ida bagus putu poverty reduction dan transaction cost

13
Vol. 19 No. 2 (2016) Ida Bagus Putu Purbadharmaja Poverty Reduction dan Transaction Cost Economics : Suatu Tinjauan dari Perspektif Ekonomi Kelembagaan 1-9

Upload: others

Post on 04-Oct-2021

3 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: Ida Bagus Putu Poverty Reduction dan Transaction Cost

Vol. 19 No. 2 (2016)

Ida Bagus Putu Purbadharmaja

Poverty Reduction dan Transaction Cost Economics : Suatu Tinjauan dari Perspektif Ekonomi Kelembagaan 1-9

Page 2: Ida Bagus Putu Poverty Reduction dan Transaction Cost

ISSN : 1411-0199

E-ISSN : 2338-1884 Wacana– Vol. 19, No. 4 (2016)

JURNAL WACANA

DEWAN REDAKSI

Ketua Editor

Nila Firdausi Nuzula

Agus Suman

Studi Pembangunan

Asfi Manzilati

Ekonmi Syariah

Budi Setiawan

Pengembangan Wilayah

Edi Susilo

Sosiologi Pedesaan

Eko Ganis

Akuntansi Kualitatif

Iwan Permadi

Hukum Pertanahan

Kliwon Hidayat

Ekologi Manusia

Anggota Editor

Editor Pelaksana Aditya Dedy Purwito

Muhammad Qomaruddin

Jehan Ramdani Haryati

Sanggar Kanto

Sosiologi

Soegiyanto

Komunikasi Pembangunan

Susilo Zauhar

Kebijakan Publik

Zaenal Fanani

Agribisnis Peternakan

Maryunani

Ekonomi Regional

M. Muslich Mustajab

Ekonomi Pertanian

Alamat Redaksi dan Administrasi

Gedung E Lt. 1 Program Pascasarjana Universitas Brawijaya Jl. Mayor Jenderal Haryono 169, Malang 65145 Indonesia

Telp: +62341-571260 / Fax: +62341-580801

Email: [email protected] Website: http://wacana.ub.ac.id

Page 3: Ida Bagus Putu Poverty Reduction dan Transaction Cost

ISSN : 1411-0199

E-ISSN : 2338-1884 Wacana– Vol. 19, No. 4 (2016)

DAFTAR ISI

Vol. 19 No. 4 Edisi Oktober 2016

Poverty Reduction dan Transaction Cost Economics : Suatu Tinjauan dari Perspektif Ekonomi Kelembagaan Ida Bagus Putu Purbadharmaja …………………………………………………………….………………………….………1-9

Page 4: Ida Bagus Putu Poverty Reduction dan Transaction Cost

ISSN : 1411-0199

E-ISSN : 2338-1884 Wacana– Vol. 19, No. 4 (2016)

1

2

Wacana– Vol. 19, No. 4 (2016) ISSN :

1411-0199 E-ISSN : 2338-1884

Poverty Reduction dan Transaction Cost Economics : Suatu Tinjauan dari Perspektif

Ekonomi Kelembagaan

Ida Bagus Putu Purbadharmaja

1Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas

Udayana

Abstrak Tulisan ini menyimak tentang persoalan biaya transaksi (transactions cost economics) yang dikaitkan dengan upaya pengurangan kemiskinan (poverty reduction) ditinjau dari ekonomi kelembagaan. Kebijakan pengurangan kemiskinan di Indonesia yang dilakukan sejak Tahun 2005 kebanyakan dalam bentuk bantuan tunai (cash transfer). Dalam hal ini perlu direncanakan suatu kebijakan pengurangan kemiskinan dengan memperhatikan sisi lain di luar material bantuan yang diberikan, yaitu dari sisi munculnya persoalan kemiskinan akibat lemahnya desain kelembagaan. Pemberdayaan masyarakat akan dapat menstimulasi aktivitas ekonomi masyarakat, sedangkan cash transfer cenderung untuk sekadar bisa bertahan hidup dalam jangka pendek (survival). Desain kelembagaan menyangkut konsep, aturan dan pelaksanaan kebijakan yang bersifat dinamis disesuaikan dengan perkembangan politik maupun ekonomi. Kajian kebijakan pengurangan kemiskinan meliputi berbagai sektor terutama sektor informal dan perkembangan keadaan regional dan global. Desain yang dirancang mesti mampu meredam atau memanfaatkan setiap goncangan (shock) yang terjadi baik politik maupun ekonomi, sehingga masyarakat siap menghadapi perubahan keadaan. Penyebab biaya transaksi yang tinggi dalam suatu proses kegiatan ekonomi yang sama, menunjukkan terjadinya inefisiensi. Free rider dan rent-seeking negatif cenderung akan memunculkan kantong kemiskinan baru di masyarakat, karena tidak dapat menanggung biaya transaksi yang tinggi.

Kata kunci: transaction cost economics, poverty reduction, cash transfer, ekonomi kelembagaan

Abstract

This paper learns about a problem of transaction cost (transaction cost economics) that is concerned by poverty reduction assessed from economics institutions. Poverty reduction policy in Indonesia is done since 2005 mostly in the form of cash transfer. It needs to be planned a kind of poverty reduction policy by noticing the other side of the given material, that is from the problem occurrence as the result of the weakness of institutions design. Society empowerment will stimulate mass economic activity, while cash transfer merely tends for survival in short term. Institutions design will concern concept, rule and policy performance which its dynamic character is adjusted by politic and economic development. The study of poverty reduction policy covers various sectors, especially informal sector and formative regional and global situation. The design has to be able to muffle or use every shock happened in both politic and economy, so mass are ready to face the situation change. Cause of the high transaction cost in same economic activity process points inefficiency. Free rider and negative rent-seeking tend to raise new poverty in society, since it cannot take on high transaction costs.

