Download - Artikel Faktor Lingk Hutan Mangrove
ANALISIS FAKTOR-FAKTOR LINGKUNGANHUTAN MANGROVE PANTAI PASURUAN
Oleh Chatarina Muryani1
Email : [email protected]
ABSTRACT
The aim of this research is to know the differences of environmental factors toward the thickness of mangrove forest. Samples chosen were the mangrove forest which had various thickness. Semare Village was chosen to represent west part of research area, Bugul Kidul District was chosen to represent middle part of research area, Penunggul Village and Kedawang Village at Nguling District were chosen to represent east part of the research area. For each thickness of mangrove forest, there were made 3 line transects from the mangrove forest land edge to the mangrove forest sea edge, upright the shore line. There were determined 3 plot samples to represent “less thick” mangrove forest, 6 plot samples to represent “middle thick” mangrove forest, and 9 plot samples to represent “high thick” mangrove forest.
The results of this research showed that there were differences environment factors especially in organic matter of water and soils, soil texture, on the thickness mangrove forest. Based on MANOVA analysis (simultaneous) there were differences on the environment factors on the thickness of mangrove forest.
Key words : mangrove forest , environment factors
PENDAHULUAN
Hutan mangrove seringkali juga disebut hutan pantai, hutan pasang surut,
hutan payau, atau hutan bakau. Disebut hutan pantai karena hutan mangrove
hanya dapat ditemui di kawasan pantai; disebut hutan pasang surut karena
pertumbuhan vegetasi mangrove sangat tergantung pada pasang surut air laut dan
disebut dengan hutan payau karena pada umumnya hutan mangrove tumbuh dan
berkembang pada sekitar muara sungai dengan karakteristik khas air payau. Bakau
sendiri merupakan nama lokal dari salah satu tumbuhan yang menyusun hutan
mangrove, yaitu Rhizopora spp., dan hutan mangrove sudah ditetapkan sebagai
nama baku untuk mangrove forest. Dari definisi di atas sudah menunjukkan
bahwa faktor lingkungan sangat berpengaruh pada keberadaan dan pertumbuhan
hutan mangrove.
1 Dr. Chatarina Muryani, MSi Staff Pengajar Prodi P. Geografi FKIP UNS
Kathiresan (2000) menyatakan bahwa lingkungan hutan mangrove
mempunyai sifat fisik dan kimia khusus baik salinitas, arus pasang surut, angin,
temperatur tinggi dan tanah berlumpur. Sedangkan menurut Bengen (2000) secara
umum karakteristik habitat hutan mangrove digambarkan sebagai berikut
Umumnya tumbuh pada daerah intertidal yang jenis tanahnya berlumpur,
berlempung atau berpasir,
Daerahnya tergenangi air laut secara berkala baik setiap hari maupun
hanya tergenang pada saat pasang purnama. Frekuensei genangan
menentukan komposisi vegetasi hutan mangrove
Menerima pasokan air tawar yang cukup dari darat,
Terlindung dari gelombang besar dan arus pasang surut yang kuat, air
bersalinitas payau (2 – 22 ‰) hingga asin (38 ‰).
Sedangkan menutut English, et. al (1993) beberapa faktor lingkungan
mempengaruhi diversitas dan produktifitas ekosistem hutan mangrove, yaitu
iklim, geomorfologi, besarnya pasang surut, input air tawar dan karakteristik
tanah (English, et. al., 1993).
Menurut Aksornkoae ( 1993), baik struktur maupun fungsi dari ekosistem
hutan mangrove sangat dipengaruhi oleh faktor-faktor lingkungan sebagai
berikut : (a) Fisiografi pantai, (b) Curah hujan, (c) Pasang Surut, (d) Ombak dan
gelombang (e) Salinitas, (f) Oksigen terlarut, (g) tanah, (h) Nutrien.
Input penting dalam produkstifitas hutan mangrove adalah air ( terutama
keseimbangan antara air tawar dan air asin), substrat dan nutrien (baik yang ada di
substrat maupun di dalam air (Franks and Falcover, 1999). Salah satu sumber
nutrien di ekosistem hutan mangrove berasal dari sedimen yang terperangkap oleh
vegetasi mangrove tersebut. Sedimen yang berasal dari darat dan mengandung
banyak nutrien dibawa oleh aliran sungai ke laut, dan oleh arus pasang surut
sedimen tersebut dibawa kembali ke pantai dan ditangkap kemudian diendapkan
di dasar vegetasi mangrove (Kamaruzzaman et al., 2001).
Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji faktor-faktor lingkungan di sekitar
hutan mangrove Pantai Pasuruan dan mengkaitkanya dengan struktur hutan
mangrove pada daerah yang bersangkutan’
2
METODE PENELITIAN
Penelitian di lakukan di sepanjang Pantai Pasuruan, dengan alasan di
daerah ini banyak dijumpai muara sungai sebagai habitat hutan mangrove dan
hutan mangrove di daerah ini mempunyai ketebalan yang bervariasi.
