jurnal ilmiah farmasi - journal portal
TRANSCRIPT
i
JURNAL ILMIAH FARMASI (SCIENTIFIC JOURNAL OF PHARMACY)
PIMPINAN UMUM/ PENANGGUNG JAWAB
Dekan Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam
Universitas Islam Indonesia
WAKIL PIMPINAN UMUM/ WAKIL PENANGGUNG JAWAB Ketua Jurusan Farmasi FMIPA UII
Editor in Chief Dr. apt. Arba P. Ramadani, M.Sc.
Managing Editors apt. Annisa Fitria, M.Sc.
apt. Cynthia Astiti Putri, M.Si.
Editorial Board apt. Pinus Jumaryatno, M.Phil., Ph.D.
Prof. Dr. Is Fatimah Prof. Dr., apt. Abdul Rohman, M.Si.
Dr. rer. nat. Ronny Martien, M.Si. Prof. Patrick A Ball
Dr. Hana Morissey Prof. Muhammad Taher
Assoc. Prof. Che Suraya Zin Assoc. Prof. Deny Susanty
Dr. Matthew Bertin Dr. Mohammed Hada Dr. Tommy Julianto
Reviewers
Dr. apt. Vitarani Dwi Ananda Ningrum apt. Suci Hanifah, Ph.D. Dr. apt. Farida Hayati, M.Si. Dr. apt. Lutfi Chabib, M. Sc.Dr. apt. Siti Zahliyatul Munawiroh apt. Saepudin, PhD.Dr. apt. Asih Triastuti, M. Pharm. Dr. apt. Yandi Syukri, M.Si.Dr. apt. Noor Fitri, M.Si.
Penerbit Jurusan Farmasi
Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Islam Indonesia
Alamat Penerbit Jurusan Farmasi FMIPA UII
Jl. Kaliurang Km. 14,4 Yogyakarta 55584 Telp. (0274) 896439 ext. 3047
Email: [email protected] https://journal.uii.ac.id/index.php/JIF
Dr. dr. Isnatin Miladiyah, M. Kes.Dr. apt. Bangunawati Rahajeng, M. Si. Dr. apt. Ilham Kuncahyo, M. Sc.Dr. F.V. Lanny Hartanti, S.Si., M.Si. Dr. apt. Y. Lannie Hadisoewignyo, M.Si. apt. Purwanto, M.Sc., Ph.DDr. Dwiarso Rubiyanto, M.Si.
ii
DAFTAR ISI
i
ii iii
96-104
105-111
112-117
118-129
130-143
144-154
Susunan Redaksi
Daftar Isi
Pengantar Dari Dewan Editor
The relationship between sosiodemographic factors and public knowledge of herbal medicines in two districts in Sleman Regency Dian Medisa, Hady Anshory, Putri Litapriani, Rezky Fajriyati M
Acute toxicity test ethanol extract of kerehau leaf (Callicarpa longifolia Lamk) using OECD 420 methodAulia Nurfazri Istiqomah, Shintya Safitri, Elis Susilawati
Confusion, difficulty concentrating, and slow response induced by ropinirole therapy in an elderly patient with secondary Parkinsonism: a case report Emilia Sidharta, Ivon Sindu Wijaya, Hanny Cahyadi
Assessment of physicochemical properties and comparison of the dissolution profile of amoxicillin capletsEen Widiyasari, Teuku Nanda Saifullah Sulaiman
Stability studies of mefenamic acid Self-Nanoemulsifying Drug Delivery System (SNEEDS) preparation with oleic acid as the oil phaseYandi Syukri, Septiani Eka Cahyani, Bambang Hernawan Nugroho
Solid dispersion of quercetin-PVP K-30 and its effects on the antioxidant activity Zahara Gayo, Henny Lucida, Erizal Zaini
Selenium species in vegetables: benefits and toxicity for the bodyAlya Luthfiyani Heryadi, Ayu Shalihat, Rimadani Pratiwi, Mutakin Mutakin
JPH203 as a potential L-Type Amino Acid Transporter 1 (LAT 1) inhibitor in the development of cancer theragnostic compounds.)Yolanda Pertiwi, Driyanti Rahayu, Maula Eka Sriyani, Raden Bayu Indradi, Holis Abdul Holik
Standardization parameters for cocoa pods (Theobroma cacao L.)Nida Isti Azah, Resmi Muchtarichie, Yoppi Iskandar
Treatment pattern and direct medical costs of pediatric outpatients with actuate respiratory infection at X hospital in JambiHendri Pranata, Rasmaladewi Rasmaladewi, Mukhlis Sanuddin
155-166
167-181
182-195
196-203
PENGANTAR DEWAN
EDITOR
Alhamdulillah, puji syukur ke hadirat Allah Ta’ala yang telah menganugerahkan
kesempatan dan kekuatan, sehingga Jurnal Ilmiah Farmasi (JIF) Vol. 16 No. 2 Tahun 2020 dapat
diterbitkan. Pada edisi ini dimuat tujuh artikel pada kelompok Farmasi Sains dan tiga artikel dari
kelompok klinis. Artikel yang disajikan pada kelompok Farmasi Klinis mengulas tentang topik
efektivitas terapi pada pasien di rumah sakit. Sedangkan artikel pada kelompok Farmasi Sains
diantaranya mengetengahkan topik formulasi sediaan obat dari bahan alam.
Besar harapan kami semua artikel yang disajikan dalam edisi ini dapat memberikan
manfaat dan menambah wawasan pembaca mengenai perkembangan penelitian dan wacana
di bidang farmasi dan kesehatan. Saran dan kritik membangun dari pembaca kami harapkan.
Begitu pula, kami mengundang pembaca untuk berpartisipasi mengirimkan artikel untuk dimuat
dalam jurnal ini. Bagi pembaca yang berminat, dapat mencermati aturan pengiriman artikel yang
sudah ditetapkan dan segera mengirimkannya ke alamat redaksi.
Akhirnya, kami ucapkan selamat membaca dan selamat mencermati, dan tak lupa
kami mohon maaf apabila terdapat kesalahan dan kelalaian dalam penerbitan edisi ini.
Yogyakarta, Desember2020
Dewan Editor
iii
Jurnal Ilmiah Farmasi 16(2) Agustus-Desember 2020, 96-104 ISSN: 1693-8666
available at http://journal.uii.ac.id/index.php/JIF
96
The relationship between sosiodemographic factors and public knowledge of herbal medicines in two districts in Sleman Regency
Hubungan faktor sosiodemografi dengan tingkat pengetahuan masyarakat tentang
obat herbal di dua kecamatan Kabupaten Sleman
Dian Medisa*, Hady Anshory, Putri Litapriani, Rezky Fajriyati M
Department of Pharmacy, Universitas Islam Indonesia, Yogyakarta, Indonesia *Corresponding author: [email protected]
Abstract
Introduction: The use of herbal medicines in the community is on the increase in both developing and
advanced countries. Most people use herbal medicines through generations or based on experience. Therefore,
it is necessary to analyse public knowledge of herbal medicine to support the appropriate and proper use of
herbal medicines.
Objectives: To determine the relationship between sociodemographic characteristics and the level of public
knowledge of herbal medicines in two districts in Sleman Regency.
Methods: Survey research was conducted for the people of Minggir and Cangkringan Districts, Sleman
Regency. A sample of 240 respondents was taken through the cluster sampling method, and data was collected
through a validated questionnaire. Respondents who scored higher than the mean were grouped into good
knowledge, whereas those with less than or equal to the mean were in the category of poor knowledge. Data
was analysed using the chi-square test.
Results: The majority of respondents were women (61.2%) mostly aged 26-45 years (46.7%). The highest
percentage of knowledge was in the domain of the side effects of herbal medicines (78.3%), while the lowest
knowledge was about how to use herbal medicines (32.1%). Exactly 55% respondents had good knowledge of
all the domains about herbal medicines. The results of bivariate analysis showed that sociodemographic factors
were insignificantly correlated with respondents’ level of knowledge of herbal medicines (p> 0.05).
Conclusion: There was no correlation between sociodemographic characteristics and knowledge of herbal
medicines. Knowledge of herbal medicines can be increased by providing an education program based on the
needs and conditions of the sociodemographic society.
Keyword: knowledge, herbal medicine, Sleman regency
Intisari
Latar Belakang: Penggunaan obat herbal (OH) di masyarakat semakin meningkat, baik di negara berkembang
maupun negara maju. Sebagian besar masyarakat menggunakan obat herbal secara turun temurun atau
berdasarkan pengalaman. Oleh karena itu, perlu dilakukan analisis terhadap pengetahuan masyarakat tentang
obat herbal untuk mendukung penggunaan obat herbal dengan tepat dan benar.
Tujuan: Untuk mengetahui hubungan sosiodemografi dengan tingkat pengetahuan masyarakat tentang obat
herbal pada dua kecamatan di Kabupaten Sleman.
Metode: Penelitian survey yang dilakukan pada masyarakat Kecamatan Minggir dan Cangkringan, Kabupaten
Sleman. Pengambilan sampel sebanyak 240 responden dilakukan dengan metode cluster sampling. Data
diperoleh dari pembagian kuesioner yang telah tervalidasi. Responden yang memiliki skor di atas nilai rata-
97 | Dian, M., dkk/ Jurnal Ilmiah Farmasi 16(2) Agustus-Desember 2020, 96-104
rata termasuk dalam kategori berpengetahuan baik, sedangkan jika dibawah atau sama dengan rata-rata
termasuk kategori berpengetahuan buruk. Data dianalisis menggunakan uji chi-square.
Hasil: Mayoritas responden adalah wanita (61,2%) dan usia paling banyak 26-45 tahun (46,7%). Persentase
pengetahuan yang paling baik yaitu pada domain efek samping obat herbal (78,3%), sedangkan pengetahuan
yang terendah tentang cara penggunaan obat herbal (32,1%). Lima puluh lima persen responden memiliki
pengetahuan yang baik tentang obat herbal secara keseluruhan. Hasil analisis bivariat menunjukkan faktor
sosiodemografi tidak berhubungan secara signifikan dengan tingkat pengetahuan responden tentang obat
herbal (p<0,05).
Kesimpulan: Faktor sosiodemografi tidak berhubungan dengan tingkat pengetahuan tentang obat herbal.
Pengetahuan tentang obat herbal dapat ditingkatkan melalui pemberian edukasi yang sesuai dengan
kebutuhan dan kondisi sosiodemografi masyarakat.
Kata kunci: pengetahuan, obat tradisional, Kabupaten Sleman
1. Latar Belakang
Obat tradisional merupakan suatu bahan yang berasal dari bahan tumbuhan, bahan hewan,
bahan mineral atau campuran dari bahan-bahan tersebut yang biasanya digunakan secara turun
temurun untuk pengobatan, pencegahan penyakit, maupun pemeliharaan kesehatan (Kemenkes,
2017; Moreira et al., 2014). Saat ini penggunaan obat tradisional semakin meningkat baik di negara
berkembang maupun negara maju. Masing-masing negara atau daerah memiliki kebiasaan yang
berbeda-beda dalam penggunaan obat tradisional karena dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti
budaya, sejarah, dan sikap individu. Obat tradisional yang paling banyak digunakan di seluruh dunia
adalah obat herbal atau obat yang berasal dari tumbuhan (Seyyedrassoli et al., 2017; Temitayo et al.,
2017). Di Indonesia, sebanyak 59,12% penduduk berusia di atas 15 tahun menggunakan jamu dan
30,40% rumah tangga memanfaatkan pelayanan kesehatan tradisional (Kemenkes, 2013). Sebagian
masyarakat menggunakan obat herbal tidak hanya untuk terapi tunggal tetapi dikombinasikan
dengan terapi modern. Masyarakat meyakini bahwa obat herbal lebih aman, murah dan lebih manjur
dibandingkan dengan obat modern, meskipun data ilmiah terkait keamanan dan efektifitas obat
herbal belum cukup memadai. Masyarakat menggunakan obat herbal dalam bentuk ramuan dari
bahan alam asli maupun produk jadi seperti suplemen (Belachew et al., 2017; Destiani & Suwantika,
2015; Gitawati & Handayani, 2008). Banyaknya penggunaan obat tradisional terutama obat herbal
di masyarakat didukung oleh pemerintah dengan penyelenggaraan program pengembangan dan
pemanfaatan tanaman obat keluarga (TOGA) sebagai upaya meningkatkan kemandirian masyarakat
dalam mengatasi permasalahan kesehatan (Maryani & Kusumawati, 2008). Dengan pemanfaatan
obat herbal secara mandiri, maka masyarakat harus memiliki pengetahuan yang baik tentang obat
herbal agar dapat menggunakannya dengan tepat sesuai kebutuhan.
Di Indonesia, penelitian tentang pengetahuan obat tradisional atau obat herbal masih sangat
98 | Dian, M., dkk/ Jurnal Ilmiah Farmasi 16(2) Agustus-Desember 2020, 96-104
terbatas, sehingga perlu dilakukan penelitian terkait pengetahuan obat herbal. Penelitian ini
bertujuan untuk mengetahui tingkat pengetahuan masyarakat tentang obat tradisional di wilayah
Kabupaten Sleman dan hubungan sosiodemografi dengan pengetahuan.
2. Metode Penelitian
a. Rancangan Penelitian
Penelitian ini merupakan penelitian survey dengan rancangan cross-sectional di Kecamatan
Minggir dan Cangkringan, Kabupaten Sleman pada Juni-Juli 2018. Penelitian ini telah mendapatkan
ijin dari komite etik Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada dengan nomor
KE/FK/0574/EC/2018.
b. Sampel Penelitian
Jumlah sampel penelitian sebanyak 240 responden yang dipilih dengan metode cluster
sampling. Responden yang digunakan harus memenuhi kriteria inklusi yaitu, masyarakat berusia 18-
65 tahun, pernah atau sedang mengkonsumsi obat herbal dan bersedia menjadi responden.
Responden dieksklusikan jika tidak mengisi kuesioner dengan lengkap dan jelas.
c. Instrumen Penelitian
Kuesioner terdiri dari dua bagian yaitu bagian satu tentang sosiodemografi dan bagian dua
tentang pengetahuan. Informasi sosiodemografi meliputi jenis kelamin, usia, pendidikan terakhir,
pekerjaan, dan penghasilan. Bagian pengetahuan obat herbal meliputi pengertian dan logo (3
pertanyaan), khasiat atau indikasi (7 pertanyaan), cara penggunaan (3 pertanyaan), dan efek
samping obat (2 pertanyaan). Pilihan jawaban pada bagian pengetahuan obat herbal yaitu “benar“
dan “salah“.
Kuesioner disusun oleh peneliti berdasarkan review literatur dan telah diuji validasi maupun
reliabilitas. Tahap validasi terdiri dari validasi konten dan uji coba. Pada tahap validasi konten,
kuesioner direview oleh ahli di bidang obat herbal. Dari hasil validasi tersebut, terdapat perbaikan
tata bahasa pada beberapa pertanyaan agar lebih jelas dan mudah dipahami. Proses selanjutnya yaitu
uji coba kuesioner kepada 30 orang warga masyarakat yang sesuai kriteria inklusi dan warga
tersebut tidak termasuk dalam responden penelitian. Uji coba kuesioner dilakukan untuk
memastikan bahwa kuesioner tersebut telah dapat mengukur pengetahuan warga tentang obat
herbal sesuai dengan tujuan penelitian. Adapun uji reliabilitas menggunakan rumus Cronbach’s
Alpha, diperoleh nilai sebesar 0,701. Kuesioner dikatakan reliabel karena nilai Cronbach’s Alpha >
0,60.
d. Pengumpulan Data
99 | Dian, M., dkk/ Jurnal Ilmiah Farmasi 16(2) Agustus-Desember 2020, 96-104
Peneliti meminta persetujuan kepada responden untuk mengisi kuesioner. Persetujuan
dituliskan dalam inform consent. Responden mengisi kuesioner secara mandiri dengan didampingi
oleh fasilitator.
e. Analisis Data
Jika responden menjawab dengan tepat mendapat skor=1, sebaliknya jika menjawab tidak
tepat mendapat skor=0. Tingkat pengetahuan dibagi menjadi 2 kategori, yaitu baik dan buruk.
Responden yang memiliki skor di atas nilai rata-rata termasuk kategori baik, sedangkan responden
yang memiliki skor di bawah atau sama dengan nilai rata-rata termasuk kategori buruk. Analisis
univariat untuk menghitung persentase sosiodemografi dan tingkat pengetahuan responden,
sedangkan analisis bivariat (chi-square) untuk menganalisis hubungan faktor sosiodemografi dengan
tingkat pengetahuan tentang obat herbal.
3. Hasil dan pembahasan
Penelitian dilakukan dengan tujuan untuk mengetahui tingkat pengetahuan masyarakat
tentang obat herbal. Jumlah sampel yang diteliti sebanyak 240 responden. Adapun responden adalah
warga yang berdomisili di wilayah Kecamatan Minggir dan Cangkringan, Kabupaten Sleman, Daerah
Istimewa Yogyakarta. Seluruh responden dalam penelitian ini merupakan perwakilan dari tiap
keluarga dan sudah pernah atau sedang menggunakan obat herbal. Profil karakteristik
sosiodemografi responden tercantum dalam Tabel 1. Mayoritas responden adalah wanita (61,2%),
sedangkan pria (38,8%). Hasil tersebut sejalan dengan pekerjaan yang didominasi oleh ibu rumah
tangga (41,7%). Usia responden yang paling banyak yaitu 26-45 (46,7%) dan sebagian besar
memiliki pendidikan SMA sampai perguruan tinggi (58,3%).
Pengetahuan masyarakat tentang obat herbal perlu diteliti karena penggunaan obat herbal di
masyarakat semakin meningkat, meskipun masih terdapat beberapa obat herbal yang belum terbukti
aman dan efektif. Sebagian besar masyarakat menggunakan obat herbal berdasarkan pengetahuan,
pengalaman, dan ketrampilan secara turun temurun. Dengan demikian, perlu dilakukan pengukuran
terhadap pengetahuan masyarakat agar pemilihan maupun penggunaan obat herbal dapat dilakukan
dengan tepat, sehingga terhindar dari efek yang berbahaya bagi tubuh (Gitawati & Handayani, 2008;
Moreira et al., 2014; Ningsih, 2016).
Pengetahuan diukur menggunakan kuesioner yang diberikan secara langsung kepada
responden. Hasil tingkat pengetahuan obat herbal berdasarkan tiap domain pertanyaan tercantum
dalam Tabel 2. Responden memiliki pengetahuan yang paling baik tentang efek samping obat herbal
(78,3%), sedangkan pengetahuan yang paling kurang yaitu cara penggunaan obat herbal (32,1%).
100 | Dian, M., dkk/ Jurnal Ilmiah Farmasi 16(2) Agustus-Desember 2020, 96-104
Sebagian besar responden juga telah mengetahui pengertian (51,2%) dan khasiat (63,3%) dari
beberapa obat herbal. Selain itu, terdapat responden yang belum mengetahui bahwa logo obat herbal
terbagi menjadi 3, yaitu logo jamu, logo obat herbal tersandar, dan logo fitofarmaka. Logo obat herbal
penting untuk diketahui oleh masyarakat agar dapat memilih obat dengan tepat dan sesuai dengan
kebutuhan.
Tabel 1. Karakteristik sosiodemografi responden
Karakteristik Sosiodemografi n (%)
Jenis kelamin Pria 93 (38,8)
Wanita 147 (61,2)
Usia 18-25 19 (7,9)
26-45 112 (46,7)
46-65 109 (45,4)
Pekerjaan Pelajar 8 (3,3)
IRT 100 (41,7)
Petani 53 (22,1)
guru 3 (1,3)
lain-lain 76 (31,7)
Pendidikan
terakhir
≤SD 41 (17,1)
SMP 59 (24,6)
≥SMA 140 (58,3)
Pendapatan <1000000 172 (71,7)
1000000 - 1500000 47 (19,6)
>1500000 21 (8,7)
Keterangan : Jumlah responden =240 orang
Terdapat bermacam-macam obat tradisional yang digunakan oleh masyarakat untuk
mengatasi berbagai kondisi kesehatan, seperti diare, sakit tenggorokan, sakit gigi, diabetes,
hipertensi, kanker, obesitas, dan lain-lain (Kemenkes, 2017; Wassie et al., 2015). Oleh karena itu,
masyarakat harus mengetahui khasiat obat herbal yang digunakan agar mendapatkan efek yang
optimal. Pada domain khasiat obat herbal, diketahui persentase responden yang telah mengetahui
khasiat jahe (99,6%), bawang putih (79,6%), dan kunyit (53,3%). Sebanyak 47,1% responden
menganggap bahwa obat herbal lebih efektif untuk mengatasi penyakit kronis, dan obat herbal
memiliki khasiat yang sama dengan obat modern (32,9%).
Pada domain cara penggunaan obat herbal, mayoritas responden (89,2%) telah mengetahui
bahwa obat herbal tidak diminum bersamaan dengan obat modern. Namun, masih banyak responden
(46,7%) yang belum mengetahui bahwa sebaiknya obat herbal tidak dikonsumsi setiap hari, serta
aturan penggunaan kunyit pada masa kehamilan. Kunyit diyakini keamanannya jika digunakan pada
trimester kedua dan ketiga, karena sampai saat ini belum ada bukti klinis yang menunjukkan bahwa
konsumsi kunyit dapat menyebabkan kelahiran prematur. Meskipun demikian, wanita hamil
101 | Dian, M., dkk/ Jurnal Ilmiah Farmasi 16(2) Agustus-Desember 2020, 96-104
seharusnya menghentikan penggunaan kunyit satu minggu sebelum hari perkiraan lahir (Akram et
al., 2010; Jaafari et al., 2016). Penggunaan obat herbal oleh masyarakat termasuk wanita hamil, masih
banyak dilakukan. Oleh karena itu, perlu dipastikan bahwa masyarakat telah mengetahui cara
penggunaan obat herbal dengan benar.
Tabel 2. Tingkat pengetahuan responden tentang obat herbal
berdasarkan tiap domain pertanyaan
Domain Skor Rata-
rata SD
Pengetahuan n (%)
Baik Buruk
Pengertian dan logo OH
Khasiat OH
Cara penggunaan OH
Efek samping OH
1,9 0,9
3,9 1,1
2 0,8
0,9 0,6
123 (51,2)
152 (63,3)
77 (32,1)
188 (78,3)
117 (48,8)
88 (36,7)
163 (67,9)
52 (21,7)
Keterangan : Jumlah total responden = 240 orang
Responden yang memiliki tingkat pengetahuan tentang obat herbal dalam kategori baik
sebesar 55%. Pada penelitian sebelumnya, juga menunjukkan hasil serupa yaitu 67,7% responden
memiliki tingkat pengetahuan yang baik tentang obat herbal (Oktarlina et al., 2018). Tingkat
pengetahuan tentang obat herbal akan mempengaruhi sikap dan perilaku penggunaan obat herbal.
Semakin tinggi pengetahuan, maka semakin tinggi frekuensi penggunaan obat herbal (Asmelashe et
al., 2017; Seyyedrassoli et al., 2017). Pengetahuan masyarakat tentang obat herbal dapat
ditingkatkan dengan pemberian edukasi oleh tenaga kesehatan.
Gambar 1. Tingkat pengetahuan responden tentang obat herbal
berdasarkan seluruh domain
Tabel 3. menunjukkan bahwa responden pria (57,0%) memiliki tingkat pengetahuan tentang
obat herbal yang sedikit lebih baik dibandingkan dengan wanita (53,7%). Hal ini dapat disebabkan
karena mayoritas responden laki-laki berpendidikan ≥ SMA. Kategori responden dengan tingkat
pendidikan ≥ SMA memiliki persentase tingkat pengetahuan obat herbal yang lebih baik (55,7%)
55,0%
45,0%
Baik Buruk
102 | Dian, M., dkk/ Jurnal Ilmiah Farmasi 16(2) Agustus-Desember 2020, 96-104
dibandingkan responden dengan tingkat pendidikan < SMA (54,0%). Seseorang yang memiliki
tingkat pendidikan lebih tinggi cenderung lebih banyak mencari informasi informal secara mandiri
(Alyahia et al., 2017).
Tabel 3. Hubungan sosiodemografi dengan tingkat pengetahuan masyarakat
tentang obat herbal
Karakteristik
Sosiodemografi
Tingkat Pengetahuan P-value
Baik
n (%)
Buruk
n (%)
Jenis
kelamin
Pria
Wanita
53 (57,0)
79 (53,7)
40 (43,0)
68 (46,3)
0.552
Usia ≤ 45 tahun
> 45 tahun
73 (55,7)
59 (54,1)
58 (44,3)
50 (45,9)
0.897
Pekerjaan Bekerja
Tidak bekerja
72 (54,5)
60 (55,6)
60 (45,5)
48 (44,4)
0.990
Pendidikan
terakhir
< SMA
≥ SMA
54 (54,0)
78 (55,7)
46 (46,0)
62 (44,3)
0.677
Pendapatan ≤1,5 juta
<1,5 juta
121 (55,3)
10 (47,6)
98 (44,7)
11 (52,4)
0,502
Keterangan : signifikansi (chi-square )= p<0,05
Hasil analisis biavariat menunjukkan tingkat pengetahuan tentang obat herbal tidak
berhubungan secara signifikan dengan karakteristik sosiodemigrafi, meliputi jenis kelamin, usia,
pekerjaan, pendidikan, dan pendapatan (p<0,05). Pada penelitian di Penang dan Merawi Town,
tercantum bahwa tidak ada hubungan yang signifikan antara sosiodemografi (usia, pendidikan, dan
pendapatan) dengan pengetahuan dan penggunaan obat herbal (Rahman et al., 2009; Wassie et al.,
2015). Sebaliknya, penelitian di Iran menunjukkan hasil yang berbeda, yaitu terdapat hubungan
secara siginifikan antara faktor sosiodemografi (usia, pendidikan, pekerjaan, dan pendapatan)
dengan tingkat pengetahuan (Seyyedrassoli et al., 2017). Pendidikan tidak berhubungan dengan
tingkat pengetahuan secara signifikan, hal ini kemungkinan karena informasi tentang obat herbal
dapat diperoleh dari berbagai sumber informasi seperti TV, internet, buku, keluarga, ataupun tenaga
kesehatan, tidak hanya dari pendidikan formal (Djabbar et al., 2017; El-Olemy et al., 2017).
4. Kesimpulan
103 | Dian, M., dkk/ Jurnal Ilmiah Farmasi 16(2) Agustus-Desember 2020, 96-104
Responden yang memiliki tingkat pengetahuan kategori baik sebanyak 55,0%, sedangkan
responden memiliki tingkat pengetahuan buruk 45,0%. Faktor sosiodemografi tidak berhubungan
secara signifikan dengan tingkat pengetahuan tentang obat herbal. Pengetahuan tentang obat herbal
dapat ditingkatkan melalui pemberian edukasi yang sesuai dengan kebutuhan dan kondisi
sosiodemografi masyarakat.
Daftar pustaka
Akram, M., Afzal, A., Khan, U., Abdul, H., Mohiuddin, E., & Asif, M. (2010). Curcuma longa and Curcumin: A review article. Rom. J. Biol-Plant Biol., 55, 65-70.
Alyahia, O., Al-Bedah, A., Al-Dossari, D., Salem, S., & Qureshi, N. (2017). Prevalence and Public Knowledge, Attitude and Practice of Traditional Medicine in Al-Aziziah, Riyadh, Saudi Arabia. British Journal of Medicine and Medical Research, 20, 1-14. doi:10.9734/BJMMR/2017/32749
Asmelashe, D., Mekonnen, G., Atnafe, S., Birarra, M., & Belay, A. (2017). Herbal Medicines: Personal Use, Knowledge, Attitude, Dispensing Practice, and the Barriers among Community Pharmacists in Gondar, Northwest Ethiopia. Evidence-Based Complementary and Alternative Medicine, 2017, 7. doi:10.1155/2017/6480142
Belachew, N., Tadesse, T., & Gube, A. A. (2017). Knowledge, Attitude, and Practice of Complementary and Alternative Medicine Among Residents of Wayu Town, Western Ethiopia. Journal of evidence-based complementary & alternative medicine, 22(4), 929-935. doi:10.1177/2515690X17746547
Destiani, D., & Suwantika, A. (2015). The Use of Herbal Supplements as One of Self Medications in Bandung. Indonesian Journal of Clinical Pharmacy, 4, 71-76. doi:10.15416/ijcp.2015.4.1.71
Djabbar, A., Musdalipah, M., & Nurwati, A. (2017). Studi Pengetahuan, Sikap dan Tindakan Terhadap Penggunaan Obat Tradisional Bagi Masyarakat di Desa Sabi-Sabila Kecamatan Mowewe Kabupaten Kolaka Timur. Pharmauho, 3(1).
El-Olemy, A. T., Radwan, N. M., Dawoud, W. M., Zayed, H. A., Ali, E. A., Elsabbagh, H., Al-Dossari, D. S., Salem, S. O., & Qureshi, N. A. (2017). Medical Students’ Knowledge, Attitude and Practice towards Traditional and Complementary Medicine, Tanta City, Gharbiyah Governorate, Egypt. Journal of Complementary and Alternative Medical Research, 3(1).
Gitawati, R., & Handayani, R. S. (2008). Profil konsumen obat tradisional terhadap ketanggapan akan addnya efek samping obat tradisional. Buletin Penelitian Sistem Kesehatan, 11(3), 6. doi:doi:10.22435/bpsk.v11i3 Jul.1876
Jaafari, M., Fotoohi, A., Razavi, N., & Abdian, A. A. (2016). Herbal medicine in pregnancy. Advanced Herbal Medicine, 2(1), 13.
Kemenkes. (2013). Riset Kesehatan Dasar 2013. Jakarta: Kementrian Kesehatan Republik Indonesia Kemenkes. (2017). Formularium Ramuan Obat Tradisional Indonesia. Jakarta: Kementrian Kesehatan
Republik Indonesia Maryani, H., & Kusumawati, L. (2008). Upaya peningkatan pengetahuan tentang obat tradisional dan
pemanfaatannya melalui pelatihan pada usila. Buletin Penelitian Sistem Kesehatan, 11(4), 5. Moreira, D. D. L., Teixeira, S. S., Monteiro, M. H., De-Oliveira, A. C. A. X., & Paumgartten, F. J. R. (2014).
Traditional use and safety of herbal medicines. Brazilian Journal of Pharmacognosy, 24, 10. Ningsih, I. Y. (2016). Studi Etnofarmasi Penggunaan Tumbuhan Obat Oleh Suku Tengger Di
Kabupaten Lumajang Dan Malang, Jawa Timur. Pharmachy, 13(1). Oktarlina, R. Z., Tarigan, A., Carolia, N., & Utami, E. R. (2018). Hubungan Pengetahuan Keluarga
dengan Penggunaan Obat Tradisional di Desa Nunggalrejo Kecamatan Punggur Kabupaten Lampung Tengah. JK Unila, 2(1), 5.
104 | Dian, M., dkk/ Jurnal Ilmiah Farmasi 16(2) Agustus-Desember 2020, 96-104
Rahman, A. A., Sulaiman, S. A., Ahmad, Z., Salleh, H., Daud, W. N., & Hamid, A. M. (2009). Women's attitude and sociodemographic characteristics influencing usage of herbal medicines during pregnancy in Tumpat District, Kelantan. Southeast Asian J Trop Med Public Health, 40(2), 330-337.
Seyyedrassoli, A., Ghahramanian, A., & Rahimlou, Z. (2017). The Relationship Between Knowledge and Attitude of Patients with Chronic Diseases Regarding Complementary Medicine. Iranian Red Crescent Medical Journal, 19.
Temitayo, O., Sariem, C., Dafam, D., O, O., Okwori, V., N, O., & O, J. (2017). Knowledge, Attitude and Practice of Traditional Medicine Among People of Jos North Local Government Area of Plateau State, Nigeria. International Journal of Pharmacognosy and Phytochemical Research, 9. doi:10.25258/phyto.v9i10.10460
Wassie, S., Aragie, L., Taye, B., & Mekonnen, L. (2015). Knowledge, Attitude, and Utilization of Traditional Medicine among the Communities of Merawi Town, Northwest Ethiopia: A Cross-Sectional Study. Evidence-Based Complementary and Alternative Medicine, 2015, 1-7. doi:10.1155/2015/138073
Jurnal Ilmiah Farmasi 16(2) Agustus-Desember 2020, 105-111ISSN: 1693-8666
available at http://journal.uii.ac.id/index.php/JIF
105
Acute toxicity test ethanol extract of kerehau leaf (Callicarpa longifolia Lamk)using OECD 420 method
Uji toksisitas akut ekstrak etanol daun kerehau (Callicarpa longifolia Lamk)denganmetode OECD 420
Aulia Nurfazri, Shintya Safitri, Elis Susilawati*
Fakultas Farmasi, Universitas Bhakti Kencana, Jawa Barat, Indonesia*Corresponding author: [email protected]
Abstract
Background: Kerehau is empirically used as cooling powder to treat acne. Based on previous research,kerehau leaves have a number of activities, including wound healing, antidiabetic, and anti-inflammatory.Objectives: This study aimed to determine the safety level of a single dose of ethanol extract of kerehauleaves within a 24-hour administration period.Methods: Acute toxicity testing of ethanol extract of kerehau leaves was carried out on female Webstermice. Test animals were divided into 4 treatment groups, consisting of 1 control group and 3 test groups.The testing method referred to OECD (Organization of Economic Cooperation and Development) 420 withmodified doses of 2000mg/kgBW, 5000 mg/kgBW, and 8000 mg/kgBW. The observations were made onthe behaviour of animals towards toxicity symptoms for 4 hours after administration of the test substanceas well as death. The death and weight gain were observed for 14 days. On the 15th day, animals weresacrificed, blood was taken, and biochemical parameters were measured. The heart, kidneys, liver, spleen,and lungs were harvested and weighed. Data was analysed using Oneway ANOVA continued with LSD andPost Hoc.Results: The results showed that ethanol extract of kerehau leaves did not cause death in all of the groups.There were significant differences in liver weight, SGPT, and SGOT levels (p< 0.05) at the dose of 5000mg/kgBW. No toxicity symptoms and death were found until the end of the experiment.Conclusion: LD50 value of ethanol extract of kerehau leaves was above 8000 mg/kgBW with heart as themost affected organ.
Keywords: Ethanol extract of kerehau leaves, acute toxicity test, OECD 420.
Intisari
Latar Belakang: Tanaman kerehau secara empiris digunakan sebagai bedak dingin untuk menghilangkanjerawat. Berdasarkan penelitian sebelumnya daun kerehau memiliki beberapa aktivitas sebagaipenyembuh luka, antidiabetes dan antiinflamasi.Tujuan: Penelitian ini bertujuan untuk menentukan tingkat keamanan dosis tunggal ekstrak etanol daunkerehau dalam jangka waktu pemberian 24 jam.Metode : Pengujian toksisitas akut ekstrak etanol daun kerehau dilakukan terhadap mencit Websterbetina. Hewan uji dikelompokkan menjadi 4 kelompok perlakuan, yang terdiri dari 1 kelompok kontroldan 3 kelompok uji. Metode pengujian dilakukan merujuk pada OECD (Organization of EconomicCooperation and Development) 420 dengan modifikasi dosis yaitu 2000mg/kgBB, 5000 mg/kgBB dan8000 mg/kgBB. Pengamatan yang dilakukan meliputi pengamatan perilaku hewan uji terhadap gejalatoksik selama 4 jam setelah pemberian sediaan uji, serta adanya kematian. Kematian dan peningkatanberat badan diamati selama 14 hari. Pada hari ke-15 hewan dikorbankan dan dilakukan pengambilandarah dan diukur parameter biokimianya. Organ jantung, ginjal, hati, limpa dan paru-paru diambil dan
106 | Elis Susilawati., dkk/ Jurnal Ilmiah Farmasi 16(2) Agustus-Desember 2020, 105 -111
ditimbang. Analisis data menggunakan Oneway ANOVA dilanjutkan dengan LSD dan Post Hoc.Hasil: Hasil penelitian menunjukkan bahwa ekstrak etanol daun kerehau tidak menimbulkan kematianpada semua kelompok pengujian. Terdapat perbedaan bermakna terhadap berat organ hati, kadar SGPTdan SGOT (p<0,05) pada dosis 5000 mg/kgBB. Tidak terjadi gejala toksik dan kematian hingga akhirpengujian.Kesimpulan: Nilai LD50 ekstrak etanol daun kerehau di atas dosis 8000 mg/kgBB dengan organ sasaranyang dipengaruhi yakni hati.
Kata kunci: Ekstrak etanol daun kerehau, uji toksisitas akut, OECD 420
1. Pendahuluan
Tanaman kerehau (Callicarpa longifolia Lamk) merupakan tanaman yang berasal dari
Kalimantan Timur, berbentuk semak atau pohon kecil yang secara empiris dimanfaatkan sebagai
bedak dingin untuk menghilangkan bekas jerawat, radang, obat diare dan obat masuk angin
(Supomo et al., 2016). Gel ekstrak etanol daun kerehau (Callicarpa longifolia Lamk) terbukti
dapat menyembuhkan luka pada kelinci (Susilawati, Aligita, et al., 2018). Ekstrak etanol daun
kerehau dapat menurunkan kadar glukosa darah pada hewan diabetes yang diinduksi makanan
tinggi lemak dan berpengaruh pada kadar malondialdehid mencit yang diinduksi aloksan
(Susilawati, Selifiana, et al., 2018). Dengan beberapa hasil penelitian tersebut, uji toksisitas akut
sangat perlu dilakukan untuk mengukur derajat efek toksik suatu senyawa dalam waktu
tertentu setelah pemberian dosis tunggal. Aspek toksikologi masih belum banyak diketahui dan
dilakukan dari pemakaian bahan pangan maupun obat dari tanaman yang dikarenakan alasan
penggunaan yang sudah turun menurun, sehingga harus mulai beralih ke penelitian toksikologi
karena semakin banyaknya bahan-bahan natural yang dimanfaatkan untuk pengobatan (Lee et
al., 2003).
Penelitian uji toksisitas akut daun kerehau sebelumnya telah dilakukan dengan
pengamatan perilaku aktivitas mencit secara umum (Siswanto et al., 2017). Keterbaruan
penelitian ini dengan menambahkan data pengukuran kadar SGPT, SGOT, kreatinin, indeks
organ jantung, ginjal, hati, limpa dan paru-paru, sehingga organ sasaran ekstrak etanol daun
kerehau dapat diketahui dengan jelas. Selain itu, pada penelitian ini juga dilakukannya
modifikasi dosis dari penelitian sebelumnya.
2. Metode penelitian
2.1 Alat
Seperangkat alat gelas dan maserasi, rotary evaporator, seperangkat alat bedah hewan dan
Microlab 300 (Elitech MRK®).
2.2 Bahan
107 | Elis Susilawati., dkk/ Jurnal Ilmiah Farmasi 16(2) Agustus-Desember 2020, 105 -111
Simplisia daun kerehau (Callicarpa longifolia Lamk) diperoleh dari desa Tumbang Lahang,
Kalimantan Tengah, etanol 96% (Brataco®), Na-CMC, HCl, NaOH, pereaksi Mayer, pereaksi
Dragendorf, eter, magnesium, pereaksi Lieberman-Bouchard, pereaksi Bouchardat, besi (III)
klorida, asam asetat, metanol, etil asetat, akuades, serbuk Mg, NaCl, amil alkohol, reagen SGPT,
SGOT dan kreatinin (Proline®).
2.3 Hewan uji
Mencit betina galur Swiss Webster betina (Fakultas Farmasi Universitas Bhakti Kencana)
berumur 6-8 minggu dengan bobot berkisar 20-30 gram yang sehat dan memiliki aktivitas
normal (Kode etik No.285/UN6.KEP/EC/2019).
2.4 Prosedur penelitian
1.4.1 Pembuatan ekstrak etanol daun kerehau (Callicarpa longifolia Lamk)
Daun kerehau segar sebanyak 10 kg dicuci bersih dan dikeringkan didapat 2,8 kg simplisia
kering, kemudian diserbuk menggunakan chopper lalu dimaserasi menggunakan pelarut etanol
96%. Peredaman dilakukan selama 3 hari dengan 3 kali pengulangan. Maserat dipekatkan
menggunakan alat rotary evaporator.
1.4.2 Skrining fitokimia
Skrining fitokimia yang dilakukan meliputi identifikasi alkaloid, saponin, tannin,
terpenoid, kuinon dan flavonoid (Harborne et al., 1996).
1.4.3 Karakterisasi simplisia
Proses karakterisasi simplisia meliputi pengujian makroskopik, susut pengeringan,
kadar abu total, kadar abu tidak larut asam, kadar sari larut air, dan kadar sari larut etanol.
1.4.4 Perlakuan hewan uji
Metode yang digunakan pada pengujian toksisitas akut ini diadaptasi dari pedoman
pengujian toksisitas akut OECD 420 dimana hewan uji yang digunakan yaitu mencit putih betina
galur Swiss Webster (OECD, 2001). Sebanyak 20 ekor mencit dengan bobot 20-30 gram
selanjutnya diaklimatisasi selama 7 hari sebelum dilakukan pengujian. Kemudian mencit dibagi
menjadi 4 kelompok masing-masing 5 ekor yang terdiri dari kelompok 1 kontrol negatif
diberikan Na-CMC 1%, kelompok II diberikan ekstrak etanol daun kerehau dosis 2000 mg/kgBB,
kelompok IV diberikan ekstrak etanol daun kerehau dosis 5000 mg/kgBB dan kelompok II
diberikan ekstrak etanaol daun kerehau dosis 8000 mg/kBB. Pemberiaan sediaan uji dilakukan
satu kali (dosis tunggal). Penelitian dilakukan selama 14 hari. Pengamatan yang dilakukan yaitu
profil perubahan berat badan, indeks berat organ dan pemeriksaan biokimia menggunakan
serum (kadar SGPT, SGOT dan kreatinin) (Al-Afifi et al., 2018). Pada hari ke 14, semua hewan
dikorbankan untuk mengetahui organ sasaran toksik yang dipengaruhi oleh ekstrak etanol daun
kerehau (EEDK). Hewan uji dikorbankan dengan cara dislokasi leher, kemudian organ hati,
ginjal, jantung, limpa dan paru-paru dikeluarkan dengan cara menyayat bagian tengah perut
108 | Elis Susilawati., dkk/ Jurnal Ilmiah Farmasi 16(2) Agustus-Desember 2020, 105 -111
mencit (Al-Afifi et al., 2018). Organ segar yang telah diisolasi, dibersihkan dari lemak yang
menempel kemudian dicuci dengan larutan NaCl 0,9% sebelum ditimbang agar diperoleh berat
organ yang tepat. Indeks berat organ dihitung dengan perhitungan Jothy et al., 2011:
Indeks organ = (berat organ x 100)/(berat badan)
2.5 Analisis data
Data dianalisis secara statistik dengan menggunakan analisis varian (ANOVA) One way dan
dilanjutkan dengan uji LSD (Least Significant Different) dan analisis Post Hoc untuk mengetahui
adanya perbedaan signifikan antar kelompok uji (signifikasi: 95%).
