22
Virtual Democracy: Study on Political Communication of Hate speech and
Hoax in Presidential Election 2019 Through Social Media
Pratiwi Fajriyah 1
1 Magister Ilmu Politik, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Airlangga,
Surabaya
ABSTRACT
This journal discusses related to political communication patterns in hate speech and hoaxes
through social media. Virtual democracy promises freedom of participation in the political
sphere. This is supported by the rapid development of technology so that it is able to present
the phenomenon of hate speech and hoaxes. The Ministry of Communication and Information
said that as many as 453 hoax news in 2019 were spread on social media. Therefore, this
journal will discuss patterns of political communication in the dissemination of hate speech
and hoax reporting on social media. The theory used is political communication. Political
communication has the power to persuade readers through content and intensity. The method
used is qualitative-descriptive. Data collection techniques using the study of literature. Data
analysis techniques using social media analysis (Facebook, Instagram, and WhatsApp) and
secondary data. Hate speech and hoaxes are present in every process before the 2019
Presidential Election. The pattern of reporting hate speech and hoaxes is carried out as
effectively as possible so that it can influence the reader. The effectiveness of hoax and hate
speech coverage can be seen from how often the news appears and how much the public
responds to the news. In the long run, hate speech and hoaxes will affect readers regarding
choices in the 2019 Presidential Election. This phenomenon shows that the use of social
media (Facebook, Instagram, WhatsApp) is a tool to spread hoaxes and hate speech. The
communication pattern of a hoax spreader account. First, the introduction of mass. Second,
the spread of hoaxes and hate speeches always give a repetitive coverage. Third, legitimacy.
Legitimacy can be one of the evidences so that news that is not necessarily guaranteed to be
trusted by the public. The three stages above are patterns of political communication of
hoaxes and hate speeches.
Keyword: Hate speech and hoax, political communication, social media
ABSTRAK
Jurnal ini membahas terkait dengan pola komunikasi politik dalam hate speech dan hoax melalui media sosial. Demokrasi virtual menjanjikan kebebasan berpartisipasi dalam ranah politik. Hal ini didukung oleh perkembangan teknologi yang pesat sehingga mampu menyajikan fenomena hate speech dan hoax. Kementerian Komunikasi dan Informatika menyebutkan sebanyak 453 berita hoax pada tahun 2019 tersebar di media sosial. Oleh karena itu, jurnal ini akan membahas pola komunikasi politik dalam penyebarluasan pemberitaan hate speech dan hoax dalam media sosial. Teori yang digunakan adalah komunikasi politik. Komunikasi politik memiliki power dalam melakukan persuasif terhadap pembaca melalui konten isi serta intensitas. Metode yang digunakan yakni kualitatif-deskriptif. Teknik pengumpulan data menggunakan studi literatur. Teknik analisis data menggunakan analisis media sosial (facebook, instagram, dan whatsapp) dan data sekunder. Hate speech dan hoax hadir disetiap proses menjelang Pilpres 2019. Pola pemberitaan hate speech dan hoax dilakukan seefektif mungkin agar dapat memengaruhi pembaca. Tingkat efektivitasan pemberitaan hoax dan hate speech terlihat dari seberapa sering pemberitaan muncul dan seberapa banyak masyarakat merespon pemberitaan tersebut. Jangka panjangnya, hate speech dan hoax akan memengaruhi pembaca terkait pilihan dalam Pilpres 2019. Fenomena ini menunjukkan bahwa penggunaan media sosial (facebook, instagram, whatsapp) merupakan alat untuk menyebarkan hoax dan hate speech. Pola komunikasi dari akun penyebar hoax. Pertama, pengenalan massa. Kedua, penyebar pemberitaan hoax dan hate speech selalu memberikan pemberitaan yang berulang. Ketiga, legitimasi. Legitimasi bisa menjadi salah satu bukti agar pemberitaan yang belum tentu kebenarannya dipercaya oleh masyarakat. Ketiga tahapan di atas merupakan pola komunikasi politik hoax dan hate speech.
Kata Kunci: Komunikasi politik, hate speech dan hoax, media sosial
23
PENDAHULUAN
Jurnal Virtual Democracy : Study on Political Communication of Hate speech and Hoax in
Presidential Election 2019 Through Social Media akan menjelaskan tentang pola
penyebarluasan ujaran kebencian (hate speech) di media sosial melalui pendekatan komunikasi
politik pada pemilihan presiden 2019. Fenomena yang terjadi menjelang Pilpres 2019 selalu
menunjukkan kebaruan. Misalnya ujaran kebencian yang tengah terjadi menuju Pilpres 2019.
Ujaran kebencian saat ini paling banyak dilakukan melalui media sosial. Karena dalam media
sosial, setiap orang memiliki hak untuk menulis opini, tanggapan, bahkan kritik yang bermuatan
SARA. Sehingga jurnal ini akan lebih mengeksplorasi pola dari ujaran kebencian di media
sosial yang tengah berkembang menjelang Pilpres 2019.
Fenomena ujaran kebencian di media sosial tidak akan pernah lepas dari pengaruh
globalisasi. Tujuan utama dari globalisasi pada awalnya adalah penerapan semangat prinsip
integrasi ekonomi lintas negara. Namun masuknya globalisasi bukan hanya memberikan
semangat dalam ranah ekonomi melainkan semangat dalam perbaikan ranah politik. Globalisasi
mendorong setiap warga negara untuk melakukan dua prinsip ini yakni partisipasi dan
demokrasi. Konsep partisipasi dan demokrasi ini dipercaya mampu memberikan perbaikan
pada ranah politik. Karena dengan adanya partisipasi dari masyarakat yang tinggi, maka
masyarakat dapat menjalankan fungsi kontrol terhadap pemerintah. Masyarakat yang kuat akan
mendorong peningkatan kadar demokrasi dalam suatu negara. Sehingga globalisasi pun
memotivasi perbaikan ranah politik untuk meningkatkan kadar demokrasi di setiap negara.
Pengaruh globaliasi yang kuat ternyata diiringi oleh perkembangan teknologi yang pesat
pula. Teknologi seperti internet yang semakin canggih membuat arus masuknya globalisasi
semakin deras. Di abad 21 ini globalisasi telah memudarkan batas-batas antarnegara dengan
didukung oleh kemajuan teknologi yang mutakhir yakni internet. Internet telah lama menjadi
24
primadona di kalangan masyarakat. Tidak ada satupun masyarakat terutama yang menduduki
kota metropolitan mampu bertahan hidup tanpa internet. Internet mempermudah masyarakat
dalam mengakses segala informasi yang dibutuhkan. Sehingga masyarakat seringkali terlena
dengan informasi yang internet sajikan. Hal ini semakin diperkuat dengan terbukanya ruang
opini publik yang sedikit banyak memberikan pengaruh secara psikologis terhadap pembaca.
Melihat fenomena di atas, maka saat ini masyarakat dapat dikatakan tengah menghadapi era
baru dalam berdemokrasi yakni “demokrasi era digital”.
Seringkali topik yang membahas terkait media sosial tidak menjadi suatu kemenarikan
tersediri. Karena media sosial sudah menjadi hal yang biasa dalam bermasyarakat sehingga
bukan tidak mungkin akan memberikan dampak pada pola pikir masyarakatnya. Namun
penggunaan media sosial bukan hanya telah memberikan terbukanya informasi terhadap publik,
akan tetapi juga mampu menggiring opini masyarakat terhadap suatu rezim politik yang tengah
berjalan.
