efektivitas program csr/cd dalam

23

Upload: others

Post on 01-Dec-2021

6 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 2: Efektivitas Program CSR/CD dalam

Efektivitas Program CSR/CD dalam Pengentasan Kemiskinan; Studi Peran Perusahaan Geotermal di Jawa Barat1

D o d y P r a y o g oDosen Sosiologi FISIP UI

Email: [email protected]

Yo s e f H i l a r i u sDosen Sosiologi FISIP UI

Email: [email protected]

abstract

this study discusses model of measurement to assess the effectiveness of programs of corporate social responsibility (CSR) held by corporation of mines, oil and gas, and geothermal in relation with poverty alleviation within the surrounding communities. the case study is conducted in a geothermal company in West Java. Results of study indicate that measurements of CSR should be developed in accordance with the scale of program, and should as well make use micro indicators which are relevant with elements of poverty. also, the assessment should mainly be focused to the target group of beneficiaries. the role of corporation can be differentiated with the role of government in alleviating the poverty, and hence the effectiveness should be measured with micro indicators. In general, the significances of CSR program in poverty alleviation are high in the variables of effectivity and relevance, but low in variables of sustainability and empowerment. Programs of economic and infrastructure development are predominant than that other programs such as education and health.

Kata kunci: CSR, efektivitas program, korporasi, komunitas lokal

1 Penulis mengucapkan terima kasih kepada Rizki Yuli Adrian dan Michael Martin sebagai asisten peneliti untuk studi ini.

Page 3: Efektivitas Program CSR/CD dalam

2 | DODY PR AYOGO DA N YOSE F H I L A R I US

Jurna l Sosiolog i M ASYA R AK AT Vol. 17, No. 1, Januar i 2012: 1-22

PENDA HU LUA N

Ditinjau dari institusi pelaksananya selama ini, upaya pengentasan kemiskinan banyak dibebankan dan dikerjakan oleh pemerintah sebagai agen utama pembangunan. Pemerintah sebagai lembaga negara adalah institusi paling bertanggung jawab atas masalah kesejahteraan dan keamanan warganya. Namun, karena masalah kemiskinan merupakan masalah kompleks, tidak hanya karena keterbatasan sumber daya manusia dan potensi ekonomi, melainkan juga masalah struktural (kelembagaan yang korup) mengakibatkan upaya pengentasan kemiskinan secara nasional menjadi terhambat. Pada sekitar dua dekade terakhir, khususnya setelah reformasi politik 1998, peran lembaga swadaya masyarakat (LSM) secara langsung dalam upaya pengentasan kemiskinan mulai berkembang dan tampak secara nyata. Saat Indonesia mengalami krisis ekonomi dan reformasi politik (1998), banyak program dan kegiatan pengentasan kemiskinan dikerjakan oleh kalangan LSM, baik yang sumber dananya dari pemerintah sendiri seperti Jaring Pengaman Sosial, maupun dari sumber lain seperti lembaga asing dan korporasi. Banyak program pengentasan kemiskinan dikembangkan yang terkait dengan sektor ekonomi, pendidikan, kesehatan, lingkungan, infrastruktur, serta sektor lainya dikerjakan oleh kalangan LSM. Namun upaya seperti ini pun belum menunjukan hasil yang cukup luas dan signifikan, melainkan terbatas pada cakupan wilayah secara mikro pada lokasi dan masyarakat tertentu saja.

Kemudian, pada awal tahun 2000-an khususnya setelah reformasi politik 1998, banyak gagasan baru muncul bahwa peran sektor bisnis (korporasi) mulai banyak dipertanyakan, atau lebih tepatnya ditekan untuk berpartisipasi secara langsung untuk turut menyejahterakan masyarakat khususnya komunitas di sekitar wilayah operasi mereka. Premis Milton Friedman bahwa tanggung jawab sosial korporasi adalah menciptakan keuntungan bagi pemiliknya sudah gugur dan banyak ditentang. Korporasi memiliki tanggung jawab sosial selain tanggung jawab bisnis dan legal. Berdasarkan hal tersebut, keterlibatan langsung sektor bisnis dalam upaya penghentasan kemiskinan kemudian dikembangkan bersamaan dengan konsep corporate social responsibility (CSR) serta community development (CD). Sumbangsih dunia bisnis secara langsung dituntut oleh banyak kalangan, baik secara global misalnya melalui MDGs, Global

Page 4: Efektivitas Program CSR/CD dalam

E F E K T I V I T A S P R O G R A M C S R / C D | 3

Jurna l Sosiolog i M ASYA R AK AT Vol. 17, No. 1, Januar i 2012: 1-22

Compact (oleh PBB), serta secara manajemen melalui ISO 26000. Di Indonesia secara khusus, telah disahkan UU 40/2007 pasal 74—bahkan pasal ini menang dalam sidang gugatan di Mahkamah Konstitusi—yang menegaskan keharusan korporasi (swasta) untuk melaksanakan program CSR. Oleh sebab itu dapat ditegaskan bahwa peran sektor bisnis dalam turut mengentaskan kemiskinan di Indonesia sangat kuat alasannya, baik dilihat dari aspek moral, legal, sosial bahkan secara bisnis untuk kepentingan korporasi itu sendiri.

Dalam hal keterlibatan sektor bisnis dalam upaya pengentasan kemiskinan, kiranya tidak banyak studi yang telah menunjukan bagaimana isi dan metode serta sejauh mana tingkat keberhasilan program CSR dan CD korporasi dalam turut mengentaskan kemiskinan masyarakat di sekitarnya. Kajian-kajian tentang CSR dan CD korporasi tambang, migas, dan geotermal mungkin sudah sangat banyak dilakukan secara manajemen dan ekonomi, seperti oleh BP Migas (2005, 2008). Namun, dalam kaitannya dengan upaya pengentasan kemiskinan kiranya masih sangat langka kajian dilakukan oleh disiplin ilmu sosial, khususnya Sosiologi. Studi ini memfokuskan kajiannya dalam melihat peran serta sektor bisnis, khususnya industri tambang, migas, dan geotermal dalam upaya pengentasan kemiskinan di Indonesia. Industri tambang, migas, dan geotermal dipilih karena sektor industri ini memang melakukan eksploitasi sumber alam setempat serta banyak bersentuhan secara langsung dengan komunitas di sekitar mereka, sehingga secara moral memiliki ”kewajiban” lebih besar serta terkait langsung terhadap kemiskinan pada komunitas di sekitar mereka.

Tingkat keberhasi lan program CSR dalam pengentasan kemiskinan dapat berbeda-beda bergantung pada jenis program yang dilaksanakan. Demikian juga metode pengelolaan program yang lebih partisipatif akan lebih memengaruhi tingkat keberhasilan program CSR dalam pengentasan kemiskinan. Tulisan ini secara umum bertujuan melihat bahwa selain untuk kepentingan bisnis (citra) dan mendapatkan legitimasi sosial (penerimaan) dari masyarakat sekitarnya, program CSR/CD juga memiliki relevansi, efektivitas, dan manfaat dalam mengatasi problem kemiskinan di masyarakat. Mungkin dibanding program PNPM Mandiri yang dicanangkan pemerintah, program CSR lebih tepat sasaran dan akuntabel pelaksanaannya.

