indonesia environmental law outlook 2021 proyeksi ... · indonesia environmental law outlook 2021:...

59
Indonesia Environmental Law Outlook 2021 Proyeksi Keberlanjutan Lingkungan Hidup di Tengah Upaya Pemulihan Ekonomi Januari 2021 Indonesian Center for Environmental Law

Upload: others

Post on 10-Feb-2021

6 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

  • Indonesia Environmental Law Outlook 2021

    Proyeksi Keberlanjutan Lingkungan Hidup di Tengah Upaya Pemulihan Ekonomi

    Januari 2021 Indonesian Center for Environmental Law

  • Indonesia Environmental Outlook 2021: Proyeksi Keberlanjutan Lingkungan Hidup di Tengah Upaya Pemulihan Ekonomi

    Penulis Raynaldo G. Sembiring Grita Anindarini Fajri Fadhillah Adrianus Eryan Difa Shafira Etheldreda E.L.T Wongkar

    Editor Raynaldo G. Sembiring Grita Anindarini

    Edisi Pertama, Januari 2021 Indonesian Center for Enviromental Law

    i

  • Prakata

    Indonesia Environmental Law Outlook 2021 ini merupakan insiatif dari Indonesian Center for Environmental Law (ICEL) dalam merefleksikan berbagai problematika hukum yang mempengaruhi tata kelola lingkungan hidup selama tahun 2020 dan memproyeksi beberapa agenda bagi penguatan hukum lingkungan di tahun 2021. Outlook ini secara sadar tidak mengangkat semua permasalahan lingkungan yang ada. Pemilihan isu-isu yang diangkat berdasarkan urgensi dari dinamika berbagai kebijakan nasional yang menekan upaya perlindungan lingkungan hidup.

    Agenda pemulihan ekonomi dalam merespon pandemi Covid-19 kami pandang sebagai tantangan besar karena secara signifikan akan memberikan dampak bagi lingkungan hidup dan masyarakat. Sumber utama Outlook ini adalah pengalaman advokasi selama tahun 2020 dan sedikit banyak dipengaruhi dari tahun-tahun sebelumnya. Artinya Outlook ini merupakan kombinasi dari kajian normatif dan praktik-praktik yang dilakukan baik secara mandiri maupun bersama pemangku kepentingan lainnya.

    Dalam penyusunannya, cukup sering berbagai literatur dari sepuluh sampai dengan tiga puluhan tahun yang lalu kembali dibuka. Beberapa diacu dalam Outlook ini dengan alasan bahwa situasi yang terjadi pada masa-masa lalu seperti terulang kembali, khususnya dimasa ketika Indonesia mulai memikirkan pentingnya menyeimbangkan dan menyelaraskan kepentingan pembangunan dengan kepentingan lingkungan serta masyarakat. Pengulangan ini terjadi dengan situasi berbeda karena Indonesia telah melakukan berbagai perubahan sejak reformasi termasuk penguatan regulasi khususnya dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.

    Atas terbitnya Outlook ini saya mengucapkan terima kasih kepada para peneliti yang sudah bekerja sepenuh hati tidak hanya dalam menyusun tulisan ini, tetapi juga dalam praktik-praktik advokasi yang dijalankan. Akhir kata, Outlook ini ingin memberikan sebuah pesan bahwa kita tinggal di Bumi yang sama dan satu-satunya. Karenanya jangan pernah menomorduakan pentingnya perlindungan dan keberlanjutan lingkungan hidup.

    Jakarta, Januari 2021

    Raynaldo G. Sembiring Direktur Eksekutif ICEL

    ii

  • Daftar Isi

    Prakata ii

    Daftar Isi iii

    Pengantar 1

    I. Pelemahan Instrumen Perlindungan Lingkungan Hidup dan Implementasi Prinsip

    Pembangunan Berkelanjutan

    II. Tantangan Tata Kelola Hutan di Tengah Percepatan Pembangunan

    III. Mengawal Perkembangan Hukum yang Dihasilkan Pengadilan dalam Penanganan Kasus

    lingkungan Hidup dan Sumber Daya Alam

    IV. Semakin Sulitnya Publik dalam Mengakses Informasi Lingkungan

    V. Penyusutan Ruang Masyarakat Sipil dalam Memperjuangkan Hak Atas Lingkungan yang

    Baik dan Sehat

    VI. Refleksi Usaha untuk Mencapai Target Perubahan Iklim

    VII.Proyeksi 2021: Tantangan Bagi Penguatan Kelembagaan Lingkungan Hidup

    4

    11

    20

    25

    30

    36

    45

    Daftar Pustaka 48

    iii

  • Indonesia Environmental Law Outlook 2021: Proyeksi Keberlanjutan Lingkungan Hidup di Tengah Upaya Pemulihan Ekonomi

    Pengantar

    Tahun 2020 merupakan waktu yang penting dalam sejarah tata kelola lingkungan hidup Indonesia. Setelah perkembangan dan terobosan dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (UU No. 32 Tahun 2009), Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja (UU Cipta Kerja) hadir untuk menyederhanakan beberapa aspek penting yang justru merupakan terobosan dan perkembangan penting dalam UU No. 32 Tahun 2009. Beberapa aspek tersebut antara lain: perizinan lingkungan, partisipasi masyarakat, tata ruang, penegakan hukum administrasi dan pidana. Setiap upaya penyederhanaan regulasi tentunya menimbulkan konsekuensi hukum. Berbagai kajian Indonesian Center for Environmental Law (ICEL) menunjukan bahwa UU Cipta Kerja menghasilkan konsekuensi hukum yang cukup rumit.

    UU Cipta Kerja memang merupakan tema utama dari Outlook ini. Namun juga terdapat beberapa kebijakan lainnya yang memberikan ancaman terhadap kualitas lingkungan hidup. Perlu dicatat bahwa berbagai kebijakan yang akan diuraikan dalam Outlook ini hadir dalam masa pandemi Covid-19 yang terjadi sejak awal tahun. Pandemi memberikan dampak pada krisis ekonomi hingga mencapai minus 5,32% di kuartal-II 2020. Outlook ini tidak menegasikan pentingnya pemulihan ekonomi, namun 1

    seharusnya dilakukan dengan tetap memperhatikan keberlanjutan lingkungan hidup, tidak mengakibatkan krisis iklim, dan fokus pada kesejahteraan masyarakat.

    Andrew Dobson dalam karyanya yang berjudul Justice and The Environment (1998), menegaskan bahwa permasalahan lingkungan hanya dapat diselesaikan dengan menyelesaikan permasalahan sosial, khususnya yang berkenaan dengan kesejahteraan. Pandangan ini sejalan dengan pandangan klasik 2

    yang disampaikan oleh Gro Harlem Brundtland dalam sambutannya dalam Our Common Future, yang pada pokoknya menawarkan gagasan pertumbuhan ekonomi yang sejalan dengan keberlanjutan lingkungan hidup dan sosial. Terkini, OECD (2020) juga menyatakan isu penting yang perlu diperhatikan 3

    dalam upaya pemulihan hijau saat ini adalah dengan membentuk kebijakan yang sejalan dengan upaya net-zero emisi gas rumah kaca, menahan laju berkurangnya biodiversitas, hingga memperkuat ketahanan iklim. 4

    Lidya Julita Sembiring, ‘Update Sri Mulyani Soal Krisis Ekonomi Akibat Corona’ https://www.cnbcindonesia.com/news/120200828104326-4-182671/update-sri-mulyani-soal-krisis-ekonomi-akibat-corona-simak, diunduh pada 3 Januari 2020

    Andrew Dobson, Justice and the Environment, (New York: Oxford University Press, 1998), hlm. 13-14.2

    World Commission on Environment and Development, “Report of the World Commission on Environment and Development: Our 3Common Future”, “Our Common Future, Chairman's Foreword”.

    OECD Policy Responses to Coronavirus, Building Back Better: A Sustainable, Resilient Recovery After Covid-19, 5 Juni 2020, hlm. 45

    Indonesian Center for Environmental Law1

    https://www.cnbcindonesia.com/news/20200828104326-4-182671/update-sri-mulyani-soal-krisis-ekonomi-akibat-corona-simakhttps://www.cnbcindonesia.com/news/20200828104326-4-182671/update-sri-mulyani-soal-krisis-ekonomi-akibat-corona-simak

  • Indonesia Environmental Law Outlook 2021: Proyeksi Keberlanjutan Lingkungan Hidup di Tengah Upaya Pemulihan Ekonomi

    Indonesia Environmental Law Outlook 2021 yang disusun oleh ICEL ini diangkat dari refleksi terhadap kebijakan dan penegakan hukum lingkungan selama 2020, yang menjadi proyeksi bagi keberlanjutan lingkungan hidup pada 2021, khususnya dalam konteks tata kelola lingkungan disaat percepatan pembangunan yang sentris dalam pemulihan ekonomi. Tidak hanya itu, ICEL juga melihat pekerjaan rumah menahun yang seharusnya tetap menjadi fokus namun cenderung terlupakan dan semakin urgen untuk dapat diselesaikan. Outlook ini disusun berdasarkan advokasi kasus, penelitian dan pendampingan yang dilakukan oleh ICEL bersama dengan berbagai pemangku kepentingan. Terdapat enam isu yang menjadi fokus dari pengalaman selama tahun 2020 yang pada akhirnya akan dirangkum dalam proyeksi untuk tahun 2021.

    Indonesian Center for Environmental Law2

  • Indonesia Environmental Law Outlook 2021: Proyeksi Keberlanjutan Lingkungan Hidup di Tengah Upaya Pemulihan Ekonomi

    Indonesian Center for Environmental Law3Indonesia Environmental Outlook 2021: Proyeksi Keberlanjutan Lingkungan Hidup di Tengah Upaya Pemulihan Ekonomi

  • Indonesia Environmental Law Outlook 2021: Proyeksi Keberlanjutan Lingkungan Hidup di Tengah Upaya Pemulihan Ekonomi

    I. Pelemahan Instrumen Perlindungan Lingkungan Hidup dan Implementasi Prinsip Pembangunan Berkelanjutan

    Telah dijelaskan sebelumnya bahwa pandemi Covid-19 sangat berpengaruh terhadap keadaan ekonomi Indonesia. Menghadapi hal ini, berbagai stimulus dikeluarkan oleh Pemerintah untuk dapat memperbaiki keadaan krisis ini, salah satunya dengan membahas UU Cipta Kerja, yang dianggap dapat menjadi jawaban atas lesunya perekonomian negara akibat Covid-19. Meskipun patut 5

    untuk dilihat bahwa gagasan penyusunan UU Cipta Kerja sudah dilakukan jauh sebelum pandemi Covid-19 melanda.

    Sayangnya, upaya untuk memulihkan ekonomi tersebut tidak dilandasi dengan upaya-upaya untuk memperkuat ketahanan iklim serta mengurangi laju penurunan angka biodiversitas, sebagaimana yang dimaksud OECD sebelumnya. Justru, yang terlihat adalah bagaimana instrumen pelindung (safeguard) untuk mencegah terjadinya pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup dilemahkan. Sebagai contoh dalam UU Cipta Kerja, kritik utama adalah dengan pelemahan instrumen Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (Amdal), khususnya dalam hal hak akses masyarakat.

    Patut untuk diperhatikan bahwa Amdal merupakan salah satu instrumen pencegahan dan/atau kerusakan lingkungan hidup. Dalam hal ini, partisipasi publik menjadi penting karena merupakan kunci pengkajian lingkungan hidup yang akurat dan efektif. Sayangnya, dalam UU Cipta Kerja ruang 6

    partisipasi ini kemudian dipersempit. Penjelasan lebih lanjut terkait pelemahan partisipasi publik dalam penyusunan Amdal akan dijelaskan lebih lanjut dalam sub-pembahasan terkait penyusutan ruang partisipasi publik dalam tulisan ini. Namun perlu dicatat bahwa sejak dalam penyusunan UU Cipta Kerja, partisipasi publik dan berbagai instrumen perlindungan lingkungan hidup lebih cenderung dilihat sebagai penghambat bagi pembangunan. Kecenderungan ini pada dasarnya hanya dari satu sisi, tanpa melihat dan menyelesaikan permasalahan lain yang punya kontribusi signifikan seperti korupsi, birokrasi yang berbelit, dsb.

