hukum internasional kode mata kuliah: bni 2311 block … · 2017. 6. 4. · 2 pengantar penyusunan...
TRANSCRIPT
1
HUKUM INTERNASIONAL
KODE MATA KULIAH: BNI 2311
BLOCK BOOK
PLANNING GROUP
1. Prof. Dr. I Made Pasek Diantha, SH., MS.
2. Prof. Dr. Ida Bagus Wyasa Putra, SH. MHum.
3. Dr. Putu Tuny Cakabawa Landra, SH., M. Hum.
4. I Gede Pasek Eka Wisanjaya, SH., MH.
5. Made Maharta Yasa, SH., MH.
6. A.A. Sri Utari, SH. MH.
7. Ida Bagus Erwin Ranawijaya, SH., MH.
8. A.A. Gede Duwira Hadi Santosa, SH., MHum.
9. I Made Budi Arsika, SH., LL.M.
10. Made Suksma Prijandhini Devi Salain, SH., MH., LL.M.
11. I Gede Putra Ariana, SH., MKn.
12. I Gusti Ngurah Parikesit Widiatedja, SH., MH.
13. Cok. Istri Diah Widyantari Pradnya Dewi, SH., MH.
14. Komang Widiana Purnawan, SH., MH.
15. Putu Aras Samsithawrati, SH., LL.M.
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS UDAYANA
SEMESTER GENAP 2015/2016
2
PENGANTAR
Penyusunan Block Book ini dimaksudkan untuk memberikan pedoman bagi
penyelenggaraan perkuliahan mata kuliah Hukum Internasional di Fakultas Hukum
Universitas Udayana. Adapun sistematika materi yang tersaji di dalam block book ini
mengacu pada dua instrumen pengajaran mata kuliah Hukum Internasional yang telah
disusun sebelumnya yaitu Block Book versi Januari 2012 dan Buku Ajar versi Agustus 2014,
dengan sejumlah penyesuaian dan modifikasi.
Ada sejumlah hal baru yang disajikan dalam Block Book ini, yaitu penambahan sub
pokok bahasan mengenai ―Hukum Internasional Sebagai Salah Satu Cabang Ilmu Hukum‖,
penambahan sumber Hukum Internasional berupa ―Resolusi dari Organisasi Internasional‖
dan “International Soft Law”, dan penambahan sub pokok bahasan“Karakteristik Sengketa
Internasional”. Block Book ini juga telah mengetengahkan sejumlah isu aktual Hukum
Internasional yang berkembang selama tahun 2015 dan awal tahun 2016 yang tercermin dari
materi tutorialnya. Selain itu, sejumlah jurnal ilmiah hukum dan yurisprudensi juga semakin
melengkapi khasanah literaturnya.
Besar harapan kami block book ini dapat bermanfaat bagi mahasiswa, pengajar, tutor,
dan institusi. Kami menyadari bahwa block book ini belum sempurna, oleh karenanya
masukan dan saran yang konstruktif dari berbagai pihak amat kami harapkan demi
pnyempurnaan.
Denpasar, Februari 2016
Penyusun
3
1. IDENTITAS MATA KULIAH
Mata Kuliah : Hukum Internasional
Tim Pengajar : Prof. Dr. I Made Pasek Diantha, SH., MS.
Prof. Dr. Ida Bagus Wyasa Putra, SH. MHum.
Dr. Putu Tuny Cakabawa Landra, SH., M. Hum.
I Gede Pasek Eka Wisanjaya, SH., MH.
Made Maharta Yasa, SH., MH.
A.A. Sri Utari, SH. MH.
Ida Bagus Erwin Ranawijaya, SH., MH.
A.A. Gede Duwira Hadi Santosa, SH., MHum.
I Made Budi Arsika, SH., LL.M.
Made Suksma Prijandhini Devi Salain, SH., MH., LL.M.
I Gede Putra Ariana, SH., MKn.
I Gusti Ngurah Parikesit Widiatedja, SH., MH.
Cok. Istri Diah Widyantari Pradnya Dewi, SH., MH.
Komang Widiana Purnawan, SH., MH.
Putu Aras Samsithawrati, SH., LL.M.
Status Mata Kuliah : Wajib Nasional
Kode Mata Kuliah : BNI 2311
SKS : 3
2. MANFAAT MATA KULIAH
Mata Kuliah Hukum Internasional diberikan untuk mengetahui dan menganalisis peran
Hukum Internasional dalam hubungan masyarakat internasional, serta aplikasi hukum
internasional dalam kasus-kasus dan persoalan konkrit yang terjadi dalam dinamika
masyarakat internasional.
3. DESKRIPSI MATA KULIAH
Hukum Internasional adalah mata kuliah wajib yang harus ditempuh oleh mahasiswa
sebelum menempuh mata-mata kuliah yang lain dalam bidang kajian Hukum
Internasional. Mata kuliah ini harus dibedakan dari mata kuliah Hukum Perdata
Internasional, Hukum Internasional menitikberatkan kajiannya pada bidang-bidang
yang bersifat publik, oleh karena itu mata kuliah ini bahasannya mencakup: pengertian;
4
sejarah dan perkembangan Hukum Internasional; hakikat dasar mengikatnya Hukum
Internasional hubungan antara hukum internasional dengan hukum nasional; subjek
Hukum Internasional dan pengakuan; yurisdiksi dan ekstradisi. Selain itu, membahas
tentang hak asasi manusia, tanggung jawab negara dan suksesi negara, serta
penyelesaian sengketa internasional. Mata kuliah ini, juga mengkaji perkembangan
kontemporer dalam masyarakat dan hukum internasional.
4. TUJUAN MATA KULIAH
Melalui partisipasi pada mata kuliah Hukum Internasional ini, mahasiswa diharapkan
mampu memahami dan menganalisis asas-asas dan kaidah-kaidah yang terdapat dalam
Hukum Internasional serta dapat menganalisis berbagai perkembangan dan
permasalahan yang terjadi dalam masyarakat internasional.
5. PERSYARATAN MENGIKUTI MATA KULIAH HUKUM INTERNASIONAL
Secara formal mahasiswa yang akan menempuh mata kuliah ini harus telah lulus mata
kuliah Pengantar Ilmu Hukum, Pengantar Hukum Indonesia dan Ilmu Negara.
