hubungan kuesioner hearing handicap...
TRANSCRIPT
HUBUNGAN KUESIONER HEARING HANDICAP
INVENTORY FOR THE ELDERLY-SCREENING (HHIE-S)
DENGAN TES AUDIOMETRI NADA MURNI PADA
ORANG USIA 60-90 TAHUN DI PANTI WERDHA DI
TANGERANG SELATAN
Evaluasi dilakukan di Panti Werdha Bina Bhakti, Melania, Pniel dan
Beth Shalom di Tangerang Selatan
Laporan penelitian ini ditulis sebagai salah satu syarat untuk
memperoleh gelar SARJANA KEDOKTERAN
OLEH:
Ade Nurmyla Fauziati
NIM: 11161030000016
PROGRAM STUDI KEDOKTERAN
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1441 H/2019 M
i
LEMBAR PERNYATAAN KEASLIAN KARYA
Dengan ini saya menyatakan bahwa:
1. Laporan penelitian ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk
memenuhi salah satu persyaratan memperoleh gelar strata 1 di UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta.
2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya cantumkan sesuai
dengan ketentuan yang berlaku di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
3. Jika dikemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan karya asli saya atau merupakan
hasil jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia menerima sanksi yang
berlaku di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
Ciputat, 20 November 2019
Ade Nurmyla Fauziati
Materai
6000
ii
LEMBAR PERSETUJUAN PEMBIMBING
HUBUNGAN KUESIONER HEARING HANDICAP INVENTORY FOR THE
ELDERLY-SCREENING (HHIE-S) DENGAN TES AUDIOMETRI NADA
MURNI PADA ORANG USIA 60-90 TAHUN DI PANTI WERDHA
DI TANGERANG SELATAN
Laporan Penelitian
Diajukan kepada Program Studi Kedokteran, Fakultas Kedokteran untuk Memenuhi
Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Kedokteran (S.Ked)
Oleh
Ade Nurmyla Fauziati
NIM: 11161030000016
Pembimbing I Pembimbing II
PROGRAM STUDI KEDOKTERAN
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
1441 H / 2019 M
dr. Sity Kunarisasi, MARS
NIP. 196110191989112001
Dr. dr. Fikri Mirza Putranto, SpTHT-KL
NIP.-
iii
PENGESAHAN PANITIA UJIAN
Laporan Penelitian berjudul HUBUNGAN KUESIONER HEARING HANDICAP
INVENTORY FOR THE ELDERLY-SCREENING (HHIE-S) DENGAN TES
AUDIOMETRI NADA MURNI PADA ORANG USIA 60-90 TAHUN DI PANTI
WERDHA DI TANGERANG SELATAN yang diajukan oleh Ade Nurmyla Fauziati
(NIM 1116103000016), telah diujikan dalam sidang di Fakultas Kedokteran pada 20
November 2019. Laporan penelitian ini telah diterima sebagai salah satu syarat
memperoleh gelar Sarjana Kedokteran (S.Ked) pada Program Studi Kedokteran.
Ciputat, 20 November 2019
DEWAN PENGUJI
Ketua Sidang
Pembimbing I Pembimbing II
Penguji I Penguji II
PIMPINAN FAKULTAS
Dekan FK UIN Kaprodi Kedokteran
dr. Hadianti, Sp.PD-KPTI
NIP.-
Dr. dr. H. Syarief Hasan Lutfie, Sp.KFR., MARS
NIP. 196209201990031002
Dr. dr. Fikri Mirza Putranto, SpTHT-KL
NIP.-
Dr. dr. Fikri Mirza Putranto, SpTHT-KL
NIP.-
dr. Sity Kunarisasi, MARS
NIP. 196110191989112001
iv
KATA PENGANTAR
Segala puji bagi Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan karuniaNya
kepada penulis, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini dengan baik.
Shalawat dan salam senantiasa tercurah kepada Rasulullah SAW yang mengantarkan
manusia dari zaman kegelapan ke zaman yang terang benderang ini. Penyusunan
skripsi ini dimaksudkan untuk memenuhi sebagian syarat-syarat guna mencapai gelar
Kedokteran di Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
Penulis menyadari bahwa penulisan ini tidak dapat terselesaikan tanpa
dukungan dari berbagai pihak baik moril maupun materil. Oleh karena itu, penulis
ingin menyampaikan ucapan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu
dalam penyusunan skripsi ini terutama kepada:
1. dr. Hari Hendarto, Ph.D., Sp.PD-KEMD Selaku Dekan Fakultas Kedokteran
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
2. dr. Achmad Zaki, M.Epid., Sp.OT Selaku Ketua Program Studi Kedokteran,
beserta segenap dosen di Fakultas Kedokteran UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
yang senantiasa mendidik, membimbing dan memberikan ilmu kepada saya
selama menjalani masa Pendidikan di Program Studi Kedokeran di Fakultas
Kedokteran UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
3. Dr. dr. Fikri Mirza P, Sp.THT-KL selaku dosen pembimbing I pada penelitian
ini yang selalu memberikan waktu, ilmu, arahan dan bimbingan kepada saya
sehingga dapat menyelesaikan penelitian ini dengan sebaik-baiknya.
4. dr. Sity Kunarisasi, MARS selaku dosen pembimbing II pada penelitian ini atas
segala bimbingan, arahan dan bantuan kepada saya sehingga dapat menjadikan
penelitian ini lebih baik.
5. dr. H. Meizi Fachrizal Achmad, M. Biomed selaku pembimbing akademik yang
selalu memberikan perhatian, saran dan bimbingan kepada saya.
6. drg. Laifa Annisa Hendarmin, Ph.D selaku penanggung jawab riset Angkatan
2015 yang selalu mengingatkan dan memberikan arahan untuk segera
menyelesaikan penelitian ini.
v
7. dr. Syarief Hasan Lutfie, Sp.KFR., MARS dan dr. Hadianti, Sp.PD-KPTI
selaku penguji dalam penelitian ini atas kritik dan saran yang diberikan untuk
menyempurnakan penelitian ini.
8. Kedua orangtua saya tercinta saya, H. Tumiran dan Dra. Hj. Eti yang selalu
mendoakan, memberikan motivasi dan pengorbanannya baik dari segi moril,
materi sehingga saya dapat menyelesaikan penelitian ini. Serta kepada adik
saya, Rezky Tri Kurniawan yang telah membantu saya dalam mengerjakan
penelitian ini.
9. Para pengurus panti wedha Hanna, Melania, Bina Bhakti dan Pniel yang telah
memberikan waktu dan bantuan dalam pengambilan data pada penelitian ini.
Serta segenap responden yang telah bersedia dan melungkan waktunya untuk
ikut serta dalam penelitian ini.
10. Teman-teman seperjuangan pada penelitian ini dan selama masa Pendidikan
pre-klinik ini, Khanissa Aghnia Afwa, Sumaya Aljufri, Zakiyah Safitri dan
Hibban Ahmad Daffa, yang telah membantu dalam menyelesaikan penelitian
ini, serta atas segala dukungan, diskusi dan motivasi sehingga penelitian ini
dapat terselesaikan.
11. Teman-teman mahasiswa angkatan 2016, Semua pihak yang tidak dapat penulis
sebut satu persatu yang telah membantu dalam penyelesaian penulisan naskah
skripsi ini.
Saya menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari sempurna dikarenakan terbatasnya
pengalaman dan pengetahuan yang saya miliki. Oleh karena itu, penulis mengharapkan
segala bentuk saran serta masukan bahkan kritik yang membangun dari berbagai pihak.
Semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi penulis dan para pembaca, serta semua pihak
khususnya dalam bidang kedokteran.
Ciputat, 20 November 2019
Penulis
vi
ABSTRAK
Ade Nurmyla Fauziati. Program Studi Kedokteran, Hubungan Kuesioner Hearing
Handicap Inventory for The Elderly-Screening (HHIE-S) dengan Tes Audiometri Nada
Murni Pada Orang Usia 60-90 Tahun di Panti Werdha di Tangerang Selatan. 2019.
Latar belakang : Gangguan pendengaran pada orang usia lanjut dapat menyebabkan
gangguan komunikasi sehingga terjadi penurunan kualitas hidup. Penelitian ini
bertujuan untuk mengetahui korelasi kuesioner HHIE-S dengan tes audiometri nada
murni pada orang usia 60-90 tahun di Panti Werdha di Tangerang Selatan. Metode :
Penelitian dengan desain cross sectional di panti werdha di Tangerang Selatan pada
bulan Agustus-September 2016. Jumlah responden 59 orang yang memenuhi kriteria
penelitian dengan metode pemilihan purposive sampling. Hasil : Didapatkan korelasi
positif kuat antara skor kuesioner HHIE-S dengan rerata ambang dengar pada tes
audiometri nada murni menggunakan uji spearman (r=0,769, p=0,00). Skor kuesioner
HHIE-S memiliki korelasi lebih tinggi pada nilai rerata ambang dengar (PTA),
dibandingkan dengan ambang dengar 4000 Hz dan 8000 Hz. Kesimpulan : Terdapat
hubungan yang signifikan antara skor kuesioner HHIE-S dengan ambang dengar tes
audiometri nada murni pada orang usia 60-90 tahun di Panti Werdha di Tangerang
Selatan.
Kata Kunci : Presbiskusis, Kuesioner Hearing Handicap Inventory for The Elderly-
Screening, Audiometri, Usia lanjut
ABSTRACT
Ade Nurmyla Fauziati. Medical Study. Correlation Hearing Handicap Inventory for
The Elderly-Screening questionare with Pure Tone Audiometry Test in People Aged
60-70 Years Old at Nursing Home in Tangerang Selatan. 2019.
Background: Hearing loss in elderly people can cause communication problems
resulting in decreased quality of life. This study aims to determined correlation
between HHIE-S questionnaire with pure tone audiometry test in people aged 60-90
years at nursing home in South Tangerang. Method: A cross sectional study at nursing
home in South Tangerang in August 2016. Number of respondents was 59 people that
met the research criteria using the purposive sampling method. Results: A strong
positive correlation was obtained between HHIE-S questionnaire scores and the
average hearing threshold on pure tone audiometry tests using the spearman test
(r=0,769, p=0,00). The HHIE-S questionnaire score has higher correlation with mean
hearing threshold (PTA), compared to the hearing threshold of 4000 Hz and 8000 Hz.
Conclusion: There is a significant relationship between HHIE-S questionnaire scores
and hearing threshold on pure tone audiometry tests in people aged 60-90 years at
nursing home in South Tangerang.
Keywords: Presbyscusis, Hearing Handicap Inventory for the Elderly-Screening
Questionnaire, Audiometry, Elderly
vii
DAFTAR ISI
LEMBAR PERNYATAAN KEASLIAN KARYA.................................................... i
LEMBAR PERSETUJUAN PEMBIMBING ........................................................... ii
PENGESAHAN PANITIA UJIAN ........................................................................... iii
DAFTAR TABEL ....................................................................................................... x
DAFTAR GAMBAR .................................................................................................. xi
DAFTAR SINGKATAN ........................................................................................... xii
DAFTAR LAMPIRAN ............................................................................................ xiii
BAB I PENDAHULUAN ............................................................................................ 1
1.1 Latar Belakang ............................................................................................................ 1
1.2 Identifikasi Masalah ................................................................................................... 2
1.3 Rumusan Masalah....................................................................................................... 2
1.4 Tujuan Penelitian ........................................................................................................ 3
1.4.1 Tujuan Umum ............................................................................................... 3
1.4.2 Tujuan Khusus .............................................................................................. 3
1.5 Hipotesis ...................................................................................................................... 3
1.6 Manfaat ........................................................................................................................ 3
1.6.1 Bagi Penulis .................................................................................................. 3
1.6.2 Bagi Perguruan Tinggi .................................................................................. 4
1.6.3 Bagi Masyarakat ........................................................................................... 4
BAB II TINJAUAN PUSTAKA ................................................................................ 5
2.1 Landasan Teori ............................................................................................................ 5
2.1.1 Anatomi dan Fisiologi Pendengaran ............................................................. 5
2.1.2 Proses Penuaan ............................................................................................. 6
2.1.3 Gangguan Pendengaran ................................................................................ 7
2.1.4 Presbikusis .................................................................................................... 7
2.1.4.1 Etiologi ................................................................................................... 8
2.1.4.2 Epidemiologi .......................................................................................... 8
2.1.4.3 Faktor Risiko .......................................................................................... 8
viii
2.1.4.4 Patologi ................................................................................................ 10
2.1.4.5 Manifestasi klinis ................................................................................. 11
2.1.4.6 Penegakan Diagnosis ........................................................................... 11
2.1.4.7 Tatalaksana ........................................................................................... 14
2.1.4.8 Dampak ................................................................................................ 14
2.1.4.9 Evaluasi Kualitas Hidup ....................................................................... 17
2.1.4.10 Kuesioner Hearing Handicap Inventory for The Elderly-Screening .. 19
2.1.5 Demensia .................................................................................................... 20
2.2 Kerangka Teori ......................................................................................................... 23
2.3 Kerangka Konsep...................................................................................................... 24
2.3 Definisi Operasional ................................................................................................. 25
BAB III METODE PENELITIAN .......................................................................... 26
3.1 Desain Penelitian ...................................................................................................... 26
3.2 Waktu dan Tempat Penelitian ................................................................................. 26
3.3 Populasi dan Sampel Penelitian .............................................................................. 26
3.3.1 Populasi Target ........................................................................................... 26
3.3.2 Populasi Terjangkau ................................................................................... 26
3.3.3 Sampel ........................................................................................................ 26
3.3.4 Teknik Pengambilan Sampel ...................................................................... 27
3.3.5 Kriteria Sampel ........................................................................................... 27
3.3.5.1 Kriteria Inklusi ..................................................................................... 27
3.3.5.2 Kriteria Eksklusi................................................................................... 27
3.4 Variabel Penelitian ................................................................................................... 28
3.4.1 Variabel Terikat (Dependent) ..................................................................... 28
3.4.2 Variabel Bebas (Independent) .................................................................... 28
3.5 Cara kerja Penelitian ................................................................................................ 29
3.5.1 Alur Penelitian ............................................................................................ 29
3.5.2 Alat dan Bahan............................................................................................ 30
3.5.3 Cara kerja .................................................................................................... 30
3.6 Manajemen Data ....................................................................................................... 31
ix
3.6.1 Pengumpulan Data ...................................................................................... 31
3.6.2 Analisis Data ............................................................................................... 31
3.6.3 Penyajian Data ............................................................................................ 31
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN .................................................................. 32
4.1 Hasil .......................................................................................................................... 32
4.1.1 Analisis Univariat ......................................................................................... 32
4.1.1.1 Karakteristik Responden ...................................................................... 32
4.1.1.2 Gambaran Sebaran Hasil Pemeriksaan Audiometri ............................. 33
4.1.2 Analisis Bivariat ......................................................................................... 34
4.1.2.1 Korelasi Antara Variabel dengan Skor Kuesioner HHIE-S ................. 35
4.1.2.2 Korelasi Antara Demensia dengan Gangguan Pendengaran ................ 36
4.1.3 Analisis Multivariat .................................................................................... 37
4.1.3.1 Model ................................................................................................... 37
4.1.3.2 Analisis Regresi Linier Sederhana ....................................................... 38
4.1.3.2 Koefisien Determinasi (R2) .................................................................. 39
4.2 Pembahasan ............................................................................................................... 40
4.2.1 Analisis Univariat ....................................................................................... 40
4.2.1.1 Karakteristik Responden ...................................................................... 40
4.2.1.2 Gambaran Sebaran Hasil Pemeriksaan Audiometri ............................. 42
4.2.2 Analisis Bivariat ......................................................................................... 43
4.2.2.1 Hubungan Antara Variabel dengan Skor Kuesioner HHIE-S .............. 43
4.2.2.2 Hubungan Antara Demensia dan Gangguan Pendengaran .................. 48
4.2.3 Analisis Multivariat .................................................................................... 49
KETERBATASAN PENELITIAN .......................................................................... 51
BAB V SIMPULAN DAN SARAN .......................................................................... 55
5.1 Simpulan .................................................................................................................... 55
5.2 Saran ........................................................................................................................... 56
DAFTAR PUSTAKA ................................................................................................ 57
LAMPIRAN ............................................................................................................... 62
x
DAFTAR TABEL
Tabel 1.1 Klasifikasi gangguan pendengaran berdasarkan ISO………………......…15
Tabel 4.1 Karakteristik Responden …………………………………………….........32
Tabel 4.2 Sebaran hasil pemeriksaan audiometri nada murni ………......………….33
Tabel 4.3 Derajat gangguan pendengaran berdasarkan nilai rerata ambang dengar
(PTA)……………………………...…………………………………………………34
Tabel 4.4 Tabel 4.4 Hasil skor kuesioner HHIE-S terhadap derajat gangguan
pendengaran……...………………………………………………………...........…..34
Tabel 4.5 Korelasi variabel dengan skor kuesioner HHIE-S…….......……………..35
Tabel 4.6 Korelasi ambang dengar dengan skor kuesioner HHIE-S…….........…...36
Tabel 4.7 Korelasi antara ambang dengar dengan demensia……………………...…37
Tabel 4.8 Model Analisi Regresi Linier…………………………..…………………38
Tabel 4.9 Analisis Regresi Linier Berganda………………………………...……….39
Tabel 4.10 Koefisien Determinasi (R2)………………………………...……………40
xi
DAFTAR GAMBAR
Gambar 4.1 Earphone dan software pada non-chamber audiometry Kuduwave….13
xii
DAFTAR SINGKATAN
dB : Desibel
DNA : Deoxyribonucleic Acid
HHIE : Hearing Handicap Inventory for The Elderly
HHIE-S : Hearing Handicap Inventory for The Elderly-Screening
ISO : International Organization for Standarization
MMSE : Mini Mental State Examination
PTA : Pure Tone Audiometry
RISKESDAS : Riset Kesehatan Dasar
RSUD : Rumah Sakit Umum Daerah
SAC : Self-Assessment of Communication
SF-36 : The Short From 36 Health Survey
URJ : Unit Rawat Jalan
WHO : World Health Organization
xiii
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1 Lembar Kaji Etik…………………………………………………...…...63
Lampiran 2 Surat Permohonan Izin Penelitian dan Pengambilan Data di Panti
Werdha……………………………………………………………………………….64
Lampiran 3 Lembar Informed Consent…………………………………...…………65
Lampiran 4 Kuesioner Karakteristik Responden……………………………..……..66
Lampiran 5 Kuesioner Mini-Mental State Exam (MMSE)…………………….…...67
Lampiran 6 Kuesioner Indeks Barthel…………………………………..…………..69
Lampiran 7 Kuesioner Hearing Handicap Inventory For The Eldery-Screening
(HHIES)…………………………………………………………...………………...70
Lampiran 8 Form Pemeriksaan Fisik Telinga………………………..……………...71
Lampiran 9 Contoh Hasil Audiometri………………………………...……………..72
Lampiran 10 Gambar Pengambilan Data…………………………………...……….73
Lampiran 11 Hasil Uji Statistik…………………………………...…………………74
Lampiran 12 Riwayat Penulis………………………………………………………..93
1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Presbikusis adalah penurunan fungsi pendengaran yang umumnya terjadi mulai
usia 60 tahun, berupa tuli sensorineural frekuensi tinggi yang dihasilkan dari proses
penuaan.1 Karakteristik presbikusis adalah penurunan ketajaman pendengaran bilateral
khususnya pada frekuensi tinggi dan pada ruangan bising, ketidakmampuan
melokalisir sumber suara, penurunan kecepatan presepsi suara.2
Pada tahun 2012, World Health Organization (WHO) memperkirakan 360 juta
penduduk dunia menderita gangguan pendengaran, 180 juta jiwa diantaranya
merupakan penduduk Asia Tenggara. Indonesia menempati urutan ke 4 atas kasus
gangguan pendengaran tertinggi di Asia Tenggara, setelah Sri Langka, Myanmar, dan
India.3 Berdasarkan data Riskesdas tahun 2013, prevalensi rata-rata gangguan dengar
di Indonesia sebesar 2,6%. Prevalensi gangguan pendengaran tertinggi pada kelompok
usia lebih dari 75 tahun dengan prevalensi sebesar 36,6%, kemudian kelompok usia
65-74 tahun dengan prevalensi sebesar 17,1%. Prevalensi gangguan dengar di Banten
menempati urutan terendah dibandingkan dengan provinsi lain di Indonesia, yaitu
sebesar 1,6%. Sedangkan, prevalensi gangguan dengar tertinggi terdapat di provinsi
Nusa Tenggara Timur (3,7%).4
Pada orang lanjut usia dengan presbiskusis, terjadi gangguan dalam
berkomunikasi, sehingga pasien akan cenderung menarik diri dari lingkungan sosial,
depresi dan penurunan interaksi sosial. Hal tersebut menyebabkan terjadinya
penurunan kualitas hidup, sehingga akan berdampak buruk terhadap keadaan sosial
emosional penderita.5
Salah satu metode utama untuk mendiagnosis presbikusis adalah tes audiometri
nada murni. Pada tes audiometri nada murni, pemeriksa mendapatkan hasil berupa
derajat dan tipe gangguan pendengaran. Akan tetapi, tes audiometri ini memiliki
banyak kendala untuk dilakukan di setiap tempat fasilitas kesehatan tingkat pertama,
baik dalam ketersediaan alat, sumber daya manusia dan biaya.1,2
2
Alternatif lain sebagai metode diagnosis presbikusis adalah The Hearing
Handicap Inventory for the Elderly-Screening (HHIE-S) sebagai metode skrining cepat
berupa kuesioner yang didesain oleh Ventry dan Weinstein. Kuesioner ini terdiri dari
10 pertanyaan yang mengevaluasi sosial emosional pada orang dengan gangguan
pendengaran secara subjektif.6 Pada penelitian yang dilakukan oleh Fittrih, dkk. pada
tahun 2015 di Surabaya, menunjukan bahwa terdapat hubungan antar skor kuesioner
HHIE-S dengan derajat gangguan pendengaran pada penderita presbiskusis di URJ
Geriatri RSUD Dr. Soetomo. Selain itu, didapatkan kuesioner HHIE-S memiliki nilai
sensitivitas 88% dan spesifitas 89%.7
Penelitian mengenai kuesioner The Hearing Handicap Inventory for the
Elderly-Screening (HHIE-S) belum pernah dilakukan di provinsi Banten. Hal ini
membuat yang peneliti tertarik untuk menilai korelasi kuesioner The Hearing
Handicap Inventory for the Elderly-Screening (HHIE-S) dengan tes audiometri nada
murni pada orang usia 60-90 tahun di panti werdha di Tangerang Selatan.