Page 5: Efektivitas Program CSR/CD dalam

4 | DODY PR AYOGO DA N YOSE F H I L A R I US

Jurna l Sosiolog i M ASYA R AK AT Vol. 17, No. 1, Januar i 2012: 1-22

Untuk meneliti hal tersebut, penulis menggunakan pendekatan kuantitatif (positivistik-deduktif ) terlebih dahulu guna membangun kerangka teori hingga indikator peran korporasi CSR/CD maupun indikator kemiskinan, yang kemudian digunakan sebagai kerangka analisis untuk melihat secara empirik peran korporasi melalui program CSR/CD dalam mengentaskan kemiskinan. Metode kuantitatif dengan teknik survei digunakan untuk mengukur efektivitas atau sejauh mana program CSR/CD dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Responden survei ini adalah masyarakat penerima program CSR/CD perusahaan geotermal yang berjumlah empat ratus orang.

PER A N SEK TOR BISNIS, CSR, DA N K EMISK INA N

CSR dan kemiskinan

Kajian-kajian yang berkenaan dengan pengentasan kemiskinan oleh korporasi tambang dan migas, yang umumnya terkait dengan topik tentang relasi antara korporasi dan komunitas lokal sudah sejak lama dilakukan. Secara lebih khusus, kajian yang terkait dengan masalah upaya pengembangan masyarakat dan pengentasan kemiskinan adalah evaluasi tentang program CSR dan CD (Prayogo 2000, 2006, 2007, 2010). Industri tambang dan khususnya migas, melalui program CSR dan CD melakukan program pengembangan komunitas pada setidaknya enam bidang, yakni ekonomi, pendidikan, kesehatan, infrastruktur, lingkungan, serta bantuan (donasi) sosial. Dikembangkannya program seperti ini dapat juga dilihat sebagai respons atas ”tekanan” masyarakat lokal (utamanya setelah Reformasi 1998) maupun atas ”mandatory” legal UU Pertambangan dan Perminyakan serta UU 40/2007 pasal 74. Untuk melihat seberapa besar signifikansi program tersebut, dapat diteliti secara lebih komprehensif dari seberapa besar manfaat, dampak, serta perubahan yang dialami secara langsung terutama oleh kelompok penerima.

Pada periode sebelumnya, kajian tentang program CSR dan CD selalu terkait dengan kajian tentang relasi korporasi dengan masyarakat sekitar, seperti terkait dengan masalah konflik dan pelanggaran hak-hak masyarakat lokal (Prayogo 2001, 2008; Ballard 2001; Denis 2007; Friedman 1970). Sejumlah hasil kajian menunjukan bahwa konflik dan permasalahan dalam hubungan antara korporasi dengan

Page 6: Efektivitas Program CSR/CD dalam

E F E K T I V I T A S P R O G R A M C S R / C D | 5

Jurna l Sosiolog i M ASYA R AK AT Vol. 17, No. 1, Januar i 2012: 1-22

masyarakat lokal salah satunya merupakan wujud dari adanya kemiskinan masyarakat/komunitas di sekitar kegiatan tambang serta adanya ketimpangan kesejahteraan antara warga masyarakat dengan warga korporasi (Prayogo 2008b). Hasil evaluasi terhadap program sebuah perusahaan tambang di Sumbawa (Prayogo et al. 2000), menunjukan bahwa ada peningkatan pendapatan berarti terhadap sejumlah pemanfaat secara langsung, khususnya penerima program ekonomi, seperti bantuan kredit usaha kecil, program peternakan, pertanian serta sektor jasa kecil. Namun, jika dilihat pada tingkat kecamatan atau bahkan kabupaten (indikator makro) apakah program seperti ini cukup signifikan mengentasakan kemiskinan cukup sulit untuk disimpulkan. Sama halnya dengan evaluasi terhadap program CD sebuah perusahaan migas di Kabupaten Natuna (Prayogo et al. 2007) menunjukan sebagian program CD mereka sangat bermanfaat bagi penduduk lokal, khususnya pada program pembangunan dan perbaikan infrastruktur. Namun, sekali lagi bagaimana signifikansi program terhadap pengentasan kemiskinan masyarakat keseluruhan masih sulit diidentifikasi.

Dengan rujukan ini maka dapat dikatakan bahwa terdapat kaitan sangat erat antara upaya peningkatan kesejahteraan (pengentasan kemiskinan) atas kehadiran industri tambang dan migas serta adanya program CSR dan CD korporasi, khususnya terhadap masyarakat penerima program. Pada awalnya, dapat dimengerti jika program CSR/CD merupakan wujud dari upaya korporasi meredam tekanan masyarakat lokal (Yakoveleva 2005; Prayogo 2008), namun dalam perkembangan berikutnya program ini mampu mengubah banyak keadaan kesejahteraan masyarakat sekitar, bahkan sebagian program CSR terlihat lebih signif ikan pengaruhnya daripada program pengentasan kemiskinan yang dilakukan oleh pemerintah (Prayogo 2007; 2010). Oleh karena itu, jika UU sudah mewajibkan korporasi untuk melaksanakan program CSR (UU No. 40/2007), maka kagiatan CSR merupakan “mandatory” untuk dilaksanakan. Dengan demikian, akan sangat menarik jika dilakukan kajian secara khusus untuk mengaitkan signifikansi program CSR/CD dengan upaya pengentasan kemiskinan secara lebih mikro (khusus komunitas penerima) dan bukan makro (masyarakat keseluruhan), misalnya dari indeks pembangunan atau kemiskinan (Gauthir 2005; Green 2002; Sirgy 2006). Untuk itu, kajian evaluatif secara komprehensif sangat dimungkinkan karena prasarana metodologis secara akademik

Page 7: Efektivitas Program CSR/CD dalam

6 | DODY PR AYOGO DA N YOSE F H I L A R I US

Jurna l Sosiolog i M ASYA R AK AT Vol. 17, No. 1, Januar i 2012: 1-22

tersedia (Dale 2004; King 1987; Jonker 2006; Hennigfeld 2006; Ife 2008). Dengan dasar ini, maka dapat dikatakan bahwa studi seperti ini sangat penting secara ontologis serta sangat layak secara epistemologis untuk dikerjakan.

Dalam “Handbook on Poverty and Inequality” (Haughton and Khandker 2009) dijelaskan bahwa kemiskinan bisa dilihat dalam tiga cara pandang. Pertama, cara paling konvensional dalam mengukur kemiskinan dengan membandingkan tingkat pemasukan dan konsumsi setiap individu. Kedua, cara paling tradisional dalam mengukur kemiskinan adalah dengan membaginya ke dalam setiap ranah, misalnya kemiskinan dalam kesehatan berkaitan dengan berapa banyak orang yang telah menerima pelayanan kesehatan, atau kemiskinan dalam pendidikan dapat dilihat dari berapa angka buta huruf atau rata-rata lulusan pendidikan formal. Ketiga, menurut Amartya Sen (1981), kemiskinan didefinisikan lebih luas sebagai ketidakmampuan individu ataupun kelompok untuk berfungsi dalam masyarakat karena kurangnya pemasukan atau pendidikan, kesehatan yang buruk, ketidakamanan, serta tidak adanya kebebasan untuk berpendapat.