Keywords: transaction cost economics, poverty reduction, cash transfer, and economics institutions

PENDAHULUAN Prinsip pembangunan pada dasarnya

ditujukan untuk kesejahteraan masyarakat. Ke- mampuan merencanakan, mengatur dan menge- valuasi pelaksanaan pembangunan akan mem- pengaruhi tingkat kesejahteraan masyarakat yang akan dicapai Pembangunan juga berarti adanya perubahan dalam kehidupan sosial dan munculnya inovasi dan harapan terhadap dampak positif pembangunan bagi manusia. Konsep kesejahteraan masyarakat dan peru-bahan sosial

adalah salah satu persoalan fun-damental dalam pembangunan. Pembangunan dengan

Page 5: Ida Bagus Putu Poverty Reduction dan Transaction Cost

ISSN : 1411-0199

E-ISSN : 2338-1884 Wacana– Vol. 19, No. 4 (2016)

1

memasukkan dimensi kemanusiaan bukan sekadar tentang naik turunnya pen-dapatan nasional suatu negara, melainkan lebih dari itu human development adalah penciptaan suatu lingkungan di mana manusia dapat tumbuh dan berkembang dengan segenap potensi yang dimilikinya dan dapat berproduksi, berkreasi dan

memenuhi kebutuhan yang diperlukan secara layak [1].

Pada era komunikasi dan proses kreatif dalam pembangunan, banyak terdapat kesempatan untuk memperbaiki kualitas hidup agar keluar dari kemiskinan. Di sisi lain terdapat bahaya

Alamat Korespondensi Penulis: Ida Bagus Putu Purbadharmaja Email : [email protected] Alamat : Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas

Udayana, Jl. P.B. Sudirman, Bali

Page 6: Ida Bagus Putu Poverty Reduction dan Transaction Cost

1

Poverty Reduction dan Transaction Cost Economics (Purbadharmaja)

kesenjangan yang makin melebar baik antar individu dalam masyarakat maupun antarnegara. Keadaan ini memberikan pesan yang jelas bahwa fokus pembangunan mesti ditujukan untuk me- ningkatkan kualitas sumber daya manusia lewat human development. Berhasil atau tidak meraih kesempatan menjadi sukses baik bagi individu maupun negara terletak pada keberhasilan melakukan pembangunan sumber daya manusia.

Kemiskinan berkaitan erat dengan standar hidup absolut dari bagian masyarakat tertentu, dalam hal ini kemiskinan didefinisikan sebagai ketidakmampuan untuk memenuhi standar hidup minimum secara layak. Faktor perkembangan negatif perekonomian dalam negeri maupun global, serta gejolak politik sangat mem- pengaruhi kondisi masyarakat yang semula tidak miskin menjadi miskin. Secara mikro kemiskinan muncul karena adanya ketidaksamaan pola pemilikan sumberdaya yang menimbulkan ketimpangan distribusi pendapatan. Ketimpang- an distribusi pendapatan disebabkan oleh ra- puhnya fundamental perekonomian di samping struktur perekonomian yang tidak jelas. Pendu- duk miskin hanya memiliki sumberdaya dalam jumlah terbatas dan kualitasnya rendah. Implikasi dari keadaan ini adalah memperluas ruang pengangguran dan makin rendahnya kompetensi tenaga kerja dalam menghadapi persaingan pada pasar kerja.

Penyebab yang lain dari kemiskinan dikemu- kakan oleh R. Nurkse dengan teori lingkaran kemiskinan (vicious circle of poverty). Nurkse menyatakan bahwa deretan melingkar kekuatan- kekuatan variabel ekonomi yang satu sama lain beraksi dan bereaksi sedemikian rupa sehingga menempatkan suatu negara (individu) miskin tetap berada dalam keadaan melarat.

Konsep mengikutsertakan masyarakat (stake- houlders’ participation) dalam usaha meningkat- kan taraf hidup agar dapat melewati batas garis kemiskinan adalah salah satu bentuk intervensi dari pemerintah pusat maupun daerah. Selain dalam bentuk partisipasi masyarakat, pemerintah juga harus memperhatikan peran institutions (kelembagaan) dalam perencanaan pengurangan kemiskinan. Faktor kelembagaan yang selama ini terkesan terabaikan pada kenyataannya justru memberikan andil yang besar menyangkut keber- hasilan program pengurangan kemiskinan.

Struktur perekonomian menghendaki adanya suatu desain kelembagaan yang dapat mengako- modir potensi dan kepentingan dalam proses pembangunan secara proposional. Dalam upaya pengurangan kemiskinan, maka dipandang perlu

untuk membuat desain kelembagaan yang jelas yang mengarah kepada peningkatan kualitas individu dan meminimumkan biaya yang diperlukan dalam kegiatan perekonomian.

Tulisan ini melihat permasalahan pengurang- an kemiskinan dari perspektif lain yaitu dari sisi ekonomi kelembagaan. Selama ini pengurangan kemiskinan umumnya didominasi oleh bantuan- bantuan yang bersifat cash transfer. Namun, banyak pendapat yang menyatakan bahwa ban- tuan bersifat tunai tidak berimplikasi positif untuk jangka panjang. Tulisan ini tidak menya-jikan suatu desain kelembagaan yang dapat dipakai sebagai salah satu acuan kebijakan, melainkan menyoroti beberapa hal dalam suatu desain kelembagaan terutama menyangkut persoalan Transactions Cost Economics (TCE) yang dikaitkan dengan upaya pengurangan kemiskinan.