Lokasi sampel ditentukan berdasarkan kriteria :
- mewakili daerah bagian barat, bagian tengah dan bagian timur daerah
penelitian
- mempunyai ketebalan , kerapatan dan diversitas hutan mangrove yang
bervariasi
- mempunyai kondisi geografis yang hampir sama
Pengambilan sampel dalam ekosistem hutan mangrove menggunakan
metode plot garis transek ( Transect Line Plots). Pada setiap lokasi dibuat transek
memanjang dari tepi laut ke arah darat (Romimohtarto dan Sri Juwana, 1999).
Metode yang dipakai untuk pengambilan sampel adalah metode kuadrat dengan
penentuan stand secara sistematik reguler. Plot kuadrat untuk pohon 10 x 10 m,
untuk anak pohon 5 x 5 m dan untuk herba 1 x 1 m (Oosting, 1956).
Penentuan lokasi transek dan plot sampel adalah sebagai berikut :
- untuk masing-masing kriteria ketebalan hutan mangrove ditentukan 3 (tiga)
buah garis transek,
- penentuan jumlah plot sampel adalah sebagai berikut :
Untuk ketebalan hutan mangrove kategori “tipis” masing-masing garis
transek ditentukan satu plot sampel
Untuk ketebalan hutan mangrove kategori “sedang” masing-masing garis
transek ditentukan dua plot sampel
Untuk ketebalan hutan mangrove kategori “tebal” masing-masing garis
transek ditentukan tiga plot sampel
Plot sampel terletak di kanan atau kiri garis transek yang lokasinya ditentukan
secara acak.
3
Gambaran penentuan garis transek dan plot sampel adalah sebagai berikut :
Mangrove Tipis Mangrove Sedang Mangrove Tebal
Keterangan :
: garis transek : plot sampel
Plot sampel terletak di kanan atau kiri garis transek yang lokasinya ditentukan
secara acak.
Alat-alat yang diperlukan untuk penelitian di lapangan adalah :
Global Positioring System (GPS) Receiver dan Kompas , digunakan
untuk penentuan posisi dan arah suatu tempat di lapangan
pH meter untuk mengukur tingkat keasaman tanah dan air
Termometer untuk mengukur suhu air
Refractometer untuk penentuan kadar garam substrat dan air laut
Botol sampel, untuk mengambil sampel air
Oxymeter untuk mengukur oksigen terlarut (DO) air laut
Meteran dan tali untuk pembuatan transek
Faktor-faktor lingkungan yang diamati meliputi kondisi pantai, kualitas air dan
kualitas tanah yang diduga berpengaruh terhadap ekosistem hutan mangrove.
Jenis data yang dikumpulkan dan metode pengumpulan data adalah :
Tabel 1. : Parameter penelitian dan metode/alat yang digunakan
No Parameter Metode/Alat Satuan Pelaksanaan
123456789
IklimTopografi pantaiKedalaman sedimenTekstur tanah/sedimenTotal C OrganikSuhu AirSalinitas air + tanahpH air + tanahDO airBO air (TOM)
Data sekunderClinometerTiang pengukurFeeling meth + LabPembakaranTermometer Hand RefractometerpH stickOxymeterTitrasi
-%cm%%oC‰-
mg/lmg/l
Di lapanganDi lapanganDi lapanganDi Lap + LabDi laboratorium Di lapanganDi lapanganDi lapanganDi lapanganDi Laboratorium
4
HASIL PENELITIAN
1. Letak dan Luas
Daerah penelitian termasuk pada dua wilayah administrasi, yaitu
Kabupaten Pasuruan dan Kota Pasuruan. Daerah penelitian membujur dari barat
ke timur, di sebelah barat dibatasi oleh Sungai Porong yang merupakan batas
antara Kabupaten Pasuruan dan Kabupaten Sidoarjo; sedangkan di sebelah timur
dibatasi oleh sungai Laweyan yang merupakan batas antara Kabupaten Pasuruan
dan Kabupaten Probolinggo.
Kabupaten Pasuruan terletak antara 112o30’ – 113o30’ BT dan 7o30’ –
8o30’ LS (Peta Rupa Bumi Indonesia Th 2000 skala 1 : 25.000) , luasnya adalah
1474 km2 atau 147401,5 hektar, terdiri atas 24 kecamatan, 341 Desa dan 24
Kelurahan. Kecamatan-kecamatan di Kabupaten Pasuruan yang mempunyai
pantai (berbatasan dengan Selat Madura) adalah Kecamatan Bangil ( 4460 Ha),
Kecamatan Kraton ( 5075 Ha), Kecamatan Rejoso ( 3700 Ha), Kecamatan Lekok
(4657 Ha) dan Kecamatan Nguling (4260 Ha).
Kota Pasuruan secara astronomis terletak antara 112o40’’ – 112o50’’
Bujur Timur dan 7o35’’ – 7o45’’ Lintang Selatan (Peta RBI tahun 2000 skala 1 :
25.000 lembar Pasuruan), terdiri atas 3 Kecamatan dan memiliki 34 Kelurahan.
