-
8/19/2019 Climate Change Adaptation and Governance: A Case Study of the Asian Cities Climate Change Resilience Network Indonesia Implementation
1/17
Adaptasi Perubahan Iklim dan Pemerintahan:
Studi Kasus pada Implementasi
Asian CitiesClimate ChangeResilience Network di Indonesia
Climate Change Adaptation and Governance:
A Case Study of the
Asian Cities Climate Change Resilience Network Indonesia Implementation
-
8/19/2019 Climate Change Adaptation and Governance: A Case Study of the Asian Cities Climate Change Resilience Network Indonesia Implementation
2/17
DAFTAR ISITable of Contents
I. Pendahuluan, Tujuan dan Metodologi /
Introduction, Objective and Methodology
II. Gambaran Umum Masalah / Overview Issues
III. Pemilihan Kota / City Selection
• Narasi / Narrative
• Perubahan persepsi dan sikap terhadap perubahan iklim /
Evolution of climate change perception
• Tantangan / Challenges/pitfalls
• Pencapaian/dampak / Successes/impact
• Rekomendasi / Recommendations
IV. Pembentukan Tim Kota /
Establishment of City Teams • Narasi / Narrative
• Perubahan persepsi dan sikap terhadap perubahan iklim /
Evolution of climate change perception
• Tantangan / Challenges/pitfalls
• Pencapaian/dampak / Successes/impact
• Rekomendasi / Recommendations
V. Shared Learning Dialogues (SLDs) /
• Narasi / Narrative
• Perubahan persepsi dan sikap terhadap perubahan iklim /
Evolution of climate change perception
• Tantangan / Challenges/pitfalls
• Pencapaian/dampak / Successes/impact
• Rekomendasi / Recommendations
VI. Kajian Kerentanan dan Adaptasi (VAA) /
Vulnerability and Adaptation Assessment (VAA)
• Narasi / Narrative
• Perubahan persepsi dan sikap terhadap perubahan iklim /
Evolution of climate change perception
• Tantangan / Challenges/pitfalls
• Pencapaian/dampak / Successes/impact
• Rekomendasi / Recommendations
VII. Proyek Percontohan dan Studi Sektoral /
Pilot projects and Sector Studies
• Narasi / Narrative
• Perubahan persepsi dan sikap terhadap perubahan iklim /
Evolution of climate change perception
• Tantangan / Challenges/pitfalls
• Pencapaian/d ampak / Successes/impact
• Rekomendasi / Recommendations
VIII. Dokumen Strategi Ketahanan Kota (CRS) /
City Resilience Strategy Document (CRS)
• Narasi / Narrative • Perubahan persepsi dan sikap terhadap perubahan iklim /
Evolution of climate change perception
• Tantangan / Challenges/pitfalls
• Pencapaian/d ampak / Successes/impact
• Rekomendasi / Recommendations
IX. Monitoring dan Evaluasi /M&E
• Narasi / Narrative
• Tantangan / Challenges/pitfalls
• Pencapaian/d ampak / Successes/impact
• Rekomendasi / Recommendations
Program Asian Cities Climate Change Resilience Network (ACCCRN) yang
diimplementasikan di Indonesia, tepatnya di Kota Semarang dan Bandar
Lampung, oleh Mercy Corps mengambil pendekatan berbasis multi-stakeholder
untuk membangun ketahanan kedua kota tersebut terhadap perubahan
iklim. Melalui pembentukan Tim Kota yang beranggotakan perwakilan dari
pemerintah kota, LSM, universitas serta pihak swasta; ACCCRN berupaya untuk
membangun hubungan dengan pemangku kepentingan di kota. Tim kota ini
memiliki peranan dalam menjalin hubungan dengan pemangku kepentingan
kota lainnya, terutama dalam proses pengambilan keputusan yang berkaitan
dengan isu adaptasi terhadap perubahan iklim serta mendorong mereka untuk
mengimplementasikan keputusan tersebut.
Pendekatan dari sisi struktur organisasi serta metode implementasi yang
digunakan oleh ACCCRN di kedua kota tersebut tidak selalu menghasilkan
pencapaian positif, tetapi juga menghadapi berbagai tantangan dalam
pelaksanaannya. Kedua kondisi ini dapat menjadi pelajaran yang berharga;
baik bagi pelaksanaan kegiatan adaptasi perubahan iklim lainnya, maupun
dalam pelaksanan program/kegiatan lainnya yang memiliki komponen terkait
pemerintahan. Studi kasus yang dipaparkan pada dokumen ini bertujuan
untuk menganalisa keluaran positif dan negatif dari pendekatan yang
diterapkan oleh ACCCRN, sehingga dapat digunakan sebagai modal untuk
mengoptimalkan kegiatan replikasi.
Studi kasus ini disusun berdasarkan wawancara dengan aktor kunci dan
kunjungan lapangan ke lokasi proyek yang dilaksanakan pada kurun waktu
26 April-5 Mei 2011 di Kota Jakarta, Semarang dan Bandar Lampung; serta
juga tinjauan terhadap dokumen eksisting. Mengingat luasnya cakupan
dokumentasi yang telah disusun dari berbagai proyek di ketiga kota tersebut,
maka dokumen ini akan berupaya untuk meminimalisasi repetisi dan
memfokuskan isinya kepada informasi dan analisa yang berkaitan dengan
tujuan dari studi kasus yang dilakukan.
The Asian Cities Climate Change Resilience Network (ACCCRN) Program,
as implemented in Indonesia by Mercy Corps, takes a multi-stakeholder
approach to building climate change resilience in the cities of Semarang and
Bandar Lampung. In establishing and working through a City Team composed
of local government, NGOs, universities, and private sector, ACCCRN has
undertaken an ambitious attempt to engage city stakeholders in the difcult
decisions around climate change adaptation and empower them to implement
those decisions.
The structure and implementation of this approach have resulted in some
successes and struggled with some challenges, and in both cases can serve
as a model for other climate change adaptation projects in particular, as well as
for governance components of a broader range of programs. This case study
is intended to analyze the positive and negative outcomes of the ACCCRN
approach in order to optimize future replication.
This case study is based on key informant interviews and visits to project sites
carried out from 26 April to 5 May 2011 in Jakarta, Semarang, and Bandar
Lampung, as well as a review of existing documentation. Given the extensive
nature of that documentation, this document will minimize repetition and focus
on information and analysis relevant to the objective of the case study.
I. Pendahuluan, Tujuan dan MetodologiIntroduction, Objective and Methodology
2 A Case Study of the ACCCRN Indonesia Implementation 3Studi Kasus pada Implementasi ACCCRN di Indonesia
-
8/19/2019 Climate Change Adaptation and Governance: A Case Study of the Asian Cities Climate Change Resilience Network Indonesia Implementation
3/17
Kemauan politik dan komitmen pribadiKemauan politik dan komitmen merupakan salah satu tema yang munculsecara konsisten di beberapa wawancara yang dilakukan. Hal ini dapatterlihat di berbagai bagian di dalam studi kasus ini mengingat keterkaitantema ini dengan setiap tahapan di dalam kegiatan adaptasi perubahaniklim. Terlepas dari pembahasan mengenai kemauan politik dan komitmenpribadi di setiap bagian, tentunya tema ini merupakan salah satu isu yangcukup penting untuk diangkat sebagai salah satu rekomendasi utama bagiprogram secara keseluruhan.
Ketertarikan dan permintaan akan program ini diperlukan di seluruh tahapan
proses. Tingkat kepentingan kedua hal tersebut tergambar pada tahapanpelaksanaan proses di Kota Semarang dan Bandar Lampung. Padaawal proses, Kota Bandar Lampung berada di posisi yang lebih depan,terutama dikarenakan dukungan yang cukup tinggi dari Walikota saat itu.Sementara proses di Semarang berjalan dengan lebih lambat dikarenakankurangnya antusiasme Walikota terhadap proses yang berjalan, walaupun iamemberikan dukungan terhadap pelaksanaan proses tersebut. PergantianWalikota Semarang ternyata memberikan pengaruh positif bagi pelaksanaanproses. Walikota yang baru merupakan sosok yang memiliki perhatiandan ketertarikan tinggi terhadap isu-isu lingkungan, ia juga telah memulaipelaksanaan kegiatan-kegiatan mitigasi perubahan iklim. Akibatnya, prosesdi Semarang pun berjalan dengan lebih baik.
Dalam kurun waktu setahun berikutnya, program-program adaptasiperubahan iklim yang dilaksanakan di Semarang dinilai lebih maju. Kemajuanpesat ini dinilai berkat peranan penting dari Tim Kota yang sangat aktif dalammelaksanakan tugasnya serta dalam menjalin hubungan dengan pemangkukepentingan lainnya. Hal ini bertolak belakang dengan kondisi Tim Kota diBandar Lampung yang dinilai memiliki dedikasi yang lebih rendah.
KorupsiSetidaknya 1 staf ACCCRN meyakini bahwa telah terjadi tindak korupsidi setidaknya salah satu kota mitra ACCCRN di Indonesia; dan dipercaya
bahwa kondisi ini merupakan hal yang tidak dapat dihindari, dimana caraterbaik untuk mengatasinya adalah dengan mencoba melakukan kontroluntuk mencegah terjadinya korupsi. Mengingat bahwa korupsi adalah isuyang tidak asing lagi terjadi di berbagai belahan dunia, maka merupakan halyang utama bagi suatu organisasi untuk menyusun dan mengkomunikasikankebijakan mengenai hal-hal yang dapat dan tidak dapat ditoleransi.
II. Gambaran Umum MasalahOverview Issues
Political will and personal commitment One of the most consistent themes throughout the interviews was the needfor political will and personal commitment. This is reected in the differentsections as it relates to each step in the process, but it is important enoughto be a key recommendation for the program as a whole as well.
The need for interest in and demand for the program spans all levels of the
process. The overall arcs of the two city programs illustrate the importance ofthis. At the beginning of the process, Bandar Lampung was seen as aheadin the program, in large part due to the strong support of the mayor, whileSemarang was moving more slowly, with a sense that the mayor was, thoughapproving, not enthusiastic about the program. When an election replacedthe Semarang mayor with one who has a strong interest in environmentalissues and has instituted mitigation measures, the project started to gainmomentum.
A year later, the Semarang program is considered more advanced, with mostof the difference attributed to the active, engaged City Team, as opposed tothe interested but less dedicated City Team in Bandar Lampung.