3.Hasil dan pembahasan
Berdasarkan hasil ekstraksi dari serbuk kering daun kerehau 2,8 kg, menghasilkan
rendemen sebesar 14,16%. Karakterisasi simplisia dilakukan untuk mengetahui kualitas dan
mutu dari simplisia yang digunakan dengan hasil karakterisasi dapat dilihat pada tabel 1.
Tabel 1. Hasil karakterisasi simplisia daun kerehauJenis karakterisasi Hasil (%)Kadar sari larut airKadar sari larut etanolKadar abu totalKadar abu larut tidak asamSusut pengeringan
15,217,926,750,758,19
Skrining fitokimia dilakukan terhadap simplisia dan ekstrak etanol daun kerehau. Hal ini
bertujuan untuk mengetahui golongan senyawa yang terkandung dan untuk memastikan
kembali bahwa selama proses penguapan pelarut tidak ada senyawa yang hilang atau ikut
menguap. Hasil skrining fitokimia terhadap simplisia dan ekstrak etanol daun kerehau dapat
dilihat pada tabel 2.
Tabel 2. Hasil skrining fitokimia daun kerehau
No. Metabolit sekunderHasil
Ekstrak Simplisia1. Alkaloid - -2. Flavonoid + +3. Tanin + +4. Saponin + +5. Kuinon + +6. Steroid/triterpenoid + +
Berdasarkan Gambar 1, tidak terjadi penurunan berat badan yang signifikan. Penurunan
berat badan yang signifikan bila dibandingkan dengan kelompok kontrol dapat menjadi tanda
adanya gejala toksik, penyakit atau pertanda kesehatan yang buruk. Perubahan berat badan
merupakan indikator dari efek samping bahan kimia jika terjadi penurunan lebih dari 10 %
berat badan awal (Jothy et al., 2011). Selain itu, kehilangan berat badan lebih dari 20%
109 | Elis Susilawati., dkk/ Jurnal Ilmiah Farmasi 16(2) Agustus-Desember 2020, 105 -111
merupakan efek samping yang merugikan dan dianggap kritis dalam beberapa pedoman
internasional (Al-Afifi et al., 2018).
Gambar 1. Profil perubahan berat badan setelah pemberian ekstrak etanol daun Kerehau
Pada tabel 3 dapat dilihat bahwa perbedaan bermakna untuk berat organ antar
kelompok perlakuan dengan kontrol negatif, hanya didapatkan pada organ hati (p<0,05).
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa EEDK mempengaruhi organ hati, di mana indeks
berat organ hati pada kelompok kontrol negatif lebih besar dibanding dengan kelompok uji. Hal
ini dikaitkan dengan peran hati dalam aktivitas metabolik tubuh. Kerusakan organ hati diawali
dengan terjadinya perubahan morfologi dan fisiologi sel hati yang mengalami cedera dengan
peningkatan penyerapan air, kemudian menyebar hingga organel dan sitoplasma. Hal tersebut
menyebabkan pembengkakan sel, ditandai dengan peningkatan volume dan ukuran sel (Zachary
& McGavin, 2014).
Indeks organ hati, limpa dan paru-paru pada EEDK 2000 mg/kgBB lebih besar
dibandingkan EEDK 5000mg/kgBB dan 8000 mg/kgBB walaupun tidak signifikan (p<0,05). Hal
tersebut diduga terjadi karena adanya peningkatan berat badan yang cukup besar pada EEDK
2000 mg/kgBB. Pemberian dosis tersebut juga dapat meningkatkan nafsu makan yang
berbanding lurus dengan peningkatan berat badan dan berat organ.
Hasil parameter biokimiawi pada serum ditunjukkan pada tabel 4. Peningkatan kadar
SGPT menunjukkan disfungsi hepar sebagai akibat dari biosintesis enzim dan penurunan
permeabilitas membran. Kerusakan hepar yang terjadi kemungkinan karena paparan langsung
zat toksik pada saat proses detoksifikasi produk metabolit dan senyawa xenobiotik (Mandasari
et al., 2015). Berdasarkan analisis statistik Oneway ANOVA terhadap kadar SGPT dan SGOT,
menunjukkan bahwa perbedaan bermakna antara seluruh kelompok perlakuan dengan kontrol
negatif pada kadar SGPT (p<0,05). Adapun untuk SGOT, perbedaan bermakna hanya pada dosis
5000 mg/kgBB (p<0,05). Hal ini menunjukkan bahwa EEDK diduga dapat menurunkan kadar
110 | Elis Susilawati., dkk/ Jurnal Ilmiah Farmasi 16(2) Agustus-Desember 2020, 105 -111
SGOT dan SGPT secara bersamaan pada dosis 5000 mg/kgBB yang dapat dijadikan sebagai
hepatoprotektor.
Tabel 3. Indeks organ setelah pemberian ekstrak etanol daun kerehau
KelompokIndeks Organ (gram)
Jantung Ginjal Hati Limpa Paru-paru
Kontrol negatif 0,62±0,06 1,10±0,15 6,44±1,07 0,95±0,31 1,02±0,13EEDK 2000mg/kgBB 0,56±0,08 1,10±0,06 5,76±0,57 1,31±0,57 1,04±0,14EEDK 5000mg/kgBB 0,56±0,05 1,17±0,19 5,03±0,49* 0,91±0,25 0,96±0,97EEDK 8000mg/kgBB 0,58±0,13 0,96±0,11 5,21±0,62* 0,86±0,28 0,87±0,09Keterangan: *Berbeda bermakna dengan kelompok kontrol negatif (p<0,05)
Tabel 4. Parameter biokimiawi darah setelah pemberian ekstrak etanol daun kerehau
KelompokSGPT
(mg/dL)SGOT
(mg/dL)Kreatinin(mg/dL)
Kontrol negatif 75,32±15,03 140,10±39,89 0,26±0,07EEDK 2000mg/kgBB 42,60±12,36* 151,48±22,97 0,28±0,09EEDK 5000mg/kgBB 39,56±28,38* 94,38±43,75* 0,33±0,13EEDK 8000mg/kgBB 48,00±11,75* 105,06±14,43 0,33±0,07Keterangan: *Berbeda bermakna dengan kelompok kontrol negatif (p<0,05)
Gejala toksik tidak terjadi pada semua kelompok pengujian setelah pemberian sediaan uji.
Hingga akhir pengujian, tidak terjadi kematian dan gejala toksik lainya baik pada kelompok uji
2000 mg/kgBB, 5000 mg/kgBB, 8000mg/kgBB, maupun kontrol negatif. Berdasarkan
pengamatan tersebut dapat dikatakan bahwa LD50 EEDK di atas dosis 8000mg/kgbb.
4.Kesimpulan
Nilai LD50 ekstrak etanol daun kerehau di atas dosis 8000 mg/kgBB dengan organ sasaran
yang dipengaruhi yakni hati.
Ucapan terima kasih
Terimakasih kepada Lembaga Pusat Penelitian dan Pengabdian Masyarakat dan Fakultas
Farmasi Universitas Bhakti kencana yang telah membiayai dan memfasilitasi penelitian ini.
Daftar pustaka
Al-Afifi, N. A., Alabsi, A. M., Bakri, M. M., & Ramanathan, A. (2018). Acute and sub-acute oraltoxicity of Dracaena cinnabari resin methanol extract in rats. BMC complementary andalternative medicine, 18(1), 50-50. doi:10.1186/s12906-018-2110-3
Harborne, J. B., Sudiro, I., Padmawinata, K., & Niksolihin, S. (1996). Metode fitokimia: penuntuncara modern menganalisis tumbuhan (S. Niksolihin Ed.): Penerbit ITB.
111 | Elis Susilawati., dkk/ Jurnal Ilmiah Farmasi 16(2) Agustus-Desember 2020, 105 -111
Jothy, S. L., Zakaria, Z., Chen, Y., Lau, Y. L., Latha, L. Y., & Sasidharan, S. (2011). Acute oral toxicityof methanolic seed extract of Cassia fistula in mice. Molecules (Basel, Switzerland), 16(6),5268-5282. doi:10.3390/molecules16065268
Lee, J. E., Kim, H. j., Lee, C. H., Lee, K. C., Choi, E. K., Chai, H. Y., Yun, Y. W., Kim, D. J., Nam, S. Y., Lee,B. J., & Ahn, B. W. (2003). Four-week repeated-dose toxicity study on Pinellia Extract.Korean J. Lab. Anim. Sci., 19, 127-141.
Mandasari, A. A., Wahyuningsih, S. P. A., & Darmanto, W. (2015). Uji toksisitas akut polisakaridakrestin dari ekstrak coriolus versicolor dengan parameter kerusakan hepatosit, enzimSGPT dan SGOT pada mencit. Jurnal Sain Veteriner, 33(1).
OECD. (2001). Acute oral toxicity-fixed dose procedure. In (Vol. 420, pp. 14): OECD.Siswanto, E., Sari, D. N. I., & Supomo, S. (2017). Uji toksisitas akut ekstrak etanol daun kerehau
(Callicarpa longifolia Lam.) terhadap mencit putih Jurnal Ilmiah Manuntung, 1(2), 127-132.
Supomo, S., Supriningrum, R., & Junaid, R. (2016). Karakterisasi dan dkrining fitokimia daunkerehau (Callicarpa longifolia Lamk.). Jurnal Kimia Mulawarman, 13(2).
Susilawati, E., Aligita, W., Adnyana, I. K., Hasimun, P., Sukmawati, I. K., & Anneesha, P. (2018).Activity of karehau (Callicarpa longifolia lamk.) leaves ethanolic extract as a woundhealing. Journal of Pharmaceutical Sciences and Research, 10, 1243-1247.
Susilawati, E., Selifiana, N., Aligita, W., Betharia, C., & Fionna, E. (2018). Aktivitas antidiabetesekstrak eatnol daun kerehau (Callicarpa longifolia Lamk.). Jurnal Kesehatan Bakti TunasHusada: Jurnal Ilmu-ilmu Keperawatan, Analis Kesehatan dan Farmasi, 18.doi:10.36465/jkbth.v18i2.398
Zachary, J. F., & McGavin, M. D. (2014). Pathologic basis of veterinary disease (5th ed.). Missouri:Elsevier Mosby.
Jurnal Ilmiah Farmasi 16(2) Agustus-Desember 2020, 112-117ISSN: 1693-8666
available at http://journal.uii.ac.id/index.php/JIF
112
Confusion, difficulty concentrating, and slow response induced by ropinirole therapyin an elderly patient with secondary Parkinsonism: a case report
Emilia Sidharta*1, Ivon SinduWijaya1, Hanny Cahyadi1,2
1 Department of Pharmacy National Hospital, Surabaya2 Faculty of Pharmacy, University of Surabaya*Corresponding author: [email protected]
Abstract
Background: Ropinirole is a therapy widely used in patients with Parkinson's disease or Restless LegSyndrome (RLS). A number of research journals report on the long-term use of ropinirole causing side effectsto patients. Unfortunately, there are no published studies from Indonesia that document the side effects ofropinirole, especially in elderly subjects.Case Presentation: This case study reports a number of side effects, such as confusion, difficultyconcentrating, and slow response, experienced by a 75-year-old elderly patient who consumed ropinirole 2mg as a therapy for secondary Parkinsonism. Prior to using ropinirole, the patient had taken levodopa-benserazide, trihexyphenidyl, and pramipexole to overcome Parkinson's for more than 6 years during whichno side effects occurred. Side effects appeared after ropinirole therapy was given to the patient, therebystrongly suggesting the administration of ropinirole as the underlying cause of such effects. The assessmentmethods involved time series data collection followed by causality analysis using the Naranjo Scale, resultingin a score of 6, or Probable. According to some literature, such side effects are probably triggered by thepresence of neurotransmitter imbalance, one of which is due to the activation of dopaminergic receptors.Ropinirole is a dopamine agonist drug normally working on dopamine receptors, especially on D2-receptors.An excessive activation of dopaminergic receptors can lead to neuropsychiatric symptoms. In addition, theactivation of D2-receptor causes an inhibition of acetylcholine synthesis, resulting in cholinergic deficiencythat also becomes one of the triggers for neuropsychiatric symptoms.Conclusion: The analysis using the Naranjo Scale shows a score of 6, indicating a probable association ofconfusion, difficulty concentrating, and slow response with ropinirole in this elderly patient with secondaryParkinsonism.
Keywords: side effect, secondary Parkinsonism, ropinirole, elderly, case report
1. Introduction
Parkinson's is one of the most common neurodegenerative diseases in elderly patients (Willis,
2013). Discovered in 1960, Levodopa has since become the main therapy widely prescribed for
Parkinson's patients. However, as the world of knowledge develops, a large number of other drugs
begin to be used for Parkinson's as both primary therapy and adjunctive therapy, and one of them is
in the dopamine agonist class.
In practice, dopamine agonists play an important role in Parkinson's therapy. Literature
suggests that adding dopamine agonists to the regimen can reduce the symptoms of dyskinesia in
113 | Emilia, S., dkk /Jurnal Ilmiah Farmasi 16(2) Agustus-Desember 2020, 112-117
patients (Konta & Frank, 2008). In general, dopamine agonists are classified into two main groups:
dopamine agonists with ergotic structure and dopamine agonists with non-ergotic structure.
Since its approval by the FDA in 1997 and Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) in
2012, ropinirole, a non-ergoline dopamine agonist drug, has been widely used as a treatment for
Parkinson's and Restless Leg Syndrome (RLS). The effectiveness of ropinirole has been proven
through various published studies, but the side effects were seldom reported.
Until this article was written, only two case reports documenting the side effects of ropinirole
were found globally (Grover & Ghosh, 2010; Pal et al., 2012) while there were no reports of such
adverse events in Indonesia. Documentation and publication of the side effects of drugs are
important to increase pharmacist’s or other healthcare professional’s awareness of patients with
especially long-term use of drugs.
2. Methodology
We report on a case of ropinirole side effects and describe the pharmacological background.
The assessment methods used were time series data collection followed by causality analysis using
the Naranjo Adverse Drug Probability Scale.
3. Case report
Mr. U is a 75-year-old man diagnosed with Parkinson's since approximately three years ago.
During this period, the patient was treated by Doctor F and prescribed the following drugs:
trihexyphenidyl 2mg (3x daily 1 tablet), pramipexole 0.125mg (3x daily 1 tablet), and a combination
of levodopa 100mg – benserazide 25mg (3x daily 1 tablet). While consuming the medicines, his
Parkinson's symptoms were controlled, and he did not experience any side effects. Based on the
medical history, the patient also had other diseases, including Benign Prostatic Hyperplasia (BPH)
treated with mirabegron, tamsulosin, silodosin, and dutasteride. In addition, he also routinely used
other drugs: candesartan 8mg (1x daily 1 tablet), coenzyme 100 (1x daily 1 tablet), bisoprolol 2.5mg
(1x daily 1tablet), and clopidogrel 75mg (1x daily 1 tablet). The only laboratory examination
performed on the patient was serum creatinine carried out on November 22nd, 2017 and resulting in
normal serum creatinine (1.1 mg/dL).
In September 2018, the patient came to other doctors (doctor B and doctor S) because he had
such symptoms as tremors, limb rigidity, bradykinesia, postural instability, and retropulsion. After a
number of examinations, both doctors gave the same diagnosis as the previous one, thereby
allowing the patient to continue the treatment from Dr. F without any additional new regimen. In
November 2018, the patient returned to Dr. F, and the diagnosis changed from Parkinson's disease
114 | Emilia, S., dkk /Jurnal Ilmiah Farmasi 16(2) Agustus-Desember 2020, 112-117
to secondary Parkinsonism, resulting in addition of ropinirole 2mg (1x daily 1 tablet) to the ongoing
treatment.
In June 2019, the patient's family came to the pharmacy to report the discontinuation of
ropinirole use as he developed some symptoms, including confusion, difficulty concentrating, and
slow response. The patient then tried to take the medicine every 3 days and once a week, thereby
resulting in reduction but persistence of symptoms which led to a stop of ropinirole consumption.
Having received such report, the pharmacist then analyzed the possibility of side effects using the
Naranjo Adverse Drug Probability Scale, thus obtaining a score of 6 which indicated Probable. The
pharmacist then discussed with the doctor who eventually agreed to stop administering ropinirole.
4. Discussion
Parkinson's is a long-term degenerative disease of which the causes remain unknown but are
believed to involve both genetic and environmental factors. Some literature stated that one of the
suspected causes of Parkinson's is the loss of cells containing melanin in the substantia nigra located
in the brain, leading to degenerative loss of neurons in the corpus striatum of mesencephalon. This
structure also functions as a producer of neurotransmitters, including dopamine. Due to such cell
disappearance, dopamine is not sufficiently produced in the brain, resulting in movement disorders
that are commonly found in Parkinson's patients (Meder et al., 2019).
In the case reported herein, a 75-year-old male patient had been diagnosed with Parkinson's
for more than three years, which then developed into secondary Parkinsonism. Based on literature
studies, patients with secondary parkinsonism have the same symptoms as those with Parkinson's
disease, but the causes vary from drugs or exposure to hazardous chemicals to other diseases (Falvo
& Holland, 2018). In this case, however, the cause of secondary Parkinsonism in the patient was not
explicitly mentioned.
During the treatment for Parkinson's and secondary Parkinsonism, the patient was given a
combination of trihexyphenidyl 2mg (3x daily 1 tablet), pramipexole 0.125mg (3x daily 1 tab), and
levodopa 100mg-benserazide 25mg combination (3x daily 1 tab). The regimen has been used for
more than three years during which the patient's condition was controlled and no drug side effects
developed. When ropinirole 2 mg was added to the therapeutic regimen, however, the patient
started experiencing side effects, such as confusion, difficulty concentrating, and slow response.
Literature suggests that the side effects of these drugs may be categorized into neuropsychiatric
symptoms. Neuropsychiatric is a term that refers to a variety of medical conditions involving
neurology and psychiatry (Sachdev & Mohan, 2013). The hypothesis of drug side effects was
strengthened through an analysis using the Naranjo Adverse Drug Probability Scale, which yielded a
115 | Emilia, S., dkk /Jurnal Ilmiah Farmasi 16(2) Agustus-Desember 2020, 112-117
score of 6 indicating Probable (Table 1). Probable means the reaction follows a reasonable temporal
sequence after a drug, follows a recognized response to the suspected drug, is confirmed by
withdrawal but not by exposure to the drug, and cannot be reasonably explained by the known
characteristics of the patient’s clinical state.
References suggest that neuropsychiatric side effects are likely to arise due to various factors.
One approach that can be used in this case is through the mechanism of delirium. In this report, the
patient experienced some symptoms similar to those found in delirium patients, but they were not
necessarily identified as delirium. Further examination and analysis are required to diagnose
delirium in patients.
Some of the mechanisms contributing to delirium include cholinergic deficiency, disruption in
the synthesis of acetylcholine, or neurotransmitter imbalance (Hshieh et al., 2008).
Neurotransmitter imbalance involves acetylcholine, dopamine, or gamma aminobutyric acid (GABA)
(Alagiakrishnan & Wiens, 2004). Some neurotransmitters in the brain such as dopamine,
norepinephrine, and serotonin play a role in arousal and sleep-wake cycle as well as in mediating
psychological responses to the presence of stimuli. Excessive stimulation of dopaminergic receptors
results in decreased acetylcholine, thus leading to a variety of neuropsychiatric symptoms. This
phenomenon occurs due to an overlap of the dopaminergic and cholinergic pathways in the brain,
thereby suggesting a close relationship between acetylcholine and dopamine activities (Hshieh et
al., 2008).
Ropinirole is a group of dopamine agonist drugs that acts primarily on Dopamine D2
receptors. Activation of dopamine receptors decreases acetylcholine synthesis, triggering obstacles
in the cholinergic pathway and resulting in neuropsychiatric symptoms found in the patient
concerned. In addition, physiological changes in the body also play a role in the existence of
neuropsychiatric symptoms. In elderly patients, the response to drugs can be influenced by the
physiological changes due to aging. Some factors that can affect include increased body fat,
decreased lean body mass and water, decreased albumin, and decreased Glomerular Filtration Rate
(GFR) (Alagiakrishnan &Wiens, 2004).
Several other co-morbidities also affect the action of drugs in the elderly. For example, in
patients with liver disorders, albumin synthesis usually decreases, thereby reducing protein binding
and increasing the volume of distribution of some drugs. A decrease in kidney function also reduces
drug elimination, which eventually increases the concentration of some drugs. Increased blood
concentration of drugs can escalate drug effects thus triggering neuropsychiatric symptoms such as
those found in delirium patients (Alagiakrishnan & Wiens, 2004). In this case, such reasons can also
116 | Emilia, S., dkk /Jurnal Ilmiah Farmasi 16(2) Agustus-Desember 2020, 112-117
affect the occurrence of side effects as mentioned in Naranjo Scale point 5. In addition,
administration of other drugs and other diseases can contribute to the development of side effects.
Therefore, further research is required to investigate the exact cause of the side effects experienced
by the patient.Table 1. Naranjo Adverse Drug Reaction Probability Scale
No. Question Yes NoDon’tKnow
Score
1Are there previous conclusive reports on thisreaction?
+1 0 0 1
2 Did the adverse event appear after thesuspected drug was administered?
+2 -1 0 2
3Did the adverse reaction improve when thedrug was discontinued or a specific antagonistwas administered?
+1 0 0 1
4Did the adverse reaction reappear when thedrug was re-administered?
+2 -1 0 2
5Are there alternative causes (other than thedrug) that could solely have caused thereaction?
-1 +2 0 -1
6Did the reaction reappear when a placebo wasgiven?
-1 0 0 0
7Was the drug detected in the blood (or otherfluids) in a concentration known to be toxic?
+1 0 0 0
8Was the reaction more severe when the dosewas increased, or less severe when the dosewas decreased?
+1 0 0 1
9Did the patient have a similar reaction to thesame or similar drugs in any previousexposure?
+1 0 0 0
10 Was the adverse event confirmed by objectiveevidence?
+1 0 0 0
Total Score 6Interpretation of Scores:Total score ≤0: doubtful, total score 1-4: possible, total score 5-8: probable, total score >9: definite
The influence of neurotransmitter imbalance on neuropsychiatric symptoms can be
strengthened by the presence of Serum Anticholinergic Activity (SAA) levels. However, in this study,
laboratory tests have not been conducted to determine the quantitative levels of the
neurotransmitters in the body. Therefore, it is recommended to perform a more in-depth
examination related to SAA level to confirm the existence of these side effects due to the use of
ropinirole.
117 | Emilia, S., dkk /Jurnal Ilmiah Farmasi 16(2) Agustus-Desember 2020, 112-117
5. Conclusion
Ropinirole causes various neuropsychiatric side effects, such as confusion, difficulty
concentrating, and slow response. The monitoring of drug therapy needs to be performed by health
professionals with regard to the use of Parkinson's drugs, especially in elderly patients. Changes in
the physiological profile, pharmacokinetics, and pharmacodynamics of the body will influence the
effects of drugs in the body. In addition, adjustment of individual doses according to each patient's
characteristics is extremely essential.
References
Alagiakrishnan, K., & Wiens, C. A. (2004). An approach to drug induced delirium in the elderly.Postgraduate medical journal, 80(945), 388-393. doi:10.1136/pgmj.2003.017236
Falvo, D. R., & Holland, B. E. (2018). Medical and psychosocial aspects of chronic illness and disability.Burlington: Jones and Bartlett Publishers.
Grover, S., & Ghosh, A. (2010). A case of ropinirole-induced psychosis. Primary care companion tothe Journal of clinical psychiatry, 12(6), PCC.10l00987. doi:10.4088/PCC.10l00987gre
Hshieh, T. T., Fong, T. G., Marcantonio, E. R., & Inouye, S. K. (2008). Cholinergic deficiency hypothesisin delirium: a synthesis of current evidence. The journals of gerontology. Series A, Biologicalsciences and medical sciences, 63(7), 764-772. doi:10.1093/gerona/63.7.764
Konta, B., & Frank, W. (2008). The treatment of Parkinson's disease with dopamine agonists. GMShealth technology assessment, 4, Doc05-Doc05. Retrieved fromhttps://pubmed.ncbi.nlm.nih.gov/21289911
Meder, D., Herz, D. M., Rowe, J., Lehericy, S., & Siebner, H. R. (2019). The role of dopamine inthebrain-lesson learned from Parkinson's disease. NeuroImage, 190.doi:https://doi.org/10.1016/j.neuroimage.2018.11.021
Pal, K., Smith, A., Hayes, J., & Chakraborty, A. (2012). Othello syndrome secondary to ropinirole: acase study. Case reports in psychiatry, 2012, 353021-353021. doi:10.1155/2012/353021
Sachdev, P. S., & Mohan, A. (2013). Neuropsychiatry: where are we and where do we go from here?Mens sana monographs, 11(1), 4-15. doi:10.4103/0973-1229.109282
Willis, A. W. (2013). Parkinson disease in the elderly adult.Missouri medicine, 110(5), 406-410.
Jurnal Ilmiah Farmasi 16(2) Agustus-Desember 2020, Hal.118-129 ISSN: 1693-8666
available at http://journal.uii.ac.id/index.php/JIF
118
Assessment of physicochemical properties and comparison of the dissolution profile of amoxicillin caplets
Uji sifat fisika-kimia dan disolusi terbandingkan kaplet amoksisilin
Een Widiyasari1, Teuku Nanda Saifullah Sulaiman2*
1 Program S-1 Fakultas Farmasi Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta 2 Laboratorium Teknologi Farmasi, Departemen Farmasetika, Fakultas Farmasi Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta *Corresponding author: [email protected]
Abstract
Background: Marketed drugs must meet the required standards to guarantee product quality. Amoxicillin is a generic compound marketed under various trademarks as copy drugs. Amoxicillin caplets are an immediate release dosage form of BCS class I. An essential aspect of evaluating copy drugs is to assess the equivalence for their treatment to the innovator drugs to ensure the safety and effectiveness of the circulating copy drugs.
Objective: The study aims to evaluate the physicochemical properties and compare the dissolution profile of amoxicillin caplets available in the market.
Methods: Five amoxicillin caplet products, four test products, and one reference product were tested for their physicochemical properties and dissolution. The dissolution test was carried out with a type II device at a speed of 75 rpm in 900 mL of media buffered at pH 1.2, 4.5, and 6.8 and at a temperature of 37oC ± 0.5oC. The dissolution profile was analyzed by comparing it with the similarity factor (f2) parameters.
Results: Two of the four amoxicillin caplet products had a similar dissolution profile to the reference products, namely products A and B.
Products C and D were dissimilar because f2 was ≤ 50 at pH 4.5. The caplets tested had almost the same dimensions, and all caplets met the requirements for uniformity of content, hardness, disintegration time, and dissolution.
Conclusion: Not all of the amoxicillin caplets in the market have a similar dissolution profile to the reference products.
Keywords: caplets, amoxicillin, dissolution, similarity factor
Intisari
Latar belakang: Sediaaan obat yang dipasarkan harus memenuhi standar yang ditetapkan untuk menjamin kualitas produk. Amoksisilin merupakan senyawa generik, dipasarkan dengan berbagai merek dagang yang merupakan obat copy. Kaplet amoksisilin merupakan sediaan dengan pelepasan segera yang termasuk dalam BCS kelas I. Komponen penting dalam mengevaluasi obat copy yaitu menilai kesetaraan terapinya terhadap obat inovator sehingga dapat menjamin bahwa obat copy yang beredar aman dan efektif.
Tujuan: Penelitian ini bertujuan untuk mengevaluasi sifat fisika kimia dan uji disolusi terbandingkan sediaan kaplet amoksisilin yang beredar dipasaran.
Metode: Sebanyak 5 produk kaplet amoksisilin, 4 produk uji dan 1 produk pembanding diuji sifat
119 | Teuku, N. S. S., dkk. / Jurnal Ilmiah Farmasi 16(2) Agustus-Desember 2020, 118-130
fisika kimia dan disolusinya. Uji disolusi dilakukan dengan alat tipe II dengan kecepatan 75 rpm dalam
900 mL media yang dibuffer pada pH 1,2; 4,5; dan 6,8 dan suhu 37oC ± 0,5oC. Profil disolusi dianalisis
dengan membandingkan profil disolusi dengan parameter similiarity factor (f2).
Hasil: Hasil penelitian menunjukkan 2 produk dari 4 produk kaplet amoksisilin memiliki kemiripan
profil disolusi terhadap produk pembanding yaitu produk A dan B, sementara 2 produk yang lain tidak
memiliki kemiripan karena nilai f2 ≤ 50 pada pH 4,5 (produk C dan D). Kaplet yang diuji memiliki
dimensi yang hampir sama, semua kaplet memenuhi persyaratan keseragaman sediaan, kekerasan,
waktu hancur dan disolusi.
Kesimpulan: Kaplet amoksisilin yang beredar tidak semuanya memiliki kemiripan profil disolusi
dibandingkan produk pembanding.
Kata kunci : kaplet, amoksisilin, disolusi, similiarity factor
1. Pendahuluan
Produk obat bermerek dan produk obat generik memiliki zat aktif yang sama dengan
inovatornya, hanya berbeda pada warna, bentuk, bahan tambahan, dan proses produksi yang
khusus (Kesselheim et al., 2010). Banyak orang menilai kualitas obat tergantung pada
harganya. Obat yang sudah disetujui untuk diedarkan, seharusnya memiliki kualitas yang
setara. Obat dengan harga murah memiliki kualitas yang setara dengan obat dengan harga
mahal (Arafat et al., 2017; Kesselheim et al., 2008).
Komponen penting dalam mengevaluasi obat generik adalah dengan menilai kesetaraan
terapi obat menggunakan studi komparatif dengan pembanding yang sesuai, seperti studi
bioekivalensi in vivo atau disolusi in vitro. Studi bioekivalensi in vivo rumit dan mahal. Disolusi
in vitro digunakan sebagai alternatif untuk obat-obat terpilih (Thambavita et al., 2018).
Badan pengawas obat dan makanan berkewajiban melakukan pengawasan terhadap
produk obat yang telah dipasarkan untuk memberikan jaminan kepada masyarakat bahwa
produk obat telah memenuhi standar efikasi, keamanan dan mutu yang dibutuhkan. Untuk
menjamin mutu obat copy yang beredar di Indonesia, perlu dilakukan uji bioekivalensi untuk
membuktikan kesetaraannya terhadap produk inovatornya (BPOM, 2015). Dua produk obat
dikatakan sama atau dua obat dapat diklaim bioekivalen, diasumsikan bahwa kedua obat akan
memberikan efek terapi yang sama atau memiliki kesetaraan terapi (Chow, 2014).
Biowaiver perlu dilakukan untuk memperlihatkan bahwa obat dengan zat aktif dan
bentuk sediaan yang sama memiliki kemiripan atau ekivalen antara produk yang satu dengan
produk yang lain (Mhamunkar, 2013). Berdasarkan peraturan World Health Organization
(WHO) mengenai biowaiver, obat yang termasuk kedalam BCS kelas I dan III memenuhi
persyaratan untuk dinilai kesetaraan terapinya dengan menggunakan biowaiver (WHO, 2015).
120 | Teuku, N. S. S., dkk. / Jurnal Ilmiah Farmasi 16(2) Agustus-Desember 2020, 118-130
Biowaiver merupakan metodologi yang membutuhkan biaya yang lebih rendah untuk menilai
kesetaraan obat generik terhadap inovatornya. Biowaiver dapat dilakukan terhadap produk
obat dengan pelepasan segera (Reddy et al., 2014). Biowaiver dapat digunakan untuk menilai
ekivalensi produk obat dengan kelarutan tinggi, tidak mengandung bahan tambahan yang
mempengaruhi penyerapan zat aktifnya, tidak mengandung zat aktif dengan indeks terapi yang
sempit, bukan obat yang dapat diabsorpsi di mulut (WHO, 2006).
Dari studi kelarutan dan permeabilitas menunjukkan bahwa amoksisilin dengan dosis
kurang dari 875 mg masuk ke dalam BCS kelas I, sedangkan 875 mg hingga 1000 mg masuk ke
dalam BCS kelas II, dan dosis lebih dari 1000 mg masuk ke dalam BCS kelas IV. Dalam penelitian
ini digunakan kaplet 500 mg, sehingga termasuk dalam BCS kelas 1. Dengan
mempertimbangkan banyak aspek, prosedur biowaiver dapat direkomendasikan untuk produk
sediaan oral padat dari amoksisilin dengan pelepasan segera dengan dosis kurang dari 875 mg
(Thambavita et al., 2017). Amoksisilin tidak termasuk dalam obat dengan indeks terapi yang
sempit (Blix et al., 2010). Tablet amoksisilin bukan termasuk obat yang diabsorpsi di mulut.
Tablet amoksisilin memenuhi persyaratan untuk dilakukan studi biowaiver (Thambavita et al.,
2017). Penelitian ini bertujuan untuk mengevaluasi sifat fisika kimia dan uji disolusi
terbandingkan sediaan kaplet amoksisilin yang beredar dipasaran dan kemungkinan untuk
dilakukan studi biowaiver.
2. Metodologi penelitian
2.1. Alat penelitian:
Peralatan yang digunakan dalam penelitian: alat uji disintegrasi (Erweka ZT 320), alat uji
disolusi (Erweka DT 820), hardness tester, Spektrofotometer UV (Hitachi U-2900), neraca
analitik (Ohaus AX124), dan mikropipet (Booeco NF 996677).
2.2. Bahan penelitian
Bahan penelitian yang digunakan: kaplet amoksisilin 500 mg sebagai produk
pembanding (E), 2 jenis kaplet amoksisilin generik berlogo 500 mg (A dan B), 2 jenis kaplet
amoksisilin generik bermerek 500 mg (C dan D), amoksisilin (working standart, USP), HCl 0,1
N, dapar HCl (pH 1,2), dapar asetat (pH 4,5), dapar fosfat (pH 6,8), akuades.
2.3. Jalannya penelitian
i. Uji sifat fisik kaplet
Uji sifat fisik yang diuji meliputi diameter dan ketebalan kaplet, uji kekerasan dan waktu
hancur. Uji diameter dan ketebalan kaplet dilakukan dengan mengukur diameter dan ketebalan
121 | Teuku, N. S. S., dkk. / Jurnal Ilmiah Farmasi 16(2) Agustus-Desember 2020, 118-130
kaplet dengan jangka sorong (Kemenkes, 2014). Uji kekerasan dilakukan dengan menggunakan
hardness tester. Kaplet diletakkan di ujung alat, skrup diputar sampai tablet pecah. Nilai
kekerasan kaplet dibaca pada skala yang tertera pada alat dengan satuan kg (Kemenkes, 2014).
Uji waktu hancur dilakukan dengan menggunakan disintegration tester. Setiap tabung dari
keranjang diisi dengan satu kaplet, dimasukkan satu cakram pada tiap tabung dan dijalankan
alat. Tablet dimasukkan ke dalam media air dengan suhu 370C ± 20C. Alat dijalankan hingga
semua fraksi pecahan kaplet lewat ayakan yang terletak pada bagian bawah alat (Kemenkes,
2014).
ii. Uji keseragaman sediaan
Uji keseragaman sediaan dilakukan dengan cara menimbang secara saksama 10 tablet
satu per satu. Ditetapkan jumlah zat aktif dalam tiap tablet yang dinyatakan dalam persen dan
jumlah yang tertera pada etiket dari hasil Penetapan kadar masing-masing tablet, dihitung nilai
penerimaan. Diambil 10 kaplet dari masing-masing produk, digerus hingga halus. Ditimbang
sebanyak 100,0 mg serbuk kemudian dimasukkan kedalam labu takar 100 mL, ditambahkan
larutan HCl 0,1 N hingga tanda dan di homogenkan. Sampel diukur serapannya dengan
menggunakan spektrofotometer pada panjang gelombang 228 nm (Kemenkes, 2014).
iii. Uji disolusi
Uji disolusi dilakukan dengan menggunakan alat tipe 2 USP. Pengaturan alat: putaran
pengaduk pada 75 rpm, jumlah medium disolusi 900 mL, dan suhu 37oC (± 0,5oC). Media yang
digunakan yaitu larutan dapar HCl pH 1,2; dapar asetat pH 4,5; dapar fosfat pH 6,8. Kaplet
dimasukkan ke dalam bejana disolusi, alat dijalankan dan diambil sampel sebanyak 5 mL pada
menit ke 10, 15, 20, 30, 45, 60. Setiap pengambilan larutan, diganti dengan medium dan suhu
yang sama sebanyak 5 mL. Kadar dihitung dengan menggunakan persamaan kurva baku yang
telah diperoleh untuk masing-masing medium disolusi (BPOM, 2015).
iv. Pembuatan kurva baku amoksisilin untuk penetapan kadar dalam tablet dan dalam media
disolusi
Kurva baku dibuat sebanyak 4 buah, yaitu: 1 untuk penetapan kadar dalam tablet dan 3
untuk penetapan kadar dalam berbagai media disolusi. Larutan stok dibuat dengan cara: 10,0
mg amoksisilin ditimbang secara seksama, dimasukkan ke dalam labu takar 10,0 mL dan
ditambahkan berbagai larutan sesuai dengan tujuan penggunaan sampai tanda. Larutan yang
ditambahkan yaitu HCl 0,1 N (untuk penetapan kadar); larutan HCl pH 1,2; dapar asetat pH 4,5
atau fosfat pH 6,8 (untuk uji penetapan kadar dalam media disolusi). Dibuat lima seri kadar dari
122 | Teuku, N. S. S., dkk. / Jurnal Ilmiah Farmasi 16(2) Agustus-Desember 2020, 118-130
masing-masing larutan stok tersebut. Sampel diukur serapannya dengan menggunakan
spektrofotometer UV pada panjang gelombang maksimum (Gandjar & Rohman, 2012).
3. Hasil dan pembahasan
3.1 Sifat fisik kaplet dan penetapan kadar
3.1.1 Panjang, lebar dan ketebalan kaplet
Pengukuran panjang, lebar dan ketebalan kaplet yang dilakukan mendapatkan hasil
seperti yang tertera pada Tabel 1.
Tabel 1. Hasil pengukuran dimensi kaplet amoksisilin
Produk amoksisilin
A B C D E
Panjang
(mm) 18,02±0,03 18,05±0,06 18,09±0,09 17,25±0,03 18,04±0,07
Lebar (mm) 6,52±0,03 6,99±0,04 7,05±0,0 5,93±0,03 6,55±0,0
Tinggi (mm) 5,89±0,08 5,78±0,03 5,93±0,03 6,08±0,05 5,92±0,03
Keterangan : Nilai dalam x̄ ± SD; semua parameter memiliki nilai CV < 5% A : Amoksisilin generik berlogo D : Amoksisilin generik bermerek B : Amoksisilin generik berlogo E : Amoksisilin Pembanding C : Amoksisilin generik bermerek
Tabel 1 menunjukkan ukuran kaplet yang seragam antara kaplet satu dengan kaplet lain,
dengan nilai Coefficient Variasi (CV) < 5% untuk semua parameter. Secara umum, sediaan yang
diproduksi dengan bobot yang relatif sama akan menggunakan punch dan dies yang sama
ukurannya. Dimensi kaplet yang relatif sama akan lebih mudah dalam membandingkan profil
disolusi karena luas kontak awal pada saat disolusi akan sama.
3.1.2 Keseragaman sediaan
Keseragaman sediaan ditetapkan dengan salah satu dari dua metode, yaitu keragaman
bobot dan keseragaman kandungan. Dalam hal ini dilakukan keragaman bobot karena zat aktif
dalam tiap kaplet lebih dari 25%. Hasil uji keragaman bobot kaplet diperoleh hasil yang tertera
pada Tabel 2. Tabel II menunjukkan bahwa seluruh kaplet memenuhi persyaratan keragaman bobot
kaplet (NP< 15). Keragaman bobot yang baik memberikan jaminan bahwa kadar obat dalam
setiap sediaan seragam.
123 | Teuku, N. S. S., dkk. / Jurnal Ilmiah Farmasi 16(2) Agustus-Desember 2020, 118-130
Tabel 2. Keseragaman sediaan kaplet amoksisilin
Produk Bobot Kaplet(mg) Label klim kadar (%)
x̄±SD x̄±SD NP CV
A 689,57±17,71 98,51±2,53 6,07 2,57
B 661,01±12,18 94,43±1,74 8,25 1,84
C 660,09±13,42 94,29±1,92 8,80 2,03
D 692,13±9,13 98,88±1,30 3,13 1,32
E 693,11±7,31 99,02±1,05 2,51 1,06
Keterangan :
A : Amoksisilin generik berlogo D : Amoksisilin generik bermerek
B : Amoksisilin generik berlogo E : Amoksisilin Pembanding
C : Amoksisilin generik bermerek
3.1.3 Kekerasan kaplet, waktu hancur dan penetapan kadar
Pengukuran kekerasan, waktu hancur dan kadar dalam sediaan kaplet diperoleh hasil
seperti yang tertera pada tabel 3.
Tabel 3. Hasil uji kekerasan, waktu hancur dan penetapan kadar sediaan kaplet amoksisilin
Parameter
uji
Kaplet
A B C D E
Kekerasan ( kg/cm2 )
x̄ ±SD 11,77 ± 4,36 4,28 ± 1,06 14,02 ± 1,08 8,99 ± 2,18 14,45 ± 0,59
CV (%) 37,08 24,73 7,72 24,3 4,05
Waktu Hancur (Menit)
x̄ 3:46 2:23 5:12 2:11 3:16
Kadar Amoksisilin dalam kaplet (%)
x̄ ±SD 114,33 ±1,17 104,42±4,07 105,88 ±2,45 113,29±2,57 114,55 ±1,45
CV (%) 1,02 3,89 2,31 2,27 1,27
Keterangan : A : Amoksisilin generik berlogo D : Amoksisilin generik bermerek B : Amoksisilin generik berlogo E : Amoksisilin Pembanding C : Amoksisilin generik bermerek
Hasil uji kekerasan kaplet, memiliki nilai kekerasan yang beragam yaitu 4-15 kg/cm2.
