Download - Diktat Psd Ver 02
PENGOLAHAN SINYAL
DIGITAL
Penulis Tim Pengampu Mata Kuliah
0 20 40 60 80 100-40
-20
0
20
40
Magnitude (
dB
)
Frequency (Hertz)
0 0.2 0.4 0.6 0.8 1-1
-0.5
0
0.5
1
Wavefo
rm
Time (Seconds)
Click and drag waveform to change
fundamental frequency and amplitude
PENGOLAHAN SINYAL DIGITAL
Materi :
1. Sinyal dan sistem diskrit
2. Analisa Frekuensi
3. Sampling dan rekonstruksi sinyal
4. Transformasi – Z
5. Perencanaan Filter digital
6. Realisasi Filter digital
Pustaka :
1. Alan V. Oppenheim, R. W. Schafer “Discrete Time Signal Processing”,
Prentice Hall, second edition, 1999.
2. J. G. Proakis, “Digtital Signal Processing”, Prentice Hall,
3. Monson H. Hayes, “Digtital Signal Processing”, Schaum’s Outlines
Series, 1999.
4. L. C. Ludeman, “Fundamentals of Digital Signal Processing”, Harper &
Row, 1986.
Evaluasi :
1. Tugas : 10%
2. Kuis : 10%
3. UTS : 40%
4. UAS : 40%
Pengolahan Sinyal Digital
ADC
converter
DAC
converter
Sistem diskrit
𝐻(𝑒𝑗𝜔 )
𝑥𝑎(𝑡) 𝑥(𝑛) 𝑦(𝑛) 𝑦𝑎(𝑡)
𝑇 𝑇
𝑋𝑎(𝑗Ω) 𝑋(𝑒𝑗𝜔) 𝑌(𝑒𝑗𝜔) 𝑌𝑎 𝑗Ω
= 𝑌(𝑓) 𝑌𝑎 𝑓
= 𝑌(𝑓) 𝑋𝑎(𝑓)
CONTOH REALISASI
Blok Diagram DSK TMS320C6416T
DSK TMS320C6416T
Pengolahan Sinyal Digital, Bab I : Sinyal & Sistem Diskrit
Bab I - 1
Bab 1
Sinyal dan Sistem Diskrit
1.1 Pendahuluan
Pada bab ini kita akan mempelajari pengolahan sinyal digital dengan menekankan pada
notasi sinyal dan sistem diskrit. Pada bagian ini kita akan konsentrasi pada
penyelesaian permasalahan yang berhubungan dengan representasi sinyal, manipulasi
sinyal, sifat-sifat sinyal, klasifikasi sistem dan sifat-sifat sistem diskrit. Pada bagian ini
juga ditunjukkan bahwa sistem yang linier – time invariant (LTI), bila diberi input maka
outputnya akan berlaku penjumlahan konvolusi. Penjumlahan konvolusi dan Sifat-
sifatnya akan didiskusikan, begitu juga sistem diskrit yang dinyatakan dengan
persamaan beda akan dibahas pada bab ini.
1.2 Sinyal Diskrit
Sinyal diskrit didefinisikan sebagai deretan bilangan real atau kompleks yang diberi
tanda (indeks) yang menyatakan deretan waktu. Selanjutnya sinyal diskrit dinyatakan
sebagai fungsi variabel integer 𝑛 yang dinotasikan dengan 𝑥(𝑛). Secara umum sinyal
diskrit 𝑥(𝑛) merupakan fungsi waktu 𝑛. Sinyal diskrit 𝑥(𝑛) tidak didefinisikan untuk
nilai 𝑛 non integer. Sebagai ilustrasi sinyal diskrit 𝑥(𝑛) dapat dilihat pada gambar 1.1.
Gambar 1.1 Representasi sinyal diskrit 𝑥(𝑛)
Sinyal diskrit 𝑥(𝑛) diperoleh dari sinyal analog/kontinyu yang disampling dengan
analog-to-digital (A/D) converter dengan laju sampling 1/𝑇, dimana 𝑇 merupakan
periode sampling. Sebagai contoh sinyal suara yang mempunyai spektrum 0 – 3400 Hz
disampling dengan laju sampling 8 kHz. Sinyal analog 𝑥𝑎(𝑡) yang disampling dengan
periode sampling 𝑇 menghasilkan sinyal diskrit 𝑥(𝑛) dari sinyal analog 𝑥𝑎 𝑡 sebagai
berikut
𝑥 𝑛 = 𝑥𝑎(𝑛𝑇) (1.1)
0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 −1 −2 −3 −4 𝑛
Pengolahan Sinyal Digital, Bab I : Sinyal & Sistem Diskrit
Bab I - 2
1.2.1 Sinyal diskrit kompleks
Secara umum sinyal diskrit bisa bernilai kompleks. Dalam kenyataanya, pada beberapa
aplikasi, seperti pada sistem komunikasi digital, sinyal diskrit kompleks muncul secara
natural. Sinyal diskrit kompleks dapat dinyatakan dalam bentuk lain yaitu bagian real
dan bagian imajiner,
𝑥 𝑛 = 𝑎 𝑛 + 𝑗𝑏 𝑛 = 𝐑𝐞 𝑥(𝑛) + 𝑗𝐈𝐦 𝑥(𝑛) (1.2)
atau dalam bentuk kompleks polar, yaitu dalam magnitud dan fasanya,
𝑥 𝑛 = 𝑥(𝑛) exp[𝑗𝐚𝐫𝐠 𝑥(𝑛) ] (1.3)
Magnitud sinyal diskrit dapat diturunkan dari bagian real dan imajinernya sebagai
berikut:
𝑥(𝑛) = 𝐑𝐞2 x n + 𝐈𝐦𝟐x(n) (1.4)
Sedangkan fasa sinyal diskrit dapat diperoleh dengan menggunakan,
𝐚𝐫𝐠𝑥 𝑛 = 𝑡𝑎𝑛−1 𝐈𝐦𝑥(𝑛)
𝐑𝐞𝑥(𝑛) (1.5)
Jika 𝑥(𝑛) merupakan urutan kompleks, maka kompleks konjuget dinyatakan dengan
notasi 𝑥∗(𝑛), yang diperoleh dengan cara mengubah tanda pada bagian imajiner dari
𝑥(𝑛) atau tanda argumennya apabila dalam bentuk kompleks polar,
𝑥∗ 𝑛 = 𝐑𝐞 𝑥 𝑛 − 𝐈𝐦𝑥(𝑛) = 𝑥(𝑛) exp[−𝑗𝐚𝐫𝐠 𝑥(𝑛) ] (1.6)
1.2.2 Beberapa sinyal diskrit dasar
Ada empat sinyal diskrit dasar yang biasa digunakan pada pengolahan sinyal digital,
diantaranya sinyal impuls (unit sample), sinyal unit step, sinyal eksponensial dan sinyal
sinusoida.
Sinyal impuls dinotasikan dengan 𝛿(𝑛) dan didefinisikan
𝛿 𝑛 = 1 𝑛 = 00 𝑛 ≠ 0
(1.7)
Bentuk sinyal impuls dapat dilihat pada gambar 1.2.
Gambar 1.2 Bentuk sinyal impuls
1
0 𝑛
Pengolahan Sinyal Digital, Bab I : Sinyal & Sistem Diskrit
Bab I - 3
Sinyal unit step (satuan tangga) dinotasikan dengan 𝑢(𝑛) dan didefinisikan
𝑢 𝑛 = 1 𝑛 ≥ 00 𝑛 < 0
(1.8)
Terdapat hubungan antara sinyal impuls dengan sinyal unit step yaitu
𝛿 𝑛 = 𝑢 𝑛 − 𝑢(𝑛 − 1).
Bentuk sinyal unit step dapat dilihat pada gambar 1.3.
Gambar 1.3 Bentuk sinyal unit step
Sinyal eksponensial didefinisikan
𝑥 𝑛 = 𝑎𝑛 (1.9)
𝑎 merupakan bilangan real atau komplek. Dalam kasus ini 𝑎 bisa berupa 𝑒𝑗𝜔0
sehingga sinyal eksponensial menjadi 𝑥 𝑛 = 𝑒𝑗𝜔0𝑛 , dimana 𝜔0 merupakan
bilanagan real. Sinyal 𝑥(𝑛) tersebut dinamakan sinyal eksponensial kompleks
dan dapat dinyatakan dalam bentuk lain
𝑥 𝑛 = 𝑒𝑗𝜔0𝑛 = 𝑐𝑜𝑠𝜔0𝑛 + j𝑠𝑖𝑛𝜔0𝑛.
Sinyal eksponensial kompleks merupakan sinyal sinus dengan komposisi
komponen bagian real dan imajiner. Ilustrasi sinyal ekponensial dengan 𝑎 real
dapat dilihat pada gambar 1.4. Pada gambar 1.4 nilai 𝑎 = ½.
Gambar 1.4 Sinyal eksponensial real dengan 𝑎 = 1/2
1
𝑛 0 1 2 3 4
0 1 𝑛
2 3 4 5 6 7
1
1/2
1/4
1/8
𝑥 𝑛 = 1/2 𝑛
Pengolahan Sinyal Digital, Bab I : Sinyal & Sistem Diskrit
Bab I - 4
Sinyal sinus mempunyai bentuk umum sebagai berikut
𝑥 𝑛 = 𝐴. cos(𝜔0𝑛 + ∅) (1.10)
Dimana 𝐴, 𝜔0 , dan ∅ merupakan amplitudo sinyal, frekuensi digital dan fasa
sinyal. Sinyal sinus merupakan sinyal diskrit yang periodik dengan periode 2𝜋
sehingga kita cukup memperhatikan dalam domain frekuensi pada interval
−𝜋 ≤ 𝜔0 ≤ 𝜋 atau 0 ≤ 𝜔0 ≤ 2𝜋.
Periodesitas sinyal diskrit
Dalam kasus waktu diskrit, sinyal diskrit periodik bila memenuhi kondisi bahwa
𝑥 𝑛 = 𝑥(𝑛 + 𝑁) untuk semua 𝑛. Dimana 𝑁 adalah periode sinyal diskrit
(integer). Kondisi ini berlaku untuk sinyal sinus maka
𝐴. cos 𝜔0𝑛 + ∅ = 𝐴. cos(𝜔0𝑛 + 𝜔0𝑁 + ∅)
Sehingga harus memenuhi persyaratan bahwa
𝜔0𝑁 = 2𝜋𝑘 (1.11)
Dimana 𝑘 integer. Statemen tersebut berlaku juga untuk sinyal eksponensial
komplek 𝑥 𝑛 = 𝐶𝑒𝑗𝜔0𝑛 periodik dengan periode 𝑁 yang memenuhi syarat
𝑥 𝑛 = 𝑒𝑗𝜔0 (𝑛+𝑁) = 𝑒𝑗𝜔0𝑛 (1.12)
Sinyal eksponensial kompleks tersebut hanya berlaku untuk 𝜔0𝑁 = 2𝜋𝑘 seperti
pada pers (1.11) sehingga berlaku persamaan
𝜔0
2𝜋=
𝑘
𝑁 (1.13)
Dimana 𝑘/𝑁 merupakan bilangan rasional, 𝑘 merupakan jumlah siklus dalam
satu periode. Beberapa contoh sinyal diskrit periodik seperti ditunjukkan pada
gambar 1.5.
Pengolahan Sinyal Digital, Bab I : Sinyal & Sistem Diskrit
Bab I - 5
(a) Frekuensi digital 𝜔0 = 𝜋
(b) Frekuensi digital 𝜔0 = 𝜋/4
0 2 4 6 8 10 12 14 16-1
-0.8
-0.6
-0.4
-0.2
0
0.2
0.4
0.6
0.8
1
0 2 4 6 8 10 12 14 16-1
-0.8
-0.6
-0.4
-0.2
0
0.2
0.4
0.6
0.8
1
Pengolahan Sinyal Digital, Bab I : Sinyal & Sistem Diskrit
Bab I - 6
(c) Frekuensi digital 𝜔0 = 𝜋/5
Pada gambar 5.a terlihat bahwa bentuk sinyal diskrit dalam satu periode ada 2
sampling, sehingga sinyal tersebut memiliki periode 𝑁 = 2, sedangkan pada
gambar 5.b terlihat bahwa bentuk sinyal diskrit dalam satu periode ada 8
sampling, sehingga sinyal tersebut memiliki periode 𝑁 = 8. Pada gambar 5.c
bentuk sinyal diskrit terdapat 10 sampling dalam satu periode, sehingga sinyal
tersebut memiliki periode 𝑁 = 10, sedangkan pada gambar 5.d bentuk sinyal
diskrit terdapat 32 sampling dalam satu periode, sehingga sinyal tersebut
memiliki periode 𝑁 = 32 dan dalam satu periode memiliki 3 siklus.
Jika sinyal diskrit 𝑥1(𝑛) merupakan sinyal periodik dengan periode 𝑁1 dan sinyal
diskrit 𝑥2(𝑛) merupakan sinyal diskrit periodik dengan periode 𝑁2, maka sinyal
diskrit hasil penjumlahan
𝑦 𝑛 = 𝑥1 𝑛 + 𝑥2(𝑛)
akan selalu periodik dengan periode dasar
𝑁 =𝑁1. 𝑁2
gcd(𝑁1,𝑁2)
dimana gcd(𝑁1,𝑁2) artinya the greatest common divisor dari 𝑁1 dan 𝑁2. Teori ni
berlaku juga untuk perkalian dua sinyal periodik yaitu sinyal diskrit 𝑥1(𝑛)
dengan periode 𝑁1 dan sinyal diskrit 𝑥2(𝑛) dengan periode 𝑁2, maka sinyal
diskrit hasil perkalian
𝑦 𝑛 = 𝑥1 𝑛 .𝑥2(𝑛)
0 2 4 6 8 10 12 14 16-1
-0.8
-0.6
-0.4
-0.2
0
0.2
0.4
0.6
0.8
1
Pengolahan Sinyal Digital, Bab I : Sinyal & Sistem Diskrit
Bab I - 7
(d) Frekuensi digital 𝜔0 = 3𝜋/16
Gambar 1.5 Bentuk sinyal periodik untuk berbagai frekuensi digital
0 10 20 30 40 50 60 70-1
-0.8
-0.6
-0.4
-0.2
0
0.2
0.4
0.6
0.8
1
Pengolahan Sinyal Digital, Bab I : Sinyal & Sistem Diskrit
Bab I - 8
Contoh 1.1
Tentukan periode sinyal diskrit berikut :
a. 𝑥 𝑛 = cos(0.5𝜋𝑛)
b. 𝑥 𝑛 = cos(0.75𝜋𝑛)
c. 𝑥 𝑛 = 𝑒𝑗0.25𝜋𝑛
d. 𝑥 𝑛 = cos 0.5𝜋𝑛 + cos(0.75𝜋𝑛)
e. 𝑥 𝑛 = cos 0.5𝜋𝑛 . cos(0.75𝜋𝑛)
f. 𝑥 𝑛 = 𝑒𝑗𝜋𝑛
16 . cos(𝜋𝑛
17)
g. 𝑥 𝑛 = 𝑅𝑒 𝑒𝑗𝜋𝑛
12 + 𝐼𝑚 𝑒𝑗𝜋𝑛
18
Penyelesaian:
a. 𝜔0 = 0.5𝜋, maka periode sinyal diskrit 𝑁 sebagai berikut
𝑘
𝑁=
𝜔0
2𝜋=
0.5𝜋
2𝜋=
1
4
Periode dasar sinyal 𝑁 = 4 dan terdapat satu siklus dalam satu periode dasar.
b. 𝜔0 = 0.75𝜋, maka periode sinyal diskrit 𝑁 sebagai berikut
𝑘
𝑁=
𝜔0
2𝜋=
0.75𝜋
2𝜋=
3
8
Periode dasar sinyal 𝑁 = 8 dan terdapat tiga siklus dalam satu periode dasar.
c. 𝜔0 = 0.25𝜋, maka periode sinyal diskrit eksponensial kompleks 𝑁 sebagai
berikut
𝑘
𝑁=
𝜔0
2𝜋=
0.25𝜋
2𝜋=
1
8
Periode dasar sinyal 𝑁 = 8 dan terdapat satu siklus dalam satu periode dasar.
d. Pada soal tersebut merupakan penjumlahan dua sinyal periodik dengan
periode 𝑁1 = 4 dan 𝑁2 = 8 sehingga periode sinyal dasar sinyal hasil
penjumlahan adalah
𝑁 =𝑁1.𝑁2
gcd(𝑁1,𝑁2)=
4 . (8)
gcd(4,8)=
32
4= 8
e. Karena berlaku juga untuk perkalian dua sinyal diskrit maka periode dasar
hasil perkalian dua sinyal diskrit periodik dengan periode 𝑁1 = 4 dan 𝑁2 = 8
adalah 𝑁 = 8.
Pengolahan Sinyal Digital, Bab I : Sinyal & Sistem Diskrit
Bab I - 9
f. Pada soal tersebut merupakan perkalian dua sinyal periodik dengan periode
𝑁1 = 32 dan 𝑁2 = 34 sehingga periode sinyal dasar hasil perkalian adalah
𝑁 =𝑁1.𝑁2
gcd(𝑁1,𝑁2)=
32 . (34)
gcd(32,34)=
32 . (34)
2= 544
g. Pada soal tersebut merupakan perkalian dua sinyal periodik dengan periode
𝑁1 = 24 dan 𝑁2 = 36 sehingga periode sinyal dasar hasil perkalian adalah
𝑁 =𝑁1.𝑁2
gcd(𝑁1,𝑁2)=
24 . (36)
gcd(24,36)=
24 . (36)
12= 72
1.2.3 Operasi dasar pada sinyal diskrit
Pada buku ini beberapa operasi dasar pada pengoalahan sinyal digital ditinjau lagi
secara garis besar, diantaranya penjumlahan dua sinyal diskrit, perkalian dua sinyal
diskrit, perkalian skalar terhadap sinyal diskrit, refleksi (pantulan), dan pergeseran
waktu (penundaan/delay).
a. Penjumlahan dua sinyal diskrit
Proses penjumlahan dua sinyal diskrit 𝑥1(𝑛) dan 𝑥2(𝑛) dilakukan dengan cara
menjumlahkan level (harga) pada setiap sampling yang sama. Secara matematis dapat
dituliskan dengan persamaan
𝑦 𝑛 = 𝑥1 𝑛 + 𝑥2(𝑛) (1.14)
Sebagai ilustrasi dapat dilihat pada gambar 1.6. Harga level 𝑥1 0 = 1 dijumlahkan
dengan harga level 𝑥2 0 = 1 hasilnya 𝑦 0 = 2, berikutnya harga level 𝑥1 1 = 1/2
dijumlahkan dengan harga level 𝑥2 1 = 1/2 hasilnya 𝑦 1 = 1, dan seterusnya sampai
sampling terakhir, hasil penjumlahannya adalah sinyal diskrit 𝑦(𝑛).
Gambar 1.6 Proses penjumlahan dua sinyal diskrit
𝑛 0 1 2 3 4 5
𝑥1(𝑛)
1
1/2
𝑛 0 1 2 3 4 5
𝑦 𝑛 = 𝑥1 𝑛 + 𝑥2(𝑛)
2
1/2
1
3/2
1
𝑛 0 1 2 3 4 5
𝑥2(𝑛)
1
1/2
Pengolahan Sinyal Digital, Bab I : Sinyal & Sistem Diskrit
Bab I - 10
b. Perkalian dua sinyal diskrit
Proses perkalian dua sinyal diskrit 𝑥1(𝑛) dan 𝑥2(𝑛) dilakukan dengan cara mengalikan
level (harga) pada setiap sampling yang sama. Secara matematis dapat dituliskan
dengan persamaan
𝑦 𝑛 = 𝑥1 𝑛 .𝑥2(𝑛) (1.15)
Sebagai ilustrasi hasil perkalian sinyal diskrit 𝑥1(𝑛) dan 𝑥2(𝑛) yang ada pada gambar
1.6 dapat dilihat pada gambar 1.7. Level 𝑥1 0 = 1 dikalikan dengan harga level
𝑥2 0 = 1 hasilnya 𝑦 0 = 1, selanjutnya harga level 𝑥1 1 = 1/2 dikalikan dengan
harga level 𝑥2 1 = 1/2 hasilnya 𝑦 1 = 1/4, dan seterusnya sampai sampling terakhir,
hasil perkaliannya adalah sinyal diskrit 𝑦(𝑛).
Gambar 1.7 Hasil perkalian dua sinyal diskrit
c. Perkalian skalar
Proses perkalian skalar terhadap sinyal diskrit 𝑥(𝑛) dilakukan dengan cara mengalikan
level sinyal pada setiap sampling dengan bilangan pengali (konstanta). Secara
matematis dapat dituliskan dengan persamaan
𝑦 𝑛 = 𝑎. 𝑥 𝑛 (1.16)
Sebagai ilustrasi konstanta dimisalkan 𝑎 = 1/2 dan hasil perkalian skalar 𝑎 = 1/2
dengan 𝑥1(𝑛) yang ada pada gambar 1.6 dapat dilihat pada gambar 1.8. Setiap sampling
dari sinyal diskrit 𝑥1(𝑛) dikalikan dengan konstanta 𝑎 = 1/2.
Gambar 1.8 Hasil perkalian skalar dengan sinyal diskrit
𝑛 0 1 2 3 4 5
𝑦 𝑛 = 𝑥1 𝑛 . 𝑥2(𝑛)
1
1/2 1/4 1/4
1
𝑛 0 1 2 3 4 5
𝑦 𝑛 = 1/2. 𝑥1(𝑛)
1/2
1/4
Pengolahan Sinyal Digital, Bab I : Sinyal & Sistem Diskrit
Bab I - 11
d. Refleksi
Proses refleksi suatu sinyal diskrit 𝑥(𝑛) adalah merefleksikan sinyal tersebut dalam
domain waktu terhadap 𝑛 = 0. Secara matematis dapat dituliskan dengan persamaan
𝑦 𝑛 = 𝑥 −𝑛 (1.17)
Sebagai ilustrasi sinyal diskrit 𝑥1(𝑛) mengalami proses refleksi menjadi 𝑦 𝑛 = 𝑥1(−𝑛),
maka bentuk sinyal hasil refleksi dapat dilihat pada gambar 1.8.
Gambar 1.9 Hasil proses refleksi sinyal diskrit
e. Pergeseran waktu
Proses pergeseran waktu dilakukan dengan menggeser sinyal diskrit tersebut dalam
domain waktu sebesar nilai penggeser (integer). Bila nilai penggesernya positif maka
sinyal tersebut digeser ke kanan, begitu sebaliknya. Secara matematis dapat dituliskan
dengan persamaan
𝑦 𝑛 = 𝑥 𝑛 − 𝑏 (1.18)
Sebagai ilustrasi sinyal diskrit 𝑥1(𝑛) pada gambar 1.6 digeser kekanan sebesar 𝑏 = 2
sampling, hasilnya dapat dilihat pada contoh 1.10, artinya bahwa sinyal diskrit 𝑥1(𝑛)
mengalami delay 2 sampling.
Gambar 1.10 Hasil proses pergeseran waktu dengan delay 2 sampling
1.3 Sistem Diskrit
Sistem diskrit merupakan operator matematik atau transformasi sinyal input menjadi
sinyal lain (output) sesuai dengan karakteristik atau sifat sistem tersebut. Notasi sistem
diskrit secara umum adalah 𝑇[. ] seperti ditunjukkan pada gambar 1.11. Sinyal input
𝑛 2 3 4 5 6 7
𝑦 𝑛 = 𝑥1(𝑛 − 2)
1
1/2
1 0
𝑦 𝑛 = 𝑥1(−𝑛)
𝑛 0 −1 −2 −3 −4 −5
1
1/2
Pengolahan Sinyal Digital, Bab I : Sinyal & Sistem Diskrit
Bab I - 12
𝑥(𝑛) ditransformasi menjadi output 𝑦(𝑛) melalui transformasi 𝑇[. ]. Sebagai contoh
sistem diskrit yang dinyatakan dengan hubungan input-output seperti
𝑦 𝑛 = 𝑥 𝑛 + 0.5𝑦(𝑛 − 1) (1.19)
Sistem yang memiliki persamaan beda yang menyatakan hubungan input-ouput seperti
pada pers (1.19) menunjukkan bahwa sistem mempunyai algoritma seperti pada pers
(1.19), artinya bahwa output sistem 𝑦(𝑛) tergantung pada sinyal input 𝑥(𝑛) saat yang
sama ditambah dengan setengah kali output satu sampling sebelumnya. Sebagai contoh
bila diinginkan output pada saat 𝑛 = 1 yaitu 𝑦(1), maka output ditentukan oleh input
𝑥(1) ditambah dengan setengah kali 𝑦(0).
Gambar 1.11 Blok sistem diskrit secara umum
Berdasarkan proses yang dapat terjadi pada sistem diskrit, maka sistem diskrit
mempunyai beberapa sifat diantaranya:
1.3.1 Sistem tanpa memori (memoryless)
Sistem dikatakan tanpa memori jika output sistem pada saat 𝑛 = 𝑛0 tergantung pada
input saat yang sama yaitu 𝑛 = 𝑛0 .
Contoh 1.2.
Sistem diskrit mempunyai persamaan hubungan input-output 𝑦 𝑛 = 0.5.𝑥(𝑛)
merupakan sistem tanpa memori karena output sistem pada saat 𝑛 = 𝑛0 tergantung
pada input saat 𝑛 = 𝑛0 .
Sistem diskrit 𝑦 𝑛 = 𝑥 𝑛 + 0.2𝑥(𝑛 − 1) merupakan sistem dengan memori karena
output sistem tergantung pada input saat yang sama 𝑛 = 𝑛0 dan saat satu sampling
sebelumnya 𝑛 = 𝑛0 − 1.
1.3.2 Sistem linier
Sistem diskrit dikatakan linier jika berlaku sifat superposisi
𝑇 𝑎𝑥1 𝑛 + 𝑏𝑥2 𝑛 = 𝑎𝑇 𝑥1 𝑛 + 𝑏𝑇[𝑥2 𝑛 ] (1.20)
Artinya bila sistem diberi input 𝑎𝑥1(𝑛) maka keluarannya 𝑦1 𝑛 = 𝑎𝑇 𝑥1 𝑛 dan bila
sistem diberi input 𝑏𝑥2(𝑛) maka keluarannya 𝑦2 𝑛 = 𝑏𝑇 𝑥2 𝑛 . Apabila diberi input
jumlahan kedua sinyal input tersebut 𝑥12 𝑛 = 𝑎𝑥1 𝑛 + 𝑏𝑥2(𝑛) maka output sistem
𝑦12 𝑛 = 𝑦1 𝑛 + 𝑦2(𝑛). Secara visual dapat diilustrasikan pada gambar 1.12.
𝑇[. ]
𝑥(𝑛) 𝑦 𝑛 = 𝑇[𝑥 𝑛 ]
Pengolahan Sinyal Digital, Bab I : Sinyal & Sistem Diskrit
Bab I - 13
Gambar 1.12. Ilustrasi proses sistem linier
Selain sifat superposisi, terdapat syarat perlu yaitu bila inputnya nol, maka outputnya
nol. Artinya bila sistem tidak diberi input maka keluaran sistem tidak ada.
Contoh 1.3
Sistem diskrit dinyatakan dengan persamaan beda sebagai berikut
a. 𝑦 𝑛 = 2 + 0.2𝑥 𝑛 + 𝑥(𝑛 − 1)
b. 𝑦 𝑛 = 0.3𝑥 𝑛 + 0.5𝑥(𝑛 − 1)
Apakah sistem tersebut linier?
Penyelesaian:
a. Pertama kita beri input nol 𝑥 𝑛 = 0, dari persamaan sistem soal 1.3.a diperoleh
output 𝑦 𝑛 = 2. Jadi sistem tersebut tidak linier.
b. Pertama kita beri input nol 𝑥 𝑛 = 0, dari persamaan sistem soal 1.3.b diperoleh
output 𝑦 𝑛 = 0. Selanjutnya kita cek dari sifat superposisi.
o Sistem diberi input 𝑥1(𝑛) maka outputnya
𝑦1 𝑛 = 0.3𝑥1 𝑛 + 0.5𝑥1(𝑛 − 1)
o Sistem diberi input 𝑥2(𝑛) maka outputnya
𝑦2 𝑛 = 0.3𝑥2 𝑛 + 0.5𝑥2(𝑛 − 1)
o Sistem diberi input 𝑥12 𝑛 = 𝑥1 𝑛 + 𝑥2(𝑛) maka outputnya
𝑦12 𝑛 = 0.3𝑥1 𝑛 + 𝑥2 𝑛 + 0.5𝑥1 𝑛 − 1 + 𝑥2 𝑛 − 1
𝑦12 𝑛 = 0.3𝑥1 𝑛 + 0.5𝑥1 𝑛 − 1 + 0.3𝑥2 𝑛 + 0.5𝑥2 𝑛 − 1
𝑦12 𝑛 = 𝑦1 𝑛 + 𝑦2 𝑛
Jadi sistem pada soal 1.3.b bersifat linier.
1.3.3 Sistem time-invariant
Sistem diskrit dikatakan time-invariant jika berlaku sifat
𝑇 𝑥 𝑛 − 𝑛0 = 𝑦(𝑛 − 𝑛0) (1.21)
Artinya sistem diberi input sama pada saat ini atau berikutnya, output sistem akan
tetap, dengan kata lain sistem tidak berubah terhadap waktu.
𝑇[. ]
𝑎𝑥1(𝑛) 𝑦1 𝑛 = 𝑎𝑇[𝑥1 𝑛 ]
𝑏𝑥2(𝑛) 𝑦2 𝑛 = 𝑏𝑇[𝑥2 𝑛 ]
𝑥12 𝑛 = 𝑎𝑥1 𝑛 + 𝑏𝑥2(𝑛) 𝑦12 𝑛 = 𝑦1 𝑛 + 𝑦2(𝑛)
Pengolahan Sinyal Digital, Bab I : Sinyal & Sistem Diskrit
Bab I - 14
Contoh 1.4
Apakah sistem pada soal 1.3.b mempunyai sifat time-invariant?
