13
Universitas Indonesia
BAB 2
PEMBAHASAN
2.1 REKLAMASI PANTAI
2.1.1 KONSEP REKLAMASI
Kegiatan reklamasi pantai dan laut dengan melakukan penimbunan pada
wilayah pantai dan laut merupakan hal yang baru dikenal di Indonesia, khususnya
di daerah-daerah yang melakukan reklamasi pantai, dalam waktu dua puluh
tahunan belakangan ini.30 Secara harfiah, reklamasi (Ingg.: reclamation) adalah
“the procces of reclaiming something from loss or from a less useful condition.”31
( proses memperoleh kembali sesuatu dari kehilangan atau dari suatu keadaan
yang kurang bermanfaat. )
Cambridge Advanced Learner’s Dictionary memberikan dua arti dari kata
reklamasi, yaitu: pertama: percobaan untuk membuat tanah layak untuk bangunan
atau pertanian, dan kedua: pengolahan bahan-bahan sisa untuk memperoleh
bahan-bahan berguna dari nya.32
Dalam hukum positif Indonesia, istilah reklamasi di temukan pada UU
Nomor: 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau
Kecil ( Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 84, Tambahan
Lembaran Negara Nomor 4739 ), pada butir 23 memberikan definisi bahwa
reklamasi adalah kegiatan yang dilakukan oleh Orang dalam rangka meningkatkan
manfaat sumber daya lahan ditinjau dari sudut lingkungan dan sosial ekonomi
dengan cara pengurugan, pengeringan lahan atau drainase.
Wikipedia menyebutkan adanya beberapa jenis reklamasi yang di kaitkan
dengan lingkungan fisik tertentu, yaitu : land reclamation,water reclamation,
river reclamation, dan mine reclamation.33 Reklamasi tanah (land reclamation),
dalam Wikipedia mengatakan, “Land reclamation, usually known as reclamation,
is the process to create new land from sea or riverbeds (landfill). The land
30 Flora Pricilla Kalalo, Op. Cit, Hlm. 131 http:/en.wikipedia.org/wiki/reclamation, dipunggah tanggal 17 Maret 201032 Op. Cit., Hlm. 1733 http:/en.wikipedia.org/wiki/reclamation, dipunggah tanggal 17 Maret 2010
Status hukum..., Hery Hartawan, FH UI, 2010.
14
Universitas Indonesia
reclaimed is known as reclamation ground.”34 Yaitu reklamasi tanah atau biasa di
kenal sebagai reklamasi adalah proses untuk membentuk daratan baru dari laut
atau dasar sungai (muara sungai).
Reklamasi air (water reclamation), dalam Wikipedia mengatakan, “Water
reclamation is a process by which wastewater from homes and businesses is
cleaned using biological and chemical treatment so that the water can be returned
to the environment safely to augment the natural systems from which it came.”35
Yaitu suatu proses dimana air buangan yang digunakan oleh rumahtangga
maupun bisnis di bersihkan dengan menggunakan perlakuan secara biologis dan
kimiawi sehingga air tersebut dapat dikembalikan ke lingkungan secara aman
untuk untuk meningkatkan sistem-sistem alamiah darimana air tersebut berasal.
Reklamasi sungai (river reclamation), dalam Wikipedia mengatakan,
“river reclamation (UK) describes a set of activities that help improve the
environmental health of a river or stream. Improved health may be indicated by
expanded habitat for diverse species (e.g. fish, aquatic insects, other wildlife) and
reduced stream bank erosion.”36yaitu menggambarkan suatu perangkat kegiatan
yang membantu meningkatkan kesehatan/kualitas lingkungan dari suatu sungai.
Peningkatan kualitas/kesehatan lingkungan dapat di indikasikan oleh meluasnya
habitat dari berbagai spesies ( contohnya : ikan, serangga air, dan berbagai
binatang liar lainnya) dan mengurangi tingkat penumpukan erosi pada sungai.
Reklamasi pertambangan (mine reclamation), dalam Wikipedia
mengatakan, “Mine reclamation is the process of creating useful landscapes that
meet a variety of goals, typically creating productive ecosystems (or sometimes
industrial or municipal land) from mined land.”37 yaitu proses pembentukan
lanskap yang bermanfaat yang memenuhi beragam tujuan, khususnya membentuk
ekosistem yang produktif (atau kadang tanah/wilayah untuk industri ataupun
perkotaan) dari tanah pertambangan.
34 http://en.wikipedia.org/wiki/Land_reclamation, dipunggah tanggal 24 Maret 201035 http://en.wikipedia.org/wiki/Water_reclamation, dipunggah tanggal 24 Maret 201036 http://en.wikipedia.org/wiki/River_reclamation, dipunggah tanggal 24 Maret 201037 http://en.wikipedia.org/wiki/Mine_reclamation, dipunggah tanggal 24 Maret 2010
Status hukum..., Hery Hartawan, FH UI, 2010.
15
Universitas Indonesia
Di Indonesia, reklamasi pertambangan diatur dalam Keputusan Menteri
Pertambangan dan Energi Nomor: 1211.K/008/M.PE/1995 dan Keputusan
Direktur Jenderal Pertambangan Umum Nomor: 336.k Tahun 1996 Tentang
Jaminan Reklamasi,38 dimana proses reklamasi antara lain melalui pengisisan
kembali lahan bekas tambang (Pasal 4 ayat [2] huruf a.2.b.) dan pengaturan
permukaan lahan (pasal 4 ayat [2] huruf a.2.c.).39
Selain istilah-sitilah itu dikenal pula beberapa istilah lain, seperti reklamasi
pantai. Istilah reklamasi pantai digunakan dalam Keputusan Presiden Nomor: 52
Tahun 1995 tentang Reklamasi Pantai Utara Jakarta dan Keputusan Presiden
Nomor: 73 Tahun 1995 tentang Reklamasi Pantai Kapuknaga, Tangerang. Sejak
istilah reklamasi pantai digunakan dalam dua Keputusan Presiden di tahun 1995,
maka istilah reklamasi pantai ini lebih sering digunakan untuk kegiatan
penimbunan pantai atau laut.40
2.1.2 KEBIJAKAN REKLAMASI PANTAI DI INDONESIA
Reklamasi Pantai di Indonesia telah di lakukan sejak tahun 197941 dan
terus berlangsung hingga saat ini. Keberadaan lembaga reklamasi pantai mulai di
kenal dalam ranah hukum positif Indonesia sejak tahun 1995 dengan munculnya
dua Keputusan Presiden, yaitu Keputusan Presiden No. 52 Tahun 1995 tentang
Reklamasi Pantai Utara Jakarta dan Keputusan Presiden No. 73 Tahun 1995
tentang Reklamasi Pantai Kapuknaga, Tangerang.
Secara umum, kedua Keputusan Presiden (KEPPRES) ini menjadi awal
munculnya landasan yuridis bagi reklamasi pantai. Hanya saja KEPPRES ini tidak
dapat berlaku secara umum. Hal ini di tunjukan dalam bagian mengingat dari
kedua KEPPRES tersebut menyebutkan beberapa peraturan perundang-undangan
38 Dalam Pasal 1 huruf b Keputusan Direktur Jenderal Pertambangan Umum No. 336.k.Tahun 1996 memberikan definisi bahwa reklamasi adalah kegiatan yang bertujuanmemperbaiki atau menata kegunaan lahan yang terganggu sebagai akibat kegiatan usahapertambangan umum agar dapat berfungsi dan berdaya guna sesuai peruntukannya.39 Flora Pricilla Kalalo, Op. Cit., Hlm. 2040 Ibid, Hlm. 2041 Ibid, Hlm. 54
Status hukum..., Hery Hartawan, FH UI, 2010.
16
Universitas Indonesia
sebagai berikut 42:
1. Pasal 4 ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945;
2. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1974 tentang Pokok-Pokok
Pemerintahan di Daerah (Lembaran Negara Tahun 1974 Nomor 38,
Tambahan Lembaran Negara Nomor 3037);
3. Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1990 tentang Susunan
Pemerintahan Daerah Khusus Ibukota Negara Republik Indonesia
Jakarta (Lembaran Negara Tahun 1990 Nomor 84, Tambahan
Lembaran Negara Nomor 3430);
4. Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 1988 tentang Koordinasi
Kegiatan Instansi Vertikal di Daerah (Lembaran Negara Tahun 1988
Nomor 10, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3373)
Serta43 :
1. Pasal 4 ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945;
2. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1974 tentang Pokok-Pokok
Pemerintahan di Daerah (Lembaran Negara Tahun 1974 Nomor 38,
Tambahan Lembaran Negara Nomor 3037);
3. Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1950 tentang Pembentukan Propinsi
Jawa Barat;
4. Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 1988 tentang Koordinasi
Kegiatan Instansi Vertikal di Daerah (Lembaran Negara Tahun 1988
Nomor 10, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3373).
Dalam peraturan-peraturan tersebut, tidak ada satu pun yang mengatur mengenai
reklamasi secara umum. Sehingga dengan munculnya kedua KEPPRES tersebut
menjadikannya peraturan yang telah mengatur secara khusus mengenai reklamasi
pantai. Tetapi, sifat kedua KEPPRES tersebut bukanlah peraturan (regelling) yang
dapat berlaku secara umum. Karena di dasarkan sifat berlaku dari kedua
KEPPRES tersebut hanya terbatas pada wilayah yang telah di tentukan yaitu :
Pantai Utara Jakarta dan Pantai Kapuknaga, Tangerang. Dengan demikian,
42 Keputusan Presiden No. 52 Tahun 1995 tentang Reklamasi Pantai Utara Jakarta43 Keputusan Presiden No. 73 Tahun 1995 tentang Reklamasi Pantai Kapuknaga, Tangerang
Status hukum..., Hery Hartawan, FH UI, 2010.
17
Universitas Indonesia
sekalipun memiliki status hukum sebagai peraturan perundang-undangan, tetapi
dua keputusan Presiden tersebut memiliki sifat sebagai keputusan tata usaha
Negara, yaitu hanya sebagai kebijakan pemerintah yang bersifat khusus untuk
kegiatan tertentu, dalam hal ini khusus dalam rangka pelaksanaan kegiatan
reklamasi pantai di dua lokasi tertentu.44
Selain itu, beberapa peraturan lainnya yang berkaitan dengan reklamasi
pantai diantaranya 45:
1. Peraturan Pemerintah No. 16 Tahun 2004 tentang Penatagunaan
Tanah. Dalam Peraturan Pemerintah ini hanya diatur mengenai status
hukum tanah hasil reklamasi semata-mata. Menurut Pasal 12 PP No.
16 Tahun 2004, tanah yang berasal dari tanah timbul atau hasil
reklamasi di wilayah perairan pantai, pasang surut, rawa, danau, dan
bekas sungai dikuasai langsung oleh Negara.
2. Keputusan Direktur Jenderal Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Nomor:
SK. 31/P3K/VIII/2003 tentang Pembentukan Tim Reklamasi.
3. Keputusan Direktur Jenderal Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Nomor:
SK.64D/P3K/IX/2004 tentang Pedoman Reklamasi di Wilayah Pesisir.
Keputusan Direktur Jenderal Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil ini hanya
menjelaskan tentang Pedoman Reklamasi di Wilayah Pesisir. Dalam
Pedoman tersebut dikemukakan bahwa selama ini di Indonesia
memang belum ada ketentuan umum yang mengatur reklamasi pantai
di perairan pesisir secara nasional baik dalam hal legalitas maupun
aspek-aspek yang harus diperhatikan secara biogeofisik dan sosial
ekonomi budaya dalam perencanaan, pelaksanaan dan pasca kegiatan
reklamasi.
Dengan disahkannya Undang-Undang Nomor: 27 Tahun 2007 tentang
Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2007 Nomor: 84, Tambahan Lembaran Negara Republik
44 Ibid, Hlm. 4545 Ibid, Hlm. 46
Status hukum..., Hery Hartawan, FH UI, 2010.
18
Universitas Indonesia
Indonesia Nomor: 4739) pada tanggal 17 Juli 2007, maka pengaturan tentang
reklamasi secara umum telah muncul.
Sebagaimana diatur dalam Pasal 1 butir 23 UU Nomor: 27 Tahun 2007,
reklamasi adalah kegiatan yang dilakukan oleh Orang dalam rangka meningkatkan
manfaat sumberdaya lahan ditinjau dari sudut lingkungan dan sosial ekonomi
dengan cara pengurugan, pengeringan lahan atau drainase.
Dalam Pasal 34 UU No. 27 Tahun 2007 ditentukan bahwa :
(1) Reklamasi Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil dilakukan
dalam rangka meningkatkan manfaat dan/atau nilai tambah
Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil ditinjau dari aspek
teknis, lingkungan, dan sosial ekonomi.
(2) Pelaksanaan reklamasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
wajib menjaga dan memperhatikan :
a. keberlanjutan kehidupan dan penghidupan
Masyarakat;
b. keseimbangan antara kepentingan pemanfaatan dan
kepentingan pelestarian fungsi lingkungan Pesisir dan
Pulau-pulau Kecil; serta
c. persyaratan teknis pengambilan, pengerukan dan
penimbunan material.
(3) Perencanaan dan pelaksanaan reklamasi diatur lebih lanjut
dengan Peraturan Presiden.
Berdasarkan ketentuan Pasal 34 ayat (1) UU No. 27 Tahun 2007,
reklamasi pantai dan laut telah merupakan suatu lembaga hukum yang
berdasarkan Undang-undang. Konsekuensinya, izin reklamasi pantai dan laut
(wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil) merupakan suatu keputusan tata usaha
Negara yang berdasarkan Undang-Undang. Izin reklamasi tidak lagi hanya
merupakan suatu kebijakan dalam arti keputusan tata usaha Negara untuk mengisi
kekosongan Undang-undang.46
46 Ibid, Hlm. 48
Status hukum..., Hery Hartawan, FH UI, 2010.
19
Universitas Indonesia
2.1.3 REKLAMASI PANTAI ANCOL JAKARTA
Sejak kurang lebih dari abad ke-17, kawasan Ancol telah mejadi kawasan
wisata. Pada masa itu, di kawasan pantainya yang indah dan bersih, banyak berdiri
rumah peristirahatan kaum elit bangsa Belanda. Bahkan Gubernur Jendral Hindia
Belanda, A. Valckenier memiliki rumah peristirahatan yang besar.47 Pemilihan
Ancol sebagai tempat peristirahatan tersebut karena letaknya yang relative
strategis, dekat dengan pusat kota yang sekarang dikenal dengan sebutan Jakarta
Barat. Di antara nama kampung-kampung tua yang ada di Jakarta, salah satunya
adalah Ancol. Kawasan Ancol terletak disebelah timur Kota Tua Jakarta, sampai
batas kompleks Pelabuhan Tanjung Priuk. Kawasan tersebut kini dijadikan sebuah
Kelurahan dengan nama yang sama, termasuk wilayah kecamatan Pademangan,
Kotamadya Jakarta Utara.48
Pada masa perjuangan dan awal kemerdekaan, Ancol menjadi daerah
terlupakan dan ditinggalkan oleh para penghuninya. Sungai Ciliwung bebas
mengendapkan lumpur di muaranya dan mengubah Ancol menjadi kawasan
terlantar dan sarang penyakit malaria.
Luas kawasan Ancol ini meliputi areal seluas 552 ha. Ide untuk
memanfaatkan Ancol lalu tercetus. Kemudian, selaras dengan rencana
pembangunan kota Jakarta, dibuat sebuah master plan. Pada master plan tersebut,
disebutkan bahwa kawasan Ancol akan dijadikan daerah industri. Presiden RI, Ir.
Soekarno kemudian menggagas sebuah ide untuk mengubah peruntukannya,
bukan untuk kawasan industri, melainkan kawasan wisata. Untuk itu, Presiden RI,
Ir. Soekarno kemudian menunjuk Pemda DKI Jakarta dalam hal ini Gubernur dr.
H. Soemarno Sosroatmodjo sebagai pelaksana. Dana pembangunannya diperoleh
dari pinjaman luar negeri dan dalam negeri.49
Proyek Ancol dimulai berdasarkan Peraturan Pemerintah No. 51 Tahun
1960 tentang Peruntukan dan Penggunaan Tanah Antjol (PP 51/1960) yang
47 http://id.wikipedia.org/wiki/Taman_Impian_Jaya_Ancol, dipunggah 24 Maret 201048http://ariesaksono.wordpress.com/2008/11/13/kawasan-ancol-dulu-dan-sekarang,
dipunggah 24 Maret 201049 Departemen Hukum PT PEMBANGUNAN JAYA ANCOL Tbk, KRONOLOGI
PEMBENTUKAN PT PEMBANGUNAN JAYA ANCOL TBK, Jakarta, 2005, Hlm. 5
Status hukum..., Hery Hartawan, FH UI, 2010.
