. Sedangkan
kepemimpinan membutuhkan keselarasan antara tujuan pemimpin serta cara memimpin
sehingga lebih menekankan pada gaya kepemimpinan.
Robbins (1992) membedakan basis kekuasaan menjadi beberapa kategori. Coercive
power – kekuasaan timbul karena hukuman, reward power – kepatuhan karena
mengharapkan hadiah, persuasive power – kekuasaan karena kemampuan
memanipulasi simbol status dan norma sosial, serta knowledge power – kekuasaaan
karena kemampuan mengendalikan dan menggunakan informasi penting. Sedangkan
ditinjaau dari sumbernya, kekuasaan mungkin diperoleh karena: posisi/kedudukan di
dalam organisasi – position power, karakter individu – personal power, keahlian –
expert power, kesempatan – opportunity power (Robbins, 1992).
Pemegang kekuasaan dalam hirarkis organisasi pada dasarnya berada pada posisi
dan memiliki otoritas tertinggi. Dengan kekuasaan, individu dapat menjalankan
kebebasan untuk membangun koalisi dengan kelompok kepentingan lain di dalam
organisasi, mendistribusikan kekuasaan ke pihak lain, dan menggunakan informasi
untuk mempertahan kekuasaannya (Markus dan Pfeffer, 1983). Dalam konteks inilah
politik kekuasaan mengambil peran dan informasi akuntansi memiliki perannya.
Akibatnya, budaya organisasi akan mempengaruhi dan pada saat yang sama dipengaruhi
sistem pengendalian akuntansi dan praktik akuntansi (Ansari dan Bell, 1994).
Metode Penelitian
Karena kompleksnya fakta-fakta sosial, ilmu sosial termasuk akuntansi tidak seharusnya
senantiasa mengadopsi metodologi yang digunakan oleh ilmu alam - hypothetico-
deductive methodology (Wahyudi, 1997). Fakta-fakta sosial ini, menurut Cohen (1953)
dalam Wahyudi (1997) memiliki karakter yang “…less repeatable characters, … less
direct observability, … greater variability and lesser uniformity, and …greater difficulty
of isolating one factor at a time.” Hal inilah yang mengakibatkan fakta sosial sulit
dipisahkan antara satu dengan lainnya. Dengan demikian, penelitian ini meyakini bahwa
akuntansi adalah ilmu sosial sehingga penelitian aakuntansi perlu dilakukan di dalam
konteks organisasi dan sosial (Hopwood (1978; Laughlin, 1995; Tomkins and Groves,
1983).
Penelitian ini adalah penelitian kualitatif yang adalah merupakan “tradisi tertentu
dalam ilmu pengetahuan social yang secara fundamental bergantung pada pengamatan
pada manusia dalam kawasannya sendiri dan berhubungan dengan orang-orang tersebut
dalam bahasa dan peristilahannya” (Kirk dan Miller ,1986 dalam Moleong, 2002:3)
Sedangkan strategi yang digunakan dalam penelitian ini adalah studi kasus.
Tujuannya adalah memberikan gambaran secara mendetail tentang latar belakang, sifat-
sifat, serta karakter-karakter yang khusus, ataupun status dari individu, yang kemudian
sifat-sifat khas diatas dijadikan suatu hal yang bersifat umum. Penelitian ini merupakan
studi kasus tunggal di ABFII Perbanas pada Agustus sampai Nopember 2009.
Data primer diperoleh lewat wawancara dengan informan dan pengamatan serta
keterlibatan peneliti pertama sebagai maahasiswa. Wawancara dilakukan terhadap
sebelas orang responden dilakukan dengan wawancara terbuka dalam suasana informal.
Sedangkan pengamatan langsung dilakukan dalam interaksi keseharian peneliti sebagai
mahasiswa dan dosen. Wawancara dan pengamatan langsung dilakukan untuk
meyakinkan dan mengkonfirmasi tingkat kepercayaan data-data sekunder yang
digunakan yang meliputi dokumen-dokumen administrasi organisasi.
Analisis data dilakukan sejak pengumpulan data dilakukan dan dikerjakan secara
intensif sesudah meninggalkan lapangan. Proses analisis data dimulai dengan menelaah
seluruh data tertulis hasil wawancara dan pengamatan yang sudah dituliskan dalam
catatan lapangan, pengalaman peneliti sebagai mahasiswa serta data sekunder. Semua
data tersebut direduksi dalam bentuk abstraksi data.
Tahap akhir dari analisis data ini adalah mengadakan pemeriksaan keabsahan data.
Kriteria pemeriksaan keabsahan data terdiri atas kepercayaan (credibility), keteralihan
(transferability), kebergantungan (dependability), dan kepastian (confirmability).
Masing-masing criteria tersebut menggunakan teknik pemeriksaan sendiri. Kriteria
kredibilitas pemeriksaan datanya dilakukan dengan teknik perpanjangan keikutsertaan,
ketekunan pengamatan, triangulasi, pemeriksaan sejawat melalui diskusi, kecukupan
referensial, kajian kasus negatif, dan pengecekan anggota. Kriteria kebergantungan dan
kepastian pemeriksaan dilkukan dengan teknik auditing.
Setelah selesai tahap keabsahan data, maka proses yang terakhir adalah dengan
melakukan penafsiran data. Namun analisis data itu sendiri terjalin dengan tahap
penafsiran data. Data ditafsirkan menjadi kategori yang berarti sudah menjadi bagian
dari teori dan dilengkapi dengan penyusunan hipotesis kerjanya sebagai teori yang nanti
diformulasikan, baik secara deskriptif maupun proporsional.
Deskripsi Objek Penelitian dan Pengendalian Manajemen
Pada tanggal 19 Februari 1969 Yayasan Pendidikan Perbanas (YPP) didirikan
secara resmi sebagai badan hukum. YPP adalah sebuah yayasan pendidikan yang
didirikan dan dimiliki oleh Perhimpunan Bank-bank Nasional (Perbanas). Kemudian,
YPP mendirikan Akademi Ilmu Perbankan (AIP) dengan didasarkan pada kebutuhan
atas tenaga operasional perbankan yang cukup tinggi kala itu. AIP hanya terdiri dari satu
jurusan yaitu manajemen keuangan dan perbankan. Sebagai institusi pendidikan yang
baru, AIP mengalami kesulitan untuk mendapatkan mahasiswa baru. Karena
menghadapi kesulitan keuangan, pada Oktober 1974 YPP merombak anggota pengelola
dengan menerima dua pendatang baru sebagai ketua dan bendahara YPP. Posisi
bendahara YPP kemudian dipegang oleh Thomas Soeyatno (TS) sekaligus ditunjuk
sebagai wakil direktur AIP.
