e d i t o r k o n s u l t a n e d i t o r - literatur saat

20
E D I T O R K O N S U L T A N E D I T O R

Upload: others

Post on 24-Oct-2021

1 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: E D I T O R K O N S U L T A N E D I T O R - Literatur Saat

E D I T O R

K O N S U L T A N E D I T O R

Page 2: E D I T O R K O N S U L T A N E D I T O R - Literatur Saat

New Dictionary of Theology–jilid 3 / editor, Sinclair B. Ferguson, David F. Wright, J.I. Packer ; alih bahasa, Rahmiati Tanudjaja, Andreas Hauw, Andreas Kho, Ina E. Gani––Malang : Literatur SAAT, 2015

360 hal.; 22 cm.

Judul asli: New Dictionary of Theology

ISBN 978-602-7788-22-0

NEW DICTIONARY OF THEOLOGY––JILID 3Editor: Sinclair B. Ferguson, David F. Wright, J. I. Packer

Diterbitkan oleh

LITERATUR SAATJalan Anggrek Merpati 12, Malang 65141Telp. (0341) 490750, Fax. (0341) 494129website: www.literatursaat.org

Originally published by Inter-Varsity Press as New Dictionary of Theology. All rights reserved © 1988 by Universities and Collages Christian Fellowship, Leicester, England. Translated and printed by permission of Inter-Varsity Press, 38 De Montfort Street, Leicester, Le1 7GP, United Kingdom.

Editor : Sinclair B. Ferguson, David F. Wright, J. I. PackerAlih Bahasa : Rahmiati Tanudjaja, Andreas Hauw,

Andreas Kho, Ina E. GaniPenyunting : Rahmiati TanudjajaPenata Letak : Yusak P. PalulunganGambar Sampul : Yusak P. Palulungan

Edisi terjemahan telah mendapat izin dari penerbit buku asli.Cetakan Pertama : 2015

Dilarang mereproduksi sebagian atau seluruh isi buku ini tanpa izin tertulis dari Penerbit.

Page 3: E D I T O R K O N S U L T A N E D I T O R - Literatur Saat

Daftar Isi

Prakata vBagaimana Menggunakan Kamus Ini viiSingkatan-singkatan ixDaftar Para Kontribusi xiiiArtikel Kamus P 1Artikel Kamus Q 91Artikel Kamus R 93Artikel Kamus S 160Artikel Kamus T 254Artikel Kamus U 287Artikel Kamus V 295Artikel Kamus W 308Artikel Kamus Y 334Artikel Kamus Z 334

Page 4: E D I T O R K O N S U L T A N E D I T O R - Literatur Saat

1

Palley

PPAEDOBAPTISM, lihat BAPTISM

PALEY, WILLIAM (1743-1805) diingatterutama karena menggunakan analogi

jam dan pembuat jam sebagai pembelaanterhadap keberadaan Allah. Paley belajar diChrist College, Cambridge, di kemudian haridia terpilih menjadi seorang anggota perkum-pulan dari akademinya. Pada tahun 1775,dia meninggalkan bidang akademis dan men-jadi rohaniwan pada keuskupan Carlisle.Pada masa di mana universitas-universitassedang berada dalam kondisi yang kurangmenguntungkan, Paley justru menjadi seo-rang guru yang berbakat dan teliti, yangkuliah-kuliahnya sangat populer.

Teologi Paley berakar pada tradisi latitu-dinarianisme,* dan dia menulis sejumlahkarya apologetika melawan sikap skeptis yangberakar pada deisme* pada awal abad XVIII.Dia bukan seorang pemikir yang mandiri dankreatif, tetapi dikenal sebagai penulis yangbaik dan tulisan-tulisannya lebih bersifatbuku pegangan daripada sebuah tulisan siste-matika yang belum pernah ditulis sebelum-nya. Karya besar teologinya adalah A Viewof the Evidences of Christianity (1794), Natu-ral Theology, atau Evidence of the Existenceand Attributes of the Deity Collected from theAppearances of Nature (1802) dan Principlesof Moral and Political Philosophy (1785).Karyanya yang terakhir ini adalah pernyataanpaling jelas mengenai moral utilitarianisme,yang dikemukakan oleh para imam latitu-dinarian pada abad XVII, yang ketika itusedang menghadapi banyak argumen dariJeremy Bentham (1748-1832). Tidak sepertiBentham, Paley percaya akan adanya sanksisupranatural sebagai suatu pendorong bagiperilaku moral. Paley memahami kebajikansebagai ‘melakukan yang baik untuk umatmanusia dalam ketaatan kepada kehendakAllah dan demi kebahagiaan yang abadi.’

Paley menolak sikap skeptisisme, namunpandangan teologinya memperlihatkan adacampuran dengan unitarianisme.* Pada awalkarirnya sebagai dosen di universitas, diaberpandangan bahwa berlangganan Thirty-nine Articles of the Church of England hanyadapat ditafsirkan sebagai sebuah perbuatan‘perdamaian,’ karena di dalam tulisan-tulisanitu dia memperkirakan, ‘ada 240 gagasanberbeda, banyak di antaranya tidak konsistendengan yang lainnya.’ Atas dasar ini, diamengikuti pernyataan iman itu walaupundengan penafsiran konservatif mengenai haltersebut. Pandangannya tentang inkarnasitidak selaras dengan pemahaman orangKristen. Namun, Paley sesungguhnya tulusdalam keyakinannya karena ajaran yang diaterima ditampilkannya dengan logis.

Analogi pembuat jam yang muncul dalamkaryanya Natural Theology adalah sebuahargumen klasik (argumen teleologi) bagikeberadaan Allah (lih. Natural Theology*).Paley memulainya dengan membandingkanreaksi yang mungkin terjadi di area terbuka,yang kosong, saat seseorang menemukansebuah batu dan sebuah jam. Secara logis,seseorang akan berpikir bahwa batu tersebutmemang selalu ada di tempat itu, tetapi tidakseorang pun akan berpikir demikian untuksebuah jam. Jam-jam adalah bukti nyata dariadanya suatu tujuan dan desain. Singkatnya,jam-jam itu adalah saksi bisu mengenai kebe-radaan si pembuat, dan ini adalah kesim-pulan dari setiap orang yang menggunakanakal budi dalam penemuan itu. Kesimpulanini tetap absah walaupun si penemu tidak per-nah melihat bagaimana jam itu dibuat, ataupun karena jam tersebut ternyata tidak akurat,atau ada bagian-bagiannya yang tidak diketa-hui fungsinya. Keberadaan jam tersebut tidakdapat dijelaskan secara memuaskan berdasar-kan hukum kebetulan atau hukum penyebabyang non-pribadi. Oleh karena jam itumenyatakan fakta adanya perancang jam.Paley menyimpulkan, ‘Setiap indikasi darialat, setiap manifestasi dari rancangan, yangada di jam itu, ada pula dalam karya alam . . .,’maka kesimpulan bahwa alam juga ada pen-ciptanya tidak dapat ditolak.

Page 5: E D I T O R K O N S U L T A N E D I T O R - Literatur Saat

2

Panentheism

Ini adalah salah satu contoh ironi dalamsejarah, dan sebuah contoh dari kesenjangan,yang sering kali muncul dalam diskusi-diskusipara teolog dan filsuf, karena 23 tahunsebelum karya Paley dipublikasikan, NaturalTheology, David Hume* sudah menerbit-kan kritik klasiknya mengenai argumentasidesain dalam karyanya, Dialogues Concern-ing Natural Religion.

BibliografiM. L. Clarke, Paley: Evidence for the Man

(Toronto, 1974); D. L. LeMahieu, The Mindof William Paley (Lincoln, NE, 1976).

D.D.S.

PANENTHEISM (PANENTEISME) ada-lah pandangan bahwa alam semesta

adalah Allah, walaupun Allah lebih besar darialam semesta. Panenteisme harus dibedakandengan jelas dari panteisme,* yang mengang-gap Allah dan alam semesta benar-benaridentik. Bagi penganut panenteisme, Allahmempunyai identitas-Nya sendiri, Dia adalahsesuatu yang bukan alam semesta. Di lainpihak, alam semesta adalah bagian dari rea-litas Allah. Itulah Allah.

Istilah ini pertama kali digunakan olehteologi proses* kontemporer, namun jugatelah digunakan oleh berbagai teori yangada sebelumnya. Plotinus (c. 205-70; lih.Platonism*) yang memengaruhi teologi awalabad pertengahan, berpandangan bahwa duniaadalah emanasi Allah. Dunia itu luapan kebe-radaan-Nya yang kreatif. Allah mencipta-kan dunia dari diri-Nya sendiri, bukan darisesuatu yang tidak ada.

Beberapa penganut idealisme,* GeorgeBerkeley* misalnya, menyatakan bahwa duniaini mempunyai realitas hanya sebagai sebuahgagasan yang ada dalam benak Allah. Realitassesungguhnya dari alam semesta di dalamkeberadaannya merupakan isi dari ide-ideAllah, dan oleh karena itu alam semesta ada-lah Allah sendiri. Walaupun pandangannyasangat berbeda dari pandangan Plotinus,namun ia melihat bahwa Allah mempunyairealitas-Nya sendiri dan alam semesta ini riilhanya sebagai Allah.

Alfred North Whitehead dan CharlesHarthshorne masing-masing mengembang-kan versi yang sedikit berbeda mengenaipanenteisme yang telah menjadi dasar filo-sofis dari teologi proses.* Bagi Whitehead,pandangan ini adalah hasil dari pandanganumumnya tentang hubungan sebab-akibat,dan digabungkan dengan desakan pandanganbahwa Allah bukanlah sebuah pengecualianterhadap prinsip-prinsip dasar realitas, malahharus menjadi contoh utamanya. Whiteheadberpandangan bahwa realitas terdiri dari ber-bagai rangkaian peristiwa, bukan objek.

