file : bab2_4101159.pdf

30
BAB II IDEOLOGI SEBAGAI PANDANGAN HIDUP Pembahasan mengenai “pandangan hidup” seringkali membawa perdebatan yang tidak berkesudahan. Melacak akar epistimologi sebuah pandangan hidup pada diri seseorang mungkin sebuah pekerjaan yang absurd. Bagaimana pandangan hidup dapat terbentuk pada diri seseorang yang tumbuh dalam suatu lingkungan yang kompleks dan temporal? Apa implikasinya dan apakah sebuah pandangan hidup menentukan atau “mewajibkan” untuk di aplikasikan? Adakah kemungkinan perubahan - perubahan dalam pandangan hidup seseorang ketika vis a vis realitas kongkrit? Pertanyaan semacam ini akan berkelindan di kepala kita ketika membicarakan apa yang dimaksud pandangan hidup itu. Dalam literatur - literatur ilmu budaya dasar dapat ditemukan beberapa karakteristik khas tentang pandangan hidup, seolah menjadi aksioma bahwa pandangan hidup melingkupi tiga pokok dasar yaitu cita-cita, kebajikan dan sikap hidup. 1 Sedangkan sumber - sumbernya bisa dari agama, perenungan atau ideologi. 2 Karena sifatnya yang subjektif pandangan hidup sepenuhnya diserahkan pada pribadi masing- masing sehingga pandangan hidup dapat berupa tujuan atau motifator dinamis yang secara inheren menjadi motor penggerak untuk menjadikan kondisi yang diidealkan tiap individu. Sungguhpun ada rumusan - rumusan alternatif yang dapat ditawarkan mengenai pandangan hidup permasalahan paling fundamental, seperti telah sedikit disinggung diatas, adalah mengenai sumber pandangan hidup. Jika dikatakan sumbernya adalah agama, ideologi atau perenungan maka terdapat beberapa keberatan yang sulit dihindarkan, misalnya saja pertanyaan apakah agama dan ideologi bukan hasil dari perenungan? Definisi baku tentang agama dan ideologi nampak kabur dalam tataran tertentu, bagaimana kita dapat menjelaskan sesuatu gagasan atau ide yang secara inhern masih menyimpan beberapa “keganjilan”? untuk mencari benang merah dari permasalahan ini maka baik jika meminjam term ideologi Louis 1 Drs. Djoko Widagdho, dkk, Ilmu Budaya Dasar, Bumi Aksara, Jakarta, 1991, hlm. 126 2 Drs. M.E. Suhendar.M.Pd dan Dra. Pien Supinah, Ilmu Budaya Dasar, Pionir Jaya, Bandung, 1993, hlm. 177 22

Upload: vuongtu

Post on 27-Jan-2017

216 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: File : bab2_4101159.pdf

BAB II

IDEOLOGI SEBAGAI PANDANGAN HIDUP

Pembahasan mengenai “pandangan hidup” seringkali membawa perdebatan

yang tidak berkesudahan. Melacak akar epistimologi sebuah pandangan hidup

pada diri seseorang mungkin sebuah pekerjaan yang absurd. Bagaimana

pandangan hidup dapat terbentuk pada diri seseorang yang tumbuh dalam suatu

lingkungan yang kompleks dan temporal? Apa implikasinya dan apakah sebuah

pandangan hidup menentukan atau “mewajibkan” untuk di aplikasikan? Adakah

kemungkinan perubahan - perubahan dalam pandangan hidup seseorang ketika vis

a vis realitas kongkrit? Pertanyaan semacam ini akan berkelindan di kepala kita

ketika membicarakan apa yang dimaksud pandangan hidup itu.

Dalam literatur - literatur ilmu budaya dasar dapat ditemukan beberapa

karakteristik khas tentang pandangan hidup, seolah menjadi aksioma bahwa

pandangan hidup melingkupi tiga pokok dasar yaitu cita-cita, kebajikan dan sikap

hidup.1 Sedangkan sumber - sumbernya bisa dari agama, perenungan atau

ideologi.2 Karena sifatnya yang subjektif pandangan hidup sepenuhnya diserahkan

pada pribadi masing- masing sehingga pandangan hidup dapat berupa tujuan atau

motifator dinamis yang secara inheren menjadi motor penggerak untuk

menjadikan kondisi yang diidealkan tiap individu. Sungguhpun ada rumusan -

rumusan alternatif yang dapat ditawarkan mengenai pandangan hidup

permasalahan paling fundamental, seperti telah sedikit disinggung diatas, adalah

mengenai sumber pandangan hidup. Jika dikatakan sumbernya adalah agama,

ideologi atau perenungan maka terdapat beberapa keberatan yang sulit

dihindarkan, misalnya saja pertanyaan apakah agama dan ideologi bukan hasil

dari perenungan? Definisi baku tentang agama dan ideologi nampak kabur dalam

tataran tertentu, bagaimana kita dapat menjelaskan sesuatu gagasan atau ide yang

secara inhern masih menyimpan beberapa “keganjilan”? untuk mencari benang

merah dari permasalahan ini maka baik jika meminjam term ideologi Louis

1 Drs. Djoko Widagdho, dkk, Ilmu Budaya Dasar, Bumi Aksara, Jakarta, 1991, hlm. 126 2 Drs. M.E. Suhendar.M.Pd dan Dra. Pien Supinah, Ilmu Budaya Dasar, Pionir Jaya,

Bandung, 1993, hlm. 177

22

Page 2: File : bab2_4101159.pdf

23

Althusser yang mengandaikan ideologi sebagai sesuatu yang a historis, lebih jauh

Althusser menegaskan ideologi adalah “suatu yang sudah tertanam dalam diri

individu sepanjang hidupnya (history turn into nature)”3

Ideologi semacam ini yang mungkin dapat merepresentasikan pemaknaan

semangat pandangan hidup pada diri manusia, baik secara umum maupun khusus.

Secara particular ideologi dapat mengambil bentuk agama, ideologi politik,

hukum, dll, dan secara umum makna ideologi seperti yang diformulasikan

Althusser adalah seperti sebuah harapan.4 Dengan demikian kita telah

mendapatkan ruang gerak untuk menyelesaikan permasalahan pandangan hidup

manusia yang tidak dapat terlepas dari realitas kongkrit dan menuntut untuk

dimanifesatasikan. Idealisme setiap diri yang mengharapkan kehidupan lebih baik

tentulah sebuah harapan, harapan yang diproyeksikan semacam kebijaksanaan

yang dengan sendirinya identik dengan pembahasan filosof - filosof awal

mengenai kebijaksanaan itu.

Lebih dari 2.500 tahun silam para filosof seperti Socrates, Plato, dan

Aristoteles memberikan formula mengenai keutamaan (kebaikan/kebajikan) yang

disebut arate.5 Kata arate merujuk pada sesuatu yang unik pada seseorang

sehingga sifatnya sangat spesifik. Sokrates berpendapat bahwa keutamaan (arate)

adalah pengetahuan.6 Karena pengetahuan yang ada pada diri seseorang sangat

beragam maka setiap manusia patut disebut makhluk yang unik. Selanjutnya oleh

Plato dikatakan bahwa keunikan manusia karena memiliki akal budi. Dengan akal

budi manusia akan menjadi bijaksana dan mampu memilah-milah yang baik dan

yang buruk. Potensi akal budi tersebut dapat menjadikan manusia menjadi unggul

(superman) atau dalam bahasa Plato disebut raja filosof.7

3 Lihat kata pengantar yang ditulis oleh Bagus Takwim dalam buku Louis Althusser,

Tentang Ideologi, Jalasutra, Yogyakarta, tt, hlm. xvi 4 Ibid, hlm. xxv 5 Arate berasal dari bahasa Yunani, sering diartikan sebagai virtue (kebijakan), Arate

berarti menjadi baik pada sesuatu. Lihat Yasraf A. piliang, Transpolitika, Dinamika Politik Di Dalam Era Virtualitas, Jalasutra, Yogyakarta, 2005, hlm xxi. Lihat juga Lorens Bagus, kamus…op.cit., hlm. 71-74

6 Ibid, hlm. 72 7 Dalam diri raja filosof-lah kemuliaan tertinggi dapat tercapai, karena bagi Plato hanya

raja filosof yang dapat mengatur laju kehidupan masyarakat. Keterangan lebih lanjut mengenai raja filosof (Philosopher king) lihat magnum opus Plato yang berjudul Republik, Francis

Page 3: File : bab2_4101159.pdf

24

Aristoteles sebagai murid dari Plato mempunyai rumusan sendiri mengenai

yang baik (arate) itu. Tindakan yang baik, menurut Aristoteles adalah tindakan

yang bertujuan pada dan untuk dirinya sendiri. Jika demikian maka sangatlah sulit

untuk mengidentifikasi tujuan komplek manusia dalam satu tindakan semata.

Sedangkan satu tindakan mestilah memiliki tendensi pada implikasi yang luas.

Dengan demikian harus ada satu ilmu induk yang dapat mengakumulasi setiap

keinginan manusia yang kompleks tadi. Untuk itu Aristoteles menyimpulkan:

“yang baik itu harus dipikirkan, termasuk ke dalam ilmu induk yang paling otonom dan paling menyeluruh. Politik secara tepat cocok dengan deskripsi ini. Karena, yang baik menentukan ilmu pengetahuan apa yang ada dalam negara… dengan demikian tujuan politik adalah yang baik bagi manusia.8

Merujuk pada formulasi yang diberikan Aristoteles terhadap politik seakan

politik seperti jantung dalam tubuh yang tidak seorangpun dapat lari darinya

karena manusia adalah hewan-politik.9 Tentunya politik yang dimaksudkan adalah

politik etis sebagai ruh pengatur segala aspek kehidupan manusia bukan

sebaliknya, “politik kotor” yang dibangun atas dasar kepentingan sekelompok

kecil manusia.

A. IDEOLOGI DAN FILSAFAT POLITIK

Filsafat sering disebut sebagai induk ilmu (the mother of science),

seluruh bangunan ilmu-ilmu pengetahuan modern jika dilacak sumbernya

selalu berdiri diatas pondasi filosofis. Akan tetapi ilmu pengetahuan seperti

anak yang lupa akan ibunya, semenjak perkembangan ilmu pengetahuan

mengalami revolusi abad 17 sebagian besar kerajaan filsafat hilang.10

Meskipun ilmu pengetahuan (science) selalu mendasari dirinya pada fakta /

MacDonald Cornford, The Republik of Plato, Oxford University Press, London Oxford New York, 1945, Part III, hlm. 175-193

8 Aristoteles, Nicomachean Ethics, terj. Embun Kenyowati, Teraju, Jakarta, 2004, hlm. 2 9 Istilah political animal dipinjam dari Aristoteles, karena dai yang pertama kali

mengatakan bahwa manusia adalah zoon politikon (makhluk sosial). Lihat Henry J. Schmandt, Filsafat Politik, terj. Ahmad Baidlowi dan Imam Bahehaqi, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2005, hlm. 3. lihat juga http: //filsafatkita.f2g.net/term1.htm, hlm. 1 [ 14-4-2006. 20:35]

10 Sekitar 600 SM di Yunani transformasi penjelasan ilmiah mulai terbentuk, dari sinilah awal mula dari semua pemikiran Barat sampai ke era revolusi ilmiah pada abad 17. lihat Andrew Gregory, Eureka, Lahirnya Ilmu Pengetahuan, Jendela, Yogyakarta, 2002, hlm. 4-5

Page 4: File : bab2_4101159.pdf

25

bukti-bukti yang ada, serta dapat didemonstrasikan kembali, ilmu tetap

memiliki keterbatasan. Ilmu pengetahuan (science) tidak dapat menjawab

masalah-masalah yang menyangkut baik – buruk (etika), dan menyangkut

keindahan (estetika). misalnya, apakah membunuh seseorang baik? Tentu ilmu

pengetahuan mengalami kebuntuan menjawab pertanyaan ini. Ilmu

pengetahuan hanya mencoba menerangkan gejala-gejala yang tampak secara

ilmiah dan kausalistik.11

Berbeda dengan ilmu pengetahuan, filsafat menggunakan penalaran yang

sistematis, kritis, reflektif, integral, dan radikal.12 Perbedaan yang mencolok

antara filsafat dengan ilmu adalah bahwa filsafat bersifat spekulatif dan

menyeluruh, sedangkan ilmu pengetahuan membatasi diri pada hal-hal yang

partikular.

