ibnu sina dr ismail

29
GAMBARAN HISTOPATOLOGI KETEBALAN EPITEL TUBULUS SEMINIFERUS TESTIS SERTA KUALITAS DAN KUANTITASSEL SPERMA TIKUS (Rattus novergicus Strain Wistar) HIPERKOLESTEROLEMIA YANG DIBERI VITAMIN C Wan Muhammad Ismail Bagian Anatomi Histologi Fakultas Kedokteran Islam Sumatera Utara Jalan Sisingamangaraja 2A, Medan ABSTRACT Hypercholesterolemia can causes the abnormalities of the male reproductive function , achieved increase of oxygen radicals and lipid peroxidation production in different tissue, and inducing oxidative stress. The results is damage sperm membranes, structure of proteins and DNA that effect on fertility. Vitamin C is the major chain breaking antioxidant and can neutralize free radical. This study is an experimental design using 35 rats aged 8-12 weeks with body weight 150-200 gram were devided into 5 groups, P0 = Rats that received standard food as control on days 1-60, P1=Rats that received fatty food on day 1-60 =, P2= =Rats that received fatty food +vitamin C on days 1- 60 , P3 = = Rats that received fatty food on day 1-30, a standart food for 31-60 days, P4= Rats that received fatty food on days 1-30, vitamin C on day 31-60 (vit C= 3,6 mg/ day, yolk= 5gram/ 200 gr bodyweight). Total cholesterol levels checked before and after treatment on day 1 and day 61. Then observed seminiferous tubules epithelium thickness and quality and quantity of sperm cell after the rats decapitated. Univariate analysis to calculate the mean and standard deviation. Test data with the Shapiro Wilk normality, followed by One Way Anova, Post Hoc, Kruskal Wallis and Mann Whitney U with SPSS 18.0 for windows. Total cholesterol levels before and after treatment were not significantly different (p>0,05), seminiferous tubules epithelium thickness was significantly different in each group (p<0,05). The quality and quantity of sperm cells in each group was significantly different (p<0,05). Giving vitamin C can improve and maintain the seminiferous tubules epithelium, the quality and quantity of sperm cells hipercolesterolemia rats but had no effect on total cholesterol levels. Key words: Hipercolesterolemia, vitamin C, seminiferous tubules epithelium, the quality and quantity of sperm cells. ABSTRAK Hiperkolesterolemia dapat menyebabkan ketidaknormalan fungsi reproduksi laki-laki, dimana terjadi peningkatan produksi oksigen radikal dan lipid peroksidase ditiap jaringan yang berbeda yang menimbulkan stress oksidatif. Akibatnya terjadi kerusakan pada membrane sperma, stuktur protein, dan DNA yang mempengaruhi fertilitas. Vitamin C merupakan antioksidan pemecah rantai utama dan dapat menetralisir radikal bebas Jenis penelitian ini adalah penelitian eksperimental dengan menggunakan 35 ekor tikus wistar jantan usia 8-12 minggu berat 150-200 gram terbagi dalam

Upload: aldrian

Post on 07-Dec-2015

235 views

Category:

Documents


1 download

DESCRIPTION

uisu

TRANSCRIPT

Page 1: Ibnu Sina Dr Ismail

GAMBARAN HISTOPATOLOGI KETEBALAN EPITEL TUBULUS SEMINIFERUS TESTIS SERTA KUALITAS DAN KUANTITASSEL SPERMA TIKUS

(Rattus novergicus Strain Wistar)HIPERKOLESTEROLEMIA YANG DIBERI VITAMIN C

Wan Muhammad Ismail

Bagian Anatomi HistologiFakultas Kedokteran Islam Sumatera Utara

Jalan Sisingamangaraja 2A, Medan

ABSTRACT

Hypercholesterolemia can causes the abnormalities of the male reproductive function , achieved increase of oxygen radicals and lipid peroxidation production in different tissue, and inducing oxidative stress. The results is damage sperm membranes, structure of proteins and DNA that effect on fertility. Vitamin C is the major chain breaking antioxidant and can neutralize free radical.

This study is an experimental design using 35 rats aged 8-12 weeks with body weight 150-200 gram were devided into 5 groups, P0 = Rats that received standard food as control on days 1-60, P1=Rats that received fatty food on day 1-60 =, P2= =Rats that received fatty food +vitamin C on days 1-60 , P3 = = Rats that received fatty food on day 1-30, a standart food for 31-60 days, P4= Rats that received fatty food on days 1-30, vitamin C on day 31-60 (vit C= 3,6 mg/ day, yolk= 5gram/ 200 gr bodyweight). Total cholesterol levels checked before and after treatment on day 1 and day 61. Then observed seminiferous tubules epithelium thickness and quality and quantity of sperm cell after the rats decapitated. Univariate analysis to calculate the mean and standard deviation. Test data with the Shapiro Wilk normality, followed by One Way Anova, Post Hoc, Kruskal Wallis and Mann Whitney U with SPSS 18.0 for windows.

Total cholesterol levels before and after treatment were not significantly different (p>0,05), seminiferous tubules epithelium thickness was significantly different in each group (p<0,05). The quality and quantity of sperm cells in each group was significantly different (p<0,05). Giving vitamin C can improve and maintain the seminiferous tubules epithelium, the quality and quantity of sperm cells hipercolesterolemia rats but had no effect on total cholesterol levels.

Key words: Hipercolesterolemia, vitamin C, seminiferous tubules epithelium, the quality and quantity of sperm cells.