Keterlibatan TS terus berlangsung dan menjadi individu yang paling dominan di
dalam mengembangkan sekolah sampai tahun 1998. Berturut-turut posisi manajerial di
lembaga pendidikan yang diduduki TS adalah – tahun 1982 sampai 1985 diangkat
sebagai direktur AIP, tahun 1985 AIP berubah menjadi Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi
(STIE) Perbanas dan TS menjadi ketua dari 1985 sampai 1994. Pada saat yang sama
sejak tahun 1974 TS secara aktif terlibat di Perbanas sebagai wakil sekretaris jendral
(1974-1982), kepala urusan organisasi (1982-1985), kepala penelitian-pengembangan
dan pendidikan (1985-1988), sekretaris jendral (1988-1994), wakil ketua umum (1994-
1997). Selain itu ia terlibat secara aktif di YPP sebagai bendahara sejak 1974 ketika
menjabat sebagai wakil direktur AIP sampai 1993, sekretaris YPP (1993-1995), wakil
ketua YPP (1995-1999) dan pejabat eksekutif pelaksana harian YPP.
Posisi TS di Perbanas, YPP dan sekolah menjadikan dirinya memegang
kekuasaan tunggal tanpa perlu persetujuan pihak lain di dalam pengembangan lembaga
pendidikan. Dalam pengambilan keputusan-keputusan keuangan yang berhubungan
dengan sekolah, TS dapat mengendalikan keuangan sepenuhnya. Mekanisme
manajemen dari perencanaan, eksekusi dan pengendalian sepenuhnya ada di tangan TS
sehingga dominasinya pada manajemen sekolah adalah mutlak (Wahyudi, 2009).
Mekanisme pengendalian secara langsung ke lapangan lebih banyak dilakukan
dengan tujuan untuk memastikan bahwa aktivitas telah dilakukan dengan benar dan
lengkap. Praktik ini menggambarkan bahwa TS berhasil membangun symbolic power
dan symbolic action (Wahyudi, 2009). Dikatakan symbolic power karena TS
membangun nilai-nilai untuk mengukur kinerja dan mengendalikan aktivitas unit
organisasi yang diterima secara luas oleh staf. symbolic action adalah bahwa hal itu
menjadi bagian dari kepemimpinan sehari-hari dimana pengendalian didasarkan pada
nilai-nilai dan ide-ide TS yang harus diterima staf. Praktek manajemen ini
terinternalisasi di alam bawah sadar seluruh staf sehingga menjadi budaya organisasi.
Sistem informasi akuntansi merupakan satu bentuk pengendalian (Abernethy dan
Vagnoni, 2004). Fungsi sistem akuntansi diimplementasikan dalam organisasi
(Abernethy dan Vagnoni, 2004) untuk (a) memfasilitasi pengambilan keputusan atau
yang biasa disebut sebagai keputusan manajemen, karena akuntansi memberikan
informasi kepada manajemen untuk mengurangi ketidakpastian; dan (b) untuk
mengendalikan perilaku (behavior). Hal ini didasarkan pada asumsi bahwa individu
tidak bertindak untuk kepentingan organisasi melainkan untuk kepentingan mereka
sendiri.
Sejak berakhirnya dominasi TS pada tahun 1999 posisi YPP terpisah dari
sekolah. YPP menjalankan fungsi pengawasan melalui Badan Pelaksana Harian (BPH)
yang bertugas melaksanakan kegiatan sehari-hari YPP. Pengawasan memang dilakukan
YPP dengan adanya evaluasi kinerja pimpinan STIE Perbanas. Hal itu terus berlanjut
sampai dengan setelah terjadinya merger antara STIE dengan STIMIK Perbanas tahun
2007 menjadi ABFII Perbanas (Perbanas Institute). Sedangkan YPP melaporkan hasil
kerjanya dan bertanggungjawab pada pengurus asosiasi Perbanas.
Anggaran
Fungsi YPP sebagai pengawas sangat ditekankan pada masalah keuangan. YPP
mengelola sumber-sumber pendanaan karena setiap penerimaan yang berhubungan
dengan kegiatan perkuliahan akan masuk langsung ke rekening YPP1. YPP akan
melakukan dropping dana setiap bulan ke rekening operasional institut melalui anggaran
yang diklaim sebagai mekanisme pengendalian keuangan oleh YPP. Sedangkan menurut
Flamholtz (1983:159) “budgetary system may operate as though it were a complete
control system if there are certain implied or perceived connections between budgetary
measures and organizational rewards” yang artinya sistem anggaran akan berjalan
sebagai sistem pengendalian jika ada hubungan yang jelas antara pengukuran anggaran
dan pemberian penghargaan (rewards) atas kinerja (performance) yang baik.
Mekanisme anggaran dilakukan dengan sistem anggaran partisipatif. Setiap unit
(yang dibawahi wakil rektor dan direktur program pascasarjana) mengajukan anggaran
untuk aktivitas setiap bulannya. Anggaran tidak hanya berisi biaya operasional setiap
unit setiap bulannya, tapi juga setiap unit yang menghasilkan uang harus mencantumkan
1 Ada dua rekening yaitu rekening YPP atas nama ABFII Perbanas dan rekening untuk operasional sekolah.
estimasi uang yang diterima dalam satu tahun dan unit yang menangani adalah unit
akademik. Unit akademik akan mencantumkan estimasi penerimaan uang dari
mahasiswa seperti biaya kuliah, laboratorium, dan yang lainnya. Namun unit akademik
tidak memiliki data realisasi dana yang diterima karena semua penerimaan uang
langsung masuk ke rekening YPP.
Anggaran untuk aktivitas setiap bulan kemudian diajukan ke rektor untuk
mendapatkan persetujuan. Jika telah disetujui rektor, anggaran dimintakan persetujuan
Senat untuk dibawa ke YPP. Jika yayasan menyetujui maka realisasi anggaran itu
dibayarkan oleh cashier and payment services manager ke unit-unit tersebut. Sistem
pembayaran dilakukan dengan sistem dropping setiap bulan oleh YPP dan pengakuan
setiap transaksi menggunakan basis kas (cash basis).
