file : bab2_4101159.pdf
TRANSCRIPT
BAB II
IDEOLOGI SEBAGAI PANDANGAN HIDUP
Pembahasan mengenai “pandangan hidup” seringkali membawa perdebatan
yang tidak berkesudahan. Melacak akar epistimologi sebuah pandangan hidup
pada diri seseorang mungkin sebuah pekerjaan yang absurd. Bagaimana
pandangan hidup dapat terbentuk pada diri seseorang yang tumbuh dalam suatu
lingkungan yang kompleks dan temporal? Apa implikasinya dan apakah sebuah
pandangan hidup menentukan atau “mewajibkan” untuk di aplikasikan? Adakah
kemungkinan perubahan - perubahan dalam pandangan hidup seseorang ketika vis
a vis realitas kongkrit? Pertanyaan semacam ini akan berkelindan di kepala kita
ketika membicarakan apa yang dimaksud pandangan hidup itu.
Dalam literatur - literatur ilmu budaya dasar dapat ditemukan beberapa
karakteristik khas tentang pandangan hidup, seolah menjadi aksioma bahwa
pandangan hidup melingkupi tiga pokok dasar yaitu cita-cita, kebajikan dan sikap
hidup.1 Sedangkan sumber - sumbernya bisa dari agama, perenungan atau
ideologi.2 Karena sifatnya yang subjektif pandangan hidup sepenuhnya diserahkan
pada pribadi masing- masing sehingga pandangan hidup dapat berupa tujuan atau
motifator dinamis yang secara inheren menjadi motor penggerak untuk
menjadikan kondisi yang diidealkan tiap individu. Sungguhpun ada rumusan -
rumusan alternatif yang dapat ditawarkan mengenai pandangan hidup
permasalahan paling fundamental, seperti telah sedikit disinggung diatas, adalah
mengenai sumber pandangan hidup. Jika dikatakan sumbernya adalah agama,
ideologi atau perenungan maka terdapat beberapa keberatan yang sulit
dihindarkan, misalnya saja pertanyaan apakah agama dan ideologi bukan hasil
dari perenungan? Definisi baku tentang agama dan ideologi nampak kabur dalam
tataran tertentu, bagaimana kita dapat menjelaskan sesuatu gagasan atau ide yang
secara inhern masih menyimpan beberapa “keganjilan”? untuk mencari benang
merah dari permasalahan ini maka baik jika meminjam term ideologi Louis
1 Drs. Djoko Widagdho, dkk, Ilmu Budaya Dasar, Bumi Aksara, Jakarta, 1991, hlm. 126 2 Drs. M.E. Suhendar.M.Pd dan Dra. Pien Supinah, Ilmu Budaya Dasar, Pionir Jaya,
Bandung, 1993, hlm. 177
22
23
Althusser yang mengandaikan ideologi sebagai sesuatu yang a historis, lebih jauh
Althusser menegaskan ideologi adalah “suatu yang sudah tertanam dalam diri
individu sepanjang hidupnya (history turn into nature)”3
Ideologi semacam ini yang mungkin dapat merepresentasikan pemaknaan
semangat pandangan hidup pada diri manusia, baik secara umum maupun khusus.
Secara particular ideologi dapat mengambil bentuk agama, ideologi politik,
hukum, dll, dan secara umum makna ideologi seperti yang diformulasikan
Althusser adalah seperti sebuah harapan.4 Dengan demikian kita telah
mendapatkan ruang gerak untuk menyelesaikan permasalahan pandangan hidup
manusia yang tidak dapat terlepas dari realitas kongkrit dan menuntut untuk
dimanifesatasikan. Idealisme setiap diri yang mengharapkan kehidupan lebih baik
tentulah sebuah harapan, harapan yang diproyeksikan semacam kebijaksanaan
yang dengan sendirinya identik dengan pembahasan filosof - filosof awal
mengenai kebijaksanaan itu.
Lebih dari 2.500 tahun silam para filosof seperti Socrates, Plato, dan
Aristoteles memberikan formula mengenai keutamaan (kebaikan/kebajikan) yang
disebut arate.5 Kata arate merujuk pada sesuatu yang unik pada seseorang
sehingga sifatnya sangat spesifik. Sokrates berpendapat bahwa keutamaan (arate)
adalah pengetahuan.6 Karena pengetahuan yang ada pada diri seseorang sangat
beragam maka setiap manusia patut disebut makhluk yang unik. Selanjutnya oleh
Plato dikatakan bahwa keunikan manusia karena memiliki akal budi. Dengan akal
budi manusia akan menjadi bijaksana dan mampu memilah-milah yang baik dan
yang buruk. Potensi akal budi tersebut dapat menjadikan manusia menjadi unggul
(superman) atau dalam bahasa Plato disebut raja filosof.7
3 Lihat kata pengantar yang ditulis oleh Bagus Takwim dalam buku Louis Althusser,
Tentang Ideologi, Jalasutra, Yogyakarta, tt, hlm. xvi 4 Ibid, hlm. xxv 5 Arate berasal dari bahasa Yunani, sering diartikan sebagai virtue (kebijakan), Arate
berarti menjadi baik pada sesuatu. Lihat Yasraf A. piliang, Transpolitika, Dinamika Politik Di Dalam Era Virtualitas, Jalasutra, Yogyakarta, 2005, hlm xxi. Lihat juga Lorens Bagus, kamus…op.cit., hlm. 71-74
6 Ibid, hlm. 72 7 Dalam diri raja filosof-lah kemuliaan tertinggi dapat tercapai, karena bagi Plato hanya
raja filosof yang dapat mengatur laju kehidupan masyarakat. Keterangan lebih lanjut mengenai raja filosof (Philosopher king) lihat magnum opus Plato yang berjudul Republik, Francis
24
Aristoteles sebagai murid dari Plato mempunyai rumusan sendiri mengenai
yang baik (arate) itu. Tindakan yang baik, menurut Aristoteles adalah tindakan
yang bertujuan pada dan untuk dirinya sendiri. Jika demikian maka sangatlah sulit
untuk mengidentifikasi tujuan komplek manusia dalam satu tindakan semata.
Sedangkan satu tindakan mestilah memiliki tendensi pada implikasi yang luas.
Dengan demikian harus ada satu ilmu induk yang dapat mengakumulasi setiap
keinginan manusia yang kompleks tadi. Untuk itu Aristoteles menyimpulkan:
“yang baik itu harus dipikirkan, termasuk ke dalam ilmu induk yang paling otonom dan paling menyeluruh. Politik secara tepat cocok dengan deskripsi ini. Karena, yang baik menentukan ilmu pengetahuan apa yang ada dalam negara… dengan demikian tujuan politik adalah yang baik bagi manusia.8
Merujuk pada formulasi yang diberikan Aristoteles terhadap politik seakan
politik seperti jantung dalam tubuh yang tidak seorangpun dapat lari darinya
karena manusia adalah hewan-politik.9 Tentunya politik yang dimaksudkan adalah
politik etis sebagai ruh pengatur segala aspek kehidupan manusia bukan
sebaliknya, “politik kotor” yang dibangun atas dasar kepentingan sekelompok
kecil manusia.
A. IDEOLOGI DAN FILSAFAT POLITIK
Filsafat sering disebut sebagai induk ilmu (the mother of science),
seluruh bangunan ilmu-ilmu pengetahuan modern jika dilacak sumbernya
selalu berdiri diatas pondasi filosofis. Akan tetapi ilmu pengetahuan seperti
anak yang lupa akan ibunya, semenjak perkembangan ilmu pengetahuan
mengalami revolusi abad 17 sebagian besar kerajaan filsafat hilang.10
Meskipun ilmu pengetahuan (science) selalu mendasari dirinya pada fakta /
MacDonald Cornford, The Republik of Plato, Oxford University Press, London Oxford New York, 1945, Part III, hlm. 175-193
8 Aristoteles, Nicomachean Ethics, terj. Embun Kenyowati, Teraju, Jakarta, 2004, hlm. 2 9 Istilah political animal dipinjam dari Aristoteles, karena dai yang pertama kali
mengatakan bahwa manusia adalah zoon politikon (makhluk sosial). Lihat Henry J. Schmandt, Filsafat Politik, terj. Ahmad Baidlowi dan Imam Bahehaqi, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2005, hlm. 3. lihat juga http: //filsafatkita.f2g.net/term1.htm, hlm. 1 [ 14-4-2006. 20:35]
10 Sekitar 600 SM di Yunani transformasi penjelasan ilmiah mulai terbentuk, dari sinilah awal mula dari semua pemikiran Barat sampai ke era revolusi ilmiah pada abad 17. lihat Andrew Gregory, Eureka, Lahirnya Ilmu Pengetahuan, Jendela, Yogyakarta, 2002, hlm. 4-5
25
bukti-bukti yang ada, serta dapat didemonstrasikan kembali, ilmu tetap
memiliki keterbatasan. Ilmu pengetahuan (science) tidak dapat menjawab
masalah-masalah yang menyangkut baik – buruk (etika), dan menyangkut
keindahan (estetika). misalnya, apakah membunuh seseorang baik? Tentu ilmu
pengetahuan mengalami kebuntuan menjawab pertanyaan ini. Ilmu
pengetahuan hanya mencoba menerangkan gejala-gejala yang tampak secara
ilmiah dan kausalistik.11
Berbeda dengan ilmu pengetahuan, filsafat menggunakan penalaran yang
sistematis, kritis, reflektif, integral, dan radikal.12 Perbedaan yang mencolok
antara filsafat dengan ilmu adalah bahwa filsafat bersifat spekulatif dan
menyeluruh, sedangkan ilmu pengetahuan membatasi diri pada hal-hal yang
partikular.
Berkaitan dengan ilmu politik, apabila standar ilmiah dianggap sah jika
disusun atas dasar hukum-hukum umum yang terbukti secara empiris (a
posteriori) maka ilmu politik belum dapat dikatakan sebuah ilmu. Karena
objek dari ilmu politik adalah manusia yang memiliki sifat dinamis.13 Manusia
yang dibekali daya cipta, rasa dan karsa senantiasa bergerak dan berubah
(tentatif), perubahan-perubahan pada diri manusia itu sangat dipengaruhi oleh
banyak faktor. Itulah sebabnya mengapa manusia tidak dapat diidentifikasi
secara pasti.