Poverty Reduction di Indonesia

Pengurangan kemiskinan dilakukan dalam upaya meningkatkan taraf hidup atau tingkat kesejahteraan masyarakat dari kondisi miskin menjadi tidak miskin. Sasaran pengurangan kemiskinan adalah meningkatkan kesejahteraan masyarakat dengan upaya pemberdayaan masyarakat itu sendiri. Pemberdayaan masyara- kat tidak semata hanya menyangkut aspek manusia saja melainkan juga kegiatan ekonomi dan lingkungan.

Jumlah penduduk miskin di Indonesia pada bulan Maret 2007 sebesar 37,17 juta orang (16,58%). Dibandingkan dengan penduduk miskin pada Maret 2006 yang berjumlah 39,30 juta (17,75%), berarti jumlah penduduk miskin turun sebesar 2,13 juta. Meskipun demikian, persen- tase penduduk miskin pada Maret 2007 masih lebih tinggi dibandingkan keadaan Februari 2005, dimana persentase penduduk miskin sebesar 15,97% [2]. Gambar 1 menunjukkan perkem- bangan angka kemiskinan di Indonesia tiga dekade terakhir.

Gambar 1. Tingkat Kemiskinan di Indonesia Periode 1996 –

2006 (%); Sumber: The World Bank, 2006.

Page 7: Ida Bagus Putu Poverty Reduction dan Transaction Cost

Poverty Reduction dan Transaction Cost Economics (Purbadharmaja)

3

Berdasarkan cara pengukurannya, kemiskinan dapat dibedakan menjadi kemiskinan absolut dan kemiskinan relatif. Kemiskinan absolut didasar- kan atas ketidakmampuan individu untuk meme- nuhi kebutuhan dasar minimal hidup layak. Konsep ini dinyatakan sebagai inability of the individual to meet basic needs. Kemiskinan atas dasar kebutuhan minimal menurut Meier, menyatakan bahwa kemiskinan adalah the failure to have certain minimum capabilities yang menunjukkan jumlah penduduk yang tidak mampu memenuhi kebutuhan minimal tersebut dapat dianggap miskin.

Pengukuran kemiskinan dilakukan dengan cara menetapkan nilai standar kebutuhan minimum, baik makanan dan non-makanan, yang harus dipenuhi seseorang untuk dapat hidup secara layak. Nilai standar kebutuhan minimum tersebut digunakan sebagai garis pembatas (poverty line/poverty treshold) untuk memisahkan antara penduduk miskin dan tidak miskin.

Tema pembangunan dalam Rencana Kerja Pemerintah (RKP) Tahun 2008 adalah “Percepatan pertumbuhan ekonomi untuk mengurangi kemiskinan dan pengangguran”. Sesuai tema tersebut, dalam RKP tahun 2008 ditetapkan 8 (delapan) prioritas pembangunan nasional. Kedelapan pioritas pembangunan tersebut adalah: (1) Peningkatan investasi, ekspor dan kesempatan kerja; (2) Revitalisasi pertanian, perikanan, kehutanan, dan pem-bangunan perdesaan; (3) Percepatan pem-bangunan infrastruktur dan pengelolaan energi; (4) Peningkatan akses dan kualitas pendidikan dan kesehatan; (5) Peningkatan efektivitas pe- nanggulangan kemiskinan; (6) Pemberantasan korupsi dan percepatan pelaksanaan reformasi birokrasi; (7) Penguatan kemampuan pertahanan dan pemantapan keamanan dalam negeri; dan (8) Penanganan bencana, pengurangan risiko bencana, dan peningkatan penanggulangan flu burung.

Poin kelima dari RKP Tahun 2008, menun- jukkan penekanan pada efektivitas upaya pengurangan kemiskinan. Pertanyaan yang muncul adalah apakah upaya pengurangan kemiskinan yang dilaksanakan selama ini telah efektif? Banyak program yang digelontorkan pemerintah untuk mengurangi kemiskinan. Selain bantuan langsung tunai, sejak Tahun 2007 dikeluarkan paket Program Nasional Pember- dayaan Masyarakat (PNPM). Konsolidasi program kemiskinan diberlakukan untuk Departemen Dalam Negeri, Departemen Pekerjaan Umum, dan Kementerian Negara Pembangunan Daerah

Tertinggal. Dana yang dialokasikan meningkat dari Rp.3,9 triliun pada tahun 2007, menjadi Rp.7,0 triliun pada tahun 2008 ditambah anggaran PNPM perkuatan. Dengan peningkatan anggaran itu, cakupan sasaran bertambah dari sekitar 1.993 kecamatan di perdesaan dan 838 kecamatan di perkotaan, menjadi 15.565 desa dan 8.813 kelurahan di 3.800 kecamatan [3].

Perlu peran dan keterlibatan lebih aktif dari pihak swasta sebagai mitra pemerintah dalam program pengurangan kemiskinan. Pihak swasta mesti digandeng tidak hanya dalam bentuk sebagai donatur pemberian dana bantuan, melainkan dapat berupa pemberian latihan/ keterampilan teknis manajerial bahkan sekaligus sebagai mitra pemasaran produk yang dihasilkan oleh masyarakat yang tergolong miskin sebagai wujud tanggung jawab dan komitmen swasta dalam pembangunan (corporate social respon- sibility). Upaya membuka peluang berusaha di sektor informal dapat menjadi salah satu alternatif untuk mengurangi kemiskinan sekaligus pengangguran.

Program pengurangan kemiskinan menfokus- kan permasalahan awal menyangkut pemberda- yaan masyarakat miskin. Pemberdayaan dalam hal ini tidak selalu berupa bantuan yang bersifat tunai, sebab bantuan yang bersifat tunai (cash transfer) cenderung tidak akan menstimulasi kegiatan ekonomi masyarakat. Masyarakat akan menggunakan bantuan tunai ini tidak lebih sebagai solusi sementara untuk dapat bertahan hidup (survival), karena bantuan ini hanya memperbesar untuk sesaat posisi disposable income masyarakat yang pada akhirnya akan mendorong pengeluaran konsumsi saja.

