dinamika interaksi antaretnik dalam mewujudkan …
TRANSCRIPT
Jurnal Sosial Humaniora
[2017], Volume 10, Ed. 2
ISSN Online: 2443-3527
ISSN Print: 1979-5521
71 - JSH
DINAMIKA INTERAKSI ANTARETNIK DALAM MEWUJUDKAN
KESERASIAN SOSIAL DI WILAYAH PERBATASAN NEGARA
INDONESIA - MALAYSIA
Agus Sikwan
Fakultas Ilmu Sosial dan Politik, Universitas Tanjungpura, Pontianak, 78124
Diterima: 23 Juli 2017 Direview: 13 Sepetember 2017
Diterbitkan: 30 November 2017
Hak Cipta © 2017 oleh Penulis (dkk) dan Jurnal
Sosial Humaniora (JSH)
*This work is licensed under the Creative Commons Attribution International License (CC
BY 4.0).
http://creativecommons.org/licenses/by/4.0/
Subject Areas: Sosiology
Abstract
The research reveals the dynamics of interaction between the three major
ethnic groups (ethnic Dayak, Malay and Chinese) living in Entikong Sub-
district. These interactions are manifested in social relationships, ie
relationships as relatives, as friends. Through qualitative analysis, the
relationship is still strong in primordial loyalty among ethnic groups. It is
characterized by a tendency to choose individuals from their own ethnic
groups to serve as relatives. The results also show that there are two forms of
ethnic group settlements in Entikong Subdistrict, namely: Mixed pattern, ie
settlement area in which consists of various ethnic groups, in which there is
more intensive inter-ethnic social contact that can encourage the realization
of harmony social; Separate pattern, ie settlement area which consists of one
ethnic group of the same kind, generally inhabited by Chinese ethnic groups.
The change of settlement pattern indirectly caused by the expansion of sub-
districts and population growth.
Keywords: Interaction; Social Harmony
PENDAHULUAN/LATAR BELAKANG
Bedasarkan data dari Kantor Kepolisian
sektor (Polsek) Entikong Tahun 2015, menyebutkan
bahwa sejak bulan Januari 2012 – Desember 2014 di
Kecamatan Entikong telah terjadi sebanyak 12 kali
pertikaian atau konflik di antara ketiga etnik besar
(Melayu, Dayak dan Cina) baik secara individu
maupun kelompok, yakni konflik antara etnik
Melayu dan Dayak sebanyak 6 kali, Melayu dan Cina
sebanyak 2 kali, Dayak dengan Cina sebanyak 4 kali.
Adapun konflik yang terjadi menyangkut masalah
penguasaan lahan, perebutan sumber mata
pencaharian, akses lapangan pekerjaan, hutang-
pihutang, bisnis, pengiriman TKI/TKW ke luar
negeri, dan lain-lainya. Hal ini belum lagi ditambah
dengan konflik antara warga negara Indonesia
dengan warga negara Malaysia di wilayah perbatasan
yang menyangkut masalah tapal batas, dan ilegal
loging yang sampai saat ini masih sering terjadi.
Meskipun pemerintah kecamatan telah
bekerjasama dengan instansi terkait termasuk pihak
kepolisian setempat telah melakukan berbagai
sosialisasi kepada warga masyarakat di Kecamatan
Entikong dalam upaya menciptakan suasana
keharmonisan sosial dalam rangka mewujudkan
integrasi bangsa di wilayah perbatasan, namun
hasilnya masih sangat jauh dari yang diharapkan,
yakni konflik dan pertikaian antaretnik masih saja
terjadi. Kondisi ini mengakibatkan keresahan-
Open Access
Agus Sikwan
72 - JSH
keresahan dimasyarakat dalam kehidupan sosial
mereka sehari-hari.
Dari hasil pengamatan di lapangan, maka
dapat diketahui bahwa dalam kehidupan masyarakat
di Kecamatan Entikong (wilayah perbatasan negara
Indonesia – Malaysia) di dalamnya tidak ditemui
adanya kelompok etnik yang menduduki posisi
sebagai kelompok etnik dominan (dominant culture).
Berdasarkan hasil pengamatan yang penulis lakukan
di lapangan, maka dapat diketahui bahwa spesifikasi
hubungan antaretnik di wilayah perbatasan negara
Indonesia – Malaysia (di Kecamatan Entikong)
disebabkan oleh faktor-faktor : pertama, ketiadaan
kelompok etnik yang berperan sebagai “dominant
culture group” (kelompok budaya yang dominan);
kedua, adanya pengelompokan pemukiman etnik
seperti kampung Melayu, Dayak, dan Cina; dan
ketiga, adanya preferensi bidang okupasi etnik.
Preferensi bidang okupasi tersebut meliputi bidang
pekerjaan seperti orang Cina menguasai bidang
bisnis dan perdagangan, orang Melayu mendominasi
di birokrasi pemerintahan (pegawai negeri),
sementara orang Dayak mendominasi pekerjaan di
bidang pertanian dan perkebunan.
Demikian pula halnya dalam aspek durasi
menetap, terdapat tiga pola permukiman orang
Melayu yaitu permukiman membaur, setengah
membaur, dan mengelompok (segregatif), orang
Dayak yaitu dengan permukiman setengah membaur,
sedangkan orang Cina dengan permukiman
mengelompok. Menurut Alqadrie (1996 : 30) bahwa
semakin tersegregasi pola permukiman suatu
kelompok etnik, maka semakin kecil peluang
terjadinya integrasi dengan etnik lainnya. Sebab
keadaan yang demikian itu justru dapat memelihara
jarak sosial di antara mereka. Namun pertumbuhan
wilayah perbatasan negara Indonesia – Malaysia (di
Kecamatan Entikong) yang ditandai dengan
berkembangnya bidang bisnis dan perdagangan
antarnegara, meyebabkan terjadinya mobilitas
penduduk ke kawasan tersebut. Ada pula
perpindahan pemukim dari kawasan permukiman
etnik ke kawasan permukiman yang membaur dan
permanen sebagai wujud keberhasilan atau
kemapanan ekonomi anggota-anggota kelompok
etnik tertentu. Dengan demikian, secara tidak
langsung terjadinya mobilitas individu kelompok
etnik antarpermukiman akan mewarnai suatu wilayah
permukiman dimana di dalamnya terdapat pemukim
dengan durasi menetap yang lama dan yang relatif
baru.
Ketiadaan budaya dominan serta adanya
berbagai segregasi dalam kehidupan sebagaimana
tersebut di atas, menunjukan bahwa hubungan
antaretnik itu telah terkendala oleh “benteng-
benteng” pemisah yang tercipta dalam kehidupan
kompetitif di wilayah perbatasan. Benteng-benteng
pemisah dalam hubungan antaretnik itu telah
diperkuat oleh prasangka sosial, diskriminasi etnik,
dan jarak sosial. Berdasarkan kenyataan tersebut,
penelitian tentang dinamika interaksi sosial
antaretnik dalam rangka perwujudan keserasian
sosial antaretnik, khususnya ketiga etnik besar (etnik
Melayu, Dayak dan Cina) di wilayah perbatasan
negara Indonesia – Malaysia dilakukan dengan
menempatkan unsur prasangka sosial, stereotipe, dan
jarak sosial antaretnik sebagai determinan serta
faktor pendidikan, pekerjaan, durasi menetap, dan
toleransi beragama sebagai varian pembeda.
Berdasarkan latar belakang masalah
penelitian yang telah dikemukakan, diperoleh
gambaran bahwa dinamika interaksi antaretnik (etnik
Melayu, Dayak dan Cina) di wilayah perbatasan
yang sering menimbulkan ketidakharmonisan sosial
Agus Sikwan
73 - JSH
antara lain disebabkan karena adanya prasangka
sosial, stereotipe, dan jarak sosial di antara mereka.
Selanjutnya identifikasi fokus penelitian ini dapat
dirumuskan dalam bentuk pertanyaan penelitian
(problem question), yakni sebagai berikut :
Bagaimanakah upaya menciptakan suasana
keserasian sosial dalam interaksi antaretnik pada
masyarakat multikultural di wilayah perbatasan yang
masing-masing memiliki prasangka sosial,
stereotipe, dan jarak sosial antara etnik satu dengan
yang lainnya.
METODE PENELITIAN
A. Jenis Penelitian
Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian
ini adalah deskriptif analisis dengan menggunakan
pendekatan kualitatif. Adapun yang dimaksud
deskriptif analisis, yaitu suatu penelitian yang
hasilnya menggambarkan objek penelitian yang
berupa peristiwa atau gejala sosial secara apa adanya
dengan melakukan analisis terhadapnya berdasarkan
data yang diperoleh pada saat penelitian lapangan
berlangsung.
Dalam penelitian ini, penulis menggunakan teori-
teori yang relevan dengan masalah yang diteliti, dan
telah disusun terlebih dahulu untuk memahami
kenyataan sosial yang terjadi dimasyarakat pesisir.
Di samping itu juga, dalam penelitian ini penulis
akan membandingkan data atau kenyataan dengan
teori-teori dan mencoba memahaminya menurut
prosedur interpretasi.
B. Teknik dan Alat Pengumpulan Data
Adapun teknik pengumpulan data yang
dipergunakan dalam penelitian ini adalah:
1. Teknik wawancara mendalam (In-depth
Interview), kegiatan ini dimaksudkan untuk
mengadakan percakapan dengan subjek penelitian
(informan) dengan maksud (Lincoln dan Guba,
1985: 266) “untuk mengkonstruksi mengenai
aktivitas” yang dilakukan masyarakat dari tiga
kelompok etnik besar (etnik Melayu, Dayak dan
Cina) di wilayah perbatasan yang bersangkutan
dengan dinamika interaksi sosial di antara mereka,
faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya
konflik dalam interaksi sosial antaretnik, serta
memproyeksikan model interaksi sosial antaretnik
yang dapat menciptakan suasana keharmonisan
sosial, dan sebagainya. Adapun alat pengumpulan
data yang dipergunakan dalam teknik wawancara
mendalam ini adalah pedoman wawancara.
2. Teknik observasi non partisipatif (Pengamatan
tidak berperan serta), kegiatan ini peneliti
lakukan dengan tidak berpartisipasi secara
langsung dalam setiap interaksi sosial yang
dilakukan tiga etnik besar (Melayu, Dayak dan
Cina) baik di dalam maupun di luar rumahnya. Di
lokasi penelitian peneliti mengadakan
penyempurnaan catatan lapangan, melakukan
klarifikasi data lapangan, menyusun transkripsi
rekaman wawancara, melakukan observasi dan
wawancara yang berkaitan dengan data yang
relevan dan membina hubungan baik dengan
ketiga etnik besar tersebut. Melalui observasi non
partisipatif (pengamatan tidak berperan serta) ini,
peneliti mencatat dan merekam semua kejadian
sebagaimana terjadi dalam dinamika yang
sebenarnya. Pengamatan juga dilakukan terhadap
sikap, perilaku masing etnik, dan interaksi sosial
di antara ketiga etnik besar tersebut di lingkungan
sosialnya. Adapun alat pengumpulan data yang
dipergunakan dalam teknik observasi non
partisipatif ini adalah pedoman observasi.
3. Teknik studi dokumenter, kegiatan ini peneliti
lakukan untuk menggali data sekunder yang
Agus Sikwan
74 - JSH
diperlukan untuk menunjang penelitian ini.
Dokumen pada umumnya diperoleh dari
dokumen milik pemerintah daerah setempat,
hasil- penelitian terdahulu, jurnal ilmiah, karya
tulis (makalah), artikel ilmiah, dan dokumen dari
instansi lainnya yang berhubungan dengan
masalah penelitian. Adapun alat pengumpulan
data yang penulis pergunakan dalam teknik studi
dokumenter ini adalah foto copy.
C. Subjek Penelitian
Adapun yang dijadikan subjek penelitian adalah
masyarakat Melayu, Dayak dan Cina yang
bermukim di wilayah perbatasan negara Indonesia
– Malaysia (Kecamatan Entikong Kabupaten
Sanggau) yang selanjutnya disebut informan.
Penentuan informan dalam penelitian ini
dilakukan secara purposif sampling, seperti yang
diungkapkan oleh Sugiyono (1998: 68), yaitu
teknik penentuan sampel yang ditujukan kepada
informan yang benar-benar mengetahui
permasalahan sesuai dengan tujuan penelitian.
Di samping itu, peneliti juga menggunakan
informan pangkal yang terdiri dari tokoh formal
seperti camat, kepala desa, kepala dusun, Ketua
RW/RT dan para guru, dan tokoh informal (tokoh
masyarakat, tokoh agama, pemuka adat) dari
ketiga etnik besar (Melayu, Dayak dan Cina) yang
tinggal di wilayah perbatasan. Menurut
Koentjaraningrat (1991: 164), informan pangkal
adalah mereka yang mempunyai pengetahuan luas
mengenai berbagai sektor dalam masyarakat serta
mempunyai kemampuan untuk
mengintroduksikan kepada peneliti untuk
menghubungi informan lain yang merupakan ahli
tentang sektor-sektor masyarakat atau unsur-unsur
yang ingin peneliti ketahui.