1.2 Identifikasi Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah di atas, maka dapat diidentifikasi masalah-
masalah sebagai berikut:
1. Presbiskusis adalah gangguan dengar yang sering terjadi pada orang lanjut usia.
2. Tingginya prevalensi kasus gangguan dengar di Indonesia.
3. Tes audiometri sulit dilakukan di setiap fasilitas kesehatan tingkat pertama.
4. Belum terdapat penelitian mengenai kuesioner The Hearing Handicap
Inventory for the Elderly-Screening (HHIE-S) di provinsi Banten.
1.3 Rumusan Masalah
1. Apakah terdapat korelasi antara nilai kuesioner Hearing Handicap Inventory
for The Elderly-Screening (HHIE-S) dibandingkan dengan skor tes audiometri
nada murni pada orang usia 60-90 tahun di panti werdha di Tangerang Selatan?
3
1.4 Tujuan Penelitian
1.4.1 Tujuan Umum
1. Mengetahui korelasi nilai kuesioner Hearing Handicap Inventory for The
Elderly-Screening (HHIE-S) dibandingkan dengan nilai ambang dengar
menggunakan audiometeri nada murni pada orang usia 60-90 tahun di panti
werdha di Tangerang Selatan.
1.4.2 Tujuan Khusus
1. Mengetahui angka kejadian presbikusis di Panti Werdha Bina Bhakti, Beta
Shalom, Pniel dan Melania di Tangerang Selatan.
2. Mengetahui korelasi gangguan pendengaran terhadap sosial emosional pada
orang usia 60-90 tahun.
3. Mengetahui faktor-faktor yang dapat mempengaruhi gangguan sosial
emosional pada orang usia 60-90 tahun.
4. Mengetahui korelasi antara demensia menggunakan skor MMSE dengan
ambang dengar (rerata ambang dengar, frekuensi 4000 Hz dan frekuensi 8000
Hz) pada orang usia 60-90 tahun.
1.5 Hipotesis
1. Nilai kuesioner The Hearing Handicap Inventory for the Elderly-Screening
(HHIE-S) memiliki korelasi dengan nilai audiometri nada murni pada orang
usia 60-90 tahun di panti werdha di Tangerang Selatan.
1.6 Manfaat
1.6.1 Bagi Penulis
1. Untuk menyelesaikan studi skripsi S1 Program Studi Kedokteran.
2. Untuk menerapkan ilmu-ilmu yang telah didapat saat penelitian.
3. Untuk menambah pengetahuan mengenai presbikusis.
4. Untuk menambah pengetahuan mengenai penerapan dan pemanfaatan
mengenai ilmu-ilmu yang telah didapatkan selama penelitian ini.
4
1.6.2 Bagi Perguruan Tinggi
1. Memajukan Fakultas Kedokteran melalui publikasi penelitian.
2. Sebagai wujud implementasi tri dharma perguruan tinggi sebagai lembaga
pendidikan dan pengajaran dalam usaha mengembangkan ilmu pengetahuan.
1.6.3 Bagi Masyarakat
1. Masyarakat dapat lebih memahami mengenai gangguan pendengaran pada
orang usia 60-90 tahun sehingga kasus gangguan pendengaran dapat diketahui
sedini mungkin memakai kuesioner Hearing Handicap Inventory for The
Elderly-Screening (HHIE-S).
5
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Landasan Teori
2.1.1 Anatomi dan Fisiologi Pendengaran
Telinga adalah organ pendengaran dan keseimbangan. Telinga memiliki tiga
bagian, yaitu telinga luar, telinga tengah dan telinga dalam. Secara embriologi, telinga
luar dan telinga tengah berkembang dari celah brakial pertama, sedangkan telinga
dalam berkembang dari plakoda optika.8
Telinga luar terdiri dari auricula, meatus acusticus externus, dan membrana
timpani. Auricula berfungsi untuk mengumpulkan gelombang bunyi untuk diteruskan
ke rongga telinga. Meatus akustikus externus adalah saluran untuk menghantarkan
gelombang bunyi ke membrana timpani. Membrana timpani adalah jaringan ikat
dengan lapisan kulit dan membran mukosa. Pada bagian posterior membran timpani
menempel tulang pendengaran yang berfungsi untuk mengamplifikasi bunyi.8
Telinga tengah terdiri atas tulang pendengaran dan tuba eustachius. Tulang
pendengaran terdiri atas maleus, inkus, dan stapes yang saling dihubungkan melalui
persendian. Maleus melekat pada membran timpani dan stapes melekat pada koklea.
Tuba eustachius adalah saluran yang menghubungkan telinga tengah dengan rongga
nasofaring. Tuba eustachius berfungsi untuk mengatur ventilasi, proteksi dan drainase
pada telinga tengah.1,8
Telinga dalam terdiri atas koklea yaitu organ berbentuk seperti rumah siput
dengan labirin-labirin dan vestibuler. Di dalam koklea, terdapat organ corti yang
mengandung sel rambut yang menghasilkan impuls saraf sebagai respon getaran bunyi.
Pada bagian vestibuler yang terdiri dari sakulus, utrikulus dan kanalis semisirkularis
yang berfungsi sebagai organ keseimbangan.8
Pada proses mendengar, gelombang suara yang datang ditangkap oleh auricula
yang dihantarkan melalui udara atau tulang melewati meatus akustikus eksternus.
Getaran tersebut menggetarkan membran timpani yang kemudian dihantarkan ke
6
telinga tengah melalui tulang pendengaran yang berfungsi untuk mengamplifikasi
getaran sehingga dapat menggetarkan perilimfe dalam skala vestibuli. Getaran
kemudian diteruskan ke membran reissner, sehingga menyebabkan membran basilaris
dan membran tektorium yang berisi endolimfe ikut bergetar. Getaran pada endolimfe
akan merangsang menekuknya stereosilia sel rambut, sehingga terjadi depolarisasi
sehingga terjadi eksitasi neurotransmiter melalui nervus vestibulokoklearis [n.VIII]
menuju korteks auditorius di lobus temporal untuk presepsi suara.1,8
2.1.2 Proses Penuaan
Proses penuaan adalah proses akumulasi dari berbagai zat molekular secara
terus menerus dalam sel sehingga mengganggu proses regenerasi sel dan jaringan. Usia
tua dapat dinyatakan berdasarkan usia kronologis, yaitu sekitar usia 60 tahun. Selain
itu, usia tua juga dapat didefinisikan sebagai waktu dimana hilangnya peran dalam
kehidupan individu ataupun sosial, disertai penurunan kualitas fisik yang signifikan.9
Terdapat beberapa teori mengenai proses penuaan. Berdasarkan teori radikal
bebas, penuaan terjadi akibat akumulasi radikal bebas yang menyebabkan kerusakan
sel dan jaringan secara struktural dan fungsional. Teori lain menjelaskan proses
penuaan berhubungan dengan genetik. Pada teori ini, defek molekular pada sel dan
jaringan sudah dimulai sejak awal kehidupan, secara progresif terakumulasi seiring
dengan bertambahnya usia, sehingga menyebabkan kerusakan DNA, gangguan fungsi
reparasi DNA, dan mutasi mitokondria yang mengandung DNA. Selain itu, dalam teori
genetik menjelaskan peran telomer yang melindungi ujung kromosom dalam proses
penuaan. Pemendekan telomer pasca mitosis penurunan kemampuan mitosis sel.10,11
Teori proses penuaan selanjutnya menjelaskan mengenai pengaruh dari sistem
imun. Mutasi sistem imun secara berulang atau perubahan protein pasca translasi
menyebabkan kelainan sistem dalam mengenali dirinya sendiri dan kelainan dalam
mengenali antigen permukaan sel, sehingga terjadi reaksi antigen-antibodi di jaringan-
jaringan.10
7
2.1.3 Gangguan Pendengaran
Gangguan pendengaran adalah penurunan fungsi organ pendengaran yang
dapat disebabkan oleh berbagai faktor. Gangguan pendengaran dapat diklasifikasikan
berdasarkan lokasi struktural kerusakan organ, sehingga dapat diklasifikasikan yaitu:
1. Gangguan pendengaran konduktif
Gangguan pendengaran konduktif atau tuli konduktif terjadi karena
adanya obstruksi atau gangguan mekanik pada lumen sistem pendengaran,
sehingga terjadi gangguan rambatan suara menuju koklea. Penyebab terjadinya
tuli konduktif adalah akumulasi serumen, keganasan pada nasofaring, perforasi
pada membran timpani, dan sklerosis membran timpani. Contoh penyakit yang
disebabkan gangguan konduktif ini adalah otitis media dan otoskeloris.12
2. Gangguan pendengaran sensorineural
Gangguan pendengaran sensorineural atau tuli sensorineural terjadi
karena gangguan fungsi koklea atau nervus kranialis vestibulokoklear.
Beberapa etiologi tuli sensorineural seperti genetik, trauma, infeksi, induksi
suara bising secara kronik, metabolik, obat-obatan yang menyebabkan
ototoksik, keganasan atau degenerasi pada organ pendengaran (presbikusis).
Perubahan pada sel rambut koklea juga dapat menjadi penyebab tuli
sensorineural. Tuli sensorineural dapat terjadi bilateral, seperti pada
presbikusis, ataupun unilateral, seperti pada neoplasma, trauma dan infeksi.5,12
2.1.4 Presbikusis
Presbikusis adalah penurunan fungsi pendengaran sensorineural akibat proses
penuaan. Presbikusis sering terjadi pada usia lebih dari 60 tahun, yang dipengaruhi
faktor predesposisi, seperti paparan suara bising terus menerus, obat-obatan yang
bersifat ototoksik. Pada penderita presbikusis terjadi gangguan fungsi sensorik dari
periferal dan sentral sistem auditorik yang menyebabkan kehilangan fungsi pedengaran
bilateral terutama untuk suara dengan frekuensi tinggi.12
8
2.1.4.1 Etiologi
Penyebab presbikusis pada lansia umumnya idiopatik, namun sebab utamanya
melalui proses degenerasi pada fungsi anatomis dan fisiologis telinga dalam. Proses
degenerasi menyebabkan perubahan pada stria vaskularis dan keterbatasan gerak
membrana basilaris, sehingga menyebabkan ketulian.1 Pada presbikusis sentral dapat
terjadi akibat kerusakan neuron pada otak, hal ini dapat terjadi karena stroke iskemik,
trauma kepala, dan hipoglikemia yang menyebabkan terjadi neurotoksisitas, kematian
neuron dan penyakit neurodegeneratif.13
2.1.4.2 Epidemiologi
Presbikusis adalah salah satu gangguan fungsi organ yang paling sering terjadi
pada orang lanjut usia. American Speech-Language Hearing Asociation menyatakan
bahwa gangguan pendengaran adalah satu dari tiga penyakit kronik tersering pada
orang lanjut usia di Amerika. Diperkirakan prevalensi gangguan pendengaran sebesar
44% pada usia 60 tahun, kemudian akan meningkat menjadi 66% pada usia 70-79
tahun, serta 90% pada usia 80 tahun.11
Di Indonesia menurut Riskesdas tahun 2013, prevalensi gangguan pendengaran
pada kelompok usia lebih dari 75 tahun sebesar 36,5%, sedangkan prevalensi kelompok
usia 65-74 tahun sebesar 17,1% dengan prevalensi gangguan pendengaran pada
perempuan lebih tinggi sedikit dibandingkan laki-laki yaitu sebesar 2,8% dan 2,4%.4
2.1.4.3 Faktor Risiko
1. Genetik
Faktor genetik dan riwayat penyakit keluarga sangat berhubungan
dengan kejadian presbikusis. Genetik berpengaruh terhadap kerentanan
saluran pendengaran terhadap perubahan metabolik saat terjadi proses
penuaan. Berdasarkan Frammingham study, risiko presbikusis meningkat 25-
55% pada pasien yang memiliki keluarga dengan riwayat gangguan
pendengaran.11
2. Jenis Kelamin
9
Pada penelitian Kim S, dkk. menyatakan bahwa laki-laki memiliki
risiko mengalami presbiskusis lebih tinggi dibandingkan wanita. Hal tersebut
terjadi karena pada koklea terdapat reseptor hormon steroid, sehingga
peningkatan hormon esterogen saat mentruasi akan mempengaruhi
homeostasis dan bersifat protektif terhadap koklea.11
3. Gaya Hidup dan Obat-obatan
Paparan suara keras secara terus menerus, serta pengobatan ototoksik
seperti antibiotik aminoglikosida dan obat anti kanker menyebabkan
peningkatan stress oksidatif pada saluran pendengaran, sehingga menyebabkan
kerusakan organ pendengaran yang terjadi secara kronik. Selain itu, faktor gaya
hidup juga mendukung peningkatan stress oksidatif, seperti jarang
berolahraga, kebiasaan merokok, dan diet tinggi lemak.11
4. Penyakit Kardiovaskular
Gangguan fungsi pembuluh darah akibat dislipidemia,
hiperkolesterolemia, hipertensi dan penyakit kardiovaskular lain menyebabkan
terjadinya gangguan perfusi pada telinga dalam. Hal ini terjadi karena terdapat
kerusakan secara kronik, sehingga terjadi penurunan fungsi sistem
endolimfatik dan penurunan sensitivitas koklea terhadap suara.11
5. Diabetes mellitus
Hiperglikemia pada pasien diabetes melitus menyebabkan peningkatan
viskositas darah, sehingga terjadi penurunan perfusi pada mikrosirkulasi yang
menyebabkan hipoksia sel. Hipoksia dan stress oksidatif pada koklea
menyebabkan kerusakan pada stria vaskularis dan sel rambut pada koklea.11
6. Gangguan Kognitif
Pada gangguan kognitif berupa demensia terjadi gangguan struktur
anatomi dan biomolekular dari otak. Pada tahap awal penyakit demensia terjadi
kerusakan pada otak, termasuk lobus temporal dan regio otak lain, sehingga
terjadi perubahan patologik pada sistem auditori. Pada penelitian case control
yang dilakukan Ulhmann pada 100 orang penderita demensia dan 100 orang
bukan penderita demensia, menunjukan bahwa ambang dengar pada penderita
10
demensia secara signifikan lebih tinggi 30 dB dibandingkan orang bukan
penderita demensia. Hal tersebut dapat terjadi karena proses neurodegeneratif,
antara lain kerusakan neuron dan sinaps serta atrofi otak terutama pada girus
temporalis superior pada pusat memori menyebabkan gangguan fungsi
memori, sehingga gangguan pemahaman kata. Kerusakan pada sistem limbik
dan jaras auditori dapat menyebabkan gangguan dalam transmisi dan
pemrosesan suara saat mendengar. Shen Y, dkk. menyimpulkan bahwa proses
degenerasi neuron pada korpus genikulatum medial dapat menyebabkan
gangguan pendengaran pada frekuensi rendah dan tinggi.14
2.1.4.4 Patologi
Presbikusis terjadi akibat proses degenerasi yang menyebabkan penurunan
sensitivitas pendengaran secara bilateral baik suara berfrekuensi tinggi atau rendah.
Menurut Schuknecht, presbikusis dibagi menjadi beberapa jenis berdasarkan hasil tes
audiometri dan patologi tulang temporal.15 Berdasarkan patologinya, presbikusis
terjadi karena beberapa macam penyebab, yaitu:
1. Presbikusis sensoris
Presbikusis sensoris terjadi karena kerusakan pada organ corti.
Presbikusis sensorik sering terjadi pada orang yang mengalami paparan suara
frekuensi tinggi secara terus menerus sehingga proses degenerasi pada sel
rambut bagian luar, kemudian akan berlanjut ke membran basalis, lalu ke apeks
koklea. Gangguan pendengaran terjadi secara progresif, sehingga pasien
mengalami penurunan kualitas pendengaran untuk suara berfrekuensi tinggi.15
2. Presbikusis neural
Paparan bunyi berfrekuensi tinggi secara terus menerus menyebabkan
proses degenerasi dan atrofi pada neuron sensoris. Pada pasien ini struktur
koklea dalam keadaan normal, namun terjadi gangguan diskriminasi suara
akibat kehilangan lebih dari 50% neuron di koklea. Pada pasien penderita
presbikusis neural terjadi gangguan dalam pemeriksaan audiometri sehingga
terjadi penurunan kejelasan bicara.11,15
11
3. Presbikusis metabolik atau strial
Proses metabolik menyebabkan degenerasi, atrofi dan penipisan pada
stria vaskularis, sehingga terjadi penurunan potensial endolimfatik. Penurunan
potensial pada sistem endolimfatik menyebabkan penurunan gaya transduksi
suara ke seluruh bagian koklea.11,15
4. Presbikusis mekanik atau konduktif
Presbikusis mekanik terjadi karena adanya massa atau kekakuan pada
membran basalis koklea yang disebabkan karena proses degenerasi. Hal
tersebut menyebabkan gangguan konduksi mekanik suara menuju koklea. Pada
presbikusis tipe ini menyebabkan gangguan pendengaran pada suara
berfrekuensi rendah dan gangguan pengenalan suara.15
2.1.4.5 Manifestasi klinis
Gejala klinis pada pasien presbikusis adalah penurunan sensitivitas
pendengaran bilateral dan penurunan kemampuan dalam interpretasi dan memahami
suara. Gangguan pendengaran awalnya terjadi pada frekuensi tinggi, penurunan
pemahaman kata pada lingkungan yang bising, penurunan kecepatan pemrosesan
impuls suara pada otak, dan penurunan kemampuan lokalisir suara. Lansia akan
merasakan suara seperti berugumam dan kesulitan untuk mengikuti pembicaraan
karena terdapat beberapa potongan suara yang hilang. Gejala lain yang muncul pada
pasien presbikusis, seperti vertigo, tinnitus, dan otalgia.5,11
2.1.4.6 Penegakan Diagnosis
Dalam penegakan diagnosis pasien presbikusis dilakukan dengan beberapa
tahap, yaitu:
1. Anamnesis
Dilakukan anamnesis pada pasien mengenai penurunan pendengaran
bilateral. Lalu ditanyakan mengenai riwayat penyakit dahulu seperti infeksi
kronik telinga, riwayat operasi telinga, dan riwayat paparan suara tinggi secara
terus menerus. Perlu ditanyakan juga riwayat penyakit lain seperti diabetes
12
melitus, penyakit ginjal, serta penggunaan obat ototoksik seperti loop diuretik
dan aminoglikosida.2,16
2. Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan fisik inspeksi pada struktur telinga menggunakan otoskop.
Dilakukan inspeksi pada kanalis auditori eksterna dan membran timpani.