Berkaitan dengan ilmu politik, apabila standar ilmiah dianggap sah jika

disusun atas dasar hukum-hukum umum yang terbukti secara empiris (a

posteriori) maka ilmu politik belum dapat dikatakan sebuah ilmu. Karena

objek dari ilmu politik adalah manusia yang memiliki sifat dinamis.13 Manusia

yang dibekali daya cipta, rasa dan karsa senantiasa bergerak dan berubah

(tentatif), perubahan-perubahan pada diri manusia itu sangat dipengaruhi oleh

banyak faktor. Itulah sebabnya mengapa manusia tidak dapat diidentifikasi

secara pasti.

Signifikansi filsafat politik terletak pada nilai-nilai (value) fundamental

yang mendasari kehidupan manusia, jika demikian, sepintas lalu terbayang

bahwa filsafat politik tidak ubahnya seperti filsafat moral.14 Penilaian

11 Donny Gahral Adian, Menyoal Objektivisme Ilmu Pengetahuan, Teraju, Jakarta, 2002,

hlm. 3 12 Ibid, hlm. 3 13 Prof. Miriam Budiardjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta,

2004, hlm. 4 14 Pensejajaran antara filsafat politik dan filsafat moral terjadi mungkin karena

disebabkan pengaruh zaman Yunani. Dalam pandangan filosof Yunani kuno filsafat Politik erat atau bahkan mencakup filsafat moral (etika). Ibid, hlm. 18. tetapi harus dipahami bahwa pembentukan negara yang ditawarkan Plato (lihat Republik) dan Aristiteles adalah sebuah usaha untuk mencapai suatu tujuan yaitu “baik”. Dan lebih lanjut Aristoteles menjelaskan: “orang percaya bahwa yang mulia dan adil ada hanya karena kesepakatan bersama (convention), bukan secara alamiah.” ( lihat Aristoteles, Nicomachean…op.cit., hlm. 3). Maka, untuk itu harus dibentuk suatu lembaga untuk mengatur pluralisme kepentingan yaitu negara. Dan tampaknya

Page 5: File : bab2_4101159.pdf

26

semacam ini biasanya disebabkan karena sistem berfikir manusia yang biner

sehingga menghasilkan dikotomi an sich. Mungkin belum banyak orang yang

menyadari cara berfikir dialektis (saling pengaruh mempengaruhi) antara dua

“ada” atau lebih. Will Kymlicka mengikuti pendapat Robert Nozick

mengatakan bahwa: “ada sebuah kontinuitas fundamental antara filsafat moral

dan filsafat politik.”15

Pada tataran yang lebih luas filsafat politik berusaha memberikan

pengetahuan terhadap apa-apa yang mendasari teori politik. Filsafat politik

juga berbicara mengenai cara membenarkan atau menolak berbagai dasar

pembentuk suatu pemerintahan, ideologi politik16, hukum dan perangkat-

perangkat lain mengenai negara (kekuasaan). Sedangkan persoalan bagaimana

suatu rezim serta sistem institusinya bekerja bukan wilayah kajian filsafat

politik.17 Filsafat politik lebih menekankan kerjanya pada suatu investigasi

filosofis ke dalam prinsip dan argumentasi apa yang tepat untuk digunakan

sebagai acuan mengenai kehidupan politik, watak, tujuan dan cara

pencapaianya.18

aristoteles belum dapat sepenuhnya meninggalkan ajaran gurunya (Plato) dengan mengharuskan adanya seorang pemimpin negara (raja filosof). Konsep semacam ini sangat rentan terjadinya penyimpangan-penyimpangan karena tidak adanya suatu lembaga yang bertugas mengawasi kinerja raja filosof, dan batasan baik buruk pada akhirnya bukan dibentuk atas dasar convention tetapi bergantung pada kebijakan seseorang saja. Dengan demikian telah terjadi filsafat politik membentuk filsafat moral. Baru sekitar abad ke-16 filosof-filosof Barat memisahkan antara filsafat politik dengan filsafat moral.

15 Menurut Robert Nozick setidaknya ada dua hal yang terkait antara filsafat Politik dan Filsafat moral pertama, filsafat moral memberikan latar belakang untuk, dan batas-batas bagi filsafat politik dan kedua, setiap penilaian kita tentang tanggungjawab publik harus sesuai dengan kerangka moral yang lebih luas. Lihat Will Kimlycka, Pengantar Filsafat Politik Kontemporer, terj. Agus Wahyudi, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2004, hlm. 7-8

16 Menurut Gilbert Abracian dan George.S.Massanat, seperti yang dikutip oleh Cheppy Haricahyono, ada beberapa karakteristik pokok yang terdapat dalam setiap ideologi politik, yaitu: perceptual selectivity, rationality, scripturalism, normative certitude, transcendentalism. Lihat Cheppy Haricahyono, Ilmu Politik dan Perspektifnya, Tiara Wacana Yogya, Yogyakarta, 1991, hlm.120

17 Lihat Julian Baggini, Lima Tema Utama Filsafat, Terj. Nur Zain Hae, Teraju, Jakarta, 2004, hlm. 183

18 Henry J. Schmandt, Filsafat…op.cit., hlm 8

Page 6: File : bab2_4101159.pdf

27

Cara berfikir akan melahirkan suatu filsafat19, meskipun terkadang orang

sering mendefinisikan filsafat sebagai cara berfikir, dan dari kerja filsafat akan

menghasilkan suatu ide (gagasan) tentang sesuatu. Jika ide-ide tersebut

tersistematisasikan secara rasional dan membawa pengaruh pada publik untuk

tujuan-tujuan tertentu maka ide tersebut telah menjadi suatu ideologi.20 Ketika

sebuah ideologi terbentuk, baik secara eksplisit maupun implisit selalu disertai

rancangan praksis-taktis demi perwujudan cita-cita sebuah ideologi tersebut.

Ideologi – ideologi politik dapat berubah sesuai dengan kondisi

dimana ideologi itu lahir. Ketika sekelompok orang menyibukkan diri dengan

suatu ideologi, para pemikir lainnya segera membuat ideologi tandingannya.

Mengapa? Kata kuncinya adalah “kepentingan”. Ideologi muncul karena

pertemuan antara dua atau lebih kepentingan. Sehingga ideologi berubah-ubah

sesuai dengan kepentingan manusia yang tiap saat bisa berubah

Melihat lebih jauh tentang sebuah ideologi, akan mempermudah melacak

landasan filosofis yang digunakan. Bagaimana, apa dan nilai-nilai apa yang

terkandung didalamnya. Sebuah ideologi memang begitu rumit untuk

dipahami. Terdapat banyak ragam interpretasi terhadap sifat, karakter dan

batasan ideologi. Formulasi pendekatan untuk ideologi sebagaimana di tulis

Roger Eatwell meliputi: (1) ideologi sebagai pemikiran politik, (2)

kepercayaan dan norma, (3) bahasa, simbol, mitos, serta (4) ideologi sebagai

kekuasaan elit.21

Harus pula dicatat disini, antara pendekatan satu dan yang lain saling

terkait satu sama lain. Ideologi sebagai kepercayaan dan norma seringkali

19 Lihat kata pengantar dalam buku MADILOG karya Tan Malaka yang ditulis oleh

Wasid Suwarto (mantan Ketua Umum Partai Murba dan anggota DPA 1960-1965), Madilog, Pusat Data Indikator, Jakarta, 1999, hlm. xvi

20 Istilah “Ideologi” pertama kali dikenalkan oleh Antoine Destutt de Tracy (1754-1836) filsuf asal Prancis pada tahun 1796. dia memandang “ideologi” sebagai ilmu tentang pikiran manusia (seperti halnya biologi dan zoologi adalah ilmu tentang spesies) yang mampu menunjukkan arah baik buruk masa depan. Istilah “Ideologi” menjadi negatif di tangan Napoleon Bonaparte (1769-1821) dengan menggantikannya sebagai keinginan a priori untuk mengubah cara lama dengan tujuan “memperbaiki” dan/atau mendukung kepercayaan yang cocok dengan kepentingan mereka. Lihat Roger Eatwell dan Anthony Wright (ed), Ideologi Politik Kontemporer, terj. R.M. Ali, Jendela, Yogyakarta, 2004, hlm 5-6

21 Ibid, hlm. 3

Page 7: File : bab2_4101159.pdf

28

memasuki wilayah kekuasaan.22 Dan begitu sebaliknya, ideologi sebagai

kekuasaan elit seringkali melakukan intervensi terhadap agama.23 Disisi lain

ideologi sebagai bahasa lebih menitik beratkan pada simbol (semiotika),

jargon-jargon untuk pencapaian tujuan politis.24

Penelusuran latar belakang berdirinya suatu ideologi serta landasan

filosofisnya adalah bagian dari kajian filsafat politik. Dasar – dasar ilmu

politik sebelum zaman modern, menurut Leo Strauss, dipahami sebagai: “(1)

Sifat institusi dan kekuatan-kekuatan politis seperti organisasi-organisasi

pemerintah, hukum, program, kelompok-kelompok kepentingan, kekuasaan,

dan kebiasaan-kebiasaan sosial; (2) Tatanan politik yang baik atau jujur secara

moral.” Dua pokok dasar-dasar politik yang diformulasikan ini kemudian

mengalami perkembangan pada zaman modern. Keduanya menjadi terpisah,

yang pertama dikategorikan sebagai ilmu politik dan yang kedua sebagai

filsafat politik.25

Dualisme pemahaman terhadap dasar-dasar politik inilah yang sering

menyebabkan kekaburan memahami atau/dan memberikan batasan terhadap

filsafat politik. Filsafat politik selalu diartikan seperangkat nilai-nilai

fundamental sebagai pondasi ilmu-ilmu politik dibangun. Dia (filsafat politik)

hanya berbicara mengenai tataran normatif, sedangkan ilmu atau teori politik

dibangun atas dasar data-data empirik (teori kausalitas).

Mempertentangkan antara politik normatif dan politik sebagai teori

(ilmu) hanya akan menimbulkan ekses negatif dalam memahami apa yang

22 Contoh mengenai kategori ini di Indonesia, Ormas-Ormas besar seperti Muhamadiyah

dan Nahdlatul Ulama (NU), yang semula memiliki tujuan pure pergerakan Islam mengalami pergeseran keranah politik.

23 Contoh kasus, agama Kaharingan di kalimantan pada masa Orde Baru (ORBA) berkuasa dipaksa ikut ke dalam agama Hindu. Padahal terdapat perbedaan yang sulit dipertautkan, baik sistem kepercayaan maupun konsep ketuhanan.

24 Ideologi dalam konteks ini lebih menekankan pada “pencitraan”; istilah “pasar bebas”, “ratu adil”, “demokrasi”, dll. Sengaja diciptakan untuk memikat massa, menghipnotis, dan menidurkan massa dalam tidur yang panjang. Padahal jargon-jargon seperti itu tidak ada bukti real hingga saat ini.