D. Teknik Analisis Data
Pada umumnya analisis merupakan upaya
mencari dan menata secara sitematik catatan hasil
observasi, wawancara mendalam, dokumentasi dan
kajian pustaka untuk meningkatkan pemahaman
terhadap masalah yang diteliti. Adapun pemahaman
tersebut sebagai analisis yang dilanjutkan dengan
mencari makna.
Sehubungan dengan hal tersebut, maka analisis
data dalam penelitian ini adalah menggunakan
analisis deskriptif. Menurut Martodirdjo (1991: 85)
analisis deskriptif adalah usaha untuk
menyederhanakan dan sekaligus menjelaskan bagian
dari keseluruhan langkah-langkah klasifikasi dan
kategorisasi sehingga dapat tersusun suatu rangkaian
deskripsi yang sistematis sehingga memperoleh suatu
kesimpulan.
Proses kategorisasi dan klasifikasi data
dilakukan secara bertahap atas informasi dari para
informan. Untuk lebih jelasnya mengenai langkah-
langkah analisis data dalam penelitian ini, yakni
antara lain: langkah pertama, data yang diperoleh dari
hasil pengumpulan data lapangan selanjutnya
dilakukan pemisahan-pemisahan atau
pengkategorisasian, pengklasifikasian sehingga
memudahkan peneliti untuk melakukan analisis
(proses reduksi data), selanjutnya langkah kedua,
dilakukan penafsiran data dan pemeriksaan data atau
verifikasi.
Reduksi data bermakna memilah-milah data
yang dianggap relevan dengan masalah penelitian,
dan kemudian menggolongkan serta
mengorganisasikan data itu sesuai dengan jenisnya.
Dalam melakukan pekerjaan reduksi data ini,
kegiatan yang dilakukan adalah membuat rangkuman
inti, proses dan pernyataan yang perlu dijaga supaya
tetap berada di dalamnya dari data yang diperoleh
Agus Sikwan
75 - JSH
yaitu dengan menyusunnya ke dalam bentuk satuan-
satuan dari berbagai sumber seperti hasil wawancara
mendalam dan observasi di lapangan sehinggga dapat
diidentifikasi.
PERWUJUDAN INTERAKSI ANTAR
KELOMPOK ETNIK DALAM
KEHIDUPAN SOSIAL
KEMASYARAKATAN DI KECAMATAN
ENTIKONG
A. Gambaran Struktur Interaksi Antar
Kelompok Etnik
Pada umunya keberadaan budaya dominan
setidaknya akan mempermudah terwujudnya
keserasian hidup di antara berbaga kelompok, oleh
karena setiap individu dalam perilakunya cenderung
mengacu pada norma-norma, adat istiadat dan nilai-
nilai yang sama, menggunakan simbol-simbol yang
yang sama terutama bahasa. Setiap orang akan
mengacu pada nilai-nilai yang sama, maka unsur-
unsur prasangka, stereotipe antar individu dan
kelompok etnik sukar untuk muncul pada diri setiap
individu. Pada gilirannya jarak sosial di antara
mereka pun tidak akan terbuka lebar.
Keadaannya agak berbeda dalam masyarakat yang
tidak mengenal adanya budaya dominan, seperti
halnya di Kecamatan Entikong. Dalam keadaan
seperti ini masing-masing kelompok etnik cenderung
untuk mempertahankan identitas etniknya. Begitu
juga dalam berbagai kegiatan sosial dan ekonomi
cenderung dikembangkan oleh masing-masing
kelompok etnik. Ketiadaan budaya dominan tersebut
seakan-akan membuka peluang menguatnya
kesetiaan primordial tiap kelompok etnik.
Dalam kerangka hubungan antar kelompok etnik
yang lebih luas, akan ditemui bahwa di antara
kelompok etnik mempunyai stereotipe dan prasangka
terhadap kelompok etnik lain. Prasangka bukanlah
sesuatu yang melekat (inheren) di dalam diri
manusia, melainkan sesuatu yang berkaitan dengan
intensitas interaksi sosial. Prasangka dapat berwujud
rasa permusuhan terhadap seseorang dari kelompok
lain, sedangkan stereotipe merupakan atribut yang
berfungsi sebagai suatu pembeda (label of difference)
yang diarahkan kepada individu dari kelompok
tertentu.
Faktor prasangka sosial dan stereotipe tidak selalu
harus memutus hubungan kerjasama dan hubungan
sosial lainnya di antara individu satuan etnik yang
berbeda. Hal tersebut terutama jika interaksi di antara
mereka tertata dengan baik dan intensif melalui
arena-arena sosial di mana terdapat kegiatan-
kegiatan sosial yang dapat menjembatani sikap-sikap
yang kurang bersahabat di antara individu satuan
etnik.
Gambaran struktur interaksi antar kelompok etnik
di Kecamatan Entikong yang menjadi perhatian
adalah kombinasi spesifik hubungan atau interaksi
antar kelompok etnik Dayak, Melayu, dan Cina
dalam situasi sosial. Sifat hubungan yang diamati
adalah gambaran hubungan yang diklasifikasikan ke
dalam tiga sifat hubungan. Ketiga sifat hubungan
tersebut adalah : (1) sebagai keluarga atau kerabat;
(2) sebagai sahabat; dan (3) sebagai teman atau
kenalan. Adapun sifat hubungan tersebut
diperkirakan akan menghasilkan corak interaksi antar
etnik yang ditunjukkan dalam gambaran struktur
hubungan antar etnik. Selain itu, dengan
menggunakan ketiga sifat hubungan tersebut, akan
dapat diperoleh gambaran unsur-unsur parasangka
sosial, stereotipe, dan jarak sosial di antara
kelompok-kelompok etnik tersebut.
Adapun tolok ukur yang digunakan untuk melihat
bagaimana gambaran struktur interaksi antar etnik
berdasarkan ketiga sifat hubungan sebagaimana
Agus Sikwan
76 - JSH
tersebut di atas, adalah kecenderungan individu
satuan kelompok etnik sebagai kelompok etnik yang
disenangi, baik dari kelompok etniknya sendiri
maupun individu satuan etnik dari kelompok etnik
lain.
Dengan cara seperti itu akan tampak dari tiga
kelompok etnik besar (etnik Dayak, Melayu, dan
Cina) di Kecamatan Entikong yang menjadi unit
analisis dalam penelitian ini, akan diketahui
kelompok etnik mana yang secara relatif sangat
disenangi oleh kelompok-kelompok etnik tersebut.
Berdasarkan pada keadaan tersebut dapat dinyatakan
bahwa suatu kelompok etnik dapat disebut sebagai
kelompok etnik favorit bagi semua kelompok etnik.
Sebaliknya juga akan nampak pula kelompok etnik
mana yang tidak disenangi oleh kelompok-kelompok
etnik lain.
Kecenderungan seperti ini merupakan sesuatu
yang umum terjadi di dalam kehidupan masyarakat.
Faktor yang menjadi pertimbangan adalah bahwa
dengan memilih individu dari kelompok etnik sendiri
secara relatif bagi individu akan lebih mudah
beradaptasi oleh karena adanya berbagai kesamaan
seperti adat istiadat, nilai-nilai, keyakinan, dan unsur-
unsur budaya lain. Hal ini sejalan dengan pendapat
Levine & Campbell (1972 : 40), yang mengatakan
antara lain: “justru manakala ada kesamaan berbagai
faktor seperti kebiasaan, nilai-nilai, dan keyakinan
tersebut pada suatu kelompok, menjadi pertimbangan
kelompok akan saling memilih atau menyukai”.
Kecenderungan memilih pada kelompok etnik
sebagaimana tersebut di atas memperlihatkan bahwa
masih demikian kuatnya kesetiaan primordial di
kalangan kelompok-kelompok etnik dalam rangka
menjalin hubungan kekerabatan.
Kecenderungan untuk memilih individu dari
kelompok etnik sendiri didasarkan atas berbagai
pertimbangan tertentu. Pada umumnya menempatkan
alasan atau argumentasi antara lain adalah jika
perkawinan dilakukan sesama etnik, maka
“kemurnian” kelompok etniknya akan terjaga secara
berkesinambungan. Cara pandang ini tampaknya
agak konservatif serta tetap mengukuhkan salah satu
sikap etnosentrisme berupa penguatan kesetiaan
primordial yang terwujud di dalam perilaku memilih
sesama etnik untuk dijadikan anggota keluarga atau
kerabat. Atribut yang dijadikan pegangan adalah
kesamaan etnik dan kesamaan agama. Cara pandang
seperti ini umumnya masih melekat pada kelompok
generasi tua, di mana dalam sebagian besar daur
hidupnya dilalui masih teguh mempraktekkan nilai-
nilai buadayanya.
Upaya untuk menjaga “kemurnian” kelompok
etnik ini tidak selamanya dapat terwujud, oleh karena
cara pandang generasi muda yang berbeda
dibandingkan dengan generasi tua atau orang tua
mereka. Jika kelompok generasi tua atau orang tua
menggunakan atribut kesamaan etnik dan kesamaan
agama sebagai tolok ukur, maka pada kelompok
generasi muda adalah hanya pada atribut kesamaan
agama tanpa mempersoalkan latar belakang etniknya.
Meskipun tampaknya ada perbedaan cara pandang
di antara generasi tua dan generasi muda, akan tetapi
dalam prakteknya dalam kelompok-kelompok etnik
tertentu terdapat fleksibilitas yaitu menyerahkan
keputusan kepada generasi muda atau anak-anak
yang akan menentukan pilihan mereka sendiri
meskipun secara pribadi orang tua masih teguh
dengan pendirian mereka.
Hal ini sejalan dengan pendapat dari Tokoh
masyarakat di Kecamatan Entikong bernama Bapak
IS (60 th) yang mengungkapkan bahwa umumnya
para orang tua yang tinggal di Kecamatan Nanga
Pinoh ini cenderung untuk memilih menantu atau
Agus Sikwan
77 - JSH
kerabat orang yang berasal dari kelompok etniknya
sendiri. Adapun hal ini selain disebabkan karena
adanya persamaan budaya dan adat istiadat, mudah
beradaptasi, juga ikatan tali silaturahmi sesama
kelompok etnik semakin erat.
Demikian pula pernyataan yang diungkapkan oleh
seorang Tokoh agama bernama Bapak MD (62 th),
yakni para orangtua di Kecamatan Entikong yang
agamanya fanatik, baik ia beragama Islam, Khatolik,
Kristen maupun agama yang lainnya, sangat
menganjurkan kepada anak-anaknya untuk memilih
teman hidup adalah orang yang memeluk agama yang
sama dengan agama yang dianut oleh keluarganya.
Karena hal ini selain menyangkut kebahagiaan hidup
anaknya di dunia juga kebahagian hidup di akhirat
nanti.
Sungguhpun dalam hal pemilihan untuk hubungan
sebagai kerabat di mana masing-masing kelompok
etnik cenderung memilih individu dari kalangan etnik
sendiri, nampaknya faktor pergaulan antar etnik di
dalam suatu wilayah permukiman yang demikian
heterogen dapat mempengaruhi sikap individu dalam
memilih pasangan. Terutama bagi mereka yang
berumur kurang dari 40 tahun dapat digolongkan
sebagai kelompok yang mempunyai kerabat yang
berasal dari luar kelompok etniknya. Kondisi dengan
iklim pergaulan antar etnik yang heterogen dalam
suatu wilayah permukiman dapat menimbulkan
kesan pribadi individu satuan etnik terhadap individu
satuan etnik lain. Tampaknya faktor permukiman dan
durasi menetap yang dapat menimbulkan kesan
pribadi serta daya tarik personal, pada gilirannya
akan dapat menciptakan atau melahirkan iklim
hubungan yang serasi. Iklim yang demikian
memungkinkan untuk terjadinya perkawinan antar
kelompok etnik yang berbeda, Cohen (1974)
menyebut hal seperti itu sebagai amalgamasi.
Berdasarkan hasil observasi yang penulis lakukan di
lapangan, maka tampaknya perkawinan antar etnik di
Kecamatan Entikong tidak akan menjadi ganjalan,
karena didukung oleh faktor oleh faktor permukiman
dan durasi waktu bermukim.