Selain itu, dapat dilakukan tes garpu tala untuk mengetahui apakah pasien
mengalami tuli konduktif atau sensorineural.2,16
3. Audiometri Nada Murni
Audiometri nada murni adalah alat untuk mengevaluasi fungsi
pendengaran secara kuantitatif dan kualitatif dengan menghasilkan bunyi nada
murni. Audiometri nada murni ini hanya menunjukan gangguan pendengaran
perifer, karena hanya mengevaluasi fungsi pendengaran dibawah kolikulus
inferior sebagai pusat diskriminasi intensitas dan frekuensi bunyi.17
Pemeriksaan audiometri dilakukan di ruang yang kedap suara atau
minimal suara. Pemeriksaan audiometri dapat menilai dua jenis mekanisme
pendengaran, yaitu hantaran udara (air conduction) dan hantaran tulang (bone
conduction). Untuk menilai hantaran udara menggunakan headphone yang
diletakan di telinga, sedangkan untuk menilai hantara tulang dengan
menggunakan vibrator yang diletakan di mastoid. Pada pemeriksaan ambang
dengar hantara udara, frekuensi yang dihasilkan alat audiometri sebesar 250,
500, 1.000, 2.000, 4.000, dan 8.000 Hz. Sedangkan, pada pemeriksaan ambang
dengar hantaran tulang, frekuensi yang dihasilkan alat audiometer sebesar 250,
500, 1.000, 2.000, dan 4.000 Hz. Pemeriksaan ini akan menghasilkan grafik
yang menunjukan ambang dengar pasien dalam satuan desibel (dB). Grafik ini
disebut audiogram.17
Tabel 1.1 Klasifikasi gangguan pendengaran berdasarkan ISO1
Sumber : Soepardi, dkk. 2007
13
Pada penelitian ini dilakukan pemeriksaan audiometri nada murni
dengan
menggunakan portable computer-based air and bone conduction audiometer
non chamber (non-chamber audiometry KUDUwave500). Audiometer tipe ini
adalah teknologi terbaru untuk meningkatkan efisiensi pemeriksaan audiometri
dengan tingkat kebisingan lingkungan yang beragam. Audiometri ini
menggunakan alat berupa earphone dan software yang terhubung dengan
komputer yang dapat dibawa ke segala tempat. Pada earphone terdapat juga
circumaural ear-cups yang digunakan memiliki efek untuk meminimalisir
pengaruh kebisingan lingkungan dibandingkan dengan supraaural headphones
yang digunakan pada audiometri konvensional hingga 59 dB. Selain itu,
audiometer tipe ini juga dapat mengetahui tingkat kebisingan lingkungan
sekitar sehingga mengetahui kemungkinan pengaruh kebisingan lingkungan
dengan ambang dengar subjek.18,19
Gambar 4.1 Earphone dan software non-chamber audiometry Kuduwave.18
Sumber: Swanepoel, D. W., & Biagio, L, 2011
Ambang Dengar Interpretasi
0-25 dB Pendengaran normal
26-40 dB Gangguan pendengaran ringan
41-55 dB Gangguan pendengaran sedang
56-70 dB Gangguan pendengaran sedang berat
71-90 dB Gangguan pendengaran berat
>90 dB Gangguan pendengaran sangat berat
14
Berdasarkan Swanepoel dan Biagio, didapatkan perbedaan ambang
dengar pada hantaran udara sebesar 5 dB antara audiometer KUDUwave
dengan audiometer konvensional. Penelitian lain di Australia mengevaluasi
perbandingan penggunakan audiometri konvensional di ruang kedap suara
dengan audiometri KUDUwave di ruang tanpa kedap suara. Penelitian
tersebut menunjukan bahwa perbedaan ambang dengar dari kedua audiometri
tersebut sangat kecil. Hal tersebut menunjukan bahwa keefektivan
penggunaan audiometri KUDUwave sama dengan audiometri konvensional,
akan tetapi audiometri KUDUwave tidak membutuhkan ruang kedap suara,
sehingga mempermudah dalam penggunaannya.18,19
2.1.4.7 Tatalaksana
Tatalaksana pada pasien presbikusis mencakup kompensasi gangguan
pendengaran perifer, serta training rehabilitasi dan konseling. Walaupun tatalaksana
pasien presbikusis tidak dapat mengembalikan fungsi pendengaran secara total, namun
perbaikan pada fungsi pendengaran dapat mencegah terjadinya penurunan kognitif,
demensia dan gangguan fungsi sosial pada lansia.20
Tatalaksana presbikusis antara lain, penggunaan alat bantu dengar pada
presbikusis yang disebabkan gangguan fungsi koklea atau neuron dapat meningkatkan
kualitas dan menurunkan keterbatasan komunikasi pada lansia. Alat bantu dengar dapat
berupa alat bantu digital eksternal, maupun implantasi permanen melalui tindakan
operatif. Tindakan rehabilitasi fungsi audiologi dapat berupa latihan membaca ujaran
(speech reading), latihan mendengar (auditory training), dan konseling gangguan
pendengaran.5,20
2.1.4.8 Dampak
Presbikusis adalah salah satu penyakit yang paling sering diderita oleh lansia,
setidaknya 1 dari 4 lansia dengan umur lebih dari 70 tahun mengalami gangguan
pendengaran. Lansia dengan gangguan pendengaran dilaporkan cenderung mengalami
isolasi dari lingkungan sosial dan depresi. Gangguan dengar juga cenderung
15
menurunkan kepuasan terhadap citra diri dan kualitas hidup. Selain itu, gangguan
dengar merupakan salah satu faktor risiko terjadinya gangguan kognitif pada lansia.21,22
Gangguan dengar memiliki efek terhadap psikososial emosional pada orang
lanjut usia. Berdasarkan beberapa penelitian menyatakan bahwa hendaya yang
didapatkan dari gangguan dengar dapat berdampak pada harga diri, komunikasi, dan
aktivitas sehari-hari. Dampak psikososial emosional lain yang dapat terjadi pada orang
dengan gangguan dengar adalah rasa malu, frustasi, kesendirian, stress, ansietas,
somatisasi, depresi, dan penurunan fungsi sosial.22
Efek sosial yang diakibatkan oleh gangguan dengar pada lanjut usia yaitu
gangguan komunikasi. Kesulitan berkomunikasi pada orang dengan gangguan dengar
disebabkan kesalahan mendengar atau memahami percakapan, sehingga memunculkan
perasaan berbeda dan isolasi saat berkomunikasi dalam kelompok. Isolasi tersebut juga
dapat terjadi akibat kesulitan lain, seperti sering meminta pengulangan kata dan tidak
yakin bahwa mereka mendengar dengan benar. Hal tersebut menyebabkan penurunan
interaksi sosial dan penurunan partisipasi dalam aktivitas di komunitas.22
Gangguan pendengaran dapat berdampak penurunan fungsi aktivitas dasar
sehari-hari, seperti gangguan dalam berpindah tempat, penggunaan toilet, dan
perubahan posisi dari tempat tidur ke kursi. Berdasarkan penelitian Gopinath, dkk.
menyatakan bahwa orang lanjut usia dengan derajat gangguan dengar yang lebih buruk
(>40 dB) memiliki disabilitas fungsional yang lebih buruk. Menurut Dalton, dkk.
gangguan pendengaran tidak berdampak langsung terhadap penurunan aktivitas dasar
sehari-hari, namun melalui gangguan komunikasi sosial, gangguan spasial dan postural
keseimbangan, serta gangguan kewaspadaan lingkungan.23,24
Gangguan pendengaran juga merupakan salah satu faktor resiko untuk
terjadinya gangguan kognitif pada orang lanjut usia. Gates, dkk. menyatakan bahwa
gangguan pendengaran berkorelasi dengan demensia tipe Alzheimer pada orang lanjut
usia. Gangguan dengar memiliki korelasi yang signifikan dengan demensia sedang dan
berat, namun berdasarkan penelitian Lopes, dkk. menyatakan bahwa terdapat
perbedaan antara ambang dengar pada orang dengan demensia ringan dengan
16
kelompok kontrol, namun tidak terdapat perbedaan intensitas keluhan pendengaran
yang dievaluasi dengan kuesioner HHIE-S antar dua kelompok tersebut. Naramura,
dkk. menyatakan bahwa gangguan pendengaran menyebabkan berkurangnya
kemampuan untuk mengintegrasikan informasi dari lingkungan. Hal tersebut didukung
oleh penelitian Lin, dkk. yang menyatakan bahwa orang dengan gangguan dengar
memiliki risiko 36,6% mengalami demensia. Gangguan pendengaran dapat
menyebabkan pengurangan aktivitas pemrosesan bahasa di korteks auditori, serta
peningkatan kompensasi aktivitas bahasa di prefrontal korteks. Peningkatan beban
kognitif dalam penerjemahan kata, isolasi sosial, kesendirian dan gangguan
neurobiologi pada pasien dengan gangguan pendengaran dapat menyebabkan
terjadinya peningkatan neurodegeneratif dan penurunan sinaps neuron yang berfungsi
untuk fungsi memori, sehingga dapat menyebabkan terjanya demensia. Hal tersebut
juga dapat terjadi karena penurunan komunikasi sosial akibat gangguan pendengaran,
sehingga terjadi penurunan impuls pendengaran pada korteks auditori. Peningkatan
beban kognitif juga berpotensi mempengaruhi aktivitas sehari-hari. 6,14,22,25,26
Dampak lain dari gangguan dengar adalah penurunan kualitas hidup.
Berdasarkan penelitian Ciorba & Bianchini, dkk. menyatakan bahwa hanya 39% pasien
presbikusis merasa memiliki kualitas hidup yang baik, dibandingkan dengan 68%
pasien tanpa gangguan pendengaran. Mereka menemukan bahwa gangguan
pendengaran menyebabkan penurunan kualitas hidup akibat menurunnya interaksi dan
isolasi sosial pada pasien. Menurut penelitian Ringdahl, dkk. menyatakan bahwa
terdapat perbedaan yang signifikan kualitas hidup antara kelompok dengan gangguan
pendengaran dan kelompok dengan pendengaran normal. Pada penelitian tersebut juga
dikatakan bahwa terdapat hubungan linear antara gangguan pendengaran dengan
kualitas hidup, yaitu semakin tinggi derajat gangguan dengar, maka semakin rendah
kualitas hidupnya. Hal tersebut dapat terjadi sebagaimana gangguan pendengaran
merupakan risiko kelelahan, ketidak bahagiaan, dan penurunan tingkat kesejahteraan
pada orang lanjut usia. Peningkatan resiko stress juga dapat terjadi, sehingga
menyebabkan peningkatan sekresi hormon stress, sehingga meningkatkan risiko
terjadinya penyakit lain. Berdasarkan penelitian McArdle, dkk. mendapatkan bahwa
17
penggunaan alat bantu dengar pada orang dengan gangguan dengar menunjukan
peningkatan kualitas hidup berdasarkan kuesioner generik maupun spesifik pada
gangguan dengar. Beberapa penelitian juga menyatakan bahwa penggunaan alat bantu
dengar dapat menurunkan stress psikologis, sosial, dan emosional melalui evaluasi
dengan kuesioner HHIE. Penelitian Dalton, dkk. menyatakan bahwa gangguan dengar
yang di evaluasi menggunakan audiometri nada murni dan kuesioner HHIE-S memiliki
hubungan dengan kualitas hidup yang berhubungan dengan kesehatan melalui
kuesioner The Short From 36 Health Survey (SF-36).22,24,27
2.1.4.9 Evaluasi Kualitas Hidup
Menurut WHO, kualitas hidup adalah persepsi subjektif individu dalam hidup
sesuai konteks budaya dan sistem yang dianutnya, berhubungan dengan tujuan,
harapan, dan standar dalam kehidupan. Menurut Brown, dkk. kualitas hidup adalah
penilaian objektif individu mengenai pencapaian atas terpenuhinya kebutuhan dan
keinginan mereka dalam kehidupan, mencakup dalam kehidupan pribadi, keluarga, dan
lingkungan sosial. Kulitas hidup dipengaruhi oleh faktor kesehatan fisik, kondisi
psikologis, tingkat kemandirian, hubungan sosial, kepercayaan, dan lingkungan. Orang
lanjut usia memiliki risiko lebih tinggi menderita beberapa gangguan kesehatan karena
mengalami penurunan fungsi fisik dan mental. Gangguan tersebut dapat menyebabkan
masalah medis, sosial, dan psikologikal pada orang lanjut usia, sehingga menyebabkan
penurunan fungsi fisik dan kualitas hidup.22,28
Salah satu faktor yang dapat mempengaruhi kualitas hidup adalah fungsi
aktivitas fisik dasar sehari-hari. Keterbatasan aktivitas fisik dasar sehari-hari dapat
menyebabkan keterbatasan fungsi sosial, isolasi sosial, dan gangguan psikoemosional.
Hal ini dapat terjadi akibat rendahnya dukungan emosional dan sosial bagi individu
yang mengalami keterbatasan aktivitas fisik dasar sehari-hari, serta terdapat tekanan
psikologis yang tinggi. Penelitian yang dilakukan oleh Ling Na, dkk. menunjukan
keterbatasan aktivitas fisik dasar sehari-hari tingkat IV (ketergantungan total)
menyebabkan penurunan partisipasi sosial dan peningkatkan stress psikologis. Maka
18
dari itu, gangguan aktivitas fisik dasar sehari-hari dapat menyebabkan hendaya fungsi
sosial, sehingga terjadi penurunan kualitas hidup.29
Salah satu metode untuk mengevaluasi fungsi aktivitas fisik dasar sehari-hari
dapat menggunakan kuesioner indeks Barthel. Kuesioner tersebut diciptakan oleh
Mahoney dan Barthel pada tahun 1965 yang digunakan sebagai alat untuk
mengevaluasi kemampuan tubuh untuk berfungsi sederhana, misalnya bangun dari
tempat tidur, berpakaian, ke kamar mandi, dll. Indeks Barthel digunakan untuk menilai
fungsi dan kemampuan pada orang lanjut usia atau pada pasien dengan penyakit kronis.
Indeks Barthel mengevaluasi 10 fungsi perawatan diri dan mobilisasi, yaitu
kemandirian dalam makan, mandi, berpakaian, dandan, berpindah tempat, mobilisasi,
penggunaan tangga, buang air besar, buang air kecil, serta penggunaan toilet. Hasil
indeks Barthel akan menunjukan nilai dari 0-100, dimana semakin tinggi nilai skor
maka semakin mandiri fungsi aktivitas fisik dasar sehari-hari. Penelitian yang
dilakukan oleh Hsueh, dkk. mendapatkan nilai reabilitas indeks Barthel melalui metode
Cronbach alpha sebesar 0,84. Penelitian lain yang dilakukan oleh Hormozi, dkk.
menunjukan bahwa nilai reabilitas kuesioner indeks Barthel signifikan dengan nilai
0,938. Sehingga indeks Barthel dapat menjadi salah satu metode untuk mengevaluasi
fungsi aktivitas fisik dasar sehari-hari pada orang lanjut usia.30,31,32
Mengingat seberapa pentingnya aspek kualitas hidup pada orang lanjut usia,
maka dibutuhkan suatu alat untuk mengevaluasi dan mendeteksi penurunan kualitas
hidup pada orang lanjut usia. Salah satu metodenya adalah penggunaan kuesioner
sebagai instrument subjektif dapat merepresentasikan keadaan pasien geriatri dalam
bentuk skor. Salah satu kuesioner yang dapat digunakan untuk mengukur kualitas
hidup secara luas adalah SF-36 Intrument. Kuesioner tersebut mengevaluasi konsep
kesehatan secara luas, yang terdiri dari delapan poin utama mengenai status kesehatan,
yaitu fungsi fisik, peran fisik, rasa nyeri pada tubuh, perspsi kesehatan umum, vitalitas,
fungsi sosial, peran emosional, dan kesehatan mental. Selain itu, terdapat kuesioner
lain yang mengevaluasi satu penyakit secara spesifik, yaitu Self-Assessment of
Communication (SAC), The McCarthy-Alpiner dan Hearing Handicap Inventory for
19
the Elderly-Screening (HHIE-S) yang mengevaluasi secara spesifik kualitas hidup pada
pasien dengan gangguan dengar.24,32
Kuesioner Self-Assessment of Communication (SAC) adalah salah satu metode
skrining untuk menilai kemampuan komunikasi pada pasien dengan gangguan dengar
yang diperkenalkan oleh Schow dan Nerbonne pada tahun 1982. Kuesioner ini terdiri
dari 10 pertanyaan yang mengevaluasi hubungan kualitas komunikasi dengan
gangguan dengar. Kuesioner ini terbagi dalam tiga sub-kategori, yaitu evaluasi
komunikasi dalam berbagai situasi, perasaan dalam berkomunikasi, dan perilaku orang
lain.33
Kuesioner The McCarthy-Alpiner Scale of Hearing Handicap adalah kuesioner
yang dibuat oleh Patricia A. McCarthy dan Jerome G. Alpiner pada tahun 1983 yang
dirancang untuk menilai efek gangguan pendengaran terhadap psikologi, sosial dan
pekerjaan melalui sistem konseling keluarga. Pada kuesioner ini responden adalah
keluarga dari pasien yang menilai pengaruh gangguan dengar pasien terhadap aktivitas
fisik dasar sehari-hari.33
2.1.4.10 Kuesioner Hearing Handicap Inventory for The Elderly-Screening
Kuesioner Hearing Handicap Inventory for the Elderly-Screening (HHIE-S)
adalah salah satu instrument untuk skrining gangguan pendengaran yang diperkenalkan
oleh Ventry dan Weinstein. Pada tahun 1982, Ventry dan Weinstein memperkenalkan
kuesioner Hearing Handicap Inventory for The Elderly (HHIE) yang terdiri dari 25
pertanyaan yang dibuat sedemikian rupa sehingga dapat menilai pemahaman diri
mengenai hambatan psikososial dan emosional dengan gangguan pendengaran sebagai
metode tambahan penggunaan audiometri nada murni pada evaluasi efektivitas
penggunaan alat bantu dengar.6
Pada tahun 1986, Ventry dan Weinstein memelakukan pembaharuan pada
kuesioner HHIE yaitu kuesioner Hearing Handicap Inventory for the Elderly-
Screening (HHIE-S) yang terdiri dari 10 pertanyaan subjektif yang menilai pengaruh
ganguan pendengaran terhadap psikososial pasien. Kuesioner HHIE-S merupakan
pemendekan dari HHIE, namun memiliki validitas dan reabilitas yang sebanding
20
dengan HHIE, serta memiliki nilai efektif dan efisien yang lebih tinggi dibandingkan
HHIE. Total skor kuesioner HHIE-S adalah dari 0 (tidak ada hendaya) sampai 40
(hendaya maksimal), dimana semakin tinggi skor yang didapatkan maka menunjukan
semakin besar gangguan pendengaran dan derajat rendahnya kualitas hidup. 7,21
Hasil kuesioner HHIE-S yang semakin tinggi menunjukan bahwa terdapat
masalah sosial dan emosional pada subjek, terutama yang berhubungan dengan
masalah pendengaran. Total skor HHIE-S 0-8 yaitu tidak ada hendaya menunjukan
terdapat kemungkinan sebesar 13% untuk mengalami gangguan pendengaran. Total
skor 10-24 yaitu hendaya ringan-sedang menunjukan terdapat kemungkinan 50%
terjadinya gangguan pendengaran. Total skor 26-40 yaitu hendaya berat menunjukan
terdapat kemungkinan 84% terjadinya gangguan pendengaran.6,7
Penelitian di Brazil yang dilakukan oleh Servidoni dan Conterno, menemukan
76,1% dari 138 orang sampel mengalami hendaya sedang sampai berat dengan
menggunakan kuesioner HHIE-S, dibandingkan pemeriksaan audiometri nada murni
dengan prevalensi gangguan pendengaran sebesar 79,7%. Pada penelitian tersebut
menyimpulkan kuesioner HHIE-S memiliki tingkat akurasi (86,2%), sensitivitas
(89,1%) dan spesifitas (75,0%). Selain itu, berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh
Fittrih dkk, didapatkan bahwa kuesioner HHIE-S memiliki sensitivitas dan spesifisitas
yang cukup tinggi untuk mendeteksi gangguan pendengaran, yaitu sensitivitas (88%)
dan spesifisitas (89%). Selain itu, kuesioner HHIE-S juga memiliki keunggulan dimana
dapat dikerjakan dengan cepat, mudah dilakukan disegala tempat dan tidak
membutuhkan keahlian khusus, serta tidak membutuhkan biaya yang mahal. Meskipun
kuesioner HHIE-S tidak dapat mengukur derajat gangguan pendengaran seperti pada
pemeriksaan audiometri, namun kuesioner ini efektif menilai efek hendaya pada orang
dengan gangguan pendengaran, khususnya pada fungsi dalam kehidupan sehari-hari.
Kuesioner HHIE-S juga dapat digunakan sebagai alat untuk mengukur tindakan
rehabilitatif melalui penggunaan alat bantu dengar pada orang dengan gangguan
dengar.7,33,34
21
2.1.5 Demensia
Demensia adalah sindrom klinik pada usia lanjut yang terdiri dari gangguan
fungsi intelektual dan memori sehingga terjadi gangguan fungsi dalam kehidupan
sehari-hari. Demensia terjadi karena proses penuaan yang menyebabkan terjadinya
degenerasi dari struktur anatomi dan biokimiawi sistem saraf pusat secara ireversibel.
Penyebab terjadinya demensia antara lain, obat-obatan, gangguan emosional, gangguan
metabolik, gangguan fungsi mata dan telinga, malnutrisi, tumor, trauma, infeksi, dll.10
Mekanisme terjadinya demensia terdiri dari beberapa jenis, yaitu demensia
Alzheimer, demensia vaskular, demensia badan Lewy, dan demensia fronto-temporal.