Proses pemberian uang atau dropping yang dilakukan YPP:
1. Proses permintaan dropping dana setiap bulan harus dilengkapi dengan laporan
realisasi penggunaan dana dropping sebelumnya.
2. Laporan realisasi tersebut akan diperiksa oleh YPP untuk memastikan semua pos
atau program kerja atau penggunaan dana sesuai anggaran yang disetujui.
3. Setelah proses dropping disetujui maka YPP akan menerbitkan bilyet giro untuk
pemindahbukuan dana ke rekening institut.
YPP sangat berperan dalam pengelolaan uang perkuliahan dengan masuknya
semua penerimaan uang ke rekening YPP tanpa adanya transparansi ke pihak Institut
yang menjalankan kegiatan perkuliahan sehari-hari. Realisasi dana setiap bulan itu
menyebabkan kegiatan yang dilakukan menjadi tidak fleksibel apalagi realisasi tersebut
sering ditunda. Dengan sering tertundanya dan dipotongnya uang dropping dari yayasan
maka uang untuk pembayaran kegiatan operasional sering tertunda juga, khususnya jika
ada kegiatan-kegiatan diluar rencana. Treasury general manager mengungkapkan
pengalamannya sebagaai berikut:
Semua penerimaan uang dari mahasiswa – uang pembangunan, sumbangan
pengembangan pendidikan (SPP), biaya laboratorium masuk ke rekening YPP, laporan penerimaan uang dari mahasiswa dapat diketahui oleh lembaga melalui rekening koran tapi manajemen Institut tidak mengetahui pengelolaan uang tersebut oleh YPP dan menurut saya hal ini tidak wajar. Dengan sering
tertundanya uang dropping dari YPP maka uang untuk pembayaran biaya operasional sering tertunda juga, khususnya jika ada kegiatan-kegiatan mendadak diluar rencana.
YPP selalu menekankan efisiensi pada manajemen Institut meskipun menurut
komunitas Institut, YPP bertindak tidak efisien untuk proyek-proyek yang langsung
ditangani YPP. Hal itu dikatakan oleh SS, mantan Pembantu Ketua bidang Litbang dan
Kerjasama ex-STIE sebelum menjadi ABFII sebagai berikut,
YPP selalu mengatakan bahwa manajemen sekolah boros, tetapi YPP melakukan hal yang sebaliknya. Contohnya, konsultan penggabungan ex-STIE dan ex-
STIMIK yang diserahkan pada konsultan dari luar adalah merupakan pemborosan dan kegagalan karena tidak selesai. Saat ini konsultan pendidikan tersebut digantikan oleh konsultan dari Malaysia. Padahal pihak internal atau dosen-dosen juga bisa melakukan hal tersebut.
Hal senada juga diungkapkan oleh WE sebagai anggota Senat institute wakil dosen.
Pengendalian Administrasi
Pengendalian administrasi termasuk peraturan formal, standar operasi prosedur
(SOP) dan manual, pengawasan terhadap kepatuhan atas peraturan dan SOP, struktur
formal (Ansari dan Bell, 1991), deskripsi pekerjaan, dan performance measurement
system (Flamholtz, 1983). Fokus organisasi pada masalah pengendalian meningkat
karena adanya ketidaksesuaian antara tujuan individu dengan usaha mereka untuk
memenuhi tujuan organisasi (Flamholtz, 1983).
Pengendalian administrasi yang ada di institut yang dibahas disini adalah Statuta
yang merupakan peraturan formal, standar operasi dan prosedur (SOP), struktur formal
yaitu struktur organisasi institut, deskripsi pekerjaan yang menjelaskan posisi dan fungsi
dari struktur organisasi tersebut, dan performance measurement system.
1. Peraturan formal dan Standar Operasi dan Prosedur (SOP)
Statuta adalah landasan dan pedoman dasar penyelenggaraan kegiatan
pendidikan yang dipakai sebagai acuan perencanaan, pengembangan program, dan
penyelenggaraan kegiatan fungsional yang sesuai dengan tujuan ABFI Institute
Perbanas, dan merupakan sebuah peraturan yang dibuat oleh senat sebagai badan
normatif. Statuta berisi dasar-dasar umum yang dipakai sebagai rujukan pengembangan
ABFII Perbanas, peraturan umum, peraturan akademik, dan prosedur operasional
termasuk peraturan umum karyawan yang berlaku di ABFII Perbanas. Statuta juga
merupakan produk yang dibuat Senat sebagai badan normatif.
Statuta bagi sekelompok staf dianggap sebagai alat yang digunakan untuk
melegitimasi kekuasaan karena menekankan pada dominasi YPP, rektor dan wakil
rektor. Hal ini disebabkan lemahnya posisi Senat sebagai badan normatif di institut,
karena kebanyakan anggota Senat adalah ex-officio dan rektor merupakan ketua Senat
sehingga setiap keputusan yang diambil akan sangat tergantung pada rektor.
Statuta yang diberlakukan saat inipun bukan merupakan draft Statuta yang
disiapkan tim penggabungan sekolah melainkan buatan sekelompok pihak yang ingin
melegitimasi dan memperkuat kekuasaannya. Hal ini diungkapkan oleh WE selaku
anggota Senat yang merupakan anggota tim perumusan Statuta draft pertama,
Statuta merupakan produk buatan Senat sebagai badan normatif, namun Statuta yang diberlakukan bukan draft Statuta yang dibuat Senat. Pasal-pasal dalam Statuta yang diberlakukan saat ini kebanyakan tidak banyak yang melibatkan
Senat sebagai badan normatif. Senat sebagai badan normatif dilemahkan. Maka, ada beberapa pasal yang bersifat strategik yang sengaja dimasukkan untuk membatasi peran stakeholder dan \memperkuat kekuasaan YPP serta pimpinan. Ada beberapa peraturan Statuta yang tidak patuh pada undang-undang
pendidikan tinggi yang berlaku.
Hal ini juga diakui oleh KM (dosen tetap), sewaktu penulis mewawancarai WE.
Namun, AA sebagai dosen tetap dan anggota perumusan Statuta draft pertama
mengemukakan pendapatnya,
Statuta ditetapkan oleh YPP, sehingga Statuta tersebut tentu akan sesuai dengan kepentingan YPP. Namun pada akhirnya, Statuta tersebut memang bisa menjadi alat untuk kekuasaan.
