ibnu sina dr ismail
DESCRIPTION
uisuTRANSCRIPT
GAMBARAN HISTOPATOLOGI KETEBALAN EPITEL TUBULUS SEMINIFERUS TESTIS SERTA KUALITAS DAN KUANTITASSEL SPERMA TIKUS
(Rattus novergicus Strain Wistar)HIPERKOLESTEROLEMIA YANG DIBERI VITAMIN C
Wan Muhammad Ismail
Bagian Anatomi HistologiFakultas Kedokteran Islam Sumatera Utara
Jalan Sisingamangaraja 2A, Medan
ABSTRACT
Hypercholesterolemia can causes the abnormalities of the male reproductive function , achieved increase of oxygen radicals and lipid peroxidation production in different tissue, and inducing oxidative stress. The results is damage sperm membranes, structure of proteins and DNA that effect on fertility. Vitamin C is the major chain breaking antioxidant and can neutralize free radical.
This study is an experimental design using 35 rats aged 8-12 weeks with body weight 150-200 gram were devided into 5 groups, P0 = Rats that received standard food as control on days 1-60, P1=Rats that received fatty food on day 1-60 =, P2= =Rats that received fatty food +vitamin C on days 1-60 , P3 = = Rats that received fatty food on day 1-30, a standart food for 31-60 days, P4= Rats that received fatty food on days 1-30, vitamin C on day 31-60 (vit C= 3,6 mg/ day, yolk= 5gram/ 200 gr bodyweight). Total cholesterol levels checked before and after treatment on day 1 and day 61. Then observed seminiferous tubules epithelium thickness and quality and quantity of sperm cell after the rats decapitated. Univariate analysis to calculate the mean and standard deviation. Test data with the Shapiro Wilk normality, followed by One Way Anova, Post Hoc, Kruskal Wallis and Mann Whitney U with SPSS 18.0 for windows.
Total cholesterol levels before and after treatment were not significantly different (p>0,05), seminiferous tubules epithelium thickness was significantly different in each group (p<0,05). The quality and quantity of sperm cells in each group was significantly different (p<0,05). Giving vitamin C can improve and maintain the seminiferous tubules epithelium, the quality and quantity of sperm cells hipercolesterolemia rats but had no effect on total cholesterol levels.
Key words: Hipercolesterolemia, vitamin C, seminiferous tubules epithelium, the quality and quantity of sperm cells.
ABSTRAKHiperkolesterolemia dapat menyebabkan ketidaknormalan fungsi reproduksi laki-laki, dimana terjadi
peningkatan produksi oksigen radikal dan lipid peroksidase ditiap jaringan yang berbeda yang menimbulkan stress oksidatif. Akibatnya terjadi kerusakan pada membrane sperma, stuktur protein, dan DNA yang mempengaruhi fertilitas. Vitamin C merupakan antioksidan pemecah rantai utama dan dapat menetralisir radikal bebas
Jenis penelitian ini adalah penelitian eksperimental dengan menggunakan 35 ekor tikus wistar jantan usia 8-12 minggu berat 150-200 gram terbagi dalam 5 kelompok, dimana P0= sebagai kontrol dengan pakan standar pada hari 1-60, P1= pakan lemak pada hari 1-60, P2= pakan lemak+vitamin C pada hari 1-60, P3= pakan lemak pada hari 1-30, pakan standart pada hari 31-60, P4 =pakan lemak pada hari 1-30, vitamin C pada hari 31-60 (Kadar vitamin C 3,6 mg/hari, kuning telur =5 gram/200 gram BB). Diperiksa kadar kolesterol total sebelum dan sesudah perlakuan pada hari 1 dan hari 61. Kemudian mengamati gambaran histopatologi ketebalan epitel tubulus seminiferus testis serta kualitas dan kuantitas sel sperma setelah tikus didekapitasi. Analisis univariat untuk menghitung mean dan standar deviasi. Uji normalitas data dengan Saphiro Wilk, dilanjutkan One Way Anova, Post Hoc, Kruskal Wallis dan Mann Whitney U dengan SPSS 18.
Kadar kolesterol total sebelum dan sesudah perlakuan tidak berbeda nyata (p>0,05), ketebalan epitel tubulus seminiferus pada masing-masing kelompok berbeda nyata (p<0,05), kualitas dan kuantitas sel sperma pada masing-masing kelompok berbeda nyata (p<0,05). Pemberian Vitamin C dapat memperbaiki dan mempertahankan epitel tubulus seminiferus serta kualitas dan kuantitas sel sperma tikus hiperkolesterolemia secara nyata tetapi tidak berpengaruh terhadap kadar kolesterol total serum tikus.Kata kunci : Hiperkolesterolemia, vitamin C, epitel tubulus seminiferus, kualitas dan kuantitas sel sperma.
Pendahuluan
Infertilitas (ketidaksuburan) merupakan masalah kesehatan pasangan suami istri,
didefenisikan sebagai ketidakmampuan untuk menghasilkan keturunan setelah 1 tahun menikah
melakukan hubungan seksual normal tanpa menggunakan alat kontrasepsi (WHO, 1993).. Para
ahli memastikan angka infertil meningkat mencapai 15%-20% dari sekitar 50 juta pasangan di
Indonesia, dan laki-laki menjadi faktor utama yang bertanggung jawab atas 50 % kasus
infertilitas (Abid S et al, 2003). Ada beberapa kasus yang nyata penyebab infertilitas
(ketidaksuburan) seperti idiopatik, varicocele, infeksi, maldescenden testis, gangguan kandungan
semen, hypogonadism, penyakit umum dan sistemik, faktor imunologi, tumor testis, obstruksi
dan faktor lainnya (Nieschlag, 1997). Salah satu penyebab yang baru-baru ini dipertimbangkan
adalah keadaan stress oksidatif dimana terjadi ketidakseimbangan antara radikal bebas dengan
antioksidan dan merupakan bagian dari penyebab idiopatik. (Dahlan MS dan Tjokronegoro A,
2002)
Keberhasilan fertilisasi ditentukan oleh jumlah dan mutu spermatozoa yang merupakan
salah satu faktor yang penting dalam menetukan kesuburan pria sehingga spermatozoa dapat
mampu membuahi sel telur (Gopalkrishnan et al 1995).
