gerakan pembaharuan pemikiran islam era reformasi di

22
Gerakan Pembaharuan 1 AJIQS Vol. 1 No. 2 Desember 2019 Gerakan Pembaharuan Pemikiran Islam Era Reformasi di Indonesia Aam Saepul Alam STAI Siliwangi Garut [email protected] Abstract Two thinkers and modernists who are different in education and organization genealogy, i.e. Nurcholis Madjid (Cak Nur) dan Hasyim Muzadi. Cak Nur was born in Western education and Hasyim was born in “pesantren” education (boarding school) with its locality. Two of these figures give a change that is significant in modernity context in Indonesia. Theoretical framework that was built by Nurcholish Madjid starts from a fundamental question, i.e. how universal Islam can be placed in local modernity and culture framework. Islam is universal and implication of its universality is Islam must be understood and performed in every place and time. Cak Nur practiced critical to single truth and paid attention on humanistic value in universal religious life. Different to Hasyim Muzadi who built thoughts framework Rahmatan lil alamin through freedom and harmony. Starting from nation problems, how to perform religious function (Islam) in a country without cause national disintegration. Theory framework built by Hasyim starting from a NU’s jargon, i.e. Tasamuh, Tawazun, dan Tawasut. Bringing Islam with full good manners and bland, not make Islam image isolated and grow phobia toward terms what are born from Islam womb. In practice, Hasyim paid attention on preventing of radicalism and terrorism undersrtanding that grow in Indonesia, that threaten NKRI totality. Keywords: modernity, Islam universal, Islam and country Abstrak Dua pemikir dan pembaharu yang berbeda geneologi pendidikan dan organisasi, yaitu Nurcholis Madjid dan Hasyim Muzadi. Nurcholis Madjid (Cak Nu)r lahir dari pendidikan Barat dan Hasyim Muzadi lahir dari pendidikan pesantren yang lokalitas. Kedua tokoh ini, dalam kehadirannya memberikan perubahan yang signifikan dalam konteks pembaharuan di Indonesia. Kerangka Teoritis yang dibangun Nurcholish Madjid berawal dari dari sebuah pertanyaan yang fundamental yaitu bagaimana Islam yang universal bisa ditempatkan dalam kerangka kemodernan dan budaya lokal? Islam adalah universal dan implikasi dari keuniversalannya adalah bahwa Islam harus dapat dipahami dan dilaksanakan pada setiap ruang dan waktu. Cak Nur

Upload: others

Post on 17-Mar-2022

7 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: Gerakan Pembaharuan Pemikiran Islam Era Reformasi di

Gerakan Pembaharuan

1 AJIQS Vol. 1 No. 2 Desember 2019

Gerakan Pembaharuan Pemikiran Islam Era Reformasi di Indonesia

Aam Saepul Alam

STAI Siliwangi Garut

[email protected]

Abstract

Two thinkers and modernists who are different in education and organization genealogy, i.e. Nurcholis Madjid (Cak Nur) dan Hasyim Muzadi. Cak Nur was born in Western education and Hasyim was born in “pesantren” education (boarding school) with its locality. Two of these figures give a change that is significant in modernity context in Indonesia. Theoretical framework that was built by Nurcholish Madjid starts from a fundamental question, i.e. how universal Islam can be placed in local modernity and culture framework. Islam is universal and implication of its universality is Islam must be understood and performed in every place and time. Cak Nur practiced critical to single truth and paid attention on humanistic value in universal religious life. Different to Hasyim Muzadi who built thoughts framework Rahmatan lil alamin through freedom and harmony. Starting from nation problems, how to perform religious function (Islam) in a country without cause national disintegration. Theory framework built by Hasyim starting from a NU’s jargon, i.e. Tasamuh, Tawazun, dan Tawasut. Bringing Islam with full good manners and bland, not make Islam image isolated and grow phobia toward terms what are born from Islam womb. In practice, Hasyim paid attention on preventing of radicalism and terrorism undersrtanding that grow in Indonesia, that threaten NKRI totality.

Keywords: modernity, Islam universal, Islam and country

Abstrak

Dua pemikir dan pembaharu yang berbeda geneologi pendidikan dan organisasi, yaitu Nurcholis Madjid dan Hasyim Muzadi. Nurcholis Madjid (Cak Nu)r lahir dari pendidikan Barat dan Hasyim Muzadi lahir dari pendidikan pesantren yang lokalitas. Kedua tokoh ini, dalam kehadirannya memberikan perubahan yang signifikan dalam konteks pembaharuan di Indonesia. Kerangka Teoritis yang dibangun Nurcholish Madjid berawal dari dari sebuah pertanyaan yang fundamental yaitu bagaimana Islam yang universal bisa ditempatkan dalam kerangka kemodernan dan budaya lokal? Islam adalah universal dan implikasi dari keuniversalannya adalah bahwa Islam harus dapat dipahami dan dilaksanakan pada setiap ruang dan waktu. Cak Nur

Page 2: Gerakan Pembaharuan Pemikiran Islam Era Reformasi di

Gerakan Pembaharuan

2

AJIQS Vol. 1 No. 2 Desember 2019

mempraktekan kritik terhadap kebenaran tunggal dan memperhatikan nilai kemanusian dalam kehidupan beragama yang universal. Berbeda dengan Hasyim Muzadi membangun kerangka pemikiran Rahmatan lil alamin melalui kerangka perdamainan dan kerukunan. Berawal dari permasalahan bangsa, bagaimana menjalankan fungsi profetik agama (Islam) dalam sebuah negara, tanpa menimbulkan disintegrasi bangsa. Kerangka teori yang dibangun Hasyim Muzadi berawal dari jargon NU, yaitu: Tasamuh , Tawazun , dan Tawasut. Membawa Islam yang penuh kesantunan dan kelemahlembutan, bukan menjadikan citra Islam terpinggirkan dan menumbuh-kembangkan phobia terhadap istilah-istilah yang lahir dari rahim Islam. Melaui prakteknya Hasyim memberikan perhatian dalam pencegahan paham radikalisme dan terorime yang berkembang di bumi Indonesia, yang mengancam keutuhan NKRI.

Kata kunci: pembaharuan, Islam universal, Islam dan negara

A. Pendahuluan

Gerakan dan pemikiran pembaruan keagamaan senantiasa menjadi

bagian penting dari tradisi Islam sepanjang sejarah perkembangannya. Para

pelopor pembaruan hadir untuk merenovasi kepercayaan, pengetahuan,

maupun praktek keberagamaan masyarakat Muslim. Sekalipun kaum ortodoks

tidak mengakui hadirnya figur profetik pasca Nabi Muhammad SAW,

mayoritas masyarakat Muslim meyakini, bahwa pada setiap episode sejarah dan

kawasan dunia Islam yang berbeda, para pembaharu tampil untuk melawan

status quo dan menginisiasi perubahan. Misalnya, pada abad 17-19 M, muncul

beberapa tokoh dan gerakan pembaruan di dunia Islam, yang berdasarkan

setting kemunculan dan orientasi gerakannya dapat dibedakan ke dalam tiga

episode. Pertama, Shah Waliullah di India, Ahmad bin Abdul Wahhab di Saudi

Arabia, dan Muhammad bin Ali al Sanusi di Afrika Utara. Pada masa ini, para

tokoh dan gerakan pembaruan mengemuka berkaitan dengan tekanan atau

lingkungan internal1 .dan sedikit bersentuhan dengan dampak dari

perkembangan peradaban Barat. Kehadiran mereka adalah dalam rangka

1 Khalid Masud, Muhammad. 2009. Islamic Modernism. in ed. Muhammad Khalid Masud et.al, Islam and Modernity: Key Issues and Debates. British: Edinburgh University Press.H. 240

Page 3: Gerakan Pembaharuan Pemikiran Islam Era Reformasi di

Gerakan Pembaharuan

3 AJIQS Vol. 1 No. 2 Desember 2019

menentang praktek taqlid (blind imitation) dan fanatisme mazhab (taqdis al

afkar al diniy), karena keduanya dipandang telah meng-akibatkan keretakan

dalam komunitas Muslim2.