Kekerasan tablet yang beragam akan mempengaruhi waktu hancur dan disolusi. Data hasil uji
waktu hancur juga menunjukkan waktu hancur yang beragam. Dari hasil tersebut terlihat tidak
ada korelasi yang linear antara kekerasan dengan waktu hancur. Kekerasan yang tinggi tidak
serta merta menyebabkan waktu hancur menjadi lebih lama, karena waktu hancur juga
124 | Teuku, N. S. S., dkk. / Jurnal Ilmiah Farmasi 16(2) Agustus-Desember 2020, 118-130
dipengaruhi oleh faktor lain seperti fungsi dan kinerja bahan penghancur, porositas tablet dan
kemudahan penetrasi air. Semua tablet memenuhi persyaratan waktu hancur kurang dari 15
menit (Kemenkes, 2014).
Persyaratan kadar amoksisilin dalam kaplet: mengandung amoksisilin tidak kurang
dari 90,0% dan tidak lebih dari 120,0% dari jumlah yang tertera pada etiket (Kemenkes, 2014).
Kadar yang diperoleh terhadap 5 jenis kaplet menunjukkan bahwa semuanya memenuhi
persyaratan. Dari nilai CV yang diperoleh, kadar amoksisilin dalam sediaan juga seragam .
3.1.4 Kurva Baku Amoksisilin untuk Penetapan Kadar dalam kaplet dan Uji Disolusi
Persamaan kurva baku amoksisilin dalam tercantum pada tabel 4.
Tabel 4. Persamaan kurva baku amoksisilin dalam berbagai media
Pelarut/Medium ƛ max Persamaan Kurva Baku R r2
HCl 0,1 N 228 y= 0,0223x-0,0292 0,99935 0,99967
Dapar HCl pH 1,2 228 y= 0,022x-0,0762 0,99820 0,99910
Dapar Asetat pH 4,5 228 y= 0,0217x-0,0496 0,99959 0,99979
Dapar Fosfat pH 6,8 227 y= 0,0218x-0,0662 0,99975 0,99987
Persamaan kurva baku yang diperoleh mempunyai hubungan linier yang, sehingga
dapat digunakan untuk penetapan kadar amoksisilin dalam kaplet maupun untuk uji disolusi.
Hal ini ditunjukkan dengan nilai koefisien korelasi untuk ke-4 pelarut >0,99. Persyaratan harga
r2 untuk metode pengukuran dengan spektrofotometri UV menurut USP 38 yaitu ≥0,98 (USP,
2015).
3.1.5 Profil disolusi dan disolusi terbanding
Hasil uji disolusi amoksisilin dalam medium pH 1,2; 4,5 dan 6,8 ditunjukkan pada tabel
5. Hasil uji disolusi, dalam waktu 30 menit 100 % obat sudah terdisolusi. Kaplet amoksisilin di
dalam monografi (FI V), dipersyaratkan Q30 tidak kurang dari 75 % terdisolusi dari yang tertera
di etiket. Hasil interpretasi diperoleh hasil uji disolusi memenuhi persyaratan FI, yaitu untuk
stage 1 (S1) maka dipersyaratkan tiap unit sediaan tidak kurang dari Q+5% dan rata-rata
jumlah zat terlarut tidak kurang dari Q + 10% (Kemenkes, 2014). Amoksisilin trihidrat memiliki
kelarutan dalam air 1 : 400, dan WHO juga mengklasifikasikan amoksisilin 250 dan 500 mg
termasuk ke dalam BCS kelas I (kelarutan dan permeabilitas tinggi). Hal ini yang menyebabkan
kaplet dapat terdisolusi dengan cepat, dalam waktu 20 menit sudah terdisolusi 100 %.
125 | Teuku, N. S. S., dkk. / Jurnal Ilmiah Farmasi 16(2) Agustus-Desember 2020, 118-130
Tabel 5. Persen rata-rata obat terdisolusi pada berbagai media
Persen rata-rata obat terdisolusi (Q) dalam buffer HCl pH 1,2
Waktu (menit)
Kaplet 0 10 15 20 30 45 60
A 0 93,82 98,02 104,76 108,36 110,33 113,58
B 0 102,58 104,38 104,92 106,39 107,81 110,16
C 0 106,94 109,18 110,47 110,99 112,11 113,23
D 0 102,22 105,15 107,09 108,32 109,83 112,86
E 0 104,1 107,09 108,48 109,22 110,28 112,51
Persen rata-rata obat terdisolusi (Q) dalam buffer asetat pH 4,5
Waktu (menit)
Kaplet 0 10 15 20 30 45 60
A 0 81,26 93,87 98,34 102,92 105,91 108,17
B 0 84,57 95,37 98,92 100,52 103,16 107,01
C 0 94,04 101,47 106,64 108,69 112,48 116,43
D 0 88,29 97,71 100,32 104,62 106,93 110,8
E 0 75,27 84,93* 89,5 93,5 97,37 103,43
Persen rata-rata obat terdisolusi (Q) dalam buffer fosfat pH 6,8
Waktu (menit)
Kaplet 0 10 15 20 30 45 60
A 0 92,98 100,37 102,63 105,63 106,89 109,71
B 90,57 95,18 100,12 103,83 105,1 106,5
C 99,29 103,5 105,41 107,41 109,4 110,31
D 95,56 105,43 109,36 110,85 112,27 113,7
E 90,79 97,56 102,68 106,62 108,77 110,16
Keterangan : A : Amoksisilin generik berlogo D : Amoksisilin generik bermerek B : Amoksisilin generik berlogo E : Amoksisilin Pembanding C : Amoksisilin generik bermerek * : Q < 85%
Persyaratan suatu kaplet dapat menyederhanakan uji bioekivalensi dengan studi
biowaiver yaitu apabila produk uji terdisolusi ≥85% pada menit ke 15. Produk uji yang
memenuhi kriteria ≥85% obat terdisolusi pada menit ke 15 yaitu kaplet A, B, C, dan D
sedangkan kaplet C tidak memenuhi kriteria. Dalam kasus ini, biowaiver belum dapat
dipertimbangkan untuk meniadakan uji invivo (Bioekivalen). Walaupun menurut Thambavita
dkk., 2017, sediaan oral padat dari amoksisilin dengan pelepasan segera dengan dosis kurang
dari 875 mg relevan untuk dilakukan biowaiver saja.
126 | Teuku, N. S. S., dkk. / Jurnal Ilmiah Farmasi 16(2) Agustus-Desember 2020, 118-130
Kurva profil disolusi kaplet amoksisilin dalam berbagai medium disolusi ditunjukkan
pada gambar 1,2 dan3.
Gambar 1. Profil jumlah amoksisilin terdisolusi pada pH 1,2
Gambar 2. Profil jumlah amoksisilin terdisolusi pada pH 4,5
127 | Teuku, N. S. S., dkk. / Jurnal Ilmiah Farmasi 16(2) Agustus-Desember 2020, 118-130
Gambar 3. Profil jumlah amoksisilin terdisolusi pada pH 6,8
Jumlah obat yang terdisolusi dari menit ke-0 hingga menit ke-10 naik dengan cepat
karena kaplet yang diuji merupakan sediaan immediate release. Kaplet amoksisilin dengan
kekuatan kurang dari 875 mg masuk ke dalam BCS kelas I, sehingga dalam waktu 10 menit 90
% obat sudah terdisolusi. Kaplet dengan cepat terdisintegrasi yang diikuti dengan disolusi.
Pada menit selanjutnya peningkatan jumlah obat yang terdisolusi menjadi perlahan karena
jumlah obat yang belum terdisolusi tersisa sedikit.
Tabel 6. Nilai similaritas (f2) berbagai produk kaplet amoksisilin
Perbandingan
Produk
Nilai f2
pH 1,2 pH 4,5 pH 6,8
A-E 63,04 56,48 86,44
B-E 78,88 56,44 77,87
C-E 84,05 41,33* 68,89
D-E 90,11 49,60* 64,81
B-C 67,70 52,01 60,37
Keterangan : A : Amoksisilin generik berlogo D : Amoksisilin generik bermerek B : Amoksisilin generik berlogo E : Amoksisilin Pembanding C : Amoksisilin generik bermerek * : Nilai f2 ≤ 50
128 | Teuku, N. S. S., dkk. / Jurnal Ilmiah Farmasi 16(2) Agustus-Desember 2020, 118-130
Uji disolusi terbanding dilakukan untuk membandingkan profil disolusi antara produk
uji dengan produk pembanding. Produk uji dikatakan mirip dengan produk pembanding
apabila memiliki nilai f2 (similiarity factor) ≥ 50. Perbandingan profil disolusi juga dilakukan
terhadap kaplet B dan C yang berasal dari industri yang sama. Nilai f2 dalam medium pH 1,2;
4,5 dan 6,8 dari kaplet uji ditunjukkan pada tabel 6.
Pada tabel 6 terlihat bahwa pada pH 1,2 dan 6,8 kaplet A, B, C, D memiliki nilai f2 ≥ 50
dibandingkan dengan produk pembanding (kaplet E). Keempat kaplet memenuhi syarat uji
disolusi terbandingkan (UDT) atau dengan kata lain tablet uji identik dengan kaplet
pembanding (produk E). Pada pH 4,5 terdapat 2 produk uji yaitu kaplet C dan D memiliki nilai
f2 kurang dari 50 sehingga tidak memiliki kemiripan dengan produk pembanding. Dapat
disimpulkan bahwa hanya produk A dan B saja yang memenuhi syarat uji disolusi
terbandingkan (sebanding dengan produk pembanding).
Dari uji disolusi yang dilakukan, hasil yang diperoleh dicoba korelasikan dengan hasil uji
kekerasan dan waktu hancur kaplet. Umumnya kaplet dengan kekerasan yang tinggi akan
memiliki waktu hancur dan disolusi yang lama. Akan tetapi, hasil yang diperoleh tidak
demikian. Produk A, C, D, dan E memiliki kekerasan yang relatif cukup tinggi namun tetap
memiliki waktu hancur yang cepat. Dari ke empat produk, waktu hancur terlama yaitu produk
C yaitu 5 menit 12 detik, sementara produk B memiliki kekerasan 4,28 ± 1,06, waktu hancurnya
2 menit 23 detik. Dari data uji disolusi pada ketiga pH, semua produk mengalami peningkatan
disolusi secara cepat pada 10 menit pertama, sehingga disini kekerasan kaplet tidak
berbanding lurus dengan kecepatan disolusi obatnya. Hal ini dapat disebabkan formula yang
digunakan mengandung bahan yang dapat mempercepat waktu hancur dan kecepatan
disolusinya.
4 Kesimpulan
Hasil uji sifat fisik kaplet, semua produk kaplet memiliki dimensi yang hampir sama,
semua produk memenuhi persyaratan keseragaman sediaan, kekerasan, waktu hancur dan
disolusi. Dari hasil disolusi, kaplet A dan B memiliki kemiripan profil disolusi terhadap obat
pembanding (produk E) yang ditunjukkan dengan nilai f2 ≥ 50. Kaplet C dan D memiliki nilai f2
≥ 50 hanya pada pH 1,2 dan 6,8; sementara pada pH 4,5 nilai f2 ≤ 50 sehingga tidak memiliki
kemiripan profil disolusi.
129 | Teuku, N. S. S., dkk. / Jurnal Ilmiah Farmasi 16(2) Agustus-Desember 2020, 118-129
Daftar pustaka
Arafat, A. P. D. M., Ahmed, Z., & Arafat, O. (2017). Comparison between generic drugs and brand name drugs from bioequivalence and thermoequivalence prospective International Journal of Pharmacy and Pharmaceutical Sciences, 9, 1-4. doi:10.22159/ijpps.2017v9i6.18735
Blix, H. S., Viktil, K. K., Moger, T. A., & Reikvam, A. (2010). Drugs with narrow therapeutic index as indicators in the risk management of hospitalised patients. Pharm Pract (Granada), 8(1), 50-55. doi:10.4321/s1886-36552010000100006
BPOM. (2015). Pedoman uji bioekivalensi. Jakarta: BPOM Chow, S. C. (2014). Bioavailability and Bioequivalence in Drug Development. Wiley Interdiscip
Rev Comput Stat, 6(4), 304-312. doi:10.1002/wics.1310 Gandjar, I. G., & Rohman, A. (2012). Analisis obat secara spektrofotometri dan kromatografi.
Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Kemenkes. (2014). Farmakope Indonesia. Jakarta: Kemenkes RI Kesselheim, A. S., Misono, A. S., Lee, J. L., Stedman, M. R., Brookhart, M. A., Choudhry, N. K., &
Shrank, W. H. (2008). Clinical equivalence of generic and brand-name drugs used in cardiovascular disease: a systematic review and meta-analysis. JAMA, 300(21), 2514-2526. doi:10.1001/jama.2008.758
Kesselheim, A. S., Stedman, M. R., Bubrick, E. J., Gagne, J. J., Misono, A. S., Lee, J. L., Brookhart, M. A., Avorn, J., & Shrank, W. H. (2010). Seizure outcomes following the use of generic versus brand-name antiepileptic drugs: a systematic review and meta-analysis. Drugs, 70(5), 605-621. doi:10.2165/10898530-000000000-00000
Mhamunkar, S. (2013). Comparative dissolution studies of an extended release Formulation of Tolterodine Tartrate and Tamsulosin HCl. BioMedRx, 1, 333-338.
Reddy, N. H., Patnala, S., Löbenberg, R., & Kanfer, I. (2014). In vitro dissolution of generic immediate-release solid oral dosage forms containing BCS class I drugs: comparative assessment of metronidazole, zidovudine, and amoxicillin versus relevant comparator pharmaceutical products in South Africa and India. AAPS PharmSciTech, 15(5), 1076-1086. doi:10.1208/s12249-014-0135-6
Thambavita, D., Fernando, S., Galappaththy, P., & Jayakody, R. (2018). Application of Biowaiver Methodology for a Post-Marketing Study of Generic and Brand Name Metronidazole Tablets. Dissolution Technologies, 25, 34-38. doi:10.14227/DT250218P34
Thambavita, D., Galappatthy, P., Mannapperuma, U., Jayakody, L., Cristofoletti, R., Abrahamsson, B., Groot, D. W., Langguth, P., Mehta, M., Parr, A., Polli, J. E., Shah, V. P., & Dressman, J. (2017). Biowaiver Monograph for Immediate-Release Solid Oral Dosage Forms: Amoxicillin Trihydrate. J Pharm Sci, 106(10), 2930-2945. doi:10.1016/j.xphs.2017.04.068
USP. (2015). US Pharmacopeia National Formulary: USP 38/NF 33. Rockville: United States harmacopeia Inc.
WHO. (2006). WHO expert committee on specification for pharmaceutical preparations, 40th In. Geneva: WHO.
WHO. (2015). WHO expert committee on specification for pharmaceutical preparations, 49th In. Geneva: WHO.
130
Abstract Background: Mefenamic acid is a non-steroidal anti-inflammatory drug (NSAID) with low solubility in water. Self-Nanoemulsifying Drug Delivery Systems (SNEDDS) play a role to improve the solubility and bioavailability of mefenamic acid. Objective: This study aimed to determine the stability of mefenamic acid in SNEDDS formulation through various stability studies. Methods: The stability studies conducted consisted of centrifugation test, heating-cooling cycle test, freeze-thaw cycle test, robustness to dilution, accelerated storage test, and determination of drug content. Results: The centrifugation test, heating-cooling cycle test, and freeze-thaw cycle test showed no phase separation in the samples. The robustness to dilution and accelerated storage test resulted in 2 formulas of mefenamic acid loaded SNEDDS having good stability with 10% oleic acid, 80% tween 80, 10% PEG 400 and 10% oleic acid, 70% tween 80, 20% PEG 400. The determination of drug content in both of these formulations showed 98.20 ± 0.04% and 90.98 ± 0.06%. Conclusion: The SNEDDS formulation of mefenamic acid in this study had good stability. Keywords: SNEDDS, mefenamic acid, stability study, oleic acid
Intisari Latar belakang: Asam mefenamat merupakan obat anti inflamasi non steroidal (AINS) dengan kelarutan yang rendah di dalam air. Salah satu cara untuk meningkatkan kelarutan dan bioavailabilitas asam mefenamat membuatnya dalam bentuk sediaan Self Nano-Emulsifying Delivery Drug System (SNEDDS) Tujuan: Penelitian ini bertujuan untuk menentukan stabilitas SNEDDS asam mefenamat terhadap berbagai studi stabilitas yang dilakukan Metode: Uji stabilitas dilakukan dengan uji sentrifugasi, uji siklus panas-dingin, uji siklus beku-cair, uji ketahanan, uji penyimpanan dipercepat, dan uji kadar. Hasil: Evaluasi uji sentrifugasi yaitu tidak terjadi pemisahan, pada uji siklus panas-dingin dan uji siklus beku-cair tetap stabil dan tidak terjadi pemisahan fase. Hasil dari uji ketahanan dan uji penyimpanan dipercepat menunjukkan 2 formula SNEDDS asam mefenamat yang memiliki stabilitas yang baik dengan komponen asam oleat 10%, tween 80 80%, PEG 400 10% dan asam oleat 10%, tween 80 70%, PEG 400 20%. Pada uji kadar diperoleh kadar asam mefenamat selama penyimpanan pada formula diatas adalah 98,20 ± 0,04 % dan 90,98 ± 0,06 %. Kesimpulan: Dapat disimpulkan sediaan SNEDDS asam mefenamat memiliki stabilitas yang baik terhadap berbagai studi stabilitas yang dilakukan. Kata kunci : SNEDDS, asam mefenamat, studi stabilitas, asam oleat
Jurnal ilmiah Farmasi 16(2) Agustus-Desember 2020, 130-143ISSN: 1693-8666
available at http://journal.uii.ac.id/index.php/JIF
Studi stabilitas sediaan Self Nano-Emulsifying Drug Delivery System (SNEDDS)asam mefenamat dengan asam oleat sebagai fase minyak
Stability studies of mefenamic acid Self-Nanoemulsifying Drug Delivery System preparation with oleic acid as the oil phase
Septiani Eka Cahyani, Bambang Hernawan Nugroho, Yandi Syukri*
Department of Pharmacy, Universitas Islam Indonesia, Jl. Kaliurang KM. 14.5 Yogyakarta 55584*Corresponding author: [email protected]
1. Pendahuluan
Asam mefenamat merupakan obat anti inflamasi non steroidal (AINS) yang banyak digunakan
oleh masyarakat. Asam mefenamat bisa digunakan untuk pengobatan sakit kepala, sakit gigi,
dismenore, rheumatoid arthritis, osteoarthritis dan gangguan sendi lainnya (Sriamornsak et al.,
2015).
Laju disolusi obat atau kecepatan melarut obat merupakan masalah yang sering terjadi. Asam
mefenamat termasuk dalam Biopharmaceutics Classification System (BCS) kelas 2 dengan kelarutan
yang rendah dan permeabilitas tinggi. Asam mefenamat memiliki bioavailibilitas yang rendah. Untuk
mengatasi masalah bioavailabilitas pada obat dengan BCS kelas 2 yaitu dengan meningkatkan
kelarutan dan laju disolusi obat dalam cairan lambung (Waterbeemd et al., 2009). Laju disolusi
merupakan faktor penentu abrsorbsi obat pada obat-obat dengan kelarutan yang rendah (Syukri et
al., 2015b). Peningkatan luas permukaan dari obat-obat dengan kelarutan rendah, misalnya karena
pengurangan ukuran dalam bentuk nano dapat meningkatkan laju disolusi, yang biasa disebut
nanopartikel (Ito et al., 2016).
Berdasarkan sifat kelarutan dari asam mefenamat yang rendah, bentuk sediaan Self
Nanoemulsifying Drug Delivery System (SNEDDS) dipilih untuk meningkatkan bioavailibilitas oral
obat-obat yang sukar larut dalam air seperti asam mefenamat (Sriamornsak et al., 2015). SNEDDS
merupakan sistem penghantaran obat yang mengandung campuran minyak, surfaktan, ko-surfaktan,
dan obat yang membentuk nanoemulsi secara spontan (self-emulsifying) saat dimasukkan ke dalam
fase air. Hasil pencampuran sediaan SNEDDS dalam cairan lambung setelah dikonsumsi akan
membentuk nanoemulsi. Bentuk nanoemulsi dipilih karena dalam nanoemulsi terdapat kandungan
minyak yang dapat membawa asam mefenamat yang sukar larut dalam air. Ukuran dari SNEDDS yaitu
antara 10-200 nm. Keunggulan sediaan SNEDDS adalah kemampuan membentuk nanoemulsi secara
spontan di dalam saluran cerna dan ukuran tetesan yang dihasilkan berukuran nanometer.
Berdasarkan penelitian sebelumnya sediaan SNEDDS memiliki stabilitas tinggi, dapat menurunkan
dosis dan frekuensi dosis karena meningkatnya bioavailabilitas (Chaudhary et al., 2019).
Ukuran globul dapat mempengaruhi stabilitas sediaan emulsi. Sediaan nanoemulsi tidak
menunjukkan masalah sedimentasi dan creaming, yang umumnya terjadi pada sediaan mikroemulsi.
Nanoemulsi dapat stabil karena ukuran globul yang sangat kecil sehingga tidak terjadi sedimentasi
dan creaming. Ukuran globul yang kecil juga dapat mencegah terjadinya flokulasi (Jaiswal et al.,
2015).
Asam oleat yang memiliki HLB 17 banyak digunakan dalam sediaan emulsi seperti Self
emulsifying Drug Delivery System (SEDDS), Self-Micro Emulsifying Drug Delivery System (SMEDDS),
131 | Yandi, S., dkk. /Jurnal Ilmiah Farmasi 16(2) Agustus-Desember 2020, 130-143
dan Self-Nano Emulsifying Drug Delivery System (SNEDDS). Kelarutan asam mefenamat dalam asam
oleat berdasarkan data optimasi yang dilakukan peneliti lain yaitu 8,15 mg/ml (Istanti, 2016).
Penelitian ini bertujuan untuk melakukan studi stabilitas dari sediaan Self-Nanoemulsifying Drug
Delivery System (SNEDDS) asam mefenamat dengan fase minyak asam oleat yang meliputi uji
sentrifugasi, uji siklus panas-dingin, uji siklus beku-cair, uji ketahanan, uji penyimpanan dipercepat
untuk melihat stabilitas fisik dan uji kadar untuk melihat stabilitas kimia dari sediaan SNEDDS asam
mefenamat, sehingga dapat memberikan gambaran tentang formulasi yang optimal dan stabil
terhadap serangkaian uji stabilitas yang dilakukan.
2. Metodologi penelitian
2.1 Bahan
Bahan yang digunakan pada penelitian yaitu asam mefenamat (PT. Chem Cross), asam oleat
(PT. Menjangan Sakti), tween 80 (PT. Brataco), PEG 400 (PT. Brataco), metanol p.a. (MERCK) dan
aqua pro injectio (Laboratorium Terpadu Universitas Islam Indonesia) dimana semua bahan memiliki
kualitas farmasetis.
2.2 Penentuan λ maksimal asam mefenamat
Penentuan λ maksimal asam mefenamat dilakukan dengan cara ditimbang 12,5 mg asam
mefenamat lalu dimasukkan ke dalam labu ukur 50 ml, kemudian dilarutkan menggunakan metanol
sampai tanda batas dan diperoleh konsentrasi 250 ppm. Selanjutnya diambil 0,36 ml diencerkan
menggunakan metanol sampai tanda batas ke dalam labu ukur 10 ml, diperoleh konsentrasi 9 ppm.
Setelah itu larutan dibaca absorbansinya menggunakan spektrofotometri UV/Vis (Shimadzu UV
Spechtrophotometer, UV-1800) pada panjang gelombang 240-340 nm dengan metanol sebagai blanko
(Qamar, 2014).
2.3 Pembuatan kurva kalibrasi asam mefenamat
Dari larutan baku 250 ppm, dibuat seri kadar 6, 8, 10, 12, dan 14 ppm didalam labu ukur 10
ml, kemudian dilarutkan menggunakan metanol sampai tanda batas. Larutan kemudian dibaca
absorbansinya (Qamar, 2014).
2.4 Pembuatan SNEDDS asam mefenamat
Asam mefenamat ditimbang sebanyak 50 mg ditambahkan tween 80 sebagai surfaktan lalu
disonikasi sampai homogen, kemudian ditambahkan PEG 400 sebagai ko-surfaktan lalu disonikasi
kembali, dan terakhir ditambahkan asam oleat sebagai fase minyak lalu disonikasi untuk
homogenisasi dan memperkecil ukuran partikel. Jumlah minyak, surfaktan, dan ko-surfaktan yang
ditambahkan tergantung dari perbandingan minyak: Smix.
132 | Yandi, S., dkk. /Jurnal Ilmiah Farmasi 16(2) Agustus-Desember 2020, 130-143
2.5 Uji sentrifugasi
SNEDDS asam mefenamat diencerkan 100 kali menggunakan aqua pro-injectio, lalu
disentrifugasi pada 3500 rpm selama 30 menit kemudian dilihat secara visual untuk pemisahan fase
(Weerapol et al., 2014).
2.6 Uji siklus-panas dingin
Formulasi yang stabil pada uji sentrifugasi selanjutnya dilakukan uji siklus panas-dingin
sebanyak enam siklus setiap 8 jam pada masing-masing suhu 4oC dan 40oC dengan penyimpanan
SNEDDS asam mefenamat tidak kurang dari 48 jam. Lalu disentrifugasi pada 3500 rpm selama 15
menit dan diamati pemisahan fase yang terjadi (Syukri et al., 2018).
2.7 Uji siklus beku-cair
Formulasi yang stabil pada uji siklus panas-dingin selanjutnya dilakukan uji siklus beku-cair
sebanyak enam siklus. SNEDDS asam mefenamat disimpan pada suhu -20oC selama 8 jam untuk siklus
pertama, kemudian dikeluarkan dan disimpan pada suhu 25oC untuk siklus kedua, ditunggu hingga
mencair selama 3 menit. Selanjutnya dilajutkan siklus ke tiga sampai keenam dengan perlakuan yang
sama. Lalu disentrifugasi pada 3500 rpm selama 15 menit dan diamati pemisahan fase yang terjadi
(Syukri et al., 2018).
2.8 Uji ketahanan
Formulasi yang stabil pada uji siklus beku-cair selanjutnya dilakukan uji ketahanan. SNEDDS
asam mefenamat diencerkan 25, 50, 100, dan 250 kali, menggunakan aqua pro-injectio dan dievaluasi
perubahan ukuran globul, Polydispersity index (PDI), dan % transmitan (Weerapol et al., 2014).
2.9 Uji penyimpanan dipercepat
Formulasi yang stabil pada uji ketahanan selanjutnya dilakukan uji penyimpanan dipercepat
selama 1 bulan dengan kondisi penyimpanan 40oC ± 2oC/75% RH ± 5% RH, kemudian dievaluasi
ukuran partikel, PDI, dan % transmitan pada minggu ke-0, 1, 2, 3, dan 4 pada SNEDDS asam
mefenamat yang diencerkan 100 kali (Syukri et al., 2019).
2.10 Uji kadar SNEDDS asam mefenamat
Diambil sediaan SNEDDS asam mefenamat sebanyak 0,25 ml kemudian dilarutkan di dalam
labu ukur 10 ml, diperoleh konsentrasi 250 ppm. Dari larutan baku 250 ppm, diambil 0,4 ml
kemudian dimasukkan ke dalam labu ukur 10 ml dan dilarutkan menggunakan metanol sampai tanda
batas (Qamar, 2014). Larutan kemudian dibaca absorbansinya. Dihitung kadar asam mefenemat yang
terkandung dalam SNEDDS.
133 | Yandi, S., dkk. /Jurnal Ilmiah Farmasi 16(2) Agustus-Desember 2020, 130-143
2.11 Analisis hasil
Pemisahan fase yang terjadi dapat diamati secara visual. Ukuran partikel dan PDI dari sediaan yang
dihasilkan, ditentukan dengan menggunakan particle size analyser (PSA) dengan nilai ukuran partikel
kurang dari 200 nm dan PDI 0,200-0,700. Untuk melihat nilai transmitan menggunakan
spektrofotometri UV dengan nilai terbaik mendekati 100%.
3. Hasil dan pembahasan
3.1 Penetapan λ maksimal asam mefenamat
Panjang gelombang maksimal asam mefenamat ditetapkan berdasarkan penelitian yang
dilakukan oleh Istanti (2016). Panjang gelombang maksimal asam mefenamat ditentukan
menggunakan spektrofotometer UV/Vis dengan kisaran panjang gelombang 240-340 nm. Penentuan
panjang gelombang maksimal digunakan untuk mengetahui daerah serapan yang dapat dihasilkan
berupa nilai absorbansi dari larutan baku asam mefenamat yang dilarutkan dengan metanol. Panjang
gelombang dari asam mefenamat yaitu 285 nm (Qamar, 2014). Hasil yang diperoleh dari pembacaan
panjang gelombang yaitu 284,8 nm. Hasil tersebut masih dapat diterima karena masuk kisaran
daerah serapan maksimal.
Gambar 1. Grafik panjang gelombang maksimum asam mefenamat
3.2 Pembuatan kurva baku asam mefenamat
Berdasarkan penelitian Istanti (2016), larutan baku asam mefenamat dianalisis pada berbagai
konsentrasi dan diukur pada lamda maksimal yaitu 284,8 nm. Absorbansi dari berbagai konsesntrasi
larutan kemudian diukur. Kurva baku dibuat dengan hubungan antara kadar asam mefenamat
dengan serapan, lalu dibuat kurva yang merupakan hubungan antara absorbansi dan konsentrasi
(Colombo et al., 2017). Berdasarkan hasil Gambar 2 diperoleh nilai r yaitu 0,9996 yang menunjukkan
λ maks = 284,8
134 | Yandi, S., dkk. /Jurnal Ilmiah Farmasi 16(2) Agustus-Desember 2020, 130-143
linieritas antara absorbansi dan kadar asam mefenamat dengan persamaan regresi linear y = 0,2748x
+ 0,07342.
Gambar 2. Grafik kurva baku asam mefenamat
3.3 Formulasi SNEDDS asam mefenamat
Studi stabilitas dilakukan berdasarkan hasil optimasi formulasi SNEDDS asam mefenamat
terbaik yang dilakukan oleh Istanti (2016) dengan kadar 50 mg/5 ml. Berdasarkan penelitian yang
dilakukan oleh Istanti (2016) diperoleh 9 formula optimal (Tabel 1) yang kemudian akan dilakukan
serangkaian studi stabilitas yang meliputi uji sentrifugasi, uji siklus panas-dingin, uji siklus-beku cair,
uji ketahanan, uji penyimpanan dipercepat, dan uji kadar sediaan.
Tabel 1. Karakterisasi SNEDDS asam mefenamat (n=3)
Minyak: Smix O T P Ukuran partikel
(nm) PDI
Transmitan (%)
Zeta potensial (mV)
1:9 10 80 10 188,37±5,22 0,546±0,07 84,65±0,005 -47,43±2,61
10 70 20 198,00±1,65 0,470±0,04 81,56±0,002 -51,57±0,55
10 60 30 344,27±31,66 0,877±0,02 66,17±0,006 -45,63±0,68
2:8 20 70 10 220,30±2,72 0,545±0,04 66,68±0,011 -49,33±1,16
20 60 20 315,77±23,91 0,463±0,06 60,86±0,009 -43,50±5,76
20 50 30 202,40±4,20 0,564±0,04 56,34±0,026 -50,80±0,53
3:7 30 60 10 837,50±37,62 0,867±0,02 47,71±0,010 -55,17±1,15
30 50 20 347,73±11,65 0,508±0,01 41,82±0,013 -59,40±5,70
30 40 30 431,03±16,25 0,830±0,02 9,06±0,033 -44,80±0,44
Ket: O = asam oleat, T = tween 80, P = PEG 400
135 | Yandi, S., dkk. /Jurnal Ilmiah Farmasi 16(2) Agustus-Desember 2020, 130-143
3.4 Uji sentifugasi
Uji ini dilakukan untuk melihat fase pemisahan yang terjadi pada sampel yang telah
diencerkan 100 kali yang kemudian disentrifugasi pada 3500 rpm selama 30 menit (Tabel 2).
Creaming memiliki sifat reversible yaitu emulsi dapat homogen kembali setelah pengocokan (Gambar
3). Faktor-faktor yang mempengaruhi terjadinya creaming pada emulsi dapat dikaitkan dengan
hukum Stokes, semakin besar perbedaan kerapatan antar fase, peningkatan terdispersi akibat
flokulasi, dan peningkatan gaya gravitasi dengan sentrifugasi, akan meningkatkan kecepatan
creaming. Surfaktan seringkali ditambahkan ke dalam emulsi untuk meningkatkan viskositas dan
mengurangi tegangan permukaan. Creaming dapat diperlambat dengan cara meningkatkan
viskositas, mengecilkan ukuran partikel, dan meningkatkan kerapatan fase minyak (Anton &
Vandamme, 2011).
Tabel 2. Hasil uji sentrifugasi
Minyak: Smix asam
oleat (%) tween 80
(%) PEG 400
(%)
Pemisahan fase
Replikasi 1 Replikasi 2
1:9 10 80 10 Tidak memisah Tidak memisah
10 70 20 Tidak memisah Tidak memisah 10 60 30 Tidak memisah Tidak memisah
2:8 20 70 10 Tidak memisah Tidak memisah
20 60 20 Tidak memisah Tidak memisah 20 50 30 Tidak memisah Tidak memisah
3:7 30 60 10 Memisah Memisah
30 50 20 Memisah Memisah
30 40 30 Memisah Memisah
Gambar 3. Hasil uji sentrifugasi SNEDDS asam mefenamat
3.5 Uji siklus panas-dingin
Uji siklus panas-dingin bertujuan untuk melihat stabilitas dari SNEDDS asam mefenamat
terhadap pemanasan dan pendinginan serta sentrifugasi yang diamati secara visual. Berdasarkan
Tabel 3 tidak terjadi pemisahan pada formula yang diuji, dikarenakan asam mefenamat stabil pada
suhu 4oC dan 40oC, titik lebur dari asam mefenamat yaitu 231 oC (Anonim, 2013b).
136 | Yandi, S., dkk. /Jurnal Ilmiah Farmasi 16(2) Agustus-Desember 2020, 130-143
Tabel 3. Hasil uji siklus panas-dingin
Minyak: Smix asam oleat
(%) tween 80
(%) PEG 400
(%)
Pemisahan fase
Replikasi 1 Replikasi 2
1:9 10 80 10 Tidak memisah Tidak memisah
10 70 20 Tidak memisah Tidak memisah
10 60 30 Tidak memisah Tidak memisah
2:8 20 70 10 Tidak memisah Tidak memisah
20 60 20 Tidak memisah Tidak memisah
20 50 30 Tidak memisah Tidak memisah
Emulsi akan stabil pada suhu 40oC - 45oC dan tidak stabil pada suhu 50oC - 65oC seperti yang
ditunjukkan pada Gambar 4 dan Gambar 5. Emulsi akan lebih encer pada suhu tinggi dan akan
mengental pada suhu rendah. Proses pembekuan lebih berpotensi dalam merusak emulsi
dikarenakan kelarutan surfaktan yang lebih sensitif dalam fase minyak maupun fase air yang dapat
merubah bentuk tetesan terdispersi (Anton & Vandamme, 2011).
Gambar 4. SNEDDS yang di uji pada suhu 4oC
Gambar 5. SNEDDS yang di uji pada suhu 40oC
3.6 Uji siklus beku-cair
Uji siklus beku-cair bertujuan untuk melihat stabilitas dari SNEDDS asam mefenamat
terhadap efek pembekuan dan pencairan yang dilakukan pada suhu -20oC dan 25oC (Gambar 6 dan
Gambar 7) selama tiga siklus (Syukri et al., 2019). Berdasarkan Tabel 4 tidak terjadi pemisahan fase
pada semua formulasi SNEDDS asam mefenamat.
Emulsi akan stabil pada suhu 40oC - 45oC dan tidak stabil pada suhu 50oC - 65oC. Emulsi akan
lebih encer pada suhu tinggi dan akan mengental pada suhu rendah. Proses pembekuan lebih
137 | Yandi, S., dkk. /Jurnal Ilmiah Farmasi 16(2) Agustus-Desember 2020, 130-143
berpotensi dalam merusak emulsi dikarenakan kelarutan surfaktan yang lebih sensitif dalam fase
minyak maupun fase air yang dapat merubah bentuk tetesan terdispersi (Anton & Vandamme, 2011).
Tabel 4. Hasil uji siklus beku-cair
Minyak: Smix asam oleat
(%) tween 80
(%) PEG 400
(%)
Pemisahan fase
Replikasi 1 Replikasi 2
1:9 10 80 10 Tidak memisah Tidak memisah
10 70 20 Tidak memisah Tidak memisah
10 60 30 Tidak memisah Tidak memisah
2:8 20 70 10 Tidak memisah Tidak memisah
20 60 20 Tidak memisah Tidak memisah
20 50 30 Tidak memisah Tidak memisah
Gambar 6. SNEDDS yang diuji pada suhu -20oC
Gambar 7 SNEDDS yang diuji pada suhu 25oC
3.7 Uji ketahanan
Tujuan dilakukannya uji ketahanan yaitu untuk membuktikan bahwa emulsi/nanoemulsi
yang terbentuk memiliki sifat serupa dengan pengenceran yang berbeda dan untuk memastikan
bahwa obat tidak akan membentuk endapan pada pengenceran yang lebih tinggi (Syukri et al., 2019).
SNEDDS asam mefenamat diencerkan sebanyak 25, 50, 100, dan 250 kali kemudian dievaluasi ukuran
partikel, PDI, dan % transmitan. Pengukuran ukuran partikel dan PDI dilakukan untuk melihat
stabilitas asam mefenamat terhadap variasi pengenceran. Nilai PDI menggambarkan keseragaman
ukuran partikel yang terukur dari suatu emulsi. Nilai PDI yang lebih besar dari 0,4 menunjukkan
bahwa distribusi ukuran partikel pada sampel semakin luas sehingga menunjukkan semakin
rendahnya keseragaman partikel yang terukur (Mao et al., 2009).
138 | Yandi, S., dkk. /Jurnal Ilmiah Farmasi 16(2) Agustus-Desember 2020, 130-143
Tabel. 5. Hasil ukuran partikel dan PDI uji ketahanan (n=3)
Minyak: Smix Formula
O: T: P Pengenceran
25X 50X
Ukuran partikel (nm)
PDI Ukuran partikel (nm)
PDI
1:9 1:8:1 192,87 ± 5,40 0,550 ± 0,02 192,67 ± 3,9 0,620 ± 0,05
1:7:2 198,57 ± 4,20 0,564 ± 0,02 189,57 ± 5,9 0,265 ± 0,08
1:6:3 206,40 ± 4,90 0,572 ± 0,05 300,67 ± 1,6 0,767 ± 0,04 2:8 2:7:1 239,13 ± 4,90 0,717 ± 0,04 197,83 ± 6,5 0,657 ± 0,05
2:6:2 379,63 ± 16,5 0,643 ± 0,06 272,07 ± 19 0,563 ± 0,00 2:5:3 283,27 ± 9,94 0,513 ± 0,03 299,43 ± 28 0,605 ± 0,02
Minyak: Smix Formula O: T: P
100X 250X Ukuran partikel
(nm) PDI Ukuran
partikel (nm) PDI
1:9 1:8:1 192,97 ± 3,80 0,598 ± 0,07 147,37 ± 13,50 0,352 ± 0,03 1:7:2 195,33 ± 7,27 0,583 ± 0,05 77,63 ± 0,55 0,400 ± 0,02 1:6:3 393,77 ± 18,30 0,845 ± 0,04 261,60 ± 21,20 0,538 ± 0,08
2:8 2:7:1 218,63 ± 2,40 0,765 ± 0,03 232,40 ± 21,10 0,548 ± 0,13 2:6:2 298,30 ± 23,90 0,652 ± 0,06 327,13 ± 18,70 0,701 ± 0,03 2:5:3 274,27 ± 28,90 0,575 ± 0,09 293,70 ± 11,80 0,519 ± 0,04
Berdasarkan data hasil pada Tabel 5 diperoleh hasil ukuran partikel dan PDI yang stabil pada
formula 1:8:1 dan 1:7:2, sedangkan hasil ukuran partikel dan PDI yang tidak stabil pada formula 1:6:3,
2:7:1, 2:6:2, dan 2:5:3. Formula SNEDDS dikatakan stabil apabila memiliki ukuran partikel kurang
dari 200 nm dan PDI 0,20-0,70 dengan ketahanan terhadap pengaruh pengenceran (Makadia et al.,
2013; Mao et al., 2009). Beberapa faktor yang mempengaruhi ukuran partikel yaitu faktor yang
disebabkan oleh panas disebabkan gaya gesek dan tekanan tinggi saat proses homogenisasi.
Surfaktan non ionik untuk tipe emulsi oil in water (o/w) rentan pada suhu tinggi. Ketika terjadi
peningkatan suhu, bagian hidrofilik dari molekul emulsifier ini akan menjadi semakin dehidrasi
sehingga menyebabkan partikel emulsi rentan terhadap koalesen dan membuat ukuran partikel
emulsi menjadi lebih besar (Kassem et al., 2016).
Pada Tabel 5 nilai PDI yang terukur berkisar antara 0,3 hingga 0,8. Nilai PDI yang cukup besar
ini dapat disebabkan karena kemampuan surfaktan yang tidak mampu membuat partikel yang
seragam, faktor lainnya dapat disebabkan karena jenis homogenizer yang digunakan yaitu high
pressure homogenizer yang merupakan jenis homogenizer yang menghasilkan nilai PDI yang
cenderung lebih besar (Sriamornsak et al., 2015).
Setelah dievaluasi ukuran partikel dan PDI, selanjutnya dilakukan pengukuran % transmitan.
Nilai % transmitan dapat menggambarkan kemampuan emulsifikasi dari surfaktan (Anton &
Vandamme, 2011). Pada Tabel 6 menunjukkan hasil bahwa semakin tinggi pengenceran, semakin
tinggi nilai % transmitan. Formula yang memiliki nilai % transmitan yang cukup tinggi terdapat pada
139 | Yandi, S., dkk. /Jurnal Ilmiah Farmasi 16(2) Agustus-Desember 2020, 130-143
formula 1:8:1, 1:7:2, dan 1:6:3 pada pengenceran 1:250. Semakin tinggi nilai % transmitan, semakin
baik kemampuan surfaktan dalam proses emulsifikasi. Nilai % transmitan yang diperoleh kurang dari
90% dikarenakan larutan yang dihasilkan jernih dan sedikit bluish. Hal tersebut dikarenakan
preparasi yang kurang tepat dari peneliti.
