formulasi hukum pidana dalam aspek perlindungan …
TRANSCRIPT
78
FORMULASIHUKUMPIDANADALAMASPEKPERLINDUNGANKORBAN
UJARANKEBENCIAN(HATESPEECH)SEBAGAIBENTUK
PEMBAHARUANHUKUM
“FormulationofCriminalLawinTheAspectofProtectionofVictimsofHateSpeechAsAFormofLegalRenewal”
AhmadKhairuddin
MagisterIlmuHukumProgramPascaSarjanaUniversitasNegeriGorontalo,GorontaloKorespondensi:[email protected]
InfoArtikel Abstrak
KataKunci:PerlindunganHukum;Korban;HateSpecch.CaraMengutip(APACitationStyle):Khairuddin, A. (2021).FormulasiHukumPidanaDalam AspekPerlindungan KorbanUjaran Kebencian (HateSpeech) Sebagai BentukPembaharuan Hukum.Philosophia Law Review,1(1):78-103
Tujuan Penelitian untuk mengetahui dan menganalisis tentangperlindungan hukum terhadap korban ujaran kebencian (hate speech)sebagaisalahsatuaspekyangperluuntukmendapatkanpayunghukumyang jelas dalam mengakomodir hak-hak korban khsusnya dalammemperoleh perlindungan hukum dari negara ketika terjadi tindakanujarankebencian(hatespeech)yangdilakukanolehpelaku.Penelitianinimenggunakan jenis penelitian hukum yuridis normatif yaitu penelitianyang dilakukan dengan jalan penelusuran hukum positif dan dokumenyangberkaitandenganfokusmasalahyangditelitidenganmenggunakanpendekatan Penelitian undang-undang (Statute Approach), pendekatankasus (Case Approach)dan Pendekatan Konseptual (ConceptualApproach) dengan analisis secara deskriptif. Hasil penelitian inimenunjukanbahwamasihterdapatkekosonganhukum(vacuumrechts)yang mengatur secara khusus dan tegas tentang aspek perlindunganhukum korban ujaran kebencian. Formulasi hukum yang berkaitandengan perlindungan hukum terhadap korban ujaran kebencian (hateSpeech),secaraesensialdalammenjagaeksistensisebuahnegarahukumperlu untuk melahirkan norma-norma melalui revisi Kitab Undang-Undang Hukum Pidana dan Undang-Undang Perlindungan Saksi danKorban yang harus secara eksplisit mengatur tentang perlindunganhukumbagi korbanujarankebencian, sehinggaproporsionalitas antarakedudukan pelaku dan korban dalam konteks kasus ujaran kebenciandapat terimplementasikan secara seimbang sesuai dengan nilai-nilaikeadilanyangmenjadisalahsatutujuanhukum.
79
@2021-Khairuddin,A.UnderthelicenseCCBY-SA4.0
1.Pendahuluan
SetiapwarganegaraIndonesiatanpaterkecualiberhakmendapatkanperlindugan
hukum, hal ini jelas tertuang di dalam Konstitusi Indonesia (UUD NRI Tahun 1945)
Pasal 28DAyat (1) yang secara terangmenyebutkanbahwa setiaporangberhak atas
pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan
yang samadihadapanhukum.Konsekuensi sebagainegarahukum (rechtsstaat) pada
dasarnyahukumdicitakandanbertujuanuntukmencapai kedamaianhidupbersama,
yangmerupakankeserasianantaraketertibandanketentraman,1yangmengandungarti
segala sesuatu yang berkaitan dengan kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan
bernegara diaturmenurut hukumyangberlaku,makaberdasarkanhal tersebut telah
jelasbahwasemuatindakanyangdilakukanolehmasyarakatselakuwarganegaratidak
terlepasdari instrumenthukumyangmengaturuntukmelindungioranglaindidalam
kehidupanbermasyarakat.OlehsebabitusetiapwarganegaraIndonesiaberhakuntuk
mendapatkan perlindugan hukum baik secara fisik maupun dari sisi
pisikologi/kejiwaanya. Hal ini juga sesuai dengan “tujuan negara Republik Indonesia
1SoejonoSoekanto.(2007).SosiologiSuatuPengantar.Jakarta:PT.RajaGrafindoPersada.Hlm.179
ArticleInfo
Abstract
Keywords:Legal Protection; Victim;HateSpecch.
Howtocite(APACitationStyle):Khairuddin, A. (2021).FormulasiHukumPidanaDalam AspekPerlindungan KorbanUjaran Kebencian (HateSpeech) Sebagai BentukPembaharuan Hukum.Philosophia Law Review,1(1):78-103
The purpose of the study is to find out and analyze legal protection forvictims of hate speech as one of the aspects that need to get clear legalprotection inaccommodatingtherightsofvictims,especially inobtaininglegal protection from the state when there is an act of hate speechcommitted by the perpetrator. This study uses normative juridical lawresearch, namely research conducted byway of tracing positive law anddocumentsrelatedtothefocusoftheproblemunderstudy.Thisstudyusesa legal research approach, a case approach and a Conceptual Approachwithdescriptiveanalysis.Theresultsofthisstudyindicatethatthereisstilla legal vacuum (vacuum rechts) that specifically and firmly regulatesaspects of legal protection for victims of hate speech. Legal formulationsrelated to legal protection for victims of hate speech, essentially inmaintaining theexistenceofa legal state, it isnecessary to createnormsthrough revisions to theCriminal Codeand the Lawon theProtection ofWitnesses and Victims which explicitly regulates legal protection forvictimsofhatespeech,sothattheproportionalitybetweenthepositionoftheperpetratorand thevictim in thecontextofhate speechcasescanbeimplementedinabalancedmannerinaccordancewiththevaluesofjusticewhichisoneoftheobjectivesofthelaw.
80
dimana didalamnya terdapat perlindungan bagi masyarakat dan ada hak-hak
masyarakatyangdijamindalamsetiapaspekkehidupannya.”2
Perlindungan berfungsi untuk melindungi dan mengayomi seseorang terhadap
orang yang lebih lemah.MenurutMuchsin, perlindunganhukummerupakan kegiatan
untuk melindungi individu dengan menyerasikan hubungan nilai-nilai atau kaidah-
kaidahyangmenjelmadalamsikapdantindakandalammenciptakanadanyaketertiban
dalam pergaulan hidup antar sesamamanusia.3 Perlindungan hukum dapat diartikan
segalaupayapemerintahuntukmenjaminadanyakepastianhukumuntukmemberikan
perlindungan kepadawarganya agar hak-haknya sebagai seorangwarga negara tidak
dilanggar dan dikenakan sanksi bagi seseorang yang melanggar peraturan tersebut
sesuaidenganperaturanyangberlakusertaakanmendapatkankonsekuensiterutama
padahukumpidana.
Salah satu pihak yang sangat membutuhkan perlindungan dari suatu tindak
pidanaadalahkorban tindakpidana.Korbanbegitupentinguntukdiberikanperhatian
danperlindunganyangberanjakdaripemikiranbahwakorbanmerupakanpihakyang
dirugikan ketika terjadinya suatu kejahatan, sehingga harusmendapat perhatian dan
pelayanan dalam rangkamemberikan perlindungan terhadap kepentingannya seperti
pemulihan nama baik di dalam masyarakat, keluarga, kelompok,serta keseimbangan
batindanlain-lain.
Fenomena kasus ujaran kebencian (Hate speech), banyakmerugikan dikalangan
masyarakat terutama sebagai korban (Hate speech) yang pada dasarnya merupakan
pihak yang paling menderita dalam suatu tindak pidana, karena tidak memperoleh
perlindungan sesuai yang diberikan oleh undang-undang kepada pelaku ujaran
kebencian.Secarayuridisperbuatanujarankebencian(Hatespeech)diaturdalamKitab
Undang-Undang Hukum Pidana pasal 156, pasal 157, pasal 310 dan pasal 311.
