faktor- faktor yang mempengaruhi tumbuhnya filefaktor- faktor yang mempengaruhi tumbuhnya kemiskinan...

16

Upload: duonghanh

Post on 12-Jun-2019

244 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

FAKTOR- FAKTOR YANG MEMPENGARUHI TUMBUHNYA

KEMISKINAN DI MASYARAKAT

Oleh GPB Suka Arjawa

(Staf Pengajar Prodi Sosiologi, FISIP, Universitas Udayana)

Abstract

This article is aimed at explaining the causes of the poverty in society. Poverty exists either ini developed

or ini developing countries. The definition of poverty itself as actually still debatable as there many

perspectives giving various meanings of poverty. For that purpose, this article assumed that poverty is

affected by many aspects namely: human factor, environment, goverment policy and culture.

Keywords: poverty, human factor, environment, goverment policy, culture

Pendahuluan

Bali selalu identik dengan perkembangan pariwisatanya. Ini disebabkan karena sejak awal pulau

kecil ini selalu memberikan kepada negara prosentasi yang cukupp tinggi pada pembangunan nasional

dari sektor pariwisata. Karena itu, secara sosial sering dikatakan bahwa kemiskinan sangatlah sulit

ditemukan di Bali. Tetapi masalah kemiskinan sesungguhnya tidak bisa dikaitkan dengan industri belaka.

Kemiskinan itu sangat terkait dengan individu, aktor atau agen manusia yang berada di lingkungan

tersebut. Kemiskinan juga dikaitkan dengan lingkungan. Akan tetapi kalau agennya mampu menyiasasti

persoalan kemidkinan, maka akan terjadi hal yang sebaliknya. Orang akan mampu menjadi kaya di tengah

lingkungan yang miskin.

Kemiskinan sebenarnya merupakan suatu keadaan yang masih kontroversial karena cara untuk

memandang kemiskinan itu berbeda-beda. Bahkan mendefinisikan kemiskinan bisa tergantung pada

kelompok-kelompok profesional seperti agen pemerintah atau universitas (Keban, 1995, 40). Dengan

demikian, paling tidak, dalam pendangan penulis, ada empat pandangan yang memicu munculnya

kemiskinan. Yang pertama adalah manusianya yang memang tidak mempunyai kemampuan untuk maju,

kedua lingkungan yang memberikan manfaat terlalu kecil kepada masyarakat, ketiga akibat kebudayaan

dan keempat kerena kebijakan pemerintah.

Faktor Manusia

Faktor manusia sebagai faktor yang membuat kemiskinan itu dimulai dari pandangan bahwa

kemalasan yang menjadi pendorong utama. Kemalasan ini bisa berarti tidak bersedia bergerak untuk

melakukan sesuatu untuk mendorong kemajuan hidup. Orang seperti ini hanya mengharapkan apa yang

sudah tersedia tanpa mau memberikan apresiasi terjadap kehidupan dan lingkungan. Karena itu,

terjadinya kemiskinan seperti ini tidak hanya di wilayah-wilayah yang tanahnya kering tetapi juga bisa

terjadi pada daerah yang mempunyai lingkungan yang berpotensi membuat sesorang atauu keluarga itu

maju. Di wilayah pegunungaan misalnya, merupakan pemikiran keliru kalau dikatakan sebagai wilayah

yang berpotensi menciptakan kemiskinan. Secara kasat mata, pegunungan itu menghasilkan tanaman atau

sayuran yang jauh lebih berkualitas dibandingkan di daerah lain. Dalam banyak hal, buah-buahan dan

sayuran segar itu datang dari pegunungan yang kemudian diekspor menuju perkotaan. Dalam pemahaman

ilmu alam, pegunungan dikenal sebagai daerah subur karena merupakan permukaan tanahnya merupakan

endapan dari bekas letusan gunung atau pembentukan gunung di masa lalu.

Karena itu, pengolahan tanah pertanian daan perkebunan di gunung merupakan cara yang paling

bagus untuk menopang khidupan. Perkebunan yang dilakukan secara konsisten dan berpengetahuan akan

membuat masyarakat mampu meningkatkan taraf kehidupannya. Akan tetapi, cukup banyak masyarakat

pegunungan yang tidak mampu memanfaatkan itu sebagai akibat dari kemalasannya untuk bergerak.

Perkebunan merupakan pekerjaan yang lebih banyak memakai pekerjaan fisik. Kemalasan dalam konteks

ini disebabkan oleh karena tidak bersedia melakukan pekerjaan fisik karena dinilai menjadi beban bagi

mereka.

Konteks kemalasanpun tidak hanya disebabkan oleh karena tidak mampu menggerakkan fisik

tetapi juga karena tidak bersedia untuk melakukan transfer pengatahuan. Transfer ini bisa dilakukan

dengan cara diskusi, dialog atau mencari pengetahuan tentang cara bercocok tanam. Diskusi

sesungguhnya memberikan cara terbaik untuk mencari pemahaman-pemahaman baru tentang pola

bercocok tanam. Tetapi manakala kita berbicara tentang soal mencari pengetahuan itu, maka kemiskinan

tidak hanya terjadi di gunung. Miskin karena malas melakuikan diskusi karena pergerakan fisik juga

terjadi di kota. Sherraden yang mengutip Lewis dan Banfield mengatakan bahwa budaya kelompok kelas

bawah, khususnya pada orientasi untuk masa sekarang dan tidak adanya penundaan akan kepuasan,

mengekalkan kemiskinan di kalangan mereka dari satu generasi ke generasi berikutnya (Sherraden,