Penyelesaian:
Secara matematis dapat dijelaskan sebagai berikut:
Sistem diberi input 𝑥1(𝑛) = 𝑥(𝑛 − 𝑛0) maka outputnya
𝑦1 𝑛 = 0.3𝑥1 𝑛 + 0.5𝑥1(𝑛 − 1)
𝑦1 𝑛 = 0.3𝑥(𝑛 − 𝑛0) + 0.5𝑥(𝑛 − 𝑛0 − 1)
Output sistem 𝑦2 𝑛 ditunda sebesar 𝑛0 maka 𝑦2 𝑛 = 𝑦(𝑛 − 𝑛0) sehingga
𝑦2 𝑛 = 𝑦(𝑛 − 𝑛0) = 0.3𝑥(𝑛 − 𝑛0) + 0.5𝑥(𝑛 − 𝑛0 − 1)
Karena 𝑦1(𝑛) = 𝑦2(𝑛), maka sistem tersebut time-invariant.
1.3.4 Sistem Kausal
Sistem diskrit dikatakan kausal jika output pada 𝑛 = 𝑛0 hanya tergantung pada input
pada saat 𝑛 ≤ 𝑛0 , dengan kata lain output sistem hanya tergantung pada input saat yang
sama atau saat sebelumnya. Pengertian kausal dapat diartikan bahwa sistem kausal,
berarti sistem dapat direalisasikan.
Contoh 1.5
Apakah sistem diskrit pada soal 1.3.b mempunyai sifat kausal?
Penjelasan:
Pada sistem dengan persamaan beda 𝑦 𝑛 = 0.3𝑥 𝑛 + 0.5𝑥(𝑛 − 1) terlihat bahwa
output sistem hanya tergantung pada input saat yang sama dan input satu sampling
sebelumnya. Misalnya output sistem pada 𝑦(2) tergantung pada input 𝑥(2) dan 𝑥(1).
Jadi sistem tersebut kausal.
1.3.5 Sistem Stabil
Sistem dikatakan stabil BIBO (bounded input-bounded output) jika sistem diberi sinyal
input terbatas maka akan menghasilkan sinyal output yang terbatas. Urutan input 𝑥(𝑛)
terbatas jika mempunyai nilai terbatas positif tetap untuk semua 𝑛
𝑥(𝑛) ≤ 𝐵𝑥 < ∞ untuk semua 𝑛 (1.22)
Untuk setiap urutan input akan menghasilkan urutan output dengan nilai terbatas
positif tetap untuk semua 𝑛 yaitu
𝑦(𝑛) ≤ 𝐵𝑦 < ∞ untuk semua 𝑛 (1.23)
Pengolahan Sinyal Digital, Bab I : Sinyal & Sistem Diskrit
Bab I - 15
1.4 Sistem Linier Time-Invariant
Sistem diskrit yang mempunyai sifat linier dan time-invariant disebut sistem linier
time-invariant (LTI). Sistem LTI bila diberi input impuls 𝛿(𝑛) maka outputnya
dinamakan respons impuls (𝑛) seperti ditunjukkan pada gambar 1.13.
Gambar 1.13 Respons impuls pada sistem LTI
Sinyal diskrit 𝑥(𝑛) dapat dinyatakan dengan penjumlahan deretan impuls terdelay yang
diilustrasikan pada gambar 1.14 dinyatakan secara matematis sebagai berikut
𝑥 𝑛 = ⋯ + 𝑐. 𝛿 𝑛 + 2 + 𝑑.𝛿 𝑛 + 1 + 𝑒. 𝛿 𝑛 + 𝑓. 𝛿 𝑛 − 1 + 𝑔.𝛿 𝑛 − 2 + ⋯ (1.24)
𝑥 𝑛 = ⋯ + 𝑥(−1).𝛿 𝑛 + 1 + 𝑥(0).𝛿 𝑛 + 𝑥(1).𝛿 𝑛 − 1 + ⋯ (1.25)
Secara umum dapat ditulis secara matematis
𝑥 𝑛 = 𝑥 𝑘 𝛿(𝑛 − 𝑘)
∞
𝑘=−∞
(1.26)
Gambar 1.14 Representasi sinyal diskrit dalam deretan impuls
Sistem LTI bila diberi input impuls terdelay 𝑘 atau dengan kata lain impuls pada saat
𝑛 = 𝑘 yaitu 𝑥 𝑛 = 𝛿(𝑛 − 𝑘) maka output sistem LTI adalah 𝑘 𝑛 = (𝑛 − 𝑘), dan
dapat ditulis
𝑘 𝑛 = 𝑛 − 𝑘 = 𝑇[𝛿 𝑛 − 𝑘 ] (1.27)
Bila sistem LTI diberi input sinyal diskrit 𝑥(𝑛) maka output sistem
𝑦 𝑛 = 𝑇[𝑥 𝑛 ] = 𝑇[ 𝑥 𝑘 𝛿(𝑛 − 𝑘)]
∞
𝑘=−∞
= 𝑇[𝑥 𝑘 𝛿(𝑛 − 𝑘)]
∞
𝑘=−∞
(1.28)
𝑇[. ]
𝑥 𝑛 = 𝛿(𝑛) 𝑦 𝑛 = (𝑛)
0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 −1 −2 −3 −4 𝑛
𝑎
𝑏
𝑐 d
𝑒 f
𝑔
𝑖 𝑗 𝑘
𝑙
𝑚 𝑛
𝑜
𝑥(𝑛)
Pengolahan Sinyal Digital, Bab I : Sinyal & Sistem Diskrit
Bab I - 16
Koefisien 𝑥(𝑘) bernilai konstan maka
𝑦 𝑛 = 𝑥 𝑘 𝑇[𝛿(𝑛 − 𝑘)]
∞
𝑘=−∞
= 𝑥 𝑘 𝑘 𝑛 = 𝑥 𝑘 (𝑛 − 𝑘)
∞
𝑘=−∞
∞
𝑘=−∞
(1.29)
Persamaan (1.29) disebut sebagai penjumlahan konvolusi, secara matematis dapat
ditulis
𝑦 𝑛 = 𝑥 𝑘 (𝑛 − 𝑘)
∞
𝑘=−∞
= 𝑥 𝑛 ∗ (𝑛) (1.30)
Tanda * merupakan operator penjumlahan konvolusi atau konvolusi diskrit.
Contoh 1.6 : konvolusi dua sinyal terbatas
Sistem LTI kausal mempunyai respons impuls
𝑛 = 𝛿 𝑛 + 0.5𝛿 𝑛 − 1 + 𝛿(𝑛 − 2)
Tentukan ouput sistem bila inputnya:
a. 𝑥 𝑛 = 𝛿 𝑛 + 𝛿 𝑛 − 1 + 0.5𝛿(𝑛 − 2)
b. 𝑥 𝑛 = 𝛿 𝑛 + 2 + 0.5𝛿 𝑛 + 1 + 𝛿 𝑛 + 0.5𝛿 𝑛 − 1 + 𝛿(𝑛 − 2)
Penyelesaian:
a. Bentuk sinyal 𝑥 𝑛 dan (𝑛) sebagai berikut
𝑦 𝑛 = 𝑥 𝑘 𝑛 − 𝑘
∞
𝑘=−∞
𝑦 0 = 𝑥 𝑘 −𝑘 = 𝑥 −1 1 + 𝑥 0 0 + 𝑥 1 −1 = 1 (1) = 1
∞
𝑘=−∞
𝑦 1 = 𝑥 𝑘 1 − 𝑘 = 𝑥 0 1 + 𝑥 1 0 = 1 0.5 + 1 (1) = 3/2
∞
𝑘=−∞
3 𝑛
0 1 2 4 5
(𝑛)
1/2
1
𝑛 0 1 2 3 4 5
𝑥(𝑛)
1 1/2
Pengolahan Sinyal Digital, Bab I : Sinyal & Sistem Diskrit
Bab I - 17
𝑦 2 = 𝑥 𝑘 2 − 𝑘 = 𝑥 0 2 + 𝑥 1 1 + 𝑥 2 0
∞
𝑘=−∞
𝑦 2 = 1 1 + 1 0.5 + 0.5 1 = 1 + 0.5 + 0.5 = 2
𝑦 3 = 𝑥 𝑘 3 − 𝑘 = 𝑥 1 2 + 𝑥 2 1 = 1 1 + 0.5 0.5 = 5/4
∞
𝑘=−∞
𝑦 4 = 𝑥 𝑘 4 − 𝑘 = 𝑥 2 2 = 0.5 1 = 1/2
∞
𝑘=−∞
𝑦 5 = 0,𝑦 6 = 0, dst
Bentuk hasil keluaran sistem pada contoh soal 1.6 a. sebagai berikut
b. Bentuk sinyal 𝑥 𝑛 dan (𝑛) sebagai berikut
𝑦 𝑛 = 𝑥 𝑘 𝑛 − 𝑘
∞
𝑘=−∞
𝑦 −2 = 𝑥 𝑘 −2 − 𝑘 = 𝑥 −2 0 + 𝑥 −1 −1 = 1 1 + 0 = 1
∞
𝑘=−∞
𝑛 0 1 2 3 4
𝑥(𝑛) 1
1/2
-1 -2 -3 3 𝑛
0 1 2 4 5
(𝑛)
1/2
1
𝑛 0 1 2 3 4 5
𝑦(𝑛)
1 1/2
3/2
2
5/4
Pengolahan Sinyal Digital, Bab I : Sinyal & Sistem Diskrit
Bab I - 18
𝑦 −1 = 𝑥 𝑘 −1 − 𝑘 = 𝑥 −2 1 + 𝑥 −1 0
∞
𝑘=−∞
𝑦 −1 = 1 0.5 + 0.5 1 = 1
𝑦 0 = 𝑥 𝑘 −𝑘 = 𝑥 −2 2 + 𝑥 −1 1 + 𝑥 0 0
∞
𝑘=−∞
𝑦 0 = 1 1 + 0.5 0.5 + 1 (1) = 2.25
𝑦 1 = 𝑥 𝑘 1 − 𝑘 = 𝑥 −2 3 + 𝑥 −1 2 + 𝑥 0 1 + 𝑥 1 (0)
∞
𝑘=−∞
𝑦 1 = 0 + 0.5 1 + 1 0.5 + 0.5 1 = 1.5
𝑦 2 = 𝑥 𝑘 2 − 𝑘 = 𝑥 −1 3 + 𝑥 0 2 + 𝑥 1 1 + 𝑥 2 (0)
∞
𝑘=−∞
𝑦 2 = 0 + 1 (1)+(0.5)(0.5)+(1)(1)=2.25
𝑦 3 = 𝑥 𝑘 3 − 𝑘 = 𝑥 0 3 + 𝑥 1 2 + 𝑥 2 1
∞
𝑘=−∞
𝑦 3 = 0 + 0.5 1 + 1 0.5 = 1
𝑦 4 = 𝑥 𝑘 4 − 𝑘 = 𝑥 1 3 + 𝑥 2 2 = 0 + 1 1 = 1
∞
𝑘=−∞
𝑦 5 = 𝑥 𝑘 5 − 𝑘 = 0,
∞
𝑘=−∞
𝑦 6 = 0,𝑦 7 = 0, dst
Bentuk hasil keluaran sistem pada contoh soal 1.6.b sebagai berikut
𝑛 −2 −1 0 1 2 3
𝑦(𝑛)
1
2.25
1.5
4 −3 5
Pengolahan Sinyal Digital, Bab I : Sinyal & Sistem Diskrit
Bab I - 19
Contoh 1.7 Konvolusi sinyal tak terbatas
Sistem LTI kausal mempunyai respons impuls
𝑛 = 1
2 𝑛
𝑢(𝑛)
Tentukan ouput sistem bila inputnya:
a. 𝑥 𝑛 = 𝛿 𝑛 + 0.6𝛿 𝑛 − 1
b. 𝑥 𝑛 = 1
4 𝑛
𝑢(𝑛)
c. 𝑥 𝑛 = (1/4)𝑛𝑢 𝑛 − 𝑢 𝑛 − 21
d. 𝑥 𝑛 = (1/4)𝑛𝑢 𝑛 − 5 − 𝑢 𝑛 − 21
Penyelesaian :
a. Karena 𝑥(𝑛) sinyal terbatas, maka output sistem dapat menggunakan sifat-sifat
konvolusi yaitu sifat identitas dan sifat konvolusi sinyal 𝑥(𝑛) dengan impuls
tertunda 𝑘.
𝑦 𝑛 = 𝛿 𝑛 + 0.6𝛿 𝑛 − 1 ∗ 𝑛 = 𝑛 + 0.6 𝑛 − 1
𝑦 𝑛 = 1
2 𝑛
𝑢(𝑛) + 0.6 1
2 𝑛−1
𝑢(𝑛 − 1)
𝑦 0 = 1;𝑦 1 = 1,1;𝑦 2 = 5,5 dst
b. Karena 𝑥(𝑛) dan (𝑛) merupakan sinyal dengan deretan tak hingga maka
penyelesaiannya menggunakan grafik dan rumus konvolusi.
𝑦 𝑛 = 𝑥 𝑘 (𝑛 − 𝑘)
∞
𝑘=−∞
Bentuk sinyal 𝑥(𝑛) dan (𝑛) diubah dalam kawasan 𝑘 menjadi 𝑥(𝑘) dan
(𝑛 − 𝑘) sesuai dengan rumus konvolusi. Bentuk sinyal 𝑥(𝑘) dan h(𝑛 − 𝑘)
adalah
k 0 1 2 3 4 5
(𝑘)
1 1/2 𝑘
k 0 1 2 3 4 5
𝑥(𝑘)
1 1/4 𝑘
Pengolahan Sinyal Digital, Bab I : Sinyal & Sistem Diskrit
Bab I - 20
Sifat-sifat konvolusi diskrit
a. Komutatif
Secara matematis sifat komutatif
𝑥 𝑛 ∗ 𝑛 = 𝑛 ∗ 𝑥(𝑛) (1.31)
b. Asosiatif
Secara matematis sifat asosiatif
𝑥 𝑛 ∗ 1 𝑛 ∗ 2 𝑛 = 𝑥 𝑛 ∗ 1 𝑛 ∗ 2 𝑛 (1.32)
c. Distributif
Secara matematis sifat distributif
𝑥 𝑛 ∗ 1 𝑛 + 2 𝑛 = 𝑥 𝑛 ∗ 1 𝑛 + 𝑥 𝑛 ∗ 2 𝑛 (1.33)
Secara sistem dapat digambarkan pada gambar 1.15.
a. Sifat komutatif
b. Sifat asosiatif
c. Sifat distributif
Gambar 1.15 Interpretasi sifat konvolusi dari sistem diskrit
d. Urutan identitas
𝑥 𝑛 ∗ 𝛿 𝑛 = 𝛿 𝑛 ∗ 𝑥 𝑛 = 𝑥(𝑛) (1.34)
e. Konvolusi impuls terdelay dengan 𝑥(𝑛)
𝑥 𝑛 ∗ 𝛿 𝑛 − 𝑘 = 𝑥(𝑛 − 𝑘) (1.35)
(𝑛) 𝑥 𝑛 𝑦 𝑛 𝑥(𝑛) 𝑛 𝑦 𝑛
1(𝑛) 𝑥 𝑛 𝑦 𝑛
2(𝑛) 1 𝑛 ∗ 2(𝑛) 𝑥 𝑛 𝑦 𝑛
1 𝑛 + 2(𝑛) 𝑥 𝑛 𝑦 𝑛
1(𝑛)
𝑥 𝑛 𝑦 𝑛
2(𝑛)
Pengolahan Sinyal Digital, Bab I : Sinyal & Sistem Diskrit
Bab I - 21
Kausalitas sistem LTI
Definisi :
Berdasarkan respons impulsnya, sistem LTI dikatakan kausal bila respons impuls
𝑛 = 0, untuk 𝑛 < 0.
Stabilitas sistem LTI
Definisi :
Berdasarkan respons impulsnya, sistem LTI dikatakan stabil BIBO bila respons
impulsnya dapat dijumlahkan secara absolut.
𝑆 = (𝑛) < ∞
∞
𝑛=−∞
(1.33)
Pembuktian:
Output sistem LTI :
𝑦 𝑛 = 𝑥 𝑘 (𝑛 − 𝑘)
∞
𝑘=−∞
= 𝑥 𝑛 ∗ 𝑛 = 𝑛 ∗ 𝑥(𝑛) (1.34)
Kedua sisi kiri dan kanan diabsolutkan
𝑦 𝑛 = 𝑘 𝑥(𝑛 − 𝑘)
∞
𝑘=−∞
≤ 𝑘 𝑥(𝑛 − 𝑘)
∞
𝑘=−∞
(1.35)
𝑦 𝑛 ≤ (𝑘) . 𝑥(𝑛 − 𝑘)
∞
𝑘=−∞
(1.36)
Bila input terbatas
𝑥(𝑛 − 𝑘) ≤ 𝐵𝑥 < ∞
Maka output juga terbatas
𝑦(𝑛) ≤ 𝐵𝑦 < ∞
Apabila
𝑆 = (𝑘)
∞
𝑘=−∞
(1.37)
Pengolahan Sinyal Digital, Bab I : Sinyal & Sistem Diskrit
Bab I - 22
1.5 Persamaan Beda Koefisien Konstan Linier
Sistem linear time-invariant (LTI) dapat dikarakterisasi dengan respons impuls (𝑛).
Selain itu. sistem LTI yang memiliki input 𝑥(𝑛) dan output 𝑦(𝑛) juga dapat
dikarakterisasi dengan persamaan beda koefisien konstan linier orde ke-𝑁 sebagai
berikut
𝑎𝑘𝑦 𝑛 − 𝑘 = 𝑏𝑘𝑥(𝑛 − 𝑘)
𝑀
𝑘=0
𝑁
𝑘=0
(1.38)
Jika sistem tersebut kausal maka kita dapat menyusun persamaan (1.38) menjadi
𝑦 𝑛 = − 𝑎𝑘
𝑎0𝑦 𝑛 − 𝑘 +
𝑏𝑘
𝑎0𝑥(𝑛 − 𝑘)
𝑀
𝑘=0
𝑁
𝑘=1
(1.39)
Output sistem saat ke 𝑛 ditentukan oleh input saat ke 𝑛, input saat sebelumnya
𝑛 − 1,𝑛 − 2,… ,𝑛 − 𝑀 dan output saat sebelumnya 𝑛 − 1,𝑛 − 2, … ,𝑛 − 𝑁.
Contoh 1.8:
Sistem diskrit LTI dinyatakan dengan persamaan beda sebagai berikut :
𝑦 𝑛 − 0.5𝑦 𝑛 − 1 = 𝑥(𝑛)
Diasumsikan 𝑦 𝑛 = 0, untuk semua 𝑛 < 0
a. Berapa orde sistem LTI tersebut.
b. Tentukan respons impuls sistem (𝑛).
Penyelesaian :
a. Berdasarkan persamaan beda pada soal terlihat bahwa 𝑁 = 1, maka termasuk
orde ke-1
b. Evaluasi untuk 𝑥 𝑛 = 𝛿(𝑛) maka output sistem
Ditulis kembali
𝑦 𝑛 = 0.5𝑦 𝑛 − 1 + 𝑥(𝑛)
input siatem adalah impuls, maka
𝑛 = 0, 𝑦 0 = 0.5𝑦 −1 + 𝑥 0 = 0.5 0 + 1 = 1 = (0.5)0
𝑛 = 1, 𝑦 1 = 0.5𝑦 0 + 𝑥 1 = 0.5 . 1 + 0 = (0.5)1
𝑛 = 2, 𝑦 2 = 0.5𝑦 1 + 𝑥(2) = 0.5 . 0.5 + 0 = (0.5)2
𝑛 = 3, 𝑦 3 = 0.5𝑦 2 + 𝑥(3) = 0.5 . 0.5 2 + 0 = (0.5)3
𝑦 𝑛 = (0.5)𝑛 , untuk 𝑛 ≥ 0
𝑦 𝑛 = 0.5 𝑛𝑢(𝑛)
Pengolahan Sinyal Digital, Bab I : Sinyal & Sistem Diskrit
Bab I - 23
1.6 Klasifikasi sistem diskrit berdasarkan respons impuls
Sistem diskrit LTI dapat dikarakterisasi dengan respons impuls (𝑛). Berdasarkan
durasi respons impuls atau dengan kata lain berdasarkan banyaknya sampling respons
impuls sistem, maka sistem LTI dapat dikelompokkan menjadi 2 macam:
1.6.1 Sistem IIR (Infinite-impuls respons)
Merupakan sistem diskrit yang mempunyai durasi respons impuls tak terbatas.
Contoh 1.9
Sistem diskrit dengan respons impuls 𝑛 = 1
4 𝑛
𝑢(𝑛)
Apakah sistem tersebut IIR?
Penyelesaian:
Respons impuls mempunyai harga dari 𝑛 = 0 sampai 𝑛 = ∞ maka sistem
tersebut tergolong IIR.
1.6.2 Sistem FIR (Finite-impuls respons)
Merupakan sistem diskrit yang mempunyai durasi respons impuls terbatas.
Contoh 1.10
Sistem diskrit dengan respons impuls 𝑛 = 1
4 𝑛
𝑢 𝑛 − 𝑢 𝑛 − 101 .
Penyelesaian:
Pada contoh tersebut respons impuls berdurasi terbatas dari 𝑛 = 0 sampai
𝑛 = 100, sehingga disebut sebagai sistem FIR.
Contoh 1.11
Sistem diskrit dengan input 𝑥(𝑛) dan output 𝑦(𝑛) dikarakterisasi dengan
persamaan beda koefisien konstan linier
𝑦 𝑛 = 𝑥 𝑛 + 0.3𝑥 𝑛 − 1 − 0.5𝑥 𝑛 − 2 + 1.5𝑥 𝑛 − 3 − 0.75𝑥(𝑛 − 4)
Penyelesaian:
Apabila sistem diberi input impuls 𝑥 𝑛 = 𝛿(𝑛) maka output sistem
𝑦 𝑛 = (𝑛) = 𝛿 𝑛 + 0.3𝛿 𝑛 − 1 − 0.5𝛿 𝑛 − 2 + 1.5𝛿 𝑛 − 3 − 0.75𝛿(𝑛 − 4)
Sehingga terlihat respons impuls berdurasi terbatas dari 𝑛 = 0 sampai 𝑛 = 4,
sehingga disebut sebagai sistem FIR.
𝑛 0 1 2 3 4
𝑥(𝑛)
1
1/4
(1/4)2
(1/4)𝑛
5 6
Pengolahan Sinyal Digital, Bab I : Sinyal & Sistem Diskrit
Bab I - 24
SOAL LATIHAN
1. Sinyal diskrit 𝑥(𝑛) berikut
Sketsa sinyal 𝑥(𝑛) setelah mengalami proses:
a. 𝑥 𝑛 − 2 d. 𝑥(−𝑛 + 2)
b. 𝑥 𝑛 + 2 e. 𝑥(−𝑛 − 2)
c. 𝑥 −𝑛 f. 𝑥(2𝑛)
2. Tentukan periode sinyal berikut
a. 𝑥 𝑛 = 2 Sin(𝜋
20𝑛)
b. 𝑥 𝑛 = 3 cos(0.055𝜋𝑛)
c. 𝑥 𝑛 = 2 sin 0.05𝜋𝑛 + 3 sin(0.12𝜋𝑛)
d. 𝑥 𝑛 = 2 sin 0.05𝜋𝑛 cos(0.05𝜋𝑛)
3. Sistem diskrit dengan input 𝑥(𝑛) dan output 𝑦(𝑛) mempunyai persamaan beda
𝑦 𝑛 = 𝑥 𝑛 − 0.3𝑥 𝑛 − 1 + 0.8𝑥(𝑛 − 2)
Buktikan bahwa sistem diskrit tersebut mempunyai sifat linear dan time invariant.
4. Sistem LTI mempunyai respons impuls 𝑛 = (0.25)𝑛𝑢 𝑛 − 𝑢 𝑛 − 11
a. Apakah sistem tersebut kausal? Jelaskan.
b. Apakah sistem stabil BIBO? Jelaskan.
c. Tentukan output sistem bila inputnya
(i) 𝑥 𝑛 = 1
3 𝑛
𝑢(𝑛)
(ii) 𝑥 𝑛 = 1
3 𝑛
𝑢 𝑛 − 6
(iii) 𝑥 𝑛 = 1
3 𝑛
𝑢 𝑛 − 6 − 𝑢 𝑛 − 56
𝑛 0 1 2 3 4
𝑥(𝑛)
1
1/2 1/4
Pengolahan Sinyal Digital, Bab I : Sinyal & Sistem Diskrit
Bab I - 25
5. Sistem diskrit mempunyai persamaan beda koefisien konstan linier
𝑦 𝑛 − 0.5𝑦 𝑛 − 1 = 𝑥 𝑛 + 0.4𝑥 𝑛 − 1 + 0.2𝑥(𝑛 − 2)
Diasumsikan 𝑦 𝑛 = 0, untuk 𝑛 < 0.
a. Orde berapa sistem diskrit tersebut.
b. Tentukan respons impuls pada 𝑛 = 0; 1; 2; 3; 4; 5
c. Tentukan respons unit step pada 𝑛 = 0; 1; 2; 3; 4; 5
6. Sistem diskrit mempunyai persamaan beda koefisien konstan linier
𝑦 𝑛 − 0.3𝑦 𝑛 − 1 = 𝑥 𝑛
Diasumsikan 𝑦 𝑛 = 0, untuk 𝑛 < 0.
a. Tentukan respons impuls sistem tersebut.
b. Apakah sistem tersebut stabil BIBO? Jelaskan.
c. Apakah sistem tersebut FIR atau IIR? Jelaskan.
==================================================
Rumus bantu:
𝑎𝑘 =𝑎𝑁1 − 𝑎𝑁2 +1
1 − 𝑎
𝑁2
𝑘=𝑁1
, 𝑎 ≠ 1
Rumus trigonometri:
sin 𝐴 + 𝐵 = sin 𝐴 cos𝐵 + cos𝐴 sin 𝐵
cos 𝐴 + 𝐵 = cos𝐴 cos 𝐵 − sin 𝐴 sin 𝐵
2cos 𝐴 cos𝐵 = cos 𝐴 + 𝐵 + cos(𝐴 − 𝐵)
2cos𝐴 sin 𝐵 = sin 𝐴 + 𝐵 − sin(𝐴 − 𝐵)
2sin 𝐴 cos 𝐵 = sin 𝐴 + 𝐵 + sin(𝐴 − 𝐵)
2sin 𝐴 sin 𝐵 = cos 𝐴 − 𝐵 − cos(𝐴 + 𝐵)
sin 2𝐴 = 2 sin 𝐴 cos 𝐴
𝑐𝑜𝑠2𝐴 + 𝑠𝑖𝑛2𝐴 = 1
Pengolahan Sinyal Digital, Bab II : Analisa Frekuensi
Bab II - 1
Bab 2
Analisa Frekuensi
2.1 Pendahuluan
Representasi dalam kawasan frekuensi dari sinyal dan sistem diskrit merupakan analisa
penting dalam pengolahan sinyal digital. Metode yang sering digunakan untuk analisa
sinyal dan sistem diskrit dalam domain frekuensi adalah menggunakan transformasi
Fourier. Transformasi Fourier mampu mempermudah proses komputasi konvolusi
sehingga komputasi menjadi lebih sederhana. Pada bagian ini akan dijelaskan
representasi output sistem LTI apabila diberi input sinyal eksponensial kompleks
maupun sinyal sinus. Transformasi Fourier dan sifat-sifatnya juga akan dijelaskan
secara detail. Pengantar tentang filter digital dan jenis filter dibahas juga pada bagian
ini. Interkoneksi sistem diskrit dan aplikasinya dibahas dibagian akhir bab ini.
2.2 Representasi Frekuensi dari Sinyal dan Sistem Diskrit Sistem LTI dikarakterisasi dengan respons impuls ℎ(𝑛), sinyal 𝑥(𝑛) dijadikan sebagai input sistem tersebut menghasilkan respons sistem 𝑦(𝑛) yang ditunjukkan pada gambar 2.1. Pada bagian berikutnya akan dijelaskan sistem LTI yang diberi input sinyal eksponensial kompleks dan sinyal sinus.
Gambar 2.1 Sistem LTI 2.2.1 Respons sistem dengan input eksponensial kompleks Sistem LTI pada gambar 2.1 diberi input sinyal eksponensial kompleks 𝑥 𝑛 = 𝑒𝑗𝜔𝑛 , dimana 𝜔 adalah konstanta yang merupakan frekuensi sinyal.
𝑦 𝑛 = 𝑥 𝑛 ∗ ℎ 𝑛 = ℎ 𝑛 ∗ 𝑥 𝑛 = ℎ 𝑘 𝑥(𝑛 − 𝑘)
∞
𝑘=−∞
(2.1)
𝑦 𝑛 = ℎ 𝑘
∞
𝑘=−∞
𝑒𝑗𝜔 (𝑛−𝑘) = 𝑒𝑗𝜔𝑛 ℎ 𝑘
∞
𝑘=−∞
𝑒−𝑗𝜔𝑘 = 𝑒𝑗𝜔𝑛 𝐻(𝑒𝑗𝜔 ) (2.2)
𝐻(𝑒𝑗𝜔 ) = ℎ 𝑘
∞
𝑘=−∞
𝑒−𝑗𝜔𝑘 (2.3)
ℎ(𝑛)
𝑥 𝑛 𝑦 𝑛
Pengolahan Sinyal Digital, Bab II : Analisa Frekuensi
Bab II - 2
Dimana 𝐻(𝑒𝑗𝜔 ) merupakan respons frekuenasi sistem dan juga transformasi Fourier dari ℎ(𝑛). Pada pers (2.2) terlihat merupakan perkalian antara sinyal input eksponensial kompleks 𝑥 𝑛 = 𝑒𝑗𝜔𝑛 dengan respons frekuensi sistem 𝐻(𝑒𝑗𝜔 ), dimana
𝐻 𝑒𝑗𝜔 bilangan komplek dan selalu periodik dengan periode 2𝜋.