20
Universitas Indonesia
menetapkan bahwa tanah Ancol yang terletak di pantai utara Jakarta diantara
Pelabuhan sunda Kelapa dan Tanjung Priok sebagai tanah pembangunan. Dalam
rangka pelaksanaan PP 51/1960 tersebut, dikeluarkan Keputusan Presiden RI No.
338 tahun 1960 (Keppres 338/1960) yang memutuskan untuk membentuk sebuah
“Panitiya Negara dengan nama Panitia Perentjana Pembangunan Antjol” yang
diperbaharui dengan Keputusan Presiden RI No. 389 tahun 1965 tanggal 31
Desember 1965.
Sesuai Keppres 338/1960, Gubernur Kepala Daerah Jakarta Raya
ditetapkan sebagai Penanggung Jawab atas kelancaran pelaksanaan pembangunan
Ancol, karenanya dalam rangka pelaksanaan Keppres tersebut, Gubernur Kepala
Daerah Jakarta Raya melalui keputusannya No. 11/Seker/Antjol tanggal 30 Maret
1961 membentuk Badan Pelaksana dan Badan Pengontrol Pembangunan Proyek
Ancol.
Pada Tahun 1966, Gubernur Kepala Daerah Jakarta Raya melalui
Keputusan No. 1b.3/1/26/1966 tertanggal 19 Oktober 1966 menunjuk PT
Pembangunan Ibukota Jakarta Raya (“PT Pembangunan Jaya”) sebagai Badan
Pelaksana Pembangunan Proyek Ancol. Surat Keputusan Gubernur tersebut
diperbaharui dengan Keputusan No. Ib.3/1/59/66 tertanggal 25 Nopember 1966
dan terakhir dengan Keputusan No. Ib.3/1/5/70 tertanggal 14 Januari 1970.
Sementara, untuk pelaksanaan reklamasi di Proyek Ancol, Gubernur
KDKI Jakarta mengeluarkan Surat Keputusan Gubernur KDKI Jakarta No. 812
tahun 1980 (“SK 812/1980”) tentang Pelaksanaan Reklamasi Di Proyek Ancol
pada tanggal 26 Juli 1980.
Pada tanggal 24 April 1990 Menteri Dalam Negeri Republik Indonesia
melalui Surat No. 575/1430/PUOD telah memberikan Persetujuan Prinsip
Pengalihan 20 persen saham Pemda DKI Jakarta dalam PT Pembangunan Jaya
kepada pihak swasta. Menindaklanjuti atas surat tersebut, pada tanggal 13
September 1990, antara Gubernur DKI Jakarta dengan PT Pembangunan Jaya
telah ditandatangani Perjanjian Kerjasama Pembentukan PT Untuk Pembangunan
Pengembangan Kawasan Ancol Nomor: 366 yang menyatakan bahwa para pihak
sepakat untuk mempertegas dan memperjelas status bentuk Badan Hukum Badan
Status hukum..., Hery Hartawan, FH UI, 2010.
21
Universitas Indonesia
Pelaksana Pembangunan proyek Ancol menjadi perusahaan perseroan
berkedudukan di Indonesia sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang
berlaku.
Maka, pada tanggal 19 September 1990 berdasarkan Keputusan Gubernur
KDKI Jakarta No. 1258 Tahun 1990, Badan Pelaksana Pembangunan Proyek
Ancol dibubarkan untuk ditingkatkan status hukumnya menjadi Perseroan
Terbatas.
Pada tanggal 9 april 1991 dikeluarkan Peraturan Daerah DKI Jakarta No. 4
Tahun 1991 tentang Penyertaan Modal Daerah DKI Jakarta Pada Pembentukan
Perseroan Terbatas PT Pembangunan Jaya Ancol (“PERDA 4/1991”).
Berdasarkan Keputusan Menteri Dalam Negeri No. 570.31288, Perda 4/1991
disahkan. Dengan disahkannya Perda tersebut, maka PT Pembangunan Jaya Ancol
memiliki status sebagai Badan Usaha Milik Daerah (BUMD).
Khusus mengenai reklamasi, dalam PERDA 4/1991, disebutkan dalam
Pasal 2 ayat (2) butir 2 poin (a) mencantumkan bahwa PT Pembanguna Jaya
Ancol melakukan Usaha Industri Real Estate, antara lain: melakukan usaha-usaha
reklamasi. Sebagaimana disebutkan dalam pasal 3 ayat (1) huruf B Anggaran
Dasar Pembangunan Jaya Ancol/Akta Notaris Sutjipto, S.H. No. 33 tanggal 10
Juli 1992 menyatakan bahwa salah satu tujuan perusahaan adalah melakukan
usaha reklamasi.
Presiden Republik Indonesia mengeluarkan Keputusan Presiden RI No. 52
Tahun 1995 tentang Reklamasi Pantai Utara Jakarta (“Keppres 52/1995) pada
tanggal 13 Juli 1995. Sebagaimana disebutkan di atas, Keppres tersebut
merupakan peraturan perundang-undangan pertama yang mengatur mengenai
reklamasi. Walaupun secara sektoral, Keppres ini menjadi awal reklamasi masuk
sebagai lembaga yang di atur dalam hukum positif Indonesia.
Menindaklanjuti keluarnya Keppres 52/1995, maka dikeluarkan Peraturan
Daerah DKI Jakarta No. 8 tahun 1995 tentang Penyelenggaraan Reklamasi dan
Rencana Tata Ruang Kawasan Pantura Jakarta (PERDA 8/1995) pada tanggal 6
oktober 1995. Selanjutnya dikeluarkan Keputusan Gubernur KDKI Jakarta No.
972 tahun 1995 tentang Pembentukan Organisasi dan Tata Kerja Badan Pelaksana
Status hukum..., Hery Hartawan, FH UI, 2010.
22
Universitas Indonesia
Reklamasi Pantai Utara Jakarta ( KEPGUB 972/1995) dan dibentuklah Badan
Pelaksana Reklamasi Pantura (BP Reklamasi Pantura) dilanjutkan dengan
dikeluarkannya Keputusan Gubernur KDKI Jakarta No. 220 tahun 1998 tentang
Penyempurnaan Organisasi dan Tata Kerja Badan Pelaksana Reklamasi Pantai
Utara Jakarta. Serta Keputusan Gubernur Propinsi DKI Jakarta No. 138 tahun
2000 tentang Tata Cara Penyelenggaraan Reklamasi Pantai Utara Jakarta
(KepGub 138/2000).
Untuk menyelenggarakan reklamasi di kawasan Pantura Jakarta, Gubernur
DKI Jakarta membentuk badan pelaksana yang bertugas dapat melakukan
kerjasama dengan pihak lain. Yang dimaksud dengan pihak lain tersebut adalah
mitra kerja yang ditunjuk oleh badan pelaksana atau pemegang lelang untuk
melaksanakan reklamasi pembangunan diatas lahan hasil reklamasi atau
melakukan penataan daratan kawasan Pantura. Yang dimaksud dengan pelelangan
adalah kegiatan penawaran suatu paket pembangunan di kawasan pantura oleh
Badan Pelaksana kepada calon pengembang yang telah menyatakan kesanggupan
minat.50
a. Perencanaan
1). Badan Pelaksana Unit/Instansi lain yang terkait menyiapkan Rencana Tata
Ruang Kawasan Pantai Utara Jakarta yang selanjutnya ditetapkan dengan
Keputusan Gubernur;
2). Berdasarkan Keputusan Gubernur tersebut Badan Pelaksana membuat:
i. Rencana Rinci Kawasan Pantura;
ii. Panduan Rancang Kota (Urban Design Guidelines) dan Rencana
Pedoman Pembangunan (Development Guide Plan) dari setiap paket
lokasi areal reklamasi;
iii. Lokasi/areal prioritas yang ditetapkan sebagai paket pelaksana
reklamasi;
iv. Kerangka Acuan Kegiatan dari setiap paket lokasi areal prioritas
reklamasi.
50 Arie S. Hutagalung, Op. Cit. Hlm 30-31
Status hukum..., Hery Hartawan, FH UI, 2010.
23
Universitas Indonesia
b. Pelaksanaan
1). Pelelangan
i. Badan Pelaksana menyiapkan pedoman pelelangan untuk pelaksanaan
pelelangan setiap lokasi/areal prioritas;
ii. Proses pelelangan/penunjukkan dilakukan oleh Panitia Pelelangan/
penunjukkan yang ditentukan oleh Ketua Badan Pelaksana dan diikuti
oleh mitra usaha/developer/perusahaan-perusahaan peminat
pengembang Kawasan Pantai Utara Jakarta dengan persyaratan-
persyaratan yang ditetapkan oleh Badan Pelaksana.
iii. Badan Pelaksana dapat menunjuk konsultan manajemen
pembangunan untuk membantu pelaksanaan pelelangan/penunjukkan
terhadap calon pelaksana reklamasi pada setiap paket lokasi/areal
reklamasi termasuk menyiapkan dokumen-dokumen yang diperlukan.
iv. Hasil pelelangan dan calon pemenang diusulkan Ketua Badan
Pelaksana kepada Gubernur untuk ditetapkan.
v. Ketua Badan Pelaksana menerbitkan Surat Keputusan penetapan
Pemenang Pelelangan/Penunjukkan untuk pelaksanaan paket
reklamasi Pantai Utara dan menuangkan ke dalam Nota Kesepahaman
yang dibahas bersama-sama dengan pihak yang ditunjuk sebagai
pelaksana reklamasi.
2). Nota Kesepahaman
i. Apabila telah disetujui dan disepakati maka Nota Kesepahaman
ditandatangani bersama Ketua Badan Pelaksana dan pihak yang diberi
hak sebagai pelaksana reklamasi.
ii. Di dalam Nota kesepahaman dicantumkan kewajiban pihak yang
ditunjuk sebelum dilanjutkan kepada perjanjian pengembangan,
untuk:
a). Menyiapkan proposal yang antara lain berisikan:
- perencanaan reklamasi;
- perencanaan penggunaan tanah hasil reklamasi;
- perencanaan makro infrastruktur;
Status hukum..., Hery Hartawan, FH UI, 2010.
24
Universitas Indonesia
- perencanaan fasilitas umum/fasilitas sosial;
- perencanaan pentahapan;
- perencanaan AMDAL Proyek.
- perencanaan usaha dan keuangan serta studi kelayakan
b). Menyerahkan uang muka sebagai modal kerja Badan Pelaksana
yang merupakan bagian dari kontribusi yang akan diperhitungkan
kelak dalam kerjasama usaha yang besarnya ditetapkan dengan
Keputusan Gubernur.
c). Batas waktu penyerahan proposal dan kewajiban administrasi
lainnya dilakukan sebelum perjanjian pengembangan
ditandatangani.
3) Perjanjian Pengembangan
i. Badan Pelaksana bersama unit/instansi terkait mengadakan pengkajian
dan penilaian terhadap proposal yang diserahkan oleh pihak yang diberi
hak dengan mempertimbangkan aspek sosial, aspek ekonomis, aspek
teknis planologia, aspek teknis reklamasi, aspek lingkungan, aspek
perhubungan dan keselamatan pelayaran serta aspek legal dan
administratif, sebagaimana yang disyaratkan dalam kerangka acuan.
ii. Setelah proposal dikaji secara mendalam dan memenuhi persyaratan,
maka Badan Pelaksana menerbitkan Surat Persetujuan Proposal dan
menindaklanjuti dengan perumusan Perjanjian Pengembangan;
iii. Perjanjian Pengembangan dilakukan oleh Badan dengan Mitra
Pengembang sampai penyiapan tanah hasil reklamasi;
iv. Konsep perjanjian pengembangan dilaporkan kepada Gubernur untuk
mendapat persetujuan;
v. Setelah mendapatkan persetujuan, maka Ketua Badan Pelaksana
bersama-sama dengan Mitra Pengembang yang diberi hak,
menandatangani perjanjian pengembangan;
vi. Di dalam Perjanjian Pengembangan dicantumkan pasal-pasal yang
menyangkut ruang lingkup perjanjian pengembangan yang meliputi
deskripsi paket reklamasi yang akan dilaksanakan, hak dan kewajiban
Status hukum..., Hery Hartawan, FH UI, 2010.
25
Universitas Indonesia
masing-masing pihak, besaran dan tahapan penyerahan kontribusi,
prasarana dan fasilitas sosial/fasilitas umum, sistem pengawasan dan
pengendalian serta tahapan dan jangka waktu pelaksanaan reklamasi
dan pengelolaan tanah hasil reklamasi.
4) Perizinan
i. Setelah perjanjian pengembangan ditandatangani, maka mitra
pengembang membuat perencanaan inci setiap tahap pelaksanaan
reklamasi dan melengkapi persyaratan-persyaratan teknis yaitu:
a) Amdal Proyek;
b) Perencanaan penggunaan tanah hasil reklamasi;
c) Perencanaan pengambilan material reklamasi;
d) Perencanaan infrastruktur/prasarana dasar.
ii. Perencanaan rinci setiap tahapan dibahas oleh Badan Pelaksana
bersama dengan unit/instansi terkait dan dapat dibantu oleh konsultan
manajemen yang ditunjuk;
iii. Ketua Badan Pelaksana atas nama Gubernur mengeluarkan izin
pelaksanaan reklamasi, dengan lampiran:
a) Persetujuan/pengesahan atas AMDAL proyek yang
mengacu pada AMDAL Regional;
b) Persetujuan/pengesahan atas gambar perencanaan
penggunaan tanah hasil reklamasi oleh Dinas Tata Kota
Propinsi DKI Jakarta;
c) Persetujuan/pengesahan atas gambar teknis dan
perhitungan konstruksi reklamasi jadwal pelaksanaan
reklamasi oleh Dinas Pekerjaan Umum Propinsi DKI
Jakarta dan pengambilan material reklamasi oleh Dinas
Pertambangan Propinsi DKI Jakarta.
d) Persetujuan/pengesahan atas gambar perencanaan
infrastruktur/prasarana dasar oleh Dinas Pekerjaan
Umum Propinsi DKI Jakarta.
Status hukum..., Hery Hartawan, FH UI, 2010.
26
Universitas Indonesia
5) Pelaksanaan Reklamasi dan Prasarana Dasar.
i. Setelah mendapatkan izin Pelaksanaan Reklamasi, Mitra Pengembang
menunjuk kontraktor pelaksana dan pelaksana prasarana dasar serta
suplier pengambilan material urug dan memberitahukan kepada Ketua
Badan Pelaksana;
ii. Kontraktor pelaksana melakukan pembangunan reklamasi dan
prasarana dasar dengan mengikuti ketentuan dan persyaratan-
persyaratan yang telah ditetapkan;
iii. Mitra pengembang dan perusahaan patungan wajib melaporkan hasil
pelaksanaan reklamasi kepada Badan Pelaksana secara berkala.
6) Pengawasan
i. Badan Pelaksana dibantu Dinas Teknis yang bersangkutan melakukan
pengawasan rutin dan pengendalian teknis atas pelaksanaan reklamasi
dan pembangunan prasarana dasar di lapangan;
ii. Badan Pelaksana melaporkan hasil pelaksanaan reklamasi termasuk
masalah/kendala yang harus diselesaikan kepada badan pengendali
secara berkala.
7) Pembangunan dan pengelolaan hasil reklamasi
i. Setelah pelaksanaan reklamasi dan pembangunan prasarana dasar
selesai, maka pihak yang diberi hak menyerahkan tanah hasil reklamasi
kepada Badan Pelaksana dan dibuatkan berita acara serah terima sesuai
dengan perjanjian pengembangan;
ii. setelah serah terima, maka Badan Pelaksana mengurus penerbitan HPL
atas tanah tersebut atas nama Pemda DKI Jakarta sesuai ketentuan yang
berlaku.
iii. Pembangunan di atas tanah hasil reklamasi dilaksanakan berdasarkan
perjanjian pengembangan antara Badan Pelaksana dengan Mitra
Pengembang.
Status hukum..., Hery Hartawan, FH UI, 2010.
27
Universitas Indonesia
iv. Kepada Mitra Pengembang diwajibkan untuk menyerahkan kontribusi
kepada Badan Pelaksana yang besarnya ditetapkan berdasarkan luas
tanah dan peruntukkannya.
v. Pembangunan di atas tanah hasil reklamasi dilaksanakan berdasarkan
perizinan pembangunan yang dikeluarkan oleh unit/instansi terkait
dikoordinasikan melalui Badan Pelaksana dengan sistem pelayanan satu
pintu.
2.2 HAK MENGUASAI OLEH NEGARA
Konseptualisasi Hak Menguasai Negara dalam Undang-Undang Pokok
Agraria adalah penghapusannya yang secara tegas terhadap domein teori yang
dianut hukum pertanahan kolonial. Konsep pemilikan atas tanah oleh
negara yang sebenarnya bertujuan untuk memberi legalisasi dan legitimasi
bagi perusahaan perkebunan swasta dalam memperoleh lahan yang luas di
Hindia Belanda,51 adalah bertentangan dengan negara Indonesia yang telah
merdeka dan pandangan hidup bangsa, karenanya harus dihapuskan dari hukum
pertanahan nasional.