2006:51)

Lingkungan sebagai Pengaruh

Kemiskinan juga disebabkan oleh persoalan lingkungan yang tidak memberikan kontribusi

kepada peningkatan kemakmuran manusia. Lingkungan ini bisa dibagi menjadi dua, yakni lingkungan

alam dan lingkungan manusia yang berada di sekitar manusia tersebut. Alam sebagai tempat berpijak

manusia sering kali memberikan pengaruh yang sangat besar kepada kemampuan manusia untuk

meningkatkan taraf hidupnya. Alam yang subur, kaya dengan berbagai sumber daya yang mampu

dimanfaatkan untuk manusia, akan memberikan sumbangan signifikan kepada manusia dan masyarakat

untuk meningkatkan taraf kemampuan ekonominya. Dalam arti, alam itu tidak memberi kemiskinan

kepada masyarakat yang ada di sekitarnya. Dalam contoh konkrit misalnya, masyarakat di daerah Asah

Duren, Kecamatan Pupuan, kabupaten Tabanan, Bali boleh dikatakan memberikan sumbangan besar

kepada kemampuan warga yang ada di sana untuk mengentaskan kemiskinan. Wilayah ini merupakan

pegunungan yang bertanah subur, sehingga pohon cengkeh, kopi dan coklat bisa tumbuh dengan baik.

Sebagian besar, bahkan seluruh penduduk di sana mempunyai perkebunan cengkeh dan mampu

memabangun rumah permanen dengan bata dan semen. Demikian juga yang terjadi dengan masyarakat

di Banjar Galiukir di Kecamatan Pupuan, dimana masyarakatnya bercocok tanam sebagai petani cengkeh

dan kopi. Masyarakat disini mampu membuat bangunan permanen, dan menyekolahkan anaknya sampai

perguruan tinggi. Di wilayah Penebel, Kabupaten Tabanan, masyarakat masih mampu menanam padi Bali

dengan baik karena tanahnya subur dan udara sejuk. Masyarakat di wilayah ini tingkat perekonomiannya

cukupp tinggi, dengan andalan sebagai pengekspor beras merah yang terkenal di Bali.

Hal sebaliknya terjadi pada masyarakat yang ada di wilayah Karangasem, terutama daerah

Tianyar atau Kubu. Kondisi alam di wilayah yang ada di Timur Laut Pulau bali ini kering karena curah

hujan tidak terlalu banyak. Disamping itu tanahnya berpasir dan berbatu sehingga sukar ditanami

tumbuh-tumbuhan. Inilah yang membuat banyak keluarga miskin di wilayah ini, dengan rumah yang

masih belum permanen dan banyak anggota masyarakat pergi keluar daerah Karangsem sebagai petani

atau pekebun. Banyak masyarakat dari wilayah itu datang ke Kabupaten Tabanan untuk berkebun. Di

wilayah Kubusalya, Kabupaten Bangli, meskipun tanahnya sebagian subur karena masyarakat mampu

menanam pohon cengkeh dan kopi, tetapi di sisi lain tanahnya curam dan berbukit. Akibat dari kondisi ini

mobilitas masyarakat menjadi kurang. Padahal daerah ini hanya sekitar 30 menit dari daerah pariwisata

terkenal di Bali, yaitu Panelokan, Kintamani. Tetapi karena lokasi wilayah yang berbukit dan curam,

serta jalan yangmasih belum bagus, masyarakatnya banyak yang tidak mampu melanjutkan sekolah

sampai tingkat SMA. Kemiskinan masyarakat disini terlihat dari banyaknya ekspor pekerja rumah tangga

ke daerah lainnya di Bali. Kesehatan rumah juga tidak terjamin karena rumah juga menjadi tempat

hewan, seperti ayam berkeliaran.

Lingkungan manusia juga memberikan kontribusi besar terhadap kemiskinan dan kemampuan

orang untuk meningkatkan kemakmurannya. Ini disebabkan karena pada hakekatnya, manusia akan

sangat dipengaruhi oleh cara bergaulan. Lingkungan yang anggota masyarakatnya banyak tukang mabuk

atau penjudi, cenderung membuat masyarakat tidak mampu meningkatkan kemampuan ekonomi. Banyak

terjadi kemiskinan pada lingkungan seperti ini. Malah, amat mungkin menimbulkan lingkungan yang

penuh dengan kekerasan.

Kebijakan Politik

Kebijakan politik pemerintah juga secara signifikan ikut menciptakan kemiskinan. Dalam hal ini,

dikatakan sebagai kegagalan kebijakan politik. Kegagalan kebijakan politik ini (political failure) terjadi

apabila struktur ekonomi-politik yang ada telah menyebabkan distorsi dalam penyampaian kepentingan

kelompok miskin (Syafa’at 1997: 364). Kebijakan politik merupakan langkah pilihan yang dilakukan oleh

pemerintah untuk menjalankan strategi pembangunan di negara yang bersangkutan. Strategi dan

perencanaan pembangunan itu meliputi bidang ekonomi, sosial, kebidayaan,. Pendidikan olahraga, dan

sebagainya seperti yang tercermin di dalam kabinet pemerintah yang bersangkutan. Kabinet yang

merupakan kumpulan kemeneterian itu secara tidak langsung juga merupakan cerminan dari prioritas

pembangunan yang dilakukan pemerintah dalam satu negara. Kalau masyarakat ingin mengatahui garis

besar pembangunan suatu negara, bisa dilihat dari kementerian yang ada di dalam pemerintahan tersebut.

