217
PENGATURAN KEBIJAKAN PEMERINTAH INDONESIA MENGENAI TATA NIAGA IMPOR PANGAN
Sihabudin
Fakultas Hukum Universitas BrawijayaJl. MT. Haryono 169 Malang 65145Email: [email protected]
Abstract
Policy is a government decision that is general and preveils to all people. The legal consequences of being a member of the world trade organization is that the Indonesian government must take submissive and obedient to the rules agreed in international trade agreements related to exports and imports, including making changes to the legal instruments and policy development in the trade sector. The marketing of rice and several other food commodities involving import has dimensions that are not simple problems, even multi-dimensional, ranging from economic, political, as well as socio-cultural.
Indonesian government’s policies regarding the regulation of food import regulation is an effort to protect domestic manufacturers from dumping activities or due to increased imports, Indonesia is also to protect consumers from imported products that do not meet the quality standards of security and health of consumers.
This paper is about to do a reformulation of the government’s policy regarding the adjustment of the trade system for food imports, in order to find effective policy formulation and efficient in solving the problems that arise regarding the marketing of food imports that has been happening. By using descriptive normative legal analysis, the study found that the common thread of chaos cross trade system for food import regulations which are due to unfitted between national regulations and regional regulations (AFTA, CAFTA, APEC) as well as global regulations (GATT-WTO).
Thus, administrative reform of domestic and foreign trade are necessary, particularly regarding to the procedure of rice imports. All forms of deviations in import licensing process, document manipulation, and the pattern of non-governmental practices must obtain decisive action, both administratively and legally, as a valuable shock-therapy.Key words: government policy, trade , regulation, import
Abstrak
Kebijakan adalah keputusan pemerintah yang bersifat umum dan berlaku untuk seluruh anggota masyarakat. Konsekuensi hukum dari menjadi anggota organisasi perdagangan dunia adalah bahwasanya pemerintah Indonesia harus ikut tunduk dan patuh pada kaidah-kaidah yang disepakati dalam persetujuan perdagangan internasional terkait ekspor-impor, termasuk melakukan perubahan terhadap instrumen hukum dan kebijaksanaan pembangunan di sektor perdagangan. Tata niaga beras dan beberapa komoditas pangan lain yang melibatkan impor memiliki dimensi permasalahan yang tidak sederhana, bahkan multi-dimensi, mulai dari ekonomi, politik, bahkan sosio kultural. Kebijakan pemerintah Indonesia mengenai pengaturan tata niaga impor pangan merupakan
218 ARENA HUKUM Volume 8, Nomor 2, Agustus 2015, Halaman 147-399
upaya melindungi produsen dalam negeri dari kegiatan dumping atau karena meningkatnya produk impor, juga untuk melindungi konsumen Indonesia dari produk impor yang tidak memenuhi standar kualitas keamanan dan kesehatan konsumen. Tulisan ini hendak melakukan reformulasi kebijakan pemerintah mengenai pengatuan tata niaga impor pangan, agar ditemukan rumusan kebijakan yang efektif dan efisien dalam menyelesaikan problematika yang muncul seputar tata niaga impor pangan yang selama ini terjadi. Dengan menggunakan analisis hukum normatif deskriptif, penelitian ini menemukan bahwa benang merah dari silang sengkarut regulasi tata niaga impor pangan diantaranya adalah karena tidak sinkronnya antara regulasi nasional dengan regulasi regional (AFTA, CAFTA, APEC) maupun regulasi global (GATT-WTO). Sehingga, diperlukan pembenahan administrasi perdagangan dalam negeri dan perdagangan luar negeri, khususnya yang berhubungan dengan prosedur impor beras. Segala bentuk penyimpangan dalam proses perizinan impor, manipulasi dokumen, dan pola praktik non-pemerintah perlu memperoleh tindakan tegas, baik secara administratif, maupun secara legal, sebagai shock-therapy yang berharga.
Kata kunci: kebijakan pemerintah, perdagangan, tata niaga, impor
Latar Belakang
Istilah kebijakan yang diterjemahkan dari
kata policy yang biasanya dikaitkan dengan
keputusan pemerintah, karena pemerintahlah
yang mempunyai wewenang atau kekuasaan
untuk mengarahkan masyarakat, dan
bertanggung jawab melayani kepentingan
umum. Ini sejalan dengan pengertian public
itu sendiri dalam bahasa Indonesia yang
berarti pemerintah, masyarakat atau umum.1
Oleh karena itu, pengertian kebijakan
adalah “keputusan pemerintah yang bersifat
umum dan berlaku untuk seluruh anggota
masyarakat”. Selain Istilah policy ada pula
istilah discretion, yang dapat diartikan
sebagai keputusan yang bersifat kasuistis
untuk sesuatu hal pada suatu waktu tertentu.
Keputusan yang bersifat kausitis (hubungan
sebab akibat) sering terjadi dalam pergaulan.
Seseorang meminta kebijaksanaan, maka
seorang pejabat memperlakukan secara
istimewa ketentuan-ketentuan yang ada, yang
biasanya justru ditetapkan sebagai kebijakan
pemerintah (public policy).2
Kebijakan secara umum menurut Said
Zainal Abidin dapat dibedakan dalam tiga
tingkatan:3
1. Kebijakan umum, yaitu kebijakan yang
menjadi pedoman atau petunjuk pelak-
sanaan baik yang bersifat positif ataupun
yang bersifat negatif yang meliputi
keseluruhan wilayah atau instansi yang
bersangkutan.
2. Kebijakan pelaksanaan adalah
kebijakan yang menjabarkan kebijakan
umum. Untuk tingkat pusat, peraturan
pemerintah tentang pelaksanaan suatu
undang-undang.
1 Said Zainal Abidin, Kebijakan Publik, Edisi Revisi, Yayasan Pancur Siwah, Jakarta, 2004, hlm. 7. 2 Ibid. 3 Ibid., hlm. 31-33.
Sihabudin, Pengaturan Kebijakan Pemerintah Indonesia Mengenai ... 219
3. Kebijakan teknis, kebijakan operasional
yang berada di bawah kebijakan
pelaksanaan.
Dalam masyarakat modern di area
globalisasi sekarang ini, sebagai akibat dari
kemajuan teknologi di bidang informasi dan
transportasi, permasalahan publik menjadi
sangat kompleks. Tidak ada satu masalah yang
hanya bisa dilihat sebagai satu aspek yang
berdiri sendiri. Berbagai aspek saling terkait
dan saling mempengaruhi. Keterkaitan ini
tidak terbatas dalam lingkungan tertentu saja,
tetapi bisa jadi dipengaruhi dan mempengaruhi
lingkungan yang lebih luas dan menyangkut
aspek yang berbeda, berlangsung dalam waktu
yang amat cepat.4 Perubahan tersebut juga
berpengaruh dalam bidang ekonomi termasuk
dalam kegiatan perdagangan antar bangsa.
Konsekuensi hukum menjadi anggota
organisasi perdagangan dunia, maka segala
kebijakan pemerintah dalam kegiatan ekspor-
impor mengacu kepada kaidah-kaidah yang
disepakati dalam persetujuan perdagangan
internasional, termasuk melakukan perubahan
terhadap instrumen hukum dan kebijaksanaan
pembangunan di sektor perdagangan. Hal ini
memberikan pengaruh terhadap sistem dan
pranata hukum nasional, karena Indonesia
telah menganut sistem perdagangan bebas
semenjak ditandatanginya persetujuan
Perundingan Putraran Uruguay tahun 1994.
