jurnal filsafat ugm vol 18, no 1 (2008)

104
KESADARAN ATAS REALITAS: KAJIAN SVAMI CHINMAYANANDA TERHADAP MANDUKYA UPANISAD Oleh: Faisal Yan Aulia 1 Abstract Knowledge and technology development has given a lot of advantages in the human life. In the other side, bad effects of this development also cause ignorance of spiritual life. The life has only meaning in material relation (in the extensive meaning); between material life and spiritual life, there is unbalanced. For some people, this make an emptiness in their life; their life feels tasteless and has no meaning. Finally, they return to religion to look for answers of question about the meaning of life. Svami Chinmayananda, in his study of Mandukya Upanishad, tries to answer the question by explaining the nature of reality. In this study, he reveals the nature of reality by epistemology and metaphysics perspective. The purpose of this research is giving description about consciousness concept, the nature or reality and consciousness (involves knowledge) which can bring someone to understand the reality which found in Svami Chinmayananda’s study of Mandukya Upanishad. Besides that, the researcher also did critical evaluation about epistemology and metaphysics problems which found in this study. The consciousness of the nature of reality can be a basic guide in living the life and answer problems of the meaning of life. The life which is growing more materialistic needs a balance between material world and spiritual world. By discriminative knowledge (Viveka), someone will reach Turiya consciousness. This Turiya consciousness will bring someone to understand the nature of reality (Atman or Brahman); finally, he/she will understand the meaning of life. Other perspective which is offered by Svami Chinmayananda in his study of Mandukya Upanishad can function as a consideration in living this life. Keywords: Turiya, Avidya, consciousness, reality. 1 Alumnus Fakultas Filsafat UGM tahun 2007.

Upload: kuliahmandiriorg

Post on 08-Jan-2017

119 views

Category:

Education


14 download

TRANSCRIPT

Page 1: Jurnal Filsafat UGM Vol 18, no 1 (2008)

KESADARAN ATAS REALITAS: KAJIAN SVAMI CHINMAYANANDA TERHADAP

MANDUKYA UPANISAD

Oleh: Faisal Yan Aulia1

Abstract

Knowledge and technology development has given a lot of advantages in the human life. In the other side, bad effects of this development also cause ignorance of spiritual life. The life has only meaning in material relation (in the extensive meaning); between material life and spiritual life, there is unbalanced. For some people, this make an emptiness in their life; their life feels tasteless and has no meaning. Finally, they return to religion to look for answers of question about the meaning of life. Svami Chinmayananda, in his study of Mandukya Upanishad, tries to answer the question by explaining the nature of reality. In this study, he reveals the nature of reality by epistemology and metaphysics perspective. The purpose of this research is giving description about consciousness concept, the nature or reality and consciousness (involves knowledge) which can bring someone to understand the reality which found in Svami Chinmayananda’s study of Mandukya Upanishad. Besides that, the researcher also did critical evaluation about epistemology and metaphysics problems which found in this study.

The consciousness of the nature of reality can be a basic guide in living the life and answer problems of the meaning of life. The life which is growing more materialistic needs a balance between material world and spiritual world. By discriminative knowledge (Viveka), someone will reach Turiya consciousness. This Turiya consciousness will bring someone to understand the nature of reality (Atman or Brahman); finally, he/she will understand the meaning of life. Other perspective which is offered by Svami Chinmayananda in his study of Mandukya Upanishad can function as a consideration in living this life. Keywords: Turiya, Avidya, consciousness, reality.

1 Alumnus Fakultas Filsafat UGM tahun 2007.

Page 2: Jurnal Filsafat UGM Vol 18, no 1 (2008)

Jurnal Filsafat Vol.18, Nomor 1, April 2008

2

A. Pendahuluan Dunia yang ditempati sekarang ini bagi mayoritas manusia

dianggap benar-benar sebagai suatu kenyataan yang mutlak, dalam artian bahwa dunia sebagai kenyataan objektif yang berdiri sendiri terlepas dari subjek. Pandangan ini merupakan pandangan yang umum diterima, meskipun masih menyisakan beberapa persoalan yang sukar untuk dijawab. Dunia inderawi yang dihadapi sehari-hari tidak mungkin lepas dari perhatian manusia, manusia selalu berhadapan dengannya. Tidak bisa dipungkiri manusia termasuk dalam objek-objek inderawi ini..

Manusia merasa bahwa ia terlibat sekaligus sebagai pengamat dalam kehidupan ini. Kebanyakan dari manusia, baik itu sadar atau tidak, larut dalam liku-liku perjalanan hidup dari makhluk yang bernama manusia. Manusia berkorelasi dengan lingkungan di sekitarnya, dan akan selalu mencari dan mendapatkan sesuatu yang dirasakan sanggup memenuhi hasrat dan kebutuhan hidupnya. Seseorang bekerja dengan giat agar tuntutan hidupnya terpenuhi, terikat dengan kodratnya sebagai makhluk yang harus berusaha untuk mendapatkan sesuatu. Apabila ingin mendapatkan hasil seseorang harus menjalani suatu proses sebagai syarat demi mewujudkan apa yang diinginkannya.

Kehidupan yang dijalani manusia di dunia ini memiliki sejumlah persoalan rumit yang sukar untuk dijelaskan. Menjalani kehidupan tampaknya lebih mudah daripada harus menjelaskan apa arti dan hakikat kehidupan itu sendiri. Sebagai sesuatu yang given, hidup manusia harus terus berjalan. Di sisi lain, persoalan tentang makna kehidupan dirasakan kurang bermanfaat dibandingkan dengan mencari jalan bagaimana kehidupan itu harus dijalani.

Pernyataan bahwa dunia itu benar-benar ada dalam dirinya sendiri, terpisah dari subjek, seringkali muncul sebagai suatu aksioma. Subjek mengetahui objek karena dirinya ada dan objek itu pun juga ada. Keberadaan subjek dan objek terpisah satu sama lain, saling berdiri sendiri. Objek ada bukan karena ada subjek, begitu juga sebaliknya. Keterpisahan ini mengakibatkan subjek merasa bahwa dirinya berbeda dari objek yang diamati dan disadari.

Dalam kehidupan di dunia ini, manusia bisa berinteraksi dengan lingkungan sekitar dan merasakan dampak langsung dari aktivitasnya itu. Ketika manusia melihat pohon, binatang benda-benda dan segala macam objek indera lainnya, dirinya merasa bahwa itu semua merupakan kenyataan yang sebenarnya, suatu realitas yang tidak perlu untuk dipermasalahkan lagi ada atau

Page 3: Jurnal Filsafat UGM Vol 18, no 1 (2008)

Faisal Yan Aulia, Kesadaran Atas Realitas…

3

tidaknya. Semua itu bisa dipersepsi lewat organ indera manusia. Objek tersebut minimal memenuhi satu dari lima sifat yang mampu “dikenali” oleh indera manusia (peraba, perasa, pembau, penglihatan dan pendengaran). Pohon itu nyata, buktinya kalau menabrak atau menyentuh objek tersebut, maka diri manusia akan merasakan akibatnya. Pohon bisa disentuh, dilihat dan dirasakan oleh indera manusia. Angin yang tidak dapat dilihat juga merupakan suatu kenyataan, benar-benar ada, karena masih bisa dirasakan kehadirannya.

Objek yang bisa dikategorikan sebagai yang benar-benar ada adalah memenuhi persyaratan di atas, yaitu bisa dipersepsi oleh organ indera manusia. Lalu bagaimana dengan pernyataan bahwa beberapa orang memiliki “indera keenam” yang bisa digunakan untuk mengetahui objek-objek yang berada di luar jangkauan panca indera manusia? Jawaban atas hal ini masih menimbulkan perdebatan sengit sampai saat ini. Ada yang menyatakan bahwa orang-orang tertentu memiliki kemampuan ini, baik itu berasal dari bawaan atau insight maupun dari proses yang dijalani untuk dapat meraih kemampuan istimewa ini. Ada juga yang menyatakan bahwa hal-hal di luar dunia indera sama sekali tidak memiliki eksistensi, maka dari itu hantu, roh, jiwa, bahkan Tuhan dianggap tidak ada dan tidak akan pernah ada. Itu semua hanyalah mitos-mitos yang dibangun manusia, tidak lebih dari sekedar omong kosong yang tak bermakna. Dua jawaban ini sampai sekarang masih sulit didamaikan. Jika panca indera yang dimiliki manusia sebagai titik tolaknya maka jawaban yang kedualah yang lebih bisa diterima akal sehat. Pertanyaan-pertanyaan masih bisa dimunculkan kembali setelah ini, dan akan senantiasa menimbulkan pertanyaan baru atas jawaban baru. Bagaimana dengan cerita dari seseorang yang mengaku telah mengalami pengalaman mistik atau pengalaman spiritual yang mengatakan bahwa di luar dunia objektif inderawi masih ada kenyataan lain yang memiliki eksistensinya sendiri? B. Kesadaran Manusia

Seperti telah diketahui, kebanyakan manusia menganggap bahwa dunia yang manusia hadapi sehari-hari mutlak real, memiliki eksistensi dan dapat dibedakan dari manusia sebagai subjek. Ketika sesuatu bisa dipersepsi indera manusia, maka saat itu juga sesuatu tersebut dianggap ber-ada. Mustahil mengatakan bahwa seseorang baru saja menabrak pohon “ilusi” sementara kepalanya berdarah

Page 4: Jurnal Filsafat UGM Vol 18, no 1 (2008)

Jurnal Filsafat Vol.18, Nomor 1, April 2008

4

karenanya. Pohon itu pastilah merupakan suatu kenyataan, sama nyatanya dengan peristiwa menabrak pohon itu sendiri

Di sisi lain, munculnya pandangan yang berkebalikan dari pandangan ini tampaknya akan mengejutkan, setidaknya bagi beberapa pihak. Pernyataan bahwa dunia yang ditempati dan disadari ini hanyalah sebuah tipuan pikiran, ilusi atau sekedar khayalan semata mungkin akan menjadi sebuah lelucon di zaman yang sudah maju dan mengikat manusia dengan segala permasalahan kehidupan ini.

Lalu bagaimana apabila ada yang benar-benar mengatakan hal itu? Tentunya akan menjadi sesuatu yang menarik perhatian, jika hal itu tidak sekedar dianggap sebagai sebuah ocehan dari seorang pengidap kelainan jiwa. Kalau yang menyebutkannya hanya seorang pasien rumah sakit jiwa yang berteriak sambil telanjang bulat, akan lebih bermanfaat untuk segera “mengamankan” orang tersebut daripada meladeni segala perkataannya, dalam kapasitas sebagai orang awam dan bukan sebagai seorang dokter jiwa atau psikiater. Namun bila pernyataan itu muncul dari seorang filsuf atau teolog, bukankah hal ini cukup “mengganggu” pikiran normal manusia?

Salah satu orang yang memiliki pandangan berbeda dari pandangan umum mengenai keberadaan dunia adalah Svami Chinmayananda. Dalam kajiannya tentang Mandukya Upanisad, salah satu dari Upanisad-Upanisad yang merupakan bagian dari Veda, ia membahas kesadaran manusia dan hakikat keberadaan segala sesuatu secara panjang lebar. Menurutnya, dunia fenomenal atau dunia objektif merupakan suatu dunia yang dialami dalam keadaan jaga (Vaisvanara) yang sadar akan dunia objektif indera-indera. Dunia objektif ini hanyalah suatu penumpangan terhadap atman, dengan kata lain sebuah dunia yang hanya merupakan tipuan dari pikiran (Chinmayananda, 1999: 118). Kejamakan dunia ini berasal dari pikiran yang tidak paham akan hakikat kenyataan yang sebenarnya. Kenyataan hanya satu, yaitu Atman yang meliputi segalanya. Pikiran hanya menumpang pada Atman, dan pikiranlah yang menimbulkan dunia kejamakan atau dunia objektif ini. Pernyataan ini tentu saja bukan sekedar bualan tanpa makna dan tidak bisa disejajarkan dengan perkataan dari orang gila yang tidak berpikir dahulu sebelum mengeluarkan sebuah klaim.

Manusia sadar akan apa yang dialaminya di dunia indrawi; kesadaran manusia lah yang memungkinkan terjadinya persepsi. Kesadaran manusia ini memiliki empat bidang kegiatan, yaitu

Page 5: Jurnal Filsafat UGM Vol 18, no 1 (2008)

Faisal Yan Aulia, Kesadaran Atas Realitas…

5

keadaan jaga, keadaan mimpi, keadaan tidur lelap dan keadaan Turiya. Tiap-tiap bidang kesadaran ini berbeda-beda satu sama lain.

Dunia indera (dunia luar) yang dialami manusia dalam Mandukya Upanisad disebut dengan Vaisvanara, sebagai bidang pertama dari empat bidang kesadaran manusia. Keadaan ini juga disebut dengan keadaan jaga yaitu keadaan ketika panca indera manusia bekerja secara normal, dalam arti bahwa organ indera masih aktif dalam mempersepsi objek. Secara sederhana, keadaan jaga adalah ketika manusia tidak dalam keadaan tidur. Keadaan jaga ini merupakan bagian dari kesadaran manusia yang paling banyak berisi pengalaman dan pengetahuan. Ilmu dan pengetahuan dihasilkan manusia ketika ia berada dalam keadaan ini. Keadaan jaga atau Vaisvanara adalah keakuan (ego) yang menikmati keadaan kesadaran jaga dan yang sadar akan dunia objek-objek indera. Ia menikmati wujud (indera penglihatan/ mata), suara (indera pendengaran/ telinga), rasa (indera perasa/ lidah), bau (indera penciuman/ hidung) dan sentuhan (indera peraba/ kulit) (Chinmayananda, 1999:29-30).

Pemikiran Barat biasanya mengartikan mimpi sebagai alam-bawah-sadar, jadi bukan merupakan jenis kesadaran manusia. Ketika manusia bermimpi berarti ia masuk dalam alam-bawah-sadar, yang jelas berbeda dengan alam kesadaran manusia. Dalam Mandukya Upanisad, keadaan bermimpi juga merupakan suatu jenis kesadaran. Keadaan mimpi merupakan jenis kesadaran yang kedua setelah keadaan jaga (Vaisvanara). Keadaan mimpi berarti suatu keadaan kesadaran yang menarik diri dari dunia luar (dunia objektif keadaan jaga) dan mempersamakan dirinya dengan badan halus (Chinmayananda, 1999:33). Objek-objek yang hadir dalam mimpi berasal dari kesan-kesan selama manusia berada dalam keadaan jaga, sehingga apa-apa yang timbul dalam mimpi tidak lain berasal dari pikiran si pemimpi sendiri. Dunia objek indera Vaisvanara berpindah melalui pikiran menuju dunia mimpi. Jika pada keadaan jaga, dunia objektif adalah dunia objek indera-indera yang diterima melalui organ persepsi, maka pada keadaan mimpi dunia objektifnya adalah dunia objektif batin yang berasal dari pikirannya sendiri.

Objek-objek yang ada di dalam mimpi tidaklah nyata, semuanya bersifat khayal. Dalam mimpi semua objeknya diterima oleh mental manusia, sehingga mustahil untuk mengatakan bahwa mimpi itu nyata. Misalnya, seorang manusia bermimpi naik pesawat. Ketika manusia tersebut bangun, maka ia akan segera

Page 6: Jurnal Filsafat UGM Vol 18, no 1 (2008)

Jurnal Filsafat Vol.18, Nomor 1, April 2008

6

sadar bahwa hal itu tidak mungkin terjadi, mengingat baru saja ia naik pesawat dan tiba-tiba sudah berada di dalam kamarnya sendiri. Lagi pula, akan sangat menggelikan bila mempercayai sebuah pesawat yang memasuki kamar tidur untuk kemudian menghilang begitu saja, si pemimpi pun tidak pergi dan masih berada di kamar tidur.

Manusia bermimpi ketika ia tidur. Hal ini merupakan karakteristik umum pertama dari keadaan bermimpi. Dalam keadaan tidur, mimpi dapat hadir dan memberi semacam pengalaman tertentu. Sigmund Freud, pencetus psikoanalisis, menyatakan bahwa mimpi dan tidur memiliki hubungan yang erat dan mimpi hanyalah merupakan reaksi tidak teratur dan fenomena mental yang berasal dari stimulasi fisik (Freud, 2002:84-86).

Ada titik persamaan antara Sigmund Freud dan Mandukya Upanisad. Keduanya sama-sama menyatakan bahwa mimpi merupakan kerja pikiran. Objek-objek yang terkumpul selama dalam keadaan jaga coba dimunculkan kembali. Dalam kenyataannya, apa yang dimunculkan itu sering kali berbeda bahkan bertentangan dengan keadaan selama berada di dunia indera. Hal ini karena adanya kreasi dari pikiran, oleh sebab itu pikiran menjadi asal mula dari keadaan mimpi.

Apabila dikatakan bahwa mimpi itu sebagai tidak nyata, maka hampir semua orang akan menyetujuinya. Savami Chinmayananda dalam kajiannya tentang Mandukya Upanisad menyebutkan beberapa alasan mengapa mimpi dikatakan sebagai tidak nyata. Salah satunya adalah bahwa mimpi dikatakan sebagai tidak nyata karena objek-objek yang dikenali dalam keadaan mimpi diterima di dalam diri manusia (Chinmayananda, 1999:113). Ketika manusia bermimpi menaiki seekor gajah, dapat dipastikan bahwa gajah itu tidak mungkin berada dalam diri manusia. Dalam diri manusia tidak mungkin ada ruang atau tempat yang menampung keberadaan gajah tersebut. Kriteria ruang ini menjadi alasan mengapa mimpi menaiki gajah, sebagai contoh, merupakan suatu hal yang tidak nyata. Apabila ingin ditafsirkan, mungkin saja ada yang berpendapat bahwa ketika seseorang bermimpi menaiki gajah sebenarnya itu merupakan suatu keinginan yang terpendam. Ia sebenarnya punya keinginan untuk bisa menaiki gajah di dunia nyata (indera), akan tetapi karena beberapa hal keinginan tersebut belum dapat direalisasikan. Mungkin juga ada yang menafsirkan bahwa orang tersebut pernah mendapat pengalaman buruk berkaitan dengan gajah, misalnya terkena semprotan belalai gajah. Mimpi

Page 7: Jurnal Filsafat UGM Vol 18, no 1 (2008)

Faisal Yan Aulia, Kesadaran Atas Realitas…

7

tersebut sebenarnya ingin menunjukkan keinginan terpendam, bahwa ia sebenarnya lebih berkuasa daripada gajah. Mimpi menaiki gajah diartikan sebagai simbol kekuasaan dirinya atas seekor gajah.

Sebagai kreasi dari pikiran, maka dapat dipastikan bahwa mimpi itu tidak nyata, artinya bahwa mimpi tidak memiliki eksistensi yang nyata dalam realitas. Pikiran mengolah kesan-kesan yang didapat dari keadaan jaga (dunia objektif indera) dan kemudian memunculkannya dalam keadaan mimpi. Hasil dari pikiran yang berkreasi ini seakan-akan terlihat begitu nyata dalam beberapa saat, namun seketika menjadi berubah ketika terjaga dari tidur. Ada semacam kebingungan bila mengingat peristiwa-peristiwa yang terjadi dalam alam mimpi, kadang-kadang terasa kabur dan tidak masuk akal.

Keadaan kesadaran yang ketiga adalah keadaan tidur lelap. Dalam keadaan tidur lelap, pikiran dan kecerdasan beristirahat, akibatnya seluruh peralatan persepsi berhenti bekerja. Keadaan ini seperti berada di sebuah dunia yang kosong. Keadaan tidur lelap, yang disebut dengan Prajna, merupakan suatu pengalaman hidup ketika manusia tidak berada dalam keadaan jaga (Vaisvanara) atau dalam keadaan mimpi (Taijasa). Kesulitan dalam melukiskan keadaan ini mengakibatkan dipilihnya bahasa penyangkalan (negasi) sebagai cara terbaik untuk mendefinisikannya. Penyangkalan total dan ketidaktahuan merupakan satu-satunya pengalaman yang dialami dalam keadaan tidur lelap (Chinmayananda, 1999:35).

Keadaan yang dideskripsikan sebagai penyangkalan total dan ketidaktahuan tersebut merupakan sebuah dunia yang gelap dan kosong. Dunia yang gelap dan kosong dalam keadaan tidur lelap ini tidak dapat menghasilkan suatu pengetahuan. Dalam keadaan ini, seseorang merasa tidak menjadi apapun.; benar-benar suatu keadaan yang susah untuk digambarkan, karena yang ada hanyalah kekosongan dan ketidaktahuan.

Bidang kesadaran yang melampaui ketiga kesadaran lain, yaitu kesadaran dalam keadaan jaga (Vaisvanara), keadaan mimpi (Taijasa) dan keadaan tidur lelap (Prajna) adalah suatu keadaan yang disebut Turiya. Keadaan Turiya sebagai keadaan kesadaran tertinggi sulit untuk dijelaskan. Svami Chinmayananda menyatakan bahwa bahasa tidak dapat melukiskan Keberadaan Tertinggi (Tuhan). Bahasa manusia adalah terbatas, tidak bisa mengungkapkan hal-hal yang sifatnya tidak terbatas; Realitas Tertinggi melampaui bahasa manusia (Chinmayananda, 1999:59).

Page 8: Jurnal Filsafat UGM Vol 18, no 1 (2008)

Jurnal Filsafat Vol.18, Nomor 1, April 2008

8

Menurut Svami Chinmayananda, bahasa negasi atau bahasa penyangkalan menjadi instrumen yang paling tepat untuk menggambarkan Realitas Tertinggi. Kata “tidak” dan “bukan” sebagai kata-kata yang bersifat negatif menjadi kata-kata yang seringkali digunakan; kata-kata ini memperoleh posisi yang istimewa dalam penggambaran akan Realitas. Realitas Tertinggi adalah “bukan ini, bukan ini” (neti, neti). Bentuk kalimat-kalimat positif tidak berfungsi ketika mendefinisikan apa itu Realitas Tertinggi.

Turiya merupakan suatu keadaan yang mencerminkan Yang Absolut, mengatasi tiga keadaan kesadaran yang masih diliputi dengan ketidaktahuan (Avidya). Kebahagiaan (Ananda) selalu melingkupi keadaan yang tercerahkan ini. Tidak ada kejahatan dan keburukan, yang ada hanyalah kesempurnaan (Aurobindo, 1950: 438). C. Hakikat Realitas

Dunia objektif indera yang merupakan bagian terbesar dari pengalaman hidup manusia menurut Mandukya Upanisad hanya merupakan sebuah dunia yang tidak nyata. Objek-objek indera manusia adalah hasil dari proyeksi pikiran. Dunia luar pada hakikatnya adalah ilusi yang timbul karena akibat dari kerja pikiran. Svami Chinmayananda memberi beberapa argumentasi berdasar penjelasan dari Gaudapada tentang ketidaknyataan dunia objektif indera seperti yang akan disebutkan di bawah ini.

Keadaan jaga (Vaisvanara) yang merupakan sebuah dunia objektif indera tidak dapat disebut sebagai kenyataan yang sebenarnya karena objek-objek tersebut tidak mungkin ada saat ini bila tidak ada pada awal dan pada akhir. Segala sesuatu yang bisa dicerap oleh organ-organ indera manusia hanyalah ilusi dari pikiran itu sendiri.

“Yang tidak ada pada awal dan pada akhir, semestinya demikian pula pada saat sekarang ini. Objek-objek yang kita lihat sebagai khayalan, namun mereka dianggap sebagai nyata” (Chinmayananda, 1999:118).

Sebagai contoh, seseorang merasa melihat sesosok hantu di tengah sawah. Orang itu melihatnya dari balik jendela rumahnya yang ada di pinggir sawah. Setelah didekati ternyata apa yang ia kira sebagai hantu hanyalah sebuah boneka kayu yang ditancapkan di tanah yang berfungsi sebagai pengusir burung-burung, orang Jawa

Page 9: Jurnal Filsafat UGM Vol 18, no 1 (2008)

Faisal Yan Aulia, Kesadaran Atas Realitas…

9

menyebutnya dengan istilah “memedi sawah”. Hantu tersebut pada awalnya memang tidak ada, yang ada hanyalah boneka kayu. Pada akhirnya juga diketahui bahwa hantu tersebut memang tidak ada, tidak seperti yang ia anggap pada awalnya. Intinya, hantu yang dianggap ada oleh orang tersebut sebenarnya tidak ada. Pada awalnya hantu tersebut tidak pernah ada dan pada akhirnya juga memang tidak ada.

Apabila dikatakan bahwa objek-objek indera dapat memberi efek yang nyata bagi manusia, bukankah hal ini menunjukkan sebuah bukti bahwa objek-objek tersebut benar-benar nyata? Misalnya, makanan bisa memberi efek kenyang, minum bisa menghilangkan rasa dahaga, baju baru dapat memberi kesenangan, dan lain sebagainya. Svami Chinmayananda menjawab pertanyaan ini dengan memakai penjelasan sebagai berikut.

“Tanpa diragukan lagi, makanan dan keadaan jaga secara pasti memiliki suatu kemampuan untuk memuaskan rasa lapar tetapi kepuasan yang diperoleh dalam keadaan jaga itu disangkal dalam mimpi! Dalam waktu setengah jam setelah makan kenyang, seseorang akan mengalami keadaan yang benar-benar lapar dan keadaan menderita kelaparan dalam mimpi! Makanan yang bertindak selaku pemberi kepuasan yang pasti dalam keadaan jaga, telah menjadi tak berdaya dan tiada guna dalam keadaan mimpi. Kemampuan makanan untuk memuaskan rasa lapar disangkal dan tidak diakui dalam kondisi mimpi, sementara ia juga nyata, di mana makanan dalam mimpi dapat memuaskan dengan kemampuan yang sama, rasa lapar dalam mimpi, sehingga ia bertindak selaku kegunaan mimpi dalam menciptakan kepuasan mimpi kepada si pemimpi. Oleh karena itu, semua objek yang diterima dianggap khayalan, karena mereka memiliki awal dan akhir. Kepuasan khayal dalam mimpi disangkal dalam keadaan jaga. Demikian pula halnya dengan objek-objek keadaan jaga yang bertindak selaku kegunaan keadaan jaga, disangka dalam kondisi mimpi. Sebab itu keduanya hanyalah suatu khayalan belaka. Objek-objek keadaan jaga hanya memiliki realitas seperti objek-objek keadaan mimpi saja” (Chinmayananda, 1999:120).

Berdasarkan apa yang dinyatakan oleh Svami Chinamayananda di atas, dapat disimpulkan bahwa realitas dalam keadaan jaga hanya berlaku dalam keadaan itu sendiri. Contoh lain, sebelum tidur

Page 10: Jurnal Filsafat UGM Vol 18, no 1 (2008)

Jurnal Filsafat Vol.18, Nomor 1, April 2008

10

seseorang hanya sebagai manusia biasa yang tidak memiliki kedudukan yang tinggi. Setelah masuk dalam dunia mimpi, tiba-tiba orang itu berubah status menjadi seorang Raja Yunani. Tidak mungkin dalam waktu yang sesingkat ini seseorang bisa berubah dengan begitu cepat. Begitu bangun tidur, ia kembali lagi seperti semula. Singkatnya, pengalaman dalam keadaan jaga dan keadaan mimpi saling menyangkal.

Argumen lain yang digunakan untuk menjelaskan ketidaknyataan dunia objektif indera juga berdasarkan apa yang ditulis oleh Gaudapada.

“Imajinasi subjektif yang ada hanya dalam pikiran, yang dikenal sebagai tak bermanifestasi, demikian pula yang ada di dunia luar, dalam bentuk yang berwujud sebagai objek-objek yang diterima, keduanya merupakan imajinasi. Satu-satunya perbedaan antara keduanya adalah dalam organ-organ indera, dengan cara mana dunia luar tampaknya dikenali” (Chinmayananda, 1999:132).

Dunia luar yang tertangkap oleh panca indera manusia sebenarnya tidak berbeda dengan objek-objek yang dikenali dalam mimpi. Meskipun dalam mimpi objek-objek yang terekam tidak berwujud dan memiliki perbedaan yang jelas dengan objek-objek dalam keadaan jaga, semuanya itu hanyalah proyeksi dari pikiran. Objek dunia luar menjadi berwujud karena dikenali oleh pikiran melalui organ-organ indera, sedangkan objek-objek dalam keadaan mimpi hanya dikenali oleh pikiran tanpa melibatkan organ indera.

Segala hal yang bisa dipersepsi oleh indera manusia hanya sekedar penumpangan terhadap Realitas. Analogi hantu dan “memedi sawah” di atas sekiranya dapat menjelaskan hal ini. “Memedi sawah” itu adalah Realitas (Atman), sedangkan hantu itu adalah dunia objektif indera. Realitas sesungguhnya adalah “memedi sawah” yang apabila dilihat dari kejauhan oleh orang yang berada dalam ketidaktahuan (Avidya) tampak seperti hantu yang melayang-layang di atas persawahan. Setelah orang tersebut lepas dari kondisi ketidaktahuan (Avidya) dan memasuki kondisi pengetahuan sempurna yaitu keadaan keempat (Turiya), maka akan menjadi jelaslah bahwa hantu itu hanyalah ilusinya saja; “ada” yang sesungguhnya adalah “memedi sawah”. Realitas itu tertutupi oleh ketidaktahuan yang merupakan sebab, akibatnya adalah kejamakan dunia objektif indera.

Ketika panca indera mempersepsi dunia luar, kita merasa bahwa segalanya dalam proses berubah. Perubahan menjadi suatu

Page 11: Jurnal Filsafat UGM Vol 18, no 1 (2008)

Faisal Yan Aulia, Kesadaran Atas Realitas…

11

hal yang akan terus menerus terjadi di dunia ini; Heraklitos mengemukakan pendapat ini ribuan tahun lalu. Dari dunia yang selalu berubah ini maka akan timbul pertanyaan, adakah di dunia ini yang tetap? Gaudapada mengatakan bahwa yang berubah tak mungkin abadi, hanya Yang Abadi sajalah yang merupakan dasar dan hakikakat kenyataan, yaitu Atman. Ia sampai pada kesimpulan bahwa alam semesta ini sebenarnya hanyalah suatu rupa saja (Radhakrishnan, 1992: 76). Dunia ini nyata hanya sejauh berada satu bidang kesadaran saja, yaitu keadaan jaga.

Berdasarkan pemaparan mengenai keadaan jaga yang sadar akan dunia objektif indra, dapat ditarik kesimpulan bahwa pikiran lah yang “menciptakan” dunia. Dunia indra dapat disadari keberadaannya karena ada pikiran yang bekerja. Maka dari itu, Realitas tertinggi hanyalah satu yaitu Brahman atau Atman yang homogen.

Pandangan seperti ini dapat digolongkan sebagai monisme yang bersifat spiritualistis. Yang “Ada” itu hanya Satu, kenyataan memuat monisme dialektis: Atman berkembang menjadi Paraatman, yang tidak lain adalah Brahman atau Ada Mutlak (Bakker, 1992: 28). Atman adalah diri empiris-eksistensial, sedang Paraatman adalah diri metafisik. Yang “ada” atau kenyataan di sini meliputi tiga bidang kesadaran manusia, yaitu “ada” dalam dunia kenyataan objektif yang tertangkap oleh panca indera, “ada” dalam dunia mimpi dan “ada” dalam “kekosongan” atau “ada” dalam “ketiadaan”. D. Epistemologi Metafisis

Lalu muncul pertanyaan, bagaimana caranya agar manusia bisa memahami hal ini? Svami Chinmayananda menyatakan bahwa untuk bisa sampai ke pemahaman ini, yaitu memahami realitas, jalan yang harus ditempuh adalah jalan pengetahuan (jnana-marga). Jalan ini disebut dengan Viveka. Viveka merupakan pengetahuan diskriminatif, yaitu pengetahuan yang dihasilkan dari jalan pemikiran diskriminatif (Chinmayananda, 1999:181) Jalan pemikiran diskriminatif ini berupa sebuah jalan untuk menemukan Sang Diri pada diri manusia dengan cara menghaluskan pikiran dan kecerdasan manusia melalui proses pemikiran rasional. Kata menghaluskan (sublimasi) berarti mengolah, dengan kata lain, pikiran dan kecerdasan diolah agar tidak tergantung pada objek-objek indera luar. Sublimasi juga berarti bahwa pikiran dibimbing

Page 12: Jurnal Filsafat UGM Vol 18, no 1 (2008)

Jurnal Filsafat Vol.18, Nomor 1, April 2008

12

untuk menyeleksi objek-objek yang dipersepsi oleh organ-organ indera.

Viveka mengantarkan manusia memahami Realitas, memperoleh pengetahuan yang benar tentang hakikat realitas dan pada akhirnya akan membawa manusia mencapai kesadaran Turiya, kesadaran tertinggi yang menyatu dengan Diri-Universal (Brahman). Atman bersatu dengan Brahman, yang pada dasarnya adalah satu. Hal ini merupakan maksud dari analogi ruang (akasa) dalam kendi, yaitu bahwa ruang kosong dalam kendi bersatu dengan ruang di luar kendi tersebut.

Rasionalisasi atau penggunaan nalar untuk memahami teks-teks kitab suci dalam jalan pemikiran diskriminatif ini mengambil bentuk kajian terhadap tiga keadaan kesadaran manusia yaitu keadaan jaga (Vaisvanara), keadaan mimpi (Taijasa) dan keadaan tidur lelap (Prajna). Rasionalisasi ini berarti menjelaskan teks-teks kitab suci dengan bantuan penalaran (rasio). Dengan menggunakan penalaran, ketiga keadaan kesadaran manusia ini dibahas dan dicari titik persamaannya. Dunia objektif sama tidak nyatanya dengan dunia mimpi, keduanya hanyalah kerja pikiran. Keadaan tidur lelap tidak berisi pengetahuan, ketidaktahuan (avidya) adalah intinya. Pikiran berhenti bekerja selama keadaan tidur lelap ini, akan tetapi ini bukanlah kebahagiaan yang sebenarnya meskipun digambarkan sebagai penuh kebahagiaan.