Karena hanya entitas aktual yang dapatmenjadi penyebab, dan karena setiap peris-tiwa yang mendahului adalah peristiwa masalalu, dan tidak nyata sekarang, maka peris-tiwa-peristiwa tersebut harus menentukandirinya sendiri. Dan karena sesuatu harusmenciptakan kemungkinan masing-masingperistiwa, maka bagi Whitehead, sesuatu itupastilah Allah. Hubungan sebab akibat, ter-masuk di dalamnya hal mengetahui, adalahhubungan-hubungan yang nyata. Merekaadalah peristiwa-peristiwa, karena Allah yangmenciptakan dan mengetahui tiap-tiap peris-tiwa tidak dapat dipisahkan dari peristiwa-peristiwa itu. Peristiwa-peristiwa itu adalahpengalaman-Nya, dan Dia adalah subjek darisemua peristiwa itu.

Charles Harthshorne memberikan suatupandangan yang lebih detail mengenaiAllah. Terutama dalam tulisan-tulisan awal-nya, dia mulai dengan argumentasi menge-nai sebuah konsep baru tentang kesempur-naan. Jika Allah berkaitan dengan semuabagian peristiwa, maka Dia tidak bisa menjadisempurna dalam artian menjadi keberadaanyang tidak dipengaruhi oleh keterbatasan-keterbatasan alam semesta. Jadi kesempur-naan Allah itu bersifat relatif. Allah adalahsemua yang Dia bisa, karena Dia merasakandan menopang semua yang ada. Maka secaratetap, termasuk peristiwa-peristiwa baru,Allah ada di dalam perubahan abadi yangbaru dan lebih kompleks. Allah bertumbuhdalam sebuah kreativitas yang berkembangsebagaimana Dia mengalami alam semestayang Dia sendiri termasuk di dalamnya.

Page 6: E D I T O R K O N S U L T A N E D I T O R - Literatur Saat

3

Pannenberg

Hartshorne dan para pengikutnya seringmembandingkan relasi Allah dengan alamsemesta dengan relasi seseorang terhadaptubuhnya. Saya bergantung pada tubuh sayasebagai sumber pengalaman saya, tetapisaya juga lebih penting dari tubuh. Denganbegitu, ketika Allah bergantung pada tubuh-Nya, yaitu alam semesta, Dia juga lebih pen-ting dari alam semesta yaitu sebuah pikiranyang memahami akan segala kemungkinan-kemungkinan bagi peristiwa masa depan.

BibliografiD. Brown, R. James, G. Reeves (eds.),

Process Philosophy and Christian Thought(Indianapolis, 1971); C. Hartshorne, Omni-potence and other Theological Mistakes (NewYork, 1984); L. Ford, The Lure of God (Phila-delphia, 1978); A. N. Whitehead, Religionin the Making (London, 1926).

W.D.B.

PANNENBERG, WOLFHART (lahir1928) adalah seorang Lutheran Jerman

yang dilahirkan di Stettin. Pannenberg bela-jar filsafat dan teologi pertama di Göttingen(1948) di bawah bimbingan Nicolai Hart-mann (1882-1950), kemudian di Basel (1950)di bawah bimbingan K. Jaspers (1883-1969)dan Karl Barth.* Selanjutnya dia belajar diHeidelberg (1951-1958) dan memperolehgelar doktornya di bawah bimbingan EdmundSchlink (1903-1984). Dua orang sarjanapasca-Bultmannian yang secara khusus meme-ngaruhinya ialah Günther Bronkamm (lahir1905) dengan ‘penelitian baru’ mengenaiYesus sejarah* dan Hans Von Campenhausen(lahir 1903) lewat pidato rektoratnya padatahun 1947 dengan judul, Augustine and theFall of Rome. Pannenberg membantu paramahasiswa pasca sarjana membentuk ‘timkerja’ dan bersama mereka ia mulai mencarisebuah penafsiran teologis yang khas ataukonsep mengenai sejarah.* Sejak tahun 1958dia diangkat untuk menduduki posisi pentingdalam bidang teologi sistematika di Wup-pertal dan Mainz (1960).

Berkenaan dengan wahyu,* Pannenbergberpendapat bahwa rumusan teologi harusmelebihi rumusan Barth yaitu ‘Firman telahmenjadi daging.’ Kita harus menambahkan-nya dengan ‘menjadi manusia dan dagingdalam sejarah.’ Bila tidak, penyataan diriAllah tetap berisiko dianggap sebagai mitos*atau Gnostisisme.* Dalam konteks sejarahyang universal, teologi harus mencari apayang dikemukakan Hegel* mengenai gerakanhistoris dan kesatuan yang utuh dari kebe-naran Firman Tuhan yang telah dinyatakan.Hal ini berarti mengambil bentuk teologiyang seharusnya, namun itu hanya terjadiketika teologi menekankan tujuan eskato-logi* yang menarik semua sejarah ke hadapanAllah. Inilah yang disebut Pannenberg seba-gai ‘prioritas ontologis dari masa depan.’Atau, bila menyangkut tentang Kristus,Kristus merepresentasikan wujud kedatanganAllah yang paling lengkap (walau sementaraatau bersifat masa depan/antisipasi).

Panneberg meyakini bahwa kristologi*paling baik didekati melalui drama sejarahdari pesan dan tujuan akhir Yesus.* Inilahyang dimaksudkannya dengan ‘sebuah kris-tologi “dari bawah,” yang muncul dari manu-sia Yesus yang historis kepada pengakuankeilahian-Nya’ (Jesus–God and Man, h. 33).Pannenberg bersikeras bahwa di balik pro-klamasi para rasul mengenai Yesus sejarah,bukan hanya dimungkinkan tetapi memangkeharusan. Dia menolak pendekatan kristo-logi melalui proklamasi gereja pasca-Paskah,yang telah menjadi ukuran praktis sejakMartin Kahler (1835-1912). Dia juga meno-lak gagasan modern mengenai kerangkaapokaliptik* dari pengajaran Yesus, yangbaginya adalah sebuah penghinaan. Peng-ajaran, kematian dan kebangkitan Yesusdianggapnya sebagai antisipasi dari akhirsejarah dan kehidupan yang akan datang.Pernyataan pra-Paskah yang dikatakan Yesus,yang berpusat pada kesatuan pribadi-Nyadengan Allah, telah diteguhkan oleh Allahketika Dia membangkitkan Yesus dari kema-tian. Jadi bagi Pannenberg, kebangkitanlahyang mengembalikan secara penuh posisiYesus sebagai Anak dan Mesias yang Ilahi,

Page 7: E D I T O R K O N S U L T A N E D I T O R - Literatur Saat

4

dengan demikian sifat kebangkitan menya-takan ‘kuasa yang berlaku surut’ yaitu kepadaYesus yang masih ada di bumi.

Metode teologis Pannenberg mewakiliayunan pendulum yang menjauhi tradisiBarth-Bultmann dan kembali kepada sejarahdan akal budi. Pannenberg juga berbicaratentang sifat ‘kesejarahan’ dari hal menge-tahui. Iman* dan pengetahuan (bdk. Episte-mology*) berakar pada sejarah mereka sen-diri. Sejarah Alkitab dipahami sebagai ‘peris-tiwa yang tertunda di antara janji dan peme-nuhannya.’ Namun, karena di dalam PL iatidak melihat adanya hubungan antara peris-tiwa dan penafsiran atau fakta sejarah danartinya, maka Pannenberg berpendapat bahwaada sebuah prinsip dasar hermeneutika yangbekerja dalam Kitab suci di mana tradisiIsrael* yang telah diterima dan direvisi terus-menerus berdasarkan pengalaman dan eks-pektasi baru bagi masa depan. Oleh sebabitu, bagi Pannenberg hermeneutika* dansejarah kritis sesungguhnya adalah satu ilmupengetahuan. Yang dia tuntut adalah ketikamenilai pernyataan kebenaran alkitabiah,sejarah kritis harus menggunakan bahasa darianalogi* historis secara adil dan tidak men-cegah hal yang Ilahi memasuki sejarah.

Dalam terminologi apologetik, Pannen-berg berpandangan bahwa tidak ada pem-belaan iman subjektif yang murni (lih. Apo-logetics*). Teologi dapat dan harus memper-tahankan pengakuan yang objektif mengenaikebenaran di hadapan kungkungan penalaranyang kritis. Namun sebenarnya, apabila kitatelah mempelajari dengan benar usaha daripenulis-penulis bapa gereja dalam memper-tahankan iman (lih. Apologists*), maka teo-logi modern dapat menghadapi kebangkitanateisme intelektual yang diikuti oleh kebang-kitan Pencerahan dengan lebih berani.*Tetapi kegagalan untuk mempertahankaniman, misalnya tentang keberadaan Allahsebagai presuposisi yang harus ada bagi semuakebenaran dan semua kebebasan serta kewi-bawaan manusia, telah membuat teologi abadXIX meninggalkan seluruh ide tentangAllah. Teologi secara progresif menjadi ber-pusat pada manusia, di mana ide tentang

kebenaran menjadi hanya sekadar suatukreativitas di antara manusia. Jelas dalampemikiran Pannenberg, terbentang kemung-kinan-kemungkinan yang menarik untukmengembangkan sebuah program apolo-getika yang baru.