Adapun di tingkat regional, Indonesia
selain merupakan bagian dari kawasan pasar
bebas ASEAN atau disebut dengan Asean
Free Trade Asean (AFTA) juga termasuk
bagian kawasan pasar bebas Cina-ASEAN
(China-ASEAN Free Trade Area/CAFTA),
dengan diterapkannya kebijakan pasar bebas
di kawasan ASEAN (AFTA) tahun 2003
yang kemudian diikuti oleh pasar bebas
Cina-ASEAN melalui kesepakatan CAFTA
yang mulai tanggal 1 Januari tahun 2010,
dan APEC yang akan berlaku untuk negara
berkembang tahun 2020, Indonesia tidak bisa
menghindari masuk dan beredarnya produk
impor dari negara-negara anggota ASEAN
dan Cina termasuk produk pangan olahan
dari negara-negara tersebut. Oleh karena
itu pemerintah Indonesia harus mampu
mendorong produksi industri dalam negeri
agar dapat bersaing dengan produk-produk
impor baik di pasar domestik maupun di pasar
ekspor, serta mampu mengawasi masuknya
produk impor yang tidak sesuai dengan standar
kualitas keamanan agar tidak membahayakan
kesehatan konsumen dalam negeri.
Kebijakan perdagangan bebas baik dalam
tataran global (GATT-WTO), maupun regional
(AFTA, CAFTA, APEC) telah memberikan
pengaruh terhadap lalu lintas hubungan
antara produsen dan konsumen, oleh karena
itu campur tangan antar negara dan kerja
sama internasional sangat dibutuhkan guna
mengatur pola hubungan produsen dengan
konsumen, sehingga baik produsen maupun
konsumen sama-sama memperoleh perlin-
dungan tidak saja secara nasional melainkan
secara internasional. Oleh karena itu sistem
4 Ibid.
220 ARENA HUKUM Volume 8, Nomor 2, Agustus 2015, Halaman 147-399
hubungan tersebut tidak hanya memanfaatkan
perangkat hukum nasional saja melainkan
dibutuhkan perangkat hukum internasional.
Kebijakaan pemerintah Indonesia tentang
pelaksanan impor produk makanan dalam
upaya melindungi konsumen dalam negeri,
selain mengacu pada ketentuan internasional
yang merupakan hasil kesepakataan GATT
tahun 1994, yang kemudian diratifikasi
dengan dengan Undang-Undang Nomor 7
tahun 1994 tentang Pengesahan Persetujuan
Berdirinya Organisasi Perdagangan Dunia
(WTO). Berbagai peraturan perundang-
undangan lainnya yang menjadi rujukan
yaitu: Undang-Undang Nomor 10 Tahun
1994 tentang Kepabeanan, yang kemudian
diubah dengan Undang-Undang Nomor
17 Tahun 2006; Undang-Undang Nomor
7 Tahun 1996 Tentang Pangan; Undang-
Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang
Kesehatan, Undang-Undang Nomor 8 Tahun
1999 tentang Perlindungan Konsumen;
Keputusan Presiden Nomor 260 Tahun 1997
tentang Penegasan Tugas dan Tanggung
Jawab Menteri Perdagangan dalam Bidang
Perdagangan Luar Negeri; Peraturan Menteri
Perdagangan Republik Indonesia Nomor:
24/M-Dag/Per/9/2011 tentang Ketentuan
Impor dan Ekspor Hewan dan Produk Hewan;
Peraturan Menteri Perdagangan Republik
Indinesia Nomor: 30/M-Dag/Per/5/2012
tentang Ketentuan Impor Produk Hortikultura;
Peraturan Perdagangan Menteri Perdagangan
Republik Indonesia Nomor: 57/M-Dag/
Per/12/2010 tentang Ketentuan Impor Produk
Tertentu; Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan RI Nomor 229/MPP/Kep/7/1997 tentang Ketentuan Umum di Bidang Impor, Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan Nomor 230/MPP/ Kep/7/1997 mengenai Barang yang diatur tata niaga impornya; Peraturan Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan Republik Indonesia Nomor HK.03.1.5.12.11.09955 Tahun 2011 tentang Pendaftaran Pangan Olahan; dan Peraturan Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan Republik Indonesia Nomor 27 Tahun 2013 Tentang Pengawasan dan Pemasukan Obat dan Makanan ke dalam Wilayah Indonesia.
Pembahasan
Salah satu kebijakan impor Indonesia adalah mengenai produk holtikultura, kebijakan ini dirumuskan untuk meningkatkan perlindungan pasar dalam negeri dari produk-produk hortikultura yang berisiko terhadap kepentingan nasional. Analisis terhadap kasus impor kentang harus dilakukan sesuai dengan Undang-undang Hortikultura yang mengamanatkan agar pemerintah melindungi kepentingan nasional terkait importasi hortikultura segar atau olahan yang meliputi pertama perlindungan terhadap keamanan dan kesehatan pangan untuk menghindarkan konsumen dari sesuatu yang tidak diinginkan; Kedua, perlindungan berkaitan dengan pencemaran lingkungan dari kandung-an berbahaya dan ketiga perlindungan terhadap petani dari perdagangan tidak sehat, seperti subsidi besar dari negara asal impor yang
menyebabkan dumping.
Sihabudin, Pengaturan Kebijakan Pemerintah Indonesia Mengenai ... 221
Berdasarkan uraian di atas, bahwa adanya
kebijakan tata niaga impor selain untuk
melindungi produsen dalam negeri dari
kegiatan dumping atau karena meningkatnya
produk impor, juga untuk melindungi
konsumen Indonesia dari produk impor yang
tidak memenuhi standar kualitas keamanan
dan kesehatan konsumen. Namun demikian,
kebijakan impor juga harus memperhatikan
kebutuhan dalam negeri. Oleh karena itu,
Kamar Dagang dan Industri (KADIN)
Indonesia mengharapkan pemerintah untuk
segera memperbaharuitata niaga impor pangan
nasional karena adanya ketidakseimbangan
antara suplai dan permintaan sehingga rentan
dengan spekulasi dan kartel dalam kegiatan
impor pangan.
Kebijakan tata niaga impor Indonesia,
juga terkait dengan semakin meningkatnya
harga komoditas pangan sejak pertengahan
tahun 2013. hal ini membuktikan bahwa
pemerintah belum mampu mengendalikan
harga pangan dan itu merupakan kebijakan
yang salah. Pemerintah disarankan segera
memperbaharui tata niaga impor pangan yang
selama ini diterapkan, terutama berkaitan
dengan distribusi dan produksi kebutuhan
pangan nasional. Kenaikan harga sembako
sangat terkait erat dengan keadilan distribusi,
Oleh karena itu seharusnya pemerintah lebih
matang sebelum mengubah sistem tata niaga.
Hal itu akan berdampak pada kesejahteraan
petani kita.5
Kebijakan yang diambil harus sejalan
dengan semangat Undang-Undang
Nomor 18 Tahun 2012 tentang Pangan
yang mengutamakan kedaulatan pangan,
kemandirian pangan, dan ketahanan pangan.