Corruption At least one member of ACCCRN staff was convinced that there is corruptionin at least one of the cities, and believed that this was unavoidable and that
the best option was to try to contain it. Given that corruption is a potentialissue anywhere in the world, it is important for organizations to determineand communicate a clear policy for what is acceptable and what is not.
III. Pemilihan KotaCity Selection
Tantangan
Proses pemilihan kota untuk program ACCCRN merupakan bagian dari
kerangka kerja proyek skala regional, melibatkan tiga negara lain danberbagai organisasi pelaksana; dimana proses ini juga cukup dipengaruhi
oleh pilihan dari donor. Kondisi-kondisi tersebut pada akhirnya menyebabkan
proses pemilihan kota ini menjadi contoh yang tidak mudah untuk direplikasi.
1. Kurangnya kejelasan mengenai kriteria dan prioritas diantara berbagai
lapisan pemangku kepentingan: donor, peneliti, dan pelaksana. Memiliki
pemahaman yang cukup memadai mengenai kriteria yang digunakan –
bahkan apabila kriteria tersebut bersifat acak atau berkaitan dengan
prioritas strategis yang berada di luar lingkup proyek – akan membantu
dalam mengarahkan proses dan memperjelas pemahaman diantara
mitra ACCCRN.
2. Potensi perubahan yang dapat terjadi di tataran pemerintahan dari
waktu ke waktu merupakan suatu hambatan yang dapat diidentikasi
di awal pada studi kasus ini. Pada saat proses pemilihan kota ACCCRN
sedang berlangsung, tanggal pemilihan walikota merupakan salah satu
hal yang menjadi bahan pertimbangan untuk menilai kemauan dan
ketertarikan pemerintah kota untuk menjadi bagian di dalam program
ACCCRN; apabila masa jabatan seorang walikota yang dinilai positif
akan berakhir dalam kurun waktu enam bulan atau setahun ke depan,
maka pengaruh walikota tersebut terhadap program ini akan berkurang.
Challenges/Pitfalls
The city selection for ACCCRN was conducted within the framework of a
regional project including three other countries and multiple implementingorganizations, and was to a large extent driven by donor preferences, all of
which complicates it as an example for replication.
1. Lack of clarity in criteria and priorities among the different layers of
stakeholders: the donors, the research partners, and the implementing
partners. Having a clear understanding of the criteria – even if they
are arbitrary or related to strategic priorities beyond the scope of the
specic project – will streamline the process and reduce confusion
among partners.
2. The potential for change in a city government over time is a pitfall which
was identied early in this case. During the ACCCRN selection process,
mayoral election dates were taking into consideration in weighing the
eagerness of a municipal government for inclusion in the program: if a
very positive mayor was likely to be voted out within six months or a year,
his impact on the project would be signicantly lessened.
Keputusan mengenai kota yang terpilih didasarkan pada studi yang telah dilaksanakan sebelumnya
oleh ICLEI Local Governments for Sustainability, serta berdasarkan hasil konsultasi dengan Rockefeller
Foundation dan Institute for Social and Environmental Transformation (ISET). Suatu daftar yang berisikan tiga
puluh delapan calon kota ACCCRN kemudian disaring untuk menjadi daftar singkat berisikan lima calon kota;
dari daftar singkat inilah kemudian akhirnya terpilih Kota Semarang di Pulau Jawa dan Kota Bandar Lampung di
Pulau Sumatra untuk menjadi dua kota partisipan.
The decision was informed by a previous study conducted by ICLEI Local Governments for Sustainability, as well as by consultation with the Rockefeller
Foundation and the Institute for Social and Environmental Transformation (ISET). A thirty-eight city long-list was pared down to a short-list of ve, and from
these Semarang in Java and Bandar Lampung in Sumatra were selected as the two participating cities.
4 A Case Study of the ACCCRN Indonesia Implementation 5Studi Kasus pada Implementasi ACCCRN di Indonesia
-
8/19/2019 Climate Change Adaptation and Governance: A Case Study of the Asian Cities Climate Change Resilience Network Indonesia Implementation
4/17
Pencapaian
Dalam lingkup ACCCRN, proses pemilihan kota telah berhasil mencapai
beberapa target yang penting.
1. Kedua kota yang terpilih mampu untuk menjalankan proyek ini dan
dinilai memiliki tingkat pemahaman dan keterlibatan yang lebih tinggi
dengan isu perubahan iklim jika dibandingkan dengan kondisi sebelum
masuknya proyek ini ke kota.
2. Kedua kota memenuhi parameter persyaratan yang diminta oleh donor,
sehingga kondisinya dapat dibandingkan dengan kota-kota ACCCRN
lain di skala regional.
3. Mercy Corps telah membangun hubungan dan reputasi di kedua kota
ACCCRN, dimana sebelumnya Mercy Corps tidak pernah (Semarang)
atau hanya sedikit (Bandar Lampung) melakukan kegiatan lain di kedua
kota tersebut sebelum dilaksanakannya proyek ini.
Rekomendasi
1. Identikasi parameter yang jelas berdasarkan konteks dan pertimbangan
strategis. Dalam kaitannya dengan proyek ini, ada berbagai parameteryang dapat dianggap ideal, bergantung kepada strategi dan konteks
dari program tersebut. Sebagian program akan lebih memilih untuk
melaksanakan program-program yang sedang berjalan di kota-kota
lain; yang lain akan memilih untuk mempergunakan isu perubahan iklim
sebagai pengenalan terhadap sektor-sektor yang baru. Pada beberapa
kasus, strategi yang dipilih akan mengarah kepada pelaksanaan
kegiatan di kota megapolitan; sementara pada kasus lain di kota-kota
sekunder. Penentuan ukuran dan kondisi kota yang sesuai, disertai
dengan informasi karakteristik yang sedetail mungkin akan membantu
dalam menyusun daftar singkat kota-kota yang potensial sebagai
partisipan dengan lebih cepat dan lebih mudah.
2. Prioritasisasi kemauan politik. Kemauan politik atau “pemerintah kota
yang responsif”, seperti yang disampaikan oleh salah satu i nterviewee,
merupakan faktor terpenting dalam mempercepat tercapainya tujuan
proyek. Dengan demikian kemauan politik harus mendapat bobot
yang cukup tinggi dalam proses pemilihan kota. Program ACCCRN
menggunakan salah satu teknik yang paling esien untuk memastikan
hal ini dengan mensyaratkan kota untuk mendaftar untuk dapat
berpartisipasi di dalam program ini, sehingga komitmen mereka dapat
dilihat.
3. Pentingnya keberadaan champion. Terlepas dari pentingnya kemauan
politik terhadap kesuksesan suatu program, namun keberadaan satu
atau dua orang yang dapat bertindak sebagai seorang champion akan
dapat lebih mendorong keberlangsungan suatu program; terutama
apabila program yang akan dilaksanakan melibatkan berbagai individu
dari berbagai dinas, departemen serta organisasi (Hal ini sangat
penting, mengingat untuk kasus ACCCRN, staf program yang utama
berlokasi di luar lokasi proyek). Walaupun keberadaan dan pengaruh
seorang champion tidak selalu jelas terlihat dalam proses pemilihan
kota, potensi yang terlihat harus dicatat dan dilibatkan sedini mungkin.
4. Memahami dan bekerja di dalam struktur organisasi yang telah ada. Proses
ACCCRN mengambil keuntungan dari adanya Asosiasi Walikota Nasional
(APEKSI) untuk mencari dan menjalin kontak dengan sejumlah kota.
5. Pergunakan kontak pribadi. Walaupun hal ini tidak bisa menjadi kriteria
di dalam pemilihan kota, keberadaan kontak pribadi antara staf proyek
dengan kota mitra dapat bermanfaat dalam menentukan kemauan
politik dan mengidentikasi champion di kota tersebut.Lebih lanjut,hubungan personal dapat membantu meyakinkan pemerintah kota akan
keabsahan dan pentingnya program ini; partisipasi mereka di dalam
proram ini tidak akan sia-sia.
6. Sadar akan potensi perubahan yang mungkin terjadi selama kurun
waktu berjalannya proyek. Selama berlangsungnya proses pemilihan
kota, perlu untuk disadari akan potensi perubahan di sistem ataupun
aktor politik yang mungkin terjadi selama kurun waktu pelaksanaan
proyek. Sebagai contoh, proses pemilihan walikota di Kota Semarang
memberikan pengaruh yang signikan (dalam kasus ini perubahan
bersifat positif) dalam pelaksanaan proyek.
Success/Impact
In the case of ACCCRN, the city selection accomplished several important
objectives.
1. The two cities identied have been able to r un the project and seem to
have a greater level of engagement with climate change issues than
before the project started.
2. Both meet the parameter requiremen ts of the donor, allowing for
comparison with other cities participating i n ACCCRN regionally.
3. Mercy Corps has now forged relationships and a reputation in cities
where it had no (Semarang) or minimal (Bandar Lampung) presence
before beginning the project.
Recommendations
1. Identify clear parameters based on context and strategic considerations.
The ideal parameters for the project will vary based on program strategyand context. Some programs will want to build on existing projects in
specic cities; others will want to use climate change as an introduction
to new areas. In some cases the strategy will point towards working in
megacities; in others, in secondary cities. Determining the appropriate
city size and condition with as much specicity as possible will help to
reach a short list relatively quickly and easily.
2. Prioritize political will. Political will, or “responsive local government”,
as one interviewee termed it, is the most important factor in getting
swift traction for a successful project, so political will should be given
signicant weight in the selection of cities. The ACCCRN program used
one of the most efcient techniques for ensuring this by requiring cities
to apply for participation in order to gauge their commitment.
3. The importance of a champion. While political will in general is important,
a complex program that requires individuals from multiple agencies,
departments, and organizations to add to their list of responsibilities
also benets greatly from having one or two people who act as its
champions, driving the process forward (this is particularly important if,
as in the case with ACCCRN, the primary project staff are off-site). While
the existence and inuence of a champion may not always be apparent
during the selection process, potentials should be noted and engaged
as early as possible.
4. Understand and work within existing structures. The ACCCRN process
took advantage of the existence of the national Association of Mayors
(APEKSI) to reach and contact a number of municipalities.