Namun demikian, suatu pemerintahan juga akan membuat target-target prioritas dalam pembangunan

sesuai dengan apa yang menjadi rancangan pemerintah itu berdasarkan kepada ideologi dan sumber daya

yang dimiliki. Faktor inilah yang sering kali mempengaruhi bagaimana tingkat kemakmuran dan

kemiskinan di suatu negara. Jika negara yangbersangkutan memprioritaskan untuk mengubah

pembangunannya dengan pembangunan industri dengan berbasis kepada sumber daya manusia sebagai

tenaga penggerak, maka negara itu akan lebih menggunakan tenaga manusia untuk membangun proyek

industrinya.

Sebagai sebuah contoh, langkah politik Cina di masa lalu misalnya, yang ingin mengejar

kesuksesan Inggris dalam melakukan industri, tidak hanya membuat banyak masyarakat Cina yang jatuh

miiskin tetapi juga membuat hampir 30 juta masyarakat Cina meninggal. Pemerintah Cina mengutamakan

rakyat untuk mendorong industri di masa Mao Zedong yang kemudian di lapangan menjadi model kerja

paksa. Akibatnya banyak anggota masyarakat yang tidak mampu mengikuti alur itu sehingga tewas

karena kepalaran atau kepayahan. Di Indonesia misalnya, kebijakan ekonomi yang berorientasi pasar,

justru membuat gaya perekonomian Indonesia di era reformasi ini lebih banyak yang bersifat kapitalistik.

Akibatnya, pembangunan ekonomi lebih banyak di perkotaan. Perekonomian yang dilakukan di Indonesia

saat ini lebih banyak mengandalkan barang-barang impor. Barang-barang itu tidak hanya berbentuk

teknologi saja tetapi juga sampai kepada barang-barang pertanian, seperti beras, anggur, apel dan

sejenisnya. Akibat dari hal ini adalah banyaknya urbanisasi karena pembangunan lebih banyak

dipusatkan di perkotaan. Pembangunan ini dilakukan untuk menopang sistem ekonomi pasar, yang

basisnya terletak pada barang-barang impor. Akibat dari hal ini tidak lain tanah-tanah pertaniand yang ada

di pedesaan menjadi menganggur. Disamping masyarakat pedesaan menjadi bertambah miskin, juga

keterampilan untuk menjadi petani menjadi jauh berkurang bahkan menjadi hilang.

Dalam pandangan Kuntjoro-Jakti, kondisi yang menyebabkan belum tercapainya pembangunan

politik ekonomi yang bekeadilan, disebabkan oleh behimpitnya struktur politik dengan struktur ekonomi

yang terefleksikan oleh penguasaan sumber ekonomi dan politik dalam satu tangan (Moeljarto: 1996:

43). Cara seperti inilah yang kelihatan masih dipraktikkan dii Indonesia sampai perjalanan dua dekade

milenium ke-21 ini.

Di Bali, meskipun pembangunan sektor pariwisata memberikan model perekonomian kapitalis.

Perekonomian seperti ini dimungkinkan karena hotel-hotel itu digerakkan korporasi asing yang

kebanyakan berasal dari negara-negara industri. Dan industri hotel merupakan industri yang berbau

kapitalistis dimana persaingannya sudah melampaui batas-batas negara. Dalam konteks pertemuan antara

tradisional dengan modenisasi, karena hotel harus bersaing demikian ketat maka kualitas atau paling tidak

pencitraan itu diunggulkan. Konsepsi pemikiran seperti ini kemudian diterjemahkan akan adanya tuntutan

untuk kualitas dan tampilan produk lokal yang lebih baik. Hotel merupakan perujudan dari modernisasi

sedangkan masyarakat lokal masih banyak yang berpola tradisionil. Maka ketika ada tuntutan hotel agar

barang-barang produksi lokal berkualitas dan berpenampakan lebih baik untuk bisa dimanfaatkan,

masyarakat lokal Bali masih belum mampu memenuhinya. Modernisasi yang diterapkan di hotel lebih

cepat geraknya dari pada kepammpuan masyarakat lokal untuk memproduksi barang yang lebih baik.

sebagai akibatnya, pengelola hotel lebih banyak menggunakan buah impor, daging impor, kertas impor

dan seterusnya. Inilah yang membuat para petani, peternak dan pekebun lokal kalah. Pada akhirnya

kemiskinan masih menjadi bagian dari masyarakat lokal. Fenomena tentang penjualan tanah di Bali juga

bisa dilihat dari hal ini.

Dalam hal ini, konsepsi pembangunan sosial sebagai upaya terencana untuk meningkatkan

kemampuan manusia untuk berbuat belum kelihatan. Konsep ini akan mampu mengoreksi model-model

pembangunan yang tidak peka terhadap pertumbuhan (Moeljarto dan Prabowo, 1997: 46). Kritik

seharusnya diberikan terhadap kegagalan pembangunan yang menjauhi perkembangan masyarakat.

