jbs vol_ 1 no_ 2 juli 2006

Upload: thiiyas-intersepth

Post on 22-Jul-2015

189 views

Category:

Documents


1 download

TRANSCRIPT

24

JURNAL BIOLOGI SUMATERA(Sumatran Journal of Biology)

Volume 1, Nomor 2 Juli 2006ISSN 19075537

PENANGGUNG JAWABDwi Suryanto

KETUA EDITOR (CHIEF EDITOR)

Erman Munir

DEWAN EDITOR (EDITORIAL BOARD)Erman Munir, Ternala A. Barus, Dwi Suryanto, Retno Widhiastuti

EDITOR TEKNIK (MANAGING EDITOR)

Riyanto Sinaga

BENDAHARA

Nunuk Priyani

Departemen Biologi, Fakultas MIPA, Universitas Sumatera Utara, Medan, Indonesia

PENERBIT (PUBLISHER)

ALAMAT EDITOR (EDITORIAL ADDRESS)Departemen Biologi, Fakultas MIPA, Universitas Sumatera Utara, Medan, Indonesia Jln. Bioteknologi No. 1, Kampus USU, Padang Bulan, Medan 20155

25

DAFTAR ISI JURNAL BIOLOGI SUMATERA (Sumatran Journal of Biology)

ISSN 1907-5537

Halaman Biologi Bunga Licuala gracilis Bl. (Arecaceae) Etti Sartina Siregar ............................................... Pertumbuhan dan Perkembangan Kultur Jaringan Kemenyan Sumatrana (Styrax benzoin Dryander) Isnaini Nurwahyuni dan Elimasni ..................................................................................... Uji Potensi Bacillus sp. dan Escherichia coli dalam Mendegradasi Alkil Berzen Sulfonat sebagai Bahan Aktif Detergen Nunuk Priyani, Liliyanto, dan Kiki Nurtjahja .................................. Stuktur dan Komposisi Tumbuhan Paku-Pakuan di Kawasan Hutan Gunung Sinabung Kabupaten Karo Retno Widhiastuti, T. Alief Aththorick, dan Wina Dyah Puspita Sari .................... Keanekaragaman Fitoplankton di Sungai Bingai, Binjai Mayang Sari Yeanny, Hesti Wahyuningsih, dan Elias Silaban ......................................................................................................... 24 25 26 33 34 36 37 47 48 53

Jurnal Biologi Sumatera, Juli 2006, hlm. 24 25 ISSN 1907-5537

Vol. 1, No. 2 24

BIOLOGI BUNGA Licuala gracilis Bl. (Arecaceae)Etti Sartina SiregarDepartemen Biologi, FMIPA, Universitas Sumatera Utara, Jalan Bioteknologi No. 1, Padang Bulan, Medan 20155

Abstract Eight clusters of Licuala gracilis Bl. were investigated in Bogor Botanic Garden to determine the extent of differences between hermaphrodite and female plants in floral morphology, flowering period and pollinator. The female inflorescence has singular flower, the hermaphrodite arranged in group of two to four flowers, but they are indistinguishable superficially. A notable difference in flowering phenology was found between the two flowers; the flowering period of hermaphrodites is longer than female. The hermaphrodite flowers were protoginy. The apomixis phenomenon is assumed occurs in female plant. It was revealed from field observation that fruits were produced eventhough all of flowers were covered along the anthesis period. Ants (Dolichoderus thoracicus) and bees (Megachile sp.) were suspected to be the pollinators. Keywords: Licuala gracilis, flowering biology

PENDAHULUAN Licuala merupakan marga yang tergolong dalam suku Palmae (Arecaceae). Marga ini terdiri dari 141 jenis, salah satunya adalah L. gracilis (Saw et al. 2003). L. gracilis tumbuh endemik di Jawa Barat dan biasa disebut pohon wiru (Sunda). Jenis ini umumnya digemari sebagai tanaman hias karena bentuk daunnya yang cantik (Siregar, 2004). Jenis-jenis dari marga Licuala umumnya termasuk tumbuhan hermaprodit atau jarang sekali dioecious (Dransfield, 1987). Berbeda dengan jenis lainnya, menurut Siregar (2004) L. gracilis termasuk tumbuhan gynodioecious (bunga hermaprodit dan betina terdapat pada individu yang berbeda pada populasi alami). Menurut Kuhara and Sugawara (2002), pada tumbuhan gynodioecious, umumnya pohon betina tergantung pada polinator untuk menyerbukinya. Namun demikian, secara umum buah yang dihasilkan hampir sama jumlahnya antara hermaprodit dengan betina, atau bahkan lebih banyak pada betina. Berdasarkan survei di lapangan, pohon betina pada jenis L. gracilis lebih banyak menghasilkan buah dibanding pohon hermaprodit. Berdasarkan hal tersebut maka penelitian ini dilakukan dengan tujuan untuk mempelajari perbungaan dan sistem penyerbukan pada pohon hermaprodit dan betina pada L. gracilis. BAHAN DAN METODE Pengamatan dilakukan pada 8 rumpun L. gracilis yang sedang berbunga di Kebun Raya Bogor pada bulan Januari sampai September 2003. Pertumbuhan perbungaan diamati sejak muncul hingga selesai antesis. Beberapa sampel bunga dari hermaprodit dan betina diambil untuk diamati morfologinya di bawah

mikroskop binokular. Dilakukan pengamatan terhadap waktu mulai mekarnya bunga yang ditandai dengan membengkaknya kuncup bunga. Waktu reseptif kepala putik dan waktu pecah kepala sari diamati selama 2 hari dimulai dari pukul 5.30 pada puncak antesis. Untuk melihat sistem penyerbukan pada tumbuhan betina, maka 3 perbungaan betina dibungkus dengan plastik menjelang perbungaan mekar, sehingga tidak akan dimasuki oleh hewan penyerbuk (Mogea, 1978). Untuk mengetahui hewan penyerbuknya maka beberapa serangga pengunjung ditangkap dengan menggunakan jaring serangga, kemudian diidentifikasi di Balai Penelitian Padi (Balitpa), Bogor. Serangga yang pada kakinya terdapat serbuk sari dianggap merupakan penyerbuk. HASIL DAN PEMBAHASAN Perbungaan. Tumbuhan L. gracilis hidup berumpun. Pohon hermaprodit dan betina berada pada rumpun yang berbeda, atau bisa juga pada rumpun yang sama. Dari 8 rumpun yang diamati terdapat 2 rumpun hermaprodit, 3 rumpun betina dan 3 rumpun gabungan keduanya. Perbungaan tumbuh pada ketiak daun, arah tumbuhnya tegak, panjang berkisar antara 1540 cm. Satu perbungaan terdiri dari 828 rakila. Pada satu pohon bisa terdapat 12 perbungaan. Secara morfologi, perbungaan hermaprodit berbeda dari susunan bunganya yang lebih rapat karena tersusun dalam grup yang terdiri dari 2 hingga 4 bunga (Gambar 1e), sedangkan susunan bunga pada betina tunggal (Gambar 1b). Bentuk bunga hermaprodit (Gambar 1 fg) tidak berbeda dengan betina (Gambar 1c), sedangkan bentuk ovarinya berbeda; pada betina ujungnya runcing (Gambar 1d), pada hermaprodit tumpul (Gambar 1h).

25 SIREGAR

J. Biologi Sumatera

Gambar 1. L. gracilis; a. perbungaan; b. rakila betina, susunan bunga tunggal; c. bunga mekar; d. ovari; e. rakila hermaprodit, bunga tersusun dalam grup; f. bunga mekar; g. bunga mekar, menunjukkan letak stamen terhadap mahkota; h. ovari; i. buah, 3 dalam 1 tangkai Pada waktu baru muncul, perbungaan dibungkus oleh daun pelindung yang kuat berwarna coklat kekuningan, bentuknya seperti ujung pedang. Daun pelindung ini disebut prophyll (Uhl & Dransfield, 1987). Bunga hermaprodit dan betina mulai mekar setelah berumur 56 minggu, dihitung dari sejak munculnya ujung perbungaan di ketiak daun. Mekarnya bunga tidak serentak, tapi mengikuti pola akropetal, yaitu mulai dari pangkal ke ujung perbungaan. Pada perbungaan hermaprodit di mana bunganya tersusun dalam grup-grup, maka bungabunga yang letaknya di pinggir cenderung mekar terlebih dahulu kemudian diikuti oleh yang lain dengan jarak waktu 3 sampai 6 hari. Perbungaan hermaprodit berada pada puncak antesis yaitu 50% bunga mekar sekitar 1014 hari sejak hari pertama mekar, sedang perbungaan betina setelah 35 hari. Pada saat mekar, kedua perbungaan mengeluarkan bau harum dan mengandung nektar. Kuncup bunga mulai membuka sekitar jam 6.00, kemudian mekar sempurna rata-rata pada pukul 7.30 8.00. Tampaknya proses mekarnya bunga seiring dengan terbitnya matahari. Setelah bunga mekar sempurna terlihat nektar di bagian dasar ovari. Pada bunga hermaprodit, sekitar pukul 9.00, kepala sari mulai pecah. Kepala sari umumnya pecah 13 jam setelah bunga mekar, tapi kadang-kadang beberapa kepala sari pecah bersamaan dengan mekarnya bunga. Kepala putik sudah reseptif atau siap dibuahi (ditandai dengan warna putih mengkilap dan agak lengket) pada saat bunga mekar sempurna bahkan pada waktu baru membuka. Pukul 9.00 bersamaan dengan pecahnya kepala sari, beberapa kepala putik mulai berwarna coklat, yang diasumsikan tidak

reseptif lagi, tapi sebagian kecil kepala putik masih reseptif hingga pukul 10.00. Dengan demikian bunga hermaprodit tersebut termasuk protoginy yaitu kepala putik lebih dulu matang daripada serbuk sari. Perbedaan waktu masak antara kepala putik dengan serbuk sari menyebabkan bunga-bunga ini kecil kemungkinan melakukan penyerbukan sendiri. Kemungkinan besar terjadinya pembuahan pada bunga hermaprodit dibantu oleh hewan penyerbuk. Perbungaan hermaprodit rata-rata selesai mekar dalam waktu 34 minggu. Dengan demikian pertumbuhan perbungaan mulai dari muncul hingga selesai mekar sekitar 810 minggu. Selesai antesis bunga-bunga hermaprodit banyak yang gugur (sepertinya tidak diserbuki), sehingga buah yang terbentuk sangat sedikit. Perbungaan betina mengikuti pola mekarnya hermaprodit, tetapi waktu mekar perbungaan betina lebih singkat (810 hari). Lamanya perbungaan betina dari sejak muncul hingga selesai antesis kira-kira 78 minggu. Peristiwa apomiksis diasumsikan terjadi pada bunga betina. Hal ini diketahui dari tiga perbungaan betina yang dibungkus menjelang mekar, ternyata terbentuk buah hingga 70%. Hal ini berarti bahwa bunga betina tidak membutuhkan penyerbuk dalam pembentukan buah. Hewan Penyerbuk. Hewan yang mengunjungi kedua perbungaan hermaprodit dan betina adalah dari jenis serangga, yaitu jenis semut Dolichoderus thoracicus (Hymenoptera) dan jenis lebah Megachile sp. (Apoidea). Serangga pengunjung mulai terlihat sebelum bunga mekar yaitu sekitar pukul 6.00, kemudian terus bertambah dan mencapai puncaknya pada pukul 10.00, kemudian semakin berkurang hingga matahari terbenam. Rata-rata jumlah serangga yang mengunjungi perbungaan hermaprodit sama dengan perbungaan betina. DAFTAR PUSTAKA Kuhara T, Sugara T. 2002. Floral pollination biology of two gynodioecious herbs, Dianthus shinanensis and D. superbus (Caryophyllaceae). Acta Phytotax. Geobot. 53 (2): 161171. Mogea, J. P. 1978. Pollination in Salacca edulis. Principes 22 (2): 5663 Saw L. G., Dransfield J., Keith-Lucas D. M. 2003. Morphological diversity of the genus Licuala (Palmae). Telopea 10: 187206. Siregar E. S. 2004. Biology of Licuala Wurmb (Arecaceae: Livistoninae) in Java. Thesis. Bogor Institute of Agriculture. Uhl N. W., Dransfield J. 1987. Genera Palmarum. Lawrence. Allen Press. 195197, 555578.