Masyarakat modern saat ini memang terbiasa mengkonsumsi makanan yang rendah
serat dan mengandung kolesterol tinggi. Beberapa contoh dari makanan tersebut antara lain
produk daging (sapi, kambing, babi) dan olahannya, kuning telur, jerohan, keju, dan mentega.
Konsumsi makanan berlemak dengan kadar kolesterol lebih dari 300 mg per hari dapat memicu
timbulnya berbagai penyakit yang diakibatkan oleh meningkatnya konsentrasi kolesterol di
dalam darah atau yang biasa disebut hiperkolesterolemia (Lichtenstein et a.l, 2006).
Hiperkolesterolemia dapat menimbulkan ketidaknormalan dari fungsi reproduksi laki-laki.
(Bataineh HN, Nusier M.K, 2005). Hiperkolesterolemia menyebabkan peningkatan produksi
radikal oksigen dan lipid peroksidase dijaringan yang berbeda (Ohara, 1993), sehingga terjadi
stress oksidatif yang ditandai dengan peningkatan LPO (Lipid Peroksidase) yang merusak
membran sel sperma, struktur protein, dan DNA (Deoxy Nukleat Acid) dan merupakan bentuk
mekanisme yang mempengaruhi keadaan fertilitas (Sikka, 1996).
Vitamin C adalah salah satu antioksidan pemecah rantai utama dan terdapat di cairan
ekstrasel dapat menetralisir anion superoksida (O2-), radikal hidroksil (OH-) dan hidrogen
peroksida (H2O2) yang merupakan radikal bebas, dan sedikit jumlahnya pada pria infertil.
Vitamin C meningkatkan jumlah sperma pada invivo pada pria infertil dengan dosis 200-1000
mg/hari (Agarwal et al., 2005).
Dari uraian diatas peneliti ingin mengetahui sejauh mana pengaruh keadaan
hiperkolesterolemia khususnya terhadap organ reproduksi pria yakni testis antara lain dari
gambaran histopatologi ketebalan epitel tubulus seminiferus, kualitas dan kuantitas sel sperma
yang diberi vitamin C yang dilakukan pada tikus percobaan.
Bahan dan Cara
Metode penelitian ini menggunakan jenis penelitian eksperimental yang didesain
mengikuti Rancangan Acak Lengkap (RAL). Penelitian ini akan dilaksanakan di Laboratorium
FMIPA laboratorium Fisiologi Hewan Biologi USU Medan, Laboratorium Patologi Anatomi FK
USU Medan. Penelitian ini dilakukan selama 12 minggu. Ethical clearance diperoleh dari
Komite Etik Penelitian Hewan FMIPA Universitas Sumatera Utara Medan. Hewan percobaan
yang digunakan adalah tikus Rattus novergicus Strain Wistar jantan, berumur 8- 12 minggu,
berat 150-200 gram.
Bahan makanan pakan : Konsentrat pakan CP 551 dengan komposisi hasil analisis yang
terinci sebagai berikut: kadar air 14%, protein kasar 18-20%, lemak kasar 4-7%, serat kasar 4-
7%, abu 5-7%, kalsium 0,70-1%, fosfor 0,6%. Air minum ad libitum, diberikan setiap hari yang
bercampur PTU 0,01% dalam satu liter air terlarut 100 miligram PTU
Bahan kimia : formalin 10%, Alkohol 70%, 80%, 90%, 96% dan alkohol absolut,
parafin, xylol, Hematoxylin-Eosin, larutan giemsa
Vitamin C tablet 50 mg , dosis konversi dari manusia ke tikus = 0,018 (Harmita, 2008).
Dosis konversi tikus = 0,018 x 200 mg = 3,6 mg /hari diberikan melalui sonde lambung setelah
dilarutkan dengan aquadest
Telur ayam Pemberian kuning telur sebanyak 5 gram/ 200 gram BB pada tikus dengan
pakan lemak melalui sonde lambung setiap hari sesuai dengan metode Constantinides yang
dimodifikasi (Kustiyah, Prasetyo, 2003).
Sebelum percobaan, tikus jantan ditimbang dan ditempatkan dalam kandang tersendiri di
dalam ruangan laboratorium (aklimatisasi) selama 1 minggu dan diberi makanan pakan standart
sebanyak 35 tikus dan dibagi secara acak ke dalam 5 kelompok perlakuan dibagi menjadi 5 tikus
dalam tiap-tiap kelompok dan 2 tikus cadangan dalam tiap-tiap kelompok.
A. Perlakuan dilaksanakan 60 hari :
Kelompok I (P0) :
1. Hari ke 1-60 diberi pakan standar ( permeriksaan kadar kolesterol total I pada hari 1)
2. Hari ke 61 dilakukan pemeriksaan kadar kolesterol total II, didekapitasi dan dihitung motilitas,
morfologi, , jumlah sel sperma serta ketebalan epitel dari tubulus seminiferus testis.
Kelompok II (P1) :
1. Hari ke 1-60 diberi pakan lemak ( pemeriksaan kadar kolesterol total I pada hari 1)
2. Hari ke 61 dilakukan pemeriksaan kadar kolesterol total ke II, didekapitasi dan dihitung
motilitas, morfologi, jumlah sel sperma serta ketebalan epitel dari tubulus seminiferus testis.