Sementaradalamundang-undangkhususperbuatanujarankebenciandiaturpadapasal
28 dan pasal 45Undang-UndangRepublik IndonesiaNomor 19 Tahun 2016Tentang
Informasi dan Transaksi Elektronik serta Undang-Undang Republik Indonesia Nomor
2M.R.U. Puluhulawa, J. Puluhulawa,M.F.H.N.Musa. (2019).KebijakanKriminal DalamPenanggulanganTindakPidanaPenganiayaanMenggunakanPanahWayerOlehAnakdiKotaGorontalo. JurnalYuridis.Vol6,No.2.Hlm.94
3 Setiono. (2004). Rule of Law (Supremasi Hukum). Surakarta. Magister Ilmu Hukum ProgramPascasarjanaUniversitasSebelasMaret.Hlm.3
81
40Tahun2008TentangPenghapusanDiskriminasiRas,danEtnisyanghalinidiangap
sebagai genus delik/dasar delik dan dikategorikan berdasarkan putusan Mahkamah
Konstitusitahun2008Nomor50/PUU-VI/2008yangdinyatakansebagaisuatubentuk
delik aduan. Beberapa pasal dalam berbagai peraturan perundang-undangan baik
dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana maupun undang-undang khusus
sebagaimana yang disebutkan di atas merupakan instrument peraturan yang
mempunyai hubungan erat dengan delik ujaran kebencian (Hate speech). Letak
hubungan beberapa aturan tersebut berada pada materi pasal pengaturan ujaran
kebencian danmedia yang digunakan dalammelakukan perbuatan ujaran kebencian
sertasasaranyangmenjaditujuandilakukannyaperbuatanujarankebencian.
Mencermati hubungan beberapa regulasi yang mengatur tentang perbuatan
ujaran kebencian (Hate speech), dalam eksistensinya hadirnya berbagai regulasi
tersebut bertujuan untuk memberikan perlindungan hukum terhadap seluruh warga
Negara, namun dalam kenyataannya berbagai regulasi tersebut belum efektif dalam
memberikan perlindungan hukum terutama terhadap kedudukan korban yang dapat
terlihat dari penyelesaian kasus ujaran kebencian (Hate speech), yang secara umum
diselesaikandenganupayapermohonanmaaf(restorativejustice).Dimanahalinitidak
terlepas dari belum lahirnya peraturan yang mengatur secara eksplisit terhadap
kedudukan korban ujaran kebencian (Hate speech), sehingga kondisi inimemperjelas
dan mempertegas bahwa dalam kasus ujaran kebencian masih terdapat kekosongan
hukum (rechts vacuum)yang mengatur secara khusus tentang perlindungan hukum
terhadapkorbanujarankebencian(hatespeech).Telahjelasbahwakedudukankorban
ujaran kebencian (hate speech) untuk memperoleh perlindungan hukum belum
terpenuhi akibat masih terdapatnya kekosongan hukum (rechts vacuum), “padahal
hadirnyahukumdalamkehidupanmasyarakatsangatdiperlukangunamengkondisikan
suasana yang harmonis dan terorganisir dalam kehidupan berbangsa dan bernegara
bagimasyarakatnya.”4
Ujarankebencian(hatespeech),dalamtrendingkasusnyamerupakansalahsalah
satukasuspidanayangsangatmenyitaperhatianseiringdenganperkembanganzaman
seperti saat ini media sosial selalumenjadi platform yang terkadang disalahgunakan
4JufryantoPuluhulawa.(2016).ReformulasiPengaturanAplikasiI-DoserSebagaiNarkotikaDigital.ArenaHukum.Vol.9.No.3.Hlm.376
82
untukmenyebarkan ujaran kebencian, sudah saatnya Indonesia berbenah dan segera
beradaptasi dengan arus global perkembangan.5 Ujaran kebencian berdampak pada
sekolompokmasyarakatsepertikelompokminoritasmasyarakatadat,suku,agama,ras
danetnisberupakekerasanverbalyangmenyerangkondisibatinkorban,sehinggahal
ini perlu adanya sebuah tindakan responsif dalam menyikapi perbuatan ujaran
kebencian(hatespeech)yangmenjadisalahsatukasusyangberpotensiterjadiseperti
yang terlihat dalam data kasus yang diperoleh dari Bagian Reserse Kriminal Umum
PoldaGorontalosejaktahun2017sampaidengantahun2020denganspesifikasikasus
masing-masing pada tahun 2017 terdiri dari delik penghinaan 9 kasus, 2018 delik
penghinaan1kasus,delikpencemarannamabaik13kasus,2019delikpenghinaan1
kasus,delikpencemarannamabaik4kasus,tahun2020delikpenghinaan2kasusdan
delikpencemarannamabaik12kasus,yangakandisajikanpadatabelsebagaiberikut:6
Tabel.1DataKasusUjaraKebencianTahun2017-2020ReserseKriminalUmumPoldaGorontalo
No Tahun Penghinaan PencemaranNamaBaik Total Bentuk
Penyelesaian
1 2017 9kasus -9
kasusRestorativeJustice
2 2018 1kasus 13kasus14
kasusRestorativeJustice
3 2019 1kasus 4kasus5
kasusRestorativeJustice
4 2020 2kasus 12kasus14
kasusRestorativeJustice
Berdasarkan data kasus ujaran kebencian (hate speech) yang terhitung sejak
tahun 2017 sampai dengan tahun 2020, teridentifikasi bahwa dari total kasus (hate
speech), masih terdapat beberapa kasus ujaran kebencian (hate speech) yang proses
hukumnyamasih berada di tahap kepolisian. Perlindungan hukum bagi korban (hate
speech)secaramenyeluruhharusdidapatkanolehkorbanhatespeechkarenabiasanya
korban hate speech hanya mendapat perlindungan berupa penerapan sanksi bagi
5FentyU.Puluhulawa,JufryantoPuluhulawa,M.GufranKatili.(2021).LegalWeakProtectionofPersonalDatainthe4.0IndustrialEra.JamburaLawReview.Vol.2.No.2.Hlm.21
6 Data Kasus Ujaran Kebencian Sejak Tahun 2017-2020 yang Diperoleh dari Bagian Reserse KriminalUmumPoldaGorontalo
83
pelakuhate speech, sedangkanmasihbanyakhal yangbelumdidapatkanolehkorban
sepertipemulihannamabaik,keseimbanganbatindanlain-lain.
Bertolak dari uraian diatas menggambarkan adanya kecenderungan tidak
dilindunginya hak-hak korban hanya tertuju kepada pelaku saja, padahal masalah
keadilandanpenghormatanmasalahhakasasimanusiatidakhanyaberlakuterhadap
pelaku saja tetapi juga terhadap korban. Hal ini pada dasarnya tidak terlepas dari
eksistensi peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang perbuatan ujaran
kebencian (Hate speech) belum sepenuhnya memberikan perlindungan hukum
terhadapkedudukankorbansehinggahak-hakkorbanyangtelahdijaminolehNegara
bagi setiap warga Negaranya untuk mendapatkan perlindungan secara utuh dalam
konteks ini belum didapatkan.Dengan demikian dalammenyikapi kasus hukum yang
berkaitan dengan Tindak Pidana Ujaran Kebencian (Hate speech), baik permasalahan
Perlindungan, pengaturan maupun penerapannya diperlukan suatu ketentuan yang
lebihrincidanjelasmengenaihaltersebut.
2. RumusanmasalahBerdasarkan Latar belakang tersebut, dapat dirumuskan rumusan masalah sebagai
berikut:
1. Bagaimana Perlindungan Hukum terhadap Korban hate speechdalam
PerspektifHukumPidana?
2. Bagaimana formulasihukumperlindungankorbandari tindakanhate speech
diProvinsiGorontalo?
3. MetodePenelitian
Penelitianiniadalahpenelitianhukumnormatifataupenelitianyuridisnormatif
(legal research). Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan
undang-undang (statute approach),pendekatan kasus (case uproach) dan pendekatan
konseptual (conceptual approach). Dimana isu permasalahan dikaji dan dianalisis
melalui instrumentperaturanperundang-undanganyangberkaitandenganisuhukum
yang hendak dipecahkan dengan melakukan analisis terhadap kasus tindak pidana
ujaran kebencian (hate speech)yang juga dilihat dari sisi formulasi hukum dalam
memberikanperlindunganterhadapkorbanujarankebencian(hatespeech).Datadalam
peneltian ini dianalisis secara deskriptif yakni dengan menggunakan pendekatan
kualitatifterhadapdatasekunderdandataprimer.