Sebagai langkah awal dapat dilakukan penataan infrastruktur dan kelembagaan yang dapat dimulai dari tingkat desa. Insfrastruktur yang dimaksud adalah merancang suatu wadah yang dapat memberikan semacam pembekalan kemampuan dasar manajerial bagi rumah tangga miskin (RTM) sehingga diharapkan mereka memiliki pengetahuan dasar yang sederhana tentang fungsi manajemen dalam berusaha. Dalam hal permodalan pemerintah dapat mengajak lembaga keuangan dalam penyaluran pinjaman dimana bentuk pinjaman tersebut diarahkan untuk kegiatan yang terkait dengan upaya pengurangan kemiskinan.

Untuk menghindari terulangnya keadaan yang tidak diharapkan sehubungan dengan pemberian bantuan tunai seperti yang terjadi pada sepanjang bulan Oktober 2005. Banyak terjadi kekisruhan mulai dari salah sasaran, pungutan liar, korban

Page 8: Ida Bagus Putu Poverty Reduction dan Transaction Cost

Poverty Reduction dan Transaction Cost Economics (Purbadharmaja)

4

meninggal, hingga protes warga [4], perlu dipertimbangkan pemberian bantuan untuk masyarakat miskin berbentuk pemberda-yaan yang memberikan nilai (value) dalam mendorong kualitas hidup masyarakat miskin. Ada dua aspek prioritas dalam program pemberdayaan masyarakat ini yaitu peningkatan kualitas sumber daya manusia (SDM) dan aspek optimalisasi kelembagaan.

Poverty Reduction dalam Perspektif Ekonomi Kelembagaan

Munculnya biaya sosial dalam pembangunan tidak dapat dihindari. Social cost adalah seluruh biaya yang ditimbulkan akibat pelaksanaan kegiatan yang bersifat sosial ditambah dengan beban biaya yang timbul sebagai dampak yang merugikan bagi sekelompok masyarakat akibat pelaksanaan kegiatan tersebut. Dilema yang muncul dapat digambarkan dengan sebuah piramid yang menunjukkan pertentangan antara kelompok yang membutuhkan pengakuan tingkat intelektualitas dengan para perencana pemba- ngunan, pertentangan terjadi akibat adanya perbedaan dalam pengambilan asumsi [5].

Pendanaan untuk penanggulangan kemiskin- an meningkat dari tahun ke tahun, namun mekanisme penyalurannya tersebar di berbagai kementerian/lembaga. Untuk tahun 2007 ini terdapat 53 program penanggulangan kemis- kinan yang tersebar di 22 kementerian/lembaga dengan total anggaran 51 Triliun. Pengelolaan program/kegiatan berjalan tidak efektif karena menimbulkan tumpang tindih tapi juga ada desa- desa/kelompok masyarakat yang tidak terlayani. Porsi anggaran penanggulangan kemiskinan pada APBD masih belum memadai, rata-rata sekitar 8– 12% dari total APBD Provinsi [6].

Perubahan kelembagaan diperlukan meng- ingat proses perkembangan dan pembangunan ekonomi tidak dengan sendirinya menciptakan dasar-dasar kelembagaan. Dalam fase ini mungkin saja ketiadaan kelembagaan formal akan ditutupi dengan keberadaan kelembagaan informal, tetapi tentu saja ini tidak bisa berlangsung dalam jangka panjang [7].Perubahan bisa terjadi secara bertahap (gradual) dan kadang-kadang secara cepat karena individu mengembangkan pola-pola perilaku alternatif (tindakan ekonomi dan sosial) sebagai respons atas proses evaluasi biaya dan keuntungan baru yang dirasakan [7].

Tingkat pertumbuhan penduduk yang tinggi dan tingkat akumulasi modal yang relatif rendah, merupakan kesenjangan yang sering dihadapi banyak negara. Di negara-negara sedang berkem-

bang, dengan tingkat pendapatan yang masih rendah, membutuhkan akumulasi modal yang tinggi untuk investasi. Tetapi, justru daya menabung yang rendah akibat tingkat penda- patan yang juga rendah tidak dapat mening- katkan investasi sehingga negera-negera tersebut mengalami pertumbuhan yang lambat.

Efek dari revolusi industri ketiga (The Third Industrial Revolution) tidak lagi terhalang oleh batas-batas wilayah suatu negara. Revolusi ini didasarkan atas penemuan dan pesatnya per- kembangan teknologi informasi baru yang mentransformasi bentuk dan cara kerja kelemba- gaan yang ada [8]. Jika dikaitkan dengan kondisi sumberdaya manusia suatu negara, maka diha- rapkan terjadi suatu jaringan sosial (social network) antarnegara, sehingga perencanaan upaya peningkatan kesejahteraan masyarakat di suatu negara tidak saja dalam konteks wilayah lokal melainkan disesuaikan dengan perkem- bangan dunia. Selain itu upaya pengurangan kemiskinan perlu memperhatikan hal-hal berikut: 1) Menyusun suatu organisasi atau badan yang

bertugas khusus dalam pemberian bantuan untuk RTM (assessment).