Signifikansi filsafat politik terletak pada nilai-nilai (value) fundamental
yang mendasari kehidupan manusia, jika demikian, sepintas lalu terbayang
bahwa filsafat politik tidak ubahnya seperti filsafat moral.14 Penilaian
11 Donny Gahral Adian, Menyoal Objektivisme Ilmu Pengetahuan, Teraju, Jakarta, 2002,
hlm. 3 12 Ibid, hlm. 3 13 Prof. Miriam Budiardjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta,
2004, hlm. 4 14 Pensejajaran antara filsafat politik dan filsafat moral terjadi mungkin karena
disebabkan pengaruh zaman Yunani. Dalam pandangan filosof Yunani kuno filsafat Politik erat atau bahkan mencakup filsafat moral (etika). Ibid, hlm. 18. tetapi harus dipahami bahwa pembentukan negara yang ditawarkan Plato (lihat Republik) dan Aristiteles adalah sebuah usaha untuk mencapai suatu tujuan yaitu “baik”. Dan lebih lanjut Aristoteles menjelaskan: “orang percaya bahwa yang mulia dan adil ada hanya karena kesepakatan bersama (convention), bukan secara alamiah.” ( lihat Aristoteles, Nicomachean…op.cit., hlm. 3). Maka, untuk itu harus dibentuk suatu lembaga untuk mengatur pluralisme kepentingan yaitu negara. Dan tampaknya
26
semacam ini biasanya disebabkan karena sistem berfikir manusia yang biner
sehingga menghasilkan dikotomi an sich. Mungkin belum banyak orang yang
menyadari cara berfikir dialektis (saling pengaruh mempengaruhi) antara dua
“ada” atau lebih. Will Kymlicka mengikuti pendapat Robert Nozick
mengatakan bahwa: “ada sebuah kontinuitas fundamental antara filsafat moral
dan filsafat politik.”15
Pada tataran yang lebih luas filsafat politik berusaha memberikan
pengetahuan terhadap apa-apa yang mendasari teori politik. Filsafat politik
juga berbicara mengenai cara membenarkan atau menolak berbagai dasar
pembentuk suatu pemerintahan, ideologi politik16, hukum dan perangkat-
perangkat lain mengenai negara (kekuasaan). Sedangkan persoalan bagaimana
suatu rezim serta sistem institusinya bekerja bukan wilayah kajian filsafat
politik.17 Filsafat politik lebih menekankan kerjanya pada suatu investigasi
filosofis ke dalam prinsip dan argumentasi apa yang tepat untuk digunakan
sebagai acuan mengenai kehidupan politik, watak, tujuan dan cara
pencapaianya.18
aristoteles belum dapat sepenuhnya meninggalkan ajaran gurunya (Plato) dengan mengharuskan adanya seorang pemimpin negara (raja filosof). Konsep semacam ini sangat rentan terjadinya penyimpangan-penyimpangan karena tidak adanya suatu lembaga yang bertugas mengawasi kinerja raja filosof, dan batasan baik buruk pada akhirnya bukan dibentuk atas dasar convention tetapi bergantung pada kebijakan seseorang saja. Dengan demikian telah terjadi filsafat politik membentuk filsafat moral. Baru sekitar abad ke-16 filosof-filosof Barat memisahkan antara filsafat politik dengan filsafat moral.
15 Menurut Robert Nozick setidaknya ada dua hal yang terkait antara filsafat Politik dan Filsafat moral pertama, filsafat moral memberikan latar belakang untuk, dan batas-batas bagi filsafat politik dan kedua, setiap penilaian kita tentang tanggungjawab publik harus sesuai dengan kerangka moral yang lebih luas. Lihat Will Kimlycka, Pengantar Filsafat Politik Kontemporer, terj. Agus Wahyudi, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2004, hlm. 7-8
16 Menurut Gilbert Abracian dan George.S.Massanat, seperti yang dikutip oleh Cheppy Haricahyono, ada beberapa karakteristik pokok yang terdapat dalam setiap ideologi politik, yaitu: perceptual selectivity, rationality, scripturalism, normative certitude, transcendentalism. Lihat Cheppy Haricahyono, Ilmu Politik dan Perspektifnya, Tiara Wacana Yogya, Yogyakarta, 1991, hlm.120
17 Lihat Julian Baggini, Lima Tema Utama Filsafat, Terj. Nur Zain Hae, Teraju, Jakarta, 2004, hlm. 183
18 Henry J. Schmandt, Filsafat…op.cit., hlm 8
27
Cara berfikir akan melahirkan suatu filsafat19, meskipun terkadang orang
sering mendefinisikan filsafat sebagai cara berfikir, dan dari kerja filsafat akan
menghasilkan suatu ide (gagasan) tentang sesuatu. Jika ide-ide tersebut
tersistematisasikan secara rasional dan membawa pengaruh pada publik untuk
tujuan-tujuan tertentu maka ide tersebut telah menjadi suatu ideologi.20 Ketika
sebuah ideologi terbentuk, baik secara eksplisit maupun implisit selalu disertai
rancangan praksis-taktis demi perwujudan cita-cita sebuah ideologi tersebut.
Ideologi – ideologi politik dapat berubah sesuai dengan kondisi
dimana ideologi itu lahir. Ketika sekelompok orang menyibukkan diri dengan
suatu ideologi, para pemikir lainnya segera membuat ideologi tandingannya.
Mengapa? Kata kuncinya adalah “kepentingan”. Ideologi muncul karena
pertemuan antara dua atau lebih kepentingan. Sehingga ideologi berubah-ubah
sesuai dengan kepentingan manusia yang tiap saat bisa berubah
Melihat lebih jauh tentang sebuah ideologi, akan mempermudah melacak
landasan filosofis yang digunakan. Bagaimana, apa dan nilai-nilai apa yang
terkandung didalamnya. Sebuah ideologi memang begitu rumit untuk
dipahami. Terdapat banyak ragam interpretasi terhadap sifat, karakter dan
batasan ideologi. Formulasi pendekatan untuk ideologi sebagaimana di tulis
Roger Eatwell meliputi: (1) ideologi sebagai pemikiran politik, (2)
kepercayaan dan norma, (3) bahasa, simbol, mitos, serta (4) ideologi sebagai
kekuasaan elit.21
Harus pula dicatat disini, antara pendekatan satu dan yang lain saling
terkait satu sama lain. Ideologi sebagai kepercayaan dan norma seringkali
19 Lihat kata pengantar dalam buku MADILOG karya Tan Malaka yang ditulis oleh
Wasid Suwarto (mantan Ketua Umum Partai Murba dan anggota DPA 1960-1965), Madilog, Pusat Data Indikator, Jakarta, 1999, hlm. xvi
20 Istilah “Ideologi” pertama kali dikenalkan oleh Antoine Destutt de Tracy (1754-1836) filsuf asal Prancis pada tahun 1796. dia memandang “ideologi” sebagai ilmu tentang pikiran manusia (seperti halnya biologi dan zoologi adalah ilmu tentang spesies) yang mampu menunjukkan arah baik buruk masa depan. Istilah “Ideologi” menjadi negatif di tangan Napoleon Bonaparte (1769-1821) dengan menggantikannya sebagai keinginan a priori untuk mengubah cara lama dengan tujuan “memperbaiki” dan/atau mendukung kepercayaan yang cocok dengan kepentingan mereka. Lihat Roger Eatwell dan Anthony Wright (ed), Ideologi Politik Kontemporer, terj. R.M. Ali, Jendela, Yogyakarta, 2004, hlm 5-6
21 Ibid, hlm. 3
28
memasuki wilayah kekuasaan.22 Dan begitu sebaliknya, ideologi sebagai
kekuasaan elit seringkali melakukan intervensi terhadap agama.23 Disisi lain
ideologi sebagai bahasa lebih menitik beratkan pada simbol (semiotika),
jargon-jargon untuk pencapaian tujuan politis.24
Penelusuran latar belakang berdirinya suatu ideologi serta landasan
filosofisnya adalah bagian dari kajian filsafat politik. Dasar – dasar ilmu
politik sebelum zaman modern, menurut Leo Strauss, dipahami sebagai: “(1)
Sifat institusi dan kekuatan-kekuatan politis seperti organisasi-organisasi
pemerintah, hukum, program, kelompok-kelompok kepentingan, kekuasaan,
dan kebiasaan-kebiasaan sosial; (2) Tatanan politik yang baik atau jujur secara
moral.” Dua pokok dasar-dasar politik yang diformulasikan ini kemudian
mengalami perkembangan pada zaman modern. Keduanya menjadi terpisah,
yang pertama dikategorikan sebagai ilmu politik dan yang kedua sebagai
filsafat politik.25
Dualisme pemahaman terhadap dasar-dasar politik inilah yang sering
menyebabkan kekaburan memahami atau/dan memberikan batasan terhadap
filsafat politik. Filsafat politik selalu diartikan seperangkat nilai-nilai
fundamental sebagai pondasi ilmu-ilmu politik dibangun. Dia (filsafat politik)
hanya berbicara mengenai tataran normatif, sedangkan ilmu atau teori politik
dibangun atas dasar data-data empirik (teori kausalitas).
Mempertentangkan antara politik normatif dan politik sebagai teori
(ilmu) hanya akan menimbulkan ekses negatif dalam memahami apa yang
22 Contoh mengenai kategori ini di Indonesia, Ormas-Ormas besar seperti Muhamadiyah
dan Nahdlatul Ulama (NU), yang semula memiliki tujuan pure pergerakan Islam mengalami pergeseran keranah politik.
23 Contoh kasus, agama Kaharingan di kalimantan pada masa Orde Baru (ORBA) berkuasa dipaksa ikut ke dalam agama Hindu. Padahal terdapat perbedaan yang sulit dipertautkan, baik sistem kepercayaan maupun konsep ketuhanan.
24 Ideologi dalam konteks ini lebih menekankan pada “pencitraan”; istilah “pasar bebas”, “ratu adil”, “demokrasi”, dll. Sengaja diciptakan untuk memikat massa, menghipnotis, dan menidurkan massa dalam tidur yang panjang. Padahal jargon-jargon seperti itu tidak ada bukti real hingga saat ini.
25 Henry J. Schmandt, Filsafat…op.cit., hlm 4. Dikotomi kedua unsur pokok dasar-dasar politik sangat dipengaruhi pemikir-pemikir Barat yang telah mengalami revolusi industri (science). Terlebih lagi ide-ide positivisme yang dicetuskan Auguste Comte (1798-1857) abad ke-19 mendominasi ketika itu. Untuk keterangan mengenai pemikiran-pemikiran Comte lihat.Henry D. Aiken, Abad ideologi, terj. Sigit Djatmiko, Bentang, 2002, hlm. 136-166
29
terjadi pada politik itu sendiri. Perubahan-perubahan, peleburan-peleburan dan
lintasan-lintasan pada cakrawala politik akan sulit untuk ditangkap dalam
bidang kehidupan.26 Dilema mengenai dualisme politik adalah bentukan Barat,
yang kemudian tanpa penyaringan diadopsi begitu saja oleh segolongan
ilmuwan Timur. Standar-standar baku ilmiah selalu dicarikan rujukan pada
standar – standar yang digunakan di Barat.27 Mungkin karena term itu muncul
dari Barat dan tanpa lacakan serta analisa diterima sebagai benar.
Untuk menghindari pemahaman yang samar terhadap dualisme
pemahaman dasar-dasar politik Benjamin Barber mengatakan :
“Politik tetap merupakan sesuatu yang manusia lakukan, bukannya sesuatu yang mereka miliki atau gunakan atau lihat atau bicarakan atau pikirkan. Mereka yang akan melakukan sesuatu dengannya harus lebih dari sekedar berfilosofi, dan filosofi yang secara politik mudah dipahami harus mengambil tindakan politik sepenuhnya dari politik sebagai sebuah sikap.”28
Filsafat politik dan teori politik dibentuk dari dua kategori yang saling
mempengaruhi, norma dan kausalitas empirik. Jika pemaknaan dalam frame
dialektis dilakukan akan meminimalisir pemahaman parsial terhadap politik.
Pada kajian selanjutnya penulis akan mencoba melihat ideologi-ideologi
besar yang mendominasi dunia terutama ideologi-ideologi yang berkembang
pada zaman modern.29 Dari ideologi-ideologi tersebut dapat diidentifikasi
landasan filosofis pembentuk suatu ideologi. Selanjutnya penulis mencoba
melihat pemikiran beberapa filosof mengenai isu – isu sentral yang selalu
26 Lihat Yasraf A. piliang, Transpolitika…op.cit., hlm xxvii 27 Sebagai contoh term “timur tengah” selalu di jadikan suatu yang baku (taken for
granted), padahal secara geografis masyarakat Indonesia menyebutnya “Barat tengah”. Sebuah kesalahan yang terus dipertahankan. Ironis.