84
4. Pembahasan
4.1 PerlindunganHukumTerhadapKorbanHateSpeechDalamPerspektifHukumPidana
Jaminanperlindunganhukumterhadapsemuawarganegaramerupakansebuah
kewajiban bagi Negara. Hal ini secara tegas telah dijamin dalam konstitusi Negara
sebagaimana yang diatur pada pasal 28 (d) ayat 1 Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945 yangmenyatakan bahawa “setiap orang berhak atas
pengakuanjaminan,perlindungan,dankepastianhukumyangadilsertaperlakuanyang
sama di hadapan hukum.” Konstitusi sebagai hukum dasar Negara telahmenyatakan
secara tegas bahwa adanya keharusan bagi Negara untuk memberikan jaminan,
perlindungandankepastianhukumyangseadil-adilnyakepadasetiapwarganegaranya
termasuk bagi korban kejahatan. Perlindungan hukum terhadap korban ujaran
kebencian (hate speech) menjadi salah satu aspek penting yang perlu untuk
mendapatkanruangdalamsisihukumpidana.
Secara teoritis ujaran kebencian (hate speech) diartikan sebagai tindakan
komunikasiyangdilakukanolehsuatuindividuataukelompokdalambentukprovokasi,
hasutan,ataupunhinaankepadaindividuataukelompoklaindalamhalberbagaiaspek
sepertiras,warnakulit,gender,cacat,orientasiseksual,kewarganegaraan,agamadan
lain-lain.7
Ujaran kebencian (hate speech) merupakan sebuah fenomena permasalahan
hukum yang perlu untuk mendapatkan ruang pengaturan dalam hukum pidana
khsusnya bagi korban yang mendapatkan ujaran kebencian (hate speech). “Patut
dipahamibahwatanpakorbantidakmungkinterjadisuatukejahatan.Jadijelasbahwa,
pihak korban adalah partisipan utama memainkan peranan penting.”8 Dalam
orientasinyasaatinibagikorbanujarankebencian(hatespeech)secaraesensialbelum
mendapatkanperlindungandari sisi hukumpidanayangmerupakan instrumentyang
mengatur tentang perbuatan tindak pidana. Perlindungan hukum bagi korban yang
dimaksud dalam konteks kasus ujaran (hate speech) adalah adanya regulasi yang
7SuratEdaranKapolriNomor:SE/06/X/2015TentangPenangananUjaranKebencian(HateSpeech)Hlm.3
8 Silvony kakoe, Masruchin Ruba’I, Abdul Madjid. (2020). Perlindungan Hukum Korban PenipuanTransaksiJualBeliOnlineMelaluiGantiRugiSebagaiPidanaTambahan.JurnalLegalitas.Vol.13.No.2.Hlm.123
85
mengatursecaraeksplisittentangkedudukankorbanyangmengalamiujarankebencian
(hatespeech)terutamapadasaatmenjalaniproseshukumdiluarpersidangan.Dimana
dalamimplementasinyadapatdilihatbahwasetiapkasusujarankebencianyangterjadi
sebagianbesarhanyaselesaimelaluitahappermohonanmaaf(restorativejustice)yang
hal ini belummemenuhi aspek keseimbangan antara perbuatan yang dilakukan oleh
pelaku dengan kondisi korban yang mengalami tindakan ujaran (hate speech) yang
akibatnyalebihmengarahpadakondisibatinkorban.Dengandemikiandalamkonteks
ini prinsip keadilan yang menjadi salah satu tujuan hukum belum terpenuhi dengan
baik.
PenghinaandalamKitabUndang-UndangHukumPidanadiaturpadapasal310
sampaidenganpasal323. Jikadilihatdari jenisdeliknyamakaperbuatanpenghinaan
merupakan salah satu jenis delik yang masuk dalam jenis delik aduan. Artinya
perbuatan penghinaan akan menjadi sebuah delik apabila dalam hal ini terdapat
pengaduanolehkorbankepadapihakyangberwajibatasperbuatanpenghinaanyang
telahdilakukan.
Perlindungan hukum terhadap korban ujaran kebencian (hate speech)
merupakansalahsatuaspekyangperluuntukmendapatkanpayunghukumyangjelas
sertadapatmengakomodirhak-hakkorbankhsusnyadalammemperolehperlindungan
dariNegaraketikamendapatkantindakanujarankebencianyangdilakukanolehpelaku
khsusnya ketikamenjalani proses hukum di luar persidangan. Sebab saat ini korban
ujaran kebencian (hate speech)belummendapatkan perlindungan hukum akibat dari
adanyakeksosonganhukum(vacuumrechts)dalamkontekskasusujarankebencian.
Mengulastentangperlindunganhukumterhadapkorbanujarankebencian(hate
speech)pada dasarnya tidak terlepas dari kerangka hukum yangmenjadi instrument
perlindungan hukum terhadap korban ujaran kebencian. Kerangka hukum yang
dimaksud dalam konteks ini adalah sejumlah peraturan perundang-undangan yang
memiliki keterkaitan antara satu dengan lainnya yang menjadi pijakan dalam
menyelesaikan setiap tahapan proses hukum dalam konteks perbuatan ujaran
kebencian (hate speech). Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana yang
merupakansumberhukumformilhukumpidanahanya terdapatbeberapapasalyang
mencerminkanperlindunganhukumterhadapkorban.Pasal-pasaltersebutanataralain
86
Pasal80,Pasal108,Pasal133,Pasal134,Pasal160,Pasal98Ayat1,Pasal99Ayat1,2,
3,Pasal100Ayat1,2DanPasal101KitabUndang-UndangHukumAcaraPidana.
Minimnya pasal-pasal dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana yang
memberikanperlindunganhukumterhadapkorbansebagaimanayangtelahdisebutkan
diatas,memberikangambaranbahwaperlindunganhukumtersebutbelummencakup
kedudukan perlindungan hukum terhadap korban ujaran kebencian (hate speech)
secarakeseluruhanterutamaketikamasihberadadi luarprosespersidangan.Dengan
demikianterhadaptindakpidanaujarankebencian(hatespeech)hinggasaatinibelum
terdapatnormayangmengatur secara spesifik terhadapkedudukanujarankebencian
(hate speech), sehingga dalam hal ini masih terdapat kekosongan hukum (vacuum
rechts).
Aspekperlindunganhukumterhadapkorbantindakpidanasecaraumumberada
dalamcakupanpengaturantentangperlindungansaksidankorbanyangsecarayuridis
diatur melalui Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 2014 Tentang
Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 Tentang Perlindungan Saksi
DanKorban.
Berdasarkan ketentuan umum Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 31
Tahun2014TentangPerubahanAtasUndang-UndangNomor13Tahun2006Tentang
PerlindunganSaksiDanKorbantelahdiaturbatasanpengertianyangtercantumdalam
undang-undangtersebutsebagaimanayangdiaturdalamBabIKetentuanUmumpasal
1huruf(b)yangmenyebutkanbahwayangdimaksuddengan“korbanadalahseseorang
yang mengalami penderitaan fisik, mental, dan/atau kerugian ekonomi yang
diakibatkanolehsuatutindakpidana.
Konsep perlindungan hukum diberikan kepada subjek hukum dalam bentuk
instrumenbaikpreventifmaupunrepresif,baiklisanmaupuntertulis.Dengankatalain
dapat dikatakanbahwaperlindunganhukum sebagai gambaran tersendiri dari fungsi
hukum itu sendiri, yang mempunyai konsep bahwa hukum memberikan keadilan,
ketertiban, kepastian, kegunaan dan ketentraman.9Dalam menyelenggarakan dan
memberikanperlindunganhukumdiperlukansebuahsaranayangmenjadimediadalam
9FenceM.WantudanMohamadTaufikZulfikarSarson.(2020).LegalProtectionofWomenasVictimofDomesticViolence.IndonesianJournalofAdvocacyandLegalServices.Vol.1.No.2.Hlm.6
87
memberikanperlindunganhukum. Sebuah tempat atauwadahdalampelaksanaannya
sering disebut dengan sarana perlindungan hukum, sarana perlindungan hukum
dibedakanmenjadi dua jenis yaitu sarana perlindungan hukum secara preventif dan
saranaperlindunganhukumsecararepresif.10
Secaraumumperlindunganhukumbagikorbantindakpidanadalamsisihukum
pidana terbagi atas perlindungan secara fisik dan perlindungan secara psiskis, yang
keduanyawajibuntukmendapatkanperlindungandari sisihukumpidanabaikdalam
proses persidanganmaupun di luar proses persidangan. Perbuatan ujaran kebencian
(hatespeech)berupapenghinaanmerupakansebuahperbuatanpidanayangakibatnya
lebih dirasakan oleh batin korban, sehingga kerugian yang dialami oleh korban pun
adalahkerugiansecarapsikis.