Tabel. 6. Hasil uji transmitan pada uji ketahanan (n=3)
Minyak: Smix Formula
O: T: P Transmitan (%)
1:25 1:50 1:100 1:250 1:9 1:8:1 28,39 ± 0,08 44,18 ± 0,03 70,53 ± 0,01 80,62 ± 0.02
1:7:2 40,09 ± 0,03 67,91 ± 0,01 61,34 ± 0,01 81,69 ± 0,01
1:6:3 57,61 ± 0,00 58,86 ± 0,01 80,97 ± 0,02 91,59 ± 0,00
2:8 2:7:1 29,18 ± 0,01 36,15 ± 0,01 48,48 ± 0,01 61,49 ± 0,00
2:6:2 24,96 ± 0,00 41,99 ± 0,01 53,59 ± 0,00 65,69 ± 0,01 2:5:3 30,41 ± 0,00 24,26 ± 0,01 59,76 ± 0,01 35,24 ± 0,00
Dari 6 formulasi SNEDDS, diperoleh 2 formulasi optimal yang memiliki stabilitas yang baik
dilihat dari stabilitas ukuran partikel dan PDI yaitu pada formula 1:8:1 dan 1:7:2. Formulasi optimal
yang diperoleh kemuadian dilakukan uji penyimpanan dipercepat selama 1 bulan untuk melihat
stabilitas SNEDDS asam mefenamat pada penyimpanan dengan pengaruh suhu dan kelembaban.
3.8 Uji penyimpanan dipercepat
Uji ini dilakukan selama 1 bulan dengan suhu dan kelembaban yang disesuaikan (40oC ±
2oC/75% RH ± 5% RH) dengan menggunakan climatic chamber. Hasil dievaluasi pada minggu ke-0, 1,
2, 3, dan 4 yang meliputi evaluasi ukuran partikel, PDI, dan % transmitan. Dari pengujian ini
diharapkan hasil uji penyimpanan dipercepat mendekati kriteria perubahan stabilitas yang
signifikan. Hasil dari kondisi penyimpanan dipercepat dapat digunakan untuk mengevaluasi efek
jangka pendek di luar kondisi penyimpanan yang tertera pada label (Anonim, 2013a).
Berdasarkan tabel 7 diperoleh ukuran partikel dan PDI yang stabil pada uji penyimpanan
dipercepat. Uji dilakukan selama 1 bulan, dievaluasi pada minggu ke- 0, 1, 2, 3, dan 4. Ukuran partikel
yang diperoleh kurang dari 200 nm dan nilai PDI 0,20-0,70, dapat dikatakan bahwa formula 1:8:1 dan
1:7:2 memiliki ukuran partikel dan PDI yang stabil terhadap penyimpanan dipercepat.
Evaluasi yang dilakukan selain ukuran partikel dan PDI yaitu evaluasi transmitan untuk
melihat stabilitas formula dalam meneruskan cahaya yang ditembakkan dari spektrofotometri UV
dimana nilai tersebut menggambarkan kemampuan proses emulsifikasi dari suatu surfaktan (Gupta
et al., 2011).
140 | Yandi, S., dkk. /Jurnal Ilmiah Farmasi 16(2) Agustus-Desember 2020, 130-143
Tabel 7. Hasil uji stabilitas dipercepat (n= 3)
Minggu ke Minyak: Smix (1:9) 1: 8: 1 1: 7: 2
Ukuran partikel (nm)
PDI Ukuran partikel (nm)
PDI
0 86,07 ± 11,98 0,289 ± 0,17 68,30 ± 7,16 0,345 ± 0,09 1 53,67 ± 9,25 0,502 ± 0,07 67,93 ± 2,60 0,510 ± 0,01 2 139,5 ± 16,67 0,388 ± 0,03 142,7 ± 6,14 0,339 ± 0,08 3 143,97 ± 3,18 0,377 ± 0,04 152,9 ± 1.05 0,365 ± 0,03 4 167,37 ± 14,44 0,513 ± 0,09 173,07 ± 17,34 0,508 ± 0,08
Tinggi rendahnya nilai % transmitan yang diperoleh dapat mempengaruhi tingkat kejernihan
sediaan. Berdasarkan Tabel 8 surfaktan memiliki kemampuan emulsifikasi yang cukup baik.
Berdasarkan hasil evaluasi ukuran partikel, PDI, dan % transmitan pada uji penyimpanan dipercepat
selama 1 bulan diperoleh 2 formulasi stabil yaitu formula 1:8:1 dan 1:7:2.
Tabel 8. Hasil uji transmitan pada uji stabilitas dipercepat
Minggu ke
Minyak: Smix (1:9) 1: 8: 1 1: 7: 2
0 80,16 ± 0,003 79,84 ± 0,004
1 80,47 ± 0,020 75,35 ± 0,005 2 83,31 ± 0,000 84,76 ± 0,004 3 81,15 ± 0,002 82,48 ± 0,004 4 88,42 ± 0,000 84,69 ± 0,008
3.9 Uji kadar SNEDDS asam mefenamat
Pengujian ini dilakukan untuk melihat apakah kadar asam mefenamat selama penyimpanan
tetap stabil. Sediaan yang sudah disimpan diukur absorbansinya pada panjang gelombang 284,8 nm,
kemudian hasil absorbansi yang diperoleh dihitung kadarnya. Hasil kadar sediaan selama
penyimpanan dibandingkan dengan sediaan yang masih baru. Nilai perolehan kembali kadar yang
dapat diterima adalah 90% - 110% (Kemenkes, 2014). Penetapan kadar secara spektrofotometri
dilakukan dengan menghitung antara respon absorbansi dari seri kadar (kurva baku) menggunakan
persamaan regresi linear.
Dari Tabel 9 diperoleh kadar sediaan baru pada formula 1:8:1 dan 1:7:2 adalah sebesar 49,14
± 0,1 mg/5 ml dan 47,27 ± 0,02 mg/5 ml dengan konsentrasi (%) 98,28 ± 0,2 dan 94,53 ± 0,04,
sedangkan kadar sediaan lama pada formula 1:8:1 dan 1:7:2 adalah sebesar 49,10 ± 0,02 mg/5 ml
dan 45,49 ± 0,03 mg/5 ml dengan konsentrasi (%) 98,20 ± 0,04 dan 90,98 ± 0,06.
141 | Yandi, S., dkk. /Jurnal Ilmiah Farmasi 16(2) Agustus-Desember 2020, 130-143
Tabel 9. Hasil uji kadar SNEDDS asam mefenamat (N= 3)
Formula Minyak: Smix 1:8:1 1:7:2
Kadar (mg / 5 ml) Konsentrasi (%) Kadar (mg / 5 ml) Konsentrasi (%)
Baru 49,14 ± 0,10 98,28 ± 0,20 47,27 ± 0,02 94,53 ± 0,04 Lama 49,10 ± 0,02 98,20 ± 0,04 45,49 ± 0,03 90,98 ± 0,06
Berdasarkan hasil tersebut sediaan SNEDDS asam mefenamat dapat dikatakan memiliki
stabilitas yang cukup baik karena hasil perolehan kembali kadar masih bisa diterima yaitu kisaran 90
– 110 % (Syukri et al., 2015a).
4. Kesimpulan
Studi stabilitas yang dilakukan pada uji sentrifugasi dari 9 formulasi SNEDDS asam
mefenamat diperoleh 2 formula yang memenuhi rentang kadar 90-110%, sehingga dapat
disimpulkan sediaan SNEDDS asam mefenamat memiliki stabilitas yang baik terhadap berbagai studi
stabilitas yang dilakukan.
Ucapan terimakasih
Penulis mengucapkan terima kasih kepada Laboratorium Teknologi Farmasi Universitas
Islam Indonesia atas fasilitas dan bantuan bahan penelitian.
Daftar pustaka
Anonim. (2013a). Asean Guideline on Stability Study of Drug Product. from asean.orgAnonim. (2013b). Material safety data sheet ibuprofen MSDS. from ScienceLabAnton, N., & Vandamme, T. F. (2011). Nano-emulsions and micro-emulsions: clarifications of the
critical differences. Pharm Res, 28(5), 978-985. doi:10.1007/s11095-010-0309-1Chaudhary, S., Aqil, M., Sultana, Y., & Kalam, M. A. (2019). Self-nanoemulsifying drug delivery system
of nabumetone improved its oral bioavailability and anti-inflammatory effects in rat model. Journal of Drug Delivery Science and Technology, 51, 736-745.
doi:https://doi.org/10.1016/j.jddst.2018.04.009Colombo, M., Melchiades, G. L., Figueiro, F., Battastini, A. M. O., Teixeira, H. F., & Koester, L. S. (2017).
Validation of an HPLC-UV method for analysis of Kaempferol-loaded nanoemulsion and its application to in vitro and in vivo tests. J Pharm Biomed Anal, 145, 831-837. doi:10.1016/j.jpba.2017.07.046
Gupta, S., Chavhan, S., & Sawant, K. K. (2011). Self-nanoemulsifying drug delivery system for adefovir dipivoxil: Design, characterization, in vitro and ex vivo evaluation. Colloids and Surfaces A: Physicochemical and Engineering Aspects, 392(1), 145-155.
doi:https://doi.org/10.1016/j.colsurfa.2011.09.048Istanti. (2016). Preparasi dan karakterisasi sediaan SNEDDS asam mefenamat dengan fase minyak
asam oleat. (PharmB). Universitas Islam Indonesia, Yogyakarta.Ito, A., Konnerth, C., Schmidt, J., & Peukert, W. (2016). Effect of polymer species and concentration on
the production of mefenamic acid nanoparticles by media milling. European Journal of
142 | Yandi, S., dkk. /Jurnal Ilmiah Farmasi 16(2) Agustus-Desember 2020, 130-143
Pharmaceutics and Biopharmaceutics, 98, 98-107. doi:https://doi.org/10.1016/j.ejpb.2015.11.011
Jaiswal, M., Dudhe, R., & Sharma, P. K. (2015). Nanoemulsion: an advanced mode of drug delivery system. 3 Biotech, 5(2), 123-127. doi:10.1007/s13205-014-0214-0
Kassem, A. A., Mohsen, A. M., Ahmed, R. S., & Essam, T. M. (2016). Self-nanoemulsifying drug delivery system (SNEDDS) with enhanced solubilization of nystatin for treatment of oral candidiasis: Design, optimization, in vitro and in vivo evaluation. Journal of Molecular Liquids, 218, 219-232. doi:https://doi.org/10.1016/j.molliq.2016.02.081
Kemenkes. (2014). Farmakope Indonesia. Jakarta: Kemenkes RI Makadia, H. A., Bhatt, A. Y., Parmar, R. B., Paun, J. S., & Tank, H. M. (2013). Self-nano Emulsifying Drug
Delivery System (SNEDDS): Future Aspects. Asian J Pharm Res, 3(1), 7. Mao, L., Yang, J., Yuan, F., Gao, Y., & Zhao, J. (2009). Effects of Small and Large Molecule Emulsifiers on
the Characteristics of b-Carotene Nanoemulsions Prepared by High Pressure Homogenization. Food Technology and Biotechnology, 47.
Qamar, F. (2014). Simple UV spectrophotometric assay of Mefenamic acid. Sriamornsak, P., Limmatvapirat, S., Piriyaprasarth, S., Mansukmanee, P., & Huang, Z. (2015). A new
self-emulsifying formulation of mefenamic acid with enhanced drug dissolution. Asian Journal of Pharmaceutical Sciences, 10(2), 121-127. doi:https://doi.org/10.1016/j.ajps.2014.10.003
Syukri, Y., Fernenda, L., Utami, F., Qiftayati, I., Kusuma, A., & Istikaharah, R. (2015a). Preperation and characterization of β-cyclodextrin inclusion complexes oral tablets containing poorly water soluble glimipiride using freeze drying method. Indonesian Journal of Pharmacy, 26, 71. doi:10.14499/indonesianjpharm26iss2pp71
Syukri, Y., Fitriani, H., Pandapotan, H., & Nugroho, B. (2019). Formulation, Characterization and Stability of Ibuprofen-Loaded Self-Nano Emulsifying Drug Delivery System (SNEDDS). INDONESIAN JOURNAL OF PHARMACY, 30, 105. doi:10.14499/indonesianjpharm30iss2pp105-113
Syukri, Y., Martien, R., Lukitaningsih, E., & Nugroho, A. E. (2018). Novel Self-Nano Emulsifying Drug Delivery System (SNEDDS) of andrographolide isolated from Andrographis paniculata Nees: Characterization, in-vitro and in-vivo assessment. Journal of Drug Delivery Science and Technology, 47, 514-520. doi:https://doi.org/10.1016/j.jddst.2018.06.014
Syukri, Y., Nugroho, A., Martien, R., & Lukitaningsih, E. (2015b). Validasi Penetapan Kadar Isolat Andrografolid dari Tanaman Sambiloto (Andrographis paniculata Nees) Menggunakan HPLC. Jurnal Sains Farmasi & Klinis, 2, 8-14. doi:10.29208/jsfk.2015.2.1.42
Waterbeemd, H. V. D., Testa, B., Mannhold, R., Kubinyi, H., & Folkers, G. (2009). Drug Bioavailability: Estimation of Solubility, Permeability, Absorption and Bioavailability (2nd ed.).
Weerapol, Y., Limmatvapirat, S., Nunthanid, J., & Sriamornsak, P. (2014). Self-nanoemulsifying drug delivery system of nifedipine: impact of hydrophilic-lipophilic balance and molecular structure of mixed surfactants. AAPS PharmSciTech, 15(2), 456-464. doi:10.1208/s12249-014-0078-y
143 | Yandi, S., dkk. /Jurnal Ilmiah Farmasi 16(2) Agustus-Desember 2020, 130-143
Jurnal ilmiah Farmasi 16(2) Agustus-Desember 2020, 144-154 ISSN: 1693-8666
available at http://journal.uii.ac.id/index.php/JIF
144
Solid dispersion of quercetin-PVP K-30 and its effects on the antioxidant activity
Pembentukan dispersi padat kuersetin-PVP K-30 dan
pengaruhnya terhadap aktivitas antioksidan
Zahara*, Henny Lucida, Erizal Zaini
Fakultas Farmasi, Universitas Andalas *Corresponding author: [email protected]
Abstract Background: Quercetin (3,3’,4’,5,7-pentahydroxil-flavon) is a flavone and secondary metabolite known as flavonoid. Quercetin belongs to class II BCS that has low solubility and high permeability. The poor solubility of quercetin restricts the accessibility and bioavailability. Objectives: To increase the solubility, dissolution, and antioxidant activity in a solid dispersion system. Methods: Preparation of quersetin-PVP K-30 solid dispersion was conducted using the freeze-drying method at -96℃ for 24 hours with a ratio of 1:1, 1:0.5, and 0.5:1 and a 1:1 physical mixture of quercetin-PVP K-30. The solid dispersion of quercetin-PVP K-30 was characterized by Scanning Electron Microscopy (SEM), X-Ray Diffraction (XRD) analysis, and FT-IR spectrophotometric analysis. Solubility test was analyzed using a UV-Vis spectrophotometer, dissolution test was done using a paddle-type dissolution tester, dissolved quercetin concentrations were analyzed using a UV-Vis spectrophotometer, and antioxidant activity was determined using the DPPH method in a UV-Vis spectrophotometer. Results: SEM analysis showed the formation of quercetin-PVP K-30 solid dispersion using the freeze-drying method, and the form changed into anhydrate as seen from the XRD results with the presence of new crystalline peaks in solid dispersion, which were not seen in pure quercetin and PVP K-30. Quercetin-PVP K-30 solid dispersion could increase the solubility by 54-fold at a ratio of 0.5:1 with 94.36%±0.85 quercetin dissolved in 120 minutes. The formation of this solid dispersion affected the antioxidant activity which was observable from the IC50 value at the best ratio of 0.5:1 reaching 0.714 μg/mL while the IC50 value of pure quercetin is 1.102 µg/mL. Conclusion: The formation of quercetin solid dispersion could increase the solubility and dissolution and affect the antioxidant activity. Keywords: solid dispersion, freeze-drying, quercetin, antioxidant
Intisari Latar Belakang: Kuersetin (3,3’,4’,5,7-pentahydroxil-flavon) adalah flavon dan merupakan metabolit sekunder yang dikenal dengan flavonoid. Kuersetin tergolong dalam BCS kelas II yaitu memiliki kelarutan rendah dan permeabilitas tinggi (low solubility and high permeability drugs), kelarutan kuersetin yang buruk membatasi aksesibilitas dan bioavailabilitasnya. Tujuan: Untuk meningkatkan kelarutan dan disolusi kuersetin serta melihat pengaruhnya terhadap aktivitas antioksidan kuersetin. Metode: Pembuatan dispersi padat menggunakan metode freeze dry pada suhu -96℃ selama 24 jam. Hasil: Dengan pembuatan disepersi padat kuersetin-PVP K-30 dapat meningkatkan kelarutan, disolusi dan dapat meningkatkan aktivitas antioksidan kuersetin. Kesimpulan: Uji statistik menggunakan ANOVA dua arah menunjukkan uji kelarutan dan disolusi pada pembentukan dispersi padat kuersetin-PVP K-30 terdapat perbedaan yang signifikan (p= 0,000 (Sig<0,05)). Kata kunci: dispersi padat, freeze dry, kuersetin, antioksidan
145 | Zahara., dkk/ Jurnal Ilmiah Farmasi 16(2) Agustus-Desember 2020, 144-154
1. Pendahuluan
Aspek biofarmasetik dalam formulasi sediaan obat selalu dipengaruhi oleh faktor
fisikokimia, salah satunya yaitu kelarutan. Kelarutan mempunyai peran penting dalam
meramalkan derajat absorbsi obat dalam saluran cerna. Obat yang kelarutannya kecil dalam air
(poorly soluble drugs) bioavaibilitasnya rendah serta disolusi rendah. Kuersetin termasuk
kedalam BCS kelas II dimana kelarutannya rendah tetapi permeabilitasnya tinggi (low solubility
and high permeability drugs) (Shargel et al., 2012). Kuersetin (3,3’,4’,5,7-pentahydroxyflavone)
adalah flavon merupakan metabolit sekunder yang dikenal dengan flavonoid. Kuersetin dapat
memberikan banyak efek seperti sebagai antioksidan (Duen as et al., 2010; Nuengchamnong et
al., 2004), antikarsinogenik (Kumar et al., 2014), antiinflamasi (Kleemann et al., 2011),
antibakteri (Rattanachaikunsopon & Phumkhachorn, 2010), antivirus (Ganesan et al., 2012),
antiobesitas (Nabavi et al., 2015), Nephron-protector (Lucida & Primadini, 2019).
Pembentukan dispersi padat dapat membantu meningkatkan kelarutan dan laju disolusi
obat yang sukar larut air. Sistem dispersi padat merupakan sistem dispersi satu atau lebih zat
aktif dalam pembawa yang inert atau matriks yang larut air dalam bentuk padat yang
dipersiapkan dengan metoda peleburan, pelarutan, serta gabungan peleburan dan pelarutan.
Pemilihan bahan pembawa juga mempengaruhi laju disolusi dari obat yang terdispersi.
Pembawa yang larut air akan mempercepat pelepasan obat dari matriks, sedangkan pembawa
yang sukar larut air akan memperlambat pelepasan dari matriks.
Beberapa penelitian untuk memperbaiki sifat fisikokimia kuersetin telah dilakukan seperti
peningkatan kelarutan melalui pembentukan kompleks inklusi dengan β-Siklodekstrin
(Syofyan et al., 2008), peningkatan absorbsi dan bioavaibilitas melalui pembuatan sediaan
nanofitosom (Rasaie et al., 2014), pembuatan kuersetin dalam bentuk nanokristal (Lucida et al.,
2016; Sahoo et al., 2011), pembuatan kuercetin–PVP K-25 dispersi padat (Costa et al., 2011),
peningkatan laju disolusi kuersetin dengan nanofabrication, complexation, dan dispersi padat
(Kakran et al., 2011), peningkatan laju disolusi secara in vitro dari kokristal kuersetin-asam
malonat (Setyawan et al., 2018). Identifikasi dan karakterisasi solid binary sisem kuersetin-
nikotinamide (Zaini et al., 2011). Penelitian ini merujuk kepada penelitian sebelumnya
pembuatan dan karakterisasi dispersi padat-PVP K-30 dengan metode spray dry (Lucida &
Primadini, 2019) dimana kelarutannya hanya meningkat 13 kali. Pada penelitian ini, kami akan
melakukan pembentukan dispersi padat kuersetin-PVP K-30 dan pengaruhnya terhadap
aktivitas antioksidan menggunakan freeze dry diharapkan dengan penggunaan freeze dry ini
dapat meningkatkan kelarutan lebih tinggi dari metod spray dry.
146 | Zahara., dkk/ Jurnal Ilmiah Farmasi 16(2) Agustus-Desember 2020, 144-154
2. Metodologi Penelitian
2.1 Alat dan bahan penelitian
Alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah desikator, ayakan 0,8 meshaluminium foil,
timbangan digital analitik (Ohaus Carat series), alat uji disolusi (SR8 Plus Dissolution Test
Station Hanson Virtual Instrument), dan alat-alat yang menunjang penelitian.
Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah kuersetin (Sigma Alderich, Jerman), PVP
K-30 (Bratachem, Indonesia), Sodium buffer phosphate 0,1 M pH 7, Etanol (Merck, Jerman), Air
suling bebas CO2, HCl 0,1 N, Metanol, DPPH.
2.2 Pembuatan dispersi padat metode freeze dry
Pembentukan dispersi padat pada Tabel 1. Dan pembuatan campuran fisik perbandingan
1:1. Masing-masing formula diitimbang dan dilarutkan di dalam labu dengan sodium buffer
phospat 0,1 M pH 7 50 mL . Kemudian larutan sampel dibekukan dengan nitrogen cair dan
dilanjutkan dengan proses freeze dry (Alpha 1-2 LD plus, CHIRST) pada suhu pengeringan -96℃
selama 24 jam kemudian diayak dengan ayakan 08,8 mesh .
Tabel 1. Perbandingan Formula Serbuk Dispersi Padat (dalam mg)
2.3 Pengukuran penentuan panjang gelombang dan validasi metode analisis
Larutan induk dibuat dengan menimbang 10 mg kuersetin, dilarutkan masing-masing
dengan air suling bebas CO2, dan HCl 0,1 N sampai 100 mL. Kemudian panjang gelombang
maksimum diukur dengan spektrofotometer UV-Vis (Shimadzu UV-1700) pada panjang
gelombang 200-400nm.
Validasi metoda analisis dilakukan dalam bentuk kurva kalibrasi. Kurva kalibrasi dibuat
masing-masing dalam air suling bebas CO2, dan HCl 0,1 N. Kemudian serapannya diukur
menggunakan spektrofotometer UV pada panjang gelombang maksimum kuersetin didapat.
2.4 Analisis Scanning Electron Microscopy (SEM)
Sampel diletakkan pada holder alumunium dan dilapisi dengan paladium dengan
ketebalan 10 mm. Sampel kemudian diamati berbagai perbesaran. Voltase diatur pada 20 kV
arus 12 mA (SEM) (Hitachi S-3400N). Analisis ini akan memperlihatkan morfologi bentuk
partikel senyawa tunggal kuersetin, PVP K-30, campuran fisik dan sistem dispersi padat
kuersetin - PVP K-30 pada perbesaran 1000 - 3000.
Bahan F I
(1:1) F II
(1:0,5) F III
(0,5:1)
Kuersetin (mg) 1500 1500 750
PVP K-30 (mg) 1500 750 1500
147 | Zahara., dkk/ Jurnal Ilmiah Farmasi 16(2) Agustus-Desember 2020, 144-154
2.5 Analisis X-ray Diffraction (XRD)
Analisis difraksi sinar-X serbuk sampel dilakukan pada suhu ruang dengan menggunakan
difraktometer sinar-X (Philips X’Pert Powder DY 3688). Kondisi pengukuran sebagai berikut:
target logam Cu, filter Kα, voltase 40 kV, arus 40 mA, kecepatan angularnya 4°/menit dan
analisis pengukuran pada rentang 2θ 5-65°. Sampel diletakan pada sampel holder (kaca) dan
diratakan untuk mencegah orientasi partikel selama penyiapan sampel. Analisis dilakukan
terhadap kuersetin murni, PVP K-30, dispersi padat kuersetin – PVP K-30 dan campuran fisika.
2.6 Analisis spektrofotometri FT-IR
Dengan alat spektrofotometri (Perkin Elmer FTIR Spectrofotometer Frontier) Sampel
diletakkan di atas kristal ATR hingga menutupi semua permukaan kristal. Sampel ditutup
dengan memberikan sedikit tekanan dan spektrum serapan IR diambil untuk sampel kuersetin,
PVP K-30, campuran fisik, dan dispersi padat kuersetin-PVP K-30.
2.7 Uji kelarutan
Uji kelarutan dilakukan pada kuersetin, campuran fisik dan formula dispersi padat yang
dibuat menjadi larutan jenuh. Masing-masing formula ditumbang setara dengan 15 mg
kuersetin, lalu dimasukkan ke dalam erlemeyer 100 mL. Kemudian tambahkan 100 mL air
suling bebas CO2. Kemudian sampel disonikasi selama 15 menit dengan alat Elmasonic S 80 (H).
Setelah itu sampel disaring dengan menggunakan kertas saring Whatman no. 42. Hasil saringan
dianalisis dengan menggunakan spektrofotometer UV-Vis (Shimadzu UV-1700).
2.8 Uji disolusi
Uji disolusi dispersi padat kuersetin, campuran fisik, dilakukan dengan menimbang setara
dengan 50 mg kuersetin. Untuk uji disolusi dilakukan dengan alat dissolution tester (SR8 Plus
Dissolution Test Station Hanson Virtual Instrument) tipe dayung. Sediaan ditimbang setara
dengan 50 mg kuersetin. Labu diisi dengan medium disolusi HCl 0,1 N sebanyak 900 mL. Alat
diputar dengan kecepatan pengadukan 100 rpm dengan suhu diatur pada 37 ± 0,5° C. Setelah
suhu tercapai, dimasukkan sejumlah sampel yaitu setara 50 mg kuersetin ke dalam labu disolusi.
Larutan disolusi dipipet 5 mL pada menit ke 5, 10, 15, 30, 45, 60, 90 dan 120. Pada saat
pemipetan diganti dengan medium disolusi (volume dan suhu yang sama pada saat pemipetan).
Masing-masing larutan diuji menggunakan spektrofotometri UV-Vis.
2.9 Uji antioksidan
Uji aktivitas antioksidan menggunakan metode DPPH dimana panjang gelombang DPPH
517 nm dan dengan nilai absorban 0,781, dilakukan pada campuran fisik, dispersi padat dan
kuersetin murni sebagai pembanding. Masing-masing formula dilarutkan dengan metanol:air
dan masing-masing diperoleh konsentrasi 1,2,3,4,5 ppm kemudian pipet 0,2 mL dan
direaksikan dengan 3,8 mL DPPH konsentrasi 35 ppm.
148 | Zahara., dkk/ Jurnal Ilmiah Farmasi 16(2) Agustus-Desember 2020, 144-154
3. Hasil dan pembahasan
3.1 Panjang gelombang kuersetin dan kurva kalibrasi kuersetin.
Panjang gelombang kuersetin dalam air suling bebas CO2 dapat dilihat pada Gambar.1a
didapatkan panjang gelombang serapan maksimum kuersetin dalam air suling bebas CO2 sebesar
373 nm dan didapatkan persamaan regresi y = 0,037x + 0,026 dengan nilai R = 0,999 kurva
kalibrasinya dapat dilihat pada Gambar. 1.b. Pengukuran panjang gelombang serapan maksimum
kuersetin dalam HCl 0,1 sebesar didapatkan panjang gelombang 367 nm pada Gambar 1.c dan
persamaan regresi y = 0,0222x + 0,0288 dengan nilai R2 = 0,996 tersaji pada Gambar. 1.d.
. (a) (b)
(c) (d)
Gambar 1. Panjang gelombang serapan maksimum kuersetin dan kurva baku kuersetin
3.2 Scanning Electrone Microscopy (SEM)
Hasil uji analisis dapat dilihat pada gambar 2. bahwa terjadi interaksi antara kuersetin dan
PVP K-30 melalui teknik freeze dry yang dapat mempengaruhi morfologi masing-masing zat
pada Gambar 2.d,f morfologinya sudah hampir sferis dan Gambar 2.e dimana masih terlihat
beberapa habit kuersetin karena perbandingan kuersetin lebih banyak dari PVP K-30. Dimana
pada Gambar 2.a kuersetin terlihat seperti kristal batang dan Gambar 2,b PVP K-30 morfologi
permukaan yang licin, pada Gambar 2.c belum terjadi interaksi terlihat dari habit kuersetin dan
373nm
nm
367nm
nm
149 | Zahara., dkk/ Jurnal Ilmiah Farmasi 16(2) Agustus-Desember 2020, 144-154
PVP K-30 masih jelas terlihat. Hasil morfologi menggunakan metode freeze dry lebih besar
dibandingkan dengan hasil morfologi pada penelitian dispersi padat kuersetin-PVP k-30 metode
spray dry (Lucida et al., 2019) morfologinya lebih sferis.
(a) (b) (c)
(d) (e) (f)
Gambar 2. Menunjukkan permukaan sampel (a) kuersetin 3000 x (b) PVP K-30 1000 x (c) campuran fisik 2000 x (d) formula I 3000 x (e) formula II 3000 x (f) formula III 3000 x
3.3 Analisis pola X-ray Diffraction (XRD)
Fase padat kuersetin menunjukkan padatan kristalin karena bentuk difraktogram dan
menunjukkan puncak interfensi yang khas dan tajam pada sudut 2θ dapat dilihat pada Gambar
3 yaitu 12,133; 14,087; 17,129; 22,121; 26,515; 27,295 dengan nilai intensitas 666,131;
1039,245; 639,567; 550,599; 1073,247; 1104,416. Sedangkan PVP K-30 tidak terdapatnya
puncak yang khas dan tajam, sehingga dapat diamati PVP K-30 memiliki sifat amorf.
Difraktogram sinar-X campuran fisika, merupakan super imposisi antara kedua komponen
pembentuknya. Difraktogram sinar-X padatan hasil interaksi antara kuersetin-PVP K-30
memiliki pola difraksi yang berbeda dengan campuran fisika, kuersetin dan PVP K-30 terjadi
penurunan derajat kristalinitas pada posisi 2θ, dan munculnya puncak-puncak kristal baru
pada kuersetin yang terlihat pada sudut 2θ 17,129; 18,949; 31,689; 32,677; 34,809; 41,257;
45,720 yang tidak terdapat pada kuersetin murni, PVP K-30 dan campuran fisik. Hal ini
mengindikasikan bahwa sistem dispersi padat antara kuersetin dan PVP K-30 menghasilkan
fase kristalin baru (senyawa molekular) atau diduga terjadinya perubahan dari anhidrat
menjadi hidrat dimana munculnya puncak-puncak tajam yang menunjukkan adanya kristal
yang terjadi karena pelarut atau air yang digunakan masuk kedalam kisi-kisi kristal dari
kuersetin dan proses pembekuan maka terjadilah interaksi sehingga muncul puncak kristal
150 | Zahara., dkk/ Jurnal Ilmiah Farmasi 16(2) Agustus-Desember 2020, 144-154
baru. Perubahan ukuran dan struktur kristal mengubah karakteristik termodinamika dan luas
permukaan kristal sehingga dapat menyebabkan perubahan profil disolusi dan
farmakokinetika dari bahan aktif.
Gambar 3. Difraktogram sinar-X gabungan kuersetin, PVP K-30, campuran fisik, dispersi padat kuersetin-PVP K-30
3.4 Analisis spektrofotometri FT-IR
Hasil karakterisasi pada spektrofotometri inframerah kuersetin Gambar 4.a, menunjukan
puncak yang lebar pada bilangan gelombang 3386,48 pada gugus fungsi, gugus fungsi C-H pada
bilangan gelombang 2360,99 cm-1, gugus fungsi C=O pada bilangan gelombang 1663,86 cm-1,
gugus fungsi C-O-C pada bilangan gelombang 1319,35 cm-1. Spektrum PVP K-30 Gambar 4.b,
juga menunjukan puncak yang lebar pada bilangan gelombang 3424,52 cm-1 yang menunjukkan
adanya gugus fungsi O-H. Puncak lain pada bilangan gelombang 1654,76 cm-1 menunjukkan
adanya ikatan C=O, dan pada bilangan gelombang 1654,76 cm-1 menunjukkan adanya ikatan C-
H. Golongan fenolik kuersetin mampu membentuk ikatan hidrogen dengan kelompok C=O PVP
yang memiliki peran kuersetin untuk didispersikan ke dalam matriks PVP dan menyimpannya
dalam bentuk amorf. Hasil ini sesuai dengan laporan sebelumnya tentang pembentukan ikatan
hidrogen dari naringenin dan hesprepetin aglycones dengan PVP, yang menghasilkan
peningkatan kelarutan, dan laju disolusi.
151 | Zahara., dkk/ Jurnal Ilmiah Farmasi 16(2) Agustus-Desember 2020, 144-154
(a) (b)
(c) (d)
(e) (f)
Gambar 4. (a) Kuersetin (b) PVP K-30 (c) campuran fisik (d) formula I (e) formula II (f)
formula III
3.5 Uji kelarutan
Berdasarkan hasil uji kelarutan, terjadi peningkatan kelarutan kuersetin pada campuran
fisik sebesar 22 kali, dispersi padat formula I peningkatan kelarutan 42 kali, peningkatan
kelarutan formula II 20 kali, dan formula III terjadi peningkatan kelarutan sebesar 54 kali, pada
formula III terjadinya peningkatan kelarutan paling tinggi. Peningkatan kelarutan terjadi
karena adanya penambahan polimer hidrofilik PVP K-30 akan meningkatkan kelarutan dan
keterbasahan kuersetin Kelarutan dan stabilitas hidrat dapat berbeda secara signifikan,
perbedaan-perbedaan ini dianggap berasal dari variasi dalam struktur kristalnya (Sheng et al.,
1999) dan juga terjadinya ikatan hidrogen akan mempermudah putusnya ikatan antar molekul
saat kontak dengan air sehingga kelarutan meningkat. Hasil kelarutan juga didukung dari
analisis difraksi sinar-X juga menunjukkan bahwa derajat rekristalinitas dispersi padat
152 | Zahara., dkk/ Jurnal Ilmiah Farmasi 16(2) Agustus-Desember 2020, 144-154
menurun. Peningkatan kelarutan kuersetin-PVP K-30 metode freeze dry lebih tinggi daripada
pembuatan dispersi padat kuersetin-PVP K-30 metode spray dry karena perubahan bentuk
anhidrat menjadi hidrat dari metode freeze dry dapat mempengaruhi kenaikan kelarutan
kuersetin.
3.6 Uji disolusi
Profil disolusi kuersetin, campuran fisik dan dispersi padat pada Gambar 5 menunjukkan
menit ke-5, menit 60, dan menit 120 dalam kuersetin murni secara berturut--turut adalah
0,09%±0,08; 1,76%±0,25; 2,73%±0,24, % rata-rata kuersetin yang terdisolusi pada menit ke-5,
menit 60, dan menit 120 dalam campuran fisik secara berturut-turut adalah 1,44%±0,12;
25,83%±0,33; 46,48%±0,16, % rata-rata kuersetin yang terdisolusi pada menit ke-5, menit 60,
dan menit 120 dalam dispersi padat formula I secara berturut--turut adalah 15,28±0,16;
44,11±0,28; 63,24±0,20, % rata-rata kuersetin yang terdisolusi pada menit ke-5, menit 60, dan
menit 120 dalam formula II secara berturut-turut adalah 0,96±0,12; 23,32±0,29; 44,70±0,21, %
rata-rata kuersetin yang terdisolusi pada menit ke-5, menit 60, dan menit 120 dalam formula III
secara berturut--turut adalah 34,47±0,29; 80,76±1,07; 94,36±0,85 dan peningkatan % terdisolusi
kuersetin dalam Pembentukan dispersi padat pada formula III merupakan yang paling tinggi ini
berbanding lurus dengan nilai kelarutan dimana kelarutan yang tertinggi pada formula III.
Kelarutan mempengaruhi laju disolusi dimana obat-obat yang mempunyai kelarutan kecil dalam
air (poorly soluble drugs) maka ketersediaan hayati dan kecepatan disolusi nya juga rendah
(Shargel et al., 2012).
Gambar 5. Profil disolusi kuersetin, campuran fisik dan dispersi padat
3.7 Aktivitas antioksidan
Hasil yang didapatkan aktivitas antioksidan pada kuersetin, campuran fisik, dispersi padat
formula I, formula II, formula III memiliki nilai nilai IC50 secara berurutan adalah adalah 1,102
153 | Zahara., dkk/ Jurnal Ilmiah Farmasi 16(2) Agustus-Desember 2020, 144-154
µg/mL, 0,904 µg/mL, 0,846 µg/mL, 0,996 µg/mL, 0,714 µg/mL. Semakin kecil nilai IC50 maka
semakin tinggi aktivitas antioksidan. Dari hasil uji aktivtias antioksidan dapat dilihat
pembentukan dispersi padat berpengaruh terhadap aktivitas antioksidan. Semakin tinggi nilai
kelarutan maka semakin baik nilai IC50 dimana (Costa et al., 2011) telah melaporkan dengan
pembentukan dispersi padat kuersetin-PVP K-25 dengan perbandingan 108:1 dapat
meningkatkan kelarutan 436 kali dan pada uji aktivitas antioksidan diperoleh nilai IC50 0,61
µg/mL.
4. Kesimpulan
Terbentuknya dispersi padat kuersetin-PVP K-30 yang telah dianalisis dengan SEM dimana
kuersetin dan PVP telah berbentuk hampir sferis dan terdispersi, perubahan bentuk hidrat
dimana masuknya molekul air kedalam kisi-kisi kristal kuersetin yang menyebabkan munculnya
puncak baru yang dilihat dari analisis X-RD pada dispersi padat formula I, II, III yang tidak terdapat
pada kuersetin murni, PVP dan campuran fisik yang menyebabkan peningkatan kelarutan dan laju
disolusi serta berpengaruh terhadap aktivitas antioksidan yang dapat dilihat dari nilai IC50 yang
lebih baik. Dari hasil FT-IR dapat dilihat pembentukan dispersi padat kuersetin-PVP K-30 tidak
terjadi interaksi kimia dimana tdak terjadi pergeseran panjang gelombang yang signifikan dan
masih dalam rentang.
Daftar pustaka
Costa, E. M., Marquiafavel, F. S., Vaz, M. O., & Bueno, P. B. (2011). Thermal Characterization of the
Quercetin and Rutin Flavonoids. J Therm Anal Calorim, 104, 6. Duen as, M., Gonza lez-Manzano, S., Gonza lez-Parama s, A., & Santos-Buelga, C. (2010). Antioxidant
Evaluation of O-methylated Metabolites of Catechin, Epicatechin and Quercetin. Journal of Pharmaceutical and Biomedical Analysis, 51(2), 443-449. doi:https://doi.org/10.1016/j.jpba.2009.04.007
Ganesan, S., Faris, A. N., Comstock, A. T., Wang, Q., Nanua, S., Hershenson, M. B., & Sajjan, U. S. (2012). Quercetin Inhibits Rhinovirus Replication In Vitro and In Vivo. Antiviral Res, 94(3), 258-271. doi:10.1016/j.antiviral.2012.03.005
Kakran, M., Sahoo, N. G., & Li, L. (2011). Dissolution Enhancement of Quercetin Through Nanofabrication, Complexation, and Solid Dispersion. Colloids and Surfaces B: Biointerfaces, 88(1), 121-130. doi:https://doi.org/10.1016/j.colsurfb.2011.06.020
Kleemann, R., Verschuren, L., Morrison, M., Zadelaar, S., Erk, M., Wielinga, P., & Kooistra, T. (2011). Anti-inflammatory, Anti-proliferative and Anti-atherosclerotic Effects of Quercetin in Human In Vitro and In Vivo Models. Atherosclerosis, 218, 44-52. doi:10.1016/j.atherosclerosis.2011.04.023
Kumar, S. R., Priyatharshni, S., Babu, V. N., Mangalaraj, D., Viswanathan, C., Kannan, S., & Ponpandian, N. (2014). Quercetin Conjugated Superparamagnetic Magnetite Nanoparticles for In-vitro Analysis of Breast Cancer Cell Lines for Chemotherapy Applications. J Colloid Interface Sci, 436, 234-242. doi:10.1016/j.jcis.2014.08.064
Lucida, H., Agustin, P., & S, S. (2019). The Assay of Quercetin Solid Dispersion as a Potential Nephronprotector in Acute Renal Failure Induced Mice. Pharmacognosy Journal, 11, 907-912. doi:10.5530/pj.2019.11.145
154 | Zahara., dkk/ Jurnal Ilmiah Farmasi 16(2) Agustus-Desember 2020, 144-154
Lucida, H., Febriyenti, F., Pradana, R., & Rahmatika, L. (2016). Preparation of Quercetin Nanocrystals by Planetary Ball Mill to Increase the Solubility and the Dissolution Profile. 8, 53-58.
Lucida, H., & Primadini, Y. (2019). A Study on the Acute Toxicity of Quercertin Solid Dispersion as a Potential Nephron-Protector. Rasayan Journal of Chemistry, 12, 727-732. doi:10.31788/RJC.2019.1224068
Nabavi, S. F., Russo, G. L., Daglia, M., & Nabavi, S. M. (2015). Role of Quercetin as an Alternative for Obesity Treatment: You Are What You Eat! Food Chem, 179, 305-310. doi:10.1016/j.foodchem.2015.02.006
Nuengchamnong, N., Hermans-Lokkerbol, A., & Ingkaninan, K. (2004). Separation and Detection of the Antioxidant Flavonoids, Rutin and Quercetin, Using HPLC Coupled on-line With Colorimetric Detection of Antioxidant Activity. Naresuan University Journal, 12, 25-37.
Rasaie, S., Ghanbarzadeh, S., Mohammadi, M., & Hamishehkar, H. (2014). Nano Phytosomes of Quercetin: A Promising Formulation for Fortification of Food Products with Antioxidants. Pharmaceutical sciences, 20, 96-101.
Rattanachaikunsopon, P., & Phumkhachorn, P. (2010). Contents and Antibacterial Activity of Flavonoids Extracted from Leaves of Psidium Guajava. Journal of Medicinal Plants Research, 4, 393-396.
