icaserd working paper no -...
TRANSCRIPT
ICASERD WORKING PAPER No.49
ANALISIS NILAI TUKAR KOMODITAS PERTANIAN (Kasus Komoditas Kentang) Supriyati
April 2004
Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian (Indonesian Center for Agricultural Socio Economic Research and Development) Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian Departemen Pertanian
ICASERD WORKING PAPER No. 49
ANALISIS NILAI TUKAR KOMODITAS PERTANIAN (Kasus Komoditas Kentang)
Supriyati
April 2004
Working Paper adalah publikasi yang memuat tulisan ilmiah peneliti Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian mengenai hasil penelitian, gagasan ilmiah, opini, pengembangan metodologi, pengembangan alat analisis, argumentasi kebijakan, pandangan ilmiah, dan review hasil penelitian. Penanggung jawab Working Paper adalah Kepala Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian, dengan Pengelola : Dr. Handewi P. Saliem, Dr. A. Rozany Nurmanaf, Ir. Tri Pranadji MSi, dan Dr. Yusmichad Yusdja. Redaksi: Ir. Wahyuning K. Sejati MSi; Ashari SP MSi; Siti Fajar Ningrum SS, M. Rahmat, Kardjono dan Edi Ahmad Saubari. Alamat Redaksi: Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian, Jalan A. Yani No. 70 Bogor 16161, Telp. 0251-333964, Fax. 0251-314496, E-mail : [email protected]
No. Dok.060.49.01.04
Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian (Indonesian Center for Agricultural Socio Economic Research and Development) Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian Departemen Pertanian
1
ANALISIS NILAI TUKAR KOMODITAS PERTANIAN (KASUS KOMODITAS KENTANG)
Supriyati
Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian Jl. A. Yani 70 Bogor 16161
ABSTRAK
Salah satu alat ukur untuk melihat dinamika tingkat kesejahteraan petani adalah Nilai
Tukar Pertanian (NTPR), yang mencakup Nilai Tukar Komoditas Pertanian (NTKP) dan Nilai Tukar Petani (NTP). Peningkatan NTPR, NTKP dan NTP mengindikasi peningkatan kesejahteraan masyarakat pertanian dan sebaliknya.Tulisan ini akan mengkaji NTP dan NTKP, dengan mengambil kasus komoditas kentang di Jawa Tengah, Jawa Timur dan Sulawesi Selatan. Kentang merupakan salah satu komoditas sayuran yang mendapat prioritas karena permintaan kentang semakin meningkat dengan meningkatnya jumlah penduduk dan keadaan ekonomi masyarakat terutama di daerah perkotaan. Berdasarkan latar belakang di atas maka tujuan tulisan ini adalah : (1) Mengkaji perilaku NTKP komoditas kentang dan faktor-faktor yang mempengaruhi; (2) Mengkaji faktor-faktor yang mempengaruhi harga kentang; dan (3) Mengkaji nilai tukar penerimaan komoditas kentang. Kegiatan pembangunan ekonomi periode tahun 1987-1998, mampu meningkatkan tingkat kesejahteraan petani kentang di Provinsi Jawa Tengah dan Jawa Timur, namun di Provinsi Sulawesi Selatan terjadi penurunan tingkat kesejahteraan. Dalam periode yang sama, harga kentang dan harga yang dibayar petani untuk pupuk, tenaga kerja, makanan, non-makanan cenderung meningkat. Secara rataan, pertumbuhan harga kentang di Jawa Tengah dan Jawa Timur lebih tinggi dibandingkan dengan laju harga yang dibayar petani, sementara di Sulawesi Selatan, pertumbuhan harga kentang lebih rendah dibandingkan dengan harga yang dibayar. Penurunan kesejahteraan petani kentang di Sulawesi Selatan disebabkan karena daya tukar kentang terhadap makanan dan pupuk menurun. Harga kentang tingkat produsen di tiga Provinsi contoh antara lain dipengaruhi oleh produksi dan IHK (Indeks Harga Konsumen) pedesaan. Peningkatan produksi menyebabkan penurunan harga, sementara IHK pedesaan berpengaruh positif terhadap harga. Dilihat dari indikator nilai tukar penerimaan, usahatani kentang di Jawa Tengah dan Sulawesi Selatan masih menguntungkan. Nilai tukar penerimaan terhadap biaya produksi jauh lebih kecil dari nilai tukar penerimaan terhadap biaya tenaga kerja. Hal ini menunjukkan bahwa usahatani kentang merupakan usahatani yang padat modal. Nilai tukar penerimaan terhadap biaya bibit dan obat-obatan lebih rendah dibandingkan dengan nilai tukar penerimaan biaya pupuk, fenomena ini menunjukkan bahwa dalam struktur biaya usahatani kentang, biaya bibit dan obat-obatan lebih tinggi dari biaya pupuk. Nilai tukar penerimaan komoditas kentang dipengaruhi: tingkat penerapan teknologi, harga sarana produksi (terutama bibit dan obat-obatan), tingkat produktivitas dan harga jual komoditas kentang. Kendala tingkat penerapan teknologi di tingkat petani antara lain disebabkan oleh mahalnya harga bibit dan obat-obatan impor. Kata kunci : nilai tukar komoditas, nilai tukar petani, komoditas kentang
PENDAHULUAN
Latar Belakang Pembangunan pertanian pada dasarnya ditujukan untuk peningkatan
kesejahteraan masyarakat terutama petani. Pembangunan pertanian telah memberikan
sumbangan besar dalam keberhasilan pembangunan nasional, baik sumbangan langsung
seperti dalam pembentukan PDB, penyerapan tenaga kerja, peningkatan pendapatan
2
masyarakat, perolehan devisa melalui ekspor dan penekanan inflasi, maupun sumbangan
tidak langsung melalui penciptaan kondisi yang kondusif bagi pelaksanaan pembangunan
dan hubungan sinergis dengan sektor lain (Simatupang, 1992; Bunasor, 1997).
Dengan orientasi pembangunan pertanian ke arah perbaikan kesejahteraan
pelaku pembangunan yaitu petani, maka sangat relevan untuk mengkaji dampak
pembangunan yang dilaksanakan terhadap perbaikan kesejahteraan petani. Salah satu
alat ukur untuk melihat dinamika tingkat kesejahteraan tersebut adalah Nilai Tukar
Pertanian (NTPR), yang mencakup Nilai Tukar Komoditas Pertanian (NTKP) dan Nilai
Tukar Petani (NTP). Peningkatan NTPR, NTKP dan NTP mengindikasi peningkatan
kesejahteraan masyarakat pertanian dan sebaliknya.