Gambar 1. Data pengguna internet di Indonesia
Sumber : kompasiana.com diakses pada 08 Agustus 2019
Berdasarkan data melalui track record serta analisis penggunaan media sosial dari Hootsuite
yang meneliti statistik digital memperoleh sebanyak 138,7 juta pengguna internet di Indonesia
dengan jumlah 130 juta pengguna media sosial. Angka tersebut terbilang fantastis jika dilihat
dari jumlah keseluruhan total penduduk Negara Indonesia menurut data Perserikatan Bangsa
25
Bangsa (PBB) mencapai 266,79 juta jiwa. Hampir 50% penduduk Indoensia merupakan
pengguna internet dan media sosial. Angka tersebut sekaligus menunjukkan bahwa masyarakat
yang melek internet dapat dikatakan cukup tinggi dengan persebaran informasi melalui media
sosial cukup sering. Sehingga keberlangsungan demokrasi era digital pun juga semakin kuat.
Demokrasi digital merupakan penerapan konsep demokrasi tanpa dibatasi oleh waktu, ruang,
dan kondisi fisik lainnya (Hacker dan Dijk, 2000). Tingginya partisipasi masyarakat melalui
internet dan media sosial, mampu memberikan dampak yang signifikan pada ranah politik.
Misalnya fenomena yang tengah berkembang saat ini yakni hoax dan ujaran kebencian
menjelang Pilpres 2019.
Menurut Undang-undang Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 2017 pasal 275 poin e tentang
pemilihan umum menyebutkan bahwa salah satu metode kampanye adalah media sosial.
Sehingga secara resmi pemerintah memberikan izin bagi calon untuk kampanye menggunakan
media sosial. Akan tetapi media sosial bukan hanya memberikan dampak positif terhadap
kampanye namun juga dampak negatif. Terutama maraknya hoax dan hate speech.
Media sosial telah memiliki daya tarik tersendiri bagi dunia politik. Politik yang selalu
diartikan dengan proses memengaruhi dan dipengaruhi menjadikan media sosial sebagai wadah
dunia maya untuk memengaruhi suara masyarakat. Kebebasan penggunaan internet melahirkan
oknum-oknum yang memanfaatkan kondisi politik yang ada dengan memberikan statement
atau menyebarkan informasi yang belum jelas kebenarannya. Hal ini dapat dikatakan sebagai
Hoax dan Hate speech.
Efektivitas dalam penggunaan media sosial sebagai kampanye. Salah satu contoh pada
fenomena Pilkada DKI 2017. Selama proses pencalonan hingga pemungutan suara, Pilkada
DKI Jakarta diselimuti oleh hoax dan hate speech di media sosial dan ruang publik seperti
fasilitas umum keagamaan (masjid). Hoax dan hate speech paling banyak ditujukan kepada
26
Basuki Tjahaja Purnama (Ahok). Karena Ahok dituduh telah melakukan penistaan agama Islam
dalam menyebut surat Al-Maidah. Hoax dan hate speech paling banyak berkembang di media
sosial, karena dalam menggiring opini masyarakat sangat mudah melalui media sosial. Bahkan
melalui media sosial tersebut mampu mengumpulkan massa untuk melakukan aksi 212 dan 411
merespon penistaan agama yang dilakukan oleh Ahok. Aksi tersebut pada awalnya digiring
melalui pemberitaan di media sosial yang menyebutkan bahwa Ahok telah melakukan penistaan
agama. Sehingga umat Islam berbondong-bondong melakukan aksi untuk merespon hal
tersebut. Mulai dari sinilah hoax dan hate speech berkembang pesat di media sosial.
Menurut data dari Kementerian Komunikasi dan Informatika menyebutkan untuk pemilihan
umum gubernur DKI Jakarta, terdapat 53 pemberitaan hoax dan 324 pemberitaan hate speech.
Jumlah pemberitaan hoax dan hate speech yang banyak terdapat di media sosial berpengaruh
terhadap jelang pemilihan umum presiden tahun 2019 (Erdianto, 2016).
Meskipun Pilkada DKI Jakarta telah usai dan penistaan agama oleh Ahok telah ditangani
oleh pihak yang berwajib. Namun hoax dan hate speech masih terus tersebar di media sosial.
Terutama pada saat menuju tahun politik yakni pemilihan presiden (Pilpres) 2019. Isu yang
sebelumnya menargetkan pada Ahok sekarang berbalik arah menargetkan pada Jokowi serta
jajaran pemerintahannya.
Kementerian Komunikasi dan Informatika menyebutkan bahwa sebanyak 800.000 akun di
media sosial penyebar hoax. Akun di atas belum termasuk dalam akun pribadi atau akun palsu.
Selain itu, 458 pemberitaan hoax teridentifikasi oleh Kementerian Komunikasi dan Informatika
sepanjang bulan Maret 2019. Sehingga permasalahan hoax terutama berkaitan dengan
kampanye politik merupakan permasalahan yang serius untuk ditangani oleh pemerintah
(Yuliani, 2017).
27
Gambar 2. Temuan isu hoax dari tahun 2018-2019
Sumber : kominfo.go.id diakses pada tanggal 08 Agustus 2019
Data di atas menunjukkan bahwa dari tahun 2018 hingga 2019, penyebaran isu hoax dan
hate speech sangat berkembang di media sosial. Menurut data dari Kementerian Komunikasi
dan Informatika menyebutkan bahwa pada tahun 2019 pemberitaan hoax berkembang hingga
mencapai angka 453 berita. Hal ini menunjukkan bahwa pemberitaan hoax semakin
berkembang seiring berjalannya proses pemilu presiden 2019.
Beberapa fenomena yang telah disajikan tersebut menunjukkan bahwa media sosial
memiliki kekuatan dalam menggiring opini publik serta memengaruhi pilihan masyarakat.
Melalui hoax dan hate speech, media sosial mampu menggambarkan citra dari salah satu aktor
politik dan menggiring opini publik. Sehingga penelitian terkait hoax dan hate speech sangat
diperlukan untuk mengetahui pola hoax dan hate speech untuk memengaruhi opini publik serta
pilihan masyarakat terutama pada Pilpres 2019.
METODE PENELITIAN
Metode penelitian merupakan metode yang dilakukan dalam penelitian. Metode penelitian
ini terdiri dari penjelasan teori yang dipakai, proses pengumpulan data terkait hate speech dan
hoax menjelang Pilpres 2019.
28
a. Jenis Penelitian
Jenis penelitian yang dipakai dalam jurnal ini adalah kualitatif deskriptif. Maksud dari
kualitatif deskriptif adalah peneliti mampu menggambarkan fenomena yang terjadi serta
melakukan pendalaman fenomena. Karena salah satu tujuan dari penelitian kualitatif adalah
menjelaskan fenomena hingga sampai pada akar permasalahannya. Jika dikorelasikan dengan
fenomena hate speech dan hoax yang diangkat pada topik pembahasan dalam jurnal ini. Maka
penelitian ini akan mengarah pada pola pemberitaan hate speech dan hoax dalam media sosial
serta menjelaskan efektivitas hate speech dan hoax dalam memengaruhi pola pikir masyarakat.
b. Fokus Penelitian
Penelitian dalam jurnal ini berfokus pada hate speech dan hoax yang terjadi dalam media
sosial. Hoax dan hate speech memang seringkali mewarnai pemilihan umum akhir-akhir ini.