28 Lihat Joseph losco dan Leonard Williams. Polotical…op. cit., hlm. 4. Keterangan lebih lanjut lihat bab satu pada bagian penegasan istilah dalam tulisan ini.
29 Dua ideologi besar yang berbenturan Sosialisme dan demokrasi liberal, kedua ideologi tersebut memainkan peran sangat signifikan terhadap geo politik global, terutama abad 19 sampai pertengahan abad 20. dua kekuatan raksasa yang pertama diwakilkan oleh negara rusia (uni soviet) dan yang kedua diwakilkan oleh Amerika serikat. Dan sejarah mencatat kemenangan berpihak pada liberalisme pro-kapitalisme. Dua periode pada paruh abad ke-20 (1960-an dan 1970-an) di beberapa negara belahan dunia komunisme nampak menunjukkan eksistensinya kembali, semisal Vietnam Utara, pada tahun 1975 Amerika serikat di pukul mundur oleh pemberontak komunis Vietnam Utara. Lihat Roger Eatwell dan Anthony Wright (ed), Ideologi…op.cit., hlm. 383-384.
30
menjadi bahan perdebatan diantara para filosof politik, seperti keadilan,
kebebasan, hak asasi, legitimasi hukum, dll.
B. NASIONALISME
Sebagai sebuah ideologi dan gerakan nasionalisme telah membuktikan
pada dunia kerjanya yang signifikan, tepat dan teratur. Nasionalisme menjadi
semangat terbentuknya declaration of independence 4 Juli 1776 yang
dirumuskan oleh Thomas Jefferson dan mengilhami pecahnya revolusi
Perancis tiga belas tahun kemudian 14 Juli 1789. Sekitar abad 20 di sebagian
wilayah Asia, terutama negara-negara bekas jajahan, nasionalisme juga
berperan aktif sebagai motifator terbentuknya bangsa (nation) dan negara
bangsa (state-nation).30
Secara etimologi kata nation diadopsi dari bahasa Perancis yang merujuk
pada bahasa latin natio, akar katanya adalah nasci berarti baru muncul / lahir /
terjadi (nascor). Dalam kosakata Klasik cenderung berkonotasi negatif untuk
ras, suku, atau ‘bibit” manusia yang dianggap tidak beradab oleh bangsa
Romawi. Dalam perkembangannya, kata nation digunakan untuk
menunjukkan kesatuan budaya dan kedaulatan politik tertentu pada suatu
komunitas.31 Pengertian kata nation perspektif etimologi ini menyiratkan
kenyataan bahwa “bangsa” merupakan orang-orang baru (homini novi) yang
terlahir karena berbagai sebab sehingga membentuk suatu kelompok
masyarakat.32
Doktrin yang dikembangkan dalam nasionalisme adalah kemerdekaan
dan kedaulatan rakyat. Disini harus pula dibedakan antara nasionalisme
dengan ideologi fasisme. Fasisme, meskipun menitik tekankan doktrin mereka
pada persatuan bangsa33 namun fasisme, seperti yang diungkap George Mosse
30 Pada kata pengantar yang ditulis oleh Djoko Suryo dalam buku Frank Dhont,
Nasionalisme Baru Intelektual Indonesia Tahun 1920-an, Gajah Mada University Press, Yogyakarta, 2005, hlm. v
31 Roger Eatwell dan Anthony Wright (ed), Ideologi…op.cit., hlm. 210. 32 A. Sudiarja, Indonesia: Negara sudah Lahir…op. cit, hlm. 32 33 Fasisme (facism) berasal dari bahasa Italia fascio yang berakar kata latin fasces berarti
seikat batang kayu. Dalam budaya Romawi istilah ini mengacu pada simbol seikat batang kayu,
31
bersifat, revolusioner bukan reaksioner.34 Perbedaan lain yang mencolok
antara fasisme dan nasionalisme adalah peran pemimpin. Dalam ajaran
fasisme pemimpin adalah “dewa” yang berhak mengatur seluruh aspek
kehidupan dan negara bersifat totaliter.35 Sedangkan nasionalisme terbentuk
oleh semangat kemauan dan tekad bersama seluruh lapisan, kelas, etnis,
ras,budaya, agama, dll, yang ter-fusi untuk mempertahankan eksistensi suatu
komunitas.
Sesungguhnya “nasionalisme” lebih cenderung mendekati sebuah “isme”
yang muncul di dalam proses sejarah ketika sekelompok orang menyadari arti
“persamaan” dalam satu ikatan (agama, ras, suku, bahasa, nation, dll) untuk
mendirikan suatu negara yang mencakup seluruh anggota.36 Pendirian negara
itu kelak tergantung dari kesepakatan komunitas yang ada, apa haluan, bentuk
negara dan sistem pemerintahannya. Dapat saja terjadi kelompok dominan
yang paling berperan dalam pembentukan negara tanpa menghiraukan
kelompok-kelompok kecil didalamnya. Kenyataan demikian menyiratkan
makna ambigu konsep nasionalisme.
Terdapatnya celah-celah rawan dalam konsep nasionalisme untuk
terjadinya chaos yang berujung pada perpecahan, terutama setelah menginjak
tataran pembentukan sebuah negara. Dari fakta-fakta sejarah yang ada
menggugah para pemikir untuk melakukan kajian ulang terhadap nasionalisme
dan berusaha menganalisa dengan berbagai pendekatan mulai dari
terbentuknya embrio konsep nasionalisme, faktor pendorong, proses
yang berarti sesuatu kekuatan yang terbentuk dari berbagai unsur. Kata fascio juga menyiratkan semangat pengabdian pada negara. Negara memiliki kekuasaan absolut yang mengatur segala aspek kehidupan rakyat. Ideologi fasisme tumbuh subur di dua negara besar, Jerman dan Italia, terutama pada tahun 1935 pengaruhnya menyebar begitu luas hingga mencapai Eropa barat, Eropa timur dan sebagian wilayah Amerika Latin dan Asia. Lihat Hugh Purcell, Fasisme, terj. Faisol Reza.dkk, Insist Press, Yogyakarta, 2003, hlm. 4-5
34 Ditambah lagi keterangan Zeev Sternhell yang mengatakan fasisme merupakan hasil sintesis dari Sosialisme Radikal dan Nasionalisme. Lihat Roger Eatwell dan Anthony Wright (ed), Ideologi...op.cit., hlm. 248
35 Dasar-dasar ideologi fasisme didasari atas semangat “Ein reich! Ein Volk! Ein Fuehrer! (satu Negara! Satu Bangsa! Satu Pemimpin!). slogan semacam ini seringkali diungkapkan untuk menyambut Hitler dalam Rally Nazi Jerman. Hugh Purcell, Fasisme…op. cit., hlm. 5
36 Teori ini dikutip dari buku – buku karya Jhon Breuilly, Nationalism and The State, Anthony D. Smith, Nationalist Movements, Benedict Anderson, Imagined Communities, oleh Frank Dhont, Nasionalisme…op.cit., hlm. 9
32
implementasi hingga pembentukan negara. Hasilnya, sungguh mengejutkan,
terjadi multi interpretasi dari para pemikir (filosof) terhadap nasionalisme, hal
ini mungkin disebabkan subjektivitas para pemikir, yang tentunya dipengaruhi
“ide-ide”, “isme-isme”, atau “ideologi-ideologi” yang diyakini37.
“Nasionalisme Sejati”, 38 mungkin adalah utopia. Sejarah belum pernah,
jika tidak ingin mengatakan tidak akan pernah, mencatat “nasionalisme sejati”
terbentuk dimanapun di dunia ini. Contoh yang paling dekat, Indonesia,
meskipun semangat nasionalisme menjadi pendorong kemerdekaan 17
Agustus 1945, tetapi nasionalis yang bercampur ideologi dan isme lain.39
Asumsi ini diperkuat oleh gagasan Soekarno mengenai konsep Demokrasi
Terpimpin-nya. Bukankah demokrasi terpimpin Soekarno adalah bentuk lain
dari Fasisme yang dibungkus oleh jargon nasionalisme dan demokrasi?
Masih mengenai Indonesia, Sumpah Pemuda 28 oktober 1928 yang
mengikrarkan satu bahasa, bangsa, dan tanah air Indonesia, kemudian
diperkuat dengan sila persatuan Indonesia dalam Pancasila belumlah memadai
untuk disebut nasionalisme. Karena Nasionalisme muncul atas dasar
kesadaran adanya kepribadian bangsa dan kebangsaan (kepribadian nasional)
yang memuat nilai-nilai kebebasan, keterbukaan dan tanggungjawab secara
moral dalam tindakan dan solidaritas sesama warga demi terwujudnya masa
depan bersama.40 Dan kenyataannya meskipun slogan-slogan “Persatuan
37 Contoh pergeseran semantic nasionalisme terjadi pada zaman modern, seringkali
nasionalisme yang muncul di lain tempat/negara dipersamakan dengan yang terjadi ditempat lain. Pada masa Romawi misalnya, seperti telah disebut diatas, kata nation memiliki ras, suku, bangsa. Setelah zaman modern kata nation digunakan untuk menunjukkan kesatuan budaya dan kekuatan politik. Lihat Roger Eatwell dan Anthony Wright (ed), Ideologi...op.cit., hlm. 210. Ironisnya penilaian ini dilihat dalam frame liberlisme.
38 Terminologi “Nasionalisme Sejati” mungkin agak terdengar aneh, yang penulis maksudkan untuk istilah ini adalah kesinambungan realisasi ide-ide Nasionalisme hingga sampai terbentuknya sebuah negara dengan tidak mengadopsi nilai-nilai ideologi lain di dalamnya..
39 Para intelektual yang tergabung dalam organisasi-organisasi perintis kemerdekaan sebagian besar mengenyam pendidikan di Belanda. Sehingga sangat wajar ketika membicarakan isu-isu nasional sangat terpengaruh oleh pemikiran-pemikiran yang berkembang di Eropa ketika itu.
40 A. Sudiarja, Indonesia: Negara sudah Lahir…op. cit, hlm. 34
33
Nasional”41 sering disebut-sebut, identitas bangsa belum terbentuk secara
utuh.
Kenyataan banyaknya kasus yang berlainan mengenai nasionalisme di
tiap negara menjadikan sulit dalam memberikan definisi baku terhadap
nasionalisme. Perbedaan – perbedaannya terkadang sangat signifikan sehingga
pen-generalisir-an definisi sangat tidak mungkin dilakukan. Kalaupun ada
persamaan di tiap negara hanya pada hal (nasionalisasi)42
Nasionalisme sebagai filsafat politik menganggap “kebaikan” bagi
bangsa adalah paling utama.43 Sifat khas yang melekat pada nasionalisme
ditandai oleh patriotisme dan oleh keyakinan terhadap nilai-nilai politik dan
budaya sendiri untuk mencapai cita-cita bersama. Dalam bidang politik
nasionalisme bertujuan untuk menciptakan self government dan self
determination, sedangkan pada bidang budaya bertujuan menyatukan budaya
(kultur) suatu bangsa yang plural.44
Ketiga unsur pokok inilah (menentukan nasib sendiri, pemerintahan
sendiri, dan penyatuan budaya) yang sering disebut dalam berbagai kajian
mengenai nasionalisme. Tetapi bagaimana nasionalisme menyikapi masalah-
masalah ekonomi di dunia yang kapitalistik seperti saat ini? dan bagaimana
pula sikap nasionalisme dalam hubungan multilateral / bilateral dengan
negara-negara Non-nasionalis?
