islam dan radikalisme (diskursus: perilaku kekerasan ...karyanya ^kitab sotasoma _.2 sesungguhnya...

18
ISSN: 1693 6922 Islam dan Radikalisme 55 ISLAM DAN RADIKALISME (Diskursus: Perilaku Kekerasan Atas Nama Agama di Indonesia) Muhammad Saini 1 ABSTRACT Islam and Religious Radicalism are happening in Indonesia have been meaningful and double-faced. So, it can be said that Islam ancient (classic) with the contemporary (modern) are very different and even contrary to what has been taught by the Prophet Muhammad and that has been stated in the Qur'an. Radicalism that emerged in Indonesia are mostly departing from dissatisfaction and their desire to make or implement Islamic law in Indonesia. For them, the injustice, the amount of corruption, prolonged crisis and disharmony between the rich and the poor are the result of failure to apply the Islamic law. Radicalism is not suitable in Islamic teaching, so it is not worth to be addressed in the Islamic religion. Because the real Islam there is not such thing radicalism. In the Qur'an and the Hadith it self ordered his people to respect and love and be gentle to others although the followers of other faiths. Violence in the name of religion that led to this kind of distortion understanding of Islam. Religious legitimacy toward the act of violence has very complex content. In this context, at least there are two important factors that led Islamic religion is seen as "problematic" because of misguided thinking and misinterpretation the meaning and understanding of "jihad". Key Words: Islam, Jihad, Radicalism A. PENDAHULUAN Indonesia merupakan sebuah negara yang cukup unik dalam bersentuhan dengan kemajemukan, sehingga founding father memunculkan sebuah prinsip atau sikap hidup yang terangkai dalam sebuah ungkapan “Bhinneka Tunggal Ika” . Ungkapan kata-kata itu pertama kali dicetuskan oleh Mpu Tantular (sekitar 13-14 M) dalam karyanya “Kitab Sotasoma”. 2 Sesungguhnya hal tersebut merupakan sebuah pola pendekatan yang bertumpu kuat pada alam pikiran dualisme-monistis, yang tidak memberikan peluang adanya konfrontasi tegas dan formal. Bangsa Indonesia adalah negara yang terdiri dari banyak pulau, banyak suku, agama, ras, dan golongan. Indonesia adalah negara multikultural. Setiap golongan masyarakat memiliki kepentingan, sudut pandang, dan cara berpikir yang berbeda- 1 Dosen STAIM Nglawak Kertosono Nganjuk 2 Lee Khoon Chaya, Indonesia Between Myth and Reality (Singapore: Federal Publication, 1977), 1-5.

Upload: others

Post on 26-Oct-2020

12 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: ISLAM DAN RADIKALISME (Diskursus: Perilaku Kekerasan ...karyanya ^Kitab Sotasoma _.2 Sesungguhnya hal tersebut merupakan sebuah pola pendekatan yang bertumpu kuat pada alam pikiran

ISSN: 1693 – 6922 Islam dan Radikalisme

55

ISLAM DAN RADIKALISME

(Diskursus: Perilaku Kekerasan Atas Nama Agama di Indonesia)

Muhammad Saini1

ABSTRACT

Islam and Religious Radicalism are happening in Indonesia have been meaningful and double-faced. So, it can be said that Islam ancient (classic) with the contemporary (modern) are very different and even contrary to what has been taught by the Prophet Muhammad and that has been stated in the Qur'an. Radicalism that emerged in Indonesia are mostly departing from dissatisfaction and their desire to make or implement Islamic law in Indonesia. For them, the injustice, the amount of corruption, prolonged crisis and disharmony between the rich and the poor are the result of failure to apply the Islamic law. Radicalism is not suitable in Islamic teaching, so it is not worth to be addressed in the Islamic religion. Because the real Islam there is not such thing radicalism. In the Qur'an and the Hadith it self ordered his people to respect and love and be gentle to others although the followers of other faiths. Violence in the name of religion that led to this kind of distortion understanding of Islam. Religious legitimacy toward the act of violence has very complex content. In this context, at least there are two important factors that led Islamic religion is seen as "problematic" because of misguided thinking and misinterpretation the meaning and understanding of "jihad".

Key Words: Islam, Jihad, Radicalism

A. PENDAHULUAN

Indonesia merupakan sebuah negara yang cukup unik dalam bersentuhan

dengan kemajemukan, sehingga founding father memunculkan sebuah prinsip atau

sikap hidup yang terangkai dalam sebuah ungkapan “Bhinneka Tunggal Ika”. Ungkapan

kata-kata itu pertama kali dicetuskan oleh Mpu Tantular (sekitar 13-14 M) dalam

karyanya “Kitab Sotasoma”.2 Sesungguhnya hal tersebut merupakan sebuah pola

pendekatan yang bertumpu kuat pada alam pikiran dualisme-monistis, yang tidak

memberikan peluang adanya konfrontasi tegas dan formal.

Bangsa Indonesia adalah negara yang terdiri dari banyak pulau, banyak suku,

agama, ras, dan golongan. Indonesia adalah negara multikultural. Setiap golongan

masyarakat memiliki kepentingan, sudut pandang, dan cara berpikir yang berbeda-

1 Dosen STAIM Nglawak Kertosono Nganjuk

2 Lee Khoon Chaya, Indonesia Between Myth and Reality (Singapore: Federal Publication, 1977), 1-5.

Page 2: ISLAM DAN RADIKALISME (Diskursus: Perilaku Kekerasan ...karyanya ^Kitab Sotasoma _.2 Sesungguhnya hal tersebut merupakan sebuah pola pendekatan yang bertumpu kuat pada alam pikiran

M. Saini ISSN : 1693 - 6922

56

beda. Akhir-akhir ini, sering kita jumpai atau kita lihat berita di televisi tentang sikap

radikal masyarakat golongan tertentu untuk menunjukkan eksistensi dan opini mereka.

Munculnya isu-isu politis mengenai radikalisme Islam merupakan tantangan baru bagi umat

Islam untuk menjawabnya. Radikalisme Islam sebagai fenomena historis-sosiologis

merupakan masalah yang banyak dibicarakan dalam wacana politik dan peradaban global

sebagai akibat dari kekuatan media yang memiliki potensi besar dalam menciptakan

persepsi masyarakat dunia.

Bangsa Eropa Barat dan Amerika Serikat menyebut gerakan Islam radikal, sebagai

kelompok garis keras, ekstrimis, militan, Islam kanan, fundamentalisme hingga terorisme.

Bahkan pasca hancurnya ideologi komunisme (pasca perang dingin) negara-negara Barat

memandang Islam sebagai sebuah gerakan dari peradaban yang menakutkan mereka. Tidak

ada gejolak politik yang lebih ditakuti melebihi bangkitnya gerakan Islam yang diberinya

label sebagai radikalisme Islam. Tuduhan-tuduhan dan propaganda Barat atas Islam sebagai

agama yang menopang gerakan radikalisme telah menjadi retorika internasional.