ABSTRAKHiperkolesterolemia dapat menyebabkan ketidaknormalan fungsi reproduksi laki-laki, dimana terjadi

peningkatan produksi oksigen radikal dan lipid peroksidase ditiap jaringan yang berbeda yang menimbulkan stress oksidatif. Akibatnya terjadi kerusakan pada membrane sperma, stuktur protein, dan DNA yang mempengaruhi fertilitas. Vitamin C merupakan antioksidan pemecah rantai utama dan dapat menetralisir radikal bebas

Jenis penelitian ini adalah penelitian eksperimental dengan menggunakan 35 ekor tikus wistar jantan usia 8-12 minggu berat 150-200 gram terbagi dalam 5 kelompok, dimana P0= sebagai kontrol dengan pakan standar pada hari 1-60, P1= pakan lemak pada hari 1-60, P2= pakan lemak+vitamin C pada hari 1-60, P3= pakan lemak pada hari 1-30, pakan standart pada hari 31-60, P4 =pakan lemak pada hari 1-30, vitamin C pada hari 31-60 (Kadar vitamin C 3,6 mg/hari, kuning telur =5 gram/200 gram BB). Diperiksa kadar kolesterol total sebelum dan sesudah perlakuan pada hari 1 dan hari 61. Kemudian mengamati gambaran histopatologi ketebalan epitel tubulus seminiferus testis serta kualitas dan kuantitas sel sperma setelah tikus didekapitasi. Analisis univariat untuk menghitung mean dan standar deviasi. Uji normalitas data dengan Saphiro Wilk, dilanjutkan One Way Anova, Post Hoc, Kruskal Wallis dan Mann Whitney U dengan SPSS 18.

Kadar kolesterol total sebelum dan sesudah perlakuan tidak berbeda nyata (p>0,05), ketebalan epitel tubulus seminiferus pada masing-masing kelompok berbeda nyata (p<0,05), kualitas dan kuantitas sel sperma pada masing-masing kelompok berbeda nyata (p<0,05). Pemberian Vitamin C dapat memperbaiki dan mempertahankan epitel tubulus seminiferus serta kualitas dan kuantitas sel sperma tikus hiperkolesterolemia secara nyata tetapi tidak berpengaruh terhadap kadar kolesterol total serum tikus.Kata kunci : Hiperkolesterolemia, vitamin C, epitel tubulus seminiferus, kualitas dan kuantitas sel sperma.

Page 2: Ibnu Sina Dr Ismail

Pendahuluan

Infertilitas (ketidaksuburan) merupakan masalah kesehatan pasangan suami istri,

didefenisikan sebagai ketidakmampuan untuk menghasilkan keturunan setelah 1 tahun menikah

melakukan hubungan seksual normal tanpa menggunakan alat kontrasepsi (WHO, 1993).. Para

ahli memastikan angka infertil meningkat mencapai 15%-20% dari sekitar 50 juta pasangan di

Indonesia, dan laki-laki menjadi faktor utama yang bertanggung jawab atas 50 % kasus

infertilitas (Abid S et al, 2003). Ada beberapa kasus yang nyata penyebab infertilitas

(ketidaksuburan) seperti idiopatik, varicocele, infeksi, maldescenden testis, gangguan kandungan

semen, hypogonadism, penyakit umum dan sistemik, faktor imunologi, tumor testis, obstruksi

dan faktor lainnya (Nieschlag, 1997). Salah satu penyebab yang baru-baru ini dipertimbangkan

adalah keadaan stress oksidatif dimana terjadi ketidakseimbangan antara radikal bebas dengan

antioksidan dan merupakan bagian dari penyebab idiopatik. (Dahlan MS dan Tjokronegoro A,

2002)

Keberhasilan fertilisasi ditentukan oleh jumlah dan mutu spermatozoa yang merupakan

salah satu faktor yang penting dalam menetukan kesuburan pria sehingga spermatozoa dapat

mampu membuahi sel telur (Gopalkrishnan et al 1995).

Masyarakat modern saat ini memang terbiasa mengkonsumsi makanan yang rendah

serat dan mengandung kolesterol tinggi. Beberapa contoh dari makanan tersebut antara lain

produk daging (sapi, kambing, babi) dan olahannya, kuning telur, jerohan, keju, dan mentega.

Konsumsi makanan berlemak dengan kadar kolesterol lebih dari 300 mg per hari dapat memicu

timbulnya berbagai penyakit yang diakibatkan oleh meningkatnya konsentrasi kolesterol di

dalam darah atau yang biasa disebut hiperkolesterolemia (Lichtenstein et a.l, 2006).

Hiperkolesterolemia dapat menimbulkan ketidaknormalan dari fungsi reproduksi laki-laki.

(Bataineh HN, Nusier M.K, 2005). Hiperkolesterolemia menyebabkan peningkatan produksi

radikal oksigen dan lipid peroksidase dijaringan yang berbeda (Ohara, 1993), sehingga terjadi

stress oksidatif yang ditandai dengan peningkatan LPO (Lipid Peroksidase) yang merusak

membran sel sperma, struktur protein, dan DNA (Deoxy Nukleat Acid) dan merupakan bentuk

mekanisme yang mempengaruhi keadaan fertilitas (Sikka, 1996).

Vitamin C adalah salah satu antioksidan pemecah rantai utama dan terdapat di cairan

ekstrasel dapat menetralisir anion superoksida (O2-), radikal hidroksil (OH-) dan hidrogen

peroksida (H2O2) yang merupakan radikal bebas, dan sedikit jumlahnya pada pria infertil.

Page 3: Ibnu Sina Dr Ismail

Vitamin C meningkatkan jumlah sperma pada invivo pada pria infertil dengan dosis 200-1000

mg/hari (Agarwal et al., 2005).

Dari uraian diatas peneliti ingin mengetahui sejauh mana pengaruh keadaan

hiperkolesterolemia khususnya terhadap organ reproduksi pria yakni testis antara lain dari

gambaran histopatologi ketebalan epitel tubulus seminiferus, kualitas dan kuantitas sel sperma

yang diberi vitamin C yang dilakukan pada tikus percobaan.

Bahan dan Cara

Metode penelitian ini menggunakan jenis penelitian eksperimental yang didesain

mengikuti Rancangan Acak Lengkap (RAL). Penelitian ini akan dilaksanakan di Laboratorium

FMIPA laboratorium Fisiologi Hewan Biologi USU Medan, Laboratorium Patologi Anatomi FK

USU Medan. Penelitian ini dilakukan selama 12 minggu. Ethical clearance diperoleh dari

Komite Etik Penelitian Hewan FMIPA Universitas Sumatera Utara Medan. Hewan percobaan

yang digunakan adalah tikus Rattus novergicus Strain Wistar jantan, berumur 8- 12 minggu,

berat 150-200 gram.