Namun fenomena menjelang pilpres 2019 diwarnai oleh maraknya hate speech dan hoax di
media sosial. Media sosial dianggap sebagai wadah dalam menyebarkan isu atau informasi
terkait dengan pilpres 2019. Sehingga fokus penelitian ini menuju pada hoax dan hate speech
pada media sosial.
c. Jenis Data dan Teknik Pengumpulan Data
Data yang digunakan untuk mengumpulkan informasi terkait dengan hate speech dan hoax
adalah menggunakan data sekunder. Penelitian ini menggunakan studi literatur dan analisis
media sosial (instagram, facebook, whatsapp) dalam teknik pengumpulan data. Sehingga data
yang digunakan untuk dianalisis merupakan data sekunder. Selain itu, dokumentasi foto atau
video juga dapat mendukung analisis fenomena hate speech dan hoax dalam media sosial.
d. Teknik Analisis Data
Data yang telah dikumpulkan digolongkan sesuai dengan klasifikasi peneliti untuk
mempermudah dalam analisis. Setelah digolongkan sesuai dengan klasifikasi, peneliti
29
menggunakan teori komunikasi politik dalam analisis data untuk menghasilkan kesimpulan di
bagian akhirnya.
HASIL DAN DISKUSI
a. Demokrasi Digital
Konsepsi demokrasi era digital lahir dengan penguatan teknologi serta minat masyarakat
terhadap teknologi itu sendiri. Masyarakat mulai terlena dengan teknologi sehingga
memanfaatkan teknologi sebagai wadah dalam menuangkan aspirasi mereka. Demokrasi era
digital merupakan kolaborasi antara teknologi digital dengan demokrasi yang mana kedua
konsep tersebut saling memengaruhi satu sama lainnya. Jika demokrasi menawarkan masa
depan yang lebih baik, salah satu tujuan demokrasi digital adalah menjunjung tinggi keabsahan
dalam mendapatkan komunikasi. Sehingga teknologi hadir dengan menjamin efektivitas,
efisiensi, transparansi (keterbukaan), dan akuntabilitas kepada demokrasi. Nikos Farangkis
(2007) berpendapat bahwa :
Digital democracy could be defined as any electronic exchange in the democratic process,
both from the citizens’ perspective and from the one of the pliticians’and the political system’s.
It reflects, in this particular ambit, the tendency toward substituing physical participation to
politically significant events with using electronic communication means.
Menurut Frangkis, bahwa demokrasi digital menggabungkan antara konsep demokrasi
perwakilan dan demokrasi partisipatif. Sehingga penekanannya pada perangkat teknologi
digital. Demokrasi digital telah menjanjikan apa yang tidak dijanjikan oleh demokrasi
sebelumnya. Jaminan atas kemudahan dalam mendapatkan informasi dan juga penyebarannya,
demokrasi digital banyak diminati oleh masyarakat. Tujuan dari demokrasi era digital adalah
jaringan komunikasi yang luas pada tataran global dan mampu melintasi batas ruang dan waktu.
30
Masyarakat pengguna internet aktif menurut data dari We Are Social (2018) sebanyak 130
juta orang. Dari data ini terlihat bahwa peluang masuknya demokrasi digital sangat tinggi.
Namun dalam suksesi demokrasi tidak bisa hanya dilakukan dalam dunia maya. Demokrasi
konvensional pun juga tetap dianggap penting untuk dijalankan. Sehingga integrasi antara
demokrasi era digital dengan demokrasi konvensional harus tetap berjalan beriringan dalam
suksesi demokrasi itu sendiri.
b. Hate Speech
Hate speech (ujaran kebencian) merupakan komunikasi dalam bentuk hasutan atau hinaan
terhadap individu atau kolompok dan menyangkut tentang SARA. Ujaran kebencian dapat
memicu timbulnya konflik kepada masyarakat. Salah satu fenomena yang sedang marak yakni
ujaran kebencian dalam media sosial. Media sosial yang memiliki tingkat penyebaran informasi
cukup tinggi membuat ujaran kebencian pun intensitasnya semakin tinggi pula.
Setiap negara memiliki payung hukum dalam meminimalisir ujaran kebencian, begitu pula
Negara Indonesia. Negara indonesia mengatur hukum ujaran kebencian dalam UU ITE dan
KUHP. KUHP pasal 310 ayat 1,2, dan 3 menyatakan bahwa “(1) Barang siapa sengaja
menyerang kehormatan atau nama baik seseorang dengan menuduhkan sesuatu hal, yang
maksudnya terang supaya hal itu diketahui umum, diancam karena pencemaran dengan pidana
penjara paling lama sembilan bulan atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus
rupiah.”
“(2) Jika hal itu dilakukan melalui tulisan atau gambaran yang disiarkan, dipertujukan atau
ditempel di muka umum, maka diancam karena pencemaran tertulis dengan pidana
paling lama satu tahun empat bulan dengan denda pidana sebanyak empat ribu lima
ratus rupiah.”
31
“(3) Tidak dikatakan pencemaran atau pencemaran tertulis jika perbuatan jelas dilakukan
demi kepentingan umum atau karena terpaksa membela diri.”
UU ITE nomor 19 Tahun 2016 pasal 28 ayat (1) dan (2) menyatakan bahwa :
“(1) Setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak menyebarkan berita bohong dan
menyesatkan yang mengakibatkan kerugian konsumen dalam transaksi elektronik.”
“(2) Setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak menyebarkan informasi yang ditujukan
untuk menimbulkan rasa kebencian atau permusuhan individu dan/atau kelompok
masyarakat tertentu berdasar atas suku, agama, ras, dan antar golongan (SARA).
Poin di atas merupakan hukum yang berlaku di Negara Indonesia dalam memberikan sanksi
pada ujaran kebencian. Memang, untuk ujaran kebencian dalam media sosial sangat sulit untuk
dilacak terlebih jika akun yang digunakan adalah fake account (akun palsu). Sehingga ujaran
kebencian menjadi semakin marak di media sosial karena masih longgarnya hukum yang
berlaku dalam menindak ujaran kebencian tersebut.
c. Hoax
Jika kita menelusuri sejarah hoax, konsepsi ini mulai digunakan pada abad pertengahan
hingga akhir abad ke 18. Konsep hoax mencirikan sebagai penipuan publik. Berbeda dengan
ujaran kebencian yang lebih pada pencemaran nama baik dengan memanfaatkan informasi yang
ada di setiap individu. Namun hoax lebih pada penipuan publik yakni membenarkan hal yang
tidak benar. Jika dilihat dari pembeda hoax dan penipuan lainnya adalah pada karakteristiknya
yang menjangkau masyarakat luas dan masif.
Hoax memang sedang tren di kalangan pengguna media sosial. Hoax yang menerapkan
jejaring di media sosial mampu membangun informasi yang tidak benar dengan waktu yang
cukup singkat. Penyebarluasan hoax di media sosial sama dengan teknik bekerjanya
propaganda. Informasi yang belum tentu benar diproduksi, direproduksi, dan didistribusikan
32
sehingga media sosial mampu memberikan informasi yang kabur dan tidak jelas (Heryanto,
2018).
Pada dasarnya, konflik yang terjadi termasuk hoax, tidak bisa dipandang dari sisi negatif,
akan tetapi membaca konflik harus dari dua sisi yakni negatif dan positif. Coser dikutip dalam
Heryanto (2018) membedakan tipe konflik. Pertama yakni konflik realistis yang memiliki
sumber konkret atau bersifat material. Kedua, konflik nonrealistis yang didorong karena adanya
keinginan yang tidak rasional biasanya bersifat ideologis (Heryanto, 2018).
