e135: the future language dictionary sawirman abstract

14
e135: THE FUTURE LANGUAGE DICTIONARY 1 Sawirman Universitas Andalas Padang ABSTRACT How is the future dictionary should be created? This question is actually aimed at revising and providing the strategic solutions on the weaknesses of contemporary dictionaries. Instead of the lack of genealogical aspects, most dictionaries do not explain the development of entries historically, and socio-cultural values are even rare to describe. Various dictionaries only meet mere practical functions. In essence, this is the ground of the significance of e135 conceptual framework as one of guidelines in developing the future dictionary. This matter is definitely in accordance with ethical responsibility of any dictionary as a medium of language and cultural values conserving, not only as pure literal reference. Furthermore, this writing is also intended to propose e135 framework to be used as prospective model of developing various dictionaries entries genealogically in the world. Keywords: words geneology, language dictionary, and e135 ABSTRAK Bagaimana gambaran kamus masa depan yang diharapkan? Pertanyaan ini sebenarnya dimaksudkan untuk merevisi dan memberikan solusi strategis terhadap kelemahan-kelemahan kamus bahasa dewasa ini. Selain aspek genealogis yang belum disentuh, kebanyakan kamus tidak memberikan gambaran terhadap perkembangan entri dari masa ke masa. Di samping itu, nilai-nilai kultural dan sosial yang mewarnai perkembangan suatu kata juga jarang sekali dibahas. Kamus-kamus yang beredar selama ini umumnya masih berfokus pada fungsi praktis semata. Hal inilah yang mendasari perlunya kerangka konseptual e135 digunakan sebagai salah satu guideline dalam mengembangkan kamus masa depan. Hal ini sejalan dengan tanggung jawab etis sebuah kamus yang tidak hanya sebagai acuan makna kata tetapi juga sebagai media pelestari bahasa dan nilai budaya. Sembari memberikan masukan terhadap pengembangan kamus bahasa tansi dimaksud, tulisan ini juga mengusulkan kerangka e135 untuk digunakan sebagai salah satu model untuk pengembangan setiap entri secara genealogis dalam pembuatan kamus setiap bahasa di dunia. Kata kunci: genealogis kata, kamus bahasa, dan e135 1 Paper ini merupakan pengembangan dari salah satu subbagian Skim Penelitian Hibah Bersaing Dikti yang penulis ketuai pada tahun 2009-2010 berjudul “Pengembangan Pembelajaran Linguistik Berbasis Kompetensi dan Cultural Studies Menuju Pembentukan Kurikulum Magister dan Mazhab Linguistik Universitas Andalas”.

Upload: others

Post on 25-Oct-2021

12 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: e135: THE FUTURE LANGUAGE DICTIONARY Sawirman ABSTRACT

e135: THE FUTURE LANGUAGE DICTIONARY1

SawirmanUniversitas Andalas Padang

ABSTRACT

How is the future dictionary should be created? This question is actually aimed atrevising and providing the strategic solutions on the weaknesses of contemporarydictionaries. Instead of the lack of genealogical aspects, most dictionaries do notexplain the development of entries historically, and socio-cultural values are evenrare to describe. Various dictionaries only meet mere practical functions. Inessence, this is the ground of the significance of e135 conceptual framework as oneof guidelines in developing the future dictionary. This matter is definitely inaccordance with ethical responsibility of any dictionary as a medium of languageand cultural values conserving, not only as pure literal reference. Furthermore, thiswriting is also intended to propose e135 framework to be used as prospectivemodel of developing various dictionaries entries genealogically in the world.

Keywords: words geneology, language dictionary, and e135

ABSTRAK

Bagaimana gambaran kamus masa depan yang diharapkan? Pertanyaan inisebenarnya dimaksudkan untuk merevisi dan memberikan solusi strategis terhadapkelemahan-kelemahan kamus bahasa dewasa ini. Selain aspek genealogis yangbelum disentuh, kebanyakan kamus tidak memberikan gambaran terhadapperkembangan entri dari masa ke masa. Di samping itu, nilai-nilai kultural dansosial yang mewarnai perkembangan suatu kata juga jarang sekali dibahas.Kamus-kamus yang beredar selama ini umumnya masih berfokus pada fungsipraktis semata. Hal inilah yang mendasari perlunya kerangka konseptual e135digunakan sebagai salah satu guideline dalam mengembangkan kamus masadepan. Hal ini sejalan dengan tanggung jawab etis sebuah kamus yang tidak hanyasebagai acuan makna kata tetapi juga sebagai media pelestari bahasa dan nilaibudaya. Sembari memberikan masukan terhadap pengembangan kamus bahasatansi dimaksud, tulisan ini juga mengusulkan kerangka e135 untuk digunakansebagai salah satu model untuk pengembangan setiap entri secara genealogisdalam pembuatan kamus setiap bahasa di dunia.

Kata kunci: genealogis kata, kamus bahasa, dan e135

1 Paper ini merupakan pengembangan dari salah satu subbagian Skim Penelitian HibahBersaing Dikti yang penulis ketuai pada tahun 2009-2010 berjudul “PengembanganPembelajaran Linguistik Berbasis Kompetensi dan Cultural Studies MenujuPembentukan Kurikulum Magister dan Mazhab Linguistik Universitas Andalas”.