Jurnal Biologi Sumatera, Juli 2006, hlm. 26 33 ISSN 1907-5537

Vol. 1, No. 2 26

PERTUMBUHAN DAN PERKEMBANGAN KULTUR JARINGAN KEMENYAN SUMATRANA (Styrax benzoin Dryander)Isnaini Nurwahyuni dan ElimasniDepartemen Biologi, FMIPA, Universitas Sumatera Utara, Jalan Bioteknologi No. 1, Padang Bulan, Medan 20155

Abstract The growth and development of the tissue culture of Sumatrana benzoin (Styrax benzoin Dryander) is explained. The research was performed to obtain the best technique for propagation of the benzoin. The study was carried out by using completed random design (CRD) with two treatment factors. The results indicated that the growth regulators influenced callus shoot and root development. The percentage of callus growth is varies between 50-83%, in which the highest was found 83% in D1B0 and D2B0 respectively. The weight of the callus was 0.319 g that was found in D3B3. The average number of the root produced D3B0 was 5.50 in which the root was produced separately from shoot, and there was no plantlet observed in the culture. Keywords: kemenyan sumatrana (Styrax benzoin Dryander), kultur daun, BAP, 2, 4-D, kalus, eksplan

PENDAHULUAN Pelestarian dan peningkatan kualitas tanaman hutan perlu mendapat perhatian, terutama terhadap tanaman yang dapat menghasilkan produk nonkayu yang memiliki nilai ekonomi tinggi. Salah satu tanaman hutan yang sangat penting untuk dikembangkan dan dibudidayakan adalah kemenyan sumatrana (Styrax benzoin Dryander) karena mempunyai nilai ekonomi tinggi, yaitu tumbuhan yang penghasil getah kulit yang disebut kemenyan dengan kualitas ekspor (BPS, 2003). Kemenyan sumatrana mengandung senyawa bioaktif yang dapat digunakan sebagai bahan baku obat (Sianipar dan Simanjuntak, 2000). Tanaman ini tumbuh dengan baik di hutan Sumatera Utara, khususnya di lima kabupaten seperti Kabupaten Tapanuli Utara (Taput), Kabupaten Dairi, Kabupaten Toba dan Samosir (Tobasa), Kabupaten Samosir, dan Kabupaten Humbang Hasundutan (Humbahas). Beberapa kabupaten lain masih dimungkinkan untuk tempat tumbuh tanaman kemenyan sumatrana (Styrax benzoin Dryander), namun tanaman kemenyan belum dibudidayakan melalui hutan-hutan rakyat maupun tanaman industi. Produksi kemenyan Sumatera Utara masih berasal dari tanaman yang tumbuh secara liar di hutan. Budidaya kemenyan sumatrana dalam jumlah banyak sulit untuk dilakukan karena kendala dalam penyediaan bibit. Berdasarkan hasil wawancara dengan masyarakat secara sampling di beberapa kabupaten di sekitar hutan diketahui bahwa bibit kemenyan di dalam hutan tersebut diperoleh dari biji yang tumbuh liar. Usaha untuk menghasilkan bibit melalui biji sering dicoba masyarakat, akan tetapi, viabilitasnya sangat rendah karena kulit biji yang

keras dan sulitnya mendapatkan media untuk menumbuhkan biji di persemaian. Hal ini menyebabkan usaha budidaya kemenyan menjadi sulit dilakukan, terutama untuk kebutuhan hutan rakyat dan hutan industri lahan luas. Dengan demikian bila budidaya kemenyan tidak dilakukan dan bila kebutuhan bibit tidak dapat diatasi maka diperkirakan dalam waktu singkat tanaman ini akan punah. Usaha untuk menumbuhkan biji kemenyan sebagai bibit untuk digunakan sumber eksplan dalam kultur jaringan telah dilakukan oleh peneliti (Nurwahyuni, 2002) tetapi tidak dapat menyelesaikan permasalahan yang dihadapi untuk penyediaan bibit. Penyediaan bibit kemenyan umumnya dilakukan secara konvensional dengan biji yang tumbuh secara alami, sehingga penanaman kemenyan dalam jumlah besar dan seragam di hutan tidak memungkinkan. Sebagai alternatif terbaik untuk memenuhi penyediaan bibit kemenyan dalam jumlah besar harus dilakukan melalui teknik in vitro, karena dapat memproduksi bibit dalam jumlah banyak dan seragam dalam waktu relatif singkat. Penelitian awal dalam perbanyakan kemenyan sumatrana (Styrax benzoin Dryander) melalui kultur pucuk telah dilakukan oleh peneliti (Nurwahyuni, 2002). Hasil penelitian menunjukkan tahapan yang menggembirakan dengan media MS diperkaya NAA dan kinetin menghasilkan kalus dan kalus berakar. Usaha pelestarian tanaman penghasil senyawa bioaktif, sebagai bahan obat-obatan telah dilakukan oleh (Shahjahan dan Islam, 1998; Bacchi, dkk. 1995; Bacchi dan Sertie, 1994; Jiang, dkk., 1979; Ulubelen dan Goren, 1973). Kemenyan sumatrana (Styrax benzoin Dryander) memiliki banyak senyawa bioaktif

27 NURWAHYUNI ET AL.

J. Biologi Sumatera

seperti asam sinamat dan turunannya, yaitu senyawa kimia yang dapat digunakan sebagai bahan baku untuk industri kosmetika dan obat-obatan (Sianipar dan Simanjuntak, 2000; Luo, dkk., 1996). Perbanyakan tanaman ini didasarkan pada perbanyakan tanaman dikotil yang memiliki nilai ekonomi (Chaturvedi, dkk., 1982). Dan dasar pemilihan eksplan jaringan muda karena jaringan tersebut mengandung sel-sel yang aktif membelah atau sel meristematik (Ling dan Iwamasa, 1997; Balch dan Alejo, 1997). Eksplan ditanam pada media MS (Murashige dan Skoog, 1962; Murashige dan Tucker, 1969). Ada beberapa jenis ZPT yang digunakan dalam kultur jaringan tanaman, namun efisiensi dan efektivitasnya berbeda terhadap jenis tanaman yang berbeda. Sebagai contoh, kinetin sangat efektif untuk kultur buku batang (Carimi, dkk., 1995), sementara sitokinin konsentrasi rendah dapat memacu perkembangan tunas sedangkan konsentrasi tinggi merangsang penggandaan tunas (Nurwahyuni, 2004). Auksin pada konsentrasi rendah dapat memacu pertumbuhan akar dan pada konsentrasi tinggi dapat merangsang pertumbuhan kalus (Magoon dan Singh, 1995; Goh, dkk., 1995). Dengan demikian, pengaturan zat pengatur tumbuh di dalam media sangat menentukan terhadap keberhasilan pertumbuhan dan perkembangan kultur. Dalam perbanyakan tanaman dibutuhkan pemilihan perbandingan konsentrasi auksin, sitokinin dan suplemen yang tepat, karena hal ini akan menentukan dalam derajat keberhasilan pembentukan tanaman baru (Nurwahyuni dan Tjondronegoro, 1994). Hasil telusur pustaka telah dilakukan tetapi menunjukkan belum pernah dilakukan usaha kultur jaringan terhadap tanaman styrax. Sehingga sebagai acuan perbanyakan kemenyan dalam penelitian ini adalah pendekatan teknik in vitro tanaman tingkat tinggi seperti jeruk manis (Nurwahyuni, 2003; Nurwahyuni, 2001a; Grosser, dkk., 1996) dan kopi arabika (Nurwahyuni, 2001b, Nurwahyuni, 1999). Beberapa hal penting yang perlu diperhatikan dalam pemilihan eksplan untuk kultur jaringan tanaman tingkat tinggi seperti di antaranya organ sumber eksplan, umur organ, musim, ukuran eksplan, dan kualitas tanaman induk (MoreiraDias, dkk., 2000; Hidaka, 1984; Barlass dan Skene, 1982). Sumber eksplan adalah bagian vegetatif tanaman karena mudah diperoleh. Usaha perbanyakan kemenyan sumatrana (Styrax benzoin Dryander) melalui kultur daun pucuk juga telah dilakukan (Nurwahyuni, 2004, Nurwahyuni, 2005a dan 2005b) sebagai upaya mendapatkan kalus dengan kualitas lebih baik untuk selanjutnya diregenerasi menjadi planlet dan tanaman. Pertambahan berat kultur di dalam media juga didapatkan eksplan yang menghasilkan kalus menunjukkan kalus yang berbeda tipe sehingga sangat

memungkinkan untuk dilakukan subkultur untuk perbanyakan klonal dari kultur pucuk. BAHAN DAN METODE Bahan Kimia dan Peralatan. Bahan yang dipergunakan di dalam penelitian adalah daun muda kemenyan Sumatrana (Styrax benzoin Dryander) dari tumbuhan induk berkualitas baik hasil seleksi dari hutan rakyat Huta Pongki, Desa Pohan Tonga, Kecamatan Siborong-borong, Kabupaten Tapanuli Utara, Propinsi Sumatera Utara. Senyawa dan zat-zat kimia yang diperlukan di dalam penelitian adalah kualitas analytical grade (PA). Zat pengatur tumbuh seperti napthalene acetic acid (NAA), kinetin, glisin, nicotinic acid, vitamin tiamin-HCl dan pyridoksinHCl diperoleh dari Sigma Chem. Co. Bakto agar diperoleh dari Kimia Farma. Peralatan yang diperlukan di dalam penelitian di antaranya adalah dissecting set, autoclaf, lampu UV, lampu TL, ent kas, pH-meter, botol kultur, pemanas listrik dan pengaduk magnet, serta gelas-gelas kimia pendukung di Laboratorium Fisiologi dan Kultur Jaringan Tanaman Jurusan Biologi, FMIPA USU, Medan. Prosedur Penelitian. Penelitian bersifat eksperimental rancangan acak lengkap faktorial dengan 6 ulangan setiap perlakuan (Zar, 1996) Kombinasi perlakuan 2 jenis zat pengatur tumbuh seperti: Benzyl Amino Purin (BAP) dan 2,4 dichlorophenoxyacetic acid (2,4-D). Prosedur penelitian terdiri atas persiapan bahan tanaman, penyediaan mendium kultur, sterilisasi eksplan dan penanaman eksplan, regenerasi kalus, dan aklimatisasi tanaman. Bahan baku tanaman untuk kultur jaringan tanaman adalah anakan pohon kemenyan sumatrana (Styrax benzoin Dryander) berkualitas baik dipilih dari areal hutan di Tapanuli Utara, dan ditanam di pot di rumah kaca Jurusan Biologi FMIPA USU. Media basal terdiri atas garam dan vitamin yaitu media MS (Murashige dan Skoog, 1962) dikeraskan dengan 8% agar. Kondisi pH media diatur pada pH o 5.8, kemudian di sterilisasi di autoclaf pada 121 C selama 20 menit. Media basal yang digunakan divariasi komposisinya zat pengatur tumbuh yaitu benzyl amino purin (BAP) dan 2,4 diklorophenoxyacetic acid (2,4-D). Percobaan dilakukan dengan variasi zat pengatur tumbuh yaitu BAP (0, 0.1, 1.0 dan 10 mg/l) dan 2,4-D (0, 0.05, 0.5 dan 5 mg/l). Media kultur untuk inisiasi kalus terdiri atas media MS (Murashige dan Skoog, 1962) yang diperkaya dengan zpt. Optimasi percobaan meliputi inisiasi kalus, regenerasi, aklimatisasi akan dilakukan dengan berbagai variasi perlakuan. Daun muda diambil lalu dicuci dengan air detergen dan dibilas dengan air kran. Bahan disterilasi dalam kondisi aseptik dalam alkohol 70% selama 1

Vol. 1, 2006

J. Biologi Sumatera 28

menit dan diikuti dengan pemindahan ke dalam larutan bayclin 10 dan 20% masing-masing selama 15 menit diseling dengan pembilasan dengan akuades 3 kali. Eksplan dipotong sebesar 1.0 cm dan ditanam pada 16 perlakuan media yang sudah dibuat. Kultur diinkubasi dengan penyinaran 1000 lux selama 16 o jam/hari, dengan suhu 25-27 C. Kultur dipelihara selama 90 hari dan pengamatan dilakukan setiap 3 hari sekali. Terhadap setiap kultur akan dilakukan pengamatan yaitu persentase kultur terkontaminasi, pertumbuhan kultur: jumlah tunas, tinggi tunas, pertambahan jumlah daun, jumlah akar, persentase kultur mengkalus. Jika pada media perlakuan dihasilkan kalus embriogenik maka kalus tersebut diregenerasi dalam media MSO (media MS tanpa zat pengatur tumbuh). Kondisi ruangan kultur dipelihara sama seperti pada saat inisiasi. Pada fase ini dilakukan pengamatan kemampuan kultur beregenerasi menjadi tanaman, seperti jumlah planlet terbentuk. HASIL DAN PEMBAHASAN Induksi Kalus Kemenyan Sumatrana. Pada teknik kultur jaringan tanaman, telah diketahui bahwa kemampuan jaringan tanaman untuk membentuk kalus sangat dipengaruhi antara lain oleh komponen dan konsentrasi media, jenis dan konsentrasi zat pengatur tumbuh (zpt) dan intensitas cahaya (Nurwahyuni, 1994), maka dalam kultur kemenyan sumatrana (Styrax benzoin Dryander) digunakan media MS sehingga pengaruh pemberian kombinasi zpt terhadap pertumbuhan kalus dapat diamati. Pertumbuhan kultur kemenyan sumatrana (Styrax benzoin Dryander) yang hidup di dalam media kultur dengan variasi perlakuan sampai minggu ke-6 diperlihatkan pada Tabel 1. Dalam percobaan ini potongan daun dibenamkan dengan seluruh permukaan menempel pada media. Cara ini dilakukan karena ternyata meletakkan daun pada posisi permukaan bawah atau permukaan atas daun yang bersentuhan dengan media cukup baik untuk inisiasi dan pertumbuhan kalus pada kultur daun pucuk kemenyan ini karena setiap sel pada permukaan yang bersentuhan dengan media mempunyai potensi untuk menyerap nutrien yang terdapat dalam media. Walaupun menurut Hendroyono dan Wijayani (1994) cara seperti ini tidak selalu efektif dalam induksi kalus, akan tetapi, pada penelitian yang dilakukan pada kultur jaringan kopi (Nurwahyuni, 1999), dan kultur jaringan jeruk manis (2001) telah terbukti bahwa cara yang dilakukan seperti pada kultur jaringan kemenyan ini tidak efektif dalam merangsang pembentukan kalus embriogenik. Setelah masa inkubasi empat minggu terlihat kalus mulai terbentuk dan membesar untuk

beberapa kelompok perlakuan, dan dilanjutkan pada pertumbuhan kalus di dalam media kultur pada minggu keduabelas. Kalus tumbuh mulai pada bagian eksplan bekas luka yang merupakan pinggiran yang bersentuhan langsung dengan media, dan selanjutnya pertumbuhan meluas ke seluruh permukaan eksplan. Pertumbuhan kalus pada eksplan semakin meningkat apabila pada eksplan terdapat tulang-tulang daun apalagi ibu tulang daun yang mengandung berkas/jaringan pengangkut, hal ini disebabkan oleh karena pada jaringan pengangkut tersebut terdapat nutrien yang lebih banyak bila dibandingkan dengan jaringan daun yang tidak mempunyai jaringan pengangkut mengakibatkan pemacuan pertumbuhan kalus meningkat. Hasil seperti ini selalu didapati seperti dijelaskan dalam beberapa penelitian sebelumnya (Nurwahyuni, 2002, dan Nurwahyuni, 2004). Pertumbuhan kalus kultur kemenyan sumatrana (Styrax benzoin Dryander) pada media MS yang diperkaya dengan berbagai jenis zat pengatur tumbuh memperlihatkan persentase kultur berkalus bervariasi (Tabel 2). Dari hasil pengamatan terlihat bahwa kalus berwarna coklat berair hanya bertumbuh menjadi kalus yang besar, tetapi tidak dapat menghasilkan tanaman, sedangkan kalus yang berwarna hijau merupakan kalus embriogenik yang dapat berkembang dengan baik. Bentuk kalus yang bertumbuh pada minggu ke-12 diperlihatkan pada Gambar 1.