Aspek perlindungan hukum terhadap korban ujaran kebencian (hate speech),
khsusnya di luar persidangan dari sisi yuridis hal ini belum terdapat regulasi yang
mengatur baik secara umum maupun secara khsusus. Dengan demikian aspek
perlindungan hukum terhadap korban ujaran kebencian (hate speech) secara yuridis
masihterdapatkekosonganhukum(vacuumrechts)terutamaperlindunganhukumbagi
korban ujaran kebencian (hate speech) dalam menjalani proses hukum di luar
persidangan.
Lahirnya Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 2014 Tentang
Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 Tentang Perlindungan Saksi
Dan Korban secara substantive undang-undang ini tidak mencakup perlindungan
hukum terhadap saksi dan korban dalam semua jenis tindak pidana. Sebab secara
historis undang-undang perlindungan saksi dan korban lahir dengan tujuan untuk
memberikanperlindunganhukumterhadapsaksidankorbandalamkontekskejahatan
transnasionaldengantujuanagarsaksi,korbansertaseleuruhaparathukumyangikut
sertadalamprosespenyelesaianhukumtidakmendapatkan tekanandaripihakmana
pun.
Maksud perlindungan hukum terhadap saksi dan korban menurut Undang-
UndangRepublik IndonesiaNomor31Tahun2014TentangPerubahanAtasUndang-
Undang Republik Indonesia Nomor 13 Tahun 2006 Tentang Perlindungan Saksi Dan
10Ibid.Hlm.6
88
Korban sebagaimana yang diatur dalam pasal 4 undang-undang tersebut yaitu
berkaitandenganruanglingkupdanesensiperlindunganhukumyangdiberikankepada
saksidankorbankhususnyadalampersidangan,sehinggaperbuatanujarankebencian
(hate speech)yangdilakukandanmasihberadadi luarpersidanganPengadilan, pada
dasarnyasebagianbesarkasushanyaselesaimelaluiupayapermohonanmaaf(restorive
justice) yang dalam hal ini belum menggambarkan keseimbangan kedudukan
perlindunganhukumterhadapkorbanyangmengalamikerugianakibatadanyaujaran
kebencian (hate speech).Dengandemikianuntukmeniyikapihal inipentingnyauntuk
mengakomodir perlindunganhukum terhadapkorbanujaran kebencian (hate speech)
khususnyadiluarpersidanganmelaluipenuangannorma-normakedalamrevisiKitab
Undang-UndangHukumPidanayangbarudalaBabtersendiri.
Upaya untuk segera mencantumkan norma yang mengatur tentang materi
perlindungan hukum terhadap korban ujaran kebencian (hate speech) tidak terlepas
urgensi aspek perlindungan hukum bagi korban khususnya di luar persidangan
merupakan bagian dari hak-hak warga Negara yang wajib dilindungi oleh Negara
denganmelihatindikatorkasusujarankebencian(hatespeech)yangmarakterjadi.Hal
ini dapat dilihat dari sejumlah kasus penghinaan yang merupakan salah satu jenis
diantara beberapa jenis perbuatan ujaran kebencian sebagaimana yang ditegaskan
dalam Surat Edaran Kapolri Nomor: SE/06/X/2015 Tentang Penanganan Ujaran
kebencian (hate speech) khsususnya di wilayah Provinsi Gorontalo berada dalam
kategori yang cukup banyak, sehingga penting untuk segera memberikan payung
hukum terhadap aspek perlindungan hukum bagi korban ujaran kebencian (hate
speech).
Melihat kenyataan yang ada, bahwa sebagian kasus ujaran kebecian (hate
speech) seperti halnya penghinaan dan pencemaran nama baik yang hanya selesai
melaluiupayapermohonanmaaf (restorative justice)menggambarkanadanyaketidak
seimbangankedudukanpelakudanpertanggungjawabanpidananyadengankedudukan
korban yang mengalami kerugian psikis akibat perbuatan ujaran kebencian (hate
speech)berupapenghinaanataupencemarannamabaikyangdilakukanolehpelaku.
Kondisi ini sangat kontra dengan teori perlindungan hukum yakni aliran
neoklasik yang memandang Negara sangat manusiawi dan menggambarkan
perimbangan kepentingan secara proporsional. Karakteristiknya berupa modifikasi
89
doktrin kebebasan berkehendak atas dasar usia, patologi dan lingkungan, daad-
daderstrafrecht,menggalakkanexpert testimony/kesaksianahli,pengembanganhal-hal
yang meringankan dan memberatkan pemidanaan, pengembangan twintrack-system,
perpaduan antara justice model dari perlindungan terhadap hak-hak terdakwa-
terpidana termasuk pengembangan non-institutional treatment, de-kriminalisasi dan
depenalisasi.11
Mencermati aliran neoklasik yang mengacu kepada daad-daderstrafrecht atau
modelkeseimbangankepentinganmakahalinisangattepatdijadikansebagailandasan
teoritisdalammembahasaspekperlindunganhukumterhadapujarankebencian(hate
speech)khususnyadiluarpersidanganyangsaatinimasihterdapatkekosonganhukum
(vacuum rechts) terutama terhadap kedudukan korban yang mengalami tindakan-
tindakanujarankebencian sebagaimanayangdisebutkandalamSuratEdaranKapolri
Nomor :SE/06/X/2015TentangPenangananUjarankebencian (hate speech).Dimana
dalam implementasinya, penyelesaian kasus ujaran kebencian (hate speech) sebagian
besarhanyaselesaimelaluiupayapermohonanmaaf (restoraitive justice)yanghal ini
dipandang tidak memberikan efek jera bagi pelaku ujaran kebencian, sehingga
keseimbangan yang dimaksud dalam aliran neoklasik tidak terimpelementasikan.
Ujaran kebencian dalam beberapa waktu terakhir terus terjadi di wilayah Provinsi
Gorontalo,hal inidapatterlihatdaridatakasuspenghinaanyangdiperolehdariPolda
GorontaloBagianReserseKriminalUmumsepertiyangadadalamtebelberikut:
Tabel.2DataKasusPenghinaanTahun2018S/DTahun2020PoldadanPolresJajaranProvinsiGorontaloWilayahHukumPoldaGorontalo
No Institusi Tahun JumlahKasusPenghinaan
JumlahKasusSelesai
1 PoldaGorontalo2018 14 72019 5 82020 17 11
2 PolresGorontaloKota2018 32 362019 16 222020 9 6
3 PolresKab.Gorontalo2018 80 372019 49 432020 19 25
4 PolresKab.Boalemo 2018 17 13
11 C. Maya Indah S. Perlindungan Korban Suatu Perspektif Viktimologi Dan Kriminologi. Edisi kedua,Cetakanke2.Jakarta:PrenadamediaGroup.Hlm.132
90
2019 18 132020 18 13
5 PolresKab.Pohuwato2018 20 192019 17 22020 16 7
6
PolresKab.BoneBolango
2018 41 112019 23 202020 21 18
Berdasarkantabelkasuspenghinaantersebutdiatas,yangterhitungsejaktahun
2018 sampai dengan tahun 2020 yang terdapat dalam wailayah hukum Polda dan
Polres Jajaran Provinsi Gorontalo Wilayah Hukum Polda Gorontalo dengan jumlah
keseluruhan kasus masing-masing pada tahun 2018 berjumlah 204 kasus dengan
penyelesaian berjumlah 123 kasus, tahun 2019 berjumlah 128 kasus dengan
penyelesaian berjumlah 108 kasus, tahun 2020 berjumlah 100 kasus dengan
penyelesaianberjumlah80kasus.Berdasarkan jumlahkasuspenghinaanyang terjadi
dalamsatutahunberkisarantara100sampaidengan200kasusdalamsetiaptahunnya,
makadalamhalinipentinguntuksegeramelahirkannormayangmengatursecarategas
tentang aspek perlindungan hukum terhadap korban ujaran kebencian (hate speech).
