either you are with us or with terrorist'; memahami pernyataan george w. bush pascatragedi wtc...
TRANSCRIPT
Ujian Tengah Semester Mata Kuliah Teori Hubungan Internasional INama: Tangguh Departemen Ilmu Hubungan Internasional
NPM: 0706291426 Universitas Indonesia
“Either You Are with Us or with Terrorist”:
Memahami Pernyataan George W. Bush Pascatragedi WTC 9/11 dari Perspektif Realis
“What we say goes.” (George Bush, ketika pengeboman terhadap Irak)
“[The USA will] behave, with others, multilaterally when we can and unilaterally as we must." (Madeleine Albright,
mantan Menteri Luar Negeri Amerika Serikat kepada PBB)
“Either you are with us or with terrorist.” Suatu pernyataan yang sangat berani dan provokatif dari
Presiden George W. Bush, menyusul ratanya World Trade Center dan Pentagon dengan tanah akibat
serangan teroris. Pernyataan tersebut menandai sebuah petualangan baru Amerika Serikat ke berbagai negara
Timur Tengah. Afghanistan, yang dilaporkan menewaskan hampir 4.000 orang dalam suatu serangan militer,
menjadi bukti betapa pernyataan sederhana Bush tersebut tidak main-main. Bagaimana perspektif realis
memahami pandangan Bush tersebut? Mari kita mulai dari definisi terhadap “us” dan “terrorist” dalam
pernyataan tersebut. Apa yang dimaksud “us” sudah jelas; karena Bush berbicara sebagai Presiden Amerika
Serikat, mudah menyimpulkan bahwa ia memaksudkan “us” sebagai Amerika Serikat. Yang sulit adalah
mendefinisikan “terrorist”. Bukan hanya karena Amerika Serikat sendirilah yang telah memveto resolusi
PBB pada 1987 yang “mencegah terorisme internasional, mempelajari sebab-sebab pokok terorisme dari
bidang politik dan ekonomi, mengadakan konferensi untuk mendefinisikan terorisme dan membedakannya
dengan perjuangan pembebasan nasional”, melainkan juga karena hal tersebut sangat bergantung kepada
perspektif seseorang. Apabila seorang pengamat sepakat dengan tujuan-tujuan yang ingin dicapai oleh
seseorang yang melakukan kekerasan, pengamat tersebut akan menganggap orang tersebut seorang “pejuang
kebebasan”; sementara apabila pengamat tersebut tidak sepakat dengan tujuan-tujuan tersebut, ia akan
menganggap orang tersebut sebagai teroris. Bagi Amerika Serikat, Noriega, Qadhafi, Castro, Saddam
Hussein, Osama bin Laden, dan Mahmoud Ahmadinejad adalah teroris. Namun, bagi sebagian besar orang
di seluruh pojok dunia, Amerika Serikatlah yang teroris. Tentu saja, maksud tulisan ini bukanlah untuk
memutuskan apa itu teroris maupun siapa sebenarnya yang teroris. Karena yang berusaha kita pahami
sekarang adalah pandangan Bush, untuk sementara mari kita definisikan teroris sebagai musuh yang
diumumkan oleh Bush.
Teroris: Aktor yang Mana (Negara atau Non-State Actor)?
Sementara itu, memahami arti “you” pada pernyataan Bush tersebut adalah sangat menarik. Karena
Bush berbicara sebagai seorang negarawan (statesman), mudah menyimpulkan bahwa ia memaksudkan
“you” sebagai negara-negara lain. Hal ini tentu saja sesuai dengan perspektif realis bahwa satu-satunya aktor
utama dalam hubungan internasional adalah negara. Yang membuatnya menarik adalah frase yang mengikuti
“you” tersebut, yaitu “with us” atau “with terrorist”. Mari mulai dengan “with terrorist”. Teroris, sekabur
apapun definisinya, para sarjana ilmu hubungan internasional tampaknya sepakat bahwa teroris adalah non-
state actor. Namun, Papp (1997) mengungkapkan bahwa pada 1980-an, terdapat fenomena baru berupa
terorisme yang disokong negara. Menurutnya, fenomena ini terjadi ketika suatu negara tertentu dengan
alasannya sendiri menyediakan dana, pelatihan, dan dukungan terhadap kelompok dan gerakan teroris.