Kelompok III (P2) :
1. Hari ke 1-60 diberi pakan lemak + vitamin C 3,6 mg /hari (pemeriksaan kadar kolesterol total
I pada hari 1)
2. Hari 61 dilakukan pemeriksaan kadar kolesterol total II, didekapitasi dan dihitung motilitas,
morfologi, jumlah sel sperma serta ketebalan epitel dari tubulus seminiferus testis.
Kelompok perlakuan IV (P3) :
1. Hari 1-30 diberi pakan lemak (pemeriksaan kadar kolesterol total I pada hari 1)
2. Hari 31-60 pakan standart
3. Hari 61 dilakukan pemeriksaan kadar kolesterol total II, didekapitasi dan hitung motilitas,
morfologi, jumlah sel sperma serta ketebalan epitel dari tubulus seminiferus testis.
Kelompok perlakuan V (P4)
1. Hari 1-30 diberi pakan lemak (pemeriksaan kadar kolesterol total I pada hari 1)
2. Hari 31-60 diberi vitamin C 3,6 mg /hari
3. Hari 61 dilakukan pemeriksaan kadar kolesterol total II, didekapitasi dan dihitung motilitas,
morfologi, jumlah sel sperma serta ketebalan epitel dari tubulus seminiferus testis.
B. Pengamatan
1. Pengukuran kadar kolesterol total
Pemeriksaan kadar kolesterol total I dan II dilakukan pada 5 ekor tikus sebelum dan
sesudah pemberian pakan lemak (tinggi kolesterol) pada tiap-tiap kelompok pada hari 1 dan 60.
Pengambilan darah dari bagian perifer tikus yaitu bagian ekor tikus. Kadar kolesterol total darah
hewan uji diukur dengan alat dengan stick merk “Nesco” khusus kolesterol sesudah subjek
dipuasakan selama 12 jam dengan satuan mg/dl.
2.Pengambilan sekresi cauda epididimis
Pengamatan dan pemeriksaan motilitas, morfologi, jumlah sel sperma dan ketebalan
epitel tubulus seminiferus testis pada preparat histologi dilakukan pada hari ke 61 tikus pada
masing-masing subjek setelah semua tikus didekapitasi dengan cara dislokasi.
Untuk mendapatkan sperma di dalam sekresi cauda epididimis dilakukan menurut
Soehadi dan Arsyad (1983) sebagai berikut: Setelah masing-masing perlakuan, hewan percobaan
dikorbankan dengan cara dibius dengan menggunakan ether lalu dilakukan dislokasi leher dan
selanjutnya dibedah. Kemudian organ testis beserta epididimis sebelah kanan diambil dan
diletakkan ke dalam cawan petri yang berisi NaCl 0,9 % . Di bawah mikroskop bedah dengan
pembesaran 40 kali cauda epididimis dipisahkan dengan cara memotong bagian distal corpus
epididimis dan bagian proximal vas deferens. Selanjutnya cauda epididimis sepanjang ± 1 cm
dimasukkan ke dalam gelas arloji yang berisi 1 ml NaCl 0,9 %, kemudian bagian proximal cauda
dipotong sedikit ± 0,5 cm dengan gunting lalu cauda ditekan dengan perlahan hingga sekresi
cairan epididimis keluar dan tersuspensi dengan NaCl 0,9 %. Suspensi sperma dari cauda
epididimis yang telah diperoleh dapat digunakan untuk pengamatan yang meliputi kualitas
(morfologi, motilitas) dan kuantitas (jumlah) sel sperma. Pengambilan data dilakukan dengan
melakukan pengamatan di bawah mikroskop terhadap morfologi normal dan abnormal (%),
motilitas (%), jumlah (juta/ml).
Kualitas Sel sperma (Jumlah sel sperma)
Suspensi spermatozoa yang telah diperoleh terlebih dahulu dihomogenkan. Selanjutnya
diambil sebanyak 10 µl sampel dan dimasukkan ke dalam kotak-kotak Hemaetometer Improved
Neubauer serta ditutup dengan kaca penutup. Dibawah mikroskop cahaya dengan pembesaran 40
x hemositometer diletakkan dan dihitung jumlah spermatozoa pada kotak /bidang A,B,C,D dan E
Hasil perhitungan dalam rumus:
Jumlah Sperma = N/2 x 10 5 spermatozoa/ ml suspense
N=Jumlah sperma yang dihitung dalam kotak A,B,C,D, dan E
Gambar 1 : Kamar Hitung
Improved Neubauer (Zaneveld et al.,
1986)
Pemeriksaaan Motilitas Spermatozoa
Diamati pada suspensi spermatozoa yang telah diteteskan pada gelas objek, dan diamati
di bawah mikroskop dengan pembesaran 40 kali. Menghitung motilitas dengan cara 6 lapang
pandang diperiksa secara berurutan dengan menggeser bidang pandang dari kiri ke kanan serta
dari kanan ke kiri untuk memperoleh 100 sperma motil yang dijumpai dan dihitung
persentasenya. Motilitas sperma: gerakan spermatozoa diamati dan dikategorikan (penilaian lain
untuk motilitas sperma berdasarkan WHO (1987) terdiri dari :
1. Bila gerak cepat dan lurus (A)
2. Bila gerak lurus, lambat atau gerak cepat tapi tidak lurus. (B)
3. Bila tidak jelas atau gerak berputar. (C)
4. Bila tidak bergerak. (D)
Dimana yang termasuk motil adalah semua yang termasuk dalam kategori A dan untuk
yang tidak motil adalah semua yang termasuk dalam kategori B, C dan D.
Pemeriksaan Morfologi Spermatozoa
Dilakukan dengan cara ambil larutan stok sebanyak ± 5 mikro liter (ul) larutan stok.