Kebijakan impor yang selalu diambil
pemerintah untuk memenuhi pasokan
komoditas harus menjadi solusi terakhir
bila pemerintah sudah melakukan hal yang
maksimal namun masih menemui jalan buntu,
karena itu pemerintah hendaknya memperbaiki
tata niaga impor pangan nasional. Adapun
kebijakan pemerintah mengenai pelaksanaan
impor adalah sebagai berikut:
A. Kebijakan Impor sebagai Instrument Pengamanan Perdagangan
Pemerintah Indonesia memanfaatkan
kebijakan impor sebagai instrument strategis
untuk menjaga kepentingan ekonomi dan
sosial yang lebih luas. Artinya dengan
dikeluarkannya kebijakan impor dapat
dipergunakan sebagai instrumen untuk
menertibkan arus barang guna mengamankan
produk dalam negeri karena melonjaknya
produk barang-barang impor di pasar
domestik. Untuk itu pemerintah Indonesia
telah mengeluarkan regulasi yaitu Undang-
Undang Nomor 17 Tahun 2006 tentang
Perubahan Undang-Undang Nomor 10 Tahun
1995 tentang Kepabeanan. Dalam Pasal 23 A
dinyatakan:
5 Marwan, Gejolak Pangan, Rombak Tata Niaga Pangan ke Arah yang Tepat, http://koran-jakarta.com/ index.php/detail/view, diakses 27 Juli 2013 pukul 15.15 WIB.
222 ARENA HUKUM Volume 8, Nomor 2, Agustus 2015, Halaman 147-399
Bea masuk tindakan pengamanan dapat
dikenakan terhadap barang impor dalam hal
terdapat lonjakan barang impor baik secara
absolut maupun relatif terhadap barang
produksi dalam negeri yang sejenis atau
barang yang secara langsung bersaing, dan
lonjakan barang impor tersebut:a. menyebabkan kerugian serius terhadap
industri dalam negeri yang memproduksi barang sejenis dengan barang tersebut dan/atau barang yang secara langsung bersaing; atau
b. mengancam terjadinya kerugian serius terhadap industri dalam negeri yang memproduksi barang sejenis dan/atau barang yang secara langsung bersaing.
Selain itu pemerintah Indonesia juga membuat kebijakan impor untuk melindungi kepentingan nasional dengan hubungan untuk menjaga dan mengaman-kan konsumen dalam negeri dari aspek Kesehatan, Keselamatan, Keamanan, Lingkungan Hidup dan Moral Bangsa (K3LM), melindungi dan meningkatkan pendapatan petani, dan mendorong penggunaan produk dalam negeri. Namun demikian, kebijakan ini dalam pelaksanaannya mendapat berbagai kritikan, baik dari dalam negeri maupun dari luar negeri yang ditujukan kepada pemerintah Indonesia.6
Sejumlah peraturan impor masih dianggap bermasalah baik oleh negara mitra dagang maupun dari pelaku ekonomi di dalam negeri. Negara mitra dagang menganggap bahwa kebijakan impor Indonesia sebagai proteksi terselubung dan mendistorsi pasar. Salah satu
contoh adalah kebijakan pemerintah Indonesia tentang impor beras yang dilaksanakan berdasarkan Surat Keputusan (SK) Departemen Perdagangan RI Nomor 1718/M-DAG/XII/2005 tentang Tata Niaga impor beras untuk melindungi petani pada saat musim panen. Surat Keputusan ini dipertanyakan oleh Thailand karena tidak mengacu pada ketentuan GATT-WTO yang berlaku. Dalam sidang Committee on Import Licensing Procedures, Thailand menyatakan belum menerima jawaban tertulis atas pertanyaan yang mereka sampaikan melalui WTO. Intensitas tuntutan transparansi kebijakan impor Indonesia sebagaimana tercermin dalam Sidang tersebut memperlihatkan bahwa Pemerintah RI menghadapi kesulitan terutama jika dikaitkan dengan komitmen persetujuan perdagangan dunia WTO. Semestinya kesulitan itu tidak perlu ada ada mengingat adanya mandat dan hubungan yang jelas dalam pembuatan kebijakan impor.7
Munculnya berbagai masalah tersebut merupakan kendala dalam mentransfor-masikan garis-garis besar ketentuan mengenai izin impor (Import Licensing) WTO ke dalam bentuk peraturan pelaksananya. Masalah tersebut juga diperberat oleh kompleksitas ketentuan ILA-WTO, belum meratanya pengetahuan mengenai ILA-WTO, sering terjadinya pergantian struktur dan pejabat pemerintah; serta adanya kendala teknis untuk
pembuatan dan penyebarluasan peraturan.
6 Sulistiowati, Op.cit., hlm. 4. 7 Ibid.
Sihabudin, Pengaturan Kebijakan Pemerintah Indonesia Mengenai ... 223
B. Komitmen Pemerintah Indonesia mengenai Pelaksanaan Kebijakan Impor
Di era perdagangan global semenjak
terbentuknya WTO, kebijakan tata niaga impor
masih menggunakan prosedur dan mekanisme
yang bersifat klasik karena ketentuanya masih
berdasarkan persetujuan perizinan impor yang
berlaku sejak diterimanya hasil kesepakatan
WTO, 1 Januari Tahun 1995. Oleh karena
itu untuk mendukung kebijakan tata niaga
impor Pemerintah Indonesia berkomitmen
untuk mengakses barang-barang impor ke
pasar domestik, kebijakan ini dilaksanakan
setelah Indonesia menerima hasil kesepakatan
Uruguay Round yang berakhir di Marachesh
(Marocco) tahun 1994.
Penerapan kebijakan perdagangan bebas
bagi negara berkembang terlihat pada saat
diselenggarakan perundingan Uruguay
Round, yang mana negara-negara maju mulai
mendesak negara-negara berkembang untuk
menerapkan komitmennya dalam tarif, dan
sekaligus negara-negara berkembang mulai
merasa berkepentingan untuk memperjuangkan
penurunan tarif dan penghapusan non tarif di
negara maju. Kebijakan tersebut dirasakan
juga oleh Indonesia sebagai bagian dari
negara berkembang, karena Indonesia
mulai menghasilkan dan mengekspor hasil
manufaktur ke negara-negara maju. Untuk itu
dalam upaya memperjuangkan produk ekspor
Indonesia secara internasional, Indonesia
mulai lebih memperhatikan masalah
penurunan tarif impor.8
Setelah Indonesia beralih pada strategi
yang berorientasi ekspor, maka penggunaan
tarif sebagai instrumen dinamis untuk
menunjang ekspor menjadi pusat perhatian,
namun dalam praktiknya pada perundingan
Uruguay Round, Indonesia masih harus
menerapkan beberapa penyempurnaan
teknis karena pengalaman di bidang
tersebut masih belum banyak. Indonesia
menyadari komitmen pada sidang Mid-Term
Rerview tingkat menteri di Montreal untuk
menurunkan tingkat tarif sebesar 30% dari
tahap sebelumnya. Persoalannya bagaimana
melakukan hal tersebut dan bagaimana
mencari pendekatan alternatif yang dapat
diterima oleh mitra dagang kita. Kesulitan
Indonesia adalam karena belum pernah
mempunyai pengalaman dalam negosiasi
tarif. Semula Indonesia masih melalkukan
penjajakan bagaimana menentukan posisi
yang layak memenuhi kebutuhan domestik
dan memenuhi persyaratan perundingan.9
Adapun upaya yang dilakukan Indonesia
untuk menurunkan tarif impor, Menurut HS.