𝐻 𝑒𝑗𝜔 = 𝐻𝑅 𝑒𝑗𝜔 + 𝑗𝐻𝐼 𝑒𝑗𝜔 = 𝐻 𝑒𝑗𝜔 𝑒𝑗∡𝐻 𝑒 𝑗𝜔 (2.4)
𝐻 𝑒𝑗𝜔 = 𝐻𝑅2 𝑒𝑗𝜔 + 𝐻𝐼
2 𝑒𝑗𝜔 (2.5)
∡𝐻 𝑒𝑗𝜔 = 𝑡𝑎𝑛−1𝐻𝐼 𝑒
𝑗𝜔
𝐻𝑅 𝑒𝑗𝜔 (2.6)
Dimana 𝐻 𝑒𝑗𝜔 dan ∡𝐻 𝑒𝑗𝜔 merupakan respon magnitud dan respon fasa dari
sistem tersebut. 2.2.2 Respons impuls sistem LTI
Sistem LTI dengan respons frekuensi 𝐻 𝑒𝑗𝜔 memiliki respons impuls dengan cara
melakukan invers respons frekuensi yaitu dengan melakukan integrasi satu periode 2𝜋
ℎ 𝑛 =1
2𝜋 𝐻 𝑒𝑗𝜔 𝑒𝑗𝜔𝑛
𝜋
−𝜋
𝑑𝜔 (2.7)
Bentuk pers (2.7) merupakan transformasi Fourier balik. 2.2.3 Respons sistem dengan input sinus Sistem LTI pada gambar 2.1 diberi input sinyal sinus 𝑥 𝑛 = 𝐴𝑐𝑜𝑠(𝜔0𝑛 + 𝜃), dimana 𝐴, 𝜔0 dan 𝜃 adalah amplitudo sinyal, frekuensi sinyal dan fasa sinyal sinus. Sinyal sinus dapat dinyatakan dalam bentuk kompleks polar
𝑥 𝑛 = 𝐴𝑐𝑜𝑠 𝜔0𝑛 + 𝜃 =𝐴
2𝑒𝑗 (𝜔0𝑛+𝜃) +
𝐴
2𝑒−(𝑗𝜔0𝑛+𝜃)
(2.8)
Output steady-state sistem LTI menjadi
𝑦 𝑛 =𝐴
2𝑒𝑗 (𝜔0𝑛+𝜃)𝐻(𝑒𝑗𝜔0 ) +
𝐴
2𝑒−(𝑗𝜔0𝑛+𝜃)𝐻(𝑒−𝑗𝜔0 ) (2.9)
Suku pertama dan kedua pers (2.9) saling konjugate maka menjadi
𝑦 𝑛 = 2𝑅𝑒𝐴
2𝑒𝑗 (𝜔0𝑛+𝜃)𝐻 𝑒𝑗𝜔0 (2.10)
𝑦 𝑛 = 2𝑅𝑒𝐴
2𝑒𝑗 (𝜔0𝑛+𝜃) 𝐻 𝑒𝑗𝜔0 𝑒∡𝐻(𝑒 𝑗𝜔𝑜 ) (2.11)
𝑦 𝑛 = 𝐴. 𝐻 𝑒𝑗𝜔0 . 𝑅𝑒 𝑒𝑗 (𝜔0𝑛+𝜃+∡𝐻 𝑒 𝑗𝜔𝑜 (2.12)
Pengolahan Sinyal Digital, Bab II : Analisa Frekuensi
Bab II - 3
𝑦 𝑛 = 𝐴. 𝐻 𝑒𝑗𝜔0 . cos(𝜔0𝑛 + 𝜃 + ∡𝐻 𝑒𝑗𝜔𝑜 ) (2.13)
𝑦 𝑛 = 𝐴𝑦 . cos(𝜔0𝑛 + 𝜃𝑦 ) (2.14)
Dari pers (2.13) terlihat bahwa output steady-state berupa sinyal sinus dengan frekuensi yang sama dengan frekuensi sinyal input 𝜔0 , amplitudonya berubah menjadi perkalian antara amplitudo sinyal input 𝐴 dengan respons magnitud sistem pada
frekuensi sinyal input 𝐻 𝑒𝑗𝜔0 dan fasanya menjadi penjumlahan antara fasa sinyal
input 𝜃 dengan respons fasa sistem pada frekuensi sinyal input ∡𝐻 𝑒𝑗𝜔𝑜 .
Contoh 2.1 Sistem LTI mempunyai respons impuls ℎ 𝑛 = 0,5 𝑛𝑢(𝑛). Tentukan output steady-state sistem bila diberi input sebagai berikut:
a. 𝑥 𝑛 = 2 cos 0,25𝜋𝑛 + 0,5𝜋 𝑢(𝑛) b. 𝑥 𝑛 = 3𝑢 𝑛 + 2 cos 0,25𝜋𝑛 + 0,5𝜋 𝑢(𝑛)
Penyelesaian: Respons frekuensi sistem LTI adalah
𝐻 𝑒𝑗𝜔 = ℎ 𝑛
∞
𝑛=−∞
𝑒−𝑗𝜔𝑛 = (0,5)𝑛
∞
𝑛=0
𝑒−𝑗𝜔𝑛 = (0,5
∞
𝑛=0
𝑒−𝑗𝜔 )𝑛
𝐻 𝑒𝑗𝜔 =(0,5𝑒−𝑗𝜔 )0 − (0,5𝑒−𝑗𝜔 )∞+1
1 − 0,5𝑒−𝑗𝜔=
1
1 − 0,5𝑒−𝑗𝜔
𝐻 𝑒𝑗𝜔 =1
1 − 0,5 cos 𝜔 + j0,5sin(ω)
Respons magnitud sistem LTI:
𝐻 𝑒𝑗𝜔 =1
(1 − 0,5 cos 𝜔)2 + (0,5 sin 𝜔)2=
1
1,25 − cos 𝜔 (2.15)
Respons fasa sistem LTI:
∡𝐻 𝑒𝑗𝜔 = 0 − 𝑡𝑎𝑛−1 0,5 sin 𝜔
1 − 0,5 cos 𝜔 (2.16)
a. Respons magnitud dan fasa sistem pada frekuensi sinyal input 𝜔 = 0,25𝜋 adalah
𝐻 𝑒𝑗0,25𝜋 =1
1,25 − cos(0,25𝜋)= 2,935
∡𝐻 𝑒𝑗0,25𝜋 = −𝑡𝑎𝑛−1 0,5 sin(0,25𝜋)
1 − 0,5 cos(0,25𝜋) = −0,159𝜋
Output steady-state sistem LTI adalah
𝑦 𝑛 = 2. 2,935 . cos 0,25𝜋𝑛 + 0,5𝜋 − 0,159𝜋 𝑢(𝑛)
𝑦 𝑛 = 5.87cos(0,25𝜋𝑛 + 0.341𝜋)𝑢(𝑛)
Pengolahan Sinyal Digital, Bab II : Analisa Frekuensi
Bab II - 4
b. Respons magnitud dan fasa sistem pada frekuensi sinyal input 𝜔1 = 0 dan
𝜔2 = 0,25𝜋 adalah
𝐻 𝑒𝑗0 =1
1,25 − cos 0= 2
∡𝐻 𝑒𝑗0 = −𝑡𝑎𝑛−1 0,5 sin(0)
1 − 0,5 cos(0) = 0
Untuk frekuensi 𝜔2 = 0,25𝜋 sama dengan jawaban (a) Jadi output steady-state sistem LTI adalah
𝑦 𝑛 = 3. 2 𝑢 𝑛 + 5,87 cos 0,25𝜋𝑛 + 0,341𝜋 𝑢 𝑛 𝑦 𝑛 = 6𝑢 𝑛 + 5,87 cos 0,25𝜋𝑛 + 0,341𝜋 𝑢 𝑛
2.3 Filter digital Filter digital sering disebut sebagai sistem diskrit. Filter dapat dikarakterisasi dalam bentuk sifat-sifatnya seperti linieritas, time-invariant, kausalitas, stabilitias dll, dan juga diklasifikasikan berdasarkan respons frekuensinya, diantaranya: 2.3.1 Filter fasa linier Filter dikatakan mempunyai fasa linier bila mempunyai bentuk persamaan sebagai berikut
𝐻 𝑒𝑗𝜔 = 𝐴 𝑒𝑗𝜔 . 𝑒−𝑗𝛼𝜔 (2.17)
Dimana 𝛼 dan 𝐴 𝑒𝑗𝜔 berturut-turut merupakan bilangan real dan nilai real sebagai
fungsi 𝜔. Fasa dari 𝐻 𝑒𝑗𝜔 adalah
∅ 𝜔 = −𝛼𝜔 untuk 𝐴 𝑒𝑗𝜔 ≥ 0
−𝛼𝜔 + 𝜋 untuk 𝐴 𝑒𝑗𝜔 < 0 (2.18)
Selanjutnya secara umum, filter dikatakan mempuntai fasa linier jika mempunyai bentuk umum
𝐻 𝑒𝑗𝜔 = 𝐴 𝑒𝑗𝜔 . 𝑒−𝑗 (𝛼𝜔 −𝛽) (2.19)
Pers (2.19) dapat dikatakan juga sebagai filter dengan group delay konstan. Group delay didefinisikan
𝜏𝑔 𝑒𝑗𝜔 = −𝑑∡𝐻 𝑒 𝑗𝜔
𝑑𝜔= −
𝑑−𝛼𝜔 +𝛽
𝑑𝜔= 𝛼 (2.20)
Artinya bahwa sinyal yang melewati sistem dengan respons fasa (−𝛼𝜔 + 𝛽) mengalami delay sebesar 𝛼.
Pengolahan Sinyal Digital, Bab II : Analisa Frekuensi
Bab II - 5
2.3.2 Filter Allpass Filter digital dikatakan allpass jika respons magnitud dari sistem adalah konstan dan secara matematis dapat ditulis sebagai berikut
𝐻 𝑒𝑗𝜔 = 𝑐 (2.21)
Contoh 2.2 Buktikan bahwa respons frekuensi dibawah ini merupakan sistem allpass.
𝐻 𝑒𝑗𝜔 =𝑒−𝑗𝜔 − 0,5
1 − 0,5𝑒−𝑗𝜔
Penyelesaian:
𝐻 𝑒𝑗𝜔 =𝑒−𝑗𝜔 − 0,5
1 − 0,5𝑒−𝑗𝜔=
cos 𝜔 − 𝑗sin𝜔 − 0,5
1 − 0,5 cos 𝜔 + 0,5𝑗sin𝜔
𝐻 𝑒𝑗𝜔 = (−0,5 + cos 𝜔)2 + (− sin 𝜔)2
(1 − 0,5cos 𝜔)2 + (0,5 sin 𝜔)2
𝐻 𝑒𝑗𝜔 = 0,25 − cos 𝜔 + 𝑐𝑜𝑠2𝜔 + sin2𝜔
1 − cos 𝜔 + 0,25𝑐𝑜𝑠2𝜔 + 0,25sin2𝜔
𝐻 𝑒𝑗𝜔 = 1,25 − cos 𝜔
1,25 − cos 𝜔= 1
Jadi sistem tersebut termasuk allpass karena, respons magnitud sistemnya bernilai konstan. 2.3.3 Filter selektif frekuensi Bedasarkan pemilihan frekuensi yang diloloskan, terdapat beberapa jenis filter diantaranya LPF (Low Pass Filter), HPF (High Pass Filter), BPF (Band Pass Filter), BSF (Band Stop Filter). Interval frekuensi pada respons magnitud yang bernilai 1 atau konstan disebut daerah passband (pita lolos) sedangkan interval frekuensi pada respons magnitud yang bernilai 0 disebut daerah stopband. Frekuensi yang membatasi passband dan stopband disebut frekuensi cutoff. Filter digital ideal mempunyai respons fasa 0 disemua frekuensi dan mempunyai respons magnitud sebagai berikut: a. Low Pass Filter (LPF) LPF mempunyai respons magnitud seperti pada gambar 2.2 dan selalu periodik dengan periode 2𝜋. LPF mempunyai frekuensi cutoff 𝜔𝑐 dan secara matematik dapat ditulis
𝐻 𝑒𝑗𝜔 = 1 𝜔 ≤ 𝜔𝑐
0 𝜔𝑐 < 𝜔 ≤ 𝜋 (2.22)
Pengolahan Sinyal Digital, Bab II : Analisa Frekuensi
Bab II - 6
ℎ 𝑛 =1
2𝜋 𝐻 𝑒𝑗𝜔 𝑒𝑗𝜔𝑛𝜋
−𝜋𝑑𝜔 =
sin 𝜔𝑐𝑛
𝜋𝑛 (2.23)
Gambar 2.2 Filter LPF ideal b. High Pass Filter (HPF) HPF mempunyai respons magnitud seperti pada gambar 2.3 dan selalu periodik dengan periode 2𝜋. HPF mempunyai frekuensi cutoff 𝜔𝑐 dan secara matematik dapat ditulis
𝐻 𝑒𝑗𝜔 = 1 𝜔𝑐 < 𝜔 ≤ 𝜋
0 𝜔 ≤ 𝜔𝑐
(2.24)
ℎ 𝑛 =1
2𝜋 𝐻 𝑒𝑗𝜔 𝑒𝑗𝜔𝑛𝜋
−𝜋𝑑𝜔 = 𝛿 𝑛 −
sin 𝜔𝑐𝑛
𝜋𝑛 (2.25)
Gambar 2.3 Filter HPF ideal
c. Band Pass Filter (BPF) BPF mempunyai respons magnitud seperti pada gambar 2.4 dan selalu periodik dengan periode 2𝜋. BPF mempunyai frekuensi cutoff 𝜔1 dan 𝜔2 . Secara matematik dapat ditulis
𝐻 𝑒𝑗𝜔 = 1 𝜔1 ≤ 𝜔 ≤ 𝜔2
0 𝜔 < 𝜔1 dan 𝜔2 < 𝜔 ≤ 𝜋 (2.26)
𝐻 𝑒𝑗𝜔
𝜔𝑐 −𝜔𝑐 𝜋 −𝜋
1
0 𝜔
𝐻 𝑒𝑗𝜔
𝜔𝑐 −𝜔𝑐 𝜋 −𝜋
1
0 𝜔
𝐻 𝑒𝑗𝜔
𝜔1 −𝜔2 𝜋 −𝜋
1
0 𝜔 𝜔2 −𝜔1
Pengolahan Sinyal Digital, Bab II : Analisa Frekuensi
Bab II - 7
Gambar 2.4 Filter BPF ideal
ℎ 𝑛 =1
2𝜋 𝐻 𝑒𝑗𝜔 𝑒𝑗𝜔𝑛𝜋
−𝜋𝑑𝜔 =
sin 𝜔2𝑛
𝜋𝑛−
sin 𝜔1𝑛
𝜋𝑛 (2.27)
d. Band Stop Filter (BSF) BSF mempunyai respons magnitud seperti pada gambar 2.5 dan selalu periodik dengan periode 2𝜋. BSF mempunyai frekuensi cutoff 𝜔1 dan 𝜔2 . Secara matematik dapat ditulis
𝐻 𝑒𝑗𝜔 = 1 𝜔 < 𝜔1 𝑑𝑎𝑛 𝜔2 < 𝜔 ≤ 𝜋
0 𝜔1 ≤ 𝜔 ≤ 𝜔2
(2.28)
ℎ 𝑛 =1
2𝜋 𝐻 𝑒𝑗𝜔 𝑒𝑗𝜔𝑛𝜋
−𝜋𝑑𝜔 = 𝛿 𝑛 −
sin 𝜔2𝑛
𝜋𝑛−
sin 𝜔1𝑛
𝜋𝑛 (2.29)
Gambar 2.5 Filter BSF ideal
2.4 Interkoneksi Sistem Diskrit Dua sistem diskrit atau lebih sering diinterkoneksikan menjadi sistem diskrit sesuai yang diinginkan. Terdapat dua tipe interkoneksi sistem yaitu serial (cascade) dan paralel. Sistem LTI tersusun secara serial ditunjukkan pada gambar 2.6.
Gambar 2.6 Interkoneksi secara serial
Sistem pada gambar 2.6 ekivalen dengan sistem tunggal yang mempunyai respons impuls
ℎ 𝑛 = ℎ1 𝑛 ∗ ℎ2 𝑛 (2.30)
Dan mempunyai respons frekuensi
𝐻 𝑒𝑗𝜔 = 𝐻1 𝑒𝑗𝜔 . 𝐻2 𝑒
𝑗𝜔 (2.31)
𝐻 𝑒𝑗𝜔
𝜔1 −𝜔2 𝜋 −𝜋
1
0 𝜔 𝜔2 −𝜔1
ℎ1(𝑛) ℎ2(𝑛) 𝑥(𝑛) 𝑦(𝑛)
Pengolahan Sinyal Digital, Bab II : Analisa Frekuensi
Bab II - 8
𝐻 𝑒𝑗𝜔 = 𝐻1 𝑒𝑗𝜔 𝑒𝑗∡𝐻1 𝑒 𝑗𝜔 . 𝐻2 𝑒
𝑗𝜔 𝑒𝑗∡𝐻2 𝑒 𝑗𝜔 (2.32)
𝐻 𝑒𝑗𝜔 = 𝐻1 𝑒𝑗𝜔 . 𝐻2 𝑒
𝑗𝜔 . 𝑒𝑗 (∡𝐻1 𝑒 𝑗𝜔 +∡𝐻2 𝑒 𝑗𝜔 ) (2.33)
𝐻 𝑒𝑗𝜔 = 𝐻1 𝑒𝑗𝜔 . 𝐻2 𝑒
𝑗𝜔 (2.34)
∡𝐻 𝑒𝑗𝜔 = ∡𝐻1 𝑒𝑗𝜔 + ∡𝐻2 𝑒
𝑗𝜔 (2.35)
Pada pers (2.34) dan (2.35) terlihat bahwa respons magnitud sistem ekivalen cascade merupakan perkalian antara respons magnitud pertama dan respons magnitud kedua. Respons fasa sistem ekivalen merupakan jumlahan respons fasa sistem pertama dengan respons fasa sistem kedua.
Gambar 2.7 Interkoneksi secara paralel Dua sistem LTI yang tersusun secara paralel dapat dilihat pada gambar 2.7. Jaringan sistem yang tersusun paralel sama dengan sistem ekivalen yang mempunyai respons impuls
ℎ 𝑛 = ℎ1 𝑛 + ℎ2 𝑛 (2.36)
Sedangkan respons frekuensi sistem ekivalennya
𝐻 𝑒𝑗𝜔 = 𝐻1 𝑒𝑗𝜔 + 𝐻2 𝑒
𝑗𝜔 (2.37)
𝐻 𝑒𝑗𝜔 = 𝐻1 𝑒𝑗𝜔 𝑒𝑗∡𝐻1 𝑒 𝑗𝜔 + 𝐻2 𝑒
𝑗𝜔 𝑒𝑗∡𝐻2 𝑒 𝑗𝜔 (2.38)
𝐻 𝑒𝑗𝜔 = 𝐻𝑅1 𝑒𝑗𝜔 + 𝐻𝑅2 𝑒
𝑗𝜔 + j𝐻𝐼1 𝑒𝑗𝜔 + 𝐻𝐼2 𝑒
𝑗𝜔 (2.39)
Jika kedua sistem LTI yang tersusun secara paralel masing-masing mempunyai respons fasa 0 disemua frekuensi, maka respons frekuensi ekivalennya merupakan jumlahan respons magnitud pertama dan respons magnitud kedua. Apabila respons fasa masing-masing sistem LTI tidak nol, maka respons frekuensi ekivalennya dapat diselesaikan menggunakan pers (2.39) dengan respons magnitud ekivalen dan respons fasa ekivalen sebagai berikut
𝐻 𝑒𝑗𝜔 = 𝐻𝑅1 𝑒𝑗𝜔 + 𝐻𝑅2 𝑒
𝑗𝜔 2 + 𝐻𝐼1 𝑒𝑗𝜔 + 𝐻𝐼2 𝑒
𝑗𝜔 2 (2.40)
ℎ1(𝑛)
ℎ2(𝑛)
𝑥(𝑛) 𝑦(𝑛)
Pengolahan Sinyal Digital, Bab II : Analisa Frekuensi
Bab II - 9
∡𝐻 𝑒𝑗𝜔 = 𝑡𝑎𝑛−1 𝐻𝐼1 𝑒
𝑗𝜔 + 𝐻𝐼2 𝑒𝑗𝜔
𝐻𝑅1 𝑒𝑗𝜔 + 𝐻𝑅2 𝑒𝑗𝜔 (2.41)
Contoh 2.3 Dua sistem LTI dengan respon frekuensi seperti pada gambar 2.8, kedua sistem tersebut
dipasang secara serial (cascade).
Gambar 2.8 Respons frekuensi dua sistem LTI
a. Gambarkan respons frekuensi sistem ekivalennya
b. Tentukan persamaan respon frekuensi sistem ekivalennya.
c. Tentukan persamaan respon impuls sistem ekivalennya.
Penyelesaian:
a. Karena tersusun secara serial maka respons magnitud ekivalennya merupakan perkalian antara respons magnitud pertama dengan respons magnitud kedua, sehingga gambar respons magnitud ekivalennya berupa respons magnitud BPF, b. Persamaan respon frekuensi sistem ekivalennya
𝐻 𝑒𝑗𝜔 = 1 𝜋/3 ≤ 𝜔 ≤ 3𝜋/4
0 𝜔 < 𝜋/3 dan 3𝜋/4 < 𝜔 ≤ 𝜋
c. Persamaan respon impuls sistem ekivalennya
ℎ(𝑛) =sin 3𝜋𝑛/4
𝜋𝑛−
sin 𝜋𝑛/3
𝜋𝑛
2.5 Transformasi Fourier Diskrit Respons frekuensi sistem LTI diperoleh dengan mengalikan respons impuls ℎ(𝑛)
dengan eksponensial kompleks 𝑒−𝑗𝜔𝑛 dan menjumlahkan sebanyak interval 𝑛. Transformasi Fourier (TF) diskrit dari 𝑋 𝑒𝑗𝜔 didefinisikan dengan cara yang sama
yaitu
-3π/4 -π/3 π/3 3π/4 ω
1
𝐻 𝑒𝑗𝜔
H2(𝑒𝑗𝜔 ) H1(𝑒𝑗𝜔 )
1 1
-3π/4 -π/4 π/4 3π/4 ω
-π -π/3 π/3 π ω
Pengolahan Sinyal Digital, Bab II : Analisa Frekuensi
Bab II - 10
𝑋 𝑒𝑗𝜔 = 𝑥 𝑛
∞
𝑛=−∞
𝑒−𝑗𝜔𝑛 (2.42)
Agar transformasi Fourier sinyal diskrit 𝑋 𝑒𝑗𝜔 ada, maka penjumlahan pada pers (2.42) harus konvergen. Hal ini terpenuhi bila 𝑥(𝑛) dapat dijumlahkan secara absolut:
𝑥 𝑛
∞
𝑛=−∞
= 𝑆 < ∞ (2.43)
Hal yang harus diingat bahwa transformasi Fourier mempunyai sifat selalu periodik dengan periode 2𝜋. 2.6 Transformasi Fourier Diskrit Balik
Transformasi Fourier Diskrit Balik dari spektrum sinyal diskrit 𝑋 𝑒𝑗𝜔 dapat diperoleh
cara yang sama dengan saat mendapatkan respons impuls sistem LTI, sehingga 𝑥(𝑛) diperoleh dengan melakukan transformasi Fourier Diskrit Balik
𝑥 𝑛 =1
2𝜋 𝑋 𝑒𝑗𝜔 𝑒𝑗𝜔𝑛
𝜋
−𝜋
𝑑𝜔 (2.44)
Pasangan transformasi Fourier diskrit dapat dilihat pada tabel 2.1.
Tabel 2.1 Pasangan transformasi Fourier diskrit No Sinyal diskrit Transformasi Fpurier 1 𝛿(𝑛) 1 2 𝛿(𝑛 − 𝑑) 𝑒−𝑗𝜔𝑑
3 1 (−∞ < 𝑛 < ∞) 2𝜋𝛿(𝜔 + 2𝜋𝑘)
∞
𝑘=−∞
4 𝑎𝑛𝑢(𝑛) ( 𝑎 < 1) 1
1 − 𝑎𝑒−jω
5 𝑢(𝑛) 1
1 − 𝑎𝑒−jω+ 𝜋𝛿(𝜔 + 2𝜋𝑘)
∞
𝑘=−∞
6 (𝑛 + 1)𝑎𝑛𝑢(𝑛) ( 𝑎 < 1) 1
1 − 𝑎𝑒−jω 2
7 𝑟𝑛 sin 𝜔0 𝑛 + 1
sin 𝜔0𝑢(𝑛) ( 𝑟 < 1)
1
1 − 2𝑟cos𝜔0𝑒−jω + 𝑟2𝑒−j2ω
8 sin 𝜔𝑐𝑛
𝜋𝑛 𝐻 𝑒𝑗𝜔 =
1 𝜔 ≤ 𝜔𝑐
0 𝜔𝑐 < 𝜔 ≤ 𝜋
9 𝑥 𝑛 = 1 0 ≤ 𝑛 ≤ 𝑀0 𝑛 lainnya
sin[𝜔(𝑀 + 1)/2]
sin(𝜔/2)𝑒−𝑗𝜔𝑀 /2
10 𝑒 j]𝜔0𝑛 2𝜋𝛿(𝜔 − 𝜔0 + 2𝜋𝑘)
∞
𝑘=−∞
Pengolahan Sinyal Digital, Bab II : Analisa Frekuensi
Bab II - 11
11 cos(𝜔0𝑛 + ∅) 𝜋[𝑒𝑗∅𝛿 𝜔 − 𝜔0 + 2𝜋𝑘
∞
𝑘=−∞
+ 𝑒−𝑗∅𝛿 𝜔 + 𝜔0 + 2𝜋𝑘 ]
2.7 Sifat-sifat Transformasi Fourier Diskrit Sifat transformasi Fourier diskrit (TF) dapat digunakan untuk menyederhanakan evaluasi transformasi Fourier dan inversnya. Beberapa sifat transformasi Fourier dijelaskan dibawah ini dan disimpulkan pada tabel 2.2.
Tabel 2.2 Sifat-sifat Transformasi Fourier Sifat Sinyal diskrit Transformasi Fourier
Linier 𝑎𝑥1 𝑛 + 𝑏𝑥2 𝑛 𝑎𝑋1 𝑒𝑗𝜔 + 𝑏𝑋2 𝑒
𝑗𝜔
Pergeseran waktu 𝑥 𝑛 − 𝑑 𝑒−𝑗𝜔𝑑 𝑋1 𝑒𝑗𝜔
Time-reversal 𝑥 −𝑛 𝑋 𝑒−𝑗𝜔
Modulasi 𝑒𝑗𝜔0𝑛𝑥 𝑛 𝑋(𝑒𝑗 (𝜔−𝜔0)) Konvolusi 𝑥1 𝑛 ∗ 𝑥2 𝑛 𝑋1 𝑒
𝑗𝜔 . 𝑋2 𝑒𝑗𝜔
Konjugasi 𝑥∗ 𝑛 𝑋∗ 𝑒−𝑗𝜔
Derivative 𝑛𝑥 𝑛 𝑗𝑑𝑋 𝑒𝑗𝜔
𝑑𝜔
Perkalian 𝑥1 𝑛 .𝑥2 𝑛 1
2𝜋 𝑋1 𝑒
𝑗𝜃 𝑋2(𝑒𝑗 (𝜔−𝜃)𝑑𝜃𝜋
−𝜋
Teori Parseval 𝑥 𝑛 2
∞
𝑛=−∞
1
2𝜋 𝑋(𝑒𝑗𝜔 )
2𝑑𝜔
𝜋
−𝜋
a. Linieritas
Sinyal diskrit 𝑥1(𝑛) mempunyai TF 𝑋1 𝑒𝑗𝜔 dan sinyal diskrit 𝑥2(𝑛) mempunyai
TF 𝑋2 𝑒𝑗𝜔 , maka jumlahan dua sinyal diskrit 𝑥1(𝑛) dan 𝑥2(𝑛) mempunyai TF
sebagai berikut
𝑎𝑥1 𝑛 + 𝑏𝑥2 𝑛 𝑇𝐹 𝑎𝑋1 𝑒
𝑗𝜔 + 𝑏𝑋2 𝑒𝑗𝜔
Dimana 𝑎 dan 𝑏 merupakan konstanta
b. Pergeseran waktu
Sinyal diskrit 𝑥(𝑛) mempunyai TF 𝑋 𝑒𝑗𝜔 , maka sinyal 𝑥(𝑛) yang ditunda
sebesar 𝑑 mempnyai TF
𝑥 𝑛 − 𝑑 𝑇𝐹 𝑒−𝑗𝜔𝑑 𝑒𝑗𝜔
c. Modulasi
Sinyal diskrit 𝑥(𝑛) mempunyai TF 𝑋 𝑒𝑗𝜔 , maka sinyal 𝑥(𝑛) dikalikan dengan
eksponensial komplek 𝑒𝑗𝜔0𝑛 menghasilkan pergeseran frekuensi
Pengolahan Sinyal Digital, Bab II : Analisa Frekuensi
Bab II - 12
𝑒𝑗𝜔0𝑛𝑥 𝑛 𝑇𝐹 𝑋(𝑒𝑗 (𝜔−𝜔0))
d. Konvolusi
Sinyal diskrit 𝑥1(𝑛) mempunyai TF 𝑋1 𝑒𝑗𝜔 dan sinyal diskrit 𝑥2(𝑛) mempunyai
TF 𝑋2 𝑒𝑗𝜔 , maka konvolusi dua sinyal diskrit 𝑥1(𝑛) dan 𝑥2(𝑛) mempunyai TF
sebagai berikut
𝑥1 𝑛 ∗ 𝑥2 𝑛 𝑇𝐹 𝑋1 𝑒
𝑗𝜔 . 𝑋2 𝑒𝑗𝜔
e. Perkalian
Sinyal diskrit 𝑥1(𝑛) mempunyai TF 𝑋1 𝑒𝑗𝜔 dan sinyal diskrit 𝑥2(𝑛) mempunyai
TF 𝑋2 𝑒𝑗𝜔 , maka perkalian dua sinyal diskrit 𝑥1(𝑛) dan 𝑥2(𝑛) mempunyai TF
sebagai berikut
𝑥1 𝑛 . 𝑥2 𝑛 𝑇𝐹
1
2𝜋 𝑋1 𝑒
𝑗𝜃 𝑋2(𝑒𝑗 (𝜔−𝜃)𝑑𝜃𝜋
−𝜋
f. Teori Parseval
Sinyal diskrit 𝑥(𝑛) mempunyai TF 𝑋 𝑒𝑗𝜔 , maka kita dapat menghitung energi
suatu sinyal diskrit dalam domain waktu maupun domain frekuensi dengan formula sebagai berikut
𝑥 𝑛 2 =1
2𝜋 𝑋(𝑒𝑗𝜔 )
2𝑑𝜔
𝜋
−𝜋
∞
𝑛=−∞
Untuk menghitung energi sinyal bila diketahui kuadrat spektrum magnitud suatu sinyal diskrit, dapat kita integralkan dalam satu periode 2𝜋.