2) Merumuskan tema strategis yang menjadi fokus arah pengurangan kemiskinan (Strategy)

3) Perencanaan disusun atas dasar kondisi obyektif (Objectives)

4) Melakukan evaluasi terhadap kinerja yang berjalan dan melakukan penyesuaian- penyesuaian yang dianggap perlu (Evaluation)

5) Kebijakan pengurangan kemiskinan harus memiliki dasar hukum yang jelas (Regulation)

Dalam mendesain perencanaan pengurangan

kemiskinan perlu diperhatikan kondisi masya- rakat akibat terjadinya suatu goncangan baik politik, sosial maupun ekonomi. Goncangan dalam masyarakat (community shocks) adalah suatu keadaan yang tiba-tiba terjadi, berubah dan mempengaruhi kondisi yang ada dalam suatu komunitas/masyarakat [9]. Community shocks dibedakan menjadi tiga tipe, yaitu (1) Shocks with possitive community outcomes; goncangan ada- lah suatu keadaan yang terjadi secara alami, upaya bersama masyarakat dilakukan untuk mengatasi goncangan ini. (2) Shocks with negative community outcomes; goncangan yang terjadi (diberlakukan) menimbulkan efek negatif berupa terjadinya kekacauan dalam masyarakat. Komunitas tipe disebut sebagai corrosive

Page 9: Ida Bagus Putu Poverty Reduction dan Transaction Cost

Poverty Reduction dan Transaction Cost Economics (Purbadharmaja)

5

community. (3) Shocks with mixed community outcomes, goncangan yang terjadi dalam suatu komunitas memberikan efek yang menguntung- kan pada sekelompok tertentu, namun tidak demikian dengan kelompok yang lain. Efek lebih lanjut dari kondisi ini adalah terjadi penurunan community trust. Dalam konteks ini pembuat kebijakan harus memperhatikan reaksi yang tim- bul di masyarakat manakala suatu “goncangan“ yang sengaja dilakukan untuk menstimulasi keadaan perekonomian. Program pengurangan kemiskinan jangan sampai mendapat efek negatif akibat kebijakan tersebut.

Kelembagaan tidak bersifat statis melainkan dinamis, karena perubahan nilai dan kultur masyarakat. Perubahan kelembagaan memiliki dua dimensi, yaitu (1) Perubahan konfigurasi antarpelaku ekonomi memicu terjadinya peru- bahan kelembagaan, (2) Perubahan kelembagaan memang sengaja dilakukan untuk mengatur atau mempengaruhi kegiatan ekonomi [7].

Strategi pengurangan kemiskinan secara inheren harus dapat menciptakan value atau nilai (kefaedahan dari bantuan yang diterima). Menciptakan value dapat dilakukan dengan membuat format bantuan tidak selalu berupa cash transfer melainkan dapat berupa memben- tuk kelompok pekerja sektor informal (informal sector), pembentukan kelompok usaha bersama (collective works), dan sumber tenaga kerja luar terlatih yang merupakan hasil dari pelatihan dan pemberian keterampilan kepada RTM (outsourcing).

Tidak ada perencanaan yang berhasil tanpa diimbangi dengan pengawasan yang baik. Program pemberdayaan masyarakat miskin ini akan mengalokasikan dana yang tidak sedikit, indikator keberhasilan dari program ini adalah pengalokasian dana tersebut tidak sia-sia dan harus tepat sasaran. Peran masyarakat luas dan pihak legislatif sebagai lembaga yang mengawasi pembangunan dapat mengevaluasi target pencapaian tujuan dari program pengurangan kemiskinan.

Studi tentang ekonomi yang menyangkut harga, kuantitas, organisasi ekonomi belum lengkap atau belum cukup berhasil, jika hanya berangkat dari paradigma optimisasi rasional. Perlu ada pendekatan teori lain yang dapat melengkapi kekurangan tersebut. Ekonomi ke- lembagaan yang berangkat dari perilaku ekonomi (behavioural economics) sebagai suatu pende- katan yang dapat mencapai keseimbangan dalam berbagai kegiatan perekonomian. Ekonomi kelembagaan akan membantu bagaimana suatu

negara mampu menghadapi resiko dalam kegiatan perekonomian [10].

Mengingat asumsi dasar dalam ekonomi kelembagaan adalah uncertainty dan oportunistic serta tidak ada desain kelembagaan yang sempurna (perfect), maka perlu dipertahankan kelangsungan dari ekonomi kelembagaan ini berikut segenap aspeknya, karena sangat esensial mempengaruhi economic outcomes. Pentingnya eksistensi kelembagaan mengingat sangat resisten terhadap pengaruh dari kelompok invidu yang dekat kekuatan politikal. Kekuatan politikal terbagi menjadi dua yaitu, (1) secara de jure kekuasaan pengaturan dibentuk oleh lembaga- lembaga politik formal, dan (2) secara de facto kekuasaan diatur oleh berbagai kelompok sosial yang berupaya menyelamatkan dan mengatasi masalah mereka dengan tindakan kolektif [11].

Dalam pembuatan kebijakan pengurangan kemiskinan, langkah pertama yang dilakukan adalah pemetaan (mapping) terhadap profil rumah tangga miskin menyangkut kondisi yang sesungguhnya mengenai jumlah dan kualitas RTM. Upaya ini akan memberikan gambaran tentang fokus permasalahan (problem focus) sehingga program yang dilakukan akan bertitik tolak dari salah satu atau beberapa komponen utama dalam rantai kemiskinan. Komponen yang dimaksud seperti pendidikan atau kesehatan,dan peningkatan kualitas SDM seharusnya menjadi prioritas yang dapat dilakukan baik lewat sisi formal maupun non formal untuk mencegah efek akumulatif dari persoalan kemiskinan yang bersumber dari rendahnya kualitas pendidikan dan kesehatan. Partisipasi dalam kebijakan publik dan aktivitas politik dapat dipertimbangkan baik sifatnya sebagai hasil sementara maupun hasil akhir, dimana dalam konteks ini kebijakan publik menyediakan apa yang disebut sebagai “civic teaching“ yang membantu individu dan kelompok masyarakat meningkatkan keteram-pilan, sumberdaya, dan pengetahuan untuk berpartisipasi dalam kehidupan politis [12].