BibliografiKarya-karyanya: Anthropology in Theo-

logical Perspective, tr. M. J. O’Connell(Edinburgh, 1985) daftar karya-karya dariPannenberg; The Apotles’ Creed (London,1972); Basic Questions in Theology, vols. I-III (London, 1970-1973); Christian Spiritu-ality (Philadelphia, 1983); The Church (Phi-ladelphia, 1983); Ethics (Philadelphia danLondon, 1981); Faith and Reality (Londondan Philadelphia, 1977); Human Nature,Election and History (Philadelphia, 1977);The Idea of God and Human Freedom (Phila-delphia, 1973); Jesus–God and Man (Phila-delphia, 1982); Revelation as History, ed.Pannenberg et al. (London, 1969); Spirit,Faith and Church (Philadelphia, 1971); Theo-logy and the Kingdom of God (Philadelphia,1971); Theology and the Philosophy of Sci-ence (London, 1976); What is Man? (Phila-delphia, 1970).

Studi-studi: P. J. A. Cook, ‘Pannenberg: Apost-Enlightenment Theologian,’ Churchman90 (1976) h. 245-264; A. D. Galloway,Wolfhart Pannenberg (London, 1973); B. O.MacDermott, The Personal Unity of Jesus andGod according to Wolfhart Pannenberg (StOttilien, West Germany, 1973); D. Mc-Kenzie, Wolfhart Pannenberg and ReligiousPhilosophy (Lanham, MD, 1983); H. Neie,The Doctrine of Atonement in the Theologyof Wolfhart Pannenberg (Berlin, 1979); J. M.Robinson dan J. B. Cobb, Jr. (eds.), Theologyas History (New York dan London, 1967);dengan karya utama oleh Pannenberg; E. F.Tupper, The Theology of Wolfhart Pannen-berg (Philadelphia, 1973).

P.J.A.C.

PANTHEISM (PANTEISME). Istilah pan-teisme berasal dari bahasa Yunani pan

(semua) dan theos (Allah). Secara literal,

Pantheism

Page 8: E D I T O R K O N S U L T A N E D I T O R - Literatur Saat

5

panteisme berarti ‘semua adalah Allah.’Panteisme metafisis khususnya, memiliki duapandangan mengenai realitas yaitu kesatuandari semua kenyataan dan keilahian kesatuantersebut. Panteisme paralel dengan natural-isme pada poin pertama di atas (kesatuan darisemua kenyataan), bahwa keduanya menya-takan satu kenyataan saja. Namun juga ber-lawanan dengan naturalisme, karena menya-takan kenyataan itu sebagai kenyataan Ilahi.Panteisme mirip dengan teisme pada poinkedua (keilahian kesatuan), karena kedua-nya mengakui bahwa dunia bergantung padaAllah. Tetapi berbeda dengan teisme, pante-isme tidak berpandangan bahwa keberadaandunia terpisah dari Allah.

Panteisme sering mengajarkan bahwahal-hal yang bertolak belakang secara logikaada di dalam keberadaan Ilahi. Pasangan-pasangan konsep seperti kebaikan/kejahatan,pribadi/non-pribadi, A/non-A, tidak dapatdipisahkan dalam keberadaan Allah. Fungsi-fungsi ini hanya ada pada tingkat pemikiranlogis. Pada tingkat tertinggi dari kenyataan,perbedaan-perbedaan konsep terpecah karenaperbedaan-perbedaan itu diperlakukan seba-gai yang terpisah dari yang sebenarnya tidakterpisah. Karena bahasa bergantung padalogika, maka para penganut panteisme biasa-nya menyatakan Allah* tak dapat dilukiskanatau tidak dapat digambarkan.

Secara epistemologis,* cara penganut panteisme untuk mengetahui cocok dengan dua kategori umum. Para penganut pante-isme yang religius sering kali mistis.* Mistis-isme mengajarkan persekutuan dengan Allah yang melewati batas pikiran. Melalui prak-tik-praktik asketisme* atau meditasi, orang-orang yang melakukan praktik mistik meya-kini pengalaman langsung dengan Allah, lewat suara hati, dan/atau lewat hal-hal yang tak terlukiskan. Para penganut panteisme filosofis sering memakai rasionalisme, yaitu metode akal budi yang tercampur oleh data indera dalam memahami Allah. Tokoh-tokoh dari kelompok ini adalah Benedict Spinoza* dan Georg W. F. Hegel.*

Panteisme religius muncul dalam limaagama utama di dunia. Yang paling menonjoladalah agama-agama besar yang berasal dariIndia seperti Hindu* dan Budha* Mahayana(‘aliran utama dari Budhisme yang meng-ajarkan bahwa keselamatan pribadi diper-oleh dari usaha sendiri’). Panteisme ini meng-asumsikan kitab Hindu kuno, Upanishads,sebagai titik tolak. Pendukung modern daripanteisme ini adalah Hindu Sarvepalli Radha-krishnan (1888-1975), dan Buddha Zen D.T. Suzuki (1870-1966). Akan tetapi, penga-nut panteisme juga dapat ditemukan di antaraagama-agama ketuhanan (teisme) sepertiYudaisme, kekristenan, dan Islam. Dalamkekristenan, para mistikus itu adalah JohnScotus Eriugena,* Meister Eckhart (c. 1260-1327), dan Jacob Boehme* setidaknya ber-batasan dengan panteisme karena pengaruhmistik Neoplatonik, yaitu Plotinus (c. 205-70; lihat Platonism*).

Namun, para penganut teisme ini umum-nya menentang simbol panteisme. Merekasering berpendapat bahwa panteisme meng-hancurkan kepribadian dan kebaikan Allah,karena panteisme menyatakan bahwa Allahmelampaui konsep-konsep yang berten-tangan seperti pribadi/non pribadi dan keba-ikan/kejahatan. Para penganut teisme ini jugamengkritik panteisme karena secara tidaklangsung menyatakan bahwa kehidupan didunia ini, termasuk etika, tidak terlalu pen-ting. Orang kristen yang mendasarkankepercayaannya pada Alkitab tidak dapatmenerima panteisme, karena mengaburkanperbedaan antara sang pencipta* dengan cip-taan-Nya.

Para filsuf yang melawan panteismemengemukakan beberapa pertanyaan. Apa-kah bukti empiris yang dapat diperhitung-kan untuk penegasan kesatuan dalam pan-teisme? Lebih lanjut, alasan apa yang dapatdiberikan untuk menyebutnya sebagai kesa-tuan yang Ilahi?

BibliografiTeks-teks: Jacob Boehme, Works, ed. C.

J. Barber (London, 1909); G. W. F. Hegel,Lectures on Philosophy of Religion, tr. E. B.

Pantheism

Page 9: E D I T O R K O N S U L T A N E D I T O R - Literatur Saat

6

Speirs dan J. B. Sanderson, 3 vol. (London,1962); Meister Eckhart, Meister Eckhart:The Essential Sermons, Commentaries, Trea-tises, and Defense, tr. E. Colledge dan B.McGinn (New York, 1981); S. Radhakrish-nan, Indian Philosophy, 2 vol. (London,1929); B. Spinoza, The Chief Works, tr. R.H. M. Elwes, 2 vol. (New York, 1951).

Karya-karya: N. Geisler, Christian Apo-logetics (Grand Rapids, MI, 1976); C. Hodge,Systematic Theology (1872-3, repr. GrandRapids, MI, 1981); H. P. Owen, Conceptsof Deity (New York, 1971); D. T. Suzuki,Essays in Zen Buddhism, 3 vol. (New York,1949).

D.K.C.

PAPACY (KEPAUSAN). Konstitusi VatikanII tentang Gereja mendeklarasikan, ‘Kepa-

usan di Roma, sebagai penerus Petrus, meru-pakan sumber yang bisa dilihat, berkesinam-bungan dan dasar dari kesatuan para uskupdan kumpulan besar orang beriman’ (LumenGentium, 23). Kepausan (bahasa Inggris:papacy berasal dari bahasa Latin/Yunani, papa(s) yang berarti ‘bapa’) bertujuan untuk men-jalankan pelayanan yang terpadu di dalamgereja dengan memelihara pesan kerasulandan misinya serta kekatolikannya, atau sifatuniversal dan identitas. Perkembangan eku-menis saat ini telah memberikan perhatianpada peran-peran yang memungkinkan untukpelayanan seperti itu.

Dalam gereja mula-mula, bergabungdengan organisasi tertentu seperti Alexan-dria* dan Antiokhia* memang dirasa perluuntuk memberikan uskup-uskup merekawewenang yang khusus. Faktor yang menen-tukan adalah partisipasi mereka dalam misidan kesaksian apostolik. Inilah yang terjadidi Roma, di mana rasul Petrus dan Paulusdikatakan telah menjadi martir. Kedua rasulinilah yang secara bersama-sama membawamisi bagi orang-orang Yahudi dan non-Yahudi.Kesaksian mereka ditandai dengan mahkotameterai yang mulia yaitu mati secara martir.Iranaeus* mengatakan bahwa gereja Roma‘memiliki kuasa yang besar sejak awal,’ aki-batnya gereja-gereja lain perlu menyetujuinya

(Against Heresies III.3.3). Hal ini memberi-kan dorongan yang signifikan untuk pene-rimaan surat dari Paus Leo I* mengenaikristologi pada Konsili Chalcedon tahun451. Jelas juga bahwa kepentingan politikkota Roma juga bergantung pada prestiseuskupnya.