Bahan makanan pakan : Konsentrat pakan CP 551 dengan komposisi hasil analisis yang

terinci sebagai berikut: kadar air 14%, protein kasar 18-20%, lemak kasar 4-7%, serat kasar 4-

7%, abu 5-7%, kalsium 0,70-1%, fosfor 0,6%. Air minum ad libitum, diberikan setiap hari yang

bercampur PTU 0,01% dalam satu liter air terlarut 100 miligram PTU

Bahan kimia : formalin 10%, Alkohol 70%, 80%, 90%, 96% dan alkohol absolut,

parafin, xylol, Hematoxylin-Eosin, larutan giemsa

Vitamin C tablet 50 mg , dosis konversi dari manusia ke tikus = 0,018 (Harmita, 2008).

Dosis konversi tikus = 0,018 x 200 mg = 3,6 mg /hari diberikan melalui sonde lambung setelah

dilarutkan dengan aquadest

Telur ayam Pemberian kuning telur sebanyak 5 gram/ 200 gram BB pada tikus dengan

pakan lemak melalui sonde lambung setiap hari sesuai dengan metode Constantinides yang

dimodifikasi (Kustiyah, Prasetyo, 2003).

Sebelum percobaan, tikus jantan ditimbang dan ditempatkan dalam kandang tersendiri di

dalam ruangan laboratorium (aklimatisasi) selama 1 minggu dan diberi makanan pakan standart

sebanyak 35 tikus dan dibagi secara acak ke dalam 5 kelompok perlakuan dibagi menjadi 5 tikus

dalam tiap-tiap kelompok dan 2 tikus cadangan dalam tiap-tiap kelompok.

Page 4: Ibnu Sina Dr Ismail

A. Perlakuan dilaksanakan 60 hari :

Kelompok I (P0) :

1. Hari ke 1-60 diberi pakan standar ( permeriksaan kadar kolesterol total I pada hari 1)

2. Hari ke 61 dilakukan pemeriksaan kadar kolesterol total II, didekapitasi dan dihitung motilitas,

morfologi, , jumlah sel sperma serta ketebalan epitel dari tubulus seminiferus testis.

Kelompok II (P1) :

1. Hari ke 1-60 diberi pakan lemak ( pemeriksaan kadar kolesterol total I pada hari 1)

2. Hari ke 61 dilakukan pemeriksaan kadar kolesterol total ke II, didekapitasi dan dihitung

motilitas, morfologi, jumlah sel sperma serta ketebalan epitel dari tubulus seminiferus testis.

Kelompok III (P2) :

1. Hari ke 1-60 diberi pakan lemak + vitamin C 3,6 mg /hari (pemeriksaan kadar kolesterol total

I pada hari 1)

2. Hari 61 dilakukan pemeriksaan kadar kolesterol total II, didekapitasi dan dihitung motilitas,

morfologi, jumlah sel sperma serta ketebalan epitel dari tubulus seminiferus testis.

Kelompok perlakuan IV (P3) :

1. Hari 1-30 diberi pakan lemak (pemeriksaan kadar kolesterol total I pada hari 1)

2. Hari 31-60 pakan standart

3. Hari 61 dilakukan pemeriksaan kadar kolesterol total II, didekapitasi dan hitung motilitas,

morfologi, jumlah sel sperma serta ketebalan epitel dari tubulus seminiferus testis.

Kelompok perlakuan V (P4)

1. Hari 1-30 diberi pakan lemak (pemeriksaan kadar kolesterol total I pada hari 1)

2. Hari 31-60 diberi vitamin C 3,6 mg /hari

3. Hari 61 dilakukan pemeriksaan kadar kolesterol total II, didekapitasi dan dihitung motilitas,

morfologi, jumlah sel sperma serta ketebalan epitel dari tubulus seminiferus testis.

B. Pengamatan

1. Pengukuran kadar kolesterol total

Pemeriksaan kadar kolesterol total I dan II dilakukan pada 5 ekor tikus sebelum dan

sesudah pemberian pakan lemak (tinggi kolesterol) pada tiap-tiap kelompok pada hari 1 dan 60.

Pengambilan darah dari bagian perifer tikus yaitu bagian ekor tikus. Kadar kolesterol total darah

Page 5: Ibnu Sina Dr Ismail

hewan uji diukur dengan alat dengan stick merk “Nesco” khusus kolesterol sesudah subjek

dipuasakan selama 12 jam dengan satuan mg/dl.

2.Pengambilan sekresi cauda epididimis

Pengamatan dan pemeriksaan motilitas, morfologi, jumlah sel sperma dan ketebalan

epitel tubulus seminiferus testis pada preparat histologi dilakukan pada hari ke 61 tikus pada

masing-masing subjek setelah semua tikus didekapitasi dengan cara dislokasi.

Untuk mendapatkan sperma di dalam sekresi cauda epididimis dilakukan menurut

Soehadi dan Arsyad (1983) sebagai berikut: Setelah masing-masing perlakuan, hewan percobaan

dikorbankan dengan cara dibius dengan menggunakan ether lalu dilakukan dislokasi leher dan

selanjutnya dibedah. Kemudian organ testis beserta epididimis sebelah kanan diambil dan

diletakkan ke dalam cawan petri yang berisi NaCl 0,9 % . Di bawah mikroskop bedah dengan

pembesaran 40 kali cauda epididimis dipisahkan dengan cara memotong bagian distal corpus

epididimis dan bagian proximal vas deferens. Selanjutnya cauda epididimis sepanjang ± 1 cm

dimasukkan ke dalam gelas arloji yang berisi 1 ml NaCl 0,9 %, kemudian bagian proximal cauda

dipotong sedikit ± 0,5 cm dengan gunting lalu cauda ditekan dengan perlahan hingga sekresi

cairan epididimis keluar dan tersuspensi dengan NaCl 0,9 %. Suspensi sperma dari cauda

epididimis yang telah diperoleh dapat digunakan untuk pengamatan yang meliputi kualitas

(morfologi, motilitas) dan kuantitas (jumlah) sel sperma. Pengambilan data dilakukan dengan

melakukan pengamatan di bawah mikroskop terhadap morfologi normal dan abnormal (%),

motilitas (%), jumlah (juta/ml).