Kesan umum yang muncul terhadap kelompok
etnik Cina di kalangan kelompok-kelompok etnik
lain (seperti etnik Dayak, Melayu, dan Jawa)
menempatkan mereka sebagai kelompok etnik yang
kurang disenangi oleh kelompok-kelompok etnik lain
di Kecamatan Entikong, yakni etnik Cina umumnya
kurang adaptif. Hal tersebut disebabkan karena
umumnya etnik Cina menggeluti aktifitas usaha di
bidang ekonomi. Pekerjaan yang menyita sebagian
besar waktu kehidupan sehari-hari, menyebabkan
munculnya kesan bahwa mereka memiliki sikap
sombong atau menjauhkan diri dari kalangan
kelompok etnik pribumi. Keadaan seperti ini
menunjukkan bahwa orang Cina kurang dekat
dengan etnik-etnik pribumi serta terkesan seolah-
olah tertutup. Ada kesan bahwa orang Cina hanya
mau berinteraksi dengan orang di luar kelompoknya
manakala ia mempunyai “keperluan”, sedangkan jika
tidak ada keperluan mereka cenderung untuk tidak
melakukannya. Dari kondisi seperti ini ada pepatah
yang berkembang di kalangan etnik pribumi terhadap
etnik Cina di Kecamatan Entikong, yaitu: “ada perlu
ada kawan, tidak ada perlu tidak ada kawan”.
Pepatah ini seakan-akan mengandung makna bahwa
etnik Cina hanya membina intaraksi sosial di
kalangan kelompok etniknya saja.
Ditinjau dari aspek permukiman dan kondisi
sosial ekonomi, tampak sekelompok etnik Cina yang
bertempat tinggal di lingkungan etnik-etnik pribumi
sementara status sosial ekonomi mereka tergolong
menengah ke bawah, maka tingkat adaptasinya
cukup baik. Sikap adaptasi tersebut terwujud berupa
Agus Sikwan
78 - JSH
kesediaan mereka bergaul dengan masyarakat sekitar
tempat tinggal mereka yang tampak antara lain ikut
serta dalam aktifitas sosial masyarakat seperti gotong
royong, aktifitas olah raga seperti bola voli, bulu
tangkis, tenis meja, serta kesediaan mereka dalam
memberikan sumbangan materi dalam berbagai
kegiatan kemasyarakatan yang dilaksanakan di
lingkungannya antara lain seperti acara-acara hiburan
perayaan hari ulang tahun kemerdekaan. Jadi
keterlibatan mereka dalam komunitas masyarakat
tersebut tidak hanya kesediaan memberikan
sumbangan berupa materi, tetapi juga kesediaan
mereka secara fisik untuk bergaul dalam interaksi
sosial sehari-hari.
Meskipun secara umum ada kesan bahwa etnik
Cina cenderung menjaga jarak, menutup diri,
bersikap sombong, akan tetapi kondisi itu sudah
barang tentu tidak dapat digeneralisasikan. Dalam
kasus-kasus tertentu terutama manakala telah terjadi
perkawinan antara individu etnik Cina dengan etnik
pribumi seperti di antaranya perkawinan etnik Cina
dengan etnik Dayak, Melayu, atau Jawa, atau
keadaan di mana beberapa etnik Cina bermukim di
sekitar kelompok etnik pribumi di mana mereka mau
melibatkan diri berupa partisipasi secara fisik
maupun materi dalam berbagai kegiatan
kemasyarakatan, keadaannya justru tidak demikian.
Dalam keadaan seperti itu umumnya mereka
menunjukkan sikap yang agak berbeda dalam arti
tidak terlalu menunjukkan “sikap-sikap ke-
Cinaannya” secara mencolok. Malah seolah-olah
kenetralan itu tampak dari sikap untuk
mengedepankan pertimbangan bahwa mereka
merupakan bagian dari lingkungan sosial masyarakat
di mana mereka berada.
Tampaknya, meskipun pada umumnya kelompok-
kelompok etnik pribumi memiliki kesan bahwa etnik
Cina kurang dekat dengan etnik-etnik pribumi, akan
tetapi hal tersebut belum merupakan suatu
kesimpulan final. Dalam kasus-kasus tertentu
sebagaimana yang telah dijelaskan bahwa jika telah
terjadi perkawinan antara etnik Cina dengan etnik
pribumi, atau jika etnik Cina bertempat tinggal di
wilayah yang relatif heterogen di mana sebagian
besar adalah kelompok etnik pribumi, maka
kecenderungannya adalah bahwa etnik Cina
menunjukkan sikap adaptif terhadap lingkungan
sosialnya, karena mereka umumnya mencari “aman”
dalam hidupnya.
Di sisi lain bahwa munculnya kesan bahwa etnik
Cina suka menjaga jarak, tertutup, terkesan sombong,
adalah dikarenakan pola permukiman etnik Cina
sebagian besar hidup mengelompok. Keadaan seperti
ini justru akan mempertegas “batas fisik” serta juga
“batas sosial” antara etnin Cina dengan etnik-etnik
pribumi. Implikasinya adalah di antara etnik Cina dan
kelompok etnik pribumi akan merasa “jauh” satu
sama lain serta kurang melihat keberadaan masing-
masing kelompok sebagai satu kesatuan masyarakat.
Kecenderungan hidup mengelompok etnik Cina
menurut salah seorang informan dari warga etnik
Cina bernama A Chai (40 th), adalah karena adanya
perasaan “canggung” di kalangan orang Cina jika
bergul dengan etnik pribumi. Itu dikarenakan
kurangnya kebiasaan untuk bergaul pada kelompok
etnik Cina.
B. Bahasa Sebagai Media Komunikasi Antar
Etnik
Suatu fenomena yang dapat diamati dalam
kehidupan sosial kelompok etnik di Kecamatan
Entikong adalah dalam hal penggunaan bahasa
sebagai alat komunikasi. Bahasa sebagai bagian atau
salah satu unsur kebudayaan masih digunakan dalam
praktek kehidupan sosial kelompok etnik. Bahasa ibu
Agus Sikwan
79 - JSH
kerap terdengar digunakan terutama oleh individu
satuan etnik manakala terjadi interaksi tatap muka
dengan sesama etniknya, terutama di lingkungan
masyarakat di mana terdapat pengelompokkan
perumahan etnik dalam satu wilayah yang sama.
Penggunaan bahasa ibu tersebut terlebih-lebih
dgunakan di dalam acara-acara pertemuan di dalam
kelompok tiap etnik. Acara-acara yang dilaksanakan
di dalam perkumpulan-perkumpulan sosial berupa
perkumpulan kedaerahan antara lain seperti: Majelis
Adat Budaya Dayak (MABD), MABM (Majelis
Adat Budaya Melayu), Majelis Adat Budaya
Tionghoa (MABT), Kerukunan Masyarakat Jawa
(KMJ), Ikatan Kekerabatan Masyarakat Minang
(IKAMAMI), Kerukunan Keluarga Banjar (KKB)
dan lain-lain. Dalam perkumpulan tersebut, maka
proses interaksi yang terjadi di dalamnya umumnya
didominasi oleh penggunaan bahasa daerah sebagai
media komunikasi. Seperti dalam MABD digunakan
bahasa Dayak sebagai bahasa pengantar, dalam
MABD akan digunakan bahasa Melayu , dan
sebagainya. Hal yang demikian, sebagaimana yang
dinyatakan Parsons (1981) bahwa bahasa
mempunyai kedudukan sebagai aspek yang paling
menonjol dari suatu identitas budaya.
Pengukuhan simbol-simbol kelompok etnik antara
lain berupa penggunaan bahasa daerah melalui
wadah sosial, pada kelompok etnik tertentu disadari
atau tidak, juga digunakan dalam situasi interaksi
atau kontek sosial yang lain. Kontek sosial tersebut
sepeti di pasar, rumah sakit, di pusat perbelanjaan
atau di pertokoan. Meskipun kebiasaan seperti ini
tidak dapat digeneralisasikan pada semua kelompok
etnik, akan tetapi pada kelompok-kelompok etnik
tertentu perilaku menggunakan bahasa daerah seperti
ini dapat diamati. Dalam kaitan ini, De Vos (1982:
30) menyatakan bahwa bahasa membentuk ciri
tunggal dari suatu bentuk pemisahan identitas etnik.
Di antara beberapa kontek sosial seperti yang
telah disinggung, maka yang agak mencolok
penggunaan bahasa daerah adalah di pasar. Pasar
sebagai tempat di mana individu berinteraksi dengan
berbagai latar belakang yang berbeda termasuk latar
belakang kelompok etnik, merupakan tempat di mana
perbedaan-perbedaan sosial saling bertemu.
Karakteristik pasar yang ada di kota Entikong antara
lain adalah : (1) Pasar yang relatif sebagian besar
pedagangnya didominasi oleh satu kelompok etnik
tertentu (etnik Cina) oleh karena pasar tersebut
berlokasi di wilayah permukiman homogen yang
penduduknya merupakan kelompok etnik mayoritas,
misalnya Pasar Sentral atau Pusat Pasar; (2)
Kemudian pasar yang tidak berlokasi di wilayah di
mana terdapat suatu kelompok etnik tertentu dalam
jumlah mayoritas. Pasar yang berada di lokasi seperti
ini di dalamnya ditemui proporsi pedagang dari
kelompok etnik yang relatif heterogen, meskipun
jumlahnya tidak persis sama. Tipe pasar seperti ini
merupakan tipe sebagian besar sebagian besar yang
ada di kota Entikong. Beberapa pasar yang termasuk
ke dalam lokasi yang relatif heterogen antara lain
Pasar tradisional, Pasar pagi, Pasar rakyat, dan lain-
lain.
Dari dua karakteristik pasar tersebut, maka yang
agak kontras suasana di dalammnya dalam hal
penggunaan bahasa adalah di dalam pasar tipe
pertama. Misalnya saja pasar yang terutama
didominasi oleh etnik Cina seperti Pasar Sentral atau
Pusat Pasar yang terutama didominasi oleh etnik
Cina tampak intensitas penggunaan bahasa Cina
cukup tinggi. Selain di dalam lingkungan pasar
seperti yang telah disinggung, melainkan juga di
tempat-tempat umum seperti pusat perbelanjaan,
Agus Sikwan
80 - JSH
pertokoan, maka penggunaan bahasa Cina dalam
interaksi antara sesama individu satuan etnik Cina
kerap kali terdengar. Tampaknya bahasa merupakan
sarana terpenting yang mendekatkan atau
menghubungkan orang Cina dengan sesamanya.
Bahasa seolah-olah merupakan komponen perekat
jaringan interaksi di kalangan etnik Cina. Pada
gilirannya kebiasaan untuk mengutamakan
penggunaan bahasa ibu, kerap kali juga digunakan di
seberang tempat walaupun proses interaksi itu terjadi
di tengah-tengah individu dari satuan kelompok etnik
lain yang sama sekali tidak memahami makna
pembicaraan.
Interaksi dapat berjalan dengan baik melalui suatu
media. Dalam situasi itu bahasa dapat dikatakan
sebagai “shared values” yang esensial dalam
mendukung kelancaran interaksi (Berger dan
Luckman, 1990: 50). Manakala media bahasa tidak
dapat menghasilkan pemahaman atau pengertian
bersama, maka justru sebaliknya dapat menimbulkan
kesalahpahaman antar kelompok etnik.
Bagi individu dari kelompok etnik lain, maka
kemampuan menggunakan bahasa Cina merupakan
suatu keberuntungan, selain dapat berkomunikasi
maka ia juga akan mendapat respon yang lebih akrab
dan agak terbuka. Hal yang demikian oleh karena
bagi orang Cina bahasa merupakan faktor sangat
penting dalam membina relasi sosial yang baik.
Dengan kemampuan berkomunikasi dalam bahasa
Cina, akan menjadi ukuran bagi individu etnik Cina
untuk bersikap terhadap orang lain. Ukuran
dimaksud antara lain apakah bisa mempercayai
seseorang atau tidak khususnya dalam aktivitas
bisnis. Itu pula agaknya mengapa di dalam
perusahaan yang dimiliki etnik Cina, maka mereka
cenderung menempatkan etnik Cina pada tempat
yang lebih strategis dibanding terhadap individu dari
kalangan etnik pribumi seperti misalnya menduduki
jabatan bagian kepegawaian dan keuangan.
Berdasarkan hasil observasi dan wawancara yang
penulis lakukan dengan beberapa informan dari
masing-masing ketiga kelompok etnik besar (etnik
Dayak, etnik Melayu, dan etnik Cina) di Kecamatan
Entikong, maka dapat diketahui bahwa
kecenderungan penggunaan bahasa dalam
berkomunikasi di antara sesama etniknya di tempat-
tempat umum adalah bahasa Indonesia. Hanya saja
pada kelompok etnik Cina yang menampakkan
kecenderungan menggunakan bahasa daerah sendiri
yang lebih besar daripada menggunakan bahsa
Indonesia dengan sesama kelompok etniknya
manakala mereka berada di berbagai tempat umum.
Hasil observasi yang penulis lakukan di lapangan
juga menunjukkan bahwa di dalam lembaga
pendidikan, khususnya sekolah-sekolah swasta
seringkali ditemui perilaku menggunakan bahasa
Cina di kalangan murid-murid etnik Cina dalam
berinteraksi di antara sesama mereka. Di kota
kecamatan (Entikong) terdapat beberapa lembaga
pendidikan negeri dan swasta mulai dari tingkat SD
sampai tingkat Diploma. Di dalam lembaga
pendidikan sekolah yang berstatus negeri, populasi
siswa dari kalangan etnik Cina dapat dikatakan relatif
kecil dibandingkan dengan siswa dari kelompok
etnik lain.