Upaya meminimalisir hoax dapat ditempuh dengan cara seluruh jajaran pemerintah dan
instansi terkait harus bersama-sama menyuarakan hoax secara konsisten dan berkala. Selain itu,
membuat sistem keamanan internet dengan cara verifikasi data melalui email atau dengan akun
yang jelas. Dukungan dari pihak penindak hoax juga sangat penting misalkan membuat stempel
hoax pada akun yang telah terbukti dalam menyebarkan isu hoax. Selain itu, jika jajaran
pemerintah telah bersinergi dalam memerangi hoax, maka harus ada hoax buster yakni narasi
meng-counter hoax dengan data realistis. Sangat sulit memblokir akun yang menyebarkan hoax
karena seringkali akun hoax tidak menyebutkan identitasnya. Akan tetapi upaya yang
dikemukakan di atas bisa menjadi referensi upaya memerangi hoax.
d. Media sosial
Media sosial merupakan wadah baru yang muncul di kalangan masyarakat serta mampu
mengajak masyarakat dalam ikut berpartisipasi politik. Media sosial merupakan fasilitas publik
dalam mendialogkan isu-isu publik dan memberikan kecenderungan pilihan mereka terhadap
aktor politik. Media sosial memiliki kebebasan untuk berbagi informasi, berdiskusi, serta
memberikan pandangan terkait alasan rasional dalam memilih salah satu aktor politik. Diskusi-
diskusi inilah yang mampu menghasilkan perubahan pada pilihan politik.
33
Pippa Noris dikutip dalam Andriadi (2017), media sosial digunakan sebagai fasilitas untuk
melakukan partisipasi politik warga negara. Karena Norris menyatakan bahwa media sosial
memiliki tiga sifat yakni informatif, interaktif, dan partisipatoris. Media sosial yang memiliki
sifat partisipatoris merupakan sifat yang digunakan untuk memungkinkan individu menjadi
masyarakat yang terlibat dalam ranah politik (Andriadi, 2017).
Namun, penggunaan media sosial memiliki sisi negatif yakni lemahnya aspek
pertanggungjawaban demokrasi di setiap individu. Media sosial telah mewadahi partisipasi
politik sehingga bisa melakukan aktivitas apapun seperti kampanye hitam di media sosial serta
penggunaan identitas palsu (anonimitas). Kelemahan lainnya yakni media sosial mampu
membuat citra palsu melalui informasi yang disebarkan melalui media sosial.
Terdapat empat manfaat media sosial dalam praktik demokrasi (Andriadi, 2017), pertama
sebagai akses informasi. Media sosial menjadi sumber akses informasi yang menampung
aspirasi masyarakat dan notabene masyarakat mampu mengedepankan kepentingan umum.
Kedua, interaksi. Tingginya angka pengguna media sosial di Indonesia menyebabkan terjadinya
interaksi walaupun hanya sebatas di dunia maya. Namun, dari interaksi inilah yang menjadi
ajang memperkuat demokrasi. Ketiga, partisipasi. Bagi demokrasi media sosial menjadi wadah
baru untuk mendorong masyarakat ikut berpartisipasi di semua aspek kehidupan. Keempat,
desentralisasi infromasi. Media sosial bermanfaat dalam membawa pemerintah lebih dekat
dengan warga negaranya sehingga memudahkan masyarakat terlibat dalam praktik demokrasi.
Selain empat kebermanfaatan media sosial dalam demokrasi menurut Andriadi (2017),
penelitian oleh Wright dan Hinson (2009). Pertama, menyatakan dampak kehadiran media baru
yakni media sosial. Menyediakan wadah untuk mengekspresikan ide lebih banyak, serta
memberikan wadah untuk mengekspresikan ide, informasi, dan opini. Kedua, membuka
kesempatan baru untuk berkomunikasi secara langsung dengan khalayak, walaupun dapat
34
menimbulkan risiko seperti berkembangnya informasi negatif. Ketiga, meningkatkan
komunikasi dan informasi secara cepat untuk berbagai isu. Keempat, membuka kesempatan
untuk meraih khalayak dengan efektif dan efisien. Kelima, membuka kesempatan untuk meraih
khalayak baru dari kelompok para muda atau usia yang tidak tersentuh oleh media mainstream
yang biasa digunakan oleh organisasi. Keenam, blog dan media sosial membuka komunikasi
secara global. Ketujuh, media baru memungkinkan organisasi utuk memperoleh data atau
informasi dengan cepat tentang bagaimana pendapat publik terhadap organisasi tersebut
(Heryanto, 2018).
e. Teori Komunikasi Politik
Melihat dari awal mula kemunculan hate speech dan hoax tidak lepas adanya resistensi dari
kelompok-kelompok tertentu. Resistensi yang ditujukan untuk melawan pemerintahan karena
tidak pro terhadap rakyat kecil ataupun salah satu kelompok tertentu merupakan cikal bakal
terjadinya hate speech dan hoax di media sosial. Hal ini dilatarbelakangi oleh fenomena
populisme yang tengah berkembang berskala internasional serta memberikan dampak pada
perkembangan populisme di Indonesia. Definisi populisme sendiri menurut KBBI yakni sebuah
paham yang menganut, mengakui, serta menjunjung tinggi hak, kearifan, dan kepentingan dari
masyarakat kecil. Di Indonesia, populisme lebih mengarah pada kelompok agama.
Dikutip dari laporan hasil penelitian Center for Security and Welfare Studies pada tahun
2017, populisme memiliki empat ciri utama yakni pertama, gerakan tersebut mewakili
kepentingan dari keompok yang termarjinalkan. Kedua, menyuarakan anti terhadap sistem dan
sub-sistem yang menjadi penyebab terjadinya marjinalisasi. Sehingga populisme menolak
pengaturan dari pemerintah maupun kalangan elit politik. Ketiga, gerakan populisme akan
menyebarkan diskursus krisis ekonomi, politik, moral, dan sebagainya yang mengikis eksistensi
bangsa dan negara. Keempat, gerakan populisme juga menampilkan figur agama yang mampu
35
memberikan solusi bagi permasalahan negara. Sehingga figur tersebut menjadi panutan setiap
masyarakat yang mengikutinya.
Gerakan kelompok populisme di Indonesia bergerak melalui media sosial yang
dimanfaatkan untuk persebaran hate speech maupun hoax. Media sosial yang memiliki akses
kemudahan dalam menyebarluaskan informasi disalahgunakan dalam menyebarkan isu yang
belum tentu kebenarannya. Selain itu, media sosial dinilai sangat efektif dalam memengaruhi
pembaca melalui intensitas tayangan serta isu yang provokatif mampu memantik persepsi buruk
masyarakat terhadap target.
Efektivitas dari persebaran hate speech maupun hoax tergantung dari komunikasi politik
yang dibangun oleh akun-akun tersebut. Menurut Nimmo dan Keith dikutip dalam Surbakto
(2012) menjelaskan bahwa komunkasi politik memiliki bahasan yang sangat penting yakni
komunikasi persuasif. Karena inti dari komunikasi politik adalah persuasi atau memengaruhi
orang lain melalui teknik komunikasi (Surbakto, 2012).
Berikut merupakan berbagai macam metode komunikasi politik. Pertama, Studi agregat.