Kualitas Sel sperma (Jumlah sel sperma)

Suspensi spermatozoa yang telah diperoleh terlebih dahulu dihomogenkan. Selanjutnya

diambil sebanyak 10 µl sampel dan dimasukkan ke dalam kotak-kotak Hemaetometer Improved

Neubauer serta ditutup dengan kaca penutup. Dibawah mikroskop cahaya dengan pembesaran 40

x hemositometer diletakkan dan dihitung jumlah spermatozoa pada kotak /bidang A,B,C,D dan E

Hasil perhitungan dalam rumus:

Jumlah Sperma = N/2 x 10 5 spermatozoa/ ml suspense

N=Jumlah sperma yang dihitung dalam kotak A,B,C,D, dan E

Page 6: Ibnu Sina Dr Ismail

Gambar 1 : Kamar Hitung

Improved Neubauer (Zaneveld et al.,

1986)

Pemeriksaaan Motilitas Spermatozoa

Diamati pada suspensi spermatozoa yang telah diteteskan pada gelas objek, dan diamati

di bawah mikroskop dengan pembesaran 40 kali. Menghitung motilitas dengan cara 6 lapang

pandang diperiksa secara berurutan dengan menggeser bidang pandang dari kiri ke kanan serta

dari kanan ke kiri untuk memperoleh 100 sperma motil yang dijumpai dan dihitung

persentasenya. Motilitas sperma: gerakan spermatozoa diamati dan dikategorikan (penilaian lain

untuk motilitas sperma berdasarkan WHO (1987) terdiri dari :

1. Bila gerak cepat dan lurus (A)

2. Bila gerak lurus, lambat atau gerak cepat tapi tidak lurus. (B)

3. Bila tidak jelas atau gerak berputar. (C)

4. Bila tidak bergerak. (D)

Dimana yang termasuk motil adalah semua yang termasuk dalam kategori A dan untuk

yang tidak motil adalah semua yang termasuk dalam kategori B, C dan D.

Pemeriksaan Morfologi Spermatozoa

Dilakukan dengan cara ambil larutan stok sebanyak ± 5 mikro liter (ul) larutan stok.

Kemudian teteskan pada kaca objek. Buat hapusan dengan cara mendorong larutan tersebut

dengan kaca objek lain ke depan. Biarkan mengering, fiksasi dengan alkohol 70 %, biarkan

mengering selama 15 menit. Beri pewarnaan giemsa 5 mikro liter (ul) (merck chemical Co,

Jerman) dan dibiarkan mengering selama 15 menit. Bilas dengan air mengalir dan dibiarkan

kering. Pemeriksan morfologi sperma dilakukan dengan membedakan bentuk spermatozoa

normal dan abnormal dari 100 spermatozoa yang diamati. Sehingga diperoleh data bentuk

spermatozoa dalam persen. Pengamatan dilakukan dibawah mikroskop dengan pembesaran lensa

objektif 40 kali.

Page 7: Ibnu Sina Dr Ismail

Ciri sperma normal pada tikus mempunyai bentuk kepala seperti kait pancing dan ekor

panjang lurus, sedangkan sperma yang abnormal mempunyai bentuk kepala tidak beraturan,

dapat berbentuk seperti pisang atau tidak beraturan (amorphous), atau terlalu bengkok, dan

ekornya tidak lurus bahkan tidak berekor, atau hanya terdapat ekornya saja tanpa kepala.

Gambaran Mikroskopis Ketebalan Lapisan Epitel Tubulus Seminiferus Testis Tikus

Pengamatan gambaran mikroskopis diameter tubulus seminiferus testis dan tebal lapisan

sel spermatogenik tikus, dibuat sediaan histologis menurut Suntoro, S.H, (1983) dengan metode

parafin, menggunakan pewarnaan HE (Hematoksilin Eosin). Sesuai dengan cara yang lazim

dikerjakan dalam pembuatan sediaan histologis yaitu: fiksasi, pencucian, dehidrasi, penjernihan,

infiltrasi parafin, penanaman, pengirisan, penempelan, deparafinasi, pewarnaan, penutupan dan

pemberian label.

Data dipresentasikan dalam bentuk rata-rata ± simpangan baku (rata-rata ± SD).

Dilakukan uji normalitas dan homogenitas data. Jika data berdistribusi normal dan homogen

maka dilakukan uji One Way Anova. Bila terdapat perbedaan dilakukan uji Post Hoc untuk

melihat perbedaan antara kelompok perlakuan. Jika distribusi data tidak normal dan atau tidak

homogen, maka dilakukan transformasi data. Kemudian diuji lagi normalitas dan homogenitas

data. Apabila data masih tidak normal distribusinya atau tidak homogen maka diuji dengan uji

Kruskal-Wallis. Untuk melihat perbedaan antara kelompok perlakuan mengunakan Mann

Whitney U. Semua analisis data dilakukan dengan menggunakan SPSS 18,0. Dalam penelitian

ini, hanya perbedaan rata-rata pada p ≤ 0,05 yang dianggap nyata (bermakna/signifikan) (Dahlan,

2004).

Hasil Penelitian

1.Kolesterol Total (KT)

Pada Tabel 1. dapat dilihat hasil pengukuran data kolesterol setelah perlakuan pemberian pakan

kolesterol dan vitamin C.

Tabel 1. Persentase Perubahan Kolesterol Total (KT)

Perlakuan Sebelum SetelahSelisih KT (KT akhir-KT

awal)Selisih KT

(%)P0 136,6 146,2 9,60 4,82tn

P1 183,8 178,8 -5,00 -2,51tn

Page 8: Ibnu Sina Dr Ismail

P2 187,4 199,0 11,60 7,40tn

P3 187,6 156,8 -30,80 -14,86tn

P4 192,6 207,2 14,60 7,05tn

Keterangan Tabel 1. KT (Kolesterol Total) : berbeda tidak nyata antara sebelum dan setelah perlakuan (p>0,05). P0: kontrol (pakan standar) 60 hari, P1: pakan lemak 60 hari, P2: pakan lemak + vitamin C bersamaan selama 60 hari, P3: pakan lemak 1-30 hari + pakan standar 31-60 hari, P4: pakan lemak 1-30 hari + vitamin C 31-60 hari.

Didapatkan hasil bahwa kolesterol total ada yang bertambah besar (P0, P2, dan P4) dan

ada pula yang menurun (P1 dan P3). Setelah diuji dengan uji Mann-Whitney, didapatkan

perbanding rata-rata kolesterol akhir dengan awal antara sebelum dan setelah perlakuan berbeda

tidak nyata (p>0,05).