25 Henry J. Schmandt, Filsafat…op.cit., hlm 4. Dikotomi kedua unsur pokok dasar-dasar politik sangat dipengaruhi pemikir-pemikir Barat yang telah mengalami revolusi industri (science). Terlebih lagi ide-ide positivisme yang dicetuskan Auguste Comte (1798-1857) abad ke-19 mendominasi ketika itu. Untuk keterangan mengenai pemikiran-pemikiran Comte lihat.Henry D. Aiken, Abad ideologi, terj. Sigit Djatmiko, Bentang, 2002, hlm. 136-166

Page 8: File : bab2_4101159.pdf

29

terjadi pada politik itu sendiri. Perubahan-perubahan, peleburan-peleburan dan

lintasan-lintasan pada cakrawala politik akan sulit untuk ditangkap dalam

bidang kehidupan.26 Dilema mengenai dualisme politik adalah bentukan Barat,

yang kemudian tanpa penyaringan diadopsi begitu saja oleh segolongan

ilmuwan Timur. Standar-standar baku ilmiah selalu dicarikan rujukan pada

standar – standar yang digunakan di Barat.27 Mungkin karena term itu muncul

dari Barat dan tanpa lacakan serta analisa diterima sebagai benar.

Untuk menghindari pemahaman yang samar terhadap dualisme

pemahaman dasar-dasar politik Benjamin Barber mengatakan :

“Politik tetap merupakan sesuatu yang manusia lakukan, bukannya sesuatu yang mereka miliki atau gunakan atau lihat atau bicarakan atau pikirkan. Mereka yang akan melakukan sesuatu dengannya harus lebih dari sekedar berfilosofi, dan filosofi yang secara politik mudah dipahami harus mengambil tindakan politik sepenuhnya dari politik sebagai sebuah sikap.”28

Filsafat politik dan teori politik dibentuk dari dua kategori yang saling

mempengaruhi, norma dan kausalitas empirik. Jika pemaknaan dalam frame

dialektis dilakukan akan meminimalisir pemahaman parsial terhadap politik.

Pada kajian selanjutnya penulis akan mencoba melihat ideologi-ideologi

besar yang mendominasi dunia terutama ideologi-ideologi yang berkembang

pada zaman modern.29 Dari ideologi-ideologi tersebut dapat diidentifikasi

landasan filosofis pembentuk suatu ideologi. Selanjutnya penulis mencoba

melihat pemikiran beberapa filosof mengenai isu – isu sentral yang selalu

26 Lihat Yasraf A. piliang, Transpolitika…op.cit., hlm xxvii 27 Sebagai contoh term “timur tengah” selalu di jadikan suatu yang baku (taken for

granted), padahal secara geografis masyarakat Indonesia menyebutnya “Barat tengah”. Sebuah kesalahan yang terus dipertahankan. Ironis.

28 Lihat Joseph losco dan Leonard Williams. Polotical…op. cit., hlm. 4. Keterangan lebih lanjut lihat bab satu pada bagian penegasan istilah dalam tulisan ini.

29 Dua ideologi besar yang berbenturan Sosialisme dan demokrasi liberal, kedua ideologi tersebut memainkan peran sangat signifikan terhadap geo politik global, terutama abad 19 sampai pertengahan abad 20. dua kekuatan raksasa yang pertama diwakilkan oleh negara rusia (uni soviet) dan yang kedua diwakilkan oleh Amerika serikat. Dan sejarah mencatat kemenangan berpihak pada liberalisme pro-kapitalisme. Dua periode pada paruh abad ke-20 (1960-an dan 1970-an) di beberapa negara belahan dunia komunisme nampak menunjukkan eksistensinya kembali, semisal Vietnam Utara, pada tahun 1975 Amerika serikat di pukul mundur oleh pemberontak komunis Vietnam Utara. Lihat Roger Eatwell dan Anthony Wright (ed), Ideologi…op.cit., hlm. 383-384.

Page 9: File : bab2_4101159.pdf

30

menjadi bahan perdebatan diantara para filosof politik, seperti keadilan,

kebebasan, hak asasi, legitimasi hukum, dll.

B. NASIONALISME

Sebagai sebuah ideologi dan gerakan nasionalisme telah membuktikan

pada dunia kerjanya yang signifikan, tepat dan teratur. Nasionalisme menjadi

semangat terbentuknya declaration of independence 4 Juli 1776 yang

dirumuskan oleh Thomas Jefferson dan mengilhami pecahnya revolusi

Perancis tiga belas tahun kemudian 14 Juli 1789. Sekitar abad 20 di sebagian

wilayah Asia, terutama negara-negara bekas jajahan, nasionalisme juga

berperan aktif sebagai motifator terbentuknya bangsa (nation) dan negara

bangsa (state-nation).30

Secara etimologi kata nation diadopsi dari bahasa Perancis yang merujuk

pada bahasa latin natio, akar katanya adalah nasci berarti baru muncul / lahir /

terjadi (nascor). Dalam kosakata Klasik cenderung berkonotasi negatif untuk

ras, suku, atau ‘bibit” manusia yang dianggap tidak beradab oleh bangsa

Romawi. Dalam perkembangannya, kata nation digunakan untuk

menunjukkan kesatuan budaya dan kedaulatan politik tertentu pada suatu

komunitas.31 Pengertian kata nation perspektif etimologi ini menyiratkan

kenyataan bahwa “bangsa” merupakan orang-orang baru (homini novi) yang

terlahir karena berbagai sebab sehingga membentuk suatu kelompok

masyarakat.32

Doktrin yang dikembangkan dalam nasionalisme adalah kemerdekaan

dan kedaulatan rakyat. Disini harus pula dibedakan antara nasionalisme

dengan ideologi fasisme. Fasisme, meskipun menitik tekankan doktrin mereka

pada persatuan bangsa33 namun fasisme, seperti yang diungkap George Mosse

30 Pada kata pengantar yang ditulis oleh Djoko Suryo dalam buku Frank Dhont,

Nasionalisme Baru Intelektual Indonesia Tahun 1920-an, Gajah Mada University Press, Yogyakarta, 2005, hlm. v

31 Roger Eatwell dan Anthony Wright (ed), Ideologi…op.cit., hlm. 210. 32 A. Sudiarja, Indonesia: Negara sudah Lahir…op. cit, hlm. 32 33 Fasisme (facism) berasal dari bahasa Italia fascio yang berakar kata latin fasces berarti

seikat batang kayu. Dalam budaya Romawi istilah ini mengacu pada simbol seikat batang kayu,

Page 10: File : bab2_4101159.pdf

31

bersifat, revolusioner bukan reaksioner.34 Perbedaan lain yang mencolok

antara fasisme dan nasionalisme adalah peran pemimpin. Dalam ajaran

fasisme pemimpin adalah “dewa” yang berhak mengatur seluruh aspek

kehidupan dan negara bersifat totaliter.35 Sedangkan nasionalisme terbentuk

oleh semangat kemauan dan tekad bersama seluruh lapisan, kelas, etnis,

ras,budaya, agama, dll, yang ter-fusi untuk mempertahankan eksistensi suatu

komunitas.

Sesungguhnya “nasionalisme” lebih cenderung mendekati sebuah “isme”

yang muncul di dalam proses sejarah ketika sekelompok orang menyadari arti

“persamaan” dalam satu ikatan (agama, ras, suku, bahasa, nation, dll) untuk

mendirikan suatu negara yang mencakup seluruh anggota.36 Pendirian negara

itu kelak tergantung dari kesepakatan komunitas yang ada, apa haluan, bentuk

negara dan sistem pemerintahannya. Dapat saja terjadi kelompok dominan

yang paling berperan dalam pembentukan negara tanpa menghiraukan

kelompok-kelompok kecil didalamnya. Kenyataan demikian menyiratkan

makna ambigu konsep nasionalisme.

Terdapatnya celah-celah rawan dalam konsep nasionalisme untuk

terjadinya chaos yang berujung pada perpecahan, terutama setelah menginjak

tataran pembentukan sebuah negara. Dari fakta-fakta sejarah yang ada

menggugah para pemikir untuk melakukan kajian ulang terhadap nasionalisme

dan berusaha menganalisa dengan berbagai pendekatan mulai dari

terbentuknya embrio konsep nasionalisme, faktor pendorong, proses

yang berarti sesuatu kekuatan yang terbentuk dari berbagai unsur. Kata fascio juga menyiratkan semangat pengabdian pada negara. Negara memiliki kekuasaan absolut yang mengatur segala aspek kehidupan rakyat. Ideologi fasisme tumbuh subur di dua negara besar, Jerman dan Italia, terutama pada tahun 1935 pengaruhnya menyebar begitu luas hingga mencapai Eropa barat, Eropa timur dan sebagian wilayah Amerika Latin dan Asia. Lihat Hugh Purcell, Fasisme, terj. Faisol Reza.dkk, Insist Press, Yogyakarta, 2003, hlm. 4-5

34 Ditambah lagi keterangan Zeev Sternhell yang mengatakan fasisme merupakan hasil sintesis dari Sosialisme Radikal dan Nasionalisme. Lihat Roger Eatwell dan Anthony Wright (ed), Ideologi...op.cit., hlm. 248

35 Dasar-dasar ideologi fasisme didasari atas semangat “Ein reich! Ein Volk! Ein Fuehrer! (satu Negara! Satu Bangsa! Satu Pemimpin!). slogan semacam ini seringkali diungkapkan untuk menyambut Hitler dalam Rally Nazi Jerman. Hugh Purcell, Fasisme…op. cit., hlm. 5

36 Teori ini dikutip dari buku – buku karya Jhon Breuilly, Nationalism and The State, Anthony D. Smith, Nationalist Movements, Benedict Anderson, Imagined Communities, oleh Frank Dhont, Nasionalisme…op.cit., hlm. 9

Page 11: File : bab2_4101159.pdf

32

implementasi hingga pembentukan negara. Hasilnya, sungguh mengejutkan,

terjadi multi interpretasi dari para pemikir (filosof) terhadap nasionalisme, hal

ini mungkin disebabkan subjektivitas para pemikir, yang tentunya dipengaruhi

“ide-ide”, “isme-isme”, atau “ideologi-ideologi” yang diyakini37.

“Nasionalisme Sejati”, 38 mungkin adalah utopia. Sejarah belum pernah,

jika tidak ingin mengatakan tidak akan pernah, mencatat “nasionalisme sejati”

terbentuk dimanapun di dunia ini. Contoh yang paling dekat, Indonesia,

meskipun semangat nasionalisme menjadi pendorong kemerdekaan 17

Agustus 1945, tetapi nasionalis yang bercampur ideologi dan isme lain.39

Asumsi ini diperkuat oleh gagasan Soekarno mengenai konsep Demokrasi

Terpimpin-nya. Bukankah demokrasi terpimpin Soekarno adalah bentuk lain

dari Fasisme yang dibungkus oleh jargon nasionalisme dan demokrasi?

Masih mengenai Indonesia, Sumpah Pemuda 28 oktober 1928 yang

mengikrarkan satu bahasa, bangsa, dan tanah air Indonesia, kemudian

diperkuat dengan sila persatuan Indonesia dalam Pancasila belumlah memadai

untuk disebut nasionalisme. Karena Nasionalisme muncul atas dasar

kesadaran adanya kepribadian bangsa dan kebangsaan (kepribadian nasional)

yang memuat nilai-nilai kebebasan, keterbukaan dan tanggungjawab secara

moral dalam tindakan dan solidaritas sesama warga demi terwujudnya masa

depan bersama.40 Dan kenyataannya meskipun slogan-slogan “Persatuan

37 Contoh pergeseran semantic nasionalisme terjadi pada zaman modern, seringkali

nasionalisme yang muncul di lain tempat/negara dipersamakan dengan yang terjadi ditempat lain. Pada masa Romawi misalnya, seperti telah disebut diatas, kata nation memiliki ras, suku, bangsa. Setelah zaman modern kata nation digunakan untuk menunjukkan kesatuan budaya dan kekuatan politik. Lihat Roger Eatwell dan Anthony Wright (ed), Ideologi...op.cit., hlm. 210. Ironisnya penilaian ini dilihat dalam frame liberlisme.

38 Terminologi “Nasionalisme Sejati” mungkin agak terdengar aneh, yang penulis maksudkan untuk istilah ini adalah kesinambungan realisasi ide-ide Nasionalisme hingga sampai terbentuknya sebuah negara dengan tidak mengadopsi nilai-nilai ideologi lain di dalamnya..