Pada demensia Alzheimer terjadi perubahan anatomi dan fungsi neuron dalam suatu
daerah tertentu di korteks otak, sehingga pada pasien tersebut mengalami gangguan
memori dan defisit kognitif pada area yang terjadi kelainan. Pada demensia vaskular
terjadi akibat stroke, sehingga gejala demensia berlangsung progresif dengan adanya
gejala neurologis fokal. Pada demensia dengan badan lewy di sub-korteks serebri
menyebabkan terjadinya fluktuasi kognisi, halusinasi visual dan parkinsonisme. Pada
demensia frontotemporal terjadi akibat proses degenerasi di korteks anterior, sehingga
terjadi gangguan dalam tingkah laku sosial dan gangguan dalam berbahasa.10
Gejala demensia meliputi penurunan fungsi intelektual umum, memori, atensi,
dan kemampuan visuospasial. Gejala utama demensia adalah kehilangan memori
secara perlahan dan progresif. Gejala lainnya yang terjadi pada orang demensia adalah
gangguan fungsi berbahasa. Gejala awal pada orang dengan demensia adalah kesulitan
dalam pemilihan kata, terutama penamaan orang ataupun objek yang membutuhkan
proses pengingatan memori. Kemudian, penyakitnya akan terus berkembang hingga
menyebabkan lupa nama keluarga dan kerabat, kebingungan mengenai hubungan
keluarga, serta dapat menyebabkan seseorang tidak dapat mengenali kembali anggota
keluarga. Gangguan tersebut akan terus progresif dan dapat menyebabkan afasia
global. Pasien demensia, khususnya berhubungan dengan penyakit Alzheimer
cenderung mengalami kesulitan berpartisipasi dalam komunitas akibat kesulitan
22
komunikasi karena terjadi kesulitan pemahaman kata, kelancaran berbicara,
kelengkapan kata, dan produksi kata.10,35
Pada pasien demensia terjadi penurunan fungsi intelektual dan eksekutif,
sehingga menyebabkan kesulitan dalam pengambilan keputusan, pengorganisasian,
penalaran dan berpikir abstrak. Hal tersebut dapat menyebabkan ketidakmampuan
untuk melakukan pekerjaan dan aktivitas sehari-hari. Sehingga dapat menyebabkan
munculnya efek psikologik pada pasien demensia, antara lain depresi, apatis, paranoid
dan gangguan kecemasan.10,11
Salah satu cara untuk mengurangi dampak demensia tersebut adalah
pendeteksian sedini mungkin sehingga dapat diobati berdasarkan etiologi demensia
tersebut. Salah satu metode diagnosis tercepat adalah menggunakan uji penapisan
dengan pemeriksaan psikometrik sederhana dan pemerikaan fungsi kognitif, antara lain
Mini Mental State Examination (MMSE), clock drawing test, Abbreviated Mental Test
Score, dan AD8 Dementia Screening Interview.14
Kuesioner Mini Mental State Examination (MMSE) merupakan salah satu
kuesioner yang sudah digunakan diseluruh dunia untuk mengevaluasi fungsi kognitif
pada demensia. MMSE dapat mengevaluasi fungsi kognitif secara spesifik, seperti
fungsi orientasi, registrasi, konsentrasi, kalkulasi, pengulangan, bahasa, dan
penyusunan kalimat. Pada penelitian Lin, dkk. menunjukan bahwa kuesioner MMSE
memiliki sensitivitas 88,3% dan spesifitas 86,2%. Penelitian lain dilakukan oleh
Villarejo, dkk. menunjukan bahwa MMSE memiliki sensitivitas 87,3% dan spesifitas
89,2%. Namun, MMSE memiliki sensitivitas rendah untuk mendeteksi fase awal pada
demensia, karena hanya mengevaluasi fungsi eksekutif, visio-spasial, dan memori
jangka panjang secara sederhana, sehingga menurunkan fungsi validitasnya.36,37
23
2.2 Kerangka Teori
Kerusakan sel rambut,
membran basalis, dan
stria vaskularis di koklea
↓Endokoklear potensial
Gangguan proses
transduksi suara
Gangguan pendengaran
(presbiskusis)
Gangguan transmisi
neurotransmiter otak
Gangguan fungsi kognitif (Demensia)
dengan Kuesioner MMSE
Gangguan
pemahaman dan
penerjemahan kata
Gangguan
pemilihan dan
penyusunan kata
Kerusakan struktural
neuron dan sinaps
Kerusakan sel
Proses degenerasi
Gangguan
memori
Perubahan struktur
otot, tulang dan sendi
Gangguan proses komunikasi sosial
Usia lanjut
(>60 tahun)
Gangguan sosial emosional
Total skor kuesioner Hearing Handicap
Inventory in Elderly-Screening (HHIE-S)
Hendaya fungsi sosial
Gangguan sosial emosional
Total skor kuesioner Hearing Handicap
Inventory in Elderly-Screening (HHIE-S)
Hendaya fungsi sosial
Gangguan fungsi
motorik dan imobilisasi
Keterbatasan aktivitas
fisik dasar sehari-hari
dengan Indeks Barthel
Keterbatasan dan isolasi
sosial, rendahnya
dukungan sosial dan
emosional, serta tekanan
psikologis tinggi
Penurunan aktivitas
sosial
24
2.3 Kerangka Konsep
Variabel Terikat (dependen)
Variabel Bebas (Independen)
Variabel Kontrol
Demensia Berat dengan
kuesioner MMSE
Keterbatasan berat
aktivitas fisik dasar
sehari-hari dengan Indeks
Barthel
Hendaya fungsi sosial menggunakan total
skor kuesioner Hearing Handicap
Inventory in Elderly-Screening (HHIE-S)
Demensia Ringan-Sedang
dengan kuesioner MMSE
Gangguan dengar
Keterbatasan ringan-
sedang aktivitas fisik
dasar sehari-hari dengan
Indeks Barthel
Skor Audiometri Nada Murni
25
2.3 Definisi Operasional
No. Variabel
yang diukur
Definisi Pengukur Cara
Pengukuran
Alat Ukur Skala Hasil Ukur
1. Usia Lanjut Orang dengan
usia ≥60 tahun10
Peneliti Menanyakan
langsung
pada sampel
Kuesioner
karakteristik
responden
Numerik ≥60 tahun
2. Tuli Sensori
neural atau
prebiskusis
Presbikusis
adalah
penurunan
fungsi
pendengaran
sensorineural
akibat proses
penuaan1
Peneliti Berdasarkan
pemeriksaan
audiometri
nada murni
dengan
frekuensi
250, 500,
1000, 2000,
4000, dan
8000 Hz1
Audiometri Nominal Ambang dengar
audiometri nada
murni >25 dB
dengan AC-BC
berhimpit1
3. Kuesioner
Hearing
Handicap
Inventory for
the Elderly-
Screening
(HHIE-S)
Kuesioner
mengenai
dampak
gangguan
pendengaran
dengan sosial
emosional6
Peneliti Menanyakan
langsung
pada sampel
Kuesioner
Hearing
Handicap
Inventory
for the
Elderly-
Screening
(HHIE-S)
Numerik
Skor 0-8 = Tidak
ada hendaya
Skor 10-24 =
hendaya ringan
Skor 26-40 =
hendaya berat23
4. Audiometri
nada murni
Audiometri nada
murni adalah uji
nada murni yang
menunjukan
level frekuensi
suara yang dapat
didengar,
sehingga dapat
menentukan
derajat
gangguan
pendengaran.20
Peneliti Tes
audiometri
nada murni
dengan
frekuensi
125, 250,
500, 1000,
2000, 4000,
dan 8000
Hz11
Audiometri
KUDUwave
Numerik Ambang dengar:
0-25 dB =
pendengaran
normal
26-40 dB = tuli
ringan
41-55 dB = tuli
sedang
56-70 dB = tuli
sedang berat
71-90 dB = tuli
berat
>90 dB = tuli
sangat berat1
5. Demensia Sindroma klinik
yang terdiri dari
gangguan fungsi
intelektual dan
hilangnya
memori
Peneliti Menanyakan
langsung
pada sampel
Kuesioner
MiniMental
State
Examinatio
n
(MMSE)10
Numerik Kuesioner
Minimental State
Examination
(MMSE)
Skor 25-28 =
Normal
26
sehingga
menyebabkan
disfungsi
kehidupan
sehari-hari.10
Skor 20-24=
Demensia ringan
Skor 13-19 =
Demensia sedang
Skor 0-12 =
Demensia berat10
6. Aktivitas
fisik dasar
sehari-hari
Fungsi aktivitas
dasar sederhana
yang harus
pasien lakukan
setiap hari untuk
memenuhi
kebutuhan dan
tuntutan hidup
sehari-hari.10
Peneliti Menanyakan
langsung
pada sampel
Kuesioner
Indeks
Barthel
Numerik Skor 0-20 =
ketergantungan
penuh
Skor 21-61 =
ketergantungan
berat
Skor 62-90 =
ketergantungan
Sedang
Skor 91-99 =
ketergantungan
ringan
Skor 100 =
mandiri10
26
BAB III
METODE PENELITIAN
3.1 Desain Penelitian
Jenis penelitian yang dilakukan adalah analitik observasional membandingkan
instrumen subjektif berupa kuesioner The Hearing Handicap Inventory for the Elderly-
Screening (HHIE-S) dengan instrumen objektif berupa tes audiometri nada murni.
Desain penelitian yang digunakan adalah desain potong lintang (cross sectional).
3.2 Waktu dan Tempat Penelitian
Penelitian ini akan dilakukan di Panti Werdha Bina Bhakti, Melania, Beth
Shalom dan Pniel pada bulan Agustus-September 2019.
3.3 Populasi dan Sampel Penelitian
3.3.1 Populasi Target
Populasi target penelitian ini adalah orang tua usia diatas 60 tahun.
3.3.2 Populasi Terjangkau
Populasi terjangkau penelitian ini adalah orang tua diatas 60-90 tahun dan
masih beraktivitas secara mandiri yang berada di Panti Werdha Yayasan Bina Bakti,
Melania, Beth Shalom, dan Pniel.
3.3.3 Sampel
Jumlah sampel yang dibutuhkan dalam penelitian ini didapatkan dari
perhitungan sebagai berikut:
n = [(𝑍𝛼+ 𝑍𝛽)
0,5 ln{1+𝑟
1−𝑟}]
2
+ 3
n = [(1,96+ 0,84)
0,5 ln{1+0,691
1−0,691}]
2
+ 3
n = (3,3)2 + 3
n = 13,89 ~ 14
Ket :
27
n : Jumlah Sampel
Zἀ : Ditentukan oleh tingkat kepercayaan pada 5%; Zἀ bernilai 1,96
Zβ : Ditentukan oleh tingkat kepercayaan pada 10%; Zβ bernilai 0,84
r : Koefisien korelasi ditetapkan 0,691 dari penelitian sebelumnya
(Fitthrih dkk, 2015)
Berdasarkan perhitungan tersebut, didapatkan N = 13,89 maka penelitian ini
dibutuhkan 14 sampel. Sampel tidak bisa digunakan karena jumlahnya terlalu kecil,
sehingga dilakukan perhitungan sampel menggunakan rule of thumb. Perhitungan
sampel dengan menggunakan rule of thumb dengan rumus 10 x n variabel bebas.
Variabel bebas pada penelitian ini terdiri atas usia, nilai audiometri nada murni,
demensia dengan MMSE, dan gangguan aktivitas dasar kehidupan sehari-hari dengan
indeks barthel. Oleh karena itu, didapatkan jumlah sampel yang dibutuhkan adalah 40.
3.3.4 Teknik Pengambilan Sampel
Teknik pengambilan sampel yang digunakan dalam penelitian ini adalah
purposive sampling. Cara pemilihan ini menggunakan metode non-probability
sampling, yaitu peneliti memilih responden berdasarkan pertimbangan subjektif dan
praktis bahwa responden tersebut dapat memberikan informasi yang memadai untuk
penelitian, serta sesuai dengan kriteria inklusi dan ekslusi penelitian.
3.3.5 Kriteria Sampel
3.3.5.1 Kriteria Inklusi
a. Usia 60-90 tahun
b. Menetap di panti werdha Bina Bhakti, Melania, Beth Shalom dan Pniel
c. Bersedia untuk dilakukan wawancara
d. Bersedia untuk dilakukan pemeriksaan audiometri
e. Tidak mengalami gangguan aktivitas fisik dasar sehari-hari, atau memiliki
keterbatasan ringan-sedang aktivitas fisik dasar sehari-hari.
f. Tidak memiliki demensia, atau memiliki demensia ringan-sedang.
3.3.5.2 Kriteria Eksklusi
1. Menolak untuk menjadi subjek penelitian
28
2. Mengalami demensia berat
3. Memiliki keterbatasan berat aktivitas fisik dasar sehari-hari
3.4 Variabel Penelitian
3.4.1 Variabel Terikat (Dependent)
Total skor kuesioner The Hearing Handicap Inventory for the Elderly-
Screening (HHIE-S)
3.4.2 Variabel Bebas (Independent)
Usia, nilai audiometri nada murni, demensia menggunakan MMSE, dan
gangguan aktivitas fisik dasar sehari-hari menggunakan Indeks barthel.
29
3.5 Cara kerja Penelitian
3.5.1 Alur Penelitian
Penerjemahan kuesioner The Hearing Handicap
Inventory for the Elderly-Screening (HHIE-S)
Perizinan penelitian di Panti Werdha Bina Bhakti,
Melania, Beth Shalom dan Pniel
Pengumpulan data lansia di Panti Werdha Bina Bhakti, Melania, Beth
Shalom dan Pniel yang sesuai dengan kriteria inklusi dan eksklusi
Pengisian lembar informed consent dan penjelasan
alur penelitian
Pemeriksaan telinga menggunakan otoskop dan
audiometri nada murni pada sampel
Analisa statistik dengan SPSS
Pengisian kuesioner The Hearing Handicap
Inventory for the Elderly-Screening (HHIE-S)
Pengisian kuesioner kuesioner Mini-Mental State Exam
(MMSE) dan kuesioner Indeks Barthel
30
3.5.2 Alat dan Bahan
1. Lembar persetujuan responden
2. Kuesioner The Hearing Handicap Inventory for the Elderly-Screening
(HHIE-S)
3. Kuesioner Mini-Mental State Exam (MMSE)
4. Kuesioner Indeks Barthel
5. Audiometer nada murni tipe Non-Chamber Audiometry KUDUwave
6. Earphones
7. Otoskop
3.5.3 Cara kerja
1. Pengisian lembar persetujuan responden, kuesioner Mini-Mental State Exam
(MMSE) dan kuesioner Instrumen Indeks Barthel untuk mengkategorikan
subjek berdasarkan kriteria inklusi dan eksklusi.
2. Pengisian kuesioner The Hearing Handicap Inventory for the Elderly-
Screening (HHIE-S) dalam Bahasa Indonesia oleh subjek yang telah sesuai
dengan kriteria inklusi dan eksklusi.
3. Pemeriksaan otoskopi
4. Pemeriksaan audiometri nada murni tipe non chamber audiometry KUDUwave
untuk menentukan ambang dengar subjek dengan cara:
a. Menjelaskan tatacara penggunaan alat kepada responden
b. Memasang eartip dan cimcumaural ear seal pada kedua telinga
responden
c. Memberikan tes percobaan kepada responden untuk menilai apakah
responden sudah memahami cara penggunaan alat
d. Software KUDUwave pada laptop akan melakukan pemeriksaan secara
otomatis
5. Membandingkan hasil dari pengisian kuesioner The Hearing Handicap
Inventory for the Elderly-Screening (HHIE-S) dengan pemeriksaan audiometri
nada murni untuk menentukan hubungan kuesioner The Hearing Handicap
31
Inventory for the Elderly-Screening (HHIE-S) sebagai metode skrining awal
gangguan pendengaran pada lansia dengan nilai audiometri nada murni.
3.6 Manajemen Data
3.6.1 Pengumpulan Data
Pada penelitian ini, data yang dikumpulkan adalah data primer yang diambil
langsung dari responden oleh peneliti. Data yang telah diperoleh akan diproses dengan
beberapa langkah, yaitu:
1. Editing, untuk menyunting data dengan memeriksa kelengkapan jawaban,
keterbacaan tulisan dan kesesuaian jawaban.
2. Coding, untuk mengonversikan data yang berbentuk huruf menjadi bentuk
angka sehingga memudahkan dalam proses analisis.
3. Data entry, untuk memasukan data ke dalam komputer.
4. Cleaning, pembersihan data sebelum masuk analisis dengan mengecek kembali
untuk memastikan data yang di masukan ke dalam computer telah benar.
3.6.2 Analisis Data
Analisis data diolah dan diuji dengan IBM SPSS Statistic versi 22. Analisis data
yang dilakukan dalam penelitian ini adalah analisis bivariat untuk mengetahui
hubungan antara variabel bebas dengan variabel terikat. Analisis data bivariat
dilakukan dengan uji statistik Chi-Square, Spearman dan Pearson. Kemudian, akan
dilakukan analisis multivariat dengan analisis regresi linier sederhana untuk
mengetahui hubungan antar beberapa variabel bebas dengan variabel terikat.
3.6.3 Penyajian Data
Penyajian data dilakukan dengan teks deskripsi dan table.
32
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Hasil
4.1.1 Analisis Univariat
4.1.1.1 Karakteristik Responden
Subjek pada penelitian ini adalah kelompok usia lanjut 60-90 tahun yang
menetap di Panti Werdha Melania, Bina Bhakti, Beth Shalom dan Pniel di Tangerang
Selatan. Didapatkan total keseluruhan sampel sebanyak 59 orang, dengan karakteristik
sebagai berikut.
Tabel 4.1 Karakteristik Responden
Karakteristik
Usia (Mean±SD) 74,25 (8,19)*
60-70 tahun 21 (35,6%)
71-80 tahun 25 (42,4%)
81-90 tahun 13 (22%)
Jenis Kelamin
Laki-laki 18 (30,5%)
Perempuan 41 (69,5%)
Aktivitas Fisik Dasar Sehari-hari berdasarkan Skor Indeks
Barthel (Median (Min-Max)) 100 (65-100)**
Mandiri 46 (15,3%)
Ketergantungan Ringan 4 (6,8%)
Ketergantungan Sedang 9 (5,1%)
Demensia Berdasarkan skor MMSE (Median (Min-Max)) 27 (15-28)**
Normal 42 (71,2%)
Demensia Ringan 13 (22%)
Demensia Sedang 4 (6,8%)
Skor Kuesioner HHIE-S (Median (Min-Max)) 8 (0-38)**
Tidak ada hendaya 30 (50,9%)
Hendaya ringan 19 (32,2%)
Hendaya berat 10 (26,9%) * Karakteristik dengan distribusi normal ditulis dengan notasi Mean±SD
**Karakteristik dengan distribusi tidak normal ditulis dengan notasi Median (min - max)
Dari 59 responden dalam penelitian ini, didapatkan subjek memiliki jenis
kelamin terbanyak adalah perempuan sebesar 69,5%. Kemudian, didapatkan usia
terbanyak adalah 71-80 tahun dengan persentase 42,4%, fungsi aktivitas fisik dasar
33
sehari-hari terbanyak pada responden adalah mandiri dengan persentase 84,7%, skor
demensia berdasarkan nilai MMSE pada responden paling banyak adalah normal
dengan persentase 71,2%.
Berdasarkan tabel 4.1 didapatkan hasil kuesioner The Hearing Handicap
Inventory for the Elderly-Screening (HHIE-S) menunjukan bahwa 30 orang (50,9%)
tidak memiliki hendaya dengan total skor kuesioner 0-8, 19 orang memiliki hendaya
ringan (32,2%) dengan total skor kuesioner 10-24 dan 10 orang memiliki hendaya berat
(26,9%) dengan total skor kuesioner 26-40.
4.1.1.2 Gambaran Sebaran Hasil Pemeriksaan Audiometri
Pada penelitian ini, dilakukan pemeriksaan tes audiometri nada murni untuk
mengetahui derajat gangguan pendengaran pada responden. Pemeriksaan audiometri
dilakukan ditelinga kiri dan kanan pada frekuensi 500 Hz, 1000 Hz, 2000 Hz, 4000 Hz,
dan 8000 Hz, sehingga diperoleh nilai rata-rata ambang dengar (PTA) pada hantaran
udara pada 4 frekuensi yaitu 500 Hz, 1000 Hz, 2000 Hz, dan 4000 Hz.
Tabel 4.2 Sebaran hasil pemeriksaan audiometri nada murni
Sebaran Hasil Pemeriksaan Audiometri
Telinga Kanan
Rerata ambang dengar (PTA) 43,81 (21,01)*
4000 Hz 40,00(10,00-100,00)**
8000 Hz 60,00(10,00-80,00)**
Telinga Kiri
Rerata ambang dengar (PTA) 43,75 (18,94)*
4000 Hz 47,37 (19,41)*
8000 Hz 60,00(10,00-80,00)** * Karakteristik dengan distribusi normal ditulis dengan notasi Mean±SD
**Karakteristik dengan distribusi tidak normal ditulis dengan notasi Median (min - max)
Pada tabel 4.2 dapat diketahui bahwa pemeriksaan audiometri nada murni
didapatkan ambang dengar pada telinga kanan dan kiri. Berdasarkan data diatas, dapat
diketahui bahwa distribusi data yang normal pada rerata ambang dengar (PTA) telinga
kanan dan kiri, serta ambang dengar pada frekuensi 4000 Hz di telinga kiri, sehingga
dapat dideskripsikan dengan mean ± standar deviasi.
34
Tabel 4.3 Derajat gangguan pendengaran berdasarkan nilai rerata ambang dengar
(PTA)
Derajat Gangguan Dengar (dB) Telinga Kanan Telinga Kiri
Normal (0-25) 14 (23,7%) 11 (18,6%)
Ringan (26-40) 15 (25,4%) 20 (33,9%)
Sedang-Berat (>40) 30 (50,9%) 28 (47,5%)
Dari total 59 subjek yang dilakukan pemeriksaan audiometri, didapatkan bahwa
prevalensi tertinggi ambang dengar pada telinga kanan dan kiri adalah tuli sedang-berat
sebanyak 30 orang (50,9%) dan 28 orang (47,5%).
4.1.2 Analisis Bivariat
Pada penelitian ini, dilakukan uji chi-square untuk mengetahui hubungan antar
kelompok berdasarkan kuesioner HHIE-S dan rerata ambang dengar. Pada tabel 4.4
dapat dilihat hasil pemeriksaan audiometri nada murni dan kuesioner HHIE-S. Pada
tabel tersebut subjek dinyatakan memiliki gangguan pendengaran jika didapatkan nilai
PTA ≥ 25 dB. Sedangkan subjek dinyatakan memiliki hendaya berdasarkan kuesioner
HHIE-S jika mendapatkan skor HHIE-S ≥ 10.
Tabel 4.4 Hasil skor kuesioner HHIE-S terhadap derajat gangguan pendengaran
Skor Kuesioner HHIE-S
Total p Normal
(0-8)
Hendaya
Ringan Sedang
(10-24)
Hendaya
Berat
(26-40)
Rerata
ambang
dengar
(PTA)
Normal 24
(20,3%)
0
(0%)
0
(0%)
24
(20,3%)
0,00 Tuli Ringan
27
(22,9%)
6
(5,1%)
0
(0%)
33
(28,8%)
Tuli Sedang
Berat
13
(11%)
30
(25,4%)
18
(15,3%)
61
(51,7%)
Total 64
(54,2%)
36
(30,5%)
18
(15,3%)
118
(100%)
Berdasarkan tabel diatas jumlah sampel dihitung berdasarkan jumlah telinga
yang dilakukan pemeriksaan audiometri, sehingga jika jumlah subjek sebesar 59 orang,
maka didapatkan sampel sebesar 118. Sehingga didapatkan bahwa 24 sampel yang
memiliki pendengaran normal tidak terdapat hendaya sosial emosional (20,3%). Tidak
35
ada sampel yang memiliki pendengaran normal terdapat hendaya sosial emosional
ringan-sedang atau berat (0%). 27 sampel dengan tuli ringan tidak memiliki hendaya
sosial emosional, 6 sampel dengan tuli ringan memiliki hendaya sosial emosional
ringan-sedang (5,1%), serta tidak ada orang dengan tuli ringan memiliki hendaya sosial
emosional berat (0%). 13 sampel dengan tuli sedang berat tidak memiliki hendaya
sosial emosional (11%), 30 sampel dengan tuli sedang berat memiliki hendaya sosial
emosional ringan (25,4%), serta 18 sampel dengan tuli sedang berat memiliki hendaya
berat. Nilai p <0,05 menunjukan bahwa secara statistik terdapat hubungan antar
gangguan pendengaran dengan skor kuesioner HHIE-S.