Sahoo, N. G., Kakran, M., Shaal, L. A., Li, L., Mu ller, R. H., Pal, M., & Tan, L. P. (2011). Preparation and Characterization of Quercetin Nanocrystals. J Pharm Sci, 100(6), 2379-2390. doi:10.1002/jps.22446
Setyawan, D., Lestari, M., Permata, S., & Zainul, A. (2018). Improvement In Vitro Dissolution Rate of Quercetin Using Cocrystallization of Quercetin-Malonic Acid. Indonesian Journal of Chemistry, 18, 531-536. doi:10.22146/ijc.28511
Shargel, L., Yu, A. B. C., & Wu-pong, S. (2012). Biofarmasetika dan farmakokinetika terapan (Fasich & S. Sjamsiah, Trans.). Surabaya: Airlangga University Press.
Sheng, J., Venkatesh, G. M., Duddu, S. P., & Grant, D. J. W. (1999). Dehydration Behavior of Eprosartan Mesylate Dihydrate. Journal of Pharmaceutical Sciences, 88(10), 1021-1029. doi:https://doi.org/10.1021/js9900250
Syofyan, Lucida, H., & Bakhtiar. (2008). Kelarutan Quercetin Melalui Pembentukan Kompleks Inklusi dengan β-siklodekstrin. J Sains dan Teknol Farm, 13(2), 6.
Zaini, E., Halim, A., Soewandhi, S. N., & Setyawan, D. (2011). Peningkatan Laju Pelarutan Trimetoprim Melalui Metode Ko-kristalisasi dengan Nikotinamida Jurnal Farmasi Indonesia, 5, 8.
Jurnal Ilmiah Farmasi 16(2) Agustus-Desember 2020, 155-166ISSN: 1693-8666
available at http://journal.uii.ac.id/index.php/JIF
155
Selenium species in vegetables: benefits and toxicity for the body
Spesies Selenium pada sayuran: manfaat dan toksisitasnya pada tubuh
Alya Luthfiyani Heryadi, Ayu Shalihat, Rimadani Pratiwi, Mutakin*
Fakultas Farmasi Universitas Padjadjaran, Jawa Barat, Indonesia*Corresponding author: [email protected]
Abstract
Background: Selenium is one of the essential trace elements in various biological body functions. Themain source of Selenium in the body is food, one of which is vegetables. Vegetables collect Selenium fromthe soil which is then converted into various chemical species of Selenium. Such species should berecognized since each has different biological activities.Objective: The aim of this review was to identify chemical species of Selenium in vegetables as well as thebenefits and toxicity for the body.Methods: Reference searches were done in Pubmed and Google Scholar databases with the keywords“Selenium speciation in plants”, “selenite”, “selenate”, “selenomethionine”, “selenocystine”, and “se-methylselenocysteine”Results: The results of speciation in several types of vegetables showed that the chemical species ofSelenium abundantly found in vegetables were selenomethionine (SeMet), selenocystine (SeCys2) and se-methylselenocysteine (Se-MeSeCys), γ-glutamyl-Se-methyl-selenocysteine, and inorganic species. BothSelenium-enriched vegetables and the species contained therein have a variety of benefits for the body.However, excessive consumption can also cause toxic effects.Conclusion: The chemical species of Selenium in vegetables can be either organic or inorganic. Both typesof species have different benefits and toxic effects.
Keywords: benefits, chemical species, Selenium, toxicity, vegetable
Intisari
Latar belakang: Selenium merupakan salah satu trace element esensial yang penting pada berbagaifungsi biologi tubuh. Sumber utama Selenium dalam tubuh adalah makanan, salah satunya yaitu sayuran.Sayuran mendapatkan Selenium dari tanah yang kemudian diubah menjadi berbagai spesies kimiaSelenium. Spesies kimia Selenium penting untuk diketahui karena setiap spesies memiliki aktivitas biologiyang berbedaTujuan: Review ini ditujukan untuk mengetahui spesies kimia Selenium yang terdapat pada sayuran sertamanfaat dan toksisitasnya bagi tubuhMetode: Penelusuran referensi dilakukan melalui database Pubmed dan Google Scholar, dengan katakunci “Selenium speciation in plant”, “selenite”, “selenate”, “selenomethionine”, “selenocystine”, dan “se-methylselenocysteineHasil: Hasil spesiasi pada beberapa sayuran menunjukkan spesies kimia Selenium yang banyak terdapatdalam sayuran adalah selenomethionine (SeMet), selenocystine (SeCys2), dan Se-methylselenocysteine (Se-MeSeCys), γ-glutamyl-Se-methyl-selenocysteine, dan spesies anorganik. Baik sayuran yang diperkayaSelenium maupun spesies yang terkandung di dalamnya memiliki berbagai manfaat bagi tubuh. Namunkonsumsi yang berlebih juga dapat menyebabkan efek toksikKesimpulan: Spesies kimia Selenium yang terdapat pada sayuran dapat berupa spesies organik maupunspesies anorganik. Kedua jenis spesies ini memiliki manfaat serta efek toksik yang berbeda
Kata kunci :manfaat, sayuran, Selenium, spesies kimia, toksisitas
156 | Alya. L.H., dkk /Jurnal Ilmiah Farmasi 16 (2) Agustus-Desember 2020, 155-166
1. Pendahuluan
Selenium (Se) merupakan trace element esensial yang penting untuk berbagai fungsi
biologi seperti metabolisme hormon tiroid, sistem pertahanan antioksidan tubuh, pencegah
kanker tertentu dan sistem kardiovaskular (Benstoem et al., 2015). Selenium merupakan
komponen penting dari enzim antioksidan seperti glutathione peroxidase (GPx) dan thioredoxin
reductase (TrxR) serta selenoprotein P yang berfungsi dalam penyimpanan dan transportasi
Selenium (Kielczykowska et al., 2018). Rekomendasi asupan Se tergantung dari usia serta
kondisi dari setiap individu. Recommended Dietary Allowance (RDA) untuk pria dan wanita
dewasa menurut Institute of Medicine (2000) adalah 55 g/hari. Kekurangan asupan Selenium
yang parah dapat menyebabkan penyakit yang disebut Keshan dan Kashin-Beck (Stoffaneller &
Morse, 2015). Namun, kelebihan asupan Se juga dapat menyebabkan efek toksik bagi tubuh.
Level tertinggi asupan Se yang kemungkinan tidak menimbulkan efek resiko bagi kesehatan
adalah 400 g Se/hari (Anonim, 2000). Makanan, salah satunya yaitu sayuran, merupakan
sumber utama asupan Se (Thiry et al., 2013). Sayuran merupakan sumber antioksidan dan
senyawa nutraseutikal yang penting bagi manusia (El-Ramady et al., 2014). Biofortifikasi Se
pada makanan seperti pada sayuran dapat membantu mengatasi kekurangan asupan Se serta
meningkatkan nilai nutrisi pada makanan (D'Amato et al., 2020).
Kandungan Se dalam tanaman sangat tergantung pada jumlah Se dalam tanah yang
bervariasi disetiap daerah dan juga tergantung pada kemampuan tanaman untuk mengambil
dan mengakumulasi Se (Thiry et al., 2013). Tanaman menggunakan S transporter dan jalur
metabolik untuk mengambil Selenium anorganik (selenit dan selenat) yang terdapat di dalam
tanah, kemudian diasimilasi menjadi Selenium organik selenocysteine (SeCys) dan
selenomethionine (SeMet) yang selanjutnya dimetilasi dan disimpan dalam bentuk methyl-SeCys
atau methyl-SeMet dan dikonversi menjadi senyawa volatil dimethylselenide (DMSe) atau
dimethyldiselenide (DMDSe) (Schiavon & Pilon-Smits, 2017).
Spesies kimia dari Selenium ini penting untuk diketahui karena setiap spesies kimia
akan dimetabolisme dengan cara yang berbeda di dalam tubuh, sehingga akan memiliki aktivitas
biologi yang berbeda pula (Weekley & Harris, 2013). Toksisitas Selenium juga tergantung pada
jenis spesies kimianya (Yang & Jia, 2014). Maka dari itu, tujuan dari review ini adalah untuk
mengetahui berbagai spesies Selenium yang terdapat pada sayuran serta manfaat dan
toksisitasnya bagi tubuh.
2. Metodologi penelitian
Metode yang digunakan dalam review ini yaitu penelusuran pustaka dari berbagai jurnal
internasional. Pencarian dilakukan pada database Pubmed dan Google Scholar, dengan kata
kunci “Selenium speciation in plant”, “selenite”, “selenate”, “selenomethionine”, “selenocystine”, dan
157 | Alya. L.H., dkk /Jurnal Ilmiah Farmasi 16 (2) Agustus-Desember 2020, 155-166
“Se-methylselenocysteine”. Artikel yang disitasi adalah artikel yang ditulis 10 tahun terakhir.
Kriteria artikel yang digunakan berisi mengenai analisis identifikasi spesies kimia Selenium
pada sampel sayuran, analisis aktivitas sayuran yang diperkaya Selenium, analisis aktivitas
spesies Selenium yang dapat diterapkan pada manusia, serta analisis toksisitas spesies Selenium
yang dapat diterapkan pada manusia.
3. Hasil dan pembahasan
3.1 Kandungan dalam sayuran
Tabel 1 menunjukkan hasil spesiasi Selenium pada berbagai jenis sayuran.Pada Tabel 1
dapat diketahui bahwa spesies Selenium organik yang umum terdapat pada sayuran adalah
selenomethionine (SeMet), selenocystine (SeCys2), dan Se-methylselenocysteine (Se-MeSeCys). Ada
pula γ-Glutamyl-Se-methyl-selenocysteine yang terdapat pada beberapa sayuran terutama genus
Allium. Jumlah spesies Selenium terbanyak pada setiap sayuran berbeda tergantung dari spesies
tanamannya. Pada tanaman genus Brassica seperti brokoli (Brassica oleracea convar. italica) dan
pakchoi (Brassica chinensis var parachinensis), Se-MeSeCys terdapat dalam jumlah yang lebih
banyak daripada SeMet (Thosaikham et al., 2014). Sedangkan pada bawang perai (Allium
ampeloprasum), SeMet lebih dominan dibandingkan Se-MeSeCys (Lavu et al., 2012).
Jumlah spesies Selenium anorganik, yaitu selenit (Se(IV)) dan selenat (Se(VI))
dipengaruhi oleh jenis Selenium yang ditambahkan sebelum dilakukan spesiasi. Pada penelitian
yang dilakukan H. Zhang, et al. (2019), dilakukan dua cara fertilisasi pada kentang yang
diperkaya Selenium yaitu dengan penambahan selenit dan selenat. Hasil spesiasi menunjukkan
bahwa pada pemberian selenit, spesies selenit tidak terdeteksi dan jumlah Se organik sekitar
96,9-100%. Sedangkan pada pemberian selenat, jumlah Se organik hanya sekitar 57,2% dan
sisanya merupakan selenat. Berdasarkan hasil tersebut didapatkan fertilisasi menggunakan
selenit lebih baik daripada menggunakan selenat karena jumlah Se anorganik yang lebih sedikit.
Pada penanaman dengan menggunakan media tanah, selain jumlah Se anorganik yang
lebih banyak, jumlah Se organik juga lebih banyak pada pemberian selenat daripada pemberian
selenit. Hal ini dapat disebabkan karena selenit lebih sedikit tersedia di alam dibanding selenat
dan lebih kuat diserap oleh besi oksida atau hidroksida, sedangkan selenat lebih larut dalam air.
Selain itu, pengambilan selenat dalam tanah mengikuti jalur transporter sulfur, sedangkan
selenit tidak tergantung pada proses metabolisme (Lavu et al., 2012).
Selain empat spesies organik yang umum terdapat pada sayuran, masih terdapat spesies
Selenium lain yang tidak teridentifikasi pada saat spesiasi. Seperti pada spesiasi brokoli oleh
Šindelářová, et al. (2015), hasil spesiasi menggunakan ICP-MS menunjukkan adanya 17 spesies
yang berbeda, tetapi hanya 4 spesies yang teridentifikasi. Hal ini disebabkan karena tidak
adanya standar dari spesies kimia tersebut. Maka, pada pengujian bawang putih yang dilakukan
158 | Alya. L.H., dkk /Jurnal Ilmiah Farmasi 16 (2) Agustus-Desember 2020, 155-166
oleh Ruszczyńska, et al.(2017), digunakan HPLC-ESI-Orbitrap-MS/MS untuk mengetahui spesies
Selenium yang tidak teridentifikasi. Dari hasil pengujian tersebut didapatkan spesies Selenium
lainnya, yaitu selenohomolanthionine, selenomethionine oxide, deaminohydroxy-
selenohomolanthionine, N-acetylcysteine-selenomethionine, methylseleno-Se-pentose-hexose, dan
Se-methyl-selenoglutathione.
Tabel 1. Spesies Selenium pada sayuran
Nama tanamanSpesies Selenium
PustakaSe(IV) Se(VI) SeMet SeCys2 Se-MeSeCys
γ-Glu-Se-MeSeCys
Brokoli(Brassica oleraceaconvar. italica)
- + + + + - (Sindelarova etal., 2015)
Pakchoi(Brassica chinensisvar parachinensis)
- + + - + - (Thosaikham etal., 2014)
Kubis (Brassicaoleracea) + + + + - - (Funes-Collado
et al., 2015)
Selada(Lactuca sativa L.) + + + + - -
(do Nascimentoda Silva et al.,2017)
Bawang putih(Allium sativum L.) + - + - + + (Ruszczyńska et
al., 2017)Bawang merah(Allium cepa) + + + + + + (Kápolna et al.,
2012)Bawang perai(Alliumampeloprasum)
+ + + + + + (Lavu et al.,2012)
Kentang(Solanumtuberosum L.)
+ + + + + - (H. Zhang et al.,2019)
Wortel(Daucus carota) + + + + + +
(Bañuelos et al.,2016; Kápolnaet al., 2012)
Jagung(Zea mays L.) - - + + + - (Z. Zhang et al.,
2019)Keterangan:(+) mengandung spesies Selenium; (-) tidak mengandung spesies SeleniumSingkatan:Se(IV) = selenite; Se(VI) = selenate; SeMet = selenomethionine; SeCys2 = selenocystine; Se-MeSeCys = Se-methylselenocysteine; γ-Glu-Se-MeSeCys = γ-Glutamyl-Se-methyl-selenocysteine
Dari berbagai jenis sayuran yang diteliti, sayuran dari genus Brassica dan Allium
memiliki kemampuan yang baik dalam akumulasi Se karena tumbuhan ini mengandung lebih
banyak fraksi asam amino yang mengandung sulfur serta mengandung senyawa sulfur lainnya
seperti glikosinolat atau sulfoksida. Brokoli dan bawang putih juga dapat mengakumulasi Se
tanpa menimbulkan perubahan pada pertumbuhan tanaman serta tidak mengubah jumlah dari
cysteine, glutathione, total glukosinolat serta senyawa lain. Hal ini menunjukkan kedua sayuran
ini memiliki kemampuan yang lebih besar untuk digunakan dalam biofortifikasi Se (Hsu et al.,
2011; Pérez et al., 2019).
159 | Alya. L.H., dkk /Jurnal Ilmiah Farmasi 16 (2) Agustus-Desember 2020, 155-166
3.2 Manfaat spesies Selenium yang terkandung dalam sayuran
Biofortifikasi Se pada sayuran dapat digunakan sebagai alternatif suplementasi Se
(Amato et al., 2017). Selain itu, didapatkan juga manfaat lain seperti pada penelitian yang
dilakukan Põldma, penambahan Selenium sebanyak 10-50 g Se/mL dapat meningkatkan
kapasitas antioksidan pada bawang putih (Poldma et al., 2011). Hal tersebut juga terjadi pada
bawang merah (Põldma et al., 2013). Bawang putih yang diperkaya Selenium juga terbukti dapat
memberi efek penghambatan sel kanker payudara yang lebih besar dari pada bawang putih
alami (Tsubura et al., 2011). Pada penelitian juga dibuktikan bahwa mengonsumsi brokoli yang
diperkaya oleh Se dapat meningkatkan respon imun terhadap berbagai tantangan sistem imun
(Bentley-Hewitt et al., 2014). Terdapat juga penelitian yang menunjukkan bahwa makanan yang
diperkaya Selenium dapat meningkatkan aktivitas glutathione proxidase (GPx), salah satu enzim
antioksidan, yang lebih baik dibandingkan dengan bentuk Selenium lain (Bermingham et al.,
2014).
Tabel 2.Manfaat spesies Selenium
Spesies Selenium Kegunaan Mekanisme PustakaSelenit Antikanker
prostatPemberian kombinasi dengan docetaxelmemberikan efek sinergis terhadappenghambatan pertumbuhan sel dan secarasignifikan menginduksi kematian sel
(Freitas et al.,2011)
Antikanker paru-paru
Menginduksi apoptosis dan autofagi yangdimediasi oleh generasi ROS
(Park et al.,2012)
Antikankertulang
Menginduksi apoptosis sel yang dimediasioleh generasi ROS
(Chen et al.,2012)
Antikankermulut
Menghambat pertumbuhan sel danmenginduksi apoptosis sel
(Endo et al.,2017)
Selenat Antikankerprostat
Menghambat perkembangan tumor padamencit dewasa
(Holmstrom etal., 2012)
Antikanker paru-paru
Chitosan selenat (CS) menginduksiapoptosis sel melalui jalur Fas/FasL
(Gao et al.,2020)
Proteksiterhadap efekteratogenik
Melindungi janin beserta plasentanya dariefek teratogenik cisplatin (Hassan et al.,
2016)
Anti-epilepsi Mengurangi fosforilasi protein tau sehinggadapat mengurangi durasi kejang
(Jones et al.,2012)
Selenomethionine(SeMet)
Antikankerpayudara
Pembentukan kompleks dengan platinummenghasilkan aktivitas antikanker yanglebih tinggi dan efek samping yang lebihkecil dibandingkan cisplatin dengan caramengonsumsi glutathione (GSH) sehinggakonsentrasi ROS meningkat danmenghasilkan apoptosis sel
(Li et al., 2018)
Pencegahankankerkolorektal
Mencegah kanker kolorektal denganmemodulasi ekspresi 30 protein yangmemiliki fungsi utama pada inflamasikronik, stres oksidatif dan apoptosis
(Rahman & Seo,2013)
Pencegahankanker kulit
Mencegah kanker kulit yang diinduksi UV-Bdengan pemberian topikal sebelum, selama,dan setelah paparan radiasi
(Burke et al.,2014)
Autoimun Meningkatkan efek vitamin D pada tiroid (Krysiak et al.,
160 | Alya. L.H., dkk /Jurnal Ilmiah Farmasi 16 (2) Agustus-Desember 2020, 155-166
Spesies Selenium Kegunaan Mekanisme Pustakatiroiditis(Hashimoto’sthyroiditis)
autoimun 2019)
Anti alzheimer’sdisease (AD)
Menurunkan deposisi β-amyloid danhiperfosforilasi protein tau
(Song et al.,2014; Zhang etal., 2016)
Selenocystine(SeCys2)
Antikankerpayudara
Menghambat proliferasi sel Triple-negativebreast cancer (TNBC) melalui apoptosis seldan S-phase arrestMeningkatkan apoptosis yang diinduksiauranofin dengan cara menghambat TrxR
(Liu et al., 2013;Long et al.,2015)
Antikanker paru-paru
Meningkatkan apoptosis yang diinduksiauranofin dengan cara menghambat TrxR1
(Fan et al.,2014a)
Antikankerkarsinoma hati
Meningkatkan apoptosis yang diinduksidoxorubisin dengan menghasilkan produksiberlebih ROS
(Fan et al.,2014b)
Antikankerchoriocarcinoma
Menyebabkan apoptosis melaluipembentukan ROS serta anion superoksidayang diikuti dengan kerusakan DNA
(Zhao et al.,2018)
Hepatoprotektor Menghasilkan aktivitas antioksidatif,immunomodulator dan anti-inflamasi
(Uzma et al.,2011)
Se-methylselenocysteine (Se-MeSeCys)
Anti-inflamasi Menurunkan regulasi dari aktivasi NF- Bdan ekspresi iNOS
(Pan et al.,2011)
Meningkatkanefek antitumor
Pemberian bersamaan dengan agenkemoterapi dapat meningkatkan aktivitasantitumor dari agen kemoterapi secarasignifikan
(Cao et al.,2014)
Proteksiterhadaptoksisitas dariagen kemoterapi
Mencegah diare, stomatitis, kerontokanrambut, serta efek toksik pada kandungkemih, ginjal, dan sumsum tulang padahewan yang diberi agen kemoterapi
(Cao et al.,2014)
Mempercepatpenyembuhanluka
Menstimulasi migrasi keratinosit danmelindungi sel dari stres oksidatif yangberlebihan dengan merangsang responantioksidan
(Kim et al.,2020)
Pengujian spesies Selenium baik secara in vitro maupun in vivo pada hewan uji juga
menunjukkan adanya berbagai macam aktivitas biologis seperti yang terdapat pada Tabel 2.
Banyak penelitian menunjukkan bahwa spesies Selenium memiliki aktivitas antikanker.
Aktivitas antikanker ini kebanyakan dipengaruhi oleh produksi reactive oxygen species (ROS).
ROS secara dinamis dapat mempengaruhi lingkungan mikro dari sel tumor dan diketahui dapat
memicu angiogenesis kanker, metastasis, dan kelangsungan hidup sel pada konsentrasi yang
berbeda. Pada konsentrasi sedang, ROS mengaktifkan kaskade pensinyalan kelangsungan hidup
sel kanker. Pada konsentrasi tinggi, ROS dapat menyebabkan apoptosis sel kanker (Aggarwal et
al., 2019). Spesies Selenium dapat meningkatkan produksi ROS sehingga menyebabkan
apoptosis sel. Spesies Selenium yang dikombinasikan dengan obat antikanker juga memiliki efek
sinergis, sehingga aktivitas antikanker dapat meningkat. Seperti pada penelitian SeCys2 yang
dilakukan terhadap sel kanker payudara dan paru-paru, menujukkan bahwa SeCys2 dapat
mensinergikan apoptosis yang diinduksi oleh auranofin dengan menghambat aktivitas
161 | Alya. L.H., dkk /Jurnal Ilmiah Farmasi 16 (2) Agustus-Desember 2020, 155-166
thioredoxin reductase (TrxR), sehingga meningkatkan akumulasi ROS yang menyebabkan
kerusakan DNA dan inaktivasi ERK dan AKT (Fan et al., 2014a; Liu et al., 2013). Namun, pada
hasil pengujian secara klinik spesies Selenium terhadap kanker prostat dan paru-paru
menunjukkan hasil bahwa pemberian Selenium tidak memiliki perbedaan dengan pemberian
plasebo (Algotar et al., 2013; Karp et al., 2013).
Selain sebagai antikanker, spesies Selenium organik juga memiliki berbagai manfaat lain.
Seperti pada pengujian selenat dan SeMet yang menunjukkan bahwa keduanya dapat
menurunkan fosforilasi protein tau sehingga dapat digunakan sebagai anti-epilepsi untuk
selenat dan anti alzheimer’s disease (AD) untuk SeMet (Jones et al., 2012; Song et al., 2014). Pada
pemberian SeCys2 sebelum menginduksi kerusakan hati dengan CCl4 pada hewan uji,
menunjukkan hasil secara signifikan bahwa SeCys2 dapat mencegah pembentukan ROS,
malondialdehyde (MDA), penipisan glutathione, dan perubahan aktivitas enzim antioksidan,
sehingga menunjukkan adanya efek hepatoprotektif (Uzma et al., 2011). Pada pemberian Se-
MeSeCys secara oral pada hewan yang diberi agen kemoterapi, spesies ini dapat memberikan
perlindungan selektif terhadap toksisitas spesifik organ yang diinduksi oleh agen kemoterapi
dan meningkatkan aktivitas antitumor, sehingga meningkatkan indeks terapeutik (Cao et al.,
2014). Pada penelitian lain juga didapatkan bahwa Se-MeSeCys dapat menghambat produksi NO
yang diinduksi lipopolisakarida dengan penurunan ekspresi gen dan kadar protein inducible
nitric oxide synthase (iNOS) serta mengurangi translokasi subunit p65 dan p50 dari nuclear
factor-B (NF-B) sehingga menunjukkan adanya aktivitas anti-inflamasi (Pan et al., 2011).
3.3 Toksisitas spesies Selenium pada sayuran
Pada penelitian yang dilakukan oleh MacFarquhar, et al. (2010), kasus toksisitas
Selenium karena asupan suplemen Selenium yang berlebihan selama dua minggu dapat
menimbulkan beberapa gejala seperti diare, kelelahan, rambut rontok, nyeri sendi, perubahan
warna kuku atau kerapuhan, dan mual (MacFarquhar et al., 2010). Toksisitas kronis Selenium
dapat menyebabkan kondisi yang disebut selenosis, yang ditandai dengan kerontokan dan
kerapuhan dari rambut dan kuku, masalah pencernaan, ruam kulit, bau bawang putih pada
napas, dan kelainan sistem saraf. Di Cina dilaporkan bahwa selenosis terjadi pada orang yang
mengkonsumsi Selenium diatas 910 μg/hari. Maka dari itu Institute of Medicine (2000)
menetapkan bahwa level tertinggi asupan Se yang kemungkinan tidak menimbulkan efek resiko
bagi kesehatan adalah pada 400 μg Se/hari, dihitung dari 800 μg dibagi dengan uncertainty
factor (UF) yang memiliki nilai dua untuk melindungi individu yang sensitif.
Toksisitas pada sayuran yang diperkaya Se dapat dilihat dari hasil perhitungan
kandungan Se di dalamnya. Seperti pada brokoli yang diperkaya Se yang memiliki jumlah Se
maksimum sekitar 1,01 mg/kg, tidak akan menimbulkan resiko toksisitas dengan dasar
perhitungan bahwa pada 1 kg brokoli mengandung rata-rata 18% jumlah kering, sehingga 1 kg
162 | Alya. L.H., dkk /Jurnal Ilmiah Farmasi 16 (2) Agustus-Desember 2020, 155-166
brokoli mengandung 180 μg Se. Jumlah ini aman untuk dikonsumsi dan dapat digunakan untuk
alternatif suplementasi Se (Sindelarova et al., 2015). Pada perhitungan kandungan Se pada
kentang dengan konsumsi per hari per orang adalah 0,3 kg, maka jumlah Se pada kentang
dengan biofortifikasi menggunakan selenit adalah sebesar 78,8 μg/hari. Jumlah ini dapat
dikatakan aman untuk dikonsumsi dan dapat juga dikonsumsi bersamaan dengan asupan Se dari
makanan lain (H. Zhang et al., 2019).
Toksisitas Selenium juga tergantung pada jenis spesies kimianya. Unsur Selenium dan
logam selenida memiliki toksisitas yang relatif lebih sedikit karena bioavailabilitas yang lebih
rendah. Sedangkan, spesies organik dan anorganik yang banyak digunakan sebagai sumber
nutrisi dapat menyebabkan efek toksik pada jumlah yang besar. SeMet memiliki toksisitas yang
lebih kecil dibandingkan spesies Selenium anorganik (Yang & Jia, 2014). Se-MeSeCys juga
dilaporkan memiliki toksisitas yang lebih kecil dan lebih bioaktif daripada Selenium anorganik
dan Selenium organik lainnya (Hoefig et al., 2011).
Pada penelitian yang dilakukan terhadap zebrafish (Danio rerio) yang ditujukan untuk
melihat efek terhadap perkembangan embrio, menunjukkan pemberian selenit dengan
konsentrasi tinggi ( 10 μM) dapat menyebabkan perkembangan embrio yang tertunda,
penurunan tingkat penetasan, mortilitas, dan malformasi. Selain itu, paparan selenit juga
menyebabkan kerusakan kardiovaskular dan saraf pada embrio. Suplementasi asam folat dapat
melindungi dari embriotoksisitas ini (Ma et al., 2012). Pada pengujian toksikokinetik dosis oral
dari spesies Selenium menunjukkan bahwa MeSeCys lebih cepat diserap daripada SeMet pada
dosis yang sama, sedangkan natrium selenat diserap pada tingkat yang sama dengan SeMet dan
diserap lebih baik daripada natrium selenit dalam serum dan darah. Urutan AUC atau
bioavailabilitas pada darah dan serum adalah selenit < SeMet < selenat < MeSeCys (Davis et al.,
2013; Davis et al., 2017).
4. Kesimpulan
Spesies organik Selenium yang paling banyak terdapat pada sayuran adalah
selenomethionine (SeMet), selenocystine (SeCys2), Se-methylselenocysteine (Se-MeSeCys), serta γ-
Glutamyl-Se-methyl-selenocysteine. Jumlahnya berbeda tergantung dari spesies tanamannya.
Jumlah spesies Selenium anorganik (selenit dan selenat) dipengaruhi oleh jenis Selenium yang
ditambahkan sebelum dilakukan spesiasi. Selain spesies tersebut, masih terdapat spesies
Selenium lain yang belum diketahui karena tidak tersedianya standar, namun sudah terdapat
penelitian yang menggunakan tandem MS untuk mendeteksi spesies yang tidak diketahui. Baik
sayuran yang diperkaya Selenium maupun spesies yang terkandung di dalamnya memiliki
berbagai manfaat seperti aktivitas antikanker, anti alzheimer’s disease (AD), hepatoprotektor,
anti-inflamasi, dan manfaat lainnya. Namun, konsumsi yang berlebih juga dapat menyebabkan
163 | Alya. L.H., dkk /Jurnal Ilmiah Farmasi 16 (2) Agustus-Desember 2020, 155-166
efek toksik bagi tubuh. Level tertinggi asupan Se yang kemungkinan tidak menimbulkan efek
resiko bagi kesehatan adalah 400 μg Se/hari.
Ucapan terimakasih
Terimakasih kepada KEMENRISTEK DIKTI atas hibah yang telah diberikan dengan nomor grant
1123ah/UN6.O/LT/2019 untuk penulisan review artikel ini.
Daftar pustaka
Aggarwal, V., Tuli, H. S., Varol, A., Thakral, F., Yerer, M. B., Sak, K., Varol, M., Jain, A., Khan, M. A., & Sethi, G.(2019). Role of reactive oxygen species in cancer progression: molecular mechanisms and recentadvancements. Biomolecules, 9(11), 735. doi:10.3390/biom9110735
Algotar, A. M., Stratton, M. S., Ahmann, F. R., Ranger-Moore, J., Nagle, R. B., Thompson, P. A., Slate, E., Hsu, C.H., Dalkin, B. L., Sindhwani, P., Holmes, M. A., Tuckey, J. A., Graham, D. L., Parnes, H. L., Clark, L. C., &Stratton, S. P. (2013). Phase 3 clinical trial investigating the effect of Selenium supplementation in menat high-risk for prostate cancer. The Prostate, 73(3), 328-335. doi:10.1002/pros.22573
Amato, R., Lim, P., Miotto, O., Amaratunga, C., Dek, D., Pearson, R. D., Almagro-Garcia, J., Neal, A. T., Sreng, S.,Suon, S., Drury, E., Jyothi, D., Stalker, J., Kwiatkowski, D. P., & Fairhurst, R. M. (2017). Genetic markersassociated with dihydroartemisinin-piperaquine failure in Plasmodium falciparum malaria inCambodia: a genotype-phenotype association study. Lancet Infect Dis, 17(2), 164-173.doi:10.1016/S1473-3099(16)30409-1
Anonim. (2000). Dietary reference intakes for vitamin C, vitamin E, Selenium, and carotenoids. Washington(DC): Institute of Medicine (US) Panel on Dietary Antioxidants and Related Compounds, NationalAcademies Press (US).
Bañuelos, G. S., Arroyo, I. S., Dangi, S. R., & Zambrano, M. C. (2016). Continued Selenium biofortification ofcarrots and broccoli grown in soils once amended with Se-enriched S. pinnata. Front Plant Sci, 7, 1251.doi:10.3389/fpls.2016.01251
Benstoem, C., Goetzenich, A., Kraemer, S., Borosch, S., Manzanares, W., Hardy, G., & Stoppe, C. (2015).Selenium and its supplementation in cardiovascular disease--what do we know? Nutrients, 7(5), 3094-3118. doi:10.3390/nu7053094
Bentley-Hewitt, K., Chen, R., Lill, R., Hedderley, D., Herath, T., Matich, A., & McKenzie, M. (2014).Consumption of Selenium-enriched broccoli increases cytokine production in human peripheral bloodmononuclear cells stimulated ex vivo, a preliminary human intervention study. Molecular Nutrition &Food Research, 58. doi:10.1002/mnfr.201400438
Bermingham, E. N., Hesketh, J. E., Sinclair, B. R., Koolaard, J. P., & Roy, N. C. (2014). Selenium-enrichedfoods are more effective at increasing glutathione peroxidase (GPx) activity compared withselenomethionine: a meta-analysis. Nutrients, 6(10), 4002-4031. doi:10.3390/nu6104002
Burke, K. E., Zhou, X., Wang, Y., Commisso, J., Keen, C. L., Nakamura, R. M., Combs, G. F., Jr., & Wei, H. (2014).The effects of topical L-selenomethionine on protection against UVB-induced skin cancer when givenbefore, during, and after UVB exposure. J Drugs Dermatol, 13(10), 1214-1223.
Cao, S., Durrani, F. A., Tóth, K., & Rustum, Y. M. (2014). Se-methylselenocysteine offers selective protectionagainst toxicity and potentiates the antitumour activity of anticancer drugs in preclinical animalmodels. Br J Cancer, 110(7), 1733-1743. doi:10.1038/bjc.2014.85
Chen, X. J., Duan, F. D., Zhang, H. H., Xiong, Y., & Wang, J. (2012). Sodium selenite-induced apoptosismediated by ROS attack in human osteosarcoma U2OS cells. Biol Trace Elem Res, 145(1), 1-9.doi:10.1007/s12011-011-9154-2
D'Amato, R., Regni, L., Falcinelli, B., Mattioli, S., Benincasa, P., Dal Bosco, A., Pacheco, P., Proietti, P., Troni, E.,Santi, C., & Businelli, D. (2020). Current knowledge on Selenium biofortification to improve thenutraceutical profile of food: a comprehensive review. J Agric Food Chem, 68(14), 4075-4097.doi:10.1021/acs.jafc.0c00172
Davis, T. Z., Stegelmeier, B. L., Welch, K. D., Pfister, J. A., Panter, K. E., & Hall, J. O. (2013). Comparative oraldose toxicokinetics of Selenium compounds commonly found in Selenium accumulator plants. J AnimSci, 91(9), 4501-4509. doi:10.2527/jas.2012-6101
164 | Alya. L.H., dkk /Jurnal Ilmiah Farmasi 16 (2) Agustus-Desember 2020, 155-166
Davis, T. Z., Tiwary, A. K., Stegelmeier, B. L., Pfister, J. A., Panter, K. E., & Hall, J. O. (2017). Comparative oraldose toxicokinetics of sodium selenite and selenomethionine. J Appl Toxicol, 37(2), 231-238.doi:10.1002/jat.3350
do Nascimento da Silva, E., Aureli, F., D'Amato, M., Raggi, A., Cadore, S., & Cubadda, F. (2017). Seleniumbioaccessibility and speciation in Selenium-enriched lettuce: investigation of the Selenocompoundsliberated after in vitro simulated human digestion using two-dimensional HPLC-ICP-MS. J Agric FoodChem, 65(14), 3031-3038. doi:10.1021/acs.jafc.7b01188
El-Ramady, H., Abdalla, N., Fári, M., & domokos-szabolcsy, E. (2014). Selenium enriched vegetables asbiofortification alternative for alleviating micronutrient malnutrition. International Journal ofHorticultural Science, 20, 75 – 81. doi:10.31421/IJHS/20/1-2/1121
Endo, M., Hasegawa, H., Kaneko, T., Kanno, C., Monma, T., Kano, M., Shinohara, F., & Takahashi, T. (2017).Antitumor activity of Selenium compounds and its underlying mechanism in human oral squamous cellcarcinoma cells: a preliminary study. Journal of Oral and Maxillofacial Surgery, Medicine, and Pathology,29(1), 17-23. doi:https://doi.org/10.1016/j.ajoms.2016.08.006
Fan, C., Zheng, W., Fu, X., Li, X., Wong, Y. S., & Chen, T. (2014a). Enhancement of auranofin-induced lungcancer cell apoptosis by selenocystine, a natural inhibitor of TrxR1 in vitro and in vivo. Cell death &disease, 5(4), e1191-e1191. doi:10.1038/cddis.2014.132
Fan, C., Zheng, W., Fu, X., Li, X., Wong, Y. S., & Chen, T. (2014b). Strategy to enhance the therapeutic effect ofdoxorubicin in human hepatocellular carcinoma by selenocystine, a synergistic agent that regulates theROS-mediated signaling. Oncotarget, 5(9), 2853-2863. doi:10.18632/oncotarget.1854
Freitas, M., Alves, V., Sarmento-Ribeiro, A., & Mota Pinto, A. (2011). Combined effect of sodium selenite anddocetaxel on PC3 metastatic prostate cancer cell line. Biochemical and biophysical researchcommunications, 408, 713-719. doi:10.1016/j.bbrc.2011.04.109
Funes-Collado, V., Rubio, R., & López-Sánchez, J. F. (2015). Does boiling affect the bioaccessibility ofSelenium from cabbage? Food Chemistry, 181, 304-309.doi:https://doi.org/10.1016/j.foodchem.2015.02.052
Gao, J., Zhao, Y., Wang, C., Ji, H., Yu, J., Liu, C., & Liu, A. (2020). A novel synthetic chitosan selenate (CS)induces apoptosis in A549 lung cancer cells via the Fas/FasL pathway. International Journal ofBiological Macromolecules, 158, 689-697. doi:https://doi.org/10.1016/j.ijbiomac.2020.05.016
Hassan, M., Morgan, A., Mekawy, M., Zaki, A., & Ghazi, Z. (2016). Teratogenic effect of cisplatin in rats andthe protective role of sodium selenate. Experimental and Toxicologic Pathology, 68.doi:10.1016/j.etp.2016.02.003
Hoefig, C. S., Renko, K., Köhrle, J., Birringer, M., & Schomburg, L. (2011). Comparison of differentselenocompounds with respect to nutritional value vs. toxicity using liver cells in culture. J NutrBiochem, 22(10), 945-955. doi:10.1016/j.jnutbio.2010.08.006
Holmstrom, A., Wu, R. T. Y., Zeng, H., Lei, K. Y., & Cheng, W.-H. (2012). Nutritional and supranutritionallevels of selenate differentially suppress prostate tumor growth in adult but not young nude mice. TheJournal of Nutritional Biochemistry, 23(9), 1086-1091.doi:https://doi.org/10.1016/j.jnutbio.2011.06.001
Hsu, F. C., Wirtz, M., Heppel, S. C., Bogs, J., Krämer, U., Khan, M. S., Bub, A., Hell, R., & Rausch, T. (2011).Generation of Se-fortified broccoli as functional food: impact of Se fertilization on S metabolism. PlantCell Environ, 34(2), 192-207. doi:10.1111/j.1365-3040.2010.02235.x
Jones, N. C., Nguyen, T., Corcoran, N. M., Velakoulis, D., Chen, T., Grundy, R., O'Brien, T. J., & Hovens, C. M.(2012). Targeting hyperphosphorylated tau with sodium selenate suppresses seizures in rodentmodels. Neurobiol Dis, 45(3), 897-901. doi:10.1016/j.nbd.2011.12.005
Kápolna, E., Laursen, K. H., Husted, S., & Larsen, E. H. (2012). Bio-fortification and isotopic labelling of Semetabolites in onions and carrots following foliar application of Se and 77Se. Food Chemistry, 133(3),650-657. doi:https://doi.org/10.1016/j.foodchem.2012.01.043
Karp, D. D., Lee, S. J., Keller, S. M., Wright, G. S., Aisner, S., Belinsky, S. A., Johnson, D. H., Johnston, M. R.,Goodman, G., Clamon, G., Okawara, G., Marks, R., Frechette, E., McCaskill-Stevens, W., Lippman, S. M.,Ruckdeschel, J., & Khuri, F. R. (2013). Randomized, double-blind, placebo-controlled, phase IIIchemoprevention trial of Selenium supplementation in patients with resected stage I non-small-celllung cancer: ECOG 5597. J Clin Oncol, 31(33), 4179-4187. doi:10.1200/jco.2013.49.2173
Kielczykowska, M., Kocot, J., Pazdzior, M., & Musik, I. (2018). Selenium - a fascinating antioxidant ofprotective properties. Adv Clin Exp Med, 27(2), 245-255. doi:10.17219/acem/67222
Kim, D., Ku, B., & Choi, E. M. (2020). Se-methylselenocysteine stimulates migration and antioxidantresponse in HaCaT keratinocytes: Implications for wound healing. J Trace Elem Med Biol, 58, 126426.doi:10.1016/j.jtemb.2019.126426
165 | Alya. L.H., dkk /Jurnal Ilmiah Farmasi 16 (2) Agustus-Desember 2020, 155-166
Krysiak, R., Kowalcze, K., & Okopien, B. (2019). Selenomethionine potentiates the impact of vitamin D onthyroid autoimmunity in euthyroid women with Hashimoto's thyroiditis and low vitamin D status.Pharmacol Rep, 71(2), 367-373. doi:10.1016/j.pharep.2018.12.006
Lavu, R. V., Du Laing, G., Van de Wiele, T., Pratti, V. L., Willekens, K., Vandecasteele, B., & Tack, F. (2012).Fertilizing soil with Selenium fertilizers: impact on concentration, speciation, and bioaccessibility ofSelenium in leek (Allium ampeloprasum). J Agric Food Chem, 60(44), 10930-10935.doi:10.1021/jf302931z
Li, T., Xiang, W., Li, F., & Xu, H. (2018). Self-assembly regulated anticancer activity of platinum coordinatedselenomethionine. Biomaterials, 157, 17-25. doi:10.1016/j.biomaterials.2017.12.001
Liu, C., Liu, Z., Li, M., Li, X., Wong, Y. S., Ngai, S. M., Zheng, W., Zhang, Y., & Chen, T. (2013). Enhancement ofauranofin-induced apoptosis in MCF-7 human breast cells by selenocystine, a synergistic inhibitor ofthioredoxin reductase. PLoS One, 8(1), e53945. doi:10.1371/journal.pone.0053945
Long, M., Wu, J., Hao, J., Liu, W., Tang, Y., Li, X., Su, H., & Qiu, W. (2015). Selenocystine-induced cellapoptosis and S-phase arrest inhibit human triple-negative breast cancer cell proliferation. In Vitro CellDev Biol Anim, 51(10), 1077-1084. doi:10.1007/s11626-015-9937-4
Ma, Y., Wu, M., Li, D., Li, X. Q., Li, P., Zhao, J., Luo, M. N., Guo, C. L., Gao, X. B., Lu, C. L., & Ma, X. (2012).Embryonic developmental toxicity of selenite in zebrafish (Danio rerio) and prevention with folic acid.Food Chem Toxicol, 50(8), 2854-2863. doi:10.1016/j.fct.2012.04.037
MacFarquhar, J. K., Broussard, D. L., Melstrom, P., Hutchinson, R., Wolkin, A., Martin, C., Burk, R. F., Dunn, J.R., Green, A. L., Hammond, R., Schaffner, W., & Jones, T. F. (2010). Acute Selenium toxicity associatedwith a dietary supplement. Arch Intern Med, 170(3), 256-261. doi:10.1001/archinternmed.2009.495
Pan, M. H., Hong, H. M., Lin, C. L., Jhang, A. Z., Tsai, J. H., Badmaev, V., Nagabhushanam, K., Ho, C. T., & Chen,W. J. (2011). Se-methylselenocysteine inhibits lipopolysaccharide-induced NF-kappaB activation andiNOS induction in RAW 264.7 murine macrophages. Mol Nutr Food Res, 55(5), 723-732.doi:10.1002/mnfr.201000481
Park, S. H., Kim, J. H., Chi, G. Y., Kim, G. Y., Chang, Y. C., Moon, S. K., Nam, S. W., Kim, W. J., Yoo, Y. H., & Choi, Y.H. (2012). Induction of apoptosis and autophagy by sodium selenite in A549 human lung carcinomacells through generation of reactive oxygen species. Toxicol Lett, 212(3), 252-261.doi:10.1016/j.toxlet.2012.06.007
Pérez, B., Lipinski, V., Filippini, M., Chacón-Madrid, K., Arruda, M., & Wuilloud, R. (2019). Seleniumbiofortification on garlic growth and other nutrients accumulation. Horticultura Brasileira, 37, 294-301.doi:10.1590/s0102-053620190307
Põldma, P., Moor, U., Tõnutare, T., Herodes, K., & Rebane, R. (2013). Selenium treatment under fieldconditions affects mineral nutrition, yield and antioxidant properties of bulb onion (Allium cepa L.).Acta scientiarum Polonorum. Hortorum cultus = Ogrodnictwo, 12, 167-181.