Kartadjoemena yang menyatakan:
Sebagai langkah awal untuk memenuhi
kewajiban penurunan tingkat tarif Indonesia
telah melakukan offer sebanyak 970-item tarif
secara unilateral/ autonomorus liberalization.
8 Ibid.9 H. S. Kartadjoemena, GATT dan WTO Sistem, Forum dan Lembaga Internasional di Bidang Perdagangan
Internasional, Cetakan Ke- I, Universitas Indonesia/UI-Pres, Jakarta, 1996, hlm. 70.
224 ARENA HUKUM Volume 8, Nomor 2, Agustus 2015, Halaman 147-399
Untuk perluasan binding, Indonesia telah
menyam-paikan offer sebanyak 1535 item
tarif dengan binding at previous rate. Adapun
penawaran sementara Indonesia setelah
diadakan perluasan secara bertahap, terdiri
dari sekitar 2000 lebih item tariff menurut
klasifikasi harmonized system (HS) tariff lines.
Dari 2319 item yang telah masuk dalam paket
Kebijaksanaan Mei 1990, sebanyak 1535
item tariff (66,19 %) sudah dikenakan binding
walaupuin tingkat previous rate. Oleh karena
itu, mengingat tekanan dari negara maju maka
dalam perundingan di bidang market access,
Indonesia secara bertahap telah mengadakan
perbaikan offer dalam bentuk tariff binding.
Offer tersebut menyangkut perluasan dari
jenis produk yang dikenakan tariff binding
maupun memperbesar tingkat penurunan tariff
sehingga offer untuk tariff binding mencapai
tingkat 35% untuk produk yang ditentukan
bindingnya.10
Komitmen Indonesia untuk menentukan
offer dalam negosiasi di bidang tarif terhadap
negara-negara maju berdasarkan prinsip-
prinsip umum yang berlaku. Prinsip tersebut
menetukan berapa rata-rata tarif yang dianggap
aman bagi Indonesia apabila tingkat tersebut
diterapkan secara umum sebagai komitmen
yang bersifat binding dan tidak dapat diubah
tanpa kompensasi terhadap negara lain.
Penurunan tarif sebesar 30% di bawah rata-
rata sesuai dengan komitmen Montreal, bagi
Indonesia hal itu dapat menyulitkan apabila
ada produk yang sensitif unrtuk diterapkan
penurunan tarif sebesar itu. Kesulitan ini
akhirnya dapat diatasi dengan menggunakan
suatu prosedur yang dikembangkan oleh
Chairman dari kelompok negosiasi Market
Access. Berdasarkan hal tersebut Indonesia
akhirnya mengambil pendekatan untuk
melakukan binding terhadap sebagian besar
dari produk impor Indonesia pada tingkat tarif
maksimal 40%.11
Perundingan Uruguay Round bagi
Indonesia merupakan kesempatan untuk
melakukan reformasi secara menyeluruh
mengenai ketentuan tarif, sehingga Indonesia
dapat melakukan offer yang credible dan logis
tanpa menimbulkan beban yang terlalu berat.
Pendekatan yang diambil oleh Indonesia
dalam WTO akan mempermudah Indonesia
untuk menentukan cara liberalisasi yang
ditempuh dalam konteks ASEAN Free Trade
Area (AFTA), maupun dalam menghadapi
pasar bebas Cina-ASEAN (China-ASEAN
Free Trade Area/CAFTA)
Menurut HS. Kartadjoemena,12 bahwa
sejak diberlakunya kesepakatan WTO
1 Januari 1995, Indonesia menetapkan
pengikatan tarif (tariff binding) dalam
komitmen perdagangan menjadi 94,6
persen dari keseluruhan tarif produk barang.
Berdasarkan komitmen tersebut terdapat
8877 jenis produk yang diikat dengan level
10 Ibid.11 Ibid., hlm. 71.12 H. S. Kartadjoemena, GATT dan WTO Sistem, Forum dan Lembaga Internasional di Bidang Perdagangan
Internasional, Cetakan Ke-I, Universitas Indonesia/UI-Pres, Jakarta, 1996, hlm. 40.
Sihabudin, Pengaturan Kebijakan Pemerintah Indonesia Mengenai ... 225
maksimal sebesar 40 persen, kecuali untuk
komoditi pertanian. Tarif terikat rata-rata
sebesar 40 persen pada saat itu dianggap
cukup memadai untuk melindungi industri
domestik. Daftar komitmen RI mengenai
akses perdagangan barang terdapat Schedudle
XXI (Market Access Commitment on Goods)
yang mana Indonesia tidak mengkonsesikan
seluruh produk industrinya dalam komitmen
kesepakatan WTO.
Berdasarkan dari uraian di atas, bahwa
Kebijakan Impor merupakan bagian dari
kebijakan perdagangan Indonesia untuk
melindungi kepentingan nasional dari
pengaruh masuknya barang-barang impor
negara lain. Perlindungan kepentingan
nasional dimaksudkan agar setiap produk
impor yang masuk dan beredar di Indonesia
harus memenuhi standar aspek kesehatan,
keselamatan, keamanan, lingkungan hidup
dan moral bangsa.
Guna mendukung komitmen kebijakan
impor, Pemerintah Indonesia telah menentukan
dua jenis perizinan impor sebagaimana
ditentukan dalam perjanjian perizinan Impor
(Impor License Agreement) WTO yaitu:13
c. Perizinan Impor Otomatis (Automatic
Import Licensing)
Persetujuan tentang izin impor (Agreement
on Import Licensing Procedures) membedakan
jenis perizinan impor berdasarkan peruntukan
pihak yang berhak mendapatkan izin dan
jangka waktu pemrosesan pengurusan
perizinan. Kedua jenis kebijakan mengenai
prosedur perizinan dilaksanan berdasarkan
ketentuan dalam perjanjian perizinan Impor
ILA, yaitu: peraturan yang bersifat otomatis;
dan yang non-automatic licensing.
Menurut Artikel 2 Impori Licensing
Agreement (ILA) “...automatic import
licensing is licensing maintained to collect
statistical and other factual information
on import. The automatic import is defined
as import licensing where the approval of
the application is granted in all cases..”
(perizinan import otomatis adalah perizinan
yang diberikan kepada setiap pemohon
untuk pengimporan barang secara umum,
dan perizinan otomatis ini diberikan untuk
keperluan statistik dan pengumpulan
informasi aktual tentang impor). Berdasarkan
ketentuan tersebut, bahwa perizinan impor
otomatis merupakan kebijakan impor yang
harus diperlakukan sama kepada setiap
permohonan, kebijakan ini dan merupakan
perizinan yang diterapkan pada semua
kasus, dengan hubungan untuk mendukung
keperluan sistem statistik.
Penggolongan suatu perizinan impor
bersifat otomatis adalah apabila telah
terpenuhi persyaratan bahwa prosedur
perizinan tersebut tidak diatur sedemikian
rupa sehingga menimbulkan dampak yang
menghambat impor. Perizinan tersebut juga
13 Sulistyo Widayanto, Op.cit., hlm. 4 – 5.
226 ARENA HUKUM Volume 8, Nomor 2, Agustus 2015, Halaman 147-399
tidak boleh mendiskriminasi pemohon izin.
Setiap orang dalam hal ini berhak untuk
mendapatkan izin impor dan mengajukan
permohonan untuk mendapatkan izin asal
memenuhi ketentuan hukum yang berlaku.