Kelurahan-kelurahan di Kota Pasuruan yang mempunyai pantai (berbatasan
dengan Selat Madura) adalah Desa Blandongan, Desa Kepel, Kelurahan
Mandaranrejo, Kelurahan Panggungrejo (Kecamatan Bugul Kidul), Desa
Ngemplakrejo (Kecamatan Purworejo), Desa Tambaan dan Desa Gadingrejo
(Kecamatan Gadingrejo)
2. Bentuk Pantai
Secara umum pantai Pasuruan merupakan pantai datar dengan ketinggian
sekitar 0 – 5 meter di atas muka air laut. Ombak di sepanjang pantai kecil dan
ditambah dengan banyaknya sungai yang bermuara di daerah ini serta keberadaan
hutan mangrove di daerah pantai, menjadikan bentuk pantai merupakan pantai
sedimentasi (bukan pantai abrasi). Keseluruhan wilayah Kota Pasuruan sendiri
merupakan dataran rendah dengan kemiringan kurang dari 3 % dan ketinggian
tempat antara 0 – 10 meter dari muka air laut.
5
Alih fungsi lahan pesisir misalnya penebangan hutan mangrove menjadi
tambak, daerah permukiman, lokasi wisata dan sebagainya dapat mengubah
bentuk pantai dari pantai sedimentasi menjadi pantai abrasi. Di Kecamatan
Nguling bagian barat (Watuprapat) dan Kecamatan Lekok bagian timur (Wates
dan Semedusari) bentuk pantai agak terjal. Jika tidak dikelola, abrasi pantai di
daerah ini dapat menyebabkan lahan pantai menjadi semakin mundur. Sebaliknya
upaya rehabilitasi hutan mangrove ternyata dapat mengubah pantai abrasi menjadi
pantai sedimentasi. Di Desa Penunggul Kecamatan Nguling misalnya, lahan
bertambah ke arah pantai cukup luas akibat penanaman hutan mangrove.
Berdasarkan hasil analisis Sistem Informasi Geografi (SIG) dari tumpang
susun antara Peta Bentuk Pantai Kabupaten dan Kota Pasuruan tahun 1981, tahun
1994 dan tahun 2008 terdapat perubahan bentuk pantai yang cukup nyata di
sepanjang pantai Pasuruan selama kurun waktu tahun 1981 sampai tahun 2008.
Tumpang susun (overlay) antara Peta Bentuk Pantai Kabupaten dan Kota
Pasuruan tahun 1981 dan tahun 1994 menunjukkan terjadinya perubahan garis
pantai yang cukup nyata. Di Beberapa tempat terjadi penambahan pantai (garis
pantai maju) cukup besar antara lain di Desa Gerongan dan Desa Pulokerto
Kecamatan Kraton, Desa Blandongan (Kota Pasuruan), Desa Patuguran
(Kecamatan Rejoso), Desa Jatirejo (Kecamatan Lekok), Desa Watuprapat dan
Kedawang (Kecamatan Nguling). Sedangkan di beberapa tempat terjadi
pengurangan pantai (garis pantai mundur) cukup nyata antara lain terjadi di Desa
Semare dan Desa Kalirejo (Kecamatan Kraton), Kelurahan Tambaan (Kecamatan
Gadingrejo Kota Pasuruan, Kelurahan Panggungrejo dan Mandaranrejo
(Kecamatan Bugul Kidul, Kota Pasuruan), Desa Wates (Kecamatan Lekok).
Penambahan pantai (garis pantai maju) menunjukkan terjadinya sedimentasi
sedangkan pengurangan pantai (garis pantai mundur) menunjukkan terjadinya
abrasi. Kemungkinan hal ini berkaitan erat dengan pengurangan dan penambahan
luas hutan mangrove pada suatu wilayah. (Lihat Peta Bentuk Perubahan Bentuk
Pantai Kabupaten dan Kota Pasuruan Tahun 1981 – Tahun 1994 ).
Tumpang susun (overlay) Peta Bentuk Pantai Kabupaten dan Kota
Pasuruan tahun 1994 dan tahun 2008 menunjukkan terjadi penambahan pantai
(garis pantai maju) di sepanjang pantai utara Kabupaten dan Kota Pasuruan
6
selama kurun waktu 14 tahun terakhir. Penambahan pantai yang nyata (cukup
besar) terjadi di daerah-daerah Desa Raci (Kecamatan Bangil), Desa Pulokerto
dan Desa Semare (Kecamatan Kraton), Desa Blandongan (Kota Pasuruan), Desa
Patuguran (Kecamatan Rejoso), dan Desa Penunggul (Kecamatan Nguling).
(Lihat Peta Perubahan Bentuk Pantai Kabupaten dan Kota Pasuruan tahun 1994 –
tahun 2008).