2.8 Aplikasi Pada bagian ini kita menjelaskan beberapa aplikasi transformasi Fourier untuk analisa
sistem LTI.
a. Respons frekuensi sistem LTI
Sistem diskrit LTI dapat dikarakterisasi dengan hubungan input 𝑥(𝑛) dan output 𝑦(𝑛)
yang dinyatakan dengan persamaan beda koefisien konstan linier orde-N sebagai
berikut
𝑎𝑘𝑦(𝑛 − 𝑘)
𝑁
𝑘=0
= 𝑏𝑘𝑥(𝑛 − 𝑘)
𝑀
𝑘=0
(2.45)
Respons frekuensi sistem dapat diperoleh dengan melakukan transformasi Fourier pers
(2.45) sebagai berikut
Pengolahan Sinyal Digital, Bab II : Analisa Frekuensi
Bab II - 13
𝑎𝑘𝑒−𝑗𝜔𝑘
𝑁
𝑘=0
𝑌 𝑒𝑗𝜔 = 𝑏𝑘𝑒−𝑗𝜔𝑘
𝑀
𝑘=0
𝑋 𝑒𝑗𝜔 (2.46)
𝐻 𝑒𝑗𝜔 =𝑌 𝑒𝑗𝜔
𝑋 𝑒𝑗𝜔 =
𝑏𝑘𝑒−𝑗𝜔𝑘𝑀𝑘=0
𝑎𝑘𝑒−𝑗𝜔𝑘𝑁𝑘=0
(2.47)
Apabila 𝑎0 = 1, maka respons frekuensi sistem menjadi
𝐻 𝑒𝑗𝜔 =𝑌 𝑒𝑗𝜔
𝑋 𝑒𝑗𝜔 =
𝑏𝑘𝑒−𝑗𝜔𝑘𝑀𝑘=0
1 + 𝑎𝑘𝑒−𝑗𝜔𝑘𝑁𝑘=1
(2.48)
Contoh 2.4
Sistem LTI mempunyai persamaan beda koefisien konstan linier sebagai berikut
𝑦 𝑛 = 0,25𝑦 𝑛 − 1 + 0,3𝑦 𝑛 − 2 + 1,5𝑥 𝑛 + 0,4𝑥 𝑛 − 1 − 0,6𝑥(𝑛 − 2)
Tentukan respons frekuensi sistem tersebut.
Penyelesaian:
Kita lakukan transformasi Fourier sehingga menjadi
𝑌 𝑒𝑗𝜔 = 0,25𝑒−𝑗𝜔 𝑌 𝑒𝑗𝜔 + 0,3𝑒−𝑗2𝜔𝑌 𝑒𝑗𝜔 + 1,5𝑋 𝑒𝑗𝜔 + 0,4𝑒−𝑗𝜔 𝑋 𝑒𝑗𝜔
− 0,6𝑒−𝑗2𝜔𝑋 𝑒𝑗𝜔
𝑌 𝑒𝑗𝜔 [1 − 0,25𝑒−𝑗𝜔 − 0,3𝑒−𝑗2𝜔 ] = 𝑋 𝑒𝑗𝜔 [1,5 + 0,4𝑒−𝑗𝜔 − 0,6𝑒−𝑗2𝜔 ]
𝐻 𝑒𝑗𝜔 =𝑌 𝑒𝑗𝜔
𝑋 𝑒𝑗𝜔 =
1,5 + 0,4𝑒−𝑗𝜔 − 0,6𝑒−𝑗2𝜔
1 − 0,25𝑒−𝑗𝜔 − 0,3𝑒−𝑗2𝜔
b. Konvolusi
Transformasi Fourier (TF) diskrit memetakan konvolusi dalam domain waktu ke
perkalian dalam domain frekuensi. TF diskrit memberikan solusi alternatif untuk
mempermudah analisa respons sistem. Contoh berikut memberikan prosedur
penyelesaiannya.
Contoh 2.5
Respons impuls sistem LTI ℎ 𝑛 = 1
2
𝑛
𝑢(𝑛), tentukan respons sistem bila inpunya
𝑥 𝑛 = 1
3
𝑛
𝑢(𝑛)?
Penyelesaian:
Pengolahan Sinyal Digital, Bab II : Analisa Frekuensi
Bab II - 14
Karena respons sistem merupakan konvolusi antara 𝑥(𝑛) dengan 𝑦(𝑛), maka kita dapat
menyelesaikan dengan TF yaitu berupa perkalian antara 𝑋 𝑒𝑗𝜔 dan 𝐻 𝑒𝑗𝜔 ,
selanjutnya dilakukan invers dari TF.
𝑌 𝑒𝑗𝜔 = 𝐻 𝑒𝑗𝜔 . 𝑋 𝑒𝑗𝜔
𝑌 𝑒𝑗𝜔 =1
1 −12
𝑒−𝑗𝜔.
1
1 −13
𝑒−𝑗𝜔=
𝐴
1 −12
𝑒−𝑗𝜔+
𝐵
1 −13
𝑒−𝑗𝜔
𝐴 = 𝑌 𝑒𝑗𝜔 1 −1
2𝑒−𝑗𝜔
𝑒−𝑗𝜔 =2
=1
1 −13 𝑒−𝑗𝜔
𝑒−𝑗𝜔 =2
= 3
𝐵 = 𝑌 𝑒𝑗𝜔 1 −1
3𝑒−𝑗𝜔
𝑒−𝑗𝜔 =3
=1
1 −12 𝑒−𝑗𝜔
𝑒−𝑗𝜔 =3
= −2
𝑌 𝑒𝑗𝜔 =3
1 −12 𝑒−𝑗𝜔
−2
1 −13 𝑒−𝑗𝜔
𝑦 𝑛 = 𝑇𝐹−1 𝑌 𝑒𝑗𝜔 = 3 1
2
𝑛
𝑢 𝑛 − 2 1
3
𝑛
𝑢 𝑛
c. Penyelesaian persamaan beda
TF diskrit dapat digunakan untuk menyelesaikan persamaan beda dalam domain
frekuensi dengan kondisi awal sama dengan nol. Prosedurnya menyederhanakan
transformasi persamaan beda ke domain frekuensi dengan menggunakan TF setiap
suku pada persamaan beda, menyelesaikan bentuk yang diinginkan dan melakukan TF
balik.
Contoh 2.6
Sistem LTI mempunyai hubungan input output yang dinyatakan dengan persamaan
beda 𝑦 𝑛 − 0,25𝑦 𝑛 − 1 = 𝑥 𝑛 − 𝑥(𝑛 − 2), diasumsikan kondisi awal nol. Tentukan
respons impuls sistem tersebut.
Penyelesaian:
Input sistem 𝑥 𝑛 = 𝛿(𝑛), maka 𝑇𝐹 𝑥(𝑛) = 𝑋 𝑒𝑗𝜔 = 1, selanjutnya 𝑇𝐹 persamaan
beda sistem
𝑌 𝑒𝑗𝜔 − 0,25𝑒−𝑗𝜔 𝑌 𝑒𝑗𝜔 = 𝑋 𝑒𝑗𝜔 − 𝑒−𝑗2𝜔 𝑋 𝑒𝑗𝜔
𝑌 𝑒𝑗𝜔 1 − 0,25𝑒−𝑗𝜔 = 𝑋 𝑒𝑗𝜔 1 − 𝑒−𝑗2𝜔
𝐻 𝑒𝑗𝜔 =𝑌 𝑒𝑗𝜔
𝑋 𝑒𝑗𝜔 =
1 − 𝑒−𝑗2𝜔
1 − 0,25𝑒−𝑗𝜔=
1
1 − 0,25𝑒−𝑗𝜔−
𝑒−𝑗2𝜔
1 − 0,25𝑒−𝑗𝜔
Pengolahan Sinyal Digital, Bab II : Analisa Frekuensi
Bab II - 15
ℎ 𝑛 = 𝑇𝐹−1 𝐻 𝑒𝑗𝜔 = 1
4
𝑛
𝑢 𝑛 − 1
4
𝑛−2
𝑢 𝑛 − 2
LATIHAN BAB II
1. Sistem LTI mempunyai respons frekuensi yang dinyatakan dengan respons magnitud
dan respons fasa digambarkan sebagai beikut
Tentukan output steady state bila inputnya:
a. 𝑥 𝑛 = 2 cos 𝜋𝑛
4+
𝜋
2 𝑢(𝑛)
b. 𝑥 𝑛 = 3𝑢 𝑛 + 2 sin 𝜋𝑛
4+
𝜋
2 𝑢(𝑛)
c. 𝑥 𝑛 = 2 sin 𝜋𝑛
4+
𝜋
2 cos
𝜋𝑛
4+
𝜋
2 𝑢(𝑛)
2. Sistem LTI kausal mempunyai hubungan input output yang dinyatakan dengan
persmaan beda koefisien konstan sebagai berikut
𝑦 𝑛 = 𝑥 𝑛 −1
2𝑦(𝑛 − 1)
a. Tentukan persamaan respons frekuensi sistem.
b. Tentukan persamaan dan gambar respons magnitud sistem.
c. Tentukan persamaan dan gambar respons fasa sistem.
3. Sistem LTI kausal mempunyai hubungan input output yang dinyatakan dengan
persamaan beda koefisien konstan sebagai berikut
𝑦 𝑛 = 𝑥 𝑛 +3
4𝑦 𝑛 − 1 −
1
8𝑦(𝑛 − 2)
a. Tentukan persamaan respons frekuensi sistem.
b. Tentukan output sistem bila inputnya.
i. 𝑥 𝑛 = 𝛿 𝑛 −1
2𝛿(𝑛 − 1)
𝐻 𝑒𝑗𝜔
𝜋/3 𝜋 −𝜋
1
0 𝜔 −𝜋/3
∡𝐻 𝑒𝑗𝜔
𝜋/3 𝜋 −𝜋 0 𝜔 −𝜋/3
𝜋/3
−𝜋/3
Pengolahan Sinyal Digital, Bab II : Analisa Frekuensi
Bab II - 16
ii. 𝑥 𝑛 = 1
4
𝑛
𝑢(𝑛)
iii. 𝑥 𝑛 = 1
4
𝑛−2
𝑢(𝑛 − 2)
Soal 2: Soal yang pernah keluar di UTS
Diketahui dua sistem dengan respon frekuensi seperti pada gambar dibawah, kedua
sistem tersebut dipasang seri (atau kaskade),
a. Gambarkan respons frekuensi sistem keseluruhan.
b. Tentukan persamaan respon frekuensi sistem keseluruhan.
c. Tentukan persamaan respon impuls sistem keseluruhan.
d. Gambarkan dan tentukan spektrum sinyal output 𝑦 𝑛 , yaitu 𝑌 𝑒𝑗𝜔 , bila sistem
diberi sinyal input dengan spektrum:
e. Jelaskan apa yang dialami sinyal input 𝑥 𝑛 setelah melewati sistem-1 dan
sistem 2?
f. Tentukan output steady state bila inputnya 𝑥 𝑛 = 2 cos 0,25𝜋𝑛 𝑢(𝑛) +
3𝑠𝑖𝑛(0,5𝜋𝑛)𝑢(𝑛)
-3π/4 -π/4 π/4 3π/4 ω
-3π/4 -π/4 π/4 3π/4 ω
X(𝑒𝑗𝜔 ) X(𝑒𝑗𝜔 ) 1
-3π/4 -π/4 ω
π/4 3π/4
π/8 3π/8
-3π/8
-π/8 -π -π/3 ω
π/3 π
π/6
-π/6
-π/2
π/2 H2(𝑒𝑗𝜔 ) H1(𝑒𝑗𝜔 )
H2(𝑒𝑗𝜔 ) H1(𝑒𝑗𝜔 ) 1 1
1
-3π/4 -π/4 π/4 3π/4 ω
-π -π/3 π/3 π ω
Pengolahan Sinyal Digital, Bab III : Sampling & Rekonstruksi Sinyal
Bab III - 1
Bab 3
Sampling dan Rekonstruksi Sinyal
3.1 Pendahuluan
Sinyal diskrit diperoleh dengan melakukan proses sampling pada sinyal kontinyu.
Banyak contoh aplikasi pengolahan sinyal digital yang dijumpai pada sistem relay
protection, pengolahan sinyal suara dan sinyal audio, sistem radar dan sonar,
pengolahan sinyal seismic dan biologi, pengolahan sinyal multimedia dan lain
sebagainya. Sinyal kontinyu disampling secara periodik dengan periode sampling
tertentu, sehingga sinyal diskrit merupakan urutan sinyal kontinyu yang tersampling.
Proses sampling sinyal kontinyu menjadi sinyal diskrit/digital disebut konversi analog
ke digital (analog to digital converter – ADC), sedangkan proses dari sinyal digital ke
sinyal analog/kontinyu disebut konversi digital ke analog (digital to analog converter –
DAC). Rangkaian ADC dan DAC biasanya dipakai pada sistem pengolahan sinyal digital
seperti terlihat pada gambar 3.1. Pada bab ini akan didiskusikan tentang proses
sampling yang terjadi pada ADC dan proses rekonstruksi sinyal yang terjadi pada DAC,
termasuk fenomena aliasing yang terjadi pada sinyal pita tak terbatas atau ketika
menggunakan laju sampling yang begitu rendah.
Gambar 3.1 Komponen ADC dan DAC pada sistem pengolahan sinyal digital pada sistem
kontinyu ekivalen
3.2 Proses Konversi Sinyal Analog ke Digital
Sinyal analog/kontinyu 𝑥𝑎(𝑡) diproses melalui rangkaian ADC menjadi sinyal diskrit
𝑥(𝑛) yang dikuantisasi dan dikodekan menjadi deretan sinyal digital (bit stream). Sinyal
analog ini bisa berupa sinyal tone (sinus), voice, audio, maupun video. Komponen ADC
ditunjukkan pada gambar 3.2. Blok pertama menggambarkan rangkaian penyampling
yang kadang-kadang disebut continuous-to-discrete converter (C/D) atau ADC ideal.
Rangkaian penyampling mampu mengkonversikan sinyal analog 𝑥𝑎(𝑡) menjadi sinyal
ADC
converter
DAC
converter
Filter digital
𝐻(𝑧)
𝑥𝑎(𝑡) 𝑥(𝑛) 𝑦(𝑛) 𝑦(𝑡)
𝑇 𝑇
Pengolahan Sinyal Digital, Bab III : Sampling & Rekonstruksi Sinyal
Bab III - 2
diskrit 𝑥 𝑛 dengan cara mengekstraksi sinyal analog 𝑥𝑎(𝑡) pada kelipatan integer
periode sampling 𝑇 menjadi 𝑥 𝑛 = 𝑥𝑎(𝑛𝑇).
Gambar 3.2 Komponen pada ADC
Sampel-sampel 𝑥𝑎(𝑛𝑇) merupakan nilai amplitudo sinyal 𝑥𝑎(𝑡) pada setiap periode
sampling 𝑇. Blok kedua dari ADC adalah quantizer, yang memetakan amplitudo sinyal
kontinyu tersampling menjadi sekelompok/set amplitudo diskrit. Pada quantizer serba
sama (unform), proses kuantisasi ditentukan oleh jumlah bit dan interval kuantisasi ∆.
Blok ketiga dari ADC merupakan pengkode (encoder), yang berfungsi untuk
mengkodekan sinyal diskrit 𝑥 (𝑛) menjadi deretan bit-bit 𝑐(𝑛) atau binery codewords.
3.2.1 Penyamplingan Periodik
Sinyal diskrit dibentuk dengan menyampling sinyal kontinyu/analog secara periodik
dengan periode 𝑇, sehingga menjadi
𝑥 𝑛 = 𝑥𝑎(𝑛𝑇) (3.1)
Spasi sampling 𝑇 merupakan periode sampling dan 𝑓𝑠 = 1/𝑇 merupakan frekuensi
sampling dalam sampel per detik. Proses sampling dan bentuk-bentuk sinyalnya terlihat
pada gambar 3.3. Pada tahap pertama, sinyal analog dikalikan dengan deretan impuls
dengan periode 𝑇,
𝑠𝑎 𝑡 = 𝛿(𝑡 − 𝑛𝑇)
∞
𝑛=−∞
(3.2)
menjadi deretan sinyal tersampel 𝑥𝑠(𝑡),
𝑥𝑠 𝑡 = 𝑥𝑎(𝑡). 𝑠𝑎(𝑡) = 𝑥𝑎 𝑛𝑇 .𝛿(𝑡 − 𝑛𝑇)
∞
𝑛=−∞
(3.3)
Selanjutnya, sinyal deretan impuls dikonversikan menjadi sinyal diskrit dengan
memetakan deretan impuls periode 𝑇 menjadi sinyal diskrit 𝑥(𝑛), dimana nilai sampel
periode 𝑇 diindeks dengan variabel integer 𝑛.
𝑥 𝑛 = 𝑥𝑎(𝑛𝑇)
C/D
converter
Encoder
Quantizer
𝑥𝑎(𝑡) 𝑥(𝑛) 𝑥 (𝑛) 𝑐(𝑛)
𝑇 ∆
Pengolahan Sinyal Digital, Bab III : Sampling & Rekonstruksi Sinyal
Bab III - 3
Gambar 3.3 Proses pada konverter C/D dan bentuk-bentuk sinyalnya:
(a). Blok diagram konverter C/D,
(b). Sinyal informasi analog asal,
(c). Deretan impuls dengan amplitudo 1,
(d). Deretan impuls dengan amplitudo sesuai informasi analog asal,
(e). Sinyal diskrit output konverter C/D.
3.2.2 Representasi Kawasan Frekuensi Proses Sampling
Pada bagian sebelumnya proses pada konverter C/D dianalisa dalam kawasan waktu,
selanjutnya proses pada konverter C/D dapat dianalisa dalam kawasan frekuensi.
Transformasi Fourier kontinyu deretan impuls 𝑠𝑎(𝑡) adalah
𝑆𝑎 𝑗Ω =2𝜋
𝑇 𝛿(Ω − 𝑘Ω𝑠)
∞
𝑘=−∞
(3.4)
Konversi deretan impuls ke diskrit
𝑥𝑎(𝑡) 𝑥 𝑛 = 𝑥𝑎(𝑛𝑇)
𝑠𝑎(𝑡)
𝑥𝑠(𝑡)
(𝑎)
𝑥𝑎(𝑡)
𝑡 0
(𝑏)
𝑠𝑎 𝑡 = 𝛿(𝑡 − 𝑛𝑇)
∞
𝑛=−∞
𝑡
1
0 T 2T 3T 4T 5T 6T 7T 8T
(𝑐)
𝑥𝑠 𝑡 = 𝑥𝑎 𝑛𝑇 .𝛿(𝑡 − 𝑛𝑇)
∞
𝑛=−∞
𝑡 0 T 2T 3T 4T 5T 6T 7T 8T
(𝑑)
0 1 2 3 4 5 6 7 8 𝑛
𝑥 𝑛 = 𝑥𝑎(𝑛𝑇)
(𝑒)
Pengolahan Sinyal Digital, Bab III : Sampling & Rekonstruksi Sinyal
Bab III - 4
dimana, Ω𝑠 = 2𝜋/𝑇 merupakan frekuensi sampling dalam satuan radian per detik.
sedangkan transformasi Fourier kontinyu sinyal informasi asal 𝑥𝑎(𝑡) adalah 𝑋𝑎(𝑗Ω),
maka transformasi Fourier kontinyu sinyal tersampling 𝑥𝑠(𝑡) adalah
𝑋𝑠 𝑗Ω =1
2𝜋𝑋𝑎 𝑗Ω ∗ 𝑆𝑎 𝑗Ω =
1
2𝜋𝑋𝑎 𝑗Ω ∗
2𝜋
𝑇 𝛿 Ω − 𝑘Ω𝑠
∞
𝑘=−∞
(3.5)
𝑋𝑠 𝑗Ω =1
𝑇 𝑋𝑎 𝑗Ω − 𝑗𝑘Ω𝑠 =
1
𝑇 𝑋𝑎 𝑗(Ω − 𝑘Ω𝑠)
∞
𝑘=−∞
∞
𝑘=−∞
(3.6)
Kita dapat menyatakan transformasi Fourier kontinyu dari sinyal 𝑥𝑠(𝑡) dalam bentuk
lain, karena transformasi Fourier dari 𝛿(𝑡 − 𝑛𝑇) adalah 𝑒−𝑗Ω𝑛𝑇 , maka transformasi
Fourier kontinyu dari sinyal:
𝑥𝑠 𝑡 = 𝑥𝑎 𝑛𝑇 .𝛿(𝑡 − 𝑛𝑇)
∞
𝑛=−∞
adalah
𝑋𝑠 𝑗Ω = 𝑥𝑎 𝑛𝑇 𝑒−𝑗Ω𝑛𝑇
∞
𝑛=−∞
(3.7)
Selanjutnya, transformasi Fourier diskrit 𝑥(𝑛) adalah
𝑋 𝑒𝑗𝜔 = 𝑥 𝑛 𝑒−𝑗𝜔𝑛 =
∞
𝑛=−∞
𝑥𝑎 𝑛𝑇 𝑒−𝑗𝜔𝑛
∞
𝑛=−∞
(3.8)
Kita bandingkan pers. (3.7) dan pers. (3.8), maka terdapat hubungan bahwa
𝑋 𝑒𝑗𝜔 = 𝑋𝑠(𝑗Ω) Ω=𝜔/𝑇 (3.9)
Dan kita substitusikan pers. (3.9) ke pers. (3.6) menjadi
𝑋 𝑒𝑗𝜔 =1
𝑇 𝑋𝑎 𝑗(
𝜔
𝑇−
2𝜋𝑘
𝑇)
∞
𝑘=−∞
(3.10)
Akhirnya dapat dikatakan bahwa 𝑋 𝑒𝑗𝜔 merupakan bentuk 𝑋𝑠 𝑗Ω yang terskala
dalam kawasan frekuensi dengan skala yang terdefinisikan dengan
𝜔 = Ω. 𝑇
Skala ini yang membuat 𝑋 𝑒𝑗𝜔 periodik dengan periode 2𝜋, sebagai konsekwuensinya
dalam skala waktu ketika 𝑥𝑠(𝑡) dikonversikan ke 𝑥 𝑛 .
Pengolahan Sinyal Digital, Bab III : Sampling & Rekonstruksi Sinyal
Bab III - 5
Gambar 3.4 Bentuk spektrum sinyal pada proses konverter C/D
Analisa bentuk spektrum dalam kawasan frekuensi pada proses yang terjadi pada
rangkaian konverter C/D pada gambar 3.3 (a) dapat dilihat pada gambar 3.4. Spekrum
−2𝜋 2𝜋 0 𝜔
(2𝜋 − 𝜔𝑁)
1/𝑇
(𝑑)
−𝜔𝑁 𝜔𝑁 0
𝑋(𝑒𝑗𝜔 )
(2𝜋 + 𝜔𝑁) −(2𝜋 − 𝜔𝑁) −(2𝜋 + 𝜔𝑁)
𝜔𝑁 = Ω𝑁 . 𝑇
−Ω𝑁 Ω𝑁 0
𝑋𝑎(𝑗Ω)
Ω
(𝑎)
1 Ω𝑁 = 2𝜋𝑓𝑁
−Ω𝑠 Ω𝑠 0
𝑆𝑎(𝑗Ω)
Ω −2Ω𝑠 2Ω𝑠
(𝑏)
2𝜋/𝑇
Ω𝑠 = 2𝜋𝑓𝑠 = 2𝜋/𝑇
𝜔 = Ω. 𝑇
−Ω𝑠 Ω𝑠 0 Ω
(Ω𝑠 − Ω𝑁)
1/𝑇
(𝑐)
−Ω𝑁 Ω𝑁 0
𝑋𝑠(𝑗Ω)
(Ω𝑠 + Ω𝑁) −(Ω𝑠 − Ω𝑁) −(Ω𝑠 + Ω𝑁)
Pengolahan Sinyal Digital, Bab III : Sampling & Rekonstruksi Sinyal
Bab III - 6
sinyal informasi pita terbatas (band limited) 𝑋𝑎 𝑗Ω = 0 untuk Ω > Ω𝑁 dapat dilihat
pada gambar 3.4 (a). Rentang spektrum sinyal informasi dari 0 s/d Ω𝑁 rad/detik
sehingga sinyal informasi tersebut mempunyai frekuensi maksimal Ω𝑁 . Spektrum
deretan impuls 𝑆𝑎 (𝑡) adalah 𝑆𝑎 (𝑗Ω) berbentuk deretan impuls juga dan muncul disetiap
kelipatan frekuensi sampling Ω𝑠 seperti terlihat pada gambar 3.4 (b). Bentuk spektrum
sinyal tersampling 𝑥𝑠(𝑡) yaitu 𝑋𝑠(𝑗Ω) yang merupakan konvolusi antara 𝑋𝑎(𝑗Ω) dan
𝑆𝑎(𝑗Ω) berbentuk seperti spektrum sinyal informasi 𝑋𝑎(𝑗Ω) yang muncul disetiap
kelipatan frekuensi sampling Ω𝑠 seperti terlihat pada gambar 3.4 (c), sedangkan bentuk
spektrum sinyal diskrit yang merupakan hasil konversi dari deretan impuls sinyal
tersampling menjadi deretan sinyal diskrit 𝑋(𝑒𝑗𝜔 ) juga berbentuk seperti spektrum
sinyal informasi 𝑋𝑎(𝑗Ω) yang muncul disetiap kelipatan 2𝜋 seperti terlihat pada gambar
3.4 (d).
Apabila frekuensi sampling Ω𝑠 < 2Ω𝑁 atau (Ω𝑠 − Ω𝑁) < Ω𝑁 , maka bentuk spektrum
sinyal 𝑋𝑠(𝑗Ω) akan menjadi seperti pada gambar 3.5. Bentuk spektrum yang menumpuk
satu sama lain tersebut dinamakan terjadi aliasing. Bila terjadi aliasing, kandungan
frekuensi sinyal 𝑥𝑎(𝑡) akan mengalami kehilangan sebagian kandungan frekuensinya
atau bisa dikatakan tidak bisa diperoleh kembali secara lengkap kandungan frekuensi
sinyal informasi tersebut.
Gambar 3.5 Bentuk spektrum terjadi aliasing
Jika 𝑥𝑎(𝑡) merupakan sinyal pita terbatas dengan frekuensi maksimal Ω𝑁 , maka dengan
frekuensi sampling
Ω𝑠 ≥ 2Ω𝑁 (3.11)
Proses pada ADC tidak akan terjadi aliasing dan 𝑥𝑎(𝑡) dapat diperoleh kembali dari
sampel-sampelnya 𝑥𝑎(𝑛𝑇) menggunakan filter rekonstruksi yaitu LPF (low pass filter).
Berikut pernyataan teorema sampling Nyquist:
Teorema sampling: Jika 𝑥𝑎(𝑡) merupakan sinyal dengan frekuensi lebar pita terbatas,
𝑋𝑎 𝑗Ω = 0 Ω ≥ Ω𝑁
Maka 𝑥𝑎(𝑡) dapat diperoleh kembali dari sampel-sampelnya 𝑥𝑎(𝑛𝑇) jika
−Ω𝑠 Ω𝑠 0 Ω
1/𝑇
Ω𝑠/2 0
𝑋𝑠(𝑗Ω)
−Ω𝑠/2
Pengolahan Sinyal Digital, Bab III : Sampling & Rekonstruksi Sinyal
Bab III - 7
Ω𝑠 =2𝜋
𝑇≥ 2Ω𝑁
Frekuensi Ω𝑁 disebut sebagai frekuensi Nyquist dan frekuensi sampling minimum
Ω𝑠 = 2Ω𝑁 disebut laju Nyquist.
Dalam kenyataannya, sinyal dengan bandlimited jarang dijumpai oleh karena itu perlu
dipasang filter LPF, agar frekuensi sinyal informasi menjadi sinyal yang bandlimited
sehingga frekuensi sampling dari ADC dapat memenuhi kriteria Nyquist dan dapat
menghindari terjadinya aliasing. Filter LPF tersebut disebut sebagai filter anti aliasing.
Contoh 3.1
Sinyal analog mempunyai persamaan bahwa 𝑥𝑎 𝑡 = 2 sin 2𝜋. 100𝑡 + cos(2𝜋. 400𝑡)
disampling dengan frekuensi sampling 1 kHz.
a) Berapa frekuensi sinyal analog 𝑥𝑎 𝑡 .
b) Bepapa frekuensi Nyquist.
c) Berapa laju Nyquist.
d) Tentukan sinyal diskrit hasil samplingnya.
e) Berapa frekuensi digital sinyal hasil sampling.
f) Apakah terjadi aliasing? Jelaskan.
g) Apabila sinyal analog tersebut disampling dengan frekuensi sampling 600 Hz,
apakah terjadi aliasing? Jelaskan.