Populasi terbesar siswa etnik Cina umumnya
berada di sekolah-sekolah swasta terutama lembaga
pendidikan yang dikelola oleh Yayasan yang dikelola
oleh kelompok etnik Cina. Di luar lembaga tersebut,
sebagian bisa di dalam lembaga pendidikan yang
disebut sebagai “sekolah pembauran”. Di dalam tipe
sekolah seperti ini ditemui di dalamnya siswa dengan
latar belakang etnik yang beragam seperti Dayak,
Agus Sikwan
81 - JSH
Melayu, Cina, Jawa, Padang, dan beberapa etnik
lainnya.
Meskipun penyelenggaraan sistem pendidikan
sekolah pembauran ditujukan untuk membina
kesadaran di antara siswa berupa kekompakkan dari
latar belakang etnik yang berbeda, namun bukan
berarti di dalam perjalanannya tidak ditemui
hambatan. Studi yang dilakukan Lubis dan
Dharmansyah (1989) menyimpulkan bahwa di
kalangan siswa-siswa masih ditemukan adanya
kecenderungan untuk mengelompok terutama pada
siswa etnik Cina. Mereka masih senang
menggunakan bahasa Cina di lingkungan sekolah
sebagai bahasa pengantar dalam berinteraksi dengan
sesama mereka, meskipun hasil studi tersebut tidak
tergolong sebagai kajian terbaru, namun setidaknya
masih relevan untuk mendukung fenomena yang
ditemukan dalam penelitian ini. Kecenderungan
penggunaan bahasa daerah sendiri di dalam situasi
tempat-tempat umum tersebut akan menyebabkan
tetap adanya kesan yang keliru atau kurang baik pada
individu lain khususnya yang kurang memahami
makna-makna pembicaraan dalam bahasa daerah
tertentu. Kesan kurang baik itu dapat membentuk
prasangka buruk yang pada gilirannya menimbulkan
sikap ingin saling menjauhi. Dalam kasus kelompok
etnik Cina yang cenderung menggunakan bahasa
daerahnya, maka kesan keliru serta prasangka kurang
baik akan tetap melekat pada diri individu satuan
etnik lain terhadap etnik Cina. Kondisi seperti ini
memperlihatkan adanya “rintangan interaksi” oleh
karena tidak adanya pemahaman bersama di antara
individu.
Kebiasaan penggunaan bahasa daerah yang
demikian besar kemungkinan sangat dipengaruhi
oleh pengalaman, terutama proses sosialisasi yang
dialami sejak dalam kehidupan keluarga di rumah.
Menguatnya kebiasaan untuk menggunakan bahasa
daerah sendiri merupakan produk dari kebiasaan
yang dijalani di rumah. Sehinggga tampaknya ada
kaitan antara pengalaman hidup di rumah dengan
perilaku sosial dalam lingkungan yang lebih luas.
Berdasarkan hasil observasi dan wawancara yang
penulis lakukan dengan informan dari kelima
kelompok etnik besar (etnik Dayak, Melayu, Cina,
Jawa, dan Padang) di Kecamatan Entikong, maka
dapat diketahui bahwa dalam lingkup penggunaan
bahasa sebagai alat komunikasi yang digunakan
sehari-hari di rumah, maka terdapat variasi
penggunaan bahasa sebagai alat komunikasi di
rumah, yakni menurut para informan dari kelompok
etnik pribumi seperti etnik Dayak, Melayu, Jawa, dan
Padang mengungkapkan bahwa sebagian besar ( > 50
%) menyatakan menggunakan bahasa Indonesia
dalam berinteraksi di rumah. Sedangkan menurut
pengakuan informan dari kelompok etnik Cina,
bahwa kelompok etnik Cina justru kebalikannya,
yaitu sebagian besar ( > 60 %) yang menyatakan
menggunakan bahasa daerah sendiri (bahasa Cina)
dalam berinteraksi di rumah. Dengan demikian
tampaknya proses sosialisasi di rumah membentuk
kesadaran dan kebiasaan individu berperilaku
termasuk kebiasaan menggunakan bahasa daerah
dalam kehidupan sosial.
Menurut penuturan Camat Entikong (informan
kunci) bahwa sebenarnya pemerintah telah
mensosialisasikan kepada seluruh warga masyarakat
di Kecamatan Entikong untuk mempergunakan
bahasa Indonesia yang baik dan benar. Adapun
sosialisasi ini selain diberikan di sekolah-sekolah,
instansi-instasi, dan tempat-tempat umum yang
sering dikunjungi orang, dengan cara memasang
spanduk, stiker, pamflet dan lain-lain, namun masih
Agus Sikwan
82 - JSH
saja terlihat warga masyarakat yang masih
menggunakan bahasa daerahnya masing-masing.
Sehubungan dengan hal tersebut, maka dengan
menguatnya kecenderungan warga masyarakat
mempergunakan bahasa daerah akan menyebabkan
bahasa Indonesia kehilangan nilai esensinya. Dalam
kontek interaksi sosial antar etnik, bahwa
penggunaan bahasa mempunyai nilai tersirat berupa
kejujuran dan keterbukaan (Sutanto, 1996 : 40).
Dalam kaitan ini, seseorang yang menggunakan
bahasa sebagai alat komunikasi seharusnya
memenuhi kriteria bahwa ia menerapkan kejujuran
dan keterbukaan dalam berbicara, bahwa bahasa
harus dipahami dalam suatu makna yang sama oleh
individu yang berada dalam situasi di mana bahasa
itu digunakan. Manakala bahasa justru menimbulkan
perbedaan makna, maka dalam keadaan seperti ini
justru nilai kejujuran dan keterbukaan dalam
berkomunikasi tidak hadir dalam situasi itu.
Dengan demikian, kecenderungan menggunakan
bahasa daerah di dalam arena interaksi sosial di
kalangan individu satuan etnik-etnik di Kecamatan
Entikong secara tidak langsung akan menimbukan
“jurang pemisah”, berupa jarak sosial atau alpanya
perasaan intim antara satu sama lain. Kealpaan
perasaan intim tersebut karena terhalangi oleh adanya
kesan keliru atau kurang baik sebagai akibat
kurangnya pemahaman terhadap makna pembicaraan
yang dilakukan dalam bahasa daerah. Keadaan
seperti ini pada gilirannya akan menjadi faktor yang
dapat mempersulit untuk terwujudnya keserasian
sosial di antara berbagai kelompok etnik tersebut.
C. Wujud Keserasian Sosial Antar Etnik Dalam
Aktifitas Sosial
Di dalam masing-masing wilayah desa yang
diteliti dapat dikemukakan variasi kelompok-
kelompok etnik yang ada di dalamnya. Kelompok-
kelompok etnik yang terdapat pada masing-masing
desa di Kecamatan Entikong antara lain sebagai
berikut :
1). Desa Entikong, Desa Semangat, dan Desa Nekan
ditemui kelompok etnik besar antara lain: etnik
Dayak, etnik Melayu, etnik Cina, serta terdapat
pula kelompok etnik kecil lainnya seperti etnik
Jawa, etnik Padang, etnik Bugis, etnik Sunda,
etnik Batak, dan etnik Banjar.
2). Desa Pala Pasong dan Desa Suruh Tembawang
ditemui juga ketiga kelompok etnik besar, yaitu
enik Melayu, etnik Dayak, etnik Cina, dan
ditemui juga kelompok etnik kecil lannya yaitu
etnik Jawa, etnik Padang, etnik Bugis, etnik
Banjar, etnik Sunda, etnik Palembang, etnik
Ambon, dan etnik Batak.
Secara umum dapat dinyatakan bahwa iklim
keserasian sosial antar etnik di wilayah penelitian
tergolong ke dalam katagori baik jika menggunakan
tolok ukur antara lain tidak pernahnya terjadi konflik
yang sifatnya terbuka, meskipun potensi untuk
terjadinya konflik tetap ada. Keserasian itu secara
esensial dapat diamati dari keadaan di mana telah
terbinanya suasana hidup saling pengertian di antara
berbagai kelompok etnik serta adanya kepedulian
sosial antar etnik. Kondisi seperti itu memperlihatkan
adanya ikatan berupa jalinan hubungan rasa
persaudaraan, persamaan, kasih sayang, gotong
royong sehingga seolah-olah merupakan satu
kesatuan organisme (Sanusi, 1987: 12). Wujud dari
suasana yang demikian antara lain berjalannya
kebiasaan di mana setiap kelompok etnik melibatkan
diri dalam hal-hal seperti memberikan bantuan baik
tenaga maupun materi. Bantuan yang diberikan
dalam bentuk materi antara lain seperti memberikan
sumbangan berupa uang jika terjadi musibah seperti
Agus Sikwan
83 - JSH
kematian, sakit serta berusaha untuk menghadiri
peristiwa itu.
Selain itu, juga ada kebiasaan saling memberikan
ucapan selamat dalam setiap hari besar yang
dirayakan oleh masing-masing kelompok etnik
seperti Hari Raya Idul Fitri bagi yang beragama
Islam, Natal dan Tahun Baru bagi yang beragama
Kristen dan Khatolik, Hari Raya Waisak bagi yang
menganut agama Budha, dan Hari Raya Imlek bagi
yang menganut agama/kepercayaan Kong Hu Cu.
Hal lain yang merupakan suatu bentuk partisipasi
individu satuan etnik dalam kegiatan sosial
kemasyarakatan antara lain seperti kegiatan gotong
royong bersama membersihkan tempat-tempat
tertentu di lingkungan, membersihkan parit-parit,
atau melaksanakan siskamling. Hal-hal tersebut
selain dilakukan oleh kelima kelompok etnik besar
yang yang ada di Kecamatan Entikong, kemudian
diikuti pula oleh kelompok-kelompok etnik kecil
lainnya yang ada meskipun intensitasnya berbeda-
beda. Keadaan seperti itu menunjukkan tumbuhnya
benih konsensus bersama di dalam kehidupan sosial
kemasyarakatan.
Jika diamati keberadaan wadah-wadah sosial yang
terdapat di Kecamatan Entikong tersebut, tampaknya
keikutsertaan setiap individu satuan etnik dalam
wadah sosial kemasyarakatan akan lebih
memperkokoh iklim kehidupan sosial yang serasi di
antara berbagai kelompok etnik. Melalui wadah
tersebut terjadi dinamika interaksi yang dilakukan
secara teratur, antara lain satu minggu sekali dalam
acara pengajian atau wirid yasin setiap malam Jum’at
bagi Majelis Taklim atau Bustanul Qur’an khususnya
yang beragama Islam, atau setiap hari Minggu bagi
Remaja Gereja. Sedangkan wadah sosial yang
dilembagakan menampung aspirasi dari berbagai
kelompok etnik yang berbeda agama adalah Karang
Taruna. Kalaupun ada yang lain, maka bentuk wadah
lain tersebut adalah bersifat kedaerahan atau atas
dasar kesamaan suku atau asal daerah seperti Majelis
Adat Budaya Dayak (MABD), Majelis Adat Budaya
Melayu (MABM), Masyarakat Adat Budaya
Tionghoa (MABT), Ikatan Kekerabatan Masyarakat
Minang (IKAMAMI), Himpunan Keluarga Batak
(HKB), Kerukunan Keluarga Banjar (KKB), dan
lain-lainya.
Dalam pelaksanaan aktivitas atau program-
program organisasi tersebut, munculnya benturan
atau konflik internal tidak dapat dihindari. Konflik
dimaksud antara lain keinginan anggota agar
pengurus menerapkan aturan organisasi sebagaimana
yang tertuang di dalam Anggaran Dasar dan
Anggaran Rumah Tangga seperti pemberlakuan
sanksi terhadap anggota yang kurang mau atau tidak
mau mengikuti aktivitas organisasi antara lain tidak
menghadiri pertemuan rutin sebanyak tiga kali
berturut-turut, tidak menghadiri peristiwa
kemasyarakatan yang terjadi di kalangan anggota
seperti peristiwa musibah atau kematian. Bentuk-
bentuk sanksi tersebut mulai teguran atau peringatan
sampai kepada sanksi yang lebih keras yaitu dicoret
dari keanggotaan wadah oraganisasi tersebut
Wadah sosial yang khusus mengakomodasikan
aktifitas anak-anak muda antara lain adalah wadah
Remaja Mesjid untuk remaja yang beragama Islam,
Remaja Gereja bagi yang beragama Kristen atau
Khatolik. Di Kecamatan Entikong terdapat juga
wadah Musyawarah Kerja Gotong Royong (MKGR)
yang menampung anak-anak muda dari berbagai
kelompok etnik tanpa membedakan agama. Bentuk
wadah sosial pemuda seperti ini merupakan wadah
yang dibina oleh pihak kelurahan. Melalui wadah
tersebut anak-anak muda yang ada di wilayah
kelurahan diarahkan untuk ikut serta dalam kegiatan
Agus Sikwan
84 - JSH
sosial yang dilaksanakan. Kegiatan yang paling
menonjol dilaksanakan adalah berbagai kegiatan
dalam rangka memperingati hari besar seperti HUT
Kemerdekaan RI, seperti pertandingan olah raga,
berbagai permainan rakyat, dan kegiatan hiburan.