Poldma, P., Tonutare, T., Viitak, A., Luik, A., & Moor, U. (2011). Effect of Selenium treatment on mineralnutrition, bulb size, and antioxidant properties of garlic (Allium sativum L.). J Agric Food Chem, 59(10),5498-5503. doi:10.1021/jf200226p
Rahman, M. M., & Seo, Y. R. (2013). Discovery of potential targets of selenomethionine-mediatedchemoprevention in colorectal carcinoma mouse model using proteomics analysis. Carcinogenesis,34(7), 1575-1584. doi:10.1093/carcin/bgt078
Ruszczyńska, A., Konopka, A., Kurek, E., Torres Elguera, J. C., & Bulska, E. (2017). Investigation ofbiotransformation of Selenium in plants using spectrometric methods. Spectrochimica Acta Part B:Atomic Spectroscopy, 130, 7-16. doi:https://doi.org/10.1016/j.sab.2017.02.004
Schiavon, M., & Pilon-Smits, E. A. (2017). Selenium biofortification and phytoremediationphytotechnologies: a review. J Environ Qual, 46(1), 10-19. doi:10.2134/jeq2016.09.0342
Sindelarova, K., Szakova, J., Tremlova, J., Mestek, O., Praus, L., Kana, A., Najmanova, J., & Tlustos, P. (2015).The response of broccoli (Brassica oleracea convar. italica) varieties on foliar application of Selenium:uptake, translocation, and speciation. Food Addit Contam Part A Chem Anal Control Expo Risk Assess,32(12), 2027-2038. doi:10.1080/19440049.2015.1099744
Song, G., Zhang, Z., Wen, L., Chen, C., Shi, Q., Zhang, Y., Ni, J., & Liu, Q. (2014). Selenomethionine amelioratescognitive decline, reduces tau hyperphosphorylation, and reverses synaptic deficit in the tripletransgenic mouse model of Alzheimer's disease. J Alzheimers Dis, 41(1), 85-99. doi:10.3233/JAD-131805
Stoffaneller, R., & Morse, N. L. (2015). A review of dietary Selenium intake and Selenium status in Europeand the Middle East. Nutrients, 7(3), 1494-1537. doi:10.3390/nu7031494
Thiry, C., Schneider, Y. J., Pussemier, L., De Temmerman, L., & Ruttens, A. (2013). Selenium bioaccessibilityand bioavailability in Se-enriched food supplements. Biol Trace Elem Res, 152(1), 152-160.doi:10.1007/s12011-013-9604-0
166 | Alya. L.H., dkk /Jurnal Ilmiah Farmasi 16 (2) Agustus-Desember 2020, 155-166
Thosaikham, W., Jitmanee, K., Sittipout, R., Maneetong, S., Chantiratikul, A., & Chantiratikul, P. (2014).Evaluation of Selenium species in Selenium-enriched pakchoi (Brassica chinensis Jusl varparachinensis (Bailey) Tsen & Lee) using mixed ion-pair reversed phase HPLC-ICP-MS. Food Chem, 145,736-742. doi:10.1016/j.foodchem.2013.08.116
Tsubura, A., Lai, Y. C., Kuwata, M., Uehara, N., & Yoshizawa, K. (2011). Anticancer effects of garlic andgarlic-derived compounds for breast cancer control. Anticancer Agents Med Chem, 11(3), 249-253.doi:10.2174/187152011795347441
Uzma, N., Kumar, B. S., & Priyadarsini, K. I. (2011). Hepatoprotective, immunomodulatory, and anti-inflammatory activities of selenocystine in experimental liver injury of rats. Biol Trace Elem Res, 142(3),723-734. doi:10.1007/s12011-010-8807-x
Weekley, C. M., & Harris, H. H. (2013). Which form is that? The importance of Selenium speciation andmetabolism in the prevention and treatment of disease. Chem Soc Rev, 42(23), 8870-8894.doi:10.1039/c3cs60272a
Yang, H., & Jia, X. (2014). Safety evaluation of Se-methylselenocysteine as nutritional Selenium supplement:acute toxicity, genotoxicity and subchronic toxicity. Regul Toxicol Pharmacol, 70(3), 720-727.doi:10.1016/j.yrtph.2014.10.014
Zhang, H., Zhao, Z., Zhang, X., Zhang, W., Huang, L., Zhang, Z., Yuan, L., & Liu, X. (2019). Effects of foliarapplication of selenate and selenite at different growth stages on Selenium accumulation andspeciation in potato (Solanum tuberosum L.). Food Chemistry, 286, 550-556.doi:https://doi.org/10.1016/j.foodchem.2019.01.185
Zhang, Z., Yuan, L., Qi, S., & Yin, X. (2019). The threshold effect between the soil bioavailable molar Se:Cdratio and the accumulation of Cd in corn (Zea mays L.) from natural Se-Cd rich soils. Science of TheTotal Environment, 688, 1228-1235. doi:https://doi.org/10.1016/j.scitotenv.2019.06.331
Zhang, Z. H., Chen, C., Wu, Q. Y., Zheng, R., Liu, Q., Ni, J. Z., Hoffmann, P. R., & Song, G. L. (2016).Selenomethionine reduces the deposition of beta-amyloid plaques by modulating beta-secretase andenhancing selenoenzymatic activity in a mouse model of Alzheimer's disease. Metallomics, 8(8), 782-789. doi:10.1039/c6mt00117c
Zhao, M., Hou, Y., Fu, X., Li, D., Sun, J., Fu, X., & Wei, Z. (2018). Selenocystine inhibits JEG-3 cell growth invitro and in vivo by triggering oxidative damage-mediated S-phase arrest and apoptosis. J Cancer ResTher, 14(7), 1540-1548. doi:10.4103/jcrt.JCRT_864_17
Jurnal ilmiah Farmasi 16(2) Agustus-Desember 2020, 167-181 ISSN: 1693-8666
available at http://journal.uii.ac.id/index.php/JIF
167
JPH203 as a potential L-Type Amino Acid Transporter 1 (LAT 1) inhibitor in the development of cancer theragnostic compounds
Potensi JPH203 sebagai inhibitor L-Type Amino Acid Transporter 1 (LAT1) dalam pengembangan senyawa teranostik kanker
Yolanda Pertiwi1, Driyanti Rahayu1, Maula Eka Sriyani2, Raden Bayu Indradi3, Holis Abdul Holik1*
1 Department of Pharmaceutical Analysis and Medical Chemistry, Faculty of Pharmacy, Universitas Padjadjaran 2 Center for Applied Nuclear Science and Technology (PSTNT) Batan, Bandung 3 Department of Pharmaceutical Biology, Faculty of Pharmacy, Universitas Padjadjaran * Corresponding author: [email protected]
Abstract Background: Cancer has become a major cause of global health problems. Latest research currently focuses on an approach to cancer therapy that involves specific target molecules and theragnostic (therapy and diagnostic) agents. Among the specific target molecules in cancer therapy is LAT1, which is over expressed in cancer cells but under expressed in normal cells. Therefore, LAT1 inhibition can become an alternative to cancer therapy. A number of studies have shown that JPH203 specifically inhibits LAT1, thus reducing amino acid absorption into cancer cells and inhibiting cancer cell growth. Objective: The main objective of this literature study was to determine the potential of JPH203 as a LAT1 inhibitor to be developed into a novel theragnostic agent for cancer. Methods: Various studies were summarized to outline the development of JPH203 as a therapy targeting LAT1 and potential candidate of theragnostic compounds. Results: The results of the literature study showed that JPH203 as a selective LAT1 inhibitor was able to efficiently suppress the growth of cancer cells with a low IC50 value. Conclusion: The activity of LAT1 as an amino acid transporter of cancer cells could be selectively inhibited by JPH203, thereby allowing JPH203 to be reconsidered as a potential therapy in the development of theragnostic compounds against cancer. Keywords: JPH203, theragnostic, LAT1 inhibitor
Intisari Latar belakang: Kanker telah menjadi penyebab masalah kesehatan utama di dunia. Saat ini penelitian terbaru berfokus pada pendekatan terapi kanker yang melibatkan molekul target yang spesifik dan menggunakan senyawa teranostik (terapi dan diagnostik). Salah satu molekul target spesifik dalam terapi kanker adalah LAT1 yang terekspresi berlebih pada sel kanker, namun sedikit pada sel normal. Oleh karena itu, inhibisi LAT1 dapat menjadi alternatif terapi kanker. Beberapa penelitian menunjukkan inhibitor yang secara spesifik menghambat LAT1 adalah JPH203, sehingga penyerapan asam amino ke dalam sel kanker dapat berkurang dan menghambat pertumbuhan sel kanker. Tujuan: Tujuan utama dari studi literatur ini adalah untuk mengetahui potensi JPH203 yang merupakan inhibitor LAT1 dalam perannya sebagai senyawa teranostik baru terhadap penyakit kanker. Metode: Berbagai penelitian dirangkum mengenai pengembangan JPH203 sebagai terapi pentarget-LAT1 dan potensinya sebagai kandidat senyawa teranostik. Hasil: Hasil studi literatur yang dilakukan menunjukkan bahwa JPH203 sebagai inhibitor selektif LAT1 mampu menekan pertumbuhan sel kanker secara efisien dengan didapatkan hasil IC50 yang rendah. Kesimpulan: Aktivitas LAT1 sebagai transporter asam amino sel kanker dapat dihambat secara selektif oleh JPH203, sehingga dapat dipertimbangkan kembali sebagai target terapi potensial yang dapat digunakan dalam pengembangan senyawa teranostik kanker. Kata kunci : JPH203, teranostik, inhibitor LAT1
168 | Yolanda, P., dkk/Jurnal ilmiah Farmasi 16(2) Agustus-Desember 2020, 167-181
1. Pendahuluan
Penyakit tidak menular (PTM), sekarang ini bertanggung jawab atas sebagian besar kematian
global dan kanker menempati peringkat atas sebagai penyebab utamanya. Kanker merupakan
penyakit penyebab kematian nomor satu pada populasi yang berusia di bawah 70 tahun hampir di
seluruh negara di dunia, dan menjadi salah satu penghalang untuk meningkatkan harapan hidup
manusia di setiap negara di dunia sejak abad ke-21 (Bray et al., 2018). Data Global Cancer Observatory
(GLOBOCAN) (Globocan, 2019) pada tahun 2018, menunjukkan terjadinya 18,1 juta kasus kanker di
seluruh dunia dan lebih dari setengah kasus mengalami kematian. Di Indonesia, prevalensi kanker
meningkat dari 1,4 per 100 penduduk pada tahun 2013 menjadi 1,79 per 1000 penduduk pada tahun
2018, dengan kasus terbaru yang paling banyak adalah kanker payudara dan kasus penyebab
kematian terbanyak adalah kanker paru (World Health Organization [WHO], 2019). Jumlah kasus
serta kematian yang tinggi pada penyakit kanker berhubungan dengan meningkatnya prevalensi
faktor risiko seperti kelebihan berat badan, merokok, pertumbuhan populasi yang tinggi serta seiring
dengan bertambahnya usia (Ke & Shen, 2017).
Saat ini, pengobatan kanker telah bergerak ke arah personalized medicine, dimana
dikembangkan berbagai obat pentarget baru secara klinis. Terdapat beberapa metode yang dapat
digunakan sebagai terapi kanker. Operasi, terapi dengan radiofarmaka serta kemoterapi menjadi
metode utama yang digunakan pada pengobatan kanker saat ini. Namun, hal ini belum sepenuhnya
membuat diagnosis serta pengobatan kanker memberikan efek farmakologis sesuai dengan yang
diharapkan (Vogenberg et al., 2010). Dalam aspek diagnosis, kanker hampir selalu terdeteksi saat sel
kanker sudah membentuk massa yang cukup besar, karena kurangnya kemampuan alat untuk
mendeteksi lokasi dan ukuran kanker secara tepat pada fase awal (Khadir & Tiss, 2013). Dalam aspek
terapi, belum ditemukan obat yang benar-benar selektif hanya membunuh sel kanker tanpa
membunuh sel normal di sekitarnya, seperti jaringan limfosit dan saluran cerna (Dermime, 2014).
Kesulitan dalam diagnosis serta terapi kanker disebabkan oleh heterogenitas sel kanker, yang dapat
terjadi karena pertumbuhan sel kanker sangat cepat, sehingga saat sel belum matang, sel telah
mengalami mitosis (pembelahan sel yang menghasilkan sel identik). Sebagai akibatnya,
perkembangan sel kanker akan semakin bervariasi dan menyimpang jauh dari sel asal (Peterson,
2010). Untuk meminimalisir terjadinya heterogenitas tersebut, maka dikembangkanlah pengobatan
kanker berdasarkan pada targeted therapy yang berperan untuk menghambat proliferasi sel kanker
dengan cara mengganggu molekul spesifiknya, terapi ini disebut juga sebagai molecular targeted
therapy. Terapi tersebut diharapkan memiliki efektivitas dan selektivitas yang tinggi terhadap sel
kanker, namun memiliki efek samping yang rendah (Verma, 2012).
Untuk mengefektifkan diagnosis serta terapi kanker, dibutuhkan molekul target yang tepat
(Tabel 1). Para peneliti di bidang onkologi telah memberikan atensi lebih kepada molekul target yang
saat ini menjadi topik hangat pada diagnosis dan terapi kanker, dikarenakan kemampuan uniknya
dalam ekspresi sel kanker. Molekul target ini adalah L-type amino acid transporter 1 atau biasa
disebut LAT1 (SLC7A5)(Bray et al., 2018; Choi et al., 2017).
Tabel 1. Terapi pentarget LAT1
Jenis Senyawa Mekanisme aksi
Inhibitor LAT1 non-selective
BCH Bersaing dengan penyerapan substrat LAT1 dengan berikatan pada LAT1 dan diangkut ke dalam sel
Inhibitor LAT1 selective
JPH203 Menghambat LAT1 secara spesifik sehingga proliferasi sel terganggu
mAb Against LAT1 Ab1 Berikatan dengan LAT1 sehingga mengganggu transport asam amino oleh LAT1
Sel kanker membutuhkan nutrisi dan asam amino dalam jumlah yang cukup besar agar dapat
tumbuh dengan cepat dan terus berproliferasi. Kebutuhan asam amino ini dipenuhi dengan
mengangkut asam amino serta nutrisi yang dibutuhkan ke dalam sel melalui transporter yang selektif
pada membran plasma, dalam hal ini yaitu LAT1 (Zhao et al., 2015; Maimaiti et al., 2020). LAT1
merupakan transporter asam amino yang mempunyai kemampuan dapat terekspresi tinggi dalam sel
kanker, namun terdistribusi sedikit pada sel normal (Kaira et al., 2019).
Sebelum mengobati sel kanker, diperlukan diagnosis yang tepat mengenai keberadaan sel
kanker dengan menggunaan pencitraan. Salah satu yang digunakan adalah dengan radiodiagnostik.
Beberapa komponen untuk melaksanakan radiodiagnostik meliputi: (1) radioisotop atau senyawa
penanda yang berfungsi sebagai senyawa penanda agar pencitraan sel kanker dapat terbaca oleh alat
pencitraan, Carbon-11 (11C) dan Fluoro-18 (18F) merupakan radioisotop yang umum digunakan
dalam radiodiagnostik kanker (Toyoda et al., 2014); (2) senyawa target yang dapat mengekspresikan
sel kanker, salah satu contohnya adalah LAT1 (Yun et al., 2014); (3) senyawa pentarget yang
berfungsi menuntun radioisotop agar sampai pada senyawa target yang diinginkan, diantaranya yaitu
BCH dan JPH203; dan (4) alat pencitraan untuk membaca hasil pencitraan yang dihasilkan, contohnya
yaitu positron emission tomography (PET) (Huang, 2019).
Salah satu terapi kanker yang umumnya digunakan di Indonesia adalah radiofarmaka.
Radiofarmaka merupakan sediaan farmasi yang umumnya diberikan melalui intravena dalam bentuk
senyawa kimia yang di dalamnya mengandung radioisotop. Pengobatan penyakit kanker
169 | Yolanda, P., dkk/Jurnal ilmiah Farmasi 16(2) Agustus-Desember 2020, 167-181
menggunakan radiofarmaka sudah dimulai sejak setengah abad yang lalu dan berkembang pesat
mulai tahun 1980-an (Chaturvedi & Mishra, 2016; Hayashi & Anzai, 2017). Radioisotop yang
digunakan dalam diagnosis disebut radiodiagnostik, sedangkan untuk penggunakan terapi disebut
radioterapi. Beberapa radiodiagnostik dan radioterapi yang digunakan adalah logam Carbon-11 (11C),
Fluoro-18 (18F), Zirconium-89 (89Zr), Gallium-68 (68Ga) dan Copper-64 (64Cu) (Glaudemans et al.,
2013; Ikotun et al., 2013; Tadashi Watabe et al., 2017).
Tabel 2. Level ekspresi LAT1 dalam berbagai penyakit kanker
Referensi Jenis kanker Level ekspresi
Uno et al., 2011 Kanker serviks Lebih tinggi pada karsinoma sel skuamosa invasif daripada pada neoplasia intraepitel serviks
Kaira et al., 2010 Kanker paru non-sel kecil (NSCLC)
Lebih tinggi pada pasien dengan kelenjar getah bening dari pada yang tidak
Yun et al., 2014 Kanker mulut Tinggi Oda et al., 2010 Kanker payudara Tinggi
Rosilio et al., 2015 Leukimia Tinggi Watabe et al., 2016 Glioma Lebih tinggi dalam sel glioma infiltrasi daripada dalam sel yang
terletak di pusat tumor Nobusawa et al.,
2013 Kanker tiroid Tinggi
Peningkatan ekspresi LAT1 (Tabel 2) merupakan salah satu cara sel kanker memenuhi
kebutuhan asam aminonya secara utuh. Semakin banyak asupan asam amino yang didapatkan oleh
sel kanker, semakin mudah juga sel kanker berkembang di dalam tubuh. Untuk mencegah hal
tersebut, diperlukan senyawa yang secara selektif menginhibisi pemberian asam amino oleh LAT1
kepada sel kanker (Rathore & Gupta, 2010). Beberapa studi klinis dan skrining secara biologis
menunjukkan salah satu senyawa yang dapat berikatan dan menginhibisi LAT1 secara selektif yaitu
JPH203 (Kaira et al., 2010; D. W. Yun et al., 2014).
JPH203 merupakan inhibitor selektif yang menjadikan LAT1 sebagai targetnya, yang artinya
senyawa ini mempunyai aktivitas yang dapat menghambat fungsi LAT1. JPH203 telah dikembangkan
untuk terapi antikanker yang dapat menghambat pengangkutan LAT1 sehingga penyerapan asam
amino ke dalam sel tumor dapat berkurang (Toyoshima et al., 2013). Pada artikel review ini
dirangkum berbagai penelitian mengenai pengembangan JPH203 sebagai terapi pentarget-LAT1 dan
potensinya sebagai kandidat senyawa teranostik.
2. Metodologi penelitian
Pada penulisan artikel review ini, metode yang digunakan adalah metode studi literatur.
Tahapan yang dilakukan, yaitu pengumpulan dan karakterisasi data yang diperoleh, analisis data,
interpretasi hasil, dan pengkajian penelitian lebih lanjut.
170 | Yolanda, P., dkk/Jurnal ilmiah Farmasi 16(2) Agustus-Desember 2020, 167-181
daridikumpulkanData website terverifiksudahyang sepertiasi
https://www.researchgate.net, http://www.ncbi.nlm.nih.gov/,https://www.sciencedirect.com,
https://www.pubchem.ncbi.nlm.nih.gov/, dan http://www.jpharma.com/ yang memuat berbagai
penelitian yang telah dipublikasikan pada jurnal internasional yang sudah terakreditasi mencakup
Journal of Pharmacological Sciences, Journal of Pharmaceutical Science, Placenta, dan Drug Metab.
Pharmacokinet. Kata kunci yang digunakan adalah JPH203; LAT1; Cancer; dan Methionine dengan
waktu pustaka 10 tahun terakhir dalam artikel Bahasa Inggris.
Data yang diperoleh mencakup data kuantitatif dan data kualitatif. Pengolahan data
kuantitatif dilakukan dengan mendeskripsikan variabel yang terdapat pada penelitian dari berbagai
macam sumber studi dan menarasikannya menjadi bentuk paragraf, sehingga data yang diperoleh
dapat dijelaskan. Untuk pengolahan data kualitatif dilakukan melalui proses pemilihan serta
simplifikasi data dengan penyajian dalam bentuk naratif deskriptif yang akan ditarik simpulannya
secara bertahap. Dari kedua data tersebut didapatkan interpretasi hasil yang dapat digunakan untuk
pertimbangan penelitian lebih lanjut.
3. Hasil dan pembahasan
Pada kelompok transporter asam amino tipe-L (LAT) terdapat 4 tipe pengangkut, yaitu LAT1,
LAT2, LAT3 dan LAT4. LAT memiliki fungsi sebagai rute penting untuk masuknya asam amino
esensial (AAE) ke dalam sel. Tetapi di antara ke empatnya, yang terekspresi secara berlebih pada sel
kanker adalah LAT1 (Wang & Holst, 2015). Ekspresi LAT1 yang meningkat disebabkan karena sel
kanker yang membutuhkan AAE secara masif (Salisbury & Arthur, 2018).
Studi dasar dan klinis membuktikan bahwa LAT1 merupakan molekul target yang valid untuk
senyawa teranostik kanker. LAT1 dapat mengangkut AAE netral (seperti leusin, phenylalanine, tirosin
dan triptopan) yang sebelumnya berada pada ekstraseluler ke intraseluler kanker dengan cara
bergantung pada ion Natrium (Na+) di dalam tubuh (Scalise et al., 2018). Selanjutnya LAT1 akan
berikatan dengan glikoprotein heavy chain 4F2 surface antigen (4F2hc, CD98, SLC3A2) dan akan
membentuk kompleks heterodimer. Pembentukan kompleks heterodimer ini bertujuan agar LAT1
dapat meng-import AAE netral dalam jumlah yang besar dan menukarnya dengan AAE intraselular
(misalnya, glutamin), sehingga LAT1 dapat mengekspresikan sel kanker (Okubo et al., 2010; Singh &
Ecker, 2018). LAT1 menunjukkan afinitas yang lebih tinggi pada AAE intraseluler dibandingkan AAE
ekstraseluler, dan mengindikasikan bahwa jumlah asam amino yang diberikan kepada sel kanker
bergantung pada konsentrasi substrat intraselulernya (Napolitano et al., 2015). Dalam hal ini, JPH203
menunjukkan inhibisi spesifiknya terhadap LAT1, karena hanya menginhibisi LAT1 tanpa
171 | Yolanda, P., dkk/Jurnal ilmiah Farmasi 16(2) Agustus-Desember 2020, 167-181
menginhibisi transporter lainnya, seperti LAT2. Sehingga JPH203 diharapkan dapat menjadi senyawa
yang potensial baik dalam diagnostik maupun terapi kanker (Toyoda et al., 2014).
LAT1 berperan sebagai pengangkut AAE ke dalam sel kanker, sehingga senyawa ini tidak
mempunyai kemampuan sebagai terapi pada sel kanker. Maka dilakukan pengembangan senyawa
yang diharapkan memiliki kemampuan terapi pada sel kanker dengan menginhibisi LAT1 (Ikotun et
al., 2013). Penghambatan LAT1 direpresentatifkan oleh senyawa 2-aminobicyclo-(2,2,1)-heptane-2-
carboxylic acid (BCH). Tetapi, BCH tidak memiliki selektivitas yang tinggi terhadap LAT1, karena BCH
juga dapat menghambat fungsi LAT2 yang terekspresi pada sel normal. Sehingga pada tahun 2010,
Oda et al., memperkenalkan analog tirosin baru dengan selektivitas tinggi terhadap LAT1, yaitu
JPH203 yang memiliki potensi aktivitas penghambatan secara selektif kepada LAT1 baik secara in
vitro maupun in vivo (Bodoy et al., 2005). Berdasarkan studi literatur, belum ditemukan rincian dari
interaksi antara JPH203 dengan sel kanker, namun studi Choi et al., pada tahun 2017 menunjukkan
bahwa JPH203 dapat menghambat pemberian AAE kepada sel kanker dengan menghambat aktivitas
LAT1.
Beberapa penelitian menunjukkan bahwa banyak tumor ganas yang mengekspresi LAT1
secara berlebihan diantaranya kasus kanker utama seperti glioma (T. Watabe et al., 2016), Kanker
payudara (Furuya et al., 2012), kanker pankreas (Kaira et al., 2010), kanker lidah (Toyoda et al., 2014)
kanker hipofaring (Toyoda et al., 2014), kanker hepatoseluler (Namikawa et al., 2015), kanker
ovarium (Zhao et al., 2015), karsinoma laring (Nikkuni et al., 2015) kanker esofagus (Honjo et al.,
2016). Selanjutnya, dilakukan studi literatur mengenai potensi JPH203 dalam menghambat LAT1
secara selektif dengan metode pengujian in vitro maupun in vivo (Tabel 3).
Dari berbagai penelitian tersebut, didapatkan hasil bahwa JPH203 menunjukkan aktivitasnya
sebagai senyawa inhibitor selektif LAT1 yang menjanjikan sebagai senyawa anti kanker baru dengan
metode pengujian baik secara in vitro maupun in vivo (Tabel 3). Pada beberapa hasil penelitian
mengenai penghambatan proliferasi sel kanker oleh JPH203, didapatkan hasil IC50 nya cukup rendah
jika dibandingkan dengan hasil IC50 pada senyawa BCH sebagai inhibitor LAT1 yang kurang spesifik.
JPH203 merupakan inhibitor selektif yang menjadikan LAT1 sebagai targetnya. Senyawa ini
menunjukkan inhibisi yang kuat pada leusin uptake dan pertumbuhan sel dengan masing-masing
nilai IC50 adalah 0,06 µM dan 4,1 µM di dalam sel kanker usus (HT-29), sel kanker mulut (YD-38) dan
sel leukemia (Ikotun et al., 2013; Yun et al., 2014).
172 | Yolanda, P., dkk/Jurnal ilmiah Farmasi 16(2) Agustus-Desember 2020, 167-181
Tabel 3. Potensi JPH203 senyawa teranostik beberapa penyakit kanker
Referensi Penyakit Metode
pengujian Cell line
IC50 JPH203 (μM)
IC50 BCH (μM) Mekanisme
Yun et al., 2014
Kanker mulut Uji in vitro YD-38 0,79±0,06 92,6±8,9 Induksi apoptosis sel YD-38 menggunakan JPH203 dengan menginduksi penipisan intraseluler AAE netral meningkat sebanyak 16,5%.
Muto et al., 2019
Kanker usus Uji in vitro HT-29 30,0±6,4 JPH203 mereduksi secara signifikan viabilitas pada kanker usus, dengan cell line Lovo yang paling tinggi efek reduksinya.
Lovo 2,3±0,3
Muto et al., 2019
Kanker lambung
Uji in vitro MKN1 41,7±2,3 efektifJPH203mereduksidalam
kankersellambung, terutama pada linecell MKN45.
MKN45 4,6±1,0
Choi et al., 2017
Osteosarkoma Uji in vitro Saos2 1,37±0,27 72,17±0,92 JPH203 menekan pertumbuhan dan proliferasi sel Saos2 lebih kuat dibandingkan sel FOB, serta meningkatkan apoptosis sel kanker.
FOB 92,12±10,71 167,37±21,86
Cormerais et al., 2019
Medulloblastoma (MB)
Uji in vitro HD-MB03
JPH203 menghambat homeostasis asam amino, migrasi dan proliferasi sel dengan toksisitas yang rendah.
DAOY
Häfliger et al., 2018
Kanker tiroid anaplastik
Uji in vivo 8505c 2,0 JPH203 menghambat proliferasi 5 dari 6 cell line pada kanker tiroid anaplastik.
SW1736 4,4 112
Hth104 1,3
Häfliger et al., 2018
Kanker tiroid papiler
Uji in vivo K1 16,9 JPH203 menurunkan rasio pertumbuhan sel kanker serta ukurannya.
KTC1 6,8
TPC1 2,0
173 | Yolanda, P., dkk/Jurnal ilmiah Farmasi 16(2) Agustus-Desember 2020, 167-181
Salah satunya, penelitian Yun et al., pada tahun 2014, dilakukan pemeriksaan efek pemberian
JPH203 dan BCH pada viabilitas sel YD-38 dan NHOKs. Pada sel YD-38 dan NHOKs ditambahkan
JPH203 pada berbagai konsentrasi dan waktu inkubasi dan kemudian dianalisis menggunakan uji
MTT dengan pereaksi MTT guna menguji aktivitas sitotoksik pada kedua sel tersebut. Saat sel di uji
coba dengan pemberian 0,01-30 mM JPH203 selama 1-4 hari (Tabel 4), dibandingkan aktivitas
penghambatan proliferasi sel kanker oleh BCH yang cukup rendah, JPH203 secara signifikan
menghambat proliferasi sel YD-38 sejak hari pertama sampai hari ke-empat. Sebaliknya, JPH203 dan
BCH hanya menghambat sedikit proliferasi NHOKs yang merupakan keratinosit oral normal, atau sel
normal pada rongga mulut manusia.
Tabel 4. Efek anti-proliferasi JPH203 terhadap sel YD-38 dan NHOKs (Yun et al., 2014).
Hari ke- JPH203 BCH
IC50 YD-38 (µM) IC50 NHOKs (µM) IC50 YD-38 (µM) IC50 NHOKs (µM) 1. 3,50 ± 0,42 >30 >30 >30 2. 0,69 ± 0,08 28,3 ± 5,9 13,1 ± 3,1 22,4 ± 5,4 3. 0,19 ± 0,02 15,8 ± 2,9 5,7 ± 0,9 11,9 ± 2,2 4. 0,069 ± 0,007 4,1 ± 0,7 1,8 ± 0,3 3,3 ± 0,5
Gambar 1. Struktur kimia JPH203 (Choi et al., 2017)
Sejalan dengan semakin meningkatnya kasus kanker di Indonesia maupun secara global,
diperlukan teknologi yang lebih canggih untuk mendeteksi serta mengobati kanker secara efektif dan
efisien sejak fase awal. Penggunaan PET dengan senyawa radiolabeling diharapkan memberikan
informasi mengenai keberadaan sel kanker di dalam tubuh secara cepat dan akurat, sehingga
penanganan kanker dapat dilakukan secara efektif dengan meminimalisir efek samping yang
ditimbulkan. Dari hasil studi literatur, didapatkan potensi radiofarmaka sebagai pentarget LAT1 yang
ditunjukan pada Tabel 5.
174 | Yolanda, P., dkk/Jurnal ilmiah Farmasi 16(2) Agustus-Desember 2020, 167-181
Tabel 5. Potensi senyawa radiofarmaka sebagai pentarget LAT1 menggunakan metode analisis in vivo dan in vitro
Referensi Senyawa penanda
Senyawa pentarget
Penyakit Cell line
SUV tumor (g/mL)
SUV lesi inflamasi
(g/mL) Hasil
Watabe et al., 2017
11C-Met BCH Tumor otak (glioma)
HEK293
3,4 ± 0,43 1,6 ± 0,11 Sensitivitas dan spesifisitas pencitraan pada tumor otak naik sebesar 83% dan 73,9%, berurutan.
18F-FDG Kanker dan lesi
inflamasi
7,2 ± 2,1 4,6 ± 0,63 FDG-PET terdeteksi cukup tinggi pada tumor dan lesi inflamasi, sehingga cukup suit untuk membedakan keduanya menggunakan 18F-FDG.
18F-FBPA Kanker Ginjal
3,2 ± 0,4 1,9 ± 0,19 Pemeriksaan tumor spesifik dengan menggunakan LAT1 dengan akumulasi rendah pada lesi inflamasi.
FBPA-PET berguna untuk membedakan tumor dan inflamasi.
Ikotun et al., 2013
89ZR-DFO Ab2 Kanker Hati RH7777
2,2 ± 0,07; setelah 3 hari naik menjadi 3,0 ± 0,24
Menunjukkan agen immunoPET yang yang potensial untuk pencitraan transporter asam amino spesifik .
Nozaki et al., 2019
18F-FIMP BCH Glioblastoma
LNZ308
2,32 ± 0,09
0,96 ± 0,04 Dapat diimplementasikan untuk pencitraan PET pada glioblastoma dan monitoring fase awal hasil terapi kanker.
Haase et al., 2007
18F-OMFD T2 Adenocarcinoma
(Karsinoma sel
skuamosa)
FaDu 18F-OMFD secara partikel akan stabil sebagai pelacak untuk diagnostic imaging pada karsinoma sel skuamosa kepala dan leher.
Grosu et al., 2011
18F-FET BCH Glioma dan metastase
otak
2,3 ± 0,9 1,1 ± 0,2 Memberikan informasi diagnosa glioma dan metastase otak melalu pencitaan PET.
175 | Yolanda, P., dkk/Jurnal ilmiah Farmasi 16(2) Agustus-Desember 2020, 167-181
SUV merupakan marker yang digunakan untuk merefleksikan keagresifan suatu tumor dan
merupakan faktor prognostik di beberapa kanker (Hu et al., 2013). Penggunaan SUV sudah umum
digunakan untuk melihat hasil pencitraan onkologi secara klinis menggunakan PET (Kinahan &
Fletcher, 2010). Semakin kecil nilai SUV, maka semakin jinak pula tumornya, umumnya tumor
dianggap jinak jika hasil SUV nya kurang dari 2,0 (Jelercic & Rajer, 2015). Salah satu alat yang
umumnya digunakan dalam pencitraan kanker adalah PET. Alat ini merupakan alat pencitraan yang
dapat menyajikan data secara kuantitatif mengenai distribusi positron radiofarmaka yang
dimasukkan di dalam tubuh (Huang, 2019). Positron (β+) merupakan partikel beta yang bermuatan
positif dan dapat dipancarkan ketika terdapat banyak proton di dalam suatu atom. Keberadaan
sebuah positron hanya bersifat sementara saja. Setelah kehilangan semua energi kinetiknya,
interaksinya dengan elektron akan berakhir (Elsinga, 2012).
Pada tahun 2016, Watabe melakukan penelitian mengenai perbandingan nilai SUV antara 18F-
FBPA, 18F-FDG dan 11C-MET pada tumor spesifik dengan BCH sebagai inhibitor LAT1 menggunakan
alat pendeteksi PET. Percobaan ini dilakukan baik secara in vivo maupun in vitro dengan dosis yang
diinjeksikan sebesar 2,22 MBq/mmol kepada tikus yang sebelumnya sudah diinjeksikan sel kanker
ginjal (HEK293). Hasilnya sel HEK2933 terekspresi stabil di LAT1 maupun LAT2 saat dilakukan
pencitraan oleh 18F-FBPA. LAT2 merupakan salah satu bagian dari L-type amino acid transporter yang
berperan dalam transportasi sel normal, berkebalikan dengan LAT1 yang mentrasfer asam amino
kepada sel kanker (D. W. Yun et al., 2014). Namun dari perbandingan SUV lesi inflamasi pada
ketiganya, SUV 18F-FDG menujukkan nilai yang cukup tinggi. Sehingga dapat ditarik kesimpulan
bahwa kemampuan 18F-FDG kurang spesifik dalam membedakan antara tumor dan lesi inflamasi (T.
Watabe et al., 2016). Pemeriksaan asam amino menggunakan PET, seperti pada 11C-MET
dikembangkan untuk mengatasi kekurangan 18F-FDG yang spesifisitas antara tumor dan lesi
inflamasinya rendah. Senyawa ini di prediksi memiliki spesifisitas tumor yang lebih tinggi
dibandingkan 18F-FDG. Namun berdasarkan penelitian, penggunaan senyawa pentarget BCH ini
mempunyai kerugian tersendiri, yaitu nilai pada SUV sel kanker dan SUV sel normal nya masih
terbilang cukup tinggi (Watabe et al., 2016).
Senyawa yang berpotensi dalam teranostik kanker dapat digunakan untuk meningkatkan
selektivitas dan spesifisitas pencitraan pada sel kanker tanpa melibatkan pencitraan pada sel normal.
Kriteria senyawa teranostik kanker yang baik, diantaranya yaitu: (1) memiliki selektivitas yang tinggi
terhadap suatu transporter asam amino sel kanker, (2) memiliki nilai IC50 yang rendah, (3) memiliki
nilai SUV yang relatif rendah dibandingkan nilai SUV pada sel normal dan lesi inflamasi. Pada
penelitian Yun, et al, tahun 2014 didapatkan hasil bahwa nilai IC50 pada JPH203 lebih rendah
176 | Yolanda, P., dkk/Jurnal ilmiah Farmasi 16(2) Agustus-Desember 2020, 167-181
dibandingkan BCH, sehingga penggunaan JPH203 lebih efektif dalam menginhibisi proliferasi sel
kanker (Yun et al., 2014). Selain itu, JPH203 secara selektif menghambat aktivitas LAT1 tanpa
menghambat aktivitas LAT2 (Choi et al., 2017). Berdasarkan studi literatur, belum ditemukan
penelitian yang menunjukkan nilai SUV dari JPH203, tetapi studi menunjukkan bahwa nilai SUV yang
rendah diperoleh pada senyawa dengan aktivitas yang selektif terhadap sel kanker, dan JPH203
memenuhi kriteria tersebut. Sehingga JPH203 ini diharapkan dapat menjadi senyawa baru yang
memiliki selektivitas dan spesifisitas yang tinggi dalam senyawa teranostik kanker.
Dari uraian di atas, JPH203 menunjukkan kemampuan sebagai senyawa penghambat LAT1
yang spesifik dan mampu terakumulasi pada sel kanker sehingga diharapkan potensial untuk
digunakan pada pemeriksaan PET yang akan meningkatkan selektivitas dan spesifisitas pencitraan
sel kanker. Selain itu JPH203 mempunyai IC50 adalah 0,06 µM dan 4,1 µM di dalam sel kanker usus
(HT-29), sel kanker mulut (YD-38), sehingga JPH203 berpotensi untuk dikembangkan sebagai
senyawa teranostik kanker.
4. Kesimpulan
Berdasarkan hasil tinjauan pustaka menujukkan bahwa LAT1 sebagai transporter asam
amino pada sel kanker dapat menghasilkan pencitraan beberapa sel kanker secara akurat dan efektif,
seperti pada kanker ginjal, kanker otak, kanker hati, dan glioblastoma. Aktivitas LAT1 sebagai
transporter asam amino sel kanker dapat dihambat secara selektif oleh JPH203. JPH203 menunjukkan
aktivitas penghambatan proliferasi sel kanker secara masif pada beberapa sel kanker, sehingga
penggunaan senyawa JPH203 ini dapat dipertimbangkan kembali sebagai target terapi potensial yang
dapat digunakan dalam pengembangan senyawa teranostik kanker baru.
Ucapan terimakasih
Penulis mengucapkan terimakasih kepada Direktorat Riset dan Pengabdian Kepada
Masyarakat Universitas Padjadjaran atas dukungan dana melalui program Hibah Penelitian Dasar
Unggulan Perguruan Tinggi.
Daftar pustaka
Bodoy, S., Martín, L., Zorzano, A., Palacín, M., Estévez, R., & Bertran, J. (2005). Identification of LAT4, a novel amino acid transporter with system L activity. Journal of Biological Chemistry, 280(12), 12002–12011.
Bray, F., Ferlay, J., Soerjomataram, I., Siegel, R. L., Torre, L. A., & Jemal, A. (2018). Global cancer statistics 2018: GLOBOCAN estimates of incidence and mortality worldwide for 36 cancers in 185 countries. CA: A Cancer Journal for Clinicians. https://doi.org/10.3322/caac.21492
Chaturvedi, S., & Mishra, A. K. (2016). Small Molecule Radiopharmaceuticals – A Review of Current
177 | Yolanda, P., dkk/Jurnal ilmiah Farmasi 16(2) Agustus-Desember 2020, 167-181
Approaches. Frontiers in Medicine, 3. https://doi.org/10.3389/fmed.2016.00005 Choi, D. W., Kim, D. K., Kanai, Y., Wempe, M. F., Endou, H., & Kim, J. K. (2017). JPH203, a selective L-
type amino acid transporter 1 inhibitor, induces mitochondria-dependent apoptosis in Saos2 human osteosarcoma cells. Korean Journal of Physiology and Pharmacology, 21(6), 599–607.