Kedua, seiring dengan meningkatnya penetrasi koloni Eropa ke dunia

Islam, muncul beberapa gerakan jihad (jihadiy movements) pada abad ke-19,

sebagai aspek kunci dari pembaruan Islam. Misalnya, sebagai respons terhadap

kolonisasi Inggris di anak benua India, para ulama mendeklarasikan, bahwa

India tidak bisa lagi disebut dengan “abode of Islam” (dar al Islam), tetapi

sebagai “abode of war” (dar al harb). Pada awal tahun 1800 an, Hajji

Shariatullah manyatakan bahwa India adalah kawasan perang dan menyerukan

jihad melawan koloni Inggris di Bengal. Begitu juga di Afrika Barat, Syekh

Usman bin Fudi (w. 1817), yang lebih dikenal sebagai Shehu Usman dan

Fodio, bersama putrinya (seorang sastrawan dan pendidik ternama) Nana

Asmau (w. 1864), telah berhasil memulai jihad dan membangun kekhalifahan

Sokoto, sebuah kekuatan Islam terbesar di Afrika pada abad ke-19.3Dua

ilustrasi aspek pembaruan di bidang militer ini penting, sebagai suatu

pandangan yang juga turut membentuk bagian signifikan dari pemahaman

terhadap agenda anti-kolonialisme masyarakat Muslim pada abad ke-20.

Ketiga, bersamaan dengan kedatangan era modern (abad ke-19 dan

seterusnya), tradisi pembaruan keagamaan berlanjut secara lebih intensif dari

pada era sebelumnya. Suatu era yang mengumumkan konfrontasi militer dan

politik dari kekuatan-kekuatan Barat dengan dunia Islam, dimana masyarakat

Muslim mengalami kekalahan4 Modernisme masyarakat Muslim yang terjadi

pada era ini sebagiannya merupakan kelanjutan dari gerakan pembaruan abad

18-19M, dan sebagian yang lain adalah suatu cara untuk menjawab tantangan

yang ditunjukkan oleh kemodernan Barat ketika masih tersisa sekepal

2 Saeed, Abdullah.2006. Islamic Thought: An Introduction. USA and Canada: Routledge. 3 Ibid., H.134 4 Boyd, J. 2001. Distance Learning from Purdah in Nineteenth Century Northern Nigeria: the Work of Asma’u Fodiyo. Journal of African Cultural Studies, 14.1, June 2001: 7–22.

Page 4: Gerakan Pembaharuan Pemikiran Islam Era Reformasi di

Gerakan Pembaharuan

4

AJIQS Vol. 1 No. 2 Desember 2019

keyakinan terhadap dasar-dasar keagamaan. Beberapa pembaharu Muslim yang

berusaha memberikan renspons dengan tingkat tantangan dari modernitas

Barat itu, misalnya, Jamaluddin al Afghani (w. 1897), Muhammad Abduh

(1905) di dunia Arab, Sayyid Ahmad Khan (w. 1898) dan Muhammad Iqbal

(w. 1938) di anak benua India, serta sejumlah pemikir dari Turki Usmani,

seperti Namik Kemal (w. 1888). Pada penggalan ini, reformasi atau pembaruan

merupakan tema sentral (key theme) bagi kaum modernis.

Jamaluddin al Afghani, misalnya, berargumentasi bahwa masyarakat

Muslim harus melakukan gerakan reformasi sebagaimana peran penting

tersebut dimainkan oleh masyarakat Kristen Eropa. Konteks modern tersebut

menuntut sebuah penghargaan kembali atas warisan budaya intelektual

Muslim, termasuk karya-karya para ulama generasi awal. Gagasan kunci yang

lain dari kaum modernis adalah kembali pada Islam murni (return to the

pristine Islam) generasi Muslim paling awal (salaf), revitalisasi tradisi intelektual

Islam, interpretasi atau reinterpretasi tradisi dan sumber-sumbernya untuk

menjawab tantangan yang diajukan oleh era-modern, sehingga di sini

diperlukan sistem teologi baru.5 Di sini penulis akan meneksplorasi tentang

pemikiran Indonesia pada era reformasi, pertama kajian tokoh yang

mewakilinya, nyaitu Hasyim Muzadi (NU), dan Noercholis Majid

(Muhammadiyah), kedua,kajian gerakan organisai fudamentalis dan modernis.

B. Pembaharuan Pemikiran Islam Era-Reformasi

Pembaruan juga menggunakan khazanah pemikiran Islam klasik

terdahulu, seperti pemikiran Ibn. Thaimiyah, Ibn. Qayyim, Abd.Wahhab

maupun Abduh dan lainnya.

5 Khalid Masud, Muhammad. 2009. Islamic Modernism. in ed. Muhammad Khalid Masud et.al, Islam and Modernity: Key Issues and Debates. British: Edinburgh University Press.H. 241

Page 5: Gerakan Pembaharuan Pemikiran Islam Era Reformasi di

Gerakan Pembaharuan

5 AJIQS Vol. 1 No. 2 Desember 2019

Fazlur Rahman telah membagi pembaruan Islam menjadi beberapa peri

ode, diawali dengan priode revivalisme pramodernis, modernisme klasik, neo-

revivalisme dan neo-modernisme.

Pembaruan pemikiran Islam yang diintrodusir pada abad 17-19 M. di

atas dapat ditemukan pengaruhnya di Indonesia sejak permulaan abad ke-20

melalui kehadiran Muhammadiyah dan Persatuan Islam, yang menjadikan

purifikasi atau pemurnian akidah sebagai tema sentral gerakan mereka.

Sebagaimana pemikiran pembaruan Ahmad bin Abdul Wahhab dan

Muhammad Abduh, episode awal sejarah modernisme Islam Indonesia juga

dicirikan oleh semangat untuk keluar dari ikatan-ikatan kaum ortodoks dengan

mengedepankan ijtihad dari pada taqlid, menekankan pentingnya qiyas agar

dapat merebut semangat hukum yang tersimpan dalam tulisan hukum; dan

memilih mengurangi ketergantungan pada Hadis demi mendahulukan al Quran

dan Sunnah Nabi. 6

Visi modernitas yang diajukan oleh Muhammadiyah dan Persis tersebut

selama hampir satu setengah dekade melahirkan ketegangan dengan kelompok

konservatif, yang terdiri dari para kiai pesantren. Kelompok kiai tradisional ini

beranggapan bahwa ijtihad yang terkait masalah-masalah fundamental dalam

hukum adalah tidak mungkin dan tidak diperlukan. Mereka berpendapat

bahwa para ulama klasik pendiri empat madzhab memiliki keahlian yang belum

tertandingi sejak abad kesepuluh, sehingga kebenarannya di bidang hukum

Islam tidak perlu diragukan. Dengan alasan inilah para ulama tradisionalis

memperlakukan taqlid terhadap prinsip-prinsip hukum yang diajukan para

imam mazhab. Perseteruan ini pada saatnya mendorong para kiai untuk

membentuk suatu organisasi sosial keagamaan yang sangat berpengaruh di

Indonesia, Nahdlatul Ulama (NU), yang didirikan pada tahun 1926 sebagai

6 Barton, Greg 1999. Gagasan Islam Liberal di Indonesia: Pemikiran Neo Modernisme Nurcholish Madjid, Djohan Effendi, Ahmad Wahib, dan Abdurrahman Wahid. Jakarta: Paramadina.h. 41

Page 6: Gerakan Pembaharuan Pemikiran Islam Era Reformasi di

Gerakan Pembaharuan

6

AJIQS Vol. 1 No. 2 Desember 2019

puncak dari reaksi kaum konser-vatif terhadap gerakan modernis

Muhammadiyah 7.