Sebabterhadapaspekperlindunganhukumbagikorbanujarankebencian(hatespeech)
dalameksistensinyamasihterdapatkekosonganhukum.
Keluarnya Surat Edaran Kapolri Nomor : SE/06/X/2015 Tentang Penanganan
Ujarankebencian(hatespeech)dapatmenjadibuktikongritbahwasaat iniperbuatan
atau tindakan ujaran kebencian atau (hate speech) yang terjadi dimasyarakat sudah
menjadi salah satu trending kasus yang dinilai urgen untuk segera mendapatkan
pengaturansecarakhususdalamBabtersendirikedalamrevisiKitabUndang-Undang
HukumPidanayangbaru.Halinitidakterlepasdariperbuatanujarankebencian(hate
speech)yangdapatmenimbulkanbeberapaperistiwabesarberupaterjadinyatindakan
merendahkanharkat danmartabatmanusia dan kemanusiaan,mendorong terjadinya
kebenciankolektif,pengucilan,diskriminasi,kekerasandanbahkanpada tingkatyang
palingmengerikanpembantaianetnisataugenosidaterhadapkelompokyangmenjadi
sasaran ujaran kebencian serta hal-hal lain yang berkaitan dengan perbuatan ujaran
91
kebencian sebagaimana yang ditegaskan dalam Surat Edaran Kapolri Nomor :
SE/06/X/2015TentangPenangananUjarankebencian(hatespeech).12
Selainperaturan-peraturanyangmengaturtentangtindakpidanaterkaitdengan
ujaran kebencian dalam Surat Edaran Kapolri Nomor: SE/06/X/2015, terdapat pula
beberapa peraturan yang tidak tercantum dalam surat edaran tersebut. Diantaranya
Pasal156aKUHP,Pasal45AUUNo.19Tahun2016tentangPerubahanAtasUUNo.11
Tahun2008tentangInformasidanTransaksiElektronik,danPasal4UUNo.40Tahun
2008tentangPenghapusanDiskriminasiRasdanEtnis.
UjarankebenciandapatberupatindakpidanayangdiaturdalamKitabUndang-
Undang Hukum Pidana (KUHP) dan ketentuan pidana lainnya di luar KUHP, yang
berbentukantaralain:
a.Penghinaan;
b.Pencemarannamabaik;
c.Penistaan;
d.Perbuatantidakmenyenangkan;
e.Memprovokasi;
f. Menghasut;
g. Penyebaran berita bohong; dan semua tindakan di atas memiliki tujuan atau bisa
berdampak pada tindak diskriminasi, kekerasan, penghilangan nyawa, dan/atau
konfliksosial.
Berbagai regulasi sebagaimana yang disebutkan di atas, baik dalam Kitab
Undang-UndangHukumPidanamaupunperaturanperundang-undangan lainnyatelah
terdapat norma-norma atau pasal-pasal yang mengatur tentang perbuatan ujaran
kebencian (hate speech), namun pasal-pasal tersebut lebih menekankan kepada
kedudukan pelaku sehingga tidak jarang kedudukan korban dalam hal ini untuk
mendapatkanperlindunganhukummasihterabaikankhsusnyadalammenjalaniproses
hukum di luar proses perseidangan. Artinya dalam konteks ini perlunya untuk
merepresentasikan perlindungan hukum terhadap korban ujaran kebencian (hate
speech)secara proporsional antara perbuatan pelaku dengan sanksi pidana yang
diterimabaikdalamprosespersidanganmaupundi luarprosespersidangan,sehingga
perlindunganhukum terhadapkorbanujarankebencianmenjadi terakomodirdengan
12SuratEdaranKapolriNomor:SE/06/X/2015TentangPenangananUjaranKebencian(HateSpeech)
92
baik sehingga nilai-naila keadilan yang menjadi tujuan utama penagakan hukum
menjaditerpenuhi.
4.2 Formulasi Hukum Perlindungan Korban Dari Tindakan Hate Speech di
ProvinsiGorontalo
Mengulas bentuk formulasi hukum yang akan dijadikan sebagai sarana dalam
memberikan perlindungan hukum terhadap korban yangmengalami tindakan ujaran
kebencian (hate speech) khsususnya di Provinsi Gorontalo, pada hakikatnya tidak
terlepas dari sejumlah peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan
pengaturan perbuatan ujaran kebecian (hate speech), namun dalam konteks ini yang
menjadi sasaran fokus lahirnya sebuah fomulasi hukumberkaitandengankedudukan
perlindungan korban ujaran kebencian (hate speech) yang mendapatkan tindakan
ujarankebenciansepertipenghinaannamunbagipelakunyatidakmendapatkansanksi
yangsepadandenganperbuatannyaakibatadanyakekosonganhukum(vacuumrechts)
terhadapkedudukankorbanujarankebencian.
Kekosongan hukum (vacuum rechts) terhadap norma yang mengatur korban
ujarankebencian(hatespeech)dalamsebuahNegarahukumsepertihalnyaIndonesia,
makasecaraesensialdalamhaliniuntukmenjagaeksistensikeberadaansebuahNegara
hukum maka perlu untuk melahirkan norma-norma melalui revisi Kitab Undang-
Undang Hukum Pidana yang secara eksplisit mengatur tentang perlindungan hukum
bagi korban ujaran kebencian baik dalamproses persidanganmaupun di luar proses
persidangan. Upaya untuk melahirkan norma-norma melalui revisi Kitab Undang-
UndangHukumPidanayangmengatursecarakhusustentangperlindunganhukumbagi
korban ujaran kebencian (hate speech) pada hakikatnya tidak terlepas dari urgensi
permasalahan/kasus ujaran kebencian seperti halnya tindakan penghinaan dalam
proses penyelesaian hukum yang secara umum hanya berakhir dengan permohonan
maaf(restorativejustice)ditahapkepolisian,yanghalinidinilaibelummencerminkan
keseimbanganantarakedudukanpelakuyangmelakukanperbuatanujarankebencian
dankorbanyangmerasakanperbuatanujarankebencian.Sehingganilai-nilaikeadilan
dalamkonteksiniyangmenjadisalahsatutujuanhukumbelumdirepsentasikansesuai
denganesensikeadilan.
93
Pentingnya untuk melahirkan formulasi hukum perlindungan korban dari
tindakanujarankebencian(hatespeech)sepertihalnyapenghinaanpadadasarnyatidak
terlepas dari implikasi yang ditimbulkan oleh perbuatan ujaran kebencian yang
dilakukan oleh pelaku. Dimana perbuatan ujaran kebencian sebagaimana yang
ditegaskandalamSurat EdaranKapolriNomor SE/6/X/2015TentangPenangulangan
UjaranKebencian (hate speech)angka 2 huruf (f), perbuatan ujaran kebncian teridiri
dari tindakan penghinaan, pencemaran nama baik, penistaan, perbuatan tidak
menyenangkan,memprovokasi,menghasutdanmenyebarkanberitabohong13
Tindakanujaran kebencian (hate speech)merupakan sebuah fenomenahukum
yangterjadidimasyarakatdanhendaknyasegerauntukmendapatkanpayunghukum
khsususnya bagi korban agar benar-benar mendapatkan perlindungan hukum dari
tindakan ujaran kebencian, sebab hal ini bisa berdampak pada tindak dikriminasi,
kekerasan, penghilangan nyawa, dan/atau konflik sosial yang bertujuan untuk
menghasutdanmenyulutkebencianterhadapindividudan/ataukelompokmasyarakat
dalam berbagai komunitas yang dibedakan dari aspeksuku,aliran keagamaan,
keyakinan/kepercayaan, ras, antar golongan, warna kulit, etnis, gender, kaum difabel