Transaction Cost Economics dalam Konteks Pengurangan Kemiskinan

Transaction Cost Economics (TCE) adalah salah satu alat analisis dalam ilmu ekonomi kelembagaan yang mengukur efisiensi desain kelembagaan. Semakin tinggi biaya transaksi, desain kelembagaan kian tidak efisien. Ada 3 level hambatan TCE sebagai alat analisis efisiensi desain kelembagaan [7], yaitu: 1) Adanya perbedaan pandangan para ekonom

tentang definisi dari biaya transaksi.

Page 10: Ida Bagus Putu Poverty Reduction dan Transaction Cost

Poverty Reduction dan Transaction Cost Economics (Purbadharmaja)

6

2) Kesulitan dalam merumuskan variabel- variabel biaya transaksi, dimana setiap transaksi ekonomi bersifat spesifik, namun di sisi lain belum ada definisi yang jelas tentang biaya transaksi.

3) Kesulitan dalam hal mengukur variabel- variabel biaya transaksi, karena menyangkut akurasi analisis desain kelembagaan.

Desain kelembagaan yang tidak jelas dan tegas

dapat memberikan ruang untuk munculnya praktek korupsi dan kronisasi perekonomian. Praktek korupsi dan kronisasi perekonomian pada era rezim orde baru merupakan suatu masalah yang serius karena melibatkan penguasa, keluarga, birokrasi, elite militer, yayasan, konglomerat (ethnic Cina dan pribumi), dan institusi peradilan [13]. Sementara itu, di ruang ekonomi, publik menyaksikan berbagai penyelewengan amanah (trust abuse) yang telah menghancurkan kepercayaan masyarakat terha- dap para pelaku ekonomi serta pengemban otoritas kekuasaan pengatur jalannya roda perekonomian dan pemerintahan. Implikasi dari ketidakmampuan mengemban amanah secara interpersonal dan intstiusional mengakibatkan terjadinya proses disintegrasi sosial (penghan- curan kelembagaan) dan proses pemburukan ekonomi (kemiskinan ekonomi) akibat inefisiensi kelembagaan dan transaksi [14]. Kemiskinan dan kondisi yang bebeda pada berbagai negara menimbulkan konsekuensi menimbulkan ketidak- stabilan perekonominan, korupsi dan akibat lebih lanjut dalam masalah transaksi dapat menim- bulkan biaya transaksi tinggi [15].

Dalam interaksi ekonomi yang menimbulkan terjadinya suatu transaksi perlu memperhatikan etika bisnis lewat pendekatan kegiatan ekonomi (behavioural approach). Pendekatan ini men- dasarkan teorinya kepada moral pelaku pertu- karan. Dalam konteks ini ekonomi kelembagaan diinterpretasikan sebagai suatu struktur insentif (incentive structure). Struktur insentif mem- pengaruhi kegiatan ekonomi lewat sinyal untung dan rugi (Signalling gains and loses) [16].

Kebocoran anggaran pembangunan terjadi akibat politik kolusi dan konspirasi penguasa dengan pengusaha. Praktek korupsi akan tumbuh subur dalam perekonomian seperti ini. Kebo- coran dana pembangunan dapat diminimumkan bila desain ekonomi mampu mempersempit ruang gerak praktek korupsi. Peningkatan harga dan biaya produksi akan meningkat akibat prilaku ekonomi tidak berjalan dalam arah yang benar. Kenaikan biaya produksi merupakan refleksi dari

tingginya biaya transaksi yang timbul akibat tingginya tingkat korupsi. Akumulasi jangka panjang kondisi seperti ini menimbulkan kemiskinan yang terstruktur dimana kemiskinan ini timbul justru akibat dari keadaan pem- bangunan ekonomi yang makin tidak transparan.

Tingginya biaya transaksi seperti disebutkan sebelumnya menyebabkan desain kelembagaan menjadi lebih mahal. Penyebab biaya transaksi yang tinggi untuk suatu proses kegiatan ekonomi yang sama menunjukkan terjadinya inefisiensi. Ketidakefisienan ini tejadi akibat banyak terdapat pelaku-pelaku ekonomi atau pihak lain yang turut dalam proses kegiatan langsung maupun tidak langsung berfungsi sebagai free rider, yang cenderung untuk mengambil manfaat tanpa harus turut terlibat dalam kegiatan. Selain itu tingginya biaya transaksi bisa diakibatkan oleh terdapat banyak aktor rent-seeking (negatif) yang memanfaatkan situasi dan kekuasaan untuk mendapatkan keuntungan pribadi. Namun, sebagai catatan tidak semua rent-seeking diberi penilaian negatif, tergantung konteks dan sudut pandang terhadap tindakan dalam proses kegiatan. Free rider dan rent-seeking negatif cenderung akan memunculkan kantong kemis- kinan baru di masyarakat, karena tidak dapat menanggung biaya transaksi yang tinggi.

Transaksi adalah kegiatan pertukaran yang disertai dengan kompensasi yang terdapat dalam suatu jaringan pertukaran antara berbagai pihak. Berangkat dari teori modularitas maka transaksi yang terjadi dengan titik-titik lingkar jejaring pertukaran yang kecil (thin crossing points) memiliki biaya transaksi yang rendah, sedangkan pertukaran dengan titik tukar yang besar (thick crossing points) memiliki biaya transaksi yang tinggi. Transaksi dirancang selaras dengan lokasinya. Obyek pertukaran harus jelas dan dapat dihitung dan pembeli harus memberikan kompensasi kepada penyuplai. Biaya yang timbul dari transaksi ini disebut mundane transaction costs, untuk membedakan dengan opportunistic transaction costs [17].