Page 2: e135: THE FUTURE LANGUAGE DICTIONARY Sawirman ABSTRACT

Sawirman

263

1. PendahuluanTanggal 2 Maret tahun 2010, saya diundang sebagai salah seorang keynote

speakers untuk membedah sebuah kamus pidgin berjudul Kamus Bahasa TansiSawahlunto. Kamus tersebut adalah terbitan Yayasan Pendidikan Roda Yogyakartatahun 2009 yang ditulis oleh Elsa Putri Ermisah Syafril. Di mata saya, kamus tersebutmemiliki spirit etis untuk mengkaji ranah-ranah yang selama ini terpinggirkan dantermarjinalkan. Adalah menjadi alasan mengapa saripati makalah yang disampaikandalam forum tersebut ditulis dalam jurnal ini.

Sebuah kamus bahasa masa depan di mata saya minimal memuat (1)penelusuran kata secara etimologis, (2) penelusuran kata secara genealogis(mengungkap “sejarah ide” kata), (3) menelusuri perkembangan semantis katadalam konteks kekinian, (4) menelusuri pihak-pihak yang mempopulerkan kata,(5) menelusuri miskonsepsi seputar kata, (6) membandingkan bentuk dan maknakata dengan bentuk dan makna protonya, dan (7) mengungkap pola, imaji, citra,arkeologi, ideologi, dan filsafat yang terdapat dalam setiap kata.

Untuk melahirkan kamus berdimensi aspek-aspek tersebut diperlukansebuah model. e135 diusulkan sebagai salah satu jembatan untuk mencapainya.Secara substansial, materi pengembangan salah satu subbagian Skim PenelitianHibah Bersaing Dikti yang penulis ketuai pada tahun 2009-2010 ini pernahdisampaikan di Gedung Pusat Kebudayaan Sawahlunto pada tanggal 2 Maret2010 dalam forum Alek Tansi untuk membedah sebuah kamus berjudul KamusBahasa Tansi karya Elsa Putri Ermisah Syafril terbitan Yayasan Pendidikan RodaYogyakarta tahun 2009.

Page 3: e135: THE FUTURE LANGUAGE DICTIONARY Sawirman ABSTRACT

Linguistika Kultura, Vol.03, No.03/Maret/2010

264

Gambar 1: Cupilkan Poster Alek Tansi

2. Kata dan DokumentasinyaKosakata merupakan unsur bahasa paling labil. Kontak bahasa dan

budaya biasanya ditandai dengan munculnya kosakata baru. Kemunculankosakata baru tersebut dapat dianggap sebagai gejala perubahan atauperkembangan sebuah bahasa maupun budaya. Perubahan itu disebabkan olehfaktor eksternal seperti sistem sosial, adat, budaya, agama, kepercayaan, danideologi, selain faktor internal termasuk sistem kebahasaan itu sendiri danperubahan pada berbagai dimensi kehidupan masyarakat. Kosa kata Minang danbahasa Indonesia (BI) misalnya. Baik secara bentuk maupun semantis sejumlahkosa kata Minang dan bahasa Indonesia (BI) berkembang pesat. Akan tetapiperkembangan ini seakan-akan tidak didata oleh pihak-pihak yang berwenangseperti Pusat Bahasa dan jajarannya. Yang lebih parah lagi bila seonggok katamenghilang dari peredaran. Hilangnya jejak seperangkat leksikon adalah sebuahpertanda hilangnya setupuk budaya, sejarah, dan ideologi yang ada di dalamnya.Elsa Putri Ermisah Syafril (2009) adalah salah seorang yang berpikir ke arahpelestarian itu.

Pada saat KTT Bumi PBB di Bali bulan tahun 2002 berlangsung, katahutang yang dulunya hanya bermakna hutang uang atau hutang emas,berkembang maknanya menjadi hutang ekologis. Pernyataan “Negara majulahyang harus membayar hutang kepada negara berkembang akibat kerusakanlingkungan yang ditimbulkannya” santer mengemuka kala itu. Pernyataantersebut memuat “logika terbalik”. Negara-negara Selatan (sebutan lain untuknegara-negara berkembang) seakan-akan tidak perlu lagi membayar hutanguang kepada negara maju, karena kerusakan lingkungan yang ditimbulkan olehnegara maju tidak sebanding dengan pinjaman negara berkembang kepadanegara maju atau negara-negara utara. Secara semantis kata hutang sudahmengalami perkembangan semantis ke arah meluas yang belum terdaftar dalamentri kamus, misalnya dalam KBBI dan beberapa kamus berbahasa Inggris.

Page 4: e135: THE FUTURE LANGUAGE DICTIONARY Sawirman ABSTRACT

Sawirman

265

Dulu orang kita hanya memaknai kata kirim berhubungan dengan barangatau uang, sekarang Indonesia khususnya Jakarta bermasalah dengan kata kirimtersebut akibat adanya banjir kiriman setiap tahun dari Bogor ke Jakarta. Biladifiturkan secara semantis, pada kata kirim yang melekat pada kata uang ataubarang memiliki fitur makna kesengajaan [+sengaja], sementara kata kirim padabanjir kiriman memiliki fitur makna ketidakkesengajaan [-sengaja]. Dulu katacicak dan buaya hanya ditujukan kepada binatang atau playboy pada padanankata lelaki buaya, sekarang kata-kata ini juga bermakna KPK dan Polisi.

Tanpa disadari oleh berbagai pihak, pasca gempa tanggal 30 September2009 di Sumatera Barat, sejumlah leksikon dan akronim semakin tersosialisasi.Sebut misalnya ACT (Aksi Cepat Tanggap), TTD (Tim Tanggap Derurat), LCB(Liburan Cerdas Bunda), wisata bencana, trauma healing, dan lain-lain. Kata-kata tersebut perlu diidentifikasi dan sebagiannya perlu diterjemahkan ke dalambahasa Indonesia.