Dua pertanyaan besar (the big quest) tersebut menggelitik para filosof
(teoritikus) politik untuk me-review dasar-dasar terbentuknya nasionalisme.
41 Pada masa perjuangan kemerdekaan istilah “Persatuan Indonesia” sering digunakan
sebagai slogan ideologis daripada upaya kultural. Karena para founding fathers menganggap pembentukan negara lebih penting. Kasus lain mengenai slogan “Persatuan Indonesia” sebagai ideologis adalah ketika kaum komunis Indonesia melakukan agitasi untuk melenyapkan unsur-unsur kebudayaan Barat. Semua “produk” Barat dianggap bertentangan dengan kepribadian bangsa. Lihat Soedjatmoko, Kebudayaan Sosialis, Melibas, Jakarta, 2001, hlm. 65
42 Nasionalisasi dipahami sebagai politik yang menjalankan tujuan – tujuan nasional, di dunia ketiga nasionalisme dibedakan dalam hal tujuan nasional, dapat berupa modernisasi, anti kolonialisme, pembebasan nasional atau dilihat pelaku sosialnya (populis, kelompok etnis nasionalis). lihat Dieter Nohlen (ed.), Kamus Dunia Ketiga, Gramedia Widia Sarana Indonesia, Jakarta, 1992, hlm. 470
43 Prof. Mr. A.G. Pringgodigdo dan Hassan Shadily. M.A, Ensiklopedi Umum, Franklin Book Programs, Djakarta, 1973, Hlm. 874
44 Ibid, hlm 874. lihat juga Frank Dhont, Nasionalisme…op.cit., hlm. 9
34
Dunia modern yang didominasi oleh kekuatan kapital mengisyaratkan betapa
urgennya kekuatan ekonomi dalam menentukan “hidup-matinya” suatu
bangsa / negara. Ditambah lagi derasnya arus globalisasi yang berpotensi
mematikan budaya-budaya lokal. Dalam kondisi dunia yang demikian maka
nasionalisme harus dipahami sebagai tindakan dalam mencapai tujuan
national build, bukan sekedar ide normatif-transendental. Sub-strukturnya bisa
berupa ekonomi, agama, ras, bangsa, dll.45
Kenyataan bahwa seratus tahun terakhir nasionalisme menjadi
determinan modernitas46 menunjukkan adanya kesadaran bangsa-bangsa di
dunia untuk merdeka, bebas dalam menentukan pemerintahan dan nasibnya
sendiri-sendiri. Nasionalisme menawarkan sebuah harapan mengenai
kemerdekaan dari “penjajahan” (teknologi, budaya, ideologi, dll), tetapi bukan
berarti nasionalisme tidak meninggalkan masalah. Ambiguitas nasionalisme
telah memberikan harapan kebebasan, keadilan, kemerdekaan disatu sisi dan
benturan-benturan (clash) yang mengarah pada disintegrasi dunia disisi lain.
C. LIBERALISME
Sejarah lahirnya liberalisme bermula dari Inggris dan Belanda dengan
karakteristiknya yang khas yaitu toleransi beragama. Segala yang berkaitan
dengan abad pertengahan, baik dalam hal politik maupun filosofis, menjadi
pemicu lahirnya liberalisme. Kekuasaan gereja yang absolut menjadikan
doktrin agama sebagai sumber segala sesuatu. Sehingga apa saja yang
bertentangan dengan gereja dianggap salah dan patut dihukumi. Pada mulanya
liberalisme muncul karena adanya keinginan untuk mendamaikan perselisihan
antara politik dan agama dengan memberdayakan kekuatan – kekuatan dagang
dan sains.47
45 Meminjam analisis Marx bahwa sub-struktur menentukan super-struktur, dalam
konteks nasionalisme berarti prasyarat lahirnya nasionalisme bisa dalam bentuk yang beragam. Semisal, industrialisasi, modernisasi, anti globalisasi.
46 Roger Eatwell dan Anthony Wright (ed), Ideologi…op.cit., hlm. 210 47 Bertrand Russell, Sejarah…op.cit., hlm. 786
35
Prinsip dasar liberalisme ditekankan pada kebebasan individu, dan
rupanya semangat individualistik ini dengan mudah memikat hati rakyat yang
merasa tertekan oleh kekuasaan gereja. Puncak kejayaan liberalisme terjadi di
Amerika sejak tahun 1776 hingga 1933. Tetapi sejak munculnya gagasan
tentang gerakan romantik oleh Jean J. Rousseau (1712-1778), yang
menekankan semangat kebangsaan, muncul gerakan-gerakan baru sebagai
antitesis liberalisme.48
Faham individualistic melahirkan implikasi yang luas dalam segala
bidang kehidupan manusia, sejak lahirnya, rupanya liberalisme mendapatkan
tempat istimewa di hati masyarakat, liberalisme juga telah dijadikan sebagai
asas ilmu-ilmu modern seperti sains, filsafat, politik, ekonomi, etika tidak
terkecuali agama. Karena begitu luas implikasi liberalisme maka dibutuhkan
definisi sederhana untuk membatasi ulasan dalam tulisan ini. Liberalisme,
seperti yang di tulis Julian Baggini adalah :
“liberalisme berdasarkan kepercayaan bahwa individu seharusnya memiliki kebebasan untuk menjalani kehidupan mereka sebagaimana yang mereka anggap layak dan kebebasan ini seharusnya dinikmati oleh seluruh anggota masyarakat secara setara. Menurut cara ini, individu adalah kepentingan tertinggi. Kepentingan negara atau kepentingan kelas sosial tertentu seharusnya tidak pernah digunakan sebagai alasan untuk membatasi kebebasan individu.”
Melihat definisi liberalisme yang me-nitiktekan-kan pada kebebasan
individu diatas, terdapat beberapa keberatan yang dapat diajukan. Pertama,
kenyataan bahwa manusia adalah makhluk sosial, dan dalam interaksinya,
pada titik tertentu akan terjadi gesekan-gesekan kepentingan antar individu
yang “bebas”. Kedua, dalam prakteknya liberalisme mereduksi keadilan dan
kesetaraan dalam kepemilikan sumber-sumber ekonomi belaka. Doktrin
liberalisme secara implisit memberikan legalitas pada individu untuk meraup
kekayaan sebanyak-banyaknya tanpa batas (unlimited).49 Lantas bagaimana
48 Ibid, hlm. 787 49 Dalam buku Sejarah Filsafat Barat, Bertrand Russell mengkategorikan Marx sebagai
turunan dan, atau terpengaruh pada doktrin liberalisme (lihat Russell, Sejarah…op.cit., hlm. 787) . tetapi Marx sendiri tidak melupakan fase-fase dimana kaum buruh memegang kekuasaan sumber-
36
dengan nasib mereka yang tidak memiliki kemampuan dan kekuatan karena
kekurangan fisik secara alamiah? Dengan kata lain, dapatkah doktrin-doktrin
liberalisme akan melahirkan suatu masyarakat “ideal” (bebas, stabil, adil,
egaliter) yang didalamnya, secara fundamental, terdapat doktrin-doktrin
agama, filsafat, dan moral yang sangat berpengaruh?50
Kaum liberal, pada tataran filosofis, menegaskan komitmen pada konsep
kesetaraan, kebebasan, individualitas dan rasionalitas.51 Dalam konteks
politik, ada beberapa hal mendasar yang ditawarkan liberalisme, pertama,
pilihan bebas (freedom of choice). Setiap individu diberikan kebebasan
menggunakan potensi diri secara utuh untuk memilih apa – apa yang mereka
inginkan. Kedua, argumentasi liberalisme didasari atas kemungkinan
kesalahan pilihan dan banyaknya jalan menuju kebaikan, maka individu
dibiarkan secara bebas untuk menentukan nasibnya sendiri (self
determination), tidak ada otoritas bagi orang lain atau kelompok sosial untuk
memaksakan kehendak pada individu lainya.52
Konsep mengenai individualisme dalam seluruh gerakan liberal
dipengaruhi oleh pemikiran-pemikiran John Locke (1632-1704). Ciri yang
paling menonjol dari filsafat Locke adalah kemandirian manusia (eksistensi
diri) tanpa dogmatisme.53 Filosof lain yang menjadi acuan para kaum liberal
adalah Jeremy Bentham (1748-1832) dengan gagasan utility-nya54 dan
sumber kekayaan yang dirampas dari kaum borjuis sebelum masuk kepada fase komunisme. Komunisme sendiri lebih bersifat kolektivisme.
50 Setidaknya tiga elemen ini (filsafat, agama, dan moral) yang mendasari eksistensi suatu masyarakat kaitannya dengan negara/kekuasaan .dan terkadang ketiganya saling berseberangan satu sama lain. Disinilah letak kesulitan liberalisme politik untuk menrekonsiliasi tiga asumsi dasar tersebut. Lihat Joseph losco dan Leonard Williams, Political Theory, terj. Haris Munandar, Volume II, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2005, hlm. 1016
51 Persamaan yang dimaksud bukan dalam segala hal tetapi lebih pada harkat moral yang dimiliki setiap individu. Kebebasan juga terkait dengan persamaan moral yang dimiliki, tidak ada seorangpun yang dapat menentukan nasib orang lain, manusia bebas menentukan pilihan-pilihannya sendiri (freedom of choice) dan rasionalitas berarti memberikan peluang kritik dalam ranah publik.
52 Loc. Cit, hlm. 186 53 Bertrand Russell, Sejarah…op.cit., hlm. 795 54 Utilitarianisme adalah tradisi pemikiran etika Inggris yang dipelopori oleh David Hume
(1711-1776). Kemudian dielaborasi oleh Bentham dengan mengemukakan prinsip The Greatest Happiness Of The Greatest Number (kebahagiaan terbesar bagi sebanyak mungkin orang). Lihat
37
mendapatkan bentuk yang lebih matang pada John Stuart Mill (1806-1873).