Selain itu, Statuta adalah peraturan formal yang bersifat strategik karena dipakai
sebagai acuan perencanaan, pengembangan program, dan penyelenggaraan kegiatan
fungsional. Oleh karena itu Statuta seharusnya diperjelas lagi dengan peraturan-
peraturan lain dibawahnya seperti standar operasi dan prosedur (SOP) dan manual,
sehingga peraturan tersebut dapat menjadi sebuah mekanisme sistem pengendalian.
SOP dan manual berupa SK (Surat Keputusan) yang adapun tidak dijalankan
oleh kebanyakan anggota organisasi. Pengawasan terhadap kepatuhan atas peraturan dan
SOP tidak berjalan karena top management sebagai puncak pengendalian tidak patuh
terhadap peraturan formal dan prosedur. WE dan SS mengungkapkan hal yang senada
mengenai hal ini
Recruitment pegawai yang ada tidak mengacu pada SOP yang ada, maka recruitment tersebut tertutup. Kebanyakan recruitment juga dilakukan atas sistem
unjuk. Pada saat STIE belum berubah menjadi ABFII, prosedur recruitment dilakukan sesuai prosedur. Penerimaan karyawan diumumkan di media massa khususnya media cetak dan dilakukan serangkaian tes sehingga orang yang benar-
benar kompetenlah yang terpilih. Namun setelah STIE digabungkan dengan STIMIK oleh YPP menjadi ABFII, prosedur tersebut tidak dilaksanakan. Bahkan setelah bergabung jumlah pejabat yang berasal dari STIMIK (dilihat dari proporsi karyawannya) lebih besar daripada STIE.
Quality assurance yang difungsikan sebagai pengawas juga belum bekerja
karena meskipun pejabat atau kepala quality assurance sudah ada, namun organnya
belum ada (diungkapkan oleh SS dan WE). Akibatnya, peraturan formal dan SOP yang
seharusnya digunakan untuk mengarahkan perilaku anggota organisasi tidak berjalan
sebagaimana mestinya.
2. Struktur organisasi dan Performance Evaluation System
Organisasi sebagai proses pengendalian, terjadi ketika sekelompok orang merasa
butuh untuk bekerja sama untuk mencapai tujuan lewat kerjasama dalam tindakan (Otley
dan Berry, 1980 dalam Flamholtz, 1983). Struktur organisasi merepresentasikan sistem
akuntabilitas, pengendalian, dan pengaruh dan didasarkan pada otoritas prinsip-prinsip
yang dapat diukur (Abernethy dan Vagnoni, 2004 dalam Wahyudi, 2004).
Dalam mencapai tujuan organisasi, pemilihan struktur organisasi
merepresentasikan sebuah strategi manajerial untuk mengadaptasi entitas organisasi agar
sesuai dengan kondisi lingkungannya (Flamholtz, 1983). Maka dalam hal ini institut
merancang struktur organisasi untuk mencapai visinya menjadi institusi pendidikan
perbankan terbaik di Asia. Struktur organisasi ABFI Institute Perbanas dapat
digambarkan sebagai berikut:
Menurut Robbins (1992) struktur organisasi dibuat berdasarkan pada pertimbangan tiga
komponen, yaitu kompleksitas, formalisasi, dan sentralisasi. Kompleksitas menurut Robbins
dapat dibagi menjadi dua, yaitu diferensiasi horizontal yang memisahkan unit-unit, sedangkan
diferensiasi vertical lebih pada struktur hirarkis ke bawah (1992:139). Kompleksitas struktur
ABFII dalam hal ini diferensiasi horizontal. Kompleksitas horizontal tersebut karena adanya
penggabungan ex-STIE dan ex-STIMIK. Kompleksitas horizontal ini menyebabkan sulitnya
anggota organisasi untuk komunikasi dan lebih sulit bagi manajemen untuk mengkoordinasi
aktivitas anggotanya (Robbins, 1992). Hal tersebut senada dengan kondisi saat ini, dimana
komunikasi dan informasi tidak berjalan baik sehingga rapat sebagai jalan untuk komunikasi
harus lebih sering diadakan, sementara pengawasan di lapangan kurang.
Formalisasi merupakan standar pekerjaan dalam organisasi. Adanya deskripsi pekerjaan,
peraturan-peraturan organisasi, dan prosedur yang jelas dalam setiap pekerjaan merupakan tanda
tingginya tingkat formalisasi (Robbins, 1992). Deskripsi pekerjaan juga belum dibuat secara
jelas sehingga struktur organisasi tersebut menjadi tidak efektif. Jika ada masalah maka yang
terjadi adalah saling melempar kesalahan antar unit. Karyawan dalam hal ini hanya
mementingkan dirinya sendiri, atau hanya bekerja sebatas pada kepentingan unit kerjanya.
Sentralisasi merupakan “distribution of power within organizations” (Hall, 1996).
Otoritas formal yang melekat pada konsep ini menekankan pada hak yang melekat pada posisi
seseorang. Jika manajemen puncak membuat keputusan yang penting bagi organisasi, keputusan
tersebut dibuat dengan sedikit atau tanpa masukan dari personnel yang berada di bawah
posisinya, maka disebut dengan sentralisasi, dan sebaliknya (Robbins, 1992). Dari penjelasan
tersebut, maka struktur organisasi ABFII merupakan struktur yang tersentralisasi. Hal ini sesuai
dengan pernyataan WP sebagai berikut:
Senat sebagai badan normatif yang tugas pokoknya memberikan arahan, pertimbangan kepada pimpinan tidak didengarkan, sehingga senat hanya seperti tukang stempel saja. Rapat-rapat yang dilakukan antara pimpinan dan senat tidak menghasilkan keputusan
yang sesuai dengan hasil rapat tersebut. Sehingga keputusan-keputusan yang ada sering kali tidak memihak kepentingan karyawan, dosen, dan mahasiswa. Selain itu, struktur yang ada saat ini dianggap tidak efisien oleh sebagian responden. Hal
itu dikarenakan banyaknya unit penunjang yang tidak dibutuhkan sehingga mengakibatkan
inefisiensi.
Sistem evaluasi kinerja (performance evaluation system) dapat diukur jika ada alat
ukurnya. Flamholtz (1983) mendefinisikan “measurement is the process of assigning numbers to
represent aspects of organizational behavior and performance” (pengukuran adalah sebuah
proses dari pemberian angka untuk merepresentasikan aspek-aspek dari perilaku organisasi dan
kinerja). Sistem evaluasi kinerja di institut belum berjalan karena alat ukurnya belum ada.