Lebih jauh Sen mendefinisikan individu yang dianggap miskin sebagai individu yang standar konsumsinya berada di bawah orang kebanyakan ataupun individu yang pendapatannya berada di bawah garis rata-rata. Dari sana, Sen kemudian memberikan dua pendekatan dalam memahami kemiskinan. Pertama, pendekatan biologis yaitu yang memahami bahwa keluarga berada pada ”primary poverty” jika total pendapatannya tidak memenuhi untuk mendapatkan kebutuhan minimum dari pemeliharaan kondisi fisik. Dalam pendekatan ini digunakan beberapa variasi yang mempunyai hubungan kuat dengan kondisi fisik, kebiasaan dalam bekerja, kebutuhan nutrisi, kebutuhan makanan dan non-makanan. Pendekatan kedua adalah pendekatan ketidakseimbangan yang memahami kemiskinan sebagai ketidakseimbangan antara kelompok paling miskin dengan keseluruhan komunitas dalam setiap dimensi stratifikasi. Cara pandang Amartya Sen ini banyak dikemukakan berbagai pihak dalam mendefinisikan kemiskinan, seperti World Bank, United Nations, dan World Summit on Social Development.

Beberapa konsep CSR melihat kemiskinan (Segel dan Bruzy, 1998; Midgley, 1995; UU 6/1974, Pasal 1 ayat 1 UU 11/2009) melalui kebutuhan dasar seperti pendidikan, ekonomi, kesehatan,

Page 8: Efektivitas Program CSR/CD dalam

E F E K T I V I T A S P R O G R A M C S R / C D | 7

Jurna l Sosiolog i M ASYA R AK AT Vol. 17, No. 1, Januar i 2012: 1-22

bahkan ada yang melihatnya sampai pada kondisi individu dalam menghadapi resesi ekonomi dan dalam kondisi pasca-bencana atau konflik. Namun, secara umum dapat ditarik simpulan bahwa definisi kemiskinan secara lebih operasional sangat menitikberatkan pada tidak terpenuhinya kebutuhan dan kekurangan akses pelayanan sosial pada aspek ekonomi, pendidikan, dan kesehatan, serta secara sosial kegiatan bermasyarakat. Karena itu, dalam upaya pendefinisian konsep kemiskinan yang akan dilakukan, aspek-aspek tersebut harus lebih diperhatikan.

PENGENTA SA N K EMISK INA N SEBAG A I TA NGGU NG JAWA B SOSI A L PERUSA H A A N

Pertanyaan berikutnya adalah apakah upaya pengentasan kemiskinan yang dilakukan oleh korporasi dapat sepenuhnya menyelesaikan permasalahan kemiskinan yang kompleks tersebut. Peran korporasi tentunya berbeda dengan pemerintah. Khususnya melalui program CSR/CD, korporasi bukan merupakan lembaga negara atau organisasi semi-negara yang berperan secara langsung dan menyeluruh dalam mengentaskan kemiskinan di masyarakat. Peran korporasi, dalam upaya pengentasan kemiskinan, haruslah dibatasi dalam kapasitasnya sebagai sebuah institusi bisnis yang turut berpartisipasi mengatasi permasalahan sosial, khususnya pengentasan kemiskinan. Dengan demikian, sulit untuk mengukur tingkat keberhasilan keikutsertaan korporasi dalam upaya pengentasan kemiskinan bila dengan menggunakan indikator makro seperti indeks kemiskinan atau indeks pembangunan sebagaimana digunakan Worldbank, United Nations, atau Amartya Sen. Harus didefinisikan dan ditegaskan bahwa peran korporasi adalah turut berpartisipasi dan membantu upaya pengentasan kemiskinan, bukan sebagai aktor utama karena aktor utama pembangunan dan pengentasan kemiskinan adalah tetap pemerintah atau negara. Korporasi tidak boleh mengambil-alih peran negara atau bahkan menjadi semi-negara dalam upaya pengentasan kemiskinan. Implikasi pentingnya adalah, dengan batasan ini maka tingkat keberhasilan peran korporasi harus dilihat dalam indikator mikro, yakni melihat dalam proses program pengentasan kemiskinan itu sendiri.

Dengan merujuk kepada definisi di atas serta menimbang terbatasnya peran korporasi, maka konsep kemiskinan dalam

Page 9: Efektivitas Program CSR/CD dalam

8 | DODY PR AYOGO DA N YOSE F H I L A R I US

Jurna l Sosiolog i M ASYA R AK AT Vol. 17, No. 1, Januar i 2012: 1-22

kegiatan CSR/CD korporasi tambang, migas, dan geotermal harus pula dibatasi. Dalam konteks ini, kemiskinan didefinisikan sebagai: “kondisi yang ditandai dengan tidak/kurang terpenuhinya kebutuhan ekonomi serta kurangnya akses terhadap pelayanan sosial dalam bidang pendidikan, dan kesehatan, khususnya pada masyarakat/komunitas yang terletak pada Ring 1, Ring 2, dan Ring 3 di wilayah perusahaan tambang, migas, dan geotermal itu beroperasi yang menjadi kewajiban tanggung jawab sosial perusahaan”. Porsi yang menjadi tanggung jawab korporasi secara sosial adalah turut membantu mengurangi keadaan miskin tersebut. Namun demikian, walau korporasi “hanya” berperan turut berpartisipasi dan membantu upaya pengentasan kemiskinan, kegiatan CSR/CD adalah tetap sebuah kewajiban, bukan sebagai kedermawanan (philanthropy) sosial. Harus dibedakan dan ditegaskan perbedaan antara “responsibility” yang bersifat “kewajiban” dan “philanthropy” yang bersifat “sukarela” (Prayogo, 2011).

Dengan demikian, cakupan substansi kemiskinan yang wajib turut dientaskan oleh korporasi melalui program CSR/CD adalah tetap sama sebagaimana dimaksud dalam definisi kemiskinan, yakni kurangnya tingkat dan akses terhadap kesejahteraan, mencakup ekonomi, kesehatan, pendidikan, serta pelayanan publik lainnya. Program CSR/CD dengan demikian harus turut berpartisipasi dalam meniadakan keadaan kemiskinan/kekurangan dalam cakupan tersebut. Pokok pentingnya adalah pengukuran keberhasilan pengentasan kemiskinan tidak dapat merujuk ke indikator makro karena peran korporasi terbatas hanya kepada kelompok tertentu (beneficiaries) dalam komunitas, misalnya komunitas penerima program yang secara geografis terdekat dengan keberadaan korporasi, dan kelompok yang paling rentan terhadap kondisi kemiskinan.