Gambar 1. Bentuk kalus kultur kemenyan sumatrana (Styrax benzoin Dryander) pada minggu kedua belas, bertunas dan berakar terpisah Pengaruh Media terhadap Pertumbuhan Kalus. Dalam percobaan ini telah dilakukan variasi beberapa jenis zat pengatur tumbuh yang ditambahkan ke dalam media kultur, kemudian persentase kultur yang bertumbuh kalusnya diamati dan berat kalus ditimbang untuk dianalisis secara statistika. Pengaruh pemberian zat pengatur tumbuh ke dalam media kultur mempengaruhi pertumbuhan dan perkembangan kalus,

29 NURWAHYUNI ET AL.

J. Biologi Sumatera

yaitu diamati setelah pengkulturan selama 1 bulan. Pertumbuhan eksplan baru menunjukkan gejala tumbuh nyata setelah 1 bulan, dan diikuti dengan perkembangan kalus. Perkembangan kalus di dalam media kultur sangat lambat. Pertumbuhan dan perkembangan kalus oleh pengaruh konsentrasi 2,4-D dan BAP di dalam media ditunjukkan dari pertambahan berat basah kalus di dalam kultur. Dari pengaruh variasi zat pengatur tumbuh terhadap pertumbuhan kalus diperoleh seperti dirangkum para Tabel 2. Pemberian zpt sangat nyata berpengaruh terhadap induksi dan kecepatan perkembangan kalus tetapi tidak berpengaruh terhadap persentase kultur membentuk kalus. Pada kelompok perlakuan ditemukan persentase kultur berkalus yang bervariasi, yaitu 5083%, di mana persentase tertinggi ditemukan pada kelompok D1B0 dan D2B0 masing-masing 83%, sedangkan persentase terendah ditemukan pada kelompok D3B1 hanya bertumbuh 50%. Dari hasil penelitian diketahui bahwa media dengan komposisi kombinasi zpt sangat berpengaruh terhadap pertumbuhan dan perkembangan kalus kemenyan, berat kalus tertinggi diperoleh pada kelompok perlakuan D3B3 dengan rataan berat kalus 0.319 g, disusul dengan kelompok perlakuan D3B2 dengan rataan berat basah kalus 0.190 g, sedangkan berat kalus terendah diperoleh pada kelompok perlakuan D0B1 dengan rataan berat kalus 0.028 g, yaitu hampir sama dengan kelompok kontrol D0B0 dengan rataan berat kalus 0.017g. Dari data ini diketahui bahwa konsentrasi zat pengatur tumbuh sangat mempengaruhi terhadap pertumbuhan kalus, yaitu semakin tinggi konsentrasi 2,4-D dan BAP yang ditambahkan ke dalam media kultur maka berat basah kalus yang dihasilkan juga semakin tinggi. Analisis data dengan menggunakan statistik sidik ragam. Dari hasil ini disimpulkan bahwa zpt yang ditambahkan ke dalam media sangat berpengaruh terhadap pertumbuhan kalus kemenyan Sumatrana (Styrax benzoin Dryander) (Fhitung 27.39 > Fcrit 2.44) pada taraf signifikansi 0,01. Pengaruh nyata dari masingmasing zat pengatur tumbuh yang ditambahkan ke dalam media kultur juga sangat signifikan, yaitu 2,4-D sangat nyata mempengaruhi pertumbuhan kalus (Fhitung 113.45 > Fcrit 4.23) dan media BAP juga sangat berpengaruh terhadap pertumbuhan kalus (Fhitung 11.70 > Fcrit 4.23) masing-masing pada taraf signifikansi 0,01. Hasil ini juga menunjukkan adanya pengaruh interaksi yang signifikan antar variabel (Fhitung 3.94 > Fcrit 2.44) pada taraf signifikansi 0,01. Perkembangan Tunas Kemenyan Sumatrana (Styrax benzoin Dryander). Perkembangan tunas di dalam kultur untuk beberapa kondisi perlakuan menunjukkan pertumbuhan yang cukup baik. Persentase keberhasilan kultur untuk bertumbuh menjadi tunas cukup tinggi. Kalus di dalam media

menunjukkan pertumbuhan dan perkembangan yang cukup baik setelah 6 minggu, yaitu berkembang membentuk tunas seperti dirangkum pada Tabel 3. Dari hasil diketahui bahwa variasi perlakuan memberikan perkembangan kultur menjadi tunas bervariasi, namun jumlah tunas antar perlakuan tidak berbeda nyata. Kalus yang terbentuk pada beberapa kombinasi media, seperti pada perlakuan D1B3 memiliki intensitas pertumbuhan yang tinggi dengan rataan jumlah tunas sebanyak 2,0 buah, disusul dengan kelompok perlakuan D2B3 dengan rataan jumlah tunas sebanyak 1.75 buah, kelompok perlakuan D1B2 dengan rataan jumlah tunas sebanyak 1.50 buah, dan kelompok perlakuan D3B3 dengan rataan jumlah tunas sebanyak 1.25 buah. Akan tetapi masih banyak kelompok perlakuan yang tidak menumbuhkan tunas seperti pada kelompok perlakuan D1B0, D2B0, D2B1, D3B0, D3B1, dan kelompok D3B2, yaitu hampir sama dengan kelompok kontrol D0B0. Dari hasil ini terlihat bahwa peningkatan konsentrasi zat pengatur tumbuh tidak konsisten terhadap variasi pertumbuhan tunas. Lebih lanjut diketahui bahwa variasi perlakuan memberikan perkembangan kultur menjadi tunas dengan bentuk bervariasi. Tipe pertumbuhan untuk tunas bervariasi seperti perbesaran eksplan yang disebabkan oleh peningkatan jumlah sel dan pembesaran sel yang menyebabkan eksplan bertambah luas permukaannya. Warna eksplan coklat dan bentuknya berupa lembaran potongan daun yang membesar. Tunas yang tumbuh di dalam media kultur menunjukkan pertumbuhan dan perkembangan yang cukup baik setelah 6 minggu. Tunas yang dihasilkan dianalisis dengan menggunakan sidik ragam. Dari hasil ini disimpulkan bahwa zpt yang ditambahkan ke dalam media berpengaruh nyata terhadap pertumbuhan tunas kemenyan Sumatrana (Styrax benzoin Dryander) (Fhitung 1.88 > Fcrit 2.44) pada taraf signifikansi 0,05, tetapi tidak nyata pada taraf signifikansi 0,01. Akan tetapi, setiap zpt yang ditambahkan ke dalam media kultur memberikan pengaruh terhadap pertumbuhan tunas, yaitu 2,4-D nyata mempengaruhi pertumbuhan tunas (Fhitung 9.50 > Fcrit 4.23) dan media yang mengandung BAP juga sangat berpengaruh terhadap pertumbuhan tunas (Fhitung 52.45 > Fcrit 4.23) masing-masing pada taraf signifikansi 0,01. Hasil ini juga menunjukkan adanya pengaruh interaksi yang signifikan antar variabel (Fhitung 4.59 > Fcrit 2.81) pada taraf signifikansi 0,01. Pengaruh Media terhadap Pertumbuhan Akar Kemenyan Sumatrana. Untuk mengetahui pengaruh zpt terhadap pertumbuhan akar di dalam media kultur, telah dilakukan penambahan 2,4-D dan BAP dengan variasi konsentrasi ke dalam media basal MS, dan pertumbuhan akar diamati. Dari hasil

Vol. 1, 2006

J. Biologi Sumatera 30

pengamatan diketahui bahwa pemberian 2,4-D dan BAP di dalam media basal MS sangat mempengaruhi terhadap pertumbuhan akar kemenyan. Akar yang tumbuh pada media basal yang mengandung 2,4-D dan BAP menunjukkan kualitas bervariasi seperti di rangkum pada Tabel 4. Dari berbagai jenis perlakuan terlihat adanya variasi pertumbuhan akar kemenyan yang dipengaruhi oleh pemberian zpt ke dalam media kultur. Pola pertumbuhan akar tanaman bervariasi untuk kelompok perlakuan, jumlah akar yang paling banyak ditemukan pada kelompok perlakuan D3B0 dengan rataan jumlah akar 5.50 buah, diikuti oleh kelompok perlakuan D3B1 dengan rataan jumlah akar 4.67 buah, dan kelompok perlakuan D1B3 dengan rataan jumlah akar 4.25 buah. Sementara itu masih ada kelompok perlakuan yang tidak menghasilkan akar yaitu kelompok perlakuan D0B2 dan kelompok D0B3 yang hampir sama dengan kelompok kontrol D0B0. Data hasil penelitian menunjukkan bahwa pertambahan akar tanaman kemenyan sangat dipengaruhi oleh konsentrasi zpt yang ditambahkan ke dalam media kultur. Data pertumbuhan akar oleh pengaruh pemberian zpt dianalisis menggunakan sidik ragam. Dari hasil ini disimpulkan bahwa zpt yang ditambahkan ke dalam media berpengaruh nyata terhadap pertumbuhan akar Kemenyan Sumatrana (Styrax benzoin Dryander) (Fhitung 8.08 > Fcrit 2.44) pada taraf signifikansi 0,01. Lebih lanjut diketahui bahwa masing-masing zpt yang ditambahkan ke

dalam media kultur memberikan pengaruh yang signifikan terhadap pertumbuhan akar, yaitu 2,4-D sangat nyata mempengaruhi pertumbuhan akar (Fhitung 27.56 > Fcrit 4.23) dan media BAP juga berpengaruh nyata terhadap pertumbuhan akar (Fhitung 4.48 > Fcrit 4.23) masing-masing pada taraf signifikansi 0,01. Hasil ini juga menunjukkan adanya pengaruh interaksi yang signifikan antar variabel (Fhitung 2.78 > Fcrit 2.81) pada taraf signifikansi 0,05 tetapi tidak signifikan pada taraf signifikansi 0,01. Regenerasi Kalus Styrax benzoin Dryander. Regenerasi Styrax benzoin Dryander dapat dilakukan dengan memindahkan kalus embriogenik dalam media inisiasi ke media MS0 untuk membentuk planlet. Di samping itu, pembentukan planlet dapat juga dilakukan melalui regenerasi langsung, yaitu planlet langsung terbentuk di dalam media. Untuk mengembangkan kalus menjadi plantlet maka embriosomatik dipindahkan ke dalam media yang tidak mengandung zpt. Dalam hal ini pembentukan planlet terjadi melalui regenerasi tidak langsung, yaitu melalui pembentukan kalus dan harus terlebih dahulu dipindahkan ke media MS0. Kalus yang beregenerasi pada media yaitu menunjukkan diferensiasi sel menjadi tunas dan akar secara terpisah. Pada tahap ini belum dapat dilakukan aklimatisasi tanaman karena tidak terbentuk planlet. Usaha masih dilakukan dengan penambahan berbagai jenis zpt untuk menumbuhkan planlet untuk perbanyakan tanaman secara kultur jaringan tanaman.

Tabel 1. Pertumbuhan kultur kemenyan sumatrana (Styrax benzoin Dryander) yang hidup di dalam media kultur dengan variasi perlakuan sampai minggu ke-6Perlakuan D0B0 D0B1 D0B2 D0B3 D1B0 D1B1 D1B2 D1B3 D2B0 D2B1 D2B2 D2B3 D3B0 D3B1 D3B2 1 * * * * * * * * * * * * * * * * 2 * * * * * * * * * * * * * * * * Pertumbuhan Kalus pada Minggu Ke3 4 5 * * * + + + + + ++ ++ ++ +++ + + + + + ++ ++ ++ +++ + + + * * + + + ++ + + + + + ++ ++ ++ +++ + + + + + ++ ++ ++ +++ 6 * + ++ +++ + ++ +++ ++ + ++ + ++ +++ + ++ +++

D3B3 Keterangan: D0 = 0,0 mg/l 2,4-D B0 = 0,0 mg/l BAP D1 = 0,05 mg/l 2,4-D B1 = 0,1 mg/l BAP D2 = 0,5 mg/l 2,4-D B2 = 1,0 mg/l BAP D3 = 5,0 mg/l 2,4-D B3 = 10,0 mg/l BAP (*) eksplan membesar, (+) kalus bertumbuh, (++) intensitas pertumbuhan kalus sedang, (+++) intensitas pertumbuhan kalus sangat besar

31 NURWAHYUNI ET AL.

J. Biologi Sumatera

Tabel 2. Pertumbuhan kalus kultur kemenyan sumatrana (Styrax benzoin Dryander) pada media MS yang diperkaya dengan berbagai jenis zat pengatur tumbuh% kultur kalus bertumbuh 1 D0B0 0 2 D0B1 67 3 D0B2 67 4 D0B3 67 5 D1B0 83 6 D1B1 67 7 D1B2 67 8 D1B3 67 9 D2B0 83 10 D2B1 67 11 D2B2 67 12 D2B3 67 13 D3B0 67 14 D3B1 50 15 D3B2 67 16 D3B3 67 *Diperoleh berdasarkan hasil analisis statistika Uji Jarak Duncan No. Jenis Perlakuan Berat akhir kalus Berat (g) Notasi* 0.017 f 0.028 ef 0.030 ef 0.031 ef 0.042 ef 0.042 ef 0.050 ef 0.053 ef 0.065 de 0.068 de 0.073 de 0.093 cd 0.146 b 0.161 b 0.190 b 0.319 a