4.1.2.1 Korelasi Antara Variabel dengan Skor Kuesioner HHIE-S
Pada penelitian ini, dilakukan uji analisis bivariat dengan menggunakan uji
korelasi untuk mengetahui hubungan antar variabel bebas dan terikat dengan data
numerik. Uji korelasi yang digunakan adalah uji korelasi parametrik dan non
parametrik. Uji korelasi parametrik atau uji korelasi pearson digunakan untuk uji
dengan variabel yang memiliki distribusi data normal (p >0,05) yaitu variabel usia,
sedangkan untuk uji korelasi non parametrik atau uji korelasi spearman digunakan
untuk variabel lainnya yang memiliki distribusi data yang tidak normal, sehingga
didapatkan nilai korelasi sebagai berikut.
Tabel 4.5 Korelasi antara variabel dengan skor kuesioner HHIE-S
Skor Kuesioner HHIE-S
Variabel r P CI
Usia 0,150 0,257* (-0,19) – 0,314
Aktivitas fisik dasar
sehari-hari (Indeks
Barthel)
-0,225 0,087** (-0,461) – 0,013
Skor kuesioner MMSE -0,441 0,000** (-0,585) – (-0,285) * Uji Parametrik Pearson
** Uji Non-Parametrik Spearman
r = Koefisien Korelasi
p = bermakna jika nilai <0,05
CI = Confidence Interval
Pada uji Pearson didapat korelasi antara usia dengan skor kuesioner HHIE-S
bernilai positif dengan kekuatan korelasi lemah namun tidak bermakna (r = 0,150, p =
0,257). Pada uji Spearman didapatkan hubungan antara skor kuesioner HHIE-S dengan
36
aktivitas fisik dasar sehari-hari memiliki korelasi negatif dengan kekuatan lemah
namun tidak bermakna (r = -0,225, p = 0,087). Hubungan antara skor kuesioner HHIE-
S dengan gangguan kognitif pada lansia yaitu pada skor kuesioner MMSE (r = -0,441,
p = 0,000) memiliki korelasi negatif dengan kekuatan lemah yang bermakna.
Tabel 4.6 Korelasi antara ambang dengar dengan skor kuesioner HHIE-S
Skor Kuesioner HHIE-S
Ambang Dengar r P CI
PTA 0,769 0,000** 0,671 – 0,837
Frekuensi 4000 Hz 0,667 0,000** 0,545 – 0,765
Frekuensi 8000 Hz 0,586 0,000** 0,445 – 0,693
** Uji Non-Parametrik Spearman
r = Koefisien Korelasi
p = bermakna jika nilai <0,05
CI = Confidence Interval
Hubungan antara skor kuesioner HHIE-S dan nilai rata-rata ambang dengar
(PTA) memiliki korelasi positif dengan kekuatan kuat dan bermakna (r = 0,769, p =
0,000). Hubungan antara skor kuesioner HHIE-S nilai ambang dengar frekuensi 4000
Hz memiliki korelasi positif dengan kekuatan kuat yang bermakna (r = 0,667, p =
0,000). Sedangkan, hubungan antara skor kuesioner HHIE-S dengan nilai ambang
dengar frekuensi 8000 Hz memilki nilai korelasi positif dengan kekuatan sedang yang
bermakna (r = 0,586, p = 0,000).
4.1.2.2 Korelasi Antara Demensia dengan Gangguan Pendengaran
Pada penelitian ini, dilakukan analisis mengenai hubungan gangguan
pendengaran dengan demensia. Analisis ini dilakukan untuk mengetahui apakah ada
atau tidaknya hubungan yang bermakna diantara gangguan pendengaran dan demensia.
Pada penilaian gangguan pendengaran menggunakan pemeriksaan audiometri nada
murni yaitu nilai rerata ambang dengar (PTA), ambang dengar 4000 Hz dan ambang
dengar 8000 Hz. Sedangkan untuk pemeriksaan demensia dilakukan dengan
pemeriksaan MMSE. Analisis dilakukan dengan uji korelasi Spearman, karena kedua
data memiliki distribusi tidak normal (p <0,05).
Tabel 4.7 Korelasi antara ambang dengar dengan demensia
37
Demensia (skor kuesioner MMSE)
Ambang Dengar r P CI
PTA -0,410 0,00** (-0,551) – (-0,235)
Frekuensi 4000 Hz -0,357 0,00** (-0,504) – (-0,181)
Frekuensi 8000 Hz -0,408 0,00** (-0,552) – (-0,253)
** Uji Non-Parametrik Spearman
r = Koefisien Korelasi
p = bermakna jika nilai <0,05
CI = Confidence Interval 95%
Berdasarkan tabel 4.7 didapatkan gambaran hubungan ambang dengar dengan
demensia. Hubungan antara rerata ambang dengar dengan skor MMSE memiliki
korelasi negatif sedang yang bermakna (r = -0,410; p = 0,000). Hubungan ambang
dengar frekuensi 4000 Hz dengan skor MMSE memiliki korelasi negatif lemah yang
bermakna (r = -0,375; p = 0,000). Hubungan ambang dengar frekuensi 8000 Hz dengan
skor MMSE memiliki korelasi negatif sedang yang bermakna (r = -0,408; p = 0,000).
4.1.3 Analisis Multivariat
Pada penelitian ini, dilakukan analisis multivariat untuk mengetahui hubungan
antara beberapa variabel bebas dengan satu variabel terikat. Analisis multivariat yang
digunakan adalah analisis regresi linear dengan metode backward karena variabel
terikatnya adalah variabel numerik. Variabel yang dimasukan dalam analisis
multivariat adalah variabel yang memiliki p <0,25 pada analisis bivariat, yaitu skor
indeks Barthel, skor MMSE, nilai rerata ambang dengar (PTA), nilai ambang dengar
pada 4000 Hz dan nilai ambang dengar pada 8000 Hz.
4.1.3.1 Model
Pada analisis multivariat regresi linier dengan metode backward akan
memberikan informasi mengenai model terbaik dalam penelitian. Analisis backward
mengeluarkan variabel dari model secara bertahap berdasarkan nilai p yang paling
besar, sehingga variabel dianggap tidak bermakna. Kemudian proses akan berhenti
setelah menemukan model yang paling baik.
Tabel 4.8 Model Analisi Regresi Linier
38
Model Koefisien T Sig
1
(Constant) -.666 .510 .612
MMSE .054 -1.917 .061
Indeks Barthel .306 .468 .641
PTA .042 2.770 .008
Hz4000 -.007 .352 .727
HZ8000 6.468 -.082 .935
2
(Constant) -.660 .509 .613
MMSE .052 -1.969 .054
Indeks Barthel .306 .466 .643
PTA .037 2.805 .007
Hz4000 6.923 .363 .718
3
(Constant) -.633 .551 .584
MMSE .043 -1.952 .056
Indeks Barthel .340 .400 .691
PTA 10.296 5.908 .000
4
(Constant) -.593 1.116 .269
MMSE .334 -1.938 .058
PTA -.666 6.073 .000 Variabel dependen: HHIE-S
Berdasarkan tabel diatas, model pertama dimasukan enam variabel bebas, yaitu
skor kuesioner Barthel indeks, skor MMSE, rerata ambang dengar (PTA), nilai ambang
dengar pada 4000 Hz dan 8000 Hz dengan constant atau variabel terikat yaitu nilai
kuesioner HHIE-S. Pada model kedua, variabel nilai ambang dengar pada 8000 Hz
dikeluarkan karena memiliki nilai p paling besar sehingga dianggap paling tidak
bermakna. Pada model ketiga, model keempat variabel nilai ambang dengar pada 4000
Hz dikeluarkan, dan pada variabel skor Barthel Indeks dikeluarkan, sehingga
didapatkan model yang dianggap terbaik yaitu model dengan variabel rerata ambang
dengar (PTA) dan MMSE.
4.1.3.2 Analisis Regresi Linier Sederhana
Analisis regresi linier berganda digunakan untuk mengetahui seberapa besar
hubungan varibel bebas, yaitu kuesioner MMSE (X1) dan nilai rerata ambang dengar
(PTA) (X2) terhadap variabel terikat yaitu skor kuesioner HHIE-S (Y). Adapun hasil
persamaan regresi liniear berganda dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :
Y = 10,296 – 0,593 X1 + 0,334 X2
Tabel 4.9 Analisis Regresi Linier Berganda
39
Model Koefisien T Sig
4
HHIE-S 10.296 1,116 0,269
MMSE -0,593 -1,938 0,058
PTA 0,334 6,073 0,000
Berdasarkan persamaan regresi diatas dapat diketahui :
Nilai konstanta sebesar 10,296, yang berarti bahwa jika kuesioner MMSE (X1) dan
nilai rerata ambang dengar (PTA) (X2) memiliki nilai 0, maka kuesioner HHIE-S
(Y) memiliki nilai 10,296.
Nilai koefisien regresi variabel kuesioner MMSE (X1) sebesar -0,593. Sehingga jika
variabel bebas lain nilainya tetap, dan kuesioner MMSE memiliki kenaikan 1%,
maka kuesioner HHIE-S (Y) akan mengalami penurunan sebesar 0,593%. Koefisien
bernilai negatif, yang berarti semakin menurun nilai kuesioner MMSE maka
semakin meningkat nilai kuesioner HHIE-S.
Nilai koefisien regresi variabel nilai rerata ambang dengar (X2) sebesar 0,334.
Sehingga jika variabel bebas lain nilainya tetap, dan nilai rerata ambang dengar
memiliki kenaikan 1%, maka kuesioner HHIE-S (Y) akan mengalami kenaikan
sebesar 0,334%. Koefisien bernilai positif, yang berarti semakin meningkat nilai
rerata ambang dengar maka semakin meningkat nilai kuesioner HHIE-S.
4.1.3.2 Koefisien Determinasi (R2)
Koefisien determinasi (R2) bertujuan untuk mengetahui seberapa besar
pengaruh variabel bebas terhadap variabel terikat. Uji ini dilakukan dengan melihat
nilai R Square (R2) pada model summary.
40
Tabel 4.10 Koefisien Determinasi (R2)
Model R R Square Sig.
1 .742a .550 .000
2 .742b .550 .935
3 .741c .549 .718
4 .740d .548 .691 Model 1 : HHIE-S, Indeks Barthel, MMSE, PTA, 4000 Hz, 8000 Hz
Model 2 : HHIE-S, Indeks Barthel, MMSE, PTA, 4000 Hz
Model 3 : HHIE-S, Indeks Barthel, MMSE, PTA
Model 4 : HHIE-S, MMSE, PTA
Berdasarka tabel diatas diketahui koefisien determinasi model pada penelitian
ini sebesar 0,562, sehingga dapat diinterpretasikan bahwa skor kuesioner MMSE, dan
nilai rerata ambang dengar (PTA) mempengaruhi atau menjelaskan secara simultan
nilai kuesioner HHIE-S sebesar 54,8%, sedangkan sisanya sebesar 45,2% dipengaruhi
oleh faktor lain.
4.2 Pembahasan
4.2.1 Analisis Univariat
4.2.1.1 Karakteristik Responden
Subjek pada penelitian ini terdiri dari 59 orang. Karakteristik subjek penelitian
ini dinilai berdasarkan usia, jenis kelamin, gangguan kognitif, gangguan aktivitas fisik
dasar sehari-hari dan skor kuesioner HHIE-S.
Rentang usia yang dijadikan subjek penelitian ini adalah 60-90 tahun. Usia
terendah pada penelitian ini adalah 60 tahun, karena pada usia tersebut sudah masuk
periode lanjut usia. Pada periode lanjut usia, terjadi proses degenerasi sistemik
sehingga terjadi penurunan fungsi organ, termasuk organ pendengaran. Proses
degenerasi menyebabkan kerusakan pada sel rambut, stria vaskularis dan membran
basalis, sehingga terjadi gangguan pendengaran khususnya pada frekuensi tinggi.
Kelompok usia dalam subjek penelitian ini dibagi menjadi usia 60-70 tahun
sejumlah 21 orang (35,6%), usia 71-80 tahun sejumlah 25 tahun (42,4%), dan usia 81-
90 tahun 13 orang (22%). Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Lee,
menunjukan bahwa terdapat hubungan antara usia dengan peningkatan ambang dengar,
41
yaitu terjadi peningkatan rata-rata ambang dengar 1 dB setiap tahunnya pada usia 60
tahun ke atas, sehingga usia merupakan salah satu risiko terjadinya presbiskusis yang
berakibat terjadinya gangguan dalam proses komunikasi. Selain itu, proses dengenerasi
pada orang lanjut usia akan menyebabkan berbagai gangguan fungsi organ, sehingga
dapat terjadi berbagai gangguan, seperti gangguan kognitif dan gangguan aktivitas fisik
dasar sehari-hari yang akan mempengaruhi kualitas hidup pada orang lanjut usia.38
Karakteristik lain yang akan dibahas adalah gangguan kognitif pada lanjut usia
atau demensia. Demensia merupakan salah satu permasalahan paling sering di orang
lanjut usia, yang terjadi 5-10% pada populasi lanjut usia. Prevalensinya meningkat
sesuai usia sebesar 1-2% pada usia 65-74 tahun. Pada penelitian ini evaluasi demensia
pada subjek dilakukan dengan menggunakan kuesioner MMSE, sehingga didapatkan
42 orang tidak memiliki gangguan kognitif (71,2%), 13 orang memiliki gangguan
kognitif ringan (22%), dan 4 orang memiliki gangguan kognitif sedang (6,8%). Proses
degenerasi akan berdampak pada sistem saraf pusat sehingga terjadi degenerasi neuron
dan sinaps yang akan menyebabkan terjadinya demensia. Gangguan kognitif pada
demensia menyebabkan penurunan fungsi memori, penerjemahan dan pemahaman
kata, serta pemilihan dan penyusunan kata, sehingga terdapat keterbatasan dalam
berkomunikasi yang menyebabkan terjadinya hendaya fungsi sosial.35
Karakteristik lain dalam penelitian ini adalah jenis kelamin. Jenis kelamin
terbanyak dalam penelitian ini adalah wanita sebanyak 41 orang (69,5%) dan pria
sebanyak 18 orang (30,5%). Berdasarkan jenis kelamin, ambang dengar laki-laki
cenderung lebih tinggi dibandingkan dengan wanita, khususnya di 4 dan 8 kHz.
Namun, saat periode menopause pada wanita terjadi peningkatan ambang dengar
secara signifikan akibat perubahan hormon estrogen yang berfungsi untuk proteksi
pada organ pendengaran.11
Karakteristik selanjutnya pada penilitian ini adalah gangguan aktivitas fisik
dasar sehari-hari yang dinilai dengan menggunakan kuesioner indeks Barthel.
Gangguan aktivitas fisik dasar sehari-hari disebabkan oleh proses degenerasi pada
fungsi tulang dan otot, sehingga terjadi imobilisasi pada orang lanjut usia. Gangguan
42
aktivitas fisik dasar sehari-hari menyebabkan penurunan interaksi sosial dan isolasi
sosial, sehingga dapat terjadi gangguan sosial dan emosional pada lanjut usia. Data di
Amerika menunjukan bahwa 28% orang dengan usia lebih dari 65 tahun memiliki
setidaknya satu keterbatasan dalam aktivitas sehari-hari. Pada penelitian ini
menunjukan prevalensi terbesar pada subjek adalah mandiri atau mampu melakukan
aktivitas fisik dasar sehari-hari sebanyak 50 orang (84,7%), terdapat 6 orang
mengalami ketergantungan ringan (10,2%), dan terdapat 3 orang mengalami
ketergantungan berat namun masih aktif secara sosial (5,1%).29
4.2.1.2 Gambaran Sebaran Hasil Pemeriksaan Audiometri
Pemeriksaan audiometri nada murni dilakukan pada frekuensi 500 Hz, 1000
Hz, 4000 Hz, dan 8000 Hz, kemudian ditentukan rerata ambang dengar (PTA) pada 4
frekuensi tersebut, sehingga dapat ditentukan derajat gangguan dengar. Didapatkan
nilai rerata ambang dengar (PTA) minimum 12,5 dB dan maksimum 105 dB dengan
mean 43 dB. Pada frekuensi 4000 Hz didapatkan nilai minimum 10 dB dan nilai
maksimum 100 dB dengan mean 46 dB. Pada frekuensi 8000 Hz didapatkan nilai
minimum 20 dB dan nilai maksimum 80 dB dengan mean 61 dB. Sehingga tampak
terlihat adanya peningkatan ambang dengar seiring dengan meningkatnya frekuensi
pada audiometri nada murni.
Hal tersebut sesuai dengan penelitian prevalensi gangguan pendengaran pada
orang lanjut usia di Jepang menunjukan bahwa 29% terjadi di usia akhir 60 tahun, 39%
di usia awal 70 tahun. Berdasarkan penelitian Frammingham, menunjukan bahwa
prevalensi gangguan pendengaran sebesar 29% di usia >60 tahun, 73% di >70 tahun,
dan 60% di usia 73-84 tahun. Penelitian lain di Amerika pada orang usia >70 tahun
menunjukan terjadinya gangguan pendengaran sebesar 63,1%. Lin menyatakan bahwa
peningkatan usia berhubungan dengan gangguan pendengaran di seluruh frekuensi,
namun peningkatan ambang dengar lebih signifikan terlihat di frekuensi nada
tinggi.36,39
Pada penelitian ini juga dilakukan analisis derajat gangguan pendengaran
berdasarkan rerata ambang dengar (PTA) didapatkan bahwa derajat gangguan
43
pendengaran pada telinga kanan 14 orang memiliki pendengaran normal (23,7%), 15
orang mengalami tuli ringan (25,4%), dan 30 orang mengalami tuli sedang-berat
(50,9%). Selain itu, pada telinga kiri didapatkan 11 orang memiliki pendengaran
normal (18,6%), 20 orang mengalami tuli ringan (33,9%), dan 28 orang mengalami tuli
sedang-berat (47,5%). Sehingga dapat disimpulkan bahwa pada penelitian ini memiliki
distribusi sampel terbanyak mengalami tuli sedang-berat. Pada penelitian Fittrih dkk,
mendapatkan distribusi sampel terbanyak yaitu tuli sedang sebanyak 20 orang (40%).
Sedangkan, pada penelitian Wibowo dkk, mendapatkan distribusi sampel terbanyak
yaitu tuli sedang-berat sebanyak 9 orang (37,5%). Hal tersebut menunjukan bahwa
pada subjek yang dijadikan penelitian yaitu orang lanjut usia sudah terdapat gangguan
pendengaran pada nada rendah dan sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Lee,
dkk. yang menyatakan bahwa pada usia >60 tahun terjadi peningkatan ambang dengar
1 dB pada tiap tahunnya.7,38,40
4.2.2 Analisis Bivariat
4.2.2.1 Hubungan Antara Variabel dengan Skor Kuesioner HHIE-S
Pada penelitian ini dilakukan uji korelasi untuk mengetahui hubungan antara
variabel bebas dan terikat. Hasil analisis hubungan antara skor kuesioner HHIE-S
dengan usia menggunakan uji Pearson menunjukan koefisien korelasi (r) = 0,150
dengan p = 0,257. Hal tersebut menunjukan adanya hubungan positif lemah namun
tidak bermakna antara skor kuesioner HHIE-S dengan usia. Penelitian oleh Diao M,
dkk. menunjukan bahwa skor HHIE-S berkorelasi dengan usia (r = 0,475). Pada
penelitian Wibowo, dkk. dilakukan evaluasi mengenai tabulasi silang antara usia
dengan skor kuesioner HHIE-S. Penelitian tersebut menunjukan terdapat hubungan
diantara usia dan skor kuesioner HHIE-S, dimana semakin tinggi usia, maka semakin
tinggi juga total skor kuesioner HHIE-S. Hal tersebut dapat terjadi karena semakin
tinggi usia, maka semakin berat derajat gangguan pendengarannya. Pada penelitian
tersebut juga menunjukan bahwa kejadian presbiskusis paling banyak pada kelompok
usia >80 tahun (33,33%). Gangguan sosial emosional dan hendaya fungsi sosial yang
terjadi pada subjek, selain dipengaruhi oleh gangguan pendengaran, juga dipengaruhi
44
oleh faktor usia karena berdasarkan penelitian oleh Davis yang dikutip oleh Wibowo,
menyatakan bahwa orang lanjut usia dengan gangguan pendengaran cenderung
menjauhi suasana ramai dan padat, sehingga lebih kurang menyukai aktivitas sosial.