Sampai paroh kedua abad ke-20, gerakan modernisme di Indonesia

ditandai dengan ketegangan teologis dan bahkan berkembang ke arah politis

antara Muhammadiyah dan NU, sehingga sebagaimana terjadi pada dunia

Islam yang lain, gerakan pembaruan Islam Indonesia pada akhirnya juga

mengambil corak yang cukup kuat dalam bidang politik. Sekalipun ketegangan

Muhammadiyah dan NU bukan refleksi sepenuhnya dari sikap anti terhadap

Barat. Modernisasi di Indonesia ini memiliki kemiripan dengan Iran pasca

revolusi, dimana para intelektual terpolarisasi ke dalam dua spektrum, yaitu

mereka yang mengamini narasi modernitas Barat dengan persepsi

keberagamaan masyarakat yang anti Barat. Melihat kondisi tersebut, Michel

Foucoult mengajukan pertanyaan yang agak sarkastis “apa sebenarnya yang

sedang terjadi di Iran (dan Indonesia, pen.), dimana kebanyakan orang, yang

berada pada haluan kiri maupun kanan tampak agak mengalami iritasi?”.8

C. Kajian Pemikiran Pembaharuan Pemikiran di masa Orde Baru ala

Norcholis Majid

Perwakilan pembaharu pemikiran orde baru Nurcholis Madjid, Doktor

dari Chicago University ini mempelopori gerakan pembaharuan sejak 1970-an.

Tonggak pembaharuannya dimulai sejak ia mengungkapkan pemikiran-

pemikirannya dalam ceramah halal bi halal di Jakarta pada tanggal 3 Januari

1970. Dalam acara yang dihadiri oleh para aktivis penerus Masyumi, HMI, PII,

dan GPI itu Nurcholish menyampaikan makalahnya yang berjudul “Keharusan

Pembaharuan Pemikiran Islam dan Masalah Integrasi Umat”. Dalam makalah

7 Sutarto, Ayu. 2008. Menjadi NU Menjadi Indonesia: Pemikiran K.H. Abdul Muchith Muzadi. Surabaya: Khalista, H. 27 8 Kritzman, ed, Lawrence, D. 1988. Michel Foucault: Politics, Philosophy, Culture: Interviews and Other Writings, 1977–1984. New York: Routledge, H. 224

Page 7: Gerakan Pembaharuan Pemikiran Islam Era Reformasi di

Gerakan Pembaharuan

7 AJIQS Vol. 1 No. 2 Desember 2019

yang cukup menghebohkan ini ia menawarkan sekularisasi dan liberalisasi

pemikiran Islam9

Sejak meluncurkan gagasan sekularisasinya pada 1970-an itulah sebagai

intelektual, pemikiran Nurcholish banyak dikaji dan dibahas dalam konteks

dan dinamika keislaman dan keindonesiaan. Beliau bahkan dijuluki sebagai

“lokomotif kaum pembaharu” yang dimasukkan ke dalam aliran neo-modernis

Islam bersama Harun Nasution, Abdurrahman Wahid, Jalaluddin Rahmat, dan

lainnya10. Berbeda dengan paradigma kaum modernis dan tradisionalis 11.

pemikiran Neo-modernism adalah suatu madzhab yang berusaha memadukan

antara otensitas wahyu dengan realitas sosial yang dinamis. Antara wahyu yang

transenden dan konteks yang profan. Oleh karena itu, Nurcholish berusaha

membangun visi Islam di masa modern, dengan sama sekali tidak

meninggalkan warisan intelektual Islam. Bahkan jika mungkin mencari akar-

akar Islam untuk mendapatkan kemodernan Islam itu sendiri.12

Sejak awal kemunculannya pada tahun 1970–an, Nurcholish menjelma

menjadi sebuah fenomena sekaligus sosok yang kontoversial, pemikirannya

sangat mendapat apresiasi sekaligus resistensi, terutama konsep

inklusivismenya yang muncul di tengah arus utama ekslusivisme. Jika

dikategorisasikan secara sederhana, maka ada tiga pandangan dan

kecenderungan masyarakat dalam menanggapi pemikiran dan sosok

Nurcholish. Pertama, pandangan yang apresiatif - empatik yang

memposisikannya sebagai teman dialog bagi kegelisahan-kegelisahan teologis

yang sama. Implikasinya, semua pemikiran Nurcholish diterima tanpa reserve,

tanpa sikap kritis. Dalam konteks ini pemikiran-pemikiran Nurcholish

menghasilkan proses transformasi yang cukup signifikan, terutama dalam

9 Madjid, Nurcholish. (1999). Islam, Kemoderenan dan Keindonesiaan, Bandung: Mizan,.h6 10 Urbaningrum, Anas. (2004). Islamo-Demokrasi : Pemikiran Nurcholish Madjid, Jakarta: Republika.,h.56 11 Al Qurthuby, Sumanto. (1999). Era Baru Fiqih Indonesia, Yogyakarta: Cermin, h.tt 12 kandi. (2004). Prof. Dr. Nurcholish Madjid: Jejak Pemikiran dari Pembaharu sampai Guru Bangsa. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, h56

Page 8: Gerakan Pembaharuan Pemikiran Islam Era Reformasi di

Gerakan Pembaharuan

8

AJIQS Vol. 1 No. 2 Desember 2019

mendorong perubahan aspek berfikir dan sikap keberagamaan. Mereka adalah

kelompok pemikir muda Islam. Bagi kelompok ini Nurcholis adalah figur

pembaharu yang patut dihargai dan bola salju pemikirannya mesti harus terus

menerus digelindingkan. Kedua, pandangan kritis, yang menempatkan

Nurcholish dan pemikirannya tersebut berada di luar bingkai mainstream

pemikiran umat Islam. Implikasinya adalah apologi dan sekaligus resistensi atas

pemikiran Nurcholish. Reaksi keras dan bahkan muncul vonis-vonis teologis

yang disematkan padanya, seperti sesat. Ketiga, adalah pandangan simpati yang

menempatkan Nurcholish dan pemikirannya secara objektif dan independen.

Kelompok ini melihat ada banyak sisi positif dan manfaat dari gagasan

Nurcholish, namun juga bersikap kritis dan objektif bahwa ada sisi

kelemahan.13

Kerangka Teoritis Nurcholish Madjid Kerangka konseptual seluruh

pemikiran Nurcholish dibangun dari sebuah pertanyaan yang fundamental

yaitu bagaimana Islam yang universal bisa ditempatkan dalam kerangka

kemodernan dan budaya lokal. Islam adalah universal dan implikasi dari

keuniversalannya adalah bahwa Islam harus dapat dipahami dan dilaksanakan

pada setiap ruang dan waktu. Dengan demikian Islam bisa bahkan harus

disesuaikan dengan kemodernan. Jika terjadi konflik antara ajaran Islam dan

pencapaian modernitas, maka yang harus dilakukan adalah bukan menolak

modernitas tersebut melainkan menafsirkan kembali ajaran tersebut 14. Antara

keotentikan dan kemodernan tidak dapat dilepaskan dalam merespon

permasalahan umat. Dengan kata lain diperlukan kesadaran akan kekayaan

tradisi sekaligus kemampuan untuk senantiasa membuat inovasi dalam “ruang”

Indonesia dan “waktu” zaman modern.