6. MATERI PERKULIAHAN (ORGANISASI PERKULIAHAN)
I. PENDAHULUAN
1.1. Pengertian, Batasan dan Istilah Hukum Internasional
1.1.1. Pengertian dan Batasan Hukum Internasional
1.1.2. Istilah Hukum Internasional
1.1.3. Perwujudan Hukum Internasional
1.1.4. Hukum Internasional dan Hukum Dunia
1.1.5. Hukum Internasional Sebagai Salah Satu Cabang Ilmu Hukum
1.2. Masyarakat Internasional dan Hukum Internasional
1.2.1. Masyarakat Internasional Sebagai Landasan Sosiologis Hukum
Internasional
1.2.2. Hakekat Kedaulatan Negara dan Fungsinya Dalam
Perkembangan Hukum Internasional
1.2.3. Pengaruh Perubahan Peta Politik, Kemajuan Teknologi dan
Struktur Masyarakat Internasional Terhadap Hukum
Internasional
5
1.3. Sejarah Perkembangan Hukum Internasional
1.3.1 Zaman India Kuno (Hukum Perang)
1.3.2. Zaman Babilonia / Irak Kuno
1.3.3. Zaman Romawi
1.3.4. Zaman Yunani
1.3.5. Perjanjian Westphalia
1.3.6. Abad Ke 18
1.3.7. Abad 20 (Berdirinya Organisasi Internasional)
1.4. Sumber-sumber Hukum Internasional
1.4.1. Perjanjian Internasional
1.4.2. Kebiasaan Internasional
1.4.3. Prinsip-prinsip Hukum Umum
1.4.4. Doktrin
1.4.5. Putusan Pengadilan
1.4.6. Resolusi dari Organisasi Internasional
1.4.7. International Soft Law
II. DASAR KEKUATAN MENGIKAT HUKUM INTERNASIONAL DAN
HUBUNGAN ANTARA HUKUM INTERNASIONAL DAN HUKUM
NASIONAL
2.1. Hakikat dan Dasar Mengikatnya Hukum Internasional
2.1.1. Sifat Hakikat Hukum Internasional
2.2.2. Teori-teori Dasar Kekuatan Mengikat Hukum Internasional
2.2. Hubungan Antara Hukum Internasional dan Hukum Nasional
2.2.1. Paham Monisme dan Dualisme
2.2.2. Praktik Negara-negara
2.2.2.1. Inggris
2.2.2.2. Amerika Serikat
2.2.2.3. Negara-negara lain
2.2.2.4. Indonesia
III. SUBJEK HUKUM INTERNASIONAL DAN PENGAKUAN
3.1. Istilah dan Pengertian Subjek Hukum Internasional
3.2. Konsep Subjek Hukum Internasional
3.3. Subjek Hukum Internasional
3.1.1. Negara
6
3.1.2. Subjek Hukum Internasional Bukan Negara
3.1.2.1. Organisasi Internasional
3.1.2.2. Gerakan Pembebasan atau Pihak Dalam Sengketa
3.1.2.3. Vatikan
3.1.2.4. Palang Merah Internasional
3.1.2.5. Individu Tertentu
3.1.2.6. International NGOs
3.1.2.7. Public International Corporation dan Private
International Corporation
3.4. Pengakuan
3.4.1. Teori-teori Tentang Pengakuan
3.4.2. Macam atau Jenis Pengakuan
3.4.3. Cara Pemberian Pengakuan
3.4.4. Bentuk-bentuk Pengakuan
IV. YURISDIKSI DAN EKSTRADISI
4.1. Pengertian Yurisdiksi
4.2. Jenis-jenis Yurisdiksi
4.2.1. Dari Perspektif Hak Atau Kewenangan Negara Untuk Mengatur.
4.2.1.1. Yurisdiksi Legislatif
4.2.1.2. Yurisdiksi Eksekutif
4.2.1.3. Yurisdiksi Yudikatif
4.2.2. Dari Perspektif Objek Yang Diatur
4.2.2.1. Yurisdiksi Personal
4.2.2.2. Yurisdiksi Kebendaan
4.2.2.3. Yurisdiksi Sipil
4.2.2.4. Yurisdiksi Pidana
4.2.3. Dari Perspektif Ruang Atau Tempat Objek Yang Diatur
4.2.3.1. Yurisdiksi Teritorial
4.2.3.2. Yurisdiksi Kuasi Teritorial
4.2.3.3. Yurisdiksi Ekstra Teritorial
4.2.3.4. Yurisdiksi Universal
4.2.3.5. Yurisdiksi Eksklusif
7
4.3. Ekstradisi
4.3.1. Pengertian
4.3.2. Asas-asas Ekstradisi
4.3.3. Persoalan Kejahatan Politik Dalam Ekstradisi
4.3.4. Klausula Attentate
V. HAK ASASI MANUSIA
5.1. Sejarah Perkembangan Hak Asasi Manusia
5.2. Teori-teori Dalam Hak Asasi Manusia
5.3. International Covenant on Civil and Political Rights
5.4. International Covenant on Economic, Social, and Cultural Rights
5.5. Deklarasi Wina dan Program Aksi Hak Asasi Manusia (1993)
5.6. Ruang Lingkup Pelanggaran Hak Asasi Manusia Berat
5.6.1. Pengertian
5.6.2. Kualifikasi Kejahatan
5.6.3. Kriteria Pelanggaran
5.7. Instrumen Internasional
5.7.1. Konvensi Den Haag
5.7.2. Konvensi Jenewa
5.7.3. Konvensi Genosida
5.7.4. Piagam PBB
5.8. Lembaga Peradilan
5.8.1. Peradilan Nasional
5.8.2. Peradilan Pidana Internasional Yugoslavia
5.8.3. Peradilan Pidana Internasional Rwanda
5.8.4. Peradilan Pidana Internasional (ICC)
VI. TANGGUNG JAWAB NEGARA DAN SUKSESI NEGARA
6.1. Tanggung Jawab Negara
6.1.1. Lahirnya Tanggung Jawab Negara
6.1.2. Prinsip-prinsip Tanggung Jawab Negara
6.1.3. Dasar Tanggung Jawab Negara: Risiko atau Kesalahan
6.1.4. Imputabilitas
6.1.5. Pemulihan Keadaan (Reparation)
6.1.6. Perlindungan Terhadap Orang Asing
8
6.1.7. Ekspropriasi
6.1.8. Pelanggaran Kontrak
6.2. Suksesi Negara
6.2.1. Factual State Succession
6.2.2. Legal State Succession
VII PENYELESAIAN SENGKETA INTERNASIONAL
7.1. Karakteristik Sengketa Internasional
7.2. Penyelesaian Sengketa Internasional Secara Damai
7.3. Penyelesaian Sengketa Internasional dengan Penggunaan Kekerasan
7. METODE DAN STRATEGI PROSES PEMBELAJARAN
7.1. Metode Perkuliahan
Perkuliahan ini akan diselenggarakan dengan metode Problem Based Learning
(PBL) yaitu pembelajaran berpusat pada mahasiswa.
7.2. Strategi pembelajaran
Secara keseluruhan terdapat 16 (enam belas) kali pertemuan, yang terbagi menjadi
7 kali perkuliahan (lecturing), 7 (tujuh) kali tutorial, 1 (satu) kali Ujian Tengah
Semester (UTS) dan 1 (satu) kali Ujian Akhir Semester (UAS).
7.3. Pelaksanaan Perkuliahan dan Tutorial.
Jadwal perkuliahan
PERTEMUAN TOPIK KEGIATAN
I. Pendahuluan Perkuliahan
II. Dasar Kekuatan Mengikat Hukum Internasional Dan
Hubungan Antara Hukum Internasional dan Hukum
Nasional
Perkuliahan
III. Task mengenai Pendahuluan Tutorial
IV. Task mengenai Dasar Kekuatan Mengikat Hukum
Internasional dan Hubungan Antara Hukum
Internasional dan Hukum Nasional.
Tutorial
V. Subjek Hukum Internasional dan Pengakuan Perkuliahan
VI. Yurisdiksi dan Ekstradisi Perkuliahan
VII. Task Mengenai Subjek Hukum Internasional dan
Pengakuan
Tutorial
VIII. Task Mengenai Yurisdiksi dan Ekstradisi. Tutorial
9
IX. Ujian Tengah Semester Ujian
X. Hak Asasi Manusia Perkuliahan
XI. Tanggung Jawab Negara dan Suksesi Negara Perkuliahan
XII. Task mengenai Hak Asasi Manusia Tutorial
XIII. Task Mengenai Tanggung Jawab Negara dan Suksesi
Negara
Tutorial
XIV. Penyelesaian Sengketa Internasional Perkuliahan
XV. Task Mengenai Penyelesaian Sengketa Internasional Tutorial
XVI. Ujian Akhir Semester Ujian
7.4. Strategi perkuliahan
Perkuliahan akan dipaparkan dengan media papan tulis atau power point, serta
penyiapan bahan bacaan tertentu yang dapat diakses oleh mahasiswa. Sebelum
mengikuti perkuliahan mahasiswa harus sudah mempersiapkan diri dengan
melakukan penelusuran bahan, membaca dan memahami pokok bahasan yang akan
dikuliahkan sebagaimana yang ada dalam Block Book. Teknik perkuliahan
dilakukan dengan pemaparan materi, tanya jawab, dan diskusi.
7.5. Strategi Tutorial:
Mahasiswa mengerjakan tugas-tugas (Discussion Task, Study Task dan Problem Task)
sebagai bagian dari self study (20 jam perminggu), kemudian berdiskusi di kelas
tutorial.
Dalam 7 kali tutorial di kelas, mahasiswa diwajibkan:
o Secara mandiri menjawab seluruh pertanyaan yang ada pada Block Book
sebelum tutorial dilaksanakan, dan apabila ditunjuk secara acak oleh tutor,
mampu mempresentasikan jawaban tersebut di kelas tutorial.
o Berdiskusi dan berargumentasi mengenai jawaban individu mahasiswa
terhadap pertanyaan-pertanyaan di Blok Book.
o Secara mandiri menyusun sebuah laporan tutorial. Laporan ini akan digunakan
sebagai komponen utama nilai tugas-tugas (TT) selain partisipasi dalam
tanya jawab/diskusi selama perkuliahan/tutorial.
8. UJIAN DAN PENILAIAN
8.1. Ujian
10
Ujian dilaksanakan dua kali yaitu Ujian Tengah Semester (UTS) dan Ujian Akhir
Semester (UAS).
8.2. Tugas-tugas (TT): Lihat 7.5.
8.3. Penilaian
Penilaian akhir dari proses pembelajaran ini berdasarkan rumus Nilai Akhir (NA)
sesuai buku pedoman, yaitu:
9. BAHAN BACAAN
Literatur yang digunakan pada sesi perkuliahan dan tutorial telah diuraikan di masing-
masing sesi.
10. PERSIAPAN PROSES PERKULIAHAN
Sebelum perkuliahan dimulai mahasiswa diwajibkan sudah memiliki block book mata
kuliah Hukum Internasional, dan sudah mempersiapkan materi, sehingga perkuliahan
dan tutorial dapat terlaksana dengan lancar.
11
10.1. PERTEMUAN I
PERKULIAHAN PERTAMA
Pendahuluan
Sub Pokok Bahasan
1. Pengertian, Batasan dan Istilah Hukum Internasional.
a) Pengertian dan Batasan Hukum Internasional
b) Istilah: Law of Nations (Hukum Bangsa-Bangsa), Law among Nations (Hukum
Antar Bangsa), Interstate Law (Hukum Antar Negara), Transnational Law
(Hukum Transnasional) dan International Law (Hukum Internasional).
c) Perwujudan Hukum Internasional: Hukum Internasional Regional dan Hukum
Internasional Khusus.
d) International Law (Hukum Internasional) dan World Law (Hukum Dunia).
e) Hukum Internasional Sebagai Salah Satu Cabang Ilmu
2. Masyarakat Internasional dan Hukum Internasional
a) Masyarakat Internasional Sebagai Landasan Sosiologis Hukum Internasional
b) Hakekat Kedaulatan Negara dan Fungsinya Dalam Perkembangan Hukum
Internasional
c) Pengaruh Perubahan Peta Politik, Kemajuan Teknologi dan Struktur Masyarakat
Internasional Terhadap Hukum Internasional
3. Sejarah Perkembangan Hukum Internasional
a) Zaman India Kuno (Hukum Perang)
b) Zaman Babilonia / Irak Kuno (Hukum Perjanjian)
c) Zaman Romawi (Asas Hukum Perdata Diadopsi ke Dalam Hukum
Internasional)
d) Zaman Yunani (Hukum Konsuler)
e) Perjanjian Westphalia
f) Abad Ke 18
g) Abad 20 (Berdirinya Organisasi Internasional)
12
4. Sumber-sumber Hukum Internasional
a) Perjanjian Internasional
b) Kebiasaan Internasional
c) Prinsip-prinsip Hukum Umum
d) Ajaran Para Sarjana Yang Terkemuka Dari Berbagai Negara.(Doktrin)
e) Putusan Pengadilan
f) Resolusi dari Organisasi Internasional
g) International Soft Law
Literatur:
a. Arthur Nussbaum, 1970, Sedjarah Hukum Internasional, Binatjipta, Bandung.
b. Boer Mauna, 2005, Hukum Internasional: Pengertian, Peranan, dan Fungsi dalam Era
Dinamika Global, Edisi Kedua, Cetakan Ke-1, PT. Alumni, Bandung
c. F.A. Whisnu Situni, Identifikasi Dan Reformulasi Sumber-Sumber Hukum Internasional,
1989, Mandar Maju, Bandung.
d. G. J. H. Van Hoof, 1983, Rethinking the Sources of International Law, Alumni, Bandung.
e. Huala Adolf, 2002, Aspek-aspek Negara Dalam Hukum Internasional, PT. RajaGrafindo
Persada, Jakarta.
f. Jawahir Thontowi Dan Pranoto Iskandar, 2006, Hukum Internasional Kontemporer,
Refika Aditama, Bandung.
g. J.G. Starke, 2008 Pengantar Hukum Internasional 2, Edisi Kesepuluh,terjemahan oleh
Bambang Iriana Djajaatmadja, Sinar Grafika, Jakarta.
h. Mochtar Kusumaatmadja & Etty R. Agoes, 2003, Pengantar Hukum Internasional,
Alumni, Bandung
i. Parthiana, I Wayan, 1990, Pengantar Hukum Internasional, Mandar Maju, Bandung
j. Syahmin A.K., 1992, Hukum Internasional Publik Dalam Kerangka Studi Analitis (1),
Binacipta, Bandung.
k. Syahmin A.K., 1992, Hukum Internasional Publik Dalam Kerangka Studi Analitis (2),
Binacipta, Bandung.
l. Yudha Bhakti Ardhiwisastra, 2003, Hukum Internasional Bunga Rampai, Alumni,
Bandung.