Studi ini merupakan cara paling konvensional dalam melihat penilaian individual atau
kelompok terhadap karakteristik sosial tertentu. Jika dilihat dari sudut pandang politik, maka
studi ini lebih mengarah pada perilaku politik dalam memilih. Kedua, Studi kritis. Studi ini
berusaha memahami ideologi dalam sistem komunikasi. Studi ini memiliki kepercayaan bahwa
budaya memiliki kesinambungan terhadap kegiatan sosial serta politik. Studi ini melihat
fenomena sebagai realitas semu. Karena studi ini percaya bahwa ada peristiwa yang terjadi
dibalik sesuatu yang nampak. Ketiga, studi analisis isi. Studi ini lebih berfokus pada analisis isi
komunikasi dalam waktu dan ruang tertentu. Hal ini ditujukan untuk mengetahui inti dari pesan-
pesan yang akan disampaikan. Metode ini digunakan dalam meneliti aspek pesan komunikasi
politik. Keempat, studi eksperimental. Studi ini lebih berfokus pada hubungan sebab-akibat
36
antara tiap variabel. Studi ini membandingkan antara satu variabel dengan variabel yang lain
sehingga membentuk pola sebab-akibat. Kelima, studi ex post facto yakni hampir sama dengan
studi eksperimental, namun letak perbedaannya pada jika ada pola sebab-akibat maka sebab
dari fenomena ini terjadi dijelaskan secara rasionalitas mengapa fenomena ini dapat terjadi.
Keenam, studi survei. Studi ini lebih menekankan pada mencari data melalui sampel dan
populasi. Komunikasi politik digunakan dalam studi opini publik terkait pengaruh media
terhadap masyarakat.
Komunikasi politik memiliki peran yang sangat penting dalam suatu proses politik. Para
penguasa berusaha mengendalikan komunikasi politik dengan tujuan mampu mendapatkan
dukungan dari masyarakat untuk berkuasa. Oleh karena itu, dukungan dari media sangatlah
penting. Karena media berfungsi sebagai penyaluran isu dan informasi yang dibawa kepada
masyarakat.
Komunikasi politik memang merupakan proses tertentu yang mana setiap penguasa politik
harus memahami serta memiliki tipe komunikasi politik yang disegani oleh masyarakat.
Terbukti melalui beberapa fenomena pemilihan umum di Indonesia peran komunikasi poltik
sangat terlihat. Bagaimana setiap kandidat membangun citra melalui media terutama media
sosial. Sehingga budaya kampanye tidak dipandang sebagai teknik paling efektif dalam
menghimpun massa. Membangun citra dalam media sosial lah yang mampu mengumpulkan
massa tanpa harus mengelurkan anggaran yang berlebih.
Namun fenomena akhir-akhir ini media sosial bukan hanya dijadikan ajang untuk
membangun citra kandidat dalam pemilu. Media sosial juga dijadikan sebagai wadah dalam
menghancurkan citra dari seseorang. Sehingga membangun citra saat ini bukan hanya
digerakkan oleh kandidat pemilu saja, melainkan media sosial sudah berada dalam tangan
37
kelompok-kelompok strategis untuk menghancurkan citra yang telah dibangun melalui media
sosial.
Upaya kelompok-kelompok tertentu dalam menghancurkan citra salah satu kandidat dalam
pemilu bisa menjadi strategi kandidat lawannya. Kandidat lawannya mencoba menggiring opini
publik terkait dengan citra yang sudah dibangun oleh salah satu kandidat pemilu. Hal ini yang
menjadi cikal bakal dari kemunculan hate speech dan hoax. Hate speech dan hoax bukan hanya
sekedar merepresentasikan resistensi, namun bisa juga dijadikan strategi politik salah satu
kandidat dalam menggiring opini publik terkait dengan kandidat lawannya.
Mengacu pada pola pikir di atas, maka hate speech dan hoax bisa dijadikan sebagai
marketing politik salah satu kandidat untuk menghancurkan citra kandidat lawan. Marketing
politik menjadi salah satu bagian yang tidak kalah penting dalam proses politik. Karena
marketing politik bertujuan untuk memperkenalkan kandidat terhadap masyarakat. Salah satu
strategi yang dapat digunakan ialah melalui pembuatan citra politik yang dipandang baik oleh
masyarakat.
f. Pola Komunikasi Politik
Fenomena hate speech dan hoax semakin marak dalam Pilpres 2019. Setiap proses menuju
Pilpres 2019 selalu diselingi oleh hate speech dan hoax di media sosial. Media sosial yang
sering digunakan dalam melontarkan hate speech dan hoax adalah facebook, instagram, dan
whatsapp. Pada dasarnya setiap media sosial memiliki peranan masing-masing dalam
menyebarkan pemberitaan hoax dan hate speech.
Pertama, facebook. Facebook seringkali memberikan fasilitas seperti grup atau fanpage
untuk berkomunikasi dengan anggotanya. Sehingga ruang publik seperti grup maupun fanpage
merupakan media yang efektif dalam berkomunikasi antara anggota. Seperti halnya MCA
(Muslim Cyber Army) yang seringkali melontarkan hate speech dan hoax melalui grup dan
38
fanpage facebook. Sistem kerja grup dan fanpage facebook adalah setiap anggota dari grup
maupun fanpage memiliki kebebasan dalam melakukan posting. Sehingga facebook lebih ramai
akan informasi hoax dan hate speech karena setiap anggota dapat mengutarakan pendapat
mereka secara bebas. Kementerian Komunikasi dan Informatika menutup sebanyak 551 akun
facebook yang terindikasi hoax (Haryanto, 2019).
Kedua, instagram. Instagram yang hanya memiliki fitur upload foto atau video juga sangat
efektif dalam menyebarluaskan berita hoax dan hate speech. Namun instagram tidak dapat
membuka ruang komunikasi publik layaknya facebook. Instagram hanya bisa memengaruhi
pembaca melalui postingan yang diunggah. Sehingga instagram lebih memaksimalkan
terhadap intensitas pemberitaan serta isu yang dibawa. Selain itu fitur tanda tagar (#)
dimaksimalkan untuk menyebarluaskan pemberitaan. Semakin banyak tagar yang dipakai,
maka semakin luas pula penyebaran pemberitaannya. Tanda tagar (#2019gantipresiden) dalam
instagram mencapai 1,7 juta foto dan video. Sehingga instagram merupakan media yang efektif
dalam menyebarkan pemberitaan. Sehingga Kementrian Komunikasi dan Informasi juga
menutup sebanyak 848 akun instagram dan twitter (Haryanto, 2019).
Ketiga, whatsapp. Whatsapp merupakan media yang sering digunakan untuk berkomunikasi
dan bertukar informasi. Whatsapp bukan hanya memberikan fitur untuk berkomunikasi
antarindividu melainkan komunikasi kelompok (grup). Salah satu fasilitas untuk menyebarkan
pemberitaan secara luas dan cepat adalah melalui grup. Seperti yang terjadi pada kasus hoax
dalam Pilpres 2019. Banyak pemberitaan hoax tersebar dalam grup whatsapp. Salah satu pola
pemberitaan dalam whatsapp yakni salah satu akun melakukan copy-paste berita hoax dalam
grup. Hal ini bertujuan untuk semua anggota grup membaca berita yang disebarkan. Whatsapp
merupakan salah satu media sosial terbesar melakukan penyebaran hoax. Karena setiap akun
dapat melakukan copy-paste berita tanpa ada filter terlebih dahulu, sehingga berbeda dengan
39
Instagram, facebook, dan twitter, media sosial whatsapp berperan sebagai penyaluran
pemberitaan hoax dan hate speech. Pada tahun 2019 sekitar 61.000 akun whatsapp telah ditutup
oleh kementrian komunikasi dan informasi karena telah teridentifikasi penyebar hoax (Wadani,
2019).