Contoh-contoh negara penyokong penting kegiatan terorisme menurut Amerika Serikat dan negara-negara
Barat lainnya adalah Libya, Korea Utara, dan Iran.1 Meskipun menurut Papp terorisme yang disokong
negara seperti ini menimbulkan kesulitan teknis bagi pihak yang ingin melawan terorisme, dari perspektif
realis pemahaman ini akan lebih relevan karena suatu kelompok teroris belaka tidak akan dipandang sebagai
aktor hubungan internasional. Mungkin negara yang menyediakan dukungan terhadap terorisme ini dapat
dirangkum dalam istilah “host state of terrorism”. Jadi, kesimpulan awal adalah bahwa “terrorist” yang
dimaksud oleh Bush adalah “host state”. Namun, perhatian lebih perlu ditujukan pada fakta berikut ini.
29 Januari 2002, dalam State of the Union Address (pidato kenegaraan pertama sebagai presiden) Bush
mengimbuhkan predikat The Axis of Evil terhadap beberapa negara, yaitu Iran, Irak, dan Korea Utara.
Apabila melihat argumentasi Bush dalam memredikatkan negara lain sebagai The Axis of Evil ini, dapat
dipahami bahwa Bush sudah mendefinisikan negara-negara di atas sebagai teroris itu sendiri (Korea Utara
sebagai negara dengan rezim yang “dipersenjatai dengan misil dan senjata mematikan sembari membuat
warganya kelaparan”, Iran sebagai negara dengan pemerintahan yang “mengembangkan senjata-senjata
berbahaya secara agresif dan mengekspor teror serta merepresi harapan masyarakat terhadap kebebasan, dan
Irak sebagai negara yang “terus menunjukkan rasa tidak sukanya terhadap Amerika dan mendukung teror…
rezim Irak telah berencana mengembangkan Anthrax dan gas Saraf serta senjata nuklir lebih dari satu
dekade”2; bandingkan dengan definisi “terrorist” menurut Concise Oxford Dictionary, Tenth Edition, “a
person who uses violence and intimidation in the pursuit of political aims”). Penulis tidak dapat menjawab
apakah ini menandai suatu perubahan dalam asumsi dasar hubungan internasional, bahwa teroris adalah
non-state actor. Namun, kesimpulan yang dapat ditarik adalah bahwa “terrorist” dalam pernyataan Bush
pascatragedi WTC 9/11 harus dilihat dalam konteks hubungannya dengan negara.
Aliansi, Balance of Power, dan “Terrorist”
Frase yang menjadi alternatif dari “with terrorist”, yaitu “with us”, menjadi lebih menarik lagi. Dari
pernyataan tersebut, dapat kita buat ilustrasi sebagai berikut. Amerika Serikat dan suatu aktor lain yang
diklaim sebagai teroris oleh Amerika Serikat sedang berada dalam suasana kompetisi. Amerika Serikat
memilih memelihara dan meningkatkan posisi power relatifnya dengan menambah power negara-negara lain
kepada power-nya sendiri (“with us”) dan menahan power negara-negara lain dari lawannya (“with
terrorist”). Ketika melakukan hal ini, Amerika Serikat sedang melaksanakan apa yang oleh Morgenthau
(1948) disebut dengan kebijakan aliansi. Morgenthau mengungkapkan bahwa aliansi adalah salah satu
metode balance of power.3 Sangat menarik untuk melanjutkan tinjauan dalam konteks balance of power dan
aliansi ini, karena ada beberapa kesimpulan berbeda yang dapat ditarik oleh penulis dalam kerangka kerja
1 Daniel S. Papp, Contemporary International Relations: Frameworks for Understanding (New York: Macmillan, 1997), 122.2 Herry Nurdi, Lobi Zionis & Rezim Bush (Jakarta: Penerbit Hikmah, 2006), 119-120.3 Hans Joachim Morgenthau, direvisi oleh Kenneth W. Thompson, Politics Among Nations: The Struggle for Power and Peace, Brief Edition (United States: McGraw-Hill, Inc., 1985), 197.
ini.