Label radikalisme bagi gerakan Islam yang menentang Barat dan sekutu-sekutunya

dengan sengaja dijadikan komoditi politik. Cara yang digunakan media Barat dalam

mengkapanyekan label radikalisme Islam antara lain dengan gerakan perlawanan rakyat

Palestina, Revolusi Islam Iran, Partai FIS al-Jazair, perilaku anti-AS yang dipertunjukkan

Mu’ammar Ghadafi ataupun Saddam Hussein, gerakan Islam di Mindanao Selatan, gerakan

masyarakat Muslim Sudan yang anti-AS, merebaknya solidaritas Muslim Indonesia terhadap

saudara-saudara yang tertindas dan sebagainya.

Tidak jarang radikalisme menjadi pilihan bagi sebagian kalangan umat Islam untuk

merespon sebuah keadaan. Bagi mereka, radikalisme merupakan sebuah pilihan untuk

menyelesaikan masalah. Namun, sebagian kalangan menentang radikalisme dalam bentuk

apapun. Karena mereka meyakini bahwa radikalisme justru tak menyelesaikan masalah

apapun. Bahkan akan melahirkan masalah lain yang memiliki dampak berkepanjangan.

Radikalisme justru akan menjadikan citra Islam sebagai agama yang tidak toleran dan identik

dengan kekerasan.

Page 3: ISLAM DAN RADIKALISME (Diskursus: Perilaku Kekerasan ...karyanya ^Kitab Sotasoma _.2 Sesungguhnya hal tersebut merupakan sebuah pola pendekatan yang bertumpu kuat pada alam pikiran

ISSN: 1693 – 6922 Islam dan Radikalisme

57

B. PEMBAHASAN

1. Pengertian Radikalisme

Secara etimologis, radikalisme berasal dari kata radix, yang berarti akar. Di masa

penjajahan Belanda, istilah “radikal” bermakna positif. Adnan Buyung Nasution menulis

dalam disertasinya di Utrecht Belanda bahwa pada tahun 1918, di Indonesia dibentuk

apa yang disebut sebagai “Radicale Concentratie” yang terdiri dari Budi Oetomo, Sarikat

Islam dan lain-lain. Tujuan dibentuknya kelompok-kelompok ini, untuk membentuk

parlemen yang terdiri atas wakil-wakil yang dipilih dari kalangan rakyat. Jadi,

Radikalisme adalah suatu paham yang menghendaki adanya perubahan/ pergantian

terhadap suatu sistem di masyarakat sampai ke akarnya, jika perlu dilakukan dengan

menggunakan cara-cara kekerasan. Atau menginginkan adanya perubahan total

terhadap suatu kondisi atau semua aspek kehidupan masyarakat.

Dalam sebuah kamus, diterangkan bahwa “seorang radikal adalah seseorang

yang menyukai perubahan-perubahan cepat dan mendasar dalam hukum dan metode-

metode pemerintahan” (a radical is a person who favors rapid and sweeping changes in

laws and methods of goverment). Jadi, radikalisme bisa diartikan sebagai suatu sikap

yang mengharapkan perubahan terhadap keadaan status quo dengan jalan

menghancurkan keadaan tersebut secara total dan kemudian menggantikannya dengan

yang baru.

Adeed Dawisha dalam bukunya The Arab Radicals (1986), mendefinisikan

radikalisme sebagai sikap jiwa yang membawa kepada tindakan-tindakan yang

bertujuan melemahkan dan mengubah tatanan politik mapan dan menggantikannya

dengan sistem baru. Istilah radikal mengacu kepada gagasan dan tindakan kelompok

yang bergerak untuk menumbangkan tatanan politik mapan yakni negara-negara atau

rejim-rejim yang bertujuan melemahkan otoritas politik dan legitimasi negara-negara

dan rejim-rejim lain.

Sesungguhnya dalam Islam tidak ada di dalam terminologi tentang radikalisme atau

fundamentalisme sendiri. Bangsa Barat mengembangkan istilah ini menyebut kelompok

Islam murni. Kelompok yang disinyalir telah melakukan berbagai aksi kekerasan atau teror

terhadap masyarakat Barat. Kemudian aksi tersebut juga muncul sesaat setelah kaum

Page 4: ISLAM DAN RADIKALISME (Diskursus: Perilaku Kekerasan ...karyanya ^Kitab Sotasoma _.2 Sesungguhnya hal tersebut merupakan sebuah pola pendekatan yang bertumpu kuat pada alam pikiran

M. Saini ISSN : 1693 - 6922

58

Yahudi yang didukung oleh Negara-negara Barat, khususnya Amerika mendirikan negara di

tanah bangsa Palestina sejak tahun 1947.

Berikut adalah faktor-faktor yang mendorong munculnya gerakan radikalisme, antara

lain:

a. Faktor-faktor sosial-politik. Gejala kekerasan “agama” lebih tepat dilihat sebagai gejala

sosial-politik dari pada gejala keagamaan. Gerakan yang secara salah kaprah oleh Barat

disebut sebagai “radikalisme Islam” itu lebih tepat dilihat dari akar permasalahannya

yaitu dari sudut konteks sosial-politik dalam kerangka historisitas manusia yang ada di

masyarakat. Menurut Azyumardi Azra, bahwa memburuknya posisi negara-negara

Muslim dalam konflik utara-selatan menjadi penopang utama munculnya radikalisme.3

Secara historis kita dapat melihat bahwa konflik-konflik yang ditimbulkan oleh kalangan

radikal dengan seperangkat alat kekerasannya dalam menentang dan membenturkan diri

dengan kelompok lain ternyata lebih berakar pada masalah sosial-politik. Kaum radikalis

membawa bahasa dan simbol serta slogan-slogan agama untuk menyentuh emosi

keagamaan dan menggalang kekuatan untuk mencapai tujuan “mulia” dari politiknya.

Namun hal demikian tidak selamanya dapat disebut memanipulasi agama karena

sebagian perilaku mereka berakar pada interpretasi agama dalam melihat fenomena

historis. Karena dilihatnya terjadi banyak Islam dan Wacana penyimpangan serta

ketimpangan sosial yang merugikan komunitas muslim. Sehingga terjadilah gerakan

radikalisme yang ditopang oleh sentimen dan emosi keagamaan.

b. Faktor emosi keagamaan. Salah satu penyebab gerakan radikalisme adalah faktor

sentimen keagamaan, termasuk di dalamnya adalah solidaritas keagamaan untuk teman

yang tertindas oleh kekuatan tertentu. Hal ini lebih tepat dikatakan sebagai faktor emosi

keagamaannya, dan bukan agama (wahyu suci yang absolut) walaupun gerakan

radikalisme selalu mengibarkan bendera dan simbol agama dengan dalih membela

agama, jihad dan mati syahid. Dalam hal ini, yang dimaksud dengan emosi keagamaan

adalah agama sebagai pemahaman realitas yang sifatnya interpretatif. Jadi sifatnya nisbi

dan subjektif.