13
m. Ian Brownlie, 1990, Principle of Public International Law, Fourth Edition, Oxford
University Press.
n. Malcolm Shaw, 1995, International Law, Butterworth.
o. Ray August, 1995, Public International Law, Text, Cases, and Readings, Prentice Hall,
Englewood Cliffs, New Jersey 07632.
p. D.J. Harris, 1998, Cases and Materials on International Law, Fifth Edition, Sweet And
Maxwell, London.
q. Mark W. Janis, 2003, An Introduction to International Law, Aspen Publishers, New York,
NY 10036.
r. Martin Dixon, 2007, Text Book on International Law, Sixth Edition, Oxford University
Press.
14
10.2. PERTEMUAN II
PERKULIAHAN KEDUA
Dasar Kekuatan Mengikat Hukum Internasional dan
Hubungan Antara Hukum Internasional dan Hukum Nasional
Sub Pokok Bahasan
1. Hakikat dan Dasar Mengikatnya Hukum Internasional
a) Sifat Hakikat Hukum Internasional
b) Teori-teori Dasar Mengikatnya HI
2. Hubungan Antara Hukum Internasional dan Hukum Nasional
a) Teori Monisme dan Dualisme
b) Praktik Negara-negara
Inggris
Amerika Serikat
Negara-negara lain
Indonesia
Literatur:
a. Mochtar Kusumaatmadja & Etty R. Agoes, 2003, Pengantar Hukum Internasional,
Alumni, Bandung
b. I Wayan Parthiana, 1990, Pengantar Hukum Internasional, Mandar Maju, Bandung.Boer
Mauna, 2005, Hukum Internasional: Pengertian, Peranan, dan Fungsi dalam Era Dinamika
Global, Edisi Kedua, Cetakan Ke-1, PT. Alumni, Bandung
c. J.G. Starke, 2008, Pengantar Hukum Internasional 2, Edisi Kesepuluh, terjemahan oleh
Bambang Iriana Djajaatmadja, Sinar Grafika, Jakarta.
d. Ian Brownlie, 1990, Principles of Public International Law, Fourth Edition, Oxford
University Press.
15
10.3. PERTEMUAN III
TUTORIAL PERTAMA
Study Task
1. Terjemahkan istilah bidang-bidang Hukum Internasional Publik berikut ini ke dalam
Bahasa Inggris:
a. Hukum Angkasa
b. Hukum Diplomatik
c. Hukum Ekonomi Internasional
d. Hukum Hak Asasi Manusia Internasional
e. Hukum Humaniter
f. Hukum Laut Internasional
g. Hukum Lingkungan Internasional
h. Hukum Organisasi Internasional
i. Hukum Perdagangan Internasional
j. Hukum Perjanjian Internasional
k. Hukum Pidana Internasional
l. Hukum Penyelesaian Sengketa Internasional
m. Hukum Udara
2. Uraikan ruang lingkup bahasan dari bidang-bidang Hukum Internasional Publik
tersebut.
3. Sebutkan instrumen hukum internasional utama yang digunakan dari bidang-bidang
Hukum Internasional Publik tersebut.
Berikut merupakan model Tabel untuk digunakan dalam mengerjakan Study Task nomor 1 2,
dan 3
No Nama Bidang Istilah dalam
Bahasa Inggris
Ruang Lingkup
Bahasan
Instrumen Hukum
Internasional
Utama
a Hukum Angkasa
b Hukum Diplomatik
c Hukum Ekonomi Internasional
d Hukum Hak Asasi Manusia
Internasional
e Hukum Humaniter
f Hukum Laut Internasional
g Hukum Lingkungan Internasional
h Hukum Organisasi Internasional
i Hukum Perdagangan
Internasional
j Hukum Perjanjian Internasional
k Hukum Pidana Internasional
l Hukum Penyelesaian Sengketa
Internasional
m Hukum Udara
16
4. Jelaskan keterkaitan di antara bidang Hukum Internasional Publik yang satu dengan
bidang lainnya
Literatur:
a. Boer Mauna, 2005, Hukum Internasional: Pengertian, Peranan, dan Fungsi dalam Era
Dinamika Global, Edisi Kedua, Cetakan Ke-1, PT. Alumni, Bandung
b. Mochtar Kusumaatmadja & Etty R. Agoes, 2003, Pengantar Hukum Internasional,
PT. Alumni, Bandung
17
10.4. PERTEMUAN IV
TUTORIAL KEDUA
Study Task
1. Identifikasikan kelemahan-kelemahan yang terdapat pada teori Hukum Alam dan
Teori Kehendak Negara.
2. Jelaskan kaitan antara konsep Hukum Dunia (world law) dengan aliran Monisme
Primat Hukum Internasional.
Literatur:
a. Boer Mauna, 2005, Hukum Internasional: Pengertian, Peranan, dan Fungsi dalam Era
Dinamika Global, Edisi Kedua, Cetakan Ke-1, PT. Alumni, Bandung
b. Mochtar Kusumaatmadja dan Etty R Agoes, 2003, Pengantar Hukum Internasional, PT
Alumni, Bandung
c. Sefriani, 2011, Hukum Internasional: Suatu Pengantar, Cetakan Kedua, Rajawali Pers,
Jakarta
Discussion Task
Petunjuk awal: Baca kedua artikel berikut.
EKSEKUSI MATI, INDONESIA TAK LANGGAR HUKUM INTERNASIONAL1
Resty Armenia, CNN Indonesia
Senin, 16/02/2015 15:47 WIB
Hukum internasional, menurut Retno, membolehkan eksekusi mati untuk kejahatan serius. (Antara/Nyoman
Budhiana)
Jakarta, CNN Indonesia -- Menteri Luar Negeri Retno Marsudi menegaskan, Indonesia
tidak melanggar hukum internasional yang tercantum dalam International Covenant on Civil
and Political Rights (ICCPR), meski menjalankan eksekusi terpidana mati kasus narkoba.
1 Dikutip dari http://www.cnnindonesia.com/internasional/20150216154626-106-32530/eksekusi-mati-
indonesia-tak-langgar-hukum-internasional/
18
"Satu pun tidak ada yang dilanggar pemerintah Indonesia dalam hal ini. ICCPR Pasal 6
bahwa hukuman mati bisa dilakukan untuk kejahatan serius," ujar Retno di kompleks Istana
Kepresidenan Bogor, Senin (16/2).
Di Indonesia, kejahatan narkoba adalah kejahatan serius dan pemerintah berkomitmen untuk
memerangi kejahatan narkoba dengan menjatuhkan hukuman mati kepada para gembong
narkoba.
Retno juga telah menjelaskan soal hal ini kepada Sekretaris Jenderal Persatuan Bangsa-
Bangsa (PBB) Ban Ki Moon.
"Saya komunikasi dengan Sekjen PBB. Dalam komunikasi itu, saya sudah perkirakan. Beliau
menyampaikan concern yang sama seperti yang dilakukan kepala negara atau pemerintahan
di mana warganya masuk dalam daftar terpidana mati. Sampaikan concern, Sekjen PBB
paham betul," kata dia.
Sebelumnya, pada Jumat (13/2), Ban Ki Moon mengimbau Indonesia untuk tidak
mengeksekusi 12 terpidana mati untuk kasus narkoba yang berasal dari Australia, Brazil,
Perancis, Ghana, Nigeria dan Filipina dan empat warga Indonesia.
Bergeming
Meski mendapat reaksi dan protes dari dunia internasional, Presiden Jokowi menolak
permohonan grasi para terpidana mati dalam kasus narkoba, termasuk dua warga negara
Australia yang menjadi anggota Bali Nine, Myuran Sukumaran dan Andrew Chan.
Perdana Menteri Tony Abbott memperingatkan hubungan diplomatik Indonesia-Australia
akan terkena dampak jika eksekusi tetap dilanjutkan, sementara Menteri Luar Negeri
Australia Julie Bishop telah mengancam akan memboikot pariwisata Indonesia.
Di media sosial, panda pager #boycottBali menjadi trending topic, menunjukkan protes
banyak warga Australia terkait eksekusi mati.
Jumat lalu, Sekretaris Kabinet Andi Widjajanto mengatakan Jokowi tetap bergeming dan
akan melanjutkan eksekusi dan tak akan memberi ampun terpidana narkoba. (stu)
Merespon Desakan Komunitas Internasional pada Indonesia Untuk Menghentikan
Eksekusi Mati2
17 Feb, 2015
Koalisi NGO Anti Hukuman Mati mendesak agar Pemerintah Indonesia menunda Rencana
eksekusi hukuman mati tahap kedua yang akan dilaksanakan pada akhir bulan Februari 2015.
Eksekusi terhadap terpidana mati ini (warga negara Indonesia, Australia, Brazil, Perancis,
Ghana, Nigeria dan Filipina) tersebut bertentangan agenda reformasi hokum dan HAM dan
prinsip-prinsip kemanusiaan yang selama ini dianut oleh Indonesia. Prinsip HAM
menegaskan bahwa tidak ada seorangpun yang dapat mencabut hak hidup seseorang,
termasuk Negara sekalipun.
2 Dikutip dari http://icjr.or.id/merespon-desakan-komunitas-internasional-pada-indonesia-untuk-menghentikan-
eksekusi-mati/
19
Menanggapi pelaksanaan hukuman mati di Indonesia, pada tanggal 13 Februari 2015 lalu,
Sekretaris Jenderal PBB, Ban Ki Moon dan Pelapor Khusus PBB tentang Eksekusi
Sewenang-wenang dan di Luar Hukum (Special Rapporteur on extrajudicial, summary or
arbitrary executions), Christof Heyns, menyampaikan pernyataan terbuka yang mendesak
Pemerintah Indonesia untuk menghentikan eksekusi mati tahap kedua yang diperkirakan akan
dilaksanakan pada bulan Februari 2015 mendatang. Pernyataan ini juga menghimbau agar
hukuman mati yang masih berlaku di Indonesia harus tetap mematuhi kewajiban
internasional, khususnya terkait dengan prinsip-prinsip fair trial dalam proses peradilan yang
berlandaskan pada Konvensi Hak Sipil dan Hak Politik (ICCPR) di mana Indonesia telah
meratifikasi ICCPR sejak tahun 2006.