Dari Peta Perubahan Bentuk Pantai Kabupaten dan Kota Pasuruan th 1981
– th 1994 dan Peta Perubahan Bentuk Pantai Kabupaten dan Kota Pasuruan th
1994 – th 2008 dapat diidentifikasi bahwa penambahan pantai (garis pantai maju)
terutama terjadi di muara-muara sungai besar di sepanjang pantai. Hal ini
menunjukkan sedimentasi yang besar dari material-material yang dibawa oleh
arus sungai-sungai tersebut. Fenomena ini juga menunjukkan adanya peningkatan
erosi di daerah hulu yang mungkin disebabkan adanya pembalakan hutan,
pertambangan atau usaha pertanian yang kurang memperhatikan konservasi
lingkungan.
3. Iklim
Indonesia termasuk salah satu negara yang mempunyai hutan mangrove
luas dengan keanekaragaman vegetasi yang tinggi di dunia. Salah satu faktor
adalah iklim Indonesia yang mendukung untuk pertumbuhan vegetasi mangrove.
Sebagian besar pantai-pantai di Indonesia mempunyai iklim tropika basah dengan
ciri-ciri temperatur tinggi, curah hujan tahunan tinggi, kelembaban udara tinggi.
Suhu dan curah hujan merupakan faktor iklim yang paling dominan yang
berpengaruh terhadap berbagai kehidupan wilayah pantai.
Menurut Kartawinata, dkk. (1977) jumlah, lama dan distribusi curah
hujan merupakan faktor yang mempengaruhi perkembangan dan distribusi
vegetasi mangrove. Hutan mangrove di Indonesia berkembang dengan tipe curah
hujan A, B, C, dan D dengan nilai Q yang bervariasi mulai 0 sampai 73,7%
menurut klasifikasi iklim Schmidt dan Ferguson. Sedangkan menurut Aksornkoae
et.al., (1984) vegetasi mangrove umumnya tumbuh baik di daerah dengan curah
hujan rata-rata 1.500 – 3.000 mm per tahun.
7
Berdasarkan data iklim Kabupaten Pasuruan dan Kota Pasuruan dapat
disimpulkan bahwa suhu rata-rata tahunan 24oC – 32oC , besarnya rata-rata curah
hujan di daerah penelitian adalah antara 1300 – 1800 mm per tahun, dengan
jumlah hari hujan antara 80 – 100 hari per tahun. Analisis iklim Schmidt dan
Ferguson berdasarkan tipe hujan menunjukkan bahwa daerah penelitian termasuk
tipe C.
4. Pasang Surut Air Laut
Dalam hubungannya dengan pasang surut, komunitas pada ekosistem
hutan mangrove banyak dipengaruhi oleh lama penggenangan air laut.
Berdasarkan pola penggenangan hutan mangrove di Cilacap, de Haan (1931)
dalam SEAMEO BIOTROP (1989) mengklasifikasikan ada 4 tipe penggenangan
di ekosistem hutan mangrove, yaitu :
Klas 1 : tergenang satu atau dua kali dalam sehari atau setidaknya tergenang 20
hari dalam satu bulan
Klas 2 : tergenang 10 – 19 kali dalam sebulan,
Klas 3 : tergenang 9 kali atau kurang dalam sebulan,
Klas 4 : tergenang hanya beberapa hari dalam sebulan
Berdasarkan hasil pengamatan di lapangan pasang surut di Pantai
Pasuruan antara 1 – 2 m dan kebanyakan hutan mangrove di daerah ini termasuk
dalam klas 1, yaitu tergenang satu atau dua kali dalam sehari atau setidaknya
tergenang 20 hari dalam satu bulan
5. Salinitas air laut
Dari banyak faktor lingkungan, salinitas mempunyai pengaruh besar pada
perkembangan hutan mangrove (SEAMEO BIOTROP ,1989). Pada umumnya
salinitas air di sepanjang pantai di Indonesia berkisar antara 31 ‰ sampai 33 ‰.
Variasi salinitas di daerah estuaria menentukan organisme yang berada dan
berkembang biak di daerah tersebut. Hewan-hewan yang hidup di perairan payau
(salinitas 0,5 – 30 ‰) biasanya mempunyai toleransi terhadap kisaran salinitas
yang lebih besar (Supriharyono, 2003)
Hasil pengukuran salinitas air laut di ketiga stasiun yaitu Semare, Kota
Pasuruan dan Nguling untuk ketiga kategori yaitu ”tipis”, ”sedang” dan ”tebal”
8
tidak menunjukkan variasi yang berarti, yaitu sekitar 37 ‰ atau 37,5 ‰. Hal ini
menunjukkan bahwa salinitas air di ekosistem mangrove hampir sama untuk
ketiga stasiun yang disebabkan daerah penelitian merupakan suatu hamparan
pantai yang kondisi geografisnya hampir sama, pola pasang surutnya juga hampir
sama, sehingga kualitas air laut hampir sama untuk masing-masing daerah.
6. Oksigen Terlarut (DO)
Oksigen terlarut sangat penting bagi pernafasan makrozoobentos dan
organisme-organisme akuatik lainnya (Odum, 1983). Pada suhu tinggi kelarutan
oksigen rendah dan pada suhu rendah kelarutan oksigen tinggi. Tiap-tiap spesies
biota akuatik mempunyai kisaran toleransi yang berbeda-beda terhadap
konsentrasi oksigen terlarut di suatu perairan. Biasanya spesies yang mempunyai
kisaran toleransi lebar terhadap oksigen terlarut biasanya penyebaranya lebih luas
dibanding yang kisaran toleransinya sempit.