Pada penelitian cohort yang dilakukan oleh Callileth, menyatakan bahwa orang yang
memiliki usia lebih tua memiliki lebih banyak kesulitan dalam hidupnya, seperti
peningkatan risiko ganggan kesehatan dan kondisi sosial ekonomi yang lebih rendah,
sehingga mengarah pada pengembangan harapan hidup yang lebih rendah dan
menurunkan rasa optimisme pada individu, akibatnya terjadi peningkatan risiko
penarik diri dari lingkungan sosial.40,41,42
Hasil analisis hubungan antara aktivitas fisik dasar sehari-hari menggunakan
indeks barthel dengan skor kuesioner HHIE-S menunjukan nilai koefisien korelasi (r)
sebesar -0,225 dengan p = 0,087. Hal tersebut menunjukan adanya hubungan negatif
lemah tidak bermakna antara aktivitas fisik dasar sehari-hari dengan skor kuesioner
HHIE-S. Sehingga dapat diketahui bahwa adanya keterbatasan aktivitas fisik dasar
sehari-hari yang dinyatakan dengan semakin rendah nilai kuesioner Indeks Barthel,
maka akan semakin besar tingkat gangguan sosial emosional yang dinyatakan dengan
semakin tinggi nilai kuesioner HHIE-S. Hal tersebut didukung dengan penelitian
Gopinath, dkk. yang mendapatkan bahwa semakin rendah mean skor aktivitas fisik
dasar sehari-hari, maka semakin tinggi nilai skor HHIE-S. Hal ini dapat terjadi karena
keterbatasan aktivitas dasar sehari-hari pada orang lanjut usia dapat menyebabkan
penurunan aktivitas sosial, isolasi sosial dan rendahnya dukungan sosial emosional,
sehingga terjadi gangguan sosial emosional yang dapat di evaluasi dengan skor HHIE-
S. Selain itu, salah satu aspek penting dari fungsi aktivitas fisik dasar sehari-hari adalah
fungsi komunikasi. Pada penelitian Dalton, dkk. menunjukan orang dengan gangguan
dengar secara signifikan memiliki fungsi aktivitas fisik dasar sehari-hari yang lebih
buruk dibandingkan dengan orang tanpa gangguan dengar. Sehingga gangguan
komunikasi dapat menyebabkan gangguan aktivitas fisik dasar sehari-hari.23,24
Hasil analisis hubungan antara skor kuesioner HHIE-S dengan gangguan
kognitif berdasarkan kuesioner MMSE menunjukan koefisien korelasi (r) = -0,441
45
dengan p = 0,000. Hal tersebut menunjukan adanya hubungan negatif lemah yang
bermakna antara skor kuesioner HHIE-S dengan skor kuesioner MMSE. Sehingga
dapat diketahui bahwa semakin tinggi nilai skor kuesioner HHIE-S, maka semakin
rendah nilai kuesioner MMSE atau dapat disimpulkan bahwa semakin berat derajat
gangguan kognitif, maka semakin tinggi nilai skor kuesioner HHIE-S. Hal tersebut
didukung oleh penelitian yang dilakukan oleh Putratama, menunjukan bahwa hasil
kuesioner HHIE-S berpengaruh terhadap MMSE, dimana orang yang memiliki
presbiskusis yang ditunjukan dengan tingginya nilai HHIE-S memiliki risiko demensia
13 kali dibandingkan dengan orang yang tidak memiliki prebiskusis. Peningkatan skor
kuesioner HHIE-S pada orang dengan gangguan kognitif terjadi karena terdapat
gangguan dalam komunikasi sosial pada orang dengan gangguan kognitif, baik dalam
pemilihan maupun pemahaman kata, sehingga orang dengan gangguan kognitif akan
cenderung menurunkan interaksi sosialnya. Orang dengan demensia akan cenderung
menjadi marah, terganggu serta frustasi karena mereka tidak dapat memahami apa yang
orang lain harapkan terhadap mereka. Namun, pada penelitian yang dilakukan oleh
Lopes, dkk. menunjukan bahwa skor kuesioner HHIE-S tidak memiliki perbedaan yang
signifikan antara kelompok dengan gangguan kognitif ringan dan kelompok tanpa
gangguan kognitif. Hal tersebut kemungkinan dapat terjadi karena pasien dengan
gangguan kognitif memiliki kehilangan dalam berpikir kritis mengenai masalah
pendengaran mereka.25
Hasil analisis hubungan antara rerata ambang dengar (PTA) dengan hasil
kuesioner HHIE-S menggunakan uji korelasi spearman didapatkan nilai koefisien
korelasi (r) = 0,769 dengan p = 0,000. Hal tersebut menunjukan bahwa ada hubungan
yang positif kuat dan bermakna antara skor kuesioner HHIE-S dengan rerata ambang
dengar (PTA). Hal tersebut sesuai dengan penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh
Fittrih, dkk. didapatkan korelasi yang kuat antara rerata ambang dengar (PTA) dengan
skor kuesioner HHIE-S (p = 0,001) dengan nilai koefisien korelasi 0,691. Selain itu,
penelitian lainnya juga dilakukan oleh Wibowo, dkk menunjukan korelasi yang sangat
kuat antara rerata ambang dengar (PTA) dengan skor kuesioner HHIE-S (p = 0,000)
46
dengan koefisien korelasi 0,937. Sehingga dapat diketahui bahwa semakin tinggi nilai
ambang dengar, maka semakin tinggi pula skor kuesioner HHIE-S.7,40
Hasil analisis hubungan antara ambang dengar pada frekuensi 4000 Hz dengan
skor kuesioner HHIE-S menunjukan nilai koefisien korelasi (r) sebesar 0,667 dengan
p = 0,000. Hal tersebut menunjukan adanya hubungan positif kuat yang bermakna
antara ambang dengar pada frekuensi 4000 Hz dengan skor kuesioner HHIE-S. Hal
tersebut didukung oleh penelitian Calviti, dkk. menunjukan bahwa korelasi antara
ambang dengar pada frekuensi 4000 Hz dengan skor kuesioner HHIE-S sebesar 41,5%
dengan p <0,001, sehingga dapat dikatakan terdapat korelasi positif dengan kekuatan
sedang yang bermakna antara ambang dengar pada frekuensi 4000 Hz dengan skor
kuesioner HHIE-S.43
Hasil analisis hubungan antara ambang dengar pada frekuensi 8000 Hz dengan
skor kuesioner HHIE-S menunjukan nilai koefisien korelasi (r) sebesar 0,586 dengan
p = 0,000. Hal tersebut menunjukan adanya hubungan positif sedang yang bermakna
antara ambang dengar pada frekuensi 8000 Hz dengan skor kuesioner HHIE-S.
Penelitian yang dilakukan oleh Calviti, dkk. menunjukan bahwa terdapat korelasi
positif lemah yang bermakna sebesar 30,8% dengan p <0,001 antara ambang dengar
pada frekuensi 8000 Hz dengan skor kuesioner HHIE-S.43
Korelasi antara skor kuesioner HHIE-S dengar skor audiometri nada murni
bernilai positif dengan kekuatan sedang-kuat yang bermakna. Hal tersebut didukung
oleh penelitian yang dilakukan oleh Calvin, dkk. yang menyatakan orang dengan skor
kuesioner HHIE-S yang lebih besar akan memiliki gangguan pendengaran yang lebih
besar. Pada orang dengan gangguan pendengaran, terjadi kesulitan dalam proses
komunikasi akibat salah mendengar atau memahami kata, sehingga akan cenderung
menarik diri dari lingkungan sosial. Orang dengar gangguan pendengaran akan
cenderung terisolasi dari lingkungan sosialnya, sehingga terjadi gangguan sosial
emosional pada pasien yang terpresentasikan pada peningkatan skor kuesioner HHIE-
S.29
47
Pada hasil ditunjukan bahwa nilai korelasi lebih tinggi pada nilai rerata ambang
dengar (PTA) dibandingkan dengan ambang dengar pada 4000 Hz dan 8000 Hz.
Pernyataan tersebut didukung oleh penelitian Calvin, dkk. yang mendapatkan
hubungan skor kuesioner HHIE-S dan rerata ambang dengar pada 500 Hz, 1000 Hz
dan 2000 Hz memiliki korelasi yang lebih besar dibandingkan dengan penggunaan
4000 Hz dan 6000 Hz pada rerata ambang dengar. Hal ini dikarenakan nilai rerata
ambang dengar (PTA) menunjukan ambang dengar pada suara nada rendah yaitu suara
lingkungan (suara ombak, hujan) dan suara dalam percakapan sehari-hari. Sedangkan
ambang dengar pada 4000 Hz dan 8000 Hz menunjukan ambang dengar pada suara
nada tinggi, seperti suara burung, serta huruf ‘s’ dan ‘th’. Selain itu, karakteristik
bahasa Indonesia lebih banyak memiliki sebaran kata huruf vokal yang berada pada
nada rendah dibandingkan dengan negara barat yang memiliki lebih banyak sebaran
kata dengan huruf konsonan yang berada pada nada tinggi. Sehingga gangguan pada
nilai rerata ambang dengar (PTA) akan lebih mudah diketahui dan lebih mempengaruhi
kehidupan sehari-hari, dibandingkan ambang dengar pada frekuensi tinggi. Sementara
itu, pada orang dengan lanjut usia gangguan pendengaran diawali pada frekuensi tingi,
sehingga jika sudah terdapat gangguan pendengaran frekuensi rendah pada lansia,
maka tingkat keparahan gangguan pendengaran lebih tinggi. Hal tersebut yang
menyebabkan mengapa pada orang di negara barat lebih membutuhkan alat bantu
dengar lebih awal dibandingkan dengan orang Indonesia.43
Magrini, dkk. mengatakan bahwa orang dengan gangguan pendengaran yang
lebih berat memiliki risiko lebih tinggi terjadinya gejala depresi, perubahan kognitif,
dan kesulitan konsentrasi. Pada penelitiannya menunjukan penggunaan alat bantu
dengar selama tiga bulan pada subjek menunjukan perbaikan dalam aspek sosial dan
emosial yang ditunjukan dengan penurunan nilai kuesioner HHIE-S, hal tersebut
disebabkan efek penggunaan alat bantu dengar menyebabkan perbaikan kemampuan
dalam komunikasi.44
48
4.2.2.2 Hubungan Antara Demensia dan Gangguan Pendengaran
Pada penelitian ini, hasil analisis mengenai hubungan antara gangguan
pendengaran dengan demensia menunjukan terdapat korelasi negatif sedang yang
bermakna diantara keduanya. Hal tersebut menunjukan bahwa semakin tinggi derajat
gangguan pendengaran atau ambang dengar audiometri nada murni, maka semakin
rendah nilai hasil kuesioner MMSE yang berarti semakin berat derajat gangguan
kognitif.
Hal tersebut sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Lin F, dkk. yang
menunjukan bahwa pada kelompok yang memiliki gangguan dengar memiliki angka
kejadian dan risiko sebesar 24% untuk mengalami gangguan kognitif yang lebih besar
dibandingkan dengan kelompok yang tidak memiliki gangguan dengar. Hal tersebut
dapat terjadi karena gangguan pendengaran menyebabkan penurunan interaksi sosial
pada orang lanjut usia, sehingga terjadi penurunan stimulasi dari otak dan terjadi
peningkatan risiko neurodegeneratif. Penelitian Magrini, dkk. menunjukan
penggunaan alat bantu dengar selama tiga bulan menunjukan peningkatan fungsi
kognitif yang signifikan berdasarkan tes MMSE. Hal ini terjadi karena perbaikan
fungsi audiori dan komunikasi memiliki efek positif terhadap perbaikan fungsi
kognitif. Selain itu, Margini, dkk. menyatakan bahwa subjek lansia yang tidak
menggunakan alat bantu dengar pada gangguan pendengaran sedang-berat memiliki
risiko lebih tinggi terjadinya penurunan fungsi kognitif.44
Disamping itu, demensia merupakan salah satu risiko terjadinya gangguan
pendengaran melalui gangguan komunikasi sosial. Pada penelitian Lopes, dkk.
menunjukan bahwa kelompok dengan gangguan kognitif memiliki gangguan
pendengaran yang lebih buruk dibandingkan dengan kelompok kontrol. Hal ini
mungkin disebabkan oleh memburuknya fungsi kognitif yang menyebabkan gangguan
fungsi pemahaman kata, ataupun dapat terjadi karena proses neurodegeneratif akibat
kehilangan memori. Kemungkinan lain pada orang dengan demensia terjadi kesulitan
dalam presepsi auditorik akibat kerusakan neuron dan atrofi otak baik pada pusat
49
kognitif, sistem limbik maupun jaras audiori perifer dan sentral, sehingga terjadi
gangguan dalam interpretasi dan pemprosesan informasi dalam komunikasi.25
Penelitian yang dilakukan oleh Ulhmann, dkk. menunjukan bahwa kelompok
dengan demensia memiliki ambang dengar 30 dB lebih tinggi secara signifikan
dibandingan dengan orang dengan fungsi kognitif normal. Penelitan lain menunjukan
bahwa insiden demensia meningkat 1,89x lebih tinggi pada orang dengan gangguan
dengar rendah, 3x lebih tinggi pada orang dengan gangguan ringan sedang, dan 4,94x
lebih tinggi pada orang dengan gangguan dengar berat. Hal tersebut dapat terjadi
karena gangguan kognitif pada demensia menyebabkan gangguan penerjemahan dan
pemahaman kata, selain itu juga terdapat gangguan pemilihan kata, penyusunan kata
dan gangguan memori yang menyebabkan gangguan dalam komunikasi pada penderita
demensia. Gangguan komunikasi ini menyebabkan orang dengan demensia cenderung
menurunkan interaksi sosial dan frekuensi komunikasi dengan orang lain, sehingga
terjadi penurunan stimulasi dari organ pendengaran. Pada penelitian Gates, dkk.
menunjukan bahwa pada pasien dengan gangguan memori terdapat disfungsi audiori
sentral akibat penyakit Alzheimer.6,25,36,45
4.2.3 Analisis Multivariat
Pada penelitian ini dilakukan analisis multivariat pada variabel bebas yang
memiliki hasil korelasi bermakna (p <0,25) dengan skor kuesioner HHIE-S, yaitu rerata
ambang dengar (PTA), skor MMSE, skor indeks Barthel, ambang dengar pada 4000
Hz dan 8000 Hz. Berdasarkan hasil analisis regresi linier yang menunjukan hubungan
antar variabel bebas dengan variabel terikat yang dinilai berdasarkan nilai statistiknya
menunjukan variabel yang memiliki nilai p tertinggi dianggap memiliki korelasi yang
paling lemah dan akan dieliminasi untuk mendapatkan model yang lebih baik.
Pada penelitian ini menunjukan bahwa skor kuesioner HHIE-S paling
dipengaruhi oleh rerata ambang dengar (PTA) dan skor MMSE yang memiliki nilai p
terendah. Hal ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Wibowo, dkk. yang
menyatakan bahwa gangguan pendengaran dapat mempengaruhi ikatan sosial
penderita akibat kesulitan berkomunikasi, sehingga penderita akan cenderung
50
mengurangi aktivitas sosialnya. Hal tersebut juga membuktikan bahwa nilai rerata
ambang dengar (PTA) yang merepresentasikan frekuensi bicara dalam komunikasi
sehari-hari sangat mempengaruhi sosial dan emosional penderita. Sebuah penelitian
berdasarkan data penduduk Amerika Serikat menunjukan bahwa orangtua dengan
gangguan pendengaran, terutama wanita memiliki jaringan sosial yang lebih sempit
dibandingkan dengan orang tanpa gangguan pendengaran. Selanjutnya, sempitnya
jaringan sosial pada orangtua akan menurunkan dukungan sosial, sehingga orangtua
akan cenderung menyendiri yang akan meningkatkan risiko terjadinya demensia.40
Kemudian skor kuesioner HHIE-S sebagian besar dipengaruhi oleh gangguan
kognitif atau demensia yang diukur menggunakan kuesioner MMSE. Sehingga dapat
membuktikan bahwa tanpa mengikutsertakan orang dengan gangguan kognitif berat,
orang dengan gangguan kognitif ringan dan sedang sudah mengalami gangguan sosial
emosional, serta hendaya fungsi sosial yang diakibatkan oleh gangguan komunikasi
khususnya dalam pemahaman kata. Kemudian, pada orang dengan gangguan kognitif
ringan-sedang kemungkinan sudah terjadi isolasi dan penarikan diri dari lingkungan
sosial.25
Kemudian, dapat diketahui bahwa aktivitas fisik dasar sehari-hari memiliki
pengaruh kurang besar terhadap skor kuesioner HHIE-S. Hal ini menunjukan bahwa
dengan tidak mengikutsertakan orang dengan gangguan aktivitas fisik dasar berat,
maka aktivitas fisik tidak terlalu mempengaruhi terjadinya hendaya fungsi sosial. Hal
tersebut didukung oleh penelitian Ling Na, dkk. yang menyatakan bahwa hanya
gangguan aktivitas fisik dasar sehari-hari tingkat IV (ketergantungan total) yang
berpengaruh secara signifikan terhadap gangguan sosial dan emosional, sedangkan
gangguan aktivitas fisik dasar sehari-hari tingkat I hingga III memiliki efek sosial dan
emosial yang tidak jauh berbeda dengan tingkat 0 (mandiri). Selain itu, Ling Na, dkk.
menyatakan bahwa lansia dengan gangguan aktivitas fisik dasar sehari-hari tingkat IV
(ketergantungan total) memiliki jejaring sosial yang lebih kecil, rendahnya frekuensi
untuk berhubungan dengan kerabat, dan rendahnya peran dukungan dari kerabat
dibandingkan dengan lansia dengan gangguan aktivitas fisik dasar sehari-hari tingkat
51
0 (mandiri). Kemudian, Mendes, dkk. menyatakan bahwa semakin besar dan kuat
intensitas dalam hubungan sosial dengan kerabat memiliki dampak untuk menurunkan
risiko terjadinya keterbatasan dalam aktivitas fisik dasar sehari-hari. Hal tersebut
terjadi karena tingginya dukungan sosial dan emosional, sehingga mencegah terjadinya
gangguan fungsi fisik pada orang usia lebih dari 65 tahun.29
Salah satu kemungkinan penyebab rendahnya pengaruh aktivitas fisik dasar
sehari-hari terhadap skor HHIE-S adalah ketebatasan sampel. Dengan tidak diikut
sertakannya orang dengan keterbatasan aktivitas fisik dasar berat, maka sampel
cenderung masih memiliki fungsi aktivitas fisik yang baik, sehingga karakteristik
sampel cenderung homogen. Maka dari itu, untuk mengatasi keterbatasan tersebut
dapat dilakukan dengan penambahan jumlah sampel, sehingga kemungkinan
didapatkan hasil yang lebih bermakna antara aktivitas fisik dasar sehari-hari dengan
skor kuesioner HHIE-S.
Kemudian, dapat diketahui bahwa ambang dengar pada 4000 Hz lebih
mempengaruhi skor kuesioner HHIE-S dibandingkan dengan ambang dengar pada
8000 Hz. Hal ini didukung oleh penelitian yang dilakukan oleh Calvin, dkk. yang
menunjukan bahwa semakin tinggi frekuensi, maka semakin rendah korelasi dengan
skor kuesioner HHIE-S. Selain itu, Calvin, dkk. menyatakan bahwa penggunaan 4000
Hz dan 8000 Hz dalam nilai rerata ambang dengar tidak berkontribusi dalam perpsepsi
keluhan pedengaran di kuesioner HHIE-S. Selanjutkan didapatkan juga skor kuesioner
HHIE-S memiliki korelasi yang paling baik pada nilai rerata ambang dengar pada 500
Hz, 1000 Hz, dan 2000 Hz dibandingkan nilai rerata ambang dengar dengan
penambahan frekuensi yang lebih tinggi. Sehingga dapat disimpulkan bahwa skor
kuesioner HHIE-S lebih sensitif dan spesifik untuk mendeteksi gangguan pendengaran
pada frekuensi rendah dibandingkan dengan frekuensi tinggi.43
KETERBATASAN PENELITIAN
Salah satu keterbatasan dalam penelitian ini adalah metode pemilihan sampel
menggunakan teknik non random purposive sampling, dimana peneliti memiliki subjek
berdasarkan kriteria inklusi dan eksklusi yang sekiranya dapat memenuhi kriteria
52
dalam penelitian. Hal ini dilakukan karena jumlah subjek yang terbatas dan keadaan
subjek yang beragam, sehingga tidak memungkinkan pemilihan sampel secara random.
Keterbatasan lain dalam penelitian ini diantaranya keadaan subjek yang lanjut usia
menyebabkan tingkat kesulitan yang lebih tinggi dibandingkan dengan kelompok umur
yang lain. Subjek rata-rata sudah memiliki gangguan pengelihatan, sehingga metode
pengisian kuesioner harus dilakukan dengan metode wawancara, maka terdapat risiko
bias akibat perbedaan presepsi antara pewawancara dan subjek.
Selain itu, pada tahap pengisian kuesioner MMSE terdapat kendala dalam
pertanyaan mengenai memori jangka menengah. Pada pengisian pertanyaan mengenai
tanggal dan tahun, rata-rata subjek tidak dapat mengingatnya karena subjek tidak
memiliki atau tidak pernah memperhatikan kalender, sehingga dihasilkan nilai
kuesioner yang lebih rendah dibandingkan dengan seharusnya.
Pada pengambilan data audiometri nada murni, terdapat kendala dikarenakan
responden yang kurang kooperatif terhadap pemeriksaan. Selain itu, dibutuhkan waktu
yang cukup lama dalam pemeriksaan audiometri, sehingga terdapat beberapa
responden yang tidak mau melanjutkan pemeriksaan. Didapatkan juga beberapa
responden yang kurang mengerti mengenai penggunaan alat, sehingga dilakukan
pemeriksaan ulang.
55
BAB V
SIMPULAN DAN SARAN
5.1 Simpulan
1. Angka kejadian presbiskusis tertinggi pada orang usia 60-90 tahun di panti
werdha Hanna, Melania, Bina Bhakti dan Pniel adalah tuli sedang-berat pada
telinga kanan dan kiri, yaitu sebesar 30 orang (50,9%) dan 28 orang (47,5%).
2. Gangguan pendengaran memiliki korelasi positif kuat yang bermakna dengan
gangguan sosial emosional yang dievaluasi menggunakan kuesioner HHIE-S
(Uji Spearman r = 0,769, p = 0,00).