Gambar 2: Kata peduli adalah salahsatu kata yang banyak diberdayakandan dipadankan dengan kata lain.Foto diambil di BIM bulan Oktober2009.

Gambar 3:Kata peduli dipadankan denganbantuan. Foto diambil di BIM bulanOktober 2009.

Gambar 4: Kata Tidak Layak Huni yang ditempel oleh PNPM Mandiri padasejumlah rumah pasca gempa tanggal 30 September 2009 bukan berarti rumahyang tidak bisa ditempati, tetapi dapat dimaknai sebagai rumah yangkerusakannya agak parah sekalipun masih bisa dihuni secara layak. Foto diambildi rumah penduduk bulan Oktober 2009. Kata-kata dengan nuansa terkait masihperlu diteliti.

Page 5: e135: THE FUTURE LANGUAGE DICTIONARY Sawirman ABSTRACT

Linguistika Kultura, Vol.03, No.03/Maret/2010

266

Gambar 5: Salah satu spanduk saat trauma healingdilakukan. Foto diambil 18 Oktober 2009. Katatrauma healing hanyalah salah satu kata dariratusan kata yang belum ditemukan padanannyadalam konteks bahasa Indonesia pasca gempa 30September 2009.

Gambar 6: Salah satustiker di mobil bantuan.Foto diambil di BIMOktober 2009

Pasti masih ingat dalam benak masyarakat Indonesia pada saat katacontreng digunakan dalam Pesta Demokrasi tahun 2004. Dalam KBBI(2002:220), setelah entri kata conteng yang berarti ‘pembungkus atau wadah daridaun atau kertas yang berbentuk kerucut’ langsung meloncat ke entri cop yangbersinonim dengan kata kecup. Dengan demikian, kata contreng belum terdaftardalam KBBI andalan Indonesia tersebut. Usut punya usut, ternyata kata contrengadalah Dialek Betawi. Permasalahannya sekarang, sudahkah kata-kata itudidaftar dalam KBBI cetakan terkini? Adalah sebuah kekeliruan besar dan akanmenjadi cacatan sejarah yang memalukan bila kata ini belum dibakukan menjadikata resmi bahasa Indonesia. Sejumlah akronim pun beredar kala itu. PartaiKeadilan Sejahtera (PKS) misalnya memunculkan sejumlah akronim baru, daripartai kasih sayang hingga peduli kesejahteraan sesama. PKS tidakmenggunakan istilah “Ketua Partai”, tetapi “Presiden Partai” (baca pulaSawirman, 2009).

Gambar 7: Kata Dapildiberdayakan untuksingkatan Daerah Pemilihan

Gambar 8: Selain Kata Dapil, kata DP. diberdayakanpula untuk singkatan Daerah Pemilihan

Bila tidak segera diinventarisasi dan didokumentasi, sejumlah kata tersebut akanmengalami overgeneralisasi sehingga menjauh dari makna aslinya. Dengan

Page 6: e135: THE FUTURE LANGUAGE DICTIONARY Sawirman ABSTRACT

Sawirman

267

demikian, sebuah kamus yang merangkul penelusuran kata secara etimologisdan genalogis dengan membandingkan bentuk dan makna kata dengan bentukdan makna protonya, perkembangan semantis kata dalam konteks kekinian,pihak-pihak yang mempopulerkan dan miskonsepsi seputar kata, sertapenelusuran pola, imaji, citra, arkeologi, ideologi, dan filsafat yang terdapatdalam setiap kata diperlukan untuk kamus masa depan.

Selama ini aspek genealogis jarang disentuh oleh pembuat kamus.Kebanyakan kamus yang beredar belum memberikan gambaran terhadapperkembangan entri dari masa ke masa. Kealfaan sang pembuat kamusterhadap atensi nilai-nilai kultural dan sosial yang mewarnai perkembangansuatu kata akan berkonsekuensi pada ketiadaan tanggung jawab etis. Hal inilahyang mendasari diusulkannya kerangka konseptual e135 untuk dijadikan sebagaisalah satu guideline dalam mengembangkan kamus masa depan.

3. e135 sebagai Model Pengembangan Entri Kamuse135 merupakan singkatan dari “Enkripsi 135”2. Ada lima tahapan analisis

dalam e135 yang disimbolkan dengan angka 5. Lima tahapan tersebut dirangkulmenjadi satu kata, yakni RESET (Refleksi, Ekspresi, Signifikasi, Eksplorasi, danTransfigurasi) yang masing-masingnya dilandasi dengan landasan ontologis,epistemologis, dan aksiologis seperti dalam tabel berikut.

Tabel 1: Landasan Analisis dalam e1355 Tahapan

Analisis5 Objek Material/ 5 Objek Formal

Ontologis

Filosofi, Fokus, Abstraksi

Epistemologis

Pendekatan, Epistem, Data

Aksiologis

Logika, Sistem, Teori

I RefleksiBahasa sebagai cermin

Otoritas teks/ produk

Abstraksi bentuk

Pendekatan formalis

Epistemologi objektif

Teks

Logika reflektif

Sistem langue

Wacana Formalis

II Ekspresi Bahasa sebagai ekspresi

Otoritas pemproduksi teks

Abstraksi fungsi

Pendekatan fungsional

Epistemologi subjektif

Intrateks

Logika ekspresi

Sistem parole

Fungsi wacana

III Signifikasi Bahasa sebagai permainan

Otoritas pengonsumsi teks

Abstraksi makna

Pendekatan kritis

Epistemologi pragmatis

Interteks

Logika semantis

Sistem tanda

Semiotik

2 Ada perubahan singkatan untuk huruf e pada e135 pada artikel ini. Pada beberapaartikel saya terdahulu, huruf e pada e135 menyimbolkan sebuah eksemplar.Perubahan tersebut tiada lain untuk menghargai masukan responden selamamelakukan uji coba pada model ini selama penelitian Hibah Bersaing tahun 2009.