(cacat)danorientasiseksual.14
Perbuatanujarankebencian (hate speech)sebagaimanayangdisebtukandalam
SuratEdaranKapolriNomorSE/6/X/2015TentangPenangulanganUjaranKebencian
(hate speech) angka 2 huruf (f) yang ditujukan untuk menghasut dan menyulut
kebencian terhadap individu dan/atau kelompok masyarakat dalam berbagai
komunitassepertisuku,alirankeagamaan,keyakinan/kepercayaan,ras,antargolongan,
warnakulit,etnis,gender,kaumdifabel(cacat)danorientasiseksualsangatberpeluang
menjadipenyebabterjadinyaperbuatan/tindakandikriminasi,kekerasan,penghilangan
nyawa,dan/ataukonfliksosialyangimplikasinyaakandirasakanpulaolehmasyarakat
secaraluasyangdapatmenimbulkankegaduhandankekacauansehinggamenimbulkan
perpecahan yang berdampak pada terganggunya keutuhan dan kedaulatan Negara
Keasatuan Republik Indonesia.Sehingga berdasarkan hal ini, maka pentingnya untuk
segera melahirkan norma-norma yang mengatur secara khsusus dan tegas tentang
materi perlindungan korban dari tindakan ujaran kebencian (hate speech) yang
13 Badrodin Haiti, SuratEdaran Kapolri No.SE/6/X/2015 Penangulangan Ujaran Kebencian (Hatespeech)angka2huruff.
14SuratEdaranKapolriNo.SE/6/X/2015angka2hurufg
94
orientasinya lebih dirsakan oleh batin korban. Perbuatan ujaran kebencian (hate
speech)yangdimaksuddalamhal ini yangdapatmengarahpadaperbuatan/tindakan
dikriminasi,kekerasan,penghilangannyawa,dan/ataukonfliksosialadalahperbuatan
berupa tindakan penghinaan, pencemaran nama baik, penistaan, perbuatan tidak
menyenangkan, memprovokasi, menghasut dan menyebarkan berita bohong yang
ditujukankepadaindividuataukelompoktertentu.
Ujaran kebencian (hate speech)merupakan perbuatanmenyerang kehormatan
ataunamabaikseseorangataukelompoktertentusehingganamabaikseseorangatau
kelompok tersebut tercemar atau rusak. Dalam menentukan adanya
penghinaan/pencemarannamabaikatauujarankebencianmenjadibagianyangsangat
penting untuk dipahami. Tercemarnya atau rusaknya nama baik seseorang secara
hakikihanyadapatdinilaiolehkorbanyangbersangkutan.Dengankatalain,korbanlah
yang dapat menilai secara subjektif tentang ujaran kebencian yang ia rasa telah
menyerangkehormatanreputasataunamabaiknya.
Membahas tentang formulasi hukum yang berkaitan dengan perlindungan
hukum terhadap korban tindakan ujaran kebencian (hate Speech), pada hakikatnya
tidak terlepas dari kebijakan hukum pidana (penal policy) dalam menanggulangi
kejahatan.Tujuandari formulasihukumadalahefektivitashukumdalamrangkauntuk
mencapai tujuan hukum.Pada hakikatnya tujuan kaidah hukum adalah untuk
menciptakan kedamaian hidup antar pribadi.15Ada kecenderungan dalammasyarakat
untukmematuhi hukum karena takut terkena sanksi negatif apabila hukum tersebut
dilanggar.Oleh karena itu dalam masyarakat muncul adagium bahwa hukum yang
mempunyai sanksi yang berat yang dapatmengendalikan ketertiban dimasyarakat.16
Dalamkaidahhukumsanksisebenarnyahanyasebagaiinstrumentterapiyangpenting
agar hukum itu efektif harus memperhatikan sistem keberlakuan normahukum.
Maksudnya suatu aturan berlaku karena tiga dasar utama yaitu aspek yuridis,
sosilologisdanfilosofosis.17
15 John Kenedi. (2020). Kebijakan Hukum Pidana (Penal Policy) Dalam Sistem Penegakan Hukum di
Indonesia.Yogyakarta:PustakaPelajar.Hlm.19516Ibid.Hlm.19517Ibid.Hlm.195
95
Pertama, terkait tentang landasan yuridis terdapat tiga pandangan teori yang
diutarakanolehparaahlidiantaranya:18
a. Hans Kelsen menjelaskan bahwa norma hukum dikatakan berlaku secara
yuridis, apabila norma itu mempunyai landasan/gantungan norma yang
palingtinggi.
b. W.Zevenbergenmenjelaskanbahwanormahukumdikatakanberlakusecara
yuridis,apabilanormaitudibuatberdasarkanprosedur(tatacara)yangtelah
ditentukan(EksekutifbersamaLegislatif).
c. Logemanmenjelaskanbahwanormahukumdikatakanberlakusecarayuridis,
apabila pada norma itu terdapat hubungan sebab akibat (kondisi
konsekuensi).
Kedua, terkait tentang landasan sosiologis. Dalam hal ini terdapat dua
pandangansebagaiberikut:
a. Pengakuan (anerkennus theorie) yang menyebutkan bahwa norma hukum
dikatakan berlaku secara sosiologis apabila norma hukum diakui oleh
masyarakat.
b. Kekuatan(macht theorie) yang mejelaskan bahwa norma hukum dikatakan
berlaku secara sosiologis, apabila norma hukum itu dapat dipaksakan oleh
penguasawalapunsesungguhnyamasyarakatmenolak.
Ketiga,tentanglandasanfilosofis.Dalamhalinidikatakanbahwanormahukum
berlakusecarafilososif,apabilanormahukumitusesuaidantidakbertentangandengan
nilai-nilaiyanghidupdimasyarakat.Berdasarkantigaaspekyangmenjadidasarutama
berlakunyasebuahinstrumenthukumyangterdiridariaspekyuridis,aspeksosilologis
dan aspek filosofis maka secara substansi, formulasi hukum yang berkaitan dengan
perlindungan hukum terhadap korban ujaran kebencian(hate speech)secara esensial
juga tidak terlepas dari tiga aspek dasar berlakunya sebuah instrument hukum
(peraturan perundang-undangan) tersebut. Dalam konteks tindak pidana ujaran
kebencian (hate speech), upaya untuk melahirkan formulasi hukum terhadap
perlindungan korban, secara ideal hal ini harus mencakup aspek yuridis, aspek
sosiologisdanaspekfilosofisyangmenjadisyaratmutlaklahirnyanorma-normadalam
peraturanperundang-undangan.
18Ibid.Hlm.196-197
96
Secara yuridis pentingnya untuk melahirkan formulasi hukum yang berkaitan
dengan materi pengaturan perlindungan hukum terhadap korban ujaran kebencian
(hate speech) berpijak dari kenyataan bahwa dalam konteks ini masih terdapat
ketiadaan norma atau kekosongan hukum (vacuum rechts) yang secara khusus dan
eksplisit mengatur tentang perlindungan hukum terhadap korban ujaran kebencian
(hatespeech).
Hadirnya Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 2014 Tentang
Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 Tentang Perlindungan Saksi
DanKorbansecarasubstansiundang-undanginihanyamengatursecarakhusustentang
materiperlindungansaksidankorbandalamkontekskejahatanyangtermasukdalam
kejahatan transnasional. Hal ini dapat dilihat dari uraian konsideran Undang-Undang
Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 2014 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang
Nomor 13 Tahun 2006 Tentang Perlindungan Saksi Dan Korban dalam perihal
menimbanghuruf(a)danhuruf(b).
Kekhususan perlindungan hukum terhadap saksi dan korban dalam Undang-
UndangRepublik IndonesiaNomor31Tahun2014TentangPerubahanAtasUndang-
UndangNomor13Tahun2006TentangPerlindungan SaksiDanKorban juga terlihat
pada pasal 6 dan pasal 7 undang-undang perlindungan saksi dan korban, dengan
demikian dari sisi yuridis dapat dipastikan bahwa perlindungan hukum terhadap
korban ujaran kebencian (hate speech) belum terakomodir dalam Undang-Undang
Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 2014 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang
Nomor13Tahun2006TentangPerlindunganSaksiDanKorban,sehinggadalamhalini
perluadanyapenuanganaspekperlindunganhukumterhadapkorbanujarankebencian
(hatespeech)kedalamrevisiKitabUndang-UndangHukumPidanayangbaru.
