hq tempt: creed`s honor · lonesome bend, colorado tricia mccall bukanlah tipe orang yang mu-dah...

14

Upload: vudiep

Post on 03-Mar-2019

212 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Creed’s Honor

Penerbit PT Elex Media Komputindo

Creed’s Honor

Originally published as Creed’s Honor © 2011 Linda Lael MillerTranslation by Elex Media Komputindo as Creed’s Honor © 2017

All right reserved including the right of reproduction in whole or in part in any form.

This edition published by arrangement with Harlequin Books S.A.

This is a work of fiction. Names, characters, places, and incidents are either the product of the author’s imagination or are used fictitiously, and any resemblance to actual persons, living or dead, business establishment,

events, or locales is entirely coincidental.

Cover art is by arrangement with Harlequin Books S.A.All right reserved.

Alih bahasa: Debbie Hendrawan

Hak Cipta Terjemahan IndonesiaPenerbit PT Elex Media Komputindo

Hak Cipta dilindungi oleh Undang-UndangDiterbitkan pertama kali tahun 2017 oleh

Penerbit PT Elex Media KomputindoKelompok Gramedia, Anggota IKAPI, Jakarta

717030019ISBN: 978-602-02-9875-7

Dilarang mengutip, memperbanyak, dan menerjemahkan sebagian atau seluruh isi buku ini tanpa izin tertulis dari penerbit.

Dicetak oleh Percetakan PT Gramedia, JakartaIsi di luar tanggung jawab percetakan

Untuk Lael favoritku:Mike dan Sara dan Courtney serta Chandler

Lonesome Bend, Colorado

TRICIA MCCALL BUKANLAH tipe orang yang mu-dah melihat bayangan-bayangan masa lalu, tapi ada saatnya—terutama saat sedang sendirian, kelelahan atau keduanya—dirinya menangkap sekilas bayangan anjingnya, Rusty, dari satu sudut matanya. Setiap kali hal ini terjadi, ia mengharapkan sesuatu yang mustahil; jantungnya berdetak lebih cepat penuh harap dan rasa riang, dan embusan napasnya menyumbat bagian be-lakang tenggorokannya. Tapi saat ia berbalik, tak peduli secepat apa pun, anjing campuran gembala-Lab itu tidak pernah ada di sana.

Tentu saja, tidak mungkin. Rusty telah mati dalam tidurnya baru enam bulan yang lalu, anjing riang ber-moncong kelabu dan ada sepanjang tahun, keper giannya masih menimbulkan rasa sakit yang ber denyut di bagian belakang hati Tricia kapan pun ia memikirkan anjing itu. Yang mana cukup sering.

Bagaimanapun juga, Rusty adalah kawan baiknya nyaris setengah usianya. Tricia baru hampir beranjak tiga puluh tahun saat ini, dan ia baru berusia lima belas tahun saat bersama ayahnya menemukan anak anjing berbulu

Haven, Arizona TerritoryFall, 1903

THE PINT-SIZE CULPRITS, heretofore gathered around thewell, scattered for the brush as soon as Sam O’Ballivanrode into the schoolyard on his nameless horse, but he’dseen enough to know they were up to no good. He caughtglimpses of bowl-cut hair, denim trousers and chambrayshirts as they fled. Pigtails, too, and a flash of red calico,bright as a cardinal rousted from the low branches of awhite oak tree in winter. With a disgusted shake of hishead, Sam reined in and dismounted, leaving the geldingto stand untethered while he strode toward the scene ofrecent mischief. A part of his mind stayed behind, with theanimal—it was newly acquired, that horse, and the two ofthem had yet to form a proper acquaintance. All duringthe long ride south from his ranch just outside Flagstaff,he’d been too busy cogitating on the complexities of this

0607_9780373771981_txt.qxp 2/27/07 2:38 PM Page 9

B a B

S a t u

2

cokelat kemerahan yang bersembunyi di bawah sebuah meja piknik di bumi perkemahan, nyaris kelaparan, penuh kutu dan gemetaran.

Tricia dan Joe McCall menghilangkan kutu di tu-buh anjing itu sebisa mungkin, memberinya makan dan langsung membawanya ke kantor Dr. Benchley untuk mendapatkan suntikan-suntikan dan pemeriksaan. Sejak saat itu, Rusty menjadi salah satu anggota keluarga.