    Pelemahan instrumen lingkungan hidup lainnya adalah dalam instrumen tata ruang. Pada dasarnya, instrumen tata ruang bertujuan untuk mencegah pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup sejak hulu, yakni sejak tahap perencanaan. Adapun pencegahan pencemaran dan/atau kerusakan

    Pipit Ramadhani “UU Cipta Kerja jadi Penyelamat Ekonomi dari Hantaman Pandemi Covid-19”, https://www.liputan6.com/bisnis/5read/4416703/uu-cipta-kerja-jadi-penyelamat-ekonomi-dari-hantaman-pandemi-covid-19, diunduh pada 4 Januari 2021

    UN Environment, Assessing Environmental Impacts: A Global Review of Legislation, (Nairobi: UN Environment, 2018) hlm. 52.6

    Indonesian Center for Environmental Law4

    https://www.liputan6.com/bisnis/read/4416703/uu-cipta-kerja-jadi-penyelamat-ekonomi-dari-hantaman-pandemi-covid-19https://www.liputan6.com/bisnis/read/4416703/uu-cipta-kerja-jadi-penyelamat-ekonomi-dari-hantaman-pandemi-covid-19

  • Indonesia Environmental Law Outlook 2021: Proyeksi Keberlanjutan Lingkungan Hidup di Tengah Upaya Pemulihan Ekonomi

    tersebut dilakukan dengan mengintegrasikan Kajian Lingkungan Hidup Strategis (KLHS) dalam penyusunan tata ruang. Hal ini mengingat melalui KLHS, maka kaidah ekonomi, sosial dan ekologi akan dipertimbangkan, khususnya dalam pengarusutamaan pembangunan berkelanjutan. 7

    Sayangnya, pada 2020 kita melihat bagaimana instrumen tata ruang dan KLHS ini dilemahkan, utamanya untuk mendorong proyek strategis nasional. Pertama, perubahan UU No. 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang dalam UU Cipta Kerja yang memperbolehkan kebijakan strategis nasional tetap dijalankan sekalipun belum direncanakan dalam Recana Tata Ruang Wilayah (RTRW). Adapun kebijakan strategis nasional tersebut tetap dapat dilaksanakan dengan adanya rekomendasi kesesuaian pemanfaatan ruang yang dikeluarkan oleh Pemerintah Pusat. Dengan adanya ketentuan ini tentu 8

    membuka kemungkinan adanya pemanfaatan ruang yang tidak didahului oleh prosedur yang partisipatif serta pertimbangan kaidah ekonomi, sosial dan ekologi sebagaimana apabila mengikuti prosedur KLHS.

    Tidak hanya itu, UU Cipta Kerja juga memberikan kelonggaran dalam instrumen penataan ruang yakni dengan menjadikan kebijakan strategis nasional sebagai salah satu alasan untuk peninjauan kembali RTRW lebih dari satu kali dalam lima tahun. Sebelumnya, alasan untuk peninjauan kembali RTRW lebih 9

    dari satu kali dalam lima tahun hanyalah keadaan yang bersifat luar biasa, seperti bencana alam nasional maupun perubahan batas teritorial negara maupun provinsi.

    Jika menilik pada ketentuan UU No. 26 Tahun 2007 sebelumnya, maka dapat dilihat bahwa RTRW hanya dapat ditinjau lebih dari satu kali dalam lima tahun karena alasan-alasan luar biasa yang ditetapkan dengan undang-undang. Artinya, terdapat mekanisme check and balances ketika menetapkan alasan luar biasa tersebut, di mana DPR juga terlibat dalam proses penetapan alasan tersebut. Selain itu, dengan ditetapkan dalam Undang-Undang, masyarakat juga memiliki peluang untuk berpartisipasi dalam proses penetapan alasan luar biasa tersebut.

    Lebih jauh, perlu dipahami bahwa peninjauan kembali tata ruang adalah salah satu bentuk upaya adaptasi RTRW terhadap perkembangan ekonomi, sosial, dan lingkungan. Namun, upaya peninjauan kembali inipun perlu untuk dibatasi oleh asas kepastian hukum, sehingga tidak dapat dilakukan peninjauan kembali dengan alasan yang terlalu longgar. Sayangnya, dengan tidak adanya definisi ‘kebijakan strategis nasional’ secara jelas justru menunjukan longgar-nya penerapan asas kepastian hukum dalam penataan ruang dan justru membuka ruang diskresi bagi Pemerintah yang sangat luas untuk dapat melakukan perubahan rencana tata ruang.

    Raynaldo Sembiring, et.al., Anotasi UU No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, (Jakarta: 7ICEL, 2014), hlm. 121

    Indonesia, Undang Undang No. 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang dalam UU Cipta Kerja, LN Tahun 2020 No. 245, TLN 86673, ps. 34A.

    Indonesia, Perubahan Pasal 20, 23, dan 26 UU No. 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang dalam UU Cipta Kerja, LN 2020 No. 9245, TLN 6673,

    Indonesian Center for Environmental Law5

  • Indonesia Environmental Law Outlook 2021: Proyeksi Keberlanjutan Lingkungan Hidup di Tengah Upaya Pemulihan Ekonomi

    Tidak hanya dalam UU Cipta Kerja, pelemahan instrumen tata ruang juga terjadi dalam perubahan Undang-Undang Pertambangan Mineral dan Batubara, yaitu UU No. 3 Tahun 2020. Sebagai contoh, undang-undang ini menjamin bahwa jika izin telah diterbitkan, maka tidak ada perubahan pemanfaatan ruang dan kawasan pada Wilayah Izin Usaha Pertambangan (WIUP), Wilayah Izin Usaha Pertambangan Khusus (WIUPK), serta Wilayah Pertambangan Rakyat (WPR). Hal ini tentu tidak sesuai dengan sifat 10

    dasar dari ruang yang merupakan wadah yang bersifat dinamis dan bukan statis.

    Perlu dipahami bahwa ruang yang bersifat dinamis terlihat dari adanya kemungkinan perubahan lingkungan hidup yang bersifat strategis. Sebagai contoh ketika terdapat pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup yang berdampak kepada terlampauinya daya dukung dan daya tampung lingkungan ataupun ketika terdapat bencana alam. Adanya jaminan tidak adanya perubahan pemanfaatan ruang ini tentu akan ‘memaksakan’ pemanfaatan wilayah untuk kegiatan pertambangan sekalipun kondisi ruang tersebut sudah tidak sesuai lagi dengan daya dukung lingkungan hidup di wilayah tersebut.

    Tidak hanya itu, ketentuan terkait jaminan tidak adanya perubahan pemanfaatan ruang dalam kegiatan pertambangan juga tidak sesuai dengan prinsip proporsionalitas yang merupakan prinsip fundamental dalam penataan ruang. Konsep ini menjelaskan bahwa untuk pola ruang yang bersifat budidaya 11

    memang dapat bersifat fleksibel agar dapat beradaptasi dengan kebutuhan ekonomi, sosial dan teknologi, serta menstimulasi inovasi. Pengejawantahan bentuk fleksibilitas ini adalah dengan adanya 12

    pengaturan terkait peninjauan kembali sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya. Dalam konteks peninjauan kembali ini, maka Pemerintah memiliki kesempatan untuk menyesuaikan RTRW dengan kondisi lingkungan sekitar, termasuk apabila terdapat penurunan daya dukung dan daya tampung lingkungan hidup. Sayangnya, adanya jaminan tidak diubahnya pemanfaatan ruang bagi WIUP, WIUPK dan WPR ini justru tidak sesuai dengan bentuk fleksibilitas ini karena memaksakan pemanfaatan ruang di suatu kawasan dalam keadaan apapun, termasuk ketika kondisi sekitar sudah tidak mendukung.

    Pelemahan instrumen lingkungan hidup lainnya juga terdapat pada program food estate. Program yang digagas oleh Pemerintah untuk menjaga ketahanan nasional bidang pangan ini dikategorikan sebagai proyek strategis nasional dan dianggap relevan dengan kondisi Pandemi Covid-19, agar dapat memperkuat ketahanan maupun kedaulatan pangan. Program ini pada akhirnya dikategorikan sebagai 13

    Indonesia, Undang Undang No. 3 Tahun 2020 tentang Perubahan Atas Undang Undang Nomor 4 tahun 2009 tentang 10Pertambangan Mineral dan Batubara, LN 2020 No.147, TLN No. 6525, ps. 172B.

    UNECE, Spatial Planning - Key Instrument for Development and Effective Governance, (Geneva: Economic Commission for 11Europe, 2008), hlm. 12

    Ibid.12

    Siaran Pers Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan ‘Penjelasan KLHK tentang Penyediaan Kawasan Hutan Untuk 13Pembangunan Food Estate’, 16 November 2020

    Indonesian Center for Environmental Law6

  • Indonesia Environmental Law Outlook 2021: Proyeksi Keberlanjutan Lingkungan Hidup di Tengah Upaya Pemulihan Ekonomi

    proyek strategis nasional sebagaimana dimaksud dalam Perpres No. 109 Tahun 2020. Sayangnya, penyelenggaraan program food estate ini ‘dibayang-bayangi’ pelemahan instrumen perlindungan lingkungan hidup, utamanya dengan diperkenalkannya istilah KLHS Cepat dalam penyelenggaraannya. Dalam Permen LHK No. 24 Tahun 2020 dijelaskan bahwa KLHS Cepat akan digunakan dalam perubahan peruntukan kawasan hutan dan penetapan kawasan hutan ketahanan pangan (KHKP).

    Sebelumnya, istilah KLHS dengan metode cepat memang telah dikenal melalui Surat Edaran Bersama Menteri Dalam Negeri dan Menteri LH No. 660/5113/SJ dan 04/MENLH/12/2010 tentang Pelaksanaan KLHS RTRW dan RPJM Provinsi. Penerapan KLHS dengan metode Cepat ini didasarkan oleh beberapa pertimbangan seperti: (1) Kebijakan/Rencana/Program tersebut membutuhkan penilaian cepat; (2) Keterbatasan waktu dan sumber daya, serta adanya tekanan publik; (3) Tidak tersedianya data yang cukup; serta (4) merupakan situasi darurat. Berangkat dari cakupan data yang tidak lengkap, maka 14

    KLHS Cepat akan mengandalkan pengalaman dan pandangan para ahli yang terlibat dalam pengkajian. 15

    Sayangnya, tidak ada penjelasan yang komprehensif apa alasan dipilihnya KLHS Cepat sebagai salah satu instrumen pencegahan pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup yang dipilih. Selain itu, belum ada landasan regulasi yang komprehensif untuk mengatur mengenai bagaimana KLHS Cepat dilaksanakan, serta tidak dijelaskan KLHS Cepat tersebut ditujukan untuk memberikan rekomendasi terhadap Kebijakan, Rencana, atau Program tertentu apa. Padahal, patut untuk dipahami bahwa esensi dari KLHS adalah untuk mencegah pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup di tahap perumusan kebijakan, rencana, dan program tersebut. Dengan ketidakjelasan terhadap hal-hal fundamental ini, dikhawatirkan dokumen KLHS Cepat hanyalah menjadi dokumen administratif belaka.

    Apabila berkaca dari tren pelemahan instrumen lingkungan hidup sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya, maka kita dapat melihat bagaimana penerapan asas kehati-hatian dalam pengambilan keputusan semakin terlupakan. Perlu dipahami bahwa prinsip kehati-hatian menghendaki apabila terdapat ketidakpastian terkait dampak suatu usaha dan/atau kegiatan karena keterbatasan penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi, maka Pemerintah tidak dapat menggunakannya sebagai alasan untuk menunda langkah-langkah meminimalisasi atau menghindari ancaman terhadap pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup. Penting untuk dipahami bahwa asas kehati-hatian 16

    perlu diimplementasikan karena adanya ancaman pencemaran dan/ atau kerusakan lingkungan yang

    Surat Edaran Bersama Menteri Dalam Negeri dan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor 660/5113/SJ dan 04/ 28 14MENLH/12/2010 tentang Pelaksanaan KLHS RTRW dan RPJM

    Dadang Sukarsa, “Metode Kajian Lingkungan Hidup Strategis dalam Evaluasi Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi Jawa 27 15Barat”, Jurnal Bina Hukum Lingkungan, Vol.1., No.2., (April 2017), hlm. 223.