Melalui aktifitas olah raga semua individu satuan
etnik yang berbeda diharapkan dapat berpartisipasi,
baik berpartisipasi dalam hal memberikan
sumbangan materi maupun partisipasi langsung
sebagai peserta. Momen-momen seperti itu dapat
merupakan tolok ukur yang mencerminkan adanya
sikap saling memberi dan menerima serta mengukur
keberadaan individu suatu kelompok sebagai bagian
dari satu kesatuan masayarakat.
Pada umumnya faktor waktu bekerja dianggap
sebagai kendala, namun demikian tetap ada
mekanisme untuk mengatasinya, antara lain adalah
melalui acara pengajian atau yasinan yang
dilaksanakan setiap malam Jum’at, dalam
melaksanakan ibadah seperti sholat maghrib
berjamaah di Mesjid atau Surau, tiap hari Minggu
pergi sembahyang ke Gereja bagi yang beragama
Kristen, kegiatan gotong royong pada hari Minggu
bagi mereka yang tidak ke Gereja.
Meskipun telah berjalannya berbagai aktifitas
sosial di Kecamatan Entikong sedemikian rupa yang
setiap individu satuan etnik diharapkan dapat
berpartisipasi, namun pada kelompok-kelompok
etnik tertentu masih kurang menunjukkan
partisipasinya secara sunguh-sungguh dalam arti
keikutsertaan diri secara langsung.
Berdasarkan hasil observasi dan wawancara yang
penulis lakukan di lapangan, ternyata umumnya
kelompok etnik yang dimaksud adalah dari kelompok
etnik Cina. Keadaan ini ditemui di wilayah pasar
sentral dan pusat-pusat perbelanjaan atau pertokoan,
dimana sebagian besar kelompok etnik Cina
berdomosili. Mereka meskipun ikut berpartisipasi
akan tetapi pada umumnya mereka hanya
memberikan sejumlah uang kepada orang tertentu
untuk menggantikan kehadirannya. Jika kegiatan
tersebut adalah gotong royong maka biasanya mereka
lebih suka membayar orang atau memberikan
sejumlah uang kepada Kepala Lingkungan sebagai
ganti ketidakikutsertaan mereka, sedangkan jika
kegiatan itu adalah siskamling maka ia akan
membayar orang tertentu untuk menggantikannya
menjalankan tugas ronda atau siskamling tersebut.
Perilaku seperti ini menimbulkan kesan di kalangan
warga etnik lain bahwa kelompok etnik Cina itu
sombong., tidak mau bergaul, menciptakan jarak, dan
sebagainya.
Berdasarkan hasil observasi yang penulis lakukan
di lapangan, maka dapat diketahui bahwa ternyata
bagi orang Cina sulit untuk memilih waktu tertentu
untuk bisa bertemu dengan sesama warga dan
termasuk juga dengan sesama etniknya, sebab
mereka masing-masing memiliki kesibukannya. Jika
seandainya ada kegiatan lingkungan bersama yang
diselenggarakan oleh Kepala Lingkungan seperti
gotong royong, siskamling, maka biasanya dicari
orang lain sebagai pengganti dengan membayar
sejumlah uang kepada penggantinya itu oleh karena
esok hari akan bekerja. Jika terjadi musibah
kematian di lingkungannya kebiasaan mereka
berpartisipasi memberikan sumbangan materi,
sedangkan untuk menghadiri secara langsung mereka
menganggap ada semacam “pantangan”. Adanya
pantangan tersebut menyebabkan orang Cina
mewakilkan anaknya atau orang lain untuk
menghadiri acara prosesi pemakaman tersebut.
Dalam hal-hal tertentu seperti seseorang yang
ditimpa musibah adalah orang yang sangat dikenal
atau rekan bisnis, atau mungkin pegawai atau
Agus Sikwan
85 - JSH
karyawan di pewrusahaannya, maka pantangan
tersebut bukam merupakan penghalang untuk
menghadirinya.
Kehidupan sosial di kalangan warga etnik yang
berbeda agama pun di Kecamatan Entikong
tergolong serasi. Hal ini tidak saja terlihat dari
kebebasan masing-masing penganut agama
melaksanakan ajaran dan keyakinan agamanya,
melainkan terwujudnya saling menghormati dan
menghargai di antara kelompok-kelompok yang
berbeda agama. Hal seperti ini menggambarkan
bahwa toleransi dalam kehidupan beragama di antara
kelompok-kelompok etnik di Kecamatan Entikong
tergolong baik.
Rasa saling menghormati dan menghargai
tersebut tampak dalam peristiwa sosial seperti
kemalangan dan kegiatan-kegiatan seperti hajatan
atau pesta. Di desa-desa seperti Desa Entikong, Desa
Semangat, Desa Nekan, Desa Pala Pasong, dan Desa
Suruh Tembawang di Kecamatan Entikong berjalan
suatu kebiasaan dimana antar warga saling
mengunjungi jika terjadi musibah. Mereka juga
saling mengunjungi jika satu sama lain saling
mengundang pada peristiwa-peristiwa seperti
kegiatan pesta. Dalam suatu wilayah desa yang terdiri
dari warga etnik yang berbeda agama seperti ditemui
di Desa Entikong, Desa Semangat, Desa Nekan, Desa
Pala Pasong, dan Desa Suruh Tembawang di
Kecamatan Entikong terdapat suatu kebiasaan saling
mengundang di antara warga etnik yang berbeda
agama dalam kegiatan pesta atau hajatan sebagai
wujud adanya saling menghormati. Manakala yang
mempunyai hajatan adalah warga etnik yang
beragama Kristen atau Khatolik misalnya, maka
mereka akan menyediakan makanan yang khusus
dimasak menurut ketentuan ajaran agama Islam yang
diperuntukkan bagi para undangan yang beragama
Islam. Masakan tersebut sengaja diserahkan kepada
seseorang tertentu yang beragama Islam.Kebiasaan
seperti itu sebagai wujud rasa menghormati sekaligus
menghargai di antara warga yang berbeda agama.
Kebiasaan saling mengundang jarang terjadi antara
kelompok etnik pribumi dan etnik Cina. Hanya
orang-orang tertentu dari kalangan etnik pribumi
yang biasa mengundang kelompok etnik Cina, itu
pun terbatas pada adanya faktor kenalan atau relasi
dagang. Di kalangan etnik Cina jarang menggunakan
rumah kediaman sebagai tempat acara pesta
Meskipun terdapat perbedaan dalam kebiasaan
saling mengunjungi atau saling mengundang pada
kelompok-kelompok etnik tertentu, akan tetapi
kehidupan bertetangga di antara kelompok etnik yang
berbeda etnik itu masih juga sering terjadi konflik.
Adapun bentuk konflik yang sifatnya terbuka hanya
berupa perselisihan kecil berupa salah paham antar
anak muda. Perselisihan yang terjadi tidak pernah
sampai meluas menjadi konflik antar kelompok etnik
atau antar agama. Bentuk lain adalah perselisihan
antar keluarga karena persoalan yang menyangkut
anak-anak kedua belah pihak. Umumnya konflik-
konflik terbuka yang intensitasnya relatif kecil
tersebut dapat diselesaikan melalui mekanisme
musyawarah yang dilakukan oleh tokoh atau pemuka
masyarakat. Seperti tokoh masyarakat, tokoh
pemuda, aparat lingkungan yaitu Ketua RT atau
Kepala Lingkungan, pemuka agama, Adapun tokoh-
tokoh tersebut merupakan sesorang yang dihormati
atau disegani oleh kalangan anak muda ole karena
perhatiannya yang besar terhadap masalah anak
muda.
Kondisi lain yang mencerminkan adanya bentuk
konflik adalah yang menyangkut masalah politik dan
keamanan masyarakat, yaitu masalah yang pernah
terjadi dalam peristiwa pemilihan kepala daerah
Agus Sikwan
86 - JSH
(Bupati) atau Kepala desa, di mana warga masyarakat
yang mengusung salah satu calon Bupati atau Kepala
desa yang berasal dari salah satu kelompok etnik
tertentu selalu saja berusaha untuk meraih dukungan
suara terbanyak dengan cara menjelek-jelekan atau
menjatuhkan nama baik calon Bupati atau Kepala
desa yang berasal dari kelompok etnik lainnya.
Konflik ini pada dasarnya merupakan konflik yang
sifatnya laten yaitu yang muncul di dalam kehidupan
bermasyarakat secara tiba-tiba dan sulit untuk diatasi.
Di samping itu juga, terdapat juga konflik-konflik
lainnya, seperti konflik yang menyangkut masalah
persaingan dalam memperoleh pekerjaan, masalah
tanah, sistem keamanan lingkungan dan kegiatan
kerjasama yaitu gotong royong dalam melaksanakan
kebersihan lingkungan. Konflik ini juga pada
dasarnya merupakan konflik yang sifatnya laten yaitu
yang muncul di dalam diri masing-masing individu.
Konflik batin seperti ini sulit diperkirakan dan juga
sulit untuk diatasi. Adanya konflik ini sangat terkait
dengan beberapa aspek seperti kesediaan warga etnik
tertentu untuk mau mengalah dalam perselisihan
mendapatkan pekerjaan dan masalah tanah, serta
tidak adanya kesediaan warga etnik tertentu untuk
berpartisipasi dalam kegiata-kegiatan keamanan
lingkungan dan gotong royong.
Keengganan individu satuan etnik tertentu untuk
mengalah dalam persaingan untuk memperoleh
pekerjaan dan tanah dari individu satuan etnik
lainnya, serta keengganan individu satuan etnik
tertentu untuk berpartisipasi aktif secara langsung
secara langsung atau sebaliknya hanya kesediaan
untuk memberikan uang sebagai pengganti dirinya
atau membayar orang lain untuk menggantikan
keikutsertaannya, merupakan kondisi untuk
munculnya konflik laten pada diri individu. Secara
tidak langsung jika kondisi bahwa terdapat semakin
banyak individu satuan etnik yang melakukan hal
serupa, maka akan menyebabkan rendahnya
intensitas interaksi di antara mereka dan tetap adanya
jarak sosial di antara mereka.
Dilihat dari aspek permukiman dalam kerangka
pembinaan interaksi sosial, studi yang pernah
dilakukan oleh Pelly (1987); dan Andayani (1995),
menemukan bahwa di daerah perkotaan di Indonesia
terdapat tiga pola permukiman, yaitu pola membaur,
setengah membaur, dan terpisah atau segregatif. Pola
membaur adalah permukiman di mana penduduknya
terdiri dari berbagai etnik, pola setengah membaur
adalah permukiman di mana penduduknya terdiri dari
berbagai etnik akan tetapi terdapat satu kelompok
kecil etnik yang berada di tengah berbagai kelompok
etnik tersebut. Pola terpisah atau segregatif adalah
permukiman yang mengelompok di mana antara
kelompok etnik yang satu dengan etnik yang lain
terpisah dan dibatasi oleh batas-batas tertentu.
Menurut Budihartono (1993) bahwa kondisi seperti
itu umumnya ditemui di pelbagai kota di Indonesia
yang memperlihatkan adanya segregasi hunian
(residential segregation). Prosesnya terjadi secara
sukarela (voluntary) antar pelbagai suku atau bahkan
agama.
Menurut hemat penulis jika digunakan tolok ukur
aktifitas dimana terbinanya interaksi antar etnik,
maka pola permukiman khususnya di Ibukota
Kecamatan (Kota Entikong) dapat diklasifikasikan
ke dalam dua pola, yaitu: Pertama, pola membaur
untuk menunjukkan pada peluang terwujudnya
intensitas interaksi yang relatif tinggi, dan Kedua,
pola terpisah yang menunjukkan peluang
terwujudnya intensitas interaksi yang relatif rendah.
Agus Sikwan
87 - JSH
INTERAKSI ANTAR ETNIK DALAM
KEHIDUPAN SOSIAL
KEMASYARAKATAN DI KECAMATAN
ENTIKONG
A. Struktur dan Permukiman Kelompok Etnik Di
Kecamatan Entikong
Dalam aspek permukiman tampak bahwa
kelompok etnik tertentu mendiami lokasi-lokasi
pusat perdagangan dan pusat kota dengan pertokoan
dijadikan sebagai rumah kediaman. Umumnya yang
mendiami lokasi itu adalah kelompok etnik Cina.
Ada pula kelompok permukiman yang berdampingan
dengan lokasi permukiman etnik Cina, yaitu
kelompok etnik Padang. Keadaan ini terjadi
demikian, oleh karena kedua kelompok tersebut
mempunyai pilihan (preferensi) yang sama di bidang
ekonomi dan perdagangan. Selain itu, bentuk lain
polarisasi permukiman penduduk di Kecamatan
Entikong adalah terlihat pada permukiman kelompok
etnik Dayak dan Melayu. Pada umumnya kelompok
etnik Dayak sebagian besar bermukim di kawasan
lahan-lahan perkebunan, dan pekerjaan mereka
umumnya berkebun.