Penyelesaian:
a) Frekuensi sinyal analog 𝑥𝑎 𝑡 adalah 𝑓1 = 100 𝐻𝑧 dan 𝑓2 = 400 𝐻𝑧 atau dalam
pernyataan lain Ω1 = 200𝜋 rad/det dan Ω2 = 800𝜋 rad/det.
b) Frekuensi Nyquist Ω𝑁 = 800𝜋 rad/det.
c) Laju Nyquist 2Ω𝑁 = 1600𝜋 rad/det.
d) Sinyal diskrit 𝑥 𝑛 = 𝑥𝑎(𝑛𝑇) = 2 sin 0.2𝜋𝑛 + cos(0.8𝜋𝑛)
e) Frekuensi digital sinyal 𝑥(𝑛) adalah 𝜔1 = 0.2𝜋 rad dan 𝜔2 = 0.8𝜋 rad
f) Sistem ADC tersebut tidak terjadi aliasing karena frekuensi sampling
Ω𝑠 = 2𝜋1000 = 2000𝜋 rad/det lebih besar dari laju Nyquist 2Ω𝑁 = 1600𝜋
rad/det.
g) Ya, terjadi aliasing karena frekuensi sampling Ω𝑠 = 2𝜋600 = 1200𝜋 rad/det
kurang dari laju Nyquist 2Ω𝑁 = 1600𝜋 rad/det.
Pengolahan Sinyal Digital, Bab III : Sampling & Rekonstruksi Sinyal
Bab III - 8
(𝑎)
(𝑏)
Gambar 3.6 (a). Konverter discrete-to-analog (D/C), (b) Respons frekuensi filter
rekonstruksi ideal
3.3 Proses Konversi Sinyal Digital ke Analog
Seperti yang dijelaskan pada teorema sampling bahwa jika 𝑥𝑎(𝑡) merupakan sinyal
bandlimited yaitu agar supaya 𝑋𝑎 𝑗Ω = 0 untuk Ω > Ω𝑁 dan jika periode sampling
𝑇 < 𝜋/Ω𝑁 maka 𝑥𝑎(𝑡) secara unik dapat disusun kembali dari sampel-sampelnya
𝑥 𝑛 = 𝑥𝑎(𝑛𝑇). Proses rekonstruksi mencakup dua tahap seperti terlihat pada gambar
3.6.a. Tahap pertama, deretan sinyal diskrit 𝑥(𝑛) dikonversi menjadi deretan impuls
𝑥𝑠(𝑡) berikut
𝑥𝑠 𝑡 = 𝑥 𝑛 𝛿(𝑡 − 𝑛𝑇)
∞
𝑛=−∞
(3.12)
Selanjutnya 𝑥𝑠(𝑡) difilter dengan filter rekonstruksi yang berupa filter LPF ideal yang
mempunyai respons frekuensi pers (3.13) dan ditunjukkan pada gambar 3.6.b.
𝐻𝑟 𝑗Ω = 𝑇, Ω ≤ 𝜋/𝑇
0 Ω > 𝜋/𝑇 (3.13)
Sistem ini disebut sebagai konverter discrete-to-analog (D/C) atau DAC. Transformasi
Fourier kontinyu balik dari pers. (3.13) merupakan respons impuls filter rekonstruksi
yaitu
Konversi dari deretan diskrit ke deretan impuls
𝑥(𝑛) 𝑥𝑟(𝑡) 𝑥𝑠(𝑡) Filter LPF ideal
𝐻𝑟 (𝑗Ω)
𝑇
𝐷/𝐶
𝑇
Ω𝑠
2= 𝜋/𝑇
0
𝐻𝑟(𝑗Ω)
Ω −𝜋/𝑇
Pengolahan Sinyal Digital, Bab III : Sampling & Rekonstruksi Sinyal
Bab III - 9
ℎ𝑟 𝑡 =sin(
𝜋𝑡𝑇 )
𝜋𝑡/𝑇 (3.14)
Output filter rekonstruksi adalah
𝑥𝑟 𝑡 = 𝑥 𝑛 ℎ𝑟(𝑡 − 𝑛𝑇)
∞
𝑛=−∞
= 𝑥 𝑛 sin[𝜋(𝑡 − 𝑛𝑇)/𝑇]
𝜋(𝑡 − 𝑛𝑇)/𝑇
∞
𝑛=−∞
(3.15)
Gambar 3.7 Bentuk sinyal proses rekonstruksi sinyal
Pers (3.15) merupakan rumusan interpolasi yang menunjukkan bagaimana 𝑥𝑟 𝑡
direkonstruksi dari sampel-sampel 𝑥 𝑛 = 𝑥𝑎 𝑛𝑇 . Dalam kawasan frekuensi, rumus
interpolasi menjadi
𝑋𝑟 𝑗Ω = 𝑥 𝑛 𝐻𝑟(𝑗Ω)𝑒−𝑗Ω𝑛𝑇
∞
𝑛=−∞
= 𝐻𝑟 𝑗Ω 𝑋(𝑒𝑗Ω𝑇) (3.16)
Yang mana ekivalen dengan
Pengolahan Sinyal Digital, Bab III : Sampling & Rekonstruksi Sinyal
Bab III - 10
𝑋𝑟 𝑗Ω = 𝑇. 𝑋(𝑒𝑗Ω𝑇) 𝑢𝑛𝑡𝑢𝑘 Ω < 𝜋/𝑇
0 Ω lainnya (3.17)
Kemudian, 𝑋(𝑒𝑗𝜔 ) merupakan frekuensi yang diskala (𝜔 = Ω.𝑇) dan filter rekonstruksi
menghilangkan semua frekuensi diatas frekuensi cutoff Ω𝑐 = 𝜋/𝑇 dalam spektrum
periodik 𝑋(𝑒𝑗Ω𝑇). Kita tidak mungkin mengimplementasikan filter LPF ideal pada filter
rekonstruksi, beberapa konverter D/C menggunakan zero-order hold untuk filter
rekonstruksi. Bentuk sinyal pada proses rekonstruksi bila frekuensi samplingnya
memenuhi kriteria Nyquist maka dapat dilihat pada gambar 3.7.
Gambar 3.8 Bentuk spektrum sinyal pada proses rekonsruksi sinyal
−Ω𝑠 Ω𝑠 0 Ω
1/𝑇
(𝑎)
−Ω𝑁 Ω𝑁 0
𝑋𝑠(𝑗Ω)
(Ω𝑠 + Ω𝑁) −(Ω𝑠 − Ω𝑁) −(Ω𝑠 + Ω𝑁)
𝑇 𝐻𝑟(𝑗Ω)
Ω𝑠
2= 𝜋/𝑇
−Ω𝑁 Ω𝑁 0
𝑋𝑟(𝑗Ω)
Ω
(𝑏)
1
(𝑑)
−Ω𝑠/2 Ω2/2 0
𝑋𝑟(𝑗Ω)
Ω
−Ω𝑠 Ω𝑠 0 Ω
1/𝑇
Ω𝑠/2 0
𝑋𝑠(𝑗Ω)
−Ω𝑠/2
(𝑐)
Pengolahan Sinyal Digital, Bab III : Sampling & Rekonstruksi Sinyal
Bab III - 11
Proses rekonstruksi sinyal dapat juga dilihat dalam kawasan frekuensi. Bentuk
spektrum sinyal pada proses rekonsruksi sinyal dijelaskan pada gambar 3.8. Spektrum
deretan impuls sinyal 𝑥𝑠(𝑡) yaitu 𝑋𝑠(𝑗Ω) difilter dengan filter rekonstruksi berupa LPF
ideal dengan respons frekuensi 𝐻𝑟 (𝑗Ω) yang mempunyai frekuensi cutoff Ω𝑠/2 atau
𝜋/𝑇 seperti terlihat pada gambar 3.8.a. Output filter rekonsruksi mempunyai bentuk
spektrum 𝑋𝑟(𝑗Ω) yang sama dengan bentuk spektrum sinyal aslinya 𝑋𝑎(𝑗Ω) yang dapat
dilihat pada gambar 3.8.b. Apabila frekuensi sampling tidak memenuhi kriteria Nyquist
maka spektrum sinyal asli tidak dapat diperoleh kembali, sehingga dikatakan terjadi
aliasing, seperti terlihat pada gambar 3.8.c dan 3.8.d.
3.4 Pengolahan Dalam Waktu Diskrit dari Sinyal Analog
Salah satu aplikasi penting konverter ADC dan DAC adalah pengolahan sinyal analog
menggunakan sistem diskrit, seperti terlihat pada gambar 3.9. Pada sistem ini tersusun
secara serial konverter ADC, sistem diskrit dan konverter DAC. Kita mengasumsikan
sinyal digital merupakan sinyal diskrit yang tidak dikuantisasi dan dikodekan,
melainkan deretan sinyal tersampel. Filter rekonstruksi yang digunakan pada konverter
DAC diasumsikan berupa filter LPF ideal. Sistem keseluruhan bisa dikatakan sistem
waktu kontinyu karena sinyal input 𝑥𝑎(𝑡) dan output 𝑦𝑎(𝑡) berupa sinyal analog/
kontinyu. Kita dapat menganalisa sistem ini dengan melihat output sinyal di masing-
masing tahapan. Konverter ADC menghasilkan output sinyal diskrit 𝑥(𝑛) yang
mempunyai transformasi Fourier diskrit :
𝑋 𝑒𝑗𝜔 =1
𝑇 𝑋𝑎 𝑗(
𝜔
𝑇−
2𝜋𝑘
𝑇)
∞
𝑘=−∞
(3.18)
Jika sistem diskrit merupakan sistem linier time-invariant (LTI) dengan respons
frekuensi 𝐻(𝑒𝑗𝜔 ), maka ouput sistem diskrit mempunyai transformasi Fourier diskrit
sebagai berikut
𝑌 𝑒𝑗𝜔 = 𝑋 𝑒𝑗𝜔 . 𝐻 𝑒𝑗𝜔 = 𝐻 𝑒𝑗𝜔 .1
𝑇 𝑋𝑎 𝑗(
𝜔
𝑇−
2𝜋𝑘
𝑇)
∞
𝑘=−∞
(3.19)
Gambar 3.9 Pengolahan sinyal analog pada sistem diskrit
ADC
converter
DAC
converter
Sistem diskrit
𝐻(𝑒𝑗𝜔 )
𝑥𝑎(𝑡) 𝑥(𝑛) 𝑦(𝑛) 𝑦𝑎(𝑡)
𝑇 𝑇
Pengolahan Sinyal Digital, Bab III : Sampling & Rekonstruksi Sinyal
Bab III - 12
Akhirnya output konvereter DAC berupa sinyal kontinyu 𝑦𝑎(𝑡) dari sampel-sampel 𝑦(𝑛)
seperti berikut
𝑦𝑎 𝑡 = 𝑦 𝑛 sin[𝜋(𝑡 − 𝑛𝑇)/𝑇]
𝜋(𝑡 − 𝑛𝑇)/𝑇
∞
𝑛=−∞
(3.20)
Contoh 3.2:
Pengolahan sinyal analog pada sistem diskrit seperti pada gambar 3.9. Sinyal
𝑥𝑎 𝑡 = cos(2𝜋300𝑡) sebagai input ADC dan sistem diskritnya berupa filter allpass.
a. Gambarkan spektrum di semua tahap bila frekuensi samplingnya 1 kHz dan
tentukan output 𝑦𝑎 𝑡 .
b. Gambarkan spektrum di semua tahap bila frekuensi samplingnya 500 Hz dan
tentukan output 𝑦𝑎 𝑡 .
Penyelesaian:
a. Spktrum sinyal analog 𝑋(𝑗Ω):
Spektrum sinyal analog 𝑋𝑠(𝑗Ω) : merupakan spektrum sinyal analog 𝑋(𝑗Ω) yang
muncul disetiap kelipatan frekuensi sampling Ω𝑠 = 2000𝜋
Spektrum sinyal digital 𝑋(𝑒𝑗𝜔 ) : sama dengan 𝑋 𝑗Ω tetapi frekuensi diskrit
diperoleh dengan skala 𝜔 = Ω. 𝑇 sehingga periodik dengan periode 2𝜋
Setelah melewati allpass filter maka 𝑌 𝑒𝑗𝜔 = 𝑋(𝑒𝑗𝜔 ), selanjutnya pada DAC disampling
dengan frekuensi yang sama dengan pada DAC sehingga diperoleh 𝑌𝑠 𝑗Ω = 𝑋𝑠(𝑗Ω).
600𝜋 −600𝜋 0 Ω
𝑋(𝑗Ω)
1/2
Ω
𝑋𝑠(𝑗Ω)
2600𝜋 1400𝜋 Ω𝑠 −1400𝜋 −2600𝜋 −Ω𝑠 600𝜋 −600𝜋 0
1
2𝑇
𝜔
𝑋(𝑒𝑗𝜔 )
−1,4𝜋 −2,6𝜋 0,6𝜋 −0,6𝜋 0
1
2𝑇
2,6𝜋 1,4𝜋 2𝜋 −2𝜋 𝜋 −𝜋
Pengolahan Sinyal Digital, Bab III : Sampling & Rekonstruksi Sinyal
Bab III - 13
LATIHAN BAB 3
1. Soal dapat diambil dari buku referensi Schaum Series, Alan V. Oppenheim, L.C.
Ludeman dan J.G. Proakis
2. Tentukan dua sinyal kontinyu yang akan menghasilkan sinyal diskrit 𝑥 𝑛 =
cos(0,5𝜋𝑛) bila disampling dengan frekuensi 8 kHz.
3. Sistem analog mempunyai konfigurasi A/D, filter diskrit dan D/A seperti gambar
dibawah
Sistem diskrit diatas mempunyai respons impuls ℎ 𝑛 =sin (0,3𝜋𝑛 )
𝜋𝑛 , Jika sinyal input
)(.500sin)(.250cos2)()( tuttuttutx .
a. Berapa Hz laju Nyquist b. Apakah terjadi aliasing bila sistem diatas diberi input sinyal kontinyu 𝑥(𝑡)
tersebut? Jelaskan! c. Tentukan sinyal diskrit 𝑥(𝑛) d. Tentukan output steady state 𝑦(𝑡)
4. Sistem berikut digunakan untuk proses pengolahan sinyal analog dengan sistem
digital:
Sinyal 𝑥 𝑡 merupakan sinyal bandlimited dengan 0)( fXa untuk kHzf 8
seperti ditunjukkan pada gambar dibawah.
A/D D/A Sistem
Diskrit
x(t) y(t) x(n) y(n)
ikdet1000
1T ikdet
1000
1T
A/D D/A filter
digital
x(t) y(t) x(n) y(n)
1T 2T
- 8 f (kHz)
1
)( fX a
Pengolahan Sinyal Digital, Bab III : Sampling & Rekonstruksi Sinyal
Bab III - 14
Filter digital tersebut merupakan filter All-pass.
a. Gambarkan bentuk spektrum jeX dan fY jika frekuensi samplingnya
kHzff 2021 .
b. Ulangi soal (a) untuk kHzff 821 .
c. Ulangi soal (a) untuk kHzff 1821 dan filter digitalnya berupa LPF dengan
frekuensi cutoff 𝜔𝑐 =𝜋
4.
8
Bab IV - 1
Bab 4
Transformasi-Z
4.1 Pendahuluan
Transformasi-Z merupakan suatu alat bantu pada analisis sinyal dan sistem waktu
diskrit, begitu sebaliknya pada analisis sinyal dan sistem kontinyu menggunakan
transformasi Laplace. Transformasi-Z dapat digunakan untuk menyelesaikan
persamaan beda koefisien konstan linier, mengevaluasi respon sistem LTI (Linier Time-
Invariant) bila diberi sinyal masukan (input) dan merencanakan filter digital linier.
Pada bab ini akan menjelaskan transformasi-Z dan menguji bagaimana transformasi-Z
dapat digunakan untuk menyelesaikan macam-macam permasalahan yang berbeda.
4.2 Definisi Transformasi-Z
Pada bab sebelumnya, transformasi Fourier dari sinyal diskrit x(n) didefinisikan
sebagai berikut:
𝑋 𝑒𝑗𝜔 = 𝑥(𝑛)𝑒−𝑗𝜔𝑛
∞
𝑛=−∞
(4.1)
Transformasi-Z dari dari sinyal diskrit x(n) didefinisikan:
𝑋 𝑧 = 𝑥(𝑛)𝑧−𝑛
∞
𝑛=−∞
(4.2)
Dimana 𝑧 = 𝑟𝑒𝑗𝜔 yang merupakan variabel untuk bilangan komplek. Nilai z agar 𝑋 𝑧
merupakan konvergen jumlah didefinisikan sebagai daerah konvergensi bidang z.
Secara notasi, jika sinyal diskrit x(n) mempunyai transformasi-Z 𝑋 𝑧 , maka dapat
ditulis
𝑥 𝑛 𝑍 𝑋(𝑧)
Transformasi-Z dapat ditinjau sebagai transformasi Fourier diskrit (TFD) dari sinyal
diskrit terbobot secara eksponensial. Secara matematis dapat dinyatakan sebagai
berikut:
𝑋 𝑧 = 𝑥 𝑛 𝑧−𝑛 =
∞
𝑛=−∞
𝑥 𝑛 𝑟𝑒𝑗𝜔 −𝑛
= 𝑥 𝑛 𝑟−𝑛 𝑒−𝑗𝜔𝑛
∞
𝑛=−∞
∞
𝑛=−∞
(4.3)
Kita dapat melihat pers. (4.3) bahwa 𝑋(𝑧) merupakan transformasi Fourier dari
𝑥 𝑛 𝑟−𝑛
Bab IV - 2
Definisi Daerah Konvergensi:
Konvergensi dari deret daya pada pers. (4.2) hanya tergantung pada 𝑧 sehingga
𝑋(𝑧) < ∞ jika
𝑋 𝑧 = 𝑥(𝑛)𝑧−𝑛
∞
𝑛=−∞
= 𝑥(𝑛) 𝑧 −𝑛
∞
𝑛=−∞
< ∞ (4.4)
yaitu daerah konvergensi (DK) dari deret daya pada pers. (4.2) terdiri dari semua nilai z
agar berlaku pertidaksamaan pada pers. (4.4). Misalnya, nilai 𝑧 = 𝑧1 berada pada DK,
maka semua nilai z pada lingkaran yang berpusat di titik asal tersebut didefinisikan
𝑧 = 𝑧1 juga berada pada DK. Jadi DK berupa lingkaran yang berpusat di titik asal.
Transformasi-Z merupakan fungsi variabel komplek z, maka transformasi-Z dapat
digunakan untuk menggambarkan kegunaan bidang-z komplek, yaitu dengan
𝑧 = 𝑅𝑒 𝑧 + 𝑗𝐼𝑚 𝑧 = 𝑟𝑒𝑗𝜔
maka aksis-aksis bidang-z merupakan bagian real dan imajiner z seperti yang
diilustrasikan pada gambar 4.1. Contour pada gamabar 4.1 berhubungan dengan 𝑧 = 1
yang merupakan sebuah lingkaran berjari-jari satu yang disebut sebagai lingkaran satu
(unit circle). Transformasi-z telah mengevaluasi pada lingkaran satu berhubungan
dengan TFD,
𝑋 𝑒𝑗𝜔 = 𝑋 𝑧 𝑧=𝑒 𝑗𝜔
Secara spesifik, kita mengevaluasi 𝑋(𝑧) pada titik-titik sekitar lingkaran satu adalah
memulai 𝑧 = 1 𝜔 = 0 , melalui 𝑧 = 𝑗 𝜔 = 𝜋/2 , ke 𝑧 = −1 𝜔 = 𝜋 , yang berarti kita
memperoleh nilai-nilai 𝑋(𝑒𝑗𝜔 ) pada 0 ≤ 𝜔 ≤ 𝜋. Sinyal diskrit 𝑥(𝑛) mempunyai TFD,
apabila lingkaran satu harus berada pada DK dari 𝑋(𝑧).
Gambar 4.1 Lingkaran satu pada bidang-z komplek
𝑅𝑒(𝑧)
𝐼𝑚(𝑧)
𝜔
Lingkaran satu 𝑧 = 𝑒𝑗𝜔
1
Bab IV - 3
Definisi pole-zero dari transfrmasi-Z:
Transformasi-Z dari sinyal diskrit 𝑥(𝑛) dapat dinyatakan dalam bentuk rasio dua
polinomial z sebagai berikut:
𝑋 𝑧 =𝑃(𝑧)
𝑄 𝑧 =
𝑏𝑘𝑧−𝑘𝑀𝑘=0
𝑎𝑘𝑧−𝑘𝑁𝑘=0
(4.5)
Pole-pole dari 𝑋 𝑧 didefinisikan sebagai nilai-nilai z agar 𝑋(𝑧) berharga tak hingga
sedangkan zero-zero dari 𝑋 𝑧 didefinisikan sebagai nilai-nilai z agar 𝑋(𝑧) bernilai nol.
Contoh 4.1: Sinyal diskrit eksponensial sisi kanan atau kausal.
Tentukan transformasi-Z dari sinyal diskrit 𝑥 𝑛 = 𝑎𝑛𝑢(𝑛) dan tentukan pole-zeronya
serta gambar daerah konvergensinya. Diasumsikan bahwa 𝑎 < 1.
Penyelesaian:
𝑋 𝑧 = 𝑎𝑛
∞
𝑛=0
𝑧−𝑛 = 𝑎𝑧−1 𝑛 =1
1 − 𝑎𝑧−1=
𝑧
𝑧 − 𝑎
∞
𝑛=0
𝑋(𝑧) konvergen apabila dapat dijumlahkan secara absolut atau bernilai berhingga yaitu
bila 𝑎𝑧−1 < 1 atau 𝑧 > 𝑎 , sehingga DKnya: 𝑧 > 𝑎 .
Nilai pole-zeronya: pole : 𝑧 = 𝑎 dan zero: 𝑧 = 0, selanjutnya gambar bidang-z dapat
dilihat pada gambar 4.2. Daerah yang diarsir menunjukkan DK, yaitu nilai z yang
membuat 𝑋(𝑧) konvergen.
Gambar 4.2 Bidang-z untuk contoh 4.1
Lingkaran satu
𝑅𝑒(𝑧)
𝐼𝑚(𝑧)
1 𝑎 0
Bab IV - 4
Contoh 4.2: Sinyal diskrit eksponensial sisi kiri atau tak kausal.
Tentukan transformasi-Z dari sinyal diskrit 𝑥 𝑛 = −𝑏𝑛𝑢(−𝑛 − 1) dan tentukan pole-
zeronya serta gambar daerah konvergensinya. Diasumsikan bahwa 𝑏 < 1.
Penyelesaian:
𝑋 𝑧 = −𝑏𝑛
−1
𝑛=−∞
𝑧−𝑛 = − 𝑏−1𝑧 𝑛
∞
𝑛=1
= 1 − 𝑏−1𝑧 𝑛 = 1 −1
1 − 𝑏−1𝑧=
−𝑏−1𝑧
1 − 𝑏−1𝑧
∞
𝑛=0
=𝑧
𝑧 − 𝑏
𝑋(𝑧) dapat dijumlahkan secara absolut atau bernilai berhingga bila 𝑏−1𝑧 < 1 atau
𝑧 < 𝑏 , sehingga DKnya: 𝑧 < 𝑏 .
Nilai pole-zeronya: pole : 𝑧 = 𝑏 dan zero: 𝑧 = 0, selanjutnya bidang-z dapat dilihat pada
gambar 4.3.
Gambar 4.3 Bidang-z untuk contoh 4.2
Contoh 4.3: Sinyal diskrit eksponensial dua sisi.
Tentukan transformasi-Z dari sinyal diskrit 𝑥 𝑛 = 𝑎𝑛𝑢(𝑛) − 𝑏𝑛𝑢(−𝑛 − 1), pole-
zeronya dan gambar daerah konvergensinya. Diasumsikan bahwa 𝑎 < 𝑏.
Penyelesaian:
𝑋 𝑧 =1
1 − 𝑎𝑧−1+
1
1 − 𝑏𝑧−1=
2 − 𝑎 + 𝑏 𝑧−1
1 − 𝑎𝑧−1 1 − 𝑏𝑧−1 x𝑧2
𝑧2
=2𝑧2 − 𝑎 + 𝑏 𝑧
𝑧 − 𝑎 𝑧 − 𝑏 =
𝑧 2𝑧 − 𝑎 + 𝑏
𝑧 − 𝑎 𝑧 − 𝑏
𝑅𝑒(𝑧)
𝐼𝑚(𝑧)
Lingkaran satu
1 b 0
Bab IV - 5
Harga pole-zero: 𝑋(𝑧) mempunyai pole pada 𝑧1 = 𝑎 dan 𝑧2 = 𝑏, sedangkan zero pada
𝑧1 = 0 dan 𝑧2 = 𝑎 + 𝑏 /2
Daerah konvergensi 𝑋(𝑧) adalah 𝑎 < 𝑧 < 𝑏 , selanjutnya bidang-z dapat dilihat pada
gambar 4.4, dalam contoh ini 𝑏 > 1
Gambar 4.4 Bidang-z untuk contoh 4.3
Contoh 4.4: Sinyal diskrit eksponensial dengan jumlah sampling terbatas.
Tentukan transformasi-Z dari sinyal diskrit 𝑥 𝑛 = 𝑎𝑛 𝑢 𝑛 − 2 − 𝑢 𝑛 − 10 dan
tentukan pole-zeronya serta gambar daerah konvergensinya.
Penyelesaian:
𝑋 𝑧 = 𝑎𝑛
9
𝑛=2
𝑧−𝑛 = 𝑎𝑧−1 𝑛
9
𝑛=2
= 𝑎𝑧−1 2 − 𝑎𝑧−1 10
1 − 𝑎𝑧−1x𝑧10
𝑧10
=𝑎2𝑧8 − 𝑎10
𝑧10 − 𝑎𝑧9=
𝑎2
𝑧9x𝑧8 − 𝑎8
𝑧 − 𝑎
Harga pole-zero: 𝑋(𝑧) mempunyai pole pada 𝑧1 = 𝑧2 = ⋯ = 𝑧9 = 0 dan 𝑧10 = 𝑎,
sedangkan zero pada 𝑧𝑘 = 𝑎𝑒𝑗2𝜋𝑘 /8 dan 𝑘 = 0,1,2,3, … , 7. Terdapat satu pole dan satu
zero yang sama yaitu pada 𝑧 = 𝑎 , sehingga saling meniadakan.
Daerah konvergensi 𝑋(𝑧) merupakan semua bidang-z kecuali pada 𝑧 = 0, selanjutnya
bidang-z dapat dilihat pada gambar 4.5.
𝑅𝑒(𝑧)
𝐼𝑚(𝑧)
Lingkaran satu
1 𝑎 0 𝑏
𝑎 + 𝑏 /2
Bab IV - 6
Gambar 4.5 Bidang-z untuk contoh 4.4
Pasangan transformasi-Z dari beberapa sinyal diskrit umum dapat dilihat pada tabel
4.1. Berdasarkan pasangan transformasi-Z tersebut dapat membantu untuk
mengevaluasi bentuk-bentuk sinyal diskrit lainnya.
4.3 Sifat-sifat Daerah Konvergensi
Berdasarkan contoh-contoh sebelumnya bahwa DK tergantung pada sinyal diskrit 𝑥(𝑛).
Pada bagian ini akan dijelaskan sifat-sifat DK ini disertai diskusi dan justifikasi intuitif.
Kita mengasumsikan secara spesifik bahwa pernyataan aljabar transformasi-Z
merupakan fungsi rasional dan sinyal diskrit 𝑥(𝑛) mempunyai amplitude terbatas,
mungkin kecuali pada 𝑛 = ∞ atau 𝑛 = −∞.
Sifat-sifat DK dapat disimpulkan sebagai berikut:
1. DK merupakan suatu lingkaran pada bidang-z yang terpusat pada titik asal, yaitu
0 ≤ 𝑅𝐷 < 𝑧 < 𝑅𝐿 ≤ ∞, artinya 𝑅𝐷 merupakan jari-jari dalam dan lebih besar
sama dengan nol, sedangkan 𝑅𝐿 merupakan jari-jari luar dan kurang dari sama
dengan tak hingga.
2. Transformasi Fourier dari sinyal 𝑥(𝑛) konvergen jika dan hanya jika DK dari
transformasi-Z sinyal 𝑥(𝑛) tersebut termasuk lingkaran satu.
3. DK tidak dapat mengandung pole-pole, artinya pole-pole tidak termasuk DK.
4. Jika 𝑥(𝑛) merupakan sinyal diskrit durasi terbatas 𝑁1 ≤ 𝑛 ≤ 𝑁2, maka DK
tersebut semua bidang-z, kecuali pada 𝑧 = 0 atau 𝑧 = ∞.
5. Jika 𝑥(𝑛) merupakan sinyal diskrit urutan sisi kanan atau kausal, maka DKnya
berada diluar pole terluar (pole terbesar) menuju 𝑧 = ∞ pada bidang-z.
6. Jika 𝑥(𝑛) merupakan sinyal diskrit urutan sisi kiri, maka DKnya berada didalam
pole terdalam (pole terkcil) menuju 𝑧 = 0 pada bidang-z.
7. Jika 𝑥(𝑛) merupakan sinyal diskrit urutan dua sisi, maka DKnya berupa cincin
pada bidang-z, yang dibatasi oleh pole dalam dan pole luar dan DK tidak
mengandung pole-pole, sesuai dengan sifat 3.