Pengukuran Oksigen terlarut di perairan hutan mangrove daerah
penelitian digunakan Oxymeter; contoh air diambil di lapangan, pengukuran DO
dilakukan di base camp. Hasil pengukuran DO rata-rata untuk masing-masing
lokasi hutan mangrove adalah sebagai berikut:
Tabel 2. Hasil pengukuran Oksigen Terlarut (DO) di perairan hutan mangrove
No Kategori’Oksigen terlarut (mg/l)
Semare Kota Nguling1 Tipis 5,46 5,15 4,42 Sedang 5,26 5,19 4,653 Tebal 4,85 5,16 4,77
0
1
2
3
4
5
6
Semare Kota Nguling
Lokasi Hutan mangrove
DO
(m
g/l
)
Tipis
Sedang
Tebal
Gambar 1. Histogram Oksigen Terlarut (DO) di perairan hutan mangrove Semare, Kota Pasuruan dan Nguling
9
Dari gambar tersebut terlihat bahwa meskipun nilai kadar oksigen
terlarut hampir sama untuk ketiga stasiun, namun Oksigen terlarut di hutan
mangrove Kota Pasuruan dengan struktur paling bagus dilihat dari kerapatan,
diversitas juga nilai INPnya menunjukkan konsisten tinggi, sedangkan DO di
stasiun Nguling menunjukkan nilai yang paling rendah. Dengan demikian dapat
dinyatakan bahwa pada hutan mangrove dengan kerapatan sedang, diversitas
besar dan nilai INP seimbang mempunyai kandungan DO tertinggi dibandingkan
dengan yang lain.
7. Kandungan Bahan Organik (BO) air laut
Kehadiran suatu organisme di suatu perairan didukung oleh kandungan
bahan organik perairan tersebut, namun belum tentu kandungan bahan organik
yang tinggi menjamin kelimpahan organisme, karena faktor lingkungan satu
dengan yang lain saling berkaitan. Hasil pengukuran kandungan bahan organik
perairan di ekosistem hutan mangrove daerah penelitian adalah sebagai berikut :
Tabel 3 : Kandungan Bahan Organik (BO) air Hutan Mangrove
Hutan mangroveKandungan BO air (mg/l)
Semare Kota NgulingTipis 25,9 25,5 34,9Sedang 31,8 27,8 37,9Tebal 32,6 29,3 42,6
0
10
20
30
40
50
60
70
Semare Kota Nguling
Lokasi Hutan mangrove
Kan
du
ng
an
BO
air
(m
g/l
)
TipisSedangTebal
Gambar 2: Perbandingan kandungan BO air pada masing-masing ketebalan hutan mangrove
10
Data tersebut menunjukkan bahwa untuk masing-masing stasiun sampel,
semakin tebal hutan mangrove semakin tinggi kandungan bahan organik air
lautnya. Disamping itu psds eksistem hutsn msngrovr Nguling menunjukkan rata-
rata kandungan bahan organik lebih tinggi dibanding Semare dan kota Pasuruan .
8. Kondisi Tanah
1. Kedalaman Sedimen
Kedalaman sedimen dilakukan pada waktu air surut menggunakan tiang
pancang. Untuk akurasi data pengukuran masing-masing plot sampel diulang tiga
kali. Hasil pengukuran kedalaman sedimen adalah :
a. Hutan mangrove Semare
Substrat berlumpur dalam, meskipun kondisi air surut kandungan air
dalam substrat masih tinggi
- Pada daerah yang tidak ada vegetasinya, merupakan lahan rawa
dengan kedalaman lumpur sekitar 80 cm
- Pada hutan mangrove tipis kedalaman lumpur rata-rata 40 cm
- Pada hutan mangrove sedang kedalaman lumpur rata-rata 30 cm
- Pada hutan mangrove tebal kedalaman sedimen rata-rata 20 cm
b. Hutan mangrove Kota Pasuruan
Substrat berlumpur dangkal, bahkan di bagian-bagian tertentu yang
kerapatan vegetasinya tinggi substratnya tidak berlumpur.
- Pada daerah yang tidak ada vegetasinya, kedalaman lumpur sekitar 20
cm
- Pada hutan mangrove tipis kedalaman lumpur sekitar 15 cm
- Pada hutan mangrove sedang kedalaman lumpur sekitar 10 cm
- Pada hutan mangrove tebal kedalaman lumpur sekitar 5 cm
c. Hutan mangrove Nguling
Substrat tanah di hutan mangrove Nguling dibagi menjadi dua, yang di
Desa Penunggul substrat tidak berlumpur, sedang di Desa Kedawang
substratnya berlumpur.