Tabel 3. Pertumbuhan tunas kultur kemenyan sumatrana (Styrax benzoin Dryander) pada media MS yang diperkaya dengan berbagai jenis zat pengatur tumbuhNo. 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 Jenis Perlakuan D0B0 D0B1 D0B2 D0B3 D1B0 D1B1 D1B2 D1B3 D2B0 D2B1 D2B2 D2B3 D3B0 D3B1 D3B2 D3B3 % Kultur Bertunas 0 67 67 67 0 67 67 67 0 0 67 67 0 0 0 67 Jumlah Tunas Rataan Tunas (buah) Notasi* 0.00 e 0.50 d 1.00 bc 1.00 bc 0.00 e 1.00 cd 1.50 abc 2.00 a 0.00 e 0.00 e 1.00 bc 1.75 ab 0.00 e 0.00 e 0.00 e 1.25 abc

Vol. 1, 2006

J. Biologi Sumatera 32

Tabel 4. Pertumbuhan akar kultur kemenyan sumatrana (Styrax benzoin Dryander) pada media MS yang diperkaya dengan berbagai jenis zat pengatur tumbuhNo. 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 Jenis Perlakuan D0B0 D0B1 D0B2 D0B3 D1B0 D1B1 D1B2 D1B3 D2B0 D2B1 D2B2 D2B3 D3B0 D3B1 D3B2 D3B3 % Kultur Berakar 67 67 0 0 83 67 67 67 83 67 67 67 67 50 67 67 Jumlah Akar Rataan Akar (Buah) Notasi* 0.50 ef 0.50 ef 0.00 ef 0.00 ef 2.40 cd 2.75 bcd 1.25 de 4.25 abc 2.20 cd 2.75 bcd 1.25 de 1.75 de 5.50 a 4.67 ab 2.75 bcd 1.50 de

DAFTAR PUSTAKA Bacchi, E. M. dan Sertie, J. A., (1994), Antiulcer action of Styrax camporum and Caesalpinia ferrea in rats, Planta Medica 60: 118-120. Bacchi, E. M.; Sertie, J. A.; Villa, N. Dan Katz, H., (1995), Antiulcer action and toxicity of Styrax camporum and Caesalpinia ferrea, Planta Medica 61: 204-207. Balch, E. P. M. dan Alejo, N. O., (1997), In vitro plant regeneration of Mexican lime and Mandarin by direct organogenesis, Hortscience 32: 931-934. Barlass, M. dan Skene, K.G.M., (1982), In Vitro plantlet formation from Citrus species and hybrids, Scientia Horticulturae 17: 333-341. BPS, (2003), Statistik Hasil Hutan Indonesia Tahun 1991-1993, Komoditi Kemenyan, Biro Pusat Statistik, Indonesia Carimi, F.; DePasquale, F. dan Crescimanno, F. G., (1995), Somatic embryogenesis in Citrus from styles culture, Plant Science 105: 81-86. Chaturvedi, H. C.; Sharma, A. K.; Sharma, M. dan Prasad, R. N., (1982), Morphogenesis, micropropagation and germplasm preservation of some economic plants by tissue cultures. In: Plant Tissue Culture, (A.Fugiwara, eds), Maruzen, Tokyo, p. 687-688. Grosser, J. W.; Gmitter, F. G.; Tusa, N.; Recupero, G. R. dan Cucinotta, P., (1996), Further evidence of a cybridization requirement for plant regeneration from citrus leaf protoplasts following somatic fusion, Plant Cell Report 15: 672-676.

Jiang W. D. Xu D. Z. Hu G. J. Lin B. Z. (1979), Some pharmacologic effects of the "Styrax pill for coronary disease" and the pharmacological basis of a simplified styrax-borneol preparation, Acta Pharmaceutica Sinica 14(11): 655-61 (Abstract) Ling, J. T. dan Iwamasa, M., (1997), Plant regeneration from embryogenic calli of six Citrus related genera, Plant Cell and Organ Culture 49: 145-148. Luo, G.; Yang, R.; Lai, X.; Yang, W.; Xie, S. dan Zhou, H., (1996), Analysis of cinnamic acid in storax and its original plant by HPLC, China Journal of Chinese Materia Medica 21(12): 744-745, 763 (Abstract) Maggon, R. dan Singh, B. D., (1995), Promotion of adventitious bud regeneration by ABA in combination with BAP in epicotyl and hypocotyl explants sweet orange (Citrus sinensis L. Osbeck), Scientia Horticulturae 63: 123-128. Moreira-Dias, J. M.; Molina, R. V.; Guardiola, J. L. dan Garcia-Luis, A., (2001), Daylength and photon flux density influence the growth regulator effects on morphogenesis in epicotyl segments of Troyer citrange, Scientia Horticulturae 87: 275-290. Murashige, T. dan Skoog, F., (1962), A revised media for rapid grouth and bioassay with tobacco tissue culture, Physiol. Plant. 15: 473-496. Murashige, T. dan Tucker, D. P. H., (1969), Grouth factor requirement of citrus tissue culture, Proc. 1st. Citrus Symp. 3: 1155-1161.

33 NURWAHYUNI ET AL.

J. Biologi Sumatera

Nurwahyuni, I., (1999), Perbanyakan tanaman kopi arabika (Coffea arabica L.) secara kultur jaringan, Komunikasi Penelitian 11(2): 88-102. Nurwahyuni, I., (2005a), Propagasi in vitro tanaman kemenyan sumatrana (Styrax Benzoin Dryander) melalui kultur pucuk, Jurnal Sain Indonesia (In Press) Nurwahyuni, I., (2005b), Perbanyakan tanaman kemenyan sumatrana (Styrax Benzoin Dryander) melalui kultur jaringan tanaman, Jurnal Sain Indonesia29(2): 44-49 Nurwahyuni, I., (2004), Perbanyakan Tanaman Kemenyan Sumatrana (Styrax Benzoin Dryander) Melalui Kultur Pucuk, Laporan Hasil Penelitian, PPD HEDS-FMIPA USU Medan Nurwahyuni, I., (2000), Kultur Kalus Jeruk Manis (Citrus sinensis Brasitepu), Laporan Hasil Penelitian, FMIPA USU Medan. Nurwahyuni, I., (2001a), Perbanyakan Tanaman Jeruk Manis (Citrus sinensis Brasitepu) Secara Kultur Jaringan, Laporan Hasil Penelitian, FMIPA USU Medan. Nurwahyuni, I., (2001b), Kultur jaringan daun kopi arabika (Coffea arabica L.) dalam media MS diperkaya dengan kombinasi sitokinin dan auksin, Jurnal Pendidikan Science 25(2A): 29-38. Nurwahyuni, I., (2002a), Upaya Perbanyakan Tanaman Kemenyan Sumatrana (Styrax Benzoin Dryander) Melalui Kultur Pucuk, Laporan Hasil Penelitian, PPD HEDS - FMIPA USU Medan.

Nurwahyuni, I., (2002b), Kultur jaringan daun jeruk manis (Citrus sinensis Brasitepu) untuk mikropropagasi, Jurnal Sain Indonesia 24(1): 17-20. Nurwahyuni, I., (2003), Uji ketahanan kultur jeruk manis (Citrus sinensis Brasitepu) terhadap salinitas menuju bibit unggul, Jurnal Scientia 3(2): 75-84 Nurwahyuni, I., dan Tjondronegoro, P., (1994), Induksi kalus dan regenerasi tanaman Dioscorea composita Hemls, Hayati 1: 15-17. Nurwahyuni, I.; Munir, E., dan Riyani, Y., (1996), Perbanyakan Tanaman Anggrek Dendrobium sp. secara Kultur jaringan, Komunikasi Penelitian 8(4): 331-337. Shahjahan, M. dan Islam, I., (1998), Preliminary evaluation of shilajit as a suspending agent in antacid suspensions, Drug Development & Industrial Pharmacy 24: 1109-1112. Sianipar, H., dan Simanjuntak, B., (2000) Isolasi dan identifikasi asam sinamat dari Kemenyan Sumatrana, Media Farmasi 4(1): 22-28. Ulubelen, A. dan Goren, N., (1973), Preliminary investigations on the herba of Styrax officinalis. I., Planta Medica 24: 290-293. Zar, J. H., (1996), Biostatistical Analysis, 3rd ed, Prentice hall International Inc., London.

Jurnal Biologi Sumatera, Juli 2006, hlm. 34 36 ISSN 1907-5537

Vol. 1, No. 2 34

UJI POTENSI Bacillus sp. DAN Escherichia coli DALAM MENDEGRADASI ALKIL BERZEN SULFONAT SEBAGAI BAHAN AKTIF DETERGENNunuk Priyani, Liliyanto, dan Kiki NurtjahjaDepartemen Biologi, FMIPA, Universitas Sumatera Utara, Jalan Bioteknologi No. 1, Padang Bulan, Medan 20155

Abstract The study was designed to reveal the ability and the growth of Bacillus sp. and Escherichia coli in degrading alkyl benzene sulphonate an active substance of detergent. The bacteria were isolated from water contaminated by detergent in environment. Both pure and mixed inoculum of the bacteria were examined. Parameters were measured every 5 day for 20 days by culturing the bacteria in nutrient broth and alkyl benzene sulphonate 100 ppm medium in distilled water at 37oC. Results indicate that reduction of the compound was occurred after 5, 10 and 20 days respectively. E. coli as pure culture and mixed with Bacillus sp. have potential in degrading alkyl benzene sulphonate. After 20 days incubation the compound was degraded 72.09 % (27.91 ppm) by mixed culture. The number of colonies both E. coli and Bacillus sp. on nutrient broth medium is higher than that of alkyl benzene sulphonate 100 ppm. Eventhough, pure culture in the later medium the colonies of E. coli and mixed with Bacillus sp. are higher and significantly different than pure culture Bacillus sp. Keywords: alkyl benzene sulphonate, detergent, Escherichia coli, Bacillus sp.

PENDAHULUAN Alkil benzene sulfonat (ABS) merupakan bahan aktif detergen yang paling banyak digunakan saat ini. Senyawa ini disintesis dari reaksi alkil benzena yang berasal dari petroleum dengan asam sulfat atau sulfurtrioksida, hasil reaksi kemudian dinetralisasi dengan menggunakan natrium hidroksida untuk menghasilkan garam natrium (Pandia, 1993). Meskipun komposisi ABS dalam suatu detergen tidak dominan tetapi karena mempunyai banyak percabangan pada rantai alkil maka ABS sulit mengalami biodegradasi sehingga dapat menyebabkan pencemaran lingkungan. Pemakaian ABS sebagai detergen telah mengakibatkan peningkatan konsentrasi limbah tersebut terutama di perairan yang menyebabkan pencemaran. Ketika pemakaian detergen semakin meningkat baik sebagai bahan pencuci di rumah tangga maupun industri maka limbahnya juga meningkat. Terdapatnya detergen di perairan dalam jumlah yang melebihi ambang batas dapat mengganggu pemanfaatan sumber air minum, perikanan, pertanian, maupun industri. Di dalam perairan hanya mikroorganisme yang mampu mendegradasi senyawa organik menjadi senyawa yang lebih sederhana. Di antara mikroorganisme pengurai zat organik perairan adalah Zooglea ramigera, Bacillus sp., dan Escherichia coli (Rilda et al., 1997). Tujuan penelitian ini adalah mengetahui potensi bakteri Bacillus sp. dan Escherichia coli yang diisolasi dari air tercemar baik sebagai biakan tunggal maupun campuran dalam mendegradasi ABS.

BAHAN DAN METODE Pengambilan Contoh Limbah, Isolasi, dan Identifikasi. Limbah cair rumah tangga sebagai contoh diambil menggunakan botol steril. Satu ose dari contoh dilakukan penggoresan pada nutrient agar (NA) dan Eosin Methylen Blue agar (EMB), biakan diinkubasi 24 jam, 37oC. Identifikasi Bacillus sp. dan E. coli dilakukan dengan pewarnaan gram dan uji biokimia protease, katalase, dan IMViC. Pewarnaan spora dilakukan pada Bacillus sp. Kultur yang diperoleh diinokulasikan pada media NA miring sebagai biakan murni. Aklimatisasi Bakteri pada ABS. Inokulum bakteri 1 ml dikultur pada Nutrient Broth (NB) 24 jam, 37oC kemudian dipindahkan dan dikultur pada NB yang mengandung ABS 100 ppm. Proses aklimatisasi dilakukan bertahap dengan mengkultur biakan tunggal bakteri dan biakan campuran ke setiap tahap sebanyak 1 ml setiap 2 hari sekali. Tahapan media NB yang diberikan secara berurut adalah 25, 20, 15, 10, 5, dan 0 ml, dengan kadar ABS secara berurut adalah 0, 5, 10, 15, 20, dan 25 ml. Pengujian Potensi Degradasi ABS dengan Metode Methylen Blue Activity Substrate (MBAS). Pengujian dilakukan baik dalam bentuk biakan tunggal maupun biakan campuran. Biakan murni hasil aklimatisasi sebanyak 2 ml disuspensikan dan diinokulasikan ke dalam 23 ml ABS 100 ppm. Penurunan kadar ABS dihitung dengan metode MBAS setiap 5 hari selama 20 hari.