NTKP berkaitan dengan kekuatan daya tukar/daya beli dari komoditas pertanian
terhadap komoditas/produksi lain yang dipertukarkan. Sedangkan NTP berkaitan dengan
kemampuan daya beli petani dalam membiayai kebutuhan hidup rumah tangganya.
NTKP sangat berkaitan dengan profitabilitas usaha pertanian, kegairahan petani dalam
berusahatani dan tingkat kesejahteraan masyarakat pertanian / petani.
Tulisan ini akan mengkaji NTP dan NTKP, dengan mengambil kasus komoditas
kentang di Jawa Tengah, Jawa Timur dan Sulawesi Selatan. Hal ini didasarkan atas
peranan komoditas tersebut. Kentang merupakan salah satu komoditas sayuran yang
mendapat prioritas karena kebutuhan akan kentang semakin meningkat dengan
meningkatnya jumlah penduduk dan keadaan ekonomi masyarakat terutama di daerah
perkotaan. Pada tahun 1999, tingkat konsumsi kentang di Jawa mencapai 0,067
kg/kapita/bulan, sementara di Luar Jawa sebesar 0,102 kg/kapita/bulan. Apabila diperinci
menurut golongan pengeluaran, nampak bahwa konsumsi kentang lebih besar pada
golongan pendapatan tinggi (BPS, 1999).
Di Indonesia, produksi komoditas kentang menyebar hampir diseluruh provinsi,
lima provinsi yang merupakan sentra produksi kentang adalah Jawa Barat, Sumatera
Utara, Jawa Tengah, Jambi dan Sumatera Barat. Proporsi luas panen di Jawa Tengah
mencapai 22,71 persen dan Jawa Timur (15,71 %). Sementara peranan Jawa Tengah
dan Jawa Timur dalam produksi total Indonesia berturut-turut adalah 25,93 persen dan
12,09 persen. (Supriyati, 2000).
Berdasarkan latar belakang di atas maka tujuan tulisan ini adalah : (1) Mengkaji
perilaku NTKP komoditas kentang dan faktor-faktor yang mempengaruhi; (2) Mengkaji
faktor-faktor yang mempengaruhi harga kentang; dan (3) Mengkaji nilai tukar penerimaan
komoditas kentang.
3
Kerangka Pemikiran
Istilah nilai tukar sesungguhnya mempunyai arti yang luas. Secara umum nilai
tukar dapat digolongkan dalam empat kelompok (Tsakok,1990; Diakosavvas dan
Scandizzo, 1991; Simatupang,1992; Chacholiades,1990 dalam Rachmat, 2000 ), yaitu :
(a) Nilai Tukar Barter ( Barter Terms of Trade), (b) Nilai Tukar Faktorial (Factorial Term of
Trade), (c) Nilai Tukar Pendapatan (Income Terms of Trade), dan (d) Nilai Tukar Petani.
Biro Pusat Statistik (BPS) merupakan lembaga resmi yang melakukan pengukuran
Nilai Tukar Petani (NTP). NTP didefinisikan sebagai rasio antara harga yang diterima
petani (HT) dengan harga yang dibayar petani (HB), dan dapat diformulasikan sebagai
berikut :
NTP = HT / HB ; ........................… (1)
HT merupakan harga hasil produksi ditingkat petani, sementara HB terdiri dari komponen
biaya konsumsi rumahtangga (konsumsi pangan dan non pangan) dan biaya sarana
produksi. NTP dinyatakan dalam bentuk indeks, indeks tersebut merupakan nilai tertimbang
terhadap kuantitas pada tahun dasar tertentu. Pergerakan nilai indeks akan ditentukan
oleh penentuan tahun dasar, karena perbedaan penggunaan tahun dasar akan
menghasilkan keragaan perkembangan indeks yang berbeda.
Petani yang dimaksud adalah individu yang berusaha di bidang usahatani lahan
(land base), mencakup usahatani komoditas tanaman bahan makanan dan tanaman
perkebunan rakyat. Petani tersebut adalah pemilik maupun petani penggarap
(sewa/kontrak/bagi hasil) atas risiko sendiri dengan tujuan untuk dijual. HT merupakan
rata-rata harga produsen atas hasil produksi petani yang merupakan rataan harga
yang diterima di sawah/ladang atau farm gate. Dengan kata lain, HT merupakan harga
tertimbang dari setiap komoditas (barang) yang dihasilkan. Penimbang yang digunakan
adalah nilai produksi yang dijual petani dari setiap komoditas tersebut. Harga dari setiap
kelompok komoditas merupakan harga tertimbang dari harga rata- rata setiap komoditas
penyusunnya. Lebih lanjut dengan memperhatikan kelompok komoditas unsur penyusun
harga yang diterima petani, yaitu padi, palawija, sayuran, buah-buahan dan tanaman
perkebunan, maka NTP dapat didekomposisi menjadi nilai tukar komoditas (NTKP).
HB merupakan harga tertimbang dari harga biaya konsumsi makanan, konsumsi
non makanan dan biaya produksi serta penambahan barang modal dari barang yang
dikonsumsi atau dibeli petani. Harga yang dimaksud adalah harga eceran barang/jasa di
pasar pedesaan. Dengan mengelompokkan produk penyusun harga yang dibayar petani
4
dalam kelompok barang konsumsi dan kelompok penggunaan sarana produksi, maka
nilai tukar petani (NTP) dapat didekomposisikan menjadi Nilai Tukar Petani terhadap
Produk Konsumsi (NTK) dan Nilai Tukar Petani terhadap Sarana Produksi (NTS).
NTP = HT / HB; …………………… (2)
NTP = HT / (b1 HK + b2 SP);
Atau NTP = c1 NTK + c2 NTS; …..................…...… (3)
Nilai tukar konsumsi (NTK) merupakan rasio antara harga produksi komoditas
pertanian terhadap harga barang konsumsi (NTK = HT/HK). Dengan demikian NTK
menggambarkan kekuatan daya beli ("purchasing power") komoditas pertanian yang
dihasilkan terhadap barang konsumsi (manufaktur). Nilai tukar Sarana Produksi (NTS)
merupakan rasio antara harga produksi komoditas pertanian dengan harga input
produksi (NTS= HT/HSP), merupakan kekuatan daya beli komoditas yang dihasilkan
petani terhadap input produksi yang digunakan petani.