Kemudian teteskan pada kaca objek. Buat hapusan dengan cara mendorong larutan tersebut
dengan kaca objek lain ke depan. Biarkan mengering, fiksasi dengan alkohol 70 %, biarkan
mengering selama 15 menit. Beri pewarnaan giemsa 5 mikro liter (ul) (merck chemical Co,
Jerman) dan dibiarkan mengering selama 15 menit. Bilas dengan air mengalir dan dibiarkan
kering. Pemeriksan morfologi sperma dilakukan dengan membedakan bentuk spermatozoa
normal dan abnormal dari 100 spermatozoa yang diamati. Sehingga diperoleh data bentuk
spermatozoa dalam persen. Pengamatan dilakukan dibawah mikroskop dengan pembesaran lensa
objektif 40 kali.
Ciri sperma normal pada tikus mempunyai bentuk kepala seperti kait pancing dan ekor
panjang lurus, sedangkan sperma yang abnormal mempunyai bentuk kepala tidak beraturan,
dapat berbentuk seperti pisang atau tidak beraturan (amorphous), atau terlalu bengkok, dan
ekornya tidak lurus bahkan tidak berekor, atau hanya terdapat ekornya saja tanpa kepala.
Gambaran Mikroskopis Ketebalan Lapisan Epitel Tubulus Seminiferus Testis Tikus
Pengamatan gambaran mikroskopis diameter tubulus seminiferus testis dan tebal lapisan
sel spermatogenik tikus, dibuat sediaan histologis menurut Suntoro, S.H, (1983) dengan metode
parafin, menggunakan pewarnaan HE (Hematoksilin Eosin). Sesuai dengan cara yang lazim
dikerjakan dalam pembuatan sediaan histologis yaitu: fiksasi, pencucian, dehidrasi, penjernihan,
infiltrasi parafin, penanaman, pengirisan, penempelan, deparafinasi, pewarnaan, penutupan dan
pemberian label.
Data dipresentasikan dalam bentuk rata-rata ± simpangan baku (rata-rata ± SD).
Dilakukan uji normalitas dan homogenitas data. Jika data berdistribusi normal dan homogen
maka dilakukan uji One Way Anova. Bila terdapat perbedaan dilakukan uji Post Hoc untuk
melihat perbedaan antara kelompok perlakuan. Jika distribusi data tidak normal dan atau tidak
homogen, maka dilakukan transformasi data. Kemudian diuji lagi normalitas dan homogenitas
data. Apabila data masih tidak normal distribusinya atau tidak homogen maka diuji dengan uji
Kruskal-Wallis. Untuk melihat perbedaan antara kelompok perlakuan mengunakan Mann
Whitney U. Semua analisis data dilakukan dengan menggunakan SPSS 18,0. Dalam penelitian
ini, hanya perbedaan rata-rata pada p ≤ 0,05 yang dianggap nyata (bermakna/signifikan) (Dahlan,
2004).
Hasil Penelitian
1.Kolesterol Total (KT)
Pada Tabel 1. dapat dilihat hasil pengukuran data kolesterol setelah perlakuan pemberian pakan
kolesterol dan vitamin C.
Tabel 1. Persentase Perubahan Kolesterol Total (KT)
Perlakuan Sebelum SetelahSelisih KT (KT akhir-KT
awal)Selisih KT
(%)P0 136,6 146,2 9,60 4,82tn
P1 183,8 178,8 -5,00 -2,51tn
P2 187,4 199,0 11,60 7,40tn
P3 187,6 156,8 -30,80 -14,86tn
P4 192,6 207,2 14,60 7,05tn
Keterangan Tabel 1. KT (Kolesterol Total) : berbeda tidak nyata antara sebelum dan setelah perlakuan (p>0,05). P0: kontrol (pakan standar) 60 hari, P1: pakan lemak 60 hari, P2: pakan lemak + vitamin C bersamaan selama 60 hari, P3: pakan lemak 1-30 hari + pakan standar 31-60 hari, P4: pakan lemak 1-30 hari + vitamin C 31-60 hari.
Didapatkan hasil bahwa kolesterol total ada yang bertambah besar (P0, P2, dan P4) dan
ada pula yang menurun (P1 dan P3). Setelah diuji dengan uji Mann-Whitney, didapatkan
perbanding rata-rata kolesterol akhir dengan awal antara sebelum dan setelah perlakuan berbeda
tidak nyata (p>0,05).
2. Ketebalan Epitel Tubulus Seminiferus
Gambar 2 di dapatkan hasil bahwa ketebalan epitel tubulus seminiferus berbeda nyata
antara perlakuan. Hasil uji lanjut Multiple Comparison-Post Hoc menunjukkan adanya
perbedaan P0 dengan perlakuan lainnya (P1, P2, P3, dan P4) (p<0,05). Ketebalan epitel tubulus
seminiferus yang paling tebal adalah pada P0 (2315,59±388,64) yang berbeda berbeda nyata
dengan P0, P1, P2, dan P3 (p<0,05). Sedangkan ketebalan epitel seminiferus yang terkecil adalah
P1 (889,65±128,03) dan berbeda nyata dengan P0, P2, dan P4 tetapi berbeda tidak nyata dengan
P3.