3 Azyumardi Azra, Pergolakan politik Islam dari dari Fundamentalis, Modernisme Hingga Post-

Modernisme (Jakarta: Paramadina, 1996), 18.

Page 5: ISLAM DAN RADIKALISME (Diskursus: Perilaku Kekerasan ...karyanya ^Kitab Sotasoma _.2 Sesungguhnya hal tersebut merupakan sebuah pola pendekatan yang bertumpu kuat pada alam pikiran

ISSN: 1693 – 6922 Islam dan Radikalisme

59

c. Faktor kultural yang juga memiliki andil yang cukup besar dan melatarbelakangi

munculnya radikalisme. Hal ini wajar karena memang secara kultural. “Di dalam

masyarakat selalu diketemukan usaha untuk melepaskan diri dari jeratan jaring-jaring

kebudayaan tertentu yang dianggap tidak sesuai”.4 Faktor kultural yang dimaksud di sini

adalah sebagai anti tesa terhadap budaya sekularisme. Budaya Barat merupakan sumber

sekularisme yang dianggap sebagai musuh yang harus dihilangkan dari bumi. Sedangkan

fakta sejarah memperlihatkan adanya dominasi Barat dari berbagai aspeknya atas negeri-

negeri dan budaya Muslim. Sekarang ini peradaban barat merupakan ekspresi dominan

dan universal umat manusia. Barat dengan sengaja melakukan proses marjinalisasi di

seluruh sendi-sendi kehidupan Muslim, sehingga umat Islam menjadi terbelakang dan

tertindas. Dengan sekularismenya Barat sudah dianggap sebagai bangsa yang mengotori

budaya-budaya bangsa Timur dan Islam, juga dianggap bahaya terbesar dari

keberlangsungan moralitas Islam.

d. Faktor ideologis anti westernisme. Westernisme merupakan suatu pemikiran yang

membahayakan kaum Muslim dalam mengaplikasikan syari’at Islam. Sehingga simbol-

simbol Barat harus dihancurkan demi penegakan syariat Islam. Walaupun motivasi dan

gerakan anti-Barat tidak bisa disalahkan dengan alasan keyakinan keagamaan tetapi jalan

kekerasan yang ditempuh kaum radikalisme justru menunjukkan ketidakmampuan

mereka dalam memposisikan diri sebagai pesaing dalam budaya dan peradaban.

e. Faktor kebijakan pemerintah. Ketidakmampuan pemerintahan di negara-negara Islam

untuk bertindak dalam memperbaiki situasi atas berkembangnya frustasi dan kemarahan

sebagian umat Islam disebabkan oleh dominasi ideologi, militer maupun ekonomi dari

negera-negara besar. Elit-elit pemerintah di negeri-negeri Muslim belum atau kurang

dapat mencari akar yang menjadi penyebab munculnya tindak kekerasan (radikalisme)

sehingga tidak dapat mengatasi problematika sosial yang dihadapi umat. Selain itu, faktor

media massa (pers) Barat yang selalu memojokkan umat Islam juga menjadi faktor

munculnya reaksi dengan kekerasan yang dilakukan oleh umat Islam. Propaganda-

propaganda lewat pers memang memiliki kekuatan yang dahsyat dan sangat sulit untuk

4 Musa Asy'arie, Manusia Pembentuk Kebudayaan dalam al-Qur'an (Yogyakarta: LESFI, 1992), 95.

Page 6: ISLAM DAN RADIKALISME (Diskursus: Perilaku Kekerasan ...karyanya ^Kitab Sotasoma _.2 Sesungguhnya hal tersebut merupakan sebuah pola pendekatan yang bertumpu kuat pada alam pikiran

M. Saini ISSN : 1693 - 6922

60

dihindari sehingga sebagian ekstrim yaitu perilaku radikal sebagai reaksi atas apa yang

ditimpakan kepada komunitas Muslim.

Kini definisi radikalisme dan fundamentalisme Islam semakin bias, sehingga segala

bentuk militansi beragama di kalangan Muslimin diidentikkan dengan “ekstrimis Islam” atau

dalam istilah lain adalah “Islam radikal” atau “Islam fundamentalis”. Sesungguhnya

fenomena ini sudah banyak dipahami oleh masyarakat Muslim.

Sebenarnya radikalisme tidak ada dalam sejarah Islam. Selama ini Islam tidak

menggunakan radikalisme untuk berinteraksi dengan dunia lain. Nabi SAW selalu

mengajarkan umatnya untuk bersikap lemah lembut. Penyebaran ajaran Islam yang dibawa

oleh Nabi Muhammad SAW dilakukan dengan cara yang santun dan lemah lembut. Nabi

SAW mengajarkan untuk memberikan penghormatan kepada orang lain meski mereka

adalah orang yang memiliki keyakinan yang berbeda. Ajaran Islam yang masuk ke Indonesia

dibawa dengan cara yang sangat damai. Penyebaran Islam yang terjadi di negara ini juga

sangat berbeda dengan negara-negara lain.

2. Islam: Agama Rahmatan Lil Alamin

Islam secara etimologi merujuk pada kata s-I-m yang berarti merasa aman, utuh, dan

integral. Al-Qur’an menggunakan ungkapan-ungkapan tertentu yang merujuk padanya.

Misalnya, silm dalam surat al-Baqarah ayat 208, yang memiliki arti damai; salam dalam surat

an-Nisa’ ayat 91, yang memiliki arti damai, aman atau ucapan salam. Kemudian bentuk

keempat, kata kerja aslama berarti ia menyerahkan dirinya, memberikan dirinya, yang

biasanya diikuti oleh kata li al-ilah, kepada Allah dan seterusnya banyak sekali dalam al-

Qur’an. Dalam bentuk partisipal aktif (tunggal, dua, dan jamak) diartikan bahwa seseorang

yang menyerahkan dirinya kepada (hukum) Tuhan. Di dalam surat al-Imran ayat 83,

dikatakan bahwa alam semesta sebagai muslim sebab ia mematuhi hukum-hukum Tuhan.5

Sedangkan menurut Muhammad Syahrur, terkait dengan Islam dan Iman beliau

berpendapat bahwa; pertama, Islam dan Iman sangatlah berbeda. Kedua, bahwa Islam

selamanya selalu mendahului Iman. Islam dan Iman adalah merupakan dua hal yang

5 Fazlur Rahman, Beberapa Konsep Tentang Etika al-Qur’an”, Metode dan Alternatif Neo-Modernisme Islam

(Bandung: Mizan, 1997), 95-96.