Pada umumnya kelompok etnik Dayak sebagian
besar mendiami daerah pedalaman (daratan), bahkan
cenderung bermukim di kawasan hutan dan lahan-
lahan pertanian yang disesuaikan dengan pola
pertanian tradisional mereka (berladang), dan
umumnya sebagian besar dari mereka bekerja
sebagai petani tradisonal. Karena pemukiman yang
demikian, maka mereka pernah disebut oleh
kelompok etnik lain sebagai “orang darat”.
Sedangkan kelompok etnik Melayu sebagian besar
bermukim di daerah pesisir sungai dan muara sungai,
dan umumnya mereka bekerja sebagai nelayan
tradisional, meskipun kecenderungannya sekarang
kelima kelompok etnik besar tersebut sudah mulai
mengalami perubahan dengan tumbuhnya beberapa
permukiman baru sebagai pilihan tempat tinggal
mereka.
Berdasarkan data monografi Kecamatan
Entikong (2010), tercatat bahwa kelompok etnik
Dayak dan Melayu merupakan dua kelompok etnik
mayoritas dari segi jumlah dan telah lama bermukim
di Kecamatan Entikong, di samping kelompok etnik
Cina, dan kelompok etnik lainnya seperti Padang,
Jawa, dan Batak. Namun, kelompok-kelompok etnik
lainnya yang datang dari luar maupun dari dalam
nusantara sendiri, yang secara berturut-turut datang
relatif lebih belakangan (baru), turut menambah
heterogenitas dan kemulti-etnikan daerah ini. Ini juga
menambah keragaman dan kekayaan khasanah
sejarah sosial keetnikan di Kecamatan Entikong.
Dua kelompok etnik besar yang bermukim di
Kecamatan Entikong (etnik Dayak dan Melayu),
merupakan dua kelompok etnik yang telah lama
bermukim di daerah ini. Bahkan secara umum
dikenal bahwa kelompok etnik Dayak dipandang
sebagai penduduk asli di Kecamatan Entikong,
sedangkan kelompok etnik Melayu, yang datang ke
daerah Kecamatan Entikong lebih belakangan sedikit
dari kelompok etnik Dayak, dianggap sebagai
penduduk asli kedua. Namun ungkapan “pertama”
dan “kedua” tidak menjadi masalah benar bagi
anggota kedua kelompok etnik tersebut, karena
keduanya hidup secara berdampingan dan saling
berinteraksi.
Sebelum tahun 1970, orang-orang Dayak di
Kecamatan Entikong berorientasi pada tradisi dan
adat Dayak, sehingga mereka menyebut diri mereka
sebagai masyarakat adat. Setelah tahun 1970-an,
orientasi tersebut telah berubah ke arah agama yang
dianut oleh kelompok etnik Dayak baik Islam,
Kristen protestan maupun Katholik, terlebih mereka
yang menganut kepercayaan nenek moyang.
Agus Sikwan
88 - JSH
Persaingan antara kelompok etnik Dayak baik yang
menganut agama/kepercayaan tertentu dengan
kelompok etnik lainnya yang menganut agama
tertentu lebih mudah timbul dalam orientasi baru
semacam ini karena adanya pengidentifikasian
kelompok etnik yang mengedepankan
agama/kepercayaan yang dianut mereka masing-
masing.
B. Sistem Kekerabatan dan Nilai Budaya
Kelompok-Kelompok Etnik Di Kecamatan
Entikong
1. Sistem Kekerabatan dan Nilai Budaya
Kelompok Etnik Dayak
Pada umumnya dalam kehidupan kelompok etnik
Dayak di Kecamatan Entikong terdapat nilai-
nilai budaya yang berlaku di dalam kelompok
etniknya. Adapun nilai-nilai budaya tersebut,
antara lain :
a. Pangari Bare
Pangari Bare merupakan bentuk kegiatan tolong-
menolong dalam bidang pertanian. Atri bare
merupakan kelompok kerja kecil yang terdiri atas
10 – 15 orang. Kesesuaian dalam kelompok kerja
sangat diperlukan karena kelompok ini harus
bekerjasama dalam waktu yang cukup lama.
Sebagai contoh warga masyarakat yang tidak
mampu bekerja misalnya sakit, cacat, jompo dan
lain-lain. Pertolongan itu dapat diberikan secara
suka rela demi kemanusiaan, tidak perlu
memberikan imbalan.
b. Bappentik
Bappentik dapat diartikan “berpantang” yaitu
tidak boleh mengerjakan sesuatu pekerjaan yang
berat atau tidak boleh mengerjakan sesuatu
karena ada sesuatu maksud. Dalam Bappentik
terkandung pengertian sesuatu yang tabu yang
sebaliknya jangan dilanggar. Larangan ini tidak
boleh bekerja berat, tidak boleh beprgian jauh
karena di desa terjadi peristiwa kematian.
Sebagai contoh seluruh warga desa ikut
Bappentik apabila di desa ada peristiwa
kematian, di mana seluruh warga desa
menghentikan kegiatannya, mereka bersiap-siap
menuju ke tempat keluarga yang mengalami
kematian dengan membawa bantuan sekedarnya.
c. Gawe
Gawe atau Gawai berarti “pesta besar”. Gawe
ini banyak berhubungan dengan keyakinan,
karena menurut kepercayaan masyarakat Dayak
adalah suatu hal yang aib bila di dalam hidupnya
seseorang tidak menyelenggarakan gawe.
Adapun tujuan dari gawe ini adalah untuk
membalas kebaikan arwah orang yang telah
meninggal. Gawe ini diikuti oleh seluruh warga
yang ada dalam masyarakat di lingkungan satu
desa. Pada dasarnya masyarakat suku dayak
berprinsip bahwa untuk meningkatkan martabat
harus menyelenggarakan satu gawe. Keluarga
yang belum pernah menyelenggarakan gawe
kedudukannya dalam masyarakat kurang
dihormati. Sebagai contoh gawe atau pesta adat
dilaksanakan pada waktu hasil panen berlimpah.
2. Sistem Kekerabatan dan Nilai Budaya
Kelompok Etnik Malayu
Secara umum suku bangsa Melayu di
Kabupaten Sanggau khususnya suku bangsa
Melayu di Kecamatan Entikong, mendiami
daerah pesisir sungai dan muara sungai. Suku
bangsa Melayu ini bercampur dan berbaur
dengan suku pendatang yang beragama Islam.
Keturunan dari perkawinan campuran antara
suku bangsa Melayu dengan suku bangsa lain
cenderung mengaku dirinya juga sebagai suku
Agus Sikwan
89 - JSH
Melayu. Pada umumnya sistem kekerabatan
sebagai suatu sistem sosial yang ada dalam suku
bangsa Melayu di Kecamatan Entikong meliputi
:
a. Keluarga Inti
Di dalam kelompok suku bangsa Melayu ini,
keluarga inti terdiri dari ayah, ibu dan anak-
anaknya. Jarang ditemukan keluarga inti yang
bersifat poligami dalam arti seorang suami
mempunyai istri lebih dari satu orang. Kalau ada
suami yang mempunyai istri lebih dari satu
orang maka istri-istri lainnya dipisahkan dan
membentuk keluarga inti sendiri, dan tidak
berada dalam satu rumah tangga dan halaman.
Keluarga inti seperti ini adalah keluarga inti
yang hidup di kota Nanga Pinoh, karena di kota
tempat mereka mencari nafkah.
b. Keluarga Luas
Di dalam masyarakat suku bangsa Melayu yang
hidup di kota Nanga Pinoh jarang ditemukan
apa yang disebut dengan keluarga luas, yaitu
kelompok kerabat yang terdiri dari lebih satu
dari keluarga inti. Tetapi bagi keluarga yang
masih bertempat tinggal di tempat asalnya,
seperti suku bangsa Melayu yang ada di desa
Entikong, desa Semangat, dan desa Nekan,
bentuk keluarga luas ini masih didapati. Adapun
penyebab utamanya adalah adat yang
menentukan bahwa menantu laki-laki harus
tinggal di tempat perempuan.
c. Kinred
Dalam hubungannya dengan kekerabatan suku
bangsa Melayu masih ditemukan “Kinred”, yaitu
adanya kesatuan kerabat yang melingkari
seseorang. Sehubungan dengan aktifitas-aktifitas
tertentu, seperti peristiwa perkawinan, kematian
dan sebagainya. Biasanya dalam akifitas-aktifitas
tertentu itu semua orang yang masih dianggap
ada hubungan darah yang dapat ditelusuri
diberitahukan dan diundang untuk dapat
mengambil bagian. Seandainya ada yang tidak
diundang, sedangkan yang bersangkutan masih
merasa ada hubungan kerabat dengan yang
menyelenggarakan aktifitas, maka yang
bersangkutan akan merasa tersinggung. Hal
tersebut akan menimbulkan kerenggangan dalam
hubungan kekerabatan selanjutnya. Pada
umumnya suku bangsa Melayu yang bermukim
di Kecamatan Entikong hampir seluruhnya
beragama Islam. Agama itu dianut secara turun
temurun dengan pemahaman yang cukup tinggi.
Sejak kecil anak-anak diajar mengaji untuk
mendasari pengetahuan dan keyakinan
keagamaannya. Guru mengaji terdapat di mana-
mana di setiap desa. Debat soal agama antara
warga yang hidup dalam kelompok terjadi kapan
saja. Hal ini menunjukkan bahwa ajaran agama
cukup diresapi oleh para pemeluknya.
Kelompok-kelompok kecil dalam keagamaan
bermunculan seperti kelompok remaja mesjid,
kelompok Majelis Taklim, kelompok bersanji,
dan lain-lain.
Di dalam kehidupan masyarakat suku bangsa
Melayu di Kecamatan Entikong, terdapat nilai-
nilai budaya yang berlaku di kalangan kelompok
etniknya. Adapun nilai-nilai budaya tersebut
antara lain :
a. Berpepas
Berpepas adalah selamatan kecil untuk
menghindari pengaruh negatif dari sejenis
makhluk halus yang ada di sekitar lingkungan
Agus Sikwan
90 - JSH
tempat tinggal. Upacara seperti ini bersifat
relegius. Pada dasarnya upacara ini dilakukan
dengan pembacaan doa selamat untuk memohon
kepada Allah agar dibebaskan dari segala
gangguan, kemudian dilanjutkan dengan
memercikkan air tepung tawar kepada obyek
yang dianggap mendatangkan sial. Berpepas
diselenggarakan oleh suatu keluarga atau
masyarakat yang disaksikan oleh beberapa
tetangga. Sebagai contoh apabila seseorang
mendapat berbagai gangguan atau
ketidakmujuran yang disebabkan oleh sesuatu di
luar kemampuan manusia.
b. Balale (tolong menolong)
Belale adalah bekerja saling tolong menolong
secara bergantian dalam suatu kelompok. Belale
merupakan sistem tolong menolong berbentuk
pengerahan dalam bidang pertanian. Anggota ini
terdiri dari orang-orang yang sepaham. Sebagai
contoh pada waktu musim berladang, para petani
dalam lingkungan tertentu membentuk suatu
kelompok lalean. Seorang anggota lalean merasa
wajib untuk membalas bantuan tenaga dari
anggota lain yang telah membantunya.
Bantuan tenaga itu merupakan suatu hutang
yang harus dibayarnya pada giliran yang telah
ditentukan.Pada waktu kena giliran keluarga
yang mampu, mereka akan menyediakan makan
an, tetapi bagi keluarga yang tidak mampu
makanan itu bukan merupakan suatu kewajiban
yang harus dipenuhi. Adapun hasil yang dicapai
dari dibentuknya sistem lalean ini antara lain
bahwa hubungan kekerabatan antara para
anggota lalean ini akan terpelihara dengan baik
karena satu sama lain saling memerlukan. Hasil
lain yang dicapai seperti pekerjaan lebih menarik
karena terjadi saling menghibur, saling belajar
dan saling bertukar pikiran.
c. Pekatan (Musyawarah)
Pekatan adalah persetujuan untuk
menyelenggarakan saling tolong menolong.
Sebagai contuh dalam suatu pesta perkawinan
beberapa orang warga masyarakat yang saling
dapat bekerjasama mengadakan semacam
musyawarah untuk mengadakan suatu pekatan.
Dalam musyawarah itu dibicarakan tentang
betapa beratnya beban yang harus dipikul oleh
seorang keluarga dalam menyelenggarakan
pesta. Dalam musyawarah itu diputuskan bahwa
semua peserta untuk saling membantu bilamana
anggota-anggotanya akan menyelenggarakan
pesta perkawinan.
d. Kemit
Kemit berarti “jaga”dan dapat disamakan dengan
ronda malam. Pusat kegiatan kemit ini disebut
pos. Pos-pos itu dapat berupa bangunan khusus.