Pada intinya, hakikat realitas bisa diketahui ketika seseorang telah mencapai kesadaran Turiya. Keadaan ini dicapai lewat jalan pengetahuan (jnana-marga), sebuah jalan pengetahuan yang didasarkan pada jalan pemikiran diskriminatif (Viveka) sebagai sebuah bentuk epistemologi metafisis.

E. Penutup

Dari kajian Svami Chinmayananda tentang Mandukya Upanisad dapat ditarik beberapa kesimpulan sebagai berikut: 1. Kefanatikan buta (taklid) dalam kehidupan beragama harus

dihindari. Akal lah yang bisa membebaskan manusia dari sikap taklid. Bahkan Svami Chinmayananda dalam kajiannya ini menyatakan bahwa sebuah kitab suci tidak dapat diterima kebenarannya bila tidak dapat dimengerti oleh akal. Usaha untuk mendamaikan akal dan iman ini, sebagai suatu permasalahan klasik, patut dihargai.

2. Setiap segi kehidupan manusia harus dilandasi oleh pengetahuan.

Page 13: Jurnal Filsafat UGM Vol 18, no 1 (2008)

Faisal Yan Aulia, Kesadaran Atas Realitas…

13

3. Pengetahuan yang benar bisa mencegah manusia untuk tidak larut dan tidak terikat dalam gemerlapnya kehidupan, dan sebaliknya bisa mengantarkan manusia menjadi gemerlap-gemerlapnya dunia. Kesimpulan-kesimpulan yang didapat ini sedikit banyak dapat menjadi pertimbangan dalam menjalani kehidupan yang semakin kompleks dan semakin beratnya tantangan yang harus dihadapi manusia dewasa ini.

-JF-

DAFTAR PUSTAKA

Aurobindo, Sri, 1950, Essays on the Gita, The Sri Aurobindo Library, New York.

Bakker, Anton, 1992, Ontologi, Kanisius, Yogyakarta. Chinmayananda, Svami, 2000, Mandukya Upanisad, terjemahan: I

Wayan Maswinara dari judul asli Discourses on Mandukya Upanisad with Gaudapada’s Karika, Paramita, Surabaya.

Freud, Sigmund, 2002, Psikoanalisis, terjemahan: Ira Puspitorini dari judul asli A General Introduction to Psychoanalysis, Ikon Teralitera, Yogyakarta.

Radhakrishnan, Sarvepalli, 1992, Upanisad Utama Jilid I, terjemahan: Yayasan Parijata dari judul asli The Principal Upanisads, Yayasan Dharma Sarathi, Jakarta.

Radhakrishnan, Sarvepalli, 1992, Upanisad Utama Jilid II, terjemahan: Agus S. Mantik dari judul asli The Principal Upanisads, Yayasan Dharma Sarathi, Jakarta.

Catatan: Svammi Chinmayanda lahir pada tanggal 8 Mei 1916 di Ernakulam, suatu daerah di India. Keluarganya merupakan sebuah keluarga bangsawan Hindu yang taat, yang disebut dengan Poothampalli. Ia belajar selama 12 tahun di pegunungan Himalaya di bawah bimbingan Svami Tapovan Maharaj (atas rekomendasi dari Svami Shivananda yang melihat ada potensi besar pada diri Svami Chinmyananda) dan meninggal di San Diego, California pada tanggal 3 Agustus 1993.

Page 14: Jurnal Filsafat UGM Vol 18, no 1 (2008)

LANDASAN FILOSOFIS MAZHAB HUKUM PROGRESIF: TINJAUAN FILSAFAT ILMU

Oleh: Rizal Mustansyir1

Abstract

The discourse on the progressive law blows up recently. The assumption which declared that “law is for human” strengthened the progressive law position. This progressive law condition contradicts to the positive law which pretend to be formalistic. The law environment in Indonesia which is coloured with crisis of distrust makes the idea of progressive law accepted enthusiasticly. While the view that “law as a process, law in the making” takes the idea of progressive law as an actual thing. The problem is that the progressive law has not been established a theory yet. It still need to be explored intensively. This passage examines the progressive law in the perspective of philosophy of science, because whatever theory or sosial movement must have had a philosophical ground.

Keywords: The progressive law, Perspective of philosophy of science

A. Pendahuluan

Gagasan selalu berkembang lebih cepat daripada kenyataan yang terjadi. Hal yang demikian berlaku pula bagi hukum progresif sebagai sebuah gagasan yang merespon fenomena hukum yang terjadi di Indonesia. Ketika hukum sebagai satu kenyataan yang dianggap powerless, tak berdaya mengantisipasi kejahatan, maka muncullah semangat baru untuk mengatasi kejumudan berupa hukum progresif.

Kendati gagasan tentang hukum progresif baru dikumandangkan beberapa pakar hukum di Indonesia, di antaranya oleh Satjipto Rahardjo, namun tanggapan cukup meluas di kalangan masyarakat ilmiah, bahkan masyarakat awam. Alasannya cukup sederhana; pertama, kejahatan sistemik yang melanda Indonesia semisal korupsi telah menimbulkan dampak luas, sehingga korupsi ditahbiskan sebagai kejahatan luar biasa (extra ordinary crime) bagi kehidupan bangsa. Untuk itu masyarakat membutuhkan perangkat

1 Dosen Fakultas Filsafat UGM.

Page 15: Jurnal Filsafat UGM Vol 18, no 1 (2008)

Jurnal Filsafat Vol.18, Nomor 1, April 2008

16

hukum yang dipandang adekuat untuk mengatasi kejahatan tersebut. Kedua, gagasan tentang hukum progresif belum lagi merupakan teori yang mapan (established theory), sehingga lebih mudah dibicarakan pada tataran wacana (discourse) yang mengundang masukan dari berbagai pakar, tidak hanya pakar hukum, melainkan juga pakar dari berbagi disiplin ilmu. Ketiga, setiap manusia pasti memiliki idealisme yang tinggi untuk meraih sesuatu, hukum progresif memenuhi persyaratan idealisasi, karena sangat menyentuh hasrat atau keinginan manusia akan keadilan (will to justice).

Berbagai alasan tentang kebutuhan atas hukum yang dapat mengatasi semua problema hukum cenderung bersifat das Sollen, perihal seharusnya ketimbang das Sein, perihal senyatanya. Namun das Sollen sangat dibutuhkan manusia, karena terkait dengan dimensi moralitas. Hukum adalah persoalan manusia yang berujung pada titik omega berupa keadilan, sedangkan keadilan itu sendiri merupakan salah satu wajah ideal dari moral. Dengan demikian hukum harus terkait dengan moral, manakala diinginkan untuk memiliki kekuatan yang mengikat sekaligus membangkitkan kesadaran manusia tentang substansi hukum. Kesadaran manusia merupakan mikro kosmos dari jagad raya hukum. Sedahsyat apa pun aturan dibuat, tanpa didorong oleh kesadaran si pelaku, maka hukum hanya menjadi lembaran dokumen tanpa ruh.

B. Asumsi Hukum Progresif

Satu pemikiran ilmiah lazimnya berangkat dari persoalan (problem). Archie Bahm (1986: 6) menegaskan bahwa titik tolak penting dalam penelitian ilmiah ialah problem. Satu penelitian ilmiah bertitik tolak dari permasalahan tertentu yang menarik untuk dipecahkan oleh seorang peneliti atau ilmuwan. Masalah bisa ditemukan dalam berbagai literatur atau kepustakaan yang dibaca, sehingga melahirkan rasa ingin tahu (curiousity) yang lebih besar terhadap satu pokok persoalan. Masalah juga bisa ditemukan melalui diskusi, baik yang sifatnya ringan maupun yang berat atau ketat ilmiah sehingga mengundang rasa ingin tahu atas satu fokus permasalahan. Bisa jadi masalah penelitian berawal dari pengalaman hidup sehari-hari, perihal yang dipandang biasa (ordinary) oleh orang awam bisa menjadi gagasan ilmiah di kalangan para ilmuwan. Kadangkala permasalahan bisa muncul dalam bentuk intuitif, yakni kilatan pengetahuan yang muncul dalam diri seseorang secara spontan, tanpa direncanakan terlebih

Page 16: Jurnal Filsafat UGM Vol 18, no 1 (2008)

Rizal Mustansyir, Landasan Filosofis Mazhab Hukum...

17

dahulu. Acapkali permasalahan timbul lantaran teori yang ada dipandang tak mampu memecahkan, minimal tidak memuaskan, problem kongkret di masyarakat. Demikian pula halnya dalam hukum progresif, hal terakhir inilah yang paling menonjol ketika teori hukum yang ada dipandang tidak lagi memadai untuk mengatasi problem hukum di masyarakat.

Salah satu problem hukum dalam kehidupan masyarakat Indonesia yang sulit untuk diatasi adalah korupsi. Magnis Suseno, salah seorang pakar Filsafat Sosial, menengarai bahwa korupsi tidak berkurang pasca kejatuhan Orde Baru, karena sewaktu Soeharto berkuasa ia masih mampu mendisiplinkan para bawahannya. Namun ketika Soeharto jatuh, sifat asli mereka semakin kelihatan. Mereka hanya mementingkan diri sendiri dan menggunakan kesempatan untuk merampok harta negara sebanyak mungkin (Magnis-Suseno, 2003).

Satjipto Rahardjo (2004) menegaskan bahwa tindakan pro-aktif aparat kejaksaan untuk mengungkap kasus korupsi sangat dinantikan masyarakat. Selain membutuhkan jaksa yang berani, Indonesia juga membutuhkan penegakan hukum yang progresif. Tuntutan kebutuhan akan hukum progresif sebagaimana yang ditengarai oleh Satjipto Rahardjo berangkat dari kekecewaan masyarakat atas ketidakmampuan aparat hukum untuk meminimalisasikan tinmdak pidana korupsi yang dijuluki sebagai extra ordinary crime (Yudoyono, 2005). Muladi bahkan melihat korupsi tidak lagi sebagai local matter tetapi sudah merupakan fenomena transnasional yang dapat mempengaruhi kehidupan internasional, sehingga dibutuhkan kerja sama internasional untuk mengendalikannya secara komprehensif dan multidisipliner (Muladi, 2004). Bayangkan saja tokoh masyarakat yang juga ilmuwan profesional seperti panitia KPU saja terlibat dalam masalah korupsi. Anggota DPR yang dianggap mampu mewakili aspirasi rakyat, malah melukai hati rakyat dengan perilaku korupsi.

Kebutuhan akan hukum progresif dengan pendekatan yang komprehensif dan multidisipliner merupakan kata kunci untuk memahami asumsi yang ada di balik hukum progresif itu sendiri. Paling tidak ada beberapa asumsi yang perlu diperhatikan dalam hukum progresif. Pertama, Hukum adalah untuk manusia, bukan sebaliknya. Kehadiran hukum bukan untuk dirinya sendiri, melainkan untuk sesuatu yang lebih luas dan besar. Kalau terjadi permasalahan di bidang hukum, maka hukum harus ditinjau dan diperbaiki, bukan manusia yang dipaksa untuk dimasukkan ke

Page 17: Jurnal Filsafat UGM Vol 18, no 1 (2008)

Jurnal Filsafat Vol.18, Nomor 1, April 2008

18

dalam skema hukum. Kedua, Hukum bukan institusi yang mutlak dan final, melainkan dalam proses untuk terus menjadi (law as a process, law in the making) (Satjipto Rahardjo, 2005).

C. Keterkaitan Hukum Progresif dengan Teori lain

Sebuah artikel (www.antikorupsi.org) yang berjudul “Rekonstruksi Birokrasi Kejaksaan dengan Pendekatan Hukum Progresif Studi Penyelidikan, Penyidikan dan Penuntutan Tindak Pidana Korupsi” menunjukkan kebersinggungan hukum progresif dengan beberapa teori. Pertama, teori hukum responsif dengan tokohnya Nonet & Selznick yang menginginkan agar hukum peka terhadap setiap perkembangan masyarakat. Salah satu ciri yang menonjol dari teori hukum responsif ini ialah menawarkan lebih dari sekadar procedural justice, namun lebih berorientasi pada keadilan dengan memperhatikan kepentingan umum. Teori ini lebih menekankan pada substantial justice. Persoalan keadilan lebih dipahami sebagai quid ius, bukan quid iuris.

Kedua, teori hukum realis atau legal realism yang ditokohi Oliver Wendell Holmes yang terkenal dengan adagium “The life of the law has not been logic; it has been experience”. Bahwasanya hukum tidak sebatas logika, melainkan lebih pada pengalaman. Hukum tidak dilihat dari kacamata hukum itu sendiri, melainkan lebih dilihat dan dinilai dari tujuan sosial yang ingin dicapai, serta akibat yang ditimbulkan dari cara bekerjanya hukum. Pemahaman atas hukum tidak hanya bersifat tekstual, melainkan melampaui dokumen hukum.

Ketiga, sociological jurisprudence yang ditokohi Roscoe Pound mengkaji hukum tidak hanya sebatas pada studi tentang peraturan, tetapi juga melihat efek dan bekerjanya hukum (law as a tool for social engineering). Hukum merupakan alat rekayasa sosial.

Keempat, hukum alam (natural law) yang memberi penjelasan tentang hal-hal yang meta-juridical atau sesuatu di balik hukum. Hukum alam memandang hukum tidak terlepas dari nilai-nilai moral yang bersifat transendental.

Kelima, studi hukum kritis (critical legal studies) yang ditokohi Roberto M. Unger. Mazhab ini tidak puas dengan hukum modern yang sarat dengan prosedur. Gerakan studi hukum kritis telah menggerogoti gagasan pokok pemikiran hukum moderen dan menyodorkan satu konsepsi hukum yang secara tak langsung mengenai masyarakat dan memberi gambaran tentang satu praktek

Page 18: Jurnal Filsafat UGM Vol 18, no 1 (2008)

Rizal Mustansyir, Landasan Filosofis Mazhab Hukum...

19

politik. Dua perhatian yang paling menonjol dari gerakan ini ialah kritik terhadap formalisme dan objektivisme (Unger, 1999: xxv).

Pengaitan hukum progresif dengan kelima teori hukum pendahulunya ini cukup beralasan (Rationis sufficientis), karena dinamika masyarakat yang ditangkap oleh berbagai teori hukum yang telah mengemuka tentu mengalami perubahan yang signifikan. Di samping itu sebuah teori dalam disiplin ilmu apa pun hanya dipandang sebagai bentuk kebenaran sementara (meminjam prinsip Falsifiable Karl Popper) sebelum ditemukan teori lain yang dipandang lebih sophisticated. Kesadaran akan hukum sebagai sebuah proses untuk terus menjadi, melahirkan kesadaran baru bahwa hukum harus terus menerus mencari jati diri. Ibarat ular yang terus berganti kulit, maka diperlukan keterbukaan wawasan dari para pakar hukum untuk terus melangkah ke arah idealisme hukum dan melawan bentuk kemandegan hukum dan pendewaan atas berhala teoritis dalam panggung ilmiah (Francis Bacon menyebutnya dengan istilah Idola Theatri). D. Landasan Filosofis Hukum Progresif

Hukum progresif memang masih berupa wacana, namun kehadirannya terasa sangat dibutuhkan oleh masyarakat Indonesia yang sudah mengalami krisis kepercayaan terhadap hukum yang berlaku sekarang ini. Hukum progresif belum lagi menampakkan dirinya sebagai sebuah teori yang sudah mapan. Menurut pemikiran Imre Lakatos (Chalmers, 1983: 85), apa yang kita pikirkan sebagai “teori” merupakan kumpulan yang sesungguhnya rapuh, berbeda dengan teori yang dihimpun dari beberapa gagasan umum atau yang biasa dinamakan Lakatos dengan inti pokok program (hard core). Lakatos menamakan kumpulan ini dengan istilah program riset (Research Programs). Para ilmuwan yang terlibat dalam program ini akan melindungi inti teori dari usaha falsifikasi di belakang suatu sabuk pelindung ( a protective belt) dari hipotesis pelengkap (auxiliary hypotheses). Demikian pula halnya dengan hukum progresif, harus ada inti pokok program (hard core) yang perlu dijaga dan dilindungi dari kesalahan-kesalahan yang mungkin timbul ketika hukum progresif itu akan diterapkan ke dalam peraturan perundang-undangan. Oleh karena itu, manakala hukum progresif dikembangkan dari wacana (discourse) menjadi sebuah teori, maka haruslah dilengkapi dengan hipotesis pelengkap (auxiliary hypotheses). Hal inilah yang nampaknya belum dimiliki hukum progresif, sehingga pencetus ide (Satipto Rahardjo) harus

Page 19: Jurnal Filsafat UGM Vol 18, no 1 (2008)

Jurnal Filsafat Vol.18, Nomor 1, April 2008

20

dapat mengembangkan program riset ilmiah tentang hukum progresif secara serius, tidak hanya berhenti pada tataran wacana. Inti pokok program yang perlu dipertahankan dalam hukum progresif adalah hukum adalah untuk manusia, bukan sebaliknya. Adagium bahwa hukum adalah untuk manusia perlu dipertahankan dari berbagai bentuk falsifiable agar kedudukan hukum sebagai alat (tool) untuk mencapai sesuatu, bukan sebagai tujuan yang sudah final. Apa yang dimaksud dengan falsifiable disini meminjam istilah Popper, yaitu sebuah hipotesis atau teori hanya diterima sebagai kebenaran sementara sejauh belum ditemukan kesalahannya. Semakin sulit ditemukan kesalahannya, maka hipotesis atau teori itu justeru mengalami pengukuhan (corroboration).

Setiap teori ilmiah, baik yang sudah mapan maupun yang masih dalam proses kematangan, memiliki landasan filosofis. Ada tiga landasan filosofis pengembangan ilmu, termasuk hukum, yaitu ontologis, epistemologis, dan aksiologis. Landasan ontologis ilmu hukum artinya hakikat kehadiran ilmu hukum itu dalam dunia ilmiah. Artinya apa yang menjadi realitas hukum, sehingga kehadirannya benar-benar merupakan sesuatu yang substansial. Landasan epistemologis ilmu hukum artinya cara-cara yang dilakukan di dalam ilmu hukum, sehingga kebenarannya bisa dipertanggungjawabkan secara ilmiah. Landasan aksiologis ilmu hukum artinya manfaat dan kegunaan apa saja yang terdapat dalam hukum itu, sehingga kehadirannya benar-benar bisa dirasakan manfaatnya oleh masyarakat.

Landasan ontologis hukum progresif lebih terkait dengan persoalan realitas hukum yang terjadi di Indonesia. Masyarakat mengalami krisis kepercayaan terhadap peraturan hukum yang berlaku. Hukum yang ada dianggap sudah tidak mampu mengatasi kejahatan kerah putih (white colar crime) seperti korupsi, sehingga masyarakat mengimpikan teori hukum yang lebih adekuat. Ketika kehausan masyarakat akan kehadiran hukum yang lebih baik itu sudah berakumulasi, maka gagasan tentang hukum progresif ibarat gayung bersambut. Persoalannya adalah substansi hukum progresif itu sendiri seperti apa, belum ada hasil pemikiran yang terprogram secara ilmiah.

Landasan epistemologis hukum progresif lebih terkait dengan dimensi metodologis yang harus dikembangkan untuk menguak kebenaran ilmiah. Selama ini metode kasuistik, dalam istilah logika lebih dekat dengan pengertian induktif, lebih mendominasi bidang

Page 20: Jurnal Filsafat UGM Vol 18, no 1 (2008)

Rizal Mustansyir, Landasan Filosofis Mazhab Hukum...

21

hukum. Kasus pelanggaran hukum tertentu yang dikaitkan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku, dicari dalam pasal-pasal hukum yang tertulis, menjadikan dimensi metodologis belum berkembang secara optimal. Interpretasi atas peraturan perundang-undangan yang berlaku didominasi oleh pakar hukum yang kebanyakan praktisi yang memiliki kepentingan tertentu, misalnya untuk membela kliennya. Tentu saja hal ini mengandung validitas tersendiri, namun diperlukan terobosan metodologis yang lebih canggih untuk menemukan inovasi terhadap sistem hukum yang berlaku. Misalnya interpretasi terhadap peraturan perundang-undangan yang tidak semata-mata bersifat tekstual, melainkan juga kontekstual. Hukum tidak dipandang sebagai kumpulan huruf atau kalimat yang dianggap mantera sakti yang hanya boleh dipahami secara harafiah. Metode hermeneutika boleh dikembangkan oleh para pakar hukum untuk membuka wawasan tentang berbagai situasi yang melingkupi kasus hukum yang sedang berkembang dan disoroti masyarakat. Misalnya kasus korupsi yang terjadi di kalangan birokrat, bukan semata-mata dipahami sebagai bentuk kecilnya gaji yang mereka terima, sehingga sikap permisif atas kejahatan korupsi yang dilakukan acapkali terjadi. Pemahaman atas sikap amanah atas jabatan yang mereka emban jauh lebih penting untuk menuntut rasa tanggung jawab (sense of responsibility) mereka. Hukum harus dikaitkan dengan kemampuan seseorang dalam mengemban amanah.

Dengan demikian landasan epistemologis hukum progresif bergerak pada upaya penemuan langkah metodologis yang tepat, agar hukum progresif dapat menjadi dasar kebenaran bagi peraturan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia. Apa yang dimaksud dengan metodologis disini ialah kajian perihal urutan langkah-langkah yang ditempuh (prosedur ilmiah), supaya pengetahuan yang diperoleh benar-benar memenuhi ciri ilmiah. Metodologi merupakan bidang yang ditempuh untuk memperoleh pengetahuan dan sekaligus menjamin objektivitas atau kebenaran ilmu. Metodologi merupakan proses yang menampilkan logika sebagai paduan sistematis dari berbagai proses kognitif yang meliputi: klasifikasi, konseptualisasi, kesimpulan, observasi, eksperimen, generalisasi, induksi, deduksi, dan lain-lain. (1984:48). Hukum progresif baru dapat dikatakan ilmiah manakala prosedur ilmiah berupa langkah-langkah metodis di atas sudah jelas.

Landasan aksiologis hukum progresif terkait dengan problem nilai yang terkandung di dalamnya. Aksiologi atau Teori

Page 21: Jurnal Filsafat UGM Vol 18, no 1 (2008)

Jurnal Filsafat Vol.18, Nomor 1, April 2008

22

Nilai menurut Runes (1972:32) adalah hasrat, keinginan, kebaikan, penyelidikan atas kodratnya, kriterianya, dan status metafisiknya. Hasrat, keinginan, dan kebaikan dari hukum progresif perlu ditentukan kriteria dan status metafisiknya agar diperoleh gambaran yang lebih komprehensif tentang nilai yang terkandung di dalamnya. Kriteria nilai terkait dengan standar pengujian nilai yang dipengaruhi aspek psikologis dan logis. Hal ini sangat tergantung pada aliran filsafat yang dianut, kaum hedonist misalnya menemukan standar nilai dalam kuantitas kesenangan. Kaum idealis lebih mengakui sistem objektif norma rasional sebagai kriteria. Sedangkan kaum naturalis menemukan ketahanan biologis sebagai tolok ukur. Hukum progresif seharusnya lebih memihak pada cara pandang kaum idealis yang mengakui sistem objektif norma rasional, karena persoalan yang dihadapi hukum progresif harus dipandang secara objektif-rasionalistik.

Pentingnya memahami landasan nilai dalam sebuah teori atau gerakan ilmiah adalah untuk mengetahui secara pasti orientasi atau kiblat dari teori atau aliran tersebut. Persoalan yang pokok dalam aksiologi ilmu adalah: Apa tujuan pengembangan ilmu? Apakah ilmu bebas nilai ataukah tidak? Nilai-nilai apa yang harus ditaati oleh ilmuwan? Tujuan ilmu yang hakiki adalah untuk kemaslahatan atau kepentingan manusia, bukan ilmu untuk ilmu (science to science). Ilmu yang dikembangkan untuk kepentingan manusia senantiasa akan memihak pada masyarakat, bukan pada dokumen atau lembaran ilmiah semata. Ketika kepentingan manusia terkalahkan oleh dokumen ilmiah, maka di sanalah dibutuhkan landasan nilai (basic of value) yang mampu memperjuangkan dan mengangkat martabat kemanusiaan sebagai suatu bentuk actus humanus.

Hukum progresif harus memiliki landasan nilai yang tidak terjebak ke dalam semangat legal formal semata, namun memihak kepada semangat kemanusiaan (spirit of humanity). Problem ilmu itu bebas nilai atau tidak, masih menjadi perdebatan di kalangan ilmuwan.Namun mereka yang berpihak pada kubu bebas nilai (value-free) -- terutama kaum positivistik-- harus mengakui bahwa manusia tidak dapat diperlakukan seperti benda mati atau angka-angka yang bersifat exactly, measurable, clear and distinct. Manusia adalah mahluk berkesadaran yang memiliki nurani yang tidak sertamerta serba pasti, terukur, jelas dan terpilah. Manusia adalah mahluk dinamis yang selalu berproses dalam menemukan jati dirinya. Lantaran itu pula terma “kejahatan” (criminal) tidak

Page 22: Jurnal Filsafat UGM Vol 18, no 1 (2008)

Rizal Mustansyir, Landasan Filosofis Mazhab Hukum...

23

ditemukan dalam ranah benda mati atau dunia satwa, melainkan dalam kehidupan manusia.

Ilmu selalu memiliki kepentingan, ujar Habermas. Ia menegaskan bahwa pemahaman atas realitas didasarkan atas tiga kategori pengetahuan yang mungkin, yakni informasi yang memperluas kekuasaan kita atas kontrol teknik; informasi yang memungkinkan orientasi tindakan dalam tradisi umum; dan analisis yang membebaskan kesadaran kita dari ketergantungannya atas kekuasaan. Dengan demikian hanya ada tiga struktur kepentingan yang saling terkait dalam organisasi sosial, yaitu kerja, bahasa, dan kekuasaan. (1971:313). Hukum progresif pun tak sepenuhnya bebas nilai, bahkan sangat terkait dengan kepentingan pembebasan kesadaran kita dari ketergantungan atas kekuasaan (politik, hukum positif, dan lain-lain).

Nilai-nilai yang harus ditaati oleh ilmuwan (termasuk pakar hukum), tidak hanya peraturan perundang-undangan sebagai bentuk rule of the game dalam kehidupan berbangsa-bernegara, tetapi juga keberpihakan kepada kebenaran (truth), pengembangan profesionalitas yang menuntut pertanggungjawaban ilmiah dan lain sebagainya.

E. Penutup

Berdasarkan uraian di atas tentang hukum progresif yang ditinjau dari perspektif filosofis, maka dapat ditarik beberapa kesimpulan sebagai berikut. Pertama; terlalu dini untuk mengatakan bahwa hukum progresif itu sebagai sebuah teori, karena syarat bagi sebuah teori, yakni sudah melalui pengujian metodologis yang dapat dipertanggungjawabkan dalam komunitas ilmiah, belum lagi dipenuhi. Kedua, hukum progresif sebagai sebuah wacana cukup menarik minat dan perhatian masyarakat ilmiah, karena semangat pembaharuan dan pengembangan atas teori hukum yang selama ini berlaku, namun dianggap tidak mampu mengatasi persoalan hukum yang ada di masyarakat Indonesia. Ketiga, hukum progresif dapat berkembang menjadi sebuah teori hukum (tidak sekadar sebagai gerakan atau trend) apabila diletakkan dalam kerangka Scientific Research Program, program riset ilmiah dengan menemukan inti pokok program (hard core) yang terlindungi dari berbagai bentuk kesalahan (falsifiable). Keempat, hukum progresif sebagai sebuah gerakan/aliran/mazhab dapat terus dikembangkan, dengan syarat memiliki visi dan misi

Page 23: Jurnal Filsafat UGM Vol 18, no 1 (2008)

Jurnal Filsafat Vol.18, Nomor 1, April 2008

24

yang jelas. Sebab gerakan tanpa visi dan misi yang jelas, meskipun idenya bagus, pasti akan ditinggalkan oleh para pengikutnya. Kelima, landasan ontologis, epistemologis, dan aksiologis bagi hukum progresif perlu dikembangkan agar warna ilmiah-filosofisnya jelas dan dapat dipertanggungjawabkan dalam komunitas ilmiah.

-JF-

DAFTAR PUSTAKA

Bahm, Archie., 1986, Metaphysics: An Introduction, Harper and Row Publishers, Albuquerque.

Chalmers, A.F., 1983, Apa itu Yang Dinamakan Ilmu?, Terjemahan: Redaksi Hasta Mitra, What is this thing called Science? Penerbit Hasta Mitra, Jakarta.

Habermas, Jurgen., 1971, Knowledge and Human Interest, Translated by: Jeremy J. Shapiro, Beacon Press, Boston.

Magnis Suseno., 2003, “Pembangunan Berkelanjutan dalam Peningkatan Keimanan dan Ketaqwaan kepada Tuhan Yang Maha Esa”, dalam Seminar Pembangunan Hukum Nasional VIII dengan tema Penegakan Hukum dalam Era Pembangunan Berkelanjutan, BPHN Depkeh & HAM, Denpasar, 14-18 Juli 2003.

Muladi, 2004, “Substantive Highlights’s dari Konvensi PBB untuk Melawan Korupsi”, dalam Seminar Aspek Pertanggungjawaban Pidana Dalam Kebijakan Publik dari Tindak Pidana Korupsi, Diselenggarakan oleh Kejaksaan Agung RI bekerjasama dengan Fakultas Hukum UNDIP, Semarang, 6-7 Mei 2004.

Satjipto Rahardjo., 2004, “Kejaksaan Segeralah Bertindak”, dalam KOMPAS, 2 Oktober, 2004.

Satjipto Rahardjo., 2005 “Hukum Progresif, Hukum Yang Membebaskan”, dalam Jurnal Hukum Progresif, Volume 1/No.1/April 2005, PDIH Ilmu Hukum UNDIP.

Susilo Bambang Yudoyono, 2005, Pidato disampaikan dalam Rapat Koordinasi tentang Percepatan Penanganan TPK antara Polri, Kejaksaan Agung, dan KPK, Jakarta, 7 Maret, 2005.

Unger, Roberto M., 1999, Gerakan Studi Hukum Kritis, Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat, Jakarta.

Page 24: Jurnal Filsafat UGM Vol 18, no 1 (2008)

KONSEP SEMIOTIK CHARLES JENCKS DALAM ARSITEKTUR POST-MODERN

Oleh: Dwi Murdiati1

Abstract

The aims of this work are to know and to explain Charles Jencks’ semiotic concept of postmodern architecture. In one hand, Jencks’ postmodern architecture is criticism on modern and modern-late architecture. Jencks stresses on both differences that modern and modern-late architecture are based on a single coding only and postmodern architecture is based on double coding in their style. In other one, Jencks’ postmodern architecture is a semiotic entity that has to seen as a sign. This research is the figure factual history research. It was based on primary and secondary literature. It used description, interpretation and heuristic method. Jencks’s semiotic conception of postmodern architecture has adopted dualism semiotic of Saussuran like signifier-signified, langue-parole, denotation-connotation, and paradigmatic-sintag-matic. It also has adopted trilateral semiotic of Piercean like index, icon, symbol and sintagmatic, syntactic, semantic. Keywords: Postmodern architecture, double coding, dualism semiotic, trial semioti. A. Pendahuluan Dunia arsitektur merupakan bagian dari sumber berhembusnya gelombang post-modernisme. Satu arus pemikiran baru yang menekankan perspektif berbeda seperti pluralisme, relativisme, dan subjektivisme di tengah keyakinan modernisme akan individualisme, rasionalisme, komodifikasi, dan kapitalisasi. Dunia arsitektur untuk waktu yang panjang telah menikmati mapannya ruang dan bentuk simetris modern pada hampir segala bidang bangunan sampai pada akhirnya muncul arah pemikiran baru tentang konsep ruang dan bentuk yang non-konvensional, seperti, hybrid, local, hitch, eklektik, atas nama arsitektur post-modern. Charles Jencks adalah tokoh sentral bagi kemunculan gagasan baru

1 Akademisi dalam bidang Filsafat.

Page 25: Jurnal Filsafat UGM Vol 18, no 1 (2008)

Jurnal Filsafat Vol.18, Nomor 1, April 2008

26

di tengah kemapanan arsitektur modern. Jencks menyatakan bahwa impian utopis dari arsitek semisal Le Corbusier telah mengakibatkan munculnya bangunan pencakar langit yang steril dan berbagai proyek perumahan yang kaku. Charles Jencks mencoba mendekati persoalan arsitektur dengan cara berbeda, satu cara meneropong seluruh persoalan arsitektur secara filosofis. Pemikiran Jencks mengejutkan bagi banyak pemikir arsitektur yang terbiasa dengan pola a-historis dan a-linguistik. Jencks mengajak orang untuk menciptakan arsitektur baru yang didasarkan atas eklektisisme dan daya tarik popular. Jencks mengritik pandangan arsitektur modern yang hanya menekankan desain makna individualitas dalam ruang semantik yang sering berlawanan dengan keinginan para penghuninya (Jencks, 1980: 115). Manifestasi arsitektur modern yang dikritik oleh Jencks mencakup berbagai ranah. Jencks mengritik bentuk dramatik arsitektur modern yang telah menjadi klise dan sulit ditangkap dalam spirit yang berterus terang. Hal ini tentu berbeda dengan arsitektur post-modern yang telah menawarkan penerapan desain yang menggunakan bentuk bangunan dan ornament histories. Jencks sendiri menyebutnya dengan istilah Double coding (kode ganda) yaitu, satu bangunan yang berbicara dalam logat lokal, tetapi juga membuat komentar ironis atas bahasanya sendiri (Jencks, 1987: 352). Jencks menentang fungsi bangunan klasik yang terbatas pada kebutuhan waktu. Hal ini berbeda dengan arsitektur post-modern yang ditandai dengan eklektisme, yaitu proses memilih dari berbagai sumber dalam merancang bangunan (Sumalyo,1977: 23). Jencks juga mempersoalkan “bentuk–bentuk murni” arsitektur. Jencks menginginkan bangunan arsitektur sebagai ruang bagi upaya kreatif yang diselaraskan, tidak hanya pada fakta dan manfaat program, tetapi juga pada gagasan puitis dan penanganan bangunan arsitektur pada skala ruang yang besar. Hasilnya bukan saja khazanah fungsi dan keajaiban konstruksi, tetapi juga penyajian muatan simbolis dan tema fiksi estetis, yang bukan semata bentuk “murni-abstrak”, tetapi muncul sebagai objektivasi konkret yang dapat dicerap multi–sensorial (Klotz,1988: 6). Persoalan pemaknaan dan bahasa arsitektural menempati posisi sentral dalam pemikiran Jencks tentang arsitektur post-modern. Wacana pemaknaan ini termanifestasi secara mencolok dalam gagasan Jencks tentang semiotik di dalam arsitektur post-

Page 26: Jurnal Filsafat UGM Vol 18, no 1 (2008)

Siti Murdiati, Konsep Semiotik Charles Jenks…

27

modern. Jencks melihat bahwa tanda arsitektur seperti tanda-tanda yang lain adalah satu entitas yang memiliki dua wajah, yaitu memiliki ekspresi (penanda) dan isi (petanda). Penanda adalah bangunan itu sendiri, dan petanda adalah isi dari bentuk (Tanujaya, 1998: 6). Penanda biasanya termanifestasi dalam sebuah bentuk, ruang, permukaan, volume. Sementara petanda dapat berupa satu ide atau sekumpulan gagasan. Hubungan antara penanda dan petanda itulah yang menurut Jencks, memunculkan, signifikansi arsitektural (Jencks, 1980: 74). Arsitektur adalah penggunaan penanda formal (material dan pembatas) untuk mengartikulasikan petanda (cara hidup, nilai, fungsi) dengan menggunakan cara tertentu (struktural, ekonomis, teknis, mekanis ) (Jencks, 1980: 75 ). Arsitektur adalah sebuah teks. Teks adalah seperangkat tanda yang ditransmisikan dari seorang penerima melalui medium tertentu dan dengan kode–kode tertentu. Teks harus ditafsirkan. Menurut Jencks, walaupun teks tersebut tidak pernah sepenuhnya berhasil dalam merekonsiliasikan keseluruhan spektrum hidup, tetapi ia selalu merupakan sebuah usaha ke arah itu dalam bentuk analogi dan simbol (Jencks, 1980: 80-81). Di samping melihat tanda arsitektur dalam kerangka penanda dan petanda, dengan memanfaatkan, Jencks juga melihat tanda arsitektur dalam kerangka indeks, ikon, dan simbol. Bangunan arsitektur juga menganut hubungan kemiripan antara tanda dengan yang diwakilinya (ikon), menganut hubungan keterkaitan kausalitas (indeks), dan menganut konvensi atau kesepakatan yang dibentuk secara bersama oleh pengguna arsitektur (simbol) (Asmara, 2001: 127-128 ). Semiotik arsitektur Jencks juga melihat arsitektur dalam kerangka pragmatik, semantik, dan sintaktik. Berada dalam level pragmatik karena efek yang ditimbulkannya, semantik karena bentuknya dan sintaktik karena tata letaknya. Pemikiran Jencks tentang arsitektur post-modern sangat terkait dengan kritik Jencks atas kecenderungan arsitektur modern yang simetris, seragam, dan kaku. Semiotik arsitektur post-modern Jencks juga sangat terkait dengan teori semiotika dikotomis yang berasal dari Ferdinand de Saussure yang dikembangkan oleh Roland Barthes, dan semiotika trikotomis Charles S. Pierce yang C. Morris. Dengan demikian persoalan yang bisa diajukan adalah: pertama, bagaimana latar belakang dan pandangan Jencks tentang arsitektur post-modern?. Kedua, apa dan bagaimana pemikiran semiotika arsitektur post-modern Charles Jencks?