Pengakuan terhadap keuskupan Roma didasarkan pada teks-teks yang berkaitan dengan Petrus (Mat. 16:18, 19; Luk. 22:31, 32; Yoh. 21:15-17), tradisi ini dimulai pada abad III. Tertullianus menerapkan perka-taan ‘Engkau adalah Petrus’ untuk merujuk pada keutamaan Roma. Beberapa pemimpin gereja berikutnya, termasuk di dalamnya Agustinus,* jauh lebih berhati-hati dengan lebih memilih menggunakan teks Lukas, ‘Kuatkan saudara-saudaramu.’ Analogi peran Petrus di antara para rasul dan pembantunya, atau penggantinya, dipakai sebagai gambaran kepemilikan Roma atas para uskup yang lain. Sejatinya, jabatan Petrus ini dipandang seba-gai sebuah pelayanan,* bukan dominasi. Jelas bahwa komunitas gereja kristen mula-mula melihat Petrus sebagai yang pertama di antara yang dua belas. Dia adalah yang pertama dipanggil oleh Yesus (Mat. 4:18, 19), pertama di antara para rasul (Mat. 10:2), yang pertama mengakui Yesus sebagai Mesias (Mat. 16:16), rasul pertama yang melihat Tuhan yang bang-kit (1Kor. 15:5) dan yang pertama menga-barkan kabar baik (Kis. 2:14). Namun Petrus juga kadang bersalah dan perlu ditegur (Gal. 2:11). Juga ada sebuah jarak terbentang antara pengakuan akan pentingnya peran Petrus dan pernyataan kalau para uskup Roma adalah para penerusnya. Teologi Katolik masa kini cenderung mengurangi tuntutan-tuntutan pernyataan dari teks Petrus diban-ding pada masa lalu, sambil terus menekan-kan pentingnya jabatan Petrus.

Sejak abad-abad permulaan, sejarah peme-rintahan gereja katolik bertumbuh menjadipernyataan kuasa politik dan rohani. Pernak-pernik kekuasaan kekaisaran secara bertahapdicampuri oleh para uskup di ibu kota. Kete-gangan bertambah besar antara kesetiaankepada penguasa awam dan kepada PausRoma. Gregory VII (1073-1085) memenang-

Papacy

Page 10: E D I T O R K O N S U L T A N E D I T O R - Literatur Saat

7

kan perebutan ini demi kuasa gereja untukmenentukan posisi-posisi tanggung jawabtanpa campur tangan kaum awam. Semuaini berpuncak pada perendahan yang terjadiketika penguasa Jerman Henry IV muncul diCanossa (1077). Gregory VII bahkan menya-takan kekuasaan penuh secara sipil dalamdunia kekristenan Barat. Konflik ini berke-lanjutan. Boniface VIII (1294-1303), padatahun 1300 mengiaskan kekuasaan sipil danspiritualnya dengan menyuruh untuk mem-bawa dua pedang di depannya. Pernyataanresminya yaitu Unam Sanctam (1302) tidakhanya menyatakan bahwa keselamatan ataupengampunan tidak ada di luar gereja yangsatu, tetapi gereja ini juga adalah GerejaRoma di bawah kepemimpinan Petrus danpara penerusnya. Gereja Yunani di Timur,yang darinya gereja Barat memisahkan diripada abad XI, secara jelas disisihkan. Semuaini adalah tangisan lama gereja Roma dariabad-abad permulaan sampai kewenanganPaus ini digantikan oleh negara-negara yangberhubungan dengan kepausan pada abad keXIX, sehingga politisasi takhta Roma mulaiberbalik. Konsep kewenangan sipil mulaidiubah secara drastis.

Kewenangan rohani para uskup Romamenjadi sumber utama dari perselisihandalam perdebatan konsili pada abad XV. Padasaat ada perpecahan pendapat pada satu ataudua Paus, maka dewan bersama menjadi jalanpemecahan terakhir. Bukankah Honorius Idikutuk secara formal sebagai bidat pada Kon-sili Constantinople pada tahun 681? Namun,Konsili Florence (1438-1445) mengesahkankuasa Paus atas para dewan konsili,* berla-wanan dengan keputusan Konsili Constanceyang terjadi 30 tahun sebelumnya.

Situasi yang tidak nyaman ini terutamatampak di Perancis, di mana semangat man-diri sudah ada sejak abad XIII. Gallican-isme (semangat idealisme Perancis), seba-gaimana yang dinyatakan dalam isi dok-trinnya, menuntut kemandirian GerejaKatolik di Perancis dari otoritas ekklesias-tikal kepausan. Gallican Articles (1682)memastikan kembali kekuasaan dewan ataspara Paus, sehingga menegakkan kembali

keputusan Konsili Constance. Mereka jugamempertahankan pendapat bahwa keputusanPaus tetap dapat diperbarui hingga keputusanitu diteguhkan oleh konsili umum. Banyakorang Perancis menjadi pendukung Jansen-isme, sebuah gerakan Katolik-Perancis denganbeberapa gaung Protestan (lih. Augustinian-ism*), menuntut diadakan konsili ketikapernyataan resmi kepausan yaitu Unigenitus(1713) mengecam apa yang mereka yakini.Pernyataan-pernyataan di atas juga menolakpendapat-pendapat Paus, bahwa Paus memi-liki kekuasaan atas para pemimpin sipil dandia mempertimbangkan kekuasaan-kekua-saan karena mau setia kepada pendapat-pen-dapatnya.

Gerakan-gerakan seperti Gallicanismemenimbulkan reaksi yang semakin besar,yang disebut Ultramontanisme. Adanya pra-sangka bahwa gerakan-gerakan di atas inginmemecah belah kesatuan kelompok denganperilaku-perilaku bidat mereka, telah menye-babkan banyak orang berharap untuk sema-kin memberikan otoritas dalam sistem yangterpusat pada kepausan. Perkembangan-perkembangan liberal dan anti-Kristen setelahRevolusi Perancis tahun 1789 menjadimengemuka pada abad XIX. Klimaks dariUltramontanisme adalah pernyataan menge-nai ketidakbersalahan Paus pada KonsiliVatikan I* tahun 1870. Paus Pius IX (1846-1878) memperlihatkan kewenangan seorangPaus untuk pertama kalinya sebagai sebuahgambaran pribadi atau gambar yang dapatdidekati, yang sekarang begitu terkenal.Namun ada perpecahan yang pahit dalamKonsili karena penonjolan wewenang Pausini.

Dalam Vatikan I menyatakan bahwa Pausberbicara tanpa salah dalam hal-hal yangberkaitan dengan iman dan moral ketikamenyampaikan ex cathedra kepada seluruhgereja. Sejumlah besar usaha-usaha penye-lamatan telah ditulis, yang membuat tidakmungkin untuk memberikan kritik ataspendapat yang telah dibuat pada masa lalu,di mana pernyataan-pernyataan Paus dimak-sudkan sebagai yang tidak mengandung kesa-lahan. Satu-satunya pernyataan yang dike-

Papacy

Page 11: E D I T O R K O N S U L T A N E D I T O R - Literatur Saat

8

tahui memenuhi prasyarat-prasyarat ituadalah ajaran mengenai konsepsi anak daraMaria yang tak berdosa (1854) dan kenaikanMaria ke surga (1950). Kedua ajaran initidak mendapat dukungan Alkitab atau per-hatian-perhatian sejarah, dan keduanya jugatidak dapat diajukan sebagai masalah yangmendesak yang tidak dapat lagi menungguKonsili. Konsili terbiasa memakai bahasa‘kuasa Ilahi’ dari penerus-penerus Petrus,walaupun tidak ada keseragaman penafsiranpada saat ini tentang bahasa tersebut. Kuasauntuk menjalankan hukum secara universaljuga dimiliki oleh kewenangan Paus. Peng-hentian mendadak atas konsili, ketika paratentara Italia mengepung Roma, mencegahpernyataan lebih lanjut mengenai peran parauskup.

Vatikan II (1962-1965) tidak menyang-kali pengakuan-pengakuan dari Vatican I itudengan menekankan bahwa di antara seluruhuskup, maka uskup Roma merupakan ‘yangutama di antara uskup lain yang setara’ (lih.Collegiality*). Uskup di Roma berkaryabersama mereka dan menjadi juru bicaramereka, namun ia tetap mandiri. Jadi, Pausdimaksudkan untuk menjadi fokus iman dankesatuan. Bagi yang non-Katolik, kesulitanutama terletak pada klaim-klaim Paus yangkurang mendapat dukungan dari Alkitab,perbedaan antara pekerjaan yang ideal danyang aktual dari kepausan, yang disertaikeraguan yang serius apakah mungkin, ataumemang diinginkan, bagi seseorang untukmemenuhi peran semacam itu dalam gerejauniversal.

BibliografiW. M. Abbott (ed.), The Documents of

Vatican II (London, 1966); R. E. Brown,K. P. Donfried dan J. Reumann (eds.), Peterin the New Testament (London, 1974); C.Butler, The Vatican Council 1869-1870 (Lon-don, 1930); D. W. O'Connor, Peter in Rome(New York, 1969); B. Tierney, The Originsof Papal Infallibility, 1150-1350 (Cambridge,1972); J. M. R. Tillard, The Bishop of Rome(London, 1983).

J.W.C.

PARADIGM (PARADIGMA). 1. Secaraharfiah paradigma berarti sebuah con-

toh, khususnya contoh normatif yang harusdipakai untuk memahami semua kelas yangserumpun dengan contoh normatif tersebut.Misalnya, di 1 Korintus 15:45-49, Paulusmenjadikan Adam dan Kristus sebagai para-digma kemanusiaan.

2. Dalam filsafat, argumen-argumen ‘kasusparadigma’ kadang-kadang digunakan untukmenentang posisi skeptis, misalnya: Sean-dainya kehendak bebas ditolak dengan argu-men bahwa ‘kebebasan’ perlu dimengertidalam batasan bukan sebagai definisi abstrak,tetapi dipahami sebagai kasus paradigma,seperti pasangan kekasih yang memutuskanuntuk menikah. Kasus seperti itu memangada; oleh karena itu kebebasan haruslah demi-kian. Para kritikus menjawab––kalau begitukasus paradigma ini bisa dipakai untuk ‘mem-buktikan’ realitas adanya tukang sihir. Lebihdari itu, konsep-konsep yang sudah didefi-nisikan tersebut penggunaannya terbatas:Apakah ‘kebebasan’ yang dipahami sebagai'kebebasan' relevan dengan tanggung jawabmoral?