Sebagai contoh menjaga kampung merupakan
kewajiban seluruh warga masyarakat, karena itu
kemit merupakan bentuk kegotongroyongan
masyarakat dengan menggerakkan tenaga secara
bergantian.
3. Sistem Kekerabatan dan Nilai Budaya
Kelompok Etnik Cina /Tionghoa
Kelompok suku bangsa Cina/Tionghoa
masih termasuk kategori penduduk pendatang,
meskipun mereka umumnya sudah lama tinggal
di Kecamatan Entikong. Golongan etnik
Cina/Tionghoa ini terdiri dari bermacam macam
suku bangsa sesuai dengan daerah asalnya di
Cina. Menurut daerah asal nenek moyang
orang-orang Cina yang pindah ke Kabupaten
Sanggau, khususnya Kecamatan Entikong
Agus Sikwan
91 - JSH
terbagi atas suku-suku antara lain Kek, Hoklo,
Hokkian, Thin, Chiu, dan lain-lain. Perbedaan
suku juga menunjukkan bahasa dan adat
istiadat. Antara suku-suku tidak saling
berkomunikasi dengan jelas, jika mereka
mempergunakan bahasa suku masing-masing.
Dalam masyarakat Cina ada kecenderungan
untuk mengembangkan sistem kekerabatan
(Siang/Marga) dalam berbagai aspek kehidupan
seperti kerjasama dalam perdagangan,
perkumpulan kematian, tempat ibadah dan lain-
lain. Dalam satu siang lebih akrab daripada
hubungan sosial dengan lain siang. Namun
demikian keturunan Cina ini merupakan
pendukung kebudayaan Cina. Kesamaan
budaya di antara suku-suku itu dapat dilihat
dalam kesamaan jenis upacara tradisional,
dalam penyelenggaraan upacara perkawinan
dan upacara kematian.
Berdasarkan hasil wawancara dan observasi
yang penulis lakukan di lapangan, maka dapat
diketahui bahwa sebenarnya nilai-nilai budaya
kelompok etnik Cina/Tionghoa sangat berbeda
dengan nilai-nilai budaya kelompok etnik
lainnya di Kecamatan Nanga Pinoh. Adapun
nilai-nilai budaya mereka banyak berasal dari
aliran Taoteisme dan Konfucusianisme, yang
mana kedua-duanya itu merupakan suatu ajaran
keduniawian. Dan untuk lebih jelasnya kedua
aliran tersebut, maka dapat dilihat pada
penjelasan di bawah ini.
a. Taoteisme
Taoteisme merupakan aliran tentang jalan yang
benar, di mana dasar dan pandangan hidup ini
menetapkan kepada hubungan antara manusia
dengan alam. Contoh: Ibadah pemujaan yang
dilakukannya dipergunakan sebagai sarana
untuk memperoleh dan mencapai berkat-berkat
duniawi.
b. Konfucusianisme
Konfucusianisme mengandung faham tentang
soal-soal kekeluargaan dan ketatanegaraan
yang menyebabkan elompok etnik Cina
menjadi masyarakat yang tertutup, eksklusif
berdasarkan pada ajaran mengenai
penghormatan kepada orang tua, khususnya
mengenai kewajiban anak untuk tetap berbakti
kepada kedua orang tuanya ini tidak terbatas
artinya kewajiban itu ditandai dengan
pemujaan terhadap arwah leluhurnya yang
dilaksanakan dalam bentuk upacara tradisional
Pemujaan ini dilakukan atas dasar pemikiran
yang bersumber pada ajaran Kong Fu Cu.
Menurut faham ini, inti kresejahteraan pada
masyarakat terletak pada keluarga. Keluarga
merupakan inti dari kehidupan tradisional.
Sebagai contoh religi masyarakat Cina sangat
erat hubungannnya dengan keluarga, di mana
upacara-upacara keagamaan dilakukan di
rumah-rumah.
C. Interaksi Antar Kelompok Etnik Dalam
Kehidupan Bermasyarakat
Dinamika kehidupan bermasyarakat pada
hakikatnya muncul dalam situasi hubungan atau
interaksi yang dilakukan dalam konteks sosial
tertentu dan mempunyai fungsi tertentu pula (Pelly,
1973). Interaksi sosial menurut Suparlan (1989: 11)
dapat dilihat sebagai interaksi yang terjadi di antara
indentitas-identitas sosial yang berbeda yang
perwjudannya akan berupa interaksi dari simbol-
simbol yang diaktifkan oleh masing-masing pelaku
yang terlibat dalam interaksi tersebut. Kualitas hidup
bermasyarakat sesungguhnya adalah kualitas yang
Agus Sikwan
92 - JSH
menyangkut hubungan antara manusia pribadi
dengan sesama manusia dalam lingkaran sosial atau
masyarakat sekelilingnya.
Berdasarkan hasil observasi yang penulis
lakukan di Kecamatan Entikong, maka dapat
diketahui bahwa interaksi yang terjadi baik dalam
kelompok maupun antar kelompok etnik berdampak
terhadap perubahan-perubahan pada masyarakat. Hal
ini terbukti di dalam masyarakat yang bersifat
majemuk yang terdiri dari berbagai suku akan terjadi
perubahan-perubahan setahap demi setahap. Suku
Dayak maupun suku Melayu di Kecamatan Entikong
merupakan masyarakat yang dominan dan menjadi
panutan bagi kelompok suku pendatang, dan
kelompok suku pendatang tersebut umumnya akan
menyesuaikan diri dengan kedua kelompok etnik
yang dominan tersebut. Kenyataan ini terbukti
dengan mulai terbiasanya masyarakat suku
pendatang melakukan kebiasaan sehari-hari orang
Melayu, seperti dalam hal masakan, penggunaan alat-
alat rumah tangga, mandi dan mencuci di sungai yang
mungkin menurut kebiasaan daerahnya berbeda.
Selain itu adat istiadat sehari-hari yang dibawa oleh
setiap suku bangsa, mulai jarang dilakukan. Begitu
juga dalam pergaulan mereka sehari-hari sudah
jarang menggunakan komunikasi dengan bahasa
daerah mereka, tetapi menggunakan bahasa Melayu.
Hubungan yang terjalin antar kelompok etnik
besar yang bermukim di Kecamatan Entikong (etnik
Dayak, Melayu, dan Cina), akan menciptakan
keserasian sosial apabila hubungan itu terjalin
dengan harmonis. Mereka tidak lagi bersifat
kedaerahan tetapi cenderung lebih mengarah kepada
faham nasionalisme. Salah satu kemungkinan
terjadinya proses interaksi ini adalah terjaadinya
perkawinan antar suku dari masing-masing
kelompok etnik. Di sini paling tidak akan terdapat
dua adat istiadat yang berusaha dipadukan agar
terjalin menjadi satu kesatuan dan dalam hubungan
selanjutnya akan melahirkan manusia baru.
Dengan adanya hubungan interaksi yang terus
menerus terjadi di dalam kehidupan masyarakat,
maka dalam masyarakat akan timbul pandangan-
pandangan terhadap suku lain baik yang bersifat
positif maupun negatif berdasarkan pengalaman yang
terjadi sehari-hari. Sesuai dengan pengalaman di
lokasi penelitian, keterangan yang jelas dari anggota
masyarakat sulit diperoleh karena umumnya mereka
khawatir ataupun kurang aman apabila mereka
mengemukakan pendapatnya. Namun ada juga
anggota masyarakat yang mau mengemukakan
pandangan mereka terhadap suku lain.
Pandangan kelompok etnik lain terhadap
kelompok etnik Melayu berbeda dengan pandangan
terhadap kelompok etnik Dayak. Pada umumnya di
Kecamatan Entikong kelompok etnik Melayu
mempunyai peranan penting dan bekerja sebagai
pegawai negeri, guru, pedagang, buruh, maupun jasa.
Pendidikan mereka ada yang lulusan Sarjana (S1),
Diploma Tiga (D3), SMA, bahkan ada juga SD.
Mayoritas kelompok etnik Melayu ini mempunyai
pendidikan yang cukup dan pekerjaan yang mapan.
Mereka telah mempunyai wawasan nasional yang
cukup, rasa solidaritas yang cukup tinggi karena pada
dasarnya kelompok etnik Melayu juga mempunyai
nilai-nilai kegotong-royongan yang tinggi.
Sementara itu menurut pandangan kelompok
etnik lain terhadap kelompok etnik Dayak, adalah
bahwa kelompok etnik Dayak merupakan orang-
orang yang cinta damai dan pekerjaan pokoknya
sebagian besar adalah bertani dan menoreh karet.
Mereka umumnya memiliki sifat-sifat jujur, teguh
dalam pendirian, sabar dan bersahabat, menghargai
orang-orang yang menepati janji, dan cepat
Agus Sikwan
93 - JSH
mempertahankan kehormatan atau harga diri tetapi
tidak cepat naik darah.
Berdasarkan berbagai pandangan yang ada pada
berbagai kelompok etnik besar di Kecamatan
Entikong, maka akan terjadi perubahan-perubahan
seiring dengan kemajuan teknologi, industri maupun
kemajuan ilmu pengetahuan. Pandangan ini mungkin
nantinya tidak dapat berlaku bila diterapkan pada
kelompok masyarakat yang mempunyai kehidupan
lebih modern, karena pandangan-pandangan ini
bersifat tidak tetap. Sedang kelompok masyarakat itu
sendiri bersifat dinamis, sehingga sering terjadi
perubahan-perubahan dalam kehidupan masyarakat
Kesimpulan
Berdasarkan analisis data sebagaimana yang telah
dipaparkan sebagaimana tersebut di atas, maka
penulis menarik beberapa kesimpulan, yakni sebagai
berikut :
1. Dinamika hubungan sosial antaretnik terwujud
dalam bentuk hubungan sosial yaitu hubungan
sebagai anggota keluarga atau kerabat, sebagai
sahabat, dan sebagai teman atau kenalan. Di
antara jenis hubungan tersebut tampak masih
kuat kesetiaan primordial di kalangan kelompok-
kelompok etnik. Hal itu ditandai oleh
kecenderungan untuk memilih individu dari
kelompok etnik sendiri untuk dijadikan sebagai
kerabat. Jenis hubungan sebagai sahabat dan
sebagai teman atau kenalan terdapat variasi
pilihan, yaitu selain memilih individu dari
kelompok etnik sendiri, juga memilih individu
dari kelompok etnik lain.
2. Munculnya unsur prasangka sosial dan stereotipe
antaretnik bukan merupakan factor penghalang
interaksi social dalam rangka memperkokoh
iklim keserasian social. Jarak social antaretnik
merupakan factor yang dapat melemahkan
kokohnya iklim keserasian social oleh karena
tingkat intimasi individu antar etnik relative
rendah. Munculnya prasangka social dan
stereotipe negatif di antara individu-individu
satuan kelompok etnik disebabkan oleh
rendahnya tingkat keikutsertaan individu satuan
kelompok-kelompok etnik dalam berbagai
kegiatan social kemasyarakatan, seperti dalam
kegiatan gotong royong lingkungan, kegiatan
siskamling, kegiatan olah raga, dan saling
mengunjungi wartga yang ditimpa musibah.
Keikutsertaan individu dalam berbagai kegiatan
social kemasyarakatan dapat mengeliminir
prasangka dan stereotype negative serta
mengurangi jarak social di antara individu satuan
kelompok-kelompok etnik.
3. Perbedaan tingkat pendidikan, agama, dan durasi
menetap kecil pengaruhnya terhadap terbinanya
iklim interaksi social dalam memperkokoh iklim
keerasian social. Dalam hal ini, factor jumlah
waktu bekerja individu satuan etnik yang
menyebabkan rendahnya frekuensi interaksi
social.
4. Penggunaan bahasa daerah di kalangan individu
satuan kelompok-kelompok etnik yang berbeda
sebagai media komunikasi merupakan iklim
yang kurang kondusif untuk menghilangkan
prasangka dan stereotype negative. Hal tersebut
disebabkan oleh ketiadaan pemahaman bersama
terhadap makna-makna pembicaraan yang
menggunakan bahasa daerah. Penggunaan
bahasa daerah di kalangan kelompok etnik
khususnya di tempat-tempat umum secara tidak
langsung mempertegas “batas social”,
memperlebar jarak social antaretnikdan
menunjukkan suatu kelompok etnik sebagai
Agus Sikwan
94 - JSH
kelompok tertutup. Kesadaran untuk
menggunakan bahasa Indonesia dalam situasi
social atau tempat-tempat umum merupakan
perilaku yang dapat mengurangi prasangka dan
stereotype negative serta mempertebal tingkat
intimasi social di antara individu satuan
kelompok etnik.
5. Dalam kehidupan social, peluang untuk
kokohnya iklim keserasian social adalah sama
dengan peluang untuk melemah atau munculnya
konflik. Salah satu upaya untuk lebih
memperkokoh iklim keserasian social di wilayah
perbatasan adalah melalui institusi social
masyarakat sebagai sarana yang dapat
mengembangkan berbagai kegiatan social.