39 Para intelektual yang tergabung dalam organisasi-organisasi perintis kemerdekaan sebagian besar mengenyam pendidikan di Belanda. Sehingga sangat wajar ketika membicarakan isu-isu nasional sangat terpengaruh oleh pemikiran-pemikiran yang berkembang di Eropa ketika itu.

40 A. Sudiarja, Indonesia: Negara sudah Lahir…op. cit, hlm. 34

Page 12: File : bab2_4101159.pdf

33

Nasional”41 sering disebut-sebut, identitas bangsa belum terbentuk secara

utuh.

Kenyataan banyaknya kasus yang berlainan mengenai nasionalisme di

tiap negara menjadikan sulit dalam memberikan definisi baku terhadap

nasionalisme. Perbedaan – perbedaannya terkadang sangat signifikan sehingga

pen-generalisir-an definisi sangat tidak mungkin dilakukan. Kalaupun ada

persamaan di tiap negara hanya pada hal (nasionalisasi)42

Nasionalisme sebagai filsafat politik menganggap “kebaikan” bagi

bangsa adalah paling utama.43 Sifat khas yang melekat pada nasionalisme

ditandai oleh patriotisme dan oleh keyakinan terhadap nilai-nilai politik dan

budaya sendiri untuk mencapai cita-cita bersama. Dalam bidang politik

nasionalisme bertujuan untuk menciptakan self government dan self

determination, sedangkan pada bidang budaya bertujuan menyatukan budaya

(kultur) suatu bangsa yang plural.44

Ketiga unsur pokok inilah (menentukan nasib sendiri, pemerintahan

sendiri, dan penyatuan budaya) yang sering disebut dalam berbagai kajian

mengenai nasionalisme. Tetapi bagaimana nasionalisme menyikapi masalah-

masalah ekonomi di dunia yang kapitalistik seperti saat ini? dan bagaimana

pula sikap nasionalisme dalam hubungan multilateral / bilateral dengan

negara-negara Non-nasionalis?

Dua pertanyaan besar (the big quest) tersebut menggelitik para filosof

(teoritikus) politik untuk me-review dasar-dasar terbentuknya nasionalisme.

41 Pada masa perjuangan kemerdekaan istilah “Persatuan Indonesia” sering digunakan

sebagai slogan ideologis daripada upaya kultural. Karena para founding fathers menganggap pembentukan negara lebih penting. Kasus lain mengenai slogan “Persatuan Indonesia” sebagai ideologis adalah ketika kaum komunis Indonesia melakukan agitasi untuk melenyapkan unsur-unsur kebudayaan Barat. Semua “produk” Barat dianggap bertentangan dengan kepribadian bangsa. Lihat Soedjatmoko, Kebudayaan Sosialis, Melibas, Jakarta, 2001, hlm. 65

42 Nasionalisasi dipahami sebagai politik yang menjalankan tujuan – tujuan nasional, di dunia ketiga nasionalisme dibedakan dalam hal tujuan nasional, dapat berupa modernisasi, anti kolonialisme, pembebasan nasional atau dilihat pelaku sosialnya (populis, kelompok etnis nasionalis). lihat Dieter Nohlen (ed.), Kamus Dunia Ketiga, Gramedia Widia Sarana Indonesia, Jakarta, 1992, hlm. 470

43 Prof. Mr. A.G. Pringgodigdo dan Hassan Shadily. M.A, Ensiklopedi Umum, Franklin Book Programs, Djakarta, 1973, Hlm. 874

44 Ibid, hlm 874. lihat juga Frank Dhont, Nasionalisme…op.cit., hlm. 9

Page 13: File : bab2_4101159.pdf

34

Dunia modern yang didominasi oleh kekuatan kapital mengisyaratkan betapa

urgennya kekuatan ekonomi dalam menentukan “hidup-matinya” suatu

bangsa / negara. Ditambah lagi derasnya arus globalisasi yang berpotensi

mematikan budaya-budaya lokal. Dalam kondisi dunia yang demikian maka

nasionalisme harus dipahami sebagai tindakan dalam mencapai tujuan

national build, bukan sekedar ide normatif-transendental. Sub-strukturnya bisa

berupa ekonomi, agama, ras, bangsa, dll.45

Kenyataan bahwa seratus tahun terakhir nasionalisme menjadi

determinan modernitas46 menunjukkan adanya kesadaran bangsa-bangsa di

dunia untuk merdeka, bebas dalam menentukan pemerintahan dan nasibnya

sendiri-sendiri. Nasionalisme menawarkan sebuah harapan mengenai

kemerdekaan dari “penjajahan” (teknologi, budaya, ideologi, dll), tetapi bukan

berarti nasionalisme tidak meninggalkan masalah. Ambiguitas nasionalisme

telah memberikan harapan kebebasan, keadilan, kemerdekaan disatu sisi dan

benturan-benturan (clash) yang mengarah pada disintegrasi dunia disisi lain.

C. LIBERALISME

Sejarah lahirnya liberalisme bermula dari Inggris dan Belanda dengan

karakteristiknya yang khas yaitu toleransi beragama. Segala yang berkaitan

dengan abad pertengahan, baik dalam hal politik maupun filosofis, menjadi

pemicu lahirnya liberalisme. Kekuasaan gereja yang absolut menjadikan

doktrin agama sebagai sumber segala sesuatu. Sehingga apa saja yang

bertentangan dengan gereja dianggap salah dan patut dihukumi. Pada mulanya

liberalisme muncul karena adanya keinginan untuk mendamaikan perselisihan

antara politik dan agama dengan memberdayakan kekuatan – kekuatan dagang

dan sains.47

45 Meminjam analisis Marx bahwa sub-struktur menentukan super-struktur, dalam

konteks nasionalisme berarti prasyarat lahirnya nasionalisme bisa dalam bentuk yang beragam. Semisal, industrialisasi, modernisasi, anti globalisasi.

46 Roger Eatwell dan Anthony Wright (ed), Ideologi…op.cit., hlm. 210 47 Bertrand Russell, Sejarah…op.cit., hlm. 786

Page 14: File : bab2_4101159.pdf

35

Prinsip dasar liberalisme ditekankan pada kebebasan individu, dan

rupanya semangat individualistik ini dengan mudah memikat hati rakyat yang

merasa tertekan oleh kekuasaan gereja. Puncak kejayaan liberalisme terjadi di

Amerika sejak tahun 1776 hingga 1933. Tetapi sejak munculnya gagasan

tentang gerakan romantik oleh Jean J. Rousseau (1712-1778), yang

menekankan semangat kebangsaan, muncul gerakan-gerakan baru sebagai

antitesis liberalisme.48

Faham individualistic melahirkan implikasi yang luas dalam segala

bidang kehidupan manusia, sejak lahirnya, rupanya liberalisme mendapatkan

tempat istimewa di hati masyarakat, liberalisme juga telah dijadikan sebagai

asas ilmu-ilmu modern seperti sains, filsafat, politik, ekonomi, etika tidak

terkecuali agama. Karena begitu luas implikasi liberalisme maka dibutuhkan

definisi sederhana untuk membatasi ulasan dalam tulisan ini. Liberalisme,

seperti yang di tulis Julian Baggini adalah :

“liberalisme berdasarkan kepercayaan bahwa individu seharusnya memiliki kebebasan untuk menjalani kehidupan mereka sebagaimana yang mereka anggap layak dan kebebasan ini seharusnya dinikmati oleh seluruh anggota masyarakat secara setara. Menurut cara ini, individu adalah kepentingan tertinggi. Kepentingan negara atau kepentingan kelas sosial tertentu seharusnya tidak pernah digunakan sebagai alasan untuk membatasi kebebasan individu.”

Melihat definisi liberalisme yang me-nitiktekan-kan pada kebebasan

individu diatas, terdapat beberapa keberatan yang dapat diajukan. Pertama,

kenyataan bahwa manusia adalah makhluk sosial, dan dalam interaksinya,

pada titik tertentu akan terjadi gesekan-gesekan kepentingan antar individu

yang “bebas”. Kedua, dalam prakteknya liberalisme mereduksi keadilan dan

kesetaraan dalam kepemilikan sumber-sumber ekonomi belaka. Doktrin

liberalisme secara implisit memberikan legalitas pada individu untuk meraup

kekayaan sebanyak-banyaknya tanpa batas (unlimited).49 Lantas bagaimana

48 Ibid, hlm. 787 49 Dalam buku Sejarah Filsafat Barat, Bertrand Russell mengkategorikan Marx sebagai

turunan dan, atau terpengaruh pada doktrin liberalisme (lihat Russell, Sejarah…op.cit., hlm. 787) . tetapi Marx sendiri tidak melupakan fase-fase dimana kaum buruh memegang kekuasaan sumber-

Page 15: File : bab2_4101159.pdf

36

dengan nasib mereka yang tidak memiliki kemampuan dan kekuatan karena

kekurangan fisik secara alamiah? Dengan kata lain, dapatkah doktrin-doktrin

liberalisme akan melahirkan suatu masyarakat “ideal” (bebas, stabil, adil,

egaliter) yang didalamnya, secara fundamental, terdapat doktrin-doktrin

agama, filsafat, dan moral yang sangat berpengaruh?50

Kaum liberal, pada tataran filosofis, menegaskan komitmen pada konsep

kesetaraan, kebebasan, individualitas dan rasionalitas.51 Dalam konteks

politik, ada beberapa hal mendasar yang ditawarkan liberalisme, pertama,

pilihan bebas (freedom of choice). Setiap individu diberikan kebebasan

menggunakan potensi diri secara utuh untuk memilih apa – apa yang mereka

inginkan. Kedua, argumentasi liberalisme didasari atas kemungkinan

kesalahan pilihan dan banyaknya jalan menuju kebaikan, maka individu

dibiarkan secara bebas untuk menentukan nasibnya sendiri (self

determination), tidak ada otoritas bagi orang lain atau kelompok sosial untuk

memaksakan kehendak pada individu lainya.52

Konsep mengenai individualisme dalam seluruh gerakan liberal

dipengaruhi oleh pemikiran-pemikiran John Locke (1632-1704). Ciri yang

paling menonjol dari filsafat Locke adalah kemandirian manusia (eksistensi

diri) tanpa dogmatisme.53 Filosof lain yang menjadi acuan para kaum liberal

adalah Jeremy Bentham (1748-1832) dengan gagasan utility-nya54 dan

sumber kekayaan yang dirampas dari kaum borjuis sebelum masuk kepada fase komunisme. Komunisme sendiri lebih bersifat kolektivisme.

50 Setidaknya tiga elemen ini (filsafat, agama, dan moral) yang mendasari eksistensi suatu masyarakat kaitannya dengan negara/kekuasaan .dan terkadang ketiganya saling berseberangan satu sama lain. Disinilah letak kesulitan liberalisme politik untuk menrekonsiliasi tiga asumsi dasar tersebut. Lihat Joseph losco dan Leonard Williams, Political Theory, terj. Haris Munandar, Volume II, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2005, hlm. 1016

51 Persamaan yang dimaksud bukan dalam segala hal tetapi lebih pada harkat moral yang dimiliki setiap individu. Kebebasan juga terkait dengan persamaan moral yang dimiliki, tidak ada seorangpun yang dapat menentukan nasib orang lain, manusia bebas menentukan pilihan-pilihannya sendiri (freedom of choice) dan rasionalitas berarti memberikan peluang kritik dalam ranah publik.

52 Loc. Cit, hlm. 186 53 Bertrand Russell, Sejarah…op.cit., hlm. 795 54 Utilitarianisme adalah tradisi pemikiran etika Inggris yang dipelopori oleh David Hume

(1711-1776). Kemudian dielaborasi oleh Bentham dengan mengemukakan prinsip The Greatest Happiness Of The Greatest Number (kebahagiaan terbesar bagi sebanyak mungkin orang). Lihat

Page 16: File : bab2_4101159.pdf

37

mendapatkan bentuk yang lebih matang pada John Stuart Mill (1806-1873).