Masalah Budaya

Masih banyak yang kurang memahami bahwa kebudayaan juga menjadi salah satu penyebab

kemiskinan. Kebudayaan dalam hal ini bisa saja dikatakan sebagai suatu kebiasaan, pola hidup yang

sudah berlaku kontinyu di masyarakat. Karena berlaku secara kontinyu dan terus menerus itulah maka

perilaku sosial itu tidak mampu diperhatikan secara lebih baik, terutama apabila dibandingkan dengan

perubahan sosial. Yang dimaksudkan dengan perubahan sosial adalah perkembangan jaman. Kebudayaan

berlangsung melalui mekanisme eksternalisasi yang dilanjutkan dengan internalisasi. Perkenalan satu

tindakan sosial oleh orang tua atau lingkungan, apabila itu dilakukan secara terus-menerus tanpa mampu

melakukan kritik, akan diinternalisasi oleh generasi penerus. Pada konteks inilah keritik terhadap

kebudayaan itu menjadi sukar dan bahkan terlalu dipercaya sebagai sesuatu yang harus dilakukan.

Kemiskinan akan muncul dari ketidaksadaran ini.

Tidak hanya di Bali, pada umumnya di Indonesia itu budaya simbolis masyarakat masih terlalu

kental. Budaya ini dipandang tidak saja sebagai tradisi akan tetapi simbolis itu mempunyai fungsi sosial

yang signifikan. Ia bisa meningkatkan status, menghapus malapetaka, membalikkan kesan, bahkan

dipandang bisa menyembuhkan sakit. Pada masyarakat Jawa misalnya, ada upacara selamatan kalau

sudah sembuh dari sakit. Upacara ini tidak hanya menghaturkan sesajian tetapi juga memberikan sajian

kepadarekan-rekan yang diundang. Banyak hal yang mendapatkan selamatan pada tradisi masyarakat ini

seperti padi yang berbuah, membangun bangunan, lulus ujian, menjadi pejabat dan sebagainya. Fenomena

ini sudah dianggap biasa dan menjadi kebudayaan sosial. Akibatnya biaya yang dikeluarkanpun tidak

terasa karena telah menjadi kebudayaan seperti itu. Maka, uang yang mestinya mampu ditabung menjadi

hilang karena digunakan untuk hal-hal yang bersifat kebudayaan.

Masyarakat Hindu Bali juga mempunyai nilai-nilai kultural seperti ini. Dalam pandangan Clifford

Geertz, kebudayaan orang Bali tidak hanya berupa mengucapkan syukur dengan Tuhan tetapi juga ada hal

lain. Ada unsur pertunjukkan dan di dalam pertunjukkan itu ada nuansa pameran dan upaya melegitimasi

kedirian dari orang Bali Inilah teater metafisis yang dirancang untuk memperlihatkan realitas yang

sifatnya final. (Geertz: 2000: 197). Tradisi bagi masyarakat di Bali masih bisa ditinjau lagi dalam konteks

metode untuk mengucapkan syukur kepada Tuhan. Jika misalnya masyarakat lain memakai ucapan untuk

mengucapkan syukur itu, pada masyarakat Bali itu dilakukan dengan dua cara, yakni dengan ucapan

melalui kalimat (yang dilakukan oleh Pendeta saat memimpin upacara) dan melalui simbolisnya yang bisa

dilihat dari bebantenan yang dihaturkan. Bebantenan ini bisa dibedakan menjadi dua, yakni simbolis

kalimat dan persembahan. Simbolis kalimat itu terlihat dari berbagai anyaman janur yang mempunyai

makna dan sesajian yang berupa makanan sebagai persembahan, yang bisa ditafsirkan sebagai bukti

aktiviotas kehidupan dan ucapan terima kasih. Dalam mempersembahkan ritual ini, masyarakat Hindu

Bali pun melakukan syukuran dengan mengundang rekan-rekannya.

Dengan komleksitas ritual seperti itu, maka biaya upacara menjadi amat besar. Akan tetapi tidak

terasakan karena dipandang sebagai sebuah kebiasaan dan keharusan dalam konteks budaya sosial.

Sebagai pembelaan terhadap ritual ini banayak yang mengatakan bahwa masyarakat Bali itu tidak

memperhatikan nilai uangnya tetapi rasa dan persembahan sebagai ucapan terima kasih kepada Tuhan.

Akan tetapi, kalau dikatakan secara jujur justru pada kalimat terakhir itulah kekeliruannya. Masyarakat

tidak sadar mengeluarkan uang banyak. Kemiskinan dan berbagai pengeluaran yang dilakukan oleh

masyarakat Bali, disebabkan oleh biaya-biaya ritual yang demikian besar. Penjualan tanah di Bali juga

bisa ditarik benang merahnya dari konteks tersebut.

Berkait dengan kemiskinan yang disebabkan oleh faktor kultural itu, dengan demikian, hegemoni

tradisionalitas juga akan sangat mempengaruhi ketidakmampuan masyarakat untuk beranjak dari

keterpurukan ekonominya. Dalam pandangan Sitorus (1995: 268), adat sebagai komponen pengawasan

sosial terwujudkan dalam kawasan pemerintahan dan perekonomian masyarakat. Hegemoni harus

diungkapkan disini karena tradisionalitas, dalam hal ini adat, menjadi faktor pengaruh paling besar.