Harus dibatasi di sini bahwa jika secara makro indeks kemiskinan dan indeks pembangunan melihat perubahan keadaan kemiskinan/kesejahteraan antara sebelum dan sesudah program, maka secara mikro—dikaitkan dengan peran korporasi—keberhasilan pengentasan kemiskinan dilihat dari indikator proses dan hasil program, utamanya pengalaman obyektif dan persepsi subyektif kelompok penerima program CSR/CD dan seperti non-penerima atau evaluator program. Dengan melihat pengalaman obyektif para pemanfaat dan non-pemanfaat seperti ini maka ukuran tingkat keberhasilan pengentasan kemiskinan tidak berarti direduksi,

Page 10: Efektivitas Program CSR/CD dalam

E F E K T I V I T A S P R O G R A M C S R / C D | 9

Jurna l Sosiolog i M ASYA R AK AT Vol. 17, No. 1, Januar i 2012: 1-22

melainkan difokuskan secara proporsional dengan cakupan tanggung jawab dan kewajiban korporasi, yakni turut berpartisipasi dalam lingkup wilayah kerja Ring 1, Ring 2, dan Ring 3, sebagaimana telah didefinisikan dalam berbagai pedoman pelaksanaan program CSR/CD, baik dari BP Migas maupun Ditjen Minerba.

perusahaan Ring 1 Ring 2

Bagan 1. Cakupan Geografis Program CSR/CD Korporasi

dalam Pengentasan Kemiskinan

Model di atas memperlihatkan cakupan wilayah masyarakat yang menjadi tanggung jawab (kewajiban) sosial korporasi. Ring 1 merupakan bagian dari masyarakat lokal yang paling berdekatan dengan keberadaan dan kegiatan korporasi secara geografis. Dalam studi ini Ring 1 didefinisikkan sebagai komunitas lokal dalam wilayah desa terdekat, dan dipertimbangkan sebagai primary stakeholder korporasi. Selain itu komunitas dalam Ring 1 adalah masyarakat yang kepentingannya paling terganggu dengan kehadiran dan kegiatan korporasi serta bersinggungan langsung dengan kegiatan korporasi. Sedangkan Ring 2 adalah masyarakat lokal yang tidak secara langsung bersinggungan dengan kegiatan perusahaan, namun terkena dampak dari kehadiran dan kegiatan korporasi baik secara fisik maupun sosial. Umumnya masyarakat lokal mendefinisikan Ring 2 ini sebagai komunitas di desa lain yang berada pada kecamatan yang sama dengan Ring 1. Pada Ring 3, kehadiran dan kegiatan korporasi sebetulnya sudah tidak lagi bersinggungan secacra langsung dengan komunitas di wilayah ini, namun agar tercipta “keadilan’ dan “pemerataan” korporasi dan masyarakat secara bersama merasa perlu turut memasukan wilayah ini dalam kegiatan CSR/CD dalam intensitas yang minimal. Ring 3 ini dapat diartikan sebagai masyarakat yang tinggal pada kecamatan lainnya di sekitar

Page 11: Efektivitas Program CSR/CD dalam

10 | DODY PR AYOGO DA N YOSE F H I L A R I US

Jurna l Sosiolog i M ASYA R AK AT Vol. 17, No. 1, Januar i 2012: 1-22

kecamatan perusahaan berada, dan karenanya program CSR/CD yang diterima adalah terkecil volumenya.

Dengan tingkatan ini maka tanggung jawab sosial korporasi diimplementasikan secara proporsional berdasarkan kondisi geografis karena memang peran dan kemampuannya terbatas. Jika pemerintah memiliki kewajiban pengentasan kemiskinan terhadap keseluruhan wilayah (desa, kecamatan, kabupaten, dan propinsi) maka korporasi—melalui program CSR/CD—memiliki kewajiban secara terbatas dalam cakupan wilayah geografis tersebut. Penetapan wilayah (ring) ini kemudian juga menegaskan proporsi besaran tanggung jawab sosial korporasi terhadap komunitas lokal sebagai stakeholder. Ring 1 tentu saja dalam hal ini memperoleh proporsi yang lebih besar dari tanggung jawab sosial korporasi bila dibandingkan Ring 2 dan Ring 3. Dengan demikian, dengan melihat dari dimensi proses dan output, maka upaya pengentasan kemiskinan melalui program CSR/CD dapat dilihat secara lebih obyektif, proporsional, dan fokus.

PER A N KOR POR A SI DA L A M PENGENTA SA N K EMISK INA N

Secara substansial perlu didefinisikan variabel apa saja yang harus dilihat sebagai indikator keberhasilan program pengentasan kemiskinan. Karena cakupan pengentasan kemiskinan berbeda (antara makro-pemerintah dan mikro-korporasi), maka variabel pengentasan kemiskinan korporasi perlu didefinisikan secara khusus operasionalisasinya. Berdasarkan definisi di atas, setidaknya terdapat dua aspek yang menjadi perhatian, yaitu: (1) kondisi tidak terpenuhinya kebutuhan ekonomi, pendidikan, kesehatan, dan kegiatan bermasyarakat; dan (2) kondisi kurangnya akses terhadap pelayanan sosial dalam bidang ekonomi, pendidikan, kesehatan, serta kegiatan bermasyarakat. Jika korporasi melaksanakan program CSR/CD di bidang ekonomi, kesehatan, pendidikan, infrastruktur, dan sosial keberhasilannya dapat dibuat sebagai sebuah model yang terintegrasi.

Dalam sejumlah implementasi program CSR/CD beragam variabel digunakan untuk menggambarkan dan mengukur tingkat keberhasilan program. Pada konteks ini, program CSR/CD korporasi harus dilihat sebagai sebuah proses dalam pengertian bagaimana korporasi berpartisipasi dalam pembangunan lokal. Variabel-variabel

Page 12: Efektivitas Program CSR/CD dalam

E F E K T I V I T A S P R O G R A M C S R / C D | 11

Jurna l Sosiolog i M ASYA R AK AT Vol. 17, No. 1, Januar i 2012: 1-22

proses dalam implementasi program lebih banyak digunakan selain variabel output. Variabel proses yang digunakan dalam studi ini adalah: (1) efectivity (manfaat), (2) relevance (kesesuaian), (3) sustainability (keberlanjutan), (4) impact (dampak), dan (5) empowerment (pemberdayaan). Kelima variabel ini digunakan sebagai model peran korporasi dalam upaya pengentasan kemiskinan melalui program CSR/CD. Selanjutnya, model variabel pengentasan kemiskinan ini akan diimplementasikan ke dalam cakupan substansi menurut definisi kemiskinan, yakni ekonomi, kesehatan, pendidikan, atau infrastruktur sebagaimana telah dikerjakan melalui program CSR/CD. Untuk itu, definisi lima variabel di atas perlu dioperasionalisasikan, sebagai berikut:

1. efectivity dimaksudkan sebagai tingkat manfaat program pengentasan kemiskinan terhadap pemenuhan kebutuhan dan peningkatan akses pelayanan para penerima (beneficiaries) berdasarkan jenis dan tingkat kebutuhannya;

2. relevance dimaksudkan sebagai tingkat kesesuaian program pengentasan kemiskinan terhadap pemenuhan kebutuhan dan peningkatan akses pelayanan bagi penerima berdasarkan kemampuan dan potensi lokal;

3. sustainability dimaksudkan sebagai tingkat keberlanjutan program pengentasan kemiskinan dapat dilakukan oleh penerima jika bantuan selesai/dihentikan, baik keberlanjutan secara substansial (program) maupun secara manajemen;

4. impact dimaksudkan seberapa besar (substansial) dan luasan (geografis) akibat positif yang ditularkan oleh program pengentasan kemiskinan;

5. empowerment dimaksudkan sebagai seberapa signifikan tingkat pemberdayaan dirasakan penerima akibat program, baik dari segi keahlian maupun organisasi/manajemen;

6. participation dimaksudkan sebagai seberapa besar tingkat partisipasi masyarakat lokal dalam program pengentasan kemiskinan.