5. Make use of personal contacts. While it should not be a criteria for
selection of a city, the existence of some personal contact between
project staff and city counterparts can be helpful in determining political
will and identifying champions. In addition, a personal connection canhelp to convince the city government that this is a legitimate opportunity
that is worth their time to participate in.
6. Be aware of potential changes during the duration of the project. During
the city selection process it is important to be aware of changes in the
political system or players that may occur during the project period. For
example, in Semarang, a mayoral election made a signicant (and in
this case positive) change i n project implementation.
76 Studi Kasus pada Implementasi ACCCRN di Indonesia A Case Study of the ACCCRN Indonesia Implementation
-
8/19/2019 Climate Change Adaptation and Governance: A Case Study of the Asian Cities Climate Change Resilience Network Indonesia Implementation
5/17
Bandar LampungPada awal pembentukannya, Tim Kota Bandar Lampung beranggotakan
hampir tiga puluh orang; namun berdasarkan informasi yang diperoleh,saat ini anggota Tim Kota yang aktif hanya kurang lebih sepuluh orang. Tim
ini diketahui tidak melakukan pertemuan secara rutin, namun baru-baru ini
telah diajukan suatu proposal untuk pelaksanaan pertemuan bulanan. Tim
Kota di Bandar Lampung dipimpin oleh Bappeda yang selama ini ditengarai
sebagai aktor yang aktif dalam mendorong pelaksanaan program ACCCRN.
Ketua dari Tim Kota, yaitu Desti, lebih memilih untuk menargetkan
tercapainya kuorum (lebih dari separuh) di setiap pertemuan dibandingkan
dengan mencoba meyakinkan setiap anggota untuk hadir di setiap
pertemuan; dimana opsi yang terakhir dianggap Desti sebagai kondisi
yang sulit tercapai karena kesibukan setiap anggota tim. Terlepas dari
keberhasilannya dalam memastikan kehadiran anggota tim dalam jumlah
yang cukup di setiap pertemuan, sehingga memungkinkan
dilaksanakannya diskusi dan pengambilan keputusan;
namun Desti mengakui bahwa berubah-ubahnya
peserta pertemuan, terutama di awal-awal program,
merupakan suatu masalah bagi pelaksanaan
program ACCCRN.
SemarangPerubahan juga dialami oleh Tim Kota di Semarang dari waktu ke waktu.
Pada awalnya tim ini dibawah kendali dan dipimpin langsung oleh Kantor
Lingkungan Hidup, dan melibatkan sekitar tiga puluh partisipan yang berasal
dari berbagai dinas terkait, LSM, dan universitas. Setelah berakhirnya
satu tahun pertama, tim ini melakukan proses evaluasi. Evaluasi pertama
dilakukan dengan difasilitasi oleh Mercy Corps di Jakarta; namun karena
pada evaluasi pertama tersebut tidak dicapai suatu kesimpulan, maka tim
kembali melakukan evaluasi, kali ini secara internal.
Berdasarkan hasil evaluasi, disepakati bahwa Tim Kota akan berada di
bawah kendali Bappeda yang notabene memiliki kapasitas lebih untuk
mengorganisir dinas-dinas lain di kota. Secara keanggotaan juga dilakukan
perubahan, dimana pada awalnya partisipan Tim Kota lebih difokuskan pada
kehadiran perwakilan setiap dinas/organisasi (memperbolehkan perbedaan
perwakilan di setiap pertemuan), kemudian diubah menjadi difokuskan
pada individu tertentu; partisipan yang didaftarkan harus sebagai individu,
bukan sebagai perwakilan dinas/organisasi tertentu. Hal ini dilakukan untuk
mengatasi isu ketidak konsistenan anggota Tim Kota di setiap pertemuan.Dari sisi struktural, perubahan yang dilakukan adalah membentuk dua
tingkat keanggotaan; dimana anggota-anggota kunci, tujuh sampai delapan
orang yang memiliki tingkat keaktifan tinggi, membentuk suatu tim inti;
sementara anggota lain yang memiliki tingkatan lebih tinggi di pemerintahan
serta aktor-aktor politik akan tetap terlibat di dalam program ini lnamun lebih
memegang peranan sebagai tim penasihat. Hal ini telah terbukti efektif di
dalam pelaksanaan proses pengambilan keputusan dan menarik partisipasi
tanpa mengacuhkan pemangku kepentingan utama.
Perubahan Persepsi dan Sikap terhadap Perubahan IklimTerlepas dari masih perlu diyakinkannya sebagian kecil pemangku
kepentingan, baik di Semarang ataupun Bandar Lampung, mengenai
perubahan pola iklim selama beberapa dekade terakhir ataupun mengenai
dampak lingkungan negatif yang berpotensi mengancam penduduk
rentan di kedua kota tersebut; pembentukan Tim Kota terbukti telah dapat
meningkatkan kesadaran di kedua kota mengenai latar belakang ilmiah dari
perubahan iklim dan dampak lingkungan terkait, serta mengenai tindakan
adaptasi sebagai suatu strategi. Berdasarkan hasil wawancara, diketahui
bahwa sebagian besar orang lebih mengaitkan perubahan iklim dengan
mitigasi dibandingkan adaptasi.
Bandar Lampung The City Team in Bandar Lampung originally consisted of almost thirty
members, although now informants agree the number of active participantsis closer to ten. It does not meet regularly, although a proposal has been
recently put forward for monthly meetings. The City Team is led by the
Bappeda, which has been an active force in the project.
The leader of the team, Desti, aims to have at least a quorum (more than half)
at every meeting, rather than trying to convince everyone to attend every
time, which she believes i s unrealistic, “since everyone is busy.” Although she
has been largely successful in managing to get enough people in meetings
for discussions and decisions, she admits that the frequent switching of
participants, especially at the beginning, was a problem.
Semarang The City Team in Semarang has also evolved over time. It was originally
seated in and led by the Ministry of the Environment, and included around
thirty participants culled from relevant ministries, NGOs, and universities.
After one year the team conducted an evaluation, rst with Mercy Corps
facilitation in Jakarta, and then, when no conclusion was reached there,
internally.
The evaluation resulted in the City Team moving to Bappeda, which has
more power to convening other ministries. It also shifted from requesting
participants from each ministry or organization to requesting participants
by name, in order to reduce inconsistency in the team members. The City
Team also developed a dual-tier structure, in which key dedicated members
form a “core team” of around seven or eight who meet regularly, while
higher level and more inuential political players continue to be involved
on a less intensive basis as an “advisor team.” This has
proved effective in facilitating decision-making andinformed participation without alienating important
stakeholders.
Changing Attitudes To Climate Change While few if any stakeholders in either Semarang or Bandar Lampung need
convincing that there had been changes in climate patterns over the past
decade, or that the cities face serious environmental hazards that threaten
their most vulnerable residents, the formation of the City Team has helped
raise awareness both about the scientic background for these changes and
hazards, and about adaptation as a strategy. According to interviews, most
people relate climate change to mitigation rather than adaptation.
IV. Tim KotaCity Team
Tim Kota, dengan segala kelebihan maupun kekurangannya, merupakan inti dari program ACCCRN.
Menarik keterlibatan organisasi dan partisipan yang tepat sebagai bagian dari Tim Kota merupakan suatu
sistem kerjasama yang efektif antara pemerintah kota dengan program; selain juga tentunya menjadi kunci
di dalam keberlanjutan program tersebut. Namun di balik kelebihan ini, terdapat juga kemungkinan bahwa Tim
Kota menyimpan sendiri ilmu dan kapasitas yang mereka dapat, tanpa menyebarluaskan ilmu tersebut kepada
pihak-pihak lain di luar anggota Tim Kota.
The City Team is the heart of the ACCCRN program, and as such encapsulates its strengths and its limitations. Reaching the right structure and participants
on the City Team makes it a potent fulcrum between the program and the municipality, as well as a key player in the sustainability of the efforts. However, the
City Team can also concentrate knowledge and capacity, without doing enough to disseminate learnings outside of its members.
98 Studi Kasus pada Implementasi ACCCRN di Indonesia A Case Study of the ACCCRN Indonesia Implementation
-
8/19/2019 Climate Change Adaptation and Governance: A Case Study of the Asian Cities Climate Change Resilience Network Indonesia Implementation
6/17
TantanganTim Kota, sebagai struktur inti dari program ACCCRN, menghadapi berbagai
tantangan dan hambatan baik dalam proses internalnya – bagaimana
agar dapat berjalan dan berfungsi secara efektif sebagai suatu tim –
maupun dalam mencapai tujuan yang lebih luas – bagaimana cara untuk
meningkatkan posisi dan tingkat kepentingan kebijakan dan rencana terkait
perubahan iklim di pemerintahan kota.
Kedua tantangan ini merupakan hal yang sangat bermanfaat, tidak hanya
bagi proyek terkait perubahan iklim di masa yang akan datang, tetapi juga
untuk program/kegiatan lain yang mencoba untuk meintegrasikan pihak luar
(dari sisi keahlian dan pendanaan) ke dalam sistem pemerintahan kota (dari
sisi perencanaan dan pendanaan ).
Dalam kaitannya dengan proses, Tim Kota menghadapi tantangan yang
sama selayaknya program/kegiatan lain yang memberikan beban lebih
kepada staf pemerintahan untuk melaksanakan program/kegiatan tersebut
tanpa adanya gaji tambahan.
1. Tingginya tingkat perubahan anggota tim. Adanya agenda pekerjaan
yang lain serta perbedaan tingkat kepentingan mengakibatkan pertemuan
rutin Tim Kota acapkali dihadiri oleh peserta yang berbeda-beda. Akibatnya,
sulit untuk membangun tingkat pengetahuan yang setara di antara anggota
tim kota; seringkali waktu terbuang untuk memberikan penjelasan kepada
peserta baru.
Walaupun kedua Tim sama-sama menyadari isu ini, namun mereka memiliki
solusi yang berbeda. Pada kedua kasus, di dalam Tim Kota sendiri akhirnya
muncul suatu grup kecil berisikan partisipan yang memiliki ketertarikan
tinggi pada isu perubahan iklim. Di Bandar Lampung, kondisi ini diterima
dan grup kecil ini secara tersirat dianggap sebagai representasi dari Tim
Kota. Sementara di Semarang, Tim Kota dibagi lagi menjadi 2 grup, dimana
salah satunya – grup kecil – memiliki tingkat pertemuan yang lebih tinggi.