Keterangan Gambar 2: Tebal epitel tubulus seminiferus (μm) tikus (Rattus sp.). Huruf kecil yang beda antara masing masing perlakuan (P0 s/d P4) adalah berbeda nyata (a,bp<0,05). P0: kontrol (pakan standar) 60 hari, P1: pakan lemak 60 hari, P2: pakan lemak + vitamin C bersamaan selama 60 hari, P3: pakan lemak 1-30 hari + pakan standar 31-60 hari, P4: pakan lemak 1-30 hari + vitamin C 31-60 hari.
a
bcd bc
d
3. Kualitas Sperma
a. Motilitas Sperma
Pada Gambar 3, di dapatkan hasil bahwa motilitas sperma berbeda nyata antara
perlakuan. Hasil uji lanjut dari Kruskal Wallis, yakni Mann-Whitney menunjukkan adanya
perbedaan yang nyata antara P0 dengan dengan perlakuan P1 dan P3 (p<0,05), tetapi berbeda
tidak nyata dengan perlakuan P2 dan P4. Motilitas sperma yang paling tinggi adalah pada P0
(79,17±4,08) yang tidak berbeda dengan P2, dan P4, tetapi berbeda nyata dengan P1 dan P3
(p<0,05). Sedangkan motilitas sperma yang terendah adalah P1 (67,50 ± 3,54) dan berbeda nyata
dengan perlakuan lainnya (P0, P2, P3 dan P4) (p<0,05).
Gambar 3 : Motilitas sperma (%) tikus (Rattus sp.). Huruf kecil yang beda antara masing-masing perlakuan (P0 s/d P4) adalah berbeda nyata (a,bp<0,05). P0: kontrol (pakan standar) 60 hari, P1: pakan lemak 60 hari, P2: pakan lemak + vitamin C bersamaan selama 60 hari, P3: pakan lemak 1-30 hari + pakan standar 31-60 hari, P4: pakan lemak 1-30 hari + vitamin C 31-60 hari.
b. Morfologi Sperma
Gambar 4, di dapatkan hasil bahwa morfologi sperma berbeda nyata antara perlakuan.
Hasil uji lanjut dari Kruskal Wallis, yakni Mann-Whitney menunjukkan adanya perbedaan yang
nyata antara P0 dengan dengan perlakuan P1, P3 dan P4 (66,17±3,39), tetapi berbeda tidak nyata
dengan perlakuan P2. Morfologi sperma yang paling tinggi adalah pada P0 (78,17±4,38) yang
tidak berbeda dengan P2, tetapi berbeda nyata dengan P1, P3 dan P4 (p<0,05). Sedangkan
morfologi sperma yang terendah adalah P1 (67,50 ± 3,54) dan berbeda nyata dengan perlakuan
lainnya (P0, P2, P3 dan P4) (p<0,05).
ab
a c ac
Gambar 4. Morfologi normal sperma (%) tikus (Rattus sp.). Huruf kecil yang beda antara masing-masing perlakuan (P0 s/d P4) adalah berbeda nyata (a,bp<0,05). P0: kontrol (pakan standar) 60 hari, P1: pakan lemak 60 hari, P2: pakan lemak + vitamin C bersamaan selama 60 hari, P3: pakan lemak 1-30 hari + pakan standar 31-60 hari, P4: pakan lemak 1-30 hari + vitamin C 31-60 hari.
a
ba c c
4. Kuantitas Sperma.
Gambar 5, di dapatkan hasil bahwa jumlah sperma berbeda nyata antara perlakuan. Hasil
uji lanjut dari Kruskal Wallis, yakni Mann-Whitney menunjukkan adanya perbedaan yang nyata
antara P0 (110,07±8,83 x105 sel/mL) dengan dengan perlakuan P1 (98,87±8,78 x105 sel/mL),
dan P4 (92,20±3,39 jt/mL), tetapi berbeda tidak nyata dengan perlakuan P2 (99,10±16,86 x105
sel/mL) dan P3 (104,40±6,45 x105 sel/mL). Jumlah sperma yang paling tinggi adalah pada P0
yang tidak berbeda dengan P2, tetapi berbeda nyata dengan P1, P3 dan P4 (p<0,05). Sedangkan
jumlah sperma yang terendah adalah P1 (98,87±8,78 x105 sel/mL) dan berbeda nyata dengan
perlakuan lainnya (P0, P2, P3 dan P4) (p<0,05).
a a c
Gambar 5 : Jumlah sperma (x105 sel/mL) tikus (Rattus sp.). Huruf kecil yang beda antara masing-masing perlakuan (P0 s/d P4) adalah berbeda nyata (a,bp<0,05). P0: kontrol (pakan standar) 60 hari, P1: pakan lemak 60 hari, P2: pakan lemak + vitamin C bersamaan selama 60 hari, P3: pakan lemak 1-30 hari + pakan standar 31-60 hari, P4: pakan lemak 1-30 hari + vitamin C 31-60 hari.
Pembahasan
1. Kolesterol Total
Peningkatan kolesterol total terjadi sebelum dilakukan penelitian atau setelah diberikan
pakan lemak (>120 mg/dl), sehingga penelitian dapat dilanjutkan dengan pengamatan beberapa
parameter perlakuan sesuai dengan rancangan penelitian. Rata-rata kadar kolesterol total antara
sebelum dan setelah perlakuan tidak berbeda nyata (p>0,05). Kemungkinan disebabkan oleh
kolesterol total yang terbentuk karena pakan lemak lebih banyak digunakan untuk membentuk
membran sel, memproduksi hormon steroid dan mensintesis protein reseptor untuk mengikat
LDL (Low Density Lipid). Seperti yang dinyatakan Barter (2005), bahwa kolesterol LDL menuju
jaringan perifer, sehingga memberi kontribusi untuk sintesis dan pemeliharaan membran sel.
Menurut Chew (2012), kolesterol dalam jumlah yang tepat sangat penting untuk tubuh.
Kolesterol dapat membentuk membran sel, mensintesis asam empedu, Vitamin D dan hormon
seperti estrogen, testosteron dan progesterone. Kolesterol terdiri dari LDL (Low-Density
Lipoprotein), HDL (High-Density Lipoprotein), dan trigliserida. Trigliserida digunakan untuk
b c
menghasilkan energy, LDL dan HDL adalah lipoprotein yang merupakan kombinasi lemak dan
protein untuk mengangkut lemak di dalam darah.