Jika cakupan variabel dan bidang program telah didefinisikan, maka hal penting berikutnya untuk dibahas adalah bagaimana menetapkan pengkuran (measuring) kinerja upaya pengentasan kemiskinan, utamanya program CSR/CD untuk pengentasan

Page 13: Efektivitas Program CSR/CD dalam

12 | DODY PR AYOGO DA N YOSE F H I L A R I US

Jurna l Sosiolog i M ASYA R AK AT Vol. 17, No. 1, Januar i 2012: 1-22

kemiskinan. Berdasarkan pertimbangan tertentu, sebuah “keadaan” dapat ditentukan nilainya berdasarkan variabel atau indikator yang akan digunakan. Misalnya, berapa tingkat keberhasilan program kesehatan dinilai dari variabel “manfaat”, maka para pemanfaat program tentunya dapat memberikan penilaian berdasarkan pengalaman obyektif mereka. Dengan rentang nilai 1-5 atau 1-10 pemanfaat dapat memberikan nilai berapa tingkat manfaat program kesehatan yang mereka rasakan. Dengan demikian, measurement yang digunakan studi ini adalah komunitas memberikan penilaian mereka atas pengalaman yang dirasakan terhadap program, misalnya terkait pengentasan kemiskinan. Nilai ini dapat disederhanakan menjadi kategori angka 1-5, dengan masing-masing angka dimaksudkan sebagai substitusi dari nilai keadaan. Dengan meggunakan kerangka ini, maka dapat ditetapkan bahwa: nilai 1 dapat diartikan sebagai “sangat buruk”, nilai 2 sebagai “buruk” nilai 3 sebagai “cukup”, nilai 4 sebagai “baik” dan nilai 5 sebagai “sangat baik”. Selanjutnya, penilaian masing-maisng variabel dapat dipetakan sedemikan rupa, sehingga model dan peran korporasi dalam upaya pengentasan kemiskinan melalui program CSR/CD dapat didefinisikan hasilnya. Model operasionalisasi inilah yang seterusnya akan digunakan dalam melihat peran korporasi dalam upaya pengentasan kemiskinan melalui program CSR/CD mereka.

tabel 1. Model Pengukuran Upaya Pengentasan Kemiskinan Korporasi

Bidang/Variabel

Ekonomi Kesehatan Pendidikan Infrastruktur Lainnya

Efectivity 1,2,3,4,5 1,2,3,4,5 1,2,3,4,5 1,2,3,4,5 1,2,3,4,5Relevance 1,2,3,4,5 1,2,3,4,5 1,2,3,4,5 1,2,3,4,5 1,2,3,4,5Sustainability 1,2,3,4,5 1,2,3,4,5 1,2,3,4,5 1,2,3,4,5 1,2,3,4,5Impact 1,2,3,4,5 1,2,3,4,5 1,2,3,4,5 1,2,3,4,5 1,2,3,4,5Empowerment 1,2,3,4,5 1,2,3,4,5 1,2,3,4,5 1,2,3,4,5 1,2,3,4,5Paricipation 1,2,3,4,5 1,2,3,4,5 1,2,3,4,5 1,2,3,4,5 1,2,3,4,5

*Pengukuran: 1 = sangat buruk; 2 = buruk; 3 = cukup; 4 = baik; 5 = sangat baik.

EFEK T I V ITA S PER A N KOR POR A SI DA L A M PENGETA SA N K EMISK INA N

Enam aspek ini (kesesuaian, manfaat, keberlanjutan, dampak, pemberdayaan, dan partisipasi) merupakan indikator pengentasan kemiskinan dalam kerangka CSR/CD yang dilakukam oleh

Page 14: Efektivitas Program CSR/CD dalam

E F E K T I V I T A S P R O G R A M C S R / C D | 13

Jurna l Sosiolog i M ASYA R AK AT Vol. 17, No. 1, Januar i 2012: 1-22

korporasi. Artinya, seberapa besar manfaat dapat dirasakan oleh pemanfaat, maka tingkat kemiskinan akan semakin berkurang (arah hubungan negatif ). Hal ini tentunya juga berhubungan dengan aspek-aspek di dalam definisi kemiskinan (dalam hal ini aspek yang dimaksud adalah pendidikan, ekonomi, kesehatan, dan infrastruktur) dan berbagai program yang dilakukan oleh CSR/CD korporasi.

Pengukuran efektivitas CSR/CD terhadap pengurangan kemiskinan dapat dilihat melalui indeksasi terhadap program yang sudah dilaksanakan korporasi tersebut kepada pemanfaat dan juga penilaian oleh pihak ketiga (penulis). Dari sana, maka dapat dilihat sejauh mana korporasi tersebut turut berperan serta mengentaskan kemiskinan di lingkungan sekitarnya. Berdasarkan hasil lapangan, hasil indeksasi rata-rata program CSR perusahaan tersebut adalah 69.09 (dalam skala 100) yang tergolong baik.

Aspek manfaat mendapatkan skor tertinggi menunjukan bahwa program-program yang dilakukan sudah dirasakan memberikan manfaat pada dimensi-dimensi kemiskinan masyarakat sekitar korporasi. Program bidang infrastruktur dan ekonomi merupakan yang paling bermanfaat bagi masyarakat. Tingkat kesesuaian yang tinggi dengan kebutuan menjadikan program ini sangat bermanfaat bagi masyarakat. Program infrastruktur mempunyai manfaat memperlancar akses masyarakat. Sementara untuk program ekonomi, terlepas dari pelaksanaannya yang belum optimal, dirasa memberikan peningkatan pendapatan dan alternatif sumber pencaharian baru bagi pemanfaat. Di sisi lain, program pendidikan melalui beasiswa dan kesehatan melalui bantuan gizi (nutrisi) untuk balita hanya menyentuh dalam skala kecil, sehingga tidak memberikan tingkat manfaat yang tinggi bagi masyarakat.

Aspek kesesuaian mendapatkan skor kedua tertinggi setelah aspek pemanfaatan. Hal ini mencerminkan program-program pengentasan kemiskinan oleh korporasi yang sudah cukup menjawab kebutuhan masyarakat sekitar. Kesesuaian tertinggi terlihat pada program bidang infrastruktur dan ekonomi, sementara untuk program pendidikan dan kesehatan kesesuaiannya masih sangat rendah. Secara implisit aspek ini menunjukkan prioritas dari masyarakat mengenai program apa yang dibutuhkan oleh mereka. Data menunjukan program ekonomi sudah cukup sesuai dengan mengembangkan potensi setempat, seperti sapi dan koperasi usaha kecil untuk olahan hasil-

Page 15: Efektivitas Program CSR/CD dalam

14 | DODY PR AYOGO DA N YOSE F H I L A R I US

Jurna l Sosiolog i M ASYA R AK AT Vol. 17, No. 1, Januar i 2012: 1-22

tabel 2

. Indeksasi P

eran Ko

rpo

rarasi Geoterm

al Dalam

Peng

entasan kemiskinan m

elalui Pro

gram

CS

R/C

D

M

anfaat K

esesuaian K

eberlanjutan D

ampak

PartisipasiPem

berdayaan

Pemanfaat

PenulisPem

anfaatPenulis

Pemanfaat

PenulisPem

anfaatPenulis

Pemanfaat

PenulisPem

anfaatPenulis

Ekonomi

89

8.59.