Dalam kesempatan yang lain, Sekjen PBB Ban Ki Moon juga telah melayangkan surat
kepada Presiden Jokowi untuk mengungkapkan keperihatinannya terhadap eksekusi terpidana
mati baru-baru ini di Indonesia, karena pada hakikatnya PBB sangat menentang dan
mengecam hukuman mati dalam segala keadaan, termasuk kejahatan narkoba, yang tidak
termasuk ke dalam kejahatan paling serius (most serious crimes) di dalam Konvensi Hak
Sipil dan Politik (ICCPR).
Untuk itu pula, Koalisi NGO Anti-Hukuman Mati memandang bahwa hukuman mati
bukanlah suatu hal yang sepele dalam pembangunan dan peradaban bangsa, karena hukuman
mati pada dasarnya tidak berdiri sendiri, namun berkaitan dengan aspek-aspek pemidanaan
lain, seperti prinsip fair trial. Secara politik, hukuman mati ini juga memberikan dampak
pada martabat bangsa Indonesia di hadapan negara-negara lain karena hukuman mati telah
menjadi salah satu standard norma yang mau tidak mau telah diakui secara global. Apalagi,
pada siding Dewan HAM PBB yang akan dimulai tanggal 2 Maret mendatang di jenewa
terdapat agenda ―Panel Tingkat Tinggi Moratorium Hukumna Mati‖ , disamping itu pada tgl
22-26 April Mendatang Indonesia akan menjadi tuan rumah perayaan KTT Asia Afrika ke-
60, permasalahan Demokrasi dan HAM termasuk , hukuman mati tentu akan menjadi
pertanyaan dari negara-negara sahabat, baik yang secara langsung ataupun tidak
warganegaranya dieksekusi.
Berdasarkan pada hal di atas, Koalisi NGO Anti Hukuman Mati mendesak:
1. Pemerintah Indonesia meninjau kembali rencana eksekusi tahap kedua ini dengan
mengevaluasi semua proses peradilan putusan mati yang telah ditetapkan, karena
kami menemukan ada banyak kekurangan, baik secara formil atau materil, yang
muncul dalam proses tersebut. Dengan tetap melanjutkan eksekusi, maka Pemerintah
Indonesia telah melakukan eksekusi secara sewenang-wenang dan tidak sesuai dengan
standard konstitusional yang berlaku.
2. Meningkatkan pengawasan lembaga permasayarakatan (Lapas) di Indonesia dengan
memastikan bahwa penjara bersih dari adanya bisnis narkoba yang kerap kali terjadi
akibat dari minimnya petugas Lapas dan menghukum semua pelaku dan oknum yang
terlibat di dalam bisnis tersebut. Sebagaimana diketahui, salah satu terpidana mati
masih dapat mengoperasikan narkoba dari dalam penjara bahkan mengajak terpidana
lainnya telah membuktikan bahwa pemerintah Indonesia sendiri tidak serius
memberantas narkoba.
3. Meninjau kembali penerapan hukum positif di Indonesia yang memasukkan kejahatan
narkoba sebagai bagian dari most serious crime sesuai dengan ketentuan tanggung
jawab HAM internasional Indonesia sebagai Negara Pihak Kovenan HAM
20
Internasional Hak Sipil dan Politik dan ketentuan UN Office on Drugs and Crime
(UNODC).
4. Melakukan moratorium hukuman mati, baik secara de facto dan de jure, termasuk di
dalamnya untuk meratifikasi Protokol Tambahan Konvensi Sipil dan Politik tentang
Penghapusan Hukuman Mati;
5. Menghimbau Pemerintah Indonesia untuk menjamin adanya transparansi dan
akuntabilitas dalam semua proses pengadilan yang melibatkan terpidana mati,
termasuk memberantas mafia narkoba di dalam penjara, serta membatalkan rencana
untuk memindahkan terpidana mati Bali Nine ke penjara Nusakambangan, karena
masih belum bersihnya Nusakambangan dari praktik mafia narkoba.
HRWG, ICJR, ELSAM, Imparsial, Setara Institute, ILRC
Instruksi:
Diskusikan apakah sikap pemerintah Indonesia yang memberlakukan Hukuman Mati --
kendatipun oleh sejumlah pihak dianggap tidak sesuai dengan Hukum Internasional--
merupakan indikasi bahwa Indonesia menganut Monisme Primat Hukum Nasional?
Petunjuk Teknis Pelaksanaan Diskusi:
1. Dalam diskusi ini, Peserta tutorial --selain Pemimpin Diskusi (Discussion Leader) dan
Pencatat (Note Keeper)-- dibagi menjadi 2 kelompok.
2. Kelompok pertama menjadi pembahas yang bersikap setuju (pro) bahwa kasus ini
mengindikasikan Indonesia sebagai Negara yang menganut Monisme Primat Hukum
Nasional, sedangkan kelompok kedua menjadi pembahas yang bersikap tidak setuju
(kontra) terhadap pandangan dari kelompok pertama.
Literatur:
a. International Covenant on Civil and Political Rights
b. Second Optional Protocol to the International Covenant on Civil and Political Rights,
Aiming at the Abolition of the Death Penalty
c. Universal Declaration of Human Rights
d. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
e. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana
f. Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia
g. Boer Mauna, 2005, Hukum Internasional: Pengertian, Peranan, dan Fungsi dalam Era
Dinamika Global, Edisi Kedua, Cetakan Ke-1, PT. Alumni, Bandung
h. Bintang Wicaksono Ajie, Monograf Focus Group Discussion ―Hukuman Mati Dalam
R KUHP 2015‖, Jakarta, 2015, Institute for Criminal Justice Reform,
http://reformasikuhp.org/data/wp-content/uploads/2015/11/Monograf-icjr-fgd-29-
Oktober-2015.pdf
i. Eka An Aqimuddin, Resensi Buku ―Hukum Perjanjian Internasional Kajian Teori dan
Praktek di Indonesia (Damos Dumoli Agusman, Refika Aditama, Bandung, 2010)‖,
dalam Opinio Juris Vol 04, Januari-April 2012.
j. Mochtar Kusumaatmadja dan Etty R Agoes, 2003, Pengantar Hukum Internasional,
PT Alumni, Bandung
k. Yahya Ahmad Zein, 2012,.Problematka Hak Asasi Manusia (HAM), Liberty,
Yogyakarta,
21
10.5. PERTEMUAN V
PERKULIAHAN KETIGA
Subjek Hukum Internasional dan Pengakuan
Sub Pokok Bahasan
1. Istilah dan Pengertian Subjek Hukum Internasional
2. Konsep Subjek Hukum Internasional
3. Subjek Hukum Internasional
a) Negara
b) Subjek Hukum Internasional Bukan Negara
1) Organisasi Internasional
2) Gerakan Pembebasan atau Pihak Dalam Sengketa
3) Vatikan
4) Palang Merah Internasional
5) Individu Tertentu
6) International Non-Governmental Organizations
7) Public International Corporation dan Private International
Corporation
4. Pengakuan
a) Teori-teori Tentang Pengakuan
b) Macam atau Jenis Pengakuan
c) Cara Pemberian Pengakuan
d) Bentuk-bentuk Pengakuan
Literatur:
a. Mochtar Kusumaatmadja & Etty R. Agoes, 2003, Pengantar Hukum Internasional, PT.
Alumni, Bandung
b. I Wayan Parthiana, 1990, Pengantar Hukum Internasional, Mandar Maju, Bandung
c. Boer Mauna, 2005, Hukum Internasional: Pengertian, Peranan, dan Fungsi dalam Era
Dinamika Global, Edisi Kedua, Cetakan Ke-1, PT. Alumni, Bandung
d. J.G. Starke, Pengantar Hukum Internasional 1, Edisi Kesepuluh,terjemahan oleh
Bambang Iriana Djajaatmadja, Sinar Grafika, Jakarta
22
e. Huala Adolf, 2002, Aspek-aspek Negara Dalam Hukum Internasional, PT. RajaGrafindo
Persada, Jakarta
f. Reparation for Injuries Suffered in the service of the United Nations, Advisory Opinion:
I.C. J. Reports, 1949, p. 174.
g. Sovereignty over Pulau Ligitan and Pulau Sipadan (Indonesia/Malaysia), Judgment, I. C.
J. Reports 2002, p. 625
23
10.6. PERTEMUAN VI
PERKULIAHAN KEEMPAT
Yurisdiksi
Sub Pokok Bahasan
1. Pengertian Yurisdiksi
2. Jenis-jenis
a) Dari perspektif hak atau kewenangan negara untuk mengatur
1) Legislatif
2) Eksekutif
3) Yudikatif
b) Dari perspektif objek yang diatur
1) Personal
2) Kebendaan
3) Pidana
4) Sipil
c) Dari perspektif ruang atau tempat objek yang diatur
1) Yurisdiksi Teritorial
2) Yurisdiksi Kuasi Teritorial
3) Yurisdiksi Ekstra Teritorial
4) Yurisdiksi Universal
5) Yurisdiksi Eksklusif
3. Ekstradisi
a) Pengertian
b) Asas-asas ekstradisi
c) Persoalan kejahatan politik dalam ekstradisi
d) Klausula attentate
Literatur:
1. Huala Adolf, 2002, Aspek-aspek Negara Dalam Hukum Internasional, PT.
RajaGrafindo Persada, Jakarta
2. I Wayan Parthiana, 1990, Pengantar Hukum Internasional, Mandar Maju, Bandung
3. J.G. Starke, Pengantar Hukum Internasional 1, Edisi Kesepuluh,terjemahan oleh
Bambang Iriana Djajaatmadja, Sinar Grafika, Jakarta
24
10. 7. PERTEMUAN VII
TUTORIAL KETIGA
Study task
1. Jelaskan perbedaan antara subjek hukum internasional yang dikualifikasikan full
capacity, limited capacity, dan very limited capacity dengan memberikan contoh.