11
- Pada daerah yang tidak ada vegetasinya di Desa Penunggul kedalaman
sedimen sekitar 15 cm
- Pada hutan mangrove tipis kedalaman sedimen sekitar 10 cm
- Pada hutan mangrove sedang kedalaman sedimen sekitar 5 cm
- Pada hutan mangrove tebal di Desa Kedawang kedalaman sedimen
sekitar 50 cm.
Pengukuran kedalaman sedimen semacam ini tidak mencerminkan ketebalan
sedimen yang sesungguhnya, karena pengukuran ketebalan sedimen harus dengan
pembuatan profil tanah. Oleh sebab itu parameter kedalaman sedimen tidak dikut
sertakan dalam perhitungan statistik.
2. Tekstur Tanah
Tanah mangrove terbentuk dari akumulasi sedimen sehingga
karakteristiknya berbeda-beda tergantung darimana sedimen tersebut berasal.
Disamping berpengaruh terhadap komunitas vegetasi mangrove , tekstur substrat
juga mempengaruhi komunitas fauna yang tinggal di ekosistem tersebut. Bentos
yang hidup pada substrat berlumpur tergolong pada ”suspended feeder”. , yang
umum ditemukan adalah kelompok Polychaeta, Bivalvia dan Crustacea, juga
bakteri. Pada substrat berpasir biasanya miskin organisme dan bentos pada
substrat berpasir umumnya mengubur diri dalam substrat.
Hasil pengukuran tekstur tanah di bawah tegakan hutan mangrove daerah
penelitian adalah sebagai berikut :
Tabel 4.: Hasil pengukuran tekstur tanah di ekosistem hutan mangrove
No Lokasi % Pasir % Debu % Liat Kelas Tekstur
1 SemareTipis 30,6 49,8 19,6 Silty ClaySedang 34,1 39,7 26,2 Clay LoamTebal 34,7 40,2 25,2 Clay
2 Kota PasuruanTipis 32,2 48,5 19,4 Silty ClaySedang 34,1 39,7 26,2 Clay LoamTebal 35,0 36,7 30,3 Clay Loam
3 NgulingTipis 45,5 40,1 14,4 Silty ClaySedang 36,0 47,8 16,2 Silty ClayTebal 33,0 37,7 29,3 Clay Loam
Sumber : data primer
12
3. Bahan organik (C) tanah
Kandungan bahan organik tanah terutama berasal dari dekomposisi serasah baik
dari daun, ranting, bunga , buah, maupun akar vegetasi mangrove. Hasil
pengukuran C organik tanah di daerah penelitian dapat di lihat pada tabel 6.11:
Tabel 5: Kandungan C organik tanah di ekosistem hutan mangrove Pasuruan
Ketebalan mangrove
C organik tanah (%)Semare Kota Nguling
Tipis 12,57 14,89 13,90Sedang 16,31 13,98 14,225Tebal 19,73 15,42 16,07
Sumber : Analisis data primer
0
5
10
15
20
25
Semare Kota Nguling
Lokasi
C o
rgan
ik t
an
ah
( %
)
Tipis
sedang
Tebal
Gambar 3. Perbandingan C organik tanah pada ketebalan Hutan mangrove
Di lapangan, bahan organik tanah ditemui pada tingkatan dekomposisi
yang bervariasi, ada yang masih berupa luruhan daun, ada yang setengah
terdekomposisi dan ada yang sudah bercampur dengan substrat membentuk tanah.
Dari tabel di atas terlihat bahwa untuk masing-masing lokasi hutan mangrove ,
semakin tebal hutan mangrove semakin tinggi kandungan bahan organiknya.
Kadar C organik tanah di Semare relatif lebih tinggi dibanding dengan yang lain,
hal ini kemungkinan karena lokasinya lebih dekat ke muara, ada penambahan
bahan organik yang terangkut oleh sungai.
4. Salinitas substrat
Salinitas substrat tanah dikukur berdasarkan EC tanah dengan satuan
milimos. Hasil pengukuran EC tanah pada masing-masing lokasi hutan mangrove
dan pada variasi ketebalan dapat dilihat pada tabel berikut :
13
Tabe 6 : Perbandingan EC tanah di hutan mangrove Pantai Pasuruan
Ketebalanmangrove
EC tanah (mmos)Semare Kota Nguling
Tipis 3,05 5,26 3,9Sedang 3,61 4,61 4,62Tebal 2,99 3,83 5,12Sumber : analisis data primer
Dari tabel di atas dapat disimpulkan bahwa untuk parameter EC tanah
variasi nilainya tidak begitu besar dan tidak menunjukkan pola tertentu baik pada
perbedaan lokasi mangrove maupun pada perbedaan ketebalan hutan mangrove
0,00
1,00
2,00
3,00
4,00
5,00
6,00
Semare Kota Nguling
Lokasi
EC
tan
ah
(m
mo
s)
TipisSedangTebal
Gambar 4. Perbandingan EC tanah pada variasi ketebalan hutan mangrove
PEMBAHASAN
Perbedaan faktor-faktor lingkungan pada ketebalan hutan mangrove
Untuk penelaahan perbedaan faktor-faktor lingkungan pada ketebalan hutan
mangrove daerah penelitian dipakai uji statistik. Parameter faktor-faktor
lingkungan yang dipakai dalam uji statistik adalah Oksigen terlarut (DO) air,
Kandungan bahan organik (BO) air, salinitas (EC) substrat, kandungan C Organik
tanah, Tekstur tanah. Faktor-faktor lingkungan ini yang diduga berperanan dalam
penentuan karakteristik ekosistem hutan mangrove baik terhadap struktur
komunitas hutan mangrove maupun terhadap komunitas fauna yang tinggal di
ekosistem hutan mangrove tersebut.