Pada tahap yang lebih rinci barang yang dikonsumsi petani dapat dikelompokkan
menjadi kelompok barang konsumsi pangan dan barang konsumsi non pangan, dan
input produksi dapat pula dibedakan dalam input pupuk, tenaga kerja dan input modal
lainnya. Dengan demikian secara lebih rinci NTK dapat pula didekomposisi menjadi : (1)
Nilai tukar terhadap konsumsi pangan (NTKP), (2) Nilai tukar terhadap konsumsi non
pangan (NTKN), (3) Nilai tukar terhadap Pupuk (NTSP), (4) Nilai tukar terhadap tenaga
kerja (NTST), dan (5) Nilai tukar terhadap modal (NTSM). Dengan demikian maka
perhitungan dan analisa nilai tukar petani dapat didekomposisi sebagai berikut:
NTPTi = ei NTKPi+ei NTKNi+eiNTSPi+ ei NTSLi + ei NTSMi; …...…........ (4) dimana : NTPTi = nilai tukar petani komoditas i, NTKPi = nilai tukar komoditas i terhadap produk konsumsi pangan, NTKNi = nilai tukar komoditas i thd produk konsumsi non-pangan, NTSPi = nilai tukar komoditas i terhadap pupuk, NTSLI = nilai tukar komoditas i terhadap tenaga kerja, NTSMi = nilai tukar komoditas i terhadap modal, i = kelompok komoditas, ei = pangsa unsur nilai tukar terhadap nilai tukar komoditas i;
NTKP merupakan rasio antara harga kentang yang diterima petani dengan harga
yang dibayar petani. Dengan demikian maka faktor faktor yang mempengaruhi nilai
tukar petani identik dengan faktor faktor yang mempengaruhi harga. Secara teoritis
mekanisme pembentukan harga diturunkan dari fungsi penawaran dan fungsi permintaan
serta dipengaruhi oleh adanya distorsi pasar berupa kebijaksanaan pemerintah dalam
5
penetapan harga dan atau adanya struktur pasar yang tidak kompetitif (Rachmat, 2000).
Harga komoditas pertanian dipengaruhi oleh penawaran dan permintaannya masing
masing, dan dengan asumsi permintaan rumahtangga harian dalam satu bulan
cenderung tetap maka harga komoditas tersebut sangat dipengaruhi oleh perkembangan
produksinya. Dengan demikian harga komoditas tersebut dapat dirumuskan sebagai
berikut :
HKOMjt = f (PRKOMt, INFt ); …………………………… (5)
Dimana : HKOMjt = Harga komoditas j pada waktu t; PRKOMjt = Produksi komoditas j waktu t; INFt = Inflasi pada waktu t; Metoda analisis
NTKP merupakan rasio antara harga komoditas kentang terhadap harga yang
dibayar petani. Untuk mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi NTKP, maka akan
dilakukan dekomposisi terhadap pengeluaran untuk konsumsi (makanan dan non
makanan), pupuk dan tenaga kerja. Secara ringkas analisis yang digunakan adalah
sebagai berikut :
NTKPI = HTi/ HB
NTKPI-MAK = HTi/HMAK
NTKPI-NMAK = HTi/HNMAK
NTKPI-PUPUK = HTi/PUPUK
NTKPI-UPAH = HTi/UPAH
dimana :
NTKPi = nilai tukar petani komoditas i HTi = harga yang diterima petani kentang ( diproksi dengan harga produsen) HB = harga yang dibayar petani NTKPI-MAK = nilai tukar komoditas i terhadap produk konsumsi pangan NTKPI-NMAK = nilai tukar komoditas i terhadap produk konsumsi non- pangan NTKPI-PUPUK = nilai tukar komoditas i terhadap pupuk NTKPI-UPAH = nilai tukar komoditas i terhadap tenaga kerja i = komoditas kentang
NTKP berkaitan dengan profitabilitas usaha pertanian dan kegairahan petani
dalam berusahatani, pada kasus komoditas kentang dengan mengambil kasus data
6
primer di Jawa Tengah dan Sulawesi Selatan akan dianalisis Nilai Tukar Penerimaan
Komoditas (NTPK) yang merupakan daya ukur penerimaan komoditas pertanian yang
dihasilkan per unit (hektar) terhadap nilai input untuk memproduksi komoditas tersebut.
NTPK = Py. Qy / Pxi. Qxi
Dimana :
NTPK = nilai tukar komoditas kentang
Py = harga produk
Px = harga input
Qy = tingkat produksi per hektar
Qx = tingkat penggunaan input per hektar
i = jenis input
Untuk mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi harga kentang, digunakan
metoda analisis regresi seperti dikemukakan pada persamaan (5) di atas. Analisis
didasarkan data harga bulanan pada periode 1987-1998.
Sumber dan Cakupan Data
Sesuai dengan konsep nilai tukar yang lebih mempunyai arti apabila dianalisis
secara dinamik, maka data yang digunakan untuk analisis NTKP dan dekomposisinya
berupa data deret waktu (time series data) dari tahun 1987-1998, yang bersumber dari
BPS. Analisis mencakup Provinsi Jawa Tengah, Jawa Timur dan Sulawesi Selatan.
Sementara itu untuk analisis NTPK digunakan data primer yang mengambil kasus di
Kabupaten Wonosobo (Provinsi Jawa Tengah ) dan Kabupaten Sinjai (Provinsi Sulawesi
Selatan).
PERILAKU NTKP KOMODITAS KENTANG
Dengan asumsi NTKP komoditas kentang merupakan indikator kesejahteraan
petani kentang, maka dalam periode tahun 1987-1998, kegiatan pembangunan ekonomi
telah meningkatkan tingkat kesejahteraan petani kentang di Provinsi Jawa Tengah dan
Jawa Timur, sementara itu di Provinsi Sulawesi Selatan terjadi penurunan tingkat
kesejahteraan, seperti terlihat pada Tabel 1. Hasil penelitian Rachmat (2000) dalam
periode yang sama menunjukkan bahwa dalam periode tersebut NTP Sulawesi Selatan
meningkat, sementara itu di Jawa Timur dan Jawa Tengah menurun. Pada periode yang
7
sama, NTP sayuran di Jawa Tengah Jawa Timur dan Sulawesi Selatan meningkat. Hal
ini menunjukkan bahwa peranan komoditas kentang dalam pembentukan NTP dan NTP
sayuran berbeda antar wilayah.