Page 27: Jurnal Filsafat UGM Vol 18, no 1 (2008)

Jurnal Filsafat Vol.18, Nomor 1, April 2008

28

B. Post-Modern dan Arsitektur Post-modern memiliki beragam arah dan interpretasi. Foster mendeteksi dua jalur dalam post-modern yang tampak bertentangan. Pertama adalah post-modern reaksi, yaitu post-modern yang menceraikan diri dari modern dan merayakan status quo. Kedua, post-modern resistensi, yaitu post-modern yang berupaya untuk melanjutkan proyek modern sembari menjadikannya subjek bagi re-evaluasi kritis (Leach, 1997: 202) Post-modern seringkali juga dimaknai dalam dua kerangka, yaitu kerangka periode dan kerangka epistemologi. Dalam kerangka periode, post-modern berarti masa yang datang setelah modern, seperti halnya periode modern yang datang setelah periode tradisional. Sementara dunia modern ditandai dengan diferensiasi, sedangkan dunia post-modern ditandai dengan de–diferensiasi. Diferensiasi terlihat jelas melalui batas–batas antar bangsa, antar ras, antar suku, dan antar golongan. De-diferensiasi ditandai ketika batas–batas tersebut semakin samar. Dalam kerangka epistemologi, post-modern bisa diartikan sebagai pencarian ketidakstabilan (instability). Sementara pengetahuan modern mencari kestabilitan melalui metodologi dengan “kebenaran” sebagai tujuan final, post-modern ditandai dengan runtuhnya kebenaran, rasionalitas, dan objektivitas (Prama, 1995: 101). Dalam konteks arsitektur, Jencks merujuk arsitektur post-modern pada langgam arsitektural yang popular dalam bangunan tahun 1980-an yang banyak bersandar pada motif-motif bergaya sejarah (Leach, 1997: 202). Jencks lebih melihat post-modern sebagai perspektif atau epistemologi. Arsitektur post-modern adalah double coding (kode ganda), arsitek modern single coding (kode tunggal). Pandangan hidup post-modern adalah pluralisme, sedangkan pandangan hidup modern adalah mekanisme (Alisyahbana, 1987: 6 ).

Jencks membagi arsitektur ke dalam arsitektur modern, modern akhir dan post-modern. Arsitektur modern memiliki ide utopis, abstrak, deterministik, fungsional dan tunggal. Arsitektur modern akhir memiliki ide pragmatis, menekankan kebebasan, kelonggaran, bergaya di luar matra kesadaran, dan melakukan produksi satu modern yang dibuat-buat. Sedangkan arsitektur post-modern lebih cenderung popular, pluralis dan bergaya double coding (Jencks, 1980: 12) Semiotika adalah teori tentang pemberian tanda atau ilmu yang mempelajari tanda, serta makna yang terkandung di

Page 28: Jurnal Filsafat UGM Vol 18, no 1 (2008)

Siti Murdiati, Konsep Semiotik Charles Jenks…

29

dalamnya. Tanda (sign) merupakan fokus utama dalam semiotika. Dalam semiotika segala sesuatu dapat dikatakan sebagai tanda (sign). Ada dua pendekatan untuk mengklasifikasikan semiotika, yaitu melalui dikotomi semiotika Saussure dan trikotomi semiotika Pierceian. Dalam dikotomi Saussurean, yang kemudian dikembangkan oleh Roland Barthes, disebutkan adanya empat unsur dalam semiotika, yaitu langue dan parole, signifier dan signified, sintagmatik dan paradigmatik, konotasi dan denotasi. Sedang dalam trikotomi semiotika Piercean, tanda mengandung arti indeks, ikon, dan simbol, yang kemudian dikembangkan oleh Charles Morris menjadi semantik, sintaktik, dan pragmatik (Asmara, 2001: 127 ). Charles Jencks mengambil gagasan Barthes tentang signifier dan signified dan mengambil gagasan Morris tentang semantik, sintaktik, dan pragmatik. Jencks dalam menerjemahkan segitiga semantik Morris mencoba menyejajarkan kedudukan semiotika dengan linguistik melalui proses transformasi dari linguistik ke bahasa bentuk arsitektur. Dalam proses ini ketiga unsur tersebut diterjemahkan sebagai satu proses yang berputar pada satu sistem tertutup. C.Charles Jencks dan Arsitektur Post-Modern

Sebagai pemikir dan kritisi serta tokoh utama arsitektur post-modern yang pemikirannya banyak dilandasi oleh pemikiran para filsuf, Jencks juga mengaitkan konsepnya dengan seni dan sastra serta mencoba mengritik gerakan modern. Bagi Jencks, efisiensi dan efektivitas yang dirasakan di dalam arsitektur modern begitu membosankan. Sebab bagi Jencks karya arsitektur seharusnya merupakan karya seni yang memiliki kebebasan dalam pemaknaan. Lebih dari sekedar memenuhi fungsi.

Jencks berbicara tentang genre arsitektur baru yang ia sebut dengan arsitektur post-modern, yaitu sebuah arsitektur yang berintikan double coding yang mengombinasikan teknik-teknik modern dengan sesuatu yang lain (biasanya bangunan tradisional) agar arsitektur mampu berkomunikasi dengan publik yang peduli atau dengan para arsitektur lain (Jencks, 1986: 15 ). Dalam What is Postmodernism, Jencks mengatakan bahwa di dalam kerangka double coding kedua arah tersebut merupakan sebuah usaha untuk berkomunikasi dengan masyarakat dan kaum minoritas, yang pada masa modern cenderung ditinggalkan. Pengkodean ganda merupakan strategi komunikasi tanda-tanda popular dan elitis untuk

Page 29: Jurnal Filsafat UGM Vol 18, no 1 (2008)

Jurnal Filsafat Vol.18, Nomor 1, April 2008

30

mencapai hasil yang berbeda. Gaya sederhana merupakan pernyataan untuk menemukan pluralisme, karena bagaimanapun arsitek harus mendesain untuk cita rasa budaya yang berbeda (Jencks 1988: 14 ).

Jencks mengklaim kegagalan arsitektur modern karena ketidakmampunya untuk berkomunikasi dengan para penggunanya. Arsitektur post-modern oleh Jencks didefinisikan sebagai arsitektur yang didasarkan atas teknik-teknik baru serta pola-pola lama atau menggunakan teknologi baru untuk memberi wajah pada realitas sosial yang sekarang setelah membentuk bahasa hibrida (campuran) ( Jencks, 1980: 3 ). Jencks tidak memberikan satu standar tertentu secara khusus tentang arsitektur post-modern. Ia hanya menawarkan sejenis konsep arsitektur post-modern sebagai bukti tentang peng–kode–an melalui jalan asosiasi dan menyatukan seni pada masa lalu. Jencks membedakan antara arsitektur modern dan modern akhir. Menurut Jencks, arsitektur modern akhir sering dikacaukan dengan arsitektur modern. Fenomena arsitektur modern akhir seperti tampak dari istilah slick-tech atau supersensualisme, bagi Jencks masih menampakkan ciri single coding, yaitu berseberangan dengan double coding pada arsitektur post-modern (Jencks, 1980: 15). D. Charles Jencks dan Semiotika Jencks melihat arsitektur lebih dari sekedar cara mendesain dan merancang sebuah bangunan. Jencks juga melihat arsitektur sebagai sebuah teks yang menyampaikan sesuatu dan yang harus ditafsirkan. Arsitektur juga sebuah tanda (sign) yang memiliki penanda dan petanda, serta signifikasinya. Bangunan, ruang, permukaan adalah penanda sedangkan ide atau gagasannya adalah petanda. Kedua aspek ini kemudian membentuk signifikansi arsitektural. Jencks juga melihat arsitektur dalam kerangka indeks, ikon, dan simbol. Pemikiran semiotik Jencks dalam arsitektur tidak bisa dilepaskan dari dikotomi semiotik Saussuran dan trikotomi semiotik Piercean. Empat unsur semiotik Saussuran yang dikembangkan Barthes mempengaruhi Jencks dalam melihat arsitektur. Keempat unsur tersebut adalah langue dan parole, penanda dan petanda, sintagmatik dan paradigmatik, konotasi dan denotasi. Langue adalah satu sistem kumpulan kosa kata atau elemen-elemen bentuk yang mempunyai makna berdasarkan

Page 30: Jurnal Filsafat UGM Vol 18, no 1 (2008)

Siti Murdiati, Konsep Semiotik Charles Jenks…

31

konsensus budaya, sedangkan parole merupakan bagian bahasa yang sepenuhnya individual. Parole dapat dipandang sebagai kombinasi yang memungkinkan subjek (penutur) sanggup menggunakan kode bahasa untuk mengungkapkan pikiran pribadinya. Kombinasi tersebut mengimplikasikan bahwa tanda–tanda bersifat identik dan senantiasa berulang. Maka setiap tanda bisa menjadi unsur dari langue (Budiman, 1999: 89-90). Satu benda memiliki dua valensi yang merupakan dua kesatuan, sebagai benda disebut penanda, dan sebagai makna disebut dengan petanda (Asmara, 2001: 126-127). Sebuah sintagma mengacu pada hubungan in-praesentia antara satu suku kata yang satu dengan yang lain, atau antara satu satuan gramatikal dengan satuan-satuan yang lain, sehingga berada dalan relasi yang linear. Sedangkan paradigma bersifat dinamis, tanda linguistik dapat berpindah-pindah, dapat diganti dengan tanda lain yang terdapat dalam satu hirarki (Asmara, 2001: 127). Trikotomi, semiotika, Piercean, merupakan pembentuk utama semiotika arsitektur post-modern Charles Jencks. Model trikotomi ini mencakup representamen, interpretan, dan objek. Representamen merupakan satu bentuk perwujudan tanda (tidak harus berbentuk inderawi). Interpretan merupakan makna yang dibentuk oleh tanda. Objek adalah sesuatu yang diacu tanda (Chandler, 2002: 34-36 ). Interaksi antara ketiganya oleh Pierce disebut dengan proses ‘semiosis’. Ketiga unsur ini memiliki kesamaan sekaligus perbedaan dengan dikotomi penanda dan petanda dalam kerangka Saussuran. Representamen, memiliki arti yang serupa dengan petanda, meskipun demikian interpretan memiliki kualitas yang berbeda dengan petanda, karena interpretan sendiri adalah satu tanda dalam diri interpreter. Sebagaimana Pierce menjelaskan bahwa tanda seseorang, yakni mencipta dalam benak orang merupakan satu tanda yang setarap, atau mungkin tanda yang berkembang lebih lanjut (Chandler, 2002: 34). E. Semiotika Arsitektur Post-Modern Sebagai ruang kreativitas, Jencks melihat dunia arsitektur sebagai dunia tanda, dunia yang selalu memiliki dua wajah, yaitu penanda dan petanda yang kemudian membentuk kesatuan signifikansi. Arsitektur bukanlah ekspresi tanpa makna atau tanpa pesan. Tetapi ia bukan hanya satu pesan atau satu makna seperti yang selama ini tampil dalam arsitektur modern. Arsitektur post-

Page 31: Jurnal Filsafat UGM Vol 18, no 1 (2008)

Jurnal Filsafat Vol.18, Nomor 1, April 2008

32

modern adalah double coding. Inti semiotika arsitektur post-modern Jencks adalah penekanan pada pluralitas makna dan pluralitas sumber makna. Arsitektur bisa dibangun dengan mencangkok dan mengambil berbagai tradisi dengan memanfaatkan teknik modern. Jencks mengadopsi trikotomi simbol, ikon dan indeks yang dikembangkan dari semiotik Piercean. Simbol adalah satu bentuk yang di situ penanda tidak menyerupai petanda, tetapi secara mendasar arbitrer atau sepenuhnya konvensional, sehingga hubungan tersebut harus dipelajari, seperti huruf alfabet, angka, morse. Ikon adalah bentuk tanda ketika penanda dipersepsikan sebagai menyerupai atau meniru petanda-nya, seperti potret, efek suara dalam radio. Sedangkan indeks merupakan tanda ketika penanda tidak arbitrer, tetapi berkaitan secara langsung dengan salah satu cara, baik fisis atau kausal, dengan petanda-nya. Keterkaitan ini dapat diamati atau ditarik kesimpulan darinya, seperti tanda asap, ketukan pintu, rambu lalu lintas. Jencks melihat bahwa ungkapan bahasa arsitektur merupakan penyampaian pesan dalam bangunan, seperti halnya nada lagu. Ungkapan bahasa arsitektur dapat disimak dari bentuk ( form), ruang (space), dan tata atur (order) dari karakteristik desainnya. Bentuk, ruang dan tata atur dapat disebut dengan penanda, yaitu materialisasi ruang dengan pemberian unsur pelingkup dan dilihat melalui indera penglihatan secara keseluruhan. Dalam Sign, Symbol and Architecture, Jencks mengatakan bahwa esensi tanda arsitektur adalah sebagai sifat dasar arsitektur yang diibaratkan sebagai perempuan bionik, artinya dalam konsep ruang, kesalingpenekanan antara yang dalam dan yang luar bersifat transparan yang penciptaannya berhubungan dengan tiga-e, yaitu energi, environment, ekologi, dan tiga–s, yaitu sintaksis, semantik, dan seni pahat ( Jencks, 1980: 71-78 ). Konsep semiotika arsitektur post-modern yang dikembangkan Jencks adalah bentuk semiotik yang berkaitan dengan makna dari berbagai hal. Makna tersebut diungkapkan melalui bentuk, ritme, warna tekstur, dan sebagainya yang dinamakan suprasegmen arsitektural dari berbagai komponen arsitektural. Charles Jencks mendasarkan tujuan semiotika dalam pemaknaan sifat dasar arsitektur atau esensi arsitektur dengan mendefinisikan secara elastis untuk membuat semua definisi

Page 32: Jurnal Filsafat UGM Vol 18, no 1 (2008)

Siti Murdiati, Konsep Semiotik Charles Jenks…

33

menjadi benar, sehingga pengetahuan arsitektur pun menjadi lebih pasti. Esensi arsitektur bagi Jencks adalah ‘ruang’, Raum, konsep ruang, ke-saling-penekanan antara yang dalam dan yang luar, dan belahan bentuk secara transparan fenomenal. Esensi arsitektur adalah penciptaan-tempat identitas dan personalisasi. Arsitektur tersusun dari kode-kode yang bersifat diskontinu, yang esensinya adalah mengubah acuan (referent) dari signifikansinya, juga kodenya ( ide, pola dan sosial yang semuanya dapat berubah) dan satu kumpulan yang bervariasi dari kode-kode yang dapat bergabung pada satu saat, sehingga membuat satu praktik arsitektur dapat diketahui dan bersifat koheren (Jencks, 1980: 73). Dengan kata lain, secara definitif historis ‘esensial’, tetapi terbuka dibagian pinggirnya bagi kode-kode bahwa arsitektur adalah penggunaan penanda formal untuk mengartikulasikan petanda dengan menggunakan cara tertentu. Dengan demikian ia mencakup bentuk, fungsi dan teknik (Jencks, 1980: 73-74). F. Penutup 1. Pemikiran Jencks tentang arsitektur post-modern tidak bisa

dilepaskan dari kritikan atas arsitektur modern atau modern akhir, baik menyangkut teknologi, penataan, bentuk murni, pemaknaan dan kesadaran estetis.

2. Bagi Jencks arsitektur modern mewakili sebuah semiotika single coding, seragam, simetris, universal. Sementara arsitektur post-modern mewakili sebuah semiotika double coding, plural lokal.

3. Semiotika arsitektur yang dikembangkan oleh Jencks sangat dipengaruhi oleh dikotomi semiotika Saussuran dan trikotomi semiotika Piercean. Dikotomi penanda-petanda, konotasi-denotasi, langue-parole, sintagmatik-paradigmatik ikut membentuk pemikiran semiotika Jencks. Pengaruh paling jelas berada dalam kerangka trikotomi semiotika Piercean yang bekerja dalam kerangka indeks, ikon, dan simbol, di samping semantik, sintaktik, dan pragmatik.

-JF-

DAFTAR PUSTAKA

Asmara Yudha, 2001, Dari Kata Menuju Ruang Bentuk, Prima Anugrah Abadi, Bandung

Page 33: Jurnal Filsafat UGM Vol 18, no 1 (2008)

Jurnal Filsafat Vol.18, Nomor 1, April 2008

34

Alisyahbana,STA, 1992, Tantangan Postmodernisme, Jurnal Filsafat, UNAS, Jakarta

Chandler, Daniel,2002, The Basic Semiotic, 11 New Fetter Lane, London, EC4B4EE, 29 West 35 th, New York

Jencks, Charles, 1980, Late –Modern Architecture, Rizzoli, Academy, London

------------------, 1980, Sign, Symbol and Architecture, Architectural Assosiation School of Architecture and University of California Los Angeles

------------------, 1984, The Language of Post Modern Architecture, Rizzoli, New York

Klotz, Heinrich, 1988, The History of Postmodern Architecture, Massachussets Institute of Technology, MTT, German

Kris Budiman, 1999, Kosa Semiotika, LkiS, Yogyakarta Leach, Neil, 1996, Rethingking Architecture, A Reader in

Cultural Theory, London and New York Prama, Gede, 1995, Post Modernisme, Matra, Februari Sinar Tanudjaja, 1992, Wujud Arsitektur Sebagai Ungkapan

Makna Sosial Budaya Manusia, Universitas Atmajaya, Yogyakarta

--------------, 1993, Arsitektur Modern, Tradisi-tradisi dan Aliran-aliran serta Peranan Politik, Andi Offset, Yogyakarta

--------------, 1998, Kerangka Kerja Makna di Dalam Arsitektur, Universitas Atmajaya, Yogyakarta

Sumalyo, Yulianto, 1997, Arsitektur Modern Akhir Abad XIX dan XX ,Gadjah Mada University Press, Yogyakarta

Page 34: Jurnal Filsafat UGM Vol 18, no 1 (2008)

TINJAUAN FILOSOFIS PROBLEMA PENGELOLAAN SAMPAH

Oleh : Lailiy Muthmainnah1

Abstract

Modernisation as a term refers to the development process which has a lot of limitation, and one of this problem is about garbage. Commonly, there are two big sources of garbage, industrializations and high mass consumtions. In fact, both of them are consequence of logical modernity. There are two reasons why garbage becomes a great problem in recent years. First, the quantity of garbage is overload, and second, its quality: most of the garbage is not bio-degradable. This problem will be more complicated because people usually use logic “not in my back yard” with their garbage. To respond this problem, modernity tries to transform in a new kind of development, that is usually called sustainable development. Although there are several different interpretations of sustainable development but it refers to The Brundtland Commission which defines sustainable development as a process of change in which the exploitation of resources, direction of investments, orientation of technological development, and institutional change are made consistent with future as well as present needs. For instance emphasize constancy of natural capital stock as a necessary condition for sustainability. Growth or wealth must be created without resources depletion. Exactly how this is to be achieved remains a mystery, but majority of sustainable development literature said that this condition will be achieved with using model ecological modernisation. Thus, the challenge is to find new technologies and to expand the role of the market in allocating environment resources with the assumption that putting a price on the natural environment is only the way to protect it. In fact, this ways are used to solve the problem of garbage in recent years. Keywords: sustainability, ecology, garbage.

1 Dosen Fakultas Filsafat UGM

Page 35: Jurnal Filsafat UGM Vol 18, no 1 (2008)

Jurnal Filsafat Vol.18, Nomor 1, April 2008

36

A. Pendahuluan Pola pikir modernis yang begitu kuat mengilhami teori

pembangunan telah menempatkan manusia sebagai aktor utama dalam proses pembangunan. Manusia dipandang dengan sangat optimis, sehingga akan mampu mengatasi setiap persoalan yang mungkin muncul dalam strategi yang diambilnya, hal ini berlaku sama untuk setiap persoalan yang terkait dengan pembangunan. Dengan rasionalitasnya maka manusia akan semakin tertantang untuk maju dan mampu menaklukkan alam.

Pola pikir yang antroposentris tersebut telah menjadikan alam hanya sebagai objek, alat, sekaligus sarana yang didaya gunakan untuk kepentingan dan kemanfaatan manusia semata (Keraf, 2005:33). Hal ini dapat dipahami karena dalam sudut pandang modernitas yang menjadi tujuan utama adalah tercapainya suatu kondisi yang sustainable secara ekonomi dan bukan ekologi. Fakta inilah yang menyebabkan munculnya berbagai kritik terhadap teori modernis, karena sesungguhnya pembangunan tidak semata-mata dapat diukur dari sisi pertumbuhan ekonomi saja.

Kenyataan menunjukkan bahwa teori modernisasi yang diterapkan dalam model pembangunan sekarang ini telah menyisakan banyak persoalan. Salah satu diantaranya adalah persoalan yang terkait dengan masalah ekologi, dimana contoh riil untuk problem ini adalah sampah. Maka sengaja dalam tulisan ini “sampah” dijadikan sebagai tema utama untuk menelaah secara lebih jelas keterbatasan modernitas yang kemudian coba dijawab lewat transformasinya ke arah model pembangunan yang berkelanjutan (sustainable development).

Dalam pemikiran modernis, pembangunan diasumsikan akan senantiasa berjalan secara linear dari tradisional menuju modern, dimana hal ini dapat dicapai lewat tahap-tahap tertentu (The Stages of Economic Growth). Adapun tingkat tertinggi dari keberhasilan pembangunan tersebut akan ditandai dengan terwujudnya kondisi masyarakat yang memiliki kemampuan konsumsi tinggi atau high mass consumption (Fakih, 2006:56). Padahal kondisi ini akan memberikan konsekuensi logis berupa semakin banyaknya volume sampah yang akan dihasilkan oleh manusia, begitu pula dengan tingkat keberagaman sampahnya.

Problem persampahan menjadi semakin kompleks tatkala manusia kemudian hanya sekedar membuang sampah yang mereka hasilkan tanpa mau secara kreatif berupaya mengubah sampah tersebut menjadi sesuatu yang berharga. Logika yang selalu

Page 36: Jurnal Filsafat UGM Vol 18, no 1 (2008)

Lailiy Muthmainnah, Tinjauan Filosofis Problematika...

37

digunakan oleh masyarakat umumnya adalah “not in my back yard (NIMBY)”(Santoso, 2006:13). Tidak peduli akan lari kemana sampah yang dibuang karena yang penting adalah tempatnya sendiri bersih dari sampah. Akan dibawa kemana sampah itu selanjutnya, apakah di sungai, di jalan, di TPA, atau bahkan di selokan air mereka tidak peduli. Menggejalanya gaya-gaya berpikir semacam NIMBY di atas sebenarnya merupakan cerminan dari semakin kuatnya pola pikir modernis, dimana orang hanya berorientasi pada upaya untuk memperoleh keuntungan yang maksimal dan meminimalkan beban yang harus ditanggung. Mereka mau untuk memproduksi dan mengkonsumsi secara besar-besaran, namun residu dari dua proses tersebut mereka abaikan. Hal ini tentunya memberikan pengaruh yang buruk terhadap kualitas lingkungan hidup. Karena dengan semakin banyak dan beragamnya volume sampah yang tercipta sebagai hasil dari proses yang dikatakan sebagai modernitas tersebut, maka daya dukung alam juga semakin turun. Dan jika kondisi ini tidak segera diantisipasi maka akan sangat membahayakan kelangsungan hidup manusia di masa yang akan datang.

Dari latar belakang persoalan tersebut di atas dapat dilihat betapa modernitas telah menyisakan banyak persoalan, diantaranya tentang sampah tadi. Maka dari limitasi modernitas ini juga tulisan ini akan dikembangkan untuk menjawab beberapa pertanyaan sebagai berikut : Apakah yang menjadi sumber utama dari persoalan persampahan yang ada sekarang? Bagaimana sudut pandang sustainable development dalam menyikapi problem tentang persampahan? Serta solusi seperti apa yang dapat ditawarkan oleh sustainable development untuk mengatasi problem tersebut? B. Konsumsi dan Industrialisasi yang bercorak Antroposentris

Sebagai Sumber Utama Sampah Sampah secara definitif berarti bahan yang terbuang atau

dibuang dari sumber hasil aktivitas manusia maupun proses alam yang belum memiliki nilai ekonomis. Namun jika diteliti lebih dalam lagi, setidaknya ada beberapa sumber sampah yaitu pemukiman, perkantoran, pertanian dan perkebunan, industri dan sumber-sumber lainnya. Dan diantara beberapa sumber sampah tadi industri ternyata masih menempati porsi tertinggi dalam menghasilkan sampah. Karena itu dapat dikatakan bahwa meskipun setiap aktivitas konsumsi manusia akan menghasilkan residu berupa

Page 37: Jurnal Filsafat UGM Vol 18, no 1 (2008)

Jurnal Filsafat Vol.18, Nomor 1, April 2008

38

sampah, namun setidaknya hal ini bukanlah penyebab tunggal dari semakin parahnya problem persampahan yang terjadi di dunia. Dalam asumsi penulis, aktivitas manusia yang semakin tinggi untuk mengkonsumsi barang-barang ini berkorelasi positif dengan semakin canggihnya teknologi produksi. Ini berarti tingginya tingkat konsumsi masyarakat dan industrialisasi memberikan pengaruh yang sama besar terhadap semakin meningkatnya volume sampah dan lebih jauh terhadap semakin menurunnya kualitas dan daya dukung alam.

Dalam masyarakat modern, industrialisasi memang dijadikan sebagai motor utama penggerak ekonomi untuk mencapai kemakmuran dan kesejahteraan. Karena itu industrialisasi memegang peran yang sangat sentral dalam proses pembangunan. Agar perekonomian masyarakat dapat digenjot secara cepat maka industri dikembangkan sampai ke pelosok-pelosok negeri. Tanpa disadari bahwa sebenarnya keberadaan industri itu sendiri memberikan double effect bagi masyarakat. Seperti yang dilaporkan oleh Komisi Dunia untuk Lingkungan dan Pembangunan (World Commissions on Environment and Development) yang menyebutkan bahwa industri dan produk yang dihasilkannya memberi dampak pada basis sumber daya alam melalui keseluruhan daur eksplorasi dan ekstraksi barang mentah, transformasi menjadi produk, konsumsi energi, limbah produksi, dan pemakaian produk beserta pembuangan sampah yang dihasilkan dari produk tersebut oleh konsumen (World Commissions on Environment and Development, 1988 : 285). Sehingga di satu sisi keberadaan industri tersebut memang memberikan dampak positif berupa perpanjangan kemanfaatan atas sumber daya alam dan inilah yang dinikmati oleh konsumen (manusia), tetapi di sisi lain industrialisasi juga memberikan dampak negatif. Industrialisasi telah memaksa alam untuk menampung seluruh residu hasil aktifitasnya yang berupa sampah dan limbah. Akibatnya alam menjadi tercemar dan kualitas lingkungan menjadi semakin turun.

Memang sejauh ini motif ekonomi masih tetap mendominasi dalam setiap kebijakan industri. Banyak contoh kasus misalnya dalam hal pembuangan sampah (tepatnya-limbah) industri yang tidak dikelola dengan baik sehingga mengakibatkan pencemaran lingkungan yang sangat fatal. Kasus Newmont, Aneka Tambang, dan Freeport misalnya semakin menunjukkan betapa keberadaan industri yang semula diarahkan untuk kemajuan dan kesejahteraan masyarakat ternyata justru mengakibatkan rusaknya

Page 38: Jurnal Filsafat UGM Vol 18, no 1 (2008)

Lailiy Muthmainnah, Tinjauan Filosofis Problematika...

39

ekologi secara serius karena memang sejak awal keberadaan industri tersebut tidak ramah lingkungan atau bahkan mungkin faktor lingkungan memang tidak diperhitungkan.

Kenyataan di atas barulah sekelumit cerita tentang dampak lingkungan yang terjadi ketika awal proses produksi dilakukan. Padahal efek industri tidak hanya berhenti sampai dengan tahap itu saja tetapi terus berlanjut sampai dengan ketika barang itu selesai dikonsumsi. Karena setelah produk industri itu selesai dikonsumsi maka residunya yang berupa sampah akan menimbulkan efek lingkungan yang lain lagi.

Kondisi ini semakin diperparah dengan adanya produksi massal atau fordisme yang diciptakan untuk alasan efektifitas dan efisiensi ekonomi (Wibowo, 2006:69). Fordisme pada akhirnya akan menaikkan tingkat konsumsi masyarakat dan hal ini akan berujung pada semakin bertambahnya volume sampah yang dihasilkan. Semakin canggihnya teknologi produksi yang tidak ramah lingkungan juga turut memberikan kontribusi yang besar bagi kerusakan alam. Penggunaan produk-produk sintetis (semacam kaleng dan plastik) sebagai hasil dari teknologi misalnya telah menjadi penyebab pencemaran yang utama. Produk-produk sintetis tersebut telah berhasil menggeser produk-produk yang lebih alami dan lebih mudah didaur ulang oleh alam. Plastik bahkan menjadi semacam primadona bagi banyak produsen karena disamping praktis juga lebih efisien dari segi biaya produksi. Padahal dari sisi lingkungan sampah yang berasal dari bahan-bahan sintetis tersebut sangat sulit untuk diurai secara alami sehingga akan sangat berpeluang menimbulkan pencemaran.

Demikian, betapa kemajuan yang di asumsikan oleh kalangan modernis dengan terciptanya suatu masyarakat yang berkecukupan secara ekonomi sehingga dapat melakukan tingkat konsumsi secara tinggi telah memberikan efek yang sangat buruk terhadap kelestarian alam. Mereka mengabaikan bahwa sesungguhnya dalam proses tersebut ada hal yang terlupakan yaitu daya dukung alam untuk menampung seluruh residu yang mereka hasilkan dari proses konsumsi tersebut. Kondisi ini jika dibiarkan terus berlanjut maka akan sangat membahayakan kelestarian ekologis dan tentunya juga keberlanjutan pembangunan pada generasi yang akan datang.

Page 39: Jurnal Filsafat UGM Vol 18, no 1 (2008)

Jurnal Filsafat Vol.18, Nomor 1, April 2008

40

C. Sustainable Development Melihat Persoalan Sampah Paradigma sustainable development atau pembangunan

berkelanjutan sebenarnya sudah mulai diperbincangkan sejak tahun 1980 ketika World Conservation Strategy memunculkan istilah ini dalam acara International Union for the Conservation of Nature dan Lester R. Brown menggunakannya dalam penulisan buku Building a Sustainable Society tahun 1981. Namun istilah ini baru menjadi sangat populer setelah adanya Laporan Brundtland yang berjudul Our Common Future pada tahun 1987 (Keraf, 2005:166).