2. Ketebalan Epitel Tubulus Seminiferus
Tebal epitel seminiferus menandakan adanya proses spermatogenesis yang lebih banyak
terjadi. Sehingga lapisan sel-sel germinal mulai dari spermatogonia, spermatosit, spermatid dan
spermatozoa membuat ukuran lapisan epitel tubulus menjadi tebal. Hal ini terjadi pada P0
sebagai pengaruh dari adanya jumlah testosteron yang cukup optimal dalam memicu
pembentukan sel-sel sepermatogenik. Seperti yang dinyatakan oleh Walker (2009), bahwa
testosteron sangat berpengaruh terhadap pembentukan sel-sel spermatogenik di dalam testis.
Epitel tubulus seminiferus pada P0 (pakan standar) lebih tebal secara nyata dari P1, P2, P3,
dan P4. Kemungkinan disebabkan oleh pakan standar yang tidak menekan kadar testosteron
intratestikular yang penting untuk perkembangan sel-sel spermatogenik. Pada kondisi pakan
standar, hormon tersebut berjalan seperti normal tanpa ada yang menekannya secara nyata.
Sedangkan pada P1 (pakan lemak 60 hari) terlihat banyak sel-sel spermatogeniknya menghilang
pada lapisannya ini menandakan bahwa kemungkinan terjadi penekanan kadar testosteron
intratestikular sehingga terjadi gangguan perkembangan sel-sel spermatogenik. Hal ini
menyebabkan ketebalan epitel seminiferus lebih tipis secara nyata jika dengan kontrol (P0). Pada
P2 juga terlihat sebahagian sel spermatogenik menghilang dan sebahagian lagi mulai tampak
lengkap ini menunjukkan bahwa terjadi perbaikan sel-sel spermatogenik akibat pemberian
vitamin C . Mclachlan et al., (2002) menyatakan bahwa testosteron penting untuk produksi
spermatozoa (spermatogenesis) dan kesuburan pria. Proses spermatogenesis terjadi pada tubulus
seminiferus testis dan dalam tubulus seminiferus testosteron adalah androgen utama. Dalam
testis, sel leydig, sel peritubular dan sel sertoli mengekspresikan reseptor untuk testosteron
(reseptor androgen/RA). Tidak satupun RA diekspresikan dalam sel germinal pada testis matur
dan sel germinal tidak dianggap target langsung aksi testosteron. Menurut Griswold (2005),
target utama testosteron di testis adalah sel sertoli, yang mengelilingi dan memelihara sel-sel
germinal sampai menjadi matur atau spermatozoa. Testosteron lebih banyak diproduksi secara
lokal oleh sel leydig. Tingkat testosteron di testis matur relatif lebih stabil dan tinggi (200-800
nM, pada tikus). Tingkat testosteron testis sekitar 10 kali lipat lebih tinggi daripada dalam serum
tikus.
Pemberian vitamin C dapat menekan pengaruh negatif yang ditimbulkan dengan pakan
lemak. Ketebalan epitel seminiferus pada P4 (pakan lemak 1-30 hari + Vitamin C 31-60 hari)
terlihat lebih tebal dari pada P3 (pakan lemak 1-30 hari + pakan standar). Vitamin C dapat
berfungsi sebagai antioksidan atau penangkap radikal bebas yang terbentuk dari konsumsi lemak
yang berlebihan. Pada penelitian Osinubi et al., (2005), bahwa efek negatif kina atau racun bagi
histologis testis seperti morfometrik testis yang termasuk diameter dan luas penampang dari
tubulus seminiferus, jumlah profil tubulus seminiferus per satuan luas testis dan kepadatan dari
tubulus seminiferus, kepadatan volume dan volume mutlak testis. Hasil penelitian menunjukkan
bahwa sitoarsitektur tubulus seminiferus tikus yang diberi kina saja (efek negatif) menjadi
terganggu. Sedangkan tikus yang memiliki kina dan vitamin C terlihat tidak berpengaruh secara
nyata, yang dibuktikan dengan tidak adanya perbedaan yang nyata antara kontrol dengan
perlakuan (pemberian vitamin C pada pengaruh negatif kina).
3. Kualitas Sperma (Morfologi Sperma dan Motilitas Sperma)
Pemberian pakan lemak tinggi dapat menurunkan persentase morfologi sperma, motilitas
sperma. Hal ini berhubungan dengan adanya penghambatan dari enzim utama dari
steroidogenesis contohnya Hydroxysteroid Dehydrogenates (HDS’s), penghambatan rangsangan
antiandrogenic dari axis pituitary hypothalamus dan penghambatan sintesis dan pelepasan LH
(Bataineh HN, dan Nusier MK, 2005). Jalur yang lain adalah terbentuknya lipid peroksidase
yang melepaskan radikal bebas sehingga yang merupakan bagian dari ROS (Reactive Oxygen
System). Studi menemukan bahwa kadar ROS berkorelasi dengan motilitas spermatozoa (Iwasaki
A, Gagnon C 1992). Penelitian lain membuktikan bahwa hasil peroksidasi lipid membrane oleh
radikal bebas berefek langsung terhadap kerusakan membran sel antara lain dengan mengubah
fluiditas (kestabilan), struktur dan fungsi membrane sehingga memperlambat pergerakan pada
spermatozoa, dalam keadaan fatal akhirnya menyebabkan kematian pada sel spermatozoa
(Schegel RA et al., 1985).