87.10

86.70

4.55.24

66.78

Pendidikan4

4.54

4.444

4.444

3.540

2.562

3.40

Infrastruktur10.5

11.712

11.1012

10.428

10.166

9.104

8.36

Kesehatan

43.74

23.20

02.30

42.94

01.90

02.20

Total26.50

28.9426.5

27.7424.00

24.2624.00

23.3414.50

18.8012.00

20.74

Nilai Total

75.7182.69

75.7179.26

68.5769.31

68.5766.69

41.4353.71

34.2959.26

Indeks18.93

20.6718.93

19.8110.29

10.4010.29

10.004.14

5.373.43

5.93

Total Indeks (Pem

anfaat)66.00

Total Indeks (Peneliti)

72.18

Rata-rata

Indeks69.09

*(dalam skala 100).

Page 16: Efektivitas Program CSR/CD dalam

E F E K T I V I T A S P R O G R A M C S R / C D | 15

Jurna l Sosiolog i M ASYA R AK AT Vol. 17, No. 1, Januar i 2012: 1-22

tabel 2

. Indeksasi P

eran Ko

rpo

rarasi Geoterm

al Dalam

Peng

entasan kemiskinan m

elalui Pro

gram

CS

R/C

D

M

anfaat K

esesuaian K

eberlanjutan D

ampak

PartisipasiPem

berdayaan

Pemanfaat

PenulisPem

anfaatPenulis

Pemanfaat

PenulisPem

anfaatPenulis

Pemanfaat

PenulisPem

anfaatPenulis

Ekonomi

89

8.59.

87.10

86.70

4.55.24

66.78

Pendidikan4

4.54

4.444

4.444

3.540

2.562

3.40

Infrastruktur10.5

11.712

11.1012

10.428

10.166

9.104

8.36

Kesehatan

43.74

23.20

02.30

42.94

01.90

02.20

Total26.50

28.9426.5

27.7424.00

24.2624.00

23.3414.50

18.8012.00

20.74

Nilai Total

75.7182.69

75.7179.26

68.5769.31

68.5766.69

41.4353.71

34.2959.26

Indeks18.93

20.6718.93

19.8110.29

10.4010.29

10.004.14

5.373.43

5.93

Total Indeks (Pem

anfaat)66.00

Total Indeks (Peneliti)

72.18

Rata-rata

Indeks69.09

*(dalam skala 100).

usaha masyarakat. Hal itu juga terlihat pada program-program infastruktur seperti jalan lingkungan, masjid, sekolah, yang memang sesuai dengan kebutuhan masyarakat. Kesesuaian yang tinggi tidak lepas dari model penyusunan rencana program yang melibatkan birokrasi setempat dan tokoh formal tingkat desa untuk menggali prioritas kebutuhan masyarakat terkait beberapa bidang yang merupakan dimensi kemiskinan masyarakat tersebut. Di sisi lain, program CSR perusahaan geotermal dalam penelitian ini memiliki aspek keberlanjutan yang rendah. Hal ini dikarenakan program masih berpusat kepada korporasi sebagai pelaksana, sehingga efek positif yang dirasakan pemanfaat akan lenyap apabila korporasi menghentikan pendanaan, atau dengan kata lain mempunyai tingkat kebergantungan yang tinggi.

Dampak dari seluruh program bagi masyarakat juga tergolong cukup dan merata di berbagai bidang. Ini berarti dampak dari program CSR masih dirasakan positif dan ada pula negatifnya. Program kesehatan misalnya, yang berupa pembagian susu gratis bekerjasama dengan puskesmas setempat untuk mengontrol kesehatan balita, dirasakan oleh kelompok pemanfaat mempunyai dampak yang positif. Namun, aspek partisipasi masyarakat dalam pengelolaan program cenderung rendah karena perencanaan dan implementasi program yang masih terlalu melibatkan tokoh formal (birokrasi) dan informal, namun kurang melibatkan warga. Sempitnya ruang bagi masyarakat untuk berpartisipasi dapat memengaruhi aspek-aspek lainnya, seperti aspek keberlanjutan dan pemberdayaan. Belum terlihat adanya pelibatan kelompok masyarakat secara luas, masyarakat lokal masih terbatas hanya sebagai kelompok penerima serta terbatas partisipasinya dalam pengusulan dan pengerjaan program. Aspek partisipasi secara luas masih belum menjadi perhatian korporasi. Untuk infrastruktur misalnya, masih melibatkan kontraktor sebagai pelaksana dan tidak merangsang partisipasi masyarakat seperti program PNPM, baik dalam aspek pelaksanaan, maupun pengawasan. Karena dengan partisipasi masyarakat secara luas—walaupun hanya dalam pembangunan—akan menimbulkan sense of belonging pada masyarakat terhadap apa yang mereka kerjakan.

Pemberdayaan cenderung rendah seperti yang digambarkan pada tabel temuan pokok. Secara teoritis hal ini disebabkan tingkat partisipasi yang juga rendah. Minimnya pelibatan kelompok masyarakat dan institusi lokal dalam perencanaan dan implementasi

Page 17: Efektivitas Program CSR/CD dalam

16 | DODY PR AYOGO DA N YOSE F H I L A R I US

Jurna l Sosiolog i M ASYA R AK AT Vol. 17, No. 1, Januar i 2012: 1-22

program menyebabkan aspek pemberdayaan belum terlalu tersentuh. Karena semakin sedikit kelompok yang terlibat maka semakin kecil pula kelompok yang merasakan manfaat dari pemberdayaan program. Program masih bersifat elitis dan dilakukan melalui pendekatan birokrasi dan belum berbasis masyarakat. Demi keberhasilan program CSR, maka korporasi harus memperluas tingkat partisipasi dalam masyarakat serta meningkatkan aspek pemberdayaan. Dalam konteks ini dapat disimpulkan bahwa aspek pemberdayaan belum menjadi perhatian korporasi.

Secara teoretis, sejumlah temuan pokok menegaskan bahwa pengentasan kemiskinan melalui keterlibatan program CSR sangat sulit diukur dengan indikator makro seperti indeks kemiskinan atau indeks pembangunan; dan karenanya pengukuran pengentasan kemiskinan harus menggunakan indikator mikro (luasannya) yakni kelompok pemanfaat. Tingkat relevance yang tinggi dapat dicapai program melalui CSR karena menggunakan pendekatan bottom-up, walaupun hanya terbatas di kalangan elit birokrasi dan desa, serta pilihan program yang diusulkan dari beneficiaries dan birokrasi setempat. Prinsip dan pendekatan bottom-up dan participatory secara teoretis juga berjalan sejajar dengan variabel relevance karena menekankan kebutuhan dan keterlibatan lokal. Semakin dilaksanakannya pendekatan bottom up dan participatory dalam program CSR menyebabkan semakin tingginya tingkat kesesuaian program pada masyarakat. Sejalan dengan variabel relevance, variabel effectivity turut ditentukan oleh bagaimana pendekatan dan prinsip CSR dilakukan, yakni jika didasarkan kebutuhan dan potensi lokal, maka tingkat kegunaan program akan optimum. Kerjasama secara sinergis antara masyarakat sebagai pemanfaat, pemerintah lokal, dan korporasi sebagai pelaksana menjadi inti dari variabel ini.

Variabel sustainability merupakan titik lemah pada hampir seluruh upaya pengentasan kemiskinan, dan karenanya pendekatan serta orientasi terhadap target capaian perlu dilihat tingkat kemampuan kelompok penerima saat dilakukan hand-over. Program CSR dalam pengentasan kemiskinan harus melihat potensi kapasitas organisasi dan kerampilan pemanfaat, khususnya program yang bersifat non-fisik. Karena itu program-progeam berupa pelatihan atau peningkatan kualitas sumber daya manusia (SDM) menjadi hal yang sama pentingnya dengan program pengentasan kemiskinan itu sendiri sebagai elemen pokok pada aspek keberlanjutan.