𝑎 𝑅𝑒(𝑧)
𝐼𝑚(𝑧)
1 0 −𝑎
Bab IV - 7
Tabel 4.1 Pasangan Transformasi-z Umum
Sinyal Diskrit Transformasi-Z Daerah Konvergensi
𝛿(𝑛) 1 Semua nilai z
𝑢(𝑛) 1
1 − 𝑧−1 𝑧 > 1
−𝑢 −𝑛 − 1 1
1 − 𝑧−1 𝑧 < 1
𝛿(𝑛 − 𝑑) 𝑧−𝑑 Semua z kecuali 0
𝑎𝑛𝑢(𝑛) 1
1 − 𝑎𝑧−1 𝑧 > 𝑎
−𝑎𝑛𝑢 −𝑛 − 1 1
1 − 𝑎𝑧−1 𝑧 < 𝑎
𝑛𝑎𝑛𝑢(𝑛) 𝑎𝑧−1
1 − 𝑎𝑧−1 2 𝑧 > 𝑎
−𝑛𝑎𝑛𝑢 −𝑛 − 1 𝑎𝑧−1
1 − 𝑎𝑧−1 2 𝑧 < 𝑎
𝑐𝑜𝑠 𝜔0𝑛 𝑢(𝑛) 1 − 𝑐𝑜𝑠(𝜔0)𝑧−1
1 − 2𝑐𝑜𝑠 𝜔0 𝑧−1 + 𝑧−2 𝑧 > 1
𝑠𝑖𝑛 𝜔0𝑛 𝑢(𝑛) 1 − 𝑠𝑖𝑛(𝜔0)𝑧−1
1 − 2𝑐𝑜𝑠 𝜔0 𝑧−1 + 𝑧−2 𝑧 > 1
𝑟𝑛𝑐𝑜𝑠 𝜔0𝑛 𝑢(𝑛) 1 − 𝑟. 𝑐𝑜𝑠(𝜔0)𝑧−1
1 − 2𝑟. 𝑐𝑜𝑠 𝜔0 𝑧−1 + 𝑟2𝑧−2 𝑧 > 𝑟
𝑟𝑛𝑠𝑖𝑛 𝜔0𝑛 𝑢(𝑛) 𝑟. 𝑠𝑖𝑛(𝜔0)𝑧−1
1 − 2𝑟. 𝑐𝑜𝑠 𝜔0 𝑧−1 + 𝑟2𝑧−2 𝑧 > 𝑟
𝑎𝑛 𝑢 𝑛 − 𝑁1 − 𝑢(𝑛 − 𝑁2) 𝑎𝑁1𝑧−𝑁1 − 𝑎𝑁2 𝑧−𝑁2
1 − 𝑎𝑧−1 Semua z kecuali 0
4.4 Transformasi-Z Balik
Transformasi-Z balik merupakan salah satu metode untuk mendapatkan kembali sinyal
diskrit 𝑥(𝑛) dari 𝑋(𝑧). Metode ini sangat membantu dalam mengevaluasi sinyal dan
sistem diskrit menjadi lebih mudah. Pada bagian ini akan dibahas beberapa metode
transformasi-z balik diantaranya metode inspeksi, ekspansi pecahan parsial dan
ekspansi deret daya.
Bab IV - 8
4.4.1 Metode Inspeksi
Metode ini dilakukan dengan melihat pasangan transformasi-z pada tabel 4.1, sesuai
dengan transformasi-z dari sinyal 𝑥(𝑛) yang dicari. Apabila pada tabel tersebut tidak
ada bentuk 𝑋(𝑧) yang sesuai, bisa dilakukan dengan metode lainnya.
Contoh 4.5
Transformasi-z dari sinyal diskrit 𝑥 𝑛 adalah 𝑋 𝑧 =1
1−1
4𝑧−1
dan mempunyai DK:
𝑧 >1
4 . Tentukan sinyal diskrit 𝑥(𝑛).
Penyelesaian:
Dari tabel 4.1 diperoleh bahwa 𝑥 𝑛 = 1
4
𝑛
𝑢(𝑛)
4.4.2 Ekspansi Pecahan Parsial
Bila penyelesaian transformasi-z balik tidak dapat diselesaikan dengan melihat tabel
4.1, maka dapat dilakukan dengan memanipulasi 𝑋(𝑧) dalam bentuk jumlahan yang
masing-masing suku ada pada tabel 4.1. Selanjutnya tiap suku pada 𝑋(𝑧) dilakukan
dengan metode inspeksi. Untuk dapat menyelesaikan metode ekspansi pecahan parsial,
𝑋(𝑧) diasumsikan sebagai perbandingan polynomial 𝑧−1 yaitu
𝑋 𝑧 = 𝑏𝑘𝑧−𝑘𝑀
𝑘=0
𝑎𝑘𝑧−𝑘𝑁𝑘=0
(4.6)
Persamaan (4.6) ekivalen dengan
𝑋 𝑧 =𝑧𝑁 𝑏𝑘𝑧
𝑀−𝑘𝑀𝑘=0
𝑧𝑀 𝑎𝑘𝑧𝑁−𝑘𝑁𝑘=0
(4.7)
Persamaan (4.7) menunjukkan bahwa akan ada 𝑀 zero dan N pole pada lokasi tidak nol
pada bidang-z. Sebagai tambahan, ada 𝑀 − 𝑁 pole pada 𝑧 = 0 bila 𝑀 > 𝑁 atau
(𝑁 − 𝑀) zero pada 𝑧 = 0 jika 𝑁 > 𝑀. Dengan kata lain, bentuk transformasi-z pada
pers. (4.6) selalu mempunyai jumlah pole dan zero yang sama pada bidang-z dan tidak
ada pole dan zero pada 𝑧 = ∞. Bentuk 𝑋(𝑧) pada pers. (4.6) dapat dinyatakan dalam
bentuk
𝑋 𝑧 =𝑏𝑜 (1 − 𝑐𝑘𝑧
−1)𝑀𝑘=1
𝑎𝑜 (1 − 𝑑𝑘𝑧−1)𝑁𝑘=1
(4.8)
Dimana 𝑐𝑘 merupakan zero dari 𝑋(𝑧) yang tidak nol dan 𝑑𝑘 merupakan pole dari 𝑋(𝑧)
yang tidak nol.
Jika 𝑀 < 𝑁 dan semua pole merupakan orde pertama, maka 𝑋(𝑧) dapat dinyatakan
sebagai
Bab IV - 9
𝑋 𝑧 = 𝐴𝑘
1 − 𝑑𝑘𝑧−1
𝑁
𝑘=1
(4.9)
Koefisien 𝐴𝑘 dapat diperoleh dari
𝐴𝑘 = 𝑋 𝑧 . (1 − 𝑑𝑘𝑧−1) 𝑧=𝑑𝑘
(4.10)
Contoh 4.6:
Transformasi-z dari sinyal diskrit 𝑥(𝑛) adalah
𝑋 𝑧 =1
1 −14 𝑧−1 1 −
12 𝑧−1
𝑧 >1
2
Tentukan sinyal diskrit 𝑥(𝑛).
Penyelesaian:
𝑋(𝑧) =𝐴1
1 −14 𝑧−1
+𝐴2
1 −12 𝑧−1
dimana:
𝐴1 = 𝑋 𝑧 . (1 −1
4𝑧−1)
𝑧=1/4= 1
1 −12 𝑧−1
𝑧=1/4
= −1
𝐴2 = 𝑋 𝑧 . (1 −1
2𝑧−1)
𝑧=1/2= 1
1 −14 𝑧−1
𝑧=1/2
= 2
sehingga :
𝑋(𝑧) =−1
1 −14 𝑧−1
+2
1 −12 𝑧−1
Seperti terlihat pada tabel 4.1 dengan melihat pasangan transformasi-z masing-masing
suku, maka sinyal diskrit 𝑥(𝑛) menjadi
𝑥 𝑛 = − 1
4
𝑛
𝑢 𝑛 + 2. 1
2
𝑛
𝑢(𝑛)
Jika 𝑀 ≥ 𝑁, maka pers (4.6) dinyatakana ke dalam bentuk ekspansi pecahan parsial
lengkap seperti berikut:
Bab IV - 10
𝑋 𝑧 = 𝐵𝑟
𝑀−𝑁
𝑟=0
𝑧−𝑟 + 𝐴𝑘
1 − 𝑑𝑘𝑧−1
𝑁
𝑘=1
(4.11)
Pers (4.11) dapat diperoleh dari pers (4.6) dengan cara membagi pembilang dengan
penyebutnya sampai menghasilkan polinomial 𝑧−1 berpangkat (M-N). Suku pertama
per (4.11) sisi kanan merupakan hasil pembagian pers (4.6) dan suku keduanya
merupakan rasio sisa dari pembagian pers (4.6) dengan penyebutnya.
Contoh 4.7:
Transformasi-z dari sinyal diskrit 𝑥(𝑛) adalah
𝑋 𝑧 = 1 +
12 𝑧−1 1 +
13 𝑧−1
1 −14
𝑧−1 1 −12
𝑧−1 =
1 +56 𝑧−1 +
16 𝑧−2
1 −34
𝑧−1 +18
𝑧−2
𝑧 >1
2
Tentukan sinyal diskrit 𝑥(𝑛).
Penyelesaian:
Berdasarkan DK dari 𝑋(𝑧) maka sinyal 𝑥(𝑛) merupakan sinyal diskrit urutan sisi kanan.
Pangkat tertinggi polinomial 𝑧−1 pada pembilang maupun penyebut M=N=2 dan semua
polenya merupakan orde pertama, maka 𝑋(𝑧) dapat dinyatakan sebagai berikut:
𝑋 𝑧 = 𝐵𝑜 +𝐴1
1 −14 𝑧−1
+𝐴2
1 −12 𝑧−1
Konstanta 𝐵𝑜 dapat diperoleh dengan pembagian sebagai berikut:
4
3
1 −3
4𝑧−1 +
1
8𝑧−2 1 +
5
6𝑧−1 +
1
6𝑧−2
4
3− 𝑧−1 +
1
6𝑧−2
−1
3+
11
6𝑧−1
Setelah pangkat dari sisa pembagian polinomial 𝑧−1 lebih kecil dari pembagi, maka 𝑋 𝑧
dapat dinyatakan dalam bentuk:
𝑋 𝑧 =4
3+
−13 +
116 𝑧−1
1 −34 𝑧−1 +
18 𝑧−2
=4
3+
−13 +
116 𝑧−1
1 −14 𝑧−1 1 −
12 𝑧−1
Bab IV - 11
𝑋 𝑧 =4
3+
𝐴1
1 −14 𝑧−1
+𝐴2
1 −12 𝑧−1
Konstanta 𝐴1 dan 𝐴2 dapat diselesaikan dengan penyelesaian aturan 𝑀 < 𝑁, sehingga
menjadi:
𝐴1 =−
13 +
116 𝑧−1
1 −14 𝑧−1 1 −
12 𝑧−1
1 −1
4𝑧−1
𝑧−1 = 4
= - 20
3
𝐴2 =−
13 +
116 𝑧−1
1 −14 𝑧−1 1 −
12 𝑧−1
1 −1
2𝑧−1
𝑧−1 = 2
= 20
3
Selanjutnya menjadi:
𝑋 𝑧 =4
3+
− 203
1 −14 𝑧−1
+ 203
1 −12 𝑧−1
Dengan melihat pasangan transformasi-z pada tabel 4.1 dan DK dari 𝑋 𝑧 adalah
𝑧 >1
2 maka sinyal diskrit 𝑥(𝑛) merupakan urutan sisi kanan dan diperoleh sebagai
berikut:
𝑥 𝑛 =4
3𝛿(𝑛) −
20
3
1
4
𝑛
𝑢(𝑛) +20
3
1
2
𝑛
𝑢(𝑛)
Jika 𝑋 𝑧 mempunyai pole jamak dan 𝑀 ≥ 𝑁 maka selanjutnya pers (4.11) harus
dimodifikasi. Jika 𝑋 𝑧 mempunyai pole orde 𝑠 pada 𝑧 = 𝑑𝑖 dan semua pole-pole
lainnya merupakan orde pertama, maka pers (4.11) menjadi
𝑋 𝑧 = 𝐵𝑟
𝑀−𝑁
𝑟=0
𝑧−𝑟 + 𝐴𝑘
1 − 𝑑𝑘𝑧−1 +
𝐶𝑚
(1 − 𝑑𝑖𝑧−1)𝑚
𝑠
𝑚=1
𝑁
𝑘=1,𝑘≠𝑖
(4.12)
Koefisien 𝐵𝑟 dan 𝐴𝑘 dapat dicari dengan cara yang sama dengan sebelumnya,
sedangkan 𝐶𝑚 dicari dengan cara sebagai berikut:
𝐶𝑚 =
1
𝑠 − 𝑚 ! −𝑑𝑖 𝑠−𝑚
𝑑𝑠−𝑚
𝑑𝑤𝑠−𝑚 1 − 𝑑𝑖𝑤 𝑠𝑋 𝑤−1
𝑤=𝑑𝑖−1
(4.13)
Bab IV - 12
4.5 Sifat-sifat Transformasi-Z
Sifat-sifat transformasi-Z sangat membantu dalam menganalisa sinyal dan sistem
diskrit. Sebagai contoh, sifat-sifat ini sering digunakan dalam hubungannya dengan
transformasi-Z balik yang didiskusikan pada bagian 4.4 sebelumnya. Pada bagian ini,
kita menjelaskan sifat-sifat yang paling sering digunakan pada pengolahan sinyal digital.
Misalnya, 𝑋(𝑧) merupakan transformasi-z dari sinyal diskrit 𝑥(𝑛), dan DK dari 𝑋(𝑧)
dinyatakan dengan 𝑅𝑥 , yaitu:
𝑥(𝑛)𝑍 𝑋(𝑧), DK = 𝑅𝑥
Seperti yang terlihat bahwa 𝑅𝑥 merepresentasikan nilai-nilai z yang memenuhi
𝑅𝐷 < 𝑧 < 𝑅𝐿 .
Misalnya, dua sinyal diskrit 𝑥1(𝑛) dan 𝑥2(𝑛) mempunyai transformasi-Z yaitu 𝑋1(𝑧) dan
𝑋2(𝑧) dengan DK 𝑅𝑥1 dan 𝑅𝑥2 yang dinyatakan dengan pasangan transformasi-Z sebagai
berikut:
𝑥1(𝑛)𝑍 𝑋1(𝑧), DK = 𝑅𝑥1
𝑥2(𝑛)𝑍 𝑋2(𝑧), DK = 𝑅𝑥2
maka:
1. Linieritas
Sifat linier dapat dinyatakan
𝑎𝑥1 𝑛 + 𝑏𝑥2 𝑛 𝑍 𝑎𝑋1 𝑧 + 𝑏𝑋2 𝑧 , DK = 𝑅𝑥1 ∩ 𝑅𝑥2
DK dari penjumlahan dua sinyal diskrit merupakan irisan dari kedua DK sinyal
tersebut. Pada contoh 4.3 menunjukkan sifat linieritas.
2. Penggeseran waktu (Time Shifting)
Sifat penggeseran waktu dapat dinyatakan sebagai berikut:
𝑥(𝑛 − 𝑑)𝑍 𝑧−𝑑𝑋(𝑧), DK = 𝑅𝑥
Apabila nilai 𝑑 positif maka sinyal 𝑥(𝑛) mengalami waktu tunda (delay) sebesar
𝑑 dan bila 𝑑 negatif maka sinyal 𝑥(𝑛) mengalami penggeseran maju (digeser ke
kiri). Penurunan sifat ini dapat diperoleh dengan menggunakan persamaan
transformasi-z, misalnya 𝑦 𝑛 = 𝑥(𝑛 − 𝑑), maka transformasi-z dari 𝑦(𝑛) adalah
𝑌 𝑧 = 𝑥(𝑛 − 𝑑)
∞
𝑛=−∞
𝑧−𝑛
dengan mensubstitusikan 𝑚 = 𝑛 − 𝑑 maka
Bab IV - 13
𝑌 𝑧 = 𝑥(𝑚)
∞
𝑚=−∞
𝑧−(𝑚+𝑑) = 𝑧−𝑑 𝑥(𝑚)𝑧−𝑚
∞
−∞
= 𝑧−𝑑𝑋(𝑧)
Contoh 4.8:
Tentukan transformasi z dari sinyal diskrit 𝑥 𝑛 = 1
2
𝑛−3
𝑢(𝑛 − 3).
Penyelesaian:
𝑋 𝑧 =𝑧−3
1 −12 𝑧−1
dimana DK dari 𝑋(𝑧) adalah 𝑧 >1
2
3. Perkalian dengan urutan eksponensial
Sifat perkalian eksponensial secara matematik dapat dinyatakan sebagai berikut:
𝑎𝑛𝑥(𝑛)𝑍 𝑋(𝑧/𝑎), DK = 𝑎 𝑅𝑥
Notasi DK = 𝑎 𝑅𝑥menyatakan bahwa DK tersebut merupakan 𝑅𝑥 yang diskala
dengan 𝑎 .
Contoh 4.9:
Tentukan transformasi z dari sinyal diskrit 𝑥 𝑛 berikut:
𝑥 𝑛 = 𝑎𝑛 . 𝑐𝑜𝑠 𝜔𝑜𝑛 𝑢(𝑛)
Penyelesaian:
Sinyal diskrit 𝑥 𝑛 tersebut diubah dalam bentuk sebagai berikut:
𝑥(𝑛) =1
2𝑎𝑛𝑒𝑗𝜔𝑜𝑛𝑢(𝑛) +
1
2𝑎𝑛𝑒−𝑗𝜔𝑜𝑛𝑢(𝑛)
𝑥(𝑛) =1
2 𝑎𝑒𝑗𝜔𝑜
𝑛𝑢(𝑛) +
1
2 𝑎𝑒−𝑗𝜔𝑜
𝑛𝑢(𝑛)
Dari bentuk tersebut kita bisa melihat pada tabel 4.1 sehingga transformasi z
dari 𝑥 𝑛 adalah:
𝑋 𝑧 =1/2
1 − 𝑎𝑒𝑗𝜔𝑜 𝑧−1 +
1/2
1 − 𝑎𝑒−𝑗𝜔𝑜 𝑧−1
Bab IV - 14
𝑋 𝑧 =
12
1 − 𝑎𝑒−𝑗𝜔𝑜 𝑧−1 +12
1 − 𝑎𝑒𝑗𝜔𝑜 𝑧−1
1 − 𝑎𝑒𝑗𝜔𝑜 𝑧−1 1 − 𝑎𝑒−𝑗𝜔𝑜 𝑧−1
𝑋 𝑧 =1 − 𝑎. 𝑐𝑜𝑠 𝜔𝑜 𝑧
−1
1 − 2𝑎. 𝑐𝑜𝑠 𝜔𝑜 𝑧−1 + 𝑎2𝑧−2
dimana DK dari 𝑋(𝑧) adalah 𝑧 > 𝑎
4. Diferensiasi dari 𝑿(𝒛)
Sifat diferensiasi menyatakan bahwa
𝑛𝑥(𝑛)𝑍 − 𝑧
𝑑𝑋(𝑧)
𝑑𝑧 dimana DK = 𝑅𝑥
Kita bisa ilustrasikan fungsi dari sifat diferensiasi dengan contoh.
Contoh 4.10:
Tentukan transformasi z dari sinyal diskrit 𝑥 𝑛 berikut:
𝑥 𝑛 = 𝑛. 𝑎𝑛𝑢(𝑛)
Penyelesaian:
Dengan menggunakan sifat diferensiasi maka
𝑋 𝑧 = −𝑧𝑑
𝑑𝑧
1
1 − 𝑎𝑧−1 =
𝑎𝑧−1
1 − 𝑎𝑧−1 2
dimana DK dari 𝑋(𝑧) adalah 𝑧 > 𝑎
5. Konjugasi sinyal komplek
Sifat konjugasi dinyatakan sebagai berikut
𝑥∗ 𝑛 𝑍 𝑋∗ (𝑧∗) dimana DK = 𝑅𝑥
6. Refleksi waktu (time reversal)
Sifat time reversal
𝑥∗ −𝑛 𝑍 𝑋∗ (1/𝑧∗) dimana DK = 1/𝑅𝑥
Bab IV - 15
Jika sinyal 𝑥 𝑛 real atau sinyal tersebut tidak memilki konjugasi sinyal komplek,
hasilnya menjadi
𝑥 −𝑛 𝑍 𝑋 (1/𝑧) dimana DK = 1/𝑅𝑥
Contoh 4.11:
Tentukan transformasi z dari sinyal diskrit 𝑥 𝑛 berikut:
𝑥 𝑛 = 𝑎−𝑛𝑢(−𝑛)
Penyelesaian:
sinyal 𝑥 𝑛 tersebut merupakan sifat time reversal dari 𝑎𝑛𝑢(𝑛), dengan sifat
time reversal diperoleh
𝑋 𝑧 =1
1 − 𝑎𝑧
dimana DK dari 𝑋(𝑧) adalah 𝑧 < 1/𝑎
7. Konvolusi sinyal diskrit
Sifat konvolusi dua sinyal diskrit adalah
𝑥1 𝑛 ∗ 𝑥2 𝑛 𝑍 𝑋1 𝑧 𝑋2 (𝑧) dimana DK = 𝑅𝑥1 ∩ 𝑅𝑥2
Sifat konvolusi tersebut dapat diturunkan sebagai berikut:
𝑦(𝑛) = 𝑥1 𝑘 . 𝑥2(𝑛 − 𝑘)
𝑘=∞
𝑘=−∞
𝑌(𝑧) = 𝑦 𝑛 𝑧−𝑛 =
∞
𝑛=−∞
𝑥1 𝑘 . 𝑥2(𝑛 − 𝑘)𝑧−𝑛
𝑘=∞
𝑘=−∞
∞
𝑛=−∞
𝑌(𝑧) = 𝑥1 𝑘
𝑘=∞
𝑘=−∞
𝑥2(𝑛 − 𝑘)𝑧−𝑛
∞
𝑛=−∞
Kita ubah indek penjumlahan kedua dari 𝑛 menjadi 𝑚 = 𝑛 − 𝑘, kita peroleh
𝑌(𝑧) = 𝑥1 𝑘
𝑘=∞
𝑘=−∞
𝑥2(𝑚)𝑧−(𝑚+𝑘)
∞
𝑚=−∞
Bab IV - 16
𝑌(𝑧) = 𝑥1 𝑘 𝑧−𝑘
𝑘=∞
𝑘=−∞
𝑥2 𝑚 𝑧−𝑚 = 𝑋1 𝑧 . 𝑋2(𝑧)
∞
𝑚=−∞
Contoh 4.12:
Tentukan transformasi z dari keluaran sistem LTI yang mempunyai respons
impuls ℎ 𝑛 bila diberi sinyal input 𝑥 𝑛 , dimana 𝑥 𝑛 dan ℎ 𝑛 sebagai berikut:
𝑥 𝑛 = (1
2)𝑛𝑢(𝑛) dan ℎ 𝑛 = (
1
3)𝑛𝑢(𝑛)
Penyelesaian:
𝒀 𝒛 =
1
(1 −12 𝑧−1)
.1
(1 −13 𝑧−1)
DK 𝑧 >1
2
𝑌 𝑧 =𝑧2
(𝑧 −12) 𝑧 −
13
DK 𝑧 >1
2
Gambar bidang z dengan pole-zeronya adalah
Gambar 4.5 Bidang-z untuk contoh 4.12
8. Teori nilai awal
Jika 𝑥(𝑛) sama dengan nol untuk 𝑛 < 0 (jika 𝑥(𝑛) merupakan Kausal), nilai awal
𝑥(0) dapat diperoleh dari 𝑋(𝑧) sebagai berikut :
𝑥 0 = lim𝑧→∞ 𝑋(𝑧)
𝑅𝑒(𝑧)
𝐼𝑚(𝑧)
1/3 0 1/2
𝑧𝑒𝑟𝑜 𝑟𝑎𝑛𝑔𝑘𝑎𝑝 𝑑𝑢𝑎
Bab IV - 17
Tabel 4.2 Sifat-sifat Transformasi-z
No Sifat Sinyal diskrit Transformasi-z Daerah
konvergensi
1 Linieritas 𝑎𝑥1 𝑛 + 𝑏𝑥2(𝑛) 𝑎𝑋1 𝑧 + 𝑏𝑋2(𝑧) 𝑅𝑥1 ∩ 𝑅𝑥2
2 Pergeseran
waktu 𝑥(𝑛 − 𝑑) 𝑧−𝑑𝑋(𝑧) 𝑅𝑥
3 Perkalian
eksponensial 𝑎𝑛𝑥(𝑛) 𝑋
𝑧
𝑎 𝑎 𝑅𝑥
4 Diferensiasi 𝑛𝑥(𝑛) −𝑧𝑑𝑋(𝑧)
𝑑𝑧 𝑅𝑥
5 Konjugasi 𝑥∗(𝑛) 𝑋∗(𝑧∗) 𝑅𝑥
6 Refleksi waktu
𝑥(−𝑛) 𝑋(𝑧−1) 1/𝑅𝑥
7 Konvolusi 𝑥1 𝑛 ∗ 𝑥2(𝑛) 𝑋1 𝑧 . 𝑋2(𝑧) 𝑅𝑥1 ∩ 𝑅𝑥2
4.6 Analisa Sistem LTI menggunakan Transformasi-Z
Sistem LTI dapat dinyatakan dengan persamaan beda koefisien konstan linier orde-N
mempunyai bentuk:
𝑎𝑘
𝑁
𝑘=0
𝑦 𝑛 − 𝑘 = 𝑏𝑘
𝑀
𝑘=0
𝑥 𝑛 − 𝑘 (4.14)
Transformasi-z dari persamaan 4.14 adalah
𝑎𝑘
𝑁
𝑘=0
𝑧−𝑘𝑌(𝑧) = 𝑏𝑘
𝑀
𝑘=0
𝑧−𝑘𝑋(𝑧) (4.15)
Fungsi transfer 𝐻 𝑧 dari sistem LTI menjadi dapat diperoleh dari pers (4.15) sebagai
berikut:
𝐻 𝑧 =
𝑌 𝑧
𝑋 𝑧 =
𝑏𝑘𝑧−𝑘𝑀𝑘=0
𝑎𝑘𝑧−𝑘𝑁𝑘=0
(4.16)
Berdasarkan fungsi transfer 𝐻(𝑧) kita dapat mengevaluasi sistem LTI dengan melihat
DKnya, yaitu:
1. Kausalitas
Sistem LTI dikatakan kausal apabila DK dari 𝐻(𝑧) berada diluar pole terluar.
2. Stabilitas
Sistem LTI dikatakan stabil BIBO apabila lingkaran satu termasuk DK dari 𝐻(𝑧).
Bab IV - 18
Contoh 4.13:
Sistem linier time-invariant bersifat kausal mempunyai fungsi transfer :
𝐻 𝑧 =(1 −
12 𝑧−1)
(1 +13 𝑧−1)(1 −
34 𝑧−1)
(4.17)
Apakah sistem tersebut stabil? Jelaskan.
Penyelesaian:
Sistem tersebut mempunyai pole-zero sebagai berikut:
𝐻 𝑧 =(1 −
12 𝑧−1)
(1 +13 𝑧−1)(1 −
34 𝑧−1)
.𝑧2
𝑧2=
𝑧(𝑧 −12)
(𝑧 +13)(𝑧 −
34)
Nilai zero pada 𝑧1 = 0 dan 𝑧2 = 1/2 sedangkan nilai pole terdapat pada 𝑧1 = −1/3 dan
𝑧2 = 3/4. Fungsi sistem bersifat kausal maka DKnya berada diluar pole terbesar/terluar
sehingga DKnya 𝑧 > 3/4, sehingga lingkaran satu termasuk DK dari 𝐻(𝑧). Gambar
pole-zero beserta DK dari 𝐻(𝑧) dapat dilihat pada gambar 4.6.
Gambar 4.6 Bidang-z untuk contoh 4.13
Lingkaran satu
𝑅𝑒(𝑧)
𝐼𝑚(𝑧)
1 0 3
4
1
2 −
1
3
Bab IV - 19
SOAL LATIHAN
4.1 Tentukan transformasi-z, pole-zero, termasuk DK-nya dan gambar bidang z dari
sinyal diskrit berikut:
a. 𝑥 𝑛 = 1
4
𝑛
𝑢(𝑛) d. 𝑥 𝑛 = 𝛿(𝑛 − 2)
b. 𝑥 𝑛 = 1
5
𝑛
𝑢(−𝑛 − 1) e. 𝑥 𝑛 = 𝛿(𝑛 + 3)
c. 𝑥 𝑛 = 1
4
𝑛
𝑢(−𝑛) f. 𝑥 𝑛 = 1/2 𝑛 𝑢 𝑛 − 2 − 𝑢(𝑛 − 12)
4.2 Tentukan transformasi-z, pole-zero, termasuk DK-nya dan gambar bidang z dari
sinyal diskrit berikut:
a. 𝑥 𝑛 = 𝑎 𝑛 , 0 < 𝑎 < 1
b. 𝑥 𝑛 = 1, 0 ≤ 𝑛 ≤ 𝑁 − 1
0, 𝑢𝑛𝑡𝑢𝑘 𝑛 𝑙𝑎𝑖𝑛𝑛𝑦𝑎
4.3 Transformasi-z dari 𝑋(𝑧) yang mempunyai pole-zero seperti ditunjukkan pada
gambar 4.6.
a. Tentukan DK dari 𝑋(𝑧) jika 𝑋 𝑧 mempunyai transformasi Fourier. Untuk kasus
ini, tentukan apakah sinyal diskrit 𝑥(𝑛) merupakan urutan sisi kanan, urutan sisi
kiri, atau urutan dua sisi.
b. Berapa banyak kemungkinan urutan dua sisi yang mempunyai gambar pole-zero
seperti pada gambar 4.6
c. Apakah mungkin gambar pole-zero sperti pada gambar 4.6 tersebut dapat
dikatagerikan sebagai urutan yang stabil BIBO dan kausal? Kalau mungkin
tentukan DK-nya?