Tabel 1. Perkembangan NTKP kentang, 1987-1998 (1987=100)
Tahun Jawa Tengah Jawa Timur Sulawesi Selatan
1987 100,00 100,00 100,00 1988 108,09 116,55 93,68 1989 92,92 102,52 83,91 1990 95,85 93,21 75,59 1991 113,46 116,03 76,68 1992 90,17 93,73 72,07 1993 93,65 89,89 63,60 1994 142,88 129,51 68,50 1995 129,74 118,88 71,86 1996 131,51 123,90 73,59 1997 123,45 142,17 68,78 1998 122,86 143,76 104,18
Rataan 112.05 114.18 79.37 Pertumbuhan(%/th) 2,87 3,14 -1,33
Sumber : BPS (diolah)
Dengan menggunakan tahun 1987 sebagai tahun dasar, kesejahteraan petani
kentang di Jawa Tengah pada tahun 1989, 1990, 1992 dan 1993 lebih rendah
dibandingkan dengan tahun 1987. Di Jawa Timur, penurunan kesejahteraan petani
kentang terjadi pada tahun 1990, 1992 dan 1993. Berbeda dengan kasus di Jawa,
kesejahteraan petani kentang di Sulawesi Selatan dalam periode 1988-1998 cenderung
lebih rendah dibandingkan dengan tahun 1987 (kecuali pada tahun 1998).
Untuk mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi NTKP komoditas kentang,
maka NTKP didekomposisi terhadap penyusunnya. Dalam tulisan ini dekomposisi
dilakukan terhadap pupuk, tingkat upah, harga makanan, harga non-makanan. Rasio
antara harga komoditas pertanian terhadap harga sarana produksi dan barang konsumsi
dikenal juga sebagai Nilai Tukar Barter (NTB). Dengan demikian, NTB kentang
menggambarkan tingkat daya tukar harga kentang terhadap harga sarana produksi dan
barang konsumsi. Sebelum sampai pembahasan NTB, akan dibahas perkembangan
harga kentang tingkat produsen, dan harga rata-rata makanan, non makanan, pupuk dan
upah.
Dalam periode tahun 1987-1998, harga kentang di tiga provinsi contoh
berfluktuasi, secara rataan pada periode tersebut laju pertumbuhan harga kentang di
Jawa Tengah sebesar 13,46 persen per tahun, Jawa Timur (15,21%/tahun) dan Sulawesi
8
Selatan 10,83 persen per tahun. seperti terlihat pada Tabel 2. Di samping itu, dari tabel
yang sama terlihat bahwa koefisien keragaman harga kentang per tahun di ketiga
provinsi cukup tinggi. Hasil kajian Supriyati (2000) menunjukkan bahwa di Jawa Tengah
dan Jawa Timur pada tahun 1992, 1995 dan 2000 harga kentang menurun, sementara
pada tahun-tahun lainnya meningkat. Fluktuasi dan laju pertumbuhan harga bulanan
yang cukup besar terjadi pada tahun 1998, dimana pada waktu tersebut di negara kita
terjadi krisis ekonomi. Sementara itu, di Sulawesi Selatan harga kentang cenderung
meningkat kecuali pada tahun 1992 dan 1999.
Tabel 2. Perkembangan harga kentang tingkat produsen di Jawa Tengah, Jawa Timur dan Sulawesi Selatan, 1987-1998
Tahun Jawa Tengah Jawa Timur Sulawesi Selatan (Rp./ kg) KK (Rp./ kg) KK (Rp./ kg) KK
1987 250,41 51,53 245,09 52,37 313,56 51,25 1988 299,79 51,83 316,68 52,24 310,28 51,11 1989 280,89 51,22 302,57 51,22 307,23 51,12 1990 313,69 51,35 299,62 51,40 295,87 51,10 1991 419,36 52,12 416,11 52,47 329,16 51,41 1992 358,92 51,76 359,02 51,64 334,95 51,16 1993 402,23 51,50 378,43 51,52 324,74 51,15 1994 685,92 51,72 616,08 51,95 391,30 51,34 1995 713,22 51,10 647,96 51,36 480,24 51,23 1996 784,44 51,11 745,87 51,37 536,47 51,11 1997 794,59 51,17 929,94 51,53 539,60 51,30 1998 1147,58 53,00 1460,08 52,29 1120,29 53,46
r (%/th) 13,46 15,21 10,83
Sumber: Statistik Harga Produsen (BPS) Keterangan : KK : Koefisien Keragaman r : Tingkat pertumbuhan
Sementara itu, harga yang dibayar petani untuk pupuk, tenaga kerja, makanan,
non-makanan cenderung meningkat sepanjang tahun (Tabel 3). Namun secara rataan,
pertumbuhan harga kentang di Jawa Tengah dan Jawa Timur lebih tinggi dibandingkan
dengan laju harga yang dibayar petani. Hal ini antara lain yang menyebabkan
kesejahteraan petani kentang di kedua provinsi tersebut cenderung meningkat. Di
Sulawesi Selatan, pertumbuhan harga kentang lebih rendah dari pertumbuhan harga
pupuk dan harga makanan namun masih lebih tinggi dari pertumbuhan harga non
makanan dan tingkat upah, namun secara agregat pertumbuhan harga kentang lebih
rendah dibandingkan dengan harga yang dibayar sehingga mengakibatkan
kesejahteraan petani kentang cenderung menurun.