13 Wahid, Abu Dua. (2004). Ahmad Wahib: Pergulatan, Doktrin dan Realitas Sosial, Yogyakarta: Resist Book.h.86 14 Noercholis Majid, (2000). Islam Doktrin dan Peradaban : Sebuah Telaah Kritis Tentang Masalah Keimanan, Kemanusiaan dan Kemodernan, Jakarta: Paramadina.h.493

Page 9: Gerakan Pembaharuan Pemikiran Islam Era Reformasi di

Gerakan Pembaharuan

9 AJIQS Vol. 1 No. 2 Desember 2019

Dalam merekonstruksi pemikiran-pemikirannya, termasuk teologi

inklusifnya, Nurcholish menggunakan pendekatan kritis-dekonstruktif dan

pendekatan humanistik/antroposentris 15.

a. Pendekatan kritis-dekonstruktif, berbeda dengan pemikiran klasik, dalam

pandangan Nurcholish, absolutisme harus diruntuhkan dan relativisme

harus diteguhkan. Pemahaman yang dianggap kebenaran oleh umat Islam,

dalam pandangan Nurcholish kebenaran bukanlah taken for granted, statis

dan tidak berubah. Setiap pemahaman terhadap kebenaran adalah proses

pencarian yang terus menerus, karenanya ia tidak tunggal dan tidak final.

Pemahaman terhadap kebenaran sangat dipengaruhi oleh konteks ruang

dan waktu. Karenanya ia tidak mutlak dan sangat memberi ruang untuk

dikritisi. Dengan asumsi seperti itu, maka tidak heran jika pemikirannya

dipenuhi tafsir baru, kritik, revisi, bahkan dekontruksi terhadap konsep-

konsep Islam yang selama ini sudah terlanjur dianggap kebenaran yang

final. Tujuan akhirnya adalah untuk menemukan makna baru yang lebih

segar dan progresif.

b. Pendekatan Humanistik-antroposentris.

Dalam menemukan gagasan-gagasan pemikirannya, Nurcholish senantiasa

memakai pendekatan humanistik, artinya upaya pembelaan terhadap

harkat kemanusiaan lebih ditekankan daripada klaim-klaim ketuhanan.

Agama pada akhirnya harus membela umat manusia daripada klaim

ketuhanan. Pendekatan humanistik ini dalam pandangan Nurcholish

menjadikan agama lebih membumi, berdialog dengan konteks ruang dan

waktu. Dalam bahasa lain teosentrisme harus disatu padukan dengan

antroposentrisme. Manusia menemukan kepribadiannya yang utuh hanya

jika memusatkan orientasi transendental hidupnya pada Allah. Pemusatan

oreintasi transendental ini harus dalam bingkai antroposentrisme.. Untuk

membela kemanusiaan, maka harus dipetakan secara jelas dan tepat

15 Suprayogo, Imam. (2003). Metodologi Penelitian Sosial Agama, Bandung: Rosdakarya,h.68

Page 10: Gerakan Pembaharuan Pemikiran Islam Era Reformasi di

Gerakan Pembaharuan

10

AJIQS Vol. 1 No. 2 Desember 2019

wilayah keduniaan yang harus disekulerkan dan diprofankan dan apa yang

menjadi wilayah religius yang disakralkan dan dimutlakkan. Dalam

pandangan Nurcholish kemanusiaan itu universal, sehingga manusia

didudukan secara equal tanpa membedakan perbedaan atribut dan agama.

Pendekatan humanistik inilah yang sejalan dengan upaya kemaslahatan

manusia, karena agama haruslah untuk kemaslahatan manusia bukan untuk

agama itu sendiri.

D. Pembaharuan Pemikiran Era pasca Reformasi ala KH Hasyim

Muzadi

Hasim Muzadi, lahir di desa bangilan , Tuban, Jawa Timur, tanggal 8

Agustus 1944, setahun sebelum Indonesia merdeka. Orang tuanya memberi

nama Ahmad Hasim Muzadi, namun kelak lebih populer dengan nama

Hasyim Muzadi Saja. Ayahnya, Muzadi, yang berasal dari Kota Tuban adalah

pedagang tembakau. Sedangkan sang ibu, Rumiyati, yang asli Bangilan, sehari-

hari berdagang roti dan kue kering di kampung tersebut.Sama seperti yang

lainnya, sejak kecil, Hasyim mendapatkan pendidikan agama dari kedua orang

tuanya. Muzadi dan Rumiyati memang bercita-cita: kelak , semua ankanya,

termasuk Hasyim, harus tumbuh dan berkembang menjadi orang berilmu dan

bermanfaat bagi umat. Karena itu, dasar-dasar ilmu agama mulai ditanamkan

sejak masih belia.Selain belajar disekolah umum, Hasyim Muzadi kecil juga

belajar mengaji dari kedua orang tuanya. Beliau mengawali pendidikannya di

Madrasah Ibtidaiyah Salafiyah (setingkat sekolah dasar) Bangialan mulai kelas

satu sampai kelas tiga. Selebihnya diselasaikan disekolah Rakyat . Hasyim

Muzadi sempat mengeyam pendididikan SMP tapi tidak sampai tamat. Di

SMPN I Tuban hanya 1,5 tahun, beliau pindah ke Gontor untuk melanjutkan

studinya.16 Hasyim Muzadi orang kedua di Bangilan yang menimba ilmu di

Gontor. Sebelumnya , sepupu Kiai Hasim sudah terlebih dahulu berangkat

16 Ahmad Millah Hasan, Biografi A. Hasyim Muzadi, (Depok: Keira, 2018), hal. 43-47

Page 11: Gerakan Pembaharuan Pemikiran Islam Era Reformasi di

Gerakan Pembaharuan

11 AJIQS Vol. 1 No. 2 Desember 2019

kegontor. Bedanya, Kiai Hasyim belajar di Gontor sampai lulus, yaitu pada

1956 sampai 1962. Sedangkan sepupunya putus di tengah jalan.Selain

menimba ilmu di Gontor, Kiai Hasyim sempat mengeyam pendidikan

Pesantren Seniori, di Tuban, Pesantren Lasem , Jawa Tengah.

Pemikiran( Fikrah) pertama NU lebih mengedepan sikap moderat yang

telah membumi di tanah Nusantara, ini ciri khas NU sebagai organisasi Islam

yang paling besar yang memilki nilai budaya sosial yang bisa diterima oleh

lapisan masyarakat, kecuali pihak-pihak yang tidak setuju terhadap pemikiran

dan gerakan NU di Indonesia. NU melalui peranan para kiai dan ulama dalam

memerdekakan bangsa dan merukunkan dengan menjaga kerukunan

beragama dan kerukunan berbangsa.

Perjalan para kiai selalu menghindari dari sikap radikal, karena sikap

tersebut paling tidak disukai yang akan menimbulkan resiko negatif jangka

panjang dan menjauhkan dari nilai-nilai kemaslahatan umat terutama negara

kesatuan republik Indonesia. Para ulama NU lebih mengedepankan nilai-nilai

moderasi dalam menghadapai masalah baik masalah agama dan bangsa dengan

menjalankan prinsip-prinsip yang factual dan realistis.