Secara singkat, Teori Domein yang berintikan pemilikan Negara atas
tanah ini lahir sebagai hasil revitalisasi hubungan feodalistik pada masa
sebelumnya yang telah dimanfaatkan oleh VOC (Vereenigde Oost-
Indische Compagnie), dan begitu juga pada masa pemerintahan Raffles (1811-
1816). Yang untuk selanjutnya diperkuat dengan domein verklaring dalam
Agrarisch Besluit (Staatsblad 1870 No. 118) sebagai aturan pelaksana AW
1870, bahwa semua tanah yang orang lain tidak dapat membuktikan
bahwa tanah itu tanah eigendomnya, adalah domein negara. Meskipun
pada konsepsinya, selain bertujuan menjamin hak rakyat Indonesia atas
51 Gunawan Wiradi, “Kata Pengantar” dalam Ricardo Simarmata, “Prakata Penulis:Polemik Konsep Hubungan Negara dengan Tanah, di atas Realitas Problem Agraria” dalamRikardo Simarmata, 2002, Kapitalisme Perkebunan: Dinamika Konsep Pemilikan Tanah olehNegara, Insist Press&Pustaka Pelajar, Yogyakarta. hlm. vii-viii.
Status hukum..., Hery Hartawan, FH UI, 2010.
28
Universitas Indonesia
tanahnya52 dan kekuasaan Negara atas tanah sebagai pemilik mutlak
dimaksudkan hanya pada tanah-tanah tak bertuan yang tidak dapat
dibuktikan hak eigendom dan hak agrarische eigendomnya, tetapi pada
penerapannya sungguh berbeda. Pemerintah Belanda menafsirkan secara sempit
hak eigendom sebagai hak milik adat (hak milik rakyat berdasar hukum adat-
pen.) yang telah dimohonkan oleh pemiliknya melalui prosedur tertentu dan
diakui keberadaannya oleh pengadilan saja. Hal ini tentu saja sangat
merugikan rakyat pribumi karena tanpa pembuktian berdasar hukum Barat
tersebut pribumi (pemegang hak milik adat) hanya dianggap sebagai
pemakai tanah domein negara. Meski hubungan hukum dengan tanah
yang bersangkutan tetap diakui, tetapi dalam perundang-undangan, hak
milik adat hanya disebut sebagai hak memakai individual turun temurun
(erfelijk individueel gebruiksrecht) dan kemudian sebagai hak menguasai
tanah domein negara (Inlands bezitrecht). Kemudian tanah-tanah hak milik
adat tersebut karena tidak disamakan dengan hak eigendom dalam hukum Barat
dianggap sebagai tanah negara tidak bebas (onvrij lands domein) dimana negara
tidak secara bebas dapat memberikannya kepada pihak lain, dengan dibatasi hak
rakyat tersebut.
Sedangkan tanah hak ulayat yang meskipun menurut kenyataannya masih
ada dan ditaati oleh masyarakat hukum adat, tidak diakui keberadaannya
berdasar domein verklaring itu. Sehingga dikategorikan domein negara, yaitu
sebagai tanah negara bebas (vrij lands domein).53
52Sudikno Mertokusumo, 1988, Perundang-undangan Agraria Indonesia, Yogyakarta,
Liberty, hal. 6. Noer Fauzi dan Dianto Bachriadi, 2001, Hak Menguasai dari Negara (HMN):Persoalan Sejarah yang Harus Diselesaikan, Kertas Posisi KPA Nomor 004/2001, Bandung.
53Boedi Harsono, 1999, Hukum Agraria Indonesia: Sejarah Pembentukan Undang-
Undang Pokok Agraria, Isi dan Pelaksanaannya, edisi revisi, Djambatan, Jakarta, hlm 45-46.Pembedaan tanah negara bebas dan tanah negara tidak bebas berpengaruh pada prosespengambilalihan tanah oleh negara. Terhadap tanah negara tidak bebas (tanah milik rakyatberdasar hukum adat) pengambilalihan harus melalui acara yang diatur dalam pasal 133 ISdengan ganti rugi yang layak. Sedangkan terhadap tanah ulayat hanya diberikan “recognitie”sebagai pengakuan adanya hak masyarakat hukum adat yang bersangkutan. Konsep pemberian“recognitie” untuk tanah yang dikuasai masyarakat hukum adat ini juga masih berlaku padahukum pertanahan pasca kemerdekaan, misalnya dalam Keputusan Presiden Nomor: 55 Tahun1993 yang menyatakan bahwa pengambilalihan hak masyarakat hukum adat atas tanah ulayatdilakukan dengan membayar recognitie yang dapat berupa fasilitas umum yang bermanfaat bagimasyarakat tersebut.
Status hukum..., Hery Hartawan, FH UI, 2010.
29
Universitas Indonesia
Selanjutnya, pasca kemerdekaan, perumusan pasal 33 dalam UUD1945 :
“Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasaioleh Negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat”,
sebagai dasar konstitusional pembentukan dan perumusan Undang-Undang Pokok
Agraria (UUPA). Dua hal pokok dari pasal ini adalah sejak awal telah diterima
bahwa Negara ikut campur untuk mengatur sumber daya alam sebagai alat
produksi, dan pengaturan tersebut adalah dalam rangka untuk sebesar-besar
kemakmuran rakyat. Penghubungan keduanya bersifat saling berkait sehingga
penerapan yang satu tidak mengabaikan yang lain.
Menurut Bagir Manan bahwa makna “dikuasai oleh negara”, tidak pernah
ada penjelasan atau kejelasan resmi. Namun satu hal yang disepakati, dikuasai
oleh negara tidak sama dengan dimiliki negara.54 Berdasarkan Pasal 2 ayat (2)
UUPA, dikuasai oleh negara adalah wewenang untuk:
1. Mengatur dan meyelenggarakan peruntukan, penggunaan, persediaan, danpemeliharaan;
2. Menentukan dan mengatur hak-hak yang dipunyai atas (bagian dari) bumi,air, dan ruang angkasa;
3. Menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum mengenai bumi,air, dan ruang angkasa.
Penguasaan negara itu mempunyai makna negara hanya melakukan
besturstaad yaitu sebagai pengelola (to manage) dan tidak melakukan eigensdaad
atau tindakan sebagai yang memiliki.55 Pelaksanaan Hak Menguasai Negara dapat
dikuasakan kepada daerah-daerah swatantra/daerah otonom sekedar diperlukan
dan tidak bertentangan dengan kepentingan nasional menurut ketentuan
54 Bagir manan, Menyongsong Fajar Otonomi Daerah, Pusat Studi Hukum (PSH) FakultasHukum UII,Yogyakarta, 2001
55 Ibid, hlm.214.
Status hukum..., Hery Hartawan, FH UI, 2010.
30
Universitas Indonesia
pemerintah.56 Hak menguasai negara tidak dapat dilimpahkan atau dipindahkan
kepada pihak lain, namun untuk pelaksanaannya dapat dilimpahkan kepada
pemerintah daerah dan masyarakat-masyarakat hukum adat.
UUPA sendiri lahir dalam konteks “...perjuangan perombakan hukum
agraria nasional berjalan erat dengan sejarah perjuangan bangsa Indonesia untuk
melepaskan diri dari cengkraman, pengaruh, dan sisa-sisa penjajahan; khususnya
perjuangan rakyat tani untuk membebaskan diri dari kekangan-kekangan sistem
feodal atas tanah dan pemerasan kaum modal asing...”57
Semangat menentang strategi kapitalisme dan kolonialisme yang telah
menyebabkan terjadinya “penghisapan manusia atas manusia” (exploitation
de l’homme par l’homme) di satu sisi; dan sekaligus menentang strategi
sosialisme yang dianggap “meniadakan hak-hak individual atas tanah” di sisi
lain menjadi landasan ideologis dan filosofis pembentukan UUPA. Selain itu,
salah satu arti penting UUPA lainnya, bahwa hukum agraria nasional adalah
berdasar hukum adat (yang disaneer58 —Boedi Harsono) dan tidak lepas dari
56 A.P. Parlindungan, Hak Pengelolaan Menurut Sistem UUPA, CV Mandar Maju,Bandung, 1989, hlm. 25.
57 Pidato Pengantar Menteri Agraria dalam Sidang DPR-GR, 12 September 1960oleh Mr. Sadjarwo. Dalam Risalah Pembentukan UUPA dan Boedi Harsono, Op. Cit., hlm. 585.
58Boedi Harsono, Op. Cit., hal 139-140. Tampak bahwa UUPA merupakan
kompromi dari berbagai ideologi dan kepentingan. Semangat unifikasi (ide yang dominandari perumusUUPA) yang bertujuan untuk mengadakan kesatuan dan kesederhanaan hukumagraria masih mengakomodir keberagaman hukum adat sebagai hukum asli. Hal ini dinilaibeberapa ahli hukum merupakan ambiguitas dari UUPA terhadap hukum adat karena padapenerapannya kemudian justru mengabaikan banyak kaidah hukum adat. Soetandyo misalnya,mengatakan bahwa meskipun UUPA mengklaim diri berdasar hukum adat tapi ternyata justrumengabaikan banyak kaidah hukum adat. Yang diperhatikan hanya asas-asas yang bersifat umum,dengan demikian misi UUPA memang menciptakan hukum yang berlaku umum (unifikasi)untuk seluruh rakyat Indonesia. Lihat, Soetandyo Wignyosoebroto, 1994, Dari Hukum Kolonialke Hukum Nasional: Dinamika Sosio-Politik Perkembangan Hukum di Indonesia, Jakarta,Rajawali Press, hal. 214. Demikian juga menurut Otje Salman. Bahwa pada dasarnya hukumadat yang ada dalam UUPA mengalami pereduksian dalam beberapa hal pentingpemberlakuannya. Hal ini bisa dilihat dari ketentuan “…sepanjang kenyataannya masih ada…,”atau “…tidak bertentangan dengan kepentingan nasional dan negara….” Hal ini padakenyataannya kemudian menyebabkan pengeliminasian kewenangan masyarakat hukum adat atastanah, termasuk tanah adat. Menurutnya, peran dan pengaruh hukum adat akan semakin tereduksidan atau tereliminasi karena faktor politik hukum yang cenderung memfokuskan pada sistem
Status hukum..., Hery Hartawan, FH UI, 2010.
31
Universitas Indonesia
konteks landreform yang menjadi agenda pokok pembentukan struktur agraria
saat itu.
Demikian pula dengan konsep HMN59. Kewenangan HMN tersebut
dipahami dalam kerangka hubungan antara Negara dengan bumi, air dan
kekayaan alam di dalamnya sebagai hubungan penguasaan, bukan hubungan
pemilikan seperti di negara barat maupun di negara-negara komunis. Negara
dalam hal ini sebagai Badan Penguasa yang pada tingkatan tertinggi
berwenang mengatur pemanfaatan tanah dalam arti luas serta menentukan
dan mengatur hubungan hukum dan perbuatan hukum berkenaan dengan
tanah. Sebagai penerima kuasa, maka Negara harus
mempertanggungjawabkannya kepada masyarakat sebagai pemberi kuasa60 .
Dengan ini AP. Parlindungan menyebutnya sebagai hak rakyat pada tingkat
hukum tertulis, sehingga hukum adat hanya diakui sepanjang proses transformasi tersebutbelum selesai. Ambiguitas UUPA dalam memperlakukan hukum adat terlihat padapengeliminasian banyak peranan hukum adat menyangkut tanah, tapi juga tetap mengakuibeberapa prinsip hukum adat seperti asas pemisahan horizontal. Otje Salman, 2002,Rekonseptualisasi Hukum Adat Kontemporer, Alumni, Bandung, hlm. 37 dan 167. Disertasiyang diterbitkan.
59Menurut Ricardo Simarmata, rumusan HMN ini merupakan kesatuan dari
paket hasil penyelidikan secara ilmiah teoritis, yang lebih berkiblat pada pengalaman sejarahhubungan negara dengan tanah di negara-negara Eropa Barat pada Abad Pertengahan yaitu hakcommunes atau hak imperium. Lihat, Ricardo Simarmata, “Prakata Penulis: Polemik KonsepHubungan Negara dengan Tanah, di atas Realitas Problem Agraria” dalam Ricardo Simarmata,Op. Cit., hlm. xxvi. Secara lebih jelas Roscoe Pound menguraikan bahwa menurut teori ini,terdapat milik pribadi dan milik bersama sebagai masyarakat atau negara yang karenanya beradadi luar perdagangan (res extra commercium). Benda yang tidak bisa dimiliki secara perseoranganterbagi menjadi milik bersama anggota masyarakat atau milik umum (res communes) sepertiudara, air sungai; benda milik rakyat yang pemilikannya didelegasikan kepada negara untukkepentingan rakyatnya (res publicae) misalnya jalan, saluran irigasi; dan benda-benda untuktujuan kesucian (res sanctae), kesakralan (res sacrae) dan keagamaan (res religiosae). RoscoePound, 1972, Pengantar Filsafat Hukum, terj. M. Radjab, Bhratara, Jakarta, hlm. 130-132.
60 Maria SW Sumardjono, 1998, Kewenangan Negara untuk Mengatur dalam KonsepPenguasaanTanah oleh Negara, dalam Pidato Pengukuhan Jabatan Guru Besar padaFakultas Hukum UGM, tanggal 14 Februari 1998 di Yogyakarta. Menurut beberapa tokoh,paham ini dipengaruhi paham Negara integralistik yang berkembang saat itu dan didukungterutama oleh Soekarno dan Supomo. Kesatuan antara masyarakat dan Negara dimanakepentingan individudan kelompok larut dalam kepentingan Negara (mirip dengan konsepRousseau tentang masyarakat organis) sehingga tidak terjadi pertentangan hak dan kepentinganwarga masyarakat dan Negara. Individu ditempatkan di bawah nilai masyarakat sebagaikeseluruhan. Lihat Frans Magnis Suseno, 1993, Filsafat sebagai Ilmu Kritis, Kanisius,Yogyakarta, hlm. 94-96.
Status hukum..., Hery Hartawan, FH UI, 2010.
32
Universitas Indonesia
Negara61.
Prof. Maria SW Sumardjono mengatakan bahwa kewenangan negara ini
harus dibatasi dua hal: pertama, oleh UUD 1945. Bahwa hal-hal yang diatur
oleh negara tidak boleh berakibat pelanggaran hak asasi manusia yang dijamin
oleh UUD 1945. Peraturan yang bias terhadap suatu kepentingan dan
menimbulkan kerugian di pihak lain adalah salah satu bentuk pelanggaran
tersebut. Seseorang yang melepas haknya harus mendapat perlindungan hukum
dan penghargaan yang adil atas pengorbanan tersebut. Kedua, pembatasan yang
bersifat substantif dalam arti peraturan yang dibuat oleh negara harus relevan
dengan tujuan yang hendak dicapai yaitu untuk sebesar-besar kemakmuran
rakyat. Dan kewenangan ini tidak dapat didelegasikan kepada pihak swasta
karena menyangkut kesejahteraan umum yang sarat dengan misi pelayanan.
Pendelegasian kepada swasta yang merupakan bagian dari masyarakat akan
menimbulkan konflik kepentingan, dan karenanya tidak dimungkinkan62.
Adapun ruang lingkup pengaturannya, HMN berlaku atas semua tanah
yang ada di Indonesia, baik itu tanah yang belum dihaki, juga tanah yang telah
dihaki oleh perseorangan. Terhadap tanah yang belum dihaki perseorangan,
HMN melahirkan istilah “tanah yang dikuasai langsung oleh negara,” atau
kemudian disebut secara singkat sebagai “tanah negara”63. Sedangkan tanah
yang telah dihaki perseorangan disebut “tanah yang dikuasai tidak langsung
oleh negara,” atau “tanah negara tidak bebas.” Kewenangan terhadap tanah
yang sudah dihaki perseorangan ini pada dasarnya bersifat pasif, kecuali jika
tanah itu dibiarkan tidak diurus/ditelantarkan. Sehingga Negara dapat
61 AP. Parlindungan, 1991, Komentar atas Undang-Undang Pokok Agraria,Mandar Maju, Bandung, hlm. 40.
62 Ibid. Dua pembatasan tersebut menjadi penting mengingat HMN merupakan suatukonsepsi pokok dalam UUPA yang kemudian dijadikan sumber dari Undang-Undang atau punregulasi lainnya yang dirumuskan kemudian berdasar perkembangan dan kebutuhanmasyarakat. Sebagai contoh, pembatasan Konstitusi. Dengan semakin kuatnya pengakuan danperlindungan Konstitusi pasca Amandemen terhadap hak asasi manusia dan hak masyarakathukum adat, maka pengaturan tentang HMN harus benar-benar memperhatikan asas ini.