Page 7: e135: THE FUTURE LANGUAGE DICTIONARY Sawirman ABSTRACT

Linguistika Kultura, Vol.03, No.03/Maret/2010

268

IV Eksplorasi Bahasa ajang dialektis

Otoritas intersubjektif

Abstraksi efek makna

Pendekatan posmodernis

Epistemologi metaetis

Hiperteks

Logika dialektis

Sistem dialektis

Hipersemiotik

V Transfigurasi Bahasa sebagai kesenangan

Otoritas interpretan

Abstraksi solusi strategis

Pendekatan cultural studies

Epistemologi hermeneutis

“Cultural studies”

Logika filosofis

Sistem nilai

Pemetaan Bahasa

Setiap paradigma memiliki objek material dan objek formal. Objek material danobjek formal diaplikasikan pada lima tahapan analisis (simbol angka 5 padae135). Sebagai titik tolak pemahaman, masing-masing tahap diberi penjelasanakademis ringkas seperti berikut.

a. Tahap refleksiBeberapa filosofi yang mendasarinya tahap refleksi adalah language is a

mirror of mind (bahasa adalah cermin pikiran, refleksi realitas, atau refleksisebenarnya) seperti yang diungkapkan Chomsky, text is operational of languageseperti yang disebut Halliday. Tahap ini menyediakan ruang bagi penganut yangmenganggap tanda yang tersaji dalam wacana/tanda dinilai sama denganrealitas empirik (X=X). Wacana/tanda berperan sebagai reflektor sekadarmenghadirkan fakta atau peristiwa yang ada atau berlangsung dalam realitasempiris.

Pendekatan/teori wacana formalis atau teori-teori linguistik (mikro) dapatdigunakan pada tahap refleksi. Tahap ini merupakan ruang bagi para linguisuntuk membedakan analisis wacana yang mereka lakukan dengan analisiswacana yang juga dilakukan oleh para ahli dalam sejumlah disiplin ilmu.Pemanfaatan wacana formalis yang dimaksudkan tidak harus tergantung dengansebuah teori besar (grand narrative) tertentu. Tipe data sebuah wacana/teksdijadikan sebagai titik sentral untuk memilih teori-teori formalis yang sepadan.Bila sebuah wacana/teks memuat klausa pasif, maka teori pemasifan danpendatifan perlu diungkap terlebih dahulu. Sejumlah teori pasif/datif dalamsejumlah aliran (baik wacana maupun sintaksis) dapat digunakan pada tahap ini.Perlu diingat bahwa tidak ada satu pun teori yang betul-betul mampumengakomodasi semua tipe data dalam wacana/teks yang beragam. Dengankata lain, tahap refleksi menampung aneka teori formalis atau linguistik mikroyang sesuai dengan tipe data yang dianalisis.

Tahap refleksi memaknai teks/wacana sebagai sebuah produk dalamwujudnya secara fisik (“object oriented”). Objek material atau data yangdigunakan adalah teks (dalam artian teks atau wacana yang ditelaah, bukanintrateks, interteks atau hiperteks). Tahap refleksi adalah elaborasi sistemlangue, determinisme teori sistem (mencari makna dari sumber standar danhukum keteraturan), kategori benar-salah, linear, bahasa sebagai cerminmonolitik, abstraksi bentuk, dan logika operasi praktis (sesuai nilai tukar) yangmemposisikan teks sebagai sebuah instrumen.

Page 8: e135: THE FUTURE LANGUAGE DICTIONARY Sawirman ABSTRACT

Sawirman

269

b. Tahap ekspresiEkspresi merupakan hubungan antara bahasa sebagai tanda dengan

konsep mental yang dipresentasikannya dengan realitas yang ada tentang fakta,manusia, keadaan, peristiwa, benda nyata, atau objek fiktif. Sebagai kesatuanintelectual organic (meminjam istilah Gramsci), praktik wacana, bahasa, atautanda yang dipresentasikan ke ruang publik adalah koleksi sejumlah ide, pikiran,dan gagasan subjektif pemproduksi teks. Sebuah wacana merupakan hasilkonstruksi pengarang dengan percampuran faktor subjektivitas, ideologi, kultur,dan nilai yang dianut pembuat teks. Konstruksi realitas yang dibuat pemproduksiteks dari berbagai objek atau peristiwa menjadi wacana bermakna dan dapatmenentukan citra terhadap objek atau peristiwa dimaksud.

Dalam konteks e135, para analis wacana pada tahap ekspresi diharapkanmampu mengungkap ekspresi mental di balik wacana/teks yang dihadirkansecara tersembunyi oleh pemproduksi teks. Pemproduksi teks, wacana, tanda,atau kata yang dimaksudkan bisa precurso3r, instigator4, produser5, distributor6,atau intenceptor7. Dengan kata lain, bias kepentingan dan ideologis setiap subjek(pengarang, media, institusi, dan lain-lain) sebagai pemproduksi teks perlumenjadi titik perhatian tahapan ini. Analis diharapkan dapat “memposisikan diri”sebagai pemproduksi teks pada tahap ini atau disebut “otoritas pengarang”.Dengan demikian, e135 juga menghargai subjek pengeluar teks. Dengan katalain, e135 tidak serta merta menganggap “pengarang sudah mati” seperti klaimRoland Barthes. Hak pengarang masih dihargai. Objek material tahap inidilakukan dengan “intrateks”. Term “intrateks” yang dimaksudkan teks-tekssejenis yang juga dihasilkan oleh pemproduksi teks sebagai pelaku representasi.Tahap ekspresi yang dimaksudkan dalam e135 dapat merangkul representasisejumlah fungsi kewacanaan (abstraksi fungsi).