3. Terdapat beberapa faktor-faktor yang mempengaruhi gangguan sosial emosional
pada orang usia 60-90 tahun, yaitu usia memiliki korelasi positif lemah namun
tidak bermakna (Uji Pearson r = 0,150, p = 0,257), gangguan kognitif yang
dievaluasi menggunakan kuesioner MMSE memiliki korelasi negatif sedang
yang bermakna (Uji Spearman r = -0,441, p = 0,000), aktivitas fisik dasar sehari-
hari yang dievaluasi menggunakan kuesioner indeks barthel memiliki korelasi
negatif lemah namun tidak bermakna (Uji Spearman r = -0,225, p = 0,087), nilai
ambang dengar frekuensi 4000 Hz memiliki korelasi positif dengan kekuatan
kuat yang bermakna (Uji Spearman r = 0,667, p = 0,000), dan nilai ambang
dengar frekuensi 8000 Hz memilki nilai korelasi positif dengan kekuatan sedang
yang bermakna (Uji Spearman r = 0,586, p = 0,000).
4. Gangguan kognitif memiliki korelasi negatif sedang yang bermakna dengan
rerata ambang dengar (PTA) (Uji Spearman r = -0,410; p = 0,000), korelasi
negatif lemah yang bermakna dengan ambang dengar pada frekuensi 4000 Hz
(Uji Spearman r = -0,375; p = 0,000) korelasi sedang negatif yang bermakna
dengan ambang dengar pada frekuensi 8000 Hz (Uji Spearman r = -0,408; p =
0,000).
56
5.2 Saran
1. Kuesioner HHIE-S dapat menjadi salah satu metode skrining gangguan
pendengaran pada orang usia 60-90 tahun melalui evaluasi gangguan sosial
emosional yang disebabkan oleh gangguan dengar.
2. Penelitian ini dapat dikembangkan pada jumlah sampel yang lebih besar dengan
populasi sampel yang berbeda seperti pasien lansia pada rumah sakit, sehingga
didapatkan nilai korelasi yang lebih baik antara gangguan sosial emosional
dengan variabel lain.
57
DAFTAR PUSTAKA
1. Soepardi E, Iskandar N, Bashiruddin J, Restuti R. Buku Ajar Ilmu Kesehatan
Telinga Hidung Tenggorok Kepala Leher. Jakarta: Balai Penerbit FKUI. 2007.
h. 10-45
2. Kim T, Chung J. Evaluation of Age-Related Hearing Loss. Journal Korean
Audiology. 2013 September; 17(2): 50-53.
3. World Health Organization. WHO Global Estimates On Prevalence Of Hearing
Loss. World Health Organization. 2012.
4. Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Kementrian Kesehatan RI.
Riset Data Kesehatan (RISKESDAS) 2013. Jakarta: Badan Penelitian dan
Pengembangan Kesehatan Kementrian Kesehatan RI. 2013.
5. Cassel C, Leipzig R, Coen H, dkk. Geriatric medicine. United State of America:
Springer. 2003. h. 893-9
6. Gates G, Murphy M, Rees T, dkk. Screening for Handicapping Hearing Loss
in The Elderly. The Journal of Family Practice. Januari 2013; 52 (1): 56-62.
7. Fittrih E, Purnami N, Hidayati T. Hubungan Antara Skor Kuesioner Hearing
Handicap Inventory for The Elderly Screening Pada Penderita Presbiskusis.
Jurnal THT-KL. 2015; 8(2):54-65
8. Sherwood L. Fisiologi Manusia dari Sel ke Sistem. Jakarta: EGC. 2016. h. 231-
7.
9. WHO. Definition of an Older or Elderly Person. 2002. [diakses tanggal 6
Oktober 2018]. Tersedia di:
https://www.who.int/healthinfo/survey/ageingdefnolder/en/
10. Martono H, Pranaka K. Buku Ajar Boedhi-Darmojo: Geratri (Ilmu Kesehatan
Usia Lanjut) ed 5. Jakarta: Balai Penerbit FK UI. 2015. h. 8-13, 218-55, 591.
11. Halter J, Ouslander J, Tinetti M, dkk. Hazzard’s: Geriatric Medicine and
Gerontology. New York: McGraw-Hill Medicals. 2009. h. 16-18, 525-33.
58
12. Durso S, Bowker L, Price J, Smith S. Oxford American Handbook of Geriatric
Medicine. New York: Oxford University Press. 2010. h. 568-9
13. Floretti A, Poli O, Varakliotis T, Eibenstein A. Hearing Disorders and
Sensorineural Aging. Journal of Geriatric. 2014; 2014: 6.
14. Shen Y, Ye Bin, Chen P, Wang Q, Fan Cui, dkk. Cognitive Decline, Dementia,
Alzheimer’s Disease and Presbycusis: Examination of the Possibe Molecular
Mechanism. Journal Front Neuroscience. 2018. 12: 394.
15. Lee KY. Pathophysiology Of Age-Related Hearing Loss (Peripheral And
Central). Korean J Audiol. 2013;17(2):45–9.
16. Phan N, McKenzie J, Huang L, Whitfield B, Chang A. Diagnosis And
Management Of Hearing Loss In Elderly Patients. Journal Australian Family
Physician. June 2016. 45(6): 366-9.
17. Water T, Staecker H. Otolaryngology: Basic Science and Clinical Review. New
York: Thieme. 2006. h. 362. 374-7
18. Swanepoel, D. W., & Biagio, L. Validity Of Diagnostic Computer-Based Air
and Forehead Bone Conduction Audiometry. Journal of Occupational and
Environmental Hygiene. 2011; 8: 210–214
19. Shojaeemend H, Ayatollahi H. Automated Audiometry: A Review of The
Implementation and Evaluation Methods. Healthc Inform Res. 2018;
24(4):263–275. doi:10.4258/hir.2018.24.4.263
20. Parham K, Lin FR, Coelho DH, Sataloff RT, Gates GA. Comprehensive
Management of Presbycusis: Central and Peripheral. Otolaryngol Head Neck
Surg. 2013;148(4):537–9.
21. McCabe D. Hearing Screening in Older Adults. Journal General Assessment
Series. 2019. 12.
22. B Gary, Williams P. The Psychosocial Effects of Hearing Loss on Adults.
United State: The University of Akron. 2018.
23. Gopinath B, Schneider J, McMahon C, Teber E, Leeder S, dkk. Severity of
Age-Related Hearing Loss is Associated with Impaired Activities of Daily
Living. Journal Age and Ageing. 2011. 41: 195-200.
59
24. Dalton D, Cruickshanks K, Klein B, Klein R, Wiley T, dkk. The Impact of
Hearing Loss on Quality of Life in Older Adults. Journal Gerintologist. 2003;
43(5): 661-668.
25. Lopes L, Magaldi R, Gandara M, Reis A, Filho W. Prevalence of Hearing
Impairment in Patients with Mild Cognitive Impairment. Journal Dementia and
Neuropsychologia. 2007; 3:253-259.
26. Lin FR, Metter EJ, O'Brien RJ, Resnick SM, Zonderman AB, Ferrucci L.
Hearing Loss and Incident Dementia. Arch Neurol. 2011;68(2):214–220.
doi:10.1001/archneurol.2010.362
27. Ciorba A, Bianchini C, Pelucchi S, Pastore A. The Impact of Hearing Loss on
The Quality of Life of Elderly Adults. Clin Interv Aging. 2012;7:159–163.
doi:10.2147/CIA.S26059
28. Khaje-Bishak Y, Payahoo L, Pourghasem B, Asghari Jafarabadi M. Assessing
The Quality of Life in Elderly People and Related Factors in Tabriz, Iran. J
Caring Sci. 2014;3(4):257–263. Published 2014 Dec 1.
doi:10.5681/jcs.2014.028
29. Na L, Streim JE. Psychosocial Well-Being Associated With Activity of Daily
Living Stages Among Community-Dwelling Older Adults. Gerontol Geriatr
Med. 2017;3:2333721417700011.
30. Kenis C, Wildiers H. Practice Guideline: Comprehensive Geriatic Assessment
(CGA) in Oncological Patients. Journal of Geriatic Oncology. 2012. Vol 3(2):
174-176.
31. Elizabeth W. The Measurement Properties of The Original Barthel Index and
Its Applicability to Measure Function with Older Adults: A Systematic Review.
2013. Available from: http://tinyurl.com/zjpjknr. [Diakses pada 10 Agustus
2019].
32. Hormozi S, Khoei M, Sharifi F, Taati F, Aminalroaya R, dkk. Iranian Version
of Barthel Index: Validity and Reability in Outpatients Elderly. International
Journal of Preventive Medicine. 2019; 10(1): 130.
60
33. Montano J, Spitzer J. Adult Audiologic Rehabilitation. Ed 2. USA: Plural
Publishing. 2014. h. 12-13
34. Servidoni AB, Conterno LO. Hearing Loss in the Elderly: Is the Hearing
Handicap Inventory for the Elderly-Screening Version Effective in Diagnosis
When Compared to the Audiometric Test?. Int Arch Otorhinolaryngol.
2017;22(1):1–8.
35. Banovic S, Zunic LJ, Sinanovic O. Communication Difficulties as a Result of
Dementia. Mater Sociomed. 2018; 30(3):221–224.
36. Lin FR, Yaffe K, Xia J, et al. Hearing Loss And Cognitive Decline In Older
Adults. JAMA Intern Med. 2013; 173(4):293–299.
37. A. Villarejo, V. Puertas-Martín. Usefulness of Short Tests in Dementia
Screening. 2011. Journal Neurologia. 2011; 26 (7): 425-433.
38. Lee FS, Matthew LJ, Dubno JR, Mills JH. Longitudinal Study Of Pure-Tone
Thresholds In Older Persons. Journal Ear Hear. 2005; 26(1):1-11.
39. Yamasoba T, Lin FR, Someya S, Kashio A, Sakamoto T, Kondo K. Current
Concepts In Age-Related Hearing Loss: Epidemiology And Mechanistic
Pathways. Hear Res. 2013;303:30–38. doi:10.1016/j.heares.2013.01.021
40. Wibowo S, Soedarmi M, Lukmantya. Hubungan Ambang Dengar Dengan Nilai
Hearing Handicap Berdasarkan Hearing Handicap Inventory for The Elderly-
Screening (HHIE-S). ORLI. 2010. Vol 40 (2):126-133
41. Diao M, Sun J, Jiang T, Tian F, Jia Z, dkk. Comparison Between Self-Reported
Hearing and Measured Hearing Thresholds of The Elderly in China. Journal
Ear Hear. 2014. 35(5): 228-32.
42. Wiley T, Cruickshanks K, Nondahl D, Tweed T. Self-Reported Hearing
Handicap and Audiometric Measures in Older Adult. Journal Am Acad Audiol.
2000. 11: 67-75.
43. Calviti K, Periera L. Sensitivity, Specificity, and Predictive Values of Hearing
Loss to Different Audiometric Mean Values. Brailian Journal of
Otorhinolaryngology. 2009; 75(6):794-800
61
44. Margini A, Momensohn T. Check The Influence Of Hearing Aid Use On
Cognitive Screening In The Elderly. Journal Distub Comun. 2017; 29(1): 122-
132.
45. Pichora-Fuller MK, Mick P, Reed M. Hearing, Cognition, and Healthy Aging:
Social and Public Health Implications of the Links between Age-Related
Declines in Hearing and Cognition. Semin Hear. 2015;36(3):122–139.
doi:10.1055/s-0035-1555116
62
LAMPIRAN
Lampiran 1
Lembar Kaji Etik
63
Lampiran 2
Surat Permohonan Izin Penelitian dan Pengambilan Data di Panti Werdha
64
Lampiran 3
Lembar Informed Consent
Lembar Persetujuan (Informed Consent) Responden Hubungan Kuesioner
Hearing Handicap In Elderly-Screening (HHIE-S) dengan Tes Audiometri Nada
Murni Pada Orang Usia 60-90 Tahun di Panti Werdha di Tangerang Selatan
Assalamualaikum wr.wb.
Saya, Ade Nurmyla Fauziati Mahasiswi S1 Program Studi Kedokteran,
Fakultas Kedokteran UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, bermaksud mengadakan
penelitian untuk mengukur Hubungan Kuesioner Hearing Handicap In Elderly-
Screening (HHIE-S) dengan Tes Audiometri Nada Murni Pada Orang Usia 60-90
Tahun di Panti Werdha di Tangerang Selatan. Penelitian ini bertujuan untuk
menyelesaikan studi saya di Program Studi Kedokteran, Fakultas Kedokteran UIN
Syarif Hidayatullah Jakarta.
Jika Bapak/Ibu bersedia untuk mengisi kuesioner ini, silahkan mengisi identitas
dan tanda tangan di bawah ini.
Nama :
Usia :
Jenis kelamin :
Alamat :
Nomor telepon/hp :
Semua informasi dari hasil kuesioner ini kami jamin kerahaasiannya. Oleh
karena itu, kami harap Bapak/Ibu/Saudara dapat mengisi kuesioner ini dengan lengkap
dan bersedia untuk kami lakukan pemeriksaan audiometri. Terima kasih atas waktu
yang telah Bapak/Ibu/Saudara berikan untuk mengisi kuesioner ini.
Wassalamualaikum wr.wb
Yang menyetujui,
Peneliti Responden
_______________________ ______________________
65
Lampiran 4
Kuesioner Karakteristik Responden
KETERANGAN RESPONDEN PENELITIAN
Tanggal:
__________________
Nama:_______________________________________________________________
______
Umur: Jenis
Kelamin:___________________________
Pekerjaan: Telepon:_______________________________
Alamat:
Penggunaan Alat Bantu Dengar : Ya/Tidak
Onset : ___________
Tipe ABD :
Tingkat Kepuasan Penggunaan :
66
Lampiran 5
Kuesioner Mini-Mental State Exam (MMSE)
No. Tes Nilai
Maks Nilai
ORIENTASI 1
1. Tahun berapakah sekarang? 1
2. Tanggal berapakah sekarang? 1
3. Bulan berapakah sekarang 1
4. Hari apakah sekarang? 1
5. Musim apakah sekarang? 1
6. Dimana anda saat ini? 1
7. Di negara apa anda berada? 1
8. Di kota apa anda berada? 1
9. Di jalan apa anda berada? 1
10. Di lantai berapakah kita saat ini? 1
REGISTRASI
11. Saya akan menyebutkan 3 nama benda.
Bola Kursi Pohon Ulangi kata tersebut dengan 1 detik tiap kata
Beri 1 nilai tiap jawaban benar pada upaya awal dan hitung
upaya yang dilakukan
Jumlah upaya:_____________
3
ATENSI DAN KALKULASI
12. Minta pasien untuk menghitung mundur dari 100 dengan
selisih 7.
Lakukan hingga mendapat 5 jawaban. Berilah skor 1 untuk
setiap jawaban yang benar.
Bila pasien tidak dapat berhitung, mintalah pasien untuk
mengeja kata dari huruf paling belakang ke depan. (Misal
RUMAH)
5
RECALL
Pasien diminta untuk mengingat kembali tiga kata yang
diberikan sebelumnya
13. Kata “Bola” 1
14. Kata “Kursi” 1
15. Kata “Pohon” 1
BAHASA
16. (Tunjuk sebuah jam tangan) “Apakah ini?” 1
17. (Tunjuk sebuah pensil) “Apakah ini?” 1
18. Cobalah ulangi kata-kata ini: “Tetapi Dan Atau Bila” 1
67
19. Bacalah kalimat yang tertera pada kertas ini dan coba
lakukan
Tutup mata Anda Berilah nilai jika pasien menutup matanya
1
Beri pasien selembar kertas dan ikuti perintah ini:
“Ambil kertas ini dengan tangan kanan, lipat menjadi dua
dan letakan di lantai”
Berilah skor 1 untuk setiap langkah yang benar
3
20. Tulis sebuah kalimat di kertas 1
21. Coba tiru gambar ini
(Penilaian benar jika kedua segi lima membentuk sudut
yang baik dan berpotongan satu sama lain untuk
membentuk segi empat)
1
Total Skor 28
Skor 25-28 = Normal
Skor 20-24 = Demensia ringan
Skor 13-19 = Demensia sedang
Skor 0-12 = Demensia berat
68
Lampiran 6
Kuesioner Indeks Barthel
No Aktivitas Kemampuan Skor
1. Transfer Mandiri 15
Dibantu satu orang 10
Dibantu dua orang 5
Tidak Mampu 0
2. Mobilisasi (berjalan) Mandiri 15
Dibantu dua orang 10
Dibantu satu orang 5
Bergantung orang lain 0
3. Penggunaan toilet Mandiri 10
Perlu pertolongan orang lain 5
Tergantung orang lain 0
4. Membersihkan diri Mandiri 5
Perlu pertolongan orang lain 0
5. Mengontrol BAB Kontinen teratur 10
Kadang-kadang inkontinen 5
Inkontinen 0
6. Mengontrol BAK Kontinen teratur 10
Kadang-kadang inkontinen 5
Inkontinen 0
7. Mandi Mandiri 5
Tergantung orang lain 0
8. Berpakaian Mandiri 10
Sebagian dibantu 5
Tergantung orang lain 0
9. Makan Mandiri 10
Perlu pertolongan orang lain 5
Tergantung orang lain 0
10. Naik turun tangga Mandiri 10
Perlu Pertolongan 5
Tidak mampu 0
Total Skor
Skor 0-20 = ketergantungan penuh
Skor 21-61 = ketergantungan berat
Skor 62-90 = ketergantungan Sedang
Skor 91-99 = ketergantungan ringan
Skor 100 = mandiri
69
Lampiran 7
Kuesioner Hearing Handicap Inventory For The Eldery-Screening (HHIE-S)
No. Pertanyaan Ya Kadang-
Kadang Tidak
E-1
Apakah masalah pendengaran menyebabkan
Anda merasa malu saat bertemu dengan orang
baru?
E-2
Apakah masalah pendengaran menyebabkan
Anda merasa frustasi saat berbicara dengan
keluarga Anda?
S-3 Apakah Anda memiliki kesulitan mendengar
saat seseorang berbisik?
E-4 Apakah Anda merasa ada gangguan pada
pendengaran?
S-5
Apakah masalah pendengaran menyebabkan
Anda mengalami kesulitan saat mengunjungi
teman, kerabat, atau tetangga?
S-6
Apakah masalah pendengaran menyebabkan
Anda kurang menghadiri kegiatan
keagaamaan?
E-7
Apakah masalah pendengaran menyebabkan
Anda mengalami perbedaan pendapat dengan
keluarga?
S-8
Apakah masalah pendengaran menyebabkan
Anda mengalami kesulitan saat mendengar
TV/radio?
E-9
Apakah anda merasa pendengaran Anda
membatasi atau menghambat kehidupan
pribadi atau sosial?
S-10
Apakah masalah pendengaran menyebabkan
Anda kesulitan saat di restoran dengan teman
atau kerabat?
Total Skor
Skor 0-8 = Tidak ada hendaya
Skor 10-24 = hendaya ringan
Skor 26-40 = hendaya berat
70
Lampiran 8
Form Pemeriksaan Fisik Telinga
Kanan Inspeksi &
Palpasi Kiri
Inspeksi liang telinga :
lapang/sempit, isi (serumen, sekret,
jaringan granulasi, massa)
Liang
telinga
Inspeksi liang telinga :
lapang/sempit, isi (serumen, sekret,
jaringan granulasi, massa)
Otoskopi
Lapang/sempit, ada masa, secret,
hifa, furunkel, oedem diffuse
Lapang/sempit, ada masa, secret,
hifa, furunkel, oedem diffuse
Keutuhan:
utuh/perforasi/sentral/marginal/atik,
Warna : jernih/suram/hiperemis
Kelainan di lateral MT : bula,
polip, kolesteatoma
Kelainan di medial MT : cairan/air
buble/hematom/massa
Keutuhan:
utuh/perforasi/sentral/marginal/atik,
Warna : jernih/suram/hiperemis
Kelainan di lateral MT : bula,
polip, kolesteatoma
Kelainan di medial MT : cairan/air
buble/hematom/massa
(gambarkan temuan otoskopi)
(gambarkan temuan otoskopi)
71
Lampiran 9
Contoh Hasil Audiometri
72
Lampiran 10
Gambar Pengambilan Data
Gambar 7.1 Proses pengambilan data kuesioner
Gambar 7.2 Proses pengambilan data ambang dengar dengan non-chamber
audiometry kuduwave
73
Lampiran 11
Hasil Uji Statistik
Analisis Univariat Uji Normalitas Data
Descriptives
Statistic Std. Error
JK Mean 1.6949 .06046
95% Confidence Interval for
Mean
Lower Bound 1.5739
Upper Bound 1.8159
5% Trimmed Mean 1.7166
Median 2.0000
Variance .216
Std. Deviation .46440
Minimum 1.00
Maximum 2.00
Range 1.00
Interquartile Range 1.00
Skewness -.869 .311
Kurtosis -1.290 .613
Tests of Normality
Kolmogorov-Smirnova Shapiro-Wilk
Statistic df Sig. Statistic df Sig.
JK .439 59 .000 .579 59 .000
a. Lilliefors Significance Correction
Descriptives
Statistic Std. Error
Usia Mean 74.2542 1.06690
95% Confidence Interval for
Mean
Lower Bound 72.1186
Upper Bound 76.3899
5% Trimmed Mean 74.1525
Median 74.0000
Variance 67.158
74
Std. Deviation 8.19502
Minimum 60.00
Maximum 90.00
Range 30.00
Interquartile Range 12.00
Skewness .110 .311
Kurtosis -.798 .613
Tests of Normality
Kolmogorov-Smirnova Shapiro-Wilk
Statistic df Sig. Statistic df Sig.