3. Martin Dibelius (1883-1947) meng-gunakan istilah ini untuk teks-teks Injil yangdigunakan oleh para pengkhotbah Kristenmula-mula sebagai contoh ‘begitulah Yesusdulu dan menjadi ada’ (mis. Mrk. 2:23-28).Paradigma berakhir sebagai pikiran-pikiranyang berguna bagi tujuan-tujuan pewartaanInjil, biasanya berkaitan dengan perkataanYesus. Dibelius menganggap paradigmasecara historis bernilai, walaupun kadangdimodifikasi oleh para pengkhotbah ataupenginjil.

BibliografiG. Carey, I Believe in Man (London, 1977);

pasal 4; E. Gellner, Words and Things (Lon-don, 1959), pasal 2, bagian. 4; P. Schilpp (ed.),The Philosophy of G. E. Moore (New York,21952), h. 343-368; M. Dibelius, From Tra-dition to Gospel (ET, London, 1934), pasal3.

R.L.S.

Paradigm

Page 12: E D I T O R K O N S U L T A N E D I T O R - Literatur Saat

9

PARADOX IN THEOLOGY (PARA-DOKSI DALAM TEOLOGI). Paradoksi

ialah hal yang tidak diharapkan dan tampaktidak masuk akal atau tidak mungkin (daribahasa Yunani, para dan doxa, ‘melawan pen-dapat’), yang muncul dalam pikiran manusiadalam tiga tingkatan.

1. Paradoksi Verbal yaitu penggunaankata-kata dengan mengaitkan ide-ide yangterlihat tidak cocok, bertentangan denganpikiran segar dan memunculkan pertanyaan-pertanyaan baru. Contohnya: ‘Siapa yangmelayani memiliki kemerdekaan yang sem-purna (Book of Common Prayer); ‘Barang-siapa mempertahankan nyawanya, ia akankehilangan nyawanya’ (Mat. 10:39); lihatjuga 2 Korintus 6:9-10. Paradoks-paradoksverbal dapat dipahami melalui penjelasandan perumusan kembali. Para teolog seringkali memakai paradoks verbal untuk mena-rik perhatian dan membuat orang melaku-kan refleksi seperti misalnya perkataan‘manusia adalah orang yang benar sekaligusberdosa’ (Luther); Anak Allah mati ‘agardapat diyakini, karena hal itu memang mus-tahil’ (Tertullian); kebangkitan ‘adalah pasti,karena hal ini tidak masuk akal’ (idem).Pernyataan-pernyataan seperti itu bergan-tung pada penjelasan-penjelasan khusus darikata-kata yang digunakan, dan dapat digan-tikan dengan pernyataan-pernyataan yangtidak bersifat paradoks bila diinginkan.

2. Paradoks Logis adalah pernyataantegas, yang terlihat saling berkontradiksidengan dirinya sendiri tentang suatu fakta.Paradoks logis telah mendapat perhatianpara filsuf sejak Zeno, pengikut Stoa menya-takan bahwa karena jarak dapat dibagi secaratak terbatas dan engkau harus melalui setiapbagiannya sebelum mencapai bagian yangberikutnya, karena itu si kelinci tidak mung-kin dapat mengalahkan kura-kura. Atauketika saya mengakui bahwa saya selalu ber-bohong, mungkinkah saya (saat itu) sedangberkata jujur? (Bila ‘ya,’ maka artinya ‘tidak’).Teknik-teknik analisis filosofis diperlukanuntuk memecahkan paradoks-paradoks sema-cam ini.

Paradox in Theology

3. Paradoks Ontologis adalah ketidak-sesuaian yang tampak dari pernyataan-pernyataan yang menjelaskan realitas, atauinferensi-inferensi yang didapatkan dari per-nyataan-pernyataan tersebut. Kant* menye-butnya sebagai antinomi. Dalam bidangteologi, Kitab Suci dipakai sebagai acuanuntuk realitas Allah, dalam hal ini contohparadoks ontologis yaitu: Tiga kepribadiandalam kesatuan dan keunikan Allah (lih. Trin-ity*); ‘Allah kita membatasi dirinya sede-mikian rupa menjadi manusia yang sangatterbatas’ (Charles Wesley memfokuskan inipada inkarnasi*); iman* adalah tindakanmanusia dan paralel dengan pemberian dariAllah; Allah mengatur dan menguasai semuatindakan manusia tanpa menghancurkankebebasan dan tanggung jawab manusia, ataumenjadi sumber dosa dalam arti dapat diper-salahkan secara moral (lih. Providence;*Sovereignty of God*); Allah menentukanperkataan dari para nabi, rasul, dan penulisAlkitab tanpa mengekang kebebasan danspontanitas mereka dalam mengekspresi-kan dirinya sendiri (lih. Scripture*). Karenatidak satu pun dari semua realitas ini dapatdijadikan transparan bagi pikiran manusia,maka mereka ini lebih baik bukan disebut‘paradoksi’ (kesannya semua itu hanyalah ver-bal dan konseptual) melainkan ‘misteri’––yaitu, keadaan sesungguhnya dari perma-salahan yang kita ketahui adalah nyata, tanpamengetahui bagaimana mereka dapat men-jadi nyata. Mestinya tidak mengejutkan kita,saat kita mendapati aspek-aspek eksistensidan kegiatan Pencipta kita tidak terpahami,yaitu di luar jangkauan kita sebagai makhlukciptaan.

Para teolog neo-orthodoks yang berdiriatas pendapat Kierkegaard,* sering memakaiparadoks sebagai sebuah paradigma* darimetode teologi dialektika* (persetujuandalam penolakan dan sebaliknya). Metodeini dipandang dapat menembus rasionalitaspara teolog yang mengotak-ngotakkan Allahke dalam pemikiran-pemikiran mereka, danmemimpin pada suatu iman yang dinamisyang bertemu dengan Pencipta yang bebas,hidup, berkuasa, dan transenden di tengah

Page 13: E D I T O R K O N S U L T A N E D I T O R - Literatur Saat

10

krisis komitmen dan keputusan. Kekuatan dari gaya pemikiran ini (‘teologi paradoksi’ sebagaimana biasanya disebut) terletak pada pengakuannya bahwa Pencipta dan ciptaan, abadi dan sementara, tidak terbatas dan ter-batas adalah tidak setara; Selanjutnya, dosa memutarbalikkan pemikiran alamiah kita mengenai Allah menjauh dari kebenaran, sehingga kita tidak dapat mengharapkan teo-logi yang baik dan iman yang riil, selain yang tidak rasional dari dunia sekuler. Namun kelemahannya ialah ketidakrelaannya untuk diikat oleh rasionalitas yang konsisten dari Kitab Suci, hal ini menghasilkan irasionali-tas dan ketidakkoherenan yang nyata. Seka-rang teologi paradoksi dalam beberapa bagian adalah passé (tidak relevan lagi).

BibliografiC. F. H. Henry, God, Revelation and

Authority, vol. 1 (waco, TX, 1976), pasal 11-15; R. W. Hepburn, Christianity and Para-dox (London, 1958); H. R. Mackintosh,Types of Modern Theology (London, 1937).

J.I.P.

PAROUSIA, lihat ESCHATOLOGY.

PASCAL, BLAISE (1623-1662). Kejeni-usan Pascal, yang awalnya tampak dalam

bidang matematika, fisika praktis dan aneka penemuan praktis, beralih ke Jansenisme (lih. Augustinianism*) di Rouen tahun 1646. Dia berpartisipasi dalam kehidupan sosial, intelektual dan budaya Paris sampai ‘malam yang menggelora’ terjadi padanya (1654), yaitu sebuah pengalaman emosionil akan kepastian, sukacita dan damai melalui Kris-tus, membawanya kepada pengabdian total kepada Allah. Ketika mengunjungi komuni-tas penganut Jansenisme di Port-Royal, dia diminta untuk mengumpulkan dukungan publik untuk pemimpin mereka, Antoine Arnauld, yang dituduh sebagai bidat oleh uskup Sorbonne. Selama 14 bulan dia menu-lis serangkaian pamflet-pamflet anonim, sepu-luh di antaranya ditujukan kepada imam propinsi dan delapan kepada kaum Jesuit. The Provincial Letters merupakan tulisan

yang secara tajam mengemukakan ketidak-jujuran intelektual dari lawan-lawan Arnaulddan kemunafikan moral orang-orang Jesuit,sebagai kelompok pemimpin.