Ide-ide Mill tentang individualisme mendominasi Inggris abad 1955

Untuk memahami pemikiran Mill secara holistic tentu membutuhkan

tempat sendiri.56 Dalam tulisan ini hanya akan sedikit membahas landasan

filosofis Mill mengenai kebebasan individu yang sangat mempengaruhi

liberalisme. Sebagaimana dia katakan: “let each individual pursue his

happiness in his own way”.57

Mill, meskipun dalam setiap tulisannya selalu menekankan pemenuhan

diri (self-fulfillment) manusia tetapi ide-ide-nya lebih lunak dibandingkan

gurunya, Bentham58. Pemenuhan diri bagi Mill harus diposisikan dalam

konteks kebaikan umum.59 Kebahagiaan yang hendak dicapai oleh masing-

masing individu tidak boleh melampaui norma etis suatu komunitas. Ide-ide

Mill tentang individualisme bukan individualisme tanpa kendali, dia tetap

merumuskan bagaimana kebahagiaan individu dapat memberikan kontribusi

pada kebahagiaan sosial. “everybody to count for one, nobody to count for

more than one”.60

Setelah melihat sepintas mengenai landasan filosofis-etis ide-ide Mill

yang mempengaruhi liberalisme, terutama di Inggris abad ke-19, kita kembali

pada pertanyaan semula, dapatkah liberalisme memberikan jawaban terhadap

pembentukan “masyarakat ideal” dengan segala pluralitas yang ada? Pada

Donny Gahral Adian, Menyoal…op.cit., hlm. 180. lihat juga Lorens Bagus, Kamus…op.cit., hlm. 1143-1146

55 Doktrin utilitarianisme di Inggris abad ke-19 sering disebut sebagai “Radikalisme Filosofis” dan juga menjadi tipikal liberalisme abad ke 19. lihat Lorens Bagus, Ibid, hlm. 1145. lihat juga Henry J. Schmandt, Filsafat…op.cit., hlm. 461

56 Perlu ditambahkan disini, setelah liberalisme mendapatkan bentuk yang beragam karena tercampur ideologi/faham-faham lain maka liberalisme dibagi menjadi dua, yaitu, liberalisme klasik (classical liberalism) dan liberalisme kontemporer (contemporary liberalism). Liberalisme klasik memiliki arti sesuai dengan latar belakang berdirinya, sedangkan liberalisme kontemporer dalam beberapa hal mengadopsi ajaran-ajaran sosialisme. Lihat A. Qodri Azizy, Melawan Globalisasi, Reinterprestasi Ajaran Islam, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2004, hlm. 42

57 Dikutip dari buku Sakban Rosidi, The History of Modern Thought, CISC (Center for Interdisciplinary Study and Cooperatioan), Malang, 2002, hlm. 58

58 Mill mengkritik Bentham yang selalu mengukur kebahagiaan secara kuantitatif. Bagi Mill kualitas kebahagiaan harus menjadi pertimbangan selanjutnya. Donny Gahral Adian, Menyoal…op.cit., hlm. 181

59 Henry J. Schmandt, Filsafat…op.cit., hlm. 461 60 Donny Gahral Adian, Menyoal…op.cit., hlm. 181

Page 17: File : bab2_4101159.pdf

38

kenyataannya preferensi individu seringkali dibentuk oleh milieu dimana dia

berada. Pada masyarakat kapitalis misalnya, orang seringkali terjebak pada

gaya hidup hedonistis. Dimana standar kebahagiaan selalu diukur dengan

materi, dampak yang lebih ironis adalah ketika manusia disamakan dengan

“benda”.

Dominasi Eropa terhadap pasar dunia, isu globalisasi dan pasar bebas,

membuktikan betapa besar pengaruh liberalisme di negara-negara Barat.

Memang, secara pragmatis, negara-negara liberal telah membuktikan

keberhasilannya hampir dalam semua bidang. Akan tetapi di sisi lain

liberalisme membiarkan jutaan orang hidup dalam kelaparan dan kemiskinan.

Jutaan orang terpaksa meninggalkan “dirinya sendiri”61, bahkan jutaan orang

harus rela hidup terkekang di dalam masyarakat yang memuja kebebasan

(liberalisme).

Pada perkembangan abad ke-20 liberalisme mulai ditinggalkan banyak

negara, liberalisme dikecam sebagai tidak manusiawi karena menguntungkan

pihak penguasa dan pengusaha yang jumlahnya minoritas. Doktrin liberalisme

hanya dipakai sebagai alat legitimasi mengumpulkan kekayaan. Akses paham

liberalisme oleh negara – negara lain, khususnya dunia ketiga, tanpa melihat

akar masalahnya secara jernih apa, bagaimana dan untuk apa/siapa

liberalisme, hanya akan menimbulkan ekses negatif. Landasan filosofis

liberalisme yang menyatakan manusia pada dasarnya baik, faktanya tidak

selalu begitu liberalisme lebih dekat pada anarkisme radikal. Menapaki jalan

liberalisme dalam lanskap politik mengantarkan kita pada ideologi tandingan

mereka yaitu sosialisme.

61 Dalam analisi Marx di negara-negara yang menerapkan sistem kapitalistik, terdapat

ketimpangan yang tak terdamaikan antara pemilik modal dan kaum buruh, para pemilik modal menghisap tenaga, pikiran bahkan diri / jiwa kaum buruh dengan menjadikannya pekerja pabrik. Dampaknya bagi para pekerja adalah alienasi. Salah satunya adalah alienasi terhadap diri. (untuk keterangan lebih lanjut akan dibahas pada bagian berikutnya). meminjam terminologi Victor Tuner, dalam perspektif budaya, kondisi semacam ini disebut liminality atau menurut Durkheim sebagai anomie. Jika liminality terjadi pada masyarakat sedangkan anomie terjadi pada individu. Lihat Sjafri Sairin, Perubahan Sosial Masyarakat Indonesia, Perspektif Budaya, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2002, hlm. 51

Page 18: File : bab2_4101159.pdf

39

D. KOMUNISME

Pertanyaan pertama yang muncul mengenai mengapa harus memilih

tema komunisme? dapat dijawab dengan setidaknya dua alasan, pertama,

kepentingan subjektif penulis untuk memperkuat landasan teori pada bab-bab

selanjutnya. Kedua, pengaruh dominan komunisme terhadap perkembangan

sejarah, setidaknya sepertiga manusia di dunia ini menyebut dirinya sebagai

pengikut Marxist dan hidup dalam pemerintahan rezim Marxist.62

Berbicara mengenai komunisme, kita dihadapkan dengan perasaan

ambivalen. Komunisme, sebuah ideologi yang mengklaim akan menciptakan

masyarakat tanpa kelas, bebas, setara, dan bahagia telah menuliskan

sejarahnya dengan darah jutaan manusia. Tidak kurang dari seratus juta orang

mati dibawah rezim komunis63 terdapatnya ketidak selarasan antara teori dan

praktek inilah yang menyebabkan ajaran-ajaran komunisme menjadi sulit

untuk dipahami. Lantas dimana letak kesalahannya? Derivasi ajaran atau

terdapat benih-benih anarkisme (despotis) dalam ajaran Marxisme yang tak

teridentifikasi?

Kata komunisme, dalam penggunaannya sering dipersamakan dengan

sosialisme, hampir tidak ada perbedaan nyata yang dapat dibuat antara

keduanya.64 Komunisme juga selalu terkait erat dengan pendirinya Karl Marx

62 T.Z. Lavine, Karl Marx, Konflik Kelas dan Orang Yang Terasing, terj. Andi Iswanto

dan Deddy Andrian Utama, Jendela, Yogyakarta, 2003, hlm. 26. Marxisme dan komunisme adalah dua terminologi yang saling terkait, hampir tidak ada definisi baku (pembatasan) mengenai keduanya. Lihat juga Roger Eatwell dan Anthony Wright (ed), Ideologi…op.cit., hlm. 141

63 Selama 62 tahun (1917-1979) rezim komunisme berkuasa dibeberapa negara telah mengorbankan lebih dari seratus juta nyawa. 20 juta diantaranya terjadi di Uni Soviet dibawah pemerintahan Lenin dan Stalin. Lihat Franz Magnis Suseno, Dalam Bayangan Lenin, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2003, hlm. 237

64 Marx membedakan dua fase sejarah untuk mencapai komunisme penuh. Pertama fase transisi dimana ketidakadilan tetap terjadi meskipun landasannya telah hilang. Fase berikutnya disebut komunisme penuh yang menganut prinsip: “dari setiap orang sesuai dengan kemampuannya, dan kepada setiap orang sesuai dengan kebutuhannya-kebutuhannya”. Duapuluh tahun kemudian Lenin memberikan batasan, fase pertama disebut sosialisme dan kedua disebut komunisme. lihat dalam catatan kaki Richard Pipes, Komunisme: Sebuah Sejarah, terj. Dono Sunardi, Mataangin, Yogykarta, 2004, hlm. vii lihat juga Lorens Bagus, Kamus…op.cit., hlm. 1031

Page 19: File : bab2_4101159.pdf

40

(1818-1883). Ketika seseorang berbicara mengenai komunisme, asosiasi yang

diberikan pada kata itu adalah Marxisme.65 Kalaupun ada perbedaan antara

Marxisme dan komunisme biasanya dilihat dari dua sisi, Marxisme sebagai

teori dan komunisme adalah prakteknya.66 Tetapi keduanya saling terkait erat

satu sama lain, sehingga pemisahan antar keduanya akan semakin

membingungkan pemahaman terhadap ajaran-ajaran Karl Marx.

Gerakan komunisme menjadi kekuatan maha dahsyat abad ke-20 setelah

ajaran-ajaran Karl Marx diterapkan oleh pengikutnya Vladimir Ilyic Lenin

(1870-1924). Di tangan Lenin-lah pemikiran Marx mendapatkan bentuknya.

Kekuatan yang disusun oleh Lenin melalui ajaran-ajaran Marx telah

melahirkan negara Uni Soviet dan menjadikan komunisme sebagai ideologi

resmi Marxisme.67

Komunisme sendiri dilihat dalam sejarah panjangnya telah muncul sejak

zaman Yunani kuno. Ide mengenai komunisme pertama kali muncul secara

sistematis dalam karya Plato, Republic. Keadaan masyarakat yang telah

mengenal kepemilikan pribadi saat itu menjadi perhatian filosof seperti Plato

dan muridnya Aristoteles. Plato melihat akar segala permasalahan adalah

kepemilikan pribadi atas barang-barang.68 Bentuk dari suatu struktur sosial

dimana didalamnya tidak terdapat penghisapan, penindasan, dan hegemoni

antara satu kelas dengan kelas lainnya, satu kelompok dengan kelompok

65 Ketika menjelang akhir hayatnya, Karl Marx membaca sebagian karya-karya muridnya,

dan dengan penuh kemarahan Karl Marx mengatakan dia sendiri tidak pernah menjadi seorang Marxis. Lihat Bernard Crick, Sosialisme, terj. Ribut Wahyudi, Promethea, Surabaya, 2001, hlm. 78.

66 Marx meninggalkan tulisan-tulisan yang luar biasa pengaruhnya, bagi para pengikutnya (Marxis) buku-buku karya Marx bukan sekedar panduan politik praktis demi tercapainya kemenangan kaum proletar tapi lebih menyerupai “kitab suci” agama. Kaum Marxis dalam menginterpretasi tulisan-tulisan Marx tidak pernah keluar jauh dari landasan-landasan yang telah diletakkan Marx. Jadi antara Marxisme dan komunisme ibarat dua sisi mata uang yang tidak dapat dipisahkan. Lihat Roger Eatwell dan Anthony Wright (ed), Ideologi…op.cit., hlm. 141

67 Franz Magnis Suseno, Dalam Bayangan…op.cit., hlm. xi 68 Menurut Aristoteles istilah komunisme pertama kali dimunculkan oleh Phaleas dan

Hippodamus, tetapi dalam bentuk tersistematis baru terbentuk dalam karya Plato, Republik. Lebih jauh Plato menulis dalam karyanya the Laws, seluruh yang bersifat pribadi dihilangkan demi kepentingan bersama. Lihat Lorens Bagus, Kamus…op.cit., hlm. 473. dan Richard Pipes, Komunisme…op.cit., hlm. 4

Page 20: File : bab2_4101159.pdf

41

lainnya dan satu individu dengan individu lainnya. Lebih jauh, dalam konteks

politik, tidak ada penindasan negara terhadap rakyatnya.