Ide-ide Mill tentang individualisme mendominasi Inggris abad 1955
Untuk memahami pemikiran Mill secara holistic tentu membutuhkan
tempat sendiri.56 Dalam tulisan ini hanya akan sedikit membahas landasan
filosofis Mill mengenai kebebasan individu yang sangat mempengaruhi
liberalisme. Sebagaimana dia katakan: “let each individual pursue his
happiness in his own way”.57
Mill, meskipun dalam setiap tulisannya selalu menekankan pemenuhan
diri (self-fulfillment) manusia tetapi ide-ide-nya lebih lunak dibandingkan
gurunya, Bentham58. Pemenuhan diri bagi Mill harus diposisikan dalam
konteks kebaikan umum.59 Kebahagiaan yang hendak dicapai oleh masing-
masing individu tidak boleh melampaui norma etis suatu komunitas. Ide-ide
Mill tentang individualisme bukan individualisme tanpa kendali, dia tetap
merumuskan bagaimana kebahagiaan individu dapat memberikan kontribusi
pada kebahagiaan sosial. “everybody to count for one, nobody to count for
more than one”.60
Setelah melihat sepintas mengenai landasan filosofis-etis ide-ide Mill
yang mempengaruhi liberalisme, terutama di Inggris abad ke-19, kita kembali
pada pertanyaan semula, dapatkah liberalisme memberikan jawaban terhadap
pembentukan “masyarakat ideal” dengan segala pluralitas yang ada? Pada
Donny Gahral Adian, Menyoal…op.cit., hlm. 180. lihat juga Lorens Bagus, Kamus…op.cit., hlm. 1143-1146
55 Doktrin utilitarianisme di Inggris abad ke-19 sering disebut sebagai “Radikalisme Filosofis” dan juga menjadi tipikal liberalisme abad ke 19. lihat Lorens Bagus, Ibid, hlm. 1145. lihat juga Henry J. Schmandt, Filsafat…op.cit., hlm. 461
56 Perlu ditambahkan disini, setelah liberalisme mendapatkan bentuk yang beragam karena tercampur ideologi/faham-faham lain maka liberalisme dibagi menjadi dua, yaitu, liberalisme klasik (classical liberalism) dan liberalisme kontemporer (contemporary liberalism). Liberalisme klasik memiliki arti sesuai dengan latar belakang berdirinya, sedangkan liberalisme kontemporer dalam beberapa hal mengadopsi ajaran-ajaran sosialisme. Lihat A. Qodri Azizy, Melawan Globalisasi, Reinterprestasi Ajaran Islam, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2004, hlm. 42
57 Dikutip dari buku Sakban Rosidi, The History of Modern Thought, CISC (Center for Interdisciplinary Study and Cooperatioan), Malang, 2002, hlm. 58
58 Mill mengkritik Bentham yang selalu mengukur kebahagiaan secara kuantitatif. Bagi Mill kualitas kebahagiaan harus menjadi pertimbangan selanjutnya. Donny Gahral Adian, Menyoal…op.cit., hlm. 181
59 Henry J. Schmandt, Filsafat…op.cit., hlm. 461 60 Donny Gahral Adian, Menyoal…op.cit., hlm. 181
38
kenyataannya preferensi individu seringkali dibentuk oleh milieu dimana dia
berada. Pada masyarakat kapitalis misalnya, orang seringkali terjebak pada
gaya hidup hedonistis. Dimana standar kebahagiaan selalu diukur dengan
materi, dampak yang lebih ironis adalah ketika manusia disamakan dengan
“benda”.
Dominasi Eropa terhadap pasar dunia, isu globalisasi dan pasar bebas,
membuktikan betapa besar pengaruh liberalisme di negara-negara Barat.
Memang, secara pragmatis, negara-negara liberal telah membuktikan
keberhasilannya hampir dalam semua bidang. Akan tetapi di sisi lain
liberalisme membiarkan jutaan orang hidup dalam kelaparan dan kemiskinan.
Jutaan orang terpaksa meninggalkan “dirinya sendiri”61, bahkan jutaan orang
harus rela hidup terkekang di dalam masyarakat yang memuja kebebasan
(liberalisme).
Pada perkembangan abad ke-20 liberalisme mulai ditinggalkan banyak
negara, liberalisme dikecam sebagai tidak manusiawi karena menguntungkan
pihak penguasa dan pengusaha yang jumlahnya minoritas. Doktrin liberalisme
hanya dipakai sebagai alat legitimasi mengumpulkan kekayaan. Akses paham
liberalisme oleh negara – negara lain, khususnya dunia ketiga, tanpa melihat
akar masalahnya secara jernih apa, bagaimana dan untuk apa/siapa
liberalisme, hanya akan menimbulkan ekses negatif. Landasan filosofis
liberalisme yang menyatakan manusia pada dasarnya baik, faktanya tidak
selalu begitu liberalisme lebih dekat pada anarkisme radikal. Menapaki jalan
liberalisme dalam lanskap politik mengantarkan kita pada ideologi tandingan
mereka yaitu sosialisme.
61 Dalam analisi Marx di negara-negara yang menerapkan sistem kapitalistik, terdapat
ketimpangan yang tak terdamaikan antara pemilik modal dan kaum buruh, para pemilik modal menghisap tenaga, pikiran bahkan diri / jiwa kaum buruh dengan menjadikannya pekerja pabrik. Dampaknya bagi para pekerja adalah alienasi. Salah satunya adalah alienasi terhadap diri. (untuk keterangan lebih lanjut akan dibahas pada bagian berikutnya). meminjam terminologi Victor Tuner, dalam perspektif budaya, kondisi semacam ini disebut liminality atau menurut Durkheim sebagai anomie. Jika liminality terjadi pada masyarakat sedangkan anomie terjadi pada individu. Lihat Sjafri Sairin, Perubahan Sosial Masyarakat Indonesia, Perspektif Budaya, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2002, hlm. 51
39
D. KOMUNISME
Pertanyaan pertama yang muncul mengenai mengapa harus memilih
tema komunisme? dapat dijawab dengan setidaknya dua alasan, pertama,
kepentingan subjektif penulis untuk memperkuat landasan teori pada bab-bab
selanjutnya. Kedua, pengaruh dominan komunisme terhadap perkembangan
sejarah, setidaknya sepertiga manusia di dunia ini menyebut dirinya sebagai
pengikut Marxist dan hidup dalam pemerintahan rezim Marxist.62
Berbicara mengenai komunisme, kita dihadapkan dengan perasaan
ambivalen. Komunisme, sebuah ideologi yang mengklaim akan menciptakan
masyarakat tanpa kelas, bebas, setara, dan bahagia telah menuliskan
sejarahnya dengan darah jutaan manusia. Tidak kurang dari seratus juta orang
mati dibawah rezim komunis63 terdapatnya ketidak selarasan antara teori dan
praktek inilah yang menyebabkan ajaran-ajaran komunisme menjadi sulit
untuk dipahami. Lantas dimana letak kesalahannya? Derivasi ajaran atau
terdapat benih-benih anarkisme (despotis) dalam ajaran Marxisme yang tak
teridentifikasi?
Kata komunisme, dalam penggunaannya sering dipersamakan dengan
sosialisme, hampir tidak ada perbedaan nyata yang dapat dibuat antara
keduanya.64 Komunisme juga selalu terkait erat dengan pendirinya Karl Marx
62 T.Z. Lavine, Karl Marx, Konflik Kelas dan Orang Yang Terasing, terj. Andi Iswanto
dan Deddy Andrian Utama, Jendela, Yogyakarta, 2003, hlm. 26. Marxisme dan komunisme adalah dua terminologi yang saling terkait, hampir tidak ada definisi baku (pembatasan) mengenai keduanya. Lihat juga Roger Eatwell dan Anthony Wright (ed), Ideologi…op.cit., hlm. 141
63 Selama 62 tahun (1917-1979) rezim komunisme berkuasa dibeberapa negara telah mengorbankan lebih dari seratus juta nyawa. 20 juta diantaranya terjadi di Uni Soviet dibawah pemerintahan Lenin dan Stalin. Lihat Franz Magnis Suseno, Dalam Bayangan Lenin, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2003, hlm. 237
64 Marx membedakan dua fase sejarah untuk mencapai komunisme penuh. Pertama fase transisi dimana ketidakadilan tetap terjadi meskipun landasannya telah hilang. Fase berikutnya disebut komunisme penuh yang menganut prinsip: “dari setiap orang sesuai dengan kemampuannya, dan kepada setiap orang sesuai dengan kebutuhannya-kebutuhannya”. Duapuluh tahun kemudian Lenin memberikan batasan, fase pertama disebut sosialisme dan kedua disebut komunisme. lihat dalam catatan kaki Richard Pipes, Komunisme: Sebuah Sejarah, terj. Dono Sunardi, Mataangin, Yogykarta, 2004, hlm. vii lihat juga Lorens Bagus, Kamus…op.cit., hlm. 1031
40
(1818-1883). Ketika seseorang berbicara mengenai komunisme, asosiasi yang
diberikan pada kata itu adalah Marxisme.65 Kalaupun ada perbedaan antara
Marxisme dan komunisme biasanya dilihat dari dua sisi, Marxisme sebagai
teori dan komunisme adalah prakteknya.66 Tetapi keduanya saling terkait erat
satu sama lain, sehingga pemisahan antar keduanya akan semakin
membingungkan pemahaman terhadap ajaran-ajaran Karl Marx.
Gerakan komunisme menjadi kekuatan maha dahsyat abad ke-20 setelah
ajaran-ajaran Karl Marx diterapkan oleh pengikutnya Vladimir Ilyic Lenin
(1870-1924). Di tangan Lenin-lah pemikiran Marx mendapatkan bentuknya.
Kekuatan yang disusun oleh Lenin melalui ajaran-ajaran Marx telah
melahirkan negara Uni Soviet dan menjadikan komunisme sebagai ideologi
resmi Marxisme.67
Komunisme sendiri dilihat dalam sejarah panjangnya telah muncul sejak
zaman Yunani kuno. Ide mengenai komunisme pertama kali muncul secara
sistematis dalam karya Plato, Republic. Keadaan masyarakat yang telah
mengenal kepemilikan pribadi saat itu menjadi perhatian filosof seperti Plato
dan muridnya Aristoteles. Plato melihat akar segala permasalahan adalah
kepemilikan pribadi atas barang-barang.68 Bentuk dari suatu struktur sosial
dimana didalamnya tidak terdapat penghisapan, penindasan, dan hegemoni
antara satu kelas dengan kelas lainnya, satu kelompok dengan kelompok
65 Ketika menjelang akhir hayatnya, Karl Marx membaca sebagian karya-karya muridnya,
dan dengan penuh kemarahan Karl Marx mengatakan dia sendiri tidak pernah menjadi seorang Marxis. Lihat Bernard Crick, Sosialisme, terj. Ribut Wahyudi, Promethea, Surabaya, 2001, hlm. 78.
66 Marx meninggalkan tulisan-tulisan yang luar biasa pengaruhnya, bagi para pengikutnya (Marxis) buku-buku karya Marx bukan sekedar panduan politik praktis demi tercapainya kemenangan kaum proletar tapi lebih menyerupai “kitab suci” agama. Kaum Marxis dalam menginterpretasi tulisan-tulisan Marx tidak pernah keluar jauh dari landasan-landasan yang telah diletakkan Marx. Jadi antara Marxisme dan komunisme ibarat dua sisi mata uang yang tidak dapat dipisahkan. Lihat Roger Eatwell dan Anthony Wright (ed), Ideologi…op.cit., hlm. 141
67 Franz Magnis Suseno, Dalam Bayangan…op.cit., hlm. xi 68 Menurut Aristoteles istilah komunisme pertama kali dimunculkan oleh Phaleas dan
Hippodamus, tetapi dalam bentuk tersistematis baru terbentuk dalam karya Plato, Republik. Lebih jauh Plato menulis dalam karyanya the Laws, seluruh yang bersifat pribadi dihilangkan demi kepentingan bersama. Lihat Lorens Bagus, Kamus…op.cit., hlm. 473. dan Richard Pipes, Komunisme…op.cit., hlm. 4
41
lainnya dan satu individu dengan individu lainnya. Lebih jauh, dalam konteks
politik, tidak ada penindasan negara terhadap rakyatnya.
Cita- cita untuk mewujudkan masyarakat tanpa kelas sejalan dengan asal
kata komunis itu sendiri. Dari bahasa latin, communis berarti sama, umum,
publik, universal. Dan secara terminologi dapat diformulasikan sebagai bentuk
sistem masyarakat dan sebuah ideologi politik yang menginginkan
terwujudnya kondisi dimana sarana-sarana produksi dimiliki secara bersama-
sama dan pembagian produksi dilakukan berdasarkan asas sama rata.69 Pada
perkembangannya asas komunisme sebagai suatu gerakan politik muncul pada
saat revolusi Perancis dengan semboyan egalite, liberte, dan freternit.