Kedua grup ini sama-sama meminta partisipan didaftarkan sebagai individu,
dan bukan meminta perwakilan dari dinas.
2. Tingginya tingkat perubahan dinas yang menjadi anggota Tim Kota. Seperti
halnya negara lain di dunia, staf pemerintah kota di Indonesia mengalami
rotasi/mutasi pekerjaan secara rutin. Hal ini mengakibatkan perubahan
keanggotaan; baik dari sisi i ndividu maupun dari sisi keberadaan perwakilan
suatu dinas; di dalam Tim Kota. Sebagai contoh, sepanjang keterlibatanya
di dalam Tim Kota, seorang staf pemerintahan di Bandar Lampung pernah
berdinas di Dinas Pekerjaan Umum, Dinas Perikanan serta Dinas Kesehatan.
Terlepas dari partisipasi aktif individu tersebut di dalam program, namun
sebagai akibat dari mutasi ini, Dinas Pekerjaan Umum tidak lagi memilikiperwakilan di dalam Tim Kota.
Kedua kota sampai saat ini belum mendapatkan solusi yang tepat untuk
menghadapi tantangan ini, walaupun keduanya menyadari akan pentingnya
transfer ilmu dari anggota tim kepada staf-staf lain di lingkungan dinas/
instansi mereka sehingga dapat membantu proses perpindahan tanggung
jawab.
3. Kurangnya keberagaman anggota Tim Kota. Kedua Tim Kota diketahui
tidak memiliki perwakilan yang cukup dari sektor swasta, dan keduanya juga
tidak melibatkan pemimpin masyarakat. Walaupun kedua pihak tersebut
dilibatkan di dalam aktivitas Shared Learning Dialogues, namun partisipasi
mereka di dalam Tim Kota juga akan memberikan efek positif.
4. Konik eksisting di antara anggota tim. Pada beberapa kasus, isu saling
curiga antara LSM dengan pemerintah ditengarai sebagai sesuatu hal yang
masih dapat diatasi, namun tentunya membutuhkan waktu. Fasilitator harus
dapat menyadari ketegangan antar pihak dan mencari cara untuk meredam
konik yang dapat terjadi.
Challenges/Pitfalls The City Team, as the core structure of the project, faces challenges both
in its own processes – how to be a functioning and effective group – and in
achieving its broader goals – how to raise the level of climate change policy
and planning in the municipality.
Both of these sets of challenges are instructive not only for future climate
change projects, but also for almost any initiative that seeks to integrate
outside expertise and funding with local government planning and budgets.
In terms of process, the City Teams faced the same challenges faced
by any initiative which asks government employees to take on additional
responsibilities without additional pay or prestige.
1. High turnover among members. With competing schedules and varying
levels of interest, ministries would often be represented by different
individuals in successive meetings. This made it difcult to build a standard
knowledge base across members and resulted in wasted time bringing new
people up to speed.
While both City Teams recognized this issue realistically, they have taken
slightly different approaches to dealing with it. In both cases, a smaller group
of participants with a strong interest in the issues emerged organically within
the City Team. In Bandar Lampung, this is accepted and used as a proxy
for the City Team implicitly. Semarang has explicitly created two separate
teams within the City Team, one of which meets more frequently. Both teams
also request participants by name, rather than requesting one person from
a given ministry.
2. High turnover among participating agencies. As in many countries,
Indonesia local government ofcials are rotated among ministries on a regular
basis. This can result in further turnover in the City Team – or, alternatively,
for members remaining on the City Team while ministries are no longer
represented. For example, one ofcial in Bandar Lampung has worked for
the Ministries of Public Works, Fisheries, and Health during his tenure on the
City Team. While his consistent participation on the team as an individual has
been positive, Public Works is no longer represented by anyone.
Neither city has found a satisfactory solution to this challenge, although
both mentioned the need to promote greater transmission of learnings from
City Team members to others in their ministries, which would facilitate more
productive handovers.
3. Not enough diversity in the City Team. Both City Teams were short on
private sector actors, and neither included community leaders. Although
those groups were invited to the Shared Learning Dialogues, the City Team
would also benet from their participation.
4. Pre-existing friction among members. In some cases, suspicion between
NGOs and the government was mentioned as something which could be
overcome, but which took some time to work out. Facilitators should try to
be aware of tensions among participants and nd ways to work through or
around them.
1110 Studi Kasus pada Implementasi ACCCRN di Indonesia A Case Study of the ACCCRN Indonesia Implementation
-
8/19/2019 Climate Change Adaptation and Governance: A Case Study of the Asian Cities Climate Change Resilience Network Indonesia Implementation
7/17
5. Rendahnya tingkat partisipasi anggota. Dikarenakan sifat pekerjaan
ACCCRN yang sukarela (tanpa dibayar) dan dengan tingkat prestis yang
kurang tinggi, maka tidaklah mengherankan jika program kesulitan dalam
mendapat tingkat partisipasi penuh dari anggota Tim Kota.
Strategi yang dirasa paling efektif untuk mengatasi masalah partisipasi ini
adalah dengan mengidentikasi orang-orang yang benar-benar tertarik
dan berdedikasi terhadap isu perubahan iklim serta, jika mungkin, orang-
orang yang senang bekerja sama. Di Semarang, ‘tim inti’ di dalam Tim Kota
bertemu secara informal setiap dua minggu sekali; seringkali di rumah
makan ataupun di rumah seorang anggota tim. Di Bandar Lampung, ketua
Tim Kota memberikan undangan pertmeuan formal disertai dengan sms
sebagai pengingat; mereka juga mempertimbangkan untuk mengadakan
pertemuan rutin, sebagai pengganti pertemuan ad-hoc¬.
Di luar berbagai tantangan yang dihadapi Tim Kota agar dapat berfungsi,
ada satu tantangan lain yang perlu diatasi, yaitu keefektifan tim ini sebagai
suatu kesatuan yang dapat mendorong peningkatan kesadaran terhadap
perubahan iklim serta mendorong perencaan langkah adaptasi.
6. Kurangnya kapasitas dan lemahnya peningkatan kapasitas. Keinginan
untuk belajar lebih banyak lagi, khususnya mengenai topik i lmiah, merupakan
hal yang dikemukakan oleh anggota Tim Kota di kedua kota. Secara umum,
mereka berpendapat bahwa proses peningkatan kapasitas yang diberikan
oleh program ini kurang mencukupi untuk menjalankan tugas-tugas yang
harus mereka lakukan; misalnya memilih proyek percontohan yang sesuai
berdasarkan dampak perubahan iklim dan menyampaikan informasi kepada
pemangku kepentingan yang lain. Kurangnya kapasitas juga bisa dilihat dari
desain proyek serta persiapan proposal proyek di Bandar Lampung, yang
kemudian berdampak negatif pada pelaksanaan ACCCRN di kota tersebut
manakala proposal yang diajukan tidak didanai oleh Rockefeller Foundation.
Perlu tersirat di dalam pendanaan dan perencanaan, bahwasanya
peningkatan kapasitas memerlukan lebih dari sekali presentasi atau
lokakarya, terutama apabila berkaitan dengan tema yang di luar bidang
kerja peserta (misal tema analisa ilmiah untuk orang-orang yang tidak
berkecimpung di bidang tersebut).
7. Kurangnya penyebaran informasi dan partisipasi, di luar Tim Kota. Selain
dari Shared Learning Dialogues (akan didiskusikan di bagian selanjutnya),
ACCCRN tidak memiliki suatu struktur formal untuk menyebarkan
pengetahuan atau mendorong partisipasi di luar Tim Kota; baik untuk
instansi pemerintah, LSM atau universitas atau bahkan untuk masyarakat
umum. Walaupun tingginya kekompakan di dalam internal Tim Kota, seperti
yang terjadi di Semarang, berujung kepada proses pengambilan keputusan
yang lebih efektif serta peningkatan komitmen di dalam tim; di lain pihak
hal ini juga berdampak pada terkonstrasinya pengetahuan dan partisipasi
di dalam tim tersebut. Proyek yang dilakukan menjadi lebih terfokus pada
membangun momentum dan ketertarikan akan isu perubahan iklim di dalam
Tim Kota, hampir melupakan inti dari program itu sendiri yaitu memberikan
manfaat bagi masyarakat yang terkena risiko.
Sekurang-kurangnya, harus ada suatu mekanisme untuk mempublikasikan
keputusan dan hasil yang diperoleh kepada masyarakat penerima manfaat
dan kota secara luas; diperlukan juga suatu struktur (seperti misalnya
agenda untuk melakukan training/pertemuan saat makan siang atau jumlah
presentasi yang harus dilakukan) yang dapat mendorong anggota Tim
Kota untuk membagi informasi yang mereka peroleh kepada dinas/instansi/
organisasi asal mereka. Selain daripada itu, aktivitas monitoring dan evaluasiketat dengan indikator yang jelas yang dilakukan di lingkungan penerima
manfaat dapat membantu dalam memfokuskan kegiatan pada kelompok
rentan, serta pada pencapaian penting dalam hal tingkat keterlibatan dan
keterkaitan para pemangku kepentingan.
Pencapaian
Pembentukan Tim Kota telah berhasil mencapai satu tujuan utama program
ACCCRN. Di Semarang, dan dengan lingkup yang lebih kecil di Bandar Lampung,
sekarang telah terbentuk suatu koalisi yang melibatkan berbagai pemangku
kepentingan yang bertujuan untuk mendorong dan menggiatkan adaptasi
perubahan iklim serta memiliki kesadaran akan potensi pendanaan untuk proyek
adaptasi perubahan iklim. Walaupun pada awalnya sebagian anggota tim telah
bekerja di bidang perubahan iklim atau telah mendorong aksi adaptasi,
5. Low participation by members. With ACCCRN requiring unpaid, not
particularly prestigious extra work, it is less surprising that it is difcult to get
full participation than that participation is as high as it is.
The most effective strategies to ensuring participation seem to be identifying
people who are already interested and invested in the issues discussed and,
if possible, people who enjoy working together. In Semarang, the “core team”
within the City Team meets informally every two weeks, often at a restaurant
or at the house of a team member. In Bandar Lampung, the City Team leader
has attempted to reinforce letters of invitation to meetings with sms reminders;
they are also considering instituting regular, instead of ad hoc, meetings.