    Lihat Deklarasi Rio (Declaration on Environment and Development), yang pada Prinsip 15 deklarasi tersebut menjelaskan secara 16tegas penerapan prinsip ini. Adapun prinsip tersebut berbunyi sebagai berikut: “In order to protect the environment, the precautionary approach shall be widely applied by states according to their capabilities. Where there are threats of serious or irreversible damage, lack of full scientific certainty shall not be used as a reason for postponing cost-effective measures to prevent environmental degradation”

    Indonesian Center for Environmental Law7

  • Indonesia Environmental Law Outlook 2021: Proyeksi Keberlanjutan Lingkungan Hidup di Tengah Upaya Pemulihan Ekonomi

    serius dan bahkan tidak dapat dipulihkan. Apabila secara ilmiah masih belum dapat dibuktikan, justru hal tersebut menjadi alasan kuat melakukan pencegahan agar tidak menimbulkan bahaya bagi lingkungan hidup. 17

    Jika prinsip ini diejawantahkan dengan perkembangan kebijakan sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya, maka pada akhirnya dapat diambil kesimpulan:

    (1) Pelonggaran instrumen tata ruang, utamanya untuk mendukung PSN tentu tidak sejalan dengan asas kehati-hatian. Hal ini dikarenakan ‘ruang’ bukan merupakan wadah yang statis dan terus bergerak mengikuti perubahan alam dan dinamika kehidupan manusia yang ada di dalamnya. 18

    Kedinamisan yang terjadi secara terus menerus ini kerap menyebabkan tertinggalnya ilmu pengetahuan, sehingga menuju pada ketidakpastian dalam ilmu pengetahuan. Dalam hal ini, tentunya asas kehati-hatian menjadi relevan. Sayangnya, dengan adanya ketentuan yang memperbolehkan pemanfaatan ruang tanpa didahului dengan peninjauan kembali RTRW dan KLHS, hal ini justru menutup upaya untuk melakukan kajian secara komprehensif untuk menjawab ketidakpastian ilmiah tersebut.

    (2) Ketidakjelasan alasan dalam pemilihan instrumen KLHS Cepat dalam pelaksanaan food estate juga tidak sejalan dengan asas kehati-hatian. Perlu dipahami program food estate merupakan program dengan dampak lingkungan yang luas, terlebih apabila dilakukan di lahan gambut maupun hutan lindung, sebagaimana yang direncanakan. Oleh karena itu, KLHS sebenarnya harus dapat menjawab tantangan untuk mengkaji secara komprehensif terkait dampak penting dari pengembangan proyek tersebut. Apabila alasan pemilihan metode KLHS Cepat adalah karena ketidaktersediaan data dan karena kepentingannya yang sangat mendesak, maka perlu ada panduan rinci dalam peraturan perundang-undangan terkait penyelenggaraan KLHS Cepat tersebut. Hal ini untuk memastikan bahwa proses penyusunan KLHS dengan metode cepat tersebut tetap dilakukan secara sistematis, menyeluruh, dan partisipatif sebagaimana esensi dari dokumen KLHS itu sendiri.

    (3) Kurangnya bukti sebagai landasan pengambilan keputusan bagi kebijakan yang disusun. Pelemahan instrumen perlindungan lingkungan hidup dalam berbagai regulasi dan penyederhanaan proses seperti dalam Food Estate menunjukan keterburu-buruan yang mengakibatkan kurangnya bukti yang kuat dalam pengambilan keputusan. Beberapa contohnya terlihat dari alasan perubahan mekanisme dan proses dalam Amdal sebagaimana yang telah dijelaskan, cenderung dari satu pandangan saja. Selain itu, alasan untuk memilih KLHS Cepat dalam program Food Estate juga tidak dijelaskan dengan cukup.

    Andri G. Wibisana, “Three Principles of Environmental Law: The Polluter-Pays Principle, The Principle of Prevention, and The 36 17Precautionary Principle” dalam Michael Faure dan Nicolle Niessen (ed), Environmental Law in Development : Lessons for Indonesia Experience, (Cheltenham, UK : 2006), hlm. 45.

    Agung Wardana, Catatan Aspek Penataan Ruang Atas UU No. 3 Tahun 2020 Tentang Perubahan Atas UU No. 4 Tahun 2009 18tentang Pertambangan Mineral dan Batubara, 2020, hlm. 4.

    Indonesian Center for Environmental Law8

  • Indonesia Environmental Law Outlook 2021: Proyeksi Keberlanjutan Lingkungan Hidup di Tengah Upaya Pemulihan Ekonomi

    Berkaca dari penjelasan di atas, maka bagaimana perlindungan lingkungan hidup akan diimplementasikan dalam upaya pemulihan ekonomi semakin dipertanyakan. Sepanjang 2020 kita melihat bagaimana kebijakan yang terbit justru memperlemah instrumen yang memegang peranan penting dalam konteks perlindungan lingkungan hidup, yakni instrumen pencegahan pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan. Hal ini tentu merupakan regresi dalam perlindungan lingkungan hidup di Indonesia dan patut untuk mendapatkan perhatian khusus jika ingin mengedepankan pemulihan ekonomi hijau kedepannya.

    Indonesian Center for Environmental Law9

  • Indonesia Environmental Law Outlook 2021: Proyeksi Keberlanjutan Lingkungan Hidup di Tengah Upaya Pemulihan Ekonomi

    Indonesian Center for Environmental Law10Indonesia Environmental Outlook 2021: Proyeksi Keberlanjutan Lingkungan Hidup di Tengah Upaya Pemulihan Ekonomi

  • Indonesia Environmental Law Outlook 2021: Proyeksi Keberlanjutan Lingkungan Hidup di Tengah Upaya Pemulihan Ekonomi

    II. Tantangan Tata Kelola Hutan di Tengah Percepatan Pembangunan

    Tahun 2020 merupakan tahun penting bagi tata kelola hutan di Indonesia. Berbagai kebijakan yang berdampak besar terhadap perlindungan hutan disahkan. Beberapa kebijakan tersebut meliputi UU Cipta Kerja hingga terbitnya Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor 24 Tahun 2020 tentang Penyediaan Kawasan Hutan untuk Pembangunan Food Estate (PermenLHK 24/2020). Adapun program ini digagas sebagai salah satu program Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN) sebagai jalan keluar dari krisis ekonomi dan mitigasi pandemi virus corona covid-19. 19

    Berikut adalah catatan kritis terkait perlindungan hutan dalam dua kebijakan tersebut:

    (1) Pembangunan Food Estate di Kawasan Hutan

    Merespon peringatan krisis pangan akibat Pandemi Covid-19 oleh Food and Agriculture Organization (FAO), Pemerintah mewacanakan pelaksanaan program Food Estate pada awal tahun 2020. Selain itu, Program Peningkatan Penyediaan Pangan Nasional (Food Estate) ini-20

    pun masuk dalam Proyek Strategis Nasional berdasarkan Peraturan Presiden Nomor 109 Tahun 2020. Rencananya, Food Estate akan diselenggarakan di beberapa daerah seperti Kalimantan 21

    Tengah, Sumatera Selatan, Nusa Tenggara Timur, hingga Papua. 22

    Sebagai tindak lanjut dari program Food Estate, KLHK menerbitkan Permen LHK 24/2020. Dalam Penyediaan kawasan hutan untuk Food Estate dilakukan melalui dua cara, yaitu: 1) Perubahan Peruntukan Kawasan Hutan dan 2) Penetapan Kawasan Hutan untuk Ketahanan Pangan (KHKP). Mekanisme KHKP dapat dilakukan pada Kawasan Hutan Lindung yang sudah 23

    tidak sepenuhnya berfungsi lindung sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan. 24

    Keputusan Menteri tentang Pengelolaan KHKP pun dapat berlaku sebagai Izin Pemanfaatan

    Forest Digest, “Inkonsistensi Food Estate” https://www.forestdigest.com/detail/908/pandemi-food-estate, diakses pada 03 19Januari 2021.

    Antara News, "Strategi Food Estate Jokowi hadapi ancaman krisis pangan global” https://www.antaranews.com/berita/201601786/strategi-food-estate-jokowi-hadapi-ancaman-krisis-pangan- 3 global, diakses pada 03 Januari 2021.

    Indonesia, Peraturan Presiden Nomor 109 Tahun 2020 tentang Perubahan Ketiga atas Peraturan Presiden Nomor 3 Tahun 2016 21tentang Percepatan Pelaksanaan Proyek Strategis Nasional LN No. 250 Tahun 2020, Lampira, hlm. 12

    Sekretariat Kabinet, “Rapat Terbatas (melalui Video Conference) mengenai Lanjutan Pembahasan Food Estate, 23 September 222020, di Istana Merdeka Provinsi DKI Jakarta”, https://setkab.go.id/rapat-terbatas-melalui-video-conference-mengenai-lanjutan-pembahasan-food-estate-23-september-2020-di-istana-merdeka-provinsi-dki-jakarta/ diakses pada 03 Januari 2021

    Indonesia, Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan tentang Penyediaan Kawasan Hutan untuk Pembangunan Food 23Estate No. P.24/MENLHK/SETJEN/KUM.1/10/2020, ps. 2.

    Indonesia, Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan tentang Penyediaan Kawasan Hutan untuk Pembangunan Food 24Estate No. P.24/MENLHK/SETJEN/KUM.1/10/2020, ps. 19.

    Indonesian Center for Environmental Law11

    https://setkab.go.id/rapat-terbatas-melalui-video-conference-mengenai-lanjutan-pembahasan-food-estate-23-september-2020-di-istana-merdeka-provinsi-dki-jakarta/https://setkab.go.id/rapat-terbatas-melalui-video-conference-mengenai-lanjutan-pembahasan-food-estate-23-september-2020-di-istana-merdeka-provinsi-dki-jakarta/https://www.forestdigest.com/detail/908/pandemi-food-estate

  • Indonesia Environmental Law Outlook 2021: Proyeksi Keberlanjutan Lingkungan Hidup di Tengah Upaya Pemulihan Ekonomi

    Kayu (IPK). Sayangnya, terdapat berbagai catatan kritis terkait penyelenggaraan food estate 25

    ini:

    a) Penyelenggaraan Food Estate di Kawasan Hutan Lindung bertentangan dengan UU No. 41 Tahun 1999 dan PP No. 6 Tahun 2007 jo. PP No. 3 Tahun 2008 tentang Tata Hutan dan Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan Serta Pemanfaatan Hutan. Dalam ketentuan UU No. 41 Tahun 1999 dan PP No. 6 Tahun 2007 jo. PP No. 3 Tahun 2008, pemanfaatan hutan lindung dilakukan secara terbatas melalui kegiatan pemanfaatan kawasan, pemanfaatan jasa lingkungan, atau pemungutan hasil hutan bukan kayu. Pertanyaannya adalah termasuk dalam kategori manakah kegiatan food 26

    estate? Apakah termasuk dalam kategori pemungutan hasil hutan bukan kayu? Padahal sudah ada batasan tegas yang diatur dalam PP mengenai apa saja bentuk-bentuk hasil hutan bukan kayu. 27

    Catatan lain terdapat pada ketentuan dalam Permen LHK No. 24 Tahun 2020 yang menyatakan bahwa keputusan Menteri tentang penetapan KHKP dianggap sebagai IPK. Dengan ketentuan ini, maka pepohonan yang berada dalam kawasan hutan lindung dapat ditebang dan dimanfaatkan kayunya. Padahal, UU No. 41 Tahun 1999 mengatur bahwa hanya hasil hutan bukan kayu yang dapat dimanfaatkan secara terbatas. Selain itu, apakah definisi hutan lindung dalam UU No. 41 Tahun 1999 jo. UU Cipta Kerja dapat tercapai apabila pepohonan di dalamnya dengan bebas ditebang?

    Isu lainnya adalah, walaupun terdapat pengecualian pemanfaatan hutan lindung untuk kegiatan strategis dalam UU No. 41 Tahun 1999, perlu dilihat lebih lanjut bagaimana kriteria kegiatan strategis tersebut. UU No. 41 Tahun 1999 menghendaki bahwa kepentingan pembangunan di luar kehutanan yang dapat dilakukan di dalam kawasan hutan lindung ditetapkan secara selektif dan kegiatan yang dapat mengakibatkan kerusakan serius serta hilangnya fungsi hutan secara tegas dilarang. Pertanyaannya 28

    apakah pembangunan food estate telah melewati prosedur penetapan secara selektif dan diyakini tidak akan mengakibatkan kerusakan serius serta hilangnya fungsi hutan?