Artinya beberapa pihak, dalam hal ini kelompok masyarakat, atau bahkan individu, berupaya beranjak

dari tradisi tersebut. Akan tetapi karena penganut tradisionalitas itu demikian banyak, maka pembawa

pesan dan budaya tradisi ini selalu mampu menekan kelompok-kelompok yang menentangnya. Tradisi

akan menjadi lebih kelihatan hegemoninya kalau kemudian mendapatkan legitimasi yang kuat dari elit-

elit kebudayaan atau elit-elit tradisionalitas itu. Disini, elit itu bisa kelompok agama, intelektual budaya

tradisi, bahkan pemerintah. Inilah faktor-faktor yang membuat tradisi itu begitu mengekang sehingga

kritik-kritik yang berusaha mengkritisinya tidak mempan untuk melakukan perubahan sosial terhadap

hegemoni tersebut. Di Bali misalnya, berkali-kali telah diungkapkan bahwa upacara budaya itu sebaiknya

disederhanakan saja. Akan tetapi karena kelompok elit selalu menggunakan upacara yang kompleks dan

besar itu, maka kemudian pihak yang berupaya menyederhanakan tidak mampu memberikan pesan yang

berpengaruh.

Keterkaitan antar Faktor

Kemiskinan tidak akan memberikan faktor tunggal untuk menjelaskannya. Lebih banyak

fenomena tersebut disebabkan oleh keterkaitan antara satu faktor dengan faktor lainnya, sehingga

membuat hal itu menjadi absolut. Kemiskinan yang diakibatkan oleh keterkaitan antar faktor ini membuat

solusi untuk perbaikannya menjadi lebih sulit.

Kebijakan Pemerintah dengan Kultural

Dalam kasus di Bali misalnya, ada dua hal yang hal yang mesti dilihat, yaitu pilihan politik

ekonomi pemerintah dengan budaya yang dianut. Perekonomian yang berlangsung di Bali, bisa dikatakan

sebagai praktik dari sistem kapitalis. Jargon pariwisata budaya itu sendiri telah mencerminkan, betapa

beratnya masyarakat Bali, terutama yang menganut agama Hindu untuk mempu menyesuaikan dengan

deraf perekonomian yang ada di Bali. Pariwisata yang menjadi andalan adalah pariwisata internasional,

yang jelas mengandalkan wisatawan asing. Daerah Kuta dikenal sebagai tujuan wisata yang kebannyakan

datang dari Australia. Sistem budaya para turis ini menginginkan apa yang disebut dengan ekonomi serba

cepat. Persaingan untuk memperebutkan tamu-tamu itu pada hakekatnya praktik perekonomian yang

berskala kapitalis. Karena adanya persaingan itu, hotel harus siap dengan berbagai ragam tuntutan para

penginap. Inti dari kesiapan itu adalah sikap yang profesional. Sikap seperti ini hanya bisa dilakukan

kalau para pegawai hotel mampu memfokuskan diri terhadap pekerjaannya, membrikan pelayanan

terbaik, dan sudah tentu setiap saat memperbaiki kualitas kerjanya. Hilir dari semua itu adalah beben

waktu pekerjaan yang harus sesuai dengan budaya Barat, yang paling tidak memerlukan waktu 10 jam.

Ini merupakan waktu yang dipakai untuk menyediakan kesempatan untuk melayani tamu, belajar,

termasuk memperbaiki kualitas pekerjaan.

Pada sisi lain, pariwisata yang berbasis budaya itu mengharuskan masyarakat Hindu Bali untuk

mempertahankan kebudayaannya. Sebab, dengan kebudayaan itulah para turis datang ke Bali, demi

melihat kebudayaannya yang masih dipandang tradisional, dan berbasis kepada agam Hindu. Dalam

konteks pemahaman tentang perkembangan budaya dengan dasar Hindu tersebut, ritual keagamaan

merupakan titik sentralnya. Dalam konteks ruang, ritual tentang agama Hindu itu tidak hanya terjadi dan

dilakukan sekali saja tetapi berjenjang dan amat sistematis. Ritual dilakukan terhadap manusia, dan pada

manusia itu berjenjang dari bayi, remaja, dewasa, menikah, mempunyai anak sampai dengan meninggal.

Ritual juga dilakukan kepada hewan dan tanaman, tempat tinggal, lingkungan sampai dengan bumi yang

dipijak. Ia tidak hanya dilakukan di lingkungan keluarga tetapi juga di banajar (semacam rukun warga),

desa pakraman, kabupaten sampai dengan hal yang bersifat kenegaraan. Waktunya juga tidak hanya

sekali tetapi dalam hal tempat sembahyang komunitas, bisa sampai dua atau tidak kali dalam setahun.

Dalam konteks sarana upacara, ia tidak hanya menggunakan tumbuh-tumbuhan tetapi juga

hewan, bahkan segala macam hewan dan binatang yang bisa dimiliki oleh umat manusia. Kemudian,

dalam hal aksi dari ritual itu tidak hanya dilakukan secara sederhana (gelondongan) tetapi harus diolah

dengan berbagai pakem tradisionil yang sudah ada. Dengan demikian, masyarakat Hindu Bali akan

banyak sekali kehabisan waktu, uang dan tenaga untuk melaksanakan ritual ini.

Dalam konteks inilah masyarakat Hindu Bali tidak akan mampu menandingi adanya ekonomi

kapitalis yang dipraktikkan. Kemiskinan yang terjadi menjadi sangat signifikan secara logika. Pertama,

tidak akan mungkin mampu mengikuti arus perekonomian modern yang dipraktikkan di Bali. Dan kedua,

karena tidak mampu meningkatkan kemampuan ekonomi dan karena didesak oleh upacara yang begitu

banyak, maka masyarakat Hindu Bali pada akhirnya menjual kepemilikannya untuk mendapatkan bniaya

hidup dan biaya upacara. Kemiskinan secara perlahan-lahan merupakan konsekuensi logis dari hal itu.