9
Tabel 3. Perkembangan harga rata-rata makanan, non-makanan, pupuk dan tingkat upah di Provinsi Jawa Tengah, Jawa Timur dan Sulawesi Selatan, 1987 – 1998
Tahun Harga Tingkat Makanan Non Makanan Pupuk Upah
1987 619,90 3.559,31 135,61 721,40 1988 701,29 3.811,85 152,86 773,26 1989 754,26 4.134,42 187,26 869,09 1990 801,75 4.517,31 219,15 961,14 1991 892,79 5.189,53 248,09 1.106,79 1992 935,59 5.665,93 269,91 1.278,07 1993 991,35 6.165,57 302,85 1.424,81 1994 1.142,58 6.541,12 320,42 1.664,52 1995 1.320,31 7.239,28 368,86 1.999,04 1996 1.392,77 7.855,89 434,88 2.316,49 1997 1.514,14 8.287,63 481,15 2.344,34 1998 2.553,63 10.863,66 526,20 3.020,67
Pertumbuhan (%/th) 11,23 9,37 11,48 12,84 Jawa Timur
1987 699,79 4.202,29 128,74 706,82 1988 795,39 4.533,56 146,33 790,21 1989 856,63 4.905,38 179,53 867,43 1990 918,08 5.386,47 208,43 962,54 1991 1.007,01 6.105,50 238,85 1.100,85 1992 1.038,16 6.653,06 260,31 1.268,49 1993 1.113,42 7.422,60 293,46 1.454,24 1994 1.305,96 7.945,97 326,23 1.699,37 1995 1.523,94 8.683,40 388,92 2.026,58 1996 1.650,88 9.357,60 512,68 2.348,74 1997 1.774,30 10.048,68 599,66 2.629,99 1998 3.260,74 14.174,06 677,33 3.216,53
Pertumbuhan (%/th) 12,25 10,01 14,45 13,60 Sulawesi Selatan
1987 812,01 2.187,23 125,00 1.208,48 1988 868,50 2.297,94 135,92 1.255,55 1989 969,56 2.500,02 157,50 1.394,97 1990 1.036,68 2.680,10 168,53 1.501,96 1991 1.119,37 3.002,16 190,14 1.625,08 1992 1.225,24 3.205,56 205,75 1.743,07 1993 1.362,88 3.548,95 224,93 1.837,59 1994 1.560,17 3.781,95 258,55 2.052,54 1995 1.880,00 4.111,99 332,60 2.323,67 1996 2.038,33 4.337,05 413,28 2.644,92 1997 2.203,98 4.530,96 492,62 2.831,91 1998 3.255,09 6.158,08 558,91 3.304,16
Pertumbuhan (%/th) 11,91 8,57 13,91 9,10 Sumber: BPS
NTB kentang terhadap pupuk pada periode tahun 1987-1998 di 3 provinsi contoh
berfluktuasi, sampai dengan tahun 1996 cenderung meningkat, tahun 1997 menurun dan
10
meningkat lagi pada tahun 1998 dan 1999 (Tabel 4). Penurunan nilai tukar barter pada
tahun 1997 disebabkan karena terjadi peningkatan harga rata-rata pupuk, sementara
peningkatan pupuk rata-rata pada tahun 1998 dapat diimbangi oleh peningkatan harga
kentang sehingga tidak menyebabkan penurunan NTB.
Sementara itu, NTB kentang terhadap upah di tiga provinsi contoh mempunyai
pola yang berbeda. Di Jawa Tengah dan Jawa Timur, pada periode 1992-1994
meningkat, kemudian cenderung menurun sampai tahun 1998 (khusus di Jawa Tengah),
tetapi di Jawa Timur mulai tahun 1997 meningkat lagi. Di Sulawesi Selatan, nilai tukar
barter kentang terhadap upah pada periode tahun 1992-1997 relatif stabil, peningkatan
yang cukup besar baru terjadi pada tahun 1998. Melihat besaran nilai tukar barter
kentang terhadap upah, terlihat bahwa nilai tukar barter di Jawa Tengah dan Jawa Timur
lebih besar dari Sulawesi Selatan. Hal ini menunjukkan bahwa tingkat upah di Sulawesi
Selatan lebih tinggi dari Jawa.
Daya tukar harga kentang terhadap makanan di Jawa Tengah sampai dengan
tahun 1996 meningkat, kemudian menurun pada tahun 1997 dan tahun 1998. Hal ini
menunjukkan bahwa sampai dengan tahun 1996 laju pertumbuhan harga kentang lebih
tinggi dibandingkan harga makanan, sementara pada tahun 1997 dan 1998 terjadi hal
yang sebaliknya. Di Jawa Timur, pada periode tahun 1992-1997 meningkat, dan baru
pada tahun 1998 pertumbuhan harga kentang lebih lambat dari harga makanan yang
menyebabkan menurunnya daya tukar terhadap makanan. Di Sulawesi Selatan terdapat
gambaran yang berbeda, sampai dengan tahun 1997, daya tukar komoditas kentang
terhadap makanan berfluktuasi dalam kisaran 0,24 – 0,27, peningkatan baru terjadi pada
tahun 1998. Lagi-lagi terlihat bahwa harga makanan di Sulawesi Selatan lebih tinggi
dibandingkan dengan Jawa Tengah dan Jawa Timur.
Daya tukar komoditas kentang terhadap harga non-makanan cenderung
meningkat pada tahun 1994, dan pada periode 1994-1999 relatif stabil. Hanya di
Sulawesi Selatan, pada tahun 1998 menunjukkan peningkatan yang cukup besar. hal ini
disebabkan karena laju pertumbuhan harga kentang pada tahun 1998 (yang mencapai
7,15 % per bulan) lebih tinggi dari pertumbuhan harga non-makanan yang hanya sebesar
6,23 persen.
11
Tabel 4. Perkembangan nilai tukar barter kentang di Jawa Tengah, Jawa Timur dan Sulawesi Selatan 1987-1998
NTB kentang terhadap Tahun Makanan Non Makanan Pupuk Tingkat Upah
Jawa Tengah
1987 0,40 0,07 1,85 0,35 1988 0,43 0,08 1,96 0,39 1989 0,37 0,07 1,50 0,32 1990 0,39 0,07 1,43 0,33 1991 0,47 0,08 1,69 0,38 1992 0,38 0,06 1,33 0,28 1993 0,41 0,07 1,33 0,28 1994 0,60 0,10 2,14 0,41 1995 0,54 0,10 1,93 0,36 1996 0,56 0,10 1,80 0,34 1997 0,52 0,10 1,65 0,34 1998 0,45 0,11 2,18 0,38
Pertumbuhan (%/th) 2,94 4,13 1,39 0,29 Jawa Timur
1987 0,35 0,06 1,90 0,35 1988 0,40 0,07 2,16 0,40 1989 0,35 0,06 1,69 0,35 1990 0,33 0,06 1,44 0,31 1991 0,41 0,07 1,74 0,38 1992 0,35 0,05 1,38 0,28 1993 0,34 0,05 1,29 0,26 1994 0,47 0,08 1,89 0,36 1995 0,43 0,07 1,67 0,32 1996 0,45 0,08 1,45 0,32 1997 0,52 0,09 1,55 0,35 1998 0,45 0,10 2,16 0,45
Pertumbuhan (%/th) 3,08 4,67 -0,59 0,52 Sulawesi Selatan
1987 0,39 0,14 2,51 0,26 1988 0,36 0,14 2,28 0,25 1989 0,32 0,12 1,95 0,22 1990 0,29 0,11 1,76 0,20 1991 0,29 0,11 1,73 0,20 1992 0,27 0,10 1,63 0,19 1993 0,24 0,09 1,44 0,18 1994 0,25 0,10 1,51 0,19 1995 0,26 0,12 1,44 0,21 1996 0,26 0,12 1,30 0,20 1997 0,24 0,12 1,10 0,19 1998 0,34 0,18 2,00 0,34
Pertumbuhan (%/th) -2,59 0,82 -4,71 0,39 Sumber : BPS (diolah)
12
Faktor-faktor yang Mempengaruhi Harga Kentang
Untuk mengembangkan komoditas hortikultura, pemerintah menetapkan berbagai
kebijakan. Sutrisno (2000) dan Winarno (2000) dalam Hadi (2000) menyebutkan bahwa
program pengembangan hortikultura yang ditempuh adalah: (1) Program Ketahanan
Pangan yang bertujuan agar masyarakat mampu memperoleh dan mengkonsumsi
produk hortikultura sepanjang tahun dengan harga yang terjangkau melalui peningkatan
produksi, produktivitas, pendapatan/ kesejahteraan petani serta kesempatan kerja on-
farm dan off-farm; (2) Program Pengembangan Agribisnis yang bertujuan meningkatkan
pendapatan petani melalui peningkatan daya saing melalui peningkatan efisiensi
manajemen usaha, penggunaan skala efisien dan pemilihan komoditas bernilai ekonomi
tinggi yang berorientasi pada pasar, baik domestik maupun ekspor; dan (3) Program
Rintisan Korporasi melalui pembinaan kerjasama ekonomi dalam kelompok tani melalui
konsolidasi manajemen usahatani dalam skala efisien dan manajemen profesional untuk
menciptakan nilai tambah sehingga efisiensi usaha dan daya saing komoditas dalam
jangka panjang meningkat.