Pertama, menurut Morgenthau, balance of power telah berkembang sebagai sarana protektif suatu
aliansi negara-negara yang menghawatirkan kemerdekaannya atas rencana negara lain untuk mendominasi
dunia dan menciptakan monarki universal. Ia membuat ilustrasi sebagai berikut. B, yang diancam secara
langsung oleh A, bergabung dengan C, D, dan E, yang juga sama-sama terancam secara potensial oleh A,
untuk menggagalkan rencana A.4 Sangat menarik apabila kasus Amerika Serikat dan terorisme dipandang
dengan pemahaman ini, karena akan melahirkan berbagai pertanyaan sebagai berikut. Pertama, siapakah A,
yang mengancam Amerika Serikat sebagai B dan berencana mendominasi dunia? Kedua, apakah benar
bahwa negara-negara yang akhirnya bergabung dengan Amerika Serikat dalam kasus ini juga sama-sama
terancam secara potensial oleh aktor A tersebut?
Melihat keputusan Amerika Serikat menginvasi Afghanistan untuk memburu kelompok teroris Taliban,
dari perspektif realis, lebih mudah untuk memandang Afghanistan sebagai aktor A yang mengancam
Amerika Serikat. Hal ini lebih sesuai dengan perspektif realis karena aktor utama dalam hubungan
internasional adalah negara. Namun, benarkah Afghanistan pernah mengancam Amerika Serikat secara
langsung? Bukankah yang menyerang Amerika Serikat adalah kelompok Taliban, yang tidak merepresentasi
Afghanistan secara keseluruhan? Namun, hal ini juga terbentur pada pertanyaan kedua, apakah benar
negara-negara anggota NATO di Eropa, yang bergabung dengan Amerika Serikat dalam invasi terhadap
Afghanistan, juga sama-sama merasa terancam oleh Taliban? Menurut penulis, jalan tengah untuk menjawab
pertanyaan-pertanyaan ini adalah dengan berasumsi bahwa sejak insiden 9/11, Amerika Serikat
menggunakan isu terorisme untuk meningkatkan posisi power relatifnya. Dengan mengasosiasikan
musuhnya sebagai “terrorist”, Amerika Serikat berharap dapat menghadirkan kekhawatiran negara-negara
lain terhadap ancaman teror terhadap negaranya sendiri. Hal ini sesuai dengan apa yang oleh Nye, Jr. (1997)
disebut sebagai wajah kedua power, yaitu cara-cara yang halus dan tidak langsung dalam menggunakan
power.5 Melalui pandangan ini, dipahami bahwa Bush melalui pernyataannya berusaha mengatur agenda
dan menyusun situasi politik dunia yang dipenuhi ancaman terorisme agar negara-negara lain berubah dalam
situasi-situasi khusus sehingga bersedia mengikuti atau menyetujui kebijakan “antiterorisme” yang
dikembangkan Amerika Serikat. Dengan keberadaan “terrorist” ini sebagai power yang halus dan kooptif,
Amerika Serikat diharapkan berhasil merayu negara-negara lain untuk mendukung dan berdiri di belakang
Amerika Serikat.
Dapat ditarik kesimpulan bahwa aktor A yang mengancam Amerika Serikat tidak lain adalah Taliban,
sedangkan dari situ Amerika Serikat mengembangkan konsepsi ancaman itu menjadi terorisme secara luas
dan umum, dan ancaman inilah yang menjadi potensi ancaman bagi aktor-aktor C, D, dan E yang kemudian
bergabung dengan Amerika Serikat. Namun, kebijakan Amerika Serikat berikutnya—invasi terhadap
Afghanistan—jelas menunjukkan bahwa, seperti asumsi perspektif realis, negara tetap menjadi aktor utama,
dan negara Afghanistanlah yang dipandang sebagai host state Taliban.
Minyak sebagai Tujuan Sebenarnya
Memahami pernyataan Bush dari perspektif realis tidak lengkap jika tidak diikuti analisis tentang
4 Ibid., 202.5 Joseph S. Nye, Jr. Understanding International Conflicts: An Introduction to Theory and History (New York: HarperCollinsCollegePublishers, 1997), 51-52.
kepentingan nasional Amerika Serikat pada kasus ini. Sebagaimana asumsi pokok perspektif realis, bahwa
negara adalah aktor rasional yang berusaha memaksimalkan kepentingan atau tujuan nasionalnya sendiri
dalam kebijakan luar negerinya6, maka menjadi krusial memahami apa ambisi Amerika Serikat dalam
pernyataan Bush tersebut. Telah diketahui bahwa Amerika Serikat merayu negara-negara lain untuk
mendukung dan berdiri di belakangnya untuk suatu tujuan; tujuan apakah itu? Yang pasti, tujuan itu adalah
kepentingan nasional Amerika Serikat yang, melalui aspek power-nya yang halus, dibuat seolah-olah
menjadi kepentingan seluruh sekutu aliansinya.