Melalui penggunaan aspek al-tawassuth ini dalam konteks berbangsa dan

bernegara, NU mampu berlayar di antara karang ekstremisme dan liberalism,

kedua kata yang memang dicurigai sebagai penyebab kehancuran sebuah

peradaban. Ekstremisme yang ditandai dengan absolutisme pendapat,

fanatisme akut dan takfir-isme, banyak menimbulkan konflik sektarian dan

bentrokan ideologis. Liberalisme, di sisi lain, dicurigai mempengaruhi pola

pikir dalam aspek sosial, teologi hingga ekonomi. Di bidang sosial, liberalisme

lebih cenderung dimaknai sebagai liberalisasi gaya hidup, westernisasi dan

modernisasi. Di bidang teologi, alih-alih memancing gairah pembebasan,

sebagaimana arti kata liberal, liberalisme justeru banyak berkutat pada wacana-

wacana elitis, sibuk membongka doktrin yang qath’i dan jauh dari makna

Page 12: Gerakan Pembaharuan Pemikiran Islam Era Reformasi di

Gerakan Pembaharuan

12

AJIQS Vol. 1 No. 2 Desember 2019

pembebasan kaum yang tertindas (mustadh’afin) serta dicurigai sebagai

kepanjangan pihak kapitalis-borjuis. Di bidang ekonomi, dan ini yang paling

berpengaruh, liberalisme lebih banyak menjadi tukang stempel kebijakan yang

berpihak pada kaum neo-liberalisme.17

Fikrah Tawassuthiyyah ini juga mengandung kata kunci lain yang tidak

kalah penting, yaitu al-tawazun. Dalam tulisan ini, kata al-tawazun dimaknai

sebagai sebuah harmoni. Kata kunci ini akan terwujud jika terdapat berbagai

anasir yang berkaitan dalam kesamaan pemahaman. Dalam konteks

kebangsaan, wujud al-tawazun ini adalah NU selalu berusaha menjaga harmoni

kemajemukan,kerukunan antar umat beragama sekaligus memberikan berbagai

keputusan siyasi yang menghindarkan keterpecahan Indonesia. Kontribusi NU

sejak 1926 sampai sekarang dalam berbagai peristiwa penting merupakan

pengejawantahan harmoni dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Hal ini

bias dilihat dengan jelas dalam Resolusi Jihad, pemberian gelar waliyyul amri al-

dharuri bi al-syaukah, membela NKRI dari rongrongan PKI, penerimaan asas

tunggal Pancasila hingga keputusan NKRI adalah final.

Dalam konteks pemahaman seperti ini, sangat menarik kalimat yang

telah disampaikan oleh KH. A. Wahid Hasyim berikut ini:

“Saya berkata demikian (kegembiraan berdirinya PTAIN-pen) bukanlah karena saya

seorang muslim yang kebetulan berbangsa Indonesia, akan tetapi sebagai seorang putra

Indonesia yang beragama Islam.”18

Peranan kiai NU terus bergulir diteruskan oleh generasa seterusnya,

terutama KH Abdurahman Wahid (GusDur) putra dari KH. Wahid Hasyim.

Dalam peranan GusDur terhadap Konflik Ambon di Maluku sejak tahun 1999

adalah salah satu contoh luka bangsa ini. Saat menjadi presiden, KH.

17 Rijal Mumazziq Zionis, Fikrah Nakhdiyah sebagai Pondasi kehidupan Berbangsa dan Bernegara , (Jember:

STAI Assuniyah Kencong), Hal.8

18 Aboebakar Atjeh, Sedjarah Hidup KH. Abdul Wahid Hasjim dan Karangan Tersiar (Jakarta: Panitia Buku Peringatan Alm. K.H. A. Wahid Hasyim, 1957), 812.

Page 13: Gerakan Pembaharuan Pemikiran Islam Era Reformasi di

Gerakan Pembaharuan

13 AJIQS Vol. 1 No. 2 Desember 2019

Abdurrahman Wahid atau Gus Dur mendarmabaktikan hidupnya untuk

bangsa Indonesia. Dalam menyelesaikan konflik Ambon ini, Gus Dur

menggunakan paradigma ukhuwah wathaniyah, yaitu prinsip persaudaraan karena

memiliki tanah air yang sama, yaitu Indonesia. Jika Gus Dur saat itu

menggunakan paradigma ukhuwah islamiyah, maka sebagai pemuka umat Islam

dan sebagai presiden muslim, sangat dimungkinkan Gus Dur mengirimkan

ribuan Banser untuk melakukan jihad di sana membantu kaum muslim.

Namun Gus Dur justeru tidak melakukannya. Saat menyelesaikan konflik, Gus

Dur tidak memilih memberfungsikan dirinya sebagai “politisi muslim” yang

bisa menunggangi isu konflik Ambon bagi kepentingan politiknya sendiri. Gus

Dur justeru memilih menjadi seorang negarawan sejati, berusaha mendamaikan

anak bangsa yang tercabik perang saudara, merukunkan kembali dan

menyadarkan bahwa konflik tidak akan menghasilkan kemaslahatan, karena

sebagaimana pepatah, menang jadi arang, kalah jadi abu.

Meskipun perdamaian di Ambon terjadi usai Gus Dur dilengserkan,

namun upaya rekonsiliasi yang dilakukan sejak jamannya berbuah manis. Di

tengah konflik membara, secara diam-diam Gus Dur mengutus Menteri

Agama KH. Tolchah Hasan dan Ketua Umum PBNU KH. Hasyim Muzadi

untuk menjadi salah satu mediator perdamaian Ambon.19NU dipilih menjadi

inisiator perdamaian karena selama itu sikapnya memang menunjukkan

moderatisme beragama dan visi besarnya mengenai Islam Indonesia. Beberapa

pemimpin kaum Nasrani garis keras juga melihat ketulusan dan obyektivitas

NU dalam proses perdamaian ini, sehingga proses rekonsiliasi mampu

dilakukan dengan cepat dan tepat. Nahdatul Ulama (NU), sejak dilahirkan pada

1926, tidak habis-habisnya melahirkan tokoh dan pemimpin besar. Tidak

hanya level nasional, tetapi juga internasional. Mereka telah terbukti memberi

warna bagi kehidupan berbangsa dan bernegara. Salah satu tokoh itu adalah

19Disampaikan oleh KH. Tolchah Hasan saat haul pertama Gus Dur di Pesantren Tebuireng Jombang, 26 Desember 2010.

Page 14: Gerakan Pembaharuan Pemikiran Islam Era Reformasi di

Gerakan Pembaharuan

14

AJIQS Vol. 1 No. 2 Desember 2019

KH Hasyim Muzadi. Umumnya pemimpin NU, terutama ditingkat pusat ,

lahir dari keluarga kiai yang punya nama besar. Namun tidak begitu dengan

pria yang aktivis NU di Jawa Timur akrab disapa Kiai Hasim “cak” ialah

bahasa Jawa Timur yang berarti kakak. Dia lahir dari kalngan keluarga biasa di

Bangilan, Tuban, jawa Timur ayahnya, Muzadi seorang pedagang tembakau.