Anggaran hanya dibuat berdasarkan kebutuhan setiap unit organisasi dan belum berdasarkan
kinerja unit organisasi untuk mencapai target. Sistem reward and punishment yang ada, yaitu
yang terdapat dalam Statuta pada Bab 20 tentang Kode Etik dan Sanksi yang diatur dalam Pasal
52, 53, dan 54; juga dalam Bab 22 tentang penghargaan dan jasa yang diatur dalam Pasal 56
tidak dapat dijadikan pengukuran dalam sistem evaluasi kinerja karena reward and punishment
tersebut tidak dijalankan.
Evaluasi kinerja hanya terjadi pada rektor dan YPP, untuk karyawan belum ada evaluasi
kinerja. Sebagai agen, rektor harus mempertanggung jawabkan kinerjanya kepada YPP. Karena
tidak adanya sistem evaluasi kinerja, maka penilaian kinerja karyawan tidak dilakukan. Sistem
reward and punishment akibatnya tidak bisa diterapkan. Hal tersebut berdampak pada rendahnya
kinerja kebanyakan karyawan dan kecemburuan pada karyawan lainnya.
Pengendalian Perilaku, Pengendalian Personel, dan Pengendalian Social
Pengendalian akan berjalan jika perilaku dari karyawan dan lingkungan organisasi sejalan
dan diarahkan untuk mencapai tujuan organisasi bukan untuk kepentingan personal atau
kelompok. Pada kasus ini, pengendalian tidak berjalan karena distribusi power, dan budaya
organisasi (Markus dan Pfeffer, 1983) tidak sejalan dengan tujuan organisasi. Mekanisme
pengendalian bukan hanya dari inti pengendalian formal tetapi juga dari budaya organisasi, jika
budaya organisasi dan inti sistem pengendaliannya tidak sejalan maka sebaik apapun integrasi
inti sistem pengendalian itu tidak akan secara nyata mempengaruhi perilaku seperti yang
direncanakan (Flamholtz, 1983).
Markus dan Pfeffer (1983) membagi tiga penggunaan sistem akuntansi dan pengendalian
yang biasanya berhubungan dengan akuisisi atau penggunaan power, yaitu pembuatan
keputusan, perubahan pengukuran kinerja organisasi (organizational performance), dan
penetapan legitimasi.
Distribusi Kekuasaan
“Power is control or influence over the actions of others to promote one’s goals without
their consent, against their will or without their knowledge or understanding ” (Buckley, 1967
dalam Grimes, 1978). Pengendalian membutuhkan otoritas. Namun, tulisan ini mengartikan kata
“power” atau kekuasaan dengan otoritas yang tersentralisasi, sekelompok orang harus taat
(comply) terhadap tujuan seseorang, bukan merupakan konsensus. Seperti yang telah dijelaskan
sebelumnya, bahwa nilai-nilai dan praktik-praktik TS telah menginstitusional dalam organisasi
maka nilai-nilai dan praktik tersebut masih ada sampai sekarang.
Yang membedakan adalah saat ini kekuasaan tidak berada pada satu orang, saat ini
kekuasaan berada pada dua pihak yaitu YPP dan rektor. Menurut Robbins (1992:155), power
mengacu pada “a dependence relationship” dimana rektor bergantung pada YPP karena YPP
yang mengangkatnya, dan YPP bergantung pada rektor untuk memudahkannya masuk dan
mencampuri kegiatan ABFII untuk keuntungan mereka.
Pemahaman tentang konsep kekuasaan dapat dikembangkan dengan memisahkan basis
dan sumber-sumber kekuasaan (Robbins, 1992:157). Sumber-sumber kekuasan adalah dimana
pemilik kekuasaan mendapatkan basis kekuasaannya, sedangkan basis kekuasaan mengacu pada
apa yang dimiliki pemilik kekuasaan yang memberikannya Maka, basis kekuasaan dalam hal ini
adalah persuasive power, yang didasarkan pada “allocation and manipulation of symbolic
rewards” (Robbins, 1992:158) dan sumber kekuasaannya adalah position power yang berasal
dari “formal position each holds within a structural hierarchy” (Robbins, 1992:159).
Kedua pihak ini, yaitu rektor dan YPP akan mempunyai kekuasaan jika ada pihak yang
bergantung pada mereka, maka dalam hal ini rektor memilih wakilnya sendiri walaupun
bertentangan dengan STATUTA2 dan disetujui oleh YPP. Wakil rektor juga membangun
kekuasaannya dengan menciptakan kelompok-kelompok yang akan bergantung pada mereka.
Nilai-nilai kekuasaan yang sudah terinstitusional membuat kebanyakan staf mencari gantungan
pihak yang memiliki kekuasaan. Akibatnya pada saat pemilihan rektor, mereka cenderung akan
memilih siapa yang akan membuat mereka mempunyai kekuasaan sehingga mereka akan aman
berada di posisinya walaupun kinerjanya tidak lebih baik. Hal ini menyebabkan staf yang tidak
mencari kekuasaan dan taat peraturan mengalami high degree of cognitive dissonance3 (Robbins,
1992:29) yang membuat mereka bimbang apakah mereka harus tetap pada pendirian mereka atau
mengikuti arus atau nilai-nilai organisasi yang ada.
2 Pasal 16 ayat (6) menyebutkan bahwa Wakil Rector dan Direktur Pascasarjana diangkat dan diberhentikan dengan Surat Keputusan Yayasan atas usul rector setelah mendapat pertimbangan Senat. 3 Dissonance terjadi ketika adanya inkonsistensi antara dua atau lebih dari attitudesnya, atau antara perilakunya dan attitudesnya (Robbins, 1992).
Mereka yang fokus untuk menggunakan kekuasaan akan menggunakan ‘political
skill’nya untuk “identify and build coalitions with other interests” (Bucher, 1970 dalam Markus
dan Pfeffer, 1983:209) dan “argue for one’s position selectively using the information that is
available” (Pfeffer & Salancik, 1977 dalam Markus dan Pfeffer, 1983:209). Pfeffer (1981) dalam
Markus dan Pfeffer (1983) mengemukakan bahwa ketika kekuasaan dan politik digunakan dan
dominan di dalam organisasi, maka sistem pengendalian dan akuntansi akan terpengaruh. Nilai-
nilai yang tertanam dalam budaya dari sebuah organisasi dan/atau kelompok akan mempengaruhi
praktik-praktik akuntansi dan pengendalian (Peters dan Waterman (1982), Ouchi (1981) dalam
Ansari dan Bell (1994:8)).