Cormerais, Y., Pagnuzzi-Boncompagni, M., Schrötter, S., Giuliano, S., Tambutté, E., Endou, H., Wempe, M. F., Pagès, G., Pouysségur, J., & Picco, V. (2019). Inhibition of the amino-acid transporter LAT1 demonstrates anti-neoplastic activity in medulloblastoma. Journal of Cellular and Molecular Medicine, 23(4), 2711–2718.
Dermime, S. (2014). Carcinogenesis & Mutagenesis Cancer Diagnosis , Treatment and Therapy. J Carcinogene Mutagene, 14 (June). https://doi.org/10.4172/2157-2518.S14-00
Elsinga, P. H. (2012). Present and future of PET-radiopharmaceuticals. Nuclear Medicine Review, 15(SUPPL.C), 13–16.
Furuya, M., Horiguchi, J., Nakajima, H., Kanai, Y., & Oyama, T. (2012). Correlation of L-type amino acid transporter 1 and CD98 expression with triple negative breast cancer prognosis. Cancer Science, 103(2), 382–389.
Glaudemans, A. W. J. M., Enting, R. H., Heesters, M. A. A. M., Dierckx, R. A. J. O., Van Rheenen, R. W. J., Walenkamp, A. M. E., & Slart, R. H. J. A. (2013). Value of 11C-methionine PET in imaging brain tumours and metastases. European Journal of Nuclear Medicine and Molecular Imaging, 40(4), 615–635.
Globocan. (2019). New Global Cancer Data : GLOBOCAN 2018. https://www.uicc.org/news/new-global-cancer-data-globocan-2018
Grosu, A. L., Astner, S. T., Riedel, E., Nieder, C., Wiedenmann, N., Heinemann, F., Schwaiger, M., Molls, M., Wester, H. J., & Weber, W. A. (2011). An interindividual comparison of O-(2-[ 18F]fluoroethyl)-L- tyrosine (FET)- and L-[methyl- 11C]methionine (MET)-PET in patients with brain gliomas and metastases. International Journal of Radiation Oncology Biology Physics, 81(4), 1049–1058.
Haase, C., Bergmann, R., Fuechtner, F., Hoepping, A., & Pietzsch, J. (2007). L-type amino acid transporters LAT1 and LAT4 in cancer: Uptake of 3-O-methyl-6-18F-fluoro-L-dopa in human adenocarcinoma and squamous cell carcinoma in vitro and in vivo. Journal of Nuclear Medicine. https://doi.org/10.2967/jnumed.107.043620
Häfliger, P., Graff, J., Rubin, M., Stooss, A., Dettmer, M. S., Altmann, K. H., Gertsch, J., & Charles, R. P. (2018). The LAT1 inhibitor JPH203 reduces growth of thyroid carcinoma in a fully immunocompetent mouse model. Journal of Experimental and Clinical Cancer Research, 37(1), 1–15.
Hayashi, K., & Anzai, N. (2017). Novel therapeutic approaches targeting L-type amino acid transporters for cancer treatment. In World Journal of Gastrointestinal Oncology. https://doi.org/10.4251/wjgo.v9.i1.21
Honjo, H., Kaira, K., Miyazaki, T., Yokobori, T., Kanai, Y., Nagamori, S., Oyama, T., Asao, T., & Kuwano, H. (2016). Clinicopathological significance of LAT1 and ASCT2 in patients with surgically resected esophageal squamous cell carcinoma. Journal of Surgical Oncology, 113(4), 381–389.
Hu, S. L., Yang, Z. Y., Zhou, Z. R., Yu, X. J., Ping, B., & Zhang, Y. J. (2013). Role of SUVmax obtained by 18F-FDG PET/CT in patients with a solitary pancreatic lesion: Predicting malignant potential and proliferation. Nuclear Medicine Communications, 34(6), 533–539. Huang, Y.-Y. (2019). An Overview of PET Radiopharmaceuticals in Clinical Use: Regulatory, Quality and Pharmacopeia Monographs of the United States and Europe. Nuclear Medicine Physics. https://doi.org/10.5772/intechopen.79227
Ikotun, O. F., Marquez, B. V., Huang, C., Masuko, K., Daiji, M., Masuko, T., McConathy, J., & Lapi, S. E. (2013). Imaging the L-Type Amino Acid Transporter-1 (LAT1) with Zr-89 ImmunoPET. PLoS ONE, 8(10), 1–9.
Jelercic, S., & Rajer, M. (2015). The role of PET-CT in radiotherapy planning of solid tumours.
178 | Yolanda, P., dkk/Jurnal ilmiah Farmasi 16(2) Agustus-Desember 2020, 167-181
Radiology and Oncology, 49(1), 1–9. Kaira, K., Kawashima, O., Endoh, H., Imaizumi, K., Goto, Y., Kamiyoshihara, M., Sugano, M., Yamamoto,
R., Osaki, T., Tanaka, S., Fujita, A., Imai, H., Kogure, Y., Seki, Y., Shimizu, K., Mogi, A., Shitara, Y., Oyama, T., Kanai, Y., & Asao, T. (2019). Expression of amino acid transporter (LAT1 and 4F2hc) in pulmonary pleomorphic carcinoma. Human Pathology, 84, 142–149.
Kaira, K., Oriuchi, N., Shimizu, K., Imai, H., Tominaga, H., Yanagitani, N., Sunaga, N., Hisada, T., Ishizuka, T., Kanai, Y., Oyama, T., Mori, M., & Endo, K. (2010). Comparison of l-type amino acid transporter 1 expression and l-[3-18F]-α-methyl tyrosine uptake in outcome of non-small cell lung cancer. Nuclear Medicine and Biology, 37(8), 911–916.
Ke, X., & Shen, L. (2017). Molecular targeted therapy of cancer: The progress and future prospect. Frontiers in Laboratory Medicine, 1(2), 69–75.
Khadir, A., & Tiss, A. (2013). Mutagenesis Proteomics Approaches towards Early Detection and Diagnosis of Cancer. J Carcinogene Mutagene, 14. https://doi.org/10.4172/2157-2518.S14-002
Kinahan, P. E., & Fletcher, J. W. (2010). Positron emission tomography-computed tomography standardized uptake values in clinical practice and assessing response to therapy. Seminars in Ultrasound, CT and MRI, 31(6), 496–505.
Maimaiti, M., Sakamoto, S., Yamada, Y., Sugiura, M., Rii, J., Takeuchi, N., Imamura, Y., Furihata, T., Ando, K., Higuchi, K., Xu, M., Sazuka, T., Nakamura, K., Kaneda, A., Kanai, Y., Kyprianou, N., Ikehara, Y., Anzai, N., & Ichikawa, T. (2020). Expression of L-type amino acid transporter 1 as a molecular target for prognostic and therapeutic indicators in bladder carcinoma. Scientific Reports. https://doi.org/10.1038/s41598-020-58136-x
Muto, Y., Furihata, T., Kaneko, M., Higuchi, K., Okunushi, K., Morio, H., Reien, Y., Uesato, M., Matsubara, H., & Anzai, N. (2019). Different response profiles of gastrointestinal cancer cells to an L-type amino acid transporter inhibitor, JPH203. Anticancer Research. https://doi.org/10.21873/anticanres.13092
Namikawa, M., Kakizaki, S., Kaira, K., Tojima, H., Yamazaki, Y., Horiguchi, N., Sato, K., Oriuchi, N., Tominaga, H., Sunose, Y., Nagamori, S., Kanai, Y., Oyama, T., Takeyoshi, I., & Yamada, M. (2015). Expression of amino acid transporters (LAT1, ASCT2 and xCT) as clinical significance in hepatocellular carcinoma. Hepatology Research, 45(9), 1014–1022.
Napolitano, L., Scalise, M., Galluccio, M., Pochini, L., Albanese, L. M., & Indiveri, C. (2015). The International Journal of Biochemistry LAT1 is the transport competent unit of the LAT1 / CD98 heterodimeric amino acid transporter. International Journal of Biochemistry and Cell Biology, 67, 25–33.
Nikkuni, O., Kaira, K., Toyoda, M., Shino, M., Sakakura, K., Takahashi, K., Tominaga, H., Oriuchi, N., Suzuki, M., Iijima, M., Asao, T., Nishiyama, M., Nagamori, S., Kanai, Y., Oyama, T., & Chikamatsu, K. (2015). Expression of Amino Acid Transporters (LAT1 and ASCT2) in Patients with Stage III/IV Laryngeal Squamous Cell Carcinoma. Pathology and Oncology Research, 21(4), 1175–1181.
Nobusawa, A., Kim, M., Kaira, K., Miyashita, G., Negishi, A., Oriuchi, N., Higuchi, T., Tsushima, Y., Kanai, Y., Yokoo, S., & Oyama, T. (2013). Diagnostic usefulness of 18F-FAMT PET and L-type amino acid transporter 1 (LAT1) expression in oral squamous cell carcinoma. European Journal of Nuclear Medicine and Molecular Imaging, 40(11), 1692–1700.
Nozaki, S., Nakatani, Y., Mawatari, A., Shibata, N., Hume, W. E., Hayashinaka, E., Wada, Y., Doi, H., & Watanabe, Y. (2019). 18F-FIMP: a LAT1-specific PET probe for discrimination between tumor tissue and inflammation. Scientific Reports. https://doi.org/10.1038/s41598-019-52270-x
Oda, K., Hosoda, N., Endo, H., Saito, K., Tsujihara, K., Yamamura, M., Sakata, T., Anzai, N., Wempe, M. F., Kanai, Y., & Endou, H. (2010). L-Type amino acid transporter 1 inhibitors inhibit tumor cell growth. Cancer Science, 101(1), 173–179.
Okubo, S., Zhen, H. N., Kawai, N., Nishiyama, Y., Haba, R., & Tamiya, T. (2010). Correlation of l-methyl-11C-methionine (MET) uptake with l-type amino acid transporter 1 in human gliomas. Journal of Neuro-Oncology. https://doi.org/10.1007/s11060-010-0117-9
179 | Yolanda, P., dkk/Jurnal ilmiah Farmasi 16(2) Agustus-Desember 2020, 167-181
Peterson, L. (2010). The concept of mitosis, and the terminology involved, can become easily understood once students engage in hands-on projects. Lesson Planet.
Rathore, M. S., & Gupta, V. B. (2010). Functional characterization of amino acid transport system for transport of phenylalanine on mammalian cornea for better ocular drug delivery. Journal of Pharmaceutical Sciences and Research.
Rosilio, C., Nebout, M., Imbert, V., Griessinger, E., Neffati, Z., Benadiba, J., Hagenbeek, T., Spits, H., Reverso, J., Ambrosetti, D., Michiels, J. F., Bailly-Maitre, B., Endou, H., Wempe, M. F., & Peyron, J. F. (2015). L-type amino-acid transporter 1 (LAT1): A therapeutic target supporting growth and survival of T-cell lymphoblastic lymphoma/T-cell acute lymphoblastic leukemia. Leukemia, 29(6), 1253–1266.
Salisbury, T. B., & Arthur, S. (2018). The regulation and function of the L-type amino acid transporter 1 (LAT1) in cancer. International Journal of Molecular Sciences, 19(8), 1–10.
Scalise, M., Galluccio, M., Console, L., Pochini, L., & Indiveri, C. (2018). The human SLC7A5 (LAT1): The intriguing histidine/large neutral amino acid transporter and its relevance to human health. Frontiers in Chemistry, 6(JUN), 1–12.
Singh, N., & Ecker, G. F. (2018). Insights into the Structure , Function , and Ligand Discovery of the Large Neutral Amino Acid Transporter 1 , LAT1. Int. J. Mol. Sci, 19, 1–32.
Toyoda, M., Kaira, K., Ohshima, Y., Ishioka, N. S., Shino, M., Sakakura, K., Takayasu, Y., Takahashi, K., Tominaga, H., Oriuchi, N., Nagamori, S., Kanai, Y., Oyama, T., & Chikamatsu, K. (2014). Prognostic significance of amino-acid transporter expression (LAT1, ASCT2, and xCT) in surgically resected tongue cancer. British Journal of Cancer, 110(10), 2506–2513.
Toyoda, M., Kaira, K., Shino, M., Sakakura, K., Takahashi, K., Takayasu, Y., Hideyuki, T., Oriuchi, N., Nikkuni, O., Suzuki, M., Iijima, M., & Norifumi Tsukamoto. (2014). CD98 as a novel prognostic indicator for patients with stage III/IV hypopharyngeal squamous cell carcinoma. Head and Neck, 36(10), 1391.
Toyoshima, J., Kusuhara, H., Wempe, M. F., Endou, H., & Sugiyama, Y. (2013). Investigation of the Role of Transporters on the Hepatic Elimination of an LAT1 Selective Inhibitor JPH203. Journal of Pharmaceutical Sciences, 102(9).
Uno, K., Kuwabara, H., Terado, Y., Kojima, K., Kawakami, T., Kamma, H., Sakurai, H., Sakamoto, A., & Kurata, A. (2011). Divergent expression of L-type amino acid transporter 1 during uterine cervical carcinogenesis. Human Pathology, 42(11), 1660–1666.
Verma, M. (2012). Personalized medicine and cancer. In Journal of Personalized Medicine. https://doi.org/10.3390/jpm2010001
Vogenberg, F. R., Barash, C. I., & Pursel, M. (2010). Personalized Medicine Part 1 : Evolution and Development into Theranostics. Pharmacy and Therapeutics, 35(10).
Wang, Q., & Holst, J. (2015). L-type amino acid transport and cancer: Targeting the mTORC1 pathway to inhibit neoplasia. American Journal of Cancer Research, 5(4), 1281–1294.
Watabe, T., Ikeda, H., Nagamori, S., Wriyasermkul, P., Tanaka, Y., Naka, S., Kanai, Y., Hagiwara, K., Aoki, M., Shimosegawa, E., Kanai, Y., & Hawatzawa, J. (2016). 18F-FBPA as a tumor-specific probe of L-type amino acid transporter 1 ( LAT1 ): a comparison study with 18 F-FDG and 11C-Methionine PET. European Journal of Nuclear Medicine and Molecular Imaging, 1(259). https://doi.org/10.1007/s00259-016-3487-1
Watabe, Tadashi, Ikeda, H., Nagamori, S., Wiriyasermkul, P., Tanaka, Y., Naka, S., Kanai, Y., Hagiwara, K., Aoki, M., Shimosegawa, E., Kanai, Y., & Hatazawa, J. (2017). 18F-FBPA as a tumor-specific probe of L-type amino acid transporter 1 (LAT1): a comparison study with 18F-FDG and 11C-Methionine PET. European Journal of Nuclear Medicine and Molecular Imaging, 44(2), 321–331.
WHO. (2019). Cancer. https://www.who.int/health-topics/cancer#tab=tab_1 Yun, D.-W., Lee, S. A., Park, M.-G., Kim, J.-S., Yu, S.-K., Park, M.-R., Kim, S.-G., Oh, J.-S., Kim, C. S., Kim, H.-
J., Kim, J.-S., Chun, H. S., Kanai, Y., Endou, H., Wempe, M. F., & Kim, D. K. (2014). JPH203, an L-Type Amino Acid Transporter 1–Selective Compound, Induces Apoptosis of YD-38 Human Oral Cancer
180 | Yolanda, P., dkk/Jurnal ilmiah Farmasi 16(2) Agustus-Desember 2020, 167-181
Cells. Journal of Pharmacological Sciences, 124(2), 208–217. Yun, D. W., Lee, S. A., Park, M. G., Kim, J. S., Yu, S. K., Park, M. R., Kim, S. G., Oh, J. S., Kim, C. S., Kim, H. J.,
Kim, J. S., Chun, H. S., Kanai, Y., Endou, H., Wempe, M. F., & Kim, D. K. (2014). JPH203, an L-type amino acid transporter 1-selective compound, induces apoptosis of YD-38 human oral cancer cells. Journal of Pharmacological Sciences. https://doi.org/10.1254/jphs.13154FP
Zhao, Y., Wang, L., & Pan, J. (2015). The role of L-type amino acid transporter 1 in human tumors. Intractable and Rare Diseases Research. https://doi.org/10.5582/irdr.2015.01024
181 | Yolanda, P., dkk/Jurnal ilmiah Farmasi 16(2) Agustus-Desember 2020, 167-181
Jurnal Ilmiah Farmasi 16(2) Agustus-Desember 2020, Hal.182-195ISSN: 1693-8666
available at http://journal.uii.ac.id/index.php/JIF
182
Standardization parameters for cocoa pods (Theobroma cacao L.)
Parameter standardisasi kulit buah kakao (Theobroma cacao L.)
Nida Isti Azah*, Resmi Muchtarichie, Yoppi Iskandar
Fakultas Farmasi, Universitas Padjadjaran, Jawa Barat, Indonesia*Corresponding author: [email protected]
Abstract
Background: Cocoa (Theobroma cacao L.) pods are a waste from chocolate production which hasmedicinal benefits. Cocoa pods have scientifically proved to have pharmacological activities.Objective: Standardization of plants to be used as medicine is required to control the quality andensure the safety, efficacy, and quality.Methods: Data on the standardization parameters of cocoa pods were collected from journalspublished during the period 2010-2020 by searching in Google, Google Scholar, and Research Gate.Results: Standardization parameters of cocoa pods consisted of macroscopic and microscopicexaminations, ash content, solute concentration in solvents, phytochemical screening, and thin layerchromatography.Conclusion: Macroscopic examination showed that the skin of cacao fruit has a brownish-yellow colorand purplish red, a specific odor, and a bitter taste with four forms, namely amelonado, angoleta,cundeamor, and calabacil. Microscopic examination showed a collection of stone cells and haircovering. The moisture content of cocoa pods fulfills the requirement which is below 10%. The totalash content is 5.80 - 7.41, and the acid-insoluble ash content is 0.45 - 0.64. The concentration of solutein water is higher than in ethanol with 22.69 and 5.21, respectively. The phytochemical screeningshowed that cocoa pods have flavonoids, saponins, quinones, tannins, steroids, triterpenoids,monoterpenes, and sesquiterpenes. The thin-layer chromatography indicated the presence of phenoliccompounds, catechol tannins, flavonoids, and terpenoids.Keywords: Cocoa pods, standardization, Theobroma cacao
Intisari
Latar belakang: Kulit buah kakao (Theobroma cacao L.) merupakan limbah dari produksi cokelatyang bermanfaat sebagai obat dan terbukti secara ilmiah memiliki berbagai aktivitas farmakologi.Tujuan: Standardisasi tanaman yang akan digunakan sebagai obat berguna untuk mengontrol kualitasserta memastikan keamanan, khasiat, dan mutunya.Metode: Data parameter standar kulit buah kakao dikumpulkan dari jurnal yang diterbitkan selamakurun waktu 2010-2020 dengan pencarian menggunakan situs pencarian seperti google, googlescholar, dan researchgate.Hasil: Parameter standardisasi kulit buah kakao meliputi pemeriksaan makroskopik, mikroskopik,nilai kadar abu, kadar zat terlarut dalam pelarut, penapisan fitokimia, dan kromatografi lapis tipis.Kesimpulan: Pemeriksaan makroskopik, kulit buah kakao memilki warna kuning kecokelatan danmerah keunguan, bau khas, rasa pahit, dengan empat bentuk yaitu amelonado, angoleta, cundeamor,dan calabacil. Pemeriksaan mikroskopik menunjukkan adanya kumpulan sel batu dan rambutpenutup. Kadar air kulit buah kakao sesuai dengan syarat yaitu berada dibawah 10%. Nilai kadar abutotal 5,80 - 7,41 dan kadar abu tak larut asam 0,45 - 0,64. Kadar zat terlarut dalam air lebih tinggi darietanol dengan nilai masing-masing 22,69 dan 5,21. Dari hasil penapisan fitokimia kulit buah kakaomenunjukkan adanya senyawa flavonoid, saponin, kuinon, tannin, steroid, triterpenoid, monoterpendan seskuiterpen. Pada kromatografi lapis tipis menunjukkan adanya senyawa fenolik, tannin katekol,flavonoid, dan terpenoid.Kata kunci : Kulit buah kakao, standardisasi, Theobroma cacao
183 | Nida, I. A., dkk. /Jurnal Ilmiah Farmasi 16(2) Agustus-Desember 2020, Hal. 182-195
1. Pendahuluan
Kakao atau cokelat (Theobroma cacao L.) termasuk ke dalam suku Sterculiacea merupakan
tanaman asli Amerika Selatan dan Amerika Tengah dengan habitat asli di hutan tropis Amazon.
Nama Theobroma memiliki arti food of Gods, karena tanaman ini dipercaya sebagai tanaman yang
berasal dari dewa. Tanaman ini, pertama kali digunakan bijinya oleh masyarakat Aztec dan Maya
kuno untuk diolah menjadi minuman bernama cokelat. Seiring perkembangan zaman, kakao banyak
dibudidayakan di berbagai negara (Rusconi & Conti, 2010; Santos et al., 2014). Sampai saat ini
penggunaan utama kakao adalah untuk diolah menjadi cokelat yang digunakan dalam industri
minuman, makanan, kosmetika, dan lain-lain.
Pada pembuatan cokelat hanya bagian biji saja yang digunakan, sehingga bagian lain dari
buah akhirnya menjadi limbah. Jika dilihat dari komposisi buah kakao yang terdiri dari 74% kulit
buah, 24% biji, dan 2% plasenta, kulit buah merupakan bagian terbesar dan menjadi limbah
terbanyak yang dihasilkan dari produksi cokelat. Limbah kulit cokelat ini jika tidak dikelola dengan
baik dapat menyebabkan masalah bagi lingkungan seperti bau tidak sedap dan dapat menyebabkan
penyakit Black pod disease (Suprapti & Ramlah, 2013).
Meskipun banyak menjadi limbah, kulit buah kakao sebenarnya memiliki beragam manfaat
dan salah satunya adalah sebagai obat. Di Indonesia tepatnya di bawah kaki gunung Galunggung,
Tasikmalaya, masyarakat Dingga Linggarjati menggunakan kulit buah kakao secara tradisional
sebagai penumbuh rambut. Penggunaan secara empiris tersebut didukung oleh hasil yang
menunjukkan bahwa ekstrak etanol kulit buah kakao dapat menumbuhkan rambut pada hewan uji
kelinci (Mustarichie & Hasanah, 2019). Tidak hanya itu, kulit buah kakao juga terbukti memiliki
aktivitas farmakologi lain yang terangkum dalam tabel 1.
Tabel 1. Aktivitas farmakologi kulit buah kakao
Aktivitas farmakologi Referensi
Analgesik (Sari et al., 2018)
Antibakteri (Nugroho et al., 2019; Singh et al., 2015)
Antifungal (Rachmawaty et al., 2018)
Antiinflamasi (Izzuddin & Nurkesuma, 2015; Rahayu et al., 2020)
Antikerutan (Abdul Karim et al., 2016)
Antioksidan (Jusmiati et al., 2015; Umri et al., 2019)
184 | Nida, I. A., dkk. /Jurnal Ilmiah Farmasi 16(2) Agustus-Desember 2020, Hal. 182-195
Penggunaan suatu tanaman menjadi obat herbal, selain harus memiliki khasiat yaitu dengan
adanya bukti ilmiah mengenai aktivitas farmakologi, juga harus memenuhi syarat obat lainnya yaitu
bermutu dan terjamin keamanannya. Pada penggunaan sebagai obatan, tanaman memiliki
kelemahan yaitu sulitnya mengontrol kualitas dan keamanan dari bahan yang digunakan sehingga
khasiat, mutu serta profil keamanannya menjadi bervariasi (BPOM, 2019; Ghosh, 2018).
Salah satu solusi dari masalah kualitas tersebut dengan dilakukannya standardisasi.
Standardisasi adalah suatu proses yang dilakukan untuk menentukan standar atau karakter yang
berkaitan dengan parameter, kualitatif dan nilai kuantitatif yang memberikan jaminan terhadap
kualitas, kemanjuran, keamanan dan reproduktifitas (Kunle et al., 2012).
Berdasarkan penelitian yang pernah dilakukan sebelumnya, kulit buah kakao berpotensi
untuk dikembangkan menjadi Obat Herbal Terstandar (OHT), dimana diperlukan bahan baku yang
terstandardisasi untuk dapat dikategorikan sebagai OHT. Oleh karena itu, pengujian parameter
farmakognosi perlu dilakukan untuk memperoleh kelengkapan informasi yang berguna dalam
pengembangan dan pemanfaatan kulit buah kakao sebagai obat yang memenuhi syarat obat yaitu
aman, berkualitas, dan berkhasiat. Dalam kajian pustaka ini akan disajikan data mengenai
pemeriksaan makroskopik, mikroskopik, kadar zat terlarut dalam pelarut (air dan etanol), kadar air,
kadar abu total, kadar abu tak larut asam, uji cemaran logam, dan uji aflatoksin. Selain itu perlu
diketahui kandungan dari tanaman yang akan digunakan sebagai obat karena berperan penting
terhadap aktivitas farmakologi dari tanaman tersebut (Nikam et al., 2012; WHO, 2011).
2. Metodologi penelitian
Sumber data yang digunakan dalam penulisan artikel ini adalah jurnal yang diterbitkan
selama rentang waktu 2010 – 2020 atau 10 tahun terakhir. Pencarian dilakukan dengan menelusuri
situs pencarian Google, Google Scholar, dan Research Gate dengan kata kunci “Kulit Buah Kakao”,
“Cacao Pod”, “Cacao Shell”, “Cacao Skin Peel”, “Pharmacognostic of Theobroma cacao”, “Theobroma
cacao L.”, “Parameter Standar”, dan “Standardisasi”. Kriteria inklusi adalah jurnal mengenai
aktivitas farmakologi dari kulit buah kakao dan memiliki parameter standar dari kulit buah kakao.
Sedangkan, kriteria eksklusi meliputi jurnal yang tidak terverifikasi dan tidak memiliki data
parameter yang diinginkan.
185 | Nida, I. A., dkk. /Jurnal Ilmiah Farmasi 16(2) Agustus-Desember 2020, Hal. 182-195
3. Hasil dan pembahasan
3.1. Evaluasi makroskopik
Evaluasi makroskopik merupakan pemeriksaan pertama sebelum dilakukan pengujian lebih
lanjut terhadap bahan yang digunakan. Pemeriksaan ini dilakukan dengan cepat dan sederhana
karena hanya menggunakan panca indra yang dimiliki manusia. Pemeriksaan yang dilakukan
meliputi bau, bentuk, karakteristik permukaan, rasa, tekstur, ukuran, dan warna. Pada saat
pemeriksaan makroskopik diperlukan sampel yang sudah dipastikan kebenarannya untuk
digunakan sebagai pembanding. Jika, ditemukan perbedaan yang signifikan dari sampel
pembdaning maka bahan tersebut dianggap tidak memenuhi persyaratan. Tetapi, karena penilaian
ini dilakukan secara subyektif, pencampuran atau pemalsuan sangat mungkin terjadi dan dibuat
mirip dengan bahan asli, maka perlu untuk dilakukan evaluasi lanjutan dengan menggunakan
mikroskop dan analisis fisikokimia (WHO, 2011).
Hasil pemeriksaan makroskopik dari kulit buah kakao terdapat pada tabel 2. Buah kakao
memiliki ciri organoleptik yang beragam, hal ini dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti,
jenis dan varietas kakao yang digunakan, lokasi penanaman, dan waktu panen. Kakao memiliki
varietas yang beragam, tetapi terdapat tiga varietas utama dari kakao yaitu criollo, forastero, dan
trinitario (persilangan antara criollo dan forastero) (Qin et al., 2016; Trognitz et al., 2011).
Buah kakao memiliki empat bentuk yaitu amelonado, angoleta, cundeamor, dan calabacil yang
terdapat pada gambar 1. Angoleta memiliki karakteristik bergerigi dalam, berkutil, dengan persegi
di ujung tangkai. Ciri amelonado permukaan kulit buah halus, alur dangkal, berbentuk seperti melon,
dengan ujung tumpul dan leher seperti botol. Calabacillo memiliki bentuk yang kecil dan hampir
bulat. Cundeamor berbentuk seperti angoleta dengan leher berbentuk botol (Malhotra, 2017).
Tabel 2. Evaluasi makroskopik kulit buah kakao
No Asal tanaman Organoleptik ReferensiWarna Bau Bentuk Rasa Ukuran
1.Rajamdanala,Cipatat, Jawa
Barat, Indonesia
KuningKecokelatan
BauKhas
- Pahit P : ±18 cmL : ± 9 cm
(Azizah et al.,2014)
2. Ea Kar, Dak Lak,Vietnam
Kuning - Angoleta - - (Thi et al.,2016)
3. Trangbom-Dongnai,Vietnam
Merahkeunguan
- Amelonado - - (Thi et al.,2016)
186 | Nida, I. A., dkk. /Jurnal Ilmiah Farmasi 16(2) Agustus-Desember 2020, Hal. 182-195
Gambar 1. Bentuk Buah Kakao (a) Amelonado, (b) Angoleta, (c) Cundeamor
(d) Calabacillo (Thi et al., 2016)
3.2. Evaluasi mikroskopik
Evaluasi mikroskopik termasuk dalam pemeriksaan awal yang menunjang hasil pemeriksaan
makroskopik. Pemeriksaan mikroskopis ini diperlukan untuk mengidentifikasi bahan yang
digunakan terutama bahan-bahan yang sudah rusak atau berbentuk bubuk. Kelemahan dari
pemeriksaan mikroskopik ini adalah tidak selalu dapat memberikan identifikasi lengkap. Tetapi,
jika didukung pemeriksaan menggunakan metode analisis lainnya, evaluasi mikroskopik dapat
memberikan bukti pendukung yang berharga (WHO, 2011). Pemeriksaan mikroskopik dilakukan
dengan bantuan mikroskop binocular menggunakan pelarut kloralhidrat dengan perbesaran 100
kali. Pada kulit buah kakao pemeriksaan mikroskopik mendapatkan hasil yaitu tampak bagian
epikarp yang ditunjukkan dengan adanya kumpulan sel batu pada bahan segar. Sedangkan pada
serbuk simplisia kering kulit buah kakao tampak fragmen rambut penutup. Hasi uji mikroskopik
kulit buah kakao terdapat di dalam tabel 3 (Azizah et al., 2014).
Tabel 3. Evaluasi mikroskopik kulit buah kakao
No. Asal tanaman Mikroskopik Referensi1. Rajamdanala, Cipatat, Jawa
Barat, Indonesia
Kumpulan sel batu
Rambut penutup
(Azizah et al., 2014)
187 | Nida, I. A., dkk. /Jurnal Ilmiah Farmasi 16(2) Agustus-Desember 2020, Hal. 182-195
3.3. Evaluasi fisika
Persyaratan kadar abu total, kadar abu tak larut asam, kadar sari larut air dan kadar sari larut
etanol dan kadar air ditunjukkan pada tabel 4. Kadar abu total merupakan jumlah total residu dari
hasil pengabuan sampel tanaman. Sisa abu tersebut dapat berupa abu fisiologis yang berasal dari
jaringan tanaman itu sendiri maupun abu non-fisiologis dari bahan asing yang menempel pada
permukaan tanaman seperti tanah atau pasir. Dari pengujian kadar abu total ini didapatkan
gambaran mengenai senyawa jumlah anorganik terkandung dalam sampel yang tidak habis setelah
proses pengabuan. Selain itu, kadar abu juga dapat digunakan untuk memastikan kualitas, keaslian,
dan kemurnian dari suatu bahan. Kadar abu kulit buah kakao asal Cipatat dan Tasikmalaya masing-
masing 7,4109 dan 5,80 (Handayani et al., 2018; Mulla & Swamy, 2010).
Tabel 4. Evaluasi fisika kulit buah kakao
Asal Kadar abutotal
Kadar abutidak larut
asam
Kadar sarilarut air
Kadar sarilarut etanol Kadar air Referensi
Rajamdanala,Cipatat, Jawa
Barat, Indonesia
7,4109 0,454 22,6917 5,206 5,2068 (Azizah et al.,2014)
Kaki GunungGalunggung,Tasikmalaya,Jawa Barat,Indonesia
5,80 0,64 - - 8,60 (Mustarichie& Hasanah,2019)
Kadar abu tak larut asam dilakukan menggunakan abu hasil pengujian kadar abu total yang
dididihkan dalam asam klorida. Penggunaan asam klorida berujuan untuk melarutkan logam
organik, sisa zat yang tidak terlarut biasanya merupakan silikat dari tanah atau pasir. Nilai kadar
abu dan kadar abu tak larut asam tersebut berhubungan dengan kadar logam sehingga semakin
tinggi nilai kadar abu maka kandungan logam yang terkandung juga semakin tinggi. Kadar abu tak
larut asam kulit buah kakao asal Cipatat adalah 0.454 dan Tasikmalaya 0,64 (Handayani et al., 2018;
Kim et al., 2013).
Kadar zat terlarut dalam suatu pelarut menyatakan jumlah pelarut yang dapat tertarik ke
dalam pelarut. Nilai zat terlarut dalam suatu pelarut yang rendah dapat menunjukkan adanya
penambahan bahan pakai, pemalsuan, atau adanya kesalahan selama proses pengeringan atau
penyimpanan. Pada penelitian yang dilakukan terhadap kulit buah kakao asal Tasikmalaya nilai zat
terlarut dalam air lebih tinggi dari etanol (Bhargava et al., 2013).
188 | Nida, I. A., dkk. /Jurnal Ilmiah Farmasi 16(2) Agustus-Desember 2020, Hal. 182-195
Kadar air dalam bahan memiliki fungsi untuk memastikan kualitas sampel selama masa
penyimpanan. Jika suatu bahan mengandung kadar air yang terlalu tinggi, maka jamur, bakteri, dan
kapang dapat tumbuh dengan mudah sehingga dapat merusak kualitas dari bahan yang digunakan.
Selain itu, kadar air juga memengaruhi bahan pada saat akan digunakan formulasi, jika mengandung
kadar air yang terlalu tinggi maka akan menyebabkan kemunduran pada kualitas (Bhargava et al.,
2013). Kadar air yang baik memilki persyaratan kurang dari 10%, kulit buah kakao yang berasal
dari Cipatat dan Tasikmalaya sesuai dengan persyaratan.
3.4. Uji cemaran logam
Logam berat adalah unsur alami yang memiliki berat atom dan massa jenis yang tinggi
setidaknya 5 kali lebih besar dari air. Logam berat ini banyak terdapat di lingkungan, baik itu di
udara, tanah, maupun air. Industrialisasi dan urbanisasi semakin meningkatkan kontribusi
keberadaan logam berat di biosfer. Toksisitas logam berat pada tanaman bervariasi tergantung
pada spesies tanaman, jenis logam, konsentrasi, bentuk kimia, komposisi tanah dan pH, karena
banyak logam berat dianggap penting untuk pertumbuhan tanaman (Nagajyoti et al., 2010;
Tchounwou et al., 2012).
Logam berat yang paling umum dijumpai dan dapat menimbulkan masalah jika dikonsumsi
oleh manusia adalah arsen, kadmium, merkuri, dan timbal. Logam arsen (As) dapat menyebabkan
masalah serius pada sistem syaraf karena otak merupakan salah satu target dari toksisitas arsenik.
Arsen dapat dengan mudah melintasi sawar otak dan mendistribusikan dirinya ke berbagai bagian,
tetapi akumulasi tertinggi yang diamati terdapati pada kelenjar pituitari. Keracunan arsen ini dapat
memengaruhi konsentrasi hingga menyebabkan kerusakan otak (Kumar et al., 2014; Sánchez-Peña
et al., 2010).
Salah satu penyakit yang disebabkan dari keracunan kadmium adalah Itai-itai disease.
Penyakit ini menyerang tulang dimana kadmium menyebabkan terjadinya demineralisasi tulang,
menghambat prokolagen C-proteinase, dan produksi kolagen. Kadmium kemudian dapat
menyebabkan terjadinya osteoporosis, kelainan bentuk tulang, hingga patah tulang. Selain itu,
kadmium juga dapat memicu terjadinya kerusakan ginjal, sistem reproduksi, dan kardiovaskular
(Fagerberg et al., 2015; Pizent et al., 2012; Rafati Rahimzadeh et al., 2017).
Penyakit lain yang dapat disebabkan akibat keracunan logam berat adalah minamata disease
yang disebabkan oleh merkuri. Minamata disease merupakan penyakit akibat keracunan merkuri
yang dapat menyebabkan kelainann fungsi saraf. Merkuri umumnya masuk ke dalam tubuh melalui
makanan dalam bentuk metilmerkuti (MeHg). Setelah masuk, merkuri akan berikatan dengan
protein kemudian diedarkan oleh darah ke berbagai organ termasuk otak. Pengendapan merkuri di
189 | Nida, I. A., dkk. /Jurnal Ilmiah Farmasi 16(2) Agustus-Desember 2020, Hal. 182-195
otak tersebut akan menyebabkan masalah seperti penurunan ketajaman visual, gangguan sensorik,
motorik, dan pendengaran. Pada kasus yang lebih parah. Minamata disease ini dapat menyebabkan
kecacatan permanen hingga kematian (Eto et al., 2010; Nogara et al., 2019).
Logam timbal (Pb) yang masuk ke dalam tubuh dapat diekskresikan oleh urin, tetapi tidak
semua timbal akan dieksreksikan. Timbal sisa tersebut akan mengikat sel darah merah,
didistribusikan ke seluruh jaringan lunak tubuh, dan akhirnya terakumulasi dalam di dalam
berbagai organ. Akumulasi logam timbal dalam tubuh dapat menyebabkan berbagai kerusakan pada
ginjal, saraf pusat, reproduksi, dan kardiovaskular (Gillis et al., 2012; Mason et al., 2014).
Hasil pengujian dari cemaran logam yang terkandung pada kulit kakao dari beberapa daerah
terdapat di dalam Tabel 5. Dari hasil pencarian yang telah dilakukan, data mengenai kandungan
logam berat dalam kulit buah kakao masih sangat terbatas. Pada kulit buah kakao yang berasal dari
Nigeria menunjukkan kandungan timbal yang memenuhi persyaratan. Tetapi untuk kadmium baik
itu di Karibian maupun Ekuador menunjukkan nilai cemaran yang melebihi batas persyaratan.
Tabel 5. Uji cemaran logam
No. Asal daerah Pb(ppm)
Cd(ppm)
As(ppm)
Hg(ppm) Referensi
1. Umudike,Nigeria
0.03 - - - (Olim et al.,2020)
2. Trinidad danTobago,Karibian
- 0,53 – 4,49 - - (Ramtahal et al.,2016)
3. Esmeraldas,Ecuador
- 0,34 – 1,96 - - (Barraza et al.,2017)
Syarat ≤ 10 ≤ 0,3 ≤ 5 ≤ 0,5 (BPOM, 2019)Keterangan : Pb (Timbal), Cd (Kadmium), As (Arsenik), Hg (Merkuri)
3.5. Uji aflatoksin
Aflatoksin adalah mikotoksin yaitu metabolit sekunder sangat beracun, teratogenik, dan
karsinogenik yang diproduksi oleh jamur genus Aspergillus. Aflatoksin dapat mencemari bahan
makanan dan apabila dikonsumsi oleh manusia dapat menyebabkan masalah kesehatan serius.
Terdapat berbagai tipe aflatoksin, tetapi B1, B2, G1, dan G2 merupakan spesies yang paling banyak
mencemari bahan makanan. Aflatoksin B1 merupakan yang paling berbahaya karena di hati akan
diaktifkan oleh enzim sitokrom p450, kemudian dikonversi menjadi AFB1-8,9-epoksida, yang
menghasilkan efek karsinogenik dengan menciptakan peroksidase di dalam ginjal. Dari hasil
pengujian aflatoksin kulit buah kakao asal Tafo, Ghana menunjukkan nilai yang kecil dan tidak
melebihi batas yang dipersyaratkan (Lee et al., 2015; Ma et al., 2015).
190 | Nida, I. A., dkk. /Jurnal Ilmiah Farmasi 16(2) Agustus-Desember 2020, Hal. 182-195
Nilai persyaratan aflatoksin paling umum mengatur kadar cemaran aflatoksin B1 dan
aflatoksin total. Di Indonesia sendiri batas aflatoksin B1 yang diperbolehkan untuk penggunaan
tanaman sebagai obat adalah ≤ 5 µg/kg dan aflatoksin total sebesar kurang dari ≤ 20 µg/kg.
Mengacu pada persyaratan tersebut kulit buah kakao yang berasal dari Ghana memenuhi
persyaratan dengan aflatoksin B1 sebesar 0,04 µg/kg, aflatoksin B2 sebesar 0,4 µg/kg, dan
aflatoksin G1 dan G2 sejumlah 0,6 µg/kg (Adamafio et al., 2011).
3.6. Penapisan fitokimia
Penapisan fitokimia berguna untuk mengetahui golongan senyawa apa saja yang terkandung
di dalam suatu tanaman dan berguna untuk menelusuri potensi farmakologinya. Pengujian ini
biasanya dilakukan dengan menggunakan metode dan reagen sederhana. Berdasarkan hasil
penelusuran data yang dilakukan, dapat ditunjukkan adanya variasi kandungan dari kulit buah
kakao (tabel 6). Pada pengujian alkaloid kulit buah kakao yang berasal dari Jawa Barat, Sulawesi
Barat, Sulawesi Selatan, dan Sumatera tidak mengandung senyawa tersebut. Perbedaan kandungan
senyawa tersebut dapat disebabkan oleh beberapa faktor seperti usia dan waktu panen tanaman
serta pelarut dan metode ekstraksi yang digunakan (Kigigha & Zige, 2013).
Tabel 6. Penapisan fitokimia kulit buah kakao
No. Asal Pelarut Metode A F Sp P T K MS St Tr Referensi1. Tasikmalaya,
Jawa Barat,Indonesia
Etanol Maserasi - + + + + - + + + (Mustarichie &Hasanah,2019)
2. Poliwalimdanar,Sulawesi Barat,Indonesia
Metanol Maserasi - - + NA
+ NA
NA - + (Pappa et al.,2019)
3. Toraja Utara,Sulawesi Selatan,
Indonesia
Metanol Maserasi - - + NA
+ NA
NA - + (Pappa et al.,2019)
4. Sumatera,Indonesia
Metanol Maserasi - - - + NA
NA
NA + + (Sihombing etal., 2015)
5. Rajamandala,Cipatat, Jawa
Barat, Indonesia
Metanol Soxhlet + + + + + + + - - (Azizah et al.,2014)
6. Lawe Loning,Lawe Sigala-Gala,Aceh, Indonesia
Metanol Maserasi + + + + NA
NA
NA - - (Ginting et al.,2019)
Keterangan : (A) Alkaloid, (F) Flavonoid, (Sp) Saponin, (P) Polifenol, (T) Tanin, (K) Kuinon, (M&S) Monoterpen danSeskuiterpen, (St) Steroid, (Tr) Triterpenoid, (+) Hasil Positif, (-) Hasil Negatif, (NA) Tidak Diujikan.