Konsep sustainable development sendiri sebenarnya muncul sebagai reaksi atas kegelisahan banyak pihak terhadap eksploitasi yang berlebihan terhadap sumber daya alam. Kondisi over-eksploitasi telah menyebabkan turunnya kemampuan alam (ecological carrying capacity) untuk me-recovery dirinya kembali (Eckersley, 1992:36). Alam hanya sekedar dijadikan sebagai sarana atau alat untuk mencapai tujuan dan memenuhi kebutuhan manusia, termasuk diantaranya adalah kebutuhan untuk meng-eksternalisasikan sampah dengan tanpa dipertimbangkan kelestariannya.

Pemikiran sustainable development sesungguhnya berupaya untuk menjembatani keterputusan pemikiran teori modernis terutama terkait dengan pengabaiannya terhadap banyak hal, yang salah satu diantaranya adalah aspek kelestarian terhadap sumber daya alam. Karena itu sebenarnya konsep sustainable development lebih merupakan bentuk transformasi dari teori modernis. Dalam konsep ini manusia masih tetap menjadi faktor penentu utama dalam pengelolaan alam. Namun dalam konsepnya, sustainable development kemudian memasukkan faktor-faktor yang lain seperti misalnya kelestarian alam (ekologi) dalam proses pembangunan. Tetapi sekali lagi, ini dimasukkan dalam kerangka pikir untuk menjaga keberlanjutan pembangunan itu sendiri. Karena ketika problem ekologi muncul dan diabaikan begitu saja, hal ini akan sangat membahayakan keberlanjutan pembangunan. Alam harus tetap dijaga sustainabilitasnya agar generasi manusia yang akan datang tetap dapat menikmatinya dan melangsungkan proses pembangunan selanjutnya. Dalam tataran ini dapat dikatakan bahwa sesungguhnya sustainable development berupaya untuk menjembatani antara problem etis tentang lingkungan dengan kebutuhan politis manusia atas lingkungan (Keraf, 2005:166).

Sebenarnya ada banyak definisi tentang sustainable development, namun dari sekian banyak definisi yang ada definisi

Page 40: Jurnal Filsafat UGM Vol 18, no 1 (2008)

Lailiy Muthmainnah, Tinjauan Filosofis Problematika...

41

dari The Brundtland Commission adalah yang paling sering digunakan. Dalam definisinya The Brundtland Commission menyatakan bahwa yang dimaksud dengan sustainable development adalah sebuah proses perubahan dimana kegiatan eksploitasi sumber daya alam, investasi, penggunaan teknologi, dan perubahan institusi yang ada selalu konsisten dalam memperhatikan kebutuhan generasi yang akan datang, sebagaimana perhatiannya pada kebutuhan generasi saat ini (Banarjee, 1999:6).

Dalam upaya pendefinisian tersebut, maka Gladwin dkk (1995) sebagaimana dikutip oleh Banarjee mencoba untuk mengidentifikasi aspek-aspek yang terkandung dalam sustainable development antara lain: inclusiveness (pengkompromian antara kepentingan ekologi, ekonomi, politik, teknologi, dan sistem sosial); connectivity (adanya hubungan yang erat dan saling mendukung antara tujuan sosial, politik, ekonomi, dan lingkungan; equity (pendistribusian manfaat sumber daya alam dan hak kelola kekayaan secara adil); prudence (penjaminan kelangsungan daya dukung dan kapasitas lingkungan); serta security (upaya mencapai kehidupan yang aman, sehat, dan berkualitas).

Karena logika awal yang dibangun sustainable development sebenarnya tidak jauh berbeda dengan modernis, maka cara-cara yang ditempuh oleh sustainable development juga masih dikerangkai pola pikir bagaimana mencapai suatu kondisi kemajuan (progress) dalam bidang ekonomi namun tetap bisa mengakomodasi juga faktor ekologi. Pertumbuhan ekonomi tetap penting hanya saja ini harus dicapai dengan tanpa menyebabkan terjadinya degradasi ekologi yang mengakibatkan hak generasi yang akan datang akan terkurangi.

Terkait dengan problematika tentang persampahan, maka dalam asumsi sustainable development sampah adalah sesuatu hal yang tidak mungkin dihindari dari aktivitas kehidupan manusia, seperti halnya proses perubahan yang berjalan secara linear dari tradisional ke modern. Sustainable development mencoba untuk berpikir secara realistis bahwa dalam kondisi sekarang ini, dimana moderitas begitu kuat mengakar dalam pola pembangunan maka efek samping yang berupa sampah atau mungkin limbah industri adalah sesuatu hal yang tidak bisa dihindari, tetapi hanya bisa untuk dikelola dan diminimalisir sejak awal. Peluang inilah yang hendak dikembangkan oleh sustainable development.

Manusia tidak mungkin surut kebelakang dengan menghentikan seluruh proses produksinya, karena ini berarti bukan

Page 41: Jurnal Filsafat UGM Vol 18, no 1 (2008)

Jurnal Filsafat Vol.18, Nomor 1, April 2008

42

progress yang dicapai tetapi justru regress. Namun disisi lain kelestarian lingkungan juga harus diperhatikan jika tidak ingin terjatuh pada kondisi regress yang pada akhirnya akan menyebabkan mandegnya proses pembangunan itu sendiri. Sustainable development mencoba untuk mengakomodasi hal ini dan berupaya untuk mencarikan jalan keluarnya secara kooperatif.

Maka yang dilakukan oleh sustainable development dalam setiap kebijakan pembangunan yang diambil adalah melakukan mekanisme cost benefit analisys (Fiorino, 1995:101). Hal ini penting untuk menghitung biaya lingkungan (ekologis) dan juga manfaat ekonomis yang akan dicapai dari proses pembangunan tersebut. Dari perhitungan ini kemudian dapat ditentukan langkah-langkah pembangunan yang nantinya lebih akomodatif terhadap persoalan lingkungan dengan tanpa mengabaikan kemanfaatan ekonomi yang hendak dicapai, khususnya untuk keberlanjutan pembangunan di masa yang akan datang. Dari mekanisme analisis biaya dan manfaat yang dilakukan inilah diharapkan setiap kebijakan pembangunan yang diambil akan lebih mampu mengantisipasi problem lingkungan yang mungkin muncul dari proses pembangunan tersebut. D. Penutup: Ecological Modernization Sebagai Sebuah

Tawaran Solusi Mengakomodasi konsep cost benefit analysis di atas, maka

yang dilakukan oleh sustainable development terkait dengan problem persampahan adalah menjadikan sampah tersebut sebagai biaya lingkungan yang harus ditanggung oleh produsen sejak awal. Karena jika dihitung berdasarkan perbandingan biaya dan manfaat yang diperoleh, maka produsen justru akan lebih beruntung ketika dirinya mau untuk mengelola sampah ataupun limbahnya sejak awal dibanding membiarkan sampah ataupun limbahnya tersebut dibuang sembarangan dan menyebabkan pencemaran lingkungan. Karena saat sampah ataupun limbahnya tersebut sampai menyebabkan pencemaran lingkungan, maka biaya yang harus dikeluarkan untuk menanggung itu semua jauh lebih besar.

Inilah yang kemudian seringkali disebut dengan proses internalisasi eksternalitas (Prins, 1993:xxii). Sampah, limbah, dan semua yang merupakan residu dari proses produksi yang selama ini dipandang sebagai sesuatu yang berada di luar tanggungjawab produsen, kemudian diinternalisasikan kembali sebagai bagian dari proses produksi yang biayanya harus ditanggung oleh produsen. Hal

Page 42: Jurnal Filsafat UGM Vol 18, no 1 (2008)

Lailiy Muthmainnah, Tinjauan Filosofis Problematika...

43

ini mengindikasikan bahwa sejak awal environmental cost (biaya lingkungan) memang sudah harus dimasukkan sebagai faktor penting yang harus diperhitungkan dalam proses pembangunan, jika ingin proses pembangunan itu dapat terus berlanjut. Karena sejak awal sudah ditekankan bahwa faktor lingkungan harus dipertimbangkan maka seluruh proses pembangunan, termasuk di dalamnya kegiatan industri akan diarahkan pada terpenuhinya kondisi ini.

Salah satu upaya untuk menindaklanjuti proses internalisasi eksternalitas di atas adalah dengan menerapkan model ecological modernization (Eckersley (ed.), 1995:9). Penerapan model ini dapat dipandang sebagai kemajuan dalam bidang pembangunan karena elemen-elemen lingkungan sudah dimasukkan di dalamnya. Salah satu point penting di dalam model ini adalah dimasukkannya unsur penanganan sampah dan limbah sebagai ukuran kelayakan sebuah industri (AMDAL), sehingga industri itu dilegalkan untuk beroperasi.

Pola yang pertama kali dimunculkan dalam model ini adalah end of pipe, maksudnya menangani sampah atau limbah setelah sampah atau limbah itu dihasilkan. Umumnya negara-negara berkembang masih banyak menggunakan pola ini sebagai metode praktis untuk menangani persoalan residu proses produksi. Maka kemudian muncullah konsep-konsep semacam IPAL dan Tempat Pembuangan Akhir Sampah. Namun disadari bahwa konsep end of pipe ini belum mampu menyelesaikan persoalan persampahan yang ada. Maka kemudian mereka mencoba mengembangkan model penanganan sampah yang lebih baru lagi, yaitu clean production (Eckersley, 1995:8-9).

Dalam model clean production ini produksi sampah ataupun limbah dapat diminimalisir sejak awal karena tekanan pada model clean production adalah upaya pencegahan sebelum sampah itu benar-benar ada. Secara aplikatif clean production ini diterapkan dalam bentuk eco-design, yang meliputi 4R yaitu : reduse, re-use, re-cycling, dan recovery. Jadi memang sudah sejak awal produk-produk yang ada sudah didesign sedemikian rupa agar nantinya dapat di daur ulang atau lebih bio-degradable. Misalnya banyak industri yang sekarang mengembangkan model-model re-fill. Disamping biaya produksi jauh lebih murah sampah yang dihasilkan juga relatif lebih sedikit. Dan lewat mekanisme pasar konsumen diarahkan untuk mendukung proses ini. Karena dengan menggunakan barang-barang yang dapat direfill maka harga yang

Page 43: Jurnal Filsafat UGM Vol 18, no 1 (2008)

Jurnal Filsafat Vol.18, Nomor 1, April 2008

44

mereka peroleh lebih murah tetapi juga sekaligus sampah yang dihasilkan tidak terlalu banyak. Kemudian juga dengan adanya kebijakan pembangunan yang menetapkan extended producer responsibility (EPR) dimana produsen diwajibkan untuk menggunakan atau mengolah kembali produk ataupun kemasan produk setelah purna pakai (http://www.walhi.or.id/).

Dari konsep-konsep semacam eco-design dan EPR inilah maka sampah yang selama ini dianggap sebagai barang yang tidak berguna justru dianggap sebagai peluang baru untuk dikembangkan guna meningkatkan efektivitas dan efisiensi ekonomi. Sampah tidak lagi semata-mata dianggap sampah tetapi sampah sesungguhnya adalah sumberdaya. Dengan kebijakan pembangunan yang adaptif semacam ini sebenarnya akan lebih mampu memberikan daya dorong bagi industri-industri yang ada untuk menjadi lebih kreatif menciptakan teknologi-teknologi baru yang mampu meminimalisir produksi sampah sejak awal tetapi juga sekaligus menekan biaya produksi yang harus dikeluarkan.

Semua metode-metode yang digunakan di atas adalah upaya yang dilakukan oleh sustainable development untuk “menginternalisasikan eksternalitas” tersebut. Dan sebagai sebuah wacana pembangunan yang relatif baru ini sangat menarik untuk dikembangkan. Bisa dikatakan bahwa upaya ini akan memberikan dampak yang sangat progressif dalam proses pembangunan. Disatu sisi model pembangunan ini tidak menafikan adanya kenyataan kebutuhan akan konsumsi manusia yang semakin meningkat dan beragam, namun disisi lain efek ekologis juga tidak ketinggalan diperhitungkan. Dan untuk mengantisipasi sejak awal turunnya carrying capacity dari alam, maka yang sustainable development lakukan adalah mendesign ulang seluruh proses dan produk industri agar lebih efisien dan juga ramah lingkungan. Dalam proses ini penghematan bahan baku dapat dilakukan dan juga minimalisasi sampah yang dihasilkan. Proses efisiensi ini kemudian justru membuat produk mereka menjadi memiliki daya saing yang tinggi dan ini merupakan keuntungan tersendiri bagi industri. Jadi tidak hanya keuntungan ekonomi yang mereka peroleh tetapi juga dari sisi ekologi tidak luput ketinggalan.

Sustainable development sepenuhnya menyadari bahwa ketika pertumbuhan ekonomi dapat dikelola sejalan dengan ekologi maka keduanya akan berjalan dengan baik. Dua hal yang selama ini dianggap sebagai sesuatu yang tidak mungkin sinergis, bagi sustainable development bukanlah hal yang niscaya untuk dicapai.

Page 44: Jurnal Filsafat UGM Vol 18, no 1 (2008)

Lailiy Muthmainnah, Tinjauan Filosofis Problematika...

45

Terus menerus mencela modernitas tampaknya bukanlah sebuah langkah maju, karena antara manusia dengan alam sesungguhnya dapat terjalin suatu simbiosis yang mutual (Hettne, 2001:336), hanya saja yang perlu ditekankan adalah perlunya kesadaran untuk mengantisipasi implikasi ekologis yang mungkin ditimbulkan dari proses tersebut, sehingga penurunan daya dukung alam dapat diantisipasi sejak dini. Dan jika daya dukung dari alam tetap dapat dipertahankan maka ini berarti proses pembangunan dapat terus berlanjut pada generasi yang akan datang dan kemajuan bagi manusia dapat dicapai.

-JF- DAFTAR PUSTAKA

Banerjee, Subhabrata Bobby, 1999, Sustainable Development and The Reinvention of Nature dalam paper yang dipresentasikan untuk Critical management Studies Conference (Environment Stream), Manchester, United Kingdom, July 14-16, 1999.

Eckersley, Robyn (ed.), 1995, Market, The State, and The Environment Toward Integration, Mac Millan Press Ltd, Hampshire and London.

Eckersley, Robyn, 1992, Environmentalism and Political Theory : Toward an Ecocentric Approach, University College, London.

Fakih, Mansour, 2006, Runtuhnya Teori Pembangunan dan Globalisasi, Kerjasama Insist Press dan Pustaka Pelajar, Yogyakarta.

Fiorino, Daniel J., 1995, Making Environmental Policy, University of California Press, USA.

Hettne, Bjorn, 2001, Teori Pembangunan dan Tiga Dunia, PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.

http://www.walhi.or.id/kampanye/cemar/sampah/070125_sampah_produsen_cu/

Keraf, A. Sonny, 2005, Etika Lingkungan, PT. Kompas Media Nusantara, Jakarta.

Komisi Dunia untuk Lingkungan dan Pembangunan (World Commissions on Environment and Development), 1988, Hari Depan Kita Bersama, Gramedia, Jakarta.

Page 45: Jurnal Filsafat UGM Vol 18, no 1 (2008)

Jurnal Filsafat Vol.18, Nomor 1, April 2008

46

Prins, Gwyn (ed.), 1993, Threats Without Enemies : Facing Environmental Insecurity, Earthscan Publications Limited 120 Pentonville Road, London.

Santoso, Purwo, 2006, “Radikalisasi Pengelolaan Sampah” dalam Jurnal Balairung Edisi/39/XX/2006, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.

Wibowo, Aseptyanto Wahyu, 2006, “Meninjau Ulang Industri (Tak) Ramah Lingkungan” dalam Jurnal Balairung Edisi/39/XX/2006, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.

Page 46: Jurnal Filsafat UGM Vol 18, no 1 (2008)

MANUSIA DAN HISTORISITASNYA MENURUT MARTIN HEIDEGGER

Oleh: Sindung Tjahyadi1

Abstract

Heidegger viewed “freedom” and “transcendence” (retrospective consciousness) as the element that determines “the way of human existence” and also the human understanding of “history” radically. Philosophy of history is the main point of Heidegger’s philosophy. It is showed by his most fundamental concept of “temporality”. Heidegger so far developed the basic characteristic of relationship of “Being” (reality) and “time” (horizon) as a dialectical relationship. Because of his “poetic” nuance, Heidegger often makes someone confused for his called for “Being” as a “person”, e.g., it as “the giver of blessing”. Heidegger brings to the “true” understanding that all philosophical inquiries start and end in the understanding of human being. Keywords: the way of being, being, history, human being A. Pendahuluan

Martin Heidegger lahir pada tanggal 26 September 1889 di sebuah kota kecil Messkirch (Bertens, 1981: 141). Keluarganya merupakan keluarga sederhana, dan ayahnya bekerja sebagai koster pada Gereja Katolik Santo Martinus di kota kecil tersebut. Ia menjalani sekolah menengah di Konstanz dan Freiburg im Breisgrau. Pada tahun 1909 ia masuk Fakultas Teologi di Universitas Freiburg, walau tidak bertahan lama. Setelah empat semester ia beralih perhatian dan mengarahkan diri kepada studi filsafat dan mengikuti kuliah tentang ilmu alam dan ilmu kemanusiaan.

Heidegger memperoleh gelar "doktor filsafat" pada tahun 1913 dengan desertasi tentang "Die Lehre vom Urteil im Psycologismus" (Ajaran tentang Putusan dalam Psikologisme). Dua tahun kemudian, ia mempertahankan "Habilitationsschrift"-nya yang berjudul "Die Kategorein und Bedeutungslehere des Duns Scotus" (Ajaran Duns Scotus tentang Kategori dan Makna), yang

1 Dosen Fakultas Filsafat UGM.

Page 47: Jurnal Filsafat UGM Vol 18, no 1 (2008)

Jurnal Filsafat Vol.18, Nomor 1, April 2008

48

kemudian digubah di bawah bimbingan Rickert dan diterbitkan pada tahun 1916.

Pada Tahun 1916 pula, Edmund Husserl datang ke Freiburg untuk mengganti Henrich Rickert sebagai profesor filsafat di sana (Heidegger, 1972: 78). Kehadiran Husserl di universitas tersebut membawa berkah tersendiri bagi Heidegger, karena melalui pertemuan langsung dengan Husserl, ia dapat memahami dan menguasai benar-benar maksud dan jangkauan cara berfilsafat fenomenologi, satu hal yang telah menarik perhatiannya sejak lama. Kecerdasan Heidegger telah menarik perhatian yang akhirnya sangat dihargai oleh Husserl. Hal ini terbukti dari pengangkatan Heidegger sebagai asistennya. Husserl menaruh harapan agar di kemudian hari Heidegger akan menggantinya sebagai pemimpin fenomenologi.

Pada tahun 1923, Heidegger diundang di Marburg untuk menjadi profesor (Bochenski, 1974: 161). Di kota itu pula ia bersahabat dengan seorang teolog protestan yang ternama, Rudolf Bultmann. Pengaruh kuat Heidegger atas Bultmann setidaknya terlihat pada apa yang disebut sebagai "demitologisasi" teologi Perjanjian Baru (Spiegelberg, 1971: 272). Satu hari di musim dingin pada semester 1925-1926 datang Dekan Fakultas Filsafat untuk memintanya membuat sebuah karya tulis untuk dipublikasikan. Pada bulan Prebuari karya tulis lengkap dari "Being and Time" (asli: Sein und Zeit, yang artinya Ada dan Waktu) dipublikasikan dalam "Jahrbuch" (buku tahunan) volume kedelapan sebagai satu publikasi tersendiri (Heidegger, 1972: 80). "Jahrbuch" tersebut terbit tahun 1927 di bawah pimpinan Husserl. Tahun 1928 ia kembali ke Freiburg untuk menggantikan posisi Husserl, dan mengajar di sana sampai tahun 1946 (Bochenski, 1974: 161).

Zaman Nasional-sosialisme merupakan periode yang membawa "kegetiran" dalam hidupnya. Hal itu terjadi karena dalam beberapa lama ia terbukti "terlibat" Nazisme Hitler, terutama dengan terpilihnya dia sebagai rektor Universitas Freiburg pada masa kekuasaan Hitler. Banyak murid dan sahabatn menyesalkan keterlibatan itu. Puncak dari "kegetiran" itu adalah memburuknya hubungan Heidegger dengan Husserl, terlebih setelah keluarnya pernyataan dari Nyonya Husserl bahwa hubungan antara dua keluarga mereka terputus. Ketika Husserl sakit berat dan akhirnya meninggal, hubungan itu tetap buruk, walau sebenarnya Heidegger telah menyadari kekeliruannya yang pada akhirnya mengundurkan diri dari jabatan rektor pada tahun 1935 (Jones, 1975: 285).

Page 48: Jurnal Filsafat UGM Vol 18, no 1 (2008)

Sindung Tjahyadi, Manusia dan Historisitasnya…

49

Pada akhir perang, Heidegger dikenakan kerja paksa oleh pemerintah nasional-sosialis. Seusai perang ia tidak diperbolehkan mengajar oleh pemerintah sekutu di Jerman Selatan sampai tahun 1951. Setelah itu, ia diperbolehkan memberikan beberapa kuliah dan seminar sampai tahun 1958. Hingga meninggalnya ia hidup dalam kesepian di sebuah pondok yang dibangun di Todtnauberg di daerah Schwarzwald (Hutan Hitam). Ia meninggal dunia pada tanggal 26 Mei 1976 dan dikebumikan di sebelah makam orang tuanya di kota asalnya, Messkirch.

Karya Heidegger cukup banyak, baik yang berasal dari ceramah maupun kuliah. Di antaranya yang penting adalah Sein und Zeit (Ada dan Waktu), Halle, 1927; Kant und das Problem der Metaphysik (Kant dan Problem Metafisika), Bonn, 1929; Was ist Metaphysik? (Apa itu Metafisika?), Bonn, 1929; Platons Lehre von der Wahrheit (Ajaran Pato tentang kebenaran), Berne, 1942; Brief Über den Humanismus (Surat tentang Kemanusiaan), Frankfurt, 1950; Einführung in die Metaphysik (Pengantar ke dalam Metafisika), Tubingen, 1953; dan beberapa karangan lain (Edward, 1967: III-464-465). Setelah tahun 1962 karya Heidegger yang dipublikasikan sedikit. Dari yang sedikit itu dapat disebut Zur Sache des Denkens, yang dalam bahasa Inggris menjadi "On Time and Being" (alih bahasa oleh: Joan Stambaugh), Tubingen, 1969. Satu tahun berikutnya terbit Phaenomenologie und Theologie (Fenomenologi dan Teologi). Ada juga usaha untuk menerbitkan secara lengkap semua karangan Heidegger seperti yang dikerjakan oleh Penerbit Klostermann di Frankfurt am Main. Seluruh edisi akan meliputi 70 jilid yang masing-masing berisi 400 halaman. Jilid pertama diterbitkan tahun 1975 dengan judul Die Grundprobleme der Phaenomenologie (Problem-problem dasar Fenomenologi) (Bertens, 1981: 146).

B. Pokok-Pokok Filsafat Heidegger

Tema pokok filsafat Heidegger adalah "ada" dari manusia (human being) yang menurutnya mempunyai tiga aspek, yakni: faktisitas (bahwa manusia telah ada-di-dalam-dunia), eksistensialitas (manusia mengambil tempat dalam dunia), dan keruntuhan (Edward, 1967: III: 459-460). Oleh Sartre konsep Heidegger tentang kesadaran eksistensial sebagai ada-dalam-dunia diambil untuk membangun filsafatnya di samping pemikiran Sartre yang lain (Lavine, 1984: 341). Heidegger juga membicarakan tema-tema khas eksistensialis, yaitu kecemasan dan kematian (Bertens,

Page 49: Jurnal Filsafat UGM Vol 18, no 1 (2008)

Jurnal Filsafat Vol.18, Nomor 1, April 2008

50

1981: 148). Karena tema yang tersebut, Heidegger sering dimasukkan sebagai salah seorang eksistensialis. Heidegger tidak setuju dengan anggapan tersebut. Ini terbukti dari surat yang dia kirim kepada Prof. Jean Breaufret, dan juga pada "Sein und Zeit", dia telah mengemukakan bahwa usahanya bertujuan untuk "dengan cara baru mengajukan pertanyaan akan makna kata ada" (Bertens, 1981: 149). Heidegger agaknya tetap setia pada tujuannya, yang dibuktikan dalam karyanya yang banyak itu.

Metode yang digunakan Heidegger untuk usahanya adalah metode fenomenologi. Sekalipun tetap muncul "perdebatan" tentang posisi "metode fenomenologi Heidegger", fakta sejarah bahwa Husserl mewariskan jabatannya di Freiburg kepada Heidegger, banyak dirujuk oleh para ahli sebagai petunjuk bahwa filsafat Heidegger merupakan perkembangan yang "benar" dari fenomenologi Husserl, walau Heidegger dinilai telah menyimpang dari fenomenologi "ortodoks" (Spiegelberg, 1971: 275). Dengan metode fenomenologi, Heidegger bermaksud "membaca" struktur "Ada", "Ada" yang menampakkan diri sebagai "yang tidak bersembunyi". Bagi fenomenologi, objek kesadaran adalah fenomen dalam arti: apa yang menampakkan sejauh dalam relasi dengan kesadaran (Bakker, 1984: 112). Dengan "posisi berdiri" Heidegger yang demikian, Heidegger mendudukkan diri sebagai "pembaca" makna kata "ada" yang terdapat dalam perkembangan pemikiran tentang "ada" sejak zaman Yunani Kuno. Dengan kedudukan yang demikian pula Heidegger membaca sejarah. Berikut diulas secara singkat pokok pikiran Heidegger tentang (1) "Ada" dari manusia dalam dunia; (2) Ada dan Waktu; dan (3) Keprihatinan sebagai esensi Dasein.

1. "Ada" dari manusia dalam dunia Dalam membeberkan pertanyaan tentang "ada", Heidegger

berangkat dari "ada"-nya satu-satunya makhluk yang bertanya tentang "ada", yaitu manusia. Namun Heidegger menilai bahwa dalam merumuskan pertanyaan tentang manusia, filsafat cenderung "salah". Pertanyaan "Apa manusia itu?" meskinya diganti dengan pertanyaan "Siapa manusia itu?". Dapat terjadi demikian karena Heidegger melihat bahwa manusia pada dirinya sendiri merupakan makhluk historis, sehingga pertanyaan tentang diri manusia itu sendiri meski dirumuskan kembali (Heidegger, 1959: 121). Dengan kata lain, untuk menjawab "apa 'Ada' itu?" meski dijawab terlebih dahulu "siapa manusia itu?" Gambaran tentang hakikat manusia

Page 50: Jurnal Filsafat UGM Vol 18, no 1 (2008)

Sindung Tjahyadi, Manusia dan Historisitasnya…

51

akan membimbing kepada sebuah pemahaman tentang "ada" dari manusia; dan satu pemahaman tentang "ada" dari manusia pada akhirnya akan membimbing kepada satu pemahaman tentang "Ada" (Jones, 1975: 294).

Terkait dengan konsep tentang "Ada", Heidegger membedakan tiga istilah ontologis. Pertama, "Being as such" atau "Ada murni" atau "Ada absoulut", yakni das Sein, yakni "ç• îvài". Kedua, ada konkret, yakni das Seiende, yakni "ç• •v". Dan ketiga, ada dari Manusia, yakni Dasein, yakni berada-di-sana (Dinkler, dalam Michalson, ed., 1956: 103). Hanya kita manusia yang mempunyai hak istimewa untuk bertanya tentang "Ada sebagaimana adanya" (Being as such) karena hanya manusia yang mampu memahami dirinya sendiri sebagai yang berhubungan dengan "Being as such". Manusia merupakan makhluk yang mampu berefleksi terhadap keberadaannya sendiri, dan persoalan tentang "ada-secara umum" merupakan satu cara berada manusia itu sendiri (Luijpen, 1960: 331). Keberadaan restropektif ini oleh Heidegger juga disebut sebagai "transendensi" (Richardson, 1974: 35).

"Ada" manusia dalam "dunia" disebut dengan "eksistensi" (Heidegger, dalam: Jones, 1975: 294). Gagasan Heidegger tentang "dunia" merupakan jabaran dari konsep "lingkungan dunia hidup" Husserl (Jones, 1975: 293). Yang dimaksud dengan "dunia' adalah "adaan-adaan" dan "Dasein" yang lain. "Ada" dari manusia disebut juga "eksistensi" karena dalam ber-"ada"-di-dalam-dunia, Dasein harus keluar dari dirinya sendiri dan berdiri mengambil tempat di-dalam-dunia. "Adaan-adaan" pada dirinya sendiri tidak mewujudkan satu "dunia". "dasein" pun kadang-kadang dapat menjadi satu "adaan". Ini terjadi bila "Dasein" terseret oleh "adaan-adaan" yang berada di luar dirinya. Kejatuhan (Verfallen, fallenness) merupakan "ketidak-otentikkan" (inauthenticity), karena manusia tenggelam dan didominasi oleh dunia (Jones, 1975: 313). Dengan kata lain, manusia yang terseret oleh "adaan" yang lain tidak bereksistensi secara sungguh-sungguh, ia tidak keluar dari dirinya sendiri dan menempatkan diri "berhadapan" dengan yang lain dalam "dunia". Eksistensi yang larut dalam yang lain adalah eksistensi semu. "To be man is to-be-in-the-world" atau Dasein (Luijpen, 1960: 19).

2. Ada dan Waktu Setelah melihat "ada" manusia, muncul persoalan tentang

apa sesungguhnya yang dimaksud dengan "Ada" itu sendiri, karena

Page 51: Jurnal Filsafat UGM Vol 18, no 1 (2008)

Jurnal Filsafat Vol.18, Nomor 1, April 2008

52

pada satu kesempatan "Ada" disebut sebagai penyebab segala sesuatu yang ada, pada sisi lain "Ada" merupakan tempat "berada"nya "Dasein" dan "das Seiende". Oleh van Peursen pemikiran Heidegger tentang "Ada" disebutnya "sukar diikuti". Dalam hal ini van Peursen menunjuk pada penjelasan yang diberikan Heidegger, bahwa "Ada" itu merupakan satu "peristiwa" yang menyebabkan beradanya segala sesuatu (van Peursen, 1980: 96).

Berkenaan dengan hal di atas, pertanyaan yang kemudian muncul adalah: Apa yang memungkinkan pengertian akan "Ada"? Menurut Heidegger yang memungkinkan pengertian tentang "Ada" adalah waktu, yang diartikan sebagai satu horizon yang memungkinkan tiap-pengertian-tentang-"Ada" (Bertens, 1981: 149). Dengan demikian segala sesuatu yang "Ada" baru dapat dimengerti di dalam cakrawala waktu, sedangkan cakrawala waktu sebagai horizon baru nampak apabila segala yang "Ada" berdiri-di-depan horizonnya. Dengan demikian "Ada" dan "Waktu" saling berkaitan (van Peursen, 1980: 245). Hubungan "melingkar" antara "Ada" dan "Waktu" sedikit banyak identik dengan hubungan antara "filsafat" dan "praanggapan". Pada satu sisi, "filsafat" merupakan rangkuman dari praanggapan; namun pada sisi lain analisis terhadap praanggapan akan semakin menjelaskan atau membentangkan "filsafat" (Richardson, 1974: 41-42).

Karena keterkaitan itu pula maka yang menjadi masalah dasar metafisika bukanlah "Ada" itu sendiri, ataupun "waktu" saja, melainkan relasi antara keduanya. Oleh Heidegger, korelasi antara Ada dan Waktu bukan merupakan penemuannya sendiri, tetapi ditangkap secara samar-samar dan tidak menentu dalam kenyataan bahwa pengertian pra-konseptual tentang "Ada" keluar dari semua hal yang menimbulkan metafisika. Korelasi antara "Ada" dan "waktu" ditemukan Heidegger atas dasar analisis terhadap kata Yunani "æîi •v", yang menurut Heidegger "æîi" secara tidak langsung menyatakan satu ketetapan dan stabilitas dalam waktu (Richardson, 1974: 85-86).

3. Keprihatinan sebagai Esensi Dasein Dengan pemahaman tentang "Ada" dari Dasein di-dalam-

dunia dan pemahaman tentang interpretasi waktu sebagai cakrawala, kiranya dapat ditelusuri lebih jauh "hakikat" Dasein. Karena akar "filsafat sejarah" adalah "antropologi metafisis", maka dengan penelusuran terhadap "hakikat", Dasein akan sangat

Page 52: Jurnal Filsafat UGM Vol 18, no 1 (2008)

Sindung Tjahyadi, Manusia dan Historisitasnya…

53

membantu pemaparan pandangan "spekulatif" Heidegger tentang "sejarah".

Dari analisis terhadap struktur "Ada" yang berpijak pada kenyataan faktis yang dihadapi oleh Dasein, terdapat tiga hal asasi, yaitu kepekaan (Befindlichkeit), pemahaman (Verstehen), dan wacana (Rede) (Bochenski, 1974: 165). Dengan adanya kepekaan dalam diri Dasein, Dasein mendapatkan dirinya telah "terlempar" di situ yang diterimanya sebagai nasib (Jones, 1975: 307). Namun demikian, Dasein tidak menerima begitu saja (jawa: narima-pasif), melainkan aktif membangun kembali kemungkinannya sendiri. Hal ini terjadi karena sejak semula —yakni sejak "terlempar"—Dasein telah mempunyai "pengertian" tentang keterlemparannya, yaitu tidak bisa memilih terlempar pada tempat yang dikehendaki. Dengan adanya "kesadaran historis" tersebut Dasein lalu mulai membuka kemungkinannya sendiri dan mengusahakan supaya terealisasi. Pembukaan kemungkinan diri ini dibimbing oleh "kata hati" (conscience) (Luijpen, 1960: 341). Namun demikian dalam kenyataan sehari-hari Dasein telah dan sedang mengalami satu "kemerosotan". Ini terutama dikaitkan dengan "wacana" dalam dunia yang sangat dikuasai oleh "ilmu", yang menunjukkan bahwa dalam dialog dengan yang lain, Dasein larut dalam yang lain, dan dilepas hubungan yang sebenarnya dengan dunia (Jones, 1975: 313). Struktur "Ada" secara keseluruhan dapat disebut dengan "Keprihatinan" (concern) (Bertens, 1981: 150).