2. Jelaskan apakah semua subjek hukum internasional memiliki legal standing untuk
membuat perjanjian internasional.
Literatur:
a. Boer Mauna, 2005, Hukum Internasional: Pengertian, Peranan, dan Fungsi dalam Era
Dinamika Global, Edisi Kedua, Cetakan Ke-1, PT. Alumni, Bandung
b. Mochtar Kusumaatmadja dan Etty R Agoes, 2003, Pengantar Hukum Internasional, PT
Alumni, Bandung
c. Sefriani, 2011, Hukum Internasional: Suatu Pengantar, Cetakan Kedua, Rajawali Pers,
Jakarta
Discussion Task
1. Diskusikan, apakah pernyataan (deklarasi/proklamasi) kemerdekaan suatu entitas
merupakan landasan utama bagi suatu Negara untuk memberikan pengakuan terhadap
entitas tersebut?
2. Diskusikan pula, apakah pengakuan yang diberikan oleh organisasi internasional
berpengaruh terhadap status suatu entitas untuk dapat dikualifikasikan sebagai
Negara?
Literatur:
a. Boer Mauna, 2005, Hukum Internasional: Pengertian, Peranan, dan Fungsi dalam Era
Dinamika Global, Edisi Kedua, Cetakan Ke-1, PT. Alumni, Bandung
b. Sefriani, 2011, Hukum Internasional: Suatu Pengantar, Cetakan Kedua, Rajawali Pers,
Jakarta
c. Huala Adolf, 2002, Aspek-aspek Negara Dalam Hukum Internasional, PT. RajaGrafindo
Persada, Jakarta.
d. United Nations General Assembly, A/RES/69/165,
https://unispal.un.org/DPA/DPR/unispal.nsf/0/32047C37D562152A85257DEA007115A
1
e. Accordance with International Law of the Unilateral Declaration of Independence in
Respect of Kosovo, Advisory Opinion, I.C.J. Reports 2010, p.403
25
10.8. PERTEMUAN VIII
TUTORIAL KEEMPAT
Study Task
1. Jelaskan perbedaan antara deportasi dengan ekstradisi
2. Jelaskan mengapa perjanjian ekstradisi antara Indonesia dan Singapura belum dapat
diimplementasikan hingga saat ini
Literatur:
a. United Nations Model Treaty on Extradition
b. Perjanjian Antara Pemerintah Republik Indonesia dan Pemerintah Republik Singapura
tentang Ekstradisi Buronan (Treaty Between the Government of the Republic of
Indonesia and the Government of the Republic of Singapore for the Extradition of
Fugitives) http://treaty.kemlu.go.id/uploads-pub/4192_SGP-2007-0031%20.pdf
c. Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2011 tentang Keimigrasian
d. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1979 tentang Ekstradisi
e. Parthiana, I Wayan, 2009, Ekstradisi Dalam Hukum Internasional Modern, Yrama Widya,
Bandung
Problem Task
'PERANG' UDARA INDONESIA-SINGAPURA3
Anggi Kusumadewi & Abraham Utama, CNN Indonesia
Senin, 05/10/2015 11:41 WIB
Jakarta, CNN Indonesia -- Jenderal Leonardus Benyamin Moerdani alias Benny Moerdani
terapung-apung di langit Natuna. Pesawat TNI Angkatan Udara yang mengangkut Menteri
Pertahanan dan Keamanan RI periode 1988-1993 itu belum bisa mendarat di Pangkalan
Udara TNI AU Ranai, Natuna, Kepulauan Riau.
Di kokpit, pilot pesawat cekcok dengan pemandu lalu lintas udara Singapura yang memegang
kendali penerbangan di wilayah Natuna.
Kisah tahun 1991 ini diceritakan oleh mantan Kepala Staf Angkatan Udara Marsekal
Purnawirawan Chappy Hakim dalam bukunya yang berjudul ―Quo Vadis Kedaulatan Udara
Indonesia?‖
3 Dikutip dari http://www.cnnindonesia.com/nasional/20151004164716-20-82695/perang-
udara-indonesia-singapura/
26
―Siapa yang berada di dalam pesawat?‖ kata pemandu udara Singapura.
―Kami membawa tamu VVIP,‖ ujar pilot TNI AU.
―Izin pendaratan belum bisa diberikan,‖ kata pemandu udara Singapura.
―Kami harus mendarat sekarang,‖ ujar pilot TNI AU, mulai jengkel.
Lima belas menit pilot TNI dan pemandu udara Singapura itu adu mulut sebelum akhirnya
Moerdani bisa mendarat di Natuna.
Begitu menginjakkan kaki di Natuna, Jenderal Moerdani melampiaskan kemarahannya. Ia
mengatakan Indonesia harus mengambil alih kontrol atas ruang udara atau FIR (flight
information region) di Natuna yang selama ini dipegang Singapura.
―Masak terbang di wilayah sendiri tapi diatur oleh negara lain,‖ kata Moerdani.
Sejak dulu, ujar Chappy, Benny Moerdani telah meminta pemerintah Indonesia mengambil
alih ruang udara dari kendali Singapura.
Namun hingga kini setelah 70 tahun Indonesia merdeka, seluruh penerbangan di langit
Kepulauan Riau, dari Natuna ke Batam atau dari Tanjungpinang ke Pekanbaru, tetap harus
minta izin ke otoritas penerbangan Singapura.
Kontrol ruang udara di atas Kepulauan Natuna. (Dokumen Chappy Hakim/Red & White
Publishing)
Soal kontrol ruang udara ini kembali menghangat setelah Presiden Jokowi, awal September,
menginstruksikan Menteri Perhubungan Ignasius Jonan dan Panglima TNI Jenderal Gatot
Nurmantyo memodernisasi peralatan dan meningkatkan kemampuan personel mereka agar
Indonesia siap mengelola ruang udaranya sendiri.
Jokowi memberi waktu tiga-empat tahun bagi Kementerian Perhubungan dan Tentara
Nasional Indonesia untuk berbenah. Untuk itu Indonesia akan mulai berkomunikasi dengan
27
Singapura dan Malaysia –negara tetangga yang ruang udaranya juga berbatasan dengan
Indonesia– soal rencana pengambilalihan ini.
Presiden pun memerintahkan Panglima TNI untuk mengawasi perbatasan. Ia berpesan,
pelanggaran wilayah udara Indonesia oleh negara lain tak boleh lagi terjadi.
Tapi menjaga ruang udara Indonesia sama sekali bukan perkara mudah. TNI AU yang
menggelar patroli di langit Natuna sejak pertengahan September menyusul instruksi Jokowi
untuk menjaga ruang udara dan perbatasan Indonesia, mengatakan hampir setiap hari
memergoki pesawat asing melintas tanpa izin.
Rupanya langit Natuna menjadi jalan pintas bagi banyak pesawat. Sementara jalur khusus
yang telah disediakan oleh Indonesia bagi pesawat-pesawat asing, yakni zona udara di atas
Alur Laut Kepulauan Indonesia (ALKI), dilanggar dengan seenaknya.
ALKI, berdasarkan konvensi hukum laut internasional, merupakan alur untuk pelayaran dan
penerbangan kapal atau pesawat asing. Alur laut ini menghubungkan Samudra Hindia dan
Samudra Pasifik.
Kemarahan TNI
Langit Kepulauan Riau memang menjadi lintasan favorit pesawat asing, termasuk jet-jet
tempur Singapura. Menurut Komandan Pangkalan TNI AU Tanjungpinang, Letnan Kolonel
Penerbang I Ketut Wahyu Wijaya, pesawat tempur Singapura kerap terlihat berlatih di utara
Pulau Bintan yang berdekatan dengan Singapura.
Singapura beralasan, mereka berlatih di wilayah latihan militer atau MTA (military training
area), yakni zona udara Indonesia yang dapat digunakan Singapura untuk melakukan latihan
militer karena negara kota itu tak memiliki ruang udara yang cukup luas untuk berlatih.
Masalahnya, perjanjian MTA antara Indonesia dan Singapura itu telah habis tahun 2001.
Indonesia, kata Ketut, tak memperpanjang perjanjian itu karena merasa lebih banyak
dirugikan. Tapi tetap saja, ujarnya, Singapura ngotot mengatakan MTA itu merupakan
wilayah berbahaya sehingga harus dioperasikan oleh Angkatan Bersenjata Singapura.
Ketut lantas bercerita bagaimana TNI kerap bersitegang dengan Angkatan Bersenjata
Singapura di udara. Jet tempur Northrop F-5 dan F-16 Fighting Falcon milik Singapura yang
sedang asyik berlatih di langit Kepulauan Riau, biasanya kabur ketika melihat pesawat TNI
terbang ke arah mereka. Itu jika ketahuan.
Sayangnya kekuatan TNI di Lanud Tanjungpinang belum memadai. Menurut Ketut, mestinya
minimal ada empat pesawat tempur di wilayahnya. Selain itu, landasan pacu Lanud
seharusnya diperpanjang agar dapat mudah digunakan oleh jet-jet tempur TNI. Pun perlu
dibangun hanggar untuk tempat parkir dan perawatan pesawat.
Operasi pengamanan yang digelar TNI AU di wilayah Indonesia, yakni Selat Malaka,
anehnya justru diprotes Singapura. Ketut pernah mendapat laporan dari pengendali lalu lintas
udara (air traffic control) Tanjungpinang yang ditelepon oleh Singapura.
―Singapura komplain, telepon ke ATC, bilang ‗Kenapa pesawat tempur Indonesia di MTA?
Itu area berbahaya.‘ Saya lalu berkata ke ATC, ‗Jangan takut. Kamu ambil parang dan lempar
28
ke mereka. Itu ruang udara kita. Masak mau datang ke rumah sendiri harus izin sama
tetangga‘,‖ ujar Ketut, jengkel.
Menuruti arahan itu, pesawat TNI AU tak pergi dan tetap menggelar operasi udara. Singapura
pun akhirnya diam.
Kegeraman juga diperlihatkan Wakil Kepala Staf Angkatan Laut, Laksamana Madya
Widodo. ―Itu wilayah kita sendiri. Tak usah peduli dengan Singapura karena itu wilayah
kita,‖ kata dia.
Tak kurang, Panglima TNI Gatot Nurmantyo pun bersuara. Ia mendukung tindakan anak
buahnya yang tak mau mengalah dari Singapura. ―Singapura tidak bisa melarang kita lewat
sana,‖ ujar Gatot.