Beyond the challenges in getting the City Team to function are the challenges
in its effectiveness as an entity promoting climate change awareness and
adaptation planning.
6. Lack of capacity and insufcient capacity building. A desire to learn
more and particularly to have more scientic capacity was expressed by
many City Team members in both cities. Almost universally, they feel that
the capacity building supported by the program is insufcient for the tasks
they are supposed to take on, such as selecting pilot projects based on
climate change adaptation impact and informing additional stakeholders. A
lack of capacity was also noted in project design and preparation of project
proposals in Bandar Lampung, which adversely affected the implementation
of ACCCRN when proposals were not funded by the Rockefeller Foundation.
There needs to be a recognition in budgets and planning that capacity building
will require more than one-off presentations or workshops, particularly when
it is on a subject out of the participants’ normal scope of work (e.g., scientic
analysis for non-scientists).
7. Lack of dissemination of information and participation beyond the City
Team. Other than the Shared Learning Dialogues (discussed below),
ACCCRN has no formal structure or provisions for disseminating knowledge
or encouraging participation beyond the City Team, either within government
ministries, NGOs, or universities, or to the general public. While greater
cohesiveness within the City Team, as in the case of Semarang, leads to a
more effective decision-making process and more commitment to the project,
it also tends to concentrate the knowledge and participation within that
group. The project became focused on creating momentum and excitement
around climate change adaptation within the City Team to the point of losing
sight of the at-risk communities that are supposed to be the beneciaries.
At a minimum, there should be some mechanism for publicizing decisions and
results to beneciaries and the city at large; there should also be a structure
(such as a calendar for brown-bags or required number of presentations)
that encourages City Team members to share information from their meetings
with their respective ministries or organizations. Beyond that, more stringent
M&E with clear i ndicators around beneciary populations can help to keep
the focus on vulnerable groups, as well as on the important and admirableaccomplishment of levels of engagement among stakeholders.
Success/Impact
The establishment of the City Team has succeeded in one of the key (if not
explicitly stated) objectives of the ACCCRN program. In Semarang, and to a
lesser extent in Bandar Lampung, there is now a moderately diverse coalition
of stakeholders dedicated to promoting climate change adaptation and
aware of potential funding availability for CCA projects. While some of the
members already worked on climate change issues or promoted adaptation,
the collaboration and the funding orientation are both results of this project.
1312 Studi Kasus pada Implementasi ACCCRN di Indonesia A Case Study of the ACCCRN Indonesia Implementation
-
8/19/2019 Climate Change Adaptation and Governance: A Case Study of the Asian Cities Climate Change Resilience Network Indonesia Implementation
8/17
namun adanya program ACCCRN ini telah membantu memfasilitasi
kolaborasi berbagai pihak serta memberikan orientasi mengenai
pendanaan.
Rekomendasi
1. 1. Undang pihak-pihak yang ingin berpartisipasi . Seperti halnya
pemilihan kota, mencari individu yang ingin menjadi bagian dari proyek
ini adalah kunci untuk membentuk suatu Tim Kota yang aktif dan memiliki
tingkat keterlibatan tinggi. Satu strategi yang sukses diimplementasikan
oleh ACCCRN adalah mengidentikasi seorang champion, seseorang
yang memang sudah memiliki ketertarikan pada isu perubahan iklim
dan berkomitmen untuk memajukan proyek; serta strategi mereka dalam
menggunakan kontak personal untuk mengidentikasi calon partisipan,
walaupun strategi ini selaiknya diiringi dengan metode perekrutan yang
lain untuk memastikan partisipan berasal dari kalangan yang lebih luas,
tidak hanya bergantung kepada jaringan sosial seseorang saja. Harus
diupayakan bahwa perwakilan dari suatu dinas tidak berubah-ubah
di setiap pertemuan, baik dengan cara mengundang individu tertentu
ataupun meminta dinas untuk mengirimkan satu orang perwakilan tetap.
2. Berupaya melibatkan berbagai jenis organisasi dan aktor
ke dalam Tim Kota. Satu poin utama dari Semarang dan
Bandara Lampung adalah kurangnya perwailan dari sektor
swasta di dalam Tim Kota. Terlepas dari kesulitan yang
diperoleh dalam menarik komitmen partisipan, namun
perlu diupayakan secara terus-menerus untuk menarik
ketertarikan dan keterlibatan partisipan dari kalangan yang
lebih luas.
3. Identikasi dinas yang dirasa paling efektif untuk memimpin Tim Kota.
Selain daripada perlunya seorang champion individu untuk mendorong
implementasi proyek, diperlukan juga suatu organisasi dengan posisi
yang kuat yang dapat menarik isu ini ke dalam pemerintahan kota . Salah
satu alasan keberhasilan Tim Kota ACCCRN dalam mengintegrasikan
prioritas mereka ke dalam proses perencanaan kota adalah karena Tim
Kota berada di bawah tanggung jawab Bappeda, dinas utama untuk
bidang koordinasi dan perencanaan, memberikan mereka legitimasi dan
akses langsung ke proses perencanaan, dan hingga tataran tertentu,
kewenangan di atas dinas-dinas lain. Pentingnya hal ini disampaikan
berulang kali oleh interviewee dengan memberikan contoh kasus yang
terjadi di Semarang, dimana memindahkan tanggung jawab atas Tim
Kota dari BLH ke Bappeda berdampak pada peningkatan tingkat
partisipasi dan efektivitas tim.
Susunan yang paling sesuai dan efektif untuk suatu Tim Kota akan
berbeda-beda tergantung kepada struktur dari pemerintah kota
itu sendiri, sehingga diperlukan suatu analisa terhadap pemangku
kepentingan sebagai metode identikasi.
4. Identikasi metode/alat dalam sistem birokrasi yang dapat
digunakan untuk membentuk Tim Kota secara formal. Di Indonesia,
ditandatanganinya surat keputusan penugasan oleh walikota
merupakan faktor utama yang mendorong staf pemerintahan untuk
melakukan pekerjaan tambahan terkait program ACCCRN. Tergantung
kepada konteksnya, penyusunan perjanjian formal dengan institusi lain,
seperti universitas, juga dapat dipertimbangkan. Pengakuan secara
formal mengenai eksistensi Tim Kota dan komitmen untuk mendukung
tim ini dapat membantu mendorong ketertarikan dan keterlibatan
institusi anggota tim dalam isu perubahan iklim.
5. Menyusun suatu struktur yang eksibel agar dapat melakukan
pengambilan keputusan dan penyertaan. Satu contoh
struktur yang dianggap sukses adalah yang terbentuk di
Semarang; dimana di dalam Tim Kota terdapat suatu tim inti
yang bertugas sebagai implementor utama yang bekerja
dengan didukung oleh tim penasihat yang melibatkan
pejabat dengan tingkatan lebih tinggi serta pihak lain yang
ditengarai sesuai sebagai anggota tim namun tidak memiliki
waktu yang cukup ataupun tingkat ketertarikan untuk memajukan
program ini. Namun tentunya masih ada bentuk-bentuk struktur yang
lain, selain daripada contoh dari Semarang ini.
6. Mendorong pelaksanaan pertemuan informal, sebagai tambahan dari
SLD. Hal ini terjadi setidaknya di Semarang, dimana adanya pertemuan
informal ditengarai telah membantu meningkatkan efektivitas pekerjaan
tim inti dari Tim Kota.
7. Mengidenti kasi dan menumbuhkan pemimpin. Champion ataupun
individu yang proaktif dan antusias dalam memajukan program dapat
Recommendations
1. Invite those who want to participate. As with the city selection, nding
the people who want to be a part of the project is key to establishing an
engaged, active City Team. One strategy successfully used by ACCCRN
is to identify a champion, someone who is already interested in climate
change issues and is committed to moving the project forward, and
using their contacts to identify participants, although that should be
combined with other methods of recruitment to ensure representation
broader than one person’s social network. Efforts should be made for
ministries to be represented by the same person at every meeting,
whether by inviting people by name or through specic requests to the
ministry to designate a single, non-interchangeable participant.
2. Work to engage a diverse range of organizations and
actors on the City Team. One point from both Semarang and
Bandar Lampung was the insufcient representation of the
private sector on the City Team. While it may be difcult to get
commitments for participation, continuing efforts should be
made to attract a broad spectrum of participants.
3. dentify the most effective ministry to take the lead on the city
team. In addition to having an individual champion to push forward
implementation, in order for the program to gain traction within municipal
government it needs to have a strong position within the system. Part
of the reason the ACCCRN City Teams were effective at embedding
their priorities in city planning processes was because the City Team
was based in the BAPPEDA, the key coordination and planning ministry,
giving it legitimacy, direct access to planning processes, and some
degree of convening authority over other ministries. The importance of
this was mentioned again and again by interviewees, and demonstrated
in the case of Semarang, where moving the City Team from the Ministry
of the Environment to BAPPEDA led to greater participation and
effectiveness.
The most appropriate and effective setting for the City Team will vary
depending on the structure of local government, so a stakeholder
analysis should be used to identify it.
4. Identify the bureaucratic necessary tools to formally establish the
City Team. In Indonesia, having the mayors sign a letter establishing
the City Team was a key factor in authorizing city employees to spend
their working time on it. Depending on the context, formal agreements
with other institutions, such as universities, could also be considered.
The formal recognition of the City Team and commitment to support it
can also promote greater interest and investment in climate change by
participating institutions.
5. Set out a structure exible enough to allow for decision-
making and inclusion. The Semarang model of having a core
group that does most of the actual work along with an advisor
group that includes higher-ranking ofcials and others who are
desirable as members but do not necessarily have the time or
interest to drive the process forward is one successful example,
but there are other possibilities.
6. Promote informal meetings in addition to the SLDs. At least in Semarang,
informal meetings helped the core group of the City Team to work more
effectively.
7. Identify and cultivate leaders. Champions or proactive, enthusiastic
individuals who drive the project forward can make the difference
1514 Studi Kasus pada Implementasi ACCCRN di Indonesia A Case Study of the ACCCRN Indonesia Implementation
-
8/19/2019 Climate Change Adaptation and Governance: A Case Study of the Asian Cities Climate Change Resilience Network Indonesia Implementation
9/17
menjadi suatu pembeda antara Tim Kota yang sukses dengan Tim Kota
yang bahkan kesulitan dalam mencapai tingkat kehadiran minimum.