Banyak pihak yang kaget ketika mayoritas peserta Muktamar ke-30

NU di Lirboyo, kediri, tahun 2000, memutuskan memilih Kiai Hasim Muzadi

sebagai Ketua Umum Pengurus Besar NU. Kiai Hasyim terpilih sebagai

ketua PBNU yang kala itu masih menjabat Ketua Pengurus Wilayah NU

Jawa Barat, pada periode kedua. Ia menggantikan KH. Abdurahman Wahid

alias Gus Dur yang memimpin NU selama tiga periode :1984-1989,1989-

1994, dan 1994-1999. Muktamar itu adalah momentum bersejarah naik tokoh

kampung memjadi pemimpin tertinggi NU. Gus Dur berperan besar dalam

terpilihnya Kiai Hasyim, karena ia, yang kala itu menjadi persiden,

mendukung penuh Kiai Hasyim. Namun setelah lima tahun berlalu, Gus

Dur dan Kiai Hasyim berada pada posisi berhadapan pada muktamar ke -

31 NU di Donohudan Boyolali, Jawa Tengah, tahun 2004.20

Saat itu, Gus Dur ingin kembali memimpin NU. Sedangkan Kiai

Hasyim yang tetap bergandengan dengan KH. M. Ahmad Sahal Mahfudz

sebagai Rais Am, hendak melanjutkan perjuangannya. Pada Muktamar yang

memanas itu, Kiai Hasim kembali terpilih sebgai Ketua Umum NU. Pada

tahap pencalonan, Kiai Hasyim memperoleh 293 suara, KH Masdar F.

Mas’udi 103 suara, KH. Mustofa Bisri 35 suara, abdul Aziz 4 suara. Sedangkan

Gus Dur dan KH. Tholchah Hasan hanya memperoleh 1 suara. Kemudian

pemilihan tahap selanjutnya antara KH. Masdar F. Masudi dan KH. Hasyim

Muzadi, pada tahap ini, Kiai Hasyim mengungguli KH. Masdar F.Mas’udi

dengan perbandingan suara 334 dan 99.

20 Ahmad Millah Hasan, Biografi A. Hasyim Muzadi, hal. 71-72

Page 15: Gerakan Pembaharuan Pemikiran Islam Era Reformasi di

Gerakan Pembaharuan

15 AJIQS Vol. 1 No. 2 Desember 2019

E. Pemikiran dan Gerakan KH Hasyim tentang Terorisme

Selanjutnya dalam pemikiran dan gerakan yang dilakukan Hasim

Muzadi pada masa kepemimpinanya atau setelah kepemimpinanya, beliau lebih

eksis pada bidang perdamaian dunia dan kerukunan antar agama. Peranan

agama dalam perdamaian dan kerukunan sangat urgen sekali, sebagaimana

yang dicita-citakan sekaligus dikerjagakan Hasyim Muzadi, karena agama akan

menjadi pilar utama dalam mewujudkan perdamaian dan kerukunan, kemudian

agama hanya dapat menjalankan perannya secara efektif dalam kehidupan

manusia. Oleh karena itu, diperlukan tiga kenyakinan yang bersumber dari

keyakian Ibrahim untuk menjadikan keselamatan atau perdaian sebagai inti

ajarannya. Sebagai contoh, Islam berarti penyerahan diri secara total

terhadap kehendak Allah.dan perdamaian di antara sesama manusia dengan

cara melakukan perbuatan yang baik, bagi Yahudi, pada pengertian

keharmonisan organik, pemenuhan kewajiban, penunaian tugas, kebaikan atau

rokonsialiasi atas berbagai pertentangan.

Dadang kahmad menegaskan pengertian itu tidak mencakup kata “

perdamaian” dalam pemahaman keagamaan Barat yang berarti penafsiran atas

konflik atau kesolehan pasif, dengan cara menghindarikan diri dari urusan

duniawi. Perdamaian mewujudkan, bukan hanya menghilangkan saling curiga,

saling mencelakai, penaklukan, atau peperangan, melainkan juga

menciptkanan tatanan alamiah segala sesuatu.21 Terjadinya konflik di

berbagai daerah tidak pernah usai, ini perlu penyelesaian yang sangat serius

bagi seluruh komponen bangsa, termasuk para tokoh agama. Hal ini, kiai

Hasyim sangat inten dalam menagggapai gerakan teroris di Indonesia yang

21 Dadang Kahmad, Sosiologi Agama Potret Agama dalam Dinamika Konflik, Pluralisme dan Modernitas,( Pustaka Setia: Bandung, 2011), Hal. 163

Page 16: Gerakan Pembaharuan Pemikiran Islam Era Reformasi di

Gerakan Pembaharuan

16

AJIQS Vol. 1 No. 2 Desember 2019

terus terjadi bermunculan dengan melakukan pemboman di daerah terutama di

kantor-kantor kepolisian yang menjadi sasrannya.

Hasyim Muzadi tak pernah sependapat dengan tindakan penangan

Kepolisian terhadap pelaku teror, terutama seperti yang dilakukan

Detasemen Khusus (Densus) 88 yang sering menembak mati mereka terduga

teroris. Sebab, katanya, cara seperti itu sama dengan pemberantasan terorisme

dengan teror baru. Penanganan terorisme , menurut Hasyim Muzadi, harus

tetap dilakukan dalam kolidor hukum. “ Jangan asal menembak mati orang

yang belum dibuktikan keterlibatannya sebagai teroris di Pengadilan. Itu

namanya menangani teroris dengan teror.Ia juga tidak sependapat dengan

dengan tereksposnya aksi penggerebekan dan penangkapan terduga teroris

lewat siarang langsung televisi (TV). Cara itu malah menyuburkan rasa

dendam kerabat atau simpatisan para teroris tersebut. Logikannya, melalui

tayangan aksi penangkapan itu mereka dapat melihat bagai mana karabat,

ayah, kakak, atau temen mereka yang diduga teroris itu, diperlakukan secara

tidak manusiawi oleh aparat. Dalam pandangannya, Indonesia pernah sukses

menangani kasus terosrisme secara elegan dan dapat apresiasi banyak

kalangan, termasuk luar negeri, yakni saat menangani kasus bom Bali

dengan pelaku, antara lain, Imam Samudra dan Amrozi. Saat itu aparat

menangkap pelaku dalam keadaan hidup, diadili, dan dijatuhi hukuman, harus

diterapkan kembali. Meskipun di pengadilan nantinya pelaku dijatuhi

hukuman mati , seperti pelaku Bom Bali, hal itu jauh lebih baik dari pada

menembak mati tanpa proses pengadilan.

Kiai Hasyim berpendapat, terorisme bukan watak asli bangsa

Indonesia. Tentu ada faktor-faktor yang membuat kelompok teroris lahir dan

berkembang di tanah air. Ia beranalisi, terorisme di Dunia dapat

dikategorikan dalam dua jenis, yaitu teror yang murni teror dan teror yang

bagian dari perang . terror yang terjadi di Indonesia, setelah era reformasi,

Page 17: Gerakan Pembaharuan Pemikiran Islam Era Reformasi di

Gerakan Pembaharuan

17 AJIQS Vol. 1 No. 2 Desember 2019

adalah teror yang murni teror karena terjadi di negara damai. Sedang teror

yang bagian dari perang, seperti terjadi di Israel dan Palestina.Ia menyakini,

aktor intelektual teror bom bunuh diri adalah kelompok teroris lama. Kini,

mereka sudah berani berani terang-terangan melakukan serangan serta

terbuka. bahkan, masjid pun menjadi target serangan, seperti yang terjadi di

Msjid Polersta Cirebon, jawa Barat , 15 Juni 2011. Itu menjadi bukti tentik

bahwa torerisme tidak ada kaitanya dengan ajaran Islam dan ajaran agama

Islam. Kata Hasyim Muzadi, anehnya selama ini ada labelisasi Islam dalam

aksi terorisme di Indonesia. Labelisasi yang bersifat general itu

menyebabkan banyak umat Islam ikut kesel. Lalu, terjadi pembiaran. Jika

sikap itu berkembang di masyarakat, terorisme di Indonesia akan bersiafat

permanen.