Gambar 4.6 Pole-zero sistem LTI
𝑅𝑒(𝑧) 1
2
0
𝐼𝑚(𝑧)
3
2
2 -1
Bab IV - 20
4.4 Tentukan sinyal diskrit 𝑥(𝑛) bila transformasi-z nya adalah
𝑋 𝑧 = 1 + 𝑧 1 + 2𝑧−1 1 − 4𝑧−1
4.5 Tentukan sinyal diskrit 𝑥(𝑛) dibawah yang beberapa transformasi-z nya adalah
a. 𝑋(𝑧) =1
1 +14 𝑧−1
𝑧 >1
4
b. 𝑋(𝑧) =
1
1 +14 𝑧−1
𝑧 <1
4
c. 𝑋(𝑧) =1 −
12 𝑧−1
1 +34
𝑧−1 +18
𝑧−2 𝑧 >
1
2
d. 𝑋(𝑧) =1 +
13 𝑧−1
1 −12 𝑧−1
2 𝑧 >1
2
e. 𝑋(𝑧) =1 − 2𝑧−1
𝑧−1 − 2 𝑧 >
1
2
4.6 Sistem LTI kausal bila diberi input 𝑥 𝑛 = 𝑢 −𝑛 − 1 + 1
2
𝑛
𝑢(𝑛) akan
menghasilkan keluaran yang mempunyai transformasi-z berikut
𝑌(𝑧) =−
12 𝑧−1
1 −12 𝑧−1 1 + 𝑧−1
a. Tentukan transformasi-z dari respons impuls sistem tersebut, beserta DK-
nya.
b. Tentukan DK dari 𝑌(𝑧).
c. Tentukan 𝑦(𝑛),
4.7 Suatu fungsi sistem dari sistem LTI kausal adalah
𝐻(𝑧) =1 − 𝑧−1
1 +34 𝑧−1
Input sistem tersebut adalah 𝑥 𝑛 = 𝑢 −𝑛 − 1 + 1
3
𝑛
𝑢(𝑛)
a. Tentukan respons impuls sistem tersebut
Bab IV - 21
b. Tentukan sinyal keluaran sistem tersebut.
c. Apakah sistem tersebut stabil BIBO? Apakah respons impuls dapat
dijumlahkan secara absolut?
4.8 Sistem LTI kausal mempunyai respons impuls ℎ(𝑛), yang transformasi-z nya adalah
𝐻(𝑧) =1 + 𝑧−1
1 −12 𝑧−1 1 +
14 𝑧−1
a. Tentukan DK dari 𝐻(𝑧).
b. Apakah sistem tersebut stabil? Jelaskan
c. Tentukan input 𝑥(𝑛) bila akan menghasilkan sinyal keluaran
𝑦 𝑛 = −1
3 −
1
4
𝑛
𝑢 𝑛 −4
3 2 𝑛𝑢(−𝑛 − 1)
d. Hitung respons impuls ℎ(𝑛) dari sistem tersebut.
4.9 Bila sinyal input sistem LTI adalah
x 𝑛 = 1
3
𝑛
𝑢 𝑛 + 2 𝑛𝑢(−𝑛 − 1)
menghasilkan sinyal output
𝑦 𝑛 = 5 1
3
𝑛
𝑢 𝑛 − 5 2
3
𝑛
𝑢(𝑛)
a. Tentukan fungsi sistem 𝐻(𝑧) dari sistem tersebut. Gambar pole-zero pada
bidang z dan tentukan DK-nya.
b. Tentukan respons impuls sistem tersebut.
c. Tentukan persamaan beda yang menyatakan hubungan input output sistem
tersebut.
d. Apakah sistem tersebut stabil BIBO? Jelaskan.
e. Apakah sistem tersebut kausal? Jelaskan.
4.10 Perhatikan sistem LTI yang mempunyai hubungan input-output yang dinyatakan
dengan persamaan beda
𝑦 𝑛 −5
2𝑦 𝑛 − 1 + 𝑦 𝑛 − 2 = 𝑥 𝑛 − 𝑥(𝑛 − 1)
Tentukan nilai yang mungkin pada respons impuls sistem ℎ(𝑛) pada 𝑛 = 0.
4.11 Sistem LTI kausal mempunyai fungsi sistem
𝐻(𝑧) =1 + 2𝑧−1 + 𝑧−2
1 − 𝑧−1 1 +12 𝑧−1
Bab IV - 22
a. Hitung respons impuls ℎ(𝑛) dari sistem tersebut.
b. Hitung output sistem bila inputnya
𝑥 𝑛 = 𝑒𝑗 𝜋/2 𝑛
4.12 Perhatikan sistem LTI dengan respons impuls
ℎ 𝑛 = 𝑎𝑛 , 𝑛 ≥ 00, 𝑛 < 0
dan input
𝑥 𝑛 = 1, 0 ≤ 𝑛 ≤ 𝑁 − 1
0, 𝑢𝑛𝑡𝑢𝑘 𝑙𝑎𝑖𝑛𝑛𝑦𝑎
a. Tentukan output 𝑦(𝑛) dengan mengevaluasi secara eksplisit menggunakan
konvolusi diskrit antara 𝑥(𝑛) dan ℎ(𝑛).
b. Tentukan output 𝑦(𝑛) dengan menggunakan transformasi-z balik dari perkalian
transformasi-z 𝑥(𝑛) dan ℎ(𝑛).
4.13 Perhatikan sistem LTI stabil dan mempunyai fungsi transfer berikut
𝐻 𝑧 =3
1 +13 𝑧−1
Asumsikan bahwa input sistem berupa unit step.
a. Dapatkan output 𝑦(𝑛) dengan menggunakan konvolusi diskrit antara 𝑥(𝑛) dan
ℎ(𝑛).
b. Tentukan output 𝑦(𝑛) dengan menggunakan transformasi-z balik dari 𝑌(𝑧).
4.14 Perhatikan sistem LTI dikarakterisasi dengan fungsi sistem berikut
𝐻 𝑧 =1 −
12
𝑧−2
1 −12 𝑧−1 1 −
14 𝑧−1
𝑧 >1
2
a. Tentukan respons impuls sistem.
b. Apakah sistem tersebut stabil BIBO? Jelaskan.
c. Apakah sistem tersebut kausal? Jelaskan.
d. Tentukan persamaan beda yang menyatakan hubungan input 𝑥(𝑛) dan output
𝑦(𝑛) sistem.
4.15 Perhatikan sinyal 𝑥(𝑛) urutan sisi kanan yang mempunyai transformasi-z berikut
𝑋 𝑧 =1
1 − 𝑎𝑧−1 1 − 𝑏𝑧−1 =
𝑧2
𝑧 − 𝑎 𝑧 − 𝑏
Dengan menggunakan metode ekspansi pecahan parsial, tentukan sinyal diskrit
𝑥(𝑛).
Bab V - 1
Bab 5
Perencanaan Filter Digital
5.1 Pendahuluan
Filter digital merupakan suatu sistem diskrit yang digunakan untuk memfilter
(frekuensi) sinyal input digital menjadi sinyal output digital sesuai yang diinginkan oleh
disainer. Filter digital dikarakterisasi dengan persamaan beda koefisien konstan linier
orde ke-N, selain itu dapat juga dinyatakan dalam respons impuls. Berdasarkan panjang
deretan (durasi) respons impuls, filter digital dikelompokkan menjadi filter FIR (Finite
Impulse Response) dan filter IIR (Infinite Impulse Response). Banyak contoh aplikasi
filter digital yang dapat dijumpai pada bidang kedokteran, sistem komunikasi digital,
sistem proteksi relay pada sistem kelistrikan, robotika, radar, sistem audio digital dan
lain sebagainya. Disain filter digital dengan fasa linier dilakukan dengan metode
pendekatan. Filter FIR didisain dengan pendekatan filter digital ideal sedangkan filter
IIR didisain dengan pendekatan filter analog.
5.2 Filter Digital
Filter digital merupakan sistem linier time-invarian (LTI) yang melakukan proses dari
input sinyal digital 𝑥 𝑛 menjadi sinyal output digital 𝑦(𝑛). Sistem LTI dapat
dikarakterisasi dengan respon impuls ℎ(𝑛), fungsi sistem 𝐻(𝑧) dan persamaan beda
koefisien konstan. Jika sistem tersebut mempunyai persamaan beda koefisien konstan
linier orde-N sebagai berikut:
𝑎𝑘𝑦 𝑛 − 𝑘 = 𝑏𝑘𝑥(𝑛 − 𝑘)
𝑀
𝑘=0
𝑁
𝑘=0
(5.1)
Selanjutnya fungsi sistem dapat diperoleh dengan mentransformasi-z pers (5.1)
menjadi:
𝐻 𝑧 = 𝑏𝑘𝑧
−𝑘𝑀𝑘=0
𝑎𝑘𝑧−𝑘𝑁𝑘=0
(5.2)
Sedangkan respons frekuensinya diperoleh dengan mengganti 𝑧 = 𝑒𝑗𝜔 menjadi
𝐻 𝑒𝑗𝜔 = 𝑏𝑘𝑒
−𝑗𝜔𝑀𝑘=0
𝑎𝑘𝑒−𝑗𝜔𝑁𝑘=0
(5.3)
Respons frekuensi 𝐻(𝑒𝑗𝜔 ) diperlukan untuk menentukan jenis suatu filter digital,
apakah LPF (low pass filter), HPF (high pass filter), BPF (band pass filter) atau BSF
Bab V - 2
(band stop filter). Filter digital H(z) diaplikasikan pada struktur analog-to-digital-H(z)-
digital-to-analog ADC-H(z)-DAC seperti terlihat pada gambar 5.1. Sinyal input
kontinyu 𝑥(𝑡) diproses oleh analog-to-digital converter (ADC) menjadi sinyal diskrit
𝑥(𝑛) dengan laju sampling 1/𝑇, dimana 𝑇 merupakan periode sampling. Sinyal diskrit
𝑥(𝑛) sebagai input filter digital 𝐻(𝑧) untuk diproses yang menghasilkan output sinyal
diskrit 𝑦(𝑛). Selanjutnya sinyal 𝑦(𝑛) dikonversi oleh digital-to-analog converter (DAC)
menjadi sinyal kontinyu 𝑦(𝑡).
Gambar 5.1 Filter digital pada sistem analog ekivalen
5.3 Disain Filter Digital FIR
Filter FIR didisain dengan melakukan pendekatan ke filter digital ideal. Metode yang
sering dijumpai menggunakan metode windowing. Cara yang paling mudah untuk
mendapatkan filter FIR adalah membatasi panjang deretan respons impuls filter IIR.
Jika ℎ𝑑(𝑛) merepresentasikan respons impuls filter digital IIR yang diinginkan, maka
filter FIR dengan respons impuls ℎ(𝑛) dapat diperoleh sebagai berikut
ℎ 𝑛 = ℎ𝑑 𝑛 , 𝑁1 ≤ 𝑛 ≤ 𝑁2
0, 𝑛 𝑙𝑎𝑖𝑛𝑛𝑦𝑎 (5.4)
Secara umum ℎ(𝑛) dapat dibentuk dengan mengalikan ℎ𝑑(𝑛) dengan fungsi window
𝑤(𝑛) sebagai berikut
ℎ 𝑛 = ℎ𝑑 𝑛 .𝑤(𝑛) (5.5)
Respons impuls ℎ(𝑛) pers (5.4) dapat dibentuk dari per (5.5) bila menggunakan fungsi
window persegi (rectangular) yaitu
𝑤 𝑛 = 1, 𝑁1 ≤ 𝑛 ≤ 𝑁2
0, 𝑛 𝑙𝑎𝑖𝑛𝑛𝑦𝑎 (5.6)
Jika kita menyatakan 𝐻(𝑒𝑗𝜔 ), 𝐻𝑑(𝑒𝑗𝜔 ) dan 𝑊(𝑒𝑗𝜔 ) sebagai transformasi Fourier dari
ℎ(𝑛), ℎ𝑑(𝑛) dan 𝑤(𝑛), maka respons frekuensi 𝐻(𝑒𝑗𝜔 ) dari filter hasil disain merupakan
konvolusi antara 𝐻𝑑(𝑒𝑗𝜔 ) dan 𝑊(𝑒𝑗𝜔 ) sebagai berikut
ADC
converter
DAC
converter
Filter digital
𝐻(𝑧)
𝑥(𝑡) 𝑥(𝑛) 𝑦(𝑛) 𝑦(𝑡)
1/𝑇 1/𝑇 Filter analog ekivalen
Bab V - 3
𝐻 𝑒𝑗𝜔 =1
2𝜋 𝐻𝑑 𝑒
𝑗𝜃 .𝑊(𝑒𝑗 𝜔−𝜃 )𝑑𝜃 =𝜋
−𝜋
𝐻𝑑 𝑒𝑗𝜔 ∗ 𝑊(𝑒𝑗𝜔 ) (5.7)
Sebagai ilustrasi, jika 𝐻𝑑(𝑒𝑗𝜔 ) merepresentasikan filter LPF ideal dengan frekuensi
cutoff 𝜔𝑐 dan 𝑤(𝑛) merupakan window persegi pada titik asal, maka 𝐻(𝑒𝑗𝜔 ) seperti
terlihat pada gambar 5.2. Dari gambar 5.2, respons frekuensi hasil disain 𝐻(𝑒𝑗𝜔 )
menyerupai respons frekuensi yang diinginkan 𝐻𝑑(𝑒𝑗𝜔 ).
Gambar 5.2 Respons Frekuensi hasil perkalian respons impuls ℎ𝑑(𝑛) ideal dengan
window persegi
Beberapa fungsi window yang sering digunakan secara umum yaitu window persegi,
Barlett, Hanning, Hamming, dan Blackman. Secara matematis fungsi window dengan
panjang deretan N adalah:
1. Window persegi (rectangular)
𝑤𝑅 𝑛 = 1, 0 ≤ 𝑛 ≤ 𝑁 − 1
0, 𝑛 𝑙𝑎𝑖𝑛𝑛𝑦𝑎 (5.8)
2. Window Barlett
𝑤𝐵 𝑛 =
2𝑛
𝑁 − 1, 0 ≤ 𝑛 ≤ (𝑁 − 1)/2
2 −2𝑛
𝑁 − 1,
𝑁 − 1
2≤ 𝑛 ≤ 𝑁 − 1
0, 𝑛 𝑙𝑎𝑖𝑛𝑛𝑦𝑎
(5.9)
3. Window Hanning
𝑤𝐻𝑎𝑛 𝑛 = 0.5. 1 − cos[
2𝜋𝑛
𝑁 − 1] , 0 ≤ 𝑛 ≤ 𝑁 − 1
0, 𝑛 𝑙𝑎𝑖𝑛𝑛𝑦𝑎
(5.10)
4. Window Hamming
−𝜔𝑐 𝜔𝑐 𝜋 −𝜋
𝐻𝑑 (𝑒𝑗𝜔 ) 𝐻(𝑒𝑗𝜔 )
−𝜔𝑐 𝜔𝑐
4𝜋/𝑁
𝜋
𝑊(𝑒𝑗𝜔 )
2𝜋/𝑁 𝜋
* =
Bab V - 4
𝑤𝐻𝑎𝑚 𝑛 = 0.54 − 0.46 cos
2𝜋𝑛
𝑁 − 1 , 0 ≤ 𝑛 ≤ 𝑁 − 1
0, 𝑛 𝑙𝑎𝑖𝑛𝑛𝑦𝑎
(5.11)
5. Window Blackman
𝑤𝐵𝑙 𝑛 = 0.42 − 0.5 cos
2𝜋𝑛
𝑁 − 1 + 0.08 cos
4𝜋𝑛
𝑁 − 1 , 0 ≤ 𝑛 ≤ 𝑁 − 1
0, 𝑛 𝑙𝑎𝑖𝑛𝑛𝑦𝑎
(5.12)
5.3.1 Prosedur Disain Filter Digital FIR
Filter LPF ideal yang mempunyai fasa linier dengan slope –𝛼 dan frekuensi cutoff 𝜔𝑐
dapat dinyatakan dalam domain frekuensi
𝐻𝑑 (𝑒𝑗𝜔 ) = 𝑒−𝑗𝛼𝜔 , 𝜔 ≤ 𝜔𝑐
0, 𝜔𝑐 < 𝜔 < 𝜋 (5.13)
Respons impuls filter ideal ℎ𝑑(𝑛) dapat diperoleh dengan mentransformasi Fourier
balik 𝐻𝑑 (𝑒𝑗𝜔 ) menjadi
ℎ𝑑 𝑛 =sin[𝜔𝑐(𝑛 − 𝛼)]
𝜋(𝑛 − 𝛼) (5.14)
Filter FIR kausal dengan respons impuls ℎ(𝑛) dapat diperoleh dengan cara mengalikan
ℎ𝑑(𝑛) dengan sebuah fungsi window pada titik asal dan diakhiri pada titik 𝑁 − 1
sebagai berikut
ℎ 𝑛 =
sin 𝜔𝑐 𝑛 − 𝛼
𝜋 𝑛 − 𝛼 .𝑤 𝑛 , 0 ≤ 𝑛 ≤ 𝑁 − 1
0, 𝑛 𝑙𝑎𝑖𝑛𝑛𝑦𝑎
(5.15)
Respons impuls ℎ(𝑛) mempunyai fasa linier bila 𝛼 dipilih agar menghasilkan ℎ(𝑛) yang
simetris. Fungsi sin 𝜔𝑐 𝑛 − 𝛼 /𝜋(𝑛 − 𝛼) pada pers (5.14) simetris pada 𝑛 = 𝛼 dan
fungsi window simetris pada 𝑛 = (𝑁 − 1)/2, sehingga filter ℎ(𝑛) pada pers (5.15)
mempunyai fasa linier jika simetris dan
𝛼 =𝑁 − 1
2
5.3.2 Tahapan Disain Filter Digital FIR
Sebelum melakukan tahapan disain filter digital, kita harus membuat spesifikasi filter
digital. Sebagai ilustrasi, kita merencanakan filter LPF dengan menentukan spesifikasi
redaman passband maksimal 𝐾1 pada frekuensi cuoff 𝜔𝑐 , redaman stopband minimal
𝐾2 pada frekuensi 𝜔𝑠 seperti terlihat pada gambar 5.3.
Bab V - 5
Gambar 5.3 Spesifikasi Filter Digital LPF
Langkah-langkah disain filter FIR secara iteratif sebagai berikut:
1. Memilih tipe window berdasarkan tabel 5.1 agar redaman stopband minimal
sama dengan 𝐾2.
Tabel 5.1 Lebar pita transisi berdasarkan jenis window
Jenis Window Lebar transisi
Redaman stopband minimal (dB)
Konstanta (𝑘)
Persegi 4𝜋/𝑁 21 2 Barlett 8𝜋/𝑁 25 4
Hanning 8𝜋/𝑁 44 4 Hamming 8𝜋/𝑁 53 4 Blackman 12𝜋/𝑁 74 6
2. Menentukan panjang deretan window N (orde filter) agar memenuhi lebar band
transisi sesuai dengan tipe window yang digunakan. Jika 𝜔𝑡 merupakan lebar
band transisi, maka harus dipenuhi kondisi
𝜔𝑡 = 𝜔𝑠 −𝜔𝑐 ≥ 𝑘.2𝜋
𝑁
Dimana 𝑘 tergantung pada tipe window yang digunakan sehingga
𝐾1
𝐾2
𝜔𝑐 𝜔𝑠 𝜔 (rad)
0
20𝑙𝑜𝑔 𝐻 𝑒𝑗𝜔 𝑑𝐵
𝜋 0
passband Transition
band
stopband
Bab V - 6
𝑁 ≥ 𝑘.2𝜋
𝜔𝑠 −𝜔𝑐
3. Memilih frekuensi cutoff 𝜔𝑐 dan kemiringan fasa 𝛼 yaitu
𝛼 = (𝑁 − 1)/2
Sehingga respons impulsnya menjadi
ℎ 𝑛 =sin 𝜔𝑐 𝑛 −
𝑁 − 12
𝜋 𝑛 −𝑁 − 1
2
.𝑤(𝑛) 0 ≤ 𝑛 ≤ 𝑁 − 1
4. Menggambar respons frekuensi 𝐻(𝑒𝑗𝜔 ), untuk N ganjil mempunyai persamaan
sebagai berikut
𝐻 𝑒𝑗𝜔 = 𝑒−𝑗𝜔 (𝑁−1)/2. ℎ 𝑁 − 1
2 + 2ℎ 𝑛 cos[𝜔(𝑛 −
𝑁 − 1
2)]
(𝑁−3)/2
𝑛=0
Silakan dicek gambar pada langkah ke-4 berupa respon magnitud
20𝑙𝑜𝑔 𝐻 𝑒𝑗𝜔 𝑑𝐵, apakah sudah sesuai dengan spesifikasi yang direncanakan?
Bila sudah sesuai, iterasi dihentikan.
5. Jika persyaratan redaman 𝐾1 pada 𝜔𝑐 tidak sesuai, diatur lagi nilai 𝜔𝑐 , biasanya
lebih besar dari iterasi pertama. Selanjutnya ulangi langkah ke-4 dengan nilai 𝜔𝑐
yang baru tersebut.
6. Jika persyaratan respons frekuensi (respon magnitud dan fasa) sudah sesuai
dengan yang diinginkan, cek lagi dengan mengurangi orde filter N. Selanjutnya
ulangi langkah ke-4 dengan menggambar respons frekuensi. Pengurangan nilai N
bertujuan untuk mengurangi processing delay (waktu tunda pengolahan pada
sistem diskrit). Jika pengurangan nilai N tidak memungkinkan, maka iterasi
dihentikan dan diperoleh respons impuls ℎ(𝑛).
Prosedur diatas merupakan metode trial and error dan berusaha untuk mencapai
respons frekuensi yang paling sesuai dengan yang diinginkan. Prosedur ini bukan
merupakan optimalisasi hasil, tetapi memperoleh hasil disain yang mendekati.
fasa linier magnitud
Bab V - 7
Contoh 5.1:
Rencanakan filter digital LPF yang akan dipakai pada sistem digital A/D-H(z)-D/A, yang
mempunyai redaman 3 dB pada frekuenasi cutoff 15 Hz dan redaman stopband 50 dB
pada frekuensi 22,5 Hz. Filter tersebut diharapkan mempunyai fasa linier dan
menggunkan frekuensi sampling 100 Hz.
Penyelesaian:
Spesifikasi filter LPF berdasarkan data yang diketahui sebagai baerikut
𝜔𝑐 = 2𝜋fc/fsamp = 2𝜋.(15/100) = 0.3𝜋 rad pada 𝐾1 ≤ 3 𝑑𝐵
𝜔𝑠 = 2𝜋fs/fsamp = 2𝜋.(22.5/100) = 0.45𝜋 rad pada 𝐾2 ≥ 50 𝑑𝐵
Langkah 1:
Untuk memperoleh redaman stopband minimal 50 dB, berdasarkan tabel 5.1
maka kita bisa menggunakan window Hamming atau Blackman. Sebagai contoh
dalam hal ini, kita pilih menggunakan window Hamming.
Langkah 2:
Menentukan ukuran window 𝑁 (orde filter) berdasarkan lebar pita transisi pada
tabel 4.1 sesuai dengan tipe window yang digunakan, dalam contoh ini
menggunakan Hamming, sehingga
𝑁 ≥ 𝑘.2𝜋
𝜔𝑠 −𝜔𝑐= 4.
2𝜋
0.45𝜋 − 0.3𝜋= 53.3
Untuk memperoleh delay integer, dipilih nilai 𝑁 ganjil, sehingga 𝑁 = 55.
Langkah 3:
Menentukan frekuensi cuoff dan slope dari fasa adalah
𝜔𝑐 = 0.3𝜋 dan 𝛼 = 𝑁 − 1 /2 = 27
-3 dB
0.3𝜋 𝜔 (rad)
0
20𝑙𝑜𝑔 𝐻 𝑒𝑗𝜔 𝑑𝐵
𝜋 0
-50 dB
0.45𝜋
Bab V - 8
Selanjutnya diperoleh respons impuls ℎ(𝑛) untuk window Hamming sebagai
berikut:
ℎ 𝑛 =sin 0.3𝜋 𝑛 − 27
𝜋 𝑛 − 27 . 0.54 − 0.46 cos
2𝜋𝑛
54 , 𝑢𝑛𝑡𝑢𝑘 0 ≤ 𝑛 ≤ 54
Langkah 4:
Menggunakan nilai-nilai ℎ 𝑛 untuk menggambar respons magnitud dari filter
hasil disain dengan menggunakan persamaan pada langkah ke-4 disain filter FIR.
Selain itu dapat juga dengan tahapan berikut:
Menghitung respons impuls ℎ(𝑛) seperti pada tabel 5.2.
Tabel 5.2 Nilai respons impuls ℎ(𝑛)
𝑛 𝑛 ℎ(𝑛) 0 1 2 3 4 5 6 7 8 9
10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27
54 53 52 51 50 49 48 47 46 45 44 43 42 41 40 39 38 37 36 35 34 33 32 31 30 29 28 -
0.0003 -0.0006 -0.0012 -0.0008 0.0006 0.0021 0.0023 -0.0000 -0.0036 -0.0052 -0.0021 0.0048 0.0098 0.0069 -0.0043 -0.0156 -0.0157 0.0000 0.0220 0.0308 0.0120 -0.0278 -0.0588 -0.0445 0.0319 0.1495 0.2567
0.3
ℎ 𝑛 = ℎ 0 𝛿 𝑛 + ℎ 1 𝛿 𝑛 − 1 + …+ ℎ 27 𝛿 𝑛 − 27 + …+ ℎ 54 𝛿(𝑛 − 54)
𝐻(𝑧) = ℎ 0 + ℎ 1 𝑧−1 + …+ ℎ 27 𝑧−27 + …+ ℎ 54 𝑧−54
𝐻(𝑒𝑗𝜔 ) = ℎ 0 + ℎ 1 𝑒−𝑗𝜔 + …+ ℎ 27 𝑒−𝑗27𝜔 + …+ ℎ 54 𝑒−𝑗54𝜔
Bab V - 9
Karena respons frekuensi yang dihasilkan mempunyai koefisien yang simetris
maka dapat dibuat bentuk yang kompak berikut
𝐻 𝑒𝑗𝜔 = 𝑒−𝑗27𝜔 . ℎ 27 + 2ℎ 𝑛 cos[𝜔(𝑛 − 27)]
26
𝑛=0
Gambar respons impuls dan respons magnitud hasil disain dapat dilihat pada
gambar 5.4 dan 5.5 sedangkan persamaan bedanya adalah
𝑦 𝑛 = ℎ 0 𝑥 𝑛 + ℎ 1 𝑥 𝑛 − 1 + …+ ℎ 27 𝑥 𝑛 − 27 + …+ ℎ 54 𝑥(𝑛 − 54)
Gambar 5.4 Respons impuls filter LPF hasil disain
Gambar 5.4 didapat menggunakan perangkat lunak Matlab dengan perintah “stem”.
Gambar tersebut merupakan respons impuls filter FIR hasil disain dan terlihat bahwa
berbentuk simetris pada saat 𝑛 = 27.
Selanjutnya untuk menggambar respons magnitud dan fasa dapat menggunakan
perintah syntax “freqz” pada Matlab seperti yang terlihat pada gambar 5.5. Pada
gambar tersebut sumbu horisontal merupakan frekuensi diskrit 𝜔 dari 0 sampai dengan
𝜋 yang dinormalisasi terhadap 𝜋. Pada repons magnitud terlihat daerah passband
antara 0 dan 0.3𝜋 sehingga dapat dikatakan sebagai filter LPF dan mempunyai fasa
0 5 10 15 20 25 30 35 40 45 50 55-0.1
-0.05
0
0.05
0.1
0.15
0.2
0.25
0.3
0.35
waktu n
h(n
)
fasa linier magnitud
Bab V - 10
linier pada rentang frekuensi tersebut. Sinyal diskrit yang frekuensinya berada pada
daerah passband maka sinyal tersebut akan diloloskan tetapi akan mengalami delay
sesuai dengan respons fasa filter pada frekuensi sinyal input. Sebagai contoh bila sinyal
input mempunyai frekuensi 0.2𝜋 maka akan mengalami delay sekitar 1000 degrees.
Gambar 5.5 Respons magnitud dan fasa filter FIR hasil disain
0 0.1 0.2 0.3 0.4 0.5 0.6 0.7 0.8 0.9 1-2000
-1500
-1000
-500
0
Normalized Frequency ( rad/sample)
Phase (
degre
es)
0 0.1 0.2 0.3 0.4 0.5 0.6 0.7 0.8 0.9 1-150
-100
-50
0
50
Normalized Frequency ( rad/sample)
Magnitude (
dB
)
Bab V - 11
SOAL LATIHAN
1. Diketahui respons impus filter mempunyai persamaan
ℎ 𝑛 = 1/21 − cos
2𝜋𝑛
100 .
sin[0.2𝜋 𝑛 − 50)
𝜋 𝑛 − 50) , 0 ≤ 𝑛 ≤ 100
0, 𝑛 𝑙𝑎𝑖𝑛𝑛𝑦𝑎
a. Sketsa respons magnitud 𝐻(𝑒𝑗𝜔 ) dalam dB dan hitung nilai-nilainya pada titik
kritis (pada 𝜔 = 𝜔𝑐 dan 𝜔 = 𝜔𝑠).
b. Jika filter tersebut diberi input 𝑥 𝑛 = sin(0.35𝜋𝑛), maka input tersebut berada
pada daerah mana? passband, transition band, atau stopband?
c. Tentukan persamaan beda filter tersebut?
2. Diketahui respons impus filter FIR mempunyai persamaan sebagai berikut:
ℎ 𝑛 = 1/21 − cos
2𝜋𝑛
10 . 𝛿 𝑛 − 5 −
sin[0.9𝜋 𝑛 − 5)
𝜋 𝑛 − 5) , 0 ≤ 𝑛 ≤ 10
0, 𝑛 𝑙𝑎𝑖𝑛𝑛𝑦𝑎
a. Sketsa respons magnitud 𝐻(𝑒𝑗𝜔 ) dalam dB dan hitung nilai-nilainya pada titik
kritis (pada 𝜔 = 𝜔𝑐 dan 𝜔 = 𝜔𝑠).
b. Jika filter tersebut diberi input 𝑥 𝑛 = 2sin 0.475𝜋𝑛 . cos(0.475𝜋𝑛), maka input
tersebut berada pada daerah mana? passband, transition band, atau stopband?
c. Gambarkan respons impuls ℎ 𝑛 .
d. Tentukan persamaan beda filter tersebut?
e. Tentukan output filter bila inpunya sinyal diskrit DC.
3. Sinyal analog mempunyai pita frekuensi 0 – 10 kHz disampling dengan frekuensi
sampling 50 kHz. Kita ingin meloloskan sinyal tersebut dengan menggunakan filter
digital FIR yang mempunyai lebar band transisi tidak lebih dari 5 kHz dengan
redaman stopband minimal 40 dB. Kita menginginkan fase linier pada daerah
passband. Rencanakan filter FIR tersebut dan gambar respons magnitudnya.