Apabila hendak dicari lebih mendalam makna "keprihatinan", kiranya masih dapat diajukan sebuah pertanyaan, yaitu: jika "Ada" dari Dasein adalah "keprihatinan", apakah terdapat dasar pokok dari keprihatinan? Heidegger menjawab: temporalitas (Zeitlichkeit) (Richardson, 1974: 85-86). Dari segi struktural, temporalitas menduduki peranan yang sentral, karena temporalitas merupakan "proses" "Ada", yang memiliki sesuatu secara sungguh-sungguh sebagai satu horizon (Richardson, 1974: 88).

C. Historisitas Dasein

"Ada" Dasein adalah telah-dan-sedang-terlempar. Dengan adanya kesadaran bahwa dia telah-dan-sedang-terlempar, Dasein membuka kemungkinannya sendiri, yang diusahakan untuk dapat direalisasikan. Dasein merupakan satu kemungkinan yang konstan dari kemungkinan menjadi diri sendiri atau tidak menjadi diri sendiri (Dinkler, dalam Michalson, 1956: 104). Pergulatan dalam "keterlemparan" ini terjadi dalam "waktu". Untuk pikiran umum

Page 53: Jurnal Filsafat UGM Vol 18, no 1 (2008)

Jurnal Filsafat Vol.18, Nomor 1, April 2008

54

"waktu" adalah semacam deretan dari "sekarang" yang tidak menentu. Di dalam "sekarang" ini, waktu "lampau' berada sebagai "sekarang yang telah lewat", dan masa yang akan datang" diperbuat dalam "sekarang" juga, sebagai bakal dari "sekarang". Memang ini mengandung kebenaran, tetapi bukan ini yang dimaksud dengan "temporalitas Dasein". Dasein senyatanya adalah satu transendensi yang hadir di tengah-tengah adaan-adaan, dan secara hakiki mengendali-ke-arah-Ada (drive-towards-being) dengan pikiran, hal itu merupakan kemampuan diri sendiri (Richardson, 1974: 86).

Sebagai pengendali-ke-arah-Ada, Dasein dengan tidak henti-hentinya terdapat pada "Ada" untuk diri sendiri. Kehadiran Dasein untuk dirinya sendiri ini pada dasarnya adalah "masa depan" yang datang untuk diri-yang-telah-menjadi-terlempar. Diri yang telah ada-sebagai-telah-sedang-menjadi (is-as-having-been) adalah "masa lalu". Oleh karenanya, dalam struktur transenden Dasein eksistensi tercapai dalam masa depan dari "Ada" untuk satu diri yang telah-ada (masa lalu), yang membawa manifestasi "Ada" dari adaan-adaan yang di-"prihatinkan"-kan (masa kini). Situasi autentik yang demikian inilah yang menembus kembali dan memperlihatkan "temporalitas" sebagai pemersatu fenomen. Dengan demikian arti yang mendasar dari eksistesialia adalah masa depan (Richardson, 1974: 87). Karena temporalitas Dasein merupakan historisitas yang esensial (Richardson, 1974: 90), maka analisis tentang historisitas Dasein pada dasarnya adalah eksplisitasi dan penelitian lebih jauh tentang temporalitas berarti pula harus menguraikan secara lebih baik arti "Ada" dari Dasein sebagai "sejarah" (masa yang telah lewat).

Berkaitan dengan hal tersebut, kiranya perlu dicari hal yang merupakan "warisan" Dasein. Hal yang kiranya dapat disebut sebagai "warisan" adalah "diri" ini yang-telah-dan sedang-menjadi-terlempar-di-antara-adaan-adaan. Oleh Dasein, hal itu diasumsikan sebagai "warisan" yang autentik (Erbe), dan "warisan ini pula yang mengantarkan Dasein pada penemuan "satu kebebasan memilih kemampuan dari keberadaannya", yang secara imanen selalu berakhir. Namun demikian Dasein mengangkat kembali hal itu dan mencapai satu kesederhanaan eksistensial yang oleh Heidegger disebut sebagai "nasib baik" (Schicksal) (Richardson, 1974: 91). Karena pada dasarnya Dasein tidak bersifat tertutup, melainkan bersama-sama dengan Dasein yang lain, maka pada satu komunitas Dasein dapat terjadi satu "warisan bersama" dan "nasib baik umum" (Geschick) dari komunitas tersebut.

Page 54: Jurnal Filsafat UGM Vol 18, no 1 (2008)

Sindung Tjahyadi, Manusia dan Historisitasnya…

55

D. Dasar adanya Sejarah dan Sejarah "Ada"

Pada perkembangan pemikiran yang lebih kemudian, Heidegger mengalami "pembalikan" (reversal). Pembalikan ini erat kaitannya dengan titik pijak ia terhadap pusat perhatiannya, yaitu bahwa ia merasa bahwa analisis Dasein tidaklah cukup dan tidak lagi merupakan titik pangkal untuk membeberkan pertanyaan akan makna kata "Ada". Analisis hanya mungkin bila "Ada" itu sendiri merupakan hal "yang-tidak-tersembunyi" (Bertens, 1981: 152). Namun demikian tidak berarti titik pangkal semula ditinggalkan sama sekali.

Dengan demikian, maka dasar Heidegger dalam memandang "sejarah" sedikit mempunyai warna yang agak lain. Dasar pokok "adanya" sejarah adalah (Richardson, 1974: 247-249): 1. Dasein adalah eksistensi bebas. Kebebasan manusia sampai

pada eksistensi merupakan satu proses yang memunculkan Dasein dalam hak yang lebih tinggi. Kemunculan ini dimengerti sebagai berasal dari sumber yang lebih murni, yang adalah "Ada" dalam arti dari kemunculan kebenaran.

2. Kemunculan Dasein ini ke dalam hak yang lebih tinggi, yakni: kebebasan, sebagi ek-sistensi merupakan dasar dari sejarah, karena padanya transendensi terjadi untuk pertama kalinya.

3. Kedatangan-untuk-hadir Dasein masuk ke dalam kata. 4. Kata (:Ada) terformulasikan dalam proses pemikiran beberapa

subjek pengetahuan. 5. Kata sebagai pengutaraan harus ada secara ontologis

"sebelumnya" untuk manusia individual, yang boleh tidak boleh menaruh perhatian padanya.

6. Yang menaruh perhatian pada kata itu (:Ada) memberi penyifatan khusus, sehingga kata tentang "Ada" mempunyai dimensi historis yang spesifik.

7. Kedatangan-ke-dalam-kata (coming-to-word) dicapai melalui pemikiran tentang "Ada". Kata (kebenaran) tentang "Ada" pada akhirnya, diutarakan oleh "Ada" dalam pemikiran. Di sini "Ada" sudah merupakan fokus primer dari seluruh perhatian. Secara jelas Heidegger menunjukkan bahwa sejarah terjadi pada dan bilamana manusia menanggapi "nasib" yang dianugerahkan oleh "Ada" (das Sein). Sejarah dengan demikian tidak lain kecuali "sejarah tentang nasib", yang pada satu sisi merupakan pemberian "Ada", namun pada sisi lain mencerminkan putusan manusia (Dinkler, dalam Michalson, 1956: 112).

Page 55: Jurnal Filsafat UGM Vol 18, no 1 (2008)

Jurnal Filsafat Vol.18, Nomor 1, April 2008

56

Seperti yang ditekuninya sejak muda, yaitu makna dari kata "Ada", maka pada akhirnya Heidegger mempunyai keyakinan tentang adanya satu "sejarah Ada" (Geschichte den Seins) yang meyangkut perbedaan ontologis (Bertens, 1981: 154). Menurut Heidegger saat ini termasuk periode "Metafisika" yang meliputi seluruh filsafat Barat dari Plato sampai pada Hegel dan Nietzsche, bahkan dinyatakan bahwa seluruh tradisi metafisik memuncak pada kedua filsuf itu dan mencapai kepenuhannya. Mengapa mulai dari Plato? Menurut Heidegger, karena baru pada saat itulah adaan-adaan dipertanyakan bukan sebagai adaan individual melainkan adaan-adaan dalam totalitas mereka (Richardson, 1974: 238).

Selain itu Heidegger menunjukkan pula bahwa ciri khas dari periode "Metafisika" adalah "lupa-akan-Ada" (Bertens, 1981: 154). Dapat dikatakan demikian karena pada periode tersebut "Ada" disamakan dengan adaan-adaan. "Kelupaan-akan-Ada" ini merupakan satu cara bagaimana "sejarah Ada" berlaku bagi kita. Namun demikian. terdapat berbagai macam pengertian tentang lupa-akan-Ada, yang masing-masing bergantung pada zamannya. Pada Abad Tengah misalnya, "Ada" dianggap sebagai "ciptaan" (makhluk). Demikian pula yang terjadi dengan Abad Modern, "adaan" dianggap sebagai "objek" dari "subjek" (Bertens, 1981: 155). "Sejarah Ada" dengan demikian memiliki makna ganda, pertama, bahwa genitif "Ada" merupakan genetivus subjectivus, sebagai subjek sejarah; dan kedua, juga merupakan genetivus objekctivus, merupakan isi sejarah. "Ada" dalam "sejarah" dengan demikian merupakan subjek dan objek sekaligus (Dinkler, dalam Michalson, 1956: 112).

Sebagai filsuf zaman ini, Heidegger juga diresapi cara berpikir metafisis, namun dia berusaha untuk mengerti adanya "tanda-tanda zaman" bahwa akan ada satu perubahan dalam "pengertian-tentang-Ada". Heidegger pernah mengatakan bahwa manusia tidak menguasai adaan-adaan tetapi menggembalakan Ada. Manusia tidak dapat memaksa timbulnya satu periode baru (Bertens, 1981: 156). Bereaksi terhadap tanda-tanda zaman yang ditangkapnya, Heidegger bermaksud membantu persiapan tempat untuk periode yang akan datang. Namun apabila timbul periode baru, maka itu bukan karena dia, melainkan berasal dari satu rahmat dari "Ada".

Page 56: Jurnal Filsafat UGM Vol 18, no 1 (2008)

Sindung Tjahyadi, Manusia dan Historisitasnya…

57

E. Penutup Seperti surat balasan yang dikirim Heidegger kepada

Richardson (Richardson, 1974: xxii), adanya satu kesalah-mengertian atas satu rumusan pemikiran selalu mungkin terjadi. Terlebih naskah "lengkap" Being and Time sampai makalah ini selesai disusun belum mampu didapatkan oleh penulis. Namun terlepas dari kelemahan tersebut, terdapat beberapa catatan kecil tentang pimikiran "sejarah" Heidegger.

Pertama, Heidegger memasukkan "kebebasan" dan "transendensi" (kesadaran restropektif) sebagai unsur yang secara radikal menentukan "cara berada manusia" dan juga pemahaman manusia tentang "sejarah".

Kedua, Heidegger mengembangkan lebih jauh tentang watak dasar relasi antara "Ada" (realitas) dan "waktu" (horizon) sebagai hubungan dialektis, walau, karena kecenderungan "puitisnya", Heidegger sering membingungkan orang dengan menyebut "Ada" sebagai "pribadi", misalnya dengan menyebutnya sebagai "pemberi rahmat".

Ketiga, dapat disimpulkan bahwa filsafat sejarah merupakan unsur pokok dari seluruh bangunan filsafat Heidegger. Ini ditunjukkan dengan konsep paling dasar dari filsafatnya, yakni: temporalitas.

Keempat, Heidegger membawa pada pemahaman yang "benar" bahwa semua kajian "filsafat" bersumber dan bermuara pada pemahaman tentang manusia.

-JF-

DAFTAR PUSTAKA

Bakker, Anton, 1984, Metode-metode Filsafat, Ghalia Indonesia, Jakarta

Bertens, Kees, 1981, Filsafat Barat dalam Abad XX, jilid pertama, Gramedia, Jakarta

Bochenski, 1972, Contemporary European Philosophy (asli: Europ„ische Philosophie der Gegenwart, translated by: Donald Nocholl and Karl Aschenbrenner), University of California Press, Berkeley

Dinkler, Erich, "Martin Heidegger" dalam: Michalson, Carl, ed., 1956, Christianity and the Existentialist, Charles Scribner's Sons, New York

Page 57: Jurnal Filsafat UGM Vol 18, no 1 (2008)

Jurnal Filsafat Vol.18, Nomor 1, April 2008

58

Edwards, P., ed., 1967, The Encyclopedia of PhilosophyVolume III, The Macmillan Company and The Free Press, New York

Heidegger, Martin, 1961, An Introduction to Metaphysics (asli: Einf•hrung in die Metaphysik, translate by Ralph Manheim), Anchor Book, New York

________________, 1972, On Time and Being (asli: Zur Sache des Denkens, translate by Joan Stambuch), Harper & Row, Toronto

Jones, W.T., 1975, The Twentieth Century to Wittgenstein and Sartre, A History of Western Philosophy, Harcourt Brace Jovanovich Publishers, San Diego

Lavine, T Z., 1984, From Sokrates to Sartre: The Philosophic Quest, Bantam Books, New York

Leahy, Louis, 1984, Manusia sebuah misteri, Gramedia, Jakarta Luijpen, William A., 1960, Existential Phenomenology, Diquesne

University Press, Pittsburg Pa., Louvain Richardson, William J., SJ., 1974, Heidegger, Through

Phenomenology to Thought, third edition, Martinus Nijhoff, Netherlands

Spiegelberg, Herbert, 1971, The Phenomenological Movement, A Historical Introduction, volume one, Martinus Nijhoff, The Hague, Netherland

van Peursen, C A., 1980, Orientasi di Alam Filsafat (alih bahasa: Dick Hartoko), Gramedia, Jakarta

Page 58: Jurnal Filsafat UGM Vol 18, no 1 (2008)

GERAKAN FEMINISME ISLAM DALAM PERSPEKTIF FATIMAH MERNISSI

Oleh: Widyastini1

Abstract

The purpose of this research is to know the women’s role in the scope of social life, nation and country. The varieties of unjustness to women happened in every part of this world. They are considered as a weak creature, so that oppression always happened to them. They should act bravely to face those abuses by themselves.

As God creatures, men and women have the same status before Allah SWT. Instead of their advantages and disadvantages, they should cooperate and help each other for welfare and peaceful society.

The frequently of unjustness conduct or abuse toward women is a reason why a women movement appeared which was pioneered by Fatimah Mernissi. This movement aimed to break the old fashioned tradition society which is not appropriate with the recent world, namely Islamic feminism movement. It is an Islamic Women movement which try to get the same conduct betwen women and men in the boundary of Islam tenet.

Based on the result of the analyzed research a conclusion can be drawn: Fatimah Mernissi’s Islamic Feminism Movement contradicted with Islam tenets either in Ijtihad, As Sunnah and Holy Koran. Keywords: Fatimah Mernissi, Islamic feminism movement

A. Pendahuluan Wanita sebagai bahan pembicaraan selalu saja menarik perhatian, apalagi berkaitan dengan masalah pergerakan kaum wanita di manapun berada, tidak pernah berhenti dan tidak habis dimakan waktu. Wanita dari masa ke masa senantiasa menjadi kelinci percobaan, sehingga mau tidak mau mereka terus berusaha dan berupaya agar tidak dijadikan bahan tertawaan dan pergunjingan kaum pria.

1 Dosen Fakultas Filsafat UGM.

Page 59: Jurnal Filsafat UGM Vol 18, no 1 (2008)

Jurnal Filsafat Vol.18, Nomor 1, April 2008

60

Kaum pria merasa memiliki kelebihan dibandingkan kaum wanita, namun perlu diingat bahwa antara pria dan wanita sudah pasti terdapat kekurangan sebagai hamba Allah SWT, maka baik pria maupun wanita sama-sama mempunyai kedudukan sebagai makhluk Allah SWT yang saling membutuhkan satu sama lain.

Islam telah dikenal sebagai agama rahmatan lil’alamin, hal ini sebagaimana terdapat dalam firman Allah surat Al Anbiya ayat 107, yang artinya: “Dan tiadalah kami mengutus kamu, melainkan untuk menjadi rahmat bagi sekalian alam” (Suryana dan A.Toto, 1997: 213).

Ayat tersebut di atas memberi penegasan bahwa Allah SWT dalam melimpahkan kasih sayang (rahmatNya) kepada alam secara keseluruhan, termasuk di dalamnya kepada kaum wanita, tentunya tidak akan berbeda jauh, sebagaimana Allah SWT memberi rahmat kepada kaum pria. Hal ini dipertegas dalam firman Allah Al Qur’an surat At taubah ayat 71, yang artinya: “Dan orang-orang yang beriman, laki-laki dan perempuan, sebagian mereka adalah menjadi penolong bagi sebagian yang lain. Mereka menyuruh mengerjakan yang ma’ruf, mencegad dari yang mungkar, mendirikan shalat, menunaikan zakat dan taat kepada Allah dan rasulNya. Mereka itu akan diberi rahmat oleh Allah, sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana” (Al Mush-haf, 1419 H: 291).

Kaum pria dan wanita dalam ayat tersebut memiliki peranan yang sama di hadapan Allah SWT, kedua-duanya sama-sama sebagai makhluk dan hamba Allah, sehingga hak dan kewajiban yang diberikan sesuai dengan naluri serta kodratnya masing-masing.

Wanita Islam dalam menghadapi perkembangan jaman, tidak mau ketinggalan dengan kaum pria, di antara salah satu pejuang wanita yang berasal dari Maroko yaitu Fatimah Mernissi merasa terpanggil untuk ikut berperan serta memajukan kaumnya agar tidak tertinggal jauh dengan kaum pria dan berupaya terus agar kaum wanita diperlakukan secara adil di dalam masyarakat.

Berbagai macam ketidakadilan banyak dirasakan kaum wanita di belahan dunia manapun, mereka dianggap makhluk yang lemah, sehingga penindasan terhadap wanita selalu saja terjadi, maka untu menghadapi hal-hal tersebut dibutuhkan keberanian dari kaum wanita itu sendiri, hal ini berakibat munculnya Gerakan Feminisme Islam; yaitu suatu gerakan wanita Islam yang berusaha mewujudkan perlakuan yang sama diantara pria dan wanita dalam batas-batas yang sesuai dengan ajaran Islam.

Page 60: Jurnal Filsafat UGM Vol 18, no 1 (2008)

Widyastini, Gerakan Feminisme Islam…

61

B. Islam dan Feminisme

1. Wacana Feminisme dalam Islam Gerakan Feminisme Islam timbul karena terdapat

ketidakadilan masyarakat dalam memperlakukan wanita. Feminisme dalam arti luas menunjuk pada setiap orang yang memiliki kesadaran terhadap hak dan martabat wanita dan berusaha mencari jalan keluarnya secara benar (Khudori, 2003: 127).

Feminisme dalam konteks teokrasi kontemporer, berarti hak kaum wanita yang beriman untuk menuntut tanggung jawab secara penuh dalam memahami ayat-ayat Al Qur’an dan menggugah klaim-klaim penguasaan keagamaan dalam birokrasi negara yang tidak dipilih secara demokratis. Islam secara tegas membedakan dimensi kemanusiaan yang eksklusif dari Nabi Muhammad agar tidak dicampuradukkan dengan firman Allah SWT, hal ini berpedoman pada anggapan yang menyatakan bahwa ulama dan imam itu hanyalah manusia biasa yang tidak lepas dari kesalahan, hanya Allah yang Maha Benar (Mernissi dan Riffat Hassan, 2000: 110-111).

Wanita di manapun berada mencurahkan tenaga untuk melestarikan keluarganya, mendidik anak-anak, sedang di luar rumah tangga wanita memegang peranan dalam usaha mewujudkan kesejahteraan masyarakat, namun masih dirasakan adanya ketimpangan dalam pengakuan dan penghargaan terhadap wanita. Gerakan sosial yang bertujuan jelas untuk meningkatkan kedudukan dan peranan wanita serta memperjuangkan hak mereka agar lebih adil; gerakan tersebut baru timbul pada abad ke-18, yaitu di Perancis (Ihromi, 1995: 30-31).

Perkembangan pemikiran zaman sekarang banyak muncul suara-suara yang menuntut diadakannya pembaharuan sosial dan yang paling dominan adalah perbaikan peran wanita. Hal tersebut merupakan ide yang bagus dan cemerlang asalkan saja masing-masing pihak, baik pria dan wanita mengerti dan memahami hak dan kewajibannya (Athibi, 1998: 246). Hak dan peranan wanita selalu dianggap sebagai problem intelektual dan aktual sepanjang sejarah. Pada abad ke-18 sampai dengan dewasa ini, muncul persoalan yang berkaitan dengan penampilan dan kepribadian wanita. Problem tersebut demikian dominan sehingga pengaruhnya meluas sampai kepada semua lapisan masyarakat (Musthafa, 2000: 45).

Page 61: Jurnal Filsafat UGM Vol 18, no 1 (2008)

Jurnal Filsafat Vol.18, Nomor 1, April 2008

62

Ajaran Islam secara tegas menjelaskan bahwa pria dan wanita di hadapan Allah adalah sama kedudukannya, terutama dalam melakukan perbuatan baik, hal ini sebagaimana tercermin dalam firman Allah surat An Nahl ayat 97 yang artinya: “Barangsiapa mengerjakan amal saleh baik pria maupun wanita dalam keadaan beriman, maka sesungguhnya akan Kami berikan kepadanya kehidupan yang baik dan sesungguhnya akan Kami beri balasan kepada mereka dengan pahala yang lebih dari apa yang telah mereka kerjakan” (Al Mush-haf, 1949 H: 417).

Ayat tersebut mengandung makna bahwa Allah SWT memerintahkan umat manusia (tanpa memandang pria atau wanita) agar selalu berusaha melakukan kebaikan kepada siapa saja, sehingga dapat mencapai kedudukan yang mulia dan terhormat di hadapan Allah SWT.

Wanita adalah senjata bermata dua, jika ia baik melaksanakan tugas pokok dan fungsinya sebagaimana yang telah digariskan, berarti ia adalah bangunan berkualitas untuk membangun masyarakat yang Islami, kokoh, dan berakhlaq luhur. Islam secara serius dan intensif di dalam memberikan perhatian dan memberdayakan kaum wanita. Mengajar wanita dengan tarbiyah (pendidikan) dan ri’ayah (pengawasan), memerintahkan untuk memberikan hak sesuai fitrahnya, hal ini tidak pernah diberikan oleh satu umat pun di sepanjang sejarah dunia (Mahdi dan As Salbi, Mustafa Abu Nasr, 2002: XIII).

Keadilan adalah memberikan kepada manusia hak yang harus diterimanya dan Allah adalah Sang Pencipta yang tidak seorang pun mempunyai hak atas Nya. Allah telah memberi pada setiap manusia karakter sesuai dengan tugas yang diinginkan atas makhluk-Nya. Keadilan pada hakikatnya adalah memberikan manusia kesempatan bergerak sesuai dengan potensi, hak dan kewajiban serta karakter mereka. Oleh karena itu, hendaknya diyakini adanya persamaan pria dan wanita dalam kemanusiaan, namun hal ini tidak berarti meyakini persamaan keduanya dalam berperanan (Fadhulullah, 2000: 35).

2. Beberapa gerakan feminisme Islam

a. Para feminis Islam dimulai oleh Aisyah Taymuriyah pada tahun 1884-1902 (penulis dan penyair Mesir) dan Zainab Fauwaz dari Libanon yang berupaya keluar dari lingkungan tradisi dengan cara berteman dengan wanita lain satu nasib.

Page 62: Jurnal Filsafat UGM Vol 18, no 1 (2008)

Widyastini, Gerakan Feminisme Islam…

63

b. Rokhayat Sakhawat Hussin dan Nazar Sajjad Haidar tidak setuju dengan ide domestik wanita yang dipublikasikan dengan melalui cerita fiksi. Keduanya menyusun cerita, novel, artikel yang di dalamnya terdapat ide tentang pembebasan kaum wanita. Karya mereka pada akhirnya dijadikan sumber pemikiran para tokoh feminis Islam yang lain, sebagaimana halnya Raden Adjeng Kartini (Indonesia) tahun 1879-1904, Emilie Ruete (Zanzibar, 1844-1924), Tajas Salthanah (Iran) dan Nabawiyyah Musa (Mesir). Mereka berpandangan bahwa demikian penting menyusun kembali sistem pendidikan dan pekerjaan yang cocok bagi kaum wanita.

c. Huda Sya’rawi dari Mesir (1879-1947) berusaha memadukan antara adat-istiadat dengan ajaran Islam dengan menunjukkan adanya pengaruh gerakan pembaharuan Islam yang dipelopori oleh Muhammad Abduh pada abad ke-18 di Mesir. Huda Sya’rawi mulai karirnya sebagai feminis pada tahun 1909 dengan berusaha mengutamakan faktor kesehatan bagi wanita dan anak-anak. Lembaga sosial yang didirikan bersifat sekuler dan merupakan ajang kegiatan bersama kaum wanita Islam dengan kaum wanita Kristiani. Ia memimpin persatuan feminis I di dunia Arab pada tahun 1923. Para feminis yang mendapat pengaruh Marxisme pada abad ke-20 berpandangan bahwa eksploitasi terhadap kaum wanita merupakan dampak adanya perbedaan kelas yang didukung oleh ideologi gender dengan agama. Hal ini berakibat bahwa peranan dan kedudukan gender yang tidak sama dalam keluarga maupun masyarakat menjadikan kaum wanita sebagai korban penindasan.

d. Tokoh feminisme Islam kontemporer yaitu Nawal el Saadawi seorang doktor dan feminis Mesir sosialis. Ia lebih banyak menekankan permasalaahn kaum wanita di Mesir terutama berhubungan dengan aspek sosial, ekonomi, psikologi bahkan sampai kepada hal yang sensitif bagi kaum wanita (seks).

e. Riffat Hasan (Pakistan) yang menganalisis tentang sejarah lahirnya pemikiran wanita dan gender dalam Islam.

f. Assia Djebar, penulis novel dan essay yang berasal dari Aljazair menyatakan berbagai wujud eksploitasi yang dirasakan kaum wanita di Aljazair dan berbagai tantangan yang dirasakan oleh para feminis Aljazair yang hidup di bawah pengaruh nasionalisme patriarkhat (zakaria/htm).

Page 63: Jurnal Filsafat UGM Vol 18, no 1 (2008)

Jurnal Filsafat Vol.18, Nomor 1, April 2008

64

C. Pemikiran Kefilsafatan Fatimah Mernissi Fatimah Mernissi lahir di Maroko pada tahun 1940, di kota

Fez (Harem). Ia dibesarkan dalam keluarga yang demikian patuh berpedoman pada adat dan tradisi yang membedakan antara pria dan wanita. Perbedaan tersebut digambarkan dalam hak-hak yang melingkupi dunia pria dan wanita. Pria berhak bebas menikmati dunia kehidupan di luar rumah, mendengar kabar dan berita, mengadakan transaksi bisnis, sedangkan kaum wanita sama sekali tidak memperoleh hak sebagaimana kaum pria.

Fatimah Mernissi menggambarkan keadaan di sekitarnya: “Gerbang raksasa kami berbentuk lingkungan baru raksasa dengan pintu berukir membatasi Harem perempuan dan laki-laki asing pengguna jalanan. Anak-anak boleh keluar dari gerbang itu dengan izin orangtuanya, tetapi perempuan dewasa tidak diperkenankan” (Khudori, 2003: 128).

Fatimah Mernissi pada waktu mengenyam pendidikan Al Qur’an masih demikian muda dan ia telah menerima penjelasan dari gurunya Lala Tam selaku Kepala sekolah mengatakan bahwa pendidikan bertujuan untuk mengetahui batas-batas kesucian (hudud), menjadi muslim bermakna menghargai hudud, dan hal inilah membuat Fatimah Mernissi ragu-ragu terhadap segala sesuatu yang ia kerjakan. Ia masih beruntung karena memiliki nenek yang arif Lala Yasmina namanya, banyak memberi penjelasan dan menjadikan hatinya lebih tenang.

Fatimah Mernissi memperoleh bimbingan dari neneknya berupa cerita-cerita sejarah yang berkaitan dengan hidup dan kehidupan Nabi Muhammad SAW beserta ajaran Islam yang berisi kasih sayang kepada sesama manusia. Hal inilah yang membuat Fatimah Mernissi lebih mengetahui dengan mata hatinya aatas adat istiadat masyarakat yang sebagian besar merendahkan harkat dan martabat kaum wanita; menghadapi hal yang demikian timbullah semangat yang tidak dapat dibendung lagi untuk segera mengubah adat-istiadat yang dalam pikirannya dinilai tidak mewujudkan keadilan (Khudori, 2003: 129).

Pada waktu Fatimah Mernissi menuntut ilmu di sekolah menengah, ia kembali mendapatkan berbagai macam permasalahan yang demikian mengecewakan. Guru yang memberikan pelajaran hadis, menjadikan hatinya terluka, karena terdapat hadis yang artinya bahwa anjing, keledai dan kaum wanita dapat membatalkan shalat apabila berjalan di depan orang yang sedang shalat (mushalli). Ada juga hadis yang menyebutkan bahwa apabila satu

Page 64: Jurnal Filsafat UGM Vol 18, no 1 (2008)

Widyastini, Gerakan Feminisme Islam…

65

kepemimpinan diserahkan kepada kaum wanita, maka tunggu saat kehancurannya. Hadis-hadis yang demikian itulah yang merisaukan hati Fatimah Mernissi, kemudian ia berpendapat bahwa Nabi Muhammad SAW tidak akan bersabda seperti itu, karena dia demikian penyantun kepada kaum wanita, hal ini dapat dibuktikan pada satu peristiwa ketika sahabat Amr bin Ash bertanya kepada Nabi SAW, “Wahai Nabi, siapa wanita yang Anda cintai?”, dia menjawab secara tegas, “Aisyah”.

Berbagai macam pengalaman disertai latar belakang dalam keluarganya, sebagaimana disebutkan di atas pada akhirnya berakibat ia memiliki tekad yang bulat dan semangat yang tinggi, maka Fatimah Mernissi berusaha bangkit untuk memperoleh jalan keluarnya serta menegakkan kebenaran dan keadilan terutama bagi kaum wanita (Khudori, 2003: 130). Ia kemudian menuntut ilmu pada jenjang pendidikan tinggi dalam bidang sosiologi dan politik. Fatimah Mernissi juga mengadakan penelitian, baik tentang persoalan gender, pranata sosial dan politik harkat dan martabat wanita serta lainnya.

D. Analisis Historis terhadap Teks-Teks Agama Fatimah

Mernissi Dasar pemikiran kefilsafatan Fatimah Mernissi bertumpu

pada usaha untuk memperjelas pengertian tentang dalil-dalil agama, terutama tentang masalah persamaan hak antara pria dan wanita agar tetap relevan dalam kehidupan masyarakat yang tradisional dan modern. Ia dalam hal ini, menggunakan alur pemikiran kritis dan analisis historis, dengan mengawali pembahasannya dengan berbagai macam pertanyaan:

1. Apakah mungkin Islam mengajarkan perlakuan yang tidak adil kepada kaum wanita?

2. Apakah mungkin Nabi Muhammad SAW sebagai seorang rasul yang diketahui demikian baik akhlaqnya sampai hati bersabda merendahkan harkat dan martabat wanita?

3. Apakah benar adat-istiadat yang mengarah kepada perlakuan yang tidak adil terhadap wanita berasal dari ajaran Islam?

4. Apakah mungkin terdapat penyimpangan historis sampai menimbulkan budaya patriarkhat? Beberapa pertanyaan yang diajukan tersebut membawa

Fatimah Mernissi untuk mengadakan analisis kembali secara historis dan interpretasi ulang terhadap teks-teks agama (Al-Qur’an dan Al Hadis). Penelitian historis demikian penting untuk membuka

Page 65: Jurnal Filsafat UGM Vol 18, no 1 (2008)

Jurnal Filsafat Vol.18, Nomor 1, April 2008

66

wacana dari berbagai pertentangan pendapat yang berkisar tentang persoalan kaum wanita dan akhirnya diperoleh hasil bahwa para ahli sejarah Islam pada mulanya memberi kesempatan baik kepada wanita, hal ini sebagaimana terdapat di dalam karya-karya mereka. Para ahli sejarah tersebut membahas seorang wanita tidak hanya sebatas kedudukannya sebagai seorang ibu (wanita), namun juga mempertegas kaum wanita yang berperan aktif dan teman yang selalu mendampingi dalam berbagai peristiwa penting yang menciptakan hasil budi daya manusia. Peran serta kaum wanita diakui dengan secara nyata dan objektif (tidak ditambah atau dikurangi), baik selaku sahabat Nabi atau pun perawi hadis (Soleh dan A. Khudori, 2003: 130-131).

Fatimah Mernissi dikenal sebagai salah satu penulis wanita yang berasal dari Maroko. Dia belajar politik di Universitas Brandeis di Sorbonne dan berhasil meraih gelar doktor. Ia demikian tertarik mempelajari Islam dan berusaha mewujudkan dalam kehidupan modern. Sebuah penelitian yang mendalam tentang sabda Nabi Muhammad SAW yang terdapat dalam al hadis, ia mengupas secara tegas beberapa hadis yang di dalamnya memperlakukan kaum wanita secara tidak adil, ia menyatakan bahwa Al Qur’an sebagai firman Allah SWT tidak mungkin seperti itu. Fatimah Mernissi bekerja sebagai dosen di Universitas Mohamed V dan menjadi peneliti di Universitas di kota Rabat.

E. Gerakan Feminisme Islam menurut Fatimah Mernissi

Gender merupakan salah satu gejala yang ada dalam masyarakat, hal ini mengandung arti pembagian peran manusia berdasarkan atas jenis kelamin (pria dan wanita). Permasalahan gender yang berhubungan dengan perubahan struktur masyarakat dengan perlakuan yang lebih adil terhadap pria dan wanita merupakan objek pembahasan di dunia Islam, semenjak permulaan abad ke-20 (zakaria/htm).