Budaya Organisasi
Ouchi (1979) dalam Flamholtz (1983), mendefinisikan budaya dalam konteks organisasi
sebagai nilai-nilai dan pola-pola normatif yang mengarahkan perilaku, pekerjaan, dan kebijakan
pekerja. Sering kali, budaya ini terbawa ke anggota baru dan terpelihara melalui penggunaan
bahasa spesifik, formalitas, simbol, keadaan,dan mitos organisasi (Martin, in press dalam Markus
dan Pfeffer, 1983).
Budaya merupakan pola dari nilai-nilai, norma-norma, dan kepercayaan yang diterima
oleh anggota organisasi. Dilihat dari dimensi ini, budaya dapat mempengaruhi perilaku anggota
organisasi. Ketika budaya telah terbentuk, maka elemen-elemen sistem pengendalian manajemen
akan mengikuti budaya organisasi yang ada melalui keputusan-keputusan operasional, strategik,
dan tindakan.
Faktor-faktor yang berkontribusi terhadap perilaku politik (political behavior) berasal
dari faktor individual dan budaya organisasi atau lingkungan internal. namun aktivitas politik
lebih berkembang atau berfungsi pada budaya organisasi daripada faktor individual (Robbins,
1992). Kuatnya budaya paternalistik pada era TS memberikan pengaruh besar terhadap perilaku
anggota organisasi (Robbins, 1992) sehingga budaya tersebut sulit berubah.
Adanya perubahan sistem politik di Indonesia menjadi demokrasi turut mengubah budaya
sekolah. Saat ini, ABFII sedang mengalami proses transisi perubahan budaya tersebut. AA
mengungkapkan bahwa
Perubahan sosial yang ada di Indonesia menjadi demokrasi membawa dampak terhadap
sekolah. Arus demokrasi tersebut ditanggapi dengan persepsi yang berbeda oleh masing-masing anggota. Persepsi tersebut menyebabkan adanya subbudaya dalam organisasi, paternalistic di satu sisi dan demokrasi di sisi lainnya. Namun perbedaan tersebut tidak disatukan dalam sebuah sistem yang sesuai dengan lingkup demokrasi sekarang. Hal
tersebut mengakibatkan anggota-anggota organisasi mengembangkan persepsinya masing-masing untuk mencapai tujuan masing-masing.
Sejalan dengan AA, WB juga mengungkapkan adanya transisi budaya di institute,
Suasana demokratis memberi imbas terhadap nilai-nilai organisasi. Hal itu ditandai dengan adanya pergeseran budaya dari budaya paternalistik menuju budaya egalitarian.
Namun demokratisasi tersebut tidak didukung oleh prosedur dan mekanisme yang baku. Proses tersebut menyebabkan adanya beberapa budaya dalam organisasi, yaitu paternalistik dan egalitarian. Dua budaya tersebut menimbulkan sikap dan perilaku yang berbeda antar kelompok. Pertama, sikap dan perilaku yang masih sungkan terhadap
atasan, dan melihat apakah pimpinan mereka bertindak otoriter. Perilaku yang kedua yaitu perilaku sekelompok orang yang berafiliasi dengan pimpinan yang mempunyai otoritas untuk kepentingan ekonomi dan politik kekuasan. Kedua perilaku tersebut merupakan cerminan budaya paternalistik yang masih belum berubah. Perilaku yang
ketiga adalah perilaku egalitarian, dimana orang atau sekelompok orang tersebut berani mengungkapkan pendapat mereka. Adanya perbedaan budaya tersebut menimbulkan konflik akibat rendahnya rasa saling percaya antara YPP, manajemen, karyawan dan mahasiswa.
Rendahnya kepercayaan (low trust) yang terjadi antara pihak institut dan pemilik (YPP)
karena bagi YPP, institut tidak efisien dalam mengelola keuangan untuk kegiatan sehari-harinya.
Sebaliknya manajemen menganggap YPP tidak transparan dalam pengelolaan uang institut
dimana iuran kuliah yang dibayarkan mahasiswa langsung masuk ke rekening YPP. Dari pihak
internal, rendahnya kepercayaan antara karyawan kepada manajemen karena pihak manajemen
membuat dan menjalankan organisasi yang cenderung berorientasi pada kepentingannya sendiri,
orang-orang yang dekat dengan mereka atau unit-unit kerjanya sendiri. Rendahnya kepercayaan
mahasiswa terhadap pihak institut karena mahasiswa merasa kepentingan mereka seringkali
diabaikan, dan mereka merasa uang kuliah yang dibayarkan tidak sebanding dengan pelayanan
atau kualitas pendidikan yang mereka terima.
Institut ini tidak mempunyai performance measurement system. Pengukuran kinerja
dilakukan secara informal, yaitu berdasarkan apa yang telah mereka lakukan untuk atasan
mereka atau unit kerja mereka atau untuk kepentingan mereka sendiri. Performance
measurement tidak didasarkan pada kontribusi yang mereka lakukan untuk institut secara
keseluruhan atau secara jangka panjang. Kebanyakan staf saat ini masih berorientasi pada
kepentingan jangka pendek. Pimpinan hanya memiliki justifikasi formal berupa Surat Keputusan
dari YPP tanpa memiliki kapasitas sebagai informal leader.
Perbedaan Cara Pandang
Terdapat perbedaan perspektif antara YPP, pemimpin institut dan karyawan dalam
memandang institusi ini. YPP memandang institut ini seperti corporate business yang dalam
kegiatannya harus efisien dan menghasilkan keuntungan (profit), maka YPP cenderung
memotong anggaran yang diajukan institute. Stakeholder menurut YPP adalah bank-bank yang
menjadi anggota Yayasan Pendidikan Perbanas dan institut harus bertanggung jawab kepada
mereka lewat YPP. Sejalan dengan YPP, pimpinan institut memiliki keyakinan bahwa YPP harus
lebih dipentingkan dibanding dengan pihak lain seperti karyawan, dosen dan mahasiswa.
Karyawan dalam hal ini memiliki pandangan bahwa pada hakikatnya ABFII Perbanas
sebagai institusi pendidikan merupakan lembaga publik bukan corporate business yang
mengutamakan prinsip-prinsip efektivitas dan efisiensi untuk meningkatkan daya saing.