Usia .069 59 .200* .971 59 .171
*. This is a lower bound of the true significance.
a. Lilliefors Significance Correction
Descriptives
Statistic Std. Error
HHIES Mean 9.8305 1.32086
95% Confidence Interval for
Mean
Lower Bound 7.1865
Upper Bound 12.4745
5% Trimmed Mean 9.0301
Median 8.0000
Variance 102.936
Std. Deviation 10.14575
Minimum .00
Maximum 38.00
Range 38.00
Interquartile Range 14.00
Skewness 1.052 .311
Kurtosis .235 .613
Tests of Normality
Kolmogorov-Smirnova Shapiro-Wilk
Statistic df Sig. Statistic df Sig.
HHIES .188 59 .000 .852 59 .000
75
Descriptives
Statistic Std. Error
IndeksBarthel Mean 95.6780 1.29320
95% Confidence Interval for
Mean
Lower Bound 93.0893
Upper Bound 98.2666
5% Trimmed Mean 97.1422
Median 100.0000
Variance 98.670
Std. Deviation 9.93330
Minimum 65.00
Maximum 100.00
Range 35.00
Interquartile Range .00
Skewness -2.338 .311
Kurtosis 4.328 .613
Tests of Normality
Kolmogorov-Smirnova Shapiro-Wilk
Statistic df Sig. Statistic df Sig.
IndeksBarthel .448 59 .000 .491 59 .000
a. Lilliefors Significance Correction
Descriptives
Statistic Std. Error
MMSE Mean 25.4237 .44328
95% Confidence Interval for
Mean
Lower Bound 24.5364
Upper Bound 26.3110
5% Trimmed Mean 25.7316
Median 27.0000
Variance 11.593
Std. Deviation 3.40488
Minimum 15.00
Maximum 28.00
Range 13.00
76
Interquartile Range 4.00
Skewness -1.210 .311
Kurtosis .399 .613
Tests of Normality
Kolmogorov-Smirnova Shapiro-Wilk
Statistic df Sig. Statistic df Sig.
MMSE .250 59 .000 .769 59 .000
a. Lilliefors Significance Correction
Descriptives
Statistic Std. Error
AS_PTA Mean 43.7542 2.46640
95% Confidence Interval for
Mean
Lower Bound 38.8172
Upper Bound 48.6913
5% Trimmed Mean 42.4940
Median 40.0000
Variance 358.903
Std. Deviation 18.94474
Minimum 13.80
Maximum 100.00
Range 86.20
Interquartile Range 31.30
Skewness .863 .311
Kurtosis .676 .613
Tests of Normality
Kolmogorov-Smirnova Shapiro-Wilk
Statistic df Sig. Statistic df Sig.
AS_PTA .109 59 .077 .938 59 .005
a. Lilliefors Significance Correction
77
Descriptives
Statistic Std. Error
AS_4000 Mean 47.3729 2.52792
95% Confidence Interval for
Mean
Lower Bound 42.3127
Upper Bound 52.4331
5% Trimmed Mean 46.6102
Median 45.0000
Variance 377.031
Std. Deviation 19.41729
Minimum 10.00
Maximum 100.00
Range 90.00
Interquartile Range 25.00
Skewness .474 .311
Kurtosis .121 .613
Tests of Normality
Kolmogorov-Smirnova Shapiro-Wilk
Statistic df Sig. Statistic df Sig.
AS_4000 .088 59 .200* .972 59 .182
*. This is a lower bound of the true significance.
a. Lilliefors Significance Correction
Descriptives
Statistic Std. Error
AS_8000 Mean 61.8305 2.21666
95% Confidence Interval for
Mean
Lower Bound 57.3934
Upper Bound 66.2676
5% Trimmed Mean 63.1544
Median 60.0000
Variance 289.902
Std. Deviation 17.02650
Minimum 10.00
Maximum 80.00
78
Range 70.00
Interquartile Range 30.00
Skewness -.810 .311
Kurtosis .349 .613
Tests of Normality
Kolmogorov-Smirnova Shapiro-Wilk
Statistic df Sig. Statistic df Sig.
AS_8000 .145 59 .003 .894 59 .000
a. Lilliefors Significance Correction
Descriptives
Statistic Std. Error
AD_PTA Mean 43.8119 2.73560
95% Confidence Interval for
Mean
Lower Bound 38.3360
Upper Bound 49.2878
5% Trimmed Mean 42.4692
Median 41.3000
Variance 441.527
Std. Deviation 21.01255
Minimum 12.50
Maximum 105.00
Range 92.50
Interquartile Range 28.70
Skewness .906 .311
Kurtosis .557 .613
Tests of Normality
Kolmogorov-Smirnova Shapiro-Wilk
Statistic df Sig. Statistic df Sig.
AD_PTA .113 59 .059 .935 59 .004
a. Lilliefors Significance Correction
79
Descriptives
Statistic Std. Error
AD_4000 Mean 45.7627 2.74531
95% Confidence Interval for
Mean
Lower Bound 40.2674
Upper Bound 51.2580
5% Trimmed Mean 44.9200
Median 40.0000
Variance 444.667
Std. Deviation 21.08713
Minimum 10.00
Maximum 100.00
Range 90.00
Interquartile Range 30.00
Skewness .641 .311
Kurtosis -.192 .613
Tests of Normality
Kolmogorov-Smirnova Shapiro-Wilk
Statistic df Sig. Statistic df Sig.
AD_4000 .150 59 .002 .953 59 .024
a. Lilliefors Significance Correction
Descriptives
Statistic Std. Error
AD_8000 Mean 61.7797 2.16152
95% Confidence Interval for
Mean
Lower Bound 57.4529
Upper Bound 66.1064
5% Trimmed Mean 62.9991
Median 60.0000
Variance 275.658
Std. Deviation 16.60294
Minimum 20.00
Maximum 80.00
Range 60.00
Interquartile Range 30.00
80
Skewness -.605 .311
Kurtosis -.254 .613
Tests of Normality
Kolmogorov-Smirnova Shapiro-Wilk
Statistic df Sig. Statistic df Sig.
AD_8000 .186 59 .000 .891 59 .000
a. Lilliefors Significance Correction
Descriptives
Statistic Std. Error
PTA Mean 43.7831 1.83376
95% Confidence Interval for
Mean
Lower Bound 40.1514
Upper Bound 47.4147
5% Trimmed Mean 42.4595
Median 40.0000
Variance 396.795
Std. Deviation 19.91972
Minimum 12.50
Maximum 105.00
Range 92.50
Interquartile Range 28.80
Skewness .880 .223
Kurtosis .566 .442
Tests of Normality
Kolmogorov-Smirnova Shapiro-Wilk
Statistic df Sig. Statistic df Sig.
PTA .086 118 .033 .942 118 .000
a. Lilliefors Significance Correction
81
Descriptives
Statistic Std. Error
ADS
4000 Hz
Mean 46.5678 1.85945
95% Confidence Interval for
Mean
Lower Bound 42.8853
Upper Bound 50.2503
5% Trimmed Mean 45.7203
Median 45.0000
Variance 407.991
Std. Deviation 20.19879
Minimum 10.00
Maximum 100.00
Range 90.00
Interquartile Range 30.00
Skewness .550 .223
Kurtosis -.114 .442
Tests of Normality
Kolmogorov-Smirnova Shapiro-Wilk
Statistic df Sig. Statistic df Sig.
ADS
4000 Hz .111 118 .001 .966 118 .004
a. Lilliefors Significance Correction
Descriptives
Statistic Std. Error
ADS 8000
Hz
Mean 61.8051 1.54142
95% Confidence Interval for
Mean
Lower Bound 58.7524
Upper Bound 64.8578
5% Trimmed Mean 63.0791
Median 60.0000
Variance 280.363
Std. Deviation 16.74406
Minimum 10.00
Maximum 80.00
Range 70.00
82
Interquartile Range 30.00
Skewness -.702 .223
Kurtosis .009 .442
Tests of Normality
Kolmogorov-Smirnova Shapiro-Wilk
Statistic df Sig. Statistic df Sig.
ADS
8000 Hz .166 118 .000 .894 118 .000
a. Lilliefors Significance Correction
Analisi Bivariat
Uji Chi-Square
Kat_PTA * Kat_HHIE Crosstabulation
Kat_HHIE
Total Normal
Hendaya
Ringan Sedang Hendaya Berat
Kat_PTA Normal Count 24 0 0 24
% of Total 20.3% 0.0% 0.0% 20.3%
Tuli Ringan Count 27 6 0 33
% of Total 22.9% 5.1% 0.0% 28.0%
Tuli sedang berat Count 13 30 18 61
% of Total 11.0% 25.4% 15.3% 51.7%
Total Count 64 36 18 118
% of Total 54.2% 30.5% 15.3% 100.0%
Chi-Square Tests
Value df
Asymp. Sig. (2-
sided)
Pearson Chi-Square 58.844a 4 .000
Likelihood Ratio 73.472 4 .000
Linear-by-Linear Association 46.915 1 .000
83
N of Valid Cases 118
a. 1 cells (11.1%) have expected count less than 5. The minimum
expected count is 3.66.
Uji Korelasi Antara Variabel dengan Kuesioner HHIE-S
Correlations
HHIES Usia
HHIES Pearson Correlation 1 .150
Sig. (2-tailed) .105
Sum of Squares and Cross-products 11940.610 1445.085
Covariance 102.056 12.351
N 118 118
Bootstrapc Bias 0 -.001
Std. Error 0 .084
95% Confidence Interval Lower 1 -.019
Upper 1 .314
Usia Pearson Correlation .150 1
Sig. (2-tailed) .105
Sum of Squares and Cross-products 1445.085 7790.373
Covariance 12.351 66.584
N 118 118
Bootstrapc Bias -.001 0
Std. Error .084 0
95% Confidence Interval Lower -.019 1
Upper .314 1
c. Unless otherwise noted, bootstrap results are based on 1000 bootstrap samples
Correlations
HHIES IndeksBarthel
Spearman's rho HHIES Correlation Coefficient 1.000 -.225
Sig. (2-tailed) . .087
N 59 59
84
Bootstrapc Bias .000 -.001
Std. Error .000 .124
95% Confidence Interval Lower 1.000 -.461
Upper 1.000 .013
IndeksBarthel Correlation Coefficient -.225 1.000
Sig. (2-tailed) .087 .
N 59 59
Bootstrapc Bias -.001 .000
Std. Error .124 .000
95% Confidence Interval Lower -.461 1.000
Upper .013 1.000
c. Unless otherwise noted, bootstrap results are based on 1000 bootstrap samples
Correlations
HHIES MMSE
Spearman's rho HHIES Correlation Coefficient 1.000 -.441**
Sig. (2-tailed) . .000
N 118 118
Bootstrapc Bias .000 .000
Std. Error .000 .076
95% Confidence Interval Lower 1.000 -.585
Upper 1.000 -.285
MMSE Correlation Coefficient -.441** 1.000
Sig. (2-tailed) .000 .
N 118 118
Bootstrapc Bias .000 .000
Std. Error .076 .000
95% Confidence Interval Lower -.585 1.000
Upper -.285 1.000
**. Correlation is significant at the 0.01 level (2-tailed).
c. Unless otherwise noted, bootstrap results are based on 1000 bootstrap samples
Correlations
HHIES PTA
Spearman's rho HHIES Correlation Coefficient 1.000 .769**
85
Sig. (2-tailed) . .000
N 118 118
Bootstrapb Bias .000 -.005
Std. Error .000 .041
95% Confidence Interval Lower 1.000 .671
Upper 1.000 .837
PTA Correlation Coefficient .769** 1.000
Sig. (2-tailed) .000 .
N 118 118
Bootstrapb Bias -.005 .000
Std. Error .041 .000
95% Confidence Interval Lower .671 1.000
Upper .837 1.000
**. Correlation is significant at the 0.01 level (2-tailed).
b. Unless otherwise noted, bootstrap results are based on 1000 bootstrap samples
Correlations
HHIES Hz4000
Spearman's rho HHIES Correlation Coefficient 1.000 .667**
Sig. (2-tailed) . .000
N 118 118
Bootstrapb Bias .000 -.002
Std. Error .000 .056
95% Confidence Interval Lower 1.000 .545
Upper 1.000 .765
Hz4000 Correlation Coefficient .667** 1.000
Sig. (2-tailed) .000 .
N 118 118
Bootstrapb Bias -.002 .000
Std. Error .056 .000
95% Confidence Interval Lower .545 1.000
Upper .765 1.000
**. Correlation is significant at the 0.01 level (2-tailed).
b. Unless otherwise noted, bootstrap results are based on 1000 bootstrap samples
86
Correlations
HHIES HZ8000
Spearman's rho HHIES Correlation Coefficient 1.000 .586**
Sig. (2-tailed) . .000
N 118 118
Bootstrapc Bias .000 -.005
Std. Error .000 .063
95% Confidence Interval Lower 1.000 .445
Upper 1.000 .693
HZ8000 Correlation Coefficient .586** 1.000
Sig. (2-tailed) .000 .
N 118 118
Bootstrapc Bias -.005 .000
Std. Error .063 .000
95% Confidence Interval Lower .445 1.000
Upper .693 1.000
**. Correlation is significant at the 0.01 level (2-tailed).
c. Unless otherwise noted, bootstrap results are based on 1000 bootstrap samples
Uji Korelasi Demensia dengan Gangguan Pendengaran
Correlations
MMSE PTA
Spearman's rho MMSE Correlation Coefficient 1.000 -.410**
Sig. (2-tailed) . .000
N 118 118
Bootstrapc Bias .000 .004
Std. Error .000 .082
95% Confidence Interval Lower 1.000 -.551
Upper 1.000 -.235
87
PTA Correlation Coefficient -.410** 1.000
Sig. (2-tailed) .000 .
N 118 118
Bootstrapc Bias .004 .000
Std. Error .082 .000
95% Confidence Interval Lower -.551 1.000
Upper -.235 1.000
**. Correlation is significant at the 0.01 level (2-tailed).
c. Unless otherwise noted, bootstrap results are based on 1000 bootstrap samples
Correlations
MMSE Hz4000
Spearman's rho MMSE Correlation Coefficient 1.000 -.357**
Sig. (2-tailed) . .000
N 118 118
Bootstrapc Bias .000 .002
Std. Error .000 .081
95% Confidence Interval Lower 1.000 -.504
Upper 1.000 -.181
Hz4000 Correlation Coefficient -.357** 1.000
Sig. (2-tailed) .000 .
N 118 118
Bootstrapc Bias .002 .000
Std. Error .081 .000
95% Confidence Interval Lower -.504 1.000
Upper -.181 1.000
**. Correlation is significant at the 0.01 level (2-tailed).
c. Unless otherwise noted, bootstrap results are based on 1000 bootstrap samples
Correlations
MMSE HZ8000
Spearman's rho MMSE Correlation Coefficient 1.000 -.408**
Sig. (2-tailed) . .000
N 118 118
Bootstrapc Bias .000 -.001
88
Std. Error .000 .076
95% Confidence Interval Lower 1.000 -.552
Upper 1.000 -.253
HZ8000 Correlation Coefficient -.408** 1.000
Sig. (2-tailed) .000 .
N 118 118
Bootstrapc Bias -.001 .000
Std. Error .076 .000
95% Confidence Interval Lower -.552 1.000
Upper -.253 1.000
**. Correlation is significant at the 0.01 level (2-tailed).
c. Unless otherwise noted, bootstrap results are based on 1000 bootstrap samples
Uji Multivariat
Variables Entered/Removeda
Model
Variables
Entered
Variables
Removed Method
1 HZ8000,
IndeksBarthel,
MMSE, PTA,
Hz4000b
. Enter
2
. HZ8000
Backward
(criterion:
Probability of F-
to-remove >=
.100).
3
. Hz4000
Backward
(criterion:
Probability of F-
to-remove >=
.100).
4
. IndeksBarthel
Backward
(criterion:
Probability of F-
to-remove >=
.100).
a. Dependent Variable: HHIES
89
b. All requested variables entered.
Model Summarye
Model R
R
Square
Adjusted
R
Square
Std.
Error of
the
Estimate
Change Statistics
Durbin-
Watson
R
Square
Change
F
Change df1 df2
Sig. F
Change
1 .742a .550 .508 7.11774 .550 12.969 5 53 .000
2 .742b .550 .517 7.05197 .000 .007 1 53 .935
3 .741c .549 .525 6.99608 -.001 .132 1 54 .718
4 .740d .548 .532 6.94339 -.001 .160 1 55 .691 1.864
a. Predictors: (Constant), HZ8000, IndeksBarthel, MMSE, PTA, Hz4000
b. Predictors: (Constant), IndeksBarthel, MMSE, PTA, Hz4000
c. Predictors: (Constant), IndeksBarthel, MMSE, PTA
d. Predictors: (Constant), MMSE, PTA
e. Dependent Variable: HHIES
ANOVAa
Model Sum of Squares df Mean Square F Sig.
1 Regression 3285.207 5 657.041 12.969 .000b
Residual 2685.098 53 50.662
Total 5970.305 58
2 Regression 3284.870 4 821.218 16.513 .000c
Residual 2685.435 54 49.730
Total 5970.305 58
3 Regression 3278.323 3 1092.774 22.327 .000d
Residual 2691.982 55 48.945
Total 5970.305 58
4 Regression 3270.511 2 1635.255 33.919 .000e
Residual 2699.794 56 48.211
Total 5970.305 58
a. Dependent Variable: HHIES
b. Predictors: (Constant), HZ8000, IndeksBarthel, MMSE, PTA, Hz4000
c. Predictors: (Constant), IndeksBarthel, MMSE, PTA, Hz4000
90
d. Predictors: (Constant), IndeksBarthel, MMSE, PTA
e. Predictors: (Constant), MMSE, PTA
Coefficientsa
Model
Unstandardized
Coefficients
Standardized
Coefficients
t Sig.
95.0%
Confidence
Interval for B Correlations
Collinearity
Statistics
B
Std.
Error Beta
Lower
Bound
Upper
Bound
Zero-
order Partial Part Tolerance VIF
1 (Constant) 6.646 13.022 .510 .612
-
19.472 32.764
MMSE -.666 .348 -.224
-
1.917 .061 -1.364 .031 -.500 -.255
-
.177 .624 1.604
IndeksBarthel .054 .115 .053 .468 .641 -.178 .286 -.329 .064 .043 .664 1.506
PTA .306 .110 .571 2.770 .008 .084 .528 .719 .356 .255 .199 5.013
Hz4000 .042 .120 .080 .352 .727 -.198 .282 .628 .048 .032 .162 6.168
HZ8000 -.007 .084 -.012 -.082 .935 -.176 .162 .487 -.011
-
.008 .425 2.351
2 (Constant) 6.468 12.719 .509 .613
-
19.031 31.968
MMSE -.660 .335 -.221
-
1.969 .054 -1.332 .012 -.500 -.259
-
.180 .658 1.519
IndeksBarthel .052 .112 .051 .466 .643 -.172 .276 -.329 .063 .043 .699 1.431
PTA .306 .109 .572 2.805 .007 .087 .526 .719 .357 .256 .200 4.998
Hz4000 .037 .102 .071 .363 .718 -.168 .242 .628 .049 .033 .217 4.599
3 (Constant) 6.923 12.556 .551 .584
-
18.240 32.087
MMSE -.633 .324 -.212
-
1.952 .056 -1.283 .017 -.500 -.255
-
.177 .692 1.445
IndeksBarthel .043 .108 .042 .400 .691 -.173 .259 -.329 .054 .036 .734 1.363
PTA .340 .058 .635 5.908 .000 .225 .455 .719 .623 .535 .710 1.409
4 (Constant) 10.296 9.225 1.116 .269 -8.185 28.777
MMSE -.593 .306 -.199
-
1.938 .058 -1.205 .020 -.500 -.251
-
.174 .767 1.304
91
PTA .334 .055 .623 6.073 .000 .224 .444 .719 .630 .546 .767 1.304
a. Dependent Variable: HHIES
Collinearity Diagnosticsa
Model Dimension Eigenvalue
Condition
Index
Variance Proportions
(Constant) MMSE IndeksBarthel PTA Hz4000 HZ8000
1 1 5.725 1.000 .00 .00 .00 .00 .00 .00
2 .216 5.144 .00 .01 .01 .04 .03 .00
3 .031 13.690 .00 .01 .00 .26 .00 .67
4 .018 17.724 .00 .07 .01 .41 .65 .13
5 .006 31.135 .06 .85 .36 .25 .32 .20
6 .004 40.151 .94 .06 .62 .04 .01 .00
2 1 4.758 1.000 .00 .00 .00 .00 .00
2 .212 4.733 .00 .01 .01 .05 .04
3 .020 15.592 .00 .03 .01 .65 .78
4 .007 26.120 .05 .91 .30 .26 .16
5 .004 36.578 .95 .05 .68 .04 .02
3 1 3.842 1.000 .00 .00 .00 .01
2 .147 5.112 .00 .01 .00 .56
3 .008 22.173 .04 .90 .34 .07
4 .004 32.646 .96 .09 .65 .36
4 1 2.865 1.000 .00 .00 .01
2 .130 4.699 .01 .03 .61
3 .006 22.693 .99 .97 .38
a. Dependent Variable: HHIES
92
Lampiran 12
Riwayat Penulis
Identitas
Nama : Ade Nurmyla Fauziati
Jenis Kelamin : Perempuan
Tempat Tanggal Lahir : Jakarta, 23 Juli 1998
Alamat : Jl. Lantur III No. 29 Larangan Selatan, Tangerang
Email : [email protected]
No. Telpon : 085777055536 / 087878808393
Riwayat Pendidikan
2003 – 2004 : TK Islam Al-Afsah
2004 – 2010 : MIN 09 Jakarta
2010 – 2013 : MTSN 32 Jakarta
2013 – 2016 : SMAN 63 Jakarta
2016 – Sekarang : Program Studi Kedokteran, Fakultas Kedokteran UIN
Syarif Hidayatullah Jakarta