Warisan utamanya adalah sebuah pem-belaan dari agama Kristen yang ditujukankepada orang-orang terpelajar yang belumpercaya pada zamannya. Kondisi kesehatan-nya yang terus merosot telah membatasi kar-yanya hanya sejauh sketsa saja, ada bebe-rapa pembelaan yang telah dikembangkan,sementara yang lainnya dalam bentuk tele-graf yang dipublikasikan pendukung Jan-senisme setelah kematiannya dengan judulPensées. Pascal menghindari penggunaanbukti-bukti tradisional untuk menunjukkankeberadaan Allah, yang bertolak dari akalbudi murni atau disimpulkan dari alamsemesta. Akal budi manusia cacat, dipe-ngaruhi oleh kehendak, sakit penyakit dankekeliruan, penuh kesombongan, ketidak-mampuan untuk menetapkan prinsip-prinsipdasar pertama (berlawanan dengan Descar-tes*), akal budi akan membawa kita kepadasebuah pengetahuan akan Allah dan takdirabadi kita. Pada akhirnya akal budi hanyamembangun sebuah konsep mengenai Allahyang abstrak dan tidak berdaya menggerak-kan hati (menurut Alkitab, Mzm. 119:36)–tingkatan tertinggi kesadaran manusia, yanghanya bisa diyakinkan oleh anugerah saja.Sebaliknya, Pascal yang empiris* ini mulaidengan berbagai data, khususnya fenomenayang tidak dapat dipahami umat manusia,yaitu ketidaksucian yang tak dapat disangkali,ketidakberdayaan menghadapi keadaan yangterus berubah-ubah, kebosanan, kekhawa-tiran dan keegoisan, melakukan apa pun padajam-jam kerja untuk mengalihkan pikiran darikebobrokan manusia, namun juga menun-jukkan sisa-sisa warisan kebesaran yang per-nah dicapai pikiran manusia dalam kondisiseperti ini. Umat manusia juga terbatas,tergantung di antara ketidakterbatasan gandayang diperlihatkan oleh teleskop dan mikros-kop, dan menyadari sebuah kehampaan batinyang tak mungkin bisa dipuaskan oleh duniayang terbatas ini. Tidak ada filsafat yang dapatmenjelaskan ini semua. Tidak ada sistem

Pascal

Page 14: E D I T O R K O N S U L T A N E D I T O R - Literatur Saat

11

moral yang dapat membuat kita menjadi lebihbaik atau lebih bahagia. Hanya ada satuhipotesis saja, penciptaan seturut denganpeta-teladan Ilahi namun telah diikuti olehkejatuhan dalam dosa. Inilah penjelasan akankeadaan kita yang sulit, dan melalui seorangpenebus dan pengantara kepada Allah, Iamenawarkan pemulihan agar kembali kekeadaan kita yang seharusnya. Pascal melan-jutkan tantangannya kepada para pembacaagar berkomitmen kepada Kristus dan kepadahidup yang kekal, khususnya dalam pasalnyayang terkenal ‘taruhan.’ Lalu ia memberikanbukti bagi kebenaran kristiani dengan menun-jukkan kekekalan sejak manusia pertamahingga akhir dunia dan keunggulan Kristussebagai pengantara dengan menggabung-kan kebesaran manusia dengan kekuranganmanusia secara sempurna di kayu salib.Selanjutnya, seluruh PL digenapkan di dalamDia, yang penebusan-Nya meringankankeputusasaan, menundukkan kesombongandan memampukan kita melakukan perbuatanbaik namun juga tidak memandang kitasebagai manusia yang benar-benar bebas daridosa.

The Pensées (kumpulan pembelaan yangdibuat Pascal) tetap mencolok dengan pen-dekatan apologetikanya yang unik, pema-hamannya yang mendalam dan penuh belaskasihan kepada umat manusia yang tidakmemiliki Allah, dan beberapa bagian yangdikembangkan dalam bentuk prosa. Keka-yaan kami ialah kumpulan jumlah pembacayang telah berlipat ganda, yaitu generasi yangkhawatir; banyak penulis abad XX yangmenolak solusi Pascal ini memperlihatkanpengaruh analisisnya atas kondisi manusia.

BibliografiA. Krailsheimer (eds.), The Provincial

Letters (Harmondsworth, 1967); idem (eds.),Pensées (Harmondsworth, 1966).

J. H. Broome, Pascal (London, 1965);A. Krailsheimer, Pascal (Oxford, 1980);J. Mesnard, Pascal, His Life and Works (Lon-don, 1952).

D.G.P.

PASCHAL CONTROVERSIES, lihat EASTER.

PASCHASIUS RADBERTUS (c. 785-860)adalah teolog pertama yang terang-

terangan mendukung konsep transubstansi-asi. Ia adalah seorang biarawan dan pernahmenjadi kepala biara Benedictine di Perancis,sekarang yang dinamai Corbie. Pada tahun831, dia menerbitkan risalah terpisah menge-nai doktrin perjamuan kudus, De Corpore etSanguine Domini (pada Tubuh dan DarahTuhan). Risalah ini mengedepankan kecende-rungan dari abad-abad sebelumnya mengenaitafsiran terhadap perkataan para bapa gerejayang menekankan kehadiran Kristus dalamsakramen, atau dalam unsur-unsur sakramendalam arti yang benar-benar harfiah melaluitubuh dan darah Kristus yang sebenarnya,yang menderita di kayu salib, secara nyatahadir melalui keberadaan roti dan anggur-walaupun tanpa mengubah rasa dan bentukroti dan anggur tersebut (lih. Eucharist*).Doktrin transubstansiasi dijabarkan oleh kon-sili Lateran keempat (1215) (lih. Councils*),dan Paschasius ditetapkan sebagai orang sucidalam kalender gereja Romawi. Tampakbahwa pandangan Paschasius memiliki penen-tang, ini terlihat dari edisi revisi bukunya(844) yang diserahkan raja Charles si Botakkepada Ratramnus,* dan mungkin jugakepada John Scotus Eriugena,* untuk men-jawabnya. Paschasius menulis berbagai karyalainnya, termasuk sebuah komentar menge-nai Injil Matius.

BibliografiKarya-karya: Dalam PL 120; disarikan

dan diterjemahkan oleh C. Herbert, TheLord’s Supper: Uninspired Teaching (London,1879); juga didiskusikan dalam N. Dimock,The Doctrine of the Lord’s Supper (London,1910).

R.T.B.

PASTORAL THEOLOGY (Teologi Pas-toral). Teologi pastoral dikenal sulit

untuk didefinisikan dengan tepat, walaupunpetunjuknya jelas diambil dari gambaranAlkitab tentang gembala. Teologi pastoral

Pastoral Theology

Page 15: E D I T O R K O N S U L T A N E D I T O R - Literatur Saat

12

memiliki hubungan yang saling mengun-tungkan antara teologi dan karya pastoral.Teologi pastoral menyediakan dasar teolo-gis untuk pelayanan pastoral, merangsangrefleksi teologis pada pengalaman pastoraldan pada saat bersamaan merefleksikan teo-logi dari perspektif pastoral.

Problema yang berkaitan dengan definisi teologi pastoral muncul karena naturnya yang ambigu dari batasan-batasan yang berkaitan dengan disiplin ilmu yang lain. Pada abad XIX disiplin ilmu teologi praktika muncul sebagai ilmu yang mengajarkan tentang kete-rampilan yang dibutuhkan untuk melaksana-kan suatu pelayanan dan karena itu berkaitan dengan beberapa subjek seperti ibadah, homiletika, misi dan administrasi. Teologi terapan yang berkaitan dengan etika atau teologi moral, beserta provisi dari arahan spiritual selalu dikaitkan secara erat dengan teologi pastoral, khususnya di kalangan gereja Katolik. Akhir-akhir ini, teologi pastoral sering salah diidentifikasi dengan psikologi pastoral. Dalam artian yang luas, eklesiologi tidak hanya berarti ajaran mengenai organi-sasi gereja namun juga pemahaman masa kini mengenai peran dan misi gereja, ini juga berhubungan erat dengan teologi pastoral, Teologi pastoral menyerap ilmu-ilmu ini dan memberikan sumbangsih kepada ilmu-ilmu tersebut namun tidak terbatas pada ilmu-ilmu itu dan tetap berkonsentrasi pada hubungan antara teologi dan pengalaman pastoral. Oleh karena itu, dari sudut pandang teologis hal itu menimbulkan pertanyaan-pertanyaan dan memberikan petunjuk berkenaan dengan natur pelayanan; sedangkan dari sudut pas-toral, bagi teologi hal itu terlihat untuk mema-hami dan menginterpretasikan pengalaman manusia.

Alkitab jarang sekali memberikan teologipastoral yang eksplisit, meskipun dapat dika-takan bahwa ada beberapa teks yang mem-berikannya, seperti Yehezkial. 34; Kisah ParaRasul 20:13-38; 2 Korintus dan surat-suratPastoral. Namun kebanyakan Alkitab menya-jikan teologi pastoral secara implisit. Kitab-kitab Injil pun mengambil bagian dalampemahaman kita mengenai teologi pastoral

apabila ada motif-motif pastoral di bela-kangnya, bukan hanya tujuan penginjilannyasaja yang dicatat. Pada abad-abad permulaan,beberapa karya yang mengagumkan tentangnatur pelayanan pastoral telah ditulis, diantaranya adalah Oration II karya Gregorydari Nazianzus,* On the Priesthood karyaJohn Chrysostom dan Pastoral Rule karyaGregory Agung. Tokoh-tokoh lain, walaupuntidak menulis teologi pastoral secara siste-matis namun menyediakan contoh-contohdari teologi pastoral mula-mula seperti Cityof God karya Agustinus.*

Selama abad pertengahan hanya terjadisedikit perkembangan, namun baru padareformasi Tridentine di abad XVI di manatulisan-tulisan para reformator memperli-hatkan minat yang baru dalam teologi pasto-ral. Tokoh utama teologi pastoral yangsistematis di antara para reformator adalahMartin Bucer.* Dampak gerakan reformasitidak hanya terbatas pada perkembanganarahan rohani Puritanisme* tetapi secara luasdirasakan dengan adanya peningkatan stan-dar pelayanan. Namun demikian, dampak-dampak tersebut paling jelas dinyatakandalam The Reformed Pastor karya RichardBaxter.

Kebutuhan yang meningkat akan adanyapelayanan yang mendapatkan cukup pela-tihan, telah memicu bangkitnya teologi pas-toral sebagai disiplin ilmu yang terpisah dalamnuansa modern di akhir abad XVIII. Padaabad-abad berikutnya sejumlah karya diter-bitkan, yang mendekati ilmu pengetahuankontemporer dan filosofis, dalam usahamenyediakan sebuah pengertian yang siste-matis dan luas mengenai pelayanan. Tetapipada akhir abad tersebut, terjadi penurunandalam karya teologi pastoral, lalu menjadibuku panduan bagi para praktisi bukan karyateologis yang mendalam.