Kemudian Marx membawa pengaruh ajarannya (marxisme), semula
disamakan dengan komunisme, tetapi setelah mengalami revisi oleh Lenin
istilah komunisme dipersempit menjadi “Marxisme radikal-revolusioner”.
Dengan demikian term komunisme modern adalah bentukan Lenin sekitar
tahun 1917 bersamaan dengan meletusnya revolusi Rusia.70 Yang kemudian,
karena dianggap berhasil, setelah perang dunia II sebagian negara Eropa
Timur dan Asia mengadopsi komunisme untuk dijadikan bentuk sistem sosial
dan ekonomi.
Pertanyaan mengapa pikiran – pikiran Marx dapat diterima begitu luas
oleh hampir sepertiga umat manusia? dapat dijawab dengan pernyataan:
seluruh pikiran-pikiran Marx ditujukan untuk membela kaum lemah, tertindas,
miskin, atau dalam bahasa Marx biasa di sebut kaum “proletar”. Lantas
bagaimanakah filsafat kaum proletariat yang ditawarkan Marx? Jawabnya
adalah Materialisme-dialektika-historis.71 Konsepsi terpenting mengenai
69 Lihat Lorens Bagus, Ibid, hlm. 472. lihat juga Hassan Shadily (et.all), Ensiklopedi
Indonesia IV, Ikhtiar Baru – Van Hoeve dan Elsevier Publishing Projects, Jakarta, 1980, hlm. 1845-1846
70 Ibid, hlm. 1845-1846 71 http: // www. Geocities.com/ edicahy, Njoto; Marxisme Ilmu Dan Amalnnya, hlm. 14.
Materialisme, dalam hal ini, meminjam analisis Ledwig Feuerbach (1804-72), Marx merevisi konsepsi Hegel tentang Idealisme. Marx meletakkan dasar filsafatnya tidak pada Tuhan atau jiwa (roh) atau absolut, tetapi pada manusia, manusia sebagai spesies, manusia sebagai materi riil dalam dunia nyata. Dialektika, untuk menjelaskan perkembangan sejarah (history) Marx, sekali lagi meminjam gagasan Hegel tentang dialektika (tesis-antitesis-sintesis), menurut Hegel sintesis kembali menjadi tesis, begitu seterusnya. Sedangkan Marx melihat perkembangan sejarah melalui
42
filsafat Marx adalah mengenai pertentangan kelas.72 Marx Membagi
masyarakat menjadi dua kelas; kelas pekerja (proletar) dan kelas pengusaha
(borjuis). Atas dasar kepemilikan dan penghisapan kaum proletar oleh borjuis
maka terjadi pertentangan kelas yang tak dapat terhindarkan. Seolah-olah
fakta pertentangan kelas adalah keharusan sejarah.
Dalam hal sejarah perkembangan realitas masyarakat, Marx selalu
melihat ada kaum tertindas yang menjadi korban sejarah.73 Penyebabnya
adalah karena kaum borjuasi mendominasi dan memonopoli pasar (sumber-
sumber produksi).74 Dan ekses yang ditimbulkan darinya adalah alienasi
masyarakat.75kondisi eksploitasi demikian akan terus berlangsung selama
kaum buruh tidak menyadari akan kekuatan yang dimilikinya, ditambah lagi
keberadaan kaum borjuasi diperkuat oleh legitimasi penguasa (negara)76.
Maka menurut Marx, satu- satunya jalan untuk menghentikan penindasan
analisis konflik kelas. Perkembangan sejarah adalah sejarah kelas itu sendiri. Dan jika dalam konsepsi Hegel sejarah terus berlangsung maka Marx menghentikan perkembangan sejarah ketika konflik kelas berakhir dengan kemenangan kaum proletar. Materialisme historis menurut Marx adalah kondisi dimana kesadaran manusia dari buruh visioner tidak pasif namun kreatif dan produktif dalam mengubah sifat dunia. Bagi Marx, realitas objek material bukanlah manusia mandiri, tetapi suatu realitas yang telah diubah oleh buruh dalam lintasan sejarah. Lihat Ken Budha Kusumandaru, Karl Marx, Revolusi dan Sosialisme, Resist Book, Yogyakarta, 2004, hlm. 54. lihat juga T.Z. Lavine, Marx…op.cit., hlm. 51
72 Ibid, hlm. 55 73 Uraian detail mengenai kerja sistem kapitalistik diuraikan oleh Marx dalam karyannya,
Das Kapita, meskipun stressing-nya hanya pada proses produksi, distribusi, konsumsi dan pertukaran pada abad ke-19, tetapi ulasan Marx begitu komprehensip hampir seluruh kondisi masyarakat dunia tidak luput dari pengamatannya, tidak terkecuali Indonesia, meski melalui buku karya Raffles, A History of Java. Lihat dalam kata pengantar buku Karl Marx, Kapital I, terj.Oey Hay Djoen, Hasta Mitra, Jakarta, 2004, hlm. xvii
74 Marx menganggap produksi material (kondisi produksi, kekuatan produksi dan hubungan produksi) merupakan pondasi (sub struktur) bagi perjalanan sejarah, dan apa-apa yang berada diluar itu ( karakter umum kehidupan sosial, politis, spiritual, filsafat, dll) adalah dampak darinya (super struktur). Lihat T.Z. Lavine, Marx…op. cit., hlm. 52
75 Sistem kapitalisme memecah kaum pekerja menjadi kelompok-kelompok kecil dengan cara mempersempit ruang gerak pekerja pada bidang-bidang khusus. Analisis ekonomi Marx banyak dia dapatkan dari pembacaan terhadap karya Adam Smith, dampak dari pembagian kerja adalah keterasingan (alienasi) masyarakat. Alienasi tersebut meliputi diri sendiri, dari rumpun (spesies-nya), dari hasil produksi, dan sesama buruh. Lihat Sukron Kamil, MA, Pemikiran Karl Marx; “Agama Sebagai Alienasi Masyarakat Industri” Suatu Apresiasi Dan Kritik, Jurnal Universitas Paramadina, vol. 1 no 2, Januari 2002: 116-133, hlm. 120-122
76 Bagi Marx, negara adalah representasi suatu kelas pemegang kekuatan ekonomi. Hubungan antara borjuasi dan negara bersifat resiprokal. Para penguasa membutuhkan kapital sebagai jaminan eksistensi suatu kekuasaan (negara) dan para borjuasi membutuhkan legitimasi negara atas penindasanya. Lihat Franz Magnis Suseno, Pemikiran Karl Marx, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2003, hlm. 120. Lihat juga, Henry J. Schmandt, Filsafat…op.cit., hlm. 527-528
43
manusia terhadap manusia ini harus dengan jalan penggulingan kekuasaan
kaum borjuasi (revolusi proletariat).
Setelah terjadi penggulingan kekuasaan oleh kaum proletar dan dengan
demikian berarti pula runtuhnya negara kelas borjuasi, sejarah umat manusia
memasuki babak final, komunisme.77 Suatu masyarakat komunisme ditandai
dengan semua pembagian kelas dan produksi dikonsentrasikan pada asosiasi
semua bangsa.78 Kondisi ini juga menjadikan kepentingan - kepentingan
individu tunduk pada regulasi tatanan sosial yang menjamin tercapainya
kepentingan dan kebahagiaan bersama.
Konsepsi Marx mengenai masyarakat tanpa kelas, bahkan lebih jauh
mengimpikan masyarakat dunia yang ideal dengan hilangnya antagonisme
kelas merupakan utopia belaka. Secara inhern premis-premis Marx
menyisakan ambiguitas, Marx sendiri tidak pernah secara detail membahas
kondisi masyarakat baru yang komunistik, bahkan landasan filosofis Marx
mengenai materialisme tidak pernah dia tegaskan.79 Dan yang paling
mengejutkan adalah ketika Marx menyatakan problem filosofis paling
mendasar ialah bukan pada jenjang pemahaman terhadap realitas objektif
duniawi melainkan bagaimana cara merubahnya.80
77 Jika Hegel memformulasikan dialektika sejarah berjalan secara berputar (circle) tesis-
antitesis=sintesis(tesis), begitu seterusnya, maka Marx harus menghentikan laju perkembangan sejarah pada satu titik yaitu komunisme, sehingga bentuk dari perkembangan dialektika sejarah Marx berjalan mulai dari komunisme primitive (zaman pra sejarah) menuju zaman perbudakan kemudian feodalisme, kapitalisme, sosialisme (masa transisi) dan akhirnya komunisme.
78 Pada tahap ini (komunisme) negara kehilangan fungsinya, dalam masyarakat tanpa kelas sistem kapitalisme berganti menjadi komunisme. Negara yang menjadi alat kaum borjuis dengan sendirinya akan colaps dan pemerintahan akan digantikan oleh pengaturan benda-benda (the administration of things) dan oleh jalanya proses produksi. Ibid, hlm. 529
79 Didasari atas ontoligi materialaisme inilah Marx mendasari seluruh pemikirannya,. Mengenai agama, meskipun meminjam tesisi Ledwig Feuerbach, Marx berusaha mengelaborasi Idealisme Hegel menjadi materialisme. Hegel, yang beraggapan ide absolute (Tuhan) berkembang dalam sejarah dan mengejawanatah dalam negara diinterpretasi oleh Feuerbach sebagai alam (nature). Mengikuti tesisi Feuerbach inilah Marx sampai pada kesimpulan “Agama adalah candu masyarakat”. Ibid, hlm. 515. Levi Strauss, menngidentifikasi perspektif kaum Marxis terhadap agama didasari atas premis “cara bagaimana masyarakat hidup akan menentukan cara mereka berfikir”. hipotesa ini sebagai konsekwensi dari pendasaran teori Marx terhadap materialisme. Lihat Brian Morris, Antropologi Agama, terj. Imam Khoiri, AK Group, yogyakarta, 2003, hlm. viii
80 Pada tarap yang lebih tinggi problem filosofis mengenai bagaimana cara merubah dunia ini telah menjadikan kaum Marxist terpecah menjadi beberapa golongan. Teori-teori Marx diinterpretasi berdasarkan kepentingan-kepentingan politis kaum marxis. Secara garis besar pengikut Marx dapat dibagi menjadi tiga golongan; revisionis, ortodoks dan revolusioner.