Di bidang perdagangan internasional, semula pemerintah menetapkan tarif impor
cukup tinggi dengan dua tujuan utama, yaitu: (1) Melindungi produsen dalam negeri dari
persaingan komoditas impor sejenis sekaligus mendorong petani meningkatkan
produksinya; dan (2) Menciptakan pendapatan pemerintah. Tarif yang berlaku umum
untuk komoditas hortikultura (kentang, bawang merah, bawang putih, kubis, pisang dan
jeruk) pada tahun 1995 berkisar antara 10–30 persen untuk produk segar/dingin, namun
pada tahun 1999 tarif impor umum menurun menjadi 5 persen. Penurunan drastis tarif
impor tersebut secara teoritis akan meningkatkan impor dan menurunkan harga
komoditas hortikultura di pasar dalam negeri (Hadi, 2000).
Dalam kajian ini, variabel kebijakan pembangunan pertanian didekati dengan
tingkat produksi, sementara dampak yang diamati adalah tingkat harga yang diterima
petani. Hal ini disebabkan karena harga mempunyai peranan penting dalam
pembentukan penerimaan/pendapatan dari usahatani. Hasil analisa faktor-faktor yang
mempengaruhi harga kentang tingkat produsen di tiga provinsi contoh menunjukkan
bahwa peningkatan produksi komoditas yang bersangkutan yang menyebabkan
penurunan harga secara nyata terjadi di Jawa Timur, sementara di dua provinsi contoh
lainnya menyebabkan harga cenderung menurun (negatif tidak nyata), seperti terlihat
pada Tabel 5.
13
Tabel 5. Nilai dugaan regresi dan faktor-faktor yang mempengaruhi harga kentang di tiga Provinsi Jawa Tengah, Jawa Timur dan Sulawesi Selatan, tahun 1987-1998
Variabel Jawa Tengah Jawa Timur Sulawesi Selatan
Intercept Produksi IHK pedesaan
5,3584 *** -0,0352 1,0651 ***
10,9870 *** -0,1575 ** 0,4114 ***
4,3929 *** -0,0136 1,2100 ***
Adj. R2 0,8825 0,4693 0,9416 Keterangan: *** = Nyata pada tingkat kepercayaan 99 %. ** = Nyata pada tingkat kepercayaan 95 %. * = Nyata pada tingkat kepercayaan 90 %.
Di Jawa Timur, harga kentang tingkat produsen selain dipengaruhi oleh produksi
dan IHK pedesaan juga banyak diperngaruhi faktor lain, terlihat dari nilai Adj. R2 yang
relatif kecil, yaitu 0,4693. Sementara di Jawa Tengah dan Sulawesi Selatan, sekitar 88–
94 persen variasi harga tingkat produsen disebabkan karena variasi produksi dan IHK
pedesaan. Pengaruh produksi terhadap harga yang tidak nyata diduga disebabkan
karena permintaan per kapita belum tercukupi, sehingga peningkatan produksi masih
dapat diserap oleh pasar. IHK pedesaan berpengaruh positif nyata terhadap harga
komoditas kentang, fenomena ini menunjukkan bahwa perkembangan harga komoditas
mengikuti perkembangan tingkat inflasi, sehingga harga riil yang diterima petani tidak
menurun.
PERILAKU NILAI TUKAR PENERIMAAN KOMODITAS KENTANG
Nilai tukar penerimaan didefinisikan sebagai rasio antara penerimaan dari
komoditas tersebut dengan biaya produksi yang dikeluarkan untuk memproduksi
komoditas tersebut. Nilai tukar penerimaan dapat dijadikan indikator profitabilitas
usahatani komoditas tersebut. Dilihat dari indikator nilai tukar penerimaan, usahatani
kentang di Sulawesi Selatan masih menguntungkan baik pada lahan garapan rendah,
sedang maupun tinggi (Tabel 6).
Dari Tabel 6 terlihat bahwa nilai tukar penerimaan terhadap biaya produksi pada
lahan garapan sempit lebih tinggi, hal ini disebabkan karena petani sempit tidak
mempekerjakan tenaga kerja luar keluarga. Sementara pada garapan luas, biaya tenaga
kerja dapat mencapai Rp 2,344 – 3,89 juta per ha.
14
Tabel 6. Analisa nilai tukar penerimaan komoditas kentang di Sulawesi Selatan, menurut luas garapan, tahun 1999/2000
Luas garapan Uraian Sempit Sedang Luas
I. Biaya 27,833.33 19,815.33 39,248.98 1. Sarana produksi 1.1 Bibit 8333.33 8111.11 12100 1.2 Pupuk - pupuk kandang 2333.33 3144.44 3870 - pupuk kimia 5000 1025.56 1276.8 1.3.Obat-obatan 4833.33 1020.22 13957.88 2. Tenaga kerja 0 2344 2897.5
II. Penerimaan 50000 23922.22 39890
III. Nilai tukar penerimaan 3.1 Terhadap biaya total 1.8 1.21 1.02 3.2. Terhadap saprodi 1.8 1.37 1.1 3.3. Terhadap bibit 6.0 2.95 3.30 3.4. Terhadap pupuk 6.82 5.74 7.75 3.5. Terhadap obat 10.34 23.45 2.86 3.6. Terhadap TK 0 10.21 13.77 Sumber : Analisa data primer.