Ketut mengatakan Singapura mencari celah untuk dapat menerbangkan pesawat tempur
mereka ke wilayah udara RI. Celah itu berasal dari hak Singapura mengatur ruang udara
(FIR) Indonesia di sekitar Kepulauan Riau.
―FIR di kawasan itu memang mutlak diatur Singapura. Tapi tidak berarti Indonesia juga
mendelegasikan kedaulatan kepada mereka,‖ ujar Ketut kepada CNN Indonesia, akhir
September.
Lazim bahwa ruang udara suatu negara di perbatasan dikelola oleh negara tetangganya.
Indonesia misalnya mengatur ruang udara Christmas Island Australia dan Timor Leste.
―Tapi kalau negara A mengatur FIR negara B, itu semata-mata untuk keselamatan
penerbangan, bukan untuk kepentingan pertahanan. Contoh, Indonesia mengatur FIR Pulau
Christmas. Lalu jika kita terbangkan pesawat tempur ke sana, kira-kira kita akan dihadang
Australia tidak?‖ kata Ketut melontarkan pertanyaan retoris.
Kesulitan Singapura
Singapura punya alasan sendiri di balik aksinya yang kerap menerobos wilayah udara
Indonesia. Sebagai negara kota dengan wilayah terbatas, Singapura tak akan pernah memiliki
cukup ruang untuk melatih kekuatan angkatan bersenjata mereka.
Tak heran Singapura terus berupaya agar Indonesia mengakui MTA, bahkan ngeyel
menggunakan kesepakatan yang dianggap RI kedaluwarsa itu.
Singapura juga menjalin perjanjian area latihan militer dengan Australia, Selandia Baru, dan
Amerika Serikat. Belakangan, mereka bahkan berhasil membuat kesepakatan serupa dengan
India, Jerman, dan Afrika Selatan.
Perdana Menteri pertama Singapura, Lee Kuan Yew, pernah mengemukakan kekecewaannya
terhadap kebijakan pemerintah RI yang belakangan ia nilai makin keras terhadap negaranya.
Lee yang wafat pada 23 Maret 2015 itu merasa kebijakan Indonesia, terutama pasca-Soeharto
lengser, membuat hubungan bilateral Singapura-RI sulit dikelola. Padahal dahulu relasi kedua
negara amat baik.
―A confident Indonesia never saw Singapore, a small island, as a threat,‖ kata Lee seperti
dikutip pakar hubungan internasional Rajaratnam School of International Studies, Cheng
Guan Ang dalam bukunya, ―Lee Kuan Yew’s Strategic Thought.‖
29
Selama bertahun-tahun, menurut Lee, Indonesia bersedia menyediakan fasilitas latihan
militer bagi Singapura. Selama itu pula, ujar Lee, Indonesia tak pernah meragukan Singapura
atau menuding Singapura melanggar kedaulatan Indonesia.
Namun Singapura dan Indonesia tentu punya kepentingan masing-masing. Dari sisi ekonomi
misalnya, ruang udara Indonesia yang dikelola Singapura disebut sebagai jalur ‗gemuk‘ yang
mendatangkan pundi-pundi kekayaan.
Ketut mengatakan, pesawat yang melintasi FIR mesti membayar sekitar US$6 ke negara
pengendali. Padahal tiap menit, untuk satu jalur saja, ada puluhan pesawat yang melewati
ruang udara RI yang kini dipegang Singapura.
Persoalan ketahanan nasional kerap bertaut erat dengan perekonomian. Simak lebih lanjut
soal pertarungan Indonesia-Singapura berebut ruang udara pada tulisan berikutnya.
Lihat juga:
Luhut: Singapura-Malaysia Dukung RI Kendalikan Ruang Udara
(agk)
Petunjuk:
Bahas isu di atas dengan menggunakan metode seven jump approach
Literatur:
a. Convention on International Civil Aviation
b. United Nations Convention on the Law of the Sea
c. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2009 Tentang Penerbangan
d. Boer Mauna, 2005, Hukum Internasional: Pengertian, Peranan, dan Fungsi dalam Era
Dinamika Global, Edisi Kedua, Cetakan Ke-1, PT. Alumni, Bandung
e. Mochtar Kusumaatmadja dan Etty R Agoes, 2003, Pengantar Hukum Internasional, PT
Alumni, Bandung
f. Sefriani, 2011, Hukum Internasional: Suatu Pengantar, Cetakan Kedua, Rajawali Pers,
Jakarta
30
10.9. PERTEMUAN IX
UJIAN TENGAH SEMESTER
Materi yang diujikan dan teknis pelaksanaan Ujian Tengah Semester akan diinformasikan di
dalam sesi perkuliahan
31
10.10. PERTEMUAN X
PERKULIAHAN KELIMA
Hak Asasi Manusia
Sub Pokok Bahasan
1. Sejarah Perkembangan Hak Asasi Manusia
2. Teori-teori Dalam Hak Asasi Manusia
3. International Covenant on Civil and Political Rights
4. International Covenant on Economic, Social, and Cultural Rights
5. Deklarasi Wina dan Program Aksi Hak Asasi Manusia (1993)
6. Ruang Lingkup Pelanggaran Hak Asasi Manusia Berat
a) Pengertian
b) Kualifikasi Kejahatan
c) Kriteria Pelanggaran
7. Instrumen Internasional
a) Konvensi Den Haag
b) Konvensi Jenewa
c) Konvensi Genosida
d) Piagam PBB
8. Lembaga Peradilan
a) Peradilan Nasional
b) Peradilan Pidana Internasional Yugoslavia
c) Peradilan Pidana Internasional Rwanda
d) Peradilan Pidana Internasional (ICC)
Literatur:
1. Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional
2. Universal Declaration of Human Rights.
3. Vienna Declaration and Programme of Action, the World Conference on Human
Rights, 1993
4. Boer Mauna, 2005, Hukum Internasional: Pengertian, Peranan, dan Fungsi dalam Era
Dinamika Global, Edisi Kedua, Cetakan Ke-1, PT. Alumni, Bandung,
32
5. Henry J. Steiner, ―International Protection of Human Rights‖ dalam Malcolm D.
Evans (Ed), International Law, Second Edition, Oxford University Press, New York,
2006
6. Mochtar Kusumaatmadja dan Etty R Agoes, Pengantar Hukum Internasional, PT
Alumni, Bandung, 2003
33
10.11. PERTEMUAN XI
PERKULIAHAN KEENAM
Tanggung Jawab Negara dan Suksesi
Sub Pokok Bahasan
1. Tanggung Jawab Negara
a) Lahirnya Tanggung Jawab Negara
b) Prinsip-prinsip Tanggung Jawab Negara
c) Dasar Tanggung Jawab Negara : Risiko atau Kesalahan
d) Imputabilitas
e) Pemulihan Keadaan (Reparation)
f) Perlindungan terhadap orang asing
g) Ekspropriasi
h) Pelanggaran kontrak
2. Suksesi
a) Factual State Succession
b) Legal State Succession
Literatur:
1. Charter of the United Nations
2. ILC Draft Articles on Responsibility of States for Internationally Wrongful Acts
3. Vienna Convention on Succession of States in respect of Treaties
4. Vienna Convention on Succession of States in respect of State Property, Archives and
Debts
5. Boer Mauna, 2005, Hukum Internasional: Pengertian, Peranan, dan Fungsi dalam Era
Dinamika Global, Edisi Kedua, Cetakan Ke-1, PT. Alumni, Bandung
6. Huala Adolf, 2002, Aspek-aspek Negara Dalam Hukum Internasional, PT.
RajaGrafindo Persada, Jakarta
7. J.G. Starke, 2008, Pengantar Hukum Internasional 2, Edisi Kesepuluh, terjemahan
oleh Bambang Iriana Djajaatmadja, Sinar Grafika, Jakarta
34
10.12. PERTEMUAN XII
TUTORIAL KELIMA
Study Task
IMPLEMENTASI CONVENTION ON THE RIGHTS OF PERSONS WITH
DISABILITIES (CPRD) DI INDONESIA
Isu implementasi Hukum Internasional di negara-negara --khususnya berkaitan dengan
implementasi perjanjian internasional di negara-negara yang menjadi peserta suatu konvensi-
- kerap kali menjadi persoalan. Sejumlah negara cenderung menandatangani dan meratifikasi
perjanjian internasional ―di atas kertas‖ saja, karena motifnya hanya untuk pencitraan positif
di mata masyarakat internasional ataupun sebagai reaksi atas tekanan politik dari ―negara-
negara besar‖ lainnya. Alhasil, norma-norma yang termaktub di dalam konvensi tersebut
tidaklah dijamin keberlakukannya secara efektif melalui lembaga-lembaga nasionalnya.
Salah satu contoh menarik dapat kita cermati dari perkembangan Konvensi mengenai Hak-
Hak Penyandang Disabilitas (Convention on the Rights of Persons with Disabilities/CPRD)
di Indonesia. Konvensi ini merupakan salah satu perjanjian internasional di bidang Hak Asasi
Manusia yang telah diratifikasi melalui Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2011 pada tanggal
11 November 2011.
Berkaitan dengan isu implementasi CPRD di Indonesia, kita dapat merujuk Dokumen
penelitian yang dilansir Kelompok Kerja Rancangan Undang-Undang Penyandang Disabilitas
(Pokja RUU Penyandang Disabilitas) berjudul ―Membangun Mekanisme Pelindungan Hak
Penyandang Disabilitas di Indonesia‖ tertanggal 29 September 2015.4 Adapun sejumlah
kesimpulan dan rekomendasi yang dihasilkan dari penelitian tersebut memuat hal-hal
menarik.
Penelitian tersebut menyimpulkan sejumlah hal yang penting untuk dicermati, di antaranya:
1. Telah banyak diterbitkan UU yang mencantumkan penghormatan atas hak-hak
disabilitas, tetapi sebagian besar dari UU tersebut hanya bersifat lips service (basa-
basi) dan tidak dituangkan ke dalam peraturan pelaksanaan secara operasional.
2. Tidak ada komitmen yang jelas dari negara terhadap perlindungan dan pemenuhan
hak penyandang disabilitas di Indonesia. Persoalan disabilitas dilihat bukan sebagai
persoalan manusia utuh, tetapi diletakkan pada kebijakan kesejahteraan residual dan
ditaruh di pinggiran.