2. Ketebalan Epitel Tubulus Seminiferus

Gambar 2 di dapatkan hasil bahwa ketebalan epitel tubulus seminiferus berbeda nyata

antara perlakuan. Hasil uji lanjut Multiple Comparison-Post Hoc menunjukkan adanya

perbedaan P0 dengan perlakuan lainnya (P1, P2, P3, dan P4) (p<0,05). Ketebalan epitel tubulus

seminiferus yang paling tebal adalah pada P0 (2315,59±388,64) yang berbeda berbeda nyata

dengan P0, P1, P2, dan P3 (p<0,05). Sedangkan ketebalan epitel seminiferus yang terkecil adalah

P1 (889,65±128,03) dan berbeda nyata dengan P0, P2, dan P4 tetapi berbeda tidak nyata dengan

P3.

Keterangan Gambar 2: Tebal epitel tubulus seminiferus (μm) tikus (Rattus sp.). Huruf kecil yang beda antara masing masing perlakuan (P0 s/d P4) adalah berbeda nyata (a,bp<0,05). P0: kontrol (pakan standar) 60 hari, P1: pakan lemak 60 hari, P2: pakan lemak + vitamin C bersamaan selama 60 hari, P3: pakan lemak 1-30 hari + pakan standar 31-60 hari, P4: pakan lemak 1-30 hari + vitamin C 31-60 hari.

a

bcd bc

d

Page 9: Ibnu Sina Dr Ismail

3. Kualitas Sperma

a. Motilitas Sperma

Pada Gambar 3, di dapatkan hasil bahwa motilitas sperma berbeda nyata antara

perlakuan. Hasil uji lanjut dari Kruskal Wallis, yakni Mann-Whitney menunjukkan adanya

perbedaan yang nyata antara P0 dengan dengan perlakuan P1 dan P3 (p<0,05), tetapi berbeda

Page 10: Ibnu Sina Dr Ismail

tidak nyata dengan perlakuan P2 dan P4. Motilitas sperma yang paling tinggi adalah pada P0

(79,17±4,08) yang tidak berbeda dengan P2, dan P4, tetapi berbeda nyata dengan P1 dan P3

(p<0,05). Sedangkan motilitas sperma yang terendah adalah P1 (67,50 ± 3,54) dan berbeda nyata

dengan perlakuan lainnya (P0, P2, P3 dan P4) (p<0,05).

Gambar 3 : Motilitas sperma (%) tikus (Rattus sp.). Huruf kecil yang beda antara masing-masing perlakuan (P0 s/d P4) adalah berbeda nyata (a,bp<0,05). P0: kontrol (pakan standar) 60 hari, P1: pakan lemak 60 hari, P2: pakan lemak + vitamin C bersamaan selama 60 hari, P3: pakan lemak 1-30 hari + pakan standar 31-60 hari, P4: pakan lemak 1-30 hari + vitamin C 31-60 hari.

b. Morfologi Sperma

Gambar 4, di dapatkan hasil bahwa morfologi sperma berbeda nyata antara perlakuan.

Hasil uji lanjut dari Kruskal Wallis, yakni Mann-Whitney menunjukkan adanya perbedaan yang

nyata antara P0 dengan dengan perlakuan P1, P3 dan P4 (66,17±3,39), tetapi berbeda tidak nyata

dengan perlakuan P2. Morfologi sperma yang paling tinggi adalah pada P0 (78,17±4,38) yang

tidak berbeda dengan P2, tetapi berbeda nyata dengan P1, P3 dan P4 (p<0,05). Sedangkan

morfologi sperma yang terendah adalah P1 (67,50 ± 3,54) dan berbeda nyata dengan perlakuan

lainnya (P0, P2, P3 dan P4) (p<0,05).

ab

a c ac

Page 11: Ibnu Sina Dr Ismail

Gambar 4. Morfologi normal sperma (%) tikus (Rattus sp.). Huruf kecil yang beda antara masing-masing perlakuan (P0 s/d P4) adalah berbeda nyata (a,bp<0,05). P0: kontrol (pakan standar) 60 hari, P1: pakan lemak 60 hari, P2: pakan lemak + vitamin C bersamaan selama 60 hari, P3: pakan lemak 1-30 hari + pakan standar 31-60 hari, P4: pakan lemak 1-30 hari + vitamin C 31-60 hari.

a

ba c c

Page 12: Ibnu Sina Dr Ismail

4. Kuantitas Sperma.

Gambar 5, di dapatkan hasil bahwa jumlah sperma berbeda nyata antara perlakuan. Hasil

uji lanjut dari Kruskal Wallis, yakni Mann-Whitney menunjukkan adanya perbedaan yang nyata

antara P0 (110,07±8,83 x105 sel/mL) dengan dengan perlakuan P1 (98,87±8,78 x105 sel/mL),

dan P4 (92,20±3,39 jt/mL), tetapi berbeda tidak nyata dengan perlakuan P2 (99,10±16,86 x105

sel/mL) dan P3 (104,40±6,45 x105 sel/mL). Jumlah sperma yang paling tinggi adalah pada P0

yang tidak berbeda dengan P2, tetapi berbeda nyata dengan P1, P3 dan P4 (p<0,05). Sedangkan

jumlah sperma yang terendah adalah P1 (98,87±8,78 x105 sel/mL) dan berbeda nyata dengan

perlakuan lainnya (P0, P2, P3 dan P4) (p<0,05).

a a c

Page 13: Ibnu Sina Dr Ismail

Gambar 5 : Jumlah sperma (x105 sel/mL) tikus (Rattus sp.). Huruf kecil yang beda antara masing-masing perlakuan (P0 s/d P4) adalah berbeda nyata (a,bp<0,05). P0: kontrol (pakan standar) 60 hari, P1: pakan lemak 60 hari, P2: pakan lemak + vitamin C bersamaan selama 60 hari, P3: pakan lemak 1-30 hari + pakan standar 31-60 hari, P4: pakan lemak 1-30 hari + vitamin C 31-60 hari.