14
1. Uji Normalitas
Uji normalitas data untuk faktor-faktor lingkungan menggunakan metode
Kolmogorov Sminov. Hasil uji normalitas data di atas semua nilai signifikansi
dari enam variabel faktor lingkungan ternyata lebih besar daripada 0,05 sehingga
dapat disimpulkan bahwa data-data menyebar secara normal, oleh karenanya
dapat dilakukan analisis statistik parametrik berikutnya.
2. Uji Beda
2.1. Uji MANOVA
Uji beda secara simultan (bersama-sama) untuk mencari perbedaan faktor-
faktor lingkungan terhadap parameter ketebalan hutan mangrove menggunakan
metode Multivariate Analysis of Variance (MANOVA) dengan menggunakan
kaidah : jika nilai signifikansi Wilks Lambda < 0,10 (atau 10 %) terdapat
perbedaan, sedangkan jika nilai signifikansi Wilks Lambda > 0,10 (atau 10 %)
maka tidak terdapat perbedaan.
Hasil uji beda dengan metode MANOVA menghasilkan nilai signifikansi
Wilks Lambda Karena nilai signifikansi Wilks Lambda sebesar 0,000 < 0,05
maka dapat disimpulkan bahwa secara multivariate (bersama-sama keenam
variabel parameter lingkungan) maka pada setiap tingkat ketebalan hutan
mangrove memiliki faktor-faktor lingkungan yang berbeda-beda atau terdapat
perbedaan faktor lingkungan pada variasi ketebalan hutan mangrove
2.2. Uji ANOVA
Pada pengujian secara parsial, yaitu pengujian secara sendiri-sendiri keenam
variabel faktor lingkungan, maka metode yang digunakan adalah Analysis of
Variance (ANOVA). Kaidah pengambilan keputusan: jika signifikansi F < 0,10
(atau 10%) maka terdapat perbedaan, sebaliknya jika nilai signifikansi F > 0,10
(atau 10%) maka tidak terdapat perbedaan. Dari hasil pengujian dapat
disimpulkan sebagai berikut:
a. Untuk variabel DO Air, nilai signifikansi F sebesar 0,10 = 0,10 maka dapat
disimpulkan bahwa pada setiap tingkat ketebalan memiliki DO Air yang
15
berbeda, atau terdapat perbedaan nilai DO air pada variasi ketebalan hutan
mangrove
b. Untuk variabel BO Air, nilai signifikansi F sebesar 0,000 < 0,10 maka dapat
disimpulkan bahwa pada setiap tingkat ketebalan memiliki BO Air yang
berbeda atau terdapat perbedaan nilai BO air pada variasi ketebalan hutan
mangrove.
c. Untuk variabel EC, nilai signifikansi F sebesar 0,526 > 0,10 maka dapat
disimpulkan bahwa pada setiap tingkat ketebalan memiliki EC yang sama
atau tidak ada perbedaan nilai EC tanah pada variasi ketebalan hutan
mangrove
d. Untuk variabel C Organik Tanah, nilai signifikansi F sebesar 0,745 > 0,10
maka dapat disimpulkan bahwa pada setiap tingkat ketebalan memiliki C
Organik Tanah yang sama atau tidak ada perbedaan nilai C organik tanah
pada variasi ketebalan hutan mangrove.
e. Untuk variabel % Pasir, nilai signifikansi F sebesar 0,280 > 0,10 maka dapat
disimpulkan bahwa pada setiap tingkat ketebalan memiliki % Pasir yang
sama atau tidak ada perbedaan nilai % pasir pada variasi ketebalan hutan
mangrove.
f. Untuk variabel % Liat , nilai signifikansi F sebesar 0,019 < 0,10 maka dapat
disimpulkan bahwa pada setiap tingkat ketebalan memiliki % Liat yang
berbeda atau terdapat perbedaan nilai % liat pada variasi ketebalan hutan
mangrove.
KESIMPULAN
1. Hasil pengukuran parameter lingkungan menunjukkan perbedaan yang tipis
antara kualitas lingkungan hutan mangrove di beberapa lokasi dan beberapa
kategori. Namun demikian untuk suatu lokasi ada kecenderungan semakin ke
arah darat kandungan bahan organik tanah dan air mengalami peningkatan,
sedangkan semakin ke arah timur menunjukkan % liat (clay) yang semakin
keci (tanah semakin kasar)
16
2. Hasil kajian statistik menunjukkan bahwa secara bersama-sama terdapat
perbedaan nilai parameter lingkungan pada ketebalan, kerapatan, dan
diversitas hutan mangrove yang berbeda-beda.