35 PRIYANI ET AL.

J. Biologi Sumatera

Analisis Konsentrasi Residu ABS. Contoh limbah di dalam labu pisah 500 ml ditambahkan beberapa tetes fenolpthalin dan larutan NaOH 1 N hingga warna merah hilang. Kemudian ditambahkan 10 ml kloroform dan 25 ml pereaksi biru metilen, campuran dikocok 30 detik hingga kloroform terpisah. Kloroform dipisahkan ke labu pisah yang lain. Ekstraksi 3 kali dengan 10 ml kloroform setiap ekstraksi. Kloroform hasil ekstraksi ditambah larutan pencuci (50 ml H2O, 6,6 H2SO4, dan 50 g NaH2PO4.H2O dalam 1 liter H2O) dan dikocok 30 detik hingga terpisah antara kloroform dan air. Kloroform dipindahkan ke dalam labu ukur 50 ml. Nilai absorpsi contoh diukur dengan spektrofotometer pada panjang gelombang 652 nm. Pengamatan Pertumbuhan Bakteri. Pengamatan dilakukan dengan menghitung koloni berdasarkan Standard Plate Count (SPC) setiap 5 hari selama 20 hari dengan konsentrasi awal 100 ppm baik untuk biakan tunggal maupun campuran. Contoh 1 ml dilakukan pengenceran hingga 10-6. Sebanyak 1 ml hasil pengenceran dikultur pada media NA lempeng dan diinkubasi 35-37oC, 24-48 jam. Sebagai kontrol dipakai suspensi bakteri tanpa ABS. Penelitian menggunakan rancangan acak lengkap faktorial terdiri atas: Faktor I kemampuan E. coli, Bacillus sp. dan kombinasi E. coli dan Bacillus sp. dalam mendegradasi ABS. Faktor II pertumbuhan koloni setiap spesies bakteri dan kombinasinya dan kontrol yaitu pertumbuhan bakteri pada media NB (tanpa ABS) dan dalam akuades yang mengandung ABS 100 ppm. Setiap perlakuan dilakukan 6 kali ulangan. HASIL DAN PEMBAHASAN Potensi Degradasi. Bacillus sp. dan E. coli yang dikultur pada ABS dalam akuades melalui pengujian residu dengan metode MBAS menunjukkan perbedaan yang nyata antara kontrol dengan perlakuan. Terjadi penurunan kadar ABS seiring dengan penambahan waktu inkubasi setiap 5 hari seperti pada Tabel 1. Terjadi penurunan kadar residu ABS yang signifikan antara perlakuan kontrol dan perlakuan dengan menggunakan bakteri. Proses degradasi ABS oleh bakteri menunjukkan data signifikan antara biakkan tunggal E. coli dengan biakan campuran Bacillus sp. dan E. coli baik pada hari ke-5, hari ke-10 maupun pada hari ke-20. ABS dapat terdegradasi tanpa bantuan bakteri namun prosesnya berjalan lambat. Enzim -oksidase yang dihasilkan oleh bakteri ternyata berpengaruh terhadap proses

degradasi ABS. Secara kuantitatif jumlah enzim tersebut diduga dipengaruhi oleh jumlah bakteri, hal ini ditandai dengan semakin lama waktu inkubasi semakin rendah kadar residu. Struktur kimia ABS dengan rantai alkil yang bercabang-cabang juga memerlukan waktu bagi bakteri untuk menyesuaikan -oksidase yang dihasilkannya (Pandia 1993; Connell & Miller 1995). Tabel 1. Pengaruh bakteri Bacillus sp., E. coli, dan campuran kedua bakteri tersebut terhadap kadar residu ABS (ppm) selama 20 hari pengamatanPerlakuan ABS 100% tanpa bakteri ABS 100 ppm + Bacillus sp. ABS 100 ppm + E. coli ABS 100 ppm + Bacillus sp. dan E. coli Rataan Waktu (hari)/Kadar Residu ABS (ppm) 5 10 15 20 80,98 79,31 75,79 70,61 a a ab d 67,33 57,85 47,72 41,19 bc cd de ef 63,88 54,19 39,59 33,01 bc cd fg g 61,75 51,49 34,96 27,91 c d fg g

68,46 60,71 49,51 43,18 a b c d Keterangan: Angka-angka yang diikuti huruf yang berbeda pada kolom yang sama menunjukkan berbeda nyata pada taraf 5%

Pertumbuhan (Jumlah Koloni) Bacillus sp. dan E. coli. Jumlah koloni pada perlakuan kontrol (media NB) umumnya lebih tinggi dan berbeda signifikan dengan perlakuan dengan ABS. Biakkan tunggal E. coli dan biakkan campuran Bacillus sp. dan E. coli pada media ABS memiliki jumlah koloni lebih tinggi dan berbeda signifikan dari pada biakan tunggal Bacillus sp. Hasil pengamatan tersebut dapat dilihat pada Tabel 2 di bawah ini: Tabel 2. Perbandingan jumlah koloni Bacillus sp., E. coli, dan campuran Bacillus sp. dan E. coli pada media Nutrient Broth (NB) dengan media ABS 100 ppm dalam akuades, 20 hari setelah inkubasiPerlakuan Jumlah Koloni Media NB ABS 100 ppm 8,46 b 8,43 b 8,50 b 8,46 c 8,53 a 8,47 c

Bacillus sp. Escherichia coli Bacillus sp. dan Escherichia coli Rataan 8,50 a 8,45 b Keterangan: Angka-angka yang diikuti huruf yang berbeda pada kolom yang sama berbeda nyata pada taraf 5%.

Vol. 1, 2006

J. Biologi Sumatera 36

Banyaknya koloni bakteri yang tumbuh pada suatu substrat sangat dipengaruhi oleh tersedianya kondisi fisik, nutrisi, dan sifat hidupnya (Pelczar & Chan, 1988). Sifat fakultatif anaerob, fermentatif dan lebih adaptif pada suasana anaerob, lebih memungkinkan E. coli mampu hidup pada lingkungan yang tercemar ABS meskipun memiliki jumlah koloni lebih rendah jika dibandingkan pada media NB. Sedangkan sifat kemoorganotrop dan fakultatif anaerob pada Bacillus sp. menyebabkan bakteri ini mampu memanfaatkan sumber karbon tersedia. Campuran kedua bakteri yang dikultur secara bersama secara sinergis mampu meningkatkan waktu generasinya. Namun nutrisi tersedia menentukan pertumbuhan kedua bakteri tersebut. Kemampuan bakteri mendegradasi substrat di alam selain dipengaruhi lingkungan yang memenuhi syarat bagi pertumbuhan bakteri tersebut juga jumlah bakteri secara kuantitatif harus sebanding

atau lebih besar dari jumlah senyawa komplek yang tersedia (Rilda et al., 1997). DAFTAR PUSTAKA Connel D. W., Miller G. J. 1995. Kimia dan Ekotoksikologi Pencemaran. Terjemahan oleh Yanti Koestoer. Jakarta: UI Press. Pandia S., 1993. Detergen: Penggunaan dan dampaknya terhadap lingkungan. Majalah Universitas Sumatera Utara. 13(1): 75-83). Pelczar M. J., Chan. 1988. Dasr-dasar Mikrobiologi. Jilid 2. Terjemahan Ratna S.H., Teja Imas, Sutarmi dan Sri Lestari. Jakarta: UI Press. Rilda Y, Yarti, Fajril, Silvia, Rozana. 1997. Proses biodegradasi surfaktan di dalam air. Jurnal Penelitian Universitas Riau. 1(7): 160-164).

37 Jurnal Biologi Sumatera, Juli 2006, hlm. 37 47 ISSN 1907-5537

Vol. 1, No. 2

STUKTUR DAN KOMPOSISI TUMBUHAN PAKU-PAKUAN DI KAWASAN HUTAN GUNUNG SINABUNG KABUPATEN KARO1

Retno Widhiastuti1), T. Alief Aththorick1), dan Wina Dyah Puspita Sari2)Departemen Biologi, FMIPA, Universitas Sumatera Utara, Jalan Bioteknologi No. 1, Padang Bulan, Medan 20155 2 Jurusan Biologi, FMIPA, Universitas Negeri Medan, Jalan Wiliem Iskandar, Medan Estate

Abstract The aim of this study to know the structure and composition of ferns in Sinabung Mount forest. The research was conducted from Juli to December 2004. Sampling area was settled by using Purposive Sampling Method and data were collected with Quadrat Method on three area of different altitude (1450 1750 m; 1750 2050 m; and 2050 2450 m). The area size was 200 m by 5 m. The result showed there were 44 species of ferns that include in 23 families and 32 genera. From 44 species of ferns, 19 species grouped as terrestrial ferns, 10 species as ephyfit ferns, and 15 species as terrestrial of ephyfit. The structure of fern at location I and III was dominated by Cyathea borneensis with relative dominance value of 33.814% and 75.208%, respectively. Gleichennia lineralis dominated location III with relative dominance value of 44.872%. Terresterial fern composition of location I was dominated by Selaginella wildenowii with relative density value of 21.201%, while location II and III were dominated by Gleichennia lineralis with relative density value of 77.209% and 40.678%, respectively. Ephyfit fern composition of location I was dominated by Asplenium nidus with relative density value of 60.914%, while location II was dominated by Davallia bullata with relative density value of 52.521%, and location III was dominated by Crypsinus stenophyllus with relative density value of 34.899%. Keywords: ferns, structure and composition, Sinabung Mount forest

PENDAHULUAN Tumbuhan paku merupakan tumbuhan kormophyta berspora yang dapat hidup di mana saja (kosmopolitan). Kelimpahan dan penyebaran tumbuan paku sangat tinggi terutama di daerah hujan tropis. Tumbuhan paku juga banyak terdapat di hutan pegunungan (Ewusie, 1990). Tumbuhan paku mempunyai nilai ekonomi yang cukup tinggi, terutama pada keindahannya dan sebagai tanaman holtikultura. Menurut Polunin (1994) beberapa jenis Lycopodiinae yang suka panas digunakan sebagai tanaman hias dalam pot, dan paku kawat yang merayap digunakan dalam pembuatan karangan bunga. Sastrapradja et al. (1980) menyebutkan bahwa jenis paku juga dapat dimanfaatkan untuk sayuran dan obat-obatan tradisional. Tumbuhan paku khususnya Cyathea sp. mempunyai peranan yang sangat besar bagi keseimbangan ekosistem hutan antara lain sebagai pencegah erosi dan pengatur tata guna air. Hutan Gunung Sinabung merupakan hutan hujan tropis yang terletak pada 0311- 0312 BT dan 9822- 9824 LU dengan ketinggian 14002450 m di atas permukaan laut diperkirakan memiliki jenis-jenis tumbuhan paku yang dapat hidup khusus

pada ketinggian tertentu. Keberadaan tumbuhan paku berdasarkan ketinggian di hutan Gunung Sinabung belum pernah dilaporkan. Berdasarkan hal tersebut penelitian ini dilakukan dengan tujuan untuk mengetahui struktur dan komposisi tumbuhan pakupakuan pada ketinggian yang berbeda. BAHAN DAN METODE Penelitian dilakukan pada bulan Juli sampai Desember 2004 di tiga lokasi dengan ketinggian yang berbeda pada hutan Gunung Sinabung. Lokasi I: 1450 1750 m dpl, lokasi II: 1750 2050 m dpl, dan lokasi III: 2050 puncak ( 2450 m dpl). Penentuan petak contoh ditentukan secara purposive sampling. Petak contoh yang dibuat menggunakan metode kuadrat dengan ukuran 200 m x 5 m dan di dalamnya dibuat subpetak contoh sebanyak 40 buah berukuran 5 m x 5 m. Jenis tumbuhan paku yang diperoleh diidentifikasi dengan bantuan pustaka, antara lain: Taxonomy of Vascular Plants (Lawrence, 1958), Jenis Paku Indonesia (Sastrapradja et al., 1980), Ferns of Malaysia In Colour (Piggott, 1988), Comparative Morphology of Vascular Plants (Foster and Gifford, 1967).

Vol. 1, 2006

J. Biologi Sumatera 38

Data yang diperoleh dianalisis, dengan analisis sebagai berikut (Krebs, 1985): a. Kerapatan Mutlak (KM) KM suatu jenis = Jumlah individu dalam petak contoh Total luas area petak contoh b. Kerapatan Relatif (KR) KR suatu jenis = Kerapatan suatu jenis x 100% Kerapatan seluruh jenis c. Frekuensi Mutlak (FM) FM suatu jenis = Jumlah subplot yang berisi suatu jenis Jumlah semua subplot yang diamati d. Frekuensi Relatif (FR) FR suatu jenis = Frekuensi mutlak suatu jenis x 100% Jumlah frekuensi mutlak semua jenis e. Indeks Nilai Penting (INP) = KR + FR Pada tumbuhan paku teresterial yang berbentuk pohon dilakukan pengukuran luas tutupan tajuk dan analisis indeks nilai penting sebagai berikut: f. Dominansi Mutlak (DM) DM suatu jenis = Total luas penutup tajukTotal luas petak contoh

g.