Cita- cita untuk mewujudkan masyarakat tanpa kelas sejalan dengan asal

kata komunis itu sendiri. Dari bahasa latin, communis berarti sama, umum,

publik, universal. Dan secara terminologi dapat diformulasikan sebagai bentuk

sistem masyarakat dan sebuah ideologi politik yang menginginkan

terwujudnya kondisi dimana sarana-sarana produksi dimiliki secara bersama-

sama dan pembagian produksi dilakukan berdasarkan asas sama rata.69 Pada

perkembangannya asas komunisme sebagai suatu gerakan politik muncul pada

saat revolusi Perancis dengan semboyan egalite, liberte, dan freternit.

Kemudian Marx membawa pengaruh ajarannya (marxisme), semula

disamakan dengan komunisme, tetapi setelah mengalami revisi oleh Lenin

istilah komunisme dipersempit menjadi “Marxisme radikal-revolusioner”.

Dengan demikian term komunisme modern adalah bentukan Lenin sekitar

tahun 1917 bersamaan dengan meletusnya revolusi Rusia.70 Yang kemudian,

karena dianggap berhasil, setelah perang dunia II sebagian negara Eropa

Timur dan Asia mengadopsi komunisme untuk dijadikan bentuk sistem sosial

dan ekonomi.

Pertanyaan mengapa pikiran – pikiran Marx dapat diterima begitu luas

oleh hampir sepertiga umat manusia? dapat dijawab dengan pernyataan:

seluruh pikiran-pikiran Marx ditujukan untuk membela kaum lemah, tertindas,

miskin, atau dalam bahasa Marx biasa di sebut kaum “proletar”. Lantas

bagaimanakah filsafat kaum proletariat yang ditawarkan Marx? Jawabnya

adalah Materialisme-dialektika-historis.71 Konsepsi terpenting mengenai

69 Lihat Lorens Bagus, Ibid, hlm. 472. lihat juga Hassan Shadily (et.all), Ensiklopedi

Indonesia IV, Ikhtiar Baru – Van Hoeve dan Elsevier Publishing Projects, Jakarta, 1980, hlm. 1845-1846

70 Ibid, hlm. 1845-1846 71 http: // www. Geocities.com/ edicahy, Njoto; Marxisme Ilmu Dan Amalnnya, hlm. 14.

Materialisme, dalam hal ini, meminjam analisis Ledwig Feuerbach (1804-72), Marx merevisi konsepsi Hegel tentang Idealisme. Marx meletakkan dasar filsafatnya tidak pada Tuhan atau jiwa (roh) atau absolut, tetapi pada manusia, manusia sebagai spesies, manusia sebagai materi riil dalam dunia nyata. Dialektika, untuk menjelaskan perkembangan sejarah (history) Marx, sekali lagi meminjam gagasan Hegel tentang dialektika (tesis-antitesis-sintesis), menurut Hegel sintesis kembali menjadi tesis, begitu seterusnya. Sedangkan Marx melihat perkembangan sejarah melalui

Page 21: File : bab2_4101159.pdf

42

filsafat Marx adalah mengenai pertentangan kelas.72 Marx Membagi

masyarakat menjadi dua kelas; kelas pekerja (proletar) dan kelas pengusaha

(borjuis). Atas dasar kepemilikan dan penghisapan kaum proletar oleh borjuis

maka terjadi pertentangan kelas yang tak dapat terhindarkan. Seolah-olah

fakta pertentangan kelas adalah keharusan sejarah.

Dalam hal sejarah perkembangan realitas masyarakat, Marx selalu

melihat ada kaum tertindas yang menjadi korban sejarah.73 Penyebabnya

adalah karena kaum borjuasi mendominasi dan memonopoli pasar (sumber-

sumber produksi).74 Dan ekses yang ditimbulkan darinya adalah alienasi

masyarakat.75kondisi eksploitasi demikian akan terus berlangsung selama

kaum buruh tidak menyadari akan kekuatan yang dimilikinya, ditambah lagi

keberadaan kaum borjuasi diperkuat oleh legitimasi penguasa (negara)76.

Maka menurut Marx, satu- satunya jalan untuk menghentikan penindasan

analisis konflik kelas. Perkembangan sejarah adalah sejarah kelas itu sendiri. Dan jika dalam konsepsi Hegel sejarah terus berlangsung maka Marx menghentikan perkembangan sejarah ketika konflik kelas berakhir dengan kemenangan kaum proletar. Materialisme historis menurut Marx adalah kondisi dimana kesadaran manusia dari buruh visioner tidak pasif namun kreatif dan produktif dalam mengubah sifat dunia. Bagi Marx, realitas objek material bukanlah manusia mandiri, tetapi suatu realitas yang telah diubah oleh buruh dalam lintasan sejarah. Lihat Ken Budha Kusumandaru, Karl Marx, Revolusi dan Sosialisme, Resist Book, Yogyakarta, 2004, hlm. 54. lihat juga T.Z. Lavine, Marx…op.cit., hlm. 51

72 Ibid, hlm. 55 73 Uraian detail mengenai kerja sistem kapitalistik diuraikan oleh Marx dalam karyannya,

Das Kapita, meskipun stressing-nya hanya pada proses produksi, distribusi, konsumsi dan pertukaran pada abad ke-19, tetapi ulasan Marx begitu komprehensip hampir seluruh kondisi masyarakat dunia tidak luput dari pengamatannya, tidak terkecuali Indonesia, meski melalui buku karya Raffles, A History of Java. Lihat dalam kata pengantar buku Karl Marx, Kapital I, terj.Oey Hay Djoen, Hasta Mitra, Jakarta, 2004, hlm. xvii

74 Marx menganggap produksi material (kondisi produksi, kekuatan produksi dan hubungan produksi) merupakan pondasi (sub struktur) bagi perjalanan sejarah, dan apa-apa yang berada diluar itu ( karakter umum kehidupan sosial, politis, spiritual, filsafat, dll) adalah dampak darinya (super struktur). Lihat T.Z. Lavine, Marx…op. cit., hlm. 52

75 Sistem kapitalisme memecah kaum pekerja menjadi kelompok-kelompok kecil dengan cara mempersempit ruang gerak pekerja pada bidang-bidang khusus. Analisis ekonomi Marx banyak dia dapatkan dari pembacaan terhadap karya Adam Smith, dampak dari pembagian kerja adalah keterasingan (alienasi) masyarakat. Alienasi tersebut meliputi diri sendiri, dari rumpun (spesies-nya), dari hasil produksi, dan sesama buruh. Lihat Sukron Kamil, MA, Pemikiran Karl Marx; “Agama Sebagai Alienasi Masyarakat Industri” Suatu Apresiasi Dan Kritik, Jurnal Universitas Paramadina, vol. 1 no 2, Januari 2002: 116-133, hlm. 120-122

76 Bagi Marx, negara adalah representasi suatu kelas pemegang kekuatan ekonomi. Hubungan antara borjuasi dan negara bersifat resiprokal. Para penguasa membutuhkan kapital sebagai jaminan eksistensi suatu kekuasaan (negara) dan para borjuasi membutuhkan legitimasi negara atas penindasanya. Lihat Franz Magnis Suseno, Pemikiran Karl Marx, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2003, hlm. 120. Lihat juga, Henry J. Schmandt, Filsafat…op.cit., hlm. 527-528

Page 22: File : bab2_4101159.pdf

43

manusia terhadap manusia ini harus dengan jalan penggulingan kekuasaan

kaum borjuasi (revolusi proletariat).

Setelah terjadi penggulingan kekuasaan oleh kaum proletar dan dengan

demikian berarti pula runtuhnya negara kelas borjuasi, sejarah umat manusia

memasuki babak final, komunisme.77 Suatu masyarakat komunisme ditandai

dengan semua pembagian kelas dan produksi dikonsentrasikan pada asosiasi

semua bangsa.78 Kondisi ini juga menjadikan kepentingan - kepentingan

individu tunduk pada regulasi tatanan sosial yang menjamin tercapainya

kepentingan dan kebahagiaan bersama.

Konsepsi Marx mengenai masyarakat tanpa kelas, bahkan lebih jauh

mengimpikan masyarakat dunia yang ideal dengan hilangnya antagonisme

kelas merupakan utopia belaka. Secara inhern premis-premis Marx

menyisakan ambiguitas, Marx sendiri tidak pernah secara detail membahas

kondisi masyarakat baru yang komunistik, bahkan landasan filosofis Marx

mengenai materialisme tidak pernah dia tegaskan.79 Dan yang paling

mengejutkan adalah ketika Marx menyatakan problem filosofis paling

mendasar ialah bukan pada jenjang pemahaman terhadap realitas objektif

duniawi melainkan bagaimana cara merubahnya.80

77 Jika Hegel memformulasikan dialektika sejarah berjalan secara berputar (circle) tesis-

antitesis=sintesis(tesis), begitu seterusnya, maka Marx harus menghentikan laju perkembangan sejarah pada satu titik yaitu komunisme, sehingga bentuk dari perkembangan dialektika sejarah Marx berjalan mulai dari komunisme primitive (zaman pra sejarah) menuju zaman perbudakan kemudian feodalisme, kapitalisme, sosialisme (masa transisi) dan akhirnya komunisme.

78 Pada tahap ini (komunisme) negara kehilangan fungsinya, dalam masyarakat tanpa kelas sistem kapitalisme berganti menjadi komunisme. Negara yang menjadi alat kaum borjuis dengan sendirinya akan colaps dan pemerintahan akan digantikan oleh pengaturan benda-benda (the administration of things) dan oleh jalanya proses produksi. Ibid, hlm. 529

79 Didasari atas ontoligi materialaisme inilah Marx mendasari seluruh pemikirannya,. Mengenai agama, meskipun meminjam tesisi Ledwig Feuerbach, Marx berusaha mengelaborasi Idealisme Hegel menjadi materialisme. Hegel, yang beraggapan ide absolute (Tuhan) berkembang dalam sejarah dan mengejawanatah dalam negara diinterpretasi oleh Feuerbach sebagai alam (nature). Mengikuti tesisi Feuerbach inilah Marx sampai pada kesimpulan “Agama adalah candu masyarakat”. Ibid, hlm. 515. Levi Strauss, menngidentifikasi perspektif kaum Marxis terhadap agama didasari atas premis “cara bagaimana masyarakat hidup akan menentukan cara mereka berfikir”. hipotesa ini sebagai konsekwensi dari pendasaran teori Marx terhadap materialisme. Lihat Brian Morris, Antropologi Agama, terj. Imam Khoiri, AK Group, yogyakarta, 2003, hlm. viii

80 Pada tarap yang lebih tinggi problem filosofis mengenai bagaimana cara merubah dunia ini telah menjadikan kaum Marxist terpecah menjadi beberapa golongan. Teori-teori Marx diinterpretasi berdasarkan kepentingan-kepentingan politis kaum marxis. Secara garis besar pengikut Marx dapat dibagi menjadi tiga golongan; revisionis, ortodoks dan revolusioner.