Di abad XX kita menyaksikan perkem-bangan-perkembangan besar dalam disiplinilmu tersebut, mula-mula melalui karya A. T.Boisen (1876-1966) yang memperkenalkanpara imam pada pelatihan yang bersifatklinis. Muridnya, Seward Hiltner (lahir1909), lebih besar pengaruhnya. Bukunya,

Pastoral Theology

Page 16: E D I T O R K O N S U L T A N E D I T O R - Literatur Saat

13

Preface to Pastoral Theology, ditujukan untukmengatur kembali disiplin ilmu yang ber-kenaan dengan kepedulian untuk menyem-buhkan, menjaga, dan memandu. Dalammelakukan itu, dia menekankan bahwa teo-logi pastoral tradisional yang berhubungandengan kehidupan spiritual dalam sebuahkekosongan psikologis, sosial dan budayaditolak dan digantikan dengan sebuah pen-dekatan yang menyeluruh terhadap sese-orang. Hiltner menjejakkan disiplin itudengan cap psikologis dan secara tegas meng-ikat pelatihan pastoral dengan pelatihan psi-kologis. Sejak itu, telah banyak usaha dila-kukan untuk menghubungkan psikologidengan teologi. Di antaranya yang terkenaladalah Don Browning (lahir 1934), James N.Lapsley (lahir 1930), Thomas Oden danDaniel Williams (1910-1973). Kepedulianmereka tidak begitu banyak dalam hal mener-jemahkan bahasa agama ke dalam bahasapsikologi seperti memperlihatkan asumsi-asumsi teologis dan implikasi-implikasi psi-kologi.

Perkembangan-perkembangan berikut-nya telah bergeser menjauh dari pendekatanini karena sejumlah alasan. Pertama, adanyasuatu pemikiran untuk memisahkan ‘kung-kungan psikologis’ dari penyelenggaraan teo-logi pastoral. Penekanan yang setara sekarangditempatkan pada situasi sosial dan politisseseorang. Banyak yang melihat teologi pem-bebasan* yang muncul belakangan ini sebagaiekspresi terbaru dari teologi pastoral, karenateologi ini berusaha menyediakan pema-haman teologis dan arahan bagi mereka yangtertindas secara sosial dan ekonomi. Kedua,ada perhatian untuk mendirikan teologi pas-toral sebagai disiplin akademis yang dapatdiandalkan milik mereka sendiri daripadasebagai tambahan terhadap psikologi. Yangketiga, dan yang paling penting adalah ada-nya penegasan kembali mengenai kebutuhanteologi pastoral untuk memiliki dasar moraldan teologis. Di bawah Hiltner, dimensi teo-logisnya bersifat liberal dan dimensi moral-nya bersifat relatif, kalau tidak pada suatusaat keduanya tidak ada sama sekali.

Seorang tokoh injili terkini dalam bidangteologi pastoral adalah Eduard Thurneysen(1888-1974), yang melalui bukunya A Theo-logy of Pastoral Care membahas dengan apikdan alkitabiah kebutuhan manusia akan peng-ampunan, dan memperlihatkan perbedaanpastoral dengan psikologi dalam mendekatikebutuhan manusia. Batasannya terletak padafakta bahwa psikologi membatasi dirinyakepada subjeknya saja, sedangkan teologipastoral harus menunjukkan kepedulian yanglebih luas, bagaimanapun sentralnya isu-isutersebut. Jangkauan yang luas dari literaturterkini mengesankan bahwa masa depanteologi pastoral sangat menjanjikan.

Lihat juga: PRACTIAL THEOLOGY.

BibliografiP. H. Ballard (ed.), The Foundations of

Pastoral Studies and Practical Theology (Car-diff, 1986); R. Baxter, The Reformed Pastor(1656; Edinburgh, 1974); D. S. Browning(ed.), Practical Theology (New York, 1983);S. Hiltner, Preface to Pastoral Theology (Nash-ville, TN, 1958); B. Holifield, A History ofPastoral Care in America: From Salvation toSelf-Realization (Minneapolis, MN, 1983);J. T. McNeill, A History of the Cure of Souls(New York, 1977); H. R. Niebuhr dan D. D.Williams (eds.), The Ministry in HistoricalPerspective (New York, 1956); E. E. Shelp danR. Sunderland (eds.), A Biblical Basis forMinistry (Philadelphia, 1981); M. Taylor,Learning to Care (London, 1983); E. Thur-neysen, A Theology of Pastoral Care (Atlanta,GA, 1962); D. Tidball, Skilful Shepherds(Leicester, 1986); F. Wright, The PastoralNature of the Ministry (London, 1980).

D.J.T.

PATRISTIC THEOLOGY (TEOLOGI PATRISTIK) hanya terbatas pada teologi

para bapa gereja (Latin, Patres), misalnya paraguru dan penulis dari gereja mula-mula. Teo-logi ini bukan hanya mengekspresikan karyapribadi tetapi juga dalam bentuk karya ber-sama seperti aturan-aturan gereja dan per-nyataan-pernyataan konsili. Istilah teologi

Patristic Theology

Page 17: E D I T O R K O N S U L T A N E D I T O R - Literatur Saat

14

patristik pertama kali digunakan pada abadXVII, untuk membedakannya dari teologibiblika, teologi skolastika, teologi simbolisdan teologi spekulatif.

Tidak ada kesepakatan kapan berakhirnyaperiode para bapa gereja ini. Era pengajaranpaling kreatif mencapai puncaknya padakonsili Chalcedon (451), dan kejatuhan keku-asaan Romawi di Barat juga dianggap seba-gai batas sejarah dari teologi patristik, yaitudi akhir abad kelima. Namun banyak yangmengakui Gregorius Agung* atau Isidore dariSeville († 636) sebagai bapa-bapa gerejaterakhir dari Barat atau bahkan Bernard,*sebagai guru gereja pra-skolastik terakhiryang paling hebat. Di Timur, di mana keku-asaan Roma tetap tak terkalahkan, John dariDamaskus* mengakhiri masa patristik, dii-kuti dengan berakhirnya konsili mula-mula,*yaitu Nicaea II pada tahun 787. Namungereja Orthodoks Timur* tidak menyukaipemisahan-pemisahan yang tegas ini, Gre-gory Palamas dihormati sebagai bapa danpengajar gereja segera setelah kematiannyapada tahun 1359.

Doktor-doktor tradisional (yaitu guru-guru) dari gereja Barat adalah Ambrose,*Jerome,* Agustinus* dan Gregory,* dan darigereja Timur adalah Basil,* Gregory dariNazianzus* dan John Chrysostom, lalu Atha-nasius* ditambahkan kemudian. Namunpara teolog abad pertengahan dan modernjuga diakui sebagai pengajar-pengajar di gerejaBarat. Kategori ini lebih luas daripada yangdari bapa-bapa gereja (tidak terbatas padaabad mula-mula saja) dan lebih sempit (karenahanya memasukkan mereka yang terkenaldan yang ditunjuk secara formal sebagai peja-bat gereja). Perbedaan lain telah dibuat diantara bapa-bapa gereja, ditandai denganajaran yang bersifat ortodoks, dan kesucianhidup, dan penulis-penulis gerejawi sepertiTertullianus* dan Origenes,* yang juga ter-masuk orang-orang Kristen zaman kuno,yang hanya gemar akan hal-hal tertentu yangdisetujui gereja.

Rujukan kepada para bapa gereja darisudut pandang zaman modern dimulai padaakhir abad IV hingga awal abad V, khusus-

nya dalam perdebatan kristologis. Gereja-gereja Ortodoks tidak membedakan antaraAlkitab dan tradisi teologi gereja. Imandatang, terutama dari Allah melalui Kristus,dalam sebuah rangkaian yang tidak terpisah,lalu diterima oleh gereja ‘melalui Kitab Suci,dan dari pengajaran bapa-bapa suci dan daripernyataan-pernyataan iman yang satu danyang sama oleh keempat konsili suci’ (Con-stantinople II, 553). Dalam KatoliksismeRoma, definisi-definisi konsili mula-mulayang setuju dengan doktrin para bapa-bapagereja, memiliki magisterium gereja yangtidak bisa salah, sementara otoritas yangkurang tepat dimiliki oleh konsensus umumdari pengajaran partistik lain. MenurutVincent dari Lérins († sebelum 450), kesatuaniman dapat dikenali dari sifat keuniversal-annya, kekunoannya dan konsensus.

Semua gereja Reformasi memberikan per-hatian istimewa kepada para bapa gerejamula-mula ini, bukan sebagai penguasa yangsejajar dengan kitab suci namun sebagaipenafsir-penafsir yang saleh dari iman apos-tolik dalam suatu gereja yang bersatu dansebagian besar tidak korup. Para Reformatormenanggali ‘Kejatuhan’ gereja ke dalamkesalahan dan superstisi abad pertengahanitu terjadi pada masa sekitar tahun 600. KaumAnabaptis menempatkannya pada masa Con-stantine, dan karena itu mereka tidak meng-hormati konsili dan pengakuan-pengakuaniman, bahkan meminta para bapak pra-Niceamelawan ajaran patristik yang muncul selan-jutnya. Tradisi Anglikan menunjukkandengan jelas penghormatannya yang tinggikepada para bapa gereja, namun para Refor-mator Magisterial telah menempatkan peng-hormatan tersebut pada derajat tertentu saja.

Para bapa gereja yang produktif dalambanyak bidang teologi: Apologetika* (mis.,Justin, Tertullianus, Origenes, Agustinus),moral* (mis., Clement dari Alexandria,Ambrose, Gregory Agung), biblika* (khu-susnya Irenaeus), dogmatika* (mis. Atha-nasius, bapa-bapa Kapadokia, Agustinus,Cyril dari Alexandria), mistis* (mis., Gregorydari Nyssa, Pseudo-Dionysius), asketik (mis.,bapa-bapa Alexandria, Cassian, Evagrius

Patristic Theology

Page 18: E D I T O R K O N S U L T A N E D I T O R - Literatur Saat

15

Ponticus, Basil), sakramen* (mis., Cyprianus,Augustinus), liturgika* (mis. Cyril dari Yeru-salem), filsafat* (mis., Augustinus).