Pembahasan

1. Kolesterol Total

Peningkatan kolesterol total terjadi sebelum dilakukan penelitian atau setelah diberikan

pakan lemak (>120 mg/dl), sehingga penelitian dapat dilanjutkan dengan pengamatan beberapa

parameter perlakuan sesuai dengan rancangan penelitian. Rata-rata kadar kolesterol total antara

sebelum dan setelah perlakuan tidak berbeda nyata (p>0,05). Kemungkinan disebabkan oleh

kolesterol total yang terbentuk karena pakan lemak lebih banyak digunakan untuk membentuk

membran sel, memproduksi hormon steroid dan mensintesis protein reseptor untuk mengikat

LDL (Low Density Lipid). Seperti yang dinyatakan Barter (2005), bahwa kolesterol LDL menuju

jaringan perifer, sehingga memberi kontribusi untuk sintesis dan pemeliharaan membran sel.

Menurut Chew (2012), kolesterol dalam jumlah yang tepat sangat penting untuk tubuh.

Kolesterol dapat membentuk membran sel, mensintesis asam empedu, Vitamin D dan hormon

seperti estrogen, testosteron dan progesterone. Kolesterol terdiri dari LDL (Low-Density

Lipoprotein), HDL (High-Density Lipoprotein), dan trigliserida. Trigliserida digunakan untuk

b c

Page 14: Ibnu Sina Dr Ismail

menghasilkan energy, LDL dan HDL adalah lipoprotein yang merupakan kombinasi lemak dan

protein untuk mengangkut lemak di dalam darah.

2. Ketebalan Epitel Tubulus Seminiferus

Tebal epitel seminiferus menandakan adanya proses spermatogenesis yang lebih banyak

terjadi. Sehingga lapisan sel-sel germinal mulai dari spermatogonia, spermatosit, spermatid dan

spermatozoa membuat ukuran lapisan epitel tubulus menjadi tebal. Hal ini terjadi pada P0

sebagai pengaruh dari adanya jumlah testosteron yang cukup optimal dalam memicu

pembentukan sel-sel sepermatogenik. Seperti yang dinyatakan oleh Walker (2009), bahwa

testosteron sangat berpengaruh terhadap pembentukan sel-sel spermatogenik di dalam testis.

Epitel tubulus seminiferus pada P0 (pakan standar) lebih tebal secara nyata dari P1, P2, P3,

dan P4. Kemungkinan disebabkan oleh pakan standar yang tidak menekan kadar testosteron

intratestikular yang penting untuk perkembangan sel-sel spermatogenik. Pada kondisi pakan

standar, hormon tersebut berjalan seperti normal tanpa ada yang menekannya secara nyata.

Sedangkan pada P1 (pakan lemak 60 hari) terlihat banyak sel-sel spermatogeniknya menghilang

pada lapisannya ini menandakan bahwa kemungkinan terjadi penekanan kadar testosteron

intratestikular sehingga terjadi gangguan perkembangan sel-sel spermatogenik. Hal ini

menyebabkan ketebalan epitel seminiferus lebih tipis secara nyata jika dengan kontrol (P0). Pada

P2 juga terlihat sebahagian sel spermatogenik menghilang dan sebahagian lagi mulai tampak

lengkap ini menunjukkan bahwa terjadi perbaikan sel-sel spermatogenik akibat pemberian

vitamin C . Mclachlan et al., (2002) menyatakan bahwa testosteron penting untuk produksi

spermatozoa (spermatogenesis) dan kesuburan pria. Proses spermatogenesis terjadi pada tubulus

seminiferus testis dan dalam tubulus seminiferus testosteron adalah androgen utama. Dalam

testis, sel leydig, sel peritubular dan sel sertoli mengekspresikan reseptor untuk testosteron

(reseptor androgen/RA). Tidak satupun RA diekspresikan dalam sel germinal pada testis matur

dan sel germinal tidak dianggap target langsung aksi testosteron. Menurut Griswold (2005),

target utama testosteron di testis adalah sel sertoli, yang mengelilingi dan memelihara sel-sel

germinal sampai menjadi matur atau spermatozoa. Testosteron lebih banyak diproduksi secara

lokal oleh sel leydig. Tingkat testosteron di testis matur relatif lebih stabil dan tinggi (200-800

nM, pada tikus). Tingkat testosteron testis sekitar 10 kali lipat lebih tinggi daripada dalam serum

tikus.

Page 15: Ibnu Sina Dr Ismail

Pemberian vitamin C dapat menekan pengaruh negatif yang ditimbulkan dengan pakan

lemak. Ketebalan epitel seminiferus pada P4 (pakan lemak 1-30 hari + Vitamin C 31-60 hari)

terlihat lebih tebal dari pada P3 (pakan lemak 1-30 hari + pakan standar). Vitamin C dapat

berfungsi sebagai antioksidan atau penangkap radikal bebas yang terbentuk dari konsumsi lemak

yang berlebihan. Pada penelitian Osinubi et al., (2005), bahwa efek negatif kina atau racun bagi

histologis testis seperti morfometrik testis yang termasuk diameter dan luas penampang dari

tubulus seminiferus, jumlah profil tubulus seminiferus per satuan luas testis dan kepadatan dari

tubulus seminiferus, kepadatan volume dan volume mutlak testis. Hasil penelitian menunjukkan

bahwa sitoarsitektur tubulus seminiferus tikus yang diberi kina saja (efek negatif) menjadi

terganggu. Sedangkan tikus yang memiliki kina dan vitamin C terlihat tidak berpengaruh secara

nyata, yang dibuktikan dengan tidak adanya perbedaan yang nyata antara kontrol dengan

perlakuan (pemberian vitamin C pada pengaruh negatif kina).

3. Kualitas Sperma (Morfologi Sperma dan Motilitas Sperma)

Pemberian pakan lemak tinggi dapat menurunkan persentase morfologi sperma, motilitas

sperma. Hal ini berhubungan dengan adanya penghambatan dari enzim utama dari

steroidogenesis contohnya Hydroxysteroid Dehydrogenates (HDS’s), penghambatan rangsangan

antiandrogenic dari axis pituitary hypothalamus dan penghambatan sintesis dan pelepasan LH

(Bataineh HN, dan Nusier MK, 2005). Jalur yang lain adalah terbentuknya lipid peroksidase

yang melepaskan radikal bebas sehingga yang merupakan bagian dari ROS (Reactive Oxygen

System). Studi menemukan bahwa kadar ROS berkorelasi dengan motilitas spermatozoa (Iwasaki

A, Gagnon C 1992). Penelitian lain membuktikan bahwa hasil peroksidasi lipid membrane oleh

radikal bebas berefek langsung terhadap kerusakan membran sel antara lain dengan mengubah

fluiditas (kestabilan), struktur dan fungsi membrane sehingga memperlambat pergerakan pada

spermatozoa, dalam keadaan fatal akhirnya menyebabkan kematian pada sel spermatozoa

(Schegel RA et al., 1985).