Fungsi institusi social ini sebagai sarana bagi
individu dari berbagai kelompok etnik untuk
berinteraksi. Berbagai wadah-wadah social
tersebut, antara lain yang didasarkan atas
kesamaan agama seperti Ikatan Remaja Mesjid,
Ikatan Remaja Gereja, Persatuan Dayak Islam,
maupun berdasarkan kesamaan etnik seperti
Perkumpulan Warga Dayak, Perkumpulan
Warga Cina, dan Perkumpulan Warga Melayu.
6. Dilihat dari peluang untuk terbinanya interaksi
antaretnik diwilayah perbatasan, maka ada dua
bentuk pola permukiman kelompok etnik di kota
Entikong yaitu: (1) Pola membaur, wilayah
permukiman yang di dalamnya terdiri dari
berbagai kelompok etnik, di dalamnya terjadi
kontak social antaretnik yang lebih intensif yang
dapat mendorong terwujudnya keserasian social.
Termasuk dalam pola ini adalah komplek
perumahan atau kawasan perumahan yang
sengaja dibangun oleh pengembang; (2) Pola
terpisah, wilayah permukiman yang di dalamnya
terdiri dari satu kelompok etnik sejenis. Pola
permukiman seperti ini umumnya dihuni oleh
kelompok etnik Cina. Terjadinya perubahan pola
permukiman penduduk secara tidak langsung
disebabkan oleh perluasan kawasan kecamatan
serta pertambahan penduduk.
Saran-Saran
Untuk lebih memantapkan iklim keserasian sosial
yang sudah terbina, perlu diciptakan kondisi untuk
semakin intensifnya interaksi di antara kelompok
etnik yang setiap individu satuan etnik dapat saling
menerima keberadaan orang lain melalui sosialisasi
konsep konsensus, kebersamaan, keterbukaan,
kerukunan, dan solidaritas dalam lingkungan
masyarakat. Selain itu perlu dibina kesadaran dan
penerimaan tiap-tiap individu mengenai
keberagaman serta perbedaan budaya masing-masing
kelompok etnik. Iklim keserasian sosial yang sudah
terbina tampaknya tetap mengandung potensi
konflik, untuk itu iklim keserasian sosial perlu
dimantapkan. Adapun strategi yang dapat ditempuh
adalah melalui strategi struktural dan strategi
kultural.
Strategi Struktural : merupakan strategi yang
lebih menekankan pada upaya pemantapan
kesderasian sosial yang dilakukan melalui
berbagai kebijakan pemerintah antara lain:
a) Pemberian pelayanan secara seimbang,
proporsional, transparan, dan adil dalam
setiap urusan yang berkenaan dengan
kepentingan masyarakat seperti urusan-
urusan di kantor-kantor pemerintah.
Termasuk anjuran secara konsisten
mengenai keikutsertaan setiap warga
dalam berbagai kegiatan sosial di
lingkungan permukiman.
Agus Sikwan
95 - JSH
b) Perlu dirumuskan suatu bentuk wadah
yang melintasi perbedaan etnik dan juga
agama yang dapat mengakomodasikan
individu dari kelompok-kelompok etnik
yang berbeda latar belakang agama dalam
aktifitas sosial kemasyarakatan. Bentuk
wadah tersebut dapat berupa “Forum
Sarasehan” yang dapat berfungsi sebagai
forum komunikasi warga serta
mengembangkan jaringan sosial dalam
melahirkan kesepakatan, merencanakan
kegiatan bersama seperti di bidang
ekonomi, mewujudkan kebersamaan
terhadap setiap masalah yang dihadapi di
dalam lingkungan permukiman. Upaya ini
sebagai cara untuk menguatkan solidaritas
horisontal antara sesama warga.
c) Agar di antara individu-individu satuan
etnik yang berbeda dapat lebih intensif
berkomunikasi, maka perlu kesadaran
individu satuan etnik untuk menggunakan
Bahasa Indonesia. Selain usaha-usaha
yang sudah dilakukan berupa himbuan
melalui poster seperti “Berbicaralah
Dengan Menggunakan Bahasa Indonesia
Yang Baik Dan Benar”, atau “Gunakanlah
Bahasa Indonesia Di tempat-Tempat
Umum”, maka usaha-usaha seperti itu
harus ditingkatkan antara lain penyuluhan
dan pemasangan poster serupa ke lembaga-
lembaga seperti sekolah terutama sekolah
yang didominasi oleh kelompok etnik
tertentu, pusat-pusat pelayanan umum
seperti pusat perbelanjaan, perkantoran,
rumah sakit. Khusus untuk lembaga
pendidikan tidak hanya terbatas pada
anjuran, tetapi harus diikuti dengan
pengawasan dari instansi terkait.
Strategi Kultural : merupakan upaya yang
dilakukan untuk mempengaruhi perilaku sosial
dan penyadaran anggota masyarakat yang
sifatnya individual. Upaya yang termasuk dalam
strategi ini antara lain pesan-pesan komunikasi
melalui berbagai pertemuan, media massa
seperti koran, majalah atau media elektronik
seperti acara TV lokal, acara-acara radio lokal.
Kemudian selebaran atau edaran, pesan melalui
dakwah oleh tokoh-tokoh agama dan tokoh
masyarakat, imam, pendeta, pemimpin
organisasi yang isinya adalah menekankan
perlunya kesetiakawanan sosial sebagai wujud
dari kehidupan yang serasi. Pesan komunikasi
tersebut pada intinya adalah menyadarkan
kepedulian tiap individu untuk menumbuhkan
rasa kesetiakawanan sebagai satu kesatuan
masyarakat yang demikian beragam dalam
rangka mewujudkan dan mempertahankan iklim
hubungan sosial yang serasi dan kokoh.
Untuk menambah gambaran tentang keserasian
sosial masyarakat di kecamatan secara holistik, perlu
dilakukan penelitian lanjutan dengan hal-hal yang
dapat dijadikan tumpuan perhatian antara lain bentuk
kelembagaan, mekanisme serta kegiatan-kegiatan
“Forum Komunikasi Warga” yang lebih memiliki
asas manfaat. Ada kecenderungan besarnya peran
serta individu dalam suatu wadah sosial dipengaruhi
oleh seberapa besar manfaat yang bisa diperoleh dari
keikutsertaan mereka. Perlu pula dilakukan studi
komparatif tentang bentuk-bentuk keserasian sosial
dalam masyarakat di kecamatan-kecamatan lain di
Indonesia yang mempunyai keberagaman
masyarakat yang sama dengan Kecamatan Entikong
Agus Sikwan
96 - JSH
terutama keberagaman etnik antara lain model-model
kerja sama ekonomi antar etnik, bentuk-bentuk
kelembagaan ekonomi yang dapat
mengakomodasikan aktifitas ekonomi di antara
individu dari kelompok-kelompok etnik. Hasil studi
seperti itu akan lebih melengkapi kajian mengenai
karakteristik dan model-model kehidupan
masyarakat kecamatan yang plural dalam rangka
mewujudkan keserasian sosial di seluruh Indonesia
DAFTAR PUSTAKA
Bahari, Yohanes. 2005. Model Resolusi Konflik
Berbasis Pranata Adat Pada Masyarakat
Adat Kanayatn di Kalimantan Barat.
Laporan Penelitian Fundamental, Dikti.
Barth, Fredrick. 1969. Kelompok Etnik dan
Batasannya. Terjemahan Nining L. Soesilo.
Jakarta: UI Press.
Bogdan, Robert C & Taylor, Steven J. 1990.
Introduction To Qualitative Research
Methods. Alih Bahasa Arief Furchan.
Surabaya: Usaha Nasional.
Bruner, Edward M. 1974. “ The Expression of
Ethnicity in Indonesia”. Dalam Abner Cohen
(ed) : Urban Ethnicity. London: Tavistock
Publications.
Cohen, Abner. 1974. “Introduction”. dalam Abner
Cohen (ed). Urban Ethnicity. London:
Tavistock Publications.
Cohen, Jacob,Cohen, Patricia. 1983. Applied
Multiple Regression/Correlation for yhe
Behavioral Sciences, London: Lawrence
Erlbaum Associates, Publishers.
Coser, Lewis A. 1956. The Functions of Social
Conflict. New York: The Free Press.
Eidheim, Harald. 1969. “Ciri Etnik Sebagai Cacat
Sosial” , dalam Frederick Barth (ed). :
Kelompok Etnik dan Batasannya.
Penerjemah: Nining L. Soesilo, Jakarta: UI
Press.
Furnivall, J.S. 1980. “Plural Society”, dalam Hans-
Dieter Evers (ed). Sociology of South-East
Asia: Readingin Social Change and
Development. Kuala Lumpur: Oxford
University Press.
Gelfand, Donald E. 1973. “Influx-Exodus: An
Explanatory Study of Racial Integration”, in
Donald E. Gelfand and Russell D. Lee (ed). :
Ethnic Conflicts and Power: A Cross-
National Perspective. New York: John
Wiley & Sons, Inc.
Giring. 2004. Madura di Mata Dayak: dari Konflik
Ke Rekonsiliasi. Yogyakarta: Gajah Mada
University Press.
Grillo, R.D. 1974. “Ethnic Identity and Social
Stratification on a Kampala Housing Estate”,
dalam Abner Cohen (ed) : Urban Ethnicity.
London: Tavistock Publications.
Horton, Paul B. 1965. Sociology and The Health
Sciences. New York: Mc Graw-Hill Book
Company.
Izikowitz, Karl G. 1969. “Lingkungan Hidup di
Laos”, dalam Frederick Barth (ed) :
Kelompok Etnik dan Batasannya.
Penerjemah: Nining L. Soesilo, Jakarta: UI
Press.
Koentjaraningrat. 1991. Metode-Metode Penelitian
Masyarakat. Jakarta: Gramedia.
Martodirdjo, Haryo S. 1991. Orang Tugutil di
Halmahera dan Dinamika Sosial
Masyarakat Penghuni Hutan. Bandung:
Disertasi Program Pascasarjana Unpad.
Miles, Matthew B. & Huberman, A. Michael. 1992.
Analisis Data Kualitatif. Jakarta: UI Press.
Mitchell, J.C. 1974. “Perception of Ethnicity and
Ethnic Behavior: An Empirical
Exploration”, dalam Abner Cohen (ed) :
Urban Etthnicity. London: Tavistock
Publications.
Nawi, Abdullah. 1986. “Peranan Kebudayaan
Kebangsaan Dalam Integrasi Rakyat”, dalam
Cheu Hock Tong (Penyunting): Beberapa
Asas Integrasi Nasional Pro dan Kontranya.
Kuala Lumpur : Penerbit Karya Kreatif.
Parsons Talcott. 1951. The Social System. New York:
The Free Press.
Peh, Ting Chew. 1986. “Sains Sosial dan Integrasi
Nasional”, dalam Cheu Hock Tong
(Penyunting): Beberapa Asas Integrasi
Nasional Pro dan Kontranya. Kuala
Lumpur: Penerbit Karya Kreatif.
Pelly, Usman. 1987. “Kulitas Bermasyarakat”.
Ringkasan Hasil Penelitian. Jakarta: kantor
Menteri Negara KLH.
__________. 1993. “Pedoman Pengelolaan
Keserasian Sosial”. Laporan Penelitian.
Kerjasama Kantor Menyeri KLH dengan
Pusdip-KLH IKIP Medan.
Poloma, Margaret M. 1987. Sosiologi Kontemporer
(Terjemahan), Jakarta: Penerbit CV.
Rajawali.
Purwana, Hendarta Suta. 2003. Konflik
Antarkomunitas Etnis di Sambas 1999. Suatu
Tinjauan Sosial Budaya. Pontianak: Romeo
Grafika.
Agus Sikwan
97 - JSH
Royce, Anya Peterson. 1982. Ethnic Identity.
Bloomington: Indiana University.
Soehardiman. 1985. “Pembauran Bangsa Sebagai
Usaha Pemanunggalan Dalam Rangka
Mewujudkan Persatuan dan Kesatuan
Nasional”, dalam Walkodri dan Djudjuk
Juyoto. Pembauran Bangsa : Suatu Konsep-
Konsep Pemikran. Yogyakarta: CV. Nur
Cahaya.
Soekanto, Soerjono. 2002. Teori Sosiologi Tentang
Perubahan Sosial. Jakarta: Ghalia Indonesia.
Soemardjan, Selo. 1988. “Pendahuluan”, dalam Selo
Soemardjan (ed). Stereotipe Etnik,
Asimilasi. Integrasi Sosial, Jakarta: Pustaka
Grafika Kita.
Suparlan, Parsudi. 1989. “Pendahuluan”, dalam
Parsudi Suparlan (ed), Interaksi Antaretnik
di Beberapa Provinsi di Indonesia, Jakarta:
Depdikbud.
Veeger, K.J. 1985. Realitas Sosial. Jakarta: Penerbit
PT Gramedia.
.