63Menurut Sunarjati Hartono, meskipun dikatakan bahwa tanah negara hanya meliputi
tanah-tanah yang tidak dihaki oleh perseorangan (vrijs landsdomein) tetapi tidak dapatdipungkiri bahwa tanah negara tersebut masih berdasar asas domein. Sunarjati Hartono,1986, Kapita Selekta Perbandingan Hukum, Bandung, Alumni, hlm. 62-63.
Status hukum..., Hery Hartawan, FH UI, 2010.
33
Universitas Indonesia
mengaturnya supaya produktif64.
Beberapa poin penting dari HMN ini adalah bahwa:
1) Lahir dalam konteks anti imperialisme, anti kapitalisme dan anti
feodalisme;
2) Sebagai penghapusan terhadap asas domein Negara yang dimanfaatkanPemerintah kolonial untuk mengambilalih pemilikan rakyat dankemudian menyewakan atau menjualnya kepada pengusaha asing ataupartikelir;
3) Sebagai sintesa antara individualisme dan kolektivisme/sosialisme;
4) Penguasaan ini lebih bersifat mengatur dan menyelenggarakan
(publik),untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat (sebagai
pertanggungjawaban);
5) Dibatasi oleh Konstitusi;
6) Penyelenggaraan HMN adalah untuk kesejahteraan umum, dapatdidelegasikan kepada daerah atau masyarakat hukum adat, tetapi tidakkepada swasta.
Selanjutnya, Moh. Mahfud. MD berharap bahwa HMN seharusnya justru
memberi jalan bagi tindakan responsif lainnya karena dari hak
tersebut Pemerintah dapat melakukan tindakan-tindakan yang berpihak bagi
kepentingan masyarakat65. Dua hal penting dari pendapat tersebut, Pemerintah
seharusnya bisa secara proaktif dan responsif mengeluarkan regulasi mengenai
pengaturan dan penyelenggaraan pengelolaan sumber daya agraria, dengan
memperhatikan setidaknya enam unsur yang terkandung dalam HMN tersebut
di atas. Tetapi seluruh regulasi yang mengatasnamakan HMN tersebut harus
dalam kerangka keberpihakannya pada kepentingan masyarakat.
Wewenang yang pelaksanaannya dilimpahkan, pada hakikatnya akan
terbatas pada apa yang disebutkan dalam Pasal 2 ayat (2) huruf (a) UUPA, yaitu
wewenang mengatur dan menyelenggarakan peruntukan, penggunaan,
persediaan, dan pemeliharaan tanah. Wewenang mengatur misalnya bersangkutan
64Iman Soetiknjo, 1994, Politik Agraria Nasional, Gadjah Mada University Press,Yogyakarta, hlm. 53.
65 Moh. Mahfud MD, 1998, Politik Hukum di Indonesia, LP3ES, Jakarta, hlm. 349
Status hukum..., Hery Hartawan, FH UI, 2010.
34
Universitas Indonesia
dengan perencanaan pembangunan daerah. Wewenang menyelenggarakan
misalnya berupa tindakan mematangkan tanah untuk disiapkan guna tempat
pembangunan perumahan rakyat, industri dan lain sebagainya. Untuk itu
pemerintah daerah misalnya dapat menyelenggarakan suatu perusahaan tanah
yang selain bertugas mematangkan tanah yang tersedia, juga mengatur
penyediaan tanah bagi pihak-pihak yang memerlukan. Tujuan penyelenggaraan
perusahaan tanah oleh pemerintah daerah titik beratnya harus diletakan pada
pemenuhan kebutuhan umum, bukan mencari keuntungan semata-mata.66
Pelaksanaan delegasi wewenang Hak Menguasai Negara kepada
pemerintah daerah seperti diuraikan di atas disebut dengan Hak Pengelolaan67
Hak Pengelolaan ini tidak disebutkan secara eksplisit dalam UUPA, karena
berdasarkan Pasal 16 ayat (1) UUPA hak-hak atas tanah itu hanya meliputi:
a. Hak Milik;b. Hak Guna Usaha;c. Hak Guna Bangunan;d. Hak Pakai;e. Hak sewa;f. Hak Membuka Tanah;g. Hak Memungut Hasil Hutan;h. Hak-hak lain yang tidak termasuk dalam hak-hak tersebut di atas yang
akan ditetapkan dengan undang-undang serta hak-hak yang sifatnyasementara sebagaimana yang disebutkan dalam Pasal 53.
Hak Pengelolaan ini hanya disebutkan secara tersirat dalam penjelasan umum-nya
yang berbunyi sebagai berikut:68
Dengan berpedoman pada tujuan yang disebutkan di atas, negara dapatmemberikan tanah yang demikian (yang dimaksudkan adalah tanah yangtidak dipunyai dengan sesuatu hak oleh seseorang atau pihak lain) kepadaseseorang atau badan-badan dengan sesuatu hak menurut peruntukan dankeperluannya, misalnya dengan Hak Milik, Hak Guna Usaha, Hak GunaBangunan, atau Hak Pakai, atau memberikannya dalam pengelolaankepada suatu badan penguasa (Departemen, Jawatan, atau DaerahSwatantra) untuk dipergunakan bagi pelaksanaan tugasnya masing-masing.
66 Boedi Harsono, op. cit hlm. 278.
67 A.P. Parlindungan, op. cit, hlm. 5.68 Boedi Harsono, op. cit., hlm. 279
Status hukum..., Hery Hartawan, FH UI, 2010.
35
Universitas Indonesia
PP No. 40 Tahun 1996 Tentang Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan,
dan Hak Pakai Atas Tanah dalam Pasal 1 mendefinisikan Hak Pengelolaan
sebagai Hak Menguasai dari Negara yang kewenangan pelaksanaannya sebagian
dilimpahkan kepada pemegangnya. Selanjutnya dalam Pasal 3 Peraturan Menteri
Dalam Negeri No. 5 Tahun 1974 disebutkan mengenai luasnya Hak Pengelolaan,
yaitu sebagai berikut:
a. Merencanakan peruntukan dan penggunaan tanah yang bersangkutan.b. Menggunakan tanah tersebut untuk keperluan pelaksanaan tugasnya.c. Menyerahkan bagian-bagian daripada tanah itu kepada pihak ketiga
menurut persyaratan yang ditentukan oleh perusahaan pemegang haktersebut yang meliputi segi peruntukan, penggunaan, jangka waktudan keuangannya, dengan ketentuan bahwa pemberian hak atas tanah-tanah kepada pihak ketiga yang bersangkutan dilakukan oleh pejabat-pejabat yang berwenang menurut Peraturan Menteri Dalam NegeriNo. 6 Tahun 1972 Tentang Pelimpahan Wewenang Pemberian HakAtas Tanah sesuai dengan peraturan perundang-undangan agraria yangberlaku.
Hak Pengelolaan dalam sistematika hak-hak penguasaan atas tanah tidak
dimasukan dalam golongan hak-hak atas tanah. Pemegang Hak Pengelolaan
memang mempunyai kewenangan untuk menggunakan tanah yang dihaki bagi
keperluan usahanya, tetapi itu bukan tujuan pemberian hak tersebut. Tujuan
utamanya adalah bahwa tanah yang bersangkutan disediakan bagi penggunaan
oleh pihak-pihak lain yang memerlukan. Di dalam penyediaan dan pemberian
tanah itu pemegang haknya diberi kewenangan untuk melakukan kegiatan yang
merupakan sebagian dari kewenangan negara, sehubungan dengan itu Hak
Pengelolaan pada hakikatnya bukan hak atas tanah, melainkan merupakan
“gempilan” Hak Menguasai dari Negara.
Status hukum..., Hery Hartawan, FH UI, 2010.
36
Universitas Indonesia
2.3 HAK PENGUASAAN ATAS TANAH MENURUT HUKUM TANAHNASIONAL
Hak penguasaan atas tanah adalah suatu hubungan hukum yang memberi
wewenang untuk berbuat sesuatu kepada subyek hukum (orang/badan hukum)
terhadap obyek hukumnya, yaitu tanah yang dikuasainya.69
Berdasarkan kewenangannya, hak penguasaan atas tanah menurut
Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) dibagi menjadi 70:
1. Hak Penguasaan atas Tanah yang mempunyai kewenangan khusus yaitu
kewenangan yang bersifat publik dan perdata.
1.1 HAK BANGSA INDONESIA (Pasal 1 UUPA)
Ini menunjukan suatu hubungan yang bersifat abadi antara bangsa
Indonesia dengan tanah diseluruh wilayah Indonesia dengan
subyeknya bangsa Indonesia. Hak Bangsa Indonesia merupakan
hak penguasaan atas tanah yang tertinggi di Indonesia.
1.2 HAK MENGUASAI NEGARA (Pasal 2 UUPA)
Negara sebagai organisasi kekuasaan tertinggi seluruh rakyat
melaksanakan tugas untuk memimpin dab mengatur kewenangan
bangsa Indonesia (kewenangan publik).
Melalui hak menguasai Negara, negara akan dapat senantiasa
mengendalikan atau mengarahkan fungsi bumi, air, ruang angkasa
sesuai dengan kebijaksanaan pemerintah. Negara dalam hal ini
tidak menjadi pemegang hak, melainkan sebagai badan penguasa,
yang mempunyai hak-hak sebagai berikut :
a. Mengatur dan menyelenggarakan peruntukkan, penggunaan,
dan pemeliharaan;
b. Menentukan dan mengatur hak-hak yang dapat dipunyai oleh
subyek hukum tanah;
69 Arie S. Hutagalung, et. al., Asas-asas Hukum Agraria, Tidak diterbitkan, Jakarta, 1997,Hlm.25
70 Ibid, Hlm. 25
Status hukum..., Hery Hartawan, FH UI, 2010.
37
Universitas Indonesia
c. Mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang-orang dan
perbuatan hukum yang mengenai tanah.
1.3 HAK ULAYAT PADA MASYARAKAT HUKUM ADAT ( Pasal
3 UUPA)
Hubungan hukum yang terdapat antara masyarakat hukum adat
dengan tanah lingkungannya. Hak ulayat oleh Pasal 3 UUPA
diakui dengan ketentuan :
a. Sepanjang menurut kenyataanya masih ada;
b. Pelaksanaannya tidak bertentangan dengan pembangunan
nasional
2. Hak Penguasaan atas tanah yang memberi kewenangan yang bersifat
umum yaitu kewenangan di bidang perdata dalam penguasaan dan
penggunaan tanah sesuai dengan jenis-jenis hak atas tanah yang diberikan
(Hak Perorangan atas Tanah).
Hak Perorangan atas Tanah terdiri dari :
2.1. Hak atas tanah
Yaitu hak penguaasaan atas tanah yang memberi wewenang bagi
subyeknya untuk menggunakan tanah yang dikuasainya.
Hak atas tanah terdiri atas :
a. Hak atas tanah orisinal atau primer
Yaitu hak atas tanah yang bersumber pada Hak Bangsa Indonesia
dan yang diberikan oleh Negara dengan cara memperolehnya
melalui permohonan hak.
Hak atas tanah yang termasuk hak primer adalah :
1. Hak Milik
2. Hak Guna Bangunan
3. Hak Guna Usaha
Status hukum..., Hery Hartawan, FH UI, 2010.
38
Universitas Indonesia
4. Hak Pakai
5. Hak Pengelolaan
b. Hak atas tanah derivative atau sekunder
Yaitu hak atas tanah yang tidak langsung bersumber kepada Hak
Bangsa Indonesia dan diberikan pemilik tanah dengan cara
memperolehnya melalui perjanjian pemberian hak antara pemilik
tanah dengan calon pemegang hak yang bersangkutan.
Hak atas tanah yang termasuk dalam hal ini, yaitu :
1. Hak Guna Bangunan
2. Hak Pakai
3. Hak Sewa
4. Hak Usaha Bagi Hasil
5. Hak Gadai
6. Hak Menumpang
2.2. Hak Jaminan Atas Tanah
Yaitu hak penguasaan atas tanah yang tidak memberikan wewenang
kepada pemegangnya untuk menggunakan tanah yang dikuasainya
tetapi memberikan wewenang untuk menjual lelang tanah tersebut
apabila pemilik tanah tersebut (debitur) melakukan wanprestasi.
Hak-hak jaminan atas tanah menurut hukum tanah nasional adalah Hak
Tanggungan yang diatur dengan Undang-undang Nomor: 4 Tahun
1996 tentang Hak Tanggungan Atas Tanah Beserta Benda-Benda Yang
Berkaitan Dengan Tanah.
Status hukum..., Hery Hartawan, FH UI, 2010.
39
Universitas Indonesia
2.4 HAK ATAS TANAH BERKAITAN DENGAN REKLAMASI PANTAI
1. HAK GUNA BANGUNAN
a. Peraturan (dasar hukumnya)
(1) Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA):
Pasal 35 s/d 40, pasal 50 jo. 52, pasal 55;
Ketentuan Konversi pasal I (3) dan (4), pasal II, V dan Pasal VIII
(1).
(2) Luar UUPA:
PP No. 10/1961 tentang Pendaftaran Tanah;
UU No. 1/1967 tentang Penanaman Modal Asing;
PMDN No. 5/1973 tentang Ketentuan Mengenai Tata Cara
Pemberian Hak Atas Tanah
PMDN No. 2/1984 tentang Penyediaan dan Pemberian Hak Atas
Tanah Untuk Keperluan Perusahaan Pembangunan Perumahan
dengan Fasilitas KPR dari Bank Tabungan Negara;
PMNA/Ka. BPN No. 2/1993 tentang Tata Cara Memperoleh Izin
Lokasi dan Hak Atas Tanah Bagi Perusahaan Dalam Rangka
Penanaman Modal;
PP No. 40/1996 tentang Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan
dan Hak Pakai atas Tanah Negara.
UU No. 4/1996 tentang Hak Tanggungan Atas Tanah Beserta
Benda –benda Yang Berkaitan Dengan Tanah.
Status hukum..., Hery Hartawan, FH UI, 2010.
40
Universitas Indonesia
UU No. 25/2007 tentang Penanaman Modal, khususnya pasal 22,
yang juga menghapuskan UU No. 1/1967 tentang Penanaman
Modal Asing.
b. Pengertian
Hak Guna Bangunan (HGB) adalah hak untuk mendirikan dan mempunyai
bangunan di atas tanah yang bukan miliknya sendiri dalam jangka waktu
tertentu (pasal 35 ayat 1 UUPA).
c. Sifat dan ciri-ciri
(1) Tergolong hak yang wajib didaftarkan menurut PP 24/1997
(2) Dapat beralih;
Terjadi karena peristiwa hukum, misalnya pewarisan tanpa wasiat atau
percampuran harta karena perkawinan campuran.
(3) Dapat dialihkan;
Terjadi karena subyek hukum melakukan suatu perbuatan hukum
misalnya melakukan perjanjian jual beli, hibah, penukaran, pemberian
dengan wasiat dan perbuatan-perbuatan lain yang bermaksud untuk
memindahkan hak penguasaan atas tanah.
(4) Jangka waktunya terbatas;
(5) Dapat dilepaskan oleh pemegang HGB sehingga menjadi Tanah
Negara;
(6) Dapat dijadikan jaminan hutang dengan Hak Tanggungan.
d. Jangka waktu
Untuk HGB di atas Tanah Negara atau tanah Hak Pengelolaan,
maksimum 30 tahun dan dapat diperpanjang 20 tahun lagi (pasal 35
ayat 1 UUPA jo. Pasal 25 PP 40/1996);
Status hukum..., Hery Hartawan, FH UI, 2010.
41
Universitas Indonesia
Sedangkan untuk HGB diatas tanah Hak Milik, paling lama 30 tahun
(pasal 29 ayat 1 PP 40/1996).
Atas kesepakatan pemegang Hak Milik dan pemegang HGB, maka
HGB atas tanah Hak Milik dapat diperbaharui dengan akta PPAT dan
didaftar di Kantor pertanahan.
Sesudah jangka waktu dan perpanjangan tersebut berakhir, pemegang
HGB diatas tanah Negara dapat mengajukan pembaharuan hak.
Adapun syarat permohonan perpanjangan dan pembaharuan HGB:
(1) Tanahnya masih diusahakan dengan baik sesuai dengan keadaan, sifat
dan tujuan pemberian hak tersebut;
(2) Syarat-syarat pemberian hak tersebut masih dipenuhi dengan baik oleh
pemegang hak;
(3) Pemegang hak masih memenuhi syarat sebagai pemegang HGB;
(4) Tanah tersebut masih sesuai dengan Rencana Tata Ruang Wilayah
yang bersangkutan;
(5) Permohonan diajukan selambat-lambatnya dua tahun sebelum
berakhirnya jangka waktu HGB tersebut.