Page 18: Efektivitas Program CSR/CD dalam

E F E K T I V I T A S P R O G R A M C S R / C D | 17

Jurna l Sosiolog i M ASYA R AK AT Vol. 17, No. 1, Januar i 2012: 1-22

Dampak pengentasan kemiskinan dapat dilihat baik secara luasan (geografis) maupun substansial (isi program). Namun, perlu diperhatikan juga adanya keterbatasan karena secara teoretis pendekatannya cenderung mikro yang terfokus pada kelompok sasaran. Luasan dampak program bergantung pada di mana korporasi tersebut beroperasi yang dibagi menjadi tiga ring (R1, R2, dan R3). Pemetaan ini haru dibentuk secara proporsional dengan daerah aktivitas korporasi. Hal ini juga yang kemudian membedakan korporasi dengan pemerintah lokal dalam upaya pengentasan kemiskinan. Secara substansial, program pengentasan kemiskinan juga dibedakan berdasarkan volumenya. R1 memperoleh volume terbesar karena merupakan daerah yang paling banyak mendapatkan dampak apapun atas aktivitas korporasi. Substansi program akan terus berkurang pada setiap ring.

Partisipasi secara lebih luas sangat diperlukan keseluruhan komunitas karena variabel ini terkait dengan variabel keberlanjutan dan pemberdayaan. Mekanisme partisipasi yang tepat pada level tertentu dapat berpengaruh terhadap dua variabel tersebut. Pemilihan mekanisme untuk partisipasi secara luas dapat bermakna dua; menghambat atau memperkuat pelaksanaan program. Oleh karena itu, peningkatan partisipasi perlu melihat kedua kemungkinan tersebut. Peningkatan partisipasi yang konstruktif adalah dengan melibatkan unit terkecil komunitas di tingkat desa.

Pemberdayaan perlu dilihat dalam dua hal, yakni keterampilan individual dan keterampilan organisasi (sosial dan manajemen). Kedua hal ini bukan sesuatu yang terpisah satu sama lain, tetapi saling mendukung satu sama lain. Karena itu dalam aspek pemberdayaan, kedua hal ini tidak boleh dipisahkan, dan harus memiliki keterkaitan satu sama lain. Pendekatan yang terlalu elitis perlu dikurangi dan diimbangi dengan pendekatan yang lebih populis. Pendekatan yang elitis dapat menimbulkan eksklusi sosial dalam masyarakat, dan menyebabkan pembangunan masyarakat dan pengentasan kemiskinan melalui program CSR lebih sulit dilakukan.

Secara praktis, hasil studi ini menemukan prinsip bottom-up dan participatory harus dijadikan acuan utama dalam penetapan program, bentuk kegiatan, serta mekanisme pelaksanannya. Formulasi prosedur untuk pengembangan program CSR perlu dibuat dengan menekankan prinsip bottom-up dan participatory. Namun, yang juga harus diperhatikan adalah perbedaan antara what beneficaries

Page 19: Efektivitas Program CSR/CD dalam

18 | DODY PR AYOGO DA N YOSE F H I L A R I US

Jurna l Sosiolog i M ASYA R AK AT Vol. 17, No. 1, Januar i 2012: 1-22

want dengan what they needs. Dengan mampu membedakan dua hal tersebut aspek kesesuaian dapat mencapai tingkat tertinggi. Pengembangan program CSR untuk komunitas lokal harus dibangun bersama, baik korporasi, pemanfaat, maupun pemerintah lokal. Kebutuhan dan potensi yang dimiliki masyarakat menjadi inti tingkat kesesuaian. Untuk mencapai tingkat kesesusian yang tinggi maka pendekatan bottom-up dan participatory adalah mutlak diterapkan. Cara paling mudah adalah dengan membangun prosedur dan mekanisme untuk forum komunikasi, pertemuan rutin, serta komunikasi secara lebih terbuka antara korporasi dengan komunitas lokal.

Sementara itu, tingkat manfaat program ditentukan terutama oleh kebutuhan kelompok sasaran, dan karenanya pengentasan kemiskinan harus melihat kebutuhan obyektif dan keinginan subyektif kelompok sasaran. Dua hal tersebut kemudian menjadi pertimbangan bagi perusahaan untuk memberikan prioritas mengenai program apa yang dibutuhkan masyarakat tanpa mengesampingkan keinginan mereka. Penetapan substansi program CSR, dalam kaitannya dengan pengentasan kemiskinan, harus menggunakan mekanisme usulan dari pemanfaat dan dilakukan dengan mekanisme yang terstruktur. Penetapan isi program CSR harus pula didasarkan pada definisi kebutuhan sebagaimana dirasakan komunitas bersangkutan.

Studi ini menemukan bahwa analisis dan penilaian kemampuan dan keterampilan kelompok penerima perlu dibuat untuk memastikan keberlanjutan program. Harus dibangun semacam indikator khusus untuk memonitor kembali aspek keberlanjutan sebelum program diserahkan kepada masyarakat untuk dilanjutkan. Untuk itu, persiapan organisasi dan pelatihan pengelolaan untuk keberlanjutan program dan kemandirian komunitas dan kelompok penerima perlu dilakukan pada sebelum atau saat bersamaan program diimplementasikan. Dengan meningkatkan kualitas dan kapasitas komunitas dan kelompok pemanfaat akan mengurangi ketergantungan masyarakat kepada korporasi da lam upaya pengentasan kemiskinan.

Dari aspek keberlanjutan, untuk menghasilkan luasan dan subtansi dampak yang lebih besar, maka jumlah kelompok penerima perlu diperbanyak, yang berarti volume program CSR diperbesar sejalan dengan luasan target sasaran. Pengembangan luasan dan substansi ini juga harus memperhatikan faktor lainnya, seperti kerja sama

Page 20: Efektivitas Program CSR/CD dalam

E F E K T I V I T A S P R O G R A M C S R / C D | 19

Jurna l Sosiolog i M ASYA R AK AT Vol. 17, No. 1, Januar i 2012: 1-22

dengan pemerintah lokal. Batasan program CSR dalam pengentasan kemiskinan tidak boleh bersinggungan tetapi harus saling membantu dengan berbagai program pemerintah dalam bidang yang sama.

Selain itu, peningkatan partisipasi menentukan keberlanjutan dan pemberdayaan warga komunitas, dan karenanya perencanaan secara khusus perlu dibuat untuk peningkatan partisipasi warga dengan melibatkan unit desa terkecil yakni RT dan tokoh masyarakat di tingkat RT dan RW. Peningkatan partisipasi ini juga perlu didukung oleh pengembangan komunikasi secara lebih baik dan terbuka antara staf CSR dengan komunitas lokal. Adanya komunikasi yang dijaga secara konstan pada setiap tahap program CSR juga dapat meningkatkan partisipasi masyarakat. Sementara itu, pemberdayaan secara lebih luas perlu dilakukan dengan mengembangkan mekanisme pertemuan, komunikasi, dan pelatihan dengan pelibatan warga. Hal ini menjadi perlu dilakukan agar masyarakat nantinya mampu melanjutkan pelaksanaan program tanpa bantuan dari korporasi. Pada level ini masyarakat menjadi tidak bergantung pada keberadaan korporasi.