Dominansi Relatif (DR) DR suatu jenis =Dominansi suatu jenis x 100 % Dominansi seluruh jenis

Indeks Nilai Penting = KR + FR + DR HASIL DAN PEMBAHASAN Kekayaan Jenis Tumbuhan Paku. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pada lokasi penelitian terdapat 44 jenis tumbuhan paku yang termasuk dalam 32 genera dan 23 famili seperti tercantum pada Tabel 1. Tumbuhan paku tersebut dapat dikelompokkan ke dalam 2 kelas yaitu kelas Lycopodiinae dengan 1 ordo Selaginellales dan 1 famili Selaginellaceae dan kelas Filicinae, dengan 2 ordo yaitu ordo Marattiales dengan 1 famili Marattiaceae dan ordo Filicales dengan 21 famili. Ditinjau dari segi habitatnya, paku-pakuan tersebut terdiri atas 19 jenis paku-pakuan teresterial,

10 jenis epifit, dan 15 jenis paku yang dapat hidup teresterial dan epifit yang tersebar pada tiga lokasi penelitian. Dari Tabel 1 dapat diketahui bahwa jumlah jenis tertinggi terdapat pada lokasi I (1450-1750 m dpl), yaitu 33 jenis yang terdiri dari 17 jenis teresterial, 6 jenis epifit, 10 jenis teresterial dan epifit, pada lokasi II (1750-2050 m dpl) 15 jenis yang terdiri dari 1 jenis teresterial, 6 jenis epifit, 8 jenis teresterial dan epifit dan terendah pada lokasi III (2050-2450 m dpl) yaitu 8 jenis paku-pakuan yang terdiri dari 2 jenis epifit, 6 jenis teresterial dan epifit. Tingginya jenis paku-pakuan pada lokasi I kemungkinan disebabkan oleh faktor-faktor abiotik yang sesuai untuk kehidupan berbagai jenis paku. Pada lokasi tersebut, intensitas cahaya berkisar 162 lux dengan kelembaban udara rata-rata 91,8%. Sebaliknya pada lokasi III, di mana naungan pohon sudah jauh berkurang dengan intensitas cahaya ratarata 1028 lux dan kelembaban udara sekitar 70,8% membuat jenis paku-pakuan menurun. Menurut Sastrapradja et al. (1980), umumnya di daerah pegunungan, jumlah jenis paku lebih banyak karena disebabkan oleh kelembaban yang lebih tinggi, banyaknya aliran air dan adanya kabut. Holdridge (1967) dalam Ewusie (1990) menunjukkan bahwa berkurangnya keanekaragaman dalam jumlah jenis dapat dikaitkan dengan meningkatnya ketinggian dan curah hujan yang berkurang. Struktur Vegetasi Paku-Pakuan. Untuk mempelajari struktur suatu komunitas perlu diketahui karakter dari komunitas, yang dapat dinyatakan berupa karakter kualitatif, kuantitatif, dan sintesis. Salah satu karakter kuantitatif yang dapat diketahui adalah luas penutupan area seperti yang tercantum pada Tabel 2. Dari Tabel 2 dapat dilihat bahwa nilai dominansi relatif tertinggi pada lokasi I dan II adalah C. borneensis dengan total luas penutup tajuk masingmasing sebesar 12,288 m2/1000 m2 (1,229%) dan 234,047 m2/1000 m2 (23,405%) dan pada lokasi III adalah Gleichenia linearis dengan total luas penutup tajuk sebesar 20,935 m2/1000 m2 (20,935%). Penutupan tajuk C. borneensis pada lokasi I dan II mendominasi sebesar 33,814% dan 75,208%. C. borneensis yang terdapat pada lokasi penelitian kebanyakan sudah dalam keadaan yang dewasa, sehingga memiliki tajuk yang besar. Menurut Piggot (1988), C. borneensis banyak ditemukan di tengahtengah hutan pegunungan yang sedikit ternaungi. Selanjutnya Holttum (1968) menyatakan bahwa C. borneensis dapat tumbuh baik dan menyukai daerah yang tinggi.

39 WIDHIASTUTI ET AL.

J. Biologi Sumatera

Tingginya luas tutupan tajuk pada C. borneensis disebabkan kemampuan jenis tersebut untuk beradaptasi dan berkompetisi dengan jenis lainnya sehingga dapat menguasai kawasan penelitian dan faktor-faktor abiotik yang mendukung. Jenis yang dominan kendati tidak melimpah tapi mampu memanfaatkan faktor lingkungan dengan sebaikbaiknya hingga sangat berpengaruh dalam komunitas (Wirakusumah, 2003). Komposisi Tumbuhan Paku. Pada suatu komunitas dapat dilihat adanya perbedaan jenis penyusun secara vertikal, seperti perbedaan bentuk hidup serta tingkatannya (Suin, 2002). Untuk mengetahui komposisi paku-pakuan, dapat dilihat berdasarkan keberadaaan dan jumlah individu suatu jenis yang menempati wilayah di hutan Gunung Sinabung (Tabel 3, 4, 5). Dari Tabel 3 dapat diketahui bahwa pada lokasi I, Selaginella wildenowii memiliki nilai kerapatan relatif tertinggi yaitu sebesar 21,201%, diikuti oleh Cyathea borneensis, Diplazium pallidum, Pteris venulosa dengan nilai kerapatan relatif berturutturut sebesar 20,495%, 18,375% dan 9,187%. Lokasi I banyak dijumpai jenis-jenis paku teresterial sehingga keberadaan S. wildenowiii tidak begitu mencolok. Tingginya nilai kerapatan relatif pada S. wildenowii disebabkan oleh banyaknya individu dari jenis ini bila dibandingkan dengan jenis lainnya yang terdapat pada lokasi penelitian dan seringkali S. wildenowii membentuk belukar yang cukup lebat. Pertumbuhan yang subur pada lokasi ini salah satunya juga disebabkan oleh faktor abiotik yang sesuai. Pada lokasi I, terdapat banyak pohon yang mempunyai tajuk yang cukup besar sehingga intensitas cahaya tidak terlalu tinggi yaitu rata-rata 162 lux. Keadaan ini diasumsikan dapat menyokong pertumbuhan jenis ini untuk dapat tumbuh dengan pesat. Pada lokasi I untuk paku-pakuan epifit, Asplenium nidus memiliki jumlah individu terbanyak yaitu 120 individu/1000 m2 dengan nilai kerapatan relatif sebesar 60,914%. Perbedaan nilai kerapatan relatif A. nidus dibandingkan dengan nilai kerapatan relatif jenis lainnya sangat mencolok. Jenis yang memiliki nilai kerapatan relatif tertinggi setelah A. nidus antara lain adalah Colysis macrophylla dan Asplenium salignum yaitu berturut-turut sebesar 7,107% dan 6,599%. Jumlah individu A. nidus menguasai lebih dari 50% dari keseluruhan jumlah individu yang ada pada lokasi I. Hal ini disebabkan karena banyaknya terdapat pohon-pohon besar pada lokasi ini yang dapat menjadi tempat hidup bagi A. nidus, dan secara langsung mempengaruhi penyebaran spora

yang lebih luas. Jumlah individu terendah pada lokasi I adalah Asplenium scalare, Crypsinus stenophyllus, Ctenopteris contigua, Cyathea borneensis dan Diplazium angustipinna masing-masing sebanyak 1 jenis dengan nilai kerapatan relatif sebesar 0,508%. Dari Tabel 4 dapat diketahui bahwa komposisi paku-pakuan teresterial pada lokasi II terdapat 5 jenis dengan jumlah individu sebanyak 645 individu/1000 m2, sedangkan paku-pakuan epifit terdapat 13 jenis dengan jumlah individu 238 individu/1000 m2. Rendahnya jumlah jenis pada lokasi ini kemungkinan disebabkan oleh adanya jenis yang mendominasi wilayah tersebut yaitu Gleichenia linearis yang memiliki jumlah individu tertinggi yaitu 498 individu/1000 m2 dengan nilai kerapatan relatif sebesar 77,209%. Sehingga menyebabkan jenis-jenis lainnya sulit untuk tumbuh dan berkembang. Menurut Sastrapradja (1980), G. linearis bersifat seperti alangalang yang akan dengan cepat menutupi tempattempat yang terbuka. Pada lokasi II yang berada pada ketinggian 1750-2050 m dpl sudah mulai jarang terdapat pohon-pohon bertajuk luas, sehingga cahaya matahari langsung mengenai isi hutan yaitu dengan intensitas cahaya rata-rata sebesar 309,2 lux. Adanya daerah kosong yang tidak terdapat pohon, menjadikan jenis G. linearis tumbuh dengan pesat. Ditambah lagi spora G. linearis tidak mempunyai indusia sehingga penyebaran dengan spora sangat mudah dilakukan. Jenis paku-pakuan epifit yang memiliki nilai kerapatan relatif terbesar adalah Davallia bullata sebesar 52,521% dengan jumlah individu sebanyak 125 individu/1000 m2. Diikuti oleh Crypsinus stenophyllus dengan nilai kerapatan relatif sebesar 26,471%, Cyathea borneensis dan Asplenium nidus dengan nilai kerapatan relatif yang sama yaitu 6,723%. Banyaknya dijumpai jenis Davallia bullata ini disebabkan karena rhizom yang dimiliki jenis ini panjang dan menjalar pada tumbuhan yang ditumpanginya. Menurut Sastrapradja (1980), perbanyakan genus Davallia dapat melalui rhizom dan spora. Jenis ini juga banyak terdapat pada tempattempat yang terbuka seperti pada lokasi II. Pada lokasi II, jenis yang memiliki jumlah individu terkecil adalah Crypsinus enervis, Ctenopteris obliquata, dan Davallia trichomanoides masing masing juga sebanyak 1 jenis dengan nilai kerapatan relatif 0,420% Pada lokasi III, komposisi tumbuahan paku teresterial tersusun atas 8 jenis dengan jumlah individu 354 individu/1000 m2 dan tumbuhan paku epifit terdiri dari 6 jenis dengan jumlah individu sebanyak 447 individu/1000 m2 (Tabel 5).

Vol. 1, 2006

J. Biologi Sumatera 40

Dari Tabel 5 dapat dilihat bahwa Gleichenia linearis memiliki jumlah individu terbanyak yaitu 144 individu/1000 m2 dengan nilai kerapatan relatif sebesar 40,678%. Diikuti oleh Blechnum vestitum, Dipteris conjugata, dan Histiopteris insica dengan nilai kerapatan relatif berturut-turut sebesar 36,441%, 8,757% dan 7,627%. G. linearis kebanyakan dijumpai pada ketinggian 2050-2250 m dpl, di mana pohonpohon sudah semakin pendek dan jarang terdapat. Jenis paku-pakuan teresterial yang memiliki nilai kerapatan relatif terendah adalah Davallia bullata yaitu sebesar 0,282% sebanyak 1 individu.. Untuk paku-pakuan epifit pada lokasi III, Crypsinus stenophyllus memiliki nilai kerapatan relatif yang tertinggi yaitu 34,899% dengan jumlah individu 156 individu/1000 m2. C. enervis dan Blechnum vestitum juga memiliki nilai kerapatan relatif yang tinggi yaitu berturut-turut sebesar 26,174% dan 22,595%. Tingginya nilai kerapatan relatif pada C. stenophyllus disebabkan oleh adanya faktor-faktor abiotik yang sangat mendukung pertumbuhan dari jenis tersebut. Jenis dengan jumlah individu terendah terdapat pada Histiopteris insica sebanyak 5 jenis dengan nilai kerapatan relatif sebesar 1,119%. Menurut Suin (2002), organisme yang jarang kepadatannya dapat digunakan sebagai indikator keadaan lingkungan lokasi penelitian karena dapat memberikan gambaran kondisi fisik suatu habitat. Indeks Nilai Penting Tumbuhan Paku Teresterial. Dari data yang telah dianalisis, diperoleh nilai kerapatan relatif, frekuensi relatif, dominansi relatif dan indeks nilai penting pada ketiga lokasi penelitian seperti yang dapat dilihat pada Tabel 6. Pada lokasi I (Tabel 6) dapat dilihat bahwa jenis C. borneensis memiliki indeks nilai penting jenis tertinggi yaitu 74,944%. Tingginya nilai ini berasal dari kerapatan relatif, frekuensi relatif dan dominansi relatif yang nilai masing-masingnya sangat tinggi. Dengan demikian jenis C. borneensis mempunyai peranan yang penting dalam komunitas ini. Odum (1996) menyatakan bahwa umumnya jenis yang dominan adalah jenis-jenis di dalam suatu komunitas dengan produktivitas yang besar dan sebagian besar mengendalikan arus energi.

Jenis yang memiliki nilai penting tertinggi pada lokasi II adalah G. linearis yaitu sebesar 130,950%. Tingginya nilai penting pada jenis ini disebabkan oleh rendahnya keberadaaan jenis pakupakuan lainnya dan tingginya kerapatan relatif jenis ini di lokasi II, sehingga G. linearis menjadi jenis yang dominan dan mempunyai peranan yang penting dalam komunitas. Lokasi III yang berada pada ketinggian 20502450 m dpl didominasi oleh jenis Blechnum vestitum dengan indeks nilai penting sebesar 121,505%. Loveless (1989) menyatakan bahwa tumbuhan yang dominan mempunyai pengaruh yang besar terhadap habitat dan mendominasi atau merajai seluruh komunitas. Bila dilihat dari nilai penting lima jenis yang tertinggi pada lokasi I, tidak terlalu tampak adanya perbedaan nilai yang cukup mencolok, sedangkan pada lokasi II dan III, nilai penting jenis yang tertinggi sangat berbeda jauh dengan nilai penting jenis lainnya. Hal ini disebabkan oleh dominansi suatu jenis yang cukup tinggi pada kedua lokasi tersebut. Faktorfaktor lingkungan seperti suhu udara, suhu tanah, kelembaban udara, kelembaban tanah dan intensitas cahaya sangat mempengaruhi pertumbuhan jenis paku-pakuan. Selain itu, morfologi dari jenis pakupakuan seperti luas tutupan tajuk dapat meningkatkan nilai dominansi relatif jenis paku-pakuan tersebut. Indeks Nilai Penting Paku- Pakuan Epifit. Indeks nilai penting tumbuhan paku hasil penelitian dapat dilihat pada Tabel 7. Nilai penting tertinggi pada lokasi I adalah dari jenis A. nidus yaitu sebesar 109,562%. Sehingga dapat dikatakan bahwa lokasi I merupakan tempat hidup yang sesuai bagi jenis A. nidus dan jenis tersebut mempunyai peranan yang penting dalam komunitas. Pada lokasi II indeks nilai penting terdapat pada jenis D. bullata menjadikan jenis ini memiliki nilai penting tertinggi yaitu sebesar 87,369%, sedangkan pada lokasi III adalah Crypsinus stenophyllus sebesar 67,332%. Kemudian diikuti oleh jenis C. enervis dan Blechnum vestitum, yaitu berturut-turut sebesar 55,9046% dan 38,811%.