Saat champion telah teridentikasi, mereka harus dilatih dan didorong
dengan memberikan tanggung jawab lebih serta semangat.
8. Mendedikasikan sumber daya untuk peningkatan kapasitas.
Peningkatan kapasitas haruslah menjadi salah satu fokus agar Tim
Kota dapat melaksanakan pekerjaan dengan efektif, serta tentunya
untuk memastikan bahwa tim ini dapat berkelanjutan dan berjalan
sendiri setelah program ACCCRN selesai. Lebih lanjut, di dalam kasus
ACCCRN, anggota tim memiliki keinginan yang tinggi untuk belajar lebih
banyak lagi; baik mengenai isu perubahan iklim maupun mengenai
pembelajaran Bahasa Inggris mengingat mereka perlu berpartisipasi
di acara lokakarya internasional. Peningkatan kapasitas, terutama yang
dilakukan oleh institusi/tenaga ahli yang sesuai yang menurut peserta
dapat membantu meningkatkan kapasitas mereka, dapat menjadi
insentif bagi partisipan untuk berpartisipasi serta meningkatkan loyalitas
mereka terhadap Tim Kota.
9. Menyusun struktur dan mekanisme penyebaran pengetahuan oleh Tim
Kota. Anggota Tim Kota harus didorong untuk menyebarluaskan ilmu
yang mereka dapat, serta hasil dan perencanaan yang telah dilakukan;
baik di lingkup internal dinas mereka maupun kepada masyarakat luas.
Insentif dan indikator harus disusun untuk memastikan bahwa fokus
Tim Kota adalah pada dampak yang terjadi, termasuk apabila dampak
tersebut di luar lingkup kerja mereka.
between a successful City Team and one that can barely complete the
minimal requirements for participation. When champions are identied,
they should be fostered and encouraged through greater responsibility
and encouragement.
8. Devote resources to capacity building. Capacity building needs to be
taken seriously for the City Team to do the work it is supposed to do, and
particularly for it to stand alone after the end of the project. Moreover,
at least in the case of ACCCRN, the members are eager to learn more,
whether about climate change issues or of the English language that
they need to participate in international owrkshops. Capacity building,
particularly if it is done by the appropriate experts or institutions and in
a way that gives it value in the eyes of the participants, can be a strong
incentive for participation in and loyalty to the City Team.
9. Set up structures and mechanisms for the City Team to disseminate their
knowledge. City Team members should be encouraged to disseminate
their learnings, results, and plans both within their home institutions and
to the wider public. Incentives or indicators should be set up to keep the
City Team focused on impacts beyond their own functioning.
Dalam program ACCCRN, setiap kota mengadakan lima kali SLD, dengan
tema yang difokuskan pada:
1. Pengenalan ACCCRN dan identikasi kerentanan kota;
2. Mendiskusikan hasil kajian kerentanan dan adaptasi;
3. Mendiskusi kan kemajuan proyek percontohan;
4. Menyusun concept note dan proposal adaptasi serta mengintegrasikan
strategi adaptasi perubahan iklim ke dalam Rencana Pembangunan
Jangka Menengah Daerah Kota; dan
5. Menyampaikan hasil dari studi sektoral serta mengidentikasi peluang
pendanaan.
Perubahan Persepsi dan Sikap terhadap Perubahan IklimShared Learning Dialogue merupakan jalan utama untuk menginformasikan
isu perubahan ikim kepada pemangku kepentingan di luar Tim Kota.
Sebagian besar pihak yang diwawancara merasa bahwa pelaksanaan
SLD telah membantu meningkatkan kesadaran akan isu perubahan iklim,
serta terutama menarik perhatian masyarakat akan pentingnya tindakan
adaptasi, dibandingkan tindakan mitigasi. Namun, inteviewee juga merasa
bahwa durasi pelaksanaan SLD terlalu singkat dan frekuensinya terlalu
rendah, sehingga sulit untuk mendapatkan pemahaman secara menyeluruh
mengenai isu ini.
V. Shared Learning Dialogues
Kegiatan Shared Learning Dialogues memiliki 2 peranan: sebagai alat utama dalam memperkenalkan,
berdiskusi dan mengintegrasikan informasi dari tenaga ahli baik eksternal maupun internal program; serta
sebagai struktur utama dalam menarik keterlibatan pemangku kepentingan lain, di luar Tim Kota.
Shared Learning Dialogues yang dilakukan oleh ACCCRN, walaupun terbukti sukses dalam pelaksanaannya, namun
memiliki kekurangan dalam hal pengelolaan jarak jauh; dimana tema dan waktu pelaksanaan acara seringkali diputuskan
oleh pihak manajemen yang berada di Jakarta ataupun oleh donor; sehingga dampak kegiatan ini terhadap peserta kurang optimal.
The Shared Learning Dialogues play a double role: they are the main vehicle for introducing, discussing, and assimilating information both from outside
experts and from within the program; and they are the primary structure for incorporating stakeholders beyond the City Team.
The ACCCRN Program Shared Learning Dialogues, though they were successfully implemented, suffered from remote management, with decisions about
topics and timing often decided either in Jakarta or by the donors, lessening their impact.
In the ACCCRN program, ve SLDs were held in each city, focusing on:
1. introducing ACCCRN and identifying vulnerabilities;
2. discussing the results of the VAA;
3. discussing pilot project progress;
4. developing further concept notes and adaptation proposals and
integrating climate change adaptation strategies into the city’s Medium-
Term Development Plan;
5. and delivering the results of the sector studies and identifying funding
opportunities.
Changing Attitudes To Climate ChangeThe Shared Learning Dialogues are the primary avenue for communicating
information about climate change to stakeholders beyond the City Team.
Most interviewees felt that the SLDs had raised awareness of climate change
issues, and particularly drawn attention to the importance of adaptation as
opposed to mitigation. However, interviewees also felt that the SLDs were too
short and too infrequent to promote real understanding.
1716 Studi Kasus pada Implementasi ACCCRN di Indonesia A Case Study of the ACCCRN Indonesia Implementation
-
8/19/2019 Climate Change Adaptation and Governance: A Case Study of the Asian Cities Climate Change Resilience Network Indonesia Implementation
10/17
Tantangan1. Menyeimbangkan kedalaman informasi. Durasi SLD yang terlalu
panjang ataupun frekuensinya yang terlalu sering akan menjadi beban
tersendiri bagi para pemangku kepentingan kota yang kemudian akan
menyebabkan menurunnya ketertarikan dan komitmen partisipan. Akan
tetapi, apabila SLD jarang diadakan akan mengakibatkan kurangnya
rasa memliki partisipan dan Tim Kota terhadap program ini, terlebih lagi
mereka juga akan kurang memahami isu perubahan iklim.Salah satu
tantangan utama bagi program ACCCRN adalah mencari cara yang
sesuai untuk memudahkan masyarakat luas, yang belum menjalani
pelatihan atau tidak memiliki latar belakang terkait, untuk mengakses
informasi mengenai perubahan iklim.
2. Berubah-ubahnya partisipan acara. Seperti halnya dengan yang terjadi
pada Tim Kota, para pemangku kepentingan tidak selalu mengirim
perwakilan yang sama ke setiap acara SLD. Di satu sisi, kondisi ini
bermanfaat dalam hal penyebaran informasi perubahan iklim ke
kalangan yang lebih luas; namun di lain pihak, para partisipan yanghadir secara rutin berpendapat bahwa hal ini mengakibatkan proses
diskusi terhambat dan pengambilan keputusan berjalan lebih lambat
dikarenakan sebagian besar peserta yang hadir tidak terlalu memahami
terminologi serta konsep yang disampaikan pada SLD-SLD sebelumnya.
3. Penyebaran informasi dan keputusan kepada pihak-pihak di luar
partisipan SLD. Program ACCCRN tidak memiliki suatu mekanisme untuk
menyebarkan topik atau hasil dari SLD kepada kalangan luas di luar
peserta kegiatan, dan terkadang institusi mereka; sehingga seringkali
pemangku kepentingan lainnya di kota, selain dari peserta kegiatan,
tidak mengetahui mengenai SLD ataupun hasilnya. Mendapatkan suatu
mekanisme yang efektif dan hemat biaya untuk menyebarkan informasi
mengenai SLD ke seluruh masyarakat kota akan dapat berdampak
pada meningkatnya kesadaran masyarakat akan perubahan iklim serta
adanya dukungan yang lebih besar terhadap kegiatan adaptasi.
PencapaianSLD telah berhasil memberikan suatu struktur, sampai tingkatan tertentu,
untuk program ACCCRN, dengan memberikan peluang untuk menyusun
jadwal kegiatan yang jelas dan teratur untuk pelaksanaan seluruh rangkaian
program. Secara umum, kegiatan ini juga berhasil dalam meningkatkan
kesadaran masyarakat akan perubahan iklim; serta meningkatkan pamor
program ACCCRN secara khususnya.
Rekomendasi1. Penggunaan pendapat masyarakat lokal. SLD harus didesain agar dapat
mengoptimalkan pendapat masyarakat lokal; untuk memastikan bahwa
solusi yang didapat dilakukan untuk mengatasi isu yang dirasakan oleh
masyarakat lokal, maupun yang terlihat oleh orang luar. Hal ini akan
membantu meningkatkan rasa kepemilikan serta partisipasi masyarakat
terhadap program.
2. Mekanisme penyebaran hasil dan informasi selain SLD. Pamet, poster,
SMS, iklan baris, radio atau metode lain yang dianggap sesuai untukkota tersebut; harus dicari dan ditentukan dalam rangka menyebarkan
informasi mengenai dan hasil SLD ke seluruh kota. Hal ini akan dapat
meningkatkan pamor isu perubahan iklim di kota, dan menarik dukungan
untuk pelaksanaan kegiatan dan proyek percontohan terkait.
Challenges/Pitfalls1. Balancing depth of information. Too long or frequent SLDs will be a burden
to stakeholders and probably outlast the interest and commitment of
participants. However, too few SLDs leave both participants and the City
Team lacking ownership of the process and without a thorough enough
understanding of climate change issues. One of the key challenges for
the program is to make climate change information accessible to people
without training or background in science.
2. Inconsistent participation. As with the City Team, stakeholders did not
always send the same representatives to participate in subsequent SLDs.
While this has the advantage of exposing more people to information
about climate change issues, those participants who did attend regularly
found that it slowed decisions and hampered discussions because ofthe large percentage of people who were not familiar with terminology
and concepts from previous SLDs.