44
E. KEADILAN, PERSAMAAN, KEBEBASAN DAN HAK ASASI
Isu – isu sentral dalam kajian filsafat politik seperti; kebebesan, keadilan
dan persamaan, dll menjadi penyebab utama munculnya aliran-aliran dalam
politik praktis. Perbedaan tersebut muncul akibat pemaknaan sebuah konsep
dalam debat politik yang memiliki kondisi dan latar belakang berbeda. Tidak
seorangpun / kelompok atau ideologi yang mengkampanyekan menolak
kebebasan dan keadilan. Permasalahan paling fundamental dalam filsafat
politik adalah ketika term-term itu mengambil hubungan satu sama lain dalam
praksisnya.81
“gambaran tradisional kita tentang cakrawala politik melihat prinsip-prinsip politik seolah jatuh disuatu tempat pada garis tunggal , membentang dari kiri ke kanan. Menurut gambaran tradisional ini, orang di kiri percaya pada persamaan (equality) dan karena itu mereka mendukung bentuk sosialisme. Sementara, mereka yang dikanan percaya pada kebebasan (freedom) dan, karena itu, mendukung bentuk kapitalisme-pasar bebas (free-market capitalism). Di tengah adalah kakum liberal, yang percaya pada campuran kabur antara persamaan dan kebebasan dan, karena itu, mendukung bentuk kapitalisme negara kesejahtraan (welfare capitalism).”82
Pada tahap selanjutnya cara pemikiran politik tradisional mulai
kehilangan signifikansinya, para politikus arus utama kiri dan kanan
cenderung melupakan teori persamaan gender (sexual equality) dan
mengabaikan isu konteks sejarah.83 Permasalahan semakin pelik ketika para
teoritikus politik memperdebatkan nilai-nilai dasar yang dijadikan landasan Kelompok pertama melihat dalam perkembanganya pertentangan kelas semakin berkurang dan merusaha membawa gerakan sosialis kedalam haluan demokratis. Golongan kedua cenderung bersikap revolusioner dalam teori tetapi dalam taktis-strategis lebih bersifat evolusioner, dan kelompok ketiga menitik tekankan pada pertentangna kelas dan beranggapan reevolusi adalah satu-satunya jalan keluar dari penindasan kelas. Ibid, hlm. 538
81 Dalam kaitannya dengan politik, keadilan biasanya digunakan dalam hubungan antara kekuasaan dan masyarakat. Pada model ini kata “keadilan” disandingkan degan kata “distribusi” dan “retribusi”. Keadilan distributif berbicara mengenai bagaimana masyarakat mendapatkan akses sesuatu sumberdaya, manfaat, kekayaan, layanan, dll yang tepat. Sedangkan keadilan retributif adalah mengenai hukuman yang dibagikan oleh lembaga hukum. Lihat Julian Baggini, Lima…op.cit., hlm. 200-201.
82 Will Kimlicka, Pengantar Filsafat…op.cit., hlm. 2 83 Kiri dan kanan dibedakan menurut pandangnya mengenai kebebasan dan keadilan
dalam berbagai wilayah pemerintahan dan ekonomi yang didominasi oleh laki-laki. Di sisi lain kaum komunitarian berpendapat bahwa tidak mungkin menilai lembaga-lembaga politik dengan melupakan sisi historisnya. Lihat Ibid, hlm. 2-3
45
teori-teori politik. Kaum kanan mendukung kebebasan yang juga berarti
melegalkan kapitalisme dan sebagai antitesisnya kaum kiri mendasari nilai
utamanya pada persamaan, dan ini berarti sosialisme. Kedua kubu ekstrim, kiri
dan kanan ini, tidak mungkin mereduksi nilai-nilai fundamental, persamaan
dan kebebasan, tanpa mempertimbangkan nilai-nilai baru yang lebih tinggi.84
Meskipun ada banyak tawaran mengenai nilai-nilai fundamental baru,
sebut saja, “kesepakatan kontrak” (John Rawls), “kebaikan umum”
(Komunitarianisme), dan “hak” (Dworkin), bukan berarti pluralisme nilai
fundamental tidak meninggalkan masalah baru. Pada jenjang filosofis,
heterogenitas nilai fundamental mendapatkan kecaman signifikan, karena sifat
universal nilai-nilai tersebut mengalami reduksi dalam teoritis-praksis menjadi
bersifat lokal. Dalam pandangan dunia politik kontemporer, filsafat politik
tenggelam dalam keberhasilan linier-nya (sendiri-sendiri).85
Paradoks yang nampak dari sebagian besar interpretasi terhadap nilai-
nilai fundamental menantang para filosof politik untuk me-reniterpretasi
pemaknaan terhadap kata-kata; ‘kebebasan’, ‘persamaan’, ‘keadilan’, ‘hak
asasi’, dll, yang kemudian diharapkan dapat memberikan suatu teori politik
sebagai alternatif yang sesuai dengan tantangan zaman-nya.
Fokus pertama pembahasan pada sub bab ini mengenai kata
“kebebasan”. Dalam banyak perdebatan politis, kata kebebasan seringkali
disebut-sebut sebagai nilai dasar pembentukan sebuah Negara dan terciptanya
masyarakat ideal. Faktanya kiri dan kanan memiliki pertentangan yang tak
terdamaikan dalam memaknai kebebasan itu. Sejalan dengan definisinya
kebebasan yang berarti suatu kualitas tidak adanya rintangan nasib, keharusan
atau paksaan dari pihak luar sehingga individu bersifat bebas dalam
84 Tawaran teori – teori baru yang mendasari pada nilai-nilai utama seperti; “Kesepakatan
Kontrak” (Rawls), “Kebaikan Umum” (komunitarianisme), “Kemanfaatan” (Utilitarianisme), “Hak” (Dworkin), atau “Androgini” (Feminisme). Sejumlah nilai-nilai baru yang diajukan para filosof politik, secara implicit, memberikan semangat segregasi sosial. Dengan banyaknya nili-nilai fundamental yang diajukan dengan sendirinya mempersulit pertimbangan tentang suatu yang komprehensip, karena nilai-nilai tersebut tidak mungkin memunculkan suatu teori tunggal (monisme), dengan sendirinya nilai-nilai itu saling berbenturan, dan konsekuensinya semua teori yang lahir bersifat local (ad hoc). Ibid, hlm. 4
85 Ibid, hlm. 5
46
menentukan keputusan dan tindakannya.86 Kaum sosilais mengajukan
beberapa keberatan dengan menyatakan, kebebasan individu harus dikontrol
oleh Negara karena secara alamiah manusia memiliki potensi diri berbeda.
Konsekuensi yang ditimbulkan adalah ketimpangan sosial-ekonomi, dengan
demikian tidak ada masyarakat ideal. Sementara masyarakat kapitalistik
mengecam sosialisme sebagai tidak bebas karena Negara terlalu campur
tangan terhadap urusan individu.
Pendefinisian kata kebebasan nampak paradoks dalam waktu yang
bersamaan. Dua perspektif (kiri-kanan) melihatnya dari sisi yang berlainan.
Isaiah Berlin (1909-1997) memberikan alternatif baru, meskipun cenderung
liberal, jika tidak ingin mengatakan liberalisme murni, kata kebebasan harus
dibedakan menjadi dua pengertian; kebebasan positif dan negatif. Kebebasan
positif adalah kebebasan melakukan sesuatu menurut cara dan kemampuan
diri sebagai akibat dari kepemilikan jenis kebebasan itu sendiri. Kebebasan
bentuk ini adalah mengenai pemberian wewenang untuk mencapai atau
menjadi maksud untuk berbuat. Sedangkan kebebasan negatif dimaknai
sebagai kebebasan dari campur tangan pihak luar. Tidak ada intervensi apapun
dari pihak luar yang mengatur, lebih-lebih memaksa, apa yang individu
hendak lakukan.87
Menanggapi pembedaan kebebasan positif dan negatif sebagai suatu
konsep yang dapat berjalan secara bersama, kaum libertarianisme
menyanggahnya dengan mengatakan adalah sebuah mitos bahwa kebebasan
positif dan kebebasan negatif harus diseimbangkan. Para filosof libertarian
memformulasikan cara terbaik untuk memecahkan kesenjangan antara
keduanya dengan meningkatkan kebebasan positif sama dengan kebebasan
negatif.88 Tetapi para pengkritik libertarian melihat gagasan ini tidak realistis,
86 Kata kebebasan mengambil bentuk bermacam-macam antara lain; kebebasan fisik,
kebebasan moral. Kebebasan psikologi, kebebasan intelijibel (Immanuel Kant). Lihat Lorens Bagus, Kamus Filsafat…op.cit., hlm 406-407
87 Julian Baggini, Lima…op.cit., hlm. 197 88 Dilema dari pembedaan dua jenis kebebasan ini nampaknya tidak dapat terelakkan,
dalam masyarakat kapitalis misalnya, kebebasan negatif sangat luas sehingga setiap individu bebas melakukan apapun tanpa ada campur tangan pihak luar, termasuk akses kekayaan, pendidikan,
47
karena dalam masyarakat yang dicita-citakan kaum libertarian bersifat
terbuka, bebas dan kompetitif sehingga kesenjangan antara pemilik modal dan
proletar, dalam bahasa Marx, pasti tak terelakkan.
Begitu penting dan berharga sebuah kebebasan sehingga dalam lanskap
politik kebebasan menempatkan posisi atas bersama keadilan dan persamaan.
Bagi kaum liberal Barat kebebasan adalah segalanya, dalam kata itu
terangkum semua nilai-nilai kehidupan. Pada permulaan perang dunia II
Presiden Amerika Serikat, Franklin D. Roosevelt merumuskan arti kebebasan,
dengan istilah The Four Freedoms (empat kebebasan), yaitu; kebebasan
beragama (freedom of religion), kebebasan untuk berbicara dan
mengemukakan pendapat (freedom of speech), kebebasan dari ketakutan
(freedom of fear), dan kebebasan dari kemelaratan (freedom of want).89
The Four Freedoms yang dirumuskan Roosevelt mendapatkan
pengembangan dari Komisi Hak-Hak Asasi (Commission on Human Right)
yang didirikan oleh PBB pada 1946, sehingga mencakup hak-hak dalam
bidang ekonomi, sosial dan budaya. Dan pada tahun 1948 dideklarasikan Hak-
hak Asasi Manusia sedunia (Universal Declaration of Human Rights)90
tempat wisata,dll. Sementara disisi lain individu yang dilahirkan secara alamiah cacat tidak dapat merasakan seperti apa yang dirasakan oleh individu yang mendapatkan akses kekayaan lebih. Sehingga bagi mereka yang lahir dalam kehidupan keluarga miskin tetapi memiliki potensi sama dengan orang yang lahir dalam keluarga kaya membutuhkan campur tangan Negara dalam memberikan kesempatan mengembangkan potensi dirinya. Dan ini berarti membutuhkan lebih banyak kebebasan positif. Menyikapi masalah ini kaum libertarian melangkah lebih jauh, kedua kebebasan itu harus sama-sama ditingkatkan, meskipun tidak luput dari para pengkritiknya yang menganggap gagasan libertarian kurang realistis, filosof libertarian memberikan kebebasan lebih terhadap individu mengembangkan potensi dirinya dengan meminimalisir peran Negara, Negara hanya berkewajiban mengontrol dan mengembangkan potensi individu serara maksimal. Julian Baggini, Ibid,hlm. 199
89 Empat kebebasan inilah yangkemudian dikembangkan dan diadopsi oleh Negara-negara yang tergabung dalam Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) dan Negara-negara dunia ketiga. Lihat Prof. Miriam Budiardjo, loc.cit, hlm. 121
90 Dalam catatan Maurice Cranston, Human Rights Today, yang dikutip Miriam Budiardjo, mengatakan bahwa secara aklamasi diterima oleh Negara-negara tergabung dalam PBB, kecuali lima Negara antara lain, Uni Soviet. Sedangkan pengakuan secara yuridis ditetapkan tahun 1966 oleh PBB dalam siding umum. Hasilnya adalah covenant on economic, social and cultural rights serta hak-hak sipil dan politik covenant on civil and political rights) Lihat Ibid, hlm. 122. secara terperinci isinya sebagai berikut: 1. Hak hidup, kebebasan dan keamanan pribadi (pasal tiga). 2. Larangan perbudakan (pasal 4). 3. Larangan penganiayaan (pasal 5). 4. Larangan penangkapan, penahanan atau pengasingan yang sewenang-wenang (pasal 9). 5. Hak atas pemeriksaan pengadilan yang jujur (pasal 10). 6. Hak atas kebebasan bergerak (pasal 13). 7. Hak atas harta dan benda (pasal 17). 8. Hak atas kebebasan berfikir, menyuarakan hati nurani dan
48
Hak asasi yang memiliki arti hak yang dimiliki setiap manusia yang
diperoleh dan dibawa semenjak lahir dibagi menjadi dua, seperti halnya
kebebasan, ada hak asasi positif dan negatif.91 Mengenai konsep hak asasi ini,,
mungkin tak ada yang merasa keberatan untuk menerimanya, tetapi
permasalahan kemudian muncul ketika debat politik mengenai hak asasi
memasuki wilayah jumlah dan jangkauannya. Pertanyaan yang sering diajukan
adalah, apakah hak asasi manusia memiliki batasan? Jika ya, asumsi apa yang
dapat diajukan sebagai pertimbangan batasan tersebut? dan jika tidak,
bagaimana memecahkan permasalahan ketika kebebasan seseorang
berbenturan dengan kebebasan orang lain? Permasalahan lain mengenai hak
asasi adalah mengenai asal hak asasi itu, apakah bersifat “alamiah” atau
konstruksi manusia yang kemudian dijustifikasi?