Page 7: ISLAM DAN RADIKALISME (Diskursus: Perilaku Kekerasan ...karyanya ^Kitab Sotasoma _.2 Sesungguhnya hal tersebut merupakan sebuah pola pendekatan yang bertumpu kuat pada alam pikiran

ISSN: 1693 – 6922 Islam dan Radikalisme

61

berbeda. Islam mendahului Iman. Dan Muslimin tidak terbatas mereka pengikut

Muhammad SAW. Islam adalah penerimaan terhadap eksistensi Allah dan Hari Akhir. Jika

penerimaan itu dipadukan dengan Ihsan dan amal saleh, maka pelakunya disebut muslim,

baik ia pengikut Muhammad (alladzina amanu), Musa (alladzina hadu), Isa (Nasara), atau

milah lain selain milah yang tiga, seperti Majusi, Syiffiyah, dan Budha (Sabi’ah).6 Sesuai

dengan firman Allah SWT dalam al-Qur’an Surat al-Baqarah ayat 62 yang berbunyi:

Sesungguhnya orang-orang mukmin, orang-orang Yahudi, orang-orang Nasrani dan orang-orang Shabiin, siapa saja diantara mereka yang benar-benar beriman kepada Allah, hari kemudian dan beramal saleh, mereka akan menerima pahala dari Tuhan mereka, tidak ada kekhawatiran kepada mereka, dan tidak (pula) mereka bersedih hati (QS al-Baqarah [2] : 62).7

Menurut Sayyed Hossein Nasr, bahwa jantung atau inti ajaran Islam tidak lain adalah

penyaksian keesaan realitas Tuhan, universalitas kebenaran, kemutlakan untuk tunduk

kepada kehendak Tuhan, pemenuhan akan segala tanggung jawab manusia, dan

penghargaan kepada hak-hak seluruh makhluk hidup.8

Ada perbedaan antara “agama” dan “keagamaan”. Agama adalah mutlak, karena itu

berasal dari Tuhan yang mutlak. Sedangkan keagamaan adalah cara manusia menyambut

agamanya. Sehingga mengandung unsur-unsur yang berbeda-beda sesuai dengan

lingkungan serta kemampuan manusia dalam melaksanakannya. Menurut Nurcholish

Madjid, inilah yang diklaim bahwa ada dimensi dan unsur kemanusiaan dalam memahami

ajaran agama yang mengisyaratkan adanya intervensi manusia dalam urusan yang menjadi

hak prerogatif Tuhan.

Tuhanlah yang berhak mengukur dan menentukan tinggi rendahnya iman seseorang,

sedangkan seorang manusia harus memandang manusia lain dalam persaman derajat. Oleh

karena itu, tidak boleh seorang pun dari manusia yang berhak merendahkan atau

menguasai harkat dan martabat manusia lain, bahkan utusan Tuhan sekalipun tidak berhak

untuk memaksakan kehendaknya. Apalagi, sampai mengklaim bahwa dirinya yang paling

benar (truth claim) dan yang lainnya salah kemudian saling mengkafirkan.

6 Muhammad Syahrur, Islam dan Iman: Aturan-aturan Pokok, terj., M. Zaid Su’di (Yogyakarta: Jendela, 2002),

xii-xv. 7 Achmad Fahrudin et. al., Al-Quran Digital, Versi 2.0, http://www.alquran-digital.com, Maret 2004.

8 Sayyed Hossein Nasr, The Heart of Islam, Pesan-pesan Universal Islam untuk Kemanusiaan, terj., Nurasiah

Fakih Sutan Harahap (Bandung: Mizan, 2003), 384.

Page 8: ISLAM DAN RADIKALISME (Diskursus: Perilaku Kekerasan ...karyanya ^Kitab Sotasoma _.2 Sesungguhnya hal tersebut merupakan sebuah pola pendekatan yang bertumpu kuat pada alam pikiran

M. Saini ISSN : 1693 - 6922

62

Orang Islam seharusnya melahirkan sikap-sikap yang baik dalam hubungan antar

agama, seperti sikap toleransi, kebebasan, keterbukaan, kewajaran, keadilan dan kejujuran.

Tanpa harus mengurangi keyakinan akan kebenaran agamanya sendiri. Al-Qur’an adalah

kebenaran universal yang pada hakikatnya bermakna tunggal, namun kemudian muncul

beberapa penafsiran yang saling berbeda perspektif. Sehingga, dari beberapa penafsiran

yang berbeda kemudian dimanifestasikan dalam perilaku lahiriah yang beraneka ragam.

Seperti kutipan dalam al-Qur’an Surat Yunus ayat 19, yang artinya: “Manusia dahulunya

hanyalah satu umat, kemudian mereka berselisih. Kalau tidaklah karena suatu ketetapan

yang telah ada dari Tuhanmu dahulu, pastilah telah diberi keputusan di antara mereka,

tentang apa yang mereka perselisihkan itu” (QS Yunus *10+ : 19).9

Sesungguhnya al-Qur’an mengajarkan prinsip kemajemukan keagamaan (religious

plurality). Oleh karena itu, menurut pluralisme atau kemajemukan harus diartikan sebagai

sikap dasar bahwa semua agama sama diberikan kebebasan untuk hidup, dengan resiko

masing-masing pengikut agama itu, baik secara pribadi maupun kelompok. Berkaitan

dengan ajaran Islam, kemajemukan sebenarnya sama dengan istilah kalam, fiqh, atau

tasawuf. Ketiga istilah itu tidak kita temukan di dalam al-Qur’an maupun hadith, namun

ketiganya tidak bisa dipisahkan dari ajaran Islam dan umat Islam.

Islam adalah agama keselamatan (salamah). Namun, tidak dapat dipungkiri bahwa

ada sejumlah kelompok tertentu yang sengaja melakukan tindak kekerasan, kemudian

menjustifikasi kekerasan tersebut atas nama agama. Kekerasan atas nama agama macam

inilah yang menyebabkan distorsi pemahaman mengenai Islam. Legitimasi agama terhadap

tindakan kekerasan sesungguhnya memiliki muatan yang sangat kompleks. Dalam konteks

ini, setidaknya ada dua faktor penting yang menyebabkan Islam dipandang sebagai agama

yang “bermasalah” gara-gara sesat pikir dan salah tafsir terhadap makna dan pemahaman

“jihad”.

Terorisme memiliki dua sisi yang tidak dapat dipisahkan, yakni aksi dan ideologi.

Dalam setiap tindakan terornya selalu menampilkan dua tokoh, yaitu sebagai eksekutor aksi

teror dan aktor intelektual yang membangun basis ideologi teror. Ideologi teror tersebut

ditanamkan oleh aktor-aktor intelektual yang sangat mahir dalam memainkan ayat-ayat

9 Achmad Fahrudin et. al., Al-Quran Digital, Versi 2.0, http://www.alquran-digital.com, Maret 2004.

Page 9: ISLAM DAN RADIKALISME (Diskursus: Perilaku Kekerasan ...karyanya ^Kitab Sotasoma _.2 Sesungguhnya hal tersebut merupakan sebuah pola pendekatan yang bertumpu kuat pada alam pikiran

ISSN: 1693 – 6922 Islam dan Radikalisme

63

Tuhan untuk menggiring pemuda-pemuda tidak berdosa sebagai pelaku terorisme. Dalam

hal hubungan antara para “calon pengantin” (istilah khas kelompok militan Islam bagi calon

pelaku bom bunuh diri) dengan para ‘ulama sebagai aktor intelektualnya. ‘Ulama ibarat

pisau yang memiliki peran ganda: mengiris kue bolu atau menikam untuk membunuh. Di

negara manapun, ketika marak terjadi aksi terorisme, pemerintah setempat menyerukan

agar ‘ulama-‘ulama berperan memerangi terorisme.10

Di beberapa negara, seperti Saudi Arabia, Yordania, Mesir, Pakistan dan Indonesia.