3. Disseminating information and decisions beyond participants. The
ACCCRN program lacked any mechanism for disseminating the topics
or the results of the SLDs beyond immediate participants and in some
cases their institutions, so it is unlikely that many in the cities other
than the stakeholders who participated were aware of the SLDs or
their results. Finding an effective, low-cost mechanism for transmitting
information about the SLDs city-wide would go a long way to raising
awareness of climate change issues and garnering broader support for
adaptation initiatives.
Success/Impact The SLDs succeeded in giving the program a degree of structure that it
might not otherwise have had, setting clear dates for moving the program
through each stage of progress. They raised some degree of awareness
about climate change issues in general and raised the prole of the ACCCRN
program in particular.
Recommendations 1. Use of local input. The SLDs should be designed with as much local input
as possible, to make sure that they are addressing locally perceived
needs for information, as well as those needs seen from outside. This
will help to promote a sense of ownership and increased participation.
2. Some mechanism for dissemination of results and information beyond the
SLDs. Pamphlets, posters, text messages, newspaper advertisements,radio, or some other locally appropriate method should be determined
to spread information from the SLDs citywide. This will help to further
raise the prole of climate change issues in the city, rallying support for
initiatives and pilot projects.
1918 Studi Kasus pada Implementasi ACCCRN di Indonesia A Case Study of the ACCCRN Indonesia Implementation
-
8/19/2019 Climate Change Adaptation and Governance: A Case Study of the Asian Cities Climate Change Resilience Network Indonesia Implementation
11/17
VAA untuk program ACCCRN tidak hanya dilakukan oleh Mercy Corps,
tetapi juga melibatkan organisasi mitra lokal lainnya, yaitu Urban and
Regional Development Institute (URDI) dan Center for Climate Risk and
Opportunity Management for Southeast Asia and the Pacic (CCROM)
dengan kerjasama dengan ISET. Setiap institusi di atas melaksanakan kajian
untuk lingkup yang berbeda, dimana hasilnya kemudian akan dikompilasi
ke dalam satu dokumen Kajian Kerentanan (VA) untuk setiap kota. Mercy
Corps bertugas melaksanakan Kajian Kerentanan Berbasis Komunitas,
URDI melaksanakan Kajian Pemerintahan, sementara CCROM menyusun
Pemetaan dan Analisa Teknis serta bertanggung jawab menggabungkan
seluruh hasil kajian menjadi sebuah dokumen. Pemetaan ini menghadapi
berbagai tantangan, dimana masyarakat lokal beranggapan bahwa hasilnya
tidak mencerminkan kenyataan di lapangan. Dalam proses penyusunannya,
CCROM menggunakan data dari tingkat nasional yang tidak ter-update, dan
bukan data yang lebih baru dari tingkat lokal; mereka juga tidak melakukan
validasi terhadap informasi yang didapat di lapangan, sehingga hasilnya
dipermasalahkan.
Perubahan Persepsi dan Sikap terhadap Perubahan IklimWalaupun VAA dapat memberikan informasi mengenai sisi ilmiah dari
perubahan iklim dan potensi dampak yang mungkin dialami suatu lokasi
spesik, sebagian besar partisipan berpendapat bahwa metode dan cara
penyampaian informasi tersebut kurang tepat. Lebih lanjut, lemahnya
mekanisme penyampaian informasi menyebabkan VAA dan hasilnya hanya
diketahui oleh kalangan terbatas.
Tantangan1. Membuat informasi yang ada mudah diakses dan dipahami. Salah satu
tantangan utama program ini adalah menjembatani ‘gap’ antara ahli iklim
dengan partisipan lokal yang sedikit atau tidak memiliki latar belakang
ilmiah ataupun isu iklim. VAA harus menjadi kunci dalam mencapai hal
ini, namun tentunya diperlukan upaya untuk menerjemahkan hasil dari
kajian ke dalam bahasa dan presentai yang dapat dipahami oleh orang
awam.
2. Mendapatkan informasi yang sesuai. Di kedua kota, partisipan merasa
bahwa hasil VAA tidak mencerminkan kondisi di lapangan. Di Semarang,
VAA disusun menggunakan data statistik nasional yang tidak ter-updatetanpa melakukan verikasi terlebih dahulu di lapangan, walaupun
kota sendiri sudah memiliki data statistik terbaru untuk tingkat kota.
Walaupun kondisi ini bisa dikatakan merupakan kekurangan dari mitra
yang melaksanakan VAA; namun hal ini juga merupakan pengingat
bahwa proses pengumpulan dan validasi data, walaupun menelan
biaya yang tinggi dan membutuhkan waktu yang lama, merupakan hal
yang penting dan membutuhkan pendapat lokal.
3. Menentukan informasi apa yang digunakan. Dalam kasus dimana VAA
tidak mencerminkan kenyataan di lapangan, keputusan mengenai
proyek percontohan dilakukan berdasarkan pendapat lokal, dan bukan
data. Walaupun kondisi ini didorong oleh adanya masalah penjadwalan,
dimana proyek percontohan ditentukan sebelum VAA selesai disusun;
hal ini memberikan contoh akan pentingnya informasi lokal, terlepas
dari digunakannya analisa secara ilmiah untuk isu ini.
4. Penyebaran informasi. Seperti halnya SLD, tidak ada mekanisme untuk
menyebarkan hasil SLD kepada pihak-pihak di luar partisipan, yaitu
Tim Kota dan pemangku kepentingan yang menghadiri SLD saat VAA
dipresentasikan.
VI. Kajian Kerentanan dan AdaptasiVulnerability and Adaptation Assessment
Kajian Kerentanan dan Adaptasi (VAA) merupakan basis ilmiah bagi penentuan dan pelaksanaan proyek
percontohan. Bahaya, kerentanan, aset dan opsi adaptasi ditentukan berdasarkan hasil analisa ilmiah
para ahli menggunakan konteks lokal.
Di dalam program ACCCRN, VAA dilaksanakan oleh organisasi mitra, yaitu CCROM. Terlepas dari hasil yang
dicapai oleh VAA, namun sebagian partisipan merasa bahwa kearifan lokal kurang dipertimbangkan di dalam kajian
ini. Selain itu, disampaikan juga bahwa penyusunan VAA menggunakan data/informasi yang tidak ter-update, sehingga
beberapa kesimpulan yang diambil dirasa kurang sesuai.
The Vulnerability and Adaptation Assessment (VAA) forms the scientic basis for the selection, and implementation, of the program’s
pilot projects. It should apply expert analysis to the local context to determine hazards, vulnerabilities, assets, and adaptation options.
In the ACCCRN program, the VAAs were carried out by partner organization CCROM. While the VAAs achieved some results, many
participants felt that they did not use enough local knowledge, and that a reliance on outdated information led to some errors in their
conclusions.
The VAAs for the ACCCRN project were conducted not only by Mercy Corps,
but also by local partners Urban and Regional Development Institute (URDI)
and the Center for Climate Risk and Opportunity Management for Southeast
Asia and the Pacic (CCROM) in coordination with ISET. Each institution
implemented a different assessment, and the results were then collated into
a single VA document for each city. Mercy Corps carried out a Community-
Based Vulnerability Assessment, URDI implemented a Governance
Assessment, and CCROM did a Mapping and Technical Analysis and
was also responsible for compiling all assessments’ results into a single
document. However, the mapping caused some difculties, as community
members complained that it did not reect the reality on the ground. CCROM
used outdated national data, rather than using more recent local data, and
did not validate their information in the eld, leading to signicant problems
with the results.
Changing Attitudes To Climate Change While the VAA provided information on climate science and predictions
of future impacts specic to the location, most participants felt that it was
not presented in an accessible way. In addition, the lack of dissemination
mechanism limited the number of people aware of the VAA and its results.
Challenges/Pitfalls 1. Making the information accessible. One of the overarching challenges
of the program is bridging the gap between climate experts and local
participants with little or no background in science or climate issues.
The VAA should be a key step in achieving this, but that requires that
effort be put into adjusting ndings into a language and presentation
that is accessible for the untrained.
2. Getting the right information. In both cities, participants felt that the
VAA did not accurately reect local conditions. In Semarang, the VAA
implementer used outdated national statistics, without checking themin the eld, although there were district-level statistics that were more
recent. While this can be attributed to poor performance of the partner
implementing the VAA, it is also a reminder that data collection and
validation, while expensive and time-consuming, is important and
requires local input.
3. Determining what information to use. In the cases where the City Team
members felt that the VAA did not reect the reality of the situation on
the ground, the pilot project decisions reect the local understanding,
rather than the data. While this was facilitated by the fact that, due to
scheduling issues, the pilot projects were selected before the VAA was
completed, it highlights the need to prioritize local information, while
using scientic expertise to analyze it.
4. Disseminating the information. As with the SLDs, there was no mechanism
for propagating the results of the VAA beyond the immediate participants,
primarily the City Team and those stakeholders who attended the SLD
where the VAA was presented.
2120 Studi Kasus pada Implementasi ACCCRN di Indonesia A Case Study of the ACCCRN Indonesia Implementation
-
8/19/2019 Climate Change Adaptation and Governance: A Case Study of the Asian Cities Climate Change Resilience Network Indonesia Implementation
12/17
5. Penjadwalan kegiatan. Dalam kasus ACCCRN, jadwal yang padat
menyebabkan proyek percontohan ditentukan sebelum selesainya
VAA. Walaupun hal ini mengurangi masalah dalam hal menentukan area
prioritas, apakah area yang diidentikasi sebagai daerah rentan oleh
VAA yang didasarkan atas informasi yang tidak ter-update¬ atau area
yang menurut anggota Tim Kota pada kenyataannya memang berisiko.
Hal ini juga mengeliminasi sebagian pembenaran mengenai VAA dan
kegunaannya. Penjadwalan yang lebih realistis akan memberikan
kesempatan bagi pelaksanan untuk mengumpulan dan menganalisa
data sebelum pengambilan keputusan.
PencapaianTerlepas dari kelemahan CCROM dalam melakukan VAA, Tim Kota tetap
dapat menggunakan hasil dari kajian tersebut secara langsung ataupun
adaptasinya sebagai dasar untuk proyek percontohan tahap kedua serta
pemilihan studi sektoral. Data dari VAA juga dapat digunakan untuk
mempromosikan proyek percontohan serta program ACCCRN sendiri.