Dalam konteks ini bahasa dianggap menjadi bagian dari sistemrepresentasi. Pertukaran makna terjadi ketika ada akses terhadap bahasabersama sebagai sistem langue. Bahasa sebagai sistem tanda (sign) akanmembawa makna setelah diwujudkan dalam bentuk kata, ungkapan, gaya, diksi,suara, mimik, gestures, kesan, serta wilayah bahasa lainnya. Selain filosofiGadamer bahasa sebagai rumah ada (language is the house being) dan filosofiHeidegger bahasa sebagai apresiasi, filosofi Halliday bahasa sebagai ekspresi(perasaan, pengalaman, ide, pikiran, gagasan, dan pengalaman) serta filosofiGibbons bahwa “kata adalah rumah baru bagi gagasan universal” juga melandasitahapan ini.

3 Precursor yang dimaksudkan dalam e135 adalah aktor sosial yang pertama kalimenemukan, menciptakan suatu ide, tanda, dan wacana namun tanpa visi strategis.

4 Instigator yang dimaksudkan dalam e135 adalah aktor sosial yang pertama kalimemulai atau membangun visi suatu proses taktis atau strategis suatu wacana atautanda

5 Produser yang dimaksudkan dalam e135 adalah aktor sosial yang memproduksisecara masif sebuah wacana atau tanda.

6 Konsep distributor yang dimaksudkan dalam e135 adalah penyalur suatu wacana atautanda kepada masyarakat atau komunitas

7 Interseptor yang dimaksudkan dalam e135 adalah aktor sosial yang memotong jalurdistribusi suatu wacana atau aktor sosial yang menyerobot atau melakukan sabotaseterhadap aliran makna suatu wacana atau tanda

Page 9: e135: THE FUTURE LANGUAGE DICTIONARY Sawirman ABSTRACT

Linguistika Kultura, Vol.03, No.03/Maret/2010

270

Ekspresi merupakan kongretisasi pemakai bahasa yang terbentuk melaluiperseptual, pengalaman, dunia ide, kesadaran batin, dan fungsi representasiyang bila dikaitkan dengan statemen Halliday dapat disejajarkan dengan bahasasebagai wahana ideasional (wahana mengekspresikan sesuatu) daninterpersonal (wahana menilai, menyikapi, dan berinteraksi). Bahasa sebagaiekspresi “logika kesadaran”, sistem parole, emosi, pikiran, ide, dan tingkah laku,bukan hanya sekadar serangkaian kata penunjuk benda. Objek material padatahapan representasi adalah data interteks. Semua teks yang terkait perludipahami secara totalitas sebagai penghargaan pada otoritas the author.

c. Tahap signifikasiSignifikasi adalah sebuah istilah yang sudah ada sejak Plato. Plato’s

notion that the image-like quality of an expression enables the addressee torecognize what speaker is thinking his initial theory that “the signification ofwords is given .... (Keller, 1998:111). Term signifikasi (signification) diberdayakankembali oleh Barthes dalam teori semiotika. Semiotika Barthes memiliki duatahap pemaknaan, yakni: (1) language object dan (2) signifikasi atau meta-language (meta-bahasa). Aspek penting yang dikemukakan Barthes pada tahapmeta-bahasa adalah pentingnya peran pembaca (otoritas pembaca). Prosespemaknaan terhadap teks adalah negosiasi antara representasi mentalpemproduksi teks (sebagai pelaku representasi) dengan representasi mentalpembaca teks. Tahap signifikasi dalam e135 menyediakan ruang bagi pembacaseluas-luasnya untuk melacak makna terhadap representasi mental pemproduksiteks. Tahap ini mengharapkan seorang analis teks agar memposisikan dirisebagai seorang pembaca teks yang kritis untuk men-decode ataumenginterpretasikan makna teks.

Tanda yang tersaji dalam wacana/media belum tentu merefleksikanrealitas yang sebenarnya. Bisa saja tanda X mempresentasikan realitas X-(tanda semu), atau tanda X mempresentasikan realitas X+ (tanda hiperealitas),atau tanda X mempresentasikan realitas Y (tanda dusta), dan lain-lain. adalahberalasan mengapa tahap signifikasi membutuhkan keaktifan pembaca dalammemaknai sebuah teks agar dapat berfungsi sesuai dengan logika kesetaraannilai guna sebuah teks atau teks dianggap sebagai komoditas.

Semakin penuh pembaca diberi otoritas memaknai sebuah teks, makasemakin sentral peran bahasa sebagai sebuah tanda. Tanda (lingual) dalamsebuah teks tidak hanya berwujud morfem, fonem, kata, frase, klausa, kalimat,dan paragraf, tetapi juga kategori, struktur, klasifikasi, diksi, kata/ klausa kunci,dan ejaan yang digunakan merepresentasikan konsep, gagasan, atau perasaansehingga memungkinkan pembaca memaknainya. Menurut Saussure languageis a system of signs that express ideas, and is therefore comparable to a systemof writing, the alphabet of deaf–mutes, symbolic rites, polite formulas, militarysignals, etc. but is the most important of all these systems8. Fungsi bahasamenurut Stuart Hall juga dapat dianggap sebagai tanda9. Dengan demikian,penggunaan ranah semiotika untuk menganalisis teks/wacana menjadi semakinsentral. Sebagai representasi logika esensial, proposisi, metabahasa, dan sistem

8 Arthur Asa Berger, Media Analysis Techniques, Sage Publications, Beverly Hills,California, 1982, hal. 16. dalam Hermawan (2008).9 Stuart Hall (Ed.), Representation: Cultural Representations dan Signifying Practices,Sage Publications, London, 1997, hal.5, seperti dikutip Hermawan 2008.