“Meow,” potong sebuah suara kucing yang datang dari dekat mata kaki kanan Tricia. Masih mengenakan jubah biru kumal longgar dan sandal empuk merah muda yang dihadiahkan oleh sahabatnya, Diana, pada hari Natal sebagai lelucon, Tricia menunduk untuk menatap Winston, seekor kucing hitam dengan guratan putih di antara kedua telinganya. Kucing itu adalah pe-ngunjung yang sering mampir ke apartemennya, karena kucing itu tinggal di lantai bawah, bersama nyonyanya, nenek buyut Tricia, Natty. Tempat tinggal terpisah itu dihubungkan oleh sebuah tangga di bagian dalam, tapi Winston masih bisa mengejutkannya dengan cukup sering.

“Meow,” hewan yang tersesat tadi mengulang, kali ini dengan tekanan lebih, menengadah dengan bersung-guh-sungguh ke arah Tricia. Terjemahan: Ini adalah penyiksaan kucing. Natty McCall mungkin tampak se­perti seorang wanita tua yang tidak berbahaya, tapi aku kelaparan, kukatakan padamu. Kau harus melakukan sesuatu.

“Sebuah kisah yang meyakinkan, napas sardin,” jawab Tricia, keras-keras. “Aku ada di sana saat barang-

3

barang belanjaan itu dikirimkan Jumat lalu, ingat? Kau tidak mungkin kelaparan bahkan jika kita terjebak salju hingga musim semi.”

Winston menggerakkan ekor mengilapnya, dengan gaya oh-well-aku-sudah-berusaha dan menyeberangi dapur mungil itu untuk melompat ke atas meja Tricia dan bergelung di atas setumpuk rapi kertas printer di samping papan tombol. Ia menatap Tricia dengan ke-dua mata kuningnya yang setengah terpejam saat Tricia menuangkan secangkir kopi untuk dirinya sendiri dan berjalan santai untuk menyalakan PC-nya. Mungkin ada sebuah e-mail dari Hunter; yang jelas akan membangkit-kan semangatnya.

Bukannya ia sedang murung, tepatnya. Tidak, ia merasa lebih seperti seseorang yang hidup dalam ke-adaan mati suri, terjebak di antara semua kejadian pen-ting dalam kehidupan. Ia menandai waktu, berjalan di tempat. Dan itulah yang mengganggunya.

Karena tekanan pada sebuah tombol, layar tampak menyala dan di sanalah; foto dirinya dan Hunter, tampak riang di depan sebuah pondok ski di Idaho dan tampak seperti—well—pasangan. Dua manusia yang bahagia dan saling tertarik yang cocok satu sama lain, berpakaian lengkap untuk menikmati satu hari di lereng-lereng itu.

Dengan ujung satu jarinya, Tricia menyentuh ra-hang persegi Hunter, wajahnya yang tampan klasik. Piksel-piksel berhamburan, seperti sebuah tiruan dunia mungil yang menyebar setelah sebuah ledakan besar tan-pa suara. Tricia meletakkan cangkirnya di sebuah ruang kecil di atas mejanya yang sudah dikuasai Winston dan

4

mengempaskan diri di atas kursi yang diseretnya men-jauh dari peralatan makan.

Ia duduk sangat diam untuk sesaat atau lebih, kopi dalam cangkir yang sangat didambakannya setelah ia membuka kedua matanya pagi ini sudah menjadi di-ngin di sisinya, tatapannya terpaku pada pemandangan bersalju yang membahagiakan itu. Senyuman-senyuman lebar. Mata-mata berbinar.

Mungkin ia harus mengganti foto itu, pikirnya. Mengembalikannya pada layar berjalan berisi foto Rusty. Masalahnya adalah, rasa kehilangan itu masih terlalu jelas.

Jadi ia tetap membiarkan foto pondok ski itu di tem-patnya semula. Dirinya dan Hunter menjalani hidup bersama yang menyenangkan, waktu di Seattle, yang rasanya seperti sebuah kehidupan lain sebelumnya wa-laupun baru satu setengah tahun berselang sejak gairah yang dengan begitu yakin rasanya dapat mereka perta-hankan mulai memudar.

Segera setelah ia menjual bisnis gagal yang diwarisi-nya saat ayahnya meninggal—Bumi Perkemahan River’s Bend, Taman RV, dan teater Drive­in Bluebird kuno di tepi kota—ia dapat kembali ke kehidupannya yang nyata dalam dunia seni Seattle. Membuka sebuah galeri kecil di Pike Place Market, mungkin, atau di suatu tem-pat di Pioneer Square.