Aspek sosiologis yang menjadi bagian penting dari perlindungan hukum
terhadapkorbanujarankebencian(hatespeech)yakniberkaitandenganruanglingkup
sosialsecara luasyang teridiridari individu,sekumpulanmasyarakat,golongan,suku,
aliran keagamaan, keyakinan/kepercayaan, ras, antar golongan, warna kulit, etnis,
gender, kaum difabel (cacat) dan perkumpulan lainnya yangmenjadi sasaran korban
terhadap ujaran kebencian (hate speech).Secara sosiologis perlindungan hukum
terhadap korban ujaran kebencian (hate speech) bertujuan untuk memberikan rasa
amandantentrambagisetiapwargaNegarabaiksecara individuataukelompokyang
97
menjadisasaransubjekujarankebencian(hatespeech).Disampingitu,secarasosiologis
pentingnya untuk melahirkan formulasi perlindungan hukum terhadap ujaran
kebencian (hate speech)jugabertujuan untuk memberikan nilai-nilai edukasi kepada
masyarakat agar lebih beretika dan tetapmenghargai sesama sebagaimakhluk sosial
yangmemilikikedudukandanhakyangsamadihadapanhukum.
Salah satu hal yang juga menjadi aspek penting dalam melahirkan formulasi
perlindungan hukum terhadap ujaran kebencian (hate speech)adalah aspek filosofis.
Secarafilosofispentingnyauntukmelahirkanformulasiperlindunganhukumterhadap
ujarankebencian(hatespeech)padadasarnyabertujuanuntukmemberikanpencegahan
(preventif)kepadasetiap individumaupunkelompokagartidakmelakukanperbuatan-
perbuatan ujaran kebencian (hate speech)yang ditujukan kepada individu atau
kelompok dengan tujuan untuk melakukan penghinaan, pencemaran nama baik,
penistaan, perbuatan tidak menyenangkan, memprovokasi, menghasut dan
menyebarkan berita bohongyang dapat menimbulkan kerugian bagi korban secara
psikologi. Dengan demikian aspek filosofis dalam konteks memberikan perlindungan
terhadapkorbanujarankebencian(hatespeech)menjadisalahsatuaspekyangsangat
menentukandalammelahirkanformulasiperlindunganhukumterhadapkorbanujaran
kebencian(hatespeech).
Berdasarkan hal tersebut dapat dikatakan bahwa perumusan/formulasi
pembuatanperundang-undanganidentikdengankebijakanhukumdalamhalinihukum
pidana yangmerupakan bagian dari politik kriminal yangmerupakan upaya rasional
untukmencapaikesejahteraansosialdanperlindungankepadamasyarakat.Kebijakan
formulasimerupakankebijakan legislasi yangmengkaji,merencanakandanmembuat
produk-produk peraturan perundang-undangan melalui proses penyusunan sehingga
melahirkan kebijakan hukum yang diterima oleh masyarakat. Peraturan perundang-
undangan melalui proses penyusunan sehingga melahirkan kebijakan hukum yang
diterima oleh masyarakat. Peraturan perundang-undangan yang berlaku mempunyai
fungsi yaitu fungsi yang dapat mengekspresikan nilai-nilai dan fungsi instrument.19
Berdasarkan kedua fungsi tersebut, kebijakan formulasi hukum pidana dapat
diimplementasikan melalui beberapa tahapan operasional/fungsionalisasi hukum
pidanayangterdiridari:
19Ibid.Hlm.182
98
a. Kebijakanformulasi/legislative,yaituperumusan/penyusunanhukumpidana.
b. Kebijakanaplikatif/yudikatif,yaitupenerapanhukumpidana.
c. Kebijakanadministrasi/eksekutif,yaitutahappelaksanaanhukumpidana.
Berangkat dari hal tersebut, bahwa kebijakan formulasi/legislatif merupakan
salahsatudaritigarangkaianproseskebijakanhukumpidanasebagaimanayangtelah
dijelaskan sebelumnya dan menjadi substansi/pokok dalam membahas kebijkan
formulasi.20 Politik kriminal pada hakikatnya juga merupakan bagian integral dari
politik sosial, dimana upaya penanggulangan kejahatan perlu ditempuh dengan
pendekatankebijakandalamarti,pertamaadaketerpaduan(integralitas)antarapolitik
criminal dan politik sosial, kedua ada keterpaduan (integralitas)anatar upaya
penanggulangankejahatandenganpenaldannonpenal.21prof.Muladimenanggulangi
kejahatan secara operasional dapat dilakukan baik melalui sarana penal mapun non
penal.Kedua sarana ini merupakan suatu pasangan yang satu sama lain tidak dapat
dipisahkan. Bahkan keduanya dapat dikatakan saling melengkapi dalam usaha
penanggulangankejahatandimasyarakat.22
Secara teoritis sebagaimana penjelasan yang telah diuraikan oleh John Kenedi
dalam bukunya yang berjudul Kebijakan Hukum Pidana (Penal Policy) Dalam Sistem
Penegakan Hukum Di Indonesia bahwa dalammenentukan arah (stressing) kebijakan
formulasi hukum pidana yang akan diaplikasikan ke dalam peraturan perundang-
undanganharusdapatmengekspresikannilai-nilaidan fungsi instrumentyang terdiri
dari kebijakan formulasi/legislatif, kebijakan aplikatif/yudikatif dan kebijakan
administrasi/eksekutif yang menjadi unsur-unsur penting dalam menentukan
komposisi dan substansi materi yang hendak akan dituangkan ke dalam norma
peraturan perundang-undangan. Dengan demikian untuk melahirkan formulasi
perlindunganhukum terhadapkorbanujarankebencian (penal policy) idealnyaharus
memenuhitigaunsuryaknikebijakanformulasi/legislatif,kebijakanaplikatif/yudikatif
dankebijakanadministrasi/eksekutifyangmerupakanhasilekspresidarinilai-nilaidan
fungsiinstrument.
Secara esensial perlindungan hukum terhadap korban tindak pidana sangat
berkaitan erat dengan aspek penegakan hukum. Dimana proses penegakan hukum
20Ibid.Hlm.18321Ibid.Hlm.20222Ibid.Hlm.202
99
merupakan representasi dari perlindungan hukum bagi korban tindak pidana yang
telahmengalamikerugianbaik secaramaterilmaupun imateril.Dalamhukumpidana
penegakanhukumterbagiataspenegakanhukumpidanasecarapreventif(pencegahan)
dan penegakan hukum pidana secara represif (penanggulangan). Kedua jenis
penegakanhukuminimerupakanduametodepenegakanhukumpidanayangmenjadi
domaindalamprosespenegakanhukumpidana.
Penegakan hukum pidana merupakan bagian dari kebijakan kriminal sebagai
salahsatukeseluruhankebijakanpenaggulangankejahatanmemangpenegakanhukum
pidanabukanmerupakansatu-satunyatumpahanharapanuntukdapatmenyelesaikan
atau menanggulangi kejahatan itu secara tuntas akan tetapi kehadirannya sangat
diharapkandiNegaraIndonesiayangberdasarkanatashukumgunamenegkkanhukum
pidanadiIndonesia.23Dalammenerapkanpenegakanhukumyangartiluasdiperlukan
fungsi penegakan hukum apabila ditinjau dari pendekatan tata tertib sosial (social
order)adalah:24
a. Penegakanhukumsecaraaktual(theactualenforcementlaw)meliputitindakan
penyelidikan (investigation), penangkapan (arrest), penahnan (detention),
persidangan pengadilan (trial)dan pemidanaan (punishment)kemudian
pemenjaraangunamemperbaikitingkahlakuindividuterpidana(correctingthe
behaviorofindividualoffender);
b. Efek preventif (preventifve effect), fungsi penegakan hukum diharapkan
mencegah orang (anggota masyarakat) melakukan tindak pidana. Malah
kehadiran dan eksistensi aparat penegak hukum di tengah-tengah kehidupan
masyarakat, karena dengan kehadiran aparat penegak hukum dianggap
mengandung preventifve effectyang memiliki daya cegah (different effort)
anggotamasyarakatuntukmelakukantindakancriminal.