Apabila nilai tukar penerimaan diperinci menurut biaya saprodi dan tenaga kerja
ada kecenderungan bahwa nilai tukar penerimaan terhadap biaya produksi jauh lebih
kecil dari nilai tukar penerimaan terhadap biaya tenaga kerja. Hal ini menunjukkan bahwa
usahatani kentang merupakan usahatani yang padat modal. Dari hasil dekomposisi nilai
tukar penerimaan terhadap saprodi, terlihat bahwa perilaku nilai tukar penerimaan
terhadap biaya bibit, pupuk dan obat-obatan bervariasi menurut luas garapan, yang
berbeda adalah nilai tukar penerimaan terhadap obat-obatan. Hal ini disebabkan karena
tingkat penggunaan obat-obatan tergantung pada intensitas serangan, dan keragaman
serangan hama penyakit pada lahan petani sangat tinggi.
15
Tabel 7. Analisa nilai tukar penerimaan komoditas kentang di Jawa Tengah menurut luas garapan dan musim MH 98/99 MK-1 1999 MK-2 1999 MH 1999/00 MK-1 2000 MK-2 2000
sempit sedang luas sempit sedang luas sedang luas sempit luas sempit Uraian
I. Biaya (000 Rp) 17,712.00 18,726.67
14,800.00 16,416.67 18,382.22 15,092.67 9,233.50 10,817.00 9,160.00 10,817.00 9,340.00
1. Sarana produksi 12,372.00 10,830.00
14,453.33 15,265.00 15,483.33 14,453.33 8,327.50 11,932.00 4,770.00 11,932.00 5,550.00
1.1 Bibit 2,400.00 2,500.00 4,000.00 4,966.67 4,166.67 4,000.00 2,450.00 4,000.00 1,800.00 4,000.00 1,800.00 1.2 Pupuk 2,640.00 2,283.33 2,300.00 3,133.33 2,697.78 2,300.00 1,740.00 2,660.00 1,260.00 2,660.00 1,590.00 - pupuk kandang 1,200.00 1,583.33 1,400.00 1,833.33 1,794.44 1,400.00 600.00 1,100.00 800.00 1,100.00 900.00 - pupuk kimia 1,440.00 700.00 900.00 1,300.00 903.33 900.00 1,140.00 1,560.00 460.00 1,560.00 690.00 1.3.Obat-obatan 4,692.00 3,763.33 5,853.33 4,031.67 5,921.11 5,853.33 2,397.50 2,612.00 450.00 2,612.00 570.00 2. Tenaga kerja 7,980.00 10,180.0
02,646.67 4,285.00 5,596.67 2,832.67 2,646.00 1,545.00 5,650.00 1,545.00 5,380.00
3. Lainnya 106.67
II. Penerimaan (000 Rp) 13,960.00 11,916.67
10,400.00 25,583.33 31,952.78 14,000.00 13,350.00
13,720.00 2,320.00 13,720.00 4,160.00
R/C 0.79 0.64 0.70 1.56 1.74 0.93 1.45 1.27 0.25 1.27 0.45
III. Nilai tukar penerimaan 3.1. Terhadap saprodi 1.13 1.10 0.72 1.68 2.06 0.97 1.60 1.15 0.49 1.15 0.753.2. Terhadap bibit 5.82 4.77 2.60 5.15 7.67 3.50 5.45 3.43 1.29 3.43 2.313.3. Terhadap pupuk 5.29 5.22 4.52 8.16 11.84 6.09 7.67 5.16 1.84 5.16 2.623.4. Terhadap obat 2.98 3.17 1.78 6.35 5.40 2.39 5.57 5.25 5.16 5.25 7.303.5. Terhadap TK 1.75 1.17 3.93 5.97 5.71 4.94 5.05 8.88 0.41 8.88 0.773.6. Terhadap harga beras Sumber : analisa data primer
16
Di Jawa Tengah, analisa nilai tukar penerimaan komoditas kentang
menunjukkan bahwa secara umum nilai tukar penerimaan terhadap biaya saprodi lebih
rendah dibandingkan dengan nilai tukar penerimaan terhadap biaya tenaga kerja,
seperti yang terjadi di Sulawesi Selatan. Apabila nilai tukar penerimaan terhadap biaya
saprodi diperinci, terlihat bahwa nilai tukar penerimaan terhadap biaya bibit dan obat-
obatan lebih rendah dibandingkan dengan nilai tukar penerimaan biaya pupuk (Tabel
7). Fenomena ini menunjukkan bahwa dalam struktur biaya usahatani kentang, biaya
bibit dan obat-obatan lebih tinggi dari biaya pupuk. Lebih lanjut terlihat bahwa semakin
luas garapan ada kecenderungan semakin kecil nilai tukar penerimaan terhadap bibit
dan obat-obatan. Pada petani dengan garapan luas, akan menggunakan bibit bermutu
dan obat-obatan impor dengan harga yang lebih mahal.
FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI NILAI TUKAR PENERIMAAN
KOMODITAS KENTANG
Nilai tukar penerimaan komoditas kentang dipengaruhi oleh banyak faktor yang
saling berkaitan, antara lain: tingkat penerapan teknologi, harga sarana produksi
(terutama bibit dan obat-obatan), tingkat produktivitas dan harga jual komoditas
kentang. Kendala tingkat penerapan teknologi di tingkat petani antara lain disebabkan
oleh mahalnya harga bibit yang berasal dari penangkar, mahalnya harga obat-obatan
impor sementara komoditas kentang termasuk komoditas yang memerlukan perawatan
intensif sehingga kebutuhan obat-obatan relatif banyak.
Tingkat produktivitas usahatani kentang dipengaruhi oleh faktor iklim, tingkat
penggunaan bibit (jumlah dan mutunya), tingkat penggunaan pupuk dan serangan
hama penyakit. Budidaya komoditas kentang di daerah contoh hampir diusahakan
sepanjang waktu, hal ini dilakukan untuk menjaga adanya kontinuitas produksi dari
daerah serta produksi, serta untuk memperoleh harga jual yang tinggi. Namun,
penanaman di luar musim mempunyai resiko kegagalan yang cukup tinggi. Tingkat
penggunaan bibit baik jumlah dan mutunya berkorelasi positif terhadap produksi,
penggunaan bibit 10–15 kuintal per ha dan bibit berasal dari penangkar, maka
produksi yang akan diperoleh berkisar antara 20–30 ton. Namun, jumlah penggunaan
dan mutu bibit mengakibatkan biaya bibit yang cukup tinggi, dan bagi sebagian besar
petani masih merupakan kendala.