Untuk perpanjangan atau pembaharuan HGB atas tanah Hak Pengelolaan,
selain dengan syarat tersebut di atas, harus dengan persetujuan pemegang
Hak Pengelolaan.
e. Subyek
(1) Warganegara Indonesia;
(2) Badan Hukum Indonesia;
(3) Perusahaan patungan (PMA), apabila memerlukan tanah untuk
keperluan emplasemen, bangunan pabrik, dan lain-lain (Keppres
34/1992)
Status hukum..., Hery Hartawan, FH UI, 2010.
42
Universitas Indonesia
f. Kewajiban dan Hak Pemegang HGB
Pemegang HGB berkewajiban untuk :
(1) Membayar uang pemasukan kepada Negara;
(2) Menggunakan tanah sesuai dengan peruntukkan;
(3) Memelihara dengan baik tanah dan bangunan yang ada diatasnya serta
menjaga kelestarian hidup;
(4) Memberikan jalan keluar atau jalan air atau kemudahan lain bagi
pekarangan atau bidang tanah yang terkurung karena keadaan
geografis atau sebab lain;
(5) Menyerahkan kembali tanah yang diberikan dengan HGB kepada
Negara, pemegang Hak Pengelolaan atau pemegang Hak Milik
sesudah HGB tersebut hapus;
(6) Menyerahkan sertipikat HGB yang telah hapus kepada Kepala Kantor
Pertanahan.
g. Luas Tanah
Tidak ada pembatasan, tetapi disesuaikan dengan kebutuhan hanya ada
ketentuan bahwa apabila satu keluarga telah mempunyai 5 (Lima)
sertipikat tanah maka untuk setiap perubahannya harus mendapat izin dari
BPN.
h. Terjadinya
Jika asal tanah adalah Tanah Negara, maka terjadinya adalah melalui
permohonan hak;
Jika berasal dari tanah yang telah dikuasai dengan hak tertentu (Hak
Milik dan hak Pengelolaan) maka terjadinya melalui perjanjian antara
pemilik tanah tersebut dengan pihak yang akan memperoleh HGB.
i. Peralihan Hak Guna Bangunan
Status hukum..., Hery Hartawan, FH UI, 2010.
43
Universitas Indonesia
(1) Jual beli;
(2) Tukar menukar;
(3) Penyertaan dalam modal;
(4) Hibah;
(5) Pewarisan.
j. Hapusnya
(1) Jangka waktunya berakhir;
(2) Dibatalkan karena syarat tidak terpenuhi;
(3) Dilepaskan secara sukarela oleh pemegang haknya sebelum jangka
waktu berakhir;
(4) Dicabut untuk kepentingan umum (UU No. 20/1961);
(5) Tanahnya ditelantarkan;
(6) Tanahnya musnah;
(7) Pemegang hak tidak memenuhi syarat sebagai pemegang HGB.
2. HAK PAKAI
a. Peraturan (dasar hukumnya)
(1) UUPA:
Pasal 41 s/d 43, pasal 49 ayat 1, pasal 50 ayat 2 jo. Pasal 52;
(2) Luar UUPA:
UU No. 1/1967 tentang Penanaman Modal Asing;
Pasal 1 PMA No.9/1965 tentang Pelaksanaan Konversi Hak atas
Tanah dan Ketentuan-Ketentuan tentang kebijaksanaan selanjutnya;
Status hukum..., Hery Hartawan, FH UI, 2010.
44
Universitas Indonesia
PMA No. 1/1996 tentang Pendaftaran Hak Pakai dan Hak
Pengelolaan;
PP No. 40/1996 tentang Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan dan
Hak Pakai atas Tanah Negara;
PP No. 41/1996 tentang Pemilikan Rumah Tempat Tinggal atau
Hunian oleh Orang asing Yang Berkedudukan di Indonesia;
UU No. 4/1996 tentang Hak Tanggungan atas Tanah Beserta Benda-
benda Yang Berkaitan Dengan Tanah.
UU No. 25/2007 tentang Penanaman Modal, khususnya pasal22,
yang juga menghapuskan UU No. 1/1967 tentang Penanaman Modal
Asing.
b. Pengertian dan Isi
Hak Pakai (pasal 41 UUPA) adalah hak untuk menggunakan dan/atau
memungut hasil dari tanah yang langsung dikuasai oleh Negara atau tanah
milik orang lain, yang memberi wewenang dan kewajiban yang ditentukan
dalam surat keputusan pemberian haknya (tanah Negara) atau dalam
perjanjian dengan pemilik tanahnya yang bukan perjanjian sewa menyewa
atau perjanjian pengolahan tanah (tanah milik orang lain).
Dari rumusan diatas dapat disimpulkan bahwa Hak Pakai adalah hak atas
tanah bangunan dan tanah pertanian.
Kata “menggunakan“, menunjukan bahwa tanah itu dapat digunakan
untuk bangunan (sebagai wadah);
Kata”memungut hasil” menunjukan bahwa tanah dapat digunakan
untuk usaha pertanian (sebagai faktor produksi)
c. Sifat dan Ciri-ciri
(1) Tergolong hak yang wajib didaftarkan;
Status hukum..., Hery Hartawan, FH UI, 2010.
45
Universitas Indonesia
(2) Dapat dialihkan;
Menurut pasal 43 UUPA, Hak Pakai dapat dialihkan kepada pihak
lain dengan izin pejabat yang berwenang. Hak Pakai atas tanah
Hak Milik hanya dapat dialihkan kepada pihak lain jika hal itu
dimungkinkan dalam perjanjian yang bersangkutan.
Setelah berlakunya PMA No. 9/1965 jo. PMA No. 1/1966 yang
menetapkan bahwa Hak Pakai atas tanah Negara termasuk hak
yang wajib didaftarkan, maka Hak Pakai boleh dialihkan kepada
pihak lain;
(3) Dapat diberikan dengan Cuma-Cuma, dengan pembayaran atau
pemberian jasa berupa apapun (pasal 41 ayat 2 UUPA)
(4) Dapat dilepaskan;
(5) Dapat dijadikan jaminan hutang dengan hak tanggungan.
d. Jangka Waktu
(1) Untuk penggunaan umum
Atas tanah Negara adalah 25 tahun, dapat diperpanjang 20 tahun
dan dapat diperbaharui;
Atas tanah Hak Milik adalah 25 tahun dan tidak dapat diperpanjang
Dapat diperbaharui dengan pemberian Hak Pakai baru dengan akta
PPAT dan didaftar di Kantor Pertanahan.
(2) Hak Pakai dapat diberikan selama dipergunakan untuk keperluan
khusus, yaitu kepentingan instansi pemerintah, keagamaan, sosial serta
perwakilan Negara asing dan badan internasional.
e. Subyek
(1) Warganegara Indonesia;
Status hukum..., Hery Hartawan, FH UI, 2010.
46
Universitas Indonesia
(2) Badan Hukum Indonesia;
(3) Departemen, Lembaga Pemerintah Non departemen, dan Pemerintah
daerah;
(4) Badan-badan keagamaan dan sosial;
(5) Warganegara asing yang berkedudukan di Indonesia;
(6) Badan hukum asing yang mempunyai perwakilan di Indonesia;
(7) Perwakilan Negara asing dan perwakilan badan internasional.
f. Kewajiban Dan Hak Pemegang Hak Pakai
Pemegang Hak Pakai berkewajiban untuk :
(1) Membayar uang pemasukan kepada Negara;
(2) Menggunakan tanah sesuai dengan peruntukan dan persyaratannya;
(3) Memelihara dengan baik tanah dan bangunan yang ada diatasnya serta
menjaga kelestarian hidup;
(4) Memberikan jalan keluar atau jalan air atau kemudahan lain bagi
pekarangan atau bidang tanah yang terkurung karena keadaan
geografis atau sebab lain;
(5) Menyerahkan kembali tanah yang diberikan dengan Hak Pakai kepada
Negara, pemegang Hak Pengelolaan atau pemegang Hak Milik
sesudah Hak Pakai tersebut hapus;
(6) Menyerahkan sertipikat Hak Pakai yang telah hapus kepada Kepala
Kantor Pertanahan.
Pemegang Hak Pakai berhak untuk :
(1) Menguasai dan mempergunakan tanahnya selama waktu tertentu untuk
mendirikan dan mempunyai bangunan untuk keperluan pribadi atau
usahanya; serta
Status hukum..., Hery Hartawan, FH UI, 2010.
47
Universitas Indonesia
(2) Mengalihkan hak tersebut kepada pihak lain dan membebaninya.
g. Luas Tanah
(1) Untuk tanah bangunan : tidak terbatas
(2) Untuk tanah pertanian : dibatasi dengan UU No.56/Prp/1960
h. Terjadinya
Jika asal tanah adalah Tanah Negara, maka terjadinya adalah melalui
permohonan hak dengan Surat Keputusan Pemberian Hak (SKPH);
Jika berasal dari tanah yang telah dikuasai dengan hak tertentu (Hak
Milik dan Hak Pengelolaan) maka terjadinya melalui perjanjian antara
pemilik tanah tersebut dengan pihak yang akan memperoleh Hak
Pakai;
Berasal dari konversi hak-hak lama pada tanggal 24 september 1960.
i. Hapusnya
(1) Jangka waktunya berakhir;
(2) Dibatalkan karena syarat tidak terpenuhi;
(3) Dilepaskan secara sukarela oleh pemegang haknya sebelum jangka
waktu berakhir;
(4) Dicabut untuk kepentingan umum (UU No. 20/1961);
(5) Tanahnya ditelantarkan;
(6) Tanahnya musnah;
(7) Pemegang hak tidak memenuhi syarat sebagai pemegang HGB.
Status hukum..., Hery Hartawan, FH UI, 2010.
48
Universitas Indonesia
2.5 Hak Pengelolaan (HPL)
Hak Pengelolaan dahulu berasal dari apa yang disebut Hak Beheer
(beheersrecht), yaitu hak penguasaan atas tanah negara yang setelah UUPA
melalui Peraturan Menteri Agraria Nomor: 9 Tahun 1965 Pelaksanaan Konversi
Penguasaan Atas Tanah Negara (“PMA 9/1965”) dikonversi menjadi hak atas
tanah menurut Hukum Tanah Nasional. Kalau dengan hak beheer, tanahnya
digunakan oleh instansi pemerintah untuk keperluan sendiri, maka dikonversi
menjadi Hak Pakai (”HP”) , tetapi apabila tanahnya selain akan digunakan sendiri,
ada bagian-bagian dari tanah lainnya akan diserahkan kepada pihak ketiga yang
meliputi segi peruntukkan, penggunaan, dan jangka waktu dan keuangan, maka
hak beheer dikonversi menjadi HPL.71
Setelah berlakunya UUPA, kewenangan menguasai tanah oleh Negara
diatur dalam Pasal 2 UUPA, yang menyatakan :
“Hak menguasai dari Negara termaksud dalam ayat 1 pasal inimemberi kewenangan untuk:1. mengatur dan menyelenggarakan peruntukan, penggunaan,
persediaan dan pemeliharaan bumi, air dan ruangangkasa.
2. menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukumantara orang-orang dengan bumi, air, dan ruang angkasa.
3. menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukumantara orang-orang dan perbuatan-perbuatan hukum yangmengenai air dan ruang angkasa.”
Meskipun hukum materiilnya berada diluar UUPA. Namun ketentuan yang
ada kaitannya dengan Pengelolaan Penguasaan atas tanah Negara dapat kita lihat
pengaturannya dalam Pasal 2 ayat 4 UUPA berikut penjelasannya, yang pada
intinya menyatakan bahwa pelaksanaan hak menguasai dari negara dapat
dikuasakan kepada daerah-daerah swatantra dan masyarakat hukum adat, serta
Bagian Keempat beserta penjelasannya UUPA, dan Pasal 58 UUPA, yang
menyatakan :
“Selama peraturan-peraturan pelaksanaan undang-undang inibelum terbentuk, maka peraturan-peraturan baik yang tertulis
71 Arie S Hutagalung, et.al,”Asas-Asas Hukum Agraria,” Bahan bacaan pelengkap matakuliah Hukum Agraria ( Depok, 2001),hlm.43.
Status hukum..., Hery Hartawan, FH UI, 2010.
49
Universitas Indonesia
maupun tidak tertulis mengenai bumi, air serta kekayaan alamyang terkandung didalamnya, dan hak-hak atas tanah yang adapada mulai berlakunya undang-undang ini tetap berlakusepanjang tidak bertentangan dengan jiwa dari ketentuan-ketentuan dalam undang-undang ini serta diberi tafsiran yangsesuai dengan itu.”
serta Penjelasan Umum UUPA Bagian II Nomor 2, dinyatakan bahwa :
“kekuasaan Negara atas tanah yang tidak dipunyai dengan sesuatuhak oleh seseorang atau pihak lainnya adalah lebih luas danpenuh. Dengan berpedoman pada tujuan yang disebutkan diatasNegara dapat memberikan tanah yang demikian itu kepadaseseorang atau badan hukum dengan sesuatu hak menurutperuntukan dan keperluannya, misalnya Hak Milik, HGU, HGBatau HP atau memberikannya dalam pengelolaan pada sesuatuBadan Penguasa (Departemen, Jawatan atau Daerah Swatantra)untuk dipergunakan bagi pelaksanaan tugasnya masing-masing(Pasal 2 ayat 4)”
Berdasarkan Pasal 2 ayat 4 dan Pasal 58 UUPA ini dapat disimpulkan
bahwa penguasaan bidang tanah oleh Instansi Pemerintah masih termasuk bidang
hukum publik. Dalam Penjelasan Umum UUPA Bagian II Nomor 2 tersebut
diatas juga disebutkan dengan kata “dalam pengelolaan” (berarti “In Beheer”)
kepada sesuatu Badan Penguasa, dengan demikian HPL bukan merupakan hak
atas tanah namun hak menguasai dari negara yang kewenangan pelaksanaannya
sebagian dilimpahkan kepada pemegangnya. Adapun HM, HGU, HGB dan HP
diatur dalam Pasal 16 UUPA merupakan hak-hak atas tanah, dan termasuk bidang
hukum perdata.
Sebagai pelaksanaan dari UUPA, Menteri Agraria mengeluarkan
Keputusan Menteri Agraria Nomor SK.112/Ka/61 tanggal 1 April 1961 tentang
Pembagian Tugas Wewenang Agraria. Adapun landasan hukum dikeluarkannya
keputusan ini adalah UUPA. Dari ketentuan tersebut dapat disimpulkan bahwa
mulai tanggal 1 April 1961 ini telah digunakan istilah “Hak Penguasaan”
(beheer). Oleh sebab itu dapat diartikan bahwa hak penguasaan ini masih dalam
lingkaran hukum publik. Dalam perkembangannya Keputusan Menteri Agraria
Status hukum..., Hery Hartawan, FH UI, 2010.
50
Universitas Indonesia
Nomor SK.112/Ka/61 dicabut dengan Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 6
tahun 1972.
Istilah HPL baru diperkenalkan dalam Peraturan Menteri Agraria Nomor 9
Tahun 1965 tentang Pelaksanaan Konversi Hak Penguasaan atas Tanah Negara
dan Ketentuan-ketentuan tentang Kebijaksanaan Selanjutnya (“PMA 9/1965”).
Ketentuan-ketentuan dalam PMA 9/1965 yang menyinggung mengenai
HPL antara lain adalah: Pasal 1 PMA 9/1965 menyatakan bahwa “Hak
penguasaan atas tanah negara sebagaimana dimaksud dalam PP 8/1953 yang
diterima pada Departemen-Departemen, Direktorat-Direktorat dan Daerah-
daerah Swatantara sebelum berlakunya peraturan ini sepanjang tanah-tanah
tersebut hanya dipergunakan untuk kepentingan instansi-instansi itu sendiri
dikonversi menjadi “Hak Pakai” sebagaimana dimaksud dalam UUPA yang
berlangsung selama tanah tersebut dipergunakan untuk keperluan itu oleh
instansi bersangkutan.”
Pasal 2 PMA 9/1965 antara lain menyatakan “Jika tanah Negara sebagai
dimaksud dalam Pasal 1, selain dipergunakan untuk kepentingan instansi itu
sendiri dimaksudkan juga untuk dapat diberikan dengan sesuatu hak kepada
pihak ketiga, maka hak penguasaan tersebut diatas dikonversi menjadi “Hak
Pengelolaan” sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 dan 6 yang berlangsung
selama tanah tersebut dipergunakan untuk keperluan itu oleh instansi yang
bersangkutan.”
dan Pasal 6 ayat 1 menyatakan “Hak Pengelolaan sebagai dimaksud dalam Pasal
2 dan Pasal 5 diatas, memberi wewenang kepada pemegangnya untuk:
1. merencanakan peruntukkan dan penggunaan tanah tersebut.