Kiai Hasyim Muzadi menilai, ada permanenisasi terorisme di

Indonesia untuk dijadikan proyek yang juga permanen. Buktinya respon

pihak-pihak yang bertanggung jawab terhadap penanggulangan terorisme

itu lebih banyak dalam bentuk diskusi, bukan dalam bentuk aksi-aksi nayata

melakukan deideolgisasi di tengah-tengah masyarakat. 22 Diakui atau tidak ,

penangan teririsme selama ini masih mengacu kepada kekuatan senjata

aparat kepolisian. Sementara, peran masyarakat sipil cenderung dipinggirkan

dan diabaikan. Tidak dilibatkannya masyarakat sipil justru kontraproduktif

dan tidak mengenai sasaran, karena tidak mampu membasmi akar teroris.

Cara yang digunakan Indonesia sekarang sebenarnya sama dengan cara

yang dilakukan Amerika Serikat pada masya Persiden George W Bush, yaitu

pre empetive action ( pikul dulu urusan belakangan). Cara itu ternyata gagal,

bahkan membawa Amerika ke dalam gelombang teror.23

22 Ahmad Millah Hasan, Biografi A. Hasyim Muzadi, (Depok: Keira, 2018), hal. 242 23 “ Ini bukan serangan terhadap Islam, tapi serangan untuk terorisme,” demikian pernyataan Persiden AS, George W Bush, beberapa saat setelah melakukan serangan pertama terhadap beberapa tempat yang diduga sebagai instalasi militer pemerintahan Taliban Afganistan, 7 oktober

Page 18: Gerakan Pembaharuan Pemikiran Islam Era Reformasi di

Gerakan Pembaharuan

18

AJIQS Vol. 1 No. 2 Desember 2019

Di Indonesia, cara seperti ini justru memunculkan terorisme baru.

Juka terus berlanjut, militansi para teroris semakin bertambah. Akibatnya,

mereka bisa semakin brutal melakukan serangan kepada polisi. Perserikatan

bangsa-bangsa (PBB) mengeluarkan resolusi yang menyebutkan pentingnya

peran kelompok masyarakat sipil dalam memberantas terorisme. Namun,

implimentasi resolusi itu juga masih lemah di Indonesia. Penangan terorisme

perlu melibatkan kelompok masyarakat sipil karena terorisme memilki

banyak bentuk dan manisfestasinya bisa dalam berbagai hal. Kelompok

masyarakat sipil dapat membantu mengatasi terorisme dari aspek-aspek

nonfisik, seperti ideologi dan kondisi sosial ekonomi.24

Sebagai ormas yang moderat, NU telah memberikan perhatian lebih

terhadap masalah terorisme di Indonesia. Dalam berbagai kesempatan, NU

aktif mengampanyekan Islam yang moderat dan anti terorisme, dalam

forum –forum nasional maupun internasioanl. Bagi NU, menguatnya Islam

modertalah yang mampu membendung kelompok Islam radikal. Melalui

lokomotif NU, Hasyim Muzadi melakukan kompanye tentang Islam rahmatan

Lil alamin terus tidak henti-henti beliau sampai wafat.25 NU melakukan hal itu

karena kesadaran bahwa penangan terorisme tidak hanya menjadi tanggung

jawa pemerintah, tetapi juga menjadi tangggung jawa masyarakat dan

organisasi keagamaan. Bahkan, isu terorisme telah menjadi bahasan khusus

pada muktamar ke-32 NU, di Makasar, Sulawesi Selatan, 2010. Rekomendasi

Muktamar menekankan pentingnya partisipasi masyarakat sipil dalam

penangan terorisme.

lalu. Pernyataan di atas sengaja diucapkan W Bush dengan maksud ingin melokalisir masalah agar umat Islam tidak terpancing untuk melakukan solidaritas terhadap Afganistan di satu pihak, dan pihak lain Bush seolah ingin menegaskan bahwa Islam tidak identik dengan terorisme. Bush sadar betul bahwa serangan itu sangat potensial untuk menyatukan solidaritas umat Islam di berbagai belahan dunia, dan bila hal itu terjadi maka tidak menutup kemungkinan sejarah hutam “ Perang salib” akan terualang kembali.Lihat buku “ Masyarakat Post-Teologi wajah baru Agama dan Demokrasi Indonesia, karya Rumadi ( Mustika Bahmid: Jakarta, 2002), Hal. 139-140 24 Ibid., hal. 243 25 Ibid.,

Page 19: Gerakan Pembaharuan Pemikiran Islam Era Reformasi di

Gerakan Pembaharuan

19 AJIQS Vol. 1 No. 2 Desember 2019

Belajar dari pengalaman kegagalan Indonesia dalam menangkal

terorisme, dalam pandangan Kiai Hasyim, ada beberapa aspek pendekatan

yang harus dilakukan:

1. Aspek ideologis dan agama. Dibutuhkan peran serta organisasi

kemasyarakatan, seperti NU, Muahammadiyah dan lintas agama. Para kiai

pesantren, tokoh masyarakat dan lintas agama perlu digerakan secara

serentak. Tugas mereka adalah melurusken pemahaman agama yang

salah atau deradikalisasi ideologi kepada masyarakat luas. Terorisme ada

karena kesalahpahaman terhadap hakikat dari ajaran agama.

Kesalahpahaman ini kemudian pada 2006 telah berkembang menjadi

penyalah gunaan agama. Karena akar terorisme adalah pemahaman ideologi

yang salah, perhatian aparat tidak boleh hanya tertuju pada bentuk

terornya.

2. Aspek hukum. Untuk memberantas terorisme tentu parlu undang-undang

yang cukup agar aparat bisa bergerak di lapangan dengan langkah –

langkah yang terukur. Jangan sampai aparat justru dinilai melanggar hak

asasi manusia. Apalagi polisi kini belum sepenuhnya mendapat dukungan

opini, partisipasi masyarakat secara luas.

3. Pendekatan Intelejen dan pendekatan kewilayahan. Karena para teroris di

Indonesia bergerak dibawah tanah, penanganan terorisme tidak bisa

ditempuh diatas tanah. Di sinilah pendekatan intelijen sangat diperlukan.

Jika kepolisian tidak mampu bergerak maksimal, sebaiknya melibatkan

intelijen TNI. Kedua lembaga harus bekerja sama tanpa saling

menegasikan.

4. Aspek security dan represi. Tugas negara, terutama kepolisian, adalah

menciptakan rasa aman di masyarakat dari ancaman terorisme. Karena itu,

penangann semua kasus terorisme harus dituntaskan. Namun, perlu

diperhatikan, cara kekerasan bisa menimbulkan terorisme baru, sehingga

diperlukan pendekatan lain.

Page 20: Gerakan Pembaharuan Pemikiran Islam Era Reformasi di

Gerakan Pembaharuan

20

AJIQS Vol. 1 No. 2 Desember 2019

5. Political will. Dalam hal ini, kepala negara perlu tugas mengambil sikap

dalam menagani terorisme yang terus mengancam. Hanya kepala negara

yang bis menggerakan semua elemen bangsa Indonesia dalam rangka

melakukan penangan terorisme secara tepadu.