Para ‘ulama dan khatib-khatib sholat jum’at telah menyerukan untuk mengutuk terorisme

dan mengharamkan “bom bunuh diri” serta menyiarkan Islam yang damai. Sebab-musabab

seruan terhadap ‘ulama itu untuk memerangi terorisme, karena mafhum mukhalafah

(pemahaman terbalik). Tidak sedikit dari ‘ulama-‘ulama itu menjadi aktor intelektual dan

mendukung terorisme.

Seorang ‘ulama memiliki peran penting terhadap terorisme. Peran itu dimulai dari

bagaimana meracik dan menyuguhkan agama pada umat. Jika mereka menyuguhkan agama

sebagai ajaran kebencian dan kekerasan, maka agama akan menjadi kekuatan terorisme

yang sangat dahsyat. Agar tetap menarik dan laku, agama dikemas dan dipromosikan

melalui pengajian, khutbah, pengkaderan dan diiming-imingi janji-janji tentang mati syahid,

kemudian seorang yang mati karena jihad akan mendapatkan kenikmatan kehidupan

ukhrowi dan menikahi para bidadari di surga.

Di mata dunia internasional, Islam seakan-akan dianggap sebagai “agama teroris”. Di

tengah suasana menegangkan terkadang media bisa menjadi pemicu yang menambah rumit

keadaan. Seharusnya, media bisa bersikap objektif dan menyebarkan berita secara faktual

dan bisa dipertanggungjawabkan. Islam senantiasa mengajarkan dan memerintahkan

kepada umatnya untuk menjunjung tinggi kedamaian, persahabatan, dan kasih sayang

(rahmatan lil ‘alamin). Bahkan al-Qur’an menyatakan bahwa orang yang melakukan aksi

kezhaliman termasuk golongan orang yang merugi dalam kehidupannya. Di dunia akan di

cap sebagai pelaku kejahatan dan di akhirat kelak akan dimasukkan ke dalam api neraka

Jahannam. Allah SWT berfirman dalam QS al-Kahfi ayat 103-106 yang artinya:

Katakanlah: “Apakah akan Kami beritahukan kepadamu tentang orang-orang yang paling merugi perbuatannya?”. Yaitu orang-orang yang telah sia-sia perbuatannya

10

Guntur Romli, “Jihad Melawan Terorisme”, Tempo, 12 Mei 2005.

Page 10: ISLAM DAN RADIKALISME (Diskursus: Perilaku Kekerasan ...karyanya ^Kitab Sotasoma _.2 Sesungguhnya hal tersebut merupakan sebuah pola pendekatan yang bertumpu kuat pada alam pikiran

M. Saini ISSN : 1693 - 6922

64

dalam kehidupan dunia ini, sedangkan mereka menyangka bahwa mereka berbuat sebaik-baiknya. Mereka itu orang-orang yang telah kufur terhadap ayat-ayat Tuhan mereka dan (kufur terhadap) perjumpaan dengan Dia, maka hapuslah amalan- amalan mereka, dan Kami tidak mengadakan suatu penilaian bagi (amalan) mereka pada hari kiamat.. Demikianlah Balasan mereka itu neraka Jahannam, disebabkan kekafiran mereka dan disebabkan mereka menjadikan ayat-ayat-Ku dan rasul-rasul-Ku sebagai olok-olok (QS al-Kahfi [18] : 103-106).11

Al-Imam Ibnul Qayyim al-Jauziyah rahimahullah menerangkan bahwa, mengingkari

atau mencegah kemunkaran itu ada empat tingkatan, yaitu: Pertama, menyingkirkan

kemunkaran dan digantikan dengan lawannya (kema’rufan). Kedua, menyingkirkan

kemunkaran dengan menguranginya, walaupun tidak menghapuskan secara keseluruhan.

Ketiga, menyingkirkan kemunkaran, tetapi kemudian muncul kemunkaran yang serupa itu.

Keempat, menyingkirkan kemunkaran tetapi kemudian muncul kemunkaran yang lebih jahat

dari padanya.

Tingkatan pertama dan kedua adalah nahi munkar yang disyariatkan. Tingkatan

ketiga dalam nahi munkar ini masih dalam perbincangan ijtihad para ‘ulama. Sedangkan

tingkat keempat dari nahi munkar adalah bentuk yang diharamkan. Demikianlah prinsip-

prinsip dasar dalam Islam yang menunjukkan bahwa Islam adalah agama rahmah bagi kaum

Muslimin sendiri maupun bagi seluruh alam.

Dalam Islam ada pemahaman amar ma’ruf nahi mungkar. Konsep amar ma’ruf nahi

munkar, juga bisa mendatangkan pemahaman keliru apabila mengidentikkannya dengan

kekerasan. Hadith yang terkenal tentang nahi munkar adalah Man ra-a minkum munkaran

falyughaiyirhu biyadih, faman lam yastathi’ fabilisanih, faman lam yastathi’ fabiqalbih,

wahua adh’aful iman. Artinya, “Barangsiapa di antara kamu melihat kemungkaran maka

tegahlah dengan tangan, kalau ia tidak sanggup (berbuat demikian), maka hendaklah ia

mengubah dengan lisannya, dan kalau tidak sanggup (pula), maka hendaklah ia melakukan

dengan hatinya (mendo’akan), yang demikian adalah selemah-lemah iman” (H.R. Ahad bin

Hanbal, Muslim dan Ashab as-Sunan [para ahli hadith penyusun kitab Hadith Sunan]).

11

Achmad Fahrudin et. al., Al-Quran Digital, Versi 2.0, http://www.alquran-digital.com, Maret 2004.

Page 11: ISLAM DAN RADIKALISME (Diskursus: Perilaku Kekerasan ...karyanya ^Kitab Sotasoma _.2 Sesungguhnya hal tersebut merupakan sebuah pola pendekatan yang bertumpu kuat pada alam pikiran

ISSN: 1693 – 6922 Islam dan Radikalisme

65

3. Radikalisme: Wajah Baru Islam di Indonesia

Gelombang radikalisme tumbuh dan berkembang biak di negara Indonesia,

belakangan ini aksi-aksi kekerasan kembali marak. Serangan pemikiran hingga aksi “bom

bunuh diri” menjadi bahasa dan ekspresi yang menunjukkan eksistensi mereka. Paham

keagamaan yang tidak bersumber pada tekstual kitab suci dianggap sesat dan kafir oleh

kelompok fundamental. Di berbagai kesempatan diskusi kultural, akademik, maupun di

ruang publik, persinggungan tegang mewarnai debat bersama kelompok radikalisme.