Komunitas utama ABFII Perbanas adalah scholar dan intellectuals, bukan knowledge workers
yang bekerja untuk mendapatkan upah tinggi. Interaksi diantara masyarakat ABFII Perbanas
yang merupakan komunitas akademik dilaksanakan dengan berlandaskan kepada prinsip dan
nilai-nilai akademik bukan kepada nilai-nilai korporasi. Dengan demikian penerapan efisiensi
dalam institusi pendidikan tidak dapat diperlakukan seperti perusahaan. Tidak semua aspek di
dalam proses pendidikan dapat diukur dengan indikator efisiensi. Pimpinan harus akuntabel
terhadap internal stakeholders seperti dosen-dosen, karyawan, mahasiswa, dan external
stakeholders yaitu orang tua mahasiswa, dunia industri dan masyarakat luas.
Nilai-nilai dan persepsi yang berbeda antara berbagai pihak belum dikomunikasikan
dengan baik karena sistem yang ada tidak mengakomodasi adanya ruang publik untuk
melakukan brainstorming sehingga mekanisme check and balances dapat berjalan. Komunikasi
dan informasi masih bersifat vertical (top-down) dan terbatas pada posisi dan peran. Komunikasi
bersifat tertutup antar orang-orang tertentu atau contohnya antar pimpinan sendiri, informasi
tersebut tidak sampai ke bawah sehingga terjadi miss-information dan hasilnya adalah rumor.
Tidak ada usaha dari pimpinan untuk meluruskan rumor tersebut. Rapat-rapat yang diadakan
misalnya rapat pimpinan dan Senat seringkali hanya sebuah ritual atau simbolik karena
seringkali keputusan dari hasil rapat tersebut tidak digunakan, kebijakan yang dibuat pada
akhirnya kebijakan yang akan menguntungkan pihak pimpinan sendiri dan mengamankan
posisinya di mata YPP.
Simpulan
Sistem pengendalian yang ada di ABFII Perbanas tidak berjalan efektif karena kebanyakan
anggota organisasi – khususnya pimpinan – tidak menjalankan sistem pengendalian tersebut.
Sistem pengendalian diimplementasikan untuk mencapai tujuan organisasi (Abenerthy dan
Vagnoni, 2004). Tidak berjalannya pengendalian tersebut menyebabkan tidak tercapainya tujuan
organisasi.
Peran sistem akuntansi untuk mendistribusikan kekuasaan juga tidak berjalan. Kekuasaan
masih tersentralisasi pada pimpinan institut dan YPP. Informasi yang tersedia bersifat subjektif,
tidak terdistribusi. YPP sebagai pemegang rekening penampungan uang kuliah mahasiswa tidak
memberikan informasi yang transparan kepada pihak institut yang menjalankan kegiatan
operasional pendidikan. Di level institut, realisasi anggaran juga dimanfaatkan untuk bargaining
position antara pimpinan dengan karyawan karena pimpinan memerlukan dukungan karyawan.
Mekanisme anggaran antara manajemen institut dan YPP berfungsi sebagai power display
bahwa pemegang kekuasaan sesungguhnya di institut adalah YPP. Sebagai pemegang kekuasaan
tertinggi dalam pengelolaan keuangan, YPP dapat melakukan pemotongan anggaran dan
penundaan dropping uang tanpa manajemen mampu menolaknya. Dengan demikian YPP dapat
menunjukkan kepada seluruh pegawai institut bahwa manajemen (pimpinan) hanyalah
agen/kepanjangan tangan YPP.
Di internal institut, pengendalian administrasi yang meliputi peraturan formal dan standar
operasi prosedur (SOP) juga tidak dijalankan karena institut dikelola dengan pendekatan
kekuasaan (power) oleh pimpinan institut. Oleh karena itu mekanisme pengendalian juga tidak
diperlukan – dan tidak dibuat secara lengkap dan karenanya berfungsi sebagai simbol saja.
Peraturan formal – Statuta dan peraturan-peraturan dibawahnya banyak yang tidak sinkron –
berperan sebatas alat legitimasi kekuasaan pimpinan.
Struktur organisasi yang ada juga tidak efektif karena deskripsi pekerjaan belum dibuat
secara jelas. Ketidakjelasan tersebut berimbas pada day to day managerial practices yang kacau.
Ketiadaan sistem pengukuran kinerja serta ketiadaan sanksi dan penghargaan kepada karyawan
adalah akibat ketiadaan deskripsi pekerjaan. Akibat lebih lanjut adalah bahwa ukuran kinerja
ditentukan oleh subyektifitas pimpinan.
Pengendalian juga tidak berfungsi karena kekuasaan yang dimiliki pimpinan institut
diperoleh lewat position power yang berbasis pada “formal position (in which) each holds within
a structural hierarchy” (Robbins, 1992:159). Padahal pengendalian penting karena mendukung
adanya kepercayaan dalam organisasi (Galloway, 1994). Namun pada kasus ini pengendalian
belum bisa menumbuhkan kepercayaan antar pihak di dalam organisasi. Itulah sebabnya,
perubahan budaya dari paternalistik menuju egaliter yang memunculkan ke permukaan sub-
budaya dalam satu organisasi tidak mampu dikelola secara baik oleh manajemen.
Ketidakmapuan mengelola dan mengakomodasi perbedaan perspektif tersebut menimbulkan
ketidakpercayaan diantara anggota organisasi terhadap manajemen sehingga berujung pada
konflik terbuka.
Keterbatasan Penelitian
Penelitian ini memiliki keterbatasan yang perlu untuk diperbaiki dalam penelitian-
penelitian selanjutnya. Keterbatasan itu berupa keterbatasan akses peneliti dalam memasuki
objek penelitian. Ketidakmampuan peneliti memperoleh data yang lengkap karena posisi
peneliti sebagai mahasiswa ABFII Perbanas menyulitkan akses ke data yang bersifat tertutup.
Selain itu dalam penelitian kualitatif, peneliti berperan besar sebagai alat penelitian
(Moleong, 1993) dalam menginterpretasi data-data yang diperoleh. Peneliti mengalami
keterbatasan dalam menginterpretasi atau memberikan judgement atas data yang ada. Dari
beberapa wawancara yang dilakukan, penelitian ini menemukan berbagai persepsi yang berbeda
diantara responden sehingga membuat judgement atau interpretasi yang dilakukan mungkin tidak
dapat mengakomodasi semua perspektif responden.