Lingkungan dengan Politik

Lingkungan dalam masyarakat sering kali merupakan arena untuk ”menyerah” bagi masyarakat

yang ada di sekitra. Artinya, inetrnalisasi dalam lingkungan tersebut sejak lahir membuat kesadaran

masyarakat terhadap hal demikian kurang berkembang. Internalisasi ini merupakan penyerapan

pengetahuan yang ada sejak lahir berdasarkan apa yang ada di lingkungan mereka. Maka ketika

lingkungana tersebut menyediakan tempat yang kering, rumah yang kotor dengan pola pergaulan

setempat, maka itulah yang dipersepsi oleh masyarakat tentang dunia sosial. Padahal sesungguhnya ada

lingkungan lain yang bisa dipakai perbandingan untuk memperbaiki kondisi yang ada di desa

bersangkutan.

Pada titik inilah sesungguhnya diperlukan aktor yang mampu memberikan informasi terhadap

pembaruan dan kemajuan yang harus dilakukan di masyarakat tersebut untuk memperbaiki kondisinya.

Disinilah partai politik mesti berperan penting. Di tengah demikian banyaknya partai politik yang ada

sekarang, sangat jarang partai politik yang memperhatikan hal ini untuk dijadikan sebagai isu

perkembangan partainya. Kemiskinnan di Bali bisa dilihat sebagai fenomena radikal kalau dilihat dari

beberapa hal. Pertama, radikal bisa diterjemahkan sebagai fenomena menyimpang atau kegagalan

terhadap kebijakan. Dalam konteks wilayah, daerah kemiskinan terlihat di Bali adalah pegunungan. Di

daerah Kintamani, Bangli misalnya, kemiskinan terlihat di daerah pegunungan seperti di Siyakin,

Kubusalya, Sebaya, Batih bahkan bisa dilihat di Trunyan. Kintamani merupakan obyek pariwisata

terkenal dengan pemandangan paling bagus di Bali. Daerah-daerah yang disebutkan tadi, ada sekitar

setengah jam dari wilayah pariwisata ini, sehingga secara logika tidak masuk akal ada kemiskinan di

daerah tersebut. Partai politik, mestinya mampu melihat hal ini untuk dijadikan sebagai isu demi

pembenahan partainya. Akan tetapi, seperti yang menjadi gejala dimanapun saat ini, partai politik hanya

kelihatan dinamikanya menjelang pemilihan umum, baik legislatif maupun eksekutif. Akibatnya, desa-

desa pegunungan ini miskin dan membuat banyak pemudanya yang pergi ke kota. Beberapa penyebab

munculnya urbanisasi, bukan sekedar lapangan pekerjaan yang tidak ada tetapi juga hiburan yang kurang,

tekanan adat bagi anak-anak muda di desa, kurangnya pengetahuan serta upaya mengembangkan keahlian

(Leibo, 1995: 79) . Banyak dari pemuda itu yang pergi ke wilayah Denpasar dan Badung untuk bekerja.

”Radikalisme” kemiskinan itu juga bisa dilihat dari tidak meratanya pendapatan pariwisata di

daerah puncak wisata itu sendiri, seperti misalnya di daerah Badung selatan dan Denpasar. Masih banyak

rumah tangga miskin di daerah ini, tetapi tidak diperhatikan oleh partai politik. Di daerah Nusa Dua dan

sekitar Bukit Jimbaran masih terlihat kemiskinan yang kalau dibandingkan dengan pertumbuhan hotel-

hotel yang ada di daerah tersebut, terlihat sangat kontras. Kemiskinan di sekitar ini misalnya bisa dilihat

dari dua hal. Pertama dari sisi fisik bangunan rumah, terlihat rumah-rumah masa lalu. Cirinya adalah

tembok yang memakai tanah liat atau tembok rumah yang belumdiplester. Fisik mereka yang bekerja

sebagai peladang juga bisa dipandang sebagai penampakan kemiskinan. Mereka memakai pakaian lusuh

dan kurang bersih. Ini misalnya terlihat dari peternak sapi yang ada di sekitar kampus Universitas

Udayana, yang ada di Bukit Jimbaran. Kemiskinan tersembunyi juga terlihat. Pegawai-pegawai, baik di

hotel maupun lembaga pemerintah asal dari Bukit Jimbaran, masih menduduki strata rendah. Ini

menandakan bahwa peningkatan kualitas pendidikan masih belum mampu dilaksanakan pemerintah di

wilayaah tersebut.

Juga di Denpasar masih terlihat kemiskinan tersebut. Di perumahanan asli penduduk Denpasar,

mereka yang telah mempunyai rumah sejak deka deenampuluhan, telah terkepung oleh bangunan-

bangunan modern yang ada bertebaran di kota Denpasar. Di Panjer misalnya, penduduk asli di wilayah

tersebut masih menyisakan kemiskinan. Atau paling tidak mereka tidak mampu ikut berkejaran dengan

pertumbuhan ekonomi yang dinikmati oleh masyarakat yang ada di sekitar Renon.