41 WIDHIASTUTI ET AL.

J. Biologi Sumatera

Tabel 1. Jenis paku-pakuan yang diperoleh pada ketiga lokasi penelitian di Hutan Gunung SinabungNo. 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 Kelas Lycopodiinae Filicinae Ordo Selaginellales Marattiales Filicales Famili Selaginellaceae Marattiaceae Adiantaceae Aspidiaceae Jenis Selaginella wildenowii (Desv.) Backer * Angiopteris evecta Hoofm. * Coniogramme fraxinea (Don.) Diels. * Didymochlaena truncatula (Sw.) J.Sm * Dryopteris sparsa (Don.) Kuntze * Lastreopsis munita (Mett.) Tindale * Aspleniaceae Asplenium nidus L. *** A. pellucidum Lam. * A. salignum Bl. *** A. scalare Rosenst. *** A. tenerum Forst. ** A. unilaterale Lam. * Athyriaceae Diplazium angustipinna Holtt. *** D. pallidum Bl. *** D. riparium Holtt. * Blechnaceae Blechnum vestitum (Bl.) Kuhn *** Cyatheaceae Cyathea borneensis Copel. *** Davalliaceae Davallia bullata Wall. *** D. trichomanoides Bl. ** Dennstaedtiaceae Microlepia speluncae (L.) Moore. * Dryopteridaceae Dictyodroma formosana Ching. *** Polystichum sp. * Gleicheniaceae Gleichenia linearis (Burm.) * Grammitidaceae Ctenopteris contigua (Forst.) Holtt. ** C. obliquata (Bl.) Copel. ** Hymenophylaceae Trichomanes maximum Bl. * Hypolepidaceae Histiopteris insica (Thunb.) J. Sm * Lindsaeaceae Lindsaea malayensis Holtt. *** Lomariopsidaceae Elaphoglossum callifolium (Bl.) Moore ** Nephrolepidaceae Arthropteris tenela (Forst. F.) J. Sm ex Hook. f. * 31 Nephrolepis biserrata (Sw.) Schott * 32 Polypodiaceae Colysis macrophylla (Bl.) Presl *** 33 Crypsinus enervis (Cav.) Copel. *** 34 C. stenophyllus (Bl.) Holtt. *** 35 C. wrayi (Baker) Copel. * 36 Dipteris conjugata Reinw. *** 37 Polypodium persicifolium (Desv.) Presl ** 38 P. prainii Bedd. ** 39 Plagiogyriaceae Plagiogyria glauca (Blume.) Mett. * 40 Pteridaceae Pteris venulosa Bl. *** 41 Thelypteridaceae Cyclosorus extensus (Bl.) Ching. * 42 Vittariaceae Antrophyum callifolium Bl. ** 43 Vittaria angustifolia Bl. ** 44 V. ensiformis Sw. ** Keterangan: Lokasi I : 1450-1750 m dpl * : Teresterial + : ditemukan II : 1750-2050 m dpl ** : Epifit - : tidak ditemukan III : 2050-2450 m dpl *** : Teresterial dan epifit I + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + Lokasi II + + + + + + + + + + + + + + + III + + + + + + + + -

Vol. 1, 2006

J. Biologi Sumatera 42

Tabel 2. Nilai dominansi relatif pada ketiga lokasi penelitianI No. 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 32 33 34 Jenis LPT (m2) 0,453 0,452 5,784 2,038 0,113 0,28 0,182 0,031 0,031 0,122 12,288 0,317 1,415 0,322 0,842 3,655 0,096 0,015 0,808 0,488 1,018 0,298 1,374 2,094 1,733 0,091 DR (%) 1,247 1,244 15,9162 5,608 0,311 0,771 0,501 0,085 0,085 0,336 33,8141 0,872 3,894 0,886 2,317 10,0583 0,264 0,041 2,223 1,343 2,801 0,820 3,781 5,762 4,769 0,250 100,000 LPT (m2) 2,660 1,927 234,047 72,400 0,162 II DR (%) 0,8553 0,619 75,2081 23,2652 0,052 99,999 LPT (m2) 16,973 0,307 0,247 0,661 0,02 3,319 20,935 4,193 III DR (%) 36,3802 0,658 0,529 1,417 0,043 7,114 44,8721 8,9873 100,000

Angiopteris evecta Hoofm. Arthropteris tenela (Forst. F.) J. Sm ex Hook. f. Asplenium nidus L. A. pellucidum Lam. A. salignum Bl. A. scalare Don. Subsp A. unilaterale Lam Blechnum vestitum(Bl.) Kuhn Colysis macrophylla (Bl.) Presl Coniogramme fraxinea (Don.) Diels Crypsinus enervis (Cav.) Copel C. stenophyllus (Bl.) Holtt C. wrayi (Baker) Copel Cyathea borneensis Copel Cyclosorus extensus (Bl.) Ching. Davallia bullata Wall Dictyodroma formosana Ching. Didymochlaena truncatula Sw. J. Sm Diplazium angustipinna D. pallidum Bl. D. riparium Holtt Dipteris conjugata Reinw. Dryopteris sparsa (Don.) Kuntze Gleichenia linearis (Burm.) Histiopteris insica (Thumb.) J. Sm Lastreopsis munita (Mett.) Tindale. Lindsaea malayensis Holtt Microlepia speluncae (L.) Moore. Nephrolepis biserrata (Sw.) Schott Plagiogyria glauca (Blume.) Mett. Polystichum sp Pteris venulosa Bl. Selaginella wildenowii (Desv.) Backer Trichomanes maximum Blume Total Keterangan: LPT : Luas penutup tajuk (m2) DR : Dominansi relatif (%)

43 WIDHIASTUTI ET AL.

J. Biologi Sumatera

Tabel 3. Komposisi paku-pakuan pada lokasi INo. 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 Teresterial Jenis Selaginella wildenowii (Desv.) Backer Cyathea borneensis Copel Diplazium pallidum Bl. Pteris venulosa Bl. Nephrolepis biserrata (Sw.) Schott Polystichum sp Asplenium nidus L. Dictyodroma formosana Ching. A. pellucidum Lam. Microlepia speluncae (L.) Moore. Asplenium scalare Don. Subsp Lastreopsis munita (Mett.) Tindale. Arthropteris tenela (Forst. F.) J. Sm ex Hook. f. Diplazium angustipinna Asplenium unilaterale Lam Plagiogyria glauca (Blume.) Mett. Angiopteris evecta Hoofm. Asplenium salignum Bl. Colysis macrophylla (Bl.) Presl Coniogramme fraxinea (Don.) Diels Crypsinus wrayi (Baker) Copel Cyclosorus extensus (Bl.) Ching. Didymochlaena truncatula Sw. J. Sm Diplazium riparium Holtt Dryopteris sparsa (Don.) Kuntze Trichomanes maximum Blume Total Jumlah Individu 60 58 52 26 17 11 8 7 6 6 5 5 4 4 2 2 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 283 120 14 13 10 10 10 6 3 2 2 2 1 1 1 1 1 197 KR (%) 21,201 20,495 18,375 9,187 6,007 3,887 2,827 2,473 2,120 2,120 1,767 1,767 1,413 1,413 0,707 0,707 0,353 0,353 0,353 0,353 0,353 0,353 0,353 0,353 0,353 0,353 100,000 60,914 7,107 6,599 5,076 5,076 5,076 3,046 1,523 1,015 1,015 1,015 0,508 0,508 0,508 0,508 0,508 100.000

Epifit Asplenium nidus L. Colysis macrophylla (Bl.) Presl Asplenium salignum Bl. Dictyodroma formosana Ching. Polypodium persicifolium Desv. Vittaria ensiformis Sw. Asplenium tenerum Forst. Ctenopteris obliquata (Bl.) Copel Antrophyum callifolium Bl. Crypsinus wrayi (Baker) Copel Diplazium pallidum Bl. Asplenium scalare Don. Subsp Crypsinus stenophyllus (Bl.) Holtt Ctenopteris contigua (Forst.) Holtt Cyathea borneensis Copel Diplazium angustipinna Total Keterangan: KR: Kerapatan relatif 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16

Vol. 1, 2006

J. Biologi Sumatera 44

Tabel 4. Komposisi paku-pakuan pada lokasi IINo. 1 2 3 4 5 Teresterial Jenis Gleichenia linearis (Burm.) Cyathea borneensis Copel C. stenophyllus (Bl.) Holtt Blechnum vestitum(Bl.) Kuhn Lindsaea malayensis Holtt Total Epifit Davallia bullata Wall Crypsinus stenophyllus (Bl.) Holtt Asplenium nidus L. Cyathea borneensis Copel Polypodium prainii Bedd. Elaphoglossum callifolium (Bl.) Moore Lindsaea malayensis Holtt Vittaria ensiformis Sw. Crypsinus enervis (Cav.) Copel Ctenopteris obliquata (Bl.) Copel Davallia trichomanoides Bl. Pteris venulosa Bl. Vittaria angustifolia Bl. Total Jumlah Individu 498 95 26 23 3 645 125 63 16 16 6 3 2 2 1 1 1 1 1 238 KR (%) 77,209 14,729 4,031 3,566 0,465 100,000 52,521 26,471 6,723 6,723 2,521 1,261 0,840 0,840 0,420 0,420 0,420 0,420 0,420 100,000

1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13

Tabel 5. Komposisi paku-pakuan pada lokasi IIITeresterial No. 1 2 3 4 5 6 7 8 Jenis Gleichenia linearis (Burm.) Blechnum vestitum(Bl.) Kuhn Dipteris conjugata Reinw. Histiopteris insica (Thumb.) J. Sm Crypsinus enervis (Cav.) Copel C. stenophyllus (Bl.) Holtt Cyathea borneensis Copel Davallia bullata Wall Total 1 2 3 4 5 6 Epifit Crypsinus stenophyllus (Bl.) Holtt C. enervis (Cav.) Copel Blechnum vestitum (Bl.) Kuhn Dipteris conjugata Reinw. Cyathea borneensis Copel Histiopteris insica (Thumb.) J. Sm Total Jumlah Individu 144 129 31 27 10 6 6 1 354 156 117 101 61 7 5 447 KR (%) 40,678 36,441 8,757 7,627 2,825 1,695 1,695 0,282 100,000 34,899 26,174 22,595 13,647 1,566 1,119 100,000

45 WIDHIASTUTI ET AL.

J. Biologi Sumatera

Tabel 6. Indeks nilai penting paku-pakuan teresterial pada ketiga lokasi penelitianNo. 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 Jenis Lokasi I Cyathea borneensis Copel Diplazium pallidum Bl. Selaginella wildenowii (Desv.) Backer Pteris venulosa Bl. Asplenium nidus L. Nephrolepis biserrata (Sw.) Schott Polystichum sp Dictyodroma formosana Ching. Asplenium pellucidum Lam. Diplazium angustipinna Lastreopsis munita (Mett.) Tindale. Microlepia speluncae (L.) Moore. Asplenium scalare Don. Subsp Arthropteris tenela (Forst. F.) J. Sm ex Hook. f. Angiopteris evecta Hoofm. Plagiogyria glauca (Blume.) Mett. Didymochlaena truncatula Sw. J. Sm Cyclosorus extensus (Bl.) Ching. Asplenium unilaterale Lam Crypsinus wrayi (Baker) Copel Asplenium salignum Bl. A. riparium Holtt Trichomanes maximum Blume Colysis macrophylla (Bl.) Presl Coniogramme fraxinea (Don.) Diels Dryopteris sparsa (Don.) Kuntze Total Lokasi II Gleichenia linearis (Burm.) Cyathea borneensis Copel Blechnum vestitum (Bl.) Kuhn Crypsinus stenophyllus (Bl.) Holtt Lindsaea malayensis Holtt Total Lokasi III Blechnum vestitum (Bl.) Kuhn Gleichenia linearis (Burm.) Dipteris conjugata Reinw. Histiopteris insica (Thumb.) J. Sm Crypsinus enervis (Cav.) Copel Cyathea borneensis Copel Crypsinus stenophyllus (Bl.) Holtt Davallia bullata Wall Total KR (%) 20,495 18,375 21,201 9,187 2,827 6,007 3,887 2,473 2,120 1,413 1,767 2,120 1,767 1,413 0,353 0,707 0,353 0,353 0,707 0,353 0,353 0,353 0,353 0,353 0,353 0,353 100,000 77,209 14,729 3,566 4,031 0,465 100,000 36,441 40,678 8,757 7,627 2,825 1,695 1,695 0,282 100,000 FR (%) 20,635 19,841 6,349 11,905 3,968 7,937 5,556 3,968 1,587 3,175 1,587 1,587 1,587 0,794 0,794 0,794 0,794 0,794 0,794 0,794 0,794 0,794 0,794 0,794 0,794 0,794 100,000 30,476 33,333 22,857 10,476 2,857 100,000 48,684 13,158 17,105 6,579 5,263 3,947 3,947 1,316 100,000 DR (%) 33,814 10,058 4,769 5,762 15,916 2,801 3,781 3,894 5,608 2,317 2,223 1,343 0,771 1,244 1,247 0,820 0,886 0,872 0,501 0,336 0,311 0,264 0,250 0,085 0,085 0,041 100,000 23,265 75,208 0,855 0,619 0.052 99,999 36,380 44,872 7,114 8,987 0,658 1,417 0,529 0,043 100,000 INP (%) 74,944 48,274 32,319 26,854 22,711 16,745 13,223 10,336 9,316 6,905 5,578 5,050 4,125 3,451 2,394 2,320 2,033 2,019 2,001 1,483 1,458 1,411 1,397 1,232 1,232 1,188 300,000 130,950 123,270 27,278 15,126 3,374 299,99 121,505 98,708 32,976 23,193 8,746 7,059 6,172 1,641 300,000