Page 23: File : bab2_4101159.pdf

44

E. KEADILAN, PERSAMAAN, KEBEBASAN DAN HAK ASASI

Isu – isu sentral dalam kajian filsafat politik seperti; kebebesan, keadilan

dan persamaan, dll menjadi penyebab utama munculnya aliran-aliran dalam

politik praktis. Perbedaan tersebut muncul akibat pemaknaan sebuah konsep

dalam debat politik yang memiliki kondisi dan latar belakang berbeda. Tidak

seorangpun / kelompok atau ideologi yang mengkampanyekan menolak

kebebasan dan keadilan. Permasalahan paling fundamental dalam filsafat

politik adalah ketika term-term itu mengambil hubungan satu sama lain dalam

praksisnya.81

“gambaran tradisional kita tentang cakrawala politik melihat prinsip-prinsip politik seolah jatuh disuatu tempat pada garis tunggal , membentang dari kiri ke kanan. Menurut gambaran tradisional ini, orang di kiri percaya pada persamaan (equality) dan karena itu mereka mendukung bentuk sosialisme. Sementara, mereka yang dikanan percaya pada kebebasan (freedom) dan, karena itu, mendukung bentuk kapitalisme-pasar bebas (free-market capitalism). Di tengah adalah kakum liberal, yang percaya pada campuran kabur antara persamaan dan kebebasan dan, karena itu, mendukung bentuk kapitalisme negara kesejahtraan (welfare capitalism).”82

Pada tahap selanjutnya cara pemikiran politik tradisional mulai

kehilangan signifikansinya, para politikus arus utama kiri dan kanan

cenderung melupakan teori persamaan gender (sexual equality) dan

mengabaikan isu konteks sejarah.83 Permasalahan semakin pelik ketika para

teoritikus politik memperdebatkan nilai-nilai dasar yang dijadikan landasan Kelompok pertama melihat dalam perkembanganya pertentangan kelas semakin berkurang dan merusaha membawa gerakan sosialis kedalam haluan demokratis. Golongan kedua cenderung bersikap revolusioner dalam teori tetapi dalam taktis-strategis lebih bersifat evolusioner, dan kelompok ketiga menitik tekankan pada pertentangna kelas dan beranggapan reevolusi adalah satu-satunya jalan keluar dari penindasan kelas. Ibid, hlm. 538

81 Dalam kaitannya dengan politik, keadilan biasanya digunakan dalam hubungan antara kekuasaan dan masyarakat. Pada model ini kata “keadilan” disandingkan degan kata “distribusi” dan “retribusi”. Keadilan distributif berbicara mengenai bagaimana masyarakat mendapatkan akses sesuatu sumberdaya, manfaat, kekayaan, layanan, dll yang tepat. Sedangkan keadilan retributif adalah mengenai hukuman yang dibagikan oleh lembaga hukum. Lihat Julian Baggini, Lima…op.cit., hlm. 200-201.

82 Will Kimlicka, Pengantar Filsafat…op.cit., hlm. 2 83 Kiri dan kanan dibedakan menurut pandangnya mengenai kebebasan dan keadilan

dalam berbagai wilayah pemerintahan dan ekonomi yang didominasi oleh laki-laki. Di sisi lain kaum komunitarian berpendapat bahwa tidak mungkin menilai lembaga-lembaga politik dengan melupakan sisi historisnya. Lihat Ibid, hlm. 2-3

Page 24: File : bab2_4101159.pdf

45

teori-teori politik. Kaum kanan mendukung kebebasan yang juga berarti

melegalkan kapitalisme dan sebagai antitesisnya kaum kiri mendasari nilai

utamanya pada persamaan, dan ini berarti sosialisme. Kedua kubu ekstrim, kiri

dan kanan ini, tidak mungkin mereduksi nilai-nilai fundamental, persamaan

dan kebebasan, tanpa mempertimbangkan nilai-nilai baru yang lebih tinggi.84

Meskipun ada banyak tawaran mengenai nilai-nilai fundamental baru,

sebut saja, “kesepakatan kontrak” (John Rawls), “kebaikan umum”

(Komunitarianisme), dan “hak” (Dworkin), bukan berarti pluralisme nilai

fundamental tidak meninggalkan masalah baru. Pada jenjang filosofis,

heterogenitas nilai fundamental mendapatkan kecaman signifikan, karena sifat

universal nilai-nilai tersebut mengalami reduksi dalam teoritis-praksis menjadi

bersifat lokal. Dalam pandangan dunia politik kontemporer, filsafat politik

tenggelam dalam keberhasilan linier-nya (sendiri-sendiri).85

Paradoks yang nampak dari sebagian besar interpretasi terhadap nilai-

nilai fundamental menantang para filosof politik untuk me-reniterpretasi

pemaknaan terhadap kata-kata; ‘kebebasan’, ‘persamaan’, ‘keadilan’, ‘hak

asasi’, dll, yang kemudian diharapkan dapat memberikan suatu teori politik

sebagai alternatif yang sesuai dengan tantangan zaman-nya.

Fokus pertama pembahasan pada sub bab ini mengenai kata

“kebebasan”. Dalam banyak perdebatan politis, kata kebebasan seringkali

disebut-sebut sebagai nilai dasar pembentukan sebuah Negara dan terciptanya

masyarakat ideal. Faktanya kiri dan kanan memiliki pertentangan yang tak

terdamaikan dalam memaknai kebebasan itu. Sejalan dengan definisinya

kebebasan yang berarti suatu kualitas tidak adanya rintangan nasib, keharusan

atau paksaan dari pihak luar sehingga individu bersifat bebas dalam

84 Tawaran teori – teori baru yang mendasari pada nilai-nilai utama seperti; “Kesepakatan

Kontrak” (Rawls), “Kebaikan Umum” (komunitarianisme), “Kemanfaatan” (Utilitarianisme), “Hak” (Dworkin), atau “Androgini” (Feminisme). Sejumlah nilai-nilai baru yang diajukan para filosof politik, secara implicit, memberikan semangat segregasi sosial. Dengan banyaknya nili-nilai fundamental yang diajukan dengan sendirinya mempersulit pertimbangan tentang suatu yang komprehensip, karena nilai-nilai tersebut tidak mungkin memunculkan suatu teori tunggal (monisme), dengan sendirinya nilai-nilai itu saling berbenturan, dan konsekuensinya semua teori yang lahir bersifat local (ad hoc). Ibid, hlm. 4

85 Ibid, hlm. 5

Page 25: File : bab2_4101159.pdf

46

menentukan keputusan dan tindakannya.86 Kaum sosilais mengajukan

beberapa keberatan dengan menyatakan, kebebasan individu harus dikontrol

oleh Negara karena secara alamiah manusia memiliki potensi diri berbeda.

Konsekuensi yang ditimbulkan adalah ketimpangan sosial-ekonomi, dengan

demikian tidak ada masyarakat ideal. Sementara masyarakat kapitalistik

mengecam sosialisme sebagai tidak bebas karena Negara terlalu campur

tangan terhadap urusan individu.

Pendefinisian kata kebebasan nampak paradoks dalam waktu yang

bersamaan. Dua perspektif (kiri-kanan) melihatnya dari sisi yang berlainan.

Isaiah Berlin (1909-1997) memberikan alternatif baru, meskipun cenderung

liberal, jika tidak ingin mengatakan liberalisme murni, kata kebebasan harus

dibedakan menjadi dua pengertian; kebebasan positif dan negatif. Kebebasan

positif adalah kebebasan melakukan sesuatu menurut cara dan kemampuan

diri sebagai akibat dari kepemilikan jenis kebebasan itu sendiri. Kebebasan

bentuk ini adalah mengenai pemberian wewenang untuk mencapai atau

menjadi maksud untuk berbuat. Sedangkan kebebasan negatif dimaknai

sebagai kebebasan dari campur tangan pihak luar. Tidak ada intervensi apapun

dari pihak luar yang mengatur, lebih-lebih memaksa, apa yang individu

hendak lakukan.87

Menanggapi pembedaan kebebasan positif dan negatif sebagai suatu

konsep yang dapat berjalan secara bersama, kaum libertarianisme

menyanggahnya dengan mengatakan adalah sebuah mitos bahwa kebebasan

positif dan kebebasan negatif harus diseimbangkan. Para filosof libertarian

memformulasikan cara terbaik untuk memecahkan kesenjangan antara

keduanya dengan meningkatkan kebebasan positif sama dengan kebebasan

negatif.88 Tetapi para pengkritik libertarian melihat gagasan ini tidak realistis,

86 Kata kebebasan mengambil bentuk bermacam-macam antara lain; kebebasan fisik,

kebebasan moral. Kebebasan psikologi, kebebasan intelijibel (Immanuel Kant). Lihat Lorens Bagus, Kamus Filsafat…op.cit., hlm 406-407

87 Julian Baggini, Lima…op.cit., hlm. 197 88 Dilema dari pembedaan dua jenis kebebasan ini nampaknya tidak dapat terelakkan,

dalam masyarakat kapitalis misalnya, kebebasan negatif sangat luas sehingga setiap individu bebas melakukan apapun tanpa ada campur tangan pihak luar, termasuk akses kekayaan, pendidikan,

Page 26: File : bab2_4101159.pdf

47

karena dalam masyarakat yang dicita-citakan kaum libertarian bersifat

terbuka, bebas dan kompetitif sehingga kesenjangan antara pemilik modal dan

proletar, dalam bahasa Marx, pasti tak terelakkan.

Begitu penting dan berharga sebuah kebebasan sehingga dalam lanskap

politik kebebasan menempatkan posisi atas bersama keadilan dan persamaan.

Bagi kaum liberal Barat kebebasan adalah segalanya, dalam kata itu

terangkum semua nilai-nilai kehidupan. Pada permulaan perang dunia II

Presiden Amerika Serikat, Franklin D. Roosevelt merumuskan arti kebebasan,

dengan istilah The Four Freedoms (empat kebebasan), yaitu; kebebasan

beragama (freedom of religion), kebebasan untuk berbicara dan

mengemukakan pendapat (freedom of speech), kebebasan dari ketakutan

(freedom of fear), dan kebebasan dari kemelaratan (freedom of want).89

The Four Freedoms yang dirumuskan Roosevelt mendapatkan

pengembangan dari Komisi Hak-Hak Asasi (Commission on Human Right)

yang didirikan oleh PBB pada 1946, sehingga mencakup hak-hak dalam

bidang ekonomi, sosial dan budaya. Dan pada tahun 1948 dideklarasikan Hak-

hak Asasi Manusia sedunia (Universal Declaration of Human Rights)90

tempat wisata,dll. Sementara disisi lain individu yang dilahirkan secara alamiah cacat tidak dapat merasakan seperti apa yang dirasakan oleh individu yang mendapatkan akses kekayaan lebih. Sehingga bagi mereka yang lahir dalam kehidupan keluarga miskin tetapi memiliki potensi sama dengan orang yang lahir dalam keluarga kaya membutuhkan campur tangan Negara dalam memberikan kesempatan mengembangkan potensi dirinya. Dan ini berarti membutuhkan lebih banyak kebebasan positif. Menyikapi masalah ini kaum libertarian melangkah lebih jauh, kedua kebebasan itu harus sama-sama ditingkatkan, meskipun tidak luput dari para pengkritiknya yang menganggap gagasan libertarian kurang realistis, filosof libertarian memberikan kebebasan lebih terhadap individu mengembangkan potensi dirinya dengan meminimalisir peran Negara, Negara hanya berkewajiban mengontrol dan mengembangkan potensi individu serara maksimal. Julian Baggini, Ibid,hlm. 199

89 Empat kebebasan inilah yangkemudian dikembangkan dan diadopsi oleh Negara-negara yang tergabung dalam Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) dan Negara-negara dunia ketiga. Lihat Prof. Miriam Budiardjo, loc.cit, hlm. 121

90 Dalam catatan Maurice Cranston, Human Rights Today, yang dikutip Miriam Budiardjo, mengatakan bahwa secara aklamasi diterima oleh Negara-negara tergabung dalam PBB, kecuali lima Negara antara lain, Uni Soviet. Sedangkan pengakuan secara yuridis ditetapkan tahun 1966 oleh PBB dalam siding umum. Hasilnya adalah covenant on economic, social and cultural rights serta hak-hak sipil dan politik covenant on civil and political rights) Lihat Ibid, hlm. 122. secara terperinci isinya sebagai berikut: 1. Hak hidup, kebebasan dan keamanan pribadi (pasal tiga). 2. Larangan perbudakan (pasal 4). 3. Larangan penganiayaan (pasal 5). 4. Larangan penangkapan, penahanan atau pengasingan yang sewenang-wenang (pasal 9). 5. Hak atas pemeriksaan pengadilan yang jujur (pasal 10). 6. Hak atas kebebasan bergerak (pasal 13). 7. Hak atas harta dan benda (pasal 17). 8. Hak atas kebebasan berfikir, menyuarakan hati nurani dan

Page 27: File : bab2_4101159.pdf

48

Hak asasi yang memiliki arti hak yang dimiliki setiap manusia yang

diperoleh dan dibawa semenjak lahir dibagi menjadi dua, seperti halnya

kebebasan, ada hak asasi positif dan negatif.91 Mengenai konsep hak asasi ini,,

mungkin tak ada yang merasa keberatan untuk menerimanya, tetapi

permasalahan kemudian muncul ketika debat politik mengenai hak asasi

memasuki wilayah jumlah dan jangkauannya. Pertanyaan yang sering diajukan

adalah, apakah hak asasi manusia memiliki batasan? Jika ya, asumsi apa yang

dapat diajukan sebagai pertimbangan batasan tersebut? dan jika tidak,

bagaimana memecahkan permasalahan ketika kebebasan seseorang

berbenturan dengan kebebasan orang lain? Permasalahan lain mengenai hak

asasi adalah mengenai asal hak asasi itu, apakah bersifat “alamiah” atau

konstruksi manusia yang kemudian dijustifikasi?