Proyeksi akan dampak di masa yang akan datang, pada khususnya, cukup
mempengaruhi para pemangku kepentingan dan memberikan kesempatanuntuk dilakukannya perencanaan jangka panjang yang lebih matang.
Rekomendasi1. Menggunakan kearifan lokal dan mengumpulkan data konkrit di
lapangan. Berdasarkan pengalaman dari program ACCCRN, diketahui
bahwa penggunaan data nasional tanpa melakukan verikasi di lapangan
dapat menyebabkan adanya perbedaan antara hasil kajian dengan
realita yang ada, serta menurunkan rasa kepemilikan dan ketertarikan
yang dimiliki pemangku kepentingan lokal terhadap dokumen VAA.
Walaupun pada dasarnya VAA harus bermanfaat dalam meningkatkan
kapasitas sumber daya lokal, tetapi proses penyusunannya juga harus
mempertimbangkan kearifan lokal; baik melalui praktik di lapangan,
maupun dengan melibatkan pemangku kepentingan lokal utama ke
dalam suatu tim yang dipimpin oleh tenaga ahli yang kuat.
2. Cara penyampaian informasi yang mudah dipahami. Hasil VAA haruslah
mudah dipahami oleh pemangku kepentingan lokal; setiap bagiannya
perlu dicermati. Isi dokumen mungkin tidak hanya semata diterjemahkan
ke Bahasa Indonesia, tetapi juga ke dalam bentuk bahasa yang dapat
dimengerti oleh orang awam; mungkin perlu disertai dengan diagram/
gambar atau pembuatan video atau membuat suatu ringkasan dokumen
selain daripada dokumen asli yang lebih komprehensif. Memahami
kebutuhan masyarakat dan menerjemahkan hasil ilmiah ke dalam
bahasa masyarakat awam harus menjadi bagian dari lingkup kerja
kegiatan penyusunan VAA.
3. Mengintegrasi berbagai komponen program. Apabila VAA harus
dilakukan oleh beberapa organisasi, maka proses pengintegrasian VAA
ke dalam rangkaian program harus dilakukan dengan cermat, termasuk
dalam hal mekanisme pengawasan dan akuntabilitas.
4. Penyebaran informasi mengenai program. Dokumen VAA merupakan
alat penggerak dan advokasi yang berharga, sehingga mekanisme
penyebaran informasi yang sesuai dengan konteks ini harusdirencanakan dan menjadi bagian dari dokumen VAA.
5. Timing. In the case of ACCCRN, a compressed timeframe meant that
the pilot projects were selected before the VAA was completed. While
this removed the problematic decision over whether to prioritize the
areas identied as vulnerable based on the outdated information in the
VAA or the areas which City Team members felt were visibly more at risk,
it also removed some of the justication for and usefulness of the VAA.
Realistic timeframes should allow for data to be collected and analyzed
before decisions are made.
Success/Impact Despite the weaknesses in CCROM’s implementation of the VAAs, the City
Teams were able to use the results, or their adaptation of the results, for the
second round of pilot projects, as well as the selection of sector studies.
The VAAs also provide useful data for promoting the pilot projects and
the program itself. The projections of future impacts, in particular, made
an impression on stakeholders and allowed for more concrete long-term
planning.
Recommendations 1. Include local knowledge and on-the-ground data collection. The
experience of the ACCCRN program shows that using national data
without eld validation is likely to result in disparities between assessment
results and reality, as well as reducing the sense of ownership and
investment that local stakeholders feel in the report. While the VAA must
add value beyond what local resources are capable of, it must also
take into account the value of local knowledge, either through extensive
eldwork or, ideally, by including key local stakeholders on a team with
strong expert leadership.
2. Present information in an accessible way. In each context, care should
be taken so that the results of the VAA are understandable for local
stakeholders. This may mean not only translation into local language,
but into simple local language; it may require including diagrams, or
creating a video, or providing a concise summary in addition to more
extensive material. Understanding the needs and translating the
scientic results into layman’s terms should be part of the scope of work
for the VAA.
3. Integrate program components. If the VAA must be done by a separate
organization, care should be taken to integrate it with the rest of the
program, including monitoring and accountability structures.
4. Disseminate program information. The VAA report is a valuable
mobilization and advocacy tool, and dissemination methods appropriate
for the context should be planned for the report.
2322 Studi Kasus pada Implementasi ACCCRN di Indonesia A Case Study of the ACCCRN Indonesia Implementation
-
8/19/2019 Climate Change Adaptation and Governance: A Case Study of the Asian Cities Climate Change Resilience Network Indonesia Implementation
13/17
Program ACCCRN memberikan peluang pendanaan untuk beberapa proyek
percontohan, namun mensyaratkan agar proyek-proyek yang diusulkan dari
berbagai kota di tingkat regional berkompetisi untuk mendapatkan dana
tersebut. Walaupun kota partner di Indonesia berhasil mendapat pendanaan
untuk beberapa proyek percontohan di tahap pertama; namun pada tahap
kedua tidak ada usulan proyek yang disetujui; dan saat penulisan dokumen
ini dilakukan, kedua kota di Indonesia sedang mengajukan proposal
proyek percontohan untuk tahap ketiga. Proyek yang telah dilaksanakan di
Indonesia adalah:
Bandar Lampung:
1. Program Participatory Design Adaptasi Ketahanan Masyarakat
Kelurahan Kangkung Dan Kota Karang Kota Bandar Lampung terhadap
Perubahan Iklim: peningkatan kesadaran dan pelatihan daur ulang serta
penyediaan air bersih;
2. Peningkatan Kapasitas Masyarakat di Kelurahan Panjang Selatan
terhadap Dampak Perubahan Iklim: peningkatan kesadaran, rehabilitasi
lahan dan penyediaan air bersih;
Semarang:
1. Proyek Rintisan Kredit Sanitasi Pemukiman Berbasis Komunitas Untuk
Mengantisipasi Perubahan Iklim Pada Tingkat Perkotaan Di Kelurahan
Kemijen Kecamatan Semarang Timur Kota Semarang: pinjaman untuk
meningkatkan fasilitas sanitasi di permukiman yang rawan terhadap
tanah longsor.
2. Model Penataan Lahan untuk Meminimalisasi Bencana di Kelurahan
Sukorejo Kecamatan Gunungpati Semarang: Terasering, biopori dan
sumur resapan;
3. Upaya Adaptasi oleh Masyarakat di Kawasan Pesisir Tapak Tugurejo
sebagai Bentuk Ketahanan Masyarakat dalam Menghadapi Dampak
Perubahan Iklim: penahan gelombang dan konservasi tanaman bakau
4. Adaptasi terhadap Dampak Perubahan Iklim (Tanah Longsor dan Puting
Beliung) di Kelurahan Tandang, Kota Semarang: penanaman untuk
mencegah tanah longsor.
Proyek percontohan di atas memiliki tingkat pencapaian yang bervariasi.
Perubahan Persepsi dan Sikap terhadap Perubahan IklimSebagian besar masyarakat yang diwawancara hanya berpartisipasi dalam
pelaksanaan proyek percontohan dan tidak mengikuti SLD, sehingga
program ini tidak terlalu banyak memberikan informasi baru mengenai
perubahan iklim kepada mereka. Proyek percontohan yang dilakukan dirasa
bermanfaat dalam memberikan solusi untuk isu aktual di lingkungan sekitar
mereka, seperti misalnya banjir dan tanah longsor, dan keterlibatan mereka
di dalam proyek ini tidak perlu didorong oleh suatu bukti ilmiah. Walaupun
informasi baru yang mereka dapatkan sangat minimal, namun proyek-proyek
tersebut ditengarai telah mampu meningkatkan kesadaran masyarakan akan
pentingnya dan peluang pelaksanaan aksi adaptasi, dibandingkan mitigasi;
menunjukkan keterkaitan konsep perubahan iklim dengan aksi-aksi yang
praktis dan rendah biaya untuk mengatasi dampaknya.
Studi sektoral memiliki peranan yang sama dengan VAA atau SLD;
dimana ketiganya tidak memiliki strategi atau mekanisme yang jelas untuk
penyebaran informasi di luar lingkup Tim Kota.
Tantangan1. Mengusulkan proyek yang aplikatif dan dapat diterima oleh donor.
Memperoleh persetujuan pendanaan dari Rockefeller Foundation untuk
proyek percontohan merupakan salah satu tantangan utama bagi Tim
Kota Semarang dan Bandar Lampung, terutama pada tahap kedua dan
ketiga. Hal ini tidak hanya menunjukkan perlunya peningkatan kapasitas
Tim Kota serta perlunya dokumen VAA yang lebih informatif, namun juga
mengindikasikan perlunya kriteria yang jelas untuk pendanaan proyek
percontohan serta dukungan untuk hal ini. Berdasarkan hasil monitoring
terhadap keseluruhan proses ACCCRN yang dilakukan oleh konsultan
yang dikontrak oleh Rockefeller Foundation, salah satu kekur angan yang
dapat terlihat adalah tidak semua proyek percontohan yang dilaksanakan
memenuhi denisi adaptasi perubahan iklim menurut pendapat donor.
VII. Proyek Percontohan dan Studi SektoralVulnerability and Adaptation Assessment
Di Bandar Lampung, Studi Sektoral dilakukan untuk sektor drainase dan limbah padat; sementara di
Semarang untuk sektor drainase, erosi dan dampak ekonomi dari banjir.
In Bandar Lampung, Sector Studies were done on drainage and solid waste; in Semarang on drainage, erosion,
and the economic impact of ooding.
The ACCCRN program included some funding for pilot projects, but
required that additional projects compete for a pot of funds available to all
participating cities across the region. Although the Indonesian cities were
able to implement several pilot projects in the rst round of proposals, they
had none approved for the second, and were submitting proposals for
the third at the time of this study. The projects that had been undertaken
included:
Bandar Lampung:
1. Society Endurance Adaptation Design Participatory Program in
Kangkung and Kota Karang District Bandar Lampung City towards
Climate Change: Awareness raising and training on recycling and clean
water provision;
2. Capacity Building for Panjang Selatan Sub-district Community towards
Climate Change Impact: Awareness raising, land rehabilitation and
clean water provision;
Semarang:
1. Pilot Project Community Based Revolving Fund for