Biaya transaksi yang bersifat oportunistik akan membuat jejaring traksaksi akan menjadi tidak konsisten dan cenderung terselesaikan lewat ”kesepakatan damai”. Desain kelembagaan harus mempertegas jejaring traksaksi pada alur yang stabil, jelas, dan menghilangkan celah terjadinya pungutan liar. Semakin baik desain biaya transaksi maka perekonomian menjadi efisien dan diharapkan dapat mengurangi pengangguran dan sekaligus terjadi proses seleksi kualitas SDM yang baik.

Page 11: Ida Bagus Putu Poverty Reduction dan Transaction Cost

Poverty Reduction dan Transaction Cost Economics (Purbadharmaja)

7

Mengingat asumsi TCE yang menyatakan pelaku transaksi oportunistik, maka faktor kepercayaan (trust) menjadi penting dalam suatu transaksi. Kepercayaan (trust) sebagai harapan dalam suatu regulasi menyangkut kejujuran, kesediaan bekerjasama berdasarkan norma dan nilai-nilai [18]. Trust didefinisikan sebagai peningkatan daya tahan terhadap tingkah laku yang oportunistik. Sehingga dalam hal ini dapat dibedakan antara pertukaran ekonomi (economic exchange) yakni suatu transaksi yang disepakai berdasarkan suatu perjanjian yang jelas, dengan pertukaran sosial (social exchange) yakni pertu- karan yang didasarkan atas kepercayaan dan tidak langsung berkaitan dengan kompensasi [18].

Social exchange yang didasarkan atas trust dapat dikembangkan menjadi suatu bentuk economic exchange lewat aturan dan keseoakatan formal, baik dalam kegiatan transaksi formal maupun informal. Dalam upaya mengurangi kemiskinan dengan memperbesar partisipasi masyarakat di sektor informal maka transaksi menjadi sederhana namun mampu membuka lapangan kerja bagi masyarakat yang tidak dapat melewati seleksi pada jalur formal. Pada sektor informal transaksi menjadi lebih cepat dan turn over bergerak lebih cepat, sehingga diharapkan dapar terjadi peningkatan pendapatan.

Suatu perjanjian yang diterima secara sukarela muncul dari suatu proses kontrak politik di antara pemerintahan lokal (daerah) untuk menghadapi suatu permasalahan dalam tindakan kolektif. Mengikuti teori Coase, jika biaya transaksi rendah, pihak yang rasional dapat menerima suatu Pareto- efficient outcome melalui proses penawaran sukarela [19]. Biaya transaksi dapat timbul dari lima sumber yaitu: (1) Bargaining costs, gabungan sumber-sumber biaya yang relatif kecil dalam proses negosiasi; (2) Information Costs, biaya untuk memperoleh informasi tentang transaksi; (3) Agency costs, biaya karena agen mewakili pihak-pihak yang bertransaksi; (4) Division costs, biaya dimana pihak yang bertransaksi dapat menerima pembagian atas kelebihan penawaran; dan (5) Enforcement costs, biaya dalam hal pengawasan dan pemaksaan [19].

Hal lain yang menarik dalam pengembangan desain kelembagaan adalah bagaimana sistem ekonomi mempengaruhi kemampuan suatu per- ekonomian. Negara dengan sistem ekonomi yang berorientasi pada perdagangan (business- oriented) memiliki tingkat pertumbuhan ekonomi yang tinggi. Negara yang menganut sistem ekonomi yang berorientasi kepada tenaga kerja

(labour-oriented) mengalami tingkat inflasi tinggi. [20]. Hal ini dikarenakan adanya tuntutan kenaikan upah secara gradual dan dorongan kenaikan konsumsi akibat terjadinya peningkatan permintaan. Dengan mengamati hasil penelitian dari Pryor tersebut, maka keseusaian antara desain ekonomi dengan orientasi perekonomian sebaiknya menjadi suatu yang inheren dalam memperhitungkan biaya transaksi. KESIMPULAN

Salah satu model pengurangan kemiskinan yang dilakukan di Indoensia adalah berbentuk cash transfer. Cash transfer dalam pengurangan kemiskinan cenderung tidak efektif bila tidak disertai dengan pemberdayaan sumber daya manusia. Masyarakat akan menggunakan bantuan tunai ini tidak lebih sebagai solusi sementara untuk dapat bertahan hidup (survival). Pemberdayaan masyarakat akan dapat menstimulasi aktivitas ekonomi masyarakat, sedangkan cash transfer sebagian besar akan digunakan untuk keperluan konsumsi jangka pendek. Pemberdayaan masyarakat tidak semata- mata menyangkut aspek manusia saja melainkan juga kegiatan ekonomi dan lingkung-an. Pengurangan kemiskinan tidak hanya masalah dalam negeri melainkan juga disela-raskan dengan upaya global pengurangan kemiskinan lewat MDGs. Sejak Tahun 2008 pengurangan kemiskinan lebih ditekankan kepa-da efektivitas program pengurangan kemiskinan. Persoalan efektiftivitas pengurangan kemiskinan tidak dapat hanya dengan penyaluran bantuan tunai, melainkan diperlukan pemikiran meran-cang suatu kebijakan yang komprehensif.