Korelasiantaraaspekpenegakanhukumpidanasecarapreventifdanpenegakan
hukum secara represif dengan aspek perlindungan hukum terhadap korban tindak
pidana yakni terletak pada substansi yangmenjadi objek dan sasaran hukum pidana
dalam memberikan perlindungan dan rasa aman kepada seluruh masyarakat dalam
kontekspencegahanmaupunpenindakan.Artinyapenegakanhukumpidanabaiksecara
23Ibid.Hlm.20324Ibid.Hlm.208-209
100
preventifmaupun reprseif padadasarnyabertujuanuntukmemberikanperlindungan
hukumterhadapseluruhwargaNegarabaiksebelumterjadinyatindakpidanamaupun
setelahterjadinyatindakpidana.Dengandemikiandalamkonteksperlindunganhukum
terhadapkorbanujarankebencian(hatespeech)dapatdianalogikandandimaknaipula
sebagaiperlindunganhukumsecarapreventifdanperlindunganhukumsecararepresif
sepertihalnyapenegakanhukumpidana.
Mencermati upaya perlindungan hukum terhadap korban tindak pidana yang
secaraesensial tidakterpisahkandariprosespenegakanhukumyangmerupakansatu
kesatuan dari representasi perlindungan hukum, maka dalam konteks pemberian
perlindungan hukum terhadap korban ujaran kebencian dalam hal ini perlumerujuk
sistemperadilanpidanadalamkonsephukumprogresif.
Secara sederhana dapat dikatakan bahwa sistem peradilan pidana merupakan suatu
sarana penanggulangan kejahatan yang di dalamnya terdapat sub-sub sistem yang
saling berkaitan. Dengan perkataan lain, sistem peradilan pidana dapat digambarkan
secarasingkatsebagaisuatusistemyangbertujuanuntuk“menanggulangikejahatan”,
salah satu usahamasyarakat untukmengendalikan terjadinya kejahatan agar berada
dalambatas-batastoleransiyangdapatditerimanya.25
Satu hal yang perlu ditegaskan dalam konteks formulasi perlindungan hukum
terhadap korban ujaran kebencian (hate speech) yakni berpijak dari urgensi materi
perlindungan hukum terhadap korban ujaran kebencianyang bertujuan untuk
melahirkan norma-norma melalui revisi Kitab Undang-Undang Hukum Pidana yang
mempertegas aspek perlindungan hukum terhadap korban ujaran kebencian (hate
speech)sehinggalangkahpreventif(pencegahan)dalammenyikapiterjadinyatindakan
ujaran kebencian yang saat ini masih marak terjadi dapat lebih mencerminkan
keseimbangan antara kedudukan pelaku dan kedudukan korban ujaran kebencian,
sebab dengan lahirnya formulasi perlindungan hukum terhadap korban ujaran
kebencianyangmengatursecarategas,makasetiaporangmaupaunmasyarakatsebagai
subjekhukumakandipaksauntuklebihberetikadalamberperilakusebagaimananilai-
nilai kemanusiaan yang terkandung dalam pancasila sila kedua yang wajib untuk
direpresentasikan ke dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, sehingga keinginan
untuk memberikan perlindungan hukum terhadap korban ujaran kebencian (hate
25 Mardjono Reksodiputro. (1994). Kriminologi dan Sistem Peradilan Pidana. Jakarta: Pusat Pelayanan
KeadilandanPengabdianHukumUniversitasIndonesia.Hlm.140
101
speech) menjadi lebih terakomodir. Terlaksanakannya formulasi hukum atas
perlindungan korban ujaran kebencian maka merupakan salah satu fungsi hukum
dalam memberikan perlindungan terhadap seluruh warga negaranya dapat
terimplementasikandenganbaik.
5.Kesimpulan
Perlindungan hukum terhadap korban ujaran kebencian (hate speech)
merupakansalahsatuaspekyangperluuntukmendapatkanpayunghukumyangjelas
yangdapatmengakomodirhak-hakkorbankhsusnyadalammemperolehperlindungan
hukumdariNegaraketikamendapatkantindakanujarankebencian(hatespeech)yang
dilakukan oleh pelaku. Sebab saat ini korban ujaran kebencian (hate speech) belum
mendapatkan perlindungan hukum akibat dari adanya keksosongan hukum (vacuum
rechts) yang mengatur secara khusus dan tegas tentang aspek perlindungan hukum
terhadapkorbanujarankebencian.
Formulasihukumyangberkaitandenganperlindunganhukumterhadapkorban
tindakan ujaran kebencian (hate Speech), secara esensial dalam menjaga eksistensi
sebuah Negara hukum perlu untuk melahirkan norma-norma melalui revisi Kitab
Undang-UndangHukumPidanadanrevisiUndang-UndangRepublik IndonesiaNomor
31 Tahun 2014 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006
TentangPerlindunganSaksiDanKorbanyangharussecaraeksplisitmengaturtentang
perlindungan hukum bagi korban ujaran kebencian, sehingga proporsionalitas antara
kedudukan pelaku dan korban dalam konteks kasus ujaran kebencian dapat
terimplementasikan secara seimbang sesuai dengan nilai-nilai keadilan yangmenjadi
salahsatutujuanhukum.
Referensi
Buku
C. Maya Indah S. Perlindungan Korban Suatu Perspektif Viktimologi Dan Kriminologi.
Edisikedua,Cetakanke2.Jakarta:PrenadamediaGroup.
John Kenedi. 2020. Kebijakan Hukum Pidana (Penal Policy) Dalam Sistem Penegakan
HukumdiIndonesia.Yogyakarta:PustakaPelajar.
102
MardjonoReksodiputro.1994.KriminologidanSistemPeradilanPidana. Jakarta:Pusat
PelayananKeadilandanPengabdianHukumUniversitasIndonesia.
Setiono. (2004). Rule of Law (Supremasi Hukum). Surakarta. Magister Ilmu Hukum
ProgramPascasarjanaUniversitasSebelasMaret.
SoejonoSoekanto.2007.SosiologiSuatuPengantar.Jakarta:PT.RajaGrafindoPersada.
Jurnal
Fence M. Wantu dan Mohamad Taufik Zulfikar Sarson. (2020). Legal Protection of
WomenasVictimofDomesticViolence.IndonesianJournalofAdvocacyandLegal
Services.Vol.1.No.2
Fenty U. Puluhulawa, Jufryanto Puluhulawa, M. Gufran Katili. (2021). Legal Weak
ProtectionofPersonalDatainthe4.0IndustrialEra. JamburaLawReview.Vol.2.
No.2.
Jufryanto Puluhulawa. (2016). Reformulasi Pengaturan Aplikasi I-Doser Sebagai
NarkotikaDigital.ArenaHukum.Vol.9.No.3
M.R.U. Puluhulawa, J. Puluhulawa, M.F.H.N. Musa. (2019). Kebijakan Kriminal Dalam
Penanggulangan Tindak Pidana Penganiayaan Menggunakan Panah Wayer Oleh
AnakdiKotaGorontalo.JurnalYuridis.Vol6,No.2.
Silvony kakoe, Masruchin Ruba’I, Abdul Madjid. (2020). Perlindungan Hukum Korban
PenipuanTransaksiJualBeliOnlineMelaluiGantiRugiSebagaiPidanaTambahan.
JurnalLegalitas.Vol.13,No.2.
PeraturanPerundang-Undangan
Undang-UndangDasarNRITahun1945
KitabUndang-UndangHukumPidanaIndonesia
Undang-UndangRepublikIndonesiaNomor1Tahun1965TentangPenodaanAgama.
Undang-UndangRepublikIndonesiaNomor32Tahun2002TentangPenyiaran.
103
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor Tahun 2008 Tentang Penghapusan
DiskriminasiDanRasdanEtnis.
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 2014 Tentang Perubahan Atas
Undang-UndangNomor13Tahun2006TentangPerlindunganSaksiDanKorban
Undang-UndangRepublik Indonesia Nomor 19 Tahun 2016 TentangInformasi Dan
TransaksiElektronik.
Surat EdaranKapolri Nomor : SE/06/X/2015Tentang PenangananUjaranKebencian
(HateSpeech)