2. menggunakan tanah tersebut untuk keperluan pelaksanaan tugasnya.
3. Menyerahkan bagian-bagian dari tanah tersebut kepada pihak ketiga dengan
HP yang berjangka waktu 6 (enam) tahun.
4. Menerima uang pemasukan atau ganti rugi dan/atau uang wajib tahunan.”
Status hukum..., Hery Hartawan, FH UI, 2010.
51
Universitas Indonesia
Dengan dikeluarkannya PMA 9/1965 inilah baru tercipta istilah yang
disebut HPL dengan pengertian yang lebih jelas.
Dalam Perkembangannya Ketentuan HPL dalam PMA 9/1965 diubah
dengan Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 5 Tahun 1974 tentang Ketentuan-
Ketentuan Mengenai Penyediaan dan Pemberian Hak untuk Keperluan
Perusahaan (“PMDN 5/1974”) jo. Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 1
Tahun 1977 (“PMDN 1/1977”). Kemudian eksistensi HPL tersebut mendapat
pengukuhan oleh Undang-Undang Nomor 16 Tahun 1985 tentang Rumah Susun
(“UU 16/1985”).
HPL merupakan hak menguasai oleh negara yang kewenangan
pelaksanaannya sebagian dilimpahkan kepada pemegang haknya.72 Pengertian ini
dapat diartikan bahwa HPL bukan merupakan salah satu hak atas tanah, namun
hanya merupakan pelimpahan hak menguasai negara. Hak Menguasai Negara
tersebut berdasarkan ketentuan dalam Pasal 33 Ayat 3 Undang-Undang Dasar
Republik Indonesia Tahun 1945 (”UUD 1945”) yang menyebutkan bahwa bumi,
air, dan ruang angkasa termasuk kekayaan alam yang terkandung di dalamnya
pada tingkatan tertinggi dikuasai oleh negara sebagai organisasi kekuasaan
seluruh rakyat.
Hak Pengelolaan dalam sistematika hak-hak penguasaan atas tanah tidak
dimasukkan dalam golongan hak-hak atas tanah. Pemegang HPL memang
mempunyai kewenangan untuk menggunakan tanah yang diberi hak bagi
keperluan usahanya, tetapi itu bukan tujuan pemberian hak tersebut, tujuan
utamanya adalah tanah yang bersangkutan disediakan bagi penggunaan oleh
pihak-pihak lain yang memerlukan.73
Dalam penyediaan dan pemberian tanah itu, pemegang haknya diberi
kewenangan untuk melakukan kegiatan yang merupakan kewenangan negara.
72 Indonesia, Peraturan Pemerintah tentang Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan, danHak Pakai, PP No.40 Tahun 1996,LN No.58 Tahun 1996,TLN No.3643,Pasal 1, dikutip dari ArieSukanti Hutagalung dan Markus Gunawan, Kewenangan Pemerintah di Bidang Pertanahan.Jakarta:Rajawali Press, 2008.
73 Boedi Harsono. Hukum Agraria Indoneia, Sejarah Pembentukan Undang-UndangPokok Agraria, Isi dan Pelaksanaannya .(Jakarta: Djambatan, 2003), hlm.280.
Status hukum..., Hery Hartawan, FH UI, 2010.
52
Universitas Indonesia
Sehubungan dengan itu, HPL pada hakikatnya bukan hak atas tanah yang murni
melainkan merupakan ”Gempilan” dari Hak Menguasai Negara.74
Istilah ”HPL” tidak disebutkan dalam UUPA. Keberadaannya hanya
disinggung dalam Penjelasan Umum Angka II butir (2) yaitu ”...dengan
berpedoman pada tujuan yang disebutkan di atas Negara dapat memberikan
tanah yang demikian itu kepada seseorang atau badan hukum dengan sesuatu hak
menurut peruntukkan dan keperluannya, misalnya Hak Milik, Hak Guna Usaha
atau Hak Pakai atau memberikannya dalam pengelolaan kepada sesuatu Badan
Penguasa (Departemen, Jawatan atau Daerah Swatantra ) untuk dipergunakan
bagi pelaksanaan tugasnya masing-masing (Pasal 2 Ayat (4) UUPA).
Sedangkan berdasarkan rumusan yang terdapat dalam Pasal 1 Angka 2
Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun 1996 Tentang Hak guna Usaha, Hak Guna
Bangunan, dan Hak Pakai Atas Tanah (”PP 40/1996”), HPL adalah ”Hak
menguasai dari negara yang kewenangan pelaksanaannya sebagian dilimpahkan
kepada pemegangnya.”
Dari uraian tersebut, maka dapat diketahui bahwa pada dasarnya, yang
dimaksud dengan HPL ialah hak yang berisi wewenang untuk merencanakan
peruntukan dan penggunaan tanah yang bersangkutan, menggunakan tanah
tersebut untuk keperluan pelaksanaan usahanya, dan menyerahkan bagian-bagian
daripada tanah itu kepada pihak ketiga menurut persyaratan yang ditentukan oleh
perusahaan pemegang hak tersebut, meliputi segi-segi peruntukan, penggunaan,
jangka waktu, dan keuangannya dengan ketentuan bahwa pemberian hak atas
tanah kepada pihak ketiga yang bersangkutan dilakukan oleh pejabat-pejabat yang
berwenang sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Berdasarkan Peraturan Menteri Agraria/Ka. BPN No. 9 Tahun 1999
tentang Tatacara Pemberian dan Pembatalan Hak Atas Tanah Negara dan Hak
Pengelolaan dalam pasal 67 mengatur subyek atau pemegang HPL adalah:
1. Pemerintah Pusat atau Pemerintah Daerah;
74Ibid.
Status hukum..., Hery Hartawan, FH UI, 2010.
53
Universitas Indonesia
2. Badan-Badan Usaha Milik Negara (”BUMN”) atau Badan-
Badan Usaha Milik Daerah (”BUMD”);
3. Lembaga-lembaga Pemerintah Departemen/Non Departemen;
4. Badan Otorita, serta badan-badan hukum pemerintah lainnya
yang ditunjuk pemerintah.
Disamping itu, sebagaimana di atur dalam Pasal 4 ayat 2, bagian-bagian
tanah Hak Pengelolaan dapat diberikan kepada pihak lain dengan HGB dan Hak
Pakai dengan cara membuat Perjanjian Penggunaan Tanah
Lama waktu yang berlaku terhadap tanah HGB diatas HPL tersebut diatur
dalam PP No.40 tahun 1996 pada pasal 25 yaitu selama 30 tahun dan dapat di
perpanjang selama 20 tahun serta bila masanya telah habis maka kepada bekas
pemegang hak dapat diberikan pembaharuan Hak Guna bangunan di atas tanah
yang sama. Hak Pakai diatas HPL diatur dalam PP No. 40 tahun 1996 pada pasal
45 yaitu 25 tahun serta dapat diperpanjang selama 20 tahun. Sesudah jangka
waktu habis maka kepada pemegang hak dapat diberikan pembaharuan Hak Pakai
atas tanah yang sama. Hak pakai dapat diberikan untuk jangka waktu yang tidak
ditentukan selama tanahnya dipergunakan untuk keperluan tertentu, yaitu
diberikan kepada :
a. Departemen, Lembaga Pemerintah Non Departemen, dan
Pemerintah Daerah;
b. Perwakilan negara asing dan perwakilan badan Internasional;
c. Badan keagamaan dan badan sosial.
Mengenai tatacara peralihan hak diatas tanah HPL kepada pihak ketiga
dulu diatur dalam Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 1 Tahun 1977 Tentang
Tatacara Permohonan Dan Penyelesaian Pemberian Bagian-Bagian Tanah Hak
Pengelolaan Serta Pendaftarannya (sudah dicabut dengan Peraturan Menteri
Negara Agraria / Kepala BPN Nomor 9 Tahun 1999 tetapi disertakan dalam
Status hukum..., Hery Hartawan, FH UI, 2010.
54
Universitas Indonesia
penulisan ini karena apa yang diatur di dalamnya belum ada ketentuannya dalam
peraturan penggantinya)
a. Pasal 3 ayat (1) menyatakan: Setiap penyerahan penggunaan tanah yang
merupakan bagian dari tanah Hak Pengelolaan kepada pihak ketiga oleh
pemegang Hak Pengelolaan, baik yang disertai dengan pendirian bangunan
diatasnya, wajib dilakukan dengan pembuatan perjanjian tertulis antara
pihak pemegang Hak Pengelolaan dengan pihak ketiga yang bersangkutan.
b. Pasal 5 menyatakan: Hubungan hukum antara Lembaga, instansi, dan atau
Badan atau Badan Hukum (milik) Pemerintah pemegang Hak Pengelolaan,
yang didirikan atau ditunjuk untuk menyelenggarakan penyediaan tanah
untuk berbagai jenis kegiatan yang termasuk dalam bidang pengembangan
pemukiman dalam bentuk perusahaan, dengan tanah Hak Pengelolaan
yang telah diberikan kepadanya, tidak menjadi hapus dengan
didaftarkannya hak-hak yang diberikan kepada pihak ketiga sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 2 Peraturan ini pada Kantor Sub Direktorat Agraria
setempat.
c. Pasal 7 menyatakan: Bagian-bagian tanah Hak Pengelolaan yang diberikan
kepada Pemerintah Daerah, Lembaga, Instansi, Badan atau Badan Hukum
Indonesia yang seluruh modalnya dimiliki oleh Pemerintah dan/atau
Pemerintah Daerah untuk pembangunan, dan pengembangan wilayah
industri dan pariwisata, dapat diserahkan kepada pihak ketiga dan
diusulkan kepada Menteri Dalam Negeri atau Gubernur / Kepala Daerah
yang bersangkutan untuk diberikan dengan Hak Guna Bangunan atau Hak
Pakai, sesuai dengan rencana peruntukan dan penggunaan tanah yang telah
dipersiapkan oleh pemegang Hak Pengelolaan yang bersangkutan.
d. Pasal 9 menyatakan: Hak Guna Bangunan dan Hak Pakai sebagaimana
termaksud dalam Pasal 7 tunduk pada ketentuan-ketentuan tentang hak-
hak tersebut, sebagaimana termuat dalam Undang-undang Pokok Agraria
dan peraturan pelaksanaannya yang mengenai hak-hak itu serta syarat-
syarat khusus yang tercantum di dalam surat perjanjian yang dimaksudkan
dalam Pasal 3 dan Pasal 8.
Status hukum..., Hery Hartawan, FH UI, 2010.
55
Universitas Indonesia
e. Pasal 11 menyatakan: Terhadap tanah untuk keperluan Lembaga, Instansi
Pemerintah atau Badan /Badan Hukum yang didirikan menurut Hukum
Indonesia dan berkedudukan di Indonesia yang seluruh modalnya dimiliki
oleh Pemerintah atau Pemerintah Daerah, yang bergerak dalam kegiatan
usaha-usaha sejenis dengan Perusahaan Industri dan Pelabuhan yang
diberikan dengan Hak Pengelolaan dapat diperlakukan ketentuan-
ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 sampai dengan Pasal 10 ,
yang ditegaskan di dalam surat keputusan pemberian Hak Pengelolaan
yang bersangkutan.
Mengenai pendaftaran tanah HPL diatur dalam Peraturan Pemerintah
Nomor 24 Tahun 1997 Tentang PendaftaranTanah (”PP 24/1997”) sehingga
pelaksanaan pendaftaran HPL seperti juga pendaftaran hak-hak atas tanah lainnya,
adalah berpedoman dengan PP 24/1997. PP 24/1997 adalah sebagai ketentuan
pelaksana dalam Pasal 19 UUPA. Hal tersebut dapat dilihat dari ketentuan Pasal
9 PP 24/1997, yang menyatakan bahwa obyek pendaftaran tanah meliputi:
a. bidang-bidang tanah yang dipunyai dengan HM,HGU, HGB, dan HP;
b. tanah HPL;
c. tanah wakaf;
d. Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun;
e. Hak Tanggungan;
f. Tanah Negara.
Adapun tahapan pelaksanaan pendaftaran tanah menurut PP 24/1997
meliputi:
a. pengukuran, perpetaan, dan pembukuan tanah.
b. pendaftaran hak-hak atas tanah dan peralihan hak-hak tersebut.
c. Pemberian surat-surat tanda bukti hak yang berlaku sebagai alat
pembuktian yang kuat.
Berdasarkan uraian di atas dapat dikatakan bahwa HPL tersebut harus didaftarkan
ke Kantor Pertanahan setempat.
Status hukum..., Hery Hartawan, FH UI, 2010.
56
Universitas Indonesia
2.6 ANALISA STATUS HUKUM ATAS TANAH HASIL REKLAMASI
PANTAI ANCOL JAKARTA
Reklamasi merupakan kegiatan yang dimaksudkan untuk menciptakan
tanah tumbuh melalui tindakan yang sengaja dilakukan dengan cara menimbun
kawasan perairan tertentu. Hal itu berarti bahwa tanah tumbuh yang dihasilkan
melalui kegiatan reklamasi tidak tercipta secara alamiah, namun terbentuk karena
kegiatan manusia yang secara sengaja dilakukan. Kegiatan reklamasi berpotensi
mempunyai dampak baik positif maupun negative terhadap lingkungan fisik dan
sosial.
Reklamasi sebagai kegiatan penciptaan tanah tumbuh dapat dilakukan oleh
orang-perorangan ataupun badan hukum sesuai dengan luas maupun peruntukan
dari reklamasi tersebut. Reklamasi yang dilakukan oleh orang-perorangan seperti
yang terjadi di beberapa wilayah Pantai Utara Jawa dan Madura menyangkut luas
areal yang terbatas pada pemenuhan kebutuhan tempat tinggal. Berbeda dengan
reklamasi pantai yang dilakukan oleh badan hukum yang cenderung melakukan
reklamasi dalam skala besar dengan rencana kegiatan usaha atau rencana
pengembangan kegiatan usaha yang akan dilakukan.
Reklamasi kawasan Pantai Ancol Barat yang dilakukan oleh Badan
Hukum yaitu PT. Pembangunan Jaya Ancol (PT PJA). PT PJA merupakan suatu
usaha patungan antara Pemerintah Daerah Provinsi DKI Jakarta (Pemda DKI)
dengan perusahaan swasta PT Pembangunan Jaya dengan komposis saham Pemda
DKI sebanyak 80% dan PT Pembangunan Jaya sebanyak 20%. Semakin
berkembangnya PT PJA sehingga melangkah menuju perusahaan terbuka dengan
perubahan anggaran dasar pada tahun 2004 dengan komposisi pemilikan saham
72% dimiliki oleh Pemda DKI, 18% dimilliki oleh PT Pembangunan Jaya serta
10% dimiliki oleh masyarakat. Dengan luas tanah reklamasi dikawasan Pantai
Ancol Barat seluas 60 Ha.
Secara khusus, dalam rangka proses reklamasi tersebut, telah terjadi
berbagai perjanjian antara pihak PT PJA dan Pemda DKI. Perjanjian antara
Pemda DKI dengan PT Pembangunan Jaya No. 366 mengenai pembentukan
Perseroan Terbatas untuk pembangunan, pengelolaan dan pengembangan kawasan
Status hukum..., Hery Hartawan, FH UI, 2010.
57
Universitas Indonesia
Ancol pada tangggal 17 september 1990. Perjanjian ini merupakan cikal bakal
lahirnya PT Pembangunan Jaya Ancol, karena dengan dasar perjanjian tersebut
maka muncul PERDA No. 4/1991 mengenai penyertaan modal PEMDA DKI
Jakarta. Pada perjanjian No 366 memuat kesepakatan mengenai kegiatan usaha PT
PJA salah satunya adalah melakukan reklamasi (pasal 3 angka 2 huruf a).
Sedangkan mengenai tanah reklamasi maka sebagaimana diatur dalam pasal 6
ayat 3 mengatur bahwa pengurusan ijin dan Hak Pengelolaan (HPL) merupakan
kewajiban Gubernur DKI, tanah hasil reklamasi menjadi HPL atas nama PEMDA
DKI Jakarta dan kepada PT PJA diberikan hak atas tanah diatas HPL.
Perda DKI Jakarta No.8 tahun 1995 tentang Penyelenggaraan Reklamasi
dan Rencana Tata Ruang Kawasan Pantura Jakarta dalam pasal 30 menentukan
bahwa :
(1) Tanah hasil reklamasi Pantura Jakarta diberikan status HPL kepada
Pemerintah Daerah;
(2) Pengusahaan HPL dapat dilimpahkan kepada Badan Pelaksana;
(3) Badan Pelaksana berwenang mengusahakan tanah hasil reklamasi
itu sendiri atau menyerahkan bagian-bagian tanah HPL itu dengan
hak atas tanah tertentu kepada pihak lain sesuai dengan peraturan
perundang-undangan yang berlaku.