Pemberian persetujuan impor otomatis
menurut Pasal 2 ayat (2) a, yakni harus
memenuhi ketentuan bahwa persetujuan
tersebut dapat diberikan kapan saja pada
hari kerja sebelum pelaksanaan pemeriksaan
kepabeanan dan jangka waktu penerbitan
proses pemberian izin harus sudah diselesaikan
dalam waktu sepuluh hari kerja. Adapun
Pasal 2 ayat (2) b menyebutkan bahwa“..
automatic import licensing may be necessary
whenever other appropriate procedures are
not available. It is to be removed as soon as
the circumstances which have given rise to its
introduction no longer prevail..” (perizinan
impor otomatis diperlukan hanya jika prosedur
lainnya tidak ada dan harus segera dihapuskan
jika ketentuan untuk pengaturan administratif
baru sudah tersedia).
b. Perizinan Impor Yang Tidak Otomatis
(Non-automatic Import Licensing)
Menurut Pasal 3 ayat (1) Import Licensing
Agreement (ILA), pengertian perizinan impor
non-otomatis merupakan pemberian perizinan
impor yang tidak termasuk di dalam definiisi
perizinan impor otomatis. Sasaran penggunaan
persetujuan non-otomatis ini adalah untuk
mengatur dan mengadministrasikan tata niaga
dalam bentuk pembatasan kuantitatif yang
sesuai ketentuan hukum WTO.
Ketentuan yang harus dipenuhi dalam
pemberian izin impor non-otomatis adalah
bahwa tidak boleh menimbulkan dampak yang
menghambat dan mendistorsi perda-gangan.
Pasal 3 ayat (2) menyebutkan bahwa perizinan
non-otomatis tidak boleh berakibat membatasi
atau menggangu impor yang menambah
pembatasan yang sudah ada. Prosedur-
prosedur perizinan non-otomatis harus, dari
segi ruang lingkup dan masa berlakunya,
sesuai dengan tindakan yang dilaksanakan
dengan prosedur tersebut, dan harus tidak
lebih membebankan secara administratif
daripada yang sungguh-sungguh perlu untuk
mengatur tindakan yang bersangkutan.
Ketentuan lainnya yang berlaku adalah
bahwa tiap kebijakan impor non-otomatis
harus dipublikasikan dan memuat informasi
mengenai hubungan, pengecualian, jumlah
kuota, tanggal pembukaan dan penutupan
dan pengaturan tentang pengalokasian
pemberian kuota kepada negara. Publikasi
itu harus diumumkan setidaknya 21 hari
sebelum tanggal berlaku efektif. Pasal 3
ayat (5) e menyebutkan bahwa tidak boleh
ada diskriminasi pemberian izin. Setiap
penolakan harus disertai dengan penjelasan
dari pejabat berwenang dan pemohon berhak
mengajukan banding. Proses pengajuan
permohonan harus selesai dalam 30 hari,
sedangkan untuk persetujuan permohonan
secara simultan dapat diberikan dalam jangka
waktu tidak lebih dari 60 hari.
Peraturan impor non-otomatis ini menjadi
pilihan bagi negara untuk menjaga dan
Sihabudin, Pengaturan Kebijakan Pemerintah Indonesia Mengenai ... 227
mengawasi arus asal barang impor, dan juga
dipilih untuk mengendalikan arus import
barang (misalnya: quota). Biasanya izin impor
non-otomatis ini diberlakukan antara lain
terhadap impor tumbuhan dan hewan, barang
berbahaya, bahan peledak, barang yang
diawasi seperti minuman beralkohol, bahan
kimia dan limbah berbahaya.
Kebijakkan impor non otommatis
(Non-automatic Import Licensing/NAL) dibuat
untuk mengendalikan arus barang masuk.
Umumnya tindakan yang dilakukan sebagai
pelaksanaan dari kebijakkan impor non
otommatis ini berbentuk pembatasan kuota
atau Quantitive Restriction (QR). Tindakan
pembatasan impor melalui alokasi kuantitatif
ini dilakukan pemerintah antara lain untuk
melindungi “balance of payment”, melindungi
produsen dalam negeri yang menghasilkan
produk sejenis dengan barang yang diimpor,
dan atau untuk mengendalikan impor bahan
penolong yang bersifat multifungsi dan
terdapat potensi untuk disalahgunakan bagi
tindakan yang membahayakan. Meskipun
pembatasan kuantitatif ini harus diterapkan
secara bijaksana dan fair, serta harus most
favored nations atau tanpa ada pengecualian.14
Pembatasan kuota pada prinsipnya
merupakan pengecualian dari Prinsip
Penghapusan Hambatan Kuantitatif
(Prohibition of Quantitative Restriction)
yang diatur dalam Artikel IX GATT 1947.
Prinsip ini menghendaki transparansi dan
penghapusan hambatan kuantitatif (misalnya
bembatasan kuota impor) dalam perdagangan
internasional, karena hambatan kuantitatif
dalam persetujuan GATT/WTO bukan tarif
atau bea masuk. Oleh karena itu negara-negara
anggota WTO tidak diperbolehkan melakukan
proteksi perdagangan internasional dengan
mem-batasi kuota sebagai penghambat,
melainkan hanya tarif yang diizinkan untuk
diterapkan, Prinsip ini seringkali disebut
sebagai tarifikasi hambatan perdagangan.15
Menurut A.F. Elly Erawaty, dalam
ketentuan GATT, Pembatasan kuota
(pembatasan kuantitatif) hanya diperbolehkan
dalam hal:16
1) Negara yang mengalami kesulitan neraca pembayaran diizinkan untuk membatasi impor dengan cara kuota (Pasal XII - XIV GATT 1947).
2) Karena industri domestik negara pengimpor mengalami kerugian yang serius akibat meningkatnya impor produk sejenis, maka negara itu boleh tidak tunduk pada prinsip ini (Article XIX GATT 1947).
3) Demi kepentingan kesehatan publik, keselamatan dan keamanan nasional negara pengimpor, negara tersebut diizinkan untuk membebaskan diri dari kewajiban tunduk pada prinsip ini (Article XX dan XXI GATT 1947).
Ketentuan di atas menunjukkan bahwa
14 Ibid.15 A.F. Elly Erawaty, Prinsip-prinsip Hukum Perdagangan Internasional menurut GATT/WTO, Paper,
Peranan Hukum Dalam Pembangunan Ekonomi, Pascasarjana Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2000, hlm. 15.
16 Ibid., hlm. 16.
228 ARENA HUKUM Volume 8, Nomor 2, Agustus 2015, Halaman 147-399
negara pengimpor hanya boleh membatasi
kuota impor apabila negara tersebut
mengalami kesulitan neraca pemba-yaran;
adanya kerugian serius atau ancaman kerugian
serius; atau demi melindungi kesehatan,
keselamatan dan keamanan nasional; maka
negara pengimpor dapat membatasi atau
membebaskan diri dari kewajiban tunduk
pada prinsip tersebut.
Berdasarkan ketiga pengecualian
tersebut, pengecualian nomor 3 yaitu ”demi
kepentingan kesehatan publik, keselamatan
dan keamanan nasional negara pengimpor,”
maka negara pengimpor boleh menolak
masuk produk yang merugikan konsumen.
Hal ini merupakan salah satu bentuk norma
perlindungan hukum terhadap konsumen
dalam negeri secara internasional dari produk
impor yang tidak memenuhi standar kualitas
kesehatan dan keamanan.