4. Filter bandpass digital disyaratkan mempunyai redaman 3 dB pada frekuensi cutoff
bawah 0.4𝜋 rad dan 3 dB pada frekuensi cutoff atas 0.5𝜋 rad. Lebar transition band
untuk frekuensi bawah maupun atas adalah 0.1𝜋 dengan redaman stopband
minimal 40 dB.
a. Hitung respons impuls ℎ(𝑛) untuk filter FIR tersebut yang memenuhi
persyaratan diatas dengan menggunakan window Hamming.
b. Tentukan persamaan beda hasil disain.
c. Gambar respons magnitud filter FIR hasil disain.
Filter digital IIR 1
5.4 FILTER DIGITAL IIR
1. STRUKTUR FILTER DIGITAL Berdasarkan hubungan antara deretan input x[n] dengan deretan output y[n] :
a. Rekursif y[n] = Fy[n-1], y[n-2], . . . , x[n], x[n-1], x[n-2], . . .
b. Non-Rekursif
y[n] = Fx[n], x[n-1], x[n-2], x[n-3], . . .
Berdasarkan panjang deretan h[n] : a. Infinite Impuls Response (IIR)
Panjang deretan h[n] tak terbatas Contoh : h[n] = (1/2)n u[n]
b. Finite Impuls Response (FIR)
Panjang deretan h[n] terbatas
Contoh : h[n] = [n] + [n-1] + 1/2.[n-2] + [n-4]
Struktur filter berdasarkan transf. Z Impulse response : H(z)
N
0k
M
0kkk
M
0k
kk
N
0k
kk
N
0k
kk
M
0k
kk
]kn[xb]kn[ya
zb).Z(Xza).Z(Y
za
zb
)Z(X
)Z(Y)Z(H
Untuk ao = 1, maka :
M
k
N
k
kk knyaknxbny0 1
][][][
Untuk salah satu ak 0; k [1,N] maka dinamakan filter rekursif/IIR
Untuk semua ak = 0; k [1,N] maka dinamakan filter non-rekursif/FIR
Filter digital IIR 2
2. FILTER IIR
Syarat : Kausal : Respons impuls h[n] = 0, untuk n < 0
Stabil :
n
]n[h
Transformasi - Z :
n
N
1k
k
k
M
0k
k
k
n
za1
zb
z]n[h)Z(H
Syarat H(z) :
Minimum salah satu ak 0
Akar-akar dari penyebut tidak dihilangkan oleh akar-akar dari pembilang
Zero dapat berada disetiap tempat, pole harus terletak didalam lingkaran satuan
M N
KARAKTERISTIK FILTER IIR :
Magnitude Squared Respons : j1
2j ez,untuk,)z(H)z(H)e(H
Respons fasa
j
1
j
j1j
ez,untuk,)z(H
)z(Hln
j2
1e
atau
ez,untuk,)z(HRe
)z(HImtane
Group delay :
d
)e(d)e(
jj
g
Group delay artinya :
Berapa lama / cuplikan sinyal didelay.
Filter digital IIR 3
Penentuan Koefisien Filter IIR
Menentukan bk dan ak agar respons filter (waktu, frekuensi, group delay) mendekati sifat yang dinginkan.
METODE PENDEKATAN Transformasi bilinier
Transformasi respons impuls Transformasi matched Z
TRANSFORMASI BILINIER
Definisi :
S
T2
ST
2z;
z1
z1
T
2S
1
1
dan T: frekuensi sampling
Bila ; S = j ,
jT
2
jT
2z
Untuk : = 0, maka : z = 1,
= , maka : z = -1,
Bila ; S = + j maka :
jT
2
jT
2z
Bila < 0 (bidang S sebelah kiri) maka 1Z sehingga daerah konvergensi didalam
linkaran satu
Fungsi transfer filter digital H(z) didapat dengan Transformasi Bilinier.
)z1(
)z1(.
T
2S
)S(H)z(H1
1
j
Bidang S
Re
Im Bidang Z
Filter digital IIR 4
Hubungan Non-Linier :
Bila S = j dan z = ejT
yaitu,kecilTbilalinier,2
Ttan
T
2
2
Ttanj
T
2j
ee
ee
T
2
e1
e1
T
2j
2/Tj2/Tj
2/Tj2/Tj
Tj
Tj
atau dalam buku lain
1Tinormalisas,2
tanT
2
Filter digital IIR 5
Prosedur disain filter digital menggunakan metode Transformasi Bilinier
Spesifikasi digital 1, 2, . . ., N
K1, K2, . . . , KN
Spesifikasi analog 1, 2, . . ., N
K1, K2, . . . , KN
Ha(S)
Dinginkan H(z)
disain filter analog
Digunakan Transformasi Bilinier
i = 2/T . tan(i/2)
S = 2/T. (1-z-1) (1+z-1)
Filter digital IIR 6
Filter digital IIR 7
PROSEDUR DISAIN FILTER DIGITAL IIR
METODE TRANSFORMASI BILINIER, pendekatan filter analog
BUTTERWORTH
LOW PASS FILTER (LPF) Magnitude Squared Response
Spesifikasi digital Transf. ke Analog LPF Normalisasi
s
iii
f
f2T
;
2tan
T
2 ii
;
1
2r
Menghitung orde LPF analog Butterworth normalisasi :
r
10/2K10/1K
1log.2
)]110/()110log[(n
Fungsi transfer H(S) LPF normalisasi : (dapat dilihat pada tabel 3.1 )
HLPF(S) = . . . . .
Fungsi transfer H(S) LPF analog hasil disain : (dapat dilihat pada tabel 3.2)
c
LPFas
SSHSH
)()( = . . . . . ., dimana :
nKc
2
110/1
1
110
Fungsi transfer H(Z) LPF digital hasil disain :
)z1(
)z1(.
T
2S
)S(H)z(H1
1
a
= . . . . . . . .
dB dB dB
0 0 0 K1
K2
K1
K2
K1
K2
1 2 1 2 1 r
Filter digital IIR 8
PROSEDUR DISAIN FILTER DIGITAL IIR
METODE TRANSFORMASI BILINIER, pendekatan filter analog
BUTTERWORTH
HIGH PASS FILTER (HPF) Magnitude Squared Response
Spesifikasi digital Transf. ke Analog LPF Normalisasi
s
iii
f
f2T
;
2tan
T
2 ii
;
1
2r
Menghitung orde LPF analog Butterworth normalisasi :
r
10/2K10/1K
1log.2
)]110/()110log[(n
Fungsi transfer H(S) LPF normalisasi : (dapat dilihat pada tabel 3.1 )
HLPF(S) = . . . . .
Fungsi transfer H(S) HPF analog hasil disain : (dapat dilihat pada tabel 3.2)
sS
SHSH cLPFa
)()( = . . . . . ., dimana :
nK
c
2
110/1
2
110
Fungsi transfer H(Z) HPF digital hasil disain :
)z1(
)z1(.
T
2S
)S(H)z(H1
1
a
= . . . . . . . .
dB dB dB
0 0 0 K1
K2
K1
K2
K1
K2
1 2 1 2 1 r
Filter digital IIR 9
PROSEDUR DISAIN FILTER DIGITAL IIR
METODE TRANSFORMASI BILINIER, pendekatan filter analog
BUTTERWORTH
BAND PASS FILTER (BPF) Magnitude Squared Response
Spesifikasi digital Transf. ke Analog LPF Normalisasi
s
iii
f
f2T
;
2tan
T
2 ii
;
LU2
UL22
LU1
UL21
r
B
A
B,Amin
Menghitung orde LPF analog Butterworth normalisasi :
r
10/2K10/1K
1log.2
)]110/()110log[(n
Fungsi transfer H(S) LPF normalisasi : (dapat dilihat pada tabel 3.1 ) HLPF(S) = . . . . .
Fungsi transfer H(S) BPF analog hasil disain : (dapat dilihat pada tabel 3.2)
LU
UL2
LPFa
s
sS
)S(H)S(H
= . . . . . .
Fungsi transfer H(Z) BPF digital hasil disain :
)z1(
)z1(.
T
2S
)S(H)z(H1
1
a
= . . . . . . . .
1 L U 2 1 L U 2 1 r
dB dB dB
0 0 0 K1
K2
K1
K2
K1
K2
Filter digital IIR 10
PROSEDUR DISAIN FILTER DIGITAL IIR
METODE TRANSFORMASI BILINIER, pendekatan filter analog
BUTTERWORTH
BAND STOP FILTER (BSF) Magnitude Squared Response
Spesifikasi digital Transf. ke Analog LPF Normalisasi
s
iii
f
f2T
;
2tan
T
2 ii
;
UL22
LU2
UL21
LU1
r
B
A
B,Amin
Menghitung orde LPF analog Butterworth normalisasi :
r
10/2K10/1K
1log.2
)]110/()110log[(n
Fungsi transfer H(S) LPF normalisasi : (dapat dilihat pada tabel 3.1 )
HLPF(S) = . . . . .
Fungsi transfer H(S) BSF analog hasil disain : (dapat dilihat pada tabel 3.2)
UL2
LULPFa
s
sS
)S(H)S(H
= . . . . . .
Fungsi transfer H(Z) BSF digital hasil disain :
)z1(
)z1(.
T
2S
)S(H)z(H1
1
a
= . . . . . . . .
L 1 2 U L 1 2 U
dB dB dB
0 0 0 K1
K2
K1
K2
K1
K2
1 r
Filter digital IIR 11
FILTER ANALOG CHEBYSHEV Ada 2 tipe : a. Filter Chebyshev tipe 1 - - - - - - - - - Riple pada passband
b. Filter Chebyshev tipe 2 - - - - - - - - - Riple pada stopband Filter chebyshev low pass normalisasi dengan riple pada passband mempunyai
karakteristik :
)(T1
1)(H
2n
2
2
dimana : Tn() : polinomial chebyshev derajat n
: parameter riple pada passband
Tn() dapat dilihat pada tabel 3.3 pada buku :
L. C. Ludeman, "Fundamentals of Digital Signal Procesing",
2
)(H 2
)(H
1 r 1 r
n ganjil (n=3) n genap (n=4)
n mentukan jumlah puncak
Pada = 1 - - - - - - - 2
2
1
1)(H
= r - - - - - - 2
2
A
1)(H
Polinomial Chebyshev dapat dilihat pada tabel Tabel 3.3 pada buku : L. C. Ludeman, "Fundamentals of Digital Signal Procesing",
Untuk memperoleh fungsi transfer Hn(s) stabil dan kausal maka harus mendapatkan pole-pole dan memilih pole-pole Hn(s) pada LHP (Left Half Plane).
1
21
1
2A
1
1
21
1
2A
1
Filter digital IIR 12
Pole diperoleh dengan mencari akar-akar sbb :
1 + 2 Tn
2(s) = 0
Jika sk = k + k merepresentasikan pole maka memenuhi :
1ba 2
2k
2
2k
dimana :
n2,...,3,2,1kn2/1k2bCos
n2/1k2aSin
/112
1/11
2
1b
/112
1/11
2
1a
k
k
n/1n/1
2
n/1n/1
2
2
2
Dengan menggunakan hanya pole padaa LHP, maka :
genapn,1
b
ganjiln,b
K
bsb...sbs)s(V
)s(V
K
ss
K)s(H
2
0
0
011n
1nn
n
n
poleLHP
k
n
Dapat dilihat pada tabel 3.4 buku : L. C. Ludeman, "Fundamentals of Digital Signal Procesing",
Penentuan orde filter n :
1log
1gglogn
2rr
2
dimana :
2
2
rn
1Agdan
jH
1A
Filter digital IIR 13
Contoh : Desain Filter analog
Rencanakan LPF analog Chebyshev dengan bandwidth 1-rad/det dengan karakteristik sbb : Ripple passband 2 dB
Frekuensi cutoff 1 rad/det Atenuasi stopband 20 dB atau lebih pada 1,3 rad/det
Penyelesaian :
20 logH(j1) = 20 log[1/(1 + 2)]1/2 = 10 log [1/(1 + 2)] = -2
20 logH(j1,3) = 20 log(1/A2)1/2= 20 log (1/A) = -20
Sehingga diperoleh :
A = 10 = 0,76478
maka : g = 13,01 n = 4.3 5
Dengan melihat tabel 3.4 pada buku : L. C. Ludeman, "Fundamentals of Digital Signal Procesing",
untuk n = 5 dan ripple = 2 dB diperoleh :
08172,0s.45935,0s.6934,0s.4995,1s.70646,0s
08172,0)s(H
23455
Filter digital IIR 14
Filter digital IIR 15
PROSEDUR DISAIN FILTER DIGITAL IIR, METODE TRANSFORMASI
BILINIER, pendekatan filter analog CHEBYSHEV
LOW PASS FILTER (LPF), Magnitude Squared Response
Spesifikasi digital Transf. ke Analog LPF Normalisasi
s
iii
f
f2T
;
2tan
T
2 ii
;
1
2r
Menghitung orde LPF analog Chebyshev normalisasi :
- 10 log[1/(1 + 2)] = K1 - 20 log (1/A) = K2
110 10/1K A = 10-K2/20]
- 110
110)1(10/
10/
2
2
1
2
K
KA
g
- 1log
]1gglog[n
2rr
2
Fungsi transfer H(S) LPF normalisasi : (dapat dilihat pada tabel 3.4 )
dengan melihat ripple dan orde n diperoleh :
Hn(S) = . . . . .
Fungsi transfer H(S) LPF analog hasil disain : (dapat dilihat pada tabel 3.2)
c
nas
SSHSH
)()( = . . . . . .
Fungsi transfer H(Z) LPF digital hasil disain :
)z1(
)z1(.
T
2S
)S(H)z(H1
1
a
= . . . . . . . .
dB
1 2 1 2
dB dB
0 0 0 K1
K2
K1
K2
K1
K2
1 r
Filter digital IIR 16
PROSEDUR DISAIN FILTER DIGITAL IIR, METODE TRANSFORMASI
BILINIER, pendekatan filter analog CHEBYSHEV
HIGH PASS FILTER (HPF), Magnitude Squared Response
Spesifikasi digital Transf. ke Analog LPF Normalisasi
s
iii
f
f2T
;
2tan
T
2 ii
;
1
2r
Menghitung orde LPF analog Chebyshev normalisasi :
- 10 log[1/(1 + 2)] = K1 - 20 log (1/A) = K2
110 10/1K A = 10-K2/20]
- 110
110)1(10/
10/
2
2
1
2
K
KA
g
- 1log
]1gglog[n
2rr
2
Fungsi transfer H(S) LPF normalisasi : (dapat dilihat pada tabel 3.4 )
dengan melihat ripple dan orde n diperoleh :
Hn(S) = . . . . .
Fungsi transfer H(S) HPF analog hasil disain : (dapat dilihat pada tabel 3.2)
sS
SHSH cna
)()( = . . . . . .
Fungsi transfer H(Z) HPF digital hasil disain :
)z1(
)z1(.
T
2S
)S(H)z(H1
1
a
= . . . . . . . .
dB dB dB
0 0 0 K1
K2
K1
K2
K1
K2
1 2 1 2 1 r
Filter digital IIR 17
PROSEDUR DISAIN FILTER DIGITAL IIR, METODE TRANSFORMASI
BILINIER, pendekatan filter analog CHEBYSHEV
BAND PASS FILTER (BPF), Magnitude Squared Response Spesifikasi digital Transf. ke Analog LPF Normalisasi
s
iii
f
f2T
;
2tan
T
2 ii
;
LU2
UL22
LU1
UL21
r
B
A
B,Amin
Menghitung orde LPF analog Chebyshev normalisasi :
- 10 log[1/(1 + 2)] = K1 - 20 log (1/A) = K2
110 10/1K A = 10-K2/20]
- 2
2 )1A(g
-
1log
]1gglog[n
2rr
2
Fungsi transfer H(S) LPF normalisasi : (dapat dilihat pada tabel 3.4 )
dengan melihat ripple dan orde n diperoleh :
Hn(S) = . . . . .
Fungsi transfer H(S) BPF analog hasil disain : (dapat dilihat pada tabel 3.2)
LU
UL2
na
s
sS
)S(H)S(H
= . . . . . .
Fungsi transfer H(Z) BPF digital hasil disain :
)z1(
)z1(.
T
2S
)S(H)z(H1
1
a
= . . . . . . . .
1 L U 2 1 L U 2 1 r
dB dB dB
0 0 0
K1
K2
K1
K2
K1
K2
Filter digital IIR 18
PROSEDUR DISAIN FILTER DIGITAL IIR, METODE TRANSFORMASI
BILINIER, pendekatan filter analog CHEBYSHEV
BAND STOP FILTER (BSF), Magnitude Squared Response Spesifikasi digital Transf. ke Analog LPF Normalisasi
s
iii
f
f2T
;
2tan
T
2 ii
;
UL22
LU2
UL21
LU1
r
B
A
B,Amin
Menghitung orde LPF analog Chebyshev normalisasi :
- 10 log[1/(1 + 2)] = K1 - 20 log (1/A) = K2
110 10/1K A = 10-K2/20]
- 2
2 )1A(g
-
1log
]1gglog[n
2rr
2
Fungsi transfer H(S) LPF normalisasi : (dapat dilihat pada tabel 3.4 ) dengan melihat ripple dan orde n diperoleh :
Hn(S) = . . . . .
Fungsi transfer H(S) BSF analog hasil disain : (dapat dilihat pada tabel 3.2)
UL2
LUna
s
sS
)S(H)S(H
= . . . . . .
Fungsi transfer H(Z) BSF digital hasil disain :
)z1(
)z1(.
T
2S
)S(H)z(H1
1
a
= . . . . . . . .
dB dB dB
0 0 0
K1
K2
K1
K2
K1
K2
L 1 2 U L 1 2 U 1 r
Filter digital IIR 19
LATIHAN Disain Filter Digital IIR
1. Disain filter digital IIR yang memenuhi spesifikasi sbb :
HPF dengan redaman 3 dB pada frekuensi cutoff = 45 KHz.
Redaman stopband minimal 10 dB pada frekuensi = 30 KHz.
Frekuensi sampling = 120 KHz.
Pendekatan ke filter Butterworth a) Tentukan H(z) b) Tentukan persamaan beda koefisien konstan linier filter tersebut. c) Gambarkan realisasi filter
2. Rencanakan filter digital IIR yang dispesifikasikan dengan H(z) bila digunakan pada Pre-
filtering struktur A/D-H(z)-D/A yang memenuhi spesifikasi sebagai berikut : • Filter low-pass dengan redaman 3 dB pada frekuensi cutoff 500 Hz • Redaman stop band minimal 15 dB pada frekuensi 750 Hz • Laju sampling 2000 sampel/detik • Monotonic passband (Butterworth) a. Tentukan fungsi sistem H(z) b. Tentukan persamaan beda sistem hasil desain c. Gambarkan struktur realisasi filter hasil desain saudara
3. Disain filter digital yang memenuhi spesifikasi sbb :
LPF dengan redaman ripple 2 dB pada frekuensi cutoff = 15 KHz.
Redaman stopband minimal 10 dB pada frekuensi = 30 KHz.
Frekuensi sampling = 100 KHz.
Pendekatan filter Chebyshev a) Tentukan H(z) b) Tentukan persamaan beda c) Gambarkan realisasi filter
Pengolahan Sinyal Digital, Bab VI :Realisasi Sistem Diskrit
Bab V - 1
Bab 6
Realisasi Filter Digital
6.1 Pendahuluan
Pada bab sebelumnya telah dibahas tentang disain filter digital baik filter FIR maupun
IIF. Filter digital biasanya digunakan pada sistem digital yang mempunyai struktur
rangkaian A/D – H(z) – D/A dan dapat diimplementasikan dari persamaan beda
koefisien konstan linier orde ke-N, yang diperoleh dari 𝐻(𝑧) atau ℎ(𝑛). Persamaan beda
dapat diimplementasikan dengan program komputer, rangkaian digital atau IC yang
dapat diprogram, misalnya menggunakan TMS instrument. Pada bab ini menjelaskan
beberapa realisasi alternatif dari filter digital atau sistem diskrit yaitu dalam bentuk
langsung, serial (cascade) dan paralel.
6.2 Raelisasi Bentuk Langsung Filter IIR
Sistem diskrit paling umum dari sistem linier-time invariant (LTI) dapat dikarakterisasi
dengan fungsi sistem untuk 𝑀 ≤ 𝑁:
𝐻 𝑧 = 𝑏𝑘𝑧
−𝑘𝑀𝑘=0
1 + 𝑎𝑘𝑧−𝑘𝑁𝑘=1
(6.1)
Berdasarkan fungsi sistem pada persamaan (6.1) dan sifat transformasi-z, sistem
dengan input 𝑥 𝑛 dan output digital 𝑦(𝑛). Sistem LTI dapat dikarakterisasi dengan
persamaan beda koefisien konstan linier orde-N sebagai berikut:
𝑦 𝑛 = − 𝑎𝑘𝑦 𝑛 − 𝑘 + 𝑏𝑘𝑥(𝑛 − 𝑘)
𝑀
𝑘=0
𝑁
𝑘=1
(6.2)
Realisasi filter menggunakan persamaan (6.2) disebut sebagai realisasi bentuk langsung
I. Output 𝑦(𝑛) dinyatakan dengan jumlahan input 𝑥(𝑛) saat ke-n (saat ini) yang diberi
bobot, input-input sebelumnya 𝑥(𝑛 − 𝑘), untuk 𝑘 = 1,2, … , 𝑀 dan output sebelumnya
𝑦(𝑛 − 𝑘), untuk 𝑘 = 1,2, … , 𝑁. Realisasi bentuk langsung I dapat dilihat pada gambar
6.1. Blok delay merepresentasikan bentuk strorage (penyimpanan) atau delay (waktu
tunda), blok multiplier (pengali) merepresentasikan penguatan sinyal dan blok adder
(penjumlah) merepresentasikan penjumlahan sinyal.
Realisasi bentuk lain dari persamaan (6.2) dapat diperoleh dengan memecah 𝐻(𝑧)
menjadi perkalian dua fungsi transfer 𝐻1(𝑧) dan 𝐻2(𝑧), dimana 𝐻1(𝑧) hanya
mengandung penyebut atau pole-pole sedangkan 𝐻2(𝑧) hanya mengandung pembilang
atau zero-zero seperti berikut:
Pengolahan Sinyal Digital, Bab VI :Realisasi Sistem Diskrit
Bab V - 2
𝐻 𝑧 = 𝐻1 𝑧 . 𝐻2 𝑧 = 𝑌(𝑧)/𝑋(𝑧) (6.3)
𝐻1 𝑧 = 1/(1 + 𝑎𝑘𝑧−𝑘
𝑁
𝑘=1
) (6.4)
𝐻2 𝑧 = 𝑏𝑘𝑧−𝑘
𝑀
𝑘=0
) (6.5)
Gambar 6.1 Realisasi bentuk langsung I
Gambar 6.2 Dekomposisi untuk realisasi bentuk langsung II
Output filter 𝑦(𝑛) diperoleh dari sistem 𝐻 𝑧 yang diusun seri dari fungsi sub sistem
𝐻1(𝑧) dengan fungsi sub sistem 𝐻2(𝑧) seperti terlihat pada gambar 6.2. Output sub
sistem 𝐻1 𝑧 adalah 𝑝(𝑛) sebagai input sub sistem 𝐻2(𝑧) yang menghasilkan output
𝑦(𝑛). Transformasi-z dari 𝑝(𝑛) dan 𝑦(𝑛) sebagai berikut
𝑦(𝑛) 𝑥(𝑛)
−𝑎1
−𝑎2
−𝑎𝑁−1
−𝑎𝑁
𝑏0
𝑏1
𝑏2
𝑏𝑀−1
𝑏𝑀
𝑧−1
𝑧−1
𝑧−1
𝑧−1
𝑧−1
𝑧−1
𝐻(𝑧)
𝐻1(𝑧) 𝐻2(𝑧) 𝑝(𝑛) 𝑥(𝑛) 𝑦(𝑛)
𝐴𝑙𝑙 𝑝𝑜𝑙𝑒𝑠
𝐴𝑙𝑙 𝑧𝑒𝑟𝑜𝑠
Pengolahan Sinyal Digital, Bab VI :Realisasi Sistem Diskrit
Bab V - 3
𝑃 𝑧 = 𝐻1 𝑧 . 𝑋(𝑧) (6.6)
𝑌 𝑧 = 𝐻2 𝑧 . 𝑃(𝑧) (6.7)
Substisusikan pers. (6.4) dan pers. (6.5) ke pers. (6.6) dan pers. (6.7) sehingga menjadi
𝑃 𝑧 = 1
1 + 𝑎𝑘𝑧−𝑘𝑁𝑘=1
. 𝑋(𝑧) (6.8)
𝑌 𝑧 = 𝑏𝑘𝑧−𝑘
𝑀
𝑘=0
. 𝑃(𝑧) (6.9)
Dengan mentransformasi-z balik pers. (6.8) dan pers. (6.9) menghasilkan pasangan
persamaan beda seperti pada pers. (6.10) dan pers. (6.11). Selanjutnya realisasi sistem
diskrit dari dua sub sistem 𝐻1 𝑧 dan 𝐻2 𝑧 tersusun serial seperti pada gambar 6.3.
𝑝 𝑛 = 𝑥 𝑛 − 𝑎𝑘𝑝(𝑛 − 𝑘)
𝑁
𝑘=1
(6.10)
𝑦 𝑛 = 𝑏𝑘𝑝(𝑛 − 𝑘)
𝑀
𝑘=0
(6.11)
Gambar 6.3 Realisasi sistem diskrit menggunakan dua sub sistem
𝑦(𝑛) 𝑏0
𝑏1
𝑏2
𝑏𝑀−1
𝑏𝑀
𝑧−1
𝑧−1
𝑧−1
−𝑎1
−𝑎2
−𝑎𝑁−1
−𝑎𝑁
𝑧−1
𝑧−1
𝑧−1
𝑥(𝑛) 𝑝(𝑛)
Pengolahan Sinyal Digital, Bab VI :Realisasi Sistem Diskrit
Bab V - 4
Gambar 6.3 terlihat bahwa ada dua cabang elemen delay yang dapat digabung menjadi
satu saja dan disebut sebagai realisasi bentuk langsung II yang ditunjukkan pada
gambar 6.4. Pada realisasi bentuk langsung II, jumlah elemen blok delay sebanyak N,
sesuai dengan orde persamaan beda. Rangkaian ini merupakan salah satu bentuk
realisasi yang mengandung elemen delay minimum. Bentuk ini bukan berarti yang
terbaik, akan tetapi merupakan pertimbangan penting dalam implementasi sistem
digital dalam kaitannya dengan permasalahan kuantisasi.
Gambar 6.4 Realisasi bentuk langsung II
6.3 Raelisasi Cascade Filter IIR
Sistem diskrit dengan fungsi transfer 𝐻 𝑧 bila diberi input 𝑥(𝑛), maka keluaran sistem
adalah 𝑦(𝑛). Kita dapat menyatakan dalam bentuk tranformasi-z sehingga menjadi :
−𝑎1
−𝑎2
−𝑎𝑀−1
𝑥(𝑛) 𝑦(𝑛) 𝑏0
𝑏1
𝑏2
𝑏𝑀−1
𝑏𝑀
𝑧−1
𝑧−1
𝑧−1
−𝑎𝑀
𝑧−1 −𝑎𝑁
−𝑎𝑁−1
Pengolahan Sinyal Digital, Bab VI :Realisasi Sistem Diskrit
Bab V - 5
𝑌 𝑧 = 𝐻 𝑧 . 𝑋(𝑧) (6.12)
Pada realisasi cascade, 𝐻 𝑧 dipecah menjadi perkalian fungsi transfer diantara
subsistem yaitu 𝐻1 𝑧 , 𝐻2 𝑧 , 𝐻3 𝑧 , . . . , 𝐻𝐾 𝑧 , setiap sub sistem berbentuk rasio
polinomial 𝑧−1, sehingga 𝐻(𝑧) menjadi:
𝐻 𝑧 = 𝐻𝐾 𝑧 . 𝐻𝐾−1 𝑧 . 𝐻𝐾−2 𝑧 …𝐻1 𝑧 (6.13)
Selanjutnya 𝑌 𝑧 dapat ditulis menjadi
𝑌 𝑧 = 𝐻𝐾 𝑧 . 𝐻𝐾−1 𝑧 . 𝐻𝐾−2 𝑧 …𝐻1 𝑧 𝑋(𝑧) (6.14)
Dari pers (6.14) dapat ditransformasi-z balik menjadi
𝑦 𝑛 = ℎ𝐾 𝑛 ∗ ℎ𝐾−1 𝑛 ∗ ℎ𝐾−2 𝑛 …ℎ1 𝑛 ∗ 𝑥(𝑛) (6.15)
Output 𝑦(𝑛) diperoleh dari sinyal input yang melewati proses pada subsistem-
subsistem secara serial sebanyak 𝑘 subsistem seperti terlihat pada gambar 6.5. Output
masing-masing subsistem didefinisikan sebagai 𝑦1(𝑛), 𝑦2(𝑛), . . . , 𝑦𝐾−1(𝑛). Fungsi sistem
𝐻(𝑧) dipecah menjadi beberapa subsistem yang disusun secara seri, biasanya subsistem
tersebut merupakan fungsi biquadratic. Bentuk biquadratic dapat dinyatakan dalam bentuk
umum 𝐻𝑘(𝑧) adalah
𝐻𝑘 𝑧 =𝑏0𝑘 + 𝑏1𝑘𝑧
−1 + 𝑏2𝑘𝑧−2
1 + 𝑎1𝑘𝑧−1 + 𝑎2𝑘𝑧−2𝑘 = 1,2,3 …, 𝐾 (6.16)
Gambar 6.5 Representasi cascade dari 𝐻(𝑧)
6.4 Raelisasi Paralel Filter IIR
𝐻1(𝑧) 𝐻2(𝑧) 𝑥(𝑛) 𝑦(𝑛)
𝐻(𝑧)
𝑦1(𝑛)
𝐻𝐾(𝑧) 𝑦2(𝑛) 𝑦𝐾−1(𝑛)