Dari konteks demikian, partai politik masih kelihatan belum maksimal dalam memanfaatkn

kondisi ini untuk memperbaiki dan mengangkat citra partai. Seharusnya, kalau partai mampu

memanfaatkan lingkungan, mereka bisa membuat langkah kebijakan untuk meningkatkan kualitas partai

dan pencitraan partai. Disamping itu, dari sisi politik birokrasi, kenyataan seperti ini memperlihatkan

bahwa pemerintah belum mampu membuat kebijakan politik yang lebih merata dan jeli. Seharusnya

pemerintah melakukan tindakan berupa melibatkan peneliti untuk melihat fenomena kemiskinan dan

berdasarkan hal itu kemudian membuat kebijakan yang lebih merata. Misalnya, dalam kasus di Badung

dan Denpasar, harus ada kebijakan (dan keharusan), bahwa seluruh masyarakat yang menjadi tempat atau

lokasi wisata, mendapatkan pekerjaan di hotel atau restoran yang didirikan di tempat tersebut. Disamping

itu juga harus ada transfer pengetahuan daan pengalaman kepada masyarakat setempat, sebagaai bekal

untuk kehidupan mereka di masa mendatang.

Lingkungan dengan Manusia

Sering kali harus dilihat bahwa masalah kemiskinan tersebut disebabkan oleh faktor manusia.

Dalam artian, manusia menyerah dengan nasib yang telah ada. Mereka tidak mau mencoba memperbaiki

lingkungan yang sudah ada berdasarkan atas kemampuan intelektual yang mereka miliki. Padahal,

manusia secara filosofi adalah mahluk yang lengkap, memiliki kemampuan mengubah apa yang ada pada

lingkungan mereka. Karena itu, lahan yang tandus bisa disulap menjadi daerah yang gemerlap. New

Orleans, kota yang ada di Amerika Serikat dulu merupakan wilayah tandus dan mirip dengan padang

pasir. Akan tetapi kota ini sekarang dikenal sebagai kota sibuk di Amerika Serikat dimana wilayah ini

disebut sebagai pusat judi negara tersebut dan pusat judi seluruh dunia. Itu membuat denyut nadi kota ini

selalu dinamis baik siang maupun malam. Penduduk yang sebelumnya kesulitan mengembangkan diri,

kini menjadi bisa beraktivitas untuk mengembangkan dirinya.

Seharusnya, itulah yang dilakukan masyarakat di Indonesia. Di Bali, pengembangan-

pengembangan lingkungan menjadi pendukung kehidupan yang sejahtera, sangat kurang dilakukan.

Pertama, ini disebabkan oleh dominasi opini yang mengatakan bahwa Bali hanya bisa dikembangkan

melalui pariwisata. Pendapat ini keliru karena pariwisata sesungguhnya hanya salah satu aspek dari

perkembangan kesejahteraan rakyat di Bali. Banyak hal lain yang mampu dikembangkan di luar

pariwisata dengan basis dari potensi daerah masing-masing. Sekedar contoh, adalah fenomena yang

terjadi di Bukit Jimbaran. Kawasan ini mengandung batu kapur yang massif, mulai dari Uluwatu sampai

dengan Nusa Dua, sampai dengan Bukit Jimbaran. Melihat berbagai contoh perkembangan yang ada di

tempat lain yang mengandung batu kapur, seperti hutan Blauran Jawa Timur atau Bali Barat,

sesungguhnya yang bisa dikembangkan di daerah Bukit Jimbaran itu adalah perkebunan pohon jati.

Kenyataannya, di wilayah itu pohon jati sejak awal mampu berkembang dengan baik. Tetapi karena tidak

ada kesadaran seperti itu, yang dikembangkan justru perhotelan, menjadi tempat tinggal para turis

mancanegara yang menopang lokasi pariwisata pantai di Kuta dan Sanur. Akibatnya, penduduk setempat

akhirnya tidak mampu mengikuti perkembangan pariwisata yang sangat mengandalakn kemampuan

manajemen global. Bukan saja kemiskinan fisik yang terlihat di wilayah itu tetapi juga kemiskinan

manajemen dan kemudian kemiskinan mental. Akumulasi kemiskinan inilah yang membuat masyarakat

menjadi miskin fisik (ekonomi) yang membuat kepemilikannya menjadi hilang. Banyak masyarakat yang

menjual tanah kepada investor. Akan tetapi, mereka tidak mampu melakukan manajerial secara baik yang

membuat uang hasil penjualan tanah tersebut menjadi tidak bermanfaat. Inilah sebagai akibat

ketidakmampuan mereka mengelola keuangan dengan baik.

Fenomena ini terjadi karena kesadaran terhadap lingkungan tidak baik, tidak memahami berbagai

potensi yang ada. Salah satu sebabnya adalah ketidakhadiran pelopor, atau aktor atau agen untuk

menyadarkan masyarakat terhadap potensi yang dimilikinya. Banyak contoh yang masih bisa dilihat

mengenai hal demikian di Bali. Kalau pariwisata dikonsepkan sebagai potensi Bali, maka seharusnya

kawasan Bukit Jimbaran bisa menopang pariwisata pantai di Kuta berpadu dengan pariwisata hutan jati

yang ada di Bukit Jimbaran. Kompleks perhotelan mungkin bisa dikembangkan di wilayah-wilayah

Denpasar dengan memanfaatkan lokasi hotek-hotel yang secara tradisionil telah ada sebelumnya. Inilah

akibat tidak adanya kesadaran akan lingkungan oleh manusia yang ada di wilayahnya. Agen manusia

yang membuat penyadaran terhadap potensi sumber daya tersebut, harus tumbuh banyak di Bali demi

membangkitkan secara nyata berbagai sumber daya yang ada.