C. Kebijakan Impor di Bidang Pangan
Pangan adalah segala sesuatu yang
berasal dari sumber hayati produk pertanian,
perkebunan, kehutanan, perikanan,
peternakan, perairan, dan air, baik yang diolah
maupun tidak diolah yang diperuntukkan
sebagai makanan atau minuman bagi
konsumsi manusia, termasuk bahan tambahan
pangan, bahan baku pangan, dan bahan
lainnya yang digunakan dalam proses
penyiapan, pengolahan, dan/atau pembuatan
makanan atau minuman.17 Adapun pangan
fungsional adalah pangan olahan yang
mengandung satu atau lebih komponen
fungsional yang berdasarkan kajian ilmiah
mempunyai fungsi fisiologis tertentu, terbukti
tidak membahayakan dan bermanfaat bagi
kesehatan.18
Selanjutnya menurut Pasal 5 Keputusan
Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan
RI Nomor 03.1.5.12.09955 Tahun 2011
tentang Pendaftaran Pangan Olahan, Pangan
Olahan dibedakan atas:
a. Pangan Olahan produksi sendiri.
b. Pangan Olahan lisensi adalah pangan
olahan yang diproduksi atas dasar lisensi
yang diberikan oleh produsen atau
pemilik pormula dan teknologi dalam
atau luar negeri kepada perusahaan yang
mengajukan pendaftaran.
c. Pangan Olahan yang dikemas kembali
adalah menjadi pangan olahan dengan
kemasan yang lebih kecil atau lebih besar.
d. Pangan Olahan yang diproduksi
berdasarkan kontrak adalah pangan
olahan yang diproduksi oleh penerima
kontrak atas permintaan pemberi kontrak.
Penerima kontrak adalah industri pangan
olahan yang menerima pekerjaan pembuatan
pangan olahan berdasarkan kontrak dan
memiliki izin sesuai dengan jenis pangan
olahan yang diproduksi, sedangan pemberi
kontrak adalah perorangan atau badan usaha
yang memiliki izin usaha di bidang produksi
17 Undang-undang Nomor 18 Tahun 2012 tentang Pangan, Pasal 1 butir 1 dan 2.18 Keputusan Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanaan RI Nomor: HK.00/05.52.0685 tentang Ketentuan
Pokok Pengawas Pangan Fungsional, Pasal 1 angka 3.
Sihabudin, Pengaturan Kebijakan Pemerintah Indonesia Mengenai ... 229
pangan yang menggunakan sarana produksi pihak lain berdasarkan kontrak.
Pangan olahan harus didaftarkan di Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM). Menurut Pasal 6, dinyatakan bahwa Pangan Olahan yang akan didaftarkan harus memenuhi kriteria keamanan, mutu, dan gizi meliputi: a. parameter keamanan, yaitu batas
maksimum cemaran mikroba, cemaran fisik, dan cemaran kimia;
b. parameter mutu, yaitu pemenuhan persyaratan mutu sesuai dengan standar dan persyaratan yang berlaku serta cara produksi Pangan yang baik untuk Pangan Olahan yang diproduksi di dalam negeri atau cara distribusi Pangan yang baik untuk Pangan Olahan yang dimasukkan ke dalam wilayah Indonesia; dan
c. parameter gizi pangan yaitu mengandung karbohidrat, protein, lemak, vitamin dan mineral serta turunannya yang bermanfaat bagi pertumbuhan dan kesehatan manusia.
d. memenuhi persyaratan label pangan yaitu keterangan yang bentuk gambar, tulisan, kombinasi keduanya atau bentuk lain yang disertakan pada pangan atau ditempalkan atau merupakan bagian dari kemasan pangan yang menjukan bahwa
pangan olahan tersebut telah memenuhi standardisasi keamanan dan kesehatan bagi konsumen.
Adapun yang dimaksud dengan produk pangan adalah pangan olahan, baik produksi dalam negeri maupun berasa dari impor yang diedarkan dalam kemasan eceran dan berlabel.19 Produk pangan olahan (makanan dan minuman dalam kemasan) termasuk dalam kategori produk tertentu,20 sebagaimana diatur dalam Peraturan Menteri Perdagangan Menteri Perdagangan Republik Indonesia Nomor: 57/M-Dag/Per/12/2010 tentang Ketentuan Impor Produk Tertentu.
Produk pangan olahan selain berasal dari produk hortikultura juga berasal dari produk hewan dan hasil perikanan, sebagai berikut:a. Produk Hortikultura:
Produk hortikultura adalah semua hasil yang berasal dan tanaman hortkultura yang masih segar atau yang telah diolah; produk hortikultura segar adalah pangan asal tumbuhan berupa produk yang dihasilkan pada proses pasca panen untuk konsumsi atau bahan baku industri, dan/atau produk yang mengalami proses secara minimal; produk hortikultura olahan adalah makanan atau minuman hasil proses dengan cara atau metode tertentu dengan atau tanpa bahan
tambahan.21
Setiap impor produk hortikultura wajib
19 Keputusan Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanaan RI Nomor: HK.00/05.1.2569 tentang Kriterian dan Tata Laksana Penilaian Produk Pangan, Pasal 1 angka 2.
20 Pasal 1 butir 2, Peraturan Menteri Perdagangan Menteri Perdagangan Republik Indonesia Nomor: 57/M-Dag/ Per/12/2010 tentang Ketentuan Impor Produk Tertentu: ”Produk Tertentu adalah produk yang terkena ketentuan impor berdasarkan Peraturan Menteri ini yang meliputi produk makanan dan minuman, pakaian jadi, alas kaki, elektronika, mainan anak-anak, Obat tradisional dan herbal, serta kosmetik”.
21 Peraturan Menteri Perdagangan Republik Indinesia Nomor: 30/M-Dag/Per/5/2012 tentang Ketentuann Impor Produk Hortikultura, Pasal 1 angka 2 – 4.
230 ARENA HUKUM Volume 8, Nomor 2, Agustus 2015, Halaman 147-399
memperhatikan aspek keamanan pangan
produk hortikultura; ketersediaan produk
hortikultura dalam negeri; pene-tapan sasaran
produksi dan konsumsi produk hortikultura;
persyaratan kemasan dan pelabelan;
standar mutu; dan ketentuan keamanan dan
perlindungan terhadap kesehatan manusia,
hewan, tumbuhan, dan lingkungan. Impor
produk hortikultura hanya dapat dilakukan
apabila produksi dan pasokan produk
hortikultura di dalam negeri belum mencukupi
kebutuhan.22
b. Produk hewan dan hasil perikanan.
Produk hewan adalah semua bahan yang
berasal dari hewan yang masih segar dan/atau
telah diolah atau diproses untuk keperluan
konsumsi, farma-koseutika, pertanian, dan/
atau kegunaan lain bagi pemenuhan kebutuhan
dan kemaslahatan manusia.23 Adapun produk
hasil perikanan adalah meliputi ikan termasuk
biota perairan lainnya yang ditangani dan/
atau diolah dan/atau dijadikan produk akhir
yang berupa ikan segar, ikan beku, dan olahan
lainnya yang digunakan untuk konsumsi
manusia.24 Impor produk hewan dan hasil
perikanan hanya dapat dilakukan apabila
produksi dan pasokan produk hewan dan
perikanan di dalam negeri belum mencukupi
kebutuhan konsumsi masyarakat dengan
harga terjangkau.