1 2 3 4 5

1 2 3 4 5 6 7 8

Vol. 1, 2006

J. Biologi Sumatera 46

Tabel 7. Indeks nilai penting paku-pakuan epifit pada ketiga lokasi penelitianNo. 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 Jenis Lokasi I Asplenium nidus L. A. salignum Bl. Vittaria ensiformis Sw. Colysis macrophylla (Bl.) Presl Polypodium persicifolium Desv. Dictyodroma formosana Ching. Asplenium tenerum Forst. Antrophyum callifolium Bl. Diplazium pallidum Bl. Ctenopteris obliquata (Bl.) Copel Crypsinus wrayi (Baker) Copel Asplenium scalare Don. Subsp Crypsinus stenophyllus (Bl.) Holtt Ctenopteris contigua (Forst.) Holtt Cyathea borneensis Copel Diplazium angustipinna Total Lokasi II Davallia bullata Wall Crypsinus. Stenophyllus (Bl.) Holtt Asplenium nidus L. Cyathea borneensis Copel Polypodium prainii Bedd. Lindsaea malayensis Holtt Elaphoglossum callifolium (Bl.) Moore Vittaria ensiformis Sw. Crypsinus enervis (Cav.) Copel Ctenopteris obliquata(Bl.) Copel Davallia trichomanoides Bl. Pteris venulosa Bl. Vittaria angustifolia Bl. Total Lokasi III Crypsinus stenophyllus (Bl.) Holtt C. enervis (Cav.) Copel Blechnum vestitum (Bl.) Kuhn Dipteris conjugata Reinw. Cyathea borneensis Copel Histiopteris insica (Thumb.) J. Sm Total KR (%) 60,914 6,599 5,076 7,107 5,076 5,076 3,046 1,015 1,015 1,523 1,015 0,508 0,508 0,508 0,508 0,508 100,000 52,521 26,471 6,723 6,723 2,521 0,840 1,261 0,840 0,420 0,420 0,420 0,420 0,420 100,000 34,899 26,174 22,595 13,647 1,566 1,119 100,000 FR (%) 48,649 10,811 10,811 5,405 5,405 2,703 1,351 2,703 2,703 1,351 1,351 1,351 1,351 1,351 1,351 1,351 100,000 34,848 25,758 15,152 9,091 1,515 3,030 1,515 1,515 1,515 1,515 1,515 1,515 1,515 100,000 32,432 29,730 16,216 13,514 5,405 2,703 100,000 INP (%) 109,562 17,410 15,887 12,512 10,482 7,779 4,397 3,718 3,718 2,874 2,367 1,859 1,859 1,859 1,859 1,859 200,000 87,369 52,228 21,874 15,814 4,036 3,871 2,776 2,355 1,935 1,935 1,935 1,935 1,935 200,000 67,332 55,904 38,811 27,160 6,971 3,821 200,000

1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13

1 2 3 4 5 6

DAFTAR PUSTAKA Ewusie, J. Y. 1990. Pengantar Ekologi Tropika. Penerjemah Usman Tanuwidjaja. Penerbit ITB, Bandung. hlm. 249, 273. Foster, A. S. and E. M. Gifford, Jr. 1967. Comparative Morphology of Vascular Plants. Second Indian edition. Vaklis, Feffer and Simons Private Ltd., Bombay. pp. 31-35.

Holttum, R. E. 1968. A Revised Flora of Malaya. Vol. II. Fern of Malaya. Government Printing Office, Singapore. pp. 115-212, 299-349. Krebs, C. J. 1985. Experimental Analysis of Distribution and Abudance. Harper and Row Publisher, Philadelphia. pp. 23 Lawrence, G. H. M. 1951. Taxonomy of Vascular Plants. The Macmillan Company, New York. pp. 334-348.

47 WIDHIASTUTI ET AL.

J. Biologi Sumatera

Loveless, A. R. 1989. Prinsip-prinsip Biologi Tumbuhan untuk Daerah Tropik 2. Penerjemah: Kuswata Kartawinata, Sarkat Danimiharja dan Usep Soetisna. PT. Gramedia, Jakarta. hlm. 79-86. Odum, E. P. 1971. Fundamental of Ecology. W. B Saunder Company, London. pp. 295-298. Polunin, N. 1994. Pengantar Geografi Tumbuhan Dan Beberapa Ilmu Serumpun. Penerjemah: Prof. Ir. Gembong Tjitrosoepomo. Gadjah Mada University Press, Yogyakarta. hlm. 531.

Sastrapradja, S., J. J. Afriastini, D. Darnaedi dan Elizabeth. 1980. Jenis Paku Indonesia. Lembaga Biologi Nasional, Bogor. hlm. 7-11, 59, 77. Wirakusumah, S. 2003. Dasar-dasar Ekologi Bagi Populasi dan Komunitas. Edisi pertama. Universitas Indonesia Press, Jakarta. hlm.110-111.

Jurnal Biologi Sumatera, Juli 2006, hlm. 48 53 ISSN 1907-5537

Vol. 1, No. 2 48

KEANEKARAGAMAN FITOPLANKTON DI SUNGAI BINGAI, BINJAIMayang Sari Yeanny, Hesti Wahyuningsih, dan Elias SilabanDepartemen Biologi, FMIPA, Universitas Sumatera Utara, Jalan Bioteknologi No. 1, Padang Bulan, Medan 20155

Abstract Have been by research the diversity of fitoplankton at Bingai River Binjai, with Purposive Random Sampling method in six stations, that were Namusira-sira, Namukur, Marcapada, Berngam, Bandar Sinemba and Kelurahan Kampung Tanjung. The result showed that 56 genera fitoplankton which category into six classes include: Bacillariophyceae, Chlorophyceae, Chrysophyceae, Mycophyceae, Rhodophyceae and Xanthophyceae. The highest of total Fitoplankton density was showed 1065,756 Ind/l at station VI and lowest of total density was showed 770,973 Ind /l at station V. The highest Index of diversity was 3,435 at station VI and the lowest index of diversity was 3.203 at the first station. The highest index of the equitability was 0,991 at station V and the lowest was 0,960 at station IV. Correlations analysis and t test indicate that temperature, pH, Stream Flow, DO, BOD and Productivity Primary were very signivicant to the diversity of fitoplankton Keywords: fitoplankton, Bingai

PENDAHULUAN Sungai Binjai adalah sungai yang mengalir melintasi Kota Binjai yang digunakan masyarakat sekitar untuk keperluan, irigasi (Namusira-sira), rekreasi atau pemandian (Namukur), pengerukan pasir (Marcapada), dan yang paling umum digunakan untuk keperluan sehari-hari (MCK), serta pembuangan limbah domestik atau limbah perkotaan (BPS, 2000). Adanya berbagai aktivitas yang terdapat di Sungai Bingai Binjai tersebut akan berpengaruh terhadap kualitas perairan. Perubahan kualitas perairan berpengaruh terhadap keberadaan jenis dan jumlah biota air (Michael, 1984). Salah satu biota air yang sangat berpengaruh terhadap perubahan tersebut adalah plankton (Basmi, 1992) Plankton khususnya fitoplankton merupakan kelompok yang memegang peranan penting dalam ekosistem perairan sebagai produsen, yang mempunyai kisaran sempit pada perubahan kualitas air (Odum, 1994). Perubahan kualitas perairan akan mempengaruhi jumlah dan jenis fitoplankton selanjutnya mempengaruhi biota lainnya pada ekosistem perairan. Sampai sejauh ini belum ada informasi mengenai keberadaan fitoplankton di Sungai Bingai Binjai. Berdasarkan latar belakang tersebut maka penelitian ini dirancang dengan tujuan mengetahui keanekargaman fitoplankton di Sungai Bingai Kota Madya Binjai. BAHAN DAN METODE Pengambilan Sampel. Penelitian dilakukan pada bulan FebruariMaret 2006. Pengambilan sampel dengan metode Purposive Random Sampling

dengan 6 stasiun (Stasiun I: Namusira-sira, Stasiun II: Namukur, Stasiun III: Marcapada, Stasiun IV: Berngam, StasiunV: Bandar Sinemba, Stasiun VI: Kelurahan Kampung Tanjung). Pengambilan sampel dengan menyaring air sebanyak 5 liter dengan plankton net yang dilengkapi dengan bucket, kemudian masukkan ke dalam botol koleksi dan ditetesi 2-3 tetes lugol. Pengambilan sampel sebanyak 1 kali dengan 3 ulangan. Tabel 1. Parameter yang diukur dan alat-alat yang digunakanParameter Biologi Kelimpahan Plankton Fisika Suhu Penetrasi cahaya Kecepatan Arus Debit Kimia Kelarutan Oksigen pH Kejenuhan Oksigen BOD Nitrat Fosfat Produktivitas Primer Unit Metode Pengukuran

Ind/L

Haemocytometer

C m m/s m3/s

0

Termometer Keping seechi Manual Manual

mg/l % mg/l mg/l mg/l mg C/ m3/hari

Titrasi pH meter Manual Titrasi Spektrofotometer Spektrofotometer Botol terang-gelap

49 YEANNY ET AL.

J. Biologi Sumatera

Pengukuran Kualitas Air. Kualitas air yang diukur adalah: suhu, penetrasi cahaya, kecepatan arus, debit air, kelarutan oksigen, pH, BOD5, kejenuhan oksigen, kadar nitrat, fospat dan produktivitas primer. Untuk jelasnya dapat dilihat pada Tabel 1. Analisis Data. Pengukuran kelimpahan plankton, indeks keanekaragaman, indeks keseragaman, dan analisis kolerasi. Kelimpahan Plankton. Jumlah plankton dihitung jumlah individu per liter dengan mengunakan alat Haemocytometer dan menggunakan rumus modifikasi menurut Isnansetyo & Kurniatuty (1995), yaitu: T P V 1 N= x x x L p v W Keterangan: N = jumlah plankton per liter (l) T = luas penampang permukaan Haemocytometer (mm2) L = luas satu lapang pandang (mm2) P = jumlah planter yang dicacah p = jumlah lapang yang diamati V = volume konsentrasi plakton pada bucket (ml) v = volume konsentrasi di bawah gelas penutup (ml) W = volume air media yang disaring dengan plankton net (L) Karena sebahagian besar dari unsur-unsur rumus ini telah diketahui pada Haemocytometer, yaitu T = 196 mm2 dan v = 0,0196 ml (mm3) dan luas pandang haemocytometer sama dengan hasil kali antara luas satu lapang pandang (L) dengan jumlah lapang yang diamati, sehingga rumusnya menjadi: PV N= ind / l 0,0196W Indeks Keanekaragaman. Plankton yang ditemukan dianalisis indeks keanekaragamannya (indeks of diversity) menurut shannon & Wiener sebagai berikut:

Indeks keseragaman (E ) =

H` .........(Suin, 2002) H maks

Keterangan: E = Equitabilitas (indeks keseragaman) = Indeks keanekaragaman (shannon wiener) H1 Hmaks = Indeks keanaekaragaman maksimum (ln S) S = Jumlah spesies/genus Analisa Kolerasi. Nilai hubungan antara beberapa variabel disebut indeks korelasi diperoleh dari persamaan berikut: x. y .....................................(sokal, 1992) r= x2 y2 Keterangan: r = koefisien korelasi x = variabel x (Indeks keanekaragaman H1) y = variabel y ( kualitas air) Menurut Michael (1984), uji signifikan (t) untuk kolerasi r:

t=

r n 1 1 r2

keterangan: n = jumlah stasiun pengamatan r = indeks kolerasi t = koefisien uji t HASIL DAN PEMBAHASAN Kualitas Air di Sungai Binjai. Hasil yang diperoleh untuk kualitas air pada setiap stasiun dapat dilihat pada Tabel 2. Berdasarkan kualitas air di atas dapat dilihat, bahwa parameter kualitas air sangat berfluktuasi pada setiap stasiun pengamatan. Hal tersebut disebabkan karena adanya perbedaan aktivitas masyarakat yang dilakukan pada setiap lokasi pengamatan, sehingga berpengaruh pada kualitas air Sungai Binjai tersebut dan akhirnya akan mempengaruhi keberadaan fitiplankton. Komposisi dan Kelimpahan Fitoplankton. Hasil komposisi dan kelimpahan plankton dapat dilihat pada Tabel 3. Dari Tabel 3 dapat dilihat kelimpahan fitoplankton tertinggi pada stasiun VI sebanyak 1065,756 Ind/l dan terendah pada stasiun V yaitu, 770,973 Ind/l. Perbedaan kelimpahan fitoplankton pada setiap stasiun karena adanya perbedaan aktivitas masyarakat sehingga mempengaruhi kualitas air Sungai Bingai dan akhirnya mempengaruhi keberadaan fitoplankton di Sungai Bingai Binjai.

H = pi ln pi .....................................(Krebs, 1985)i =1

s

Keterangan: H = Indeks keanekaragaman shannon & wiener Pi = Ratio jumlah spesies (ni) dengan jumlah total individu dari seluruh spesies (N) Indeks Keseragaman. Indeks keseragaman ini berguna untuk mengetahui seberapa besar kesamaan penyebaran jumlah individu setiap pada tingkat komunitas. Untuk mengetahui keseragaman jumlah individu setiap genus pada suatu perairan dipergunakan indeks keseragaman sebagai berikut:

Vol. 1, 2006

J. Biologi Sumatera 50

Indeks Keanekaragaman (H1) dan Indeks Keseragaman (E). Berdasarkan data kelimpahan maka indeks keanekaragaman dan indeks keseragaman dapat dilihat pada Tabel 5. Indeks keanekaragaman (H1) tertinggi pada stasiun VI yaitu 3,435 dan terendah pada stasiun I yaitu 3,203. Perbedaan ini disebabkan adanya perbedaan aktivitas masyarakat sehingga mempengaruhi kualitas air dan akhirnya akan mempengaruhi keanekaragaman. Namun secara keseluruhan indeks keanekaragaman masih tergolong dalam katagori sedang. Indeks keseragaman tertinggi terdapat stasiun V yaitu 0.991 dan terendah pada stasiun IV yaitu 0,960. Namun Tabel 2. Kualitas air di Sungai Bingai BinjaiParameter A. Fisik 1. Suhu ( 0C) 2. Penetrasi cahaya (m) 3. Kecepatan arus (m/s) 4. Debit Air (m3/s) B. Kimia 1. pH 2. DO (mg/l) 3. Kejenuhan (%) 4. BOD (mg/l) 5. Nitrat (mg/l) 6. Fosfat (mg/l) 7.P.Primer(mgC/m3/hr) Keterangan: Tt: Tidak terdeteksi Stasiun I 27,33 0,90 0,83 14,01 7,43 5,17 66,03 0,67 0,10 Tt 317,77 Stasiun II 28,00 0,80 0,42 11,03 8,10 5,20 67,09 1,50 0,10 Tt 400,38

secara keseluruhan tergolong dalam kategori tinggi. Tingginya indeks keseragaman tersebut disebabkan karena jumlah taksa yang merata di setiap stasi