Di sampingnya, Winston meluruskan ekornya hingga ujung ekor itu menyapu punggung tangan Tri-cia, menggelungnya kembali dan lalu mengulangi ke-seluruhan proses itu lagi. Dengan lembut tersadar dari

5

lamunannya, Tricia menatap gerakan ekor hitam itu me-nyeberangi tatapan matanya dan lalu mendarat, dengan akurasi yang sangat tepat, di atas permukaan kopinya.

Tricia mendorong kursinya ke belakang, kaki-kaki kursi itu menimbulkan bunyi berdencit di atas lantai linoleum yang sudah tergores, dan ia meringis sebe-lum teringat bahwa Natty sedang keluar kota minggu ini, mengunjungi adiknya yang berusia delapan-puluh-sembilan-tahun di Denver, dan karenanya tidak akan terganggu oleh suara itu.

Bergumam kesal, ia menyeberangi ruangan ke arah bak pencuci piring kuno di bawah jendela mungil yang memiliki pemandangan ke teras depan, membuang kopinya, mencuci cangkir itu bersih-bersih dan me-nuangkan kopi yang baru bagi dirinya sendiri. Winston melompat turun dari atas meja, membuat suara gedebuk keras saat mendarat di lantai, seolah entah bagaimana ia adalah seekor kucing gemuk.

Sambil bersandar pada meja, Tricia memperkuat diri dengan beberapa tegukan kopi kental panas yang ia tahu—bahkan tanpa semua peringatan tak kentara dari Natty—terlalu sering diminumnya, dan dalam jumlah yang berlebihan.

Winston tidak salah menuntut hak sarapannya, Tri-cia merenung; tugasnyalah memberi makan dan me-ngosongkan kotak kotoran kucing itu saat nenek-buyut-nya sedang pergi.

“Ayo,” katanya, dengan kopi di tangan, menuju ke pintu yang mengarah ke tangga sempit gelap menuju

6

bagian rumah milik Natty. “Aku tidak ingin kau jatuh pingsan karena kelaparan.”

Kau bahkan belum tiga puluh tahun, komentar se-buah suara di dalam kepalanya, dan kau sedang berbicara dengan seekor kucing. Kau benar­benar memerlukan suatu kehidupan.

Sambil menghela napas, Tricia menyalakan lampu tunggal dalam langit-langit curam di atas tangga dan mulai melangkah turun, dengan berhati-hati karena kecenderungan Winston untuk membelitkan tubuh di sekitar mata kaki dan sandal raksasanya, yang mana merupakan sebuah ancaman tersandung bahkan pada permukaan lantai yang rata.

Ruangan-ruangan Natty dengan menyenangkan ber-aroma kayu yang belum lama terbakar dalam perapian batu, aroma pekat dari semacam campuran antara bunga rampai dan bedak tabur lavendel yang sepertinya disukai banyak wanita tua.

Sambil menyeberangi ruang duduk, yang dipenuhi perabotan antik berukiran rumit, setiap permukaan di-penuhi setidaknya satu tatakan piring berukiran rumit saling mengait dan sebagian besar juga dihiasi sebuah foto berbingkai indah, Tricia tersenyum. Di usianya yang kesembilan puluh satu, Natty masih sibuk, de-ngan teman-teman dari semua jenjang usia, dan juga masih aktif dalam komunitas. Baru tahun lalu, ia di-tugasi mengurus obral barang bekas tahunan dan chili­feed, sebuah acara populer yang diadakan pada minggu terakhir bulan Oktober. Para anggota Bantuan bagi para Wanita—organisasi di mana bantuan mereka sudah

7

lama tak berfungsi—mendonasikan uang yang mereka dapatkan untuk meningkatkan sistem sekolah lokal, un-tuk dipergunakan dalam kebutuhan tambahan seperti alat-alat kesenian, alat-alat musik dan seragam-seragam barisan musik. Dan sementara Natty berperan sebagai pendamping kelompok itu, ia menghadiri setiap perte-muannya.

Dapur Natty tampak kuno menyenangkan seperti bagian rumahnya yang lain—walaupun ada sebuah kompor listrik, kompor asli dengan bahan bakar kayu masih mendominasi satu sudut dari ruangan panjang sempit itu. Dan Natty masih menggunakannya, saat muncul semangat untuk memanggang.