Studi terbaru menemukan bahwa peningkatan ROS dalam sperma memiliki efek merusak
pada parameter motilitas sperma yang akhirnya memiliki efek buruk pada kesuburan (du Plessis
et al., 2010). Penurunan status antioksidan plasma semen khususnya aktivitas katalase dan
kapasitas antioksidan total/TAC (Total Antioxidant Capacity) mempunyai peran yang signifikan
terhadap munculnya abnormalitas sperma (Khosrowbeygi et al., 2012). Kerusakan DNA juga
terjadi akibat oksidatif, dengan tingginya kadar ROS menunjukkan fragmentasi DNA terlihat
dalam spermatozoa dari pria infertile, normalnya DNA sperma dilindungi dari kerusakan
oksidatif oleh zat spesifik dan antioksidan diseminal plasma tetapi spermatozoa tidak dapat
memperbaiki DNA dan tergantung dari perbaikan oosit setelah pembuahan (Sun JG et Al., 1997
dan Kodama H et al., 1997).
Menurut Angulo C et al., (2006), bahwa studi penambahan suplemen vitamin C pada pria
infertil dapat meningkatkan jumlah sperma, motilitas sperma, dan morfologi sperma dan
mungkin dapat menjadi suplemen tambahan untuk meningkatkan kualitas semen terhadap
konsepsi (pembuahan sel telur oleh sperma). Ini dapat dilihat dari proses transportasi vitamin C
pada epitel seminiferus menunjukkan bahwa asam askorbat (AA) memasuki sel sertoli melalui
pembawa SVCT (Sodium-dependent Vitamin C Transporter) dan kemudian mungkin diangkut
ke ruang adluminal oleh pembawa diketahui atau melewati gap junction yang memungkinkan
untuk komunikasi dengan perkembangan sel germinal. Hal ini juga mungkin bahwa vitamin C
masuk sertoli sel sebagai asam dehidroaskorbat oleh transporter GLUT (Glucose Transporte=
Pembawa asam askorbat dan pembawa asam dehidroaskorbat ), dan dengan cepat direduksi
menjadi asam askorbat dalam sel. Sekali diangkut ke dalam sel, asam dehidroaskorbat kemudian
langsung diangkut oleh pengangkut GLUT ke cairan adluminal. Semua kemungkinan ini harus
dipertimbangkan dalam upaya untuk memahami metabolisme vitamin C dalam epitel
seminiferus.
Telah dilaporkan adanya penurunan konsentrasi testosteron akibat kekurangan vitamin C
serta adanya peningkatan konsentrasi serum testosteron pada tikus yang diberi vitamin C. Hal ini
mungkin berhubungan dengan adanya kerusakan oksidatif pada sel-sel leydig pada tikus yang
kekurangan vitamin C dan pengaruh adanya stimulasi terhadap sel-sel leydig pada tikus yang
diberi vitamin C (Steven, 2000).
Vitamin C dapat memperbaiki motilitas viabilitas sperma yang dirusak oleh radikal bebas
yang ditimbulkan oleh penambahan klorokuin (Salman dan Ajayi, 2007). Aksi vitamin C
diarahkan untuk mencegah kerusakan akibat klorokuin terutama pada morfologi sel Leydig yang
menghasilkan testosteron daripada merangsang sel untuk meningkatkan produksi testosteron.
Vitamin C dan E yang dikenal ampuh dalam menangkap radikal bebas (Salman et al., 2010).
4. Kuantitas Sperma
ROS dapat menginisiasi reaksi rantai yang akhirnya menyebabkan apoptosis pada sel
spermatozoa dengan mengaktifkan caspases. Apoptosis merupakan proses yang menghilangkan
sel-sel yang sudah tua atau tidak berfungsi lagi dan merupakan program kematian sel yang
terprogram Pada sel germinal manusia, apoptosis dapat membantu menghilangkan sel germinal
yang abnormal dan mencegah kelebihan produksi. Pada pusat penelitian tingkatan ROS
berhubungan positif terhadap apoptosis pada sel sperma yang matang. Tingkat caspases
merupakan protease yang terlibat dalam apoptosis berkolerasi dengan tingkatan ROS, hasil
penelitian juga menunjukkan bahwa apoptosis diinduksi dalam kultur sel dengan H2O2 yang
selanjutnya mendukung teori bahwa ROS terlibat dalam apoptosis . Proses apoptosis juga dapat
dipercepat oleh kerusakan DNA akibat ROS yang terinduksi dan akhirnya dapat menyebabkan
penurunan sperma (Agarwal A et al., 2004).
Kesimpulan
Ada pengaruh pemberian pakan tinggi lemak terhadap ketebalan epitel tubulus seminiferus testis,
serta kualitas dan kuantitas sel sperma tikus.
Ada pengaruh pemberian vitamin C dalam mempertahankan ketebalan epitel tubulus seminiferus
testis, serta kualitas dan kuantitas sel sperma tikus hiperkolesterolemia.
Ada pengaruh pemberian vitamin C dalam memperbaiki ketebalan epitel tubulus seminiferus
testis, serta kualitas dan kuantitas sel sperma tikus hiperkolesterolemia
Kadar kolesterol total pada pemberian pakan tinggi lemak sebelum dan sesudah perlakuan pada
tikus tidak berbeda nyata.
Saran
Untuk dapat lebih menjelaskan hal-hal lain yang mendukung dan guna aplikasi lanjut
nantinya, maka disarankan untuk melakukan penelitian dengan pakan lemak, dosis vitamin C dan
lama pemberian yang lebih beragam , mengidentifikasi serta mengukur jumlah indeks sel
spermatogenik dan kadar hormone testosterone tikus.
DAFTAR PUSTAKA
Abid S, Maitra A, Meherji P, Patel Z, Kadam S, Shah J et al. (2008). Clinical and Laboratory Evaluation of Idiopathic Male Infertility in a Secondary Referral Center in India. J Clin Lab Anal ; 22: 29-38.
Agarwal . A, Prabakaran , S.A. Said, T.M. (2005). Prevention of oxidative stress injury to sperm. J Androl, 26, 654-60.
Agarwal A, SR Shyam, Allamaneni. (2004). Oxidants and antioxidants in human fertility. American Society for Reproductive Medicine ; vol 80 no 3.