DAFTAR PUSTAKA
Aksornkoae, S. 1993 . Ecology and Management of Mangroves . IUCN . Bangkok Thailand.
Bengen, DG. 2000 . Pengenalan dan Pengelolaan Ekosistem Mangove . PKSPL – IPB Bogor.
Bunt, JS and WT. Williams . 1981 . Vegetation Relationships in The Mangrove Forest of Tropical Australia. Marine Ecology – Progress Series . 4 : 349 – 359
Chapman, VJ. 1977 . Wet Coastal Ecosystem . Elsevier Scientific Publishing Company. Amsterdam.
Dahuri, R, J. Rais, SP Ginting dan M.J. Sitepu . 2001 . Pengelolaan Sumberdaya Wilayah Pesisir dan Lautan Secara Terpadu . Pradnya Paramita . Jakarta . 305 hal.
English, S , C. Wilkinson and V Baker . 1993 . Survey Manual for Tropical Marine Resources . ASEAN-Australia Marine Science Project : Living Coastal Resources. Bangkok.
Garcia, P.R. , J.L Blanco. , and D Ocaffa. 1997 . Mangrove Vegetation Assessment in The Santiago River Mouth Mexico, by Means of Supervised Classification Using landsat TM imagery . Elsevier : Forest Ecology and Management (105) : 217 – 229
Hardjowigeno, S. 1988 . Mangrove Soil in Indonesia . BIOTROP Speciall Publication , 37 : 257 -264
Kamaruzzaman, B.Y. , Mohd-Lokman H. , Sulong I., and Razanudin I . 2001. Sedimentation Rates on the Mangrove Forests of Pulau Che Wan Dagang, Kemaman Terengganu . The Malaysian Forester 64 (1) : 6 – 13
Kathiresan, K., dan B. L. Bingham. 2000. Biology of Mangrove and Mangrove Ecosystems. Centre of advanced Study in Marine Biology, Annamalai University. Huxley College of Environmental Studies, Western Washington University. Annamalai, India
17
Mann, K.H . 1982. Ecology of Coastal Water, A. Syatem Approach . Black Well Scientific Publication . Oxford . 322 p.
Mustafa, M . 1982 . Hasil Penelitian Sifat Fisik dan Kimia Tanah Di Bawah Tegakan Mangrove . Lingkungan dan Pembangunan . 97 - 118
Odum, E.P. (1983). Dasar Dasar Ekologi. Edisi ketiga. Yogyakarta : Gadjahmada University Press (Terjemahan)
Oosting, HJ . 1956 . The Study of Plant Communities, An Introduction to Plant Ecology . Second Edition , WH Freeman and Co . San Fransisco.
Pariwono, JI. 1985 . Tides and Tidal Phenomena in Asean Region . Australian Cooperative Programmes in Marine Sciences . Prelim. Rep . FIAM, South Australia.
Pirzan Marsanbuana, Suharyanto, Rohama Daud dan Burhanuddin . 2002 . Pengaruh Keberadaan Mangrove terhadap Kesuburan Tanah di Tambak Sekitarnya . Jurnal Penelitian Perikanan . Vol 8 No 4 Th 2002.
Saenger, P . 1999 . Sustainable Management of Mangroves . Proc. Of International Symposium Integrated Coastal and Marine Resource Management. . National Institute of Technology (ITN) Malang in Association with BAKOSURTANAL and Proyek Pesisir.
Samingan , MT . 1980 . Notes on Vegetation of The Tidal Area of South Sumatera Indonesia with Special Reference of Karang Agung. International Social Tropical Ecology . Kuala Lumpur , 1107 – 1112
Sasekumar, A , VC Chong, MU Leh , and RD D’Cruz . 1992 . Mangroves as a Habitat For Fish and Prawns . Hydrobiologia : 247 : 195 – 207
Soemarno . 2004 . Model Pengelolaan Sumberdaya Hutan . Program Pasca Sarjana Universitas Brawijaya , Malang
Soemodihardjo, S and I. Soerianegara . 1989 . The Status of Mangrove Forest in Indonesia dalam Mangrove Management : Its Ecological and Economic Consideration . BIOTROP Special Publication . No 37
Sugiharto,A and N. Polunin . 1982 . The Marine Environment of Indonesia. Dept. Zoology University of Cambridge . 257 p.
Suprayogo D, Sri Sudaryanti . Edy Dwi Chahyono dan Sudarmanto . 1996 . Pembangunan dan Konservasi Hutan Mangrove di Kabupaten Bangkalan, Madura . Jurn. Univ. Brawijaya . 8 (2) : 77 – 92
Supriharyono . 2002 . Pelestarian dan Pengelolaan Sumber Daya Alam Di Wilayah Pesisir Tropis . Gramedia Pustaka Utama . 246 hal.
18
Tam NFX and Wong YS . 1998 . Variation of Soil Nutrient and Organic Matter Content In Subtropical Mangrove Ecosystem . Water, Air and Soil Polution . (103) : 245 – 261.
19
20