Gambar 3. Media untuk menyebar hoax dan hate speech
Sumber : Survei MASTEL 2017 dalam kompasiana.com diakses pada 08 Agustus 2019
Melihat data di atas, penyebaran hoax paling besar yakni melalui media sosial. Penyebaran
hoax terbesar kedua yakni melalui chat. Sehingga dari data di atas dapat terlihat bahwa
intensitas penyebaran hoax melalui media sosial dan chat sangat besar. Selain itu, penyebaran
hoax melalui media sosial dan chat sangat efektif untuk memengaruhi pembaca.
“Terdapat empat manfaat media sosial dalam praktik demokrasi (Andriadi, 2017), pertama
sebagai akses informasi. Media sosial (medsos) menjadi sumber akses informasi yang
menampung aspirasi masyarakat dan notabene masyarakat mampu mengedepankan
kepentingan umum. Kedua, interaksi. Tingginya angka pengguna media sosial di Indonesia
menyebabkan terjadinya interaksi walaupun hanya sebatas di dunia maya. Namun, dari
interaksi inilah yang menjadi ajang memperkuat demokrasi. Ketiga, partisipasi. Bagi
demokrasi media sosial menjadi wadah baru untuk mendorong masyarakat ikut berpartisipasi
40
disemua aspek kehidupan. Keempat, desentralisasi infromasi. Media sosial bermanfaat dalam
membawa pemerintah lebih dekat dengan warga negaranya sehingga memudahkan
masyarakat terlibat dalam praktik demokrasi.”
Media sosial memiliki beberapa keunggulan untuk memperkuat demokrasi. Akan tetapi di
lain sisi media sosial juga menunjukkan terbangunnya interaksi negatif untuk memengaruhi
masyarakat. Pertama yakni akses informasi. Saat ini media sosial banyak diminati oleh
masyarakat untuk sumber informasi. Bukan hanya sumber informasi keilmuan, namun juga
terkait dengan pemberitaan yang ter-up to date. Kedua, interaksi. Seperti yang dikatakan
sebelumnya bahwa memang interaksi sangat tinggi dalam penggunaan media sosial. Terutama
jika menggunakan media sosial facebook. Facebook dapat membuka ruang publik yang mampu
mendorong masyarakat berpartispasi aktif dalam ranah politik. Ketiga, partisipasi. Media sosial
bukan hanya dipandang sebagai fasilitas mendekatkan informasi kepada masyarakat. Namun,
media sosial juga memotivasi masyarakat dalam berpartisipasi di ranah politik. Keempat,
desentralisasi informasi. Hal sudah sangat sering digunakan oleh pemerintah bahwa media
sosial merupakan sumber transparansi pemerintahan. Sehingga masyarakat dapat memantau
kinerja dari pemerintahan (Andriadi, 2017).
Keempat faktor di atas merupakan keunggulan dari media sosial, namun ternyata di sisi lain
media sosial juga memiliki sisi negatif. Salah satu fenomena yang terbentuk dari media sosial
adalah hate speech dan hoax. Sejauh ini menurut informasi dari kominfo.com terdapat 800.000
situs yang terindikasi melakukan penyebarluasan informasi palsu. Angka tersebut sangat
fantastis jika dibanding dengan 132,7 juta orang pengguna media sosial di Indonesia.
Akun-akun yang menyebarluaskan hatespeech dan hoax dalam Pilpres 2019 tidak lepas dari
pemberitaan yang bermuatan propaganda seperti yang dinyatakan oleh Goebbles dalam buku
Soemarno:
41
“The Pew researchers note that "while mainstream news sources still the online news and
information gathering by campaign internet users, a of them now get political material from
blogs, comedy sites, government sites, candidate sites or alternative sites." Moreover, the
survey data show younger people are more heavily represented among new media users, ing
that the trend will accelerate”(Gurevitch, 2018).
“Goebbles yang mengemukakan sangat ekstrem. Propaganda pada hakikatnya tidak
memiliki metode yang fundamental, propaganda hanya memiliki tujuan saja yaitu menguasai
massa” (Sumarno, 1989).
Seperti yang dinyatakan oleh Goebbles yakni bahwa pemberitaan propaganda hanya
memiliki tujuan memenangkan hati massa. Seperti yang dilakukan oleh akun-akun penyebar
hate speech dan hoax yakni mereka menginginkan dukungan dari massa dan melakukan
pemberitaan yang provokatif.
“One can argue whether democratic processes or politics should really be as easy and
entertaining as popular culture, but few would disagree with Jenkins in his call for more
deliberative and participatory democracy. However, highlighting the utopian dimensions of
converging media culture discounts those traditions, institutions, structures and practices that
tend to maintain continuities in media culture and politics.”(Herkman, 2012).
Saluran-saluran penyampaian informasi bukan hanya dilakukan melalui akun pribadi atau
grup saja melainkan fasilitas tagar (#) dalam media sosial instagram, facebook, dan twitter pun
menjadi salah satu saluran dalam menyebarluaskan infromasi yang provokatif.
Hate speech dan hoax sedikit banyak mempraktikkan teori komunikasi politik yang mana
melalui media sosial mereka dapat memengaruhi pembaca melalui konten yang disebarkan.
Selain itu, intensitas dan banyaknya akun dalam penyebaran hoax dan hate speech juga sangat
memengaruhi pembaca dalam keberpihakan. Penyebarluasan hoax dan hate speech juga
42
dilakukan dengan cara melegitimasi informasi melalui tokoh-tokoh masyarakat. Sehingga
informasi tersebut bagi pembaca adalah informasi yang benar kenyataannya.
Pola komunikasi dari akun penyebar hoax pada dasarnya dapat diidentifikasi. Karena akun
penyebar hoax selalu memiliki pola penyebarluasan berita yang sama. Pertama, pengenalan
massa. Akun pemberitaan hoax sangat mengenali pengguna media sosial aktif yaitu mayoritas
anak muda atau sekitar 15-60 tahun. Kedua, penyebar pemberitaan hoax dan hate speech selalu
memberikan pemberitaan yang berulang. Sehingga satu topik bisa menjadi beberapa bagian
pemberitaan dengan tujuan mengingatkan kembali kepada masyarakat akan kelemahan
seseorang. Ketiga, legitimasi. Legitimasi bisa menjadi salah satu bukti agar pemberitaan yang
belum tentu kebenarannya dipercaya oleh masyarakat. Legitimasi dapat berupa bukti foto atau
video (Postil, 2018).
Jika melihat pola di atas, maka pola pemberitaan hoax dan hate speech seringkali
mempraktikkan ketiga tahapan di atas. Misalkan Jokowi adalah PKI. Pertama, akun penyebar
hoax dan hate speech mengetahui sejarah Indonesia dan PKI. Sejarah buruk antara Indonesia
dan PKI dimanfaatkan untuk memengaruhi massa Jokowi agar tidak memilih Jokowi. Kedua,
intensitas pemberitaan. Pemberitaan bahwa Jokowi dalah PKI tersebar hampir di seluruh media
sosial dan pemberitaan online. Menurut pernyataan Jokowi yang dikutip oleh cnn.com
menyebutkan sebanyak 9 juta masyarakat terpengaruh bahwa Jokowi adalah PKI. Ketiga,
legitimasi. Gambar di bawah ini merupakan salah satu legitimasi untuk membuat seolah-olah
pemberitaan adalah benar.