Bantahan paling frontal mengenai anggapan asal hak asasi bersifat

alamiah datang dari filosof utilitarianisme, Jeremy Bentham, dengan

mengatakan bahwa membicarakan hak asasi secara alamiah adalah “benar-

benar omong kosong”.92 Hak asasi harus bersifat legal, artinya hak asasi dapat

diterapkan secara penuh hanya, dan jika adanya legitimasi kekuasaan baik

lokal, nasional maupun internasional. Ide Bentham mengenai hak asasi

sebagai konstruksi nampaknya terlalu gegabah. Hak hidup yang dinggap beragama (pasal 180). 9. Hak atas mengemukakan pendapat dan mencurahkan pikiran (pasal 19). 10. Hak atas kebebasan berkumpul dan berserikat (pasal 20). 11. Hak untuk turut serta dalam pemerintahan (pasal 21). Mengenai hak sosial dan ekonomi sbb: 1. Hak atas pekerjaan (pasal 23). 2. Hak atas taraf hidup yang layak, termasuk makanan, pakaian, perumahan dan kesehatan (pasal 25). 3. Hak atas pendidikan (pasal 26). 4. Hak kebudayaan meliputi hak untuk turut serta dalam kehidupan kebudayaan masyarakat, ambil bagian dalam kemajuan ilmu pengetahuan dan hak atas perlindungan kepentingan moral dan material yang timbul dari hasil katya cipta seseorang dalam bidang ilmu, kesusastraan, dan seni (pasal 27). Dikutip dari lampiran Deklarasi HAM Universal). Lihat A. Ubaidilah (et.al), Pendidikan Kewargaan; Demokrasi, Ham dan Masyarakat Madani, IAIN Jakarta press, Jakarta, 2000, hlm. 211-212

91 Hak asasi negatif adalah hak ketiadaan campur tangan dari pihak luar, seperti hak berbicara, berfikir, bersekutu, dll. Sedangkan hak asasi positif adalah hak asasi untuk sesuatu yang pasti, dan agar hak – hak itu diakui dan ditegakan maka sesuatu itu deberikan secara penuh oleh seseorang, misalnya; hak untuk mendapatkan makanan dan pekerjaan. Julian Baggini, Lima…op.cit., hlm. 205

92 Bentham yang menganut paham utilitarian dan sebagai penggerak dalam meningkatkan tuntutan-tuntutan pembaruan Inggris pada 1830-an sangat mendukung hedonisme psikologis. Gerakan ini juga dikenal dengan “radikalisme filosofis”.(Lorens Bagus, Kamus…op.cit., hlm. 1145) Sehingga Bentham lebih menekankan pada legal formal hak asasi ketimbang secara alamiah. Dengan demikian prinsip manfaat dapat dijalankan secara penuh dan bebas. Lihat juga Julian Baggini, Ibid, hlm. 206

Page 28: File : bab2_4101159.pdf

49

fundamental dan paling asasi, menurut pandangan ini, dapat menjadi bukan

asasi jika terdapat legitimasi kekuasaan yang melegalkan pembunuhan.

Mengenai hak positif, misalnya, hak orang untuk mendapatkan penghidupan

yang layak dapat terancam apabila ide Bentham diterapkan. Lebih khusus

gagasan Bentham menjadikan hak asasi bersifat lokal dan ini berarti hak – hak

manusia menjadi tidak lagi asasi (mendasar/universal).

Permasalahan mengenai hak asasi, di lain pihak, terletak pada

mekanisme aplikatif konsep yang telah disepakati bersama. Dalam the four

freedoms salah satunya menyebutkan hak bebas dari kemelaratan (freedom

from want). Pernyataan ini menunjukkan bahwa hak politik saja tidak

mencukupi pemenuhan kebutuhan manusia.93 Kesepakatan mengenai konsep-

konsep hak asasi sebagai starting point memang tidak banyak menemukan

masalah, tetapi dalam pelaksanaannya banyak menemukan hambatan, karena

terdapat perbedaan mencolok antara sifat hak - hak tradisional (berbicara dan

berkumpul, dll) dan hak - hak baru (dibidang ekonomi dan sosial) pada

masing-masing Negara.94 Dan untuk menyelesaikan permasalahan taktis-

praksis, yang juga berarti menyangkut distribusi dan retribusi, harus

mempertimbangkan isu-isu mengenai keadilan. Apa yang dimaksud keadilan?

Apa implikasinya dan bagaimana aplikasinya?

Mengenai keadilan, Plato mendefinisikan sebagai sesuatu seperti setiap

orang menerima tugasnya. Menanggapi definisi ini Julian Baggini menyatakan

luar biasa “lemah” karena tidak menjelaskan makna kalimat “menerima tugas

seseorang”.95 Karena sifatnya begitu luas maka pembatasan Plato mengenai

kata keadilan sangat rentan terhadap kritik, misalnya, apakah manusia

sepenuhnya bersifat bebas dalam menentukan tugas dan haknya, atau terdapat

struktur kekuasaan yang bertugas mengatur jalannya pembagian tugas dan hak

tiap individu?

Bersesuaian dengan pertanyaan diatas Franz Magnis Suseno membagi

keadilan menjadi dua macam yaitu keadilan individual dan keadilan sosial.

93 Miriam Budiardjo, Dasar…op.cit., hlm. 121 94 Ibid, hlm. 122-123 95 Ibid, hlm. 201

Page 29: File : bab2_4101159.pdf

50

“keadilan individual adalah keadilan yang tergantung dari kehendak baik masing-masing individu…keadilan sosial adalah keadilan yang pelaksanaannya tergantung dari struktur-struktur kekuasaan dalam masyarakat, struktur-struktur mana terdapat dalam bidang politik, ekonomi, sosial, budaya dan ideologi. Maka pembangunan keadilan sosial berarti menciptakan struktur-struktur yang memungkinkan pelaksanaan keadilan”.96 Kali berikutnya kita dihadapkan dengan permasalahan konstruksi dan

natural. meskipun dalam debat politik kata keadilan selalu dipertahankan

namun apakah keadilan itu soal legitimasi atau alamiah melekat pada

seseorang tetap menjadi perbincangan. Dalam banyak literature yang

membahas teori keadilan, tidak ditemukan definisi baku (aksioma) dari para

filosof politik, sosial maupun ekonomi. Nampaknya untuk membahas masalah

keadilan, dalam konteks politik, tidak dapat luput dari dua kutub ekstrim “kiri

dan kanan”. Keadilan sosial menurut kaum sosialis adalah keadilan yang

didalamnya terakomodir keadilan individual. Sedangkan bagi kaum liberal

keadilan adalah pemberian kebebasan terhadap individu untuk menentukan

nasibnya sendiri (self determination).

John Rawls dan Karl Marx mungkin dua tokoh yang representative untuk

menjelaskan dua kutub yang berseberangan ini. Rawls, dalam bukunya A

Theory of Justice yang dipublikasikan pada tahun 1971, menawarkan dua

prinsip keadilan sebagai berikut :

“Prinsip pertama: setiap orang hendaknya memiliki hak setara atas kebebasan dasar terluas yang bersesuaian dengan kebebasan serupa orang lain. Prinsip kedua: ketidaksetaraan – ketidaksetaraan sosial dan ekonomi harus diatur sedemikian rupa sehingga mereka: (a) dapat diharapkan menjadi keuntungna bagi mereka yang paling tidak diuntungkan, konsisten dengan prinsip pencadangan – pencadangan yang adil, dan (b) dilekatkan pada posisi - posisi dan kedudukan – kedudukan yang terbuka bagi semua dibawah kondisi kesetaraan kesempatan yang fair.” 97

96 Franz Magnis Suseno, Kuasa dan Moral… op.cit., hlm. 50-51 97 Kutipan dua prinsip keadilan Rawls lihat Joseph Losco dan Leonard Williams (ed),

Political Theory II, loc.cit, hlm. 1045-1046. lihat juga Will Kimlicka, Pengantar Filsafat…op.cit., hlm. 72

Page 30: File : bab2_4101159.pdf

51

Mengenai prinsip – prinsip ini Rawls mengajukan dua argumen:

pertama, menyelaraskan teorinya dengan ideologi yang berlaku dalam

keadilan distributif yaitu, persamaan kesempatan. Kedua, prinsip-prinsip

keadilan Rawls adalah hasil kontrak sosial hipotesisi.98 Penekanan Rawls

adalah pada prinsip kedua, argumen “kontrak sosial”, sebuah argumen

mengenai masyarakat pada kondisi berhak menentukan moralitas politik

secara bebas dalam posisi asali (an original position).99

Di kutub lain, Marx, memformulasikan keadilan sebagai: “dari masing –

masing menurut kemampuan, pada masing-masing menurut kebutuhannya”.

Keadilan menyangkut distribusi dan retribusi harus dilihat dalam frame

diktum singkat ini. Salah satu cara untuk merealisasikan rumusan tersebut

dibutuhkan institusi – institusi sosial yang memiliki otoritas mengatur

distribusi dan retribusi.100 Dengan demikian yang menjadikan perbedaan

mencolok antara Marx dan Rawls adalah bukan pada jangkauan kepada siapa

sumberdaya harus di berikan tetapi lebih pada bentuk yang memungkinkan

penyamarataan itu dapat diterapkan.

98 Argumentasi Rawls yang pertama diprioritaskan pada “prinsip kebebasan” dan

prioritas kedua menekankan keadilan atas efisiensi dan kesejahteraan. Joseph Losco dan Leonard Williams, Ibid, hlm. 1046. penekanan Rawls sebenarnya terletak pada prinsip kedua. Prinsip pertama hanya sebagai jembatan menuju prinsip kedua yang juga disebut sebagai prinsip perbedaan (the difference principle). Rawls pada dasarnya tidak menyetujui prinsip umum kebebasan, tetapi Rawls mendukung kebebasan-kebebasan dasar (basic liberties) yaitu standar hak-hak sipil dan politik. Will Kimlicka, Ibid, hlm. 72

99 Ibid, hlm. 77 100 Keadaan masih terdapatnya kekuasaan di dalam suatu masyarakat harus dipahami

sebagai proses menuju masyarakat ideal yang diharapkan kaum Marxis, yaitu komunis. Kondisi anarkisme kelas proletar terhadap borjuasi setelah terjadi coup de etat oleh Lenin disebut fase sosialisme.