Argumentasi dipertahankan demi kebenaran agama yang diyakini dan ditafsirkan sendiri.

Selama ini aksi kekerasan “teror” di Indonesia yang terjadi kebanyakan dilakukan

oleh sekelompok orang yang mengatasnamakan agama tertentu. Selain itu, teks agama

dijadikan dalih oleh mereka untuk melakukan tindakan kekerasan atas nama jihad.

Beberapa pelaku yang sudah ditangkap oleh aparat keamanan, ternyata berasal dari

kelompok Islam garis keras (Islam radikal).

Mohammed Arkoun (1999) melihat fundamentalisme Islam sebagai dua tarikan

berseberangan, yakni masalah ideologisasi dan politis. Dan Islam selalu akan berada di

tengahnya. Manusia memahani fundamentalisme sebagai bagian dari substansi ajaran

Islam. Sementara fenomena politik dan ideologi terabaikan. Memahami Islam merupakan

aktivitas kesadaran yang meliputi konteks sejarah, sosial dan politik. Demikian juga dengan

memahami perkembangan fundamentalisme Islam. Tarikan politik dan sosial telah

menciptakan bangunan ideologis dalam pikiran manusia. Islam tidak pernah menawarkan

kekerasan atau radikalisme. Selama ini radikalisme hanyalah permainan kekuasaan yang

mengental dalam fanatisme akut. Radikalisme lahir dari persilangan sosial dan politik.

Radikalisme Islam Indonesia merupakan realitas tarikan yang berseberangan itu.

Dalam konstelasi politik di Indonesia, masalah radikalisme Islam telah makin

membesar karena pendukungnya juga makin meningkat. Akan tetapi, gerakan-gerakan ini

terkadang berbeda tujuan serta tidak mempunyai pola yang seragam. Ada yang sekedar

memperjuangkan implementasi syariat Islam, tanpa keharusan mendirikan negara Islam.

Namun, ada pula yang memperjuangkan berdirinya negara Islam di Indonesia, disamping

yang memperjuangkan berdirinya kekhalifahan Islam, pola organisasinya pun beragam,

Page 12: ISLAM DAN RADIKALISME (Diskursus: Perilaku Kekerasan ...karyanya ^Kitab Sotasoma _.2 Sesungguhnya hal tersebut merupakan sebuah pola pendekatan yang bertumpu kuat pada alam pikiran

M. Saini ISSN : 1693 - 6922

66

mulai dari gerakan Hizbut-Tahrir Indonesia (HTI) yang memperjuangkan berdirinya khilafah

universal dan syariat Islam sebagai dasarnya.12

Perjuangan mereka tidak untuk mendirikan negara Islam di Indonesia, seperti partai

politik Islam yang ada, tetapi membangun negara Islam trans-nasional di bawah

kepemimpinan tunggal khilafah Islamiyyah. Hampir serupa dengan HTI adalah gerakan

Jama’ah Islamiyyah yang dianggap bertujuan untuk mendirikan negara regional (Asia

Tenggara) di bawah kepemimpinan seorang Amir. Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) maupun

Majelis Mujahidin Indonesia (MMI), mereka merepresentasikan model gerakan ini, karena

memiliki kesamaan dalam orientasi politiknya dan sama-sama menolak rejim sekular,

demokrasi dan hegemoni Barat (Amerika).13

Disaat kita melihat gerakan-gerakan keagamaan di Indonesia, kita akan banyak

menemukan beberapa karakter yang sama, baik cara, metode dan model yang sering

mereka lakukan. Baik itu gerakan yang baru ataupun yang lama. Sebagian besar gerakan-

gerakan yang diciptakan adalah untuk merespon aspek-aspek tertentu yang berkaitan

dengan kehidupan sosial politik yang bisa mendatangkan konsekuensi religiusitas tertentu.

Menurut Amin Rais (1984) hal ini bisa terjadi karena Islam dari sejak kelahirannya bersifat

revolusioner seperti bisa dilihat melalui sejarahnya.

Sebagian besar gerakan radikalisme yang muncul di Indonesia adalah berangkat dari

ketidakpuasan dan adanya keinginan untuk menjadikan atau menerapkan syariat Islam di

Indonesia. Bagi mereka, terjadinya ketidakadilan, banyaknya korupsi, krisis yang

berkepanjangan dan ketidakharmonisan antara orang kaya dan miskin adalah akibat dari

tidak diterapkannya syariat Islam.

4. Memerangi Terorisme dan Meluruskan Makna “Jihad”

Salah satu penyebab munculnya radikalisme Islam di Indonesia adalah karena

kehadiran orang-orang Arab muda dari Hadramaut Yaman ke Indonesia. Kehadiran mereka

ke tanah air tidak hanya dengan tangan kosong, tetapi juga dengan membawa ideologi baru

ke tanah air yang telah mampu mengubah konstelasi umat Islam di Indonesia. Pada akhirnya

kehadiran mereka ini menjadi sangat fenomenal di Indonesia, karena pengaruh mereka

12

Endang Turmudi (Ed), Islam dan Radikalisme di Indonesia (Jakarta: LIPI Press, 2005), 5. 13

Riza Sihbudi et. al., Islam dan Radikalisme di Indonesia (Jakarta: LIPI Press, 2005).

Page 13: ISLAM DAN RADIKALISME (Diskursus: Perilaku Kekerasan ...karyanya ^Kitab Sotasoma _.2 Sesungguhnya hal tersebut merupakan sebuah pola pendekatan yang bertumpu kuat pada alam pikiran

ISSN: 1693 – 6922 Islam dan Radikalisme

67

dianggap berbahaya. Salah satu hasil pemahaman yang dimunculkan adalah dari ideologi ke

Timuran (wahabi) ke tanah air yang kemudian dianggap berbahaya karena kesalahpahaman

dalam menafsirkan ajaran tersebut. Yakni tentang konsep jihad yang multi tafsir. Hal inilah

yang kemudian memunculkan kesan bahwa radikalisme dalam Islam semakin tertanam kuat

oleh sebagian masyarakat.

Jihad berarti usaha sungguh-sungguh di jalan Allah, atau dalam definisi hukumnya

menyerahkan atau menyediakan sesuatu yang dimiliki untuk kepentingan agama, termasuk

harta, ilmu, jiwa, waktu dan lainnya. Definisi tersebut dilukiskan oleh Fakhruddin al-Turayhi

salah seorang ‘Ulama Islam abad ke-11 H. Konsep Jihad dalam Islam ini sering dipahami

keliru oleh sebagian kelompok umat Islam dan kemudian didukung oleh para orientalis,

bahwa konsep jihad yang dikembangkan adalah dengan hanya mengidentikkannya dengan

angkat senjata. Pada hakekatnya, menurut Sufyan al-Thauri, ‘Ulama besar abad ke-2 H, jihad

mencakup aneka ragam aktivitas; ia terdiri dari 10 bagian, hanya satu diantaranya dalam

bentuk mengangkat senjata. Bentuk ini pun tidak dibenarkan apabila lawan menghendaki

perdamaian.14 Bagian lainnya yang termasuk jihad yaitu dengan membelanjakan harta.