Page 10: e135: THE FUTURE LANGUAGE DICTIONARY Sawirman ABSTRACT

Sawirman

271

emik, data interteks dalam konteks ini dijadikan sebagai objek material. Tahapsignifikasi e135 yang dilandasi filosofi Wittgenstein, bahasa adalah permainan(language is a game) dianggap sebagai abstraksi makna.

d. Tahap eksplorasiTerma eksplorasi berasal dari bahasa Inggris exploration [explore+-tion].

Explore berarti “examined throughly in order to test, learn about” (Hornby,1987:300). Istilah eksplorasi yang digunakan dalam e135 mengindikasikan agarpenjelajahan makna tanda/simbol lingual dianalisis sampai tahapan maknaterdalam(depth meaning) seperti harapan Baudrillard. Makna tersembunyi dibalik kata eksplorasi e135 dapat disejajarkan dengan (1) surplus meaning, telaahplus, wacana ontologis, atau wacana tambah oleh Paul Ricoeur, (2) wacana baruoleh Roland Barthes, (3) wacana explanatory oleh Chomsky, dan (4) depthmeaning oleh Baudrillard. Tahap eksplorasi dilandasi filosofi berpikir Herderkutipan Gibbons (2002:142) yang menganggap bahasa sebagai ajang dialektisuntuk mencapai kesadaran reflektif. Sebagai representasi logika paradigmatis,kemenduaan, dan perbedaan sesuai dengan nilai tanda/simbol sebagai ajangdialektis, “data hiperteks” dalam konteks ini dijadikan sebagai objek material agarnegosiasi makna dengan kuasa dan dialektika struktur-agen sebuah teks dapatterungkap dalam tahap ini. Para analis wacana pada tahap ini diharapkan tidaklagi mempersoalkan kedudukan tanda/simbol, baik sebagai replika realitasmaupun menipu realitas, tetapi lebih concern pada jawaban bagaimana pihak-pihak berkepentingan saling memperebutkan, saling mempertentangkan, salingmenegasikan, dan saling melakukan tesis, antitesis, sintesis terhadap sebuahtanda/simbol. Otoritas intersubjektif Habermas atau kesesuaian teks denganinterpretasi yang berbeda-beda berdasarkan norma, nilai universal, latar historis,kultural, politis, ideologis, serta konteks ruang dan waktu masing-masingpemproduksi teks ditelaah pada tahap ini.

e. Tahap transfigurasiMenurut Ricoeur seperti dikutip Gibbons (2002:xviii), sebuah teks dari

sisi penulis teks tercipta melalui tiga tahapan, yakni: (1) pra-figurasi (tahappengalaman yang belum terumuskan); (2) konfigurasi (perumusan pengalamandan gagasan oleh penulis teks); dan (3) transfigurasi (penafsiran teks olehbanyak orang secara berbeda). Ketiga tahapan itu menurut Ricoeur dan Gibbonstidak pernah murni dan selalu terdistorsi oleh discursive practices. Dengandemikian, implikasi dari tahap transfigurasi e135 adalah mempersilakan masing-masing analis memaknai wacana secara berbeda tergantung pada pemahamansubjektif antar-analis berdasarkan horizon ekpektasinya. Kebebasan penelaahteks/tanda seperti harapan para hermeneutis, dekonstruksionis, danposmodernis menjadi konsep kunci tahap transfigurasi. Tahap ini dilandasifilosofi Barthes text is a pleasure yang dapat didekati baik dengan logika filosofis,etis, preskriptif (prediksi ke depan), nilai hidup, nilai religius, kejiwaan, estetis,kesucian, kesakralan, maupun dengan kearifan penelaah teks. Tahap ini adalah“haknya” analisis teks untuk berinterpretasi berbasis sejumlah celah-celahpemaknaan empat tahap sebelumnya.

4. Contoh analisis dengan e135Untuk memaknai kata dengan lima tahapan dimaksud, antara lain dapat

dilihat pada contoh kata teror berikut.

Page 11: e135: THE FUTURE LANGUAGE DICTIONARY Sawirman ABSTRACT

Linguistika Kultura, Vol.03, No.03/Maret/2010

272

a. Tahap refleksiPada tahap ini, mencari bentuk dan makna proto sebuah kata diperlukan.

Pencarian bentuk dan makna proto (asali atau dasar) sebuah kata tidak mungkinhanya ditemukan dari sebuah teks, kamus, atau buku. Kajian interteks padasejumlah sumber dan referensi harus dibedah secara kritis terlebih dahulu.Berdasarkan penelusuran didapatkan fakta bahwa kata teror sering dikaitkandengan kekacauan dan kepanikan. Dengan demikian aspek psikologis danmental menjadi acuan semantis pemaknaan. Salah satu prinsip e135 adalahpengenal prinsip shelter sebagai tempat persinggahan setiap makna. Dengandemikian, makna tahap I akan disimpan dalam shelter 1 seperti pernyataanberikut.