Juga telah dibuat beberapa kesepakatan antara PT PJA dengan PEMDA
DKI dalam MOU No. 1121A Tahun 1995 dan MOU No. 362A Tahun 1996. Juga
dibuat MOU No. 214 Tahun 1997 dengan pihak BPR Pantura Jakarta.
Hal diatas memunculkan pertanyaan bahwa, apakah status tanah hasil
reklamasi Pantai Ancol Jakarta bila dikaitkan dengan subyek hukum pemegang
HPL yang akan berimplikasi terhadap hak atas tanah yang dapat di mohonkan.
Sebagaimana diatur dalam SE Mennag/Ka.BPN No.410-1293 tentang
Penertiban status Tanah Timbul dan Tanah Reklamasi tanggal 9 Mei 1996 yang
memberikan status kepada tanah hasil reklamasi sebagai tanah tumbuh yang
sengaja dibentuk melalui tindakan penimbunan pantai maka tanah tersebut
dikuasai langsung oleh Negara. Sementara pihak yang melakukan reklamasi dapat
diberi prioritas pertama untuk mengajukan permohonan hak atas tanah reklamasi
Status hukum..., Hery Hartawan, FH UI, 2010.
58
Universitas Indonesia
tersebut. Dengan demikian, bila tidak ada perjanjian kerjasama No. 366, tanah
reklamasi tidak serta merta menjadi hak dari PT PJA, karena bila meninjau pada
Hak Menguasai Negara, maka terhadap tanah hasil reklamasi tersebut masih
belum tercipta hubungan hukum antara keduanya.
Terbentuknya tanah reklamasi sesuai dengan Surat Edaran tersebut, hanya
menempatkan PT PJA sebagai pemegang prioritas pertama untuk mengajukan
permohonan memperoleh hak atas tanah. Secara umum, untuk terciptanya
hubungan hukum kepemilikan atau hak atas tanah, maka harus memenuhi
persyaratan tertentu, yaitu mengajukan permohonan hak atas tanah kepada Negara
melalui Kantor Pertanahan. Berdasarkan permohonan inilah maka Negara
menerbitkan Surat Keputusan Pemberian Hak yang harus diikuti dengan
pendaftaran haknya. Pada saat inilah hubungan hukum antara subyek hukum dan
tanah hasil reklamasi sebagai obyeknya tercipta.
Dalam hal reklamasi Pantai Ancol, sebagaimana disebut diatas, dalam
perjanjian No. 366 telah diatur bahwa pihak yang menerima HPL adalah Pemda
DKI Jakarta walau pihak yang melakukan reklamasi adalah PT PJA. Hal ini
berimplikasi pada jenis hak atas tanah yang dapat dimohonkan oleh PT PJA
terhadap pemegang HPL yaitu Pemda DKI.
Berdasarkan Anggaran Dasar tertanggal 27 Nopember 1992 dan
perubahan-perubahan Anggaran Dasar pada tanggal 19 Nopember 2002 dan
tanggal 14 Desember 2004, saham PT PJA dimiliki secara patungan antara Pemda
DKI Jakarta dengan PT Pembangunan Ibukota Jakarta Raya. Semula komposisi
bagi Pemda DKI Jakarta adalah 80% dan sisanya dimiliki PT Pembangunan
Ibukota Jakarta Raya. Dalam perkembangannya, sesuai dengan status PT dari
perusahaan tertutup menjadi perusahaan terbuka (PT Pembangunan Jaya Ancol,
Tbk.), maka komposisi kepemilikan saham berubah menjadi 72% milik Pemda
DKI Jakarta, 18% milik PT Pembangunan Ibukota Jakarta serta 10% milik
masyarakat. Dengan komposisi demikian, pemilikan saham mayoritas berada
ditangan Pemda DKI Jakarta dan hal ini menempatkan PT PJA sebagai Badan
Usaha Milik Daerah (BUMD) dengan kepemilkan saham tidak 100%.
Status hukum..., Hery Hartawan, FH UI, 2010.
59
Universitas Indonesia
Status kepemilikan tersebut memunculkan implikasi pada PT PJA untuk
dapat mengajukan beberapa permohonan atas salah satu hak atas tanah yaitu bila
didasarkan pada ketentuan UUPA dan pasal 19 PP No. 40 Tahun 1996 tentang
HGU, HGB dan Hak Pakai Atas Tanah jo. Pasal 32 Permennag/KA.BPN No. 9
tahun 1999 tentang Tata Cara Pemberian dan Pembatalan Hak Atas Tanah Negara
dan Hak Pengelolaan, PT PJA dapat mengajukan permohonan Hak Guna Bangun
(HGB) diatas Tanah Negara dengan jangka waktu 80 tahun. Jika permohonan
HGB ini menjadi pilihan maka konsekuensi hukumnya adalah HGB yang dimiliki
bersifat dapat dialihkan dan dapat dijadikan jaminan hutang dengan dibebani Hak
Tangggungan. Dengan sifat HGB yang demikian, PT PJA memiliki kewenangan
penuh yang secara inheren melekat dalam HGB itu untuk menjual, menukarkan,
menghibahkan kepada pihak lain, termasuk menjadikan tanah HGB tersebut
sebagai penyertaan modal dalam perusahaan lain, serta menjaminkan HGB
kepada kreditor dengan Hak Tanggungan.
Permohonan lainnya adalah, PT PJA memiliki kemungkinan mengajukan
HPL. Berdasarkan Permennag/KA.BPN No. 9 tahun 1999, yang secara implisit
menghapus berlakunya beberapa ketentuan dalam Permendagri No. 5 tahun 1974
tentang Ketentuan Mengenai Penyediaan dan Pemberian Tanah Untuk Keperluan
Perusahaan, PT PJA mempunyai kemungkinan mengajukan HPL. Menurut
Permendagri No 5/1974, perusahaan yang termasuk kategori BUMN/BUMD
dapat mempunyai HPL dengan syarat seluruh modal di punyai oleh pemerintah
pusat atau pemerintah daerah (pasal 5 ayat 3 dan pasal 6 ayat 5). Permendagri No.
5/1974 masih secara konsisten mensyaratkan kepemilikan saham BUMN/BUMD
seluruhnya (100%) oleh pemerintah/ pemerintah daerah berkaitan dengan status
HPL sebagai bentuk khusus Hak Menguasai Negara. Kewenangan dari Hak
Menguasai Negara merupakan kewenangan yang bersifat publik dan tentunya
hanya dapat dilimpahkan kepada institusi publik. Oleh karena itu, syarat
kepemilikan saham 100% oleh pemerintah/pemerintah daerah dimaksudkan agar
pemanfaatan HPL tetap dalam kerangka kepentingan publik. Jadi menurut
ketentuan lama, PT PJA yang sejak semula komposisi kepemilikannya terbagi
antara pemerintah daerah dan swasta tidak dimungkinkan untuk mempunyai HPL.
Status hukum..., Hery Hartawan, FH UI, 2010.
60
Universitas Indonesia
Sementara, menurut Permennag/KA.BPN No. 9/1999 tidak ditentukan
secara rinci mengenai komposisi kepemilikan modal dalam BUMN/BUMD.
Namun jika mengacu pada pada Permendagri No.4/1990 tentang Tata Cara
Kerjasama Antara Perusahaan Daerah dengan Pihak Ketiga, yang di maksud
dengan BUMD adalah semua perusahaan milik Pemerintah Daerah yang modal
seluruhnya atau sebagian merupakan kekayaan daerahyang dipisahkan (pasal 1
huruf e). Jika kita mengacu pada PP No. 12/1998 tentang Perusahaan, persero
(PERSERO) adalah badan usaha milik Negara yang berbentuk perseroan terbatas
yang seluruh atau paling sedikit 51% saham yang dikeluarkan dimiliki oleh
Negara (pasal 1 angka 2).
Jika keseluruhan peraturan perundang-undangan di atas dapat dipahami
secara komprehensif, maka badan usaha milik daerah baik yang modal
keseluruhannya maupun sebagian berasal dari harta kekayaan pemerintah daerah
dapat mempunyai HPL. Jika pasal 67 Permennag/KA.BPN No. 9/1999 dikaitkan
dengan pasal 1 huruf e Permendagri No.4/1990, maka perusahaan daerah yang
dapat diberi HPL cenderung lebih luas cakupannya, yaitu semua perusahaan yang
didalamnya terdapat modal pemerintah daerah yang ditanamkan karena didalam
pasal 1 huruf e Permendagri No. 4/1990 tidak terdapat batasan persentase
kepemilikan modal oleh pemerintah daerah. Sebaliknya jika pasal 67
Permennag/KA.BPN No.9/1999 dikaitkan dengan pasal 1 angka 2 PP No.
12/1998, maka perusahaan negara yang diberi HPL cendrung lebih sempit
cakupannya, yaitu hanya meliputi perusahaan yang mana modal pemerintah
sebesar minimal 51% dari seluruh modalnya atau dengan kata lain, pemerintah
harus menjadi pemegang saham mayoritas.
PT PJA merupakan perusahaan yang didirikan berdasarkan kerjasama
antara pemerintah daerah dengan perusahaan swasta dalam bentuk Perseroan
Terbatas . Hal ini dapat di pahami dari Angggaran Dasar yang menyatakan bahwa
Gubernur Kepala Daerah Khusus Ibukota Jakarta dan Presiden Direktur PT
Pembangunan Jaya mengadakan kerjasama pembentukan Perseroan Terbatas
untuk pembangunan, pengelolaan, dan pengembangan kawasan Ancol. Dengan
Status hukum..., Hery Hartawan, FH UI, 2010.
61
Universitas Indonesia
Komposisi kepemilikan modal 72%, maka PT PJA dapat dikategorikan sebagai
BUMD yang dapat diberi HPL.
Secara khusus, selain peraturan diatas yang dapat menjadi dasar hukum
permohonan hak atas tanah hasil reklamasi, terdapat ketentuan khusus yang
diatur dalam pasal 6 ayat 3 Perjanjian Kerjasama No.366 antara Pemda DKI
dengan PT. Pembangunan Jaya yis. Pasal 9 ayat 1 Keppres No.5/1995 tentang
Reklamasi Pantai Utara Jakarta, pasal 30 ayat 1 Perda DKI No.8/1995 tentang
Penyelenggaraan Reklamasi dan Rencana Tata Ruang Kawasan Pantura Jakarta,
dan pasal 9 Perda DKI No.5 tahun1997 tentang Pembentukan dan Penyertaan
Modal Daerah DKI Dalam Perseroan Terbatas PT Pembangunan Jaya Ancol.
Lebih khusus lagi diatur dalam Keputusan Gubernur DKI No. 1107 tahun
1993 tentang Pedoman Pembangunan di Kawasan Ancol, disebutkan bahwa
penyertaan modal Pemda DKI antara lain dalam bentuk tanah HPL seluas
4.779.120 m2 yang terletak di kawasan Ancol (Menimbang huruf b) dan dalam
pasal 10 ditegaskan bahwa “setiap penambahan areal dikawasan Ancol karena
reklamasi merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari kawasan Ancol dan
kegiatan pembangunannya mengikuti ketentuan yang diatur dalam Keputusan
ini”.
Klausula dalam perjanjian dan ketentuan peraturan perundang-undangan
diatas pada prinsipnya mengharuskan tanah hasil reklamasi pantai di Kawasan
Pantai Utara Jakarta diberikan kepada Pemerintah Jakarta dengan status HPL.
Ketentuan ini bersifat mengatur dan memaksa yang tidak memberikan pilihan lain
kepada para pemilik saham perseroan kecuali harus memberikan kesempatan pada
Pemda DKI untuk mengajukan permohonan HPL kepada Negara c.q. Badan
Pertanahan Nasional (BPN) dan BPN sebagai instansi pemberi HPL tidak
mempunyai pilihan lain kecuali harus menghormati perjanjian diantara para pihak
dengan memberikan HPL pada Pemda DKI. Dengan pemberian HPL tersebut,
tanah hasil reklamasi yang seluruh pelaksanaanya dibiayai oleh PT PJA harus
ditempatkan terlebih dahulu sebagai asset atau kekayaan Pemda DKI Jakarta. Aset
berupa HPL ini digunakan oleh Pemda DKI Jakarta sebagai penyertaan modal
kedalam perseroan. Penyertaan modal tersebut dilaksanakan melalui perjanjian
Status hukum..., Hery Hartawan, FH UI, 2010.
62
Universitas Indonesia
penyerahan penggunaan tanah yang diikuti dengan pemberian HGB atau Hak
Pakai kepada PT PJA sesuai dengan Keputusan Gubernur DKI Jakarta No. 1107
tahun 1993.
PT PJA sebagai badan hukum hanya dapat menguasai sebagian besar dari
tanah hasil reklamasi dengan HGB atau Hak Pakai diatas tanah HPL. Menurut
pasal 9 ayat 1 Perda DKI Jakarta No. 5/1997, kepada PT PJA dapat diberikan
HGB induk yang kemudian dapat dipecah-pecah bagi peruntukan dan penggunaan
yang sesuai dengan perencanaan kegiatan usahanya. Pecahan HGB induk inilah
yang dapat dialihkan atau disewakan kepada pihak lain yang akan berinvestasi di
kawasan HGB induk tersebut. HGB ataupun HGB Induk tetap berstatus sebagai
HGB diatas tanah HPL dengan konsekuensi HGB tersebut tidak secara inheren
mempunyai sifat dapat dialihkan dan dijaminkan, karena menurut pasal 34 ayat 7
PP No. 40/1996, HGB diatas tanah HPL hanya dapat dialihkan jika ada
persetujuan tertulis dari pemegang HPL. PT PJA dapat mengalihkan HGB nya
kepada pihak ketiga tetapi harus terlebih dahulu mendapatkan persetujuan tertulis
dari Pemda DKI Jakarta sebagai pemegang HPL. Begitu juga halnya ketika HGB
tersebut akan dijadikan jaminan hutang dengan dibebani hak tanggungan. Jika
peralihan atau penjaminan tersebut tidak disertai dengan persetujuan tertulis dari
pemegang HPL, maka peralihan atau penjaminan tersebut dapat dibatalkan karena
PT PJA tidak berwenang untuk melakukan perbuatan hukum tersebut.
Konsekuensinya, maka perbuatan tersebut dapat mengarah pada kemungkinan
terjadinya perbuatan melawan hukum dan berakibat pada terjadinya kerugian
Negara.
Secara teoritis kemungkinan bagi PT PJA untuk mendapatkan kewenangan
mengajukan permohonan HGB diatas tanah Negara atau tanah HPL hasil
reklamasi dan langsung menjadikannya sebagai asset perusahaan hanyalah
melalui keputusan Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS). Dalam Perseroan
Terbatas terdapat organ RUPS yang ditempatkan dan diberi kekuasaan tertinggi
untuk mengambil keputusan apapun berkenaan dengan penyelenggaraan kegiatan
dalam perusahaan.
Status hukum..., Hery Hartawan, FH UI, 2010.
63
Universitas Indonesia
Melalui RUPS, para pemegang saham dapat bermusyawarah dan sekaligus
memutuskan agar perusahaan dapat diberikan kewenangan untuk menjadikan
tanah hasil reklamasi ditempatkan sebagai asset langsung dari perusahaan PT PJA
dan sekaligus mendapatkan kewenangan untuk mengajukan permohonan HGB
atau HPL diatas tanah Negara. Jika RUPS dapat menghasilkan keputusan yang
demikian, maka berarti para pendiri sekaligus pemegang saham telah melakukan
perubahan terhadap kesepakatan awal (perjanjian kerjasama No. 366) yaitu yang
semula mengharuskan tanah hasil reklamasi diberikan HPL dan sekaligus sebagai
asset Pemda DKI menjadi asset langsung PT PJA.
Namun demikian, apakah jika RUPS memutuskan demikian, hal ini tidak
bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku untuk
Pemerintah/pemerintah daerah? Dalam hal ini, para ahli hukum bisnis masih
berbeda pandangan. Mayoritas berpendapat bahwa perjanjian, termasuk keputusan
RUPS sebagai wadah dari kesepakatan para pendiri dan pemegang saham
perusahaan, tidak boleh bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang
dibentuk dan diberlakukan pemerintah yang bersifat umum, sedangkan para ahli
lainnya berpendapat bahwa perjanjian dalam hubungan keperdataan mempunyai
kekuatan mengikat sebagai Undang-Undang sehingga dapat meniadakan
ketentuan dalam peraturan perundang-undangan.