    Indonesia, Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan tentang Penyediaan Kawasan Hutan untuk Pembangunan Food 25Estate No. P.24/MENLHK/SETJEN/KUM.1/10/2020, ps. 30 ayat (1).

    Indonesia, UU Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, LN No. 167 Tahun 1999 TLN No. 3888 Tahun 1999, Ps. 26 dan 26Penjelasan jo. Indonesia, Peraturan Pemerintah tentang Tata Hutan dan Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan, serta Pemanfaatan Hutan, PP No. 6 Tahun 2007 TLN No. 4696 Tahun 2007 jo. Indonesia, Peraturan Pemerintah tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2007 tentang Tata Hutan dan Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan serta Pemanfaatan Hutan, PP No. 3 Tahun 2008, TLN Np. 4814 Tahun 2008, Ps. 23-24.

    Indonesia, Peraturan Pemerintah tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2007 tentang Tata Hutan dan 27Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan serta Pemanfaatan Hutan, PP No. 3 Tahun 2008, Ps. 26.

    Indonesia, UU Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, Ps. 38 beserta penjelasannya.28

    Indonesian Center for Environmental Law12

  • Indonesia Environmental Law Outlook 2021: Proyeksi Keberlanjutan Lingkungan Hidup di Tengah Upaya Pemulihan Ekonomi

    Hal ini patut untuk dikritisi lebih lanjut mengingat prosedur KLHS Cepat yang akan digunakan sebagai instrumen pengaman (safeguard) dalam penyelenggaraan proyek ini.

    b) Permen LHK No. 24 Tahun 2020 bertentangan dengan PP No. 105 Tahun 2015 PP No. 105 Tahun 2015 mengatur kepentingan pembangunan di luar kegiatan kehutanan yang diperbolehkan pada hutan lindung adalah di antaranya pertanian tertentu dalam rangka ketahanan pangan dan ketahanan energi. Namun, 29

    pelaksanaannya menggunakan izin pinjam pakai kawasan hutan, bukan dengan pelepasan kawasan hutan untuk hutan produksi atau kawasan hutan untuk ketahanan pangan untuk hutan lindung seperti yang diatur dalam Permen LHK No. 24 Tahun 2020. 30

    c) Kritisi terkait kawasan hutan lindung yang akan digunakan sebagai tempat pembangunaan food estate Dalam Permen LHK No. 24 Tahun 2020 dijelaskan bawa food estate akan dibangun di kawasan hutan lindung yang tidak sepenuhnya berfungsi lindung sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Sayangnya belum ada kriteria apa yang dimaksud dengan kawasan hutan lindung yang tidak sepenuhnya berfungsi lindung tersebut. Mengenai hal ini, KLHK dalam siaran persnya sempat menjelaskan bahwa kawasan tersebut adalah kawasan hutan lindung yang terbuka/terdegradasi/sudah tidak ada tegakan hutan. Namun, perlu diperhatikan bahwa hutan lindung tidak ditetapkan 31

    dengan adanya tegakan pohon, melainkan melalui metode penskoran yang variabelnya berupa kemiringan lereng, jenis tanah, dan intensitas hujan. Pun Dalam Peraturan 32

    Pemerintah Nomor 44 Tahun 2004 tentang Perencanaan Kehutanan (PP 44/2004), tidak ditemukan adanya kriteria “tegakan pohon” untuk hutan lindung. Oleh karena itu, 33

    kawasan hutan lindung yang dimaksud dalam Permen LHK No. 24 Tahun 2020 masih tidak jelas.

    Indonesia, Peraturan Pemerintah tentang Perubahan Kedua Atas Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 2010 tentang 29Penggunaan Kawasan Hutan, TLN No. 5795 Tahun 2010, Ps. 4 ayat (2) huruf m.

    Indonesia, Peraturan Pemerintah tentang Perubahan Kedua Atas Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 2010 tentang 30Penggunaan Kawasan Hutan, TLN No. 5795 Tahun 2010, Ps. 6.

    PPID KLHK, “Penjelasan KLHK tentang Penyediaan Kawasan Hutan Untuk Pembangunan Food Estate” http://ppid.menlhk.go.id/31siaran_pers/browse/2747, diakses pada 02 Januari 2021

    Hariadi Kartodihardjo dalam Tempo, “Hutan Lindung Berganti Lumbung” https://majalah.tempo.co/read/lingkungan/161997/32hutan-lindung-bisa-kian-hilang-digantikan-proyek-lumbung-pangan, diakses pada 02 Januari 2021.

    Indonesia, Peraturan Pemerintah Nomor 44 Tahun 2004 tentang Perencanaan Kehutanan LN No. 146 Tahun 2004, ps. 24 ayat 33(3b).

    Indonesian Center for Environmental Law13

    http://ppid.menlhk.go.id/siaran_pers/browse/2747http://ppid.menlhk.go.id/siaran_pers/browse/2747https://majalah.tempo.co/read/lingkungan/161997/hutan-lindung-bisa-kian-hilang-digantikan-proyek-lumbung-panganhttps://majalah.tempo.co/read/lingkungan/161997/hutan-lindung-bisa-kian-hilang-digantikan-proyek-lumbung-pangan

  • Indonesia Environmental Law Outlook 2021: Proyeksi Keberlanjutan Lingkungan Hidup di Tengah Upaya Pemulihan Ekonomi

    Sebagai tambahan, FAO telah menyusun program respon dan pemulihan yang secara proaktif dan berkelanjutan dapat merespon dampak sosial-ekonomi. Program ini dibentuk sesuai 34

    dengan pendekatan “build back better” oleh UN sekaligus menyelesaikan dampak langsung dari pandemic dan memperkuat resiliensi sistem pangan. Salah satu prioritas program ini adalah adalah “pencegahan pandemi zoonosis berikutnya”. Risiko pandemi yang bersumber dari hewan sangat mungkin terjadi di daerah yang memiliki interaksi dekat antara wildlife/alam liar dengan produksi pertanian dan peternakan, diperburuk dengan pertanian yang telah merambah dan menekan ekosistem alami. 35

    Sampai tulisan ini dibuat, belum ditemukan adanya penjelasan lanjutan serta kajian mendalam mengenai ketiga catatan di atas. Di sisi lain, program food estate akan terus diselenggarakan pada tahun 2021 sebagai kelanjutan dari pelaksanaan pada tahun sebelumnya. Kedepannya, penyediaan kawasan hutan lindung untuk proyek food estate hendaknya dievaluasi mengingat ketentuan PermenLHK 24/2020 yang bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi. Selain itu, sebagai langkah merespon krisis, sudah seharusnya langkah-langkah turut diarahkan untuk mencegah adanya krisis berikutnya, salah satunya pencegahan pandemi zoonotik.

    (2) Catatan terhadap Pengaturan Terkait Penyelesaian Keterlanjuran Kegiatan Dalam Kawasan Hutan dalam UU Cipta Kerja

    Perubahan UU No. 18 Tahun 2013 dalam UU Cipta Kerja menyediakan mekanisme penyelesaian keterlanjuran kegiatan di kawasan hutan yang tidak memiliki perizinan bidang kehutanan dan/atau perizinan berusaha. Ketentuan tersebut terdapat dalam Pasal 110A (untuk kegiatan yang memiliki izin usaha tetapi tidak memiliki izin di bidang kehutanan) dan Pasal 110B (tidak memiliki izin usaha dan tidak memiliki izin bidang kehutanan). Sebelumnya, ketentuan penyelesaian keterlanjuran sudah pernah dimuat dalam Pasal 51 Peraturan Pemerintah Nomor 104 Tahun 2015 tentang Tata Cara Perubahan Peruntukan dan Fungsi Kawasan Hutan (PP No. 104 Tahun 2015) dengan ketentuan yang lebih ketat. Ketentuan tersebut memuat batasan waktu selama 1 tahun sejak berlakunya PP. Seharusnya, saat ini sanksi pidana sudah dapat 36

    dikenakan bagi yang tidak memenuhi ketentuan tersebut. Namun justru UU Cipta Kerja memberikan perpanjangan waktu untuk penyelesaiannya.

    Food and Agriculture Organization, “FAO COVID-19 Response and Recovery Programme” http://www.fao.org/partnerships/34resource-partners/covid-19/en/, diakses pada 02 Januari 2020.

    Food and Agriculture Organization , COVID-19 Response and Recovery Programme - Preventing the next zoonotic pandemic: 35Strengthening and extending the One Health approach to avert animal-origin pandemics, (Rome: FAO, 2020), hlm.1.

    Indonesia, Peraturan Pemerintah No. 104 Tahun 2015 tentang Tata Cara Perubahan Peruntukan dan Fungsi Kawasan Hutan, LN 36No. 326 Tahun 2015, TLN No. 5794 Tahun 2015, ps. 51

    Indonesian Center for Environmental Law14Indonesia Environmental Outlook 2021: Proyeksi Keberlanjutan Lingkungan Hidup di Tengah Upaya Pemulihan Ekonomi

    http://www.fao.org/partnerships/resource-partners/covid-19/en/http://www.fao.org/partnerships/resource-partners/covid-19/en/

  • Indonesia Environmental Law Outlook 2021: Proyeksi Keberlanjutan Lingkungan Hidup di Tengah Upaya Pemulihan Ekonomi

    Pengaturan sebagaimana Pasal 110A dan 110B mengingatkan pada forest amnesty (amnesti bagi keterlanjuran penggunaan dan pemenfaatan kawasan hutan) yang pernah diwacanakan sebelumnya. Forest amnesty bertujuan untuk meningkatkan penerimaan negara dan pertumbuhan perekonomian, mengembangkan kesadaran dan kepatuhan masyarakat dalam pelaksanaan kewajiban perpajakan serta kewajiban lainnya termasuk rehabilitasi hutan. Luasnya kebun di areal hutan dan tingginya konstribusi positif kebun sawit bagi pertumbuhan ekonomi dan kehidupan masyarakat dinilai sebagai alasan kuat untuk mewujudkan wacana ini. Namun, 37

    mengabaikan bahwa seharusnya hutan dilihat lebih dari sumber daya untuk dimanfaatkan karena terdapat eksternalitas lingkungan yang harus dipertimbangkan mendalam. Fokus kebijakan seharusnya diarahkan pada hak kelola masyarakat dan penyelesaian konflik tenurial. 38

    Dasar pengambilan kebijakan dalam Pasal 110A dan Pasal 110B pun menjadi pertanyaan. Data tahun 2019 menunjukan bahwa luasan sawit di dalam kawasan hutan mencapai 3.372.615 hektar. Lebih jauh, terdapat kurang lebih 1,2 juta hektar kebun sawit rakyat dari 3,4 juta data 39

    overlay. Selama ini, tujuan dari ketentuan Pasal 110A dan 110B dinyatakan untuk memberikan 40

    legalitas bagi masyarakat yang mengelolan lahan di kawasan hutan, sehingga mereka tidak dipidana. Namun, ketentuan ini menimbulkan beberapa pertanyaan, yaitu: (1) Melihat luasan tutupan sawit dalam kawasan hutan, bagaimana pertanggungjawaban hukum atas kegiatan usaha dalam kawasan hutan sebelum UU Cipta Kerja? dan (2) Melihat data rasio keterlanjuran dalam konteks perkebunan sawit, bagaimana pembuat kebijakan meyakini bahwa ketentuan Pasal 110A dan 110B tepat sasaran yaitu untuk menguntungkan masyarakat?

    Permasalahan selanjutnya ditemukan dalam “RPP Tata Cara Pengenaan Sanksi Administratif dan Tata Cara Penerimaan Negara Bukan Pajak yang Berasal dari Denda Administratif atas Kegiatan Usaha yang telah Terbangun di dalam Kawasan Hutan” sebagai tindak lanjut dari ketentuan 110A dan 110B. Penyelesaian dengan mekanisme akan dikenakan Sanksi 41

    Administratif berupa kewajiban pembayaran Provisi Sumber Daya Hutan (PSDH) dan Dana

    Pungky Widiaryanto, “Mungkinkah Menerapkan Foresty Amnesty?” https://www.forestdigest.com/detail/245/mungkinkah- 2 37menerapkan-forest-amnesty/?msg=sukses, diakses 04 Januari 2021.

    Henri Subagiyo, “Jebakan-Jebakan Forest Amensty”, https://www.forestdigest.com/detail/256/jebakan-jebakan-forest-38amnesty, diakses 4 Januari 2021.

    Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, “Presentasi Rancangan Peraturan Pemerintah Tata Cara Pengenaan Sanksi 22 39Administratif dan Tata Cara Penerimaan Negara Bukan Pajak yang Berasal dari Denda Administratif atas Kegiatan Usaha di Dalam Kawasan Hutan” (Surabaya, 30 November 2020), hlm. 2

    Mongabay, “Menyoal Jutaan Hektar Kebun Sawit dalam Kawaan Hutan” https://www.mongabay.co.id/2019/10/30/menyoal- 23 40jutaan-hektar-kebun-sawit-dalam-kawasan-hutan/, diakses pada 17 Desember 2020.

    Indonesia, RPP Tata Cara Pengenaan Sanksi Administratif dan Tata Cara Penerimaan Negara Bukan Pajak yang 41Berasal dari Denda Administratif atas Kegiatan Usaha yang Telah Terbangun di Dalam Kawasan Hutan (Draft ke- 17), diakses dari https://uuciptakerja.go.id/rpp-tata-cara-pengenaan-sanksi-administratif-dan-tata-cara- penerimaan-negara-bukan-pajak-yang-berasaldari-denda-administratif-atas-kegiatan-usaha-yang-telah-terbangun- di-dalam-kawasan-hutan-2/, pada 17 Desember 2020.

    Indonesian Center for Environmental Law15

  • Indonesia Environmental Law Outlook 2021: Proyeksi Keberlanjutan Lingkungan Hidup di Tengah Upaya Pemulihan Ekonomi

    Reboisasi (DR). Sementara untuk penyelesaian dengan 110B, Sanksi Administratif yang akan 42

    dikenakan adalah Penghentian sementara Kegiatan Usaha, Denda Administratif, dan/atau Paksaan Pemerintah . Berdasarkan Draft Ke-17 RPP ini, terdapat beberapa permasalahan 43

    didalamnya, meliputi: Pertama, Sanksi Administratif berupa PSDH dan DR tidak tepat karena keduanya merupakan kewajiban dan bukan respon dari ketidaktaatan. Pembayaran PSDH dan DR wajib dilakukan 44

    oleh pemegang izin pemanfaatan hutan lindung dan hutan produksi. Setelah UU Cipta Kerja, PSDH dan DR tetap terletak sebagai kewajiban yang dibebankan kepada pemegang perizinan berusaha seiring dengan perubahan konsep perizinan dalam UU Cipta Kerja. Perumusan PSDH dan DR sebagai sanksi administratif mengurangi tujuan sanksi administratif, memberikan kemungkinan bagi pelanggar untuk melepaskan diri dari pertanggungjawaban hukum, dan memberikan kemungkinan bagi pelanggar untuk tidak menaati hukum atau mengulangi perbuatannya dikemudian hari. Seharusnya, pelaku usaha dikenakan sanksi administratif atas ketidaktaatannya terlebih dahulu (misalnya denda administartif) dan kemudian dibebani kewajiban untuk membayar DR dan PSDH selama masa pengusahaan sebelumnya.

    Kedua, terdapat permasalahan dalam paradigma Paksaan Pemerintah dan jenis sanksinya dalam RPP. Dalam RPP, Paksaan Pemerintah adalah salah satu pilihan sanksi administratif untuk memberikan efek eksekutorial, yang terdiri dari pemblokiran, pencegahan keluar negeri, 45

    penyitaan aset, dan/atau paksa badan. Padahal, Paksaan Pemerintah secara konsep 46

    dikategorikan sebagai sanksi yang ditujukan untuk memulihkan pelanggaran hukum. Van de 47

    Brekel juga menyatakan bahwa paksaan pemerintah adalah “tindakan nyata dari pemerintah terhadap pelanggaran peraturan perundang-undangan”. Dalam hal ini, Ketika pelaku usaha 48

    tidak melakukan tindakan paksaan pemerintah, maka Pemerintah dapat melakukan tindakan nyata langsung, seperti penyegelan terhadap kegiatan usaha sampai pelaku usaha melakukan

    Indonesia, RPP Tata Cara Pengenaan Sanksi Administratif dan Tata Cara Penerimaan Negara Bukan Pajak yang Berasal dari 42Denda Administratif atas Kegiatan Usaha yang telah Terbangun di dalam Kawasan Hutan, ps. 8

    Indonesia, RPP Tata Cara Pengenaan Sanksi Administratif dan Tata Cara Penerimaan Negara Bukan Pajak yang Berasal dari 43Denda Administratif atas Kegiatan Usaha yang telah Terbangun di dalam Kawasan Hutan, ps. 18 ayat (2)

    Wibisana menyatakan bahwa menurut para sarjana, sanksi administratif dianggap sebagai “sarana hukum publik berupa 44penjatuhan beban oleh pemerintah terhadap rakyatnya sebagai respons atas ketidaktaatan terhadap kewajiban yang muncul dari peraturan perundang-undangan”. Lihat Andri Gunawan Wibisana, “Tentang Ekor yang Tak Lagi Beracun: Kritik Konseptual atas Sanksi Administratif dalam Hukum Lingkungan di Indonesia”, Jurnal Hukum Lingkungan Indonesia, Vol. 6, No. 1, (2019), hlm. 42.

    Indonesia, RPP Tata Cara Pengenaan Sanksi Administratif dan Tata Cara Penerimaan Negara Bukan Pajak yang Berasal dari 45Denda Administratif atas Kegiatan Usaha yang telah Terbangun di dalam Kawasan Hutan, Ps. 1 Ayat (26).

    Indonesia, RPP Tata Cara Pengenaan Sanksi Administratif dan Tata Cara Penerimaan Negara Bukan Pajak yang Berasal dari 46Denda Administratif atas Kegiatan Usaha yang telah Terbangun di dalam Kawasan Hutan, Ps. 34 ayat (2).

    Andri Gunawan Wibisana, “Tentang Ekor yang Talk Lagi Beracun: Kritik Konseptual atas Sanksi Administratif dalam Hukum 47Lingkungan di Indonesia”, hlm. 52 sebagaimana mengutip P.M. van den Brekel, E.M.J. Hardy, dan N.J.A.P.B. Niessen, Bestuursrecht (Den Haag: Boom Juridische uitgevers, 2007), hlm. 118

    Andri Gunawan Wibisana, “Tentang Ekor yang Tak Lagi Beracun: Kritik Konseptual atas Sanksi Administratif dalam Hukum 34 48Lingkungan di Indonesia”, hlm. 52.

    Indonesian Center for Environmental Law16

  • Indonesia Environmental Law Outlook 2021: Proyeksi Keberlanjutan Lingkungan Hidup di Tengah Upaya Pemulihan Ekonomi

    pemulihan sendiri, atau pemerintah yang memulihkan dengan biaya dari pelaku usaha. Tidak tepatnya paradigma yang digunakan terefleksikan dengan jenis paksaan pemerintah dalam RPP ini yang akhirnya bersifat punitif, bukan berorientasi pemulihan. Selain itu, jenis sanksi Paksaan Pemerintah dalam RPP tidak sesuai dengan definisi sanksi administratif sebagai yang muncul dari hubungan antara pemerintah dengan warga negara dan dilaksanakan tanpa perantara kekuasaan peradilan. 49

    Ketiga, absennya ketentuan mengenai pemulihan dalam RPP, baik sebagai kewajiban ataupun sanksi administratif. Dalam mekanisme penyelesaian 110A, setelah membayar DR dan PSDH, Menteri kemudian mencabut Sanksi Administratif dan menerbitkan Persetujuan pelepasan Kawasan Hutan atau Persetujuan Melanjutkan Kegiatan Usaha. Namun, Perizinan Berusaha 50

    akan dicabut apabila tidak membayar Sanksi Administratif tersebut. Lantas, siapa yang akan 51

    menanggung beban untuk memulihkan lahan tersebut? Selain itu, isu pemulihan pun muncul ketika ada perbedaan antara luas persetujuan yang diberikan oleh Menteri dengan lahan yang diusahakan. Pertanyaan lebih lanjut yang timbul adalah: Siapa pihak yang akan memulihkan lahan sisanya?

    Permasalahan terdapat pula dalam penyelesaian Pasal 110B. Setelah pembayaran Denda Administratif, terdapat dua skenario yang tersedia, yaitu menerbitkan Persetujuan Penggunaan Kawasan Hutan di Kawasan Hutan Produksi dan/atau mewajibkan Pelaku Usaha mengembalikan lahan Kegiatan Usaha kepada Negara di Kawasan Hutan Lindung dan/atau Hutan Konservasi. Isu yang muncul selanjutnya adalah siapa yang akan bertanggungjawab dalam melakukan pemulihan ketika ada pengembalian lahan. Mengenai Paksaan Pemerintah yang diterapkan untuk Pasal 110B, pemulihan seharusnya menjadi opsi utama bagi penerapan sanksi jenis ini. Paksaan pemerintah pun dalam perkembangannya di Belanda (yang menjadi acuan pengaturan dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009) memiliki fungsi untuk pemulihan lingkungan. 52 53

    Pasal 110A dan Pasal 110B dalam perubahan UU No. 18 Tahun 2013 dalam UU Cipta Kerja adalah langkah mundur bagi penguatan tata kelola hutan. Dasar pengambilan kebijakan dan evaluasi terhadap kebijakan penyelesaian sebelumnya pun dipertanyakan. Lebih dari itu,

    Ridwan H.R., Hukum Administrasi Negara, Cet. 3 (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2006), hlm. 314.49

    Indonesia, RPP Tata Cara Pengenaan Sanksi Administratif dan Tata Cara Penerimaan Negara Bukan Pajak yang Berasal dari 50Denda Administratif atas Kegiatan Usaha yang telah Terbangun di dalam Kawasan Hutan Ps. 10

    Indonesia, RPP Tata Cara Pengenaan Sanksi Administratif dan Tata Cara Penerimaan Negara Bukan Pajak yang Berasal dari 51Denda Administratif atas Kegiatan Usaha yang telah Terbangun di dalam Kawasan Hutan, Ps. 14.

    L. Y., D’Hondt, Addressing Industrial Pollution in Indonesia: The Nexus Between Regulation and Redress Seeking, (Leiden: 522019), 35 hlm. 75.

    Grita Anindarini, “Setelah UU Cipta Kerja: Menelaah Efektivitas Sanksi Administratif Lingkungan Hidup”, Seri Analisis, (Jakarta: 5336 ICEL, 2020), hlm. 3.

    Indonesian Center for Environmental Law17

  • Indonesia Environmental Law Outlook 2021: Proyeksi Keberlanjutan Lingkungan Hidup di Tengah Upaya Pemulihan Ekonomi

    berkaca pada data yang tersedia, wacana bahwa kebijakan ini akan menguntungkan masyarakat pun diragukan. Tidak hanya dalam level UU, RPP Tata Cara Pengenaan Sanksi Administratif dan Tata Cara Penerimaan Negara Bukan Pajak yang Berasal dari Denda Administratif atas Kegiatan Usaha yang telah Terbangun di dalam Kawasan Hutan pun masih memuat berbagai permasalahan. Dengan beragam permasalahn tersebut, pengawalan ketat dari masyarakat sipil atas isu ini perlu terus dilakukan kedepannya.

    Indonesian Center for Environmental Law18

  • Indonesia Environmental Law Outlook 2021: Proyeksi Keberlanjutan Lingkungan Hidup di Tengah Upaya Pemulihan Ekonomi

    Indonesian Center for Environmental Law19

    Indonesia Environmental Outlook 2021: Proyeksi Keberlanjutan Lingkungan Hidup di Tengah Upaya Pemulihan Ekonomi

  • Indonesia Environmental Law Outlook 2021: Proyeksi Keberlanjutan Lingkungan Hidup di Tengah Upaya Pemulihan Ekonomi

    III. Mengawal Perkembangan Hukum yang Dihasilkan Pengadilan dalam Penanganan Kasus Lingkungan Hidup dan Sumber Daya Alam

    Catatan menarik dari sektor peradilan selama tahun 2020 adalah perkembangan hukum yang dihasilkan melalui putusan-putusan. Hal ini menunjukan kontribusi positif pengadilan dalam pembaharuan hukum lingkungan. Walaupun begitu, tetap ada beberapa catatan kritis terhadap putusan-putusan tersebut. Perlu dicatat bahwa dalam tahun-tahun sebelumnya perkembangan hukum dari putusan pengadilan lebih banyak dalam isu kebakaran hutan dan lahan, namun di tahun 2020 sudah lebih bervariasi. Berikut adalah beberapa perkara selama tahun 2020 yang mengandung perkembangan hukum.