3. Banyak pelanggaran yang dilakukan oleh Negara yang mengakibatkan adanya
pembatasan hak, pengurangan hak, penghalangan hak dan penghilangan hak terhadap
penyandang disabilitas untuk menggunakan dan menikmati hak-haknya sebagai warga
negara.
4 Kelompok Kerja Rancangan Undang-Undang Penyandang Disabilitas (Pokja RUU Penyandang Disabilitas),
―Membangun Mekanisme Pelindungan Hak Penyandang Disabilitas Di Indonesia‖, 29 September 2015,
Catatan: Deskripsi, Kesimpulan, dan Saran yang ditampilkan dalam Block Book ini disarikan dan diolah oleh
Tim Penyusun (Planning Group), sesuai kebutuhan. Adapun versi lengkapnya dapat dilihat pada laman berikut:
https://ruupenyandangdisabilitas.wordpress.com/
35
4. Tidak ada mekanisme independen dalam perlindungan dan pemenuhan hak
disabilitas, pengaduan dan pembelaan atas diskriminasi yang dialami penyandang
disabilitas, serta penyalur dan penjamin partisipasi penyandang disabilitas dalam
pengambilan kebijakan.
Penelitian tersebut juga memberikan sejumlah rekomendasi, di antaranya:
1. Sesuai dengan CRPD Pasal 33 ayat (1) diperlukan adanya lembaga koordinasi antar-
kementerian yang mengkoordinasikan program-program pembangunan yang
menyangkut hajat hidup penyandang disabilitas demi penghormatan, perlindungan
dan pemenuhan hak-haknya. Lembaga koordinasi yang efektif dipimpin oleh pejabat
tinggi negara seperti Presiden atau Wakil Presiden sebagaimana yang terjadi dalam
program pengentasan kemiskinan. Lembaga ini diharapkan dapat meminimalisasi
adanya program-program antar-kementerian yang tumpang tindih serta mengisi
kekosongan program dengan pembuatan dan implementasi kebijakan yang
komprehensif dan efektif.
3. Terkait dengan regulasi, diperlukan langkah-langkah sebagai berikut, termasuk di
antaranya Amandemen UU No. 4 Tahun 1997 tentang Penyandang Cacat sesuai
dengan UU No. 19/2011 tentang Pengesahan Konvensi Hak-hak Penyandang
Disabilitas (Ratifikasi CRPD), yang diikuti dengan peraturan turunannya;
2. Sesuai dengan CRPD Pasal 33 ayat (2) dan (3) diperlukan berdirinya Komisi Nasional
Penyandang Disabilitas sebagai bentuk mekamisme independen bagi monitoring dan
evaluasi atas perlindungan dan pemenuhan hak penyandang disabilitas. Lembaga ini
berfungsi melakukan pemantauan, pengevaluasian, pelaporan serta mempromosikan
hak penyandang disabilitas sesuai standar Konvensi. Komisi tersebut tidak dapat
disatukan dengan Komnas yang lain karena kebutuhan dan isu disabilitas sangat
spesifik dan membutuhkan penanganan yang menyeluruh. Pada waktu FGD
berkembang usulan untuk menunjuk PPUA PENCA untuk memelihara jaringan
kerjasama untuk mengawal proses pembentukan KOMNAS ini.
Sejumlah pihak memang terus mendesak dibentuknya Komisi Nasional Penyandang
Disabilitas.5 pembentukan suatu lembaga di tingkat nasional tentu membutuhkan suatu kajian
dan pertimbangan. Apalagi, kebijakan Pemerintah saat ini justru merampingkan sejumlah
lembaga non-struktural yang dianggap kurang efektif dan efisien. Bahkan Lembaga
Koordinasi dan Pengendalian Peningkatan Kesejahteraan Sosial Penyandang Cacat
(LKP2KS) yang dibentuk melalui Keputusan Presiden Nomor 83 Tahun 1999 pun telah
dibubarkan melalui Peraturan Presiden Nomor 176 tahun 2014 dan fungsinya diserahkan
kepada Kementerian Sosial.
5 Lihat misalnya artikel ―PSHK dan Masyarakat Penyandang Disabilitas Mendorong Pengesahan Komisi
Nasional Disabilitas Indonesia‖, 16 Februari 2016, http://www.pshk.or.id/id/berita/aktivitas/pshk-dan-
masyarakat-penyandang-disabilitas-mendorong-pengesahan-komisi-nasional-disabilitas-indonesia/
36
Tugas:
a. Susunlah sebuah essay yang memuat gagasan mengenai cara efektif
mengimplementasikan Convention on the Rights of Persons with
Disabilities/CPRD di tingkat nasional dan daerah.
b. Essay diketik pada kertas A4 (4-3-3-3 cm) paling sedikit 1 halaman, paling
banyak 3 halaman.
c. Essay tersebut akan dipresentasikan pada saat sesi tutorial dan dikumpulkan saat
sesi tutorial berakhir kepada Tutor-nya masing-masing.
Literatur:
a. Convention on the Rights of Persons with Disabilities
b. Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2011 tentang Pengesahan Convention on the Rights
of Persons with Disabilities
c. Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 75 Tahun 2015 Tentang Rencana Aksi
Nasional Hak Asasi Manusia Tahun 2015-2019
d. Kelompok Kerja Rancangan Undang-Undang Penyandang Disabilitas (Pokja RUU
Penyandang Disabilitas), ―Membangun Mekanisme Pelindungan Hak Penyandang
Disabilitas Di Indonesia‖, 29 September 2015,
https://ruupenyandangdisabilitas.wordpress.com/
e. Max Boli Sabon, 2014, Hak Asasi Manusia: Bahan Pendidikan untuk Perguruan
Tinggi, Universitas Atma Jaya
37
10.13. PERTEMUAN XIII
TUTORIAL VI
Problem Task
Statement : 08/04/2015
STATEMENT OF THE PROSECUTOR OF THE INTERNATIONAL CRIMINAL
COURT, FATOU BENSOUDA, ON THE ALLEGED CRIMES COMMITTED BY ISIS6
Since the summer of 2014, my Office has been receiving and reviewing disturbing allegations
of widespread atrocities committed in Syria and Iraq by the so-called Islamic State of Iraq
and al-Sham/Greater Syria ("ISIS" aka "ISIL", "Daesh" or "IS"). Crimes of unspeakable
cruelty have been reported, such as mass executions, sexual slavery, rape and other forms of
sexual and gender-based violence, torture, mutilation, enlistment and forced recruitment of
children and the persecution of ethnic and religious minorities, not to mention the wanton
destruction of cultural property. The commission of the crime of genocide has also been
alleged. In response to numerous inquiries about my Office's activities in relation to these
allegations, I have decided to provide the following clarification.
The atrocities allegedly committed by ISIS undoubtedly constitute serious crimes of concern
to the international community and threaten the peace, security and well-being of the region,
and the world. They also occur in the context of other crimes allegedly committed by other
warring factions in Syria and Iraq. However, Syria and Iraq are not Parties to the Rome
Statute, the founding treaty of the International Criminal Court ("Court" or "ICC").
Therefore, the Court has no territorial jurisdiction over crimes committed on their soil.
Under the Rome Statute, the ICC may nevertheless exercise personal jurisdiction over
alleged perpetrators who are nationals of a State Party, even where territorial jurisdiction is
absent. On this basis, my Office has reviewed communications received alleging crimes
committed by ISIS, with a view to assessing the prospect of exercising personal jurisdiction
over States Parties nationals within the ranks of this organisation. In doing so, my Office
took into account the scope of its policy, which is to focus on those most responsible for mass
crimes.
The information gathered indicates that several thousand foreign fighters have joined the
ranks of ISIS in the past months alone, including significant numbers of State Party nationals
from, inter alia, Tunisia, Jordan, France, the United Kingdom, Germany, Belgium, the
Netherlands and Australia. Some of these individuals may have been involved in the
commission of crimes against humanity and war crimes. A few have publicised their heinous
acts through social media. The information available to the Office also indicates that ISIS
is a military and political organisation primarily led by nationals of Iraq and Syria. Thus, at
6 Dikutip dari https://www.icc-
cpi.int/en_menus/icc/press%20and%20media/press%20releases/Pages/otp-stat-08-04-2015-
1.aspx
38
this stage, the prospects of my Office investigating and prosecuting those most responsible,
within the leadership of ISIS, appear limited.
In this context, I have come to the conclusion that the jurisdictional basis for opening a
preliminary examination into this situation is too narrow at this stage. A renewed
commitment and a sense of urgency on the part of the concerned states may help identify
viable avenues. The decision of non-Party States and the United Nations Security Council to
confer jurisdiction on the ICC is, however, wholly independent of the Court.
It bears emphasising that under the Rome Statute, the primary responsibility for the
investigation and prosecution of perpetrators of mass crimes rests, in the first instance, with
the national authorities. I remain committed to consult with relevant States to coordinate,
and possibly exchange information on crimes allegedly committed by their nationals to
support domestic investigations and prosecutions, as appropriate. My Office also remains
open to receive additional information which could provide further clarity on the positions
occupied by State Party nationals within the ISIS organisational hierarchy.
I remain profoundly concerned by this situation and I want to emphasise our collective duty
as a global community to respond to the plight of victims whose rights and dignity have been
violated. ISIS continues to spread terror on a massive scale in the territories it occupies. The
international community pledged that appalling crimes that deeply shock the conscience of
humanity must not go unpunished.
As Prosecutor of the ICC, I stand ready to play my part, in an independent and impartial
manner, in accordance with the legal framework of the Rome statute.
Background
The International Criminal Court is governed by the Rome Statute, which entrusts the Court
with a specific and defined jurisdiction and mandate. A fundamental feature of the Rome
Statute (articles 12 and 13) is that the Court may only exercise jurisdiction over international
crimes if (i) its jurisdiction has been accepted by the State on the territory of which the crime
was committed, (ii) its jurisdiction has been accepted by the State of which the person
accused is a national, or (iii) the situation is referred to the Prosecutor by the Security
Council acting under Chapter VII of the UN Charter.