Walaupun jika dicermati dari bentuk peraturan perundang-undangan yang
mengharuskan tanah hasil reklamasi tersebut di jadikan asset Pemda DKI Jakarta
hanya berupa Keppres dan PERDA, sedangkan lembaga RUPS sebagai pemegang
kekuasaan tertinggi dalam suatu Perseroan Terbatas didasarkan atas perintah
Undang-Undang , maka keputusan RUPS yang mempunyai kedudukan yang lebih
tinggi. Namun demikian, dengan terbitnya UU No. 1/2004 tentang
Perbendaharaan Negara, ditegaskan dalam pasal 43 bahwa
Gubernur/Bupati/Walikota menetapkan kebijakan pengelolaan barang milik
daerah. Sedangkan yang dimaksud dengan barang milik daerah itu dapat
berbentuk tanah dan/atau bangunan yang dibeli atau diperoleh atas beban APBD
atau berasal dari perolehan lainnya yang sah (pasal 1 angka 11jo.2). Dengan
Status hukum..., Hery Hartawan, FH UI, 2010.
64
Universitas Indonesia
demikian keputusan RUPS harus di hadapkan dan diuji dengan Undang-Undang
juga.
Hal ini memunculkan konsekuensi bahwa, secara teoritis, berkaitan
dengan status tanah hasil reklamasi, PT PJA sebagai BUMD yang melakukan
kegiatan reklamasi dapat memiliki Hak Pengelolaan atas tanah tersebut secara
langsung, karena di mungkinkan oleh peraturan perundang-undangan yang ada.
2.7 PENDAPATAN DAERAH DARI TANAH HASIL REKLAMASI
PANTAI
Otonomi daerah telah membuka pintu yang luas bagi Pemerintah Daerah
dalam mengelola rumah tangganya, termasuk dalam masalah keuangan daerah.
Titik tekan utama dalam pengelolaan keuangan daerah tentunya akan berpusat
pada peningkatan pendapatan daerah. Pendapatan daerah dalam struktur APBD
masih merupakan elemen yang cukup penting peranannya baik untuk mendukung
penyelenggaraan pemerintahan maupun pemberian pelayanan kepada publik.
Apabila dikaitkan dengan pembiayaan, maka pendapatan daerah masih merupakan
alternatif pilihan utama dalam mendukung program dan kegiatan penyelenggaraan
pemerintahan dan pelayanan publik. Arah pengelolaan Pendapatan daerah yaitu
mobilisasi sumber-sumber PAD, dana perimbangan dan penerimaan daerah
lainnya. Dalam pengelolaan anggaran pendapatan daerah akan diperhatikan upaya
untuk peningkatan pendapatan pajak dan retribusi daerah tanpa harus menambah
beban bagi masyarakat dan menimbulkan keengganan berinvestasi.
Pertumbuhan komponen Pajak Daerah, Retribusi Daerah dan Hasil usaha
Daerah akan menjadi faktor yang penting dalam mendorong pertumbuhan PAD
nanti. Sedangkan untuk Dana Perimbangan, komponen Bagi Hasil Pajak serta
komponen Bagi Hasil Pajak dan Bantuan Keuangan Provinsi adalah 2 unsur yang
cukup penting dalam mendorong pertumbuhan Dana Perimbangan yang akan
diperoleh nantinya.
Berdasarkan UU No. 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan
antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah, dalam pasal 6 ayat 1
menyebutkan bahwa “ Pajak Daerah dan Retribusi Daerah adalah sumber
Status hukum..., Hery Hartawan, FH UI, 2010.
65
Universitas Indonesia
Pendapatan Asli Daerah (PAD) selain dari hasil pengelolaan kekayaan daerah
yang dipisahkan dan lain-lain PAD yang sah”.
Masih kecilnya kontribusi Pendapatan Asli Derah sebagai barometer
tingkat kemandirian daerah dalam menjalankan amanat otonomi daerah, sesuai
dengan Undang-undang Nomor: 32 Tahun 2004, mengharuskan Pemerintah
Daerah secara terus menerus berupaya meningkatkan Pendapatan Asli Daerah
sebagai sumber utama pendapatan daerah, secara wajar dan dapat
dipertanggungjawabkan dengan memperhatikan kondisi masyarakat yang menjadi
subyek Pendapatan Asli Daerah. Hal ini memaksa Pemerintah Daerah untuk dapat
lebih kreatif menemukan sumber-sumber baru bagi Pendapatan Asli Daerah.
Walaupun terdapat batasan bagi Pemerintah Daerah dalam meningkatkan
PAD, seperti yang tertuang dalam pasal 158 ayat 2 UU No. 32 tahun 2004 tentang
Pemerintahan daerah yang menyatakan “Pemerintah Daerah dilarang melakukan
pungutan atau dengan sebutan lain diluar yang telah ditetapkan dalam Undang-
undang” serta dalam pasal 7 huruf a UU No. 33 tahun 2004 tentang Perimbangan
Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah yang menyatakan
“Dalam upaya meningkatkan PAD, Daerah dilarang :a. Menetapkan Peraturan Daerah tentang pendapatan yang
menyebabkan ekonomi biaya tinggi”b. ……”
Sedangkan pasal 1 angka 26 menyatakan “Retribusi daerah yang
selanjutnya disebut retribusi adalah pungutan sebagai pembayaran atas jasa atau
pemberian izin tertentu yang khusus disediakan dan/atau diberikan oleh
Pemerintah Daerah untuk kepentingan orang pribadi atau badan”.
Reklamasi pantai sebagai salah satu hal yang bisa digunakan oleh
Pemerintah Daerah untuk meningkatkan PAD. Melalui reklamasi pantai, banyak
pungutan, baik dalam bentuk pajak maupun retribusi, dapat diterapkan. Dalam hal
reklamasi Pantai Ancol Jakarta, maka Pemerintah Provinsi DKI Jakarta telah
mentapkan dalam pasal 4 ayat (2) huruf B SK.Gubernur DKI Jakarta No. 138
Tahun 2000 tentang Tata Cara Penyelenggaraan Reklamasi Pantai Utara Jakarta”
yang menyebutkan bahwa:
Status hukum..., Hery Hartawan, FH UI, 2010.
66
Universitas Indonesia
“Menyerahkan uang muka (Initial Working Fund) sebagai modalkerja Badan Pelaksana yang merupakan bagian dari kontribusiyang akan diperhitungkan kelak dalam kerjasama usaha, yangbesarnya ditetapkan dengan Keputusan Gubernur”
dan Pasal 11 ayat (2) SK.Gubernur DKI Jakarta No. 138 Tahun 2000 tenang Tata
Cara Penyelenggaraan Reklamasi Pantai Utara Jakarta” yang menyebutkan
bahwa:
“Kepada Mitra Pengembang diwajibkan untuk menyerahkan
kontribusi kepada Badan Pelaksana yang besarnya ditetapkan
berdasarkan luas lahan dan peruntukannya”.
Dalam rangka pelaksanaan reklamasi Pantai Ancol Jakarta, lembaga IWF
tersebut saat ini besaranya masih didasarkan atas perjanjian (Memorandum Of
Understanding (MOU)) dan Development Agreement (DA) ) diantaranya:
MOU/DA PT PJA No. 1121A Tahun 1995 No. 669/DIR-PJA/IX-95, PT PJA No.
362A Tahun 1996 No. 1096/DIR-PJA/II-96, PT PJA No. 639/DIR-PJA/IX/1997.
Dengan dasar perjanjian tersebut maka pihak PT PJA telah membayarkan
sebagian IWF tersebut.
Yang perlu dikaji dalam hal ini adalah landasan hukum pengenaan IWF
tersebut bagi peningkatan pendapatan daerah. Sebagaimana diatur dalam pasal 3
ayat 6 UU No. 17 tahun 2003 yang menyatakan ”semua penerimaan yang menjadi
hak dan pengeluaran yang menjadi kewajiban daerah dalam tahun anggaran yang
bersangkutan harus dimasukan kedalam APBD” maka pengenaan IWF hendaknya
dimasukkan dalam APBD.
Penentuan besaran IWF, bila memandang pada SK. Gub. No.138/2000,
adalah ditetapkan dalam Keputusan Gubernur. Hal tersebut berimplikasi bahwa
belum dapat dilakukan perjanjian selama belum munculnya keputusan Gubernur
tersebut.
Yang menjadi catatan adalah pengenaan IWF selain harus memiliki dasar
hukum yang pasti, juga mengenai perhitungannya hendaknya didasari atas
perhitungan yang jelas, sehingga asas transparansi dalam pelaksanaan good
government dapat ditegakan serta menghindari apa yang digariskan pasal 7 huruf
Status hukum..., Hery Hartawan, FH UI, 2010.
67
Universitas Indonesia
a UU No. 33 tahun 2004 agar menghindari ekonomi biaya tinggi, mengingat
pelaksanaan reklamasi pantai tersebut menelan investasi yang tinggi.
Selain dari pengenaan IWF dan uang kontribusi, Pemerintah Daerah DKI
Jakarta juga bisa mendapatkan berbagai pemasukan dari tanah hasil reklamasi
pantai. Sebagai pemegang HPL, Pemerintah Daerah DKI Jakarta berhak
melakukan pungutan pada pihak ketiga yang atas penggunaan maupun pemberian
hak di atas tanah hasil reklamasi tersebut.
Sebagaimana diketahui, bahwa diatas tanah HPL dapat dikenakan berbagai
hak atas tanah seperti : HGB, HP maupun HM sebagaimana diatur dalam Pasal 5
ayat (7) PMDN No. 5 tahun 1974. Sementara menurut Pasal 21 dan Pasal 41 PP
40/1996 HPL dapat diberikan hak atas tanah dengan status HGB dan HP.
Jangka waktu hak atas tanah yang diberikan kepada pihak ketiga adalah
sesuai dengan jangka waktu masing-masing hak atas tanah yang diatur dalam
UUPA dan PP 40/1996. Setelah jangka waktu yang diberikan tersebut berakhir,
maka tanah yang bersangkutan kembali dalam penguasaan sepenuhnya dari
pemegang HPL yang bersangkutan.
Berdasarkan hal tersebut, maka Pemda DKI Jakarta dapat melakukan
perjanjian dengan pihak ketiga, untuk reklamasi Pantai Ancol Jakarta, maka pihak
ketiga adalah PT PJA, mengenai besaran pungutannya. Bila membahas mengenai
masalah perjanjian, maka disini maka berlaku hukum perdata, sehingga akan
berlaku pula batasan-batasan untuk suatu perjanjian yang diatur dalam 1339
KUHPerdata yang mengatur bahwa suatu perjanjian tidak boleh bertentangan
dengan undang-undang, kesusilaan dan ketertiban umum. Di sisi lain, suatu
perjanjian juga menjadi undang-undang bagi para pihak yang terikat. Dengan
adanya perjanjian ini, maka hal tersebut meletakan Pemda DKI Jakarta yang
bertindak sebagai subyek hukum privat. Hal ini tentunya akan memberikan
dampak berlakunya perjanjian tersebut.
Dampak tersebut dapat muncul dalam bentuk berbedanya nilai pungutan
antar satu perjanjian pungutan atas penggunaan atau pemberian hak yang satu
dengan perjanjian lain. Hal tersebut bisa menimbulkan ketidakadilan bagi satu
developer/pihak ketiga yang satu dengan pihak ketiga yang lain. Perbedaan
Status hukum..., Hery Hartawan, FH UI, 2010.
68
Universitas Indonesia
lainnya bisa terdapat dalam klausula-klausula yang ada dalam perjanjian.
Sehingga perlu dibuat suatu regulasi khusus mengenai pungutan atas penggunaan
atau pemberian hak atas tanah di atas tanah HPL tersebut. Hal ini dimaksudkan
untuk dapat menegakan asas keadilan.
Peraturan mengenai pungutan atas penggunaan atau pemberian hak atas
tanah di atas tanah HPL dapat berlaku secara menyeluruh pada semua pihak
ketiga. Mengenai pungutan untuk obyek tanah Pemda DKI Jakarta yang berstatus
HPL, Gubernur DKI Jakarta telah mengeluarkan Surat Keputusan Gubernur DKI
Jakarta Nomor 122 Tahun 2001 Tentang Tata Cara Pemberian Rekomendasi atas
Permohonan Sesuatu Hak di Atas Bidang Tanah HPL, Tanah Desa dan Tanah Eks
Kota Praja Milik/Dikuasai Pemerintah Propinsi DKI Jakarta (“SK Gubernur DKI
Jakarta 122/2001”) yang menyatakan bahwa pemberian rekomendasi HPL yang
terdapat di DKI Jakarta dikenakan biaya sebesar 5 % dari NJOP.
Pada kegiatan reklamasi Pantai Ancol Jakarta yang berasal dari kegiatan
penimbunan dan pengeringan air laut yang dilakukan oleh para developer, seluruh
pembiayaan kegiatan tersebut dibebankan kepada pihak developer atau investor.
Selain biaya kegiatan penimbunan dan pengeringan air laut tersebut, pihak
developer atau investor juga dibebankan biaya-biaya lain seperti membayar pajak-
pajak, retribusi-retribusi lainnya, serta pembiayaan pengurusan HGB diatas HPL
Pemda DKI Jakarta tersebut sehingga dapat dikatakan bahwa pembiayaan dalam
kegiatan reklamasi sangat besar. Atas dasar pertimbangan itulah para developer
yang melakukan kegiatan reklamasi tersebut mempertanyakan dasar penentuan
besarnya persentase pengenaan biaya rekomendasi Pemda DKI Jakarta sebagai
pemegang HPL.
Adapun pembebanan besarnya uang yang masuk ke kas negara yang
diatur dalam ketentuan PP 13/2010 tidak sebesar dengan besarnya uang
pemasukan yang diatur dalam SK Gubernur DKI Jakarta 122/2001. Dalam PP
13/2010 pasal 16 mengatur mengenai pendapatan untuk kas negara berkaitan
dengan pelayanan pendaftaran tanah untuk pertama kali dan pelayanan
pemeliharaan data pendaftaran tanah. Hal ini tentu memberikan gambaran bahwa
penentuan besarnya persentase uang pemasukan dalam SK Gubernur DKI Jakarta
Status hukum..., Hery Hartawan, FH UI, 2010.
69
Universitas Indonesia
122/2001 tidak mempertimbangkan atau tidak mengacu pada ketentuan yang
terdapat dalam peraturan perundang-undangan yang berada diatasnya. Hal
tersebut mengakibatkan ketidaksesuaian ketentuan mengenai uang pemasukan
dalam hierarki peraturan perundang-undangan di Indonesia, sehingga ketentuan
yang bersangkutan harus ditinjau kembali oleh pihak Pemda DKI Jakarta.
Dalam Peraturan Pemerintah No. 13 Tahun 2010 (PP No.13/2010)
mengatur dalam pasal 16 ayat 1 dan 2, yang berbunyi “
(1) Tarif Pelayanan Pendaftaran Tanah untuk Pertama Kali sebagaimana
dimaksud dalam pasal 15 huruf a berupa Pelayanan Pendaftaran :
a) Keputusan Perpanjangan Hak Atas Tanah Untuk Hak Guna
Usaha, Hak Guna Bangunan atau Hak Pakai Berjangka Waktu;
dan
b) Keputusan Pembaruan Hak Atas Tanah Untuk Hak Guna Usaha,
Hak Guna Bangunan atau Hak Pakai Berjangka Waktu, di hitung
berdasarkan rumus T= (2‰ x Nilai Tanah) + Rp. 100.000,00
(2) Tarif Pelayanan Pemeliharaan Data Pendaftaran Tanah sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 15 huruf b berupa Pelayanan Pendaftaran
Pemindahan Peralihan Hak Atas Tanah untuk Perorangan dan Badan
Hukum, dihitung berdasarkan rumus T = ( 1‰ x Nilai Tanah ) + Rp.
50.000,00.
Berdasarkan PP 13/2010 memberikan batasan yang tegas mengenai pungutan
yang dapat di kenakan pada perorangan maupun badan hukum berkaitan dengan
pendaftaran atas tanah.
Atas hal tersebut, maka dengan adanya reklamasi pantai dapat
memberikan peluang besar bagi Pemerintah daerah untuk dapat meningkatkan
Pendapatan Asli Daerah. Tetapi, dalam pelaksanaannya harus tetap berpegang
pada koridor-koridor hukum yang ada. Baik dalam pengenaan IWF serta uang
kontribusi juga dalam hal pungutan atas penggunaan atau pemberian hak atas
tanah di atas tanah HPL.
Walau secara umum Pemerintah Provinsi diperbolehkan untuk
menggali potensi yang dimilikinya untuk meningkatkan pendapatan daerahnya,
Status hukum..., Hery Hartawan, FH UI, 2010.
70
Universitas Indonesia
tetapi hal tersebut tetap memiliki batasan. Peninjauan kembali peraturan dari SK
Gubernur No. 122/2001 merupakan suatu kebutuhan dalam rangka menciptakan
iklim usaha yang kompetitif di Jakarta, sehingga dapat memacu investasi dan
pertumbuhan ekonomi.
Status hukum..., Hery Hartawan, FH UI, 2010.