Allah, bahkan mendahulukan orang-orang yang membelanjakan hartanya di jalan Allah

ketimbang mereka yang berjihad mengorbankan nyawanya.

Namun sangat disayangkan bahwa perilaku dari sebagian kelompok umat Islam

dalam berdakwah banyak yang memaknai jihad adalah perang dengan angkat senjata,

sehingga ketika melihat kemaksiatan dan kemunkaran sedikit saja mereka (kelompok umat

Islam fundamentalis) langsung menanggapinya dengan emosional dan angkat senjata.

Mereka sering memunculkan sikap emosional yang juga sering ditampakkan melalui jalur

politik dan kekuasaan dengan memaksakan formalisasi Islam di segala lini. Pemurnian Islam

yang dibayangkannya terjebak pada penistaan. Egoisme politik telah mengaburkan cara

beragama mereka. Dan mimpi formalisasi syariat dengan tindak kekerasan hanya

menyudutkan Islam. Bahwa Islam sebentuk agama penganjur kedamaian sekaligus

keretakan sosial. Antara fundamental-ideologis atau kuasa politik tidak bisa menolak realitas

peneremangan Islam.

14

Achmad Fahrudin et. al., Al-Quran Digital, Versi 2.0, http://www.alquran-digital.com, Maret 2004.

Page 14: ISLAM DAN RADIKALISME (Diskursus: Perilaku Kekerasan ...karyanya ^Kitab Sotasoma _.2 Sesungguhnya hal tersebut merupakan sebuah pola pendekatan yang bertumpu kuat pada alam pikiran

M. Saini ISSN : 1693 - 6922

68

Ideologi radikal tampak begitu dekat dengan permainan kuasa. Dengan menempuh

jalur politik diyakini dapat mengantarkan Islam pada kondisi yang lebih tinggi, yaitu, mimpi

formalisasi syari’at dan terbentuknya negara Tuhan. Hingga saat ini kaum radikal terus

berjuang untuk dua hal itu, baik melalui lobi-lobi politik maupun fundamental-ideologis.

Ironisnya Islam hanya dijadikan sebagai pendasaran politik kepentingan. Padahal dalam

praktiknya, teror, anarki dan kekerasan secara bergantian dilakukannya. Tidak ada batas

antara baik-buruk, moral-amoral. Semuanya berjalan di tataran politik yang menjauh dari

Islam. Pada akhirnya, radikalisme kadang keliru dalam memahami Islam.

Mungkin, disinilah letak kekuatan radikalisme Islam di Indonesia. Semakin melekat

dalam setiap segmentasi sosial, semakin susah dibendung. Ia pandai membaca ruang sosial,

yang tak cepat lengah. Karena dengan memahami setiap ruang, maka akan mengantarkan

radikalisme menciptakan mentalitas kultural.

5. Resolusi Atas Tindakan Radikalisme Agama di Indonesia

Menurut Peter L. Berger (2003) ada dua strategi dalam merespon modernitas dan

sekularisasi ini, yaitu “revolusi agama” (religious revolution) dan “subkultur agama” (religion

subcultures). Pertama, bagaimana kaum agamawan mampu merubah masyarakat secara

keseluruhan dan menghadirkan model agama yang modern. Kedua, bagaimana upaya kita

untuk mencegah pengaruh-pengaruh luar agar tidak mudah masuk ke dalam agama.

Menurut penulis, solusi dalam menyikapi fenomena radikalisme agama antara lain:

a. Menampilkan agama sebagai ajaran universal yang memberikan arahan bagi terciptanya

perdamaian di muka bumi.

b. Perlu adanya upaya penggalangan aksi untuk menolak sikap kekerasan dan terorisme.

Aksi ini melibatkan seluruh kelompok-kelompok dalam agama-agama yang tidak

menghendaki hal demikian. Terorisme dan kekerasan adalah bentuk pelecehan atas

nama agama dan kemanusiaan.

c. Menumbuhkan karakter keberagamaan yang moderat. Memahami dinamika kehidupan

ini secara terbuka dengan menerima pluralitas pemikiran “yang lain” (the other), yang

ada di luar kelompoknya. Keberagaman yang moderat akan melunturkan polarisasi

antara fundamentalisme dan radikalisme.

Page 15: ISLAM DAN RADIKALISME (Diskursus: Perilaku Kekerasan ...karyanya ^Kitab Sotasoma _.2 Sesungguhnya hal tersebut merupakan sebuah pola pendekatan yang bertumpu kuat pada alam pikiran

ISSN: 1693 – 6922 Islam dan Radikalisme

69

d. Urgensi pendidikan berbasis multikultural. Di mana kurikulum pendidikan bagi generasi

muda harus berlangsung dalam konteks kemajemukan dan kesadaran akan perbedaan.

Model pendidikan inklusif dengan tanpa membedakan kelompok berdasarkan etnis dan

agama tertentu, diharapkan dapat melahirkan kesadaran multikulturalisme (keragaman)

sejak dini bagi generasi muda.

e. Menciptakan kebijakan yang proporsional, dengan cara mengakomodasi potensi yang

ada dalam seluruh elemen masyarakat, khususnya mereka yang selama ini terabaikan,

harus mendapat porsi yang wajar dalam berbagai aspek kehidupan.

Moralitas luhur adalah nilai-nilai yang merujuk kepada kemaslahatan umat

manusia.15 Dalam perspektif ini, keadilan menjadi nilai inti dari keseluruhan akhlak Islam.

Karena melalui pembumian nilai itu, seperti kesederajatan, toleransi, dan solidaritas sosial

akan tumbuh subur di masyarakat luas. Pada sisi ini, akan terjadinya titik temu antara nilai-

nilai Islam dengan nilai-nilai demokrasi yang menekankan kepada persamaan dan hak-hak

asasi manusia.

6. Revolusi Spiritual Sebuah Tawaran Konkrit

Masyarakat Indonesia dikenal sebagai masyarakat religius yang dianggap amat taat

dalam beragama. Namun realitas keseharian memperlihatkan secara kasat mata akan

ketidakmampuan keberagamaan yang mereka anut dalam merespon problem yang ada.

Justru keberagamaan mereka sering menjadi persoalan itu sendiri. Sesegera mungkin

Indonesia harus melakukan revolusi spiritual, mengingat paham-paham atau ajaran-ajaran

spiritual Nusantara kini tengah dibenturkan dengan paham-paham spiritual modern atau

asing. Padahal, paham-paham itu tidak cocok dengan budaya kita yang penuh santun,

toleransi, dan cinta damai. Diakui atau tidak dari ilmu antropologi, Indonesia disebut sebagai

bangsa peri-peri atau bangsa pinggiran yang tengah tergoncang oleh peradaban spiritual.