Shelter 1Teror

Kata teror sering dikaitkan dengan kekacauan dan kepanikan denganmenjadikan aspek psikologis dan mental menjadi fitur pemaknaan. Kata terorpada awal kemunculannya dilekatkan pada sosok-sosok psikopat (Landau,2002:700).

Analisis pemaknaan kata perlu dilanjutkan ke tahap kedua yang disebut dengantahap ekspresi.

b. Tahap ekspresiTahap ini perlu mencari pihak-pihak pemproduksi baik secara

kelembagaan maupun secara individual serta aneka aspek kepentingan yangtermaktub di dalam kata tersebut. Informasi yang didapatkan dapat disimpanpada shelter 2 seperti pernyataan berikut.

Shelter 2Teror

Kata teror dalam perspektif sejarah ternyata sebuah kata yang cukup tua. Katateror dan teroris atau sejenisnya ternyata dikenal hampir pada semua etnis,negara, dan ideologi besar di dunia. Aspek-aspek politis, ideologis, ekonomis, danekologis ternyata menjadi latar belakang utama. Aneka terma holy war (“perangsuci”) terdapat pada semua ideologi besar dunia (Amstrong, 2001). Stalin (pewaristahta Lenin) di Rusia saat “memegang sabuk juara pemerintahan teror”menghabisi lawan politiknya Trotsky beserta keluarganya dengan cara sadis. Katateror masuk ke dalam kosa kata politis pada masa Revolusi Perancis. Istilah redterror dan white terror pernah beredar pada masa revolusi Rusia tahun 1917.Istilah ini berkembang menjadi great terror pada masa yang sama. Semasaperang dingin, Rusia yang dianggap AS sebagai sarang teroris. Gerilya MacanTamil sekuler mengatasnamakan kemerdekaan wilayah utara Sri Lanka, kelompokHezbollah mengatasnamakan ekologis untuk mengusir tentara pendudukan Israel,kelompok Hamas (atas nama perjuangan kemerdekaan Palestina), partai Kurdi(atas nama menuntut kemerdekaan Kurdi), IRA (atas nama ideologi), al-Qaida(atas nama ideologi), Lebanon, Irak, India, Lybia, Arab, Sigh, Kurdi, Tamil, Irlandia(atas nama negara), serta Aceh, Ambon, dan Irian (atas nama etnis) pernahmendapat julukan teroris dengan versinya masing-masing. Terlepas dari adanya

Page 12: e135: THE FUTURE LANGUAGE DICTIONARY Sawirman ABSTRACT

Sawirman

273

unsur rekayasa atau bukan, tragedy WTC, bom Bali I (12 Oktober 2002), JWMarriott (5 Agustus 2003), Kadubes Australia (9 September 2004), bom Bali II (1Oktober 2005), peledakan bom Madrid, Spanyol (11 Maret 2004), dan BomLondon (7 Juli 2005 yang terjadi tepat pada saat konferensi G8 di Skotlandia) danbom yang meledak di kota Delhi pada tanggal 29 Oktober 2005mengatasnamakan ideologis (Piliang, 2004:225; Kendal, 2005; Tobing 2005;Sawirman, 2008).

c. Tahap signifikasiTahap ini perlu mencari pihak-pihak yang menjadi target aksi dan wacana

teror baik secara kelembagaan maupun secara individual. Informasi yangdidapatkan dapat disimpan pada shelter 3 seperti pernyataan berikut.

Shelter 3Teror

Sejarah terorisme dunia merilis catatan panjang aksi kelabu yangdilakukan organisasi yang umumnya bersimbolkan religi dan politis. Seperti yangdiungkap oleh John Kendal (pengamat teroris AS) saat diwawancarai oleh MetroTV (salah satu tv swasta di Indonesia) di tahun 2005, hampir semua ideologi besardunia dan negara di dunia memiliki catatan kelam seputar aksi teror yangdilakukan oleh penganut dan warga negaranya. Kendal mengungkap secara detailsejumlah aliran garis keras, aliran ekstrim, dan noda hitam sejarah yang pernahdilakukan oleh “sekelompok makhluk” mengatasnamakan semua ideologi besardunia. Target Stalin (pewaris tahta Lenin) di Rusia menghabisi lawan politiknyatermasuk Trotsky beserta keluarganya. Semasa perang dingin, AS dijadikansebagai target wacana teror Rusia dan sebaliknya. Target Fight the Terror ASpasca WTC adalah Al-Qaida, JI, dan lain-lain.

d. Tahap eksplorasiMencari kolokasi dan padanan kata teror dalam konteks kekinian secara

multidimensi menjadi titik fokus pada tahap ini. Berdasarkan kolokasi danpadanan kata teror yang didapat dari berbagai sumber dalam konteks kekinianmaka pernyataan-pernyataan dalam kamus dapat berisi seperti dalam shelter 4berikut.