Deteksi menggunakan KLT diperlihatkan pada tabel 7 dan gambar 2. Pada KLT dengan eluen
toluen:aseton:asam formiat (3:3:0,5) dengan pereaksi Liebermann-Burchard menimbulkan warna
mantap dengan adanya fluoresensi hijau atau biru pada pembacaan di lampu UV 366 yang
191 | Nida, I. A., dkk. /Jurnal Ilmiah Farmasi 16(2) Agustus-Desember 2020, Hal. 182-195
menunjukkan adanya senyawa terpenoid. Penyemprotan bercak dengan menggunakan Vanilin-HCl
menghasilkan warna merah yang menunjukkan adanya senyawa tannin katekol. Adanya senyawa
flavonoid ditunjukkan dengan adanya fluoresensi kuning di bawah lampu UV 366 setelah disemprot
dengan AlCl3. Pada KLT dengan menggunakan eluen butanol : asam asetat glasial :air (4:1:5) noda
berfluorosensi di UV 254 dan 366 nm menunjukkan adanya gugus kromofor dan ikatan rangkap
terkonjugasi. Kemudian visualisasi menggunakan pereaksi FeCl3 menunjukkan adanya senyawa
fenolik yang ditandai dengan warna noda hijau kebiruan (Loppies & Yumas, 2014).
Tabel 7. Kromatogram ekstrak kulit buah kakao
No. Asal Daerah Fase Diam Eluen Pereaksi Hasil Referensi1. Sengkang, Sulawesi
SelatanSilika GelGF254
Butanol : AsamAsetat Glasial :Air (4:1:5)
FeCl3 SenyawaFenolik
(Mita, 2015)
2. Makassar, SulawesiSelatan
Silika GelGF254
Toluen :Aseton : Asam
Formiat(3:3:0,5)
Liebermann-Burchard
Terpenoid (Loppies &Yumas,2014)Vanilin-HCl Tanin Katekol
AlCl3 Flavonoid
Gambar 2. Kromatografi Lapis Tipis Eluen Butanol : Asam Asetat Glasial : Air ( 4:1:5) (a) tempat penotolan;(b) noda tampak pada UV 366; (c) noda tampak pada UV 254;(d) noda tampak FeCl3 (Mita, 2015)
Senyawa flavonoid yang terkandung di dalam kulit buah kakao dapat berhubungan dengan
adanya aktivitas antioksidan sebab flavonoid merupakan senyawa yang sangat tertarik pada radikal
peroksida lipid sehingga menghambat proses oksidasi lipid. Selain memiliki aktivitas sebagai
antioksidan, flavonoid juga diduga memilki aktivitas sebagai antibakteri, analgesik, antiinflamasi,
dan antikanker (Abdul Karim et al., 2016; Mansourabadi et al., 2015; Wang et al., 2013). Pada
penelitian lebih lanjut yang dilakukan oleh Abdul Karim et al., (2014) menggunakan LC-MS
flavonoid yang terkandung di dalam kulit buah kakao adalah rhamnetin, flavon, kaempferol, linarin,
dan acacetin.
192 | Nida, I. A., dkk. /Jurnal Ilmiah Farmasi 16(2) Agustus-Desember 2020, Hal. 182-195
Saponin merupakan senyawa glikosida yang memilki kemampuan untuk menghasilkan buih
dan menghemolisis darah. Senyawa saponin memiliki dua sisi yaitu polar dan nonpolar yang
memiliki permukaan aktif. Pada saat pengocokan dengan air, saponin akan membentuk misel yang
tampak seperti buih. Hasil positif dari pengujian saponin adalah buih yang bertahan selama kurang
lebih 10 menit dan tetap ada setelah penambahan HCl. Saponin memiliki aktivitas sebagai
antimikroba, antidiabetik, sitotoksik, antispasmodik, antioksidan, antihelmintik (Ayaz et al., 2014;
Rachman et al., 2015).
4. Kesimpulan
Berdasarkan hasil pemeriksaan parameter standardisasi kulit buah kakao (Theobroma cacao
L.) dapat ditarik kesimpulan yaitu padapemeriksaan makroskopik, kulit buah kakao memilki warna
kuning kecokelatan dan merah keunguan, bau khas, rasa pahit, dengan empat bentuk yaitu
amelonado, angoleta, cundeamor, dan calabacil. Pemeriksaan mikroskopik menunjukkan adanya
kumpulan sel batu dan rambut penutup. Kadar air kulit buah kakao sesuai dengan syarat yaitu
berada dibawah 10%. Nilai kadar abu total 5,80 - 7,40 dan kadar abu tak larut asam 0,45 - 0,64.
Kadar zat terlarut dalam air lebih tinggi dari etanol dengan nilai masing-masing 22,69 dan 5,21. Dari
hasil penapisan fitokimia kulit buah kakao menunjukkan adanya senyawa flavonoid, saponin,
kuinon, tannin, steroid, triterpenoid, monoterpen dan seskuiterpen. Pada kromatografi lapis tipis
menunjukkan adanya senyawa fenolik, tannin katekol, flavonoid, dan terpenoid.
Daftar pustaka
Abdul Karim, A., Azlan, A., Ismail, A., Hashim, P., Abd Gani, S. S., Zainudin, B. H., & Abdullah, N. A. (2016).Efficacy of cocoa pod extract as antiwrinkle gel on human skin surface. J Cosmet Dermatol, 15(3), 283-295. doi:10.1111/jocd.12218
Adamafio, N. A., Ayombil, F., & Tano-Debrah, K. (2011). Microbial detheobromination of cocoa (Theobromacacao) pod Husk. Asian. J. Biochem, 6, 200-207. doi:10.3923/ajb.2011.200.207
Ayaz, M., Junaid, M., Subhan, F., Ullah, F., Sadiq, A., Ahmad, S., Imran, M., Kamal, Z., Hussain, S., & Shah, S. M.(2014). Heavy metals analysis, phytochemical, phytotoxic and anthelmintic investigations of crudemethanolic extract, subsequent fractions and crude saponins from Polygonum hydropiper L. BMCcomplementary and alternative medicine, 14, 465. doi:10.1186/1472-6882-14-465
Azizah, D., Kumolowati, E., & Faramayuda, F. (2014). Penetapan kadar flavonoid metode AlCl3 pada ekstrakmetanol kulit buah kakao (Theobroma cacao L.). Kartika Jurnal Ilmiah Farmasi, 2.doi:10.26874/kjif.v2i2.14
Barraza, F., Schreck, E., Lévêque, T., Uzu, G., López, F., Ruales, J., Prunier, J., Marquet, A., & Maurice, L. (2017).Cadmium bioaccumulation and gastric bioaccessibility in cacao: A field study in areas impacted by oilactivities in Ecuador. Environmental Pollution, 229, 950-963.doi:https://doi.org/10.1016/j.envpol.2017.07.080
Bhargava, V., Saluja, A. K., & Dholwani, K. (2013). Detection of Heavy Metal Contents and Proximate Analysis ofroots of Anogeissus latifolia. 1, 61.
BPOM. (2019). Peraturan BPOM Nomor 32 Tahun 2019 tentang Persyaratan Keamanan dan Mutu ObatTradisional. Jakarta: BPOM
193 | Nida, I. A., dkk. /Jurnal Ilmiah Farmasi 16(2) Agustus-Desember 2020, Hal. 182-195
Eto, K., Marumoto, M., & Takeya, M. (2010). The pathology of methylmercury poisoning (Minamata disease):The 50th Anniversary of Japanese Society of Neuropathology. Neuropathology, 30(5), 471-479.doi:10.1111/j.1440-1789.2010.01119.x
Fagerberg, B., Barregard, L., Sallsten, G., Forsgard, N., Ostling, G., Persson, M., Borné, Y., Engström, G., &Hedblad, B. (2015). Cadmium exposure and atherosclerotic carotid plaques--results from the Malmödiet and Cancer study. Environ Res, 136, 67-74. doi:10.1016/j.envres.2014.11.004
Ghosh, D. (2018). Quality issues of herbal medicines: internal and external factors. International Journal ofComplementary & Alternative Medicine, 11. doi:10.15406/ijcam.2018.11.00350
Gillis, B. S., Arbieva, Z., & Gavin, I. M. (2012). Analysis of lead toxicity in human cells. BMC Genomics, 13, 344.doi:10.1186/1471-2164-13-344
Ginting, B., Prihutama, I., Saidi, N., & Astryna, S. (2019). Isolation and activity antioxidant test of cocoa podhusk ethyl asetat extracts (Theobroma cacao L). Jurnal Natural, 19, 49-53.doi:10.24815/jn.v19i2.12568
Handayani, S., Kadir, A., & Masdiana, M. (2018). Profil fitokimia dan pemeriksaan farmakognostik daun anting-anting (Acalypha indica. L). Jurnal Fitofarmaka Indonesia, 5, 258-265. doi:10.33096/jffi.v5i1.317
Izzuddin, A., & Nurkesuma, A. (2015). The potential of cocoa (Theobroma cacao l.) pods extract in periodontaldressing to rabbit gingival wound healing.
Jusmiati, J., Rusli, R., & Rijai, L. (2015). Aktivitas Antioksidan Kulit Buah Kakao Masak dan Kulit Buah KakoMuda. Jurnal Sains dan Kesehatan, 1, 34-39. doi:10.25026/jsk.v1i1.13
Kigigha, L. T., & Zige, D. V. (2013). Activity of chromolaena odorata on enteric and superficial etiologic bacterialagents.
Kim, D., Kim, B., Yun, E., Kim, J., Chae, Y., & Park, S. (2013). Statistical quality control of total ash, acid-insolubleash, loss on drying, and hazardous heavy metals contained in the component medicinal herbs of“Ssanghwatang”, a widely used oriental formula in Korea. Journal of Natural Medicines, 67(1), 27-35.doi:10.1007/s11418-012-0640-4
Kumar, S. R., Priyatharshni, S., Babu, V. N., Mangalaraj, D., Viswanathan, C., Kannan, S., & Ponpandian, N. (2014).Quercetin Conjugated Superparamagnetic Magnetite Nanoparticles for In-vitro Analysis of BreastCancer Cell Lines for Chemotherapy Applications. J Colloid Interface Sci, 436, 234-242.doi:10.1016/j.jcis.2014.08.064
Kunle, O., Folashade, Egharevba, H., Omoregie, & Ochogu, P. (2012). Standardization of herbal medicines -Areview. International Journal of Biodiversity and Conservation, 4, 101-112.
Lee, J., Her, J. Y., & Lee, K. G. (2015). Reduction of aflatoxins (B₁, B₂, G₁, and G₂) in soybean-based modelsystems. Food Chem, 189, 45-51. doi:10.1016/j.foodchem.2015.02.013
Loppies, J. E., & Yumas, M. (2014). Ekstraksi Komponen Aktif Kulit Buah Kakao dan Pemanfaatannya sebagaiBahan Pengawer Alami Pada Produk Makanan. Jurnal Industri Hasil Perkebunan, 9(2), 9.
Ma, X., Wang, W., Chen, X., Xia, Y., Duan, N., Wu, S., & Wang, Z. (2015). Selection, characterization andapplication of aptamers targeted to Aflatoxin B2. Food Control, 47, 545-551.doi:https://doi.org/10.1016/j.foodcont.2014.07.037
Malhotra, S. (2017). Genetic resources of cocoa (Theobroma cacao L.) and its utilization- An Appraisal. IndianJournal of Genetics and Plant Breeding, 77, 199-213. doi:10.5958/0975-6906.2017.00027.X
Mansourabadi, A. H., Sadeghi, H. M., Razavi, N., & Rezvani, E. (2015). Anti-inflammatory and AnalgesicProperties of Salvigenin, Salvia officinalis Flavonoid Extracted. Advanced Herbal Medicine, 1, 31-41.
Mason, L. H., Harp, J. P., & Han, D. Y. (2014). Pb neurotoxicity: neuropsychological effects of lead toxicity.Biomed Res Int, 2014, 840547. doi:10.1155/2014/840547
Mita, N. (2015). Formulasi Krim dari Kulit Buah Kakao (Theobroma cacao L.) Berkhasiat Antioksidan. Journalof Tropical Pharmacy and Chemistry, 3, 12-21. doi:10.25026/jtpc.v3i1.83
Mulla, S., & Swamy, P. (2010). Preliminary Pharmacognostical And Phytochemical Evaluation of Portulacaquadrifida Linn. International Journal of PharmTech Research, 2.
Mustarichie, R., & Hasanah, A. N. (2019). Anti-alopecia activity of waste cacao (Theobroma cacao L.) peels.Drug Invention Today, 11(9), 6.
Nagajyoti, P. C., Lee, K. D., & Tvm, S. (2010). Heavy metals, occurrence and toxicity for plants: A review.Environmental Chemistry Letters, 8(3), 199-216. Environmental Chemistry Letters, 8, 199-216.doi:10.1007/s10311-010-0297-8
Nikam, P. H., Kareparamban, J., Jadhav, A., & Kadam, V. (2012). Future trends in standardization of herbaldrugs. Journal of Applied Pharmaceutical Science, 2, 38-44. doi:10.7324/JAPS.2012.2631
194 | Nida, I. A., dkk. /Jurnal Ilmiah Farmasi 16(2) Agustus-Desember 2020, Hal. 182-195
Nogara, P. A., Oliveira, C. S., Schmitz, G. L., Piquini, P. C., Farina, M., Aschner, M., & Rocha, J. B. T. (2019).Methylmercury's chemistry: From the environment to the mammalian brain. Biochimica et BiophysicaActa (BBA) - General Subjects, 1863(12), 129284. doi:https://doi.org/10.1016/j.bbagen.2019.01.006
Nugroho, S., Rukmo, M., Prasetyo, E., & Yuanita, T. (2019). Antibakteri Ekstrak Kulit Buah Kakao (Theobromacacao) 6,25% dan NaOCl 2,5% Terhadap Bakteri Streptococcus sanguinis. Conservative DentistryJournal, 9, 19. doi:10.20473/cdj.v9i1.2019.19-21
Olim, D., Afu, S., Adie, P., & Akpa, E. (2020). Adsorption kinetics of Copper, Lead and Zinc by Cow Dung, PoultryManure and Cocoa (Theobroma Cacao) Pod. 2020.
Pappa, S., Jamaluddin, A. W., & Ris, A. (2019). Kadar tanin pada kulit buah kakao (Theobroma cacao l.)Kabupaten Poliwalimandar dan Toraja Utara. CAKRA KIMIA (Indonesian E-Journal of AppliedChemistry)(2), 92-101%V 107. Retrieved fromhttps://ojs.unud.ac.id/index.php/cakra/article/view/56181
Pizent, A., Tariba, B., & Živković, T. (2012). Reproductive toxicity of metals in men. Arh Hig Rada Toksikol, 63Suppl 1, 35-46. doi:10.2478/10004-1254-63-2012-2151
Qin, X.-W., Lai, J.-X., Tan, L.-H., Hao, C.-Y., Li, F.-P., He, S.-Z., & Song, Y.-H. (2016). Characterization of volatilecompounds in Criollo, Forastero and Trinitario cocoa seeds ( Theobroma cacao L.) in China.International Journal of Food Properties, 20. doi:10.1080/10942912.2016.1236270
Rachman, A., Wardatun, S., & Weandarlina, I. Y. (2015). Isolasi dan Identifikasi Senyawa Saponin EkstrakMetanol Daun Binahong (Anredera cordifolia (Ten.) Steenis). Jurnal MIPA, 1(1), 6.
Rachmawaty, M• nisa, A., Hasri, Pagarra, H., Hartati, & Maulana, Z. (2018). Active Compounds Extraction ofCocoa Pod Husk (Thebroma Cacao l.) and Potential as Fungicides.
Rafati Rahimzadeh, M., Rafati Rahimzadeh, M., Kazemi, S., & Moghadamnia, A.-A. (2017). Cadmium toxicity andtreatment: An update. Caspian journal of internal medicine, 8(3), 135-145. doi:10.22088/cjim.8.3.135
Rahayu, Y. C., Yuwono, B., & Wandansari, A. (2020). The effectiveness ofproanthocyanidins cacao pods(Theobroma cacao L.) on increasing socket epithelial thickness post toothextraction in wistar rats.Journal of Dentomaxillofacial Science, 5(1), 5.
Ramtahal, G., Chang-Yen, I., Bekele, I., Bekele, F., Wilson, L., Maharaj, K., & Harrynanan, L. (2016). Relationshipsbetween Cadmium in Tissues of Cacao Trees and Soils in Plantations of Trinidad and Tobago. Foodand Nutrition Sciences, 07, 37-43. doi:10.4236/fns.2016.71005
Rusconi, M., & Conti, A. (2010). Theobroma cacao L., the Food of the Gods: a scientific approach beyond mythsand claims. Pharmacol Res, 61(1), 5-13. doi:10.1016/j.phrs.2009.08.008
Sánchez-Peña, L. C., Petrosyan, P., Morales, M., González, N. B., Gutiérrez-Ospina, G., Del Razo, L. M., &Gonsebatt, M. E. (2010). Arsenic species, AS3MT amount, and AS3MT gene expression in differentbrain regions of mouse exposed to arsenite. Environ Res, 110(5), 428-434.doi:10.1016/j.envres.2010.01.007
Santos, R. X., Oliveira, D. A., Sodré, G. A., Gosmann, G., Brendel, M., & Pungartnik, C. (2014). Antimicrobialactivity of fermented Theobroma cacao pod husk extract. Genet Mol Res, 13(3), 7725-7735.doi:10.4238/2014.September.26.10
Sari, Y. L., Wisudanti, D. D., & Shodikin, M. A. (2018). The Analgesic Effectiveness Test of Cocoa Husk(Theobroma cacao L.) Extract to Licking Time of Mice Induced by Formalin. JOURNAL AMS(2), 83-89%V 84. doi:10.19184/ams.v4i2.6328
Sihombing, J. R., Dharma, A., Chaidir, Z., Almahdy, A., Fachrial, E., & Munaf, E. (2015). Phytochemical screeningand antioxidant activities of 31 fruit peel extract from Sumatera, Indonesia. 7, 190-196.
Singh, N., Datta, S., Dey, A., Chowdhury, A. R., & Abraham, J. (2015). Antimicrobial activity and cytotoxicity ofTheobroma cacao extracts. Der Pharmacia Lettre, 7, 287-294.
Suprapti, & Ramlah, S. (2013). Pemanfaatan Kulit Buah Kakao Untuk Briket Arang. Jurnal Biopropal Industri,4(2), 7.
Tchounwou, P. B., Yedjou, C. G., Patlolla, A. K., & Sutton, D. J. (2012). Heavy metal toxicity and the environment.Experientia supplementum (2012), 101, 133-164. doi:10.1007/978-3-7643-8340-4_6
Thi, L., Ha, V., Hang, P., Everaert, H., Rottiers, H., Lam, A., Dung, T., Hồng, P., Phuoc, D., Toan, H., Dewettinck, K.,& Messens, K. (2016). Characterization of leaf, flower, and pod morphology among vietnamese cocoavarieties (Theobroma cacao L.). Pakistan Journal of Botany, 48, 2375-2383.
Trognitz, B., Scheldeman, X., Hansel-Hohl, K., Kuant, A., Grebe, H., & Hermann, M. (2011). Genetic populationstructure of cacao plantings within a young production area in Nicaragua. PLoS One, 6(1), e16056.doi:10.1371/journal.pone.0016056
195 | Nida, I. A., dkk. /Jurnal Ilmiah Farmasi 16(2) Agustus-Desember 2020, Hal. 182-195
Umri, R., Maulana, I., & Ginting, B. (2019). Antioxidant and cytotoxic activity of ethyl asetat extracts of cocoapod husk ( Theobroma cacao L). IOP Conference Series: Earth and Environmental Science, 364, 012026.doi:10.1088/1755-1315/364/1/012026
Wang, C. Z., Calway, T. D., Wen, X. D., Smith, J., Yu, C., Wang, Y., Mehendale, S. R., & Yuan, C. S. (2013).Hydrophobic flavonoids from Scutellaria baicalensis induce colorectal cancer cell apoptosis through amitochondrial-mediated pathway. Int J Oncol, 42(3), 1018-1026. doi:10.3892/ijo.2013.1777
WHO. (2011). Quality Control Methods for Herbal Materials. from WHO press
Jurnal Ilmiah Farmasi 16(2) Agustus-Desember, Hal.196-203ISSN: 1693-8666
available at http://journal.uii.ac.id/index.php/JIF
196
Treatment pattern and direct medical costs of pediatric outpatientswith actuate respiratory infection at X hospital in Jambi
Pola pengobatan dan biaya medis langsung pasien ISPA anak rawat jalandi Rumah Sakit X Jambi
Hendri Pranata*, Rasmaladewi, Mukhlis Sanuddin
Program Studi Farmasi, Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan Harapan Ibu, Jambi, Indonesia*Corresponding author: [email protected]
Abstract
Introduction: Acute respiratory infection is common among the general public. Such disease and itsassociated symptoms encourage higher consumption of medicine. Varied medications for ARIpatients incur different costs of each patient, which eventually lead to higher healthcare costs.Objectives: To identify the treatment patterns and direct medical costs among ARI pediatric patientsat X Hospital in Jambi.Methods: This research was an observational study with retrospective data collection. The sampleswere collected in 2018.Results: The results showed that the most-frequently administered antibiotic for ARI pediatricpatients was cefixime (29.17%), while the most-commonly used supportive therapy for ARI pediatricpatients was the combination of antihistamines, antipyretics-analgesics, decongestant, andcorticosteroid (16.67%). The total direct medical cost to ARI pediatric patients was IDR 191,097.Conclusion: The mean direct medical cost for ARI therapy was IDR 191,097. More administeredtherapy resulted in higher medical costs.Keywords: ARI, child, antibiotics, direct medical costs
Intisari
Latar belakang: Infeksi saluran pernafasan akut merupakan penyakit yang umum terjadi pada setiapkalangan masyarakat. Infeksi saluran pernafasan akut dan juga gejala yang di timbulkannyamengakibatkan tinggi nya penggunaan obat-obatan. Bervariasinya obat yang di konsumsi oleh pasienISPA menyebabkan pembebanan biaya yang beragam dari setiap pasien yang pada akhirnya akanmempengaruhi beban biaya kesehatan yang akan ditanggung.Tujuan: Untuk mengetahui pola pengobatan dan biaya medis langsung pasien ISPA anak rawat jalandi Rumah Sakit X Jambi.Metode: Penelitian ini merupakan penelitian observasional dengan pengumpulan data dilakukansecara retrospektif. Sampel diambil pada tahun 2018.Hasil: Hasil penelitian didapatkan bahwa antibiotik yang paling banyak digunakan pada pasien anakpenderita ISPA adalah sefiksim sebesar 29,17%. Sedangkan terapi suportif yang paling banyakdigunakan untuk pasien anak ISPA adalah kombinasi golongan antihistamin, antipiretik analgetik,dekongestan, kortikosteroid sebanyak 16,67%. Biaya total rata-rata medis langsung pada pasien ISPAanak rawat jalan yaitu sebesar Rp. 191.097.Kesimpulan: Biaya medis langsung yang harus dikeluarkan untuk terapi pada penyakit ISPA yaiturata-rata sebesar Rp. 191.097. Semakin banyak terapi yang di berikan maka semakin tinggi pula biayayang akan dikeluarkan.Kata kunci: ISPA, anak, antibiotik, biaya medis langsung
197 | Hendri, P., dkk. /Jurnal Ilmiah Farmasi 16(2) Agustus-Desember 2020, 196-203
1. Latar Belakang
Menurut World Health Organization (WHO), Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA)
merupakan salah satu penyebab utama kesakitan dan kematian pada penyakit menular,
diketahui sekitar empat juta orang meninggal diakibatkan oleh ISPA setiap tahun (WHO,
2019). Pada 10 penyakit terbanyak di Indonesia, ISPA selalu menduduki peringkat pertama.
ISPA mendominasi kesakitan anak usia dibawah 5 tahun (balita) (Kemenkes, 2011). Di
Indonesia karakteristik penduduk dengan ISPA yang tertinggi terjadi pada kelompok umur 1-
4 tahun (25,8%) (Musdalipah et al., 2018). Persentase untuk Kota Jambi sendiri mencapai
68,58% sehingga dikhawatirkan dampak yang besar pada anak di Kota Jambi (Dinkes, 2016).
Dampak dari penyakit ISPA jika tidak diobati dan jika di sertai dengan malnutrisi, maka
penyakit tersebut akan menjadi berat dan akan menyebabkan terjadinya bronkitis,
pneumonia, otitis media, syok dan sebagainya (Marni, 2014). ISPA serta dampak yang timbul
mengakibatkan tingginya penggunaan antibiotik dan obat seperti obat flu, obat batuk dan
multivitamin. ISPA umumnya diberikan resep antibiotik, ekspektoran, analgetik dan
antihistamin (Sholihah et al., 2017).
Bervariasinya terapi yang diberikan kepada pasien ISPA menimbulkan pembebanan
biaya pengobatan yang beragam dari setiap pasien yang mempengaruhi total biaya
pengobatan yang harus ditanggung (Almeman et al., 2014). Penelitian yang telah dilakukan
menyatakan bahwa sebanyak 4.558 balita di Jakarta menderita ISPA pada tahun 2002 dengan
total biaya yang harus dikeluarkan sebesar Rp.55.748.788,00, dan pada 2015 biaya medik
langsung pasien ISPA anak di RS ‘X’ adalah Rp. 250.407 per pasien (Sholihah et al., 2017).
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui biaya medis langsung serta pola pengobatan
pasien ISPA anak rawat jalan di Rumah Sakit X Jambi.
2. Metodologi penelitian
2.1. Deskripsi bahan dan teknik pengumpulan sampel
Penelitian ini merupakan penelitian observasional dengan pengambilan data secara
retrospektif berdasarkan data resep, slip bpjs dan kwitansi pembayaran pasien pediatrik yang
telah menjalani pengobatan rawat jalan pada periode 2018 di Instalasi Rawat Jalan Anak
Rumah Sakit X Jambi. Sampel pada penelitian ini adalah pasien anak penderita ISPA pada
198 | Hendri, P., dkk. /Jurnal Ilmiah Farmasi 16(2) Agustus-Desember 2020, 196-203
rawat jalan yang mendapatkan terapi pengobatan minimal 1 jenis pengobatan supportif dan
atau 1 jenis antibiotik. Data disajikan dalam bentuk tabel.
2.2. Penjelasan mengenai deskripsi jalannya penelitian
Pengambilan sampel dilakukan dengan cara menelusuri resep, slip bpjs dan kwitansi pasien di
poli anak Rumah Sakit X Jambi dengan data periode 2018. Data kemudian diolah
menggunakan MS. Excel. Data dikelompokan berdasarkan karakteristik pasien, terapi yang
diberikan, dan biaya medis langsungnya. Analisis data yaitu biaya medis langsung dihitung
biaya rata-rata yang harus dikeluarkan per pasien untuk diagnosa ISPA.
3. Hasil dan pembahasan
Karakteristik pasien diperlihatkan pada tabel 1. Berdasarkan hasil penelitian yang telah
dilakukan, persentase pasien ISPA anak rawat jalan berjenis kelamin laki-laki sebesar 54,17%
dan perempuan sebesar 45,83%. Hal ini di karenakan kegiatan anak laki-laki lebih banyak
dibandingkan perempuan sehingga anak laki-laki lebih banyak peluang terpaparnya agent
penyakit (Sugiarti et al., 2015). Karakteristik pasien berdasarkan usia diperoleh hasil
persentase pasien anak usia 0-5 tahun sebesar 70,83% dan usia >5-12 tahun sebesar 29,17%.
Tingginya prevalensi tersebut dikarenakan ISPA pada usia tersebut biasanya merupakan
kejadian infeksi pertama namun belum terbentuknya kekebalan tubuh yang optimal secara
alami serta belum sempurnanya sistem imunitas (Fajarwati, 2015; Musdalipah et al., 2018).
Tabel 1. Karakteristik pasien berdasarkan jenis kelamin, usia, dan diagnosa penyakit
No Karakteristik Bronkitis Otitis media Rhinitis Sinusitis Total %1 Jenis kelamin
Laki-laki 19 6 5 9 39 54,17
Perempuan 17 9 1 6 33 45,83
Total 36 15 6 15 72 100
2 Usia0-5 tahun 30 7 2 12 51 70,83>5-12 tahun 6 8 4 3 21 29,17Total 36 15 6 15 72 100
Keterangan: Rentang usia berdasarkan Kementerian Kesehatan Republik Indonesia
Pola penggunaan antibiotik diperlihatkan pada tabel 2. Antibiotik yang paling banyak
digunakan pada penelitian ini adalah sefiksim dengan penggunaan pada penyakit bronkitis
dan sinusitis dengan total penggunaan sebesar 29,17%, sedangkan pada otitis media lebih
199 | Hendri, P., dkk. /Jurnal Ilmiah Farmasi 16(2) Agustus-Desember 2020, 196-203
banyak menggunakan tetes telinga ofloksasin sebesar 6.94% dan pada rhinitis antibiotik yang
digunakan adalah sefadroksil dengan total penggunaan pada semua penyakit sebesar 13,89%.
Sefiksim lebih banyak digunakan pada bronkitis dan sinusitis dikarenakan sefiksim dianggap
pilihan terapi yang tepat untuk mengatasi infeksi mikroorganisme yang serius. Penelitian
yang dilakukan sebelumnya menunjukan keberhasilan pengobatan sebesar 83,30% pada
pasien sinusitis. Keberhasilan tersebut disebabkan karena sensitifitas sefiksim terhadap
mikroorganisme penyebab sinusitis dan beberapa penyakit ISPA sehingga sefiksim lebih
direkomendasikan sebagai terapi lini pertama untuk mengatasi infeksi sinusitis (Dreshaj et al.,
2011). Penyakit bronkitis tidak hanya digunakan antibiotik sefiksim tetapi juga menggunakan
antibiotik kombinasi amoksisilin dan asam klavulanat. Kombinasi ini dapat mengurangi
resistensi terhadap amoksisilin (Alburyhi et al., 2013).
Tabel 2. Pola penggunaan antibiotik
No Golongan Nama obat Diagnosa N = 72Bronkitis Otitis Media Rhinitis Sinusitis Jumlah %
1 Sefalosporin Sefadroksil 4 2 4 10 13,89Sefiksim 10 11 21 29,17
2 Kuinolon Ofloksasin 5 5 6,943 Penisilin Amoksisilin 5 1 6 8,33
Amoksiklav 6 6 8,334 Makrolida Azitromisin 2 2 2,78
Kombinasi Amoksisilin +Ofloksasin
2 2 2,78
Amoksisilin +Polimiksin +Neomisin
2 2 2,78
Amoksiklav +Ofloksasin
2 2 2,78
Polimiksin +Neomisin
1 1 1,39
Sefadroksil +Ofloksasin
3 3 4,16
5 Tidak menerima antibiotik 9 3 12 16,67Total 36 15 6 15 72 100
Pada rhinitis diberikan terapi antibiotik sefadroksil untuk mengatasi bakteri yang
menyerang. Antibiotik golongan sepalosporin memiliki aktivitas yang poten terhadap
mikroorganisme Gram positif dan Gram negatif. Otitis media lebih banyak digunakan obat
200 | Hendri, P., dkk. /Jurnal Ilmiah Farmasi 16(2) Agustus-Desember 2020, 196-203
tetes ofloksasin sebagai monoterapi. Ofloksasin tetes telinga diberikan pada penderita dengan
sekret telinga. Antibiotik ini diketahui aman terhadap syaraf-syaraf telinga bila terjadi iritasi
pada gendang telinga, yang berarti tidak bersifat ototoksik. Mekanisme kerja dari golongan
kuinolon yaitu menghambat kerja DNA-gyrase sehingga sintesis DNA kuman terhambat
(Sholihah et al., 2017).
Tabel 2 juga menunjukkan bahwa tidak semua pasien diberikan terapi antibiotik. Terapi
antibiotik digunakan hanya jika adanya keterlibatan atau penyakit disebabkan oleh bakteri,
sedangkan jika penyakit disebabkan oleh virus tidak perlu diberikan antibiotik, namun
diberikan terapi suportif untuk mengurangi gejala penyakit dan antivirus jika dibutuhkan.
Pengenalan ada tidaknya indikasi pemberian antibiotik menjadi masalah yang besar saat ini.
Penggunaan antibiotik seharusnya didasarkan diagnosis yang jelas atau disebabkan oleh
bakteri, namun pemeriksaan diagnostik terbatas membuat penegakan diagnosis pasti bisa
tertunda hingga beberapa hari. Banyak peneliti menemukan bahwa sebagian besar alasan
dokter memberikan antibiotik adalah karena adanya kekhawatiran dalam mengenali infeksi
bakterial sehingga antibiotik diberikan kepada semua pasien dengan gejala demam (Farida et
al., 2016).
Terapi suportif adalah terapi tambahan atau penunjang bukan antibiotik yang dapat
menyembuhkan atau mengurangi gejala yang timbul. Penggunaan terapi ini di sesuaikan
dengan keadaan yang dialami pasien (tabel 3.). Penggunaan lebih banyak digunakan obat
dengan kombinasi antihistamin, antipiretik analgetik, dekongestan, kortikosteroid sebanyak
16,67%. Penggunaan antihistamin umumnya digunakan jika adanya tanda alergi seperti gatal
ataupun bersin, obat yang digunakan antihistamin golongan pertama yaitu CTM, golongan ini
memberikan hasil yang baik dalam mengatasi gejala flu, namun tidak terbukti mencegah,
ataupun mengobati serangan flu. Bronkodilator digunakan pada pasien bronkitis yang
disertai dengan obstruksi peranafasan. Golongan ini mendilatasi bronkiolus dan bronkus
sehingga aliran udara meningkat (Hapsari et al., 2010).
Tabel 3. Pola penggunaan terapi supportif
Golongan Jumlah %Antihistamin + Antipiretik-Analgetik + Mukolitik 2 2,78
Antihistamin + Antipiretik-Analgetik + Dekongestan + Kortikosteroid 12 16,67Antihistamin + Antipiretik-Analgetik + Mukolitik 2 2,78
Antihistamin + Bronkodilator + Mukolitik 10 13,89
201 | Hendri, P., dkk. /Jurnal Ilmiah Farmasi 16(2) Agustus-Desember 2020, 196-203
Golongan Jumlah %Antihistamin + Bronkodilator + Dekongestan + Mukolitik 1 1,39Antihistamin + Dekongestan + Kortikosteroid + Vitamin 5 6,94
Antihistamin + Dekongestan + Kortikosteroid 3 4,16Antihistamin + Kortikosteroid 1 1,39
Antihistamin-Kortikosteroid + Antipiretik-Analgetik 3 4,16Antihistamin + Kortikosteroid + Mukolitik + Vitamin 1 1,39Antipiretik-Analgetik + Bronkodilator + Mukolitik 1 1,39
Antipiretik-Analgetik + Dekongestan 3 4,16Antipiretik-Analgetik + Mukolitik 3 4,16
Antipiretik-Analgetik + Mukolitik + Vitamin 1 1,39Antipiretik-Analgetik + Kortikosteroid + Mukolitik 2 2,78
Antipiretik-Analgetik + Vitamin 1 1,39Bronkodilator 1 1,39
Bronkodilator + Mukolitik 2 2,78Bronkodilator + Dekongestan + Kortikosteroid + Mukolitik + Vitamin 1 1,39
Bronkodilator + Kortikosteroid +Mukolitik + Vitamin 5 6,94Dekongestan + Ekspektoran + Kortikosteroid 1 1,39
Kortikosteroid + Mukolitik 8 11,12Kortikosteroid + Mukolitik + Vitamin 2 2,78
Mukolitik + Vitamin 1 1,39Total 72 100
Biaya medis langsung merupakan biaya yang dikeluarkan oleh pasien yang
berhubungan langsung dengan kesehatan pasien seperti biaya pendaftaran, jasa dokter dan
obat-obatan (tabel 4). Hasil penelitian menunjukan bahwa biaya langsung yang harus
dikeluarkan oleh pasien ISPA rawat jalan yaitu sebesar Rp. 191.097. Biaya tertinggi yang
harus dibayar oleh pasien adalah biaya pendaftaran dan jasa dokter (digabung).
Tabel 4. Biaya medis langsung
Medis langsung N = 72Biaya total Biaya per pasien
ObatAntibiotik Rp. 2.581.500 Rp. 35.854Suportif Rp. 2.537.500 Rp. 35.243
Jasa Dokter dan Pendaftaran Rp. 8.640.000 Rp. 120.000Total Rp. 13.759.000 Rp. 191.097
Biaya jasa dokter adalah biaya yang dikeluarkan sebagai imbalan kepada dokter
karena telah melakukan pemeriksaan dan konsultasi terhadap pasien ataupun keluarga
pasien. Biaya pendaftaran dan jasa dokter yang harus dikeluarkan yaitu sebesar Rp. 120.000.
202 | Hendri, P., dkk. /Jurnal Ilmiah Farmasi 16(2) Agustus-Desember 2020, 196-203
Biaya penggunaan obat yang harus dikeluarkan oleh pasien ISPA anak rawat jalan ada 2 jenis
yaitu terapi suportif dan antibiotik. Biaya antibiotik yang harus dikeluarkan tiap pasien yaitu
sebesar Rp. 35.854 sedangkan biaya terapi suportif tiap pasien yaitu sebesar Rp. 35.243.
Dari data tersebut menunjukan bahwa terapi antibiotik lebih tinggi biayanya
dibandingkan dengan biaya suportif. Hal ini disebabkan karena adanya penggunaan antibiotik
kombinasi dan antibiotik dengan bentuk sediaan sirup (Musdalipah et al., 2018). Antibiotik
sirup umumnya lebih mahal dibandingkan dengan yang tablet/kapsul, dan pasien yang paling
banyak adalah usia 0-5 tahun sehingga lebih banyak digunakan antibiotik sirup. Hal ini
mempengaruhi biaya yang dikeluarkan oleh pasien.
4. Kesimpulan
Hasil penelitian didapatkan bahwa antibiotik yang paling banyak digunakan pada
penelitian ini yaitu sefiksim sebanyak 29,17%. Terapi suportif yang paling banyak digunakan
adalah kombinasi golongan antihistamin, antipiretik-analgetik, dekongestan, kortikosteroid
sebesar 16,67%. Biaya medis langsung yang harus dikeluarkan pada penelitian ini didapatkan
dengan rata-rata yaitu sebesar Rp.191.097 per pasien.
Ucapan terimakasih
Terima kasih kepada Rumah Sakit ‘X’ dan STIKES Harapan Ibu Jambi yang telah mengizinkan
dilaksanakannya penelitian ini serta membantu dalam kelancaran pelaksanaan penelitian ini.
Daftar pustaka
Alburyhi, M. M., Siaf, A. A., & Noman, M. A. (2013). Stability study of six brands of amoxicillin trihydrateand clavulanic acid oral suspension present in Yemen markets. Journal of Chemical andPharmaceutical Research, 5, 293-296.
Almeman, A., Ibrahim, M., & Rasool, S. (2014). Cost analysis of medications used in upper respiratorytract infections and prescribing patterns in University Sans Malaysia, Penang, Malaysia.Tropical Journal of Pharmaceutical Research, 13, 621. doi:10.4314/tjpr.v13i4.21
Dinkes. (2016). Profil Kesehatan Provinsi Jambi. Jambi: Dinas Kesehatan Provinsi JambiDreshaj, S., Doda-Ejupi, T., Tolaj, I., Mustafa, A., Kabashi, S., Shala, N., Geca, N., Aliu, A., & Daka, A. (2011).
Clinical role of Cefixime in community-acquired infections. Prilozi / Makedonska akademija nanaukite i umetnostite, Oddelenie za biološki i medicinski nauki = Contributions / MacedonianAcademy of Sciences and Arts, Section of Biological and Medical Sciences, 32, 143-155.
Fajarwati, A. H. (2015). Evaluasi penggunaan antibiotika pada penyakit Infeksi Saluran Pernafasan Akutkelompok pediatri di Instalasi Rawat Inap Rumah Sakit Panti Rapih Yogyakarta. UniversitasSanata Dharma, Yogyakarta.
203 | Hendri, P., dkk. /Jurnal Ilmiah Farmasi 16(2) Agustus-Desember 2020, 196-203
Farida, H., Herawati, H., Hapsari, M. M., Notoatmodjo, H., & Hardian, H. (2016). Penggunaan AntibiotikSecara Bijak Untuk Mengurangi Resistensi Antibiotik, Studi Intervensi di Bagian KesehatanAnak RS Dr. Kariadi. Sari Pediatri, 10, 34. doi:10.14238/sp10.1.2008.34-41
Hapsari, R. Y. D., Sunyoto, & Rahmawati, F. (2010). Gambaran Pengobatan Pada Penderita Ispa (InfeksiSaluran Pernafasan Akut) Di Puskesmas Trucuk 1 Klaten Tahun 2010. CERATA Journal OfPharmacy Science, 11.
Kemenkes. (2011). Pedoman Pengendalian Infeksi Saluran Napas Akut. Kementerian KesehatanRepublik Indonesia
Marni. (2014). Asuhan Keperawatan pada Anak dengan Gangguan Pernapasan. Yogyakarta: GosyenPublishing.
Musdalipah, M., Setiawan, M. A., & Santi, E. (2018). Analisis efektivitas biaya antibiotik sefotaxime dangentamisin penderita pneumonia pada balita di RSUD Kabupaten Bombana Provinsi SulawesiTenggara.
Sholihah, N., Susanti, R., & Untari, E. (2017). Gambaran pengobatan dan biaya medis langsung pasienISPA anak di RS ‘X’ tahun 2015. JURNAL MANAJEMEN DAN PELAYANAN FARMASI (Journal ofManagement and Pharmacy Practice), 7, 40. doi:10.22146/jmpf.368
Sugiarti, T., Sidemen, A., & Wiratmo, W. (2015). Studi Penggunaan Antibiotik pada Pasien Penyakit ISPAUsia Bawah Lima Tahun di Instalasi Rawat Jalan Puskesmas Sumbersari Periode 1 Januari-31Maret 2014 (Study of Antibiotics Use on ARI Patients in Under Five Years Outpatient Clinic,Sumbersari Health. Pustaka Kesehatan(2), 262-266%V 263. Retrieved fromhttps://jurnal.unej.ac.id/index.php/JPK/article/view/2583
WHO. (2019). World health statistics 2019: monitoring health for the SDGs, sustainable developmentgoals(pp. 120). Retrieved from https://apps.who.int/iris/handle/10665/324835