Angulo C et al. (2011). Vitamin C and oxidative stress in the seminiferous epithelium, Chile Biological Research 44:169-180.
Barter, P. (2005). The role of HDL-cholesterol in preventing atherosclerotic disease. European Heart Journal Supplements 7.
Bataineh HN, Nusier M.K. (2005) Effect of cholesterol diet on reproductive function in male albino rats department of physiology and biochemistry and molecular biology. Saudi medical jurnal vol 26.
Constantinides P. (1994). General Pathobiology, Appleton and Lange. New Yersey.Dahlan MS and Tjokronegoro A. (2002). Oxidative Stress and Male Infertility : pathophisiology
and clinical implication, Jakarta, Jurnal kedokteran YARSI Vol 10 No I.Dahlan MS. (2004). Statistik untuk kedokteran: Uji hipotesis dengan menggunakan SPSS
program 12 jam. Jakarta. Bina Mitra Press. Du Plessis SS, Cabler S, McAlister DA, Sabanegh E and Agarwal A. (2010) , The effect of
obesity on sperm disorders and male infertility. Nature Review Urology 153–161.Gopalkrishnan K, Padwal VD, Souza S and Shah R. (1995). Severe asthenozoospemia: a
structure and functional study: Int J Andrologi. 18: 67-74.
Griswold MD. (2005). Perspective on the function of Sertoli cells. In: Griswold MD, editor. Sertoli cell biology. San Diego: Elsevier Science; p. 15–8.
Harmita, Radji M. ( 2008). Buku Ajar Analisis Hayati, Edisi 3. EGC: hal: 67.
Iwasaki, A and C. Gagnon. (1992). Formation of reactive oxygen species in spermatozoa of infertile patients. Fertile, steril, 57: 409-416.
Khosrowbeygi A, Zarghami N, and Deldar Y . (2004). Correlation between Sperm Quality Parameters and Seminal Plasma Iranian Journal of Reproductive Medicine Vol. 2. No.2 pp:58-64.
Kodama H, Yamaguchi R, Fukuda J, Kasai H, Tanaka T. (1997). Increased oxidative deoxyribonucleic acid damage in the spermatozoa of infertile male patients. Fertil Steril;68:519-24.
Kustiyah I, Prasetyo A. (2003). Pengaruh berbagai variasi dosis ekstrak morinda citrifolia terhadap kadar lipid serum dan perkembangan lesi aterosklerosis pada aorta abdominalis tikus Wistar. Media Medika Indonesia;38:4.
Lichtenstein AH et al. (2006). Diet and lifestyle recommendations revisition 2006: Ascientific statement from the American heart association nutrition committee. Circulation 114: 82-96.
McLachlan RI, O’Donnell L, Meachem SJ, Stanton PG, De Kretser DM, Pratis K. (2002). Identification of specific sites of hormonal regulation in spermatogenesis in rats, monkeys, and man. Recent Prog Horm Res; 57:149–79.
Nieschlag E .(1997). Classification of andrological disorder. In andrology : male reproductive health and dysfunction. Ed : Nieschlag E, Behre HM. Springer Berlin, 81-86.
Ohara, Y, T.E. Peterson and D.G. Harrison. (1993). Hypercholesterolemia increases endothelial superoxide anion production. J. Clin. Invest, 91 : 2546-2551.
Osinubi AA, Noronha CC, Okanlawon AO. (2005). Attenuation of quinine-induced testicular toxicity by ascorbic acid in rat: a stereological approach. Afr J Med Med Sci. Sep;34(3):213-9.
Salman, TM, Luqman A. Olayaki, Shehu-tijjani T. Shittu, and Samson O. Bamgboye. (2010). Serum testosterone concentration in chloroquine-treated rats: effects of ascorbic acid and alpha-tocopherol. African Journal of Biotechnology Vol. 9 (27), pp. 4278-4281.
Salman TM, Ajayi OP. (2007). Ascorbic Acid and Alpha-tocopherol ameliorate chloroquine-induced impairment of sperm motility and viability in male rats. Trop. J. Health Sci., 14(2): 9-12.
Sikka S .(1996). Oxidative stress and role of antioxidant in normal and abnormal sperm function. Frontiers in Bioscience. 1:78-86.
Schegel RA. Hammerseid R, Cofer GP, Kozar K, Fredius D, Williamson P. (1985). Change in the organizaion of the lipid bilayerof the plasma membrane during spermatogenesis and epididymal mauation. Bio Reprod, 34;379-391.
Sun JG, Jurisicova A, Casper RF, (1997). Detection of deoxyribonucleic acid fragmentation in human sperm: correlation with fertilization in vitro. Biol Reprod; 56:602-7.
Suntoro, S. H. (1983). Metode pewarnaan Histologi dan histokimkia. Bhratara karya aksara, Jakarta hal;48.
Steven S. (2000). Male infertility. Nutritional and Environmental consideration. Alterm. Med. Rev., 5(1): 28-38.
Walker, W.H. (2009). Molecular mechanisms of testosterone action in spermatogenesis. Steroids 74. 602–607.
[WHO]. World Health Organization. (1987). Laboratory Manual for the examination of human semen and semen servical mucus interaction. Cambridge university press, Melbourne. P. 7-11,13.
[WHO]. World Health Organization. (1993). Manual for the Standardized Investigation and Diagnosis of the Infertile Couple. Cambridge University Press, Cambridge.
[WHO]. World Health Organization. (1999). Laboratory Manual for the Examination of Human Semen and Semen-Cervical Mucus Interactin. 3erd edn Cambridge University Press, Cambridge, UK.
Zaneveld, Polakoski. (1977). Techniques of human andrology: 160. Dalam: Zaneveld LJD, Fulgham DL (1986). Short course : Male reproduction/Andrology and non-hormonal contraception. Chicago, IL:19.