43
Gambar 4. Pemberitaan Jokowi, PDIP, dan Ahok adalah PKI
Sumber :voa-islam.com diakses pada 07 Agustus 2019
Gambar 5. Skema pola pemberitaan dan jaringan Hate speech dan hoax melalui media sosial
(instagram, facebook, twitter, dan whatsapp)
Sumber : Ishadi (2014). Media dan Kekuasaan : Televisi di Hari-Hari Terakhir Presiden
Soeharto. Jakarta:PT. Kompas Media Nusantara
Melalui skema di atas terbukti bahwa modal awal penyebaran hate speech dan hoax melalui
jaringan akun-akun penyebar hoax dan hate speech. Selain itu, pembaca yang mulai terbawa
arus terus dibina oleh akun tersebut melalui ruang publik seperti grup dengan tujuan
memperkuat jaringan akun penyebar pemberitaan.
Menjelang Pilpres 2019 yang paling banyak ditimpa hate speech dan hoax adalah pasangan
calon nomor urut 1 yakni Jokowi dan Ma’ruf. Perkembangan dari masa sebelum pencalonan
hingga kampanye, pola hate speech dan hoax beragam tergantung kondisi yang ada. Di bawah
Jaringan akun-akun
dalam media sosial
Intensitas kemunculan pemberitaan
legitimasi pemberitaan oleh tokoh masyarakat atau tokoh
agama
Melakukan pemeliharaan followers
melalui ruang publik
(grup)
Followers membuat jaringan
akun semakin
kuat
44
ini akan digambarkan perkembangan hate speech dan hoax pada saat sebelum pencalonan
hingga masa kampanye.
Gambar 6. Skema pola hate speech dan hoax dari sebelum pencalonan Pilpres 2019 sampai
masa kampanye
Sumber : Ishadi Sk. (2014). Media dan Kekuasaan : Televisi di Hari-Hari Terakhir Presiden
Soeharto. Jakarta:PT. Kompas Media Nusantara
Melalui skema di atas menjelaskan bahwa hate speech sudah terbentuk bahkan sebelum
dibukanya pencalonan Pilpres 2019. Hate speech dan hoax mayoritas mengarah pada Presiden
Jokowi atau bahkan partai yang mengusungnya yakni PDIP. Salah satu tujuan Jokowi menggaet
Ma’ruf Amin adalah meredam hate speech serta hoax yang beredar, terutama jika
mengatasnamakan agama islam. Kyai Ma’ruf Amin juga merupakan salah satu tokoh NU yang
sangat disegani sehingga Jokowi mampu memenangkan hati kelompok Islam.
Namun realitanya tidak demikian. Karena hadirnya Kyai Ma’ruf Amin tidak begitu
berdampak pada hate speech dan hoax. Karena kelompok Islam yang terindikasi dalam
penyebaran hoax dan hate speech merupakan kelompok Islam yang tidak sevisi dengan NU
maupun Muhammadiyah. Selain itu, penyebar hoax dan hate speech bukan hanya dari kalangan
kelompok Islam saja, melainkan kelompok-kelompok yang mengatasnamakan keberpihakan
terhadap rakyat.
Berbicara tentang efektivitas, Nimmo dan Keith dalam buku Surbakto menyatakan sebagai
berikut:
Sebelum pencalonan Presiden :
Jokowi antek PKI
Jokowi tidak sesuai janji kampanye
Masa pencalonan (Jokowi dan Ma'ruf):
Isu hate speech sedikit reda karena sosok Ma'ruf amin
Peralihan isu pada saat Jokowi memilih Ma'ruf Amin:
Peralihan isu dilakukan melalui pemberitaan Nilai tukar dolar meningkat menjadi 15.000. hate speech beralih pada Sri Mulyani selaku mentri keuangan
Masa kampanye:
Peran dari Ma'ruf tidak begitu terlihat dalam mengelola hate speech yang berkedok kelompok islam radikal.
Ma'ruf amin ikut terseret arus hate speech dan hoax.
45
Efektivitas dari persebaran hate speech maupun hoax tergantung dari komunikasi politik
yang dibangun oleh akun-akun tersebut. Menurut Nimmo dan Keith bahwa komunikasi politik
memiliki bahasan yang sangat penting yakni komunikasi persuasif. Karena inti dari komunikasi
politik adalah persuasi atau memengaruhi orang lain melalui teknik komunikasi. Political
communication setting atau penyususnan komunikasi politik juga merupakan sub bahasan yang
dikeluarkan oleh Nimmo dan Keith (Surbakto, 2012).
Efektivitas dari penyebaran hoax dan hate speech dapat terlihat dari seberapa banyak orang
yang terpengaruh. Pemberitaan seringkali menggunakan kalimat persuasif dan bertujuan
memengaruhi. Seperti pernyataan berikut: "Ayah Bimo Putranto (Slamet Suryanto/mantan
Walikota Solo, dan tentu saja Jokowi PKI diketahui 200.000 PKI Jawa Tengah (Solo, Boyolali,
dll).” (“JK Utus Purnawirawan Jenderal Selidiki Hubungan Jokowi Dengan PKI. Hasilnya
Confirmed!”, 2014).
Kalimat di atas merupakan salah satu contoh kalimat persuasif untuk memengaruhi
masyarakat agar tidak memilih Jokowi atau partai PDIP. Salah satu pemberitaan hoax yang
sangat viral yaitu PKI. Pemberitaan PKI tersebar di seluruh media sosial. Setiap masyarakat
yang memiliki media sosial pasti mengetahui pemberitaan bahwa PDIP adalah PKI.
Kenyataannya pemberitaan tersebut merupakan hoax.
SIMPULAN
Hate speech dan hoax merupakan fenomena yang mewarnai Pilpres 2019. Setiap proses
dalam Pilpres 2019 selalu diselimuti oleh ujaran kebencian maupun informasi yang belum tentu
kebenarannya. Setiap proses dari Pilpres 2019 selalu dihadiri oleh hate speech dan hoax.
Sehingga Presiden Jokowi yang memutuskan mencalonkan kembali menjadi Presiden memilih
wakil Kyai Ma’ruf Amin dengan tujuan meredam aksi hate speech dan hoax dari kelompok
Islam. Karena Kyai Ma’ruf merupakan tokoh agama yang dihormati oleh kelompok Islam.
46
Pemberitaan hoax dan hate speech meningkat pesat dari tahun 2018 hingga 2019 menjelang
pemilu presiden 2019. Kementerian Komunikasi dan Informatika menyebutkan sebanyak 453
terjadi pemberitaan hoax dan hate speech melalui media sosial. Hal ini menunjukkan
pentingnya masyarakat mengenali pola pemberitaan hoax dan hate speech agar tidak mudah
terpengaruh dengan pemberitaan yang belum tentu kebenarannya.
Metode yang digunakan adalah kualitatif deskriptif. Data yang digunakan untuk
mengumpulkan informasi terkait dengan hate speech dan hoax adalah menggunakan data
sekunder. Penelitian ini menggunakan studi literatur dan analisis media sosial (facebook,
instagram, whatsapp) dalam teknik pengumpulan data.