6. Ujung dari semua ini aspek di atas adalah proses hukum terhadap para

pelaku teror. Pada masa lalu, berhasil meangkap hidup-hidup orang yang

diduga teroris. 26

F. Penutup

Mengacu pada paparan hasil analisis tentang dua pembaharu Muslim di

Indonesia dapat disimpulkan melalui runutan berikut:

Pertama, kedua pemuka pembaharu Muslim tersebut memiliki ruh

serupa dan merepresentasikan bagaimana pembaharuan pemikiran Islam di

Indonesia pasca Reformasi 1998. Nurcholis Majid (Cak Nur) mengungkap

formulasi pemikiran Islam lebih substantif filosofis dengan menggunakan

media potensi lokalitas atau kearifan budaya yang berkembang dalam tradisi

intelektual Islam. Sementara, Hasyim Muzadi melakukan formulasi pemikiran

yang cenderung tradisional. Perbedaan keduanya lebih pada metodologi yang

dibangun dan digunakan untuk menjelaskan relasi intelektual dalam tradisi

Islam di Indonesia. Cak Nur selangkah lebih maju karena di samping

mengkontruksi tradisi intelektual Islam, juga menggunakan metodologi dan

tradisi intelektual yang berkembang di dunia Barat. Sementara Hasyim Muzadi

masih menggunakan term-term dalam hazanah Islam tanpa “memolesnya”

dengan tradisi yang berkembang di dunia Barat.

Kedua, konsekuensi perbedaan penggunaan metodologi bukan terbatas

pada pengaruh latar belakadng keduanya, namun hasil kerja intelektual

keduanya memiliki misi dan media berbeda. Pengaruh tradisionalisme nampak

26 Ibid., hal. 244-245.

Page 21: Gerakan Pembaharuan Pemikiran Islam Era Reformasi di

Gerakan Pembaharuan

21 AJIQS Vol. 1 No. 2 Desember 2019

dijadikan sepirit oleh Hasyim Mujadi untuk mengimbangi paham-paham

ekstrim, radikal dan intoleran. Hasyim Muzadi seolah melawankan dua arus

utama (mainstream) dalam pemikiran dan gerakan intelektual Islam di Indonesia.

Nucholis Majid lebih luwes dalam menganalisis relasi tumbuhnya paham

radikalisme dengan metdologi pemahaman yang dibangun oleh kelompok

Islam terkait.

Fakta demikian, merupakan konsekuensi dari lingkungan Hasyim

Muzadi yang merepresentasikan sebagai warga ormas Nahdatul Ulama, sebuah

organisasi sosial keagamaan terbesar di Indonesia. Metode dan pendekatan

Hasyim serupa dengan metode dan pendekatan yang dibangun oleh NU dalam

membangun narasi dan praktek keislaman. Cak Nur juga memiliki konsekuensi

yang serupa. Namun dengan segmen masyarakat lebih modern (kelas

menengah ke atas). Dua arus pemikiran yang mengisi dinamika pembangunan

di Indonesia pasca Reformasi 1998 pada akhirnya bermuara yang sama.

Daftar Pustaka

Aboebakar Atjeh, Sedjarah Hidup KH. Abdul Wahid Hasjim dan Karangan Tersiar

(Jakarta: Panitia Buku Peringatan Alm. K.H. A. Wahid Hasyim, 1957).

Ahmad Millah Hasan, Biografi A. Hasyim Muzadi, (Depok: Keira, 2018).

Al Qurthuby, Sumanto. (1999). Era Baru Fiqih Indonesia, Yogyakarta: Cermin.

Barton, Greg 1999. Gagasan Islam Liberal di Indonesia: Pemikiran Neo Modernisme Nurcholish Madjid, Djohan Effendi, Ahmad Wahib, dan Abdurrahman Wahid. Jakarta: Paramadina.

Boyd, J. 2001. Distance Learning from Purdah in Nineteenth Century Northern Nigeria: the Work of Asma’u Fodiyo. Journal of African Cultural Studies.

Dadang Kahmad, Sosiologi Agama Potret Agama dalam Dinamika Konflik, Pluralisme dan Modernitas,( Pustaka Setia: Bandung, 2011).

Dahlan, M. Moderasi Hukum Islam dalam Pemikiran Ahmad Hasyim Muzadi. Al-Ihkam, Vol. 11 No. 2 Desember 2016, hlm. 313-334.

Ehwanudin. Tokoh Proklamator Nahdlatul Ulama (Studi Historis Berdirinya Jam’iyyah Nahdlatul Ulama), Fikri, Vol. 1, No. 2, Desember 2016, P-ISSN: 2527-4430, E-ISSN: 2548-7620, hlm. 447-467.

Page 22: Gerakan Pembaharuan Pemikiran Islam Era Reformasi di

Gerakan Pembaharuan

22

AJIQS Vol. 1 No. 2 Desember 2019

Janah, N. Nurcholish Madjid dan Pemikirannya (Diantara Kontribusi dan Kontroversi). Cakrawala: Jurnal Studi Islam, Vol. XII, No. 1, 2017, hlm. 44-63.

Jawahir, M. 2016. Analisis Pemikiran Nurcholis Madjid Tentang Politik Islam, Skripsi. Semarang: UIN Walisongo.

Kandi. (2004). Prof. Dr. Nurcholish Madjid: Jejak Pemikiran dari Pembaharu sampai Guru Bangsa. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Khalid Masud, Muhammad. 2009. Islamic Modernism. in ed. Muhammad Khalid Masud et.al, Islam and Modernity: Key Issues and Debates. British: Edinburgh University Press.

Kritzman, ed, Lawrence, D. 1988. Michel Foucault: Politics, Philosophy, Culture: Interviews and Other Writings, 1977–1984. New York: Routledge.

Madjid, Nurcholish. (1999). Islam, Kemoderenan dan Keindonesiaan, Bandung: Mizan.

Munir, M. Nurcholish Madjid dan Harun Nasution serta Pengaruh Pemikiran Filsafatnya. Petita, Volume 2, Nomor 2, November 2017, hlm. 211-227.

Noercholis Majid, (2000). Islam Doktrin dan Peradaban: Sebuah Telaah Kritis Tentang Masalah Keimanan, Kemanusiaan dan Kemodernan, Jakarta: Paramadina.

Rasyid, MM. Islam Rahmatan Lil Alamin Perspektif Kh. Hasyim Muzadi, Epistemé, Vol. 11, No. 1, Juni 2016, hlm. 93-116

Rijal Mumazziq Zionis, Fikrah Nakhdiyah sebagai Pondasi kehidupan Berbangsa dan Bernegara , (Jember: STAI Assuniyah Kencong).

Salamuddin. Meneguhkan Islam Nusantara: Nahdlatul Ulama dan Falsafah Pendidikan Pesantren Musthafawiyah, Journal of Contemporary Islam and Muslim Societies, Vol. 3 No. 1 Januari-Juni 2019, hlm. 36-67.

Suprayogo, Imam. (2003). Metodologi Penelitian Sosial Agama, Bandung:

Rosdakarya.

Sutarto, Ayu. 2008. Menjadi NU Menjadi Indonesia: Pemikiran K.H. Abdul Muchith Muzadi. Surabaya: Khalista.

Urbaningrum, Anas. (2004). Islamo-Demokrasi: Pemikiran Nurcholish Madjid, Jakarta: Republika.

Wahid, Abu Dua. (2004). Ahmad Wahib: Pergulatan, Doktrin dan Realitas Sosial, Yogyakarta: Resist Book.