Produk pangan (makanan dan minuman)
merupakan salah satu kebutuhan dasar yang
sangat essensial bagi kehidupan manusia
selain kebutuhan sandang dan papan, karena
tanpa produk pangan manusia tidak akan
mampu untuk bertahan hidup. Kebutuhan
akan produk pangan di Indonesia belum
dapat dipenuhi oleh produsen dalam negeri,
oleh karena itu diperlukan produk impor dari
negara lain baik dalam bentuk produk pangan
mentah maupun produk pangan olahan.
Menurut Pasal 36 Undang-undang Nomor
18 Tahun 2012 tentang Pangan, menyatakan:(1) Impor Pangan hanya dapat dilakukan
apabila Produksi Pangan dalam negeri tidak mencukupi dan/atau tidak dapat diproduksi di dalam negeri,
(2) Impor Pangan Pokok hanya dapat dilakukan apabila Produksi Pangan dalam negeri dan Cadangan Pangan Nasional tidak mencukupi.
(3) Kecukupan Produksi Pangan Pokok dalam negeri dan Cadangan Pangan Pemerintah ditetapkan oleh menteri atau lembaga pemerintah yang mempunyai tugas melaksanakan tugas pemerintahan di bidang Pangan.
Selanjunnya dalam Pasal 37 dinyatakan
bahwa “Impor Pangan yang dilakukan untuk
memenuhi kebutuhan konsumsi dalam negeri
wajib memenuhi persyaratan keamanan, mutu,
Gizi, dan tidak bertentangan dengan agama,
keyakinan, dan budaya masyarakat; dan Pasal
38 menyatakan bahwa “Impor Pangan wajib
memenuhi persyaratan batas kedaluwarsa dan
22 Ibid., Pasal 2. 23 Peraturan Menteri Perdagangan Republik Indonesia Nomor: 24/M-Dag/Per/9/2011 tentang Ketentuan Impor
dan Ekspor Hewan dan Produk Hewan, Pasal 3 ayat (2).24 Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia Nomor Per.17/Men/2010 tentang Pengendalian
Mutu dan Keamanan Hasil Perikanan dalam Wilayan Republik Indonesia, Pasal 1 angka 3.
Sihabudin, Pengaturan Kebijakan Pemerintah Indonesia Mengenai ... 231
kualitas Pangan” .
Berdasarkan ketentuan pasal di atas,
bahwa kebijakan Impor Produk Pangan
dilakukan karena pemerintah Indonesia
belum mampu memenuhi kebutuhaan dalam
negeri, oleh karena itu untuk mengatasi
kebutuhan tersebut, pemerintah merasa perlu
memasukkan produk pangan dari negara lain.
Selain itu, salah satu alasan kebijakan impor
pangan dari negara lain adalah sebagai upaya
untuk mengatasi kenaikan harga pangan
dalam negeri. Kegiatan impor pada umumnya
berhasil membuat harga pangan kembali ke
tingkat harga yang wajar dan sekaligus dapat
membuat harga pangan menjadi stabil.
Menurut Harianto,25 dibalik upaya impor
pangan tersebut, ada sisi lain yang perlu
diwaspadai dalam jangka panjang yaitu
pelaksanaan impor pangan guna memenuhi
kebutuhan pokok seperti, daging sapi, kedelai
dan gula. Pemerintah telah memberlakukan
kebijakan kuota impor, namun kebijakan
tersebut menurut ketentuan GATT-WTO
diartikan sebagai suatu hambatan non tarif
yang digunakan untuk membatasi jumlah
komoditas pangan tertentu yang boleh diimpor
selama jangka waktu tertentu. Kebijakan
kuota impor secara umum ditujukan untuk
membatasi jumlah komoditas pangan tertentu
yang diimpor dari luar negeri dan sekaligus
sebagai salah satu alat untuk mengendalikan
harga komoditas tertentu di pasar dalam
negeri. Pembatasan ini biasanya diberlakukan
dengan memberikan lisensi impor yang sah
kepada perusahaan tertentu dan terbatas serta
melarang impor tanpa lisensi.
Kebijakan impor bidang pangan baik
hortikultura, maupun produk hewan harus
mengacu pada peraturan perundang-undangan
yang berlaku dengan memper-hatikan
aspek keamanan dan kesehatan pangan dan
ketersediaan produk pangan dalam negeri.
Untuk produk pangan hortikultura baik produk
segar maupun olahan telah diatur dalam
Peraturan Menteri Perdagangan Republik
Indonesia Nomor: 30/M-Dag/ Per/5/2012
tentang ketentuan impor Hortikultura, Pasal 2
menyatakan,
(1) Setiap impor Produk Hortikultura wajib
memperhatikan aspek:
a. keamanan pangan Produk Hortikultura;
b. ketersediaan Produk Hortikultura dalam
negeri;
c. penetapan sasaran produksi dan konsumsi
Produk Hortikultura;
d. persyaratan kemasan dan pelabelan;
e. standar mutu; dan
f. ketentuan keamanan dan perlindungan
terhadap kesehatan manusia, hewan,
tumbuhan, dan lingkungan.
(2) Impor Produk Hortikultura hanya dapat
dilakukan apabila produksi dan pasokan
Produk Hortikultura di dalam negeri
belum mencukupi kebutuhan.
Adapun kebijakan impor produk hewan
sebagaimana di atur Pasal 3 ayat (3) Peraturan
Menteri Perdagangan R I Nomor: 24/M-Dag/
Per/9/2011, bahwa Impor produk hewan
25 Harianto, 14 Agustus 2013, Kebijakan Impor Pangan Energi, Harian Republika.
232 ARENA HUKUM Volume 8, Nomor 2, Agustus 2015, Halaman 147-399
hanya dapat dilakukan apabila produksi dan
di dalam negeri belum mencukupi konsumsi
masyarakat dengan harga yang terjangkau.
Berbagai kendala yang dihadapi
Pemerintah Indonesia dalam menentukan
kuota impor pangan adalah sebagai berikut: 26
1. Kebijakan tarif memberikan perlindungan
bagi produsen dalam negeri.
Sebagai akibat dari ketidakmampuan
Indonesia untuk mempengaruhi harga pangan
dunia, maka sebagai negara pengimpor
pangan, kebijakan tarif impor akan membuat
harga barang yang diimpor menjadi meningkat
di pasar dalam negeri. Kondisi ini membuat
produsen dalam negeri tetap mendapat insentif
dalam upaya meningkatkan produksinya agar
bida bersaing baik dipasar domestik maupun
mancanegara.
Pengalaman Uni Eropa dalam
melaksanakan kebijakan tarif impor
menarik untuk dijadikan pengalaman dalam
meningkatkan produksi dalam negeri. Uni
Eropa mempunyai kebijakan pertanian yang
dikenal sebagai Common Agricultural Policy
(CAP). Pada prinsipnya CAP merupakan
bentuk perlindungan yang didesain untuk
mempertahankan produsen pertanian di Uni
Eropa dari serbuan produk luar Uni Eropa
yang lebih murah. Hal ini dilakukan dengan
memberi subsidi produk pertanian yang
dihasilkan Uni Eropa dengan sistem tarif impor
(melalui Variable Import Levy) dan secara
bersamaan memberikan subsidi kepada petani
melalui Single Farm Payment. Jika terjadi
kelebihan pangan yang dihasilkan maka Uni
Eropa melakukan intervensi ke pasar dalam
bentuk pemberian subsidi ekspor kemudian
disimpan dan seterusnya dijual lagi atau
dibuang. Hasilnya, Uni Eropa dalam waktu
20 tahun sejak kebijakan ini dilaksanakan
pada tahun 1955 kemudian menjadi salah satu
negara pengekspor utama dunia komoditas
pangan sejak tahun 1975. 27
Simpulan
Kebijakan pemerintah Indonesia
mengenai pengaturan tata niaga impor pangan
merupakan upaya melindungi produsen dalam
negeri dari kegiatan dumping atau karena
meningkatnya produk impor, juga untuk
melindungi konsumen Indonesia dari produk
impor yang tidak memenuhi standar kualitas
keamanan dan kesehatan konsumen.