Herry Nurdi (2006) berspekulasi bahwa kepentingan Amerika Serikat yang mendorongnya melakukan
invasi ke Afghanistan dan berbagai penjuru dunia adalah kebutuhannya akan bahan bakar atau minyak
dunia. Ia mengungkapkan bahwa, “sebelum peristiwa 11 September 2001, sebuah badan analisis energy
pemerintah, USA Energy Policy, mengeluarkan semacam prediksi. Jika tak ada sumber-sumber minyak baru
yang tergali, Amerika akan mengalami krisis bahan bakar yang lebih dahsyat disbanding 1970-an. Amerika,
menurut USA Energy Policy, akan mengalami kekurangan 18,8 juta barel per hari… Karena itu, bukanlah
kebetulan jika Amerika menyerang Afghanistan, karena cadangan minyak bumi di negeri ini diperkirakan
lebih besar dari yang dimiliki Timur Tengah. Menurut hasil pencitraan sebuah satelit bumi, Afghanistan
menyimpan sedikitnya cadangan minyak yang bias memenuhi kebutuhan dunia selama 500 tahun ke depan.
Tanah Afghanistan menyimpan paling tidak 270 miliar barel minyak bumi dan 65 trilyun kaki kubik gas
alam.”7
Ternyata perspektif realis memang benar. Demi kepentingan nasionalnya yang sebenarnya, Amerika
Serikat telah menumpahkan terlalu banyak darah di Afghanistan dan menebar banyak konflik bersenjata—
entah hal ini rasional atau tidak.
Konflik Pokok yang Mendasari
Pernyataan Bush menunjukkan sifat hubungan internasional yang selalu konfliktual. Hal ini tampak
dari ucapannya yang tidak menyisakan jalan tengah dalam mengambil sikap; bersama Amerika Serikat atau
bersama “teroris”. Tidak ada negosiasi di antara keduanya; yang ada hanyalah konflik. Dan dalam konflik
tersebut, tidak ada daerah abu-abu; yang ada hanyalah putih dan hitam. Hanya saja, putih dan hitam tersebut
didefinisikan sesuai dengan kepentingan; dan dalam kepentingan Amerika Serikat pada kasus ini, Amerika
Serikat adalah daerah putih dan teroris adalah daerah hitam. Dan Bush menawarkan, mau bergabung dengan
yang mana: putih (“with us”) atau hitam (“with terrorist”)? Anda pilih sendiri jawabannya.
***
Kesimpulan
Yang dimaksud “terrorist” dalam pernyataan Bush harus dilihat dalam konteks hubungannya dengan
negara, baik terorisme yang disokong negara atau negara teroris itu sendiri. Hal ini disebabkan dalam
perspektif realis, negara masih menjadi satu-satunya aktor utama dalam hubungan internasional, sementara
teroris adalah non-state actor. Dengan pernyataannya, Bush berusaha menciptakan suatu balance of power
Amerika Serikat dan negara-negara pendukungnya terhadap “terorisme” dengan metode aliansi. Pernyataan
6 Paul R. Viotti dan Mark V. Kauppi, International Relations Theory: Realism, Pluralism, Globalism, Second Edition (New York: MacMillan).7 Herry Nurdi, ibid., 197.
Bush tersebut sebenarnya dilandasi atas kebutuhannya akan bahan bakar minyak dunia; dan pernyataan
tersebut menunjukkan sifat alamiah hubungan internasional yang penuh konflik.
Bahan Utama Telaah Pustaka:
Morgenthau, Hans Joachim, direvisi oleh Kenneth W. Thompson. Politics Among Nations: The Struggle for
Power and Peace, Brief Edition. United States: McGraw-Hill, Inc., 1985.
Nye, Jr., Joseph S. Understanding International Conflicts: An Introduction to Theory and History. New
York: HarperCollinsCollegePublishers, 1997.
Papp, Daniel S. Contemporary International Relations: Frameworks for Understanding. New York:
Macmillan, 1997.
Viotti, Paul R. dan Mark V. Kauppi. International Relations Theory: Realism, Pluralism, Globalism, Second
Edition. New York: MacMillan.
Sumber Pelengkap:
Concise Oxford Dictionary – Tenth Edition (COD10).
Nurdi, Herry. Lobi Zionis & Rezim Bush. Jakarta: Penerbit Hikmah, 2006.