Feminisme sudah dikenal sejak abad ke-19, tetapi belum tergabung dalam satu ajang pergerakan. Beberapa gerakan wanita yang dominan di antaranya adalah “Gerakan Pembebasan Wanita” atau Women’s Liberation (Womens Lib) yang berada di Amerika Serikat dan mulai dikenal masyarakat dunia pada abad ke-20, bergerak di bidang sosial dan politik, bertujuan untuk mendapatkan persamaan hak bagi kaum wanita (Gerakan Mahasiswa Pembebasan: 2005: 6).

Page 66: Jurnal Filsafat UGM Vol 18, no 1 (2008)

Widyastini, Gerakan Feminisme Islam…

67

Feminisme dengan kata lain merupakan gerakan yang berjuang menuntut perubahan untuk meraih keadilan dan kebebasan kaum wanita dalam mengurus kehidupan keluarga, baik di dalam maupun di luar rumah tangga. Feminisme Islam yang diperjuangkan oleh Fatimah Mernissi jelas berbeda dengan feminisme yang berasal dari barat, karena di dalamnya mengandung karakteristik Islami yang bersumber pada kitab suci Al Qur’an dan sabda Nabi Muhammad SAW dalam al hadis.

Kesadaran terhadap ketidaktahuan atas ajaran Islam bagi orang Islam pada awalnya timbul dari kalangan wanita Islam dari tingkat menengah atas; demikian pula disertai adanya perlakuan yang tidak adil yang dialami sebagian besar kaum wanita, maka para pejuang pergerakan wanita ini berupaya menolak tudingan bahwa Islam adalah agama yang memojokkan kaum wanita. Feminisme Islam bertujuan positif, karena pergerakan ini akan berusaha mewujudkan satu masyarakat yang adil, baik bagi kaum pria maupun wanita dalam berbagai bidang kehidupan sosial kemasyarakatan. Pergerakan yang diawali oleh perorangan tersebut, kemudian diikuti timbulnya berbagai organisasi wanita Islam yang lain, salah satu di antaranya adalah satu lembaga yang berusaha membuka kesempatan bagi kaum wanita Islam yang ada dalam sejumlah Negara dengan latar belakang yang berbeda untuk saling menimba ilmu dan berbagi pengalaman. Lembaga tersebut diadakan pada tahun 1984 yang dikenal dengan Women Living under Moslem Law (Kaum wanita yang hidup dalam naungan hukum Islam (WLML). Lembaga ini dirintis oleh sembilan orang wanita muslimah dari berbagai macam negara Islam, yaitu: Aljazair, Bagladesh, Iran, Mauritius, Maghribi, Pakistan dan Sudan (zakaria/htm).

Gerakan feminisme Islam yang diperjuangkan Fatimah Mernissi adalah satu usaha untuk mengubah pola kehidupan masyarakat terutama bagi kaum wanita agar mendapatkan haknya secara adil sebagaimana terdapat dalam keluarga dan masyarakat sehingga diperoleh suasana kehidupan, kemajuan pendidikan serta bidang lain yang dapat dikerjakan oleh kaum wanita. Titik tolak pemikiran feminisme Fatimah Mernissi mendasarkan atas pemahaman (penafsiran ulang) terhadap teks-teks keagamaan yang berupa Al Qur’an maupun Al Hadis (Khudori, 2003: 127).

Fatimah Mernissi mendapati para ahli sejarah Islam pada mulanya memperlakukan kaum wanita secara baik, hal ini dapat dibuktikan bahwa sumbangan pemikiran kaum wanita pada waktu

Page 67: Jurnal Filsafat UGM Vol 18, no 1 (2008)

Jurnal Filsafat Vol.18, Nomor 1, April 2008

68

itu diakui secara jelas dan tegas baik sebagai sahabat nabi maupun penulis hadis, namun pada perkembangan selanjutnya hal tersebut menjadi berbalik, artinya kaum wanita menjadi kaum yang dipinggirkan dan diabaikan hak-haknya. Kaum pria mempunyai kedudukan yang dominan dalam berbagai bidang kehidupan, terutama berkaitan dengan adanya penafsiran terhadap teks Al Qur’an dan Al Hadis yang dilakukan oleh kaum pria sehingga kaum wanita hanya dijadikan sebagai pihak yang harus menerima hasil penafsiran dan pemahaman tersebut; maka banyak terjadi kesimpangsiuran pemahaman ayat-ayat Al Qur’an tentang kaum wanita (Khudori, 2003: 131-132).

Fatimah Mernissi dalam memperjuangkan hak wanita digerakkan oleh adanya keyakinan yang demikian mendalam kepada Islam. Islam yang dikaruniakan oleh Allah kepada umat manusia, bukan Islam sebagaimana diselewengkan dalam gambaran dan perbuatan manusia yang tidak bertanggung jawab.

Fatimah Mernissi dalam perjuangannya secara khusus merdasarkan contoh dan teladan Nabi Muhammad SAW sebagai Rasul dan Nabi terakhir yang tidak mungkin menyimpang dari Al Qur’an maupun Al Hadist (Mernissi dan Hassan Riffat, 2000: XII).

F. Gugatan Keadilan Gender Fatimah Mernissi

Pada awal perjuangan Islam kaum wanita memperoleh kedudukan terhormat, namun hal tersebut berjalan hanya sebentar, karena tahap-tahap selanjutnya kaum wanita makin lama makin ditepikan. Beberapa gugatan keadilan gender yang diperjuangkan oleh Fatimah Mernissi meliputi berbagai hal: 1. Kaum wanita dirasakan kurang (sedikit) yang menjadi ahli kitab

suci, padahal dahulu banyak dari kaum wanita yang ahli agama (Salaf al shalihah) dan juga ahli dalam berbagai bidang ilmu dan ahli hadis (muhaddisat), hal inilah yang mendukung terjadinya kekuatan (dominasi) kaum pria dalam meninggikan kaum wanita dan kembali menempati kedudukan selaku pekerja di dalam keluarga.

2. Status kaum pria demikian dominan dalam berbagai bidang kehidupan merupakan dampak yang timbul dari persoalan di atas, sehingga berakibat kaum pria sebagai pemegang kekuasaan untuk menafsirkan teks agama yang berupa Al Qur’an maupun Al hadis, sedangkan wanita hanya selaku penerima dari hasil penafsiran tersebut. Pendidikan yang dialami oleh kaum wanita pada akhirnya hanya sekedar sebagai bekal untuk berumah

Page 68: Jurnal Filsafat UGM Vol 18, no 1 (2008)

Widyastini, Gerakan Feminisme Islam…

69

tangga, maka Fatimah Mernissi berpendapat bahwa banyak terjadi penafsiran yang rancu (tidak jelas) terutama ayat-ayat yang berkaitan dengan kaum wanita, misal:

Al-Qur’an Surat Muhammad ayat 15, yang artinya:

“Apakah perumpamaan penghuni surga yang dijanjikan kepada orang-orang yang bertaqwa yang di dalamnya ada sungai-sungai dari air yang tiada berubah rasa dan baunya, sungai-sungai dari air susu yang tiada berubah rasanya, sungai-sungai dari khamr (arak) yang lezat rasanya bagi peminumnya dan sungai-sungai dari madu yang disaring; dan mereka memperoleh di dalamnya segala macam buah-buahan dan ampunan dari Tuhan mereka, sama dengan orang yang kekal dalam neraka, dan diberi minuman dengan air yang mendidih sehingga memotong-motong ususnya” (Al-Qur’an dan Terjemahnya, 1419 H: 832). Al-Qur’an Surat Al-Waqi’ah ayat 27-28, yang artinya:

“Dan golongan kanan, alangkah bahagianya golongan kanan itu”. “Berada di antara pohon bidara yang tidak berduri” (Al- Qur’an dan Terjemahnya, 1419 H: 894) Al-Qur’an Surat Ad-Dukhan ayat 51-54, yang artinya:

“Sesungguhnya orang-orang yang bertakwa berada dalam tempat yang aman, yaitu di dalam taman-taman dan mata air-mata air; mereka memakai sutera yang halus dan sutera yang tebal, (duduk) berhadap-hadapan, demikianlah. Dan Kami berikan mereka bidadari” (Al Qur’an dan Terjemahnya, 1419 H: 812).

3. Peran serta kaum wanita Islam dirasakan demikian kurang atas pengawasan adanya bahan-bahan sejarah. Bahan sejarah berjalan dari sistem yang rumit, sehingga banyak terjadi manipulasi penafsiran terhadap kitab suci Al Qur’an dan al Hadis. Manipulasi dalam hal ini merupakan ciri khusus para penguasa masyarakat Islam yang terjadi dari abad ke-7 dan seterusnya dibutuhkan legitimasi agama, sehingga kekuatan ekonomi dan politik berupaya untuk memperoleh dukungan teks kitab suci, maka timbullah hadis-hadis palsu untuk keperluan golongan tertentu dan kaum prialah pada akhirnya memiliki

Page 69: Jurnal Filsafat UGM Vol 18, no 1 (2008)

Jurnal Filsafat Vol.18, Nomor 1, April 2008

70

kesempatan banyak dalam bidang sosial dan politik (Khudori, 2003: 131-133).

Gugatan keadilan gender Fatimah Mernissi juga berkaitan dengan hadis-hadis misogini, yaitu hadis yang isinya ketidaksenangan kepada kaum wanita di antaranya ada 4 macam.

1. Hadis yang berasal dari Al Bukhari dan Abu Barkah: “Siapa yang menyerahkan urusannya kepada kaum wanita, maka tidak akan memperoleh kemakmuran”.

2. Hadis yang berasal dari Abu Hurairah: “Anjing, keledai dan wanita akan membatalkan shalat jika melintas di antara musalli (orang yang shalat) dan kiblat.

3. Hadis yang diriwayatkan Abu Hurairah: “Ada 3 hal yang membawa bencana, yaitu rumah, wanita, dan kuda”

4. Hadis yang diriwayatkan Abdullah ibn Umar:

“Sepeninggalku kelak, tidak ada penyebab kesulitan yang lebih fatal bagi pria kecuali wanita”.

“Aku melihat ke sorga dan aku saksikan sebagian besar penghuninya adalah orang-orang miskin, kemudian aku lihat neraka, aku saksikan sebagian besar penghuninya adalah kaum wanita”.

Fatimah Mernissi dalam hal ini berpendapat bahwa perlu adanya penelitian ulang terhadap kebenaran dan kelengkapan hadis-hadis tersebut, namun juga perlu ditambah data pribadi sahabat yang meriwayatkannya, kondisi yang menyertai tujuan periwayatan dari mata rantai para perawi hadis (Khudori, 2003: 135-136). G. Evaluasi Kritis terhadap Gerakan Feminisme Islam Fatimah

Mernissi

1. Fatimah Mernissi kurang mantap dalam menguasai buku-buku standar. Hal ini dapat dilacak dari pernyataan Fatimah Mernissi bahwa Abu Hurairah adalah satu-satunnya perawi hadis tentang wanita sebagai pembatal shalat dalam kitab Sahih al Bukhari dan juga al Bukhari yang tidak memberi masukan tentang kesalahan yang berasal dari Aisyah, sehingga mempunyai kesan memperlakukan tidak adil kepada wanita.

2. Hadis tentang wanita sebagai pembatal shalat yang berasal dari Abu Hurairah ternyata tidak ditemukan di dalam Sahih al

Page 70: Jurnal Filsafat UGM Vol 18, no 1 (2008)

Widyastini, Gerakan Feminisme Islam…

71

Bukhari. Terdapat kurang lebih 13 periwayatan hadis yang di dalamnya berisi penjelasan tentang hal tersebut, yaitu dalam kitab as-Sahabab, kitab al-Witr, kitab al Amal fias-Salah, dan kitab al-Isti’zan. Imam Bukhari justru demikian menghormati wanita karena menempatkan kaum wanita sejajar dengan periwayatan hadis. Asqalani (Ahmad Ibnu Ali ibn Hajr) dalam Syarh Sahih al Bukhari memberikan ilustrasi ada 31 perawi hadis wanita yang dimasukkan dalam Sahih al-Bukhari, dengan periwayatan hadis sejumlah 242 hadis.

3. Fatimah Mernissi kurang memahami ilmu-ilmu hadis (ulum al-hadis), dengan kata lain Fatimah Mernissi tidak memiliki kemampuan mengoreksi kembali mengapa Al Bukhari tidak memasukkan hadis yang membantah Aisyah terhadap kekeliruan riwayat Abu Hurairah tentang 3 perkara yang membuat bencana, yaitu: kuda, wanita, dan rumah. Mengapa Al Bukhari menulis hadis lain yang menyatakan bahwa “Sepeninggalku tidak ada penyebab kesulitan yang lebih fatal bagi pria kecuali wanita”. Apakah tidak terlintas dalam pemikiran Fatimah Mernissi untuk melihat kebenaran masing-masing hadis?

4. Sebuah hadis dapat dipahami maknanya jika pada mulanya melihat secara langsung kitab Syarhnya (kitab penjelasan) dan tidak langsung memberikan vonis terhadap makna lahiriahnya, karena makna berkaitan dengan asbab-al wurud (sebab-sebab lahirnya hadis).

5. Beberapa pandangan Fatimah Mernissi dapat dikatakan kurang tepat, karena kurang referensi biografi Abu Hurairah dan Imam Bukhari dan juga kurang memahami kedudukan kaum wanita dalam ajaran Islam (Khudori, 2003: 142-146).

H. Penutup

Beberapa poin penting dari uraian mengenai pandangan feminisme Fatimah Mernissi adalah: 1. Gerakan Feminisme Islam yang diperjuangkan oleh Fatimah

Mernissi pada awalnya merupakan gerakan kaum wanita yang berupaya agar tidak terjadi perlakuan yang tidak adil (diskriminasi) terhadap kaum wanita merupakan satu hal yang perlu mendapat dukungan dan bertujuan positif bagi kemajuan wanita.

Page 71: Jurnal Filsafat UGM Vol 18, no 1 (2008)

Jurnal Filsafat Vol.18, Nomor 1, April 2008

72

2. Kesetaraan gender antara kaum pria dan wanita dapat diwujudkan sesuai hak dan kewajiban masing-masing yang tidak mungkin lepas dari nilai-nilai kodrati yang telah digariskan oleh Allah SWT sebagaimana terdapat dalam Kitab Suci Al Qur’an maupun Al Hadis.

3. Fatimah Mernissi sebagai pelopor Gerakan Feminisme Islam sudah berupaya semaksimal mungkin untuk memperjuangkan kaum wanita agar dapat bersama-sama dengan kaum pria menciptakan suasana yang kondusif bagi kemajuan dan perkembangan umat manusia di berbagai belahan dunia.

4. Islam menempatkan kaum pria dan wanita sesuai dengan posisinya masing-masing secara benar, tidak ada penindasan antara satu dengan yang lain, sehingga hak yang diberikan kepada kaum wanita sama halnya dengan hak yang diberikan kepada kaum pria yang disertai dengan kewajiban mereka masing-masing sesuai dengan tuntunan syara’.

5. Kaum pria dan wanita di hadapan Allah adalah sama-sama sebagai hamba dan khalifah Allah di muka bumi; yang membedakan di antara keduanya tidak lain hanyalah keimanan dan ketakwaannya saja. Nilai-nilai taqwa merupakan faktor mutlak yang menentukan nasib seorang makhluk di hadapan Sang Khalik.

6. Kaum wanita di manapun merea berada, hendaknya senantiasa berusaha agar bisa mengembangkan dirinya dengan cara meningkatkan pendidikan dan pengetahuan, sehingga tidak ketinggalan dengan kaum pria.

7. Kerjasama yang baik di antara kaum pria dan wanita merupakan satu hal yang perlu diwujudkan, agar tidak terjadi kesalahpahaman dan salah pengertian di antara keduanya karena sama-sama menyadari sebagai hamba Allah SWT yang berkewajiban beribadah kepadaNya.

8. Gerakan Feminisme Islam agar tidak menyimpang jauh dari ajaran Islam harus berupaya memahami dengan penuh pengertian dan senantiasa berpegang teguh pada ajaran Islam sebagaimana terdapat dalam firman-firman Allah SWT (Al Qur’an), dan sabda Rasulullah SAW di dalam Al Hadist.

-JF-

Page 72: Jurnal Filsafat UGM Vol 18, no 1 (2008)

Widyastini, Gerakan Feminisme Islam…

73

DAFTAR PUSTAKA

Al Istambuli, Mahmud Mahdi, As-Syalbi Mustafa Abu Nasr, 2002, Wanita-Wanita Sholihah dalam Cahaya Kenabian, Penerbit Mitra Pustaka, Yogyakarta

Athibi, Ukasyah, 1998, Wanita Mengapa Merosot Akhlaqnya, Penerbit Gema Insani, Jakarta

Fadhlullah, Sayid Muhammad Husain, 2000, Dunia Wanita dalam Islam, Penerbit Lentera, Jakarta

Gema Pembebasan, 2005, Wanita Korban Peradaban, Penerbit HT, Yogyakarta

Ihromi, T.O., 1995, Kajian Wanita dalam Pembangunan, Penerbit Yayasan Obor Indonesia, Jakarta

Mernissi, Fatimah dan Hassan, Riffat, 2000, Setara di Hadapan Allah, Penerbit LSPPA, Yogyakarta

Mujjama’ Al Malik Fahd Li Thiba’at Al Mush-haf, 1419 H, Al Qur’an dan Terjemahnya, Penerbit Asy-Syarif Medinah Munawwarah, BOX 6262, Kerajaan Sauudi Arabia

Musthafa, Ibnu, 2000, Wanita Islam Menjelang Tahun 2000, Penerbit Al Bayan, Bandung

Soleh, A. Khudori, 2003, Pemikiran Islam Kontemporer, Penerbit Jendela, Yogyakarta

Suryana Af., A. Toto, 1997, Pendidikan Agama Islam, Penerbit Tiga Mutiara, Bandung

Sumber dari internet: http://www.mernissi.net/Fatima Mernissi’s Website http://www.amazon.com/exec/obidos/search-handle-form http://www.google.com/FeminismedalamIslam/Siti Rafmah Zakaria

Page 73: Jurnal Filsafat UGM Vol 18, no 1 (2008)

IDE DAN PRAKSIS NEO-NASIONALISME DALAM MENGHADAPI TANTANGAN GLOBALISASI

Oleh: A.M. Hendropriyono1

Abstract

Nowadays, Indonesia national history is moving to universalism and will experience the historical paradox process, namely, the movement unified as a result of science and technology development that are able to protect. Men will be flowed to grouping in their own national community. It happens for human being claim justice and freedom. In the one hand, Capitalists as chief of globalization, nowadays, carry Neo-Liberalism as a thesis; in the other hand, there is Universal-Islam that carries Radicalism or terrorism as anti-thesis. Although they use a same language, reciprocally, they can not understand each other. The two languages, as if, come from two contradictory cultures, therefore, undoubtedly, they create the clash of civilization. The paradoxical and conflict phenomena will reduce if community in nation-state success in consolidate base on their consciousness, that the synthesis of social-dialectic in this age is a new and fresh national life, as the raising of Neo-Nationalism in the Nation-States in all over the world. Keywords: Neo-Nationalism, Globalization and Nation-States

A. Pendahuluan

Dalam kerangka pembangunan, harus diakui bahwa peran sejarah nasional satu bangsa sangat strategis dan fundamental, terutama dalam upaya membangun kesadaran nasional dan mempertegas identitas bangsa. Jika ditelaah lebih jauh, sejarah nasional Indonesia kini sedang bergerak ke arah universalisme dan akan mengalami proses The historical paradox (sejarah yang paradoksal), yaitu gerakan menyatu akibat kemajuan ilmu dan teknologi yang tak mungkin dapat terbendung. Sementara itu, kenyataan lain menunjukkan bahwa manusia juga akan semakin terbawa arus untuk mengelompokkan diri dalam komunitas kebangsaan masing-masing. Hal itu tiada lain, menurut Soekarno 1 Jendral TNI Purnawirawan, mahasiswa Program Doktor Ilmu Filsafat pada Fakultas

Filsafat UGM.

Page 74: Jurnal Filsafat UGM Vol 18, no 1 (2008)

Jurnal Filsafat Vol.18, Nomor 1, April 2008

76

(1958), terjadi akibat tuntutan sekalian umat manusia terhadap keadilan dan kebebasan.

Ramalan Presiden pertama RI yang nyaris tidak terdengar karena masyarakat internasional saat itu sedang sarat oleh feodalisme intelektual yang arogan, tiga dekade kemudian disampaikan kembali oleh John Naisbitt dan Patricia Abundene pada era 1990-an dalam bukunya yang berjudul Megatrends 2000, sehingga menggemparkan dunia. Kaum kapitalis yang memimpin globalisasi di masa ini mengusung Neo-Liberalisme sebagai tesis, yang berhadap-hadapan dengan para penganut Islam Universal yang mengusung Radikalisme sebagai anti tesis, dalam bahasa yang sama, yaitu terorisme, yang secara resiprokal tidak dapat dimengerti. Bahasa tersebut digunakan secara universal oleh kedua belah pihak sebagai ungkapan atas pemikiran masing-masing yang berdasarkan dua kebudayaan yang nyaris bertentangan, sehingga memicu terjadinya The clash of civilization (konflik antar peradaban) di dunia ini (Huntington, 1996).

Fenomena paradoksal dan konflik yang berkelanjutan tersebut akan semakin berkurang, apabila masyarakat di negara-negara bangsa kelak berhasil melakukan konsolidasi atas dasar kesadaran mereka, bahwa sintesis dari dialektika sosial abad ini adalah satu kehidupan kebangsaan yang segar, sebagai kebangkitan dari Neo-Nasionalisme dalam entitas of the Nation States (negara-negara bangsa) di berbagai belahan dunia. B. Filosofi Kebangsaan Neo-Nasionalisme versus Neo-

Liberalisme dan Radikalisme Neo-Liberalisme telah membuka jalan bagi cita-cita

pencerahan Imannuel Kant (1724-1804), untuk mencapai keadilan dan kebebasan individu melalui konsep Demokrasi Barat. Cita-cita kosmopolitanisme Kant merupakan bentuk dari Protestanisme Sekuler, yang sebagian besar manifestasi modernitasnya ternyata dianggap tidak sesuai dengan konsep Islam Universal oleh kaum radikal. Masalah pokok yang menjadi diskursus adalah prinsip toleransi yang bersifat paternalistik, yang sama-sama dianut baik oleh Neo-Liberalis, maupun oleh para penganut Islam Universal yang bercita-cita menegakkan Daulah Islamiyah (Kekuasaan Islam di dunia), dalam posisi masing-masing yang saling berhadap-hadapan.

Sebagai warga dunia yang mempunyai hak yang sama atas bumi ini secara komunal, prinsip kesanggrahan dari Neo-

Page 75: Jurnal Filsafat UGM Vol 18, no 1 (2008)

A.M. Hendropriyono, Ide dan Praksis Neo-nasionalisme dalam…

77

Nasionalisme, yaitu satu posisi yang duduk sama rendah dan berdiri sama tinggi bersifat lebih manusiawi, dibandingkan dengan sekedar menerima belas kasihan yang digariskan dalam prinsip toleransi. Tesis sosial dunia berupa Neo-Liberalisme dan anti tesisnya yang berupa Islam Universal, kini berlangsung dalam bentuk benturan antar peradaban, meskipun fihak Barat telah mencoba meredam benturan tersebut dengan konsep demokrasi konstitusional (demokrasi parlementer) yang ditebarkan ke seluruh dunia, dengan diiringi oleh konsep dekonstruksionisme, yang menuntut perombakan total seluruh lembaga dan tata aturan internasional yang dirasakan tidak adil. Keadaan dunia dalam aspek hubungan antara negara dengan peradaban, berlangsung semakin sulit dan tidak jarang pula menunjukkan kecenderungan yang bersifat antagonistik. Masyarakat Islam dalam negara-negara bangsa yang bersifat moderat mengambil jarak terhadap Islam Universal, yang dalam konteks Indonesia dikenal sebagai penganut Islam Tradisional, yaitu Islam indijinisasi, yang sudah mempribumi, mengakar dalam budaya bangsa Indonesia (Arubusman, 2006).

Pada tataran mikro terdapat potensi persinggungan yang tajam antara Islam Universal dengan kaum non-Islam, sedangkan pada tataran makro terdapat pertentangan yang semakin nyata antara pihak Barat dan Non-Barat. AGHT (Ancaman Gangguan Hambatan dan Tantangan) global dalam perspektif Non-Barat adalah konsep Kapitalisme dalam posisi menurun (Kapitalismus im niedergang) yang mengusung fasisme. Contoh aktual adalah ofensif strategis Amerika Serikat (AS) terhadap Irak pada tahun 2003, berupa kampanye militer fisik yang dilakukan karena pasar swatata dari the invisible hands sebagai konsep Kapitalisme yang naik (Kapitalismus im aufstieg) mengalami kegagalan. Namun demikian, mau tidak mau, suka tidak suka, siap tidak siap, Indonesia harus menerima Globalisasi sebagai satu kenyataan (Soeharto, 1994). Demikian pula Indonesia harus siap menghadapi fenomena global dengan semakin mengelompoknya umat manusia ke dalam entitas-entitas lokal, yang sifatnya paradoksal terhadap arus globalisasi sebagaimana ramalan Bung Karno, John Naisbitt dan Patricia Abundene serta peringatan Soeharto. Kesiapan Indonesia harus dapat tercermin dalam modernisasi nasional terhadap wawasan kebangsaan, yang berlangsung secara sistemik dan terus-menerus antar berbagai suku, agama, ras dan antar golongan (SARA) di berbagai strata sosial.

Page 76: Jurnal Filsafat UGM Vol 18, no 1 (2008)

Jurnal Filsafat Vol.18, Nomor 1, April 2008

78

Hakikat kebangsaan Indonesia menurut Notonagoro (1975) adalah satu kodrat manusiawi, sebagai makhluk individu dan mahluk sosial, yang berbeda dengan paham liberal yang individualistis dan juga paham sosialisme komunis yang semata-mata menekankan kepada prinsip kolektivisme. Secara epistemologis menurut Ernest Renan, wawasan kebangsaan terbangun dari keinginan satu kelompok manusia untuk bersatu. Otto Bauer menambahkan, mereka bersatu karena persamaan karakter. Soekarno merangkum secara lebih luas, yaitu dengan dasar keinginan dan karakter yang sama, kelompok manusia tersebut bermukim dalam satu unit geopolitik, untuk lahir sebagai satu bangsa (Bung Karno, 1958).

Sebagai tulang punggung ketahanan nasional, pembangunan ketahanan regional ASEAN (Association of the South East Asia Nations), utamanya dalam aspek ekonomi dan keuangan, merupakan ketahanan nasional Indonesia di baris kedua. Wawasan kebangsaan yang segar memerlukan input besar-besaran dari segenap potensi kemanusiaan; lahir dan bathin, sehingga pada akhirnya jurang kesejahteraan antara kaya dan miskin di Indonesia semakin mengecil. Kepadatan penduduk yang sebagian terbesar dari kalangan lapisan masyarakat bawah yang miskin, tidak dapat lagi diatasi dengan sistem transmigrasi nasional. Sementara itu migrasi spontan penduduk Indonesia ke luar negeri terhambat oleh berbagai macam kendala.

Kemiskinan struktural tidak saja menjadi realitas objektif namun realitas itu tampak mengarah pada menajamnya perbedaan tingkat kesejahteraan hidup warga bangsa ini; lapisan masyarakat miskin semakin tebal, sementara lapisan golongan menengah dan atasnya semakin tipis. Akibatnya, jurang antara si kaya dengan si miskin di antara bangsa Indonesia, semakin lama semakin melebar. Bilamana wawasan kebangsaan yang segar tumbuh dan berkembang dari pemahaman terhadap nilai dasar, maka berbagai masalah bangsa dapat dipecahkan oleh generasi demi generasi dengan lebih mudah. Tidak efektifnya usaha pembinaan selama reformasi terhadap perkembangan wawasan kebangsaan, telah menyebabkan semakin jauhnya ikatan batin antara generasi penerus dengan generasi pendiri Nation State (negara-bangsa) Indonesia. Sebagai anggota masyarakat dalam satu negara-bangsa, manusia Indonesia harus dijaga agar tetap merdeka di bidang politik, mandiri di bidang ekonomi dan memiliki kepribadian serta tradisinya sendiri di bidang kebudayaan. Kebebasan atas ketiga aspek tersebut menentukan

Page 77: Jurnal Filsafat UGM Vol 18, no 1 (2008)

A.M. Hendropriyono, Ide dan Praksis Neo-nasionalisme dalam…

79

identitas manusia Indonesia, dalam pengelompokannya ke dalam entitas-entitas lokal yang sedang dalam proses pembentukan.

Kerenggangan hubungan batin generasi bangsa sekarang dengan generasi pendahulunya dan kondisi kemajemukan yang tiada bertitik temu, merupakan kendala pokok yang mengganjal bangsa Indonesia untuk dapat menghasilkan kemampuan besar dalam menghadapi universalisme dan ide separatisme global. Di masa lampau, yaitu pada dasawarsa-dasawarsa pertama berdirinya Indonesia sebagai satu negara-bangsa, masyarakat berada dalam suasana perang menghadapi kolonialisme dan berbagai bentuk pengkhianatan yang bersifat ideologis, serta juga pemberontakan bersenjata di dalam negeri. Manusia Indonesia dahulu dihadapkan pada pilihan tatanan negara-bangsa yang mengandalkan kharisma Pemimpin Besar Revolusi, sehingga di bawah Bung Karno dinamika orang Indonesia demikian tinggi, meskipun jumlah penduduknya demikian besar, seperti terlihat ketika menyelesaikan masalah bangsa dalam merebut Irian Barat kembali ke pangkuan NKRI (Negara Kesatuan Republik Indonesia) dan bahkan mampu memimpin negara-negara the New Emerging Forces (Negara-negara kekuatan Baru) dalam menanggapi ketidakadilan universal. Ketika dinamika dan stabilitas otokratis yang kokoh itu dilanjutkan Pak Harto tetapi kemudian hancur berantakan pada tahun 1998, para politisi Indonesia kini telah memilih demokrasi liberal sebagai tatanan politik internal negara. Dengan demokrasi model tersebut sebagai instrumen, basis sosial negara kebangsaan menjadi luas, karena seluruh masyarakat terlibat dalam memecahkan masalah nasional.

Secara teoretis, perkembangan di atas seharusnya membuat sistem sosial politik menjadi lebih mantap dan sistem ekonomi seharusnya menjadi lebih kuat serta lebih kokoh dalam mempertahankan wawasan kebangsaan (Moerdiono, 1991). Namun ternyata usaha peningkatan ketahanan dalam aspek-aspek tersebut tidak terlihat secara aktual dalam kebersamaan masyarakat di bidang politik dan sosial ekonomi; bahkan yang terjadi adalah penyerobotan hak demokrasi rakyat oleh partai politik, sehingga demokrasi yang berlangsung di Indonesia cenderung lebih layak disebut sebagai partaiokrasi. Pembiasan dari sistem demokrasi tersebut telah melahirkan penyakit, berupa anarkisme, yang semakin marak di kalangan masyarakat. Hal tersebut disebabkan oleh pelibatan berbagai komponen masyarakat yang kualitas dan juga aksesnya terhadap berbagai sumber daya masih sangat rendah.

Page 78: Jurnal Filsafat UGM Vol 18, no 1 (2008)

Jurnal Filsafat Vol.18, Nomor 1, April 2008

80

Tanpa pemahaman terhadap Neo-Nasionalisme, bangsa Indonesia sulit untuk menjawab berbagai AGHT nasional yang terus berdatangan secara bertubi-tubi. Proses pengambilan keputusan di berbagai strata kehidupan berlangsung terlalu lambat, bertele-tele dan menjadi sangat sukar dalam memecahkan berbagai isu yang dihadapi oleh bangsa Indonesia. C. Integritas Filosofis dalam Dimensi Praksis Neo-Nasionalisme

Fenomena Neo-Nasionalisme di Indonesia harus disambut dengan senantiasa mengedepankan kebersamaan, dalam membentuk kader-kader kelas menengah dan atas masyarakat bangsa sebagai agen pembaharu yang tangguh. Di samping itu perlu lebih mementingkan aspek persatuan bangsa sesuai dengan asas Pancasila, yang telah terbukti merupakan senjata paling ampuh dalam menghadapi segala macam rejim. Persatuan bangsa hanya `akan terwujud dalam karya-karya masyarakat yang terorganisasi, bukan hanya sekedar termobilisasi. Dalam mengurus organisasi negara, diperlukan manajemen bangsa, yang diselenggarakan oleh administrasi pemerintahan RI. Ukuran nilai administrasi negara, terdiri atas: Pertama, semangat atau moril yang tinggi, moral yang luhur yang secara keseluruhan merupakan mental kejiwaan masyarakat yang tanggap dan tanggon. Kedua, disiplin sosial yang tinggi karena merupakan syarat mutlak keberhasilan sistem demokrasi. Ketiga, rasa persatuan dalam kebangsaan tanpa diskriminasi dan sentimen SARA. dan Keempat, Kualitas dan profesionalisme masyarakat yang dibangun atas dasar ilmu dan teknologi tepat guna dari negara-negara maju. Pembangunan bangsa masa kini adalah demi masa sekarang dan demi masa depan. Dengan demikian maka prinsipnya hanya akan meliputi peningkatan kualitas pendidikan, teknologi, infrasturktur, network (jejaring) nasional dan internasional serta akses terhadap kapital (sumber daya keuangan). Tidak mengeksploitasi kekayaan alam sama sekali, terlebih lagi sumber daya alam yang tak terbarukan, sebagaimana sistem pembangunan pada bangsa Singapura, Jepang, Taiwan dan lain-lain yang tidak mempunyai sumber daya alam. Pada hakikatnya Neo-Nasionalisme merupakan satu integritas filsafati dari nasionalisme dan Islam tradisional, serta berbagai agama yang hidup dalam masyarakat pluralistis Indonesia, sehingga penggunaan bahasa dalam rangka mengungkapkan pemikirannya, termasuk refleksi kritis bangsa Indonesia terhadap ketidakadilan dunia, dapat dimengerti secara universal.