    (1) Negara Republik Indonesia v. PT SSS (perkara pidana) 54

    PT Sumber Sawit Sejahtera (PT SSS) dihukum karena kelalaiannya mencegah kebakaran hutan di lahan yang dikuasainya sehingga mengakibatkan dilampauinya baku mutu udara ambien, baku mutu air dan kriteria baku kerusakan. PT SSS juga dihukum karena tidak menerapkan Amdal dan analisis risiko lingkungan hidup. Hal menarik dari putusan ini adalah pertanggungjawaban pidana korporasi yang dibebankan kepada PT SSS tidak hanya pidana pokok berupa denda, melainkan juga pidana tambahan berupa perbaikan akibat tindakan pidana, yaitu pemulihan. Putusan ini kembali menegaskan bahwa karakteristik perkara lingkungan adalah perlakuan yang terbaik terhadap lingkungan. Majelis Hakim dalam perkara ini juga sangat cermat dalam membedah penghitungan besaran biaya pemulihan lingkungan yang disampaikan oleh para ahli. Mengacu kepada fakta lapangan dimana pada lahan yang terbakar ternyata belum diusahakan (ditanami), maka Majelis Hakim melakukan koreksi terhadap penghitungan ahli antara lain terhadap biaya pembuatan reservoir, biaya pemeliharaan reservoir dan biaya pengaturan tata air. Majelis Hakim juga mempertimbangkan pertimbangan kenaikan harga sewa truk berdasarkan inflasi. Koreksi hakim ini membuat besaran biaya pemulihan disesuaikan dari Rp. 55.212.592.890,- menjadi Rp. 38.652.262.000,-. Koreksi Majelis Hakim terhadap valuasi tersebut patut diapresiasi karena menunjukan bagaimana kebenaran materiil digali dalam perkara ini. Hanya saja penghitungan biaya pemulihan ini harus ditindaklanjuti dengan tindakan pemulihan yang nyata. Putusan ini tidak menjelaskan bagaimana upaya pemulihan lingkungan dilakukan karena menyerahkan kepada mekanisme koordinasi antara

    Putusan Nomor 349/Pid.B/LH/2019/PN Plw54

    Indonesian Center for Environmental Law20

  • Indonesia Environmental Law Outlook 2021: Proyeksi Keberlanjutan Lingkungan Hidup di Tengah Upaya Pemulihan Ekonomi

    Jaksa dan KLHK sebagaimana dimandatkan dalam Pasal 120 UU No. 32 Tahun 2009. Seharusnya mekanisme koordinasi ini akan lebih efektif jika peraturan tentang penegakan hukum satu atap/One Roof Enforcement System (ORES) sebagaimana mandat Pasal 95 UU No. 32 Tahun 2009 dan putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 18/PUU-XII/2014 sudah dibentuk. Terakhir, apresiasi harus diberikan karena Majelis Hakim juga melihat bahwa ada pelanggaran administratif yang dapat ditindaklanjuti dengan pengenaan sanksi administratif.

    (2) Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan v. PT HAYI 55

    Perkara ini merupakan perkara perdata dimana tergugatnya adalah PT How Are You Indonesia (PT HAYI). PT HAYI merupakan perusahaan yang bergerak di bidang industri penyempurnaan kain yang menghasilkan limbah bahan berbahaya beracun (B3). Limbah B3 yang dihasilkan tersebut dibuang dan mencemari ke Sungai Cihujung, Cimahi. Pertanggungjawaban yang dibebankan kepada Tergugat dalam putusan Pengadilan Negeri Jakarta Utara adalah tanggung jawab mutlak (strict liability). Dalam pertimbangannya, Majelis Hakim PN Jakarta Utara menyatakan bahwa: “..unsur kesalahan dan unsur melawan hukum sudah sepatutnya dikesampingkan untu tidak dipertimbangkan dalam tanggung jawab mutlak (strict liability)…”. Dalam putusannya, Majelis Hakim tidak lagi “masuk” dari Perbuatan Melawan Hukum melainkan langsung menggunakan strict liability. Pertimbangan ini merupakan perkembangan hukum karena Majelis Hakim tidak lagi mencampurkan antara strict liability dan Perbuatan Melawan Hukum. Hanya saja, kritik untuk perkara ini adalah sejak dari gugatan memfokuskan kepada kerugian lingkungan hidup yang tidak jelas apakah dimaknai sebagai pemulihan atau tidak. Hal ini juga mempengaruhi putusan Majelis Hakim yang hanya memutus ganti kerugian saja tanpa mekanisme yang jelas apakah dapat ditujukan bagi pemulihan lingkungan atau tidak.

    (3) Pradarma Rupang, dkk v. Gubernur Kalimantan Timur, dkk 56

    Perkara ini merupakan gugatan warga negara (citizen lawsuit), dimana warga Kalimatan Timur menggugat Gubernur Kalimantan Timur, Bupati Penajam Paser Utara, Walikota Balikpapan, Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Menteri Perhubungan dan Menteri Kelautan dan Perikanan. Gugatan ini didasarkan dari tumpahan minyak akibat tumpahan minyak di Teluk Balikpapan. Walaupun tuntutan penggugat hanya sebagian yang dikabulkan, namun terdapat 3 tuntutan yang cukup penting untuk diangkat, yaitu mengenai penyusunan kebijakan sistem informasi tanggap darurat, penanggulangan dan pemulihan. Ketiga tuntutan ini dikabulkan oleh Majelis Hakim. Dengan kritik yang ada, namun putusan baik dalam hal menegaskan urgensi kebijakan penanggulangan dan pemulihan dengan mekanisme akuntabel dan partisipatif.

    Putusan Nomor 735/PDT.G-LH/2018/PN.Jkt.Utr.55

    Putusan Nomor 99/Pdt.G/2019/PN Bpp56

    Indonesian Center for Environmental Law21

  • Indonesia Environmental Law Outlook 2021: Proyeksi Keberlanjutan Lingkungan Hidup di Tengah Upaya Pemulihan Ekonomi

    (4) Negara Republik Indonesia v. Robandi, dkk 57

    Perkara ini didasarkan dari penolakan Robandi, dkk terhadap bantuan pangan dari PT Bangka Asindo Agri (BAA) kepada masyarakat yang berada di wilayah administrasi Rukun Tetangga (RT) Robandi, dkk. PT BAA kemudian melaporkan Robandi, dkk karena dianggap tidak memiliki lagi kewenangan sebagai ketua RT untuk membuat surat penolakan bantuan pangan. Sebelumnya Robandi, dkk juga memiliki perkara perdata lingkungan melawan PT BAA. Majelis Hakim Pengadilan Negeri Sungailiat dalam putusan sela-nya menerima eksepsi dari kuasa hukum Robandi, dkk; menyatakan surat dakwaan penuntut umum batal demi hukum dan membebaskan Robandi, dkk. Putusan ini jelas menunjukan keberpihakan terhadap pembela/pejuang lingkungan hidup. Selain itu, eksepsi dari kuasa hukum juga memuat konsep Anti Strategic Lawsuit Against Public Participation (SLAPP) yang diatur dalam Pasal 66 UU No. 32 Tahun 2009. Dalam eksepsinya, kuasa hukum mendalilkan bahwa dakwaan tidak dapat diterima karena merupakan perkara SLAPP. Walaupun putusan sela ini tidak mempertimbangkan SLAPP, namun konsepsi perlindungan pembela/pejuang lingkungan yang terlihat dalam nuansa putusan ini merupakan perkembangan hukum yang penting.

    Selain keempat perkara tersebut di atas, terdapat juga perkara lainnya yang baik seperti perkara perdata Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan v. PT. Jatim Jaya Perkasa (peninjauan kembali) dan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan v. PT. Arjuna Utama Sawit (pengadilan negeri). Kedua perkara ini merupakan perkara karhutla yang menghukum tergugat untuk membayar biaya pemulihan dan ganti kerugian lingkungan hidup. Hanya saja putusan pengadilan yang menghasilkan perkembangan hukum yang baik, masih menyisakan pekerjaan rumah besar terkait eksekusi terutama yang terkait dengan pemulihan lingkungan. Karena sudah sewajarnya penegakan hukum lingkungan tidak hanya berhenti untuk menghukum dan meminta ganti rugi, namun juga memberikan perlakuan terbaik bagi lingkungan hidup, yaitu pemulihan. Selain eksekusi berupa pemulihan, penyusunan kebijakan yang berorientasi kepada perlindungan hak masyarakat dan juga kebijakan informasi tanggap darurat, penanggulangan dan pemulihan merupakan serangkaian kebijakan yang penting untuk disusun.

    Hanya saja pada tahun 2020 masih terdapat beberapa putusan pengadilan yang perlu mendapatkan perhatian khusus karena belum memberikan perkembangan hukum yang baik. Salah satunya adalah perkara pidana atas nama terdakwa Henock Budi Setiawan alias Ming Ho. Perkara ini merupakan perkara pembalakan liar yang dimana Terdakwa Ming Ho dihukum penjara selama 2 tahun dan denda Rp2,5M subsider kurungan 3 bulan (tingkat pengadilan negeri). Namun dalam tingkat kasasi, hukuman ini kemudian dikurangi dan barang bukti dikembalikan kepada Terdakwa. Pengembalian barang bukti ini tentunya menjadi catatan negatif, karena barang bukti tersebut sangat mungkin untuk beredar di pasar.

    Putusan Nomor 454/Pid.B/2020/PN Sgl57

    Indonesian Center for Environmental Law22Indonesia Environmental Outlook 2021: Proyeksi Keberlanjutan Lingkungan Hidup di Tengah Upaya Pemulihan Ekonomi

  • Indonesia Environmental Law Outlook 2021: Proyeksi Keberlanjutan Lingkungan Hidup di Tengah Upaya Pemulihan Ekonomi

    Catatan terakhir berasal dari perkara Tata Usaha Negara (TUN) yang umumnya masih menyisakan permasalahan terkait belum diterimanya kerugian potensial. Misalnya saja dalam perkara Harianto, dkk v. Gubernur Bengkulu dan Lembaga OSS. Belajar dari perkara ini dan perkara-perkara sejenis, 58

    seharusnya dalam perkara lingkungan hidup, kerugian potensial harus diakomodir. Karena pada dampak dari masalah lingkungan tidak hanya terjadi seketika, melainkan juga dapat terjadi di masa-masa mendatang dan bersifat kumulatif.