Bantahan paling frontal mengenai anggapan asal hak asasi bersifat
alamiah datang dari filosof utilitarianisme, Jeremy Bentham, dengan
mengatakan bahwa membicarakan hak asasi secara alamiah adalah “benar-
benar omong kosong”.92 Hak asasi harus bersifat legal, artinya hak asasi dapat
diterapkan secara penuh hanya, dan jika adanya legitimasi kekuasaan baik
lokal, nasional maupun internasional. Ide Bentham mengenai hak asasi
sebagai konstruksi nampaknya terlalu gegabah. Hak hidup yang dinggap beragama (pasal 180). 9. Hak atas mengemukakan pendapat dan mencurahkan pikiran (pasal 19). 10. Hak atas kebebasan berkumpul dan berserikat (pasal 20). 11. Hak untuk turut serta dalam pemerintahan (pasal 21). Mengenai hak sosial dan ekonomi sbb: 1. Hak atas pekerjaan (pasal 23). 2. Hak atas taraf hidup yang layak, termasuk makanan, pakaian, perumahan dan kesehatan (pasal 25). 3. Hak atas pendidikan (pasal 26). 4. Hak kebudayaan meliputi hak untuk turut serta dalam kehidupan kebudayaan masyarakat, ambil bagian dalam kemajuan ilmu pengetahuan dan hak atas perlindungan kepentingan moral dan material yang timbul dari hasil katya cipta seseorang dalam bidang ilmu, kesusastraan, dan seni (pasal 27). Dikutip dari lampiran Deklarasi HAM Universal). Lihat A. Ubaidilah (et.al), Pendidikan Kewargaan; Demokrasi, Ham dan Masyarakat Madani, IAIN Jakarta press, Jakarta, 2000, hlm. 211-212
91 Hak asasi negatif adalah hak ketiadaan campur tangan dari pihak luar, seperti hak berbicara, berfikir, bersekutu, dll. Sedangkan hak asasi positif adalah hak asasi untuk sesuatu yang pasti, dan agar hak – hak itu diakui dan ditegakan maka sesuatu itu deberikan secara penuh oleh seseorang, misalnya; hak untuk mendapatkan makanan dan pekerjaan. Julian Baggini, Lima…op.cit., hlm. 205
92 Bentham yang menganut paham utilitarian dan sebagai penggerak dalam meningkatkan tuntutan-tuntutan pembaruan Inggris pada 1830-an sangat mendukung hedonisme psikologis. Gerakan ini juga dikenal dengan “radikalisme filosofis”.(Lorens Bagus, Kamus…op.cit., hlm. 1145) Sehingga Bentham lebih menekankan pada legal formal hak asasi ketimbang secara alamiah. Dengan demikian prinsip manfaat dapat dijalankan secara penuh dan bebas. Lihat juga Julian Baggini, Ibid, hlm. 206
49
fundamental dan paling asasi, menurut pandangan ini, dapat menjadi bukan
asasi jika terdapat legitimasi kekuasaan yang melegalkan pembunuhan.
Mengenai hak positif, misalnya, hak orang untuk mendapatkan penghidupan
yang layak dapat terancam apabila ide Bentham diterapkan. Lebih khusus
gagasan Bentham menjadikan hak asasi bersifat lokal dan ini berarti hak – hak
manusia menjadi tidak lagi asasi (mendasar/universal).
Permasalahan mengenai hak asasi, di lain pihak, terletak pada
mekanisme aplikatif konsep yang telah disepakati bersama. Dalam the four
freedoms salah satunya menyebutkan hak bebas dari kemelaratan (freedom
from want). Pernyataan ini menunjukkan bahwa hak politik saja tidak
mencukupi pemenuhan kebutuhan manusia.93 Kesepakatan mengenai konsep-
konsep hak asasi sebagai starting point memang tidak banyak menemukan
masalah, tetapi dalam pelaksanaannya banyak menemukan hambatan, karena
terdapat perbedaan mencolok antara sifat hak - hak tradisional (berbicara dan
berkumpul, dll) dan hak - hak baru (dibidang ekonomi dan sosial) pada
masing-masing Negara.94 Dan untuk menyelesaikan permasalahan taktis-
praksis, yang juga berarti menyangkut distribusi dan retribusi, harus
mempertimbangkan isu-isu mengenai keadilan. Apa yang dimaksud keadilan?
Apa implikasinya dan bagaimana aplikasinya?
Mengenai keadilan, Plato mendefinisikan sebagai sesuatu seperti setiap
orang menerima tugasnya. Menanggapi definisi ini Julian Baggini menyatakan
luar biasa “lemah” karena tidak menjelaskan makna kalimat “menerima tugas
seseorang”.95 Karena sifatnya begitu luas maka pembatasan Plato mengenai
kata keadilan sangat rentan terhadap kritik, misalnya, apakah manusia
sepenuhnya bersifat bebas dalam menentukan tugas dan haknya, atau terdapat
struktur kekuasaan yang bertugas mengatur jalannya pembagian tugas dan hak
tiap individu?
Bersesuaian dengan pertanyaan diatas Franz Magnis Suseno membagi
keadilan menjadi dua macam yaitu keadilan individual dan keadilan sosial.
93 Miriam Budiardjo, Dasar…op.cit., hlm. 121 94 Ibid, hlm. 122-123 95 Ibid, hlm. 201
50
“keadilan individual adalah keadilan yang tergantung dari kehendak baik masing-masing individu…keadilan sosial adalah keadilan yang pelaksanaannya tergantung dari struktur-struktur kekuasaan dalam masyarakat, struktur-struktur mana terdapat dalam bidang politik, ekonomi, sosial, budaya dan ideologi. Maka pembangunan keadilan sosial berarti menciptakan struktur-struktur yang memungkinkan pelaksanaan keadilan”.96 Kali berikutnya kita dihadapkan dengan permasalahan konstruksi dan
natural. meskipun dalam debat politik kata keadilan selalu dipertahankan
namun apakah keadilan itu soal legitimasi atau alamiah melekat pada
seseorang tetap menjadi perbincangan. Dalam banyak literature yang
membahas teori keadilan, tidak ditemukan definisi baku (aksioma) dari para
filosof politik, sosial maupun ekonomi. Nampaknya untuk membahas masalah
keadilan, dalam konteks politik, tidak dapat luput dari dua kutub ekstrim “kiri
dan kanan”. Keadilan sosial menurut kaum sosialis adalah keadilan yang
didalamnya terakomodir keadilan individual. Sedangkan bagi kaum liberal
keadilan adalah pemberian kebebasan terhadap individu untuk menentukan
nasibnya sendiri (self determination).
John Rawls dan Karl Marx mungkin dua tokoh yang representative untuk
menjelaskan dua kutub yang berseberangan ini. Rawls, dalam bukunya A
Theory of Justice yang dipublikasikan pada tahun 1971, menawarkan dua
prinsip keadilan sebagai berikut :
“Prinsip pertama: setiap orang hendaknya memiliki hak setara atas kebebasan dasar terluas yang bersesuaian dengan kebebasan serupa orang lain. Prinsip kedua: ketidaksetaraan – ketidaksetaraan sosial dan ekonomi harus diatur sedemikian rupa sehingga mereka: (a) dapat diharapkan menjadi keuntungna bagi mereka yang paling tidak diuntungkan, konsisten dengan prinsip pencadangan – pencadangan yang adil, dan (b) dilekatkan pada posisi - posisi dan kedudukan – kedudukan yang terbuka bagi semua dibawah kondisi kesetaraan kesempatan yang fair.” 97
96 Franz Magnis Suseno, Kuasa dan Moral… op.cit., hlm. 50-51 97 Kutipan dua prinsip keadilan Rawls lihat Joseph Losco dan Leonard Williams (ed),
Political Theory II, loc.cit, hlm. 1045-1046. lihat juga Will Kimlicka, Pengantar Filsafat…op.cit., hlm. 72
51
Mengenai prinsip – prinsip ini Rawls mengajukan dua argumen:
pertama, menyelaraskan teorinya dengan ideologi yang berlaku dalam
keadilan distributif yaitu, persamaan kesempatan. Kedua, prinsip-prinsip
keadilan Rawls adalah hasil kontrak sosial hipotesisi.98 Penekanan Rawls
adalah pada prinsip kedua, argumen “kontrak sosial”, sebuah argumen
mengenai masyarakat pada kondisi berhak menentukan moralitas politik
secara bebas dalam posisi asali (an original position).99
Di kutub lain, Marx, memformulasikan keadilan sebagai: “dari masing –
masing menurut kemampuan, pada masing-masing menurut kebutuhannya”.
Keadilan menyangkut distribusi dan retribusi harus dilihat dalam frame
diktum singkat ini. Salah satu cara untuk merealisasikan rumusan tersebut
dibutuhkan institusi – institusi sosial yang memiliki otoritas mengatur
distribusi dan retribusi.100 Dengan demikian yang menjadikan perbedaan
mencolok antara Marx dan Rawls adalah bukan pada jangkauan kepada siapa
sumberdaya harus di berikan tetapi lebih pada bentuk yang memungkinkan
penyamarataan itu dapat diterapkan.
98 Argumentasi Rawls yang pertama diprioritaskan pada “prinsip kebebasan” dan
prioritas kedua menekankan keadilan atas efisiensi dan kesejahteraan. Joseph Losco dan Leonard Williams, Ibid, hlm. 1046. penekanan Rawls sebenarnya terletak pada prinsip kedua. Prinsip pertama hanya sebagai jembatan menuju prinsip kedua yang juga disebut sebagai prinsip perbedaan (the difference principle). Rawls pada dasarnya tidak menyetujui prinsip umum kebebasan, tetapi Rawls mendukung kebebasan-kebebasan dasar (basic liberties) yaitu standar hak-hak sipil dan politik. Will Kimlicka, Ibid, hlm. 72
99 Ibid, hlm. 77 100 Keadaan masih terdapatnya kekuasaan di dalam suatu masyarakat harus dipahami
sebagai proses menuju masyarakat ideal yang diharapkan kaum Marxis, yaitu komunis. Kondisi anarkisme kelas proletar terhadap borjuasi setelah terjadi coup de etat oleh Lenin disebut fase sosialisme.