Page 79: Jurnal Filsafat UGM Vol 18, no 1 (2008)

A.M. Hendropriyono, Ide dan Praksis Neo-nasionalisme dalam…

81

Ontologi Neo-Nasionalisme yang jauh dari cita-cita untuk menguasai dunia yang mengglobal ini, membuat pemikiran tersebut jauh lebih realistis jika dibandingkan dengan Kosmopolitanisme dan kewarganegaraan dunia, sebagaimana cita-cita pencerahan para Kantianis. Demikian pula halnya jika dibandingkan dengan Daulah Islamiyah, sebagaimana cita-cita radikal Islam Universal. Tataran operasional Neo-Nasionalisme harus bersifat praksis, antisipatif dan evaluatif terhadap fenomena paradoks universalisme. Praksis yang bersifat antisipatif bagi Indonesia, dalam menyambut datangnya gelombang Neo-Nasionalisme abad ini, antara lain. 1. Memacu peningkatan kualitas pendidikan untuk membangun

masyarakat profesional yang pada gilirannya mempertebal lapisan masyarakat Indonesia golongan menengah dan atas. Kompetisi positif pada lapisan-lapisan tersebut akan memperkecil gap antara kaya dan miskin.

2. Mengembalikan roh atau jiwa Pancasila ke dalam batang tubuh UUD 1945 hasil empat kali amandemen (Effendi, 2007).

3. Memperkuat barisan Islam tradisional (pribumi) dalam keberhadapannya dengan Islam Universal yang bertipologi radikal.

4. Memacu penerapan alih teknologi tepat guna, dalam meningkatkan segenap aspek ketahanan nasional.

5. Memacu pembangunan infrastruktur politik, sosial dan pertahanan atas dasar kearifan nasional.

6. Memacu pembangunan infrastruktur ekonomi, budaya dan keamanan atas dasar kearifan lokal.

7. Memacu pembangunan network (jejaring) ke berbagai sumber daya, utamanya ekonomi perdagangan nasional, regional dan internasional.

8. Membuka akses yang seluas-luasnya terhadap Kapital (sumber daya keuangan), baik di dalam maupun di luar negeri.

9. Memberlakukan sistem dwi-kewarganegaraan dengan negara-negara tertentu, yang bersifat simbiosis mutualistis dalam memecahkan berbagai common issues (isu bersama); misalnya, dalam mengatasi ledakan penduduk yang tak terelakkan, perlu kewargaan-ganda dengan negara yang jarang penduduknya. Demikian pula halnya untuk mencapai tujuan mendapatkan akses ke berbagai sumber kapital, yang terdapat di negara-negara maju dan kaya yang secara potensial tidak bertentangan dengan semangat nasionalisme Indonesia.

Page 80: Jurnal Filsafat UGM Vol 18, no 1 (2008)

Jurnal Filsafat Vol.18, Nomor 1, April 2008

82

10. Memberlakukan penyatuan mata uang regional negara-negara ASEAN.

11. Memberlakukan wajib militer terhadap rakyat Indonesia berkondisi produktif, berdasarkan konsep conscript (konskripsi) atau draft, dalam rangka konsolidasi persatuan nasional bangsa Indonesia yang anti sentimen SARA.2

12. Melakukan moratorium terhadap pengelolaan berbagai jenis sumber daya alam yang tak terbarukan.

13. Menyelenggarakan secara terus-menerus konsensus nasional menghadapi berbagai macam isu global. Dalam menghadapi isu separatisme, misalnya, harus diselenggarakan referendum nasional untuk menentukan pendapat rakyat, bukan referendum lokal seperti yang pernah dilakukan di Timor Timur pada 1999.

14. Meningkatkan akses secara berkelanjutan keberbagai badan kerjasama internasional dan lembaga hukum internasional. Kekalahan negara dalam sengketa internasional abad ini, cenderung merupakan akibat lemahnya kekuatan lobby universal, baik di The International Court of Justice maupun di The International Criminal of Court.

15. Melindungi segenap rakyat Indonesia dari aksi terorisme, dengan memberlakukan Undang-undang intelijen yang berada di luar The criminal justice system (sistem peradilan kriminal), sehingga mampu memberikan ruang bagi early warning system (sistem pencegahan dini).

D. Penutup Keharmonisan dalam kehidupan yang interdependen (saling tergantung) antar suku, agama, ras dan golongan di dalam unit geopolitik Indonesia, merupakan hakikat dari Neo-Nasionalisme. AGHT yang paling mungkin akan dihadapi oleh Neo-Nasionalisme di negara-negara bangsa sebagai fenomena paradoksal, yaitu disintegrasi periferal, yang terjadi seiring dengan kemunculan entitas-entitas lokal. Kecenderungan tersebut hanya dapat ditangkal oleh penyempitan ruang gerak berbagai aspirasi sektarianisme dan primordialisme dalam masyarakat Indonesia yang majemuk. Berbagai kebijakan seperti peraturan-peraturan di berbagai daerah

2 Konsep ini merupakan penyesuaian dan juga sekaligus merupakan penyempurnaan dari Sistem Pertahanan Keamanan Rakyat Semesta (Sishankamrata).

Page 81: Jurnal Filsafat UGM Vol 18, no 1 (2008)

A.M. Hendropriyono, Ide dan Praksis Neo-nasionalisme dalam…

83

yang bertentangan dengan praksis Pancasila, harus digugurkan melalui berbagai reviews, baik legislative review maupun executive review, sehingga tidak dapat meluas ke dalam aspek lain dalam domain kebijakan publik.

-JF- DAFTAR PUSTAKA

Arubusman, Muhyiddin, 2006. “Gerakan fundamentalisme Islam: dari Bawah Tanah sampai Perjuangan Politik Formal” dalam buku Terorisme di Tengah Arus Global Demokrasi, Editor: Syahdatul Kahfi, Penerbit Spectrum, Jakarta.

Borradori, Giovanna, 2005, judul asli Philosophy in Time of Terror, diterjemahkan oleh Alfons Taryadi, dengan judul: Filsafat dalam Masa Teror, Dialog dengan Jürgen Habermas dan Jacques Derrida, Penerbit Buku Kompas, Jakarta.

Castro, Fidel, 2002, War, Racism and Economy Injustice, Ocean Press, Melbourne.

Effendi, Sofian, 2007, “Ceramah di forum Jati Diri Bangsa”, Jakarta.

Fakih, Mansour, 2006, Runtuhnya Teori Pembangunan dan Globalisasi. Insist Press bekerjasama dengan Pustaka Pelajar, Yogyakarta.

Floriberta, Aning, 2006, Filsafat Pancasila Menurut Bung Karno/ Ir Soekarno, 1958, Penerbit Media Pressindo, Yogyakarta.

Huntington, Samuel P. Benturan Antar Peradaban dan Masa Depan Politik Dunia, terjemahan oleh M Sadat Ismail, Penerbit Qalam, Yogyakarta.

Isaak, Robert A, 2005. The Globalization Gap, Prentice Hall, New York.

Kaelan, MS, 2004, Filsafat Analitis menurut Ludwig Wittgenstein. Penerbit Paradigma Yogyakarta.

Maciavelli, Niccolo, 1513, The Prince. Miklethwait, John & Adrian Wooldridge, 2007, Masa Depan

Sempurna, Tantangan dan Janji Globalisasi. Freedom Institute bekerjasama dengan Yayasan Obor Indonesia, Jakarta.

Mugasejati, Nanang Pamuji & Martanto, Ucu, 2006. Kritik Globalisasi & Neo-Liberalisme. Seri kajian sosial politik

Page 82: Jurnal Filsafat UGM Vol 18, no 1 (2008)

Jurnal Filsafat Vol.18, Nomor 1, April 2008

84

kontemporer/editor seri : Purwo Santoso, I Gusti Ngurah Putra, Fisipol UGM, Yogyakarta.

Nurhadi MA dan Kamdani, 2005, Kritik atas Akal Budi Praktis Imannuel Kant. Pustaka pelajar Yogyakarta.

Paul Hirst & Grahame Thompson, 2001, Judul asli: Globalization in Question, diterjemahkan oleh P Soemitro dengan judul: Globalisasi adalah Mitos, Yayasan Obor Indonesia, edisi pertama, Jakarta.

Paulsen, Friederich, 1902, Imannuel Kant: His live and doctrine, Scribner, New York.

Salam, Mohamad Faisal.2005, Motivasi tindakan Terorisme, Penerbit Pustaka Ilmu, Bandung.

Soeharto, 1989, Pikiran, Ucapan dan Tindakan Saya, Jakarta. Soejadi, 1999, Pancasila sebagai Sumber Tertib Hukum

Indonesia, Lukman Offset, Yogyakarta. Soekarno, Ir, 1958. Kebangsaan Dalam Pancasila, Pidato pada

kursus Pancasila 16 Juni 1958 di Istana Negara, Jakarta. ---------------, 1958. Kedaulatan Rakyat Dalam Pancasila. Pidato

di depan kader-kader Pancasila pada 22 Juli 1958 di Istana Negara, Jakarta.

Stiglitz, Joseph, 2002, Globalization and Its Discontents, New York, USA.

Magis-Suseno, Franz von, 2006, Berebut jiwa bangsa, Penerbit Kompas, Jakarta.

----------------, 1994, Etika Politik, Penerbit Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.

Kant, Imannuel, 1956, Critique of Practical Reason, 1788, Terjemahan Lewis White Beck, The Liberal Arts Press. New York.

Moerdiono, 1991. Kehidupan Kebangsaan yang Segar. Sekretariat Negara Republik Indonesia, Jakarta.

Nurhadi, 2005. Kritik Atas Akal Budi Praktis, Pustaka Pelajar, Yogyakarta.

Tjahyadi, Lili, 1991, Hukum Moral Ajaran Immanuel Kant tentang Etika dan Imperatif Kategoris, Kanisius, Yogyakarta.

Yunus, Muhammad, 2007. Bank Kaum Miskin, Terjemahan Irfan Nasution, PT Buku Kita, Jakarta

Page 83: Jurnal Filsafat UGM Vol 18, no 1 (2008)

AKTUALISASI PEMAHAMAN NILAI MENURUT MAX SCHELER

BAGI MASA DEPAN BANGSA INDONESIA

Oleh: Jirzanah1

Abstract

Scheler is a philosopher who argues that philosophy and real life are not inseparable. Scheler does not base his ideas in a specific scientific procedure and have no an empirical procedure, but uses an intuition to perform a direct relation with the reality. A morality of human being relied into effect of objective values. A value arrested directly pursuant to intuition. The targets of this research are to formulate descriptively a background philosophical theory of Scheler axiology, values essence, and base of an understanding of values, later then formulate analytically an excess and weakness of Scheler axiology, and basic axiology to Indonesian nation in the future.

This research is a library research in Philosophy. Source of data collected from bibliographic books which related with the material object of this research. The material object of this research is theory Scheler about value. The formal object of this research is Axiology. A primarily materials of this research are books have published about Scheler masterpiece in Ethics and value theory. The steps of this research are sort in data collecting, reduce the data, data classification, interpretation, recapitulating, and reporting. Method of data analyze uses the understanding of interpretation and hermeneutic.

The result of this research showed that idea of Scheler philosophy is influenced by Husserl phenomenology. Phenomeno-logy represented methods and philosophy. Phenomenology as a method sorts the steps which must be taken to be able to pure phenomenon. Someone have to starting from subject and its awareness and also to return a pure awareness (intuition). Scheler have a notion, that value look of human being because sticked at a reality. Intelligence or mind cannot have a kind of direct link with values. Values express human being through the emotional intuition (consciousness). The principles of axiology are needed in the nation

1 Dosen Fakultas Filsafat UGM.

Page 84: Jurnal Filsafat UGM Vol 18, no 1 (2008)

Jurnal Filsafat Vol.18, Nomor 1, April 2008

86

and state guidance so that pluralism can become the nation strength. An understanding of values through life sensitivity is important in answering multiculturalism of Indonesia. The principles of humanity, unity, and contextuality can be accepted with the sensitivity. The principles of unity and contextuality can make an ethnical group comprehend and have empathy to the other ethnical group values. If multiculturalism is understood through the rational approach, it will emerge ‘right and wrong’ justification without consideration of tolerance and empathy.

Keywords: philosophy, values, Indonesian, real life. A. Pendahuluan

Bangsa Indonesia memasuki abad XXI dengan keadaan yang carut marut akibat krisis multi dimensional yang terjadi pada akhir abad XX. Krisis ekonomi yang terjadi sejak tahun1998 tidak segera teratasi dan berdampak pada krisis-krisis di berbagai bidang kehidupan. Rakyat Indonesia pada umumnya kesulitan untuk memenuhi kebutuhan hidupnya secara layak. Rakyat Indonesia yang dikenal ramah berubah perangai menjadi mudah emosional. Demonstrasi terjadi hampir di semua daerah. Demonstrasi yang berubah menjadi amuk massa terlalu sering terjadi. Sidang pengadilan untuk para koruptor terus dilakukan, tetapi korupsi juga terus terjadi. Tata krama, kaidah-kaidah moral, dan kehalusan rasa mulai ditinggalkan. Kehidupan di Indonesia semakin menjauh dari perspektif nilai-nilai keluhuran.

Bangsa Indonesia perlu melakukan refleksi terhadap fakta-fakta yang terjadi dewasa ini. Faktor krisis multi dimensional di Indonesia dan pengaruh negara-nagara Barat perlu menjadi pertimbangan utama. Pengaruh perkembangan ilmu pengetahuan di jaman Modern yang hanya mengenal kebenaran empiris dan cenderung menempatkan nilai-nilai kebendaan di atas nilai-nilai hidup yang lain dapat menjungkirbalikkan hierarkhi nilai yang sebenarnya. Sikap rasional yang diagung-agungkan lebih didasarkan kepada kepandaian, ketrampilan, ketepatan perhitungan, dan ketekunan kerja. Kecenderungan tersebut menyebabkan diabaikannya nilai-nilai religius dan nilai-nilai yang bersumber pada kejiwaan manusia. Kesetiaan, sopan santun, kesetiakawanan, gotong royong, dan lain-lain sikap kerendahan hati dianggap kurang menguntungkan. Masyarakat modern yang industrialistis akan mendewakan nilai-nilai kebendaan yang amat berbeda dengan asas-

Page 85: Jurnal Filsafat UGM Vol 18, no 1 (2008)

Jirzanah, Aktualisasi Pemahaman Nilai…

87

asas moral. Kebebasan dan rasionalitas di Indonesia tidak harus sama dengan di Barat (Purwo-Hadiwardoyo,1983: 50).

Scheler adalah seorang filsuf yang berusaha menganalisis secara kritis pengaruh ilmu pengetahuan di jaman modern. Scheler berpandangan bahwa filsafat, ilmu pengetahuan, dan kehidupan konkrit tidak dapat dipisahkan. Scheler selalu berusaha memperhatikan dan menganalisis masalah-masalah aktual yang terjadi. Scheler sangat memperhatikan kehidupan masyarakat sekitarnya dan kehidupan global. Scheler tidak merumuskan pemikirannya melalui prosedur khusus yang bersifat ilmiah (empiris), tetapi menggunakan intuisi untuk mengadakan hubungan langsung dengan realitas. Hubungan langsung dengan realitas akan menghasilkan pemahaman intuitif yang tidak tergantung dari keberadaan realitas. Nilai-nilai mempunyai sifat absolut, tidak berubah, dan tidak bersifat subjektif. Nilai-nilai ditangkap secara langsung berdasarkan intuisi. Nilai-nilai harus digunakan sebagai prinsip bagi penilaian dan perilaku manusiawi. Moralitas perbuatan manusia didasarkan pada berlakunya nilai-nilai objektif (Bertens, 1983:111).

Penelitian tentang hakikat nilai dan pendekatan intuitif melalui apriori emosi (intuisi) terhadap kehidupan kongkrit sangat menarik dan penting bagi upaya mengatasi krisis yang terjadi di Indonesia. Penelitian ini penting terutama untuk merumuskan dasar aksiologis pengembangan kepribadian bangsa dan kehidupan bangsa Indonesia di masa depan. Dasar aksiologis untuk menentukan pilihan hierarkhi nilai-nilai hidup yang dapat dipertanggungjawabkan bukan hanya kebenarannya, tetapi juga ketepatannya. Refleksi terhadap pandangan-pandangan dasar aksiologis Scheler tetap harus di dalam bingkai akulturasi. Akulturasi budaya dipahami sebagai suatu pengembangan nilai-nilai budaya sendiri melalui pengaruh nilai-nilai budaya dari luar untuk tujuan tertentu. Tujuan akulturasi adalah agar dapat mengambil unsur-unsur nilai baru yang dapat memajukan dan mengembangkan nilai-nilai budaya Indonesia sendiri. Permasalahan penelitian ini dirumuskan sebagai berikut. 1. Apa latar belakang pandangan-pandangan filsafati Scheler ? 2. Apa pengertian hakikat nilai dan dasar pemahaman

nilai menurut Scheler ? 3. Apa kelebihan dan kelemahan Aksiologi Scheler ? 4. Apa pentingnya pemahaman Aksiologis Scheler bagi bangsa

Indonesia dalam menyongsong masa depan ?

Page 86: Jurnal Filsafat UGM Vol 18, no 1 (2008)

Jurnal Filsafat Vol.18, Nomor 1, April 2008

88

Penelitian ini berbeda dengan beberapa tulisan tentang pandangan-pandangan Scheler. Sepanjang pengetahuan peneliti buku-buku pustaka memang telah banyak mencantumkan catatan-catatan kaki, terutama di buku-buku Sejarah Filsafat dan Filsafat Nilai yang bersumber dari konsep filsafat dan teori nilai Scheler. Catatan-catatan kaki tersebut menjadikan pandangan-pandangan Scheler sebagai sumber acuan dan bukan suatu penelitian untuk mengembangkannya. Keaslian penelitian ini terutama pada objek formalnya, yaitu Aksiologi. Penelitian ini dimaksudkan untuk mengembangkan pemikiran dan aspek metodologis yang digunakan Scheler dalam merumuskan pengertian hakikat nilai, pemahaman nilai, dan hubungan nilai dengan kehidupan konkrit di Indonesia. Tujuan penelitian ini yang utama adalah untuk merumuskan secara deskriptif teori-teori filsafati yang menjadi latar belakang pemikiran Aksiologi Scheler tentang hakikat nilai dan dasar pemahaman nilai. Pemahaman tentang Aksiologi Scheler dijadikan bahan untuk merumuskan secara analitis dasar aksiologis bagi bangsa Indonesia dalam menyongsong masa depan.

Kajian pustaka digunakan untuk memudahkan pemahaman tentang pandangan-pandangan Scheler di bidang Aksiologi. Bertens menjelaskan, bahwa Scheler secara umum dianggap sebagai tokoh fenomenologi yang kedua. Fenomenologi Scheler bertumpu pada pemikiran Husserl, tetapi dalam pengembangannya Scheler mengubah pandangan Husserl tentang fenomenologi sebagai suatu ilmu rigorus. Scheler berpandangan bahwa filsafat dan kehidupan kongkrit tidak dapat dipisahkan. Scheler selalu berusaha menganalisis masalah-masalah aktual. Scheler juga tertarik pada Sosiologi. Scheler memandang metode fenomenologis sebagai suatu cara tertentu untuk memandang realitas. Fenomenologi merupakan suatu sikap, bukan suatu prosedur khusus yang diikuti oleh pemikiran (misalnya induksi, deduksi, dan teknik berpikir lainnya). Sikap fenomenologis tersebut digunakan untuk mengadakan hubungan langsung dengan realitas berdasarkan intuisi. Hubungan langsung dengan realitas disebut pengalaman fenomenologis. Unsur utama dalam pengalaman fenomenologis tersebut bukan fakta pada umumnya, melainkan fakta jenis tertentu, yaitu fakta-fakta fenomenologis. Fakta fenomenologis juga disebut sebagai fakta murni. Fakta fenomenologis adalah isi intuitif atau hakikat yang dihasilkan oleh pengalaman langsung yang tidak tergantung dari ada atau tidak adanya dalam realitas. Fakta fenomenologis selalu utuh lengkap sepenuh-penuhnya, bukan hanya

Page 87: Jurnal Filsafat UGM Vol 18, no 1 (2008)

Jirzanah, Aktualisasi Pemahaman Nilai…

89

sebagian. Fakta fenomenologis menjadi dasar bagi fakta natural (indrawi) dan ilmiah (Bertens, 1983: 109).

Jasa Scheler yang sangat besar adalah pemikirannya tentang nilai. Scheler menjelaskan nilai adalah hal yang dituju oleh perasaan, yang mewujudkan apriori emosi. Nilai bukan idea atau cita, melainkan sesuatu yang nyata dan hanya dapat dialami dengan jiwa yang bergetar, yaitu dengan emosi. Pemahaman nilai tidak sama dengam pemahaman secara umum, seperti dalam mendengar, melihat, dan mencium. Akal tidak dapat mengetahui nilai, sebab nilai tampil apabila ada rasa yang diarahkan pada sesuatu. Nilai adalah hal yang dituju perasaan, yaitu apriori perasaan (Harun-Hadiwijono, 1980: 145).

Scheler berpandangan bahwa nilai merupakan kualitas objektif. Keberadaannya tidak tergantung pada benda. Seseorang tidak dapat memahami nilai dari benda yang bernilai, karena nilai mendahului bendanya. Nilai adalah kualitas apriori artinya bukan hanya tidak tergantung pada semua objek yang bereksistensi, tetapi juga tidak tergantung pada tanggapan seseorang. Nilai bersifat mutlak, tidak berubah, sehingga tidak dipengaruhi oleh perbuatan seseorang. Pengetahuan seseorang tentang nilai dapat bersifat relatif, tetapi bukan nilai itu sendiri yang relatif (Frondizi, 1963: 82 ).

Moralitas perbuatan-perbuatan manusia berdasarkan pada berlakunya nilai-nilai objektif, sehingga tidak tergantung pada manusia. Nilai-nilai tidak berubah dan tidak bersifat subjektif. Nilai-nilai ditangkap secara langsung berdasarkan intuisi. Nilai-nilai tidak tergantung pada subjek, tetapi sebaliknya subjek tergantung pada nilai-nilai dan hierarkhi di antara nilai-nilai tersebut. Pengenalan tentang nilai mendahului pengenalan tentang benda. Suatu lukisan dilihat indah berarti menerapkan pada lukisan itu nilai indah. Nilai-nilai berlaku secara objektif dan apriori (Bertens, 1983: 111).

Intuisi emosi bukan hanya untuk memahami nilai, tetapi yang lebih hakiki adalah memahami penampakan nilai dalam urutan yang hierarkhis. Nilai tersusun dalam suatu hubungn hierarkis apriori. Hierarki nilai ditemukan di dalam hakikat nilai itu sendiri. Kelebihan suatu nilai atas nilai-nilai yang lain dipahami dengan menggunakan preferensi artinya kesadaran tanpa kecenderungan keinginan dan hasratnya. Hierarki nilai merupakan hal yang inheren dalam hakikat nilai (Frondizi,1963: 96).

Page 88: Jurnal Filsafat UGM Vol 18, no 1 (2008)

Jurnal Filsafat Vol.18, Nomor 1, April 2008

90

Scheler menggolongkan nilai-nilai menjadi empat tingkatan, yaitu : Pertama, nilai-nilai kesenangan, yaitu nilai-nilai yang menyangkut kesenangan dan ketidak-senangan yang terdapat dalam objek-objek, yang berpadanan dengan tanggapan makhluk-makhluk yang memiliki indra. Kedua, nilai-nilai vital, yaitu nilai-nilai yang berkaitan dengan vitalitas hidup hasil hubungan timbal balik organisme dengan dunia sekitarnya. Ketiga, nilai-nilai rohani yang tidak tergantung dari hubungan timbal balik antara organisme dengan dunia di sekitarnya. Nilai-nilai rohani meliputi nilai-nilai estetis (indah dan jelek), kebenaran (benar dan salah) dan nilai-nilai pengetahuan murni (pengetahuan yang dijalankan tanpa pamrih). Keempat, nilai-nilai religius, yaitu nilai-nilai yang menyangkut objek-objek absolut, meliputi yang kudus dan yang tidak kudus (Bertens, 1983: 112).

Hierarki nilai Scheler penting dijadikan pertimbangan bagi upaya meningkatkan kualitas harkat dan martabat manusia dalam kehidupan berbangsa dan bernegara di Indonesia. Penataan hidup berkebangsaan dan berkenegaraan memang sangat kompleks, sehingga perencanaannya tidaklah sederhana dan dengan begitu saja dapat dipolakan, diarahkan, atau diramalkan secara positif menurut hukum-hukum ilmiah. Ilmu pengetahuan dapat mengantarkan ke pemahaman fakta secara objektif, tetapi kebenaran ilmiah positif bukanlah kebenaran yang utuh dan lengkap. Masalah-malasah kualitatif merupakan masalah filsafati yang oleh Positivisme tidak diberi tempat dalam kerangka pemikirannya (Koento-Wibisono, 1984: 102).

Perspektif teoritis yang digunakan untuk menganalisis pandangan-pandangan Scheler adalah pendekatan aksiologis. Frondizi (1963: 14) menguraikan tentang permasalahan pokok Aksiologi. Permasalahan pokok Aksiologi didasarkan pada hubungan antara subjek dan objek. Suatu objek adalah bernilai apabila diinginkan oleh manusia, atau sebaliknya manusia menginginkan suatu objek, karena objek tersebut memiliki nilai. Berdasarkan permasalahan hubungan antara objek dan subjek tersebut memunculkan dua pandangan, yaitu objektivisme dan subjektivisme. Nilai adalah objektif apabila nilai tersebut mandiri atau tidak tergantung pada subjek atau penilaian. Nilai adalah subjektif apabila adanya, maknanya, atau validitasnya tergantung pada reaksi subjek yang melakuakan penilaian, tanpa mempertimbangkan suasana fisiologis atau psikologis.

Page 89: Jurnal Filsafat UGM Vol 18, no 1 (2008)

Jirzanah, Aktualisasi Pemahaman Nilai…

91

Sumber data dikumpulkan dari buku karya Scheler di bidang Etika dan teori nilai yang berjudul Der Formalismus in der Ethik und die materiale Wertethik, (Formalisme Dalam Etika dan Etika Nilai Material) karya tahun 1917 diterbitkan tahun 1966. Buku-buku karya Scheler yang lain tidak dijadikan pertimbangan sebagai sumber data utama dan hanya sebagai bahan pendukung, yaitu buku yang berjudul DieTranszendentale und die Psychologische Methode (Metode Transendental dan Psychologis) karya tahun 1900, Ueber Ressentiment und Moralisches Werturteil (Tentang Resentimen dan Putusan Nilai Moral) tahun 1912, Wesen und Formen der Sympathie (Hakikat dan Bentuk-bentuk Simpati) tahun 1913, Vom Ewigen im Menschen (Tentang Yang Abadi Dalam Diri Manusia) tahun 1921, Die Steleung des Menschen im Kosmos (Kedudukan Manusia Dalam Kosmos) tahun 1928. Buku-buku kepustakaan lain yang dijadikan sebagai sumber sekunder adalah buku karya Deeken, Alfons yang berjudul Procees and Permanence in Ethics Max Scheler’s Moral Philosophy, diterbitkan pada sekitar tahun 1974 karya Frondizi, R. berjudul Que Son Los Valores, terj. Solomon Lipp, diterbitkan tahun 1963. Metode analisis data penelitian ini lebih menekankan pada proses pemberian makna dan mengorganisasikannya berdasarkan tujuan yang telah ditentukan, sehingga dalam penelitian ini digunakan metode hermeneutika. Hermeneutika adalah tahapan analisis untuk menemukan makna yang terkandung di dalam pemikiran-pemikiran Scheler tentang teori nilai. Analisis hermeneutika meliputi analisis tekstual, kontekstual, dan perspektif sejarah. Pemaknaan ini membutuhkan penafsiran dengan cara berpikir kritis, kreatif, dan imajinatif (Kaelan, 2005: 82). Tahap analisis kontekstual lebih diutamakan untuk menemukan konsep dasar-dasar aksiologis bagi pengembangan hidup berkebangsaan Indonesia pada masa yang akan datang.

B. Objektivisme Scheler

1. Pengaruh Filsafat Husserl. Max Scheler hidup antara tahun 1874-1928. Scheler lahir

pada tahun 1874 di kota Munchen, daerah Bayern, Jerman bagian selatan. Scheler meraih gelar doktor filsafat dari universitas Jena pada tahun 1897. Pembimbing desertasinya adalah Rudolf Eucken. Desertasinya berjudul Beitirage zur Festitellung der logischen und

Page 90: Jurnal Filsafat UGM Vol 18, no 1 (2008)

Jurnal Filsafat Vol.18, Nomor 1, April 2008

92

ethischen Prinzipien (Sumbangan pikiran untuk menetapkan hubungan antara prinsip-prinsip logis dan etis) (Bertens, 2002: 117).

Filsafat Scheler sangat dipengaruhi oleh fenomenologi Husserl. Husserl memahami fenomenologi sebagai suatu analisis deskriptif dan introspektif mengenai kedalaman dari semua bentuk kesadaran dan pengalaman langsung di bidang religius, moral, estetis, konseptual, serta indrawi. Filsafat hendaknya memperhatikan pada penyelidikan tentang Lebenswelt (dunia kehidupan) atau Erlebnisse (kehidupan subjektif dan batiniah). Penyelidikan ini hendaknya menekankan ciri intensional yang terdapat pada kesadaran, tanpa mengandaikan berbagai praduga konseptual dari ilmu-ilmu empiris. Filsafat bukan ilmu faktual dan tidak dapat menjadi ilmu faktual. Filsafat memiliki metode dan temuan uniknya sendiri, yang secara hakiki berbeda dari metode dan temuan ilmu-ilmu alam, metode dan temuan sistem-sistem logika, serta matematika formal (Bagus, 2005: 235). Husserl sebagai pendiri aliran fenomenologi telah mempengaruhi filsafat kontemporer secara amat mendalam. Fenomenologi menjadi dikenal secara unum dan terutama menjadi populer sekitar tahun 1950-an. Prinsip segala prinsip menurut Husserl adalah bahwa hanya intuisi langsung (tidak dengan menggunakan perantara apapun) dapat dipakai sebagai kriterium terakhir di bidang filsafat. Husserl kemudian menyimpulkan bahwa kesadaran harus menjadi dasar filsafat. Fenomenologi adalah ilmu (logos) tentang apa yang tampak (phainomenon). Fenomena oleh Husserl diartikan sesuatu yang pada waktu itu sama sekali baru. Fenomena menurut Husserl adalah realitas sendiri yang tampak. Husserl menjelaskan bahwa tidak ada selubung atau tirai yang memisahkan manusia dari realitas, karena realitas itu sendiri tampak bagi manusia. Paradigma Husserl bagi filsafatnya adalah kembalilah kepada benda-benda sendiri (Zuruck zu den Sachen selbst). Husserl melalui pandangannya tentang fenomena ini mengadakan semacam revolusi dalam filsafat barat. Filsafat barat sejak Descartes memahami kesadaran sebagai kesadaran tertutup, artinya kesadaran mengenal diri sendiri dan hanya melalui jalan itu untuk mengenal realitas (Bertens, 2002: 109-111). 2. Hakikat Nilai Scheler berpendapat bahwa nilai merupakan suatu kenyataan yang tersembunyi di balik kenyataan lain. Kenyataan lain

Page 91: Jurnal Filsafat UGM Vol 18, no 1 (2008)

Jirzanah, Aktualisasi Pemahaman Nilai…

93

merupakan pengemban nilai seperti halnya suatu benda dapat menjadi pengemban warna merah atau pengemban warna lainnya. Nilai merupakan kualitas yang keberadaannya tidak tergantung pada pengembannya. Satu objek atau satu perbuatan sudah cukup memadai untuk menangkap nilai yang terkandung di dalamnya. Semua pengalaman yang berhubungan dengan baik dan buruk mengasumsikan dasar maupun pengetahuan yang sebelumnya tentang baik dan buruk. Nilai-nilai moral tidak tersembunyi di balik perbuatan-perbuatan yang pada dirinya sendiri baik, tetapi perbuatan-perbuatan baik tersebut yang mewujudkan nilai-nilai (Scheler, 1966: 105-107).

Scheler berpendapat bahwa nilai-nilai itu merupakan kenyataan yang benar-benar ada, bukan hanya dianggap ada. Nilai benar-benar ada, sehingga walaupun tersembunyi di balik kenyataan lain, tidak sama sekali tergantung pada kenyataan-kenyataan lain. Meskipun kenyataan-kenyataan lain yang membawa nilai itu berubah dari waktu ke waktu, nilai-nilai itu bersifat mutlak dan tidak berubah. Meskipun yang baik tidak dinilai sebagai baik, tetap akan menjadi baik. Nilai tidak akan terpengaruh oleh perubahan yang terjadi pada objek yang digabunginya (Scheler, 1966: 39-40). Objektivisme Scheler sangat erat hubungannya dengan pandangannya tentang nilai yang mutlak. Scheler menolak semua teori yang relativistis. Scheler menolak pendapat, bahwa nilai memiliki eksistensi dalam hubungannya dengan manusia, baik susunan fisik maupun psiko-fisiknya. Scheler juga menolak ketergantungan nilai pada hidup. Apabila nilai tergantung pada hidup, maka akan meniadakan kemungkinan untuk dapat menyifatkan nilai pada hidup itu sendiri. Apabila nilai tergantung pada hidup, maka akibatnya kebaikan di dalam hidup akan merupakan fakta yang tidak memerlukan nilai. Scheler juga menolak relativitas dari pertimbangan sejarah nilai. Relativitas historis berusaha menurunkan nilai dari benda historis dengan memandangnya sebagai hasil sejarah, sehingga merupakan hasil dari rangkaian perubahan. Relativisme historis melakukan kesalahan, karena tidak memperhatikan hakikat nilai yang independen dan mengacaukan perubahan riil yang terjadi pada benda dan norma dengan variasi nilai. Scheler juga menolak pandangan skeptisisme etis. Skeptisisme muncul sebagai akibat dari kekecewaan yang dialami ketika seseorang menemukan suatu persetujuan moral. Kekecewaan tersebut disebabkan oleh

Page 92: Jurnal Filsafat UGM Vol 18, no 1 (2008)

Jurnal Filsafat Vol.18, Nomor 1, April 2008

94

kelemahan dan ketidakmampuan seseorang untuk berdiri sendiri menghadapi munculnya persoalan moral (Frondizi, 1963:86-87). 3. Pemahaman Nilai.