    Putusan Nomor 112/G/LH/2019/PTUN.BKL dan Putusan Nomor 48/B/LH/2020/PT.TUN-MDN.58

    Indonesian Center for Environmental Law23

  • Indonesia Environmental Law Outlook 2021: Proyeksi Keberlanjutan Lingkungan Hidup di Tengah Upaya Pemulihan Ekonomi

    Indonesian Center for Environmental Law24Indonesia Environmental Outlook 2021: Proyeksi Keberlanjutan Lingkungan Hidup di Tengah Upaya Pemulihan Ekonomi

  • Indonesia Environmental Law Outlook 2021: Proyeksi Keberlanjutan Lingkungan Hidup di Tengah Upaya Pemulihan Ekonomi

    IV. Semakin Sulitnya Publik dalam Mengakses Informasi Lingkungan

    Salah satu catatan negatif dari tata kelola lingkungan hidup selama tahun 2020 adalah sulitnya mengakses informasi lingkungan bagi publik. Dua kasus yang hendak diangkat dalam catatan ini adalah mengenai polemik dokumen Hak Guna Usaha (HGU) yang tidak kunjung dibuka kepada publik, serta sulitnya mengakses dokumen-dokumen lingkungan yang dimiliki oleh pelaku usaha seperti Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (Amdal) dan Izin Lingkungan. Padahal akses terhadap informasi merupakan salah satu pilar pemenuhan hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat sebagaimana dijamin oleh Konstitusi. 59

    Prinsip 10 Deklarasi Rio mengakui bahwa pengelolaan lingkungan hidup akan lebih baik jika dilakukan dengan mendorong partisipasi publik seluas-luasnya dalam tingkat yang relevan. Misalnya di tingkat nasional, setiap individu harus memiliki akses yang memadai terhadap informasi mengenai usaha dan kegiatan yang ada di sekitarnya, serta memiliki kesempatan untuk berpartisipasi dalam pengambilan keputusan. Dalam hal ini negara berkewajiban menjamin bahwa informasi tersedia secara luas sehingga dapat mendorong partisipasi publik. 60

    Hal ini sejalan dengan UU No. 32 Tahun 2009 yang juga menjamin hak publik atas lingkungan yang diwujudkan dalam bentuk akses informasi, akses partisipasi, dan akses keadilan. Sebagai prasyarat 61

    untuk mewujudkannya, pemerintah harus menjamin agar publik memiliki akses yang memadai untuk mendapatkan informasi terkait lingkungan hidup. Akses informasi memegang peranan penting sebagai 62

    prasyarat yang membuka akses lainnya. Tanpa adanya informasi yang memadai, jelas, dan transparan, tentunya publik tidak dapat turut berpartisipasi hingga sulit memperoleh keadilan. Bahkan dalam 63

    Konvensi Aarhus, akses informasi merupakan hak yang diatur paling mendetail karena sifatnya yang penting dalam membuka akses lainnya. Selain itu, untuk menjamin akses terhadap informasi, sejak 64

    tahun 2008 telah diundangkan UU Keterbukaan Informasi Publik yang membawa paradigma baru,

    Indonesia, Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 setelah Amandemen ke-4, Pasal 28H ayat (1).59

    Rio Declaration on Environment and Development, 1992, Principle 1060

    Undang Undang No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, LN 140, TLN 5059, ps.l 65 ayat 61(2), “Setiap orang berhak mendapatkan pendidikan lingkungan hidup, akses informasi, akses partisipasi, dan akses keadilan dalam memenuhi hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat.” (penebalan oleh penulis)

    Raynaldo Sembiring, et.al, Anotasi Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan 62Hidup, (Jakarta: ICEL, 2014), hlm. 57.

    Jane Holder dan Maria Lee, Environmental Protection, Law, and Policy, 2nd ed., (Cambridge: Cambridge University Press, 2007), 63hlm. 86.

    Aarhus Convention on Access to Information, Public Participation in Decision-Making, and Access to Justice in Environmental 64Matters, 1998, Article 4 dan 5.

    Indonesian Center for Environmental Law25

  • Indonesia Environmental Law Outlook 2021: Proyeksi Keberlanjutan Lingkungan Hidup di Tengah Upaya Pemulihan Ekonomi

    bahwa pada dasarnya setiap informasi publik bersifat terbuka dan dapat diakses oleh setiap pengguna. 65

    Absennya keterbukaan terhadap dokumen publik akan menimbulkan berbagai permasalahan yang berakar dari tertutupnya informasi. Catatan penting pada tahun 2020 ini adalah ditengah usaha percepatan pembangunan, justru akses masyarakat terhadap informasi dan dokumen lingkungan hidup masih menjadi pekerjaan rumah dan dikhawatirkan akan semakin sulit. Pada akhir 2020 ini misalnya, Menkopolhukam Mahfud MD dalam akun media sosial pribadinya sempat menyinggung mengenai daftar grup penguasa tanah melalui HGU. Penguasaan itu diperoleh dari pemerintahan dari waktu ke waktu dan “dilindungi” oleh hukum. Hal ini tentunya tidak lepas dari informasi kepemilikan HGU yang hingga kini belum kunjung dibuka ke publik.

    Padahal, perlu untuk diingat bahwa berbagai Putusan Komisi Informasi di beberapa daerah telah menyatakan bahwa HGU adalah dokumen publik yang dapat dibuka setiap saat. Salah satu perkara 66

    yang sering dikutip adalah sengketa informasi antara Forest Watch Indonesia v. Kementerian ATR/BPN yang telah dimenangkan di seluruh tingkat pengadilan hingga berkekuatan hukum tetap. Dalam pertimbangannya, majelis menyatakan bahwa dokumen HGU merupakan informasi publik yang termasuk dalam kategori informasi yang tersedia setiap saat sekaligus menyatakan bahwa rincian informasi dalam HGU berupa nama pemegang, lokasi, luas areal, dan peta areal yang dilengkapi titik koordinat merupakan informasi terbuka untuk publik. Namun, hingga kini Kementerian ATR/BPN masih 67

    tidak membuka seluruh data HGU dengan dalil dapat membahayakan industri sawit. 68

    Pada dasarnya, apabila Kementerian ATR/BPN tetap tidak membuka data HGU, sekalipun telah diperintahkan oleh putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap, Tindakan ini dapat dikenai sanksi. Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan mengatur bahwa perbuatan tersebut termasuk dalam kualifikasi bertindak sewenang-wenang, yaitu melakukan tindakan yang bertentangan dengan putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap, sehingga sanksi

    Indonesia, Undang Undang No. 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik, LN 61, TLN 4846, ps. 2 ayat (1).65

    Lihat antara lain: 66- Putusan Komisi Informasi Sulawesi Tengah No. 02/PTS/PSI/KI-SLTG/VI/2013 antara Aliansi Gerakan Reformasi Agraria (AGRA)

    v. Kantor Wilayah BPN Sulawesi Tengah untuk foto copy Peta HGU PT HIP di Kab. Buol. - Putusan Komisi Informasi Kalimantan Timur No. 008/REG-PSI/V/2014 antara Muhammad Jamil dari Jatam Kaltim v. Disbun

    Kab. Bulungan untuk HGU Perkebunan se-Bulungan, HGU PT Bulungan Citra Agro Persada, dan HGU PT Intracawood. - Putusan Komisi Informasi Bengkulu No. 31/III/KIP-BL.PSI/A/2015 antara Walhi Bengkulu v. BPN Provinsi Bengkulu untuk HGU

    PTPN VII, HGU PT Agri Andalas, dan HGU PT SIL. - Putusan Komisi Informasi Kalimantan Timur No. 008/REG-PSI/XI/2015 antara Merah Johansyah Jatam Kaltim v. BPN Provinsi

    Kaltim yang diperkuat dengan Putusan PTUN Samarinda No. 11/G/KI/2016/PTUN-SMD.

    Putusan Komisi Informasi Pusat No. 057/XII/KIP-PS-M-A/2015 tanggal 26 Juli 2016, Putusan PTUN Jakarta No. 2/G/KI/2016/67PTUN-JKT tanggal 14 Desember 2016, dan Putusan Mahkamah Agung No. 121 K/TUN/2017 tanggal 6 Maret 2017.

    Tirto, “Enggan Buka HGU, Sofyan Djalil Dianggap Gagal Pahami Hak Publik” https://tirto.id/enggan-buka-hgu-sofyan-djalil-68dianggap-gagal-pahami-hak-publik-cBXu, dan CNN Indonesia, “Sofyan Djalil Minta Warga Bayar untuk Akses Data HGU” https://www.cnnindonesia.com/ekonomi/20190510195808-92-393892/sofyan-djalil-minta-warga-bayar-untuk-akses-data-hgu, diakses 1 Januari 2021.

    Indonesian Center for Environmental Law26

    https://tirto.id/enggan-buka-hgu-sofyan-djalil-dianggap-gagal-pahami-hak-publik-cBXuhttps://tirto.id/enggan-buka-hgu-sofyan-djalil-dianggap-gagal-pahami-hak-publik-cBXuhttps://www.cnnindonesia.com/ekonomi/20190510195808-92-393892/sofyan-djalil-minta-warga-bayar-untuk-akses-data-hguhttps://www.cnnindonesia.com/ekonomi/20190510195808-92-393892/sofyan-djalil-minta-warga-bayar-untuk-akses-data-hgu

  • Indonesia Environmental Law Outlook 2021: Proyeksi Keberlanjutan Lingkungan Hidup di Tengah Upaya Pemulihan Ekonomi

    administratif berat dalam bentuk pemberhentian tetap dapat dikenakan kepada pejabat publik yang bersangkutan. 69

    Selain HGU, akses terhadap dokumen-dokumen lingkungan hidup juga kerap menghadapi kendala. Sudah hampir 2 (dua) tahun Indonesia menerapkan sistem Online Single Submission (OSS) atau perizinan terintegrasi secara elektronik. Sayangnya, informasi fundamental terkait perlindungan lingkungan hidup seperti izin lingkungan dan Amdal tidak tersedia untuk diakses publik dalam laman OSS. Hal ini tergambar apabila kita menelusuri laman OSS. Pengunjung laman OSS bahkan mengalami kesulitan untuk masuk ke dalam bagian pengumuman izin lingkungan yang ada di dalam laman OSS. 70

    Selain itu, pada 2020 ini terdapat preseden buruk juga pada pengalaman permohonan informasi izin lingkungan kepada Badan Koordinasi Penanaman Modal Republik Indonesia (BKPM) sebagai lembaga pengelola OSS. BKPM menolak permohonan informasi izin lingkungan dengan alasan izin lingkungan termasuk informasi yang dikecualikan. Sulitnya mengakses informasi lingkungan hidup seperti izin 71

    lingkungan dan Amdal tentu bertentangan dengan aturan akses informasi yang tercantum dalam UU No. 32 Tahun 2009 sebagaimana dijelaskan sebelumnya.

    Selain itu, kesulitan untuk mengakses informasi melalui platform elektronik ini menjadi catatan penting bagi Pemerintah dalam penyelenggaraan perizinan terintegrasi secara elektronik / OSS. Pengurusan dan penyediaan dokumen lingkungan hidup secara elektronik seharusnya tidak boleh berdampak pada semakin sulitnya publik dalam mengakses informasi publik tersebut. Terlebih UU Cipta Kerja juga merevisi kewajiban pengumuman permohonan dan pengumuman keputusan lingkungan hidup dari melalui media yang mudah diakses oleh publik menjadi melalui media elektronik dan cara-cara lain yang ditetapkan Pemerintah. Perlu untuk digarisbawahi pemenuhan akses terhadap informasi merupakan 72

    salah satu bentuk pemenuhan hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat yang sama sekali tidak dapat direduksi.

    Informasi lingkungan hidup lainnya seperti informasi emisi juga tidak tersedia bagi publik hingga tahun 2020 berakhir. Contohnya dalam laman Dinas Lingkungan Hidup Provinsi DKI Jakarta, informasi emisi dari sumber tidak bergerak tidak disajikan secara detail dengan lini waktu yang lengkap. Laman DLH 73

    Indonesia, UU No. 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan, LN 292, TLN 5601, Pasal 17 ayat (2) huruf c, Pasal 18 69ayat (3) huruf c, Pasal 80 ayat (3), dan Pasal 81 ayat (3).

    Pengumuman umum dan pengumuman izin lingkungan dalam laman OSS tercantum dalam laman ini: https://oss.go.id/portal/70informasi/content/list_pengumuman, diakses pada 3 Januari 2021 pukul 22.13 WIB.

    Surat Sekretaris Utama BKPM RI Nomor 491.A.3/B.2/2020 perihal tanggapan atas Permohonan Data dan Informasi dari Bapak 71Mad Haer Effendi, tanggal 2 Oktober 2020. Lihat juga: Samudranesia, “Polemik Izin PLTU 9 & 10 Masih Berlanjut di PTUN”, (https://samudranesia.id/polemik-izin-pltu-9-10-masih-berlanjut-di-ptun/), diakses pada 4 Januari 2021.

    Indonesia, Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja, LN Tahun 2020 Nomor 245, TLN Nomor 6573, Pasal 21 72dan 22 angka 17.

    Lihat Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, https://lingkunganhidup.jakarta.go.id/publikasi/monitoring_emisi, diakses 73pada 3 Januari 2021, pukul 22.45 WIB.