Sampel penelitian yang terlalu sedikit, dan adanya beberapa responden yang memberikan
jawaban normatif atau tertutup juga dapat memberikan bias dalam melakukan analisis data.
Referensi
Abenerthy, Margaret A. dan Vagnoni, Emidia. 2004. Power, Organization Design and
Managerial Behaviour. Accounting, Organizations and Society.Vol 29 pp. 207-225.
Adebayo Agbejule, (2011) "Organizational culture and performance: the role of management accounting
system", Journal of Applied Accounting Research, Vol. 12 Issue: 1, pp.74-89,
Ansari, Shahid L. dan Bell, Jan. 1991. “Symbolism, Collectivism, and Rationality in
Organizational Control”. Accounting, Auditing & Accountability Journal. Vol. 4 No. 2,
pp. 4-27.
Binberg, Jacob G., Turopolec, Lawrence., dan Young, Mark S. 1983. “The Organizationa l
Context of Accounting”. Accounting, Organizations and Society. Vol. 8, No. 2/3, pp.
111-129.
Bodnar, George H. dan Hopwood, William S. 2001. Sistem Informasi Akuntansi. Edisi
kedelapan, jilid ke-1.Jakarta: PT Indeks.
Christiansen, John K. dan Skaerbaek, Perter. 1997. “Implementing Budgetary Control in the
Performing Arts: Games in the Organizational Theatre”. Management Accounting
Research. Vol 8/4, 405-438
Collins, Frank. 1982. “Managerial Accounting Systems and Organizational Control: A Role
Perspective”. Accounting, Organizations and Society. Vol. 7, No. 2, pp. 107-122.
Cooper, David J., Hayes, David dan Wolf, Frank. 1981. “Accounting in Organized Anarchies:
Understanding and Designing Accounting Systems in Ambigous Situations”.
Accounting, Organizations and Society. Vol. 6, No. 3, pp. 175-191.
Covaleski, Mark A. dan Dirsmith, Mark W. 1988. “The Use of Budgetary Symbols in the
Political Arena: an Historically Informed Field Study”. Accounting, Organizations and
Society, Vol. 13, No. 1, pp. 1-24.
Covaleski, Mark. dan Aiken, Michael. 1986. “Accounting and Theories of Organizations: Some
Preliminary Considerations”. Accounting, Organizations and Society. Vol. 11, No. 4/5,
pp.297-319.
Cunningham, Gary M. 1992. “ Management Control and Accounting Systems under a
Competitive Strategy”. Accounting, Auditing & Accountability Journal, Vol. 5 No. 2,
pp. 4-27.
Czaniawska-Joegers, Barbara. dan Jacobsson, Bengt. 1989. “Budget in a Cold Climate”.
Accounting, Organizations and Society. Vol. 14, No. ½. Pp. 29-39
Flamholtz, Eric G. 1983. “ Accounting, Budgeting, and Control Systems in their Organizational
Context: Theoretical and Empirical Perspective”. Accounting, Organizations and
Society, Vol. 8, No. 2/3, pp. 153-169.
Galloway, Duncan J. 1994. “Control Models in Perspective”. The Internal Auditor. Desember.
Grimes, A. J. 1978. “Authority, Power, Influence and Social Control: A Theoretical Synthesis”.
The Academy of Managerial Review. Vol. 3, No. 4. Pp. 724 – 735.
Hall, Richard H. 1996. Organizations, Structure, Process, and Outcomes. Seventh Edition.
Hofstede, Geert. 1981. “Management Control of Public and Not-For-Profit Activities”.
Accounting, Organizations and Society. Vol. 6, No. 3, pp. 193-211.
Hopwood, Anthony, G. 1987. “The Archeology of Accounting Systems”. Accounting,
Organizations and Society. Vol. 12, No. 3, pp. 207-234.
Hauriasi, Abraham dan Davey, Howard. 2009. "Accounting and culture: The case of Solomon Islands".
Pacific Accounting Review. Vol. 21 No. 3, pp.228-259
Ikhsan, Arfan dan Ishak, Muhammad. 2005. Akuntansi Keperilakuan. Salemba Empat: Jakarta.
Laudon, Kenneth C., and Jane P. Laudon. 2000. “Organization and Technology in The
Networked Enterprise” in Management Information System, Six Edition, International
Edition.
Markus, M. Lynne dan Pfeffer, Jeffrey. 1983. “Power and the Design and Implementation of
Accounting and Control Systems”. Accounting, Organizations and Society. Vol. 8, No.
2/3, pp. 153-169.
Moleong, Lexy J. 1993. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: PT Remaja Rosdakarya
Mouritsen, Jan. 1989. “Accounting, Culture, and Accounting-Culture”. Scandinavian Journal of
Management. Vol. 5, No. 1. 21-47.
Nazir, Moh. 2003. Metode Penelitian. Ghalia Indonesia: Jakarta
Reed, Michael I. 2001. “Organization, Trust and Control: A realist Analysis” . Organization
Studies. Vol. 22, no. 2. Pp. 201-228
Robbins, Stephen P. 1992. Essentials of Organizational Behavior. Third Edition. Prentice Hall
International ltd: New Jersey.
Scapens, Robert W. dan Roberts, John. 1993. Accounting and Control: A Case Study of
Resistance to Accounting Change. Management Accounting Research. Vol. 4, No.1. Pp.
1-32
Umashankar, V. dan Dutta, K. 2007. Balanced scorecards in managing higher education
institutions: an Indian perspective. International Journal of Educational
Management, Vol. 21, No. 1. Pp. 54-67
Wahyudi, Imam. 1997. “Mainstream Accounting and Its Paradigm: a Critical Analysis”.
Gadjah mada International Journal of Business. Vol. 1, No 2. Pp. 99-112
Wahyudi, Imam. 2009. “From Physical to Accounting Control: a study of Accounting Change
Resistance”. Journal of Accounting and Organizational Change, Vol. 5 No. 2. Pp. 228-
242.
Yin, Robert K. 2002. Studi Kasus Desain dan Metode. Edisi Revisi. PT RajaGrafindo Persada.
Jakarta.
Yi Fei Zhang, Zahirul Hoque, Che Ruhana Isa, "The Effects of Organizational Culture and Structure on the
Success of Activity-Based Costing Implementation" In Advances in Management Accounting.
Published online: 20 Jul 2015. Pp. 229-257