Sebab itulah nilai-nilai spiritual asli harus dibenahi sesuai dengan nilai-nilai luhur bangsa.

Melihat sejarah masa lalu, terjadinya benturan antara paham-paham asing yang

sekiranya tidak cocok dengan kepribadian bangsa Indonesia yang kenyataannya ditolak

langsung oleh masyarakat seperti halnya aliran fasisme, fundametalis radikal, dan lainnya.

15

Djohan Effendi, “Konsep-konsep Teologi” dalam Budhy Munawar Rachman (Ed). Konstektualisasi Dokrin

Islam dalam Sejarah (Jakarta: Paramadina, 1994), 55.

Page 16: ISLAM DAN RADIKALISME (Diskursus: Perilaku Kekerasan ...karyanya ^Kitab Sotasoma _.2 Sesungguhnya hal tersebut merupakan sebuah pola pendekatan yang bertumpu kuat pada alam pikiran

M. Saini ISSN : 1693 - 6922

70

Sehingga dengan revolusi spiritual ini, diharapkan bisa memurnikan lagi budaya spiritual asli

Nusantara dan meng-up grade pemahaman baru untuk ditata dan dicocokkan dengan kultur

budaya Nusantara.

Alasan kebutuhan revolusi spiritual adalah dalam rangka pengembalian nasionalisme

yang telah luntur dan memudar, bahwa dengan cara tersebut akan berjalan dengan aman

dan tenang karena yang ditata kembali adalah persoalan jiwa. Lain halnya dengan revolusi

fisik atau politik yang kemungkinan besar akan membawa korban yang dalam hal ini adalah

rakyat. Sebenarnya membentuk suatu bangsa dan negara tidak hanya memerlukan tiga

persyaratan utama, yakni wilayah, pemerintahaan dan rakyat. Namun dibalik itu masih ada

hal pokok lagi yang tidak boleh dikesampingkan, yakni jiwa atau ruh yang merasa ikut

memiliki bangsa dan negara serta melestarikan nilai-nilai luhur peradaban. Kalau bersifat

pasif dan tidak merasa ikut memiliki, negara ini akan hancur. Sebaliknya, dengan revolusi

spiritual dengan pasti akan menciptakan kebanggaan sebagai warga negara. Dengan rasa

kebanggaan sebagai warga negara maka secara secara otomatis akan melahirkan

nasionalisme yang kokoh.

C. PENUTUP

Radikalisme adalah suatu paham yang menghendaki adanya perubahan atau

pergantian terhadap suatu sistem di masyarakat higga ke akarnya, jika perlu dilakukan

dengan menggunakan cara-cara kekerasan. atau menginginkan adanya perubahan total

terhadap suatu kondisi atau semua aspek kehidupan masyarakat.

Sesungguhnya gerakan radikalisme bukanlah sebuah gerakan yang muncul begitu

saja tetapi memiliki latar belakang yang sekaligus juga menjadi faktor pendorong munculnya

gerakan radikalisme. Faktor-faktor itu antara lain, Pertama, faktor-faktor sosial-politik.

Dimana gejala kekerasan “agama” lebih tepat dilihat sebagai gejala sosial-politik dari pada

gejala keagamaan. Kedua, faktor emosi keagamaan. Harus diakui bahwa salah satu

penyebab gerakan radikalisme adalah faktor sentimen keagamaan, termasuk di dalamnya

adalah solidaritas keagamaan untuk kawan yang tertindas oleh kekuatan

tertentu. Ketiga, faktor kultural. Faktor ini juga memiliki andil yang cukup besar yang

melatarbelakangi munculnya radikalisme. Keempat, faktor ideologis anti westernisme.

Page 17: ISLAM DAN RADIKALISME (Diskursus: Perilaku Kekerasan ...karyanya ^Kitab Sotasoma _.2 Sesungguhnya hal tersebut merupakan sebuah pola pendekatan yang bertumpu kuat pada alam pikiran

ISSN: 1693 – 6922 Islam dan Radikalisme

71

Westernisme merupakan suatu pemikiran yang membahayakan Muslim dalam

mengaplikasikan syari’at Islam. Kelima, faktor kebijakan pemerintah. Ketidakmampuan

pemerintahan di negara-negara Islam dalam bertindak memperbaiki situasi atas

berkembangnya frustasi dan kemarahan sebagian umat Islam yang disebabkan oleh

dominasi ideologi, militer maupun ekonomi dari negera-negara besar.

Page 18: ISLAM DAN RADIKALISME (Diskursus: Perilaku Kekerasan ...karyanya ^Kitab Sotasoma _.2 Sesungguhnya hal tersebut merupakan sebuah pola pendekatan yang bertumpu kuat pada alam pikiran

M. Saini ISSN : 1693 - 6922

72

DAFTAR PUSTAKA

Amstrong, Karen. Berperang Demi Tuhan. Bandung: Mizan, 2001.

Asy'arie, Musa. Manusia Pembentuk Kebudayaan dalam al-Qur'an. Yogyakarta: LESFI, 1992.

Azra, Azyumardi. Pergolakan Politik Islam dari Fundamentalis, Modernisme Hingga

Post-Modernisme. Jakarta: Paramadina, 1996. Chaya, Lee Khoon. Indonesia Between Myth and Reality. Singapore: Federal Publication,

1977. Effendi, Djohan. “Konsep-konsep Teologi” dalam Budhy Munawar Rachman (Ed).

Konstektualisasi Dokrin Islam dalam Sejarah. Jakarta: Paramadina, 1994. Fahrudin, Achmad et. al. Al-Quran Digital, Versi 2.0, http://www.alquran-digital.com.

Maret 2004. Nasr, Sayyed Hossein. The Heart of Islam, Pesan-pesan Universal Islam untuk

Kemanusiaan, terj., Nurasiah Fakih Sutan Harahap. Bandung: Mizan, 2003. Rahman, Fazlur. Beberapa Konsep Tentang Etika al-Qur’an”, Metode dan Alternatif Neo-

Modernisme Islam. Bandung: Mizan, 1997. _____________. “Hukum Etika dalam Islam”, Jurnal Al-Hikmah. No 9. April-Juni 1993. Romli, Guntur. “Jihad Melawan Terorisme”, Tempo. 12 Mei 2005. Sihbudi, Riza et.al. Islam dan Radikalisme di Indonesia. Jakarta: LIPI Press, 2005. Syahrur, Muhammad. Islam dan Iman: Aturan-aturan Pokok, terj., M. Zaid Su’di.

Yogyakarta: Jendela, 2002. Turmudi, Endang (Ed). Islam dan Radikalisme di Indonesia. Jakarta: LIPI Press, 2005.