Kedua, kurangnya pandangan masyarakat Bali tentang pemanfaatn lingkungan berbasis

eksperimen. Artinya, masyarakat mencoba terlebih dahulu apa yang menjadi potensi besar bagi

lingkungannya. Basis eksperimen ini memerlukan keberanian. Akibatnya muncl pandangan bahwa

masyarakat Bali kurang berani mengambil resiko. Setiap wilayah di Bali mempunyai potensi masing-

masing yang bisa dikembangkan. Daerah pegunungan misalnya, sangat cocok dipakai sebagai kebun kopi

yang bisa dimanfaatkan sebagai kopi asli. Daerah danau dimanfaatkan sebagai pembibitan ikan atau

pengembangan ikan air tawar. Atau daerah yang mempunyai sungai dengan air yang mengalir terus

sepanjang tahun bisa dimanfaatkan untuk waduk. Kelak waduk seperti inijuga bisa dimanfaatkan sebagai

perikanan dan pembangkit listrik.

Kesimpulan

Kemiskinan merupakan gejala yang selalu ada di masyarakat. Kemiskinan dijumpai di negara

maju maupun di negara sedang berkembang. Kemiskinan di negara maju disebabkan oleh sistem

perekonomian kapitalis yang menuntut kompetisi diantara individu atau kelompok. Mereka yang tidak

mampu berkompetisi akan jauh ke dalam kemiskinan. Sedangkan kemiskinan di negara sedang

berkembang terjadi karena beberapa faktor. Indonesia, adalah negara sedang berkembang dan karena itu

banyak dijumpai kemiskinan di masyarakat. Khususnya di Bali, beberapa faktor menjadi penyebab

kemiskinan.

Faktor manusia bisa dikatakan pengaruh utama karena tidak mempunyai usaha untuk maju.

Mereka melihat keadannya itu sebagai sebuah kenyataan yang memang merupakan nasib mereka sendiri.

Anggota masyarakat yang mempunyai sikap dan sifat seperti ini sukar meningkatkan kualaitas dirinya

untuk beranjak dari kemiskinan.

Disamping manusia, lingkungan juga memberi kontribusi signifikan terhadap kemiskinan yang

ada. Lingkungan ini lebih melihat kepada kondisi tanah, iklim, sampai dengan topografis. Apabila

keadaan itu tidak memberikan kontribusi positif bagi kehidupan manusia, maka usaha untuk

membangkitkan diri menjadi lemah.

Hal selanjutnya adalah kebijakan politik. Pemerintah sekarang banyak dikuasai oleh tokoh-tokoh

atau elit-elit politik tertentu. Kebijakan pembangunan terhadap suatu daerah juga dipengaruhi oleh partai

apa yang paling banyak di wilayah tersebut. Akibatnya, pembangunan tidak bisa merata.

Di Bali, budaya yang hidup di masyarakat mempunyai kontribusi terhadap berkurangnya

penghasilan. Budaya ini lebih banyak mengacu kepada berbagai upacara besar-besaran yang dibuat

masyarakat.

Selanjutnya, perpaduan antara manusia dengan budaya, lingkungan dan faktor politik, membuat

kemiskinan itu sulit diberantas dengan cepat. Ketrakitan ini malah merupakan penyebab yang

menyulitkan proses percepatan pengentasan kemiskinan tersebut.

Saran-Saran

Pada tingkat masyarakat, harus ada aktor yang mampu memperlihatkan diri sebagai agen dalam

perubahan. Agen inilah yang akan memberikan contoh terhadap pengentasan kemiskinan. Agen ini

menjadi pelopor, mengubah orientasi tradisionil masyarakat sampai dengan memberikan dorongan

kepada masyarakat miskin untuk bangkit. Politisi haruslah memahami kondisi konstituens dan mencoba

memeberikan solusi terhadap kemiskinan tersebut. Dan pada konteks budaya, ritual yang ada di Bali

harus disederhanakan sehingga pengeluaran biaya dan tenaga bisa ditekan.

*****

Daftar Pustaka

Geertz, Clifford, 2000, Negara Teater, Yogyakarta, Yayasan Bentang Budaya

Leibo, Jefta, 1995, Sosiologi Pedesaan: Mencari Suatu Strategi Pembangunan

Masyarakat Desa Berparadigma Ganda, Yogyakarta, Andi Offset

Keban, Yeremias T., 1995, ”Profil Kemiskinan di Nusa Tenggara Timur: Analisis Rumah

Tangga Berdasarkan Susenas 1993”, dalam Prisma 10, Oktober 1995.

Moeljarto, Vidhyandika, 1996, Dimensi Politik Ekonomi Pembangunan Nasional:

Kebijakan dan Reformasi dalam Analisis, No.1, Januari-Februari 1996.

Moeljarto, Vidhyandika, Prabowo, Sonia, 1997, Bidang Pendidikan dan Kesehatan

dalam Pembangunan Sosial, dalam Analisis, 1, Januari-Februari 1997.

Sherraden, Michael, Abbas, Sirojudin (Pent.), 2006, Aset untuk Orang Miskin: Perspektif

Baru Usaha Pengentasan Kemiskinan, Jakarta, Raja Grafindo Persada.

Sitorus, Felix M.T., 1995, ”Kemiskinnan Struktural dalam Proses Pembangunan:

Dominasi Pengendalian Masyarakat atas Pengawasan Sosial, Kasus di Pedesaan

Ende, Flores”, dalam Analisis, CSIS, No. 4, Juli-Agustus 1995.

Syafa’at, Nizwar, 1997, ”Strategi Pengentasan Kemiskinan dan Pengelolaan Sumber

Daya Alam DAS Hulu di Jawa”, dalam Analisis, Juli-Agustus 1997.