Scheler berpendapat, bahwa memahami nilai-nilai adalah dengan hati dan bukan dengan akal budi.. Nilai menyatakan diri pada manusia melalui intuisi emosional (hati). Manusia berhubungan dengan dunia nilai dengan keterbukaan dan kepekaan hatinya. Manusia tidak memahami suatu nilai dengan berpikir mengenai nilai itu, melainkan dengan mengalami dan mewujudkan nilai itu. Nilai suatu benda tersaji kepada manusia secara jelas dan tegas. Scheler menentang semua bentuk rasionalisme. Nilai merupakan suatu jenis objek yang sama sekali tidak dapat dimasuki oleh akal. Nilai menyatakan diri melalui persepsi sentimental. (Scheler, 1966: 62-64).

Hati manusia dapat memahami banyak nilai dari berbagai tingkatan, karena dalam hati ada susunan penangkap nilai yang sesuai dengan hirarkhi objektif dari nilai tersebut. Semakin besar kemampuan cinta seseorang, semakin tepat dalam memahami nilai, dan mampu mewujudkan nilai-nilai yang sudah dikenal serta mampu menemukan nilai baru (Scheler, 1966: 260-261). 4. Hierarkhi Nilai.

Kriteria untuk menentukan hierarkhi nilai aksiologis dibedakan menjadi lima macam (Deeken, 1974: 53-55). Pertama, sifat tahan lama. Benda yang lebih tahan lama dan semakin sukar berubah senantiasa lebih tinggi daripada yang bersifat sementara dan mudah berubah. Sifat tahan lama nilai tidak harus mengacu pada pengemban nilai, tetapi pada nilai itu sendiri. Nilai terendah dari semua nilai adalah nilai yang pada dasarnya fana, sedangkan nilai yang lebih tinggi daripada semua nilai yang lain adalah nilai yang lebih tahan lama. Semua yang dialami melalui indra dan yang sesuai dengan tangkapan indra pada hakikatnya merupakan nilai yang lebih rendah. Kedua, sifat dapat dibagi. Tingginya hierarkhi nilai berbanding terbalik dengan sifatnya yang dapat dibagi-bagi. Semakin tinggi derajat hierarkhinya akan semakin kecil sifatnya untuk dibagi, karena cakupannya yang luas. Kuantitas atau ukuran tidak berlaku bagi suatu karya seni. Sebuah lukisan atau patung akan bernilai jauh lebih tinggi daripada bagian-bagian dari lukisan atau patung yang dipisah-pisah. Nilai estetis dapat dinikmati bersama-sama orang banyak tanpa harus melakukan pembagian

Page 93: Jurnal Filsafat UGM Vol 18, no 1 (2008)

Jirzanah, Aktualisasi Pemahaman Nilai…

95

bendanya, sehingga sangat berbeda dengan nilai kenikmatan indrawi. Kenyataannya, nilai kenikmatan indrawi sangat ditentukan oleh sifat ekstensifnya, artinya jenjang nilai ditentukan oleh kuantitas, ukuran, atau keluasan pengembannya. Objek kebendaan akan memisahkan orang dan menimbulkan pertentangan kepentingan, karena benda harus dimiliki, sedangkan objek spiritual akan menyatukan orang, karena dapat menjadi milik bersama. Ketiga, sifat tidak tergantung pada nilai lain. Apabila suatu nilai (B) untuk dapat ditampilkan memerlukan keberadaan nilai A, maka hierarkhi nilai A lebih tinggi daripada nilai B. Apabila satu nilai (A) menjadi dasar (syarat) bagi nilai yang lain (B), maka nilai tersebut lebih tinggi hierarkhinya. Scheler berpendapat karena semua nilai didasarkan pada nilai yang lebih tinggi, maka ada nilai yang paling tinggi, yaitu nilai religius. Sheler dalam hal ini kembali pada monisme aksiologis seperti yang pernah berlaku pada jaman pertengahan. Keempat, sifat membahagiakan. Tingginya hierarkhi nilai tidak ditetapkan melalui kedalaman kenikmatan, tetapi melalui kedalaman kebahagiaannya. Kebahagiaan berbeda dengan kenikmatan, meskipun ada kemungkinan kenikmatan merupakaan hasil dari kebahagiaan. Kebahagiaan juga tidak selalu didahului oleh suatu keinginan. Kebahagiaan terjadi melalui persepsi sentimental yang tenang dan dikandung oleh benda yang bernilai secara positif. Satu nilai lebih membahagiakan daripada nilai yang lain apabila eksistensinya tidak tergantung pada persepsi sentimental terhadap nilai yang lain tersebut. Kebahagiaan dapat tercapai tanpa ada kebahagiaan lain yang mendahuluinya. Kelima, sifat tidak tergantung pada kenyataan tertentu. Nilai mengacu pada esensi nilai itu sendiri, artinya tidak tergantung atas relativitas dari sifat pengemban nilai. Di antara berbagai benda ada perbedaan skala relativitas. Sesuatu yang menyenangkan akan relatif bagi seseorang, karena tergantung perasaan sensitifnya, sebaliknya nilai adalah mutlak. Nilai ada demi tujuan emosi murni, yaitu preferensi dan cinta kasih yang tidak tergantung pada indra dan hasrat hidup. Hierarkhi nilai mengacu pada esensi nilai itu sendiri, artinya tidak tergantung atas relativitas dari sifat pengembannya. Jadi ada dua relativitas, yaitu relativitas hierarkhi nilai dan relativitas pengemban nilai.

Preferensi dan penerapan lima kriteria tersebut menjadi petunjuk urutan atau tabel hierarkhi nilai, yaitu: (Scheler, 1966: 122-126).

Page 94: Jurnal Filsafat UGM Vol 18, no 1 (2008)

Jurnal Filsafat Vol.18, Nomor 1, April 2008

96

Pertama, nilai-nilai kenikmatan. Tingkat pertama ini berisi deretan nilai-nilai yang mengenakkan dan tidak mengenakkan, yang menyebabkan seseorang menjadi senang atau menderita tidak enak.. Kedua, nilai-nilai kehidupan. Tingkat kedua ini berisi deretan nilai-nilai yang penting bagi kehidupan, misalnya kesehatan, kesegaran badan, kesejahteraan umum. Ketiga, nilai kejiwaan. Tingkat ketiga ini berisi nilai-nilai kejiwaan yang sama sekali tidak tergantung pada keadaan jasmani maupun lingkungan. Nilai-nilai ini dibedakan secara hierarkhis sebagai berikut.

a. Nilai keindahan dan berbagai nilai estetis murni yang lain. b. Nilai kebenaran, yang seharusnya dibedakan dengan benar

dan salah (melanggar). c. Nilai pengetahuan murni yang direalisasikan oleh filsafat.

Nilai pengetahuan murni ini dilawankan dengan pengetahuan yang dihasilkan oleh ilmu positif

Keempat, nilai-nilai kerohanian. Tingkat keempat ini berisi modalitas nilai yang suci dan tidak suci. Nilai kerohanian ini tidak dapat direduksi menjadi nilai kejiwaan dan memiliki keberadaan yang khas dengan menyatakan diri (dalam berbagai objek) sebagai yang mutlak. C. Evaluasi Kritis

1.Kelemahan dan Kelebihan Objektivisme Scheler. Objektivisme Scheler berpendapat, bahwa nilai tidak tergantung pada benda dan subjek yang menilainya. Nilai besifat mutlak, tidak berubah, dan tidak terpengaruh oleh intervensi fisik aktual maupun yang bersifat manusiawi. Objektivisme menolak teori yang berusaha membatasi hakikat nilai pada manusia dan susunannya, baik yang psikhis maupun psikho-fisis, artinya menolak teori yang berusaha menempatkan hakikat nilai dalam hubungannya dengan manusia. Kelemahan yang paling jelas dari teori objektivisme nilai Scheler adalah pandangannya tentang nilai yang bersifat mutlak tersebut. Akibat pemutlakan tersebut, maka penjelasan-penjelasan dan pembenaran-pembenaran pendapatnya bersifat tautologis. Scheler telah melakukan kelemahan berargumentasi. Scheler telah menolak sifat relasional nilai, yaitu menolak semua hubungan antara nilai dengan manusia dan realitas. Objektivisme Scheler yang mutlak ini telah memenjarakan argumentasi - argumentasinya di

Page 95: Jurnal Filsafat UGM Vol 18, no 1 (2008)

Jirzanah, Aktualisasi Pemahaman Nilai…

97

dalam definisinya sendiri. Argumentasinya menjadi sia-sia dan menampakkan kelemahannya, karena menjelaskan sesuatu yang tidak dikonfirmasikan dengan realitas, sehingga terjebak dalam penjelasan tautologis (Frondizi, 1963: 115). Sifat tautologis nampak jelas dari pernyataan Scheler, bahwa yang baik itu baik. Scheler membuat penjelasan, bahwa meskipun yang baik tidak pernah dinilai baik akan tetap menjadi baik, sebaliknya meskipun membunuh tidak pernah dinilai buruk akan tetap dan terus menjadi buruk. Pernyataan dan penjelasan tersebut memang benar, tetapi sia-sia dan tautologis. Frondizi menunjukkan kelemahan pandanghan Scheler, bahwa yang menjadi perhatian orang adalah untuk mengetahui apa yang dikandung oleh kebaikan. Fakta sejarah yang tidak dapat diragukan, bahwa dalam perjalanan sejarah apa yang dipandang sebagai yang baik dapat berbeda. Orang tidak dapat mengabaikan sepenuhnya arti kebaikan yang dipikirkan oleh manusia yang hidup dalam kurun waktu yang berbeda. Contoh kelemahan Scheler nampak lebih jelas dari pernyataannya, bahwa yang bergizi itu bergizi, meskipun kurang baik bagi kesehatan sebagian orang. Pernyataan tersebut bersifat tautologis dan tidak dikonfirmasikan dengan fakta, bahwa konsep tentang gizi bersifat relasional dan kondisional (Frondizi, 1963: 116). Kelemahan Objektivisme Scheler juga tampak pada pandangannya tentang pemahaman nilai yang apriori, terutama ketika menjelaskan tentang hierarkhi nilai. Scheler menyusun tabel aksiologis bersifat apriori, yaitu sama sekali tidak tergantung pada reaksi subjek yang melakukan penilaian. Hierarkhi aksiologis dipahami dengan menggunakan tindakan khusus kesadaran, yaitu preferensi. Perbedaan jenjang nilai dipahami seperti perbedaan antara nilai positif dengan nilai negatif. Hierarkhi yang lebih tinggi dari suatu nilai secara esensial terjadi hanya melalui tindakan preferensi. Kelemahan Scheler adalah tidak menunjukkan cara konkrit untuk memahami hierarkhi aksiologis tersebut. Cara yang konkret tersebut diperlukan, karena Scheler tidak mendasarkan penjenjangan nilai tersebut pada pemahaman emperis. Apabila satu-satunya metode kesadaran tersebut tidak meyakinkan adanya superioritas satu nilai atas nilai yang lainnya, maka bagaimana caranya dapat menemukan superioritas yang diasumsikan tersebut. Cara yang konkrit tersebut diperlukan untuk dapat mengetahui bahwa preferensi itu valid dan tidak menipu (Frondizi, 1963: 117).

Page 96: Jurnal Filsafat UGM Vol 18, no 1 (2008)

Jurnal Filsafat Vol.18, Nomor 1, April 2008

98

Cara yang konkrit diperlukan untuk menentukan jenis preferensi seperti apa yang benar-benar dapat menunjukkan penjenjangan aksiologis, dan dari orang-orang seperti apa, serta dalam keadaan bagaimana aksi preferensi ini dapat muncul. Kenyataannya, bahwa preferensi itu bervariasi pada masing-masing orang, jaman, kebudayaan, dan periode sejarah. Preferensi itu sendiri tidak memadai bagi penentuan hierarkhi nilai. Cara yang konkrit lebih dibutuhkan untuk pemberi sifat, penunjukan sebuah standar dalam rangka mengetahui preferensi yang valid. Cara yang konkrit tetap diperlukan untuk menjelaskan pernyataan Scheler sendiri, bahwa ada kalanya orang lebih menyenangi nilai yang lebih rendah daripada nilai yang tinggi.

Kelebihan objektivisme Scheler dapat diketahui dengan memperhatikan kelemahan pandangan subjektivisme. Subjektivisme berpendirian, bahwa manusia tidak dapat membicarakan nilai tanpa mempertimbangkan penilaian, baik yang aktual maupun yang dalam kemungkinan. Sebaliknya, objektivisme memiliki dasar yang kuat, karena terdapat perbedaan yang hakiki antara penilaian dan nilai. Nilai mendahului penilaian. Apabila tidak ada nilai, maka tidak akan ada pula yang akan dinilai. Mengacaukan penilaian dengan nilai sama dengan mengacaukan antara persepsi dengan objek yang dipersepsi. Persepsi tidak menciptakan objek, tetapi menangkapnya. Kedudukan pendekatan subjektif sebenarnya hanya sama dengan proses pemahaman nilai. 2. Kritisisme Pemahaman Baru.

Kelemahan utama objektivisme dan subjektivisme terletak pada pandangannya tentang nilai yang bersifat mutlak. Kelemahan objektivisme yang mutlak juga berlaku bagi pandangan subjektivisme yang mutlak. Kelemahan objektivisme dan subjektivisme terletak di dalam menyusun penjelasan menurut sudut pandang masing-masing yang berlebihan. Kesalahan yang sebenarnya dari dua paham tersebut perlu ditemukan dari pemikiran yang keliru terhadap pikiran lawannya yang dianggap salah. Pertama, yang perlu dicatat bahwa pernyataan subjektivisme tentang suasana psikologis yaitu, senang, nafsu, dan perhatian merupakan kondisi yang diperlukan memang benar, tetapi tidak memadai. Sebaliknya, pernyataan subjektivisme tersebut tidak meniadakan unsur objektif, justru mengansumsikannya. Konsekwensinya nilai akan nampak sebagai akibat adanya

Page 97: Jurnal Filsafat UGM Vol 18, no 1 (2008)

Jirzanah, Aktualisasi Pemahaman Nilai…

99

hubungan atau tegangan antara subjek dengan objek, sehingga memiliki sisi subjektif dan objektif (Frondizi, 1963: 124). Kedua, Apabila seharusnya memang ada sisi subjektif dan objektif, maka perhatian selanjutnya adalah merumuskan proporsi perpaduan dua unsur tersebut yang dapat berlaku bagi semua nilai. Skala aksiologis perlu ditetapkan secara pasti dengan meningkatkan secara sinergis salah satu dari kedua pandangan tersebut. Ketiga, perhatian tentang realitas dapat dipakai sebagai titik tolak. Filsafat yang memostulatkan nilai sebagai entitas tertentu dan konsekwen dengan definisinya mengaku telah mencapai koherensi yang maksimum, tetapi tidak akan berhasil memberikan penjelasan terhadap realitas aktual. Teori filsafat seharusnya diukur melalui koherensi logis konseptualnya, sekaligus untuk menjelaskan fakta di dunia ini. Teori Scheler telah menunjukkan koherensi logisnya dan kemampuannya untuk mengundang ikatan emosional, tetapi orang menangkap kelemahannya, yaitu kurang memperhatikan pengalaman. Apabila orang memperhatikan hubungan antara objek yang bernilai dengan subjek yang menilainya, maka akan nampak jelas hilangnya dua pandangan yang berbeda. Nilai dapat ada dalam hubungannya dengan subjek yang menilainya. Nilai estetik, baik yang musikal dan piktoral hanya dapat ada dalam hubungannya dengan subjek yang memiliki pendengaran dan sensitivitas visual (Frondizi: 1963, 129).

Rumusan yang baru harus dilakukan dalam menghadapi tidak adanya kesepakatan tentang intuisi sempurna yang diasumsikan terjadi pada orang yang sama. Data intuitif tidak dapat dipandang yang menentukan, karena seseorang tidak mengetahui dengan pasti pendapat siapa yang harus diikuti. Data intuitif seharusnya digabung bersama data lain yang bersumber dari pengalaman. Pengalaman memang dapat berbeda, perbedaan antara berbagai data dan analisis dari berbagai situasi akan menghasilkan satu penafsiran dipandang dari sudut pengalaman yang utuh dan menyeluruh (Frondizi, 1963, 138). D. Dasar Aksiologis Masa Depan Bangsa Indonesia

1. Kedudukan dan fungsi nilai. Prinsip-prinsip aksiologis diperlukan dalam hidup berbangsa dan bernegara di Indonesia agar sendi-sendi pluralitas dapat menjadi kekuatan bangsa. Nilai-nilai menurut Scheler tidak dapat

Page 98: Jurnal Filsafat UGM Vol 18, no 1 (2008)

Jurnal Filsafat Vol.18, Nomor 1, April 2008

100

dipahami dengan akal, tetapi dengan hati. Pemahaman nilai melalui kepekaan hati penting dalam menyikapi kebhinekaan suku di Indonesia, tetapi tanpa meninggalkan pemahaman rasional. Nilai merupakan realitas abstrak. Nilai dirasakan dalam diri masing-masing sebagai daya pendorong dan prinsip-prinsip yang menjadi pedoman hidup. Nilai menduduki tempat penting dalam kehidupan seseorang sampai pada suatu tingkat di mana seseorang lebih siap mengorbankan hidupnya daripada mengorbankan nilai. Nilai-nilai yang dijunjung tinggi tidak perlu sama bagi seluruh warga masyarakat. Masyarakat terdiri atas kelompok-kelompok yang berbeda berdasarkan sosio ekonomi, politik, agama, dan etnis. Masing-masing kelompok masyarakat dapat memiliki sistem dan hierarkhi nilai yang berbeda. Konflik dapat muncul antar pribadi-pribadi dalam masyarakat, karena sistem nilai yang berbeda. Dialog merupakan usaha untuk mengerti sistem nilai dari pribadi atau kelompok lain. Dialog dapat berlangsung dalam kehidupan secara sadar atau tidak melalui perjumpaan sehari-hari dengan kelompok-kelompok lain. Dialog dapat menyebabkan seseorang menghormati dan toleran, menerima begitu saja, atau mengintegrasikannya ke dalam sistem nilainya sendiri. Nilai-nilai merupakan realitas yang terbuka dan tidak berada sendirian. Nilai-nilai terikat bersama sebagai perangkat. Masyarakat memiliki perangkat nilai-nilai yang bertalian secara logis dan membentuk kesatuan hierarkhis. Seperangkat nilai atau sistem nilai memiliki nilai dominan yang menjadi acuan dari nilai-nilai yang lain. Nilai-nilai ditanamkan pada seorang pribadi melalui proses sosialisasi melalui keluarga, lingkungan sosial terdekat, lembaga pendidikan, agama, media massa, dan tradisi. Nilai harus dibedakan dari norma dan prinsip. Nilai adalah daya pendorong dalam hidup yang memberi makna pada tindakan seseorang. Nilai mempunyai dua segi yaitu intelektual dan emosional . Kombinasi kedua segi tersebut akan menentukan suatu nilai dan fungsinya dalam kehidupan. Apabila dalam pemberian makna dan pengabsahannya terhadap suatu tindakan unsur emosionalnya sangat kecil, sedangkan unsur intelektualnya lebih dominan, maka kombinasinya disebut norma atau prinsip. Sebaliknya norma-norma baru akan menjadi nilai apabila sesuai dengan pilihannya serta dilaksanakan dalam pola tingkah laku dan pola berpikir suatu kelompok. Nilai-nilai adalah dasar atau landasan bagi perubahan. Nilai-nilai merupakan daya pendorong hidup seseorang atau kelompok,

Page 99: Jurnal Filsafat UGM Vol 18, no 1 (2008)

Jirzanah, Aktualisasi Pemahaman Nilai…

101

sehingga nilai berperan penting dalam proses perubahan sosial (Ambroise,1993: 20-26). 2. Multikulturalisme Bangsa Indonesia adalah suatu bangsa yang majemuk. Bangsa Indonesia dilihat dari sudut pandang horisontal terdiri dari banyak suku bangsa yang mempunyai budaya, bahasa, nilai, dan agama yang berbeda-beda. Bangsa Indonesia dilihat dari sudut pandang vertikal terdiri dari berbagai tingkat perbedaan ekonomi, pendidikan, pekerjaan, dan tingkat sosial budaya. Indonesia dapat dikatakan sebagai negara yang multi etnis, budaya, dan agama. Apabila bangsa Indonesia ingin menjadi kuat diperlukan sikap saling menerima dan menghargai dari setiap orang yang beragam tersebut, sehingga dapat saling membantu dan bekerjasama. Bangsa Indonesia telah memiliki dasar untuk bersatu yaitu dasar sejarah dan dasar filsafat negara. Dasar sejarah adalah sumpah pemuda tahun 1928. Dasar filsafat negara adalah Pancasila yang dirumuskan di dalam Pembukaan UUD 1945 (Maksum dan Ruhendi, 2004: 242). Multikulturalisme adalah kesediaan menerima kelompok lain secara sama sebagai kesatuan, tanpa memperhatikan perbedaan budaya, suku bangsa, bahasa, dan agama. Sikap dan kesediaan untuk saling menerima menghargai budaya, nilai, keyakinan yang berbeda tidak dengan sendirinya akan berkembang. Sikap saling mempengaruhi apabila tidak diletakkan dalam kerangka saling menghormati dan menghargai, maka yang akan terjadi adalah konflik dan perpecahan. Prinsip-prinsip aksiologis diperlukan dalam hidup bernegara agar sendi-sendi pluralisme dapat menjadi kekuatan bangsa. Prinsip-prinsip tersebut adalah sebagai berikut. Pertama, prinsip humanitas. Manusia memiliki nilai-nilai kemanusiaan tertutama kebebasan (memilih dan berbuat), dan bertanggungjawab. Nilai kebebasan dan tanggungjawab tidak dapat direduksi dan dimanipulasi dengan alasan dan tujuan apapun. Nilai-nilai kemanusiaan tersebut bersifat luhur dan utuh. Nilai-nilai kemanusiaan perlu terus dikembangkan melalui proses belajar untuk mencapai tahap kedewasaan diri. Prinsip humanitas menegaskan bahwa pengembangan nilai-nilai kemanusiaan pada dasarnya sebagai pemenuhan kodrat manusia itu sendiri untuk mencapai martabat kemanusiaan. Martabat manusia tercermin dari keluhuran akal dan moralnya. Kedua, prinsip unitas. Kemajemukan etnis, budaya, dan agama menuntut perlunya kerjasama antara semua warga bangsa.

Page 100: Jurnal Filsafat UGM Vol 18, no 1 (2008)

Jurnal Filsafat Vol.18, Nomor 1, April 2008

102

Perbedaan dan keragaman tidak mengharuskan perpecahan, tetapi seharusnya dipandang sebagai kekayaan budaya yang satu sama lain saling terkait dan saling membutuhkan. Prinsip unitas akan menjelaskan bahwa sebenarnya tidak menjadi masalah adanya berbagai macam etnis, budaya, dan agama tersebut apabila tidak disertai sifat saling mengabaikan dan saling mempertentangkan. Prinsip unitas memandang perlunya kerjasama antar berbagai etnis dan agama dalam rangka mencapai tujuan hidup sebagai bangsa. Ketiga, prinsip kontekstualitas. Kesadaran multikulturalisme memandang perlunya pemahaman secara khusus berdasarkan nilai-nilai kultural masyarakat setempat. Pandangan ini menegaskan bahwa pluralisme sebagai produk budaya, hanya dapat disuburkan di dalam konteks budayanya. Kesadaran multikultural tidak akan mendapat dukungan dan tidak dapat menjalankan fungsinya dengan baik apabila tidak diletakkan di dalam konteks budaya masyarakatnya. Prinsip kontekstualitas penting untuk memacu pertumbuhan multikulturalisme demi kemajuan dan kesejahteraan warga dan bangsa secara u tuh. Kontekstualisasi mengandung arti bahwa kondisi budaya masyarakat dapat memberi pengaruh bagi pengembangan multikulturalisme. Kesadaran multikulturalisme dapat berkembang dengan baik apabila dilatihkan pada generasi muda melalui jalur pendidikan (Maksum dan Ruhendi, 2004: 245). 3. Indonesia dan Modernisasi Modernisasi sering diartikan sebagai proses perkembangan dengan mengambil alih cara dan gaya hidup budaya Barat (Eropa dan Amerika). Modernisasi berarti mengadopsi gaya hidup orang Barat. Pandangan ini perlu dikoreksi dengan memperhatikan pendapat Koentjaraningrat, bahwa meskipun modernisasi semula lahir di Barat, tetapi tidak berarti jika bergaya hidup Barat adalah modern. Modernisasi merupakan suatu perubahan yang didasarkan atas pertimbangan kebebasan dan rasionalitas. Modernisasi sering diartikan sebagai gejala sekularisasi. Modernisasi diartikan memisahkan peranan agama dari aspek-aspek kehidupan manusia. Masyarakat yang semakin modern akan semakin menjauhkan peranan agama dari masyarakatnya. Modernisasi disamakan dengan penduniawian. Pemikiran yang modern akan menyingkirkan peranan agama. Seluruh aspek kehidupan ditata secara rasional. Pertimbangan holistik diperlukan, bahwa proses modernisasi tidak perlu menyingkirkan peranan

Page 101: Jurnal Filsafat UGM Vol 18, no 1 (2008)

Jirzanah, Aktualisasi Pemahaman Nilai…

103

agama. Seluruh aspek kehidupan memang ditata secara rasional, tetapi tidak berarti menyingkirkan peranan agama. Modernisasi seharusnya diartikan menggeser prinsip ascriptive ke prinsip achievement. Apabila kedudukan seseorang diperoleh berdasarkan prestasinya dan bukan lagi berdasarkan keturunan secara otomatis, berarti masyarakat tersebut berada dalam proses modernisasi. Kedudukan seseorang dalam masyarakat modern tidak diperoleh secara sistematis, melainkan diusahakan dengan prestasi dan kemampuan. Pertimbangan yang diperlukan, bahwa di samping prestasi dan kemampuan, maka kesempatan seseorang untuk memperoleh kedudukan perlu dikondisikan. Banyak orang yang mempunyai kemampuan untuk menduduki suatu jabatan, tetapi kesempatan belum tentu diperoleh. Kebudayaan modern hanya mungkin dilahirkan oleh masyarakat yang telah modern. Masyarakat modern merupakan perkembangan dari masyarakat tradisional. Masyarakat tradisional telah menetapkan pilihan dan hierarkhi nilai serta telah dihayati dalam praktek kehidupan. Upaya mewujudkan bangsa Indonesia yang modern perlu memperhatikan beberapa hal, yaitu karakteristik masyarakat modern dan tuntutan perilaku anggota masyarakat. Salah satu ciri kebudayaan modern adalah kebebasan dan rasionalitas. Secara umum karakteristik manusia modern adalah memiliki sikap terbuka, selalu siap berubah, menghargai perbedaan pendapat, menghargai waktu, mencari banyak informasi, mampu merencanakan, menghargai orang lain, percaya pada diri sendiri, menilai ketrampilan teknis sebagai hal yang penting, dan menghargai pendidikan sebagai wahana pengembangan ipteks, serta menghargai demokrasi. Pertimbangan yang diperlukan, kemajuan yang dicapai dalam pembangunan masyarakat modern di Barat telah menyebabkan keterasingan manusia dari lingkungan hidup yang manusiawi. Perhatian yang diperlukan adalah membangun bangsa Indonesia modern tanpa kehilangan nilai-nilai kemanusiaan dan nilai-nilai budaya Indonesia sendiri yang telah dihayati dalam praktek kehidupan sehari-hari (Budi Susilo, 1994:62-64). E. Penutup Scheler berpendapat, bahwa hakikat nilai adalah kualitas apriori. Nilai yang independen bukan hanya tidak tergantung pada benda dan semua objek yang ada di dunia, tetapi juga reaksi seseorang terhadap benda dan nilai. Nilai tidak akan terpengaruh oleh perubahan yang terjadi pada objek yang digabunginya. Nilai

Page 102: Jurnal Filsafat UGM Vol 18, no 1 (2008)

Jurnal Filsafat Vol.18, Nomor 1, April 2008

104

adalah independen, tetap, tidak berubah, dan bersifat mutlak, yaitu tidak tergantung dan tidak dipengaruhi oleh perbuatan atau reaksi seseorang.

Scheler berpendapat, bahwa nilai menampak pada manusia karena terlekat pada pengembannya. Objek pengembannya dan nilai yang melekat pada pengembannya dipersepsi dengan cara yang berbeda. Scheler berpendapat, bahwa akal kecerdasan tidak dapat memiliki semacam hubungan langsung dengan nilai. Nilai menyatakan diri pada manusia melalui intuisi emosional (hati). Manusia berhubungan dengan dunia nilai dengan keterbukaan dan kepekaan hatinya. Kelemahan yang paling jelas dari teori objektivisme nilai Scheler adalah pandangannya tentang nilai yang bersifat mutlak. Akibat pemutlakan tersebut, maka penjelasan-penjelasan dan pembenaran-pembenaran pendapatnya bersifat tautologis. Scheler telah menolak sifat relasional nilai, yaitu menolak semua hubungan antara nilai dengan manusia dan realitas. Argumentasinya menjadi sia-sia dan menampakkan kelemahannya, karena menjelaskan sesuatu yang tidak dikonfirmasikan dengan realitas, sehingga terjebak dalam penjelasan tautologis.

Kelebihan objektivisme Scheler adalah memiliki dasar yang kuat, karena terdapat perbedaan yang hakiki antara penilaian dan nilai. Nilai mendahului penilaian. Apabila tidak ada nilai, maka tidak akan ada pula yang akan dinilai. Apabila penilaian dikacaukan dengan nilai, maka akan sama dengan mengacaukan antara persepsi dengan objek yang dipersepsi. Persepsi tidak menyiptakan objek, tetapi menangkapnya. Kedudukan pendekatan subjektif sebenarnya hanya sama dengan proses pemahaman nilai. Prinsip-prinsip aksiologis diperlukan dalam hidup berbangsa dan bernegara agar sendi-sendi pluralitas dapat menjadi kekuatan bangsa. Nilai-nilai menurut Scheler tidak dapat dipahami dengan akal, tetapi dengan hati. Pemahaman nilai melalui kepekaan hati penting dalam menyikapi pluralitas di Indonesia. Prinsip-prinsip humanitas, unitas, dan kontekstualitas hanya dapat diterima dengan kepekaan hati. Prinsip-prinsip unitas dan kontekstualitas dapat menjadikan suatu kelompok etnis memahami dan berempati kepada nilai-nilai kelompok etnis lain. Apabila multikulturalisme disikapi melalui pendekatan rasional, maka yang muncul hanya persoalan benar dan salah saja tanpa pertimbangan tenggang rasa dan empati. Prinsip humanitas dapat dijadikan dasar pengembangan multikulturalisme. Manusia memiliki nilai-nilai kemanusiaan yang

Page 103: Jurnal Filsafat UGM Vol 18, no 1 (2008)

Jirzanah, Aktualisasi Pemahaman Nilai…

105

bersifat luhur dan utuh. Prinsip humanitas menegaskan bahwa pengembangan nilai-nilai kemanusiaan pada dasarnya sebagai pemenuhan kodrat manusia itu sendiri untuk mencapai martabat kemanusiaan yang utuh. Martabat manusia tercermin dari kemampuan akal dan keluhuran moralnya. Perhatian yang diperlukan adalah membangun bangsa Indonesia modern tanpa kehilangan nilai-nilai kemanusiaan dan nilai-nilai budaya Indonesia sendiri yang telah dihayati dalam praktek kehidupan sehari-hari.

-JF-

DAFTAR PUSTAKA

Ambroise, SJ., 1993, Pendidikan Nilai, dalam Pendidikan Nilai Memasuki Tahun 2000, Gramedia, Jakarta.

Bertens, K.,1983, Filsafat Barat Dalam Abad XX, Inggris-Jerman, PT.Gramedia, Jakarta.

------------ , 2002, Filsafat Barat Kontemporer, Inggris-Jerman, PT. Gramedia, Jakarta.

Bagus, Lorens , 2005, Kamus Filsafat, PT. Gramedia, Jakarta.

Budi-Susilo,1994, Mentalitas Dalam Pembangunan Masyarakat Modern, dalam Jangan Tangisi Tradisi, Kanisius, Yogyakarta.

Deeken, Alfons, 1974, Procees and Permanence in Ethics Max Scheler’s Moral Philosophy, Paulist Prees New York, N.Y./Paramus, N.J.

Frondizi, R.,1963, Que Son Los Valores, terj.Solomon Lipp, Publishing Company, USA.

---------------,1963, Que Son Los Valores, terj. Cuk Ananta W., Pustaka Pelajar, Yogyakarta.

Harun-Hadiwijono,1980, Sejarah Filsafat Barat 2, Kanisius, Yogyakarta.

Kaelan ,2005, Metode Penelitian Kualitatif Bidang Filsafat, Paradigma, Yogyakarta.

Kattsoff L. O. ,1986, Elements of Philosophy, terj. Soejono Soemargono, Tiara Wacana, Yogyakarta.

Koento-Wibisono, 1983, Arti Perkembangan Menurut Filsafat Positivisme Auguste Comte, Gadjah Mada University Press.

Maksum-Ruhendi, 2004, Paradigma Pendidikan Universal, IRCiSoD, Yogyakarta.

Page 104: Jurnal Filsafat UGM Vol 18, no 1 (2008)

Jurnal Filsafat Vol.18, Nomor 1, April 2008

106

Purwo-Hadiwardoyo, 1993, Nilai Kemanusiaan Hikmat Bagi Pendidikan, dalam Pendidikan Nilai Memasuki Tahun 2000, Gramedia, Jakarta.

Scheler,1966, Der Formalismus in der Ethik und die materiale Wertethik, Gesammelte Werke, Vol.II, 5, Aufl, Bern: Frenke Verlag.