    Indonesian Center for Environmental Law27

    https://samudranesia.id/polemik-izin-pltu-9-10-masih-berlanjut-di-ptun/https://samudranesia.id/polemik-izin-pltu-9-10-masih-berlanjut-di-ptun/https://oss.go.id/portal/informasi/content/list_pengumumanhttps://oss.go.id/portal/informasi/content/list_pengumumanhttps://lingkunganhidup.jakarta.go.id/publikasi/monitoring_emisi

  • Indonesia Environmental Law Outlook 2021: Proyeksi Keberlanjutan Lingkungan Hidup di Tengah Upaya Pemulihan Ekonomi

    DKI Jakarta hanya mencantumkan informasi jumlah usaha dan/atau kegiatan yang diawasi emisinya serta tingkat ketaatannya, namun tidak mencantumkan data jumlah emisi per masing-masing usaha dan/atau kegiatan. Hampir serupa juga dengan yang tercantum dalam laman milik Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. Informasi beban emisi disampaikan per kategori perusahaan dan juga per kabupaten/kota. Tetapi proporsi beban emisi pada masing-masing usaha dan/atau kegiatan tidak disampaikan. 74

    Aturan tentang kewajiban pemerintah untuk mengumumkan informasi emisi agar mudah diakses masyarakat sudah cukup jelas. Peraturan Pemerintah Nomor 41 Tahun 1999 tentang Pengendalian Pencemaran Udara (PP No. 41 Tahun 1999) memberikan tanggung jawab kepada Gubernur/Bupati/Walikota untuk mengawasi ketaatan pelaku usaha yang menyebabkan pencemaran udara dan menyebarkan hasil pengawasannya kepada masyarakat. Terlebih lagi, Pasal 53 ayat (1) Peraturan 75

    Pemerintah Nomor 27 Tahun 2012 tentang Izin Lingkungan (PP No. 27 Tahun 2012 mengatur bahwa pemegang izin lingkungan wajib untuk melaporkan hasil pelaksanaan terhadap persyaratan dan kewajiban dalam izin lingkungan kepada Menteri/Gubernur/Bupati/Walikota setiap 6 bulan yang di dalamnya memuat kinerja pemegang izin lingkungan dalam menaati baku mutu emisi.

    Dua contoh tersebut menjadi catatan penting sulitnya publik mengakses informasi lingkungan. Hal ini merupakan kemunduran karena sebelumnya agenda-agenda keterbukaan informasi sudah sempat berkembang dengan baik dalam tataran kebijakan, regulasi maupun tindakan lainnya yang didukung oleh kolaborasi pemerintah dengan masyarakat sipil. Terakhir, tanpa adanya keterbukaan informasi niscaya pemenuhan hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat akan semakin sulit tercapai.

    Lihat Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, https://ditppu.menlhk.go.id/simpel/gis/bebanemisi, diakses pada 3 74Januari 2021, pukul 22.51 WIB.

    Indonesia, Peraturan Pemerintah Nomor 41 Tahun 1999 tentang Pengendalian Pencemaran Udara, LN Tahun 1999 Nomor, 75Pasal 44 Ayat (2), Pasal 45 Ayat (2), dan Pasal 49.

    Indonesian Center for Environmental Law28

    https://ditppu.menlhk.go.id/simpel/gis/bebanemisi

  • Indonesia Environmental Law Outlook 2021: Proyeksi Keberlanjutan Lingkungan Hidup di Tengah Upaya Pemulihan Ekonomi

    Indonesian Center for Environmental Law29Indonesia Environmental Outlook 2021: Proyeksi Keberlanjutan Lingkungan Hidup di Tengah Upaya Pemulihan Ekonomi

  • Indonesia Environmental Law Outlook 2021: Proyeksi Keberlanjutan Lingkungan Hidup di Tengah Upaya Pemulihan Ekonomi

    V. Penyusutan Ruang Masyarakat Sipil dalam Memperjuangkan Hak Atas Lingkungan Hidup yang Baik dan Sehat

    Pemenuhan hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat erat kaitannya dengan partisipasi publik. Prinsip 10 Deklarasi Rio 1992 mengatur kewajiban pemenuhan hak akses atas informasi setiap individu dan peluang mereka untuk dapat berpartisipasi dalam proses pengambilan keputusan, disamping proses peradilan yang efektif dan mekanisme kerugian dan pemulihan yang wajib dipenuhi oleh negara. Signifikansi pemenuhan hak atas akses informasi ini dimasukan sejak dalam rezim Undang Undang No. 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup yang memasukan akses atas informasi mengenai pengelolaan lingkungan hidup sebagai bagian dari hak masyarakat, dan meletakan 76

    pemerintah dan pelaku usaha sebagai pengemban kewajiban. Pengaturan ini juga semakin dikuatkan 77

    oleh Undang Undang No. 32 Tahun 2009 yang secara eksplisit memasukan asas partisipatif dan hak akses partisipasi sebagai asas dan hak dalam perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup. 78

    Arnstein dalam teorinya yang dikenal sebagai Ladder of Participation menjabarkan sejumlah gradasi signifikansi masyarakat dalam proses partisipasi publik. Tingkat paling tinggi dikenal dengan sebutan citizen control yang bermakna bahwa masyarakat dapat mempergunakan kebebasan sebesar-besarnya untuk dapat berkontribusi pada proses pengambilan keputusan. Hal ini dicirikan oleh penempatan 79

    masyarakat sebagai mitra, adanya kekuasaan yang terdelegasi dan kontrol warga negara yang tinggi. 80

    Sayangnya, berbagai catatan penting dalam 2020 memperlihatkan ditengah upaya untuk percepatan pembangunan demi pemulihan ekonomi, justru yang semakin gencar adalah penyusutan ruang masyarakat sipil untuk dapat memperjuangkan hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat.

    Upaya degradasi partisipasi publik pertama sepanjang tahun 2020 dapat dicermati pada UU No. 3 Tahun 2020 yang disahkan oleh pemerintah pada 12 Mei 2020. Selain pembahasan yang dilakukan dengan tertutup, undang-undang ini menghilangkan bentuk partisipasi masyarakat berupa pengawasan kegiatan

    Lihat Indonesia, Undang-Undang Pengelolaan Lingkungan Hidup, UU No.23 Tahun 1997, LN No. 68 Tahun 1997, TLN No. 3699, 76

    ps. 5.

    Indonesia, Undang-Undang Pengelolaan Lingkungan Hidup, , UU No.23 Tahun 1997, LN No. 68 Tahun 1997, TLN No. 3699 Ps. 6 77

    jo. ps. 10.

    Indonesia, Undang-Undang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, UU No. 32 Tahun 2009 LN No. 140 Tahun 2009, 78

    TLN No. 5059, ps. 2 jo. ps. 65 ayat (2).

    S.R. Arnstein, “A Ladder of Citizen Participation”, Journal of The American Planning Association, Vol. 35, No.4, 1969, hlm. 79216-224.

    S.R. Arnstein, “A Ladder of Citizen Participation”, Journal of The American Planning Association, Vol. 35, No.4, 1969, hlm. 80216-224.

    Indonesian Center for Environmental Law30

  • Indonesia Environmental Law Outlook 2021: Proyeksi Keberlanjutan Lingkungan Hidup di Tengah Upaya Pemulihan Ekonomi

    tambang dengan menghapus ketentuan permohonan masyarakat kepada penerbit izin untuk dapat menghentikan sementara kegiatan pertambangan. Selain itu, undang-undang a quo juga tetap 81

    mempertahankan Pasal 162 yang kerap digunakan untuk mengkriminalisasi masyarakat dan aktivis lingkungan yang menolak tambang. Adapun partisipasi yang dimaknai dalam UU No. 3 tahun 2020 82

    berada pada titik terendah yakni hanya berupa partisipasi masyarakat untuk dapat bekerja pada perusahaan tambang dan menjadi pengusaha atau distributor tambang. 83

    UU Cipta Kerja yang disahkan pada 5 Oktober 2020 lalu juga melakukan langkah-langkah deteriorasi partisipasi masyarakat melalui perubahan sejumlah ketentuan dalam UU No. 32 tahun 2009. Pertama mengenai pembatasan lingkup partisipasi masyarakat dalam Amdal yang menjadi hanya sebatas pada masyarakat yang terdampak langsung, padahal sebelumnya masyarakat yang dapat berperan dalam proses Amdal tidak dibatasi dan mencangkup elemen representasi yang lebih holistik. 84

    Kedua, terdapat penghapusan unsur masyarakat dalam tim yang melakukan uji kelayakan Amdal yang saat ini bertransformasi sebagai Tim Uji Kelayakan Lingkungan Hidup. Sebelumnya, Komisi Penilai Amdal sebagai lembaga yang menjalankan tugas dan fungsi sejenis, diisi oleh tim teknis yang terdiri dari representasi banyak pihak, yakni instansi lingkungan hidup, instansi teknis terkait, pakar di bidang terkait jenis usaha dan dampak, dan wakil dari masyarakat yang berpotensi terdampak dan organisasi lingkungan hidup. Hal-hal tersebut jelas menunjukan pembatasan secara sistematis terhadap lingkup pihak yang dapat berpartisipasi dalam proses pengambilan kebijakan oleh pemerintah.

    Ketiga, terdapat penghapusan penormaan pemerhati lingkungan untuk dapat berpartisipasi aktif dalam rangkaian proses penyusunan Amdal. Peran dan kinerja pemerhati lingkungan hidup khususnya organisasi lingkungan dalam Amdal sangat penting dalam upaya pengusahaan masyarakat untuk mendapatkan hak atas informasi yang memadai, mendampingi masyarakat untuk dapat berpartisipasi aktif dan proporsional, serta membantu masyarakat untuk mendapatkan akses terhadap keadilan.

    Keempat, terdapat lingkup pembatasan suara masyarakat, dimana saran, pendapat dan tanggapan (SPT) yang dimasukan dalam dokumen Amdal hanya berupa SPT yang memuat saran masukan serta tanggapan dari masyarakat terkena dampak langsung yang dinilai “relevan” dengan rencana usaha dan/

    UU Nomor 3 tahun 2020 tidak menyebut pihak mana yang dapat mengajukan penghentian sementara atau suspensi kegiatan 81usaha pertambangan kepada Menteri, sehingga menimbulkan kekaburan hukum dan potensi pengabaian terhadap permohonan suspensi dari masyarakat. Lihat UU 3 tahun 2020, ps 113 jo. Anindarini, et.al., “Beberapa Kritik Hukum Terhadap Perubahan UU No.4 Tahun 2009 tentang Mineral dan Batubara”, (Jakarta: Indonesian Center for Environmental Law, 2020), hlm. 26.

    Lihat Indonesia, Undang Undang Nomor 4 tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara, LN Tahun 2009 No.4, TLN 82No. 4959, ps. 162.

    Agung Wardana, “Hilangnya Partisipasi Masyarakat pada Perubahan UU Minerba”, https://www.mongabay.co.id/2020/06/19/83hilangnya-partisipasi-masyarakat-pada-perubahan-uu-minerba/, diakses pada 2 Januari 2021.

    Indonesia,Undang Undang No. 32 tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, ps. 26 ayat (3) 84menyatakan bahwa lingkup masyarakat yang dapat berpartisipasi dalam proses Amdal terdiri dari masyarakat yang terkena dampak, pemerhati lingkungan hidup, serta masyarakat yang terpengaruh atas segala bentuk keputusan dalam proses Amdal.

    Indonesian Center for Environmental Law31

    https://www.mongabay.co.id/2020/06/19/hilangnya-partisipasi-masyarakat-pada-perubahan-uu-minerba/https://www.mongabay.co.id/2020/06/19/hilangnya-partisipasi-masyarakat-pada-perubahan-uu-minerba/

  • Indonesia Environmental Law Outlook 2021: Proyeksi Keberlanjutan Lingkungan Hidup di Tengah Upaya Pemulihan Ekonomi

    atau kegiatan yang dibangun. Adapun tolak ukur penilaian relevansi tidak dijabarkan baik dalam UU 85

    Cipta Kerja maupun RPP tindak lanjut UU Cipta Kerja yang dirancang. Kelima, UU Cipta Kerja tidak menjelaskan bagaimana masyarakat dapat mengajukan keberatan pada proses Amdal. Padahal, salah satu bentuk kontrol masyarakat tertinggi adalah dengan disediakannya jaminan dan dasar hukum bagi masyarakat untuk mengajukan keberatan dan keberatan tersebut harus didengar dan dipertimbangkan oleh pemerintah maupun pemrakarsa.

    Arnstein dalam teorinya menghendaki masyarakat yang bahkan tidak terlibat dalam kepentingan politik dan ekonomi dalam suatu kegiatan untuk dapat berpartisipasi dalam menyuarakan suaranya terhadap proyek yang sedang dijalankan dan direspon oleh pihak yang berwenang. Harapannya terdapat arus 86

    informasi yang seimbang antara mereka yang memiliki modal dan kuasa dengan kelompok masyarakat selainnya, serta terbentuk kemitraan yang me