Tanpa derak api seperti biasanya, dapur itu terasa sedikit lebih dingin, dan Tricia bergetar sekali saat ia menuju ke dapur, meletakkan cangkir kopinya di atas meja. Ia mengambil satu kaleng berisi makanan Win-ston yang biasa—kucing itu hanya diijinkan menikmati sardin di hari Minggu, sebagai sebuah hidangan istime-wa—dari salah satu rak di dalam dapur itu, menarik tutupnya dan menuangkan isinya ke dalam salah satu mangkuk sup yang sudah retak tapi masih cantik yang memang diperuntukkan bagi kucing itu.

Udara dingin membeku seolah merembes dari lantai saat Tricia membungkuk untuk meletakkan mangkuk itu di depan si kucing. Tricia dapat merasakannya bah-kan lewat sol sandal konyolnya.

Sementara Winston mengunyah, ia mengisi sedikit air minum baru dan meletakkan mangkuknya agar mu-dah dijangkau. Lalu, memeluk tubuhnya sendiri untuk

8

menahan hawa dingin, ia menatap lewat jendela yang menjulur keluar yang mengelilingi meja kayu ek warisan Natty, setengah berharap melihat kepingan-kepingan salju meluncur melewati kaca.

Badai jelas tidak aneh muncul di bagian Colorado itu, walaupun saat ini baru pertengahan bulan Oktober, tapi Tricia bertahan dalam cuaca cerah dengan cara yang sama. Musim panas dan awal musim gugur tidak se perti biasanya terasa lebih sepi di bumi perkemahan dan ta-man RV, tapi orang-orang datang dari berbagai belahan negara bagian untuk menghadiri acara obral barang bekas/chili­feed, dan banyak di antara mereka membawa tenda-tenda dan truk-truk bepergian, dan tinggal agak lama di tepian sungai. Biaya ringan yang dibebankan Tricia untuk tempat-tempat berkemah dan penggunaan sambungan listrik, begitu juga potongan keuntungan-nya dari mesin-mesin penjualan, akan dapat membuat-nya bertahan hidup hingga beberapa bulan ke depan.

Beberapa jiwa penuh kemurahan hati bisa saja masih ada dan membeli properti yang ditinggalkan Joe pada-nya, tapi sejauh ini semua tanda Dijual belum meng-hasilkan sambutan apa pun.

Tricia menghela napas, menatap Winston makan be-berapa saat, lalu mulai menghampiri tangga. Ya, ini ma-sih pagi, tapi ia akan menghadapi satu hari kerja penuh di depan mata di River Bend. Ia telah melepaskan para pekerja musiman, yang berarti ia harus melayani meja pendaftaran sendiri, menjawab telepon yang jarang ber-bunyi dan menyelinap pada sela-sela waktu yang singkat untuk membersihkan kamar-kamar mandi umum dan

9

kamar-kamar kecil. Setelah akhir minggu besar di akhir bulan, ia akan menutup semuanya selama musim dingin.

Segumpal rasa sedih menyumbat tenggorokan Tri-cia saat ia menaiki tangga, meninggalkan pintu di kaki tangga itu tetap terbuka bagi Winston seperti juga pintu yang di atas. Saat masih kecil, ia sangat suka mengun-jungi River Bend pada musim-musim panas, “mem-bantu” ayahnya menjalankan teater terbuka dan bumi perkemahan, mereka berdua tinggal bersama Natty dan sekelompok kucing manja yang diberi nama tokoh-to-koh sejarah dan/atau politik yang dikagumi wanita tua itu.

Salah satunya bernama Abraham; yang lainnya, Jen-dral Washington. Lalu berikutnya seekor kucing betina cantik, Laurel Roosevelt, dan sekarang ada Winston, untuk sang perdana mentri yang suka mengisap cerutu yang membimbing Inggris melewati masa-masa kege-lapan dalam Perang Dunia II.

Tricia tersenyum lagi saat ia tiba di dapurnya sendiri, yang mana terasa lebih hangat. Ia baru saja akan duduk di depan komputer lagi untuk memeriksa e-mail-nya, seperti yang berniat dilakukannya sebelumnya, saat ia mendengar ketukan di pintu belakang di lantai bawah.

Terkejut, Winston mengeong panjang dan menyer-bu masuk lewat pintu bak sebuah peluru hitam berbulu, arah larinya mengindikasikan kucing itu berniat ber-sembunyi di dalam kamar tidur Tricia, di bawah tempat tidur, mungkin, atau di rak tertinggi di dalam lemari pakaiannya.