Karena itu, ke depan pemerintah harus
mengambil kebijakan yang diperlukan untuk
memperbaiki governansi ekonomi tata niaga
beras. Langkah awal ini setidaknya diharapkan
dapat menutup atau mempersempit ruang
gerak para pemburu rente atau mafia beras
yang masih bersemayam dalam tata niaga
beras di Indonesia. Beberapa hal praktis yang
dapat diusulkan kepada pemerintah dalam
rangka mengatur tata niaga impor pangan
adalah sebagai berikut:
1. Tetap konsisten menjalankan strategi
peningkatan produksi beras untuk
26 Harianto, Op.cit.27 Ibid.
Sihabudin, Pengaturan Kebijakan Pemerintah Indonesia Mengenai ... 233
meningkatkan kemandirian pangan
dan mencapai kedaulatan bangsa pada
jangka panjang. Peningkatan produksi
dan produktivitas beras wajib dilakukan
dengan aplikasi teknologi dan inovasi
baru, termasuk bioteknologi, dengan
melibatkan kemitraan strategis dunia
usaha, perguruan tinggi, pemerintah, dan
masyarakat petani.
2. Memperkuat cadangan beras pemerintah
(CBP), setidaknya perlu mencapai 2
juta ton per tahun, yang merupakan
manifestasi dari konsep stok besi (iron
stock) atau cadangan yang harus ada
sepanjang waktu, terutama untuk
mengatasi kondisi darurat. Selain itu,
cadangan pangan pokok juga perlu
disimpan dalam bentuk stok penyangga
(buffer stock) untuk pengendalian gejolak
harga, dalam skema operasi pasar.
Esensinya adalah bahwa negara perlu
meningkatkan kewibawaan kebijakannya
dalam menghadapi ”serangan” mafia
beras atau pemburu rente yang tidak
kenal lelah.
3. Membenahi administrasi perdagangan
dalam negeri dan perdagangan luar
negeri, khususnya yang berhubungan
dengan prosedur impor beras. Segala
bentuk penyimpangan dalam proses
perizinan impor, manipulasi dokumen,
dan pola praktik non-governansi lain
perlu memperoleh tindakan tegas, baik
secara administratif, maupun secara legal,
sebagai shock-therapy yang berharga.
Kejadian impor beras kualitas medium
yang nebeng menggunakan kemudahan
prosedur beras kualitas premium pada
2013 adalah pelajaran kebijakan yang
amat berharga bagi jajaran administrasi
dan birokrasi di Indonesia.
4. Memperbaiki administrasi birokrasi
dan pemutakhiran data tanda daftar
gudang (TDG) dari pelaku usaha
pangan, utamanya gudang beras. Setelah
informasi gudang pangan dapat dikuasai,
tentu arus pergerakan barang dari satu
titik ke titik lain akan dengan mudah
diestimasi, berikut fluktuasi harga yang
terjadi. Administrasi data ini adalah cikal-
bakal pencegahan praktik perburuan rente
beras dan persaingan usaha tidak sehat
lain, penimbunan dan spekulasi harga
yang menimbulkan dampak distortif.
234 ARENA HUKUM Volume 8, Nomor 2, Agustus 2015, Halaman 147-399
Buku
H. S. Kartadjoemena, 1996, GATT
dan WTO Sistem, Forum dan
Lembaga Internasional di Bidang
Perdagangan Internasional, Cetakan
Ke-I, Universitas Indonesia/UI-Pres,
Jakarta.
Said Zainal Abidin, 2004, Kebijakan Publik,
Edisi Revisi, Yayasan Pancur Siwah,
Jakarta.
Sulistiowati, 2011, Analis Kebijakan
Perdagangan, Prosedur Notifikasi
WTO Untuk Transparansi Kebijakan
Impor Terkait Bidang Perdagangan,
Kewajiban Pokok Indonesia Sebagai
Anggota Organisasi Perdagangan
Dunia, Direktorat Kerjasama
Multilateral, Direktorat Jenderal
Kerjasama Perdagangan Internasional,
Kementerian Perdagangan Republik
Indonesia, Jakarta.
A.F. Elly Erawaty, 2000, Prinsip-Prinsip
Hukum Perdagangan Internasional
menurut GATT/WTO, Paper,
Peranan Hukum Dalam Pembangunan
Ekonomi, Pascasarjana Fakultas
Hukum Universitas Indonesia.
Naskah Internet
Marwan, Gejolak Pangan, Rombak Tata
Niaga Pangan ke Arah yang Tepat,
http://koran-jakarta.com/ index.php/
detail/view.
Nasir Mansyur Wakil, Ketua Umum Kamar
Dagang Dan Indutri (KADIN) Bidang
Pemberdayaan Daerah dan Bulog,
Kadin Meminta Pemerintah Rombak
Tata Niaga Impor Pangan Nasional,
http://lampost.co.
Wikipedia, Ekonomi Utama, http://
id.wikipedia. org/wiki/G-20.
Peraturan Perundang-undangan
Decision on Notifications Procedures.
The Legal Text. The Results of the
Uruguay Round of Multilateral Trade
Negotiations, Cambride University
Press, 2003.
Keputusan Kepala Badan Pengawas
Obat dan Makanaan RI Nomor:
HK.00/05.52.0685 tentang Ketentuan
Pokok Pengawas Pangan Fungsional.
Keputusan Kepala Badan Pengawas Obat dan
Makanaan RI Nomor: HK.00/05.1.2569
tentang Kriterian dan Tata Laksana
Penilaian Produk Pangan.
Peraturan Menteri Perdagangan Menteri
Perdagangan Republik Indonesia
Nomor: 57/M-Dag/ Per/12/2010
tentang Ketentuan Impor Produk
Tertentu.
Peraturan Menteri Kelautan Dan Perikanan
Republik Indonesia Nomor Per.17/
Men/2010 tentang Pengendalian Mutu
dan Keamanan Hasil Perikanan
Dalam Wilayan Republik Indonesia.
DAFTAR PUSTAKA
Sihabudin, Pengaturan Kebijakan Pemerintah Indonesia Mengenai ... 235
Peraturan Menteri Perdagangan Republik
Indonesia Nomor: 24/M-Dag/
Per/9/2011 tentang Ketentuan Impor
dan Ekspor Hewan dan Produk
Hewan.
Peraturan Menteri Perdagangan Republik
Indinesia Nomor: 30/M-Dag/
Per/5/2012 tentang Ketentuann Impor
Produk Hortikultura.
Undang-undang Nomor 18 Tahun 2012
tentang Pangan.
Surat Kabar
Harianto, Staf Khusus Presiden Bidang
Pangan dan Rabu, Kebijakan Impor
Pangan Energi, Harian Republika,
Senin 14 Agustus 2013.