The Office of the Prosecutor of the ICC conducts independent and impartial investigations
and prosecution of the crimes of genocide, crimes against humanity and war crimes. The
Office of the Prosecutor has opened investigations in: Uganda; Democratic Republic of the
Congo; Darfur, Sudan; Central African Republic; Kenya; Libya; Côte d'Ivoire and Mali. The
Office is also conducting preliminary examinations relating to the situations in Afghanistan,
Colombia, Georgia, Guinea, Honduras, Iraq (alleged abuses by UK forces), Nigeria,
Palestine and Ukraine.
Source: Office of the Prosecutor
Petunjuk:
Bahas isu di atas dengan menggunakan metode seven jump approach
39
Literatur:
a. Charter of the United Nations
b. Rome Statute of the International Criminal Court
c. Anis Widyawati, 2014, Hukum Pidana Internasional, Sinar Grafika, Jakarta
d. Diantha, I Made Pasek, 2014, Hukum Pidana Internasional, Kencana Prenada Media
e. Schank, Alex, ―Sectarianism and Transitional Justice In Syria: Resisting International
Trials‖, Georgetown Journal of International Law, Vol. 45, 2014,
https://www.law.georgetown.edu/academics/law-
journals/gjil/recent/upload/zsx00214000557.PDF
f. Artikel, ―Bombardir Aleppo, Pasukan Suriah Lakukan Kejahatan terhadap
Kemanusiaan‖, detiknews, 15 Mei 2015,
http://news.detik.com/internasional/2906170/bombardir-aleppo-pasukan-suriah-
lakukan-kejahatan-terhadap-kemanusiaan/2
g. Artikel, ―Dalam Perang Suriah Sepanjang 2015 Saja SOHR Catat Kematian Lebih
55.000 Orang‖, Salam-Online.com, 3 Januari 2016, http://www.salam-
online.com/2016/01/perang-sepanjang-2015-sohr-catat-kematian-lebih-55-000-orang-
di-suriah.html
40
10.14. PERTEMUAN XIV
PERKULIAHAN VII
Penyelesaian Sengketa Internasional
Sub Pokok Bahasan
1. Karakteristik Sengketa Internasional
2. Penyelesaian Sengketa Internasional Secara Damai
3. Penyelesaian Sengketa Internasional dengan Penggunaan Kekerasan
1.
Literatur:
a. Boer Mauna, 2005, Hukum Internasional: Pengertian, Peranan, dan Fungsi dalam Era
Dinamika Global, Edisi Kedua, Cetakan Ke-1, PT. Alumni, Bandung
b. Collier, John G. and Vaughan Lowe, 2000, The Settlement of Disputes in
International Law: Institutions and Procedures, Oxford University Press, 2000
c. Huala Adolf, 2004, Hukum Penyelesaian Sengketa Internasional, Sinar Grafika,
Bandung
d. Merrills, J. G., 2005, International Dispute Settlement, 4th
edition, Cambridge
University Press,
41
10.15. PERTEMUAN XV
TUTORIAL VII
Discussion Task
TERGANGGU KABUT ASAP, SINGAPURA GUGAT PERUSAHAAN INDONESIA7
Singapura dapat mengenakan denda senilai SGD 100.000 kepada perusahaan lokal atau
perusahaan asing yang berkontribusi terhadap polusi asap yang membahayakan bagi
kesehatan penduduk
26 September 2015
ASAP SINGAPURA. Seorang perempuan mengenakan masker ketika melintasi kabut asap di
daerah bisnis di Singapura, 23 September 2015. Foto oleh Wallace Woon/EPA
JAKARTA, Indonesia — Singapura menggugat perusahaan Indonesia yang dianggap
bertanggung jawab atas pembakaran hutan dan lahan pertanian, yang menyebabkan polusi
asap yang membahayakan kesehatan penduduk negeri jiran itu.
Gugatan ini berpotensi memaksa perusahaan-perusahaan pembakar hutan dan lahan di
Indonesia membayar denda yang besar atas kejahatan yang membahayakan kesehatan
penduduk Singapura.
Pemerintah Singapura telah melayangkan somasi terhadap lima perusahaan tersebut Jumat,
25 September, termasuk pada perusahaan multinasional Asia Pulp and Paper.
7 Dikutip dari http://www.rappler.com/indonesia/107183-singapura-gugat-perusahaan-indonesia-pembakar-
hutan
42
Tindakan ini dilakukan menyusul masalah dalam komunikasi diplomatik terkait kegagalan
Indonesia dalam menangani penyebaran kebakaran hutan dan lahan, serta polusi asap akibat
kebakaran itu. Dampak asap kebakaran dirasakan negara Singapura dan Malaysia bertahun-
tahun, tanpa solusi efektif.
APP, salah satu anak usaha konglomerat Sinar mas, adalah salah satu dari produsen serbuk
kayu dan kertas terbesar di dunia. Perusahaan ini mengklaim peduli pada kelestarian dan
konservasi hutan. Produk yang dihasilkan termasuk peralatan sekolah dan kantor serta tisu
toilet.
APP diminta oleh Badan Perlindungan Lingkungan Singapura untuk memberikan informasi
terkait operasional anak perusahaannya di Singapura dan Indonesia, termasuk tindakan yang
diambil oleh perusahaan di Indonesia yang menyebabkan kebakaran di lahan mereka.
Perusahaan yang memiliki pabrik kertas di Indonesia dan Tiongkok itu, menolak berkomentar
ketika dihubungi AFP.
Menurut Undang-Undangan Polusi Asap Lintas Batas yang diterbitkan tahun 2014,
Singapura dapat mengenakan denda senilai SGD 100.000 kepada perusahaan lokal atau
perusahaan asing yang berkontribusi terhadap polusi asap yang membahayakan bagi
kesehatan penduduk. Denda maksimal dapat dikenakan senilai SGD 2 juta.
Kemarin, pemerintah Singapura memutuskan untuk menutup seluruh sekolah dasar dan
menengah pertama di negeri itu, akibat polusi asap dari hutan yang terbakar di kawasan Pulau
Sumatera, yaitu Jambi dan Riau.
Empat perusahaan Indonesia lainnya, yaitu Rimba Hutani Mas, Sebangun Bumi Andalas
Wood Industries, Bumi Sriwijaya Sentosa dan Wachyuni Mandira, telah diminta untuk
menangani kebakaran di lahan mereka, dan memasukkan langkah pencegahan kebakaran di
kemudian hari.
Dalam pernyataan yang diterbitkan pada Jumat kemarin, Pemerintah Singapura mengatakan,
―Tengah mendalami kemungkinan mengenakan sanksi dan tekanan ekonomi terhadap
perusahaan yang menghindar (dari tanggung jawab kebakaran hutan).‖
Pemerintah Singapura juga ingin mengevaluasi kebijakan pengadakan barangnya.
Menteri Lingkungan Hidup dan Sumberdaya Air Singapura, Vivian Balakhrisnan
mengatakan bahwa problem polusi asap akibat kebakaran sudah terjadi terlalu lama.
―Ini bukan bencana alam. Polusi asap adalah masalah yang ditimbulkan oleh manusia, dan ini
tidak boleh ditolerir. Polusi telah membahayakan kesehatan, masyarakat dan ekonomi di
kawasan ini,‖ kata Vivian.
Polusi asap akibat kebakaran hutan kali ini dianggap terburuk setelah kejadian serupa pada
pertengahan 2013.
Singapura kesal atas pernyataan Wakil Presiden Jusuf Kalla yang mengatakan bahwa
tetangga Indonesia seharusnya berterima kasih atas kualitas udara yang bagus, hampir
43
sepanjang tahun, dan pemerintahan Indonesia di Jakarta tidak perlu meminta maaf atas krisis
asap.
Pemerintah Indonesia sebelumnya mengatakan bahwa perusahaan yang berbasis di Singapura
termasuk dalam perusahaan yang harus bertanggung jawab terhadap kebakaran hutan.
Sebanyak 3.000 an tentara dan polisi dikirim ke Sumatera untuk membantu memadamkan
api.
Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Siti Nurbaya mengatakan Singapura memang bisa
menggugat dan mengadili warga negara yang bukan warga negara Singapura terkait asap.
"Mereka minta hal tersebut bisa diproses dalam forum sub regional ASEAN on
transboundary haze. Kita dan Malaysia tidak setuju diproses di multilateral karena harus
bilateral," kata Siti pada Rappler.
"Karena menyangkut aspek hukum, maka sikap kita adalah proses melalui hubungan bilateral
antara Indonesia dan Singapura, bukan via ASEAN. Apalagi kita kan masih nyangkut dengan
Singapura soal-soal ekstradisi dan lain-lain."— Laporan dari AFP/Rappler.com
Instruksi:
Diskusikan apakah dampak negatif dan kerugian yang diderita oleh warga Malaysia dan
Singapura sebagai akibat ‗kiriman‘ asap dari Indonesia melahirkan tanggung jawab negara
bagi Indonesia ataukah bagi perusahaan yang diduga menyebabkan kebakaran hutan?
Literatur:
a. ASEAN Agreement on Transboundary Haze Pollution
b. ASEAN Human Rights Declaration
c. International Law Commission Draft Articles Responsibility of States for
Internationally Wrongful Acts
d. Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan
e. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan
Lingkungan Hidup
f. Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2013 Tentang Pencegahan dan Pemberantasan
Perusakan Hutan
g. Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2014 tentang Pengesahan ASEAN Agreement On
Transboundary Haze Pollution (Persetujuan Asean Tentang Pencemaran Asap Lintas
Batas)
h. Alan Khee‐Jin Tan, ―The ‗Haze‘ Crisis In Southeast Asia: Assessing Singapore‘s
Transboundary Haze Pollution Act 2014‖, NUS Working Paper 2015/002, February
2015, http://law.nus.edu.sg/wps/pdfs/002_2015_Alan%20Khee-Jin%20Tan.pdf
i. Melda Kamil Ariadno, ―Haze Pollution In Indonesia‖, Journal of Sustainable
Development Law and Policy Vol. 2, Iss. 1, Afe Babalola University, 2013, pp.1-35,
http://www.ajol.info/index.php/jsdlp/article/viewFile/122577/112124
j. Pulp Mills on the River Uruguay (Argentina v.Uruguay), Judgment, I.C.J. Reports
2010, p.14
44
10.16. PERTEMUAN XVI
UJIAN AKHIR SEMESTER
Materi yang diujikan dan teknis pelaksanaan Ujian Akhir Semester akan diinformasikan di
dalam sesi perkuliahan