Studi terbaru menemukan bahwa peningkatan ROS dalam sperma memiliki efek merusak

pada parameter motilitas sperma yang akhirnya memiliki efek buruk pada kesuburan (du Plessis

et al., 2010). Penurunan status antioksidan plasma semen khususnya aktivitas katalase dan

kapasitas antioksidan total/TAC (Total Antioxidant Capacity) mempunyai peran yang signifikan

terhadap munculnya abnormalitas sperma (Khosrowbeygi et al., 2012). Kerusakan DNA juga

Page 16: Ibnu Sina Dr Ismail

terjadi akibat oksidatif, dengan tingginya kadar ROS menunjukkan fragmentasi DNA terlihat

dalam spermatozoa dari pria infertile, normalnya DNA sperma dilindungi dari kerusakan

oksidatif oleh zat spesifik dan antioksidan diseminal plasma tetapi spermatozoa tidak dapat

memperbaiki DNA dan tergantung dari perbaikan oosit setelah pembuahan (Sun JG et Al., 1997

dan Kodama H et al., 1997).

Menurut Angulo C et al., (2006), bahwa studi penambahan suplemen vitamin C pada pria

infertil dapat meningkatkan jumlah sperma, motilitas sperma, dan morfologi sperma dan

mungkin dapat menjadi suplemen tambahan untuk meningkatkan kualitas semen terhadap

konsepsi (pembuahan sel telur oleh sperma). Ini dapat dilihat dari proses transportasi vitamin C

pada epitel seminiferus menunjukkan bahwa asam askorbat (AA) memasuki sel sertoli melalui

pembawa SVCT (Sodium-dependent Vitamin C Transporter) dan kemudian mungkin diangkut

ke ruang adluminal oleh pembawa diketahui atau melewati gap junction yang memungkinkan

untuk komunikasi dengan perkembangan sel germinal. Hal ini juga mungkin bahwa vitamin C

masuk sertoli sel sebagai asam dehidroaskorbat oleh transporter GLUT (Glucose Transporte=

Pembawa asam askorbat dan pembawa asam dehidroaskorbat ), dan dengan cepat direduksi

menjadi asam askorbat dalam sel. Sekali diangkut ke dalam sel, asam dehidroaskorbat kemudian

langsung diangkut oleh pengangkut GLUT ke cairan adluminal. Semua kemungkinan ini harus

dipertimbangkan dalam upaya untuk memahami metabolisme vitamin C dalam epitel

seminiferus.

Telah dilaporkan adanya penurunan konsentrasi testosteron akibat kekurangan vitamin C

serta adanya peningkatan konsentrasi serum testosteron pada tikus yang diberi vitamin C. Hal ini

mungkin berhubungan dengan adanya kerusakan oksidatif pada sel-sel leydig pada tikus yang

kekurangan vitamin C dan pengaruh adanya stimulasi terhadap sel-sel leydig pada tikus yang

diberi vitamin C (Steven, 2000).

Vitamin C dapat memperbaiki motilitas viabilitas sperma yang dirusak oleh radikal bebas

yang ditimbulkan oleh penambahan klorokuin (Salman dan Ajayi, 2007). Aksi vitamin C

diarahkan untuk mencegah kerusakan akibat klorokuin terutama pada morfologi sel Leydig yang

menghasilkan testosteron daripada merangsang sel untuk meningkatkan produksi testosteron.

Vitamin C dan E yang dikenal ampuh dalam menangkap radikal bebas (Salman et al., 2010).

Page 17: Ibnu Sina Dr Ismail

4. Kuantitas Sperma

ROS dapat menginisiasi reaksi rantai yang akhirnya menyebabkan apoptosis pada sel

spermatozoa dengan mengaktifkan caspases. Apoptosis merupakan proses yang menghilangkan

sel-sel yang sudah tua atau tidak berfungsi lagi dan merupakan program kematian sel yang

terprogram Pada sel germinal manusia, apoptosis dapat membantu menghilangkan sel germinal

yang abnormal dan mencegah kelebihan produksi. Pada pusat penelitian tingkatan ROS

berhubungan positif terhadap apoptosis pada sel sperma yang matang. Tingkat caspases

merupakan protease yang terlibat dalam apoptosis berkolerasi dengan tingkatan ROS, hasil

penelitian juga menunjukkan bahwa apoptosis diinduksi dalam kultur sel dengan H2O2 yang

selanjutnya mendukung teori bahwa ROS terlibat dalam apoptosis . Proses apoptosis juga dapat

dipercepat oleh kerusakan DNA akibat ROS yang terinduksi dan akhirnya dapat menyebabkan

penurunan sperma (Agarwal A et al., 2004).

Kesimpulan

Ada pengaruh pemberian pakan tinggi lemak terhadap ketebalan epitel tubulus seminiferus testis,

serta kualitas dan kuantitas sel sperma tikus.

Ada pengaruh pemberian vitamin C dalam mempertahankan ketebalan epitel tubulus seminiferus

testis, serta kualitas dan kuantitas sel sperma tikus hiperkolesterolemia.

Ada pengaruh pemberian vitamin C dalam memperbaiki ketebalan epitel tubulus seminiferus

testis, serta kualitas dan kuantitas sel sperma tikus hiperkolesterolemia

Kadar kolesterol total pada pemberian pakan tinggi lemak sebelum dan sesudah perlakuan pada

tikus tidak berbeda nyata.

Saran

Untuk dapat lebih menjelaskan hal-hal lain yang mendukung dan guna aplikasi lanjut

nantinya, maka disarankan untuk melakukan penelitian dengan pakan lemak, dosis vitamin C dan

lama pemberian yang lebih beragam , mengidentifikasi serta mengukur jumlah indeks sel

spermatogenik dan kadar hormone testosterone tikus.

Page 18: Ibnu Sina Dr Ismail

DAFTAR PUSTAKA

Abid S, Maitra A, Meherji P, Patel Z, Kadam S, Shah J et al. (2008). Clinical and Laboratory Evaluation of Idiopathic Male Infertility in a Secondary Referral Center in India. J Clin Lab Anal ; 22: 29-38.