Kebijakan pengurangan kemiskinan (poverty reduction) direncanakan dan dirancang dalam suatu desain kelembagaan yang jelas. Desain kelembagaan menyangkut konsep, aturan dan pelaksanaan kebijakan. Kajian kebijakan meliputi berbagai sektor terutama sektor informal dan perkembangan keadaan global. Desain yang dirancang mesti mampu meredam atau memanfaatkan setiap goncangan (shock) yang terjadi baik politik maupun ekonomi. Hal yang patut dipertimbangkan yaitu mengubah desain kelembagaan guna menyesuaikan dengan dina- mika yang ada terutama menghadapi efek dari revolusi industri ketiga. Hal yang diperhatikan dalam desain kelembagaan untuk kebijakan pengurangan kemiskinan adalah menyangkut assessment, strategy, objectives, evaluation, dan regulation. Strategi pengurangan kemiskinan secara inheren harus dapat menciptakan value

Page 12: Ida Bagus Putu Poverty Reduction dan Transaction Cost

Poverty Reduction dan Transaction Cost Economics (Purbadharmaja)

8

atau nilai (kefaedahan dari bantuan yang diterima). Manciptakan value dapat dilakukan dengan membuat format bantuan tidak selalu berupa cash transfer melainkan dapat berupa membentuk kelompok pekerja sektor informal (informal sector), pembentukan kelompok usaha bersama (collective works), dan sumber tenaga kerja luar terlatih (outsourcing).

Desain kelembagaan yang tidak jelas dan tegas dapat memberikan ruang untuk munculnya praktek korupsi dan kronisasi perekonomian. Kebocoran anggaran pembangunan terjadi akibat politik kolusi dan konspirasi penguasa dengan pengusaha. Kenaikan biaya produksi merupakan refleksi dari tingginya biaya transaksi yang dapat timbul akibat tingginya tingkat korupsi. Aku- mulasi jangka panjang kondisi seperti ini menimbulkan kemiskinan yang terstruktur dimana kemiskinan ini timbul justru akibat dari keadaan pembangunan ekonomi yang tidak transparan. Penyebab biaya transaksi yang tinggi untuk suatu proses kegiatan ekonomi yang sama, menunjukkan terjadinya inefisiensi. Free rider dan rent-seeking negatif cenderung akan memunculkan kantong kemiskinan baru di masyarakat, karena tidak dapat menanggung biaya transaksi yang tinggi. Dalam upaya mengurangi kemiskinan dengan memperbesar partisipasi masyarakat di sektor informal maka transaksi menjadi sederhana namun mampu membuka lapangan kerja bagi masyarakat yang tidak dapat melewati seleksi pada jalur formal.

DAFTAR PUSTAKA [1]. UNDP. 2001. Human development: past,

present and future. Annual Report. [2]. Biro Pusat Statistik. 2007. Berita resmi

statistik No. 38/07/Th. X, 2 Juli 2007. [3]. Pidato Kenegaraan Presiden RI (Bagian II).

http://www.kemenegpora.go.id. Diakses Oktober 2007. Denpasar.

[4]. Aliansi. 2005. Dana kompensasi BBM: sogokan yang menebar bencana. 26 (XXX) Oktober - November 2005. Jakarta.

[5]. Goulet, D. 1993. The cruel choice : a new concept in the theory of development. Atheneum. New York.

[6]. Menteri Koordinator Bidang Kesejahteraan Masyarakat. 2008. Koordinasi program- program penanggulangan kemiskinan di Indonesia. Pidato pada Rapat Koordinasi Nasional Gubernur/Bupati/Walikota dalam Rangka Pelaksanaan PNPM Mandiri. Jakarta.

[7]. Ahmad Erani Yustika, 2008. Ekonomi Kelembagaan:Definisi, Teori dan Strategi. Bayumedia Publishing, Malang.

[8]. Galambos, L. 2005. Recasting the organi- zational synthesis: structure and process in the twentieth and twenty-first centuries. Business History Review. 79 (1). 1-38.

[9]. Besser, T. L., Recter, N., Agnitsch, K. 2008. The impact of economic shocks on quality of life and social capital in small towns. Rural Sociology. 73 (4). 580-604.

[10]. Shiller, R. J. 2005. Behavioural economics and institutional innovation. Southern Economic Journal. 72 (2). 269-283.

[11]. Acemoglu, J. A. Robinson. 2008. The persis- tence and change of institutions in the Americas. Southern Economic Journal. 75 (2). 282-299.

[12]. Wichowsky, A., Moynihan, D. P. 2008. Measuring how administration shapes citizenship: a policy feedback perspective on perfomance management. Public Adminis- tration Review. 68(5). 908-920.

[13]. Brown, R. A. 2006. Indonesian corporations, cronyism, and corruption. Modern Asian Studies. 40 (4). 953-992.

[14]. Dharmawan, A. H. 2002. Kemiskinan keper- cayaan (The Poverty of Trust), Stok Modal Sosial dan Disintegrasi Sosial. Makalah Seminar dan Kongres Nasional IV Ikatan Sosiologi Indonesia (ISI). Menggalang Masyarakat Indonesia Baru yang Berkema- nusiaan. Bogor 27-29 Agustus 2002.

[15]. Hopkins, M. 2007. Corporate social res- ponsibility and international development. Earthscan. USA.

[16]. Wagner, Tsukamoto. 2005. An economic approach to business ethics:moral agency of the firm and the enabling and constraining effects of economic institutions and inter- actions in a market economy. Journal of Business Ethics. 60. 75-89.

[17]. Baldwin, Carliss, Y. 2007. Where do transaction come from? modularity, transactions, and the boundaries of firms. Industrial and Corparate Change. 17 (1). 155- 195.

[18]. Chow, I. H. 2008. How trust reduce transaction costs and enhances perfomance in China’s Business. S.A.M. Advanced Management Journal. 73 (2). 25-34.

[19]. Feiock, A. S., Park, H. J. 2009. Institutional collective action development join ventures. Public Administration Review.69(2).256-270.

Page 13: Ida Bagus Putu Poverty Reduction dan Transaction Cost

9

[20]. Pryor, F. L. 2006. Economics system of developing nations. comparatvie economic studies. 48. 77-79.