Hate speech dan hoax sedikit banyak mempraktikkan teori komunikasi politik dalam
penyebarluasannya. Penyebaran menggunakan jaringan akun-akun yang telah terintegrasi
sehingga memiiki pola pemberitaan yang sama. Selain itu, dilakukan pemberitaan yang intens
serta memiliki legitimasi oleh tokoh agama atau tokoh masyarakat. Sehingga pembaca berpikir
bahwa pemberitaan ini telah diuji kebenarannya oleh tokoh masyarakat tersebut.
Pola komunikasi dari akun penyebar hoax pada dasarnya dapat diidentifikasi. Karena akun
penyebar hoax selalu memiliki pola penyebarluasan berita yang sama. Pertama, pengenalan
massa. Akun pemberitaan hoax sangat mengenali pengguna media sosial aktif yaitu mayoritas
anak muda atau sekitar 15-60 tahun. Kedua, penyebar pemberitaan hoax dan hate speech selalu
memberikan pemberitaan yang berulang. Sehingga satu topik bisa menjadi beberapa bagian
pemberitaan dengan tujuan mengingatkan kembali kepada masyarakat akan kelemahan
seseorang. Ketiga, legitimasi. Legitimasi bisa menjadi salah satu bukti agar pemberitaan yang
belum tentu kebenarannya dipercaya oleh masyarakat. Legitimasi dapat berupa bukti foto atau
video (Postil, 2018).
47
Jika melihat pola di atas, maka pola pemberitaan hoax dan hate speech seringkali
mempraktikkan ketiga tahapan di atas. Misalkan Jokowi adalah PKI. Pertama, akun penyebar
hoax dan hate speech mengetahui sejarah Indonesia dan PKI. Sejarah buruk antara Indonesia
dan PKI dimanfaatkan untuk memengaruhi massa Jokowi agar tidak memilih Jokowi. Kedua,
intensitas pemberitaan. Pemberitaan bahwa Jokowi dalah PKI tersebar hampir di seluruh media
sosial dan pemberitaan online. Menurut pernyataan Jokowi yang dikutip oleh cnn.com
menyebutkan sebanyak 9 juta masyarakat terpengaruh bahwa Jokowi adalah PKI. Ketiga,
legitimasi.
Fenomena hate speech dan hoax semakin marak menjelang Pilpres 2019. Fenomena ini
dapat melunturkan tingkat demokrasi di Negara Indonesia. Media sosial sebagai wadah dalam
penyebaran informasi pun memiliki tingkat fleksibilitas dalam penyebaran informasi. Sehingga
peluang tersebut dimanafaatkan oleh pihak yang tidak bertanggung jawab dalam menyebarkan
pemberitaan palsu.
Mengacu pada fenomena diatas, maka pentingnya dalam penanganan hoax dan hate speech
oleh pihak pemerintah. Selain itu, sebagai masyarakat yang aktif dalam media sosial diharapkan
dapat lebih bijak dalam menggunakan media sosialnya. Selain itu ada beberapa saran dan
rekomendasi bagi pemerintah untuk menanggulangi hoax dan hate speech sejak dini sebagai
berikut:
1. Penguatan hukum UU ITE dan UU Pers. Penguatan hukum ini akan memberikan
keleluasaan bagi pihak yang berwajib dalam menindaklanjuti ujaran kebencian dimedia
sosial.
2. Pendidikan sejak dini konsep multikulturalisme yang membuka kesadaran masyarakat
terkait dengan kebhinekaan suku, ras, dan agama.
48
3. Memberikan program “melek media”. Program ini ditujukan untuk memberikan
pengertian bahwa informasi yang didapatkan melalui media sosial harus diuji
kebenarannya. Selain itu, program ini juga memberikan pemahaman akan konten media
yang bersifat provokasi agar pembaca tidak ikut arus pemberitaan
4. Bagi pembaca, alangkah lebih baiknya jika menguji kebenaran informasi yang
didapatkan melalui media sosial terutama jika akun yang menyebarkan tidak jelas
identitasnya. Sehingga perlu adanya tindak lanjut dari informasi yang didapatkan
5. Bagi penelitian selanjutnya, diharapkan lebih banyak membahas terkait fenomena haox
dan hate speech terutama dalam pemilu. Karena hoax dan hate speech dapat
mengancam demokrasi Indonesia.
DAFTAR REFERENSI
Andriadi, F. (2017). Partisipasi Politik Virtual: Demokrasi Netizen di Indonesia. Jakarta:
RMBOOKS.
Buchari, S. A. (2014). Kebangkitan Etnis Menuju Politik Identitas. Jakarta: Yayasan Pustaka
Obor Indonesia.
Erdianto, K. (2016, November 30). Menkominfo Sebut "Hate Speech" dan Berita "Hoax"
Menurun Jelang 2 Desember. Kompas.com. Diakses dari
https://nasional.kompas.com/read/2016/11/30/13383311/menkominfo.sebut.hate.speech.da
n.berita.hoax.menurun.jelang.2.desember
Firmazah. (2017). Marketing Politik (antara pemahaman dan realitas). Jakarta: Yayasan Obor
Indonesia.
Haryanto, A. T. (2019, Mei 27). Kominfo Blokir 2 Ribuan Akun Medsos Isi Hoax & Konten
Negatif. Detik.com. Diakses dari https://inet.detik.com/cyberlife/d-4566915/kominfo-
blokir-2-ribuan-akun-medsos-isi-hoax--konten-negatif
Haynes, J. (2005). Democracy and Political Change in The Third World. Routledge
Heryanto, G. G. (2018). Media Komunikasi Politik: Relasi Kuasa Media di Panggung Politik.
Yogyakarta: IRCiSoD.
Ishadi, SK. (2014). Media dan Kekuasaan : Televisi di Hari-Hari Terakhir Presiden Soeharto.
Jakarta: PT. Kompas Media Nusantara.
49
JK Utus Purnawirawan Jenderal Selidiki Hubungan Jokowi Dengan PKI. Hasilnya Confirmed!,
(2014, Juli 12). Voa-islam.com. Diakses dari http://www.voa-islam.com/read/citizens-
jurnalism/2014/07/08/31466/jk-utus-purnawirawan-jenderal-selidiki-hubungan-jokowi-
dengan-pki-hasilnya-confirmed/#sthash.uNEHp3XP.dpbs
Postill, J. (2018). Populism and social media: a global perspective. Media, Culture & Society,
40(5), 754-765. Diakses dari https://doi.org/10.1177/0163443718772186
Simarmata, S. (2014). Media & Politik: Sikap Pers terhadap Pemerintahan Koalisi di
Indonesia. Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia.
Subiakto, H. dkk. (2014). Komunikasi Politik, Media dan Demokrasi. Jakarta: Prenada Media
Group.
Suharko. (2005). Merajut Demokrasi: Hubungan NGO, Pemerintah, dan Pengembangan Tata
Pemerintah Demokratis. Yogyakarta: Tiara Wacana
Wadani. A. (2019, Mei 28), Basmi Peredaran Hoaks, Kemkominfo Tutup 61.000 Akun
WhatsApp. Liputan6.com. Diakses dari
https://www.liputan6.com/tekno/read/3977770/basmi-peredaran-hoaks-kemkominfo-tutup-
61000-akun-whatsapp
Yuliani. A. (2017, Desember 13). Ada 800.000 Situs Penyebar Hoax di Indonesia. Diakses dari
https://kominfo.go.id/content/detail/12008/ada-800000-situs-penyebar-hoax-di-
indonesia/0/sorotan_media