PENU T U P

Korporasi turut berperan dalam pengentasan kemiskinan pada skala kecil dan terbatas untuk masyarakat sekitar wilayah aktivitas mereka. Untuk mengukur efektivitas CSR terhadap kemiskinan, secara metodologis menjadi kurang tepat apabila kita menggunakan ukuran-ukuran kemiskinan yang skalanya makro seperti indeks gini (indeks kemiskinan dan pembangunan) dalam mengukur peran korporasi untuk pengentasan kemiskinan masyarakat sekitar. Pengukuran harus dikembangkan dalam batasan skala program, menggunakan indikator mikro melalui variabel yang relevan dan fokus kepada kelompok yang lebih terbatas yakni kelompok penerima program. Beberapa variabel yang dianggap relevan untuk melihat hubungan tersebut, antara lain variabel kesesuaian, kebermanfaatan, kesinambungan, dan dampak. Selain itu, variabel pengembangan masyarakat seperti partisipasi dan pemberdayaan (pengembangan kapasitas) juga dimasukan untuk melihat peran korporasi dalam pengentasan kemiskinan. Dua variabel terakhir secara sosiologis kami anggap relevan untuk melihat kontribusi CSR pada stakeholder masyarakat sekitar.

Page 21: Efektivitas Program CSR/CD dalam

20 | DODY PR AYOGO DA N YOSE F H I L A R I US

Jurna l Sosiolog i M ASYA R AK AT Vol. 17, No. 1, Januar i 2012: 1-22

Melalui variabel-variabel di atas, maka upaya pengentasan kemiskinan melalui program CSR dapat dilihat dengan menilai pengalaman subyektif (pendapat) individu penerima program. Melalui survei pengalaman individual yang subyektif secara agregat menjadi obyektif setelah ditabulasi menjadi data frekuensi. Dengan demikian, maka temuan-temuan hasil survei dan wawancara mendalam serta observasi absah (valid) digunakan untuk menjelaskan tingkat keberhasilan program CSR dalam pengentasan kemiskinan. Selain itu, upaya pengentasan kemiskinan tidak dapat hanya dilihat sebagai sebuah keadaan obyektif dari input menjadi output, melainkan sebuah proses bagaimana output menurunnya kemiskinan dilihat dari variabel manfaat, kesesuaian, dampak, keberlanjutan, partisipasi, dan pemberdayaan. Secara sosiologis, dimensi ini lebih diutamakan daripada sekedar output terentasnya kemiskinan.

Dengan demikian, peran korporasi dalam pengentasan kemiskinan masyarakat sekitar dalam tulisan ini dapat dikategorikan pada kategori baik, berdasarkan penilaian pemanfaat dan pembobotan penulis (sesuai hasil observasi dan wawancara). Walaupun menjadi catatan bahwa skor tersebut merupakan batas bawah dari kategori baik. Kategori “baik” utamanya berlaku untuk variabel kesesuaian dan kebermanfaatan, namun untuk variabel keberlanjutan (sustainability) dan dampak (impact) masih tergolong “cukup”, sedangkan kategori “kurang” pada variabel partisipasi dan pemberdayaan masyarakat. Sementara itu, program ekonomi dan infrastruktur untuk semua variabel terlihat lebih dominan dibandingkan program lainnya seperti pendidikan dan kesehatan.

DA F TA R PUSTA K A

Ballard, Chris. 2001. Human Rights and the Mining Sector in Indonesia: a Baseline Study. IIED-MMSD.

Dale, Reidar. 2004. Evaluating Development Programs and Projects. Sage Publications.

Dennis, Bryan S., Ann K. Buchholtz, and Marcus M. Butts. 2007. “the Nature of Giving, a theory of Planned Behavior, Examination of Corporate Philanthropy” in Business and Society, Vol. XX, No. X.

Page 22: Efektivitas Program CSR/CD dalam

E F E K T I V I T A S P R O G R A M C S R / C D | 21

Jurna l Sosiolog i M ASYA R AK AT Vol. 17, No. 1, Januar i 2012: 1-22

Friedman, Milton. 1970. “the Social Responsibility of Bussiness is to Increase Its Profit” in The New York Times Magazine, September 13.

Gauthier, Caroline. 2005. “Measuring Corporate Social and Environmental Performance: the Extended Life-Cycle assessment” in Journal of Business Ethics.

Green, Gary Paul and Anna Haines. 2002. asset Building and Community Development. Sage Publication.

Hennigfeld, Judith, Manfred Pohl, and Nick Tolhurst eds. 2006. the ICCa Handbook on Corporate Social Responsibility. John Willey and Sons.

Ife, Jim dan Frank Tesoriero. 2008. Community Development, alternatif Pengembangan Masyarakat di Era Globalisasi. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

ISO 26000, Working Draft 4.1.Jonker, Jan and Marco de Witte eds. 2006. Management Models

for Corporate Social Responsibility. Springer.King, Jean A. Lynn Lyons Moris, and Carol Taylor Fitz-Gibbon.

1987. How to assess Program Implementation. Sage Publication Ltd.

Midgley, James. 1995. Social Development: the Developmental Perspective in Social Welfare. Sage Publication Ltd.

Prayogo, Dody. 2008. konflik antara korporasi dengan komunitas Lokal, Sebuah kasus Empirik pada Industri Geotermal di Jawa Barat. Depok: FISIP UI Press.

------. 2000. Evaluation of Community Development Program of Newmont Gold Mining in Sumbawa. Depok: LabSosio.

------. 2001. Identification of Social Mapping and Relationship between Community and Magma Nusantara Ltd., Pangalengan, Bandung. Depok: LabSosio.

------. 2008. “Corporate Social Responsibility, Social Justice dan Distributive Welfare dalam Industri tambang dan Migas di Indonesia” in Galang, Vol. 3 No. 3.

------. 2006. Evaluasi Program Community Development Conoco Phillips Indonesia, kabupaten Natuna, kepulauan Riau. Depok: Labsosio.

------. 2007. Evaluasi komprehensif Program Community Development Premier Oil Indonesia, kabupaten Natuna. Depok: LabSosio.

Page 23: Efektivitas Program CSR/CD dalam

22 | DODY PR AYOGO DA N YOSE F H I L A R I US

Jurna l Sosiolog i M ASYA R AK AT Vol. 17, No. 1, Januar i 2012: 1-22

------. 2010. Evaluasi Program Community Development Premier Oil Indonesia, kabupaten anambas. Depok: LabSosio

Sen, Amartya. 1981. Poverty and Famines: an Essay on Entitlement and Deprivation. Oxford: Oxford University Press.

Segal, E dan S Bruzy. 1998. Social Welfare Policy, Program, and Practice. Itasca IL: Peacock.

Sirgy, M. Joseph, Rahtz Don, dan Swain David eds. 2006. Community Quality-of-Life Indicators. Springer

Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia. 1974. Undang-Undang No. 6 Tahun 1974 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kesejahteraan Sosial.

------. 2009. Undang-Undang No. 11 Tahun 2009 tentang Kesejahteraan Sosial.

------. 2007. Undang-Undang No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas.

Yakoveleva, Natalia. 2005. Corporate Social Responsibility in the Mining Industries. Ashgate.