Seperti halnya tingkat penggunaan bibit, tingkat penggunaan pupuk, baik pupuk
organik maupun anorganik sampai batas-batas tertentu berkorelasi positif terhadap
17
tingkat produksi. Kebijaksanaan pemerintah menaikkan harga pupuk tentu saja akan
memberatkan petani, dan akan menurunkan nilai tukar penerimaan terhadap biaya
pupuk. Komoditas kentang merupakan salah satu komoditas yang rentan terhadap
serangan hama penyakit, pemberantasan hama penyakit dilakukan secara rutin 2 hari
sekali, dan akan bertambah bila ada peningkatan intensitas serangan. Dan
nampaknya, keberhasilan pemberantasan hama penyakit dipengaruhi oleh jenis obat
yang digunakan, ada anggapan bahwa obat-obatan impor kualitasnya lebih baik dari
produk lokal, namun harga obat-obatan impor dianggap terlalu mahal bagi petani.
Harga produk komoditas sayuran sangat berfluktuasi, perubahan harga dapat
terjadi hampir setiap hari, namun satu hal yang pasti harga kentang pada waktu panen
raya akan turun. Kasus harga di daerah serta produksi kentang di Jawa Tengah
(Wonosobo dan Banjarnegara), selain dipengaruhi oleh produksi dari daerah tersebut
juga dipengaruhi oleh volume pemasaran di Pasar Induk Kramatjati.
KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan Dalam periode 1987-1998, tingkat kesejahteraan petani kentang di Provinsi
Jawa Tengah dan Jawa Timur cenderung meningkat, sementara di Sulawesi Selatan
menurun. Peningkatan kesejahteraan disebabkan karena pertumbuhan harga kentang
lebih besar dibandingkan dengan harga yang dibayar petani untuk barang konsumsi,
sarana produksi dan barang modal, dan penurunan kesejahteraan disebabkan karena
laju pertumbuhan harga kentang lebih lambat dibandingkan dengan harga yang
dibayar petani untuk barang konsumsi, sarana produksi dan barang modal.
Dalam periode yang sama, secara rataan harga kentang dan harga yang
dibayar petani untuk pupuk, tenaga kerja, makanan, non-makanan meningkat. Di Jawa
Tengah dan Jawa Timur pertumbuhan harga kentang lebih tinggi dibandingkan dengan
laju harga yang dibayar petani. Hal ini antara lain yang menyebabkan kesejahteraan
petani kentang di kedua provinsi tersebut cenderung meningkat. Di Sulawesi Selatan,
pertumbuhan harga kentang lebih rendah dari pertumbuhan harga pupuk dan harga
makanan namun masih lebih tinggi dari pertumbuhan harga non makanan dan tingkat
upah, namun secara agregat pertumbuhan harga kentang lebih rendah dibandingkan
dengan harga yang dibayar sehingga mengakibatkan kesejahteraan petani kentang
cenderung menurun.
18
Harga kentang tingkat produsen di tiga provinsi contoh dipengaruhi oleh tingkat
produksi dan IHK pedesaan, peningkatan produksi menyebabkan penurunan harga.
Sementara itu, IHK pedesaan berpengaruh positif nyata terhadap harga kentang.
Fenomena ini menunjukkan bahwa perkembangan harga komoditas mengikuti
perkembangan tingkat inflasi.
Nilai tukar penerimaan usahatani kentang di Jawa Tengah dan Sulawesi
Selatan masih menguntungkan baik pada lahan garapan sempit, sedang maupun luas.
Secara umum nilai tukar penerimaan terhadap biaya saprodi lebih rendah
dibandingkan dengan nilai tukar penerimaan terhadap biaya tenaga kerja Hal ini
menunjukkan bahwa usahatani kentang merupakan usahatani yang padat modal. Nilai
tukar penerimaan terhadap biaya bibit dan obat-obatan lebih rendah dibandingkan
dengan nilai tukar penerimaan biaya pupuk. Fenomena ini menunjukkan bahwa dalam
struktur biaya usahatani kentang, biaya bibit dan obat-obatan lebih tinggi dari biaya
pupuk.
Nilai tukar penerimaan komoditas kentang dipengaruhi oleh banyak faktor yang
saling berkaitan, antara lain: tingkat penerapan teknologi, harga sarana produksi
(terutama bibit dan obat-obatan), tingkat produktivitas dan harga jual komoditas
kentang. Kendala tingkat penerapan teknologi di tingkat petani antara lain disebabkan
oleh harga bibit dan obat-obatan impor yang relatif mahal.
Saran Upaya-upaya yang dapat ditempuh untuk meningkatkan kesejahteraan petani
kentang antara lain : (1) Mengurangi kendala penerapan teknologi; (2) Pengendalian
harga sarana produksi; (3) Penanganan harga jual yang memberikan keuntungan bagi
petani; dan (4) Kerjasama antar petani untuk meningkatkan posisi tawar petani.
DAFTAR PUSTAKA
Badan Pusat Statistik. 1999. Pengeluaran Untuk Konsumsi Penduduk Indonesia 1999. Survei Sosial Ekonomi Nasional.
Bunasor, S. 1997. Integrasi Perekonomian Perdesaan dan Perkotaan. Makalah Bahasan.
Seminar Nasional Pengembangan Perekonomian Perdesaan dan Perkotaan. Sosek-Faperta IPB. 8-9 Juli 1997.
Hadi, P.U; H. Mayrowani, Supriyati dan Sumedi. 2000. Review dan Outlook Pengembangan
Komoditas Hortikultura. Makalah disampaikan pada Seminar Nasional Perspektif Pembangunan Pertanian dan kehutanan Tahun 2001 ke Depan. Bogor, 9-10 Nopember 2000.
19
Rachmat, M., Supriyati, D. Hidayat, J. Situmorang. 2000. Perumusan Kebijakan Nilai Tukar
Petani dan Komoditas Pertanian. Laporan Penelitian. Pusat Penelitian Sosial Ekonomi Pertanian. Bogor.
Simatupang, P. 1992. Pertumbuhan Ekonomi dan Nilai Tukar Barter Sektor Pertanian. Jurnal
Agro Ekonomi 11(1) 37-50. Supriyati, M. Rachmat, K.S. Indraningsih, T. Nurasa, Roosgandha dan R. Sayuti. 2000. Studi
Nilai Tukar dan Nilai Tukar Komoditas Pertanian. Laporan Hasil Penelitian Puslitbang Sosek Bogor.