Kontribusi terbesar mereka adalah dalammenguraikan masalah Trinitas, kristologi,dan doktrin-doktrin gereja serta sakramen-sakramen, dosa dan anugerah. Atas topik-topik tersebut telah ada persetujuan bersamabaik di Barat maupun Timur atau malahseluruh gereja, yang dengannya teologiReformasi tidak memperlihatkan keraguansedikitpun. Tetapi tidak ada persetujuanpatristik yang berhasil dicapai dalam halpenebusan dosa, antropologi, eskatologi,karya Roh Kudus dan topik-topik lainnya.

Ciri-ciri khusus dari teologi patristik dapatdigambarkan sebagai berikut:

1. Teologi Patristik adalah teologi gereja.Para teolog patristik adalah pelayan gerejawi(Origenes dan Tertullianus juga tidak terke-cuali dalam hal ini) dan guru-guru dalamgereja. Banyak di antaranya adalah uskup(arti umum dari ‘bapa’). Tidak ada seminariatau dosen-dosen! Dalam kanon Vincent,kebenaran dan gereja sama-sama menjadisatu, sebagaimana halnya dengan kesalahandan perpecahan. Pengajaran katekisasi adalahsebuah tatanan yang penting untuk penga-jaran doktrinal yang sistematis. Oleh karenaitu, teologi patristik adalah sebuah aktivitasbersama.

2. Teologi Patristik didasarkan pada penaf-siran spiritual dari Kitab Suci. Khotbah-khotbah dan tafsiran-tafsiran merupakanmedia yang penting bagi pengajaran patristik.Para bapa gereja, yang percaya pada inspirasitotal Kitab Suci namun sering kali kurangdalam perspektif sejarah, telah membantupembentukan eksegesis spiritual, terutamaalegori dan tipologi yang diperluas, khusus-nya bila berhadapan dengan PL (lih. Herme-neutika*). Sekolah Anthiokia* lebih meng-ikuti pendekatan tata bahasa dan sejarah.

3. Teologi Patristik dibentuk oleh ibadahdan kesalehan. Para bapa gereja mengutiplex supplicandi atau orandi (‘hukum ten-tang doa’) untuk membentuk lex credendi(‘hukum kepercayaan’). Agustinus berargu-mentasi mulai dari praktik baptisan anak

hingga doktrin asal muasal dosa. Basil men-diskusikan pentingnya doksologi yang ber-beda-beda, sementara tokoh lainnya (mis.dalam perdebatan dengan Pelagianisme*)mendiskusikan implikasi-implikasi dari dok-trin tentang doa. Devosi kepada Kristus seba-gai teotokos (‘penyandang Allah’) telah men-jadi titik awal perdebatan kristologi.

4. Teologi Patristik merupakan sebuah tra-disi yang berkembang. Para bapa gereja mem-bangun di atas dasar-dasar para pendahu-lunya*–sejak penyangkalan Cyprianus yangmemalukan terhadap baptisan yang memecahbelah gereja terpaksa ditinggalkan. Para teo-log ortodoksi dianggap hanya perlu menying-kapkan secara singkat apa yang diajarkan olehpara rasul; dan hanya para bidatlah yangmenghasilkan ajaran yang baru. Teologi anti-Pelagianisme dari Agustinus mungkin tidakdapat memenuhi kriteria Vincent mengenaizaman kuno, namun dia sangat ingin mem-bantah rujukan Pelagius mengenai para guruyang terdahulu.

5. Teologi Patristik menembus dunia lain.Kebanyakan para bapa gereja yang terkenalmendukung keidealan asketisme.* PengaruhPlatonis memberikan dorongan kuat untukterlalu merohanikan teologi mereka. Karak-teristik yang dianggap bernilai adalah yangberasal dari dunia roh yang di dalam atauwilayah surgawi yang transenden.

6. Teologi Patristik berinteraksi denganfilsafat sekuler. Mulai abad II dan seterus-nya, para apologet,* yaitu para bapa gereja,memakai filsafat sebagai pembantu teologi.Secara khusus, pengaruh Plato ekletik danStoa* tersebar luas. Para bapa gereja terli-bat secara kritis dengan cara berpikir duniakafir, dan berbicara secara gamblang kepadapikiran dunia kafir. Tetapi sekarang, parabapa gereja sering dicela karena gagal mem-bedakan antara teologi filosofis Yunani dankepercayaan Kristen-Yahudi.

BibliografiB. Altaner, Patrology (Freiburg, 1960); J.

N. D. Kelly, Early Christian Doctrines (Lon-don, 51977); J. Pelikan, The Christian Tradi-tion, vol. 1: The Emergence of the Catholic

Patristic Theology

Page 19: E D I T O R K O N S U L T A N E D I T O R - Literatur Saat

16

Tradition (100-600) (Chicago and London,1971); J. L. Prestige, Fathers and Heretics(London, 1954); B. Ramsey, Beginning toRead the Fathers (London, 1986); H. VonCampenhausen, The Fathers of the GreekChurch (London, 1963); idem, The Fathersof the Latin Church (London, 1964); M. F.Wiles, The Christian Fathers (London, 1966).

D.F.W.

PAUL (PAULUS). Artikel ini memberikangambaran sekilas tentang kehidupan,

karya, teologi dari Paulus, serta tempatnyapada awal kekristenan, dan signifikansinya dimasa ini.

1. Kehidupan dan karya PaulusRasul Paulus, seorang Yahudi dari sukuBenyamin, dilahirkan sebagai warga negaraRomawi, di Tarsus, Kilikia, dengan namaIbrani, Saulus. Kemungkinan besar, Paulusadalah salah satu dari nama Romawinya.Paulus dibesarkan sebagai seorang Farisi,sehingga ia sangat ahli dalam hukum dantradisi Yahudi (Gal. 1:14). Ketika ia sedangterlibat dalam penganiayaan yang kejam atasgereja, Paulus, di dalam perjalanannya keDamaskus, diperhadapkan pada visi Yesusyang bangkit, yang membutakan dia. Diamelanjutkan perjalanannya ke Damaskus, dandi sana ia mendapatkan kembali penglihatan-nya dan dibaptiskan sekitar tahun 34 (Kis.9:3-19). Dalam ketaatan kepada Tuan yangbaru, dia segera berkhotbah bahwa Yesusadalah Mesias di sinagoge-sinagoge, dansekarang Paulus menjadi objek pengania-yaan orang Yahudi (Kis. 9:19-25; bdk. 1Tes.2:14-16).

Tampaknya pada waktu inilah, dia meng-habiskan beberapa waktu di Arabia (Gal.1:17) dan kembali lagi ke Damaskus selamatiga tahun sebelum ia pergi ke Yerusalem(Kis. 9:26-29). Penyiksaan kembali mende-ranya, lalu Paulus pulang ke kota asalnya,Tarsus, sampai ia diajak Barnabas untuk mem-bantu perkembangan gereja orang-orangnon-Yahudi di Antiokhia (Kis. 11:19-26).Dari sana, keduanya melanjutkan perjalananke Yerusalem (Kis. 11:30) dengan tujuan

Paul

menyediakan bantuan bagi korban bencanakelaparan (c. tahun 46). Amat mungkin iniadalah perjalanan sama seperti yang digam-barkan dalam Galatia 2:1-10, walaupun adayang menganggap perjalanan ini sebagaikunjungan yang tercatat dalam Kisah ParaRasul 15.

Di Antiokhia, Barnabas dan Paulus dige-rakkan oleh Roh Kudus untuk melakukanpelayanan pengabaran Injil keliling (Kis. 13-14) yang sangat berhasil. Namun kesuksesanini menjadi perdebatan karena memasukkanorang-orang bukan Yahudi ke dalam kum-pulan umat Allah (Gal.; Flp. 3:2-11; lih. Kis.15). Setelah itu, Paulus melakukan dua per-jalanan bersama dengan Silas dan yang lain-nya. Ia menghabiskan beberapa waktu diKorintus pada perjalanan pertama dan Efesusdalam perjalanannya yang kedua (Kis. 16-19).Dalam perjalanannya kembali ke Yerusalem,Paulus ditangkap dan diadili di depanSanhedrin dan dua gubernur Romawi yangberurutan. Proses ini berakhir hanya ketikaPaulus menggunakan haknya sebagai warganegara Roma untuk naik banding kepadaKaisar. Setelah itu, dia dibawa ke Romadengan kapal dan mengalami kapal karamketika berlayar mengitari Malta (lih. Kis.20-28). Cerita dalam kisah para rasul berak-hir ketika Paulus berkhotbah secara terbukadi Roma, tanpa menyebutkan tentangpengadilan dan eksekusi dirinya. Kemudiancatatan dari gereja mengisi kekosongan itudengan mengatakan bahwa Paulus mati secaramartir di bawah pemerintahan Nero, sekitartahun 64.

Surat-surat yang terus beredar menjadibagian penting dari pelayanan Paulus, seba-gai alat utama untuk menjalankan otoritaspastoral atas gereja-gereja yang telah didiri-kannya meskipun Paulus sendiri tidak hadirsecara fisik. Surat-surat ini menimbulkan tigapertanyaan besar: a. Bagaimana memahamiteologi Paulus? b. Peran apakah yang telahdijalankannya dalam perkembangan pemi-kiran Kristen mula-mula? dan c. Bagaimanamenempatkan Paulus dalam gereja kontem-porer?

Page 20: E D I T O R K O N S U L T A N E D I T O R - Literatur Saat