Shelter 4Teror

Dalam konteks kekinian10, kata teror dilekatkan pada berbagai ranah. Parapenderita penyakit susah tidur (insomnia) juga sering disebut night terror.Sembilan buah kapal milik Angkatan Laut AS diberi nama HMS terror. Terror bandadalah nama sebuah grup band terkenal di dunia. di Antartica dan di USA, jugaada nama mount terror (sebuah nama gunung). Sebutan terror core juga dipakai dibidang mode khususnya pemakai gaya ekstrim. Teror juga menjadi judul sebuahkomik. Nama kapal Emsworth Oyster yang didesain, dibangun, dan dioperasikandi sebuah desa atau daerah kecil di Inggris juga diberi nama Emsworth teror padatahun 1890-1900s. Istilah terror fiction juga beredar di kalangan para pengagumfiksi horor. John Kendal tahun 2004 juga mengeluarkan istilah “millenium terrorist”untuk menyebut para pelaku teror yang mau mengorbankan diri atau nyawanya

10 Sebagian contoh diakses dari http://en.wikipedia.org/wiki/terror/graphology

Page 13: e135: THE FUTURE LANGUAGE DICTIONARY Sawirman ABSTRACT

Linguistika Kultura, Vol.03, No.03/Maret/2010

274

untuk sebuah keyakinan atau ideologi yang dianggapnya benar, seperti tragediWTC, Bom Bali, Bom London, dan lain-lain.Istilah terror fiction juga beredar dikalangan para pengagum fiksi horor. Dewasa ini, kata teror identik dengankriminal seperti yang marak diberitakan media massa. Kata ini mengalamipeyoratif sejak dilekatkan pada Islam pasca tragedi WTC.

e. Tahap transfigurasiTahap ini disebut juga tahapan solutif. Selain simpulan, aneka solusi

strategis diharapkan dapat muncul pada tahapan ini berbasis temuan empattahap temuan sebelumnya seperti pada shelter 5 berikut.

Shelter 5Teror

Kata teror ternyata sudah mengalami overgeneralisasi sehinggakehilangan arah makna dari makna asalnya. Kata teror yang secara genealogissejak awal kemunculannya sampai perkembangan makna dalam konteks kekinianmengalami perubahan secara meluas (broadening).

Contoh tersebut baru analisis sekilas aplikasi e135 untuk mengungkap sebuahsimbol lingual yang diharapkan dapat menjadi salah satu panduan untukmembuat kamus dan ensiklopedia masa depan. Analisis sejenis juga dapatdilakukan pada semua genre leksikon lainnya.

5. PenutupKamus impian masa depan adalah kamus yang tidak hanya mampu

mendokumentasikan kata, tetapi juga mampu memberikan kecerdasan danperjuangan etis bagi kemanusiaan. Selain ke arah Postdiscourse Sawirman-e135(PDS-e135), Postsemiotics Sawirman-e135 (PSS-e135), PostkeywordSawirman-e135 (PKS-e135), dan Postlingual symbol Sawirman-e135 (PLS-e135), dengan segala keterbatasan yang ada, e135 akan dikembangkan ke arahteori menulis (writing theory) dan leksikologi yang berhubungan dengan duniaperkamusan.

Page 14: e135: THE FUTURE LANGUAGE DICTIONARY Sawirman ABSTRACT

Sawirman

275

REFERENCEAmstrong, K. 2001a. Sejarah Tuhan Kisah Pencarian Tuhan yang Dilakukan oleh

Orang-orang Yahudi, Kristen, dan Islam Selama Empat Ribu Tahun.Bandung: Mizan.

Amstrong, K. 2001b. Muhammad Sang Nabi: Sebuah Biografi Kritis. TerjemahanSirikit Syah. Surabaya: Risalah Gusti.

Chomsky, Noam. 2001. Maling Teriak Maling: Amerika Sang Teroris. Bandung:Mizan Pustaka.

Chomsky, Noam. 2003. Power and Terror Perbincangan Tragedi WTC 11September 2001. Terjemahan. Yogyakarta: Ikon Teralitera.

Hardiman, F.B. 2003. Terorisme: Paradigma dan Definisi. Dalam Marpaung danAl Araf, (eds). Terorisme, Definisi, Aksi, dan Regulasi. Jakarta: Imparsial.

Kuhn, T.S. 2002. The Structure of Scientific Revolution Peran Paradigma dalamRevolusi Sains. Terjemahan Tjun Surjaman. Bandung: RemajaRosdakarya.

Piliang, Y.A. 2003. Hipersemiotika, Tafsir Cultural Studies atas Matinya Makna.Yogyakarta: Jalasutra.

Piliang, Y.A. 2004. Posrealitas: Realitas Kebudayaan dalam Era Posmetafisika.Yogyakarta: Jalasutra

Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional. 2002. Kamus Besar BahasaIndonesia (Edisi Ketiga). Jakarta: Pusat Bahasa Depdiknas.

Sawirman, dkk. 2007. Simbol Lingual, Material, dan Wacana Fotografis sertaKontribusinya pada Kebijakan Nasional dan UU Antiterorisme. LaporanPenelitian Hibah Bersaing tahun 2007.

Sawirman. 2008. Selamatkan Linguistik dengan e135. Makalah pada NationalSeminar on Language Literature and Language Teaching di FBSS UNPPadang tanggal 10-11 Oktober 2008

Sawirman. 2009a. e135: Campur Kode “Indomi”, “Indobet”, dan “Indolish” ElitIndonesia

Sawirman. 2009b. e135 menuju Teori Linguistik Terapan dan Haki.Dipresentasikan dalam Forum Nominasi Unand Award tanggal tanggal 27September 2009 di Basko Hotel Padang.

Sawirman, dkk. 2009. Pengembangan Pembelajaran Linguistik BerbasisKompetensi dan Cultural Studies Menuju Pembentukan Kurikulum Magisterdan Mazhab Linguistik Universitas Andalas. Laporan Penelitian HibahBersaing Dikti Tahun 2009.

Sawirman. 2010. e135 Mengeksplorasi Aneka Ranah Bahasa dan Media.Disampaikan dalam Seminar Internasional Melayu Lintas Media di GedungE Universitas Andalas tanggal 16 Februari 2010.

Syafril, Elsa Putri Ermisah. 2009. Kamus Bahasa Tansi Sawahlunto. Yogyakarta:Yayasan Pendidikan Roda.