Agarwal . A, Prabakaran , S.A. Said, T.M. (2005). Prevention of oxidative stress injury to sperm. J Androl, 26, 654-60.

Agarwal A, SR Shyam, Allamaneni. (2004). Oxidants and antioxidants in human fertility. American Society for Reproductive Medicine ; vol 80 no 3.

Angulo C et al. (2011). Vitamin C and oxidative stress in the seminiferous epithelium, Chile Biological Research 44:169-180.

Barter, P. (2005). The role of HDL-cholesterol in preventing atherosclerotic disease. European Heart Journal Supplements 7.

Bataineh HN, Nusier M.K. (2005) Effect of cholesterol diet on reproductive function in male albino rats department of physiology and biochemistry and molecular biology. Saudi medical jurnal vol 26.

Constantinides P. (1994). General Pathobiology, Appleton and Lange. New Yersey.Dahlan MS and Tjokronegoro A. (2002). Oxidative Stress and Male Infertility : pathophisiology

and clinical implication, Jakarta, Jurnal kedokteran YARSI Vol 10 No I.Dahlan MS. (2004). Statistik untuk kedokteran: Uji hipotesis dengan menggunakan SPSS

program 12 jam. Jakarta. Bina Mitra Press. Du Plessis SS, Cabler S, McAlister DA, Sabanegh E and Agarwal A. (2010) , The effect of

obesity on sperm disorders and male infertility. Nature Review Urology 153–161.Gopalkrishnan K, Padwal VD, Souza S and Shah R. (1995). Severe asthenozoospemia: a

structure and functional study: Int J Andrologi. 18: 67-74.

Griswold MD. (2005). Perspective on the function of Sertoli cells. In: Griswold MD, editor. Sertoli cell biology. San Diego: Elsevier Science; p. 15–8.

Harmita, Radji M. ( 2008). Buku Ajar Analisis Hayati, Edisi 3. EGC: hal: 67.

Iwasaki, A and C. Gagnon. (1992). Formation of reactive oxygen species in spermatozoa of infertile patients. Fertile, steril, 57: 409-416.

Khosrowbeygi A, Zarghami N, and Deldar Y . (2004). Correlation between Sperm Quality Parameters and Seminal Plasma Iranian Journal of Reproductive Medicine Vol. 2. No.2 pp:58-64.

Kodama H, Yamaguchi R, Fukuda J, Kasai H, Tanaka T. (1997). Increased oxidative deoxyribonucleic acid damage in the spermatozoa of infertile male patients. Fertil Steril;68:519-24.

Kustiyah I, Prasetyo A. (2003). Pengaruh berbagai variasi dosis ekstrak morinda citrifolia terhadap kadar lipid serum dan perkembangan lesi aterosklerosis pada aorta abdominalis tikus Wistar. Media Medika Indonesia;38:4.

Lichtenstein AH et al. (2006). Diet and lifestyle recommendations revisition 2006: Ascientific statement from the American heart association nutrition committee. Circulation 114: 82-96.

Page 19: Ibnu Sina Dr Ismail

McLachlan RI, O’Donnell L, Meachem SJ, Stanton PG, De Kretser DM, Pratis K. (2002). Identification of specific sites of hormonal regulation in spermatogenesis in rats, monkeys, and man. Recent Prog Horm Res; 57:149–79.

Nieschlag E .(1997). Classification of andrological disorder. In andrology : male reproductive health and dysfunction. Ed : Nieschlag E, Behre HM. Springer Berlin, 81-86.

Ohara, Y, T.E. Peterson and D.G. Harrison. (1993). Hypercholesterolemia increases endothelial superoxide anion production. J. Clin. Invest, 91 : 2546-2551.

Osinubi AA, Noronha CC, Okanlawon AO. (2005). Attenuation of quinine-induced testicular toxicity by ascorbic acid in rat: a stereological approach. Afr J Med Med Sci. Sep;34(3):213-9.

Salman, TM, Luqman A. Olayaki, Shehu-tijjani T. Shittu, and Samson O. Bamgboye. (2010). Serum testosterone concentration in chloroquine-treated rats: effects of ascorbic acid and alpha-tocopherol. African Journal of Biotechnology Vol. 9 (27), pp. 4278-4281.

Salman TM, Ajayi OP. (2007). Ascorbic Acid and Alpha-tocopherol ameliorate chloroquine-induced impairment of sperm motility and viability in male rats. Trop. J. Health Sci., 14(2): 9-12.

Sikka S .(1996). Oxidative stress and role of antioxidant in normal and abnormal sperm function. Frontiers in Bioscience. 1:78-86.

Schegel RA. Hammerseid R, Cofer GP, Kozar K, Fredius D, Williamson P. (1985). Change in the organizaion of the lipid bilayerof the plasma membrane during spermatogenesis and epididymal mauation. Bio Reprod, 34;379-391.

Sun JG, Jurisicova A, Casper RF, (1997). Detection of deoxyribonucleic acid fragmentation in human sperm: correlation with fertilization in vitro. Biol Reprod; 56:602-7.

Suntoro, S. H. (1983). Metode pewarnaan Histologi dan histokimkia. Bhratara karya aksara, Jakarta hal;48.

Steven S. (2000). Male infertility. Nutritional and Environmental consideration. Alterm. Med. Rev., 5(1): 28-38.

Walker, W.H. (2009). Molecular mechanisms of testosterone action in spermatogenesis. Steroids 74. 602–607.

[WHO]. World Health Organization. (1987). Laboratory Manual for the examination of human semen and semen servical mucus interaction. Cambridge university press, Melbourne. P. 7-11,13.

[WHO]. World Health Organization. (1993). Manual for the Standardized Investigation and Diagnosis of the Infertile Couple. Cambridge University Press, Cambridge.

[WHO]. World Health Organization. (1999). Laboratory Manual for the Examination of Human Semen and Semen-Cervical Mucus Interactin. 3erd edn Cambridge University Press, Cambridge, UK.

Zaneveld, Polakoski. (1977). Techniques of human andrology: 160. Dalam: Zaneveld LJD, Fulgham DL (1986). Short course : Male reproduction/Andrology and non-hormonal contraception. Chicago, IL:19.